Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dalam Pera
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dalam Pera
A. Pendahuluan
Kajian tentang “ The Islamic Civilization” atau peradaban Islam tidak bisa
lepas dari peradaban Arab yang menjadi tempat lahirnya agama Islam. Oleh
karena itu, terkadang peradaban ini disebut dengan peradaban Arab, karena
pertama kali peradaban ini muncul di kalangan bangsa Arab, sekalipun kemudian
meluas dan dikembangkan oleh generasi Islam selain bangsa Arab, baik melalui
transfer ilmu, kesamaan tipologi dan standar, maupun bahasa dan tulisannya.
Selain itu, peradaban ini disebut peradaban Arab karena sebagian tokoh
terbesarnya seperti; Hunain ibn Ishaq, Yohana ibn Masawih, Nabit ibn Qarrah dan
Ali Abbas Al-Majusi mereka adalah orang-orang Arab non-muslim.
Sedangkan penyebutannya sebagai peradaban Islam, karena ia sebagai
penggagasnya dan selamanya akan menjadi kekuatan yang menggerakkannya
dengan dengan ajaran-ajarannya. Di sisi lain, penyebutan sebagai peradaban Islam
ini dikarenakan sebagian tokohnya yang terbesar adalah orang Islam non-Arab
seperti; Ibnu Sina, Al-Biruni, Abu Bakar Al-Razi, dan Al-Khawarizmi.1
Terlepas dari perbedaan penyebutan tersebut, faktor utama dalam sebuah
peradaban besar adalah Ilmu pengetahuan. Sebagai faktor utama dalam
perkembangan peradaban, ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian yang serius
dalam Islam. Masa sebelum kedatangan Islam yang disebut dengan Masa
Jahiliyah, misalnya, merupakan argumentasi penting bahwa Islam datang dengan
membawa ilmu pengetahuan dan meminimalisir kebodohan. Predikat “jahiliyah”
bukan berarti bangsa Arab sebelum Islam datang tidak memiliki peradaban dan
mengenal peradaban-peradaban lainnya. Beberapa abad sebelum Islam muncul,
daerah Arab telah mengenal peradaban lembah Nil, peradaban lembah Daljah dan
Furat, peradaban Syam, peradaban Yaman, peradaban Tunis, peradaban Bahrain,
peradaban Yunani, peradaban India dan peradaban Persia.2
Ketika Islam datang sebagai agama dengan membawa benih-benih
peradaban yang besar dan secara terang-terangan menghimbau untuk mempelajari
ilmu dan menjadikannya sebagai jalan utama kehidupan, maka para pecinta ilmu
1
Muhammad Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, terjemahan
Muhyiddin Mas Rida (Jakarta: Pustaka A-Kautsar, 2012), hal. 7-8.
2
Ibid., hal. 5.
1
mulai mempelajari warisan peradaban yang telah ada sebelumnya. Dalam
lembaran sejarah peradaban Islam, kita bisa melihat hubungan yang harmonis
antara agama dan akal, selama lima abad, dimulai dari abad kedelapan sampai
abad ketiga belas masehi. Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena dalam Islam,
akal sebenarnya mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan posisi penting
dalam Islam.
Substansi Al-Qur’an sebagai sumber utama agama Islam juga menjadi
bukti bahwa Islam sangat mengapresiasi ilmu pengetahuan. Misalnya, dalam
wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw.3 Kata Iqra’,
sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, terambil dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari menghimpun, lahir aneka makna seperti menyampaikan,
menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks
tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan objek yang harus
dibaca, karena Al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama
bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Lebih
lanjut, Shihab menyatakan bahwa kata iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah maupun diri
sendiri, baik yang tertulis maupun tidak.4 Makna yang terkandung dalam kitab
suci ini sangat dipahami dan diaktualisasikan oleh umat Islam pada masa dahulu
sehingga banyak karya-karya besar yang dihasilkan oleh mereka.
Kemajuan yang dicapai Islam selama periode klasik 5 telah membuat
berbagai bangsa tertarik untuk melihat dan mempelajari Islam. Kekaguman atas
Islam, misalnya dikemukakan oleh Abraham S. Halkin dalam bukunya The
Judeo-Islamic Ages and Ideas of The Jewish People.6 Halkin menyatakan bahwa
3
QS. 96:1-5.
4
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 2013), hal. 569-570.
