Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA BERAT

Oleh :

Tita Oktavia

(2020-01-14901-042)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

PRODI STUDI NERS

TAHUN 2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Asuhan Keperawatan ini disusun oleh :

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Tita Oktavia

NIM : 2020-01-14901-042

Program : Profesi ners

Judul : Asuhan Keperawatan Pada Tn.R dengan Diagnosa Cidera Otak


Berat (COB) di Ruang IGD Rumah Sakit dr. Doris Palangka
Raya.

Telah melaksanakan Asuhan Keperawatan sebagai persyaratan untuk


memenuhi tugas Praktek Keperawatan Dasar Profesi Pada Program Profesi Ners
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

PEMBIMBING PRAKTIK

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Meilitha Carolina, Ners., M.Kep Katarina, Ners., M.Kep

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Studi Kasus ini disusun oleh :

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Tita Oktavia

Nim : 2020-01-14901-042

Program Studi : Profesi Ners

Judul : Asuhan Keperawatan Pada Tn.R dengan Diagnosa Cidera


Otak Berat (COB) di Ruang IGD Rumah Sakit dr. Doris
Palangka Raya.

Telah melaksanakan Asuhan Keperawatan sebagai persyaratan untuk


memenuhi tugas Praktek Keperawatan Dasar Profesi Pada Program Profesi Ners
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Meilitha Carolina, Ners., M.Kep Katarina, Ners., M.Kep

Mengetahui,

KUP PS Profesi Ners,

Meilitha Carolina, Ners., M.Kep

iii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat
rahmat dan penyertaanNya, sehingga penulisan laporan asuhan keperawatan ini
dapat selesai dengan tepat waktu. Laporan asuhan keperawatan ini berjudul
“Asuhan Keperawatan pada Tn. R dengan Diagnosa Cidera Otak Berat (COB) di
Ruang IGD Rumah Sakit dr. Doris Palangka Raya’’.

Selama penulisan laporan Asuhan Keperawatan Ini, penulis banyak


memperoleh masukan berupa pengalaman, petunjuk-petunjuk, pengetahuan
maupun ilmu yang sangat berharga dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung, sehingga laporan asuhan keperawatan ini dapat
diselesaikan walaupun masih jauh dari sempurna

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam


penulisan laporan ini. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan dari
berbagai pihak untuk perbaikan dimasa yang akan mendatang. Semoga laporan ini
dapat bermanfaat dan dapat dipergunakan dengan sebagaimana mestinya.

Palangka Raya, Maret 2021

Penulis

iv
DAFTAR ISI

COVER…...............................................................................................................i

LEMBAR PERSETUJUAN...............................................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii

KATA PENGANTAR...........................................................................................iv

DAFTAR ISI...........................................................................................................v

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................................................7


1.1.1 Rumusan masalah......................................................................................7
1.1.2 Tujuan .......................................................................................................7
1.1.3 Manfaat ......................................................................................................8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................9

2.1 Konsep Dasar Penyakit .............................................................................10


2.2.1 Definisi..............................................................................................10
2.2.2 Etiologi..............................................................................................10
2.2.3 Klasifikasi.........................................................................................11
2.2.4 Patofisiologi......................................................................................12
2.2.5 Manifestasi Klinis.............................................................................16
2.2.6 Pemeriksaan Diagnostic....................................................................18
2.2.7 Penatalaksanaan ...............................................................................18
2.3 Konsep Dasar Anemia
2.3.1 Definisi..............................................................................................25
2.3.2 Klasifikasi.........................................................................................26
2.3.3 Patofisiologi......................................................................................28
2.3.4 Manifestasi Klinis.............................................................................29
2.3.5 Pemeriksaan Diagnostic....................................................................29
2.3.6 Penatalaksanaan ...............................................................................29
2.2 Konsep Dasar Keperawatan.......................................................................30
2.3 Diagnosa Keperawatan...............................................................................32

v
2.4 Intervensi Keperawatan..............................................................................33
2.5 Implementasi Keperawatan........................................................................36
2.6 Evaluasi Keperawatan................................................................................36
BAB 3 ASUHAN KPERAWATAN................................................................... 37

3.1 Diagnosa Keperawatan...............................................................................47


3.2 Intervensi Keperawatan..............................................................................50
3.3 Implementasi Keperawatan........................................................................53
3.4 Evaluasi Keperawatan................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi


setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai
dari kulit kepala, tulang, dan jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok
usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Price dan
Wilson, 2012).

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan


utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas (Mansjoer, 2007). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap
tahunnya dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan
perawatan dirumah sakit, dua pertiga berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah
lakilaki lebih banyak dibandingkan jumlah wanita, lebih dari setengah semua
pasien cedera kepala mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainya.
(Smeltzer and Bare, 2012 ).

Ada beberapa jenis cedera kepala antara lain adalah cedera kepala ringan,
cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Asuhan keperawatan cedera kepala
atau askep cedera kepala baik cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan
cedera kepala berat harus ditangani secara serius. Cedera pada otak dapat
mengakibatkan gangguan pada sistem syaraf pusat sehingga dapat terjadi
penurunan kesadaran. Berbagai pemeriksaan perlu dilakukan untuk mendeteksi
adanya trauma dari fungsi otak yang diakibatkan dari cedera kepala.

Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban


ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi,
anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus dilakukan secara
serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan
terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi
ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit. (Sjahrir, 2014).

