Anda di halaman 1dari 15

Maksud pemasangan bejana logam di atas rangka kayu adalah agar pengaruh

turbulensi angin dapat dikurangi, karena akan mempengaruhi laju penguapan.


Mengingat cara pengukuran tidak dapat mewakili keadaan yang sebenarnya, hasil
pengukuran dengan panci evaporasi akan selalu lebih besar dari nilai penguapan
yang sesungguhnya. Kejadian tersebut karena beberapa hal berikut (Sri Harto, 1993):

a. luas permukaan air di panci penguapan relatif sempit dan tidak terdapat pengaruh
gelombang di permukaan air, serta turbulensi udara di permukaan lebih kecil,
b. terdapat perbedaan kemampuan massa air untuk menyimpan panas (heat storage
capacity) antara panci penguapan dan danau atau massa air yang lebih besar,
c. terjadinya pertukaran panas (heat exchange) antara panci penguapan dengan
tanah, air dan udara di sekitarnya.

Untuk itu, nilai penguapan yang sesungguhnya dapat diperkirakan dengan


mengalikan koefisien panci (pan coefficient) yang besarnya antara 0.65-0.85
tergantung dari spesifikasi alat. Penggunaan alat panci penguapan tertanam didasari
pada kelemahan panci klas A tersebut, yaitu dengan upaya memperhitungkan
pengaruh latent heat yang terdapat dalam tanah di sekitar massa air yang menguap
dengan cara memasang panci masuk ke bawah permukaan tanah. Sebagai contoh
adalah Colorado sunken pan seperti dapat dilihat pada Gambar 2.9. Koefisien panci
alat ini besarnya 0.75-0.86.

3’x3’

4’’

3’

Gambar 2.9. Colorado sunken pan


(Sumber: Analisis Hidrologi, Sri Harto, Br., 1993)

29
Untuk panci terapung, pada dasarnya bentuk alat mirip dengan tipe lain. Alat
tipe ini dapat digunakan untuk mengukur penguapan di danau atau waduk dimana
alat diapungkan di atas ponton yang diikat dengan angker dan dilengkapi dengan
kisi-kisi untuk mencegah terjadinya percikan air (splashing) ke dalam panci
penguapan. Ilustrasi pemasangan alat tipe ini disajikan pada Gambar 2.10.

Kisi-kisi Kisi-kisi

Ponton

Angker
Angker

Gambar 2.10. Floating pan


(Sumber: Analisis Hidrologi, Sri Harto, Br., 1993)

2.4.4. Perkiraan Evaporasi dengan Pendekatan Teoritik

Seperti telah disinggung pada uraian tentang fator-faktor yang mempengaruhi


laju penguapan, pendekatan teoritik untuk perkiraan nilai penguapan memerlukan
data parameter klimatologi. Data tersebut meliputi temperatur udara (T), kelembaban
relatif udara atau relative humidity (RH), kecepatan angin pada ketinggian tertentu,
yang umumnya diukur pada ketinggian 2 m di atas permukaan tanah (U2), lama
penyinaran matahari atau sunshine duration dalam jam (n), lama penyinaran
matahari maksimum pada suatu hari tertentu di lokasi pengukuran (N), radiasi
matahari (Rn) dan kemungkinan data lain tergantung pada pendekatan yang
digunakan untuk menurunkan rumus empiris hitungan evaporasi.

30
Pada diktat ini tidak akan diuraikan secara rinci tentang formulasi beberapa
rumus empiris yang umum dikenal dalam bidang hidrologi. Pembaca dapat merunut
pustaka yang memuat penurunan rumus-rumus tersebut. Setidaknya ada 3 prinsip
pendekatan hitungan evaporasi, yaitu persamaan keseimbangan air (water balance),
persamaan keseimbangan energi (energy balance method) dan Aerodynamic method.

1. Pendekatan Water Balance

Cara ini sangat sederhana dengan rumus berikut ini (Sri Harto, 1993).

I  O  S

dengan I = total inflow,


O = total outflow,
ΔS = selisih jumlah tampungan.

