Anda di halaman 1dari 21

MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH

TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN


HEPATITIS B

MATERI INTI 3 : TATA LAKSANA IBU HAMIL TERINFEKSI


HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B

DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN


PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN R.I.

J ULI 2017
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B

MATERI INTI-3

TATA LAKSANA IBU HAMIL TERINFEKSI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B

I. Deskripsi Singkat

Risiko penularan HIV, pada bayi dari ibu dengan HIV 5-10% terjadi intrauterin, 10-
20% pada saat persalinan dan 10-15% pada saat menyusui , sedangkan pada sifilis
dan hepatitis B risiko penularan terbesar pada masa hamil. Untuk mengurangi risiko
penularan tersebut, perlu dilakukan penatalaksanaan obstetri yang aman, yang
meliputi perawatan antenatal, persalinan terencana yang aman, dan perawatan
pasca persalinan. Perawatan antenatal meliputi manfaat tes rutin HIV, Sifilis dan
Hepatitis B untuk ibu hamil. Penatalaksanaan persalinan termasuk menjelaskan
keuntungan dan kerugian dari metode persalinan pilihan bagi ibu dengan HIV, Sifilis
dan Hepatitis B. Sementara perawatan pasca persalinan meliputi perawatan
kebersihan dan kesehatan saat nifas, metode kontrasepsi yang dapat dipilih,
menjelaskan rujukan lembaga pemberi layanan kesehatan bagi ibu hamil dengan
HIV, Sifilis dan Hepatitis B, Pemahaman yang benar serta ketepatan dalam
penatalaksanaan obstetri bagi ibu hamil dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B
sangatlah penting dalam pelaksanaan program PPIA. Modul ini akan membahas
tentang: Penatalaksanaan antenatal bagi ibu dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B
dan ibu yang belum diketahui status HIV, Sifilis dan Hepatitis B-nya;
Penatalaksanaan persalinan bagi ibu dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dengan ibu
yang belum diketahui statusnya; Penatalaksanaan nifas bagi ibu dengan HIV, Sifilis
dan Hepatitis B dan ibu berisiko yang status HIV, Sifilis dan Hepatitis B-nya belum
diketahui dan Kontrasepsi yang dapat dipilih oleh ibu dengan HIV, Sifilis dan
Hepatitis B.

II. Tujuan Pembelajaran

A. Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melakukan tata laksana Ibu
Hamil sesuai standar

B. Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah mengikuti materi, peserta mampu:

1. Melakukan penatalaksanaan antenatal bagi ibu dengan HIV dan ibu yang
belum diketahui status HIV , Sifilis dan Hepatitis B nya.
2. Melakukan penatalaksanaan persalinan bagi ibu dengan HIV, Sifilis dan
Hepatitis B dan ibu yang belum diketahui statusnya.
3. Melakukan penatalaksanaan nifas bagi ibu dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B
dan ibu berisiko yang status HIV, Sifilis dan Hepatitis B nya belum diketahui.

MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 1
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B

4. Memberikan pilihan kontrasepsi yang dapat dipilih oleh ibu dengan HIV, Sifilis
dan Hepatitis

III. Pokok Bahasan

1. Penatalaksanaan antenatal bagi ibu dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dan ibu
yang belum diketahui statusnya
2. Penatalaksanaan Persalinan bagi :
a. Ibu dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B
b. Ibu yang belum diketahui statusnya.
3. Penatalaksanaan nifas bagi ibu dengan atau tanpa diketahui HIV, Sifilis dan
Hepatitis B
4. Kontrasepsi yang dapat dipilih oleh ibu dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B

IV. Metode

 Curah pendapat
 Ceramah tanya jawab
 Diskusi Kasus

V. Media dan Alat bantu

 LCD dan kelengkapannya


 Papan tulis / white board dan kelengkapannya
 Flipchart dan kelengkapannya
 Bahan tayang

VI. Langkah-Langkah Pembelajaran (Waktu: 4 Jpl = 180 menit)

Langkah 1. Pengkondisian (waktu 5 menit)

1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum


pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan.
Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat
bekerja/pengalaman bekerja terkait dengan materi yang akan
disampaikan.
2. Menyampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang
akan dibahas, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang.

Langkah 2. Pembahasan Pokok Bahasan 1. (waktu 30 menit)

1. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang tatalaksana


pelayanan antenatal mengenai terapi pada ibu hamil yang terinfeksi HIV,
sifilis dan Hepatitis B dengan menggunakan bahan tayang
2. Fasilitator memberikan kesempatan pada peserta untuk taya jawab selama
atau sesudah presentasi

MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 2
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B

Langkah 3. Pembahasan Pokok Bahasan 2. (waktu: 30 menit)

1. Fasilitator melakukan curah pendapat, menggali pengetahuan dan atau


pengalaman peserta tentang Penatalaksanaan persalinan dan kelahiran
bagi ibu dengan HIV dan ibu yang belum diketahui status HIVnya. Tuliskan
poin-poin penyampaian dari peserta pada kertas flipchart.
2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang Penatalaksanaan
persalinan dan kelahiran bagi ibu dengan HIV dan ibu yang belum
diketahui status HIVnya menggunakan bahan tayang. Kaitkan dengan
pendapat peserta agar merasa dihargai.
3. Setelah seluruh presentasi selesai, atau selama presentasi fasilitator
memberi kesempatan peserta untuk tanya jawab .

