Anda di halaman 1dari 5

Patofisiologi Batuk

Batuk merupakan mekansime refleks protektif untuk mencegah aspirasi ke


dalam paru (Morice et al, 2020). Batuk juga merupakan mekanisme imun bawaan
cadangan terutama ketika terjadi gangguan transport mukosiliaris. Pada berbagai
penyakit paru, terjadi gangguan klirens mukosiliaris sehingga batuk dibutuhkan untuk
mengeluarkan sekresi dan debris yang meningkat (Chung dan Mazzone, 2016).
Batuk merupakan refleks vagal yang dipicu stimulasi aferen dan dibawa oleh
nervus kranialis X dengan reseptor terutama di laring dan jalan napas conducting
(conducting airways), namun kemungkinan juga terdapat di septa alveolus dan
parenkim paru (contohnya batuk pada emboli paru, gagal jantung), faring dan
esophagus, bahkan di telinga, dimana aferen nervus vagus diproyeksikan ke kanalis
auricular dari ganglia vagal superior (reflex Arnold) (Morice et al, 2020). Reseptor
yang terdapat di laring dan trakeobronkial merespons stimulus mekanis maupun
kimiawi. Reseptor lain yang terdapat di telinga, sinus paranasal, faring, diafragma,
pleura, hingga perikardium hanya berupa reseptor mekanis, sehingga hanya akan
distimulasi oleh pemicu seperti sentuhan atau pergeseran (Polverino et al, 2012).
Refleks batuk terdiri atas (Polverino et al, 2012):
1. Jalur aferen
Serabut saraf sensoris (cabang nervus vagus) berada di epitel bersilia saluran
nafas atas dan cabang esophagus serta kardiak dari diafragma. Impuls aferen akan
disebar menuju medulla secara difus
2. Jalur sentral
Daerah sentral untuk koordinasi batuk berada di bagian atas batang otak dan pons
3. Jalur eferen
Impuls dari pusat batuk berjalan melalui nervus motorik vagus, frenik, dan
spinalis menuju diafragma, dinding abdomen, dan otot. Nucleus retroambigualis
yang dipersarafi nervus frenik dan nervus motorik spinal lainnya mengirim
impuls ke otot pernafasan inspiratori dan ekspiratori.
Stimulus yang dianggap berbahaya (misalnya cairan lambung, proton, asap rokok,
zat yang hiper atau hipotonis) dideteksi oleh reseptor kanal ion (misalnya TRPV1,
TRPA1, TRPV4, ASIC, P2X3) yang berada pada ujung nervus vagal aferen di
mukosa jalan nafas. Nervus vagal aferen meregulasi batuk dan bersifat polimodal,
artinya nervus vagal memberikan respons terhadap stimulus yang berbeda-beda baik
kimiawi maupun mekanis. Stress sel yang mengakibatkan keluarnya ATP merupakan
stimulus yang penting. Sinyal yang diterima neuron aferen selanjutnya dihantarkan
melalui akson vagal ke batang otak melalui setidaknya dua jalur biokimia (Morice et
al, 2020). Reseptor batuk lalu akan menghantarkan input ke pusat batuk di batang
otak bagian sentral medulla melalui neuron penghantar intermediat di nukleus traktus
solitarius. Pusat batuk selanjutnya akan mengirim output berupa koordinasi otot-otot
yang menyebabkan batuk. Selain batang otak, korteks serebri juga berperan mengatur
output motorik batuk atas kehendak sendiri atau memengaruhi sensasi keinginan
batuk (Saadat et al., 2018).

Gambar 1. Mekanisme Batuk (Saadat et al., 2018)

Pola spesifik batuk berbeda-beda tergantung lokasi dan tipe stimulasi.


Stimulasi mekanis laring akan menghasilkan refleks ekspiratori secara langsung
untuk melindungi jalan nafas dari aspirasi, sementara stimulasi laring distal akan
menghasilkan batuk dengan fase inspiratori yang lebih panjang untuk menghasilkan
aliran udara yang cukup kuat untuk melepas stimulus (Morice et al, 2020).
Secara umum, tahapan batuk terdiri atas (Guyton, 2015):
a. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar,
atau serat aferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan
batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan esophagus,
rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang

b. Fase inspirasi
Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga dengan cepat dan dalam jumlah
banyak masuk ke dalam paru-paru.

