FIQIH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Fiqih Tentang “Ibadah Dan Tharah Dari Hadas Dan Najis” ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pengampu Abdulah Umar Habibi, M.Pd pada mata kuliah “Fiqih”.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Fiqih
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Abdulah Umar Habibi,
M.Pd selaku dosen Fiqih yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................
A. Latar Belakang....................................................................................................
B. Rumusan Masalah ..............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................
A. IBADAH
a. Pengertian Ibadah ........................................................................................
b. Hakikat Ibadah .............................................................................................
c. Klasifikasi Ibadah ........................................................................................
d. Syarat diterimanya Ibadah .........................................................................
B. TAHARAH DARI HADIS DAN NAJIS...........................................................
a. Pengertian Thaharah, Hadast dan Najis
b. Klasifikasi Air dan Penggunaannya dalam Bersuci...................................
c. Benda – benda Najis......................................................................................
d. Klasifikasi Najis dan cara mencusikannya.................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................................
A. KESIMPULAN....................................................................................................
B. SARAN.................................................................................................................
C. DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling terkenal
atau dikenal oleh masyarakat. Ini terjadi karena fiqih terkait langsung dengan
kehidupan masyarakat, dan itu terjadi dari sejak lahir sampai dengana meninggal
dunia, manusia itu selalu berhubungan dengan Fiqih.
Karena sifat dan fungsinya yang demikian itu maka fiqih dikategorikan sebagai ilmu
al-hal. Ilmu al-hal yaitu Ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia,
dan juga termasuk ilmu yang wajib dipelajari oleh manusia, karena dengan Ilmu itu
pula seseorang baru bisa atau seseorang baru dapat melaksanakan kewajibannya
mengabdi kepada Allah SWT melalui ibadah seperti dalam melaksanakan sholat,
puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya.
Fiqih selalu menyertai seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari mulai
dari bangun tidur hingga tidur kembali dan selalu menyertai semua kegiatan seorang
muslim. Jadi fiqih mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam islam terutama
dalam mengarahkan apa dan bagaimana seorang muslim bertindak dan melakukan
kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Secara sederhana, fiqih bisa dipahami sebagai hasil dari pemikiran manusia
tentang sesuatu hal yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa fiqih merupakan penjabaran yang lebih
rinci dari tentang syari’at untuk memudahkan dalam mengamalkan syari;at. Adapun
ruang lingkup yang dikaji fiqih meliputi hubungan manusia dengan Allah SWT yang
biasa disebut dengan ibadah dan hubungan manusia dengan sesamanya atau yang
biasa disebut dengan mu’amalah.
B. Rumusan Masalah
A. IBADAH
1. Apa pengertian Ibadah?
2. Apa saja Hakikat Ibadah?
3. Apa Itu Klasifikasi Ibadah ?
4. Syarat di terimannya Ibadah ?
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S Adz Dzariyat 56)2
Dengan demikian, manusia diciptakan bukan sekedar untuk hidup
mendiami dunia ini dan mengalami kematian tanpa adanya pertanggung
jawaban.
3. Klasifikasi Ibadah
Klasifikasi Ibadah terbagi 2 yaitu :
Ibadah mahdhah ()العبادت المحضة
Adalah ibadah yang murni ibadah, ditunjukkan oleh tiga ciri berikut ini:
Pertama, ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan jenis
ibadah sejak asal penetapannya dari dalil syariat. Artinya, perkataan atau
ucapan tersebut tidaklah bernilai kecuali ibadah. Dengan kata lain, tidak
bisa bernilai netral (bisa jadi ibadah atau bukan ibadah). Ibadah mahdhah
juga ditunjukkan dengan dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya
ditujukan kepada selain Allah Ta’ala, karena hal itu termasuk dalam
kemusyrikan.
Kedua, ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan maksud pokok orang
yang mengerjakannya, yaitu dalam rangka meraih pahala di akhirat.
Ketiga, ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu, tidak
ada jalan yang lainnya, termasuk melalui akal atau budaya.
Contoh sederhana ibadah mahdhah adalah shalat. Shalat adalah ibadah
mahdhah karena memang ada perintah (dalil) khusus dari syariat.
