Anda di halaman 1dari 146

KOMPETENSI

ABAD 21
LULUSAN SEKOLAH MENENGAH
KEJURUAN (SMK)

Samsudi
Eko Supraptono
Sunyoto
Shohihatur Rohman

LPPM Universitas Negeri Semarang

i
KOMPETENSI ABAD 21
LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
(SMK)

Penulis :
Samsudi, Eko Supraptono,
Sunyoto, Shohihatur Rohman

Editor & Layouter:


Shohihatur Rohman

Penerbit:

LPPM Universitas Negeri Semarang


HAK CIPTA PADA PENULIS
HAK PENERBIT PADA PENERBIT

TIDAK BOLEH DIREPRODUKSI SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA


DALAM BENTUK APAPUN
TANPA IZIN TERTULIS DARI PENGARANG DAN/ ATAU PENERBIT.

Kutipan Pasal 72;


Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hak cipta
(UU No.19 Tahun 2002)

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)1 atau Pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2)2 dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak
Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii
PRAKATA

Penyelenggaraan pendidikan kejuruan saat ini menjadi


prioritas khususnya dalam pengembangan kecakapan lulusan
untuk memasuki bidang tugas dan pekerjaan dengan keahlian
tertentu. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) saat ini menjadi
salah satu istitusi yang menyeleggarakan pendidikan dan
pembelajaran dengan tujuan menghasilkan lulusan yang
memiliki kecakapan dan keterampilan di bidang tertentu
sehingga siap memasuki lapangan pekerjaan sesuai dengan
kecakapan dan keterampilan yang dipelajari.
Dalam konsep dan konteks pembelajaran kecakapan
abad ke 21, pembelajaran program produktif SMK dapat
didesain sebagai mainstream untuk pengembangan empat
kecakapan siswa (4C) yakni: communication, collaboration,
critical thinking, dan creativity. Keempat kecakapan siswa
tersebut (4C) sesungguhnya merupakan kecakapan inti dalam
soft skills dan kewirausahaan siswa. Dengan demikian
pembelajaran produktif merupakan wahana ideal untuk
mengembangan empat kecakapan tersebut melalui penerapan
berbagai model pembelajaran antara lain: project based
learning, problem based, discovery, dan inquiry , dsb.

iii
Pembahasan tentang kompetensi pada abad 21 menjadi
sangat menarik, khususnya bagi pendidikan SMK dan
lulusannya. Hal ini mengingat lulusuan SMK secara spesifik (by
design) disiapkan untuk memasuki dunia kerja/industri, yang
saat ini memasuki era revolusi industri 4.0. Makna 4.0 sangat
berkaitan dengan tuntutan dan tantangan lulusan/tenaga kerja
untuk memiliki kecakapan/kompetensi abad 21.
Buku ini disusun atas dorongan berbagai pihak, untuk
itu penulis sangat berterima kasih atas dukungannya. Kritik dan
saran-saran perbaikan sangat penulis harapkan.

Semoga bermanfaat.
Semarang, Agustus 2019

Penulis

iv
KOMPETENSI ABAD 21
LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN AWAL ............................................................. i


PRAKATA ......................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................v

BAB I. KONSEP KOMPETENSI

A. Konsep Kompetensi .......................................................... 1


1. Kompetensi ............................................................... 1
2. Perspektif Kompetensi ............................................... 7
3. Kompetensi Keras (hard competence) dan
Lunak (soft competence) ........................................... 11
B. Kompetensi dalam Pendidikan Kejuruan .......................... 16
1. Pengembangan Kompetensi dalam
Pendidikan Kejuruan ................................................ 16
2. Kompetensi Sikap, Pengetahuan, dan
Keterampilan ........................................................... 21
3. Kompetensi Hasil Pendidikan Kejuruan .................... 28
C. Kompetensi Lulusan SMK .............................................. 30
1. Standar Kompetensi Lulusan SMK ........................... 30
2. Kompetensi Output dan Outcome ............................. 31

v
BAB II KONSEP PENDIDIKAN KEJURUAN

A. Pengertian Pendidikan Kejuruan ..................................... 33


B. Perkembangan Pendidikan Kejuruan di Indonesia ............. 39
1. Sebelum Kemerdekaan ............................................. 30
2. Pasca Kemerdekaan ................................................. 43
3. Era Reformasi .......................................................... 44
C. Karakteristik Pendidikan Kejuruan ................................... 47
D. Tujuan Pendidikan Kejuruan ........................................... 55
E. Pengelompokan Pendidikan Kejuruan .............................. 58

BAB III KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN


ABAD 21 DI SMK

A. Kurikulum SMK ............................................................. 65


1. Konsep Kurikulum SMK .......................................... 67
2. Karakteristik Kurikulum SMK .................................. 69
3. Impelemntasi Penerapan Competence-Based dan Dual-
Based Curriculum ..................................................... 80
4. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum SMK .... 89
B. Pembelajaran SMK........................................................ 102
1. Pembelajaran di SMK ............................................. 102
2. Dukungan Stakeholder dalam Pembelajaran SMK ... 106
C. Prinsip-prinsip Pembelajaran Abad 21 SMK ................... 108
1. Konsep Pembelajaran Abad 21 ................................ 110
2. Prinsip Pembelajaran Abad 21di SMK ..................... 112

vi
BAB IV MUTU LULUSAN SMK
A. Lulusan (output) Sekolah Menengah Kejuruan ............... 115
1. Problematika Mutu Lulusan SMK .......................... 116
2. Kebijakan Peningkatan Mutu Lulusan SMK ............ 117
B. Kinerja Outcome Lulusuan
Sekolah Menengah Kejuruan ........................................ 121
1. Problematika Kinerja Outcome Lulusan SMK ......... 121
2. Tantangan Kinerja Outcome Lulusan SMK ............. 121

BAB V PENUTUP ............................................................ 130

DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 132

vii
BAB I
KONSEP KOMPETENSI

A. Konsep Kompetensi
1. Kompetensi
Kompetensi berasal dari kata “competency”
merupakan kata benda yang menurut Powell (1997:142)
diartikan sebagai 1) kecakapan, kemampuan, kompetensi 2)
wewenang. Kata sifat dari competence adalah competent
yang berarti cakap, mampu, dan tangkas.Pengertian
kompetensi ini pada prinsipnya sama dengan pengertian
kompetensi menurut Stephen Robbin (2007:38) bahwa
kompetensi adalah “kemampuan (ability) atau kapasitas
seseorang untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu
pekerjaan, dimana kemampuan ini ditentukan oleh 2 (dua)
faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
Pengertian kompetensi sebagai kecakapan atau
kemampuan juga dikemukakan oleh Robert A. Roe
(2001:73) sebagai berikut:

1
“Competence is defined as the ability to
adequately perform a task, duty or role.
Competence integrates knowledge, skills, personal
values and attitudes. Competence builds on
knowledge and skills and is acquired through
work experience and learning by doing“

Kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan


untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas,
kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, ketrampilan-
ketrampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, dan
kemampuan untuk membangun pengetahuan dan
keterampilan yang didasarkan pada pengalaman dan
pembelajaran yang dilakukan.
Kompetensi menurut Spencer & Spencer dalam Palan
(2007) adalah sebagai karakteristik dasar yang dimiliki oleh
seorang individu yang berhubungan secara kausal dalam
memenuhi kriteria yang diperlukan dalam menduduki
suatu jabatan. Kompetensi terdiri dari 5 tipe karakteristik,
yaitu motif (kemauan konsisten sekaligus menjadi sebab
dari tindakan), faktor bawaan (karakter dan respon yang

2
konsisten), konsep diri (gambaran diri), pengetahuan
(informasi dalam bidang tertentu) dan keterampilan
(kemampuan untuk melaksanakan tugas).
Secara lebih rinci, Spencer dan Spencer dalam Palan
(2007:84) mengemukakan bahwa kompetensi menunjukkan
karakteristik yang mendasari perilaku yang
menggambarkan motif, karakteristik pribadi (ciri khas),
konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang
dibawa seseorang yang berkinerja unggul (superior
performer) di tempat kerja. Ada 5 (lima) karakteristik yang
membentuk kompetensi yakni 1). Faktor pengetahuan
meliputi masalah teknis, administratif, proses kemanusiaan,
dan sistem. 2). Keterampilan; merujuk pada kemampuan
seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. 3). Konsep diri
dan nilai-nilai; merujuk pada sikap, nilai-nilai dan citra diri
seseorang, seperti kepercayaan seseorang bahwa dia bisa
berhasil dalam suatu situasi. 4). Karakteristik pribadi;
merujuk pada karakteristik fisik dan konsistensi tanggapan
terhadap situasi atau informasi, seperti pengendalian diri
dan kemampuan untuk tetap tenang dibawah tekanan. 5).

3
Motif; merupakan emosi, hasrat, kebutuhan psikologis atau
dorongan-dorongan lain yang memicu tindakan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Becker and Ulrich
dalam Suparno (2005:24) bahwa:

“competency refers to an individual’s knowledge,


skill, ability or personality characteristics that directly
influence job performance”

Hal ini bermakna bahwa kompetensi mengandung


aspek-aspek pengetahuan, ketrampilan (keahlian) dan
kemampuan ataupun karakteristik kepribadian yang
mempengaruhi kinerja.
Berbeda dengan Fogg (2004:90) yang membagi
Kompetensi kompetensi menjadi 2 (dua) kategori yaitu
kompetensi dasar dan yang membedakan kompetensi dasar
(Threshold) dan kompetensi pembeda (differentiating)
menurut kriteria yang digunakan untuk memprediksi
kinerja suatu pekerjaan. Kompetensi dasar (threshold
competencies) adalah karakteristik utama, yang biasanya
berupa pengetahuan atau keahlian dasar seperti
4
kemampuan untuk membaca, sedangkan kompetensi
differentiating adalah kompetensi yang membuat seseorang
berbeda dari yang lain.
Menurut Keputusan Kepala Badan Kepegawaian
Negeri Nomor: 46A tahun 2003, tentang pengertian
kompetensi adalah :kemampuan dan karakteristik yang
dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri Sipil berupa
pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga
Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan
tugasnya secara profesional, efektif dan efisien.
Mulyana (2003) menyatakan, dalam hubungannya
dengan pembelajaran, kompetensi menunjuk kepada
perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi
tertentu dalam proses belajar. Kompetensi selalu dilandasi
oleh rasionlitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran
“bagaimana” dan “mengapa” perbuatan tersebut
dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kompetensi merupakan indikator yang menunju kepada
perubatan yang bisa diamati dan sebagai konsep yang

5
mencakup aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, nilai
dan sikap serta tahap-tahap pelaksanaannya secara utuh.
Kompetensi tersebut terbentuk secara transaksional
bergantung pada kondisi-kondisi dan pihak-pihak yang
terlibat secara aktual.
Gordon dalam Mulyana (2003) menjelaskan beberapa
aspek yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai
berikut:
(a) Pengetahuan (knowledge); yaitu kesadaran dalam
bidang kognitif.
(b) Pemahaman (understanding) ; yaitu kedalaman kognitif
dan afektif yang dimiliki oleh individu.
(c) Kemampuan (skill); adalah sesuatu yang dimiliki oleh
individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang
dibebankan kepadanya.
(d) Nilai (value); adalah suatu standar prilaku yang telah
diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri
seseorang.

6
(e) Sikap (attitude); yaiti perasaan (senang-tidak senang,
suka-tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan
yang datang dari luar.
(f) Minat (interest); kecenderungan seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan.

Apabila disandingkan dengan konteks


penyelenggaraan pendidikan kejuruan di Indonesia,
pengembangan dan pembekalan kompetensi menjadi
prinsip utama, di mana seluruh kegiatan pendidikan dan
pembelajaran dirancang, dilaksanakan, dan dievaluasi
berdasarkan prinsip pendidikan berbasis kompetensi.

2. Perspektif Kompetensi
Kompetensi, ditinjau dari perspektif estimologi berasal
dari kata kompeten atau mampu. Kata mampu memiliki
arti sebagai kemampuan atau keahlian untuk melakukan
suatu pekerjaan atau aktivitas. Tinjauan lebih luas dari kata
kompetensi yang terkait dengan terminologi
ketenagakerjaan, adalah suatu kemampuan/ kecakapan

7
yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap
untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan.
Spencer & Spencer (1993:15), mengkategorikan
kompetensi menjadi dua wilayah, yakni threshold
competencies dan differentiating competencies:
“Threshold competencies. These are the essential
characteristics (usually knowledge or basic skills,
such as the ability to read) that everyone in a job
needs to be minimally effective but that do not
distinguish superior from average performers. A
threshold competency for a salesperson is
knowledge of the product or ability to fill out
invoice……”
“Differentiating competencies, these factors
distinguish superior form average performers. For
example, achievement orientation expressed in a
person's setting goals higher than those required by
the organization, is a competency that differentiates
superior form average salesperson”.

Menurut Spencer & Spencer, threshold and


differentiating competencies dapat menjadi acuan dalam
seleksi pegawai, perencanaan pemilihan (succession
8
planning), penilaian dan pengembangan kinerja. Dengan
menggunakan dua kriteria tersebut, kompetensi lulusan
pendidikan vokasi dapat diarahkan untuk dua hal yaitu
kompetensi minimal untuk melakukan kerja (unjuk kerja)
dan kompetensi profesional lain yang dapat dikembangkan
untuk promosi jabatan-jabatan penting.
Kompetensi dapat dikaitkan dengan kinerja, dengan
indikasi motif, sifat, konsep diri, pengetahuan dan
keterampilan yang menjadi karakteristik individu.
Kompetensi tersebut dapat mempengaruhi perilaku dalam
bertindak dan berdampak terhadap kinerja dalam jabatan.
Alur kompetensi yang dijelaskan di atas ditunjukkan dalam
Gambar 1 di bawah ini, mulai dari karakteristik personal
yang diharapkan (intent), perilaku dalam bertindak
(action), dan dampak (outcome) terhadap kinerja
pekerjaan.

9
Gambar 1.1 Alur hubungan kompetensi dan kinerja

Kompetensi dapat dihubungkan dengan kinerja dalam


sebuah model alir sebab akibat yang menunjukkan bahwa
tujuan, perangai, konsep diri, dan kompetensi pengetahuan
yang kemudian memprakirakan kinerja kompetensi
mencakup niat, tindakan dan hasil akhir. Misalnya,
motivasi untuk berprestasi, keinginan kuat untuk berbuat
lebih baik dari pada ukuran baku yang berlaku dan untuk
mencapai hasil yang maksimal, menunjukkan
kemungkinan adanya perilaku kewiraswastaan, penentuan
tujuan, bertanggung jawab atas hasil akhir dan
pengambilan resiko yang diperhitungkan.

10
3. Kompetensi Keras (hard competence) dan Lunak (soft
competence)
Berdasarkan beberapa literatur (Parry, 1996; Derous,
2000) dideskripsikan bahwa dimensi kompetensi sejatinya
dapat dibedakan menjadi dua, yakni kompetensi lunak (soft
competence) dan keras (hard competence). Kompetensi
keras mengacu kepada kemampuan kerja yang spesifik,
yang didasari oleh pengetahuan dan keahlian yang
berkaitan dengan pekerjaan; sedangkan kompetensi lunak
mengacu kepada sifat-sifat personal, nilai-nilai, dan
pembawaan. Parry mengakui bahwa kompetensi lunak
mempengaruhi performa dan kinerja seseorang, namun
dianggap sebagai dimensi yang sulit dibentuk melalui
pembelajaran dan pelatihan (Parry, 1996; p.50).
Secara lebih rinci Spencer & Spencer (1993:9-11)
memerinci ada lima dimensi dalam kompetensi, yakni: (1)
motif (motive); (2) pembawaan (trait); (3) konsep diri (self-
concept); (4) pengetahuan (knowledge); dan (5)
keterampilan (skill). Secara bagan, Spencer & Spencer
menyebutnya sebagai model gunung es (The Iceberg

11
Model) atau model inti dan permukaan (Sentral and
Surface Competencies).
The Iceberg Model
Skill

Self concept
Visible Skill
Knowledge Trait,
Motive

Hidden Self concept Attitudes,


Trait Values
Motive
Knowledge
Surface: Core Personality:
Most easily Most difficult to
developed develop

Gambar 1.2 Model Gunung Es, dan Kompetensi Inti


dan Permukaan
(Spencer & Spencer, 1993: 11; dalam Samsudi, 2008:8)

Pada model ini dijelaskan bahwa dimensi pengetahuan


dan keterampilan bersifat tampak di permukaan (surface)
dan lebih mudah dikembangkan melalui pembelajaran
(teachable). Pembelajaran dan latihan merupakan cara
yang paling efektif untuk menumbuhkembangkan dimensi
ini. Sebaliknya dimensi motif, pembawaan, dan konsep diri
merupakan dimensi mendasar, dan lebih sulit

12
dikembangkan baik melalui pelatihan maupun
pembelajaran (non-teachable).
Terkait dengan kompetensi yang dapat dibelajarkan
(teachable) dan kompetensi yang sulit dibelajarkan (non-
teachable), Stoof (1999:5-6) menguraikannya berdasarkan
pemilahan dua wilayah kompetensi, yakni: kompetensi
sebagai karakteristik personal (personal characteristic)
versus karaktersitik tugas (task characteristics). Kompetensi
sebagai karakteristik personal berkembang di Amerika
Serikat, dan memiliki ciri dinamis, umum (general), sebagai
tahap perkembangan, serta sulit dibelajarkan (non-
teachable). Sedangkan kompetensi sebagai karakteristik
tugas berkembang di Inggris (termasuk Jerman dan
Australia), memiliki ciri statis, spesifik,
bertingkat/berjenjang (level of competence), dan dapat
dibelajarkan (teachable). Penjelasan Stoof tersebut
digambarkan sabagai berikut:

13
Gambar 1. 3 Pemilahan dimensi kompetensi
(Stoof, 1999:7; dalam Samsudi: 2008)

Penjelasan Stoof tersebut identik dengan uraian Parry


dan Spencer & Spencer, bahwa secara konseptual terdapat
pemilahan antara kompetensi keras yang bersifat dapat
dibelajarkan/dilatihkan (teachable), dan kompetensi lunak
yang sulit dibelajarkan (non-teachable). Dengan demikian,
jika menyangkut dimensi hard-competence, maka itu
menjadi tugas pembelajaran dan pelatihan; sedangkan jika
berkaitan dengan dimensi soft-competence menjadi tugas
pendidikan.

