Anda di halaman 1dari 18

TINGKATAN MAQAMAT :

AL-TAQWA, AL-TAWAKKAL, AL-RIDLA, AL-MAHABBAH DAN


AL-MA'RIFAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah teosofi

Dosen Pengampuh:
Ibu Fitratul Uyun, M.Pd

Oleh:
Kelompok 4

Muhammad Ya’qub Solahuddin 220106110095


Yusuf Asri Jundullah 220106110098
Siti Lutfiachi Zar’an 220106110105

KELAS C
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya kami dapat membuat dan menyelesaikan makalah ini yang
berjudul tingkatan maqamat : al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-
ma'rifah dengan tepat waktu dan tanpa ada halangan yang berarti dan sesuai
dengan harapan.
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah Teosofi.Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah
wawasan bagi pembaca pada umum nya dan bagi penulis khusus nya.Ucapan
terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Fitratul Uyun, M.Pd sebagai dosen
pengampu mata kuliah Teosofi yang telah membantu kami memberikan arahan
dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan karena keterbatasan kami. Maka dari itu kami selaku
penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah
ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Malang, 24 Maret 2023

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

Hlm
COVER…………………………………………………………………… 1
KATA PENGANTAR……………………………………………………. 2
DAFTAR ISI……………………………………………………………… 3

BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………. 4
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………… 4
1.3 Tujuan Penulisan ………………………………………………….......... 4

BAB II: PEMBAHASAN


2.1 Al-tawakkal.…..………........................................................................... 5
2.2 Al-ridla ………..……………………………………………………….. 7
2.3 Al-taqwa ….……………………………………………………………. 9
2.4 Al-mahabbah …………………………………………………………… 13
2.5 Al-ma'rifah……………………………………………………………… 14

BAB III: PENUTUP


3.1 Kesimpulan……………………………………………………………... 16

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan
perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya
menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui
tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar.
banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak
mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. defenisi tasawuf yang
dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara
menyeluruh.
Maqamat bentuk jamak dari maqam yang artinya adalah tahapan,
tingkatan, atau kedudukan sedangkan menurut istilah adalah upaya sadar untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Melalui tahapan-tahapan untuk mencapai
makrifatullah. Maqam merupakan tingkatan rohani yang dapat dilalui orang yang
berjalan menuju Allah dan akan berhenti pada saat tertentu..Menurut Abu Bakar
al-kalbi dalam bukunya, at-Ta’aruf li Mazhabi ahli Tasawwuf, maqam yang harus
dilalui oleh seorang salik adalah taubat, zuhud, sabar, faqr, rendah hati, takwa,
tawakal, kerelaan, mahabbah, dan makrifat.

B.Rumusan Masalah
a. Apa penegrtian maqomat ?
b. Apa saja tingkatan maqomat ?
c. Apa itu al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma'rifah ?

C.Tujuan Penulisan
a. Untuk memahami apa itu maqomat
b. Untuk mengetahui apa saja tingkatan maqomat

4
c. Untuk mengetahui al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-
ma'rifah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Tawakkal

Tawakkal / Al-Tawakkul berasal dari kata Arab ialah “wakila yakilu wakilan”
artinya “mempercayakan, bersandar, dan bergantung”. Kata tawakkul disebut di
dalam Al-Qur’an sebanyak 7 kali. Dalam bahasa Indonesia, tawakal adalah“
pasrah diri kepada kehendak Allah; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah
(dalam penderitaan dan sebagainya), atau sesudah berikhtiar baru berserah kepada
Allah”.Tawakal arti dasarnya berserah diri kepada Allah SWT. Secara sufistik
tawakal adalah menyerahkan diri hanya kepada ketentan Allah SWT. Sedangkan
Hakikat tawakkal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT,
membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan
hukum dan ketentuan. Pendapat Al-Qusyairi mengatakan bahwa tawakkal
tempatnya dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbutan tidak mengubah
tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal ini terjadi setelah hamba meyakini
bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka
menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya
adalah takdir Allah.

Pengertian tawakal yang demikian itu sejalan pula dengan yang


dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri
kepada qadha dan Qadar Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika
mendapat pemberian berterima kasih, jika tidak mendapat apa-apa bersikap sabar
dan menyerah kepada qadha dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup
dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang lain lain
yang lebih berhajat pada makanan tersebut dari dirinya. Percaya kepada janji
Allah. menyerah kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.

