DISUSUN OLEH :
PEBRYANTI SURYA NINGSIH SIHALOHO (43220010182)
DOSEN :
SOFYAN HALIM,SE,M.AK
1. Investasi
Perbedaan bank syariah dan bank konvensional pada hukum yang mendasarinya
juga menelurkan perbedaan pada setiap sistem yang digunakan, misalnya dalam
hal investasi. Pada bank syariah, seorang akan diperkenankan meminjam dana
apabila jenis usaha yang diajukannnya adalah usaha yang halal dan baik, seperti
pertanian, peternakan, dagang, dan lain sebagainya. Sementara itu, pada bank
konvensional, seseorang boleh mengajukan pinjaman terhadap usaha-usaha yang
diizinkan atas hukum positif. Usaha yang tidak halal tapi diakui hukum positif di
Indonesia akan tetap diterima dalam pengajuan pinjaman
2. Return
Sistem pembagian keuntungan antara bank konvensional dan bank syariah juga
berbeda. Bank konvensional menerapkan sistem bunga tetap atau bunga
mengambang pada setiap pinjaman yang diberikan pada nasabah. Oleh karena
itu, bank konvensional menganggap bahwa usaha yang dijalankan oleh nasabah
akan selalu untung. Hal ini berbeda dengan sistem pembagian keuntungn yang
diterapkan bank syariah. Pada bank syariah, keuntungan dari penggunaan modal
dibagi sesuai dengan akad yang disepakati di awal. Bank syariah akan tetap
memperhatikan kemungkinan untung atau rugi usaha yang dibiayainya tersebut.
Jika dirasa tidak menguntungkan, bank syariah akan menolak pengajuan
pinjaman yang nasabahnya.
3. Perjanjian
Perbedaaan pertama Antara bank syariah dan bank konvensional terletak pada
akad (perjanjian) yang melandasinya. Dalam bank syariah akad (perjanjian)
dibuat berdasarkan hukum islam dan hukum positif , namun pada bank
konvensional akad (perjanjian) dibuat hanya berdasarkan hukum positif
4. Orinientasi Pembiayaan
Orientasi yang ada pada sistem bank konvensional semata-mata adalah orientasi
keuntungan atau profit oriented. Sementara pada sistem bank konvensional,
orientasi yang digunakan selain orientasi keuntungan juga memperhatikan
kemakmuran dan kebahagiaan hidup dunia akhirat atas kerjasamanya.
Dari segi sosial, perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional juga
terdapat pada hubungan antara bank dengan nasabahnya. Pada bank syariah
diterapkan sistem kemitraan, sementara pada bank konvensional hubungan
nasabah dan bank disebut kreditur dan debitur.
6. Pengawasan
Selain beberapa perbedaan prinsip operasional di atas, salah satu ciri yang
membedakan antara bank Islam dengan bank konvensional adalah keharusan
adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada Bank Islam. DPS bertugas
mengawasi segala aktivitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah. Dengan kata lain DPS bertanggung jawab atas produk dan jasa yang
ditawarkan kepada masyarakat agar sesuai dengan prinsip syariah; investasi atau
proyek yang ditangani oleh bank harus juga sesuai dengan prinsip syariah, dan
tentu saja bank itu harus di-manage sesuai dengan prinsip syariah.
7. Penyelesaian sengketa
Jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank
dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri,
tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum syariah di Pengadilan
Agama. Lembaga yang mengatur hukum berdasar prinsip syariah di Indonesia
dikenal dengan nama Badan Arrbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang
didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis
Ulama Indonesia.
1. Al-Mali
Menurut Al-Mali pengertian riba adalah akad yang terjadi atas pertukaran
barang atau komoditas tertentu yang tidak diketahui perimbangan menurut syara’,
ketika berakad atau mengakhiri penukaran kedua belah pihak atau salah satu dari
keduanya.
2. Rahman Al-Jaziri
Menurut Rahman Al-Jaziri arti riba adalah akad yang terjadi dengan
pertukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut syara’ atau terlambat
salah satunya.
س فَاَل يَ ْربُو ِع ْن َد هَّللا ِ ۖ َو َما آتَ ْيتُ ْم ِمنْ زَ َكا ٍة تُ ِريدُونَ َو ْجهَ هَّللا ِ فَأُو ٰلَئِ َك ُه ُم
ِ َو َما آتَ ْيتُ ْم ِمنْ ِربًا لِيَ ْربُ َو فِي أَ ْم َوا ِل النَّا
َض ِعفُون ْ ا ْل ُم
Artinya:“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kau berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”. Dalam ayat ini tidak secara tegas Allah SWT mengharamkan riba,
hanya sebatas perbandingan antara riba dan zakat, yang mana riba hanya bersifat
kamuflase sedangkan zakat bersifat hakiki.