14
Secara teoretis, memang terdapat pemilahan jenis –
jenis kompetensi sebagaimana dikemukakan di atas, akan
tetapi dalam perencanaan dan penerapannya, pendidikan
kejuruan menganut asas integrated, yakni memadukan
antara prinsip pendidikan dan prinsip
pembelajaran/pelatihan. Prinsip pendidikan diterapkan
untuk membentuk dan mengembangkan soft-competence,
sedangkan prinsip pelatihan diterapkan untuk
mengembangkan hard-competence. Pendidikan vokasi
tidak sama dengan pelatihan kejuruan, kursus kejuruan,
atau sejenisnya, yang semata-mata memberikan pelatihan
vokasi untuk menguasai keterampilan dan kecakapan
spesifik terkait dengan bidang pekerjaan tertentu (hard-
competence).

15
B. Kompetensi dalam Pendidikan Kejuruan
1. Pengembangan Kompetensi dalam Pendidikan Kejuruan
Wenrich dan Wenrich (2004: 8) menyebutkan bahwa
pendidikan kejuruan adalah:
“the total process of education aimed at developing
the competencies needed to function effectively in
an occupation or group of occupations”

Hal ini bermakna, bahwa: (1) pengembangan


kompetensi, (2) kompetensi yang dibutuhkan, (3)
kompetensi yang dikembangkan dapat berfungsi efektif,
dan (4) kompetensi yang dikembangkan terkait dengan
suatu pekerjaan – atau kelompok pekerjaan. Pendidikan
kejuruan merupakan pendidikan yang bersifat khusus
(terspesialisasi) dan meliputi semua jenis dan jenjang
pekerjaan. Pemaknaan yang kurang tepat adalah bahwa
pendidikan kejuruan, hanya berkonsentrasi pada manual
skills dan hard skill.
Pendidikan kejuruan sesungguhnya concern dengan
mental, manual skills, values, dan attitudes (Wenrich dan

16
Wenrich, 2004: 10). Oleh karena itu, di dalam pendidikan
kejuruan secara implisit terkandung unsur-unsur berpikir
(cognitive), berbuat (psychomotor), dan rasa (affective)
dalam proporsi yang berbeda mengikuti kebutuhan
kompetensi pada jenis dan jenjang pekerjaan yang terkait.
Selain itu, konsep ini menunjukkan pula bahwa pendidikan
vokasi terdapat pada semua jenjang pendidikan: dasar,
menengah, tinggi. Hal ini dapat dipahami bahwa pekerjaan
tertentu membutuhkan kualifikasi/kompetensi SDM yang
berbeda. Perbedaan kualifikasi/kompetensi ini merujuk
adanya jenjang dalam kompetensi. Paradigma pendidikan
harus mulai berubah dari supply minded (orientasi jumlah)
menjadi demand minded (kebutuhan) ke dunia kerja. Harus
digali, kompetensi apa saja yang dibutuhkan pasar kerja ke
depan. (Wardiman Djojonegoro 2007: 28)
Dilihat dari sisi desain pendidikan vokasi tersebut,
jelas bahwa pendidikan vokasi memadukan antara
kompetensi utama/kejuruan (sebagai penciri dari program
studi/keahlian) yang dikembangkan melalui pelatihan,
serta kompetensi pendukung/adaptif dan kompetensi

17
lainnya/normatif yang dikembangkan melalui pendidikan.
Dengan demikian sejak tahap perencanaan, pendidikan
vokasi telah mengembangkan hard-competence sekaligus
soft-competence.
Pemetaan kompetensi sesuai dengan
jenjang/kualifikasi pendidikan vokasi digambarkan sebagai
berikut:

Gambar 1.4 Pemetaan Kompetensi Pekerjaan sesuai Jenjang


Pendidikan (Sumber: Depdiknas, 2002:12)

18
Banyak pendekatan yang dilakukan dalam
mengembangkan kerangka kerja kompetensi. Framework
yang paling sering digunakan adalah kompetensi menurut
Spencer. Kompetensi menurut Spencer &Spencer
(1993:82) adalah karakteristik dasar yang dimiliki oleh
seorang individu yang berhubungan secara kausal dalam
memenuhi kriteria yang diperlukan dalam menduduki
suatu jabatan. Kompetensi terdiri dari 5 tipe karakteristik,
yaitu motif (kemauan konsisten dan menjadi sebab dari
tindakan), faktor bawaan (karakter dan respon yang
konsisten), konsep diri (gambaran diri), pengetahuan
(informasi dalam bidang tertentu) dan keterampilan
(kemampuan untuk melaksanakan tugas). Kamus
kompetensi menurut Spencer & Spencer dalam Palan
(2007:83) dapat dilihat pada gambar 1.5 dibawah ini:

19
20
Gambar1. 5 Peta Hubungan Kompetensi dan Kinerja Menurut Competency
Theory of Spencer
2. Kompetensi Sikap, Pengetahuan, dan Keterampilan
Dalam Muslich, (2008:16) Apabila dianalisis lebih
lanjut, kompetensi ini terdiri atas beberapa aspek. Hal
tersebut dapat dilihat oleh pembagain menurut para ahli
berikut: 1) Bloom dkk (1956) menganalisis kompetensi ini
menjadi tiga aspek, yang masing-masing mempunyai
tingkatan yang berbeda, yaitu kompetensi kognitif,
kompetensi afektif dan kompetensi psikomotorik. 2)
Selanjutnya Hall dan Jones membedakan kompetensi
menjadi lima jenis yaitu kompetensi kognitif, yang meliputi
pengetahuan, pemahaman, dan perhatian; kompetensi
afektif, yang meliputi nilai, sikap, minat, dan apresiasi;
kompetensi penampilan yang meliputi demonstrasi
keterampilan fisik dan psikomotorik; kompetensi produk,
yang meliputi keterampilan melakukan perubahan; dan
kompetensi eksploratif atau ekspresif, yang menyangkut
pemberian pengalaman yang mempunyai nilai kegunaan
dalam prospek kehidupan.

21
a. Kompetensi Sikap
Kurikulum 2013 membagi kompetensi sikap menjadi
dua, yaitu sikap spiritual yang terkait dengan pembentukan
peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan sikap sosial
yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang
berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab.
Bloom, Anderson menyatakan (dalam Robert K.
Gable; Tim Pekerti, 2007), menyatakan bahwa aspek-aspek
afektif meliputi: attitudelsikap, self concept/self-esteem,
interest, value/beliefs as to whatshould be desired.
Ranah penilaian hasil belajar afektif adalah
kemampuan yang berkenaan dengan perasaan, emosi,
sikap/derajat penerimaan atau penilaian suatu obyek.
Menurut Bloom 1987 (Tim Pekerti, 2007) aspek-aspek
domain afektif ada 6, yaitu: menerima/mengenal,
merespon/berpartisipasi, reaksi terhadap gagasan,
menilai/menghargai, mengorganisasi, dan mengamalkan.
Masing – masing aspek domain afektif, dapat dijelaskan
sebagai berikut:

22
(1) Menerima/mengenal, yaitu bersedia menerima dan
memperhatikan berbagai stimulus yang masih bersikap
pasif, sekedar mendengarkan atau memperhatikan.
(2) Merespons/berpartisipasi, yaitu keinginan berbuat
sesuatu.
(3) Reaksi terhadap gagasan, benda atau sistem nilai—
lebih dari sekedar mengenal.
(4) Menilai/menghargai, yaitu keyakinan atau anggapan
bahwa sesuatu gagasan, benda, atau cara berpikir
tertentu mempunyai nilai/harga/makna.
(5) Mengorganisasai, yaitu menunjukkan keterkaitan
antara nilai-nilai tertentu dalam suatu sistem nilai,
serta menentukan nilai mana mempunyai prioritas
lebih tinggi dari pada nilai lain.
(6) Karakterisasi/internalisasi/mengamalkan, yaitu
mengintegrasikan nilai ke dalam suatu filsafat hidup
yang lengkap dan meyakinkan, serta perilakunya
selalu konsisten dengan filsafat hidupnya tersebut.

23
b. Kompetensi Pengetahuan
Kompetensi Pengetahuan atau Kompetensi ranah
kognitif merupakan ranah hasil belajar yang berkenaan
dengan kemampuan pikir, kemampuan memperoleh
pengetahuan, pengetahuan yang berkaitan dengan
pemerolehan pengetahuan, pengenalan,
pemahaman,konseptualisasi, penentuan dan penalaran.
Secara singkat, ranah kognitif dapat diartikan sebagai
kemampuan intelektual. Bloom dalam Bundu (2006)
mengklasifikasi ranah hasil belajar kognitif atas enam
tingkatan, mengingat (C1), memahami (C2),
mengaplikasikan (C3), menganalisis (C4), mengevaluasi
(C5), dan mencipta (C6).
Berikut keterangan masing-masing kategori
Taksonomi Bloom yang telah direvisi.
MENGINGAT—mengambil pengetahuan dari memori jangka
panjang.
1. Mengenali Mengidentifikasi Menempatkan pengetahuan
dalam memori jangka
panjang yang sesuai dengan
pengetahuan tersebut.

24
2. Mengingat Mengambil Mengambil pengetahuan
Kembali yang relevan dari memori
jangka panjang.

MEMAHAMI: mengkonstruksi makna dari materi pembelajaran,


termasuk apa yang diucapkan, ditulis, dan digambaroleh guru.
1. Menafsirkan Merepresentasikan Merepresentasikan suatu
2. Mencontohkan Memberi contoh kasus
Menemukan contoh
kasus
3. Mengklasifikasikan Mengelompokkan Menentukan sesuatu
dalam satu
kategori

4. Merangkum Menggeneralisasi Membuat poin pokok


dari suatu permasalahan
5. Menyimpulkan Menyarikan Membuat kesimpulan
yang logis dari informasi
yang diterima
6. Membandingkan Mencocokkan Menentukan hubungan
antara dua ide
7. Menjelaskan Membuat model
Membuat model sebab-
akibat dari
suatu sistem
MENGAPLIKASIKAN: menerapkan atau menggunakan suatu
prosedur dalam keadaan tertentu.
1. Mengeksikusi Melaksanakan Menerapkan suatu
prosedur pada tugas
yang familiar

25
2. Mengimplementasikan Menggunakan Menerapkan suatu
prosedur pada tugas
yang tidak familiar
(contoh: menggunakan
hukum Newton kedua
padda konteks yang
tepat)

MENGANALISIS: memecah-mecah materi jadi bagian-bagian


penyusunnya dan menentukan hubungan antarbagian itu dan
hubungan antara bagian-bagian tersebut dan keseluruhan struktur
atau tujuan.
1. Membedakan Menyendirikan, Membedakan bagian
Memilah, materi pelajaran yang
Memfokuskan, relevan dari yang tidak
Memilih relevan.

2. Mengorganisasi Menemukan Menentukan bagaimana


Memadukan, elemen- elemen bekerja
Membuat garis atau berfungsi dalam
besar, suatu struktur
Mendeskripsikan
peran,
3. Mengatribusikan Mendekonstruksi Menentukan sudut
pandang, nilai, atau
maksud di balik materi
pelajaran

26
MENGEVALUASI: mengambil keputusan berdasarkan kriteria dan
atau standar
1. Memeriksa Mengkoordinasi, Menemukan kesalahan
Mendeteksi, dalam suatu produk
Memonitor,
Menguji

2. Mengkritik Menilai Menemukan kesalahan


antara suatu produk dengan
kriteria eksternal

MENCIPTA: memadukan bagian-bagian untuk membentuk sesuatu


yang baru dan koheren atau untuk membuat suatu produk yang
orisinil.
1. Merumuskan Membuat hipotesis Membuat hipotesis
berdasarkan
kriteria
2. Merencanakan Mendesain Merencanakan
prosedur untuk
menyelesaikan tugas
3. Memproduksi Mengkonstruksi Menciptakan suatu
produk

c. Kompetensi Keterampilan
Ranah ketrampilan motorik atau psikomotor dapat
diartikan sebagai serangkaian gerakan otot-otot yang
terpadu untuk dapat menyelesaikan suatu tugas. Sejak lahir
manusia memperoleh keterampilan-keterampilan meliputi

27
gerakan-gerakan otot yang terpadu atau terkoordinasi mulai
paling sederhana misalnya berjalan, hingga hal lebih rumit;
berlari, memanjat, dan sebagainya. Akan tetapi
psikomotorik yang diperlukan oleh seorang tenaga
profesional adalah seperti mengemudi mobil, berenang,
mengambil darah dari pembuluh vena, mengajar, harus
dikembangkan secara sadar melalui proses pendidikan.
Pada kompetensi keterampilan gambaran idealnya
adalah peserta didik dapat mencoba, mengolah dan
menyajikan dalam ranah konkret (menggunakan,
mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan
ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung,
menggambar dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari
disekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut
pandang/teori tertentu.

3. Kompetensi Hasil Pendidikan Kejuruan


Perubahan struktur dan karakter yang terjadi di
masyarakat, diversifikasi nilai-nilai sosial, munculnya
pendekatan pembejaran multistrategi, pergeseran dalam
28
pendekatan pembelajaran, dan penghargaan untuk
kecepatan menyebabkan peserta didik tidak hanya
mengandalkan apa yang dipelajari di sekolah. Oleh karena
itu menurut Rau et al (2006), pendidikan di era seperti
sekarang adalah bagaimana mengembangkan kemampuan
peserta didik dalam “learning how to learn” dan “re-
learning” serta membawa kemampuan belajar seumur
hidup, menjadi isu penting dalampendidikan kejuruan.
Idealnya pihak dunia usaha, industri, dunia kerja yang
lebih berperan menentukan, mendorong, dan
menggerakkan pendidikan kejuruan, karena mereka adalah
pihak yang lebih berkepentingan dari sudut kebutuhan
tenaga kerja. Secra eksplisit, hasil kompetensi pendidian
kejuruan berbanding lurus dengan penguasaan kompetensi,
baik yang tertuang dalam hard-competence dan soft-
competence secara meyeluruh.

29
C. Kompetensi Lulusan SMK
1. Standar Kompetensi Lulusan SMK
Perkembangan saat ini lulusan SMK dituntut tidak
memiliki kompetensi teknis (hard comptence) namun
kompetensi kewirausahaan (soft competence) sehingga
ketika menjadi lulusan (ouput) memiliki peluang yang
tinggi dalam memasuki lapangan kerja, dan ketika menjadi
luaran (outcome) memiliki kinerja dan performa yang
handal. Hal demikianlah yang saat ini menjadi problem
lulusan SMK. Ada dua problematika utama bagi lulusan
SMK saat ini yakni: (1) kesesuaian kompetensi lulusan
dengan bidang kerja; (2) kinerja lulusan di lapangan
kerja/dunia kerja.
Harus diakui, saat ini lulusan SMK memiliki
kesesuaian yang rendah antara bidang studi dengan bidang
keahlian di dunia kerja. Menurut studi tingkat
kesesuaiannya tidak lebih dari 31%. Ditinjau dari konteks
ekonomi pendidikan, kondisi ini menjadikan pendidikan
berharga mahal dan tidak efektif dan efisien. Lulusan
program keahlian Teknik Kendaraan Ringan misalnya,

30
mestinya segera terserap di bidang usaha/industri otomotif;
lulusan program keahlian Tata Busana mestinya segera
terserap dalam bidang usaha garmen atau busana butik, dst.
Kesesuaian kompetensi lulusan SMK dapat berarti sesuai
ketika lulusan menjadi pekerja/karyawan, atau ketika
mengembangkan usaha sebagai wirausahawan.
Melihat kondisi ini beberapa upaya perlu dilakukan
antara lain: (1) perlu diperluas lapangan kerja sesuai bidang
keahlian yang ada di SMK; (2) perlu ada evaluasi terhadap
program keahlian yang lulusannya sudah jenuh di lapangan
kerja.

2. Kompetensi Output dan Outcome


Salah satu realitas tentang lulusan SMK adalah
kompetensi dan kinerja luaran (outcome) yang belum
maksimal, utamanya ketika sudah berkarir di lapangan
kerja. Sebagai contoh, jika lulusan program keahlian
Teknik Sepeda Motor pada awal kerja sebagai teknisi
sepeda motor pada suatu dealer/pusat perbaikan sepeda
motor, maka dalam waktu dalam rentang waktu 8 sd. 10

31
tahun bekerja, tentu diharapkan dapat meningkat karir dan
kedudukannya, mungkin meningkat sebagai suprvisor dst.
Artinya karir dan kedudukan outcome meningkat, tidak
stagnan (tetap) sebagai teknisi.
Dalam beberapa studi, kondisi kinerja outcome lebih
dominan dipengaruhi faktor soft skills. Sikap dan
kecakapan yang berhubungan dengan soft skills dan
kewirausahaan dalam konteks ini perlu dibekalkan kepada
peserta didik sehingga outcome memiliki kinerja (performa)
maksimal ketika berkarir di lapangan kerja.