Secara normal otak memerlukan 30-40% oksigen dari kebutuhan oksigen


tubuh. Konsumsi oksigen otak yang besar ini disebabkan karena otak tidak
mempunyai cadangan oksigen, sehingga suplai oksigen yang masuk akan habis
terpakai. Untuk mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat maka diperlukan
keseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan (demand) oksigen otak.
Kesimbangan oksigen otak dipengaruhi oleh cerebral blood flow yang besarnya
berkisar 15-20% dari curah jantung(Black & Hawks, 2009).

Walaupun otak berada dalam ruang yang tertutup dan terlindungi oleh
tulang-tulang yang kuat namun dapat juga mengalami kerusakan. Salah satu
penyebab dari kerusakan otak adalah terjadinya trauma atau cedera kepala yang
dapat mengakibatkan kerusakan struktur otak, sehingga fungsinya juga dapat
terganggu (Black & Hawks, 2009).

Pasien dengan cedera kepala dapat secara primer mengakibatkan kerusakan


permanen pada jaringan otak atau mengalami cedera sekunder seperti adanya
iskemik otak akibat hipoksia, hiperkapnia, hiperglikemia atau ketidakseimbangan
elektrolit, bahkan kegagalan bernafas dan gagal jantung (Arifin, 2013). Akibat
trauma pasien mengalami perubahan fisik maupun psikologis. Akibat yang sering
terjadi pada pasien cedera kepala berat antara lain terjadi cedera otak sekunder,
edema serebral, obstruksi jalan nafas, 2 peningkatan tekanan intrakranial,
vasopasme, hidrosefalus, gangguan metabolik, infeksi, dan kejang (Haddad,
2012).

Pasien yang mengalami penurunan kesadaran umumnya mengalami


gangguan jalan nafas, gangguan pernafasan dan gangguan sirkulasi. Gangguan
pernafasan biasanya disebabkan oleh gangguan sentral akibat depresi pernafasan
pada lesi di medula oblongata atau akibat gangguan perifer, seperti : aspirasi,
edema paru, emboli paru yang dapat berakibat hipoksia dan hiperkapnia.
Tindakan yang dapat dilakukan pada kondisi di atas adalah pemberian oksigen,
cari dan atasi faktor penyebab serta pemasangan ventilator. Pada pasien cedera
kepala berat dan sudah terjadi disfungsi pernafasan, di rawat di ruang perawatan
intensif dan terpasang selang endotrakheal dengan ventilator dan sampai kondisi
klien menjadi stabil (Muttaqin, 2012 ; Hudak & Gallo, 2010).

Tindakan ini berfungsi untuk mencegah obstruksi jalan nafas yang


disebabkan oleh sekresi kering dan perlengketan mukosa. Suction dilakukanbila
terdengar suara ronckhi atau sekresi terdengar saat pernafasan. Peningkatan
tekanan inspirasi puncak pada ventilator dapat mengindikasikan adanya
perlengketan atau penyempitan jalan nafas oleh sekret, juga menunjukkan
kebutuhan untuk dilakukan suction (Hudak & Gallo, 2010).

Di Indonesia, cedera kepala (head injury) diakibatkan para


penggunakendaraan bermotor roda dua terutama bagi yang tidak memakai helm.
Halini menjadi tantangan yang sulit karena diantara mereka datang dari
golonganekonomi rendah sehingga secara sosio ekonomi cukup sulit
memperolehpelayanan kesehatan. Cedera kepala diperkirakan akan terus
meningkatseiring dengan meningkatnya pengguna kendaraan bermotor roda dua
dandiperkirakan 39% kenaikan per tahun (Lumban toruan, 2015).

Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hampir 1.500.000 kasus


cedera kepala. Dari jumlah tersebut 80.000 di antaranya mengalami kecacatan dan
50.000 orang meninggal dunia. Saat ini di Amerika terdapat sekitar 5.300.000
orang dengan kecacatan akibat cedera kepala (Moore &Argur, 2016). Penyebab
cedera kepala yang terbanyak adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%),
dan cedera olahraga (10%). Angka kejadian cedera kepala yang dirawat di rumah
sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian urutan kedua (4,37%) setelah
stroke, dan merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 penyakit terbanyak yang
dirawat di rumah sakit di Indonesia (Depkes RI, 2016).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dirumuskan masalah


“Bagaimana laporan pendahuluan dan penerapan asuhan keperawatan pada Klien
Cidera Otak Berat ?”
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penyusunan dan penulisan laporan studi kasus adalah untuk
menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan cidera otak berat.

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Melakukan pengkajian pada Tn “R” dengan kasus : cedera kepala berat di
Ruang IGD RSUD dr.Doris Slyvanus.
1.3.2.2 Merumuskan diagnosa pada Tn “R” dengan kasus : cedera kepala berat di
Ruang IGD RSUD dr.Doris Slyvanus.
1.3.2.3 Merencanakan tindakan asuhan keperawatan pada Tn “R” dengan kasus :
cedera kepala berat di Ruang IGD RSUD dr.Doris Slyvanus.
1.3.2.4 Melaksanakan implementasi keperawatan pada Tn “R” dengan kasus :
cedera kepala berat di Ruang IGD RSUD dr.Doris Slyvanus.
1.3.2.5 Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang dilakukan keperawatan
pada Tn “R” dengan kasus : cedera kepala berat di Ruang IGD RSUD
dr.Doris Slyvanus.

1.4 Manfaat
1.4.1 Teoritis
Untuk menambah wacana baru khususnya pada ilmu asuhan keperawatan
keluarga dengan pasien cidera otak berat.