Dalam penerapannya rumus di atas sering dijumpai kesulitan, karena tidak


setiap komponen imbangan air dapat dipantau dan diukur dengan teliti, terutama nilai
ΔS. Rumus tersebut sangat memungkinkan untuk dipakai pada analysis untuk
mendapatkan perkiraan nilai evaporasi yang tidak perlu sangat akurat atau kondisi
dimana nilaiΔS sangat kecil mendekati nol.

2. Pendekatan Energy Balance Method

Sumber energi panas untuk proses penguapan pada permukaan air adalah
perubahan panas neto (net radiation flux) di permukaan bumi (Rn). Besarnya Rn
merupakan selisih antara serapan panas efektif di permukaan bumi dan pancaran
panas ke udara (emitted radiation) seperti dijelaskan pada rumus dan Gambar 2.11
berikut ini.

Rn  Ri 1     Re

di mana Ri adalah panas yang sampai di permukaan bumi yang sebagian dipantulkan
dengan faktor refleksi atau albedo α dan juga adanya pancaran panas ke udara Re.

31
Incoming Ri αRi reflected
radiation (α= albedo)
Re emitted

Surface

Rn =(1-α)Ri - Re
(1-α)Ri
Net radiation absorved
Absorbed

Gambar 2.11. Keseimbangan panas di permukaan


(Sumber: Applied Hydrology, Chow, dkk., 1988)

Selanjutnya laju penguapan dapat diperkirakan dengan memperhitungkan perubahan


panas internal akibat proses penguapan air dengan rumus berikut (Chow, dkk., 1988):

1
E  Rn  Hs  G 
lv  w

dengan E = laju evaporasi (mm/hari),

lv = panas latent untuk penguapan (J/kg),

ρw = massa jenis air (kg/m3),

Rn = radiasi neto (W/m2),

Hs = suplai panas ke aliran udara (W/m2),

G = suplai panas ke dalam tanah (W/m2).

Berdasarkan prinsip pendekatan keseimbangan energi dan hukum Dalton telah


dikembangkan rumus empiris Penman yang banyak digunakan untuk hitungan
evaporasi dan evapotranspirasi. Dalam perkembangannya, untuk keperluan praktis
bahkan telah dibuat nomogram Penman untuk hitungan penguapan dengan
memperhitungkan faktor kelembaban udara (RH), lama penyinaran matahari (n),
temperatur udara (T), panas radiasi atau nilai Angot (Ra) dan kecepatan angin 2 m di
atas tanah (U2). Uraian lebih rinci dapat dilihat pada buku Analisis Hidrologi (Sri
Harto, Br., 1993).

32
3. Pendekatan Aerodynamic Method

Selain suplai enegi panas, faktor lain yang mengontrol laju evaporasi adalah
kemampuan untuk memindahkan uap air dari permukaan air. Proses pemindahan uap
air ini akan tergantung kepada besarnya pertambahan kelembaban arah vertikal
(gradient of humidity) dan kecepatan angin di udara dekat permukaan air. Kedua
proses tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan persamaan perpindahan massa
dan momentum di udara. Penurunan rumus hitungan evaporasi dengan cara ini
menghasilkan persamaan berikut (Chow, dkk., 1988):

E a  B  e as  e a 

dengan Ea = evaporasi dari muka air bebas selama periode pengamatan,


B = faktor empiris tergantung kepada konstanta von Karman (k), rapat
massa udara (ρa), rapat massa air (ρw), kecepatan angin pada 2 m di
atas permukaan (U2) dan tekanan udara ambient (p),
eas = tekanan uap jenuh di udara pada temperatur sama dengan
temperatur air,
ea = tekanan uap nyata pada ketinggian pengamatan.

