Anda di halaman 1dari 30

KEBIJAKAN PEMERINTAH KESIAPSIAGAAN BENCANA PADA

DESTINASI PARIWISATA

Oleh :
D-IV Keperawatan Kelas 3A

Ni Wayan Mujani (P07120216021) Annisa Pratiwi (P07120216031)

Nur Adiana Dewi (P07120216022) Yuni Handayani (P07120216032)

Murti Apsari Dewi (P07120216023) IA Pt Gayatri P (P07120216033)

Intan Adriana Sari (P07120216024) Ayu Sista Utami (P07120216035)

AAI Maransika N.P (P07120216025) Ayu Krisnayanti (P07120216026)

Ayu Mahapatni (P07120216026) Ayu Widyaningsih (P07120216027)

Evi Srikrisna Yanti (P07120216027) Ribka Oktafia K (P07120216028)

IGA Sri Parwati (P07120216028) Mirah Kencanawati (P07120216029)

Diah Sandi Dewi (P07120216029) GA Triana Utari (P07120216040)

Tresna Saputra (P07120216030)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Dalam penyelesaian makalah ini ada beberapa kesulitan yang penulis
temukan. Untuk itu, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan anugrah-Nya kepada pihak


yang telah membantu penyelesaian makalah ini dan semoga makalah ini dapat
berguna untuk memberikan kontribusi dalam mata kuliah Manajemen Risiko
Bencana Pariwisata dengan judul “Kebijakan Pemerintah Kesiapsiagaan Bencana
Pada Destinasi Pariwisata”. Di samping itu penulis menyadari makalah ini jauh
dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua
pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Denpasar, 18 Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Depan
Kata Pengantar ................................................................................ ii
Daftar Isi ................................................................................ iii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 3
1.3 Tujuan ................................................................................ 3
1.4 Manfaat ................................................................................ 3
Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian Bencana............................................................................. 4
2.2 Kebijakan Penanggulangan Bencana Pariwisata................................ 4
2.3 Dampak Bencana Pada Sektor Pariwisata.......................................... 6
2.4 Pengertian Manajemen Resiko Bencana............................................. 7
2.5 Tujuan Manajemen Risiko Bencana Di Sektor Pariwisata................. 7
2.6 Tahapan Proses Manajemen Risiko Bencana Pariwisata.................... 9
2.7 Tahap Sertifikasi Kesiapsiagaan Bencana Dalam Industri
Pariwisata ................................................................................ 18
Bab III Penutup
3.1 Simpulan ................................................................................ 25
3.2 Saran ................................................................................ 26
Daftar Pustaka ................................................................................ 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keindahan alam yang berlimpah, tak dapat dipungkiri menjadikan
negeri ini memiliki banyak daerah tujuan wisata yang layak dibanggakan.
Laut, pantai, gunung, sungai, lembah, dataran tinggi, hutan, dan sawah
berderet dari Sabang sampai Merauke saling berebut menampakan
kemolekannya. Tapi dibalik semua pesona alam tersebut, Indonesia adalah
kawasan rawan bencana. Lalu  bagaimana keterkaitannya dengan pariwisata?
Letak Indonesia yang tepat berada di atas deretan cincin gunung api,
menjadikan Indonesia negeri yang rawan bencana alam, seperti gempa bumi,
letusan gunung berapi, kebakaran hutan, banjir bandang, angin topan, dan
tsunami. Sejarah juga telah membuktikan bahwa hampir tiap tahun Indonesia
selalu mengalami bencana yang sifatnya berulang. Ada beberapa bencana
yang sifatnya memang alamiah, dalam artian bencana tersebut tak dapat
dicegah, seperti letusan gunung berapi dan gempa bumi. Sementara di sisi
lain ternyata lebih banyak lagi bencana yang sebenarnya merupakan ulah dari
manusia itu sendiri yang seharusnya bisa dicegah, seperti banjir bandang,
kebakaran hutan, dan tanah longsor.
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, menyebutkan definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam
maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. Definisi tersebut mengacu pada semua bencana, baik bencana
alam, non-alam, maupun bencana sosial. Sementara Faulkner (2001)
menjelaskan secara lebih spesifik bahwa  bencana merupakan suatu peristiwa
atau kejadian akibat dari fenomena alam yang membutuhkan sistem informasi
gabungan pendeteksi cuaca dan tindakan manusia secara lebih luas. Faulkner
membedakan antara bencana alam dan   bencana non-alam. Bencana menurut

