A. PENGERTIAN PENALARAN
Saudara, betulkah terdapat keterkaitan menulis dengan penalaran?
Marilah kita simak kedua wacana berikut ini.
Contoh 1
“Komunikasi adalah penyampaian isi pikiran, perasaan, dan
kemauan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan
bahasa. Tanpa bahasa manusia tidak dapat berkomunikasi. Kita
memerlukan simbol untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain.
Namun, berkomunukasi itu ternyata tidak selalu sesuai hasilnya
dengan yang kita harapkan. Tidak semua orang paham dengan
maksud kita yang disampaikan kepadanya. Oleh karena itu,
sebelum berkomunikasi sebaiknya kita mempertimbangkan terlebih
dahulu apakah orang tertentu layak dijadikan mitra komonikasi
kita.”
Contoh 2
Temuan 2 Temuan 3
Temuan 1 Temuan 4
Kesimpulan
4
Sebaliknya, proses bernalar Bu Imas berangkat dari suatu
pengetahuan (pernyataan, teori, atau kesimpulan). Lalu, dia mencari
berbagai data yang dapat membuktikan kebenaran pengetahuannya itu.
Dia mendapatkannya, dan menyimpulkan kembali hasil pembuktiannya
atau penegasan atas kebenaran atau kesalahan pengetahuan pertama.
Dengan demikian, Proses bernalar Bu Imas bertolak dari suatu
kesimpulan (pengetahuan yang telah ada) menuju hal-hal yang khusus.
Bila digambarkan, maka proses penalaran yang ditempuh Bu Imas adalah
sebagai berikut.
Kesimpulan / pengetahuan
Temuan I Temuan 4
Temuan 2 Temuan 3
B. JENIS-JENIS PENALARAN
b. Analogi
“Hawa nafsu adalah kuda tungangan yang akan membawamu
meraih ambisi. Dan, agama adalah kendali untuk mengendalikan
tungganganmu agar tidak liar, mementalkan, menyeret, dan menginjak-
injak dirimu.“ Hawa nafsu dianalogikan dengan kuda tunggangan, dan
agama adalah tali kekangnya. Analogi itu dilakukan karena antara sesuatu
yang dibandingkan dengan pembandingannya memiliki kesamaan fungsi
atau peran. Melalui analogi, seseorang dapat menerangkan sesuatu yang
abstrak atau rumit secara kongkrit dan lebih muda dicerna. Namun, bukan
analogi metaforis atau analogi deklaratif (penjelas). Analogi tersebut tidak
memberikan kesimpulan atau pengetahuan apapun.
Analogi yang dimaksud di sini adalah analogi induktif atau analogi
logis. Analogi induktif (kias) adalah suatu proses penalaran yang bertolak
dari dua peristiwa atau gejala khusus yang satu sama lain memiliki
kesamaan untuk menarik sebuah kesimpulan. Karena titik tolak penalaran
ini adalah kesamaan karakteristik di antara dua hal, maka kesimpulannya
akan menyiratkan “Apa yang berlaku pada suatu hal akan pula berlaku
dengan hal lainnya.” Dengan demikian, dasar kesimpulan yang digunakan
merupakan ciri pokok atau esensial yang hubungan erat dari dua hal yang
dianalogikan.
Dalam riset medis, misalnya, para peneliti mengamati berbagai
efek dari bermacam bahan melalui eksperimen binatang seperti
mencit (tikus putih) dan kera, yang dalam beberapa hal memiliki
kesamaan karakter anatomis dengan manusia. Dari kejadian itu
akan ditarik kesimpulan bahwa efek bahan-bahan uji coba yang
ditemukan pada binatang juga akan terjadi pada manusia.
7
terjalin dalam rangkaian sebab akibat. Tak ada satu gejala atau kejadian
pun yang muncul tanpa penyebab. Cara berpikir seperti ini, sebenarnya
lazim digunakan dalam kehidupa sehari-hari, seperti halnya dalam dunia
ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, ketika seorang ibu melihat awan tebal
menggantung, dia segera mengambil pakaian yang dijemurnya.
Tindakannya itu terdorong oleh pengalamnnya bahwa mendung tebal
(sebab) pertanda akan turun hujan (akibat). Hujan (sebab) akan
menjadikan pakaian yang dijemurnya basah (akibat).
