Anda di halaman 1dari 137

‫شرح قصيدة اإلمام أبي مزاحم الخاقاني‬

‫في القرا وحسن األداء‬


Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy
Matn Pertama dalam Ilmu Tajwid yang Berisi
Mutiara Nasihat bagi Para Pelajar dan Pengajar Al-Qur`ân

Penyusun:
Muhammad Laili Al-Fadhli

Tata Letak:
Muhammad Laili Al-Fadhli

Desain Sampul:
Muhammad Laili Al-Fadhli

Diterbitkan oleh:
Online Tajwid
t.me/online_tajwid (@online_tajwid)

Bekerjasama dengan:
Rumah Belajar Al-Imâm Asy-Syafi’i
www.t.me/rbimamsyafii
Jln. Teratai 4 no. 102, Kelurahan Depok Jaya,
Kec. Pancoran Mas, Kota Depok
Telp. +62817 0808 992

Cetakan I, Maret 2020


DILARANG MEMPERBANYAK UNTUK TUJUAN KOMERSIL
TANPA SEIZIN PENERBIT
Boleh mengutip sebagian atau keseluruhan isi buku ini dengan
tetap mencantumkan sumber
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy


‫َ َ حَ َ َ َ ً ََ ً َ َ ا‬ ‫ح‬ َ َٰ َ َ َ ‫َ َ َ ح ح‬ َ َ ‫حَ ح‬
ُ‫ ُوٱلصّلة‬,‫شريا ُون ّذيرا‬ ّ ‫ي ُب‬ ُ ‫لِل ّ ُٱَّلّي ُأنزل ُٱلفرقان ُلَع ُعب ّد ُه ّۦ ُ ِّلكون ُل ّلعال ّم‬ ُ ّ ُ ُ‫ٱۡلمد‬
ً َ َ َ ٰ َ ً َ َ ً َ َ ً َ َ َ َ ‫َ َ ٰ َ ح َ ح َ َ َ ُّ ح‬ َ َ
ُ‫ل ُٱلِلُّب ُّإ ّذنّهّۦ ُو ِّساجا‬ُ ّ ‫عيا ُإ‬
ّ ‫ ودا‬,‫شريا ُون ّذيرا‬ ّ ‫وٱلسّلم ُلَع ُمن ُأرسله ُربه ُل ّلعال ّمي ُب‬
َ ً ‫َ َ ح ََ ح َ َ ح ح َ ََ ََ َح‬ ََ َ ً
,ُ‫ُ َوبَ حعد‬,‫ريا‬ً ّ ‫اُكث‬ ‫انُوسلمُتسلّيم‬ ٍ ‫س‬ ‫ح‬ ‫إ‬
ّّ ‫ب‬ُ ‫م‬‫ه‬ ‫ع‬ّ ‫ب‬ ‫ُت‬‫ن‬ ‫م‬‫ُّو‬ ‫ه‬ّ ‫ب‬ ‫ح‬ ‫ص‬‫ّۦُو‬ ‫ُآِل‬
ّ ٰ
‫لَع‬ ‫ و‬,‫منّريا‬
Di antara nikmat yang dianugerahkan dari Allâh  kepada umat Islam
adalah menjadikan mereka mulia melalui Al-Qur`ân yang agung. Dimana Allâh
telah menjadikan Al-Qur`ân sebagai cahaya petunjuk dalam kegelapan dunia
dan rahmat serta kasih sayang dalam menjalani lorong-lorong kehidupan.
Sesungguhnya Allâh  juga telah menjamin bagi umat ini, kemurnian
dan keaslian Al-Qur`ân. Menjaganya dari berbagai bentuk penyimpangan,
baik dari sisi lafazh, makna, atau cara membacanya. Demikianlah Al-Qur`ân
diwariskan dari generasi ke generasi secara terus-menerus, hingga sampai
pada kita dalam keadaan yang asli lagi murni, sebagaimana yang diturunkan
Allâh pada nabi-Nya ُyang mulia. Allâh  berfirman:
‫َّ ح ۡ ُ ح َّ ۡ ح ذ ۡ ح َّ ح ُ ح ح ُ ح‬
‫حَٰفِظون‬ ‫إِنا َنن نزۡلا ٱلِكر ِإَونا َلۥ ل‬
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur`ân, dan pasti Kami (pula)
yang memeliharanya.” [Al-Hijr, 15: 9]
Kemudian karena kemuliaannya, para ulama terdahulu dan hari ini
berlomba-lomba untuk “turut andil” dalam memelihara kemurnian Al-Qur`ân
dari sisi cara membacanya. Sekaligus agar umat ini bisa mempraktikkan cara
baca yang tepat yang terhindar dari beragam kekeliruan, baik kekeliruan
yang berkaitan dengan tata bahasa (lahn jaliy) maupun kekeliruan yang
berkaitan dengan penghias tilâwah (lahn khafiy).
Pendahuluan

Di antara hasil usaha para ulama yang populer dalam bidang


penjagaan cara membaca Al-Qur`ân (ilmu tajwid) adalah Al-Muqaddimah Al-
Jazariyyah dan Tuhfatul Athfâl. Dua matn ini dipelajari di berbagai majlis
ta’lim, sekolah, ma’had, bahkan universitas. Puluhan bahkan ratusan buku
telah lahir untuk menjelaskan dan merinci kedua matn yang penuh berkah
ini.
Selain dua matn tersebut, ada matn lain yang juga lahir sebagai salah
satu bentuk usaha untuk menjaga cara membaca Al-Qur`ân, yakni Râ`iyyatul
Khâqâniy atau juga dikenal dengan Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy Allatî
Allatî Qâlahâ Fil Qurrâ`i Wa Husnil Adâ`. Sayangnya perhatian umat terhadap
matn ini tidak sebesar perhatian mereka terhadap dua matn populer yang
telah kami sebut sebelumnya. Padahal, matn ini dinilai sebagai matn tertua
yang berbicara tentang tajwid dan cara membaca Al-Qur`ân, di mana di
dalamnya terdapat begitu banyak mutiara yang terpendam dan faidah yang
berharga.
Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya dan usaha kami dalam
menggali faidah dan menjaring mutiara-mutiara yang masih terpendam
tersebut, kami tergerak untuk menerjemahkan sekaligus memberikan sedikit
penjelasan dari matn ini, berdasarkan apa yang telah kami dapatkan
penjelasannya dari guru-guru kami dan juga dari kitab-kitab yang kami
pelajari.
Kami memberanikan diri untuk terjun mengupayakan hal ini juga
disebabkan dorongan dari banyak pihak yang menginginkan penjelasan matn
Râ`iyyatul Khâqâniy dalam bahasa Indonesia. Maka, kami pun menjawab
dorongan tersebut melalui usaha kecil kami ini, sekaligus mengikuti jejaknya
para ulama terdahulu yang telah menggali begitu banyak faidah dari matn-
matn ilmiah. Sehingga semoga dengan ini kami berharap kelak akan
dibangkitkan bersama mereka di akhirat. Âmîn.
Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada guru-guru
kami, yang utama adalah Fadhîlatusy Syaikh Mahmoud Zurainah Al-Mishry,
dimana kami pernah mendapatkan penjelasan dan pengajaran matn ini
secara langsung. Kami juga telah mendapatkan penjelasan dan pengajaran
untuk matn Nûniyyah As-Sakhâwiy, Al-Muqaddimah Al-Jazariyyah, dan
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Tuhfatul Athâl, serta beliau telah mengijazahkan kepada kami keseluruhan


matn tersebut dengan sanad yang bersambung kepada para penyusunnya.
Semoga Allâh senantiasa merahmati dan menjaga beliau.
Kemudian juga guru-guru kami yang lain yang telah mengajarkan
begitu banyak ilmu, khususnya dalam bidang Al-Qur`ân kepada kami: Al-
Ustadz Rendi Rustandi, yang awal-awal mengenalkan Tajwid bersanad kepada
kami. Beliau juga telah terlebih dahulu terjun berupaya untuk menebarkan
faidah dan mengangkut mutiara berharga dengan menerjemahkan matn
Râ`iyyatul Khâqâniy. Tidak dapat dipungkiri bahwa kami mendapatkan begitu
banyak faidah dari terjemahan tersebut.
Kemudian Al-Ustadz Iwan Gunawan, Lc. dimana kami mendapatkan
bimbingan dan penjelasan yang sangat berharga untuk matn Al-Muqaddimah
Al-Jazariyyah dari beliau. Kemudian Al-Ustadz Muhammad Al-Farabi bin
Asmar, Lc. dimana kami begitu banyak mendapatkan faidah dari beliau dalam
ilmu tajwid dan qiraat, baik secara teori ataupun praktik.
Berikutnya juga Fadhilatusy Syaikh Dr. Muhammad Yahya Jum’an Al-
Yamani, dimana kami mendapatkan penjelasan dan bimbingan yang sangat
berharga untuk Matn Tuhfatul Athfâl. Kemudian Fadhilatusy Syaikh Abdul
Karîm Silmi Al-Jazâiriy, MA. dan Fadhilatusy Syaikh Bahaeldin Soliman Rashad
Al-Mishry, dimana kami begitu banyak mendapatkan faidah yang berharga
dari sisi praktik tajwid dan husnul adâ` (cara membaca Al-Qur`ân yang baik
dan benar). Juga tentu saja guru-guru kami, baik guru dalam bidang Al-
Qur`ân, Hadits, Fiqih, Riwayah, dan selainnya. Semoga Allâh
menjaga,merahmati, dan meridhai mereka semua beserta keluarganya,
serta semoga kita semua mendapatkan keberkahan ilmu mereka. Âmîn.

Depok, Maret 2020


Penyusun

Muhammad Laili Al-Fadhli, S.Pd.I


Daftar Isi

PENDAHULUAN ............................................................................................................... 3
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 6
............................................................ 9
BIOGRAFI ABÛ MUZÂHIM AL-KHÂQÂNIY ...................................................................... 13
Nama dan Kehidupannya .......................................................................................... 13
Guru-Gurunya............................................................................................................ 16
Murid-Muridnya ........................................................................................................ 16
Kitab-Kitabnya ........................................................................................................... 17
Pujian Para Ulama Terhadapnya................................................................................ 17
TENTANG QASHÎDAH RÂ`IYYAH AL-KHÂQÂNIY.............................................................. 21
Judul Matn................................................................................................................. 21
Sya’ir dalam Matn Ini ................................................................................................. 21
Kedudukan Matn Ini .................................................................................................. 21
Sinopsis Matn Ini ....................................................................................................... 23
Syarh (Penjelasan) atas Matn Ini ............................................................................... 24
SANAD KAMI SAMPAI KEPADA AL-IMÂM ABU MUZÂHIM AL-KHÂQÂNIY ..................... 27
SEBAB DAN TUJUAN DISUSUNNYA AR-RÂ`IYYAH .......................................................... 30
Bait Ke-1: Nasihat untuk Selalu Tawadhu’ (Rendah Hati) .......................................... 30
Bait Ke-2: Tujuan Qashîdah Ini................................................................................... 32
Bait Ke-3 dan Ke-4: Permohonan Doa dan Perlindungan .......................................... 33
MANHAJ YANG LURUS DALAM PEMBELAJARAN AL-QUR`ÂN ........................................ 37
Bait Ke-5: Urgensi Husnul Adâ (Cara Tilâwah yang Baik) ........................................... 37
Bait Ke-6 Kriteria Muqri` (Pengajar Al-Qur`ân) .......................................................... 43
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Bait Ke-7: Manhaj yang Lurus dalam Pembelajaran Al-Qur`ân .................................. 49


PARA IMÂM QIRAAT TUJUH .......................................................................................... 57
Bait Ke-8: Hak Para Imâm Qiraat ............................................................................... 57
Bait Ke-9 s.d. Ke-11: Para Imâm Qiraat Tujuh ............................................................ 59
Para Imâm Qiraat Tiga ............................................................................................... 61
MARÂTIBUL QIRÂ`AH DAN RINCIANNYA ....................................................................... 63
Bait Ke-12 s.d. 14: Marâtibul Qirâ`ah ........................................................................ 63
Pendapat para Ulama dalam Marâtibul Qirâ`ah ....................................................... 64
Pendapat yang Lebih Unggul dalam Marâtibul Qirâ’ah ............................................. 66
Marâtib yang Lebih Utama untuk Diamalkan ............................................................ 68
Keringanan untuk Mempercepat Bacaan .................................................................. 69
URGENSI QASHÎDAH INI ................................................................................................ 72
Bait Ke-15: Pentingnya Memperhatikan dan Menghafal Qashîdah Ini ...................... 72
Bait Ke-16: Tidak Menyembunyikan Ilmu .................................................................. 72
Bait Ke-17 s.d. Ke-19: Tentang Qashîdah Ar-Râ`iyyah ............................................... 73
MENEGAKKAN HUKUM-HUKUM AL-QUR`ÂN DAN HURUF-HURUFNYA ........................ 75
Bait Ke-20: Ahlul Qur`ân yang Sebenarnya ................................................................ 75
Bait Ke-21 dan Ke-22: Mencapai Kefasihan Lisan ...................................................... 76
LAHN DALAM TILÂWAH AL-QUR`ÂN ............................................................................. 78
Bait Ke-23: Urgensi Memahami Lahn ........................................................................ 78
Bait Ke-24: Hukum Lahn dan Rinciannya ................................................................... 81
TIMBANGAN QIRÂ`AH ................................................................................................... 90
Bait Ke-25 dan Ke-26: At-Takalluf dalam Membaca Al-Qur`ân .................................. 90
Bait Ke-27: Bersabar dan Bertahap dalam Belajar ..................................................... 92
Bait Ke-28 dan Ke-29: Timbangan Izhhâr, Idghâm, dan Ikhfâ .................................... 94
HARAKAT DAN MADD.................................................................................................. 102
Bait Ke-30: Harakat I’râb ......................................................................................... 102
Bait Ke-31: Kesempurnaan Harakat ......................................................................... 104
Bait Ke-32 dan 33: Madd dan Qashr ........................................................................ 107
Bait Ke-34: Proporsional dalam Pengucapan Harakat dan Madd ............................ 112
Daftar Isi

PERINGATAN SEBAGIAN HURUF HIJÂIYYAH ................................................................ 114


Bait Ke-35 dan Ke-36: Huruf Hamzah ...................................................................... 114
Bait Ke-37: Huruf Ra dan Lam .................................................................................. 115
Bait Ke-38: Huruf ‘Ain dan Huruf Ha ........................................................................ 117
AL-WAQF WAL IBTIDA` ................................................................................................ 119
Bait Ke-39: Permasalahan Waqf dan Ibtida ............................................................. 119
Waqf dan Qath’ ....................................................................................................... 119
Al-Ibtida ................................................................................................................... 120
PERINGATAN AL-IDGHÂM DAN AL-ISYBÂ’ ................................................................... 122
Bait Ke-40: Mim Sâkinah.......................................................................................... 122
Bait Ke-41: Al-Isybâ’................................................................................................. 123
AL-MADD AL-LÂZIM..................................................................................................... 125
Bait Ke-42 dan Ke-43: Al-Madd Al-Lâzim dan Sebabnya .......................................... 125
Jenis-Jenis Al-Madd Al-Lâzim ................................................................................... 127
HUKUM NÛN SÂKINAH DAN TANWÎN ......................................................................... 128
Bait Ke-44 s.d. Ke-45 Al-Izhhâr Al-Halqiy ................................................................. 128
Bait Ke-46 s.d. Ke-47: Beberapa Peringatan dalam Al-Izhhâr Al-Halqiy ................... 131
Bait Ke-48: Hukum Tanwîn ...................................................................................... 131
KHÂTIMAH................................................................................................................... 133
Bait Ke-49: Nasihat untuk Tidak Berhenti Belajar .................................................... 133
Bait Ke-50 dan Ke 51: Kalimat Penutup dan Permohonan Doa ............................... 133
SUMBER RUJUKAN ...................................................................................................... 135
‫‪Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy‬‬

‫‪‬‬
‫حو ح فح ۡخ و حر إ َّن ٱ ۡل حف ۡخ و حر يح و ۡ ُعو إ حل ٱ ۡلك و ۡ‬ ‫ل ۡ‬ ‫ۡ‬ ‫ُ‬ ‫أحقُووو ُ حق حاووا ً ُق ۡۡج ً‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ر‬
‫ِ‬ ‫وو‬ ‫ج‬ ‫ِ‬ ‫ٱ‬ ‫ِل‬ ‫ِ‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ِ‬ ‫ا‬ ‫وو‬ ‫ب‬ ‫ِ‬
‫ح ح ۡ‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ُ‬ ‫ذ‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح ۡح‬ ‫ً‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ذ ح‬ ‫ۡ‬ ‫ح‬ ‫ُ‬ ‫ُ حذ‬
‫ر ٱلمباهوواَ ِ وٱلفخوو ِر‬ ‫بِمووو ي قِوون ِ‬ ‫أعلِوووف ِ ٱلاوووو ِ ٱل ِووو وَ َِِووو ا‬
‫ۡ‬ ‫ح َٰ ُ ۡ ح ح َٰ ُ‬ ‫ح ۡ‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬ ‫ۡ‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫حح ۡ حُُ ح ۡ حح‬
‫وإ إِل قن وته عموو ِري‬ ‫حف ِظ و ِ ِِيو ِ‬ ‫ح‬ ‫و ِ‬ ‫وأسوووأَلۥ عوووو ِِن لَع قوووا نو تووو ۥ‬
‫حح حۡ‬ ‫ح‬ ‫ح ح ح حۡ‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ُ‬ ‫ح‬ ‫َّ‬ ‫ذ‬ ‫حح ۡ حُُ ح‬
‫فموووا فا ا عفوووو َجِيوووو و ا فووو ِر‬ ‫وووإ ٱلجووواوف ِ َووو‬ ‫وأسوووأَلۥ ع ِ‬
‫ۡ‬ ‫ح ۡح‬ ‫ُ ح ۡ ح ح َّ ُ ۡ ح ح‬ ‫ُ‬ ‫ۡ حح‬ ‫ۡ‬ ‫ح ُ ۡ ح‬ ‫حح ح‬
‫يضاعِف لوَ ٱّلل ٱل ِز وو قِون ٱلجو ِر‬ ‫سووون أِاءهۥ‬ ‫ح‬ ‫آن أح ِ‬ ‫أيوووا قوووا ِ ٱلاووور ِ‬
‫ۡ‬ ‫ۡ ُ‬ ‫ح ح ُم‬ ‫ُّ حق و ۡن حي ۡتلُووو ٱ ۡلك حِتووا ح ‪ 1‬يُاِ ُ‬ ‫ح ح ُم‬
‫ون ِ ٱۡلَّووا ِ ُياو ِرئ ُه ۡف ُقاو ِري‬ ‫ُّ حق ۡ‬ ‫و‬ ‫يم و ُ ۥ‬ ‫فمووا‬
‫ذ ۡ‬ ‫ح ح‬ ‫ۡ ح َّ ح ۡ ُ ۡ‬ ‫ح‬ ‫ح ح ُ َّ ً‬ ‫ح‬ ‫ح ۡ‬ ‫وإ َّن حۡلح‬
‫ِ‬ ‫وو‬ ‫لس‬
‫ِ‬ ‫ٱ‬ ‫ى‬ ‫ِ‬ ‫و‬ ‫ِِ‬‫ِ‬ ‫ر‬ ‫وو‬‫ا‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ٱ‬ ‫ِوو‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ٱ‬ ‫وون‬
‫ِ‬ ‫ع‬ ‫ووون‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫ِ‬ ‫َ‬ ‫اء‬ ‫ووور‬ ‫و‬ ‫ا‬
‫ِ‬ ‫ل‬ ‫ٱ‬ ‫ووو‬ ‫و‬ ‫أ‬ ‫وووا‬‫و‬ ‫ِ‬
‫ۡ‬ ‫ُ ۡ‬ ‫ۡ ح ۡ ُ ۡ ح‬ ‫حح ۡ‬ ‫ح َّ ۡ ح ُ‬
‫ووووف ٱلوووووِت ِر‬ ‫وووورآن ح ذب ِ ُه‬ ‫ِإلقووووراِ ِ ِهف ق‬ ‫ووراءِ ححوو لَع لَع ٱلوو حو ح ى‬ ‫لا َّ‬ ‫فلِلسووبۡ ِ ٱ‬
‫ۡ‬ ‫ح‬ ‫ُ‬ ‫ۡح ح ح‬ ‫ۡ‬ ‫ۡ‬ ‫ح ۡ‬ ‫حح‬ ‫ۡح ح ح ۡ ۡ ُ ۡ ح‬ ‫ح‬
‫وب ِٱلصووورَ ٱبوون ل ِلۡوو ء أبووو عموو ِرو‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫فبِوووٱلرق ِ ٱبووون ٱلكثِووووِ ونووواف ِ‬
‫ۡ‬ ‫ۡ ح‬ ‫ۡ ُ‬ ‫ح‬ ‫َّ ۡ‬ ‫ح‬ ‫َّ‬
‫وووُّ حوهوو حو أبُووو بح وو ِر‬ ‫م‬
‫صووف ِنٱلك ِ‬ ‫حوَ ِ‬ ‫حوب ِٱلشووا ِ ع ۡب و ُ ٱّللِ حوه و حو ٱ ۡب و ُن حَ ِموور‬
‫لش ۡ‬ ‫ُ ۡ ح َّ ۡ ح ذ‬ ‫ح ُ ۡ ۡ‬ ‫ُ‬ ‫ح‬ ‫ضوووا حوٱ ۡلك حِسووواِ م حب ۡ‬ ‫ح حۡ حُ حۡ ً‬
‫وۡ ِر‬ ‫ِ ِ‬ ‫ٱ‬‫و‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ح‬ ‫ۡل‬ ‫ٱ‬ ‫و‬ ‫ن‬
‫ِ‬ ‫آ‬ ‫ر‬ ‫لا‬ ‫ٱ‬ ‫و‬‫ِ ِ‬ ‫ب‬ ‫ق‬ ‫ِو‬ ‫ل‬ ‫ٱ‬ ‫و‬ ‫أ‬ ‫ه‬ ‫ووو‬ ‫ۡ‬ ‫ِ‬ ‫وحوووزَ أي‬
‫آن أح ۡو حَك حن حا ححووو ۡ‬ ‫ُ ۡ ح‬
‫ر‬ ‫ووو‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ل‬‫ٱ‬ ‫و‬
‫ح ح َّ ح‬
‫و‬ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫إ‬ ‫وا‬ ‫ه‬
‫ُُ ح‬
‫وَ ح‬ ‫ا‬ ‫ح‬ ‫وِ‬ ‫ل ِ ۡ ق ُق ۡۡوط ل ِۡل ُح ُ‬
‫ور‬
‫حُ ۡ‬
‫ف وٱ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬

‫‪1‬‬
‫‪( “maksudnya adalah Al-Quran”.‬أي القرآن) ‪Pada catatan kaki naskah asalnya tertulis:‬‬
‫‪Matn Qashîdah‬‬

‫ۡ‬ ‫ۡ ۡ‬ ‫ُ ح‬ ‫َّ‬ ‫ُ ۡ ح حۡ ح ُ‬ ‫ح ُ‬
‫ِوون ُقكث ِ حنووا فِيوو ِ حوٱل ِفكوو ِر‬ ‫أم ِۡرنووا بِوو ِ ق‬ ‫ووورآن أفضوووو ل ِووو ِي‬ ‫حوت ۡرتِيل حنوووا ٱلا‬
‫ح ۡ‬ ‫ُ ۡ‬ ‫ۡ‬ ‫ح‬ ‫ح ح ۡ ح ح ۡ ح ح ح ُ ح َّ‬ ‫ح‬
‫ِيوون ٱلِۡ حبوواِِ إِل ٱليُسوو ۡو ِر‬ ‫ۡلحووا فِيوو ِ إ ِ ِ‬ ‫حوأ َّقوووا حووو نا ِ سووونا فمووور‬

‫ون قِون ُفۥ يحو ۡ ِى‬


‫ُ‬ ‫ِِلح ۡ ح ُ حق ۡن ل ح ۡف يح ُ ۡ‬ ‫صت ُ ُ‬ ‫اح حف ُظوا حو ۡصِف لح ُ ۡف حقا ٱ ۡ حت ح ۡ‬ ‫حأ ح فح ۡ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫م ۡ‬ ‫ُ ح ح ۡ ۡ‬ ‫ح ُ ۡ‬ ‫ُ‬ ‫ح‬ ‫ح ح ۡح ح ۡ ح ح ۡ‬
‫حولف أ ِف حعن ۡف ذ َٰل َِ ٱلِۡلو حف بِوٱل ِر‬ ‫وو َكن عِلو ِم حسوا ۡي ُت ۡف‬ ‫ف ِِف ربو ل‬
‫ۡ‬ ‫ح‬ ‫َّ‬ ‫ُ‬ ‫حۡ ح‬ ‫ح ح ۡ ُ ح‬ ‫ُحو ۡسن ٱ ۡل حِاءِ قحصيو ح ًَ‬ ‫فحو حاو ۡ قُو ۡل ُ‬
‫ت إِلَٰووو ِه أن َيوووط بِهوووا وِف ِى‬ ‫جوووو‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ت‬
‫ۡ‬ ‫حح‬ ‫ح َّ‬ ‫ح حۡح ً‬ ‫حۡ‬ ‫ححۡح ُ‬
‫ت حنظ ُف بحيۡ ًتا حب ۡۡ ح حب ۡيت لَع ٱ ِإلث ِر‬ ‫حووو‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ُ‬
‫وأبياتهوووا سوووون بيتوووا ووا ِ‬ ‫ح‬

‫ۡ‬ ‫ۡ‬ ‫إقح ح‬ ‫حح‬ ‫ۡ‬ ‫حح‬ ‫َّ ح ۡ‬


‫اقت ِ حنووووا إِعوووو حرا ح آيحات ِوووو ِ ٱ ملزهوووو ِر‬ ‫ِ‬
‫ۡ‬
‫ِيِق وأجوو ِري عليوو ِ ِ‬ ‫وبِووٱّللِ توووف ِ‬
‫ح‬
‫ذ ذ ح ۡ‬ ‫َّ‬ ‫ۡ‬ ‫ً ح‬ ‫حۡ ُ‬ ‫ُ ۡ ح ح ۡ‬
‫ۡ‬ ‫ح‬
‫لسووو ِر وٱلهوو ِر‬ ‫ُق ِطيۡووا ِلموو ِر ٱّللِ ِ ٱ ِ‬ ‫ورآن كٱلاِو ۡ ِح فلو حي ۡن‬ ‫حو حق ۡن يُاِ ِف ٱلا‬
‫ح ۡ ح ح َّ ۡ ح ذ ۡ‬ ‫ح ح‬ ‫وواح ح حف َّ حنووتۡ‬ ‫ووف أح ِِخ أح َّن ٱ ۡل حف حص ح‬ ‫حأ ح ٱ ۡعلح ۡ‬
‫ِ‬ ‫ت ِووو حوَح توووا أِقووون ٱدل ل ِ ِكووور‬
‫لص ۡ‬ ‫ب باإل ِۡ حقان حع ۡن ُ أح حى ٱ َّ‬ ‫حوأح ۡ حه ح‬ ‫إ حا حقوووا تحووو ح ٱ َّلوووال أح ح َّق ل حِسوووانح ُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ح ۡ حۡ‬ ‫َّ‬ ‫ح‬ ‫ۡح ُ ۡ‬ ‫ذ ۡ‬ ‫ح ح َّ ُ ۡ‬
‫حو حقو ۡۡ ِرف ب ِوٱللو ۡح ِن ِقو ۡن فِيَ إ ِ يو ِري‬ ‫حف ِظوو ِۦ‬ ‫فوووو عِلوو ِف ٱلِكوو ِر إِتاووان ِ‬
‫ح ح ۡ ُ َّ ۡ ح ۡ ُ ۡ‬ ‫ح ح َّ‬ ‫ون حَ فً وا ب وٱ َّلل ۡحن حك ۡي حمووا تُز لح و ُ‬ ‫فح ُ و ۡ‬
‫فما ل ِ ِي يۡو ِرِ ٱللحون قِون عو ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ح حح ح ح ۡ ح ۡح ۡ ح ح ۡح‬ ‫ح حح ح ۡ ح‬ ‫ت ححو َّا ۡا ح‬ ‫فحإ ۡن حأنۡ ح‬
‫ووون ا ٱلا ۡهوو ِر‬ ‫فِ وواَِ فِيهووا وٱسووو ِ ٱلۡ‬ ‫اح ِ ٱلو ۡز‬ ‫ت ٱلو ِاراءَ ف‬ ‫ِ‬
‫ضو ٱ ۡل ذ‬ ‫ۡ حۡ ح‬ ‫ذ ۡ‬ ‫ح ۡ ُ‬ ‫ح‬ ‫ۡح ح ح ُ ۡ‬
‫ِ ِِ‬ ‫ف‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫و‬ ‫ق‬
‫ِ‬ ‫ر‬
‫وِ ٱل ِ‬
‫و‬ ‫ِك‬ ‫فو حوفن ُحو ُر ِ‬ ‫ل ۡرِ ُ ِر ۡج ُ ع ۡن ححو ذ ِ حو ۡفن ِو ِۦ‬ ‫فِ ِن ٱ‬
‫ح حح ح ۡ‬ ‫حۡ ح ح‬ ‫ح‬ ‫حح ح‬ ‫ً‬ ‫َ بوٱ َّل ۡحاِي إ ۡن ُكو ۡن ح‬ ‫ح ُ ۡ ُ ح‬
‫لَع أحووو أن ت ِز ووو لَع عشوووو ِر‬ ‫ت آ ِو ا‬ ‫ِ ِ‬ ‫وحوكم ِ‬
‫ح ۡو حقا ُع ۡ‬ ‫ُۡ ُ ح‬ ‫ححۡ ۡ حح ۡ‬ ‫حف حبووو ذ ۡ إ ح ۡن حقوووا يح ووو حبِغ أحن تُب ح‬
‫ينووو ُ‬
‫ر‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫وِ‬ ‫ر‬ ‫ل‬ ‫ٱ‬ ‫ف‬ ‫ِ‬ ‫وأَِِف وأ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫ح ح ۡ ُ‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ُۡ‬ ‫َّ َّ‬
‫حوبح ۡي حنو ُهو حموا فو ۡرق فوفوو ذ ِرقو ب ِوٱلويُ ۡسوو ِر‬ ‫لي ُوفِيو ِ لو ۡي حس ب ِو ُموو ۡ َووم‬ ‫ِإَون ٱ ِ‬
‫‪Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy‬‬

‫لوو ذ ِر‬ ‫تر ِ حهووا بووٱ َّلر ۡف ِ وٱۡلَّ ۡصووب حوٱ ۡ ح‬ ‫ح حۡ‬
‫و‬ ‫وِ ِجح ۡزم حِهووا‬ ‫لوو ُر ِ‬ ‫ك ح ٱ ُۡ‬ ‫ُ ۡ َّ ح‬
‫وقووو إِن ت ۡسوو ِ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ۡح‬ ‫ۡ‬ ‫حو حق ذ ِ ۡ‬ ‫ح ح ذ ۡ حح ذ ۡ ح ۡح ح ۡ ح حً ح ۡ‬
‫وقوو ذ ِ ۡ حبوو ح حقوو ذ ِ حك حوٱلا ۡصووو ِر‬ ‫وون ح‬ ‫صوو‬ ‫فح ِرك وسو ِ ن وٱَطۡون توا َ و ِ‬
‫ۡ‬ ‫وِ ٱ ذلل بح ح‬ ‫ُ ح َّ ُ ُ ح‬ ‫ۡ‬ ‫ح‬ ‫حح ح‬ ‫َّ‬ ‫ۡ‬
‫وري‬‫ِ‬ ‫ِك‬ ‫ا‬ ‫اح ب ح‬
‫ه‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫تسم حور‬ ‫حو حقووا ٱل حموو م إ ِ ِ ث ثووو ِ أحوووورِ‬
‫ُ‬

‫ح ۡ‬ ‫ك حنووان حق ً‬ ‫حۡ ُ‬ ‫كونُووهاح‬ ‫ح ُ ُ‬ ‫ح ۡح ُ ۡ حُۡ ُ‬


‫ِ‬ ‫ووٱِ‬ ‫ف‬ ‫وووا‬ ‫ۡ‬ ‫ِ‬ ‫حو حواو حو حووواء يس‬ ‫ِه ٱلل ِف ٱلومۡروِ فِيها س‬

‫وور‬ ‫ك ۡ‬
‫س‬
‫ۡ ح ۡ ح َّ ذ ح ۡ ح‬
‫ٱل‬ ‫و‬ ‫ف‬
‫ِ‬ ‫لض‬ ‫ٱ‬ ‫و‬ ‫حِ‬ ‫ت‬ ‫ف‬ ‫ل‬‫ٱ‬ ‫ون‬‫حو ح ُت ۡفر حط ۡ‬ ‫َّ‬ ‫ح‬
‫حو فف حوث ِاو حوٱش ُ ِِ ٱلفوووَ حَقِوو ً ا‬
‫حذ ۡ ۡ‬ ‫ح َّ ۡ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ي حِف ح حدلى ٱ َّ‬
‫لون ۡبور‬
‫حح حۡ ح ۡ ح ح ح حۡ‬
‫و ته ِمزن قا َكن‬
‫ً ح‬
‫ِوووزا لوو ُ ۥ‬
‫حح ح ح حۡ ُ ً ح ُ ۡ ح‬
‫ون هاق‬ ‫وقا َكن مهموفا فك‬
‫لَع قحوووو ۡ‬ ‫ت ح ح َٰ‬ ‫وز ح‬ ‫بۡوو ح ُه حما حه ۡموووز حه حموو ۡ‬ ‫حو ۡ‬ ‫ح‬ ‫ۡ‬
‫ِإَون تَ َ ۡبوو ٱِلحواءِ وٱلو حواوِ ف ۡت ححوووو‬
‫ۡ‬ ‫ۡ ح ُ ح‬
‫ِ‬
‫ٱلواو ۡو ح حكٱلو م ذ‬ ‫ح ح‬
‫ت تنو ِظوف‬
‫ح ُ ح ح ح َٰ ح‬
‫ل ِسووانَ ح‬ ‫لووراءِ وٱلو َّ ِ يحنوو ح ۡ‬ ‫ووان ٱ َّ‬ ‫ح حذۡ حح ح‬
‫و َ ِ بي‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ۡ‬ ‫َّ ۡ ُ ۡ ح ح ۡ ح‬ ‫ححۡ ح ُ‬ ‫ُ َّ‬ ‫ح‬ ‫ۡ‬ ‫ح‬ ‫ححۡ ۡ حح ح‬
‫ت حوكون ِ ٱلو ِ قۡت ِ ٱلقو ِر‬ ‫ِس‬ ‫ح‬
‫وأنِۡف بيوان ٱلۡو ِ وٱلهوواءِ ُكموووووا‬
‫وٱلح ۡ‬ ‫حذ ۡ‬ ‫ٱلم ۡتلُ ذ‬ ‫ً‬ ‫ۡ حح‬ ‫ۡ‬ ‫ۡ‬
‫ووووور‬ ‫ح‬ ‫ِ‬ ‫ل‬ ‫ٱ‬ ‫ِ‬ ‫و‬ ‫نوا ح‬ ‫ل ُِم ۡص ححفِ ح‬ ‫حوق ِف عِن ح إِت حما ِ ٱللَك ِ ُم حواف ِاوووووووا‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ور‬ ‫و‬
‫ح ح ح ۡح ۡ ۡح م ۡ‬
‫ك‬ ‫ِِبحورِ ِسووواها وٱَب ِو ٱلِۡلف بِٱلش‬ ‫هوووا‬ ‫ت حب ۡۡو ح ح‬ ‫حو ح تُ ۡ َ حِم َّن ٱل ۡ ِمي حف إن ج ۡئ ح‬
‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫ٱلومو ذ ِر‬ ‫ح‬ ‫ﵤ‬ ‫اك حن ۡۡ ُب ُ‬ ‫حك حموا أح ۡش حبو ُۡووا ﵥإيَّو ح‬ ‫ح‬ ‫ُ ۡ ۡ‬
‫ون ُمشوب ِ ًۡا َُل‬
‫ح ح م ح ح ح ۡ‬
‫ومَ َ ۡبوو ٱلو حواوِ كو‬ ‫وضو‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ٱق ُ ِۡهُ حو ۡ‬ ‫ٱلو ۡم فح ۡ‬ ‫ۡ‬ ‫حكآ ِ ح‬ ‫ور ُِ ل ِ حَك حن قِن حَ ۡب ُو ُق ۡ حَو ً‬ ‫ۡ‬
‫ٱس حت ۡجو ِر‬ ‫ِ‬ ‫ح‬ ‫ور قوا ِ‬ ‫ِ‬ ‫وما‬ ‫ِإَون حح ۡ‬

‫فح حصوووا ح حك حت ۡحوور َ حك ح ا قحا ح ُو ٱ ُ‬


‫خل ۡ‬ ‫ۡ حح ح‬
‫لسوواك حِن ِ ت َ حيوووووا‬ ‫حقووو ح ِ َّت ِلح َّن ٱ َّ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ح ح ح َّ ۡ‬ ‫حۡ ح‬ ‫ُ‬ ‫ۡ‬ ‫وروفًا ِس َّتووو ً لِ ح ُخ َّص ح‬ ‫ُ‬
‫ور‬
‫ِ‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ٱدل‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ب‬ ‫أ‬ ‫وا‬‫و‬ ‫ه‬ ‫بِإظ حهوا ِ نووون َبول‬ ‫وهووووا‬ ‫حوأ ۡسووم ُحوو ُ‬
‫ِ‬
‫حۡ ح ح ۡ ح م ۡ‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ووف حهووووواء حو حه ۡموو ح‬ ‫فح ححوواء حو ح ووواء ُث َّ‬
‫ووور‬
‫ِ‬ ‫ك‬ ‫حوع ۡيون حو ۡيوون ِلوس قوو ِِل بِاۡل‬ ‫وزَ‬
‫ۡ‬ ‫ح ُ ح ح حذۡح حح حۡ ح ۡ ح‬ ‫ُ ُ ُ ۡ ح ۡ ح ۡ ح َٰ ح ح ُ‬ ‫ح‬
‫وري‬ ‫صيوون أقوو ِ‬ ‫ف ونووَ بيِنها و تۡ ِ‬ ‫ف حه َٰ ِ ي حوروِ ٱللو ِ يوِف بيانهوا‬
‫ح‬
‫‪Matn Qashîdah‬‬

‫ح ح ۡ ح ۡ ح ۡ ح ح َٰ ُ ح ح ۡ‬ ‫ح‬ ‫ۡ‬ ‫ح ح ح ۡ ُ م ح َّ‬


‫لشوو ِر‬ ‫كاوول َِ ِقن يو دلى سوو َ ِ ٱ‬ ‫وت ُيظ ِه ُرون حهووا‬
‫و تشوو ِِ ٱۡلووون ِ‬
‫ٱل‬
‫ۡ ۡ‬ ‫ۡ ح‬ ‫وز ح‬ ‫فحاِ ۡسوو ُ حعلح ۡ‬
‫وي حها فُ ۡ‬ ‫ٱل ۡنووو حن حف ۡهو ح‬ ‫ۡ‬
‫ِإَوظ حهوووا ُ حك َّ‬
‫ِب ٱلِك ِر‬ ‫ِ‬ ‫ع‬ ‫َك‬ ‫وٱل‬‫ِ‬ ‫ب‬ ‫ت‬ ‫اس حهووووا‬‫ِوي ُ‬
‫وو ق ح‬
‫ِ‬
‫يُلح َّا ُن حه ووا بحووووا ِ ٱ َّل حۡ ملوووف بٱ َّ‬ ‫ح ح‬ ‫حح ۡ ح ح ۡ ح‬
‫لص ۡبوووووو ِر‬ ‫اء حب ۡۡوووو ُ ل ِطيفووو‬ ‫وت أ ۡش و حي ُ‬ ‫وق و باِي و‬
‫ِ ِ‬
‫ۡ‬ ‫ح‬ ‫ُ ح ذ ُ ُ ۡح ۡ ح م ح ُ ح‬ ‫َّ ُ ح َٰ ح ح َّ‬ ‫ُ‬ ‫ح‬
‫ووور‬
‫يۡلِم ٱخليور ٱدلَء لوو ى ٱلفج ِ‬
‫ح‬ ‫وس لَع ٱلِي‬ ‫ف ِ بۡوو ِن ع حب ۡيووو ِ ٱّللِ موو‬
‫ۡ‬ ‫ح‬ ‫ُ‬ ‫ۡ‬ ‫ح ۡ ُۡ‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫حح‬ ‫ح‬ ‫م‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح ح ح ح‬
‫وور‬ ‫َّ‬ ‫ح‬
‫أ ِِخ فِيوَ بِٱلوغفوورا ِن قِن وبِٱۡلص ِ‬ ‫أجابوووَ فِينوووا بنوووا وأجابونووووا‬
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Imâm Al-Hâfizh Al-Muqri` Al-Muhaddits Abû Muzâhim, Mûsâ bin


‘Ubaydillâh bin Yahyâ bin Khâqân Al-Khâqâniy Al-Baghdâdiy Al-Hanbaliy. Lahir
di Baghdâd, tahun 248 H. dan wafat bulan Dzulhijjah tahun 325 H. (862-937
M.). Menurut penelitian para ulama, beliau merupakan orang yang pertama
kali menulis tentang tajwid. Beliau satu zaman dengan Al-Imâm Abû Bakr bin
Mûsâ yang lebih dikenal dengan nama Ibn Mujâhid (w. 324 H.)penyusun
kitab As-Sab’ah Fil Qirâât. Abû Muzâhim dan Ibn Mujâhid banyak memiliki guru
dan murid yang sama.
Keluarga Abû Muzâhim merupakan keluarga bangsawan dalam
Kesultanan Dinasti ‘Abbâsiyyah. Ayahnya ‘Ubaydillâh adalah seorang menteri
pada masa Khalifah Al-Mutawakkil (Ja’far bin Mu’tasim bin Rasyid w. 247 H.).
Jabatan ayahnya sebagai menteri masih berlanjut pada masa pemerintahan
Khalifah Ahmad bin Ja’far Al-Mutawakkil.
Abû Muzâhim menghabiskan hari-harinya di Baghdâd. Tepatnya di
wilayah Tsamara` tempat ayahnya betugas. Namun, menurut beberapa
riwayat, beliau juga pernah tinggal di Mekah dan Madinah. Pada saat usianya
15 tahun ayahnya wafat, namun ia tetap berada dalam lingkungan
kesultanan karena salah seorang saudaranya juga merupakan seorang
menteri.
Beliau memiliki kepakaran dalam ilmu syari’ah dan juga ilmu bahasa.
Di antara ilmu yang begitu menonjol dalam dirinya yang pertama adalah ilmu
qiraah. Kemudian yang kedua adalah ilmu sya’ir. Kebanyakan sya’ir-syairnya
berisi tentang keutamaan ilmu, motivasi dalam menuntut ilmu, serta pujian
terhadap para penuntut ilmu dan para ulama. Beliau juga menyusun
beberapa sya’ir yang berisi pujian terhadap sahabat Mu’âwiyyah bin Abî
Biografi Abû Muzâhim

Sufyân juga sya’ir yang berisi pujian terhadap para Ahli Fiqih, khususnya
Al-Imâm Ahmad bin Hanbal .
Beliau memilih jalan Ahlul Hadîts dalam akidah dan fiqih serta tidak
mengambil pendapat Ahlul Kalâm dan Ahlur Ra’yi, sebagaimana yang beliau
nyatakan dalam bait-bait sya’irnya:
َ ‫ُٱَّلّيُيَنجوُبه‬ َ َ ‫ُع حّلم ح‬ َ َ ‫ح‬ َ ‫َح‬ ‫َ ح ح َ ّ ََ ح‬
ُ ُ‫ُّٱلرجل‬ ّ ‫يث‬
ّ ُ
‫د‬
ّ ‫ُٱۡل‬ ُ ُ‫أهلُٱلَلكمُوأهلُٱلرأ ّيُقدُعدموا‬
َ َ َ‫َح‬
َ ُ‫ُغ حري َهاُلَك َّنه حم‬ َ َ ‫ح َ َ َ ح‬ َ َ ‫ح‬ ََ ‫َح‬
ُ‫ج ّهلوا‬ ّ ‫ُعنهاُإل‬ ُ ُ‫اُٱنرفوا‬ُ ‫لوُأنهمُعرفواُٱۡلثارُم‬
“Ahlul Kalam dan Ahlur Ra’yi telah menolak, ilmu hadits yang dengannya
seseorang bisa selamat,
Kalau saja mereka memahami atsar (hadits), maka mereka tidak akan
menyimpang darinya dan memilih jalan selainnya, akan tetapi mereka tidak
memahaminya.”
Sya’ir di atas dengan tegas menunjukkan bagaimana posisi beliau
terhadap Ahlul Kalâm dan Ahlur Ra’yi. Kami di sini hanya bermaksud
menunjukkan madzhab beliau dalam akidah dan fikih. Adapun perkataan
beliau dalam sya’ir di atas tentu debatable. Karena sebagian ulama
memandang bahwa secara umum, Ahlul Kalam dan Ahlur Ra’yi itu sendiri
pada kenyataannya bukanlah orang yang tidak memahami ilmu hadits,
apalagi dengan sengaja meninggalkannya.
Kecintaan beliau terhadap Al-Imâm Ahmad sangat tampak, di
antaranya dari sya’ir berikut:
‫ح‬ َ ‫ح‬ َ َ َ َ ‫ََح ح‬ َ ‫ح َ َحَ ح‬ َ ‫لَ َق حد‬
َ ‫ُص‬
ُ‫ك‬ ٍُ ّ ‫ُوأمرُٱلورىُفّيهاُفليسُبّمش‬ ُ ُ ُ‫اقُأۡحدُُ ِّمنة‬ ّ ‫ف‬‫ُٱۡل‬ ‫ُِف‬
ّ ‫ار‬
َ ‫بُٱبحن‬ ‫َ ح‬ ‫َح‬ ً َ
َ ‫ُِ ح‬ ً َ َ َ‫ََ َ ح‬
ُ‫ل‬ َ ‫ُح‬
ٍُ ‫نب‬ ‫ا‬
ّ ّ ‫ىُِب‬ ّ ‫ُ َوتع ّرفُذاُٱتلَق َو‬ ُ ‫ۡح ٍدُم حبغّضا‬ ُ ‫ىُج حه‬
ُ ّ ‫ّل‬ ‫ترىُذاُٱلهو‬
“Telah berlalu di cakrawala ujian bagi Al-Imâm Ahmad, dan perkara yang
telah dilalui bukanlah menjadi sebuah masalah,
Engkau lihat bahwa orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dengan
kebodohannya membenci Al-Imâm Ahmad, dan engkau lihat bahwa orang-orang
yang bertakwa begitu mencintai Al-Imâm Ahmad bin Hanbal.”
Beliau dinilai sebagai orang yang cerdas dan sangat menguasai qiraat
Al-Kisâ`i. Beliau menyelesaikan hafalan Al-Qur`ân kepada Al-Hasan bin ‘Abdil
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Wahhâb, salah seorang murid dari Al-Imâm Ad-Dûriy, kemudian mempelajari


ilmu qiraat dari para ulama yang masyhur, di antaranya Muhammad bin Al-
Faraj, juga murid dari Al-Imâm Ad-Dûriy, salah seorang perawi Al-Imâm Al-
Kisâ`iy; Idrîs bin ‘Abdil Karîm, Muhammad bin Yahyâ Al-Kisâ`iy, dan ‘Abdul
Wahhâb bin Muhammad bin ‘Isâ Al-Khazzâz. Beliau juga menyimak Al-Qur`ân
dari Ibn Yûsuf At-Taghlabiy, murid Ibn Dzakwân perawi Al-Imâm Ibnu ‘Âmir;
dan Muhammad bin Ahmad bin Wâshil.
Al-Khâqâniy menghabiskan waktunya menekuni ilmu qiraat hingga
menjadi salah seorang imam rujukan dalam qiraat Al-Kisâ`iy. Begitu banyak
orang-orang yang datang untuk mempelajari Al-Qur`ân darinya. Di antaranya:
Ahmad bin Nashr, Muhammad bin Ahmad bin Ibrâhîm, dan Ahmad bin Al-
Hasan bin Syâdzân.
Sebagaimana semangat beliau dalam menekuni qiraat Al-Qur`ân, maka
Abû Muzâhim juga semangat untuk mengambil riwayat hadits dari para
muhadditsîn, di antaranya adalah: ‘Abbâs bin Muhammad Ad-Dûriy,
Muhammad bin Ismâ’îl At-Tirmidziy, ‘Ubaydullâh bin Abî Sa’d Al-Warrâq, Ishâq
bin Ya’qûb Al-Aththâr, Al-Hârits bin Abî Salamah, ‘Abdullâh bin Ahmad bin
Hanbal, dan selainnya.
Demikian pula sebagaimana beliau menjadi rujukan dalam ilmu qiraat,
maka beliau juga menjadi rujukan dalam ilmu hadits dan riwayah. Karenanya
banyak penuntu ilmu dan para ulama yang mengambil riwayat darinya, di
antaranya: Abû Bakr Muhammad bin Al-Husayn Al-Âjurriy, Abû Thâhir bin Abî
Hâsyim Al-Muqri, Abû Hafsh ‘Umar bin Ahmad bin ‘Utsmân (Ibn Syâhin), dan
selainnya.
Disebutkan dalam Mu’jam Huffâzhil Qur`ân (hal. 556) bahwa Abû
Muzâhim dikenal sebagai orang yang sibuk mengajarkan Al-Qur`ân dan
Sunnah, jauh dari gemerlap dunia, dan memfokuskan kehidupannya untuk
berjumpa dengan Allâh . Padahal, sebagaimana telah kami uraikan bahwa
beliau lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan. Ibnul Jazariy mengatakan:
“Ayah dan Kakek Abû Muzâhim adalah seorang menteri dalam
Kekhilafahan Banî ‘Abbâs. Begitupula saudaranya Abû ‘Aliy Muhammad bin
‘Ubaydillâh. Namun, beliau meninggalkan dunia dan menyibukkan dirinya dalam
meriwayatkan hadits, mengajarkan Al-Qur`an kepada manusia, dan berpegang
Biografi Abû Muzâhim

teguh pada sunnah. Beliau merupakan orang yang sangat dalam pengetahuannya
dalam bahasa Arab, sya’ir, dan seorang ahli tajwîd.”