1
Faulkner adalah bencana alam, sementara  bencana non-alam dan sosial
disebut sebagai krisis. Dari pengertian tersebut, Faulkner menegaskan bahwa
apa pun bentuk sebuah bencana sebenarnya bisa diprediksi ataupun dicegah.
Keterlibatan manusia secara aktif dan sistem informasi pendeteksi cuaca yang
lebih luas bisa membantu penanganan sebelum dan setelah bencana.
Pariwisata adalah sebuah industri yang sangat bergantung pada
keunikan alam dan budaya. Daya tarik utama sebuah destinasi wisata adalah
bentangan alam dan kekayaan budaya suatu daerah yang berbeda dari daerah
lainnya. Sehingga jika terjadi kerusakan ataupun degradasi pada sebuah
destinasi, baik akibat krisis maupun bencana, maka akan sangat berpengaruh
terhadap kelangsungan industrinya. Dapat dikatakan pula bahwa industri
pariwisata sangat rentan terhadap bencana dan krisis. Berbicara tentang
pariwisata dan  bencana, berarti mengupas keduanya dari dua sisi yang
berbeda. Bencana bisa  berpengaruh positif maupun negatif terhadap
pariwisata. Pengaruh negatif muncul karena adanya kerusakan dan penurunan
jumlah pengunjung, sementara  pengaruh positif justru timbul saat bencana
itu sendiri dijadikan sebagai komoditi pariwisata. Ada beberapa fakta di
lapangan yang menunjukan hal unik terkait pariwisata dan bencana. Secara
konseptual bencana akan mempengaruhi  permintaan industri pariwisata.
Pada beberapa kejadian, justru menunjukan sebaliknya. Mungkin belum
hilang dari ingatan kita bagaimana erupsi yang terjadi di Gunung Bromo telah
menarik banyak wisatawan untuk melihatnya atau bagaimana wisatawan
malah berbondong-bondong untuk melihat keadaan Kali Urang paska-erupsi
Gunung Merapi. Untuk itu para pakar termasuk Prideaux (2003) sepakat
kalau industri pariwisata memerlukan penanganan khusus dalam perencanaan
dan pemulihan paska-bencana. Kedua akibat  bencana tersebut, baik negatif
maupun positif, tetap membutuhkan penanganan sebelum, saat, dan sesudah
terjadinya bencana. Faulkner dan Vikulov (2001) memberikan beberapa
alasan mengapa industri pariwisata memerlukan  penanganan khusus terkait
dengan bencana alam.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian bencana ?
2. Bagaimanakah kebijakan penanggulangan bencana pariwisata ?
3. Bagaimanakah dampak bencana pada sektor pariwisata ?
4. Apakah pengertian manajemen resiko bencana ?
5. Apa sajakah tujuan manajemen risiko bencana di sektor pariwisata ?
6. Bagaimanakah tahapan proses manajemen risiko bencana pariwisata ?
7. Bagaimanakah tahap sertifikasi kesiapsiagaan bencana dalam industri
pariwisata ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian bencana.
2. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan penanggulangan bencana
pariwisata.
3. Untuk mengetahui bagaimana dampak bencana pada sektor pariwisata.
4. Untuk mengetahui pengertian manajemen risiko bencana.
5. Untuk mengetahui tujuan manajemen risiko bencana di sektor pariwisata.
6. Untuk mengetahui bagaimana tahapan proses manajemen risiko bencana
pariwisata.
7. Untuk mengetahui tahap sertifikasi kesiapsiagaan bencana dalam industry
pariwisata.

1.4 Manfaat
Manfaat yang akan di dapat setalah mengetahui tentanag
kebijakan pemerintah Indonesia mengenai kesiapsiagaan bencana destinasi
pariwisata adalah mahasiswa dapat menerapkan pengetahuan tentang
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam kesiapsigaan bencana untuk
melakukan tindakan kesiapsigaan bencana di daerah destinasi pariwisata
kedepannya dalam melakukan praktikum maupun pekerjaan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bencana


Menurut UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana,
bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan
baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Pengertian bencana menurut International Strategy for Disaster
Reduction (ISDR) adalah Suatu gangguan serius terhadap keberfungsian
suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada
kehidupan manusia dari segi materi , ekonomi atau lingkungan dan
melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi
dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri.

2.2 Kebijakan Penanggulangan Bencana Pariwisata


1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3373);
2 Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2006 tentang Search and
Rescue (SAR)
3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang
Pedoman Umum Mitigasi Bencana;
4 Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.
PM.106/PW.006/MPK/2011.
5 Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Republik Indonesia Nomor : PM.106/PW.006/MPEK/2011 Tentang
Sistem Manajemen Pengamanan Hotel pada Elemen Sembilan
tentang Penanganan Keadaan Darurat berisi :

4
a. Usaha hotel wajib memiliki prosedur penanganan
keadaan darurat untuk menghadapi keadaan darurat dan
diuji secara berkala untuk dilakukan pada saat kejadian yang
sebenarnya. Pengujian prosedur penanganan keadaan
darurat tersebut secara berkala dilakukan oleh pekerja
hotel yang memiliki kompetensi. Untuk kegiatan
pengujian prosedur penanganan keadaan darurat seperti
pada instalasi atau peralatan yang mempunyai potensi
ancaman besar, contohnya uji coba memadamkan
kebakaran dan mengatasi ancaman bom di hotel
dikoordinasikan dengan instansi terkait yang berwenang
b. Usaha hotel wajib menetapkan, menerapkan dan
memelihara suatu prosedur penanganan keadaan darurat
untuk:
1) mengidentifikasi potensi terjadinya keadaan darurat;
2) menangani situasi darurat; dan
3) petunjuk pelaksanaan untuk tim manajemen krisis
(crisis management team).
c. Dalam perencanaan penanganan keadaan darurat, usaha hotel
wajib memasukkan tanggung jawab kepada pihak-pihak
terkait.
d. Usaha hotel wajib mengantisipasi situasi darurat, mencegah
dan menurunkan dampak terhadap status keamanan.
e. Usaha hotel wajib menguji secara berkala prosedur
penanganan keadaan darurat agar tetap terlatih dengan
melibatkan pihak-pihak terkait.
6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3373);
7 Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2006 tentang Search and
Rescue (SAR)

5
8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang
Pedoman Umum Mitigasi Bencana;
9 Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.
PM.106/PW.006/MPK/2011.
10 Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Republik Indonesia Nomor : PM.106/PW.006/MPEK/2011
Tentang Sistem Manajemen Pengamanan Hotel pada Elemen
Sembilan tentang Penanganan Keadaan Darurat

