Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

FIQIH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih

Dosen Pengampu Mata Kuliah Pancasila


Abdulah Umar Habibi, M.Pd
Disusun Oleh :
1. Adela Putri
2. Zulfa Ikhlasiani
3. Alfiana Azizah

KELAS C TADRIS BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI (UIN) ANTASARI
BANJARMASIN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Fiqih Tentang “Ibadah Dan Tharah Dari Hadas Dan Najis” ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pengampu Abdulah Umar Habibi, M.Pd pada mata kuliah “Fiqih”.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Fiqih
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Abdulah Umar Habibi,
M.Pd selaku dosen Fiqih yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.
Kami  juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Pangkalan Bun, 03 Oktober 2020

Kelompok 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................
A. Latar Belakang....................................................................................................
B. Rumusan Masalah ..............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................
A. IBADAH
a. Pengertian Ibadah ........................................................................................
b. Hakikat Ibadah .............................................................................................
c. Klasifikasi Ibadah ........................................................................................
d. Syarat diterimanya Ibadah .........................................................................
B. TAHARAH DARI HADIS DAN NAJIS...........................................................
a. Pengertian Thaharah, Hadast dan Najis
b. Klasifikasi Air dan Penggunaannya dalam Bersuci...................................
c. Benda – benda Najis......................................................................................
d. Klasifikasi Najis dan cara mencusikannya.................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................................
A. KESIMPULAN....................................................................................................
B. SARAN.................................................................................................................
C. DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqih Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling terkenal
atau dikenal oleh masyarakat. Ini terjadi karena fiqih terkait langsung dengan
kehidupan masyarakat, dan itu terjadi dari sejak lahir sampai dengana meninggal
dunia, manusia itu selalu berhubungan dengan Fiqih.
Karena sifat dan fungsinya yang demikian itu maka fiqih dikategorikan sebagai ilmu
al-hal. Ilmu al-hal yaitu Ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia,
dan juga termasuk ilmu yang wajib dipelajari oleh manusia, karena dengan Ilmu itu
pula seseorang baru bisa atau seseorang baru dapat melaksanakan kewajibannya
mengabdi kepada Allah SWT melalui ibadah seperti dalam melaksanakan sholat,
puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya.
Fiqih selalu menyertai seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari mulai
dari bangun tidur hingga tidur kembali dan selalu menyertai semua kegiatan seorang
muslim. Jadi fiqih mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam islam terutama
dalam mengarahkan apa dan bagaimana seorang muslim bertindak dan melakukan
kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Secara sederhana, fiqih bisa dipahami sebagai hasil dari pemikiran manusia
tentang sesuatu hal yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa fiqih merupakan penjabaran yang lebih
rinci dari tentang syari’at untuk memudahkan dalam mengamalkan syari;at. Adapun
ruang lingkup yang dikaji fiqih meliputi hubungan manusia dengan Allah SWT yang
biasa disebut dengan ibadah dan hubungan manusia dengan sesamanya atau yang
biasa disebut dengan mu’amalah.

B. Rumusan Masalah
A. IBADAH
1. Apa pengertian Ibadah?
2. Apa saja Hakikat Ibadah?
3. Apa Itu Klasifikasi Ibadah ?
4. Syarat di terimannya Ibadah ?