Tawakkal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan


diri dari Allah SWT. Dalam hal ini Al Ghazali mengkaikan tawakal dengan
5
tauhid, dengan penekatan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan
tawakal. Hal ini berarti tawakal adalah salah satu aspek dari unsur-unsur iman.
Iman yang sempurna harus didasari oleh ilmu, maka tawakal tidak akan tercapai
tanpa melalui pengetahuan tertentu sebagai landasanya. Pengetahuan dalam hal ini
adalah keyakinan dan pembenaran. Al-Ghazali mengemukakan gambaran orang
bertawakal itu adalah sebagai berikut:1

(1) Berusaha untuk memperoleh sesuatu yang dapat memberikan manfaat


kepadanya.

(2) Berusaha memelihara sesuatu yang dimilikinya dari hal-hal yang tidak
bermanfaat.

(3) Berusaha menolak, menghindari, dan bahkan menghilangkan dari hal-


hal yang menimbulkan mudarat.

Bertawakal termasuk perbuatan yang diperintah oleh Allah SWT. Dijelaskan


dalam firman Allah QS. Al Maidah ayat 11 yang berbunyi :

۟ Lُ‫ ِديَهُ ْم عَن ُك ْم ۖ َوٱتَّق‬L‫ف َأ ْي‬L


‫وا‬L َّ L‫ ِديَهُ ْم فَ َك‬L‫ُوا نِ ْع َمتَ ٱهَّلل ِ َعلَ ْي ُك ْم ِإ ْذ هَ َّم قَوْ ٌم َأن يَ ْب ُسطُ ٓو ۟ا ِإلَ ْي ُك ْم َأ ْي‬ ۟ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
۟ ‫وا ْٱذ ُكر‬
َ
َ‫ٱهَّلل َ ۚ َو َعلَى ٱهَّلل ِ فَ ْليَتَ َو َّك ِل ْٱل ُمْؤ ِمنُون‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah
(yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak
menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), Maka Allah menahan
tangan mereka dari kamu. dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah
sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal. (QS. Al Maidah 5:11)

Al-Junaid menyatakan bahwa hakikat tawakkal adalah merasa bahwa ada


dan tidak adanya sesuatu itu semata-mata merupakan kehendak dan kekuasaan
Allah SWT, dan karena Allah SWT sesuatu menjadi ada. Syekh Sahal
menambahkan bahwa setiap keadaan mempunyai sisi depan dan sisi belakang

1
Miswar Miswar, “Maqamat (Tahapan Yang Harus Ditempuh Dalam Proses Bertasawuf),”
ANSIRU PAI : Pengembangan Profesi Guru Pendidikan Agama Islam 1, no. 2 (4 Desember 2017):
16–17, https://doi.org/10.30821/ansiru.v1i2.1219.
6
kecuali tawakal, karena sesungguhnya tawakal itu hanya mempunyai sisi depan
saja dan tidak mempunyai sisi belakang. Maksudnya, seseorang hendaknya
bertawakal hanya karena Allah SWT bukan yang lainya. Lebih lanjut lagi inti
yang terdalam bahwa tawakal adalah meninggalkan segala usaha yang bukan
karena Allah SWT. Sedangkan bagi Ibnu ‘Athaillah memberikan definisi tawakal
sebagai suatu sikap yang menyerahkan kendali kepada Allah SWT dan bersandar
segala urusan kepada-Nya. Sehingga pada maqam ini, seseorang tidak akan ikut
campur dan pasrah atas segala ketentuan-Nya. Namun demikian Ibnu ‘Athaillah
bukan berarti menganjurkan faham jabariyah, namun ia membedakan bagian yang
menjadi tanggung jawab hamba dan tanggung jawab Allah SWT. Maqam tawakal
ini mempunyai hubungan yang erat dengan maqam yang di atasnya yaitu maqam
ar-ridha.2

B. Al-Ridla

Kata Rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya
“senang, puas, memilih persetujuan, menyenangkan, menerima”. Dalam KBBI,
rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”. Harun Nasution
mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang kada dan kadar Tuhan.
Menerima kada dan kadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari
hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira.
Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima
nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka.
Tidak berusaha sebelum turunnya kada dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit
sesudah turunnya kada dan kadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu
turunnya bala (cobaan yang berat).