Langkah 4. Pokok Bahasan 3. (waktu: 30 menit)

1. Fasilitator melakukan curah pendapat, menggali pengetahuan dan atau


pengalaman peserta tentang Penatalaksanaan nifas bagi ibu dengan HIV
dan ibu yang belum diketahui status HIV nya. Tuliskan poin-poin
penyampaian dari peserta pada kertas flipchart.
2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang Penatalaksanaan
nifas bagi ibu dengan HIV dan ibu yang belum diketahui status HIV nya
menggunakan bahan tayang. Kaitkan dengan pendapat peserta agar
merasa dihargai.
3. Setelah seluruh presentasi selesai, atau selama presentasi fasilitator
memberi kesempatan peserta untuk tanya jawab .
4. Memfasilitasi Bermain peran tentang Penawaran (konseling)
penatalaksanaan nifas, sesuai dengan petunjuk Bermain peran yang ada
pada fasilitator. Petunjuk penugasan terlampir pada kurikulum pelatihan
PPIA bagi petugas kesehatan.

Langkah 5. Pokok Bahasan 4 (waktu: 30 menit)

1. Fasilitator melakukan curah pendapat, menggali pengetahuan dan atau


pengalaman peserta tentang Kontrasepsi yang dapat dipilih oleh ibu dengan
HIV. Tuliskan poin-poin penyampaian dari peserta pada kertas flipchart.
2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang Kontrasepsi yang dapat
dipilih oleh ibu dengan HIV menggunakan bahan tayang. Kaitkan dengan
pendapat peserta agar merasa dihargai.
3. Setelah seluruh presentasi selesai, atau selama presentasi fasilitator memberi
kesempatan peserta untuk tanya jawab .

Langkah 6. Penugasan (waktu 45 menit)


1. Fasilitator membagi peserta dalam 4 kelompok
2. Memberikan kasus sesuai dengan pokok bahasan yang telah diberikan

MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 3
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B

3. Peserta mendiskusikan lalu memaparkan hasil diskusi


4. Peserta lain memberikan umpan balik
5. Fasilitator memberikan kesimpulan diskusi

Langkah 7. Rangkuman dan Penutup (waktu 10 menit)

Fasilitator mengajak peserta merangkum apa yang telah dipelajari peserta dalam
sesi ini
Fasilitator menutup sesi dengan mengucapkan terimakasih dan salam.

VII. Uraian Materi

Pokok Bahasan 1. Penatalaksanaan Antenatal Bagi Ibu Dengan HIV, Sifilis,


Hepatitis B dan Ibu yang Belum Diketahui Statusnya

Materi tentang penatalaksanaan antenatal sebagian telah dibahas pada materi Inti
1. Pada sesi ini akan dilakukan pendalaman mengenai Terapi pada ibu hamil
terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B.

A. Terapi pada Ibu Hamil Terinfeksi HIV

Pada prinsipnya terapi ARV pada PPIA mengikuti standar terapi ARV pada orang dewasa
(lihat buku standar).

Manfaat Terapi ARV dalam program PPIA sama dengan terapi ARV untuk pasien HIV
pada umumnya yaitu :

1. Memperbaiki status kesehatan dan kualitas hidup


2. Menurunkan rawat inap akibat HIV
3. Menurunkan kematian terkait AIDS
4. Mencegah Infeksi oportunistik
5. Menurunkan angka penularan HIV dari ibu ke anak dan kepada orang lain.

Prinsip pemberian ARV selama kehamilan, persalinan, dan setelah melahirkan adalah

sebagai berikut :

 Secara umum, yang direkomendasikan untuk ibu hamil HIV positif adalah terapi
menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Perlu dihindari penggunaan
“triple nuke” (3 NRTI).

 Untuk ibu yang status HIV-nya diketahui sebelum kehamilan dan sudah
mendapatkan ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan perpaduan obat yang sama
seperti saat sebelum hamil.

 Untuk ibu hamil yang status HIV diketahui saat kehamilan, segera diberikan ARV
sedini mungkin tanpa melihat umur kehamilan, berapapun nilai CD4 dan stadium
klinisnya. Perpaduan obat ARV yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu.

MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 4
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B

 Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sesaat menjelang persalinan,
segera diberikan ARV sesuai dengan kondisi klinis. Pilihan perpaduan obat ARV
sama dengan ibu hamil dengan HIV lainnya.

 Wanita hamil dengan HIV (+) datang saat inpartu,dan belum pernah mendapatkan
ARV bila Ibu akan menyusui diberikan ARV, bila Ibu tidak akan menyusui mengikuti
syarat eligibilitas untuk terapi ARV ODHA Dewasa

Merujuk pada pedoman muktahir, semua ibu hamil dengan HIV diberi terapi ARV,
tanpa harus memeriksakan jumlah CD4 dan viral load terlebih dahulu, karena
kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur hidup
(lihat Bagan 5). Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau pengobatan – bukan
sebagai acuan untuk memulai terapi.