B. TAHARAH DARI HADAS DAN NAJIS


1. Apa itu Thaharah, Hadast dan Najis
2. Klasifikasi air dan penggunaannya dalam bersuci ?
3. Tentang Benda – benda najis?
4. Klasifikasi Najis dan cara mensucikannya ?
C. TUJUAN
1. Menambah wawasan tentang Ibadah
2. Mengerti Hakikat Ibadah
3. Mengerti Klasifikasi Ibadah
4. Mengetahui Syarat di terimanya Ibadah
5. Mengetahui Tentang apa itu Thaharah, Hadast dan Najis
5. Mengerti Klasifikasi Air dan penggunaannya dalam bersuci
6. Mengetahui Macam - macam benda Najis
7. Mengerti klasifikasi Najis dan cara mensucikannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ibadah
1. Pengertian Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta
tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai
banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain
adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya
melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu
tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah
(kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan
diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang
zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling
lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf
(takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan),
raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang
berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur
dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati).
Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah
qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah
yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan. Ibadah inilah yang
menjadi tujuan penciptaan manusia.
Allah berfirman:
‫ق ُذو‬ ْ ‫ق َو َما ُأ ِري ُد َأن ي‬
ُ ‫ُط ِع ُمو ِن ِإ َّن هَّللا َ هُ َو ال َّر َّزا‬ ٍ ‫نس ِإاَّل لِيَ ْعبُدُو ِن َما ُأ ِري ُد ِم ْنهُم ِّمن رِّ ْز‬
َ ‫ت ْال ِج َّن َواِإْل‬
ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬
ُ‫ْالقُ َّو ِة ْال َمتِين‬
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari
mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan
kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang
mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan
manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah
Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka,
akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan
mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada
Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi
dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’
(pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya
dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid
(yang mengesakan Allah).
2. Hakikat Ibadah
Makna sesungguhnya dalam ibadah ketika seseorang diciptakan maka
tidak semata- mata ada di dunia ini tanpa ada tujuan di balik
penciptaannya tersebut Menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia
adalah makhluk Allah SWT.
yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada- Nya. Hal ini
seperti firman Allah SWT. dalam
ُ ُ‫ت ا ْق اِإ َّن ا َو ْقِإ ا نَا ِإ َّن ا ِإ يَ ْق ت‬
QS Al- Dzariyat [51]:56: ‫ت وِإ وا‬ ُ ‫و ا ْق‬

Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S Adz Dzariyat 56)2
Dengan demikian, manusia diciptakan bukan sekedar untuk hidup
mendiami dunia ini dan mengalami kematian tanpa adanya pertanggung
jawaban.
3. Klasifikasi Ibadah
Klasifikasi Ibadah terbagi 2 yaitu :
 Ibadah mahdhah (‫)العبادت المحضة‬
Adalah ibadah yang murni ibadah, ditunjukkan oleh tiga ciri berikut ini:
Pertama, ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan jenis
ibadah sejak asal penetapannya dari dalil syariat. Artinya, perkataan atau
ucapan tersebut tidaklah bernilai kecuali ibadah. Dengan kata lain, tidak
bisa bernilai netral (bisa jadi ibadah atau bukan ibadah). Ibadah mahdhah
juga ditunjukkan dengan dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya
ditujukan kepada selain Allah Ta’ala, karena hal itu termasuk dalam
kemusyrikan.
Kedua, ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan maksud pokok orang
yang mengerjakannya, yaitu dalam rangka meraih pahala di akhirat.
Ketiga, ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu, tidak
ada jalan yang lainnya, termasuk melalui akal atau budaya.
Contoh sederhana ibadah mahdhah adalah shalat. Shalat adalah ibadah
mahdhah karena memang ada perintah (dalil) khusus dari syariat.
Sehingga sejak awal mulanya, shalat adalah aktivitas yang diperintahkan
(ciri yang pertama). Orang mengerjakan shalat, pastilah berharap pahala
akhirat (ciri ke dua). Ciri ketiga, ibadah shalat tidaklah mungkin kita
ketahui selain melalui jalur wahyu. Rincian berapa kali shalat, kapan saja,
berapa raka’at, gerakan, bacaan, dan seterusnya, hanya bisa kita ketahui
melalui penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hasil dari
kreativitas dan olah pikiran kita sendiri.
 Ibadah ghairu mahdhah (‫)العبادت غير المحضة‬
Ibadah yang tidak murni ibadah memiliki pengertian yang berkebalikan
dari tiga ciri di atas. Sehingga ibadah ghairu mahdhah dicirikan dengan:
Pertama, ibadah (perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya
bukanlah ibadah. Akan tetapi, berubah status menjadi ibadah karena
melihat dan menimbang niat pelakunya.
Kedua, maksud pokok perbuatan tersebut adalah untuk memenuhi urusan
atau kebutuhan yang bersifat duniawi, bukan untuk meraih pahala di
akhirat.
Ketiga, amal perbuatan tersebut bisa diketahui dan dikenal meskipun tidak
ada wahyu dari para rasul.
Contoh sederhana dari ibadah ghairu mahdhah adalah aktivitas makan.
Makan pada asalnya bukanlah ibadah khusus. Orang bebas mau makan
kapan saja, baik ketika lapar ataupun tidak lapar, dan dengan menu apa
saja, kecuali yang Allah Ta’ala haramkan. Bisa jadi orang makan karena
lapar, atau hanya sekedar ingin mencicipi makanan. Akan tetapi, aktivitas
makan tersebut bisa berpahala ketika pelakunya meniatkan agar memiliki
kekuatan (tidak lemas) untuk shalat atau berjalan menuju masjid. Ini
adalah ciri pertama.
Berdasarkan ciri kedua, kita pun mengetahui bahwa maksud pokok ketika
orang makan adalah untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) dalam
hidupnya, sehingga dia bisa menjaga keberlangsungan hidupnya. Selain
itu, manusia tidak membutuhkan wahyu untuk bisa mengetahui pentingnya
makan dalam hidup ini, ini ciri yang ketiga. Tanpa wahyu, orang sudah
mencari makan.
4. Syarat di terimanya Ibadah
Ibadah seorang hamba yang muslim akan diterima dan diberi pahala
oleh Allah apabila telah memenuhi syarat utama berikut ini, yaitu :