2.4.5. Rumus Hitungan Perkiraan Evapotranspirasi


Hitungan perkiraan laju evapotrasnpirasi, yaitu jumlah evaporasi dari
permukaan tanah dan transpirasi dari tanaman juga diturunkan dengan
memperhatikan faktor-faktor seperti halnya pada penurunan rumus evaporasi. Faktor
lain yang diperhitungkan adalah suplai lengas tanah pada zona penguapan.
Mengingat evapotranspirasi tergantung pada jenis dan tahap pertumbuhan tanaman,
maka digunakan acuan hitungan yaitu evapotranspirasi tanaman acuan (reference
crop evapotranspiration) yang didefinisikan sebagai berikut (Doorenbos dan Pruitt,
1977):
“Laju evapotranspirasi dari hamparan tanaman rumput dengan tinggi merata
sama yang tumbuh normal dengan suplai air yang cukup”.

33
Nilai evapotranspirasi potensial suatu jenis tanaman pada periode tumbuh
tertentu (Eto) didapat dengan mengalikan evapotranspirasi tanaman acuan (Etr)
dengan koefisien tanaman (kc). Memperhatikan kondisi lengas tanah (soil moisture),
nilai evapotranspirasi nyata (Et) didapat dari perkalian antara Eto dan koefisien tanah
(ks).
Salah satu contoh rumus hitungan evapotranspirasi potensial dengan
menggunakan indeks panas bulanan adalah rumus Thornthwaite sebagai berikut ini
(Sri Harto, 1993).

a
 10t 
PE *  1.6 
 J 

12
J   jn
n 1

1.514
t 
j n   n 
5

a  675  10 9 J 3  771  10 7 J 2  178  10 4 J  0.498

dengan PE* = evapotranspirasi potensial tahunan,


J = indeks panas tahunan,
jn = indeks panas bulanan pada bulan ke n,
tn = suhu rerata pada bulan ke n,
t = suhu rerata tahunan,
a = konstanta.

Rumus lain untuk memperkirakan nilai evapotranspirasi potensial berdasarkan


gabungan pendekatan cara energy balance method dan aerodynamic method juga
banyak dikembangkan. Salah satu rumus yang sering dipakai di Indonesia dan
beberapa negara Asia adalah rumus Penman. Pembaca dapat mempelajari lebih detil
tentang rumus penman tersebut dari beberapa pustaka yang tercantum pada diktat ini.

34
2.5. Infiltrasi

2.5.1. Pengertian Umum

Infiltrasi adalah proses masuknya air ke bawah permukaan tanah. Kalau kita
cermati kembali ilustrasi seperti di tunjukkan pada Gambar 1.1, dapat dimengerti
bahwa infiltrasi merupakan salah satu komponen penting dari daur hidrologi.
Besarnya infiltrasi merupakan informasi penting sebagai masukan dalam hitungan
pengalihragaman hujan menjadi aliran yang mana jumlah dan laju limpasan
permukaan sangat ditentukan oleh faktor kehilangan air akibat proses infiltrasi.
Besarnya infiltrasi dapat dinyatakan dalam kapasitas infiltrasi (infiltration
capacity) dan laju infiltrasi (infiltration rate). Kapasitas infiltrasi adalah nilai laju
infiltrasi maksimum untuk suatu jenis tanah dengan sifat tertentu, sedangkan laju
infiltrasi merupakan kecepatan infiltrasi nyata yang diukur pada saat tertentu.
Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya laju infiltrasi adalah kondisi
permukaan tanah, vegetasi penutup lahan, karakteristik tanah seperti porositas,
konduktivitas hidraulik (hydraulic conductivity) dan kelengasan tanah (soil
moisture). Oleh karena itu, laju infiltrasi juga akan bervariasi secara vertikal
mengikuti distribusi lapisan tanah. Pada lapisan dengan pori-pori kecil, gerakan air
vertikal ke bawah akibat gaya gravitasi akan mendapat hambatan akibat gaya geser
yang lebih besar. Pada lapisan dengan pori-pori besar, pengaruh gaya kapiler yang
menarik butir-butir air ke pori-pori terdekat sangat minim, sehingga pengaruh gaya
gravitasi lebih dominan. Dengan demikian laju infiltrasi terkait dengan 3 proses
berikut:

a. masuknya air melewati permukaan tanah,


b. tampungan air di lapisan bawah permukaan tanah yang mempengaruhi
kelengasan tanah,
c. pergerakan air di dalam lapisan tanah.

