Anda di halaman 1dari 27

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Berpikir Metaforis (Metaphorical Thinking)

1) Berpikir

Berpikir berasal dari kata dasar pikir, menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti akal budi, ingatan, angan-

angan. Berpikir adalah menggunakan akal budi untuk

mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, menimbang-nimbang

dalam ingatan. Berpikir merupakan fitrah manusia agar dapat

mempertahankan kehidupan. Ada salah satu kalimat yang identik

dengan berpikir yaitu “Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada)”

yang merupakan pernyataan filsuf perancis Rene Descartes (dalam

Kirom, dkk. 2016). Pernyataan filsuf ini menunjukkan bahwa berpikir

adalah suatu aktivitas yang sering dilakukan manusia, bahkan

menyangkut keberadaan manusia itu. Berpikir memiliki sifat unik

sehingga banyak menjadi sorotan dan perhatian para peneliti.

Banyak definisi berpikir yang diungkapkan para ahli.

Menurut Sobur (dalam Badriyatusholihah, 2017) berpikir

adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Berpikir

juga berarti berjerih payah secara mental untuk memahami sesuatu

yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang

dihadapi. Kegiatan berpikir dimulai ketika muncul keraguan dan

pertanyaan untuk dijawab atau berhadapan dengan persoalan atau

masalah yang memerlukan pemecahan. Sedangkan menurut Solso

(dalam Badriyatusholihah, 2017) mendefinisikan berpikir sebagai

9
10

proses yang menghasilkan representasi mental baru melalui

transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara kompleks

antara atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, penalaran,

imajinasi, dan pemecahan masalah. Adapun representasi mental

baru dapat dilihat dari hasil berpikir berupa ide, tindakan dan

keputusan yang bertujuan untuk menyelsaikan suatu masalah. Dapat

dikatakan, bahwa berpikir merupakan proses mengolah informasi

yang melibatkan aktivitas mental seperti penilaian, abstraksi,

penalaran, imajinasi, dan penyelesaian masalah.

Berdasarkan beberapa definisi para ahli di atas, dapat

disimpulkan bahwa berpikir adalah aktivitas mental seseorang ketika

berhadapan dengan kadaan atau situasi yang memerlukan sebuah

penyelesaian.

2) Metafora (Metaphore)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa

metafora merupakan pemakaian kelompok kata bukan dengan arti

yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan

persamaan atau perbandingan. Metaforis merupakan sifat dari

metafora sehingga sangat berkaitan antara satu sama lain.

Sunito (2013) menyatakan bahwa metaphore berasal dari

kata Meta yang memiliki makna transcending melampaui dunia nyata

dan Phore yang memiliki arti transfer. Metaphora merupakan

pemindahan dan asosiasi baru dari satu objek atau gagasan ke objek

atau gagasan yang lain. Lain dengan pengertian yang diungkapkan

oleh Hendriana (2012) “Definisi tradisional, metafora merupakan alat

retoris untuk mengatakan sesuatu sebagai analogi terhadap sesuatu

hal lainnya. Definisi modern, metafora merupakan sebuah alat yang


11

memainkan fungsi yang sangat diperlukan dalam proses kognisi

manusia yaitu untuk memperjelas pemikiran seseorang.”

Dari beberapa uraian definisi terkait metafora di atas, maka

peneliti dapat mendefinisikan metafora dalam penelitian ini adalah

sarana untuk memindahkan makna dari konsep yang abstrak menjadi

objek nyata sebagai upaya untuk memperjelas pemikiran seseorang.

Terdapat beberapa contoh terkait penggunaan metafora berdasarkan

penelitian Badriyatusolihah (2017) :

1. Terang adalah pengetahuan dan gelap adalah kebodohan

2. Cinta adalah tumbuhan

3. Kata-kata adalah senjata

Contoh diatas terdiri dari dua hal yang berbeda namun

dengan adanya metafora maka cakrawala baru akan terbuka dimana

siswa akan menemukan hal baru yang mungkin hampir tidak

terpikirkan oleh siswa tersebut. Hal tersebut dapat memicu

kemampuan siswa dalam memecahkan masalah karena dengan

menemukan keterkaitan antara dua hal yang berbeda maka mampu

memecahkan sebuah masalah.

3) Berpikir Metaforis

Hendriana (2012) menyatakan bahwa berpikir metaforis

adalah proses berpikir yang menggunakan metafora-metafora untuk

memahami suatu konsep. Holyoak & Thagard (1995) menyatakan:

“metaphor begins with a concept that is known to students to

concepts that are not yet known to students or are being studied by

students” yang artinya, metafora berawal dari suatu konsep yang

diketahui siswa menuju konsep yang belum diketahui siswa atau


12

sedang dipelajari siswa. Metafora ini bergantung pada konsep atau

sifat yang dimetaforkan. Lakof & Nuniez menyatakan bahwa :

“The conceptual metaphors are fundamental cognitive


mechanisms which allow to understand abstract
concepts in terms of concrete concepts, i.e. deep nets
of conceptual mappings that sistematically organise the
concepts and preserve the inferences of the net
structure. They “project the inferential structure of a
source domain onto a target domain” (Núñez, 2000);
these domains are ontologically different, but
inferentially equal.” (dalam Ferrara, 2004)