Bagan 1. Alur pemberian ARV pada ibu hamil

Ibu hamil

HIV Negatif HIV Positif

Mulai terapi ARV tanpa memandang


umur kehamilan, jumlah CD4 dan
stadium klinis

Untuk memulai terapi ARV perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:

1. Persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi melalui edukasi pra-
pemberian ARV;

2. Bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut perlu diobati terlebih dahulu.
Terapi ARV baru bisa diberikan setelah infeksi oportunistik diobati dan stabil (kira-
kira setelah dua minggu sampai dua bulan pengobatan). Terapi ARV dapat dimulai
dengan pemberian kotrimoksazol untuk melihat kepatuhan dan mengobati infeksi
oportunistik yang ada;

3. Pada ibu hamil dengan tuberkulosis: OAT selalu diberikan mendahului ARV sampai
kondisi klinis pasien memungkinkan (kira-kira dua minggu sampai dua bulan) dengan
fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV.

Pada awal pengobatan, klien yang tidak mendapat kotrimoksasol profilaksis, perlu kontrol
lebih sering (satu minggu, kemudian dua minggu, dan seterusnya) sebagai cara
pemantauan efek samping dan kepatuhan klien. Dengan demikian, jumlah ARV yang
diberikan mengikuti jadwal kunjungan.

MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 5
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B

Syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR, yaitu sebagai
berikut.

1. Siap: menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV terhadap infeksi HIV.
2. Adherence: kepatuhan minum obat.
3. Disiplin: minum obat dan kontrol ke dokter.
4. Aktif: menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi.
5. Rajin: memeriksakan diri jika timbul keluhan

Tabel 2. Pemberian obat ARV pada berbagai situasi klinis ibu hamil

No Situasi klinis Rekomendasi pengobatan


1  ODHA hamil, segera  TDF(1x300mg) + 3TC (atau FTC) (1x300mg) +
terapi ARV EFV (1x600mg)
 ODHA datang pada masa
persalinan dan belum Alternatif:
mendapat terapi ARV,  AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP
lakukan tes, bila hasil (1x200mg, setelah 2 minggu 2x200mg)
reaktif berikan ARV  TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) +
NVP (2x200mg)
 AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + EFV
(1x600mg)

2 ODHA sedang  Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan


menggunakan ARV dan sesudah persalinan
kemudian hamil
3 ODHA hamil dengan  TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (1x300mg) +
Hepatitis B yang EFV (1x600mg) atau
memerlukan terapi  TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) +
NVP (2x200mg)

4 ODHA hamil dengan  Bila OAT sudah diberikan, maka dilanjutkan. Bila
tuberkulosis aktif belum diberikan, maka OAT diberikan terlebih
dahulu sebelum pemberian ARV.
 Rejimen untuk ibu bila OAT sudah diberikan dan
tuberkulosis telah stabil: TDF + 3TC + EFV

Keterangan: AZT/ZDV: zidovudin; 3TC: lamivudin; FTC: emtricitabin; NVP: nevirapin; EFV:
efavirens; TDF: tenovofir

MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 6
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B

Tabel 3. Efek samping obat dan kontraindikasi pemberian ARV

Nama Efek samping/efek toksik Kontraindikasi


obat
AZT  Anemia (makin lama pajanan makin berat, namun  Alergi obat
reversibel)  Hb < 7 g/dL
 Mual, sakit kepala, mialgia, insomnia  Netropenia (<750
sel/mm3)
 Disfungsi hati dan ginjal
berat
NVP  Hepatotoksik (perlu observasi klinis dalam 12  Alergi terhadap
minggu pertama) benzodiazepin
 Ruam kulit  Disfungsi hati
TDF  Nefrotoksik (perlu observasi klinis selama 6 bulan  Disfungsi ginjal
pertama)

MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 7
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN

JENIS-JENIS ARV YANG TERSEDIA DI INDONESIA

Pemberian ARV tentunya harus disesuaikan dengan jenis ARV apa yang tersedia di
Indonesia, yang dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 1 jenis ARV yang tersedia di Indonesia

Golongan Nama Singkatan Nama dagang Sediaan


generik
Nucleoside Zidovudin AZT, ZDV Retrovir, Zidovex, Kapsul/tablet 300 mg;
reverse Reviral kapsul 100 mg
transcriptase Lamivudin 3TC Epivir, Lamivox, Tablet 150 mg; larutan
inhibitor (NRTI) Hiviral 10 mg/ml; tablet 150
Stavudin d4T Zerit, Stavex Kapsul
mg 30 mg, 40 mg
Didanosin ddI Videx Tablet kunyah 100 mg
Non nucleoside Nevirapin NVP Viramune, Tablet 200 mg
reverse Nevirex
transcriptase Efavirens EFV Stocrin, Efavir Tablet 600 mg
inhibitor (NNRTI)
Protease inhibitor Nelfinavir NVF Viracept, Nelvex Tablet 250 mg
(PI) Lopinavir/ LPV/r Alluvia, Kaletra Tablet: 200mg
ritonavir lopinavir, 50 mg
Saquinavir SQV ritonavir
Tablet 200 mg, 500 mg
Koformulasi AZT dan Combivir, AZT 300 mg + 3TC 150
3TC Zidovex-L, mg
Duviral
AZT, 3TC Zidovex-LN  AZT 300 mg + 3TC
dan NVP 150 mg + NVP 200
Triviral mg
 AZT 300 mg + 3TC
150 mg + NVP 200
mg

Beberapa sifat farmakologis ARV

Zidovudin (AZT, ZDV)

1. Cepat diserap sepenuhnya dengan diminum.


2. Dampak zidovudin pada prenatal dan neonatal masih dalam batas kewajaran.
3. Terjadi anemia ringan, namun biasanya sembuh ketika pengobatan selesai.
4. Dapat diminum dengan atau tanpa makan terlebih dahulu.
Nevirapine (NVP)
1. Cepat diserap sepenuhnya dengan diminum dan dapat melewati sawar plasenta
dengan cepat.
2. Paruh umur yang panjang yang menguntungkan sang bayi.
3. Dapat diminum dengan atau tanpa makan terlebih dahulu.