5
Secara garis besar, fase sejarah Islam dibagi menjadi tiga; a) Periode Klasik yang dimulai sejak
tahun 650-1250 M dan merupakan periode kemajuan Islam dalam berbagai bidang kehidupan dan
ilmu pengetahuan, b) Periode pertengahan dimulai sejak 1250 – 1800 M, dengan semakin
meningkatnya disintegrasi tidak hanya dalam bidang politik, tetapi juga dalam paham keagamaan
dan sektarian, Fase Tiga Kerajaan Besar (kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan
kerajaan Mughal di India) dimulai sejak tahun 1500 – 1700 M., c) Periode Modern yang dimulai
sejak 1800 M – sekarang. Lihat: Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek (Jakarta: UI-
Press, 1985), hal. 56-88. Lihat pula: Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hal. 22.
6
Abraham S. Halkin, The Judeo-Islamic Ages & Ideas of the Jewish People (New York: The
Modern Library, 1956), hal. 218-219.
2
orang Arab adalah bangsa yang sadar dan berperilaku baik. Sekalipun mereka para
pemenang secara militer dan politik, mereka tidak memandang peradaban negeri-
negeri yang mereka taklukkan dengan sikap menghina. Kekayaan budaya Syiria,
Persia, dan Hindu mereka salin ke bahasa Arab. Para khalifah, gubernur, dan
tokoh-tokoh lain menyantuni para sarjana yang melakukan tugas penerjemahan,
sehingga kumpulan ilmu pengetahuan non-Islam banyak ditemukan dalam bahasa
Arab.
Namun dalam perkembanganya, perjalanan Islam terklasifikasi dalam
fase-fase fluktuatif; dari fase penciptaan pondasi, fase kejayaan, fase
desentralisasi, fase kemunduran, fase kemajuan material hingga fase kebangkitan,
di mana pada tiap fase memiliki karakteristik khas yang membedakannya dengan
fase peradaban lainnya.
أعطيت: ق ال رس ول اهلل ص لى اهلل علي ه وس لم:عن ج ابر بن عب د اهلل األنص اري ق ال
كان كل نيب يبعث إىل قومه خاصة وبعثت إىل كل أمحر،مخـ ـ ـ ـــسا مل يعطهن أحد قبلي
. ... وأسود
9
7
Raghib Al-Sirjany, Madza Qaddama Al-Muslimun li Al-‘Alam: Ishamat Al-Muslimin fi Al-
Hadlorat Al-Insaniyyah (Kairo: Muassasah Iqra’, 2009), Juz 1, hal. 49.
8
Lihat QS. Al-Hujurat, 13; Al-Anbiya’ 107, dan Saba’, 28.
9
Abu Bakar Ahmad ibn Al-Husayn Al-Baihaqi, Syu’ab Al-Iman, Maktabah Syamilah 2, juz 2, hal.
177.
3
Nabipun sebelumku. Setiap Nabi diutus khusus untuk kaumnya saja, sementara
aku diutus untuk golongan ras merah, hitam dan seterusnya...”
. ... إين لرسول اهلل إليكم خاصة وإىل الناس كافة،واهلل الذي ال إله إال هو
10
Demi Allah yang Tiada Tuhan selain Dia, Sungguh aku adalah utusan Allah untuk
kalian dan untuk seluruh umat manusia.
10
Muhammad ibn ‘Afifi Al-Khudary, Nur Al-Yaqin fi Sirat Sayyid Al-Mursalin (Beirut: Dar Al-
Ma’rifah, 2004), hal. 30.
11
Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011), hal. 5.
Baca pula: Rolland E. Miller, “Christian-Muslim Relations; A Study Program of The Lutheran
World Federation 1992-2002” dalam Dialogue and Beyond: Christian and Muslims Together on
The Way (Switzerland: The Lutheran World Federation, 2003), hal. 23.
12
QS. Al-Hujurat, 13.
13
Raghib Al-Sirjany, Madza Qaddama Al-Muslimun..., hal. 55-56.
14
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an..., hal. 571.
4
fungsi kekhalifahan.15 Manusia, dalam pandangan al-Qur’an memiliki potensi
untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin Allah. Oleh karena itu,
bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk
mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali pula al-Qur’an menunjukkan betapa tinggi
kedudukan orang-orang yang berpengetahuan.16
Keempat, peradaban Islam memeliki karakter Al-Shibghoh Al-Akhlaqiyah
(menekankan pada aspek moral). Dalam sistem kehidupan, Islam memiliki sistem
nilai yang luhur dalam setiap aspek kehidupan; ekonomi, budaya, politik,
berbangsa, bernegara dan sebagainya.
