Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Eritropoiesis

Eritrosit baru diproduksi oleh tubuh setiap hari melalui proses

eritropoiesis yang kompleks. Eritropoiesis berjalan dari sel induk melalui sel

progenitor CFUGEMM (colony-forming unit granulocyte, erythroid, monocyte

and megakariocyte / unit pembentuk koloni granulosit, eritroid, monosit dan

megakariosit), BFUE(burst-forming unit erythroid / unit pembentuk letusan

eritroid) dan CFU eritroid (CFU U) menjadi prekusor eritrosit yang dapat

dikenali pertama kali di sumsum tulang, yaitu pronormoblas. Pronormoblas

adalah sel besar dengan sitoplasma biru tua, dengan inti di tengah dan nukleoli,

serta kromatin yang sedikit menggumpal. (Setiawan, L, 2005)

Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblas

yang makin kecil melalui sejumlah pembelahan sel (basofilik eritroblas –

polikromatik eritroblas – ortokromatik eritroblas). Normoblas ini juga

mengandung hemoglobin yang semakin banyak (berwarna merah muda) dalam

sitoplasma; warna sitoplasma makin biru pucat sejalan dengan hilangnya RNA

dan aparatus yang mensintesis protein, sedangkan kromatin inti menjadi

semakin padat. Inti akhirnya dikeluarkan dari normoblas lanjut (ortokromatik

eritroblas) di sumsum tulang dan menghasilkan stadium Retikulosit yang masih

4
5

mengandung sedikit RNA ribosom dan masih mampu mensintesis hemoglobin.

(Setiawan, L, 2005)

Sel retikulosit sedikit lebih besar daripada eritrosit matur, berada selama

1 – 2 hari sebelum menjadi matur, terutama berada di limpa, saat RNA hilang

seluruhnya. Eritrosit matur berwarna merah muda seluruhnya, bentuknya

adalah cakram bikonkaf tak berinti. Satu pronormoblas biasanya menghasilkan

16 eritrosit matur. Sel darah merah berinti (normoblas) tampak dalam darah

apabila eritropoiesis terjadi di luar sumsum tulang (eritropoiesis ekstramedular)

dan juga terdapat pada penyakit sumsum tulang. Normoblas tidak ditemukan

dalam darah tepi manusia yang normal. (Setiawan, L, 2005)

Terjadi mekanisme stimulasi yang kuat pada kasus-kasus anemia berat

oleh eritropoetin terhadap sumsum tulang untuk meningkatkan produksi dan

pelepasan retikulosit lebih dini. Hal ini akan menyebabkan waktu pematangan

retikulosit menjadi eritrosit di dalam darah tepi bertambah lama, dari 1 – 2 hari

menjadi 2 – 3 hari. Maka untuk mendapatkan gambaran kemampuan yang

sebenarnya dari sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit, maka hitung

retikulosit pada kasus-kasus seperti ini perlu dilakukan koreksi lebih lanjut

(koreksi kedua), yaitu koreksi dengan lama waktu pematangan yang

dibutuhkan dibagi dua.

Nilai normal retikulosit dalam hitung jumlah (%) yaitu 0,5 – 2,0 % dari

jumlah eritrosit, sehingga didapatkan nilai normal yang mutlak adalah 25 – 85

x 103 /mm3 atau 109 sel/L. (Kosasih, E.N. dan A.S. Kosasih, 2008)
6

1. Eritropoietin

Eritropoiesis diatur oleh hormon eritropoietin, yaitu suatu polipeptida

yang sangat terglikosikasi yang terdiri dari 165 asam amino dengan berat

molekul 30400. Normalnya 90% hormon ini dihasilkan di sel interstisial

peritubular ginjal dan 10% nya di hati dan tempat lain. Tidak ada cadangan

yang sudah dibentuk sebelumnya, dan stimulus pembentukan eritropoietin

adalah tekanan oksigen (O2) dalam jaringan ginjal. Karena itu produksi

eritropoietin meningkat pada kasus anemia, jika karena sebab metabolik atau

struktural, hemoglobin tidak dapat melepaskan O2 secara normal, jika O2

atmosfer rendah atau jika gangguan fungsi jantung, paru atau kerusakan

sirkulasi ginjal mempengaruhi pengiriman O2 ke ginjal. (Setiawan, L, 2005)

