Anda di halaman 1dari 66

1

SKENARIO 1

Kulit Bersisik dan Gatal

Seorang perempuan berusia 40 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan kulit


bersisik dan gatal serta kemerahan di daerah tengkuk dan pergelangan kaki yang
hilang timbul sejak 5 tahun yang lalu dan memberat sejak 2 minggu terakhir.
Pasien sering menggaruk lesi ketika gatal. Pasien sudah berobat tetapi tidak
kunjung sembuh. Dari pemeriksaan dermatologis didapatkan likenifikasi dan
hiperpigmentasi didaerah supraoksipitaldan pergelangan kaki, batas tegas, bentuk
ireguler, terdapat skuama dan ekskoriasi. Dokter melakukan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis dan memberikan obat yang sesuai serta
memberikan edukasi tentang penyakitnya.

STEP 1

1. Ekskoriasi : Kerusakan kulit hingga papilaris sehingga kulit tampak


merah disertai bintik-bintik perdarahan
2. Likenifikasi : Penebalan kulit sehingga garis-garis lipatan kulit tampak
lebih jelas
3. Skuama : Lapisan tanduk pada epidermis yang menumpuk pada
kulit yang diakibatkan perubahan inflamasi
4. Hiperpigmentasi : Suatu kondisi pada kulit yang disebabkan oleh
peningkatan melanin atau zat pewarna kulit

STEP 2

1. Apa saja etiologi dan faktor risiko kasus tersebut?


2. Mengapa pasien mengeluh bersisik, gatal dan kemerahan?
3. Mengapa pada pemeriksaan didapatkan likenifikasi, skuama, ekskoriasi?
4. Mengapa sudah diobati, tetapi keluhan masih saja timbul?
5. Penegakkan diagnosis sesuai kasus?
6. Penatalaksanaan sesuai kasus?
7. Bagaimana edukasi sesuai kasus?
2

8. Apa saja macam-macam UKK (Ujud Kelainan Kulit) dan mekanisme


patofisiologinya?

STEP 3

1. Etiologi : eksogen dan endogen


Faktor risiko : usia, jenis kelamin, obat-obatan, trauma
2. a) Bersisik : Kulit kering akibat penurunan cairan, kelembaban kadar
air di stratum korneum menurun
b) Kemerahan : reaksi inflamasi
3. a) Likenifikasi : karena kebiasaan menggaruk
b) Skuama : karena kornifikasi yang tidak sempurna
c) Ekskoriasi : karena trauma dermis
4. Karena kebiasaan menggaruk dan pengobatan tak adekuat
5. a) Anamnesis
b) Pemeriksaan Fisik
c) Pemeriksaan Penunjang
6. a) Antipruritus : antihistamin
b) Kortikosteroid
7. a) Menjaga higienitas
b) Menghindari faktor pencetus dan menggaruk
8. a) Primer : makula, papula, plak, nodul, vesikel, bula, fistul, kista
b) Sekunder : skuama, krusta, erosi, likenifikasi, ekskoriasi, ulkus,
sikatriks

STEP 4

1. a) Etiologi:
a. Eksogen : Bahan kimia
b. Endogen : dermatitis atopik

b)Faktor risiko: trauma, obat-obatan steroid

2. Mekanisme kulit bersisik:


3

Inflamasi → sejumlah sel pada lapisan basal akan respon → siklus


kreatinisasi ↑ → kulit di bagian inflamasi mengandung keratinosit 30x
lebih banyak → lapisan kulit memadat dan berkumpul → terlepasnya
lapisan stratum korneum di kulit → skuama/bersisik.
3. a) Ekskoriasi : garukan → garukan lebih dalam → tergores sampai ujung
papila dermis → terlihat darah yang keluar selain serum. Bisanya
disebabkan oleh hilangnya jaringan sampai stratum papilaris.
b) Skuama : cairan lemak diangkur ke epidermis → ruang interstisial
transdermal water loss → ada perbedaan tekanan stratum granulosum dan
stratum korneum (↑ air lebih rendah)
c) Likenifikasi : inflamasi → perubahan kolagen di superficialis
dermis → menebal.
4. Pengobatan yang tidak adekuat
5. Sasaran belajar
6. a) Antipruritus :
o antihistamin efek sedatif (hidroksan, difenhidramin, transqulizer)
o topikal krim doxepin 5% (max 8 hari)
b) Kortikosteroid
7. a) Pelembab secara rutin
b) Hindari faktor pencetus (sinar matahari, detergen, obat-obatan)
8. Sasaran belajar
4

MIND MAP

Patofisiologi Etiologi

Faktor
PENYAKIT KULIT Risiko
Lesi Kulit BERSISIK &GATAL

Primer Sekunder
Pendekatan
Tatalaksana diagnosis

STEP 5

1. UKK (Ujud Kelainan Kulit)


2. Macam penyakit kulit bersisik dan gatal beserta penegakkan diagnosis
serta penatalaksanaan komprehensif.

STEP 6

Belajar Mandiri

STEP 7

1. Ujud Kelainan Kulit


A. Ruam Kulit Primer
Merupakan ruam yang timbul pertama kali dan tidak
dipengaruhi trauma, manipulasi, regresi alamiah.(Siregar,2005)
1) Makula adalah Eflorensi primer yang hanya berupa perubahan
warna kulit tanpa perubahan bentuk. Merupakan lesi datar,Secara
jelas terlihat sebagai daerah dengan warna yang berbeda dengan
jaringan sekitarnya atau membran mukosa.Makula tidak dapat
dipalpasi. Bentuknya bervariasi dan pinggirnya tidak jelas.
Makuloskuamosa merupakan istilah baru untuk menggambarkan
5

makula yang tidak dapat dipalpasi,yang hanya dapat jelas terlihat


setelah dibuat goresan ringan.(Linuwih,2015)
Contoh : Tinea versikolor. Makula Hiperpigmentasi terjadi karena
peningkatan sekresi melanin. Makula Hipopigmentasi terjadi
karena penurunan atau tidak adanya sintesis melanin. Makula
eritem terjadi karena dilatasi pembuluh darah, ekstravasasi sel-sel
darah merah ke permukaan kulit.(Siregar,2005)

Gambar 1.1 Makula

(Siregar,2005).

Eritema adalah makula yang berwarna merah. Contoh :


dermatitis, lupus. Patomekanisme terjadinya bintul merah pada
kulit dapat dijelaskan dengan respon imun yang melibatkan
peranan limfosit, langerhans epidermal, eosinofil, dan IgE secara
global. mekanisme timbulnya reaksi radang tergantung pada IgE
sudah terpapar dengan alergen, sel mast yang permuakaannya
mengandung IgE akan mengeluarkan beberapa mediator, sitokin,
dan faktor kemotaktik leukosit (immediate reaction) setelah itu
timbul late cphase reaction (LPR) yang juga dipengaruhi oleh IgE
dan ditandai dengan timbulnya beberapa molekul adhesi pada
6

endotel pembuluh darah sehingga menimbulkan infiltrat sel


eosinofil, netrofil, sel mononuklear ke jaringan setempat yang
akan menimbulkan reaksi radang IL-1 dan TNF-a berperan
timbulnya molekul ELAM-1, ICAM-1, dan VCAM-1 sehingga
terjadinya infiltrasi sel leukosit ke jaringan yang meradang
tersebur, sehingga mengakibatkan bertambahnya sel radang di
tempat tersebut. Selain itu, didapatkan pula adanya korelasi
peningkatan jumlah VCAM-1 dengan jumlah sel eosinofil
termasuk MBP, EPO, ECP dan disimpulkan bahwa ekspresi
VCAM-1 akan meningkatkan pengumpulan dan infiltrat sel-sel
eosinofil ke tempat radang. Faktor pelepasan histamin ditemukan
untuk mengaktivasi basofil melalui peningkatan IgE. Jadi penderita
yang hipersensitif terhadap makanan dan terpajan untuk
memproduksi antigen sitokin (faktor pelepasan histamin) interaksi
dengan IgE akan mengikat pada permukaan basofil dan
menyebabkan terjadinya pelepasan histamin. Proses inflamasi
terjadi saat mediator histamin dilepaskan ketika antigen memasuki
area kulit yang spesifik. Secara lokal, histamin yang dilepaskan
akan menimbulkan vasodilatasi yang menginduksi timbulnya
kemerahan dan peningkatan permeabilitas kapiler setempat
sehingga dalam beberapa menit kemudian akan terjadi
pembengkakan pada area yang berbatas jelas.(Siregar,2005)

Gambar 1.1. eritema


7

(Siregar,2005).

2) Papula Penonjolan diatas permukaan kulit,sirkumskrip,berukuran


diameter lebih kecil dari 0,5 cm, dan berisikan zat padat. Warna
papula dapat merah akibat peradangan,pucat,hipokrom,putih atau
seperti kulit sekitar. (Linuwih,2015)

Gambar 1.2 Papula


(Klaus,2009)
Beberapa infiltrat mempunyai warna sendiri yang biasanya
baru terlihat setelah eritema yang timbul bersamaan ditekan dan
hilang (lupus,sifilis).Letak papul dapat epidermal atau kutan.
(Linuwih,2015)
3) Nodus adalah massa padat sirkumskrip, terletak di kutan atau
subkutan, dapat menonjol. Contoh : Prurigo. Terjadi sebagai akibat
edema dermis bagian atas oleh ekstravasasi cairan
intravaskuler(Siregar,2005). Massa padat sirkumskrip,
terletakdikutan dan subkutan, dapat menonjol, jika diameternya
lebih kecil dari pada 1 cm disebut nodulus. Nodul lebih padat
konsistensinya daripada papul.(Linuwih,2015)
8

Gambar 1.3. Nodula(Siregar,2005).


