ABAD 21
LULUSAN SEKOLAH MENENGAH
KEJURUAN (SMK)
Samsudi
Eko Supraptono
Sunyoto
Shohihatur Rohman
i
KOMPETENSI ABAD 21
LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
(SMK)
Penulis :
Samsudi, Eko Supraptono,
Sunyoto, Shohihatur Rohman
Penerbit:
ii
PRAKATA
iii
Pembahasan tentang kompetensi pada abad 21 menjadi
sangat menarik, khususnya bagi pendidikan SMK dan
lulusannya. Hal ini mengingat lulusuan SMK secara spesifik (by
design) disiapkan untuk memasuki dunia kerja/industri, yang
saat ini memasuki era revolusi industri 4.0. Makna 4.0 sangat
berkaitan dengan tuntutan dan tantangan lulusan/tenaga kerja
untuk memiliki kecakapan/kompetensi abad 21.
Buku ini disusun atas dorongan berbagai pihak, untuk
itu penulis sangat berterima kasih atas dukungannya. Kritik dan
saran-saran perbaikan sangat penulis harapkan.
Semoga bermanfaat.
Semarang, Agustus 2019
Penulis
iv
KOMPETENSI ABAD 21
LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)
DAFTAR ISI
Halaman
v
BAB II KONSEP PENDIDIKAN KEJURUAN
vi
BAB IV MUTU LULUSAN SMK
A. Lulusan (output) Sekolah Menengah Kejuruan ............... 115
1. Problematika Mutu Lulusan SMK .......................... 116
2. Kebijakan Peningkatan Mutu Lulusan SMK ............ 117
B. Kinerja Outcome Lulusuan
Sekolah Menengah Kejuruan ........................................ 121
1. Problematika Kinerja Outcome Lulusan SMK ......... 121
2. Tantangan Kinerja Outcome Lulusan SMK ............. 121
vii
BAB I
KONSEP KOMPETENSI
A. Konsep Kompetensi
1. Kompetensi
Kompetensi berasal dari kata “competency”
merupakan kata benda yang menurut Powell (1997:142)
diartikan sebagai 1) kecakapan, kemampuan, kompetensi 2)
wewenang. Kata sifat dari competence adalah competent
yang berarti cakap, mampu, dan tangkas.Pengertian
kompetensi ini pada prinsipnya sama dengan pengertian
kompetensi menurut Stephen Robbin (2007:38) bahwa
kompetensi adalah “kemampuan (ability) atau kapasitas
seseorang untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu
pekerjaan, dimana kemampuan ini ditentukan oleh 2 (dua)
faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
Pengertian kompetensi sebagai kecakapan atau
kemampuan juga dikemukakan oleh Robert A. Roe
(2001:73) sebagai berikut:
1
“Competence is defined as the ability to
adequately perform a task, duty or role.
Competence integrates knowledge, skills, personal
values and attitudes. Competence builds on
knowledge and skills and is acquired through
work experience and learning by doing“
2
konsisten), konsep diri (gambaran diri), pengetahuan
(informasi dalam bidang tertentu) dan keterampilan
(kemampuan untuk melaksanakan tugas).
Secara lebih rinci, Spencer dan Spencer dalam Palan
(2007:84) mengemukakan bahwa kompetensi menunjukkan
karakteristik yang mendasari perilaku yang
menggambarkan motif, karakteristik pribadi (ciri khas),
konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang
dibawa seseorang yang berkinerja unggul (superior
performer) di tempat kerja. Ada 5 (lima) karakteristik yang
membentuk kompetensi yakni 1). Faktor pengetahuan
meliputi masalah teknis, administratif, proses kemanusiaan,
dan sistem. 2). Keterampilan; merujuk pada kemampuan
seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. 3). Konsep diri
dan nilai-nilai; merujuk pada sikap, nilai-nilai dan citra diri
seseorang, seperti kepercayaan seseorang bahwa dia bisa
berhasil dalam suatu situasi. 4). Karakteristik pribadi;
merujuk pada karakteristik fisik dan konsistensi tanggapan
terhadap situasi atau informasi, seperti pengendalian diri
dan kemampuan untuk tetap tenang dibawah tekanan. 5).
3
Motif; merupakan emosi, hasrat, kebutuhan psikologis atau
dorongan-dorongan lain yang memicu tindakan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Becker and Ulrich
dalam Suparno (2005:24) bahwa:
5
mencakup aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, nilai
dan sikap serta tahap-tahap pelaksanaannya secara utuh.
Kompetensi tersebut terbentuk secara transaksional
bergantung pada kondisi-kondisi dan pihak-pihak yang
terlibat secara aktual.
Gordon dalam Mulyana (2003) menjelaskan beberapa
aspek yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai
berikut:
(a) Pengetahuan (knowledge); yaitu kesadaran dalam
bidang kognitif.
(b) Pemahaman (understanding) ; yaitu kedalaman kognitif
dan afektif yang dimiliki oleh individu.
(c) Kemampuan (skill); adalah sesuatu yang dimiliki oleh
individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang
dibebankan kepadanya.
(d) Nilai (value); adalah suatu standar prilaku yang telah
diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri
seseorang.
6
(e) Sikap (attitude); yaiti perasaan (senang-tidak senang,
suka-tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan
yang datang dari luar.
(f) Minat (interest); kecenderungan seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan.
2. Perspektif Kompetensi
Kompetensi, ditinjau dari perspektif estimologi berasal
dari kata kompeten atau mampu. Kata mampu memiliki
arti sebagai kemampuan atau keahlian untuk melakukan
suatu pekerjaan atau aktivitas. Tinjauan lebih luas dari kata
kompetensi yang terkait dengan terminologi
ketenagakerjaan, adalah suatu kemampuan/ kecakapan
7
yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap
untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan.
Spencer & Spencer (1993:15), mengkategorikan
kompetensi menjadi dua wilayah, yakni threshold
competencies dan differentiating competencies:
“Threshold competencies. These are the essential
characteristics (usually knowledge or basic skills,
such as the ability to read) that everyone in a job
needs to be minimally effective but that do not
distinguish superior from average performers. A
threshold competency for a salesperson is
knowledge of the product or ability to fill out
invoice……”
“Differentiating competencies, these factors
distinguish superior form average performers. For
example, achievement orientation expressed in a
person's setting goals higher than those required by
the organization, is a competency that differentiates
superior form average salesperson”.
9
Gambar 1.1 Alur hubungan kompetensi dan kinerja
10
3. Kompetensi Keras (hard competence) dan Lunak (soft
competence)
Berdasarkan beberapa literatur (Parry, 1996; Derous,
2000) dideskripsikan bahwa dimensi kompetensi sejatinya
dapat dibedakan menjadi dua, yakni kompetensi lunak (soft
competence) dan keras (hard competence). Kompetensi
keras mengacu kepada kemampuan kerja yang spesifik,
yang didasari oleh pengetahuan dan keahlian yang
berkaitan dengan pekerjaan; sedangkan kompetensi lunak
mengacu kepada sifat-sifat personal, nilai-nilai, dan
pembawaan. Parry mengakui bahwa kompetensi lunak
mempengaruhi performa dan kinerja seseorang, namun
dianggap sebagai dimensi yang sulit dibentuk melalui
pembelajaran dan pelatihan (Parry, 1996; p.50).
Secara lebih rinci Spencer & Spencer (1993:9-11)
memerinci ada lima dimensi dalam kompetensi, yakni: (1)
motif (motive); (2) pembawaan (trait); (3) konsep diri (self-
concept); (4) pengetahuan (knowledge); dan (5)
keterampilan (skill). Secara bagan, Spencer & Spencer
menyebutnya sebagai model gunung es (The Iceberg
11
Model) atau model inti dan permukaan (Sentral and
Surface Competencies).
The Iceberg Model
Skill
Self concept
Visible Skill
Knowledge Trait,
Motive
12
dikembangkan baik melalui pelatihan maupun
pembelajaran (non-teachable).
Terkait dengan kompetensi yang dapat dibelajarkan
(teachable) dan kompetensi yang sulit dibelajarkan (non-
teachable), Stoof (1999:5-6) menguraikannya berdasarkan
pemilahan dua wilayah kompetensi, yakni: kompetensi
sebagai karakteristik personal (personal characteristic)
versus karaktersitik tugas (task characteristics). Kompetensi
sebagai karakteristik personal berkembang di Amerika
Serikat, dan memiliki ciri dinamis, umum (general), sebagai
tahap perkembangan, serta sulit dibelajarkan (non-
teachable). Sedangkan kompetensi sebagai karakteristik
tugas berkembang di Inggris (termasuk Jerman dan
Australia), memiliki ciri statis, spesifik,
bertingkat/berjenjang (level of competence), dan dapat
dibelajarkan (teachable). Penjelasan Stoof tersebut
digambarkan sabagai berikut:
13
Gambar 1. 3 Pemilahan dimensi kompetensi
(Stoof, 1999:7; dalam Samsudi: 2008)
14
Secara teoretis, memang terdapat pemilahan jenis –
jenis kompetensi sebagaimana dikemukakan di atas, akan
tetapi dalam perencanaan dan penerapannya, pendidikan
kejuruan menganut asas integrated, yakni memadukan
antara prinsip pendidikan dan prinsip
pembelajaran/pelatihan. Prinsip pendidikan diterapkan
untuk membentuk dan mengembangkan soft-competence,
sedangkan prinsip pelatihan diterapkan untuk
mengembangkan hard-competence. Pendidikan vokasi
tidak sama dengan pelatihan kejuruan, kursus kejuruan,
atau sejenisnya, yang semata-mata memberikan pelatihan
vokasi untuk menguasai keterampilan dan kecakapan
spesifik terkait dengan bidang pekerjaan tertentu (hard-
competence).
15
B. Kompetensi dalam Pendidikan Kejuruan
1. Pengembangan Kompetensi dalam Pendidikan Kejuruan
Wenrich dan Wenrich (2004: 8) menyebutkan bahwa
pendidikan kejuruan adalah:
“the total process of education aimed at developing
the competencies needed to function effectively in
an occupation or group of occupations”
16
Wenrich, 2004: 10). Oleh karena itu, di dalam pendidikan
kejuruan secara implisit terkandung unsur-unsur berpikir
(cognitive), berbuat (psychomotor), dan rasa (affective)
dalam proporsi yang berbeda mengikuti kebutuhan
kompetensi pada jenis dan jenjang pekerjaan yang terkait.
Selain itu, konsep ini menunjukkan pula bahwa pendidikan
vokasi terdapat pada semua jenjang pendidikan: dasar,
menengah, tinggi. Hal ini dapat dipahami bahwa pekerjaan
tertentu membutuhkan kualifikasi/kompetensi SDM yang
berbeda. Perbedaan kualifikasi/kompetensi ini merujuk
adanya jenjang dalam kompetensi. Paradigma pendidikan
harus mulai berubah dari supply minded (orientasi jumlah)
menjadi demand minded (kebutuhan) ke dunia kerja. Harus
digali, kompetensi apa saja yang dibutuhkan pasar kerja ke
depan. (Wardiman Djojonegoro 2007: 28)
Dilihat dari sisi desain pendidikan vokasi tersebut,
jelas bahwa pendidikan vokasi memadukan antara
kompetensi utama/kejuruan (sebagai penciri dari program
studi/keahlian) yang dikembangkan melalui pelatihan,
serta kompetensi pendukung/adaptif dan kompetensi
17
lainnya/normatif yang dikembangkan melalui pendidikan.
Dengan demikian sejak tahap perencanaan, pendidikan
vokasi telah mengembangkan hard-competence sekaligus
soft-competence.
