J ULI 2017
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B
MATERI INTI-3
I. Deskripsi Singkat
Risiko penularan HIV, pada bayi dari ibu dengan HIV 5-10% terjadi intrauterin, 10-
20% pada saat persalinan dan 10-15% pada saat menyusui , sedangkan pada sifilis
dan hepatitis B risiko penularan terbesar pada masa hamil. Untuk mengurangi risiko
penularan tersebut, perlu dilakukan penatalaksanaan obstetri yang aman, yang
meliputi perawatan antenatal, persalinan terencana yang aman, dan perawatan
pasca persalinan. Perawatan antenatal meliputi manfaat tes rutin HIV, Sifilis dan
Hepatitis B untuk ibu hamil. Penatalaksanaan persalinan termasuk menjelaskan
keuntungan dan kerugian dari metode persalinan pilihan bagi ibu dengan HIV, Sifilis
dan Hepatitis B. Sementara perawatan pasca persalinan meliputi perawatan
kebersihan dan kesehatan saat nifas, metode kontrasepsi yang dapat dipilih,
menjelaskan rujukan lembaga pemberi layanan kesehatan bagi ibu hamil dengan
HIV, Sifilis dan Hepatitis B, Pemahaman yang benar serta ketepatan dalam
penatalaksanaan obstetri bagi ibu hamil dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B
sangatlah penting dalam pelaksanaan program PPIA. Modul ini akan membahas
tentang: Penatalaksanaan antenatal bagi ibu dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B
dan ibu yang belum diketahui status HIV, Sifilis dan Hepatitis B-nya;
Penatalaksanaan persalinan bagi ibu dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dengan ibu
yang belum diketahui statusnya; Penatalaksanaan nifas bagi ibu dengan HIV, Sifilis
dan Hepatitis B dan ibu berisiko yang status HIV, Sifilis dan Hepatitis B-nya belum
diketahui dan Kontrasepsi yang dapat dipilih oleh ibu dengan HIV, Sifilis dan
Hepatitis B.
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melakukan tata laksana Ibu
Hamil sesuai standar
1. Melakukan penatalaksanaan antenatal bagi ibu dengan HIV dan ibu yang
belum diketahui status HIV , Sifilis dan Hepatitis B nya.
2. Melakukan penatalaksanaan persalinan bagi ibu dengan HIV, Sifilis dan
Hepatitis B dan ibu yang belum diketahui statusnya.
3. Melakukan penatalaksanaan nifas bagi ibu dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B
dan ibu berisiko yang status HIV, Sifilis dan Hepatitis B nya belum diketahui.
MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 1
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B
4. Memberikan pilihan kontrasepsi yang dapat dipilih oleh ibu dengan HIV, Sifilis
dan Hepatitis
1. Penatalaksanaan antenatal bagi ibu dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dan ibu
yang belum diketahui statusnya
2. Penatalaksanaan Persalinan bagi :
a. Ibu dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B
b. Ibu yang belum diketahui statusnya.
3. Penatalaksanaan nifas bagi ibu dengan atau tanpa diketahui HIV, Sifilis dan
Hepatitis B
4. Kontrasepsi yang dapat dipilih oleh ibu dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis B
IV. Metode
Curah pendapat
Ceramah tanya jawab
Diskusi Kasus
MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 2
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B
MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 3
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B
Fasilitator mengajak peserta merangkum apa yang telah dipelajari peserta dalam
sesi ini
Fasilitator menutup sesi dengan mengucapkan terimakasih dan salam.
Materi tentang penatalaksanaan antenatal sebagian telah dibahas pada materi Inti
1. Pada sesi ini akan dilakukan pendalaman mengenai Terapi pada ibu hamil
terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B.
Pada prinsipnya terapi ARV pada PPIA mengikuti standar terapi ARV pada orang dewasa
(lihat buku standar).
Manfaat Terapi ARV dalam program PPIA sama dengan terapi ARV untuk pasien HIV
pada umumnya yaitu :
Prinsip pemberian ARV selama kehamilan, persalinan, dan setelah melahirkan adalah
sebagai berikut :
Secara umum, yang direkomendasikan untuk ibu hamil HIV positif adalah terapi
menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Perlu dihindari penggunaan
“triple nuke” (3 NRTI).
Untuk ibu yang status HIV-nya diketahui sebelum kehamilan dan sudah
mendapatkan ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan perpaduan obat yang sama
seperti saat sebelum hamil.
Untuk ibu hamil yang status HIV diketahui saat kehamilan, segera diberikan ARV
sedini mungkin tanpa melihat umur kehamilan, berapapun nilai CD4 dan stadium
klinisnya. Perpaduan obat ARV yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu.
MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 4
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B
Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sesaat menjelang persalinan,
segera diberikan ARV sesuai dengan kondisi klinis. Pilihan perpaduan obat ARV
sama dengan ibu hamil dengan HIV lainnya.
Wanita hamil dengan HIV (+) datang saat inpartu,dan belum pernah mendapatkan
ARV bila Ibu akan menyusui diberikan ARV, bila Ibu tidak akan menyusui mengikuti
syarat eligibilitas untuk terapi ARV ODHA Dewasa
Merujuk pada pedoman muktahir, semua ibu hamil dengan HIV diberi terapi ARV,
tanpa harus memeriksakan jumlah CD4 dan viral load terlebih dahulu, karena
kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur hidup
(lihat Bagan 5). Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau pengobatan – bukan
sebagai acuan untuk memulai terapi.
Ibu hamil
1. Persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi melalui edukasi pra-
pemberian ARV;
2. Bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut perlu diobati terlebih dahulu.
Terapi ARV baru bisa diberikan setelah infeksi oportunistik diobati dan stabil (kira-
kira setelah dua minggu sampai dua bulan pengobatan). Terapi ARV dapat dimulai
dengan pemberian kotrimoksazol untuk melihat kepatuhan dan mengobati infeksi
oportunistik yang ada;
3. Pada ibu hamil dengan tuberkulosis: OAT selalu diberikan mendahului ARV sampai
kondisi klinis pasien memungkinkan (kira-kira dua minggu sampai dua bulan) dengan
fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV.
Pada awal pengobatan, klien yang tidak mendapat kotrimoksasol profilaksis, perlu kontrol
lebih sering (satu minggu, kemudian dua minggu, dan seterusnya) sebagai cara
pemantauan efek samping dan kepatuhan klien. Dengan demikian, jumlah ARV yang
diberikan mengikuti jadwal kunjungan.
MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 5
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B
Syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR, yaitu sebagai
berikut.
1. Siap: menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV terhadap infeksi HIV.
2. Adherence: kepatuhan minum obat.
3. Disiplin: minum obat dan kontrol ke dokter.
4. Aktif: menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi.
5. Rajin: memeriksakan diri jika timbul keluhan
Tabel 2. Pemberian obat ARV pada berbagai situasi klinis ibu hamil
Keterangan: AZT/ZDV: zidovudin; 3TC: lamivudin; FTC: emtricitabin; NVP: nevirapin; EFV:
efavirens; TDF: tenovofir
MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 6
Materi Inti 3: Tata Laksana Ibu Hamil
Terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B
MODUL PELATIHAN BAGI PELATIH TRIPLE ELIMINASI HIV, SIFILIS DAN HEPATITIS B 7
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN
Pemberian ARV tentunya harus disesuaikan dengan jenis ARV apa yang tersedia di
Indonesia, yang dapat dilihat pada tabel berikut
8
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN
Lamivudine (3TC)
Setiap ibu hamil yang tes serologi positif (dengan metoda apa-pun) minimal diobati dengan
suntikan 2,4 juta IU benzatin benzyl penicilin IM pada saat itu. Bila memungkinkan diberikan
3 dosis dengan selang waktu 1 minggu, sehingga dosis total 7,2 juta unit. Terapi sifilis pada
ibu hamil dapat dilihat pada Tabel 4.
Stadium Terapi sifilis pada ibu hamil Alternatif bagi yang alergi penisilin
Sifilis Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta Eritromisin 4 x 500 mg oral / hari
primer dan IU, injeksi IM dosis tunggal selama 30 hari
sekunder
Catatan:
Bila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak di temukan obat Benzatin benzyl penicillin
dan yang ada hanya Procain benzyl penicillin, untuk terapi sifilis dosis Procain benzyl
penicillin 600.000 IU setiap hari selama minimal 30 hari berturut turut, pasien
mendapatkan dosis total 18 juta IU.
9
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN
azitromisin dan ceftriakson tidak direkomendasikan pada terapi ibu hamil sifilis karena
meningkatkan resistensi
Eritromisin hanya diberikan pada ibu hamil sifilis bila memang tidak ada pilihan obat
lain
Seperti halnya pada penyakit infeksi lainnya, pencegahan Hepatitis B dapat dilakukan
secara non-spesifik dan spesifik.