1.4.2 Praktis
1.4.2.1 Bagi Profesi Keperawatan
Laporan ini dapat memberi tambahan informasi tentang asuhan
keperawatan dasar manusia pada klien dengan cidera otak berat. Asuhan
Keperawatan yang paling penting adalah membina hubungan saling percaya
dengan klien.
1.4.2.2 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan bacaan ilmiah, serta menjadi bahan atau dasar bagi mereka
yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut.
1.4.2.3 Bagi Puskesmas
Dapat menjadi masukan bagi tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit
untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan khususnya pada klien
dengan cidera otak berat.
1.4.2.4 Mahasiswa
Hasil laporan asuhan keperawatan ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan serta untuk memperoleh pengalaman dalam penerapan asuhan
keperawatan dengan cidera otak berat.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. KONSEP DASAR PENYAKIT


A. PENGERTIAN
Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Hudak & Gallo, 2010) sedangkan menurut Muttaqin
(2012 ; 150) Cedera otak adalah suatu traumayang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak, dan otak, disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi
otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak (Nugroho, 2011).
Cedera otak adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi & Yuliani, 2001).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), Cedera otak adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.
Cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma
tumpul maupun trauma tajam. Deficit neorologis terjadi karena robekannya
subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta edema
serebral disekitar jaringan otak (Batticaca, 2008).

B. ANATOMI FISIOLOGI OTAK


Otak adalah suatu organ terpenting pada tubuh manusia yang merupakan
pusat dari sistem syaraf. Volume otak berkisar 1.350 cc dan mempunyai
100.000.000 sel syaraf atau neuron untuk menunjang fungsinya. Macam – macam
otak ada 4 diantaranya:
1. Cerebrum (Otak Besar)
Otak ini otak yang paling besar. Otak ini berfungsi untuk berfikir,
mengendalikan pikiran, bicara, mengingat, bahkan berbicara.
2. Cerebellum (Otak Kecil)
Otak ini berada dibawah lobis occipital otak besar berada di belakang
kepala, dan berhubunga dengan leher. Fungsinya otak kecil (Cerebellum) ini
adalah gerakan manusia, seperti mengontrol gerak koordinasi antar otot, mengatur
keseimbangan tubuh, dan mengatur sikap dan posisi tubuh.
3. Brainteam (Batang Otak)
Batang otak (Brainsteam) ini funginya sebagai mengatur proses pernafasan,
proses denyut jantung, proses kerja ginjal, dan hal lain yang vital bagi manusia.
4. Sistem limbik (Limbik Sistem)
Fungsi dari sistem limbik ini untuk mengatur emosi manusia, pusat data,
pusat lapar, pusat dorongan seks.

Susunan saraf perifer


Susunan saraf kranial perifer ada 12 yaitu:
No Nama Jenis Fungsi
I Olfaktorius Sensori Menerima rangsang dari hidung
dan menghantarkannya ke otak
untuk diproses sebagai sensasi
bau.
II Optik Sensori Memerima rangsang dari mata
dan menghantarkan ke otak untuk
diproses sebagai persepsi visual
III Okulomotorik Motorik Menggerakkan sebagian otot
mata
IV Troklearis Motorik Menggerakkan beberapa otot
mata
V Trigeminus Gabungan Sensori: Menerima rangsangan
dari wajah untuk diproses di otak
sebagai sentuhan. Motorik:
Menggerakkan rahang
VI Abdusen Motorik Abduksi mata

VII Fasialis Gabungan Sensorik: Menerima rangsang


dari bagian anterior lidah untuk
diproses di otak sebagai sensasi
rasa Motorik: Mengendalikan otot
wajah untuk mengekspresikan
wajahnya
VIII Audiotorius Sensori Mengendalikan sistem
keseimbangan untuk diproses ke
otak sebagai suara
IX Glosofaringeal Gabungan Sensori:Menerima rangsang dari
bagian posterior lidah untuk
diproses di otak sebagai sensasi
rasa. Motorik: Mengendalikan
organ– organ dalam .
X Vagus Gabungan Sensori: Menerima rangsang dari
organ dalam. Motorik:
Mengendalikan organ–organ
dalam .
XI Aksesorius Motorik Mengendalikan pergerakan
kepala
XII Hipoglossus Motorik Mengendalikan pergerakan lidah

C. ETIOLOGI
1. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan
cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral,
kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak
atau hernia.
2. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi).
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk: cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil,
multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer,
cerebral, batang otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013).

D. KLASIFIKASI
Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan
menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu:
1. CKR (Cedera Kepala Ringan)
1) GCS > 13
2) Tidak ada fraktur tengkorak
3) Tidak ada kontusio serebri, hematom
4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit
5) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
6) Tidak memerlukan tindakan operas
2. CKS (Cedera Kepala Sedang)
1) GCS 9-13
2) Kehilangan kesadaran (amnesia) >30 menit tapi < 24 jam
3) Muntah
4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
5) Ditemukan kelainan pada CT scan otak
6) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intracranial
7) Dirawat di RS setidaknya 48 jam
3. CKB (Cedera Kepala Berat)
1) GCS 3-8
2) Hilang kesadaran > 24 jam
3) Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracranial

E. PATOFISIOLOGI
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema
dan gangguan biokimia otak seperti  penurunan adenosis tripospat, perubahan
permeabilitas vaskuler.
Kranium merupakan struktur kuat yang berisi darah,jaringan otak dan
jaringan serebrospinal. Fungsi cerebral tergantung pada adekuatnya nutrisi seperti
oksigen, glukosa. Berat ringannya cedera kepala tergantung pada trauma kranium
atau otak. Cedera yang dialami dapat gegar otak, memar otak atau laserasi, fraktur
dan atau hematoma (injury vaskuler, epudural ; epidural atau subdural
hematoma).Cedera kepala yang terjadi dapat berupa percepatan (aselerasi) atau
perlambatan (deselerasi). Trauma dapat primer atau sekunder.
Trauma primer adalah trauma yang langsung mengenai kepala saat kejadian.
Sedangkan trauma sekunder merupakan kelanjutan dari trauma primer. Trauma
sekunder dapat terjadi meningkatnya tekanan intrakranial, kerusakan otak, infeksi
dan edema cerebral.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan adanya fraktur
pada tulang tengkorak dan terdapat lesi antara tulang tengkorak dan dura.
Perdarahan ini dapat meluas hingga menekan cerebral oleh karena adanya tekanan
arteri yang tinggi. Gejalanya akan tampak seperti kebingungan atau kesadaran
delirium, letargi, sukar untuk dibangunkan dan akhirnya bisa koma. Nadi dan
nafas menjadi lambat, pupil dilatasi dan adanya hemiparese.Subdural hematoma
adalah cedera kepala dimana adanya ruptur pembuluh vena dan perdarahan terjadi
antara dura dan serebrum atau antara duramater dan lapisan arakhnoid. Terdapat
dua tipe yaitu subdural hematoma akut dan kronik. Bila akut dapat dikaitkan
dengan kontusio atau laserasi yang berkembang beberapa menit atau jam.
Manifestasi tergantung pada besarnya kerusakan pada otak dan usia anak, dapat
berupa kejang, sakit kepala, muntah, meningkatnya lingkar kepala, iritabel dan
perasaan mengantuk.Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang
terjadi akibat adanya memar dan robekan pada cerebral yang akan berdampak
pada perubahan vaskularisasi, anoxia dan dilatasi dan edema. Kemudian proses
tersebut akan terjadilah herniasi otak yang mendesak ruang disekitarnya dan
menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial. Dalam jangka waktu 24 – 72
jam akan tampak perubahan status neurologi.
Fraktur yang terjadi pada cedera kepala dapat berupa fraktur linear, farktur
depresi, fraktur basiler, fraktur compound (laserasi kulit dan fraktur tulang).
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma,
berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura hematoma
akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan
intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.
Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan
autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral
dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007).
WOC Terkena Trauma Trauma Trauma kecelakaan, terjatuh, trauma persalinan,,
Peluru Tajam Kepala Tumpul penyalahgunaan alcohol/obat

Ekstra cranial/kulit kepala Tulang kranial Intra cranial/jaringan otak

B1 B3 Brain B4 Bowel B5Bladder B6 Bone


B2 Blood
Breathing

Perdarahan perdarahan penumpukan darah penurunan kesadaran perdarahan fraktur tulang

Hematoma kompensasi tubuh yaitu: di otak dan peningkatan TIK

Kerusakan vasodilatasi dan bradikardi penurunan penurunan pemasukan penurunan sirkulasi gguan saraf

Jaringan aliran darah ke otak kesadara sensori makanan dan cairan volume darah ke ginjal motorik

Penekanan sistem hipoksia jaringan penurunan kemampuan Defisit Nutrisi penurunan produksi gguan koordinasi gerak
Syaraf pernapasan mengenali stimulus urine ekstermitas hemiperese/
Perubahan pola napas Perfusi Jaringan oligouria hemiplegi
RR , hiperpneu Serebral kesalahan interprestasi Gangguan Mobilitas
hiperventilasi Gangguan Persepsi Gangguan Eleminasi Fisik
Pola Nafas Tidak Efektif sensori Urin
F. MANIFESTASI KLINIS
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih

2. Kebingungan

3. Iritabel

4. Pucat

5. Mual dan muntah

6. Pusing kepala

7. Terdapat hematoma

8. Kecemasan

9. Sukar untuk dibangunkan

10. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
11. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan.

G. KOMPLIKASI
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
1. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat
dari sindrom distress pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera
pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan
darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada peningkatan
TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih banyak
darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru-paru
berperan dalam proses dengan memungkinkan cairan berpindah ke dalam
alveolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping
tempat tidur dan peralatan penghisap dekat alam jangkauan. Pagar tempat todur
harus tetap dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk
meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan jalan napas
paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera lanjut
pada pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot terjado, dan
rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat
gigit plastik harus dipasang diantara gigi pasien.

Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat. Diazepam


merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan
melalui intravena. Karena obat ini menekan pernapan, maka frekuensi dan irama
pernapasan pasien harus dipantau dengan cermat. Jika kejang tiak bisa lagi diatasi
dengan obat ini, dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau fenitoin
untuk mempertahankan konrol terhadap kejang.

3. Kebocoran Cairan Serebrospinal


Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan
fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung. Ini
dapat akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas
darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun
thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi  keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial (Musliha, 2010).

I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah
terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor
sistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak
(Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada
pendertia cedera kepala (Turner, 2000).
Penatalaksanaan umum adalah:
1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
3. Berikan oksigenasi
4. Awasi tekanan darah
5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
6. Atasi shock
7. Awasi kemungkinan munculnya kejang.

Penatalaksanaan lainnya:
1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetika
4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin,
aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian
diberikana makanan lunak. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari),
tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer
dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-
3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea.
Tindakan terhadap peningkatan TIK yaitu:
1. Pemantauan TIK dengan ketat
2. Oksigenisasi adekuat
3. Pemberian manitol
4. Penggunaan steroid
5. Peningkatan kepala tempat tidur
6. Bedah neuro.

Tindakan pendukung lain yaitu:


1. Dukungan ventilasi
2. Pencegahan kejang
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
4. Terapi anti konvulsan
5. Klorpromazin untuk menenangkan klien
6. Pemasangan selang nasogastrik.