8
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN

Lamivudine (3TC)

1. Cepat diserap sepenuhnya dengan diminum.


2. Dapat diminum dengan obat lainnya yang mengobati gejala yang mirip dengan HIV.
3. Dapat diminum dengan atau tanpa makan terlebih dahulu.

Toksisitas dan kontra-indikasi Rejimen Antiretroviral (ARV)


1. Efek samping tersering dari AZT, AZT dan 3TC: mual, sakit kepala, mialgia,
insomnia dan biasanya berkurang jika tetap diberikan
2. Kontra indikasi AZT, AZT dan 3TC: alergi obat, kadar hemoglobin di bawah
7g/dL, netropenia (<750 sel/mm3), disfungsi hepar atau ginjal yang berat
3. Efek toksik pada ibu hamil jarang namun berbahaya: asidosis laktat, hepatic
steatosis, pankreatitis, toksisitas mitokondria lain.
4. Toksisitas jangka pendek pada bayi (AZT) yang penting: anemi (makin lama
pajanan makin berat anemi dan reversibel)
5. Efek samping terbesar dari NVP: hepatotoksik dan ruam kulit. Jumlah CD4 > 250:
risiko untuk hepatotoksik adalah 10 kali daripada CD4 yg rendah.
6. Kontra indikasi NVP: alergi terhadap NVP.
7. Pada janin: jika pajanan lama dapat menyebabkan toksisitas hematologi
termasuk netropeni, hepatotoksik, ruam kulit
8. Efavirens dapat diberikan pada usia kehamilan trimester I, karena belum terbukti
menyebabkan efek teratogenik (WHO dan Panel Ahli tahun 2013)

B. TERAPI SIFILIS PADA IBU HAMIL

Setiap ibu hamil yang tes serologi positif (dengan metoda apa-pun) minimal diobati dengan
suntikan 2,4 juta IU benzatin benzyl penicilin IM pada saat itu. Bila memungkinkan diberikan
3 dosis dengan selang waktu 1 minggu, sehingga dosis total 7,2 juta unit. Terapi sifilis pada
ibu hamil dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Terapi sifilis pada ibu hamil

Stadium Terapi sifilis pada ibu hamil Alternatif bagi yang alergi penisilin

Sifilis Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta Eritromisin 4 x 500 mg oral / hari
primer dan IU, injeksi IM dosis tunggal selama 30 hari
sekunder

Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta Eritromisin, 4 X 500 mg oral /hari


IU, injeksi IM, satu kali/minggu minimal selama 30 hari.
Sifilis laten selama 3 minggu berturut-turut.

Catatan:

 Bila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak di temukan obat Benzatin benzyl penicillin
dan yang ada hanya Procain benzyl penicillin, untuk terapi sifilis dosis Procain benzyl
penicillin 600.000 IU setiap hari selama minimal 30 hari berturut turut, pasien
mendapatkan dosis total 18 juta IU.

9
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN

 Sebaiknya mengunakan injeksi benzathin benzylpenicillin, karena prokain benzyl


penicillin bersifat short acting (24 Jam) dan penyuntikan selama minimal 30 hari
berturut turut dapat menyebabkan drop out pengobatan.

 Sebelum injeksi benzathin benzylpenicillin atau procain benzyl penicillin perlu


dilakukan uji penisilin terlebih dulu untuk memastikan pasien tidak alergi terhadap
penisilin.

 azitromisin dan ceftriakson tidak direkomendasikan pada terapi ibu hamil sifilis karena
meningkatkan resistensi

 Eritromisin hanya diberikan pada ibu hamil sifilis bila memang tidak ada pilihan obat
lain

C. TERAPI HEPATITIS B PADA IBU HAMIL

Seperti halnya pada penyakit infeksi lainnya, pencegahan Hepatitis B dapat dilakukan
secara non-spesifik dan spesifik.

1. Pencegahan non – spesifik


Pencegahan non – spesifik dilakukan dengan menerapkan kewaspadaan universal dan
melaksanakan deteksi dini pada kelompok beresiko tinggi. Prinsip kewaspadaan
universal, seperti penggunaan sarung tangan ketika bekerja melibatkan cairan tubuh
penderita, penanganan limbah jarum suntik yang benar, sterilisasi alat yang benar
sebelum melakukan proses invasive, dan mencuci tangan sebelum menangani penderita
dapat mengurangi resiko penularan terutama pada tenaga medis/para medis, yaitu salah
satu kelompok yang paling beresiko tertular Hepatitis B. selain itu, deteksi dini sebaiknya
dilakukan pada kelompok beresiko tinggi, yaitu orang yang lahir di di daerah dengan
endemis tinggi HBV, orang dengan pasangan seksual multiple, homoseksual, ibu hamil,
penderita HIV, penderita hepatitis C, penasun, penderita yang menjalani hemodialisis,
penderita dengan terapi imunosuspresan dan orang dengan kadar ALT/AST tinggi dan
menetap.