Contoh lain, Pak Saeran menanam berbagai jenis bunga dan
pohon di pekarangan rumahnya. Tanaman itu dia rawat, dia sirami dan
diberi pupuk. Anehnya, tanaman itu bukannya semakin segar, melainkan
layu bahkan mati (akibat). Tanaman yang mati dia cabuti. Ia melihat
ternyata akar-akarnya rusak dan dipenuhi rayap. Berdasarkan temuannya
itu, Pak Saeran menyimpulkan bahwa biang keladi rusaknya tanaman
(akibat) adalah rayap (sebab).
Itulah proses berpikir sebab akibat. Hal yang harus diperhatikan
dalam penarikan kesimpulan adalah jangan ceroboh atau keliru
menentukan sebab atau akibat suatu gejala atau peristiwa. Sebagai
contoh, karena sesuatu hal Pak Jamal bermusuhan dengan Bu Tanti di
kantor. Pak Jamal merasa dirinya kurang dipedulikan oleh pimpinannya.
Dia tidak diberi kegiatan di luar kegiatan rutin. seperti yang diterima oleh
kawan-kawannya. (akibat). Pak Jamal berpikir bahwa biang keladi ini
semua adalah Bu Tanti yang pasti telah mengadukan dan menjelek-
jelekan dirinya di hadapan pimpinan (sebab). Menurut anda benarkah
kesimpulan Pak Jamal tersebut?
Corak penalaran kausalitas ini dapat terwujud dalam pola: sebab
ke akibat, akibat ke sebab, dan akibat ke akibat.
Berdasarkan paparan di atas, penalaran kausalitas memiliki
karakteristik berikut. Pertama, satu atau berbagai gejala (peristiwa) yang
timbul dapat berperan sebagai sebab atau akibat, atau sekaligus sebagai
akibat dari gejala sebelumnya dan sebab gejala sesudahnya. Kedua,
gejala atau peristiwa yang terjadi dapat ditimbulkan oleh satu sebab atau
8
lebih, dan menghasilkan satu akibat atau lebih. Ketiga, hubungan sebab
dan akibat dapat bersifat langsung dan tak langsung.
Contoh 6
“Di Amerika, diabetes yang tak terkontrol menjadi penyebab
utama kebutaan, dan menduduki peringkat ke-4 penyakit yang
terbanyak menyebabkan kematian. Penyakit diabetes yang tak
terokontrol ini juga menimbulkan resiko tinggi penyakit jantung,
ginjal, dan saraf.
Akhir-akhir ini ada kabar baik untuk penyembuhkan diabetes.
Suntikan insulin tidak lagi diperlukan untuk sebagian besar
penderita diabetes. Untuk jenis diabetes tertentu, yang biasanya
menyerang orang-orang yang lanjut usia atau orang dewasa yang
kelebihan berat badan, dapat disembukan dengan diet dan olah
raga “.
9
Contoh 8
Logam jika dipanaskan akan memuai
Besi adalah logam
Karena itu, jika dipanaskan besi akan memuai.
a. Silogisme
Silogisme adalah suatu proses penalaran yang menghubungkan
dua proposisi (pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan sebuah
kesimpulan yang merupakan proposisi yang ketiga. Proposisi adalah
pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau dapat ditolak
karena kesalahan yang terkandung di dalamnya.
Dari pengertian di atas, silogisme terdiri atas tiga bagian: premis
mayor, premis minor, dan kesimpulan. Yang disebut dengan premis
adalah proposisi yang menjadi dasar argumentasi. Premis mayor
mengandung term mayor dari silogisme, merupakan generalisasi atau
proposisi yang dianggap benar bagi semua unsur atau anggota kelas
tertentu. Premis minor mengandung term minor atau tengah dari
silogisme, berisi proposisi yang mengidentifikasi atau menunjuk sebuah
kasus atau peristiawa khusus sebagai anggota dari kelas itu.
Kesimpulan adalah proposisi yang menyatakan bahwa apa yang
berlaku bagi seluruh kelas, akan berlaku pula bagi anggota-
anggotanya. Perhatikan contoh dibawah ini!
Contoh 9
Premis mayor : Semua cendikiawan adalah pemikir.
Premis minor : Sasono adalah cendikiawan.
10
Kesimpulan : Jadi, sasono adalah pemikir.
b. Entimen
Dalam kenyataan sehari-hari, kita jarang menggunakan
silogisme secara lengkap. Demi kepraktisan, bagian silogisme yang
dianggap telah dipahami dihilangkan. Inilah yang disebut entimen.
