net/publication/330599367
CITATIONS READS
0 386
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Nugroho Adi Sasongko on 23 May 2020.
MESAWATI PITARTYANTI
NIM: 120160204014
Tesis yang ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mendapatkan Gelar
Magister Pertahanan
BOGOR
OKTOBER 2018
Evaluasi Kebijakan Pengembangan dan Pengusahaan Coal Bed Methane (CBM) di
Indonesia
Abstrak
Coal Bed Methane (CBM) merupakan sumber energi baru yang termasuk dalam
kategori Unconventional Hydrocarbon. CBM dinilai dapat menjadi energi alternatif gas
konventional yang cadangannya diperkirakan akan habis di masa yang akan datang.
Cadangan CBM di Indonesia mencapai 453 TCF dan sudah dilakukan beberapa proyek Pilot
Project guna mempercepat pengembangan CBM serta pembuktian kepada investor untuk
melakukan investasi sumber energi baru ini. Namun, sampai tahun 2018 belum ada
penambahan WK CBM dan pengembangan yang sampai pada tahap komersialisasi.
Bahkan, beberapa kontraktor mengembalikan WK CBM kepada pemerintah karena
dianggap sudah tidak ekonomis. Hal ini dimulai pada awal tahun 2015 saat harga minyak
turun drastis. Selain itu yang menjadi hambatan pengembangan CBM adalah biaya investasi
yang mahal serta adanya aturan pemerintah yang menghambat pengembangan CBM. Pada
penelitian ini dilakukan evaluasi kebijakan dengan melihat historis peraturan CBM di
Indonesia melalui metode input-output. Selanjutnya dilakukan evaluasi program, penilaian
dampak, dan evaluasi aplikasi kebijakan. Kebijakan pengembangan CBM dinilai belum
cukup efektif karena peraturan yang digunakan masih mengikuti rezim migas. Diperlukan
pembentukan UU Migas baru terkait Non-Konvensional dan adanya kemudahan dari
pemerintah seperti insentif guna mendukung pengembangan CBM di Indonesia.
Coal Bed Methane (CBM) is a new energy source that belongs to the Unconventional
Hydrocarbon category. CBM is able to be considered to be an alternative energy of
conventional gas that reserves expected to be depleted in the future. CBM reserves in
Indonesia reached 453 TCF and several Pilot Projects have been undertaken to accelerate CBM
development as well as proof to investors to invest in this new energy source. However, up to
2018 there has been no addition of CBM Working Area and development that reached the
stage of POD or commercialization. In fact, some contractors returned the CBM Working Area
to the government because it was considered uneconomical. It started in early 2015 when oil
prices dropped dramatically. In addition, the obstacles to the development of CBM are the
expensive investment costs and the existence of government regulations that hinder the
development of CBM. In this study a policy evaluation was carried out by looking at the
historical CBM regulations in Indonesia through the input-output method. Furthermore,
program evaluation, impact assessment and policy aplication evaluation are carried out.
The policy of developing CBM is considered not effective enough because the regulations
used still follow the oil and gas regime. It is necessary to establish a new Oil and Gas Law
relating to Non-Conventional and the existence of convenience from the government such
as incentives to support the development of CBM in Indonesia.
sampai pada tahap komersialisasi sebagai Coal Bed Methane (CBM) atau Gas
alternatif gas bumi di sektor industri, Metana Batubara merupakan gas metana
transportasi, dan rumah tangga. Hal ini (CH4) yang terperangkap dalam batubara
dikarenakan banyak permasalahan yang dan merupakan sumber gas yang non
dialami pengembang mulai dari biaya konvensional. Dijelaskan pada Peraturan
pengusahaannya yang besar sampai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
pasar yang belum menjamin pembelian (ESDM) No. 5 Tahun 2012 bahwa migas
gas CBM yang telah dihasilkan. non konvensional merupakan minyak dan
Pengembang juga merasa disulitkan oleh gas bumi yang diusahakan dari reservoir
kebijakan yang telah dikeluarkan tempat terbentuknya minyak dan gas
pemerintah yang terkait pengembangan bumi dengan permeabilitas yang rendah.
dan pengusahaan CBM, seperti peraturan Rendahnya permeabilitas membuat
alokasi gas, penggunaan teknologi migas migas non konvensional memiliki
konvensional, dan sebagainya. kemampuan untuk mengeluarkan
Penurunan harga minyak di akhir tahun partikel dengan mudah. Cadangan CBM
2015 juga menjadi faktor utama yang di Indonesia saat ini 453,3 TCF yang
menyebabkan tidak ekonomisnya tersebar dalam 11 cekungan dan
pengembangan lapangan CBM. menempati urutan ke-enam di dunia.