Hal ini berarti bahwa gagasan abstrak yang ada pada pemikiran

seseorang kemudian diorganisir melalui metaphorical thinking yang

diproyeksikan dalam bentuk konkret dengan beberapa susunan

kesimpulan yang tepat dan cara bernalar yang didasari oleh sistem

sensori motor disebut metafora konseptual. Metafora konseptual

adalah mekanisme kognitif dasar yang memungkinkan untuk

memahami konsep abstrak dalam hal konsep konkret, yaitu jaring

yang mendalam dari pemetaan konseptual yang secara sistematis

mengatur konsep dan melestarikan kesimpulan dari struktur jaring.

Mereka “memproyeksikan struktur inferensial domain sumber ke

domain target” (Núñez, 2000); domain-domain ini secara ontologis

berbeda, tetapi secara inferior sama. Metafora konseptual dibagi

menjadi tiga macam, yaitu grounding metaphors, linking metaphors

dan redefinitional metaphors.

Penelitian Hendriana (2012) juga menyatakan hal yang sama

bahwa metafora konseptual merupakan konsep-konsep abstrak yang

diorganisasikan melalui berpikir metaforik, dinyatakan dalam hal-hal

konkret berdasarkan struktur dan cara bernalar yang didasari oleh

sistem sensori-motor. Sama halnya dengan ungkapan Lakoff &


13

Nuniez (dalam Carreira, 2001) disebutkan bahwa bentuk metafora

konseptual meliputi:

1. Grounding Metaphors merupakan dasar untuk memahami ide-ide

matematika yang dihubungkan dengan pengalaman sehari-hari

2. Linking Metaphors membangun keterkaitan antara dua hal yaitu

memilih, menegaskan, memberi kebebasan dan

mengorganisasikan karakteristik dari topik utama dengan

didukung oleh topik tambahan dalam bentuk pernyataan-

pernyataan metaforik.

3. Redefinitional Metaphors mendefinisikan kembali metafora-

metafora tersebut dan memilih yang paling cocok dengan topik

yang akan diajarkan.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Carreira (2001) yang

mengembangkan konsep metaphorical thinking dalam bagan di

bawah ini:
Interpretation

Applied problem Production of


situation meaning

Metaphorical Thinking

Gambar 2.1 Alur Pembentukan Makna oleh Metafora

Bagan tersebut menunjukkan alur bagaimana proses keterbukaan

pemikiran metaforis dimana pada fase interpretasi dan metafora

memiliki hubungan yang konvergen dalam produksi makna.

Berawal dari penerapan masalah atau situasi yang harus

dihadapi, siswa diajak memikirkan dan menghasilkan ide atau


14

gagasan dengan menginterpretasikan konsep yang ada. Selain itu

siswa juga di ajak berpikir dengan menggunakan metafora yang

mereka buat sendiri sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan

awal siswa, sehingga dapat diarahkan untuk menggabungkan

konsep-konsep matematika dengan konsep yang lain sesuai dengan

pengalaman dan pengetahuan siswa di kehidupan sehari-hari. Dari

hal demikian maka akan membawa siswa pada satu pemahaman

tentang konsep atau materi yang diberikan dengan pemahaman yang

mendalam dan konprehensif.

Berdasarkan beberapa definisi atau pengertian dari berpikir

metaforis di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir metaforis

merupakan aktivitas mental yang dilakukan manusia untuk

menyelesaikan masalah menggunakan metafora dengan

menentukan hubungan antara konsep dan fenomena nyata sesuai

dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki. Sebagai

ilustrasi, terdapat sebuah contoh dari penelitian Badriyatusholihah

(2017) berikut:

Misalkan ada sebuah kantong tertutup yang berisi beberapa

buah batu, terlihat di luar kantong tersebut terdapat 2 buah batu. Jika

diketahui bahwa jumlah seluruh batu yang berbeda di dalam dan di

luar kantong ada 8 buah, tentukanlah jumlah batu yang berada di

dalam kantong? Bagaimana caranya?

Permasalahan tersebut dapat dimetaforkan dengan

timbangan atau neraca. Menempatkan kantong berisi batu dan dua

buah batu di luar kantong pada satu sisi dan meletakkan delapan

batu pada sisi yang lain. Kemudian mengambil dua batu dari masing-
15

masing sisi timbangan. Apabila timbangan tersebut dalam posisi

seimbang, maka hasilnya dapat diketahui dengan gambaran berikut:

Keadaan awal

Satu kantong berisi batu dan dua batu di luar kantong di sisi kiri dan

delapan batu diletakkan di sisi sebelah kanan. Keadaan timbangan

atau neraca seimbang.

Gambar 2.2 Keadaan Awal TImbangan

Keadaan kedua

Keadaan setelah dua batu diambil dari sisi kiri dan sisi kanan pada

timbangan tersebut.