2.3 Dampak Bencana Pada Sektor Pariwisata


Dampak pada situs pariwisata akibat bencana yaitu :
1. Kerusakan atau musnahnya bangunan monumental yang sangat
berharga sebagai sumber dan bukti sejarah.
2. Orang-orang yang menjadi korban banyak kehilangan harta benda
bahkan nyawa.
3. Trauma tersendiri bagi korban ataupun wisatawan. Mereka
cenderung mengesampingkan kebutuhan untuk pariwisata.
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menaikkan kembali
citra Indonesia dimata dunia sebagai Negara yang aman dengan keindahan
alam yang menakjubkan dapat dilakukan dengan cara :
1. Meningkatkan promosi dan layanan objek wisata. Contohnya
membuat iklan yang ditayangkan di media elektronik dan media
cetak.
2. Mengundang wartawan asing untuk meliput kawasan wisata.
3. Manambah perwakilan biro perjalanan diluar negeri dengan promo-
promo yang menarik.
4. Mempermudah akses  ke daerah tujuan wisata, misalnya
memperbaiki jalan dan membuka penerbangan tersendiri khusus
menuju daerah tujuan wisata.

6
2.4 Pengertian Manajemen Resiko Bencana
Menurut Krishna (2002), manajemen bencana merupakan
pengetahuan yang terkait dengan upaya untuk mengurangi risiko, yang
meliputi tindakan persiapan sebelum bencana terjadi, dukungan, dan
membangun kembali masyarakat saatsetelahbencana terjadi. Lebih lanjut
Krishna mengungkapkan bahwa lingkaran manajemen bencana (disaster
management cycle) terdiri dari tigakegiatan besar. Pertama adalah sebelum
terjadinya bencana (pre event), kedua yaitusaat bencana dan ketiga adalah
setelah terjadinya bencana (post event).
Menurut Agus Rahmat (2006:12) Manajemen Risiko Bencana
merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan
penanggulangan bencana, pada sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana
yang dikenal sebagai siklus Manajemen Risiko Bencana.
Menurut BPBD Kota Denpasar, manajemen bencana merupakan
segala upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pencegahan,
mitigasi, kesiapan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan
bencana yang dilakukan sebelum, pada saat dan setelah bencana.
Manajemen bencana yang dalam PP No 21 Tahun 2008 dijelaskan
sebagai penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi.

2.5 Tujuan Manajemen Risiko Bencana Di Sector Pariwisata


Tujuan dari Manajemen Risiko Bencana di antaranya:
1. Mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi
maupun jiwa yang dialami oleh perorangan atau masyarakat dan
negara.
2. Mengurangi penderitaan korban bencana.
3. Mempercepat pemulihan.
4. Memberikan perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang
kehilangan tempat ketika kehidupannya terancam.

7
5. Meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat, terutama
pada daerah-daerah pariwisata yang rawan bencana
6. Memperkenalkan cara membuat peta bahaya setempat
7. Memperkuat kemampuan masyarakat dalam menanggulangi bencana
dengan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak terkait
8. Mengembangkan organisasi bencana di daerah pariwisata
9. Memperkaya pengetahuan masyarakat dengan pendidikan tentang
bencana
10. Mempertinggi kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup

Penyebab Perlu Adanya Manajemen Risiko Bencana di Sektor Pariwisata


1. Industri pariwisata melibatkan banyak orang, baik itu pekerja,
penduduk lokal, maupun wisatawan yang sama-sama terancam
ketika sebuah destinasi terkena bencana.
2. Perilaku wisatawan di sebuah destinasi tidak dapat diprediksi,
sehingga sulit untuk mengontrol terjadinya bencana. Hal ini
menciptakan kebutuhan yang kuat untuk mendapatkan informasi
yang dapat diakses dengan mudah di daerah terpencil dan di seluruh
daerah tujuan secara keseluruhan.
3. Dalam banyak kasus, wisatawan tidak berbicara bahasa lokal dan
tidak dapat dengan mudah menemukan petunjuk tentang bagaimana
berperilaku dalam penanganan bencana.
4. Banyak destinasi wisata yang berada di daerah keindahan alam,
seperti garis pantai, gunung, sungai, dan danau di mana ada risiko
dan bahaya yang lebih besar untuk terkena dan terdampak bencana
alam.
5. Wisatawan memiliki sedikit pengetahuan tentang tempat yang
mereka kunjungi, bahkan kurang begitu tahu tentang bagaimana
untuk bereaksi, ke mana harus pergi, siapa yang harus diajak bicara,
dan bagaimana prosedur darurat ketika berada pada sebuah destinasi
yang mengalami bencana.

8
6. Industri pariwisata adalah industri multi sektor yang saling berkaitan,
sehingga tidak mudah merespon bencana. Ini juga menekankan
perlunya suatu sistem informasi di seluruh industri yang tersedia
untuk semua jenis perusahaan yang dapat digunakan dalam
menghadapi bencana.
Menurut Agus Rahmat (2006:12) Manajemen Risiko Bencana
merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan
penanggulangan bencana, pada sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana
yang dikenal sebagai siklus Manajemen Risiko Bencana yang bertujuan
antara lain:
1. Mencegah kehilangan jiwa seseorang
2. Mengurangi penderitaan manusia.
3. Memberikan informasi kepada masyarakat dan juga kepada pihak
yang berwenang mengenai risiko.
4. Mengurangi kerusakan insfrastruktur utama, harta benda dan
kehilangan sumber ekonomis lainnya.