Pemerintah mencoba menarik minat CBM telah banyak dikembangkan
investor kembali dengan cara (umumnya digunakan untuk
mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM menggerakkan turbin pembangkit listrik)
No. 52 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi oleh beberapa negara seperti Amerika,
Hasil Gross Split namun belum ada Rusia, China dan Australia. Walaupun dari
wilayah kerja migas non-konvensional energi fosil yang tidak terbaharukan,
yang bertambah secara signifikan. tetapi gas metana terus terproduksi
Terlepas dari hambatan yang telah selama lapisan batu bara tersebut masih
diuraikan, hingga saat ini belum pernah ada. CBM merupakan sumber energi yang
dilakukan evaluasi kebijakan relatif masih baru yang merupakan salah
pengembangan dan pengusahaan CBM. satu energi alternatif yang dapat
diperbaharui penggunaannya. Selain itu,
CBM ini termasuk salah satu sumber nasional yang juga merupakan
energi yang ramah lingkungan. geostrategi nasional.
Dasar pemikiran ketahanan energi
Ketahanan Energi telah dicantumkan dalam Undang-
APERC mengklasifikasikan Undang No. 30 Tahun 2007 tentang
ketahanan energi ke dalam 4 unsur yaitu, Energi. Dalam UU No. 30 Tahun 2007
Availability (ketersediaan pasokan pasal 2 dinyatakan bahwa “Energi
energi), Accessability (akses sumber dikelola berdasarkan asas kemanfaatan,
energi yang mudah), Affordability rasionalitas, efisiensi, berkeadilan,
(keterjangkauan harga energi), dan peningkatan nilai tambah, keberlanjutan,
Acceptability (penerimaan energi di sisi kesejahteraan masyarakat, pelestarian
lingkungan). fungsi lingkungan hidup, ketahanan
Konsep ketahanan energi menurut nasional dan keterpaduan dengan
Yusgiantoro yaitu kemampuan dalam mengutamakan kemampuan nasional2”.
menjawab dinamika perubahan energi
global serta kemampuan dalam Evaluasi Kebijakan
menjamin ketersediaan energi dengan Istilah kebijakan publik atau
harga yang wajar. Ketahanan energi kebijakan pemerintah merupakan
nasional mengandung unsur 4A+1S yaitu, terjemahan dari bahasa inggris, public
Availability (ketersediaan jaminan policy. Policy berarti kebijakan sedangkan
pasokan energi), Accessability public berarti kumpulan orang yang
(pengaksesan energi yang mudah), memiliki minat serta kepentingan yang
Affordability (kemampuan untuk sama terhadap suatu masalah. Thomas R.
menjangkau harga energi), Acceptability Dye (1992) mendefinisikan kebijakan
(penggunaan energi yang dapat diterima pemerintah sebagai berikut: “Public
lingkungan), dan Sustainability policy is whatever the government choose
1Konsep
(keberlanjutan energi). ini to do or not to do” (Kebijakan pemerintah
diturunkan berdasarkan ketahanan adalah apapun pilihan pemerintah untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan
1
Purnomo Yusgiantoro, “Energi dan 2
Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang
Pertahanan”, pada Perkuliahan Prodi Energi, Pasal 2
Ketahanan Energi Unhan, Sentul, 2016.
sesuatu).3 Menurutnya, apabila kebijakan pemerintah yang juga memiliki
pemerintah memilih untuk melakukan tujuan.
sesuatu, tentu ada tujuannya karena
Kerangka Pemikiran
kebijakan pemerintah merupakan
Kerangka pemikiran penelitian
tindakan pemerintah. Apabila
merupakan gambaran umum hubungan
pemerintah memilih untuk tidak
antara elemen-elemen penelitian yang
melakukan sesuatu, ini juga merupakan
terarah hingga menjadi penelitian yang
utuh.