 IKHLAS
Ikhlas merupakan salah satu makna dari syahadat bahwa tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah I’ yaitu agar
menjadikan ibadah itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata.
Allah berfirman : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada Nya dalam
(menjalankan) agama”. [QS. Al Bayyinah : 5].

“Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (mu)


untuk Nya.” [QS. Az Zumar : 2] Kemudian Rasulullah r bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali
yang murni dan hanya mengharap ridho Allah”. [HR. Abu Dawud dan
Nasa’i]
 TIDAK SYIRIK
Lawan daripada ikhlas adalah syirik (menjadikan bagi Allah
tandingan/sekutu di dalam beribadah, atau beribadah kepada Allah
tetapi juga kepada selain Nya). Contohnya : riya’ (memperlihatkan
amalan pada orang lain), sum’ah (memperdengarkan suatu amalan
pada orang lain), ataupun ujub (berbangga diri dengan amalannya).
Kesemuanya itu adalah syirik yang harus dijauhi oleh seorang hamba
agar ibadahnya itu diterima oleh Allah . Sebagaimana sabda Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam:

“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian


adalah syrik kecil”, para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa itu
syirik kecil ? Rasulullah menjawab : “Riya’”. [HR. Ahmad] Kemudian
firman Allah tentang larangan syirik ialah, “Janganlah kamu
mengadakan sekutu sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui”.
[QS. Al Baqoroh :22]

 TAUBAT DARI DOSA DOSA


Orang yang rajin beribadah kepada Allah namun dalam waktu yang
bersamaan ia belum bertaubat dari perbuatan syirik dengan berbagai
bentuknya, maka semua amal ibadah yang telah dikerjakannya
menjadi terhapus dan ia menjadi orang yang merugi di akhirat kelak,
sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari


mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. [QS. Al An’aam: 88] “Dan
Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi nabi)
yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya
akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang orang
yang merugi”. [QS. Az Zumar: 65]

 SESUAI TUNTUNAN SYARIAT


Al Ittiba’ (Mengikuti Tuntunan Nabi Muhammad ) merupakan salah satu
dari makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah, yaitu
agar di dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh
Nabi Muhammad . Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang

tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka


ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang
mukhlis (niatnya ikhlas karena Allah dalam beribadah). Karena
sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita semua untuk
senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad dalam segala hal,
dengan firman Nya :
“Dan apa apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.[QS. Al Hasyr : 7]
Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. [QS. Al Ahzaab: 21]

Dan Rasulullah juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala


perkara ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau,
sebagaimana sabda beliau: “Barang siapa mengamalkan suatu amalan
yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu tertolak”. [HR.
Muslim]

 NIAT KARENA ALLAH


“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.
[QS. Al Kahfi : 110] Berkata Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat ini :
“Inilah landasan amal yang diterima (dan diberi pahala oleh Allah),
yaitu harus ikhlas karena Allah dan benar / sesuai dengan syari’at
Rasulullah .”

Jadi syarat ini haruslah ada pada setiap amal ibadah yang kita
kerjakan dan tidak boleh terpisahkan antara yang satu dan yang
lainnya. Mengenai hal ini berkata Al Fudhoil bin ‘Iyadh :
“Sesungguhnya andaikata suatu amalan itu dilakukan dengan ikhlas
namun tidak benar (tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad ),
maka amalan itu tidak diterima. Dan andaikata amalan itu dilakukan
dengan benar (sesuai dengan tuntunan Nabi ) tapi tidak ikhlas, juga
tidak diterima, hingga ia melakukannya dengan ikhlas dan benar.
Ikhlas semata karena Allah, dan benar apabila sesuai dengan tuntunan
Nabi ”.