Di antara guru-guru Abû Muzâhim yang disebutkan para ulama adalah:


1. Dalam bidang qiraat:
(1) Al-Hasan bin Abdil Wahhâb dan Abu Bakr Muhammad bin Al-Faraj
(w. 282 H.), keduanya murid dari Al-Imâm Ad-Dûriy, salah seorang
perawi Al-Imâm Al-Kisâ`i.
(2) Abul Hasan Idrîs bin ‘Abdil Karîm Al-Haddâd Al-Baghdâdiy (w. 292
H.) salah seorang perawi dari Al-Imâm Khalaf Al-‘Âsyir (qiraat
sepuluh),
(3) Muhammad bin Yahyâ Al-Kisâ`iy,
(4) Ahmad bin Yûsuf At-Taghlabiy (w. 273), murid Ibn Dzakwân perawi
Al-Imâm Ibnu ‘Âmir,
(5) ‘Abdul Wahhâb bin Muhammad bin ‘Isâ Al-Khazzâz,
(6) Abul ‘Abbâs Al-Muqri` Muhammad bin Ahmad bin Wâshil (w. 273
H.), dll.
2. Dalam bidang fiqih, hadits dan riwayat:
(1) Abû Bakr Al-Marrûdziy (w. 275 H.), ahli fiqih dan ahli hadits, salaah
seorang murid terbaik Al-Imâm Ahmad bin Hanbal.
(2) Abû Qilâbah ‘Abdul Malik bin Muhammad bin ‘Abdillâh Ar-Raqâsyiy
Adh-Dharîr (w. 276 H.),
(3) Abul Fadhl ‘Abbâs bin Muhammad bin Hâtim Ad-Dûriy (w. 271),
(4) Abû Ismâ’îl Muhammad bin Ismâ’il bin Yûsuf As-Sulamiy At-
Tirmidziy (w. 280 H.), guru dari Al-Imâm At-Tirmidziy dan Abû
Dâwûd penyusun Sunan.
(5) ‘Ubaydullâh bin Abî Sa’d Al-Warrâq,
(6) ‘Abdullâh bin Ahmad bin Hanbal (290 H.), dll.

Di antara murid-murid Abû Muzâhim yang disebutkan para ulama


adalah:
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

1. Membaca Al-Qur`ân kepadanya:


(1) Abû Bakr Ahmad bin Nashr Asy-Syadzâ`iy Al-Bashriy (w. 373 H.),
(2) Abul Faraj Muhammad bin Ahmad bin Ibrâhîm Asy-Syanbûdziy Al-
Baghdâdiy (w. 388 H.),
(3) Abu Bakr Ahmad bin Ibrâhîm bin Al-Hasan bin Muhammad bin
Syâdzân (w. 298-373 H.), dll.
2. Mengambil riwayat darinya:
(1) Abû Bakr Muhammad bin Al-Husayn Al-Âjurriy (w. 360 H.),
(2) Abû Thâhir bin Abî Hâsyim Al-Muqri` (w. 349 H.),
(3) Muhammad bin Al-’Abbâs bin Muhammad bin Zakariyyâ`, Abû
‘Umar bin Hayyûyah Al-Khazzâz (w. 382 H.),
(4) Abû Hafsh ‘Umar bin Ahmad bin ‘Utsmân, Ibn Syâhin (w. 385 H.)
(5) Abul Faraj Al-Mu’âfâ bin Zakariyyâ bin Yahyâ bin Hamîd Al-Jarîriy,
(6) Ja’far bin Muhammad Ad-Daqâq,
(7) Yûsuf bin ‘Umar Al-Qawwâs, dll.

Beliau banyak menyusun sya’ir, namun sedikit yang sampai kepada


kita secara sempurna. Kebanyakan sya’irnya sampai kepada kita melalui
riwayat para ulama yang masih tercatat di kitab-kitab mereka. Adapun sya’ir
beliau yang sampai kepada kita secara utuh, di antaranya adalah:
1. Qashîdah Râ`iyyah Fîl Qurrâ wa Husnil Adâ. Dikenal juga dengan
Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy atau Râ`iyyah Fit Tajwîd atau
Râ`iyyah Al-Khâqâniy. Kitab inilah yang sedang kita pelajari bersama,
dan
2. Qashîdah Mîmiyyah Fil Fuqahâ`, yang berisi pujian beliau terhadap para
Imam Ahli Fiqih.

Abû ‘Amr Ad-Dâniy berkata dalam Syarh-nya terhadap Qashîdah ini:


Biografi Abû Muzâhim

َ َ َ َ ‫َ َ َ َ حََ َ حَ ح َ َ ح ح‬ َ َ َ
ُ‫ظا ُهّ ُّر‬ ُ ُ,ُّ‫يفة‬
ُ ‫لّش‬
ُّ ‫قُٱ‬ ُّ ‫ّل‬
ُ ‫خ‬ ُِ ُ ‫ُ ُوٱ‬,‫ود ٍُة‬
ُ ُ‫حم‬ ُ ‫بُٱُل ُم‬ُ ّ ‫ّنُٱُل ُم ُنا ُق‬
ُ ‫لِلُم‬ ُ ‫ۡحهُُٱ‬ ُ ّ ‫مُ ُر‬ ُّ ‫بُمُ َُزا‬
ٍُ ‫ح‬ ُ ّ ‫ِفُُأ‬
ُ ّ ُ‫َكن‬
َ َ ‫ح ح‬ ‫حَ ا‬ ‫حَ ح‬ ‫ح‬ ُّ
ُ‫ـيا‬ ُ‫ ُس ا‬,ُّ‫يقة‬
ًّ ّ ‫ـن‬ ُ ‫لط ُّر‬
ُ ‫ن ُٱ‬ُّ ‫س‬ُ‫ ُحُ ح‬,‫ين ُ َُوٱُل ُّع ُل ُّم‬ ُّ‫ّن ُٱ ا‬
ُّ ‫ل‬ َُ ‫ظ ُم‬ ُ ‫ ُ َُوا ُف ّ ُرّ ُٱ‬,‫ل‬
ُ ّ ‫ۡل‬ ُّ ‫ض‬
ُ ‫ورّ ُٱ ُل ُف‬
ُ ُ‫شه‬ ُ ‫ ُ َُم‬,‫ك‬
ُّ ‫ٱلنس‬
َ
.‫ع ًّيا‬
ُّ ‫جا‬ َُ
“Dalam diri Abû Muzâhim semoga Allâh merahmatinya terdapat karakter
yang terpuji, akhlak yang mulia, ahli ibadah yang nyata, sudah terkenal
keutamannya, pengetahuan yang dalam terhadap agama dan gudangnya ilmu,
memiliki tharîqah yang baik (dalam membersihkan jiwa), seorang sunniy, seorang
jama’iy (Ahlus Sunnah wal Jama’ah).”
Ad-Dâniy juga mengatakan:
َ ‫َ ح‬ ‫ح‬ َ ‫َ َ ح َ ا َ ً َ َ َََ َ َح‬ ً ‫إم‬ َ َ
.‫اق‬
ُّ ‫ۡلـذ‬
ُ ‫ّنُٱ‬
ُ ‫ح ٍُدُم‬ َ
ُّ ‫ريُ ُوا‬
ُ ‫غ‬ُ ُّ‫ع ُل ُي ُه‬
ُ ُ‫ُ ُق ُرُأ‬,‫ـها‬
ُ ‫ضاُب ّطاُُل‬
ُ ُ,‫ي‬ ُ ‫اء ُة ُّٱ ُلك‬
ُ ّ ّ ‫ّس ُائ‬ ُ ‫ِفُق ُّر‬
ُ ّ ُ‫اما‬ َُ ُ‫ن‬
ُ ‫َك‬
ُ
“Bahwa Abû Muzâhim adalah seorang imam dalam qiraat Al-Kisâ`iy,
sangat menguasainya, dan banyak sekali para cendikiawan yang membaca Al-
Qur`ân kepadanya.”
Juga mengatakan:
َ َ َ َ َ َ َ َ ‫ََح‬ َ ‫ِفُ ُر َُو ُايَةُُّٱ ح‬ َ ‫لُ َُن حُف‬ َ َ ‫ََ ح‬
.ُّ‫الس َنة‬
ُّ ‫كُب‬
ّ ُ ‫س‬ ُ
‫م‬ ُ
‫ت‬ ُ
‫و‬ ُ , ُ
‫اس‬ُ
‫ل‬ ‫ٱ‬ُ ُ
‫رأ‬ُ
‫ق‬ ُ
‫أ‬ُ
‫و‬ ُ , ُ
‫يث‬
ّ ُ
‫د‬
ّ ُ
‫ۡل‬ ّ ّ ُ ُ ‫ه‬
ُ ‫س‬ ُ ‫ع ُم‬
ُ ‫ُوُأ‬
“Abû Muzâhim menyibukkan dirinya dalam periwayatan hadits dan
mengajarkan Al-Qur`ân kepada orang-orang, serta senantiasa berpegang teguh
pada sunnah.”ُ
Juga mengatakan:
ً َ ً َ
.‫ُُم اوّدا‬,‫شاعرا‬
ً ُ,ُّ‫بالعربية‬ُ‫بصريا‬ُ‫واكن‬
ُ
“Abû Muzâhim merupakan seorang yang memiliki kedalaman ilmu bahasa
Arab, seorang ahli sya’ir, dan seorang ahli tajwid.”
Al-Khathîb Al-Baghdâdiy berkata dalam Târîkh Baghdâd:
ً َ
.ُّ‫الس َنـة‬
ُّ ُ‫أهل‬
ُّ ُ‫ُمّن‬,‫قة‬
ُ ّ ‫َكنُُث‬
ُ
“Beliau adalah seorang yang terpercaya, seorang Ahlus Sunnah.”
‘Alamuddîn As-Sakhâwiy mengatakan:
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy
‫ح‬ ‫ح‬
ُّ ‫ل َُمامُُٱ ُلـمت ّقنُُأبُوُم َُزا‬
ُ‫ح ٍم‬ ُ‫ٱ‬
“Seorang imam yang mutqin (pakar), Abû Muzâhim.”
Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar mengatakan:
َ َ ‫َح َ ح َحَ ح‬ ‫ح‬ َ َ ‫ح َ ا‬ ‫ح َ ح ح‬
ُُ‫ان‬
ٍُ ‫اق‬
ُ‫خ‬ُ ُ‫ن‬
ُّ ‫ي ُُب‬
ُ ‫ي‬
ُ ُ‫ن‬
ُّ ‫لِلّ ُُب‬
ُ ‫ن ُعُ ُب ُي ُّد ُٱ‬
ُّ ‫وس ُُب‬
ُ ُ‫م ُم‬ ٍُ ‫ح‬ َ
ُّ ‫ح ُّدثُ ُ ُأبُو ُمُ ُزا‬ُ ُ‫ل ُمامُ ُٱُلمُ ُق ُّرئُ ُٱُلم‬
ُ‫ٱ‬
‫ح‬ ََ ‫حَح َ ا ََ ح‬ ‫حَ َ ا ح‬
َ
ُّ ّ‫يرُ ُوُأخُوُٱُل ُو ُز‬
‫ير‬ َ
ُّ ّ‫لُٱُل ُو ُز‬
ُ ‫ ُو‬,‫ي‬
ُ ّ‫ل ُغ ُداد‬ َ
ُ ‫ۡلا ُف ّظُُٱ‬
ُ ‫انُٱ‬
ُّ ّ ‫اق‬
ُ‫ل‬ ُ ‫ٱ‬
“Seorang imam, pakar qiraat, pakar hadits, Abû Muzâhim Mûsâ bin
‘Ubaydillâh bin Yahyâ bin Khâqân Al-Khâqâniy, seorang hafizh, seorang Badghdad.
Anak seorang menteri dan saudara dari seorang menteri ‘Abbâsiyyah.”
Istilah hafizh yang biasa digunakan oleh para ulama ditujukan pada
orang-orang yang memiliki derajat tinggi dalam bidang ilmu hadits dan
periwayatan. Al-Khathîb Al-Baghdâdiy, sebagaimana dikutip oleh Dr. ‘Umar
An-Nâsyûqâtiy dalam Ilmu Riwâyatil Hadîts (2018: 87-88), menyatakan bahwa
gelar Al-Hâfizh merupakan gelar tertinggi dalam ilmu hadits dan periwayatan.
Seseorang berhak mendapatkan gelar ini apabila ia: memahami dengan baik
sunnah-sunnah Nabi , bisa membedakan sanad-sanad periwayatan hadits
yang shahih dan yang dhaif, menghafal jalur-jalur yang shahih yang telah
disepakati para ulama juga jalur-jalur yang diperselisihkan mereka.
Memahami serta sanggup membedakan istilah-istilah para perawi dalam ilmu
hadits seperti: fulan hujjah, fulan tsiqah, maqbûl, wasath, lâ ba`sa bih, shadûq,
shâlih, syaikh, layyin, dha'îf, matrûk, dan sebagainya. Mengetahui dan bisa
membedakan shighat tahammul wal adâ, seperti: ‘an fulan, dan anna fulan,
juga qâla fulan, dan sebagainya.
Sedangkan Ibn Sayyid Al-Ya’mûriy sebagaimana dikutip oleh Dr. ‘Umar
An-Nâsyûqâtiy dalam Ilmu Riwâyatil Hadîts (2018: 88) mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan Al-Hâfizh adalah orang yang menyibukkan diri dalam
hadits, baik dari sisi riwayahnya, dirayahnya, dan mengumpulkan para perawi
dari jalur-jalur mereka.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalâniy sebagaimana dikutip oleh Dr. ‘Umar An-
Nâsyûqâtiy dalam Ilmu Riwâyatil Hadîts (2018: 89) mengatakan bahwa Al-
Hâfizh merupakan gelar khusus bagi para ulama Ahli Hadits yang telah
memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya terkenal dengan pencarian
Biografi Abû Muzâhim

haditsnya, mengambil hadits dari lisan para perawi bukan dari kitab-kitab,
memahami tingkatan-tingkatan para perawi dan kedudukannya, memahami
kaidah tajrîh dan ta’dîl (menghukumi perawi lemah atau kuat), serta sanggup
membedakan riwayat yang shahih dengan yang cacat.
Jadi, istilah Al-Hâfizh yang digunakan para ulama sangat berbeda
dengan apa yang kita kenal dan biasa digunakan di negeri ini. Di sini kita
mengenal bahwa istilah Hâfizh diberikan kepada siapa saja yang telah
menyelesaikan setoran hafalan Al-Qur`ân 30 juz. Adapun para ulama
terdahulu memberikan gelar tersebut saat seseorang telah sampai pada
puncak pemahamannya terhadap hadits, menguasainya, serta menghafal
istilah, jalur, dan kaidah-kaidahnya.
Dari penjelasan para ulama tersebut, dapat kita simpulkan bahwa
kedudukan Abû Muzâhim begitu tinggi sampai-sampai beliau selain diberi
gelar pakar qiraat (Al-Muqri`) juga diberi gelar Al-Hâfizh.
Ibnul Jazariy mengatakan:
‫ُس ُا‬,ُ‫ُث ّقة‬,ُ‫صيل‬ َ
‫ني‬
ّ ُّ ‫ُُأ‬,ُ‫ُِم ا ّدث‬,ُ‫إمامُُمقرئُُُم اوّد‬
“Abû Muzâhim adalah seorang imam pakar qiraat dan ahli tajwid, ahli
hadits, bangsawan, terpercaya, sunniy.”
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Matn ini dikenal dengan nama Râ`iyyah Al-Khâqâniy atau Ra`iyyah Fil
Qurrâ`i wa Husnil Adâ` atau Râ`iyyah Fit Tajwîd atau Qashîdah Abî Muzâhim Al-
Khâqâniy Allatî Qâlahâ Fil Qurrâ`i Wa Husnil Adâ`.
Disebut dengan “Qashîdah” disebabkan disusun dalam bentuk sya’ir,
dan disebut “Râ`iyyah” disebabkan akhir dari setiap baitnya (al-qâfiyah-nya)
diakhiri dengan huruf “Ra”.
Menurut penelitian para ulama, matn ini merupakan matn tertua
dalam bidang ilmu tajwid.

Qashîdah Râ`iyyah Al-Khâqâniy disusun dengan bahr thawîl yang


rumusnya adalah:
َ ‫ح َ ح‬ َ َ ‫ح َ ح‬ َ
ُ‫نُ َمفاعّل‬
ُ ‫نُفعول‬ ّ ‫نُ َمفا‬
ُ ‫عيل‬ ُ‫ُ ُفعُولُ ح‬ ُ ُ‫نُ َمفاعّل‬
ُ ‫نُفعول‬ ّ ‫نُ َمفا‬
ُ ‫عيل‬ ُ‫ُفعُولُ ح‬
Jumlah baitnya sendiri adalah 51 (lima puluh satu) bait, sebagaimana
disebutkan secara jelas oleh Abû Muzâhim:
‫ح‬ ََ ‫ََ َحً َح َ َح‬ َ َ ً َ َ ‫ََحَ َ َح‬
‫لَعُٱ ّلُث ُّر‬
ُ ُ‫ت‬ُ ٍ ‫ظمُُب ُي ُتاُب ُع ُدُب ُي‬
ُ ‫ُُت ُن‬ ُ‫حد‬
ُّ ‫يتاُ ُوُوا‬
ُ ‫ونُب‬
ُ ‫خس‬
ُ ُ‫ُوأ ُبياتُها‬
“Dan jumlah bait-baitnya adalah 51 (lima puluh satu) bait, yang setiap
baitnya tersusun secara berurutan dan saling berkaitan satu dengan yang
lainnya.”

Matn ini sangat penting dan memiliki kedudukan yang tinggi di sisi
para ulama, khususnya para ulama tajwid dan qiraat disebabkan beberapa
hal, di antaranya:
Tentang Qashîdah Râ`iyyatul Khâqâniy

1. Matn yang pertama kali ditulis secara khusus untuk membahas cara
membaca Al-Qur`ân yang benar (ilmu tajwid), Al-Imâm Ibnul Jazariy
mengatakan:
‫ح‬ َ َ َ ‫َ َ َ ح‬
ُ ُ‫ورة‬ ُ ‫لر ُائ َُّيةُُ َُم‬
َُ ُ‫شه‬ َُ ‫ص‬
َُ ‫يدتـهُُٱ‬ ُ‫تل ح‬
ُّ ‫ُ َُو ُق‬,‫ج ُوّي ُّد‬ َُ ‫ِفُٱ‬
ُ ّ ُ‫ـف‬
ُ ‫صن‬ ُ‫ن‬
ُ ‫ه ُوُأولُُم‬
“Abû Muzâhim merupakan orang yang pertama kali menulis dalam bidang
ilmu tajwid, dan qashîdahnya “Ar-Râ`iyyah” sangat terkenal.”
Adz-Dzahabiy mengatakan:
‫حَ ح‬ ََ َ ‫َ َ ح‬ َ
َ َ
ُُ‫لر ُائ ُّية‬ َ
ُ ‫ورةُ ُٱ‬
ُ ُ‫شه‬ َ
ُ ‫يدتـهُ ُ ُٱل ُم‬
ُ ‫ص‬ ُ‫تل ح‬
ُّ ‫ ُوُق‬.ُ‫ج ُوّي ُّد ُفّيما ُأعلم‬ َُ ‫ِف ُٱ‬ ُ ‫ن ُص َن‬
ُ ّ ُ ‫ـف‬ ُ‫ه َُو ُ َأولُ ُ َم ح‬
‫ا‬ َ ‫ح‬ َ َ َ ‫َش َح َه ح‬
َ َ
 ‫ان‬ ُ ّ ‫اُٱۡلاف ّظُأبوُعم ٍروُٱل‬
“Sejauh yang aku ketahui, Abû Muzâhim merupakan orang yang pertama
kali menulis dalam bidang ilmu tajwid, dan qashîdahnya yang sangat terkenal itu
“Ar-Râ`iyyah” telah dijelaskan oleh Al-Hâfizh Abû ‘Amr Ad-Dâniy .”
2. Asy-Syaikh Abû Ibrâhîm Ridhwân âlu Ismâ’îl menyebutkan kedudukan
dan keutamaan matn ini dengan mengutip perkataan Ad-Dâniy:
َ‫ح‬ َ َ‫ح ح‬
َُ ّ‫ورّ ُ َم َُعا ُن‬
ُ,‫يها‬ ُّ ‫ ُوت حُه ُّذ‬,‫هجتّها‬
ُ ُ‫ ُوظه‬,‫يب ُ ُأل ُفاظ َُّها‬ َُ َ‫ن ُُب‬ ُ‫ ُ َُوح ح‬,‫ص حُن َُعت ّ َُها‬
ُّ ‫س‬ َ ُ ‫ان‬
ُّ ‫ّن ُ ُإت ُق‬
ُ‫م‬
َ َ‫َ ا َ َ ح‬ ‫ح‬ َ
.ّ ‫ل حُو ُد ُة‬
ُ ‫ّنُٱ‬
ُ ‫ح ّظ ُهاُم‬ ُ ُ‫ُ َُو َُوف‬,‫يوب‬
ُ ُّ‫ور‬ ُّ ‫ّل َُمت ّ َُهاُمّنُٱ ُلع‬
ُ ‫َُو َس‬
“Ditulis dengan begitu teliti, indah susunannya, rapi lafazh-lafazhnya, jelas
setiap maknanya, tidak nampak adanya aib atau kekurangan, dan penuh dengan
kebaikan yang sangat banyak.”
3. Matn ini disusun oleh ulama besar Ahlus Sunnah yang kedudukannya
sudah diuraikan dalam bab sebelumnya,
4. Matn ini banyak menyebutkan adab-adab dalam belajar Al-Qur`ân
serta mengajarkannya. Di antaranya:
(1) Mengajarkan pentingnya menjaga niat agar selalu ikhlas untuk
Allâh  dalam setiap perkataan dan perbuatan,
(2) Menyeru untuk serius dalam mempelajari Al-Qur`ân langsung
dari lisan seorang guru yang memiliki jalur periwayatan yang
shahîh lagi mendalam pemahamannya,
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

(3) Mengajak untuk selalu komitmen terhadap hukum dan kaidah-


kaidah tajwid saat membaca Al-Qur`ân, baik pada saat membaca
dengan lambat ataupun membaca dengan cepat,
(4) Menyeru kepada para pembaca Al-Qur`ân agar senantiasa
mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya.
(5) Menyeru kepada para pembaca Al-Qur`an untuk menegakkan
hukum Allâh dalam segala sendi kehidupan sebagai konsekwensi
dari keterikatannya terhadap Al-Qur`ân.
5. Matn ini banyak sekali memberikan faidah yang nyata bagi siapa saja
yang mengkajinya. Di antaranya:
(1) Pujian terhadap para Imam Ahli Qiraah, terkhusus kepada Al-
Imâm Al-Kisâ`iy,
(2) Penjelasan hukum-hukum tajwid yang begitu teliti,
(3) Menegaskan kembali pentingnya melatih lidah (riyâdhatul lisân)
serta menulang-ulang lafazh Al-Qur`ân di hadapan seorang guru
yang pandai membimbing,
(4) Menegaskan pentingnya memahami permasalahan lahn
(kekeliruan saat membaca Al-Qur`ân) sehingga kita dapat
menjauhinya,
(5) Petunjuk mengenai timbangan setiap huruf hijaiyyah dan
kewajiban untuk menunaikannya dengan tepat dan
proporsional.

Al-Imâm Abû Muzâhim menyusun matn ini sebagai bekal bagi para
pelajar dan pengajar Al-Qur`ân. Gambaran umum dari isi matn ini adalah:
1. Adab-adab dalam menuntut ilmu, agar para penuntut ilmu senantiasa
menjaga hati dan akalnya, serta membimbingnya untuk mengamalkan
apa-apa saja yang memang sejatinya diwajibkan kepada para
penuntut ilmu,
2. Kemudian An-Nâzhim membicarakan bagaimana cara yang benar
dalam mengambil riwayat bacaan Al-Qur`ân,
3. Kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan para imam qiraat yang
tujuh,
Tentang Qashîdah Râ`iyyatul Khâqâniy

4. Kemudian menyebutkan sebagian faidah yang mesti senantiasa kita


raih saat membaca Al-Qur`ân,
5. Kemudian menyebutkan hakikat dan kriteria Ahlul Qur`an,
6. Kemudian menyebutkan kewajiban pertama yang mesti dipahami oleh
para pembaca Al-Qur`ân,
7. Kemudian menyebutkan pentingnya memperhatikan timbangan
setiap huruf dan keutamaan memahaminya,
8. Kemudian menyebutkan beberapa hukum tajwid yang mesti dipahami
dan diamalkan, seperti idghâm, ikhfâ, izhhâr, dan waqf,
9. Kemudian menyebutkan huruf madd dan hal-hal yang berkaitan
dengannya,
10. Kemudian bait ini ditutup dengan pesan agar selalu sabar dalam
menuntut ilmu dan tidak pernah lelah untuk selalu belajar.

Matn ini telah dijabarkan penjelasannya melalui pena para ulama, di


antaranya:
1. Al-Hâfizh Abû ‘Amr Ad-Dâniy (w. 444 H.). Beliau tergerak untuk
memberikan penjabaran matn ini disebabkan beberapa hal, di
antaranya:
(1) Agar faidah yang tersembunyi di balik matn ini bisa dinikmati oleh
para penuntut ilmu dan juga orang-orang awâmm,
(2) Intensitas permohonan yang semakin meninggi dari para Ahlul
Qur`ân untuk menjabarkannya, dimana mereka telah
membiasakan diri untuk menghafalnya,
(3) Juga disebabkan matn ini ditulis dengan begitu teliti, indah
susunannya, rapi lafazh-lafazhnya, jelas setiap maknanya, tidak
nampak adanya aib atau kekurangan, dan penuh dengan kebaikan
yang sangat banyak.
(4) Dan matn ini disusun oleh seorang ulama yang memiliki karakter
terpuji, akhlak yang mulia, ahli ibadah yang nyata, sudah terkenal
keutamannya, pengetahuan yang dalam terhadap agama dan
gudangnya ilmu, memiliki tharîqah yang baik (dalam
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

membersihkan jiwa), seorang sunniy, seorang jama’iy (Ahlus


Sunnah wal Jama’ah).
Kelebihan Syarh Ad-Dâniy adalah sebagaimana yang disampaikannya
dalam Muqaddimah Syarh-nya: beliau menyusun syarh tersebut dengan
maksud untuk menjelaskan maknanya yang masih samar, memberikan
peringatan untuk menguak hakikatnya, menunjukkan maksud yang tepat
dari An-Nâzhim sehingga pembaca tidak salah dalam memahaminya,
kemudian menyeru untuk mengamalkannya, dan selalu berpedoman pada
atsar yang diriwayatkan para ulama terdahulu, serta keseluruhannya disusun
secara ringkas tanpa berpanjang lebar, sehingga siapa saja yang mengkajinya
secara serius dapat menghafal kaidah-kaidah penting secara mudah,
insyâallâh.
2. Asy-Syaikh Islâm bin Nashr bin As-Sayyid bin Sa’d Al-Azhariy yang
berjudul Al-Fathur Rabbâniy Fî Syarhi Râ`iyyatul Khâqâniy. Berbeda
dengan Ad-Dâniy yang selalu menyandarkan penjelasannya pada atsar
para ulama terdahulu, maka Asy-Syaikh Islâm Al-Azhariy lebih fokus
untuk menjelaskan kata dan kalimat agar lebih mudah dipahami dalam
konteks modern. Beliau kemudian juga memperluas bahasan dengan
contoh dan perbandingan dengan pendapat yang lain, sebelum
melakukan tarjîh (mengunggulkan salah satu pendapat) atas beberapa
pendapat yang dikemukakan.
3. Asy-Syaikh Jamâl Muhammad Syaraf. Syarh ini berjudul Hadyul Majîd Fî
Syarhi Qashîdatay Al-Khâqâniy was Sakhawiy Fit Tajwîd. Syarh ini
merupakan syarh yang sangat singkat dan terfokus pada penjelasan
secara global dari bait-bait Al-Khâqâniy. Namun kitab ini memiliki
kelebihan karena mencakup dua matn yang dijelaskan maknanya.
Kemudian pada awal-awal pembahasan dimulai dengan Mabâdi Ilmu
Tajwid dan Risâlah Al-Qawlus Sadîd Fî Bayâni Hukmit Tajwîd Asy-Syaikh Al-
Husayniy.
4. Al-Ustadz Rendi Rustandi. Beliau tidak menjabarkan maknanya secara
rinci, namun yang kami ketahui, beliau adalah orang yang pertama
menerjemahkan matn ini ke dalam bahasa Indonesia. Buku terjemahan
tersebut berjudul Terjemah Qashidah Khaqaniyyah. Walaupun tidak
Tentang Qashîdah Râ`iyyatul Khâqâniy

menjelaskan makna setiap bait secara rinci, namun sangat membantu


para pelajar yang ingin memahaminya secara umum dalam bahasa
Indonesia.
Adapun penjelasan yang akan kami susun, seluruhnya diuraikan dalam
bahasa Indonesia. Penjelasan ini akan banyak sekali mengambil faidah dari
kitab-kitab yang telah kami sebutkan. Ditambah dengan hasil pembelajaran
kami dengan guru-guru kami dalam daurah dan ta’lim. Kami sebisa mungkin
menjelaskannya dengan detail namun tidak bertele-tele dan tetap fokus pada
bait yang sedang dijelaskan maknanya, sehingga pembaca bisa memahami
maksud dari setiap bait dengan baik, namun tidak membosankan karena
kami akan selalu berusaha untuk fokus. Pada beberapa bahasan mungkin
akan ada penjabaran yang cukup luas dan dalam, terutama apabila ada
pendapat lain yang butuh dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk
mengunggulkan salah satu pendapat tersebut.
Kemudian apabila dirasa penjelasan dari bait-bait ini membutuhkan
contoh, maka kami akan berikan contoh secara singkat yang kami anggap
dapat mewakili dan mencakup keseluruhannya. Pada beberapa poin kami
juga akan menggunakan bantuan berupa gambar, diagram, atau tabel agar
uraian yang kami sampaikan dapat lebih mudah dipahami, insyâallâh.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Walhamdulillâh kami telah membacakan matn ini kepada Fadhîlatusy


Syaikh Mahmoud Zurainah Al-Mishriy di LTI Bandung pada bulan Maret 2016
di sela-sela waktu membacakan Al-Qur`ân kepada beliau. Kemudian pada
bulan Juni 2018, kami menyimak dari beliau matn ini beserta syarhnya. Beliau
mengijazahkan kepada kami dan mengabarkan kepada kami bahwa beliau
meriwayatkan matn ini dari Fadhîlatusy Syaikh Nâdî Haddâd Al-Qath, beliau
dari Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Amîn Al-Harariy, dari Asy-Syaikh
Musnîd Ad-Dunyâ Yâsîn Al-Fâdâniy…
Lebih tinggi dari itu, maka kami meriwayatkan melalui ijâzah ‘âmmah
dari Fadhîlatusy Syaikh Yahyâ Al-Ghawtsâniy, Ajengan KH. Maimoen Zubair,
dan Al-Musnîd KH. Ahmad Thanthawi Al-Garuti, ketiganya dari Asy-Syaikh
Musnîd Ad-Dunyâ Yâsîn Al-Fâdâniy, dari Al-‘Allâmah Al-Muqri` Ibrâhîm bin
Mûsa Al-Khûzâmiy As-Sûdâniy, dari Al-‘Allâmah Asy-Syaikh Muhammad Asy-
Syirbîniy Ad-Dimyâthiy, dari Ahmad Al-Lakhbûth Asy-Syâfi’iy, dari Asy-Syaikh
Muhammad Syathâ, dari Asy-Syaikh Hasan bin Ahmad, dari Asy-Syaikh Ahmad
bin Abdirrahmân, dari Asy-Syaikh Abdurrahmân Asy-Syâfi’iy, dari Asy-Syaikh
Ahmad bin ‘Umar Al-Mishriy, dari Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad ‘Abdil
Ghaniy Al-Mishriy, dari Asy-Syaikh Sulthân bin Ahmad Al-Mishriy, dari Asy-
Syaikh Sayfuddîn bin ‘Athâ`illâh Al-Fadhaliy, dari Asy-Syaikh Syahâdzah Al-
Yamaniy, dari Asy-Syaikh Nâshiruddîn bin Muhammad Ath-Thablâwiy, dari
Syaikhil Islâm Zakariyyâ Al-Anshâriy…
Juga lebih tinggi lagi melalui ijâzah ‘âmmah kami meriwayatkan dari
jalur Ustâdzunâ Al-Musnid Abû Abdillâh Rikrik Aulia Rahman As-Surianji, dari
Al-Mu’ammar ‘Abdurrahmân Al-Hibsyiy Al-Hadhrâmiy, dari Abin Nashr
Muhammad bin Al-Khathîb, dari Muhammad bin Mushthâfâ Rahmatiy dan
‘Abdirrahmân Al-Kuzbariy, keduanya dari Mushthâfâ Rahmatiy, dari Ibrâhîm
Sanad Kami Sampai Kepada Al-Imâm Abu Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Kurdiy Al-Madaniy, dari An-Najm Al-Ghâziy, dari ayahnya Al-Badr Al-Ghâziy,


dari Syaikhil Islâm Zakariyyâ Al-Anshâriy, dari Al-Hâfizh Ibn Hajar Al-
‘Asqalâniy, dari ‘Â`isyah binti Muhammad bin Qudâmah Al-Maqdisiyyah dan
Abî Hurayrah bin Al-Hâfizh Adz-Dzahabiy, keduanya dari Al-Hâfizh Syamsuddîn
Adz-Dzahabiy, dari Badruddîn Ibn Jamâ’ah Asy-Syâfi’iy, dari Wajîhuddîn Abil
Muzhaffar Manshûr bin Salîm, dari Syarafuddîn Abî Bakr Muhammad bin Al-
Hasan Ibnul Maqdisiyyah, dari Shadruddîn Abî Thâhir As-Silafiy As-Sakandariy,
dari Abî ‘Aliy Al-Hasan bin Ahmad Al-Ashfahâniy Al-Haddâd, dari Abî Na’îm
Ahmad bin Abdillâh Al-Ashfahâniy, dari Al-Imâm Abû Bakr Muhammad bin Al-
Hasan Al-Âjurriy…
(‫ )ح‬Dari Syaikhil Islâm Zakariyyâ Al-Anshâriy, dari Al-‘Izz bin Al-Furât,
dari Abî Hafsh Al-Marâghiy, dari Al-Fakhr bin Al-Bukhâriy, dari Abî Bakr
Muhammad, ia mengatakan: “Telah mengabarkan kepadaku Ayahku, Al-Imâm
Al-Hâfizh Abul ‘Alâ Al-Hasan bin Ahmad Al-Hamdâniy,” beliau mengatakan:
“telah mengabarkan kepada kami Abul Qâsim ‘Aliy bin Ahmad Ar-Razzâz,”
beliau mengatakan: “telah mengabarkan kepadaku ‘Abdul Malik bin
Muhammad bin Busyrân Al-Ma’dal,” beliau mengatakan: “telah membacakan
syair ini Abû Bakr Muhammad bin Al-Hasan Al-Âjurriy,” beliau mengatakan:
“telah berkata Abû Muzâhim Al-Khâqâniy… ”
(‫ )ح‬Dari Syaikhil Islâm Zakariyyâ Al-Anshâriy, dari Abin Na’îm Al-Muqri`,
dari Abî Muhammad ‘Abdillâh bin Muhammad bin Khayr, Asy-Syaraf Abith
Thâhir Muhammad bin Muhammad Ar-Raba’iy, Abî Ishâq Ibrâhîm bin Ahmad
At-Tanûkhiy, dan Abî ‘Abdillâh Muhammad bin Jâbir Al-Qîsiy, dari Abil ‘Abbâs
Ahmad bin Muhammad Al-Ghammâz Al-Khazrajiy, dari Abil Hasan Muhammad
bin Ahmad Salamûn, dari Abî Dâwûd Sulaymân bin Najâh…
(‫ )ح‬Dari Asy-Syaraf Abith Thâhir Muhammad bin Muhammad Ar-
Raba’iy, dari Abil Hasan ‘Aliy bin ‘Îsâ bin Al-Muzhaffar Al-Anshâriy, dari Al-
Kamâl Abil Hasan ‘Aliy bin Syujâ’ Al-‘Abbâsiy, dari Al-Imâm Abil Qâsim Ahmad
bin Fiyrruh bin Khalaf Asy-Syâthibiy, dari Abil Hasan ‘Aliy bin Muhammad
Hudzayl, dari Abî Dâwûd Sulaymân bin Najâh, dari Al-Imâm Abî ‘Amr Ad-Dâniy
beliau mengatakan: “Telah menyenandungkan kepada kami Abul Fath Fâris
bin Ahmad bin Mûsâ bin ‘Imrân Al-Himshiy dan Abul Hasan Thâhir bin
Ghalbûn,” beliau mengatakan: “Telah menyenandungkan kepada kami Ja’far
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

bin Muhammad Ad-Daqqâq,” beliau mengatakan: “Telah menyenandungkan


kepada kami Abû Muzâhim Al-Khâqâniy… ”
Sebab dan Tujuan Disusunnya Ar-Râ`iyyah

Al-Imâm Al-Khâqâniy  berkata:


ۡ ‫حو ح فح ۡخ و حر إ َّن ٱ ۡل حف ۡخ و حر يح و ۡ ُعو إ حل ٱ ۡلك و‬ ۡ ۡ ُ ً ۡ ُ ً ‫حُ ُ ح ح‬
ِ ِ ِ ِ ‫جبووا ِلو ِِل ٱل ِجوو ِر‬ِ ۡ‫أقووو قاووا ق‬
“Aku akan mengatakan sebuah perkataan yang menakjubkan bagi orang-
orang yang berkal, dan aku berharap pada saat mengatakannya tidak teriringi
dengan bangga diri, karena bangga diri akan membawa seseorang pada
kesombongan.”

Kosa Kata:
ۡ
ۡ‫لجر‬ ُ
Maknanya adalah orang yang berakal, sebagaimana
firman Allâh : ِ ِ ‫أو ِِل ٱ‬
‫ح ح ح ذ‬ ۡ‫ح‬
‫ح ۡجرﵤ‬
ِ ‫ﵥهو ِ ذَٰل َِ ق حسف ِلِي‬
“Adakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang
dapat diterima) bagi orang-orang yang berakal?” [QS. Al-Fajr,
89: 5)
Al-Hâfizh Ibn Katsîr mengatakan dalam Tafsirnya:
“Maknanya adalah orang-orang yang berakal, orang-orang
yang hatinya bersih, orang-orang yang cerdas, dan orang-orang
yang memahami agama dengan baik.”

Penjelasan:
Al-Khâqâniy mengawali perkataannya dengan bahasa yang dapat
menarik perhatian para pembaca dan pendengar. Beliau menyatakan bahwa
perkataan yang akan disampaikannya dapat membuat orang-orang yang
berakal lagi cerdas takjub untuk mendengarnya, disebabkan banyaknya
faidah yang bisa dipetik dari setiap perkataan yang akan disampaikan
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

tersebut. Namun, beriringan dengan itu, beliau juga berharap bahwa pada
saat menyampaikannya tidak diiringi kebanggan terhadap diri sendiri, karena
sesungguhnya membanggakan diri sendiri dapat membawa seseorang
kepada kesombongan. Sedangkan kesombongan merupakan sifat tercela
yang dapat menjauhkan seseorang dari surga. Allâh  berfirman:
َ ‫ا‬ َ َ ‫َ ََ َ َحٗ اح‬ َ ‫ح‬ ََ
‫ينﵤ‬
ُ ‫ّب‬
ّ ّ ‫ِفُجهن ُمُمثوىُل ّلمتك‬
ُ ّ ُ‫س‬
ُ ‫ﵥألي‬
“Bukankah neraka Jahannam itu tempat tinggal bagi orang-orang yang
menyombongkan diri?” [QS. Az-Zumar, 39: 60]
Nabi  bersabda:
‫ِفُقَ حُلب ُهُّم حُّث َقالُُ َذ َر ُةُمّنُك ح‬ َ َ َ َ َ َ‫ح‬ ‫لُ ي َ ح‬ َ
ُ‫ّّب‬
ٍ ٍ ّ ُ ّ ُ ُ
‫ن‬ ‫َك‬ُ ‫ن‬‫م‬ ُ ُ
‫ة‬ ‫ن‬ ُ
‫ل‬ ‫ٱ‬ُ ‫ل‬
ُ ‫خ‬ُ
‫د‬ ُ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya masih terdapat
sebesar atom kesombongan.” [HR. Muslim 131]
Adapun makna sombong itu sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam
lanjutan hadits di atas bahwa Nabi  bersabda:
َ ‫حَ ا‬ ‫ح‬
ّ َ‫قُ َوغ حُمطُُٱل‬
ُ‫اس‬ ُ ‫ٱ ُلك ح‬
ُ ‫ّّبُ َب َطرُُٱ‬
ُّ ‫ۡل‬
“Sombong itu artinya adalah menolak kebenaran dan meremehkan
manusia.” [HR. Muslim 131]
Dari pemaparan ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebagai
seorang pelajar atau pengajar, khususnya dalam bidang Al-Qur`ân,
hendaknya senantiasa menjaga hati dari beragam penyakit hati. Di antaranya
adalah kesombongan yang seringkali menjangkiti seseorang tanpa ia sadari.
Awalnya ia hanya berbangga atas keadaan dirinya, kemudian ia meremehkan
orang lain dan menolak segala macam bentuk kebenaran yang disampaikan
padanya. Wal’iyâdzubillâh.
Dengan kata lain, kita mesti menghiasi diri kita dengan sikap tawâdhu’
(rendah hati) dan menghargai serta menghormati orang lain, sebagaimana
ktia ingin dihargai dan dihormati. Lebih-lebih kepada orang-orang yang
memiliki kedudukan tinggi dalam ilmu dan agama ini. Al-Hasan Al-Bashriy
pernah ditanya apa itu tawâdhu’, maka beliau menjawab:
ً ‫ح ً َ ََح َ َ َ َح َ َ ح‬ َََ ََ َ َ ‫َ َح‬
ُ‫ضّل‬ُ ‫كُ ُف‬
ُ ‫ع ُل ُي‬
ُ ُ‫ِل‬
ُ ُ‫ت‬
ُ ‫لُ ُرُأ ُي‬
ُ ّ ‫س ُل ّ ُماُُإ‬
ُ ُ‫ّقُم‬
ُ ‫لُ ُت ُل‬
ُ ‫كُ ُو‬
ُ ّ ‫نُّل‬ َُ ُ‫تر‬
ُ ‫جُ ُّمنُ ُم‬ َُ ‫ٱ‬
ُ ُ‫تل َُواضُعُُُأن‬
Sebab dan Tujuan Disusunnya Ar-Râ`iyyah

“Tawâdhu’ artinya adalah engkau keluar dari rumahmu, dan tidaklah


engkau menjumpai seorang muslim kecuali engkau selalu melihatnya lebih utama
darimu.” [Al-Ihyâ, III/ 34]

Al-Imâm Al-Khâqâniy  berkata:


ۡ ‫ح‬ ‫ح ذ ُ ح‬
‫لم حباهوواَ ِ حوٱلفخوو ِر‬ ‫رٱ‬ ‫ِوون‬
‫ق‬ ‫ووو ح ح‬
‫ي‬ ۡ ‫ب حم‬ ً ‫ح‬
‫وووو ِ ٱ ذل ِووو حوَح حَِِووو ا‬
ۡ ‫لا‬ ‫ح‬ ُ ِ ‫أُ حع ذل‬
‫وووف ِ ٱ‬
ِ ِ
“Aku akan mengajarkan beberapa hal yang berkaitan dengan tilâwah Al-
Qur`ân. Seraya memohon perlindungan dari Allâh agar terhindar dari keburukan
rasa ingin pamer dan membanggakan diri sendiri.”

Kosa Kata:
‫ُح ح‬
Maknanya adalah pamer atau membanggakan diri ِ َ‫اها‬ ‫ٱلمب‬
sendiri.
ً
Dengan / seraya memohon perlindungan. ‫حَِ ِ ا‬

Penjelasan:
Bait ini menegaskan apa tujuan Al-Khâqâniy menyusun Qashîdah
Râ`iyyah. Yakni dengan maksud menjelaskan, mengajarkan, memberikan
penerangan, dan memahamkan orang-orang bagaimana cara membaca Al-
Qur`ân yang benar dan tepat.
Ini merupakan harapan dari An-Nâzhim dan juga harapan kita
semuanya, yakni agar kita semua bisa melafazhkan Al-Qur`ân dengan benar
dan tepat. Namun tentu saja, Qashîdah ini belumlah cukup untuk dijadikan
satu-satunya sandaran dalam memahami ilmu tajwid secara utuh. Kita mesti
menggali kitab-kitab lain untuk mendapatkan pemahaman yang sempurna.
Lebih dari itu, ilmu tajwid adalah ilmu praktik, sehingga banyaknya kitab yang
dikaji, apabila tidak diiringi dengan latihan di hadapan seorang guru yang
mutqîn, maka pengetahuan dan pemahaman terhadap kaidah-kaidah itu
menjadi tidak terasa manfaatnya.
Kemudian, An-Nâzhim melanjutkan dengan memohon doa sekaligus
perlindungan kepada Allâh dari sikap ingin pamer dan membanggakan diri
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

sendiri, karena sesungguhnya berharap balasan kepada selain Allâh atas


segala amalan yang telah, sedang, atau akan kita lakukan merupakan salah
satu bentuk kesyirikan (menyekutukan Allâh) yang wajib dijauhi sejauh-
jauhnya.