3
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy,
(Englewood Cliffs, N.J.:Prentice Hall, 1972),
hlm. 4
Evaluasi dilakukan dengan HASIL DAN PEMBAHASAN
metode penelitian kualitatif dengan Pengembangan CBM di Indonesia
pendekatan evaluasi formal. Dunn (1995) CBM merupakan salah satu sumber
mendeskripsikan bahwa evaluasi formal energi yang ramah lingkungan. Road map
merupakan pendekatan metode pengembangan CBM di Indonesia yang
deskriptif untuk menghasilkan informasi telah disusun oleh Ditjen Migas ESDM
yang valid dan cepat dipercaya mengenai menyatakan bahwa di tahun 2025,
hasil-hasil kebijakan. Akan tetapi produksi CBM ditargetkan akan mencapai
pengevaluasian hasil kebijakan dilakukan sekitar 2 BCFD 4. Berdasarkan data ESDM,
atas dasar program kebijakan yang telah terdapat 48 PSC CBM dengan wilayah
diumumkan secara formal oleh pembuat kerja Migas Non-Konvensional yang
kebijakan dalam hal ini peraturan terkait tersebar di beberapa wilayah, seperti
pengusahaan CBM di Indonesia dalam pada gambar di bawah.
bentuk Peraturan Menteri ESDM maupun
Peraturan Presiden.
Dalam rangka mendukung program CBM tahun 2011, telah ditandatangani 2 MoU
untuk kelistrikan (CBM to power) pada antara KKKS dengan konsumen untuk
4 ESDM, 2018
kelistrikan dengan total gas CBM sebesar Berdasarkan hasil kegiatan
1,2 MMSCFD atau setara dengan 3,6 MW5, eksplorasi selama ini, ukuran
dengan rincian sebagai berikut: pengembangan CBM di Indonesia dapat
a. Vico (Blok CBM Sanga-Sanga) mencapai 500 BCF dalam kurun waktu
dengan PLN. Pasokan gas 0,5 kontrak 30 tahun seperti yang berlaku
6(Lemigas,
MMSCFD untuk melistriki 2015). Namun,
masyarakat wilayah Sanga-Sanga pengembangan 1,5 TCF hanya dapat
sebesar 1,5 MW. Pada tanggal 29 tercapai apabila periode kontrak WK CBM
Desember 2011, diputuskan dan adalah 50 tahun dengan total jumlah
disepakati oleh Direktorat Jenderal sumur produksi per PSC hingga akhir
Minyak dan Gas Bumi, BPMIGAS, Vico kontrak adalah 2.500 sumur. Pengeboran
GMB Sanga-Sanga, dan PLN bahwa sebanyak 2.500 sumur pada 1 WK CBM
harga gas GMB Sanga-Sanga untuk dalam kurun waktu 50 tahun memerlukan
PLN adalah sebesar US$ 7,5/MMBTU. pengeboran sumur CBM minimal 4-5
Namun, Vico hanya merealisasikan sumur per bulan. Jika diasumsikan
pasokan gas CBM ke PLN hanya pengeboran 1 sumur memerlukan waktu
sebesar 0,24 MMSCFD karena belum 2 minggu, maka diperlukan 2 rig
memasuki tahap komersil melainkan pengeboran untuk mengerjakan
di tahap dewatering. pengeboran pada 1 WK CBM tanpa henti.
b. Sangatta West CBM Inc. (Blok
Sangatta I) dengan PT. Kutai Timur Evaluasi Kebijakan Pengembangan CBM
Investama. Pasokan gas 0,5 MMSCFD Peraturan pengusahaan CBM akan
untuk melistriki masyarakat wilayah dievaluasi dengan melihat tujuan dan
Sangatta sebesar 1,5 MW. sasaran. Kemudian dalam melakukan
c. Medco CBM Sekayu (Blok CBM analisa didukung dengan diagram input-
Sekayu) dengan Perusahaan Daerah output yang digambarkan pada gambar 3
Pertambangan dan Energi Sumatera di bawah. Input merupakan masukan
Selatan. atau program yang dilakukan guna
mencapai outcome atau hal yang ingin
dicapai. Dalam mencapai outcome, akan
5
LEMIGAS, “Gas Metana Batubara : Energi 6
Ibid., hlm. 30
Baru untuk Rakyat”, 2012, Jakarta, hlm. 25
ada interfensi pemerintah yang berupa merupakan skema peraturan CBM di
kebijakan atau pengaturan hukum. Indonesia.
