Anda di halaman 1dari 68

‫هداية الرحمن‬

‫على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

PETUNJUK ALLÂH AR-RAHMÂN


Atas Penjelasan Al-Lahn dalam Tilâwah Al-Qurân

Disusun oleh:
Muhammad Laili Al-Fadhli

Modul Daurah Intensif


KUPAS TUNTAS AL-LAHN DALAM TILÂWAH
Sabtu, 27 Februari 2021/ 15 Rajab 1442 H
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

PENDAHULUAN
ُ ‫لٱ ٱ لمنلٱ لٱ لٱ ل‬
‫لٱ ٱ لصحلٱ بهو ل‬ ‫ ِه‬ ‫ ِه ل ل ُ ِه ُ ِه ِه ل ُ ل ِه ل ُ ل ل‬
‫اِللٱ‬ ‫و‬ ‫لٱ ر ُسو وللٱ لَّولٱ لٱ و‬
‫آِل و ل‬ ‫لٱ لَع ل‬ ‫لٱ َّولٱ ثملٱ للصَلةلٱ ٱللسَلم‬
‫لحملٱ د و‬
‫ِمۡسِبلٱ لَّولٱ ٱ لٱ‬
Segala puji bagi Allâh  yang telah menjaga kitab-Nya dari beragam
penyimpangan, dan memeliharanya dari bermacam-macam perubahan.
Kemudian Allâh  menganugerahi kita dengan kehadiran para imam ahli
qirâah yang menjadi wasîlah dalam menjaga kitab-Nya, baik dari sisi
pelafalan atau tulisan, sehingga kita bisa membedakan mana yang benar
dan mana yang salah.
Shalawat teriring salam semoga tetap terculahlimpahkan kepada
Rasûlullâh Muhammad , juga kepada keluarganya, para sahabatnya, dan
kita berharap semoga sampai kepada kita sekalian beserta seluruh kaum
muslimin yang berusaha untuk teguh dalam mengikuti jejaknya hingga hari
kiamat. Kemudian kita khususukan doa dan shalawat kepada para imâm
muqri dan para ulama qâri karena dengan wasilah mereka kita bisa
melafalkan Al-Qurân dengan tepat dan benar.
Risalah ini merupakan risalah singkat dalam pembahasan Al-Lahn
pada saat membaca Al-Qurân. Tidak ada daya dan upaya dalam diri kami
kecuali atas berkat kasih sayang dan pertolongan-Nya risalah ini dapat
diselesaikan. Maka, kami beri judul risalah ini Hidâyaturrahmân ‘Alâ Bayânil
Lahni Fî Tilâwatil Qurân (Petunjuk Allâh Ar-Rahmân atas Penjelasan Al-Lahn
dalam Tilâwah Al-Qurân).
Risalah ini disusun sebagai sebuah modul dalam Daurah yang kami
selenggarakan. Kami berharap risalah ini akan menjadi pegangan yang
bermanfaat, khususnya bagi para pengajar dan pelajar tajwid, dan umumnya
bagi kaum muslimin. Sehingga mereka akan terus memperdalam ilmu Al-
Qurân sampai bisa melafalkannya dengan benar, memahaminya,
mentadabburinya, dan mengamalkan hukum-hukumnya dalam kehidupan
sehari-hari.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Tentu saja, risalah ini hanya berisi kaidah dan batasan yang dapat
menjaga seseorang dari lahn, kemudian kami tutup dengan beberapa
peringatan dan poin-poin penting untuk menjaga seseorang dari lahn.
Namun, adapun rincian kaidah tajwid dan ketepatan cara membaca Al-Qurân
belum cukup kita raih hanya dengan mengkaji risalah ini. Kita harus masuk
dalam samudera ilmu tajwîd yang lebih luas lagi, serta wajib meluangkan
waktu khusus untuk bertalaqqiy (bertatap muka) secara intensif kepada
seorang guru yang mutqin. Karena keberhasilan pembelajaran tajwid tidak
akan pernah tercapai kecuali melalui talaqqiy dan musyâfahah (dari lisan ke
lisan).
Kemudian, apabila dalam risalah ini ada perkataan yang tidak
berkenan di hati para pembaca, atau pendapat yang keliru dan bertentangan
dengan fatwa para imam dan ulama salaf, maka hendaknya tidak ragu untuk
menyampaikannya kepada kami, sehingga insyâallâh risalah ini bisa segera
direvisi agar tidak menjadi risalah sampah yang tidak memiliki nilai dan
manfaat sama sekali.
Kami memohon doa kepada para pembaca sekalian agar dengan
risalah ini, Allâh  menurunkan kepada kami dan kita semua keberkahan
dalam ilmu, kehidupan, dan harta kita, sehingga kita bisa berjumpa dengan-
Nya di akhirat kelak dengan wajah yang berseri dan berbahagia. Âmîn.

Depok, 14 Rajab 1442/ 26 Februari 2020

Muhammad Laili Al-Fadhli (Abu Ezra)


Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ................................................................................................. 2
PENGERTIAN AL-LAHN DAN URGENSI MEMPELAJARINYA ............................. 5
‫ ِه‬ ُ ‫ل‬
Definisi Al-Lahn (‫ن‬
‫)تعرويفلٱ لللح ولٱ‬................................................................................. 5
‫ ِه‬ ‫ل‬
ُ ‫ )أس لب‬................................................................ 6
Sebab Terjadinya Al-Lahn (‫ن‬
‫ابلٱ لللحلٱ ولٱ‬
‫ ِه‬ ُ
‫ )ب و لم ُلٱ يع لرفلٱ لللحلٱ ُ لٱ‬................................................................. 7
Cara Mengetahui Lahn (‫ن‬
‫ ِه‬ ‫ل‬ ُ ‫ل‬
‫ )فضل للٱ معروفةولٱ لللحلٱ ولٱ‬............................................. 8
Keutamaan Memahami Al-Lahn (‫ن‬
‫ل‬ ‫ل‬
‫َتذ ُويرلٱ م ل لٱ‬
‫ونلٱ لللٱ وق و‬
Peringatan terhadap Siapa Saja yang Terjatuh pada Al-Lahn ( ‫وعلٱ‬
‫ ِه‬
‫ ) وِفلٱ لللحلٱ ونلٱ‬...................................................................................................................................... 9
LAHN PADA MASA NABI DAN PARA SAHABAT ............................................ 12
JENIS-JENIS LAHN DAN HUKUMNYA ............................................................. 18
‫ُ ِه‬ ‫ل‬
‫ )أن لواعلٱ لللحلٱ ولٱ‬................................................................................ 18
Jenis-Jenis Lahn (‫ن‬
‫ ِه‬
‫ )لللحلٱ ُنلٱ ل للٱ‬................................................................................... 22
‫ل ويلٱ‬
Al-Lahnul Jaliy (‫ل‬
‫ ِه‬
‫ )لللحلٱ ُنلٱ ل للٱ‬............................................................................... 33
‫ل و يلٱ‬
Al-Lahnul Khafiy (‫ف‬
Menyikapi Para Qâri yang Terjatuh pada Lahn................................................ 38
Al-Lahn yang Disandarkan pada Talaqqiy ......................................................... 42
CARA MENJAGA DIRI DARI LAHN ................................................................... 45
Beberapa Hal yang Tidak Berhubungan dengan Riwâyah dan Dirâyah....... 45
Beberapa Cara yang Berhubungan dengan Riwâyah ...................................... 46
Beberapa Cara yang Berhubungan dengan Dirâyah ....................................... 55
DAFTAR SUMBER ............................................................................................ 67
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

PENGERTIAN AL-LAHN DAN


URGENSI MEMPELAJARINYA
َّ ُ َ
Definisi Al-Lahn (‫ن‬
ِۡ ‫)تعۡ ِريفۡٱللح‬
‫ل‬
‫ ِه‬
Al-lahn ( ‫ )لللح ُنلٱ‬memiliki bentuk jamak alhân ( ‫حانلٱ‬ ُُ
‫ ) لٱ أ ل‬dan luhûn ( ‫)حونلٱ‬.

Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Ghâmidiy dalam Al-Lahn Fî Qirâatil Qurânil Karîm (hal. 10)
mengatakan bahwa kata ini memiliki beberapa makna dalam bahasa Arab. Di
ُ‫يل‬
antaranya adalah irama atau nyanyian ( ‫)للغ لونلٱ‬, dialek atau bahasa ( ‫)لللغةلٱ‬, dan
ُ
pemikiran atau kecerdasan ( ‫)للفوط لنةلٱ‬.
ُ
Juga bermakna condong atau cenderung ( ‫)لل لميللٱ‬:
‫لل ل‬
Apabila seseorang berkata: lahana ilayh ( ‫)ح لن لٱ إوَلهولٱ‬, maka artinya adalah
‫ل ل ل‬
condong kepadanya ( ‫)ماللٱ إوَلهولٱ‬.
ُ ‫ل‬
Juga bermakna kekeliruan ( ‫)لل لطألٱ‬. Maksudnya adalah penyimpangan
dalam berbahasa Arab karena tidak mengikuti kaidah-kaidah bakunya. Ibn
Fâris1 dalam kitabnya “Mu’jam Mâqayis Al-Lughah” mengatakan:
ُ ‫ل‬ ‫ل ل ل لُ لل ل‬ ُ ُ ُ ‫ ِه ِه‬
‫ لٱ ُلٱ ي لٱ ق لٱ‬. ‫ِف لٱ لللٱ للٱ ع للٱ ر لٱ ب و ِهلٱ يةولٱ‬
‫اللٱ‬ ‫ح للٱ‬
‫يحةولٱ لٱ و لٱ‬ ‫ج للٱ ه لٱ ت و لٱ هو لٱ ل ِه لٱ‬
‫لص ولٱ‬ ‫َك ولٱ م لٱ لٱ‬
‫عنلٱ لٱ ولٱ‬ ‫حاءولٱ لٱ لٱ فلٱ إ و لٱ م لٱ ال لٱ ة لٱ لللٱ لٱ‬
‫ون لٱ ل لٱ‬
‫ك ولٱ‬
‫س لٱ‬
‫ن لٱ لٱ ب و لٱ‬
‫فأما لٱ اللحلٱ لٱ‬
‫لل ل ل‬
‫حنلٱ ا‬
‫نلٱ لٱ‬
‫ح لٱ‬
Adapun Lahn, dengan mensukunkan huruf Ha’, maknanya adalah
penyimpangan berbahasa dari ketentuannya yang benar dalam bahasa Arab.
Diungkapkan dengan Lahana-Lahnan. [Al-Maqâyis, V/ 193].

1
Abul Husayn Ahmad bin Fâris bin Zakariyyâ Al-Quzwayniy Ar-Râziy (329-395 H.).
Seorang imam dalam ilmu bahasa dan sastra Arab.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Ketika Anda mengatakan –misalnya-


‫اتلٱ‬ ‫للٱ ل ل‬
‫ه ولٱ ذ لٱ ه ولٱ عص و‬
Hâdzihî ‘ashâtiy (artinya: Ini adalah tongkatku).
Maka kalimat tersebut sudah termasuk lahn, karena tongkat bahasa
‫ ل‬bukan ( ‫)ع لصاةلٱ‬.
‫ ل‬Jadi kalimat yang benar adalah:
Arabnya adalah (‫)ع لصا‬,
‫ه ولٱ ذ لٱ ه ولٱ لع لص ل‬ ‫ل‬
‫ايلٱ‬ ‫لٱ‬
Hâdzihî ‘ashâya (artinya: Ini adalah tongkatku).2
Selain itu, lahn juga dapat bermakna kekeliruan dalam membaca Al-
Qurân. Baik kekeliruan tersebut merupakan kekeliruan yang terkait kaidah-
kaidah bahasa Arab atau tidak. Asy-Syaikh ‘Abdul Fattâh Al-Marshafiy dalam
Hidâyatul Qâri ilâ Tajwîdi Kalâmil Bâri (hal. 53) mengatakan:
‫لٱ للص لوابلٱ ِفلٱ لللٱ قو ل‬
‫راء لٱ ة و‬ ‫ل ل ُ ُ ُل لل ُ ل ل ُ ل‬
‫لٱ عن ِه‬
‫و و‬ ‫لٱ للطألٱ ٱلللٱ ميلٱ ل و‬
‫ٱلللٱ مقلٱ صودلٱ بوهولٱ هنا لٱ‬
“Dan lahn yang dimaksud di sini adalah kekeliruan atau penyimpangan
dari yang benar dalam membaca Al-Qurân.”
Jadi, lahn sangat berkaitan erat dengan kefasihan lisan. Seseorang
disebut fasih lisannya manakala terbebas dari lahn dalam berbahasa secara
umum atau membaca Al-Qurân secara khusus.

ُ ‫)أسۡ َۡب‬ َّ َ
Sebab Terjadinya Al-Lahn (‫ن‬
ِۡ ۡ‫ابۡٱللح‬
Sebab munculnya lahn pertama kali adalah sebagaimana yang
disampaikan oleh ‘Abdul Wahhâb Al-Qurthûbiy dalam Al-Mûdhah (hal. 61-65):
‫ل ل ل ل ل ِه ل ل ل و ل‬
‫لٱ ع لرب و ِهيةولٱ لنل ِه و‬ ‫ُمالل لط ُةلٱ لللٱ لع ل‬
‫ُل‬
‫اسلٱ‬ ‫بلٱ لللٱ عجملٱ مالٱ أدىلٱ إوَللٱ فساد‬
‫و‬ ‫ر‬
“Bercampurnya orang-orang Arab dengan orang-orang non-Arab yang
membawa kepada kerusakan dalam pelafalan bahasa Arab mereka.”
Adapun sebab-sebab terjatuhnya seseorang kepada lahn, maka
sesungguhnya banyak sekali jumlahnya, termasuk di antaranya adalah
interaksi dirinya dengan orang-orang non-Arab atau orang-orang yang tidak
menjaga kefasihan dalam berbahasa. Sehingga ia tidak bisa membedakan
mana bahasa yang fasih dan mana bahasa yang tidak fasih (‘âmiyah).

2
Muafa, dalam https://irtaqi.net/2017/10/29/memerangi-lahn/
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Besar-kecilnya lahn yang menimpa seseorang sangat bergantung


kepada kesungguhannya dalam menjaga diri dari lahn itu sendiri. Semakin
serius ia menjaga dirinya, maka semakin kecil kemungkinan lahn akan
menimpanya.

ُ َّ ُ
ُۡ ۡ‫)ب ِ َمۡيعۡ َرفۡٱللح‬
Cara Mengetahui Lahn (‫ن‬
Bagaimana cara kita mengetahui bahwa seseorang telah terjatuh
pada lahn?
Al-Mar’asyiy mengatakan dalam Juhdul Muqill (hal. 113):
‫ل ل ل ل‬ ُ ‫لل‬ ُ ‫لل‬ ‫ل‬ ُ ُ
‫لٱ‬.‫ات‬
‫للصف ولٱ‬ ‫لٱ ِف لٱ لللٱ مبلٱ ن لٱ ٱ و‬‫لٱ للطأ و‬ ‫ لٱ لٱه لو لٱ‬,‫ٱِلطوَل وع لٱ لَع لٱ عوللٱ وم لٱ لتل ِهجلٱ ووي ولٱ د‬ ‫ُيعلٱ لرف للٱ بعلٱ ض ُه لٱ ب و و‬
‫ل‬ ‫لل ِ ل ل ل‬ ‫ل ل‬ ُ ‫لل‬ ُ ‫يل‬ ‫لل‬ ‫ل‬ ُ
‫لٱ لأ لٱا وس و لٱ‬ ‫ت لٱ‬ ‫لٱ ٱر لرتا و‬ ‫لٱ لأٱأ و ول لٱ‬
‫ت لٱ‬ ‫لٱ ِف لٱ ر لرتا و‬
‫لٱ للطأ و‬ ‫ لٱ لٱه لو لٱ‬, ‫ٱِلطوَل وع لٱ لَع لٱ عوللٱ وم لٱ لللغةولٱ‬ ‫لٱ لبعلٱ ض ُه لٱ ب و و‬
‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل ل‬ ُ ‫لل‬ ُ ‫لل‬ ‫ل‬ ُ ‫ل‬
‫لٱ‬.‫لٱ ٱ لسك لنات لوها‬ ‫لٱ لأ لٱار وور‬
‫ت لٱ‬ ‫لٱ ِف لٱ ر لرتا و‬ ‫لٱ للطأ و‬ ‫ لٱ لٱه لو لٱ‬,‫ٱِلطوَل وع لٱ لَع لٱ عوللٱ وم لٱ لنل ِهحلٱ لٱ وو‬ ‫ لٱ لٱ لبعلٱ ض ُه لٱ ب و و‬.‫لٱ لسك لنات لوها‬

.‫ل‬ ‫لحذلٱ وف ل‬
‫لٱ ٱلنل ِهقلٱ ولٱ‬ ‫لٱ ٱ للٱ‬ ‫لٱ لل لطأُلٱ ِفلٱ لِعلٱ لَلللٱ موثلٱ لللٱ لللٱ لقللٱ ب ل‬ ‫لٱ لَعلٱ عوللٱ م ِه لٱ ل ُ ل ل‬ ‫لل‬ ‫ل‬
‫ٱِلطوَل وع‬
ُ
‫لٱ لبعلٱ ض ُهلٱ ب و و‬
‫و‬ ‫و‬ ‫لٱ للّص وفلٱ ٱهو لٱ و و‬ ‫و‬
“Sebagian lahn dapat diketahui dengan cara mengkaji ilmu tajwid, yakni
kekeliruan dalam hal mabnâ (bangunan kata) dan sifat-sifat huruf. Sebagian yang
lain dapat diketahui dengan cara mengkaji ilmu bahasa menurut dialek-dialek
yang ada, yakni kekeliruan dalam hal harakat atau sukun pada huruf-huruf awal
dan tengah sebuah kata. Sebagian yang lain dapat diketahui dengan cara
mengkaji ilmu nahwu, yakni kekeliruan dalam hal harakat atau sukun pada huruf-
huruf akhir sebuah kata. Sedangkan sebagian yang lain dapat diketahui dengan
cara mengkaji ilmu sharaf, yakni kekeliruan yang berkaitan dengan permasalahan
i’lâl3, seperti qalb (perubahan huruf), hadzf (penghapusan huruf), atau naql
(pemindahan harakat).”
Apa yang disebutkan oleh Al-Mar’âsyiy di atas seluruhnya berkaitan
dengan dirâyah (pendalaman teoritis). Namun, lahn juga dapat diketahui
dengan memperdalam riwâyah. Bahkan, riwâyah merupakan tiang
penyangga utamanya. Beriringan dengan itu, tidak bisa tidak mesti ditopang
dengan dirâyah.

3
Yakni ilmu tata bahasa Arab yang bertujuan untuk mengubah huruf ‘illat seperti Waw,
Alif, dan Ya agar lebih ringan dan mudah dalam mengucapakannya.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Al-Mar’asyiy dalam Juhdul Muqill (hal 110) mengatakan:


‫ل‬ ‫ُ ل ُ ل‬ ‫ ِه‬ ‫ل ُ ل ُ ُ ِه ُ ُ ل ل‬ ُ ُ ‫ل‬
‫للٱ‬ ‫س لٱ ائ و ولٱ‬ ‫ٱن لٱ للٱ معلٱ رولٱ لٱ فةولٱ لٱ للٱ م للٱ‬
‫جوودولٱ لٱ لٱ د لٱ‬ ‫خ لٱ لللٱ م لٱ‬ ‫لشيلٱ ولٱ‬ ‫اف للٱ هةولٱ لٱ ل لٱ‬
‫ش لٱ‬ ‫ب لٱ لٱ ب و لٱ م لٱ‬
‫لطا لٱ ل و لٱ‬ ‫ي وصل لٱ ه لٱ ل لٱ‬ ‫آن لٱ لٱ قدلٱ لٱ لٱ‬
‫يد لٱ لللٱ لٱ قرلٱ ولٱ‬ ‫ت لٱ وو لٱ‬ ‫لٱ‬
ُ ‫ل‬ ُ ‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ُ ‫ُ ل ل‬ ‫ل ل‬
‫أرلٱ لٱ ذلٱ‬ ‫ل لٱ ل لٱ‬ ‫ك لٱ لللٱ عولٱ للٱ ولٱ م لٱ لٱ ي لسلٱ ُه لٱ‬ ‫كنلٱ لٱ لٱ ب و لٱ ذلٱ ل و لٱ‬ ‫ لٱ لٱ ل ولٱ‬.‫صي لٱ ل و لٱ هو‬ ‫َت ولٱ‬ ‫ِف لٱ لٱ‬ ‫ه لٱ لللٱ ُلٱ عملٱ للٱ د لٱ ةُ لٱ و لٱ‬
‫اف للٱ ه لٱ ة لٱ و للٱ‬
‫ش لٱ‬ ‫ل لٱ لللٱ لٱ م لٱ‬ ‫ لٱ لٱ بل ولٱ‬,‫لٱ ه لٱ ذا لٱ لللٱ عولٱ للٱ ولٱ م‬
‫ل‬ ‫ ِه‬ ‫ل ُ ُ ل‬ ُ ‫لل لُ لُ ل‬ ‫ُ ل ل ل‬
‫حلٱ‬ ‫رص للٱ‬ ‫ك للٱ مالٱ ِه‬ ‫يفلٱ لٱ‬ ‫تلحلٱ لٱ رو و لٱ‬ ‫كلٱ للٱ ٱل ِهلٱ‬ ‫لش ولٱ‬ ‫انلٱ ل لٱ‬ ‫عنلٱ لٱ لط للٱ ر للٱ ي ولٱ‬ ‫وذلٱ لٱ‬ ‫أر لٱ‬ ‫انلٱ لٱ ب و لٱ هولٱ لللٱ لٱ م لٱ‬ ‫ص لٱ‬ ‫ارلٱ ةلٱ لٱ ٱي لٱ‬ ‫لٱ للٱ ٱ للٱ ي ولٱ ز ُلٱ‬,‫اف للٱ ه لٱ ة‬
‫يدلٱ لٱ ب و لٱ هولٱ لللٱ لٱ م لٱ ه لٱ‬ ‫ش لٱ‬
‫لٱ ب وٱللٱ لٱ م لٱ‬

‫لر للٱ‬
‫علٱ يل لٱ ةو‬ ‫ِفلٱ ل ولٱ‬ ‫لٱ ب و لٱ هولٱ و لٱ‬
“Mentajwidkan Al-Qurân dapat tercapai dengan musyâfahah kepada
guru yang menguasai tajwid dengan baik, tanpa harus memperdalam teori-teori
ilmu ini. Bahkan, musyâfahah adalah inti dari pembelajaran tajwid. Namun,
pendalaman terhadap teori dan ilmu tajwid akan mempermudah seseorang dalam
mempelajarinya melalui musyâfahah, menambah kemahiran, dan menjaga hasil
musyâfahah dari beragam keraguan dan penyimpangan. Hal ini sebagaimana
telah dikemukakan secara terang oleh Al-Imâm Makkiy dalam Ar-Ri’âyah.”

َ َّ َ ُ َ
Keutamaan Memahami Al-Lahn (‫ن‬
ِۡ ۡ‫)فضۡلۡمعۡ ِرف ِةۡٱللح‬
Para ulama tajwîd dan qirâah telah menyibukkan diri mereka dalam
membicarakan persoalan lahn, terutama yang berkaitan dengan lahn khafiy.
Bahkan, di antara mereka sengaja menyusun sebuah kitab khusus untuk
membahas hal ini. Semua itu tidaklah dilakukan kecuali dalam rangka untuk
mengajak para pembaca Al-Qurân menjauhinya. Karena bagaimana mungkin
seseorang akan menjauhi dan menghindarkan diri dari lahn, apabila ia tidak
mengenalnya sama sekali?!
Dalam hal ini, sesungguhnya sebagaimana yang telah dikatakan oleh
Sayyidinâ Hudzayfah bin Al-Yamân :
‫ ِه ل ل ل ل‬ ‫ل ُ ُ ل ل ُُ ل‬ ‫ل‬ ‫ل ِه ُ ل ل ُ ل ل ل ِه‬
‫لش لٱ ُمافةلٱ لٱ أنلٱ لٱ‬
‫ن لٱ ل ولٱ‬
‫ِل لٱ ع ولٱ‬
‫ت لٱ أسلٱ أ لٱ‬ ‫لل ولٱ‬
‫ لٱ ٱكنلٱ لٱ‬,‫ي‬ ‫ن لٱ ل لٱ‬
‫ لٱ ع ولٱ‬ ‫َّو لٱ‬
‫سول لٱ ل لٱ‬
‫ون لٱ ر لٱ‬
‫اس لٱ يسلٱ أل لٱ‬
‫اكن لٱ لنل لٱ‬
‫لٱ‬
ُ
‫يُدلٱ رو لٱ ك ونلٱ‬
“Dahulu orang-orang bertanya pada Rasûlullâh  tentang kebaikan,
sedangkan aku dahulu bertanya tentang keburukan disebabkan aku khawatir
keburukan tersebut akan menimpaku.” [HR. Al-Bukhâriy 3606 dan Muslim
1847]
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Juga sebagaimana yang telah disampaikan oleh Abû Fâris Al-


Hamdâniy dalam Dîwân-nya:
‫ل‬ ‫ ِه‬ ‫ ِه ِه ل‬ ُ ۡۡۡۡۡ‫لع لرف‬
‫لٱ‬ ‫كۡۡۡۡۡۡۡۡۡۡۡۡنلٱ لٱ تلو ل لوق ويۡۡۡۡۡۡۡۡۡۡۡۡ لٱ هو‬
‫رول و‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ للۡۡۡۡۡۡشلٱ للٱ ل ولۡۡۡۡۡۡشلٱ‬ ‫ت‬
‫لٱ‬
‫ل‬ ‫ ِه‬ ُ ‫ل‬
‫ۡۡۡۡۡاس للٱ يقۡۡۡۡۡ لٱ لٱ فويۡۡۡۡۡ لٱ هو‬ ‫لرم‬
‫وۡۡۡۡۡنلٱ لنل ِه‬
‫ل‬ ‫لٱ لمۡۡۡۡنلٱ لٱ لۡۡۡۡملٱ لٱ ليعۡۡۡۡ ورف‬
‫لٱ‬

‫لٱ‬ ‫و‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬


‫لٱ للۡۡۡۡۡش‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

“Aku mengenal keburukan bukan untuk berbuat keburukan, akan tetapi


agar aku bisa berhati-hati atasnya,
Dan siapa saja manusia yang tidak pernah mengenal keburukan, maka ia
akan terjatuh padanya.”

Peringatan terhadap Siapa Saja yang Terjatuh pada Al-Lahn


َّ َ َ
(‫ن‬ ِ ‫يرۡم َِنۡٱلۡوق‬
ِۡ ۡ‫وع ِِۡفۡٱللح‬ ُ ‫ت ِذ‬
ۡ)
Para ulama dan imam kaum muslimin, baik dari kalangan generasi
salaf dan juga generasi setelahnya, sungguh menampakkan kebencian dan
memberikan peringatan yang keras terhadap lahn dan para pelakunya.
Mereka memandang lahn dalam berbahasa sebagai aib yang besar.
Sayyidinâ ‘Umar bin Al-Khaththâb  mengatakan:
ْ ُ‫ل ُ ْ لل ل ل‬
‫لقلٱ رؤٱالٱ ٱللٱ تللٱ حن لٱ‬
‫وا‬
“Bacalah oleh kalian Al-Qurân dan janganlah terjatuh pada lahn.”
[Mushannaf Ibn Abî Syaybah 30544]
Dalam Mu’jamul Udabâ` (I/ 28) diriwayatkan:
‫ُ ل ل ل ل ُ ُ ل ل ل ِه ُ ل ل ل ُ ل ل ل ُ ل ل ِه‬ ‫ل‬ ‫ل ل ل‬
‫لَعلٱ لللحلٱ ونلٱ‬
‫بلٱ ٱَل لٱ هلٱ لٱ‬
‫ض لٱ‬
‫نلٱ ي ولٱ‬
‫نلٱ عم لٱ رلٱ أن لٱ هلٱ اك لٱ‬
‫نلٱ لبلٱ لٱ‬ ‫اللٱ ناف و لٱ لٱ لمولٱ َللٱ لبلٱ ولٱ‬
‫لٱ اك لٱ‬:‫نلٱ عم لٱ ر‬ ‫ق لٱ‬
“Nâfi’ budaknya Ibn ‘Umar berkata: “Bahwa sesungguhnya dahulu Ibn
‘Umar memukul anaknya yang terjatuh pada lahn”.”
Dari ‘Amr bin Dînâr diriwayatkan:
‫ل ل ل ل ل ل ل ُ ل ل ل ِه‬ ‫ ِه‬ ‫ل ِه ل ُ ل ل ل ل ل‬
‫انلٱ أٱلٱ لدهمالٱ لَعلٱ لللحلٱ ولٱ‬
‫ن‬ ‫ضب و‬
‫اكنالٱ ي ولٱ‬
‫ لٱ‬ ‫اسلٱ‬
ٍ ‫لٱ ٱلبلٱ نلٱ عب‬
‫أنلٱ لبلٱ نلٱ عمر لٱ‬
“Bahwa Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbâs memukul anak-anak mereka apabila
melakukan lahn.” [HR. Al-Bayhâqiy dalam Syu’ab Al-Imân, III/211].
Kemudian di antara kebiasaan para guru di Madinah pada masa salaf
adalah mereka menghukum pelajar yang lahn lebih berat daripada pelajar
yang lupa dalam setoran hafalan.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

‫ل ل ل ل ُ ل ل ل ل ُ ل ل ل ل ل ل ل ل ل ِه‬
‫ستلٱ ا‬
‫نلٱ ولٱ‬ ‫ط لٱ أ ولٱ لٱ ٱارولٱ لٱ دةلٱ لٱ لٱ ٱ لٱ‬
‫لَعلٱ ل لٱ للحلٱ ولٱ‬ ‫ل لٱ‬
‫لَعلٱ ل لٱ‬
‫ونلٱ لٱ‬
‫ض لٱ ب لٱ‬
‫ينةولٱ لٱ لٱ ي ولٱ‬ ‫نلٱ لللٱ لٱ م لٱ ؤدولٱ لٱ ب لٱ‬
‫ونلٱ لٱ ب وٱللٱ لٱ م ولٱ د لٱ‬ ‫اك لٱ‬
‫لٱ‬
“Dahulu para guru di Madinah menghukum satu pukulan untuk kekeliruan
hafalan dan enam pukulan untuk lahn.” [Fathul Mughîts hal. 34].
Hisyâm bin Hubayrah (w. 74 H.) pernah ditanya tentang dua orang
yang shalih dan ahli ibadah, namun salah satu di antara mereka terjatuh
pada lahn. Maka, beliau mengatakan:
‫ل ِه‬
‫لٱ لَّي للٱ للٱ يلللٱ ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ُ ‫ ِه ل ل ل‬
‫ح ُنلٱ‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ة‬‫ور‬
‫ر‬ ‫لل‬
‫لٱ‬ ‫لٱ ٱ‬ ‫ا‬‫ي‬ ‫ن‬
‫لٱ‬ ‫لٱ لَل‬ ‫لٱ ِف‬
‫و‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ه‬ ‫إونلٱ أفلٱ ضل‬
“Sesungguhnya yang lebih utama di antara keduanya, baik di dunia
maupun di akhirat, adalah orang yang tidak terjatuh pada lahn.”
Kemudian orang-orang berkata:
“Semoga Allâh merahmatimu wahai Amîr. Kami memahami bahwa ia lebih
baik di dunia disebabkan kefasihan lisan dan kebaikan bahasanya. Namun, apa
yang menyebabkan kedudukannya lebih baik di akhirat?”
Maka beliau menjawab:
‫ ِه ل ل‬ ‫لل ل ل‬
ُ ‫الٱ أنلٱ لز لل ِه‬
‫ لٱ لٱ له لذالٱ يُدلٱ ر ُول لٱ ِف لٱ ك ل‬.َّ‫لٱ ل‬ ‫ل ِه ُ ُ ُ ل ل ِه‬
‫ولٱ مالٱ ليلٱ لسلٱ‬ َّ‫اب لٱ ل‬
‫و‬ ‫وت‬ ‫و‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ م‬ ‫لَع‬ ‫لٱ‬  ‫ولٱ‬ َّ‫لٱ ل‬ ‫وأنه لٱ يقويم لٱ كوتاب‬
ُ ‫ُ ل‬ ‫فويهو ل‬ ُ
.‫لٱ ٱيخلٱ ورجلٱ مالٱ ه لولٱ فوي لٱ هو‬
“Karena sesungguhnya ia telah menegakkan Al-Qurân  sesuai dengan
apa yang diturunkan Allâh. Sedangkan yang lain, disebabkan lahn, ia telah
memasukkan apa-apa yang bukan bagian dari Al-Qurân ke dalamnya, dan
mengeluarkan apa-apa yang merupakan bagian Al-Qurân darinya.” [Syu’abul
Imân Al-Bayhaqiy 2103]
Dikatakan kepada Al-Imâm Hasan Al-Bashriy (w. 110 H):

ُ‫ٱه‬ ‫ل ُل ل ل ل ل ل‬
‫لٱ أر ُور لٱ‬:‫قال‬ ‫إومام لٱ نالٱ يللٱ ح ُلٱ‬
‫لٱ ف لٱ‬,‫ن‬
“Imam kami terjatuh pada lahn.” Maka beliau menjawab: “Tinggalkanlah
dia.”
Al-Imâm Az-Zuhriy (w. 125 H) pernah shalat di belakang seorang
imam yang terjatuh pada lahn. Maka, beliau mengatakan:
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