4) Vesikula adalah gelembung yang berisi cairan serum, beratap,
mempunyai dasar dengan diameter < 1 cm misalnya pada varisela,
herpes zoster. Ini terjadi karena plasma bocor dari pembuluh
darah mengisi ruang epidermis sehingga terjadi penumpukan
cairan(Siregar,2005).

Gambar 1.4. Vesikula


(Siregar,2005).
5) Bula adalah vesikel dengan diameter > 1 cm, misal pada pemfigus,
luka bakar. Jika vesikel/bula berisi darah disebut vesikel/bula
hemaragik . Jika bula berisi nanah disebut bula purulen. Ini terjadi
karena plasma bocor dari pembuluh darah mengisi ruang
epidermis sehingga terjadi penumpukan cairan(Siregar,2005).
9

Gambar 1.5 Bula


(Siregar,2005).
6) Pustula adalah vesikel berisi nanah, seperti pada variola, varisela,
psoriasis pustulosa. Vesikula berisi sel inflamasi dengan tipe
bervariasi dan lokasinya didalam epidemis. Pustula infeksi
bakterial superfisial pada umumnya mengandung neutrofil
berdegenerasi dan bakteri cocoid dan sering terdapat dibawah
stratum korneum. Pada kasus hipersensitivitas ekstoparasit,
pamfigus foliaseus, plug eosinofilk kucig, pustula sering berisi
eosinofil. Pustula pemfigus foliaseus terdapat subkorneal dan
mengandung sel akantolitik. Vesikula mengandung lmfosit
neoplastik ditekan pada limfoma epidermotropik(Siregar,2005).
Gambar 1.6 Pustula

(Klaus,2009).
10

7) Urtika adalah penonjolan di atas kulit akibat edema setempat dan


dapat hilang perlahan-lahan, misalnya pada dermatitis
medikamentosa dan gigitan serangga. Terjadi akibat
edem/pembengkakan yang dihasilkan oleh kebocoran plasma
melalui dinding pembuluh darah dibagian atas
dermis(Siregar,2005).

Gambar 1.7 urtrika


(Klaus,2009).
8) Kista adalah penonjolan di atas permukaan kulit berupa kantong
yang berisi cairan serosa atau padat atau setengah padat, seperti
pada kista epidermoid. Kebanyakan kista epidermoid terbentuk
ketika sel-sel ini bergerak lebih jauh ke dalam kulitdan
berkembang berkali lipat lebih banyak daripada sel yang
mengelupas. Sel-sel epidermis membentuk dinding kista dan
kemudian mengeluarkan protein keratin ke bagian dalam kulit.
Keratin adalah zat kuning tebal yang kadang-kadang mengalir dari
kista. Pertumbuhan abnormal dari sel mungkin terjadi karena
folikel rambut yang rusak atau kelenjar minyak di
kulit(Siregar,2005). Ruangan berdinding dan berisi cairan sel,
maupun sisa sel. Kista terbentuk bukan akibat peradangan,
walaupun kemudian dapat meradang. Dinding kista merupkan
selaput yang terdiri atas jaringan ikat dan biasanya dilapisi sel
epital atau endotel. Kista terbentuk dari kelenjar yang melebar dan
tertutup, saluran kelenjar, pembuluh darah,saluran getah bening
11

atau lapisan epidermis. Isi kista terdiri atas hasil dindingnya, yaitu
serum,getahbening,sebum,sel-sel epital,lapisan tanduk dan rambut.
(Linuwih,2015)

Gambar 1. 8 Kista
(Klaus,2009)

9) Plak (plaque)
Plak Peninggian diatas permukaan kulit, permukaannya rata
dan berisi zat padat (biasanya infiltrat), diameternya 2 cm atau
lebih. Contohnya papul yang melebar atau papul-papul yang
berkonfluensi pada psoriasis.(Linuwih,2015)
Gambar 1. 9 Plak

(Klaus,2009)
12

B. Lesi kulit sekunder

Merupakan lesi kulit seiring dengan perjalanan penyakit, bisa


disebabkan oleh diri sendiri misalnya garukan

1) Sikatriks/scar adalah jaringan ikat yang menggantikan epidermis


dan dermis yang sudah hilang. jaringan ikat ini dapat lebih cekung
dari kulit sekitarnya (sikatriks atrofi), dapat lebih menonjol
(sikatriks hipertrofi), dan dapat normal (uetrofi/luka sayat).
sikatriks tampak licin, garis kulit dan adneksa hilang. Terjadi
karena proliferasi jaringan fibrosa digantikan oleh jaringan kolagen
setelah terjadinya luka atau ulserasi (Siregar,2005).

Gambar 1.10 Scar


(Klaus, 2009)
2) Erosi adalah kerusakan kulit sampai stratum spinosum. kulit
tampak menjadi merah dan keluar cairan serosa, misalnya pada
dermatitis kontak. Terjadi karena adanya trauma sehinggga terjadi
pemisahan lapisan epidermis dengan laserasi rupture vesikel atau
bula dan nekrosis epidermal.
13

Gambar 1.11 Erosi


(Klaus, 2009).

3) Krusta adalah onggokan cairan darah, nanah, kotoran, dan obat


yang sudah mengering diatas permukaan kulit misal impetigo
krustosa. Krusta dapat berwarna hitam, merah atau coklat. Terjadi
karena ketika papul, pustule, vesikel bulla mengalami rupture atau
pecah cairan atau bahan-bahan yang terkandung di dalamnya akan
mengering. Cairan tubuh yang mengering diatas kulit. Dapat
bercampur dengan jaringan nekrotik, maupun benda asing
(kotoran,obat dan sebagainya). Warnanya ada beberapa macam :
kuning muda berasal dari serum,kuning kehijauan berasal dari
pus,dan kehitaman berasal dari darah.(Linuwih,2015)

Gambar 1.12 Krusta


(Klaus,2009)
14

4) Skuama adalah lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit.


Skuama disebut halus (pitiriasis) akan tampak bila dilakukan
kerokan atau peregangan kulit umumnya mirip taburan tepung atau
bedak, sedangkan skuama kasar bila langsung dapat dilihat dengan
mata biasa. Skuama dapat berwarna putih atau coklat kehitaman,
kering atau berminyak (oleosa). Skuama yang mirip lembaran
kertas disebut lamelar. Skuama jenis lain, misalnya skuama
berlapis-lapis pada psoriasis, iktiosiformis (mirip sisik ikan),
membranosa atau eksfoliativa (lembaran-lembaran) dan keratotik
(terdiri atas zat tanduk). Skuama yang berbentuk melingkar disebut
kolaret (Siregar,2005).

Gambar 1.13 Skuama

(Siregar,2005).
15

5) Ulkus adalah hilangnya jaringan yang lebih dalam dari ekskoriasi.


Ulkus dengan demikian mempunyai tepi, dinding, dasar dan isi.
Gambar 1.14 Ulkus

(Klaus, 2009)
6) Likenifikasi adalah penebalan kulit sehingga garis-garis lipatan
kulit tampak lebih jelas. Terjadi karena perubahan kolagen pada
bagian superficial dermis menyebabkan penebalan kulit.

Gambar 1.15 Likenifikasi


(Siregar,2005).
7) Eksoriasi adalah kerusakan kulit sampai ujung stratum papilaris
sehingga kulit tampak merah disertai bintik-bintik perdarahan.
ditemukan pada dermatitis kontak dan ektima. Terjadi karena
16

adanya lesi yang gatal sehingga di garuk dan dapat menyebabkan


perdarahan.

Gambar 1.16 Eksoriasi


(Siregar,2005).

8) Atrofi adalah pengurangan ukuran sel, organ atau bagian tubuh


tertentu. Terjadi karena penurunan jaringan ikat retikuler dermis
sehingga menyebabkan penekanan permukaan kulit yang
reversible.

Gambar 1.17 Atrofi


(Klaus, 2009).
17

2. Macam penyakit kulit bersisik dan gatal beserta penegakkan diagnosis serta
penatalaksanaan komprehensif.
1) Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang
disebabkan oleh faktor eksternal, substansi-substansi partikel yang
berinteraksi dengan kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu
dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat
bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2015).

a. Dermatitis Kontak Alergi


Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit)
yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi
(Siregar, 2004).
 Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling
sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000
Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul
dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan
luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari
tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami
sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya
poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung
urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl
cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam),
potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),
formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),
mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin
(cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).
18

 Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi.
Misalnya antara lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2015):
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2015):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya
mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena
alergi nickel (Thysen, 2009).
4) Status higinie dan gizi

Seluruh faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang


masing-masing dapat memperberat penyakit atau memperingan.Sebagai
contoh, saat keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus
higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup, maka potensi
sensitisasi allergen akan tereduksi dari potensi yang seharusnya. Sehingga
19

sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan perbaikan bila
dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang
rendah. Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan
kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit
terganggu, misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).

 Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara
berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia
yang sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat
sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus
lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan
membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang
terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening
yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali
konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan.
Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang
sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya
sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh
limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan
fase elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini
akan melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα,
leukotrien, IFNγ, dan sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang
mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan
menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama seperti
dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh
alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan
beberapa tahun (Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus,
kemerahan dan penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya
20

vesikel-vesikel yang relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang


mula-mula tampak nyata dan jika mengenai wajah, genitalia atau
ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan sel-sel
lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang
berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki
rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).