Kebijakan yang diimplementasikan dapat
• Analisa Program
menghasilkan dampak yang positif
Pengusahaan CBM di Indonesia
ataupun negatif bagi pihak yang
mengacu pada Undang-Undang No. 22
menjalankan. Output dalam diagram
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
inilah yang merupakan keluaran atau
dan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun
dampak dari implementasi kebijakan
2004 tentang Rencana Energi Nasional.
tersebut.
Dalam mendukung pengusahaan CBM di
Indonesia, pemerintah mengeluarkan
Keputusan Menteri Pertambangan dan
Energi No. 1669/30/MPE Tahun 1998
tentang Pengusahaan Pengembangan
CBM pada tahun 1998 untuk mengawali
usaha pengembangan CBM. Pada tahun
Gambar 3. Diagram Input-Output
Sumber : Perkuliahan Yoesgiantoro, 2016 2003 dilakukan penelitian potensi CBM
dalam bentuk Pilot Project di Lapangan
Input pada penelitian ini adalah
Rambutan. Pilot Project yang dijalankan
program pengembangan dan
oleh LEMIGAS atas usulan Menteri ESDM
pengusahaan CBM di Indonesia. Alasan
saat itu bertujuan sebagai proyek
pemerintah membentuk program ini
percontohan untuk membuktikan
adalah peningkatan permintaan gas
kepada pengusaha bahwa Indonesia
nasional terutama sektor industri dan
memiliki cadangan gas CBM yang dapat
tuntutan untuk menggunakan energi
menjadi alternatif gas bumi di masa
ramah lingkungan. Hal yang ingin dicapai
depan.
pemerintah (outcome) adalah bahwa
Langkah awal yang dilakukan oleh
nantinya CBM akan dapat berproduksi
LEMIGAS adalah mencari perusahaan
secara komersil dan mampu menjadi
yang memiliki lapangan. Menurut Evita
sumber energi alternatif menggantikan
Legowo, selaku Kepala LEMIGAS pada
gas konvensional. Di bawah ini
saat itu, tawaran Pilot Project semula
diberikan kepada Pertamina selaku
BUMN Minyak dan Gas Bumi di Indonesia. menghasilkan listrik yang akan
Namun, Pertamina menolak untuk membantu krisis listrik di daerah
mengembangkan CBM. Kemudian Sumatera. Permen ESDM No. 33 Tahun
LEMIGAS menawarkan proyek tersebut 2006 mengatur terkait tumpang tindih
kepada PT. Medco E&P Indonesia dengan izin pengusahaan CBM antara konsesi
menggunakan lapangannya yaitu Migas dan konsesi tambang batubara.
Lapangan Rambutan. Di tahun 2004, Pada saat itu, pengawasan sektor Migas
pemerintah mengeluarkan PP tentang dilakukan oleh badan tersendiri yaitu
Pilot Project CBM Lapangan Rambutan, Badan Pengawasan Minyak dan Gas
Kabupaten Muara Enim, Sumatera (BPMIGAS). Pengaturan pengusahaan
Selatan, yang dibiayai APBN melalui CBM bukan mengikuti aturan batubara
kerjasama LEMIGAS dan PT. Medco E&P melainkan mengikuti aturan gas bumi.
Indonesia yang menguasai Wilayah Kerja Pengembangan CBM mengalami
(WK) Migas saat itu. Pada tahun 2006 peningkatan yang cukup signifikan. Pada
pengembangan CBM telah sampai pada 27 Mei 2008, dilakukan penandatanganan
tahap pengeboran sebanyak 4 sumur Kontrak Kerja Sama (KKS) CBM yang
CBM. pertama. Setelah itu dikeluarkan
Adanya Pilot Project CBM di beberapa Keputusan Menteri ESDM
Lapangan Rambutan berhasil untuk menetapkan Wilayah Kerja CBM,
memunculkan Peraturan Menteri bentuk kontrak kerjasama, serta
(Permen) ESDM No. 33 Tahun 2006 mekanisme penawaran WK CBM dalam 2
tentang Pengusahaan Bisnis Gas Metana penawaran wilayah, yaitu Blok GMB
Batubara, yang merupakan turunan dari Sekayu dan GMB Bentian Besar.
