Anda di halaman 1dari 5

UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL 2020/2021

MATA KULIAH :PENGANTAR ANTROPOLOGI


PROGRAM STUDI/KELAS : SEJARAH/A
SIFAT UJIAN : OPEN BOOK
PENGIRIMAN JAWABAN : PALING LAMBAT TGL. 18 DESEMBER 2020 PUKUL 10.45.
DI MS TEAMS CHANEL UAS DI KOLOM REPLY
PENGAMPU : MAHENDRA PUJI UTAMA, S.S., M.HUM.
DR. SITI MAZIYAH, M.HUM.

Nasi Lesah Khas Magelang


Oleh:
Andriv Pambudi Wicaksono (13030119130074)
PENDAHULUAN
Apa yang terlintas di pikiran anda ketika ada yang menyebut kota Magelang? Sebagian besar
orang mungkin akan menjawab candi Borobudur, sebuah candi besar peninggalan wangsa
Syailendra dari 13 abad yang lalu. Meski hipotesis saya, jumlah orang-orang seperti itu masih kalah
banyak dengan orang-orang yang mengira bahwa candi Borobudur terletak di Yogyakarta. Akan
tetapi saya tidak akan membahas candi Borobudur. Ada satu perbuatan mulia lagi yang dikakukan
masyarakat Magelang selain membangun candi di masa lampau. Perbuatan itu adalah mereka
menyumbang satu varian kuliner khas Indonesia: soto. Masyarakat Magelang punya Nasi Lesah.

Nasi Lesah (sumber: www.detik.com)


Nasi Lesah merupakan makanan sejenis soto dengan kuah santan yang merupakan makanan
khas Magelang. Makanan tersebut biasanya disajikan dengan nasi dan kuahnya berwarna
kekuningan sekilas mirip Soto Lamongan, tetapi lebih keruh. Cita rasa dari nasi Lesah hampir sama
dengan cita rasa soto, dan kuah nasi lesah sendiri rasanya gurih berpadu kaldu ayam dan santan
kelapa. Adapun isian di Dalam nasi Lesah berupa sohun, irisan kubis, irisan wortel, seledri, suwiran
ayam, dan kecambah. Nasi Lesah biasa dinikmati bersama tempe mendoan ataupun tahu isi hangat.
Setidaknya ada 2 penjual Nasi Lesah yang punya nama di Magelang. Mereka adalah Warung
Makan D' Lesah dan Nasi Lesah Pak Badut. Warung Makan D'Lesah erada di Jalan Kalingga No
15, Magelang. Sedangkan kita bisa menemui Nasi Lesah Pak Badut di sekitar Pasar Rejowinangun,
Magelang. Ongkos yang perlu kita keluarkan untuk bisa menikmati sepiring porsi nasi lemah
terbilang cukup murah. Dengan uang Rp10.000,- pun kita akan mendapat kembaliannya. Hak ini
dikarenakan harga dari seporsi Nasi Lesah berkisar antara Rp5000,- jika anda membelinys di Nasi
Lesah Pak Badut, hingga Rp8000,- jika anda membelinya di Warung Makan DD'Lesah.