Al-Imâm Al-Khâqâniy  berkata:


ُ َٰ ‫ح َٰ ُ ۡ ح ح‬ ۡ ‫ح‬ ‫حح ۡ حُُ ح ۡ حح‬
ُ‫لَع حقوووا نح حو ۡ ُتووو ۥ‬
‫ه ع ۡموو ِري‬ ِ ‫حف ِظ و ح ِ ِِيو‬
‫وإ إِل قن وت‬ ِ ‫و‬ ‫وأسوووأَلۥ عوووو ِِن‬
ۡ‫ح ح‬ ‫ح‬ ۡ‫ح ح ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ذ‬ ‫حح ۡ حُُ ح‬
‫ف حموووا حفا ا عفوووو َجِيوووو حو ا فووو ِر‬ ‫ح‬ ُ
‫وووإ ٱلجووواوف ِ َووو‬ ‫ح‬ َّ
ِ ‫وأسوووأَلۥ ع‬
“Dan aku juga berdoa kepada-Nya agar senantiasa menolongku terhadap
apa-apa yang aku telah niatkan, juga agar senantiasa menjagaku dalam urusan
agamaku sampai berakhirnya usiaku.
Kemudian aku juga berdoa kepada-Nya agar Dia memaafkan aku pada hari
esok (kehidupan akhirat), dan sesungguhnya Allâh  Sebaik-baik Pemberi Maaf
lagi Maha Pengampun.”

Kosa Kata:
‫َّ ح ُ ح‬
Memaafkan ُ ‫او حف ع ۡن‬ ‫ٱ لج‬

Penjelasan:
Setelah An-Nâzhim memohon perlindungan agar terhindar dari sikap
pamer dan bangga diri, maka beliau melanjutkan doanya agar Allâh
senantiasa menolongnya dalam menjaga niat, juga agar senantiasa menjaga
urusan agamanya. Nabi  mengingatkan pada kita dalam bab niat:
َ ‫ا‬ َ ‫ََ حَح‬
ُ ‫ات‬
ُّ ‫إّنماُٱِعمالُبّٱل ّي‬
“Sesungguhnya setiap perbuatan hanyalah tergantung pada niatnya.” [HR.
Al-Bukhâriy dan Muslim]
Dan telah masyhur bagi kita kisah tiga orang yang awal-awal diadili
dan dijebloskan ke dalam neraka sebagaimana diriwayatkan dalam Shahîh
Muslim. Mereka telah melakukan amalan-amalan terbaik. Orang pertama
Sebab dan Tujuan Disusunnya Ar-Râ`iyyah

telah berjihad hingga syahid di medan perang, orang kedua telah sibuk
belajar dan mengajarkan Al-Qur`ân sepanjang hidupnya, dan orang ketiga
telah menghabiskan hartanya untuk disedekahkan kepada mereka yang
membutuhkan.
Namun demikian, jihad, pengajaran, dan sedekah yang mereka
lakukan tidak dapat menyelamatkan mereka dari api neraka, bahkan justru
menjadi sebab mereka dilemparkan ke dalamnya. Masalahnya hanya satu:
niat. Mereka tidak memurnikan niat hanya untuk Allâh . Masih ada harapan-
harapan kepada manusia dan dunia yang tumbuh di dalam hati mereka atas
amalan yang mereka lakukan, sehingga Allâh tidak meridhai mereka bahkan
murka atas apa yang tumbuh dalam hati mereka.
Lebih dari itu, Nabi  telah mewanti-wanti mengenai kehadiran
sekelompok orang di akhir zaman, yang gemar menyenandungkan Al-Qur`ân,
namun Al-Qur`ân itu hanya ada di lisan-lisan mereka, tidak sampai meresap
dalam hati dan jiwa mereka. Beliau  bersabda:
َ َ َ َ ‫ََح َ َ ح ح‬ ‫َ ح ح‬ َ ‫َح‬
ُ ‫ ُ َي حُمرق‬,‫ل ُُيَاوّزُ ُت َراق َّيه حُم‬
َُ ‫ون ُم‬
ُ‫ّن‬ ُ ُ ‫آن‬
ُ ‫ون ُٱُلق ُر‬
ُ ‫ق ُوي ُقرء‬ ُّ ‫ل ُٱُل َم‬
ُّ ‫ّش‬ ُّ ‫يرجُ ُناسُ ُمّن ُق ّب‬ ُ
َ َ َ َ َ ‫ّينُ َك َماُ َي حُمرقُُٱ‬
ُ ّ ‫لس حُهمُُإ‬
ُ ّ‫لُفوق ّ ُه‬ َ ‫ودُٱ‬ َُ ‫ح‬
ُ ‫ّتُ َيع‬ َُ ُّ‫ونُفّي ُه‬
ُ ‫لُ َيعود‬
ُ ُ‫ُث َُم‬,ُّ‫الرم َّية‬
َ ُ‫ّن‬ َُ ‫لس حُهمُُم‬ ُّ ‫ٱ ال‬
“Akan keluar sekelompok manusia dari arah timur, mereka membaca Al-
Qur`ân namun tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat keluar dari
agama sebagaimana halnya anak panah yang melesat dari busurnya. Mereka tidak
akan kembali kepadanya hingga anak panah kembali ke busurnya.” [HR. Al-
Bukhâriy 7007]
Dalam riwayat yang lain, Nabi bersabda tentang lima atau enam hal
yang beliau khawatirkan muncul di akhir zaman, salah satunya adalah:
َ ‫َ ح ح َ َ َ َ َ ا َ َ َ َح َ َح‬ َ َ ‫َون َ حُ ح‬
ُّ ‫ِف ُٱ ال‬
ُ,‫ّين‬ ُ ّ ُ ‫س ُبّأ ُفق ّه ّه حُم‬
ُ ‫ل ُل ُي‬
ُ ‫ون ُٱلرج‬
ُ ‫ّري ُيق ّدم‬
ُ ‫آن ُمزام‬ُ ‫ون ُٱ ُلق ُر‬
ُ ‫خذ‬ ّ ‫شوُ ُيَ ُنشأُ ُ َيت‬
ً َ ‫ح‬ َ ‫ا‬ َ ‫ََ َ ح َ ح َ ح َ ح َ َح َ ح ح ََ ح َ َ ا َ ح‬
ُ ‫اء‬
ُ ‫علمُُيق ّدمونه ُمُ ِّلغنّيه ُمُغّن‬
ُ ‫نُه ُوُأ ُفقهُُم ُّنه ُمُوأ‬
ُ ‫ُوفّي ّه ُمُم‬,‫عل ّم ّه ُم‬
ُ ‫لُبّأ‬
ُ‫و‬
“Orang-orang yang tampil dan bermunculan, mereka memperlakukan Al-
Qur`ân sebatas irama dan nyanyian. Seseorang kemudian ditunjuk untuk tampil
(memimpin/ menjadi imam) padahal ia bukanlah orang yang paling paham urusan
agama ini, juga bukan orang yang paling berilmu, dan sejatinya di tengah-tengah
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

mereka masih ada orang yang lebih paham dan lebih berilmu. Namun, mereka lebih
memilih orang yang tidak berilmu itu demi menghibur mereka dengan irama
nyanyian.” [HR. Ath-Thabarâniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr 13999]
Maksudnya adalah suatu zaman atau keadaan dimana orang-orang
lebih memilih pemimpin atau imam karena faktor suara dan iramanya yang
lebih indah dalam membaca Al-Qur`ân. Padahal, yang semestinya tampil
menjadi pemimpin atau imam adalah orang-orang yang berilmu dan paling
paham agama ini, bukan sekadar mereka yang suaranya enak dan irama Al-
Qur`ânnya indah.
Dalam riwayat yang lain, Nabi bersabda:
َ َ ‫َ ح‬
ُ ّ ‫ّّقُأ َم‬
ُ ‫ّتُق َراؤها‬ ُ ّ ‫ثُمنَاف‬
ُ ‫ك‬ُ ‫أ‬
“Kebanyakan orang-orang munafiq dari umatku (kaum muslimin) adalah
para pembaca Al-Qur`ânnya.” [HR. Ibnul Mubârak dalam Az-Zuhd dan Ahmad]
Az-Zamakhsyariy berkata tentang hadits ini:
“Yang dimaksud nifâq dalam hadits tersebut adalah riyâ` (sikap ingin
selalu pamer), karena baik nifâq atau riyâ memiliki kesamaan dari sisi apa
yang tampak tidak sama dengan apa yang ada di dalam jiwanya. Orang-
orang munafik selalu menampakkan amalan akhirat, namun kenyataannya ia
hanya menginginkan pujian dari manusia dan keuntungan duniawiyah.
Adapun seorang Qâri` (riyâ) maka ia akan selalu menampakkan kepada orang
lain sebagai orang yang beramal hanya untuk mengharapkan Allâh semata,
dan menunjukkan bahwa ia senantiasa mengerahkan jiwanya untuk
mengejar keuntungan akhirat berupa pahala dari-Nya. Ia merasa dirinya
merupakan orang yang ahli dalam Al-Qur`ân, dan ia memandang setiap apa
yang diamalkannya dengan pandangan yang membanggakan dirinya, maka
pada saat itu ia telah sama dengan orang munafik dari sisi “apa yang tampak
berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya”.”
Maka dari itu, hendaknya kita senantiasa memohon perlindungan dan
pertolongan dari Allâh agar Al-Qur`ân yang hari ini kita pelajari dan kita
ajarkan, dapat menjadi penolong kita, bukan justru menjadi sebab yang akan
menghujat kita dan melemparkan kita ke dalam neraka. Wal’iyâdzu billâh.
Sebab dan Tujuan Disusunnya Ar-Râ`iyyah

Marilah kita senantiasa berdoa kepada Allâh  agar Al-Qur`ân menjadi


rahmat dalam kehidupan kita di dunia dan penolong dalam kehidupan kita di
akirat kelak.
َ َ ً َ ََ ََ ً َ َ ‫َ َ ح َحَ ح ح َ ح َ ح ح‬
ُ ‫ُعل حينَا‬ ‫اُولُحجة‬ ‫آنُوٱجع ّلُٱلقرآنُحجةُل‬
ّ ‫ٱللهمُٱرۡحناُبّٱلقر‬
“Yâ Allâh berikanlah rahmat kepada kami dengan Al-Qur`ân, dan
jadikanlah Al-Qur`ân ini sebagai hujjah yang akan menyelamatkan kami di akhirat,
bukan menghujat kami yang akan menjadi sebab kami celaka. Âmîn.”
Kita juga berdoa dan berharap sebagaimana doa yang dipanjatkan An-
Nâzhim agar Allâh menjaga urusan dunia dan agama kita agar senantiasa
tetap berada di atas kebaikan keberkahan-Nya. Juga kita memohon kepada-
Nya agar Dia mengampuni dan memaafkan segala bentuk dosa dan
kesalahan yang terus-menerus kita lakukan. Sesungguhnya Dialah Yang
Maha Memaafkan lagi Maha Pengampun. Âmîn.
Kami juga secara pribadi berharap kepada Allâh agar senantiasa
melindungi dan menolong kami agar kami bisa menyelesaikan terjemah dan
penjelasan Qashîdah ini tanpa tercampuri sifat ingin pamer dan
membanggakan diri sendiri. Âmîn.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Imâm Al-Khâqâniy berkata:


‫ح ۡح‬ ‫ُ ح ۡ ح ح َّ ُ ۡ ح ح‬ ‫ۡ ح‬ ‫ح ُ ۡ ح‬ ‫حح ح‬
ۡ
‫ل ِز وو قِون ٱلجو ِر‬ ‫يضاعِف لوَ ٱّلل ٱ‬ ‫وون أ حِ ح‬
ُ‫اءهۥ‬ ‫سو‬ ۡ
ِ ‫آن أح‬
ِ ‫أيوووا قوووا ِ ٱلاووور‬
“Wahai para Qâri` (pembaca Al-Qur`ân) perbaguslah cara membaca Al-
Qur`ânmu, agar Allâh melipatgandakan balasan bagimu berupa pahala yang
banyak.”

Kosa Kata:
Secara bahasa bermakna “pelaksanaan”, ‫ح‬ ‫ۡحح‬
ُ ‫ٱلِاء‬
“melaksanakan”, “menunaikan”, “menyempurnakan”,
“menuntaskan sebuah pekerjaan”.
Dalam konteks pembelajaran Al-Qur`ân, Al-Adâ`
bermakna keadaan dan cara membaca Al-Qur`ân.
‫ح‬
Dalam konteks pembelajaran Al-Qur`ân istilah ‫َمل ِ ُس ۡٱل حِاءح‬
ۡ‫ح‬
majlisul adâ digunakan untuk keadaan membaca Al-Qur`ân
di hadapan seorang guru dalam rangka mengambil riwayat
atau meriwayatkan.
Secara lebih spesifik, para ulama ahli riwayah
membedakan istilah bagi orang yang mengambil riwayat
dan orang yang meriwayatkan, walaupun dilaksanakan
dalam satu majlis yang sama. Dari sisi murid yang
mengambil riwayat, maka ia sedang melakukan at-
tahammul, dan dari sisi guru yang meriwayatkan, maka ia
sedang melakukan al-adâ.
ۡ ‫ۡح‬
Secara bahasa maknanya “balasan” atau “upah”. ‫ٱلج ِر‬
Secara istilah artinya pahala yang diberikan kepada
seseorang setelah orang tersebut melakukan sesuatu.
Manhaj Yang Lurus Dalam Pembelajaran Al-Qur`ân

Penjelasan:
Dalam bait ini An-Nâzhim memberikan nasihat agar kita senantiasa
mempelajari hukum-hukum tilâwah sampai kita bisa memperbaiki dan
membaguskan cara membaca Al-Qur`ân kita. Usaha itu kita lakukan agar
mendapatkan balasan yang besar dan dan pahala yang agung yang kadarnya
hanya diketahui oleh Allâh . Di antara balasan berharga yang diberikan oleh
Allâh bagi hamba-Nya yang senantiasa berusaha untuk membaguskan cara
membaca Al-Qur`ânnya adalah: mensifati mereka sebagai orang-orang yang
beriman, sebagaimana firman-Nya:
َ ‫َ َٰٓ َ ح‬ َ َ َ َ ‫ح َ َ َح‬ َ َ َ
ُ ‫ونُب ّ ُهّۦُﵤ‬ ُ ّ ‫قُت ّّل َوت ّ ُهّۦُُأولئ‬
ُ ‫كُيؤمّن‬ ُ‫ح‬ ُ ٰ‫ّين َءات حي َنٰهمُُٱلكّت‬
ُ ُ‫بُيتلونهُۥ‬ ُ ‫ﵥٱَّل‬
“Orang-orang yang telah Kami berikan pada merek kitab, mereka
membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya.”
[QS. Al-Baqarah, 2: 121]
Al-Hâfizh Ibn Katsîr meriwayatkan dalam Tafsir-nya, dari Ibn Mas’ûd 
bahwa beliau mengatakan tentang ayat ini:
َ َ ‫ح‬ َ َ َ َ ‫َ َ َ َ َ َح‬ ‫َح‬ َ
ُ ُ ُ‫امهُ ُ َُو ُيَ ُق َُرُأه‬
ُ‫ك َُما‬ َُ ‫ح َُر‬
َُ ُ ُ‫ح اُّرم‬
َُ ُ‫ِل ُ َُوي‬
ُ ‫ّل‬
ُ ‫ح‬ ُ ُ‫ل‬ ُ ّ‫ي‬
ُ ُ‫ن‬ ُ ‫ّل ُو ُت ّ ُهّ ُُأ‬
ُ ّ ‫ق ُ ُت‬
ُ‫ح‬ُ ُ‫ن‬ ُ ّ ‫ ُُإ‬,ّ ‫س ُ ُب َُّي ُّد ُه‬ ُّ ‫َُوٱ‬
ُ ّ ‫َّلي ُ ُن ُف‬
‫َ َ َََ َ ح َ ح ً ََ َ ح َح‬ َ َ َ َ ‫َحََ َ ََ َا َ ح‬
.ّ‫ريُ ُت ُأ ُوّي ُل ّ ُه‬
ُّ ‫غ‬ ُ ُ‫لَع‬
ُ ُ‫ش ُي ُئا‬ ُ ُُ‫لُ ُي ُت ُأ ُو ُلُ ُّم ُنه‬ َ
ُ ‫ُ ُو‬,ّ‫اضعُّ ُه‬ َ
ُّ ‫نُ ُم ُو‬ ‫ح‬
ُ‫ع‬ ُ ُ‫ك ّ ُم‬ ُ ‫فُٱ ُل‬ ُ ‫ي ُّر‬
ُ ُ‫ل‬ ُ ‫ُ ُو‬,‫لِل‬
ُ ‫ِلُٱ‬
ُ ‫ُأُن ُز‬
“Demi Allâh yang jiwaku berada dalam genggaman kekuasaan-Nya,
sesungguhnya “membaca dengan sebagaimana mestinya” artinya adalah
menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang
diharamkannya, membacanya sebagaimana Allâh menurunkannya, tidak
mengubah-ubah kalimat dari tempatnya masing-masing, dan tidak menafsirkan
sesuatu dari Al-Qur`ân dengan tafsir yang tidak benar (tafsir yang datang dari diri
sendiri tanpa ilmu.”
“Menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang
diharamkannya,” artinya adalah tunduk di bawah hukum Allâh  dan
ketentuan Rasul-Nya  dalam segala sendi kehidupan. Allâh  berfirman:
َ َ َ ‫َ َ َ َ َحَ ح‬ ‫َ َ َ َ ا‬
َ ‫كّم‬ ٰ ‫ََ ََا َ َ ح‬
ُ‫ُيدواُ ُ ِّف‬
ّ ُ ُ
‫ل‬ ُ ُ
‫م‬ ‫ث‬ ُ ُ
‫م‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫ب‬ُ ُ
‫ر‬ ‫ج‬ ‫ش‬ُ ‫ا‬ ‫ّيم‬ ‫ف‬ُ ُ
‫وك‬ ‫ي‬ ُ ُ
‫ّت‬ ‫ح‬ ُ
‫ون‬ ‫ّن‬
‫م‬ ‫ؤ‬ ‫ل ُي‬
ُ ُ‫ك‬ُ ّ ‫ّل ُورب‬ ُ ‫ﵥف‬
ٗ ّ ‫تُ َوي َس الّمواُُت َ حسل‬ َ َ َ
‫يماﵤ‬ َُ ‫س ّه حُمُ َح َر ٗجاُ ام َّماُقض حي‬
ّ ‫أنف‬
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga


mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim (pemegang putusan)
dalam setiap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
sedikitpun keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan
dan mereka menerima putusan tersebut dengan sepenuh hati mereka.” [QS. An-
Nisâ, 4: 65]
“Membacanya sebagaimana Allâh menurunkannya,” artinya adalah
membacanya dengan bahasa, cara, dan gaya membaca orang-orang Arab
yang hidup pada masa nubuwwah (zaman kenabian), yakni para Sahabat .
Karena mereka menyimak secara langsung bagaimana Rasûlullâh 
membacakannya kepada mereka, dan inilah bacaan yang sangat dicintai
Allâh . Dari Zayd bin Tsabit, Nabi  bersabda:
َ ‫َ ح‬ ‫َ َ َ ُّ َ ح ح َ َ َ ح‬
ُ‫نُيُ ُق َرأُهذاُٱ ُلق حُر َءانُُك َماُأُن ّزل‬
ُ ‫ُيّبُأ‬
ُ ‫إّنُٱلِل‬
“Sesungguhnya Allâh menyukai Al-Qur`ân ini dibaca sebagaimana dahulu
diturunkan”. [Al-Imâm Ibnul Jazariy dalam An-Nasyr menyandarkan riwayat ini
pada Al-Imâm Ibnu Khuzaimah]
Oleh karena itu, kita juga diperintahkan untuk membaca Al-Qur`ân
dengan dialek dan gaya bahasa orang-orang Arab yang fasih, yakni dialek dan
gaya bahasa para Sahabat . Diriwayatkan dari Hudzayfah bin Al-Yaman,
Rasûlullâh  bersabda:
َ
َ ‫ون ُأهل ُٱلك َّتابَي‬ َ ‫ُوإيَكم‬
َ ‫أص َوات َّها‬‫ُو ح‬ ‫ح‬
َ ‫ُٱل َع َرب‬ َ َ‫حَ ح ح ح‬
ُ‫أهل‬
ّ ‫ُو‬ ّ ّ ‫ۡل‬ ‫ُو‬ ُ ّ ‫ن‬
ّ ‫و‬‫ح‬ ‫ل‬ّ ‫ٱقرءوا ُٱلقرء‬
‫ب‬ُ ‫ان‬

ُ‫سق‬
ّ ‫ٱل ّف‬
“Bacalah Al-Qur`ân dengan dialek orang Arab dan suara-suaranya yang
fasih. Dan berhati-hatilah kalian dari dialeknya Ahli Kitab dan langgamnya orang-
orang fasik.” [HR. Ath-Thabarâniy dan Al-Bayhâqiy]
Ibnul Jawziy mengatakan dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah [1/ 111] bahwa
sanad hadits ini tidak shahih dan Asy-Syaikh Al-Albaniy mendhaifkan hadits
ini dalam Dha’îful Jâmi’ [1067].
Walaupun sanad hadits ini terdapat perbincangan di dalamnya,
namun para Ulama Ahli Qiraat menyepakati keharusan membaca Al-Qur`ân
Manhaj Yang Lurus Dalam Pembelajaran Al-Qur`ân

dengan dialek Arab dan mengikuti bahasanya yang paling fasih. Berkaitan
dengan hal ini, Al-Imâm Ibnul Jazariy berkata dalam Thayyibatun Nasyr:
‫ًَ َ ً ح‬ ََ‫ح‬
ُ ّ ‫م َرتّلُُم َوداُبّٱل َع َر‬
ُ‫ب‬ ُ ُ‫ب‬ ‫َ ح ح َ ح‬
ّ ‫معُحس ّنُصو ٍتُبّلحو ّنُٱلعر‬
“Dengan suara yang indah, yakni: dengan dialek Arab, dengan tartîl
(khusyu’ dan tadabbur), dengan tajwid (tepat makhrajnya dan sempurna
sifatnya), serta dengan bahasa Arab (yang paling fasih).”
Lebih dari itu, Al-Imâm Ibnul Jazariy juga menegaskan kewajiban
mempraktikkan tajwid saat membaca Al-Qur`ân dalam Muqaddimah-nya.
Beliau mengatakan,
َ ‫ح‬ َ َ ‫َح‬ ‫َ حَح‬
ُ ‫َمن ل حُم ُيَ اوّدّ ٱُلق َر‬
ُ ُ‫ان آث ّم‬ ُ ُ‫لزّم‬
ُ ُ‫جوّي ُّد ح ُتم‬‫ح‬ َ
ُ ‫خذُ بّاتل‬ ُِ ُ ‫ُوٱ‬
َ َ َ َ ‫َ َٰ َ َ ح َح‬ َ َ ‫ح َٰ َ ح‬ ََ
ُ ُ‫صّل‬ ‫وهُكذا مُّنُهُ إُ ِّلُنا و‬ ُ ُ ُ ‫ل‬ ُ ‫ل ُلهُ أُنز‬ ُّ ‫ِنهُ ب ّ ُهّ ٱ‬ ُّ
“Dan mengamalkan tajwid merupakan kewajiban yang hukumnya tetap
bagi seluruh muslim mukallaf. Siapa saja orang yang sengaja tidak mengamalkan
tajwid saat membaca Al-Qur`ân (sampai mengubah makna), maka ia berdosa,
Karena bersama dengan tajwid Allâh menurunkan Al-Qur`ân dan cara
membacanya. Serta bersama dengan tajwid pula Al-Qur`ân dan cara membacanya
dari-Nya sampai kepada kita.”
“Tidak mengubah-ubah kalimat dari tempatnya masing-masing,” ini adalah
peringatan agar kita menjauhkan diri dari lahn (kekeliruan lidah) yang dapat
mengubah makna Al-Qur`ân sekaligus peringatan agar kita tidak mengubah
isi kandungan Al-Qur`ân, dimana para ulama sudah sepakat akan
keharamannya. Bahkan, siapa saja yang sengaja mengubah ayat demi ayat,
kalimat demi kalimat, atau huruf demi huruf di dalam Al-Qur`ân, maka ia
dapat dihukumi sebagai orang yang kufur lagi tidak beriman. Adapun rincian
permasalahan lahn akan kami uraikan pada penjelasan bait-bait berikutnya.
“Tidak menafsirkan sesuatu dari Al-Qur`ân dengan tafsir yang tidak benar
(tafsir yang datang dari diri sendiri tanpa ilmu).” Ini merupakan peringatan bagi
siapa saja yang berani menafsirkan Al-Qur`ân sesuai dengan kehendak dirinya
tanpa ilmu. Sungguh, peringatan yang keras telah disampaikan oleh Nabi 
berkaitan dengan hal ini:
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

‫َح َ ح ح‬ َ َ ‫َ ح‬
َُ ‫رآنُبّرأي ّ ُهُّف ُل َيت َُب َُوُأُ َم ُق َع َدهُُم‬
ُ َ‫ّنُٱل‬
ُ ّ‫ار‬ ُّ ‫ِفُٱلق‬
ُ ّ ُ‫ال‬
ُ ‫ن ُق‬
ُ‫م‬
“Siapa saja yang berbicara tentang Al-Qur`ân berdasarkan pendapat
pribadinya semata, maka bersiap-siaplah untuk menempati tempat duduknya di
neraka.” [HR. At-Tirmidziy 2951 dan Ahmad]
Dalam lafazh Abû Dâwûd:
‫ح ََ َ َ ََ ح َ ح َ ح‬ َ َ ُ ُ‫ال‬َ َ ‫َ ح‬
‫طُأ‬
ُ ُ‫ابُ ُف ُق ُدُُأخ‬
ُ ‫ص‬ُ ‫ُُب ّ َُرُأ ُي ّ ُهُّ ُف ُأ‬ُّ‫ابُٱلِل‬
ّ ‫ِفُكّت‬
ّ ُ ‫نُ ُق‬
ُ ‫ُم‬
“Siapa saja yang berbicara tentang kitab Allâh berdasarkan pendapat
pribadinya semata, dan ternyata pendapatnya tersebut benar, maka ia tetap
melakukan kesalahan (karena tidak menafsirkannya dengan ilmu).” [HR. Abû
Dâwûd]
Dalam lafazh Razîn, terdapat tambahan:
َ َ َ ‫َ َ ح َ َ َح ََ ح َ ح ََ ح‬
ُ ‫ك ُف ُر‬
ُ ُ‫ط ُأُ ُف ُق ُد‬
ُ‫خ‬ُ ‫الُُب ّ ُرُأ ُي ّ ُهُّ ُف ُأ‬
ُ ‫نُ ُق‬
ُ ‫ُو ُم‬
“Dan siapa saja yang berbicara tentang Al-Qur`ân berdasarkan pendapat
pribadinya semata dan ternyata ia salah, maka sesungguhnya ia telah berada pada
kekufuran.” [Jam’ul Fawâid]
Syaikhul Islâm Ibn Taymiyyah memberikan penjelasan mengenai
peringatan-peringatan dalam hadits-hadits di atas:
َُ ‫غ ح‬
َُ‫ري ُ َُما ُأم ُّر‬ َ َ َ ََ َ َ ‫َح ََ ح َ َ ََ َ َ ح‬ ‫ح‬ َ َ َ
ُ ُ‫ك‬ ُ ‫س ُل‬ُ ‫ ُ ُو‬,ّ‫ِل ُُب ّ ُه‬ُ ُ ‫ع ُل ُم‬
ُّ ُ ‫ل‬ُ ُ ‫ف ُ ُما‬ ُ ‫ك ُل‬ ُّ ‫ِف ُٱ ُلقُ حُر‬
ُ ‫آن ُُب ّ ُرُأ ُي ّ ُهّ ُ ُف ُق ُد ُ ُت‬ ُ ‫ُف َُمن ُ ُق‬
ُ ّ ُ ‫ال‬
َ ‫ح‬ ‫ح‬ َ ‫ح َح َ َ َ َ ح َ ح َ َ ََ َح َح ح‬ ‫َح‬ َ ‫ح‬ َ ‫ََح ََ َ َ َ ح‬
ُ,ّ‫ن ُُباُب ّ ُه‬ َ
ُ ّ‫ِ ُم ُر ُم‬ ُ ‫ت ُٱ‬
ُّ ‫ُِنهُُُل ُمُُي ُأ‬ ُّ ُ,‫ط ُأ‬ ُ‫خ‬ ُ ‫نُ ُق ُدُُأ‬
ُ‫ك‬ُ ‫ِ ُم ُّر ُُل‬
ُ ‫س ُٱ‬ُ ّ ‫ِفُ ُن ُف‬ ُ ّ ُ‫ن‬ٰ
ُ ‫اب ُٱُل ُم ُع‬ ُ ‫ص‬ ُ ‫ُ ُف ُل ُو ُ ُأُنهُ ُُأ‬,ّ‫ُب ّ ُه‬
‫ح‬ َ ‫ح‬ َ ‫َ َٰ َ ح‬ ‫َ َ ح َ َ ح‬
ُ .‫اب‬ ُ َ ‫كمُهُُٱ‬
َُ ‫لص َُو‬ ُ ُ‫قُح‬ َُ ‫اف‬ُ ‫نُ َُو‬
ُ ‫ُِإَو‬,ّ‫لَا ُر‬ ُ ّ ُ‫لُ ُفهُ َُو‬
ُ ‫ِفُٱ‬ ٍُ ‫ج ُه‬ ُ ُ‫لَع‬ ُ ُ‫اس‬ ُ ّ َ‫ل‬ ُ ‫يُٱ‬ َُ ‫ك َُمُ َُب‬
ُ ‫ح‬ ُ ُ‫ن‬ ُ ‫ك ُم‬ ُ
“Siapa yang berbicara tentang Al-Qur`ân dengan pendapat pribadinya
semata, maka sungguh ia telah membebani dirinya dalam hal yang ia tidak
memiliki pengetahuan tentangnya. Dan ia telah menempuh jalan yang tidak
diperintahkan. Kalau ternyata perkataannya itu benar dengan makna yang
sebenarnya, maka ia dianggap telah bersalah. Sebab, ia tidak menempuh perkara
sesuai dengan prosedurnya. Seperti orang yang mengadili antar manusia di atas
kebodohan, maka ia akan di neraka (sebagaimana disebutkan dalam hadits, pen.),
walaupun keputusannya ternyata benar.”
Manhaj Yang Lurus Dalam Pembelajaran Al-Qur`ân

Hadits tentang hakim yang memutuskan perkara tanpa ilmu adalah


sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Tirmidziy berikut:
َ ‫َ ح حَ ا‬ َ َ َ َ َ ََ َ ‫ح‬
ُ‫ق ُف َعل ّ َُم‬
ُّ ‫ۡل‬
ُ ‫ري ُٱ‬ ُ ‫ ُ َرجلُ ُق‬.‫ل َن ُّة‬
ُّ ‫ض ُبّغ‬ َ ‫ِف ُٱ‬ ُ ٍ ‫ارّ ُ َوق‬
ُ ّ ُ ‫اض‬ ُ َ‫ِف ُٱل‬ ُّ ‫اض َي‬
ُ ّ ُ ‫ان‬ ّ ‫ ُق‬:ُ‫ّلثة‬ ُ ‫ُٱلقضاةُ ُث‬
َ َ ََ َ َ َ َ َ ‫َح َ ََح‬ َ ََ َ َ
ُٰ‫ض‬
ُ ‫اض ُق‬ ُ ٍ ‫ ُوق‬.ّ‫ار‬
ُ ‫ِف ُال‬ َ
ُ ّ ُ ‫اس ُفه ُو‬ َ
ُ ّ ‫وق ُٱل‬
ُ ‫ك ُح ق‬ ُ ‫اض ُلُّ ُي ُعلمُ ُفأ ُهل‬ ُ ٍ ‫ ُ َوق‬.ّ‫ار‬ ُ َ‫ِف ُال‬ َُ ‫اك ُفذ‬
ُ ّ ُ ‫اك‬ ُ ‫ذ‬
َُ‫ِفُٱ ح‬
َّ‫لن ُة‬ ُ ّ ُ‫ّك‬
َ َٰ َ ‫حَ ا‬
ُ ‫قُف ُذل‬ُّ ‫ۡل‬
ُ ‫ُب ّٱ‬
“Hakim itu ada tiga: dua di neraka dan satu di surga. Seorang hakim yang
memutuskan hukum tidak berdasarkan kebenaran padahal ia mengetahuinya,
maka ia di neraka. Seorang hakim yang memutuskan hukum tanpa ilmu sehingga
hilanglah hak-hak manusia, maka ia juga di neraka. Dan seorang hakim yang
memutuskan berdasarkan kebenaran, maka ia di surga.” [HR. At-Tirmidzi 1322)
Apa yang kami uraikan di atas kiranya dapat menjadi pelajaran bagi
kita semua, bahwa dalam husnul adâ, terdapat makna yang sangat luas lagi
mendalam. Karena sejatinya “membaca Al-Qur`ân dengan sebagaimana
mestinya” bukan hanya berkaitan dengan ketepatan dalam melafazhkannya,
melainkan bagaimana Al-Qur`ân bisa menghiasi kehidupan para pembacanya
dalam iman, amal, dan akhlaknya.
Abû Amr Ad-Dâniy mengatakan: “Wajib bagi setiap ahlul qurân
mempelajari dasar-dasar tilâwah yang benar, yang dengan itu ia bisa
mentajwidkan setiap lafazh Al-Qur`ân. Juga hendaknya ia mengarahkan
jiwanya untuk mempelajari semua itu dari para imam yang telah jelas menjadi
rujukan dan para ahli qiraat yang telah diakui kapasitasnya. Sesungguhnya
seorang qâri` apabila ia telah berhasil membaguskan cara membaca Al-
Qur`ânnya serta memahami hakikat bacaan Al-Qur`ân yang dibacanya, serta
mengambil riwayat tersebut dari para ulama yang terpercaya kebaikan dan
pemahaman agamanya, yakni para ulama yang selamat dari hawa nafsu dan
bid’ah yang tercela, para ulama yang memahami dengan baik bahasa yang
dengannya Al-Qur`ân turun, para ulama yang berpegang teguh pada jejak
para imam terdahulu, kemudian ia senantiasa menanamkan pada dirinya
untuk tidak mengharapkan sesuatu dari pengajarannya kecuali
mengharapkan balasan dari Allâh semata, maka tidak diragukan lagi balasan
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

yang berlipat ganda akan ia dapatkan serta pahala yang begitu banyak akan
ia raih.”

Al-Imâm Al-Khâqaniy mengatakan:


ۡ ُ ۡ ‫ح ح ُم‬ ُ ‫ يُ ِا‬2 ‫ون حي ۡتلُووو ٱ ۡلك حِتووا ح‬ ‫ح ح ُم‬
‫ون ِ ٱۡلَّووا ِ ُياو ِرئ ُه ۡف ُقاو ِري‬
ۡ ‫ُّ حق‬ ‫و‬ ‫يمو ُ ۥ‬ ۡ ‫ُّ حقو‬ ‫فمووا‬
“Maka tidaklah setiap orang yang membaca Al-Qur`ân bisa
menegakkannya (membacanya dengan tepat dan mengamalkan isi
kandungannya), dan tidak setiap orang yang mengajarkan Al-Qur`ân kepada
manusia disebut Muqri`.”

Kosa Kata:
ُ
Secara bahasa bermakna “mengikuti” atau ُ ‫حي ۡتلو‬
“mengiringi”, sebagaimana firman Allâh :
ََ َ َ‫ح‬
‫ﵥ َُوٱلق َُم ُّرُإّذاُتلى ٰ َهاﵤ‬
“Dan bulan apabila mengiringinya,” [Asy-Syams, 91: 2]
Secara istilah, Syaikh Ayman Rusydi Suwayd
membedakan antara tilâwah dengan qirâah. Tilâwah adalah
bacaan Al-Qur`ân yang sudah menjadi wirid harian. Disebut
tilâwah karena ia dilakukan secara rutin dan terus menerus.
Secara bahasa bermakna “membacakan”, ُ ُۡ ‫حۡحح‬
‫ يا ِر‬- ‫أقرأ‬
“mengajarkan cara membaca”, “memperbanyak bacaan”,
“membaguskan bacaan”.
‫ح ح‬
Maka (ُ‫ ) ُٱلم ُق ّرئ‬artinya: “orang yang membacakan”,
“orang yang mengajarkan”, “orang yang memperbanyak dam
membaguskan bacaan”.

Penjelasan:
Dalam bait ini, An-Nâzhim menyebutkan dua keadaan yang realitanya
bisa jadi tidak sebagaimana yang tampak. Pertama, bahwa tidak setiap orang
yang membaca Al-Qur`ân bisa menegakkannya. Baik dari sisi cara
membacanya atupun mengamalkan apa yang dibacanya. Al-Imâm Ibnul
2
Pada catatan kaki naskah asalnya tertulis: )‫“ (أي القرآن‬maksudnya adalah Al-Quran”.
Manhaj Yang Lurus Dalam Pembelajaran Al-Qur`ân

Jazariy  dalam An-Nasyr (I/ 696) menyebutkan bahwa para pembaca Al-
Qur`ân terbagi menjadi tiga:
1) Muhsin Ma`jûr. Yaitu orang yang diberikan karunia oleh Allâh untuk
bisa mempelajari tajwîd, kemudian lidahnya bisa menyempurnakan
bacaan Al-Qur`ân dengan lafazh yang fasih, menjaga maknanya,
menunaikan setiap hak dan mustahaknya, mereka adalah orang-orang
yang mendapatkan kedudukan mulia di sisi-Nya.
2) Musî` Âtsim. Yaitu orang yang memiliki kemampuan untuk membaca
kalâmullâh dengan lafazh yang shahîh dan bahasa Arab yang fasih,
namun ia justru memilih lafazh-lafazh yang rusak dari pengaruh
bahasa non Arab atau bahasa ‘âmiyah yang buruk. Kemudian ia
berbangga dengan dirinya, bersikeras dengan pendapat dan
hafalannya, merasa enggan dan sombong untuk kembali belajar di
hadapan ulama yang bisa membetulkan bacannya. Maka orang yang
seperti ini termasuk orang yang menganggap remeh dan tidak
diragukan lagi bahwa ia berdosa karenanya.
3) Musî Ma’dzûr. Yaitu orang yang belum sanggup meluruskan lisannya,
atau belum menemukan orang yang membimbingnya menuju bacaan
yang benar, maka Allâh tidak membebani kepada seseorang di luar
kemampuannya.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi :
َ َ ‫الس َف َرُة ّ ُٱ حلك َّرا ُّم ُٱ حل‬ ‫ح‬ ‫ح‬ َ َ َ ‫َ َ ح‬ َ َ َ
ُّ ‫ّب َرُة‬ َ ُ ‫ن ُ َم َُع‬
ُّ ‫ ُ ُٱل َماهّرُ ُبّالق حرآ‬ُ ّ‫لِل‬
ُ ‫ال ُ َرسولُ ُٱ‬ُ ‫ت ُق‬ ُ ‫ ُقال‬ُ ‫ن ُ ََعئّش ُة‬
ُ‫ع ح‬
َ َ ‫َ َ َح َ ا‬ َ َ ‫َ َ َحَ ح ح‬
ُّ ‫ِلُأ حج َرا‬
‫ن‬ ُ ‫آنُ َويَت َت حع َتعُُفّي ُهُّوه َُوُعلي ُهُّش‬
ُ ُ‫اق‬ ُ ‫ُوٱَّلّىُيقرأُُالقر‬
Dari ‘Â`isyah  meriwayatkan bahwa Rasûlullâh  bersabda: “Seorang
yang lancar membaca Al-Qur`ân akan bersama para malaikat yang mulia dan
senantiasa taat kepada Allâh. Adapun yang membaca Al-Qur`ân dan terbata-bata
di dalamnya, serta terasa sulit baginya untuk melafazhkan bacaan tersebut, maka
baginya dua pahala.” [HR. Muslim 798]
Abû ‘Amr Ad-Dâniy mengatakan: “Setiap orang yang telah
menghafalkan Al-Qur`ân dari mushaf, atau belajar kepada orang yang tidak
memiliki ilmu dalam qiraat serta tidak pula dalam pemahaman mentajwidkan
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

setiap lafazh Al-Qur`ân, kalau ia tidak mengarahkan jiwanya untuk


mempelajari semua itu dari para ulama yang ahli dan telah menegakkan Al-
Qur`ân, maka ia – dengan kemampuan bacaan dan hafalan yang dimilikinya
– belum disebut menegakkan Al-Qur`ân sesuai dengan batasnya yang tepat.
Sehingga bacaannya sangat mungkin terbaca tidak dengan cara baca yang
benar, walaupun ia menghafalnya dengan kuat dan sanggup membacanya
dengan begitu cepat. Karena ia tidak memiliki ilmu dalam kaidah-kaidah yang
dengan semua itu bisa membawanya kepada tajwîdut tilâwah, haqîqatul
qirâ’ah, dan tajwîdur riwâyah.”
Kemudian yang kedua, An-Nâzhim mengabarkan kepada kita bahwa
realitanya, tidak setiap orang yang mengajarkan Al-Qur`ân merupakan
seorang Muqri` dalam arti khusus. Dari sudut pandang bahasa, siapa saja
yang mengajarkan cara membaca Al-Qur`ân, menyimak bacaan murid-
muridnya, dan membacakan kepada mereka Al-Qur`ân untuk diikuti
bacaannya adalah seorang Muqri`. Namun, istilah Muqri` tidak sembarangan
diberikan kepada setiap orang yang mengajarkan Al-Qur`ân, karena para
ulama telah memberikan batasan dan kriteria tertentu atas istilah ini.
Hari ini banyak orang yang tidak memahami kriteria Qâri` ataupun
Muqri`, sehingga mereka mengira setiap orang yang enak suaranya dan indah
iramanya saat membaca Al-Qur`ân pasti seorang Qâri`. Kemudian mereka
juga mengira bahwa setiap orang yang duduk untuk menyimak bacaan Al-
Qur`ân, mengoreksinya, meneria setoran hafalannya, memiliki murid yang
banyak, pasti disebut sebagai seorang Muqri`. Dalam hal itu mereka mengira
kedudukannya sama dengan para Qâri` dan Muqri` yang sesungguhnya. Ini
merupakan bencana yang menimpa orang-orang ‘awâmm di tengah-tengah
kaum muslimin.
Ketahuilah bahwa seorang Muqri` yang sesungguhnya adalah
seseorang yang bertalaqqi Al-Qur`ân secara musyâfahah (dari lisan ke lisan),
dan ia mendapatkannya dari para ulama dan masyâyikh yang mahir lagi
mutqin. Ia pun telah diakui keseriusan dan keahliannya dalam belajar,
mengajar, membaca, dan mengajarkan sehingga ia mendapatkan ijâzah
qirâ`ah wal iqrâ dari guru-gurunya. Yakni izin untuk mengajarkan apa yang
telah ia dapatkan selama belajar.
Manhaj Yang Lurus Dalam Pembelajaran Al-Qur`ân

‘Allâmah Adh-Dhabbâ’ mengatakan: “Al-Muqri` adalah orang yang


memahami cara membaca variasi qiraah, dan meriwayatkannya secara
musyâfahah dimana ia telah mendapatkan ijâzah dari guru-gurunya untuk
mengajarkan orang lain. Sedangkan Al-Qâri` adalah orang yang telah
mengumpulkan variasi qiraah secara hafalan di dalam hatinya. Al-Qâri` ada
yang pemula, pertengahan, dan mahir. Qâri` pemula adalah yang telah
membacakan tiga riwayat secara ifrâd (membaca setiap riwayat sampai
khatam), sedangkan yang pertengahan adalah yang telah membaca empat
atau lima riwayat, sedangkan tigkat mahir adalah yang telah menguasai
variasi qiraat lebih dari itu semua.”
Abû ‘Amr Ad-Dâniy mengatakan: “Setiap pengajar Al-Qur`ân yang
pengajarannya hanya bersandar pada mushaf atau buku yang ia dapatkan
dari pasar, dimana ia tidak mendapatkannya secara riwâyah, dan tidak
memahami dirâyah-nya secara mendalam, ia pun tidak duduk belajar di
hadapan para ulama, juga tidak berkumpul dengan orang-orang yang paham,
juga tidak memperbanyak menyetorkan bacaan Al-Qur`ânnya kepada para
ahli qiraat, ia pun tidak bertanya dan berdiskusi untuk menanyakan sesuatu
kepada para ulama yang sesuatu itu padahal seharusnya wajib ditanyakan
sehingga ia bisa menguak hakikat ilmu, ia pun tidak memiliki pembimbing
yang dapat membimbing lisannya secara langsung, yang memberitahukan
kepadanya mana yang keliru dan mana yang sudah benar, maka hakikatnya
ia bukanlah seorang Muqrî`. Walaupun orang-orang ‘awâmm mengenalnya
sebagai seorang pengajar Al-Qur`ân dan seorang Muqrî’ disebabkan
ketidakpahaman mereka. Bahkan, ia sebetulnya telah menyempal dari Muqrî`
yang sebenarnya. Maka bertaqwalan engkau sekalian kepada Allâh  yang
bisa jadi sebagian sifat ini masih ada pada dirimu. Janganlah sesekali engkau
menyetorkan bacaanmu kepada orang yang tidak memiliki keahlian dan ilmu
dalam bidang ini.”
Para ulama mengatakan:
َ ‫ح ح‬ ‫َ َح‬ ‫َ َ ح َ ح ح َ َ َٰ ح‬
‫ا‬ َ َ
ُ .‫نُٱلصحفّيّي‬
ُّ ‫ع‬ َ
ُ ُ‫لُُت ُأخُ ُّذُٱ ُلعُّ ُل ُم‬ ُ ‫لَعُٱُلم ح‬
ُ ‫ُ َُو‬,‫ص َحفّ ايّي‬ ُ ُ‫آن‬
ُ ‫لُ ُت ُق ُرأُٱ ُلقُ ُر‬
ُ
“Janganlah engkau membacakan Al-Qur`ân pada para mushhafiyyîn, dan
janganlah engkau mengambil ilmu dari para shahafiyyîn.”
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Mushhafiyyûn adalah orang-orang yang hanya mengandalkan mushaf


dalam belajar dan mengajarkan Al-Qur`ân, mereka tidak memiliki riwayah
yang shahih dan tidak memahami dirayah yang diwariskan dari guru-gurunya.
Shahafiyyûn adalah orang-orang yang hanya mengandalkan buku
dalam belajar dan mengajarkan ilmu atau hadits. Mereka tidak memiliki guru
yang membimbing mereka, baik dari sisi riwâyah ataupun dirâyah.
Kemudian yang mesti kita pahami adalah bahwa kadangkala
seseorang memiliki kemampuan dalam membaca Al-Qur`ân dan memahami
kaidah-kaidahnya dengan baik, namun di sisi lain ia tidak memiliki keahlian
dalam mengajarkan dan membacakannya kepada orang lain disebabkan satu
dan beberapa hal. Maka gurunya tidak memberikan ijâzah padanya untuk
mengajar. Dalam keadaan demikian, walaupun kemampuan dan keahliannya
terhadap variasi qiraat begitu luas dan dalam, namun ia tidak bisa disebut
sebagai Al-Muqrî, namun ia tetap berada dalam derajat Al-Qâri`.
Maka dari itu, siapa saja yang telah mendapatkan ijâzah dari gurunya
untuk mengajar dan membacakan Al-Qur`ân kepada orang lain, maka ia
dapat disebut sebagai Al-Muqrî. Adapun yang tidak mendapatkan ijâzah dari
gurunya, walaupun ia mengajarkan Al-Qur`ân, tidak disebut sebagai Al-Muqrî`.
Dengan syarat yang pertama: orang yang mengijazahkan padanya adalah
seorang yang terpercaya, amanah, lagi mutqin, bukan orang yang bermudah-
mudah dalam memberikan ijâzah atau tidak memiliki keahlian di dalamnya.
Kemudian yang kedua: proses tahammul wal adâ-nya dijalani sesuai dengan
syarat-syarat yang telah disepakati keabsahannya menurut para ulama ahli
qiraat.
Diriwayatkan dari Ad-Dâniy bahwa Ibn Mujâhid mengatakan:
“Penghafal Al-Qurân ada empat golongan:
1. Golongan yang fasih dalam berbicara (sesuai i’râb) dan memahami
kaidah i’râb serta qiraat. Mereka pun memahami kaidah bahasa dan makna
kalâm. Mereka memahami cacat-cacat qiraah yang menyimpang dari âtsâr.
Merekalah imam yang akan menjadi rujukan para huffâzh dari seluruh
penjuru dunia.
2. Golongan yang fasih dalam berbicara (sesuai i’râb) dan tidak
terjatuh pada lahn. Namun ia tidak memahami kaidah-kaidahnya. Seperti
Manhaj Yang Lurus Dalam Pembelajaran Al-Qur`ân

orang Arab dusun yang membaca Al-Qur`ân sesuai dengan bahasa mereka
yang fasih, dan lidah mereka tidak menyimpang dari yang benar.
3. Golongan yang mempelajari Al-Qur`ân dari guru, namun tidak
memahami kaidah i’râb. Ia merupakan penghafal Al-Qur`ân, namun
disebankan ketidaktahuannya terhadap i’râb dan makna kalâm ia terkadang
lupa atau keliru karena banyaknya lafazh-lafazh Al-Qur`ân yang serupa
namun beda maknanya. Golongan ini benar-benar hanya bersandar pada
hafalannya dan apa yang didengar dari gurunya semata. Karenanya, mereka
tidak bisa dijadikan sandaran dan nukilan dari mereka tidak bisa menjadi
hujjah.
4. Golongan yang memahami i’râb dan kaidah-kaidah bahasa yang
terkandung di dalamnya. Namun ia tidak memahami ilmu qiraah dan
variasinya yang shahih dari para ulama. Dalam keadaan seperti itu ia mungkin
akan membaca Al-Qur`ân dengan lafazh yang shahih dari sisi i’râb dan bahasa
Arab, namun tidak pernah diriwayatkan oleh para ulama terdahulu. Mereka
adalah para ahli bid’ah.
Perkataan semisal ini juga diriwayatkan dari Nashr bin Yûsuf An-
Nahwiy. Wallâhu a’lam.”
Ad-Dâniy meriwayatkan dari Ibn Abî Mulaykah sebuah kisah yang juga
tercatat dalam Muqaddimah Tafsir Al-Qurthubiy, bahwa pada masa Sayyidinâ
‘Umar , seorang A’rabiy (Arab pedalaman) pernah datang untuk diajarkan
Al-Qur`ân. Maka seseorang mengajarkannya, dan pada saat sampai pada
surat At-Tawbah ayat ke-3, ia mengajarkan dengan bacaan jarr/ kasrah:
َ َ َ ‫ا َ ح ح‬ َ َ َ ََ
‫وِلّﵤ‬
ُّ ‫يُ ُورس‬
ُ ّ ‫ّش ُك‬
ُّ ُ‫نُٱُلم‬
ُ ‫لِلُُب ُّريُءُُ ُّم‬
ُ ‫نُٱ‬
ُ ‫ﵥُأ‬
A’rabiy itu kemudian berkata:
َ َََ َ َ َ َ َ ‫ََ ح‬
ُ .ُ‫وِلُّ ُف ُأُناُُأُبح َُرأُُ ُّمنه‬ ُ ّ‫لِلُبَر‬
ُّ ُ‫ئُمّنُ َُرس‬ ُّ ُ‫وِلّ؟ُُإ ّنُُي َك‬
ُ ‫نُٱ‬ ُ‫لِلُم ح‬
ُّ ُ‫ّنُ َُرس‬ ُ ‫ئُٱ‬
ُ ‫قدُب ُّر‬
ُ ‫أو‬
“Apakah Allâh sungguh telah berlepas diri dari Rasul-Nya? Apabila
kenyataannya Allâh telah berlepas diri dari Rasul-Nya, maka aku pun berlepas diri
dari Rasul-Nya.”
Hal inipun disampaikan kepada Sayyidinâ ‘Umar, maka beliau berkata
kepada si Arab dusun: “Wahai A’rabiy, apakah engkau benar-benar berlepas
diri dari Rasûlullâh ?” Ia pun menjawab: “Wahai Amîral Mu’minîn, aku
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

datang ke Madinah dalam keadaan tidak memiliki ilmu terhadap Al-Qur`ân,


maka akupun meminta kepada orang-orang di sini untuk mengajarkan Al-
Qur`ân kepadaku. Kemudian ada orang yang mengajarkanku Al-Qur`ân dan
membacakannya kepadaku ayat:
َ َ َ ‫ا َ ح ح‬ َ َ َ ََ
‫وِلّﵤ‬
ُّ ‫يُ ُورس‬
ُ ّ ‫ّش ُك‬
ُّ ُ‫نُٱُلم‬
ُ ‫لِلُُب ُّريُءُُ ُّم‬
ُ ‫نُٱ‬
ُ ‫ﵥُأ‬
Maka aku pun bertanya kepadanya, Apakah Allâh sungguh telah
berlepas diri dari Rasul-Nya? Apabila kenyataannya Allâh telah berlepas diri
dari Rasul-Nya, maka aku pun berlepas diri dari Rasul-Nya.”
Sayyidunâ ‘Umar pun berkata kepadanya: “Bukan demikian bacaan
yang benar wahai A’rabiy.”
A’rabiy itu bertanya: “Lalu bagaimana bacaan yang benar?”
‘Umar menjawab:
َ َ َ ‫َ ح ح‬ َ َ َ ََ
‫ّيُورسوِلُﵤ‬
ُ ‫ّشك‬
ُّ ‫ّنُٱُلم‬
ُ ‫لِلُب ّريُءُُم‬
ُ ‫نُٱ‬
ُ ‫ﵥأ‬
A’rabiy itu pun menjawab: “Jika demikian, sungguh aku berlepas diri
dari apa yang Allâh dan Rasul-Nya telah berlepas diri darinya.”
Kemudian di akhir kisahnya disebutkan:
‫ح ح‬ ‫ح َّ ح ۡ ح ح ۡ ُ ۡ ح‬ ‫ۡح‬ ‫حح‬
‫مح‬
‫ وأ حم حر أبحا‬,ِ ‫حَل ِم بِٱللغ‬ َٰ ‫آن إ ِ َّ ح ح‬
‫لَع‬ ‫ أن يارأ ٱلار‬ ِ ‫ٱخل َّطا‬
ُ
‫فو حم حر ع حم ُر ۡب ُن‬
ۡ ‫ح‬ ‫م ح‬ ‫ۡح‬
‫ٱۡلَّ ۡح ِو‬ ‫ض‬
ِ ِ ِ ‫و‬ ‫ب‬ ) ‫ِل‬‫ؤ‬ ‫ٱدل‬ ( ِ
ِ ‫ح‬
‫و‬ ۡ
‫س‬ ‫ٱل‬
“Maka ‘Umar pun memerintahkannya untuk tidak membaca dan
mempelajari Al-Qur`ân kecuali kepada orang yang memiliki ilmu bahasa Arab.
Kemudian memerintahkan Abul Aswad Ad-Du`aliy untuk meletakkan tanda baca
nahwu pada Al-Qur`ân.”
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan Abul Aswad
meletakkan tanda baca i’râb dalam Al-Qur`ân. Sebagian ulama mengatakan
pada masa ‘Aliy bin Abî Thâlib, dan sebagian ulama yang lain mengatakan
pada masa ‘Abdul Malik bin Marwân.