32
BAB II
KONSEP PENDIDIKAN KEJURUAN

A. Pengertian Pendidikan Kejuruan


Mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas), sistem pendidikan di Indonesia dapat
dibedakan menurut jalur, jenjang, dan jenisnya. Jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan
informal. Jenjang pendidikan terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan,
akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal
13-15). Pada era sebelumnya dalam jenjang pendidikan
dasar (setingkat SLTP) ada pendidikan atau sekolah
kejuruan, misalnya ST (Sekolah Teknik), SMEP (Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama). Dalam konteks pendidikan
di Indonesia saat ini, pendidikan kejuruan termasuk jalur
pendidikan formal dan berada pada jenjang pendidikan
menengah. Jadi pada jenjang pendidikan menengah di

33
Indonesia, terdapat dua jenis pendidikan, yaitu pendidikan
umum (general education) dan pendidikan kejuruan
(vocational education). Dalam pembahasan selanjutnya,
pendidikan kejuruan yang dimaksud adalah pendidikan
menengah kejuruan dan lembaganya disebut Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK).
Terdapat beberapa definisi atau pengertian yang
diberikan beberapa ahli tentang pendidikan kejuruan.
Menurut Prosser and Quigly (1950) yang dijuluki sebagai
bapak pendidikan kejuruan menyatakan bahwa esensi
pendidikan kejuruan adalah mengajarkan kebiasaan
berpikir dan bekerja melalui pelatihan yang berulang-ulang.
Terdapat tiga kebiasaan yang harus diajarkan yaitu 1)
kebiasaan beradaptasi dengan lingkungan kerja, 2)
kebiasaan dalam proses pelaksanaan kerja, dan 3)
kebiasaan berpikir dalam pekerjaan (Dharma, 2013: 5).
Calhoun (1982) menyatakan bahwa pendidikan
kejuruan adalah suatu program pendidikan yang
menyiapkan individu peserta didik menjadi tenaga kerja
yang profesional, juga siap untuk menlanjutkan pendidikan
ke jenjang lebih tinggi.
34
Wenrich and Galloway (1988) berpendapat bahwa
pendidikan kejuruan memiliki arti yang luas, bukan sekedar
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia. Pada
jenjang pendidikan tinggi (universitas, politeknik) juga
terdapat pendidikan kejuruan, yang disebut pendidikan
vokasi untuk membedakan dengan pendidikan akademik.
Pendidikan kejuruan juga tidak harus dalam jalur
pendidikan formal, tepai bisa juga dalam jalur pendidikan
nonformal atau informal. Clarke & Winch (2007:9)
menyatakan bahwa pendidikan kejuruan adalah
pendidikan yang menyiapkan anak muda dan orang
dewasa untuk memasuki lapangan kerja, biasanya terkait
dengan masalah teknik dan praktik.
Sementara itu Calhoun dan Finch (1982) dalam
Sonhaji (2012: 154) mendefinisikan pendidikan kejuruan
sebagai program pendidikan terorganisasi yang secara
langsung berkaitan dengan penyiapan individu memasuki
dunia kerja.
Evans & Edwin (1978:24) mengemukakan bahwa:
“pendidikan kejuruan merupakan bagian dari sistem
pendidikan yang mempersiapkan individu pada suatu
35
pekerjaan atau kelompok pekerjaan”. Sementara Harris
dalam Slamet (1990:2), menyatakan: ”Pendidikan kejuruan
adalah pendidikan untuk suatu pekerjaan atau beberapa
jenis pekerjaan yang disukai individu untuk kebutuhan
sosialnya”.
Menurut House Committee on Education and Labour
(HCEL) dalam (Oemar H. Malik, 1990:94) bahwa:
“pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan
bakat, pendidikan dasar keterampilan, dan kebiasaan-
kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja yang dipandang
sebagai latihan keterampilan”. Dari definisi tersebut
terdapat satu pengertian yang bersifat universal seperti yang
dinyatakan oleh National Council for Research into
Vocational Education Amerika Serikat (NCRVE, 1981:15),
yaitu bahwa “pendidikan kejuruan merupakan subsistem
pendidikan yang secara khusus membantu peserta didik
dalam mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja”.
Dari batasan yang diajukan oleh Evans, Harris,
HCEL, dan NCRVE tersebut dapat disimpulkan bahwa
salah satu ciri pendidikan kejuruan dan yang sekaligus
membedakan dengan jenis pendidikan lain adalah
36
orientasinya pada penyiapan peserta didik untuk memasuki
lapangan kerja.
Agak berbeda dengan batasan yang diberikan oleh
Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE, Finch & Crunkilton
(1984:161) menyebutkan: “pendidikan kejuruan sebagai
pendidikan yang memberikan bekal kepada peserta didik
untuk bekerja guna menopang kehidupannya (education for
earning a living)”.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan diselenggarakan
untuk menyiapkan peserta didik untuk memasuki dunia
kerja atau mempersiapkan peserta didik untuk dapat
bekerja pada bidang tertentu, berarti pula mempersiapkan
mereka agar dapat memperoleh kehidupan yang layak
melalui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masing-
masing. Hal ini untuk membedakan dengan pendidikan
umum yang lebih menekankan pada penyiapan peserta
didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Dalam sistem penyelenggaraan pendidikan
berorientasi dunia kerja di Indonesia, terdapat dua istilah
pendidikan yang digunakan, yaitu: pendidikan kejuruan
37
dan pendidikan vokasi. Dalam Pasal 15 Undang-undang
Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dijelaskan pendidikan
kejuruan merupakan pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja
dalam bidang tertentu, sedangkan pendidikan vokasi
merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta
didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan
tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Dengan
demikian, pendidikan kejuruan merupakan
penyelenggaraan jalur pendidikan formal yang
dilaksanakan pada jenjang pendidikan tingkat menengah,
yaitu: pendidikan menengah kejuruan yang berbentuk
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Pendidikan vokasi merupakan penyelenggaraan jalur
pendidikan formal yang diselenggarakan pada pendidikan
tinggi, seperti: politeknik, program diploma, atau
sejenisnya. Uraian di atas menunjukkan bahwa pendidikan
kejuruan dan pendidikan vokasi merupakan
penyelenggaraan program pendidikan yang terkait erat
dengan ketenagakerjaan.

38
Gambar 2.1. Bagan Jenis dan Jenjang Pendidikan
Di Indonesia Menurut KKNI
(Sumber: Paparan Ditjen Dikti Tentang KKNI: 2011)

B. Perkembangan Pendidikan Kejuruan di Indonesia


1. Sebelum Kemerdekaan
Pendidikan di Indonesia berawal dari pendidikan
berbasis keagamaan yang di selenggarakan oleh para
pemuka dan penyabar agama Hindu, Budha,dan Islam.
Pada zamannya , mereka telah mengembangkan sistem

39
pendidikan yang relatif “tersruktur” dari segi isi maupun
tingkat-tingkatnya. Namun sistem pendidikan dalam
bentuk sekolah atau menyerupai sekolah sekarang baru
dimulai pada abad ke-16. Sekolah pertama di Indonesia
didirikan oleh penguasa Portugis di Maluku, Altonio
Galvano, pada tahun 1536 berupa sekolah seminari untuk
anak-anak dari pemuka pribumi .
VOC mendirikan sekolah pertama di Ambon pada
tahun 1607, disusul kemudian di Pulau Banda (1622),
dipulau Lontar (1923), dan di Pulau Roen(1927), semuanya
di kawasan Maluku yang kaya akan rempah-rempah dan
menjadi sasaran awal misi VOC. Sekolah-sekolah tersebut
pada dasarnya bertujuan untuk penyebaran agama Kristen .
Diluar wilayah Ambon, VOC mendirikan juga sekolah di
Jakarta(1617)yang menjadi Sekolah Batavia(Bataviaase
School) pada tahun 1622; Sekolah Warga Masyarakat
(Burgerschool) tahun 1630, Sekolah Latin (Latijnse School)
tahun 1642, dan Sekolah Cina(Chinese School) tahun
1737. Sekolah yang berorientasi “Kejuruan” yang didirikan
pertamakali pada zaman VOC adalah Akademi

40
Pelayaran (Academie der Marine) pada tahun 1743 tetapi
ditutup kembali pada tahun 1755.
Ketika kekuasaan VOC berakhir pada penghujung
abad ke-18 pendirian sekolah-sekolah dilanjutkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan atas
keturunan, bangsa, dan status sosial. Sekolah Pertama
untuk anak-anak Eropa dibuka di Jakarta pada 1817,
kemudian menyusul berbagai sekolah lainnya. Akan tetapi,
setelah lebih dari dua abad berkuasa sejak zaman VOC,
baru pada tahun 1853 Belanda mendirikan sekolah
kejuruan, yaitu Ambachts School van Soerabaia (Sekolah
Pertukangan Surabaya) yang diperuntukan bagi anak-anak
Indo dan Belanda, disusul kemudian oleh sekolah serupa di
Jakarta pada 1856. Kedua sekolah ini diselenggarakan oleh
swasta. Baru pada tahun 1860, Pemerintah Hindia Belanda
mengusahakan Sekolah Pertukangan di Surabaya untuk
golongan Eropa. Bagi anak-anak Pribumi, hingga saat itu
belum ada sekolah serupa.
Di luar Akademi Pelayaran yang didirikan tahun
1743, Sekolah Pertukangan di Surabaya yang berdiri pada
tahun 1853 itulah sebagai sekolah kejuruan pertama di
41
Indonesia. Bila sekolah ini menjadi patokan, maka hingga
sekarang sekolah kejuruan di Indonesia telah berusia satu
setengah abad.
Pendidikan kejuruan di Indonesia telah berumur
lebih 150 tahun. Sejarah pendidikan teknik dan kejuruan di
Indonesia diawali dengan didirikannya Ambacht School
van Soerabaja tahun 1853 oleh pihak swasta. Sekolah ini
terutama ditujukan untuk laki-laki keturunan Eropa
khususnya Belanda, dari golongan miskin yang tinggal di
Hindia Belanda ketika itu.Pada akhir abad ke-19
pemerintah Hindia Belanda mendirikan suatu lembaga
pendidikan di Jakarta dengan nama Ambacht Leergang.
Kemudian pada tahun 1901 dilanjutkan dengan
pembukakan lembaga pendidikan bernama Koningin
Welhelmina School (KWS) yang para siswanya terdiri atas
tamatan Europeese School yang diperuntukan khusus
untuk orang-orang Eropa.
Pendidikan teknik dan kejuruan tingkat pertama di
Indonesia menjelang akhir masa penjajahan Belanda
hingga masa pendudukan Jepang (1942-1945) terdiri atas:
Ambacht Leergang, yang mempersiapkan pekerja-pekerja
42
tukang, Ambacht School, yang memberikan latihan yang
lebih tinggi, dan Technische School, yang memberikan
latihan yang lebih tinggi dan bersifat teoritis.Ketiga jenis
lembaga pendidikan teknik dan kejuruan ini tetap bertahan
sesudah Indonesia merdeka dengan mengalami perubahan-
perubahan nama dan beberapa perubahan kurikulum.
Perkembangan jumlah sekolah berjalan pesat sesuai dengan
meningkatnya minat para pemuda untuk menuntut
pengetahuan teknik dan kejuruan.

2. Pasca Kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan, Ambacht Leergang dikenal
dengan Sekolah Pertukangan (SPT), Ambacht School
menjadi Sekolah Pertukangan Lanjutan (SPL), dan
Technische School sebagai Sekolah Teknik (ST), sedangkan
THS menjadi Institut Teknologi Bandung(ITB).Lama
pendidikan SPT adalah 2 tahun setelah SD 6 tahun. SPL
adalah 1 tahun setelah SPT , SPT adalah 4 tahun yang
kemudian menjadi 3 tahun setelah SD. Lembaga
pendidikan teknik dan kejuruan berkembang menjadi
lembaga pendidikan kejuruan yag mempunyai peran sentral
43
dalam penyediaan tenaga tukang yang terampil dan teknisi
tingkat pertama.
Jurusan-jurusan yang dibuka pada lembaga
pendidikan teknik tersebut didasarkan atas penggolongan
jabatan (job description) dan analisis pekerjaan (job
analysis) beserta persyaratan sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional
(ILO).Dengan melihat sejarah tersebut, berarti sekolah
teknik dan kejuruan baru dibuka 317 tahun setelah pertama
yang didirikan oleh Portugis dan 246 tahun setelah sekolah
pertama didirikan oleh VOC/ Belanda.Dengan demikian,
hingga saat ini sekolah kejuruan di Indonesia telah berusia
1,5 abad. Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda, pada
tahun 1940 terdapat sekitar 88 sekolah kejuruan di
Indoneasia dengan 13.230 siswa, umumnya dalam bidang
pertukangan, teknik, dan pertanian.

3. Era Reformasi
Sejak kemerdekaan hingga sekarang, pendidikan
teknik dan kejuruan berkembang pesat. Pemerintah sendiri
saat ini sedang menggalakkan peran SMK yang lebih
44
diminati masyarakat karena berorientasi pada
pekerjaan.Kebijakan pemerintah antara lain sesuai rencana
Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009 dinyatakan bahwa
rasio pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan
menengah umum ditargetkan sebesar 50:50 pada tahun
2010 dan 70:30 pada tahun 2015. Kebijakan ini diharapkan
dapat memecahkan salah satu permasalahan
pengangguran.
Peningkatan pendidikan kejuruan bertujuan
menyiapkan tenaga terampil untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja sesuai dengan tuntutan dunia
industri. Kebijakan ini dilandasi dengan semakin
meningkatnya angka pengangguran serta semakin
terbukanya sektor-sektor formal dan informal yang
membutuhkan tenaga kerja menengah yang
berkualitas.Karena berhadapan langsung dengan dunia
kerja. Proporsi jumlah SMK 70%, SMA 30% di negeri ini
sepertinya cocok jika dikaitkan kemampuan melanjutkan
pendidikan ke yang lebih tinggi. Konsekuensinya adalah
dunia kerja yang akan menampung lulusan SMK harus siap

45
meskipun untuk memasukinya lulusan SMK perlu masih
perlu dilatih.

Gambar 2.2. Sejarah Pendidikan Kejuruan di Indonesia


(Sumber: Dokumentasi Sejarah Pendidikan Teknik dan Kejuruan
di Indonesiahttp://psmk.kemdikbud.go.id/)

46
C. Karakteristik Pendidikan Kejuruan
Karakteristik atau ciri pendidikan kejuruan yang
utama adalah sebagai persiapan untuk memasuki dunia
kerja. Secara historis, menurut Evans & Edwin (1978:36)
pendidikan kejuruan sesungguhnya merupakan
perkembangan dari latihan dalam pekerjaan (on the job
training) dan pola magang (apprenticeship).
Pada pola latihan dalam pekerjaan, peserta didik
belajar sambil langsung bekerja sebagai karyawan baru
tanpa ada orang yang secara khusus ditunjuk sebagai
instruktur, sehingga tidak ada jaminan bahwa peserta didik
akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan. Walaupun demikian, menurut Elliot (1983:15),
pola latihan dalam pekerjaan memiliki keunggulan karena
peserta didik dapat langsung belajar pada keadaan yang
sebenarnya sehingga mendorong dia belajar secara inkuiri.
Pada pola magang terdapat seorang karyawan senior
yang secara khusus ditugasi sebagai instruktur bagi
karyawan baru (peserta didik) yang sedang belajar.
Instruktur tersebut bertanggungjawab untuk membimbing
dan mengajarkan pengetahuan serta keterampilan yang
47
sesuai dengan tugas karyawan baru yang menjadi
asuhannya. Dengan demikian pola magang relatif lebih
terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan dapat
memperoleh pengetahuan dan keterampilan tertentu lebih
besar dibanding pola latihan dalam pekerjaan (Evans &
Edwin, 1978:38).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
makin canggih membawa pengaruh terhadap pola kerja
manusia. Pekerjaan menjadi kompleks dan memerlukan
bekal pengetahuan dan keterampilan yang makin tinggi,
sehingga pola magang dan latihan dalam pekerjaan kurang
memadai karena tidak memberikan dasar teori dan
keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan
kerja sebagai karyawan baru. Oleh karena itu kemudian
berkembang bentuk sekolah dan latihan kejuruan yang
diselenggarakan oleh sekolah kejuruan bekerja sama
dengan kalangan industri, dengan tujuan memberikan
bekal teori dan keterampilan sebelum peserta didik
memasuki lapangan kerja.
Pendidikan kejuruan memiliki karakteristik atau ciri-
ciri yang berbeda dengan pendidikan umum jika ditinjau
48
dari kriteria pendidikan, substansi pembelajaran, dan
lulusannya. Kriteria yang harus dimiliki oleh pendidikan
kejuruan menurut Finch & Crunkilton (1984) dalam
Sonhaji (2012:155) adalah:
1) Orientasi pada kinerja individu dalam dunia kerja
2) Justifikasi khusus pada kebutuhan nyata di lapangan
3) Fokus kurikulum pada aspek-aspek psikomotorik,
afektif, dan kognitif
4) Tolok ukur keberhasilan tidak hanya terbatas di sekolah
5) Kepekaan terhadap perkembangan dunia kerja
6) Memerlukan sarana dan prasarana yang memadai
7) Adanya dukungan masyarakat
Nolker dan Shoenfeldt (1983) menyatakan bahwa
dalam memilih substansi pembelajaran, pendidikan
kejuruan harus selalu mengikuti perkembangan IPTEK,
kebutuhan masyarakat, kebutuhan individu dan lapangan
kerja. Ditinjau dari lulusannya, Bulter (1979) dalam
Sonhaji (2012:155) menjelaskan bahwa lulusan pendidikan
kejuruan harus memiliki kecakapan sebagai berikut:

49
1) Minimal, pengetahuan dan keterampilan khusus untuk
jabatannya
2) Minimal, pengetahuan dan keterampilan sosial,
emosiaonal, dan fisik dalam kehidupan sosial
3) Minimal, pengetahuan dan keterampilan khusus dasar
4) Maksimal, kejujuran umum, sosial, serta pengetahuan
dan keterampilan akademik, untuk jabatan, individu,
dan masa depannya.