Maka barang siapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas


karena Allah semata dan cocok dengan tuntunan Rasulullah niscaya
amal itu akan diterima dan diberi pahala oleh Allah. Akan tetapi kalau
hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal ibadah itu akan
tertolak dan tidak diterima oleh Allah I. Hal inilah yang sering luput dari
perhatian orang banyak karena hanya memperhatikan satu sisi saja
dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita
dengar mereka mengucapkan : “yang penting niatnya, kalau niatnya
baik maka amalnya akan baik”.
 TIDAK BID’AH
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab
yang tidak di syari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan
tertolak. Contohnya: ada orang melakukan sholat Tahajjud khusus
pada malam 27 Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam
Isro Mi’rajnya Nabi Muhammad . Sholat Tahajjud adalah ibadah yang
dianjurkan, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut yang tidak
ada syari’atnya, maka ia menjadi bid’ah.

 SESUAI DENGAN ATURAN


Ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Contohnya: bila
seseorang menyembelih kuda atau ayam pada hari Iedul Adha untuk
korban, maka hal ini tidak sah karena jenis yang boleh dijadikan untuk
korban adalah unta, sapi dan kambing.

 DALAM JUMLAH YANG TEPAT


Kalau ada orang yang menambahkan rokaat sholat yang menurutnya
hal itu diperintahkan, maka sholatnya itu adalah bid’ah dan tidak
diterima oleh Allah. Jadi apabila ada orang yang sholat Dhuhur 5
rokaat atau sholat Shubuh 3 rokaat dengan sengaja maka sholatnya
tidak diterima oleh Allah karena tidak sesuai dengan tuntunan Nabi
Muhammad.

 MENGIKUTI TATA CARA YANG BENAR


Seandainya ada orang berwudhu dengan membasuh kaki terlebih dulu
baru kemudian muka, maka wudhunya tidak sah karena tidak sesuai
dengan tata cara yang telah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul Nya di
dalam Al Qur’an Al Karim dan Al Hadits Asy Syarif.

 SESUAI WAKTU YANG DIANJURKAN


Apabila ada orang yang menyembelih korban sebelum sholat hari raya
Idul Adha atau mengeluarkan zakat Fitri sesudah sholat hari raya Idul
Fitri, atau melaksanakan shalat fardhu sebelum masuk atau sesudah
keluar waktunya, maka penyembelihan hewan korban dan zakat
Fitrinya

serta shalatnya tidak sah karena tidak sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan oleh syari’at Islam, yaitu menyembelih hewan korban
dimulai sesudah shalat hari raya Idul Adha hingga sebelum matahari
terbenam pada tanggal 13 Dzul Hijjah (hari Tasyriq ketiga), dan
mengeluarkan zakat Fitri sebelum dilaksanakannya sholat Idul Fitri.

 DI TEMPAT YANG TELAH DITETAPKAN


Apabila ada orang yang menunaikan ibadah haji di tempat selain
Baitulah Masjidil Haram di Mekah, atau melakukan i’tikaf di tempat
selain masjid (seperti di pekuburan, gua, dll), maka tidak sah haji dan
i’tikafnya. Sebab tempat untuk melaksanakan ibadah haji adalah di
Masjidil Haram saja, dan ibadah i’tikaf tempatnya hanya di dalam
masjid.

B. Thaharah dari Hadast dan Najis


1.   Pengertian Thaharah
Secara bahasa, thaharah artinya membersihkan kotoran, baik
kotoran yang berwujud maupun kotoran yang tidak berwujud.
Adapun secara istilah, thaharah artinya menghilangkan hadats,
najis, dan kotoran dengan air atau tanah yang bersih. Dengan
demikian, thaharah adalah menghilangkan kotoran yang masih
melekat di badan yang membuat tidak sahnya shalat dan ibadah
lain.
2.     Pengertian hadast
Hadats secara etimologi (bahasa), artinya tidak suci atau keadaan
badan tidak suci – jadi tidak boleh shalat. Adapun menurut
terminologi (istilah) Islam, hadats adalah keadaan badan yang tidak
suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengan cara berwudhu,
mandi wajib, dan tayamum. Dengan demikian, dalam kondisi
seperti ini dilarang (tidak sah) untuk mengerjakan ibadah yang
menuntut keadaan badan bersih dari hadats dan najis, seperti
shalat, thawaf, ’itikaf.
3.     Pengertian najis
Najis adalah suatu benda kotor menurut syara’ (hukum agama).
Benda-benda najis itu meliputi :
a.         Darah, dan nanah
b.         Bangkai, kecuali bangkai manusia, ikan laut, dan belalang
c.         Anjing dan babi
d.        Segala sesuatu yang dari dubur dan qubul
e.         Minuman keras, seperti arak
f.          Bagian atau anggota tubuh binatang yang terpotong dan
sebagainya sewaktu masih hidup.
Selain itu, najis dibagi menjadi 3 yaitu:
a.         Najis ringan (Mukhofafah)
b.         Najis sedang (Mutawasithoh)
c.         Najis berat (Mugholadhoh)
d.        Najis ma’fu
4. Klasifikasi Air dan Penggunaannya dalam Bersuci