Secara harfiah riḍa artinya "rela, suka, senang" yang berarti menerima
dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT. Orang yang rela
mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan oleh Nabi

2
Ibnu Farhan, “Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Perpektif Para Sufi,” JURNAL YAQZHAN:
Analisis Filsafat, Agama dan Kemanusiaan 2, no. 2 (1 Desember 2016): 167–68,
https://doi.org/10.24235/jy.v2i2.1247.
7
Zulkifli dalam Akhlak Tasawuf yaitu “Jalan Lurus Mensucikan Diri” (Allah dan
tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan ia mampu melihat
keagungan, kebesaran, dan kemaha sempurnaan Dzat yang memberi cobaan
kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan
tersebut. Hanya para ahli makrifat dan mahabbahlah yang mampu bersikap seperti
ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran
jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.3

Manusia biasanya merasa sukar menerima keadaan-keadaan yang biasa


menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat, dan
kedudukan, kematian, dan lain-lainnya yang dapat mengurangi kesenangannya.
Yang dapat bertahan dari berbagai cobaan itu hanyalah orang yang telah memiliki
sifat Riḍa. Selain itu juga rela berjuang atas jalan Allah SWT, rela berkorban hati,
jiwa dan lainnya. Semua itu bagi sufi dipandang sebagai sifat-sifat yang terpuji
dan akhlak yang bernilai tinggi bahkan dianggap sebagai ibadah semata-mata
karena mengharap keridhaan Allah SWT.

Abdul Wahid bin Zaid berkata, Ridha adalah pintu Allah yang paling
lebar, surga dunia dan kesenangan orang-orang yang banyak beribadah. Tidak ada
derajat yang lebih tinggi di akhirat kelak kecuali derajat orang-orang yang riḍa
terhadap Allah SWT, walau dalam keadaan apapun. Siapa aja yang dianugerahkan
keriḍaan, maka dia telah mencapai derajat yang paling utama. Allah SWT
berfirman dalam Al Qur’an:

‫ ِكينَةَ َعلَ ْي ِه ْم َوَأ ٰثَبَهُ ْم‬L‫ٱلس‬


َّ ‫َأنزَ َل‬Lَ‫وبِ ِه ْم ف‬LLُ‫ا فِى قُل‬LL‫ َج َر ِة فَ َعلِ َم َم‬L‫ٱلش‬ Lَ Lَ‫ض َى ٱهَّلل ُ َع ِن ْٱل ُمْؤ ِمنِينَ ِإ ْذ يُبَايِعُون‬
َّ َ‫ك تَحْ ت‬ ِ ‫لَّقَ ْد َر‬
‫فَ ْتحًا قَ ِريبًا‬

Artinya: Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin


ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui
apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan

3
Ratna Dewi, “Konsep Zuhud Pada Ajaran Tasawuf Dalam Kehidupan Santri Pada Pondok
Pesantren,” MAWA IZH JURNAL DAKWAH DAN PENGEMBANGAN SOSIAL KEMANUSIAAN 12, no. 2
(19 November 2021): 133–34, https://doi.org/10.32923/maw.v12i2.1874.
8
memberi Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).
(QS. Al fath 48:18)

Menurut Abdul Halim Mahmud, riḍa mendorong manusia untuk


berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah SWT dan Rasul-Nya.
Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya
dengan cara apapun yang disukai Allah SWT. Syekh Zunnun al Misri berkata
bahwa ridha adalah keadaan hati seseorang yang selalu merasa bahagia dengan
apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT atas dirinya. Sedangkan bagi Ibnu
‘Athaillah, maqam ridha adalah sikap sesorang dalam menampik sikap ikut
campur terhadap kehendak Allah SWT. Pasalnya, orang yang ridha telah merasa
cukup dengan pengaturan Allah SWT untuknya. Bagaimana mungkin ia akan ikut
mengatur bersama-Nya, sementara ia telah meridhai pengaturanNya. Maqam ini
adalah maqam yang paling tinggi dalam sistematika maqamat menurut prespektif
Ibnu ‘Athaillah.