{) َوأَ ْخ ِذ ِه ُم ال ِّربَا160( سبِي ِل هَّللا ِ َكثِي ًرا َ ِت أُ ِحلَّتْ لَ ُه ْم َوب
َ ْص ِّد ِه ْم عَن ٍ طيِّبَاَ فَبِظُ ْل ٍم ِمنَ الَّ ِذينَ هَادُوا َح َّر ْمنَا َعلَ ْي ِه ْم
161س بِا ْلبَا ِط ِل َوأَ ْعتَ ْدنَا لِ ْل َكافِ ِرينَ ِم ْن ُه ْم َع َذابًا أَلِي ًما
ِ َوقَ ْد نُ ُهوا َع ْنهُ َوأَ ْكلِ ِه ْم أَ ْم َوا َل النَّا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”. Dalam ayat ini Allah melarang umat Islam memakan riba secara
berlipat ganda. Ayat ini lebih pada penekanan dan bersifat sistematis
dibandingkan ayat yang sebelumnya, yakni “memakan riba secara berlipat
ganda”. Maka muncullah pertanyaan, “bagaimana jika sedikit?
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya. (Q.S Al-Baqarah: 279).
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, dari
ayahnya, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang
makan riba, orang yang memberi makan riba, saksinya dan penulisnya.(HR. Abu
Dawud)
َ آ ِك َل ال ِّربَا َو ُمو ِكلَهُ َو َكاتِبَهُ َوشَا ِه َد ْي ِه َوقَا َل ُه ْم-صلى هللا عليه وسلم- ِ سو ُل هَّللا
س َوا ٌء ُ لَ َعنَ َر
Contoh:
Misalnya transaksi jual beli barang ribawi antara Pak Ahmad (pedagang jagung)
dengan Pak Hasan (pedagang beras). Pak Ahmad hendak membeli beras milik
Pak Hasan dengan standart 1 kg beras untuk 4 kg jagung. Standart ini dibangun,
karena kebetulan harga beras saat itu adalah 10 ribu rupiah per kilogram.
Sementara jagung memiliki harga 2.500 rupiah per kilogram. Keduanya sudah
sama-sama sepakat. Setelah Pak Ahmad menerima beras milik Pak Ahmad,
ternyata Pak Ahmad tidak segera menyerahkan jagung yang dimilikinya kepada
Pak Hasan di majelis akad dan saat itu juga. Transaksi inilah yang disebut sebagai
riba al-yad disebabkan ada kemungkinan harga 1 kg beras di kemudian hari
berbeda dengan harga 4 kg jagung. Bahkan adakalanya harga 1 kg beras sama
dengan harga 5 kg jagung.
Contoh:
Pak Husein menjual emas yang dimilikinya seberat 1 kilogram kepada Pak
Husnan dengan harga disepakati 50 juta rupiah. Pak Husein menyerahkan
emasnya kepada Pak Husnan, namun harganya baru diserahkan selang satu bulan
berikutnya. Setelah jatuh tempo, ternyata Pak Husnan belum memiliki uang
sebesar 50 juta tersebut. Sementara itu, harga jual emas mengalami kenaikan
sebesar 55 juta rupiah per kilogram. Selanjutnya Pak Husein berkata kepada Pak
Husnan, akankah dihentikan transaksinya dengan resiko Pak Husnan membayar
ke Pak Husein sebesar 50 juta rupiah, ataukah dilanjut dengan menambah tempo
1 bulan lagi, dengan resiko Pak Husnan memiliki kewajiban membayar harga
emas menjadi sebesar 55 juta rupiah. Naiknya harga emas dari 50 juta rupiah
menjadi 55 juta rupiah saat jatuh tempo sehingga menyebabkan harga jual beli
barang menjadi berubah ini dikenal sebagai riba al-nasa’. Seolah, perubahan
harga ini berwujud sebagai tambahan harga yang diakibatkan perubahan tempo.
Oleh karena inilah, kemudian, riba al-nasa’ disebut sebagai riba jahiliyyah,
disebabkan karena faktor ketidakpastian/ketidaktahuan harga saat
pembayaran/jatuh tempo.
2. Menjahui Riba
“Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatukaum memakan sesuatu,
maka diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan Ahmad)
Riba jelas dilarang oleh Allah SWT. Untuk itu, melakukan jual beli dapat
menjauhkan diri dari riba. Tentu saja jika berjualan dan membeli tidak
disandingkan dengan sistem riba juga. Dengan jual beli, tentunya ada akad dan
kesepakatan. Untuk itu, tidak akan dikenai riba atau hal yang bisa mencekik
hutang berlebih bagi pembeli.
Seorang sahabat Rasulullah SAW, Zubair bin al-Awwam r.a., memilih tidak
menerima titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman.
Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni yang pertama,
dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, Ia memiliki hak untuk
memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk
mengembalikannya secara utuh. Dalam riwayat lain disebutkan, Ibnu Abbas r.a.
juga pernah melakukan pengiriman barang ke Kuffah dan Abdullah bin Zubair
r.a. melakukan pengiriman uang dari Mekkah ke adiknya Mis'ab bin Zubair r.a.
yang tinggal di Irak. Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan
meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak
berlangsung dua kali dalam setahun. Bahkan, dalam masa pemerintahannya,
Khalifah Umar bin Khattab r.a. menggunakan cek untuk membayar tunjangan
kepada mereka yang berhak. Dengan menggunakan cek ini, merekamengambil
gandum di Baitul mal yang ketika itu diimpor dari Mesir. Di samping itu,
pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah,
muzara'ah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kamu Muhajirin dan kaum
Anshar.
Istilah Jihbiz itu sendiri mulai dikenal sejak zaman Khalifah Muawiyah (661-
680) yang sebenarnnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada
masa pemerintah Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan
mengumpulkan pajak tanah.
Kemajuan praktik perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya saq
(cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan bankir telah
meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfer
uang. Dalam hal yang terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri
lainnya tanpa memindahkan fisik uang tersebut. Para money changer yang telah
mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah memuaai penggunaan cek
sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran lainnya. Dalam sejarah
Perbankan Islam, adalah Syaf al Dawlah al-Hamdani yang tercatat sebagi orang
pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan
Allepo (Spanyol).
Keadaan ini berlangsung terus sampai zaman modern ini. Oleh karena itu,
institusi perbankan yang ada sekarang di mayoritas negara-negara muslim
merupakan warisan dari bangsa Eropa, yang notabene berbasis bunga.
Upaya awal penerapan sistem profit and loss sharing dalam bentuk bank
syariah modern mencatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940, yaitu
adanya upaya pengelolaan dana jamaah haji secara non konvensional. Rintisan
bank syariah lainya adalah berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank pada 1963
di Mesir yang dibangun oleh Dr. Ahmad El-Najar. Permodalan bank ini dibantu
oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Bank ini beroperasi tanpa bunga dan sejalan
dengan prinsip-prinsip ajaran agama islam ini sangat populer dan pada mulanya
tumbuh dengan baik. Oleh karena itu ada persoalan politik di Mesir bank ini
ditutup dan diambil alih oleh National Bank Of Egypt dan Central Bank Of Egypt
yang dioperasikan berdasarkan prinsip ribawi. Pada 1972 sistem bank tanpa riba
diperkenalkan lagi di Mesir dengan ditandai berdirinya Nasser Social Bank.
Berdirinya bank ini lebih bersifat sosial daripada komersial.
Kesukaan Mit Ghamr mengelola bank dengan sistem bagi hasil, memberi
inspirasi bagi umat islam diseluruh dunia untuk membentuk bank islam dengan
sistem bagi hasil. Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah ditingkat
internasional muncul dalam konferensi negara islam sedunia di Kuala Lumpur,
Malaysia pada tanggal 21 s/d 27 april 1969 yang diikuti oleh 19 negara peserta.
Salah satu keputusan dalam konferensi ini adalah perlu segera dibentuk sebuah
bank syariah yang bersih dari sistem riba. Kemudian pada desember 1970 dalam
pertemuan menteri luar negeri negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di
Karachi, Pakistan, delegasi mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan
bank syariah. Proposal tentang berdirinya bank islam ini kemuian dikaji dengan
seksama oleh para ahli dari 18 negara islam yang semuanya menyetujui dibentuk
bank islam.
Selanjutnya pada sidang luar negeri negara Organisasi Konferensi Islam
(OKI) di Baghazi, Libya pada maret 1973 usulan tentang perlunya didirikan bank
syariah diagendakan lagi. Sidang kemudian memutuskan agar OKI mempunyai
bidang khusus yang menangani tentang hal-hal yang berhubungan dengan
ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973 komite ahli yang mewakili negara islam
penghasil minyak bertemu di Jeddah, Arab Saudi untuk membicarakan berdirinya
bank syariah, sekaligus dibahas tentang anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga. Selanjutnya pada 1974, diadakan pertemuan menteri keuangan negara
OKI di Jeddah dan dalam pertemuan ini disetujui rancangan pendirian Bank
Pembangunan Islam (Islamic Development Bank) dengan modal awal dua milyar
dinar.
Setelah Islamic Development Bank (IDB) didirikan pada oktober 1975 yang
beranggota 22 negara islam sebagai pendiri. Tujuan dibentuk bank ini adalah
untuk membantu finansial dalam membangun negara anggotanya, usaha untuk
mendirikan bank islam menyebar ke banyak negara. Beberapa negara islam
seperti Pakistan, Sudan, dan Iran mengubah seluruh sistem keuangan yang ada di
negara tersebut menjadi bebas bunga, sehingga semua lembaga keuangan di
negara tersebut beroperasi berdampingan dengan bank-bank konvensional.
a. Standarisasi pasar primer dan sekunder syariah terkait dengan kontrak dan
produk.
c. Melakukan riset dan pengembangan dalam pasar modal dan pasar uang jangka
pendek.