Skema Patogenesis DKA

Kontak Dengan Alergen


secara Berulang

Alergen kecil dan larut


dalam lemak disebut
hapten IL-1, ICAM-1, LFA-3,B-7,
MHC I dan II

Sel langerhans
Menembus lapisan keluarkan sitokin
Sitokin akan
corneum
memproliferasi sel T
dan menjadi lebih
banyak dan memiliki
sel T memori
Difagosit oleh sel
Langerhans dengan
pinositosis
Sitokin akan keluar dari
getah bening

Hapten + HLA-DR
Beredar ke seluruh
tubuh

Membentuk antigen
Individu tersensitisasi

Fase Sensitisasi (I)


Dikenalkan ke limfosit
2-3 minggu
T melalui CD4
21

Fase Elitisasi (II)

24-48 jam

Pajanan ulang

Sel T memori

Aktivasi sitokin inflamasi


lebih kompleks

Respons klinis DKA

Proliferasi dan ekspansi


sel T di kulit
Faktor kemotaktik, PGE2
dan OGD2, dan leukotrien
B4 (LTB4) dan eiksanoid
IFN – γ → keratinosit → menarik → neutrofil, monosit
LFA -1, IL-1, TNF-α ke dermis

Eikosanoid (dari sel mast


Molekul larut (komplemen
dan keratinosit
dan klinin) → ke epidermis
dan dermis

Dilatasi vaskuler dan


peningkatan
permeabilitas vaskuler
22

Penegakan Diagnosis
a) Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat
dan pemeriksaan klinis yang teliti.Penderita umumnya mengeluh
gatal(Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu
ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat
pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang
pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang
diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami,
riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya
(Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada
beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).
Demografi dan riwayat Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pekerjaan pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,
paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.

Riwayat penyakit dalam Faktor genetik, predisposisi


keluarga

Riwayat penyakit Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-


sebelumnya obat yang digunakan, tindakan bedah

Riwayat dermatitis yang Onset, lokasi, pengobatan


spesifik

b) Pemeriksaan Fisik
23

Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi


dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan
penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel
2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam
tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya
dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk
melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen
(Sularsito, 2010).

Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).


Lokasi Kemungkinan Penyebab
Tangan Pekerjaan yang basah (‘Wet Work’) misalnya
memasak makanan (getah sayuran, pestisida)
dan mencuci pakaian menggunakan deterjen.
Lengan Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu
semen, dan tanaman.
Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada
di pakaian.
Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata).
Bibir Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Kelopak mata Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep
mata.
Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai
kacamata, obat topikal, gagang telepon.
Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat
warna pakaian.
Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet
(elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut
atau pewangi pakaian.
Genitalia Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di
tangan, parfum, kontrasepsi.
24

Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,
sepatu/sandal.

Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergisecara umum


dapat diamati beberapa ujud kelainankulitantara lain edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada
beberapa gambar berikut :

a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan


karena alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang
timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa
dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul,
vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.

b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada
bibir.
25

c. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab


dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal,
tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon.
Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta
bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis
pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada
emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada
dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak
kronik.Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian
leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan
plastik

d. Badan. Dermatitis kontak di badandapatdisebabkanolehtekstil,


zatwarnakancinglogam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen,
bahanpelembutataupewangipakaian. Dermatitis
kontakpadaperutkarenapasienalergipadakaretdari celananya.
Terlihatadanyaeritema yang berbatastegassesuaidengandaerah yang
terkenaalergen.
26

e. Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon, kondom,


pembalutwanitaalergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi,
deterjen.Dermatitis kontak yang terjadipadadaerah vulva
karenaalergipada cream yang mengandungneomisin, terlihat eritema

f. Paha dantungkaibawah. Dermatitis di


tempatinidapatdisebabkanolehtekstil, dompet, kunci (nikel), kaos
kaki nilon, obattopikal, semen, sepatu/sandal. Padagambar
dermatitis kontakalergi yang terjadikarenaQuaternium-
15,bahanpengawetpadapelembab.Kaki mengalamiskuama, krusta
27

Pemeriksaan Penunjang
a) Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis
banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI).
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan
untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi
(Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta
gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut
dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak
mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen,
hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila
pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi,
maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut
28

yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan


pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn
chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat
bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5
sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena
iritasi (Sularsito, 2010).

Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien


Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji
tempel (Sularsito, 2010):
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau
‘excited skin’ reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah
pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun
dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian
prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen
kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif
palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi
hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
29

3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca;


pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah
aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena
memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar
punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai
pembacaan terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap
penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan
(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam
ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel


dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas,
agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal.
Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):

1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)


2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)
30

T.R.U.E. Test®
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.

A. Hasil uji positif


terhadap picaridin
(KBR) 2,5%.

B. Hasil uji positif


terhadap methyl
glucose diolate
(MGD) 10%.

Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu


setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi.
Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara
respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak
lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah
96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk
melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi
(Sularsito, 2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah.
Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik
biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua,
berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe
crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi
tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).

b) Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang
didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
31

2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi,


kulit normal tidak perlu diikutsertakan.
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi
adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi
sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/
banyak, lebih baik biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan
jaringan subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan
fiksasi, misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya
menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-
Eosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein
dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X
volume jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan
hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal
dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi,


menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema
dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara
histologi tidak spesifik (Sularsito, 2010).
1) Epidermis (Sularsito, 2010):
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum
korneum.
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
32

c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini


ditandai dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan
spinosus.
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul
normal.
2) Dermis (Sularsito, 2010):
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema

Histopatologik dermatitis kontak alergi

Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal,


spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis
yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan
beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis(Sularsito,
2010).

3. Gold Standard Diagnosis


Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu
dilakukan uji tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di
punggung. Untuk melakukan uji tempel diperukan antigen standar
buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test.
33

Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa


bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal
dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada
sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau
walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh
karena itu, bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan
bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel
dengan bahan yang tidak diketahui (Sularsito, 2010).
a) Penatalaksanaan
1. Nonmedikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan
pendek serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan
infeksi (Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan
perhiasan, aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan
penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM)
sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09
mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak – anak untuk menghilangkan
rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali

2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari


34

3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika


(amoksisilin atau eritromisin) dengan dosis
3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Sumantri, dkk, 2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika
tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang berisiko terhadap paparan alergen
b) Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis
bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh
faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia)
(Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis
kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari
misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di
lingkungan penderita(Djuanda, 2005).
35

c) Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya
herpes simpleks.Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk
dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga menciptakan
lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula
menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah
warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen simplex
chronicus) (Bourke, et al., 2009).

b. Dermatitis Kontak Iritan


 Etiologi
Penyebab dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut deterjen, minyak pelumas, asam alkali dan serbuk
kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain di tentukan oleh ukuran molekul,
daya larut konsentrasi bahan tersebut dan vehikulum. Terdapat juga faktor
lain yaitu lama kontak, kekerapan, oklusi, gesekan dan trauma fisik. Faktor
individu juga turut berpengaruh, misalnya perbedaan ketebalan kulit di
berbagai tempat menyebabkan permeabilitas nya berbeda. (Sularsito,
2015)
 Faktor resiko
Usia anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi,
ras kulit hitam biasanya memiliki ketahanan lebih dibandingkan kulit
putih, jenis kelamin lebih banyak pada perempuan atau sedang mengalami
suatu penyakit kulit yang lain misalnya dermatitis atopik dapat
menyebabkan dermatitis iritan lebih mudah terjadi.(Sularsito, 2015)
 Patogenesis
Kelainan kulit oleh bahan iritan terjadi akibat kerusakan sel secara
kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi
keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat
kulit terhadap air.
36

Kebanyakan bahan iritan merusak membran lemak keratinosit,


namun sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom,
mitokondria atau komponen inti. Kerusakan membran mengaktifkan
fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat, diasilgliserida, platelet
activating factor dan inositida. Asam arakidonat akan diubah menjadi
prostalgladin dan leukotrien. Keduanya akan menginduksi vasodilatasi dan
meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga mempermudah transudasi
pengeluaran komplemen dan kinin, serta bertindak sebagai kemoatraktan
kuat untuk limfosit dan neutrofil serta mengaktifasi sel mast untuk
melepas histamin, leukotrin, prostalgladin dan platelet activating factor
sehingga terjadi perubahan vaskular.
Diasilgliserida dan second messegers lain menstimulasi ekspresi
gen dan sintesisprotein, misalnya IL-1 san GMCSF. IL-1 mengaktifkan sel
Thelper dan akan mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2,
yang mengakibatkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga mengeluarkan TNF-a,
suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan
granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut mengakibatkan gejala peradangan
klasik di tempat terjadinya kontak dengan kelainan berupa eritrema,
edema, panas, nyeri bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan
mengakibatkan kelainan kulit setelah berulangkali kontak yang dimulai
dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidassi menyebabkan
dasikasi sehingga kulit akan kehilangan fungsi sawarnya, hal tersebut akan
mempermudah kerusakan sel dilapisan kulit yang lebih dalam.(Sularsito,
2015)
Gejala Klinis
 Dermatitis kontak iritan Akut
Penyebabnya biasanya iritan kuat. Manifestasinya reaksi langsung
timbul berupa kulit yang terpajan terasa pedih, panas, rasa terbakar
37

