Anda di halaman 1dari 19

PENALARAN

“Jangan terlalu mudah menerima segala sesuatu yang saudara


lihat (baca) dan saudara dengar!”, begitulah sebuah nasihat mengatakan.
Mengapa? karena, apa yang kita lihat, baca, dan dengar, belum tentu
benar. Kefasihan dan kemenarikan pengungkapan belumlah menjamin
kebenaran apa yang disampaikan. Jangan terlalu terpaku pada kehebatan
tampilan tanpa memperhatikaan kualitas isi. Inti nasihat ini agar kita
berpikir kritis. Apa yang kita baca dan dengar hendakanya dicermati:
kelogisannya, kelayakan dan kecukupan fakta, serta ketepatan
penyimpulan.
Bagi penyampai pesan (pembicara atau penulis), nasihat itu
mengingatkan agar penyampaian sesuatu (pesan) diungkapkan dengan
jelas, runtut, logis, jujur, serta dapat dimengerti oleh orang lain. Untuk itu,
diperlukan kemampuan bernalar dan berbahasa yang baik. Lagi-lagi,
kemampuan itu hanya dapat diperoleh melalui proses belajar dan berlatih
berbahasa yang sugguh-sungguh dan sistematis.

A. PENGERTIAN PENALARAN
Saudara, betulkah terdapat keterkaitan menulis dengan penalaran?
Marilah kita simak kedua wacana berikut ini.
Contoh 1
“Komunikasi adalah penyampaian isi pikiran, perasaan, dan
kemauan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan
bahasa. Tanpa bahasa manusia tidak dapat berkomunikasi. Kita
memerlukan simbol untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain.
Namun, berkomunukasi itu ternyata tidak selalu sesuai hasilnya
dengan yang kita harapkan. Tidak semua orang paham dengan
maksud kita yang disampaikan kepadanya. Oleh karena itu,
sebelum berkomunikasi sebaiknya kita mempertimbangkan terlebih
dahulu apakah orang tertentu layak dijadikan mitra komonikasi
kita.”

Contoh 2

“Hasil kajian sebuah lembaga asing menyatakan bahwa


Indonesia adalah negara dengan tingkat korupsi tertinggi di Asia.
Berita itu menyakitkan kita. Indonesia yang dikenal sebagai bangsa
1
yang santun dan agamais, tercoreng tinta hitam. Kita semua tahu
bahwa korupsi itu memang ada. Bahkan dapat dikatakan sudah
membudaya. Tetapi, kalau itu disampaikan orang asing, apalagi
disebarluaskan dengan menyandang predikat seperti itu, hati ini
rasanya sedih dan sakit sekali.
Meskipun demikian, kita berharap bahwa kita semua, terutama
aparatur negara, dapat menyikapi berita itu secara positif. Kritik itu
merupakan masukan yang sangat berharga bagi kita. Hanya orang
dungu yang membiarkan dirinya sampai terperosok dua kali ke
lubang yang sama. Oleh karena itu pula, kritik itu hendaknya
menjadi pemacu untuk segera memperbaiki berbagai keburukan
atau kelemahan kita sehingga predikat memalukan itu tidak jatuh
lagi kepada kita di masa mendatang.”