Pemetaan kompetensi sesuai dengan
jenjang/kualifikasi pendidikan vokasi digambarkan sebagai
berikut:
18
Banyak pendekatan yang dilakukan dalam
mengembangkan kerangka kerja kompetensi. Framework
yang paling sering digunakan adalah kompetensi menurut
Spencer. Kompetensi menurut Spencer &Spencer
(1993:82) adalah karakteristik dasar yang dimiliki oleh
seorang individu yang berhubungan secara kausal dalam
memenuhi kriteria yang diperlukan dalam menduduki
suatu jabatan. Kompetensi terdiri dari 5 tipe karakteristik,
yaitu motif (kemauan konsisten dan menjadi sebab dari
tindakan), faktor bawaan (karakter dan respon yang
konsisten), konsep diri (gambaran diri), pengetahuan
(informasi dalam bidang tertentu) dan keterampilan
(kemampuan untuk melaksanakan tugas). Kamus
kompetensi menurut Spencer & Spencer dalam Palan
(2007:83) dapat dilihat pada gambar 1.5 dibawah ini:
19
20
Gambar1. 5 Peta Hubungan Kompetensi dan Kinerja Menurut Competency
Theory of Spencer
2. Kompetensi Sikap, Pengetahuan, dan Keterampilan
Dalam Muslich, (2008:16) Apabila dianalisis lebih
lanjut, kompetensi ini terdiri atas beberapa aspek. Hal
tersebut dapat dilihat oleh pembagain menurut para ahli
berikut: 1) Bloom dkk (1956) menganalisis kompetensi ini
menjadi tiga aspek, yang masing-masing mempunyai
tingkatan yang berbeda, yaitu kompetensi kognitif,
kompetensi afektif dan kompetensi psikomotorik. 2)
Selanjutnya Hall dan Jones membedakan kompetensi
menjadi lima jenis yaitu kompetensi kognitif, yang meliputi
pengetahuan, pemahaman, dan perhatian; kompetensi
afektif, yang meliputi nilai, sikap, minat, dan apresiasi;
kompetensi penampilan yang meliputi demonstrasi
keterampilan fisik dan psikomotorik; kompetensi produk,
yang meliputi keterampilan melakukan perubahan; dan
kompetensi eksploratif atau ekspresif, yang menyangkut
pemberian pengalaman yang mempunyai nilai kegunaan
dalam prospek kehidupan.
21
a. Kompetensi Sikap
Kurikulum 2013 membagi kompetensi sikap menjadi
dua, yaitu sikap spiritual yang terkait dengan pembentukan
peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan sikap sosial
yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang
berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab.
Bloom, Anderson menyatakan (dalam Robert K.
Gable; Tim Pekerti, 2007), menyatakan bahwa aspek-aspek
afektif meliputi: attitudelsikap, self concept/self-esteem,
interest, value/beliefs as to whatshould be desired.
Ranah penilaian hasil belajar afektif adalah
kemampuan yang berkenaan dengan perasaan, emosi,
sikap/derajat penerimaan atau penilaian suatu obyek.
Menurut Bloom 1987 (Tim Pekerti, 2007) aspek-aspek
domain afektif ada 6, yaitu: menerima/mengenal,
merespon/berpartisipasi, reaksi terhadap gagasan,
menilai/menghargai, mengorganisasi, dan mengamalkan.
Masing – masing aspek domain afektif, dapat dijelaskan
sebagai berikut:
22
(1) Menerima/mengenal, yaitu bersedia menerima dan
memperhatikan berbagai stimulus yang masih bersikap
pasif, sekedar mendengarkan atau memperhatikan.
(2) Merespons/berpartisipasi, yaitu keinginan berbuat
sesuatu.
(3) Reaksi terhadap gagasan, benda atau sistem nilai—
lebih dari sekedar mengenal.
(4) Menilai/menghargai, yaitu keyakinan atau anggapan
bahwa sesuatu gagasan, benda, atau cara berpikir
tertentu mempunyai nilai/harga/makna.
(5) Mengorganisasai, yaitu menunjukkan keterkaitan
antara nilai-nilai tertentu dalam suatu sistem nilai,
serta menentukan nilai mana mempunyai prioritas
lebih tinggi dari pada nilai lain.
(6) Karakterisasi/internalisasi/mengamalkan, yaitu
mengintegrasikan nilai ke dalam suatu filsafat hidup
yang lengkap dan meyakinkan, serta perilakunya
selalu konsisten dengan filsafat hidupnya tersebut.
23
b. Kompetensi Pengetahuan
Kompetensi Pengetahuan atau Kompetensi ranah
kognitif merupakan ranah hasil belajar yang berkenaan
dengan kemampuan pikir, kemampuan memperoleh
pengetahuan, pengetahuan yang berkaitan dengan
pemerolehan pengetahuan, pengenalan,
pemahaman,konseptualisasi, penentuan dan penalaran.
Secara singkat, ranah kognitif dapat diartikan sebagai
kemampuan intelektual. Bloom dalam Bundu (2006)
mengklasifikasi ranah hasil belajar kognitif atas enam
tingkatan, mengingat (C1), memahami (C2),
mengaplikasikan (C3), menganalisis (C4), mengevaluasi
(C5), dan mencipta (C6).
Berikut keterangan masing-masing kategori
Taksonomi Bloom yang telah direvisi.
MENGINGAT—mengambil pengetahuan dari memori jangka
panjang.
1. Mengenali Mengidentifikasi Menempatkan pengetahuan
dalam memori jangka
panjang yang sesuai dengan
pengetahuan tersebut.
24
2. Mengingat Mengambil Mengambil pengetahuan
Kembali yang relevan dari memori
jangka panjang.
25
2. Mengimplementasikan Menggunakan Menerapkan suatu
prosedur pada tugas
yang tidak familiar
(contoh: menggunakan
hukum Newton kedua
padda konteks yang
tepat)
26
MENGEVALUASI: mengambil keputusan berdasarkan kriteria dan
atau standar
1. Memeriksa Mengkoordinasi, Menemukan kesalahan
Mendeteksi, dalam suatu produk
Memonitor,
Menguji
c. Kompetensi Keterampilan
Ranah ketrampilan motorik atau psikomotor dapat
diartikan sebagai serangkaian gerakan otot-otot yang
terpadu untuk dapat menyelesaikan suatu tugas. Sejak lahir
manusia memperoleh keterampilan-keterampilan meliputi
27
gerakan-gerakan otot yang terpadu atau terkoordinasi mulai
paling sederhana misalnya berjalan, hingga hal lebih rumit;
berlari, memanjat, dan sebagainya. Akan tetapi
psikomotorik yang diperlukan oleh seorang tenaga
profesional adalah seperti mengemudi mobil, berenang,
mengambil darah dari pembuluh vena, mengajar, harus
dikembangkan secara sadar melalui proses pendidikan.
Pada kompetensi keterampilan gambaran idealnya
adalah peserta didik dapat mencoba, mengolah dan
menyajikan dalam ranah konkret (menggunakan,
mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan
ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung,
menggambar dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari
disekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut
pandang/teori tertentu.
29
C. Kompetensi Lulusan SMK
1. Standar Kompetensi Lulusan SMK
Perkembangan saat ini lulusan SMK dituntut tidak
memiliki kompetensi teknis (hard comptence) namun
kompetensi kewirausahaan (soft competence) sehingga
ketika menjadi lulusan (ouput) memiliki peluang yang
tinggi dalam memasuki lapangan kerja, dan ketika menjadi
luaran (outcome) memiliki kinerja dan performa yang
handal. Hal demikianlah yang saat ini menjadi problem
lulusan SMK. Ada dua problematika utama bagi lulusan
SMK saat ini yakni: (1) kesesuaian kompetensi lulusan
dengan bidang kerja; (2) kinerja lulusan di lapangan
kerja/dunia kerja.
Harus diakui, saat ini lulusan SMK memiliki
kesesuaian yang rendah antara bidang studi dengan bidang
keahlian di dunia kerja. Menurut studi tingkat
kesesuaiannya tidak lebih dari 31%. Ditinjau dari konteks
ekonomi pendidikan, kondisi ini menjadikan pendidikan
berharga mahal dan tidak efektif dan efisien. Lulusan
program keahlian Teknik Kendaraan Ringan misalnya,
30
mestinya segera terserap di bidang usaha/industri otomotif;
lulusan program keahlian Tata Busana mestinya segera
terserap dalam bidang usaha garmen atau busana butik, dst.
Kesesuaian kompetensi lulusan SMK dapat berarti sesuai
ketika lulusan menjadi pekerja/karyawan, atau ketika
mengembangkan usaha sebagai wirausahawan.
Melihat kondisi ini beberapa upaya perlu dilakukan
antara lain: (1) perlu diperluas lapangan kerja sesuai bidang
keahlian yang ada di SMK; (2) perlu ada evaluasi terhadap
program keahlian yang lulusannya sudah jenuh di lapangan
kerja.
31
tahun bekerja, tentu diharapkan dapat meningkat karir dan
kedudukannya, mungkin meningkat sebagai suprvisor dst.
Artinya karir dan kedudukan outcome meningkat, tidak
stagnan (tetap) sebagai teknisi.
Dalam beberapa studi, kondisi kinerja outcome lebih
dominan dipengaruhi faktor soft skills. Sikap dan
kecakapan yang berhubungan dengan soft skills dan
kewirausahaan dalam konteks ini perlu dibekalkan kepada
peserta didik sehingga outcome memiliki kinerja (performa)
maksimal ketika berkarir di lapangan kerja.
32
BAB II
KONSEP PENDIDIKAN KEJURUAN
33
Indonesia, terdapat dua jenis pendidikan, yaitu pendidikan
umum (general education) dan pendidikan kejuruan
(vocational education). Dalam pembahasan selanjutnya,
pendidikan kejuruan yang dimaksud adalah pendidikan
menengah kejuruan dan lembaganya disebut Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK).
Terdapat beberapa definisi atau pengertian yang
diberikan beberapa ahli tentang pendidikan kejuruan.
Menurut Prosser and Quigly (1950) yang dijuluki sebagai
bapak pendidikan kejuruan menyatakan bahwa esensi
pendidikan kejuruan adalah mengajarkan kebiasaan
berpikir dan bekerja melalui pelatihan yang berulang-ulang.
Terdapat tiga kebiasaan yang harus diajarkan yaitu 1)
kebiasaan beradaptasi dengan lingkungan kerja, 2)
kebiasaan dalam proses pelaksanaan kerja, dan 3)
kebiasaan berpikir dalam pekerjaan (Dharma, 2013: 5).
Calhoun (1982) menyatakan bahwa pendidikan
kejuruan adalah suatu program pendidikan yang
menyiapkan individu peserta didik menjadi tenaga kerja
yang profesional, juga siap untuk menlanjutkan pendidikan
ke jenjang lebih tinggi.
34
Wenrich and Galloway (1988) berpendapat bahwa
pendidikan kejuruan memiliki arti yang luas, bukan sekedar
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia. Pada
jenjang pendidikan tinggi (universitas, politeknik) juga
terdapat pendidikan kejuruan, yang disebut pendidikan
vokasi untuk membedakan dengan pendidikan akademik.
Pendidikan kejuruan juga tidak harus dalam jalur
pendidikan formal, tepai bisa juga dalam jalur pendidikan
nonformal atau informal. Clarke & Winch (2007:9)
menyatakan bahwa pendidikan kejuruan adalah
pendidikan yang menyiapkan anak muda dan orang
dewasa untuk memasuki lapangan kerja, biasanya terkait
dengan masalah teknik dan praktik.
Sementara itu Calhoun dan Finch (1982) dalam
Sonhaji (2012: 154) mendefinisikan pendidikan kejuruan
sebagai program pendidikan terorganisasi yang secara
langsung berkaitan dengan penyiapan individu memasuki
dunia kerja.