c. Fase kompresi
Fase kompresi pada batuk terjadi setelah fase inspirasi awal. Setelah menghirup
udara, glotis ditutup dan terjadi upaya ekspirasi. Pada awal upaya ekspirasi, glotis
menutup sekitar 0,2 detik. Penutupan glotis mempertahankan volume paru-paru saat
tekanan intrathorakal terbentuk. Penutupan glotis meminimalkan pemendekan otot
ekspirasi, sehingga mendorong kontraksi “isometrik” otot ekspirasi dan
memungkinkan otot ekspirasi menghasilkan tekanan intra-abdomen dan intrathorakal
yang lebih besar dan positif. Tekanan intrathorakal yang terbentuk selama glottis
menutup dapat mencapai 300 mm Hg. Tingginya tekanan intraabdominal dan
intrathorakal selama fase batuk ini dapat ditransmisikan ke sistem saraf pusat dan
mediastinum, dan mendasari beberapa komplikasi kardiovaskular, saluran cerna,
genitourinarius, muskuloskeletal, dan neurologis yang terkait dengan batuk (McCool,
2006).
d. Fase ekspirasi
Pada fase ini glottis terbuka tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot-otot ekspirasi
sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan tinggi
disertai pengeluaran benda asing dan bahan-bahan lain (Guyton, 2015). Awalnya, ada
ledakan aliran turbulen yang sangat singkat. Puncak awal aliran ekspirasi ini
berlangsung sekitar 30 hingga 50 milidetik dan dapat mencapai laju aliran 12 L /
detik (McCool, 2006).

Klasifikasi Batuk Berdasarkan Durasi


Berdasarkan durasinya, batuk dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu batuk
akut, sub-akut, dan batuk kronis. Mengenali durasi batuk menjadi tahap pertama yang
penting untuk mempersempit diagnosis banding penyebab batuk (Madison dan Irwin,
2017).
a. Batuk Akut
Batuk akut merupakan batuk yang berlangsung di bawah 3 minggu lamanya
(Madison dan Irwin, 2017). Batuk akut umumnya terjadi akibat infeksi bakteri atau
virus pada saluran nafas atas. Batuk ini sering kali bersifat self-limiting dan timbul
bersamaan dengan pilek dalam 48 jam pertama. Gejala lain yang menyertai dapat
berupa postnasal drip, keinginan membersihkan tenggorokan, iritasi dan nyeri
tenggorokan, obstruksi hidung, dan sekresi nasal yang biasanya semua gejala ini akan
membaik dalam waktu 2 minggu. Pertussis dapat dimasukkan sebagai salah satu
kemungkinan diagnosis banding, terutama batuk rejan yang disertai muntah.
Diagnosis banding dari batuk akut yaitu PPOK, aspirasi, atau emboli paru (Chung
dan Mazzone, 2016).

b. Batuk Sub-akut
Batuk sub-akut merupakan batuk yang berlangsung selama 3 minggu hingga 8
minggu. Batuk yang sub-akut dan tidak berhubungan dengan infeksi pernafasan yang
jelas harus dinilai seperti menilai penderita batuk kronis, sementara pada pasien batuk
sub-akut yang diawali infeksi saluran nafas atas, umumnya pasien dicurigai menderita
batuk postinfeksi, sinusitis bakterial, dan asma. Batuk postinfeksi adalah batuk sub-
akut yang diawali infeksi saluran nafas yang tidak berkomplikasi menjadi pneumonia
lalu sembuh tanpa pengobatan. Batuk timbul karena iritasi saluran nafas atas akibat
inflamasi, postnasal drip, atau trakeobronkitis, dengan maupun tanpa
hiperresponsivitias bronkus. Pemeriksaan penunjang foto dada sebaiknya dilakukan
pada penderita batuk sub-akut dengan mengi, ronki, atau crackles pada saat dilakukan
pemeriksaan fisik (Madison dan Irwin, 2017).

c. Batuk Kronis
Batuk kronis merupakan batuk yang berlangsung di atas 8 minggu. Pada sekitar
95% kasus, batuk kronis pada dewasa imunokompeten terjadi karena kelainan kondisi
hidung dan sinus, asma, penyakit refluks gastroesofageal (GERD), bronkitis kronis
akibat merokok atau iritan lainnya, bronkiektasis, bronkitis eosinofilik non-asma
(NAEB), atau efek samping penggunaan ACE inhibitor. 5% lainnya berasal dari
penyakit lain seperti karsinoma bronkogenik, karsinomatosis, sarkoidosis,
tuberculosis, gagal jantung kiri, dan aspirasi karena disfungsi faring. Untuk
mendiagnosis batuk kronis, dibutuhkan pemeriksaan tambahan seperti foto dada, tes
uji inhalasi metakolin, atau pemeriksaan sputum (Madison dan Irwin, 2017).

Anda mungkin juga menyukai