Anda di halaman 1dari 6

EDISI KE-1 SISTEM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (22 Januari 2021)

Jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian


dari sistem jaminan sosial nasional yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme
asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40
Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah.

Beberapa permasalahan terkait dengan pelayanan BPJS :

1. Pelaksanaan dan ketidakpuasan pelayanan kesehatan BPJS di Rumah Sakit.


a. Pelaksanaan pelayanan kesehatan pasien BPJS pada fasilitas pelayanan kesehatan
primer.
b. Pelaksanaan pelayanan kesehatan pasien BPJS pada fasilitas pelayanan kesehatan
skunder.
c. Pelaksanaan pelayanan kesehatan pasien BPJS pada kasus gawat darurat.
d. Sengketa pelayanan kesehatan BPJS di pelayanan kesehatan primer

Dalam pelaksanaanya, beberapa sengketa yang terjadi dalam pelayanan kesehatan primer
yang sampai saat ini belum terselesaikan adalah sebagai berikut :

1) Antrian pasien BPJS pada Puskesmas di masing-masing daerah


2) Penurunan pelayanan medik maupun non medik.
3) Dokter Praktek Pribadi Jarang Menerima Pasien BPJS.
e. Sengketa pelayanan kesehatan BPJS di pelayanan kesehatan skunder.

Dalam pelaksanaanya, beberapa sengketa yang terjadi dalam pelayanan kesehatan BPJS di
Rumah Sakit sampai saat ini belum terselesaikan adalah sebagai berikut :

1) Pasien Rujukan Rawat Inap Masih Ditangguhkan.


2) Tidak Tersedianya Ruang Perawatan bagi Pasien BPJS dan Penolakan Pada Unit
Gawat Darurat.
3) Jampersal tidak berlaku lagi di BPJS.
4) Pengurangan pelayanan kesehatan dari program Sistem Jaminan Sosial Nasional
sebelumnya.
2. Model penyelesaian ketidakpuasan pelayanan antara pasien peserta BPJS di Rumah Sakit
Model yang dapat disajikan terkait dengan permasalahan pelayanan BPJS adalah sesuai
dengan titik fokus sengketa sebagai berikut :
a. Subyek yang bersengketa
b. Jenis yang disengketakan
c. Prosedur pelayanan pasien rawat inap
d. Pelayanan farmasi
e. Waktu pelayanan awal
f. Pelayanan primer

EDISI KE 2 SITUASI KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA (26 Maret 2021)


Pengertian: Ketahanan Pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara
sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan. Dalam rangka mengetahui tingkat ketahanan pangan suatu wilayah beserta
faktor-faktor pendukungnya, telah dikembangkan suatu sistem penilaian dalam bentuk IKP yang
mengacu pada definisi ketahanan pangan dan subsistem yang membentuk sistem ketahanan
pangan.

Penyebab: Prevalence of Undernourishment (PoU) merupakan proporsi penduduk yang


mengalami kekurangan konsumsi pangan yang diukur dari asupan energi minimum untuk dapat
hidup sehat dan aktif terhadap populasi penduduk secara keseluruhan. Data 5 tahun terakhir
(2015- 2019) menunjukkan bahwa angka PoU Indonesia mengalami penurunan secara konsisten
dari tahun ke tahun. Angka PoU Indonesia tahun 2015 sebesar 10,73 % turun menjadi 7,66 % di
tahun 2019. Penurunan PoU ini sejalan dengan penurunan kemiskinan, dimana persentase
penduduk miskin telah mengalami penurunan sebesar 0,41 persen, yaitu dari 9,82% pada Maret
2018 menjadi 9,41% pada Maret 2019. Apabila dibandingkan dengan rata rata dunia, angka PoU
Indonesia juga masih jauh lebih baik.
Dampak: Pemenuhan pangan penduduk Indonesia dicerminkan dari tingkat konsumsi energi dan
protein terhadap standar ideal yaitu 2000 kkal/kap/hari (energi) dan 52 gram protein/kap/hari
(protein). Capaian konsumsi energi dan protein nasional pada tahun 2019 masingmasing sebesar
2.165 kkal/kap/hari (106,9%) dan 62,87 gram/kap/hari (120,90%). Meskipun secara nasional
tingkat konsumsi energi telah melebihi standar kecukupan energi 2.000 kkal/kap/hari dan protein
52 gram/kap/hari, namun masih terdapat beberapa provinsi dengan tingkat konsumsi energi atau
protein di bawah standar. Capaian kualitas konsumsi pangan tahun 2019 adalah sebesar 90,8%
(Skor ideal 100%). Masih kurang idealnya konsumsi pangan penduduk nasional dipengaruhi oleh
kurangnya konsumsi umbi-umbian, buah/biji berminyak, kacang kacangan serta sayur dan buah.