Air merupakan salah satu unsur alam yang sangat dibutuhkan oleh
manusia. Bagi Umat Islam, air memegang peranan penting dalam
aktivitas thaharah/bersuci.

Jika ingin mandi tentu membutuhkan air. Saat ingin wudhu juga
butuh air. Tanpa air, proses bersuci sebelum melaksanakan ibadah
akan terhambat.

Air yang dapat digunakan untuk bersuci haruslah air yang bersih, suci
lagi menyucikan. Air tersebut bisa berasal dari langit (hujan) maupun
berasal dari Bumi (air tanah dan air laut) yang masih murni dan belum
pernah digunakan. Jika ditelaah dari jenis-jenisnya, air bersih, lagi
menyucikan ada 7 jenis, yaitu: Air hujan Air laut, Air dari lelehan
salju, Air embun, Air Sumur (Mata air), Air Telaga, Air Sungai.

Allah Azza wa Jalla berfirman,

‫َويُنَ ِّز ُل َعلَ ْي ُك ْم ِم َن ال َّس َما ِء َما ًء لِيُطَه َِّر ُك ْم بِ ِه‬


“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk
mensucikan kamu dengan hujan itu.” (QS. Al-Anfal: 11)

Dalam fikih Islam, status air dibagi menjadi :

1. Air  Mutlak
Air mutlak adalah air yang jatuh dari langit atau yang bersumber
dari bumi yang asalnya tidak berubah warna, rasa, dan bau.

Atau berubah namun penyebabnya tidak sampai menghilangkan


sifat mensucikannya, seperti berubah karena bercampur tanah
yang suci, garam, tumbuhan alam(semisal lumut), dan sebagainya.

Air ini hukumnya suci dan mensucikan. Maksudnya, air jenis ini
zatnya suci dan juga boleh digunakan untuk mensucikan benda lain
yang terkena najis.

Air jenis ini sah dipakai untuk berwudhu, mandi, dan


membersihkan najis berdasarkan ijma’ ulama.
Air sumur, air hujan, salju, es, air embun, air laut, air danau, air
waduk, air telaga, semuanya termasuk jenis ini.

Dalilnya adalah firman Allah azza wa jalla,

َ ‫َوهُ َو الَّ ِذي َأرْ َس َل الرِّ يَا َح بُ ْشرًا بَي َْن يَ َديْ َرحْ َمتِ ِه ۚ َوَأ ْن َز ْلنَا ِم َن ال َّس َما ِء َما ًء‬
‫طهُورًا‬
 “Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih” (QS. Al-Furqon: 48)

2. Air Musta’mal
Air musta’mal adalah air bekas yang pernah digunakan untuk
bersuci. Air jenis ini dapat digunakan untuk membersihkan najis
yang ada di pakaian atau badan.

Namun air musta’mal tidak boleh digunakan untuk bersuci. Ini


adalah pendapat mazhab Syafi’i, Ahmad, dan Hanafi. (At-Tahdzhib
fi Adillati Matan al-Ghayah wa at-Taqrib, Musthafa Dib al-Bugha,
10-11)

Seseorang yang mandi wajib dengan satu ember air. Nah, air bekas
untuk mandi wajib ini statusnya suci, tapi tak bisa digunakan untuk
bersuci semisal untuk wudhu atau mandi wajib.

Air yang sudah mengalami perubahan dari salah satu atau ketiga
sifatnya (warna, rasa, dan aroma) karena tercampur benda yang
suci, seperti air kopi, air teh, dan sebagainya, air ini statusnya
suci. Tapi tak bisa digunakan untuk bersuci semisal untuk wudhu
atau mandi wajib.

Jika campuran air tersebut kadarnya cuma sedikit, tidak sampai


mendominasi warna, rasa, dan aroma air asli, maka status air ini
suci dan mensucikan.

3. Air Mutanajjis
Air Mutanajjis adalah air asalnya suci lalu tercampur benda najis,
baik sedikit ataupun banyak, sehingga merubah warna, aroma, dan
rasanya.