Evans & Edwin (1978:24) mengemukakan bahwa:
“pendidikan kejuruan merupakan bagian dari sistem
pendidikan yang mempersiapkan individu pada suatu
35
pekerjaan atau kelompok pekerjaan”. Sementara Harris
dalam Slamet (1990:2), menyatakan: ”Pendidikan kejuruan
adalah pendidikan untuk suatu pekerjaan atau beberapa
jenis pekerjaan yang disukai individu untuk kebutuhan
sosialnya”.
Menurut House Committee on Education and Labour
(HCEL) dalam (Oemar H. Malik, 1990:94) bahwa:
“pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan
bakat, pendidikan dasar keterampilan, dan kebiasaan-
kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja yang dipandang
sebagai latihan keterampilan”. Dari definisi tersebut
terdapat satu pengertian yang bersifat universal seperti yang
dinyatakan oleh National Council for Research into
Vocational Education Amerika Serikat (NCRVE, 1981:15),
yaitu bahwa “pendidikan kejuruan merupakan subsistem
pendidikan yang secara khusus membantu peserta didik
dalam mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja”.
Dari batasan yang diajukan oleh Evans, Harris,
HCEL, dan NCRVE tersebut dapat disimpulkan bahwa
salah satu ciri pendidikan kejuruan dan yang sekaligus
membedakan dengan jenis pendidikan lain adalah
36
orientasinya pada penyiapan peserta didik untuk memasuki
lapangan kerja.
Agak berbeda dengan batasan yang diberikan oleh
Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE, Finch & Crunkilton
(1984:161) menyebutkan: “pendidikan kejuruan sebagai
pendidikan yang memberikan bekal kepada peserta didik
untuk bekerja guna menopang kehidupannya (education for
earning a living)”.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan diselenggarakan
untuk menyiapkan peserta didik untuk memasuki dunia
kerja atau mempersiapkan peserta didik untuk dapat
bekerja pada bidang tertentu, berarti pula mempersiapkan
mereka agar dapat memperoleh kehidupan yang layak
melalui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masing-
masing. Hal ini untuk membedakan dengan pendidikan
umum yang lebih menekankan pada penyiapan peserta
didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Dalam sistem penyelenggaraan pendidikan
berorientasi dunia kerja di Indonesia, terdapat dua istilah
pendidikan yang digunakan, yaitu: pendidikan kejuruan
37
dan pendidikan vokasi. Dalam Pasal 15 Undang-undang
Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dijelaskan pendidikan
kejuruan merupakan pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja
dalam bidang tertentu, sedangkan pendidikan vokasi
merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta
didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan
tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Dengan
demikian, pendidikan kejuruan merupakan
penyelenggaraan jalur pendidikan formal yang
dilaksanakan pada jenjang pendidikan tingkat menengah,
yaitu: pendidikan menengah kejuruan yang berbentuk
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Pendidikan vokasi merupakan penyelenggaraan jalur
pendidikan formal yang diselenggarakan pada pendidikan
tinggi, seperti: politeknik, program diploma, atau
sejenisnya. Uraian di atas menunjukkan bahwa pendidikan
kejuruan dan pendidikan vokasi merupakan
penyelenggaraan program pendidikan yang terkait erat
dengan ketenagakerjaan.
38
Gambar 2.1. Bagan Jenis dan Jenjang Pendidikan
Di Indonesia Menurut KKNI
(Sumber: Paparan Ditjen Dikti Tentang KKNI: 2011)
39
pendidikan yang relatif “tersruktur” dari segi isi maupun
tingkat-tingkatnya. Namun sistem pendidikan dalam
bentuk sekolah atau menyerupai sekolah sekarang baru
dimulai pada abad ke-16. Sekolah pertama di Indonesia
didirikan oleh penguasa Portugis di Maluku, Altonio
Galvano, pada tahun 1536 berupa sekolah seminari untuk
anak-anak dari pemuka pribumi .
VOC mendirikan sekolah pertama di Ambon pada
tahun 1607, disusul kemudian di Pulau Banda (1622),
dipulau Lontar (1923), dan di Pulau Roen(1927), semuanya
di kawasan Maluku yang kaya akan rempah-rempah dan
menjadi sasaran awal misi VOC. Sekolah-sekolah tersebut
pada dasarnya bertujuan untuk penyebaran agama Kristen .
Diluar wilayah Ambon, VOC mendirikan juga sekolah di
Jakarta(1617)yang menjadi Sekolah Batavia(Bataviaase
School) pada tahun 1622; Sekolah Warga Masyarakat
(Burgerschool) tahun 1630, Sekolah Latin (Latijnse School)
tahun 1642, dan Sekolah Cina(Chinese School) tahun
1737. Sekolah yang berorientasi “Kejuruan” yang didirikan
pertamakali pada zaman VOC adalah Akademi
40
Pelayaran (Academie der Marine) pada tahun 1743 tetapi
ditutup kembali pada tahun 1755.
Ketika kekuasaan VOC berakhir pada penghujung
abad ke-18 pendirian sekolah-sekolah dilanjutkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan atas
keturunan, bangsa, dan status sosial. Sekolah Pertama
untuk anak-anak Eropa dibuka di Jakarta pada 1817,
kemudian menyusul berbagai sekolah lainnya. Akan tetapi,
setelah lebih dari dua abad berkuasa sejak zaman VOC,
baru pada tahun 1853 Belanda mendirikan sekolah
kejuruan, yaitu Ambachts School van Soerabaia (Sekolah
Pertukangan Surabaya) yang diperuntukan bagi anak-anak
Indo dan Belanda, disusul kemudian oleh sekolah serupa di
Jakarta pada 1856. Kedua sekolah ini diselenggarakan oleh
swasta. Baru pada tahun 1860, Pemerintah Hindia Belanda
mengusahakan Sekolah Pertukangan di Surabaya untuk
golongan Eropa. Bagi anak-anak Pribumi, hingga saat itu
belum ada sekolah serupa.
Di luar Akademi Pelayaran yang didirikan tahun
1743, Sekolah Pertukangan di Surabaya yang berdiri pada
tahun 1853 itulah sebagai sekolah kejuruan pertama di
41
Indonesia. Bila sekolah ini menjadi patokan, maka hingga
sekarang sekolah kejuruan di Indonesia telah berusia satu
setengah abad.
Pendidikan kejuruan di Indonesia telah berumur
lebih 150 tahun. Sejarah pendidikan teknik dan kejuruan di
Indonesia diawali dengan didirikannya Ambacht School
van Soerabaja tahun 1853 oleh pihak swasta. Sekolah ini
terutama ditujukan untuk laki-laki keturunan Eropa
khususnya Belanda, dari golongan miskin yang tinggal di
Hindia Belanda ketika itu.Pada akhir abad ke-19
pemerintah Hindia Belanda mendirikan suatu lembaga
pendidikan di Jakarta dengan nama Ambacht Leergang.
Kemudian pada tahun 1901 dilanjutkan dengan
pembukakan lembaga pendidikan bernama Koningin
Welhelmina School (KWS) yang para siswanya terdiri atas
tamatan Europeese School yang diperuntukan khusus
untuk orang-orang Eropa.
Pendidikan teknik dan kejuruan tingkat pertama di
Indonesia menjelang akhir masa penjajahan Belanda
hingga masa pendudukan Jepang (1942-1945) terdiri atas:
Ambacht Leergang, yang mempersiapkan pekerja-pekerja
42
tukang, Ambacht School, yang memberikan latihan yang
lebih tinggi, dan Technische School, yang memberikan
latihan yang lebih tinggi dan bersifat teoritis.Ketiga jenis
lembaga pendidikan teknik dan kejuruan ini tetap bertahan
sesudah Indonesia merdeka dengan mengalami perubahan-
perubahan nama dan beberapa perubahan kurikulum.
Perkembangan jumlah sekolah berjalan pesat sesuai dengan
meningkatnya minat para pemuda untuk menuntut
pengetahuan teknik dan kejuruan.
2. Pasca Kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan, Ambacht Leergang dikenal
dengan Sekolah Pertukangan (SPT), Ambacht School
menjadi Sekolah Pertukangan Lanjutan (SPL), dan
Technische School sebagai Sekolah Teknik (ST), sedangkan
THS menjadi Institut Teknologi Bandung(ITB).Lama
pendidikan SPT adalah 2 tahun setelah SD 6 tahun. SPL
adalah 1 tahun setelah SPT , SPT adalah 4 tahun yang
kemudian menjadi 3 tahun setelah SD. Lembaga
pendidikan teknik dan kejuruan berkembang menjadi
lembaga pendidikan kejuruan yag mempunyai peran sentral
43
dalam penyediaan tenaga tukang yang terampil dan teknisi
tingkat pertama.
Jurusan-jurusan yang dibuka pada lembaga
pendidikan teknik tersebut didasarkan atas penggolongan
jabatan (job description) dan analisis pekerjaan (job
analysis) beserta persyaratan sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional
(ILO).Dengan melihat sejarah tersebut, berarti sekolah
teknik dan kejuruan baru dibuka 317 tahun setelah pertama
yang didirikan oleh Portugis dan 246 tahun setelah sekolah
pertama didirikan oleh VOC/ Belanda.Dengan demikian,
hingga saat ini sekolah kejuruan di Indonesia telah berusia
1,5 abad. Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda, pada
tahun 1940 terdapat sekitar 88 sekolah kejuruan di
Indoneasia dengan 13.230 siswa, umumnya dalam bidang
pertukangan, teknik, dan pertanian.
3. Era Reformasi
Sejak kemerdekaan hingga sekarang, pendidikan
teknik dan kejuruan berkembang pesat. Pemerintah sendiri
saat ini sedang menggalakkan peran SMK yang lebih
44
diminati masyarakat karena berorientasi pada
pekerjaan.Kebijakan pemerintah antara lain sesuai rencana
Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009 dinyatakan bahwa
rasio pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan
menengah umum ditargetkan sebesar 50:50 pada tahun
2010 dan 70:30 pada tahun 2015. Kebijakan ini diharapkan
dapat memecahkan salah satu permasalahan
pengangguran.
Peningkatan pendidikan kejuruan bertujuan
menyiapkan tenaga terampil untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja sesuai dengan tuntutan dunia
industri. Kebijakan ini dilandasi dengan semakin
meningkatnya angka pengangguran serta semakin
terbukanya sektor-sektor formal dan informal yang
membutuhkan tenaga kerja menengah yang
berkualitas.Karena berhadapan langsung dengan dunia
kerja. Proporsi jumlah SMK 70%, SMA 30% di negeri ini
sepertinya cocok jika dikaitkan kemampuan melanjutkan
pendidikan ke yang lebih tinggi. Konsekuensinya adalah
dunia kerja yang akan menampung lulusan SMK harus siap
45
meskipun untuk memasukinya lulusan SMK perlu masih
perlu dilatih.
46
C. Karakteristik Pendidikan Kejuruan
Karakteristik atau ciri pendidikan kejuruan yang
utama adalah sebagai persiapan untuk memasuki dunia
kerja. Secara historis, menurut Evans & Edwin (1978:36)
pendidikan kejuruan sesungguhnya merupakan
perkembangan dari latihan dalam pekerjaan (on the job
training) dan pola magang (apprenticeship).
Pada pola latihan dalam pekerjaan, peserta didik
belajar sambil langsung bekerja sebagai karyawan baru
tanpa ada orang yang secara khusus ditunjuk sebagai
instruktur, sehingga tidak ada jaminan bahwa peserta didik
akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan. Walaupun demikian, menurut Elliot (1983:15),
pola latihan dalam pekerjaan memiliki keunggulan karena
peserta didik dapat langsung belajar pada keadaan yang
sebenarnya sehingga mendorong dia belajar secara inkuiri.