Perhatikan contoh sebuah silogisme lengkap berikut!
Contoh 11
Premis mayor : Semua renternir adalah pengisap darah orang yang
sedang kesusahan.
Premis minor : Pak Jadam adalah renternir.
Kesimpulan : Jadi, Pak Jadam adalah pengisap darah orang
yang sedang kesusahan.
3. Salah Nalar
Salah nalar (reasoning atau logical fallacy) adalah kekeliruan dalam
proses berpikir karena keliru menafsirkan atau menarik kesimpulan.
Kekeliruan ini dapat terjadi karena faktor emosional, kecerobohan, atau
ketidaktahuan. Contoh, seseorang mengatakan, “Di SD, bahasa Indonesia
merupakan mata pelajaran yang terpenting. Tanpa menguasai pelajaran
bahasa Indonesia, tidak mungkin seorang siswa dapat memahami mata
pelajaran lainnya dengan baik.”
Jawaban dari pernyataan di atas adalah tidak tepat. Bahwa bahasa
Indonesia merupakan mata pelajaran penting, memang benar. Tetapi,
kalau dikatakan terpenting, tampaknya perlu dipertanyakan. Secara
implisit, pernyataan itu menyiratkan makna mata pelajaran lain penting,
tetapi tidak sepenting mata pelajaran bahasa Indonesia. Betulkah
demikian? Tentu tidak. Dasar dan alasan yang digunakan untuk membuat
pernyataan itu lemah.
13
“Semua anak yang jenius akan sukses dalam belajar,” Betulkah
pernyataan itu? Tidak! Kejeniusan atau tingakat intelegensi yang
tinggi bukan satu-satunya faktor penentu. Ada faktor penentu lain,
seperti kecerdasan emosional, lingkungan keluarga, dan proses
pendidikan itu sendiri. Ini terbukti ketika para ahli psikologi
menemukan banyak anak jenius yang gagal dalam belajar. Dengan
demikian, pernyataan itu akan benar bila diungkapkan dengan
pewatas seperti beberapa atau sebagian daripada dengan kata
semua atau seluruh.
2) Generalisasi apriori
Salah nalar ini terjadi ketika seseorang melakukan generalisasi atas
gejala atau peristiwa yang belum diuji kebenaran atau kesalahannya.
Kesalahan corak penalaran seperti ini sering ditimbulkan oleh
prasangka. Karena suatu anggota dari sebuah kelompok, keluaraga,
ras, atau suku agama, negara, organisasi, dan pekerjaan atau
profesi, melakukan satu atau beberapa kabaikan atau kesalahan,
maka semua anggota kelompok itu disimpulkan sama. Orang yang
bernalar seperti ini akan lebih banyak menonjolkan kekurangan atau
kelebihannya saja untuk mendukung pendapatnya. Contoh, “Semua
pejabat pemerintah korup; Para remaja sekarang rusak moralnya;
Zaman sekarang tidak ada orang yang berbuat tanpa pamrih.”
Benarkah semua pernyataan itu? Silakan anda jawab!
b. Kerancuan Analogi
Kerancuan analogi disebabkan penggunaan analogi yang tidak
tepat. Dua hal yang yang diperbandingkan tidak memiliki kesamaan
esensial (pokok). Misalnya, “Negara adalah kapal yang berlayar menuju
tanah harapan. Jika nahkoda setiap kali harus meminta pendapat anak
buahnya dalam menentukan arah belayar atau pengambilan keputusan,
maka kapal itu tidak akan kunjung sampai. Karena itu, demokrasi dalam
pemerintahan tidak diperlukan, karena menghambat.” Betulkah
demokrasi dapat dianalogikan seperti itu?
c. Kekeliruan Kausalitas (sebab-akibat)
Salah nalar ini terjadi karena seseorang keliru menentukan
14
dengan tepat sebab dari suatu pristiwa atau hasil (akibat) dari suatu
kejadian. Salah satu bentuk kesalahan kausalitas ini karena keliru
menentukan sebab, yang dalam bahasa Latin disebut post hoc ergo
propter hoc “Sesudah itu, karena itu menyebabkan ini“. Kekeliruan
penalaran ini terjadi karena seseorang beranggapan bahwa peristiwa
yang tejadi lebih dulu merupakan sebab, sedangkan peristiwa
sesudahnya merupakan akibat. A merupakan sebab dari peristiwa B
karena B muncul setelah A. peristiwa A dan B ini terjadi berdekatan.
Contoh 12
(1) Saya tidak bisa berenang karena tak ada satu pun kelurga saya
yang dapat berenang.
(2) Karena menyakiti orangtuanya, matinya pun tertabrak mobil.
(3) saya tidak dapat mengerjakan ujian dengan baik karena
sebelumnya tidak sarapan dulu.
d. Keselarasan Relevansi
Keselarasan relevansi akan terjadi apabila bukti, peritiwa, atau
alasan yang diajukan tidak berhubungan atau tidak menunjang sebuah
kesimpulan. Corak kesalahan ini dapat dirinci sebagai berikut:
1) Pengabaian Persoalan (ignoring the question)
Terjadinya salah nalar ini disebabkan oleh pengalihan suatu isu atau
permasalahan dan menggantikannya dengan isu atau permasalahan
lain yang tidak berkaitan. Apa saja yang menimbulkan corak salah
nalar seperti ini?
a) Penyampingan masalah yang disebabkan oleh ketidakmampuan
seseorang untuk menemukan atau menghubungkan berbagai
bukti atau alasan yang mendasari pendapat atau kesimpulannya.
Misalnya, Korupsi di Indonesia tidak bisa diberantas karena
pemerintahan tidak memiliki undang-undang yang khusus tentang
hal itu. Betulkah?
b) Pengabaian persoalan yang ditimbulkan oleh pemindahan alasan
atau bukti terhadap manusianya. Misalnya, ketika Yati
15
menanyakan alasan Doni dalam memilih kepala desa, Doni
menjawab, “Karena dia orangnya ramah dan murah hati. Kalau
bertemu dengan saya, dia selalu menyapa lebih dulu. Dia baik
dengan saya. Saya menyukainya. Karena itulah, saya memilih
dia.”
c) Penyampingan masalah yang diakibatkan oleh ketidaksanggupan
seseorang dalam menangkis atau membuktikan pendapat atau
pikiran lawan bicaranya. Rasa malu, gengsi, atau tidak suka,
membuatnya menolak pendapat orang lain. Jadi, penolakan itu
lebih didasari oleh alasan-alasan emosional yang tidak relevan,
bukan oleh alasan rasional. Akhirnya, orang itu menyerang
pribadi, bukan pendapat atau persoalan yang dibicarakan, lawan
bicaranya. Sebagian ahli menyebut salar nalar itu dengan istilah
argumentum ad hominem “pembuktian dengan penyerangan
terhadap manusianya”. Dalam suatu seminar, misalnya, seorang
pemrasaran menyampaikan kiat memelihara keharmonisan
rumah tangga. Seorang peserta menolak pendapat pemrasaran
itu, karena pemrasaran itu pernah gagal dalam perkawinannya.
Tak mungkin saran itu bisa diterima dari orang semacam itu.
Rasanya kita kerap menemukan salah nalar seperti ini dalam
kehidupan sehari-hari.
d) Pengabaian persoalan dapat pula terjadi karena dorongan
keinginan untuk menggugah atau meyakinkan orang lain dengan
menyandarkan argumentasinya pada orang banyak. Salah nalar
seperti ini disebut argumentum ad populum “pembuktian yang
bersandar pada rakyat.” Di sini seseorang mengaitkan persoalan
dengan sesuatu yang dianggap mulia dan hebat atau buruk dan
hina. Orang itu pun berlaku seolah-olah menjadi bagian dari
pembaca atau pendengarnya. Salah nalar seperti ini secara
sengaja kerap dilakukan oleh para politisi, pimpinan organisasi
atau bisnis, para pendidik, atau anggota masyarakat lainnya.
Contoh, “ Kami tahu masalah yang anda hadapi sebab kami pun
mengalaminya. Marilah bergabung bersama kami untuk
menegakkan keadilan di muka bumi Indonesia.“ Contoh lain,
16
“Badan penyangga perdagangan cengkeh (BPPC) ini lahir karena
kemauan rakyat Indonesia untuk meningkatkan kesejahterannya.”
e) Penyampingan persoalan juga terjadi karena seseorang
menggunakan alasan atau bukti yang remeh atau tidak langsung
berkaitan dengan maksud untuk membenarkan pendapat atau
kesimpulannya. Misalnya, seseorang merasa kesalahannya
dapat dibenarkan karena orang lain melakukannya. Contoh,
“Mengapa saya tidak boleh bolos bekerja? Atasan saya sering
tidak ada di kantor juga tidak apa-apa.”