ُ‫اء لٱ ه‬
‫لٱ ٱ لر ل‬
‫ت ل‬ ُ ‫لٱ ص ِهليلٱ‬
‫لٱ ما ل‬ ‫ل ل ل ِه ِه ل ل ل ل ل ُ ل ل ل‬
‫لَعلٱ لللٱ لفردو ل‬ ‫ضلتلٱ لٱ‬
‫لٱ جاعةولٱ ف و‬
‫لٱ ِف لٱ‬
‫لولٱ للٱ أنلٱ للصَلة و‬
“Kalau saja shalat berjamaan tidak lebih utama daripada shalat sendirian,
maka aku tidak akan shalat di belakangnya.” [Hilyatul Awliyâ, III/ 364]
Al-Imâm Abû ‘Amr bin Al-‘Alâ Al-Bashriy (w. 154 H) pernah mendengar
seseorang yang terjatuh pada lahn, maka beliau mengatakan:
‫لل لل ل ل‬
‫اكلٱ نذلٱ ل للٱ بعلٱ ُدلٱ‬‫أللٱ أر‬
“Sesungguhnya engkau akan menjadi hina disebabkan lahn.” [Îdhâhul
Waqfi Walibtidâ Al-Anbâriy]
Al-Imâm Ibn Siwâr (w. 496 H) mengatakan:
‫ل ل ل ُ ل‬ ُ ‫ل ل ُ ِه‬
‫يهُلٱ كبويلٱ‬ ‫آنلٱ كثويلٱ ٱصغو‬
‫لٱ ِفلٱ لللٱ قرلٱ و‬
‫فيسويلٱ لللحلٱ ون و‬
“Maka lahn dalam membaca Al-Qurân, walaupun sedikit tetap terhitung
banyak, dan yang kecil tetap terhitung besar.”
Abû Muzâhim Mûsâ bin ‘Ubaydillâh Al-Khâqâniy (248-325 H) berkata
dalam Râ`iyyah-nya:
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ ِه‬ ‫لل ل‬ ُ ‫ل‬ ُ ‫ل ل ِه‬
‫ۡۡري‬ ‫و‬ ‫َي‬ ‫لٱ‬ ‫ذ‬
‫لٱ‬ ‫و‬ ‫إ‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫ويۡۡك‬ ‫ف‬ ‫لٱ‬ ‫وۡۡن‬ ‫م‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫ن‬ ‫و‬ ‫ح‬ ‫لل‬ ‫ٱ‬ ۡۡ ‫و‬ ‫ب‬ ‫لٱ‬ ‫ۡۡة‬
‫لٱ‬ ‫ف‬‫ر‬
‫و‬ ‫ع‬‫م‬ ‫ٱ‬ ‫ۦ‬‫و‬ ‫لٱ‬
‫ه‬ ۡۡ‫ظ‬ ‫و‬ ‫وف‬ ‫ر‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫ۡۡان‬ ‫ق‬ ‫ت‬ ‫و‬ ‫إ‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫ۡۡر‬
‫و‬ ‫وك‬
َّ ‫ل‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫م‬‫و‬ ۡۡ‫ول‬
‫ع‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫ل‬ ‫فۡۡأٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

ُ ‫ل‬ ‫ُ ِه‬ ‫ل‬ ‫ل ل ِه ل‬ ُ ‫ل ل ُ ل‬ ‫ ِه‬ ‫ل ُ ل‬


‫عۡۡذ لٱ روۦ لٱ‬ ‫نلٱ مونلٱ لٱ لٱ‬ ‫فلٱ لللحلٱ ۡ لٱ‬ ‫للٱ يعلٱ ۡۡ ور لٱ‬ ‫يلۡ لٱ هۥ لٱ فمالٱ ل وَّلويلٱ لٱ‬ ‫نلٱ كي لٱ مۡالٱ ت وز لٱ‬
‫عۡاروفلٱ ۡالٱ لٱ ب وٱللحلٱ ۡ ولٱ‬ ‫فكنلٱ لٱ لٱ‬
‫“لٱ‬Maka ilmu pertama yang wajib bagi ditekuni para pembaca Al-Qurân
adalah memperkuat hafalannya, dan memahami persoalan lahn (kesalahan)
dalam membaca Al-Qurân yang keluar dari lisanmu saat engkau membacanya,
Maka jadilah engkau seorang ‘arif, orang yang benar-benar memahami
persoalan lahn agar engkau tidak tergelincir padanya. Karena tidak ada udzur
bagi orang yang tidak mau tahu persoalan ini.”
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

LAHN PADA MASA NABI DAN


PARA SAHABAT
Kekeliruan dalam membaca Al-Qurân sudah ditemukan riwayatnya
pada masa Nabi . Namun, kekeliruan tersebut bukan kekeliruan yang
berkaitan dengan kaidah tata bahasa (lahn jaliy), melainkan kekeliruan yang
berkaitan dengan kesempurnaan membaca Al-Qurân (lahn khafiy).
Dari Abud Dardâ  beliau mengatakan:
ُ ‫ل ُ ْل ل‬ ‫ ِه‬ ُ ‫ل‬ ‫ل ُ للل لل ل ل لل ل‬ ‫لس وم ل لٱ لنل ِه ي‬
. ‫ أرلٱ شودٱالٱ أراكملٱ‬: ‫لٱ‬ ‫لٱ فقاللٱ رسوللٱ لَّلٱ‬,‫ن‬
‫لٱ قرألٱ فلح لٱ‬
‫لٱ رجَل لٱ‬ ‫ِبلٱ‬‫و‬
“Nabi  mendengar seseorang membaca Al-Qurân dan terjatuh pada
lahn, maka beliau  bersabda: “Bimbinglah saudaramu”.” [HR. Al-Hâkim dalam
At-Talkhîs II/439].
Lahn yang terjadi pada saat itu bukanlah lahn yang berkaitan dengan
tata bahasa Arab. Hal ini disebabkan orang yang sedang membaca Al-Qurân
dalam riwayat di atas adalah orang Arab, yang pada saat itu bahasa Arab
belum mengalami pergeseran dan mayoritas orang-orang Arab sangat
perhatian terhadap kefasihan bahasanya. Hal ini dipertegas dengan riwayat
Abû Dâwûd berikut:
‫لٱ‬:‫ال‬
‫لل ل‬
‫ لٱ لٱ ف لٱ ق لٱ‬.‫م‬ ‫ج يلٱ‬‫ألعلٱ ل‬
‫اب لٱ للٱ ٱل لٱ‬
‫ل ل ل ُ ُ ل ل ل ل‬
‫أعلٱ للٱ ر و يلٱ‬ ‫ينا لٱ ل لٱ‬ ‫آن لٱ لٱ ٱ لٱ فو لٱ‬ ‫ن ُلٱ‬
‫ن لٱ لٱ نقلٱ للٱ رلٱ أ لٱ لللٱ لٱ قرلٱ لٱ‬ ‫ لٱ لٱ ٱ لٱ‬ ‫َّو لٱ‬
‫ل ل ل ل ل ل ل ُ ُ ِه‬
‫ول لٱ ل لٱ‬ ‫س لٱ‬ ‫عليلٱ لٱ نا لٱ لٱ ر لٱ‬ ‫ج لٱ لٱ‬
‫ر لٱ ر لٱ‬
ُ ‫ج لٱ لُونل ُلٱ هلٱ للٱ ٱ ل لٱ ل ل ل ِه ُ ل‬
.‫للٱ لٱ ي لٱ ت لٱ أج لٱ لون لٱ ه‬ ‫حلٱ للٱ ي للٱ ت للٱ ع ِهلٱ‬
‫املٱ لللٱ قودلٱ ُلٱ‬
‫ل‬
‫ك للٱ مالٱ ُلٱ ي لٱ ق ُلٱ‬
‫ل ُ ْ ل ُل ل ل ل ل ل ُ ل ل ُ ُ ل ل‬
‫يمون ُلٱ هلٱ لٱ‬
‫ج لٱ ءلٱ لٱ أقلٱ لٱ واملٱ لٱ لٱ يقولٱ لٱ‬
‫سي و لٱ‬ ‫رسنلٱ لٱ لٱ ٱ لٱ‬ ‫كلٱ لٱ‬
‫ٱالٱ ف لٱ‬
‫لقلٱ ر لٱ ء لٱ‬
“Kami pernah keluar bersama Rasûlullâh . Kami membaca Al-Qurân dan
di antara kami ada orang Arab asli dan ada orang non-Arab. Maka Nabi bersabda:
“Bacalah oleh kalian Al-Qurân, maka seluruhnya adalah kebaikan. Akan datang
suatu kaum yang sanggup menegakkan lafazh Al-Qurân sebagaimana tegaknya
anak panah, namun mereka tergesa-gesa dan tidak mau menunggu.”
Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Ghâmidiy dalam Al-Lahnu Fil Qirâatil Qurânil Karîm
(hal. 32) mengatakan bahwa: sabda Nabi yang mengatakan hasan pada
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

bacaan sahabat yang non-Arab, padahal yang namanya non-Arab pasti tidak
luput dari lahn, sesungguhnya menunjukkan dua hal:
1. Sabda nabi yang mengatakan “hasan” bukan menunjukkan bahwa
bacaan orang-orang non-Arab itu luput dari lahn. Karena kalau
bacaan tersebut benar-benar luput dari lahn, maka Nabi tidak akan
mengoreksinya hingga muncul pernyataan tersebut.
2. Sabda nabi: “Akan datang suatu kaum yang sanggup menegakkan lafazh
Al-Qurân sebagaimana tegaknya anak panah,” menunjukkan bahwa
bacaan orang non-Arab pada saat itu belum benar-benar tegak,
namun mereka dipuji karena keikhlasannya. Makanya Nabi
melanjutkan sabdanya dengan mengatakan: “namun mereka tergesa-
gesa dan tidak mau menunggu”. Maknanya mereka berharap akan
keuntungan dunia dan meninggalkan keuntungan akhirat.
Kemudian, Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Ghâmidiy melanjutkan bahwa lahn yang
terjadi pada saat itu bukanlah termasuk lahn jaliy, walaupun dilakukan oleh
sahabat non-Arab. Karena sabda Nabi “sebagaimana tegaknya anak panah”
menunjukkan keistimewaan dan kesempurnaan bacaan, maka pada saat kita
memahami bahwa sahabat non-Arab itu belum menegakkannya
sebagaimana tegaknya anak panah, bukan berarti mereka meninggalkan
yang benar, melainkan menunjukkan kekurangsempurnaan semata, atau
maksimal terjatuh pada hal yang makruh.
Terjadinya lahn khafiy pada masa Nabi  juga menimpa para sahabat
Arab asli, sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits:
‫ُو ل‬ ‫ل ل ُ ل ل ل ل ل لل‬ ‫ل ل ل ِه ل ل ل ل ُ ل ل‬
.‫بد‬
‫نلٱ أ لٱ ملٱ ع ٍلٱ‬
‫اء لٱ ةلٱ لبلٱ ولٱ‬
‫لٱ لٱ فللٱ يقلٱ رألٱ لٱ ق لٱ ور لٱ‬,‫ك لٱ مالٱ أنزو لٱ ل‬
‫آنلٱ غضالٱ لٱ‬
‫بلٱ لٱ أنلٱ لٱ يقرلٱ ألٱ لللٱ قرلٱ لٱ‬
‫منلٱ لٱ لٱ أر لٱ‬
“Siapa saja yang menyukai untuk membaca Al-Qurân dengan benar,
sebagaimana Al-Qurân diturunkan, maka bacalah dengan bacaannya Ibn Umm
‘Abd (Ibn Mas’ûd).” [HR. Ibn Hibbân 138 dan Ahmad 4255]
Riwayat ini menunjukkan bahwa walaupun para sahabat merupakan
orang-orang yang sangat memahami kaidah bahasa Arab, namun level
mereka dalam bacaan Al-Qurân bertingkat-tingkat. Artinya, tidak menutup
kemungkinan bahwa sebagian di antara mereka terjatuh pada lahn khafiy.
Lafazh hadits “siapa saja yang menyukai” menunjukkan bahwa perkara
tersebut bukanlah kewajiban melainkan sunnah.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Apabila kita memahami bahwa level kemahiran dalam


menyempurnakan bacaan Al-Qurân itu bertingkat-tingkat, bahkan pada
masa Nabi sekalipun, maka tentu hati kita akan menjadi tenang apabila
sanggup mencapai derajat yang cukup tinggi di atas rata-rata walaupun
tidak sampai pada derajat yang paling tinggi. Dan akan menjadi pemaaf
apabila melihat orang lain yang masih belum bisa menyempurnakannya. Kita
tidak akan mencela dan merendahkan mereka yang levelnya kita nilai masih
jauh di bawah kita.
Adapun terkait lahn jaliy, maka Ad-Dâniy meriwayatkan dari Ibn Abî
Mulaykah sebuah kisah yang juga tercatat dalam Muqaddimah Tafsir Al-
Qurthubiy, bahwa pada masa Sayyidinâ ‘Umar, seorang A’rabiy (Arab
pedalaman) pernah datang untuk diajarkan Al-Qurân. Maka seseorang
mengajarkannya, dan saat sampai pada surat At-Tawbah ayat ke-3, ia
mengajarkan dengan bacaan jarr/ kasrah:4
‫ل ِه ِه‬
‫ش لٱ ك و للٱ‬
‫يلٱ للٱ ٱ لر ُس ولٱ‬
‫وِلو‬ ‫َّلٱ لٱ بل لٱ رويلٱ ءلٱ لٱ ولٱ م للٱ‬
‫نلٱ لللٱ ُلٱ م ولٱ‬ ‫نلٱ ل للٱ‬
‫لٱ أ لٱ‬
“Sesungguhnya Allâh berlepas diri dari orang-orang musyrik dan juga dari
Rasul-Nya.”
A’rabiy itu kemudian berkata:
ُ ‫للل ل‬ ‫ل‬ ‫ ِه‬ ُ ‫ل ل ل ل ِه‬
‫وِل ولٱ لٱ ف لٱ ألٱ نالٱ لٱ أبلٱ للٱ رلٱ ألٱ ولٱ م ُلٱ‬
‫ لٱ‬.‫نه‬ ‫س ولٱ‬ ‫َّلٱ بل ور لٱ‬
‫ئلٱ مونلٱ للٱ ر ُلٱ‬ ‫نلٱ ل ُلٱ‬ ‫وِل و؟لٱ لٱ إ ونلٱ لٱ يل لٱ‬
‫ك ولٱ‬ ‫َّلٱ مونلٱ لٱ للٱ ر ُلٱ‬
‫س ولٱ‬ ‫ئلٱ ل ُلٱ‬
‫أٱقدلٱ لٱ ب ولٱ ر لٱ‬
“Apakah Allâh sungguh telah berlepas diri dari Rasul-Nya? Apabila
kenyataannya Allâh telah berlepas diri dari Rasul-Nya, maka aku pun berlepas diri
dari Rasul-Nya.”
Hal ini pun disampaikan kepada Sayyidinâ ‘Umar , maka beliau
berkata kepada si Arab dusun: “Wahai A’rabiy, apakah engkau benar-benar
berlepas diri dari Rasûlullâh ?” Ia pun menjawab: “Wahai Amîral Mu’minîn,
aku datang ke Madinah dalam keadaan tidak memiliki ilmu terhadap Al-
Qurân, maka akupun meminta kepada orang-orang di sini untuk
mengajarkan Al-Qurân kepadaku. Kemudian ada orang yang mengajarkanku
Al-Qurân dan membacakannya kepadaku ayat:
‫ل ِه ِه‬
‫ش لٱ ك و للٱ‬
‫يلٱ للٱ ٱ لر ُس ولٱ‬
‫وِلو‬ ‫َّلٱ لٱ بل لٱ رويلٱ ءلٱ لٱ ولٱ م للٱ‬
‫نلٱ لللٱ ُلٱ م ولٱ‬ ‫نلٱ ل للٱ‬
‫لٱ أ لٱ‬

4
Yang benar adalah dengan raf’ / dhammah, sehingga maknanya menjadi:
“Sesungguhnya Allâh dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.”
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Maka aku pun bertanya kepadanya, Apakah Allâh sungguh telah


berlepas diri dari Rasul-Nya? Apabila kenyataannya Allâh telah berlepas diri
dari Rasul-Nya, maka aku pun berlepas diri dari Rasul-Nya.”
Sayyidunâ ‘Umar pun berkata kepadanya: “Bukan demikian bacaan
yang benar wahai A’rabiy.”
A’rabiy itu bertanya: “Lalu bagaimana bacaan yang benar?”
Sayyidunâ ‘Umar menjawab:
ُ ُ ‫ويلٱ لٱ لر ُس‬ ‫ل ِه ِه‬
‫وِللٱ‬ ‫شك للٱ‬ ‫َّلٱ بلرويلٱ ءلٱ لٱ م للٱ‬
‫ونلٱ لللٱ ُم ولٱ‬ ‫نلٱ ل للٱ‬
‫أ لٱ‬
“Sesungguhnya Allâh dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang
musyrik.”
A’rabiy itu pun menjawab: “Jika demikian, sungguh aku berlepas diri
dari apa yang Allâh dan Rasul-Nya telah berlepas diri darinya.”
Kemudian di akhir kisahnya disebutkan:
َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ ۡ َ َّ َ َ ۡ ‫فَأَ َم َر ُع َم ُر ۡب ُن‬
َ ُّ
‫ وأ َم َر أبَا‬,ِ‫ََعل ٍِم بِٱللغة‬ ٰ َ َ ‫آن إ ِ ََّّل‬
‫لَع‬ ‫ أن َّل يقرأ ٱلقر‬ ‫اب‬
ِ ‫ط‬ َّ ‫ٱۡل‬
ۡ َ ُّ َۡ
‫ٱدلؤ ِل) ب ِ َوضعِ ٱلَّ ۡح ِو‬ ( ِ‫ٱل ۡس َود‬
“Maka ‘Umar pun memerintahkannya untuk tidak membaca dan
mempelajari Al-Qurân kecuali kepada orang yang memiliki ilmu bahasa Arab.
Kemudian memerintahkan Abul Aswad Ad-Du`aliy untuk meletakkan tanda baca
nahwu pada Al-Qurân.”5

5
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan Abul Aswad meletakkan tanda
baca i’rab dalam Al-Qurân. Sebagian ulama mengatakan pada masa ‘Aliy bin Abî Thâlib, dan
sebagian ulama yang lain mengatakan pada masa ‘Abdul Malik bin Marwân.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Tanda baca i’râb yaitu memberikan tanda baca dalam mushaf pada
huruf terakhir setiap kata agar tidak terjatuh pada kekeliruan yang
mengubah makna. Awalnya tanda baca ini berupa titik-titik yang berwarna
merah. Titik di atas menunjukkan fathah, titik di bawah menunjukkan
kasrah, dan titik di depan menunjukkan dhammah.
Kemudian seiring berjalannya waktu, maka lahn menjadi semakin
melebar dan tersebar luas, terutama saat Islam telah menyebar ke negara-
negara yang jauh dari Arab. Berbaurnya orang-orang Arab dengan orang-
orang non-Arab, diiringi kecilnya usaha untuk menjaga kefasihan, menjadi
salah satu sebab rusaknya lidah orang-orang Arab dalam berbahasa. Karena
itu pula pada masa berikutnya, pemberian tanda baca Al-Qurân semakin
mengalami perkembangan setelah An-Nashr bin ‘Ashim (w. 90 H)
memberikan tanda i’jam berupa garis-garis kecil, yang membedakan antara
satu huruf dengan huruf yang lain. Kata i’jâm ( ‫املٱ‬ُ ‫ج‬
‫ )لِع ل‬berasal dari a’jama
‫و‬
‫ل‬
‫ )أع ل‬yang bermakna “menghilangkan kerancuan” ( ‫املٱ‬ ُ ‫لل‬
( ‫ج لملٱ‬ ‫لٱ لِب له و‬
‫)أزال و‬. Tanda ini
akan menghilangkan kerancuan huruf-huruf hijâiyyah yang memiliki bentuk
serupa. Dari sini pula kemudian dikenal istilah “huruf mu’jam”, yakni huruf
hijâiyyah yang memiliki titik, lawannya adalah “huruf muhmal”, yakni huruf
yang tidak memiliki titik. Perhatikan gambar berikut:6

Tanda baca i’râb dan tanda baca i’jâm sendiri kemudian semakin
disempurnakan oleh Al-Khalîl bin Ahmad Al-Fârâhîdiy (w. 175 H).

6
At-Tajwîdul Mushawwar
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Selain itu, proses penjagaan keaslian dan kemurnian Al-Qurân juga


dilakukan melalui penyusunan kitab-kitab yang berkaitan dengan lahn. Asy-
Syaikh ‘Aliy Al-Ghâmidiy telah menyebutkan kitab-kitab tersebut, di
antaranya:
1. At-Tanbîh ‘Alâl Lahnil Jaliy wal Khafiy, yang disusun oleh As-Sa’îdiy7
(masih hidup pada tahun 410 H.),
2. Ar-Raddu ‘Alal A`immati Fîmâ Yaqa’u Fish Shalâti Minal Khatha`i Wal Lahni
Fî Syahri Ramadhâna Wa Ghayrihi, yang disusun oleh Makkiy bin Abî
Thâlib (w. 437 H).
3. Bayânul ‘Uyûbil Lati Yajibu An Yajtanibahal Qurrâ, yang disusun oleh
Abû ‘Aliy Al-Hasan Al-Hanbaliy (w. 471 H).
4. Al-Lahnul Khafiy, yang disusun oleh Ahmad Al-Asadiy Al-Halabiy (537
H).
5. Zallatul Qurrâ, yang disusun oleh ‘Umar As-Samarqandiy (w. 537 H).
6. At-Tanbîh ‘Alal Lahnil Jaliy dan Al-Lahnul Khafiy, yang disusun oleh Ibnul
Khathîb (w. 577 H).
7. Al-Lahnul Khafiy Wal Lahnul Jaliy¸ yang disusun oleh Abû ‘Abdillâh Ibn
Kâmil (w. 597), dll.

7
Abul Hasan ‘Aliy bin Ja’far bin Sa’îd As-Sa’idiy Ar-Râziy. Guru dan rujukan ilmu Al-Qurân
bagi orang-orang Persia. Beliau memiliki tulisan Delapan Qirâât (Al-Qirâât Ats-Tsamân). Tidak
diketahui tahun dilahirkan dan wafatnya, namun Ibnul Jazariy dalam Ghâyatun Nihâyah
bahwa beliau masih hidup sampai tahun 410 H.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

JENIS-JENIS LAHN DAN HUKUMNYA


َّ ُ َ َ
Jenis-Jenis Lahn (‫ن‬
ِۡ ۡ‫)أنۡواعۡٱللح‬
Asy-Syaikh ‘Utsmân bin Sulaymân Murâd ‘Aliy Aghâ (1316-1382 H)
mengatakan dalam As-Salsabîlusy Syâfî:
‫ل‬ ‫ل‬ ‫لٱ ر ل ل‬ ‫ُل‬
‫ُك ل‬ ‫ل ل‬ ‫ۡۡۡم ل‬
‫ۡۡۡنلٱ ق وسۡ ل‬ ُ ۡ‫ٱلللح‬
‫ۡۡۡفلٱ‬
‫لٱ ِفلٱ لل و‬
‫ۡۡۡراملٱ مۡۡۡ لٱ روَۡۡۡل ٍف و‬ ‫ۡۡۡللٱ ٱرۡ و لٱ‬
‫ۡۡۡف‬ ‫انلٱ جۡ و‬ ‫و‬
‫لٱ‬ ‫ل لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

‫ي‬ ‫ل ل‬ ‫ل ِه‬ ‫ل ل‬
‫ن لٱ‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫للٱ لل لٱ مۡۡۡعلٱ ۡۡۡۡ لٱ‬
‫خۡ لٱ‬ ‫ل‬
‫للٱ لٱ يۡ ولٱ‬
‫للٱ لٱ ب وۡۡۡۡ لٱ هولٱ أٱلٱ لٱ لٱ‬
‫رۡۡۡ لٱ‬ ‫ن لٱ لٱ‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫ِفلٱ لل لٱ مۡۡۡب لٱ‬ ‫ل‬
‫للٱ لٱ فۡۡۡخطألٱ لٱ و لٱ‬ ‫أ ِهلٱ مالٱ ل لٱ‬
‫ل‬
‫لۡۡۡۡۡۡۡ و لٱ‬
“Dan lahn itu ada dua jenis: lahn jaliy dan lahn khafiy. Keduanya haram,
namun sebagian Ulama Qiraah berbeda pendapat mengenai hukum lahn khafiy,
apakah ia haram atau makruh.
Adapun lahn jaliy adalah kesalahan dalam masalah tata bahasa, baik
mengubah ataupun tidak mengubah makna.”
Dalam bait ini, Asy-Syaikh ‘Utsmân Murâd menyebutkan dua jenis
lahn yang dikenal dalam tilâwah Al-Qurân, yakni lahn jaliy dan lahn khafiy.
Kemudian beliau memberikan definisi lahn jaliy: adalah kesalahan yang
berkaitan dengan tata bahasa, baik mengubah makna atau tidak mengubah
makna.
Al-Imâm Abû ‘Amr Ad-Dâniy dalam Syarh Qashîdah Al-Khâqâniy
mengatakan:
‫ُ ل ل ل ل ُ ل ل ِه‬ ‫ل ل ل ِه ل ِه‬ ‫ل‬
‫ارو للٱ‬
‫جلٱ‬ ‫ل لٱ‬ ‫ لٱ للٱ ٱل للٱ‬,‫ظ‬ ‫ي لٱ ل لٱ للفلٱ و لٱ‬
‫ن لٱ لللٱ لٱ م لٱ غ و لٱ‬
‫لم لٱ ب ولٱ د لٱ ل لٱ لللٱ لٱ معلٱ لٱ‬
‫ لٱ ل لٱ‬:‫ل‬ ‫لل و ِهلٱ‬ ‫ن لٱ للٱ‬ ‫ب لٱ لللحلٱ للٱ‬ ‫ج لٱ ن لٱ‬ ‫ارو و ِلٱ‬
‫ى لٱ أنلٱ لٱ لٱ ي لٱ ت لٱ‬ ‫لٱ يلنلٱ للٱ ب و لٱ‬
‫غ لٱ لٱ ل وللٱ لٱ ق لٱ‬
‫يل لل ُ لل ل‬ ‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫ل لٱ لٱ نفلٱ لس ُلٱ ه لٱ و لٱ‬
‫ِفلٱ‬ ‫ لٱ لٱ ٱلٱ أنلٱ لٱ يعلٱ م لٱ‬. ‫ِف لٱ ل لٱ لل لٱ غةولٱ‬ ‫س لٱ ائ وغلٱ ا لٱ و لٱ‬ ‫ لٱ للٱ‬, ‫ِف لٱ لللٱ للٱ ع للٱ ر لٱ ب و ِهلٱ يةولٱ‬ ‫ن لٱ للٱ‬
‫ج لٱ ائ وزلٱ ا لٱ و لٱ‬ ‫ لٱ ِإَونلٱ لٱ لٱ‬,‫اء لٱ ة و‬
‫اك لٱ‬ ‫عنلٱ لٱ للٱ م لٱ ذا لٱ هو ولٱ‬
‫ب لٱ لللٱ قولٱ للٱ ر للٱ‬ ‫لٱ‬
‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫َل للٱ ٱلٱ ت و لٱ هولٱ مونلٱ لٱ ذلٱ ل و لٱ‬
.‫ك‬ ‫يصلٱ لٱ ت و لٱ‬ ‫خ و لٱ‬ ‫لٱ تللٱ ولٱ‬
“Sudah semestinya bagi seorang pembaca Al-Qurân untuk senantiasa
menjauhi lahn jaliy: yakni lahn yang dapat merusak makna dan mengubah lafazh,
serta keluar dari madzhab-madzhab qirâah yang ada, walaupun perubahan lafazh
tersebut perubahan yang diperbolehkan dalam bahasa Arab atau diterima oleh
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

salah satu dialek yang fasih. Hendaknya ia berusaha mendorong jiwanya untuk
memurnikan tilawahnya dari semua itu.”
Kemudian beliau melanjutkan perkataannya dengan menjelaskan apa
yang dimaksud dengan lahn khafiy:
‫ُ ل‬ ‫ل ل ُ ُ ِه ل ُ ِه ُ ل ل ُ ل ُ ِه‬ ‫ ِه‬
‫ لٱ لٱه لو لٱ ترلٱ ُكلٱ‬.‫ّيهُ لٱ إول لٱ لللٱ ُمتل لصد ُور لٱ لللٱ لماه ُلٱ ور‬ ‫ لٱ ٱل لٱ يم و‬,‫وب‬ ‫لَّوي لٱ ل لٱ يعلٱ ورفه لٱ إول لٱ لللٱ قاروئ لٱ لثلاق لٱ‬

.‫ل‬ ‫لٱ مالٱ ل ل لهالٱ م لونلٱ لللٱ لم لرات وب ل‬


‫لٱ ٱلللٱ لمنازو ولٱ‬
‫ل‬
‫لٱ ِإَويفائ لها ل‬ ‫ُُ ُ ُُ ل‬
‫لٱ رقوه لها‬ ‫إوعلٱ لطاءو لٱ‬
‫لٱ لحرٱف‬
‫و‬ ‫و‬
“Yakni lahn yang tidak diketahui kecuali oleh para qâri yang cemerlang,
dan tidak bisa memlilahnya kecuali para ulama yang mahir. Yaitu tidak
memberikan hak-hak huruf-huruf hijâiyyah dan tidak memenuhi huruf-huruf
sesuai dengan kedudukan dan tempatnya yang tepat.”
Al-Imâm Ad-Dâniy dalam At-Tahdîd (hal. 116) menukil dari Al-Imâm Ibn
Mujâhid (w. 364) yang mengatakan:
‫ل ل ي ل‬ ُ ‫ٱل ي ل‬‫ لٱ فل ل‬.‫ف‬ ‫ل‬ ُ ‫ ِه‬
‫ف لٱ ترلٱ ُك لٱ إوعلٱ لطاءولٱ‬‫لل و‬ ‫لٱ لِعلٱ لر ولٱ‬
‫ لٱ ٱ لٱ‬,‫اب‬ ‫ل لٱ ترلٱ ك و‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ ٱ لر و ل‬
‫لٱ‬ ‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫ لٱ ل‬:‫ان‬
‫ج‬ ‫لٱ‬
‫و‬
‫لٱ ح ل‬
‫ن‬ ‫لٱ‬ ‫آن‬‫و‬ ‫ر‬
‫لٱ‬ ‫ق‬ ‫لٱ لل‬
‫لٱ‬ ‫لٱ ِف‬‫و‬
ُ ‫لللحلٱ‬
‫ن‬
‫و‬ ‫و‬
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ُ ُ ُ ل ِه‬
‫توويدولٱ لفلٱ وظ لٱ هو‬ ‫لٱ رق ُهلٱ مونلٱ لٱ لٱ‬ ‫لحرٱف‬
‫لٱ‬
“Lahn dalam membaca Al-Qurân terbagi dua: lahn jaliy dan lahn khafiy.
Lahn jaliy adalah meninggalkan i’râb dan lahn khafiy adalah tidak memberikan
hak huruf dan tidak mentajwidkan lafazhnya.”
Al-Imâm As-Sa’îdiy mengatakan dalam At-Tanbîh (hal. 27-28):
ُ ‫لٱ ه لو لٱ ألنلٱ لٱ لٱ يُرلٱ لف ل لٱ لللٱ لمنلٱ ُصوبلٱ‬
ُ ‫ل ل ل ل ل ل ل ل ِه ُ ل ي‬
‫لٱ لل ول‬
‫ فٱللحلٱ ن لٱ‬.‫ف‬ ‫لٱ ٱحن لٱ ٱر و لٱ‬ ‫حن لٱ ج ول لٱ‬ ‫ لٱ لٱ‬:‫ان‬ ‫ل‬
‫لٱ حن ولٱ‬
‫ل ِه ِه ل ل‬
‫وأن لٱ لللحلٱ ن لٱ‬
ُ ‫ل للٱ يعلٱ رفُهلٱ‬ ‫ل ل ل ل ل ِه‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ُ ‫ل ل‬ ‫ل‬ ُ ُ ‫ل‬ ‫ل ُ ل ل ل ُ ُ ل ُ ل ل‬
‫ي‬ ‫لٱ للل‬ ُ
‫و‬ ‫ لٱ فٱللحلٱ ن لٱ و‬.‫وك‬ ‫يفض لٱ لللٱ منلٱ صوب لٱ أٱو لٱ لللٱ مرلٱ فوع لٱ ٱمالٱ أشلٱ به لٱ ذل لٱ‬ ‫أٱلٱ لٱ ينلٱ صب لٱ لللٱ مرلٱ فوع لٱ أٱلٱ لٱ لٱ‬
‫ُ ُ ل ِه ي ل ل ل ُ ُ ِه ل ل ِه ل ل ل‬
.‫لٱ رالٱ ٔ وِحةلٱ لللٱ عوللٱ ولٱ م‬ ‫يهملٱ لٱ مومنلٱ لٱ قدلٱ لٱ شم‬ ‫لللٱ مقلٱ ورئونلٱ ٱلنلحلٱ وويونلٱ ٱغ لٱ‬
‫ل ل‬ ‫ل ل ِه‬ ‫ ِه‬ ‫ ِه‬ ُ ‫ُ ِه‬ ‫ل ل‬ ‫ ِه‬
‫اظلٱ‬‫ف لٱ ل ليعلٱ ورف ُه لٱ إول لٱ لللٱ ُمقلٱ ورئ لٱ لللٱ ُمتلٱ قو ُن لٱ للضاب و ُ لٱ لَّوي لٱ تلقن لٱ م لون لٱ أللٱ ف و‬ ‫لٱلللحلٱ ُن لٱ‬
‫لٱ لل و يلٱ‬
ُ
‫لأسلٱ لتاذ للٱ‬
.‫وين‬ ‫لٱ‬
“Karena lahn itu terbagi menjadi dua: lahn jaliy dan lahn khafiy. Adapun
yang dimaksud lahn jaliy adalah mendhammahkan yang fathah, atau
memfathahkan yang dhammah, atau mengkasrahkan yang fathah atau
dhammah, atau yang semisalnya. Lahn jaliy dapat dengan mudah diketahui oleh
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