Gambar 2.3 Keadaan AkhirTimbangan

Dengan keadaan timbangan yang kedua maka diperoleh

bahwa jumlah batu yang ada dalam kantog tersebut sebanyak 6


16

(enam) buah. Metafora tersebut dapat dimodelkan menjadi x +2=8 ,

sehingga diperoleh nilai dari x adalah 6 (x adalah jumlah batu yang

ada pada kantong).

Terdapat langkah-langkah dalam berpikir metaforis yang

dikemukakan oleh Siller (dalam Sunito, 2013:72) yang dikenal

dengan CREATE yaitu Connect, Relate, Explore, Analyze, Transform

dan Experience. Berikut uraian dari langkah-langkah berpikir

metaforis:

1. Connect. Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan dua atau

lebih hal-hal yang berbeda baik benda maupun ide, seperti

menghubungkan taman dan pikiran. Siswa dapat bertanya kepada

dirinya sendiri, bagaimana pikiran seperti taman? Bagaimana

dengan berbagai ukuran, bentuk, warna tekstur dan harumnya

bunga yang terhubung dengan ukuran, bentuk, warna dari ide,

pikiran dan perasaan.

2. Relate adalah mengaitkan suatu perbedaan baik benda maupun

ide dengan hal-hal yang telah diketahui sebelumnya, dimulai

dengan mengamati kesamaannya. Misalnya, apakah taman

tersebut terus tumbuh seperti bunga liar atau seperti tanaman

yang dibudidayakan? Apakah ide tersebut juga ada suatu solusi

atau suatu penemuan?

3. Explore adalah mendeskripsikan kesamaan antara beberapa ide

dan membuat model dari ide tersebut.

4. Analyze adalah analisis tentang hal-hal yang telah dipikirkan. Oleh

karena itu perlu melangkah mundur sejenak dan lihat semua yang

baru dikerjakan.
17

5. Transform adalah mengenali atau menemukan sesuatu yang baru

berdasarkan koneksi, eksplorasi dan analisis terhadap gambar,

model atau objek yang dibuat tersebut.

6. Experience adalah menerapkan gambar, model atau penemuan

tersebut sebagai konteks baru sebanyak mungkin.

Penerapan langkah dan Indikator berpikir metaforis menurut Noviani

(2016, p. 21)

1. Connect : Menggali metafora yang cocok dan sesuai dengan

permasalahan aljabar yang diberikan

2. Relate : Mengaitkan hubungan antara masalah (aljabar)

dengan konsep lain (baik dalam matematika

maupun bidang lainnya)

Menyusun pernyataan metafora yang berkaitan

dengan masalah aljabar.

3. Explore : Merancang model matematika berdasarkan

permasalahan

4. Analyze : Menganalisis metafora, hubungannya dengan

permasalahan serta model yang dibuat

5. Transform : Menyelesaikan permasalahan dengan mengguna-

kan strategi pengetahuan matematika dalam

memecahkan masalah

Menciptakan permasalahan yang baru dari model

yang telah dibuat

6. Experience : Membuat gambar atau model yang berkaitan

dengan permasalahan lain dalam kehidupan

sehari hari.
18

Menafsirkan hasil akhir dari penyelesaian

permasalahan aljabar tersebut

Dalam penelitian ini langkah dan indikator yang digunakan

adalah hasil mengadaptasi dari tesis Noviani (2016). Langkah-

langkah dan indikator yang peneliti gunakan dalam peneliti ini adalah

sebagai berikut:

Tabel 2.1 Langkah dan Indikator Berpikir Metaforis

No
Langkah-langkah Indikator
.
Menggali metafora yang cocok dan sesuai
1 Connect
dengan permasalahan yang diberikan
Mengaitkan hubungan antara masalah yang
diberikan dan metafora dengan materi lain dalam
matematika yang telah siswa ketahui atau
2 Relate dipelajari sebelumnya.

Menyusun penyelesaian metafora yang telah


ditentukan
Menjelaskan kesamaan antara metafora dan
permasalahan yang diberikan serta membuat
3 Explore
model matematika berdasarkan metafora dan
permasalahan yang diberikan
Menganalisis metafora dan hubungannya dengan
4 Analyze permasalahan yang diberikan juga dengan model
matematika yang telah dibuat.
Menyelesaikan permasalahan dan menyimpulkan
informasi dari semua tahapan berpikir metaforis.
5 Tranform
Menciptakan permasalahan baru yang berdasar
pada tahapan yang telah dilalui dalam
menyelesaikan permasalahan.
Membuat model matematika yang berkaitan
dengan permasalahan baru yang telah dibuat.
7 Experience
Menafsirkan hasil akhir atau solusi dari
permaslahan yang diberikan.
19

2. Masalah Barisan dan Deret Aritmatika

Krulik dan Rudnik (dalam Lidinillah, 2012) mendefinisikan

masalah secara formal sebagai berikut :

“A problem is a situation, quantitatif or otherwise, that confront an

individual or group of individual, that requires resolution, and for wich the

individual sees no apparent or obvius means or path to obtaining a

solution.”