I. MANAJEMEN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Primer
1) Airway
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang
wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini
dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki
jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
rotasi dari leher
2) Breathing
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas
yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi:fungsi
yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma
3) Circulation
a. Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik dapat
memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu kesadaran,
warna kulit dan nadi.
b. Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil.
5) Exposure
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas

2. Pengkajian Secoudary
1) Identitas pasien.
Identitas pasien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa dan tanggal masuk ruangan.
2) Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama
Cedera kepala berat mempunyai keluhan atau gejala utama yang berbeda-
beda tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul seperti nyeri,
rasa bebal, kekakuan pada leher atau punggung dan kelemahan pada ekstremitas
atas maupun bawah.
b. Riwayat Penyakit Saat Ini
Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan dan
adanya kehilangan fungsi neurologik. Medulla spinalis dapat mengalami cedera
melalui beberapa mekanisme, cedera primer meliputi satu atau lebih proses
berikut dan gaya : kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien dengan cedera medulla spinalis bias disebabkan oleh beberapa
penyakit seperti Reumatoid Artritis, pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis,
Osteoporosis maupun tumor ganas.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat cedera
medulla spinalis.
e. Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda :Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia, ataksia, cara
berjalan tidak tegang.
f. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi, takikardi.
g. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi dan impulsif.
h. Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah, gangguan menelan.
i. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan
fungsi.
j. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo, sinkope,
kehilanganpendengaran, gangguan pengecapan dan penciuman, perubahan
penglihatan seperti ketajaman.
Tanda:Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental,
konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memoris.
k. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
l. Pernafasan
Tanda: Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi nafas
berbunyi)
m. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda: Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang gerak, tonus
otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam
regulasi suhu tubuh.
n. Interaksi sosial
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang,
disartria

3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan pengkajian
fokus ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat cedera kepala berat.
Keadaan umum (Arif muttaqin 2008) pada keadaan cedera kepala berat umumnya
mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital,
meliputi bradikardi dan hipotensi.
a. B1 (BREATHING) Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada
gradasi blok saraf parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot
pernapasan dan perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatetik
desending akibat trauma pada tulang belakang sehingga mengalami terputus
jaringan saraf di medula spinalis, pemeriksaan fisik dari sistem ini akan
didapatkan hasil sebagai berikut inspeksi umum didapatkan klien batuk
peningkatan produksi sputum, sesak napas.
b. B2 (BLOOD) Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan
syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala berat. Dari
hasil pemeriksaan didapatkan tekanan darah menurun nadi bradikardi dan
jantung berdebar-debar. Pada keadaan lainnya dapat meningkatkan hormon
antidiuretik yang berdampak pada kompensasi tubuh.
c. B3 (BRAIN)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral dan
pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan
klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk
disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian fungsi serebral : status mental
observasi penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik
klien Pengkajian sistem motorik inspeksi umum didapatkan kelumpuhan
pada ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, dan paraplegia. Pengkajian
sistem sensori ganguan sensibilitas pada klien cedera kepala berat sesuai
dengan segmen yang mengalami gangguan.
d. B4 (BLADDER) Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan
karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada
ginjal.
e. B5 (BOWEL) Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan
adanya ileus paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus,
kembung,dan defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap
syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
f. B6 (BONE) Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada
ketinggian lesi saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai
dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.disfungsi motorik paling
umum adalah kelemahan dan kelumpuhan.pada saluran ekstermitas bawah.
Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
1. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan diagnostik
1) X-ray/CT Scan : hematoma serebral, edema serebral, perdarahan
intracranial, fraktur tulang tengkorak
2) MRI : dengan/tanpa menggunakan kontras
3) Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
4) EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis
5) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks
dan batang otak
6) PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan
aktivitas metabolisme pada otak

b. Pemeriksaan laboratorium

1) AGD : PO2, pH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi


(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran
darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang
dapat meningkatkan TIK
2) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan
regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa hari, diikuti diuresis
Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan
elektrolit.
3) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
4) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahn subarachnoid
(warna, komposisi, tekanan)
5) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
6) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang muncul pada cedera otak adalah :
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral
dan peningkatan tekanan intracranial
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskular
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular
4. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan trauma atau defisit
neurologis.

C. INTERVENSI
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan: Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan perfusi jaringan serebral kembali normal
Kiteria Hasil:
a. Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala
b. Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial
c. Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13
d. Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada muntah

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kesadaran. 1. Mengetahui kestabilan klien.

2. Pantau status neurologis secara 2. Mengkaji adanya


teratur, catat adanya nyeri kepala, kecendeungan pada tingkat
pusing. kesadaran dan resiko TIK
meningkat.
3. Tinggikan posisi kepala 15- 30
derajat 3. Untuk menurunkan tekanan
vena jugularis.
4. Pantau TTV, TD, suhu, nadi,
input dan output, lalu catat 4. Peningkatan tekanan darah
hasilnya. sistemik yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah diastolik
serta napas yang tidak teratur
merupakan tanda peningkatan TIK.
5. Kolaborasi pemberian Oksigen.
5. Mengurangi keadaan hipoksia

6. Anjurkan orang terdekat untuk


berbicara dengan klien. 6. Ungkapan keluarga yang
menyenangkan klien tampak
mempunyai efek relaksasi pada
beberapa klien koma yang akan
menurunkan TIK
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
Tujuan :
Mempertahankan pola pernafasan normal/ efektif, bebas sianosis, dengan
AGD dalam batas normal.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi/ kognitif.