UU No. 22 Tahun 2001, sebagai acuan Pengembangan kedua blok CBM tersebut
pengusahaan bisnis CBM di Indonesia. bertujuan untuk mengatasi listrik di
Pemerintah berharap dengan adanya wilayah Sekayu untuk GMB Sekayu serta
peraturan ini serta dijalankannya Pilot Indragiri Hulu dan Bentian Besar untuk
Project Lapangan Rambutan dapat GMB Bentian Besar.
menjadi inisiator pengusaha untuk Seiring berjalannya waktu, Permen
melakukan pengusahaan CBM. ESDM No. 33 Tahun 2006 mengalami
Pemerintah juga berharap Pilot Project perubahan karena kekurangan peraturan
CBM di Lapangan Rambutan dapat yang dianggap belum menyelesaikan
permasalahan tumpang tindih. Permen masyarakat secara keseluruhan. Dalam
tersebut diubah menjadi Permen ESDM hal ini, evaluasi bertujuan untuk
No. 36 Tahun 2008 tentang Pengusaaan mengetahui seberapa jauh tujuan yang
Gas Metana Batubara yang menjadi telah dicapai yang nantinya akan
acuan utama untuk melakukan menghasilkan sebuah klarifikasi dan
pengusahaan CBM. Di tahun yang sama, pemecahan masalah terhadap nilai-nilai
yaitu 2008, Kementerian ESDM yang mendasari pemilihan tujuan dan
menjadikan CBM sebagai prioritas target. Penilaian dampak ini mengacu
unggulan. Setelah Pilot Project Lapangan pada analisis data dan pembahasan
rambutan, dilakukan penandatanganan sebelumnya.
KKS CBM pertama pada 27 Mei 2008. Berdasarkan analisa program,
Lapangan Rambutan juga telah dapat dikatakan kebijakan pengusahaan
menghasilkan CBM untuk pertama CBM belum mencapai kriteria efisiensi.
kalinya di Indonesia. Hingga tahun 2013 Hal ini dikarenakan kebijakan yang
total kontrak yang ditandatangani diterapkan membuat pengusaha CBM
sebanyak 54 PSC. tidak mencapai keekonomian lapangan
yang seharusnya, dalam hal ini
• Penilaian Dampak penggunaan teknologi yang sama
Penilaian dampak kebijakan dalam dengan migas konvensional. Adanya
evaluasi diperlukan untuk melihat apakah regulasi wajib penggunaan teknologi gas
terdapat dampak yang diharapkan atau konvensional membuat biaya yang
tidak dari adanya program.7 Evaluasi dibebankan kepada pengusaha menjadi
memiliki dua aspek yang saling lebih berat. Diharapkan adanya
berhubungan yaitu penggunaan berbagai pemakaian own equipment atau
macam metode untuk memantau hasil teknologi yang menyesuaikan dengan
kebijakan publik serta program dan keekonomian lapangan CBM agar biaya
aplikasi serangkaian nilai untuk yang dikeluarkan tidak terlalu besar.