para muqri, para ahli nahwu, serta siapa saja selain mereka yang telah menghirup
aroma ilmu (kalangan para penuntut ilmu).
Dan adapun lahn khafiy tidak diketahui kecuali oleh para muqri` yang
mutqin dan mahir yang benar-benar mengambil bacaan Al-Qurân secara talaqqiy
melalui lafazh-lafazh dari guru-guru mereka.”
‘Abdul Wahhâb Al-Qurthûbiy dalam Al-Mûdhah (hal. 57) mengatakan:
ُ‫ُ ل ل ل‬ ‫ لٱ لٱل ُوك ل‬.‫ف‬ ‫ل ل ل ل ل‬ ‫ل‬ ‫ ِه ِه ل ل ل ل‬
‫ص ُهلٱ‬ ‫لٱ ر لد لٱ ي ِه لٱ‬ ‫لٱ ٱار ٍود لٱ مونلٱ هما‬ ‫و‬ ‫لٱ‬‫ل‬ ‫و‬ ‫ر‬ ‫لٱ ٱ‬ ‫ن‬ ‫لٱ‬
‫لٱ ٱح‬ ‫ل‬
‫و‬ ‫لٱ ج‬ ‫ن‬ ‫لٱ‬
‫ح‬ : ‫لٱ‬
‫ي‬ ‫و‬
‫لٱ ضبل‬
‫لٱ‬ ‫إون لٱ لللحلٱ ن لٱ لَع‬
‫لُ ي‬ ‫ل‬ ‫ُ لل‬ ‫ل ِه ُ ل ُ ل ل‬ ‫ل ل ل ل ل ل ُ ل‬
‫خل لٱ بوٱللٱ لمعلٱ لنلٱ‬ ‫اظلٱ في و‬ ‫ل لٱ ه لو لٱ رلل للٱ يطلٱ لرأ لٱ لَع لٱ لألٱ للٱ ف و‬ ‫لٱ لل و ي‬
‫ لٱ فٱللحلٱ ن لٱ‬.‫رب و لٱ هو‬ ‫لٱ عنلٱ لٱ لصا و‬
‫از لٱ‬ ‫ٱرقويقة لٱ بوهالٱ يملٱ ت‬
‫ل ُُ ل ُ لُي ل ل ل‬
‫ لٱ‬.‫لٱ منلٱ لٱ ش لدالٱ شيلٱ ئالٱ م لونلٱ لللٱ لع لرب و ِهي لٱ ةو‬ ‫لٱلللٱ ُعرلٱ و لٱ‬
‫لٱ يعلٱ ورفهلٱ لللٱ قاروئلٱ ٱُك‬.‫ف‬
‫ل‬ ‫ولرٱلٱ نلق ل‬
‫لٱ للال وب لٱ ل ِه‬
‫ف ل‬ ُ ‫خ يل لٱ بٱللٱ‬ ‫ل‬
ُ‫لٱ في‬ ‫ل‬ ‫ل ِه ُ ل ل ل ُ ل ل‬
‫ للٱ‬.‫ن‬ ‫لٱ ٱ ُلٱ‬
‫لحسلٱ ولٱ‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫لٱ‬ ‫و‬ ‫ر‬
‫لٱ‬ ‫ع‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫اظ‬‫و‬ ‫ف‬ ‫ل‬
‫لٱ‬ ‫لٱ لأ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ لَع‬ ‫ف لٱ يطلٱ رأ‬‫لٱ لل و ي‬
‫ٱلللحلٱ ن لٱ‬
‫ل ل‬ ‫ل ِه ل ل‬ ‫ل ل ل ل ل‬ ‫ل ُ ُ ِه ل ُ ُ ُ ل ِه ُ ُ ل ُ ِه‬
‫اظلٱ‬ ‫ولٱ ٱلقو لن لٱ مونلٱ لٱ أللٱ ف و‬ ‫ويلٱ أرذ لٱ عنلٱ لٱ أفلٱ لواه ولٱ لأئومة‬ ‫جوود لٱ لَّ لٱ‬ ‫يعلٱ ورفه لٱ إول لٱ لللٱ قاروئ لٱ لللٱ متلٱ قون لٱ ٱللضاب و لٱ لللٱ م‬
‫ل ِه ُ ل ل ِه ل ل ل‬ ‫ل ل ل ُ ِه‬ ‫ل‬ ُ ‫ُ ل ل ِه ل ُ ل ل ل ل‬
‫نوتلل ُهلٱ‬ ‫لٱ ررلٱ ٍف لٱ رقه لٱ ٱنزل لٱ م لٱ‬ ‫لٱ ُك ل‬ ‫ق لٱ ب و لع لرب و ِهيت و وهملٱ لٱ فأعلٱ طى‬ ‫ين لٱ ترلٱ تَض لٱ تَل لٱت ُهملٱ لٱ لٱ ُيوث ُلٱ‬ َّ‫لللٱ علماءو لٱ ل‬
‫ل ِه‬
.ُ‫لٱرد لٱ ه‬
“Sesungguhnya lahn itu ada dua jenis: lahn jaliy dan lahn khafiy. Setiap
lahn tersebut memiliki batasan dan definisi yang khusus serta hakikat yang
dengannya bisa membedakan satu dengan lainnya. Adapun lahn jaliy adalah
kerusakan yang terjadi pada lafazh-lafazh dan mengakibatkan kerusakan makna
dan ‘urf (kaidah-kaidah ilmu qirâah). Lahn ini diketahui oleh para qâri dan siapa
saja yang bisa memahami dengan baik bahasa Arab.
Adapun lahn khafiy adalah lahn yang menimpa lafazh-lafazh dan
mengakibatkan kerusakan pada ‘urf yang dapat membawa pada kecantikan dan
keindahan bacaan Al-Qurân. Lahn ini tidak diketahui kecuali oleh para qâri yang
mutqin, para ulama yang mahir dalam tajwid, yang mengambil bacaan mereka
dari bibir para imam dan bertalaqqiy dari lafazhnya para ulama. Yakni orang-
orang yang diridhai tilâwahnya dan terpercaya kemampuan bahasa Arabnya,
sehingga mereka sanggup untuk memberikan hak setiap huruf, menempatkan
setiap huruf sesuai dengan kedudukannya, dan menjaga kesempurnaannya
dengan baik.”
Al-Imâm Ibnul Jazariy dalam At-Tamhîd mengatakan bahwa lahn jaliy
sendiri terbagi menjadi dua:
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

ُ ‫ل ل‬ ‫خ يل لٱ بٱللٱ لمعلٱ لن ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل ِه ُ ل ُ ل ل ل ل ل ُ ل ل‬


‫لٱ ٱلللٱ ُعرلٱ و لٱ‬
‫ لٱ لٱرلل للٱ يطلٱ لرألٱ‬,‫ف‬ ‫و و‬
ُ ‫ي‬‫ف‬ ‫لٱ‬ ,‫اظ‬
‫ولٱ‬ ‫ف‬ ‫ل‬
‫لٱ‬ ‫لٱ لأ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ لَع‬ ‫ل لٱ هو لٱ رلل لٱ يطلٱ رأ‬ ‫لٱ لل و ي‬
‫فٱللحلٱ ن لٱ‬
‫ُ ل‬ ‫لُ ي‬ ‫ل‬ ‫لل‬
‫فلٱ دٱنلٱ لللٱ لمعلٱ ل لٱ‬
.‫ن‬ ‫خللٱ بوٱللٱ ُعرلٱ و‬
‫اظلٱ في و‬
‫لَعلٱ لألٱ للٱ ف و‬
Adapun lahn jaliy adalah kerusakan yang terjadi pada lafazh-lafazh dan
mengakibatkan kerusakan makna dan ‘urf (kaidah-kaidah tajwid). Juga
kerusakan yang terjadi pada lafazh-lafazh dan mengakibatkan kerusakan ‘urf
saja, namun tidak merusak makna.”
Beliau memberikan contoh di antara lahn jaliy yang dapat merusak
makna adalah mendhammahkan atau mengkasrahkan Ta pada ayat berikut:
Bacaan Benar Bacaan Salah
‫ل ل ل لل‬ ‫ل ل ُ لل‬
‫تلٱ عليلٱ وهملٱ‬ ‫أنلٱ عملٱ‬ ‫تلٱ عليلٱ وهملٱ‬
‫لٱ أنلٱ عملٱ لٱ‬

Adapun contoh lahn jaliy yang tidak merusak makna, di antaranya


adalah men-dhammah-kan Ha pada ayat berikut:
Bacaan Benar Bacaan Salah
‫لٱ ربلٱ لل لعللم ل‬
‫يلٱ‬ ‫لحم ُد و ِه ل‬
‫ل‬ ‫َّلٱ لربلٱ لل لعللم ل‬
ُ ‫ل ُ ِه‬
‫و‬ ‫لٱ َّ و و‬ ‫يلٱ‬ ‫و‬ ‫لحمدلٱ و لٱ و‬

Al-‘Aththâr Al-Hamadzâniy8 mengatakan dalam At-Tamhîd Fî Ma’rifatit


Tajwîd (hal. 237):
‫لٱ ِفلٱ‬ ‫ي‬ ‫و‬‫ت‬
‫ل ل ُ ل ِه ُ ِه‬
‫لٱ لَّوي لٱ يلسلٱ ل‬ ‫ور‬ ‫ه‬ ‫ا‬‫لٱ للظ‬ ‫و‬ ‫ه‬‫لٱ ف‬ ‫ي‬
‫ل‬ ‫لٱ‬
‫لٱ لل‬ ‫ا‬‫م‬‫ لٱ فلأل ِه‬.‫ف‬ ‫ل‬
‫لٱ‬
‫ل ل ل ل‬
‫ر‬ ‫لٱ ٱ‬ ‫ل‬ ‫ج‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫ان‬ ‫ن‬
‫ل ل ل ِه ِه ل ل‬
‫لٱ ح ل‬
‫لٱ‬ ‫فٱعلٱ لملٱ لٱ أن لٱ لللحلٱ ن‬
‫و و‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫و‬ : ‫و‬
‫ل ل‬ ‫ل ي ل‬ ‫لل ُ ل ل‬ ُ ‫ُ ل‬ ‫لٱ ٱلللٱ ُم ل‬ ُ ‫ُ ل‬ ‫ل‬
‫لٱ ٱ لم لٱ‬
‫الٱ َيرويلٱ‬ ‫ون‬
‫ت لٱ ٱللسك و‬ ‫لٱ لح لرتا و‬
‫ٱف لٱ ٱتغلٱ يوي لٱ‬ ‫لٱ لح ُر و‬
‫حيف ُلٱ‬ ‫ لٱ لٱه لو لٱ تصلٱ و‬.‫ه‬
‫نت و لٱ‬ ‫وئ ل‬ ‫لمعلٱ ورفتوهولٱ لللٱ مبلٱ تد‬
‫ل ل‬
.‫م لراها‬ ‫لٱ‬
“Maka ketahuilah bahwasanya lahn itu terbagi menjadi dua: jaliy dan
khafiy. Adapun lahn jaliy merupakan lahn yang diketahui dengan jelas, baik oleh
para pemula ataupun para ulama. Di antaranya adalah mengubah huruf,
mengganti harakat dan sukun, serta apa-apa yang semisal dengannya.”
Dari pendapat para ulama di atas, maka kita dapat mengambil
beberapa kesimpulan:

8
Abul ‘Alâ Al-Hasan bin Ahmad bin Al-Hasan bin Ahmad bin Muhammad, dikenal juga
dengan Al-‘Aththâr.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

1. Para ulama sepakat bahwa lahn dalam tilâwah terbagi menjadi dua:
lahn jaliy dan lahn khafiy,
2. Lahn jaliy dinilai sebagai lahn yang dapat diketahui oleh para ulama
dan penuntut ilmu, serta siapa saja yang memahami bahasa Arab.
Sedangkan lahn khafiy dinilai sebagai lahn yang hanya diketahui oleh
para ulama ahli qirâah. Namun, penilaian ini tidak mutlak, karena
kenyataannya beberapa lahn khafiy juga diketahui oleh para penuntut
ilmu pemula. Karenanya kita katakan bahwa sebagian besar lahn
khafiy hanya diketahui oleh para ulama.
3. Batasan yang paling tepat untuk mendefinisikan lahn jaliy adalah lahn
yang berkaitan dengan huruf dan syakl (harakat dan sukun) atau
yang diistilahkan lahn i’râb. Sedangkan lahn khafiy adalah lahn yang
tidak berkaitan dengan huruf dan syakl, yakni yang berkaitan dengan
penghias tilâwah.
4. Lahn jaliy kadang mengubah makna dan kadang tidak mengubah
makna, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnul Jazariy. Adapun
lahn khafiy hanya mengubah ‘urf tanpa mengubah makna.
5. Lahn jaliy dan lahn khafiy dapat terjadi pada sifat lâzimah atau sifat
‘âridhah.
َّ
ۡ ‫)ٱللحۡ ُن‬
ۡ‫ۡٱلَ ِ ي‬
Al-Lahnul Jaliy (‫ل‬
Al-Jaliy berarti terang atau jelas, disebut jaliy karena secara umum
lahn ini dapat terlihat dengan jelas, baik bagi kalangan awam maupun para
ahli tajwid, selama ia mengerti bahasa Arab. Sebagaimana yang disampaikan
oleh Ibn Mujâhid bahwa lahn jaliy adalah lahn i’râb, yakni lahn yang berkaitan
dengan tata bahasa Arab, baik terjadi pada huruf atau syakl (harakat dan
sukun). Baik mengubah makna atau tidak mengubah makna. Lahn ini dapat
berupa: perubahan huruf, penambahan atau pengurangan huruf, dan perubahan
syakl.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Pertama, mengubah huruf. Contohnya:


Bacaan Benar Bacaan Salah
‫ل ل‬ ‫لحم ُد و ِه ل‬ ‫ل‬ ‫لٱ د و ِه ل‬
‫بلٱ للعل وم للٱ‬
‫ي‬ ‫لٱ َّولٱ ر و‬
‫ل‬ ‫لٱ لٓأۡلل وم للٱ‬
‫ي‬ ‫ب لٱ‬ ‫لٱ َّولٱ ر و‬
ُ ‫لل لهم‬
Segala puji bagi Allâh rabb semesta Segala kematian bagi Allâh rabbnya
alam9 rasa pedih

Al-Mar’asyiy dalam Juhdul Muqill (hal. 111) mengatakan bahwa lahn


jaliy juga dapat terjadi pada sifat ‘âridhah, seperti qalb (iqlâb). Misalnya
adalah seseorang yang membaca iqlâb dengan huruf Nun dan tidak
mengubahnya menjadi Mim. Kekeliruan ini merupakan perubahan huruf dan
termasuk lahn jaliy.
Bacaan dalam satu riwâyah yang dibaca dengan lafazh riwâyah yang
lain dapat menjadi lahn jaliy dalam konteks talaqqiy, apabila dilihat dari sudut
pandang riwâyah yang diamalkan dan diambil riwâyah-nya. Namun, tidak
disebut lahn dalam konteks tilâwah biasa, baik di dalam shalat ataupun di
َ ِِ
luar shalat. Seperti membaca lafazh (‫)ٱلّص َاط‬ dengan huruf Sin atau Shad
yang bercampur dengan Zay (Zay tebal atau Shad jahr).
Kedua, menambah atau mengurangi huruf. Contohnya:
Bacaan Benar Bacaan Salah
‫لل ل ل ل‬
‫لٱ علليهم ل‬ ‫ل لل‬ ‫ل‬
‫لٱ م لطرا لٱ‬ ‫و‬ ‫ٱأمطرنا‬ ‫لٱأم لطرنالٱ علي وهملٱ لم لطارا‬
Dan kami hujani mereka dengan Dan kami hujani mereka dengan
hujan (batu).10 bandara.

Menambah atau mengurangi huruf termasuk di dalamnya adalah


menambah atau mengurangi huruf madd, sebagaimana contoh yang telah
kami sebutkan. Adapun persoalan keliru dalam menentukan kadar panjang
madd, seperti membaca madd asli lebih dari 2 (dua) harakat, atau membaca
madd lâzim kurang dari 6 (enam) harakat, maka tidak termasuk lahn yang
mengubah makna, selama huruf madd-nya terbaca. Begitupun apabila
menambah kadar panjang huruf berharakat, namun tidak sampai mencapai

9
QS. Al-Fatihah, 1: 2
10
QS. Al-A’râf, 7: 84
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

dua harakat; atau yang lebih dikenal dengan isybâ harakat, maka lahn
tersebut juga bukan termasuk lahn yang mengubah makna.
Adapun yang termasuk dalam kategori ini adalah meringankan huruf
bertasyid atau membaca dengan tasydid sebuah huruf yang semestinya
dibaca ringan. Padahal, tanda tasydid menunjukkan bahwa huruf tersebut
terdiri atas dua huruf. Huruf yang pertama adalah huruf sukun dan yang
kedua adalah huruf yang berharakat. Contoh:
Bacaan Benar Bacaan Salah
ُ ‫اكلٱ نلس لت وع‬
‫يلٱ‬
‫ ِه ل ل‬
‫اكلٱ نع ُب ُلٱ دلٱ ِإَوي ِه للٱ‬
‫إوي لٱ‬ ‫ي لٱ‬
‫ل ل ل ُُ ل ل ل‬
‫اكلٱ نس لتعو ُلٱ‬
‫اكلٱ نعب لٱ دلٱ ِإَولٱ ي لٱ‬
‫إ ولٱ ي لٱ‬
Hanya kepada Engkaulah kami Kepada cahaya matahari-Mu kami
menyembah dan hanya kepada menyembah dan kepada cahaya
engkaulah kami memohon matahari-mu kami memohon
pertolongan11 pertolongan

Ketiga, mengubah harakat. Baik mengubah satu harakat ke harakat


yang lain atau mengubah harakat menjadi sukun dan sebaliknya. Contoh:
Bacaan Benar Bacaan Salah
‫ل ل ِه ل ل ل ل ل ل‬ ‫ل ل ِه ل ل ل ُ ل ل‬
‫ت علي وهملٱ‬ ‫وينلٱ أنعم لٱ‬
‫طلٱ لَّ لٱ‬
‫صر لٱ‬
‫و‬ ‫ت عليلٱ وهملٱ‬ ‫وينلٱ أنلٱ عم لٱ‬
‫طلٱ لَّ لٱ‬
‫صر لٱ‬
‫و‬
Jalan orang-orang yang telah Engkau beri Jalan orang-orang yang telah saya beri
nikmat12 nikmat
َّ ُ
ۡ ‫)حكۡ ُمۡٱللحۡ ِن‬
ِِۡ ِ َ‫ۡٱل‬
Hukum Al-Lahnil Jaliy (‫ل‬
Al-‘Allâmah Mullâ ‘Aliy Al-Qâriy dalam Al-Minahul Fikriyyah Fî Syarhil
Muqaddimah Al-Jazariyyah (hal. 130) mengatakan:
‫ل ِه ِه ُ ُ ل ُ ل ل ل ل ل‬
‫أمالٱ لللحلٱ نلٱ للمغ ويلٱ فحراملٱ بوَللٱ روَل ٍ لٱ‬
‫ف‬
“Adapun lahn yang dapat mengubah (huruf dan makna), maka hukumnya
haram tanpa ada perbedaan pendapat.”
Asy-Syaikh Mahmûd Khalîl Al-Hushariy mengatakan dalam Ahkâmu
Qirâatil Quran (hal. 35):

11
QS. Al-Fatihah, 1: 5
12
QS. Al-Fatihah, 1: 7
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

ُ ‫لل ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل ل ل‬ ‫ل ل ل ِه ُ ل ِه‬


‫ ُم لعاقب لٱ عليهو لٱ فاعول ُه لٱ إونلٱ‬,‫ي‬
‫اق لٱ لل ُمسل و وم للٱ‬
‫ٱهذا لٱ لنلوع لٱ مون لٱ لللح ون لٱ ررام لٱ َشع لٱ بوٱت وف و‬
. ‫لٱ رر لمةلٱ‬ ‫لٱ ف لعلل ُهلٱ نلاسويالٱ ألٱ ل‬
ُ ‫لٱ جاهوَللٱ فل لَل‬ ‫ل ل ِه ل ُ ل ل‬
‫ فإون‬.‫تعمد لٱ ه‬
“Dan lahn jenis ini (jaliy) secara hukum syar’i haram berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin. Pelakunya mendapat dosa apabila melakukannya
dengan sengaja. Apabila ia melakukannya karena lupa atau tidak tahu, maka
tidak haram.”
Dr. Rihâb Muhammad Mufîd Syaqaqiy dalam Hilyatut Tilâwah (hal.
153) mengatakan:
‫ل‬ ‫ ِه‬ ُ ‫ل ل‬ ‫ل ِه ل‬ ‫ُل ل ل ُ ل‬ ‫ُ ُ ِه‬
‫آن لٱ لل وِت لٱ ب و لتغيويوهالٱ‬‫اظ لٱ للقر و‬ ‫لٱ ألف و‬ ‫ لٱ وأن ُه لٱ تغيوي و‬,‫لٱ مطلقا‬ ‫ هو لٱ ررام‬:‫ل‬ ‫لٱ لللحن ل‬
‫لٱ لل و ولٱ‬ ‫و‬ ‫رك م‬
‫ل ل ِه ل ُ ل ل ل ل ل ل ِه ل ل ل ِه ل ل ل ل ُ ل ل ل ل ل ل ِه ي‬ ‫ح ِهر ُف ل‬ ‫لت لت ل‬
‫لٱ لتل لعل وملٱ‬ ‫لٱ ٱأمالٱ منلٱ للٱ يست وطي لٱ أٱلٱ للٱ يقويلٱ لَع‬,‫لٱ ٱأمالٱ للاهوللٱ فعليهولٱ أنلٱ يتعل لٱ م‬,‫لٱ م لعانوي لٱ هو‬
‫لل‬
‫لٱ ِفلٱ مال ووسلٱ لل ُمسل و وم للٱ‬ ‫ل‬ ‫لل ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل ل ُُ لل ُ ل‬ ُ ‫لل ُ ل ل‬
‫لٱ لٱ‬.‫ي‬ ‫لٱ ٱللٱ َيه ُرلٱ بوٱلقو لراءة و و‬,‫لٱ ٱللٱ يص وللٱ إوماما‬,‫فيق لرألٱ مالٱ ت وصحلٱ ب و لٱ هولٱ صَلت لٱ ه‬
“Hukum lahn jaliy: adalah haram secara mutlak, karena mengubah lafazh
Al-Qurân yang karena perubahan tersebut dapat menyimpangkan maknanya.
Adapun orang awam, wajib baginya belajar (hingga terbebas dari lahn jaliy).
Orang yang tidak bisa belajar atau tidak sanggup lagi mengikuti pembelajaran,
maka wajib baginya (terus belajar sampai bisa) membaca Al-Qurân dengan benar
surat yang menjadi rukun shalat (Al-Fâtihah), tidak menjadi imam shalat, dan
tidak mengeraskan bacaannya dalam majlis-majlis kaum muslimin.”
Dr. Su’âd ‘Abdil Hamîd mengatakan dalam Taysîrurrahmân (hal. 26):
‫لل‬ ‫ل ل ل ل‬ ‫ل ل‬ ‫ل ل‬ ‫ُ ُ ِه‬
‫كن لٱ إوذا لٱ اكن لٱ ناسويا لٱ فَل لٱ إوثلٱ لملٱ‬ ‫ لٱل و‬.‫ي‬ ‫اع لٱ لللٱ ُمسلٱ ل و وم لٱ‬ ‫ج و‬ ‫ٱِ للٱ‬
‫لٱ ي ُر ُم لٱ ب و ولٱ‬
‫ل لٱ‬‫وو‬ ‫لٱ‬
‫لٱ لل‬ ‫ن‬
‫و‬ ‫ح‬
‫لٱ‬ ‫لٱ للل‬ ‫ركلٱ م‬
‫ل ُ ُ ُ ل ِه ل ل‬
‫الٱ اك لن لٱ ِف ل‬ ‫ل ِه‬ ‫لٱ ٱألهلٱ لم لل ِه‬‫ٱحكلٱ وم ل‬ ُ ‫لٱ جاهوَل لٱ ب‬ ‫ل ل ل‬
‫الٱ اك لن ل‬ ‫لل‬
‫يللٱ‬‫و‬ ‫و‬ ‫ب‬ ‫لٱ س‬ ‫و‬ ‫ذ‬‫و‬ ‫إ‬ ‫الٱ‬‫م‬‫أ‬ ‫لٱ‬ . ‫لٱ‬
‫ه‬ ‫ق‬ ‫ح‬
‫و‬ ‫ل‬
‫لٱ‬ ‫لٱ ي‬ ‫م‬ ‫ث‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬
ِ‫لٱ ل‬
‫و‬ ‫ن‬ ‫و‬ ‫إ‬ ‫لٱ ف‬ ‫م‬
‫و‬ ‫وي‬ ‫ل‬‫ع‬
‫لٱ‬ ‫لٱ لتل‬ ‫لٱ‬ ‫و‬ ‫ذ‬‫و‬ ‫إ‬‫ف‬ ‫لٱ لٱ‬ ,‫و‬ ‫لٱ‬
‫ه‬ ‫ي‬
‫لٱ‬ ‫عل‬
‫ل‬ ‫ُ ُ ل‬ ُ ‫ ِه ل ي ل ل ل ل ل ل ل ِه ُ ل‬
." ‫لٱ ه لولٱ لللٱ لمقلٱ صودلٱ بوٱللٱ قولٱ وللٱ "جاهوَللٱ‬- ‫لَّلٱ أعلٱ ل ُملٱ‬ ‫ ٱ‬- ‫لٱ ٱأرلٱ طألٱ فهذالٱ‬ ‫لتلعل وم لٱ‬
“Hukum lahn jaliy haram berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Akan
tetapi apabila seseorang melakukannya karena lupa, maka ia tidak berdosa.
Apabila ia tidak mengetahui hukumnya dan lalai untuk mempelajarinya, maka ia
berdosa. Adapun apabila ia terjatuh pada lahn jaliy dalam keadaan masih sedang
belajar, maka inilah makna dari “jahil”, wallâhu a’lam.”
Maksud jahil pada perkataan terakhir adalah kejahilan yang
dimaafkan pelakunya. Jadi, apabila seseorang yang masih belajar terjatuh
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

pada kekeliruan, maka ia dimaafkan dan tidak berdosa. Lain halnya dengan
seseorang yang lalai dari menuntut ilmu sehingga ia tidak mengetahui
hukum-hukum syar’i, maka ia berdosa.
Asy-Syaikh ‘Abdul Fattâh Al-Marshafiy dalam Hidâyatul Qâri’ (hal. 54-
55) bahkan mengatakan bahwa kekeliruan dalam membaca Al-Qurân
(apabila disengaja) hukumnya haram, baik itu berkaitan dengan tata bahasa
atau kesempurnaan tilawah. Baik itu mengubah makna atau tidak. Beliau
mengatakan:
‫ل‬ ‫لٱ ه لذالٱ للل ِهحلٱ نلٱ ب لنولٱ لعيلٱ هو ِه‬
‫ل‬
ُ ‫لٱ لتلحلٱ ر‬
‫يملٱ أيضا‬ ‫لٱ ِف‬ ُ ‫لٱ ُلٱ‬
‫و‬ ‫و و‬ ‫لحكلٱ م و‬
“Dan hukum dalam kedua jenis lahn ini sama-sama haram.”
Beliau berhujjah dengan perkataan Al-Barkawiy bahwa apabila kita
pisahkan hukum lahn yang mengubah makna dengan lahn yang tidak
mengubah makna, seperti meninggalkan izhhâr, idghâm, qalb, ikhfâ, juga
seperti meninggalkan hukum madd dan qashr, maka apa lagi yang tersisa
dari hukum-hukum tajwid? Kemudian apabila sudah demikian, bagaimana
kita mensifati tilawah yang demikian itu dengan tilawah yang shahih?
Padahal kaum muslimin telah sepakat mengenai hukum-hukum tilawah dan
kemestian menjaganya sebagai bagian dari bentuk peribadahan,
sebagaimana kemestian dalam menjaga dan menegakkan huruf serta lafazh-
lafazhnya. Sedangkan menegakkan huruf serta lafazh-lafazh Al-Qurân tidak
akan tercapai kecuali dengan menegakkan hukum-hukum tajwid secara
sempurna seperti meng-izhhâr-kan yang izhhâr, meng-idghâm-kan yang
idghâm, dan seterusnya.13
Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Ghâmidiy dalam Al-Lahn (hal. 48-49) mengatakan:
‫ل‬ ‫ ِه‬ ‫لل‬ ‫ ِه ل ل ل ل‬
‫للٱ ل لوم ونلٱ لسلٱ تل لطاع ُهلٱ‬
‫وو‬
‫لٱ لللحلٱ ن ل‬
‫لٱ‬
‫لٱ لل‬ ‫و‬ ‫اب‬
‫و‬ ‫ن‬‫لٱ ٱ ُجوبلٱ لجلٱ ت ل‬
‫و‬ ‫و‬
ُ ‫لٱ لَع‬ ‫م‬
‫و‬ ‫ل‬
‫لٱ‬ ‫ع‬
‫و‬ ‫لٱ لل‬
‫لٱ‬ ‫و‬ ‫لتفقلٱ أٱل‬
“Para ulama sepakat akan kewajiban menjauhi lahn jaliy bagi siapa saja
yang sanggup untuk melakukannya.”
Hukum Al-Lahnul Jaliy dalam Shalat
Sesungguhnya para ulama telah sepakat kewajiban mengamalkan
tajwid pada hal-hal yang apabila ditinggalkan dapat mengubah makna.
Dalam konteks bacaan di dalam shalat, maka berikut pendapat para ulama:

13
Lih. Hidâyatul Qâri hal. 54-55
‫‪Muhammad Laili Al-Fadhli‬‬ ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

‫‪Dari kalangan madzhab Asy-Syâfi’iy, Imâmul Madzhab Muhammad‬‬


‫‪bin Idrîs Asy-Syâfi’iy mengatakan dalam Al-Umm (1/215):‬‬
‫ل‬ ‫ل ل لل ل ل لُ ُ ل ل‬ ‫ل ُ ُ ل ل ل‬ ‫لل ل ُ ُ‬
‫للٱ ‬‫عنلٱ ُلٱ ه‪,‬لٱ للٱ ٱ لٱ ‬ ‫م ولٱ ز لٱ ئةلٱ لٱ لٱ ‬ ‫َللٱ ت لٱ هلٱ لٱ ‬ ‫ص لٱ ‬ ‫ش ٍلٱ ءلٱ ولٱ منلٱ لٱ ها‪,‬لٱ لٱ لملٱ لٱ لٱ أ لٱ رلٱ لٱ ‬ ‫نلٱ لٱ ‬ ‫يللٱ لٱ معلٱ لٱ ‬ ‫يو لٱ ‬ ‫حانلٱ الٱ لٱ ‬ ‫ِفلٱ لٱ أ ولٱ ملٱ لللٱ لٱ قرلٱ ولٱ ‬
‫آنلٱ ولٱ ‬ ‫نلٱ و لٱ ‬ ‫للٱ ٱإنلٱ لٱ لٱ ‬
‫ح لٱ ‬
‫ل ل ُ‬ ‫ل ل ل ِه ل ل‬ ‫ل ل ل ُُ لل ل لل‬ ‫ل‬ ‫ل ِه ل ل‬
‫يو لٱ لٱ أ ولٱ ملٱ ‬
‫غ لٱ ‬ ‫اء لٱ ة لٱ لٱ ‬ ‫ألٱ ن ُلٱ ه لٱ لٱ لولٱ لٱ لٱ ت للٱ ر للٱ ‬
‫ك لٱ لٱ ق و للٱ ر للٱ ‬ ‫ع لٱ دةلٱ ‪ ,‬لٱ و لٱ ‬
‫ع لٱ ليلٱ لٱ هو لٱ لٱ إ و لٱ ‬‫أر لٱ لٱ ‬
‫ك ولٱ رهلٱ ت لٱ ه‪ ,‬لٱ لٱ ٱلٱ لملٱ لٱ لٱ ‬ ‫ي لٱ ها لٱ لٱ ‬
‫غ ولٱ ‬ ‫ِف لٱ لٱ ‬ ‫ن لٱ و لٱ ‬ ‫رللٱ لٱ ف ُلٱ ه‪ .‬لٱ ِإَونلٱ لٱ للٱ ‬
‫ح للٱ ‬ ‫عمنلٱ لٱ لٱ ‬ ‫لٱ ‬
‫ل‬ ‫ل ل لل ُ ل لل ل ل ل‬ ‫ُ لُ ل ل ُ‬ ‫لل ل ُ ُ‬ ‫ُ‬
‫ش للٱ ‬
‫اءلٱ ‬ ‫رللٱ لٱ ف ُلٱ ه لٱ لٱ إ ونلٱ لٱ لٱ ‬ ‫َللٱ ت ُلٱ ه‪ .‬لٱ ِإَو لٱ ذا لٱ لٱ أجلٱ لٱ زلٱ أتلٱ لٱ ه لٱ لٱ أجلٱ لٱ زلٱ أتلٱ لٱ لٱ منلٱ لٱ لٱ ‬ ‫ص لٱ ‬‫ت ولٱ ز لٱ ئ لٱ ه لٱ لٱ ‬ ‫ت لٱ أنلٱ لٱ لٱ ‬‫جولٱ ُلٱ ‬ ‫آن لٱ للٱ ر للٱ ‬
‫ت لٱ لٱ ب ولٱ أ ولٱ م لٱ لللٱ لٱ قرلٱ ولٱ ‬
‫آن لٱ لٱ ٱلٱ أ لٱ ‬
‫لللٱ لٱ قرلٱ ولٱ ‬
‫ل‬ ‫ل ل ل ل ُ ُ ل ل ل ل ل ل ُ ل‬ ‫ل ل ل ُُ ُ ُ‬ ‫ ِه ُ ل ل‬
‫َللٱ ت ُلٱ هلٱ للٱ ٱلٱ أكلٱ للٱ رلٱ هُلٱ لٱ أنلٱ ‬ ‫ص لٱ ‬ ‫نلٱ لٱ أجلٱ للٱ زلٱ أتلٱ لٱ لٱ ‬ ‫يللٱ لللٱ لٱ معلٱ لٱ ‬ ‫يو لٱ ‬ ‫للٱ لٱ ‬ ‫ي لٱ هالٱ لٱ ‬‫غ ولٱ ‬ ‫ِفلٱ لٱ أ ولٱ ملٱ لللٱ لٱ قرلٱ ولٱ ‬
‫آنلٱ لٱ ٱ لٱ ‬ ‫ح لٱ ن لٱ هلٱ و لٱ ‬ ‫نلٱ لٱ ‬ ‫اك لٱ ‬‫اَل‪.‬لٱ ِإَونلٱ لٱ لٱ ‬ ‫َّلٱ لٱ ت للٱ ع لٱ ‬‫ل لٱ ‬
‫ل ُ ل‬
‫بل ٍلٱ ‬
‫ال‪.‬‬ ‫إماملٱ الٱ و لٱ ‬ ‫ونلٱ للٱ ‬‫ك لٱ ‬ ‫لٱ ي لٱ ‬
‫‪“Orang yang keliru dalam surat Al-Fâtihah dengan lahn yang‬‬
‫‪menyebabkan perubahan makna, saya berpendapat bahwa shalatnya tidak sah.‬‬
‫‪Begitupula tidak sah orang yang shalat di belakangnya (menjadi makmum).‬‬
‫‪Adapun jika kekeliruannya (yang mengubah makna itu) pada selain Al-Fâtihah,‬‬
‫‪maka saya tidak menyukainya, namun saya tidak berpendapat bahwa ia mesti‬‬
‫‪mengulangi shalatnya. Karena kalaupun ia meninggalkan (tidak membaca) surat‬‬
‫‪selain Al-Fâtihah dan hanya membaca Al-Fâtihah saja, saya berharap shalatnya‬‬
‫‪diterima. Apabila (dengan itu) shalatnya sah, maka begitupula shalat makmum di‬‬
‫‪belakangnya, insyâallâh. Jika kekeliruannya terjadi pada surat Al-Fâtihah atau‬‬
‫‪surat yang lainnya namun tidak sampai mengubah makna, maka shalatnya sah.‬‬
‫”‪Namun saya membencinya menjadi imam, bagaimanapun keadaannya.‬‬
‫‪Kemudian Al-Imâm An-Nawawiy berkata dalam Al-Majmû’ (3/ 392):‬‬
‫ل ل ل ُ ِه ل ل ل ل ل ل‬ ‫ل‬ ‫ ِه ل‬ ‫ل ُ ل ل ل‬
‫اء لٱ ةُ لٱ لللٱ ف و‬
‫شلٱ ةلٱ ‬‫ن لٱ أرلٱ ب لٱ لٱ ع لٱ ‬ ‫يدالٱ ت و لٱ ها‪ ,‬لٱ ٱه لٱ ‬ ‫بل ولٱ مي ولٱ لٱ ُلٱ ‬
‫ر ُلٱ رٱ لٱ ف و للٱ ها لٱ للٱ ٱلٱ تشلٱ ولٱ د لٱ ‬ ‫َل لٱ ة و لٱ و لٱ ‬
‫لص لٱ ‬ ‫اَتل لٱ ةو لٱ و لٱ ‬
‫ِف لٱ ل لٱ ‬ ‫ب لٱ ق ور‬ ‫ت لٱ ‬‫ولٱ ‬