2.6 Tahapan Proses Manajemen Risiko Bencana Pariwisata


Tahapan Proses Manajemen Risiko di Sektor Pariwisata
1. Pencegahan (Prevention)
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman
bencana.
a. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya,
larangan memasuki daerah rawan bencana di kawasan pariwisata.
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang
penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan
lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana.
c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat terutama
pada pekerja di kawasan pariwisata.
d. Pemindahan wisatawan serta penduduk dari daerah yang rawan
bencana ke daerah yang lebih aman.

9
e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat di sekitar
kawasan wisata.
f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur
evakuasi jika terjadi bencana.
g. Pembuatan bangunan di kawasan pariwisata yang terstruktur yang
berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan mengurangi
dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam,
penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.
2. Mitigasi (Mitigation)
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
a. Mitigasi Bencana yang Efektif
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama,
yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.
1) Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk
mengidentifikasi populasi dan asset yang terancam, serta
tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan
tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian
bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini
menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk
merancang kedua unsur mitigasi lainnya;
2) Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan
kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam
(seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi,
aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem
peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai
peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran
komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang
berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana
yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat,
tepat dan dipercaya.

10
3) Persiapan (preparedness); kegiatan kategori ini tergantung
kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan
peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah
yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang
sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan
evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan
pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat
menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan
lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan
lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya
bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan
untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan
melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).
b. Mitigasi Bencana pada Sektor Pariwisata
Bencana yang datang silih berganti, bukan tidak mungkin untuk
diantisipasi. Ada upaya mitigasi bencana yang dapat dilakukan
sedini mungkin. Upaya mitigasi tersebut dapat dilaksanakan
sebagai berikut.
1) Pertama, kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan
masyarakat, khususnya lembaga terkait kebencanaan seperti
BNPB, BPBD, dan para pelaku pariwisata dalam upaya
mitigasi bencana menjadi suatu keharusan.
2) Selain itu, pembangunan infrastruktur terutama di destinasi
pariwisata prioritas yang rawan bencana. Misalnya dengan
membangun sistem peringatan dini (Early Warning System) di
titik rawan bencana dan mendirikan shelter evakuasi sementara
di tempat yang strategis dan aman dari bencana.
3) Selain itu, diperlukan juga pemasangan jalur atau rambu
evakuasi yang mengarahkan masyarakat dan wisatawan saat
ada perintah untuk melakukan evakuasi.

11
4) Infrastruktur penunjang juga perlu mendapat perhatian, seperti
pembangunan model hunian penduduk dan fasilitas kritis
seperti rumah sakit dan sekolah. Fasilitas pariwisata seperti
pusat informasi pariwisata (Tourism Information Center), hotel
atau penginapan perlu dirancang sedemikian rupa sehingga
tahan terhadap ancaman gempa.
5) Hal penting lainnya adalah membangun dan meningkatkan
kapasitas masyarakat dan wisatawan karena mereka
merupakan pihak yang pertama berhadapan dengan resiko
bencana. Maka, penting untuk memberikan edukasi mengenai
segala hal yang berkaitan dengan kebencanaan di kawasan
wisata rawan bencana tadi, seperti meningkatkan
kesiapsiagaan,  mengatasi kepanikan ketika bencana datang,
atau dengan mengadakan simulasi tanggap bencana.
6) Terakhir, travel warning atau peringatan untuk tidak
mengunjungi destinasi yang sedang dalam siaga bencana
penting untuk disosialisasikan, baik melalui media cetak dan
elektronik.
3. Kesiapsiagaan (Preparedness)
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam fase ini juga
terdapat peringatan dini yaitu serangkaian kegiatan pemberian
peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga
yang berwenang.
Berikut beberapa indikator yang dapat menjadi tolak ukur untuk
menilai kesiapsiagaan dalam menanggapi bencana di kawasan
pariwisata.
a. Indikator Kesiapsiagaan
1) Pengetahuan dan sikap terhadap bencana

12
Pengetahuan terhadap bencana merupakan alasan utama
seseorang untuk melakukan kegiatan perlindungan atau upaya
kesiapsiagaan yang ada (Sutton dan Tierney, 2006).
Pengetahuan yang dimiliki mempengaruhi sikap dan
kepedulian masyarakat untuk siap dan siaga dalam
mengantisipasi bencana, terutama bagi mereka yang bertempat
tinggal di daerah yang rentan terhadap bencana alam. Indikator
pengetahuan dan sikap individu/rumah tangga merupakan
pengetahuan dasar yang semestinya dimiliki oleh individu
meliputi pengetahuan tentang bencana, penyebab dan gejala-
gejala, maupun apa yang harus dilakukan bila terjadi bencana
(ISDR/UNESCO 2006). Individu atau masyarakat yang
memiliki pengetahuan yang lebih baik terkait dengan bencana
yang terjadi cenderung memiliki kesiapsiagaan yang lebih baik
dibandingkan individu atau masyarakat yang minim memiliki
pengetahuan.
2) Rencana tanggap darurat
Rencana tanggap darurat adalah suatu rencana yang dimiliki
oleh individu atau masyarakat dalam menghadapi keadaan
darurat di suatu wilayah akibat bencana alam (Sutton dan
Tierney, 2006). Rencana tanggap darurat menjadi bagian yang
penting dalam suatu proses kesiapsiagaan, terutama yang
terkait dengan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan, agar
korbanbencana dapat di minimalkan (ISDR/UNESCO, 2006).
Rencana tanggap darurat sangat penting terutama pada hari
pertama terjadi bencana atau masa dimana bantuan dari pihak
luar belum datang (ISDR/UNESCO, 2006). Rencana tanggap
darurat ini adalah situasi dimana masyarakat memastikan
bagaimana pembagian kerja sumber daya yang ada pada saat
bencana.