Akhirnya gagasan mengenai bank syariah itu muncul lagi sejak tahun 1988,
di saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi
liberalisasi industri perbankan. Para ulama pada waktu itu berusaha untuk
mendirikan bank bebas bunga, tapi tidak ada satupun perangkat hukum yang
dapat dirujuk, kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar
0%. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan
perbankan di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, yang kemudian
dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional (Munas) IV Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22-25 Agustus
1990, dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia.
Pada tahun 1998 muncul UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7
tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam UU ini terdapat beberapa perubahan yang
memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah.
Dari UU tersebut disebutkan bahwa sistem perbankan syariah dikembangkan
dengan tujuan :
1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima
konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem perbankan syariah yang
berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilitas dana masyarakat
dapat dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen yang selama ini belum
dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang menerapkan sistem
bunga.
2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip
kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan investor
yang harmonis. Sementara, dalam bank konvensional konsep yang diterapkan
adalah hubungan debitur dan kreditur.
3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa
keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang
berkesinambungan membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif,
pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih mcmperhatikan unsur
moral.
Struktur Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia
Struktur keuangan di Indonesia dijalankan oleh dua jenis lembaga keuangan,
yaitu Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan Non-Bank.
1. Lembaga Keuangan Bank
Merupakan lembaga yang memberikan jasa keuangan yang paling lengkap.
Usaha keuangan yang dilakukan disamping menyalurkan dana atau memberikan
pembiayaan / kredit juga melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat
luas dalam bentuk simpanan. Lembaga keaungan bank terdiri dari :
3. Lembaga Pembiayaan
Lembaga pembiayaan adalah badan usaha di luar bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan yang mencakup usaha sewa
guna, anjak piutang (factoring), usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen.
a) Perusahaan sewa guna usaha (leasing), adalah kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi
maupun tanpa hak opsi untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai prinsip syariah.
b) Perusahaan anjak piutang (factoring), adalah kegiatan pengalihan piutang
dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut
sesuai dengan prinsip syariah. Anjak piutang dilakukan berdasarkan akad
wakalah bil ujrah.
c) Perusahaan kartu plastik adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu
kredit, ATM, kartu debet, kartu prabayar sebagai produk bank atau lembaga non
bank.
d) Pembiayaan konsumen syariah adalah pembiayaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran sesuai prinsip syariah.
4. Perusahaan Pegadaian
Merupakan lembaga keuangan yang menyediakan fasilitas pinjaman dengan
jaminan tertentu. Jaminan nasabah tersebut digadaikan, kemudian ditaksir oleh
pihak pegadaian untuk menilai besarnya nilai jaminan.
2. Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah (DSN dan DPS)
DSN MUI adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada tahun 1999 yang beranggotakan para ahli hukum Idam (fuqaha, serta
ahli dan praktisi ekonomi). DSN MUI mempunyai fungsi melaksanakan tugas-
tugas MUI dalam memajukan ekonomi umat, menangani masalah-masalah yang
berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah.
DSN adalah singkatan dari Dewan Syariah Nasional. Salah satu tugas pokok
DSN adalah mengkaji, menggali, dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip
hukum Islam (Syariah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam
kegiatan transaksi di lembaga.
3. Pengadilan Agama
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama pada pasal 49
disebutkan “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah,
dan ekonomi syariah. Dengan demikian, Pengadilan Agama memiliki kompetensi
absolut di bidang sengketa ekonomi syariah.
2. Prinsip Mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpanan atau deposan
bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib
(pengelola). Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan murabahah atau
ijarah. Dapat juga dana tersebut digunakan bank untuk melakukan mudharabah
kedua. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati.
Dalam hal bank menggunakannya untuk melakukan mudharabah kedua, maka
bank yang berhak bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi.Rukun
mudharabah harus terpenuhi semua (ada mudharibada pemilik dana, ada usaha
yang dibagihasilkan, ada nisbah, dan ada ijab Kabul).
Prinsip mudharabah ini digunakan pada produk tabungan berjangka dari deposito
berjangka.Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak penyimpan dana,
prinsip mudharabah terbagi dua yaitu:
1. Mudharabah mutlaqah
Dalam mudharabah mutlaqah, tidak ada pembatasan bagi bank dalam
menggunakan dana yang dihimpun. Nasabah tidak memberikan persyaratan
apapun kepada bank, ke bisnis yang disimpannya itu hendak disalurkan, atau
menetapkan penggunaan akad-akad tertentu, ataupun mensyaratkan dananya
diperuntukkan bagi nasabah tertentu. Jadi bank memiliki kebebasan penuh untuk
menyalurkan dana URIA ini ke bisnis manapun yang diperkirakan
menguntungnkan.