Untuk memutus rantai penularan, perlu disampaikan (KIE) kepada penderita Hepatitis B
hal-hal sebagai berikut:
Memberikan imunisasi pada pasangan seksual
Menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan yang belum
diimunisasi
Tidak bertukar sikat gigi ataupun pisau cukur
Menutup luka yang terbuka agar darah tidak kontak dengan orang lain
Tidak mendonorkan darah, organ, ataupun sperma
2. Pencegahan spesifik
Pencegahan spesifik dilakukan dengan memberikan perlindungan khusus (specific
protection). Bagi orang yang tidak diimunisasi dan terpajan dengan haepatitis B,
pencegahan post exposure perlu diberikan kombinasi: 1) HBIG (Hepatitis B Immune
10
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN
Globulin) untuk memperoleh kadar anti-HBs yang tinggi dalam waktu singkat; dan 2)
vaksin Hepatitis B untuk kekebalan jangka panjang dan mengurangi gejala klinis. Untuk
pajanan pada perinatal (bayi yang lahir dari ibu Hepatitis B), perlu segera diberikan
HBIG dosis tunggal (single dose) 0,5 mL secara intamuskular di paha setelah
persalinan, diikuti pemberian 3 dosis vaksin Hepatitis B yang dimulai pada usia 12 hari
setelah persalinan. Untuk mereka yang mengalami inokulasi langsung atau kontak
mukosa langusng dengan cairan tubuh penderita Hepatitis B, maka profilaksis yang
digunakan adalah HBIG dosis tunggal 0,06 mL/kgBB, yang diberikan sesegera
mungkin. Penderita kemudian diberikan imunisasi Hepatitis B yang dimulai dari minggu
pertama setelah pajanan. Bila pajanan yang terjadi adalah kontak seksual, maka
pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kgBB diberikan sebelum 14 hari setelah pajanan dan
diikuti dengan imunisasi. Pemberian HBIG dan vaksin Hepatitis B dapat dilakukan pada
waktu bersamaan di lokasi injeksi yang berbeda.
Vaksin Hepatitis B yang tersedia saat ini merupakan vaksin rekombinan HBsAg yang
diproduksi dengan bantuan ragi. Vaksin diberikan sebanyak 4 kali dengan cara injeksi
intramuscular (di deltoid, bukan gluteus) pada 0 hari, dilanjutkan pada bulan ke – 2, ke –
3 dan ke – 4 (program imunisasi nasional) Indonesia telah mulai menyertakan imunisasi
Hepatitis B dalam program imunisasi nasional pada bayi baru lahir tahun 1997.
Bayi dari ibu dengan HBsAg (-) tidak akan terpajan Hepatitis B selama proses
persalinan, namun resiko bayi tersebut terpajan virus Hepatitis B tetap tinggi, mengingat
endemisitas penyakit ini tinggi di Indonesia. Seperti telah disebutkan di atas, infeksi VHB
pada anak memiliki resiko Hepatitis B kronik yang lebih besar. Maka bayi yang lahir di
Indonesia perlu diberikan imunisasi Hepatitis B
11
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN
A. HIV
Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan,
Sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi saat
persalinan,disebabkan:
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak
selama persalinan adalah sebagai berikut :
12
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN
Keuntungan dan kerugian metode persalinan pervaginam dan seksio sesaria dapat
dilihat pada tabel berikut:
Seksio Sesarea 1. Risiko penularan yang 1. Lama perawatan bagi ibu lebih
13
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN
B. SIFILIS
Bila ada lesi pada ibu hamil saat persalinan, perlu penanganan khusus karena
lesi dapat menular dan menimbulkan sifilis didapat (akuisita) pada bayi baru lahir.
C. HEPATITIS B
Untuk ibu yang pada saat akan bersalin belum diketahui statusnya, maka ibu
tersebut wajib ditawarkan tes HIV, Sifilis dan Hepatitis B, untuk mendeteksi
dini penyakit tersebut. Penatalaksanaan persalinan disesuaikan dengan hasil
pemeriksaan.
14
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN
A. HIV
Perawatan nifas bagi perempuan yang terinfeksi HIV pada dasarnya sama
dengan perawatan nifas pada perempuan normal. Petugas layanan kesehatan
harus mengikuti prosedur rutin
Perawatan berkelanjutan:
Pemberian supresi laktasi bagi Ibu yang memilih tidak menyusui.
Pengobatan, perawatan dan dukungan secara berkelanjutan pada penderita
HIV-AIDS dan kemungkinan infeksi oportunistik, yang disertai dengan terapi
dasar yang memadai (nutrisi cukup, hidup sehat)
Pelayanan kontrasepsi yang terintegrasi seperti layanan kontrasepsi pada
umumnya
Perawatan ginekologi rutin, termasuk pemeriksaan pap smear, jika tersedia.
Berikan petunjuk pada ibu tentang perawatan bagian perineum (bagian antara
anus dan vagina) dan payudara.