Definisi di atas menjelaskan bahwa masalah merupakan suatu

situasi sulit yang dihadapi oleh seseorang atau kelompok dan

memerlukan suatu pemecahan tetapi individu atau kelompok tersebut

tidak memiliki jalan atau obsesi untuk dapat menentukan solusinya. Hal

ini berarti masalah tersebut dapat ditemukan solusinya dengan

pemecahan masalah. Berdasarkan paparan tersebut, peneliti

menyimpulkan bahwa masalah merupakan situasi sulit yang tidak dapat

diselesaikan dengan mudah namun memerlukan strategi penyelesaian

yang tidak biasa untuk menemukan solusinya.

Barisan dan deret aritmatika merupakan salah satu materi yang

harus dikuasai dalam belajar matematika karena disadari atau tidak

disadari materi ini memiliki peran dalam kehidupan sehari-hari. Masalah

pada materi ini sebenarnya sudah ada sejak 2400 tahun yang lalu,

dimana seorang filsuf Yunani mengemukakan krisis matematika yang

dikenal dengan Paradoks Zeno, yang berbunyi :

”Seorang pelari yang harus menempuh suatu jarak tertentu dengan

cara melampaui setengah dari setiap jarak yang ditempuh, sebagai

akibatnya pelari ini tidak akan sampai pada ujung dari jarak yang akan

ditempuhnya”.
20

Pada suatu kesempatan pasti pernah menjumpai sebarisan

bilangan, dan biasanya siswa diminta untuk menentukan nilai-nilai suku

berikutnya. Persoalan semacam ini biasa dijumpai pada kesempatan

mengikuti tes psikologi, seperti test intelegency quetion (IQ), tes

kemampuan umum (TKU), tes potensi akademik (TPA), atau tes-tes

psikologi sesuai bidang keahlian tertentu, yaitu pada bagian tes seri

(Tes Barisan dan Deret).

 Barisan aritmatika

Berdasarkan Afidah dalam bukunya yang berjudul

Matematika Dasar (2014), Definisi dari Barisan ialah :

Barisan aritmatika suatu barisan dengan satu bilangan


tertentu yang bisa ditambahkan pada suku ke berapa
pun untuk mendapatkan suku berikutnya.. dengan
demikian jika U 1 ,U 2 , U 3 , … ,U n ,… merupakan barisan
aritmatika dengan selisih (beda) antar suku sama,
(common difference) yaitu b maka
U n +1=U n +b
Bilangan real b bisa berupa bilangan positif, negatif
atau nol.

Definisi tersebut memberikan pengertian bahwa barisan aritmatika

merupakan urutan bilangan dengan aturan tertentu dalam arti

memiliki selisih atau beda yang konstan. Pengertian tersebut dapat

memberikan gambaran bahwa terdapat titik akhir yang tidak

diketahui nilainya sehingga identik dengan masalah bagaimana

menentukan nilai dari bilangan pada urutan tertentu tersebut.

Barisan aritmatika disebut juga bariisan hitung memiliki notasi

sebagai berikut :

b : beda yang sama = U 2−U 1=U 4 −U 3=…=U n−U n−1


21

a : suku pertama = U 1=f (1)

n : banyaknya suku

U n : suku ke-n = f ( n )

Dengan notasi tersebut, bentuk barisan aritmatika secara umum

adalah sebagai berikut:

Nilai U n : a , a+1 , a+2 b , a+3 b ,a+ 4 b , a+ 5 b , …

Nilai n :1 ,2 , 3 , 4 ,5 , 6 , …

Paparan tersebut menunjukkan bahwa koefisien b adalah 1 pada

suku kedua. Koefisien ini selalu bertambah 1 setiap kita berpindah

ke suku berikutnya. Karena itu koefisien dari b tiap suku 1 angka

lebih rendah daripada suku tersebut.

Hal tersebut menuntun padda rumus umum mencari suku ke-n ini

yaitu :

U n =a+ ( n−1 ) b

Contoh:

(a) Carilah suku ke-6 dari barisan 2, 5, 8, ...

Penyelesaian :

Barisan U1, U2, U3, .... Un dimana Un disini adalah U6

Maka, barisan 2, 5, 8 memiliki beda 3, sehingga untuk nilai U6

adalah U n =a+ ( n−1 ) b

U 6 =a+ ( 6−1 ) b

¿ 2+ ( 5 ) 3

¿ 2+15

¿ 17
22

Jadi nilai dari suku ke-6 dari barisan 2, 5, 8, ... adalah 17.

 Deret aritmatika

Berbeda dengan barisan bentuk dari deret memiliki tanda

penghubung antar suku berupa tanda penjumlahan. Dari bentuk

umum deret dapat dilihat bahwa masalah yang identik dengan deret

ini adalah penentuan jumlah dari seluruh suku yang berada dalam

deret tersebut. Bentuk umum dari deret ini adalah sebagai berikut:

Sn=a+ ( a+ b ) + ( a+2 b )+ …+¿

Sedangkan untuk rumus umumnya adalah :

1
Sn= n¿
2

Sebagai contoh perhatikan soal berikut:

(a) 3+7+ 11+15+…

Berapa jumlah suku 32 suku pertama dari deret aritmatika

tersebut?

