a. luas permukaan air di panci penguapan relatif sempit dan tidak terdapat pengaruh
gelombang di permukaan air, serta turbulensi udara di permukaan lebih kecil,
b. terdapat perbedaan kemampuan massa air untuk menyimpan panas (heat storage
capacity) antara panci penguapan dan danau atau massa air yang lebih besar,
c. terjadinya pertukaran panas (heat exchange) antara panci penguapan dengan
tanah, air dan udara di sekitarnya.
3’x3’
4’’
3’
29
Untuk panci terapung, pada dasarnya bentuk alat mirip dengan tipe lain. Alat
tipe ini dapat digunakan untuk mengukur penguapan di danau atau waduk dimana
alat diapungkan di atas ponton yang diikat dengan angker dan dilengkapi dengan
kisi-kisi untuk mencegah terjadinya percikan air (splashing) ke dalam panci
penguapan. Ilustrasi pemasangan alat tipe ini disajikan pada Gambar 2.10.
Kisi-kisi Kisi-kisi
Ponton
Angker
Angker
30
Pada diktat ini tidak akan diuraikan secara rinci tentang formulasi beberapa
rumus empiris yang umum dikenal dalam bidang hidrologi. Pembaca dapat merunut
pustaka yang memuat penurunan rumus-rumus tersebut. Setidaknya ada 3 prinsip
pendekatan hitungan evaporasi, yaitu persamaan keseimbangan air (water balance),
persamaan keseimbangan energi (energy balance method) dan Aerodynamic method.
Cara ini sangat sederhana dengan rumus berikut ini (Sri Harto, 1993).
I O S
Sumber energi panas untuk proses penguapan pada permukaan air adalah
perubahan panas neto (net radiation flux) di permukaan bumi (Rn). Besarnya Rn
merupakan selisih antara serapan panas efektif di permukaan bumi dan pancaran
panas ke udara (emitted radiation) seperti dijelaskan pada rumus dan Gambar 2.11
berikut ini.
Rn Ri 1 Re
di mana Ri adalah panas yang sampai di permukaan bumi yang sebagian dipantulkan
dengan faktor refleksi atau albedo α dan juga adanya pancaran panas ke udara Re.
31
Incoming Ri αRi reflected
radiation (α= albedo)
Re emitted
Surface
Rn =(1-α)Ri - Re
(1-α)Ri
Net radiation absorved
Absorbed
1
E Rn Hs G
lv w
32
3. Pendekatan Aerodynamic Method
Selain suplai enegi panas, faktor lain yang mengontrol laju evaporasi adalah
kemampuan untuk memindahkan uap air dari permukaan air. Proses pemindahan uap
air ini akan tergantung kepada besarnya pertambahan kelembaban arah vertikal
(gradient of humidity) dan kecepatan angin di udara dekat permukaan air. Kedua
proses tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan persamaan perpindahan massa
dan momentum di udara. Penurunan rumus hitungan evaporasi dengan cara ini
menghasilkan persamaan berikut (Chow, dkk., 1988):
E a B e as e a
33
Nilai evapotranspirasi potensial suatu jenis tanaman pada periode tumbuh
tertentu (Eto) didapat dengan mengalikan evapotranspirasi tanaman acuan (Etr)
dengan koefisien tanaman (kc). Memperhatikan kondisi lengas tanah (soil moisture),
nilai evapotranspirasi nyata (Et) didapat dari perkalian antara Eto dan koefisien tanah
(ks).
Salah satu contoh rumus hitungan evapotranspirasi potensial dengan
menggunakan indeks panas bulanan adalah rumus Thornthwaite sebagai berikut ini
(Sri Harto, 1993).
a
10t
PE * 1.6
J
12
J jn
n 1
1.514
t
j n n
5
34
2.5. Infiltrasi
Infiltrasi adalah proses masuknya air ke bawah permukaan tanah. Kalau kita
cermati kembali ilustrasi seperti di tunjukkan pada Gambar 1.1, dapat dimengerti
bahwa infiltrasi merupakan salah satu komponen penting dari daur hidrologi.
Besarnya infiltrasi merupakan informasi penting sebagai masukan dalam hitungan
pengalihragaman hujan menjadi aliran yang mana jumlah dan laju limpasan
permukaan sangat ditentukan oleh faktor kehilangan air akibat proses infiltrasi.