C. Al Mahabbah

Seorang sufi yang menjalani proses al Maqamat akan selalu merasa dekat dengan
Tuhan mereka dan hatinya menjadi tenang, tenteram, dan damai. Al Maqamat
juga ditakrifkan sebagai usaha pra-kondisional berupa amalan-amalan lahir dan
batin, seperti taubat, zuhd, sabr, tawakkal, mahabbah, dan ma’rifah. Amalan-
amalan itulah yang kemudian oleh para sufi dijadikan sebagai maqam dalam
tazkiyyah al nafs.Secara harfiah Mahabbah atau al Hubb sering diartikan dengan
cinta dan kasih sayang. Dalam hal ini, Mahabbah juga dimaknai sebagai usaha
dalam mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang yang ditujukan kepada Allah
ta’ala. Selain itu, juga dapat diartikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika
dirundung keinginan untuk bertemu dengan kekasih Nya.4

4
Khairunnas Rajab, “Al-Maqam Dan Al-Ahwal Dalam Tasawuf,” Jurnal Ushuluddin 25 (June 30,
2007): 17.
9
Menurut al-Ghazali, Mahabbah ialah maqam sebelum Rida, fase dimana seorang
hamba mengaitkan sesuatu dengan Allah yang artinya segala hal yang ia jadikan
objek cintanya itu dengan alasan karena Allah. Al-Ghazali menggaris bawahi
bahwa mencintai Allah harus melalui perkenalan atau ma’rifatullah. Menurut al-
Ghazali melalui ma’rifat seorang hamba dapat mencintai Tuhannya.5 Kaum sufi
pun mendasari ajaran mereka tentang cinta dengan al-Qur’an, Hadis, dan Atsar
(perkataan, tindakan, dan ketetapan sahabat) seperti yang tertera pada Q.S Ali-
Imran 3 : 31, Allah swt, berfirman :

Yang artinya :”Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,


ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Bahkan al-Ghazali juga mengungkapkan bahwasannya ma’rifat


merupakan jalan untuk menuju cinta, yang artinya al-Ghazali memberikan
pandangan bahwa seseorang tidak dapat mencintai Tuhan-Nya apabila dirinya
sendiri tidak mengenal atau dekat dengan Tuhan-Nya. Oleh karena itu, al-Ghazali
menegaskan bahwasannya ma’rifat dan mahabbah merupakan puncak kesufian.
Ketika seorang hamba telah mencapai puncaknya yakni ma’rifat dan mahabbah,
maka yang akan ia raih selanjutnya ialah kebahagiaan yang abadi.6

Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, tanda cinta kepada Allah swt. adalah
senantiasa berdzikir kepada Allah, mengasingkan diri hanya untuk bermunajat
kepada-Nya seperti membaca al-Qur’an dan melakukan sholat tahajjud, merasa
rugi apabila melewatkan waktu tanpa menyebut nama-Nya dan menyayangi
semua hamba Allah, mengasihani mereka dan bersikap tegas terhadap musuh-
musuh-Nya.7

5
M. Khusnun Niam and Rahmad Tri Hadi, “Internalisasi Tasawuf Al-Ghazali Pada Masa Pandemi
Covid-19,” Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman 32, no. 1 (January 25, 2021): 161,
https://doi.org/10.33367/tribakti.v32i1.1253.
6
Niam and Hadi, 158.
7
Abdul Wahab Syakhrani, Nadia Nursyifa, and Nurul Fithroti, “Konsep Maqomat Dan Akhwal,”
MUSHAF JOURNAL: Jurnal Ilmu Al Quran Dan Hadis 3, no. 1 (2023): 17,
https://doi.org/10.54443/mushaf.v3i1.84.
10
Sahl bin Abdullah juga mengatakan bahwa Mahabbah adalah kecocokan
hati dengan Allah swt. dan senantiasa cocok dengan-Nya, beserta Nabi-Nya
dengan senantiasa mencintai yang sangat mendalam untuk selalu berdzikir dan
mengingat Allah swt. dan menemukan manisnya bermunajat kepada Allah swt.
kondisi spiritual bagi seorang hamba yang bermaqam Mahabbah adalah melihat
dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah berikan kepadaNya, dan
dengan hati nuraninya dia melihat kedekatan Allah dengannya, segala
perlindungan, penjagaan, dan perhatian-Nya yang dilimpahkan kepada hamba-
Nya.8