Sementara itu Djojonegoro (1998) mengemukakan


bahwa pendidikan kejuruan memiliki karakteristik sebagai
berikut:
1) Pendidikan kejuruan diarahkan untuk mempersiapkan
peserta didik memasuki lapangan kerja
2) Pendidikan kejuruan didasarkan atas “demand-driven”
(kebutuhan dunia kerja)
3) Fokus isi pendidikan kejuruan ditekankan pada
penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-
nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja

50
4) Penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan
siswa harus pada “hands-on” atau performa dalam
dunia kerja
5) Hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan
kunci sukses pendidikan kejuruan
6) Pendidikan kejuruan yang baik adalah responsif dan
antisipatif terhadap kemajuan teknologi
7) Pendidikan kejuruan lebih ditekankan pada “learning
by doing” dan “hands-on experience”
8) Pendidikan kejuruan memerlukan fasilitas yang
mutakhir untuk praktik
9) Pendidikan kejuruan memerlukan biaya investasi dan
operasional yang lebih besar daripada pendidikan
umum

Prosser A Charles and Quigley Thos (1950)


memberikan 16 dalil atau prinsip dasar pendidikan
kejuruan. Pendidikan kejuruan akan berhasil apabila
memenuhi 16 prinsip atau dalil sebagai berikut:

51
1) Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan di
mana siswa dilatih merupakan replika lingkungan di
mana nanti ia akan bekerja
2) Pendidikan kejuruan akan efektif hanya dapat diberikan
di mana tugas-tugas latihan dilakukan dengan cara,
alat, dan mesin yang sama seperti yang diterapkan di
tempat kerja
3) Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia melatih
seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja seperti
yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri.
4) Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia dapat
memampukan setiap individu memodali minatnya,
pengetahuannya, dan keterampilannya pada tingkat
yang paling tinggi
5) Pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi,
jabatan, atau pekerjaan hanya dapat diberikan kepada
seseorang yang memerlukannya, yang
menginginkannya, dan yang dapat untung darinya
6) Pendidikan kejuruan akan efektif jika pengalaman
latihan untuk membentuk kebiasaan kerja dan

52
kebiasaan berfikir yang benar diulangkan sehingga pas
seperti yang diperlukan dalam pekerjaan nantinya
7) Pendidikan kejuruan akan efektif jika gurunya telah
mempunyai pengalaman yang sukses dalam penerapan
keterampilan dan pengetahuan pada operasi dan proses
kerja yang akan dilakukan
8) Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang
harus dipunyai oleh seseorang agar dia tetap dapat
bekerja pada jabatan tersebut
9) Pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan
pasar (memperhatikan tanda-tanda pasar kerja)
10) Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa
akan tercapai jika pelatihan diberikan pada pekerjaan
yang nyata (pengalaman sarat nilai)
11) Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi
pelatihan pada suatu okupasi tertentu adalah dari
pengalaman para ahlu pada okupasi tersebut
12) Setiap okupasi mempunyai ciri-ciri isi yang berbeda-
beda satu dengan yang lainnya
13) Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial
yang efisien jika sesuai dengan kebutuhan seseorang
53
yang memang mememrlukan dan memang paling
efektif jika dilakukan lewat pengajaran kejuruan
14) Pendidikan kejuruan akan efisien jika metode
pengajaran yang digunakan dan hubungan pribadi
dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat
peserta didik tersebut
15) Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika dia
luwes dan mengalir daripada kaku dan terstandar
16) Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan
jika tidak terpenuhi maka pendidikan kejuruan tidak
boleh dipaksakan beroperasi

Prosser memandang pendidikan vokasi dari sudut


efisiensi sosial yang menempatkan posisi sekolah kejuruan
sebagai wahana pemenuhan kebutuhan ketenagakerjaan
suatu Negara bukan untuk pemenuhan kebutuhan
individu. Kubu efisiensi sosial menyiapkan pelatihan yang
baik yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja.
Pendidikan kejuruan diorganisir dengan urutan yang rigit
dengan pemasrahan hand-on instruction oleh orang yang
berpengalaman luas
54
Dalam pandangan yang berbeda John
Dewey meyakini bahwa tujuan dasar pendidikan adalah
untuk mempertemukan kebutuhan individu untuk
pemenuhan pribadinya dan persiapan menjalani hidup.
Siswa pendidikan kejuruan diajari bagaimana memecahkan
masalah secara berbeda-beda sesuai kondisi individu
masing-masing. Dewey menolak gambaran siswa sebagai
individu yang pasif, dikendalikan oleh tekanan ekonomi
pasar dan eksistensinya dibatasi dalam mengembangkan
kapasitas intelektualnya. Dewey memandang siswa adalah
aktif memburu dan mengkonstruksi pengetahuan
(Rojewski, J.W., 2009:21).

D. Tujuan Pendidikan Kejuruan


Ditinjau dari tujuannya, menurut Thorogood
(1982:328) pendidikan kejuruan bertujuan untuk:
1) Memberikan bekal keterampilan individual dan
keterampilan yang laku di masyarakat, sehingga peserta
didik secara ekonomis dapat menopang kehidupannya,
2) Membantu peserta didik memperoleh atau
mempertahankan pekerjaan dengan jalan memberikan
55
bekal keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan
yang diinginkannya,
3) Mendorong produktivitas ekonomi secara regional
maupun nasional,
4) Mendorong terjadinya tenaga terlatih untuk menopang
perkembangan ekonomi dan industri,
5) Mendorong dan meningkatkan kualitas masyarakat.

Agak berbeda dengan Thorogood, Evans seperti yang


dikutip oleh Wenrich & Wenrich (1974:63) menyebutkan
bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk: “(1)
menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh
masyarakat, (2) meningkatkan pilihan pekerjaan yang
dapat diperoleh oleh setiap peserta didik, dan (3)
memberikan motivasi kerja kepada peserta didik untuk
menerapkan berbagai pengetahuan yang diperolehnya.”
Dari tujuan pendidikan kejuruan yang diajukan oleh
Thorogood dan Evans di atas, dapat disimpulkan bahwa
disamping mengemban tugas pendidikan secara umum,
pendidikan kejuruan mengemban misi khusus, yaitu
memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan kepada
56
peserta didik untuk memasuki lapangan kerja dan sekaligus
menghasilkan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
Di samping tujuan khusus yang diajukan oleh
Thorogood dan Evans di atas, Crunkilton (1984:25)
menyebutkan bahwa: ”salah satu tujuan utama pendidikan
kejuruan adalah meningkatkan kemampuan peserta didik
sehingga memperoleh kehidupan yang lebih baik dari
sebelumnya”. Menurut Miner (1974:48-56) bekal yang
dipelajari dalam pendidikan kejuruan akan merupakan
bekal untuk mengembangkan diri dalam bekerja. Dengan
bekal kemampuan mengembangkan diri tersebut
diharapkan karier yang bersangkutan dapat meningkat dan
pada gilirannya kehidupan mereka akan makin baik
(Karabel & Hasley, 1977:14).
Bagi masyarakat Indonesia, misiatau tujuan
pendidikan kejuruan sudah jelas tertuang dalam pasal 15
Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Pada
jenjang pendidikan menengah terdiri atas pendidikan
menengah umum berbentuk Sekolah Menengah Atas
(SMA) dan Madrasah Aliyah, dan pendidikan menengah
57
kejuruan yang berbentuk Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).
Disebutkan secara eksplisit dalam penjelasan UU pasal 15,
bahwa pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan
menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan
yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan
pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam
bidang tertentu.

E. Pengelompokan Pendidikan Kejuruan


Pendidikan kejuruan dapat dikelompokkan
berdasarkan jenjang dan menurut struktur programnya.
Pengelompokan berdasarkan jenjang dapat didasarkan atas
jenjang kecanggihan keterampilan yang dipelajari atau
jenjang pendidikan formal yang berlaku (Zulbakir dan
Fazil, 1988:7)
Jenjang pendidikan formal yang berlaku dikenal
pendidikan kejuruan tingkat sekolah menengah (secondary)
atau sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan berbagai
58
program keahlian seperti Listrik, Elektronika Manufaktur,
Elektronika Otomasi, Metals, Otomotif, Teknik Pendingin,
Gambar Bangunan, Konstruksi Baja, Tata Busana, Tata
Boga, Travel and Tourism, penjualan, akuntansi,
manajemen perkantoran dan sebagainya serta tingkat di
atas sekolah menengah (post secondary) misalnya
politeknik (IEES, 1986:124)
Berdasarkan struktur programnya, khususnya dalam
kaitan dengan bagaimana sekolah kejuruan mendekatkan
programnya dengan dunia kerja, Evans seperti yang dikutip
oleh Hadiwiratama (1980:60-69) membagi sekolah
kejuruan menjadi lima kategori, yaitu (1) program
pengarahan kerja (pre vocational guidance education), (2)
program persiapan kerja (employability preparation
education), (3) program persiapan bidang pekerjaan secara
umum (occupational area preparation education), (4)
program persiapan bidang kerja spesifik (occupational
specific education), dan (5) program pendidikan kejuruan
khusus (job specific education).
Pada program pengarahan kerja, sekolah memberikan
pengetahuan dasar dan umum tentang berbagai jenis
59
pekerjaan di masyarakat sekaligus menumbuhkan apresiasi
terhadap berbagai pekerjaan tersebut, sedangkan pada
program persiapan kerja, sekolah memberikan dasar-dasar
sikap dan keterampilan kerja, meskipun masih bersifat
umum. Dengan program ini diharapkan peserta didik
mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan
pekerjaan, meskipun tentunya masih harus melalui latihan
di dalam pekerjaan.
Untuk program persiapan bidang pekerjaan secara
umum, sekolah memberikan bekal guna meningkatkan
kemampuan bekerja untuk bidang pekerjaan yang
memerlukan pengetahuan, peralatan yang sejenis. Dengan
program ini diharapkan peserta didik mempunyai pilihan
lapangan pekerjaan yang lebih jelas dan lebih cepat
mengikuti latihan di dalam pekerjaan.
Program persiapan kerja yang spesifik memberikan
bekal yang sudah mengarah kepada jenis pekerjaan
tertentu, meskipun belum pada suatu perusahaan tertentu.
Lebih khusus lagi adalah program pendidikan kejuruan
khusus yang sudah terarah pada pekerjaan khusus, yaitu

60
mendidik siswa untuk memenuhi persyaratan yang diminta
oleh suatu perusahaan tertentu.
Perjenjangan kedekatan pendidikan kejuruan yang
disebutkan oleh Evans di atas berarti juga kesiapan lulusan
dalam memasuki lapangan kerja. Makin khusus jenis
pendidikan kejuruan akan makin siap lulusannya
memasuki lapangan kerja, tetapi juga makin sempit bidang
pekerjaan yang dapat dimasuki. Walaupun demikian,
kecuali untuk keperluan tertentu pendidikan kejuruan yang
khusus (job specific education) sangat sulit diterapkan di
Indonesia, mengingat jenis industri di Indonesia sangat
bervariasi. Di sini mulai timbulnya dilema antara siap
pakai atau siap latih dalam pendidikan kejuruan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut Semiawan
(1991:6), yang penting adalah kesiapan mental untuk
mengembangkan dirinya serta keterampilan dasar untuk
setiap kali dapat menyesuaikan diri kembali pada
perubahan tertentu (retrain ability). Dengan bekal tersebut
diharapkan lulusan sekolah menengah kejuruan tidak
hanya terpancang pada jenis pekerjaan yang ada, tetapi
juga terdorong untuk mewujudkan lapangan kerja baru
61
dengan mengembangkan prakarsa dan kreativitasnya
secara optimal.
Sejalan dengan itu Tilaar (1991:12) menegaskan
bahwa: “pendidikan formal (sekolah kejuruan) seharusnya
menghasilkan lulusan yang memiliki kualifikasi siap latih
yang kemudian diteruskan dengan program pelatihan, baik
di dalam industri atau lembaga pelatihan tertentu”.
Kebijakan penting pemerintah (Depdiknas) yang
dijalankan sejak 2005i adalah ingin meningkatkan jumlah
siswa SMK hingga mencapai 70% siswa SMK dan 30%
siswa SMU pada tahun 2015 (Depdiknas, 2006). Kebijakan
ini membawa beberapa implikasi, antara lain tentang
pembangunan sarana dan prasarana baru, kebutuhan guru,
dan yang tak kalah penting adalah bidang dan program
keahlian apa saja yang relevan atau sesuai dengan
kebutuhan pasar kerja.
Pembagian bidang atau penjurusan pada pendidikan
menengah umum (SMA) lebih sederhana, yaitu hanya
terdiri dari tiga jurusan: IPA, IPS dan Bahasa. Pada
pendidikan menengah kejuruan (SMK), pembagian bidang
dan program keahlian lebih banyak dan terspesialisasi. Dari
62
tahun ke tahun spektrum keahlian pendidikan menengah
kejuruan di Indonesia mengalami perubahan atau
mengikuti perkembangan dunia usaha dan industri, dan
cenderung lebih terspesialisasi.
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud Nomor:
4678/D/KEP/MK/2016 tentang Spektrum Keahlian
Pendidikan Menengah Kejuruan, pengelompokan
pendidikan kejuruan dibedakan menjadi 9 Bidang
Keahlian, 48 Program Keahlian, dan 142 Kompetensi
keahlian.
Pembagian bidang dan program keahlian yang rinci
tersebut membawa konsekuensi tersendiri, baik sisi positif
maupun negatifnya. Sisi positifnya, paling tidak lulusan
SMK akan lebih siap kerja daripada lulusan pendidikan
umum, namun dengan syarat bidang pekerjaannya sesuai
dengan bidang keahlian selama menempuh pendidikan.
Sisi negatifnya, apabila lapangan pekerjaan yang tersedia
tidak sesuai dengan bidang atau program keahliannya,
maka dia terpaksa menganggur atau bekerja tidak sesuai
dengan bidang keahliannya. Dampak negatif ini lebih
63
parah jika dibandingkan dengan lulusan SMA yang bersifat
general (umum) dimana penyesuaian bidang keahlian
dengan pasar kerja lebih mudah daripada sudah terbentuk
sejak awal.

64
BAB III
KURIKULUM & PEMBELAJARAN
ABAD 21 DI SMK

A. Kurikulum SMK
Secara historis perkembangan kurikulum pendidikan
kejuruan di Indonesia tidak terlepas dengan perkembangan
pendidikan teknik dan kejuruan, baik sebelum era
kemerdekaan, sesudah kemerdekaan, dan setelah reformasi.
Menjelang kemerdekaan tahun 1942-1945 di Indonesia
dikenal tiga jenis pendidikan kejuruan yakni: Ambacht
Leergang, yang mempersiapkan pekerja-pekerja tukang,
Ambacht School, yang memberikan latihan yang lebih
tinggi, dan Technische School, yang memberikan latihan
yang lebih tinggi dan bersifat teoritis. Ketiga jenis lembaga
pendidikan teknik dan kejuruan ini tetap bertahan sesudah
Indonesia merdeka dengan mengalami perubahan-
perubahan nama dan beberapa perubahan kurikulum.
Perkembangan jumlah sekolah berjalan pesat sesuai dengan
meningkatnya minat para pemuda untuk menuntut
pengetahuan teknik dan kejuruan.
65
Pada era setelah kemerdekaan kurikulum SMK
berkembang sesuai dengan perkembangan lapangan kerja
di berbagai sekor. Pada era ini setidaknya ada beberapa
momen perubahan kurikulum SMK, yakni pada tahun
1975, 1984 dan 1994. Pada tahun 1975 dan 1984 kurikulum
pendidikan berbasis isi (content-based curriculum), dan
pada bidang kejuruan kurikulum membedakan antara
materi (content) teori dan praktik. Oleh sebab itu, pada
struktur mata pelajaran SMK ada dua kelompok, yakni
mata pelajaran teori dan praktik.
Pada tahun 1994 secara nasional pemerintah
menggulirkan kebijakan kurikulum berbasis tujuan
(objective based curriculum), maka kemudian dikenal
Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan
Instruksional Khusus (TIK). Pada kurikulum SMK tahun
1994 mengalami perubahan secara fundamental dalam
konteks tujuan pembelajaran. Tujuan pendidikan di SMK
ketika itu adalah menghasilkan lulusan yang berakhlak
mulia/berkepribadian, terampil, dan dapat menyesuaikan
dengan perkembangan jaman. Oleh sebab itu kurikulum

66
SMK tidak hanya membedakan mata pelajaran teori dan
praktik, namun memuat tiga kelompok mata pelajaran
yakni: normatif, adaptif, dan produktif.
Pada masa setelah reformasi, ada beberapa momen
pembaharuan kurikulum yakni: tahun 2004-2006, dan
2013. Secara kebijakan, kurikulum 2006 dan 2013 disebut
berbasis kompetensi (competence-based curriculum).
Kurikulum ini memiliki ciri utama, substansi pembelajaran
dirumuskan dalam bentuk Standar Kompetensi (SK) dan
Kompetensi Dasar (KD), atau Kompetensi Inti (KI) dan
Kompetensi Dasar (KD). Pada kurikulum 2013 SMK,
dikenal dengan kelompok mata pelajaran A (normatif), B
(adaptif), dan C1, C2, dan C3 (produktif). Sesuai dengan
rumusan Spektrum bidang keahlian di dunia kerja/industri,
kelompok C1 bidang keahlian, C2 program keahlian, dan
C3 kompetensi keahlian.
1. Konsep Kurikulum SMK
Kurikulum secara konsep mengandung arti rencana
atau program pendidikan yang diimplementasikan dalam
satuan pendidikan. Depdiknas (2006) menyebutkan,

67
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu
(UU No.20/2003 pasal 1 ayat 19).
Kurikulum SMK dapat dijelaskan dalam dua dimensi
yakni, generik dan spesifik. Secara generik kurikulum SMK
mengandung arti rencana dan program yang memiliki
ruang lingkup sama sebagaimana batasan dalam UU
No.20/2003 di atas, yakni mencakup ujuan, isi, bahan
pembelajaran, metode pembelajaran dan sistem penilaian.
Secara spesifik kurikulum SMK mengandung arti rencana,
implementasi, dan sistem evaluasi yang memiliki ruang
lingkup dan indikator, sbb:
a. Standar kelulusan yang tertuang dalam rencana
kurikulum (curriculum design) perlu memiliki
keselarasan dengan keahlian yang dibutuhkan oleh
dunia usaha/industri (Du/Di);
b. Implementasi kurikulum dalam bentuk proses
pembelajaran, harus sesuai dengan pola dan prinsip

68
kerja di Du/Di, dan dalam pelaksanaan
pembelajaran perlu memperoleh dukungan Du/Di;
c. Sistem evaluasi dan uji kompetensi hasil
pembelajaran perlu merujuk kepada standar keahlian
dan kompetensi yang berlaku dan berkembang di
Du/Di.