Apabila kondisi lengas tanah memungkinkan, akibat gaya gravitasi proses


infiltrasi di bagian lapisan bawah akan diteruskan secara vertikal ke bawah menuju

35
zona air tanah. Proses ini disebut dengan perkolasi (percolation).
2.5.2. Pengukuran Infiltrasi

Dalam kaitannya dengan analisis hidrologi, informasi yang diperlukan adalah


laju infiltrasi yang berubah dengan waktu. Untuk mendapatkan data tersebut
pengukuran laju infiltrasi pada suatu tempat tertentu dapat dilakukan dengan 2 cara,
yaiu pengukuran langsung di lapangan dan dengan pendekatan menggunakan analisis
hidrograf (Sri Harto, 1993).

1. Pengukuran lapangan

Cara pertama dapat dilakukan dengan menggunakan alat berikut:


a. single ring infiltrometer,
b. double ring infiltrometer,
c. rainfall simulator.

Single Ring infiltrometer berupa silinder baja yang dimasukkan ke dalam tanah
dan dilengkapi dengan skala dalam mm dan hook gauge untuk mengukur penurunan
muka air yng diisikan ke dalam silinder baja yang diamati dalam rentang waktu
tertentu. Prinsip pengukuran infiltrasi dengan double ring infiltrometer sama dengan
single ring infiltrometer, hanya saja digunakan 2 buah silinder baja untuk menahan
rembesan air ke arah horisontal dengan cara mengisi air pada ruang di antara dua
silinder baja. Gambar 2.12 menyajikan ilustrasi pengukuran laju infiltrasi
menggunakan double ring infiltrometer.

Ring luar φ50


cm
f=Δh/Δt Ring dalam
φ25 cm

Δh 10 cm

50 cm

Gambar 2.12. Pengukuran laju infiltrasi dengan double ring infiltrometer

36
(Sumber: Analisis Hidrologi, Sri Harto, Br., 1993)
Rainfall simulator dapat digunakan untuk mengetahui sifat infiltrasi dan
karakteristik hidrograf untuk berbagai keadaan DAS (Sri Harto, 1993). Alat ini terdiri
dari satu set sprinkler nozzle yang berfungsi untuk membuat hujan tiruan dengan
cara memancarkan air ke dalam suatu bidang tanah sample pada suatu daerah aliran
dan petak tanah terisolasi dari bidang tanah di sekitarnya sehingga limpasan dapat
diukur dengan teliti. Prosedur pengukuran ditempuh dengan cara sebagai berikut ini
(J. Martha W dan W. Adidarma, 1982).
a. Hujan buatan diberikan dengan intensitas i tertentu sedemikian sehingga nilainya
konstan dan lebih besar dari perkiraan kapasitas infiltrasi (i>fp).
b. Sebagian air yang tidak terinfiltrasi (i-fp) akan mengalir di permukaan dan dapat
diukur untuk dihitung sebagai limpasan q dalam intensitas (mm/jam).
c. Nilai hasil pengukuran q dan i diplot terhadap waktu untuk menggambarkan
grafik perubahan laju limpasan q sampai keadaan dimana laju infiltrasi konstan
(fc) dan limpasan juga konstan (qc) seperti dilukiskan pada gambar berikut:

i (mm/jam) konstan

Garis massa fc
fp

fr
qc
S Kurva q
qr

tc to t

Dipindahkan dengan luas sama

Gambar 2.13. Kurva hasil percobaan dengan rainfall simulator


(Sumber: Mengenal Dasar-dasar Hidrologi, J. Martha W dan W. Adidarma, 1982)

d. Sesudah hujan buatan dihentikan limpasan tidak akan langsung berhenti, tetapi
akan mengalami resesi karena masih ada sisa air tertahan di permukaan sebagai
air detensi (detention).