2) Penyembunyian Persoalan (hiding the question)
Ketika seseorang hanya memberikan satu jawaban, pendapat, atau
solusi atas sebuah permasalahan yang kompleks atau rumit, maka
dia sebenarnya telah menyembunyikan persoalan yang
sesungguhnya. Salah nalar ini terjadi dalam beberapa bentuk.
a) Pemikiran ini atau itu (either or thinking)
Salah nalar ini berangkat dari keinginan untuk melihat atau
menyederhanakan persoalan yang rumit dari dua sudut pandang
yang bertentangan. Semua kemungkinan yang ada diabaikan,
kecuali dua hal: kalau tidak baik, tentu buruk; jika tidak benar,
tentu salah; atau jika tidak hitam, tentu putih. Misalnya, “Tidak ada
jalan lain untuk memberantas korupsi, keculi pemerintah
menaikan gaji pegawai negeri kalau mungkin lebih tinggi daripada
gaji pegawai swasta.“ Betulkah itu satu-satunya cara efektif untuk
memberantas masalah korupsi?
b) Tidak bisa diikuti (nonsequitur)
Salah nalar seperti ini terjadi karena suatu kesimpulan tidak
diturunkan dari premis-premisnya. Misalnya, “Sinta adalah anak
yang sangat populer di kelasnya. Oleh karena itu, guru bahasa
Indonesianya pun memberinya nilai A.” Kesimpulan itu
dipertanyakan kebenarannnya: Apa hubungannya
kepopulerannya dengan kecerdasan dengan nilai A? Kesalahan
seperti ini dapat pula disebabkan oleh kegagalan seseorang
dalam menilai kebenaran asumsi atau gagasan yang mendasari
premis.
17
c) Argumentum ad misericodiam
salah nalar ini muncul jika argumentasi yang diajukan
dimaksudkan untuk membangkitkan empati atau belas kasihan.
Biasanya, hal ini terjadi ketika seseorang merasa bersalah.
Misalnya, seorang guru yang sering bolos, yang ditegur kepala
sekolahnya mengatakan “ Maaf, Pak. Saya sering bolos karena
saya banyak utang untuk menyekolahkan adik. Saya harus
mencari uang untuk melunasi utang itu”
d) Argumentum ad baculum
Salah nalar ini dapat terjadi karena seseorang merasa dirinya
tidak enak, terancam, atau mengharapkan sesuatu
e) Argumentum ad otoritaris
Kekeliruan ini biasa terjadi bila seseorang menerima atau
menyampaikan pendapat bukan karena alasan rasional melainkan
karena yang mengatakannya adalah orang yang memiliki
kekuasaan.
3) Kurang memahami persoalan
Salah nalar ini terjadi karena seseorang mengemukakan
pendapat atau alasan tanpa memahami persoalan yang dihadapinya
dengan baik. Misalnya, dalam ujian ditanyakan, “Mengapa
pembelajaran bahasa Indonesia perlu dilakukan dengan pendekatan
komonikatif?“ Jawabannya, “Dalam mengajar bahasa Indoneisa guru
adalah contoh yang akan dilihat dan diikuti oleh murid-muridnya.
Oleh karena itu, guru dalam mengajar perlu memakai bahasa
Indonesia yang baik dan benar serta komunikatif, sehingga apa yang
disampaikan dapat dimengerti siswa dengan baik.“
Ketidakpahaman terhadap persoalan yang dikemukakan
sedapat mungkin ditandai pula dengan penalaran yang melingkar
(circle reasoning). Maksudnya, isi pernyataan atau pendapat yang
dikemukakan berputar-putar sehingga masalah yang sesungguhnya
tidak terungkap dengan baik. Misalnya, “Pendekatan komunikatif
adalah suatu pendekatan di mana guru dapat mengajarkan bahasa
Indonesia yang baik agar mudah dipahami siswa. Bahasa Indonesia
yang baik tidak hanya ragam baku, tetapi juga ragam tak baku.
18
Meskipun demikian, bahasa yang diajarkan di sekolah hendaknya
ditekankan pada ragam baku karena merupakan ragam yang paling
baik. Jadi, pendekatan komunikatif menjadikan guru sebagai contoh
berbahasa Indonesia dan siswa dapat menggunakan berbagai
ragam bahasa yang sesuai”.
19