Pada pola magang terdapat seorang karyawan senior
yang secara khusus ditugasi sebagai instruktur bagi
karyawan baru (peserta didik) yang sedang belajar.
Instruktur tersebut bertanggungjawab untuk membimbing
dan mengajarkan pengetahuan serta keterampilan yang
47
sesuai dengan tugas karyawan baru yang menjadi
asuhannya. Dengan demikian pola magang relatif lebih
terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan dapat
memperoleh pengetahuan dan keterampilan tertentu lebih
besar dibanding pola latihan dalam pekerjaan (Evans &
Edwin, 1978:38).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
makin canggih membawa pengaruh terhadap pola kerja
manusia. Pekerjaan menjadi kompleks dan memerlukan
bekal pengetahuan dan keterampilan yang makin tinggi,
sehingga pola magang dan latihan dalam pekerjaan kurang
memadai karena tidak memberikan dasar teori dan
keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan
kerja sebagai karyawan baru. Oleh karena itu kemudian
berkembang bentuk sekolah dan latihan kejuruan yang
diselenggarakan oleh sekolah kejuruan bekerja sama
dengan kalangan industri, dengan tujuan memberikan
bekal teori dan keterampilan sebelum peserta didik
memasuki lapangan kerja.
Pendidikan kejuruan memiliki karakteristik atau ciri-
ciri yang berbeda dengan pendidikan umum jika ditinjau
48
dari kriteria pendidikan, substansi pembelajaran, dan
lulusannya. Kriteria yang harus dimiliki oleh pendidikan
kejuruan menurut Finch & Crunkilton (1984) dalam
Sonhaji (2012:155) adalah:
1) Orientasi pada kinerja individu dalam dunia kerja
2) Justifikasi khusus pada kebutuhan nyata di lapangan
3) Fokus kurikulum pada aspek-aspek psikomotorik,
afektif, dan kognitif
4) Tolok ukur keberhasilan tidak hanya terbatas di sekolah
5) Kepekaan terhadap perkembangan dunia kerja
6) Memerlukan sarana dan prasarana yang memadai
7) Adanya dukungan masyarakat
Nolker dan Shoenfeldt (1983) menyatakan bahwa
dalam memilih substansi pembelajaran, pendidikan
kejuruan harus selalu mengikuti perkembangan IPTEK,
kebutuhan masyarakat, kebutuhan individu dan lapangan
kerja. Ditinjau dari lulusannya, Bulter (1979) dalam
Sonhaji (2012:155) menjelaskan bahwa lulusan pendidikan
kejuruan harus memiliki kecakapan sebagai berikut:
49
1) Minimal, pengetahuan dan keterampilan khusus untuk
jabatannya
2) Minimal, pengetahuan dan keterampilan sosial,
emosiaonal, dan fisik dalam kehidupan sosial
3) Minimal, pengetahuan dan keterampilan khusus dasar
4) Maksimal, kejujuran umum, sosial, serta pengetahuan
dan keterampilan akademik, untuk jabatan, individu,
dan masa depannya.
50
4) Penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan
siswa harus pada “hands-on” atau performa dalam
dunia kerja
5) Hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan
kunci sukses pendidikan kejuruan
6) Pendidikan kejuruan yang baik adalah responsif dan
antisipatif terhadap kemajuan teknologi
7) Pendidikan kejuruan lebih ditekankan pada “learning
by doing” dan “hands-on experience”
8) Pendidikan kejuruan memerlukan fasilitas yang
mutakhir untuk praktik
9) Pendidikan kejuruan memerlukan biaya investasi dan
operasional yang lebih besar daripada pendidikan
umum
51
1) Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan di
mana siswa dilatih merupakan replika lingkungan di
mana nanti ia akan bekerja
2) Pendidikan kejuruan akan efektif hanya dapat diberikan
di mana tugas-tugas latihan dilakukan dengan cara,
alat, dan mesin yang sama seperti yang diterapkan di
tempat kerja
3) Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia melatih
seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja seperti
yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri.
4) Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia dapat
memampukan setiap individu memodali minatnya,
pengetahuannya, dan keterampilannya pada tingkat
yang paling tinggi
5) Pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi,
jabatan, atau pekerjaan hanya dapat diberikan kepada
seseorang yang memerlukannya, yang
menginginkannya, dan yang dapat untung darinya
6) Pendidikan kejuruan akan efektif jika pengalaman
latihan untuk membentuk kebiasaan kerja dan
52
kebiasaan berfikir yang benar diulangkan sehingga pas
seperti yang diperlukan dalam pekerjaan nantinya
7) Pendidikan kejuruan akan efektif jika gurunya telah
mempunyai pengalaman yang sukses dalam penerapan
keterampilan dan pengetahuan pada operasi dan proses
kerja yang akan dilakukan
8) Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang
harus dipunyai oleh seseorang agar dia tetap dapat
bekerja pada jabatan tersebut
9) Pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan
pasar (memperhatikan tanda-tanda pasar kerja)
10) Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa
akan tercapai jika pelatihan diberikan pada pekerjaan
yang nyata (pengalaman sarat nilai)
11) Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi
pelatihan pada suatu okupasi tertentu adalah dari
pengalaman para ahlu pada okupasi tersebut
12) Setiap okupasi mempunyai ciri-ciri isi yang berbeda-
beda satu dengan yang lainnya
13) Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial
yang efisien jika sesuai dengan kebutuhan seseorang
53
yang memang mememrlukan dan memang paling
efektif jika dilakukan lewat pengajaran kejuruan
14) Pendidikan kejuruan akan efisien jika metode
pengajaran yang digunakan dan hubungan pribadi
dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat
peserta didik tersebut
15) Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika dia
luwes dan mengalir daripada kaku dan terstandar
16) Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan
jika tidak terpenuhi maka pendidikan kejuruan tidak
boleh dipaksakan beroperasi
60
mendidik siswa untuk memenuhi persyaratan yang diminta
oleh suatu perusahaan tertentu.
Perjenjangan kedekatan pendidikan kejuruan yang
disebutkan oleh Evans di atas berarti juga kesiapan lulusan
dalam memasuki lapangan kerja. Makin khusus jenis
pendidikan kejuruan akan makin siap lulusannya
memasuki lapangan kerja, tetapi juga makin sempit bidang
pekerjaan yang dapat dimasuki. Walaupun demikian,
kecuali untuk keperluan tertentu pendidikan kejuruan yang
khusus (job specific education) sangat sulit diterapkan di
Indonesia, mengingat jenis industri di Indonesia sangat
bervariasi. Di sini mulai timbulnya dilema antara siap
pakai atau siap latih dalam pendidikan kejuruan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut Semiawan
(1991:6), yang penting adalah kesiapan mental untuk
mengembangkan dirinya serta keterampilan dasar untuk
setiap kali dapat menyesuaikan diri kembali pada
perubahan tertentu (retrain ability). Dengan bekal tersebut
diharapkan lulusan sekolah menengah kejuruan tidak
hanya terpancang pada jenis pekerjaan yang ada, tetapi
juga terdorong untuk mewujudkan lapangan kerja baru
61
dengan mengembangkan prakarsa dan kreativitasnya
secara optimal.
Sejalan dengan itu Tilaar (1991:12) menegaskan
bahwa: “pendidikan formal (sekolah kejuruan) seharusnya
menghasilkan lulusan yang memiliki kualifikasi siap latih
yang kemudian diteruskan dengan program pelatihan, baik
di dalam industri atau lembaga pelatihan tertentu”.
Kebijakan penting pemerintah (Depdiknas) yang
dijalankan sejak 2005i adalah ingin meningkatkan jumlah
siswa SMK hingga mencapai 70% siswa SMK dan 30%
siswa SMU pada tahun 2015 (Depdiknas, 2006). Kebijakan
ini membawa beberapa implikasi, antara lain tentang
pembangunan sarana dan prasarana baru, kebutuhan guru,
dan yang tak kalah penting adalah bidang dan program
keahlian apa saja yang relevan atau sesuai dengan
kebutuhan pasar kerja.
Pembagian bidang atau penjurusan pada pendidikan
menengah umum (SMA) lebih sederhana, yaitu hanya
terdiri dari tiga jurusan: IPA, IPS dan Bahasa. Pada
pendidikan menengah kejuruan (SMK), pembagian bidang
dan program keahlian lebih banyak dan terspesialisasi. Dari
62
tahun ke tahun spektrum keahlian pendidikan menengah
kejuruan di Indonesia mengalami perubahan atau
mengikuti perkembangan dunia usaha dan industri, dan
cenderung lebih terspesialisasi.
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud Nomor:
4678/D/KEP/MK/2016 tentang Spektrum Keahlian
Pendidikan Menengah Kejuruan, pengelompokan
pendidikan kejuruan dibedakan menjadi 9 Bidang
Keahlian, 48 Program Keahlian, dan 142 Kompetensi
keahlian.
Pembagian bidang dan program keahlian yang rinci
tersebut membawa konsekuensi tersendiri, baik sisi positif
maupun negatifnya. Sisi positifnya, paling tidak lulusan
SMK akan lebih siap kerja daripada lulusan pendidikan
umum, namun dengan syarat bidang pekerjaannya sesuai
dengan bidang keahlian selama menempuh pendidikan.
Sisi negatifnya, apabila lapangan pekerjaan yang tersedia
tidak sesuai dengan bidang atau program keahliannya,
maka dia terpaksa menganggur atau bekerja tidak sesuai
dengan bidang keahliannya. Dampak negatif ini lebih
63
parah jika dibandingkan dengan lulusan SMA yang bersifat
general (umum) dimana penyesuaian bidang keahlian
dengan pasar kerja lebih mudah daripada sudah terbentuk
sejak awal.
64
BAB III
KURIKULUM & PEMBELAJARAN
ABAD 21 DI SMK
A. Kurikulum SMK
Secara historis perkembangan kurikulum pendidikan
kejuruan di Indonesia tidak terlepas dengan perkembangan
pendidikan teknik dan kejuruan, baik sebelum era
kemerdekaan, sesudah kemerdekaan, dan setelah reformasi.
Menjelang kemerdekaan tahun 1942-1945 di Indonesia
dikenal tiga jenis pendidikan kejuruan yakni: Ambacht
Leergang, yang mempersiapkan pekerja-pekerja tukang,
Ambacht School, yang memberikan latihan yang lebih
tinggi, dan Technische School, yang memberikan latihan
yang lebih tinggi dan bersifat teoritis. Ketiga jenis lembaga
pendidikan teknik dan kejuruan ini tetap bertahan sesudah
Indonesia merdeka dengan mengalami perubahan-
perubahan nama dan beberapa perubahan kurikulum.
Perkembangan jumlah sekolah berjalan pesat sesuai dengan
meningkatnya minat para pemuda untuk menuntut
pengetahuan teknik dan kejuruan.
65
Pada era setelah kemerdekaan kurikulum SMK
berkembang sesuai dengan perkembangan lapangan kerja
di berbagai sekor. Pada era ini setidaknya ada beberapa
momen perubahan kurikulum SMK, yakni pada tahun
1975, 1984 dan 1994. Pada tahun 1975 dan 1984 kurikulum
pendidikan berbasis isi (content-based curriculum), dan
pada bidang kejuruan kurikulum membedakan antara
materi (content) teori dan praktik. Oleh sebab itu, pada
struktur mata pelajaran SMK ada dua kelompok, yakni
mata pelajaran teori dan praktik.