Untuk memutus rantai penularan, perlu disampaikan (KIE) kepada penderita Hepatitis B
hal-hal sebagai berikut:
 Memberikan imunisasi pada pasangan seksual
 Menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan yang belum
diimunisasi
 Tidak bertukar sikat gigi ataupun pisau cukur
 Menutup luka yang terbuka agar darah tidak kontak dengan orang lain
 Tidak mendonorkan darah, organ, ataupun sperma

2. Pencegahan spesifik
Pencegahan spesifik dilakukan dengan memberikan perlindungan khusus (specific
protection). Bagi orang yang tidak diimunisasi dan terpajan dengan haepatitis B,
pencegahan post exposure perlu diberikan kombinasi: 1) HBIG (Hepatitis B Immune

10
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN

Globulin) untuk memperoleh kadar anti-HBs yang tinggi dalam waktu singkat; dan 2)
vaksin Hepatitis B untuk kekebalan jangka panjang dan mengurangi gejala klinis. Untuk
pajanan pada perinatal (bayi yang lahir dari ibu Hepatitis B), perlu segera diberikan
HBIG dosis tunggal (single dose) 0,5 mL secara intamuskular di paha setelah
persalinan, diikuti pemberian 3 dosis vaksin Hepatitis B yang dimulai pada usia 12 hari
setelah persalinan. Untuk mereka yang mengalami inokulasi langsung atau kontak
mukosa langusng dengan cairan tubuh penderita Hepatitis B, maka profilaksis yang
digunakan adalah HBIG dosis tunggal 0,06 mL/kgBB, yang diberikan sesegera
mungkin. Penderita kemudian diberikan imunisasi Hepatitis B yang dimulai dari minggu
pertama setelah pajanan. Bila pajanan yang terjadi adalah kontak seksual, maka
pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kgBB diberikan sebelum 14 hari setelah pajanan dan
diikuti dengan imunisasi. Pemberian HBIG dan vaksin Hepatitis B dapat dilakukan pada
waktu bersamaan di lokasi injeksi yang berbeda.
Vaksin Hepatitis B yang tersedia saat ini merupakan vaksin rekombinan HBsAg yang
diproduksi dengan bantuan ragi. Vaksin diberikan sebanyak 4 kali dengan cara injeksi
intramuscular (di deltoid, bukan gluteus) pada 0 hari, dilanjutkan pada bulan ke – 2, ke –
3 dan ke – 4 (program imunisasi nasional) Indonesia telah mulai menyertakan imunisasi
Hepatitis B dalam program imunisasi nasional pada bayi baru lahir tahun 1997.

Imunisasi Hepatitis B mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi VHB selama


lebihdari 20 tahun. Keberhasilan imunisasi dinilai dari terdeteksinya anti HBs dalam
serum penderita setelah pemberian imunisasi Hepatitis B lengkap. Tingkat keberhasilan
imuniasi ditentkan oleh factor usia penderita. Lebih dari 95% tingkat kesuksesan
imunisas ipada bayi, anak dan remaja, kurang dari 90% pada usia 40 tahun dan hanya
65-70% pada usia 60 tahun. Penderita dengan gangguan system imun, respon
kekebalan lebih rendah.

Bayi dari ibu dengan HBsAg (-) tidak akan terpajan Hepatitis B selama proses
persalinan, namun resiko bayi tersebut terpajan virus Hepatitis B tetap tinggi, mengingat
endemisitas penyakit ini tinggi di Indonesia. Seperti telah disebutkan di atas, infeksi VHB
pada anak memiliki resiko Hepatitis B kronik yang lebih besar. Maka bayi yang lahir di
Indonesia perlu diberikan imunisasi Hepatitis B

Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitar


1) Monitoring secara berkala penderita yang belum memerlukan pengobatan
2) Pengobatan dengan Interferon, Lamivudin, Adefovir, Telbivudin, Entecavir, atau
Tenofovir bagi penderita yang telah memenuhi kriteria pengobatan (terapi), yaitu
penderita dengan kadar DNA HBV > 20.000 IU/mL (105 kopi/mL) paida HBeAg
positif atau > 2.000 IU/mL (104 kopi/mL) pada HbeAg negative disertai
peningkatan ALT >2 kali batas normal, atau gambaran biopsy menunjukan
adanya tanda imflamasi atau fibrosis derajat sedang
3) Disinfeksi bekas cairan tubuh penderita
4) Isolasi tidak diperlukan
5) Imunisasi pada orang yang trepajan cairan tubuh penderita
6) Pencatatan dan pelaporan (STP dan SIRS)

11
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN

Pokok Bahasan 2. Penatalaksanaan Persalinan Bagi Ibu Dengan HIV, Sifilis,


Hepatitis B dan Ibu yang Belum Diketahui Statusnya

A. HIV

Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan,
Sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi saat
persalinan,disebabkan:

 Tekanan pada plasenta meningkat menyebabkan terjadinya sedikit


percampuran antara darah ibu yang mengandung virus HIV dan darah
bayi.
 Lebih sering terjadi jika plasenta mengalami peradangan atau terinfeksi
dari infeksi oportunistik (IO).
 Bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir dalam waktu yang lama.
 Adanya laserasi pada bayi karena penggunaan vakum/forseps

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak
selama persalinan adalah sebagai berikut :