2. Mudharabah Muqayyadah
a. Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (Restricted Investment)
dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus
dipatuhi oleh pihak bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis
tertentu, atau disyaratkan digunakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan
digunakan untuk nasabah tertentu.Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai
berikut:
• Pemilik dana wajib menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh
bank dan wajib membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana
simpanan khusus.
• Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata
cara pemberitahuan keuntungan dan/atau pembagian keuntungan secara risiko
yan dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai
kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
• Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank
wajib memisahkan dana ini dari rekening lainnya.
• Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertitifikat atau tanda
penyimpanan (bilyet) dposito kepada deposan.
b. Penyaluran dana
Dalam menyalurkan dananya pada nasabah, secara garis besar produk
pembiayaan syariah terbagi ked lam empat kategori yang dibedakan berdasarkan
tujuan penggunaannya, yaitu:
1) Pembiayaan dengan prinsip jual-beli,
2) Pembiayaan dengan prinsip sewa,
3) P embiayaan dengan prinsip bagi hasil,
4) Pembiayaan dengan akad pelengkap
1) Prinsip jual Beli (Ba'i)
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan
kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank
ditentukan di depan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.Transaksi jual-
beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan
barangnya, yakni sebagai berikut:
a) Pembiayaan murabahah
Murabahah (al-bai bi tsaman ajil) lebih dikenal sebagai murabahah saja.
Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan), adalah transaksi jual belil di
mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual,
sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari
pemasok ditambah keuntungan (marjin).
Kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu
pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah
disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan
murabahah selalu dilakukan dengan cara pembayran cicilan (bi tsaman ajil, atau
muajjal). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad, sementara
pembayaran dilakukan secara tangguh/cicilan.
b) Pembiayaan Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum
ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran
dilakukan secara tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah
sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi
ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan
secara pasti.
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepad bank, maka
bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara
tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli
bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal ini bank menjualnya secara
tunai biasanya disebut dengan pembiayaan talangan (bridging financing).
Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan.
Ketentuan umum Pembiayaan Salam adalah sebagai berikut:
• Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti
jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100kg mangga
harum manis kualitas "A" dengan harga Rp. 5000/kg, akan diserahkan pada
panen dua bulan mendatang.
• Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai akad maka
nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain
mengambilkan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang
sesuai dengan pesanan.
• Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai
persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad
salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua), seperti BULOG, pedagang pasar
induk atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut sebagai paralel salam.
c) Pembiayaan Istishna'
Produk istishna' menyerupai produk salam, tapi dalam istishna'
pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin)
pembayaran. Skim istishna' dalam Bank Syariah umumnya diaplikasikan pada
pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Ketentuan umum Pembiayaan Istishna' adalah spesifikasi barang pesanan
harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlahnya. Harga jual yang
telah disepakati dicantumkan daam akad Istishna' dan tidak boleh berubah selama
berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi
perubahan harga setelah akad ditandatangani, seluruh biaya tambahan tetap
ditanggung nasabah.
b) Pembiayaan Mudharabah
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang populer dalam produk
perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerja sama
anatara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal kepada pengelola (mudharib)
dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja
sama dalam paduan kontribusi 100% modal kas dari shahib al-maal dan keahlian
dari mudharib.
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahib al-maal dalam
manajemn proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-
hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian.
Sedangkan sebagai wakil shahib al-maal dia diharapkan untuk mengelola modal
dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang essensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada
besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu di anatara itu.
Dalam mudharabah, modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam
musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih.
Musyarakah dan dan mudharabah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian
kepercayaan (uqud al-amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan
menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran
untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masingn-masing pihak untuk
melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan
merusak ajaran islam.
1) Wakalah
Wakalah atau perwakilan, berarti penyerahan, pendelegasian atau pemberian
mandat. Yakni bank diberikan mandat oleh nasabah untuk melaksanakan suatu
perkara sesuai dengan amanah/permintaan nasabah. Secara teknis perbankan,
wakalah adalah akad pemberi wewenang/kuasa dari lembaga/seseorang (sebagai
pemberi mandat) kepada pihak lain (sebagai wakil, dalam hal ini bank) untuk
mewakili dirinya melaksanakan urusan dengan batas kewenangan dan dalam
waktu tertentu. Segala hak dan kewajiban yang diemban wakil harus
mengatasnamakan yang memberi kuasa. Bank dan nasabah yang dicantumkan
dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum
.
2) Kafalah
Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam
pengertian lain kafalah berarti mengalihkan tanggungjawab seseorang yang
dijamin dengan berpegang pada tanggungjawab orang lain sebagai penjamin (QS.