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ‫ذ‬ ‫ح ح‬ ۡ ُ ۡ ‫ۡ ح َّ ح‬ ‫ح‬ ً َّ ُ ‫ح ح‬ ‫ح‬ ۡ ‫ح‬ ‫َّ ح‬
ِ ‫لسوو‬
ِ ‫وون ٱلول ِوو ٱلماوو ِرِ ِ وِى ٱ‬
ِ ‫ع‬ ‫وإِن ۡلحووووا أ وووو ٱلاِووووراءَ ِ سوووون‬
Manhaj Yang Lurus Dalam Pembelajaran Al-Qur`ân

“Dan sesungguhnya manhaj yang kami yakini sesuai sunnah dalam


mengambil bacaan Al-Qur`ân adalah mengambilnya dari Muqrî generasi pertama
yang mulia, yakni orang-orang yang menutupi aib dirinya dan aib orang lain.”

Kosa Kata:
Yaitu orang-orang yang terbiasa menutupi aib dirinya ۡ ‫ذ‬ ‫ح‬
ُ ِ ‫لس‬ِ ‫وِى ٱ‬
sendiri maupun aib orang lain. Baik dalam kehidupan sehari-
hari ataupun kaitannya dalam belajar-mengajar. Misalnya, ia
menutupi aib-aib muridnya yang masih banyak melakukan
kekeliruan, bukan malah “menelanjanginya”.
Diriwayatkan dari Al-Kisâ’iy bahwa beliau pernah
membaca di hadapan Hamzah Az-Zayyât. Pada saat beliau
membaca, seseorang lewat di dekatnya, kemudian Al-Kisâ’iy
merendahkan suaranya dan melambatkan bacaannya.
Hamzah pun berkata kepadanya: “Apakah engkau merasa
segan terhadapnya tapi tidak merasa segan terhadapku?”
Al-Kisâ’iy menjawab, “Wahai guruku, engkau selalu
menutupi kekeliruan dan keburukanku, sedangkan dia akan
“menelanjangiku”.

Penjelasan
Asy-Syaikh Islâm bin Nashr Al-Azhariy mengatakan bahwa menuntu
ilmu memiliki dua manhaj dan jalan: Pertama, manhaj as-samâ’iy an-naqaliy.
Adapun yang kedua, manhaj al-qiyâsiy al-‘aqliy al-ijtihâdiy.
Manhaj yang mu’tamad (diterima dan diamalkan para ulama) dan
mu’tabar (diakui oleh para ulama) kaitannya dengan pembelajaran Al-Qur`ân
adalah hanya yang pertama saja, yakni melalui jalan menyimak dari guru dan
menukil periwayatan darinya. Adapun jalan qiyâs dan ijtihâd tidak diterima
dalam pembelajaran Al-Qur`ân.
Asy-Syâthibiy mengatakan dalam syairnya:
َ ‫َا‬ َ ‫ا‬ َ َ َ َ ‫ح‬
ُ‫ضاُم َتكفّّل‬
ُ ‫لر‬
ّ ‫ٱ‬ُّ ُ
‫ه‬ ‫ّي‬ ‫ف‬ُ ‫ا‬‫م‬َ ُ‫ك‬
ُ ‫ُفدون‬ ُ ُ ُ‫اء ُة ُّ َم حُدخل‬
َُ ‫ِفُٱ ُلقّ َر‬ ُ ٍ ‫َو َماُلّقّ َي‬
ُ ّ ُ‫اس‬
Al-‘Allâmah Al-Qâdhî menjelaskan makna bait ini:
“Tidak ada pintu masuk bagi qiyâs dalam ilmu qiraah. Hal ini
disebabkan bahwa beragam variasi bacaan Al-Qur`ân sesungguhnya hanya
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

bersandar pada nukilan yang mutawâtir dan talaqqiy yang shahîh lagi terjaga.
Maka, berpegang teguhlah pada apa yang telah dinukil dari para imam qiraat
dan ridhalah terhadap mereka, kemudian amalkanlah sesuai dengan nukilan
yang datang dari mereka.”
Ad-Dâniy mengatakan:
ََ ‫َ ََ َح َ ح‬ ‫ح‬ َ ‫ح‬ َ َ ‫َ ً َح َ َح‬ َ َ َ
ُ‫لَع‬ ُّ ‫ض ُٱ ُلقُ حُرآ‬
ُٰ ُ ‫ن‬ ُ ‫ع ُر‬
ُ ُ‫ن‬
ُ ‫ي ُُأ‬ ُ‫ّن ُعُ ُل َُماءُّ ُٱُلمُ ح‬
ُ ‫س ُل ّ ُّم‬ ُ ‫ح ُم‬ ُّ ‫ّل‬
ُ ‫لص‬
ُ ‫ل ُٱ‬ُّ ‫ي ُُأ ُه‬
ُ ‫ّل ُفا ُ ُب‬
ُ ‫خ‬ ُّ ُ ُ‫ل ُ ُن حُع ُلم‬
ُ
َ ُّ َ َ َ َ ‫َ ح‬ ‫ح ح‬ ‫ح‬
ُ .‫ن‬
ُّ ‫لس‬ ُ ‫ّنُٱ‬
ُ ‫امةُُّسُنةُُم‬ ُ ‫ل ُم‬
ُّ ‫ينُُب ّٱ‬ُ ّ‫ور‬
ُ ُ‫شه‬ ُ ‫ٱ ُلقُ َُراءُُّٱُل َُم‬
“Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan orang-
orang shalih dari para ulama kaum muslimin bahwa menyetorkan bacaan kepada
para ahli qiraat yang telah diakui kapasitas keilmuannya termasuk salah satu
sunnah dari sunnah-sunnah Nabi .”
Dari Zayd bin Tsâbit  bahwa beliau mengatakan:
‫ح‬
‫اءةُُسُ َُنةُُمُ َُت َُب َُع ُة‬
َُ ‫ٱ ُلقُّ َُر‬
“Bacaan Al-Qur`ân itu merupakan sunnah yang mesti diikuti.” [Ad-Dâniy
dalam Jâmi’ul Bayân, Abû ‘Ubayd dalam Fadhâ`ilul Qur`ân, Ibn Mujâhid dalam
At-Taysîr]
Telah diriwayatkan pula beberapa perkataan yang serupa dengan ini
dari para salaf seperti ‘Aliy bin Abî Thâlib, ‘Abdullâh bin Mas’ûd, ‘Urwah bin
Zubayr, dan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz .
Makna sunnah muttaba’ah artinya adalah: bacaan Al-Qur`ân hanya
bersumber dari riwayat yang shahih yang bersambung sanadnya kepada Nabi
. Kemudian seseorang mesti mengikuti apa yang diajarkan gurunya
berdasarkan riwayat tersebut. Al-Imâm Qâlûn mengatakan makna âtsâr ini:
َ‫َ ح‬ ‫َح َ َ ح‬
ُ‫ِ َو ّل‬
ُ ‫نُٱ‬
ُّ ‫ُع‬
ُ ‫خر‬
ّ ‫خذ ُهاُٱ‬
ُ
‫ۡل‬ ُ ‫ُي ُأ‬
“Generasi yang datang kemudian mengambil riwayat dari generasi
sebelumnya.” [Ad-Dâniy dalam Jâmi’ul Bayân]
Jadi, tidak ada manhaj yang lurus dalam pembelajaran Al-Qur`ân,
kecuali melalui jalan talaqqiy (bertatap muka) dan musyâfahah (dari lisan ke
lisan). Demikianlah Al-Qur`ân diriwayatkan dan diajarkan dari generasi ke
Manhaj Yang Lurus Dalam Pembelajaran Al-Qur`ân

generasi, sebagaimana dahulu Nabi  mengambilnya secara talaqqiy dan


musyâfahah dari malaikat Jibrîl . Dari Abû Hurayrah :
َ ‫ح‬ ‫َح‬ َ َ َ َََ َ َ َ ‫ح ح‬ ََ َ َ
ُّ ‫ِف ُٱ ُل َُعا ُّم ُٱ‬
ُ‫َّلي‬ ُّ ‫ع ُل حُي ُهّ ُ َُم َُر ُت‬
ُ ّ ُ‫ي‬ ُ ُ‫ض‬
ُ ‫ ُف ُع ُر‬,‫َع ٍُم‬
ُ ُ‫ك‬
ُ ُ ‫آن‬ ُّ‫لَ ا‬
ُ ‫ ُٱ ُلقُ ُر‬ُ ‫ب‬ ُٰ ُ ُ‫ن ُ َي حُع ّرض‬
ُ ‫لَع ُٱ‬ ُ ‫َك‬
ُ
َ
.‫ض‬
ُ ّ ‫قب‬
“Jibrîl  biasa mengajarkan Al-Qur`ân kepada Nabi  setahun sekali.
Namun Jibril  mengajarkannya dua kali pada tahun wafatnya Nabi .” [HR. Al-
Bukhâriy 4614]
Demikian pula Nabi  meriwayatkannya kepada para Sahabat 
secara talaqqiy dan musyâfahah. Kemudian begitu pula para tâbi’în
mengambilnya dari para Sahabat. Kemudian para tâbi’ut tâbi’în mengambilnya
dari para tâbi’în. Begitu seterusnya sampai kepada kita dari guru-guru kita
dan generasi terdahulu.
Pada saat kita menemukan perbedaan riwayat dan cara membaca dari
sebagian orang atau sebagian guru-guru kita, maka tetaplah untuk teguh
memegang pendapat yang diajarkan oleh guru-guru kita yang telah jelas
sanad periwayatannya sampai kepada Nabi . Guru-guru kita yang kita
bertalaqqiy padanya, rutin menyetorkan bacaan padanya, yang senantiasa
mengoreksi bacaan kita, dan mengantarkan kita pada jalur periwayatan yang
shahih. Sebagaimana diriwayatkan Ad-Dâniy dalam Syarh Qashîdah Al-
Khâqâniy, manakala Nabi melihat beberapa orang yang berselisih atas
bacaan Al-Qur`ân, maka beliau bersabda:
‫ا‬ َ ‫ح َح َح‬ ‫َ ََ ح‬
ُ ‫لِلُيَُأمرك ُمُأ‬
ُ‫نُت ُق َرؤواُُك َماُعل ّ حُمت حم‬ ُ ‫نُٱ‬
ُ ّ‫إ‬
“Sesungguhnya Allâh memerintahkan kalian agar kalian membaca Al-
Qur`ân sebagaimana yang diajarkan kepada kalian.”
Dalam riwayat Al-Âjurriy, dari Al-Imâm ‘Âshim:
‫َ ح‬ َ َ ََ
َ ‫يناُِف ُس‬ َ ُ‫ُعبد ُٱ َلِل ح‬ َ ‫ ُقَ َال‬:‫ال‬َ َ َ ‫ا ح‬
ُ‫رآن‬
ّ ‫ّن ُٱلق‬ ُ ‫ور ٍة ُم‬ ّ ‫ ُتمار‬:‫ُّبن ُمسعو ٍُد‬ ُ ‫يش ُق‬
ٍ ‫زّرّ ُُب ّن ُحب‬
َ َ َ َ ‫َََ َ ًَ ي َََ َ ً َ َ َ َ َح‬ َ ‫َ ح‬
ُ‫ ُف َو َج حُدنا‬ ّ ‫الِل‬ ُٰ َ‫نطل ُقن‬
ُ ُ ‫اُإل ُ َرسو ُّل‬ ‫ُقال ُفٱ‬ُ ‫فقل َناُخس ُوثّلثون ُآية ُ ّست ُوثّلثون ُآية‬
َ ‫َ ح‬ َ
ُ ّ ‫ ُإّن َما ُأ ُهل‬:‫ ُوقال‬ُّ‫ُرسو ّل ُٱلِل‬
ُ‫ك‬ ُ‫ُو ح‬
َ ‫جه‬ ‫َ َ َ ح‬
َُ ‫اءة ُّفٱ‬
َ ‫ۡح َر‬ ‫اُِف ُٱلقّر‬ َ ‫َ ح َ ح ََح‬ َ ًّ َ
ّ ‫جيهُّفق ُلناُإناُاختل ُفن‬ ّ ‫علّياُينا‬
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

َ َ َ َ َ َ َ َ َ ً ‫َ ح َ َ َ ح َ ح ح َ ح َ ح َ ح َ َ َ َ َٰ َ ا َ ح‬
ُُّ ‫لِل‬
ُ ‫ول ُٱ‬
ُ ‫ن ُرس‬
ُ ّ ‫ُإ‬:‫لا‬
ُ ُ‫ال‬
ُ ‫ُ ُف ُق‬,‫ش ُي ُئا‬
ُ ُ ‫لَع‬
ٍُ ُ‫ل‬
ُ ّ ‫ِس ُُإ‬
ُ ‫ ُثُ ُمُُأ‬.‫ختّّلف ّّه ُمُب ُينه ُم‬ُ ‫ن ُق ُب ُلك ُم ُُب ّٱ‬
ُ ‫ن َُك‬
ُ‫م‬
‫ا‬ َ ‫ح َح َح َ ح‬ ‫ح‬
‫واُك َماُعل ّ حُمت حُم‬
ُ ‫نُت ُقرؤ‬ ُ ‫يَُأمرك ُمُأ‬
“Dari Zirr bin Hubaisy, dari Ibn Mas’ûd , beliau berkata: “Kami
berdebat tentang satu surat dalam Al-Qur`ân, sebagian dari kami mengatakan ada
35 ayat, yang lain mengatakan ada 36 ayat.” Ibn Mas’ûd berkata: “Maka kami
pergi kepada Rasûlullâh  dan kami melihat ‘Aliy sedang berbincang dengan
beliau, maka kami berkata: Sesungguhnya kami berselisih dalam masalah qiraat.
Maka, wajah Rasûlullâh  memerah dan bersabda: “Sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian dihancurkan dengan sebab perselisihan yang terjadi di antara
mereka.” Kemudian beliau mengisyaratkan sesuatu kepada ‘Aliy, lalu ‘Aliy
berkata kami: Sesungguhnya Rasûlullâh  menyuruh kalian untuk membaca Al-
Qur`ân sebagaimana kalian diajarkan. [HR. Ahmad 791, Al-Âjurriy 142, dan Ad-
Dâniy dalam Jâmi’ul Bayân dan Syarh Qashîdah Al-Khâqâniy]
Pada saat kita belajar dengan beberapa orang guru dan menemukan perbedaan,
maka yang mesti kita lakukan adalah:
1. Menerima perbedaan tersebut dengan lapang dada, selama shahih jalur
periwayatannya dan didukung oleh kaidah-kaidah dan landasan teoritis yang telah
ditetapkan para ulama. Artinya, pendapat yang dikemukakannya tidak
bertentangan dengan kesepakatan para ulama mu’tabar dan kaidah mu’tamad.
2. Jangan membenturkan satu pendapat dengan pendapat yang lain, atau
membandingkan satu guru dengan guru yang lain dalam perbedaan pendapatnya.
3. Amalkan sesuai yang diajarkan oleh guru kita.
4. Apabila kita belum bisa mengamalkan cara membaca yang berbeda dalam
beberapa majlis yang berbeda, maka kita bisa memilih untuk menyelesaikan
pembelajaran kepada satu orang guru terlebih dahulu, baru setelah itu kita bisa
mengikuti pembelajaran dengan guru yang lain.
5. Dianjurkan bagi para penuntut ilmu untuk terus melakukan penelitian agar dapat
menemukan pendapat yang lebih kuat tanpa harus mencela pendapat yang
dianggapnya kurang kuat.

Ad-Dâniy juga meriwayatkan dari Ibn Mas’ûd  pada saat Abû Wâ`il
menegurnya disebabkan perbedaan cara membaca dalam surat Yûsuf ayat
َ َ َ ‫َح‬
ke-23, yakni pada lafazh (‫ك‬
ُ ‫تُل‬
ُ ‫)ه ُي‬, beliau kemudian berkata:
Manhaj Yang Lurus Dalam Pembelajaran Al-Qur`ân

َ ‫ا‬ َ َ ‫َ َح‬
‫ك َُماُعل ّ حُمنَاها‬
ُ ُ‫ُإ ّ ُن َُماُن ُق َرؤ ُها‬
“Sesungguhnya kami hanya membacanya sebagaimana kami telah
diajarkan.”
Setidaknya kita bisa memetik dua pelajaran penting dari beberapa
riwayat di atas:
1. Urgensi bertalaqqiy kepada guru yang tersambung lagi shahih
sanad periwayatannya sampai kepada Rasûlullâh .
2. Urgensi berpegang teguh pada apa yang diajarkan oleh guru dan
tidak menyelisihinya.
Urgensi talaqqiy dan musyâfahah dari guru yang tersambung lagi
shahih sanad periwayatannya juga ditegaskan oleh Asy-Syaikh Husniy Syaikh
‘Utsmân mengatakan dalam Haqqut Tilâwah hal. 47:
َ َ ‫ا‬ ََ َ ََ ََ َ َ َ َ ‫ح ح‬ َ َٰ َ َ
ُ‫وخ‬ّ ‫لسنادُّع ّن ُٱلشي‬
ُّ ‫يق ُٱتلل ّّق ُوٱ‬
ُّ ‫آن ُُأن ُيأخذ ُق ّرائته ُلَع ُط ّر‬ ّ ‫ارّ ّى ُٱ ُلق ُر‬
ُ ‫ل ُق‬
ُ ‫فع‬
َ ‫ح‬ َ َ َ َ َ ََ َ ََ ‫ح‬ ُّ َ َ ٰ َ َ َ ‫ح َ ح‬ َ َ ‫ۡلخذ‬ ‫ح‬
ُ‫ن ُرسو ّل‬
ُ ‫ّّلوته ُتطابّق ُماُجاء ُع‬ ُ ‫ن ُت‬ُ ‫ّن ُأ‬
ُ ‫ك ٍد ُم‬
ُ ‫ل ُت ُأ‬
ُ ّ ‫ل ُُإ‬
ُ‫ص‬ّ ‫ك ُي‬ ُ ُ ‫خ ّه ُم‬ّ ‫ين ُعنُشيو‬ ّ ّ ُ‫ٱ‬
‫ا‬ َ َ َ
.‫ل‬
ٍُ ‫ص‬ّ ‫يحُمت‬ ٍ ‫ح‬ّ ‫ُب ّ َسن ٍدُص‬ُّ‫لِل‬
ُ ‫ٱ‬
“Maka hendaknya para pembaca Al-Qur`ân mengambil bacaannya
(mempelajari Al-Qur`ân) dengan jalan talaqqiy dan (mengambil) sanad, dari para
Syaikh (guru) yang mereka mendapatkan (bacaan itu) dari guru-guru mereka,
agar sampai pada kepastian bahwa bacaan yang dipraktikkan tersebut sesuai
dengan apa yang datang dari Rasûlullâh dengan sanad yang bersambung lagi
shahih.”
Beliau melanjutkan:
َ َ َ َ ‫َح‬ ‫ح‬ َ َ َ ََ
َ ٰ َ َ َ َ َ ‫ح‬ َ َ
ُ‫يد ُماُس ّمعه ُمّن‬ ٍ ّ ‫ ُأو ُتقل‬,‫ب‬
ُّ ‫ُِف ُبطو ّن ُٱلكت‬ ّ ‫ُِف ُق ّراءتّهُّلَع ُماُقرأ‬
ّ ‫ن ُٱعتمد‬ ُّ ّ ‫أماُإ‬
ُّ ََ َ ََ َ َ ‫َح َ َ َ َ َ َ ح َ ح‬ َ ‫ا ح‬
َ ‫ُّٱل َذ‬
َ َ
ُ-ُ‫ ُوتعد ُق ّراءته‬.ُّ‫حيحةُّٱثلّلثة‬ ّ ‫ ُف َيكون ُقد ُهدم ُأحدُأرَك ّنُٱلقّراءة ُّٱلص‬,‫ات‬
َ َ ُّ ‫اء‬ ّ ‫قراء‬
َ ‫ح‬ ‫ح‬ َ ‫ح‬ َ‫ُذٰل َّكُ–ُمّنُب‬ َ َ
ُ .‫الر َوايَةُّٱلق حرا ّنُٱلك ّري ُّم‬
‫ك ّذبُب ا‬
ّ ّّ ُ ‫ُٱل‬ ‫اب‬ّ ‫عّند‬
“Adapun apabila ia hanya menyandarkan bacaannya pada apa-apa yang
telah ia baca dari buku-buku, atau sekadar mengikuti apa yang ia dengar dari
rekaman para Qâri`, maka artinya ia telah menjadi orang yang meruntuhkan salah
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

satu dari tiga rukun bacaan yang shahih. Sedangkan bacaannya yang ia
riwayatkan pada orang lain dapat terhitung sebagai salah satu kedustaan
terhadap periwayatan Al-Qur`ân yang mulia.”
Hal ini disebabkan bahwa para ulama telah sepakat, tidak setiap lafazh
yang diklaim sebagai Al-Qur`ân diterima menjadi bagian dari Al-Qur`ân yang
bisa kita amalkan dalam tilâwah. Demikian pula cara membaca dari setiap
lafazh yang telah tertuang pada mushaf-mushaf. Para ulama telah
menetapkan kaidah dan standar kapan sebuah lafazh dapat diakui sebagai
lafazh Al-Qur`ân. Al-Imâm Ibnul Jazariy menyebutkan dalam Thayyibatun
Nasyr:
َ ً ‫ََ َ َ ح ح‬ ‫َ ُّ َ َ َ َ َ ح َ ح‬
‫حت ّ َمالُيوّي‬ ُ ‫س ّمُٱ‬
ُ ‫ّلر‬
ُ ‫واكنُل‬ ُ ‫ج َه‬
ُّ‫ُنو‬ ُ ‫كُماُوافقُو‬ ُ ‫ف‬
َ َ َ َ َ ‫ح‬ ً َ َ َ َ
ُ‫ف َُه ٰ ّذه ُّٱثلَّلثةُٱِ حُرَكن‬ ُُ‫سناداُه َوُٱلق حر َءان‬ ّ ‫وصحُإ‬
َ ‫وذهُل َ حُوُ َأنَهُِفُٱ‬
َُّ‫لس حُبعة‬ َ
‫شذ‬ ُ‫ت‬
‫ح ح‬ ُّ ‫َ َ ح َ َ ح‬
ُ ‫اُي َت‬
ّ ّ ّ ‫ُأثب‬
ُ ‫كن‬ ُ ‫ل ُر‬ ُ ‫وح ُيثُم‬
“Dan setiap yang sesuai dengan kaidah nahwu, juga sesuai dengan rasm
(‘Utsmâniy) walaupun dari satu sisinya,
Serta shahih (bersambung) sanadnya itulah Al-Qur`ân, Maka inilah tiga
rukun (bacaan yang benar),
Kapan saja salah satunya tidak terpenuhi, Maka (bacaan tersebut) syâdz
(janggal) walaupun termasuk dalam Qira’ah Sab’ah.”
Dalam syair tersebut disebutkan bahwasanya bacaan Al-Qur`ân yang
benar mesti memenuhi tiga rukun, yakni:
1. Sesuai dengan kaidah bahasa Arab yang benar (nahwu),
2. Sesuai dengan tulisan dalam mushaf ‘Utsmâniy (induk) walaupun
secara ihtimâl,
3. Shahih dan bersambung sanadnya kepada Rasûlullâh .
Beliau lalu menegaskan dalam syairnya tersebut, kapan saja salah satu
rukun yang telah disebutkan itu tidak terpenuhi, maka bacaan Al-Qur`ân itu
termasuk bacaan syâdz (janggal) yang tidak boleh diamalkan, baik di dalam
maupun di luar shalat.
Ihtimâl artinya dapat dilihat dan diperkirakan walaupun dari satu sisi
saja. Misalnya kata (‫ ) َم ِل ِك‬dalam surat Al-Fâtihah, dimana Al-Imâm Hafsh
membacanya dengan memanjangkan huruf mim (mâliki), maka bacan ini
Manhaj Yang Lurus Dalam Pembelajaran Al-Qur`ân

dianggap sah, karena dengan penulisan seperti itu, kita beranggapan


bahwasanya ada Alif yang ditaqdirkan (dalam mushaf riwayat Imam Hafsh
tertulis (‫)) َم َٰ ِل ِك‬. Alif setelah huruf Mim tidak ditulis untuk meringkas.3 Cara
penulisan seperti ini sendiri sudah masyhur di kalangan orang-orang Arab.
Oleh karenanya, misalnya kita temukan dalam Shahîhain lafazh-lafazh
Al-Qur`ân yang datang dari sebagian sahabat, seperti Ibnu Mas’ûd, Abud
Darda, atau Ibn ‘Abbâs, meskipun memiliki jalur periwayatan yang shahih,
namun tidak dengan serta merta diterima sebagai bagian dari Al-Qur`ân yang
sah untuk diamalkan dalam tilâwah. Karena sebagaian lafazh tersebut tidak
sesuai dengan rasm ‘Utsmâniy. Bacaan yang tidak sesuai dengan rasm
‘Utsmâniy dinilai telah dihapus hukum qiraatnya. Dengan kata lain, lafazh-
lafazh tersebut tidak lagi memiliki nilai khusus dalam aspek tilâwah
sebagaimana lafazh-lafazh yang lain.
Begitupun sebagian orang yang kadang hanya memperhatikan aspek
bahasa, dengan mengatakan lafazh ini boleh dibaca dengan dhammah atau
fathah atau kasrah, dengan alasan tidak mengubah makna. Pendapat seperti
ini tidak bisa diterima begitu saja, karena sebuah lafazh tidak bisa diterima
sebagai bagian dari Al-Qur`ân kecuali memenuhi tiga rukun yang telah
disebutkan. Apabila hanya mengandalkan salah satunya saja, seperti yang
terpenting sanadnya shahih, atau yang terpenting maknanya tepat, atau
yang terpenting sesuai dengan kaidah nahwau, maka alasan-alasan tersebut
tidak bisa dibenarkan, apabila tidak sesuai dengan rasm ‘Utsmâniy.
Hanya saja, lafazh-lafazh yang shahih riwayatnya, masih bisa diterima
sebagai hujjah, namun tidak diterima sebagai tilâwah. Wallâhu a’lam.

3
Dr. Su’ad, Taysîrurrahmân fî Tajwîdil Qurân, hal. 28
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ۡ ُ ‫ۡ ح ۡ ُ ۡ ح‬ ۡ ‫حح‬ ُ ‫ح َّ ۡ ح‬
‫ووووف ٱلوووووِت ِر‬‫وووورآن ح ذب ِ ُه‬‫ِإلقووووراِ ِ ِهف ق‬ ‫ووراءِ ححوو لَع لَع ٱلوو حو ح ى‬
َّ ‫لا‬‫فلِلسووبۡ ِ ٱ‬
“Maka bagi para imâm qiraat yang tujuh memiliki hak atas kita generasi
yang datang belakangan, disebabkan mereka telah menjadi perantara penukilan
Al-Qur`ân dari Rabb mereka Allâh Yang Maha Esa, serta mengajarkannya hingga
sampai kepada kita.”

Kosa Kata:
Witr artinya ganjil. Apabila ditambah Lam Ta’rif (Alif ۡ ۡ
ُ ‫ٱلوِت ِر‬
Lam) di depannya maka dimaksudkan sebagai salah satu dari
nama Allâh . Maknanya adalah “Tunggal,” “Esa,” atau
“Satu”. Dialah Allâh Yang Maha Esa, dan tidak ada sekutu
bagi-Nya.
Nama ini tidak disebutkan di dalam Al-Qur`ân,
melainkan disebutkan dalam hadits, dari Abû Hurayrah :
َ َ
َُ‫لِل‬ َ َ َ‫َ ح َ َ ح َ ح ً َ ح َ َ َ َ َ َ ح‬
ُ ‫ن ُٱ‬
ُ ‫ ُِإَو‬,‫ل ُن ُة‬
ُ ‫ل ُٱ‬
ُ‫خ‬
ُ ‫ظ ُها ُ ُد‬
ُ ُّ‫حف‬
ُ ُ‫ن‬
ُ ‫س ُما ُ ُم‬
ُ ‫ون ُٱ‬
ُ ُ‫سع‬
ُ ّ ‫س ُعةُ ُ ُوُت‬
ُ ّ ‫لِلّ ُُت‬
ُّ
‫ُّ ح ح‬ ‫ح‬
ُ ‫بُٱُل ُوُّت َُر‬
ُ ّ‫ي‬
ُ ُُ‫ُوُّتر‬
“Allâh memiliki 99 (sembilan puluh sembilan) nama. Siapa
saja yang menjaganya, maka ia pasti masuk surga.” [HR. Al-
Bukhâriy dan Muslim]

Penjelasan
Ad-Dâniy mengatakan bahwa sesungguhnya di antara nikmat yang
Allâh anugerahkan kepada kita umat Islam dan keistimewaan yang
dikhususkan kepada kita, adalah membangkitkan para imâm ahli qiraat di
Para Imâm Qiraat Tujuh

berbagai penjuru dunia. Kemudian memberikan kekuatan kepada mereka


untuk bisa mengambil riwayat dari para tâbi’în, dan menukil dari mereka
untuk meriwayatkannya secara tepat, tanpa ada sesuatu yang terlupa atau
lafazh yang keliru, kepada generasi berikutnya hingga Al-Qur`ân sampai
kepada kita dalam keadaan murni lagi terjaga.
Telah kami uraikan bahwa para tâbi’în mengambil bacaan kepada para
Sahabat, dan para Sahabat mengambil bacaan dari Nabi . Sedangkan bagi
kita tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti apa yang mereka baca dan
mengambil teladan darinya. Tidaklah kita bisa mengetahui bacaan dan peri
kehidupan mereka kecuali melalui perantara para imâm qiraat. Merekalah
yang telah mengumpulkan jalur-jalur periwayatan, menjaganya untuk tetap
murni dan menjauhkannya dari tambahan-tambahan yang datang dari akal
dan pendapat pribadi manusia.
Sedangkan di sisi lain, sebagaimana disampaikan Ad-Dâniy, ada
sebagian orang yang justru mempelajari ilmu qiraah dan mengumpulkan jalur
periwayatannya namun tidak berpegang teguh pada riwayat dan
mencampurkannya dengan pendapat pribadi. Bahkan di antara mereka ada
yang meninggalkan riwayat untuk beralih pada pendapat pribadi mereka,
qiyâs, dan pertimbangan-pertimbangan kebahasaan. Huruf-huruf mereka pun
menjadi tercemar, riwayatnya menjadi sedikit yang terjaga, sehingga kita
tidak melihat bacaan Al-Qur`ân mereka diriwayatkan kembali kepada generasi
berikutnya, kecuali sangat sedikit. Itupun kebanyakan di antaranya justru
bertentangan dengan madzhab mayoritas ulama ahli qiraat, sehingga riwayat
dan bacaan mereka ditinggalkan. Adapun para ulama generasi berikutnya
tetap berpegang teguh para para ulama yang telah diakui kualitasnya,
terbukti kapasitasnya, terkenal kejujurannya, dipercaya oleh orang-orang,
dan diterima riwayatnya oleh para ulama sezaman dan para ulama generasi
setelahnya. Merekalah para imâm qiraat yang tujuh, dan kemudian
digenapkan menjadi sepuluh oleh Al-Imâm Ibnul Jazariy, dimana tidak ada
yang membantah tambahan tersebut dari kalangan para ulama ahli qiraat,
baik pada masa Ibnul Jazariy ataupun setelahnya hingga hari ini.
Semoga Allâh  senantiasa merahmati mereka semua, meridhainya,
menjadikan kita sebagai orang yang mengikuti langkah-langkah mereka, dan
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

menjadikan ilmu yang mereka wariskan bermanfaat bagi kita sekalian, baik
dalam kehidupan dunia, maupun kelak di akhirat. Âmîn.

Al-Imâm Al-Khâqâniy melanjutkan bait-bait syairnya:


‫ح‬ ‫ۡ ح ح‬ ۡ ‫ح‬ ‫ۡح ح ح ۡ ۡ ُ ۡ ح‬ ‫ح‬
‫حوب ِٱلح ۡصووو حرَ ِ ٱ ۡبوون ل ِل حۡوو ءِ أبُووو ع ۡموو ِرو‬ ِ ‫وووو حونووواف‬
ِ ِ ‫فبِوووٱلرق ِ ٱبووون ٱل‬
‫ث‬ ‫ك‬
ۡ ‫ۡ ح‬ ُ ۡ ‫ح‬ ۡ َّ ‫ح‬ َّ
‫وووُّ حوهوو حو أبُووو بح وو ِر‬ ‫م‬
ِ ‫ك‬ ‫صووف ِنٱل‬ِ َ‫حو‬ ‫حوب ِٱلشووا ِ ع ۡب و ُ ٱّللِ حوه و حو ٱ ۡب و ُن حَ ِموور‬
ۡ ‫لش‬ ‫ذ‬ ۡ ُ ۡ ۡ ُ ‫ح‬ ُ‫ضوووا حوٱ ۡلك حِسووواِ م حب ۡۡووو ح ه‬ ً ۡ‫ح حۡ حُ ح‬
‫وۡ ِر‬ ِ ‫أ و ٱل ِو ِق بِوٱلا ۡرآ ِن حوٱۡلَّحووِ حوٱ‬ ِ ‫وحوووزَ أي‬
“Maka di dua Tanah Haram (Makkah dan Madinah) ada Al-Imâm Ibn Katsîr
dan Al-Imâm Nâfi`. Di Bashrah (Irak) ada putra dari Al-‘Alâ, yaitu Al-Imâm Abû ‘Amr
bin Al-‘Alâ.
Kemudian di Syâm ada Al-Imâm ‘Abdullâh yang lebih dikenal dengan nama
Ibn ‘Âmir, dan Al-Imâm ‘Âshim Al-Kûfiy (Kûfah, Irak) yang dijuluki Abû Bakr.
Kemudian Al-Imâm Hamzah juga berasal dari Kûfah, begitu juga setelahnya
Al-Imâm Al-Kisâ`iy, yang terkenal kecerdasannya dalam ilmu Al-Qur`ân, nahwu, dan
sya’ir.”

Penjelasan:
Berikut kami uraiakan biografi singkat para imâm qiraat tujuh dan
perawinya:

Seorang tâbi’în yang dikenal sangat berwibawa dan seorang ahli


nahwu (ilmu tata bahasa Arab). Qiraatnya merupakan qiraat yang diamalkan
oleh Al-Imâm Asy-Syâfi’iy. Bahkan, Al-Imâm Asy-Syâfi’iy merupakan salah
seorang perawinya. Namun, para pakar qiraat memilih dua orang perawi yang
dinilai paling mewakili bacaan Ibnu Katsîr, yaitu:
o Al-Bizzi (Ahmad bin Muhammad Al-Qâsim Al-Makkiy (170-250 H.)),
dan
o Qunbul (Muhammad bin Abdirrahmân (195-291 H.)).
Para Imâm Qiraat Tujuh

Beliau berasal dari Persia kemudian tinggal dan menetap di Madinah.


Beliau menjadi salah satu rujukan (imam) dalam bidang qiraat, bahkan saat
guru-gurunya masih hidup. Bacaan beliau dinilai paling “nyunnah” oleh Al-
Imâm Malik bin Anas dan paling digemari oleh Al-Imâm Ahmad bin Hanbal.
Para perawinya adalah:
o Qâlun (‘Isâ bin Minâ Ar-Rûmiy Al-Madaniy (120-220 H.)), dan
o Warsy (‘Utsmân bin Sa’îd Al-Mishriy (110-197 H.)),

Lahir di Makkah, tumbuh dan menjadi imam qiraat di Bashrah,


kemudian wafat di Kûfah. Abu ‘Amr merupakan qâri yang paling banyak
gurunya di antara qurra sepuluh. Beliau menuntut ilmu qiraat di Makkah,
Madinah, Kûfah, dan Bashrah. Selain seorang qâri, beliau juga seorang ahli
nahwu dan fiqih. Perawinya adalah:
o Ad-Dûriy (Abu ‘Umar Hafsh bin Umar bin ‘Abdul ‘Aziz bin Shuhban
(150-246)), dan
o As-Sûsiy (Abu Syu’aib Shalih bin Ziyad (170-261 H.)).

Seorang hakim, qadhi, dan imam para qiraat di Damaskus. Beliau


merupakan imam tetap Masjid Al-Umawi sejak sebelum pemerintahan ‘Umar
bin Abdil Azîz, pada masa pemerintahannya, dan setelah masa
pemerintahannya. Perawinya adalah:
o Hisyam bin ‘Ammar bin Nashir (153-245 H.), dan
o Ibn Dzakwân (Abdullâh bin Ahmad bin Bisyr bin Dzakwan (173-242
H.),

Pemilik suara yang paling halus dan lembut di antara para qurra
sepuluh. Sanad qiraatnya tinggi dan qiraatnya merupakan qiraat yang
digemari oleh Al-Imâm Ahmad setelah qiraat Al-Imâm Nâfi’. Hari ini, mayoritas
kaum muslimin di seluruh dunia membaca Al-Quran dengan riwayat Al-Imâm
Hafsh yang merupakan salah satu perawinya. Kedua perawinya adalah:
o Syu’bah (Abû Bakr bin ‘Ayyâsy (94-193 H.)), dan
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

o Hafsh bin Sulaymân bin Al-Mughîrah (90-180 H.).

Seorang qâri sekaligus muhaddits. Ahli ilmu farâ`idh dan bahasa Arab.
Hampir setiap hari mengkhatamkan Al-Quran, sehingga dalam satu bulan
beliau sanggup mengkhatamkan Al-Quran setidaknya 25 kali. Perawinya
adalah:
o Khalaf bin Hisyam Al-Bazzar Al-Baghdâdiy (150-229 H.), dan
o Khallâd bin Khalid Al-Baghdâdiy (119-220 H.),

Berasal dari Persia dan menjadi imam dalam bidang qiraat dan nahwu
(kaidah bahasa Arab) di Kûfah. Madzhabnya dalam ilmu nahwu menjadi salah
satu rujukan dunia Islam, sebagaimana halnya Siboyah (Sibawayh) di
Bashrah. Beliau dikenal sangat alim dalam ulumul quran serta banyak menulis
kitab dalam permasalahan ulumul quran dan bahasa Arab. Perawinya adalah:
o Abul Hârits Al-Laits bin Khalid Al-Baghdâdiy (w. 240 H.), dan
o Ad-Dûriy (Abu ‘Umar bin Hafsh bin ‘Umar, yang juga perawi Abû
‘Amr),

Para imâm qiraat tiga adalah mereka yang dipilih oleh Al-Imâm Ibn Al-
Jazariy untuk menggenapkan qiraat tujuh menjadi qiraat sepuluh.

Seorang tâbi’în, salah satu guru dari Al-Imâm Nâfi’. Beliau merupakan
seorang imam dalam bidang qiraat di Madinah. Hafalannya sangat kuat,
tsiqah (terpercaya), dan dikenal sebagai orang yang sedikit berbicara
walaupun tutur kata dan bahasanya sangat fasih. Perawinya adalah:
o Ibn Wardan (Abul Harits ‘Isâ bin Wardan Al-Madaniy (w. 160 H.)),
dan
o Ibn Jammâz (Abur Râbi’ Sulaymân bin Muslim bin Jammâz Al-
Madaniy (w. 170 H.)),
Para Imâm Qiraat Tujuh

Seorang pakar qiraat, fiqih, dan nahwu pada masanya. Imam masjid di
Bashrah, sekaligus imam para qurra di sana. Beliau dikenal sebagai orang
yang sangat zuhud dan senantiasa khusyu’ dalam shalatnya, sampai-sampai
pernah suatu saat kain selendangnya dicuri saat dalam keadaan shalat,
namun beliau tidak menyadarinya. Kemudian ketika ada seseorang yang
mengembalikan selendang tersebut ke bahunya, beliau pun tidak
menyadarinya, disebabkan begitu khusyu’ shalatnya. Perawinya adalah:
o Ruwais (Abu Abdillaah Muhammad bin Al-Mutawakkil Al-Lu’lu’ Al-
Bashriy (w. 283 H.)), dan
o Rauh (Abul Hasan Rauh bin Abdil Mu’min Al-Bashriy (w. 235 H.)),

Salah satu perawi Al-Imâm Hamzah dalam qiraat tujuh dan menjadi
imam ke-10 dalam qiraat sepuluh. Menghafal Al-Quran di usia 10 tahun dan
mulai mendalami ilmu qiraat dan nahwu pada usia 13 tahun. Beliau pernah
menceritakan pada suatu saat mengalami kesulitan dalam mempelajari salah
satu bab dalam ilmu nahwu, kemudian beliau menginfakkan 80 ribu dirham
(setara dengan Rp. 4 Milyar, bila kurs dirham Rp. 50.000,-). Perawinya adalah:
o Abû Ya’qûb Ishâq bin Ibrâhîm bin ‘Utsmân Al-Baghdâdiy (w. 286 H.),
dan
o Abul Hasan Idrîs bin ‘Abdil Karîm Al-Baghdâdiy (189-292 H.).
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ‫آن أح ۡو حَك حن حا ححووو‬
‫ُ ۡ ح‬ ‫ح َّ ح‬
‫إ ِ ا ح توو ٱلواووور‬
‫ُ ح‬
‫وِ ُحاوَ حهوا‬ ُ
‫ور‬ ُ
‫ح‬
ۡ
‫ِل‬ ‫ل‬ ‫ط‬‫و‬ۡ
ۡ ُ‫ح‬
ۡ ‫ل ۡ ق ُق‬
ِ ِ ِ ِ ‫ف وٱ‬
ۡ ‫ح‬ ‫ح‬ ۡ ُ ۡ ‫ُ ۡح‬ َّ ُ ‫ُ ۡ ح حۡ ح‬ ُ ‫ح‬
‫أمِرنووا بِوو ِ قِوون قكثِنووا فِيوو ِ وٱلفِكوو ِر‬ ‫حوت ۡرتِيل حنوووا ٱلاووورآن أفضوووو ل ِووو ِي‬
ۡ ‫ح‬ ۡ ُ ۡ ‫ح‬ َّ ‫ح ح ۡ ح ح ۡ ح ح ح ُ ح‬ َّ ‫حح‬
‫ِيوون ٱلِۡ حبوواِِ إِل ٱليُسوو ۡو ِر‬ ِ ِ ‫ۡلحووا فِيوو ِ إ‬ ‫وأقوووا حووو نا ِ سووونا فمووور‬
“Maka orang yang cerdas pasti akan memberikan setiap huruf hak-haknya,
baik pada saat mereka membaca Al-Qur`ân secara tartîl (perlahan-lahan) ataupun
hadr (secara cepat),
Dan membaca Al-Qur`ân secara tartîl jauh lebih baik karena kita
diperintahkan untuk melakukannya, dan hendaknya kita membacanya secara
tenang (tidak tergesa-gesa) sambil merenungkan maknanya,
Adapun pada saat kita membaca Al-Qur`ân dengan hadr ketika ingin
mengulang-ulang bacaan dan memperbanyak kebaikan darinya, maka hal tersebut
tidak mengapa sebagai sebuah keringanan bagi kita, disebabkan agama ini mudah
untuk diamalkan para hamba-Nya.”