13
3) Sistem peringatan dini
Sistem peringatan meliputi tanda peringatan dan distribusi
informasi jika akan terjadi bencana. Sistem peringatan dini
yang baik dapat mengurangi kerusakan yang dialami oleh
masyarakat (Gissing, 2009). Sistem yang baik ialah sistem
dimana masyarakat juga mengerti informasi yang akan
diberikan oleh tanda peringatan dini tersebut atau tahu apa
yang harus dilakukan jika suatu saat tanda peringatan dini
bencana berbunyi/menyala (Sutton dan Tierney, 2006). Oleh
karena itu, diperlukan juga adanya latihan/simulasi untuk
sistem peringatan bencana ini.
4) Sumber daya mendukung
Sumber daya yang mendukung adalah salah satu indikator
kesiapsiagaan yang mempertimbangkan bagaimana berbagai
sumber daya yang ada digunakan untuk mengembalikan
kondisi darurat akibat bencana menjadi kondisi normal
(ISDR/UNESCO, 2006). Indikator ini umumnya melihat
berbagai sumber daya yang dibutuhkan individu atau
masyarakat dalam upaya pemulihan atau bertahan dalam
kondisi bencana atau keadaan darurat. Yang dapat berasal dari
internal maupun eksternal dari wilayah yang terkena bencana.
Sumber daya menurut Sutton dan Tierney dibagi menjadi 3
bagian yaitu sumber daya manusia, sumber daya
pendanaan/logistik, dan sumber daya bimbingan teknis dan
penyedian materi.
5) Modal sosial
Modal sosial sering diartikan sebagai kemampuan individu
atau kelompok untuk bekerja sama dengan individu atau
kelompok lainnya. Masyarakat atau individu yang memiliki
ikatan sosial yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya
akan lebih mudah dalam melakukan kesiapsiagaan yang ada.
Selain itu modal sosial yang baik diantara masyarakat di

14
wilayah yang rentan terhadap bencana akan mengurangi
kerentanan itu sendiri (Martens, 2009). Modal sosial yang solid
antara penduduk akan mempermudah masyarakat dalam
melakukan mobilisasi pada saat evakuasi akan dilakukan.
Modal sosial juga dapat menjadi pengerak indikator
kesiapsiagaan yang lainnya seperti menyepakati tempat
evakuasi yang sama, sepakat dalam mengikuti pelatihan, dan
bersama-sama dalam melakukan tindakan kesiapsiagaan
lainnya (Sutton dan Tierney 2006).
b. Upaya Kesiapsiagaan yang Dapat Dilakukan di Kawasan
Pariwisata
Berikut beberapa kegiatan yang dapat dilakukan di tahap
preparedness.
1) Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsure
pendukungnya di kawasan pariwisata.
2) Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi masyarakat
sekitar daerah pariwisata beserta pekerja di kawasan tersebut.
3) Penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana
dan pekerjaan umum).
4) Penyiapan dukungan / stok logistik.
5) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan
terpadu guna mendukung tugas kebencanaan.
6) Penyiapan peringatan dini (early warning).
7) Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan).
8) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan.
9) Pembuatan standar bantuan dan pelayanan.
c. Pembentukan Tim Bencana
Pembetukan tim bencana juga sangat dibutuhkankan. Tim bencana
merupakan orang-orang yang mengkoordinir atau memiliki
tanggung jawab terhadap manajemen bencana. Tim bencana yang
biasanya digunakan di hotel biasanya adalah Emergency
Responsible Team dan Fire Brigade, sedangkan menurut BPBD

15
Kota Denpasar beberapa jenis tim bencana adalah Publict Save
Community (PSC), Barisan Relawan Bencana (BALANA), dan
Search and Rescue (SAR). Adapun jenis-jenis tim bencana tersebut
adalah sebagai berikut :
1) Emergency Responsible Team
Emergency Responsible Team (ERT) didefinisikan oleh
Georgetown University (2014) sebagai berikut,”The
Emergency Responsible Team (ERT) is responsible team for
coordinating the response to crises affecting the safety and
operation of some disaster. They will be called to assist in the
management of the emergency situation”. Tim ini merupakan
tim khusus yang menangani masalah bencana, tim ini selain
dibentuk oleh Georgetown University juga dibentuk oleh
berbagai organisasi termasuk hotel.
2) Fire Brigade
Fire Brigade didefinisikan sebagai berikut “Fire Brigade is a
private or temporary organization of individual equipped to
fight fires”. Fire Brigade tersebut merupakan organisasi yang
bertugas untuk menanggulangi segala jenis bencana yang
berhubungan dengan kebakaran. Selain dari pemerintah, tim
ini biasanya juga dibentuk oleh hotel-hotel.
3) Public Save Community (PSC)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Public Save Community
merupakan petugas yang memberikan pelayanan kedaruratan
kepada masyarakat Kota, dioprasikan oleh petugas khusus
yang dilengkapi dengan tiga mobil ambulance, dan siaga 24
jam di setiap pos jaga. Petugas PSC bergerak mengikuti
pergerakan mobil pemadam pada saat terjadi kebakaran dan
PSC setiap saat bertugas mengevakuasi korban kecelakaan
lalulintas dan bencana lainya.
4) Search and Rescue (SAR)

