Anda di halaman 1dari 8

HUKUM PERDATA

MAKALAH KELOMPOK 10
Kelas 1.5 F1.8

Dosen pengajar :
NENENG OKTARINA, S.H., M.H.

Oleh:

Muhammad Fachri Hanafi (1910112002)

Daffa dzakiy diwenda (1910113071)

Arga Dwi Hilmart Adha (1910113074)

M. Rafiq ( 1910113125)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS
Kata pengantar

Puji syukur tidak lupa kita ucapkan kepada allah swt, yang mana telah
memberikan nikmatnya yang berupa kesehatan dan kesempatan. Yang sebenernya
masih banyak lagi kenikmatan yang telah allah berikan kepada kita namun tidak
bias saya sebutkan satu persatu, namun dengan nikmat kesehatan dan kesempatan
yang allah berikan saya akhirnya bisa menyelesaikan makalah ini, yang berjudul:
Hukum Perikatan(Verbintenissenrecht).
Ucapan terimakasih juga saya ucapkan kepada berbagai pihak yang tidak
bisa saya sebutkan satu persatu, tapi saya ucapkan kepada teman-teman saya
ucapkan terimakasih yang mendalam, karena dengan bantuan kalian semua
akhirnya saya bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tapi saya tidak
mempungkiri bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan
saya sangat menyadari itu, oleh karenanya saya selaku penulis mohon kepada para
pembaca atau pihak yang menerima proposal untuk memberikan kritik atau saran
yang sifatnya membangun, karena dengan itu dapat saya gunakan sebagai rujukan
atau referensi untuk pembuatan makalah yang selanjutnya. Akhiranya saya selaku
penulis memohon maaf apabila dalam saya menulis ada salah kata.

Padang, 2 April 2020

Penulis

Bab II
Pembahasan

A. Istilah,pengertian,serta pengaturan perikatan


“Verbintenis” berasal dari kata Verbinden yang artinya mengikat. Jadi,
“Verbintenis” menunjuk kepada adanya “ikatan” atau “hubungan”. Hal ini
memang sesuai dengan defenisi Verbintenis sebagai suatu hubungan hukum.
Hukum perikatan adalah suatu kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam
bidang harta kekayaan, di mana subjek hukum yang satu berhak atas suatu prestasi,
sedangkan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi.
Hukum perikatan hanya berbicara mengenai harta kekayaan bukan berbicara
mengenai manusia. Hukum kontrak bagian dari hukum perikatan. Harta kekayaan
adalah objek kebendaan. Pihak dalam perikatan ada dua yaitu pihak yang berhak
dan pihak yang berkewajiban.
Pengaturan hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber
adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang. Perikatan yang timbul dari undang-
undang dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia.
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar
hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

B. Subjek dan Objek Hukum Perikatan


-Subjek Perikatan
Subjek perikatan adalah para pihak padasuatu perikatan yaitu kreditur yang
berhakatas suatu prestasi dan debitur yangberkewajiban untuk
memenuhiprestasi. Pada debitur terdapat dua unsur yaitu schuld dan haftung.
Kewajiban debitur untuk memenuhi prestasi disebut schuldcttnkuladedidikirawan
dan selain dari pada schuld maka debitur berkewajiban untuk menjamin
pemenuhan prestasi tersebut dengan seluruh kekayaannya (psl 1131 KUHpdt)
disebut haftung. Tetapi UU memberikan pengecualian :
1. schuld tanpa haftung (misal hutang yang terjadi pada perjudian atau
perikatanalam)
2. schuld dengan haftung terbatas (misal pada ahli waris
trbatascttnkuladedidikirawan (denganhak pendaftaran))
3. haftung dengan schuld pada orang lain (mengalihkan tanggung jawab orang
boros)
-Objek Perikatan
Objek perikatan atau prestasi diatur dalam psl 1234KUHPdt. Objek perikatan atau
prestasi terdiri dari:
1. memberikan sesuatu, yaitu berupa menyerahkan sesuatui barang atau
memberikan kenikmatan atas sesuatu barang misal antara penjual dan pembeli
mengenai suatu barang. Dapat digunakan eksekusi rieal.
2. Berbuat sesuatu, yaitu setiap prestasi untuk melakukan sesuatu yang bukan
berupa memberikan sesuatu misal melukis, berhubungan dengan pribadi seseorang
( tidak dapatcttnkuladedidikirawan dilakukan eksekusi riel).
3. Tidak berbuat sesuatu , yaitu jika debitur berjanji untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu , misal tidak akan membangun rumah, mungkin dilakukan
eksekusi riealatas izin pengadilan misal membongkar gedung).