Pada tahun 1994 secara nasional pemerintah
menggulirkan kebijakan kurikulum berbasis tujuan
(objective based curriculum), maka kemudian dikenal
Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan
Instruksional Khusus (TIK). Pada kurikulum SMK tahun
1994 mengalami perubahan secara fundamental dalam
konteks tujuan pembelajaran. Tujuan pendidikan di SMK
ketika itu adalah menghasilkan lulusan yang berakhlak
mulia/berkepribadian, terampil, dan dapat menyesuaikan
dengan perkembangan jaman. Oleh sebab itu kurikulum
66
SMK tidak hanya membedakan mata pelajaran teori dan
praktik, namun memuat tiga kelompok mata pelajaran
yakni: normatif, adaptif, dan produktif.
Pada masa setelah reformasi, ada beberapa momen
pembaharuan kurikulum yakni: tahun 2004-2006, dan
2013. Secara kebijakan, kurikulum 2006 dan 2013 disebut
berbasis kompetensi (competence-based curriculum).
Kurikulum ini memiliki ciri utama, substansi pembelajaran
dirumuskan dalam bentuk Standar Kompetensi (SK) dan
Kompetensi Dasar (KD), atau Kompetensi Inti (KI) dan
Kompetensi Dasar (KD). Pada kurikulum 2013 SMK,
dikenal dengan kelompok mata pelajaran A (normatif), B
(adaptif), dan C1, C2, dan C3 (produktif). Sesuai dengan
rumusan Spektrum bidang keahlian di dunia kerja/industri,
kelompok C1 bidang keahlian, C2 program keahlian, dan
C3 kompetensi keahlian.
1. Konsep Kurikulum SMK
Kurikulum secara konsep mengandung arti rencana
atau program pendidikan yang diimplementasikan dalam
satuan pendidikan. Depdiknas (2006) menyebutkan,
67
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu
(UU No.20/2003 pasal 1 ayat 19).
Kurikulum SMK dapat dijelaskan dalam dua dimensi
yakni, generik dan spesifik. Secara generik kurikulum SMK
mengandung arti rencana dan program yang memiliki
ruang lingkup sama sebagaimana batasan dalam UU
No.20/2003 di atas, yakni mencakup ujuan, isi, bahan
pembelajaran, metode pembelajaran dan sistem penilaian.
Secara spesifik kurikulum SMK mengandung arti rencana,
implementasi, dan sistem evaluasi yang memiliki ruang
lingkup dan indikator, sbb:
a. Standar kelulusan yang tertuang dalam rencana
kurikulum (curriculum design) perlu memiliki
keselarasan dengan keahlian yang dibutuhkan oleh
dunia usaha/industri (Du/Di);
b. Implementasi kurikulum dalam bentuk proses
pembelajaran, harus sesuai dengan pola dan prinsip
68
kerja di Du/Di, dan dalam pelaksanaan
pembelajaran perlu memperoleh dukungan Du/Di;
c. Sistem evaluasi dan uji kompetensi hasil
pembelajaran perlu merujuk kepada standar keahlian
dan kompetensi yang berlaku dan berkembang di
Du/Di.
69
1. Kebutuhan-kebutuhan internal peserta didik, seperti
kebutuhan pemerolehan kacakapan spesifik maupun
kecakapan pengembangan, secara konseptual telah
diakomodasi dalam perancangan kurikulum SMK;
seperti tercermin dalam pendekatan broad-based,
dan life skill;
2. Konsistensi internal ini pada dasarnya merupakan
pengembangan dari kurikulum SMK, yang juga
mencantumkan pendekatan broad-based, tetapi
belum mencantumkan pendekatan life-skill.
Kedua dimensi tersebut, memberikan peluang
pembentukan dan pengembangan kecakapan-kecakapan
khusus maupun yang bersifat pengembangan yang
dibutuhkan siswa sebagai pribadi. Secara eksternal,
konsistensi pendekatan kurikulum SMK tertuang dalam
rumusan pendekatan competency-based, dan production-
based. Kedua pendekatan ini dalam strategi
implementasinya berusaha mengembangkan kemampuan
yang bersifat eksternal; artinya kecakapan untuk
70
menghadapi tuntutan keahlian tenaga kerja serta mobilitas
pekerjaan secara global.
Dimensi-dimensi futuristik kurikulum pendidikan
kejuruan (SMK) secara eksplisit dapat diidentifikasi dari
rumusan arah perubahan (paradigma) pendidikan kejuruan
sebagai berikut:
Tabel 3.1 Dimensi Futuristik Pendidikan Kejuruan
Masa Lalu Masa Depan
Supply driven Demand driven
Berbasis sekolah Berbasis kompetensi
Alur dan proses kaku Alur lentur dengan prinsip
“multi entry dan multi exit”
Tidak mengakui Mengakui kemampuan
kemampuan sebelumnya
sebelumnya
71
Secara eksplisit dapat dilihat bahwa orientasi
kurikulum dan pengembangan pendidikan kejuruan ke
depan menunjukkan paradigma dan orientasi yang
berkembang. Reorientasi kurikulum dan program
pendidikan dan pelatihan tergambar dari pendekatan
supply driven ke arah demand driven; serta
program/kurikulum berbasis sekolah (school based
curriculum) menuju kurikulum berbasis kompetensi
(competency based curriculum) sesuai standar nasional
yang berlaku.
Reorientasi dalam proses dan hasil pembelajaran
tercermin dalam prinsip multi entry-multi exit; pengakuan
terhadap kemampuan sebelumnya; diklat berfokus pada
profesi kejuruan, formal dan informal; serta integrasi penuh
antara pendidikan dan pelatihan. Reorientasi dalam
manajemen pendidikan dan pelatihan tercermin dalam
pengelolaan terdesentralisasi, dan prinsip swakelola dan
swadana. Dari konsepsi di atas, setidaknya ada dua aspek
dasar dalam perubahan paradigma pendidikan dan
pelatihan kejuruan yang berkaitan langsung dengan
72
karaktaristik program dan kurikulum yaitu: supply driven
menuju demand driven, dan school based menuju
competency based education and training.
Sesuai dengan tujuan penyempurnaan kurikulum
SMK yaitu mengembangkan (komponen) program dan
implementasi guna lebih dekat dan sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan lapangan (dunia usaha/industri),
sehingga aspek program (isi) dan implementasinya menjadi
perhatian utama dalam upaya pengembangan. Sedangkan
aspek landasan (filosofi, psikologi dan sosiologis) secara
prinsip tidak mengalami perubahan.
Hal esensial dari kurikulum SMK adalah amanat
dilaksanakannya sinkronisasi isi kurikulum (program diklat
di SMK) dengan kebutuhan dan tuntutan lapangan
(program diklat di DU/DI), yang secara riel
direpresentasikan oleh kebutuhan dan tuntutan dunia
usaha/industri. Sinkronisasi, dalam kontek ini adalah
proses dan tahapan pengembangan (isi program dan
implementasi) kurikulum yang merujuk kepada isi keahlian
73
dan performansi yang dilaksanakan dan dikembangkan
oleh dunia usaha/industri.
Secara konseptual kurikulum SMK mengandung
lima dimensi pembaharuan (inovasi) kurikulum, yaitu : (1)
berbasis luas, kuat dan mendasar (Broad Based
Curriculum); (2) berbasis kompetensi (Competency Based
Curriculum); (3) pembelajaran tuntas (Mastery Learning);
(4) berbasis ganda (Dual Based Program); dan (5)
perkuatan kemampuan daya suai dan kemandirian
pengembangan diri tamatan. Secara spesifik, perbedaan
kedua kurikulum tersebut terletak pada: pendekatan,
struktur program, periode ajaran, dan evaluasi. Pertama,
kurikulum SMK menggunakan pendekatan competency
based, sedangkan kurikulum edisi 1999 menggunakan
pendekatan kombinasi competency based dan broad based.
Kedua, struktur program kurikulum SMK terdiri dari
program program normatif, program adaptif, dan program
produktif. Ketiga, pembelajaran menurut kurikulum SMK
disajikan dalam m sistem semester. Keempat, evaluasi
kurikulum dilaksanakan secara menyeluruh.
74
Mencermati lima dimensi pembaharuan dan empat
ciri perbedaan di atas, setidaknya ada dua karakter utama
pembaharuan/penyempurnaan kurikulum SMK dari ciri
supply driven - school based pada menuju demand driven -
competency based.
75
kurikulum dengan dunia usaha/industri, karena pola saat
itu centralized curriculum.
Sebagai langkah perbaikan, maka dalam kurikulum
SMK telah secara tegas diamanatkan keharusan melakukan
sinkronisasi kurikulum bagi setiap SMK yang
melaksanakan program PSG. Dengan arahan ini maka
program diklat SMK diupayakan sedekat mungkin dengan
kondisi DU/DI, dan secara langsung DU/DI menjadi
rujukan dalam implementasi program. Melalui sinkronisasi
kurikulum, sekolah dapat membaca keahlian dan
performansi apa yang dibutuhkan dunia usaha/industri
untuk dapat dimasuki oleh lulusannya. Keahlian dan
performansi tersebut berikutnya dirancang sebagai isi
(program) kurikulum yang akan diimplementasikan dalam
proses diklat baik di sekolah maupun di DU/DI. Upaya-
upaya di atas adalah esensi dari pola ‘demand driven’, di
samping berbasis ganda (Dual Based Program) yang
dilaksanakan di sekolah dan dunia usaha/industri.
76
2. Karakter School Based menuju Competency Based
Pengembangan dan penyempurnaan program diklat
(kurikulum dan pembelajaran) di SMK menggunakan dua
pendekatan utama, yaitu Pendekatan Pengembangan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (Competency Based
Curriculum) dan Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Berbasis Luas (Broad Based Curriculum). Secara
konseptual kedua pendekatan tersebut memiliki perbedaan
yang mendasar tetapi saling melengkapi (komplementer).
Pendekatan berbasis kompetensi (Competency Based)
menitikberatkan pertimbangan bahwa kurikulum harus
berisi program pembelajaran yang membekali tamatan agar
dapat melaksanakan tugas-tugas pekerjaaan yang ada di
lapangan kerja, karenanya harus berisi kompetensi
(terutama keterampilan) yang benar-benar ada dan
dibutuhkan di lapangan kerja. Pada sisi lain pendekatan
berbasis luas (Broad Based) menekankan pemberian bekal
agar tamatan dapat berkembang secara berkelanjutan,
sehingga kurikulum harus berisi kemampuan-kemampuan
(terutama intelektual dan emosional) yang memungkinkan
77
tamatan dapat mengikuti berbagai perkembangan serta
mampu melakukan penyesuaian secara terus-menerus.
Sistem pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi
perlu diawali dengan kerjasama antara dunia
usaha/industri dan asosiasi profesi dengan SMK guna
menetapkan standar keahlian/kompetensi yang berkaitan
langsung dengan kebutuhan lapangan kerja. Standar
kompetensi tersebut digunakan sebagai dasar
penyusunan/pengembangan kurikulum, bahan-bahan
pelatihan, sistem pengujian dan sertifikasi. Sebagai
kelengkapan dalam sertifikasi, peserta diklat (siswa)
diberikan paspor keterampilan (skill pasport), sebagai bukti
telah dimilikinya beberapa keterampilan oleh
pemegangnya.
Kompetensi (Competency) tidak semata-mata
diartikan sebagai kemampuan melaksanakan tugas
(pekerjaan) secara teknis yang biasanya bersifat unjuk kerja
yang dapat diamati (performance observable), tetapi juga
menyangkut kemampuan-kemampuan mendasar (key
competencies) yang lebih bersifat intelektual dan mental-
78
emosional, yang sangat diperlukan untuk pengembangan
sikap profesional di dalam bekerja dan pengembangan
aspek-aspek kehidupan yang lebih luas, seperti peka dan
respon terhadap berbagai hal yang terjadi, rasional dan
berfikir logis, membuat keputusan, bertanggung jawab,
mandiri dan sekaligus dapat bekerja sama.