Penyelesaian:

S32=3+7+ 11+15+…

1
S32= 32 ( 2 ( 3 )+ (32−1 ) 4 )
2

¿ 16(6 + ( 31 ) 4)

¿ 16 ( 6+124 )

¿ 16(130)

¿ 2080

Jadi jumlah 32 suku bertama dari deret aritmatika

3+7+ 11+15+… adalah 2.080


23

Masalah yang mungkin terjadi berdasarkan penjelasan di atas

sejalan dengan penelitian Pramudianti (2019) yang menyatakan bahwa

salah satu masalah mendasar pada barisan aritmatika ialah menentukan

suku ke-n. Hardiyanti (2016) menyatakan dalam penelitiannya beberapa

kesulitan siswa dalam materi barisan dan deret aritmatika ini yaitu:

1. Kesulitan menentukan suku ke-n yang disebabkan kurangnya

pemahaman konsep barisan suku ke-n.

2. Kesulitan menentukan nilai suku pertama yang disebabkan siswa

kurang memahami konsep suku pertama, yaitu U 1=a

3. Kesulitan siswa dalam mengidentifikasi informasi apa yang

diketahui dalam soal serta mengubahnya ke dalam model

matematika.

Penelitian ini berfokus pada penyelesaian masalah dalam soal

terapan barisan dan deret aritmatika (memodelkan situasi secara

matematis). Kesulitan tersebut sejalan dengan pernyataan Hendriana

(2012) menyatakan bahwa “metaforik dalam matematika dimulai

dengan memodelkan suatu situasi secara matematis, kemudian

model-model itu dimaknai dengan pendekatan dari sudut pandang

semantik”. Untuk menghasilkan makna Carreira (2001) menjelaskan

bahwa penerapan masalah matematika dalam fenomena nyata

memberikan kondisi tersendiri untuk menghasilkan makna dan

pengertian dalam konsep matematika tersebut.

3. Penyelesaian Masalah Matematika

Schunk (dalam Marsmita, 2019) menyatakan “One of the most

important types of cognitive processing that occurs often during learning


24

is problem solving”. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa salah satu

aspek terpenting dalam proses kognitif selama pembelajaran

berlangsung ialah penyelesaian masalah. Menurut Vitasari (dalam

Rohmah, 2017) menyelesaikan masalah merupakan suatu aktivitas

dasar bagi manusia. Seseorang akan melakukan berbagai macam cara

untuk menyelesaikan suatu masalah, apabila seseorang gagal maka

harus mencoba cara yang lain sampai ditemukan penyelesaian dari

amsalah tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, penyelesaian masalah dalam

penelitian ini adalah suatu usaha yang dilakukan seseorang untuk

menemukan solusi dari masalah yang dihadapi.

4. Gaya Kognitif

Setiap individu memiliki cara sendiri dalam menerima, mengolah

dan mengorganisasi informasi yang diterimanya. Keberagaman cara

individu dalam hal ini dapat mempengaruhi cara atau proses berpikir

dalam pemecahan masalah. Susanto (dalam Setiawan, 2016)

menyatakan “proses berpikir seseorang dipengaruhi oleh karakteristik

yang dimilik individu, dimana salah satu karakteristik tersebut ialah gaya

kognitif.” Terkait definisi gaya kognitif, terdapat beberapa pendapat yang

dimukakan para ahli, diantaranya Susanto (dalam Fitriyah, 2017)

menyatakan bahwa “gaya kognitif merujuk pada cara khas seseorang

memproses, menyimpan, dan menggunakan informasi, serta

menanggapi segala bentuk situasi dilingkungannya.” Begitu juga Tenant

(dalam Fitriyah, 2017) menjelaskan gaya kognitif adalah karakteristik

seseorang dan cara individu yang berlaku secara konsisten dalam

mengorganisasi dan memproses informasi. “


25

Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya

kognitif adalah karakteristik individu atau cara unik yang dimiliki

seseorang terkait bagaimana cara individu tersebut menerima,

memproses, menyimpan dan mengingat informasi yang telah diterima

jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

5. Gaya Kognitif Sistematis dan Intuitif

Terdapat beberapa tipe gaya kognitif diantaranya adalah gaya

kognitif Field Dependent-Field Independent yang digolongkan

berdasarkan kadar pengaruh lingkungan terhadap aktivitas kognitif

individu. Gaya kognitif reflektif-impulsif digolongkan berdasarkan

kecepatan dan ketepatan (tempo) dalam merespons sebuah informasi,

gaya kognitif visualizer-verbalizer digolongkan berdasarkan bagaimana

cara belajar dan cara mengkomunikasikan hal yang dipikirkan, dalam

bentuk gambaran visual ataukah kata-kata.