Menurut anda, di antara dua kutipan di atas, tulisan manakah yang


paling baik dilihat dari segi penalaran? Jawabnya adalah: tulisan pada
contoh (2) lebih baik daripada contoh (1). Pada contoh (2), urutan
penyajian tertata dengan runtut, tidak melompat -lompat. Maksud tulisan
juga jelas. Pernyataan-pernyataan yang dikemukakannya wajar dan logis.
Penulis tampaknya menguasai persoalan yang disampaikan dengan tata
pikir yang sistematis.
Lain halnya dengan tulisan pada contoh (1), tampak
kekurangcermatan penulis. Misalnya, ketidakjelasan makna bahasa yang
digunakan pada kalimat 1 dan 2. Apakah yang dimaksudkan bahasa lisan,
tulis, isyarat, atau pengertian bahasa yang lain? Pengertian bahasa ini
harus jelas, sebab orang dapat berkomunikasi dengan sesamanya tanpa
memakai bahasa, seperti dengan gerak tubuh, warna, gambar, atau
tanda-tanda tertentu. Pada kalimat 3, tiba-tiba muncul istilah simbol.
Padahal pengertian simbol dan bahasa dalam teori komunikasi berbeda,
Bahasa hanyalah salah satu simbol berkomunikasi, bukan satu-satunya.
Kekurangruntutan berpikir dapat pula dilihat dari keterputusan
kaitan antara satu kalimat dengan yang lainnya. Kalimat 1, 2, dan 3
menguraikan konsep komunikasi. Tiba-tiba pada kalimat 4 dan
seterusnya, dia berbicara mengenai evektifitas komunikasi. Juga, kita
temukan kesalahan penegasan (simpulan) pada kalimat terakhir atas isi
dua kalimat sebelumnya. Tetapi, penegasan tersebut tampak kurang pas.
Dalam konteks komunikasi, pengetahuan komunikator tentang mitra
2
komunikasinya dimaksudkan untuk memahami kebutuhan dan
kemampuannya sehingga apa yang dia kemukakan dapat ditanggapi
dengan tepat.
Dari contoh di atas, terlihat bahwa bagaimana seseorang menata
proses berpikir, memahami sesuatu, dan menghubungkan satu hal
dengan hal lain, akan sangat menentukan tulisan yang dihasilkan.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan penalaran? Coba kita simak
kedua petikan wacana dibawah ini!
Contoh 3
“Rasyid adalah seorang anak muda yag suka sekali membaca
buku-buku sejarah, terutama yang berkenaan dengan kisah orang-
orang basar. Ia telah membaca buku tentang Thomas A. Edison,
Winston Churchill, Mahatma Gandhi, M.Ali Jinah, Al Gajali,
Shaskespeare, M. iqbal, K.H. A. Dahlan, H.O.S. Cokroaminoto,
K.H. Hasyim Asy’ari, Martin Luther, R.A. Kartini, Soekarno, dan B.J.
Habibie. Semua buku bercerita bahwa kebesaran yang mereka raih
tidak tiba-tiba, tetapi melalui ketekunan belajar, kerja keras, aktif
bermasyarakat, dan berbagai ujian hidup yang berat yang mereka
hadapi dengan tabah. Berdasarkan apa yang dibacanya, Rasyid
menyimpulkan bahwa untuk menjadi orang besar dan sukses,
seseorang harus rajin belajar, bekerja keras, mau bermasyarakat,
dan sabar menghadapi persoalan. Pendeknya, kesuksesan hanya
diperoleh karena perjuangan yang gigih dan ketabahan dalam
menjalaninya.”
Contoh 4
“Bu Imas penasaran dengan sebuah peryataan yang tertulis
pada sebuah modul mata kuliah teori belajar bahasa. Di dalam
modul itu dinyatakan bahwa keterampilan menyimak diperoleh anak
lebih dulu daripada keterampilan berbicara. Untuk membuktikan
kebenaran pernyataan itu, ia mengamati prilaku berbahasa anak-
anak. Ia pun melakukan “wawancara“ informal dengan beberapa
ibu yang mempunyai anak kecil. “Dari penelitian kecil” yang
dilakukannya ia menyimpulkan bahwa keterampilan anak dalam
menyimak ternyata dikuasai lebih dulu daripada keterampilan
berbicara.”
Saudara, coba jelaskan bahwa Rasyid dan Bu Imas pada contoh di
atas telah melakukan penalaran? Lalu, bandingkan proses bernalar yang
dilakukan kedua orang tersebut! selanjutnya, jelaskan apa yang dimaksud
penalaran!
3
Rasyid membaca berbagai buku sejarah tentang orang besar. Dia
mmenghubungkan sesuatu (pelajaran) yang sama dari buku-buku yang
dia baca. Kesamaan itu ialah kesuksesan hanya dapat dicapai melalui
bekerja keras dan kesabaran. Dari situ, dia berkesimpulan bahwa untuk
menjadi orang besar, seseorang mesti mau bekerja keras dan tabah.
Lalu, apakah Rasyid telah melakukan penalaran? Ya! dia telah
mendapatkan sesuatu yang penting (informasi atau pelajaran). Sesuatu itu
dia kaji, cermati, dan kaitkan satu sama lain. Lalu, darinya dia mengambil
kesimpulan.
Bagaimana dengan Bu Imas? Bu Imas ingin membuktikan
kebenaran sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa keterampilan
menyimak dikuasai anak terlebih dahulu daripada keterampilan berbicara.
Terdorong oleh rasa penasarannya dia pun mengumpulkan berbagai bukti
yang dapat mendukung atau menolak pernyataan itu. Dari sejumlah bukti
yang ditemukannya, akhirnya dia berkesimpulan bahwa pernyataan itu
benar.
Coba kita cermati perbedaan proses penalaran yang dilakukan
Rasyid dan Bu Imas. Apa yang dilakukan Rasyid berangkat dari
ketidaktahuan. Informasi mengenal sikap hidup orang-orang besar dia
temukan setelah membaca buku demi buku, riwayat hidup tokoh demi
tokoh. Dari temuan-temuan yang dia dapatkan setelah membaca buku,
kemudian dia menyimpulkan. Jadi, proses bernalarnya bertolak dari hal-
hal yang khusus (informasi demi informasi atu fakta demi fakta) menuju
sebuah kesimpulan.
Kalau kita gambarkan, proses penalaran yang dilakukan oleh
Rasyid adalah sebagai berikut:

Temuan 2 Temuan 3

Temuan 1 Temuan 4

Kesimpulan

4
Sebaliknya, proses bernalar Bu Imas berangkat dari suatu
pengetahuan (pernyataan, teori, atau kesimpulan). Lalu, dia mencari
berbagai data yang dapat membuktikan kebenaran pengetahuannya itu.
Dia mendapatkannya, dan menyimpulkan kembali hasil pembuktiannya
atau penegasan atas kebenaran atau kesalahan pengetahuan pertama.
Dengan demikian, Proses bernalar Bu Imas bertolak dari suatu
kesimpulan (pengetahuan yang telah ada) menuju hal-hal yang khusus.
Bila digambarkan, maka proses penalaran yang ditempuh Bu Imas adalah
sebagai berikut.
Kesimpulan / pengetahuan