Eritropoietin merangsang eritropoiesis dengan meningkatkan jumlah sel

progenitor yang terikat untuk eritropoiesis. BFUE dan CFUE lanjut yang

mempunyai reseptor eritropoietin terangsang untuk berproliferasi,

berdiferensiasi, dan menghasilkan hemoglobin. Proporsi sel eritroid dalam

sumsum tulang meningkat dan dalam keadaan kronik, terdapat ekspansi

eritropoiesis secara anatomik ke dalam sumsum berlemak dan kadang–kadang

ke lokasi ekstramedular. Rongga sumsum tulang pada bayi dapat meluas ke

kortikal sehinga menyebabkan deformitas tulang dengan penonjolan tulang

frontal dan protrusi maksila. Sebaliknya peningkatan pasokan O 2 ke jaringan

(akibat peningkatan massa sel darah merah atau karena hemoglobin dapat lebih

mudah melepaskan O2 dibanding normalnya) menurunkan dorongan

eritopoietin. Kadar eritropoietin plasma dapat bermanfaat dalam penegakan


7

diagnosa klinis. Kadar eritropoietin tinggi bila tumor yang mensekresi

eritropoietin menyebabkaan polisitemia, tetapi kadarnya rendah pada penyakit

ginjal berat atau polisitemia rubra vera. (Setiawan, L, 2005)

2. Perkembangan dan Pematangan Retikulosit

Selama proses eritropoiesis sel induk eritrosit yang paling tua atau late-

stage erytroblasts akan mengalami pematangan dengan menghilangnya inti

sehingga menjadi retikulosit. Dalam periode beberapa hari proses pematangan

ini ditandai dengan:

(1) Penyempurnaan pembentukan hemoglobin dan protein lainya seperti halnya

SDM yang matang;

(2) Adanya perubahan bentuk dari besar ke lebih kecil, uniform dan berbentuk

biconcave discoid; dan

(3) Terjadinya degradasi protein plasma dan organel internal serta residual

protein lainnya.

Bersamaan dengan adanya perubahan intrinsik ini retikulosit akan bermigrasi

ke sirkulasi darah tepi. Namun demikian populasi retikulosit ini bukanlah

sesuatu yang homogen oleh karena adanya tingkatan maturasi yang berbeda

dari retikulosit tersebut. Dengan meningkatnya rangsangan eritropoiesis seperti

adanya proses perdarahan atau hemolisis, jumlah dan proporsi dari sel

retikulosit muda akan meningkat baik di dalam sumsum tulang maupun didarah

tepi. Ada perbedaan masa hidup antara retikulosit normal dan retikulosit muda

(imatur) yaitu membran retikulosit imatur akan lebih kaku dan tidak stabil,

disamping itu retikulosit imatur ini masih mempunyai reseptor untuk protein
8

adesif sedangkan retikulosit normal telah kehilangan reseptor ini begitu sel ini

bermigrasi ke perifer.(Suega, K, 2010)

Suatu studi memperkirakan lama waktu tinggal retikulosit di sumsum

tulang sebelum memasuki sirkulasi darah tepi bervariasi antara 17 jam pada

tikus normal sampai 6,5 jam pada tikus yang menderita anemia. Walaupun

retikulosit baik di sumsum tulang maupun di darah tepi bisa dipisahkan dari

kontaminasi sel yang sama dari kompartemen yang berbeda akan tetapi

pemisahan ini tidak sempurna sekali sehingga metode untuk membedakan

masih perlu disempurnakan untuk mengetahui dengan tepat fungsi sitologis

dan maturasi dari retikulosit. Diperkirakan waktu pematangan retikulosit

adalah berkisar antara 2 - 5 jam, tergantung metode yang dipakai, spesies yang

dipelajari dan juga tingkat stimulasi proses yang menentukan kapan retikulosit

keluar dari sumsum tulang ke sirkulasi masih belum jelas diketahui. Ada studi

yang mendapatkan bahwa perbedaan spesies dapat menentukan perbedaan

jumlah retikulosit yang beredar didarah tepi, dimana pada tikus dan babi

didapatkan jumlah retikulosit yang banyak sedang pada manusia, anjing dan

kucing jumlahnya sedikit bahkan pada kuda hampir tidak didapatkan atau

sedikit sekali. Perbedaan yang unik ini bisa dikenali dengan metode manual

dengan pengecatan supravital seperti metode biru metilen. (Suega, K, 2010)