Gaya kognitif sistematis-intuitif digolongkan berdasarkan

bagaimana cara mengevaluasi informasi dan memilih strategi dalam

menyelesaikan masalah (dalam Keen, 1974). Dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan gaya kognitif sistematis dan intuitif karena kedua

gaya kognitif tersebut mempengaruhi aktivitas berpikir, cara memahami,

cara menyusun langkah-langkah dalam mengambil keputusan. Gaya

kognitif sistematis adalah proses berpikir seseorang dalam memilih

strategi penyelesaian masalah secara runtut.. Sedangkan gaya kognitif

intuitif merupakan proses berpikir seseorang dalam memilih strategi

penyelesaian masalah secara singkat (tidak berurutan).. Jena (2014)

menyatakan :
26

“An individual identified as having a systematic style is


one who rates high on the systematic scale and low on the
intuitive scale. The systematic style is associated with
logical, rational behaviour that uses a well-defined stepby-
step approach to thinking, learning, and overall plan for
problem solving. An individual who rates low on the
systematic scale and high on the intuitive scale is
described as having an intuitive style. Someone, whose
style is intuitive, uses an unpredictable ordering of
analytical steps when solving a problem, relies on
experience patterns, and explores and abandons
alternatives quickly.”

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa individu yang

diidentifikasi memiliki gaya sistematis adalah individu yang berpedoman

tinggi pada skala sistematis dan rendah pada skala intuitif. Gaya

sistematis dikaitkan dengan logika, perilaku rasional yang menggunakan

pendekatan step-by-step yang jelas untuk berpikir, belajar, dan rencana

keseluruhan dalam pemecahan masalah. Sedangkan seorang individu

yang memiliki nilai rendah pada skala sistematis dan tinggi pada skala

intuitif digambarkan memiliki gaya intuitif. Seseorang, yang memiliki

gaya intuitif, menggunakan alur langkah analitis yang tidak dapat

diprediksi saat menyelesaikan masalah, bergantung pada pola

pengalaman, dan mengeksplorasi serta meninggalkan alternatif dengan

cepat.

Berdasarkan penelitian Fitriyah (2017) karakteristik antara gaya

kognitif sistematis dan intuitif digambarkan sebagai berikut:

Tabel 2.3 Karakteristik Gaya Kognitif Sistematis—Intuitif


Sumber : Fitriyah (2017)

Karakteristik Gaya Kogniif


Sistematis Intuitif
Mula-mula mencari suatu Memperhatikan keseluruhan

metode pendekatan. masalah (global).


Menentukan jawaban Mempercayai petunjuk atas
27

berdasarkan suatu metode atau perasaan atau keyakinan.

strategi perencanaan.
Berpikir secara divergen. Berpikir secara konvergen.
Melakukan tahapan berpikir dan
Melompat-lompat dalam
mengerjakan secara urut
jalan pikirannya (tidak terorganisir).
(terorganisir).
Melakukan penelitian dengan Sering merumuskan masalah itu

teratur untuk mencari data yang kembali.

lebih banyak

Berdasarkan paparan pada tabel di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa individu yang memiliki gaya kognitif sistematis

cenderung lebih berhati-hati dalam menentukan langkah serta memiliki

pandangan bahwa setiap langkah yang ditentukan memerlukan

perencanaan yang matang agar mendapatkan solusi atau jawaban yang

tepat. Sedangkan individu dengan gaya kognitif intuitif cenderung

memiliki pandangan bahkan sampai melakukan hal-hal yang tidak

terduga. Individu ini cenderung melihat masalah secara global, memiliki

kemampuan visual yang dapat diandalkan, meyakini sebuah firasat yang

dimilikinya terkait maslaah tersebut adalah benar serta penuh

spontanitas.

6. Kriteria Gaya Kognitif Sistematis dan Intuitif

Untuk mengetahui seorang individu bergaya kognitif sistematis

atau intuitif, maka diperlukan alat yang berupa angket gaya kognitif.

Angket tersebut dikembangkan oleh Lorna P. Martin yaitu angket

Cognitive Dtyle Inventory (CSI) yang terdiri atas 40 butir pertanyaan

yang disusun secara acak mengikuti pola berikut A-C-E dan B-D-F.

Artinya setelah pertanyaan intuitf maka selanjutnya ialah pertanyaan


28

sistemaatis begitu seterusnya sampai soal ke 40. Terdapat skala 1-5

untuk menentukan respon terhadap setiap pertanyaan yang ada.

Setiap pernyataan tentang karakteristik tentu memiliki skor

sebagai penentu karakter sistematis atau intuitif yang dimiliki individu

tersebut. Selanjutnya skor pada pernyataan sistematis disebut dengan

skor sistematis dan skor pada pernyataan intuitif disebut dengan skor

intuitif. Skor sistematis dan skor intuitif ini yang kemudian digunakan

untuk menentukan gaya kognitif sistematis atau intuitif yang dimiliki

individu tersebut.

Adapun pengklasifikasian kategori gaya kognitif yang

dikemukakan oleh Lorna P. Martin.

Gambar 2.4 Skor Tes Gaya Kognitif (CSI)


Sumber: artikel Lorna P. Martin

Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa siswa

disebut bergaya kognitif sistematis apabila skor sistematis lebih dominan

daripada skor intuitif. Begitu pula sebaliknya apabila skor intuitifnya lebih

dominan daripada skor sistematis maka siswa tersebut termasuk siswa

yang memiliki gaya kognitif intuitif.