Sehingga sejak awal mulanya, shalat adalah aktivitas yang diperintahkan
(ciri yang pertama). Orang mengerjakan shalat, pastilah berharap pahala
akhirat (ciri ke dua). Ciri ketiga, ibadah shalat tidaklah mungkin kita
ketahui selain melalui jalur wahyu. Rincian berapa kali shalat, kapan saja,
berapa raka’at, gerakan, bacaan, dan seterusnya, hanya bisa kita ketahui
melalui penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hasil dari
kreativitas dan olah pikiran kita sendiri.
Ibadah ghairu mahdhah ()العبادت غير المحضة
Ibadah yang tidak murni ibadah memiliki pengertian yang berkebalikan
dari tiga ciri di atas. Sehingga ibadah ghairu mahdhah dicirikan dengan:
Pertama, ibadah (perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya
bukanlah ibadah. Akan tetapi, berubah status menjadi ibadah karena
melihat dan menimbang niat pelakunya.
Kedua, maksud pokok perbuatan tersebut adalah untuk memenuhi urusan
atau kebutuhan yang bersifat duniawi, bukan untuk meraih pahala di
akhirat.
Ketiga, amal perbuatan tersebut bisa diketahui dan dikenal meskipun tidak
ada wahyu dari para rasul.
Contoh sederhana dari ibadah ghairu mahdhah adalah aktivitas makan.
Makan pada asalnya bukanlah ibadah khusus. Orang bebas mau makan
kapan saja, baik ketika lapar ataupun tidak lapar, dan dengan menu apa
saja, kecuali yang Allah Ta’ala haramkan. Bisa jadi orang makan karena
lapar, atau hanya sekedar ingin mencicipi makanan. Akan tetapi, aktivitas
makan tersebut bisa berpahala ketika pelakunya meniatkan agar memiliki
kekuatan (tidak lemas) untuk shalat atau berjalan menuju masjid. Ini
adalah ciri pertama.
Berdasarkan ciri kedua, kita pun mengetahui bahwa maksud pokok ketika
orang makan adalah untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) dalam
hidupnya, sehingga dia bisa menjaga keberlangsungan hidupnya. Selain
itu, manusia tidak membutuhkan wahyu untuk bisa mengetahui pentingnya
makan dalam hidup ini, ini ciri yang ketiga. Tanpa wahyu, orang sudah
mencari makan.
4. Syarat di terimanya Ibadah
Ibadah seorang hamba yang muslim akan diterima dan diberi pahala
oleh Allah apabila telah memenuhi syarat utama berikut ini, yaitu :
IKHLAS
Ikhlas merupakan salah satu makna dari syahadat bahwa tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah I’ yaitu agar
menjadikan ibadah itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata.
Allah berfirman : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada Nya dalam
(menjalankan) agama”. [QS. Al Bayyinah : 5].
Jadi syarat ini haruslah ada pada setiap amal ibadah yang kita
kerjakan dan tidak boleh terpisahkan antara yang satu dan yang
lainnya. Mengenai hal ini berkata Al Fudhoil bin ‘Iyadh :
“Sesungguhnya andaikata suatu amalan itu dilakukan dengan ikhlas
namun tidak benar (tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad ),
maka amalan itu tidak diterima. Dan andaikata amalan itu dilakukan
dengan benar (sesuai dengan tuntunan Nabi ) tapi tidak ikhlas, juga
tidak diterima, hingga ia melakukannya dengan ikhlas dan benar.
Ikhlas semata karena Allah, dan benar apabila sesuai dengan tuntunan
Nabi ”.
serta shalatnya tidak sah karena tidak sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan oleh syari’at Islam, yaitu menyembelih hewan korban
dimulai sesudah shalat hari raya Idul Adha hingga sebelum matahari
terbenam pada tanggal 13 Dzul Hijjah (hari Tasyriq ketiga), dan
mengeluarkan zakat Fitri sebelum dilaksanakannya sholat Idul Fitri.
Air merupakan salah satu unsur alam yang sangat dibutuhkan oleh
manusia. Bagi Umat Islam, air memegang peranan penting dalam
aktivitas thaharah/bersuci.
Jika ingin mandi tentu membutuhkan air. Saat ingin wudhu juga
butuh air. Tanpa air, proses bersuci sebelum melaksanakan ibadah
akan terhambat.