C. Prestasi,Wanprestasi,Overmacht.
-Prestasi
Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitor dalam setiap
perikatan. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata,setiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu,untuk berbuat sesuatu,atau tidak berbuat sesuatu.
Kewajiban memenuhi prestasi dari debitor selalu disertai dengan tanggungjawab
(liability), artinya debitor mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan
pemenuhan hutangnya kepada kreditor.
Dengan demikian,objek perikatan/perjanjian adalah :
1) Untuk memberi atau menyerahkan sesuatu,contoh: Perjanjian jual beli,tukar
menukar.
2) Berbuat sesuatu,contoh:membuat lukisan,perjanjian perburuhan.
3) Tidak berbuat sesuatu,contoh :tidak mendirikan perusahaan sejenis.
-Wanprestasi
Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seorang debitur tidak melakukan janji
(tidak melaksanakan prestasi). Jadi apabila debitur tidak melakukan apa yang
dijanjikan akan dilakukannya,maka ia dikatakan ia melakukan wanprestasi.
Tidak terpenuhinya kewajiban debitor tersebut memilii 2 alasan diantaranya:
1. Karena kesalahan debitor,baik kesengajaan maupun kelalaian.
2. Karena keadaan memaksa (force majeure),jadi diluar kemampuan debitor.
Dalam hal ini debitor tidak bersalah.
Dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik (te goeder trouw,in good
faith),tidak hanya melaksanakan kewajiban yang secara tegas diatur dalam
perjanjian,melainkan perlu diperhatikan sifat perjanjian yang diharuskan oleh
kepatutan,kebiasaan atau Undang-undang.
Menurut R.Soebekti,kriteria seorang debitur wanprestasi adalah :
*Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
*Melaksanakan apa yang dijanjikan ,tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan.
*Melaksanakan perjanjian,tetapi terlambat.
*Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

-Overmacht(keadaan memaksa)
dibedakan atas :
 Overmacht absolut/objektif,yaitu dimana dengan adanya keadaan
memaksa itu,debitor sama sekali tidak memungkinkan untuk melaksanakan
prestasinya (janjinya),karena objek perikatan musnah atau lenyap.
 Overmacht relatif/subjektif,yaitu dimana dengan adanya keadaan memaksa
itu ,debitor terhalang/tertunda,mengalami kesulitan-kesulitan atau
menghadapi bahaya untuk memenuhi prestasinya/janjinya. Misalnya:
Objek perjanjian tidak dapat dipenuhi karena objek itu harus dibawa
melalui sungai,padahal sungai itu tidak memungkinkan dilayari karena surut
atau kering.
Vollmar menyebut overmacht relatif dengan isitilah relatieve overmacht,yaitu
apabila pemenuhan prestasi itu masih mungkin dilakukan tetapi memerlukan
pengorbanan yang besar yang tidak seimbang,atau menimbulkan bahaya kerugian
yang besar bagi debitor.
Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu,sejak perikatan lahir benda itu atas
tanggungan kreditor.Jika debitor lalai menyerahkannya,sejak kelalaian itu benda
tersebut menjadi tanggungan debitor (Pasal 1237 KUH Perdata). Debitor tidak
membayar ganti rugi,jika ia berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan,karena adanya keadaan memaksa (Pasal 1237 KUH Perdata). Jika
benda yang dijual berupa barang sudah ditentukan,maka walaupun
penyerahannya belum dilakukan,sejak saat pembelian tanggungjawab ada pada
debitor (Pasal 1460 KUH Perdata). Debitor dibebaskan dari perikatan,jika sebelum
ia lalai menyerahkan benda,benda itu musnah atau hilang (Pasal 1444 KUH
Perdata).
Menurut Undang-undang ada 3 unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan
memaksa yaitu :
 Tidak memenuhi prestasi
 Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitur
 Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Menurut pembentuk Undang-undang,keadaan memaksa itu adalah suatu alasan
pembenar (rechtvaardigings grond) untuk membebaskan seseorang dari
kewajiban membayar ganti rugi.

D. Ganti Kerugian.
Konsep Ganti Rugi menurut Hukum Perdata:
Menururut ketentuan pasal 1243 KUHPdt, ganti kerugian karena tidak
dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabilah debitur setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang
harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Yang dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah kerugian yang timbul karena
debitur melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut
wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Menurut M Yahya
Harahap, kewajiban ganti-rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian.
Ganti-rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, setelah debitur dinyatakan lalai
dalam bahasa belanda disebut dengan ”in gebrekke stelling” atau ”in
morastelling”. Ganti kerugian sebagaimana termaktub dalam pasal 1243 di atas,
terdiri dari tiga unsur yaitu:
1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkosa cetak, biaya
materai, biaya iklan.
2. Kerugian karena Kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian
debitur, misalnya busuknya buah-buah karena kelambatan penyerahan,
amburuknya rumah karena kesalahan konstruksi sehingga merusakkan prabot
rumah tangga.
3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan
selama piutang terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh
karena kelambatan penyerahan bendanya.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, dalam ganti kerugian itu tidak selalu ketiga
unsur tersebut harus ada. yang ada mungkin kerugian yang sesungguhnya, atau
mungkin hanya ongkos-ongkos atau biaya, atau mungkin kerugian sesungguhnya
ditambah dengan ongkos atau biaya.
Dengan demikian untuk menghindari tuntutan sewenang-wenang pihak kreditur,
undang-undang memberikan batasan-batasan ganti kerugian yang harus oleh
debitur sebagai akibat dari kelalaiannya (wanprestasi) yang meliputi:
1. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan (pasal 1247 KUHPdt).
2. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi debitur, seperti yang
ditentukan dalam pasal 1248 KUHPdt. Untuk menentukan syarat ”akibat
langsung” dipakai teori adequate. Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat
yang menurut pengalaman manusia normal dapat diharapkan atau diduga akan
terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selaku manusia normal dapat
menduga akan merugikan kreditur.
3. Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 ayat 1
KUHPdt). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Tetapi menurut Yurisprudensi, pasal 1250 KUHPdt tidak dapat
diberlakukan terhadap perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum.

Anda mungkin juga menyukai