Besarnya infiltrasi dapat dinyatakan dalam kapasitas infiltrasi (infiltration
capacity) dan laju infiltrasi (infiltration rate). Kapasitas infiltrasi adalah nilai laju
infiltrasi maksimum untuk suatu jenis tanah dengan sifat tertentu, sedangkan laju
infiltrasi merupakan kecepatan infiltrasi nyata yang diukur pada saat tertentu.
Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya laju infiltrasi adalah kondisi
permukaan tanah, vegetasi penutup lahan, karakteristik tanah seperti porositas,
konduktivitas hidraulik (hydraulic conductivity) dan kelengasan tanah (soil
moisture). Oleh karena itu, laju infiltrasi juga akan bervariasi secara vertikal
mengikuti distribusi lapisan tanah. Pada lapisan dengan pori-pori kecil, gerakan air
vertikal ke bawah akibat gaya gravitasi akan mendapat hambatan akibat gaya geser
yang lebih besar. Pada lapisan dengan pori-pori besar, pengaruh gaya kapiler yang
menarik butir-butir air ke pori-pori terdekat sangat minim, sehingga pengaruh gaya
gravitasi lebih dominan. Dengan demikian laju infiltrasi terkait dengan 3 proses
berikut:
35
zona air tanah. Proses ini disebut dengan perkolasi (percolation).
2.5.2. Pengukuran Infiltrasi
1. Pengukuran lapangan
Single Ring infiltrometer berupa silinder baja yang dimasukkan ke dalam tanah
dan dilengkapi dengan skala dalam mm dan hook gauge untuk mengukur penurunan
muka air yng diisikan ke dalam silinder baja yang diamati dalam rentang waktu
tertentu. Prinsip pengukuran infiltrasi dengan double ring infiltrometer sama dengan
single ring infiltrometer, hanya saja digunakan 2 buah silinder baja untuk menahan
rembesan air ke arah horisontal dengan cara mengisi air pada ruang di antara dua
silinder baja. Gambar 2.12 menyajikan ilustrasi pengukuran laju infiltrasi
menggunakan double ring infiltrometer.
Δh 10 cm
50 cm
36
(Sumber: Analisis Hidrologi, Sri Harto, Br., 1993)
Rainfall simulator dapat digunakan untuk mengetahui sifat infiltrasi dan
karakteristik hidrograf untuk berbagai keadaan DAS (Sri Harto, 1993). Alat ini terdiri
dari satu set sprinkler nozzle yang berfungsi untuk membuat hujan tiruan dengan
cara memancarkan air ke dalam suatu bidang tanah sample pada suatu daerah aliran
dan petak tanah terisolasi dari bidang tanah di sekitarnya sehingga limpasan dapat
diukur dengan teliti. Prosedur pengukuran ditempuh dengan cara sebagai berikut ini
(J. Martha W dan W. Adidarma, 1982).
a. Hujan buatan diberikan dengan intensitas i tertentu sedemikian sehingga nilainya
konstan dan lebih besar dari perkiraan kapasitas infiltrasi (i>fp).
b. Sebagian air yang tidak terinfiltrasi (i-fp) akan mengalir di permukaan dan dapat
diukur untuk dihitung sebagai limpasan q dalam intensitas (mm/jam).
c. Nilai hasil pengukuran q dan i diplot terhadap waktu untuk menggambarkan
grafik perubahan laju limpasan q sampai keadaan dimana laju infiltrasi konstan
(fc) dan limpasan juga konstan (qc) seperti dilukiskan pada gambar berikut:
i (mm/jam) konstan
Garis massa fc
fp
fr
qc
S Kurva q
qr
tc to t
d. Sesudah hujan buatan dihentikan limpasan tidak akan langsung berhenti, tetapi
akan mengalami resesi karena masih ada sisa air tertahan di permukaan sebagai
air detensi (detention).
37
e. Selama masih ada air di permukaan tanah maka infiltrasi masih terus terjadi,
meskipun lajunya akan berkurang. Dengan asumsi bahwa penurunan infiltrasi
linier terhadap penurunan limpasan maka dapat diperoleh rumusan berikut:
fc
fr qr
qc
dengan fc dan qc masing-masing adalah laju infiltrasi dan limpasan pada saat
hujan dihentikan, sedangkan fr dan qr masing-masing adalah laju infiltrasi dan
limpasan pada saat resesi.
f. Volume total dari limpasan dan infiltrasi pada saat resesi sama dengan simpanan
(storage) air yang terjadi pada awal percobaan. Sehingga kurva laju infiltrasi (i-q)
dapat dikoreksi untuk mendapatkan kurva fp yang sesungguhnya, yaitu dengan
menarik kurva yang menyatakan laju storage awal di mana volume storage awal
(S) sama dengan jumlah volume limpasan dan infiltrasi pada saat resesi seperti
dilukiskan pada Gambar 2.13.