Kosa Kata:
ۡ ۡ
Maksudnya adalah membaca secara perlahan-lahan, ُ ‫ٱل ُمكث‬
tidak tergesa-gesa sebagaimana firman Allâh :
‫َ َٰ ح‬ َ ََ ََ ‫َح‬
‫لَعُمكثُﵤ‬
ُ ُ‫اس‬
ُ ّ ‫لَعُٱل‬
ُ ُ‫ﵥتلّ قرأهُۥ‬
“Agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada
manusia secara perlahan-lahan.” [QS. Al-Isrâ, 16: 106]
Maksudnya adalah membaca Al-Qur`ân secara َّ
ۡ ‫ٱدل‬
berulang-ulang.
Marâtibul Qirâ`âh dan Rinciannya

Penjelasan
Dalam bait ini An-Nâzhim menjelaskan kepada kita bahwa orang yang
cerdas dan mutqin adalah orang yang mampu menunaikan hak-hak setiap
huruf, baik itu mengeluarkan setiap huruf dari makhrajnya atau
menyempurnakan sifat-sifatnya yang lâzimah dan ‘âridhah. Hal ini disebabkan
karena ia bersungguh-sunguh untuk terus belajar dan berlatih, terus-menerus
membaca di hadapan para ulama yang ahli, sehingga ia bisa membaca Al-
Qur`ân dengan sempurna, baik pada saat membacanya secara lambat
ataupun cepat.
Adapun sebagian orang yang belum mutqin, mungkin ia bisa
membaca Al-Qur`an dengan menyempurnakan sifat-sifatnya saat
membacanya dengan lambat dan tenang, namun kesempurnaan hurufnya
mendadak menghilang manakala ia membaca Al-Qur`ân dengan tempo yang
lebih cepat. Maka, apabila keadaannya demikian, ia berarti belum mutqin
dalam ilmu Al-Qur`ân.
Dalam bait ini terdapat beberapa permasalahan: Pertama: Rincian
perbedaan pendapat para ulama dalam menjelaskan Marâtibul Qirâ`ah
(tempo membaca Al-Qur`ân).

Fadhîlatusy Syaikh Islâm bin Nashr Al-Azhariy mengatakan bahwa para


ulama berbeda pendapat menjadi 4 (empat) madzhab dalam permasalahan
ini:
Madzhab Pertama: menyatakan bahwa marâtibul qirâ`ah terbagi
menjadi 3 (tiga):
1. At-Tartîl: Membaca dengan lambat dan tenang, sambil mentadabburi
maknanya, sambil memelihara hukum-hukum tajwidnya.
2. At-Tadwîr: Membaca dengan tempo pertengahan, di antara lambat
dan cepat, sambil memelihara hukum-hukum tajwid.
3. Al-Hadr: Membaca dengan tempo yang cepat sambil menjaga hukum-
hukum tajwid.
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Al-‘Allâmah ‘Utsmân Murâd
dalam As-Salsabîl:
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

َ ‫ح‬ َ َ‫َ َا ح ح‬
‫انُُبٱ َ ح‬
ُ ‫يل‬
ُ ّ ّ ‫خ ُل‬ ُّ ّ‫تل حُد ُو‬
ُ ُ‫يرُُيَا‬ َُ ‫ۡل حُد ُرُّوٱ‬
َُ ‫ُ َُوٱ‬ ُ‫يل‬
ّ ّ ُ
‫ت‬ ُ
‫لّت‬ ّ ‫ُوجوّدُّٱ ُلق ُر ُء‬
ُ
“Dan tajwidkanlah Al-Qur`ân ini dengan tartîl, atau hadr, atau tadwîr,
wahai sahabatku yang aku cintai.”
Begitupula Al-‘Allâmah As-Samannûdiy dalam La`âli`ul Bayân:
َ ‫َ َ ََ ً َ ح‬ َ َ
ُ ‫نُق َرا‬
ُ ‫جّيعهاُمرات ّباُل ّم‬ ‫ح حُدرُُ َوت حُدوّيرُُ َوت حُرتّيلُُت َرى‬
َُ
“Hadr, tadwîr, dan tartîl, seluruhnya merupakan tingkatan tempo bagi
siapa saja yang membaca Al-Qur`ân.”

Madzhab Kedua: menyatakan bahwa marâtibul qirâ`ah terbagi menjadi


4 (empat), yakni 3 (tiga) tingkatan yang telah disebutkan sebelumnya,
kemudian ditambah satu tingkatan lagi di atas tartîl yaitu At-Tahqîq.
At-Tahqîq adalah membaca Al-Qur`ân dengan sangat lambat, sangat
tenang, berhati-hati, dengan maksud mempelajarinya dan mentadabburi
maknanya, serta menyempurnakan penjagaan terhadap hukum-hukum
tajwidnya.
Ini merupakan madzhab yang masyhûr dan banyak di antara para
pengajar Al-Qur`ân yang mengamalkannya.

Madzhab Ketiga: menyatakan bahwa marâtibul qirâ`ah terbagi menjadi


5 (lima), yakni 4 (empat) tingkatan yang telah disebutkan sebelumnya,
kemudian ditambah satu lagi, yaitu Az-Zamzamah.
Az-Zamzamah artinya membaca dengan cepat secara pelan (sirriyyah).
Mereka mengatakan bahwa tingkatan ini masih satu bagian dari hadr. Para
ulama yang menganut madzhab ini di antaranya Abû Ma’syar Ath-Thabariy
‘Abdil Karîm bin ‘Abdish Shamad (w. 478 H.). Pendapat ini juga dihikayatkan
dari Al-Imâm Hasan bin Qâsim An-Nahwiy.

Madzhab Keempat: menyatakan bahwa marâtibul qirâ`ah terbagi


menjadi 3 (tiga): at-tahqîq, at-tadwîr, dan al-hadr. Di antara tokoh yang
menyatakan pendapat ini adalah Imâmul Muhaqqiqîn wa Hujjatul Muqri`în
Syamsuddin Abul Khair Ibnul Jazariy. Beliau mengatakan dalam Thayyibatun
Nasyr:
Marâtibul Qirâ`âh dan Rinciannya

‫َ ح ََح ح َ ي‬ ‫َ حَ ح‬
ُ‫ُوُكُم َت َب حع‬ ‫ح ُد ٍرُوت ُدوُّي ٍر‬
ُُ ُ َ ‫اتلحق حُيق‬
ُ‫ُم حع‬ ّ ّ
َ
ّ ‫ب‬ُ ‫ن‬ ‫ا‬
ُُ
‫ر‬‫ح‬ ‫ق‬
ُ ُ
‫ل‬ ‫وي ُقرأُُٱ‬
“Dan Al-Qur`ân dibaca dengan tahqîq, dan hadr, dan tadwîr dan semuanya
ber-ittiba’ (ada sandarannya dari Rasûl).
Ibnul Jazariy mengatakan bahwa at-tartîl bukanlah salah satu bagian
dari marâtibul qirâ`ah, melainkan sifat yang harus melekat pada ketiga marâtib
di atas. Tartîl adalah membaca Al-Qur`ân dengan pemahaman dan tadabbur
sambil menyempurnakan hak dan mustahak huruf dari makhraj dan sifatnya,
karena sesungguhnya Al-Qur`ân diturunkan untuk dipahami, ditadabburi, dan
diamalkan.4 Karenanya Ibnul Jazariy melanjutkan baitnya dengan
mengatakan:
‫ًَ َ ً ح‬ ََ‫ح‬
ُ‫ُم َرتّلُُم َوداُبّٱل َع َر ّب‬ ُ ُ‫ب‬
ّ ‫ونُٱلعر‬
‫َ ح ح َ ح‬
ّ ‫معُحس ّنُصو ٍتُبّلح‬
“Dengan suara yang bagus: dengan dialek Arab, dengan tartîl (khusyu’ dan
tadabbur), tajwîd (tepat makhrajnya dan sempurna sifatnya), serta dengan
bahasa Arab (yang paling fasih).”

Permasalahan kedua: Pendapat yang unggul dari madzhab-madzhab


tersebut.

Dari uraian yang telah kami sampaikan, maka tampak bagi kami,
wallâhu a’lam, yang lebih unggul adalah pendapat keempat yang
dikemukakan oleh Al-Imâm Ibnul Jazariy , dengan beberapa pertimbangan
berikut:
Pertama, karena Allâh  telah berfirman:
ً َ َ ‫ا ح‬
ُ‫ َو َرت ّّلُٱلق حر َءانُت حرتّيّل‬...
“...dan tartîlkanlah Al-Qur`ân dengan benar-benar tartîl.” [QS. Al-
Muzammil, 73: 4]
Al-Imâm Ibnul Jazariy meriwayatkan dalam An-Nasyr, dari Al-Imâm ‘Aliy
bin Abî Thâlib  tentang ayat ini:

4
Dr. Su’ad, Taysîrurrahmîn fî Tajwîdil Qurân hal. 29
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy
‫َ ح َ ح‬ ‫ح‬ ‫َح‬ ‫َح‬
ّ ‫ُو َمع ّرفةُٱلوق‬
ُ‫وف‬ ّ ‫ٱلّتتّيلُه َوَُتوّيدُٱۡلر‬
‫وف‬
“At-Tartîl adalah mentajwidkan huruf dan mengetahui kaidah waqf.”
Perintah dalam ayat ini bermakna wajib. Kalau kita katakan bahwa
tartîl adalah satu tingkatan tersendiri dalam marâtibul qirâ`ah, maka
konsekwensinya berarti tingkatan yang lain: at-tahqîq, at-tadwîr, dan al-hadr,
menjadi terlarang dan tidak boleh diamalkan.
Kalaupun kita mengatakan bahwa at-tartîl dalam ayat tersebut
bermakna sunnah, bukan wajib, maka artinya tingkatan yang lain at-tahqîq,
at-tadwîr, dan al-hadr, adalah cara baca yang menyelisihi sunnah, tidak akan
mendapatkan pahala siapa saja yang mengamalkannya.
Kedua, bahwa di antara definisi at-tartîl adalah sebagaimana
dikemukakan Ar-Râghib Al-Ashfahâniy dalam Al-Mufradât, bahwa at-tartîl
bermakna:
‫ح َ َ َ ح‬
‫ُٱل َف امُبسهولَة َ ح‬
َ ‫ٱست َق‬
ّ‫ام ُة‬ ّ ‫ُّو‬ ّ ّ ‫إ ّ حر َسالُٱلكّمةُّمّن‬
“Mengeluarkan setiap kata dari mulut dengan ringan dan tepat.”
Definisi ini merupakan definisi yang sangat tepat dalam
menggambarkan kesempurnaan pelafazhan Al-Qur`ân. Kalau kita katakan
bahwa tartîl merupakan satu tingkatan tersendiri dalam marâtibul qirâ`ah,
maka kesempurnaan dalam melafazhkan Al-Qur`ân tidak akan tercapai saat
kita membaca dengan at-tahqîq, at-tadwîr, atau al-hadr.
Ketiga, kami melihat bahwa para ulama yang memasukkan at-tartîl
dalam salah satu tingkatan marâtibul qirâ`ah, membawa makna at-tartîl dari
sudut pandang bahasa, yang artinya membaca Al-Qur`ân secara perlahan.
Dalam pandangan kami, istilah yang lebih tepat dalam menggambarkan
keadaan tersebut adalah at-tahqîq, karena at-tartîl memiliki definisi sendiri
yang telah disebutkan para ulama.
Namun demikian, bersamaan dengan itu, kami tidak mengingkari
pembagian para ulama yang memasukkan at-tartîl sebagai bagian dari
marâtibul qirâ`ah. Karena telah sampai kepada kita bahwa para ulama Salaf
juga sering menggunakan istilah at-tartîl untuk menggambarkan bacaan yang
lambat, lawan dari cepat atau tergesa-gesa. Sebagaimana diriwayatkan Ad-
Dâniy:
Marâtibul Qirâ`âh dan Rinciannya

‫َ َاح َ ا‬ َ َ ََ َ َ ‫َ َََا‬ َ َٰ َ َ َ ‫َ َ َ َ ح‬
ُُ‫ ُ ُفإّنهُ ُ َز حُين‬,‫ل‬ ُ ‫ع حُبدُ ُٱ‬
ُ ّ ‫ ُ ُرُت‬:ّ‫لِل‬ ُ ُ ‫ال‬
ُ ‫ ُ ُف ُق‬.‫ل‬
ُ‫ج‬ّ ‫ع‬ ُ ‫ه‬
ُ ‫ن‬‫أ‬ ُ
‫ك‬ ُ
‫و‬ ُ ,ّ ُ
‫لِل‬‫ٱ‬ُ ُ
‫د‬
ّ ‫عح‬
ُ
‫ب‬ ُ ُ ‫لَع‬
ُ ُ ُ‫ع ُل ُق ُمة‬
ُ ُ ‫ُق ُرُأ‬
‫ح‬
ُّ ‫ٱ ُلقُ حُر‬
ُ .‫آن‬
“’Alqamah membaca Al-Qur`ân kepada ‘Abdullâh, seakan-akan pada saat
itu ia membacanya dengan tergesa-gesa. Kemudian ‘Abdullâh berkata:
“Tartîlkanlah, karena sesungguhnya tartîl itu hiasannya Al-Qur`ân”.”
[Diriwayatkan Ad-Dâniy dalam At-Tahdîd dan Abû ‘Ubayd dalam Fadhâ`ilul
Qur`ân]
Apabila kita memilih masih menggunakan istilah at-tartîl dalam
marâtibul qirâ`ah, maka penting untuk kita pahami bahwa bukan berarti kita
menghilangkan sifat-sifat tajwid dan kesempurnaan melafazhkan Al-Qur`ân
pada tingkatan yang lain. Wallâhu a’lam.

Permasalahan ketiga: maka yang lebih utama untuk diamalkan dari


marâtibul qirâ’ah?

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ۡ ۡ ‫ُ ح‬ َّ ُ ‫ُ ۡ ح حۡ ح‬ ُ ‫ح‬
‫ِوون ُقكث ِ حنووا فِيوو ِ حوٱلفِكوو ِر‬
‫أم ِۡرنووا بِوو ِ ق‬ ‫ووورآن أفضوووو ل ِووو ِي‬‫حوت ۡرتِيل حنوووا ٱلا‬
“Dan membaca Al-Qur`ân secara tartîl jauh lebih baik karena kita
diperintahkan untuk melakukannya, dan hendaknya kita membacanya secara
tenang (tidak tergesa-gesa) sambil merenungkan maknanya,”

Dalam bait ini An-Nâzhim menjelaskan bahwa membaca Al-Qur’ân


dengan lambat, tenang, dan mentadabburi maknanya lebih utama daripada
membacanya dengan cepat. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Ad-Dâniy meriwayatkan âtsâr dari ‘Ubayd Al-Muktib:
َ َ ََ ََ ََ‫َََ ح‬ َ َ‫ح‬ َ َ ََ ََ‫َََ ح‬ َ َ َ
ُ.‫ل ُق ُرُة ُوأتمها‬ ُ ‫ل ُ ُق ُرُأ ُٱ‬ َ َ
ٍُ ُ‫ ُ ُو ُرج‬,‫ان‬
ُ ‫آل ُع ُّم ُر‬
ُ ‫ل ُق ُرُة ُ ُو‬
ُ ‫ل ُ ُق ُرُأ ُٱ‬ ُ‫ع ح‬
ٍُ ُ‫ن ُ َُرج‬ ُ ُ ُ‫ُماهد‬
ُ ُ‫ل‬ ُ ّ ‫سئ‬
َ َ َ َ َ َ َ
ُ‫َّلي ُ ُق َُرُأ‬ ُ ‫ ُ ُّأيه َُما ُأفضلُ؟ ُ ُق‬.‫ ُ َُورُكُوعهُ َُما ُ َُوسُجُوده َُما ُ َُوجُلُوسه َُما‬,ُ‫حدة‬
ُّ ‫ ُٱ‬:‫ال‬ ُّ ‫ّلتهُ َُما ُ َُوا‬
ُ ‫ص‬ُ
‫َ َٰ ح‬ َ ََ ََ ‫حََ ََ َ َََ َ ح َ ٗ ََحَ َح‬
[106ُ:‫لَعُمكثُﵤُ[الِساء‬ ُ ُ‫اس‬ ُ ّ ‫لَعُٱل‬ُ ُ‫ُﵥوقرءاناُ ُفرقنٰهُُتلّ قرأهُۥ‬:‫ُثُ ُمُ ُق ُرُأ‬.‫ل ُق ُرُة‬ ُ‫ٱ‬
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Imâm Mujâhid pernah ditanya tentang seseorang yang di dalam satu


rakaat shalatnya membaca Al-Baqarah dan Âli ‘Imrân, sedangkan orang yang lain
menyempurnakan surat Al-Baqarah saja. Panjang shalat keduanya sama,
begitupula ruku, sujud, dan duduknya. Manakah yang lebih utama dari keduanya?
Maka Al-Imâm Mujâhid menjawab, “Yang lebih utama adalah yang hanya
membaca surat Al-Baqarah.” Lalu beliau membacakan surat Al-Isrâ ayat ke-106:
“Dan Al-Qur`ân itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar engkau
(Muhammad) membacakannya perlahan-lahan kepada manusia...” [Diriwayatkan
juga oleh Al-Âjurriy dalam Akhlâq Hamalatil Qur`ân]
Ad-Dâniy meriwayatkan dari Abû Jamrah:
‫ََ َ ََح‬ ََ َ ‫ح َ َ َ ا َحَ ح ح‬ ‫ا‬ َ ‫ح‬
ُ‫ن‬
ُ ُِ :‫ال‬
ُ ‫ ُ ُف ُق‬.‫ث‬
ُ ٍ ‫ّل‬
ُ ‫ُِف ُُث‬
ُ ّ ‫إن ُُأ ُق ُرأُ ُٱُلقُ ُرآن‬ ُّ َ ‫ن‬
ُ ّ ‫ ُ ُو‬,ّ ‫ُِسيعُ ُٱ ُلقُّ ُراء ُة‬ ُ ّ ّ ‫ ُُإ‬:‫اس‬ ُ ‫قُ ُلت ُلُُّبح ّن‬
ُ ٍ ‫ُع َُب‬
ً َ َ ‫َ ح َ َ ح َ َ َ َ َ ح َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ا َ َ َ َ ُّ َ ح َ ح َ ح َ َ ح ح َ َ ح َ َ َ ح‬
‫جعُه ُذرم ُة‬ ُ ‫نُُأ ُق ُرُأُٱُلقُ ُرآن ُُأ‬
ُ ‫ّنُأ‬
ُ ‫حبُُإ ّلُم‬ ُ ‫اُأ‬
ُ ‫اُوأُ ُرت ّل ُه‬
ُ ‫ُِل ُل ٍةُفأ ُت ُدبر ُه‬
ُ ‫ُِف‬
ُ ّ ‫ل ُق ُرة‬
ُ ‫أ ُقرُأُٱ‬
“Aku berkata kepada Ibn ‘Abbâs: “Sesungguhnya aku terbiasa membaca
dengan cepat, dan aku sanggup mengkhatamkan Al-Qur`ân dalam waktu tiga
hari.” Maka Ibn ‘Abbâs berkata kepadaku: “Sesungguhnya aku lebih menyukai
untuk membaca surat Al-Baqarah dalam satu malam sambil mentadabburi isi
kandungannya daripada aku membaca keseluruhan Al-Qur`ân dengan cepat.”
Âtsâr ini juga diriwayatkan dengan beberapa lafazh yang berbeda oleh
Al-Âjurriy dalam Akhlâq Hamalatil Qur`ân.

Permasalahan keempat: Apakah dengan demikian kita tidak boleh


mempercepat bacaan Al-Qur`ân?

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ‫ح‬ ۡ ُ ۡ ‫ح‬ َّ ‫ح ح ۡ ح ح ۡ ح ح ح ُ ح‬ َّ ‫حح‬
‫ِيوون ٱلِۡ حبوواِِ إِل ٱليُسوو ۡو ِر‬ ِ ِ ‫ۡلحووا فِيوو ِ إ‬ ‫وأقوووا حووو نا ِ سووونا فمووور‬
“Adapun pada saat kita membaca Al-Qur`ân dengan hadr ketika ingin
mengulang-ulang bacaan dan memperbanyak kebaikan darinya, maka hal tersebut
tidak mengapa sebagai sebuah keringanan bagi kita, disebabkan agama ini mudah
untuk diamalkan para hamba-Nya.”
Marâtibul Qirâ`âh dan Rinciannya

Telah berlalu penjelasan marâtib yang lebih utama untuk diamalkan.


Kemudian An-Nâzhim menyampaikan bahwa dengan demikian bukan berarti
kita tidak boleh mempercepat bacaan kita. Karena sesungguhnya
mempercepat bacaan dapat membuka peluang untuk mendapatkan pahala
yang lebih banyak.
ً َ َ ‫َ ح‬ َ َ َ َ َ َ ّ َ َ َ ‫َ ح‬
ُ‫نُق َرُأُ َح حرفا‬ ُ ‫لِلُع حنهُُ َيقولُُق‬
ُ ُُ‫الُ َرسول‬
ُ ‫ُم‬ُّ‫الِل‬ ُ ‫ضُٱ‬ُ ‫نُ َم حسعو ٍُدُر‬
َُ ‫لِلُّ حب‬
ُ ‫نُع حب ُّدُٱ‬ُ‫ع‬
َ ‫َح ََ ح‬ َ َ َ َ ‫َ َ َ َ ح َ َ َ ح َح‬
ُُ‫ن ُأل ّف‬ُ‫ك‬ ّ ‫ل ُأقولُ ُالمُ ُحرفُ ُول‬
ُ ُ ‫ّش ُأمثال ّها‬ َ ‫لِلّ ُفَلَهُ ُب ُهّ ُحسنةُ ُ ُوٱ‬
ُّ ‫ۡلسنةُ ُبّع‬
َ
ُّ ‫ّن ُك َّت‬
ُ ‫اب ُٱ‬ ُ‫م ح‬
ّ
َ
ُ‫َح حرفُُ َولمُُ َح حرفُُ َومّيمُُ َح حرف‬
Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd  berkata: “Rasûlullâh  bersabda: “Siapa
yang membaca satu huruf dari Al-Qur`ân maka baginya satu kebaikan dengan
bacaan tersebut, satu kebaikan dilipat gandakan menjadi 10 kebaikan semisalnya.
Dan aku tidak mengatakan ‫ الم‬satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Lâm satu
huruf dan Mîm satu huruf.” [HR. At-Tirmidziy 2910]
Riwayat yang datang dari para ulama salaf juga menunjukkan bahwa
mereka dalam sebagian kesempatan mereka sanggup mengkhatamkan Al-
Qur’ân dalam waktu yang singkat. Tentu saja semua itu tidak dapat
dilakukan kecuali dengan bacaan yang cepat.
Al-Imâm An-Nawawiy dalam At-Tibyân Fî Âdâbi Hamalatil Qur`ân
meriwayatkan beberapa kisah tersebut, di antaranya:
Di antara mereka ada yang mengkhatamkan Al-Qur`ân dalam sehari
semalam: ‘Utsmân bin ‘Affân, Tamîm Ad-Dâriy, Sa’îd bin Jubayr, Mujâhid, Asy-
Syâfi’iy, dan selainnya .
Di antara mereka ada yang mengkhatamkannya tiga kali dalam sehari
semalam: Sulaymân bin ‘Itr , sebagaimana diriwayatkan dari Ibn Abî
Dâwûd. Sedangkan menurut Abû 'Amr Al-Kindiy, beliau mengkhatamkannya
empat kali.
Ad-Dâniy meriwayatkan bahwa Sulaymân bin ‘Itr dalam semalam
mengkhatamkan Al-Qur`ân sebanyak tiga kali dan berjima’ dengan istrinya
juga tiga kali. Pada hari wafatnya istrinya berkata:
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

َ َ َ َ‫ََح‬ َ َ َ ‫َح‬ َ ََ َ َ َ َ
ُ:‫ت‬ُ ‫ف ُ ُذ ٰل ّك؟ ُ ُق ُال ح‬ُ ‫ ُ ُو ُك ُي‬:ُ‫ ُ ُقالُوا‬.‫ك‬ ُ ‫ض ُأ ُهل‬ ُ ّ ‫ك ُوت حُر‬ ُ ‫ض ُ َر َب‬ ُ ّ ‫ت ُت حُر‬ ُ َ ‫ ُ ُل ُق حُد ُكُ حُن‬,‫لِل‬
ُ ‫ك ُٱ‬ ُ ‫ۡح‬ُ ّ ‫ُر‬
‫َ َح َ َ َ َح‬ َ َ‫ح‬ ‫َح‬ َ ‫ح‬ ‫َحَ َ ح‬ َ َ
َُ ُ ‫ي ُت ّ َُم‬
ُ‫ثم‬ ُ ُ ‫ّت‬
ُ ‫ح‬ُ ُ ُ‫سلُ ُ ُف َُيعُودُ ُ ُو ُي ُق ُرأ‬ ُّ ‫ ُثُ َُم ُ َُي ُغ ُت‬.ّ‫آن ُثُ َُم ُيل ّ ُُّم ُُب ُّأ ُهل ّ ُه‬
ُ ‫خ ُت ّمُ ُٱ ُلقُ حُر‬ ُ ‫ل ُ ُف َُي‬ُ ‫ن ُ َُيقُومُ ُٱلل ُي‬ ُ ‫َك‬ ُ
ُّ َ َ َ‫َ َح‬ ‫َ َ ح َ َ َ َ ح َ َ ُّ َ ح‬ َ َ َ‫َ َح‬ ‫ُّ َ ح‬
ُّ‫لصبح‬ُ ‫ّل ُةُٱ‬ّ ُ ‫ص‬ ُ ّ ‫سلُُُل‬ ّ ‫ي ُت ّ ُمُثُ ُمُيل ّ ُمُُب ُّأ ُهل ّ ُهُّثُ ُمُ ُي ُغ ُت‬ ُ ُ‫ّت‬ ُ ‫ح‬ ُ ُُ‫سلُُ ُف ُيعُودُُ ُف ُي ُق ُرأ‬ ُّ ‫ُثُ ُمُ ُي ُغ ُت‬,ّ‫يل ّ ُمُُب ُّأ ُهل ّ ُه‬
“Semoga Allâh merahmatimu, sungguh engkau dahulu telah membuat
Rabbmu ridha dan keluargamu ridha.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana ia
melakukannya?” Istrinya menjawab: “Dahulu ia terbiasa bangun pada malam hari
kemudian mengkhatamkan Al-Qur`ân, kemudian mendatangi keluarganya. Setelah
itu ia mandi dan kembali membaca Al-Qur`ân sampai mengkhatamkannya.
Kemudian ia kembali mendatangi keluarganya, kemudian mandi, kemudian
kembali membaca Al-Qur`ân sampai mengkhatamkannya kemudian kembali
mendatangi keluarganya kemudian mandi untuk shalat Shubuh.” [Abu ‘Ubayd
juga meriwayatkan kisah ini dalam Fadhâ`ilul Qur`ân]
An-Nawawiy meriwayatkan bahwa Asy-Syaikh Abû ‘Utsmân Al-
Maghribiy mengatakan: “Dahulu Ibnul Kâtib  mengkhatamkan Al-Qur`an
empat kali pada waktu siang, dan empat kali pada waktu malam.” An-Nawawiy
berkata: “Ini merupakan jumlah terbanyak yang sampai pada kami mengenai
khataman dalam sehari semalam.”
Urgensi Qashîdah Ini

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ُ ۡ ُ ‫ِِلح ۡ ح ُ حق ۡن ل ح ۡف يح‬
‫ون قِون ُفۥ يحو ۡ ِى‬ ُ ُ ‫صت‬ ۡ ‫حأ ح فح‬
ۡ ‫اح حف ُظوا حو ۡصِف لح ُ ۡف حقا ٱ ۡ حت ح‬
ِ ِ
“Perhatikanlah! Hafalkanlah seluruh penjelasanku yang telah aku ringkas
untukmu, agar kalian menjadi tahu tentang apa yang sebelumnya tidak kalian
ketahui.”

Penjelasan:
Bait ini menunjukkan pada kita semangat An-Nâzhim untuk
mengajarkan pada kita pentingnya menuntut ilmu. Beliau memerintahkan
kepada murid-muridnya dan kita sekalian untuk memperhatikan sekaligus
menghafal seluruh penjelasan yang disampaikan dengan ringkas ini, dari
kaidah-kaidah tajwid dan hukum-hukumnya.

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ‫م‬ ۡ ۡ ‫ح ُ ۡ ح َٰ ح‬ ۡ ُ ‫حح‬ ُ ‫ح‬ ۡ ‫ح ح ۡح ح ۡ ح ح‬
‫ح‬
‫ولف أ ِف عن ف ذل َِ ٱلِۡلوف بِوٱل ِر‬ ‫وو َكن عِلو ِم حسوا ۡي ُت ۡف‬‫ف ِِف ربو ل‬
“Seandainya dalam seteguk minuman ini berisi ilmu dan pengetahuanku,
maka sungguh aku akan menuangkannya pada kalian untuk kalian minum, dan
aku tidak akan menyembunyikan dari kalian seluruh ilmu ini dengan cara
menimbunnya.”

Kosa Kata:
Maknanya “seukuran sekali minum”, “seteguk ۡ ‫ح‬
ُ ‫ربح‬
minuman”.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Penjelasan:
Bait ini mempertegas semangat An-Nâzhim dalam mengajarkan orang
lain, sampai-sampai beliau berandai-andai, jika saja dalam seteguk minuman
ini berisi ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya, niscaya akan beliau
tuangkan kepada murid-muridnya. Bahkan beliau mengatakan tidak akan
sedikitpun menyembunyikan ilmu yang dimilikinya. Hal ini disebabkan
besarnya semangat An-Nâzhim dalam mengajar.

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


َّ ‫ت إ حلَٰوووه أح ۡن حَيُو‬
‫ووط ب ِ حهوووا وِ ۡف ِى‬ ُ ۡ ‫ح حجو‬ ًَ ‫ُحو ۡسن ٱ ۡل حِاءِ قحصيو ح‬ ُ ۡ ُ ۡ ‫ح ح‬
ِ ِ ‫ووو‬ ِ ِ ِ ‫ت‬ ‫ل‬ ‫فواو قو‬
ۡ ‫حح‬ َّ ‫ح‬ ً ‫ح حۡح‬ ۡ‫ح‬ ُ ‫ححۡح‬
‫ت حنظ ُف بحيۡ ًتا حب ۡۡ ح حب ۡيت لَع ٱ ِإلث ِر‬ ‫حووو‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ُ
ِ ‫وأبياتهوووا سوووون بيتوووا ووا‬ ‫ح‬

ۡ ۡ ‫إقح ح‬ ‫حح‬ ۡ ‫حح‬ ۡ ‫حوبووٱ َّّللِ تح‬


‫اقت ِ حنووووا إِعوووو حرا ح آيحات ِوووو ِ ٱ ملزهوووو ِر‬ ِ ِ ِ ‫وو‬ ۡ
‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ي‬‫ر‬
ِ ‫وو‬ ‫ج‬ ‫أ‬‫و‬ ‫ِيِق‬
ِ ‫ف‬‫ووو‬ ِ
“Dan sungguh aku telah menyusun sebuah Qashîdah tentang husnil adâ`
(perbaikan cara membaca Al-Qur`ân), dan aku berharap pada Allâh 
sesembahanku, agar Dia menghapus dosa-dosaku dengan sebab qashîdah ini.
Dan jumlah bait-baitnya adalah 51 (lima puluh satu) bait, yang setiap
baitnya tersusun secara berurutan dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Dan hanya kepada Allâh  saya berharap taufîq dan balasan atas apa
yang saya usahakan ini, mengajarkan ilmu dan pengetahuan i’râb ayat-ayat-Nya
yang harum ini.”

Penjelasan:
Pada bait sebelumnya disebutkan bahwa An-Nâzhim berandai-andai,
jika saja dalam seteguk minuman ini berisi ilmu dan pengetahuan yang
dimilikinya, niscaya akan beliau tuangkan kepada murid-muridnya. Syair yang
disusunnya ini beliau usahakan seringkas mungkin agar murid-muridnya bisa
memahami bait demi bait dalam syarir ini, semudah mereka meminum
seteguk minuman yang dituangkan kepadanya.
Bait-baitnya berjumlah 51 bait, yang disusun dengan bahr thawîl.
Setiap satu bait dengan bait yang lain saling berhubungan erat,
Urgensi Qashîdah Ini

mengisyaratkan pada siapa saja yang mempelajarinya agar mengakajinya


secara bertahap hingga tuntas di penghujung baitnya.
Kemudian beliau berharap bahwa dengan Qashîdah yang disusunnya
ini, Allâh akan menghapus semua dosanya, menganugerahi taufîq dalam
kehidupannya, dan memberikan balasan atas usahanya. Semoga Allâh
memberikan apa yang beliau harapkan. Demikian pula harapan kami, semoga
penjelasan yang kami susun ini juga dapat menjadi jalan penghapus dosa dan
kesalahan kami, menjadi sebab turunnya taufîq dan keberkahan dalam
kehidupan kami, serta menjadikan kami dibangkitkan bersama para ulama di
akhirat kelak. Âmîn.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ‫ذ ذ ح‬ َّ ۡ ‫ح‬ ُ ۡ‫ح‬ ۡ ‫ُ ۡ ح ح‬
ۡ ‫ح‬
‫لسووو ِر وٱلهوو ِر‬ ً ‫ُقط‬
ِ ‫يۡووا ِلموو ِر ٱّللِ ِ ٱ‬ ِ ‫ورآن كٱل ِاو ۡ ِح فلو حي ۡن‬‫حو حق ۡن يُاِ ِف ٱلا‬
“Maka siapa saja yang sanggup menegakkan lafazh-lafazh Al-Qur`ân
sebagaimana ia menegakkan anak panah yang tidak ada kebengkokan padanya,
maka sudah semestinya ia menjadi orang yang menaati seluruh perintah Allâh,
baik dalam keadaan sepi ataupun ramai.”

Kosa Kata:
ۡ
Artinya adalah “as-sahm”, yaitu “anak panah sebelum ُ ‫ٱل ِا ۡ ح‬
dilepaskan dari busurnya.”

Penjelasan:
An-Nâzhim memberikan kepada kita peringatan tentang siapakah
Ahlul Qur`ân sebenarnya. Beliau ingin menegaskan dalam baitnya, bahwa
Ahlul Qur`ân bukanlah mereka yang sekadar sanggup menegakkan huruf-
hurufnya: mengeluarkan setiap huruf tepat dari makhrajnya serta
menyempurnakan sifat-sifatnya. Namun, Ahlul Qur`ân yang sebenarnya adalah
mereka yang senantiasa menaati perintah Allâh, baik dalam keadaan sepi
ataupun ramai. Ibnul Qayyim berkata:
Menegakkan Hukum-Hukum Al-Qur`ân dan Huruf-Hurufnya

َ ‫َ ح‬ َ‫َح َح‬ َ ‫ح‬ َ ‫ح‬ ‫َح ح‬


ُ‫ظ حُه ُّر‬
ُ ُ‫ن‬
ُ‫ع‬ُ ُ ُ‫ي ُفظُوه‬ ُ ُ ‫ ُِإَون ُُل ُم‬,‫يه‬ َُ ّ‫ون ُُب ّ َُما ُ ُف‬
ُ ُ‫ ُٱ ُل َُعا ُّمل‬,ّ‫ون ُُب ّ ُه‬ ُ ُ‫آن ُهُمُ ُٱُل َُعاُل ّم‬ ُّ ‫ُأ ُهلُ ُٱ ُلقُ حُر‬
َ ََ ‫ح‬ ‫ح َح‬ ََ ‫ح‬ َ ‫َََ َ ح َ َ َ ح‬ ‫َح‬
ُُ‫وفه‬ َُ ‫ن ُُأ ُق‬
ُ ُ‫ام ُحُر‬ ُ ‫نُُأ ُه ُل ّ ُهُِّإَو‬ ُ َ ‫ُ ُف ُل حُي‬,ّ‫لُُب ّ َُماُ ُفّي ُه‬
ُ ‫سُ ُّم‬ ُ ‫ظهُ ُ َُوُل حُم ُ َُي ُف َُه حُمهُُ َُوُل حُم ُ َُي حُع َُم‬
ُ ‫ح ُّف‬
ُ ُ‫ن‬ ُ ‫ ُ ُوُأ ُماُ ُم‬.‫ب‬
ُّ ‫ُق ُل‬
ََ َ
ُّ ‫لس حُه‬
.‫م‬ َُ ‫ام ُةُٱ‬
ُ ‫ُإ ّ ُق‬
“Ahlul Qur`ân adalah mereka yang memahami Al-Qur`ân dan mengamalkan
isinya meski pun belum hafal di hatinya. Adapun yang telah hafal tapi tidak
memahaminya dan tidak mengamalkan isinya maka bukan termasuk Ahlul Qur`ân
meskipun mampu menegakkan huruf-hurufnya seperti menegakkan anaka-anak
panah (mampu melafazhkannya dengan fasih dari hafalannya yang kuat).”

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ‫ذ‬ ‫ت ِووو ح حوَح تحوووا أح ِۡ حق ح‬
‫ووون ٱ َّدل ۡ ح ل ِ ِكووو ِر‬ ‫ووف أح ِِخ أح َّن ٱ ۡل حف حص ح‬
ۡ ‫وواح ح حف َّ حن‬
‫ووت‬ ۡ ‫حأ ح ٱ ۡعلح‬

َّ ‫ب باإل ِۡ حقان حع ۡن ُ أح حى ٱ‬
ۡ ‫لص‬ ‫حوأح ۡ حه ح‬ ُ ‫إ حا حقوووا تحووو ح ٱ َّلوووال أح ح َّق ل حِسوووانح‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
“Ingatlah! Ketahuilah wahai saudaraku bahwasanya kefasihan lisan itu
akan menghiasai tilâwahnya pembaca Al-Qur`ân, sepanjang ia mengulang-ulang
bacaannya untuk berdzikir pada Allâh dan mempelajarinya.
Apabila seorang pembaca Al-Qur`ân terbiasa untuk selalu membaca, maka
lisannya akan menjadi lembut, dan kebiasaannya untuk terus-menerus membaca
Al-Qur`ân secara rutin dapat menghilangkan penyakit yang ada di dalam dada.”

Kosa Kata:
Artinya adalah “melembutkan”, dari kata “al-lîn” َّ ‫ح ح‬
ُ‫أ ق‬
(lembut).

Penjelasan:
An-Nâzhim menjelaskan pada kita semua nasihat yang sangat penting
yang berkaitan dengan kefasihan lisan. Sebagaimana disampaikan oleh Asy-
Syaikh Islâm bin Nashr Al-Azhariy:
“Maksud An-Nâzhim adalah, “ketahuilah wahai saudaraku yang aku
cintai, bahwa seorang Qâri` yang mutqin dan dhâbith terhadap bacaannya,
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

adalah mereka yang konsisten untuk terus membaca Al-Qur`ân dengan


tilâwah yang benar. Sehingga tilâwahnya terhiasi dengan kefasihan dan
kejelasan.
Sesungguhnya, syarat untuk mendapatkan kefasihan lisan yang
sempurna adalah dengan terus-menerus berlatih tanpa kenal lelah, terus-
menerus memperbanyak tilâwah, dan terus-menerus untuk duduk di
hadapan seorang guru yang ahli dan bisa menunjukkan di mana letak
kekeliruan kita. Al-Imâm Ibnul Jazariy dalam Al-Muqaddimah mengatakan:
‫َ ا‬ َ َ َ
‫اضةُُ ح‬ َ َ ‫َ َح َ َحَ َ َح‬
ّ‫ك ُه‬
ّ ‫ئُبّف‬
ٍُ ‫ٱم ّر‬ ‫إّلرّي‬ ُ ُّ‫يُت حركّه‬
ُ ‫سُبينهُُوب‬
ُ ‫ولي‬
“Dan tidak ada yang membedakan antara orang yang mempelajari kaidah-
kaidah tajwid dengan orang yang tidak mempelajarinya, kecuali latihan terus
menerus secara konsisten dengan lisannya.”
Ibnul Jazariy melanjutkan dalam An-Nasyr (I/ 701):
“Dan aku tidak mengetahui sebab untuk meraih kesempurnaan itqân dan
tajwîd, dan mencapai kesempurnaan tashhîh (pengoreksian) dan tasdîd
(perbaikan), yang semisal dengan riyâdhatul lisân (latihan lidah), mengulang-
ulang lafazh Al-Qur`ân dari mulut seorang muhsin (bisa memperbaiki).”
Kemudian An-Nâzhim mengatakan bahwa di antara buah mengulang-
ulang bacaan Al-Qur`an adalah dapat melembutkan lisan, yakni membuat kita
lebih mudah dan fasih dalam melafazhkan Al-Qur`ân, dan juga dapat
melembutkan hati kita dan membersihkannya dari beragam penyakit hati
yang tercela. Ini merupakan salah satu keistimewaan Al-Qur`ân. Walaupun
seseorang yang membacanya tidak memahami makna kandungannya,
namun bacaan tersebut dapat memberikan efek positif dalam jiwa dan
kehidupannya.
Lahn Dalam Tilâwah Al-Qur`ân

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ‫ح ۡ ح‬ َّ ‫ح‬ ۡ ُ ‫ۡح‬ ۡ ‫ذ‬ ۡ ُ َّ ‫ح ح‬
‫حو حقو ۡۡ ِرف ب ِوٱللو ۡح ِن ِقو ۡن فِيَ إ ِ يو ِري‬ ‫حف ِظوو ِۦ‬
ِ ‫ان‬ ‫وو‬‫ا‬ ‫ت‬ ‫إ‬
ِ ِ ‫ر‬‫وو‬‫ِك‬ ‫ل‬ ‫ٱ‬ ‫ف‬
ِ ‫فوووو ع‬
‫وو‬‫ِل‬
“Maka ilmu yang pertama kali mesti dikuasai dan ditekuni dalam Al-Qur`ân
adalah menguatkan hafalannya, serta memahami dengan baik persoalan lahn
(kekeliruan dalam membaca Al-Qur`ân) yang yang mengalir dari mulutmu saat
engkau membacanya,”

Kosa Kata:
َّ
Secara bahasa, lahn artinya:
َ ‫ُوٱل حن َراف‬ ُ ‫ٱللو ۡحن‬
ُ‫اب‬‫و‬ َ ‫ُعن‬
َ ‫ُٱلص‬ ّ ّ َ ‫ٱل ح َم حيل‬
ّ ّ
“Menyimpang dari yang benar.”
Lahn dalam membaca atau berbicara artinya adalah
keliru dalam mengucapkannya. Seseorang disebut terjatuh
pada lahn apabila ia membaca atau berbicara tidak mengikuti
kaidah i’râb yang benar.