Ukuran banyak sedikitnya air dan perubahan warna, rasa, dan


aroma menjadi penentu najis atau tidaknya air jenis ini.
Hal ini berdasar hadits dari Abu Umayah al-Bahily bahwa Rasulullah
salallahu alaihi wa salam bersabda,

“Air itu suci lagi mensucikan, kecuali jika berubah baunya atau
rasanya atau warnanya karena benda najis”  (HR. Baihaqi)

Di dalam hadits lain Rasulullah bersabda,

“Jika air mencapai dua qullah, maka air tersebut tidak bisa
dipengaruhi kotoran (najis)”. Dalam lafadz lain, “Air tersebut tidak
bisa berubah menjadi najis.” (HR. Hakim, shahih)

Ukuran dua Qullah air setara dengan kurang lebih 270 liter air.

Air yang kadarnya lebih dari dua Qullah dan berubah salah satu


dari tiga sifatnya karena sesuatu yang najis maka air tersebut
dinyatakan najis menurut ijma’ para ulama.

Jika air lebih dari lalu dua Qullah terkena najis, maka status airnya
tetap suci dan boleh digunakan untuk bersuci. Dengan syarat tidak
ada perubahan warna, rasa, dan bau. Ini pendapat Ulama Syafi’i
dan Hanbali.

Seperti  seseorang kencing di sungai yang mengalir, maka air sungai


tersebut statusnya tetap suci dan mensucikan.

4. Air Musyammas.

Adalah air yang dipanaskan dengan sinar matahari, hukum air ini
adalah suci lagi menyucikan, namun hukumnya makruh untuk
digunakan bersuci.

5. Benda-benda Najis
1. Air kencing. Termasuk dalam air kencing adalah batu
yang keluar dari saluran kencing bila diyakini bahwa batu itu
terbentuk dari air kencing yang mengkristal. Bila batu itu
tidak terbentuk dari air kencing maka statusnya bukan najis
tapi mutanajis; barang suci yang terkena najis.
2. Air madzi. Yakni air yang berwarna kekuningan dan kental
yang keluar pada saat bergeraknya syahwat tanpa adanya
rasa nikmat, meskipun tanpa syahwat yang kuat atau keluar
setelah melemahnya syahwat. Ini hanya terjadi pada orang
yang sudah baligh. Pada seorang perempuan lebih sering
terjadi pada saat dirangsang dan bangkit syahwatnya.
Terkadang juga madzi keluar tanpa dirasakan oleh orang
yang bersangkutan.

3. Air wadi. Yakni air putih, keruh dan kental yang keluar
setelah guang air kecil atau ketika membawa barang yang
berat. Keluarnya air wadi tidak hanya terjadi pada orang
yang sudah baligh saja.

4. Kotoran (tahi). Termasuk najis juga kotorannya ikan atau


belalang. Namun diperbolehkan menggoreng atau menelan
ikan kecil yang masih hidup dan dimaafkan kotoran yang
masih ada di dalam perutnya.

5. Anjing. Segala macam jenis anjing adalah najis


mughalladhah, baik anjing yang dilatih untuk memburu
ataupun anjing yang difungsikan untuk menjaga rumah.

6. Babi. Babi juga termasuk binatang yang najis


mughalladhah sebagaimana anjing.

7. Anakan silangan anjing atau babi dengan selainnya.

8. Sperma dari anjing, babi dan anakan silangan anjing dan


ababi dengan selainnya.

9. Air luka atau air bisul yang telah berubah rasa, warna
atau baunya. Air ini najis karena merupakan darah yang
telah berubah. Bila tidak ada perubahan pada air ini maka
statusnya tetap suci.

10. Nanah yang bercampur dengan darah.

11. Nanah. Nanah najis karena merupakan darah yang telah


berubah.
12. Air empedu. Sedangkan kantong atau kulit empedunya
berstatus mutanajis yang bisa disucikan dan boleh dimakan
bila berasal dari hewan yang halal dimakan. Termasuk najis
juga bisa atau racunnya ular, kalajengkisng dan hewan
melata lainnya.

13. Barang cair yang memabukkan seperti khamr, arak dan


lainnya. Barang-barang yang memabukkan namun tidak
berbentuk cair, seperti daun ganja, meskipun haram
mengkonsumsinya namun tidak najis barangnya.

14. Apapun yang keluar dari lambung,seperti muntahan


meskipun belum berubah. Adapun yang keluar dari dada
seperti riyak atau turun dari otak seperti ingus tidaklah
najis, keduanya berstatus suci. Demikian juga air ludah.