‫ررلٱ فالٱ ‬ ‫ف لٱ ُم لش ِهددا لٱ ألٱلٱ لٱ لأبلٱ لد للٱ ل لٱ ل‬ ‫ل ل ِه ل‬ ‫لل ل ل‬


‫ن لٱ ثَلثلٱ ‪ ,‬لٱ فلولٱ لٱ أسلٱ ق ل لٱ لٱ لررلٱ فا لٱ مونلٱ لها لٱ أٱلٱ لٱ رف لٱ ‬
‫ُ ِه ل ل‬ ‫ل‬
‫ِف لٱ لللٱ لٱ بلسلٱ لملةولٱ لٱ مونلٱ ه لٱ ‬
‫ويدةلٱ لٱ و لٱ ‬ ‫تلشلٱ د ل‬
‫ل‬ ‫ل ل ِه ل ل ُ ُ ل ل ل ل ل ِه ل ِه ل‬
‫اءت و لٱ هولٱ لٱ لصَلت و لٱ هولٱ ‬ ‫ص ِهحةولٱ لٱ ق لور ل‬ ‫فلٱ و‬‫ادلٱ بوالظاءولٱ لٱ ف و لٱ ‬ ‫حلٱ ق وراءت لٱ ه‪.‬لٱ ٱلولٱ لٱ أبلٱ د لٱ للٱ الض لٱ ‬ ‫ص لٱ ‬ ‫فلٱ لم للٱ لٱ ِه‬
‫صح لٱ ةولٱ ل لوسان و لٱ هولٱ لملٱ لٱ ت و‬ ‫و‬ ‫وبلرلٱ ٍ لٱ ‬
‫ل ل ي ُ ل ل ل‬
‫ح‪.‬‬‫للٱ ت وص يلٱ ‬ ‫صحهما)لٱ لٱ ‬ ‫ان‪...‬لٱ (أ لٱ ‬ ‫لٱجلٱ له ولٱ ‬
‫‪“Wajib membaca surat Al-Fâtihah di dalam shalat dengan‬‬
‫‪menyempurnakan seluruh huruf dan tasydidnya yang berjumlah empat belas, dan‬‬
‫‪di antaranya tiga tasydid pada basmalah. Apabila ada huruf yang tidak terbaca‬‬
‫‪atau meringankan tasydid (membaca huruf bertasydid dengan biasa,‬‬
‫‪sebagaimana tanpa tasydid), atau mengganti sebuah huruf dengan huruf yang‬‬
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

lain, padahal lisannya sehat, maka bacaannya (di dalam shalat tersebut) tidak
sah. Apabila ia mengganti huruf Dhad menjadi Zha, maka dalam permasalahan
keabsahan bacaan dan shalatnya terdapat dua pendapat. Pendapat yang paling
shahih adalah tidak sah.”
Al-Imâm An-Nawawiy melanjutkan (3/ 393):
‫ل ل ل ُ ي ل ل ل ل ِه ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل‬ ‫إذالٱ ل ل‬
‫ل‬
‫فلٱ‬
‫َسلٱ اك لٱ‬ ‫تلٱ أٱلٱ لٱ كَسهالٱ أٱلٱ لٱ ك لٱ‬ ‫اءلٱ أنلٱ عملٱ لٱ‬ ‫نلٱ بوأنلٱ لٱ ض لٱ ملٱ ت لٱ‬ ‫وللٱ لللٱ معلٱ لٱ‬ ‫حنالٱ ي لٱ‬ ‫ِفلٱ لللٱ ف و‬
‫اَتةولٱ لٱ لٱ‬ ‫نلٱ و لٱ‬ ‫ح للٱ‬
‫إع لد لٱ ةُلٱ لللٱ وق لر ل‬
‫بلٱ ل‬ ‫ل ل ِه ل ل ل‬ ُ ُ‫اءتُ ُلٱ هلٱ لٱ لص لَلت‬ ‫يلٱ للملٱ لٱ تل وص ِه‬ ‫ ِه ل ل ُ ُ ل ل ل ِه ل ل ل ل‬
‫اء لٱ ة ولٱ إنلٱ لٱ‬ ‫ت ُ لٱ‬‫و‬ ‫ٱ‬ ‫لٱ‬ , ‫لٱ‬
‫د‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ت‬ ‫لٱ‬ ‫إن‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫ه‬ ‫حلٱ ق لور ل‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫اءلٱ بوهملٱ ز و‬
‫ت‬ ‫اللٱ إي لٱ‬ ‫اكلٱ نعلٱ ب لٱ دلٱ أٱلٱ لٱ ق لٱ‬
‫إي لٱ‬
‫ل ل ل ل ل ل ل‬ ‫ون لٱ نلسلٱ لتع ُلٱ ل‬ ُ ‫ل ل‬ ‫ل ُ ِه ل ل ل ل‬ ‫ل‬
‫وك لٱ لملٱ لٱ‬
‫ن لٱ وو لٱ ذل لٱ‬ ‫اط لٱ ٱ لٱ‬ ‫رص لٱ‬ ‫ي لٱ لٱصا لٱ دو لٱ و‬ ‫و‬ ‫ح لٱ دا ولٱ ل لٱ نعلٱ ُب ُلٱ د لٱ لٱن ولٱ‬ ‫ن لٱ كفتلٱ ولٱ‬ ‫ لٱ ِإَونلٱ لٱ لملٱ لٱ ي لٱ‬. ‫لملٱ لٱ لي لت لع ِهمدلٱ‬
‫ول لٱ لللٱ معلٱ لٱ‬
‫ل لُ ل‬ ‫ل ل‬ ‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل ل ُُ لل ل لُ ل‬ ‫ل‬
‫اءلٱ ت ُلٱ ه لٱ لٱ لٱ‬
‫للٱ‬ ‫ لٱ لٱلولٱ لٱ ت لع ِهم لد لٱ هُ لٱ لملٱ لٱ تبلٱ ُطللٱ لٱ ق ور‬.ُ‫اءت ُلٱ ه لٱ لٱلك ِهون ُلٱ ه لٱ لمكلٱ ُرٱهلٱ لٱ لٱيلحلٱ ُر ُلٱ م لٱ ت لع يم ُد لٱ ه‬ ‫ل لٱ ق ور‬ ‫تبلٱ ُطللٱ لٱ صَلت لٱ ه لٱ ٱ لٱ‬

‫ح ُلٱ‬ ‫ل ل ُ ُ ل ل ُ ِه‬
.‫يح‬ ‫صَلت لٱ هلٱ هذالٱ ه للٱ ولٱ الص و‬
“Jika ia melakukan kekeliruan dalam surat Al-Fâtihah dengan lahn yang
mengubah makna, seperti mendhammahkan huruf Ta pada kata “an’amta”
(menjadi an’amtu) atau mengkasrahkannya (menjadi “an’amti”), atau
mengkasrahkan huruf Kaf pada kata “iyyâka na’budu” (menjadi “iyyâki”), atau
ia membacanya menjadi “iyyâ`a” dengan dua huruf Hamzah, maka bacaan dan
shalatnya tidak sah, bila dilakukan dengan sengaja. Adapun apabila kekeliruannya
tidak mengubah makna, seperti memfathahkan huruf Dal pada kata “na’budu”
(menjadi “na’buda”) atau huruf Nun pada kata “nasta’înu” (menjadi nasta’îna)
atau huruf Shad pada kata “shirâtha” (menjadi “sharâtha”) atau hal-hal yang
semisalnya, maka shalat dan bacaannya tidak batal, namun makruh
melakukannya dan haram hukumnya apabila dilakukan dengan sengaja. Apabila
ia melakukan semua itu dengan sengaja, maka shalat dan bacaannya tidak batal.
Inilah pendapat yang shahih.”
Al-Imâm An-Nawawiy dalam Al-Majmû’ (III/ 360-361) mengutip
peringatan dari dari Al-Imâm Abû Muhammad Al-Juwayniy yang mengatakan:
‫ل ل ُ ل ل ل ُ ُ ُ ِه ُ ِه ل‬ ‫لٱ غ ل ل‬ ‫ل‬ ُ ‫لٱ لح‬
‫ل‬
ُ ‫لٱللولٱ أر لر لج للٱ بع لض‬
‫لٱ لَلاللٱ‬ ‫ لٱ نستعوي لٱ تشبوه لٱ لتلاء‬: ‫ج لٱ هو بوأن لٱ يقول لٱ‬ ‫ي لٱ ُمر و‬
‫و‬ ‫ون‬ ‫م‬ ‫لٱ‬ ‫ٱف‬
‫و‬ ‫ر‬
‫لٱ ص ِه‬ ‫لٱ لتل لع يل ُم ل‬ ‫ل‬ ‫ل ل ل ل لُ ل ل ل‬
‫لٱ اك لن لٱ ل ُلٱ يمك ُون ُه ِه‬ ‫ل ِه ل ل ل ل ل ل ل‬
‫حتلٱ‬ ‫ لٱ فإون‬,‫ لٱ بل لٱ بينهما‬,‫وي لٱ َمض ٍلٱ ة‬ٍ ‫أٱو لٱ للصاد لٱ ل لٱ بوصا ٍد لٱ َمض ٍة لٱ ٱ و‬
‫س‬ ‫لٱ ب‬ ‫ل‬
‫ ِه ي‬ ‫لٱ ص لَلةلٱ ِف للٱ ل‬ ُ ُ ‫ل ل ل ُ ل ل ل ِه ل ي ُ ل ل ل ُ ُ ل ل‬ ُُ ‫ل ل‬
.‫لٱ لتل لعل ولٱ م‬ ‫لٱ ِف‬ ‫ ِه‬
‫لٱ زم ونلٱ اتلفروي و و‬ ‫ٍ و‬
‫لٱ ُك ل‬
‫لٱ ٱيلزم لٱ ه قضاء و‬,‫لٱ ِإَونلٱ لٱ أمكنهلٱ ٱجبلٱ اتلعل لٱ م‬,‫صَلت لٱ ه‬
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

“Dan kalau seseorang mengeluarkan sebagian huruf dari selain


makhrajnya yang benar, seperti ia membaca “nasta’în”, menyerupakan huruf Ta
dengan Dal atau mengucapkan huruf Shad (seperti pada lafazh ash-shirâth, pen.)
tidak dengan Shad yang murni juga tidak dengan Sin yang murni, namun
mengucapkan huruf yang tidak jelas yang berada di antara Shad dan Sin, apabila
ia dalam keadaan yang tidak memungkinkan lagi untuk belajar (atau sudah
belajar namun tetap tidak berubah, pen.), maka shalatnya sah (bagi dirinya
sendiri dan juga orang yang semisalnya, pen.). Namun apabila ia memiliki
kemungkinan untuk mempelajari dan memperbaikinya, maka wajib baginya
belajar, serta wajib pula baginya mengganti seluruh shalat yang telah
dilaksanakannya saat ia meninggalkan belajar mengucapkan huruf yang benar
(padahal saat itu ia memiliki kesempatan untuk mempelajarinya, pen.).”
Dari kalangan madzhab Hanbaliy, Al-Imâm Ibn Qudâmah dalam Al-
Mughnî (I/348) mengatakan:
ُ ُ ‫ل ل‬ ‫ل ل ل‬ ‫ ِه‬ ‫ل لُُ ل ل ل ل ل ل‬
‫لٱ‬.‫ن‬ ‫ويللٱ لللٱ لمعلٱ ل لٱ‬
‫حنالٱ ي لٱ‬ ‫ونلٱ فويهالٱ لٱ‬ ‫ح ٍلٱ‬ ُ ‫يلٱ لمللٱ‬ ‫لٱ غ للٱ‬, ‫اَتلةولٱ لٱ ُم لرت لبةلٱ لٱ ُمش ِهددةلٱ‬ ‫اء لٱ ة ولٱ لللٱ ف و‬‫تلٱ بوقور‬ ‫يللٱ زم لٱ هلٱ أنلٱ لٱ يألٱ و لٱ‬
‫ ِه ل ل‬ ‫ل ل ل‬ ‫ُ ل‬ ُ ُ ‫ل ل لل ل ل‬ ‫ل لل ل ل ل ل ل‬
‫اك)لٱ أٱلٱ لٱ‬ ‫ف لٱ (إي لٱ‬ ‫َس لٱ اك لٱ‬ ‫ل لٱ أنلٱ لٱ يلكلٱ و لٱ‬ ‫ن لٱ موثلٱ لٱ‬ ‫ويل لٱ لللٱ لمعلٱ ل لٱ‬
‫حنا لٱ ي لٱ‬ ‫ن لٱ لٱ‬ ‫ويب لها لٱ أٱلٱ لٱ ش ِهدةلٱ لٱ مونلٱ ها لٱ أٱلٱ لٱ ح لٱ‬ ‫ك لٱ ترلٱ ت‬
‫فإونلٱ لٱ تر لٱ‬
‫ ِه ل‬ ‫ل ُ ِه ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل‬
‫ونلٱ‬
‫ُ ل‬
‫إل لٱ أنلٱ لٱ يلك لٱ‬ ‫ لٱ للملٱ لٱ ليعلٱ لت ِهلٱ د لٱ ب وق لر ل‬,)‫ِف لٱ (لهلٱ دونلا‬
‫اءت و لٱ هو لٱ لٱ‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫ل‬ ‫ص‬
‫لٱ‬ ‫وف لٱ لللٱ ل‬
‫و‬ ‫لٱ‬ ‫ح لٱ أل‬ ‫ت) لٱ أٱلٱ لٱ يفلٱ ت لٱ‬ ‫اء لٱ (أنلٱ عملٱ لٱ‬ ‫يض لٱ م لٱ ت لٱ‬
‫و‬ ‫و و‬
‫ل ل ل ل‬ ‫ل‬
.‫هذا‬ ‫يولٱ لٱ‬
‫جزالٱ عنلٱ لٱ غ لٱ‬ ‫ع و‬
“Wajib baginya untuk membaca surat Al-Fâtihah secara tertib urutannya
dan ditunaikan tasydidnya, tanpa terjatuh pada kekeliruan yang dapat mengubah
makna. Apabila ia meninggalkan urutannya atau tidak membaca tasydidnya, atau
terjatuh pada kekeliruan yang mengubah makna seperti mengkasrahkan huruf
Kaf pada kata “iyyâka” (menjadi “iyyâki”) atau mendhammahkan huruf Ta pada
kata “an’amta” (menjadi “an’amtu”), atau memfathahkan Alif Washl pada kata
“ihdinâ” (menjadi “ahdinâ”), maka bacaannya tidak terhitung (tidak sah),
kecuali apabila ia benar-benar dalam kondisi tidak mampu untuk membacanya
dengan benar.”
Dari kalangan madzhab Hanbaliy yang lain, Syaikhul Islâm Ibn
Taymiyyah mengatakan dalam Majmû’ul Fatâwâ (23/ 350):
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

‫ل ل‬ ‫ُ لل‬ ُ ‫ل ل ِه‬ ‫لل‬ ‫ل ل ِه ل ل ُ ُ ل ل ل‬


‫فلٱ‬ ‫للٱ رللٱ لٱ‬ ‫َللٱ يُ لص و لٱ‬
‫لٱ ف لٱ‬.‫إللٱ لمنلٱ لٱ ه للٱ ولٱ موثلٱ ل ُلٱ ه‬ ‫َللٱ يُ لص و لٱ‬
‫للٱ رللٱ ف ُلٱ هلٱ لٱ‬ ‫اء لٱ ةللٱ لللٱ ف و‬
‫اَتل لٱ ةولٱ ف لٱ‬ ‫يملٱ ق ور‬
‫للٱ ي وق لٱ‬
‫لٱ ٱأمالٱ منلٱ لٱ لٱ‬
‫ل‬ ُ ‫ل ل‬ ‫ل ل‬ ‫ ِه‬ ‫ل‬ ‫ ِه‬ ‫ثلل ولٱ غ لٱ ل ِهَّوي لٱ ُي لب ولٱ د ُلٱ ل لٱ ل‬ ‫ل‬
‫ف لٱ لللٱ ف ولٱ م لٱ ك لما لٱ ه للٱ و لٱ لعد لٱ ةُلٱ‬
‫ف لٱ للضادولٱ لٱ إذا لٱ أرلٱ لر لج ُلٱ ه لٱ مونلٱ لٱ لط لر و لٱ‬ ‫إل لٱ لررلٱ لٱ‬ ‫ررلٱ فا لٱ وبلرلٱ ٍ لٱ‬
‫ف لٱ لٱ‬ ‫أ لٱ‬ ‫ل لٱ‬
‫ل‬
‫ونلٱ لنل ِه و لٱ‬
‫اس‬ ‫يلٱ م للٱ‬ ‫كث و ٍلٱ‬
“Dan adapun seseorang yang tidak bisa membaca Al-Fâtihah (dengan
benar), maka janganlah shalat di belakangnya (menjadi makmum), (karena
shalatnya tidak sah) kecuali bagi orang yang semisal dengannya. Maka janganlah
shalat (menjadi makmum) di belakang orang yang cadel berat yang dapat
mengubah sebuah huruf menjadi huruf yang lain. Kecuali apabila perubahannya
terjadi pada huruf Dhad saat ia mengeluarkannya dari ujung mulutnya,
sebagaimana hal tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang
(mengubahnya menjadi huruf Zha).”
Dari kalangan Mâlikiyyah, Al-Imâm Mâlik bin Anas mengatakan:
ْ ُ ‫ل ل ُُ ل ل ل ُ ل ل ل ُ لل ل‬ ‫ل لل ل ل‬ ‫ام لٱ ب لقولٱ لٱ م لٱ لف ل ل‬ ‫ل ل ِه‬
‫اء لٱ ة لٱ لنلٱ لتقضتلٱ لٱ صَلت لٱ ه لٱ ٱصَل لٱ ة لٱ منلٱ لٱ رللٱ ف لٱ ه لٱ ٱأعد لٱ‬
‫ٱالٱ‬ ‫َت للٱ‬
‫ك لٱ لللٱ وقر‬ ٍ ‫ِم لٱ و‬
ُ ‫ل لٱ ل لٱ ل‬
‫لٱ إ وذا لٱ ص لٱ و‬
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل ل ل ِه ُ ل‬ ‫ي‬ ‫ل ل ل ل ُ ل ل ل ل ل ِه ل ُ ُ ُ ل ل ل‬
‫غلٱ‬
‫ل لٱ ينلٱ ب و لٱ‬
‫هذا لٱ وألٱ ن لٱ ه لٱ لٱ‬
‫آن لٱ أش لٱ د لٱ عونلٱ دوي لٱ مونلٱ لٱ لٱ‬
‫ون لٱ لللٱ قرلٱ لٱ‬
‫يس لٱ‬
‫ل لٱ لٱ‬
‫َّي لٱ لٱ‬ ‫وك لٱ ل ولٱ‬
‫ لٱ ف لٱ ذل لٱ‬:‫ال‬ ‫ لٱ ق لٱ‬.‫ت‬ ‫ب لٱ لللٱ وقلٱ لٱ‬
‫ِإَونلٱ لٱ ذه لٱ‬
‫ل ل ل ل ل ِه ل ل ُ ُ ُ ل‬ ْ
.‫آن‬ ‫ونلٱ لللٱ قرلٱ لٱ‬ ‫يس لٱ‬ ‫للٱ لٱ‬
‫وأر ٍلٱ دلٱ أنلٱ لٱ لٱ يأت لٱ ملٱ بومنلٱ لٱ لٱ‬
“Apabila seseorang shalat menjadi imam bagi suatu kaum, kemudian ia
tidak membaca Al-Qurân, maka shalatnya batal. Begitupula shalat makmum yang
ada di belakangnya. Mereka semuanya mesti mengulang shalat, walau waktunya
telah habis.” Al-Imâm Mâlik mengatakan: “Dan orang yang tidak bisa membaca
Al-Qurân bagiku lebih berat lagi hukumnya daripada orang yang terlupa bacaan.
Karenanya, janganlah seseorang menjadi makmum di belakang orang yang tidak
bisa membaca Al-Qurân.” [Al-Mudawwanatul Kubrâ, I/ 177]
Adapun Hanafiyyah merinci permasalahan ini sebagai berikut:
Al-Mutaqaddimûn dari kalangan Ahnâf menilai apabila seseorang
terjatuh pada lahn jaliy yang mengubah makna dan ia meyakininya sebagai
kebenaran, maka ia kufur dan batal shalatnya.
Sedangkan apabila lahn jaliy tersebut tidak mengubah makna
menjadi buruk, maka menurut Abû Hanîfah dan Muhammad bin Al-Hasan
shalatnya juga batal, sedangkan menurut Abû Yûsuf dan sekelompok ulama
Hanafiyyah tidak batal.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Adapun Al-Muta`akhkhirûn dari kalangan Hanafiyyah menilai lahn jaliy


dalam Al-Fâtihah tidak membatalkan shalat secara mutlak, karena menurut
pandangan mereka Al-Fâtihah bukanlah termasuk rukun shalat, melainkan
wajib shalat. [Risâlah Fî Tajwîdil Fâtihah hal. 7]
Dr. ‘Abdul ‘Azîz bin Muhammad Al-Hajîlan dalam Al-Ahkâmul Fiqhiyyah
Al-Khâshshah Bil Qur`ânil Karîm (hal. 161) mengatakan bahwa para ulama
sepakat mengenai tidak sahnya shalat dan tidak sahnya imâmah
(kepemimpinan dalam shalat) seseorang yang secara sengaja membaca Al-
Qurân sampai mengubah makna. Namun, mereka berbeda pendapat apabila
dilakukan secara tidak sengaja dalam empat pendapat:
Pertama, apabila kekeliruan yang mengubah makna itu pada surat Al-
Fâtihah, maka batal shalatnya dan apabila kekeliruan yang mengubah makna
itu pada selain Al-Fâtihah maka sah shalatnya tapi makruh.14 Ini merupakan
pendapat Al-Imâm Asy-Syâfi’iy dan Ashhâb-nya, serta pendapat para ulama
Hanabilah.
Kedua, tidak sah kepemimpinan seorang imam yang terjatuh pada
lahn yang mengubah makna, baik dalam surat Al-Fâtihah ataupun selainnya.
Ini merupakan pendapat Al-Mutaqaddimûn dari kalangan Hanafiyyah dan
sebagian Mâlikiyyah.
Ketiga, sah secara mutlak kepempimpinan seorang imam, baik lahn
pada Al-Fâtihah atau selainnya. Ini merupakan pendapat Al-Muta`akhkhirûn
dari kalangan Hanafiyyah dan sebagian Mâlikiyyah.
Keempat, tidak sah imâmah seseorang apabila lahn yang mengubah
makna terjadi pada Al-Fâtihah, sedangkan apabila di luar Al-Fâtihah maka sah
tanpa ada kemakruhan. Ini merupakan pendapat sebagian Mâlikiyyah.
Setelah mengemukakan empat pendapat di atas dan merinci dalil-
dalilnya beserta istidlâlnya, maka Dr. ‘Abdul ‘Azîz mengatakan,
ُ ‫ُل ل ُ ل‬
.‫لٱ لأ ِهٱ لٱ ل‬
‫ابلٱ هولٱ لللٱ قولٱ ل لٱ‬‫و‬ ‫لَّلٱ ألعلٱ لل ُملٱ ب ِه‬
‫ٱلص ل‬ ‫لٱ ه وذهولٱ لللٱ لمسلٱ لأللةو ل‬
ُ ‫لٱ ٱ ِه‬ ‫ل‬
‫لٱ ِف‬ ُ ُ‫لٱ رجلٱ لهان‬
‫ه‬
‫ ِه‬
ُ ‫لَّي للٱ يظلٱ له ُر‬
‫و‬
‫و‬ ‫و‬ ‫و‬
“Pendapat yang tampak bagiku keunggulannya dalam permasalahan ini -
dan Allâh yang Maha Tahu atas kebenarannya – adalah pendapat yang pertama.”

14
Kebanyakan ulama menilai istilah “makruh” yang dikemukakan para imam bermakna
“haram”. Wallâhu a’lam.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa apabila kekeliruan yang


mengubah makna itu pada surat Al-Fâtihah, maka batal shalatnya dan
apabila kekeliruan yang mengubah makna itu pada selain Al-Fâtihah maka
sah shalatnya tapi makruh. Ini juga yang diunggulkan oleh Dr. ‘Abdul Muhsin
bin Muhammad Al-Munîf dalam Al-Imâmah wal Itmâmi Fish Shalâh.
Dapat kita pahami bahwa para ulama membedakan hukum lahn jaliy
dalam shalat, dari sisi apakah ia mengubah makna atau tidak, juga apakah
terjadi pada surat Al-Fâtihah atau surat selainnya. Kemudian para ulama juga
membedakan dari sisi siapa yang melakukannya, apakah ia seorang ummiy
(orang yang tidak bisa membaca Al-Fâtihah dengan benar) atau qâri (orang
yang sudah bisa membaca Al-Fâtihah dengan benar), juga dari sisi apakah ia
shalat menjadi imam, sendirian, atau menjadi makmum.
Kesimpulan hukum dalam permasalahan ini berdasarkan kajian atas
pendapat para ulama di atas adalah: Pertama, dilihat dari sisi orang yang
shalat sendirian atau menjadi imam, maka hukumnya sebagai berikut:

Lahn Jaliy

Mengubah Makna Tidak Mengubah Makna

Al-Fâtihah Selain Al-Fâtihah Tidak membatalkan


shalat, namun haram
apabila sengaja, dan
makruh menjadi imam
Haram apabila sengaja, Tidak membatalkan
membatalkan shalat shalat, namun haram
apabila ia seorang qari, apabila sengaja, dan
walau tidak sengaja. makruh apabila tidak
sengaja
Imam atau orang yang
shalat sendirian, wajib
mengulang bacaan
kalau tidak sengaja.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Kedua, dilihat dari sisi makmum, apabila imam terjatuh pada


kesalahan yang mengubah makna pada Al-Fâtihah, maka rinciannya sebagai
berikut:

Al-Fâtihah Mengubah Makna

Imam Qâri Imam Ummiy

Imam Mengulang Imam Tidak


Sah bagi dirinya sendiri, dengan
Bacaan yang Benar Mengulang
syarat masih belajar.
Tidak sah menjadi imam kecuali
bagi sesamanya, makmum yang
Shalat Sah Wajib Mufâraqah qari tidak sah mengikutinya.

Adapun apabila imam terjatuh pada kekeliruan yang tidak mengubah


makna, sekalipun dalam surat Al-Fâtihah, maka shalatnya sah. Namun, tidak
disukai untuk bermakmum di belakangnya, terutama apabila ada imam lain
yang lebih baik keadaannya.

َ َّ
ۡ ‫)ٱللحۡ ُن‬
ۡ‫ۡٱل ِ ي‬
Al-Lahnul Khafiy (‫ف‬
Al-Khafiy berarti tersembunyi, disebut lahn khafiy karena kebanyakan
kekeliruan ini tidak diketahui secara umum kecuali oleh orang yang pernah
mempelajari ilmu tajwid. Bahkan sebagian di antaranya hanya diketahui oleh
para ulama yang memiliki pengetahuan mengenai kesempurnaan membaca
Al-Qurân. Asy-Syaikh ‘Utsmân Murad mengatakan dalam As-Salsabîl:
‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫ِفلٱ لل ُعۡۡۡۡر وفلٱ‬
‫ل‬ ‫ل ل‬
‫ۡۡۡفلٱ فخ لطۡۡۡۡألٱ لٱ لٱ‬ ‫أل ِهمۡۡۡۡالٱ ل ل‬
‫كلٱ لل لوصۡ و‬
‫ۡۡفلٱ‬ ‫ومۡۡۡنلٱ لٱ غۡ ولٱ‬
‫ۡۡيلٱ إورَۡۡۡل ٍلٱ للٱ كَۡۡۡت ولٱ‬ ‫لۡ و لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

“Adapun lahn khafiy adalah kekeliruan dalam ‘urf (tata cara membaca
Al-Qurân yang telah disepakati Ulama Qirâât), dan tidak mengubah makna
kandungan Al-Qurân, contohnya seperti tidak menyempurnakan sifat-sifat huruf
hijaiyyah.”
Lahn khafiy ini banyak sekali terjadi, di antaranya:
1) Tidak menyempurnakan harakat sebagaimana mestinya,
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

2) Berlebihan dalam menebalkan huruf-huruf tafkhîm atau menipiskan


huruf-huruf tarqîq,
3) Mengalirkan dengan sengaja suara huruf-huruf yang berharakat
melalui rongga hidung,
4) Tidak mengamalkan hukum-hukum tajwid, seperti izhhâr, idghâm,
ikhfâ, iqlâb, atau madd,
5) Tidak konsisten dalam menentukan kadar panjang madd atau
ghunnah,
6) Memantulkan huruf-huruf yang bukan qalqalah dan tidak
memantulkan huruf-huruf qalqalah,
7) Berlebihan dalam mengucapkan sebagian huruf hijaiyyah, contohnya
huruf Hamzah yang diucapkan seperti orang yang muntah, atau
huruf Ha yang hampir-hampir dipindahkan makhrajnya ke dada, huruf
Ya dan Waw bertasydid yang sering hilang sifat rikhwah-nya, dan lain
sebagainya,
8) Berlebihan dalam sebagian sifat huruf, seperti hams, takrîr, ithbâq,
dan lain sebagainya,
9) Berhenti (waqf) dengan harakat yang sempurna,
10) Menghilangkan kejelasan huruf awal dan akhir pada sebuah kalimat,
11) Ikhtilâs, mengurangi kadar panjang harakat dari yang semestinya.
12) Isybâ’ harakat, yaitu menambah sedikit harakat, biasanya sebelum
sukun (lawan dari ikhtilâs).15
Beberapa contoh dalam bacaan:
BACAAN SEHARUSNYA (BENAR) SERING DIBACA (SALAH)
Membaca setiap huruf Menyamarkan sebagian
‫محن ِه‬‫لٱ للر ل‬ ‫ ِه‬
‫لٱ لَّو ِه‬
‫لٱ للرريم‬ ‫بوس وم‬ dengan jelas hurufnya, terutama huruf
pertama (Ba)

Membaca setiap huruf Menyamarkan, bahkan


‫ل‬
‫لٱللف ولٱ‬
‫جر‬ dengan jelas menghilangkan huruf
terakhir saat waqf

15
Isybâ’ disebut juga tawallud, karena dengan membaca melebihi kadar panjang yang
seharusnya sama artinya dengan melahirkan huruf yang baru. Sebagian Ulama memasukkan
isybâ’ ke dalam lahn jaliy.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Menipiskan huruf tipis Menebalkan huruf tipis


‫جيم‬ ‫ ِه‬ ‫ل‬ ‫ُ ُ ِه ل‬
‫أعوذلٱ بوٱَّولٱ مونلٱ للشلٱ يط ونلٱ للر و‬ dan menebalkan huruf dan menipiskan huruf
tebal tebal

‫ل ل‬ Membaca dengan ikhfâ Membaca dengan ikhfâ


‫ومنلٱ قبل وكلٱ‬ adnâ dan tafkhîm a’lâ dan tarqîq

ُ ‫ُك‬
‫نتم‬
Membaca dengan ikhfâ Membaca dengan ikhfâ
a’lâ dan tarqîq adnâ dan tafkhîm

‫ل ُ ِه‬ Membaca Lam dengan Memantulkan huruf Lam


‫مدلٱ َّلٱ‬ ‫لٱ‬
‫لح‬
jelas
Membaca dengan Membaca dengan qalqalah
‫ل ل‬
‫لللٱ فلق‬ qalqalah tafkhîm tarqîq, atau tanpa qalqalah
sama sekali

‫لمنلٱ يل ل‬ Menyempurnakan Tidak menyempurnakan


‫عمل‬
ghunnahnya ghunnahnya, isyba’, dll

Membaca dengan Membaca dengan ikhtilâs


‫لٱ ل‬
‫َللٱ دوين‬ harakat yang sempurna atau mengubah harakat
‫و‬
menjadi sukun (lahn jaliy).