16
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.43
Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Perhubungan, Searh and Rescue (SAR) memiliki pengertian
yaitu badan yang berfungsi melaksanakan pembinaan,
pengkoordinasian dan pengendalian potensi Search and Rescue
(SAR) dalam kegiatan SAR terhadap orang dan material yang
hilang atau dikhawatirkan hilang, atau menghadapi bahaya
dalam pelayaran dan atau penerbangan, serta memberikan
bantuan SAR dalam penanggulangan bencana dan musibah
lainnya sesuai dengan peraturan SAR Nasional dan
Internasional.
5) Barisan Relawan Bencana (BALANA)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Barisan Relawan Bencana
(BALANA) merupakan barisan relawan bencana yang direkrut
dari pegawai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
dilingkungan Pemerintah Kota Denpasar yang ditugaskan ikut
serta menangani bencana.
4. Aksi Tanggap (Response)
Tahap tanggap darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan
pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna
menghindari bertambahnya korban jiwa. Upaya yang dilakukan pada
saat kejadian bencana, meliputi :
a. Pengerahan unsur (TNI, Polri, Linmas dan masyarakat)
1) Pencarian/penyelamatan korban
2) Pelaksanaan evakuasi
3) Penyelamatan dokumen keperdataan
4) Penyiapan akses bantuan dan penyelamatan
5) Dengan mengutamakan penanggulangan kelompok rentan
(perempuan, ibu hamil, penyandang cacat, balita, dan lansia).
b. Pengkajian kebutuhan (initial need assessment)
c. Penampungan sementara
1) Pelayanan kesehatan (Pos kesehatan)

17
2) Penyediaan pangan dan gizi
3) Penyediaan air bersih
4) Penyediaan sanitasi
d. Penyediaan dan penyebaran informasi korban, fasilitas rusak dan
lain-lain.
e. Pemberantasan vektor untuk pencegahan penyakit menular.
f. Koordinasi dan pengelolaan bantuan.
5. Pemulihan (Recovery)
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya
yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan
kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke
kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan
masyarakat dapat berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
meliputi :
a. Perbaikan sarana/prasarana sosial dan ekonomi.
b. Penanggulangan kejiwaan pasca bencana (post traumatic stress)
melalui penyuluhan, konseling, terapi kelompok (di sekolah) dan
perawatan.
c. Pemulihan gizi/kesehatan.
Pemulihan sosial ekonomi sebagai upaya peningkatan ketahanan
masyarakat (antara lain: penciptaan lapangan kerja, pemberian
modal usaha, dll).

2.7 Tahap Sertifikasi Kesiapsiagaan Bencana Dalam Industri Pariwisata


Parameter penilaian
1. Pengetahuan bencana terdiri dari :
a. Pengetahuan umum
1) Perusahaan memiliki program pelatihan kebencanaan atau
yang berhubungan dengan kebencanaan yang melibatkan
semua komponen manajemen dan terdokumentasi.
2) Sudah pernah melakukan/berpartisipasi dalam pelatihan
singkat kebencanaan yang diberikan oleh dinas/instansi

18
yang relevan dan ada tanda bukti sertifikat/surat keterangan
secara individu atau kelembagaan,
3) Jika poin b diatas terpenuhi, apakah sudah disosialisasikan
dilingkungan perusahan .
4) Apakah daftar manajemen atau staff yang telah mengikuti
pelatihan kebencanaan disediakan
5) Tersedia referensi/dokumen tentang kebencanaan dan
pengurangan risiko bencana yang mudah diakses oleh
manajemen dan staff.
6) Pernah mendatangkan ahli/konsultan dalam upaya
pengurangan risiko bencana dan peningkatkan kapasitas
pengetahuan kebencanaan.
7) Memiliki pengetahuan tentang cuaca, iklim, kualitas udara,
gempa bumi dan tsunami sesuai hazard masing-masing.
8) Mengetahui potensi risiko bencana yang terjadi
dilingkungan perusahaanya dan mengetahui cara
penanganannya
9) Tersedia dokumen kajian risiko yang disusun berdasarkan
potensi hazard dilingkungan perusahannya masing-masing
b. Partisipatif dalam kegiatan kebencanan
1) Perusahaan pernah mengikuti seminar/lokakarya atau
sejenisnya yang diselenggarakan oleh lembaga profesional
kebencanaan seperti BPBD, BMKG, SAR, PMI, Dinas
Kesehatan, BPPT, LIPI, Perguruan Tinggi dll. Dibuktikan
dengan sertifikat/Surat Keterangan.
2) Perusahan pernah mengikuti drill/simulasi yang dilakukan
oleh Dinas/Lembaga yang menangani kebencanaan.
3) Perusahan pernah terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan
pengurangan risiko bencana yang diselenggarakan oleh
Dinas/Instansi kebencanaan minimal dilakukan didaerah
sekelilingnya.

19
4) Pernah terlibat langsung/berpartisipasi dalam kegiatan
tanggap darurat bencana.
2. Mitigasi
a. Mitigasi Struktural
1) Tersedia denah/peta bangunan yang terpasang disetiap sisi
gedung/kamar kerja/kamar istirahat dll.
2) Terdapat areal yang bisa digunakan sebagai titik kumpul
(assembly point) ketika terjadi emergency.
3) Jika point 3 diatas tersedia, apakah assembly point sudah
sesuai dengan kreteria standard persyaratan assembly point.
4) Apakah telah ditentukan daerah aman (safe area) untuk
beberapa hazard contohnya untuk gempabumi, tsunami,
kebakaran atau banjir.
5) Tersedianya sarana proteksi kebakaran aktif (Sistem deteksi
dan alarm, APAR, Hidrant, Springkler dll) yang dirancang
sesuai dengan standar tingkat bahayanya.
6) Jika point 5 diatas tersedia, apakah semua karyawan/staff
mampu mengoperasionalkan.
7) Apakah sarana proteksi dimaksud siap digunakan kapan saja ?
(Periksa kartu control)
8) Apakah tersedia fasilitas dan aksesibilitas bangunan yang
diperuntukan kepada kelompok disable (cacat),
9) Sistem penanggulangan banjir sudah didesain sedemikian rupa
( drainase, biopori)
10) Dilengkapi dengan sistem pembuangan limbah yang aman dari
pencemaran lingkungan
11) Dilengkapi dengan tangga darurat dan pintu keluar darurat
disetiap unit bangunan.
12) Penangkal petir telah terpasang sesuai dengan persyaratan
tinggi bangunan dan telah diperiksa dan diuji secara berkala.