Ilmu pengetahuan dalam konsep Islam juga harus selaras dengan karakter
peradaban Islam. Ilmu Pengetahuan harus berwatak humanis-religius, yang
setidaknya didasarkan pada beberapa prinsip berikut:18
Pertama, ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangkan
tauhid atau teologi. Yaitu teologi yang bukan semata-mata meyakini adanya Allah
swt. dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan tingkah
laku, melainkan teologi yang menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran
manusia yang paling dalam perihal hubungan manusia dengan Allah swt.,
lingkungan dan sesama. Lebih tegasnya adalah teologi yang memunculkan
kesadaran, yakni suatu matra yang paling dalam diri manusia yang merubah
pandangan dunianya dan kemudian menghasilkan pola sikap dan tindakan yang
selaras dengan pandangan dunia itu. Oleh karena itu, teologi pada ujungnya akan
mempunyai implikasi yang sangat sosiologis, sekaligus antropologis.19
Dengan pandangan teologi yang demikian, maka alam raya, manusia,
masyarakat dan Tuhan merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Alam
raya terikat oleh hukum alam (nature of law) yang dalam istilah Islam disebut
15
QS. Al-Baqarah, 31-32.
16
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an..., hal. 572.
17
Abu Bakar Ahmad ibn Al-Husayn Al-Baihaqi, Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra (Mekkah: Dar Al-
Baz, 1994), Juz 10, hal. 191.
18
Umar Sulaiman, Islam Kosmopolitan: Ikhtiar Pembumian Nilai-Nilai Transenden-Humanis di
Ruang Publik (Yogyakarta: Freshbooks, 2012), hal. 325-331.
19
Syamsul Arifin, et, al, Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: SIPPRESS,
1996), hal. 21.
5
sunnatullah, aturan Allah. Alam raya ini selanjutnya menjadi obyek kajian dalam
pengembangan ilmu pengetahuan seperti ilmu fisika, biologi, kimia dan
sebagainya. Demikian pula manusia dalam pandangan Islam adalah merupakan
ciptaan Allah. Secara fisik, manusia terikat dengan hukum sunnatullah, dan secara
psikis ia terikat dengan nilai-nilai Ilahiah atau kecenderungan kepada agama dan
kebenaran.20
Dengan prinsip tauhid seperti ini, maka seluruh ilmu pengetahuan, baik
ilmu yang dasar kajian alam (sains), maupun ilmu yang dasar kajiannya manusia,
masyarakat dan wahyu, pada hakikatnya adalah ayat-ayat Allah. Bentuk dan
macam ilmu itu berbeda-beda, tetapi semuanya bermuara kepada Yang Satu.
Kedua, ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam
rangka untuk bertakwa kepada Allah swt. hal ini penting ditegaskan, karena
dorongan Al-Qur’an untuk mempelajari fenomena alam dan sosial tampak kurang
diperhatikan, sebagai akibat perhatian dakwah Islam yang semula lebih tertuju
untuk memperoleh keselamatan di Akhirat. Hal ini mesti diimbangi dengan
perintah kepada Allah dalam arti yang luas, termasuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Menyesuaikan motivasi pengembangan ilmiah dengan ajaran Islam
selain akan meningkatkan kuantitas juga kualitas ilmiah, karena motivasi utama
tidak untuk mendapatkan popularitas dan imbalan materi semata atau sekedar
ilmu untuk ilmu, melainkan mengembangkan ilmu yang didorong oleh keikhlasan
dan rasa tanggung jawab kepada Allah. Dengan cara demikian, tujuan humanis
ilmu pengetahuan bisa tercapai dan tidak digunakan untuk tujuan-tujuan yang
membahayakan dan merugikan manusia.
Ketiga, reorientasi pengembangan ilmu pengetahuan harus dimulai dengan
suatu pemahaman yang segera dan kritis atas epistemologi Islam klasik dan suatu
rumusan kontemporer tentang konsep ilmu. Perubahan harus ditafsirkan dalam
rangka struktur fisik luarnya, dan infrastruktur dari gagasan epistemologi Islam
yang harus dipulihkan secara keseluruhan. Dengan kata lain, pengembangan ilmu
pengetahuan dalam bentuk lahiriahnya, jangan sampai menghilangkan makna
spiritualnya, yakni sebagai sarana untuk menyaksikan kebesaran Tuhan. Roger
Garaudi menegaskan bahwa setiap ilmu, di samping memiliki makna yang dapat
20
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 61.
6
dicerna oleh akal, juga harus memiliki makna yang dapat dirasakan. Ilmu
matematika misalnya, memiliki makna intelegible (dapat dipikirkan), juga
memiliki makna sensible (dapat dirasakan).21 Angka satu misalnya adalah
merupakan permulaan dalam hitungan yang melambangkan adanya Tuhan sebagai
awal segala sesuatu. Jika di belakang angka satu terdapat dua belas angka nol,
maka menjadi satu triliun. Namun tanpa angka satu di depan angka nol, seberapa
banyak angka nol pun tidak ada maknanya.
