FASE FARMAKODINAMIK Kelompok 4 Alvin Kurniawan Amelinda Oktaviani Dwi Prawita Dwinda Agristia Erista Septriana Nurbaitillah Lisa Fernandes Melisa Sasmita Mochamad Haryanto Putra Hatta Renita Rizal Selawati Silvia Macam Macam Antagonis 1. Antagonis kompetitif 2. Antagonis non kompetitif 3. Kombinasi antagonis kompetitif dan non kompetitif 4. Antagonis fungsional dan fisiologik 5. Antagonis ireversibel 6. Antagonis tipe kompleks Pengertian Antagonis adalah obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi tidak mampu secara intrinsik menimbulkan efek farmakologi sehingga menghambat kerja suatu agonis. Antagonis dibedakan menjadi 2 yaitu : 1. Antagonisme pada reseptor 2. Antagonisme fisiologi Antagonis Pada Reseptor Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme malalui sistem reseptor yang sama (antagonisme antara agonis dengan antagonismenya). Misalnya, efek histamin yang dilepaskan dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang menduduki reseptor yang sama. Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif dan nonkompetitif : Antagonis Kompetitif O Senyawa agonis dan antagonis berkompetisi dalam memperebutkan tempat reseptor sehingga jumlah agonis yang berinteraksi dengan reseptor ↓, dan aktivitas agonis akan menurun.
↑ Antagonis Kompetitif Contoh : O Antihistamindan hisyamin O Kolinergik dan antikolinergik
Antagonis kompetitif dapat diatasi dengan
meningkatkan kadar senyawa agonis. Potensi antagonis kompetitif tergantung dari afinitas senyawa terhadap reseptor. Antagonis Nokompetitif Antagonis Nonkompetitif dapat bekerja dengan mekanisme sebagai berikut: O Pengurangan afinitas pada reseptor O Pengurangan aktifitas intrinsik O Menghalangi transmisi impuls
Contoh agonis:Striknin (Perangsang sistem saraf
pusat ) dengan antagonis : prokain (Anastesi setempat) Berinteraksi dengan makromolekul (membran,sel atau jaringan ) yang sama dengan obat agonis yang merupakan bagian dari sistem reseptor –efektor, sehingga terjadi penurunan efek biologis
Contoh: Agonis skriknin dengan antagonis: kurare
Kombinasi Antagonis Kompetitif Dan Nonkompetitif Contoh : kombinasi antikolinergik dengan adifenin atau kamilofen (Papaverine – like actions ) Antagonis fungsional dan fisiologi
Contoh antagonis fungsional :
Spasmogen, seperti histamin dan senyawa kolinergik, dengan β-adrenergik, seperti isoprenalin, yang bekerja pada sel yang sama yaitu otot polos jaringan bronki. Antagonis Fisiologi Antagonisme fisiologi, yaitu antagonisme pada sistem fisiologi yang sama tetapi pada sistem reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin dan autakoid lainnya yang dilepaskan tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan pemberian adrenalin. Antagonis Mengikat Reseptor Secara Ireversibel
Di receptor site maupun di tempat lain sehingga
menghalangi ikatan agonis dengan reseptornya. Efek maksimal akan berkurang tetapi afinitas agonis terhadap reseptor yang bebas tidak berubah. Contoh: fenoksibenzamin mengikat reseptor adrenergik α di receptor site secara ireversibel. Antagonis Tipe Kompleks Apabila senyawa bakteriostatik dan bakterisid dikombinasi, efek bakteriostatik akan menghentikan pertumbuhan sel bakteri, sehingga senyawa bakterisidal menjadi tidak aktif terhadap bakteri. Hubungan Struktur Kimia Senyawa Agonis dan Antagonis Kompetitif Hubungan antara struktur kimia dan aktifitas dapat di prakirakan untuk obat-obat yang bekerja pada reseptor yang sama. Metabolit dan Antimetabolit. Perubahan substrat menjadi penghambat kompetitif mungkin berdasar pada stabilisasi gugus kimia yang mudah diserang atau mudah dimetabolisis, seperti gugus ester dan substrat. O Agonis dan pemblok selektif Bila gugus ester berubah atau dihilangkan sedangkan gugus onium tetap (R=Me3) maka afinitas senyawa terhadap reseptor kolinergik akan menurun, sedang aktivitas intrinsiknya tetap. Hubungan Struktur Kimia Agonis dan Antagonis Ireversibel Selektif Contoh: Obat antikanker golongan senyawa pengalkilasi turunan nitrogen mustard, seperti mekloretamin, siklofosfamid, dan tiotepa, bekerja tidak selektif, karena dapat menghambat pertumbuhan sel kanker maupun sel normal dalam tubuh. O Senyawa yang mengandung gugus pengalkilasi atau pengasilasi mempunyai afinitas yang tinggi terhadap tempat aksi obat, dan dapat memblokadenya dengan pembentukan ikatan kovalen melalui reaksi alkilasi atau asilasi. Senyawa berinteraksi dengangugus nukleofilik seperti OH, SH, atau NH2, yang terdapat pada semua makromolekul jaringan biologis, sehingga senyawa pemblok ireversibel tersebut aktifitasnya cenderung tidak selektif. Contoh pengembangan senyawa antagonis rseptor Histamin H2