1. Kadar HIV (viral load)


Kadar HIV (viral load) yang tinggi mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu
ke anak pada saat menjelang ataupun saat persalinan
2. Tindakan obstetrik

a. Jenis persalinan; Risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih


besar daripada persalinan seksio sesaria;
b. Lama persalinan; Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko
penularan HIV dari ibu ke anak juga semakin tinggi, karena semakin lama
terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.
c. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan ekstraksi forsep meningkatkan
risiko penularan HIV

Untuk mencegah terjadinya penularan HIV ke janin/bayi, perlu diperhatikan :

1. Turunkan kadar viral load serendah-rendahnya, dengan cara :


- Deteksi sedini mungkin (dengan cara TIPK)
- Pemberian ARV (sedini mungkin, segera setelah diketahui hamil)
- Hidup sehat

2. Pemilihan metode persalinan tergantung:


- Terapi ARV teratur dan disiplin lebih dari 6 bulan atau Viral load
- Status obstetri ibu

Pilihan persalinan haruslah disertai dengan penjelasan/konseling keuntungan dan

12
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN

kerugian termasuk besaran risiko penularan HIV. Seksio sesarea terencana


merupakan cara persalinan yang memiliki risiko penularan terkecil pada saat
persalinan. Risiko penularan akan meningkat bila terjadi gangguan persalinan,
misalnya ketuban pecah dini dan persalinan prematur.

Persalinan pervaginam dimungkinkan apabila:

- Kadar Viral Load tidak terdeteksi/undetectable dan atau;


- Meminum ARV disiplin, teratur dan tidak terputus minimal 6 bulan.

Dengan demikian, untuk memberikan layanan persalinan optimal kepada ibu


hamil dengan HIV , direkomendasikan kondisi-kondisi sebagai berikut:

 Ibu hamil dengan HIV perlu dikonseling sehubungan dengan


keputusannya sendiri untuk melahirkan bayi secara seksio sesarea
ataupun secara normal/pervaginam.
 Pelaksanaan persalinan, baik secara seksio sesarea maupun normal,
harus memperhatikan kondisi fisik ibu berdasarkan penilaian dari tenaga
kesehatan.
 Menolong persalinan secara seksio sesaera maupun normal harus
memperhatikan kewaspadaan standar dan tidak perlu berlebihan.
 Persetujuan tindakan medis diberikan pasien/keluarga setelah
pasien/keluarga menerima informasi sejelas-jelasnya (informed consent)

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa komplikasi minor dari operasi seksio


sesarea seperti endometritis, infeksi luka dan infeksi saluran kemih lebih banyak
terjadi pada ODHA dibandingkan bukan ODHA. Namun tidak terdapat perbedaan
kejadian komplikasi mayor seperti pneumonia, efusi pleura, ataupun sepsis baik
pada ODHA maupun bukan ODHA. (cari sumbernya darimana, dituliskan)

Keuntungan dan kerugian metode persalinan pervaginam dan seksio sesaria dapat
dilihat pada tabel berikut:

Metode Keuntungan Kerugian


persalinan

Pervaginam 1. Mudah dilakukan di 1. Risiko penularan pada bayi


Syarat: sarana kesehatan yang relatif tinggi 10-20%
Pemberian ARV terbatas.
teratur ≥ 6 bulan 2. Masa pemulihan pasca
atau diketahui persalinan singkat
kadar Viral load 3. Biaya rendah
tidak terdeteksi (<
1000 kopi/mm3 )

Seksio Sesarea 1. Risiko penularan yang 1. Lama perawatan bagi ibu lebih

13
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN

Elektif (Bedah rendah (2-4%), atau panjang.


sesar terencana) dapat mengurangi 2. Perlu sarana dan fasilitas
resiko penularan pendukung yang lebih
sampai 50-66% memadai
2. Terencana 3. Risiko komplikasi selama
operasi dan pasca operasi
lebih tinggi dibanding
persalinan per vaginam
4. Terdapat risiko komplikasi
anestesi
5. Biaya lebih mahal.

Tabel . Keuntungan dan Kerugian Persalinan Pervaginam dan Seksio sesarea

B. SIFILIS

Penatalaksanaan persalinan pada ibu dengan sifilis laten disesuaikan dengan


penatalaksanaan pada ibu hamil yang tidak terinfeksi, dikarenakan transmisi
sifilis tidak melalui persalinan. Namun apabila pada ibu yang bersalin ditemukan
infeksi sifilis primer /sekunder (terdapat luka/tukak di jalan lahir; lihat tabel 5.
Manifestasi Klinis Sifilis Didapat dan Kongenital Pada Materi Dasar) maka
sebaiknya persalinan dilakukan per abdominam. Bila ibu dengan sifilis sudah
sempat diobati 7 hari sebelumnya, maka dapat dipertimbangkan persalinan per
vaginam.

Bila ada lesi pada ibu hamil saat persalinan, perlu penanganan khusus karena
lesi dapat menular dan menimbulkan sifilis didapat (akuisita) pada bayi baru lahir.

C. HEPATITIS B

Penatalaksanaan persalinan pada ibu dengan hepatitis disesuaikan dengan


penatalaksanaan pada ibu hamil yang tidak terinfeksi.

D. Ibu Yang Belum Diketahui Statusnya

Untuk ibu yang pada saat akan bersalin belum diketahui statusnya, maka ibu
tersebut wajib ditawarkan tes HIV, Sifilis dan Hepatitis B, untuk mendeteksi
dini penyakit tersebut. Penatalaksanaan persalinan disesuaikan dengan hasil
pemeriksaan.