Keempat, ilmu pengetahuan harus dikembangkan oleh orang yang
memiliki keseimbangan antara kecerdasan moral dan spiritual. Hal ini sesuai
dengan apa yang terjadi dalam sejarah abad klasik, di mana para ilmuwan yang
mengembangkan ilmu pengetahuan adalah pribadi-pribadi yang senantiasa taat
beribadah kepada Allah dan memiliki kesucian jiwa dan raga. Ibnu Sina misalnya,
sebagaimana diinformasikan oleh Mohammad Athiyah Al-Abrasyi, memiliki
kebiasaan spiritual saat menemui kesulitan intelektual. Dikatakan:22
21
Roder Garaudi, Promisses De L-Islam, terjemahan H.M. Rasjidi, dengan judul Janji-Janji Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hal. 56.
22
Mohammad Athiyah Al-Abrasyi, Al-Tarbiyah Al-Islamiyyah, terjemahan Bustani A. Gani dan
Johar Bahry dengan judul “Dasar-Dasar Pendidikan Islam” (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal.
107.
7
Harun Nasution menyimpulkan bahwa periode perkembangan sejarah
Islam bisa dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu; 1) masa klasik, antara tahun
650-1250 M, 2) masa pertengahan, antara tahun 1250-1800 M, 3) masa modern,
sejak tahun 1800 M sampai sekarang.23
1. Periode Klasik (650-1250 M)
Di zaman inilah daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai
ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Daerah-
daerah itu tunduk kepada kekuasaan Khalifah yang pada mulanya
berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus dan terakhir di
Baghdad.
23
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Lihat pula: Harun Nasution, Islam
Rasional (Bandung: Mizan, 1994), hal. 112.
24
Ralph Schroeeder, Max Weber and The Sociology of Culture (London: Sage, 1992), hal. 150-
151.
8
Kehadiran Nabi membawa perubahan dalam tatanan sosial
masyarakat Arab. Ide dan gagasan Nabi yang tersurat dalam al-Qur’an
menjadi inspirasi untuk menuju tatanan kehidupan yang lebih mapan dan
beradab. Pengaruh nilai dan moralitas al-Qur’an yang dibawa Nabi
termanifestasi dalam sejarah dan peradaban Islam. Sejak mendapatkan
wahyu langit dalam ‘uzlah (pengasingan) di gua Hira’ tahun 610 M.,
Muhammad mulai berbicara atas nama Allah swt. dan memproklamirkan
Islam sebagai agama Tauhid untuk kemaslahatan umat manusia dan
rahmat bagi alam semesta. Sejak inilah Nabi mulai membentuk sebuah
komunitas masyarakat keagamaan dalam ikatan semangat tawhid.
Muhammad mulai mendapatkan perlawanan dan tantangan keras dari
masyarakat paganisme di Mekkah dan dianggapnya sebagai orang yang
terserang penyakit syaraf, gila dan sebagainya. Muhammad dilahirkan dan
dibesarkan di tengah-tengah suku Qurasiy Mekkah, tetapi reformasi
teologi, reformasi kultural, dan reformasi sosial yang dibawanya
berdasarkan wahyu Allah, dianggap memiliki peran penting dalam
membangun tatanan sosial-politik dan tradisi kaum Qurasiy.25
Selain itu, hijrah Nabi dan umat Islam yang masih berjumlah
sedikit dari Mekkah ke Madinah juga memberikan kontribusi penting
dalam proses pembentukan peradaban. Periode Mekkah merupakan
periode yang menyakitkan bagi Nabi dan pengikutnya sehingga Nabi
melakukan hijrah ke Madinah (Yatsrib) tahun 622 M untuk menyusun
25
Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, hal. 19-20.
9
kekuatan baru setelah Mekkah dianggap tidak kondusif untuk penyebaran
dakwah Islam. Di Madinah, Nabi menyusun kekuatan sosial-politik dan
ekonomi untuk menyatakan perang ekonomi kepada pedagang Quraiys. 26
Secara sosiologis, hijrah merupakan imigrasi dan pemutusan ikatan-ikatan
kekerabatan dengan kaum Quraisy Mekkah.27 Namun demikian, hijrah
tidak hanya merupakan perpindahan Nabi dan umat Islam untuk
menghindari tekanan-tekanan dan perlawanan dari kaum kafir Quraisy.
Hijrah berdampak positif bagi perkembangan kegiatan intelektual umat
Islam. Mereka lebih leluasa untuk mengembangkan pengetahuannya
sebagaimana yang memang ditekankan oleh Nabi dalam berbagai
hadisnya.