Penjelasan:
Pada bait ini An-Nâzhim menjelaskan pada kita bahwa sebagai seorang
pelajar yang menekuni Al-Qur`ân, maka ilmu yang wajib pertama kali
difokuskan adalah memperkuat hafalan, tidak tergesa-gesa untuk
menambahnya, namun fokus untuk menjaga hafalan dan memperkuatnya.
Hal ini disebabkan hukum menambah hafalan bagi seseorang adalah sunnah
atau fardhu kifâyah bagi seluruh kaum muslimin, sedangkan menjaga apa
yang sudah dihafalnya adalah fardhu ‘ain. Karenanya jangan sampai kita
mendahulukan yang sunnah dan melalaikan yang wajib.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Para ulama mengatakan bahwa melupakan Al-Qur`ân (tidak ada usaha


murajaah atau meninggalkan pembelajaran Al-Qur`ân) hukumnya berdosa
bagi pelakunya. Syaikhul Islâm Ibnu Taymiyyah mengatakan dalam Majmû’ul
Fatawâ:
ُّ َ ‫َ َ ح َ َ ح‬
ُ‫وب‬
ّ ُ‫َّلن‬
ُ ‫نُٱ‬ ُّ ‫انُٱ ُلقُ حُر‬
ُ ّ‫آنُم‬ ُ ‫س ُي‬
ُ ّ ‫نُُن‬
ُ ّ ‫ُفُإ‬
“Sesungguhnya melupakan Al-Qur`ân itu termasuk dosa.”
Al-Hâfizh Ibn Hajar dalam Al-Fath mengatakan bahwa melupakan Al-
Qur`ân adalah musibah yang besar:
َ ََ َ ‫َ ح‬ َ َ َ َ َ َ ‫َ ح َ َ ََََ ح ح‬
ُ‫ ُ( َُو َُما‬:ُ‫لِل ُ َُيقُول‬ َُ ‫ن ُٱ‬ُِ ُّ ُ ,ُ‫ح َُدُثه‬
ُ ‫نب ُُأ‬
ُ ٍ ‫ل ُُب ّ ُذ‬ ُ ّ ‫س ُيهُ ُُإ‬
ُّ ‫آن ُثُ ُم ُُن‬
ُ ‫ح ٍُد ُ ُت ُع ُل ُم ُٱ ُلقُ ُر‬
ُ ‫ّن ُُأ‬
ُ ‫ُما ُم‬
‫ح َ ح َ ح‬ ‫ح‬ َ ‫ا ُّ َ َ َ َ َ َ ح‬ َ
ُ َ ‫ظ ُّمُٱُل َُم‬
ُ َ ّ ‫ص ُائ‬
‫ب‬ ُ‫ع‬
ُ ‫نُُأ‬ ُّ ‫س َُيانُُٱُلقُ حُرآ‬
ُ ‫نُ ُّم‬ ُ‫تُ ُأ ُيح ُّديكُ حُم)ُُ َُوُن ّ ح‬ ُ ‫س ُب‬
ُ‫ك‬ ُ ُ‫بما‬ ُ ‫يب ٍُةُ ُف‬
ُ‫ص‬ َُ ‫ُأ‬
ُّ ‫ص ُابَكُمُ ّمنُ ُم‬
“Tidaklah seseorang mempelajari Al-Qur`ân kemudian ia melupakannya
kecuali hal itu disebabkan dosa yang telah dilakukannya. Karena Allâh telah
berfirman:, “Dan musibah apapun yang menimpamu adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu (maksiat) yang kamu lakukan sendiri.” [QS. Asy-Syûrâ, 42:
30]. Dan melupakan Al-Qur`ân termasuk musibah yang paling besar.”
Bahkan, menurut Syaikhul Islâm Zakariyyâ Al-Anshâriy dalam Asnal
Mathâlib, pelakunya bukan hanya berdosa, tapi dinilai telah melakukan dosa
besar.
َ َ َ َ َ
‫ش ٍُءُ ُّم حُن ُه‬ ُ‫ريةُُ َُو ُك ُذاُُن ّ ح‬
ُ‫س َُيانُُ ح‬ ُ‫َُوُن ّ ح‬
ُ ُُ‫س َُيانُه‬
ُ ّ ‫ك ُب‬
“Melupakan Al-Qur`ân termasuk dosa besar, begitu juga melupakan
sebagain dari Al-Qur`ân.”
Senada dengan gurunya, Ibn Hajar Al-Haytamiy dalam Az-Zawâjir
memfatwakan hal yang sama:
َُ‫ج‬ ‫َ ح‬ َ ‫َح َ ح َح‬ ‫ح‬ َ ‫ا‬ َ ‫ح‬
َ
ُ ‫خ ُر‬ ُ ‫ ُُأ‬.‫ف‬ ‫ح‬
ُ ٍ ‫ح ُر‬َ ‫ح‬
ُ ُ ‫ل ُُأ ُو‬ ُ ‫ن ُُأ ُو ُآُي ٍُة ُمّ ُنهُ ُُب‬ُّ ‫س َُيانُ ُٱُلقُ حُرآ‬ ُ‫ ُُن ّ ح‬:‫ون‬ ُ ‫س ُُّت‬ ُّ ‫ثلَا ُّم َُنةُ ُوٱل‬ َُ ّ ‫ك ُب‬
ُ ‫ريةُ ُٱ‬ ُ ‫أ ُل‬
َ َ‫َ َ ح‬ َ َ ََ ‫َ ح‬ َ َ َ َ َ َ ‫ا ح ُّ َ َ َ ُّ َ ح‬
ُُ‫ّت ُٱ ُل ُق ُذاة‬
ُ ‫ح‬ُ ُ ‫ّت‬ُ ّ ‫لَع ُأُجُورُ ُُأ ُم‬ َ
ُ ُ‫ت‬ ُ ‫ض‬ ُ ‫ ُعُ ُّر‬:‫ال‬ ُ ‫ ُ ُق‬ُ ‫ب‬ َ
ُّ‫ل‬ َ ُ ‫ن ُٱ‬ ُ ‫س ُُأ‬ ُ ٍ ‫ن ُ ُأُن‬
ُ‫ع‬ ُ ُ‫ي‬ ُ ّ ‫س ُائ‬
ُ ‫لن‬
ُ ‫ي ُ ُوٱ‬ ُ ‫لّت ُّم ُّذ‬
ُّ ‫ٱ‬
َ ‫َ ََح ََ َ ً َ ح‬ ََ ‫َ َ ح‬ ‫َ ح‬ ‫ح‬
َُ‫ن‬ َ
ُ ‫ور ٍُةُ ُّم‬
ُ ُ‫نُس‬ ‫ح‬
ُ ّ‫ظمُُم‬ ُ‫ع‬ ُ ‫نباُُأ‬
ُ ‫ّتُ ُف ُل ُمُُأ ُرُ ُذ‬
ُ ّ ‫لَعُذُنُوبُُأُ ُم‬ َُ ُ‫ت‬ ُ ‫ض‬ ُ ‫ج ُّدُ ُوعُ ُّر‬ ُّ ‫س‬ُ‫نُٱُل َُم ح‬ ُ ّ‫لرجُلُُم‬ َُ ‫ي ُّرجُ َُهاُٱ‬ُ
َ‫س ُيَ ُها‬ َ َ َ َ َ ‫ح‬ َ ‫ح ح‬
ُّ ‫يهاُ ُرجُلُُثُ ُمُُن‬ ُ ّ‫نُُأ ُوُآ ُي ٍُةُأُو ُت‬
ُّ ‫ٱ ُلقُ ُرآ‬
Lahn Dalam Tilâwah Al-Qur`ân

“Dosa besar yang ke-68 ialah: melupakan hafalan Al-Qur’ân meskipun satu
ayat atau satu huruf saja. Al-Imâm At-Tirmidziy dan Al-Imâm An-Nasâ`iy
mengeluarkan hadits dari Anas  sesungguhnya Nabi  bersabda:
“Diperlihatkan kepadaku pahala-pahala ummatku, bahkan sampai pahala
seseorang yang membuang debu dari masjid. Kemudian ditampakkan kepadaku
dosa-dosa ummatku, dan aku tidak melihat dosa yang lebih besar dibandingkan
dosa seseorang yang telah diberi (hafalan) satu sura atau satu ayat Al-Qur`ân,
kemudian dia melupaknnya”.” [HR. Abû Dâwûd 390 dan At-Tirmidziy 2840]
Tentu saja lain halnya dengan seseorang yang telah berusaha untuk
menjaga hafalannya, kemudian pada suatu waktu kadang ia terlupa, karena
lupa merupakan salah satu fitrah setiap manusia. Ibn Hajar dalam Fatawâ-nya
mengatakan:
“Yang dimaksud melupakan (nisyân) Al-Qur`ân yang diharamkan adalah
sekiranya dia tidak mampu mengembalikan hafalannya kecuali dengan usaha
ekstra keras dan melelahkan disebabkan hafalannya telah benar-benar hilang.
Adapun lupa yang bersamaan dengan itu dia mampu mengingatnya dengan
mendengar atau sekedar memutar otak, maka ini sesungguhny dinamakan
sahwun dan bukanlah nisyân, maka hukumnya tidak haram.”
Sampai pada perkataan beliau:
“Sakit yang mengganggu hati dan lisan, dan berakibat melemahkan otak
untuk menjaga hafalan, selama ia tidak menjauhkan dirinya dari Al-Qur`ân bisa
dianggap udzur, karena kelupaan yang timbul akibat semua itu tidak terhitung
sebagai kecerobohan, karena hal tersebut bukanlah pilihannya sendiri.”
Maka dari itu, jangan sampai kita begitu semangat untuk
mengamalkan yang sunnah namun lemah untuk mengamalkan yang fardhu.
Ibarat seseorang yang rajin dan merutinkan tahajjud, namun Shubuhnya
bolong-bolong disebabkan sering kesiangan setelahnya. Tentu hal tersebut
bukanlah sebuah kebaikan, karena yang fardhu ‘ain tetap mesti menjadi
prioritas dalam kehidupan setiap muslim.
Tentu saja kita sepakat bahwa yang terbaik adalah menggabungkan
keduanya. Ini adalah keadaan yang ideal. Realitanya, tidak setiap orang
memiliki kondisi ideal, sehingga manakala ia mesti memilih secara realistis,
maka jelas yang fardhu ‘ain harus menjadi prioritas, yang lebih diutamakan
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

dan didahulukan daripada yang sunnah. Sedangkan siapapun yang berada


dalam kondisi ideal dimana ia sanggup mengamalkan keduanya, maka
teruslah menjaga yang fardhu agar tidak pernah terluput dan senantiasa
berusaha mengamalkan yang sunnah walau hanya sebagiannya.

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ُ ۡ ‫ح ح ۡ ُ َّ ۡ ح‬ َّ ‫ح ح‬ ُ ‫ون حَ فً وا ب وٱ َّلل ۡحن حك ۡي حمووا تُز لح و‬
ۡ ‫فح ُ و‬
ِ ‫فما ل ِ ِي يۡو ِرِ ٱللحون قِون عو‬ ِ ِ ِ ِ
Maka jadilah engkau seorang ‘ârif, orang yang benar-benar memahami
persoalan lahn agar engkau tidak tergelincir padanya. Karena tidak ada udzur bagi
orang yang tidak mau memahami persoalan lahn.”

Penjelasan
An-Nâzhim menyampaikan bahwa tujuan memahami lahn dalam
tilâwah adalah agar seseorang tidak tergelincir padanya. Kemudian beliau
menyampaikan siapa saja yang tidak mau tahu persoalan ini, maka tidak ada
udzur baginya. Al-Imâm Ibnul Jazariy mengatakan dalam Muqaddimah-nya:
َ ‫ح‬ َ َ ‫َ حَح‬
ُ ‫َمن ل حُم ُيَ اوّدّ ٱُلق َر‬
ُ ُ‫ان آث ّم‬ ُ ُ‫جوّي ُّد َح حُتم‬
ُ ‫لزّ ُم‬ ُ‫اتل ح‬
َ ‫خذُ ب‬
ّ ُ ُ ‫ُوٱ‬
ِ
َ َ َ َ ‫َ َٰ َ َ ح َح‬ َ َ ‫ح َٰ َ ح‬ ََ
ُ ُ‫صّل‬ ‫وهُكذا مُّنُهُ إُ ِّلُنا و‬ ُ ُ ُ ‫ل‬ ُ ‫ل ُلهُ أُنز‬
ُّ ‫ِنهُ ب ّ ُهّ ٱ‬ ُّ
“Dan mengamalkan tajwid merupakan kewajiban yang hukumnya tetap
bagi seluruh muslim mukallaf. Siapa saja orang yang sengaja tidak mengamalkan
tajwid saat membaca Al-Qur`ân (sampai mengubah makna), maka ia berdosa,
Karena bersama dengan tajwid Allâh menurunkan Al-Qur`ân dan cara
membacanya. Serta bersama dengan tajwid pula Al-Qur`ân dan cara membacanya
dari-Nya sampai kepada kita.”
Namun demikian, mesti kita pahami bahwa tidak semua kekeliruan
dalam membaca Al-Qur`ân berkonsekwensi dosa. Sesungguhnya para ulama
tajwid dan qiraat membagi lahn menjadi dua: al-lahnul jaliy dan al-lahnul
khafiy. Berkata Asy-Syaikh ‘Utsmân bin Sulaymân Murâd dalam As-Salsabîl:
َ ‫ُم حعُخ َّلفُِف ح‬
ُ‫ُٱل ّف‬ َ ‫ُح َرام‬
َ ‫ك‬‫ي‬ َ َ ‫َ ي‬
ُ‫ُوخ ّف‬
‫ا‬
‫وٱلل ححنُق حّس َما ّنُج ّل‬
ّ ٍ ّ
Lahn Dalam Tilâwah Al-Qur`ân
‫َ ح َ َ ُّ ح‬ ََ ‫ح‬ َ َ َ‫َ ا ح‬
ُ َ ‫لُٱل َم حع‬
ُ‫ن‬ ُ ّ‫لُي‬
ُ ُ‫لُب ّ ُهُّأ ُو‬
ُ‫خ‬ ُ‫ِفُٱل َم حب َن‬
ُ ّ ُُ‫لُفخ َطأ‬
ُ ّ ‫أماُٱل‬
“Dan lahn itu ada dua jenis: lahn jaliy dan lahn khafiy. Keduanya haram,
namun sebagian Ulama Qiraat berbeda pendapat mengenai hukum lahn khafiy,
apakah ia haram atau makruh.
Adapun lahn jaliy adalah kekeliruan dalam masalah tata bahasa, baik
mengubah ataupun tidak mengubah makna. Seperti mengubah, menambah atau
mengurangi huruf, dan mengubah harakat.”

Al-Jaliy berarti terang atau jelas, yakni kekeliruan yang terlihat dengan
jelas baik dikalangan awam maupun para ahli tajwid, selama dia memahami
bahasa Arab. Karena lahn jaliy adalah kekeliruan yang berkaitan erat dengan
kaidah bahasa Arab atau i’râb. Kekeliruan yang termasuk lahn jaliy ada tiga:
mengubah huruf, menambah atau mengurangi huruf, dan mengubah harakat.

Pertama, mengubah huruf. Contohnya:


Bacaan Benar Bacaan Salah
َ َ ‫حَ ح َ َ ا ح‬ َ َ ‫حَ ح‬
َُ ‫بُٱلعٰل ّم‬
‫ي‬ ّ ‫ٱۡلمدُُ ّلِلُّر‬ َُ ‫ُٱٓأۡلل ّم‬
‫ي‬ ُ ‫ب‬ ّ
‫ُلِل َُّر ا‬
ّ ‫ٱلهمُد‬
Segala puji bagi Allâh rabb semesta Segala kehancuran bagi Allâh rabbnya
alam5 rasa sakit

Kedua, menambah atau mengurangi huruf. Contohnya:


Bacaan Benar Bacaan Salah
ُ‫ين‬ ُ
‫ل‬
ّ ‫كُيَ حو ُّمُٱ ا‬
ُّ ّ ‫ل‬ٰ ‫َم‬ ُ‫ّين‬ ‫َمٰلُّكُُيَ حو ّم ا‬
‫ُُٱل‬ ّ
ّ ّ
Pemilik hari pembalasan.6 Milik saya hari pembalasan
َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
ُ ‫اكُن حعبدُُِإَوي‬
ُ‫اكُن حس َتعّي‬ ُ ‫إّي‬ ُ‫ُاكُُن حس َتعّي‬‫ُاكُُن حعبدُُِإَوي‬‫إّي‬
Hanya kepada Engkaulah kami Kepada cahaya matahari-Mu kami
menyembah dan hanya kepada menyembah dan kepada cahaya

5
QS. Al-Fatihah, 1: 2
6
QS. Al-Fatihah, 1: 4
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

engkaulah kami memohon matahari-mu kami memohon


7
pertolongan. pertolongan
Ketiga, mengubah harakat. Contohnya:
Bacaan Benar Bacaan Salah
َُ ‫ّينُ َأ حن َع حم‬
‫ت َعلَ حيه ُمح‬ َُ ‫طُٱ ََّل‬
ُ َ ٰ ‫ص َر‬
ّ ‫ّينُ َأ حُن َع حمتُ َعلَ حيه ُمح‬
َُ ‫طُٱ ََّل‬
ُ َ ٰ ‫ص َر‬
ّ
ّ ّ
Jalan orang-orang yang telah Engkau Jalan orang-orang yang telah saya
beri nikmat.8 beri nikmat

Sesungguhnya para ulama sepakat untuk menjaga bacaan Al-Qur`ân


agar tidak mengubah makna. Artinya, sengaja membaca Al-Qur`ân sampai
mengubah maknanya termasuk perkara yang diharamkan berdasakan ijmâ’.
Asy-Syaikh Mahmûd Khalîl Al-Hushariy mengatakan dalam Ahkâmu Qirââtil
Qur`ân hal. 35:
َ ََ َ َ َ ‫ح‬ َ‫ا‬ ‫ُح َرام َ ح‬ َ َ َ َ
ُ‫ُعل حيهُّفاعّله ُإّن‬ ُ ‫َُش ًَع ُبّٱت ّفا ّقُٱلم حسل ّ ّم‬
‫ معاقب‬,‫ي‬ َ ‫ُٱلل ححن‬
ّ ‫َوهذاُٱلَ حوع ُمّن‬
ً ََ ً َ ‫َ َ َ َ َ َ َ َ َ ً َح‬
.‫ُجاهّّلُفّلُح حر َم ُة‬ ‫ فإّنُفعلهُنا ّسياُأو‬.ُ‫تعمده‬
“Dan lahn jenis ini (jaliy) secara hukum syar’i haram berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin. Pelakunya mendapat dosa apabila melakukannya
dengan sengaja. Apabila ia melakukannya karena lupa atau tidak tahu, maka tidak
haram.”
Dr. Rihâb Muhammad Mufîd Syaqaqiy dalam Hilyatut Tilâwah hal. 153
mengatakan:
َ ‫ح‬ َ‫َح‬ ‫ََ َ ح‬ ًَ َ ‫ُٱلل ححن ح‬
َ ‫ح‬
ُ‫آن ُٱل ّّت‬ ‫ح‬
ّ ‫اظ ُٱلقر‬ ّ ‫ُِلف‬ ّ ‫ ُ ِّنه ُتغيّري‬,‫ُح َرام ُم حطلقا‬
َ ‫ هُ َو‬:‫ل‬
ُّ‫ُٱل ّ ا‬ ّ ‫حكم‬
َ ‫َح‬ َ َ َ َ َََ َ َ َََ َ ‫َ َ ح‬ ‫َََ ح‬ َ ‫ب َت حغيري َها َُت َت َح َرف‬
ُ‫ ُوأما ُمن ُل ُيست ّطيع ُأو ُل‬,‫ ُوأما ُٱلاهّل ُفعليهُّأن ُيتعل ُم‬,ّ‫ُم َعان ّي ُه‬
‫ح‬ َ
ّ ّ ّ

7
QS. Al-Fatihah, 1: 5
8
QS. Al-Fatihah, 1: 7
Lahn Dalam Tilâwah Al-Qur`ân

َ ََ ً َ ‫ََ َ ا‬
َ ‫ُُيح َهر ُب حٱل ّق َر‬ َ َ َ َ َ ‫َ ح َ َ َ َ َ ُّ َ َ ح‬
ُ‫ُِّف‬
ّ ‫ة‬ ‫اء‬ ّ ‫ل‬ ‫و‬ُ , ‫ا‬ ‫ام‬‫م‬ ‫إ‬
ّ ُّ ‫ل‬‫ص‬‫ُي‬ ‫ل‬ ‫و‬ ُ , ‫ه‬
ُ ‫ت‬ُ
‫ّل‬ ‫ُّص‬ ‫ه‬ّ ّ ‫يقوي ُلَع ُٱتلعل ّم ُفيقرأ ُما ُت‬
‫ب‬ُ ‫ح‬ ‫ص‬
‫ح‬ ََ
َُ ‫ُمال ّّسُٱلم حسل ّ ّم‬
ُُ.‫ي‬
“Hukum lahn jaliy: adalah haram secara mutlak, karena mengubah lafazh
Al-Qur`ân yang karena perubahan tersebut dapat menyimpangkan maknanya.
Adapun orang awam, wajib baginya belajar (hingga terbebas dari lahn jaliy). Orang
yang tidak bisa belajar atau tidak sanggup lagi mengikuti pembelajaran, maka
wajib baginya (terus belajar sampai bisa) membaca Al-Qur`an dengan benar surat
yang menjadi rukun shalat (Al-Fâtihah), tidak menjadi imam shalat, dan tidak
mengeraskan bacaannya dalam majlis-majlis kaum muslimin.”

Para ulama membedakan hukum lahn jaliy dalam shalat, dari sisi
apakah ia mengubah makna atau tidak, juga apakah terjadi pada surat Al-
Fâtihah atau surat selainnya. Kemudian para ulama juga membedakan dari
sisi siapa yang melakukannya, apakah ia seorang ummiy (orang yang tidak
bisa membaca Al-Fâtihah dengan benar) atau qâri (orang yang sudah bisa
membaca Al-Fâtihah dengan benar), juga dari sisi apakah ia shalat menjadi
imam, sendirian, atau menjadi makmum. Kami hanya akan menyampaikan
kesimpulannya untuk meringkas pembahasan. Adapun rinciannya,
hendaknya para pembaca sekalian merujuk Kitab Al-Imâmah wal Itmâmi Fish
Shalâh yang disusun Al-Ustâdz (Prof) Dr. ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-
Munîf dan Al-Ahkâmul Fiqhiyyah Al-Khâshshah Bil Qur`ânil Karîm yang disusun
Al-Ustâdz (Prof) Dr. ‘Abdul ‘Azîz bin Muhammad Al-Hajîlan. Sebagian fatwa
para imam telah kami kutip dalam buku kami, Panduan Tahsin Tilâwah Surat Al-
Fâtihah.
Kesimpulan hukum dalam permasalahan ini berdasarkan kajian atas
pendapat para ulama adalah: Pertama, dilihat dari sisi orang yang shalat
sendirian atau menjadi imam, maka hukumnya sebagai berikut,
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Lahn Jaliy

Mengubah Makna Tidak Mengubah Makna

Tidak membatalkan
Al-Fâtihah Selain Al-Fâtihah shalat, namun haram
apabila sengaja

Tidak membatalkan
Haram apabila sengaja, shalat, namun haram
membatalkan shalat apabila sengaja
apabila ia seorang qari,
walau tidak sengaja.
Imam atau orang yang
shalat sendirian, wajib
mengulang bacaan kalau
tidak sengaja.

Kedua, dilihat dari sisi makmum, apabila imam terjatuh pada kesalahan
yang mengubah makna pada Al-Fâtihah, maka rinciannya sebagai berikut:

Al-Fâtihah Mengubah Makna

Imam Qari Imam Ummiy

Imam Mengulang Imam Tidak


Bacaan yang Benar Mengulang Sah bagi dirinya sendiri, dengan syarat
masih belajar.
Tidak sah menjadi imam kecuali bagi
sesamanya, makmum yang qari tidak
Shalat Sah Wajib Mufaraqah sah mengikutinya.
Lahn Dalam Tilâwah Al-Qur`ân

Asy-Syaikh Utsmân Murâd mengatatakan dalam As-Salsabîl:


‫َ َح ح‬ َ ‫ح َح ح‬ ‫َ َ حَ َ َ َ َ ح‬
ُ ّ ‫ّتكُُّٱل َو حص‬
‫ف‬ ُ ‫ريُإّخّل ٍُلُك‬
ُّ ‫ّنُغ‬
ُ‫م‬ ‫ح‬
ُ ّ ‫ِفُٱلعر‬
‫ف‬ ُ ُُ‫فُفخطأ‬
ُ ّ ‫أماُٱل‬
“Adapun lahn khafiy adalah kesalahan dalam ‘urf (tata cara membaca Al-
Qur`ân yang telah disepakati Ulama Qiraah), dan tidak mengubah makna
kandungan Al-Qur`ân, contohnya seperti tidak menyempurnakan sifat-sifat huruf
hijaiyyah.”
Al-Khafiy berarti tersembunyi, yaitu kesalahan ketika membaca Al-
Qur`ân yang tidak diketahui secara umum kecuali oleh orang yang pernah
mempelajari ilmu tajwid. Bahkan sebagian di antaranya hanya diketahui oleh
para ulama yang memiliki pengetahuan mengenai kesempurnaan membaca
Al-Qur`ân. Kekeliruan khafiy ini banyak sekali terjadi, di antaranya:
1) Tidak menyempurnakan harakat sebagaimana mestinya,
2) Berlebihan dalam menebalkan huruf-huruf tafkhîm dan tarqîq,
3) Mengalirkan dengan sengaja suara huruf-huruf yang berharakat
melalui rongga hidung,
4) Tidak konsisten dalam menentukan kadar panjang madd atau
ghunnah,
5) Memantulkan huruf-huruf yang bukan qalqalah dan tidak
memantulkan huruf-huruf qalqalah,
6) Berlebihan dalam mengucapkan sebagian huruf hijaiyyah, seperti
huruf Hamzah yang diucapkan seperti orang yang muntah, atau huruf
Ha yang hampir-hampir dipindahkan makhrajnya ke dada, huruf Ya dan
Waw bertasydid yang sering hilang sifat rakhâwah-nya, dan lain
sebagainya,
7) Berlebihan dalam sebagian sifat huruf, seperti hams, takrîr, ithbâq, dan
lain sebagainya,
8) Berhenti (waqf) dengan harakat yang sempurna,
9) Menghilangkan kejelasan huruf awal dan akhir pada sebuah kalimat,
10) Ikhtilâs, mengurangi kadar panjang harakat dari yang semestinya.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

11) Isybâ’ harakat, yaitu menambah sedikit harakat sebelum sukun (lawan
dari ikhtilâs).9
Beberapa contoh dalam bacaan:
SEHARUSNYA
BACAAN SERING DIBACA (SALAH)
(BENAR)
Membaca setiap huruf Menyamarkan sebagian
َ ‫ۡح‬ َ ‫ُّٱلر‬ َ
َ ‫ُٱلِل‬
‫نُٱلرحيم‬ ‫بّس ّم‬ dengan jelas hurufnya, terutama huruf
pertama (Ba)

Membaca setiap huruf Menyamarkan, bahkan


َ
ُّ ‫َوٱلف‬
‫جر‬ dengan jelas menghilangkan huruf terakhir
saat waqf

Menipiskan huruf tipis Menebalkan huruf tipis dan


َ ٰ َ ‫ُٱلش‬ ‫ا‬ َ
‫جيم‬
ّ ‫يط ّنُٱلر‬ ُ ‫أعوذُبّٱلِلُّم َّن‬ dan menebalkan huruf menipiskan huruf tebal
tebal

َ َ Membaca dengan ikhfâ Membaca dengan ikhfâ a’la


ُ‫مّنُقبلّك‬ adna dan tafkhîm dan tarqîq

Membaca dengan ikhfâ Membaca dengan ikhfâ adna


‫كنتم‬ a’la dan tarqîq dan tafkhîm
َ َ Membaca Lam dengan Memantulkan huruf Lam
ُ‫ٱۡلمدُلِل‬ jelas

َ َ Membaca dengan Membaca dengan qalqalah


‫ٱلفلق‬ qalqalah tafkhîm tarqîq, atau tanpa qalqalah
sama sekali

َ َ‫َمنُي‬
‫عمل‬
Menyempurnakan Tidak menyempurnakan
ghunnahnya ghunnahnya, isyba’, dll

Membaca dengan harakat Membaca dengan ikhtilas atau


َ ‫َو‬
‫ِلُدّين‬
ّ yang sempurna mengubah harakat menjadi
sukun (lahn jaliy).

9
Isyba’ disebut juga tawallud, karena dengan membaca melebihi kadar panjang yang
seharusnya sama artinya dengan melahirkan huruf yang baru. Sebagian Ulama memasukkan isyba’
ke dalam lahn jaliy.
Lahn Dalam Tilâwah Al-Qur`ân

Kami telah menyampaikan permasalahan ini dalam Panduan Tahsin


Tilâwah Surat Al-Fâtihah dan juga Syarh Tuhfatul Athfâl. Sebagai pengingat,
maka kami akan menyampaikannya kembali di sini:
Permasalahan mengamalkan tajwid pada sifat-sifat penghias
(tahsîniyyah), seperti kesempurnaan sifat hams, jahr, rakhâwah, qalqalah, atau
hukum-hukum tajwid seperti ikhfâ atau idghâm, atau berbagai persoalan
lainnya yang saat ditinggalkan tidak mengubah makna, maka hukumnya
diperselisihkan oleh para ulama, dimana para ulama fiqih mengatakan tidak
wajib mengamalkannya secara mutlak.
Namun demikian, seluruh ulama sepakat, bahwa mengamalkan
hukum dan kaidah tajwid dengan sempurna adalah bagian dari sunnah, atau
seminimalnya merupakan kebaikan yang akan mendapat balasan dan pahala
dari Allâh . Seperti menyempurnakan sifat-sifat huruf, atau mengikhfâkan
yang ikhfâ, mengidghâmkan yang idghâm, mengghunnahkan yang ghunnah,
serta menjaga panjangnya madd secara teliti, apakah ia dibaca 4, 5, atau 6
harakat. Semua ini mengandung kebaikan dan mendapat pahala apabila
diniatkan mengikuti sunnah Nabi . Adapun dalam permasalahan yang
apabila ditinggalkan dapat mengubah makna, maka hukumnya wajib
diamalkan dan haram meninggalkannya dengan sengaja.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Sebagian ulama qiraat mengatakan bahwa sengaja terjatuh pada lahn


khafiy hukumnya haram walaupun tidak mengubah makna. Adapun
kebanyakan ulama qiraat merinci permasalahan ini sebagai berikut:
1) Apabila yang melakukannya orang ‘awâmm, maka tidak berdosa
walaupun dengan sengaja.
2) Apabila yang melakukannya adalah orang yang telah memahami seluk
beluk tajwid dan qiraat, para pengajar Al-Qur`ân, atau para imam
shalat, maka aib (tercela) bagi dirinya terjatuh pada kesalahan ini,
kecuali tidak sengaja atau lupa.
Asy-Syaikh Ayman Suwayd menambahkan: Adapun dalam rangka
periwayatan dan pengambilan ijâzah (majlisul adâ`) maka baik orang awam
terlebih lagi muqri (para Ulama Qiraat) wajib mengamalkan seluruh kaidah-
kaidah tajwid, karena berkaitan erat dengan kejujuran dalam periwayatan.
Timbangan Qirâ`ah

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


‫ح حح ح ح ۡ ح ۡح ۡ ح ح ۡح‬ ‫ح حح ح ۡ ح‬ ‫فحإ ۡن حأنۡ ح‬
‫ت ححو َّا ۡا ح‬
‫ووون ا ٱلا ۡهوو ِر‬ ۡ‫فِ وواَِ فِيهووا وٱسووو ِ ٱل‬ ‫اح ِ ٱلو ۡز‬ ‫ت ٱلو ِاراءَ ف‬ ِ
‫ضو ٱ ۡل ذ‬‫ۡ حۡ ح‬ ۡ ‫ذ‬ ُ ۡ ‫ح‬ ‫ح‬ ۡ ُ ‫ۡح ح ح‬
ِِ ِ ‫ف‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫و‬‫ق‬ِ ‫ر‬
ِ ‫وِ ٱل‬
‫و‬‫ِك‬ ِ ‫فو حوفن ُحو ُر‬ ‫ل ۡرِ ُ ِر ۡج ُ ع ۡن ححو ذ ِ حو ۡفن ِو ِۦ‬ ‫فِ ِن ٱ‬
“Maka apabila engkau berusaha menyempurnakan bacaanmu, berhati-
hatilah jangan sampai berlebihan dalam menunaikannya, dan mintalah
pertolongan dari Allâh Yang Maha Perkasa.
Tunaikanlah huruf sesuai dengan timbangannya dan janganlah engkau
melampaui batasnya, karena sesungguhnya menunaikan hak huruf Al-Qur`ân
sesuai dengan timbangannya masing-masing termasuk kebaikan yang paling
utama.”

Penjelasan:
Dalam bait kita An-Nâzhim memberikan peringatan kepada kita
sekalian, bahwa menyempurnakan bacaan Al-Qur`an itu mesti ditunaikan
secara proporsional, tidak berlebihan. Hati-hati dalam melampaui batas
dalam menunaikan Al-Qur`an, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang.
Mereka mengira berlebihan dalam membaca Al-Qur`ân sebagai tajwid,
padahal mereka telah keluar dari lingkaran tajwid.
Al-Imâm Ibnul Jazariy mengatakan,
َ َ ُّ ُّ َ َ َ ‫َ ًَ ح‬
ُ‫ّلُت َع ُّس ّف‬ ُّ ‫ِفُٱلُّ حط‬
ُ ّ ‫قُب‬ ُ ّ ‫بّٱلل حط‬
ُ ّ ُ‫ف‬ ُّ ‫ّنُغ ح‬
ُ ُ‫ريُ َماُتكل ّف‬ ُ ‫ّلُم‬
ُ ‫مكم‬
“Membacanya dengan sempurna tanpa berlebih-lebihan, dengan
pengucapan yang lembut tanpa dipaksakan,”
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Imâm As-Sakhâwiy dalam An-Nûniyah Fî Tajwîd mengatakan bahwa


setiap huruf memiliki mizan (timbangan/ bobot) yang mesti ditunaikan sesuai
dengan timbangannya. Bila misalnya, satu huruf memiliki bobot 1 kg, maka
kita wajib menunaikannya 1 kg, tidak menguranginya juga tidak berlebihan
atasnya. Mentajwidkan Al-Qur`ân artinya membaca Al-Qur`ân sesuai dengan
kaidah yang berlaku, sempurna takaran dan timbangannya. Bila madd asli
panjangnya dua harakat, maka jangan jadikan ia tiga, empat, apalagi enam
harakat. Beliau mengatakan:
َ‫َ حَ َ َ ح‬ ‫نُُيَرُومُُ ُت ّ َ ُ َ َ ح ح‬
ُّ ‫لت ُقا‬
‫ن‬ ُ ‫َُوُُيَرُودُُش ُأ ُوُ ُأئ ّ ُم ُةُٱ‬ ُ ُ ُ‫آن‬
ّ ‫ّل ُوُةُٱ ُلقُ ُر‬ ُ‫يَاُ َم ح‬
َ َ ‫ح‬ ‫َ َح‬
ُّ ‫الُ َُم َُدُ ُفّي ُهُّل َوا‬
‫ن‬ ُ ‫أوُ َُم َُدُ َُم‬
ُ‫ُ ح‬ ‫طا‬ًُ ‫يدُ َم ًّداُم ُف ُّر‬ َُ ّ‫ج ُو‬ُ‫تل ح‬
َُ ‫بُٱ‬ ُّ ‫س‬ُّ ‫ت‬ ُ ُ‫ل‬ ُ
‫َ ح‬ َ َ‫ح ح َ َ ح‬ َ َ ‫ا‬
ُّ ‫ك َُرا‬
‫ن‬ ُ ‫لس‬ُ ‫فُكٱ‬ ُ ‫ۡل حُر‬ ُ ‫وكُٱ‬ ُ ‫أنُتل‬ ُ ُ‫أو‬ ُ ُ ُ ً‫شد ُدُ َُب حُع َُدُ َُم اٍُدُ ُه حُم َُزُة‬ ّ ‫أوُأنُت‬ ُ‫ح‬
‫ََ َ َ َ َ َح‬ ً َ ‫ح‬ َ َ َ َ ‫ح‬
ُّ ‫نُٱلغ ُث َُيا‬
‫ن‬ ُ ‫سا ُّمع ُهاُ ُّم‬ ُ ُ‫فيفّ ُر‬ ُ ُ ‫َع‬ ‫ا‬ َ
ُ ّ‫وهُُب ّ ُه ُم ُزُة ُّمتهو‬ ُ ‫أوُُأنُتف‬ ُ
‫ح‬ َ ََ َ ََ َ ‫ح‬
ُّ ‫يا‬
‫ن‬ َُ ‫سُٱل ُّم‬ َُ ّ ‫م‬ ُ ُُ‫لُُتك‬ ُ ‫ُفّي ُهُّ ُو‬ ُ ‫غ ًُيا‬
ُّ ‫طا‬ َُ ُُ‫ّلُُتك‬ ُ ‫يانُُ ُف‬ ُ ‫فُ ُّم‬ َُ ‫ُل ُّل‬
ُ ّ ‫ح حُر‬
“Wahai orang-orang yang bertilâwah Al-Qur`ân dan ingin mengikuti jejak
para imam ahli qiraah yang mutqin,
Janganlah engkau mengira bahwa tajwid adalah berlebihan dalam
memanjangkan kadar mad, atau membaca dengan mad pada kata yang tidak ada
mad padanya,
Atau engkau menambahkan huruf Hamzah setelah madd, atau engkau
mengeluarkan huruf dengan suara yang mengunyah-ngunyah di dalam mulutmu
seperti orang yang mabuk,
Atau engkau membaca Hamzah secara berlebihan seperti orang yang
muntah, sehingga membuat orang yang mendengarnya (yang telah paham tajwid)
lari menjauhimu,
Sesungguhnya setiap huruf memiliki timbangannya masing-masing, maka
janganlah engkau berlebihan dalam memberikan haknya, juga janganlah engkau
mengurangi hak dan timbangannya.”
Sebagian orang yang baru belajar tajwid kadang berlebihan dalam
usahanya memperoleh kesempurnaan bacaan sehingga ia memberikan bobot
Timbangan Qirâ`ah

yang lebih dari apa yang semestinya. Kadangkala ia malah mengurangi apa
yang semestinya diberikan. Dari bait-bait An-Nûniyah tersebut, kita dapat
memahami bahwa tajwid bukanlah:
- Memanjangkan mad lebih dari kadar yang semestinya,
- Memanjangkan kata yang tidak ada mad padanya,
- Menambah Hamzah setelah madd,
- Mengucapkan huruf seperti orang mabuk,
- Mengucapkan Hamzah seperti orang muntah,
Begitupula bahwa mentajwidkan Al-Qur`ân bukan berarti:
- Menambah suara lain dari rongga hidung, apalagi menyegaja dalam
melakukannya,
- Mengurangi hak atau suaranya, seperti pada ghunnah, madd, dan
selainnya.
Namun demikian, Asy-Syaikh Ayman Rusydi Suwaid menjelaskan
bahwa takalluf (beban) itu terbagi menjadi dua:
1) Takalluf yang disyariatkan (mathlûb), yaitu mengerahkan seluruh
tenaga untuk mengucapkan lafazh demi lafazh hingga tercapai
bahasa yang paling fasih. Pada awalnya mungkin terasa berat, namun
lama kelamaan pasti akan terasa ringan dan kesan takalluf itu akan
hilang dengan sendirinya.
2) Takalluf yang tercela (madzmûm), yaitu berlebih-lebihan dalam
mengucapkan lafazh demi lafazh hingga setiap ucapan terkesan
dibuat-buat, kaku, dan tidak enak didengar. Inilah yang dibahas oleh
An-Nâzhim dalam bait ini.

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ‫ح حح ح‬ ‫حۡ ح ح‬ ‫ح‬ ‫حح ح‬ ً ‫َ بوٱ َّل ۡحاِي إ ۡن ُكو ۡن ح‬
‫ح ُ ۡ ُ ح‬
‫لَع أحووو أن ت ِز ووو لَع عشوووو ِر‬ ‫ت آ ِو ا‬ ِ ِ ِ ‫وحوكم‬
“Dan apabila engkau ingin mengambil riwayat Al-Qur`ân serta
mempelajarinya kepada seorang guru, maka janganlah engkau melebihi sepuluh
ayat dalam sehari.”
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Penjelasan:
An-Nâzhim mengingatkan pada kita sekalian bahwa proses
pembelajaran mesti dilalui sedikit demi sedikit secara bertahap, tidak tergesa-
gesa, dan kita mesti bersabar di atasnya. Karena demikianlah adat kebiasaan
salaf dalam menuntut ilmu. Mereka memulai dari ilmu yang kecil sebelum
ilmu yang besar. Mereka memulai dari pintu masuk yang benar dalam
mengarungi samudera ilmu. Sehingga kita pun dapat menyaksikan
bagaimana mereka bisa menjelma menjadi sumber ilmu dan pengetahuan,
yang dengannya kita mengambil begitu banyak faidah dalam mengenal Allâh,
Rasûl, dan risalah yang dibawanya.
Diriwayatkan dari Abû ‘Abdirrahmân As-Sulamiy, bahwa para Sahabat
dahulu pada saat mengambil Al-Qur`ân dari Nabi , mereka mempelajarinya
sepuluh ayat dan tidak tergesa-gesa menambahnya, sampai mereka bisa
mempelajari kandungannya, berilmu tentangnya, dan mengamalkan apa
yang ada di dalamnya. Sungguh mereka telah menggabungkan Al-Qur`ân,
ilmu, dan amal secara bersamaan.
Diriwayatkan oleh Al-Qurthubiy bahwa dahulu Sayyidunâ ‘Umar bin Al-
Khaththâb  mempelajari Al-Baqarah sepanjang kurun waktu 12 (dua belas)
tahun. Ketika beliau mengkhatamkannya maka beliau menyembelih seekor
binatang ternak. Sedangkan putra beliau, Ibn ‘Umar, sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Imâm Mâlik dalam Al-Muwaththa’ menyelesaikan Al-
Baqarah selama delapan tahun.
Lihatlah betapa para Sahabat tidak tergesa-gesa dalam memasuki
samudera Al-Qur`ân. Mereka mempelajarinya secara perlahan,
mentadabburinya, berinteraksi dengannya, berusaha mengamalkannya, baru
mereka menambahnya. Demikianlah kebiasaan para Sahabat dan para ulama
setelahnya. Karenanya, kesabaran dan keteguhan hati dalam menuntut ilmu
mesti senantiasa kita tanamkan kalau kita benar-benar ingin mendapatkan
hasil yang memuaskan.
Timbangan Qirâ`ah

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ‫ح ۡو حقا ُع‬ ‫ُۡ ُ ح‬ ۡ ‫ححۡ ۡ حح‬ ‫حف حبووو ذ ۡ إ ح ۡن حقوووا يح ووو حبِغ أحن تُب ح‬
ُ ‫ينووو‬
‫ر‬
ِ ِ ِ ِ‫وأَِِف وأ ِف ٱلرو‬ ِ ِ ِ ِ
ُ ۡ ‫ح ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ُۡ َّ َّ
‫ب ِوٱلويُ ۡسوو ِر‬ ‫حوبح ۡي حنو ُهو حموا فو ۡرق فوفوو ذ ِرقو‬ ‫لي ُوفِيو ِ لو ۡي حس ب ِو ُموو ۡ َووم‬ ِ ‫ِإَون ٱ‬
“Maka bacalah setiap huruf dengan jelas (izhhâr) pada apa-apa yang
semestinya engkau baca jelas, dan bacalah dengan idghâm apa yang semestinya
diidghâmkan, serta bacalah huruf dengan ikhfâ apa yang semestinya diikhfâkan.
Bacalah semuanya dengan lembut dan tanpa kepayahan.
Dan sesungguhnya huruf-huruf yang dibaca ikhfâ tidaklah sama
sebagaimana huruf-huruf yang dibaca idghâm. Di antara keduanya terdapat
perbedaan, maka pahamilah perbedaan keduanya dengan mudah.”

Penjelasan:
Sudah sepatutnya bagi setiap pembaca Al-Qur`ân untuk memperjelas
pengucapan setiap lafazh Al-Qur`ân, karena pengucapan yang jelas (izhhâr)
adalah hukum asal setiap huruf hijâiyyah. Asy-Syaikh Hisyâm Abdil Bâri` dalam
Daurah Al-Muqaddimah Al-Jazariyyah mengatakan bahwa izhhâr artinya
“mengeluarkan setiap huruf dari makhrajnya dan menyempurnakan sifat-
sifatnya.” Inilah keadaan asal huruf hijâiyyah.
Namun demikian, tidak semua huruf hijâiyyah dibaca izhhâr. Dalam
beberapa kesempatan, ia justru mesti dibaca idghâm atau ikhfâ.

Al-Idghâm secara bahasa bermakna al-idkhâl yang artinya


memasukkan. Sedangkan dalam istilah tajwid, idghâm bermakna:10
ً َ ً َ ُ ‫فُم َت َح ار‬ َ ‫ح‬
‫ح ًداُمش َددا‬
ّ ‫نُ َح حرفاُ َوا‬ َ ‫ص‬
ُّ ‫ريا‬ َ
ّ ‫كُ ِّب حيثُُي‬
ٍّ ُ ّ ‫نُ ِّبَ حر‬ ُ ّ ‫ٱتل ّقاءُُ َح حر‬
ّ ‫فُ َسا‬
ٍُ ‫ك‬
“Menggabungkan huruf sukun dengan huruf yang berharakat, sedang
keduanya menjadi satu huruf yang bertasydid.”
Adapun Al-Imâm Ibnul Jazariy mendefinisikannya sebagai:11

10
Dr. Su’âd Abdul Hamîd, Taysîrurrahmân Fî Tajwîdil Qur`ân (hlm. 184).
11
Muhammad Ibnul Jazariy, An-Nasyr fil Qirââtil ‘Asyr (Jilid I hlm. 274).
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

ً َ َ ً‫َحَح َ ح‬
َ‫اُكٱثل‬ ‫َح‬
ُ ‫انُمش َددا‬
ّ ‫ف‬‫ر‬‫ُح‬ ‫ي‬
ّ ‫ف‬‫ر‬‫ُِب‬
ّ ‫ظ‬‫ف‬ ‫ٱلل‬
“Mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf sebagaimana huruf kedua
yang bertasydid.”
Fungsi idghâm sendiri adalah tashîl (memudahkan) dan takhfîf
(meringankan). Idghâm bukanlah perkara baru dalam percakapan orang-
orang Arab. Mereka terbiasa memasukkan satu huruf ke huruf setelahnya
untuk mempermudah pengucapan. Jadi, asalnya idghâm dan juga hukum-
hukum tajwid yang lain yang disebabkan oleh hubungan antar huruf, adalah
adat kebiasaan orang-orang Arab saat berbicara.
Dari sisi kesempurnaannya, idghâm terbagi menjadi dua: al-idghâm al-
kâmil (atau at-tâmm) dan al-idghâm an-nâqish.
Disebut idghâm kâmil bila mudgham (huruf pertama) melebur pada
mudgham fîh (huruf kedua) dzat dan sifatnya secara sempurna. Sedangkan
disebut idghâm nâqish bila mudgham melebur pada mudgham fîh dari sisi
dzatnya (makhrajnya) bukan dari sifatnya.
Dalam mushaf (Madinah),12 tanda idghâm kâmil adalah dengan
meletakkan tasydid pada huruf kedua, sedangkan huruf pertamanya tidak
diberi tanda apapun (tidak ada tanda sukun). Adapun idghâm nâqish, huruf
pertama tidak diberi tanda sukun, dan huruf kedua tidak diberi tasydid.
Idghâm nâqish terjadi pada huruf yang memiliki sifat ghunnah dan ithbâq.
Contoh idghâm kâmil:
‫ا‬ ُّ َ َ ُّ ‫َح‬
ُ‫ُّمنُن حُّع َم ٍة‬ ‫دتم‬ُ ‫ع ُب‬ ُ‫ب‬‫َ ا‬
ّ ‫قُلُ ُر‬ ‫قكم‬
ُ ُ‫َنل‬
Semua idghâm pada kata-kata di atas dibaca langsung ke huruf yang
kedua tanpa menyisakan sifat-sifat huruf yang pertama.
Contoh idghâm nâqish:
َ َ
ُ‫ال‬َُ ‫ُّم‬
ٍ ‫نُو‬ َُ ‫أ‬
ُ‫حطت‬ ‫ف َُرطتُم‬ َ ‫س‬
ُ‫طت‬ َُ َ ‫ب‬

12
Tanda baca (dhabth) yang digunakan oleh mushaf yang banyak beredar hari ini
setidaknya ada tiga: pertama, standar internasional, yaitu yang digunakan di Saudi Arabia dan
kebanyakan negara-negara di dunia merujuk pada standar ini. Disebut juga mushaf Madinah atau
dhabth hijaz. Kedua, dhabth Indopak (India Pakistan) yang diadopsi oleh Depag RI sebagai standar
resmi di Indonesia. Ketiga, dhabth maghribi, yaitu yang digunakan secara resmi di Maroko dan
beberapa negara di Afrika.
Timbangan Qirâ`ah

Idghâm pada kata-kata di atas dibaca dengan memasukkan makhraj


pada huruf yang kedua, namun masih menyisakan sifat-sifat huruf yang
pertama.13

Kapan huruf dibaca izhhâr dan kapan huruf dibaca idghâm sangat
bergantung pada riwayat, karena para perawi meriwayatkan variasi cara
membaca Al-Qur`ân yang khas pada masing-masing riwayatnya. Adapun
dalam riwayat Hafsh jalur Syâthibiyyah, maka idghâm terjadi pada saat:
1. Mutamâtsilân Shaghîr, yaitu dua huruf yang sama makhraj dan
sifatnya (dua huruf kembar), dimana huruf yang pertama dalam
keadaan sukun dan yang kedua dalam keadaan berharakat. Contoh:

Pengecualian:
a) Pada huruf Madd, seperti kata (‫ ) ِ يف َيو ِم‬dibaca fii yaum bukan fiy yaum,
ُ ُ َ
dan (‫ )قالوا َوهم‬dibaca qâluu wahum bukan qâluw wahum.
b) Bila huruf pertamanya “Ha saktah”, yakni pada QS. Al-Hâqqah, 69: 28-
29.
‫ح‬ َ َ ََ َ َٰ ‫َ َ ح‬
٢٩ُ‫ُهلكُع اّنُسل َطٰن ّ َي حه‬٢٨ُ‫اِلَ حۜۡه‬ َ ‫ُع ان‬
ّ ‫ُم‬ ّ ‫ماُ أغن‬
Bila kita ingin menyambung kedua ayat ini, maka berdasarkan riwayat
Hafsh jalur Syâthibiyyah, ada dua cara: pertama, sakt (berhenti sejenak tanpa
bernafas, lalu melanjutkan bacaan) dengan izhhâr atau kedua, idrâj
(meninggalkan saktah) dengan idghâm. Kita boleh memilih salah satunya.
Jadi, idghâm pada kalimat ini tidak wajib.
2. Mutamâtsilân Kabîr, yaitu dua huruf yang sama makhraj dan sifatnya
(dua huruf kembar), dimana kedua hurufnya dalam keadaan
berharakat. Idghâm Mutamâtsilain Kabîr terjadi pada beberapa
keadaan berikut:

13
Idghâm nâqish terjadi karena sifat huruf pertama lebih kuat daripada sifat huruf kedua,
dan idgham naqish tidak terjadi kecuali apabila huruf pertamanya memiliki sifat ithbaq atau
gunnah. Sedangkan apabila huruf pertamanya isti’la (yang bukan ithbaq), maka secara umum
diidghamkan dengan kamil.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Kata Asal Surat: Ayat


َ‫َلُتَأحَ۬منا‬ َ‫لُتَأح َمننا‬
ُ
َ
1) Yûsuf: 11
Dalam riwayat Al-Imâm Hafsh jalur Syâthibiyyah, kata ini bisa dibaca
dengan dua acara (wajhân). Pertama, diidghâmkan dengan isymâm dan
kedua, membacanya dengan raum atau ikhtilâs tanpa idghâm. Isymâm
artinya isyarat dengan memonyongkan dua bibir, sedangkan raum artinya
membaca dengan sebagian harakat.14
Kemudian juga pada beberapa kata berikut:
Kata Asal Surat: Ayat
َ َ
2) ُ‫َمك اّن‬ ُ‫َمك َن ّن‬ Al-Kahf: 95
‫ا‬ ‫َح‬ َ ‫َح‬
3) ُ ّ ‫تأمرو‬
‫ن‬ ُ ّ ‫تأمرون‬
‫ن‬ Az-Zumar: 64
‫َ َ ُّ ا‬ َ ُّ َٰٓ َ َ
4) ُ ّ ‫حجو‬
‫ن‬ َٰٓ ‫أت‬ ُ ّ ‫أتحجون‬
‫ن‬ Al-An’âm: 80
‫نا‬ َ ‫َ ح‬ َ َ ‫َ ح‬
5) ُ ّ ‫ِلَأت ّي‬ ُ‫ن‬ ُ ّ ‫ِلَأت ّي ُن‬ An-Naml: 21

‫نّعّ َما‬ ‫ن حّع َُمُ َما‬


Al-Baqarah: 271
6)
An-Nisâ: 58

3. Mutaqâribân Shaghîr, yakni dua huruf yang berdekatan makhrajnya


dan berbeda sifatnya, sedangkan huruf pertamanya sukun dan huruf
keduanya berharakat. Terjadi idghâm pada empat keadaan:
a) Pertemuan Lam sâkinah pada fi’l dan harf dengan Ra, diidghâmkan
dengan idghâm kâmil (selain saktah pada QS. Al-Muthaffifîn ayat 14).
ُ
Contoh: ‫( قل َّر ِ يب‬dibaca Qurrabbî).
b) Pada Lam Syamsiyyah, yakni Lam Ta’rîf yang bertemu huruf-huruf
Syamsiyyah, yang 14 (empat belas). Bila Alif Lam ta’rîf bertemu
dengan salah satu huruf di atas, maka hukumnya idghâm. Pada 13
huruf syamsiyyah selain huruf Lam, disebut idghâm mutaqâribain,
sedangkan pada huruf Lam disebut idghâm mutamâtsilain.