37
e. Selama masih ada air di permukaan tanah maka infiltrasi masih terus terjadi,
meskipun lajunya akan berkurang. Dengan asumsi bahwa penurunan infiltrasi
linier terhadap penurunan limpasan maka dapat diperoleh rumusan berikut:

fc
fr   qr
qc

dengan fc dan qc masing-masing adalah laju infiltrasi dan limpasan pada saat
hujan dihentikan, sedangkan fr dan qr masing-masing adalah laju infiltrasi dan
limpasan pada saat resesi.
f. Volume total dari limpasan dan infiltrasi pada saat resesi sama dengan simpanan
(storage) air yang terjadi pada awal percobaan. Sehingga kurva laju infiltrasi (i-q)
dapat dikoreksi untuk mendapatkan kurva fp yang sesungguhnya, yaitu dengan
menarik kurva yang menyatakan laju storage awal di mana volume storage awal
(S) sama dengan jumlah volume limpasan dan infiltrasi pada saat resesi seperti
dilukiskan pada Gambar 2.13.

2. Pengukuran dengan analisis hidrograf

Penggunaan cara analisis hidrograf dimaksudkan untuk memperkirakan nilai


rerata dari laju infiltrasi yang terjadi selama hujan berlangsung pada suatu DAS
tertentu. Memperhatikan ilustrasi daur hidrologi seperti pada Gambar 1.1, debit
sungai yang terjadi pada saat ada hujan terbentuk dari empat komponen aliran, yaitu
hujan yang jatuh langsung ke alur sungai (channel precipitation), aliran permukaan
(surface runoff), aliran antara (interflow) dan aliran dasar (base flow).
Analisis hidrograf debit sungai dapat disederhanakan dengan memisahkan
komponen aliran menjadi dua bagian, yaitu limpasan langsung (direct runoff) yang
terdiri dari limpasan permukaan dan aliran antara serta aliran dasar. Komponen aliran
dasar dianggap akibat proses infiltrasi, sehingga jumlah volumenya dapat disamakan
dengan jumlah air hujan yang terinfiltrasi. Dengan anggapan ini dapat dicari laju
infiltrasi konstan selama hujan terjadi yang disebut dengan indeks phi (phi index).
Prosedur penentuan nilai indeks phi dapat dilakukan dengan cara seperti ditunjukkan

38
pada Gambar 2.14.

P (mm/jam)
Volume hujan efektif = V1

Φ= indeks phi
Q (m3/dt)

t (jam)

V1 = V2

Volume limpasan = V2
Limpasan

Aliran dasar
Gambar 2.14. Ilustrasi penentuan indeks phi
t (jam)
(Sumber: Analisis Hidrologi, Sri Harto, Br., 1993)

Perlu ditekankan lagi bahwa cara di atas didasari anggapan bahwa laju infiltrasi
konstan selama hujan berlangsung. Untuk keperluan analisis yang menghendaki
keluaran akurat cara tersebut tidak dapat dipergunakan. Beberapa rumus empiris
yang mencoba menjelaskan karakteristik perubahan laju infiltrasi telah banyak
dikembangkan. Salah satu rumus yang cukup dikenal adalah persamaan Horton
(1939) sebagai berikt ini.

f  t   f c   f 0  f c   e  kt

dengan f(t) = laju infiltrasi pada saat t diukur dari awal percobaan,
fc = laju infiltrasi konstan,
f0 = laju infiltrasi pada saat awal pengukuran,
k = konstanta penurunan laju infiltrasi.

Philip (1969) mengembangkan rumus lain yang mirip persamaan Horton


dengan memperhitungkan perubahan lengas tanah. Pendekatan teoritis dengan
memperhitungkan konduktivitas hidraulik juga telah dikembangkan periode