2. Karakteristik Kurikulum SMK


Dibandingkan kurikulum pendidikan umum (SD,
SMP dan SMA), kurikulum pendidikan kejuruan (SMK)
memiliki karakteristik spesifik, baik dari aspek
perencanaan, implementasi, pengembangan, maupun
evaluasi pelaksanaannya. Dari sisi perencanaan, kurikulum
SMK harus berangkat dari orientasi hasil pendidikan
(outcome) yang mengacu pada dua standar, yakni internal
(standar kelulusan sekolah) dan eksternal (standar dunia
usaha/industri, asosiasi profesi).
Secara internal, yang tertuang sebagai pendekatan
dalam perancangan kurikulum SMK dapat dijelaskan
sebagai berikut:

69
1. Kebutuhan-kebutuhan internal peserta didik, seperti
kebutuhan pemerolehan kacakapan spesifik maupun
kecakapan pengembangan, secara konseptual telah
diakomodasi dalam perancangan kurikulum SMK;
seperti tercermin dalam pendekatan broad-based,
dan life skill;
2. Konsistensi internal ini pada dasarnya merupakan
pengembangan dari kurikulum SMK, yang juga
mencantumkan pendekatan broad-based, tetapi
belum mencantumkan pendekatan life-skill.
Kedua dimensi tersebut, memberikan peluang
pembentukan dan pengembangan kecakapan-kecakapan
khusus maupun yang bersifat pengembangan yang
dibutuhkan siswa sebagai pribadi. Secara eksternal,
konsistensi pendekatan kurikulum SMK tertuang dalam
rumusan pendekatan competency-based, dan production-
based. Kedua pendekatan ini dalam strategi
implementasinya berusaha mengembangkan kemampuan
yang bersifat eksternal; artinya kecakapan untuk

70
menghadapi tuntutan keahlian tenaga kerja serta mobilitas
pekerjaan secara global.
Dimensi-dimensi futuristik kurikulum pendidikan
kejuruan (SMK) secara eksplisit dapat diidentifikasi dari
rumusan arah perubahan (paradigma) pendidikan kejuruan
sebagai berikut:
Tabel 3.1 Dimensi Futuristik Pendidikan Kejuruan
Masa Lalu Masa Depan
 Supply driven  Demand driven
 Berbasis sekolah  Berbasis kompetensi
 Alur dan proses kaku  Alur lentur dengan prinsip
“multi entry dan multi exit”
 Tidak mengakui  Mengakui kemampuan
kemampuan sebelumnya
sebelumnya

 Orientasi program studi  Diklat mengacu kepada profesi


dan keterampilan kejuruan
 Pendidikan dan
pelatihan berfokus pada  Diklat yang berfokus pada
sektor formal sektor formal dan informal

 Pemisahan antara  Mengintegrasikan pendidikan


pendidikan dan dan pelatihan
pelatihan

 Sistem pengelolaan  Pengelolaan terdesentralisasi


terpusat
Sumber Depdiknas 1999: Keterampilan Menjelang 2020

71
Secara eksplisit dapat dilihat bahwa orientasi
kurikulum dan pengembangan pendidikan kejuruan ke
depan menunjukkan paradigma dan orientasi yang
berkembang. Reorientasi kurikulum dan program
pendidikan dan pelatihan tergambar dari pendekatan
supply driven ke arah demand driven; serta
program/kurikulum berbasis sekolah (school based
curriculum) menuju kurikulum berbasis kompetensi
(competency based curriculum) sesuai standar nasional
yang berlaku.
Reorientasi dalam proses dan hasil pembelajaran
tercermin dalam prinsip multi entry-multi exit; pengakuan
terhadap kemampuan sebelumnya; diklat berfokus pada
profesi kejuruan, formal dan informal; serta integrasi penuh
antara pendidikan dan pelatihan. Reorientasi dalam
manajemen pendidikan dan pelatihan tercermin dalam
pengelolaan terdesentralisasi, dan prinsip swakelola dan
swadana. Dari konsepsi di atas, setidaknya ada dua aspek
dasar dalam perubahan paradigma pendidikan dan
pelatihan kejuruan yang berkaitan langsung dengan

72
karaktaristik program dan kurikulum yaitu: supply driven
menuju demand driven, dan school based menuju
competency based education and training.
Sesuai dengan tujuan penyempurnaan kurikulum
SMK yaitu mengembangkan (komponen) program dan
implementasi guna lebih dekat dan sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan lapangan (dunia usaha/industri),
sehingga aspek program (isi) dan implementasinya menjadi
perhatian utama dalam upaya pengembangan. Sedangkan
aspek landasan (filosofi, psikologi dan sosiologis) secara
prinsip tidak mengalami perubahan.
Hal esensial dari kurikulum SMK adalah amanat
dilaksanakannya sinkronisasi isi kurikulum (program diklat
di SMK) dengan kebutuhan dan tuntutan lapangan
(program diklat di DU/DI), yang secara riel
direpresentasikan oleh kebutuhan dan tuntutan dunia
usaha/industri. Sinkronisasi, dalam kontek ini adalah
proses dan tahapan pengembangan (isi program dan
implementasi) kurikulum yang merujuk kepada isi keahlian

73
dan performansi yang dilaksanakan dan dikembangkan
oleh dunia usaha/industri.
Secara konseptual kurikulum SMK mengandung
lima dimensi pembaharuan (inovasi) kurikulum, yaitu : (1)
berbasis luas, kuat dan mendasar (Broad Based
Curriculum); (2) berbasis kompetensi (Competency Based
Curriculum); (3) pembelajaran tuntas (Mastery Learning);
(4) berbasis ganda (Dual Based Program); dan (5)
perkuatan kemampuan daya suai dan kemandirian
pengembangan diri tamatan. Secara spesifik, perbedaan
kedua kurikulum tersebut terletak pada: pendekatan,
struktur program, periode ajaran, dan evaluasi. Pertama,
kurikulum SMK menggunakan pendekatan competency
based, sedangkan kurikulum edisi 1999 menggunakan
pendekatan kombinasi competency based dan broad based.
Kedua, struktur program kurikulum SMK terdiri dari
program program normatif, program adaptif, dan program
produktif. Ketiga, pembelajaran menurut kurikulum SMK
disajikan dalam m sistem semester. Keempat, evaluasi
kurikulum dilaksanakan secara menyeluruh.

74
Mencermati lima dimensi pembaharuan dan empat
ciri perbedaan di atas, setidaknya ada dua karakter utama
pembaharuan/penyempurnaan kurikulum SMK dari ciri
supply driven - school based pada menuju demand driven -
competency based.

1. Karakter Supply Driven menuju Demand Driven


Orientasi pembaharuan ini didasarkan oleh keadaan
bahwa salah satu kelemahan mendasar pelaksanaan
pendidikan menengah kejuruan hingga saat ini masih
berkisar pada relevansi dan fleksibilitas program
(kurikulum); artinya sebagian besar SMK masih berpola
supply driven, belum mengarah ke pola demand driven dan
market driven, dengan dunia usaha/industri sebagai
referensi utama.
Dalam pandangan banyak SMK, menghasilkan
lulusan sebanyak-banyaknya adalah sebuah prsetasi sendiri.
Apakah lulusan tersebut dapat terserap atau tidak oleh
dunia usaha/industri itu persoalan lain. Dalam pandangan
lama, sekolah juga tidak terlalu risau persoalan kesesuaian

75
kurikulum dengan dunia usaha/industri, karena pola saat
itu centralized curriculum.
Sebagai langkah perbaikan, maka dalam kurikulum
SMK telah secara tegas diamanatkan keharusan melakukan
sinkronisasi kurikulum bagi setiap SMK yang
melaksanakan program PSG. Dengan arahan ini maka
program diklat SMK diupayakan sedekat mungkin dengan
kondisi DU/DI, dan secara langsung DU/DI menjadi
rujukan dalam implementasi program. Melalui sinkronisasi
kurikulum, sekolah dapat membaca keahlian dan
performansi apa yang dibutuhkan dunia usaha/industri
untuk dapat dimasuki oleh lulusannya. Keahlian dan
performansi tersebut berikutnya dirancang sebagai isi
(program) kurikulum yang akan diimplementasikan dalam
proses diklat baik di sekolah maupun di DU/DI. Upaya-
upaya di atas adalah esensi dari pola ‘demand driven’, di
samping berbasis ganda (Dual Based Program) yang
dilaksanakan di sekolah dan dunia usaha/industri.

76
2. Karakter School Based menuju Competency Based
Pengembangan dan penyempurnaan program diklat
(kurikulum dan pembelajaran) di SMK menggunakan dua
pendekatan utama, yaitu Pendekatan Pengembangan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (Competency Based
Curriculum) dan Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Berbasis Luas (Broad Based Curriculum). Secara
konseptual kedua pendekatan tersebut memiliki perbedaan
yang mendasar tetapi saling melengkapi (komplementer).
Pendekatan berbasis kompetensi (Competency Based)
menitikberatkan pertimbangan bahwa kurikulum harus
berisi program pembelajaran yang membekali tamatan agar
dapat melaksanakan tugas-tugas pekerjaaan yang ada di
lapangan kerja, karenanya harus berisi kompetensi
(terutama keterampilan) yang benar-benar ada dan
dibutuhkan di lapangan kerja. Pada sisi lain pendekatan
berbasis luas (Broad Based) menekankan pemberian bekal
agar tamatan dapat berkembang secara berkelanjutan,
sehingga kurikulum harus berisi kemampuan-kemampuan
(terutama intelektual dan emosional) yang memungkinkan

77
tamatan dapat mengikuti berbagai perkembangan serta
mampu melakukan penyesuaian secara terus-menerus.
Sistem pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi
perlu diawali dengan kerjasama antara dunia
usaha/industri dan asosiasi profesi dengan SMK guna
menetapkan standar keahlian/kompetensi yang berkaitan
langsung dengan kebutuhan lapangan kerja. Standar
kompetensi tersebut digunakan sebagai dasar
penyusunan/pengembangan kurikulum, bahan-bahan
pelatihan, sistem pengujian dan sertifikasi. Sebagai
kelengkapan dalam sertifikasi, peserta diklat (siswa)
diberikan paspor keterampilan (skill pasport), sebagai bukti
telah dimilikinya beberapa keterampilan oleh
pemegangnya.
Kompetensi (Competency) tidak semata-mata
diartikan sebagai kemampuan melaksanakan tugas
(pekerjaan) secara teknis yang biasanya bersifat unjuk kerja
yang dapat diamati (performance observable), tetapi juga
menyangkut kemampuan-kemampuan mendasar (key
competencies) yang lebih bersifat intelektual dan mental-

78
emosional, yang sangat diperlukan untuk pengembangan
sikap profesional di dalam bekerja dan pengembangan
aspek-aspek kehidupan yang lebih luas, seperti peka dan
respon terhadap berbagai hal yang terjadi, rasional dan
berfikir logis, membuat keputusan, bertanggung jawab,
mandiri dan sekaligus dapat bekerja sama.
Broad Based (dalam konteks Broad Based
Curriculum-BBC) tidak hanya diartikan sebagai berbasis
luas yang menunjuk pada pemberian dasar-dasar kejuruan
yang lebih lebar, agar tamatan dapat bergerak secara
leluasa dari satu ke ahlian ke keahlian lainnya dalam satu
bidang keahlian yang sama. Lebih dari itu Broad Based
juga mengandung makna berbasis kuat dan mendasar yaitu
pemberian dasar-dasar yang benar-benar mendasar tentang
sesuatu yang harus dikuasai, baik menyangkut penguasaan
pemahaman terhadap kemengapaan (know why) maupun
menyangkut penguasaan teknis bagaimananya (know
how), agar kemampuan adaptabilitasnya tidak semata-mata
bersifat kuantitatif tetapi juga secara kualitatif.

79
Integrasi kedua pendekatan tersebut pada dasarnya
sangat humanistik, artinya sangat memperhatikan aspek
kebutuhan dasar manusia (peserta didik), yang tidak hanya
membutuhkan kecakapan (kompetensi) spesifik, tetapi juga
membutuhkan kecakapan (skills) yang bersifat
pengembangan. Untuk itulah, secara tegas dalam
kurikulum SMK tersusun program produktif, yang berisi
mata-diklat yang bertujuan memberikan bekal kecakapan
(kompetensi) spesifik; dan rumusan program normatif dan
adaptif yang berisi mata-diklat guna memberikan bekal
kecakapan pengembangan yang memiliki daya suai tinggi.
Secara idal, pada diri siswa dan tamatan akan terjadi
transfer of skills, transfer of training, transfer of learning,
and transfer of principles.

3. Implikasi Penerapan Competence-Based dan Dual-Based


Curriculum

Penerapan prinsip competency based curriculum


serta dual based program seperti diamanatkan kurikulum
SMK edisi 1999, akan memiliki implikasi terhadap tiga hal

80
yaitu: (1) isi program (kurikulum); (2) pendekatan
pembelajaran/diklat sebagai bentuk implementasi
kurikulum; dan (3) sistem penilaian dan sertifikasi siswa.

a. Isi Program (Kurikulum) Diklat


Pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi secara
substansial berimplikasi terhadap pengembangan isi
program (kurikulum). Pengembangan isi program
(kurikulum) dalam rangka competency based education
and training (CBET), setidaknya harus mencerminkan dua
prinsip utama, yaitu relevansi, dan fleksibilitas.

1). Relevansi
Prinsip ini menjadi demikian sentral dalam
kurikulum kejuruan berbasis kompetensi, karena
menyangkut kesesuaian isi kurikulum dengan kebutuhan
dunia usaha/industri; serta kesesuaian mutu lulusan
dengan standar pengguna. Prinsip ini sejalan dengan arah
pembaharuan pendidikan kejuruan yang bersifat demand
driven dan market driven.

81
2). Fleksibilitas
Kelenturan kurikulum pendidikan kejuruan sangat
perlu diwujudkan, terutama dalam kaitan melayani
keragaman kebutuhan pengguna (dunia usaha/industri);
serta kelentruran dalam melayani perbedaan kemampuan
dan pengalaman peserta didik. Prinsip ini akan
memberikan arahan untuk melahirkan beberapa program
pembelajaran yang sesuai, misalnya pola multientry-
multiexit, program elektif, pembelajaran bervariasi dsb.

b. Pendekatan Pembelajaran/Diklat
1). Pembelajaran Berbasisi Luas dan Mendasar
Pendekatan ini mengandung maksud pembelajaran
yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
memahami dan menguasai konsep dan prinsip keilmuan
yang melandasi suatu bidang keahlian. Dengan pendekatan
ini, siswa tidak hanya memahami dan menguasai “apa”
dan “bagaimana” suatu pekerjaan dilakukan, tetapi harus
sampai kepada esensi “mengapa”-nya. Pembelajaran juga
dirancang agar siswa memiliki dasar-dasar yang kuat untuk

82
mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan tuntutan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
memiliki daya suai (adaptability) dalam mengikuti berbagai
perubahan yang terjadi di dunia kerja.
Organiasi kurikulum dilaksanakan dengan
pendekatan BBC (Broad Based Curriculum), yang
mencakup : (a) program dasar, diarahkan untuk menguasai
dasar-dasar kompetensi keahlian nyang menyeluruh
(comprehensive) dan mendasar (essential); (b) program
lanjut, diarahkan untuk penguasaan kompetensi dasar
keahlian dan teknik bekerja yang baik dan benar, sesuai
standar keahlian yang berlaku di lapangan kerja; dan (c)
program spesialisasi, diarahkan dalam bentuk pembelajaran
di dunia kerja (dunia usaha/industri), agar keahlian yang
dipelajari benar-benar standar, dan pada saat yang sama
peserta dapat menginternalisasikan sikap, sistem nilai, dan
etos kerja yang dituntut dunia kerja.

2). Pembelajaran Berbasis Kompetensi

83
Fokus pelaksanaan pembelajaran ini antara lain : (a)
kegiatan pembelajaran adalah penguasaan kompetensi oleh
peserta; (b) proses pembelajar harus memiliki kesepadanan
dengan kondisi dimana kompetensi tersebut akan
digunakan; (c) aktivitas pembelajaran bersifat
perseorangan, antara satu peserta dengan peserta lain tidak
ada ketergantungan; (d) harus tersedia program pengayaan
(enrichment) bagi peserta yang lebih cepat dan program
perbaikan (remedial) bagi peserta yang lebih lamban.