Retikulosit yang sangat muda (imatur) adalah retikulosit yang dilepaskan

ke darah tepi akibat adanya rangsangan akibat anemia dan hal ini disebut

stressed reticulocyte. Retikulosit jenis ini mempunyai masa hidup yang lebih

pendek apabila di tranfusikan ke dalam resipien normal dan secara umum


9

dianggap sel ini tidak normal karena tidak melalui perkembangan sel yang

normal sampai ke divisi terminal dari perkembangan retikulosit. Sebuah studi

ingin meneliti masa hidup dari retikulosit normal dan retikulosit stress ini baik

pada pasien normal maupun pasien anemia. Eksperimen ini mendapatkan data:

(1) Masa hidup retikulosit akan normal jika retikulosit normal diinjeksikan ke

binatang yang non anemik;

(2) Oleh karena gangguan intrinsik dari retikulosit stress, akan menyebabkan

sel ini lebih cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh resepien normal dengan

kecepatan yang lebih besar dibandingkan dengan resepien yang anemia; dan

(3) Baik retikulosit normal maupun retikulosit yang stress akan disingkirkan

dengan kecepatan yang bertambah dengan berlalunya waktu pada penderita

yang anemia. Secara keseluruhan data ini menunjukkan, pada saat proses

anemia berjalan akan terjadi proses adaptasi yang memungkinkan sel yang

diproduksi selama anemia tersebut akan beredar lebih lama pada binatang yang

dibuat anemi dibandingkan dengan binatang yang normal. Studi yang lain juga

mendukung hal ini dimana didapatkan bahwa peningkatan masa hidup

retikulosit pada binatang yang anemia bukan disebabkan oleh adanya overload

sistem retikoluendotelial akan tetapi hal ini diduga oleh adanya proses adaptasi

lien yang menurunkan aktivitas penghancurannya terhadap retikulosit yang

stress. (Suega, K, 2010)

Besi digunakan untuk mensintesis hemoglobin oleh sel induk eritroid di

sumsum tulang pada proses eritropoiesis yang pada akhirnya bermuara dengan

pelepasan retikulosit ke sirkulasi, dan akan memberi sinyal untuk aktivitas


10

eritropoiesis 3 - 4 hari setelah besi terpakai untuk membuat hemoglobin. Oleh

karena itu CHr/Reticulocyte Hemoglobin Content (rerata kadar hemoglobin

dalam retikulosit) dianggap dapat merefleksikan ketersediaan besi selama

pembentukan SDM, dan parameter retikulosit ini menggambarkan

keseimbangan antara besi dan eritropoiesis dalam 28 jam terakhir. Peneliti

akhir-akhir ini banyak mengindikasikan bahwa CHr merupakan indikator untuk

ketersediaan besi selama pemberian terapi rekombinan eritropoietin manusia.

Perubahan kadar hitung retikulosit awal hanyalah menggambarkan keluarnya

retikulosit muda dari sumsum tulang dan bukan merupakan tanda adanya

ekspansi dari proses eritropoeisis dan dengan alasan ini tentu lebih penting

untuk mengetahui respon eritropoiesis terhadap pemberian besi dibandingkan

hanya melihat retikulosit indeks saja. (Suega, K, 2010)

3. Faktor–faktor yang Mengganggu Respons Retikulosit Normal terhadap

Anemia

a. Penyakit sumsum tulang; misalnya hipoplasia, infiltrasi oleh karsinoma,

limfoma, mieloma, leukimia akut, tuberkulosis.

b. Defisiensi besi, vitamin B12 atau folat

c. Tidak adanya eritropoietin; misalnya penyakit ginjal

d. Berkurangnya pasokan O2 ke jaringan; misalnya miksedema, defisiensi

protein

e. Eritropoiesis inefektif, misalnya thallasemia mayor, anemia

megaloblastik, mielodisplasia, mielofibrosis, anemia diseritropoieis

kongenital.
11

f. Penyakit keganasan atau radang kronik. (Setiawan, L, 2005)