Pokok Bahasan 3. Penatalaksanaan Nifas bagi ibu dengan atau Tanpa


Diketahui HIV, Sifilis dan Hepatitis B

14
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN

A. HIV

Perawatan nifas bagi perempuan yang terinfeksi HIV pada dasarnya sama
dengan perawatan nifas pada perempuan normal. Petugas layanan kesehatan
harus mengikuti prosedur rutin

Perawatan berkelanjutan:
 Pemberian supresi laktasi bagi Ibu yang memilih tidak menyusui.
 Pengobatan, perawatan dan dukungan secara berkelanjutan pada penderita
HIV-AIDS dan kemungkinan infeksi oportunistik, yang disertai dengan terapi
dasar yang memadai (nutrisi cukup, hidup sehat)
 Pelayanan kontrasepsi yang terintegrasi seperti layanan kontrasepsi pada
umumnya
 Perawatan ginekologi rutin, termasuk pemeriksaan pap smear, jika tersedia.

Tanda dan gejala infeksi nifas


 Rasa terbakar saat BAK.
 Demam.
 Lokia yang berbau kurang sedap.
 Batuk berdahak, sesak napas.
 Memerah, rasa sakit, adanya nanah, atau perdarahan pada luka eksisi di
vagina/luka operasi.
 Nyeri pinggang bagian bawah.

KIE kepada ibu:

 Berikan petunjuk pada ibu tentang perawatan bagian perineum (bagian antara
anus dan vagina) dan payudara.
 Pastikan bahwa ibu mengetahui bagaimana cara membuang bahan yang
berpotensi menimbulkan infeksi seperti lokia dan pembalut persalinan penuh
dengan darah.

B. SIFILIS

Penatalaksanaan nifas pada ibu dengan sifilis disesuaikan dengan


penatalaksanaan pada ibu hamil yang tidak terinfeksi, dikarenakan transmisi
sifilis tidak melalui menyusui.

Bila ada lesi pada ibu hamil saat persalinan, perlu penanganan khusus karena
lesi dapat menular pada bayi yang bisa menimbulkan sifilis didapat (akuisita)
pada bayi baru lahir.

C. HEPATITIS B

Perawatan nifas bagi perempuan yang terinfeksi Hepatits B pada dasarnya


sama dengan perawatan nifas pada perempuan normal. Petugas layanan

15
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN

kesehatan harus mengikuti prosedur rutin

D. Ibu yang belum diketahui Statusnya

Untuk ibu yang pada setelah bersalin belum diketahui statusnya, maka ibu
tersebut wajib ditawarkan tes HIV, Sifilis dan Hepatitis B pada masa nifas.

Tes HIV pada saat nifas, ditawarkan pada setiap kunjungan nifas, untuk
meminimalisir penularan HIV pada saat menyusui (bila ibu menyusui bayinya)
serta agar ibu mengetahui status kesehatannya, yang berdampak pada upaya
pencegahan infeksi HIV pada Wanita Usia Subur (prong 1)

Tes Sifilis pada saat nifas, diitawarkan pada ibu nifas bersamaan dengan skrining
IMS. Ibu yang kemungkinan terkena penyakit IMS akan ditawarkan tes Sifilis.

Tes Hepatitis B, ditawarkan pada ibu pada saat kunjungan nifas pertama
(sebelum 24 jam) , untuk mencegah penularan hepatitis B pada bayinya. Bila
sebelum 24 jam ibu nifas terdiagnosis hepatitis B , maka bayinya akan
mendapatkan HbIG sebelum 24 jam.

Pada ibu yang baru diketahui statusnya saat persalinan / nifas, di bawah ini adalah
alur pemberian obat ARV pada ibu nifas :

16
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN

Alur Pemberian obat ARV pada berbagai situasi ibu nifas yang baru diketahui
statusnya

Ibu Nifas

Tes HIV

Hasil Positif Hasil Negatif

MEMBERIKAN TIDAK
ASI MEMBERIKAN ASI

TERAPI ARV  Cek CD4


 Cari Infeksi Oportunistik
(TB, HPV, dll)
 Konseling keluarga

CD4 Infeksi Oportunistik Suami

CD4 < 350 CD4 > 350 Infeksi Infeksi HIV (+) HIV (-)
Oportunistik Oportunistik
(+) (-)

ARV (+) ARV (-)

TERAPI ARV

17
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN

Pokok Bahasan 4. Kontrasepsi Yang Dapat Dipilih Oleh Ibu dengan HIV,

Sifilis dan Hepatitis B

Kontrasepsi harus dibicarakan dengan setiap perempuan selama perawatan


antenatal dan dibicarakan kembali segera setelah masa nifas usai. Tujuan utama
dari keluarga berencana bagi perempuan yang terinfeksi HIV adalah:

 Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan.


 Pertimbangan mengakhiri masa reproduksi

Pemilihan kontrasepsi ibu dengan status HIV, tidak berbeda dengan klien KB
lainnya. Ibu HIV membutuhkan informasi yang lengkap dan cukup untuk
menentukan pilihannya (informed choice), namun petugas kesehatan harus
membantu klien memilih metode kontrasepsi yang akan digunakan dengan
mempertimbangkan kondisi kesehatan ibu .