7. Gaya Kognitif Sistematis – Intuitif dalam Berpikir Metaforis


29

Berpikir metaforis merupakan aktivitas mental yang dilakukan

manusia untuk memecahkan masalah menggunakan metafora dengan

menentukan hubungan antara konsep dan fenomena nyata sesuai

dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki. Hal tersebut

sesuai dengan pernyataan Karena berpikir metaforis merupakan salah

satu proses berpikir dan sejalan dengan pendapat Susanto (dalam

Setiawan, 2016) bahwa proses berpikir seseorang dipengaruhi oleh

karakter yang dimiliki individu tersebut. Salah satu karakteristik tersebut

adalah gaya kognitif. Gaya kognitif sistematis dan intuitif merupakan

salah satu pengklasifikasian berdasarkan cara seseorang memilih

strategi dan pengambilan keputusan. Sehingga gaya kognitif sistematis

dan intuitif ini memiliki peran dalam pemilihan metafora yag akan

digunakan dalam pemecahan masalah matematika yang dihadapi serta

penentuan strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah

matematika tersebut. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan

bahwa gaya kognitif sistematis dan intuitif ini memiliki hubungan dengan

berpikir metaforis.

8. Hubungan antara Berpikir Metaforis siswa SMA dalam Penyelesaian

Masalah Barisan dan Deret Artitmatika Ditinjau dari Gaya Kognitif

Berpikir metaforis merupakan aktivitas mental yang dilakukan

manusia untuk menyelesaikan masalah menggunakan metafora dengan

menentukan hubungan antara konsep dan fenomena nyata sesuai

dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki.

Dalam menyelesaikan masalah tersebut individu akan

menggunakan metafora untuk memperjelas informasi yang mereka

terima dan ide apa yang mereka miliki untuk menemukan solusi dari
30

masalah tersebut. Metafora ini menghubungkan antara dua domain

dimana kedua domain yang dimaksud adalah konsep matematika dan

fenomena nyata yang merupakan pengalaman individu tersebut.

Penentuan metafora ini merupakan sebuah pilihan individu tersebut

dimana pilihan tersebut dihasilkan dari sebuah keputusan individu. Pada

fase pengambilan keputusan ini pengaruh gaya kognitif sistematis dan

intuitif terlihat. Sehingga terdapat hubungan yang sinergis antara berpikir

metaforis dalam penyelesaian masalah ditinjau dari gaya kognitif.

B. Penelitian Yang Relevan

1. Windi Setiawan. 2016. Profil Berpikir Metaforis (Metaphorical Thinking)

Siswa SMP dalam Memecahkan Masalah Pengukuran Ditinjau dari Gaya

Kognitif. Universitas Negeri Surabaya.

Hasil dari penelitian tersebut adalah sebuah kesimpulan bahwa

terdapat perbedaan profil berpikir metaforis antara siswa bergaya kognitif

impulsif dan siswa bergaya kognitif reflektif dalam memecahkan

masalah pengukuran. Relevansi penelitian ini adalah penelitian yang

akan dilakukan mengenai profil berpikir metaforis siswa dalam

pemecahan masalah yang dihadapi. Perbedaan dari penelitian yang

akan dilakukan peneliti dan penelitian Setiawan (2016) terletak pada

materi dan peninjauan. Pada penelitian Setiawan (2016) terfokus pada

materi pengukuran dan siswa yang memiliki gaya kognitif impulsif-

reflektif. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti berfokus

pada materi barisan dan deret aritmatika serta siswa yang memiliki gaya

kognitif sistematis dan intuitif.

2. Badriyatusholihah. 2017. Profil Berpikir Metaforis (Metaphorical Thinking)

Dalam Memecahkan Masalah Aljabar Ditinjau dari Gaya Belajar VAK


31

(Visual, Auditori, Kinestetik) pada Siswa Kelas Vii Smp Negeri 3 Sidoarjo.

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Surabaya

Hasil dari penelitian tersebut adalah sebuah kesimpulan bahwa

terdapat perbedaan profil berpikir metaforis antara siswa bergaya belajar

visual, auditory dan kinestetik dalam memecahkan masalah aljabar.

Relevansi penelitian ini adalah penelitian yang akan dilakukan mengenai

profil berpikir metaforis siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapi.

Perbedaan dari penelitian yang akan dilakukan peneliti dan penelitian

Badriyatusholihah (2017) terletak pada materi dan peninjauan. Pada

penelitian Badriyatusholihah (2017) terfokus pada materi aljabar dan

siswa yang memiliki gaya belajar VAK. Sedangkan penelitian yang akan

dilakukan peneliti berfokus pada materi barisan dan deret aritmatika

serta siswa yang memiliki gaya kognitif sistematis dan intuitif.