B. Anemia

1. Definisi

Keseimbangan antara pelepasan eritrosit ke dalam sirkulasi dan

keluarnya eritrosit dari sirkulasi dipertahankan secara ketat, sehingga dalam

keadaan normal kadar hemoglobin di peredaran darah relatif konstan. Bila

keluarnya eritrosit dari sirkulasi maupun penghancuran eritrosit meningkat

tanpa diimbangi oleh peningkatan produksi atau pelepasan eritrosit dalam

sirkulasi menurun, demikian pula bila kedua proses tersebut terjadi bersama–

sama akan menyebabkan anemia. (Kresna, S.B., 1989)

Anemia bukan merupakan diagnosa akhir dari suatu penyakit akan tetapi

selalu merupakan salah satu gejala dari suatu penyakit dasar. Oleh karenanya

apabila kita telah menentukan adanya anemia maka menjadi kewajiban kita

selanjutnya menentukan etiologi dari anemianya. (Supandiman, Iman, 1997)

2. Klasifikasi

Klasifikasi diadakan dengan maksud untuk memudahkan menegakkan

diagnosis, dengan demikian dapat merupakan pedoman guna mencari penyakit

yang sesungguhnya. (Darmawan, I, 1996)

Anemia Defisiensi Besi

Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat

besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang

karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar

zat besi dalam darah. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya saturasi
12

transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau hemosiderin sumsum tulang.

Secara morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik

hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintesis hemoglobin. Defisiensi

besi merupakan penyebab utama anemia. Wanita usia subur sering mengalami

anemia, karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan

kebutuhan besi sewaktu hamil. (Masrizal, 2007)

Penyebab Anemia Defisiensi Besi adalah :

a. Asupan zat besi

Rendahnya asupan zat besi sering terjadi pada orang-orang yang

mengkonsumsi bahan makananan yang kurang beragam dengan menu

makanan yang terdiri dari nasi, kacang-kacangan dan sedikit daging,

unggas, ikan yang merupakan sumber zat besi. Gangguan defisiensi besi

sering terjadi karena susunan makanan yang salah baik jumlah maupun

kualitasnya yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, distribusi

makanan yang kurang baik dan kebiasaan makan yang salah.

b. Penyerapan zat besi

Diet yang kaya zat besi tidaklah menjamin ketersediaan zat besi dalam

tubuh karena banyaknya zat besi yang diserap sangat tergantung

dari jenis zat besi dan bahan makanan yang dapat menghambat dan

meningkatkan penyerapan besi.

c. Kebutuhan meningkat

Kebutuhan akan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti

pada bayi, anak-anak, remaja, kehamilan dan menyusui. Kebutuhan


13

zat besi juga meningkat pada kasus-kasus pendarahan kronis yang

disebabkan oleh parasit.

d. Kehilangan zat besi

Kehilangan zat besi melalui saluran pencernaan, kulit dan urin disebut

kehilangan zat besi basal. Pada wanita selain kehilangan zat besi basal juga

kehilangan zat besi melalui menstruasi. Di samping itu kehilangan zat besi

disebabkan pendarahan oleh infeksi cacing di dalam usus.

3. Tanda dan Gejala

Tanda – tandanya meliputi :

a) Kepucatan membran mukosa

b) Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat,

kardiomegali, dan bising jantung.

c) Tanda spesifik yaitu koilonikia untuk defisiensi besi, ikterus untuk anemia

hemolitik atau megaloblastik, dan lainnya. (Setiawan, L, 2005)

Gejala meliputi :

a) Nafas pendek, khususnya pada saat berolahraga, kelemahan, dan sakit

kepala.

b) Pada pasien yang tua, mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina

pektoris, atau kebingungan.

c) Gangguan penglihatan akibat pendarahan retina. (Setiawan, L, 2005)


14

C. Menstruasi

1. Definisi

Menstruasi adalah proses alamiah yang terjadi pada perempuan, yaitu

perdarahan yang teratur dari uterus sebagai tanda bahwa organ kandungan telah

berfungsi matang. Umumnya remaja yang mengalami menarche adalah pada

usia 12 – 16 tahun. Periode ini akan mengubah beberapa aspek, misalnya

psikologi dan lainnya. Siklus menstruasi normal terjadi setiap 22 – 35 hari,

dengan lamanya menstruasi 3 – 7 hari (Kusmiran, E, 2012). Jumlah kehilangan

volume darah pada proses menstruasi adalah sekitar 50-60 ml.

Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal itu

menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin juga ikut terbuang.

Lama menstruasi yang melebihi normal dapat menyebabkan darah yang

dikeluarkan tubuh semakin banyak, sehingga kemungkinan kehilangan zat besi

juga semakin tinggi. (Arumsari, E, 2008)

Kurangnya zat besi dalam darah mengakibatkan konsentrasi hemoglobin

dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah

akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. (Masrizal, 2007). Penelitian

sebelumnya, menstruasi menurunkan kadar hemoglobin antara 0,3-1,7 g %.

2. Fisiologi Menstruasi

a. Stadium menstruasi

Berlangsung selama 3 – 7 hari. Pada saat itu endometrium (selaput

rahim) dilepaskan sehingga timbul perdarahan. Hormon – hormon ovarium

berada pada kadar paling rendah.(Kusmiran, E, 2012)


15

b. Stadium proliferasi

Berlangsung pada 7 – 9 hari. Dimulai sejak berhentinya darah

menstruasi sampai hari ke-14. Setelah menstruasi berakhir, dimulailah fase

proliferasi di mana terjadi pertumbuhan dari desidua fungsionalis yang

mempersiapkan rahim untuk perlekatan janin. Endometrium pada fase ini

tumbuh kembali. Antara hari ke-12 sampai 14 dapat terjadi pelepasan sel

telur dari indung telur (disebut ovulasi). (Kusmiran, E, 2012)

c. Stadium sekresi

Berlangsung 11 hari, yaitu masa sesudah terjadinya ovulasi. Hormon

progesteron dikeluarkan dan mempengaruhi pertumbuhan endometrium

untuk membuat kondisi rahim siap untuk implantasi (perlekatan janin ke

rahim). (Kusmiran, E, 2012)

d. Stadium premenstruasi

Berlangsung selama kurang lebih 3 hari, dimana ada infiltrasi sel – sel

darah putih, bisa sel bulat. Stroma mengalami disintegrasi dengan hilangnya

cairan dan sekret sehingga akan terjadi kolaps dari kelenjar dan arteri. Fase

ini menimbulkan vasokontriksi, kemudian pembuluh darah itu berelaksasi

dan akhirnya pecah. (Kusmiran, E, 2012)

D. Pemeriksaan Laboratorium Hitung Jumlah Retikulosit

Retikulosit mengandung sebagian RNA yang masih tertinggal, adanya

RNA ini hanya dapat dinyatakan dalam eritrosit yang masih hidup; eritrosit

yang telah mengering pada kaca objek atau yang telah mati tidak dapat dipulas.

Pemulasan ini disebut pulasan vital. (Gandasoebrata, R, 2007)


16

Pulasan vital dapat digunakan :

1. Brilliantcresylblue sebagai larutan 1% dalam metilalkohol atau sebagai

larutan 1% dalam NaCl 0,85%, dalam pembuatannya dibutuhkan sedikit

pemanasan.

2. Methylenblue yang baru 0,5 g; NaCl 0,8 g; K-oksalat 1,4 g; aquadest 100

ml. Larutan ini digunakan seperti larutan Brilliantcresylblue dalam larutan

garam. (Gandasoebrata, R, 2007)

Sebelum dipakai larutan diatas haruslah disaring terlebih dahulu. Pulasan vital

dapat digunakan untuk membuat sediaan basah atau sediaan kering.

a. Sediaan Basah

Teknik ini dikerjakan dengan memerlukan waktu lebih singkat sehingga

membuat cara basah lebih efisien dibandingkan cara kering.

Kekurangannya yaitu sediaan harus diperiksa segera, sehingga tidak ada

waktu untuk menunda, selain itu retikulosit akan tampak berjalan atau

bergerak yang mengakibatkan sel yang telah terhitung kemungkinan akan

terhitung kembali. Prosedur kerjanya yaitu :

1) Meletakkan 1 tetes larutan Brilliantcresylblue dalam alkohol di tengah-

tengah kaca objek dan membiarkannya sampai kering.

2) Meletakkan setetes kecil darah di atas bercak kering dan segera

mencampurnya.

3) Menutup campuran tersebut dengan kaca penutup; lapisan darah dalam

sediaan darah ini harus benar-benar tipis.


17

4) Membiarkannya beberapa menit lalu memasukkan ke dalam cawan petri

yang berisi kertas saring yang basah.