Pada era klasik ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis
berkembang dengan pesat. Sentuhan estetika dan filsafat telah
menghantarkan peradaban Islam pada puncak kejayaan. Ulama’-ulama’
mujtahid bermunculan, begitu juga para ilmuwan muslim telah
menghasilkan karya-karya seni, filsafat dan ilmu pengetahuan secara
mengagumkan.30
26
Shwaki Abu Khaleel, Islam on the Trial (Beirut: Dar Al-Fikr, 1991), hal. 52.
27
Bryan S. Turner, Menggugat Sosiologi Sekuler, terjemahan Mudhofir (Yogyakarta: Suluh Press,
2005), hal. 54.
28
Abdur Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar Al-Kotoob Al-Ilmiyyah,
t.t.), hal. 344-345.
29
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 71.
30
Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, hal. 11.
10
Peran para khalifah tidak bisa dinegasikan dari kemajuan yang
dicapai oleh periode ini, terutama pada masa Bani Abbas. Di masa Bani
Abbas inilah perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani
memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan Al-
Ma’mun (813-833 M). Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat
didatangkan dari Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Kegiatan penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad.
Bait Al-Hikmah, yang didirikan Al-Ma’mun, bukan hanya merupakan
pusat penterjemahan tetapi juga akademi yang mempunyai perpustakaan.
Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait
Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran, matematika, optika, geografi, fisika,
astronomi, dan sejarah di samping filsafat.31
31
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 70.
32
Ibid., hal. 71.
33
Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka..., hal. 68-77.
34
Ibid., hal. 107-118.
11
hukum; Imam Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah
seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al- Huzail, Al-Nazzam, dan Al-Zuba’i dalam
bidang teologi; Dzunnun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al- Hallaj
dalam mistisisme atau tasawwuf; Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan Ibnu
Miskawih dalam filsafat.
Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian juga antara Arab
dan Persia bertambah nyata. Dunia Islam terbagi dua, bagian Arab yang
terdiri atas Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara dengan
Mesir sebagai pusat; dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia
12
Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat. Kebudayaan
Persia mengambil bentuk internasional dan dengan demikian mendesak
lapangan kebudayaan Arab.
38
Ibid., hal. 83.
39
Ibid., hal. 84.
40
Ibid., hal. 85-86.
13
Islam menurun. Di bidang ekonomi, juga terpuruk akibat hilangnya
monopoli dagang antara Timur dan Barat. Ilmu pengetahuan di dunia
Islam mengalami stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh suasana khurafat
dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistis, sehingga dunia
Islam dalam keadaan mundur dan statis. Sementara, pada masa itu Barat
mengalami kebangkitan. Penetrasi Barat, yang kekuatannya bertambah
besar, ke dunia Islam yang didudukinya kian lama bertambah mendalam.
Akhirnya, di tahun 1978 M, Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah
satu pusat Islam yang terpenting. Jatuhnya pusat Islam ini ke tangan Barat,
menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat
Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban yang lebih tinggi dari
peradaban Islam.41
14
dasar agama dengan interpretasi-interpretasi baru yang lebih segar dan
progresif sesuai perkembangan zaman. Ini dimaksudkan agar nilai luhur
Islam tidak usang oleh dinamika perubahan yang berjalan begitu cepat.
Dari sini, bermunculan ide-ide keagamaan baru seperti tajdid
(pembaruan), revivalisme (puritanisme, kembali ke ajaran dasar al-Qur’an
dan al-Sunnah), dan bahkan muncul juga sekularisme yang kontroversial.
Pada periode ini, muncul banyak para pemikir Islam yang handal.
Mereka menjadi pioner pembaharuan dalam Islam. Ajaran Islam
dirasionalisasikan dan difahami dalam konteks ke-kini-an dan
kemodernan. Islam difahami tidak hanya difahami dari sudut pandang
lokal, tetapi juga dalam perspektif universal dan kontekstual. Sejarah
mencatat munculnya para pemikir Islam di dunia Arab, seperti di Arab,
Mesir, dan Turki. Demikian juga di India dan Pakistan. Tidak ketinggalan
di Indonesia dan dunia Islam lainnya.
15
gerakan puritanisme Islam. Gerakan yang hampir serupa tumbuh di
India yang dipelopori oleh Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin
di India43. Menurut Harun Nasution44, Muhammad bin Abdul Wahab
bukan hanya seorang teoris yang sangat memahami ajaran Islam, tetapi
ia dipandang sebagai seorang pemimpin yang dengan aktif dan
progresif berusaha menyebarkan dan mewujudkan pemikirannya.
Sedangkan Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin dipandang
sebagai tokoh yang menentang sufisme secara sangat tajam.