Tujuan : Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagan tubuh yang sakit.
Inervensi Rasional
1. Periksa kembali kemampuan dan 1. Mengidentifikasi kemungkinan
keadaan secara fungsional pada kerusakan secara fungsional
kerusakan yang terjadi. dan mempengaruhi pilihan
intervensi yang akan
dilakukan.

2. Kaji derajat immobilisasi pasien 2. Pasien mampu mandiri (nilai


dengan menggunakan skala 0), memerlukan bantuan/
ketergantungan (0-4). peralatan yang minimal (nilai
1), memerlukan bantuan
sedang/ dengan
pengawasan/pengajaran (niali
2), memerlukan
bantuan/peralatan yang terus-
menerus dan alat khusus (nilai
3), tergantung secara total pada
pemberi asuhan (nilai 4).
Seseorang dalam semua
kategori dengan nilai 2-4
mempunyai resiko yang
terbesar untuk terjadinya
bahaya tersebut dihubungkan
dengan immobilisasi.

3. Letakkan pasien pada posisi 3. Perubahan posisi yang teratur


tertentu untuk menghindari menyebabklan penyebaran
kerusakan karena tekanan. terhadap gerak badan dan
meningkatkan sirkulasi pada
seluruh bagian tubuh.

4. Sokong kepala dan badan, tangan 4. Mempertahankan kenyamanan,


dan lengan, kaki dan paha ketika keamanan dan postur tubuh
pasien berada dalam kursi roda. yang normal dan mencegah/
menurunkan resiko kerusakan
kulit di daerah kogsigis.

5. Berikan/ bantu latihan rentang 5. Mempertahankan mobilisasi


gerak. dan fungsi sendi/ posisi normal
extremitas dan menurunkan
terjadinya vena yang statis.

4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma atau defisit


neurologis.
Tujuan : Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi persepsi.
Intervensi Rasional
1. Kaji respons sensori terhadap 1. Informasi yang dapat dari
raba/ sentuhan, panas/ dingin, pengkajian sangat penting untuk
benda tajam/ tumpul dan catat mengetahui tingkat kegawatan
perubahan yang terjadi. dan kerusakan otak

2. Observasi respon perilaku seperti 2. Respon individu mungkin


rasa bermusuhan, menangis, berubah-ubah namun umumnya
afektif yang tidak sesuai, agitasi, setiap emosi yang labil, frustasi,
halusinasi. apatis dan muncul tingkah laku
impulsif selama proses
penyembuhan dari trauma kepala

3. Bicara dengan suara yang lembut 3. Pasien mungkin mengalami


dan pelan. keterbatasaan perhatian/
pemahaman selama fase akut dan
penyembuhan dan tindakan ini
dapat membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.

4. Berikan keamanan pasien dengan 4. Gangguan persepsi sensori dan


pengamanan sisi tempat tidur, buruknya kesimbangan dapat
bentuk latihan jalan dan lindungi meningkatkan resiko pada pasien.
cedera kepala.

D. IMPLEMENTASI
Menurut Setiadi (2012), dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan
Keperawatan, implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari
rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan yaitu untuk
diagnosa keperawatan gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
cedera kepala akut implementasinya adalah mengukur tanda-tanda vital pasien,
mengevaluasi nilai GCS klien, mengevaluasi keadaan pupil (reaksi terhadap
cahaya), dan mempertahankan kepala dan leher pada posisi datar. Pada studi kasus
implementasi untuk diagnosa keperawatan gangguan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan cedera kepala akut adalah mengukur tandatanda vital pasien,
mengevaluasi nilai GCS klien, mengevaluasi keadaan pupil (reaksi terhadap
cahaya), mempertahankan kepala dan leher pada posisi datar, melayani injeksi
Plasmirex 500 mg/IV, melayani injelsi Vitamin K 10 mg/IV, mengganti cairan
infus manitol 150 cc, menganti kembali cairan infus Futrolit 20 tetes per menit
dan memberikan terapi oksigen nasal kanul 3 L per menit. Implementasi ini
dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah ditetapkan menurut teori Setiadi
(2012) yaitumengukur tanda-tanda vital pasien, mengevaluasi nilai GCS klien,
mengevaluasi keadaan pupil (reaksi terhadap cahaya), dan mempertahankan
kepala dan leher pada posisi datar.
E. EVALUASI
Menurut Setiadi (2012), dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan
Keperawatan, tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis
dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan
tenaga kesehatan lainnya.

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal pengkajian/jam : 08 Maret 2021/ 09.00 WIB
No. MR : 35.xx.xx
3.2 Prioritas Kasus
Prioritas Triase : Merah
Keluhan Utama : saat dikaji tidak sadarkan diri post KLL
Diagnosa Medis : Cidera Otab Berat (COB)
3.3 Data Primer
1. Airway
Hasil pemeriksaan tidak ditemukan sumbatan pada jalan nafas klien.
2. Breathing
Irama Penafasan : cepat,dan dangkal, RR: 30 x/menit, menggunakan otot
bantu pernafasan, tampak retraksi dada, takipneu, suara nafas stridor.
3. Circulation
Frekuensi Nadi: 128 x/menit, TD: 145/90 mmHg, denyut nadi teraba kuat
dan teratur, akral teraba hangat, CRT <2 detik, warna kulit pucat,Suhu:
36.2oC, SpO2: 98%.
4. Disabilitys
Penilaian GCS pasien untuk E: 3 (membuka mata dengan rangsangan
suara), V: 2 ( bersuara tdaik jelas,mengerang atau bergumam), M: 3 ( Fleksi
abnormal ), tingkat kesadaran klien somnolen dengan jumlah GCS = 8,
pupil anisokor, reflek cahaya -, Uji kekuatan otot ekstremitas atas 5|5,
ekstremitas bawah 0|3
5. Exposure
Terdapat jejas di daerah mata dan pipi sebelah kiri,tampak hematom pada
mata sebelah kiri, luka 3cm di kepala bagian samping kiri, keadaan umum
klien lemah, tampak gelisah, ekspresi wajah datar, berbaring dengan
telentang, mukosa bibir lembab.
3.4 Data Sekunder (Head to Toe)
A: Keluarga klien tidak mempunyai alergi obat
M : Klien mendapatkan terapi ranitidine 2x5 mg, ondansentron 3x8 mg, injeksi
Antrain 3x1 gr, Fenitoin 3x 100 mg.
P : Klien sebelumnya tidak pernah melakukan operasi/pembedahan
L : Keluarga klien mengatakan jika sebelum dibawa ke IGD sama keluara klien
diberikan minum melalui selang NGT
E :Klien mengalami hematom pada bagian mata, robek pada bagian dahi dan
dagu, kaki kiri (paha) berubah bentuk setelah terjadi kecelakaan.

Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
Bentuk tidak simetris, terdapat pendarahan, adannya hematoma pada mata
kiri, pupil anisokor, konjungtiva anemis,
2. Thorak/Jantung
Bentuk dada simetris
3. Punggung
Tulang belakang tampak normal, tidak ada benjolan, dan tidak ada
perlukaan.
4. Abdomen
Bentuk abdomen simetris, tidak ada asites, teraba supel, bising usus
8x/menit
5. Genitourinary
Klien terpasang kateter, jumlah urine yang keluar -/+ 1000 cc/24 jam.
6. Ekstremitas
Kemampuan pergerakan sendiri bebas, tidak ditemukan adanya parese (+),
paralise (+), hemiparese (+), krepitasi (-), nyeri (+), bengkak (+), kekukan
otot (+), flasiditas (-), spastisitas (-). Uji kekuatan otot ekstremitas atas 5|5,
ekstremitas bawah 0|3, tidak ada deformitas tulang (-), peradangan (-),
perlukaan (+), dan patah tulang (+) dan Tulang belakang normal.
3.5 Riwayat Penyakit
1. Riwayat penyakit sekarang
Keluarga klien mengatakan klien mengalami kecelakaan menggunakan
motor, lalu klien dibawa ke rumah sakit di Sampit karena keterbatsan
penanganan lalu klien di rujuk ke rumah sakit dr.Doris Slyvanus Palangka
Raya. Klien tiba RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada pukul 00.46
tanggal 03 Maret 2021, Di IGD klien mendapat pertolongan dengan
memeriksa TD: 145/90 mmHg, N: 128 x/mn, S: 36.2ºC, RR: 30 x/mnt,
SPO2 : 98 %, tangan kanan klien terpasang infuse NaCl 0,9% : Aminofusin
Hepar 1:2 = 20 tpm dan mendapatkan terapi injeksi ranitidine 2x5 mg,
injeksi ondansentron 3x8 mg, injeksi Antrain 3x1 gr,Fenitoin 3x 100 mg.
2. Riwayat penyakit dahulu
Keluarga klien mengatakan jika sebelumnya pernah masuk rumah sakit
3. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga klien tidak memiliki riwayat penyakit menurun seperti hipertensi
dan DM.

3.6 Data Penunjang


Hasil Pemeriksaan Laboratorium 08 Maret 2021
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal

Glukosa sewaktu 120 <200 Mg/dl

Ureum 78 21-53 mg/dl

Creatinin 1,14 0,7-1,5 mg/dl

SGOT/AST 195 L:<37 U/L

SGPT/ALT 153 L<42 U/L

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal

WBC 14,80 11.00

HGB 8,7 18.00

PLT 190 400


3.8 Terapi Medis
No Nama Obat Dosis Rute Indikasi
.

1. Fenitoin 3x 100 IV Obat yang digunakan untuk


mg mengendalikan kejang

2 Inj. Antrain 3x 1 gr IV Antrain digunakan untuk menurunkan


demam, dan meringankan rasa sakit,
seperti: sakit gigi, sakit kepala, nyeri
sendi, nyeri otot, dismenore (nyeri
haid)

3 Ondansentron 3x 8 gr IV Obat yang digunakan untuk mencegah


serta mengobati mual dan muntah

4 Ranitidin 2x50 gr IV obat yang digunakan untuk


menangani gejala atau penyakit yang
berkaitan dengan produksi asam
berlebih di dalam lambung

5 Aminofusin 1:2 = Iv Aminofusin Hepar digunakan untuk


hepar : inf NACL 2O tpm memenuhi kebutuhan nutrisi pada
0,9 % pasien yang mengalami gangguan
hati. Tiap 500 mL Aminofusin Hepar
mengandung asam amino 5% dengan
karbohidrat dan elektrolit

Nacl 0,9 % untuk menggantikan


cairan tubuh yang hilang, mengoreksi
ketidakseimbangan elektrolit, dan
menjaga tubuh agar tetap terhidrasi
dengan baik
ANALISA DATA

DATA SUBYEKTIF ETIOLOGI MASALAH


DAN DATA
OBYEKTIF

DS :- Cidera kepala Perfusi jaringan


serebral
DO : kerusakan otak
1. Tampak klien tidak Gangguan autoregulasi
sadar
Aliran darah otak
2. Klien tampak
menurun
gelisah
3. TTV O2
TD :145/90 mmHg
Gangguan metabolism
N :128 x/menit
S :36.2ºC Asam laktat
R : 30x/menit
Perubahan perfusi
SPO2 :98%
jaringan serebral
4. GCS somnolen =
8.
5. Terdapat jejas di
daerah mata dan
pipi sebelah kiri
6. Tampak hematom
pada mata sebelah
kiri, luka 3cm di
kepala bagian
samping kiri,
7. Pupil anisokor