Tasawuf menjadikan Mahabbah sebagai tempat persinggahan orang-orang


yang berlomba untuk memperoleh cinta Illahi serta menjadi sasaran curahan
orang-orang yang beramal dan mencintai Tuhan-Nya. Cinta adalah sesuatu yang
membawa orang kepada keridhaan Illahi karena dalam merealisasikan cinta
tersebut membuat orang mudah mengorbankan apa saja asal dengan pengorbanan
itu dia sampai kepada tujuan cinta-Nya. Dzunnun al-Mishri menjelaskan bahwa
cinta memiliki nilai kausalitas atau timbal balik antara Tuhan dengan mahluk-
Nya. Ketika cinta sudah pada tataran “saling”maka kemungkinan yang terjadi
diibaratkan seperti magnet. Semakin mendekat maka ia akan semakin lengket
dengan yang didekati.

Cinta adalah sesuatu yang membawa orang kepada keredhaan Ilahi. Bagi
merealisasikan cinta, orang mudah mengorbankan apa sahaja asal dengan
pengorbanan itu dia sampai kepada tujuan cintanya. Oleh kerana itu cinta sering
diertikan sebagai berikut: Menyukai kepatuhan kepada Tuhan dan membenci
sikap i. melawanNya; Menyerahkan seluruh diri (jiwa dan raga) kepada yang
dikasihi; ii. Mengosongkan hati daripada segala-galanya, kecuali daripada yang
iii. dikasihi.70 Mahabbah atau cinta dalam pengertian di atas memberikan
keterangan yang jelas terhadap makna mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah
adalah usaha menuangkan segala yang dimiliki untuk mengisinya kembali dengan
muatan cinta sehingga hati sarat dengan mahabbah yang tidak dicampuri oleh

8
Syakhrani, Nursyifa, and Fithroti, 21.
11
perkara-perkara lain. Mahabbah dalam dimensi ini melihat bahawa sesuatu yang
dikasihi sebagai sesuatu yang ideal dan paling berhak untuk dicintai dan dikasihi.
Sufi terkenal Rabi`ah al-`Adawiyyah mengucapkan:

“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan kerana takut kepada neraka

Bukan pula kerana masuk syurga

Tetapi aku mengabdi kerana cintaku kepadaNya

Tuhanku, jika kupuja Engkau kerana takut pada neraka

Bakarlah aku di dalamnya

Dan jika kupuja Engkau kerana mengharapkan syurga

Jauhkan aku daripadanya

Tetapi jika Engkau kupuja semata-mata kerana Engkau

Maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu daripadaku.”

Cinta bagi Rabi`ah bukanlah sekadar menginginkan kepentingan diri,


tetapi juga lebih daripada itu di mana beliau mengharapkan keredhaan Allah
semata-mata. Allah pernah menyentuh masalah cinta ini di dalam al-Qur’an di
mana ada di antara manusia yang tegar menyembah dan mencintai selain
daripadaNya sedangkan Allah sahaja yang berhak disembah dan dicintai. Allah
menghuraikan perkara tersebut dalam firmanNya yang bermaksud:

“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.


Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika
melihat seksa (pada hari kiamat). Sesungguhnya kekuasaan itu kepunyaan Allah
semuanya, dan bahawa Allah amat berat seksanya (nescaya mereka menyesal).”

Cinta yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat di atas adalah cinta yang
sebenarnya; bahawa orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah
dibandingkan kecintaan terhadap selainNya. Cintanya itu benar-benar utuh dan

12
tidak berbelah bahagi serta tidak bercampur dengan selainNya. Cinta
mendatangkan kebutaan dan ketulian, cinta membutakan segala kecuali terhadap
yang dicintai sehingga orang itu tidak melihat apa pun kecuali Dia. Cinta
membuat telinga tuli, tidak mendengar sesuatu pun di mana dia hanya mendengar
ungkapan dan ucapan-ucapan dari yang dicintaiNya.