َ َّ ُ
ۡ ‫)حكۡ ُمۡٱللحۡ ِن‬
ِِۡ ‫ۡٱل‬
Hukum Al-Lahnil Khafiy (‫ف‬
Sebagaimana disampaikan Asy-Syaikh ‘Utsmân Murâd dalam As-
Salsabîl bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hukum lahn khafiy:
‫ل‬
‫وَۡۡۡلفلٱ ِف ل‬ ‫ۡۡۡرام ل‬ ‫ُل‬
‫ُك ل‬
‫لٱ ر ل‬ ‫ل ل‬ ‫ۡۡۡم ل‬‫ۡۡۡنلٱ ق وسۡ ل‬
ُ ۡ‫ٱلللح‬
‫ۡۡۡفلٱ‬
‫و‬ ‫لٱ لل‬ ‫و‬ ٍ ‫ر‬ ‫لٱ‬ ۡۡۡ‫لٱ م‬ ‫ۡۡۡفلٱ‬
‫ۡۡۡللٱ ٱرۡ و‬
‫انلٱ جۡ و‬
‫و‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

“Seluruhnya haram, namun terdapat perbedaan pendapat dalam lahn


khafiy atas keharamannya.”
Dalam bait ini, Asy-Syaikh ‘Utsmân Murâd menyatakan bahwa baik
lahn jaliy atau lahn khafiy hukumnya haram, namun beliau tidak mengingkari
adanya para ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Adapun Asy-
Syaikh ‘Abdul Fattâh Al-Marshafiy tampak sekali pengingkarannya terhadap
para ulama yang menyatakan bahwa lahn khafiy hukumnya tidak haram,
sebagaimana telah berlalu uraiannya saat kami menjelaskan hukum lahn jaliy.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Di antara para ulama yang berpendapat bahwa lahn khafiy tidak


haram adalah Al-‘Allâmah Mullâ ‘Aliy Al-Qâriy sebagaimana beliau katakan
dalam Al-Minah (hal. 112-113):
‫ل ُ ِه‬ ‫ل ُ ل ل ِه ُ ل ل‬ ‫ل ل ل ِه ل ِه ل ل ِه ل ِه ل ل ل‬
‫لش ولٱ د ُلٱ‬
‫يدلٱ‬ ‫اب لٱ ل لٱ‬ ‫ع لٱ ليلٱ لٱ هو لٱ لللٱ عولٱ لٱ ق لٱ‬
‫ب لٱ لٱ‬
‫َتلٱ ت لٱ‬
‫ي لٱ لٱ ي لٱ‬ ‫ع ٍلٱ‬
‫ض لٱ لٱ‬ ‫س لٱ لٱ ب و لٱ فرلٱ و لٱ‬ ‫ع لٱ ولٱ م لٱ ما لٱ لٱ ليلٱ لٱ‬ ‫نلولٱ لٱ‬ ‫ن لٱ لٱ ه لٱ ذا لٱ ل لٱ‬ ‫ك لٱ لٱ أ لٱ‬ ‫لٱ ش لٱ‬ ‫ل لٱ‬ ‫لٱ ٱ لٱ‬
ُ ‫ل ل ل ل‬ ُ ‫ل ل‬ ‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ ِه‬
‫ك للٱ رلٱ هُلٱ للٱ بعلٱ لٱ‬
‫ضلٱ‬ ‫لٱ ذ لٱ‬
‫ك لٱ ما لٱ‬ ‫اء لٱ ة ولٱ لللٱ لٱ قرلٱ ولٱ‬
‫آنلٱ لٱ‬ ‫وبلٱ لٱ ب وقولٱ لٱ ر لٱ‬
‫ج ولٱ‬ ‫لو ُلٱ‬ ‫ص ُ لٱ‬
‫يصلٱ ل ُلٱ‬ ‫لٱ للٱ ٱلٱ أ ِهلٱ ما لٱ‬.‫تل ِههلٱ ولٱ دي ولٱ د‬
‫لٱ ت ولٱ‬ ‫ابلٱ للٱ ٱل لٱ‬
‫رولٱ فلٱ لٱ لللٱ عولٱ لٱ ق ولٱ‬ ‫ِإَو لٱ ن للٱ مالٱ لٱ فوي لٱ هولٱ لٱ‬
‫ل‬ ‫ل ل‬ ‫ ِه ِه ل ل‬
‫لٱ ه لٱ ذالٱ لللٱ للٱ م لٱ ق ولٱ‬
‫ام‬ ‫ِف لٱ‬ ‫بلٱ لللٱ للٱ م للٱ ر ُلٱ‬
‫املٱ و لٱ‬ ‫س ُ لٱ‬ ‫لٱ ي للٱ نا ولٱ‬
‫سلٱ مولٱ ِهلٱ ما ُلٱ‬
‫احلٱ لٱ ف لٱ ليلٱ ل لٱ‬
‫لش ولٱ‬
‫ل لٱ‬
“Dan tidak diragukan lagi bahwa hal ini (menyempurnakan hukum-hukum
tajwid yang tidak berkaitan dengan perubahan lafazh, pen.) bukanlah termasuk
fardhu ‘ayn yang dapat berkonsekwensi dosa besar apabila meninggalkannya.
Namun ada kekhawatiran bahwa padanya juga terdapat hukuman dan ancaman.
Adapun mengkhususkan kewajibannya saat membaca Al-Qurân sebagaimana
disebutkan para ulama yang menyusun Syarh Muqaddimah Jazariyyah bukanlah
termasuk pendapat yang tepat untuk tujuan ini.”
Adapun Dr. Su’âd dalam Taysîrurrahmân (hal. 27) merinci hukum lahn
khafiy menjadi: apabila seorang pembaca Al-Qurân sengaja melakukannya
atau lalai dalam mempelajarinya, maka hukumnya haram. Namun, apabila
tidak sengaja disebabkan kesulitan untuk meringankan lidahnya atau tidak
menemukan guru yang mengajarkan padanya, maka ia tidak berdosa.
Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Ghâmidiy dalam Al-Lahnu Fî Qirâatil Qurânil Karîm
memiliki satu bab khusus yang berisi kesimpulan yang sangat detail terkait
permasalahan hukum lahn sebagai berikut. Berikut ringkasannya:
1. Para ulama sepakat mengenai kewajiban menjauhkan diri dari lahn
jaliy sekuat tenaga.
2. Para ulama sepakat tidak ada lahn bagi orang yang tidak bisa
menjamak seluruh cara baca Al-Qurân dan mencukupkan pada satu
cara baca saja.
Para ulama berbeda pendapat untuk hal-hal yang di luar dua poin di
atas. Berikut poin-point tersebut beserta kesimpulan hukum yang diambil
oleh Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Ghâmidiy:
1. Siapa saja yang terjatuh pada rincian persoalan lahn, maka ia tidak
berdosa, yakni permasalahan yang tidak berkaitan dengan
perubahan lafazh dan makna.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

2. Tidak berdosa bagi siapa saja yang terjatuh pada lahn jaliy atau khafiy,
namun pada saat bersamaan bacaannya tersebut sesuai dengan
salah satu riwayat yang diterima, seperti membaca (‫لّصاط‬ ‫ )ل و‬dengan
Shad bercampur dengan Zay atau Sin.
Dalam hal ini, seseorang tidak berdosa walaupun dalam bacaannya ia
mencampuradukkan riwayat, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnul Jazariy
bahwa hukum mencampuradukkan qirâât, atau riwayât, atau thuruq tidak
terlarang, namun ‘aib apabila yang melakukannya termasuk orang yang
memahami perbedaan-perbedaan tersebut.16
Namun demikian, penting untuk diperhatikan, bahwa terdapat dua
syarat agar pencampuradukkan tersebut tidak terlarang:
a) Tidak merusak makna dari sisi bahasa Arab,
b) Bukan dalam rangka periwayatan (majlîsul adâ). Adapun apabila
dalam rangka menisbatkan pada riwayat tertentu maka tidak
diperbolehkan, karena termasuk kedustaan dalam periwayatan.
3. Tidak berdosa bagi seseorang apabila lahn-nya masih berada dalam
lingkup penukilan yang mutawâtir, walaupun di dalamnya terdapat
rincian, namun terkadang merupakan hasil ijtihad yang terdapat
catatan padanya. Karena penyimpangan dari apa yang dikhususkan
para imâm, belum tentu merupakan penyimpangan dari kebenaran.
Sebagai contoh adalah hukum madd wâjib muttashil. Asal penukilan
yang mutawâtir adalah kadar yang merata di antara para ahli qirâah.
Ukurannya adalah lebih panjang dari dua harakat. Maka, apabila seseorang
membaca madd mutashil dalam riwayat Al-Imâm Hafsh jalur Asy-Syâthibiyyah
kurang dari empat harakat harakat namun sudah lebih dari dua harakat,
maka ia tidak berdosa. Sebab hukum asal penukilan dalam masalah madd
muttashil adalah lebih dari dua harakat dan ia telah menunaikannya,
walaupun belum sampai pada kadar yang ditentukan oleh riwayat yang
diamalkannya.
4. Tidak berdosa bagi orang yang terjatuh pada lahn, baik dalam
makhraj atau sifat huruf selama tidak keluar dari asal huruf dan
harakat. Jadi, selama asal huruf setiap huruf hijaiyyah masih tampak,

16
Lih. An-Nasyr I/ 139-142, Al-Munjid 89-90.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

maka hal tersebut tidak membuat seseorang berdosa walaupun


makhrajnya sedikit bergeser atau sebagian sifatnya tidak sempurna.
5. Tidak berdosa dalam permasalahan yang para ulama berbeda
pendapat di dalamnya.
6. Tidak berdosa bagi orang yang lahn khafiy pada keadaan bukan
tilawah Al-Qurân, seperti dzikir, doa, atau khutbah.
Maka kesimpulan hukum lahn dalam membaca Al-Qurân adalah:
1. Hukum lahn dalam tajwid terdapat rincian, sebagaimana telah berlalu
uraiannya. Dari sini tampak jelas bagi kita kekeliruan orang yang
menyatakan bahwa hukum mengamalkan tajwid adalah wajib secara
mutlak, atau sunnah secara mutlak. Karena sesungguhnya ada hal-
hal yang wajib dan ada hal-hal yang sunnah.
2. Uraian di atas mengenai pernyataan tidak berdosa bagi orang yang
terjatuh pada lahn yang telah disebutkan, bukan berarti kami
mengajak manusia untuk meremehkan hal ini dan menyepelekan
tahsîn serta peningkatan keahlian membaca Al-Qurân. Akan tetapi
dalam upaya menjelaskan hukum syar’i disebabkan kebutuhan yang
besar terhadap hal tersebut. Selain agar seseorang tidak bermudah-
mudah dalam memvonis berdosa bagi orang-orang yang terjatuh
pada lahn, padahal ia tidak memiliki ilmu dalam hal tersebut.
3. Adapun lahn dalam shalat, maka Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Ghâmidiy
menguraikan ringkasan hukumnya, dimana kesimpulan dalam
masalah tersebut telah berlalu penjelasannya.

Menyikapi Para Qâri yang Terjatuh pada Lahn


Tidak jarang mungkin bagi kita yang telah mempelajari dan mengkaji
persoalan lahn dengan detail, mendengar bacaan sebagian qâri yang
terkenal terjatuh pada lahn. Bagaimana sikap kita seharusnya?
Di antara efek berkembangnya teknologi informasi, setiap orang
bebas berekspresi dan menyebarkan ekspresinya di jagat maya. Selama
ekspresinya positif dan sesuai syari’at tentu akan kita dukung. Misalnya
adalah begitu ramainya jagat maya oleh rekaman-rekaman murattal yang
dibacakan generasi muda, bahkan para remaja. Label "qâri" pun tersematkan
pada mereka. Walhamdulillâh, kita bersyukur, Al-Qurân semakin membumi,
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

menghiasi saudara-saudari kita yang begitu semangat berhijrah ke arah lebih


baik lagi.
Sebagian guru kami, memang mengkritik pelabelan istilah "qâri" pada
sebagian mereka. Karena tidak jarang, viralnya murattal Al-Qurân, tidak
disebabkan bagusnya bacaan dari sisi tajwid atau sempurnanya kaidah waqf
dan ibtida`-nya, melainkan masih bertumpu pada keindahan irama dan suara
semata. Bahkan, sebagian masjidpun seringkali masih lebih mengutamakan
irama dan suara untuk memilih seseorang yang akan dijadikan imam, bukan
mengutamakan benar dan baiknya bacaan, apalagi kefaqihannya. Padahal,
benar-salahnya bacaan seseorang dalam surat Al-Fâtihah dapat menentukan
keabsahan shalat. Kemudian dalam madzhab Asy-Syâfi’iy, seorang yang fâqih
(paham permasalahan agama) lebih diutamakan untuk menjadi imam
dibandingkan orang yang lebih banyak hafalannya atau lebih bagus
bacaannya.
Istilah "qâri" sendiri, walaupun secara sederhana bermakna "pembaca
(Al-Qurân)", namun secara lebih spesifik, para ulama ahli qirâah
mengkhususkan istilah qâri bagi mereka yang telah menguasai minimal satu
riwâyah Al-Qurân, dari sisi variasi lafazhnya, cara membacanya, serta kaidah-
kaidah yang berlaku di dalamnya. Saat ia menguasai satu riwâyah tersebut,
misalnya riwayat Al-Imâm Hafsh dari qirâah Al-Imâm ‘Âshim, maka ia sudah
termasuk ke dalam jajaran para qâri, namun masih berada pada tingkat
pemula (mubtadi`). Ia akan dikatakan sebagai qâri tingkat menengah
(mutawassith) apabila sudah menguasai setidaknya 3 (tiga) qirâat
(terkumpul di dalamnya 6 (enam) riwâyah Al-Qurân). Puncaknya adalah
apabila ia telah menguasai 7 (tujuh) variasai qirâat Al-Qurân (terkumpul di
dalamnya 14 riwâyah Al-Qurân), maka ia telah menjadi qâri tingkat atas
(muntahi) dan memasuki pintu gerbang sebagai seorang muqrî.
Dari uraian yang kami paparkan, tentu sepertinya masih sedikit di
antara para "qâri" yang namanya telah viral itu benar-benar seorang qâri
menurut definisi para ulama ahli qirâah. Sehingga apabila kemudian kita
yang telah mempelajari tajwid melihat adanya sebagian kekurangan, maka
tentu harus dimaklumi dan tidak perlu larut dalam celaan. Bila ingin
mengkiritknya, maka sampaikanlah dengan cara terbaik, karena
dikhawatirkan hawa nafsu turut campur sehingga kritik yang awalnya
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

diniatkan nasihat di atas taqwa berujung pada kebencian dan cela mencela.
Wal-‘iyâdzubillâh.
Selain itu, yang mesti kita pahami adalah, bahwa jangankan mereka
yang belum benar-benar menguasai periwayatan Al-Qurân, bahkan seorang
qâri yang benar-benar qâri pun juga tidak bisa luput dari kesalahan atau lahn.
Terutama apabila mereka membaca dalam keadaan shalat atau tilâwah,
bukan dalam rangka talaqqiy atau ta'lîm (mengajar). Banyak faktor yang
dapat menjadi sebab akan terjatuhnya seorang qâri pada lahn.
Di antaranya yang pertama adalah lupa, inilah yang paling sering
terjadi. Manusia tempatnya lupa dan salah, maka wajar apabila seorang qâri,
bahkan muqri` pun kadang terlupa. Sama wajarnya dengan kita yang bahkan
sering terlupa surat-surat pendek, padahal surat tersebut sering diulang
setiap harinya.
Faktor kedua adalah fokus yang terbagi, antara tadabbur dan
menghadirkan kekhusyu'-an dengan konsentrasi untuk menjaga kaidah-
kaidah tajwid. Biasanya hal ini sering terjadi saat sang qâri menjadi imam
shalat. Karena terlalu hanyut terbawa ayat yang dibaca dan lebih fokus
untuk menjaga hafalan dan tadabburnya, kadang sebagian kaidah tajwid
menjadi tidak teramalkan secara tidak sengaja. Ini pun sesuatu yang wajar,
selama tidak dilakukan dengan sengaja. Kecuali apabila si pembaca tersebut
misalnya malah mennyibukkan hatinya dengan nada dan irama serta
melupakan tadabbur dan kaidah tajwidnya, maka dalam kondisi demikian
jelas perbuatan tersebut adalah sesuatu yang tercela.
Oleh karena itu, apabila kita yang telah mempelajari dan memahami
kaidah-kaidah tajwid mendengar atau menyaksikan seorang qâri yang
terjatuh pada lahn, bahkan misalnya yang mengubah makna sekalipun, maka
wajib bagi kita untuk:
Pertama: husnuzh zhan (berprasangka baik). Karena terjatuhnya
seseorang kepada lahn tidak sekadar disebabkan ia tidak paham atau tidak
mau mengamalkan tajwid; lupa atau tidak sengaja adalah sebab yang wajib
diberikan pintu maaf seluas-luasnya. Selain itu, kita juga wajib berprasangka
baik, karena barangkali bacaan tersebut merupakan bacaan dari riwâyah
yang berbeda dengan apa yang biasa kita amalkan.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Untuk memastikan apakah bacaan tersebut benar-benar lahn atau


merupakan variasi bacaan yang baru kita dengar, maka silakan
konsultasikan kepada orang yang kita nilai memiliki ilmu dalam hal tersebut.
Tentu saja, tanpa perlu menyebutkan siapa objek pelakunya.
Kedua: apabila kita yakin bahwa bacaan tersebut benar-benar lahn,
maka yakinilah bahwa itu benar-benar lahn. Jangan sampai hanya karena
yang membacanya adalah seorang qâri terkenal, kemudian kita jadikan
bacaan tersebut sebagai pembenaran dan kita berkata: "Oh ternyata boleh ya
dibaca seperti itu". Bahkan, kemudian kita malah mengikuti bacan tersebut.
Tidak demikian..!
Bacaan yang telah diepakati sebagai lahn oleh para ulama, mesti
tegas kita yakini sebagai lahn. Namun, jangan sampai hanya gara-gara lahn
tersebut kita menjadi tidak beradab kepada para qâri.
Hal ini juga hendaknya menjadi catatan khusus kepada para qâri atau
kita sekalian yang telah mendapatkan label "qâri". Pahamilah bahwa bacaan
kita akan selalu disimak dan diperhatikan oleh banyak orang. Maka sungguh-
sungguhlah untuk senantiasa memperbaiki bacaan kita agar tidak
melanggar kaidah-kaidah yang telah disepakati para ulama. Adapun
sebagian cara membaca yang memang ada peluang para ulama berbeda
pendapat, maka selama kita yakin memiliki sandaran riwayatnya dan tidak
bertentangan dengan kaidah-kaidah mu’tabar, maka silakan amalkan sesuai
yang diajarkan oleh guru kita.
Hendaknya pula sebelum kita memposting video, baik video
pembelajaran dan khususnya video murattal yang kita bacakan, biasakanlah
konsultasikan dengan guru atau orang yang kita nilai berilmu dalam tajwid
dan qirâah. Karena hal tersebut lebih selamat dan tentu menjauhkan kita
dari fitnah. Sekali lagi untuk selalu diingat, bahwa bacaan tersebut akan
disimak, diperhatikan, dan ditiru oleh banyak orang. Maka berhati-hatilah,
jangan sampai yang akan kita sebarkan malah pembelajaran atau bacaan
yang jelas-jelas melanggar kesepakatan para ulama.
Selain itu, bacaan kita yang tersebar juga akan didengar oleh pelajar
dan pembelajar tajwid, maka pasti pintu kritik akan terbuka lebar. Saat ada
kritik atas beberapa lahn pada bacaan dan pembelajaran kita, terimalah
dengan ridha dan ikhlas. Ambillah sisi positifnya. Jangan tergesa-gesa untuk
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

menyimpulkan bahwa kritik selalu bermakna iri dan benci. Banyak di antara
orang yang mengkritik benar-benar mengharapkan kebaikan bagi kita
semua. Bahkan, lebih utama lagi kitapun tekun dalam menyelesaikan
pembelajaran tajwid agar bisa menjadi bekal dalam praktik bacaan kita dan
juga pada saat ada orang yang mengkritik kita secara melampaui batas,
maka kita bisa menjelaskannya di atas ilmu. Wallâhu a’lam.

Al-Lahn yang Disandarkan pada Talaqqiy


Sebagian di antara qâri yang terjatuh pada lahn, sering
berargumentasi dengan perkataan, “Demikianlah kami bertalaqqiy dari guru
kami.” Atau perkataan yang semisal dengannya. Mereka mengira bahwa
setiap hasil talaqqiy merupakan pendapat yang dapat diterima dan diakui
pengamalannya menurut para ulama. Padahal, tidak setiap hasil talaqqiy
dapat diterima dan diamalkan. Apabila ia tidak bertentangan dengan
pendapat para ulama terdahulu yang termaktub dalam kitab-kitab mereka,
maka boleh diamalkan. Adapun apabila ia bertentangan dengan pendapat
para ulama terdahulu, maka tinggalkan hasil talaqqiy dan amalkan apa yang
dikatakan para ulama terdahulu.
Asy-Syaikh Al-Mar’asyiy dalam Bayânu Juhdil Muqill mengatakan:
‫ل‬ ‫لٱ ش ُي و‬ُ ‫لل ل ل‬ ‫ل ُ ل ل ل ل ِه ل ل ل ُ ل ِه ل‬ ‫ل ِه ل ل‬
‫لٱ‬, ‫وخلٱ لألٱ داءولٱ‬ ‫َث‬
‫و‬ ‫ك‬
‫لٱ‬ ‫ولٱ أ‬ ‫ء‬ ‫ا‬‫د‬ ‫لٱ أ‬ ‫لٱ ِف‬
‫و‬ ‫ات‬
‫و‬ ‫لٱ لأداءولٱ تلللٱ أشلٱ ياءلٱ مونلٱ لتلحلٱ ورف‬ ‫الٱ طالتلٱ لٱ سوللٱ سولة لٱ‬ ‫لم‬
‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫لل‬ ‫ُلل ُ ل ل‬ ‫للشيلٱ ُخلٱ لللٱ لماه ُور للٱ ُ ل ل‬ ‫ل ِه‬
‫اتلٱ‬ ‫للصف و‬ ‫لٱ ِفلٱ لللٱ لمخارو وجلٱ ٱ و‬ ‫لٱ للل ول و‬ ‫لٱ َلقائ و وق لٱ‬ ‫لٱ للمتف وطن و‬, ‫لٱ ٱلَل لورايلةولٱ‬ ‫يلٱ للر لٱايلةو ل‬
‫لٱ للا وم لٱ ب لٱ و‬ ‫لٱ ٱ‬
‫ُ ِه‬ ُ ‫لل لل‬ ‫ل ل ل ل ل ل ل ِه ل‬ ‫ل ل‬
‫ب لٱ عليلٱ لنا لٱ أل لٱ نعلٱ لت وم لد لٱ لَع لٱ أداءو لٱ ش ُيور لونا لٱ ُك و‬
‫لٱ للعلٱ ت و لمادو لٱ بلللٱ لٱ‬ ‫ لٱ فوج‬.‫ارو‬ ‫مح لٱ‬ ‫يت لٱ لألٱ للٱ‬ ‫وب و‬ ‫أع يز لٱ م لون لٱ لللٱ ك ولٱ‬

‫الٱ س ومعلٱ لنالٱ م لونلٱ‬


‫لٱ م ل‬‫يس ل‬ ُ ‫ لٱ لٱنلقو‬,‫ن‬ ‫ل ل ل‬
‫لٱ م لسئ و ول لٱ هذالٱ لللٱ ف ولٱ‬
ُ
‫لٱ ك ُتبهملٱ لٱ مونلٱ لٱ لب ليان ل‬ ‫لٱ ِف‬ ُ
‫اء‬ ‫م‬‫ويمالٱ ألٱلٱ لد لع ُه لٱ لللٱ لعلل ل‬
‫لن لتأل ِهم ُل لٱ ف ل‬
‫و‬ ‫وو‬ ‫و‬
ُ ‫ُُ ل ل ل ل ُ لُل لي ل ل ل لل ُ ل‬ ‫ي ُ و لل ل ُ ل‬
‫لٱ ِفلٱ لللٱ ك ُت ولٱ‬
.‫ب‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ٱح يق ل‬
‫لٱ م‬ ‫ل‬
‫لٱ‬ ‫لٱ ف‬ ‫ه‬ ‫ف‬ ‫ال‬ ‫لٱ ر‬ ‫ا‬‫م‬ ‫لٱ ف‬ ‫ق‬ ‫لٱ‬
‫لٱ لح‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫لٱ ف‬ ‫قه‬ ‫اف‬ ‫لٱ ٱ‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫لٱ ف‬ ‫ب‬
‫و‬ ‫ت‬‫ك‬ ‫لٱ لل‬
‫لٱ‬ ‫لٱ ِف‬
‫للشيوخلٱ لَعلٱ مالٱ أٱد و‬
‫وع‬
“Ketika rantai silsilah bacaan semakin panjang, maka terselip beberapa
penyimpangan dalam cara membaca kebanyakan guru Al-Qurân. Adapun seorang
guru yang mahir, yang dapat menghimpun riwâyah (penukilan) dan dirâyah
(teoritis), yang cerdas dalam meneliti setiap detail penyimpangan yang terjadi
pada makhârijul hurûf dan sifat-sifatnya lebih langka daripada belerang merah
(jarang ditemukan). Maka wajib bagi kita untuk tidak benar-benar berpedoman
pada teori dan praktik yang disampaikan oleh guru-guru kita semata, melainkan
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

mesti kita mesti memperhatikan terlebih dahulu penjelasan dari permasalahan-


permasalahan ilmu tajwid yang telah diuraikan para ulama dalam kitab-kitab
mereka. Kemudian kita komparasikan dengan apa yang kita dengar dari guru-
guru kita. Apabila sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam kitab, maka berarti
apa yang kita dengar merupakan kebenaran. Namun apabila bertentangan
dengan penjelasan para ulama, maka yang benar adalah apa yang termaktub
dalam kitab-kitab.”
Artinya, kekeliruan yang muncul dari para ulama generasi
belakangan, yang jelas-jelas bertentangan dengan pendapat dan fatwa para
ulama terdahulu, tidak bisa menjadi hujjah dan pembenaran dalam tilâwah.
Al-Imâm Ibn Qutaybah (w. 276 H.) dalam Ta`wilûl Musykilil Qurân (hal. 110)
mengatakan:
‫ل ل ل ل ُ ُ ِه ل ل‬ ‫ُلل‬ ‫ل ل ل ل ِه ُ ِه‬
‫ابلٱ‬ ‫لٱ لَعلٱ لللٱ ك ل‬
‫وت‬ ‫ة‬‫ج‬‫لٱ ر‬‫ل‬‫ع‬ ‫لٱ‬
‫َي‬ ‫لٱ ل‬ ‫ين‬ ‫ور‬
‫ر‬ ‫أ‬‫ت‬‫م‬ ‫لٱ لل‬
‫لٱ‬ ‫و‬ ‫ء‬ ‫ا‬‫ر‬‫ويلٱ م لونلٱ لللٱ ُق ِه‬
‫رن ل‬
‫و‬ ‫لٱ للَل‬ ‫ٱك لٱ ذل وكلٱ لللحلٱ ن‬
‫و‬ ‫و‬
“Begitupula lahn yang terjadi di kalangan para qâri generasi belakangan,
maka tidak bisa menjadi hujjah atas apa yang termaktub pada kitab.”
Hal ini adalah apabila pendapat tersebut lahir dari para qâri dengan
silsilah sanad yang jelas. Lalu, bagaimana lagi dengan pendapat-pendapat
yang muncul dari lisan para qâri yang tidak memiliki silsilah sanad yang
shahih dan tidak bertalaqqiy kepada para ahli qirâah?!
Al-Imâm Ibnuth Thahhân Al-Andalusiy dalam Nizhâmul Adâ (hal. 21):
ُ
‫لٱ ُكلٱ‬ ‫ُ ل ُ ِه ل‬ ُ ُ ‫ل لُ لُل‬ ‫ئ ل لُ ل ل ل ل‬ ‫لل ل ل ل ُ ل ل‬
‫لٱ ِف و‬
‫لٱ فهولٱ ل وقصورولٱ يواق و لٱ لللحلٱ ن و‬,‫لٱ للرٱايةلٱ إوذالٱ قّصتلٱ لٱ بوهولٱ لَلوراي لٱ ة‬‫و‬ ‫فماذالٱ تنلٱ ف لٱ لللٱ قارو‬
‫ل ل‬ ‫ل ل‬ ُ ‫ر لٱ ل ل ُ ل ل‬
‫وندلٱ لٱ أنلٱ لصارولٱ لَل ولٱ‬
.‫ين‬ ‫لٱ ج لهاتلوهولٱ ع‬ ‫لٱ ِف‬
‫لٱ ٱللٱ عذلٱ رلٱ ِل و‬.‫وي‬
ٍ
“Maka apa manfaatnya riwâyah bagi seorang qâri, apabila pada saat
bersamaan hal tersebut membuatnya lalai dalam memahami teorinya (dirâyah).
Maka akibat kelalaian tersebut ia terjatuh pada lahn setiap saat. Dan tentu saja
hal tersebut tidak akan diberi udzur disebabkan kebodohannya oleh para
penolong agama ini.”
Maka dari itu, hendaknya para penuntut ilmu tajwid dan qirâah tidak
merasa cukup dengan apa yang didapatkan dari gurunya. Hendaknya ia
terus mencari dan menggali untuk menimbang apa yang diajarkan gurunya
tersebut. Apakah sudah sejalan dengan pendapat para ulama terdahulu atau
tidak. Apabila hasil pembelajarannya sejalan, maka silakan amalkan dengan
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

tenang, adapun apabila ternyata tidak sejalan, maka tinggalkan pendapat


tersebut, tentu saja tanpa harus merendahkan atau mencela guru kita.
Apabila kita ingin mendiskusikan hal tersebut dengan guru kita,
maka diskusikanlah dengan cara terbaik dan dengan bahasa terbaik pada
waktu terbaik. Bukan dalam rangka berbantah-bantahan, melainkan dalam
rangka mencari pendapat mana yang lebih dekat dengan kebenaran.
Wallâhu a’lam.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

CARA MENJAGA DIRI DARI LAHN


Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Ghâmidiy dalam kitab Al-Lahnu Fî Qirâatil Qurânil
Karîm menyusun satu bab khusus yang berjudul Subulush Shiyânati Minal
Lahni (beberapa cara untuk menjaga diri dari lahn). Beliau membagi cara
tersebut kepada tiga bagian: beberapa cara yang berhubungan dengan
riwâyah, beberapa cara yang berhubungan dengan dirâyah, dan beberapa hal
yang tidak berhubungan dengan keduanya.
Kami akan menyebutkan poin-poin yang beliau sebutkan dalam bab
tersebut dan memberikan penjelasannya secara singkat apabila dibutuhkan.

Beberapa Hal yang Tidak Berhubungan dengan Riwâyah


dan Dirâyah
1. Pertolongan dari Allâh 
Hal ini merupakan sebab terbesar yang dapat menyelamatkan kita
dari lahn. Karena sesungguhnya keutamaan dan khazanah hanyalah milik-
Nya, yang diberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Maka,
janganlah pernah berhenti berdoa apalagi berputus asa dari pertolongan-
Nya.
Sebuah kisah yang begitu menarik pernah diceritakan oleh Asy-
Syaikh ‘Abdullâh Bashfar. Pada saat beliau bertalaqqiy dengan Asy-Syaikh
Ayman Suwayd, maka beliau mendapati pengucapan salah satu hurufnya
bermasalah, yakni pengucapan huruf Ra, dimana beliau mengucapkannya
dengan takrîr yang sangat tampak.
Asy-Syaikh Ayman Suwayd mengatakan kepada beliau bahwa apabila
pengucapan huruf Ra tersebut belum diperbaiki, maka beliau tidak akan
mendapatkan ijâzah. Hal tersebut membuat beliau merasa lelah dan hampir
putus asa. Namun beliau terus berlatih dan mencoba untuk mengucapkan
huruf Ra tanpa takrir yang berlebihan.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Asy-Syaikh Ayman Suwayd memberikan nasihat kepada beliau bahwa


latihan yang tekun belum cukup tanpa diiringi doa. Asy-Syaikh Ayman
menyuruh beliau untuk pergi berdoa di sisi Ka’bah sebelum Fajar. Maka
beliaupun pergi ke sisi Ka’bah di salah satu penghujung malam, pada waktu
istijâbah, kemudian berdoa pada Allâh  agar menolong beliau dalam
memperbaiki pengucapan huruf Ra. Tidak lama setelah itu, Allâh  pun
memberikan pertolongan-Nya dan beliau dapat mengucapkan huruf Ra
dengan sempurna dan mendapatkan ijâzah qirâah wal iqrâ dari Asy-Syaikh
Ayman Suwayd.
2. Kesehatan Anggota Tubuh yang Berkaitan dengan Pengucapan
Al-Hamadzâniy dalam At-Tamhîd mengatakan bahwa tidak ada jalan
untuk mencapai tajwid kecuali sungguh-sungguh dalam belajar, latihan
lidah, serta mengambil bacaan dari ahlul ilmi yang mutqin. Kemudian beliau
mengatakan:
‫لٱ ٱص ِهح ُة لٱ ل ل‬ ‫لٱ ٱ لجولٱ لدةُلٱ لللٱ لف و ل ل ل ل ُ ل‬ ‫ ِه‬ ‫ل ل ل ل‬
ُ ‫لٱ ذل لوك‬
‫انلٱ‬
‫لٱ لأسلٱ ن و‬ ‫ان ل و‬‫كلٱ ٱذرابةلٱ للل وس و‬
‫ت ل‬ ‫لٱ رسلٱ ُنلٱ للصولٱ و‬ ‫ِإَونلٱ لنلٱ ضافلٱ إوَل‬
‫و‬
ُ ‫ل ل ل‬
‫اكنلٱ أكلٱ لم لٱ‬
‫ل‬
“Dan apabila ditambahkan lagi beberapa poin, seperti: indahnya suara,
bagusnya rahang, lisan yang tajam (mudah untuk melatih kefasihan), dan
sehatnya gigi-gigi, maka akan lebih sempurna lagi.”
Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa lahn yang diakibatkan
oleh kelemahan fisik tidaklah berdosa dan tidak pula tercela, bahkan apabila
ia terjatuh pada lahn jaliy sekalipun. Hal ini disebabkan Allâh tidak
memberikan beban kepada hamba-Nya di luar kemampuan hamba-Nya.
Hanya saja, ia harus bersabar dan berlapang dada untuk mempersilakan
orang lain maju menjadi imam shalat dan menahan diri untuk tidak
membacakan Al-Qurân di hadapan kaum muslimin secara terbuka. Wallâhu
a’lam.