5) Memeriksa dengan mikroskop perbesaran objektif 100 kali dan

menghitung retikulosit dalam 1000 eritrosit. (Gandasoebrata, R, 2007)

b. Sediaan kering

Penggunaan sediaan kering dalam kegiatan di laboratorium kesehatan di

Indonesia dapat digunakan sebagai cara yang cukup baik dan dapat

diperiksa kapan saja dalam pemeriksaan jumlah retikulosit. Bila untuk

kebutuhan pemeriksaan jumlah retikulosit rutin dan checkup dengan jumlah

sampel yang banyak sangat baik digunakan karena mempersingkat waktu

persiapan pasien. Prosedur kerjanya yaitu :

1) Mencampurkan darah EDTA dengan larutan pewarna Methylenblue

perbandingan 1:1 ke dalam tabung reaksi dengan.

2) Menginkubasi campuran tersebut dalam waterbath pada suhu 37° C

selama 10 menit.

3) Dari campuran tersebut diambil 1 tetes untuk membuat sediaan apus.

Campuran tersebut juga dapat digunakan untuk sediaan basah, yaitu

dengan mengambil 1 tetes di kaca objek kemudian ditutup oleh kaca

penutup.

4) Memeriksa dengan mikroskop perbesaran 1000x dan menghitung

retikulosit dalam 1000 eritrosit. (Gandasoebrata, R, 2007)

Baik sediaan basah maupun kering haruslah dibuat tipis benar, karena

eritrosit harus tampak terpisah satu dari yang lain. Sediaan basah sangat cocok
18

untuk pemeriksaan laboratorium, karena sangat cepat. Namun jika ingin

menyimpan sediaan retikulosit, maka harus digunakan sediaan kering.

(Gandasoebrata, R, 2007)

Rumus prosentase jumlah retikulosit yaitu :

Jumlah retikulosit terhitung × 100%


1000 eritrosit

Sumber Kesalahan Pemeriksaan Retikulosit

1. Tahap Pra Analitik

Pengambilan sampel darah vena

a. Menggunakan jarum dan spuid yang basah

b. Menggunakan ikatan pembendung terlalu kuat dan lama, sehingga

menyebabkan hemokonsentrasi.

c. Terjadinya bekuan dalam spuid karena lambatnya kerja.

d. Terjadinya bekuan dalam botol karena darah tidak tercampur tepat

dengan antikoagulan. (Gandasoebrata, R, 2007)

2. Tahap Analitik

Pembuatan Darah Apus

Faktor – faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan dalam pembuatan

darah apus yaitu :

a. Darah yang cepat menggumpal atau mengering saat diteteskan pada kaca

objek.

b. Kurangnya pengalaman dan kesabaran praktikan.

c. Ketebalan darah apus mempengaruhi sel.


19

d. Lama waktu dalam pewarnaan juga dapat berpengaruh, karena daya

serap jaringan berbeda.

e. Cat yang tidak disaring akan membentuk endapan pada eritrosit.

f. Pemanasan smear dapat merusak retikulum, sehingga akan tampak

seperti batang dan granula.

g. Perubahan pH cat ke arah asam akan menyebabkan retikulum berbentuk

granula halus, sedangkan perubahan ke arah alkali akan menyebabkan

retikulum berbentuk noktah.

3. Tahap Pasca Analitik

Pada tahap ini didapatkan hasil penghitungan retikulosit, namun perlu

diperhatikan juga hal-hal yang dapat menimbulkan kesalahan penghitungan

sebagai berikut :

a. Pengendapan cat pada eritrosit akan tampak sebagai retikulosit, sehingga

kemungkinan terhitung sebagai retikulosit.

b. Benda inklusi pada eritrosit ditafsirkan sebagai retikulosit, misalnya

basofilik stipling.
20

E. Kerangka Teori

Lama pengecatan Anemia

Teknik Jumlah retikulosit Ketelitian


pembuatan apus perhitungan

Menstruasi Perubahan pH cat


pewarna

F. Kerangka Konsep

Sebelum dan Jumlah retikulosit


Sesudah Menstruasi

G. Hipotesis

Ada perbedaan jumlah retikulosit antara sebelum menstruasi dan sesudah


menstruasi.

Anda mungkin juga menyukai