3. Afrilianto dkk. 2017. Profil Penalaran Proposal Siswa SMP dalam

Memecahkan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif

Sistematis dan Intuitif. Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

antara siswa yang bergaya kognitif sistematis dan intuitif pada proses

pemecahan masalah. Namun kedua gaya tersebut gagal membedakan

masalah proporsional dan bukan masalah proporsional pada tahapan

memahami masalah. Relevansi penelitian ini adalah penelitian yang

akan dilaksanakan peneliti juga meninjau dari gaya kognitif sistematis

dan intuitif. Sedangkan perbedaannya adalah pada hal yang ingin digali

jika pada penelitian Afrilianto dkk (2017) menggali tentang profil

penalaran proporsional maka pada penelitian yang akan dilaksanakan

peneliti adalah tentang profil berpikir metaforis.


32

4. Fitriyah. 2017. Analisis Penalaran Proporsional Siswa Dalam

Menyelesaikan Masalah Perbandingan Dibedakan Berdasarkan Gaya

Kognitif Sistematis-Intuitif Kelas VIIIC di SMP Negeri 8 Surabaya.

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.

Hasil dari penelitian Fitriyah (2017) ini adalah deskripsi dari

penalaran proporsional siswa bergaya kognitif sistematis dan intuitif

dalam menyelesaikan masalah. Deskripsi tersebut menyatakan bahwa

memang terdapat perbedaan dalam penyelesaian masalah tersebut.

Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang akan penelilti lakukan

adalah peninjauan yakni dari gaya kognitif sistematis dan intuitif.

Sedangkan untuk perbedaannya adalah penelittian Fitriyah (2017)

tentang profil penalaran proporsional sedangkan peneliti tentang profil

berpikir metaforis.

C. Kerangka Berpikir

Berpikir dan pemecahan masalah merupakan hal yang tidak bisa

dipisahkan. Hal tersebut karena berpikir merupakan aktivitas mental yang

dialami seeorang ketika berhadapan dengan kadaan atau situasi yang

memerlukan sebuah pemecahan. Retna (dalam Hidayati, 2017) menyatakan

kebanyakan siswa menganggap masalah matematika itu rumit terutama

yang tidak bisa diselesaikan dengan cara praktis. Artinya masalah

matematika tersebut memerlukan pemecahan atau solusi. Berdasarkan

paparan tersebut maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa situasi atau

kondisi yang demikian dapat memicu individu untuk berpikir. Proses berpikir

dapat dilihat dari tahapan pemecahan masalah yang dilakukan oleh individu

tersebut. Untuk memecahkan sebuah masalah maka diperlukan strategi


33

khusus yang dapat memunculkan ide-ide atau gagasan yang dimiliki untuk

mencapai tujuan.

Berpikir metaforis merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan

untuk membantu individu memecahkan masalah. Berpikir metaforis di atas

dapat disimpulkan bahwa berpikir metaforis merupakan aktivitas mental yang

dilakukan manusia untuk memecahkan masalah menggunakan metafora

dengan menentukan hubungan antara konsep dan fenomena nyata sesuai

dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki. Penggunaan

metafora ini memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk

mengeksplorasi ide-ide cemerlang yang dimiliki. Dalam upaya

menumbuhkan berpikir metaforis seseorang maka memberikan suatu

masalah matematika menjadi salah satu pilihan. Masalah matematika dapat

dijumpai pada materi barisan dan deret aritmatika.

Proses berpikir metaforis dalam pemecahan masalah barisan dan

deret aritmatika ini dipengaruhi oleh bagaimana cara individu menerima,

memproses, menyimpan dan mengorganisasikan serta menyampaikan

sebuah informasi atau sering disebut dengan gaya kognitif. Gaya kognitif

merupakan karakter, karena setiap individu memiliki cara yang berbeda

dalam menerima, memproses, menyimpa dan mengorganisasikan serta

menyampaikan sebuah informasi. Karakter itu sendiri merupakan ciri khas

yang menetap pada diri seseorang yaang sifatnya permanen. Hal tersebut

dikuatkan oleh pernyataan Susanto (dalam Setiawan, 2016) bahwa proses

berpikir seseorang dipegaruhi oleh karakter seseorang tersebut. Salah satu

karakter tersebut adalah gaya kognitif.

Gaya kognitif sistematis dan intuitif merupakan gaya kognitif yang

diklasifikasikan berdasarkan bagaimana seeorang mengambil keputusan

dan memilih strategi, hal tersebut dinyatakan oleh Martein (dalam Afrilianto,
34

2017). Berdasar pada pernyataan tersebut, kedua gaya kognitif ini

berpengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk menentukan strategi

pemecahan masalah yang akan digunakan serta metafora seperti apa yang

dapat membantu seseorang tersebut mencapai pada solusi yang tepat.

Berikut peneliti sajikan dalam bentuk bagan :


35

Gambar 2.5 Bagan Kerangka Berpikir

Masalah Matematika

Masalah barisan dan deret


aritmatika

Dipengaruhi
Cara Berpikir

membutuhkan
Salah satunya adalah

Berpikir Metaforis Pemecahan masalah

Ditinjau dari

Gaya kognitif sistematis dan


intuitif

Sehingga

Profil Berpikir Metaforis Siswa SMA dalam Memecahkan Masalah Barisan dan
Deret Aritmatika Ditinjau dari Gaya Kognitif.

Anda mungkin juga menyukai