menentukan kegunaan hasil ini terhadap
beberapa orang, kelompok, atau
7
Donny Yoesgiantoro, “Kebijakan Publik”, pada
Perkuliahan Universitas Indonesia, Jakarta,
2018
Rekomendasi Kebijakan permasalahan tumpang tindih lahan,
Kebijakan dan regulasi yang dimana terdapat WK yang terdiri dari 3
diterapkan pada pengelolaan CBM saat kewenangan yaitu Migas, Batubara, dan
ini serta ketentuan di dalam Kontrak Kehutanan. Dharapkan dengan adanya
Kerja Sama (KKS) WK CBM masih UU Migas Non-Konvensional, dapat
berdasar kepada skema kontrak yang menjadi acuan tertinggi untuk
dipergunakan oleh pengelolaan gas bumi pengembangan Migas Non-Konvensional
konvensional. Mengingat terutama CBM di Indonesia. Evita
pengembangan CBM di Indonesia yang Legowo mengatakan bahwa skema Gross
secara teknis dan keekonomian berbeda Split yang dibentuk dalam Peraturan
dengan pengembangan gas bumi Menteri sebaiknya juga dibedakan antara
konvensional seperti yang sudah gas konvensional dengan CBM. Hal ini
dijelaskan sebelumnya, skema kontrak dikarenakan tidak dapat disamakan
pengelolaan CBM pada saat ini perlu antara pengembangan gas bumi dengan
diperbaiki untuk mendukung hasil yang besar dalam satu sumur
pengembangan CBM di Indonesia. dengan CBM yang menghasilkan gas
Berikut ini adalah harapan perbaikan yang kecil di awal dan membutuhkan
terhadap skema kontrak dan ketentuan banyak sumur dengan biaya yang besar
dalam KKS WK CBM serta catatan juga.
terhadap beberapa masalah yang
2. Perlakuan Khusus untuk
berhubungan dengan kebijakan dan
Pengembangan CBM
regulasi.
Pengembangan CBM di negara lain
1. Pembentukan Undang-Undang (UU)
dapat dijadikan contoh untuk
Migas Non-Konvensional
memberlakukan regulasi dan kebijakan
Saat ini peraturan pengembangan
pengusahaan CBM di Indonesia. Menurut
CBM masih dalam bentuk Peraturan
Evita Legowo, ada baiknya jika
Menteri ESDM dan skema kontrak yang
pengembangan CBM di Indonesia
digunakan masih mengikuti skema
diberikan kemudahan dalam segala aspek
kontrak migas konvensional yaitu Gross
seperti adanya subsidi terutama pada
Split. Menurut Yusgiantoro,
tahap dewatering, kemudahan perizinan
pembentukan Undang-Undang
di daerah, prioritas tumpang tindih lahan,
diperlukan terutama untuk mengatasi
dan skema bagi hasil yang jelas dan pengembangan CBM di Indonesia.
menguntungkan kedua belah pihak yaitu Namun, dalam Permen ESDM No. 5
pengembang CBM dan pemerintah. Tahun 2012 tentang Tata Cara
Kebebasan pemilihan alat dan metode Penetapan Wilayah Kerja Migas,
pengembangan CBM menjadi hal yang prioritas pengembangan gas
positif bagi pengembang CBM mengingat konvensional masih diutamakan. Hal
CBM merupakan energi baru yang tidak ini membuat pengembangan CBM
bisa disamakan dengan gas konvensional. yang termasuk migas non-
Peraturan Menteri ESDM mengenai konvensional akan dikesampingkan.
alokasi dan pemanfaatan gas bumi perlu • Peraturan Menteri ESDM No. 3 Tahun
dikecualikan untuk gas non- 2010 mengatur tentang Alokasi dan
konvensional. Hal ini dapat dilakukan Pemanfaatan Gas Bumi untuk
agar CBM mendapatkan akses yang baik Pemenuhan Kebutuhan Dalam
dalam komersialisasinya untuk Negeri. Saat itu peraturan ini
mencukupi kebutuhan domestik. menghambat pengembang untuk
menjual hasil gas CBM yang sudah
KESIMPULAN terproduksi. Namun, saat ini
Berdasarkan hasil analisis yang telah pemerintah sudah mengganti
dilakukan mengenai kebijakan peraturan ini dengan Permen ESDM
pengambangan dan pengusahaan CBM di No. 45 Tahun 2017 dimana prioritas
Indonesia, maka dapat ditarik kesimpulan pertama digunakan untuk
sebagai berikut: pembangkit listrik. Dengan begitu,
1. Melalui analisa input-output untuk CBM dapat dijual sebagai pasokan
Evaluasi Program kebijakan pembangkit listrik tenaga gas
pengusahaan CBM, didapatkan metana.
bahwa tidak semua program
2. Penilaian dampak kebijakan dalam
kebijakan yang dibentuk oleh
evaluasi diperlukan untuk melihat
pemerintah berjalan selaras dengan
apakah terdapat dampak yang
kebijakan lainnya.