15. Air susu binatang yang tidak boleh dimakan. Seperti air
susu harimau, kucing, anjing dan lainnya. Sedangkan air
susu binatang yang boleh dimakan berstatus suci.

16. Bangkai selain manusia, ikan dan belalang. Termasuk


dalam kategori ikan di sini adalah segala binatang air yang
tidak bisa hidup di darat meskipun tidak dinamai “ikan”.
Termasuk dalam kategori bangkai yang najis adalah bagian
anggota badan yang terpotong dari hewan yang masih
hidup. Kecuali bulu binatang yang boleh dimakan bila
terpotong dari badannya tidak berstatus najis (lihat
Abdullah Al-Hadlrami, Muqaddimah Hadlramiyah [Jedah:
Darul Minhaj, 2011], hal. 64 –65). Berdasarkan hadis Nabi: ‫َما‬
ٌ‫ قُ ِط َع ِمنَ ْالبَ ِهي َم ِة َو ِه َي َحيَّةٌ فَ ِه َي َم ْيتَة‬Artinya: “Apapun yang dipotong dari
binatang yang masih hidup maka potongan itu adalah
bangkai.” (HR. Abu Dawud)

17. Darah selain hati dan limpa. Hati dan limpa meskipun
termasuk kategori darah namun statusnya suci tidak najis.

18. Air yang keluar dari mulut binatang seperti kerbau,


kambing dan selainnya pada saat memamahbiak makanan.
Sedangkan air yang keluar dari pinggiran mulutnya pada
saat kehausan tidak najis karena itu berasal dari mulut.

19. Air kulit yang melepuh atau menggelembung yang


berbau. Bila tidak berbau maka tidak najis.

20. Asap dan uap dari barang najis yang dibakar, seperti
asap dari kayu yang dikencingi dan kotoran kerbau yang
dibakar

6. Klasifikasi Najis dan cara mencusikannya


1. Najis mughalladhah

Najis Mugholladhah merupakan najis berat. Najis mughalladhah dapat


disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali
basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu. Namun sebelum
dibasuh dengan air mesti dihilangkan terebih dulu ‘ainiyah atau wujud
najisnya. Dengan hilangnya wujud najis tersebut maka secara kasat mata
tidak ada lagi warna, bau dan rasa najis tersebut. Namun secara hukum
(hukmiyah) najisnya masih ada di tempat yang terkena najis tersebut
karena belum dibasuh dengan air. Untuk benar-benar menghilangkannya
dan menyucikan tempatnya barulah dibasuh dengan air sebanyak tujuh
kali basuhan dimana salah satunya dicampur dengan debu. Pencampuran
air dengan debu ini bisa dilakukan dengan tiga cara :

1. mencampur air dan debu secara berbarengan baru kemudian


diletakkan pada tempat yang terkena najis. Cara ini adalah cara yang
lebi utama dibanding cara lainnya.
2. meletakkan debu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya air
dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh. Ketiga, memberi
air terlebih dahulu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya
debu dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.

2. Najis mukhaffafah

Najis Mukhoffafah merupakan najis ringan. contohnya adalah seperti


merupakan air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan dan minum
selain ASI dan belum berumur dua tahun, dapat disucikan dengan cara
memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Cara memercikkann air ini
harus dengan percikan yang kuat dan air mengenai seluruh tempat yang
terkena najis. Air yang dipercikkan juga mesti lebih banyak dari air
kencing yang mengenai tempat tersebut. Setelah itu barulah diperas atau
dikeringkan. Dalam hal ini tidak disyaratkan air yang dipakai untuk
menyucikan harus mengalir.

3. Najis mutawassithah

Najis Mutawasithah merupakan najis sedang. Najis mutawassithahdapat


disucikan dengan cara menghilangkan lebih dahulu najis ‘ainiyah-nya.
Setelah tidak ada lagi warna, bau, dan rasan najis tersebut baru kemudian
menyiram tempatnya dengan air yang suci dan menyucikan. Sebagai
contoh kasus, bila seorang anak buang air besar di lantai ruang tamu,
umpamanya, maka langkah pertama untuk menyucikannya adalah
dengan membuang lebih dahulu kotoran yang ada di lantai. Ini berarti
najis ‘ainiyahnya sudah tidak ada dan yang tersisa adalah najis hukmiyah.
Setelah yakin bahwa wujud kotoran itu sudah tidak ada (dengan tidak
adanya warna, bau dan rasa dan lantai juga terlihat kering) baru
kemudian menyiramkan air ke lantai yang terkena najis tersebut.
Tindakan menyiramkan air ini bisa juga diganti dengan mengelapnya
dengan menggunakan kain yang bersih dan basah dengan air yang cukup.