Yusuf 12:72). Secara teknis perbankan, kafalah merupakan jasa penjaminan
nasabah dimana bank bertindak sebagai penjamin (kafil) sedangkan nasabah
sebagai pihak yang dijamin (makfullah). Prinsip syariah ini sebagai dasar layanan
bank garansi, yaitu penjaminan pembayaran atas suatu kewajiban pembayaran.
Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk
fasilitas ini sebagai jaminan. Atas dana tersebut bank dapat memperlakukannya
denagn prinsip wadiah. Dalam hal ini bank mendapatkan imbalan atas jasa yang
diberikan.
3) Sharf
Layanan jasa perbankan jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf.
Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini penyerahannya harus dilakukan pada
waktu yang sama berdasarkna kurs jual atau kurs beli yang berlaku pada saat itu
juga (transaksi spot). Jenis layanan berdasarkan transaksi spot adalah : today,
tomorrow, dan spot. Bank syariah tidak melayani transaksi forward, swap, dan
option yang dalam transaksinya diterapkan hedging sebagaimana telah dijelaskan
di atas. Karena transaksi ini penyerahannya dilakukan pada masa yang akan
datang dan mengandung unsur spekulasi.
4) Qardh
Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau
diminta kembali. Menurut teknis perbankan, qardh adalah pemberian pinjaman
dari bank kepada nasabah yang dipergunakan untuk kebutuhan mendesak, seperti
dana talangan dengan kriteria tertentu dan bukan untuk pinjaman yang bersifat
konsumtif. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jangka waktu tertentu
(sesuai kesepakatan bersama) sebesar pinjaman tanpa ada tambahan keuntungan
dan pembayarannya dilakukan secara angsuran atau sekaligus. Bank dapat
meminta jaminan atas pinjaman ini kepada peminjam (QS al-Hadid 57:11).
5) Rahn
Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan
jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Secara sederhana rahn adalah jaminan hutang atau gadai. Biasanya akad yang
digunakan adalah akad qardh wal ijarah, yaitu akad pemberian pinjaman dari
bank untuk nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar bank menjaga
barang jaminan yang diserahkan.
Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria, yaitu milik nasabah
sendiri; memiliki nilai ekonomis sehingga bank memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil seluruh atau sebagian piutangnya; harus jelas ukuran, sifat, dan
nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar; dapat dikuasai namun tidak boleh
dimanfaatkan bank.
6) Hiwalah
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktik
perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat
ganti biaya atas jasa pemindahan utang. Untuk mengantisipasi risiko kerugian
yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang
berhutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan
yang berhutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya
kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena
kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih
piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.
7) Ijarah
Akad ijarah selain menjadi landasan syariah untuk produk pembiayaan, yaitu
sewa cicil, juga menjadi prinsip dasar pada jasa perbankan lainnya, antara lain
layanan penyewaan kotak simpanan atau SDB (safe deposit box). Bank mendapat
imbalan sewa atas jasa tersebut.
8) Al-Wadiah
Akad al-wadiah selain menjadi landasan syariah produk tabungan, termasuk
giro, juga menjadi prinsip dasar layanan jasa tata laksana administrasi dokumen
(custodian). Bank mendapatkan imbalan atas jasa tersebut.
CPMK 1 - SUB CPMK 6
Membuka rekening di salah satu Bank Syariah dibuktikan dengan adanya buku
tabungan, kemudian cover buku tabungan yang ada nama dan nomor rekening
discan lalu di upload bersamaan dengan tugas lainnya. Bagi yang sudah memiliki
buku tabungannya tinggal scan dan upload
Penarikan tunai melalui mesin ATM yang sesuai dengan kartu atm yang
digunakan tidak akan dikenakan biaya, sedangkan jika menggunakan kartu atm
dan mesin ATM yang berbeda maka dikenakan biaya sebsar Rp6500 per
transaksi.
Contoh:
1. Nasabah BRI Syariah mengambil uang di ATM BRI Syariah tidak dikenakan
biaya
2. Nasabah BNI Syariah mengambil uang di ATM Mandiri Syariah maka
dikenakan biaya
Dalam hal ini, keuntungan dan kerugian yang didapatkan akan ditanggung
secara bersama atau kolektif. Selain itu, dalam menjalankan kegiatan
pembiayaan, bank syariah lebih menerapkan prinsip jual beli aset (murabahah).
Dari kegiatan jual beli ini, keuntungan bisa didapatkan. Apabila pembayaran
dilakukan dengan sistem cicilan, maka harga jual barang atau aset tetap sama dan
tidak mengalami perubahan sampai akhir.