Temuan I Temuan 4

Temuan 2 Temuan 3

Lalu, apa yang dimaksud penalaran? Penalaran (reasoning) adalah


suatu proses berpikir dengan menghubung-hubungkan bukti, fakta,
petunjuk, atau eviden, ataupun sesuatu yang dianggap bahan bukti,
menuju pada suatu kesimpulan (Keraf, 1982; Moeliono, 1989). Dengan
kata lain, penalaran adalah proses berpikir yang sistematis dan logis
untuk memperoleh sebuah kesimpulan (pengetahuan atau keyakinan).
Bahan pengambilan kesimpulan itu dapat berupa fakta, informasi,
pengalaman, atau pendapat para ahli (otoritas).
Secara umum, penalaran atau pengambilan kesimpulan itu dapat
dilakukan secara induktif dan deduktif. Penalaran induktif adalah suatu
proses berpikir yang bertolak dari hal-hal khusus menuju sesuatu yang
umum (lihat cara penalaran Rasyid pada contoh 3). Sedangkan yang
dimaksud denga penalaran deduktif adalah suatu proses berpikir yang
bertolak dari sesuatu yang umum menuju hal-hal yang khusus; atau
penerapan sesuatu yang umum pada peristiwa yang khusus untuk
mencapai sebuah kesimpulan (lihat cara penalaran Bu Imas pada contoh
4).
5
Dalam praktiknya, kedua corak penalaran tersebut saling
mendukung. Proses induksi, misalnya, tidak akan banyak manfaatnya
tampa diikuti proses deduksi, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu pula,
salah satu atau kedua corak penalaran itu, dapat kita gunakan, baik
secara bergantian ataupun bersamaan, sebagai sarana pengembangan
karangan.

B. JENIS-JENIS PENALARAN

1. Penalaran Induktif dan Coraknya


Penalaran induktif dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
generalisasi, analogi, dan hubungan kausal (sebab akibat).
a. Generalisasi
Generalisasi atau perampatan adalah proses penalaran yang
bertolak dari sejumlah gejala atau peristiwa yang serupa untuk menarik
kesimpulan mengenai semua atau sebagian dari gejala atau suatu
peristiwa. Generalisasi diturunkan dari gejala-gejala khusus yang
diperoleh melalui pengalaman, observasi, wawancara atau studi
dokumentasi. Sumbernya dapat berupa dokumen, statistik, kesaksian,
pendapat ahli, peristiwa-peristiwa politik, sosial, ekonomi, atau hukum.
Dari berbagai gejala atu peristiwa khusus itu, orang membentuk opini,
sikap, penilaian, keyakinan, atau perasaan tertentu.
Sebenarnya, kita kerap melakukan generalisasi dalam kehidupan
sehari-hari. Berdasarkan pengalaman, seorang ibu dapat membedakan
dan menyimpulkan arti tangisan bayinya: sebagai ungkapan rasa lapar
dan haus, sakit atau tidak nyaman. Melalui pengamatannya, seorang
saintis menemukan bahwa kambing, sapi, onta, kerbau, kucing, anjing,
babi, harimau, gajah, rusa, dan kera, adalah binatang menyusui. Hewan-
hewan itu menghasilkan keturunanya melalui kelahiran. Dari temuannya
itu dia membuat generalisasi bahwa semua binatang menyusui
memproduksi keturunannya melalui kelahiran.
Agar lebih kongkrit, perhatikan corak penalaran berikut.
Contoh 5
“Para peneliti dari University of minnesota melakukan kajian
untuk mencari formula yang dapat mengurangi resiko kematian
6
akibat penyakit jantung. Mereka meneliti 34.486 wanita
pascamenopouse. Sebagian dari mereka diminta untuk
mengkonsumsi banyak kacang-kacangan, minyak sayuran, dan
margarin, yang banyak mengandung vitamin E. Dari studi itu
ditemukan orang yang memakan makanan yang banyak
mengandung vitamin E, memiliki resiko kematian akibat penyakit
jantung yang lebih rendah 50% dibandingkan dengan orang yang
sedikit mengkonsumsi makanan seperti itu.”

b. Analogi
“Hawa nafsu adalah kuda tungangan yang akan membawamu
meraih ambisi. Dan, agama adalah kendali untuk mengendalikan
tungganganmu agar tidak liar, mementalkan, menyeret, dan menginjak-
injak dirimu.“ Hawa nafsu dianalogikan dengan kuda tunggangan, dan
agama adalah tali kekangnya. Analogi itu dilakukan karena antara sesuatu
yang dibandingkan dengan pembandingannya memiliki kesamaan fungsi
atau peran. Melalui analogi, seseorang dapat menerangkan sesuatu yang
abstrak atau rumit secara kongkrit dan lebih muda dicerna. Namun, bukan
analogi metaforis atau analogi deklaratif (penjelas). Analogi tersebut tidak
memberikan kesimpulan atau pengetahuan apapun.
Analogi yang dimaksud di sini adalah analogi induktif atau analogi
logis. Analogi induktif (kias) adalah suatu proses penalaran yang bertolak
dari dua peristiwa atau gejala khusus yang satu sama lain memiliki
kesamaan untuk menarik sebuah kesimpulan. Karena titik tolak penalaran
ini adalah kesamaan karakteristik di antara dua hal, maka kesimpulannya
akan menyiratkan “Apa yang berlaku pada suatu hal akan pula berlaku
dengan hal lainnya.” Dengan demikian, dasar kesimpulan yang digunakan
merupakan ciri pokok atau esensial yang hubungan erat dari dua hal yang
dianalogikan.
Dalam riset medis, misalnya, para peneliti mengamati berbagai
efek dari bermacam bahan melalui eksperimen binatang seperti
mencit (tikus putih) dan kera, yang dalam beberapa hal memiliki
kesamaan karakter anatomis dengan manusia. Dari kejadian itu
akan ditarik kesimpulan bahwa efek bahan-bahan uji coba yang
ditemukan pada binatang juga akan terjadi pada manusia.