20
13) Struktur ruang telah memperhatikan aspek pengurangan resiko
bencana/kecelakaan yang menimbulkan bencana (antara kamar
kerja/kamar tamu dengan cooler, boiler, genset, limbah dll)
14) Apakah terpasang tanda-tanda peringatan bahaya pada area-
area bahaya disekitar bangunan
15) Membangun kemandirian semua komponen manajemen
perusahan , untuk meningkatkan kesadaraan membangun
kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana (Periksa
dokumen kajian risiko bencana).
16) Turut aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan
lingkungan untuk pengurangan resiko bencana baik yang
dilaksanakan sendiri atau patisipasi.
17) Apakah ada inisiatif bekerjasama dengan stakeholder lain
dalam kegiatan sosial fokus kepada pengelolaan lingkungan
terutama dengan masyarakat disekitar lokasi perusahaan/hotel.
b. Mitigasi Non Struktural
1) Adanya kebijakan perusahaan peduli terhadap pengelolaan
lingkungan demi keamanan dan keselamatan bila terjadi
ancaman bencana.
2) Apakah pernah mengadakan pelatihan pengurangan Risiko
Bencana
3) Memiliki MOU dengan Instansi terkait dalam rangka
membangun/meningkatkan kapasitas staff terhadap aksi-
aksi pengurangan risiko bencana.
4) Tersedia kebijakan perlindungan (santunan, asuransi dll.)
terhadap staff/karyawan, aset perusahaan dan pemakai jasa
perusahaan.
3. Kesiapsiagaan dan Kapasitas Respon
a. Kesiapsiagaan
1) Terbentuk tim yang terlatih khusus yang siap ditugaskan ketika
terjadi bencana dilingkungan perusahan

21
2) Tim tersebut diatas telah dilegalisasi oleh manajemen dan
memiliki pembagian tugas yang jelas.
3) Memiliki Standard Operating Prosedur (SOP) sesuai dengan
ancaman hazard didaerahnya.
4) Sosialisasi SOP atau kebijakan kepada karyawan, vendor dan
mitra kerja dilaksanakan terus menerus.
5) Uji coba SOP dalam bentuk drill/simulasi/table top wajib
dilakukan secara berkala minimal 6 bulan sekali.
6) Sarana dan prasarana yang disiapkan untuk menghadapi
tanggap darurat bencana siap digunakan dan bekerja dengan
baik (Jejaring komunikasi, transportasi, sarana kesehatan,
perlengkapan kebakaran dll)
b. Sistem peringatan dini
1) Perusahaan telah menentukan cara untuk memperoleh
informasi peringatan dini dari instansi terkait seperti
PUSDALOPS, BMKG, PVMBG, BPBD Provinsi dan
kabupaten/kota.
2) Kalau point 1 diatas tersedia, apakah ada terpasang atau
menggunakan jenis teknologi apa.
3) Memiliki mekanisme yang jelas dalam menerima informasi
peringatan (bagan/skema sistem peringatan dini)
4) Pembagian tugas yang jelas bagi para pejabat/staff ketika
menerima informasi peringatan dini dan reaksi yang harus
dilakukan.
5) Bagaimana dengan penyampaian peringatan dini (warning)
kepada para tamu dan pekerja perusahan, adakah format
arahan yang standard untuk reaksi yang efektif dan efisien?
6) Rambu evakuasi terpasang atau rambu lainnya sesuai dengan
hazard diwilayahnya.
7) Tersedia peta rencana evakuasi sesuai dengan identifikasi
hazard (Gempa bumi, Tsunami. Kebakaran, banjir dll) serta
prosedur dan strategi yang digunakan.

22
c. Kapasitas Respon
1) Tersedia data potensi dan sumber dayaseperti, data personil
terlatih, peralatan dan perlengkapan dalam mendukung
penanggulangan bencana (data base)
2) Tersedia peralatan standard first responder seperti tandu, kotak
Pertolongan Pertama (dulu disebut kotak PPPK), spalk/bidai,
pembalut cepat/mitela, masker secukupnya.
3) Tim khusus yang dibentuk sudah dilengkapi dengan peralatan
standard Alat Pengaman Diri (APD)
4) Telah mengikuti pelatihan bantuan hidup dasar (BHD) dan
Medical First Responder (MFR)
5) Pernah menyelenggarakan sendiri atau pernah mengikuti
pelatihan (Praktis) Search and Resque (SAR)
6) Pernah menyelenggarakan sendiri atau pernah mengikuti
pelatihan penanganan kasus kejadian luar biasa (KLB) dan
wabah penyakit
7) Regu pemadam kebakaran terbentuk dan terlatih menggunakan
peralatan yang tersedia di perusahaan.
4. Keamanan
a. Perusahaan memiliki prosedur yang jelas penanganan keamanan
ketika terjadi ancaman bencana.
b. Perusahaan memiliki peralatan penunjang untuk pemantauan
aktifitas keamanan dan kemungkinan terjadinya bencana seperti
CCTV
c. Petugas keamanan memiliki pengetahuan praktis kebencanaan
d. Memiliki jejaring komunikasi yang kuat dengan instansi terkait
Seperti dengan TNI, POLRI, Pecalang Desa adat dll.
e. Tersedia check list dinas/instansi pelaku kebencanaan, contact
person dan nomor telephon penting.
Persiapan Dan Pengorganisasian
1. Kelengkapan Administrasi

23
Kelengkapan administrasi menjadi hal yang paling pokok yang harus
dilengkapi oleh calon penerima sertifikasi, administrasi merupakan
bukti otentik sebagai sebuah perushaan yang bisa dipertanggung
jawabkan. Berbagai jenis kelengkapan administrasi adalah sebagai
berikut :
a. Perijinan usaha
b. Sertifikat/surat keterangan (First responder, rescue, manajemen
bencana dll) yang pernah diikuti
c. Seluruh SOP/PROTAP Kebencanaan yang telah dimiliki dan masih
berlaku.
d. Contoh material informasi seperti Room directory, brosur, leaflet,
poster atau booklet yang telah tersedia.
e. Dokumen kegiatan pelatihan kebencanaan yang pernah
dilaksanakan
2. Kelengkapan piranti keras (Hardware)
Kelengkapan piranti keras (hardware) kebencanaan merupakan
prioritas selanjutnya, piranti keras/peralatan standar kebencanaan
adalah sarana pendukung dalam melaksanakan kegiatan kedaruratan.
Tanpa peralatan yang standar, niscaya operasi kedaruratan akan
berjlan dengan baik.
Standar piranti keras yang dimaksud adalah :
a. Perlengkapan Pertolongan Pertama (PP) termasuk tandu dll sesuai
standard seorang first responder.
b. APAR (alat pemadam kebakaran ringan) dan alat pengaman
lainnya
c. Lampu senter
d. Masker
e. Rompi spotlight
f. Glove (sarung tangan)
g. Rambu evakuasi

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Bencana merupakan suatu gangguan serius terhadap keberfungsian
suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada
kehidupan manusia dari segi materi , ekonomi atau lingkungan dan
melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi
dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri. Kebijakan dalam
penganggulanan bencana salah satunya adalah Lampiran Peraturan Menteri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor :
PM.106/PW.006/MPEK/2011 Tentang Sistem Manajemen Pengamanan
Hotel pada Elemen Sembilan tentang Penanganan Keadaan Darurat, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan
Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3373).
Bencana yang terjadi dapat berdampak pada sector pariwisata
misalnya kerusakan atau musnahnya bangunan monumental yang sangat
berharga sebagai sumber dan bukti sejarah. Oleh karna hal tersebut maka
diperlukan managemen resiko bencana, dimana managemen resiko bencana
merupakan pengetahuan yang terkait dengan upaya untuk mengurangi risiko,
yang meliputi tindakan persiapan sebelum bencana terjadi, dukungan, dan
membangun kembali masyarakat saatsetelahbencana terjadi. Tujuan dari
manajemen resiko bencana diantaranya adalah mengurangi atau menghindari
kerugian secara fisik, ekonomi, maupun jiwa yang dialami oleh perorangan
atau masyarakat dan negara, perlunya managemen risiko bencana di sector
pariwisata karena Industri pariwisata melibatkan banyak orang, baik itu
pekerja, penduduk lokal, maupun wisatawan yang sama-sama terancam
ketika sebuah destinasi terkena bencana.
Ada beberapa tahapan proses manajemen resiko bencana yaitu
pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan (Preparedness), dan aksi tanggap

25
(Response). Tahap sertifikasikesiapsiagaan bencana dalam industry pariwiata
memiliki beberpa parameter diantaranya pengetahuan bencana, mitigasi,
kesiapsiagaan dan kapasitas respon dan keamaan sedangkan persiapan dan
pengorganissasiaannya meliputi kelengkapan administrasi, dan kelengkapan
piranti keras (Hardware).

3.2 Saran
1. Makalah ini dapat dijadikan pedoman dan acuan bagi para pembaca dalam
mempelajari mata kuliah Manajemen Resiko Bencana Pariwisata
khususnya mengenai materi ini.
2. Dalam penulisan lebih lanjut mengenai makalah Kebijakan Pemerintah
Kesiapsiagaan Bencana Destinasi Pariwisata, perlu penambahan referensi
sehingga materi yang disajikan menjadi lebih lengkap.

26
DAFTAR PUSTAKA

Dhani Armanto, et.al, Mengelola Bencana, Buku Bantu Pendidikan


PengelolaanBencana untuk Anak Usia Sekolah Dasar, WALHI, 2006.

Hertanto, Heka. 2011. Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat. Jakarta : Media


Indonesia

Martens, T., Garrelts, Grunnenberg, H., and Lange, H. : Taking The


Heterogeneity Of Citizens Into Account: Flood Risk Communication In
Coastal Cities – A Case Study Of Bremen. Natural Hazards and Earth
System Sciences.

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan bencana. 2008. Pedoman


Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Jakarta

Sutton, J., and Tierney, K. 2006. Disaster Preparedness: Concepts, Guindance


and Research. Colorado: University of Colorado.

UN-ISDR. 2002. Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction


Initiatives. Preapared as An Inter-Agency Effort Coordinated by the
ISDR Secretariat with special support from the Government of Japan, the
World Meteorological Organization and the Asian Disaster Reduction
Center (Kobe, Japan). Geneva: ISDR Secretariat.

27

Anda mungkin juga menyukai