39
sebelumnya oleh Green dan Ampt (1911).
2.6. Debit Aliran Sungai

Data aliran merupakan data pokok dalam kaitannya dengan analisis hidrologi
untuk penentuan potensi ketersediaan air pada suatu DAS. Informasi ketersediaan air
ini penting untuk masukan rencana pemanfaatan sumberdaya air terkait dengan
rancangan kapasitas bangunan air yang diperlukan. Dengan mengetahui data aliran
sungai, potensi ketersediaan air dapat diperkirakan.
Dalam rangka penanganan persoalan banjir diperlukan studi hidrologi untuk
mengetahui karakteristik debit banjir. Umumnya dikehendaki hidrograf banjir
rancangan untuk keperluan perencanaan bangunan pengendali banjir seperti tanggul
banjir, saluran pengelak, bendung gerak dan lain-lain. Apabila tersedia catatan data
debit banjir ekstrim yang panjang (lebih dari 20 tahun), maka tanpa menggunakan
data curah hujan dan parameter fisik DAS dapat ditentukan nilai debit banjir
rancangan dengan pendekatan statistik. Dalam hal tertentu diinginkan hidrograf
banjir dengan parameter aliran yang diperlukan adalah: debit puncak, waktu capai
puncak aliran, volume air banjir dan tinggi muka air banjir.
Koefisien aliran adalah perbandingan antara volume aliran permukaan dan
volume curah hujan yang terjadi untuk kurun waktu tertentu. Nilai koefisien aliran
dipengaruhi oleh karakteristik DAS dan fungsi lahan. Parameter sifat fisik tanah
yang sangat menentukan adalah kapasitas infiltrasi yang tergantung kepada
karakteristik geoteknik dan penutupan lahan di DAS.
Nilai koefisien aliran dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan
perubahan kondisi DAS, terutama kelembaban tanah dan tataguna lahan. Biasanya
nilai koefisien aliran diambil untuk tanah dalam keadaan jenuh pada waktu
permulaan hujan (dengan pertimbangan lebih aman). Untuk menentukan besarnya
pengaruh dari masing-masing faktor tersebut sangat sulit, sehingga dalam praktek
penentuan besarnya koefisien aliran didasarkan pada pertimbangan faktor-faktor
tersebut secara keseluruhan. Tabel 2.2 menyajikan contoh nilai koefisien aliran yang

40
dapat digunakan dalam hitungan analisis hidrologi.
Tabel 2.2. Nilai koefisien aliran berdasarkan karakteristik DAS dan tataguna lahan

Sumber: Applied Hydrology (Chow dkk, 1988)

2.7. Data Hidraulika


Dalam konteks persoalan perancangan bangunan di sungai, data hidraulika
yang diperlukan adalah data tentang morfologi sungai yang mencakup geometri
sungai dan sifat atau perilaku sungai. Geometri atau bentuk sungai dapat berubah
dalam dimensi ruang (vertikal, horisontal) dan waktu sebagai akibat dari perubahan
morfologi sungai. Data geometri sungai yang umum dipergunakan untuk

41
perancangan bangunan di sungai adalah:
a. panjang,
b. lebar,
c. kemiringan dasar
d. kekasaran tebing dan dasar.

Data tersebut dapat diperoleh dengan pengukuran secara langsung di lapangan,


menggunakan peta topografi atau dengan penginderaan jauh. Khusus untuk koefisien
kekasaran, dapat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran langsung, atau dengan
menggunakan besaran yang bersumber dari pustaka yang umum dipakai. Tabel 2.3
menyajikan contoh harga koefisien kekasaran untuk beberapa kondisi saluran.

Tabel 2.3. Koefisien kekasaran saluran/sungai

Typical Manning roughness


Material
coefficient
Concrete 0.012
Gravel bottom with sides - concrete 0.020
- mortared stone 0.023
- riprap 0.033
Natural stream channels
- clean, straight stream 0.030
- clean, winding stream 0.040
- winding with weeds and pools 0.050
- with heavy brush and timber 0.100
Flood plains
- pasture 0.035
- field crops 0.040
- light brush and weeds 0.050
- dense brush 0.070
- dense trees 0.100

Sumber: Applied Hydrology (Chow dkk, 1988)

Contoh penggunaan data-data tersebut pada kegiatan perancangan bangunan di

42
sungai dapat dilihat pada uraian di bab selanjutnya.

43

Anda mungkin juga menyukai