Beberapa Cara yang Berhubungan dengan Riwâyah


1. Talaqqiy Al-Qurân,
Bahwa Al-Qurân diambil dari generasi ke generasi melalui talaqqiy
(tatap muka) dan musyâfahah (dari lisan ke lisan). Tidak ada cara lain untuk
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

mendapatkan lafal Al-Qurân dengan tepat kecuali dua hal ini. Bahkan,
demikianlah Nabi  mengambilnya dari Malaikat Jibril .

2. Memilih Guru yang Mutqin,
Sekadar talaqqiy dan musyâfahah tidak akan memberikan dampak
positif bagi perbaikan bacaan, kecuali apabila talaqqiy kepada guru yang
mutqin dan terpercaya, memahami tajwid dengan baik, penjelasannya mudah
dipahami, bisa memberikan contoh pelafalan dengan mudah, dan bisa
mengoreksi dengan tepat.
Nabi  telah mengajarkan kepada kita untuk memilih guru melalui
sabdanya:
‫ل‬ ‫لل ُل‬ ‫ُ ل ل ل‬ ‫ل‬ ‫ُ ل‬ ُ ُ
‫بلٱ‬
‫ن لٱ كعلٱ ٍ لٱ‬ ‫ل لٱ لٱأ ولٱ‬
‫ب لٱ بلٱ ولٱ‬ ‫ن لٱ أ ولٱ م لٱ عبلٱ ٍلٱ د لٱ ف لب لدلٱ أ لٱ ب و لٱ هو لٱ للٱ ٱ ُم لعا لٱ ذو لٱ بلٱ ولٱ‬
‫ن لٱ جب ٍلٱ‬ ‫ لٱ م ولٱ‬:‫آن لٱ مونلٱ لٱ أرلٱ لب لع ٍلٱ ة‬
‫ون لٱ لبلٱ ولٱ‬ ‫رذٱالٱ لٱ لللٱ قرلٱ لٱ‬
‫ل لل‬ ‫ل ل ل‬
‫بلٱ ُرذيلٱ ف لٱ ة‬ ‫لٱ لسال ٍلٱ وملٱ مولٱ لٱ‬
‫َللٱ أ و لٱ‬
“Pelajarilah oleh kalian Al-Qurân dari empat orang: Ibn Umm ‘Abd (Ibn
Mas’ûd), Mu’âdz bin Jabal, Ubay bin Ka’b, dan Sâlim budaknya Abû
Hudzayfah.” [HR. Muslim 4631]
Riwâyah ini merupakan salah satu contoh ijâzah fil iqrâ (izin untuk
mengajar) yang diberikan dari Nabi  melalui lisan. Kemudian atas dasar
inilah para ulama menjadikan ijâzah fil iqrâ sebagai salah satu tanda bahwa
seseorang berhak dan layak untuk mengajarkan Al-Qurân. Al-Imâm Abû
Muzâhim Al-Khâqaniy  dalam qashîdah-nyamengatakan:
‫ۡري‬ ُ ُ ُ ‫اس ُلٱ يق‬
‫لٱ ِفلٱ لنل ِه و‬ ‫ل ل ُي ل‬ ُ ‫يم‬ ‫لٱ مۡن للٱ يتلُۡولٱ للك لوت ل‬
ُ ‫ۡابلٱ لٱ يُقو‬ ‫ل ل ُي‬
‫الٱ ُك ل‬
‫لٱ‬

‫ۡرئهۡملٱ مق و‬
‫و‬ ‫لٱ ٱما لٱ ُك لٱ من و‬ ‫ۡهۥ‬ ‫فم‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

“Maka tidaklah setiap orang yang membaca Al-Qurân bisa


menegakkannya (membacanya dengan tepat dan mengamalkan isi
kandungannya), dan tidak setiap orang yang mengajarkan Al-Qurân kepada
manusia disebut Muqri`.”
Para ulama mengatakan:
‫لٱ عن ِه‬
‫لٱ للص ل‬ ‫ل ل‬ ُ ‫لل ل‬ ‫ل ل ل ُ ل لل‬
‫لٱ لَعلٱ لل ُمص ل‬
‫ لٱ‬.‫حفويوي‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ل‬‫ع‬
‫و‬ ‫ولٱ لل‬
‫ذ‬ ‫ر‬ ‫أ‬ ‫لٱ ت‬‫ل‬‫ٱ‬ ‫لٱ‬ ,‫ي‬‫و‬ ‫ي‬‫ف‬
‫و‬ ‫ح‬ ‫للٱ تقرألٱ للقرآن‬
“Janganlah engkau membacakan Al-Qurân pada para mushhafiyyîn, dan
janganlah engkau mengambil ilmu dari para shahafiyyîn.”
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Mushhafiyyûn adalah orang-orang yang hanya mengandalkan


mushaf dalam belajar dan mengajarkan Al-Qurân, mereka tidak memiliki
riwayah yang shahih dan tidak memahami dirayah yang diwariskan dari guru-
gurunya.
Shahafiyyûn adalah orang-orang yang hanya mengandalkan buku
dalam belajar dan mengajarkan ilmu atau hadits. Mereka tidak memiliki guru
yang membimbing mereka, baik dari sisi riwâyah ataupun dirâyah.
Sulaym bin ‘Îsâ Al-Hanafiy (w. 177 H.) mengatakan:
‫ل‬ ‫ل ل ُ لل‬ ‫ل‬ ‫ ِه ل ُ ل ُ ُ ُ ل ل‬
‫وينلٱ ق لرؤٱهُلٱ لَعلٱ لثل وق و‬
‫اتلٱ‬ َّ‫لٱ للر لجا وللٱ ل‬
‫و‬
‫اتلٱ م ل‬
‫ون‬ ‫و‬ ‫وق‬ ‫لٱ لثل‬ ‫لٱ لَع‬ ‫إونمالٱ يقلٱ رألٱ لللٱ قرلٱ آن‬
“Sesungguhnya Al-Qurân hanya disetorkan bacaannya kepada para
ulama yang terpercaya, yang mana mereka telah menyetorkan bacaannya kepada
para ulama yang terpercaya juga.”
Namun demikian, kita juga mesti menyadari bahwa setiap orang
memiliki kapasitas yang berbeda-beda dan hendaknya ia memahami
kapasitas dirinya, baik kapasitas sebagai penuntut ilmu ataupun
kapasitasnya sebagai seorang guru. Tidak setiap penuntut ilmu berhak
untuk mendapatkan pengajaran dari guru yang levelnya sangat tinggi, jauh
di atas penuntut ilmu tersebut. Seperti seorang pelajar SD misalnya, tidak
mungkin ia akan mengambil ilmu dari seorang Guru Besar atau Profesor.
Karena bahasa seorang Profesor bisa jadi tidak dipahami oleh anak-anak.
Berbeda halnya apabila ia mengajarkan mahasiswa.
Demikian pula dalam pengajaran Al-Qurân, kita tidak bisa memaksa
seseorang untuk mengajarkan kita, pada saat kita berada pada level yang
sangat rendah dan terlalul jauh jaraknya dengan level guru kita berada. Asy-
Syaikh Yâqût Al-Hamawiy berkata dalam Mu’jâmul Udabâ (hal. 522) saat
menceritakan biografi Ibn Mujâhid:
ُ ‫ل لل ل ُل‬ ‫ل لل ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫ل‬
‫مح لٱ ديلٱ جلٱ‬
‫ن لٱ لٱ‬ ‫ ِه‬
‫َم لٱ م ٍلٱ د لٱ بلٱ ولٱ‬
‫ن لٱ لٱ‬
‫مح لٱ د لٱ بلٱ لٱ‬
‫يد لٱ لٱ أ لٱ‬
‫سعولٱ ٍلٱ‬ ‫ل‬
‫ب لٱ لٱ‬
‫جةولٱ لٱ لٱ أ و لٱ‬
‫ِف لٱ لٱ ترلٱ لٱ‬ ‫ر للٱ و لٱ‬
‫اروزلٱ ولٱ م» لٱ و لٱ‬ ‫يخ لٱ لٱ‬
‫ارو ولٱ‬
‫ِف لٱ «لٱ ت لٱ‬
‫ت لٱ و لٱ‬ ‫لٱ ق للٱ رألٱ ُلٱ‬
‫ل ل‬
:‫ال‬
‫ج)لٱ لٱ ق لٱ‬ ‫حملٱ للٱ ديلٱ و ولٱ‬
‫ل ُلٱ‬
“Aku telah membaca dalam kitab “Târîkh Khawârizm” pada biografi Abû
Sa’îd Ahmad bin Muhammad bin Humdayj Al-Humdayjiy. Abû Sa’îd
mengatakan:
‫‪Muhammad Laili Al-Fadhli‬‬ ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

‫لل ل‬ ‫ُل‬ ‫ُ ُ ل ل ُ ل ل‬
‫ه‪.‬‬ ‫ن لٱ لٱ يُكلٱ ولٱ ر ُلٱ م و لٱ ‬
‫نلٱ لٱ ل و ولٱ فقلٱ و لٱ ‬ ‫ك لٱ ‬ ‫للغلٱ للٱ دا لٱ دويلٱ لٱ لٱ ف لٱ ‬ ‫ما لٱ هو ٍلٱ دلٱ لللٱ ُلٱ مقلٱ ولٱ رئلٱ ل لٱ ‬ ‫ب لٱ لٱ بلكلٱ ٍلٱ ر لٱ بلٱ ولٱ ‬
‫ن لٱ لٱ ‬ ‫َل لٱ لٱ أ و لٱ ‬ ‫ف لٱ لٱ إ و لٱ ‬
‫ت لٱ لٱ أرلٱ لٱ ت لٱ ل و لٱ ‬ ‫كنلٱ لٱ ‬ ‫لٱ ‬
‫ُ ُ ل‬ ‫لل لُ ُ ل‬ ‫ُ‬ ‫ل لل ُ ل ل ل لل ل ل‬
‫يدلٱ لٱ أنلٱ لٱ ‬
‫نلٱ لٱ أ لٱ رو لٱ ‬ ‫تلٱ ُلٱ ‬
‫ِل‪:‬لٱ لٱ إ و و لٱ ‬ ‫ع لٱ ليلٱ لٱ هو‪.‬لٱ لٱ ف لٱ قللٱ لٱ ‬ ‫نل ِه و لٱ ‬
‫اسلٱ لٱ ب وٱللٱ ولٱ ق للٱ را لٱ ءو لٱ ة ولٱ لٱ ‬ ‫تلٱ ولٱ منلٱ لٱ ُلٱ ٱلٱ ل ولٱ ‬
‫وعلٱ ل لٱ ‬ ‫ع لٱ ليلٱ لٱ هو‪,‬لٱ لٱ ل ِهلٱ مالٱ للٱ رلٱ أيلٱ ُ لٱ ‬
‫تلٱ لٱ أنلٱ لٱ لٱ أقلٱ للٱ رلٱ ألٱ لٱ ‬‫لٱ فٱشلٱ لٱ ت لٱ هيلٱ لٱ ‬
‫ل لل ل ل ل ُ ل‬
‫آن‪.‬‬
‫كلٱ لللٱ لٱ قرلٱ لٱ ‬ ‫ع لٱ ليلٱ لٱ ‬
‫لٱ أقلٱ لٱ رلٱ ألٱ لٱ ‬
‫‪“Aku pernah pergi menemui Abû Bakr bin Mujâhid Al-Muqri Al-‬‬
‫‪Baghdâdiy. Ia merupakan orang yang sangat menghormatiku disebabkan‬‬
‫‪pemahamanku terhadap fiqih. Aku begitu bersemangat untuk membaca Al-Qurân‬‬
‫‪kepadanya, manakala Aku melihat begitu banyak orang-orang yang berhasrat‬‬
‫‪membaca Al-Qurân kepadanya. Akupun berkata kepadanya: “Aku ingin membaca‬‬
‫”‪Al-Qurân kepadamu.‬‬
‫ل ل لل ل‬ ‫ُ ل ُ ُ ل ل ل‬ ‫لل ل ل‬
‫َلمولٱ لٱ ذ لٱ ة و‪.‬‬
‫تل لٱ ‬
‫سلٱ ل لٱ ‬ ‫اء لٱ ة ولٱ لٱ فٱجلٱ لٱ ل وسلٱ لٱ لٱ ‬
‫م لٱ ل و لٱ ‬ ‫يدلٱ لللٱ لٱ قو لٱ ر لٱ ‬
‫تلٱ لٱ ت لٱ رو لٱ ‬ ‫ال‪:‬لٱ لٱ ن للٱ عملٱ ‪,‬لٱ لٱ إ ونلٱ لٱ لٱ ‬
‫كنلٱ لٱ ‬ ‫لٱ ف لٱ ق لٱ ‬
‫‪“Iapun menjawab: “Baik. Apabila engkau ingin membaca, maka duduklah‬‬
‫”‪di tempat duduk para penuntut ilmu.‬‬
‫ل‬ ‫ل ل ل‬
‫يلٱ لٱ يل للٱ ديلٱ لٱ هو‬
‫َللٱ للٱ ب للٱ ‬ ‫تلٱ مولٱ نلٱ لٱ للٱ ‬
‫جنلٱ لٱ ب و لٱ هولٱ لٱ إ و لٱ ‬ ‫ال‪:‬لٱ لٱ ف لٱ تل للٱ ‬
‫ح ِهلٱ وللٱ ُ لٱ ‬ ‫لٱ ق لٱ ‬
‫‪Abû Sa’îd melanjutkan: “Maka akupun berpindah tempat dari sisinya ke‬‬
‫”‪hadapannya.‬‬
‫ل ل ل‬ ‫ ِه‬ ‫ل ل ُ‬ ‫ل ل لل‬ ‫لل‬
‫ال‪:‬لٱ لٱ أ للٱ ٱلٱ ‬
‫ريم" ‪ ,‬لٱ ق لٱ ‬ ‫لرِنَٰمۡحلٱ ل ِهلٱ ‬
‫لر ولٱ ‬ ‫َّولٱ ل ِهلٱ ‬
‫ت‪:‬لٱ "ِمۡسِبلٱ ل لٱ ‬ ‫امةولٱ لٱ للٱ ٱلٱ قللٱ ُ لٱ ‬
‫لَعلٱ للٱ رسلٱ ولٱ ملٱ لللٱ لٱ ع لٱ ‬
‫اء لٱ ة ولٱ لٱ ‬
‫تلٱ لللٱ لٱ قو لٱ ر لٱ ‬‫لٱ ف لٱ ل ِهلٱ مالٱ لفلٱ للٱ ت للٱ تحلٱ ُ لٱ ‬
‫لل‬ ‫ل ل ل ل ل ل ِه ُ ل ل ُ‬ ‫ل‬ ‫ل ل ل ُ‬
‫ك‪ ,‬لٱ ث ِهلٱ ملٱ لقلٱ للٱ رألٱ لٱ ِهلٱ ‬
‫لَع‪.‬‬ ‫ش لٱ د لٱ ‬
‫ِتلٱ لٱ يرلٱ ولٱ ‬
‫ر لٱ ‬ ‫ِتلٱ لٱ ‬
‫كلٱ لللٱ لٱ ف لٱ ‬ ‫ك لٱ ذالٱ لٱ تقلٱ للٱ رلٱ أ؟لٱ لذلٱ لٱ هبلٱ لٱ لٱ إ و لٱ ‬
‫َللٱ لٱ ذلٱ ل و لٱ ‬ ‫لٱ ‬
‫‪“Maka pada saat aku memulai bacaanku secara umum dan aku‬‬
‫‪membaca: “Bismillâhirrahmânirrahîm”, maka ia mengatakan: “Apakah demikian‬‬
‫‪bacaanmu? Pergilah ke pemuda itu sehingg ia bisa menunjukkan padamua (cara‬‬
‫”‪membaca yang tepat), baru kemudian engkau membaca kepadaku.‬‬
‫ُ ل ل ل و ل ل ِه ل ل ل ل ل‬ ‫ل ل ل ل‬ ‫ل ل ل‬ ‫ل ل‬
‫ِتلٱ ‬
‫اع و لٱ ‬
‫ض لٱ ‬
‫فلٱ لٱ ب و لٱ ‬
‫ع لٱ ر لٱ ‬
‫كلٱ لٱ ل لٱ مالٱ لٱ ‬
‫للٱ لٱ ذلٱ ل لٱ ‬ ‫نلٱ لٱ يُكلٱ ولٱ ر لٱ م و لٱ ‬
‫نلٱ لٱ هبلٱ لٱ ‬ ‫اك لٱ ‬
‫ك لٱ مالٱ لٱ ‬
‫املٱ لٱ ‬ ‫ك للٱ ٱلٱ ت للٱ ر للٱ ‬
‫كلٱ لٱ إ وكلٱ للٱ ر و لٱ ‬ ‫تلٱ مولٱ نلٱ لٱ لٱ ذلٱ ل و لٱ ‬ ‫خ للٱ ‬
‫جللٱ ُ لٱ ‬ ‫لٱ ف لٱ ‬

‫ِفلٱ لللٱ لٱ قو للٱ ر للٱ ‬


‫اء لٱ ة و‬ ‫و لٱ ‬
‫‪“Hal itu membuat diriku merasa sangat malu. Ia tidak lagi menampakkan‬‬
‫‪penghormatan kepadaku sebagaimana sebelumnya ia begitu menghormatiku,‬‬
‫”‪manakala ia mengetahui kemampuan bacaan Al-Qurânku.‬‬
‫‪Kisah di atas banyak sekali memberikan pelajaran pada kita, di‬‬
‫‪antaranya:‬‬
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

(1) Kemestian saling menghormati di antara para penuntut ilmu dan


ulama, walaupun berbeda spesialisasi. Sebagaimana Ibn Mujâhid
yang menghormati Abû Sa’îd karena pemahaman fiqihnya dan
Abû Sa’îd yang menghormati Ibn Mujâhid karena kepakaran
qirâahnya,
(2) Seseorang yang memiliki kepakaran dalam bidang tertentu,
belum tentu memiliki kepakaran dalam bidang yang lain, namun
hal tersebut tidak boleh menghalangi seseorang untuk belajar
apa-apa yang belum dikuasainya. Abû Sa’îd merupakan seorang
ahli fiqih, namun hal tersebut tidak menghalanginya untuk
mempelajari tajwid Al-Qurân,
(3) Apabila seseorang hendak menuntut ilmu dan berguru kepada
seseorang, maka hendaknya ia memposisikan dirinya sebagai
seorang murid, terlepas bagaimanapun keadaan gurunya,
apakah ia sebaya atau bahkan lebih muda darinya,
(4) Seorang guru tidak menampakkan hak istimewa pada salah satu
muridnya hanya disebabkan alasan-alasan tertentu, misalnya
karena teman dekatnya, kerabatnya, atau semisalnya,
sebagaimana Ibn Mujâhid yang tetap memperlakukan Abû Sa’îd
sama seperti murid-muridnya yang yang lain,
(5) Seorang murid tidak boleh membantah dan memilah apa yang
telah ditetapkan gurunya. Sebagaimana pada saat Ibn Mujâhid
memerintahkan Abû Sa’îd untuk belajar kepada salah seorang
muridnya yang lain, maka ia tidak membantahnya atau
memaksakan dirinya untuk tetap membaca kepada Ibn Mujâhid.
3. Memperbanyak Setoran kepada Orang yang Terpercaya,
Talaqqiy kepada para ulama yang terpercaya belum cukup menjaga
kita dari lahn, kecuali apabila kita memperbanyak setoran bacaan Al-Qurân
kepada mereka.
Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Ghâmidiy membawakan beberapa kisah yang
berkaitan dengan hal ini, di antaranya, bahwa Muhammad bin ‘Abdurrahîm
Al-Ashfahâniy (w. 296 H.) pernah mengunjungi Mesir untuk bertalaqqi
kepada Al-Imâm Warsy. Beliau mengatakan: “Aku memasuki Mesir dan aku
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

pada saat itu membawa 80 ribu dirham. Aku menginfakkannya untuk


mengkhatamkan 80 kali khataman.”
Ishâq bin Ahmad Al-Khuzâ’iy (w. 308 H.) membaca kepada Ibn Fulayh
sebanyak 27 khataman dan membaca kepada Al-Bizziy 30 kali khataman.
Ibn Mujâhid (w. 324 H.) membaca kepada ‘Abdurrahmân bin ‘Abdûs
20 kali khataman.
Ja’far bin Ahmad Al-Khashshâf menyetorkan bacaan kepada
Habasysyiy bin Dâwûd Al-Baghdâdiy sebanyak 300 khataman dan seluruhnya
dibaca dengan qirâah Al-Kisâ`iy.
Begitupula Hamdân bin ‘Awn Al-Khawlâniy Al-Mishriy (w. 340 H.)
membaca kepada Ahmad bin Hilâl 300 kali khataman.
Serta masih banyak lagi kisah para ulama yang lain, bagaimana
mereka berkali-kali mengkhatamkan Al-Qurân kepada gurunya.
4. Sering Mendengarkan Bacaan Para Ulama yang Terpercaya,
Mendengarkan bacaan seseorang dapat memengaruhi cara
membaca orang yang mendengarnya, maka dengarkanlah para qâri yang
terpercaya, bukan sekadar mereka yang memiliki suara indah, namun
mereka yang tepat dalam mengamalkan hukum-hukum tajwid serta waqf
dan ibtidâ-nya.
Di antara para qâri yang cukup sering dirokemandasikan oleh guru-
guru kami, dan menurut penilaian kami sendiri dari sisi hukum-hukum
tajwidnya tampak lebih jelas dibandingkan yang lain, di antaranya adalah:
Asy-Syaikh Mahmûd Khalîl Al-Hushâriy, Asy-Syaikh Ayman Rusydiy Suwayd,
Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Hudzayfiy, Asy-Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Aliy Bashfar, Asy-
Syaikh Ibrâhîm Al-Akhdhar, Asy-Syaikh Khâlid Al-Muhannâ, dan Asy-Syaikh
Misyâriy Râsyid Al-‘Afâsiy.
5. Memperbanyak Intensitas Talaqqiy,
Seringnya bertemu dengan guru yang mutqin akan mempercepat
proses perbaikan dan akan menjaga kita dari perubahan dan penyimpangan.
Karenanya, seseorang yang membaca kepada gurunya setiap hari atau dua
hari sekali akan lebih kokoh daripada seseorang yang membaca kepada
gurunya satu pekan sekali atau dua pekan sekali.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

6. Menyiapkan Waktu yang Panjang untuk Talaqqiy,


Qâlûn pernah ditanya berapa lama ia belajar kepada Nâfi’, maka ia
menjawab, “Tak terhitung jumlahnya. Setelah aku mengkhatamkan Al-Qurân
padanya, maka aku terus bermulazamah dengannya selama 20 tahun,
hingga Nâfi’ berkata kepadaku, “Sungguh telah sangat banyak engkau
membaca dan mengkhatamkan Al-Qurân kepadaku, duduklah di salah satu tiang
itu, akan kukirimkan beberapa santri untuk membaca kepadamu”.”
Yahyâ bin Watstsâb (w. 103 H.) membaca kepada ‘Ubayd bin
Nudhaylah setiap hari satu ayat..! Maka bayangkanlah berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk mengkhatamkannya..!
Abû Hafsh Al-Kattâniy merupakan salah satu murid terbaik dari Ibn
Mujâhid, membaca qirâah ‘Âshim selama bertahun-tahun dan tidak diizinkan
untuk berpindah qirâah. Sedangkan Qutaybah bin Mihrân berguru kepada Al-
Kisâ`iy selama 51 tahun..!
Kebanyakan penuntut ilmu hari ini merasa mudah bosan dan enggan
untuk melalui jalan yang telah dilalui salaf. Kebanyakan di antara mereka
menghendaki pembelajaran yang instan. Bahkan, kadang keengganan
tersebut datang dari sebagian guru. Para santri enggan berlelah-letih dengan
seorang guru, dan para guru pun enggan untuk berlama-lama dengan satu
orang santri yang sama. Semoga Allâh  menyelamatkan kita dari sifat ini.
Karena sesungguhnya ilmu hanya akan didapatkan dengan berlelah letih
dalam jangka waktu yang panjang.
Al-Imâm Asy-Syâfi’iy mengatakan:
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل ُ ل ل‬ ‫ۡۡت لٱ ة ِه‬ ‫ل ِه‬ ‫ل ل‬ ‫ل ل‬
‫انۦ‬
‫يكلٱ عۡۡۡنلٱ تفلٱ وصۡۡۡيل لٱ وهالٱ بوبيۡۡۡ ولٱ‬ ‫سۡۡۡأۢ لٱ ب و لٱ‬ ٍ ‫سۡ لٱ‬ ‫للٱ ب و و‬
‫ۡۡملٱ إ و لٱ‬
‫ۡۡاللٱ لللٱ عولۡ لٱ‬
‫خلٱ لۡۡۡنلٱ تنۡ لٱ‬ ‫أ و لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫لٱ‬

‫ل‬ ُ ‫ل‬ ُ ‫ل‬ ُ ‫لُ ل‬ ‫لل‬


‫لٱصۡۡۡۡحلٱ بةولٱ لٱ أسۡۡۡۡ لٱ تا ٍلٱ ذلٱ ٱطۡۡۡۡو ولٱ للٱ زمۡ ولٱ‬
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫لٱ‬

‫ۡۡۡانۦ‬ ‫صلٱ لٱ ٱلجلٱ توهۡۡۡا ٍلٱ دلٱ ٱبللٱ غۡۡۡ ٍلٱ ة‬ ‫اك ٍلٱ ءلٱ ٱروۡۡۡرلٱ ٍ لٱ‬ ‫ذ لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫لٱ‬

‫لٱ‬

“Wahai saudaraku, ilmu tidak akan pernah diperoleh kecuali dengan


enam perkara, Aku akan menyebutkannya dengan jelas:
Kecerdasan, semangat, kesungguhan, materi, bimbingan guru, dan waktu
yang panjang.”
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

7. Melatih Lidah,
Al-Imâm Ibnul Jazariy mengatakan dalam An-Nasyr (I/ 701):
‫ل ل‬ ‫ل‬ ُ ‫لل ل ل‬
‫يحلٱ‬
‫ح ولٱ‬ ُ
‫ لٱ لٱ ُٱصو وللٱ لٱ َغي وةلٱ لٱ لتل ِهصلٱ و‬,‫ان لٱ للٱ ٱل ِهتلجلٱ ووي ولٱ د‬ ‫ِتلٱ ق ولٱ‬ ‫ل لٱ أعلٱ ل ُلٱ م لٱ لسبلبا لٱ لو ُل ولٱ‬
‫وغ لٱ ن لوهايلةولٱ لٱ ل ولٱ‬ ‫ٱ لٱ‬
‫ل‬ ‫ل ِه‬ ‫ل ُ ل ِه ل ل ل ِه‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ ِه‬
.‫ون‬ ‫ظلٱ لللٱ ُم لتل لٱ‬
‫ّقلٱ مونلٱ لٱ ف ولٱ ملٱ لللٱ ُمحلٱ س ولٱ‬ ‫لَعلٱ لللفلٱ و لٱ‬
‫ارولٱ لٱ‬ ‫لٱ لٱ ٱلتلكلٱ ر لٱ‬,‫ن‬ ‫س ولٱ‬ ‫للٱ رو لياضةولٱ لٱ ل لٱ‬
‫أللٱ لٱ‬ ‫للٱ ٱل لٱ‬
‫لٱ موثلٱ لٱ‬,‫لتسلٱ دوي ولٱ د‬
“Dan aku tidak mengetahui sebab untuk meraih kesempurnaan itqân
(kompetensi) dan tajwîd (pembagusan), serta mencapai puncaknya tashhîh
(pengoreksian) dan tasdîd (perbaikan), yang semisal dengan riyâdhatul lisân
(latihan lidah), mengulang-ulang lafazh Al-Qurân dari mulut seorang muhsin (bisa
memperbaiki dan membaguskan bacaan).”
Al-Hamadzâniy dalam At-Tamhîd mengatakan:
‫ل‬ ‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل ل ل‬ ‫ُ ل ل ل لل‬
‫ولٱ لَع ِه‬ ‫ل ل ل ل ل ل ل ِه‬
‫لأرلٱ وذ لٱ مونلٱ أفلٱ لواهولٱ‬ ‫ان لٱ ٱ لٱ‬
‫س لٱ ٱروياضةولٱ للل وس و‬ ‫لٱ لَلرلٱ و لٱ‬ ‫لٱ سبويل لٱ إوَل لٱ ذل وك لٱ إول لٱ بوٱللٱ مواظبة‬ ‫ٱل‬
‫لٱ ٱ لذ لرابل ُة لٱ للل ل‬‫ك ل‬ ‫ل ل لُ ل‬ ‫لٱ رسلٱ ُن ِه‬ ‫ل ل ل ل‬
ُ ‫لٱ ذل لوك‬ ‫ل ل‬ ُ
‫انلٱ‬
‫و‬ ‫وس‬ ‫و‬ ‫ف‬ ‫لٱ لل‬
‫لٱ‬ ‫ة‬ ‫د‬‫و‬
‫لٱ‬ ‫ج‬‫لٱ ٱ‬ ‫ت‬
‫و‬ ‫و‬
‫لٱ‬ ‫لٱ للص‬ ‫َل‬‫و‬ ‫إ‬ ‫لٱ‬ ‫اف‬ ‫ض‬ ‫لٱ لن‬
‫لٱ‬ ‫لٱ ِإَون‬
‫و و و‬ ‫ان‬‫ق‬ ‫ت‬
‫لٱ‬ ِ‫ل‬‫لٱ ٱ‬ ‫م‬
‫و‬ ‫ل‬
‫لٱ‬ ‫ع‬
‫و‬ ‫لٱ لل‬
‫لٱ‬ ‫ٱَل‬
‫أ و‬
ُ ‫ل ِه ُ ل ل ل ل ل‬
.‫ل‬ ‫انلٱ اكنلٱ أكلٱ لم لٱ‬‫لٱ لأسلٱ ن و‬
‫صحة لٱ‬ ‫ٱ و‬
“Dan tidak ada jalan untuk mencapai kesempurnaan tajwîd, kecuali
dengan meningkatkan intensitas dalam belajar, melatih lisan, dan mengambil
bacaan dari mulut para ulama yang mutqin. Dan apabila ditambahkan lagi
beberapa poin, seperti: indahnya suara, bagusnya rahang, lisan yang tajam
(mudah untuk melatih kefasihan), dan sehatnya gigi-gigi, maka akan lebih
sempurna lagi.”
Al-Imâm Abû Muzâhim Al-Khâqâniy mengatakan dalam Qashîdah-nya:
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ۡۡۡار لة ل‬ ‫ل ل ِه ل‬ ‫ل‬ ‫لل‬
‫ۡۡۡرۦ‬ ‫وك‬ ‫وَّل‬ ‫ل‬ ‫لٱ‬ ‫س‬‫لٱ لَلر ل‬ ‫وَۡۡۡل لٱةللٱ تلۡۡۡاللٱ أد لم ل‬
‫ۡۡۡن ِه‬ ‫ت‬ ‫لٱ ز ِهي لنۡۡتلٱ‬ ‫ل‬ ‫أللٱ لعلۡۡۡملٱ أ وخلٱ أنلٱ للف لص‬
‫لٱ‬

‫و‬ ٍ
‫لٱ‬
‫ۡۡهلٱ أل لذى ِه‬ ‫ل‬
ُ ‫لٱ عن‬ ‫ۡۡبلٱ ب ل‬ ‫لٱألذ له ل‬ ُ‫لٱ لتلۡۡۡاَللٱ أل لر ِهقلٱ ل لوسۡۡۡانلهۥ‬ ‫ل ل‬
‫َۡۡۡل ِه‬ ‫إ لذا ل‬
‫لٱ‬

‫لٱ‬ ‫لٱ للصۡۡدروۦ‬ ‫ۡۡان‬


‫اِدم و‬ ‫و و‬ ‫لٱ‬

‫و‬ ‫لٱ مۡۡۡالٱ ت‬ ‫و‬


“Ingatlah! Ketahuilah wahai saudaraku bahwasanya kefasihan lisan itu
akan menghiasai tilâwahnya pembaca Al-Qurân, sepanjang ia mengulang-ulang
bacaannya untuk berdzikir pada Allâh dan mempelajarinya.
Apabila seorang pembaca Al-Qurân terbiasa untuk selalu membaca, maka
lisannya akan menjadi lunak, dan kebiasaannya untuk terus-menerus membaca Al-
Qurân secara rutin dapat menghilangkan penyakit yang ada di dalam dada.”
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Ibnul Muqaffi’ sebagaimana dikutip oleh Al-Mubarrid dalam Al-Kâmil


(II/ 764) mengatakan:
ُُ‫ل لل‬ ‫ُ ل ل‬ ‫ل‬
‫لٱ رقتلٱ لٱ ج لوان ُوبه ل‬ ‫ ِه‬ ‫ل‬
ُ ‫إذالٱ كَثلٱ تقلٱ ل‬
‫ويبلٱ للل وسان ل‬ ‫ل لُل ل‬
.‫لٱ ٱلنتلٱ لٱ عذبت لٱ ه‬ ‫و‬ ‫و‬
“Apabila lisan banyak terbolak-balik (karena latihan), maka hal tersebut
akan melunakkan sisi-sisinya dan melembutkan ujungnya.”
Al-‘Attâbiy (w. 220 H.) mengatakan:
ُ ‫لل‬ ‫لل‬ ‫ل ِه‬ ‫ل ُ ل‬ ُ ‫ل‬
‫لٱ لِلسلٱ توعلٱ لما وللٱ لشلٱ تدتلٱ لٱ عليلٱ هولٱ ُماروج ُلٱ‬
‫لٱ لح ُرٱو و لٱ‬
.‫ف‬ ‫إوذالٱ رب و لسلٱ للل وسانلٱ ع ون و‬
“Apabila lidah jarang digunakan, maka mengeluarkan huruf dari
makhrajnya akan menjadi berat.”
8. Berkelanjutan dalam Mempraktikkan Satu Qirâah ke Qirâah yang
Lain,
Poin ini adalah bagi mereka yang ingin memperdalam ilmu qirâât.
Mereka tidak boleh membuang-buang waktu mereka setelah
mengkhatamkan satu riwâyah, maka mereka hendaknya langsung maju
untuk mengkhatamkan riwâyah berikutnya. Bahkan, jauh lebih baik apabila
mereka membaca kepada beberapa orang guru dengan riwâyah yang
berbeda-beda, sehingga bacaan dan pemahaman mereka senantiasa terjaga.
9. Menghafal Matn-Matn Tajwid dan Qirâât Serta Mengulang-Ulangnya,
Al-Imâm Ibnul Jazariy mengatakan dalam Munjidul Muqri`în (hal. 52):
ُ ُ ُ ‫لل ل‬ ‫ل ل لل ل‬ ‫ل‬
‫ات لٱ أ ُصوللٱ‬
‫الٱ يقلٱ ورئ لٱ بوهولٱ م لون لٱ لللٱ قو لر لء و‬‫الٱ مشلٱ لت ومَل لٱ لَع لٱ م‬
ُ ‫لٱ ك لتاب‬ ‫يفظ‬ ‫ويمالٱ يلللٱ لز ُم ُه لٱ أيضالٱ أنلٱ لٱ لٱ‬‫ف ل‬
‫ل‬ ُ ‫لٱ ٱلللٱ لغلل‬ ‫ ِه ل‬
‫لٱ د لرلل ُهلٱ لللٱ لوهلٱ ُم ل‬ ‫ل‬
‫لٱ ِفلٱ كث و ٍلٱ‬
‫ي‬ ‫و‬ ‫لٱفرلٱ شالٱ ِإَول‬
“Di antara hal yang wajib dilazimi para muqrî adalah menghafal kitab
yang di dalamnya mencakup apa-apa yang diajarkannya dari ilmu qirâât, baik
ushûl ataupun farsy-nya, karena apabila ia tidak menghafalnya, akan timbul
dalam dirinya wahm (dugaan yang sangat lemah) dan kekeliruan yang banyak.”
Apabila seorang muqrî mesti menghafal kitab-kitab qirâât, maka
tentu seorang pengajar tajwid, mesti menghafal matn atau kitab yang
mencakup kaidah-kaidah pokok dalam tajwid, sehingga tidak menimbulkan
kekeliruan yang banyak dalam dirinya.
10. Menyimak Bacaan untuk Mengajar (Al-Iqrâ),
Hidupnya ilmu tajwid dan qirâât adalah dengan terus mengulang-
ulangnya, dan tidak dapat disangkal bahwa al-iqrâ merupakan salah satu
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

sebab terbesar yang dapat membantu kita mengulang-ulangnya. Ini juga


merupakan salah satu sebab yang besar yang dapat menjaga seseorang dari
lahn.
Hal ini disebabkan dengan mengajar seseorang dapat
memeperkokoh kemampuannya, dan meninggalkan pengajaran dapat
menggoyahkan pemahamannya. Dengan mengajar ia bisa mengingat
bagaimana cara membaca lafazh-lafazh yang tidak biasa seperti isymâm,
imâlah, raum, dan sebagainya. Dengan mengajar ia juga bisa menemukan
berbagai lahn dari murid-muridnya yang dengan itu ia akan menghindarinya.