Gerakan-gerakan ini muncul bukan karena pengaruh Barat, tetapi
sebagai reaksi terhadap faham Tauhid Islam (Aqidah) yang telah
dirusak oleh hadirnya ajaran-ajaran yang menyimpang, seperti
mempercayai keramat, merajalelanya bid’ah, khurafat, dan tahayul
serta kemusyrikan. Untuk melepaskan umat islam dari kesesatan ini,
tokoh ini berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada ajaran
Islam yang sebenarnya (asli), yakni Islam yang dianut oleh Nabi saw,
sahabat, tabi’in sampai abad ke-3 Hijriyah. Sumber ajaran islam
hanyalah al-Quran dan al-Hadits. Untuk memahami ajaran yang
terkandung dalam dua sumber tersebut, maka dipergunakan ijtihad.
Oleh karena itu, pintu ijtihad belum tertutup, bahkan harus tetap
dibuka;
Dalam pandangan Amien Rais45, gerakan Wahabiyah sering dianggap
terlalu revolusioner oleh karena gagasan-gagasan yang
disampaikannya terlalu radikal menurut ukuran zamannya. Sekalipun
dipengaruhi oleh pikiran reformatif Ibnu Taimiyyah, gerakan
Wahabiyah tidak sepenuhnya merupakan duplikat fikiran-fikiran Ibnu
Taimiyyah.
Terdapat beberapa perbedaan mendasar. Pertama, jika Ibnu Taimiyyah
menyerang sufisme, maka serangannya tidak frontal. Sedangkan
gerakan Wahabiyah menyerang sufisme tanpa ampun, sekalipun harus
43
Amien Rais dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-Masalah,
terjemahan (Jakarta: Raja Grafindo Press, 1995), hal. x.
44
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), hal. 25.
45
Amien Rais dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan...
16
diakui bahwa berkat jasa kaum Wahabiyah-lah pembabatan bid’ah,
khurafat, tahayul yang merajalela di dunia Islam pada masa lalu
berhasil secara mengesankan. Kedua, sikap agak kaku terhadap
rasionalisme, Ibnu Taimiyyah juga melakukan kritik terhadap
rasionalisme, tetapi kritik itu tidak berakibat memojokan penalaran
rasional terhadap usaha perbaikan terhadap berbagai dimensi
kehidupan kaum muslimin. Barangkali kelemahan kaum Wahabi
adalah semangat agak anti terhadap rasionalismenya, sehingga
semboyan ijtihad yang dikumandangkannya tidak begitu efektif,
berhubung tidak diberikannya tempat secara wajar bagi
intelektualisme. Akan tetapi harus kita catat, adanya pengaruh positif
bagi masyarakat muslim di dunia, terutama prinsip egalitarianisme
yang diserukan gerakan ini.46 (Amien Rais, dalam John Donohue, 1995
: xii).
b) Gerakan Pembaharuan (Modernisme)
Gerakan ini dirintis dan dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-
1897). Kemudian diikuti dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh
(1849-1905) dan dilanjutkan oleh muridnya, Rasyid Ridla (1865-
1935). Gerakan ini tumbuh dan berkembang di Mesir, ketika itu
(bahkan sampai sekarang) menjadi pusat intelektualisme Islam.
Gerakan ini –sesuai dengan namanya- berusaha mengadopsi kemajuan
Barat dan menyesuaikannya (adaptasi) dengan peri-kehidupan umat
Islam. Gerakan ini menolak selalu bersandar pada kejayaan Islam masa
lalu dan lebih memilih hikmah-hikmah yang dapat diambil dari masa
itu, kemudian menghidupkannya kembali di tengah-tengah kaum
Muslimin. Hal ini bisa diwujudkan dalam pemikiran politik, social,
budaya, agama, dan sebagainya. Secara langsung maupun tidak
langsung, hasil pemikirannya disebarkan melalui berbagai tulisan,
terutama dalam majalah dan ceramah-ceramah di berbagai tempat dan
waktu.
46
Ibid., hal. xii.
17
Ide-ide atau pemikiran dasarnya adalah sebagai berikut : 1) Kembali
kepada sumber dasar ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu al-Quran dan
al-Hadits; 2) Pintu ijtihad tetap terbuka. Ijtihad perlu dilakukan untuk
memahami sumber ajaran Islam (al-Quran dan al-Hadits) yang
disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman (interpretasi
baru); 3) Akal (rasio) adalah alat untuk melakukan ijtihad.