c. Hubungan Kausal (Sebab-Akibat)


Menurut hukum kausalitas semua peristiwa yang terjadi di dunia ini

7
terjalin dalam rangkaian sebab akibat. Tak ada satu gejala atau kejadian
pun yang muncul tanpa penyebab. Cara berpikir seperti ini, sebenarnya
lazim digunakan dalam kehidupa sehari-hari, seperti halnya dalam dunia
ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, ketika seorang ibu melihat awan tebal
menggantung, dia segera mengambil pakaian yang dijemurnya.
Tindakannya itu terdorong oleh pengalamnnya bahwa mendung tebal
(sebab) pertanda akan turun hujan (akibat). Hujan (sebab) akan
menjadikan pakaian yang dijemurnya basah (akibat).
Contoh lain, Pak Saeran menanam berbagai jenis bunga dan
pohon di pekarangan rumahnya. Tanaman itu dia rawat, dia sirami dan
diberi pupuk. Anehnya, tanaman itu bukannya semakin segar, melainkan
layu bahkan mati (akibat). Tanaman yang mati dia cabuti. Ia melihat
ternyata akar-akarnya rusak dan dipenuhi rayap. Berdasarkan temuannya
itu, Pak Saeran menyimpulkan bahwa biang keladi rusaknya tanaman
(akibat) adalah rayap (sebab).
Itulah proses berpikir sebab akibat. Hal yang harus diperhatikan
dalam penarikan kesimpulan adalah jangan ceroboh atau keliru
menentukan sebab atau akibat suatu gejala atau peristiwa. Sebagai
contoh, karena sesuatu hal Pak Jamal bermusuhan dengan Bu Tanti di
kantor. Pak Jamal merasa dirinya kurang dipedulikan oleh pimpinannya.
Dia tidak diberi kegiatan di luar kegiatan rutin. seperti yang diterima oleh
kawan-kawannya. (akibat). Pak Jamal berpikir bahwa biang keladi ini
semua adalah Bu Tanti yang pasti telah mengadukan dan menjelek-
jelekan dirinya di hadapan pimpinan (sebab). Menurut anda benarkah
kesimpulan Pak Jamal tersebut?
Corak penalaran kausalitas ini dapat terwujud dalam pola: sebab
ke akibat, akibat ke sebab, dan akibat ke akibat.
Berdasarkan paparan di atas, penalaran kausalitas memiliki
karakteristik berikut. Pertama, satu atau berbagai gejala (peristiwa) yang
timbul dapat berperan sebagai sebab atau akibat, atau sekaligus sebagai
akibat dari gejala sebelumnya dan sebab gejala sesudahnya. Kedua,
gejala atau peristiwa yang terjadi dapat ditimbulkan oleh satu sebab atau

8
lebih, dan menghasilkan satu akibat atau lebih. Ketiga, hubungan sebab
dan akibat dapat bersifat langsung dan tak langsung.
Contoh 6
“Di Amerika, diabetes yang tak terkontrol menjadi penyebab
utama kebutaan, dan menduduki peringkat ke-4 penyakit yang
terbanyak menyebabkan kematian. Penyakit diabetes yang tak
terokontrol ini juga menimbulkan resiko tinggi penyakit jantung,
ginjal, dan saraf.
Akhir-akhir ini ada kabar baik untuk penyembuhkan diabetes.
Suntikan insulin tidak lagi diperlukan untuk sebagian besar
penderita diabetes. Untuk jenis diabetes tertentu, yang biasanya
menyerang orang-orang yang lanjut usia atau orang dewasa yang
kelebihan berat badan, dapat disembukan dengan diet dan olah
raga “.

2. Penalaran Deduktif dan Coraknya


Jika induksi bersifat generalisasi (perampatan), maka deduksi
bersifat spesifikasi (pengkhususan). Dalam penalaran keduanya bekerja
sama: hal-hal khusus menuntun menuju generalisasi dan generalisasi
mengiring pada penerapan atau spesifikasi. Ketika kita menerapkan
generalisasi yang dihasilkan dari penalaran induktif, maka saat itu kita
juga melakukan penalaran deduktif .
Dalam induksi, kita perlu mengumpulkan bahan atau fakta secara
memadai sebelum sampai pada suatu kesimpulan. Semakin banyak dan
baik kualitas fakta yang dikumpulkan, maka akan semakin tinggi tingkat
kebenaran kesimpulan itu. Sebaliknya, dalam deduksi kita telah
mengetahui kebenaran secara umum, kemudian bergerak menuju
pengetahuan baru tantang kasus-kasus atau gejala-gejala khusus.
Pendeknya, deduksi adalah proses berpikir yang bertolak dari
sesutu yang umum (prinsip, hukum, teori, atau keyakinan) menuju hal-hal
khusus. Berdasarkan Sesuatu yang umum itu, ditariklah kesimpulan
tentang hal-hal yang khusus, yang merupakan bagian dari kasus atau
peristiwa yang khusus itu. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut!
Contoh 7
Semua makhluk hidup akan mati
Manusia adalah makhluk hidup
Karena itu, semua manusia akan mati