38
pada Gambar 2.14.
P (mm/jam)
Volume hujan efektif = V1
Φ= indeks phi
Q (m3/dt)
t (jam)
V1 = V2
Volume limpasan = V2
Limpasan
Aliran dasar
Gambar 2.14. Ilustrasi penentuan indeks phi
t (jam)
(Sumber: Analisis Hidrologi, Sri Harto, Br., 1993)
Perlu ditekankan lagi bahwa cara di atas didasari anggapan bahwa laju infiltrasi
konstan selama hujan berlangsung. Untuk keperluan analisis yang menghendaki
keluaran akurat cara tersebut tidak dapat dipergunakan. Beberapa rumus empiris
yang mencoba menjelaskan karakteristik perubahan laju infiltrasi telah banyak
dikembangkan. Salah satu rumus yang cukup dikenal adalah persamaan Horton
(1939) sebagai berikt ini.
f t f c f 0 f c e kt
dengan f(t) = laju infiltrasi pada saat t diukur dari awal percobaan,
fc = laju infiltrasi konstan,
f0 = laju infiltrasi pada saat awal pengukuran,
k = konstanta penurunan laju infiltrasi.
39
sebelumnya oleh Green dan Ampt (1911).
2.6. Debit Aliran Sungai
Data aliran merupakan data pokok dalam kaitannya dengan analisis hidrologi
untuk penentuan potensi ketersediaan air pada suatu DAS. Informasi ketersediaan air
ini penting untuk masukan rencana pemanfaatan sumberdaya air terkait dengan
rancangan kapasitas bangunan air yang diperlukan. Dengan mengetahui data aliran
sungai, potensi ketersediaan air dapat diperkirakan.
Dalam rangka penanganan persoalan banjir diperlukan studi hidrologi untuk
mengetahui karakteristik debit banjir. Umumnya dikehendaki hidrograf banjir
rancangan untuk keperluan perencanaan bangunan pengendali banjir seperti tanggul
banjir, saluran pengelak, bendung gerak dan lain-lain. Apabila tersedia catatan data
debit banjir ekstrim yang panjang (lebih dari 20 tahun), maka tanpa menggunakan
data curah hujan dan parameter fisik DAS dapat ditentukan nilai debit banjir
rancangan dengan pendekatan statistik. Dalam hal tertentu diinginkan hidrograf
banjir dengan parameter aliran yang diperlukan adalah: debit puncak, waktu capai
puncak aliran, volume air banjir dan tinggi muka air banjir.
Koefisien aliran adalah perbandingan antara volume aliran permukaan dan
volume curah hujan yang terjadi untuk kurun waktu tertentu. Nilai koefisien aliran
dipengaruhi oleh karakteristik DAS dan fungsi lahan. Parameter sifat fisik tanah
yang sangat menentukan adalah kapasitas infiltrasi yang tergantung kepada
karakteristik geoteknik dan penutupan lahan di DAS.
Nilai koefisien aliran dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan
perubahan kondisi DAS, terutama kelembaban tanah dan tataguna lahan. Biasanya
nilai koefisien aliran diambil untuk tanah dalam keadaan jenuh pada waktu
permulaan hujan (dengan pertimbangan lebih aman). Untuk menentukan besarnya
pengaruh dari masing-masing faktor tersebut sangat sulit, sehingga dalam praktek
penentuan besarnya koefisien aliran didasarkan pada pertimbangan faktor-faktor
tersebut secara keseluruhan. Tabel 2.2 menyajikan contoh nilai koefisien aliran yang
40
dapat digunakan dalam hitungan analisis hidrologi.
Tabel 2.2. Nilai koefisien aliran berdasarkan karakteristik DAS dan tataguna lahan
41
perancangan bangunan di sungai adalah:
a. panjang,
b. lebar,
c. kemiringan dasar
d. kekasaran tebing dan dasar.
42
sungai dapat dilihat pada uraian di bab selanjutnya.
43