4. Najis ‘Ainiyah

Najis ‘Ainiyah ialah najis yang terlihat oleh kasat mata atau berwujud,
baik bentuk rupanya maupun dari baunya. Seperti darah, kotoran, dan
kencing. Cara mensucikannya dengan membasuh dengan air yang dituntut
untuk mengalir sampai rasa, bau dan warna najis hilang.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ibadah berasal dari kata Arab ‘Ibadah (jamak: ‘ibadat ) yang berarti
pengabdian, penghambaan, ketundukkan, dan kepatuhan. Ibadah
adalah pengungkapan rasa kekurangan, kehinaan dan kerendahan
diri dalam bentuk pengagungan, penyucian dan syukur atas segala
nikmat.
2. Hakikat ibadah yaitu agar manusia di muka bumi ini untuk beribadah
kepada-Nya. Allah menetapkan perintah ibadah sebenarnya
merupakan suatu kemampuan yang besar kepada makhluknya,
karena apabila direnungkan, hakikat perintah beribadah itu berupa
peringatan agar kita menunaikan kewajiban terhadap Allah yang
telah melimpahkan karunia-Nya.
3. Menurut Ibnu Taimiyah (661-726 H)/ 1262-1371 M) yang
dikemukakan oleh Ritonga, bahwa ruang lingkup ibadah mencakup
semua bentuk cinta dan kerelaan kepada Allah, baik dalam perkataan
maupun batin.
4. Meningatkan dan memperkukuh imannya dengan terus-menerus
menambah kualitas dan kuantitas ibadahnya. Sebaliknya, iman yang
semakin mantap pasti akan membuahkan ibadah yang banyak dan
berkualitas. Itulah hubungan timbal-balik antara iman dan ibadah.
5. Memuji Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang multak,
Menyucikan Allah dari segala cela dan kekurangan, bersyukur kepada
Allah, Menyerahkan diri secara tulus kepada Allah dan menaati-Nya
secara mutlak, Dialah satu-satunya yang Mahasempurna.
6. Niat yang ikhlas, tidak bertentangan dengan syariat.
7. Bersuci dari hadas maupun najis termasuk dalam perihal thaharah
atau bersuci. Dalam hukum Islam juga disebutkan, bahwa segala
seluk beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting.
Macam - macam Thaharah ada empat yaitu pertama, tentang wudhu
yaitu menghilangkan najis dari badan. Kedua, tentang bertanyamum
yaitu pengganti air wudhu disaat kekeringan. Ketiga, mandi besar
yaitu menyiram air keseluruh tubuh disertai niat. Keempat, Istinja’
yaitu membersihkan kotoran yang keluar dari salah satu dua pintu
keluarnya kotoran itu.
8. Bersuci bisa juga menggunakan alat - alat bantu yang dianjurkan oleh
Rasullullah SAW yaitu Air, tanah, dan masih banyak lagi yang bisa
digunakan. Macam - macam hadas juga terbagi menjadi dua ialah
hadas kecil yaitu yang disebabkan oleh keluar sesuatu dari dubur dan
kubul, sedangkan hadas besar yaitu yang disebabkan oleh keluarnya
air mani dan bersetubuh.

B. Penutup
Dalam setiap penulisan makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan
dan memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, sangat
dibutuhkan saran yang dapat membangun untuk lebih baik, karena
hasil dari setiap pemikiran saran dari banyak pihak akan
berkembang sesuai zaman dan realitas yang ada.

C. DAFTAR PUSTAKA
1 H. E Hassan Saleh, (ed.), Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal 3-5 2 Abu Abdillah Salman Farisy, Al
qur’an digital17
https://almanhaj.or.id/2267-pengertian-ibadah-dalam-islam.html
https://muslim.or.id/46004-perbedaan-antara-ibadah-mahdhah-dan-ibadah-
ghairu-mahdhah-bag-1.html
https://islam.nu.or.id/post/read/82511/mengenal-barang-barang-najis-
menurut-fiqih
https://www.dakwah.id/hukum-asal-air/
https://islam.nu.or.id/post/read/82513/tiga-macam-najis-dan-cara-
menyucikannya

Anda mungkin juga menyukai