kelainan yang mungkin terlihat berupa eritrema edema, bula dan mungkin
juga nekrosis. Tepi berbatas tegas dan pada umumnya asimetris.
 Dermatitis kontak iritan Akut lambat
Gejala timbul sama dengan DKI akut, akan tetapi baru terjadi
setelah 8 sampai 24 jam setelah kontak. Keluhan yang dirasakan pedih
keesokan harinya, gejala awal dapat terlihat eritema kemudian terjadi
vesikel atau bahkan nekrosis.
 Dermatitis kontak iritan kronik komulatif
Penyebabnya adalah iritan lemah namun berulang. Dapat berupa
komulatif dari bahan yang sama maupun berbeda. Kelainan baru terlihat
nyata stelah kontak berlangsung beberapa minggu atau bulan atau bahkan
bisa bertahun tahun kemudian.
Gejala klasik berupa kulit kering, disertai eritrema, skuama, yang lambat
laun kulit menjadi tebal dengan likenifikasi yang difus. Bila kontak terus
berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisura), misalnya
pada tumit. DKI komulatif sering berhubungan dengan pekerjaan.
 Dermatitis kontak iritan traumatik
Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau
laserasi. Gejala klinis menyerupai dermatitis numularis, penyembuhan
berlangsung lambat, paling cepat 6 minggu. Lokasi tersering di tangan.
 Dermatitis kontak iritan non-eritematosa
DKI non-eritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, yang
ditandai dengan perubahan fungsi sawar (stratum korneum) tanpa disertai
kelainan klinis.
 Dermatitis kontak iritan subjektif
Disebut juga DKI sensori, karena kelainan kulit tidak terlihat
namun pasien merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar setelah
berkontak dengan bahan kimia tertentu.(Sularsito, 2015)
Penatalaksanaan
Upaya penatalaksanaan terpenting adalah menghindari pajanan dri bahan
iritan yang menjadi penyebab, serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila
38

diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal,


misal hidrokortison atau untuk kronis dapat diberikan kortikosteroid potensi kuat.
(Sularsito, 2015)
2) Psoriasis
 Etiologi
Psoriasis merupakan penyakit kulit kronis inflamatorik dengan faktor
genetik yang kuat, dengan ciri gangguan perkembangan dan diferensiasi
epidermis, abnormalitas pembuluh darah, faktor imunologis dan
biokimiawi, serta fungsi neurologis. Penyebab dasarnya belum diketahui
pasti. Dahulu diduga berkaitan dengan gangguan primer keratinosit,
namun berbagai penelitian telah mengetahui adanya peran imunologis.
(Gudjohnsen, 2008). Bila kedua orang tua mengidap psoriasis, risiko
seseorang mendapat psoriasis adalah 41%, 14% bila hanya dialami oleh
salah satunya, 4% bila 1 orang saudara kandung terkena, dan turun
menjadi 2% bila tidak ada riwayat keluarga. Psoriasis Susceptibility 1 atau
PSORS1 (6p21.3) adalah salah satu lokus genetik pada kromosom yang
berkontribusi dalam patogenesis psoriasis. Beberapa alel HLA yang
berkaitan adalah HLA B13 dan HLA DQ9. HLA Cw6 merupakan alel
yang terlibat dalam patogenesis artritis psoriatika serta munculnya lesi
kulit yang lebih dini. HLA Cw6 akan mempresentasikan antigen ke sel T
CD 8+. (Gudjohnsen, 2008)
 Patofisiologi
Lesi kulit psoriasis melibatkan epidermis dan dermis (Stern, 2007).
Terdapat penebalan epidermis, disorganisasi stratum korneum akibat
hiperproliferasi epidermis dan peningkatan kecepatan mitosis, disertai
peningkatan ekspresi intercellular adhesion molecule 1 (ICAM 1) serta
abnormalitas diferensiasi sel epidermis. (Stern, 2007)
39

Gambaran histopatologisnya antara lain elongasi rete ridges,


parakeratosis, serta infi ltrasi berbagai sel radang. Sel T CD 3+ dan CD 8+
dapat ditemukan di sekitar kapiler dermis dan epidermis. Sel dendritik CD
11c+ biasanya ditemukan di dermis bagian atas. Invasi sel CD 8+ ke
epidermis berkaitan dengan munculnya lesi kulit(Gudjohnsen, 2008).
Aktivasi sel T terutama dipengaruhi oleh sel Langerhans. Sel T serta
keratinosit yang teraktivasi akan melepaskan sitokin dan kemokin, dan
menstimulasi infl amasi lebih lanjut. Selain itu, kedua komponen ini akan
memproduksi tumor necrosis factor α (TNF α), yang mempertahankan
proses infl amasi. Oleh karena itu, psoriasis bukan hanya disebabkan oleh
autoimunitas terkait sel limfosit T seperti teori terdahulu, tetapi melibatkan
proses yang lebih kompleks termasuk abnormalitas mikrovaskuler dan
keratinosit. (Stern, 2007)
40

Penegakkan diagnosis

a) Anamnesis
Salah satu hal yang pertama kali penting ditanyakan adalah
onset penyakit dan riwayat keluarga, karena onset dini dan riwayat
keluarga berkaitan dengan tingginya ekstensi dan rekurensi penyakit.
Selain itu, tentukan apakah lesi merupakan bentuk akut atau kronis,
serta keluhan pada persendian, karena kemungkinan artritis psoriatika
pada pasien dengan riwayat pembengkakan sendi sebelum usia 40
tahun. (Gudjohnsen, 2008)

(Gudjohnsen, 2008)
Lesi kronis cenderung stabil berbulan-bulan hingga bertahun-tahun,
sedangkan dalam bentuk akut, lesi dapat muncul mendadak dalam
beberapa hari. Kemungkinan relaps juga bervariasi antar individu. Pasien
yang sering relaps biasanya memiliki lesi yang lebih berat, cepat meluas,
41

melibatkan area tubuh yang lebih luas, sehingga terapi harus lebih agresif.
(Gudjohnsen, 2008)
b) Manifestasi klinis
Psoriasis merupakan penyakit inflamatorik kronik dengan
manifestasi klinis pada kulit dan kuku.(Stern, 2007) Lesi kulit biasanya
merupakan plak eritematosa oval, berbatas tegas, meninggi, dengan
skuama berwarna keperakan, hasil proliferasi epidermis maturasi
prematur dan kornifi kasi inkomplet keratinosit dengan retensi nuklei
di stratum korneum (parakeratosis). Meskipun terdapat beberapa
predileksi khas seperti pada siku, lutut, serta sakrum, lesi dapat
ditemukan di seluruh tubuh. Gambaran klinis lain yang dapat
menyertai adalah artritis psoriatika pada sendi interfalang jari tangan,
distrofi kuku, dan lesi psoriatik nail bed. (Nestle, 2009)
1) Lesi kulit
Lesi klasik psoriasis adalah plak eritematosa berbatas tegas, meninggi,
diselubungi oleh skuama putih. Lesi kulit cenderung simetris,
meskipun dapat unilateral. (Gudjohnsen, 2008)
Klasifikasi Lesi Kulit
a) Psoriasis Vulgaris/Tipe Plakat Kronis/ Chronic Stationary
Psoriasis
Merupakan bentuk tersering (90% pasien), dengan karakteristik
klinis plakat kemerahan, simetris, dan berskuama pada ekstensor
ekstremitas.
42

b) Psoriasis Gutttata
Guttata berasal dari bahasa Latin “Gutta” yang berarti “tetesan”,
dengan lesi berupa papul kecil (diameter 0,5-1,5 cm) di tubuh
bagian atas dan ekstremitas proksimal.

c) Psoriasis inversa
Pada tipe ini muncul di lipatan-lipatan kulit seperti aksila,
genitokruris, serta leher. Lesi biasanya berbentuk eritema
mengkilat berbatas tegas dengan sedikit skuama, disertai gangguan
perspirasi pada area yang terkena.

d) Psoriasis eritrodermik
Tipe ini mengenai hampir seluruh bagian tubuh, dengan
efloresensi utama eritema. Skuama tipis, superfi sial, tidak tebal,
serta melekat kuat pada permukaan kulit di bawahnya seperti
psoriasis pada umumnya, dengan kulit yang hipohidrosis. Risiko
hipotermia sangat besar karena vasodilatasi luas pada kulit.4
43

e) Psoriasis pustular
Psoriasis pustular memiliki beberapa variasi secara klinis seperti
psoriasis pustular generalisata (Von Zumbuch), psoriasis pustular
annular, impetigo herpetiformis, dan psoriasis pustular lokalisata
(pustulosis palmaris et plantaris dan akrodermatitis kontinua).

f) Psoriasis linear
Bentuk yang jarang. Lesi kulit berupa lesi linear terutama di
tungkai, kadang muncul sesuai dermatom kulit tungkai. Kadang
merupakan bentuk dari nevus epidermal infl amatorik linear
verukosa.

Gambar Manifestasi Klinis di Berbagai Organ


(Gudjohnsen, 2008)
1) Kuku
44

Perubahan kuku muncul pada sekitar 40% pasien dengan psoriasis.


Lekukan kuku (nail pitting) merupakan gambaran yang paling sering
muncul, pada berbagai jari kecuali jempol. Deformitas kuku lainnya
akibat kerusakan matriks kuku adalah onikodistrofi (kerusakan
lempeng kuku), crumbling nail, serta titik kemerahan pada lunula.
2) Geographic tongue
Geographic tongue atau benign migratory glossitis merupakan kelainan
idiopatik yang berakibat hilangnya papil fi liformis lidah. Lesi
biasanya berupa bercak eritematosa berbatas tegas menyerupai peta
dan berpindah-pindah.
3) Artritis psoriatika
Merupakan bentuk klinis psoriasis ekstrakutan yang paling sering
muncul, pada sekitar 40% pasien psoriasis. Terkait kuat dengan faktor
genetik.
A. Tatalaksana
Tatalaksana psoriasis adalah terapi supresif, tidak menyembuhkan secara
sempurna, bertujuan mengurangi tingkat keparahan dan ekstensi lesi
sehingga tidak terlalu mempengaruhi kualitas hidup pasien. (Gudjonhsen,
2008)

Terapi Topikal
1) Kortikosteroid
Glukokortikoid dapat menstabilkan dan menyebabkan translokasi
reseptor glukokortikoid. Sediaan topikalnya diper gunakan sebagai lini
pertama pengobatan psoriasis ringan hingga sedang di area fl eksural
dan genitalia, karena obat topikal lain dapat mencetuskan iritasi.
2) Vitamin D3 dan analog
Setelah berikatan dengan reseptor vitamin D, vitamin D3 akan
meregulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel, mempengaruhi fungsi
imun, menghambat proliferasi keratinosit, memodulasi diferensiasi
epidermis, serta menghambat produksi beberapa sitokin pro-infl amasi
45

seperti interleukin 2 dan interferon gamma. Analog vitamin D3 yang


telah digunakan dalam tatalaksana penyakit kulit adalah calcipotriol,
calcipotriene, maxacalcitrol, dan tacalcitol.
3) Anthralin
Dithranol dapat digunakan untuk terapi psoriasis plakat kronis, dengan
efek antiproliferasi terhadap keratinosit dan antiinfl amasi yang poten,
terutama yang resisten terhadap terapi lain. Dapat dikombinasikan
dengan phototherapy UVB dengan hasil memuaskan (regimen
Ingram).
4) Tazarotene
Merupakan generasi ketiga retinoid yang dapat digunakan secara
topikal untuk mereduksi skuama dan plak, walaupun efektivitasnya
terhadap eritema sangat minim. Efi kasinya dapat ditingkatkan bila
dikombinasikan dengan glukokortikoid potensi tinggi atau
phototherapy.
5) Inhibitor calcineurin topikal
Takrolimus (FK 506) merupakan antibiotik golongan makrolid yang
bila berikatan dengan immunophilin (protein pengikat FK506),
membentuk kompleks yang menghambat transduksi sinyal limfosit T
dan transkripsi interleukin 2. Meskipun takrolimus tidak efektif dalam
pengobatan plak kronis psoriasis, namun terbukti efektif untuk Gambar
6. Gambaran klinis dan histopatologis psoriasis psoriasis fasialis dan
inversa.
6) Emolien
Emolien seperti urea (hingga 10%) sebaiknya digunakan selama terapi,
segera setelah mandi, untuk mencegah kekeringan pada kulit,
mengurangi ketebalan skuama, mengurangi nyeri akibat fi sura, dan
mengurangi rasa gatal pada lesi tahap awal.
Phototherapy
46

Phototherapy dapat mendeplesi sel limfosit T secara selektif, terutama di


epidermis, melalui apoptosis dan perubahan respons imun Th1 menjadi
Th2.
1) Sinar Ultraviolet B (290-320 nm)
Terapi UVB inisial berkisar antara 50-75% minimal erythema dose
(MED). Tujuan terapi adalah mempertahankan lesi eritema minimal
sebagai indikator tercapainya dosis optimal. Terapi diberikan hingga
remisi total tercapai atau bila perbaikan klinis lebih lanjut tidak
tercapai dengan peningkatan dosis.
2) Psoralen dan Terapi Sinar Ultraviolet A (PUVA)
PUVA merupakan kombinasi psoralen dan longwave ultraviolet A
yang dapat memberikan efek terapeutik, yang tidak tercapai dengan
penggunaan tunggal keduanya.
3) Excimer Laser
Diindikasikan untuk tatalaksana pasien psoriasis dengan plak
rekalsitran, terutama di bahu dan lutut.
4) Terapi Fotodinamik
Terapi fotodinamik telah dilakukan pada beberapa dermatosis infl
amatorik termasuk psoriasis. Meski demikian, terapi ini tidak terbukti
memuaskan.

Terapi Obat Sistemik


1) Metotreksat
Metotreksat (MTX) merupakan pilihan terapi yang sangat efektif bagi
psoriasis tipe plak kronis, juga untuk tatalaksana psoriasis berat jangka
panjang, termasuk psoriasis eritroderma dan psoriasis pustular. MTX
bekerja secara langsung menghambat hiperproliferasi epidermis
melalui inhibisi di hidrofolat reduktase. Efek antiinfl amasi disebabkan
oleh inhibisi enzim yang berperan dalam metabolisme purin.
47

2) Acitretin
Acitretin merupakan generasi kedua retinoid sistemik yang telah
digunakan untuk pengobatan psoriasis sejak tahun 1997. Monoterapi
acitretin paling efektif bila diberikan pada psoriasis tipe eritrodermik
dan generalized pustular psoriasis.
3) Siklosporin A
CsA per oral merupakan sangat efektif untuk psoriasis kulit ataupun
kuku, terutama pasien psoriasis eritrodermik.
4) Ester asam fumarat
Preparat ini diabsorbsi lengkap di usus halus, dihidrolisis menjadi
metabolit aktifnya, monometilfumarat, yang akan menghambat
proliferasi keratinosit serta mengubah respons sel Th1 menjadi Th2.
Terapi ini dapat diberikan jangka lama (>2 tahun) untuk mencegah
relaps ataupun singkat (hingga tercapai perbaikan).
5) Sulfasalazine
Merupakan agen terapi sistemik yang jarang digunakan untuk
tatalaksana psoriasis.
6) Steroid Sistemik
Steroid sistemik tidak rutin dalam tatalaksana psoriasis, karena risiko
kambuh tinggi jika terapi dihentikan. Preparat ini diindikasikan pada
psoriasis persisten yang tidak terkontrol dengan modalitas terapi lain,
bentuk eritroderma, dan psoriasis pustular (Von Zumbuch).
7) Mikofenolat Mofetil
Merupakan bentuk pro-drug asam miko fenolat, yaitu inhibitor inosin
5’ monophosphate dehydrogenase. Asam mikofenolat mendeplesi
guanosin limfosit T dan B serta menghambat proliferasinya, sehingga
menekan respons imun dan pembentukan antibodi.
8) 6-Thioguanin
Merupakan analog purin yang sangat efektif untuk tatalaksana
psoriasis. Efek samping yang sering adalah mual, diare, serta gangguan
fungsi hepar dan supresi sumsum tulang.
48

9) Hidroksiurea
Hidroksiurea merupakan anti-metabolit yang dapat digunakan secara
tunggal dalam tatalaksana psoriasis, tetapi 50% pasien yang berespons
baik terhadap terapi ini mengalami efek samping supresi sumsum
tulang (berupa leukopenia atau trombositopenia) serta ulkus kaki.
2)Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang bersifat kronik


residif disertai rasa gatal yang hebat serta eksaserbasi kronik dan remisi, dengan
etiologi yang multifactorial. Penyakit ini biasanya dihubungkan dengan penyakit
alergi lain seperti asma bronkial dan rhinokonjungtivitis alergi. (Djuanda, 2015)
a) Etiologi dan Patogenesis
Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya
sangat komplek ,tetapi terdapat beberapa faktor yang dianggap berperan
sebagai faktor pencetus kelainan ini misalnya faktor genetik, imunologik,
lingkungan dan gaya hidup, dan psikologi.
b) Faktor genetik
Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada penderita yang
mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya. Kromosom 5q31-33
mengandung kumpulan familygen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF,
yang diekspresikan oleh sel TH2. (Djuanda, 2015)
Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting dalam ekspresi
dermatitis atopik. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen IL-4
mempengaruhi presdiposisi dermatitis atopik.Ada hubungan yang erat antara
polimorfisme spesifik gen kimase sel mast dengan dermatitis atopik, tetapi
tidak dengan asma bronkial atau rhinitis alergik.
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa kelainan atopik lebih banyak
diturunkan dari garis keturunan ibu daripada garis keturunan ayah. Sejumlah
survey berbasis populasi menunjukkan bahwa resiko anak yang memiliki
atopik lebih besar ketika ibunya memiliki atopik, darip ada ayahnya. Darah
tali pusat IgE cukup tinggi pada bayi yang ibunya atopik atau memiliki IgE
49

yang tinggi, sedangkan atopik paternal atau IgE yang meningkat tidak
berhubungan dengan kenaikan darah tali pusat IgE. (Djuanda, 2015)
Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi
imunologik, yang diperantai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang.
Beberapa parameter imunologi dapat diketemukan pada dermatitis atopik,
seperti kadar IgE dalam serum penderita pada 60-80% kasus meningkat,
adanya IgE spesifik terhadap bermacam aerolergen dan eosinofilia darah serta
diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel langerhans
epidermal.Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara dermatitis
atopikdan alergi saluran napas, karena 80 % anak dengan dermatitis atopik
mengalami asma bronkial atau rhinitis alergik.
Pada individu yang normal terdapat keseimbangan sel T seperti Th1,
Th2, Th17, sedangkan pada penderita dermatitis atopik terjadi
ketidakseimbangan sel T. Sitokin Th2 jumlahnya lebih dominan
dibandingkan Th1 yang menurun. Hal ini menyebabkan produksi dari
sitokinTh 2 seperti interleukin IL-4, IL-5, dan IL-13 ditemukan lebih banyak
diekspresikan oleh sel-sel sehingga terjadipeningkatan IgE dari sel plasma
dan penurunan kadar interfero - gamma. Dermatitis atopik akut berhubungan
dengan produksi sitokin tipe Th2, IL-4 dan IL-13, yang membantu
immunoglobulin tipe isq berubah menjadi sintesa IgE, dan menambah
ekspresi molekul adhesi pada sel-sel endotel. Sebaliknya, IL-5 berperan
dalam perkembangan dan ketahanan eosinofil, dan mendominasi dermatitis
atopik kronis. (Djuanda, 2015)
Imunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan paparan
imunogen atau alergen dari luar yang mencapai kulit. Pada paparan pertama
terjadi sensitisasi, dimana alergen akan ditangkap oleh antigen presenting cell
untuk kemudian disajikan kepada sel limfosit T untuk kemudian diproses dan
disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC kelas II. Hal
ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenai alergen tersebut melalui T
cell reseptor. Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi
sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B
50

untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE. Setelah ada di sirkulasi IgE
segera berikatan dengan sel mast dan basofil.Pada paparan alergen berikutnya
IgE telah bersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara
alergen dengan IgE.Ikatan ini akan menyebabkan degranulasi sel mast .
Degranulasi sel mast akan mengeluarkan mediator baik yang telah tersedia
seperti histamine yang akan menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator
baru yang dibentuk seperti leukotrien C4, prostaglandin D2 dan lain
sebagainya.Sel langerhans epidermal berperan penting pula dalam
pathogenesis dermatitis atopik oleh karena mengekspresikan reseptor pada
permukaan membrannya yang dapat mengikat molekul IgE serta mensekresi
berbagai sitokin. (Djuanda, 2015)

Inflamasi kulit atopik dikendalikan oleh ekspresi lokal dari sitokin dan
kemokin pro - inflamatori. Sitokin seperti Faktor Tumor Nekrosis (TNF-α )
dan interleukin 1 (IL-1) dari sel-sel residen seperti keratinosit, sel mast, sel
dendritik mengikat reseptor \ pada endotel vaskular, mengaktifkan jalur sinyal
seluler yang mengarah kepada peningkatan pelekatan molekul sel endotel
vaskular. Peristiwa ini menimbulkan proses pengikatan, aktivasi dan
pelekatan pada endotel vaskular yang diikuti oleh ekstravasasi sel yang
meradang ke atas kulit. Sekali sel-sel yang inflamasi telah infiltrasi ke kulit,
sel-sel tersebut akan merespon kenaikan kemotaktik yang ditimbulkan oleh
kemokin yang diakibatkan oleh daerah yang luka atau infeksi.
Penderita dermatitis atopik cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri,
virus, dan jamur, karena imunitas seluler menurun (aktivitas TH1 menurun).
Staphylococcus aureus ditemukan lebih dari 90% pada kulit penderita
dermatitis atopik, sedangkan orang normal hanya 5%. Bakteri ini membentuk
koloni pada kulit penderita dermatitis atopik, dan eksotosin yang
dikeluarkannya merupakansuperantigen yang diduga memiliki peran
patogenik dengan cara menstimulasi aktivitas sel T dan makrofag. Apabila
ada superantigen menembus sawar kulit yang terganggu akan menginduksi
IgE spesifik, dan degranulasi sel mas, kejadian ini memicu siklus gatal
51

garuk yang akan menimbulkan lesi. Superantigen juga meningkatkan sintesis IgE
spesifik dan menginduksi resistensi kortikosteroid, sehingga memperparah
dermatitis atopik. (Djuanda, 2015)
Berbagai faktor lingkungan dan gaya hidup berpengaruh terhadap
pravelensi dermatitis atopik.Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada status
sosial yang tinggi daripada status sosial yang rendah.Penghasilan meningkat,
pendidikan ibu makin tinggi, migrasi dari desa ke kota dan jumlah keluarga kecil
berpotensi menaikkan jumlah penderita dermatitis atopik.
Faktor - faktor lingkungan seperti polutan dan alergen-alergen mungkin
memicu reaksi atopik pada individu yang rentan. Paparan polutan dan alergen
tersebut adalah:
1) Polutan : Asap rokok, peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas
ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban
udara, penggunaan pendingin ruangan.
2) Alergen:
 Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah, serbuk sari
buah, bulu binatang, jamur kecoa.
 Makanan: susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum.
 Mikroorganisme: Staphylococcus aureus,Streptococcus sp,
P.ovale, Candida albicans, Trycophyton sp.
 Bahan iritan: wool, desinfektans, nikel, peru balsam. (Djuanda,
2015)
4) Faktor Psikologi
Pada penderita dermatitis atopik sering tipe astenik, egois, frustasi, merasa
tidak aman yang mengakibatkan timbulnya rasa gatal. Namun demikian teori ini
masih belum jelas . (Djuanda, 2015)

Gambaran Klinis
Gejala klinis dan perjalanan dermatitis atopik sangat bervariasi,
membentuk sindrom manifestasi diatesis atopi. Gejala utama dermatitis atopik
ialah pruritus,dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat
52

pada malam hari.Akibatnya, penderita akan menggaruk sehingga timbul


bermacam-macam kelainan kulit berupa papul, likenifikasi, eritema,
erosi,eksoriasi, eksudasi, dan krusta.Kulit penderita dermatitis atopik umumnya
kering, pucat atau redup, kadar lipid di epidermis berkurang, dan kehilangan air
lewat epidermis meningkat .
Lesi akut pada dermatitis atopik berupa eritema dengan papul, vesikel,
edema yang luas dan luka akibat menggaruk.Sedangkan pada stadium kronik
berupa penebalan kulit atau yang disebut likenifikasi. Selain itu, dapat terjadi
fisura yang nyeri terutama pada fleksor,telapak tangan,jari dan telapak kaki.Pada
orang berkulit hitam atau coklat dapat ditemukan likenifikasi folikular. (Djuanda,
2015)

Gambar Dermatitis Atopik


(Djuanda 2015)
Diagnosis dermatitis atopik berdasarkan keluhan dan gambaran klinis.
Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan atas berbagai fenomena
klinis yang tampak, terutama gejala gatal.George Rajka menyatakan bahwa
diagnosis dermatitis atopik tidak dapat dibuat tanpa adanya riwayat gatal.
Hanifin Rajka telah membuat kriteria diagnosis untuk dermatitis atopik
yang didasarkan pada kriteria mayor dan minor yang sampai sekarang masih
banyak digunakan.
53

Kriteria Mayor
(Minimal harus ada 3 dari 4 tanda)
1)Pruritus (eksoriasi kadang terlihat)
2)Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
3)Dermatitis fleksura pada dewasa
4)Dermatitis kronis atau residif
5)Riwayat atopi pada penderita pada keluarganya

Kriteria Minor
(Ditambah 3 atau lebih kriteria minor)
1)Xerosis (kulit kering)
2)Infeksi kulit ( khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
3)Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
4)Iktiosis (khususnya hiperlinear palmaris atau pilaris keratosis)
5)Ptiriasis alba
6)Dermatitis di papilla mamae
7)White dermographism and delayed blanch response
8)Keilitis
9)Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
10)Konjungtivitis berulang
11)Keratokonus
12)Katarak subscapular anterior
13)Orbita menjadi gelap
14)Alergi makanan
15)Muka pucat atau eritem
16)Gatal bila berkeringat
17)Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
18)Aksentuasi perifolikuler
19)Hipersensitif terhadap makanan
20)Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi
54

Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis yang cocok untuk diagnosis berbasis rumah sakit
(hospital based) dan eksperimental,tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian
berbasis populasi karena kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok
kontrol, disamping itu belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk
pengulangan (repeatability).Dalam perkembangan selanjutnya seiring dengan
kemajuan di bidang imunologi maka untuk diagnosis dermatitis atopik mulai
dimasukkan uji alergi sebagai kriteria diagnosis. Pemeriksaan atau uji alergik
tersebut adalah uji tusuk (skin pricktest) terhadap bahan alergen inhalan dan
pemeriksaan IgE total didalam serum penderita. (Djuanda, 2015)
Uji tusuk merupakan suatu metode uji alergi yang banyak digunakan untuk
mendeteksi alergen yang melibatkan reaksi hipersensivitas tipe I pada kulit. Pada
reaksi hipersesivitas tipe I alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan
respon imun berupa produksi IgE. IgE akan terikat pada reseptor Fc sel mast
dikulit yang selanjutnya menyebabkan degranulasi sel mast . (Djuanda, 2015)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dermatitis atopik harus mengacu pada kelainan dasar ,


selain mengobati gejala utama gatal untuk meringankan penderitaan
penderita. Penatalaksanaan ditekankan padakontrol jangka waktu lama (long term
control), bukan hanya untuk mengatasi kekambuhan.
Pengobatan dermatitis atopik kronik pada prinsipnya adalah sebagai
berikut:
1. Menghindari bahan iritan
Penderita dermatitis atopik rentan terhadap bahan iritan yang
memicu dan memperberat kondisi seperti sabun, deterjen, bahan kimiawi,
rokok, pakaian kasar, suhu yang ekstrem dan lembab.Pemakaian sabun
hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan dengan PH
netral. Hindari sabun atau pembersih kulityang mengandung antiseptik
atau antibakteri yang digunakanrutin karena mempermudah resistensi,
kecuali bila ada infeksisekunde. Pakaian baru hendaknya dicuci terlebih
55

dahulu sebelum dipakaidengandeterjen untuk menghindari formaldehid


atau bahan kimia.Usahakan tidak memakai pakaian yang bersifat iritan
seperti wol atau sintetikyang menyebabkan gatal, lebih baik menggunakan
katun.Pemakaian tabir surya juga perlu untuk mencegah paparan sinar
matahari yang berlebihan. (Djuanda, 2015)

2. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti


Alergen yang telah terbukti sebagai pemicu kekambuhan harus
dihindari, seperti makanan (susu, kacang, telur, ikan laut, kerang laut dan
gandum), debu rumah, bulu binatang, serbuk sari, tanaman dan
sebagainya. (Djuanda, 2015)

3. Pengobatan Topikal
1) Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
Kulit penderita dermatitis atopik menunjukkan adanya
transepidermal water loss yang meningkat.Oleh karena itu hidrasi
penting dalam keberhasilan terapi, biasanya menggunakan pelembab.
Pemaikan pelembab dapat memperbaiki fungsi barier stratum korneum
dan mengurangi kebutuhan steroid topikal. Sebuah studi menunjukkan
bahwa pelembab mungkin mengurangi 50% kebutuhan pemakaian
kortikosteroid topikal.

2) Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal adalah yang paling banyak digunakan sebagai anti
inflamasi.Selain itu dapat berguna pada saat ekserbasi akut, anti pruritus dan
sebagai anti mitotik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hoare C, dkk
menggunakan kortikosteroid topikal pada 83 pasien dermatitis atopik dengan
menggunakan simple randomized controltrialshasil dari penggunaan
kortikosteroid topikal kurang dari satu bulan 80% menunjukkan pemulihan sangat
baik. (Djuanda, 2015)
56

Pada prinsipnya penggunaan steroid topikal dipilih potensi yang paling


lemah yang masih efektif, karena semakin kuat potensi semakin banyak efek
sampingnya.Potensi dari kortikosteroid topikal diklasifikasikan berdasarkan
potensi vasokontriksi pembuluh darah. (Djuanda, 2015)
3)Inhibitor kalsineurin topikal
Inhibitor kalsineurin topikal merupakan non-steroidal agen yang bekerja
melalui jalur immunologik baik menghambat atau meningkatkan reaksi imun dan
inflamasi. Inhibitor kalsineurin topikal terdiri atas takrolimus dan pimekrolimus.
Takrolimus adalah suatu penghambat kalsineurin yang bekerja untuk menghambat
aktivasi sel yang terlibat seperti sel langerhans, sel T, sel mast dan keratinosit.
Takrolimus dapat diberikan dalam bentuksalep 0.03% untuk anak-anak 2-15
tahundan untuk dewasa 0.03% dan 0.1%. Sedangkan pimekrolimus (ASM 81)
merupakan suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator golongan
makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces
hygroscopicusvar. Krim pimekrolimus dapat diberikan 1% untuk anak-anak > 2
tahun dengan dermatitis atopik ringan sedang. (Djuanda, 2015)

Pengobatan sistemik
1) Pemberian antihistamin
Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukup
memuaskan, membantu untuk mengurangi rasa gatal yang hebat terutama
pada malam hari. Karena dapat mengganggu tidur, antihistamin yang
dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin,
difenhidramindan sinequan.cetrizine dan fexofenadine telah diuji
keberhasilannya untuk mengatasi rasa gatal pada penderita dermatitis
atopik anak-anak dan dewasa. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan
doksepin hidroklorid yang mempunyai antidepresan dan memblokade
reseptor histamine H1 dan H2, dengan dosis 10-75mg secara oral malam
hari pada dewasa . (Djuanda, 2015)
57

2) Pemberian antibiotik
Pada penderita dermatitis atopik lebih dari 90% ditemukan
peningkatan koloni Staphylococcus aureus. Untuk yang belum resisten
dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau klaritomisin, sedang untuk
yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi
pertama sefalosporin. Apabila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes
simpleks, kortiko steroid dihentikan sementara dan diberikan oral
asiklovir. (Djuanda, 2015)
Meskipun kombinasi kortikosteroid topikal dan antibiotik
digunakan dalam terapi dermatitis atopik, tetapi tidak ada bukti yang baik
bahwa kombinasi keduanya memiliki manfaat yang lebih dibandi ngkan
pemakaian kortikosteroid topikal saja. (Djuanda, 2015)

4) Neurodermatitis Atopik
Neurodermatitis sirkumskripta atau juga dikenal dengan liken simpleks
kronis adalah penyakit peradangan kronis pada kulit, gatal, sirkumskripta, dan
khas ditandai dengan likenifikasi. Likenifikasi timbul sebagai respon dari kulit
akibat gosokan dan garukan yang berulang-ulang dalam waktu yang cukup
lama,  atau kebiasaan menggaruk pada satu area tertentu pada kulit sehingga
garis kulit tampak lebih menonjol menyerupai kulit batang
kayu. Secara histologis, karakteristik likenifikasinyaadalah akantosis dan
hyperkeratosis dan  secara klinis muncul penebalan dari kulit, utamanya pada
permukaan kulit. (Djuanda, 2015)
Gejala dan tanda yang khas seperti gatal, terlikenifikasi, dan
sirkumskripta yang dapat muncul di berbagai tempat dari tubuh merupakan
karakteristik dari liken simpleks kronik, yang juga dikenal sebagai
neuroderamtitis sirkumskripta. Penyakit ini memiliki  predileksi di punggung,
leher, dan ekstremitas terutama pergelangan  tangan dan lutut. 
Neurodermatitis sirkumskripta merupakan proses yang sekunder ketika
seseorang mengalami sensasi gatal pada daerah kulit yang spesifik dengan
atau tanpa kelainan kulit yang mendasar yang dapat mengakibatkan trauma
58

mekanis pada kulit yang berakhir dengan likenifikasi. Penyakit ini biasanya


timbul pada pasien dengan kepribadian yang obsessif, dimana selalu ingin
menggaruk bagian tertentu dari tubuhnya. Neurodermatitis sirkumskripta
jarang ditemukan pada anak-anak. Biasanya terjadi pada orang dewasa.
Puncaknya ditemukan antara umur 30 sampai 50 tahun. Lebih banyak
ditemukan pada wanita dibandingkan dengan pria. Insidens tertinggi
didapatkan pada bangsa ras Asia. 

a) Etiologi
Penyebab neurodermatitis sirkumskripta belum diketahui secara
pasti. Namun ada berbagai faktor yang mendorong terjadinya rasa gatal
pada penyakit ini, faktor penyebab dari neurodermatitis sirkumskripta
yaitu : 
 Lingkungan
Faktor lingkungan seperti panas dan udara yang kering dapat
berimplikasi dala menyebabkan iritasi yang dapat menginduksi gatal.
Suhu yang tinggi memudahkan seseorang berkeringat sehingga dpat
mencetuska gatal, hal ini biasanya menyebabkan neurodermatits
sirkumskripta pada daerah anogenital.
 Gigitan Serangga
Gigitan seranga dapat meyebabkan reaksi radang dalam tubuh
yang mengakibatkan rasa gatal.
 Dermatitis Atopik
Asosiasi antara neurodermatitis sirkumskripta dan gangguan
atopik telah banyak dilaporkan, sekitar 26% sampai 75% pasien
dengan dermatitis atopic terkena neurodermatits sirkumskripta. 
 Psikologis
Anxietas telah dilaporkan memiliki prevalensi tertinggi yang
mengakibatkan neurodermatitis sirkumsripta. Anxietas sebagai bagian
dari proses patologis dari lesi yang berkembang. Telah dirumuskan
bahwa neurotransmitter yang mempengaruhi perasaan, seperti :
59

dopamine, serotonin, atau peptide opioid, memodulasikan persepsi


gatal melalui penurunan jalur spinal. (Djuanda, 2015)

b) Patogenesis
Stimulus untuk perkembangan neurodermatitis sirkumskripta
adalah pruritus. Pruritus sebagai dasar dari gangguan kesehatan dapat
berhubungan dengan gangguan kulit, proliferasi dari nervus, dan tekanan
emosional. Pruritus yang memegang peranan penting dapat dibagi dalam
dua kategori besar, yaitu pruritus tanpa lesi dan pruritus dengan
lesi. Pasien dengan neurodermatitis mempunyai gangguan metabolik atau
gangguan hematologik. Pruritus tanpa kelainan kulit dapat ditemukan pada
penyakit sistemik, misalnya gagal ginjal kronik, obstruksi kelenjar
biliaris, Hodgkins lymphoma , polisitemia rubra vera,
hipertiroidisme, gluten-sensitive enteropathy, dan infeksi imunodefisiensi.
Pruritus yang disebabkan oleh kelainan kulit yang terpenting adalah
dermatitis atopik, dermatitis kontak alergi, dermatitis statis, dan gigitan
serangga. (Djuanda, 2015)
Pada pasien yang memiliki faktor predisposisi, garukan kronik
dapat menimbulkan penebalan dan likenifikasi. Jika tidak diketahui
penyebab yang nyata dari garukan, maka disebut neurodermatitis
sirkumskripta.Adanya garukan yang terus-menerus diduga karena adanya
pelepasan mediator dan aktivitas enzim proteolitik. Walaupun sejumlah
peneliti melaporkan bahwa garukan dan gosokan timbul karena respon
dari adanya stress. Adanya sejumlah saraf mengandung immunoreaktif 
CGRP (Calsitonin Gene-Related Peptida) dan SP (Substance Peptida)
meningkat pada dermis. Hal ini ditemukan pada prurigo nodularis, tetapi
tidak pada neurodermatitis sirkumskripta. Sejumlah saraf  menunjukkan
imunoreaktif somatostatin, peptide histidine, isoleucin, galanin, dan
neuropeptida Y, dimana sama pada neurodermatitis sirkumskripta, prurigo
nodularis dan kulit normal. Hal tersebut menimbulkan pemikiran bahwa
proliferasi nervus akibat dari trauma mekanik, seperti garukan dan
60

goresan. SP dan CGRP melepaskan histamin dari sel mast, dimana akan
lebih menambah rasa gatal. Membran sel schwann dan sel perineurium
menunjukkan peningkatan dan p75 nervus growth factor, yang
kemungkinan terjadi akibat dari hyperplasia neural. Pada papilla dermis
dan dibawah dermis alpha-MSH (Melanosit Stimulating Hormon)
ditemukan dalam sel endotel kapiler. (Djuanda, 2015)
c) Gejala Klinis
Gatal yang berat merupakan gejala dari liken simpleks kronik.
Gatal bias paroksismal, terus-menerus, atau sporadik. Menggosok dan
menggaruk mungkin disengaja dengan tujuan menggantikan sensasi gatal
dan nyeri, atau dapat secara tidak sengaja yang terjadi pada waktu tidur.
Keparahan gatal dapat diperburuk dengan berkeringat, suhu atau iritasi
dari pakaian. Gatal juga dapat bertambah parah pada saat terjadi stress
psikologis. (Djuanda, 2015)
Pada liken simpleks kronik, penggosokan dan penggarukan yang
berulang menyebabkan terjadinya likenifikasi (penebalan kulit dengan
garis-garis kulit semakin terlihat) plak yang berbatas tegas dengan
ekskoriasis, sedikit edematosa, lambat laun edema dan eritema
menghilang. Bagian tengah berskuama dan menebal, sekitarya
hiperpigmentasi, batas dengan kulit normal tidak jelas. Biasanya, hanya
satu plak yang tampak, namun dapat melibatkan lebih dari satu
tempat. (Djuanda, 2015)
Tempat yang biasa terjadi liken simpleks kronik adalah kulit
kepala, tengkuk leher (terutama pada wanita) pergelangan kaki, eksremitas
ekstensor, dan region anogenital. Daerah genital yang sering terkena
adalah labia mayora pada wanita dan skrotum pada laki-laki. Pada pasien
dengan eczema atopi, intervensi kulit lebih berlikenifikasi dan serotik.
Pada pasien non atopi, tana kutaneus dari penyakit sistemik atau
limfadenopati dapat terjadi. (Djuanda, 2015)
61

d) Pemeriksaan Penunjang
 Tes Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium tidak ada tes yang spesifik untuk
neurodermatitis sirkumskripta. Tetapi walaupun begitu, satu studi
mengemukakan bahwa 25 pasien dengan neurodermatitis sirkumskripta
positif terhadap patch test. Pada dermatitis atopik dan mikosis fungiodes
bisa terjadi likenefikasi generalisata oleh sebab itu merupakan indikasi
untuk melakukan patch test. Pada pasien dengan pruritus generalisata yang
kronik yang diduga disebabkan oleh gangguan metabolik dan gangguan
hematologi, maka pemeriksaan hitung darah harus dilakukan, juga
dilakukan tes fungsi ginjal dan hati, tes fungsi tiroid, elechtroporesis
serum, tes zat besi serum, tes kemampuan pengikatan zat besi (iron
binding capacity), dan foto dada. Kadar immunoglobulin E dapat
meningkat pada neurodermatitis yang atopik, tetapi normal pada
neurodermatitis nonatopik. Bisa juga dilakukan pemeriksaan potassium
hydroksida pada pasien liken simpleks genital untuk mengeleminasi tinea
cruris. (Djuanda, 2015)
 Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan diagnosis
neurodermatitis sirkumskripta adalah menunjukkan proliferasi dari sel
schwann dimana dapat membuat infiltrasi selular yang cukup besar. Juga
ditemukan neural hyperplasia.   Didapatkan adanya hiperkeratosis dengan
area yang parakeratosis, akantosis dengan pemanjangan rete ridges yang
irregular, hipergranulosis dan perluasan dari papillo dermis. Spongiosis
bisa ditemukan, tetapi vesikulasi tidak ditemukan. Papilomatosis kadang-
kadang ditemukan. Ekskoriasi, dimana ditemukan garis ulserasi punctata
karena adanya jaringan nekrotik bagian superficial papillary dermis. 
Fibrin dan neutrofil bisa ditemukan, walaupun keduanya biasanya
ditemukan pada penyakit dermatosis yang lain. Pada papillary dermis  
ditemukan peningkatan jumlah fibroblas. (Djuanda, 2015)
62

d) Diagnosis
Diagnosis untuk liken simpleks kronis dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pasien dengan
neurodermatitis sirkumskripta mengeluh merasa gatal pada satu daerah
atau lebih. Sehingga timbul plak yang tebal karena mengalami proses
likenifikasi. Biasanya rasa gatal tersebut muncul pada tengkuk, leher,
ekstensor kaki, siku, lutut, pergelangan kaki. Eritema biasanya muncul
pada awal lesi. Rasa gatal muncul pada saat pasien sedang beristirahat dan
hilang saat melakukan aktivitas dan biasanya gatal timbul intermiten.
(Djuanda, 2015)
Pemeriksaan fisis menunjukkan plak yang eritematous, berbatas
tegas, dan terjadi likenifikasi. Terjadi perubahan pigmentasi, yaitu
hiperpigmentasi. (Djuanda, 2015)
Pada pemeriksaan penunjang histopatologi didapatkan adanya
hiperkeratosis dengan area yang parakeratosis, akantosis dengan
pemanjangan rete ridges yang irregular, hipergranulosis dan perluasan dari
papil dermis. (Djuanda, 2015)

e) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari neurodermatitis sirkumskripta secara primer
adalah menghindarkan pasien dari kebiasaan menggaruk dan menggosok
secara terus-menerus. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
memotong kuku pasien, memberikan antipruritus, glukokortikoid topikal
atau intralesional, atau produk-produk tar, konsultasi psikiatrik, dan
mengobati pasien dengan cryoterapi, cyproheptadine, atau capsaicin.
(Djuanda, 2015)
 Steroid topikal
Merupakan pengobatan pilihan karena dapat mengurangi
peradangan dan gatal serta perlahan-lahan menghaluskan
hiperkeratosisnya. Karena lesinya kronik. Pentalaksanaannya biasanya
lama. Pada lesi yang besar dan aktif, steroid potensi sedang dapat
63

digunakan untuk mengobati inflamasi akut. Tidak direkomendasikan


untuk kulit yang tipis (vulva, skrotum, axilla dan wajah). Steroid
potensi kuat digunakan selama 3 minggu pada area kulit yang lebih
tebal.
 Clobetasol
Topical steroid super poten kelas 1: menekan mitosis dan
menambah sintesis protein yang mengurangi peradangan dan
menyebabakan vasokonstriksi.
 Betamethasone dipropionate cream 0,05%.
Untuk peradangan kulit yang berespon baik terhadap
steroid. Bekerja mengurangi peradangan dengan menekan migrasi
leukosit polimorfonuklear dan memeperbaiki permeabilitas kapiler.
 Triamcinolone 0,025 %, 0.1%, 0.5 % or ointment
Untuk peradangan kulit yang berespon baik terhadap
steroid. Bekerja mengurangi peradangan dengan menekan migrasi
leukosit polimorfonuklear dan memeperbaiki permeabilitas kapiler.
 Fluocinolone cream 0.1 % or 0.05%
Topical kortikosteroid potensi tinggi yang menghambat
proliferasi sel. Mempuyai sifat imonusupresif dan sifat anti
peradangan. (Djuanda, 2015)
 Obat oral anti anxietas dan sedasi
Obat oral dan anti anxietas dapat dipertimbangkan pada
beberapa pasien. Menurut kebuthan individual, penatalaksanaan dapat
dijadwalkan setiap hari, pada ssat pasien tidur, atau keduanya.
Antihistamin seperti dipenhydramine dan hidroxyzine biasa
digunakan. Doxepin dan clonazepam dapat dipertimabangkan pada
beberapa kasus. (Djuanda, 2015)
 Agen anti pruritus
Obat oral dapat mengurangi gatal dengan memblokir efek
pelepasan histamine secara endogen. Gatal berkurang, pasien merasa
tenang atau sedative dan merangsang untuk tidur. Obat topical
64

menstabilisasi membrane neuron dan mencegah inisiasi dan transmisi


implus saraf sehingga memberi aksi anestesi lokal.
 Dipenhidramin,
Untuk meringankan gejala pruritus yang disebabkan oleh
pelepasan histamine.
 Cholorpheniramine
Bekerja sama dengan histamine atau permukaan reseptor H1
pada sel efektor di pembuluh darah dan traktus respiratori.
 Hidroxyzine
Reseptor H1 antagonis diperifer. Dapat menekan aktifitas
histamine diregion subkortikal system sraf pusat.
 Klonazepam
Untuk anxietas yang disertai pruritus. Berikatan dengan
reseptor- reseptor di SSP, termasuk sistem limbik dan
pembentukan retikular. Efeknya bisa dimediasi melalui reseptor
GABA. (Djuanda, 2015)
 Agen imunosupresor
Tacrolimus, Mekanisme kerjanya pada liken simpleks kronik
tidak diketahui. Dapat mengurangi gatal dan peradangan dengan
menekan pelepasan sitokin dari sel T. juga menghambat transkripsi
gen yang mengkode IL-3, IL-4, IL5, GM-CSF, dan TNF- alfa, yang
semuanya terlibat dalam aktivasi sel T derajat dini. Juga dapat
menghambat pelepasan mediator sel mast dan basofil kulit dan
mengurangi regulasi ekspresi FCeRI pada sel langerhans. Obat dari
kelas ini lebih mahal dari kortikosteroid topical. Terdapat dalam
bentuk ointment dalam konsentrasi 0.03% dan 0.1%. indikasi apabila
pilihan terapi yang lain tidak berhasil. (Djuanda, 2015)
 Immunodilator
Berasal dari ascomycin, suatu bahan alami yang diproduksi
oleh jamur streptomyces hygroscopicus var asmyeticus, bekerja
menghambat produksi dan pelepasan sitokin inflamasi dari sel T
65

teraktivasi secara selektif dan berikatan dengan reseptor imunofilin


sitosolik makrofilin 12 (cytosolic immunophili receptor macrophilin-
12). Menghambat kompleks yang menghambat kalsineurin fofatase,
yang kemudian memblokir aktivasi sel T dan pelepasan sitokin. Atropi
kutaneus tidak didapati pada percobaan klinis yang merupakan
kelebihan terhadap kortikosteroid topical. Indikasi apabila pilihan
terapi yang lain tidak berhasil.(Djuanda, 2015)
66

DAFTAR PUSTAKA

Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit


FKUI

Djuanda, A., dkk. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7. Jakarta: FK UI.

Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leff ell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. 7th ed. United States of America: McGraw Hill; 2008:
169-93.

Klaus, W. dkk. 2009. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. New
York: Mc Graw Hill Medical.

Linuwih, S. dan Bramono K, dkk. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: FK UI.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses


Penyakit. Jakarta : EGC.
Siregar,R. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC.

Stern RS. Psoralen and ultraviolet A light therapy for psoriasis. N Eng J Med
[Internet]. 2007 [cited 2015 Jan 24]; 357: 682-90. Available from:
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/ NEJMct072317.

Anda mungkin juga menyukai