3). Pembelajaran Tuntas


Yaitu pembelajaran yang dirancang untuk
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengusasi
pelajaran dan kompetensi yang dipelajarinya dengan
standar, melalui langkah-langkah pembelajaran secara
bertahap, utuh, dan tuntas, sehingga memberikan
pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning).
Organisasi pembelajarannya dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut: (a) ditetapkan batas minimal
tingkat kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa; (b)

84
menggunakan pendekatan Penilaian Acuan Patokan (PAP)
untuk menilai keberhasilan belajar siswa mencapai standar
minimal; (c) siswa tidak diperkenankan pindah topik atau
pekerjaan berikutnya, jika topik atau pekerjaan yang sedang
dipelajarinya belum dikuasai sampai standar minimal; (d)
memberikan kemampuan yang utuh, mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan sikap; (e) memberikan
kesempayan setiap siswa untuk mencapai standar minimal,
sesuai dengan irama dan kemampuan belajarnya masing-
masing (individualized learning); (f) disediakan program
remedial bagi siswa yang lambat, dan program pengayaan
bagi siswa yang lebih cepat menguasai kompetensi.

4). Pembelajaran Berbasis Normatif dan Adapatif


Pembelajaran tidak hanya dipandang sebagai transfer
ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi merupakan proses
pembentukan watak, kepribadian, sikap, dan kemandirian
siswa. Dengan pendekatan ini, maka diklat yang
dilaksanakan memandang siswa sebagai pribadi yang utuh,
yang memiliki norma-norma sebagai makhluk soial

85
(anggota masyarakat) dan memiliki potensi untuk
berkembang.
Untuk itu, organisasi pembelajarannya
diselenggarakan sebagai berikut: (a) diklat dirancang secara
terintegrasi antara pembelajaran program normative,
adaptif, dan produktif; (b) pembelajaran program normatif
disajikan secara kontekstual dengan hal-hal yang nyata
terjadi dalam kehidupan sehari-hari; (c) pembentukan
sikap-nilai pada diri siswa diupayakan melalui proses
internalisasi (penghayatan) dan keteladanan; (d) guru lebih
banyak bertindak sebagai fasilitator.

5). Pembelajaran Berbasis Produksi


Yaitu pembelajaran yang dirancang dengan
pendekatan sebagai berikut: (a) dilaksanakan bersama
dengan Unit Produksi atau Institusi Pasangan (Du/Di); (b)
setiap siswa/kelompokmendapat tugas sesuai prosedur dan
standar bekerja yang sesungguhnya (real job), baik
ketepatan waktu, mutu maupun disiplin kerja; (c) proses
pembelajaran semaksimal mungkin melibatkan dukungan

86
alat/fasilitas, guru/instruktur, dengan standar
kerja/industri; (d) hasil pembelajaran yang berupa produk,
dirancang sebagai produk yang layak jual atau bagian-
bagian produk (komponen) yang dapat dirakit menjadi
produk yang layak jual.

6). Pembelajaran di Dunia Kerja


Pendekatan ini merupakan strategi di mana setiap
siswa mengalami proses belajar melalui bekerja langsung
(learning by doing) pada lingkungan pekerjaan yang
sesungguhnya. Pendekatan ini merupakan bagian integral
dari program Diklat secara menyeluruh, karena materi
yang dipelajari dan kompetensi yang dilatihkan harus
sejalan dengan profil kompetensi yang dibutuhkan di
lapangan.
Mengingat iklim kerja yang ada di SMK berbeda
dengan yang terjadi dunia kerja, maka sekolah harus benar-
benar menyiapkan siswa sesuai dengan karakteristik dan
tuntutan dunia kerja tempat berlatih. Bukan hanya
menyangkut dasar-dasar kompetensi, tetapi juga

87
menyangkut kesiapan fisik, mental, wawasan, dan orientasi
kerja yang benar.

c. Sistem Penilaian dan Sertifikasi Siswa


1). Evaluasi Hasil Diklat
Evaluasi hasil diklat siswa merupakan bagian integral
dari proses pendidikan dan pelatihan, artinya harus
senantiasa mengacu dan sejalan dengan prinsip-prinsip
pendidikan dan pelatihan di Kurikulum SMK.
Tahapan pelaksanaan evaluasi yang diterapkan
adalah: (1) evaluasi pembinaan (formative evaluation); (2)
evaluasi hasil belajar (summative evaluation); dan evaluasi
penguasaan kompetensi (competence evaluation).

2). Sertifikasi dan Uji Keahlian Siswa


Salah satu hal yang menjadi ciri dalam implementasi
kurikulu SMK 1999 adalah penyelenggaraan Sertifikasi dan
uji kompetensi siswa. Berdasarkan standar yang diacu dan
cara pelaksanaannya, ujian dan sertifikasi keahlian dibagi
menjadi dua, yaitu: (1) ujian dan sertifikasi kompetensi,

88
yang hasilnya menunjukkan standar keahlian yang berlaku
di lapangan pekerjaan tertentu (enterprise standard) atau
standar yang disepakati oleh beberapa lapangan pekerjaan
tertentu (industry standard); (2) ujian dan sertifikasi profesi,
yang hasilnya mengacu kepada standar keahlian dan
sertifikasi yang berlaku pada bidang profesi yang
bersangkutan, sehingga kewenangan mengeluarkan
sertifikasi profesi sepenuhnya berada pada Asosiasi Profesi
terkait.
Ujian dan sertifikasi kompetensi dilaksanakan oleh
SMK dan Institusi Pasangan (Du/Di) di bawah tanggung
jawab Majelis Sekolah (MS). Sedangkan ujian dan
sertifikasi profesi dilaksanakan oleh asosiasi profesi terkait,
di bawah koordinasi Majelis Sekolah.

4. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum SMK


Kurikulum SMK dalam pengembangannya, secara
konseptual memiliki landasan dan filosofi berbeda dengan
kurikulum pendidikan umum. Kurikulum SMK berangkat
dari filosofi pendidikan humanistik, serta integrasi antara

89
teri pendidikan konstruktivistik dan behavioristik. Atas
dasar tersebut, kurikulum pendidikan kejuruan dalam
pengembangannya harus memberikan kesempatan
pengembangan lanjut sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan aktual dunia kerja. Sejalan dengan hal ini,
kurikulum SMK pada dasarnya dikembangkan dengan
semangat bottom-up, artinya pihak sekolah, guru, bersama
dunia kerja diberikan kesempatan mengembangkan lebih
lanjut kurikulum nasional, agar memiliki kesesuaian tinggi
dengan kondisi sekolah, daerah, serta kebutuhan aktual
dunia kerja di sekitarnya. Kebijakan tersebut tertuang
dalam dokumen kurikulum SMK, yang menggariskan
bahwa kurikulum nasional semestinya dikembangkan lebih
lanjut dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1)
melakukan pengkajian terhadap kurikulum nasional; (2)
menginventarisasi kompetensi yang dibutuhkan lapangan
kekrja; (3) menentukan strategi pengembangan; (4)
menyusun kurikulum implementatif; (5) melakukan
legalisasi kurikulum implementatif. (Depdiknas, 2004:5).

90
Muara dari langkah-langkah kegiatan pengembangan
tersebut adalah diperolehnya kurikulum yang sesuai dengan
tuntutan dunia kerja setempat dan daerah dimana lulusan
diproyeksikan akan bekerja. Kegiatan pengembangan
kurikulum implementatif merupakan kegiatan transformasi
kompetensi yang dibutuhkan lapangan kerja setempat atau
daerah lain yang menjadi sasaran pasar kerja lulusan, serta
belum tercantum dalam kurikulum SMK nasional.
Kompetensi-kompetensi yang akan dilatihkan adalah
kompetensi yang telah disesuaikan dengan kebutuhan
dunia kerja yang menjadi target lulusan. Langkah-langkah
penyesuaian substansi atau materi kurikulum adalah
sebagai berikut: (1) menganalisis materi atau substansi
kurikulum nasional yang perlu ditambah atau dikurangi; (2)
merumuskan materi kurikulum yang perlu ditambahkan;
(3) menataulang urutan (sekuensi) materi pokok
pembelajaran.
Kurikulum kejuruan (SMK) sebagai sebuah ide,
rencana, proses dan hasil dalam bentuk pengalaman belajar
(learning experience), diyakini dalam perancangannya telah

91
mendasarkan kepada pendekatan-pendekatan tertentu,
yang esensinya adalah mengembangkan kemampuan yang
berorientasi peserta didik (learner centred), serta
mengupayakan pencapaian kebutuhan peserta didik, baik
kebutuhan dalam konteks pembelajaran (psikologis)
maupun kebutuhan akan pengembangan individu di
masyarakat setelah lulus.
Dapat diambil contoh dalam landasan
pengembangan kurikulum SMK menggunakan empat
pendekatan perancangan sebagai berikut (Dit Dikmenjur,
1999 : i) : (a) luas dan mendasar (broad-based); (b) berbasis
kompetensi (competency-based training); (c) belajar tuntas
(mastery learning); dan (d) berbasis produksi (production-
based training). Demikian juga, secara eksplisit dijelaskan
kurikulum SMK yang diberlakukan pada tahun 2004
menggunakan lima pendekatan dalam perancangannya
yaitu (Dit Dikmenjur, 2003:i): (a) pengembangan
kurikulum secara saintifik (scientific curriculum
development); (b) pendekatan kecakapan hidup (life skill);
(c) berbasis kompetensi (competency-based training); (d)

92
luas dan mendasar (broad-based); dan (e) berbasis produksi
(production-based training).
Secara konseptual, perkembangan pendekatan dalam
perancangan kurikulum SMK tersebut sangat bisa
dipahami, mengingat bahwa ke depan terdapat berbagai
kondisi yang menuntut penyesuaian dalam pendekatan
perancangan kurikulum SMK. Kondisi-kondisi tersebut
antara lain: (a) secara internal, kebutuhan peserta
pendidikan dan pelatihan (diklat) yang berkembang dan
meningkat baik untuk mendapatkan kecakapan spesifik
maupun kecakapan yang bersifat pengembangan; (b) secara
eksternal, tantangan keahlian (kompetensi) yang
dibutuhkan dunia usaha/industri terus berkembang, seiring
dengan mobilitas ketenagakerjaan secara global.
Namun demikian, setidaknya ada dua hal yang perlu
menjadi bahan kajian terhadap ide-ide yang tercermin
dalam pendekatan-pendekatan di atas, yaitu: Pertama,
adalah apakah gagasan-gagasan yang tercermin dalam
pendekatan perancangan kurikulum tersebut memang
konsisten dan sejalan dengan dua kondisi (internal dan

93
ekaternal) yang disebutkan di atas. Kedua, apakah ide-ide
dalam pendekatan tersebut memiliki (perspektif) jangkauan
yang relatif jauh ke depan (futuristik) terutama menghadapi
persaingan di tahun 2020. Kedua hal tersebut menjadi titik
acuan dalam kajian ini.

a. Latar Belakang Pengembangan Kurikulum SMK 2004


Saat ini dan ke depan, masyarakat Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat internasional menghadapi dua
tantangan besar dan berat yaitu: (1) kebijakan otonomi
daerah (desentralisasi) yang mulai diterapkan dalam segala
sektor termasuk sektor pendidikan; dan (2) tantangan era
globalisasi yang akan terjadi, dan sebagian besar dunia
mencanangkannya sebagai momentum 2020. Kedua
tantangan tersebut merupakan fase penting, khususnya
dalam penyiapan kualitas sumberdaya manusia, yang perlu
secara sungguh-sungguh untuk diprogramkan.
Sejalan dengan tuntutan tersebut, Departemen
Pendidikan nasional telah membentuk Satuan Tugas
(Satgas) yang ditugaskan untuk mengkaji dan

94
memformulasikan suatu sistem Pendidikan dan Pelatihan
Kejuruan di Indonesia, yang kemudian dituangkan dalam
buku “Keterampilan Menjelang 2020 untuk Era Global”.
Kajian tersebut berangkat dari permasalahan yang
ada, tuntutan perubahan masa depan, serta belajar dari
pengalaman berbagai negara. Dengan dasar tersebut, maka
Satuan Tugas merumuskan sistem Pendidikan dan
Pelatihan Kejuruan Berbasis Kompetensi (Competency-
Based Training-CBT).
Salah satu rekomendasi Satuan Tugas adalah
penataan dan pengembangan kurikulum, yang didasarkan
kepada prinsip bahwa pelakasanaan sistem ganda (dual
system) mengandung konsekuensi perubahan pada hampir
semua aspek yang terkait dengan penyelenggaraan
pendidikan kejuruan, termasuk di dalamnya
pengembangan kurikulum.

b. Pendekatan Dalam Pengembangan Kurikulum SMK


Pendekatan dalam pengembangan kurikulum SMK,
berangkat dari perubahan paradigma pendidikan kejuruan

95
di masa depan, yang antara lain dirumuskan sebagai
berikut: (1) pendidikan kejuruan berorientasi pada market
driven; (2) pelaksanaan diklat berbasis kompetensi; (3)
pengembangan multikurikulum di SMK bagi yang
memerlukannya: (4) pola pelaksanaan diklat lebih fleksibel
dan permeable dengan multi-entry multi-exit; (5) sinergi
dengan jenjang dan jenis pendidikan lainnya; dan (6)
bentuk pelaksanaan pendidikan sistem ganda (PSG).
Gagasan pendekatan pendidikan kejuruan tersebut secara
umum dijelaskan sebagai berikut:
Market-driven artinya pendidikan kejuruan harus
berorientasi pada kebutuhan tenaga kerja yang berkembang
di dunia usaha/industri. Demikian juga profil kompetensi
dan jumlah lulusan ditentukan oleh dunia usaha/industri
sebagai pengguna lulusan. Pelaksanaan konsep pendidikan
berbasis kompetensi harus dilakukan dengan sebanyak
mungkin melibatkan stakeholders terkait.
Prinsip multi-kurikulum perlu diimplementasikan di
SMK, mengingat situasi dan kondisi tiap sekolah dan
industri berbeda-beda. Dengan prinsip ini, diharapkan

96
kurikulum benar-benar menjadi rencana program yang
dapat melayani keragaman kondisi dalam mencapai tujuan
pendidikan (kejuruan).
Sinergi secara vertikal memiliki dalam arti
keterkaitan kurikulum SMK dengan jenjang pendidikan di
bawahnya (TK, SD, SMP) serta kemungkinan untuk
melanjutkan pendidikan lebih tinggi (Politeknik atau
perguruan tinggi). Secara horisontal, dengan lembaga
kursus, Balai Latihan Kerja, atau lembaga diklat lainnya,
perlu ditetapkan keterkaitannya.
Ke depan, pola pendidikan sistem ganda (PSG) akan
ditingkatkan kualitas dan intensitasnya, antara lain
program magang industri direncanakan menjadi 6 (enam)
bulan sampai dengan 1 (satu) tahun. Adapun
pelaksanaannya disesuaikan dengan ciri tiap program
keahlian, kondisi industri/masyarakat yang menjadi mitra,
serta kondisi sekolah.
Pendekatan pengembangan kurikulum SMK, seperti
diketengahkan di depan adalah: (1) santifik (Scientific
Curriculum Development); (2) kecakapan hidup (Life

97
Skills-LS); (3) pendekatan kompetensi (Competency-based
Training); (4) luas dan mendasar (Broad-based); dan (5)
berbasis produksi (Production-based Training). (Dit
Dikmenjur 2003:1)

1). Pendekatan Pengembangan Kurikulum secara Saintifik


(Scientific Curriculum Development).

Pendekatan ini memiliki maksud pengembangan


kurikulum berdasarkan kaidah-kaidah akademik, antara
lain:
a. Kurikulum yang dirancang mengandung komponen
tujuan, isi atau materi, dan evaluasi, yang dirancang
sedemikan rupa menjadi satu kesatuan yang utuh;
b. Kurikulum berisikan rancangan atau cetak biru
(blueprint) pendidikan dan pelatihan kejuruan;
c. Tujuan kurikulum secara jelas menunjukan tujuan
pembelajaran (instructional objective), dampak multipel
(multiple effect), dan dampak pengiring (nurturant
effect) bagi peserta didik.

98
2). Pendekatan Kecakapan Hidup (Life Skills)
Kecakapan hidup dapat diartikan sebagai kecakapan
yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema
hidup dan kehidupan secara wajar, kemudian secara
proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi untuk
emngatasinya. Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi
lima jenis, yaitu: (a) kecakapan mengenal diri (self
awarness); (b) berfikir rasional (thinking skill); (c)
kecakapan sosial (social skill); (d) kecakapan akademik
(academic skill); dan (e) kecakapan vokasional (vocational
skill).
Program pendidikan menengah kejuruan berbasisi
luas yang berorientasi kecakapan hidup, pada dasarnya
memiliki 3 (tiga) dimensi kecakapan, yaitu: (a) kecakapan
proses atau metodologik; (b) penguasaan konsep dasar
keilmuan dan kejuruan; dan (c) kecakapan
mengaplikasikannya dalam kehidupan keseharian.
Dalam pelaksanaannya proses pembelajaran
kecakapan hidup (life skill) tidak merupakan mata pelajaran
tersendiri, melainkan diintegrasikan dalam tiap-tiap mata

99
pelajaran yang telah ada. Artinya, topik yang diajarkan
atau dilatihkan kepada siswa menyatu dengan topik atau
pokok bahasan yang telah ada, diposisikan menjadi tujuan
sampingan atau tujuan tidak langsung dari kurikulum.

3). Pendekatan Competency-based Training (CBT)


Esensi CBT dijelaskan sebagai berikut:
a. CBT diartikan sebagai pendidikan dan pelatihan yang
didasarkan atas hal-hal yang dilakukan oleh seseorang
di tempat kerja;
b. CBT mengacu pada kompetensi yang berlaku di dunia
kerja;
c. Substansi kompetensi memuat pernyataan knowledge,
skill dan attitute;
d. Kurikulum berpendekatan CBT dirancang dengan
kemasan sistem modul yang dilaksanakan secara
sekuensial dan sistemik;
e. Ada korelasi langsung antara penjenjangan jabatan di
industri dengan tingkat penjenjangan di SMK.