Air yang dapat digunakan untuk bersuci haruslah air yang bersih, suci
lagi menyucikan. Air tersebut bisa berasal dari langit (hujan) maupun
berasal dari Bumi (air tanah dan air laut) yang masih murni dan belum
pernah digunakan. Jika ditelaah dari jenis-jenisnya, air bersih, lagi
menyucikan ada 7 jenis, yaitu: Air hujan Air laut, Air dari lelehan
salju, Air embun, Air Sumur (Mata air), Air Telaga, Air Sungai.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
1. Air Mutlak
Air mutlak adalah air yang jatuh dari langit atau yang bersumber
dari bumi yang asalnya tidak berubah warna, rasa, dan bau.
Air ini hukumnya suci dan mensucikan. Maksudnya, air jenis ini
zatnya suci dan juga boleh digunakan untuk mensucikan benda lain
yang terkena najis.
َ َوهُ َو الَّ ِذي َأرْ َس َل الرِّ يَا َح بُ ْشرًا بَي َْن يَ َديْ َرحْ َمتِ ِه ۚ َوَأ ْن َز ْلنَا ِم َن ال َّس َما ِء َما ًء
طهُورًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih” (QS. Al-Furqon: 48)
2. Air Musta’mal
Air musta’mal adalah air bekas yang pernah digunakan untuk
bersuci. Air jenis ini dapat digunakan untuk membersihkan najis
yang ada di pakaian atau badan.
Seseorang yang mandi wajib dengan satu ember air. Nah, air bekas
untuk mandi wajib ini statusnya suci, tapi tak bisa digunakan untuk
bersuci semisal untuk wudhu atau mandi wajib.
Air yang sudah mengalami perubahan dari salah satu atau ketiga
sifatnya (warna, rasa, dan aroma) karena tercampur benda yang
suci, seperti air kopi, air teh, dan sebagainya, air ini statusnya
suci. Tapi tak bisa digunakan untuk bersuci semisal untuk wudhu
atau mandi wajib.
3. Air Mutanajjis
Air Mutanajjis adalah air asalnya suci lalu tercampur benda najis,
baik sedikit ataupun banyak, sehingga merubah warna, aroma, dan
rasanya.
“Air itu suci lagi mensucikan, kecuali jika berubah baunya atau
rasanya atau warnanya karena benda najis” (HR. Baihaqi)
“Jika air mencapai dua qullah, maka air tersebut tidak bisa
dipengaruhi kotoran (najis)”. Dalam lafadz lain, “Air tersebut tidak
bisa berubah menjadi najis.” (HR. Hakim, shahih)
Jika air lebih dari lalu dua Qullah terkena najis, maka status airnya
tetap suci dan boleh digunakan untuk bersuci. Dengan syarat tidak
ada perubahan warna, rasa, dan bau. Ini pendapat Ulama Syafi’i
dan Hanbali.
4. Air Musyammas.
Adalah air yang dipanaskan dengan sinar matahari, hukum air ini
adalah suci lagi menyucikan, namun hukumnya makruh untuk
digunakan bersuci.
5. Benda-benda Najis
1. Air kencing. Termasuk dalam air kencing adalah batu
yang keluar dari saluran kencing bila diyakini bahwa batu itu
terbentuk dari air kencing yang mengkristal. Bila batu itu
tidak terbentuk dari air kencing maka statusnya bukan najis
tapi mutanajis; barang suci yang terkena najis.
2. Air madzi. Yakni air yang berwarna kekuningan dan kental
yang keluar pada saat bergeraknya syahwat tanpa adanya
rasa nikmat, meskipun tanpa syahwat yang kuat atau keluar
setelah melemahnya syahwat. Ini hanya terjadi pada orang
yang sudah baligh. Pada seorang perempuan lebih sering
terjadi pada saat dirangsang dan bangkit syahwatnya.
Terkadang juga madzi keluar tanpa dirasakan oleh orang
yang bersangkutan.
3. Air wadi. Yakni air putih, keruh dan kental yang keluar
setelah guang air kecil atau ketika membawa barang yang
berat. Keluarnya air wadi tidak hanya terjadi pada orang
yang sudah baligh saja.
9. Air luka atau air bisul yang telah berubah rasa, warna
atau baunya. Air ini najis karena merupakan darah yang
telah berubah. Bila tidak ada perubahan pada air ini maka
statusnya tetap suci.
15. Air susu binatang yang tidak boleh dimakan. Seperti air
susu harimau, kucing, anjing dan lainnya. Sedangkan air
susu binatang yang boleh dimakan berstatus suci.
17. Darah selain hati dan limpa. Hati dan limpa meskipun
termasuk kategori darah namun statusnya suci tidak najis.
20. Asap dan uap dari barang najis yang dibakar, seperti
asap dari kayu yang dikencingi dan kotoran kerbau yang
dibakar
2. Najis mukhaffafah
3. Najis mutawassithah
4. Najis ‘Ainiyah
Najis ‘Ainiyah ialah najis yang terlihat oleh kasat mata atau berwujud,
baik bentuk rupanya maupun dari baunya. Seperti darah, kotoran, dan
kencing. Cara mensucikannya dengan membasuh dengan air yang dituntut
untuk mengalir sampai rasa, bau dan warna najis hilang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ibadah berasal dari kata Arab ‘Ibadah (jamak: ‘ibadat ) yang berarti
pengabdian, penghambaan, ketundukkan, dan kepatuhan. Ibadah
adalah pengungkapan rasa kekurangan, kehinaan dan kerendahan
diri dalam bentuk pengagungan, penyucian dan syukur atas segala
nikmat.
2. Hakikat ibadah yaitu agar manusia di muka bumi ini untuk beribadah
kepada-Nya. Allah menetapkan perintah ibadah sebenarnya
merupakan suatu kemampuan yang besar kepada makhluknya,
karena apabila direnungkan, hakikat perintah beribadah itu berupa
peringatan agar kita menunaikan kewajiban terhadap Allah yang
telah melimpahkan karunia-Nya.
3. Menurut Ibnu Taimiyah (661-726 H)/ 1262-1371 M) yang
dikemukakan oleh Ritonga, bahwa ruang lingkup ibadah mencakup
semua bentuk cinta dan kerelaan kepada Allah, baik dalam perkataan
maupun batin.
4. Meningatkan dan memperkukuh imannya dengan terus-menerus
menambah kualitas dan kuantitas ibadahnya. Sebaliknya, iman yang
semakin mantap pasti akan membuahkan ibadah yang banyak dan
berkualitas. Itulah hubungan timbal-balik antara iman dan ibadah.
5. Memuji Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang multak,
Menyucikan Allah dari segala cela dan kekurangan, bersyukur kepada
Allah, Menyerahkan diri secara tulus kepada Allah dan menaati-Nya
secara mutlak, Dialah satu-satunya yang Mahasempurna.
6. Niat yang ikhlas, tidak bertentangan dengan syariat.
7. Bersuci dari hadas maupun najis termasuk dalam perihal thaharah
atau bersuci. Dalam hukum Islam juga disebutkan, bahwa segala
seluk beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting.
Macam - macam Thaharah ada empat yaitu pertama, tentang wudhu
yaitu menghilangkan najis dari badan. Kedua, tentang bertanyamum
yaitu pengganti air wudhu disaat kekeringan. Ketiga, mandi besar
yaitu menyiram air keseluruh tubuh disertai niat. Keempat, Istinja’
yaitu membersihkan kotoran yang keluar dari salah satu dua pintu
keluarnya kotoran itu.
8. Bersuci bisa juga menggunakan alat - alat bantu yang dianjurkan oleh
Rasullullah SAW yaitu Air, tanah, dan masih banyak lagi yang bisa
digunakan. Macam - macam hadas juga terbagi menjadi dua ialah
hadas kecil yaitu yang disebabkan oleh keluar sesuatu dari dubur dan
kubul, sedangkan hadas besar yaitu yang disebabkan oleh keluarnya
air mani dan bersetubuh.
B. Penutup
Dalam setiap penulisan makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan
dan memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, sangat
dibutuhkan saran yang dapat membangun untuk lebih baik, karena
hasil dari setiap pemikiran saran dari banyak pihak akan
berkembang sesuai zaman dan realitas yang ada.
C. DAFTAR PUSTAKA
1 H. E Hassan Saleh, (ed.), Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal 3-5 2 Abu Abdillah Salman Farisy, Al
qur’an digital17
https://almanhaj.or.id/2267-pengertian-ibadah-dalam-islam.html
https://muslim.or.id/46004-perbedaan-antara-ibadah-mahdhah-dan-ibadah-
ghairu-mahdhah-bag-1.html
https://islam.nu.or.id/post/read/82511/mengenal-barang-barang-najis-
menurut-fiqih
https://www.dakwah.id/hukum-asal-air/
https://islam.nu.or.id/post/read/82513/tiga-macam-najis-dan-cara-
menyucikannya