5. Struktur Organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sma dengan bank konvensional,
mislanya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan
antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan
Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi operaional bank dan produk-
produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
Sejalan dengan definisi tersebut, maka produk syariah yang berupa efek
harus tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh karena itu efek tersebut
dikatakan sebagai Efek Syariah. Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13
tentang Penerbitan Efek Syariah. Efek Syariah adalah Efek yang dimaksud dalam
UUPM dan peraturan pelaksanaannya yang akad, cara, dan kegiatan usaha yang
menjadi landasan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip - prinsip
syariah di Pasar Modal. Sampai dengan saat ini, Efek Syariah yang telah
diterbitkan di pasar modal Indonesia termasuk Saham Syariah, Sukuk dan Unit
Penyertaan dari Reksa Dana Syariah.
1. Saham Syariah
Secara konsep, saham merupakan bukti bukti penyertaan modal kepada
perusahaan dan dengan bukti penyertaan tersebut pemegang saham berhak untuk
mendapatkan bagian dari perusahaan tersebut. Konsep penyertaan modal dengan
hak bagian hasil usaha merupakan konsep yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah. Prinsip syariah mengenal konsep ini sebagai kegiatan musyarakah atau
syirkah. Berdasarkan analogi tersebut, maka secara konsep saham merupakan
efek yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Namun demikian, tidak
semua saham yang diterbitkan oleh Emiten dan Perusahaan Publik dapat disebut
sebagai saham syariah. Suatu saham dapat dikategorikan sebagai saham syariah
jika saham tersebut diterbitkan oleh:
a. Emiten and Companies Public yang menyatakan dalam anggaran membaca
bahwa kegiatan usaha Emiten dan Perusahaan Publik tidak bertentangan dengan
Prinsip-prinsip syariah.
b. Emiten dan Perusahaan Publik yang tidak bertanggung jawab dalam anggaran
membaca bahwa kegiatan usaha Emiten dan Perusahaan Publik tidak
bertentangan dengan Prinsip-prinsip syariah, namun memenuhi kriteria sebagai
berikut:
ii. Rasio total hutang berbasis bunga dibandingkan total ekuitas tidak lebih dari
82%, dan
iii. Rasio total pendapatan bunga dan total pendapatan tidak halal lainnya
dibandingkan total pendapatan usaha dan total pendapatan lainnya tidak lebih
dari 10%.
2. Sukuk
Sukuk merupakan istilah baru yang dikenalkan sebagai istilah dari
pengunduran syariah. Sukuk secara terminologi merupakan bentuk jamak dari
kata "sakk" dalam bahasa Arab yang berarti sertifikat atau bukti kepemilikan.
Sementara itu, Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 memberikan definisi
Sukuk sebagai berikut: "Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan
yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan
atau tidak terbagi (syuyu '/ undivided share)) atas :
a. Aset berwujud tertentu (ayyan maujudat);
b. Nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul ayyan) tertentu baik yang sudah
ada maupun yang akan ada;
c. Jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada
d. Aset proyek tertentu (maujudat masyru 'muayyan); dan atau
e. Kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah)
Ciri Sukuk
Sebagai salah satu Efek Syariah, sukuk yang memiliki gambar yang berbeda
dengan pengunduran. Sukuk bukan merupakan surat utang, atau hak kepemilikan
atas suatu aset / proyek. Setiap sukuk yang diterbitkan harus mempunyai aset
yang dijadikan dasar publikasi (underlying asset). Klaim kepemilikan pada sukuk
berdasarkan aset / proyek yang spesifik. Penggunaan dana sukuk harus digunakan
untuk kegiatan usaha yang halal. Imbalan bagi pemegang sukuk dapat berupa
ketidakseimbangan, bagi hasil, atau marjin, sesuai dengan jenis akad yang
digunakan dalam publikasi sukuk.
Jenis Sukuk
Jenis sukuk berdasarkan Standar Syariah AAOIFI No.17 tentang Investment
Sukuk, terdiri dari:
1. Sertifikat kepemilikan dalam aset yang disewakan.
2. Sertifikat kepemilikan atas manfaat, yang terbagi menjadi 4 (empat) tipe:
sertifikat kepemilikan atas manfaat yang telah ada, sertifikat kepemilikan atas
manfaat aset di masa depan, sertifikat kepemilikan atas jasa pihak tertentu dan
sertifikat kepemilikan atas jasa di masa depan.
3. Sertifikat salam.
4. Sertifikat istishna.
5. Sertifikat murabahah.
6. Sertifikat musyarakah.
7. Sertifikat muzara'a.
8. Sertifikat musaqa.
9. Sertifikat mugharasa.
Reksa Dana Syariah bagi reksa dana pada umumnya merupakan salah satu
alternatif investasi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal
yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas
investasi mereka. Reksa Dana dirancang sebagai sarana untuk menghimpun dana
dari yang memiliki modal, mempunyai keinginan untuk melakukan investasi,
namun hanya memiliki waktu dan pengetahuan yang terbatas.