Broad Based (dalam konteks Broad Based
Curriculum-BBC) tidak hanya diartikan sebagai berbasis
luas yang menunjuk pada pemberian dasar-dasar kejuruan
yang lebih lebar, agar tamatan dapat bergerak secara
leluasa dari satu ke ahlian ke keahlian lainnya dalam satu
bidang keahlian yang sama. Lebih dari itu Broad Based
juga mengandung makna berbasis kuat dan mendasar yaitu
pemberian dasar-dasar yang benar-benar mendasar tentang
sesuatu yang harus dikuasai, baik menyangkut penguasaan
pemahaman terhadap kemengapaan (know why) maupun
menyangkut penguasaan teknis bagaimananya (know
how), agar kemampuan adaptabilitasnya tidak semata-mata
bersifat kuantitatif tetapi juga secara kualitatif.
79
Integrasi kedua pendekatan tersebut pada dasarnya
sangat humanistik, artinya sangat memperhatikan aspek
kebutuhan dasar manusia (peserta didik), yang tidak hanya
membutuhkan kecakapan (kompetensi) spesifik, tetapi juga
membutuhkan kecakapan (skills) yang bersifat
pengembangan. Untuk itulah, secara tegas dalam
kurikulum SMK tersusun program produktif, yang berisi
mata-diklat yang bertujuan memberikan bekal kecakapan
(kompetensi) spesifik; dan rumusan program normatif dan
adaptif yang berisi mata-diklat guna memberikan bekal
kecakapan pengembangan yang memiliki daya suai tinggi.
Secara idal, pada diri siswa dan tamatan akan terjadi
transfer of skills, transfer of training, transfer of learning,
and transfer of principles.
80
yaitu: (1) isi program (kurikulum); (2) pendekatan
pembelajaran/diklat sebagai bentuk implementasi
kurikulum; dan (3) sistem penilaian dan sertifikasi siswa.
1). Relevansi
Prinsip ini menjadi demikian sentral dalam
kurikulum kejuruan berbasis kompetensi, karena
menyangkut kesesuaian isi kurikulum dengan kebutuhan
dunia usaha/industri; serta kesesuaian mutu lulusan
dengan standar pengguna. Prinsip ini sejalan dengan arah
pembaharuan pendidikan kejuruan yang bersifat demand
driven dan market driven.
81
2). Fleksibilitas
Kelenturan kurikulum pendidikan kejuruan sangat
perlu diwujudkan, terutama dalam kaitan melayani
keragaman kebutuhan pengguna (dunia usaha/industri);
serta kelentruran dalam melayani perbedaan kemampuan
dan pengalaman peserta didik. Prinsip ini akan
memberikan arahan untuk melahirkan beberapa program
pembelajaran yang sesuai, misalnya pola multientry-
multiexit, program elektif, pembelajaran bervariasi dsb.
b. Pendekatan Pembelajaran/Diklat
1). Pembelajaran Berbasisi Luas dan Mendasar
Pendekatan ini mengandung maksud pembelajaran
yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
memahami dan menguasai konsep dan prinsip keilmuan
yang melandasi suatu bidang keahlian. Dengan pendekatan
ini, siswa tidak hanya memahami dan menguasai “apa”
dan “bagaimana” suatu pekerjaan dilakukan, tetapi harus
sampai kepada esensi “mengapa”-nya. Pembelajaran juga
dirancang agar siswa memiliki dasar-dasar yang kuat untuk
82
mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan tuntutan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
memiliki daya suai (adaptability) dalam mengikuti berbagai
perubahan yang terjadi di dunia kerja.
Organiasi kurikulum dilaksanakan dengan
pendekatan BBC (Broad Based Curriculum), yang
mencakup : (a) program dasar, diarahkan untuk menguasai
dasar-dasar kompetensi keahlian nyang menyeluruh
(comprehensive) dan mendasar (essential); (b) program
lanjut, diarahkan untuk penguasaan kompetensi dasar
keahlian dan teknik bekerja yang baik dan benar, sesuai
standar keahlian yang berlaku di lapangan kerja; dan (c)
program spesialisasi, diarahkan dalam bentuk pembelajaran
di dunia kerja (dunia usaha/industri), agar keahlian yang
dipelajari benar-benar standar, dan pada saat yang sama
peserta dapat menginternalisasikan sikap, sistem nilai, dan
etos kerja yang dituntut dunia kerja.
83
Fokus pelaksanaan pembelajaran ini antara lain : (a)
kegiatan pembelajaran adalah penguasaan kompetensi oleh
peserta; (b) proses pembelajar harus memiliki kesepadanan
dengan kondisi dimana kompetensi tersebut akan
digunakan; (c) aktivitas pembelajaran bersifat
perseorangan, antara satu peserta dengan peserta lain tidak
ada ketergantungan; (d) harus tersedia program pengayaan
(enrichment) bagi peserta yang lebih cepat dan program
perbaikan (remedial) bagi peserta yang lebih lamban.
84
menggunakan pendekatan Penilaian Acuan Patokan (PAP)
untuk menilai keberhasilan belajar siswa mencapai standar
minimal; (c) siswa tidak diperkenankan pindah topik atau
pekerjaan berikutnya, jika topik atau pekerjaan yang sedang
dipelajarinya belum dikuasai sampai standar minimal; (d)
memberikan kemampuan yang utuh, mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan sikap; (e) memberikan
kesempayan setiap siswa untuk mencapai standar minimal,
sesuai dengan irama dan kemampuan belajarnya masing-
masing (individualized learning); (f) disediakan program
remedial bagi siswa yang lambat, dan program pengayaan
bagi siswa yang lebih cepat menguasai kompetensi.
85
(anggota masyarakat) dan memiliki potensi untuk
berkembang.
Untuk itu, organisasi pembelajarannya
diselenggarakan sebagai berikut: (a) diklat dirancang secara
terintegrasi antara pembelajaran program normative,
adaptif, dan produktif; (b) pembelajaran program normatif
disajikan secara kontekstual dengan hal-hal yang nyata
terjadi dalam kehidupan sehari-hari; (c) pembentukan
sikap-nilai pada diri siswa diupayakan melalui proses
internalisasi (penghayatan) dan keteladanan; (d) guru lebih
banyak bertindak sebagai fasilitator.
86
alat/fasilitas, guru/instruktur, dengan standar
kerja/industri; (d) hasil pembelajaran yang berupa produk,
dirancang sebagai produk yang layak jual atau bagian-
bagian produk (komponen) yang dapat dirakit menjadi
produk yang layak jual.
87
menyangkut kesiapan fisik, mental, wawasan, dan orientasi
kerja yang benar.
88
yang hasilnya menunjukkan standar keahlian yang berlaku
di lapangan pekerjaan tertentu (enterprise standard) atau
standar yang disepakati oleh beberapa lapangan pekerjaan
tertentu (industry standard); (2) ujian dan sertifikasi profesi,
yang hasilnya mengacu kepada standar keahlian dan
sertifikasi yang berlaku pada bidang profesi yang
bersangkutan, sehingga kewenangan mengeluarkan
sertifikasi profesi sepenuhnya berada pada Asosiasi Profesi
terkait.
Ujian dan sertifikasi kompetensi dilaksanakan oleh
SMK dan Institusi Pasangan (Du/Di) di bawah tanggung
jawab Majelis Sekolah (MS). Sedangkan ujian dan
sertifikasi profesi dilaksanakan oleh asosiasi profesi terkait,
di bawah koordinasi Majelis Sekolah.
89
teri pendidikan konstruktivistik dan behavioristik. Atas
dasar tersebut, kurikulum pendidikan kejuruan dalam
pengembangannya harus memberikan kesempatan
pengembangan lanjut sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan aktual dunia kerja. Sejalan dengan hal ini,
kurikulum SMK pada dasarnya dikembangkan dengan
semangat bottom-up, artinya pihak sekolah, guru, bersama
dunia kerja diberikan kesempatan mengembangkan lebih
lanjut kurikulum nasional, agar memiliki kesesuaian tinggi
dengan kondisi sekolah, daerah, serta kebutuhan aktual
dunia kerja di sekitarnya. Kebijakan tersebut tertuang
dalam dokumen kurikulum SMK, yang menggariskan
bahwa kurikulum nasional semestinya dikembangkan lebih
lanjut dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1)
melakukan pengkajian terhadap kurikulum nasional; (2)
menginventarisasi kompetensi yang dibutuhkan lapangan
kekrja; (3) menentukan strategi pengembangan; (4)
menyusun kurikulum implementatif; (5) melakukan
legalisasi kurikulum implementatif. (Depdiknas, 2004:5).
90
Muara dari langkah-langkah kegiatan pengembangan
tersebut adalah diperolehnya kurikulum yang sesuai dengan
tuntutan dunia kerja setempat dan daerah dimana lulusan
diproyeksikan akan bekerja. Kegiatan pengembangan
kurikulum implementatif merupakan kegiatan transformasi
kompetensi yang dibutuhkan lapangan kerja setempat atau
daerah lain yang menjadi sasaran pasar kerja lulusan, serta
belum tercantum dalam kurikulum SMK nasional.
Kompetensi-kompetensi yang akan dilatihkan adalah
kompetensi yang telah disesuaikan dengan kebutuhan
dunia kerja yang menjadi target lulusan. Langkah-langkah
penyesuaian substansi atau materi kurikulum adalah
sebagai berikut: (1) menganalisis materi atau substansi
kurikulum nasional yang perlu ditambah atau dikurangi; (2)
merumuskan materi kurikulum yang perlu ditambahkan;
(3) menataulang urutan (sekuensi) materi pokok
pembelajaran.
Kurikulum kejuruan (SMK) sebagai sebuah ide,
rencana, proses dan hasil dalam bentuk pengalaman belajar
(learning experience), diyakini dalam perancangannya telah
91
mendasarkan kepada pendekatan-pendekatan tertentu,
yang esensinya adalah mengembangkan kemampuan yang
berorientasi peserta didik (learner centred), serta
mengupayakan pencapaian kebutuhan peserta didik, baik
kebutuhan dalam konteks pembelajaran (psikologis)
maupun kebutuhan akan pengembangan individu di
masyarakat setelah lulus.
Dapat diambil contoh dalam landasan
pengembangan kurikulum SMK menggunakan empat
pendekatan perancangan sebagai berikut (Dit Dikmenjur,
1999 : i) : (a) luas dan mendasar (broad-based); (b) berbasis
kompetensi (competency-based training); (c) belajar tuntas
(mastery learning); dan (d) berbasis produksi (production-
based training). Demikian juga, secara eksplisit dijelaskan
kurikulum SMK yang diberlakukan pada tahun 2004
menggunakan lima pendekatan dalam perancangannya
yaitu (Dit Dikmenjur, 2003:i): (a) pengembangan
kurikulum secara saintifik (scientific curriculum
development); (b) pendekatan kecakapan hidup (life skill);
(c) berbasis kompetensi (competency-based training); (d)
92
luas dan mendasar (broad-based); dan (e) berbasis produksi
(production-based training).
Secara konseptual, perkembangan pendekatan dalam
perancangan kurikulum SMK tersebut sangat bisa
dipahami, mengingat bahwa ke depan terdapat berbagai
kondisi yang menuntut penyesuaian dalam pendekatan
perancangan kurikulum SMK. Kondisi-kondisi tersebut
antara lain: (a) secara internal, kebutuhan peserta
pendidikan dan pelatihan (diklat) yang berkembang dan
meningkat baik untuk mendapatkan kecakapan spesifik
maupun kecakapan yang bersifat pengembangan; (b) secara
eksternal, tantangan keahlian (kompetensi) yang
dibutuhkan dunia usaha/industri terus berkembang, seiring
dengan mobilitas ketenagakerjaan secara global.