Cara Penanganan: Menurunkan tingkat kerentanan pangan dan gizi merupakan tantangan yang
besar bagi pihak perencana dan pengambil kebijakan karena masalah kerentanan pangan dan gizi
merupakan permasalahan kompleks, tidak hanya terkait oleh satu sektor, tetapi mencakup multi
aspek dari hulu hingga hilir. Dukungan dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan
(pemerintah, pemerintah daerah, lembaga legislatif, pelaku usaha, filantrofi, LSM, media,
akademisi dan lembaga pengkajian serta komunitas madani di pusat dan daerah) perlu
disinergikan sehingga konvergensi program di tingkat operasional dapat diperoleh untuk
mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan.
Sumber: http://bkp.pertanian.go.id/storage/app/media/Bahan%202020/IKP
%202019%20FINAL.pdf

http://bkp.pertanian.go.id/storage/app/media/Bahan%202020/Buku%20Situasi%20Ketahanan
%20Pangan%20dan%20Gizi%202019%20final.pdf
EDISI KE-3 DAMPAK PANDEMI TERHADAP PERSPEKTIF GENDER DI
INDONESIA
Perubahan tatanan ini yangkemudian menjadi ancamanpada kesetaraan gender diIndonesia,
karena pada dasarnya ketidakpastian kondisiperekonomian membawa dampak yang lebih
burukbagi perempuan dibandingkan laki-laki (Alon dkk.,2020).
Padahal tanpa adanya pandemi ini pun, posisiperempuan di Indonesia belumpada posisi
setaradengan laki-laki. Hal ini terlihat pada dataperbandingan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM)berdasarkan jenis kelamin, IPM pada penduduk laki-laki lebih tinggi (75,96) dibandingkan
pada pendudukperempuan (69,18) (BPS, 2020a). Terlebih,padakondisi pandemi perempuan
memiliki kerentanan yanglebih tinggi (Wenham dkk., 2020).

Sementara itu, perempuan yang tetap bisa bertahanpada pekerjaannya juga akan menghadapi
masalah lain,yaitu beban ganda. Di Indonesia, narasi tanggung jawabutama perempuan adalah
pada pekerjaan domestik(Mustajab dkk., 2020). Sedangkan untukmengantisipasi penyebaran
COVID-19, pemerintah danperusahaan memberlakukan kebijakanWork
FromHome(WFH/bekerja dari rumah) dan sekolah-sekolahmemberlakukan kebijakanSchool
From Home(SFH/sekolah dari rumah). Sehingga, perempuan yangmelakukan WFH harus
mampu mengalokasikanwaktunya untuk mengurus rumah tangga, mendampingianak belajar,
sekaligus bekerja. Kondisi ini merupakanhasil dari timpangnya pembagian tugas (Alon
dkk.,2020)

Ketimpangan peran gender yang terjadidalam keluarga merupakan hasil dari norma patriarkiyang
masih banyak dianut oleh masyarakat Indonesiayang pada akhirnya menempatkan posisi laki-
laki padastatus yang lebih tinggi daripada perempuan (Obie,2018; Putra dkk., 2019). Kondisi ini
yang menyebabkanlaki-laki merasa memiliki kuasa atas perempuan didalam rumah tangganya
serta berpotensi memicuterjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga(KDRT) (Nilan,
Demartoto, Broom, & Germov, 2014;Obie, 2018; Putra dkk., 2019).

perempuanmengalami kesulitan yang lebih tinggi dalammenghadapi COVID-19 dibandingkan


dengan laki-laki,baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi. Perananperempuan dalamcare
economymembutuhkanperhatian lebih dalam untuk mengantisipasi lonjakankasus COVID-19
bagi perempuan. Selain itu,pelayanan kesehatan reproduksi yang terbatas selamamasa pandemi
COVID-19 perlu dipermudah meskipun tetap dengan protokol kesehatan yang harus diikuti
Halini sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan layananreproduksi bagi perempuan.Selanjutnya,
beberapabukti dari perlambatan ekonomi di Indonesia juga telahmenempatkan posisi perempuan
pada kondisi yanglebih rentan. Perempuan dibayangi oleh kondisipemutusan hubungan kerja
dikarenakan terhentinyaaktivitas perekonomian pada sektor yang didominasioleh perempuan.
Perempuan yang masih bekerjadengan kebijakan WFH pun mengalami beban gandadalam rumah
tangga. Sementara itu, kondisi pandemiCOVID-19 menyebabkan meningkatnya angka
KDRTterhadap perempuan dan memperlambat responspenanggulangan kasus KDRT.
Menanggapi kondisi ini,diperlukan adanya kebijakan yang responsif genderuntuk menghindari
kesenjangan gender yang semakintinggi yang diakibatkan oleh kondisi pandemi COVID-19.

Ikfina Chairani. 2020. DAMPAK PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF GENDERDI


INDONESIA. Jurnal Kependudukan Indonesia |Edisi Khusus Demografi dan COVID-19 |39-42

Urgensi mengkaji COVID-19 dngan perspektif gender


Perspektif perempuan dan laki-laki tentang pandemic
Dampak sosial pandemi dalam perspektif gender 334.
Dampak ekonomi pandemi dalam perspektif gender

Anda mungkin juga menyukai