100
4). Pendekatan Luas dan Mendasar (Broad-based)
Pendekatan ini mengandung arti sebagai berikut:
a. Pondasi/dasar yang kuat untuk dapat melayani
kemungkinan baik perpindahan siswa yang setelah
bekerja ingin beralih profesi diantara spektrun
program keahlian, maupun untuk meningkatkan diri
melalui pendidikan lanjutan yang lebih tinggi;
b. Bukan kumpulan dasar keahlian yang diturunkan
dari spektrum program keahlian.

5). Pendekatan berbasis Produksi (Production-based


Training/PBT)
a. PBT adalah pelatihan yang berbasis pada proses
produksi atau menggunakan proses produksi sebagai
media pembelajaran;
b. Pelatihan dapat dilakukan dengan cara antara lain:
c. Di industri, siswa bekerja/berlatih menyatu dengan
proses produksi yang nyata, artinya siswa mendapat
pelatihan melalui keterlibatan langsung dalam proses

101
produksi, dalam hal ini produksi dipandang sebagai
media pendidikan;
d. Di sekolah, siswa terlibat dalam proses produksi di
unit produksi;
e. Di sekolah, siswa prakrik di ruang praktik dengan
menerapkan mekanisme produksi, suasana kerja
seperti di industri dan target hasil/produk pelatihan
layak jual.

B. Pembelajaran SMK
1. Pembelajaran di SMK
Pembelajaran di SMK memiliki karakteristik spesifik,
utamanya berkaitan dengan peta konsep tentang
pembelajaran yang mencakup: pendekatan, model-model,
metode, dan strategi/teknik pembelajaran. Deskripsi
masing-masing konsep tersebut sebagai berikut:
a. Pendekatan pembelajaran
Pembelajaran di SMK saat ini perlu mengembangkan
berbagai pendekatan agar pengelolaan pembelajaran lebih
efektif.

102
1) Pembelajaran Santifik
Pendekatan santifik perlu dikembangkan dan
diterapkan dalam pembelajaran di SMK khususnya
bertujuan untuk lebih menguatkan sisi akademik. Hal ini
mengingat kegiatan pembelajaran di SMK lebih banyak
bersifat teknis/kejuruan khususnya program produktif.
Pendekatan ini dalam implementasi kurikulum SMK
2013 perlu dipahami guru untuk berikutnya menjadi
salah satu pendekatan yang perlu dilaksanakan.

2) Pembelajaran Kontekstual
Salah satu pendekatan berikutnya yang perlu
dipahami untuk dirujuk dalam pembelajaran di SMK
adalah pendekatan kontekstual (contextual learning).
Pentingnya pendekatan pembelajaran kontekstual dalam
pembelajaran di SMK terutama dalam mengaitkan
materi dengan fakta dan realitas kehidupan khususnya
dunia kerja/industri.

103
3) Cooperative Learning
Pendekatan kooperatif dalam pembelajaran di SMK
sangat relevan dengan lingkungan pembelajaran SMK,
khususnya pembelajaran program produktif. Contoh
pentingnya cooperative learning misalnya dalam
pembelajaran produktif yang menerapkan strategi block
system dengan membagi menjadi kelompok kerja,
dibutuhkan kecakapan kerjasama (kooperatif) dalam
kelompok.

b. Model-model pembelajaran
Beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan
dalam pembelajaran di SMK, khususnya produktif
antara lain:
1) Inquiry
2) Discovery
3) Problem-based
4) Production-based
5) Project-based learning

104
c. Metode pembelajaran
Metode pembelajaran merupakan bentuk/pola
pembelajaran yang dijabarkan dari model pembelajaran.
Beberapa metode pembelajaran yang secara khusus
berkaitan denga model-model pembelajaran sebagai
berikut:
1) Diskusi
2) Tanya-jawab
3) Penugasan
4) Praktik

d. Strategi/teknik pembelajaran
1) Pembelajaran dibengkel/laboratorium
2) Pembelajaran di kelas
3) Kombinasi di sekolah dan di industri
4) Pembelajara langsung di industri (learning by doing)

105
2. Dukungan Stakeholder dalam Pembelajaran SMK
Pembelajaran di SMK khususnya program produktif
memiliki ciri dual-based, artinya berbasis ganda
(bersama/selaras dengan dunia usaha/industri).
Pembelajaran program produktif tidak mungkin mono-
based, hanya mendasarkan/dilaksanakan di sekolah. Oleh
karenanya penyelenggaraan pembelajaran SMK akan
melibatkan dukungan kalangan luar sekolah/pemangku
kepentingan (stakeholders). Dukungan stakeholders dalam
penyelenggaraan pembelajaran SMK antara lain dalam hal:
(1) pengembangan dan penyelarasan kurikulum; (2)
pelaksanaan/proses pembelajaran; (3) dukungan
sarana/prasarana; dan (4) pelaksanaan uji
kompetensi/sertifikasi lulusan.

a. Pengembangan dan penyelarasan kurikulum


Dukungan stakeholders SMK dalam pengembangan
dan penyelarasan kurikulum sangat penting khususnya
untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil
pembelajaran. Agar kualitas proses dan hasil pembelajaran

106
‘link and match’ dengan dunia usaha/industri, maka
dukungan dalam pengembangan dan penyelarasan
kurikulum sangat penting.

b. Pelaksanaan/proses pembelajaran
Pelaksanaan/proses pembelajaran juga memerlukan
dukungan dari stakeholders antara lain dalam bentuk: guru
tamu/industri mengajar (pakar/praktisi industri hadir di
sekolah untuk mengajar); dan pelaksanaan praktik kerja
industri (prakerin). Bentuk dukungan tersebut dapat
meningkatkan pelaksanaan/proses pembelajaran di SMK.

c. Dukungan sarana/prasarana
Stakeholders khususnya dunia usaha/industri selama
ini berperan memberikan dukungan dalam bentuk bantuan
alat/sarana praktikum, perlengkapan laboratorium
dan/atau fasilitas unit produksi.

107
d. Pelaksanaan uji kompetensi/sertifikasi lulusan
Bentuk dukungan lain yang selama ini diberikan oleh
stakeholders kepada SMK adalah dalam pelaksanaan
ujikompetensi dan sertifikasi siswa. Dalam pelaksanaan
praktik kerja industri misalnya, dunia usaha/industri telah
memberikan dukungan secara sinergis, mulai dari menjadi
tempat prakerin sampai dengan pelaksanaan ujikompetensi.

C.Prinsip-prinsip Pembelajaran Abad 21 di SMK


Kebijakan kurikulum 2013 menetapkan strukutur
mata pelajaran SMK menjadi tiga kelompok yakni:
matapelajaran kelompok A (normatif), B (adaptif), dan C
(produktif). Tiga kelompok matapelajaran tersebut
memiliki karakteristik berbeda dalam pelaksanaan
pembelajaran. Khusus pada kelompok matapelajaran
produktif, memiliki karakteristik penanaman kecakapan
produktif kepada siswa melalui kegiatan learning by doing,
dalam bentuk membuat/menghasilkan barang dan/atau
jasa sesuai dengan standar dunia usaha/industri.
Karakteristik ini memiliki implikasi terhadap model-model

108
pembelajaran yang selaras dengan karakteristik
pembelajaran program produktif.
Secara empiris terdapat beberapa model
pembelajaran yang selaras dengan karakteristik
pembelajaran program produktif, yakni: berbasis masalah,
berbasis produksi, dan project-based learning. Tiga model
pembelajaran tersebut mempunyai alur dan ritme yang
mengembangkan kecakapan produktif. Pembelajaran
berbasis masalah mengembangkan perumusan masalah
dalam kegiatan produktif, untuk akhirnya siswa
merumuskan langkah pemecahannya. Pembelajaran
berbasis produktisi, siswa dipandu membuat/menghasilkan
barang dan/atau jasa berdasarkan tugas yang diberikan
guru. Sedangkan project-based learning dalam program
produktif, siswa (pada umumnya berkelompok) dipandu
menganalisis kebutuhan, merencanakan kegiatan proyek,
melaksanakan kegiatan proyek, dan merumuskan hasil dan
mengkomunikasikan hasil.
Berdasarkan uraian di atas, model project-based
learning memiliki alur dan ritme yang komprehensif,

109
khususnya dalam memberikan pengalaman belajar siswa.
Atas dasar karakteristik tersebut, penerapan project-based
learning dalam program produktif memiliki peran strategis
untuk pengembangan kecakapan abad ke-21
(communication, collaboration, critical thinking, and
creativity).

1. Konsep Pembelajaran Abad 21


Pembelajaran di abad 21 ini memiliki perbedaan
dengan pembelajaran di masa yang lalu. Dahulu,
pembelajaran dilakukan tanpa memperhatikan standar,
sedangkan kini memerlukan standar sebagai acuan untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Melalui standar yang telah
ditetapkan, guru mempunyai pedoman yang pasti tentang
apa yang diajarkan dan yang hendak dicapai. Kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi telah merubah gaya
hidup manusia, baik dalam bekerja, bersosialisasi, bermain
maupun belajar. Memasuki abad 21 kemajuan teknologi
tersebut telah memasuki berbagai sendi kehidupan, tidak
terkecuali dibidang pendidikan. Guru dan siswa, dosen dan

110
mahasiswa, pendidik dan peserta didik dituntut memiliki
kemampuan belajar mengajar di abad 21 ini.
Sejumlah tantangan dan peluang harus dihadapi siswa
dan guru agar dapat bertahan dalam abad pengetahuan di
era informasi ini (Lie, A. 2007). Pendidikan Nasional abad
21 bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu
masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia,
dengan kedudukan yang terhormat dan setara dengan
bangsa lain dalam dunia global, melalui pembentukan
masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia yang
berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan
berkemampuan untuk mewujudkan cita-cita bangsanya
(BSNP, 2010). Dalam buku paradigma pendidikan nasional
abad 21 yang diterbitkan Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) atau membaca isi Pemendikbud No. 65
tahun 2013 tentang Standar Proses, BSNP merumuskan 16
prinsip pembelajaran yang harus dipenuhi dalam proses
pendidikan abad ke-21.

111
2. Prinsip Pembelajaran Abad 21 di SMK
Pemendikbud No. 65 tahun 2013 mengemukakan 14
prinsip pembelajaran, terkait dengan implementasi
Kurikulum 2013. Sementara itu, Jennifer Nichols
memberikan beberapa prinsip pokok pembelajaran abad ke
21 yang dijelaskan dan dikembangkan seperti berikut ini:
1) Instruction should be student-centered.
Pengembangan pembelajaran seyogyanya menggunakan
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa
ditempatkan sebagai subyek pembelajaran yang secara aktif
mengembangkan minat dan potensi yang dimilikinya.
Siswa tidak lagi dituntut untuk mendengarkan dan
menghafal materi pelajaran yang diberikan guru, tetapi
berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan
keterampilannya, sesuai dengan kapasitas dan tingkat
perkembangan berfikirnya, sambil diajak berkontribusi
untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terjadi di
masyarakat.
2) Education should be collaborative. Siswa harus
dibelajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain.

112
Berkolaborasi dengan orang-orang yang berbeda dalam
latar budaya dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam
menggali informasi dan membangun makna, siswa perlu
didorong untuk bisa berkolaborasi dengan teman-teman di
kelasnya. Dalam mengerjakan suatu proyek, siswa perlu
dibelajarkan bagaimana menghargai kekuatan dan talenta
setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan
menyesuaikan diri secara tepat dengan mereka.
3) Learning should have context. Pembelajaran tidak
akan banyak berarti jika tidak memberi dampak terhadap
kehidupan siswa di luar sekolah. Oleh karena itu, materi
pelajaran perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari
siswa. Guru mengembangkan metode pembelajaran yang
memungkinkan siswa terhubung dengan dunia nyata (real
word). Guru membantu siswa agar dapat menemukan nilai,
makna dan keyakinan atas apa yang sedang dipelajarinya
serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-
harinya. Guru melakukan penilaian kinerja siswa yang
dikaitkan dengan dunia nyata (Joyce, 2000)

113
Dalam upaya mempersiapkan siswa menjadi warga
negara yang bertanggung jawab, sekolah seyogyanya dapat
memfasilitasi siswa untuk terlibat dalam lingkungan
sosialnya. Misalnya, mengadakan kegiatan pengabdian
masyarakat, dimana siswa dapat belajar mengambil peran
dan melakukan aktivitas tertentu dalam lingkungan sosial.
Siswa dapat dilibatkan dalam berbagai pengembangan
program yang ada di masyarakat, seperti: program
kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan sebagainya.
Selain itu, siswa perlu diajak pula mengunjungi panti-panti
asuhan untuk melatih kepekaan empati dan kepedulian
sosialnya.

114
BAB IV
MUTU LULUSAN SMK
A. Lulusan (output) Sekolah Menengah Kejuruan
Sekolah Menengah Kejuruan bertujuan menghasilkan
lulusan yang memiliki keterampilan tertentu untuk
memasuki lapangan kerja, melanjutkan studi pada jenjang
pendidikan lebih tinggi, dan/atau berwirausaha. Dengan
demikian ada tiga area lulusan SMK untuk berkarier,
namun yang utama adalah kesiapan memasuki lapangan
kerja. Oleh karena itu itu, indikator kesiapan/mutu lulusan
SMK dilihat dari: (1) seberapa besar peluang
memperoleh/memasuki lapangan kerja dibandingkan
dengan lulusan lain (indek kebekerjaan); (2) seberapa lama
masa tunggu lulusan memasuki/memperoleh lapangan
kerja (indek masa tunggu); (3) seberapa besar kesesuaian
bidang pekerjaan dengan program keahlian yang diambil di
SMK (indek kesesuaian); (4) seberapa tinggi kualitas
kinerja lulusan (outcome) selama menekuni bidang
pekerjaan.

115
Selain empat indikator tersebut, ada dua aspek lain
yang menandakan lulusan SMK siap bersaing, yakni:
menciptakan peluang usaha/wirausaha, dan melanjutkan
ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Kesiapan memasuki
lapangan kerja bagi lulusan SMK dapat dimaknai juga
kesiapan dalam berkreasi/kreatif dalam menciptakan
peluang kerja dengan berwirausaha. Kesiapan lulusan
berikutnya adalah melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih
tinggi di perguruan tinggi.

1. Problematika Mutu Lulusan SMK


Sejalan dengan tujuan utama pendidikan di SMK
yakni menghasilkan lulusan yang memiliki keterampilan
tertentu untuk memasuki lapangan kerja, maka
problematika mutu lulusan SMK berkisar pada bagaimana
kesiapan lulusan memasuki lapangan kerja. Oleh karena itu
untuk meningkatkan mutu lulusan perlu diupayakan
langkah-langkah sebagai berikut: (1) memperbesar peluang
lulusan SMK memperoleh/memasuki lapangan kerja
dibandingkan dengan lulusan lain (indek kebekerjaan); (2)
mempersingkat masa tunggu lulusan
116
memasuki/memperoleh lapangan kerja (indek masa
tunggu) agar mencapai nol bulan; (3) meningkatkan
kesesuaian bidang pekerjaan dengan program keahlian
yang diambil di SMK (indek kesesuaian); (4) meningkatkan
kualitas kinerja lulusan (outcome) selama menekuni bidang
pekerjaan.

2. Kebijakan Peningkatan Mutu Lulusan SMK


Saat ini pemerintah melalui Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 09 tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK
tengah berusaha meningkatkan efisiensi dan efektivitas tata
kelola pendidikan di SMK. Inpres tersebut oleh Direktorat
Pembinaan SMK dijabarkan menjadi kebijakan enam
bidang revitalisasi, yakni: (1) pengembangan dan
penyelarasan kurikulum; (2) inovasi pembelajaran; (3)
profesionalisme guru dan tenaga kepandidikan; (4)
standarisasi dan optimalisasi sarana dan prasarana; (5)
peningkatan tata kelola kelembagaan; dan (6) kemitraan
SMK dengan Du/Di dan stakeholders.
Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2016 tentang
Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan bertujuan untuk
117
meningkatkan daya saing sumber daya manusia
Indonesia yang kemudian menjadi rujukan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat
Pembinaan SMK untuk mengimplementasikan program
revitalisasi SMK di seluruh Indonesia. Revitalisasi SMK
dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan
potensi wilayah, sumber daya, dan kebutuhan riil
tenaga kerja untuk mendukung perkembangan ekonomi
dan pengembangan wilayah. Revitalisasi SMK diharapkan
memberikan dampak positif terhadap peningkatan mutu
SMK sekaligus memberikan pengaruh terhadap kualitas
lulusan SMK yang akan menjadi sumber daya
pembangunan di Indonesia.
Kondisi SMK yang beragam dan tersebar di seluruh
wilayah Indonesia memerlukan dukungan eksternal dari
berbagai pihak dalam bentuk pendampingan untuk SMK.
Kegiatan dimaksud meliputi aspek-aspek: pengembangan
dan penyelarasan kurikulum, inovasi pembelajaran,
pemenuhan dan peningkatan profesionalitas guru dan
tenaga kependidikan, dan kerja sama sekolah
dengan Dunia Usaha/Dunia Industri serta Perguruan
118
Tinggi, standarisasi sarana dan prasarana utama, dan
pengelolaan dan penataan kelembagaan. Untuk
kepentingan pelaksanaan revitalisasi di SMK diperlukan
sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi dalam
menggerakkan sistem di SMK dan menyelaraskan pola
pikir serta gagasan agar sesuai dengan program
revitalisasi.
Kegiatan prioritas dalam kebijakan revitalisiasi SMK
digambarkan dalam tabel berikut ini. (Sumber:
Kemendikbud 2017: 43-45)

Tabel 4.1 Kebiatan Prioritas dalam Kebijakan Revitalisasi SMK

119
120
B. Kinerja Lulusuan (Outcome) Sekolah Menengah
Kejuruan
1. Problematika Kinerja Outcome Lulusan SMK
Salah satu permasalahan yang perlu menjadi perhatian
serius adalah kinerja lulusan (outcome) SMK, antara lain
berkaitan dengan: (1) kesesuaian bidang kerja dengan
kompetensi studi di SMK; dan (2) performa karier
lulusan (outcome). Probelimatika kinerja lulusan SMK
tersebut perlu diupayakan pemecahannya mengingat
kecenderungan lulusan SMK saat ini sepenuhnya
mencari pekerjaan/bekerja sebagai pegawai/karyawan.