14 Hendaknya memperhatikan praktik pengucapan dengan bertalaqqi


Timbangan Qirâ`ah

c) Pada Nûn Sâkinah bertemu huruf-huruf idghâm, selain Nûn (‫)لم يرو‬,
yakni huruf Lam, Mîm, Ya, Ra, dan Waw.
ّ
d) Pertemuan Qaf dengan Kaf pada kata ‫ نخلقكم‬, dalam QS. Al-Mursalât
ayat 20, diidghâmkan dengan idghâm kâmil.
َ َ ‫ا‬ ُّ ‫ََح َح‬
ُ ‫ألمَُنلقكمُمّنُماءُم ّه‬
‫ي‬
Dibaca Alam nakhlukkumm mimmâ`imm mahîn, dengan idghâm kâmil,
yakni tanpa menyisakan sifat-sifat yang ada pada huruf Qaf. Juga bisa dibaca
dengan idghâm nâqish, yakni masih menyisakan huruf Qaf sebelum
mengucapkan Kaf. Jadi, sah bagi para pembaca memilih salah satu bacaan:
idghâm kâmil atau idghâm nâqish, dengan idghâm kâmil diutamakan pada
saat majlisul adâ.

4. Mutajânisân Shaghîr, yakni dua huruf yang sama makhrajnya namun


berbeda sifatnya, dimana huruf pertamanya sukun dan huruf
keduanya berharakat. Terjadi idghâm pada tujuh keadaan, enam
dengan idghâm kâmil, dan satu dengan idghâm nâqish:
No Huruf Contoh Kalimat Dibaca
َ َ ُّ َ
ُ‫ي‬ َُ َ َ‫ُقدُتب‬,ُُ‫عدتم‬ ُ‫ي‬ َُ َ َ‫ُق َتب‬,ُُ‫ع ُّتم‬
Huruf (‫ )د‬Pada (‫)ت‬
1 ُّ َ ُّ َ َ ُّ َ
ُ ‫ُع َبدتم‬,ُ‫أ َردتم‬ ‫ ع َب ُّتم‬,ُ‫أ َرتم‬
َ َ َ َ
2 Huruf (‫ )ذ‬Pada (‫)ظ‬ ‫إّذُظل حمت حُم‬ ‫إّظل حمت حُم‬

Huruf (‫ )ت‬Pada (‫)ط‬


َ
ُ‫ام َنتُ َطائّفة‬ َ ُ‫ف‬ ََ َ
ُ‫ام َن َطائّفة‬ َ ُ‫ف‬ ََ
3
َ َ َ َ‫ََ َح‬ َ َ َ ‫فَلَ َماُُ َأ حث َق‬
َُ ‫فل َماُُأثقلتُد َع َواُٱ‬
ُ ‫لِلُ َر َبه َما‬ َُ ‫َل َع َواُٱ‬
ُ ‫لِلُ َر َبه َما‬
4 Huruf (‫ )ت‬Pada (‫)د‬
‫يبتُدع َوتك َما‬
‫َ َ ح‬
‫ج‬ ‫َح‬ ‫يب َدع َوتك َما‬
‫َ ح‬ ‫َح‬
ّ ‫ق ُدُأ‬ ‫ج‬
ّ ‫ق ُدُأ‬
َ َ ‫ح‬
ُ ‫يَل َهثُُذٰل‬
‫ّك‬ َ َ ‫ح‬
5 Huruf (‫ )ث‬Pada (‫)د‬ ُ‫يَل َهذٰل ّك‬
(Hanya Ada Satu Bentuk,
Yakni Pada QS. Al-A’râf: 176)
َ
‫ٱ حركبُ َم َع َنا‬ َ
6 Huruf (‫ )ب‬Pada (‫)م‬ ‫ُا ّ حرك َم َع َنا‬
(Hanya Ada Satu Bentuk,
Yakni Pada QS. Hûd: 64)
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Keadaan yang ketujuh yakni pertemuan antara huruf Tha dengan Ta


yang diidghâmkan dengan idghâm nâqish.
No Huruf Contoh Kalimat Dibaca
َ َ ََ َ
ُ‫ل‬ َُ ّ ‫طتُإ‬ ‫لئ ّ ۢنُبس‬ Cara Membacanya
َ ‫َ َ ح‬
ّ ‫ماُف َرطتم‬
Adalah Dengan Masih
7 Huruf (‫ )ط‬Pada (‫)ت‬ ُ‫ف‬ُ ‫ُِفُيوس‬
َ َ ََ Menyisakan Sifat Ithbaq
َ
ُ ‫فقالُأ َحطتُب ّ َماُل حمُت حّطُبّهّۦ‬ Pada Huruf Tha.

Ikhfâ secara bahasa bermakna as-satr (menyembunyikan, menutupi,


atau menghalangi). Sedangkan secara istilah bermakna:15
َ ‫َ ح ََ ح‬ ‫َ ح‬ َ َ َ ‫َ َح َ ح َ َ ح ح‬ َ ‫ن حطق‬
ّ ‫ َع ٍر ُع ّن ُٱلتش ّدي ّد ُمع ُبقاءُّٱلغنة‬,‫ٱلدَغ ُّم‬
ُ‫ُِّف‬ ّ ‫ٱلظهارُّو‬ ّ ّ ‫ُِب حر ٍف ُب‬
ّ ُ ‫صف ٍة ُبي‬ ّ
َ‫ح‬
َ َ‫ح‬
ُ ‫ٱۡل حر ّفُٱِو ُّل‬
“Mengucapkan huruf dengan sifat di antara izhhâr dan idghâm. Dengan
menanggalkan tasydid disertai adanya ghunnah yang berasal dari huruf pertama.”
Ikhfa hanya terjadi pada huruf Nun sâkinah atau tanwîn dan huruf Mim
Dalam riwayat Al-Imâm Hafsh jalur Syâthibiyyah, ikhfa terjadi pada saat:
1. Nun sâkinah atau tanwîn bertemu dengan 15 huruf hijâiyyah, yang
terkumpul pada:
َ َ َ ‫ح‬ َ ُ‫ادُ َش حخصُُقَ حُد‬
َ َ َ َ ‫ح‬
‫ّقُض حُعُظال َّما‬ ُ ّ ُ‫د حُمُ َط اي ّ ًباُزّ ُد‬
ُ ‫ِفُت‬ ُ‫سما‬ ُ ‫فُذاُث َناُك حُمُ َج‬
ُ ‫ص‬
ّ

15 Ayman Rusydi Suwaid. Tajwidul Mushawwar.


Timbangan Qirâ`ah

Beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam pengucapan ikhfâ, bahwa


kesamaran pada ikhfâ bertingkat-tingkat:
a) A’lâ darajâtil ikhfâ (tingkat kesamarannya paling tinggi,
disebut juga al-martabatul ‘ulya), yakni pada ikhfa aqrab,
disebabkan kedekatan makhrajnya,
b) Adnâ darajâtil ikhfâ (tingkat kesamarannya rendah, disebut
juga al-martabatud dunyâ), terjadi pada ikhfa ab’ad, disebabkan
jauhnya makhraj Nûn dengan huruf ikhfa, sehingga suara yang
dihasilkan serupa dengan suara “ng” dalam bahasa Indonesia.
c) Al-Martabatul Wusthâ (tingkat pertengahan), pada ikhfa
awsath.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Selain itu, ghunnah pada ikhfâ juga mengalami keadaan tafkhîm dan
tarqîq. Asy-Syaikh Utsman bin Sulaymân Murâd mengatakan dalam As-
Salsabîlusy Syâfi:
َ َ َ َ ََ َ ‫ََ ا ح‬
ُ ‫ُٱل حست ّ حعّلءُّلُ ّس َواها‬
ّ ‫حروف‬ ُ ‫خ ّمُٱلغ َنةُإّنُتّلها‬
ّ ‫ُوف‬
“Dan bacalah ghunnah dengan tafkhîm (tebal) bila diikuti oleh huruf-huruf
isti’la, karena huruf isti’la adalah huruf-huruf tafkhîm. Sedangkan bila diikuti
dengan huruf-huruf istifal, maka jangan ditebalkan, artinya mesti ditipiskan.”

2. Pada Huruf Mim saat bertemu dengan huruf Ba.


Cara mengucapkannya adalah dengan
merapatkan bibir secara lunak, lalu menahan
bacaan selama dua harakat ghunnah (kurang
lebih setara dengan tiga ketukan lambat).
Contoh:
َ َ َ
‫لهُمُُب ّهّۦ‬ ُ ّ ‫م حّنهُمُُب‬
ُ‫ص حوت ّك‬
An-Nâzhim memberikan peringatan kepada kita bahwa jangan sampai
ikhfâ terbaca seperti idghâm, begitupula sebaliknya. Hendaknya setiap orang
melatih lisannya agar ia bisa mengucapkan ikhfâ dan idghâm dengan tepat
secara otomatis.
Harakat dan Madd

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


‫ِ حهووا بووٱ َّلر ۡف ِ وٱۡلَّ ۡصووب حوٱ ۡ ح‬
‫لوو ذ ِر‬
ۡ‫ح‬
‫حوتر‬ ‫وِ ِجح ۡزم حِهووا‬
ِ ُ
‫ر‬ ‫وو‬‫ل‬ُ ۡ ‫ح‬
‫ك ٱ‬
‫ُ ۡ َّ ح‬
ِ ‫وقووو إِن ت ۡسوو‬
ِ ِ
“Dan katakanlah: “Sesungguhnya sebuah huruf menjadi sukun disebabkan
jazm, sedangkan huruf berharakat disebabkan raf’, nashb, dan jarr”.”

Penjelasan:
Istilah-istilah yang disebutkan An-Nâzhim dalam bait ini sangat erat
kaitannya dengan kaidah bahasa Arab. Keadaan i’râb yang asli dalam bahasa
Arab ada empat: ar-raf’, an-nashb, al-khafdh/ al-jarr, dan al-jazm.
Kata benda (ism) mengalami tiga keadaan saja: ar-raf’, an-nashb, al-
khafdh/ al-jarr, dan tidak pernah dalam keadaan al-jazm.
Sedangkan kata kerja (fi’il) mengalami tiga keadaan: ar-raf’, an-nashb,
dan al-jazm, tidak pernah dalam keadaan al-khafdh/ al-jarr.
Dalam bait ini An-Nâzhim menyampaikan kepada kita bahwa sukun
pada sebuah huruf dapat terjadi apabila satu kata dalam sebuah kalimat
dalam keadaan jazm, atau terpengaruh oleh kehadiran jâzim (sesuatu yang
membuatnya jazm) pada fi’l mudhâri’ (kata kerja bentuk sekarang dan akan
datang) Contoh:
Asal Kata ‘Amil Jâzim Keadaan Jazm
‫ح‬ َ ‫َ ح ح‬
ُ‫َي ُف َعل‬ ُ ‫ل حُم‬ ُ‫ل حُمُ َي ُف َعل‬

Jadi, fi’lul mudhâri’, apabila didahului oleh jâzim maka ia menjadi jazm
dan tanda jazm-nya adalah sukun. Namun, tidak semua tanda jazm itu sukun,
tergantung dari fi’lul mudhâri’-nya. Berikut kondisi jazm dalam beberapa
bentuk fi’lul mudhâri’:
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Bentuk Fi’l Kata Jâzim Keadaan Jazm


‫َ ح ح‬
Mudhâri’ Shahîh
‫ح‬
ُ‫َي ُف َعل‬
َ
‫ل حُم‬ ُ‫ل حُمُ َي ُف َعل‬
(sukun)
‫ح‬ َ ‫َ َح‬
‫َح‬ ُّ َ‫لمُٱل‬
‫ه‬ ‫لُت ُق َربَا‬
Al-Af’âlul Khamsah ُّ ‫ت ُق َربَا‬
‫ن‬
(Lam Larangan)ُ (Hadzfun Nun)
َ
Fi’lul Muta’âl Al-Akhîr ‫يَ حُدعو‬
َ
‫ل حُم‬ ُ‫ل حُمُيَ حُدع‬
(Hadzful Akhîr)

Adapun huruf-huruf berharakat, dapat disebabkan oleh ar-raf’, an-


nashb, al-khafdh/ al-jarr. Rincian permasalahan ini bisa dipelajari dalam
pelajaran bahasa Arab bab ‘awâmil. Al-Imâm Abû Bakr ‘Abdul Qâhir Al-Jurjâniy
(400-471 H.) memiliki risalah yang sangat bagus dalam masalah ini.
Risalahnya dikenal dengan ‘Awâmil Mi`ah atau ‘Awâmil Mi`ah. Sebagian ulama
ada yang menyusunnya menjadi nazhm. Hendaknya setiap penuntut ilmu
memiliki perhatian terhadap risalah dan nazhm ini dengan mempelajarinya,
menghafalnya, dan memahami kaidah-kaidahnya.
Tanda baca untuk sukun, fathah, kasrah, dan dhammah adalah
sebagai berikut:
Sukun Fathah Kasrah Dhammah

Adapun untuk tanda fathatain, kasratain, dhammatain, dan syiddah/


tasydid adalah sebagai berikut:
Fathatain Kasratain Dhammatain Tasydid
Harakat dan Madd

Demikian ringkasan dalam pembahasan ini, silakan kepada para


penuntut ilmu sekalian untuk mengkaji lebih dalam lagi permasalahan ini
pada majlis-majlis dan kitab-kitab bahasa Arab. Asy-Syaikh Islâm bin Nashr Al-
Azhariy mengatakan bahwa menguasai permasalahan ini wajib hukumnya
bagi siapa saja yang mempelajari tajwid. Karena sesungguhnya kita tidak
akan bisa mempelajari Al-Qur`ân kecuali memiliki bekal bahasa Arab.

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


‫ۡح‬ ۡ ۡ ِ ‫حو حق ذ‬ ۡ ‫ح ح ذ ۡ حح ذ ۡ ح ۡح ح ۡ ح حً ح‬
‫وقوو ذ ِ ۡ حبوو ح حقوو ذ ِ حك حوٱلا ۡصووو ِر‬
‫وون ح‬ ‫صوو‬
ِ ‫فح ِرك وسو ِ ن وٱَطۡون توا َ و‬
“Maka sempurnakanlah pengucapan harakat pada huruf-huruf yang
berharakat, sukunkanlah dengan sempurna huruf-huruf yang sukun, putuslah
semua kalimat yang terputus dan sambunglah semua kalimat yang tersambung.
Tempatkanlah setiap huruf pada makhrajnya yang tepat, dan perjelasan
perbedaan antara huruf yang dibaca madd dengan huruf yang dibaca qashr.”

Penjelasan:
Dalam bait ini An-Nâzhim memberikan peringatan kepada kita agar
menunaikan setiap pengucapan harakat dengan tepat. Begitupula huruf-
huruf yang sukun.
Ketahuilah bahwa keadaan huruf Arab hanya ada dua: sukun atau
berharakat. Sukun artinya diam, mengembalikan pengucapan setiap huruf
kepada makhrajnya. Adapun harakat artinya bergerak, yakni menggerakkan
mulut kita dari makhraj huruf yang bersangkutan.

Huruf-Huruf Arab

Harakat Sukun

Dhammah Fathah Kasrah


Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Catatan:
1. Huruf bertasydid merupakan dua huruf yang digabung menjadi satu:
huruf pertama adalah sukun, huruf kedua berharakat.
2. Huruf Alif tidaklah aktif/ dibaca dalam sebuah kata atau kalimat
kecuali apabila sebelumnya huruf berharakat fathah. Karena Alif tidak
pernah berharakat dan berfungsi sebagai madd.

Berkaitan dengan kesempurnaan mengucapkan harakat, Al-Imâm


Ahmad bin Badruddîn Ath-Thîbiy (w. 979 H) berkata dalam Manzhûmah Al-
Mufîd Fî ‘Ilmit Tajwîd :16
َ ‫َ َ ا َ َ َح‬ ََ ‫َ ُّ َ ح‬
‫يُض َما‬ ُّ ‫ض ُّمُٱلشفت‬ ُ ّ ‫إّلُب‬ ُ‫ضم حُو ٍمُفلنُيَت ّ َما‬ُ ‫ُم‬ ‫وُك‬
‫ح‬ َ‫ح‬ ‫ح ح‬ َ‫ح‬ َ ‫ح‬ َ ‫ح‬
‫يَت ّ ُُّم َوُٱُل َم ُفت حُوحُب ّ ُالف حُتحّ ُٱ ُف َه ُّم‬ ‫اضُل ُّلف ُّم‬
ُ ٍ ‫اضُبّٱَنّف‬ ُ ٍ ‫َنّف‬ ُ ‫َوذوُٱ‬
“Dan setiap dhammah tidak akan sempurna, kecuali dengan benar-benar
memonyongkan kedua bibir,
Dan Kasrah dengan merendahkan rahang akan sempurna, dan fathah
dengan membukanya, fahamilah!”
Namun demikian, kita juga mesti memperhatikan aspek-aspek lain
yang berkaitan dengan gaya tutur bahasa dan dialek Arab. Hal ini agar
pengucapan harakat –secara khusus- dan kalimat demi kalimat Al-Qur`an
secara umum tidak tercampur dengan gaya bahasa atau dialek yang sudah
melekat pada diri kita sebagai orang non-Arab.
Perhatikan keadaan mulut pada gambar berikut untuk mencapai
kesempurnaan harakat:
(Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=zvoExXX5FjQ)

16 Ebook, terdapat di http://www.riyadhalelm.com/mton/m3/3w-mnzomat-


almofed.doc
Harakat dan Madd

Bentuk mulut saat mengucapkan huruf Bentuk mulut saat mengucapkan huruf tebal
tipis berharakat dhammah (Waw Mad) berharakat dhammah

Bentuk mulut saat mengucapkan huruf Bentuk mulut saat mengucapkan huruf tebal
tipis berharakat kasrah (Ya Mad) berharakat kasrah

Bentuk mulut saat mengucapkan huruf Bentuk mulut saat mengucapkan huruf tebal
tipis berharakat fathah (Alif berharakat fathah (Alif Mufakhkhamah)
Muraqqaqah)

Kadar kesempurnaan pengucapan huruf berharakat juga sangat


bergantung pada sifat hurufnya, yakni dari sisi apakah huruf tersebut
syiddah, bayniyyah, atau rakhâwah.
‫تح‬ َ َ َ ‫َ ح‬
Huruf Syiddah ُ ‫جدُق ٍطُبك‬
ّ ‫أ‬
Huruf Bayniyyah ُ‫ل حّنُع َم حر‬
َ َ َ َ َ َ ‫ح‬
َ ‫ُش حوص‬
َ ‫ُز َي‬
Huruf Rakhâwah ‫ُسا ٍُه‬ ُ ‫ُحظُفض‬ ‫خذُغّث‬
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Ukuran Panjang Huruf

Saat Berharakat Saat Sukun

Syiddah Bayniyyah Rakhawah Syiddah Bayniyyah Rakhawah

‫ُكت ِ ح‬
‫ب‬ ‫نِِۡ َّما‬
ًُ ُ
‫حفا‬ ‫ص‬
ۡ
‫أك ح‬ ‫حأ ۡن حۡ ۡم ح‬
‫ت‬
‫ح‬
‫أ ۡسل ِف‬

Kemudian An-Nâzhim memberikan peringatan agar kita bisa


membedakan setiap huruf dengan menyempurnakan ketepatan makhrajnya
dan membedakan huruf yang madd dan qashr. Penjelasan madd dan qashr
akan kami uraikan pada bait berikutnya.

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


‫ح‬
‫وري‬
ۡ
‫ِك‬ ‫اح ب ِ حها‬ ‫وِ ٱ ذلل بح ح‬
‫ُ ح َّ ُ ُ ح‬
‫تسم حور‬ ِ‫ور‬ ُ ‫حو حقووا ٱل ۡ حموو م إ ِ َّ ِ ثح ح ثحووو ِ أ ۡحووو‬
ِ ِ ِ
ۡ ‫ح‬ ً ‫ح‬ ‫حۡ ُح‬ ‫حح حح‬ ُ ُ ُ ‫ه ۡٱلحل ُِف ۡٱل ح‬
‫وم ۡۡ ُروِ فِي حها ُسكونوو حها‬ ‫ِح‬
ِ ِ‫وواو و ووواء يسكنووا ِن قۡوووا فووٱ‬
“Dan tidak ada madd kecuali pada tiga huruf yang disebut juga dengan
huruf lîn, sehingga penjelasanku (pada bait berikutnya) telah menjadi jelas.
Yakni huruf Alif yang sudah dikenal dengan keadaan sukunnya, kemudian
Waw dukun yang sebelumnya dhammah, serta Ya sukun yang sebelumnya kasrah,
maka ketahuilah.”

Kosa Kata:
ۡ
Secara bahasa, madd artinya az-ziyâdah (tambahan). ُ ‫ٱل حم م‬
Sedangkan secara istilah Madd bermakna:
‫ُِبَ حرف ُمّنُح‬ ‫ُوٱللاّي ُأَوح‬
َ ‫وف ُٱل ح َم ا ّد‬
ّ ‫ر‬‫ُح‬ ‫ُِبَ حرف ُم ح‬
‫ّن‬ ‫ت‬
ّ ‫و‬ َ ‫إ َطالَة‬
‫ُٱلص ح‬
ٍ ّ ّ ٍ ّ ّ
ََ ‫َح َ ا‬
ُ ُ‫يُفق حط‬
ّ ّ ‫حرَفُٱلل‬
ُ
Harakat dan Madd

“Memanjangkan suara dengan salah satu dari huruf Madd


dan lîn atau dengan salah satu huruf lîn saja.” (Hidâyatul Qâri I/
266)
Lawannya madd adalah qashr. Secara bahasa artinya
“ringkas”, “pendek”. Sedangkan secara istilah:
َ َ ‫ا‬ َ ‫حَ ا‬
َ ‫ُف َق حط‬ ‫ح‬
ٍُ‫ُو حح َده ُم حّن ُغ حريّ ُزّيَادة‬
َ ‫ُٱللي‬
ّ
َ ‫ُو‬
‫ُح حر ّف‬ ّ ‫إّث َبات ُ َح حر‬
‫ف ُٱلم ّد‬
َ
ُ ‫َعل حي ّه َما‬
“Menetapkan huruf Madd dan huruf lîn saja tanpa disertai
tambahan bagi keduanya.” (Hidâyatul Qâri I/ 266-267)
Dalam hal ini, istilah madd dan qashr dapat digunakan
dalam konteks yang berbeda.
1. Apabila kita menggunakan istilah madd untuk
menyatakan keadaan huruf yang dibaca panjang secara
thabî’iy (dua harakat), yakni Alif sebelumnya fathah, Ya sukun
sebelumnya kasrah, dan Waw sukun sebelumnya Alif, maka
qashr artinya membaca tanpa madd (satu harakat).
2. Apabila kita menggunakan istilah madd untuk
menyatakan bahwa madd bisa dibaca lebih dari dua harakat
dengan sebab keberadaan Hamzah atau sukun setelah huruf
madd (madd far’iy), maka qashr bermakna membaca madd
dengan dua harakat tanpa menambahkannya.
Secara bahasa lîn artinya lembut atau mudah. Adapun ‫ذ‬
secara istilah bermakna pengucapan huruf yang lembut dan
ِ ِ ‫ٱلل‬
mudah tanpa dipaksakan saat mengucapkan huruf-hurufnya.
Huruf madd disebut juga huruf lîn disebabkan kesamaan
sifat-sifatnya.
Artinya telah menjadi terang atau telah menjadi jelas ‫بح ح‬
‫اح‬
َ َ ََ َ َ
ُ ‫)ظه َرُووض‬.
(‫ح‬

Penjelasan:
Pada bait sebelumnya An-Nâzhim mengingatkan pada kita agar
memperjelas perbedaan pengucapan huruf-huruf madd dan qashr. Maka,
pada bait ini beliau melanjutkannya dengan menyebutkan huruf-huruf madd
dan syarat terjadinya madd.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Huruf yang berfungsi sebagai Madd ada tiga: Alif, Ya Madd, dan Waw
Madd. Sedangkan syarat terjadinya Madd adalah: adanya fathah sebelum Alif,
kasrah sebelum Ya sâkinah, dan dhammah sebelum Waw sâkinah, seperti
misalnya pada kata:
َ ‫ح‬
‫يها‬ ّ ‫نو‬
Artinya ketiga huruf tersebut (Alif, Waw, dan Ya) berfungsi sebagai
Madd bila didahului oleh harakat tertentu yang telah menjadi pasangannya,
tidak dengan selainnya.
Selain tiga huruf Madd yang didahului harakat tertentu, kondisi
memanjangnya suara juga terjadi pada saat Lîn dibaca di akhir kalimat. Lîn
artinya lembut, maksudnya adalah mengucapkan huruf dengan lembut tanpa
dipaksakan. Lîn dalam hal ini maksudnya adalah huruf Ya dan Waw sâkinah
dan sebelum keduanya ada huruf berharakat fathah. Bila lîn berada di tengah
kalimat, maka tidak terjadi Madd. Contoh:
Terjadi Madd pada:
‫َ َ َ ح‬ ‫َح‬
ّ ‫ُر َبُهٰذاُٱلَ حي‬
ُ‫ت‬ ‫فل َي حعبدوا‬
Tidak terjadi Madd pada:
‫َ َ ح َ َ َ ح َ َ َ َ َ ُّ َ َ ح َ ٰ ح‬
ُّ ّ‫بُٱلف‬
‫يل‬ ُّ ‫فُفعلُربكُبّأصح‬ ُ ‫ألمُترُكي‬

Dilihat dari jenisnya, Madd terbagi dua: Madd asli (thabî’iy) dan Madd
far’iy (cabang). Madd thabî’iy tidak bergantung pada sebab (misalnya sebab
waqf dan sukun), dan juga tidak bergantung pada huruf lain. Maksudnya ia
dibaca dua harakat, karena memang mesti dibaca seperti itu, bukan karena
ada sebab tertentu, seperti sukun atau huruf. Sedangkan jenis Madd yang
kedua, disebut Madd far’iy, yang terjadi atas sebab tertentu.
Sebab terjadinya madd far’iy dapat berupa sebab lafzhiyyah, yakni
bertemu dengan Hamzah atau sukun, atau berupa sebab ma’nawiyah, yakni
sebab ta’zhîm atau tabri`ah.
Harakat dan Madd

Madd Thabî’iy adalah madd yang terjadi tanpa sebab tertentu. Dibaca
dua harakat, baik saat di tengah atau di akhir kalimat. Contoh:
‫ح ح‬ ‫َ ح‬ َ َ ‫َ َ َ ح‬ ُّ َ
ُ ‫ٱس َتغفُّرواُُ َر َبك حُم‬ُُ‫فقلت‬ ُ‫كفّيكهمُُٱلِل‬
ُ ‫فسي‬ ٰ َ ‫ٱلض‬
ُ‫ح‬ ‫و‬
Termasuk dihukumi madd thabî’iy adalah:
1. Madd Tamkîn, adalah madd thabî’iy yang wajib dibaca dengan dua
harakat secara sempurna untuk memisahkan dua huruf Waw atau dua
huruf Ya. Disebut tamkin untuk menjaga kesempurnaan bacaan madd
agar tidak diidghamkan dengan huruf berikutnya.
Contoh:
َ َ
ُ ُ‫ٱَّليُيُ َو حسوّس‬
ُّ ُ ‫ِفُيَ حُو ٍُم‬
ُّ ُ‫ُو َع ّملوا‬ َ ‫َء‬
َُ ‫امنُوا‬ ُ‫ُوه حم‬
َُ ‫قالُوا‬
Juga terdapat bentuk yang lain dari madd tamkin, yakni pertemuan
antara huruf Ya kasrah bertasydid dengan Ya madd. Contoh:
‫ا‬ ‫ح ا‬ ‫ا‬
ُ‫ع ُّل ّ ايّيـ َن‬ ُۧ ّ ‫ٱِ اُّم‬
ُ‫ي َن‬ ُ‫ي َن‬
ُۧ ّ ّ ‫ٱلَ ُب‬ ‫حُ ايّيتم‬
2. Madd ‘Iwadh, adalah madd yang terjadi pada kata yang berakhiran
fathatain saat waqf. Contoh:
Kata Dibaca berhenti Kata Dibaca berhenti
ُ ‫َعلّي ًما‬ ‫َعلّي َما‬ َُ َ‫أ‬
ً‫حدا‬ َُ َ‫أ‬
َ‫حدا‬

3. Madd Shilah Shughra, adalah madd yang terjadi pada dhamir ghaib
mufrad mudzakkar (kata ganti orang ketiga tunggal laki-laki) dan ismul
isyârah. Contoh:

Madd Far’iy adalah madd yang terjadi dengan sebab tertentu, baik
lafzhiyyah atau ma’nawiyah. Sebab lafzhiyyah adalah Hamzah dan Sukun,
sedangkan sebab ma’nawiyyah adalah ta’zhîm dan tabri`ah.
1. Madd Far’iy dengan sebab Hamzah pada satu kata. Disebut Madd
Wajib Muttashil. Contohnya:
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

َ َ‫َ ح‬
ُ ‫سـي َءُب ّ ّه حُم‬
ُّ ُ‫اب‬
ّ ‫سو ُءُٱلع‬
‫ذ‬ ُ‫َُو َجا َُءكمُُٱلَ ّذير‬
2. Madd Far’iy dengan sebab Hamzah pada kata yang berbeda. Disebut
Madd Jâiz Munfashil. Contohnya:
َ َ َ َ
‫ح‬
ُ ‫سك ُم‬
ّ ‫ُِفُُأنف‬
ُّ ‫و‬ ‫قالُواُُ َءا َم َنا‬ ُ‫نزل‬ َ
ّ ُ‫ب ّ ُماُأ‬
3. Madd Far’iy dengan sebab keberadaan Hamzah sebelum huruf Madd.
Disebut Mad Badal. Contohnya:
ُ ُ‫َءابَاءّي‬ َ ٰ‫أُوتُواُُ حٱلك َّت‬
ُ‫ب‬ ُ‫َءا َمنوا‬
4. Madd Far’iy dengan sebab sukun ‘âridh.
a. Apabila sukun ‘âridh berada setelah huruf madd maka disebut madd
‘aridh lissukûn. Contoh:
َ َ َ َ َ َ َ َ َ
ُ‫إّنُكنت حُمُت حعلمون‬ ُ ‫اكُن حعبدُُِإَوي‬
ُ‫اكُن حس َتعّي‬ ُ ‫إّي‬
b. Apabila sukun ‘âridh berada setelah huruf lîn maka disebut madd lîn.
Contoh:
‫ََح َح َ َ َ حَح‬ ‫ح‬ َ
ُّ ‫أل ُمَُنعلُِلۥُعين‬
‫ي‬ ُ ٍ ‫فُق َري‬
ُ‫ش‬ ُ ّ ٰ ‫ّ ّليل‬
5. Madd Far’iy dengan sebab sukun asli pada satu kata, disebut madd
lâzim. Madd Lâzim terbagi menjadi empat: madd lâzim kilmiy
mukhaffaf, madd lâzim kilmiy mutsaqqal, madd lâzim harfiy mukhaffaf,
dan madd lâzim kilmiy mutsaqqal. Contoh:

6. Madd Far’iy dengan sebab ma’nawiy disebut madd lil mubâlaghah. Madd
ini terbagi menjadi dua:
a. Madd lil mubâlaghah dengan sebab ta’zhîm, adalah Madd yang
terdapat pada kalimat Tawhîd seperti beberapa kalimat berikut:
Harakat dan Madd

َ َ‫َلُإ َل ٰ َهُإ َلُأ‬


ُ‫نت‬
َ َ َ
ُ‫لُإّل ٰ َهُإّلُه َو‬
َ َ َ َ
ُ‫لُإّل ٰ َهُإّلُٱلِل‬
ّ ّ
b. Madd lil mubâlaghah dengan sebab tabri`ah, adalah Madd yang
terdapat pada La Nafiyah Lil Jins17 (‫ )ال‬untuk mempertegas
peniadaan (lil mubâlaghah/ hiperbolis) atas sesuatu. Lam Alif yang
berfungsi sebagai tabri’ah terdapat pada 43 kata di dalam Al-
Qur`ân:
َ َ َ َ ََ ََ َ َ ‫ح‬ َ َ َ َ ََ َ ‫ح‬ َ َ ‫َ َح‬
ُ ‫ ُ َُو‬,‫وق‬
ُ‫ل‬ ُ ُ‫ل ُفُس‬ ُ ‫ ُ َُو‬,‫ث‬ُ ‫ّل ُ ُر ُف‬
ُ ‫ ُ ُف‬,‫ن‬ُ ٰ ‫ل ُعُ ُد ُو‬ ُ ُ ,‫اح‬ ُ ‫لجُ ُن‬ ُ ُ ,‫ش ُي ُة‬ ُ ُ ,‫ع ُل َُم‬
ُّ ُ ‫ل‬ ُّ ُ ‫ل‬ ُ ُ ,‫ب‬ُ ‫ل ُ ُر ُي‬ ُ
َ َ َ َ َ َ ‫َ َ َ َ َ َ َ َ َٰ َ َ َ َ َ َ ح َ َ َ َ َ َ ا‬
ُ‫ّل‬
ُ ‫ ُ ُف‬,‫يك‬ ُ ‫َش‬ُّ ُ ‫ل‬ ُ ُ ,‫ل ُمُ ُب ُّد ُل‬
ُ ُ ,‫ف‬
ُ ‫ش‬ ُّ ‫َك‬ُ ُ ‫ ُ ُفّل‬,‫ري‬ ُ ‫خ‬
ُ ُ‫ل‬ ُ ُ ,‫ب‬ُ ّ ‫َغُل‬
ُ ُ‫ل‬ ُ ُ ,‫ق‬ُ ‫خ ُل‬ ُ ُ‫ل‬ ُ ُ ,‫اق ُة‬ُ‫ط‬ ُ ُ‫ل‬ ُ ُ ,‫ال‬
ُ ‫ج ُد‬ ُّ
َ َ َ ‫َ َ َ َ ح َ َ َ َح َ ََ َ َ َ َ ََ َ َ َ ََ َحَ َ َح‬
ُ,‫لُ َُم َُر ُد‬
ُ ُ,‫يب‬ُ ‫ث‬ ُّ ‫لُ ُت‬ ُ ُ,‫ل‬ُ ‫ك ُي‬
ُ ُ‫ّل‬
ُ ‫ُ ُف‬,‫ص ُم‬ ُّ ‫َع‬ُ ُ‫ل‬ ُ ُ,‫ج ُر ُم‬ُ ُ‫ل‬ ُ ُ,‫ّلُ ُرآ ُد‬ُ ‫ُ ُف‬,‫يل‬
ُ ‫لُ ُت ُب ُّد‬ ُ ُ,‫ج ُأ‬ُ ‫لُ ُم ُل‬
ُ ُ,‫ي‬ ُ ّ‫ُهاد‬
َ َ‫ح َ َ َ ح َ َ َ ح َ ٰ َ َ ح‬ ََ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ ‫َ َا‬
ُ‫ل‬
ُ ُ,‫ري‬ ُ ‫ض‬ُ ُ‫ل‬ ُ ُ,‫ى‬ ُ ‫ّش‬ُ ُ‫لُب‬ ُ ُ,‫ن‬ ُ ٰ‫ه‬
ُ ‫لُبُ ُر‬ُ ُ,‫ن‬ ُ ‫ّلُكُ ُف ُرا‬ ُ ‫ُ ُف‬,‫ج‬ُ ‫ع ُو‬ُّ ُ‫ل‬ُ ُ,‫اس‬
ُ ‫س‬ ُ ‫لُ ُّم‬ ُ ُ,‫لُقُ ُوُة‬ُ ُ,‫ب‬ ُ ‫لُمُ ُع ُّق‬ُ
َ َ َ َ ‫ََ َ َ َ ََ َح َ ََ ح َ ََ ح َ ََ َ َ َ ح‬
ُ‫ل‬
ُ ُ ,‫ج ُة‬ ُ ُ‫ل ُح‬ُ ُ ,‫ل ُظُ ُل َُم‬
ُ ُ ,‫يخ‬ُ ‫ص‬ ُّ ُ ‫ّل‬ ُ ‫ ُ ُف‬,‫ل‬ ُ‫س‬ ُّ ‫ّل ُمُ ُر‬
ُ ‫ ُ ُف‬,‫ك‬
ُ ‫س‬ ُّ ‫ّل ُمُ ُم‬
ُ ‫ ُ ُف‬,‫ت‬ُ ‫ّل ُ ُف ُو‬ ُ ‫ ُ ُف‬,‫ام‬
ُ ‫ل ُمُ ُق‬
ُ ُ ,‫ل‬ ُ ‫ق ّب‬
َ َ َ ََ َ‫َح‬
ُ .‫لُ َُو َُز َُر‬ُ ُ,‫اص‬ُ ّ ‫ّلُُن‬ ُٰ ‫ُم ُو‬
ُ ‫ُ ُف‬,‫ِل‬

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


‫وور‬‫س‬
‫ۡ ح ۡ ح َّ ذ ح ۡ ح‬
ۡ ‫ك‬ ‫ٱل‬‫و‬ ‫ف‬ِ ‫لض‬ ‫ٱ‬‫و‬ ِ‫ح‬ ‫ت‬ ‫ف‬ ‫ل‬‫ٱ‬ ۡ ‫حو ح ُت ۡفر حط‬
‫ون‬
َّ ‫ح‬ ۡ ۡ ‫حذ‬ ۡ َّ ‫ح‬
‫حو فف حوث ِاو حوٱش ُ ِِ ٱلفوووَ حَقِوو ً ا‬
ِ ِ ِ
“Dan ringankanlah pengucapan huruf yang sukun, kuatkanlah huruf yang
bertasydid, dan ucapkanlah tasydidnya dengan tepat. Serta janganlah engkau
berlebihan dalam mengucapkan huruf berharakat, baik fathah, dhammah, atau
kasrah.”

Penjelasan:
An-Nâzhim menjelaskan pada kita bahwa setiap huruf mesti diucapkan
dengan tepat. Huruf-huruf sukun mesti diucapkan sesuai dengan sifat-sifat
yang ada padanya. Pengucapan huruf rakhâwah, bayniyyah, dan syiddah

17 Yakni Lam Alif yang berfungsi meniadakan / menafikan sesuatu


Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

yang sukun terdapat perbedaan yang mesti ditunaikan secara tepat dan
proporsional.
Begitupula pengucapan huruf-huruf bertasydid. Kita mesti
memperhatikan sifat-sifat huruf yang bersangkutan, karena setiap sifat
memiliki cara berbeda dalam mengucapkannya:
1. Huruf-huruf rakhâwah, mesti diucapkan dengan suara yang mengalir
tanpa terhenti.
 Dalam hal ini termasuk huruf Ya dan Waw. Walaupun keduanya
mesti di-nabr saat bertasydid, bukan berarti menghilangkan sifat
rakhâwah-nya.
2. Huruf-huruf syiddah, diucapkan dengan suara yang tertahan dan tidak
dialirkan.
3. Huruf-huruf bayniyyah selain ghunnah, diucapkan dengan
menampakkan sedikit aliran suara, tidak terputus sebagaimana huruf-
huruf syiddah, juga tidak mengalir deras sebagaimana huruf-huruf
rakhâwah.
4. Huruf-huruf ghunnah, diucapkan dengan menyempurnakan
ghunnahnya dan menahan suara sepanjang dua harakat ghunnah.

Kemudian setelah itu, An-Nâzhim menjelaskan kepada kita agar


jangan sampai berlebihan dalam mengucapkan huruf-huruf berharakat. Baik
dari sisi gerakan mulutnya atau kadarnya.
Peringatan Sebagian Huruf Hijâiyyah

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


‫ور‬ ‫ب‬ َّ ‫ي حِف ح حدلى ٱ‬
ۡ ‫لون‬ ۡ‫حح حۡ ح ۡ ح ح ح ح‬
‫و ته ِمزن قا َكن‬
‫ً ح‬
‫ِوووزا لوو ُ ۥ‬
‫حح ح ح حۡ ُ ً ح ُ ۡ ح‬
‫ون هاق‬ ‫وقا َكن مهموفا فك‬
ِ
َٰ ‫ت ح ح‬
ۡ ‫لَع قحوووو‬ ۡ ‫بۡوو ح ُه حما حه ۡموووز حه حموو‬
‫وز ح‬ ۡ ‫حو‬ ‫ح‬ ۡ ۡ ‫ۡ ح ُ ح‬
‫ِإَون تَ َ ۡبوو ٱِلحواءِ وٱلو حواوِ ف ۡت ححوووو‬
ِ
“Dan apabila engkau mengucapkan huruf Hamzah tahqîq, maka
ucapkanlah dengan jelas, namun jangan engkau ucapkan dengan Hamzah tahqîq
apabila ia mesti dibaca tersembunyi (tashîl), dan Hamzah tahqîq itu memiliki
keadaan dimana ia dibaca dengan nabr yang berbeda dengan Hamzah tashîl.”

Kosa Kata:
َ ‫ح‬ َّ ‫ٱ‬
ُ ‫لون ۡب‬
Artinya adalah (ُ‫ٱل ُرت ّفاع‬
ّ ), yakni meninggikan suara. ُ ‫ور‬
Maksudnya adalah meninggikan suara suatu huruf sehingga
terdengar lebih keras dibandingkan huruf yang berada di
sebelahnya.

Penjelasan:
Huruf Hamzah keluar dari makhraj paling jauh, yakni di pangkal
tenggorokan, tepatnya pada pangkal pita suara (bagian dari laring). Huruf
Hamzah disifati dengan syiddah dan jahr. Orang-orang Arab merasakan
kesulitan saat mengucapkan huruf Hamzah, karenanya dalam sebagian
keadaan, mereka mengubah Hamzah menjadi satu keadaan yang baru
dengan cara menyamarkannya. Karenanya Hamzah dalam bahasa Arab ada
dua jenis:
1. Hamzah tahqîq, yaitu keadaan asli dari huruf Hamzah dan
pengucapannya mesti jelas tanpa disamarkan.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

2. Hamzah tashîl. Secara bahasa artinya Hamzah yang pengucapannya


dimudahkan. Caranya adalah dengan menyembunyikan Hamzah
sehingga berada di antara huruf Hamzah dan Madd.
Ketahuilah bahwa di dalam riwayat Hafsh jalur Syâthibiyyah seluruh
Hamzah mesti dibaca tahqîq, kecuali pada keadaan berikut:
1. Pada QS. Fushshilât, 41: 44 berikut:
‫مُ َو َع َر ا‬
ُ‫ب‬ ُ‫ا‬ َ ‫ُء َايٰتهۥُ َءاُ حع‬
‫ج‬ َ ‫ت‬‫َل َقالواُل َ حو َلُف اص ُلَ ح‬
ّ ّ ّ
Lafazh ini wajib dibaca dengan Hamzah tashîl. Wajib hanya memiliki
satu riwayat dalam cara membacanya.
2. Pada enam (6) tempat dalam Al-Qur`ân, yang terbagi pada tiga
bentuk, maka terdapat dua wajah, yakni ibdâl dan tashîl:18
َ َ َ ‫ح‬
19
ُ‫َءآلِل‬ 20
ُ‫َءآَّلك َر حي ّن‬ ُ‫َءآل َئٰن‬
21 َ

Adapun pada saat Hamzah berada di akhir kata setelah madd atau lîn,
maka ia mesti dibaca dengan nabr. Contoh:
َ ‫ُخ حل ًقاُأَ ّم‬
ُ‫ُٱلس َماء‬
َ ُّ َ َ ‫َ َ ح‬
‫ءأنتمُأشد‬ ‫لَعُ َ ح‬
ُ‫شء‬ ُٰ
ََ

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


‫ٱلواو ۡو ح حكٱلو م ذ‬
‫ح ح‬ ‫ح ُ ح ح ح َٰ ح‬
‫ت تنو ِظوف‬ ‫ل ِسووانَ ح‬ ۡ ‫لووراءِ وٱلو َّ ِ يحنوو ح‬ ‫ح حذۡ حح ح‬
َّ ‫ووان ٱ‬‫و َ ِ بي‬
ِ ِ
“Dan tipiskanlah dengan jelas huruf Ra dan Lam yang mesti dibaca tipis,
maka lidahmu menjadi fasih perkataanmu menjadi rapi layaknya mutiara.”

Kosa Kata:
Berasal dari kata (‫ب‬
َ َ
ُ ّ‫ )ذر‬yang artinya tajam. Apabila
‫ح‬
ُ ُ ِ ‫يحنو‬
َ َ
dikatakan (‫ن‬
ُّ ‫ )ذرّب ُٱللّسا‬maknanya adalah lancar atau fasih
lisannya.