ANALISIS
A. Nasi Lesah sebagai Identitas Budaya
Kuliner merupakan elemen budaya dari suatu bangsa yang sangat mudah dikenali sebagai
identitas suatu masyarakat. Kuliner merupakan salah satu unsur dari budaya dan menunjukkan
adanya hubungan sosial. Apa yang kita makan, dengan siapa kita makan, dan bagaimana penyajian
makanan menunjukkan peranan yang penting dalam memaknai relasi sosial. Makan adalah bentuk
dasar dari semua transaksi dengan pihak lain dan setiap pertukaran obyek (Woodward [ed.],
1999:31). Nasi Lesah sebagai salah satu bentuk kuliner di Magelang tentu memiliki hubungan sosial
yang menjadikannya suatu identitas budaya terutama bagi masyarakat Magelang itu sendiri.
Hubungan sosial dapat kita ketahui dari kapan masyarakat Magelang menyantap Nasi Lesah.
Nasi Lesah biasa disajikan pada waktu sore hingga malam hari. Saat-saat seperti itu biasanya
digunakan para kelas pekerja pulang dari tempat ia bekerja. Menikmati kegurihan Nasi Lesah
setelah seharian memeras keringat tentu merupakan hal yang sangat menyenangkan. Kata “lesah”
sendiri dalam bahasa Jawa berarti lelah. Mereka biasa mengajak keluarga, teman, atau siapa pun
untuk saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Makanan selain merupakan kebutuhan
biologis agar manusia dapat bertahan hidup, juga merupakan kebutuhan sosial dan budaya manusia
dalam komunitas atau masyarakat.
Adapun tempat yang bisa kita tuju untuk menikmati Nasi Lesah dapat menunjukkan
identittas budaya dari Nasi Lesah. Nasi Lesah Pak Badut misalnya. Seperti yang sudah kita ketahui
sebelumnya, lokasi dari Nasi Lesah Pak Badut ini adalah di sekitar Pasar Renowimangun,
Magelang. Pasar Rejowinangun Magelang merupakan pasar harian dengan jam buka mulai pukul
05.00 WIB sampai jam 17.00 WIB ( 24 jam ). Pasar Rejowinangun termasuk pasar heterogen yaitu
menyediakan berbagai macam jenis dagangan seperti pakaian, daging, sembako, bumbu dapur,
hingga kuliner. Pasar tradisional erat hubungannya dengan masyarakat kelas ekonomi menengah ke
bawah. Orng-orang yang beraktivitas di sana baik itu pedagang dan pembelinya biasanya berasal
dari kelas ekonomi tersebut. Adanya Nasi Lesah di Pasar Rejowinangun menandakan bahwa ia
adalah identitas budaya bagi masyarakat kelas ekonimi menengah ke bawah.
B. Penggunaan Daging Ayam di Nasi Lesah
Sebelumnya kita perlu mengetahui sejarah dari soto di mana Nasi Lesah ikut menjadi salah
satu variannya. Menurut Denys Lombard (2005), soto adalah makanan yang berasal Cina bernama
caudo atau jao to. pada abad ke 18, telah banyak imigran Cina yang datang ke pesisir utara Jawa.
Mereka membuka banyak rumah makan sebagai usaha. Meningkatnya jumlah imigran dari Cina
membuat mereka akhirnya mendominasi saat itu. Pada saat inilah jao to mulai diperkenalkan kepada
masyarakat pribumi. Dari sini juga menjadi awal mula penggunaan sendok sup di Nusantara.
Sebelumya, aktivitas makan biasa dilakukan dengan tangan langsung.
Karena Jao to merupakan makanan yang berasal dari Cina, maka snagat wajar apabila
daging yang digunakan di masyarakat tersebut adalah babi. Hal itu tidak cocok dengan masyarakat
pribumi di Magelang yang mayoritas beragama Islam. Akhirnya, mereka mencoba sedikit
memodifikasi Jao to dengan mengganti penggunaan daging babi dengan daging sapi, ayam, atau
kerbau. Untuk nasi Lesah, daging yang digunakan adalah daging ayam. Daging ayam dipilih karena
harganya yang lebih murah ketimbang daging sapi dan sapi kerbau. Hal ini selaras dengan
kemampuan ekonomi masyarakat yang menjadikan Nasi Lesah ini sebagai simbol budaya yaitu
masyarakat kelas ekonomi menengah-bawah.
C. Pesan yang Terkandung dalam Sepiring Nasi Lesah
Menurut Sri Utami (2018), identitas menjadi suatu sumber yang lebih kuat bagi pemaknaan
diri manusia daripada perannya, yang disebabkan proses konstruksi diri dan individulisasi yang
melibat. Dalam pengertian sederhana, identitas membentuk makna dan semua identitas adalah