Menggunakan rasio (akal) dan penalaran menjadi sangat penting dan
memiliki posisi yang sangat tinggi; 4) Percaya kepada hukum alam
(sunnatullah). Hukum alam tidak bertentangan dengan Islam yang
sebenarnya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan modern yang
berdasarkan hukum alam, dan Islam yang sebenarnya berdasarkan
wahyu adalah dua hal yang tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan
modern, idealnya sesuai dengan islam. Saat ini yang mengalami
kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah Barat. Maka
untuk mencapai kemajuan seperti yang diraih di masa lampau (yang
sekarang telah hilang dan dimiliki Barat), umat Islam harus kembali
dan mempelajari serta menguasai ilmu pengetahuan; 5) Percaya
kepada kebebasan berkehendak dan bertindak (free-will and free-act)
seperti faham Qadariyah.47
c) Westernisme
Westernisme diartikan sebagai faham ke-Barat-Baratan atau
“berkiblat” ke Barat. Faham ini mengajak umat Islam untuk menerima
dan mengadopsi pengetahuan Barat dan semua yang berasal dari Barat.
Gerakan ini tumbuh dan berkembang di India, salah satu pusat politik
Islam (tempat kerajaan Mughal yang besar itu). Gerakan ini dipelopori
oleh Sir Ahmad Khan (1817-1989). Ia mendirikan Universitas Aligarh
untuk mengembangkan dan menyebarkan ide-idenya. Ide-ide dasarnya
sebenarnya memiliki kesamaan dengan ide-ide dasar yang disampaikan
oleh Muhammad Abduh. Hanya saja Ahmad Khan melihat bahwa umat
Islam India mengalami kemunduran karena tidak mengikuti
perkembangan zaman. Islam pernah mengalami kemajuan yang luar
47
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam..., hal. 66.
18
biasa pada masa klasik, tetapi peradaban dan kemajuan itu telah hilang.
Saat ini yang mengalami kemajuan adalah Barat.
Oleh karena itu menurutnya, umat Islam India akan mengalami
kemajuan jika bukan hanya mempelajari dengan Barat, tetapi
sebaiknya bekerja sama dengan Barat (Inggris). Dasar kekuatan Barat
adalah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk mengalami
kemajuan, maka umat Islam harus mempelajari dan menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Jalan yang harus ditempuh adalah
memperkuat hubungan dengan Barat (Inggris) dan mengambil
berbagai aspek kemajuan dan ketinggian yang ada di Barat.48
d) Sekularisme
Sekularisme tumbuh dan berkembang di Turki sebagai pusat politik
islam bekas wilayah Daulah Usmaniyyah (Turki-Usmani). Pelopornya
adalah Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938). Mustafa Kemal,
sebenarnya adalah seorang Nasionalis pengagum Barat. Ia
menginginkan Islam mengalami kemajuan. Oleh karena itu,
menurutnya perlu diadakan pembaharuan dalam agama untuk
disesuaikan dengan bumi Turki. Menurutnya, Islam adalah agama
rasional dan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Tetapi
agama rasional itu telah dirusak oleh para ulama. Ajaran Islam
memerlukan sekularisasi. Usaha sekularisasinya berpusat pada upaya
menghilangkan ulama dari kekuasaan Negara dan politik. Yang
difahami sebagai ulama adalah orang atau komunitas yang menguasai
syariat dan ajaran Islam serta menentukan masalah sosial, ekonomi,
hukum, politik, dan pendidikan.
Menurut Attaturk, negara harus dipisahkan dari agama. Inilah esensi
dari sekularisasi. Dengan pandangan Mustafa Kemal Attaturk tersebut,
ia berpendapat bahwa al-Quran perlu diterjemahkan ke dalam bahasa
Turki, adzan dan khutbah menggunakan bahasa Turki. Madrasah yang
sudah ketinggalan zaman ditutup, digantikan oleh fakultas “Ilahiyah”
yang mendidik imam shalat, khatib-khatib, dan mengembangkan
19
berbagai pembaharuan yang diperlukan. Pendidikan agama dan bahasa
Arab dihilangkan dari sekolah-sekolah. Nama-nama orang Turki harus
mengikuti nama-nama orang Eropa. Hukum syariat tentang
perkawinan diganti oleh hukum Barat (Swiss). Wanita mempunyai hak
cerai yang sama dengan kaum pria. Diandalkan hukum-hukum baru,
seperti hukum dagang, hukum pidana, hukum perdata, dan lain-lain
yang diambil dari hukum-hukum Barat.49
20
untuk kelompok pertama tidak terdapat ruang perbedaan pendapat, namun untuk
kelompok kedua sangat terbuka ruang perbedaan pendapat yang seluas-luasnya.