9
Contoh 8
Logam jika dipanaskan akan memuai
Besi adalah logam
Karena itu, jika dipanaskan besi akan memuai.

Contoh di atas merupakan bentuk penalaran deduktif. Proses


penalaran itu berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, generalisasi
sebagai pangkal bertolak (pernyataan pertama merupakan generalisasi
yang bersumber dari keyakinan atau pengetahuan yang sudah diketahui
dan diakui kebenaranya). Kedua, penerapan atau perincian generalisasi
melalui kasus atau kejadian tertentu, manusia dan besi. Ketiga,
kesimpulan deduktif yang barlaku bagi kasus atau peristiwa khusus itu.
Dengan demikian, deduksi menggunakan silogisme atau entimem
sebagai alat penalarannya. Apakah yang dimaksud silogisme dan
entimen?

a. Silogisme
Silogisme adalah suatu proses penalaran yang menghubungkan
dua proposisi (pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan sebuah
kesimpulan yang merupakan proposisi yang ketiga. Proposisi adalah
pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau dapat ditolak
karena kesalahan yang terkandung di dalamnya.
Dari pengertian di atas, silogisme terdiri atas tiga bagian: premis
mayor, premis minor, dan kesimpulan. Yang disebut dengan premis
adalah proposisi yang menjadi dasar argumentasi. Premis mayor
mengandung term mayor dari silogisme, merupakan generalisasi atau
proposisi yang dianggap benar bagi semua unsur atau anggota kelas
tertentu. Premis minor mengandung term minor atau tengah dari
silogisme, berisi proposisi yang mengidentifikasi atau menunjuk sebuah
kasus atau peristiawa khusus sebagai anggota dari kelas itu.
Kesimpulan adalah proposisi yang menyatakan bahwa apa yang
berlaku bagi seluruh kelas, akan berlaku pula bagi anggota-
anggotanya. Perhatikan contoh dibawah ini!
Contoh 9
Premis mayor : Semua cendikiawan adalah pemikir.
Premis minor : Sasono adalah cendikiawan.
10
Kesimpulan : Jadi, sasono adalah pemikir.

Untuk mengetes keabsahan silogisme di atas, pertama kita


menguji kebenaran premis mayor dan minornya. Kemudian, temukan
term umum yang ada di antara keduanya, yaitu cendikiawan.
Selanjutnya, term umum itu diabaikan. Dari sisa term disusun
kesimpulan Sasono adalah pemikir. Silogisme tersebut sah. Tetapi,
kalau ternyata ada kekecualian, maka silogisme itu tidak sah.
Kalau ingin sah, kita harus menyesuaikan kata semua dengan
kabanyakan, pada umumnya, atau sebagian besar, tergantung dari
jumlah yang dikecualikan itu . Perhatikan silogisme berikut!
Contoh 10
Premis mayor : Kebanyakan buruh adalah pekerja keras.
Premis minor : Suhadi adalah buruh.
Kesimpulan : Suhadi pekerja keras.
Perlu diketahui term adalah suatu kata atau frasa yang
menempati fungsi subjek atau predikat. Term predikat dari kesimpulan
di atas adalah term mayor dari seluruh silogisme. Subyek dari
kongklusi adalah term minor dari silogisme tersebut. Term yang muncul
pada kedua premis dan tidak muncul pada kesimpulan disebut term
tengah. Term tengah ini menghubungkan premis mayor dan premis
minor.
Ada berapa hal yang harus diperhatikan bila kita ingin bernalar
dengan menggunakan silogisme.
1) Sebuah silogisme hanya terdiri atas tiga proposisi: premis
mayor, premis minor, dan kesimpulan.
2) Jika sebuah silogisme mengandung sebuah premis yang
positif (menggunakan kata tidak atau bukan), maka kesimpulanya
harus negatif.
Premis mayor : Semua guru SD yang telah mencapai golongan III
Tidak perlu mengikuti Program D II guru SD.
Premis minor : Razad adalah guru SD yang telah mencapai
golongan III.
Kesimpulan : Karena itu, Razad tidak perlu mengikuti program D
II guru SD.
3) Dari dua buah premis yang negatif tidak dapat ditarik
11
kesimpulan.
Premis Mayor : Indonesia bukanlah negara agama.
Premis minor : Rocky adalah orang yang tidak beragama.
Kesimpulan : Jadi, Rocky adalah orang Indonesia.
4) Premis mayor yang benar belum tentu menghasilkan
kesimpulan yang benar jika proses penyimpulannya keliru.
Premis mayor : Manusia adalah makhluk berakal budi.
Premis minor : Samad bodoh.
Kesimpulan : Jadi, Samad bukan Manusia.
Silogisme di atas disebut silogisme kategorial. Selain, itu ada
pula silogisme kondisional atau hipotetis (pengandaian) dan silogisme
alternatif (pilihan). Perhatikan contoh berikut!
Contoh silogisme pengandaian:
Premis Mayor : Kalau rupiah mengalami devaluasi, harga-harga
barang akan naik.
Premis Minor : Rupiah mengalami devaluasi.
Kesimpulan : Harga-harga barang akan naik .