diharapkan atau tidak dari adanya
• Permen ESDM No. 38 Tahun 2008
program. Berdasarkan dari analisa
tentang Pengusahaan Gas Metana
data dan pembahasan yang
Batubara dibentuk guna mendukung
dilakukan, kebijakan mengenai mendapatkan akses pasar dengan
pengembangan CBM di Indonesia harga terbaik yang berlaku di pasar
dinilai belum efektif dikarenakan sangat diperlukan. Selain itu, akses
masih adanya dampak yang tidak terhadap infrastruktur gas dan
diharapkan dari pembentukan fasilitas yang sudah ada di lokasi
program kebijakan. pengembangan CBM, misalnya pipa
• Pedoman Tata Kerja (PTK) 007 SKK gas konvensional serta fasilitasnya
Migas yang mengharuskan akan sangat membantu
menggunakan teknologi dalam keekonomian pengembangan CBM
negeri untuk mengembangkan di Indonesia. Hingga saat ini belum
infrastruktur dalam negeri. Hal ini ada peraturan yang mengatur
berarti teknologi yang digunakan tentang prioritas pasar
adalah teknologi konvensional yang pengembangan CBM terutama
lebih kompleks. Sementara, tentang pembelian gas di masa
pengambilan CBM tidak perlu dewatering.
teknologi yang sekompleks itu. Ini
menyebabkan biaya teknologi 3. Evaluasi Aplikasi (Aplication
menjadi mahal. Namun, saat ini Evaluation) berfungsi untuk
pemerintah sudah mengatur mengetahui seberapa jauh program
penggunaan teknologi dalam atau kebijakan yang telah
Permen No. 52 Tahun 2017 tentang dilaksanakan, apakah berjalan
Gross Split, yaitu bebas sesuai dengan baik atau tidak dengan
dengan kebutuhan pengembang melihat dari sisi intervensi
CBM dan pemerintah juga mengatur pemerintah dalam menanggulangi
split yang didapatkan oleh dampak yang terjadi. Dalam hal ini,
kontraktor jika menggunakan pemerintah dapat dikatakan cukup
teknologi dalam atau luar negeri. baik untuk melakukan intervensi dari
• PTK 029 SKK Migas yang mengatur dampak yang terjadi. Namun
prioritas pasar dan mengaruskan terdapat beberapa kebijakan baru
proses tender akan menyulitkan sebagai intervensi dari dampak atau
pemasaran CBM. Kebijakan outcome yang dihasilkan tersebut
pemerintah agar CBM dapat justru belum menyelesaikan
permasalahan tersebut karena mengajukan beberapa saran yaitu
adanya regulasi lain yang sebagai berikut:
menghambat kebijakan terkait 1. Pembentukan Undang-Undang
pengusahaan CBM di Indonesia. Pada khusus Migas Non-Konvensional
awal pengembangan, CBM diyakini terutama CBM. Dengan begitu CBM
dapat menjadi alternatif gas di tidak lagi harus mengikuti peraturan
Indonesia. Namun, selama program Migas Konvensional karena CBM
tersebut diterapkan terdapat merupakan industri baru.
beberapa kebijakan atau regulasi 2. Pemberian insentif untuk
yang menghambat jalannya pengembangan CBM terutama pada
program, antara lain: tahap dewatering. Insentif dapat
• Permen ESDM No. 5 Tahun 2012 berupa kebijakan yang
tentang Tata Cara Penetapan mengharuskan PLN membeli gas
Wilayah Kerja Migas yang dihasilkan industri CBM
• Peraturan Menteri ESDM No. 3 Tahun berapapun besarnya untuk sektor
2010 mengatur tentang Alokasi dan kelistrikan. Insentif lain dapat berupa
Pemanfaatan Gas Bumi untuk tax holiday ataupun kemudahan
Pemenuhan Kebutuhan Dalam perizinan.
Negeri 3. Diperlukan penelitian evaluasi
• Pedoman Tata Kerja (PTK) 007 SKK kebijakan aspek efisiensi yang
• PTK 029 SKK Migas yang mengatur dengan narasumber semua pelaku