18 Akan dijelaskan lebih lanjut pada bahasan Madd Farq


19 Terdapat pada QS. Yûnus, 10: 59 dan QS. An-Naml, 27: 59.
20 Terdapat pada QS. Al-An’âm, 6: 143-144.

21 Terdapat pada QS. Yûnus, 10: 51 dan 91.


Peringatan Sebagian Huruf Hijâiyyah

Penjelasan:
Huruf Lam dan Ra merupakan dua huruf yang keluar dari ujung lidah
yang menyentuh langit-langit dekat dengan gusi gigi seri atas. Seluruh sifat
dari kedua huruf ini sama: jahr, bayniyyah, istifâl, infitâh, idzlâq dan inhirâf.
Kecuali At-Takrîr yang membedakan huruf Ra dari huruf Lam. Apabila sifat ini
hilang dari huruf Ra, maka ia akan menjadi huruf Lam. Sebaliknya, apabila
sifat tersebut muncul saat mengucapkan Lam, maka ia akan menjadi Ra.
Para ulama sedikit berbeda pendapat apakah kedua huruf ini benar-
benar keluar dari satu makhraj yang sama atau hanya berdekatan. Ibnul
Jazariy, Al-Khalîl, dan Asy-Syâthibiy berpendapat kedua huruf ini berdekatan
(mutaqâribân), sedangkan Quthrub, Al-Farrâ`, dan Ibn Kaysân berpendapat
kedua huruf ini keluar dari makhraj yang sama (mutajânisân). Namun, mereka
sepakat bahwa kedua huruf ini memiliki sifat inhirâf yang berarti bergesernya
makhraj saat mengucapkannya.
Huruf Lam dan huruf Ra memiliki keadaan yang bersifat ‘âridhah dari
sisi tafkhîm dan tarqîq-nya. Pada sebagian keadaan dibaca tafkhîm dan pada
sebagian keadaan yang lain dibaca tarqîq.

Hukum asal huruf Ra adalah tafkhîm, namun ia tidak termasuk huruf


isti’lâ disebabkan sebagian keadaannya yang bisa dibaca tarqîq. Dalam
riwayat Al-Imâm Hafsh, seluruh Ra dibaca tafkhîm, kecuali:
No Keadaan Contoh Hukum
َ َ َ ‫َ ا‬
1 Kasrah ُ‫ق‬ َُ ‫ُماُخل‬ ‫ّنَُش‬
ّ ‫م‬ Wajib Tarqîq
َ ‫حَح‬ َ
ُ ‫َوف حّر َع حو‬
Sukun, sebelumnya kasrah asli
2 ُ ّ‫نُذّيُٱِوتاد‬ Wajib Tarqîq
dan setelahnya bukan isti’la
َ ُ ‫ينُ َغ ح‬ َ ‫ََ ح‬
َُ ‫لَعُٱلكٰفّ ّر‬
Sukun, sebelumnya ya madd atau
3
Lîn
ُ‫سري‬ ّ ‫ريُي‬ ُ Wajib Tarqîq
‫َ َح‬
4 Imâlah ُ‫رى ٰ َها َوم حر َسى ٰ َها‬ٜ ‫لِلُُّم‬
ُ ‫ ِمۡسِبُٱ‬Wajib Tarqîq

5
ٍُ ‫ )ف حُّر‬saat washl
Kata (‫ق‬
‫يم‬
‫ح‬
ُّ ‫لط حودُّٱل َع ّظ‬ َ ‫كٱ‬َ
ُ ُُ‫كُف حّرق‬ُ
ُّ
Wajhân
[QS. Asy-Syu’arâ, 26: 63]
‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ َ ‫ح‬ ََ
6 َُ ‫ )م‬saat waqf
Kata (‫ّص‬ َ‫ّص‬
ُ ‫لُملكُُم‬ ُ ّ ُ‫س‬
ُ ‫ألي‬ Wajhân
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

‫ح ح‬
Kata (‫ط ُّر‬
ُ ‫ ) ُٱل ّق‬saat waqf ‫ََ َ حَ َ َح َ ح‬
7 ُّ‫يُٱل ّق حطر‬
ُ ‫ِلۥُع‬
ُ ُ‫وُأسلنا‬ Wajhân
[QS. Saba`, 34: 12]
Tulisan
Asal Kata
(Rasm)
‫ح‬ َ ‫ح‬ َ
ُ ‫ِس‬
ُّ ‫أ‬ ُ ‫ِسي‬
ُّ ‫أ‬
Hadzful Ya saat waqf
8 [Kata yang akhirnya terdapat ُّ ‫ي َ ح‬
‫س‬ ‫سي‬ ‫َح‬
ّ ‫ي‬ Wajhân
huruf Ya yang tidak tertulis]
ّ‫نذ ُر‬ ‫نذرّي‬
َ‫ح‬
ُ ‫ٱل َو‬
‫ار‬ َ‫ح‬
‫ٱل َوارّي‬
ّ

Selain apa yang kami sebutkan di atas, maka seluruhnya dibaca


dengan tafkhîm, dan hal tersebut merupakan keumuman qiraat.

Kondisi asal huruf Lam adalah tarqîq. Ia mesti dibaca tafkhîm bila
berada pada lafazh Jalâlah (Kata “Allâh”) yang didahului oleh fathah atau
dhammah. Contoh Lam Tafkhîm:
َ َ َ َ ‫َ ح‬ َ ََ
ُ‫خل َقُٱلِل‬ ّ‫ُٱلِل‬
ُ ‫فضل‬ ُ ‫َُولَع‬
ّ‫ُٱلِل‬
Contoh Lam Tarqîq:
َ َ ‫ح َ ح‬ َ
ّ ‫ّلصل ٰوُة‬ ‫ل‬ ُ‫َوِلَ َتل َطف‬ ّ‫ِمۡسِبُٱلِل‬
ُ

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


‫ح ۡح‬ ُ ‫ححۡ ح‬ َّ ُ ۡ ‫ححۡ ۡ حح ح ح‬
‫ت حوكون ِ ٱلو َّ ۡ ِ ُق ۡۡ حت ِ ٱل ۡقو ِر‬‫ِس‬ ‫ٱلۡو ِ وٱ حلهوواءِ ُك حموووووا‬ ‫وأن ِۡف بيوان‬
“Dan bersungguh-sungguhlah untuk memperjelas huruf ‘Ain dan Ha
kapanpun engkau membaca dan mempelajarinya. Serta jadilah orang yang
bersikap moderat lagi proposional dalam membaca dan mempelajari Al-Qur`ân.”

Penjelasan:
Huruf ‘Ain dan huruf Ha, keduanya merupakan huruf yang lemah,
maka mesti dikuatkan pengucapannya. Namun, dalam menguatkannya
Peringatan Sebagian Huruf Hijâiyyah

jangan sampai berlebihan atau malah mengubah huruf yang bersangkutan.


Misalnya huruf ‘Ain yang sering terucap menjadi Hamzah atau malah
diucapkan terlalu dalam.
Begitu pula huruf Ha dan dan kalau boleh kami tambahkan huruf Ha.
Karena bagi keumuman orang Indonesia, kedua huruf ini sering tertukar satu
dengan lainnya. Huruf Ha sering terucap menjadi Ha, sedangkan huruf Ha
kadang malah keluar dari makhraj asalnya sehingga diucapkan dari dada.
Walaupun kita berusaha untuk memperjelas setiap huruf hijâiyyah,
namun bukan berarti kita berlebihan dalam mengusahakannya. Kita harus
tetap menjadi orang yang moderat dan proporsional.
Contoh:
َََ ‫ََ َ َح‬ ‫ا‬ َ
ٰ‫ه‬
ُ ‫نتُعنهُُتل‬ ُ ‫فأ‬ ُ ‫ف َعالُُل َّماُي ّر‬
‫يد‬
َ ‫َ ح‬ ‫ح‬ ‫ح ح‬ ‫َ َ ح‬
ُّ ‫ّن ٱل َعذ‬
‫اب‬ ّ ‫َو َماُه َُوُبّم َزح ّز‬
ُ ‫ح ُهّۦُم‬ ٰ‫ى‬ َ َ
ُ ‫ُِهُٱلمأو‬ َ ّ ‫حيم‬َ َ
ّ ‫فإّنُٱل‬
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ‫حذ‬
ۡ ‫وٱلح‬ ‫ل ُِم ۡص حح ِف ح ح ۡ ُ ذ‬ ً ‫ۡ حح‬ ۡ ۡ
‫ووووور‬
ِ ‫ح‬ ِ ‫نوا ٱلمتلوِ ِ ٱل‬ ‫حوق ِف عِن ح إِت حما ِ ٱللَك ِ ُم حواف ِاوووووووا‬
“Dan berhentilah pada kalimat yang telah sempurna, sesuai dengan mushaf
kita yang dibaca di daratan ataupun di lautan.”

Penjelasan:
Permasalahan waqf dan ibtida sejatinya bukanlah bagian dari ilmu
tajwid secara khusus, karena tidak berkaitan dengan kefasihan lisan. Namun,
penguasaan materi ini sangat menunjukkan kemampuan seseorang dalam
husnul adâ. Artinya, tidak sempurna kemahiran membaca Al-Qur`an seseorang
tanpa diiringi penguasaan dalam waqf dan ibtida`. Sedangkan penguasaan
waqf dan ibtida` sangat bergantung pada penguasaan bahasa Arab dan tafsir.
Karenanya, seorang pelajar Al-Qur`an, lebih-lebih para pengajarnya, tidak bisa
tidak mesti mulai masuk dalam pintu gerbang ilmu bahasa Arab dan tafsir.

Waqf artinya adalah berhenti dari memberi harakat dengan sebab


tertentu, seperti ujian (waqf ikhtibâriy), menjamak bacaan (waqf intizhâriy),
tidak sengaja/ kehabisan nafas (waqf idhthirâriy), atau tanpa sebab yang telah
disebutkan (waqf ikhtiyâriy).
Apabila kita berhenti untuk melanjutkan kembali bacaan, maka secara
istilah disebut sebagai waqf. Adapun apabila kita berhenti untuk
menyelesaikan bacaan, maka secara istilah disebut qath’. Kapan seseorang
boleh berhenti, baik untuk waqf atau untuk qath’, maka hal tersebut sangat
bergantung kepada makna kalimat yang kita berhenti padanya.
Al-Waqf Wal Ibtida

1. Apabila seseorang berhenti pada akhir kalâm, maka disebut waqf tâm.
Inilah tempat waqf terbaik. Cara melanjutkannya adalah dengan
langsung memulai pada kata berikutnya.
2. Apabila seseorang berhenti pada akhir kata, namun maknanya masih
berhubungan dengan kata setelahnya, maka disebut waqf kâfî. Para
ulama sepakat boleh berhenti padanya. Cara melanjutkannya adalah
dengan langsung memulai pada kata berikutnya.
3. Apabila seseorang berhenti pada kalimat yang masih memiliki
hubungan lafazh (i’râb) dengan kata berikutnya, namun maknanya
baik (tidak rusak), maka disebut waqf hasan. Cara melanjutkannya
adalah dengan mengulang beberapa kata sebelumnya sehingga
kalimatnya tetap sempurna dibaca. Kecuali apabila kita berhenti pada
akhir ayat, maka tidak perlu mengulangi kata-kata sebelumnya.
4. Apabila seseorang berhenti pada kalimat yang masih memiliki
hubungan lafazh (i’râb) dengan kata berikutnya, dan dengan sebab
kita berhenti maknanya menjadi rusak atau buruk, maka disebut waqf
qabîh. Hukumnya terlarang apabila sengaja, namun dimaafkan apabila
tidak sengaja. Cara melanjutkannya adalah dengan mengulang
beberapa kata sebelumnya sehingga kalimatnya tetap sempurna
dibaca.

Berbeda dengan waqf, apabila kita ingin qath’, maka kita hanya boleh
berhenti di akhir ayat yang maknanya telah selesai. Jadi, dua syarat yang
mesti terpenuhi saat ingin qath’ adalah:
1. Mesti di akhir ayat, dan
2. Mesti di akhir tema.
Tidak boleh berhenti di akir ayat yang bukan akhir tema, sebagaimana
tidak boleh berhenti di akhir tema yang masih tengah ayat.

Secara bahasa, ibtida` artinya memulai. Sedangkan secara istilah


bermakna memulai bacaan Al-Qur`an setelah Waqf atau Qath’.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

1. Ibtida setelah qath’ mesti memulai dari awal kalam, tidak boleh
memulai bacaan dari tengah kalam. Jadi, patokan memulai bacaan
bukanlah awal juz, awal halaman, atau sekadar awal ayat.
2. Ibtida setelah waqf mesti diperhatikan susunan kalimatnya,
sebagaimana yang telah kami uraikan.

Kaidah umum pada bab waqf ada dua:


1. Berhenti pada akhir ayat merupakan Sunnah secara mutlak (hasan),
2. Tidak ada dalam Al-Qur`ân waqf yang wajib atau haram secara syar’i
kecuali yang dapat merusak makna.
Peringatan Al-Idghâm dan Al-Isybâ’

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


‫ور‬
ۡ ‫ح ح ح ۡح ۡ ۡح م‬ ‫ح‬ ‫حو ح تُ ۡ َ حِم َّن ٱل ۡ ِمي حف إن ج ۡئ ح‬
‫ت حب ۡۡو ح ح‬
ِ ‫ِِبورِ ِسووواها وٱَب ِو ٱل ِۡلف بِٱلشكو‬ ‫هوووا‬ ِ ِ
“Dan jangan engkau idghâmkan huruf Mim apabila setelahnya terdapat
huruf selainnya, karena Mim hanya diidghâmkan apabila bertemu dengan Mim,
maka terimalah ilmu ini dengan penuh rasa syukur.”

Penjelasan:
Pada bait ini An-Nâzhim berbicara tentang hukum Mim Sâkinah. Beliau
mengatakan bahwa tidak ada idghâm pada Mim Sâkinah apabila bertemu
dengan huruf selainnya. Karena huruf Mim sâkinah selalu dibaca izhhâr,
kecuali apabila bertemu dengan Mim, maka ia diidghâmkan. Kemudian para
ulama berbeda pendapat saat huruf Mim sâkinah bertemu dengan Ba.
Sebagian ulama mengatakan: tetap izhhâr. Namun mayoritas ulama
mengatakan: ikhfâ, di antara izhhâr dan idghâm.
‫َ َ ح‬
Idghâm Huruf Mim ُ‫ُمُمُغ ّف َرة‬
‫له‬

َ َ ‫ح‬
Mim
Sâkinah
Ikhfa/ Izhhâr Huruf Ba ُ‫ُص حوت ّك‬
ّ ‫مّنهُمُب‬

ُ‫ُِف‬ ‫َحَ ح‬
Izhhâr Sisa Hurufnya ّ ‫كيدهُم‬
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ُ ۡ ‫َّ ح ح‬ ُ ۡ‫ح ح ح‬ ‫ح‬ ۡ ۡ ُ ۡ ‫ح ح م ح ح ح‬
ِ
‫ح‬
‫ٱلوموورذ‬ ُ ‫ح‬
ِ ‫كموا أشبوۡووا ﵥإِيواك نۡب ﵤ‬ ‫ون ُمشوب ِ ًۡا َُل‬
‫ومَ َ ۡبوو ٱلو حواوِ كو‬
‫وضو‬
“Dan pengucapan dhammahmu sebelum Waw mesti diperjelas,
sebagaimana para ulama memperjelas pengucapan huruf dhammah pada lafazh
“iyâka na’budu” saat me-washl-kan bacaan dengan kalimat setelahnya.”

Kosa Kata:
ُۡ ۡ‫ح‬ ۡ
ُ ‫ح‬ ‫ح‬
Dari kata ( ِ ‫ يشب‬- ‫ )أشب‬artinya adalah “menjadikan ُ ‫ُمشب ِ ًۡا‬
penuh”, “menjadikan kenyang”, atau “menjadikan gemuk”.
Dalam konteks tajwid, al-isybâ’ bisa memiliki dua
makna:
1. Membaca sebuah huruf dengan sempurna (penuh),
tanpa kekurangan,
2. Membaca sebuah huruf dengan berlebihan
(digambarkan seperti orang yang kekenyangan,
melampaui batasnya)
Adapun maksud pada bait ini adalah maksud yang
pertama.
ُ ‫ ح‬- ‫ )م َِّر‬artinya “melewati”, “melintasi”,
Dari kata (‫يم ذر‬
‫ح‬
‫ٱلوموو ذ ِر‬
“melalui”.
Maksud pada bait adalah: saat menyambung bacaan
dengan kata berikutnya, tidak saat me-waqf-kannya.
‫َّ ح ح ۡ ُ ُ َّ ح ح‬
‫اك ن ۡس حتِۡ ُ ﵤ‬ ‫ﵥإِياك نۡب ِإَوي‬

Penjelasan
An-Nâzhim mengingatkan pada kita bahwa pada saat huruf dhammah
berada sebelum Waw, jangan sampai membaca dhammah terlalu cepat,
disebabkan huruf Waw yang berada setelahnya. Beliau mencontohkan pada
saat membaca ayat:
‫َّ ح ح ۡ ُ ُ َّ ح ح‬
‫اك ن ۡس حتِۡ ُ ﵤ‬ ‫ﵥإِياك نۡب ِإَوي‬
Peringatan Al-Idghâm dan Al-Isybâ’

‫ح‬
Dhammah pada kata ‫ ﵥن ۡۡ ُب ُ ﵤ‬jangan sampai terbaca tidak sempurna,
apalagi malah mengubahnya menjadi sukun. Pengucapan yang tidak
sempurna ini dinamkan al-ikhtilâs.
Namun demikian, bukan berarti dhammahnya diucapkan secara
berlebihan sehingga melahirkan huruf baru (at-tawallud), misalnya menjadi:
‫َّ ح ح‬ ‫َّ ح ح‬
‫اك ن ۡس حتِۡ ُ ﵤ‬ ‫اك ن ۡۡ ُب ُ و ِإَوي‬ ‫ﵥإِي‬
Maka berhati-hatilah dari ikhtilâs dan tawallud.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ‫ٱلو ۡم فح‬
ۡ ‫ٱق ُ ِۡهُ حو‬ ۡ ‫حكآ ِ ح‬ ً ‫ور ُِ ل ِ حَك حن قِن حَ ۡب ُو ُق ۡ حَو‬ ۡ
‫ٱس حت ۡجو ِر‬ ِ ‫ح‬ ِ ‫ور قوا‬
ِ ‫وما‬ ۡ ‫ِإَون حح‬

ُۡ ُ ‫ح ح ح ح‬ ۡ ‫ح حح‬ ‫ح ح‬ ‫ۡ حح ح‬
‫لسوواك حِن ِ ت َ حيوووووا‬ َّ ‫حقووو ح ِ َّت ِلح َّن ٱ‬
ِ ‫فصوووا كتحوو ِر َ ك ا قا و ٱخل‬
“Dan apabila huruf lîn (maksudnya huruf madd) berada sebelum huruf
yang diidghâmkan (tandanya adalah tasydîd), seperti pada akhir surat “Alhamd”
‫َ ا‬ َ
(surat Al-Fâtihah, yakni lafazh َُ ‫لضٓال‬
‫ّيﵤ‬ ُ ‫)ﵥ َو‬, maka panjangkanlah ia dan
ُ ‫ل ُٱ‬
patuhilah,
Engkau mesti memanjangkannya disebabkan terdapat dua huruf sukun
yang bertemu (yakni huruf madd dan huruf yang diidghâmkan tersebut), maka
huruf yang diidghâmkan menjadi satu dengan huruf yang berharakat,
sebagaimana disampaikan oleh para ulama.”

Kosa Kata:
‫ ح ۡ ح‬- ‫ٱس حت حج حر‬
Bentuk perintah dari kata (‫ج ُر‬
ۡ ). Apabila ‫ٱس حت ۡجو ِر‬
ۡ
ِ ‫يست‬
ُ ‫ۡ ح ح ح ح‬ ُ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح ح حُ ح‬
dikatakan (‫ )ٱستجر َل‬maka artinya ( ‫ أطاع‬,‫“ )ٱنااِ َل‬tunduk ُ
padanya, mematuhinya, menaatinya.”
Maknanya adalah (Syaikh Islam bin Nashr): ُۡ ُ
َ ‫ح ح ح َ ح َٰ َ ح‬ ِ ‫و ٱخل‬
ُّ‫ُٱلف ا‬
ُ‫ن‬ ُ ‫ّنُأ ُه ّلُهذ‬
ُ ‫ُٱلعّ ُل ّمُم‬ ُ‫ح‬
ُ ‫أص َحاب‬
“Orang-orang yang berilmu dan memiliki keahlian dalam
cabang ilmu ini.”
Al-Madd Al-Lâzim

Penjelasan:
Bait ini membicarakan Madd Lâzim. Madd Lâzim atau Madd lissâkin
lazim adalah Madd far’iy yang disebabkan adanya sukun asli setelah huruf
Madd, baik dibaca washl ataupun waqf. Hukumnya lazim, dimana para Imâm
Ahli Qirâât sepakat untuk memanjangkannya dengan thûl (6 harakat).
Contoh:

Madd Lâzim terbagi ke dalam empat jenis: Pertama, Madd Lâzim


Kilmiy Mukhaffaf; kedua, Madd Lâzim Kilmiy Mutsaqqal; ketiga, Madd Lâzim
Harfiy Mukhaffaf; dan keempat, Madd Lâzim Harfiy Mutsaqqal.

Dalam bait ini, An-Nâzhim menyebutkan salah satu jenis dari Madd
Lâzim, yakni Madd Lâzim Kilmiy Mutsaqqal. Beliau memberikan salah contoh
untuk Madd ini, yakni pada akhir surat Al-Fâtihah:
‫َ َح ح ََ َ ا‬ ‫َح ح ح‬
َُ ‫لُٱلضٓال‬
‫ّيﵤ‬ ُّ ‫ريُٱل َمغض‬
ُ ‫وبُعلي ّه ُم و‬ ُّ ‫ﵥغ‬
Kemudian beliau menjelaskan bahwa sebab kalimat ini dibaca dengan
madd (enam harakat), yakni bertemunya dua huruf sukun dalam satu kata
yang sama: huruf sukun yang pertama adalah huruf madd, dan huruf sukun
yang kedua adalah huruf yang diidghâmkan. Setiap huruf madd yang
bertemu dengan sukun asli pada satu kata yang sama, maka selalu dibaca
dengan panjang enam harakat berdasarkan kesepakatan Ahli Qirâât.
Penting untuk dipahami juga bahwa huruf bertasydîd sebenarnya
terdiri dari dua huruf, huruf pertama adalah huruf sukun dan huruf kedua
adalah huruf berharakat.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

1. Madd Lâzim Kilmiy, adalah Madd far’iy yang disebabkan adanya sukun
asli setelah Madd pada satu kata yang sama. Madd Lâzim Kilmiy terbagi
menjadi dua: Mad Lâzim Kilmiy Mukhaffaf dan Mad Lâzim Kilmiy
Mutsaqqal.
a) Mukhaffaf apabila madd bertemu dengan sukun asli yang tidak
terjadi idghâm,
b) Mutsaqqal, apabila madd bertemu dengan sukun asli yang terjadi
idghâm, contoh:
Mad Lâzim Kilmi Mukhaffaf Mad Lâzim Kilmi Mutsaqqal
َ ‫َٰٔـنُ َوقَ حُدُ َع َص حي‬ ‫ح‬ ‫ََ َ ا‬
َ ‫ٓال‬
ُ‫ت‬ َُ ‫َءآل‬ ُ‫ّي‬ ‫ولُُٱلض‬
َ
ُ‫جلون‬ ‫ع‬ َُ ‫َءآلح‬
‫َٰٔـنُ َوقَ حُدُكنتمُب ُهّۦ ت َ حس َت ح‬ َ َ
ُ‫ٱلصاخة‬
َ َ
ُّ ‫فإّذاُ َجا َء‬
ُ‫ت‬
ّ ّ
َ ُّ َ ‫َ ٰ َ َ َ ح‬
َ‫ُُٱلِل‬
Tidak Ada Kata Yang Lain Untuk Mad Lâzim
ُ ‫ذل ّكُُبّأنهمُُشٓاقوا‬
Kilmi Mukhaffaf

2. Madd Lâzim Harfiy, adalah Madd Lâzim yang terdapat pada huruf
muqaththa’ah. Sama dengan Madd Lâzim Kilmiy, Madd Lâzim Harfiy
juga ada yang mukhaffaf dan ada yang mutsaqqal.
3. Contoh Madd Lâzim Kilmi Mutsaqqal dan Mukhaffaf
Ayat Bacaan Huruf Hukum
‫َ ح‬
ُ ‫أل‬
‫ّف‬ Tidak ada madd

‫الم‬ ‫أَل حّف َُۡل ا‬


‫مُمّي حُم‬ ‫لم‬
َ Madd lâzim mutsaqqal,
karena diidghamkan dengan
Mim yang berada setelahnya
ُ‫امّي حم‬ Madd lâzim mukhaffaf,
karena tidak diidghamkan
‫َ ح‬ ‫َح‬ ‫َح‬ Madd lâzim mukhaffaf,
‫عسق‬ ُ‫عيُ ّسيُقاف‬ ُ ‫ع‬
‫ي‬ karena tidak diidghamkan
Hukum Nûn Sâkinah dan Tanwîn

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ َّ ‫ح ح ح‬ ‫ح ح‬ ُ ۡ ُ ‫ُ ُ ً َّ ً ح‬ ُ‫ح‬
‫ور‬
ِ ‫و‬‫و‬‫ه‬ ‫بِإظ حهوا ِ نووون َ ۡبولهووا أبوو ٱدل‬ ‫ح‬ َّ ۡ
‫وأسوو ِم حوووروفا ِستووو لِ خصوهووووا‬
ۡ ‫حۡ ح ح ۡ ح م‬ ‫ح‬ ‫ح‬ َّ ‫فح ححوواء حو ح ووواء ُث‬
‫ووف حهووووواء حو حه ۡموو ح‬
‫ووور‬
ِ ‫ك‬ ‫حوع ۡيون حو ۡيوون ِلوس قوو ِِل بِاۡل‬ َ‫وز‬
“Dan aku menyebutkan huruf-huruf yang enam, disebabkan
kekhususannya, yakni kita mesti mengizhhârkan huruf Nun Sâkinah apabila
berada sebelum huruf-huruf ini. Ketentuan ini berlaku sepanjang zaman.
Huruf-huruf yang dimaksudkan adalah huruf Ha, Kha, kemudian Ha,
Hamzah, ‘Ain, dan Ghain. Dalam hal ini tidak ada yang mengingkari pendapat yang
aku kemukakan.”

Penjelasan:
An-Nâzim menyebutkan salah satu hukum dalam bab Nun Sâkinah dan
Tanwîn, yakni Al-Izhhâr Al-Halqiy. Sedangkan hukum Nun Sâkinah dan Tanwîn
sendiri terbagi menjadi empat: Al-Izhhâr (membaca dengan jelas), Al-Idghâm
(dimasukkan ke dalam huruf setelahnya), Al-Qalb (diubah menjadi huruf
Mim), atau Al-Ikhfâ (disamarkan suaranya sehingga berada di antara suara
Nûn Sâkinah atau Tanwîn dengan suara huruf setelahnya).
Al-Izhhâr Al-Halqiy maksudnya adalah mengucapkan Nun sâkinah dan
tanwîn dengan jelas tanpa disertai ghunnah tambahan juga tanpa
menyamarkannya, tepat dari makhrajnya, sempurna sifatnya, serta tanpa ada
jeda di antaranya dengan huruf berikutnya. Dengan kata lain, izhhâr artinya
membaca sebuah huruf sebagaimana membacanya saat ia sendirian, tepat
makhrajnya, sempurna sifatnya.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Nun sâkinah dan tanwîn dibaca dengan jelas bila berhadapan dengan
huruf-huruf halqiyyah (huruf-huruf yang keluar dari tenggorokan). Karenanya
disebut dengan al-izhhâr al-halqiy. Contoh:
Tanwîn Nûn Sâkinah

An-Nâzhim mengatakan bahwa tidak ada yang mengingkari pendapat


ini. Namun, kalau ditinjau dari qiraat sepuluh, maka ada perbedaan pedanpat
pada hurur Ghain dan Kha. Sebagian ulama memasukkan huruf Kha dan
Ghain ke dalam makhraj lisan. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini
adalah Al-Imâm Abu Ja’far bin Al-Qa’qa Al-Madaniy (35-130 H.), salah seorang
Qâri Qiraat Al-‘Asyr (qiraat sepuluh). Konsekwensinya, saat Nun atau Tanwîn
bertemu kedua huruf ini, maka Nun Sakinah atau Tanwîn diikhfâkan dan
tidak diizhhârkan.

Nûn sâkinah dan Tanwîn dibaca idghâm bila bertemu dengan salah
َ ُ
satu dari enam huruf yang terkumpul dalam kata ‫( َير ُملون‬yarmulûna atau
yarmalûna) yaitu huruf Ya (‫)ي‬, Ra (‫)ر‬, Mîm (‫)م‬, Lam (‫)ل‬, Waw (‫)و‬, dan Nûn (‫)ن‬,
sebagaimana telah shahih riwayat ini menurut para ulama Ahli Qirâât.
Bila dilihat dari sisi ada atau tidak adanya ghunnah, maka Idghâm
pada Nûn sâkinah dan Tanwîn terbagi dua: idghâm bighunnah (disertai
ghunnah) dan idghâm bilâ ghunnah (tanpa disertai ghunnah).
Hukum Nûn Sâkinah dan Tanwîn

Contoh Idghâm bighunnah:


Idghâm Kâmil Idghâm Nâqish
‫َ َ ُّ ح‬ ‫ََ َ ح‬
َُ ‫ّش‬
‫ك‬ ّ ‫نُن‬ ُ ‫وُل‬ ُ‫نُي حُع َمل‬ ‫ف ُم‬
ُّ ‫َ ح‬ َ
ُ ‫شء ُُنك ٍُر‬ ُ ُ ‫ي اُيَ َرهۥ‬
ُ ‫ري‬ُٗ ‫خ ح‬
ُ ‫نُما ُّل‬ َُ ‫ُّم‬ َ ‫م‬
ُ‫ّنُو ّ ا‬
ُ ‫ِل‬
َ َ
ُ‫ن‬ ُّ‫ري ا‬
ُ‫ُم ح‬ ُ‫خ ح‬ ُ ُ‫ُوك ّيل‬َُ ‫شء‬
ُ‫ح‬

Contoh Idghâm bila ghunnah:


Tulisan Dibaca Tulisan Dibaca
‫َ ح‬ ‫َ ح‬ َ ٗ ‫ف حّتنَ َُتلَُه ح‬
ُ‫ّمُنُلُنه‬ ُ‫ّمَُلُنه‬ ‫ف حّت َنُةُلُه حُم‬ ُ‫ُم‬
َ َ
‫ُنُرُبا ّ ّه حُم‬
َ ‫ّم‬ ‫ُر اُب ّ ّه حُم‬
َ ‫ّم‬ ُ‫حيم‬ َُ ‫غفور‬
ّ ‫ُر‬ ُ‫حيم‬ َُ ‫غفور‬
ّ ‫ُر‬

Yaitu mengubah Nûn menjadi Mîm dengan menyertakan sifat


ghunnahnya dan sedikit menyamarkan suara Mîm saat bertemu dengan
huruf Bâ. Secara bahasa, qalb artinya membalik atau at-tahwîl yang bermakna
mengubah. Contoh:
‫ُأَۢنب حُئه ُمح‬ ُ‫ك‬ َ
ُ ّ‫ُأنُبُور‬ ۢ
َ
ُ‫نُ َُب حع ّد‬ُۢ ‫ُّم‬
ّ
َ
ُ ُ‫ش ُءّ ُُۢبَ ّصري‬
ُ‫ح‬ ُ ‫َج َزاُ َُء ُۢب ّ َُما‬ ُ ُ‫صري‬ َ
ّ ‫َس ّمي ُع ۢ ُب‬

Yakni menyamarkan suara Nun sâkinah atau tanwîn dengan cara


mempersiapkan lidah pada makhraj huruf kedua. Contoh:
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


‫ح ُ ح ح حذۡح حح حۡ ح ۡ ح‬ ُ َٰ ‫ُ ُ ُ ۡ ح ۡ ح ۡ ح‬
‫وووري‬ ۡ
ِ ‫صيوون أق‬ ِ ۡ‫ف ونووَ بيِنها و ت‬ ‫ِف حب حيان حهوا‬ ‫ِ ي حوروِ ٱللو ِ يو‬ َٰ ‫فح حه‬
ۡ ‫ح ح َٰ ُ ح ح‬ ‫ح‬ ‫حح ح‬ ‫ح‬ ۡ َّ ‫ح ۡ ُ م ح‬ ‫حح‬
‫لشو ِر‬ ‫كا ۡول َِ ﵥق ِۡن ۡيوﵤ دلى سو َ ِ ٱ‬ ‫وت ُيظ ِه ُرون حهووا‬
ِ ‫تشوو ِِ ٱۡلووون‬
‫ٱل‬ ‫و‬
“Maka inilah huruf-huruf halqiy (huruf yang keluar dari tenggorokan), yang
terkadang tersembunyi kejelasannya, maka hendaknya engkau memperjelas
pengucapan huruf-huruf tersebut dan janganlah engkau mendurhakai perintahku,
Dan jangan pula engkau mentasydîdkan huruf Nun yang mesti dibaca
izhhâr, sebagaimana pada saat engkau membaca ayat (min khaylin) pada surat Al-
Hasyr.”

Penjelasan:
Dalam bait ini An-Nâzhim menjelaskan beberapa kekeliruan dalam
pengucapan Al-Izhhâr Al-Halqiy. Pertama adalah mengikhfakan Nun Sâkinah
atau Tanwîn saat bertemu dengan huruf-huruf halqiy. Kedua adalah
mentasydidkannya, yakni menambah kadar panjang ghunnahnya pada saat
semestinya ia dibaca dengan izhhâr seperti pada QS. Al-Hasyr, 59:6 berikut:
َ ََ ‫َ َ َح َ ح ح َ َح ح َ ح‬
‫لُرّاكبُﵤ‬
ُ ‫ّنُخيلُُو‬
ُ ‫ﵥفماُُأوجفت ُمُعلي ُهُّم‬

ۡ ۡ ‫ۡ ح‬ ‫وز ح‬ ۡ ‫فحاِ ۡسوو ُ حعلح‬


ۡ ُ‫وي حها ف‬ ‫ٱل ۡنووو حن حف ۡهو ح‬ ۡ
َّ ‫ِإَوظ حهوووا ُ حك‬
‫ِب ٱلِك ِر‬
ِ ‫ع‬ ‫َك‬ ‫وٱل‬ِ ‫ب‬ ‫ت‬ ‫اس حهووووا‬
ُ ‫ِوي‬
‫وو ق ح‬
ِ
“Dan membaca tanwîn dengan jelas merupakan analogi dari Nun Sâkinah,
sehingga Nun Sâkinah dan tanwîn sama hukumnya. Maka anolgikanlah
pengucapan tanwîn dengan pengucapan Nun Sâkinah agar engkau mendapatkan
karunia berupa bidadari yang masih gadis lagi cantik jelita.”

Penjelasan:
Dalam bait ini An-Nâzhim menjelaskan bahwa hukum Nun Sâkinah dan
Tanwîn itu sama. Karena Tanwîn dianalogikan dengan Nun Sâkinah, dan
perkara ini sudah masyhûr lagi ma’rûf bagi orang-orang Arab. Beliau
Hukum Nûn Sâkinah dan Tanwîn

melanjutkan bahwa siapa saja yang dapat memahami dan mengamalkan


semua ini dengan baik, maka semoga Allâh memberikan karunia padanya
berupa bidadari yang masih gadis lagi cantik jelita. Allâh  berfirman tentang
balasan bagi orang-orang yang bertaqwa:
ٗ َ ‫ََ َ َ َح‬
ُ ‫ّبُأتراباﵤ‬
ُ ‫ﵥوكواع‬
“Dan gadis-gadis montok yang sebaya.” [QS. An-Naba`, 78:33]
Dalam Tafsir Kemenag dijelaskan:
“Lalu diterangkan pula bahwa di dalam surga itu terdapat banyak bidadari
yang cantik, montok, dan sebaya usianya. Kesenangan bergaul dengan kaum
wanita yang biasanya merupakan kesenangan yang memuncak di dunia, akan
dialami pula oleh ahli surga dengan cara yang lebih sempurna, tetapi tidak dapat
dibayangkan bagaimana terjadinya nanti.”
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


َّ ‫يُلح َّا ُن حه ووا بحووووا ِ ٱ َّل حۡ ملوووف بٱ‬ ‫ح ح‬ ‫حح ۡ ح ح ۡ ح‬
‫لص ۡبوووووو ِر‬ ُ ‫وت أ ۡش و حي‬
‫اء حب ۡۡوووو ُ ل ِطيفووو‬ ‫وق و ب ِاي و‬
ِ ِ
“Dan sungguh masih begitu banyak permasalahan yang ada setelah apa
yang sedikit diuraikan di sini, hendaknya semua itu ditekuni secara serius dan
mempelajarinya dengan penuh kesabaran.”

Penjelasan:
An-Nâzhim menjelaskan bahwa apa yang diuraikan dalam kitabnya
hanyalah sebagian kecil dari kaidah-kaidah tajwîd yang mesti dipelajari para
penuntut ilmu. Di luar kitab ini, masih begitu banyak ilmu yang hendaknya
serius untuk ditekuni dengan penuh kesabaran. Bertalaqqiy, musyâfahah,
mulâzamah kepada para ulama yang mahir dan para imam yang diakui
kapabilitasnya. Serta mengkaji ilmu melalui kitab-kitab dan penelitian yang
dalam. Namun, semua itu tidak akan tercapai kecuali dengan kesungguhan
dan kesabaran, karena ilmu tidak bisa dicapai dengan rasa malas dan santai.
Ilmu mesti dicapai dengan kelelahan dan pengorbanan.

Al-Imâm Al-Khâqâniy mengatakan:


ۡ ‫ح‬ ‫ُ ح ذ ُ ُ ۡح ۡ ح م ح ُ ح‬ َّ ‫َّ ُ ح َٰ ح ح‬ ُ ‫ح‬
‫ووور‬ ‫ح‬
ِ ‫يۡلِم ٱخليور ٱدلَء لوو ى ٱلفج‬ ‫وووس لَع ٱلِي‬ ‫ف ِ بۡوو ِن ع حب ۡيووو ِ ٱّللِ م‬
ۡ ‫ح‬ ُ ۡ ُۡ ۡ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫حح‬ ‫ح‬ ‫م‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح ح ح ح‬
‫وور‬ َّ ‫ح‬
ِ ‫أ ِِخ فِيوَ بِٱلوغفوورا ِن قِن وبِٱۡلص‬ ‫أجابوووَ فِينوووا بنوووا وأجابونووووا‬
“Maka aku memohon doa bagi Ibn ‘Ubaydillâh Mûsâ kepada siapa saja
yang telah mendapatkan pelajaran yang baik ini, berupa kebaikan di setiap awal
harinya,
Khâtimah

Semoga Allâh menjawab doa yang engkau panjatkan bagi kami, dan doa
yang kami panjatkan bagimu, berupa ampunan darinya dan pertolongan baik
dalam kehidupan dunia dan akhirat. Âmin.”

Penjelasan:
Setelah kita mempelajari begitu banyak ilmu dan pengetahuan yang
diajarkan oleh Abû Muzâhim Al-Khâqâniy, maka hendaknya kita tidak menjadi
orang yang bakhil dalam mendoakan kebaikan baginya, bagi guru-guru kita
yang menjadi wasilah sampainya ilmu ini darinya kepada kita, juga kepada
guru-guru beliau yang menjadi wasilah sampainya riwayat dari Nabi kita
Muhammad  kepada kita sekalian.
Sesungguhnya beliau memohon keikhlasan kita agar mendoakannya
di setiap pagi kita, sebagaimana beliau telah mendoakan kita sekalian agar
kita mendapatkan ampunan dan pertolongan. Maka, kita doakan beliau agar
Allâh memberikan tempat yang terbaik di akhirat, mengampuni seluruh
kesalahannya, juga keluarganya, dan memberikan baginya pertolongan di
akhirat sehingga beliau bisa berkumpul dengan manusia pilihan-Nya di surga
firdaus yang tinggi.
Kemudian sebagaimana beliau memohon doa kepada kita sekalian,
maka kami Laili Al-Fadhli juga berharap kepada para pembaca sekalian untuk
mendoakan kami agar senantiasa berada dalam kebaikan, memberkahi
kehidupan kami dan keluarga kami, serta mengampuni beragam kesalahan
kami baik yang telah lalu ataupun yang akan datang.
Kami pun berdoa untuk kebaikan kita sekalian, untuk kebaikan guru-
guru kita, agar kita bisa mendapatkan manfaat dan barakah dari ilmu yang
diwariskan para ulama, agar Allâh  kelak mengumpulkan kita bersama
orang-orang terbaik di surga-Nya dari kalangan para Nabi dan Sahabatnya,
bersama para imam muqri`, para fuqaha, para ahli hadits, orang-orang shalih,
dan para mujahid. Âmîn.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

Al-Qur`ân Kemenag. Aplikasi Quran Kemenag untuk Android. Diterbitkan oleh


Kemenag.
Ensiklopedi Hadits. Aplikasi Ensiklopedi Hadits untuk Android. Diterbitkan
oleh Lidwa Pustaka.
King Fahd Printing. Tanpa Tahun. Mushaf Madinah King Fahd Glorious Qur’ân
Printing Complex (ebook). Terdapat di
https://dm.qurancomplex.gov.sa/hafsdownload/. Terakhir diakses 5
September 2019.
Quran Android. Aplikasi Quran Android (Mushaf, Terjemah, dan Tafsir).
Diterbitkan oleh quran.com.

Abdul Hâmid, Su’âd. 2009. Taysîrurrahmân Fî Tajwîdil Qurân. Kairo: Dâr Ibnil
Jawziy.
Abû ‘Anzah, Khalîl. Tanpa Tahun. Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy Lil
Imâm Abî ‘Amr Ad-Dâniy. Terdapat di
http://www.bsa2er.com/vb/attachment.php?attachmentid=414&d=12
95281933. Terakhir diakses 8 Maret 2019.
Adz-Dzahabiy, Abû Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmân. Terdapat di
https://islamweb.net/ar/library/index.php?page=bookcontents&ID=30
91&bk_no=60&flag=1. Terakhir diakses Jum’at, 27 Maret 2020.
Al-Âjurriy, Abû Bakr Muhammad bin Al-Husayn. 2012. Akhlâq Hamalatil Qur`ân
wa Akhlâqil ‘Ulamâ`. Kairo: Dâr Ibnil Jawziy.
Al-Azhariy, Islâm bin Nashr bin As-Sayyid. 2012. Al-Fathur Rabbâniy Fî Syarhi
Râ`iyyatil Khâqâniy. Giza: Maktabah Awlâdisy Syaikh Lit Turâts.
Sumber Rujukan

Al-Hajîlân. ‘Abdul ‘Azîz bin Muhammad. 1424 H. Al-Ahkâm Al-Fiqhiyyah Al-


Khâshshah bil Qur`ân. Buraydah: Dâr Ibnil Jawziy.
Al-Hushariy, Mahmûd Khalîl. 1996. Ahkâmu Qirâatil Qurânil Karîm. Makkah Al-
Mukarramah: Al-Maktabah Al-Mulkiyyah dan Dârul Basyâiril Islâmiyyah.
Al-Marshafiy, Abdul Fattah Sayyid ‘Ajmi. 2001. Hidâyatul Qâri Ilâ Tajwîd Kalâmil
Bâri Jilid I. Madinah: Dâr Al-Fajr Al-Islâmiyyah.
__________. 2001. Hidâyatul Qâri Ilâ Tajwîd Kalâmil Bâri Jilid II. Madinah: Dâr
Al-Fajr Al-Islâmiyyah.
Al-Munîf, ‘Abdul Muhsin bin Muhammad bin ‘Abdil Muhsin. 2019. Ahkâmul
Imâm wal Itmâm Fish Shalâh. Kairo: Dâr Al-Ma`tsûr.
Âlu Ismâ’îl, Abû Ibrâhîm Ridhwân. 2010. Dhabthu Manzhûmati (Râqiyyatul
Khâqâniy) Fit Tajwîd. Terdapat di
https://www.ahlalloghah.com/showthread.php?t=5611. Terakhir
diakses 23 Maret 2020.
Âlu Ismâ’îl, Abû Ibrâhîm Ridhwân. 2010. Dhabthu Manzhûmati Râ`iyyatil
Khâqâniy Fit Tajwîd. Terdapat di
https://www.ahlalloghah.com/showthread.php?t=5611. Terakhir
diakses Jum’at, 27 Maret 2020.
An-Nasyûqâtiy, ‘Umar bin Muwaffaq. 2016. ‘Ilmu Riwâyatil Hadîts. Beirut: Dar
Albashaer.
An-Nawawiy, Abu Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf. 2014. At-Tibyân Fî âdâbi
Hamalatil Qur`ân (Tahqîq Ahmad Ismâ’îl). Al-Manshûrah: Dâr Ibni ‘Abbâs.
Ash-Shaftiy, Hamdullâh Hâfizh. 1425 H. Silsilah Mutûnit Tajwîd 1. Kairo:
Maktabah Awlâdusy Syaikh lit Turâts.
__________. 1425 H. Silsilah Mutûnit Tajwîd 2. Kairo: Maktabah Awlâdusy
Syaikh lit Turâts.
As-Samannûdiy, Ibrٰٰâhîm ‘Alî Syahâtah. Tanpa Tahun. At-Tuhfatus
Samannûdiyyah Fî Tajwîdil Kalimâtil Qurâniyyah. Tanpa nama penerbit.
As-Sakhâwiy, Muhammad bin Abdirrahmân. 2010. Tsabat Syaikhil Islâm
Zakariyyâ bin Muhammad Al-Anshâriy (Tahqîq Muhammad bin Ibrâhîm
Al-Husayn). Beirut: Dar Albashaer.
Terjemah dan Syarh Qashîdah Abî Muzâhim Al-Khâqâniy

As-Surianji, Abû Abdillâh Rikrik Aulia Rahman. 2016. Tsabat As-Surianjiyah Jilid
1. Bandung: Yayasan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi.
__________. 2018. Apa Faidah Menjaga Sanad di Zaman Sekarang?. Bandung:
Yayasan Ibnu Qudamah Al-Hanbali
As-Suyûthiy, Jalâluddîn. 2016. Al-Itqân Fî ‘Ulûmil Qurân. Thanthâ: Dârush
Shahâbah Litturâts.
Asy-Syaqaqiy, Rihâb Muhammad Mufîd. 2014. Hilyatut Tilâwah Fî Tajwîdil
Qurân. Jeddah: Maktabah Rawâi’ Al-Mamlakah.
Ath-Thîbiy, Syamsuddîn Ahmad bin Ahmad bin Badruddîn. Tanpa Tahun.
Manzhumah Al-Mufîd Fî Tajwîd (Tahqiq Dr. Ayman Suwaid). Terdapat di
http://www.riyadhalelm.com/mton/m3/3w-mnzomat-almofed.doc.
Terakhir diakses 8 Maret 2019.
Ibnul Jazariy, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad. 2018. Nasyrul
Qirâatil ‘Asyr Jilid 1 (tahqîq Ayman Rusydi Suwayd). Istanbul: Dârul
Ghawtsâniy.
Muhaysin, Muhammad Sâlim. 1992. Mu’jâm Huffâzhil Qur`ân ‘Abrat Târîkh Jilid
1. Beirut: Dâr Al-Habîl.
Nugroho, Ivan Suryo, dkk. 2014. Karya-Karya Awal dalam Sejarah Ilmu Tajwid
(Makalah). Yogyakarta: Jurusan Ilmu Al-Qur`ân dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga.
Rustandi, Rendi. 2019. Terjemah Qashidah Khaqaniy. Bandung: Al-Jazariy
Foundation.
Suwayd, Ayman. 2014. At-Tajwîd Al-Mushawwar Al-Juz Al-Awwal. Damaskus:
Dârul Ghautsâniy Lid-Dirâsât Al-Islâmiyyah.
__________. 2014. At-Tajwîd Al-Mushawwar Al-Juz Ats-Tsâniy. Damaskus:
Dârul Ghautsâniy Lid-Dirâsât Al-Islâmiyyah.
Sya’bân, Muhammad Thâhâ. 2012. Thuruqi Tahammulil Hadîts ‘Indal
Muhadditsîn. Terdapat di http://majles.alukah.net/t116682/. Terakhir
diakses 8 Maret 2019.
Syaraf, Jamâl Muhammad. Tanpa Tahun. Hadyul Majîd Fî Syarhi Qashîdatay Al-
Khâqâniy was Sakhâwiy Fit Tajwîd. Thanthâ: Dârush Shahâbah Lit Turâts.

Anda mungkin juga menyukai