Pastikan bahwa ibu mengetahui bagaimana cara membuang bahan yang
berpotensi menimbulkan infeksi seperti lokia dan pembalut persalinan penuh
dengan darah.
B. SIFILIS
Bila ada lesi pada ibu hamil saat persalinan, perlu penanganan khusus karena
lesi dapat menular pada bayi yang bisa menimbulkan sifilis didapat (akuisita)
pada bayi baru lahir.
C. HEPATITIS B
15
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN
Untuk ibu yang pada setelah bersalin belum diketahui statusnya, maka ibu
tersebut wajib ditawarkan tes HIV, Sifilis dan Hepatitis B pada masa nifas.
Tes HIV pada saat nifas, ditawarkan pada setiap kunjungan nifas, untuk
meminimalisir penularan HIV pada saat menyusui (bila ibu menyusui bayinya)
serta agar ibu mengetahui status kesehatannya, yang berdampak pada upaya
pencegahan infeksi HIV pada Wanita Usia Subur (prong 1)
Tes Sifilis pada saat nifas, diitawarkan pada ibu nifas bersamaan dengan skrining
IMS. Ibu yang kemungkinan terkena penyakit IMS akan ditawarkan tes Sifilis.
Tes Hepatitis B, ditawarkan pada ibu pada saat kunjungan nifas pertama
(sebelum 24 jam) , untuk mencegah penularan hepatitis B pada bayinya. Bila
sebelum 24 jam ibu nifas terdiagnosis hepatitis B , maka bayinya akan
mendapatkan HbIG sebelum 24 jam.
Pada ibu yang baru diketahui statusnya saat persalinan / nifas, di bawah ini adalah
alur pemberian obat ARV pada ibu nifas :
16
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN
Alur Pemberian obat ARV pada berbagai situasi ibu nifas yang baru diketahui
statusnya
Ibu Nifas
Tes HIV
MEMBERIKAN TIDAK
ASI MEMBERIKAN ASI
CD4 < 350 CD4 > 350 Infeksi Infeksi HIV (+) HIV (-)
Oportunistik Oportunistik
(+) (-)
TERAPI ARV
17
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN
Pokok Bahasan 4. Kontrasepsi Yang Dapat Dipilih Oleh Ibu dengan HIV,
Pemilihan kontrasepsi ibu dengan status HIV, tidak berbeda dengan klien KB
lainnya. Ibu HIV membutuhkan informasi yang lengkap dan cukup untuk
menentukan pilihannya (informed choice), namun petugas kesehatan harus
membantu klien memilih metode kontrasepsi yang akan digunakan dengan
mempertimbangkan kondisi kesehatan ibu .
A. HIV
18
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN
2. Perencanaan kehamilan
Bila perempuan dengan HIV dan pasangannya memutuskan ingin punya anak,
maka kehamilan perlu direncanakan dengan matang. Persyaratan mencakup
aspek medis dan aspek sosial sebagai berikut.
i. Viral load tidak terdeteksi: bila viral load sudah tidak terdeteksi, maka
kemungkinan penularan HIV dari ibu ke bayi rendah.
ii. Kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3: kadar CD4 yang tinggi merupakan tanda
bahwa kekebalan tubuh ibu cukup baik dan layak untuk hamil. Dengan kadar
CD4 kurang dari 350 sel/mm3 maka ibu akan rentan terhadap infeksi
sekunder yang akan membahayakan ibu dan dan janin di masa
kehamilannya.
19
MODUL PELATIHAN PPIA BAGI PETUGAS KESEHATAN
i. Pemeriksaan kadar CD4 dan viral load, untuk mengetahui apakah sudah
layak untuk hamil.
ii. Bila VL tidak terdeteksi atau kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3, sanggama
tanpa kontrasepsi dapat dilakukan, terutama pada masa subur.
iii. Bila kadar CD4 masih kurang dari 350 sel/mm3, minum ARV secara teratur
dan disiplin minimal selama enam bulan dan tetap menggunakan kondom
selama sanggama.
i. Bila dipastikan serologis HIV non-reaktif (negatif), maka kapan pun boleh
sanggama tanpa kondom, setelah pihak perempuan dipastikan layak untuk
hamil.
ii. Apabila serologis reaktif (positif), perlu dilakukan pemeriksaan viral load,
untuk mengetahui risiko penularan.
iii. Apabila VL tidak terdeteksi sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan
pada masa subur pasangan.
iv. Apabila VL masih terdeteksi atau kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3, maka
sebaiknya rencana kehamilan ditunda dulu.
DAFTAR PUSTAKA
20