Beberapa Cara yang Berhubungan dengan Dirâyah


1. Mempelajari Teori-Teori Tajwid
Al-‘Umâniy dalam Al-Awsath (hal. 75) mengatakan:
‫لل ل‬ ‫لل‬ ُ ‫ل‬ ‫ل ِه ُ ُ ل ل ُ ل‬
‫الٱ ٱتملٱ يوّيالٱ فذل وكلٱ‬ ‫ لٱ ف ومنلٱ ُهملٱ لٱ لمنلٱ لٱ ليعلٱ روف لٱ ه لوياس‬:‫ٱتلجلٱ ووي ولٱ د‬
‫ون لٱ ِف لٱ لللٱ عوللٱ وم لٱ ب ِه‬
‫و‬ ‫و‬ ‫اضل‬
‫ٱلنلاس لٱ متف و‬
‫ُ ل ل ل ل ل‬
‫لٱ آك ُد لٱ مونلٱ ُه ل‬ ‫لل‬ ‫ لٱ لٱمونلٱ ُهملٱ لٱ لمنلٱ لٱ ليعلٱ ر ُف ل‬,‫ن‬ ‫ل ُ ل‬
‫لٱ س لماعلٱ‬ ‫ لٱ لٱللعوللٱ م لٱ ف وطلٱ نة لٱ ٱدوراية‬.‫لٱ ٱتقلٱ ل ويدا‬ ‫لٱ س لماع‬ ‫و‬ ‫لحاذوق لٱ لللٱ ف وط ُلٱ‬ ‫لٱ‬
‫ل‬
. ‫لٱرو لٱايةلٱ‬
“Dan manusia bertingkat-tingkat dalam ilmu tajwid: di antara mereka ada
yang memahami kaidah secara analogi dan sanggup memilah hukum-hukumnya,
mereka inilah orang yang cerdas dan pintar. Di antara mereka juga ada yang
mengenal tajwid melalui pendengaran dan sekadar mengikuti apa yang datang
dari gurunya. Ilmu yang diperdalam dengan kecerdasan dan pengetahuan teori
(dirâyah), jauh lebih ditekankan daripada yang dikenal melalui pendengaran dan
penukilan riwâyah.”
Ad-Dâniy dalam Syarh Qashîdah Al-Khâqâniy mengatakan bahwa
sebagian manusia di zamannya telah lalai dalam mempelajari tajwid dan
menganggap remeh dalam hal mengoreksi tilâwah mereka. Sampai-sampai
kebanyakan para penuntut ilmu qirâah tidak lagi memperhatikan hal-hal
tersebut. Bahkan, sebagian di antara ulama yang telah menjadi rujukan
kemudian bermudah-mudah di dalamnya dan memberikan keringanan untuk
meninggalkannya.
Padahal, tajwîdut tilâwah dan tahqîqul qirâah, serta menunaikan setiap
bacaan sesuai dengan haknya, mengamalkan kaidah-kaidah yang berlaku
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

padanya menurut para ulama terdahulu merupakan perkara yang sangat


krusial.
Al-Imâm Ibnuth Thahhân Al-Andalusiy dalam Nizhâmul Adâ (hal. 21):
‫ُكلٱ‬
ُ ‫ُ ل ُ ِه ل‬ ُ ُ ‫ل لُ لُل‬ ‫ئ ل لُ ل ل ل ل‬ ‫لل ل ل ل ُ ل ل‬
‫لٱ ِفلٱ و‬
‫لٱ فهولٱ ل وقصورولٱ يواق و لٱ لللحلٱ ن و‬,‫لٱ للرٱايةلٱ إوذالٱ قّصتلٱ لٱ بوهولٱ لَلوراي لٱ ة‬‫و‬ ‫فماذالٱ تنلٱ ف لٱ لللٱ قارو‬
‫ل ل‬ ‫ل ل‬ ُ ‫ر لٱ ل ل ُ ل ل‬
‫وندلٱ لٱ أنلٱ لصارولٱ لَل ولٱ‬
.‫ين‬ ‫لٱ ج لهاتلوهولٱ ع‬ ‫لٱ ِف‬
‫لٱ ٱللٱ عذلٱ رلٱ ِل و‬.‫وي‬
ٍ
“Maka apa manfaatnya riwâyah bagi seorang qâri, apabila pada saat
bersamaan hal tersebut membuatnya lalai dalam memahami teorinya (dirâyah).
Maka akibat kelalaian tersebut ia terjatuh pada lahn setiap saat. Dan tentu saja
hal tersebut tidak akan diberi udzur disebabkan kebodohannya oleh para
penolong agama ini.”
Al-Mar’asyiy dalam Juhdul Muqill (hal 110) mengatakan:
‫ل‬ ‫ُ ل ُ ل‬ ‫ ِه‬ ‫ل ُ ل ُ ُ ِه ُ ُ ل ل‬ ُ ُ ‫ل‬
‫للٱ‬ ‫س لٱ ائ و ولٱ‬ ‫ٱن لٱ للٱ معلٱ ولٱ ر لٱ فةولٱ لٱ للٱ م للٱ‬
‫جوودولٱ لٱ لٱ د لٱ‬ ‫خ لٱ لللٱ م لٱ‬ ‫لشيلٱ ولٱ‬ ‫اف للٱ هةولٱ لٱ ل لٱ‬
‫ش لٱ‬ ‫ب لٱ لٱ ب و لٱ م لٱ‬
‫لطا لٱ ل و لٱ‬ ‫ي وصل لٱ ه لٱ ل لٱ‬ ‫آن لٱ لٱ قدلٱ لٱ لٱ‬
‫يد لٱ لللٱ لٱ قرلٱ ولٱ‬ ‫ت لٱ وو لٱ‬ ‫لٱ‬
ُ ‫ل ُُ ل‬ ‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ُ ‫ُ ل ل‬ ‫ل ل‬
‫أرلٱ لٱ ذلٱ‬ ‫ل لٱ ل لٱ‬ ‫ك لٱ لللٱ ولٱ عللٱ ولٱ م لٱ لٱ يسلٱ ه لٱ‬ ‫كنلٱ لٱ لٱ ب و لٱ ذلٱ ل و لٱ‬ ‫ لٱ لٱ ل ولٱ‬.‫صي لٱ ل و لٱ هو‬ ‫َت ولٱ‬ ‫ِف لٱ لٱ‬ ‫ه لٱ لللٱ ُلٱ عملٱ للٱ د لٱ ةُ لٱ و لٱ‬
‫اف للٱ ه لٱ ة لٱ و للٱ‬
‫ش لٱ‬ ‫ل لٱ لللٱ لٱ م لٱ‬ ‫ لٱ لٱ بل ولٱ‬,‫لٱ ه لٱ ذا لٱ لللٱ ولٱ عللٱ ولٱ م‬
‫ل‬ ‫ ِه‬ ‫ل ُ ُ ل‬ ُ ‫لل لُ لُ ل‬ ‫ُ ل ل ل‬
‫حلٱ‬ ‫رص للٱ‬ ‫ك للٱ مالٱ ِه‬ ‫يفلٱ لٱ‬ ‫تلحلٱ لٱ رو و لٱ‬ ‫كلٱ للٱ ٱل ِهلٱ‬ ‫لش ولٱ‬ ‫انلٱ ل لٱ‬ ‫عنلٱ لٱ لط للٱ ر للٱ ي ولٱ‬ ‫وذلٱ لٱ‬ ‫أر لٱ‬ ‫انلٱ لٱ ب و لٱ هولٱ لللٱ لٱ م لٱ‬ ‫ص لٱ‬ ‫ارلٱ ةلٱ لٱ ٱي لٱ‬ ‫لٱ للٱ ٱ للٱ يزولٱ ُلٱ‬,‫اف للٱ ه لٱ ة‬
‫يدلٱ لٱ ب و لٱ هولٱ لللٱ لٱ م لٱ ه لٱ‬ ‫ش لٱ‬
‫لٱ ب وٱللٱ لٱ م لٱ‬

‫لر للٱ‬
‫علٱ يل لٱ ةو‬ ‫ِفلٱ ل ولٱ‬
‫لٱ ب و لٱ هولٱ و لٱ‬
“Mentajwidkan Al-Qurân dapat tercapai dengan musyâfahah kepada
guru yang menguasai tajwid dengan baik, tanpa harus memperdalam teori-teori
ilmu ini. Bahkan, musyâfahah adalah inti dari pembelajaran tajwid. Namun,
pendalaman terhadap teori dan ilmu tajwid akan mempermudah seseorang dalam
mempelajarinya melalui musyâfahah, menambah kemahiran, dan menjaga hasil
musyâfahah dari beragam keraguan dan penyimpangan.”
2. Memahami Nahwu dan Sharaf
Diriwayatkan dari Abû Dzarr beliau mengatakan:
‫ل‬ ‫ل ل ِه ل‬ ُ ‫ل ِه ل‬ ُ ‫ل ل ِه‬
‫آنلٱ ك لمالٱ ت لعل ُمونلٱ روفلٱ ظ ُهلٱ‬ ‫تعلموالٱ لٱ لللٱ ع لربوية و‬
‫لٱ ِفلٱ لللٱ قرلٱ و‬
“Pelajarilah oleh kalian bahasa Arab dalam Al-Qurân sebagaimana kalian
menekuni hafalannya.” [Ibn Sa’dân dalam Al-Waqfu Walibtida (hal. 72)]
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Ad-Dâniy berkata dalam Al-Urjûzah Al-Munabbihah, bait ke 499:


‫َۡۡۡۡت ُك ِه‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ُ ‫ل‬ ‫لٱ ُ يُك ل‬
‫ۡۡۡۡوابلا‬
‫لٱ للصۡ ل‬ ‫ُلٱ‬ ۡ‫ف ُر ِهب لمۡۡۡۡۡالٱ قۡۡۡۡۡدلٱ لٱ لي‬ ‫لٱ لِعلٱ لرابلۡۡۡۡا‬
‫لٱ مۡۡۡۡنلٱ لٱ ل للٱ يعۡۡۡۡروف ولٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

“Dan setiap orang yang tidak memahami i’râb, maka kemungkinan besar
ia bisa meninggalkan apa yang benar.”

Al-Imâm Al-Kisâ`iy memiliki qashîdah yang sangat indah mengenai hal


ini. Beliau mengatakan:
‫ل ِه ل‬ ُ ‫ل ل‬ ُ ُ
‫ابلٱ لٱ فويۡۡۡۡۡ لٱ هولٱ للٱ ٱ للٱ م لنۡۡۡۡۡ لٱ‬ ‫ِعۡۡۡۡۡ للٱ ر ل لٱ‬ ‫فلٱ ل ولٱ‬ ‫رص لٱ‬
‫لٱ‬ ‫فلٱ لمۡۡۡا‬ ‫للٱ للٱ يعۡۡۡ ولٱ ر لٱ‬ ‫للٱ يقۡۡۡ للٱ رلٱ ألٱ لللٱ قۡۡۡرلٱ لٱ‬
‫آنلٱ لٱ‬
‫للٱ ل ل‬ ‫لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

‫لل‬ ‫ ِه‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ُ‫نلٱ لٱ إ للٱ ذالٱ للٱ يقۡۡۡۡۡ ُلٱ ر ُلٱ ؤلٱ هۥ‬‫ليۡۡۡۡۡ للٱ ذ ُلٱ رلٱ ل ِهلٱ للحۡۡۡۡۡ لٱ ل‬
‫نلٱ لٱ ٱهۡۡۡ لٱ‬ ‫فلٱ ل لٱ للحۡۡۡ ولٱ‬ ‫ليۡۡۡدلٱ لٱ رويلٱ لٱ ٱ و لٱ‬ ‫لٱ ٱهۡۡۡ لٱ ولٱ لٱ‬ ‫و‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

‫ل‬ ‫ ِه‬
‫ِلۥلٱ لٱ فويمۡۡۡۡالٱ ل لٱ تبۡۡۡۡ لٱ‬ ‫ل‬ ُ ‫ل ل‬
‫بلٱ لٱ‬
‫ل ل ل‬
‫للٱ لٱ ذنۡۡۡۡ لٱ‬ ‫للٱ ٱهۡۡۡۡ لٱ ولٱ لٱ‬ ُ‫َّيلٱ لٱ ألقۡۡۡۡۡ للٱ رلٱ أللٱ هۥ‬ ‫ُ ِه‬
‫بلٱ ل ولٱ‬ ‫َّنۡۡۡۡۡ لٱ‬
‫ل ُ ِه‬
‫لٱ يللۡۡۡۡۡ لٱ ز لٱ ملٱ ل لٱ‬
‫لٱ‬ ‫للٱ ِه‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ ِه‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل ل‬ ُ‫اَّيلٱ للٱ يعلٱ لٱ رفُۡۡۡۡۡۡۡۡ ُلٱ هۥلٱ للٱ يقۡۡۡۡۡۡۡۡ للٱ ر ُلٱ ؤلٱ هۥ‬
‫فلٱ لٱ رجۡۡۡ لٱ‬ ‫ِفلٱ رۡۡۡرلٱ ٍ لٱ‬ ‫كلٱ و لٱ‬ ‫فۡۡۡلٱ إ و لٱ ذالٱ مۡۡۡالٱ شۡۡۡ لٱ‬ ‫و‬ ‫لٱ ٱ ولٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

‫ل‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ل لل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫قلٱ صۡۡۡ لٱ دعلٱ‬ ‫فلٱ لحۡۡۡ لٱ‬ ‫فۡۡۡلٱ إ و لٱ ذالٱ مۡۡۡالٱ عۡۡۡ لٱ ر لٱ‬ ‫فلٱ لٱ إ وعلٱ ولٱ رابوۡۡۡۡۡ لٱ هوۦ‬ ‫ظرلٱ الٱ لٱ فويۡۡۡۡۡ لٱ هولٱ لٱ ٱ و لٱ‬ ‫نۡۡۡۡۡا ولٱ‬
‫ل لٱ‬ ‫لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ ِه‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ُ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ُ‫ل‬
‫كٱلوۡۡۡۡ لٱ دعلٱ‬ ‫تلٱ للسۡۡۡۡ لٱ نةولٱ لٱ لٱ فوينۡۡۡۡالٱ لٱ‬ ‫لٱ ليلٱ سۡۡۡۡ ولٱ‬ ‫كملٱ‬ ‫لٱ أ لٱ همۡۡۡالٱ لٱ فويۡۡۡ لٱ هولٱ سۡۡۡ لٱ واءلٱ لٱ عولٱ نۡۡۡ لٱ د لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

“Seseorang membaca Al-Qurân, dalam keadaan tidak mengetahui kata-


kata di dalam Al-Qurân yang bisa mengalami perubahan dalam i’râb, dan mana
yang tidak bisa,
Ia berhati-hati agar tidak terjatuh pada lahn saat membacanya, namun ia
sendiri tidak mengetahuinya, bahwa ia telah terjatuh pada lahn,
Maka berdosalah orang yang telah mengajarkannya, sedangkan ia tidak
berdosa disebabkan hanya mengikuti semata,
Sedangkan orang yang mengetahui i’râb saat membaca Al-Qurân, apabila
ia ragu mengenai keadaan sebagian hurufnya, maka ia kembali
Kepada kerangka teoritis dan pengetahuan i’râbnya. Apabila ia telah
mengetahu kebenarannya, maka iapun mengamalkannya secara tepat,
Apakah kedua orang itu sama menurutmu? Bukan termasuk sunnah
menurut kami, bahkan hal itu tampak seperti bid’ah.”
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

Al-Hushriy (w. 488 H.) dalam Al-Qashîdah Al-Hushriyyah berkata:


ُ ‫ل ل لُ ل‬ ‫ ِه ل‬ ُ ‫ل‬ ‫لل‬ ‫لل‬
‫لٱإللٱ ف ُتخلٱ وطۡۡىلٱ روۡۡيلٱ تقۡۡرألٱ أٱلٱ لٱ تقۡۡروي‬ ُ ‫ل‬
‫بلٱ إونلٱ لٱ كنلٱ تلٱ مقلٱ روئا‬ ُ
‫ٱأرلٱ سونلٱ لٱ لَكملٱ لللٱ عرلٱ و‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

‫ل‬ ‫ل‬ ُ ُ ‫لل‬ ‫ل ل‬ ‫ ِه‬ ‫ل‬ ‫لل‬


ُ ‫ ِه‬
‫لٱ ِفلٱ لنلحۡوولٱ أقلٱ صۡۡۡرلٱ ومۡۡنلٱ لٱ وشۡ ولٱ‬
‫ۡبۦ‬ ُ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫لقدلٱ لٱ يۡد ويلٱ عولۡملٱ لللٱ قوۡرء و‬
‫ٱبۡۡاعهمۥ و‬ ‫اتلٱ معلٱ شۡۡرلٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫لٱ‬ ‫لٱ‬

“Dan perbaikilah bahasa Arab apabila engkau benar-benar seorang muqri,


karena apabila tidak maka engkau akan terjatuh pada kesalahan pada saat
engkau membaca Al-Qurân atau mengajarkannya,
Sungguh sekelompok mengklaim menguasai ilmu qirâât, padahal
kemampuan mereka dalam nahwu tidak lebih dari sejengkal saja.”
3. Memahami Jalur-Jalur Periwayatan
Ini merupakan poin penting agar seseorang tidak terjatuh pada
pencampuradukkan jalur periwayatan pada saat membaca Al-Qurân. Al-
Imâm Ibnul Jazariy dalam Al-Munjid (hal. 89) mengatakan:
‫ل‬ ‫لٱ عل ومالٱ أل ل‬
‫ون ل‬ ‫ل ل ل ل ُ ِه ل ل ُ ل‬ ُ‫ل‬ ُ ‫ل ل لُ ُ ل‬
‫ٱلٱ جاهوَلٱلٱ فإونلٱ لٱ‬ ‫لٱ يلولٱ إومالٱ أنلٱ يك‬ ‫ٱهللٱ لٱ َيوز لٱ ترلٱ كويب لٱ ق لوراءة و‬
‫لٱ ِف لٱ ق وراء لٱ ة و؟ لٱ ل لٱ‬
‫ ِه ل ل ُ ُ ل‬ ‫ل ل ل‬
‫لٱ لأ لٱ‬
‫ٱَل‬ ‫اكنلٱ ف لعيبلٱ ِإَوللٱ فغ لٱ‬
‫ي لٱ‬
“Apakah diperbolehkan mencampuradukkan bacaan satu qirâah dengan
qirâah yang lain? Maka hal tersebut tidak terlepas dari pembacanya, apakah ia
seorang yang berilmu atau bukan. Apabila ia seorang yang berilmu, maka
melakukannya adalah ‘aib baginya. Sedangkan apabila ia termasuk orang awam,
maka ia meninggalkan yang lebih utama.”
Asy-Syaikh ‘Aliy Muhammad Adh-Dhabbâ’ dalam Sharîhun Nash (hal. 2)
mengatakan bahwa yang dimaksud at-tarkîb atau at-takhlîth adalah:
‫ي ل‬ ‫ل ل ل ل‬ ‫ل‬ ‫ُ ل ل ِه ل ي ل‬
‫لٱ جائ و ٍزلٱ‬ ُ ‫لٱ غ‬ ‫لٱ للط ُرق للٱ بعض لهالٱ ب و لبع ٍضلٱ ٱذل وك‬ ‫هولٱ رل‬
“Yakni mencampuradukkan jalur-jalur periwayatan dan hal tersebut tidak
diperkenankan.”
Beliau melanjutkan:
‫ل‬
‫لٱ ذٱ ل‬ ‫ل ي ُ لل ل‬ ُ ‫لٱ ٱللتل لوب‬ ُ ‫لٱ لتللفو‬
‫َث لٱ مون ُه ُم ِه‬ ‫لل ل‬
‫لٱ ك ُ ل‬
‫لٱ‬,‫يها‬‫وب و‬ ‫لٱ لهل و وهم لٱ ب و لمآ و‬
‫ر وذ لٱ ت ولك لٱ للطر وق لٱ ٱمذاه و‬
‫اس و ل‬ ‫يق و‬ ‫ٱقد‬
‫لل‬ ‫لل ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ُ ‫ل ل ل‬
‫يلٱ لأس و لٱ‬
‫اس‬ ‫ٱعدملٱ لعتومادوهوملٱ عوندلٱ لأرذولٱ لَعلٱ مت و و‬
“Dan telah banyak di antara mereka yang mencampuradukkan bacaan
satu dengan yang lainnya disebabkan kebodohan mereka dalam pengambilan
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

jalur-jalur periwayatan dan perbedaan madzhab di dalamnya, serta kelalaian


mereka dalam memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku saat mengambil
riwâyah.” [Sharîhun Nash hal. 3]
Asy-Syaikh Mushthafâ Al-‘Izmîriy dalam pembukaan kitab ‘Umdatul
‘Irfân mengatakan bahwa alasan beliau menyusun kitab tersebut adalah:
ُ‫ل ل‬ ‫لٱ سبيل لٱ للر لٱايلةولٱ ألٱ ل‬
‫لٱ مك ُرٱه لٱ ك لراهةلٱ‬
‫لل‬
‫لٱ لَع ل‬ ‫آن‬ ‫ر‬
ُ
‫ق‬ ‫لٱ لل‬ ‫لٱ ِف‬ ‫ام‬‫ر‬‫ل‬ ‫لٱ ألن ِه ُه ل‬
‫لٱ ر‬ ‫ويب و‬
‫ ِه‬ ‫ل ل‬
‫و و و‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫لر وَتازالٱ ع ون لٱ للَتك و‬
ُ ‫ل ل ل ِه ل ل‬ ‫ل‬
‫لٱ رقق ُهلٱ أهللٱ لَل لورايل لٱ وة‬ ‫يملٱ كما‬
ٍ ‫َت ور‬
“Untuk mencegah dari at-tarkîb, karena hal tersebut haram dalam
periwayatan Al-Qurân atau makrûh tahrîm sebagaimana yang telah diteliti para
ulama.”
Asy-Syaikh Al-Marshafiy dalam Hidâyatul Qâri (I/299) mengutip Al-
Hâfizh Syihâbuddîn Al-Qasthalâniy yang berkata:
‫ ِه‬ ‫ي ُ لل‬ ‫ل ل ل ِه‬ ‫ل ُ لل ل‬
‫ض لهالٱ مون للٱ بع ٍضلٱ ِإَوللٱ‬
‫لٱ ٱتميوّيو للٱ بع ولٱ‬ ‫لٱ ِفلٱ للطر وق‬
‫ويب و‬‫لٱ للر وَتازلٱ مونلٱ للَتك و‬‫بلٱ لَعلٱ للقاروئ و‬ ‫َي‬
‫و‬
‫لٱ مالٱ للم ُلٱ ي ل‬
‫اءةُ ل‬ ‫وز ل‬
‫لٱ ٱق لور ل‬ ‫لل ل ل ل ل‬
ُ ُ‫لٱ َي‬
. ‫نللٱ‬ ‫ٱه لٱ فويمالٱ ل‬
“Wajib bagi setiap Qari untuk berhati-hati dari mencampuradukkan jalur-
jalur periwayatam dan mampu membedakan antara satu dengan lainnya. Karena
kalau ia tidak bisa mmebedakannya, maka ia kan terjatuh pada apa yang tidak
diperbolehkan atau bacaan yang tidak pernah diturunkan.”
Al-Imâm An-Nawawiy mengatakan dalam At-Tibyân hal. 132:
‫ل لل‬ ‫ل ِه‬ ‫ل‬ ‫ل للل ل ُ ل ل ل‬
‫ لٱ لمالٱ‬,‫اءة ولٱ ب و لها‬ ‫لٱ للسب لعةولٱ ف لين لب وغلٱ أل لٱ يل لزال لٱ‬
‫لٱ لَع لٱ للقو لر ل‬ ‫لٱ شخص لٱ م لون ِه‬
ٍ ‫ِإَوذالٱ لبتدأ لٱ للقاروئ لٱ بوقوراءة و‬
‫ل ُ ُ ل ل ُ ل ل ل ل ل ل و ل ل ل ِه ل ل ل ل ل‬ ‫ل ل ل ل‬ ‫ل ل لل ُ ُ ل‬
‫ام ُهلٱ‬
ُ ‫لٱ د لٱ‬ ‫لٱ فإوذالٱ أنقَضلٱ لرت وباطهلٱ فلهلٱ أنلٱ يقرألٱ بوقوراءةلٱ آررلٱ مونلٱ للسبعةولٱ ٱاأٱَل‬.‫لٱ مرتبوطا‬ ‫داملٱ ل ولَكم‬
‫ل ل‬ ‫لل ُ ل‬
‫لٱ ِفلٱ ذل وكلٱ لل لمجل و لٱ‬
.‫وس‬ ‫لَعلٱ لأٱَل و‬
“Dan apabila seorang Qâri telah membaca Al-Qurân dengan salah satu
bacaan imâm yang tujuh, maka hendaknya ia tetap membaca dengan bacaan
tersebut selama maknanya saling berkaitan. Apabila maknanya telah selesai,
maka ia boleh membaca dengan bacaan imâm yang lain dari imâm yang tujuh,
namun yang lebih utama baginya adalah membaca dengan satu bacaan yang
sama dalam majlis tersebut.”
Artinya, walaupun mencampuradukkan bacaan qirâah itu bukanlah
sesuatu yang diharamkan – dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama –
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

namun dapat menjadi aib apabila yang melakukannya adalah orang yang
berilmu, terkhusus para qâri dan lebih-lebih muqri. Demikian pula bagi orang-
orang awam, yang lebih utama bagi mereka adalah tetap membaca sesuai
dengan tertib qirâah.
4. Memahami Pendapat Para Ulama Terdahulu dan Madzhab Mereka
Poin ini mencakup penelitian terhadap pendapat mereka dan
memahami setiap perkataan mereka dengan makna yang benar, bukan
dengan pemahaman ulama kontemporer. Karena tidak jarang istilah-istilah
tertentu memiliki makna yang berbeda dengan apa yang dipahami hari ini.
Ketahuilah bahwa kelalaian seorang qâri terhadap pendapat para
ulama terdahulu dapan mengakibatkan ia terjatuh pada banyak lahn khafiy.
Karena tidak sedikit di antara ulama kontemporer yang menyimpang dari
jalan yang telah ditetapkan oleh para ulama terdahulu. Apabila kita
menemukan perbedaan pendapat antara para ulama terdahulu dengan para
ulama kontemporer, maka jelas pendapat ulama terdahulu lebih berhak dan
lebih layak untuk diikuti. Terutama apabila kita telah menemukan pendapat
yang secara tekstual dari para ulama terdahulu, maka kita tidak perlu lagi
untuk menimbangnya dengan pendapat para ulama kontemporer.
Asy-Syaikh Al-Mar’asyiy dalam Bayânu Juhdil Muqill mengatakan:
‫ل‬ ‫لٱ ش ُي و‬ُ ‫لل ل ل‬ ‫ل ُ ل ل ل ل ِه ل ل ل ُ ل ِه ل‬ ‫ل ِه ل ل‬
‫لٱ‬, ‫وخلٱ لألٱ داءولٱ‬ ‫َث‬
‫و‬ ‫ك‬
‫لٱ‬ ‫ولٱ أ‬ ‫ء‬ ‫ا‬‫د‬ ‫لٱ أ‬ ‫ِف‬
‫و‬ ‫لٱ‬ ‫لٱ‬
‫ات‬ ‫و‬ ‫لٱ لأداءولٱ تلللٱ أشلٱ ياءلٱ مونلٱ لتلحلٱ ورف‬ ‫الٱ طالتلٱ لٱ سوللٱ سولة لٱ‬ ‫لم‬
‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫لل‬ ‫ُلل ُ ل ل‬ ‫للشيلٱ ُخلٱ لللٱ لماه ُور للٱ ُ ل ل‬ ‫ل ِه‬
‫اتلٱ‬ ‫للصف و‬ ‫لٱ ِفلٱ لللٱ لمخارو وجلٱ ٱ و‬ ‫لٱ للل ول و‬ ‫لٱ َلقائ و وق لٱ‬ ‫لٱ للمتف وطن و‬, ‫لٱ ٱلَل لورايلةولٱ‬ ‫يلٱ للر لٱايلةو ل‬
‫لٱ للا وم لٱ ب لٱ و‬ ‫ٱ‬
‫ل ل ل ل ل ل ل ل ِه ل ل ل ل ل ل ل ُ ُ ل ُ ِه‬ ‫وبيت لٱ لألٱ ل‬ ‫ل ل‬
‫لٱ للعلٱ ت و لما ود لٱ بلللٱ لٱ‬
‫و‬ ‫لٱ ُك‬ ‫ا‬ ‫ون‬
‫ر‬ ‫و‬ ‫ي‬‫لٱ ش‬ ‫و‬ ‫ء‬ ‫ا‬ ‫د‬ ‫لٱ أ‬ ‫لٱ‬
‫لٱ لَع‬ ‫د‬ ‫م‬
‫و‬ ‫ت‬ ‫ع‬
‫لٱ‬ ‫لٱ ن‬ ‫ل‬ ‫لٱ أ‬ ‫ا‬‫ن‬‫ي‬
‫لٱ‬ ‫ل‬‫لٱ ع‬ ‫ب‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫ف‬ ‫لٱ‬ .‫و‬ ‫لٱ‬
‫ار‬ ‫لٱ‬
‫مح‬ ‫و و‬ ‫لٱ‬ ‫ك‬ ‫لٱ لل‬
‫لٱ‬ ‫ل‬
‫ون‬‫م‬ ‫لٱ‬ ‫ي‬
‫ز‬ ‫ع‬ ‫أ‬
‫الٱ س ومعلٱ لنالٱ مونلٱ ل‬ ‫لٱ م ل‬‫يس ل‬ ُ ‫ لٱ لٱنلقو‬,‫ن‬ ‫ل ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ُ ُ ُ ‫ل‬ ‫ل ل ل لُ لل‬ ُ ‫ل ل ل ِه‬
‫سائ و ول لٱ هذالٱ لللٱ ف ولٱ‬ ‫ان لٱ م لٱ‬ ‫لٱ ِف لٱ كتب و وهملٱ لٱ مونلٱ لٱ بي و‬
‫نتأمل لٱ فويمالٱ أٱلٱ دعه لٱ لللٱ علماء و‬
ُ ُ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ُُ ل ل ل ل ُ لُل لي ل ل ل لل ُ ل‬ ‫ي ُ و لل ل ُ ل‬
.‫ب‬
‫لٱ ِفلٱ لللٱ كت ولٱ‬ ‫ٱحقلٱ ما و‬ ‫لٱ لحقلٱ فمالٱ رالفهلٱ ف لٱ‬ ‫بلٱ فمالٱ ٱافقهلٱ فهو لٱ‬ ‫لٱ ِفلٱ لللٱ كت و‬ ‫للشيوخلٱ لَعلٱ مالٱ أٱدوع و‬
“Ketika rantai silsilah bacaan semakin panjang, maka terselip beberapa
penyimpangan dalam cara membaca kebanyakan guru Al-Qurân. Adapun seorang
guru yang mahir, yang dapat menghimpun riwâyah (penukilan) dan dirâyah
(teoritis), yang cerdas dalam meneliti setiap detail penyimpangan yang terjadi
pada makhârijul hurûf dan sifat-sifatnya lebih langka daripada belerang merah
(jarang ditemukan). Maka wajib bagi kita untuk tidak benar-benar berpedoman
pada teori dan praktik yang disampaikan oleh guru-guru kita semata, melainkan
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

mesti kita mesti memperhatikan terlebih dahulu penjelasan dari permasalahan-


permasalahan ilmu tajwid yang telah diuraikan para ulama dalam kitab-kitab
mereka. Kemudian kita komparasikan dengan apa yang kita dengar dari guru-
guru kita. Apabila sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam kitab, maka berarti
apa yang kita dengar merupakan kebenaran. Namun apabila bertentangan
dengan penjelasan para ulama, maka yang benar adalah apa yang termaktub
dalam kitab-kitab.”
Dari penjelasan ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa talaqqiy
dan musyâfahah bukanlah faktor penentu dan menjadi acuan satu-satunya
dalam menentukan apakah sebuah bacaan bisa diterima atau tidak. Karena
tradisi talaqqiy ternyata tidak luput dari penyimpangan yang disebabkan
beberpaa faktor tertentu. Karenanya, para ulama kemudian
mendokumentasikan hasil talaqqiy yang mereka dapatkan dari guru-guru
mereka dalam berbagai kitab demi menjaga tradisi talaqqiy dan mengontrol
proses pembelajaran Al-Qurân.17
Maka dari itu, talaqqiy dan penelitian kitab para ulama terdahulu
seperti sepasang sayap yang dapat membuat burung terbang. Seorang qâri
tidak akan menjadi mahir dan ahli, serta tidak akan benar-benar terhindar
dari lahn, kecuali dengan mengepakkan keduanya sekaligus.
5. Selalu Bertanya pada Saat Menemukan Permasalahan
Sebagian masalah terkadang muncul disebabkan lahn, dan bertanya
tentangnya merupakan cara untuk menyingkapnya. Jangan pernah merasa
keberatan untuk bertanya atas setiap masalah yang menyulitkan kita,
walaupun orang yang dijadikan tempat bertanya itu lebih muda usianya dari
kita, serta janganlah merasa malu atasnya.
6. Berdiskusi dengan Sesama Penuntut Ilmu (Al-Mudzâkarah)
Tidak sedikit berbagai bentuk lahn menjadi tersingkap dan diketahui
sebab serta obatnya melalui jalan mudzâkarah (berdiskusi) dengan sesama
penuntu ilmu.
7. Mempelajari Hal-Hal yang Dibutuhkan dari Ilmu Rasm dan Dhabth
Setiap qâri mesti mempelajari sebagian ilmu rasm dan dhabth yang
berkaitan dengan cara membaca Al-Qurân, khususnya yang berkaitan
dengan waqf dan ibtida. Di antaranya adalah permasalahan maqthû (dua kata