A. Qadri Azizy menafsirkan pendapat Syafi’i bahwa yang tidak boleh terjadi
perbedaan pendapat dari kelompok pertama dalam pandangan Syafi’i hanyalah
garis besar dari beberapa hal, sedangkan uraian detailnya juga terbuka ruang yang
lebar untuk terjadinya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini bisa terjadi
karena perbedaan analisis atau kesimpulan penelitiannya.52
Ibnu Buthlan (w. 450 H), seorang ahli kedokteran yang mengelompokkan
ulama yang wafat sekitar pertengahan abad kesebelas Masehi ke dalam tiga
kelompok berdasarkan cabang ilmu yang mereka tekuni; 1) Ilmu-ilmu
Keagamaan, 2) Ilmu-ilmu Klasik, dan 3) Ilmu-ilmu Sastra. 54 George Makdisi
melukiskan keharmonisan ketiga pembidangan ilmu di atas sebagai piramida
terbalik, atau dengan segi tiga sama kaki yang terbalik, di sebelah sudut kanan
atas adalah ilmu-ilmu keagamaan, di sebelah kirinya ilmu-ilmu awail seperti
filsafat dan di bawahnya ilmu-ilmu sastra yang menopang ilmu-ilmu di atasnya.55
52
A. Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi
Agama Islam Departemen Agama Islam RI, 2003), hal. 16.
53
Harun Nasution, Islam Rasional, hal. 317.
54
Mufiq Al-Din Abu l-Abbas Ahmad ibn al-Qasimi ibn Khalifat ibn Yunus Ibn Abi ‘Ushaibi’at,
‘Uyun al-Anba’ fi Thabaqat al-Atibba’, Ed. Nizar Ridla (Beirut: Dar Maktabah Al-Hayah, 1965),
Juz 1, hal 327.
55
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West
(Edinburgh: Edinburgh Unibersity Press, 1981), hal. 75.
21
Ibnu Khaldun (w.808 H) dalam bukunya, membuat dua pembagian besar,
yaitu ilmu yang diperoleh melalui pemikiran (thabi’i) dan ilmu yang diperoleh
melalui tradisi (naqli).56 Pertama disebut ilmu filsafat atau akal dan mencakup
logika, fisika, metafisika, ilmu hitung, geometri, musik dan astronomi. Kedua
disebut ilmu naqli yang mencakup tafsir, hadis, hukum, ilmu kalam, tasawuf dan
ilmu bahasa.
22
awail ke dalam kurikulum madrasah, penyebaran ilmu-ilmu ini harus bergantung
sepenuhnya pada usaha-usaha belajar perorangan.60 Hal ini kemudian disinyalir
sebagai pemicu sikap antipati dan kecaman terhadap ilmu-ilmu awail terutama
filsafat yang telah dicurigai oleh para teolog di abad kesebelas Masehi.61
E. Penutup
Ilmu Pengetahuan merupakan aspek terpenting dalam perkembangan
peradaban. Dalam Islam, ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian serius
sebagaimana terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi.
Pemaknaan dan pemahaman terhadap kedua sumber itu yang menyebabkan
perbedaan generasi umat Islam dari awal hingga sekarang. Interptreasi itu pulalah
yang menyebabkan gairah inteletual dalam lembaran sejarah peradaban Islam
mengalami fluktuasi.
23
merosot. Tidak ada lagi buah karya atau penemuan sains yang dihasilkan oleh
ilmuwan muslim. Perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat menurun. 3)
Periode Modern (1800 M – Sekarang), umat Islam mulai menyadari keterpurukan
dan ketertinggalannya utamanya dalam bidang sains dan teknologi. Spirit ini
melahirkan beberapa model gerakan pembaharuan dalam interpretasi dan
implementasi terhadap ajaran Islam. Secara umum, ada empat model gerakan
pembaharuan yang muncul; Wahabiyah, Modernisme, Westernisme dan
Sekularisme.
24
DAFTAR PUSTAKA
25
Christian and Muslims Together on The Way. Switzerland: The Lutheran
World Federation.
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press.
Nasution, Harun. 1992. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Nasution, Harun. 1994. Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Sayili. 1994. Sebab-Sebab Kemunduran Sains dalam Islam, dalam Majalah Al-
Hikmah 13.
Schroeeder, Ralph. 1992. Max Weber and The Sociology of Culture. London:
Sage.
Shihab, M. Quraish. 2013. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Sulaiman, Umar. 2012. Islam Kosmopolitan: Ikhtiar Pembumian Nilai-Nilai
Transenden-Humanis di Ruang Publik. Yogyakarta: Freshbooks.
Sunanto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta:
Rajawali Press.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Turner, Bryan S. 2005. Menggugat Sosiologi Sekuler, terjemahan Mudhofir.
Yogyakarta: Suluh Press.
Ushaibi’at, Mufiq Al-Din Abu l-Abbas Ahmad ibn al-Qasimi ibn Khalifat ibn.
1965. Yunus Ibn Abi ‘Uyun al-Anba’ fi Thabaqat al-Atibba’, Ed. Nizar
Ridla. Beirut: Dar Maktabah Al-Hayah.
26