Namun demikian, setidaknya ada dua hal yang perlu
menjadi bahan kajian terhadap ide-ide yang tercermin
dalam pendekatan-pendekatan di atas, yaitu: Pertama,
adalah apakah gagasan-gagasan yang tercermin dalam
pendekatan perancangan kurikulum tersebut memang
konsisten dan sejalan dengan dua kondisi (internal dan
93
ekaternal) yang disebutkan di atas. Kedua, apakah ide-ide
dalam pendekatan tersebut memiliki (perspektif) jangkauan
yang relatif jauh ke depan (futuristik) terutama menghadapi
persaingan di tahun 2020. Kedua hal tersebut menjadi titik
acuan dalam kajian ini.
94
memformulasikan suatu sistem Pendidikan dan Pelatihan
Kejuruan di Indonesia, yang kemudian dituangkan dalam
buku “Keterampilan Menjelang 2020 untuk Era Global”.
Kajian tersebut berangkat dari permasalahan yang
ada, tuntutan perubahan masa depan, serta belajar dari
pengalaman berbagai negara. Dengan dasar tersebut, maka
Satuan Tugas merumuskan sistem Pendidikan dan
Pelatihan Kejuruan Berbasis Kompetensi (Competency-
Based Training-CBT).
Salah satu rekomendasi Satuan Tugas adalah
penataan dan pengembangan kurikulum, yang didasarkan
kepada prinsip bahwa pelakasanaan sistem ganda (dual
system) mengandung konsekuensi perubahan pada hampir
semua aspek yang terkait dengan penyelenggaraan
pendidikan kejuruan, termasuk di dalamnya
pengembangan kurikulum.
95
di masa depan, yang antara lain dirumuskan sebagai
berikut: (1) pendidikan kejuruan berorientasi pada market
driven; (2) pelaksanaan diklat berbasis kompetensi; (3)
pengembangan multikurikulum di SMK bagi yang
memerlukannya: (4) pola pelaksanaan diklat lebih fleksibel
dan permeable dengan multi-entry multi-exit; (5) sinergi
dengan jenjang dan jenis pendidikan lainnya; dan (6)
bentuk pelaksanaan pendidikan sistem ganda (PSG).
Gagasan pendekatan pendidikan kejuruan tersebut secara
umum dijelaskan sebagai berikut:
Market-driven artinya pendidikan kejuruan harus
berorientasi pada kebutuhan tenaga kerja yang berkembang
di dunia usaha/industri. Demikian juga profil kompetensi
dan jumlah lulusan ditentukan oleh dunia usaha/industri
sebagai pengguna lulusan. Pelaksanaan konsep pendidikan
berbasis kompetensi harus dilakukan dengan sebanyak
mungkin melibatkan stakeholders terkait.
Prinsip multi-kurikulum perlu diimplementasikan di
SMK, mengingat situasi dan kondisi tiap sekolah dan
industri berbeda-beda. Dengan prinsip ini, diharapkan
96
kurikulum benar-benar menjadi rencana program yang
dapat melayani keragaman kondisi dalam mencapai tujuan
pendidikan (kejuruan).
Sinergi secara vertikal memiliki dalam arti
keterkaitan kurikulum SMK dengan jenjang pendidikan di
bawahnya (TK, SD, SMP) serta kemungkinan untuk
melanjutkan pendidikan lebih tinggi (Politeknik atau
perguruan tinggi). Secara horisontal, dengan lembaga
kursus, Balai Latihan Kerja, atau lembaga diklat lainnya,
perlu ditetapkan keterkaitannya.
Ke depan, pola pendidikan sistem ganda (PSG) akan
ditingkatkan kualitas dan intensitasnya, antara lain
program magang industri direncanakan menjadi 6 (enam)
bulan sampai dengan 1 (satu) tahun. Adapun
pelaksanaannya disesuaikan dengan ciri tiap program
keahlian, kondisi industri/masyarakat yang menjadi mitra,
serta kondisi sekolah.
Pendekatan pengembangan kurikulum SMK, seperti
diketengahkan di depan adalah: (1) santifik (Scientific
Curriculum Development); (2) kecakapan hidup (Life
97
Skills-LS); (3) pendekatan kompetensi (Competency-based
Training); (4) luas dan mendasar (Broad-based); dan (5)
berbasis produksi (Production-based Training). (Dit
Dikmenjur 2003:1)
98
2). Pendekatan Kecakapan Hidup (Life Skills)
Kecakapan hidup dapat diartikan sebagai kecakapan
yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema
hidup dan kehidupan secara wajar, kemudian secara
proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi untuk
emngatasinya. Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi
lima jenis, yaitu: (a) kecakapan mengenal diri (self
awarness); (b) berfikir rasional (thinking skill); (c)
kecakapan sosial (social skill); (d) kecakapan akademik
(academic skill); dan (e) kecakapan vokasional (vocational
skill).
Program pendidikan menengah kejuruan berbasisi
luas yang berorientasi kecakapan hidup, pada dasarnya
memiliki 3 (tiga) dimensi kecakapan, yaitu: (a) kecakapan
proses atau metodologik; (b) penguasaan konsep dasar
keilmuan dan kejuruan; dan (c) kecakapan
mengaplikasikannya dalam kehidupan keseharian.
Dalam pelaksanaannya proses pembelajaran
kecakapan hidup (life skill) tidak merupakan mata pelajaran
tersendiri, melainkan diintegrasikan dalam tiap-tiap mata
99
pelajaran yang telah ada. Artinya, topik yang diajarkan
atau dilatihkan kepada siswa menyatu dengan topik atau
pokok bahasan yang telah ada, diposisikan menjadi tujuan
sampingan atau tujuan tidak langsung dari kurikulum.
100
4). Pendekatan Luas dan Mendasar (Broad-based)
Pendekatan ini mengandung arti sebagai berikut:
a. Pondasi/dasar yang kuat untuk dapat melayani
kemungkinan baik perpindahan siswa yang setelah
bekerja ingin beralih profesi diantara spektrun
program keahlian, maupun untuk meningkatkan diri
melalui pendidikan lanjutan yang lebih tinggi;
b. Bukan kumpulan dasar keahlian yang diturunkan
dari spektrum program keahlian.
101
produksi, dalam hal ini produksi dipandang sebagai
media pendidikan;
d. Di sekolah, siswa terlibat dalam proses produksi di
unit produksi;
e. Di sekolah, siswa prakrik di ruang praktik dengan
menerapkan mekanisme produksi, suasana kerja
seperti di industri dan target hasil/produk pelatihan
layak jual.
B. Pembelajaran SMK
1. Pembelajaran di SMK
Pembelajaran di SMK memiliki karakteristik spesifik,
utamanya berkaitan dengan peta konsep tentang
pembelajaran yang mencakup: pendekatan, model-model,
metode, dan strategi/teknik pembelajaran. Deskripsi
masing-masing konsep tersebut sebagai berikut:
a. Pendekatan pembelajaran
Pembelajaran di SMK saat ini perlu mengembangkan
berbagai pendekatan agar pengelolaan pembelajaran lebih
efektif.
102
1) Pembelajaran Santifik
Pendekatan santifik perlu dikembangkan dan
diterapkan dalam pembelajaran di SMK khususnya
bertujuan untuk lebih menguatkan sisi akademik. Hal ini
mengingat kegiatan pembelajaran di SMK lebih banyak
bersifat teknis/kejuruan khususnya program produktif.
Pendekatan ini dalam implementasi kurikulum SMK
2013 perlu dipahami guru untuk berikutnya menjadi
salah satu pendekatan yang perlu dilaksanakan.
2) Pembelajaran Kontekstual
Salah satu pendekatan berikutnya yang perlu
dipahami untuk dirujuk dalam pembelajaran di SMK
adalah pendekatan kontekstual (contextual learning).
Pentingnya pendekatan pembelajaran kontekstual dalam
pembelajaran di SMK terutama dalam mengaitkan
materi dengan fakta dan realitas kehidupan khususnya
dunia kerja/industri.
103
3) Cooperative Learning
Pendekatan kooperatif dalam pembelajaran di SMK
sangat relevan dengan lingkungan pembelajaran SMK,
khususnya pembelajaran program produktif. Contoh
pentingnya cooperative learning misalnya dalam
pembelajaran produktif yang menerapkan strategi block
system dengan membagi menjadi kelompok kerja,
dibutuhkan kecakapan kerjasama (kooperatif) dalam
kelompok.
b. Model-model pembelajaran
Beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan
dalam pembelajaran di SMK, khususnya produktif
antara lain:
1) Inquiry
2) Discovery
3) Problem-based
4) Production-based
5) Project-based learning
104
c. Metode pembelajaran
Metode pembelajaran merupakan bentuk/pola
pembelajaran yang dijabarkan dari model pembelajaran.
Beberapa metode pembelajaran yang secara khusus
berkaitan denga model-model pembelajaran sebagai
berikut:
1) Diskusi
2) Tanya-jawab
3) Penugasan
4) Praktik
d. Strategi/teknik pembelajaran
1) Pembelajaran dibengkel/laboratorium
2) Pembelajaran di kelas
3) Kombinasi di sekolah dan di industri
4) Pembelajara langsung di industri (learning by doing)
105
2. Dukungan Stakeholder dalam Pembelajaran SMK
Pembelajaran di SMK khususnya program produktif
memiliki ciri dual-based, artinya berbasis ganda
(bersama/selaras dengan dunia usaha/industri).
Pembelajaran program produktif tidak mungkin mono-
based, hanya mendasarkan/dilaksanakan di sekolah. Oleh
karenanya penyelenggaraan pembelajaran SMK akan
melibatkan dukungan kalangan luar sekolah/pemangku
kepentingan (stakeholders). Dukungan stakeholders dalam
penyelenggaraan pembelajaran SMK antara lain dalam hal:
(1) pengembangan dan penyelarasan kurikulum; (2)
pelaksanaan/proses pembelajaran; (3) dukungan
sarana/prasarana; dan (4) pelaksanaan uji
kompetensi/sertifikasi lulusan.
106
‘link and match’ dengan dunia usaha/industri, maka
dukungan dalam pengembangan dan penyelarasan
kurikulum sangat penting.
b. Pelaksanaan/proses pembelajaran
Pelaksanaan/proses pembelajaran juga memerlukan
dukungan dari stakeholders antara lain dalam bentuk: guru
tamu/industri mengajar (pakar/praktisi industri hadir di
sekolah untuk mengajar); dan pelaksanaan praktik kerja
industri (prakerin). Bentuk dukungan tersebut dapat
meningkatkan pelaksanaan/proses pembelajaran di SMK.
c. Dukungan sarana/prasarana
Stakeholders khususnya dunia usaha/industri selama
ini berperan memberikan dukungan dalam bentuk bantuan
alat/sarana praktikum, perlengkapan laboratorium
dan/atau fasilitas unit produksi.
107
d. Pelaksanaan uji kompetensi/sertifikasi lulusan
Bentuk dukungan lain yang selama ini diberikan oleh
stakeholders kepada SMK adalah dalam pelaksanaan
ujikompetensi dan sertifikasi siswa. Dalam pelaksanaan
praktik kerja industri misalnya, dunia usaha/industri telah
memberikan dukungan secara sinergis, mulai dari menjadi
tempat prakerin sampai dengan pelaksanaan ujikompetensi.
108
pembelajaran yang selaras dengan karakteristik
pembelajaran program produktif.