Contoh silogisme alternatif:


Premis mayor : Penyebab kegagalan panen sekarang adalah
kekurangan air atau hama.
Premis Minor : Penyebab kegagalan panen sekarang bukan hama.
Kesimpulan : Sebab itu, penyebab kegagalan sekarang adalah
karena kekurangan air.

b. Entimen
Dalam kenyataan sehari-hari, kita jarang menggunakan
silogisme secara lengkap. Demi kepraktisan, bagian silogisme yang
dianggap telah dipahami dihilangkan. Inilah yang disebut entimen.
Perhatikan contoh sebuah silogisme lengkap berikut!
Contoh 11
Premis mayor : Semua renternir adalah pengisap darah orang yang
sedang kesusahan.
Premis minor : Pak Jadam adalah renternir.
Kesimpulan : Jadi, Pak Jadam adalah pengisap darah orang
yang sedang kesusahan.

Kalau proses berpikir diungkap seperti itu rasanya akan kaku


dan tidak praktis. Oleh karena itu, kita akan mengatakan dalam bentuk
12
entimen, “Pak Jadam adalah renternir, yang mengisap darah orang
yang sedang dilanda kesusahan.“
Untuk mengetes keabsahan sebuah entimen, kita kembalikan
pada silogisme asal yang lengkap, dengan mengacu pada prinsip-
prinsip silogisme di atas.

3. Salah Nalar
Salah nalar (reasoning atau logical fallacy) adalah kekeliruan dalam
proses berpikir karena keliru menafsirkan atau menarik kesimpulan.
Kekeliruan ini dapat terjadi karena faktor emosional, kecerobohan, atau
ketidaktahuan. Contoh, seseorang mengatakan, “Di SD, bahasa Indonesia
merupakan mata pelajaran yang terpenting. Tanpa menguasai pelajaran
bahasa Indonesia, tidak mungkin seorang siswa dapat memahami mata
pelajaran lainnya dengan baik.”
Jawaban dari pernyataan di atas adalah tidak tepat. Bahwa bahasa
Indonesia merupakan mata pelajaran penting, memang benar. Tetapi,
kalau dikatakan terpenting, tampaknya perlu dipertanyakan. Secara
implisit, pernyataan itu menyiratkan makna mata pelajaran lain penting,
tetapi tidak sepenting mata pelajaran bahasa Indonesia. Betulkah
demikian? Tentu tidak. Dasar dan alasan yang digunakan untuk membuat
pernyataan itu lemah.

4. Macam–macam Salah Nalar


Salah nalar dapat terjadi karena kekeliruan induktif, deduktif,
penafsiran relevasi, dan penggunaan otoritas yang berlebihan. Mari kita
simak bahasan selanjutnya.

a. Generalisasi yang terlalu luas


Salah nalar ini terjadi karena kurangnya data yang dijadikan dasar
generalisasi, sikap “mengggampangkan,” malas mengumpulkan dan
menguji data secara memadai, atau ingin segera meyakinkan orang
lain dengan bahan yang terbatas. Paling tidak, ada dua bentuk
kesalahan generalisasi yang biasa muncul.
1) Generalisasi sepintas (Hasty or sweeping generalization)
Kesalahan ini terjadi ketika seseorang membuat generalisasi
berdasarkan data atau evidensi yang sangat sedikit. Misalnya,

13
“Semua anak yang jenius akan sukses dalam belajar,” Betulkah
pernyataan itu? Tidak! Kejeniusan atau tingakat intelegensi yang
tinggi bukan satu-satunya faktor penentu. Ada faktor penentu lain,
seperti kecerdasan emosional, lingkungan keluarga, dan proses
pendidikan itu sendiri. Ini terbukti ketika para ahli psikologi
menemukan banyak anak jenius yang gagal dalam belajar. Dengan
demikian, pernyataan itu akan benar bila diungkapkan dengan
pewatas seperti beberapa atau sebagian daripada dengan kata
semua atau seluruh.
2) Generalisasi apriori
Salah nalar ini terjadi ketika seseorang melakukan generalisasi atas
gejala atau peristiwa yang belum diuji kebenaran atau kesalahannya.
Kesalahan corak penalaran seperti ini sering ditimbulkan oleh
prasangka. Karena suatu anggota dari sebuah kelompok, keluaraga,
ras, atau suku agama, negara, organisasi, dan pekerjaan atau
profesi, melakukan satu atau beberapa kabaikan atau kesalahan,
maka semua anggota kelompok itu disimpulkan sama. Orang yang
bernalar seperti ini akan lebih banyak menonjolkan kekurangan atau
kelebihannya saja untuk mendukung pendapatnya. Contoh, “Semua
pejabat pemerintah korup; Para remaja sekarang rusak moralnya;
Zaman sekarang tidak ada orang yang berbuat tanpa pamrih.”
Benarkah semua pernyataan itu? Silakan anda jawab!

b. Kerancuan Analogi
Kerancuan analogi disebabkan penggunaan analogi yang tidak
tepat. Dua hal yang yang diperbandingkan tidak memiliki kesamaan
esensial (pokok). Misalnya, “Negara adalah kapal yang berlayar menuju
tanah harapan. Jika nahkoda setiap kali harus meminta pendapat anak
buahnya dalam menentukan arah belayar atau pengambilan keputusan,
maka kapal itu tidak akan kunjung sampai. Karena itu, demokrasi dalam
pemerintahan tidak diperlukan, karena menghambat.” Betulkah
demokrasi dapat dianalogikan seperti itu?
c. Kekeliruan Kausalitas (sebab-akibat)
Salah nalar ini terjadi karena seseorang keliru menentukan

14
dengan tepat sebab dari suatu pristiwa atau hasil (akibat) dari suatu
kejadian. Salah satu bentuk kesalahan kausalitas ini karena keliru
menentukan sebab, yang dalam bahasa Latin disebut post hoc ergo
propter hoc “Sesudah itu, karena itu menyebabkan ini“. Kekeliruan
penalaran ini terjadi karena seseorang beranggapan bahwa peristiwa
yang tejadi lebih dulu merupakan sebab, sedangkan peristiwa
sesudahnya merupakan akibat. A merupakan sebab dari peristiwa B
karena B muncul setelah A. peristiwa A dan B ini terjadi berdekatan.
Contoh 12
(1) Saya tidak bisa berenang karena tak ada satu pun kelurga saya
yang dapat berenang.
(2) Karena menyakiti orangtuanya, matinya pun tertabrak mobil.
(3) saya tidak dapat mengerjakan ujian dengan baik karena
sebelumnya tidak sarapan dulu.

Coba anda cari komponen sebab dalam ketiga contoh di atas!


Menurut anda mengapa pernyataan di atas mengandung kesalahan
penentuan sebab?

d. Keselarasan Relevansi
Keselarasan relevansi akan terjadi apabila bukti, peritiwa, atau
alasan yang diajukan tidak berhubungan atau tidak menunjang sebuah
kesimpulan. Corak kesalahan ini dapat dirinci sebagai berikut:
1) Pengabaian Persoalan (ignoring the question)
Terjadinya salah nalar ini disebabkan oleh pengalihan suatu isu atau
permasalahan dan menggantikannya dengan isu atau permasalahan
lain yang tidak berkaitan. Apa saja yang menimbulkan corak salah
nalar seperti ini?
a) Penyampingan masalah yang disebabkan oleh ketidakmampuan
seseorang untuk menemukan atau menghubungkan berbagai
bukti atau alasan yang mendasari pendapat atau kesimpulannya.
Misalnya, Korupsi di Indonesia tidak bisa diberantas karena
pemerintahan tidak memiliki undang-undang yang khusus tentang
hal itu. Betulkah?
b) Pengabaian persoalan yang ditimbulkan oleh pemindahan alasan
atau bukti terhadap manusianya. Misalnya, ketika Yati