DS : - Perdarahan hematoma Pola nafas tidak


kerusakan jaringan efektif
DO :
Penekanan sistem saraf
1. Tampak klien tidak
sadar pernafasan
2. Klien tampak
perubahan pola nafas
gelisah
3. Suara nafas stridor RR , hiperpneu,
4. TTV hiperventilasi
TD :145/90 mmHg
N :128 x/menit Pola nafas tidak efektif
S :36.2ºC
R : 30x/menit
SPO2 :98%
5. GCS somnolen =
8.
6. Tampak retraksi
dada
7. Menggunakan otot
bantu pernafasan.
8. Tampak terpasang
simple face mask 8
liter/menit

3.9 PRIORITAS MASALAH


1. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan Cidera otak
berat
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran
10 Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan (Kiteria Hasil) Intervensi Rasional

Perfusi jaringan serebral Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi TTV 1. Peningkatan tekanan
berhubungan dengan edema selama 3x7 jam, diharapkan 2. Observasi tingkat kesadaran darah sistemik yang
serebral tidak efektif b.d Cidera perfusi jaringan dapat optimal klien diikuti oleh penuruan
otak berat dengan kriteria hasil: 3. Evaluasi kemampuan tekanan arah diastolic
1. Meningkatkan kesadaran membuka mata merupakan tanda
klien 4. Kolaborasi pemberian terapi terjadinya peningkatan
2. GCS : 15 (compos menthis) TIK.
3. TTV 2. Untuk mengetahui
TD : 120/80 mmHg. tingkat kesadaran klien
N : 60-100x/menit 3. Untuk menentukan
RR:20x/menit tingkat kesadaran klien
S : 36o C 4. Aktivitas yang kontinu
dapat menyebabkan
peningkatan TIK.
Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji karakteristik pola nafas 1. Untuk mengetahui pola
berhubungan dengan penurunan keperawatan selama 3x 7 jam, (frekuensi, kedalaman, nafas klien
kesadaran diharapkan pola nafas dapat irama), 2. Untuk mengetahui
diatasi dengan kriteria hasil : 2. Kaji adanya penggunaan penggunaan otot bantu
1. Irama pernafasan normal otot bantu pernafasan pernafasan
2. Frekuensi pernafasan 3. berikan posisi kepala lebih 3. Untuk memenuhi
normal tinggi 30º kebutuhan oksigen
3. Tidak ada suara nafas 4. ajarkan relaksasi nafas 4. Untuk memenuhi
tambahan dalam, kebutuhan oksigen
4. TTV dalam batas normal 5. kolaborasi dengan dokter
5. Tidak ada tanda sesak pemberian O2.
3.11 Implementasi Keperawatan

Hari/Tangg Diagnosa Keperawatan Implemnetasi Evaluasi TTD


al, Jam

Senin, Perfusi jaringan serebral tidak 1. Mengobservasi TTV S :-


08/03/2021 efektif berhubungan dengan Cidera 2. Mengobservasi
O:
otak berat tingkat kesadaran
09.00 WIB
klien 1. TTV
3. Mengevaluasi TD :145/90 mmHg
kemampuan N :128 x/menit
membuka mata S :36.2ºC
4. Kolaborasi pemberian R : 30x/menit
terapi SPO2 :98%
2. Klien dapat merespon ketika
diberi rangsangan suara
3. Klien tampak gelisah
4. Tampak diberikan terapi terapi
injeksi ranitidine 2x5 mg, injeksi
ondansentron 3x8 mg, injeksi
Antrain 3x1 gr,Fenitoin 3x 100
mg.

A : Masalah teratasi sebagian

P : lanjutkan intervensi

1. Mengobservasi tingkat
kesadaran klien
2. Mengevaluasi kemampuan
membuka mata
3. Kolaborasi pemberian terapi

Senin, Pola nafas tidak efektif 1. Mengkaji karakteristik S:-


08/03/2021 berhubungan dengan penurunan pola nafas (frekuensi,
O:
kesadaran kedalaman, irama)
09.00 WIB
2. Mengkaji adanya - RR= 24x/menit
penggunaan otot bantu - irama napas teratur
pernafasan - suara nafas ronkhi berkurang
3. kolaborasi dengan - Pasien terpasang O2 simple mask
dokter pemberian O2. 8 lpm
- Tampak ada penggunaan otot
bantu pernafasan.
- Tampak retraksi dada

A : Masalah teratasi sebagian

P : lanjutkan intervensi

1. Mengkaji karakteristik pola


nafas (frekuensi, kedalaman,
irama)
2. Mengkaji adanya
penggunaan otot bantu
pernafasan
3. kolaborasi dengan dokter
pemberian O2.
DAFTAR PUSTAKA

Hudak, Carolyn M. 2010.Keperawatan Kritis Pedekatan Holistik Edisi 6 Volume


2. Jakarta: EGC

Muttaqin Arif. 2012.Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persarafan.Jakarta : Salemba Medika

Suriadi, Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Dalam. Edisi 1.
Jakarta: Agung Setia.

Batticaca,Fransisca B.2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Persarafan.Jakarta: Salemba Medika

Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika

Tarwoto, Wartonah, Suryati, 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta: Sagung Seto

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat Contoh Askep Dengan Pendekatan


Nanda, NIC, NOC. Yogyakarta : Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai