SKENARIO 1
STEP 1
STEP 2
STEP 3
STEP 4
1. a) Etiologi:
a. Eksogen : Bahan kimia
b. Endogen : dermatitis atopik
MIND MAP
Patofisiologi Etiologi
Faktor
PENYAKIT KULIT Risiko
Lesi Kulit BERSISIK &GATAL
Primer Sekunder
Pendekatan
Tatalaksana diagnosis
STEP 5
STEP 6
Belajar Mandiri
STEP 7
(Siregar,2005).
(Siregar,2005).
(Klaus,2009).
10
atau lapisan epidermis. Isi kista terdiri atas hasil dindingnya, yaitu
serum,getahbening,sebum,sel-sel epital,lapisan tanduk dan rambut.
(Linuwih,2015)
Gambar 1. 8 Kista
(Klaus,2009)
9) Plak (plaque)
Plak Peninggian diatas permukaan kulit, permukaannya rata
dan berisi zat padat (biasanya infiltrat), diameternya 2 cm atau
lebih. Contohnya papul yang melebar atau papul-papul yang
berkonfluensi pada psoriasis.(Linuwih,2015)
Gambar 1. 9 Plak
(Klaus,2009)
12
(Siregar,2005).
15
(Klaus, 2009)
6) Likenifikasi adalah penebalan kulit sehingga garis-garis lipatan
kulit tampak lebih jelas. Terjadi karena perubahan kolagen pada
bagian superficial dermis menyebabkan penebalan kulit.
2. Macam penyakit kulit bersisik dan gatal beserta penegakkan diagnosis serta
penatalaksanaan komprehensif.
1) Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang
disebabkan oleh faktor eksternal, substansi-substansi partikel yang
berinteraksi dengan kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu
dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat
bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2015).
Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi.
Misalnya antara lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2015):
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2015):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya
mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena
alergi nickel (Thysen, 2009).
4) Status higinie dan gizi
sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan perbaikan bila
dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang
rendah. Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan
kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit
terganggu, misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).
Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara
berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia
yang sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat
sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus
lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan
membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang
terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening
yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali
konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan.
Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang
sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya
sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh
limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan
fase elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini
akan melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα,
leukotrien, IFNγ, dan sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang
mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan
menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama seperti
dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh
alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan
beberapa tahun (Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus,
kemerahan dan penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya
20
Sel langerhans
Menembus lapisan keluarkan sitokin
Sitokin akan
corneum
memproliferasi sel T
dan menjadi lebih
banyak dan memiliki
sel T memori
Difagosit oleh sel
Langerhans dengan
pinositosis
Sitokin akan keluar dari
getah bening
Hapten + HLA-DR
Beredar ke seluruh
tubuh
Membentuk antigen
Individu tersensitisasi
24-48 jam
Pajanan ulang
Sel T memori
Penegakan Diagnosis
a) Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat
dan pemeriksaan klinis yang teliti.Penderita umumnya mengeluh
gatal(Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu
ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat
pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang
pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang
diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami,
riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya
(Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada
beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).
Demografi dan riwayat Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pekerjaan pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,
paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.
b) Pemeriksaan Fisik
23
Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,
sepatu/sandal.
b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada
bibir.
25
Pemeriksaan Penunjang
a) Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis
banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI).
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan
untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi
(Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta
gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut
dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak
mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen,
hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila
pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi,
maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut
28
T.R.U.E. Test®
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.
b) Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang
didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
31
c) Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya
herpes simpleks.Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk
dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga menciptakan
lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula
menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah
warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen simplex
chronicus) (Bourke, et al., 2009).
kelainan yang mungkin terlihat berupa eritrema edema, bula dan mungkin
juga nekrosis. Tepi berbatas tegas dan pada umumnya asimetris.
Dermatitis kontak iritan Akut lambat
Gejala timbul sama dengan DKI akut, akan tetapi baru terjadi
setelah 8 sampai 24 jam setelah kontak. Keluhan yang dirasakan pedih
keesokan harinya, gejala awal dapat terlihat eritema kemudian terjadi
vesikel atau bahkan nekrosis.
Dermatitis kontak iritan kronik komulatif
Penyebabnya adalah iritan lemah namun berulang. Dapat berupa
komulatif dari bahan yang sama maupun berbeda. Kelainan baru terlihat
nyata stelah kontak berlangsung beberapa minggu atau bulan atau bahkan
bisa bertahun tahun kemudian.
Gejala klasik berupa kulit kering, disertai eritrema, skuama, yang lambat
laun kulit menjadi tebal dengan likenifikasi yang difus. Bila kontak terus
berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisura), misalnya
pada tumit. DKI komulatif sering berhubungan dengan pekerjaan.
Dermatitis kontak iritan traumatik
Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau
laserasi. Gejala klinis menyerupai dermatitis numularis, penyembuhan
berlangsung lambat, paling cepat 6 minggu. Lokasi tersering di tangan.
Dermatitis kontak iritan non-eritematosa
DKI non-eritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, yang
ditandai dengan perubahan fungsi sawar (stratum korneum) tanpa disertai
kelainan klinis.
Dermatitis kontak iritan subjektif
Disebut juga DKI sensori, karena kelainan kulit tidak terlihat
namun pasien merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar setelah
berkontak dengan bahan kimia tertentu.(Sularsito, 2015)
Penatalaksanaan
Upaya penatalaksanaan terpenting adalah menghindari pajanan dri bahan
iritan yang menjadi penyebab, serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila
38
Penegakkan diagnosis
a) Anamnesis
Salah satu hal yang pertama kali penting ditanyakan adalah
onset penyakit dan riwayat keluarga, karena onset dini dan riwayat
keluarga berkaitan dengan tingginya ekstensi dan rekurensi penyakit.
Selain itu, tentukan apakah lesi merupakan bentuk akut atau kronis,
serta keluhan pada persendian, karena kemungkinan artritis psoriatika
pada pasien dengan riwayat pembengkakan sendi sebelum usia 40
tahun. (Gudjohnsen, 2008)
(Gudjohnsen, 2008)
Lesi kronis cenderung stabil berbulan-bulan hingga bertahun-tahun,
sedangkan dalam bentuk akut, lesi dapat muncul mendadak dalam
beberapa hari. Kemungkinan relaps juga bervariasi antar individu. Pasien
yang sering relaps biasanya memiliki lesi yang lebih berat, cepat meluas,
41
melibatkan area tubuh yang lebih luas, sehingga terapi harus lebih agresif.
(Gudjohnsen, 2008)
b) Manifestasi klinis
Psoriasis merupakan penyakit inflamatorik kronik dengan
manifestasi klinis pada kulit dan kuku.(Stern, 2007) Lesi kulit biasanya
merupakan plak eritematosa oval, berbatas tegas, meninggi, dengan
skuama berwarna keperakan, hasil proliferasi epidermis maturasi
prematur dan kornifi kasi inkomplet keratinosit dengan retensi nuklei
di stratum korneum (parakeratosis). Meskipun terdapat beberapa
predileksi khas seperti pada siku, lutut, serta sakrum, lesi dapat
ditemukan di seluruh tubuh. Gambaran klinis lain yang dapat
menyertai adalah artritis psoriatika pada sendi interfalang jari tangan,
distrofi kuku, dan lesi psoriatik nail bed. (Nestle, 2009)
1) Lesi kulit
Lesi klasik psoriasis adalah plak eritematosa berbatas tegas, meninggi,
diselubungi oleh skuama putih. Lesi kulit cenderung simetris,
meskipun dapat unilateral. (Gudjohnsen, 2008)
Klasifikasi Lesi Kulit
a) Psoriasis Vulgaris/Tipe Plakat Kronis/ Chronic Stationary
Psoriasis
Merupakan bentuk tersering (90% pasien), dengan karakteristik
klinis plakat kemerahan, simetris, dan berskuama pada ekstensor
ekstremitas.
42
b) Psoriasis Gutttata
Guttata berasal dari bahasa Latin “Gutta” yang berarti “tetesan”,
dengan lesi berupa papul kecil (diameter 0,5-1,5 cm) di tubuh
bagian atas dan ekstremitas proksimal.
c) Psoriasis inversa
Pada tipe ini muncul di lipatan-lipatan kulit seperti aksila,
genitokruris, serta leher. Lesi biasanya berbentuk eritema
mengkilat berbatas tegas dengan sedikit skuama, disertai gangguan
perspirasi pada area yang terkena.
d) Psoriasis eritrodermik
Tipe ini mengenai hampir seluruh bagian tubuh, dengan
efloresensi utama eritema. Skuama tipis, superfi sial, tidak tebal,
serta melekat kuat pada permukaan kulit di bawahnya seperti
psoriasis pada umumnya, dengan kulit yang hipohidrosis. Risiko
hipotermia sangat besar karena vasodilatasi luas pada kulit.4
43
e) Psoriasis pustular
Psoriasis pustular memiliki beberapa variasi secara klinis seperti
psoriasis pustular generalisata (Von Zumbuch), psoriasis pustular
annular, impetigo herpetiformis, dan psoriasis pustular lokalisata
(pustulosis palmaris et plantaris dan akrodermatitis kontinua).
f) Psoriasis linear
Bentuk yang jarang. Lesi kulit berupa lesi linear terutama di
tungkai, kadang muncul sesuai dermatom kulit tungkai. Kadang
merupakan bentuk dari nevus epidermal infl amatorik linear
verukosa.
Terapi Topikal
1) Kortikosteroid
Glukokortikoid dapat menstabilkan dan menyebabkan translokasi
reseptor glukokortikoid. Sediaan topikalnya diper gunakan sebagai lini
pertama pengobatan psoriasis ringan hingga sedang di area fl eksural
dan genitalia, karena obat topikal lain dapat mencetuskan iritasi.
2) Vitamin D3 dan analog
Setelah berikatan dengan reseptor vitamin D, vitamin D3 akan
meregulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel, mempengaruhi fungsi
imun, menghambat proliferasi keratinosit, memodulasi diferensiasi
epidermis, serta menghambat produksi beberapa sitokin pro-infl amasi
45
2) Acitretin
Acitretin merupakan generasi kedua retinoid sistemik yang telah
digunakan untuk pengobatan psoriasis sejak tahun 1997. Monoterapi
acitretin paling efektif bila diberikan pada psoriasis tipe eritrodermik
dan generalized pustular psoriasis.
3) Siklosporin A
CsA per oral merupakan sangat efektif untuk psoriasis kulit ataupun
kuku, terutama pasien psoriasis eritrodermik.
4) Ester asam fumarat
Preparat ini diabsorbsi lengkap di usus halus, dihidrolisis menjadi
metabolit aktifnya, monometilfumarat, yang akan menghambat
proliferasi keratinosit serta mengubah respons sel Th1 menjadi Th2.
Terapi ini dapat diberikan jangka lama (>2 tahun) untuk mencegah
relaps ataupun singkat (hingga tercapai perbaikan).
5) Sulfasalazine
Merupakan agen terapi sistemik yang jarang digunakan untuk
tatalaksana psoriasis.
6) Steroid Sistemik
Steroid sistemik tidak rutin dalam tatalaksana psoriasis, karena risiko
kambuh tinggi jika terapi dihentikan. Preparat ini diindikasikan pada
psoriasis persisten yang tidak terkontrol dengan modalitas terapi lain,
bentuk eritroderma, dan psoriasis pustular (Von Zumbuch).
7) Mikofenolat Mofetil
Merupakan bentuk pro-drug asam miko fenolat, yaitu inhibitor inosin
5’ monophosphate dehydrogenase. Asam mikofenolat mendeplesi
guanosin limfosit T dan B serta menghambat proliferasinya, sehingga
menekan respons imun dan pembentukan antibodi.
8) 6-Thioguanin
Merupakan analog purin yang sangat efektif untuk tatalaksana
psoriasis. Efek samping yang sering adalah mual, diare, serta gangguan
fungsi hepar dan supresi sumsum tulang.
48
9) Hidroksiurea
Hidroksiurea merupakan anti-metabolit yang dapat digunakan secara
tunggal dalam tatalaksana psoriasis, tetapi 50% pasien yang berespons
baik terhadap terapi ini mengalami efek samping supresi sumsum
tulang (berupa leukopenia atau trombositopenia) serta ulkus kaki.
2)Dermatitis Atopik
yang tinggi, sedangkan atopik paternal atau IgE yang meningkat tidak
berhubungan dengan kenaikan darah tali pusat IgE. (Djuanda, 2015)
Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi
imunologik, yang diperantai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang.
Beberapa parameter imunologi dapat diketemukan pada dermatitis atopik,
seperti kadar IgE dalam serum penderita pada 60-80% kasus meningkat,
adanya IgE spesifik terhadap bermacam aerolergen dan eosinofilia darah serta
diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel langerhans
epidermal.Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara dermatitis
atopikdan alergi saluran napas, karena 80 % anak dengan dermatitis atopik
mengalami asma bronkial atau rhinitis alergik.
Pada individu yang normal terdapat keseimbangan sel T seperti Th1,
Th2, Th17, sedangkan pada penderita dermatitis atopik terjadi
ketidakseimbangan sel T. Sitokin Th2 jumlahnya lebih dominan
dibandingkan Th1 yang menurun. Hal ini menyebabkan produksi dari
sitokinTh 2 seperti interleukin IL-4, IL-5, dan IL-13 ditemukan lebih banyak
diekspresikan oleh sel-sel sehingga terjadipeningkatan IgE dari sel plasma
dan penurunan kadar interfero - gamma. Dermatitis atopik akut berhubungan
dengan produksi sitokin tipe Th2, IL-4 dan IL-13, yang membantu
immunoglobulin tipe isq berubah menjadi sintesa IgE, dan menambah
ekspresi molekul adhesi pada sel-sel endotel. Sebaliknya, IL-5 berperan
dalam perkembangan dan ketahanan eosinofil, dan mendominasi dermatitis
atopik kronis. (Djuanda, 2015)
Imunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan paparan
imunogen atau alergen dari luar yang mencapai kulit. Pada paparan pertama
terjadi sensitisasi, dimana alergen akan ditangkap oleh antigen presenting cell
untuk kemudian disajikan kepada sel limfosit T untuk kemudian diproses dan
disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC kelas II. Hal
ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenai alergen tersebut melalui T
cell reseptor. Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi
sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B
50
untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE. Setelah ada di sirkulasi IgE
segera berikatan dengan sel mast dan basofil.Pada paparan alergen berikutnya
IgE telah bersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara
alergen dengan IgE.Ikatan ini akan menyebabkan degranulasi sel mast .
Degranulasi sel mast akan mengeluarkan mediator baik yang telah tersedia
seperti histamine yang akan menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator
baru yang dibentuk seperti leukotrien C4, prostaglandin D2 dan lain
sebagainya.Sel langerhans epidermal berperan penting pula dalam
pathogenesis dermatitis atopik oleh karena mengekspresikan reseptor pada
permukaan membrannya yang dapat mengikat molekul IgE serta mensekresi
berbagai sitokin. (Djuanda, 2015)
Inflamasi kulit atopik dikendalikan oleh ekspresi lokal dari sitokin dan
kemokin pro - inflamatori. Sitokin seperti Faktor Tumor Nekrosis (TNF-α )
dan interleukin 1 (IL-1) dari sel-sel residen seperti keratinosit, sel mast, sel
dendritik mengikat reseptor \ pada endotel vaskular, mengaktifkan jalur sinyal
seluler yang mengarah kepada peningkatan pelekatan molekul sel endotel
vaskular. Peristiwa ini menimbulkan proses pengikatan, aktivasi dan
pelekatan pada endotel vaskular yang diikuti oleh ekstravasasi sel yang
meradang ke atas kulit. Sekali sel-sel yang inflamasi telah infiltrasi ke kulit,
sel-sel tersebut akan merespon kenaikan kemotaktik yang ditimbulkan oleh
kemokin yang diakibatkan oleh daerah yang luka atau infeksi.
Penderita dermatitis atopik cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri,
virus, dan jamur, karena imunitas seluler menurun (aktivitas TH1 menurun).
Staphylococcus aureus ditemukan lebih dari 90% pada kulit penderita
dermatitis atopik, sedangkan orang normal hanya 5%. Bakteri ini membentuk
koloni pada kulit penderita dermatitis atopik, dan eksotosin yang
dikeluarkannya merupakansuperantigen yang diduga memiliki peran
patogenik dengan cara menstimulasi aktivitas sel T dan makrofag. Apabila
ada superantigen menembus sawar kulit yang terganggu akan menginduksi
IgE spesifik, dan degranulasi sel mas, kejadian ini memicu siklus gatal
51
garuk yang akan menimbulkan lesi. Superantigen juga meningkatkan sintesis IgE
spesifik dan menginduksi resistensi kortikosteroid, sehingga memperparah
dermatitis atopik. (Djuanda, 2015)
Berbagai faktor lingkungan dan gaya hidup berpengaruh terhadap
pravelensi dermatitis atopik.Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada status
sosial yang tinggi daripada status sosial yang rendah.Penghasilan meningkat,
pendidikan ibu makin tinggi, migrasi dari desa ke kota dan jumlah keluarga kecil
berpotensi menaikkan jumlah penderita dermatitis atopik.
Faktor - faktor lingkungan seperti polutan dan alergen-alergen mungkin
memicu reaksi atopik pada individu yang rentan. Paparan polutan dan alergen
tersebut adalah:
1) Polutan : Asap rokok, peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas
ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban
udara, penggunaan pendingin ruangan.
2) Alergen:
Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah, serbuk sari
buah, bulu binatang, jamur kecoa.
Makanan: susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum.
Mikroorganisme: Staphylococcus aureus,Streptococcus sp,
P.ovale, Candida albicans, Trycophyton sp.
Bahan iritan: wool, desinfektans, nikel, peru balsam. (Djuanda,
2015)
4) Faktor Psikologi
Pada penderita dermatitis atopik sering tipe astenik, egois, frustasi, merasa
tidak aman yang mengakibatkan timbulnya rasa gatal. Namun demikian teori ini
masih belum jelas . (Djuanda, 2015)
Gambaran Klinis
Gejala klinis dan perjalanan dermatitis atopik sangat bervariasi,
membentuk sindrom manifestasi diatesis atopi. Gejala utama dermatitis atopik
ialah pruritus,dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat
52
Kriteria Mayor
(Minimal harus ada 3 dari 4 tanda)
1)Pruritus (eksoriasi kadang terlihat)
2)Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
3)Dermatitis fleksura pada dewasa
4)Dermatitis kronis atau residif
5)Riwayat atopi pada penderita pada keluarganya
Kriteria Minor
(Ditambah 3 atau lebih kriteria minor)
1)Xerosis (kulit kering)
2)Infeksi kulit ( khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
3)Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
4)Iktiosis (khususnya hiperlinear palmaris atau pilaris keratosis)
5)Ptiriasis alba
6)Dermatitis di papilla mamae
7)White dermographism and delayed blanch response
8)Keilitis
9)Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
10)Konjungtivitis berulang
11)Keratokonus
12)Katarak subscapular anterior
13)Orbita menjadi gelap
14)Alergi makanan
15)Muka pucat atau eritem
16)Gatal bila berkeringat
17)Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
18)Aksentuasi perifolikuler
19)Hipersensitif terhadap makanan
20)Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi
54
Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis yang cocok untuk diagnosis berbasis rumah sakit
(hospital based) dan eksperimental,tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian
berbasis populasi karena kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok
kontrol, disamping itu belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk
pengulangan (repeatability).Dalam perkembangan selanjutnya seiring dengan
kemajuan di bidang imunologi maka untuk diagnosis dermatitis atopik mulai
dimasukkan uji alergi sebagai kriteria diagnosis. Pemeriksaan atau uji alergik
tersebut adalah uji tusuk (skin pricktest) terhadap bahan alergen inhalan dan
pemeriksaan IgE total didalam serum penderita. (Djuanda, 2015)
Uji tusuk merupakan suatu metode uji alergi yang banyak digunakan untuk
mendeteksi alergen yang melibatkan reaksi hipersensivitas tipe I pada kulit. Pada
reaksi hipersesivitas tipe I alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan
respon imun berupa produksi IgE. IgE akan terikat pada reseptor Fc sel mast
dikulit yang selanjutnya menyebabkan degranulasi sel mast . (Djuanda, 2015)
Penatalaksanaan
3. Pengobatan Topikal
1) Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
Kulit penderita dermatitis atopik menunjukkan adanya
transepidermal water loss yang meningkat.Oleh karena itu hidrasi
penting dalam keberhasilan terapi, biasanya menggunakan pelembab.
Pemaikan pelembab dapat memperbaiki fungsi barier stratum korneum
dan mengurangi kebutuhan steroid topikal. Sebuah studi menunjukkan
bahwa pelembab mungkin mengurangi 50% kebutuhan pemakaian
kortikosteroid topikal.
2) Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal adalah yang paling banyak digunakan sebagai anti
inflamasi.Selain itu dapat berguna pada saat ekserbasi akut, anti pruritus dan
sebagai anti mitotik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hoare C, dkk
menggunakan kortikosteroid topikal pada 83 pasien dermatitis atopik dengan
menggunakan simple randomized controltrialshasil dari penggunaan
kortikosteroid topikal kurang dari satu bulan 80% menunjukkan pemulihan sangat
baik. (Djuanda, 2015)
56
Pengobatan sistemik
1) Pemberian antihistamin
Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukup
memuaskan, membantu untuk mengurangi rasa gatal yang hebat terutama
pada malam hari. Karena dapat mengganggu tidur, antihistamin yang
dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin,
difenhidramindan sinequan.cetrizine dan fexofenadine telah diuji
keberhasilannya untuk mengatasi rasa gatal pada penderita dermatitis
atopik anak-anak dan dewasa. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan
doksepin hidroklorid yang mempunyai antidepresan dan memblokade
reseptor histamine H1 dan H2, dengan dosis 10-75mg secara oral malam
hari pada dewasa . (Djuanda, 2015)
57
2) Pemberian antibiotik
Pada penderita dermatitis atopik lebih dari 90% ditemukan
peningkatan koloni Staphylococcus aureus. Untuk yang belum resisten
dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau klaritomisin, sedang untuk
yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi
pertama sefalosporin. Apabila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes
simpleks, kortiko steroid dihentikan sementara dan diberikan oral
asiklovir. (Djuanda, 2015)
Meskipun kombinasi kortikosteroid topikal dan antibiotik
digunakan dalam terapi dermatitis atopik, tetapi tidak ada bukti yang baik
bahwa kombinasi keduanya memiliki manfaat yang lebih dibandi ngkan
pemakaian kortikosteroid topikal saja. (Djuanda, 2015)
4) Neurodermatitis Atopik
Neurodermatitis sirkumskripta atau juga dikenal dengan liken simpleks
kronis adalah penyakit peradangan kronis pada kulit, gatal, sirkumskripta, dan
khas ditandai dengan likenifikasi. Likenifikasi timbul sebagai respon dari kulit
akibat gosokan dan garukan yang berulang-ulang dalam waktu yang cukup
lama, atau kebiasaan menggaruk pada satu area tertentu pada kulit sehingga
garis kulit tampak lebih menonjol menyerupai kulit batang
kayu. Secara histologis, karakteristik likenifikasinyaadalah akantosis dan
hyperkeratosis dan secara klinis muncul penebalan dari kulit, utamanya pada
permukaan kulit. (Djuanda, 2015)
Gejala dan tanda yang khas seperti gatal, terlikenifikasi, dan
sirkumskripta yang dapat muncul di berbagai tempat dari tubuh merupakan
karakteristik dari liken simpleks kronik, yang juga dikenal sebagai
neuroderamtitis sirkumskripta. Penyakit ini memiliki predileksi di punggung,
leher, dan ekstremitas terutama pergelangan tangan dan lutut.
Neurodermatitis sirkumskripta merupakan proses yang sekunder ketika
seseorang mengalami sensasi gatal pada daerah kulit yang spesifik dengan
atau tanpa kelainan kulit yang mendasar yang dapat mengakibatkan trauma
58
a) Etiologi
Penyebab neurodermatitis sirkumskripta belum diketahui secara
pasti. Namun ada berbagai faktor yang mendorong terjadinya rasa gatal
pada penyakit ini, faktor penyebab dari neurodermatitis sirkumskripta
yaitu :
Lingkungan
Faktor lingkungan seperti panas dan udara yang kering dapat
berimplikasi dala menyebabkan iritasi yang dapat menginduksi gatal.
Suhu yang tinggi memudahkan seseorang berkeringat sehingga dpat
mencetuska gatal, hal ini biasanya menyebabkan neurodermatits
sirkumskripta pada daerah anogenital.
Gigitan Serangga
Gigitan seranga dapat meyebabkan reaksi radang dalam tubuh
yang mengakibatkan rasa gatal.
Dermatitis Atopik
Asosiasi antara neurodermatitis sirkumskripta dan gangguan
atopik telah banyak dilaporkan, sekitar 26% sampai 75% pasien
dengan dermatitis atopic terkena neurodermatits sirkumskripta.
Psikologis
Anxietas telah dilaporkan memiliki prevalensi tertinggi yang
mengakibatkan neurodermatitis sirkumsripta. Anxietas sebagai bagian
dari proses patologis dari lesi yang berkembang. Telah dirumuskan
bahwa neurotransmitter yang mempengaruhi perasaan, seperti :
59
b) Patogenesis
Stimulus untuk perkembangan neurodermatitis sirkumskripta
adalah pruritus. Pruritus sebagai dasar dari gangguan kesehatan dapat
berhubungan dengan gangguan kulit, proliferasi dari nervus, dan tekanan
emosional. Pruritus yang memegang peranan penting dapat dibagi dalam
dua kategori besar, yaitu pruritus tanpa lesi dan pruritus dengan
lesi. Pasien dengan neurodermatitis mempunyai gangguan metabolik atau
gangguan hematologik. Pruritus tanpa kelainan kulit dapat ditemukan pada
penyakit sistemik, misalnya gagal ginjal kronik, obstruksi kelenjar
biliaris, Hodgkins lymphoma , polisitemia rubra vera,
hipertiroidisme, gluten-sensitive enteropathy, dan infeksi imunodefisiensi.
Pruritus yang disebabkan oleh kelainan kulit yang terpenting adalah
dermatitis atopik, dermatitis kontak alergi, dermatitis statis, dan gigitan
serangga. (Djuanda, 2015)
Pada pasien yang memiliki faktor predisposisi, garukan kronik
dapat menimbulkan penebalan dan likenifikasi. Jika tidak diketahui
penyebab yang nyata dari garukan, maka disebut neurodermatitis
sirkumskripta.Adanya garukan yang terus-menerus diduga karena adanya
pelepasan mediator dan aktivitas enzim proteolitik. Walaupun sejumlah
peneliti melaporkan bahwa garukan dan gosokan timbul karena respon
dari adanya stress. Adanya sejumlah saraf mengandung immunoreaktif
CGRP (Calsitonin Gene-Related Peptida) dan SP (Substance Peptida)
meningkat pada dermis. Hal ini ditemukan pada prurigo nodularis, tetapi
tidak pada neurodermatitis sirkumskripta. Sejumlah saraf menunjukkan
imunoreaktif somatostatin, peptide histidine, isoleucin, galanin, dan
neuropeptida Y, dimana sama pada neurodermatitis sirkumskripta, prurigo
nodularis dan kulit normal. Hal tersebut menimbulkan pemikiran bahwa
proliferasi nervus akibat dari trauma mekanik, seperti garukan dan
60
goresan. SP dan CGRP melepaskan histamin dari sel mast, dimana akan
lebih menambah rasa gatal. Membran sel schwann dan sel perineurium
menunjukkan peningkatan dan p75 nervus growth factor, yang
kemungkinan terjadi akibat dari hyperplasia neural. Pada papilla dermis
dan dibawah dermis alpha-MSH (Melanosit Stimulating Hormon)
ditemukan dalam sel endotel kapiler. (Djuanda, 2015)
c) Gejala Klinis
Gatal yang berat merupakan gejala dari liken simpleks kronik.
Gatal bias paroksismal, terus-menerus, atau sporadik. Menggosok dan
menggaruk mungkin disengaja dengan tujuan menggantikan sensasi gatal
dan nyeri, atau dapat secara tidak sengaja yang terjadi pada waktu tidur.
Keparahan gatal dapat diperburuk dengan berkeringat, suhu atau iritasi
dari pakaian. Gatal juga dapat bertambah parah pada saat terjadi stress
psikologis. (Djuanda, 2015)
Pada liken simpleks kronik, penggosokan dan penggarukan yang
berulang menyebabkan terjadinya likenifikasi (penebalan kulit dengan
garis-garis kulit semakin terlihat) plak yang berbatas tegas dengan
ekskoriasis, sedikit edematosa, lambat laun edema dan eritema
menghilang. Bagian tengah berskuama dan menebal, sekitarya
hiperpigmentasi, batas dengan kulit normal tidak jelas. Biasanya, hanya
satu plak yang tampak, namun dapat melibatkan lebih dari satu
tempat. (Djuanda, 2015)
Tempat yang biasa terjadi liken simpleks kronik adalah kulit
kepala, tengkuk leher (terutama pada wanita) pergelangan kaki, eksremitas
ekstensor, dan region anogenital. Daerah genital yang sering terkena
adalah labia mayora pada wanita dan skrotum pada laki-laki. Pada pasien
dengan eczema atopi, intervensi kulit lebih berlikenifikasi dan serotik.
Pada pasien non atopi, tana kutaneus dari penyakit sistemik atau
limfadenopati dapat terjadi. (Djuanda, 2015)
61
d) Pemeriksaan Penunjang
Tes Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium tidak ada tes yang spesifik untuk
neurodermatitis sirkumskripta. Tetapi walaupun begitu, satu studi
mengemukakan bahwa 25 pasien dengan neurodermatitis sirkumskripta
positif terhadap patch test. Pada dermatitis atopik dan mikosis fungiodes
bisa terjadi likenefikasi generalisata oleh sebab itu merupakan indikasi
untuk melakukan patch test. Pada pasien dengan pruritus generalisata yang
kronik yang diduga disebabkan oleh gangguan metabolik dan gangguan
hematologi, maka pemeriksaan hitung darah harus dilakukan, juga
dilakukan tes fungsi ginjal dan hati, tes fungsi tiroid, elechtroporesis
serum, tes zat besi serum, tes kemampuan pengikatan zat besi (iron
binding capacity), dan foto dada. Kadar immunoglobulin E dapat
meningkat pada neurodermatitis yang atopik, tetapi normal pada
neurodermatitis nonatopik. Bisa juga dilakukan pemeriksaan potassium
hydroksida pada pasien liken simpleks genital untuk mengeleminasi tinea
cruris. (Djuanda, 2015)
Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan diagnosis
neurodermatitis sirkumskripta adalah menunjukkan proliferasi dari sel
schwann dimana dapat membuat infiltrasi selular yang cukup besar. Juga
ditemukan neural hyperplasia. Didapatkan adanya hiperkeratosis dengan
area yang parakeratosis, akantosis dengan pemanjangan rete ridges yang
irregular, hipergranulosis dan perluasan dari papillo dermis. Spongiosis
bisa ditemukan, tetapi vesikulasi tidak ditemukan. Papilomatosis kadang-
kadang ditemukan. Ekskoriasi, dimana ditemukan garis ulserasi punctata
karena adanya jaringan nekrotik bagian superficial papillary dermis.
Fibrin dan neutrofil bisa ditemukan, walaupun keduanya biasanya
ditemukan pada penyakit dermatosis yang lain. Pada papillary dermis
ditemukan peningkatan jumlah fibroblas. (Djuanda, 2015)
62
d) Diagnosis
Diagnosis untuk liken simpleks kronis dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pasien dengan
neurodermatitis sirkumskripta mengeluh merasa gatal pada satu daerah
atau lebih. Sehingga timbul plak yang tebal karena mengalami proses
likenifikasi. Biasanya rasa gatal tersebut muncul pada tengkuk, leher,
ekstensor kaki, siku, lutut, pergelangan kaki. Eritema biasanya muncul
pada awal lesi. Rasa gatal muncul pada saat pasien sedang beristirahat dan
hilang saat melakukan aktivitas dan biasanya gatal timbul intermiten.
(Djuanda, 2015)
Pemeriksaan fisis menunjukkan plak yang eritematous, berbatas
tegas, dan terjadi likenifikasi. Terjadi perubahan pigmentasi, yaitu
hiperpigmentasi. (Djuanda, 2015)
Pada pemeriksaan penunjang histopatologi didapatkan adanya
hiperkeratosis dengan area yang parakeratosis, akantosis dengan
pemanjangan rete ridges yang irregular, hipergranulosis dan perluasan dari
papil dermis. (Djuanda, 2015)
e) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari neurodermatitis sirkumskripta secara primer
adalah menghindarkan pasien dari kebiasaan menggaruk dan menggosok
secara terus-menerus. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
memotong kuku pasien, memberikan antipruritus, glukokortikoid topikal
atau intralesional, atau produk-produk tar, konsultasi psikiatrik, dan
mengobati pasien dengan cryoterapi, cyproheptadine, atau capsaicin.
(Djuanda, 2015)
Steroid topikal
Merupakan pengobatan pilihan karena dapat mengurangi
peradangan dan gatal serta perlahan-lahan menghaluskan
hiperkeratosisnya. Karena lesinya kronik. Pentalaksanaannya biasanya
lama. Pada lesi yang besar dan aktif, steroid potensi sedang dapat
63
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, A., dkk. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7. Jakarta: FK UI.
Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leff ell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. 7th ed. United States of America: McGraw Hill; 2008:
169-93.
Klaus, W. dkk. 2009. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. New
York: Mc Graw Hill Medical.
Linuwih, S. dan Bramono K, dkk. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: FK UI.
Stern RS. Psoralen and ultraviolet A light therapy for psoriasis. N Eng J Med
[Internet]. 2007 [cited 2015 Jan 24]; 357: 682-90. Available from:
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/ NEJMct072317.