15
menanyakan alasan Doni dalam memilih kepala desa, Doni
menjawab, “Karena dia orangnya ramah dan murah hati. Kalau
bertemu dengan saya, dia selalu menyapa lebih dulu. Dia baik
dengan saya. Saya menyukainya. Karena itulah, saya memilih
dia.”
c) Penyampingan masalah yang diakibatkan oleh ketidaksanggupan
seseorang dalam menangkis atau membuktikan pendapat atau
pikiran lawan bicaranya. Rasa malu, gengsi, atau tidak suka,
membuatnya menolak pendapat orang lain. Jadi, penolakan itu
lebih didasari oleh alasan-alasan emosional yang tidak relevan,
bukan oleh alasan rasional. Akhirnya, orang itu menyerang
pribadi, bukan pendapat atau persoalan yang dibicarakan, lawan
bicaranya. Sebagian ahli menyebut salar nalar itu dengan istilah
argumentum ad hominem “pembuktian dengan penyerangan
terhadap manusianya”. Dalam suatu seminar, misalnya, seorang
pemrasaran menyampaikan kiat memelihara keharmonisan
rumah tangga. Seorang peserta menolak pendapat pemrasaran
itu, karena pemrasaran itu pernah gagal dalam perkawinannya.
Tak mungkin saran itu bisa diterima dari orang semacam itu.
Rasanya kita kerap menemukan salah nalar seperti ini dalam
kehidupan sehari-hari.
d) Pengabaian persoalan dapat pula terjadi karena dorongan
keinginan untuk menggugah atau meyakinkan orang lain dengan
menyandarkan argumentasinya pada orang banyak. Salah nalar
seperti ini disebut argumentum ad populum “pembuktian yang
bersandar pada rakyat.” Di sini seseorang mengaitkan persoalan
dengan sesuatu yang dianggap mulia dan hebat atau buruk dan
hina. Orang itu pun berlaku seolah-olah menjadi bagian dari
pembaca atau pendengarnya. Salah nalar seperti ini secara
sengaja kerap dilakukan oleh para politisi, pimpinan organisasi
atau bisnis, para pendidik, atau anggota masyarakat lainnya.
Contoh, “ Kami tahu masalah yang anda hadapi sebab kami pun
mengalaminya. Marilah bergabung bersama kami untuk
menegakkan keadilan di muka bumi Indonesia.“ Contoh lain,
16
“Badan penyangga perdagangan cengkeh (BPPC) ini lahir karena
kemauan rakyat Indonesia untuk meningkatkan kesejahterannya.”
e) Penyampingan persoalan juga terjadi karena seseorang
menggunakan alasan atau bukti yang remeh atau tidak langsung
berkaitan dengan maksud untuk membenarkan pendapat atau
kesimpulannya. Misalnya, seseorang merasa kesalahannya
dapat dibenarkan karena orang lain melakukannya. Contoh,
“Mengapa saya tidak boleh bolos bekerja? Atasan saya sering
tidak ada di kantor juga tidak apa-apa.”
2) Penyembunyian Persoalan (hiding the question)
Ketika seseorang hanya memberikan satu jawaban, pendapat, atau
solusi atas sebuah permasalahan yang kompleks atau rumit, maka
dia sebenarnya telah menyembunyikan persoalan yang
sesungguhnya. Salah nalar ini terjadi dalam beberapa bentuk.
a) Pemikiran ini atau itu (either or thinking)
Salah nalar ini berangkat dari keinginan untuk melihat atau
menyederhanakan persoalan yang rumit dari dua sudut pandang
yang bertentangan. Semua kemungkinan yang ada diabaikan,
kecuali dua hal: kalau tidak baik, tentu buruk; jika tidak benar,
tentu salah; atau jika tidak hitam, tentu putih. Misalnya, “Tidak ada
jalan lain untuk memberantas korupsi, keculi pemerintah
menaikan gaji pegawai negeri kalau mungkin lebih tinggi daripada
gaji pegawai swasta.“ Betulkah itu satu-satunya cara efektif untuk
memberantas masalah korupsi?
b) Tidak bisa diikuti (nonsequitur)
Salah nalar seperti ini terjadi karena suatu kesimpulan tidak
diturunkan dari premis-premisnya. Misalnya, “Sinta adalah anak
yang sangat populer di kelasnya. Oleh karena itu, guru bahasa
Indonesianya pun memberinya nilai A.” Kesimpulan itu
dipertanyakan kebenarannnya: Apa hubungannya
kepopulerannya dengan kecerdasan dengan nilai A? Kesalahan
seperti ini dapat pula disebabkan oleh kegagalan seseorang
dalam menilai kebenaran asumsi atau gagasan yang mendasari
premis.
17
c) Argumentum ad misericodiam
salah nalar ini muncul jika argumentasi yang diajukan
dimaksudkan untuk membangkitkan empati atau belas kasihan.
Biasanya, hal ini terjadi ketika seseorang merasa bersalah.
Misalnya, seorang guru yang sering bolos, yang ditegur kepala
sekolahnya mengatakan “ Maaf, Pak. Saya sering bolos karena
saya banyak utang untuk menyekolahkan adik. Saya harus
mencari uang untuk melunasi utang itu”
d) Argumentum ad baculum
Salah nalar ini dapat terjadi karena seseorang merasa dirinya
tidak enak, terancam, atau mengharapkan sesuatu
e) Argumentum ad otoritaris
Kekeliruan ini biasa terjadi bila seseorang menerima atau
menyampaikan pendapat bukan karena alasan rasional melainkan
karena yang mengatakannya adalah orang yang memiliki
kekuasaan.
3) Kurang memahami persoalan
Salah nalar ini terjadi karena seseorang mengemukakan
pendapat atau alasan tanpa memahami persoalan yang dihadapinya
dengan baik. Misalnya, dalam ujian ditanyakan, “Mengapa
pembelajaran bahasa Indonesia perlu dilakukan dengan pendekatan
komonikatif?“ Jawabannya, “Dalam mengajar bahasa Indoneisa guru
adalah contoh yang akan dilihat dan diikuti oleh murid-muridnya.
Oleh karena itu, guru dalam mengajar perlu memakai bahasa
Indonesia yang baik dan benar serta komunikatif, sehingga apa yang
disampaikan dapat dimengerti siswa dengan baik.“
Ketidakpahaman terhadap persoalan yang dikemukakan
sedapat mungkin ditandai pula dengan penalaran yang melingkar
(circle reasoning). Maksudnya, isi pernyataan atau pendapat yang
dikemukakan berputar-putar sehingga masalah yang sesungguhnya
tidak terungkap dengan baik. Misalnya, “Pendekatan komunikatif
adalah suatu pendekatan di mana guru dapat mengajarkan bahasa
Indonesia yang baik agar mudah dipahami siswa. Bahasa Indonesia
yang baik tidak hanya ragam baku, tetapi juga ragam tak baku.
18
Meskipun demikian, bahasa yang diajarkan di sekolah hendaknya
ditekankan pada ragam baku karena merupakan ragam yang paling
baik. Jadi, pendekatan komunikatif menjadikan guru sebagai contoh
berbahasa Indonesia dan siswa dapat menggunakan berbagai
ragam bahasa yang sesuai”.

19

Anda mungkin juga menyukai