Reksa Dana Syariah dikenal pertama kali di Indonesia pada tahun 1997
jurnal dengan publikasi Reksa Dana Syariah Danareksa Saham pada bulan Juli
1997. Sebagai salah satu instrumen investasi, Reksa Dana Syariah memiliki
kriteria yang berbeda dengan reksa dana konvensional pada umumnya. Perbedaan
ini terletak pada pemilihan instrumen dan investasi yang tidak boleh bertentangan
dengan prinsipprinsip syariah. Perbedaan lainnya adalah total proses manajemen
portofolio, penyaringan, dan pembersihan (pengecualian).
Seperti halnya wahana investasi lainnya, disamping mendatangkan berbagai
peluang keuntungan, Reksa Dana mengandung berbagai peluang risiko, antara
lain:
• Risiko Berkurangnya Nilai Unit Penyertaan.
Risiko ini bangun oleh turunnya harga dari Efek (saham, sukuk, dan surat
berharga syariah lainnya) yang masuk dalam portofolio Reksa Dana tersebut. Ini
yang berkaitan dengan kemampuan manajer investasi reksadana dalam dananya.
• Risiko Likuiditas
Risiko ini kesulitan yang masuk oleh Manajer Investasi jika sebagian besar
pemegang unit melakukan penjualan kembali (penebusan) atas sebagian besar
unit penyertaan yang dipegangnya kepada Manajer Investasi secara
bersamaan. Dapat menyulitkan manajemen perusahaan dalam menyediakan dana
tunai. Risiko ini hanya terjadi pada perusahaan reksadana yang sifatnya terbuka
(dana terbuka). Risiko ini dikenal juga sebagai efek penebusan.
• Risiko Wanprestasi
Risiko ini merupakan risiko, dimana pada umumnya kekayaan reksa dana
diasuransikan kepada perusahaan asuransi. Risiko ini dapat timbul ketika
perusahaan asuransi yang mengasuransikan kekayaan Reksa Dana tersebut tidak
segera membayar ganti rugi atau membayar lebih rendah dari nilai pertanggungan
saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu, wanprestasi disediakan
akibat dari pihak-pihak yang terkait dengan Reksa Dana, pialang, bank kustodian,
agen pembayaran, atau bencana alam, yang dapat menyebabkan penurunan NAB
(Nilai Aktiva Bersih) Reksa Dana.
• Risiko politik dan ekonomi
Risiko yang berasal dari perubahan kebijakan ekonomi dan politik yang
berpengaruh pada kinerja bursa dan perusahaan sekaligus, sehingga akhirnya
membawa efek pada portofolio yang dimiliki suatu reksadana.
b. Instrumen
Dalam pasar modal konvensional instrumen yang diperdagangkan adalah
suratsurat berharga (securities) seperti saham, obligasi, dan instrumen turunannya
(derivatif) opsi, right, waran, dan Reksa Dana. Dalam pasar modal syariah,
instrumen yang diperdagangkan adalah saham, obligasi syariah dan Reksa Dana
Syariah, sedangkan opsi, waran dan right tidak termasuk instrumen yang
dibolehkan.
c. Mekanisme transaksi
Dalam konteks pasar modal syariah, menurut Alhabshi, idealnya pasar modal
syariah itu tidak mengandung transaksi ribawi, transaksi yang meragukan
(gharar), dan saham perusahaan yang bergerak pada bidang yang diharamkan.
Dalam pasar modal konvensional investor dapat membeli atau menjual saham
secara langsung dengan menggunakan jasa broker atau pialang. Keadaan ini
memungkinkan bagi para spekulan untuk mempermainkan harga. Akibatnya
perubahan harga saham ditentukan
DAFTAR PUSTAKA
https://almanhaj.or.id/4044-riba-pengertian-dan-macam-macamnya.html
https://news.detik.com/berita/d-4793327/ayat-tentang-riba-dalam-alquran-ini-
penjelasannya
https://ekonomi-islam.com/7-perbedaan-bank-syariah-dan-bank-konvensional-
nomor-2-paling-penting/
https://pengusahamuslim.com/1122-memahami-akad-riba-01.html
https://pengusahamuslim.com/1126-memahami-akad-riba-02.html
https://www.infoperbankan.com/umum/pengertian-tarik-tunai.html
https://www.aturduit.com/articles/perbandingan-bank-syariah-dan-bank-
konvensional/
https://andyyjr20.blogspot.com/2017/03/makalah-lembaga-keuangan-
syariah.html
https://www.ojk.go.id/lanal/pasar-
https://www.kompasiana.com/dendyddm/5af87d4afl334469a5362bc4/riba
https://www.kompasiana.com/dina07699/5af7e7cc16835f43227b1114/perkemba
ngan-lembaga-keuangan-syariah?page=all#:~:text=U