A. HIV

1. Pencegahan dan penundaan kehamilan pada ibu dengan HIV

Penggunaan kontrasepsi harus segera dibicarakan dengan setiap


perempuan dengan HIV setelah diagnosisnya ditegakkan. Pilihan
kontrasepsi berdasarkan urutan prioritas untuk ibu dengan HIV adalah
sebagai berikut.

1. Kontrasepsi mantap atau sterilisasi: dengan adanya risiko penularan


HIV ke bayi, bila ibu dengan HIV sudah memiliki jumlah anak yang
cukup, dipertimbangkan kontrasepsi mantap.

2. Kontrasepsi jangka panjang:


a. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR): metoda ini disarankan bila
risiko IMS rendah dan pasangannya tidak berisiko IMS. Sebaiknya
pemasangan dilakukan segera setelah plasenta lahir, walaupun
tidak tertutup kemungkinan dipasang pada fase interval. Syarat-
syarat pemasangan AKDR mengikuti standar yang berlaku. Perlu
perhatian khusus bila ada keluhan efek samping, seperti nyeri dan
perdarahan.

b. Hormonal (lihat Tabel 6):

i. Pil KB kombinasi: aman dan efektif untuk perempuan


dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV dan obat
lain yang dapat meningkatkan enzim hati. ARV dapat
menurunkan efektivitas pil KB kombinasi.

18
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN

ii. Pil progesteron: direkomendasikan bagi perempuan


dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV, karena
ARV menurunkan efektivitas pil progesteron.

iii. Suntik progesteron jangka panjang: DMPA dapat


digunakan bagi perempuan dengan HIV yang diberi ART
tanpa kehilangan efektivitas kontrasepsi. Metabolisme
DMPA tidak dipengaruhi oleh obat ARV dan tetap dapat
diberikan dengan interval 12 minggu.

iv. Implan progesteron: implan etonorgestrel adalah


kontrasepsi yang amat efektif dan aman pada perempuan
dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV.

Hormon estrogen mempunyai efek menurunkan efektivitas ARV. Progesteron


mempunyai efek sedikit meningkatkan efektivitas ARV. Namun, sebaiknya tetap
diperhatikan pada pengguna polifarmasi (misalnya perempuan HIV dengan
tuberkulosis), karena semua kontrasepsi hormonal dimetabolisme di hati,
demikian juga ARV. Penggunaan keduanya dalam jangka panjang memperberat
fungsi hati.

2. Perencanaan kehamilan

Bila perempuan dengan HIV dan pasangannya memutuskan ingin punya anak,
maka kehamilan perlu direncanakan dengan matang. Persyaratan mencakup
aspek medis dan aspek sosial sebagai berikut.

Aspek medis meliputi hal-hal sebagai berikut.

i. Viral load tidak terdeteksi: bila viral load sudah tidak terdeteksi, maka
kemungkinan penularan HIV dari ibu ke bayi rendah.

ii. Kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3: kadar CD4 yang tinggi merupakan tanda
bahwa kekebalan tubuh ibu cukup baik dan layak untuk hamil. Dengan kadar
CD4 kurang dari 350 sel/mm3 maka ibu akan rentan terhadap infeksi
sekunder yang akan membahayakan ibu dan dan janin di masa
kehamilannya.

Aspek sosial mencakup hal-hal di bawah ini.

i. Perencanaan kehamilan oleh pasangan: kedua belah pihak (laki-laki dan


perempuan) benar-benar memahami risiko dan konsekuensi kehamilan,
persalinan dan aspek pengasuhan anak.

ii. Kesepakatan/persetujuan dari keluarga: untuk menghindari penelantaran


pengasuhan anak di kemudian hari akibat keterbatasan orang tua yang
menderita HIV, perlu dipertimbangkan adanya persetujuan keluarga agar
bersedia mengasuh anak tersebut apabila terjadi kendala pada orang tuanya.

19
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN

Persiapan perempuan dengan HIV yang ingin hamil seperti berikut.

i. Pemeriksaan kadar CD4 dan viral load, untuk mengetahui apakah sudah
layak untuk hamil.
ii. Bila VL tidak terdeteksi atau kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3, sanggama
tanpa kontrasepsi dapat dilakukan, terutama pada masa subur.
iii. Bila kadar CD4 masih kurang dari 350 sel/mm3, minum ARV secara teratur
dan disiplin minimal selama enam bulan dan tetap menggunakan kondom
selama sanggama.

Persiapan pasangan dari perempuan dengan HIV yang ingin hamil:

i. Bila dipastikan serologis HIV non-reaktif (negatif), maka kapan pun boleh
sanggama tanpa kondom, setelah pihak perempuan dipastikan layak untuk
hamil.
ii. Apabila serologis reaktif (positif), perlu dilakukan pemeriksaan viral load,
untuk mengetahui risiko penularan.
iii. Apabila VL tidak terdeteksi sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan
pada masa subur pasangan.
iv. Apabila VL masih terdeteksi atau kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3, maka
sebaiknya rencana kehamilan ditunda dulu.

Untuk sifilis dan hepatitis B

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI, 2012, Pedoman Nasional Pencegahan Penularan


HIV dari Ibu ke Anak.
2. Kementerian Kesehatan RI, 2012, Pedoman Perawatan Antenatal Terpadu.
3. World Health Organization, 2010, PMTCT Strategic Vision 2010-2015:
Preventing mother to Child transmission of HIV to reach the UNGASS and
Millenium Development Goals, 2010

20

Anda mungkin juga menyukai