Cinta sejati menghalang semua alternatif buruk yang merugikan terhadap


kewujudan cinta tersebut. Bagi pencinta sejati, hanya satu keagungan, satu
kemuliaan, satu keperkasaan dan satu kekasih yang ditujui oleh mereka. Mereka
mengagungkanNya kerana Dia memang Agung. Mereka memuliakanNya kerana
Dia memang Maha Mulia dan Dialah yang paling berhak untuk dikasihi.9

D. Al Taqwa

Ahwal dalam Taqwa (Pemeliharaan Diri). Taqwa adalah satu sifat yang
dinisbahkan kepada orang yang patuh, taat (posisi dimana jika seseorang mampu
melakukan syariat secara benar dan jika melanggar atau menyeleweng disebut
maksiat)10 dan sabr terhadap perintah Allah serta memelihara dirinya daripada
tergelincir ke dalam perkara-perkara yang buruk. Taqwa dalam pengertian umum
dapat dikatakan: “Memelihara diri dan tetap menjaganya dengan melaksanakan
ketaatan dan amal soleh”. Taqwa merupakan ketua bagi seluruh kebaikan dan
hakikatnya adalah seseorang melindungi dirinya daripada hukuman Tuhan dengan
ketundukan kepadaNya. Taqwa adalah usaha penjagaan daripada tergelincir ke
dalam syirik, dosa dan kejahatan, serta hal-hal yang shubhat (diragui tentang halal
dan haramnya). Al-Maraghi mendefinisikan taqwa dengan menjaga diri daripada
hukuman dan kemurkaan Allah dengan cara tidak melakukan maksiat
kepadaNya.11

9
Rajab, “Al-Maqam Dan Al-Ahwal Dalam Tasawuf,” 18–19.
10
Muhammad Liwa’ Uddin, “Hirarki Syari’at Dan Hakikat Dalam Kajian Tasawuf,” Islamic Review:
Jurnal Riset Dan Kajian Keislaman 4, no. 2 (2015): 256,
https://doi.org/10.35878/islamicreview.v4i2.103.
11
Muhammad Musthafa al-Maraghi (1985), VI, 121.
13
Dalam tasawuf taqwa merupakan kondisi batin yang terpelihara dan berada dalam
penjagaan dan pemeliharaan diri dengan sebab ketaatan dan kesolehan seseorang
kepada Tuhannya. Pemeliharaan diri daripada nilai negatif melahirkan suatu
kondisi "Batiniyyah latifah Rabbaniyyah" iaitu suatu keadaan psikologi yang
lembut yang berisi nilai ketuhanan yang kukuh sehingga ia memperoleh
ketenangan dan kebahagiaan. Ketakwaan pada hakikatnya adalah pengendalian
diri dan emosinya daripada menurut kecenderungan hawa nafsunya. Seseorang
yang memiliki taqwa, akan sentiasa berlaku benar, adil, amanah dan mempunyai
hubungan yang baik dengan lingkungannya. Ketakwaan bukanlah kondisi batin
yang hadir secara tiba-tiba, tetapi lebih daripada anugerah, taufiq dan hidayah
daripada Allah kepada hambaNya yang taat dan beramal soleh.12

E. Al Ma’rifat

Pengertian Ma’rifah dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan,
ma’rifat yang Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal
yang bersifat zahir, tetapi bathin dengan mengetahui rahasianya. Para sufi
mengatakan perihal Ma’rifat adalah :
1. Kalau mata dalam hati sanubari manusia terbuka, mata dan ketika itu yang
dilihatnya hanyalah Allah.
2. Makrifat adalah cermin, yang mana yang dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arif saat tidur dan bangun hanyalah Allah.
4. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihatnya
akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan dan bentuk keindahannya.
Dikemukakan al-Kalazabi, ma’rifat datang sesudah mahabbah, karena
ma’rifat lebih mengacu pada pengetahuan sedangkan mahabbah menggambarkan
kecintaan. Disebutkan dalam sebuah Hadits Qudsi :
‫”"كنت خزينة خا فية احببت ان اعرف فخلقت الخلق فتعر فت اليهم فعرفونى‬

12
Rajab, “Al-Maqam Dan Al-Ahwal Dalam Tasawuf,” 24–25.
14
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin
memperkenalkan siapa Aku, maka aku ciptakan mahluk. Maka Aku
memperkenalkan DiriKu kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku” (Hadits
Qudsi)
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta
kepada Allah adalah puncak dari seluruh maqam spiritual dengan derajad/level
yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”. Ma’rifat
merupakan karunia pemberian langsung dari Allah, maka ia sekali-kali tidak
bergantung pada banyak atau sedikitnya amal kebaikan. Ma’rifat adalah anugerah
Allah yang didasari kasih Tuhan kepada hamba-Nya.
b. Tujuan ma’rifat adalah berhubungan dengan Allah, dengan kendali jiwa kepada
eksistensinya yang intern, wasilahnya adalah spiritual.