Secara empiris terdapat beberapa model
pembelajaran yang selaras dengan karakteristik
pembelajaran program produktif, yakni: berbasis masalah,
berbasis produksi, dan project-based learning. Tiga model
pembelajaran tersebut mempunyai alur dan ritme yang
mengembangkan kecakapan produktif. Pembelajaran
berbasis masalah mengembangkan perumusan masalah
dalam kegiatan produktif, untuk akhirnya siswa
merumuskan langkah pemecahannya. Pembelajaran
berbasis produktisi, siswa dipandu membuat/menghasilkan
barang dan/atau jasa berdasarkan tugas yang diberikan
guru. Sedangkan project-based learning dalam program
produktif, siswa (pada umumnya berkelompok) dipandu
menganalisis kebutuhan, merencanakan kegiatan proyek,
melaksanakan kegiatan proyek, dan merumuskan hasil dan
mengkomunikasikan hasil.
Berdasarkan uraian di atas, model project-based
learning memiliki alur dan ritme yang komprehensif,
109
khususnya dalam memberikan pengalaman belajar siswa.
Atas dasar karakteristik tersebut, penerapan project-based
learning dalam program produktif memiliki peran strategis
untuk pengembangan kecakapan abad ke-21
(communication, collaboration, critical thinking, and
creativity).
110
mahasiswa, pendidik dan peserta didik dituntut memiliki
kemampuan belajar mengajar di abad 21 ini.
Sejumlah tantangan dan peluang harus dihadapi siswa
dan guru agar dapat bertahan dalam abad pengetahuan di
era informasi ini (Lie, A. 2007). Pendidikan Nasional abad
21 bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu
masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia,
dengan kedudukan yang terhormat dan setara dengan
bangsa lain dalam dunia global, melalui pembentukan
masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia yang
berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan
berkemampuan untuk mewujudkan cita-cita bangsanya
(BSNP, 2010). Dalam buku paradigma pendidikan nasional
abad 21 yang diterbitkan Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) atau membaca isi Pemendikbud No. 65
tahun 2013 tentang Standar Proses, BSNP merumuskan 16
prinsip pembelajaran yang harus dipenuhi dalam proses
pendidikan abad ke-21.
111
2. Prinsip Pembelajaran Abad 21 di SMK
Pemendikbud No. 65 tahun 2013 mengemukakan 14
prinsip pembelajaran, terkait dengan implementasi
Kurikulum 2013. Sementara itu, Jennifer Nichols
memberikan beberapa prinsip pokok pembelajaran abad ke
21 yang dijelaskan dan dikembangkan seperti berikut ini:
1) Instruction should be student-centered.
Pengembangan pembelajaran seyogyanya menggunakan
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa
ditempatkan sebagai subyek pembelajaran yang secara aktif
mengembangkan minat dan potensi yang dimilikinya.
Siswa tidak lagi dituntut untuk mendengarkan dan
menghafal materi pelajaran yang diberikan guru, tetapi
berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan
keterampilannya, sesuai dengan kapasitas dan tingkat
perkembangan berfikirnya, sambil diajak berkontribusi
untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terjadi di
masyarakat.
2) Education should be collaborative. Siswa harus
dibelajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain.
112
Berkolaborasi dengan orang-orang yang berbeda dalam
latar budaya dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam
menggali informasi dan membangun makna, siswa perlu
didorong untuk bisa berkolaborasi dengan teman-teman di
kelasnya. Dalam mengerjakan suatu proyek, siswa perlu
dibelajarkan bagaimana menghargai kekuatan dan talenta
setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan
menyesuaikan diri secara tepat dengan mereka.
3) Learning should have context. Pembelajaran tidak
akan banyak berarti jika tidak memberi dampak terhadap
kehidupan siswa di luar sekolah. Oleh karena itu, materi
pelajaran perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari
siswa. Guru mengembangkan metode pembelajaran yang
memungkinkan siswa terhubung dengan dunia nyata (real
word). Guru membantu siswa agar dapat menemukan nilai,
makna dan keyakinan atas apa yang sedang dipelajarinya
serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-
harinya. Guru melakukan penilaian kinerja siswa yang
dikaitkan dengan dunia nyata (Joyce, 2000)
113
Dalam upaya mempersiapkan siswa menjadi warga
negara yang bertanggung jawab, sekolah seyogyanya dapat
memfasilitasi siswa untuk terlibat dalam lingkungan
sosialnya. Misalnya, mengadakan kegiatan pengabdian
masyarakat, dimana siswa dapat belajar mengambil peran
dan melakukan aktivitas tertentu dalam lingkungan sosial.
Siswa dapat dilibatkan dalam berbagai pengembangan
program yang ada di masyarakat, seperti: program
kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan sebagainya.
Selain itu, siswa perlu diajak pula mengunjungi panti-panti
asuhan untuk melatih kepekaan empati dan kepedulian
sosialnya.
114
BAB IV
MUTU LULUSAN SMK
A. Lulusan (output) Sekolah Menengah Kejuruan
Sekolah Menengah Kejuruan bertujuan menghasilkan
lulusan yang memiliki keterampilan tertentu untuk
memasuki lapangan kerja, melanjutkan studi pada jenjang
pendidikan lebih tinggi, dan/atau berwirausaha. Dengan
demikian ada tiga area lulusan SMK untuk berkarier,
namun yang utama adalah kesiapan memasuki lapangan
kerja. Oleh karena itu itu, indikator kesiapan/mutu lulusan
SMK dilihat dari: (1) seberapa besar peluang
memperoleh/memasuki lapangan kerja dibandingkan
dengan lulusan lain (indek kebekerjaan); (2) seberapa lama
masa tunggu lulusan memasuki/memperoleh lapangan
kerja (indek masa tunggu); (3) seberapa besar kesesuaian
bidang pekerjaan dengan program keahlian yang diambil di
SMK (indek kesesuaian); (4) seberapa tinggi kualitas
kinerja lulusan (outcome) selama menekuni bidang
pekerjaan.
115
Selain empat indikator tersebut, ada dua aspek lain
yang menandakan lulusan SMK siap bersaing, yakni:
menciptakan peluang usaha/wirausaha, dan melanjutkan
ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Kesiapan memasuki
lapangan kerja bagi lulusan SMK dapat dimaknai juga
kesiapan dalam berkreasi/kreatif dalam menciptakan
peluang kerja dengan berwirausaha. Kesiapan lulusan
berikutnya adalah melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih
tinggi di perguruan tinggi.
119
120
B. Kinerja Lulusuan (Outcome) Sekolah Menengah
Kejuruan
1. Problematika Kinerja Outcome Lulusan SMK
Salah satu permasalahan yang perlu menjadi perhatian
serius adalah kinerja lulusan (outcome) SMK, antara lain
berkaitan dengan: (1) kesesuaian bidang kerja dengan
kompetensi studi di SMK; dan (2) performa karier
lulusan (outcome). Probelimatika kinerja lulusan SMK
tersebut perlu diupayakan pemecahannya mengingat
kecenderungan lulusan SMK saat ini sepenuhnya
mencari pekerjaan/bekerja sebagai pegawai/karyawan.
121
(Sumber: Kemendikbud, 2016:6)
1) Communication
Pada karakter ini, peserta didik dituntut untuk
memahami, mengelola, dan menciptakan komunikasi
yang efektif dalam berbagai bentuk dan isi secara
lisan, tulisan, dan multimedia. Peserta didik
diberikan kesempatan menggunakan kemampuannya
untuk mengutarakan ide-idenya, baik itu pada saat
berdiskusi dengan teman-temannya maupun ketika
menyelesaikan masalah dari pendidiknya.
122
Abad 21 adalah abad digital. Komunikasi dilakukan
melewati batas wilayah negara dengan menggunakan
perangkat teknologi yang semakin canggih. Internet
sangat membantu manusia dalam berkomunikasi.
Saat ini begitu banyak media sosial yang digunakan
sebagai sarana untuk berkomunikasi. Melalui
smartphone yang dimilikinya, dalam hitungan detik,
manusia dapat dengan mudah terhubung ke seluruh
dunia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013),
pengertian komunikasi adalah pengiriman dan
penerimaan pesan atau berita dari dua orang atau
lebih agar pesan yang dimaksud dapat dipahami.
Sedangkan Wikipedia dinyatakan bahwa komunikasi
adalah “suatu proses dimana seseorang atau beberapa
orang, kelompok, organisasi, dan masyarakat
menciptakan, dan menggunakan informasi agar
terhubung dengan lingkungan dan orang lain”.
Komunikasi tidak lepas dari adanya interaksi antara
dua pihak. Komunikasi memerlukan seni, harus tahu
dengan siapa berkomunikasi, kapan waktu yang tepat
123
untuk berkomunikasi, dan bagaimana cara
berkomunikasi yang baik. Komunikasi bisa dilakukan
baik secara lisan, tulisan, atau melalui simbol yang
dipahami oleh pihak-pihak yang berkomunikasi.
Komunikasi dilakukan pada lingkungan yang
beragam, mulai di rumah, sekolah, dan masyarakat.
Komunikasi bisa menjadi sarana untuk semakin
merekatkan hubungan antar manusia, tetapi
sebaliknya bisa menjadi sumber masalah ketika
terjadi miskomunikasi atau komunikasi kurang
berjalan dengan baik. Penguasaan bahasa menjadi
sangat penting dalam berkomunikasi. Komunikasi
yang berjalan dengan baik tidak lepas dari adanya
penguasaan bahasa yang baik antara komunikator
dan komunikan.
Kegiatan pembelajaran merupakan sarana yang
sangat strategis untuk melatih dan meningkatkan
kemampuan komunikasi siswa, baik komunikasi
antara siswa dengan guru, maupun komunikasi
antarsesama siswa. Ketika siswa merespon penjelasan
guru, bertanya, menjawab pertanyaan, atau
124
menyampaikan pendapat, hal tersebut adalah
merupakan sebuah komunikasi.
2) Collaboration
Pada karakter ini, peserta didik menunjukkan
kemampuannya dalam kerjasama berkelompok dan
kepemimpinan, beradaptasi dalam berbagai peran
dan tanggungjawab, bekerja secara produktif dengan
yang lain, menempatkan empati pada tempatnya,
menghormati perspektif berbeda. Peserta didik juga
menjalankan tanggungjawab pribadi dan fleksibitas
secara pribadi, pada tempat kerja, dan hubungan
masyarakat, menetapkan dan mencapai standar dan
tujuan yang tinggi untuk diri sendiri dan orang lain,
memaklumi kerancuan.
Pembelajaran secara berkelompok, kooperatif melatih
siswa untuk berkolaborasi dan bekerjasama. Hal ini
juga untuk menanamkan kemampuan bersosialisasi
dan mengendalikan ego serta emosi. Dengan
demikian, melalui kolaborasi akan tercipta
125
kebersamaan, rasa memiliki, tanggung jawab, dan
kepedulian antaranggota (Mulyasa, E. 2006).
Sukses bukan hanya dimaknai sebagai sukses
individu, tetapi juga sukses bersama, karena pada
dasarnya manusia disamping sebagai seorang
individu, juga makhluk sosial. Saat ini banyak orang
yang cerdas secara intelektual, tetapi kurang mampu
bekerja dalam tim, kurang mampu mengendalikan
emosi, dan memiliki ego yang tinggi. Hal ini
tentunya akan menghambat jalan menuju
kesuksesannya, karena menurut hasil penelitian
Harvard University, kesuksesan seseorang ditentukan
oleh 20% hard skill dan 80% soft skiil. Kolaborasi
merupakan gambaran seseorang yang memiliki soft
skill yang matang.
129
BAB V
PENUTUP
132
Collins, R. 1979. The credential society: An historical
sociology of education and stratification. New York:
Academic Press.
133
Depdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
134
Finch, Curtis R. and Crunkilton, John R. (1984).
Curriculum development in vocational and technical
education. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
135
Samsudi. (2004). Pengembangan Model Sinkronisasi
Kurikulum Program Produktif SMK Bidang
Rekayasa. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XII.
DP3M-DIKTI
136
BIOGRAFI PENULIS
-- 000 --