17
Lih. Muhammad Hamzah. Ada Apa dengan Tajwid, Chapter 14, Maret 2019.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

yang ditulis terpisah) dan mawshûl (dua kata yang ditulis bersambung) dan
tâât (Tâ ta’nîts yang tidak ditulis dengan Tâ marbûthah). Karena dalam
membaca Al-Qurân seseorang mesti memperhatikan rasm yang tertulis pada
mushaf. Siapa saja yang lalai dari memperhatikan permasalahan rasm dan
dhabth, maka ia akan terjatuh pada lahn khafiy, bahkan lahn jaliy.
8. Mempelajari Hal-Hal yang Dibutuhkan dari Ilmu Perhitungan Ayat
Al-Biqâ’iy (w. 885 H.) mengatakan bahwa penuntut ilmu qirâât mesti
mengenal ilmu perhitungan ayat. Hal ini disebabkan bahwa setiap qirâah
memiliki perhitungan ayat yang berbeda, sesuai dengan madzhab yang
mereka pilih masing-masing. Asy-Syaikh Dr. Ahmad Khâlid Syukriy
menyebutkan setidaknya terdapat enam madzhab dalam penentuan jumlah
ayat Al-Qurân:
a) Madzhab Al-Madaniy Al-Awwal. Diriwayatkan dari Nâfi’ dari Abû Ja’far
bin Yâzid Al-Qâ’qâ’ dan Syaybah bin Nashâh, seorang anak laki-laki
dari mantan budaknya Umm Salamah (istri Nabi), jumlah ayatnya
adalah 6217 ayat menurut periwayatan penduduk Kûfah dari
penduduk Madinah; Sedangkan periwayatan dari penduduk Bashrah,
dari Warsy, dari Nâfi’ adalah 6214 ayat.
b) Madzhab Al-Madaniy Al-Akhir. Diriwayatkan dari Qâlûn dan Ismâ’îl bin
Ja’far, keduanya dari Sulaymân bin Jammâz dari Abû Ja’far dan
Syaybâh bin Nashâh secara marfu dari keduanya, jumlah ayatnya
adalah 6214 ayat, dan inilah pendapat yang lebih unggul; Sedangkan
menurut pendapat Abû Ja’far 6210 ayat.
c) Madzhab Al-Makkiy. Diriwayatkan dari Abdullâh bin Katsîr Al-Makkiy
dari Mujâhid dari Ibn ‘Abbas dari Ubay bin Ka’b , jumlahnya 6220.
Sedangkan menurut pendapat lain adalah 6219 dan 6210 ayat.
Jumlah 6210 adalah pendapat Ubay bin Ka’b sendiri, mayoritas orang-
orang Mekah memakai hitungan 6219, sebagaimana disampaikan
Ad-Dâniy.
d) Madzhab Al-Bashriy. Diriwayatkan dari ‘Ashim Al-Jahdariy, Ayyûb Al-
Mutawakkil, Ya’qûb Al-Hadhramiy, dan ‘Atha bin Yasâr, jumlah
ayatnya adalah 6204 ayat;
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

e) Madzhab Asy-Syami atau Ad-Dimasyqiy. Diriwayatkan dari Yahyâ bin


Hârits Adz-Dzumâriy dari ‘Abdullâh bin ‘Âmir Al-Yahshubiy dari Abud
Darda , jumlah ayatnya adalah 6227 atau 6226 ayat.
f) Madzhab Al-Kûfiy. Diriwayatkan dari Hamzah bin Habîb bin Az-Zayyât
dari Ibn Abî Laylâ dari Abû Abdirrahmân As-Sulamiy dari ‘Aliy bin Abî
Thâlib . Juga diriwayatkan dari Sufyân Ats-Tsawriy, dari Abdul A’lâ,
dari Abû Abdirrahmân As-Sulamiy dari ‘Aliy bin Abî Thâlib , jumlah
ayatnya adalah 6236 ayat;
g) Madzhab Al-Himshiy. Diriwayatkan dari Syurayh bin Yazîd Al-Himshiy
dan disandarkan pada Khâlid bin Ma’dân, jumlah ayatnya 6232 ayat.
Namun, sebagian ulama tidak menilai perhitungan ini sebagai salah
satu madzhab yang diakui kedudukannya.

9. Mempelajari Ilmu Waqf dan Ibtidâ


Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Ghâmidiy tidak menyebutkan poin ini dalam kitab
Al-Lahn, namun kami sengaja menambahkannya disebabkan urgensinya tidak
bisa disangkal lagi. Benar, bahwa ilmu waqf dan ibtida bukanlah bagian
langsung dari ilmu tajwid, bahkan ilmu ini tidak memiliki andil secara khusus
dalam meperbaiki pelafalan huruf-huruf hijâiyyah. Namun, ia merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari keahlian seorang qâri saat membaca Al-
Qurân. Al-Qurân tidak akan bisa dibaca dengan sempurna kecuali apabila
memenuhi dua poin penting; Tajwîdul Hurûf dan Ma’rifatul Wuqûf.
Al-Imâm ‘Ali bin Abi Thalib berkata bahwa yang dimaksud dengan
tartîl pada ayat:
‫ُ ل ل‬
‫ﵥ لٱ لرت ولٱ وللٱ للقرلٱ لءانلٱ ترتويَللٱ ﵤ‬
Adalah:
ُ ُ‫ل ل‬ ‫ُل ل‬
‫لٱ ٱ لمع ورفةلٱ لل ُوق و‬
‫وفلٱ‬ ‫لٱ لح ُر و‬
‫ٱف‬ ُ ‫يد‬ ُ ‫لٱ تو‬
‫هو و‬
“Mentajwidkan huruf dan memahami kaidah waqf.”
Ibnul Anbâriy18 sebagaimana dinukil oleh As-Suyûthiy dalam Al-Itqân
(hal. 96) mengatakan:

18
Al-Imâm Al-Hâfizh Al-Muqri` An-Nahwiy Al-Lughawiy, Abû Bakar Muhammad bin Al-
Qâsim bin Muhammad Ibnul Anbâriy (271-328 H.). Lahir di wilayah Anbâr 271 H.
‫‪Muhammad Laili Al-Fadhli‬‬ ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

‫ل‬ ‫لُ‬ ‫ل‬ ‫ُ‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬


‫فلٱ للٱ ٱلِلولٱ بلٱ لٱ ت و لٱ ‬
‫داءولٱ لٱ لٱ فوي لٱ هو‪.‬‬ ‫آنلٱ لٱ معلٱ ولٱ ر لٱ ف لٱ ةلٱ لللٱ للٱ وقلٱ و لٱ ‬ ‫ولٱ منلٱ لٱ لٱ ت للٱ م ولٱ ‬
‫املٱ لٱ معلٱ ولٱ ر لٱ ف لٱ ةولٱ لللٱ لٱ قرلٱ ولٱ ‬
‫‪“Termasuk kesempurnaan dalam mengenal Al-Qurân adalah memahami‬‬
‫”‪kaidah waqf dan ibtida di dalamnya.‬‬
‫‪Al-Imâm Ibnul Jazariy dalam An-Nasyr (II/ 743-744) mengatakan:‬‬
‫ل ل ل ُ ِه ي‬ ‫ ِه ل ل ل‬ ‫ل ل ل ل ل ي لل ل‬ ‫ل ل‬
‫تل لٱ نل لٱ ف ُ لٱ ‬
‫سلٱ ‬ ‫َي ولٱ زلٱ ل لٱ ‬ ‫ر ٍلٱ دلٱ لٱ ٱلٱ لملٱ لٱ لٱ ‬ ‫سلٱ للٱ ٱا ولٱ ‬ ‫ِفلٱ لٱ ن لٱ ف ٍ لٱ ‬ ‫ص لٱ ةلٱ و لٱ ‬ ‫ورلٱ ةلٱ لٱ أ لٱ ٱولٱ لللٱ قولٱ لٱ ‬ ‫لس لٱ ‬ ‫ئلٱ لٱ أنلٱ لٱ لٱ يقلٱ للٱ رلٱ ألٱ ل لٱ ‬ ‫ارو لٱ ‬ ‫نلٱ لللٱ لٱ ق لٱ ‬ ‫ك ولٱ ‬ ‫لٱ ل ِهلٱ مالٱ لٱ لملٱ لٱ ُلٱ ي للٱ م ولٱ ‬
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل ل ل ل ِه ي‬ ‫ل لل‬ ‫ل ل ل‬
‫ار لٱ للٱ ٱقلٱ ٍ لٱ ‬
‫فلٱ ‬ ‫ين لٱ ئ و ٍلٱ ذ لٱ لرلٱ لٱ ت وللٱ ي ُلٱ ‬ ‫ر للٱ ‬ ‫ب لٱ ولٱ ‬ ‫ج ل لٱ ‬ ‫ك و للٱ مةولٱ ‪ ,‬لٱ للٱ ٱ للٱ ‬ ‫ِفلٱ لٱ أثلٱ للٱ ناءولٱ لٱ لللٱ لٱ ‬ ‫س لٱ و لٱ ‬ ‫تل لٱ نل لٱ ف و لٱ ‬ ‫كٱ لٱ ‬ ‫ك لٱ لٱ ‬ ‫ل‪ ,‬لٱ لٱ بللٱ لٱ لٱ ذلٱ ل و لٱ ‬ ‫ر لٱ ال لٱ ة لٱ لللٱ للٱ وصلٱ ولٱ ‬ ‫يلٱ لٱ ‬ ‫ك و للٱ م للٱ ت ولٱ ‬ ‫ي لٱ لٱ ‬ ‫لٱ ب لٱ ‬
‫ل ِه‬ ‫ل‬ ‫ل ل ل ِه ي‬ ‫ل ل ل ل ل ِه ل ل ل‬ ‫ ِه ي‬
‫َتل ِهلٱ ت للٱ م لٱ لٱ أن لٱ لٱ ‬
‫للٱ ‬ ‫ارةولٱ ‪ ,‬لٱ للٱ ٱ لٱ ‬ ‫َت للٱ ‬ ‫س لٱ للٱ ٱللولٱ سلٱ و للٱ ‬ ‫تل لٱ نل لٱ ف و لٱ ‬ ‫اء لٱ لبلٱ لٱ ت و لٱ دا ٍلٱ ء لٱ لٱ بعلٱ لٱ د لٱ ل لٱ ‬ ‫ض ُلٱ ‬ ‫ي لٱ لرلٱ لٱ ت لٱ ‬ ‫ارةولٱ ‪ ,‬لٱ لٱ ٱ لٱ ت لٱ ع لٱ ‬ ‫َت لٱ ‬ ‫س لٱ للٱ ٱللولٱ سلٱ و لٱ ‬ ‫لت للٱ ن لٱ ف و لٱ ‬ ‫لٱ ل و لٱ ‬
‫ل ُ لل ُ ُ ل‬ ‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل ل لل ُ ي‬ ‫ل ُ ل ل ل ِه ُ ل ي‬
‫للٱ لللٱ لٱ قصلٱ ُلٱ د‪,‬لٱ ‬ ‫ص لٱ ‬ ‫ازلٱ لٱ ٱ لٱ يحلٱ لٱ ‬ ‫ج لٱ ‬ ‫ِعلٱ لٱ ‬ ‫كلٱ للٱ يظلٱ للٱ ه ُلٱ رلٱ ل ولٱ ‬ ‫للٱ لٱ ب وٱللٱ لٱ فهلٱ ولٱ م;لٱ لٱ إ وذلٱ لٱ لٱ ب و لٱ ذلٱ ل و لٱ ‬ ‫يو لٱ ‬ ‫للٱ لٱ ‬ ‫نلٱ لٱ ٱ لٱ ‬ ‫للٱ لٱ ب وٱللٱ لٱ معلٱ لٱ ‬ ‫ي لٱ ‬ ‫كلٱ ولٱ م لٱ مالٱ لٱ ‬ ‫ونلٱ لٱ ذلٱ ل و لٱ ‬ ‫ك لٱ ‬ ‫لٱ ي لٱ ‬
‫ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل ِه ل ل ل ل ي ل ل ل ل ل ل ِه ل ل ل‬ ‫ل ل ل ل ِه‬
‫ِل‪:‬لٱ ‬ ‫ب لٱ ‪ ‬لٱ لٱ قولٱ ُلٱ ‬ ‫طا لٱ ل و ٍ لٱ ‬ ‫ب لٱ للٱ ‬ ‫ن لٱ لٱ أ و لٱ ‬ ‫لَع لٱ بلٱ ولٱ ‬ ‫عنلٱ لٱ و ولٱ ‬ ‫ك لٱ ما لٱ لٱ ق لٱ دملٱ لٱ نا لٱ لٱ ‬ ‫لَع لٱ لٱ ت لٱ ع لٱ ل ولٱ م لٱ هو لٱ لٱ ٱ لٱ معلٱ ولٱ ر لٱ ف لٱ ت و لٱ هو لٱ لٱ ‬ ‫ألٱ ئ و لٱ مةولٱ لٱ لٱ ‬ ‫ض لٱ ل لٱ ‬ ‫ر لٱ ‬ ‫ك لٱ لٱ ‬ ‫َّلٱ ل و لٱ ‬‫لٱ ٱ و لٱ ‬
‫ل‬ ‫لُ ُ‬ ‫ ِه ُ‬
‫ٱف‪ .‬لٱ ‬ ‫ح ُلٱ ر و لٱ ‬ ‫يدلٱ ل ُلٱ ‬ ‫ت لٱ وو ُلٱ ‬ ‫وفلٱ للٱ ٱ لٱ ‬ ‫يللٱ للٱ معلٱ لٱ رولٱ ف لٱ ةلٱ لللٱ ُلٱ ولٱ ق و لٱ ‬ ‫لَت لٱ تو لٱ ‬ ‫ل لٱ ‬
‫ل ل ِه ل ل ل ل ل ل‬ ‫ل‬ ‫ل ِه ُ ل ل ل‬ ‫ُ‬ ‫ل‬
‫َلُؤلٱ لٱ ‬
‫تلٱ ‬ ‫ر لٱ دلٱ نا لٱ لٱ ‬ ‫ن لٱ لٱ أ لٱ ‬ ‫ال‪ :‬لٱ لٱ قدلٱ لٱ عولٱ شلٱ للٱ نا لٱ لٱ بُرلٱ لٱ هةلٱ لٱ مولٱ نلٱ لٱ لٱ دهلٱ ولٱ رلٱ نا لٱ ِإَو لٱ ‬ ‫ع للٱ م للٱ ر لٱ ‪ ‬لٱ ألٱ ن لٱ ه لٱ لٱ ق لٱ ‬ ‫ن لٱ لٱ ‬ ‫ن لٱ لبلٱ ولٱ ‬ ‫ع ولٱ ‬ ‫للٱ ٱ للٱ ر للٱ ٱيلٱ للٱ نا لٱ لٱ ‬
‫ل ل ل ل ِه ُ ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل‬ ‫لل ُ ي ل لل‬ ‫ل ل ل ل ُ‬
‫ج للٱ ر لٱ هالٱ ‬ ‫ام لٱ هالٱ لٱ ٱآ ولٱ م لٱ ر لٱ هالٱ لٱ ٱ لٱ زا ولٱ ‬ ‫ر لٱ ر لٱ ‬ ‫َللٱ ل لٱ هالٱ لٱ ٱ لٱ ‬ ‫ر لٱ ‬ ‫ِبلٱ ‪ ‬لٱ ف لٱ ن لٱ ت لٱ ع لٱ ل لٱ ملٱ لٱ ‬ ‫نل ِه و ولٱ ‬ ‫لَعلٱ ل لٱ ‬ ‫ورلٱ ةُلٱ لٱ ‬ ‫لس لٱ ‬ ‫نلٱ لٱ ٱ لٱ تنلٱ و لٱ للٱ ل لٱ ‬ ‫للٱ لللٱ لٱ قرلٱ آ ولٱ ‬ ‫انلٱ لٱ هبلٱ لٱ ‬ ‫يم لٱ ‬ ‫ِ لٱ ‬ ‫ل ولٱ ‬
‫ُ لل‬ ‫ل‬
‫فلٱ عولٱ نلٱ للٱ د لٱ هُلٱ ولٱ منلٱ للٱ ها‪ .‬لٱ ‬ ‫وه لٱ ‬ ‫غلٱ لٱ أنلٱ لٱ لٱ ي لٱ ‬ ‫للٱ ٱ للٱ مالٱ لٱ يلنلٱ للٱ ب و لٱ ‬
‫ل لل‬ ‫ُ‬ ‫ل ل ي ل ل ل ل لل‬ ‫لل‬ ‫ل‬ ‫ل لل ل‬
‫ع للٱ م للٱ رلٱ لٱ بُرلٱ لٱ هانلٱ لٱ لٱ ‬
‫لَعلٱ ‬ ‫نلٱ لٱ ‬ ‫لَك ولٱ ملٱ لبلٱ ولٱ ‬ ‫فلٱ لٱ ‬ ‫وبلٱ لٱ ت لٱ ع لٱ ل ولٱ م لٱ هولٱ لٱ ٱ لٱ معلٱ ولٱ ر لٱ ف لٱ ت و لٱ هو‪,‬لٱ لٱ ٱ و لٱ ‬ ‫ج ولٱ ‬ ‫لَعلٱ ُلٱ ٱ ُلٱ ‬ ‫َلللٱ لٱ لٱ ‬ ‫لَعلٱ ‪ ‬لٱ د ولٱ ‬ ‫لَك ولٱ ملٱ و ٍلٱ ‬ ‫فلٱ لٱ ‬ ‫لٱ ف و لٱ ‬
‫ل ِه ل ي‬
‫ح لٱ ابلةولٱ ‪ .‬لٱ ‬ ‫لص للٱ ‬ ‫نلٱ ل ِه لٱ ‬ ‫جاعلٱ لٱ مولٱ للٱ ‬ ‫نلٱ لٱ ت للٱ ع لٱ ل للٱ م ُلٱ هلٱ لٱ إ و للٱ ‬ ‫لٱ أ لٱ ‬
‫لل ل ل‬ ‫ل ِه ل‬ ‫ل ل ي‬ ‫ل ل‬
‫جعلٱ لٱ ف ٍلٱ ر لٱ لٱ يل ولٱ ز للٱ ‬
‫يدلٱ ‬ ‫ب لٱ لٱ ‬ ‫ك لٱ أ و لٱ ‬ ‫ح لٱ لٱ ‬ ‫لصا لٱ ل و ولٱ ‬ ‫ف لٱ ل ِه لٱ ‬ ‫لس لٱ ل و لٱ ‬ ‫ن لٱ ل لٱ ‬ ‫اء لٱ لٱ ب و لٱ هو لٱ ولٱ م لٱ ‬‫ح لٱ لٱ بلللٱ لٱ لٱ ت للٱ و لٱ ات للٱ ر لٱ عولٱ نلٱ للٱ دلٱ نا لٱ لٱ ت للٱ ع لٱ ل ُلٱ م ُلٱ ه لٱ للٱ ٱلِلولٱ علٱ لٱ ت وللٱ ن ُلٱ ‬ ‫ص ِهلٱ ‬ ‫للٱ ٱ للٱ ‬
‫ل‬ ‫ل و ل‬ ‫ل‬ ‫ُ‬ ‫ل ل ِه‬ ‫ل ل‬ ‫ل ل‬
‫بلٱ ‬
‫ن لٱ لٱ أ و لٱ ‬ ‫ام لٱ لٱ نا لٱ ف و ولٱ لٱ بلٱ ولٱ ‬ ‫ِ لٱ م لٱ ‬ ‫ر لٱ ب و لٱ هو لٱ ل ولٱ ‬ ‫صا ولٱ ‬ ‫ي لٱ للٱ ٱ للٱ ‬ ‫تلالٱ ب وعولٱ ولٱ ‬ ‫ان لٱ ل ِهلٱ ‬ ‫َّي لٱ لٱ ه للٱ و لٱ ولٱ منلٱ لٱ لٱ أعلٱ للٱ ي ولٱ ‬ ‫ينةولٱ لٱ ل ولٱ ‬ ‫ل لٱ لللٱ لٱ م ولٱ د لٱ ‬ ‫ام لٱ لٱ أهلٱ ولٱ ‬ ‫اع لٱ لٱ إ و لٱ م ولٱ ‬ ‫ن لٱ لللٱ لٱ قعلٱ لٱ ق ولٱ ‬ ‫بلٱ ولٱ ‬
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ُ‬ ‫ل‬ ‫لل ل‬ ‫ُ‬
‫ي لٱ هوملٱ لٱ مولٱ للٱ ‬
‫نلٱ ‬ ‫غ ولٱ ‬ ‫جودولٱ لٱ للٱ ٱ لٱ ‬ ‫لنل ِه ُلٱ ‬ ‫ب لٱ لٱ ‬ ‫ن لٱ لٱ أ و لٱ ‬ ‫ص ولٱ م لٱ بلٱ ولٱ ‬ ‫ع ولٱ ‬ ‫م لٱ للٱ ٱ للٱ ‬ ‫ض و ولٱ ‬ ‫ح للٱ ‬ ‫وب لٱ ل للٱ ‬ ‫َلءولٱ ‪ ,‬لٱ للٱ ٱ للٱ يعلٱ لٱ ق للٱ ‬ ‫ن لٱ لللٱ للٱ ع لٱ ‬ ‫عملٱ ولٱ رٱ لٱ بلٱ ولٱ ‬ ‫ب لٱ لٱ ‬ ‫م لٱ لٱ ٱلٱ أ و لٱ ‬ ‫لٱ ن للٱ عيلٱ ٍلٱ ‬
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ُ‬ ‫لُ ُ ُ ُ لل‬ ‫ل ل‬ ‫لل‬ ‫ل‬
‫َت ل لٱ ‬
‫طلٱ ‬ ‫ب‪ .‬لٱ للٱ ٱ ولٱ منلٱ لٱ لٱ ث ِهلٱ م لٱ لشلٱ للٱ ‬ ‫ك ُلٱ ت ولٱ ‬ ‫ِف لٱ لللٱ لٱ ‬ ‫ورةلٱ لٱ و لٱ ‬ ‫ع لٱ ليلٱ لٱ هو لٱ للٱ مشلٱ ُلٱ ه للٱ ‬ ‫وص لٱ هملٱ لٱ لٱ ‬ ‫ص لٱ ‬ ‫ك لٱ للٱ معلٱ ُلٱ رٱفلٱ ‪ ,‬لٱ لٱ ٱلٱ ن لٱ ‬ ‫ِف لٱ لٱ ذلٱ ل و لٱ ‬ ‫َك ُلٱ م ُلٱ هملٱ لٱ و لٱ ‬ ‫ألٱ ئ و ِهلٱ مةولٱ ‪ .‬لٱ للٱ ٱ لٱ ‬ ‫ل لٱ ‬
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل ِه ُ ُ ل ل ِه‬ ‫لل‬ ‫لل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫اء‪.‬‬ ‫فلٱ للٱ ٱلِلولٱ بلٱ لٱ ت و للٱ د للٱ ‬ ‫للٱ للٱ معلٱ لٱ رولٱ ف لٱ ت و لٱ هولٱ لللٱ للٱ وهلٱ لٱ ‬ ‫ردلٱ الٱ لٱ إ و لٱ ‬ ‫ّيلٱ لٱ أ لٱ ‬ ‫َي لٱ ‬ ‫للٱ ولٱ ‬ ‫ّيولٱ لٱ أنلٱ لٱ ‬ ‫ج لٱ ‬‫لَعلٱ لللٱ ُلٱ م ولٱ ‬ ‫فلٱ لٱ ‬ ‫ل لٱ ل و لٱ ‬ ‫ك لٱ ث ويلٱ لٱ ولٱ منلٱ لٱ لٱ ألٱ ئ و ِهلٱ م لٱ ةولٱ ل لٱ ‬ ‫لٱ ‬

‫‪Orangtuanya merupakan salah satu tokoh ulama di Kûfah pada zamannya. Ia dididik dengan‬‬
‫‪pendidikan ilmiah sejak kecilnya dan tumbuh menjadi ulama besar di zamannya.‬‬
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

“Ketika seorang qâri tidak memungkinkan untuk membaca sebuah surat


atau satu kisah dengan satu nafas yang utuh, dan di sisi lain tidak diperbolehkan
bernafas di antara dua kata pada saat washl, bahkan seharusnya ia bernafas
sebagaimana nafasnya saat mengucapkan satu kata, maka pada saat itu wajib
baginya untuk memilih tempat berhenti agar ia bisa bernafas dan beristirahat.
Kemudian ia mesti menentukan dari mana ia akan memulai kembali bacaan
setelah bernafas dan beristirahat. Dalam keadaan demikian, wajib baginya untuk
menjaga agar tempat berhenti atau tempat memulainya bacaan bukanlah tempat
yang dengannya dapat mengubah makna atau merusak pemahaman. Agar
dengan bacaannya ia tetap bisa menampakkan sisi kemukjizatan Al-Qurân dan
tercapailah maksud dari bacaan Al-Qurân (yaitu dipahami dan ditadabburi).
Karenanya, para imam telah memotivasi para qâri agar senantiasa mempelajari
dan memahami kaidah waqf dan ibtidâ. Begitupula sebagaimana telah kami
kemukakan dari ‘Aliy bin Abî Thâlib  saat menafsirkan firman Allâh :
‫ُ ل ل‬
‫ﵥ لٱ لرت ولٱ وللٱ للقر لءانلٱ ترتويَللٱ ﵤ‬
Maknanya adalah:
“Memahami kaidah waqf dan mentajwidkan huruf-huruf hijâiyyah.”
Juga diriwayatkan dari Ibn ‘Umar  bahwasanya beliau mengatakan:
“Kami menjalani hidup dalam jenak waktu yang masing-masing dari kami diberi
pengajaran iman sebelum pengajaran Al-Qurân. Apabila salah satu surat Al-Qurân
turun kepada nabi Muhammad , kami pun mempelajari perkara halal dan
haramnya, perintah dan larangannya, serta apa yang semestinya kami berhenti
padanya.”
Dalam perkataan ‘Aliy  terdapat dalil wajibnya mempelajari dan
memahami kaidah waqf dan ibtida. Sedangkan dalam perkataan Ibn ‘Umar 
terdapat penjelasan bahwa mempelajari permasalahan ini merupakan kesepakat
para sahabat .
Juga telah shahih, bahkan mutawâtir bagi kita semua bagaimana para
salafush shâlih mempelajari dan menjaganya dengan baik. Sebagaimana riwayat
dari Abû Ja’far bin Al-Qa’qâ’ imamnya penduduk Madinah, salah seorang tâbi’in
dan guru dari para imam seperti Al-Imâm Nâfi’ bin Abin Nu’aym, Abû ‘Amr bin
Al-‘Alâ, Ya’qûb Al-Hadhramiy, ‘Âshim bin Abin Najûd, dan selain mereka dari
kalangan para imam besar. Sungguh perkataan mereka dalam persoalan ini telah
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

diketahui bersama, catatan-catatan mereka telah terkenal dan tersebar di kitab-


kitab. Bahkan, di antara para ulama khalaf kemudian banyak yang menjadikan
hal ini sebagai syarat, dimana mereka tidak akan memberikan ijâzah iqrâ, kecuali
setelah memahami waqf dan ibtidâ.
Oleh karena itu, tidak boleh tidak, bahwa seorang qâri wajib
mempelajari dan memahami permasalahan waqf dan ibtidâ dengan benar.
Wallâhu a’lam.

Selesai disusun tanggal 14 Rajab 1442 H/ 26 Februari 2021


Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

DAFTAR SUMBER
1. Ahkâmu Qirâatil Qurânil Karîm. Mahmûd Khalîl Al-Hushariy.
2. Al-Ahkâmul Fiqhiyyah Al-Khâshshah Bil Qur`ânil Karîm. ‘Abdul ‘Azîz ibn
Muhammad Al-Hajîlan.
3. Al-Imâmah wal Itmâmi Fish Shalâh. ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-
Munîf.
4. Al-Itqân Fî ‘Ulûmil Qurân. Jalâluddin As-Suyûthiy.
5. Al-Kâmil Fil Lughah Wal Adab. Muhammad ibn Yazîd Al-Mubarrid.
6. Al-Lahnu Fil Qirââtil Qurânil Karîm, ‘Aliy ibn Sa’d Al-Ghâmidiy.
7. Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab. Abû Zakariyyâ Yahyâ ibn Syaraf An-
Nawawiy.
8. Al-Minahul Fikriyyah. Mullâ ‘Aliy Al-Qâriy.
9. Al-Mûdhah Fit Tajwîd. Abdul Wahhâb Al-Qurthubiy.
10. Al-Mughniy. Ibn Qudâmah Al-Maqdisiy.
11. Al-Muyassar Fî ‘Ilmi ‘Addi âyil Qurân. Ahmad Khâlid Syukriy.
12. Al-Muyassar Fî ‘Ilmir Rasmil Mushafi Wa Dhabthihi. Ghânim Qaddûriy Al-
Hamd.
13. Al-Qashîdah Al-Hushriyyah. Abul Hasan Al-Hushriy.
14. Al-Umm. Muhammad ibn Idrîs Asy-Syâfi’iy.
15. Al-Urjûzah Al-Munabbihah, Abû ‘Amr Ad-Dâniy.
16. An-Nasyr Fil Qirâatil ‘Asyr. Muhammad ibn Al-Jazariy.
17. Ar-Ri’âyah Litajwîdil Qirâah. Makkiy ibn Abî Thâlib.
18. At-Tahdîd Fil Itqâni Wat Tahdîd. Abû ‘Amr Ad-Dâniy.
19. At-Tajwîdul Mushawwar. Ayman Rusydiy Suwayd.
20. At-Tamhîd Fî ‘Ilmit Tajwîd. Muhammad ibn Al-Jazariy.
21. At-Tamhîd Fî Ma’rifatit Tajwîd. Abul ‘Alâ Al-Hamadzâniy.
22. At-Tibyân Fî âdâbi Hamalatil Qurân. Abû Zakariyyâ Yahyâ ibn Syaraf An-
Nawawiy.
23. Haqqut Tilâwah. Husniy Syaikh ‘Utsmân.
Muhammad Laili Al-Fadhli ‫هداية الرحمن على بيان اللحن في تالوة القرآن‬

24. Hilyatut Tilâwah. Rihâb Muhammad Mufîd Asy-Syaqaqiy.


25. Îdhâhul Waqfi Walibtidâ, Abû Muhammad Al-Qâsim ibn Al-Anbâriy.
26. Juhdul Muqill. Muhammad ibn Abî Bakr Al-Mar’âsyiy.
27. Munjidul Muqri’în. Muhammad ibn Al-Jazariy.
28. Mushannaf Ibn Abî Syaybah.
29. Sharihunnash Fil Kalimâtil Mukhtalafi Fîhâ ‘An Hafsh. ‘Aliy Muhammad
Adh-Dhabbâ’.
30. Syarhu Manzhûmatit Tanbihâtil Wâdhihah Litilâwati Sûratil Fâtihah. Abû
Yûsuf Akram Al-Baghdâdiy.
31. Syarhu Qashîdah Al-Khâqâniy. Abû ‘Amr Ad-Dâniy.
32. Tanbîhul Ghâfilîn Wa Irsyâdul Jâhilîn. ‘Aliy ibn Muhammad Ash-
Shafâqusiy.
33. Taysîrurrahmân Fi Tajwîdil Qurân. Su’âd ‘Abdil Hamîd.

Anda mungkin juga menyukai