Alat untuk mencapai ma’rifah


Alat yang dapat digunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia,
yaitu qalb(hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa inggris,
karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya
qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yng
sebenarnya tentang tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala
yang ada, dan jika dilimpahi cahaya tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia tuhan.
Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian
dzikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia tuhan , yaitu
setelah hati tersebut disinari cahaya tuhan.

15
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat
orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti
sebagai jalan penting yang harus ditempuh oleh orang sufi untuk berada dekat
kepada Allah. Sedangkan secara bahasa Al-Ahwal merupakan jamak dari kata
tunggal hal yang berarti keadaan atau suatu (keadaan rohani), menurut syekh Abu
Nash As-sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi yang mendadak yang bertempat
pada hati nurani dan tidak bertahan lama.
        Dari beberapa pendapat tentang Maqamat disini para sufi berbeda pendapat
ada yang mengatakan tujuh, delapan dan sepuluh akan tetapi para sufi sepakat
bahwa Maqamat ada tujuh: Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar, Tawakal, karena karena
dalam macam ada yang sudah masuk dalam ahwal (hal), sedangkan hal sendiri
dibagi menjadi enam: almusyahada, AlUsn, ath-thuma’minah, ar-raja’, al-khauf,
al-muroqobah.
        Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati,
sehingga sifat-sifat yang dicintai masuk dalam diri yang dicintai,
Adapun Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang
bersifat zihir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui
rahasianya.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Dewi, Ratna. “Konsep Zuhud Pada Ajaran Tasawuf Dalam Kehidupan


Santri Pada Pondok Pesantren.” MAWA IZH JURNAL DAKWAH DAN
PENGEMBANGAN SOSIAL KEMANUSIAAN 12, no. 2 (19 November
2021): 122–42. https://doi.org/10.32923/maw.v12i2.1874.

2. Farhan, Ibnu. “Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Perpektif Para Sufi.”
JURNAL YAQZHAN: Analisis Filsafat, Agama dan Kemanusiaan 2, no. 2
(1 Desember 2016). https://doi.org/10.24235/jy.v2i2.1247.

3. Miswar, Miswar. “Maqamat (Tahapan Yang Harus Ditempuh Dalam


Proses Bertasawuf).” ANSIRU PAI : Pengembangan Profesi Guru
Pendidikan Agama Islam 1, no. 2 (4 Desember 2017): 8–19.
https://doi.org/10.30821/ansiru.v1i2.1219.

4. Niam, M. Khusnun, and Rahmad Tri Hadi. “Internalisasi Tasawuf Al-


Ghazali Pada Masa Pandemi Covid-19.” Tribakti: Jurnal Pemikiran
Keislaman 32, no. 1 (January 25, 2021): 151–68.
https://doi.org/10.33367/tribakti.v32i1.1253.

5. Rajab, Khairunnas. “Al-Maqam Dan Al-Ahwal Dalam Tasawuf.” Jurnal


Ushuluddin 25 (June 30, 2007): 1–28.

6. Syakhrani, Abdul Wahab, Nadia Nursyifa, and Nurul Fithroti. “Konsep


Maqomat Dan Akhwal.” MUSHAF JOURNAL: Jurnal Ilmu Al Quran Dan
Hadis 3, no. 1 (2023): 9–23. https://doi.org/10.54443/mushaf.v3i1.84.

7. Uddin, Muhammad Liwa’. “Hirarki Syari’at Dan Hakikat Dalam Kajian


Tasawuf.” Islamic Review: Jurnal Riset Dan Kajian Keislaman 4, no. 2
(2015): 251–72. https://doi.org/10.35878/islamicreview.v4i2.103.

17
8. Napiah, Othman. 2001. Ahwal Maqamat dalam Ilmu Tasawuf. Malaysia:
Johor Darul Ta’zim.

18

Anda mungkin juga menyukai