2. Tantangan Kinerja Outcome Lulusan SMK


Dalam konteks saat ini kinerja lulusan perlu
diorientasikan terhadap tantangan abad 21. Secara
konsep, lulusan SMK perlu diberikan bekal kecakapan
abad 21 yang mencakup empat aspek kecakapan
(communication, collaboration, critical thinking, dan
creative and innovation), kesiapan kerja, dan literasi
TIK.

121
(Sumber: Kemendikbud, 2016:6)

1) Communication
Pada karakter ini, peserta didik dituntut untuk
memahami, mengelola, dan menciptakan komunikasi
yang efektif dalam berbagai bentuk dan isi secara
lisan, tulisan, dan multimedia. Peserta didik
diberikan kesempatan menggunakan kemampuannya
untuk mengutarakan ide-idenya, baik itu pada saat
berdiskusi dengan teman-temannya maupun ketika
menyelesaikan masalah dari pendidiknya.

122
Abad 21 adalah abad digital. Komunikasi dilakukan
melewati batas wilayah negara dengan menggunakan
perangkat teknologi yang semakin canggih. Internet
sangat membantu manusia dalam berkomunikasi.
Saat ini begitu banyak media sosial yang digunakan
sebagai sarana untuk berkomunikasi. Melalui
smartphone yang dimilikinya, dalam hitungan detik,
manusia dapat dengan mudah terhubung ke seluruh
dunia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013),
pengertian komunikasi adalah pengiriman dan
penerimaan pesan atau berita dari dua orang atau
lebih agar pesan yang dimaksud dapat dipahami.
Sedangkan Wikipedia dinyatakan bahwa komunikasi
adalah “suatu proses dimana seseorang atau beberapa
orang, kelompok, organisasi, dan masyarakat
menciptakan, dan menggunakan informasi agar
terhubung dengan lingkungan dan orang lain”.
Komunikasi tidak lepas dari adanya interaksi antara
dua pihak. Komunikasi memerlukan seni, harus tahu
dengan siapa berkomunikasi, kapan waktu yang tepat
123
untuk berkomunikasi, dan bagaimana cara
berkomunikasi yang baik. Komunikasi bisa dilakukan
baik secara lisan, tulisan, atau melalui simbol yang
dipahami oleh pihak-pihak yang berkomunikasi.
Komunikasi dilakukan pada lingkungan yang
beragam, mulai di rumah, sekolah, dan masyarakat.
Komunikasi bisa menjadi sarana untuk semakin
merekatkan hubungan antar manusia, tetapi
sebaliknya bisa menjadi sumber masalah ketika
terjadi miskomunikasi atau komunikasi kurang
berjalan dengan baik. Penguasaan bahasa menjadi
sangat penting dalam berkomunikasi. Komunikasi
yang berjalan dengan baik tidak lepas dari adanya
penguasaan bahasa yang baik antara komunikator
dan komunikan.
Kegiatan pembelajaran merupakan sarana yang
sangat strategis untuk melatih dan meningkatkan
kemampuan komunikasi siswa, baik komunikasi
antara siswa dengan guru, maupun komunikasi
antarsesama siswa. Ketika siswa merespon penjelasan
guru, bertanya, menjawab pertanyaan, atau
124
menyampaikan pendapat, hal tersebut adalah
merupakan sebuah komunikasi.

2) Collaboration
Pada karakter ini, peserta didik menunjukkan
kemampuannya dalam kerjasama berkelompok dan
kepemimpinan, beradaptasi dalam berbagai peran
dan tanggungjawab, bekerja secara produktif dengan
yang lain, menempatkan empati pada tempatnya,
menghormati perspektif berbeda. Peserta didik juga
menjalankan tanggungjawab pribadi dan fleksibitas
secara pribadi, pada tempat kerja, dan hubungan
masyarakat, menetapkan dan mencapai standar dan
tujuan yang tinggi untuk diri sendiri dan orang lain,
memaklumi kerancuan.
Pembelajaran secara berkelompok, kooperatif melatih
siswa untuk berkolaborasi dan bekerjasama. Hal ini
juga untuk menanamkan kemampuan bersosialisasi
dan mengendalikan ego serta emosi. Dengan
demikian, melalui kolaborasi akan tercipta

125
kebersamaan, rasa memiliki, tanggung jawab, dan
kepedulian antaranggota (Mulyasa, E. 2006).
Sukses bukan hanya dimaknai sebagai sukses
individu, tetapi juga sukses bersama, karena pada
dasarnya manusia disamping sebagai seorang
individu, juga makhluk sosial. Saat ini banyak orang
yang cerdas secara intelektual, tetapi kurang mampu
bekerja dalam tim, kurang mampu mengendalikan
emosi, dan memiliki ego yang tinggi. Hal ini
tentunya akan menghambat jalan menuju
kesuksesannya, karena menurut hasil penelitian
Harvard University, kesuksesan seseorang ditentukan
oleh 20% hard skill dan 80% soft skiil. Kolaborasi
merupakan gambaran seseorang yang memiliki soft
skill yang matang.

3) Critical Thinking and Problem Solving


Pada karakter ini, peserta didik berusaha untuk
memberikan penalaran yang masuk akal dalam
memahami dan membuat pilihan yang rumit,
memahami interkoneksi antara sistem. Peserta didik
126
juga menggunakan kemampuan yang dimilikinya
untuk berusaha menyelesaikan permasalahan yang
dihadapinya dengan mandiri, peserta didik juga
memiliki kemampuan untuk menyusun dan
mengungkapkan, menganalisa, dan menyelesaikan
masalah. Kegiatan pembelajaran dirancang untuk
mewujudkan hal tersebut melalui penerapan
pendekatan saintifik (5M), pembelajaran berbasis
masalah, penyelesaian masalah, dan pembelajaran
berbasis projek (Moedjiono dan Dimyanti. 1991)
Guru jangan risih atau merasa terganggu ketika ada
siswa yang kritis, banyak bertanya, dan sering
mengeluarkan pendapat. Hal tersebut sebagai wujud
rasa ingin tahunya yang tinggi. Hal yang perlu
dilakukan guru adalah memberikan kesempatan
secara bebas dan bertanggung bertanggung jawab
kepada setiap siswa untuk bertanya dan
mengemukakan pendapat. Guru mengajak siswa
untuk menyimpulkan dan membuat refleksi bersama-
sama. Pertanyaan-pertanyaan pada level HOTS (high
order thinking skills) dan jawaban terbuka pun
127
sebagai bentuk mengakomodasi kemampuan berpikir
kritis siswa.

4) Creativity and Innovation


Pada karakter ini, peserta didik memiliki kemampuan
untuk mengembangkan, melaksanakan, dan
menyampaikan gagasan-gagasan baru kepada yang
lain, bersikap terbuka dan responsif terhadap
perspektif baru dan berbeda.
Guru perlu membuka ruang kepada siswa untuk
mengembangkan kreativitasnya. Kembangkan
budaya apresiasi terhadap sekecil apapun peran atau
prestasi siswa. Hal ini bertujuan untuk memotivasi
siswa untuk terus meningkatkan prestasinya. Peran
guru hanya sebagai fasilitator dan membimbing
setiap siswa dalam belajar, karena pada dasarnya
setiap siswa adalah unik. Hal ini sesuai dengan yang
disampaikan Majid, A. (2013) menyatakan bahwa
manusia memiliki kecerdasan majemuk. Ada delapan
jenis kecerdasan majemuk, yaitu; (1) kecerdasan
matematika-logika, (2) kecerdasan bahasa, (3)
128
kecerdasan musikal, (4) kecerdasan kinestetis, (5)
kecerdasan visual-spasial, (6) kecerdasan
intrapersonal, (7) kecerdasan interpersonal, dan (8)
kecerdasan naturalis.

129
BAB V
PENUTUP

Pembahasan tentang kompetensi pada abad 21


menjadi sangat menarik, khususnya bagi pendidikan SMK
dan lulusannya. Hal ini mengingat lulusuan SMK secara
spesifik (by design) disiapkan untuk memasuki dunia
kerja/industri, yang saat ini memasuki era revolusi industri
4.0. Makna 4.0 sangat berkaitan dengan tuntutan dan
tantangan lulusan/tenaga kerja untuk memiliki
kecakapan/kompetensi abad 21.
Secara konsep kecakapan abad 21 memiliki ciri
kemampuan communication, collaboration, critical
thinking and problem solving, dan creative and innovation.
Oleh karena itu, pembahasan tentang kecakapan yang perlu
dibekalkan dan dikembangkan kepada peserta didik dan
lulusan SMK menghadapi abad 21 menjadi sangat penting
dan memiliki nilai yang strategis. Mudah-mudahan buku
ini menjadi guidlines praktis pendidikan dan pembelajaran
di SMK sehingga dapat menghasilkan lulusan sesuai
dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
130
DAFTAR PUSTAKA
Aizirman Djusan dalam Tata Sutabri. 2007. Peluang Kerja
Teknologi Informatika dan Komunikasi. Tersedia:
http:// www.kabarindonesia.com.

Anonim. 2005. Titik Kritis Pendidikan Nasional:


Antirealitas dan Diskontinuitas. Tersedia:
http://www. bp3.blogger.com/_ upuwdLC. (online:
12-3-2008).

Arif Wijaksono. 2007. Kaum Muda Produktif. Tersedia:


http://www.72.14.235.104.demonzbabtizm. (oline:
12-3-2008).

Blank, William E. (1982). Handbook for Developing


Competency-Based Training Programs. New
Jersey: Printice-Hall, Inc. Enewood Cliffs.
Burke, John W. (1995). Competency Based Education and
Training. London: The Falmer Press.
Chung, Y. P. 1995. Returns to vocational education in
developing nations. Dlm. M. Carnoy (pnyt.),
International encyclopedia of economics of
education. Oxford:Pergamon.

132
Collins, R. 1979. The credential society: An historical
sociology of education and stratification. New York:
Academic Press.

Depdikbud. (1995). Pelatihan Berdasarkan Kompetensi.


Jakarta: Kerjasama Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan dengan Indonesia-Australia Technical
Vocational Program (IATVEP-A)
Depdiknas. (2000). Keterampilan Menjelang 2020 untuk
Era Global. Jakarta: Laporan Satuan Tugas
Pengembangan Pendidikan Kejuruan .

Depdiknas. (2001). Reposisi Pendidikan Kejuruan


Menjelang 2020. Jakarta: Ditjen Dikdasmen.
Dit.Dikmenjur.

Depdiknas. (2003). Draft Pengembangan Kurikulum SMK


2004: Landasan Pengembangan (Buku I). Jakarta :
Ditjen Dikdasmen Dit. Dikmenjur

Depdiknas. (2004). Kurikulum SMK Edisi 2004: Bagian I,


II, dan III. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Dit
Dikmenjur.

Depdiknas. 2002.Menuju Penerapan Secara Utuh


Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Dit. PMK, Ditjen Dikdasmen.

Depdiknas. 2003. UU RI No.20 Tahun 2003 tentang


Sistem Pendidikan Nasional.

133
Depdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Depdiknas. 2006. Draft Peraturan Pemerintah tentang


Pendidikan Kejuruan, Vokasi, dan Profesi. (Belum
Dipublikasikan)

Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional


No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.

Depdiknas. 2008. Identifikasi Spektrum Pasar Kerja


sebagai Rujukan dalam Penetapan Program Keahlian
di SMK. Laporan Penelitian. Dit. Pembinaan SMK.,
Ditjen Mandikdasmen.

Donni. 2007. Lembaga Indonesia: Program Pengembangan


Remaja Mandiri Melalui sekolah Unggul. Yayasan
Dana Sejahtera Mandiri (YSDM). Jakarta.

Feinberg, W. & Horowitz, B. 1990. Vocational education


and equality of opportunity. Journal of Curriculum
Studies 22(2): 188-192.

Finch, Curtis R and Crunkilton, John R. (1984).


Curriculum Development in Vocational and
Technical Education: Planning, Content, and
Implementation. (Second Edt.). Boston: Allyn and
Bacon.

134
Finch, Curtis R. and Crunkilton, John R. (1984).
Curriculum development in vocational and technical
education. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Fullan, Michael G. (1991). The New Meaning of


Educational Change. Second Edt. New York:
Teacher College Press Published.

Grinert, W.D. dalam A. Sonhadji. (2002). Alternatif


Penyempurnaan Pembaharuan Penyelenggaraan
Pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan. Kompas
Cyber Media (Online 2003).

Kemendibud. (2016). Revitalisasi Pendidikan Vokasi.


Jakarta: Kemendikbud.

Kemendikbud. (2017). Peta Jalan Pengembangan SMK.


Jakarta: Dit PSMK, Ditjen Dikdasmen,
Kemendikbud.

Ortleb, Rainer.1992. Vocational Training in the Dual


System: An Investment in the Future. Germany:
Federal Minster for Education and Science.

Parry, S.B. 1996. The quest for competencies: competency


studies can help you make HR decision. Journal of
Training, 33, 48-55.

135
Samsudi. (2004). Pengembangan Model Sinkronisasi
Kurikulum Program Produktif SMK Bidang
Rekayasa. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XII.
DP3M-DIKTI

Samsudi. 2007. Pendidikan Berbasis Kompetensi: Antara


Harapan dan Kenyataan. Semarang: Makalah Pidato
Ilmiah dalam Rangka Wisuda Sarjana dan Program
Diploma Fakultas Teknik Unnes.

Spencer, Lyle M., and Spencer, Singe M. 1993.


Competence at work: models for superior
performance. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Stoof, Angela; Marten, Rob, L; vanMerrienboer, Jeroen


J.G. 1999. What is competence?: a constructivist
approach as a way out of confusion. Netherland:
Open University.

Sukamto. 1988.Perencanaan dan Pengembangan


Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan.
Jakarta: Depdiknas, Ditjen Dikti, Proyek
Pengembangan Pendidikan Tinggi.

136
BIOGRAFI PENULIS

Prof. Dr. Drs. Samsudi, M. Pd.

Lahir di Brebes, Agustus 1960. Semenjak muda sangat tertarik


dengan bidang teknologi dan kejuruan. Menyelesaikan pendidikan
sarjana dari IKIP Semarang pada bidang Pendidikan Teknik Mesin,
dilanjutkan pendidikan Pascasarjana di IKIP Yogjakarta pada
bidang Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, dan pada tahun 2006
menyelesaikan pendidikan Doktoral pada Universitas Negeri
Bandung pada bidang Pengembangan Kurikulum. Selain aktif
menjadi Dosen pada Jurusan Teknik Mesin Unnes, kegiatan lainnya
adalah menjadi pakar dan pengembang kebijakan pendidikan
kejuruan Direktorat Pembinaan SMK.

Kepakaran: Chasis dan Pemindah Tenaga; Metodologi Penelitian;


Statistika; Pengembangan Kurikulum.

Dr. Drs. H. Eko Supraptono, M. Pd.

Lahir di Tegal 1961 dari keluarga sederhana di wilayah pedesaan


pertanian. Pengabdiannya dalam bidang pendidikan sangat
mewarnai penugasan yang diamanatkan kepadanya. Ia memiliki
karya-karya ilmiah yang berkontribusi signifikan dalam
pengembangan teori-teori mutahir. Di luar tugas-tugas akademik, ia
juga berkiprah di bidang sosial keagamaan. Untuk menguatkan
kapasitas dan kapabilitasnya, ia sangat bersemangat selalu belajar
dari pelbagai sumber, dan berjejaring sesama kolega akademisi baik
nasional maupun internasional. Moto hidupnya : " Berkiprah ketika
hidup dan mati untuk mencari ridha Allah SWT ".

Kepakaran: Transmisi Dan Distribusi Energi Listrik; Teknik


Evaluasi Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan, Manajemen Sekolah
Drs. Sunyoto, M.Si

Lahir di Semarang, November 1965. Aktif meneliti dan


melaksanakan pengabdian kepada masyarakat melalui produk-
produk Teknologi Tepat Guna (TTG). Menyelesaikan pendidikan
sarjana dari IKIP Semarang pada bidang Pendidikan Teknik Mesin,
dilanjutkan pendidikan Pascasarjana di UKSW Salatiga pada bidang
Studi Pembangunan tahun 1998. Selain aktif menjadi Dosen pada
Jurusan Teknik Mesin Unnes, kegiatan lainnya adalah menjadi
Kepala Pusat Desiminasi Teknologi dan Kekayaan Intelektual pada
LPPM Unnes.

Kepakaran: Ilmu Bahan; Manajemen Industri dan Kewirausahan.

Shohihatur Rohman, S.Pd, M.Pd

Lahir di Pati, Juli 1988. Tertarik pada bidang keteknikan semenjak


kecil, terutama pada bidang mesin, elektronika dan bangunan.
Menyelesaikan pendidikan sarjana dari Universitas Negeri
Semarang pada bidang Pendidikan Teknik Mesin tahun 2006 dan
pada tahun 2019 menyelesaikan studi Master pada Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang bidang Pendidikan Kejuruan. Aktif
menjadi asisten penelitian sejumlah riset pada bidang vokasi dan
menjadi tim ahli penyusunan dokumen paten pada Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unnes.

Kepakaran: Pendidikan Kejuruan, Gambar Teknik, Teknik


Pemesinan, Engineering Design, CAD/CAM/CAE/CNC, dan
Metal Casting

-- 000 --

Anda mungkin juga menyukai