dikonstruksi. Nasi Lesah sebagai identitas budaya bagi masyarakat Magelang tentu memiliki
pemaknaan tersendiri yang dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua. Pesan tersebut sedikit banyak
dipengaruhi oleh proses terciptanya Nasi Lesah itu sendiri. Pesan itu adalah bagaimana leluhur itu
beradaptasi dengan budaya yang berbeda dengan budaya mereka. Diubahnya penggunaan daging
babi menjadi penggunaan daging ayam menujukan bahwa kreativitas budaya yang mengakibatkan
akulturasi dapat terjadi.
D. Pengaruh Ajaran Islam dalam Sepiring Nasi Lesah
Berdasarkan sejarah terciptanya masakan soto di Nusantara, dapat kita ketahui bahwa
pengaruh ajaran Islam sangat besar. Jao To yang masuk ke Nusantara pada abad ke-18 di pulau
Jawa, dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam melakukan akulturasi kebudayaan
kepada Jao To. Jao To yang menggunakan daging babi “diubah” menjadi soto yang menggunakan
daging sapi, ayam, atau kerbau. Hal itu dilakukan untuk menyesuaikan dengan ajaran Islam yang
mengharamkan pengikutnya untuk mengonsumsi daging babi. Dalam kasus Nasi Lesah sendiri,
daging yang digunakan adalah daging ayam. Perlu diketahui
E. Unsur Cina dan India di Nasi Lesah
Selain unsur Cina melalui Jao To yang masuk ke Nusantara pada abad ke-18, unsur lain dari
kebudayaan luar negeri yang mempengaruhi terciptanya Nasi Lesah adalah unsur India. Soto, pada
dasarnya semacam sup kari ringan khas yang meluas di Madurai, daerah di pertengahan wilayah
Tamil Nadu. Sumber lain menyebut sup kari ringan pada umumnya dikatakan berasal dari daerah
Nellai di Tirunelveli, sekitar 162 kilometer selatan Madurai, dekat Samudra Hindia di seberang Sri
Lanka. Di sana nama sup kari ringan sebagai Sothi. Beda Sothi asli dari Madurai dengan beragam
varian soto di Nusantara hanya di bahannya, salah satunya karena ajaran Hindu yang tidak makan
daging sapi, maka Sothi diganti dengan bahan lain setempat dan lain sebagainya, tetapi masih
segaris dalam alur bentuk dan rasanya.
F. Makna Kata “Lesah” dalam Nasi Lesah sebagai Wujud Kebudayaan Universal
Kata “Lesah” dalam bahasa Jawa berarti lelah, loyo, atau letih. Lelah di sini ditujukan
kepada masyarakat yang sedang kelelahan setelah bekerja seharian. Budaya kerja yang umum ada di
masyarakat adalah bekerja di pagi hari, pulang ke rumah pada sore hari. Kebetulan Nasi Lesah
memang biasa disantap di waktu setelah jam kerja usai. Kondisi geografis Kota Magelang yang
berada di pedalaman membuat suhu udara di malam hari biasanya dingin. Hangatnya Nasi Lesah
bisa mengatasi problem tersebut. Di samping itu, kata “lesah” juga berarti primsip etos kerja hingga
kita mencapai tahap lelah. Prinsip bekerja sampai lelah ini sangat penting diimplementasikan
sebagai penyeimbang prinsip lain seperti “Nrimo ing pandum” yang lebih terdengar seperti pasrah
akan segala keadaan yang diterima masing-masing individu.

Referensi
Woodward, K. 1999. Identity and Difference. London: Sage Publication.
Lombard, D. 2005. Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia.
Utami, S. 2018. Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas
Budaya. CoverAge: Journal of Strategic Communication, 8(2), 36-44.
https://jateng.antaranews.com/berita/278683/telaah--jejak-akulturasi-budaya-dalam-semangkuk-
lesah-magelang (diakses pada tanggal 16 Desember 2020 pukul 20.30 WIB)
https://tirto.id/sejarah-asal-usul-dan-ragam-varian-soto-di-indonesia-eehQ (diakses pada tanggal 16
Desember 2020 pukul 20.35 WIB)
https://tribunjogjatravel.tribunnews.com/2020/01/29/nikmatnya-nasi-lesah-kuliner-mirip-soto-
bercita-rasa-gurih?page=all (diakses pada tanggal 16 Desember 2020 pukul 20.37)
https://www.google.com/amp/s/jateng.tribunnews.com/amp/2016/12/22/lezatnya-nasi-lesah-soto-
berkuah-santan-khas-magelang-yang-kian-sulit-dicari (diakses pada tanggal 16 Desember 2020
pukul 20.40)

Anda mungkin juga menyukai