Histamin dapat merangsang kontraksi otot polos bronki,
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan sekresi mukus. Yang bertanggung jawab terhadap efek diatas adalah reseptor histamin H1, dan efek tersebut dapat ditekan oleh obat antihistamin klasik. Struktur antihistamin klasik pada umumnya mengandung gugus aromatik lipofil yang dihubungkan oleh rantai 3 atom dengan atom N basa; contoh : difenhidramin, tripelenamin dan klortimeton. Selain menimbulkan efek-efek di atas histamin juga dapat mereangsang pengeluaran asam lambung. Efek ini tidak dapat dihambat oleh obat antihistamin klasik sehingga di duga histamin mempunyai reseptor yang secara karakteristik berbeda dengan reseptor H1, yang dinamakan reseptor histamin H2. Senyawa yang dapat menghambat pengeluaran asam lambung dinamakan H2 antagonis. dari hubungan struktur dan aktivitas, ddalam usaha pengembangan obat H2-agonis, didapat hal-hal menarik sebagai berikut : LANJUTAN a. Pemasukan gugus metil pada atom C2 cincin imidazol secara selektif dapat merangsang reseptor H1, sedang pemasukan gugus metil pada atom C4 ternyata senyawa bersifat selektif H2-agonis dengan efek H1-agonis lemah. Hal ini menunjukkan bahwa histamin paling sedikit mempunyai dua tempat reseptor, yaitu reseptor H1 dan reseptor H2 . LANJUTAN b. Modifikasi pada cincin ternyata tidak menghasilkan efek H2-antagonis, sehingga modifikasi dilakukan pada rantai samping. c. Penggantian gugus amino rantai samping dengan gugus guanidin yang bersifat basa kuat ternyata dapat menghasilkan efek H2-antagonis lemah. d. Penambahan panjang gugus metilen pada rantai samping turunan guanidin akan meningkatkan aktivitas H2- antagonis tetapi senyawa masih mempunyai efek agonis parsial yang tidak diinginkan. LANJUTAN e. Penggatntian gugus guanidin yang bermuataan positif dengn gugus tiourea yang tidak bermuatan dan bersifat polar, seperti pada burinanid, akan menghilangkan efek agonis dan memberikan efek H2-antagonis yang kuat. LANJUTAN f. Bila diberikan secara oral burimamid mempunyai aktivitas yang rendah karena mempunyai kelarutan dalam air yang besar sehingga absorpsi obat dalam saluran cerna rendah kemudian dibuat turunannya yang bersifat lebih lipofilik, dengan cara penmbahan gugus metil pada atom C4 cincin imidazol dan mengganti 1 gugus metilen pada rantai samping burimamid dengan atom S. Senyawa baru ini, yaitu metiamid, ternyata efektif bila diberikan secara oral dan mempunyai aktivitas yang lebih besar dibanding burimamid. g. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa mtiamid dapat menimbulkan efek samping kelainan darah (agranulositosis) yang disebabkan oleh adanya gugus tiourea, modifikasi selanjutnya adalah mengganti gugus tiourea dengan gugus N-sianoguanidin, yang tidak bermuatan dan masih bersifat polar. Seperti pada simetidin. Gugu siano yang bersifat elektronegatif kuat dapat mengurangi sifat kebasaan atau ionisasi gugus guanidiin sehingga absorpsi pada saluran cerna menjadi lebih besar. Simetidin aktivitasnya 2 kali lebih besar dibanding metiamid dan merupakan senyawa penghambat reseptor H2 pertama yang digunakan secara klinik, untuk menghambat sekresi asam lambung pada pengobatan tukak lambung. LANJUTAN h. Modifikasi isoterik dari intimidazol telah diselidiki dan dihasilkan senyawa senyawa analog simetidin yang berkhasiat lebih baik dan efek samping yang lebih rendah. Penggantian inti imidazol dengan cincin furan, pemasukan gugus dimetilaminoetil pada cincin dan penggantian gugus sianoguanidin dengan gugus nitrometenil, menghasilkan ranitidin, yang dapat menghilangkan efek samping simetidin, seperti ginekomastia dan konfusi mental, dan mengurangi kebasaan senyawa. Tidak seperti simetidin, ranitidin tidak menghambat metabolisme dari fenitoin, warfarin, dan aminofilin, dan juga tidak mengikat sitokrom. LANJUTAN i. Penggantian inti imidazol dengan cincin tiazol, pemasukan gugus guanidin pada cincin dan penggantian gugus sianoguanidin dengan gugus sulfonamidoguanidin, menghasilkan famotidin, yang mempunyai aktivitas lebih poten dibandingkan simetidin dan ranitidin, dapat menurunkan efek antiandrogenik, dan mengurangi sifat kebasaan senyawa. Kesimpulan O Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme fisiologik dan antagonisme pada reseptor. O Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif. O Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. O Obat yang menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut agonis. O Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut obat presipitan