SGD 5 LBM 1
HANNA AZ ZAHRA
31101800043
BAB I .................................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 3
A. Skenario ................................................................................................................. 3
B. Cakupan Pembahasan ........................................................................................ 3
BAB II ................................................................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 4
A. Landasan Teori ..................................................................................................... 4
1. Klasifikasi Fraktur Ellis..................................................................................... 4
2. Interpretasi hasil pemeriksaan objektif.......................................................... 7
3. Interpretasi hasil pemeriksaan radiografi...................................................... 9
4. Mekanisme nyeri dan bengkak pada scenario .......................................... 10
5. Korelasi Riwayat lesi dengan diagnosis scenario ..................................... 12
6. Pathogenesis diskolorasi scenario .............................................................. 14
7. Pathogenesis lesi periapical pada scenario ............................................... 15
BAB III .............................................................................................................................. 19
PETA KONSEP DAN KESIMPULAN .......................................................................... 19
A. Peta Konsep........................................................................................................ 19
B. Kesimpulan .......................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 20
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Skenario
“Duuuh, gusiku bengkak dan sakit!!”
Pasien perempuan usia 20 tahun datang dengan keluhan sakit saat makan dan
bengkak pada langit-langit sejak 4 hari lalu. Hasil anamnesis diketahui tiga tahun
yang lalu pasien pernah jatuh dari sepeda motor dan gigi depan terbentur keras.
Saat itu pasien tidak datang ke dokter gigi karena tidak ada keluhan sakit.
Pemeriksaan obyektif menunjukkan pembengkakan ukuran 2x2 cm pada mukosa
palatal gigi 13. Gigi 13 mengalami diskolorisasi warna, fraktur mahkota pada
incisal edge, CE(-), perkusi (+), mobilitas (+). Setelah melihat hasil pemeriksaan
radiografis, dokter gigi mendiagnosis pasien tersebut mengalami fraktur Ellis
kelas IV disertai dengan lesi periapikal pada gigi tersebut.
B. Cakupan Pembahasan
1. Klasifikas fraktur Ellis
2. Interpretasi hasil pemeriksaan objektif
3. Interpretasi hasil pemeriksaan radiografi
4. Mekanisme nyeri dan bengkak pada skenario
5. Korelasi riwayat lesi dengan diagnosis skenario
6. Patogenesis diskolorasi pada skenario
7. Pathogenesis lesi periapikal pada skenario
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Klasifikasi Fraktur Ellis
a. Klasifikasi menurut Ellis (1970)
1. Kelas I : Fraktur mahkota sederhana dengan sedikit atau
tidak ada dentin yang terpengaruh
Fraktur Ellis kelas I hanya melibatkan enamel. Gigi
dengan kondisi kelas I Ellis tidak boleh terkena trauma lebih lanjut,
maka dari itu, harus dilakukan penanganan segera meliputi
penghalusan tepi email yang kasar dan restorasi komposit resin
tanpa finishing dan polishing yang ekstensif. (Vipul, Swarnika, and
Roopali 2014)
2. Kelas II : Fraktur mahkota ekstensif dengan kehilangan
dentin yang cukup banyak, tetapi pulpa tidak terpengaruh.
Fraktur Ellis kelas II melibatkan fraktur email dan dentin,
atau menyisakan dentin yang terbuka. Dentin yang terbuka harus
dilindungi sedini mungkin setelah trauma agar tidak terjadi
hipersensitivitas (Vipul, Swarnika, and Roopali 2014)
3. Kelas III : Fraktur mahkota ekstensif dengan kehilangan gigi
dan pulpa yang cukup besar.
Fraktur Ellis kelas III melibatkan fraktur email dan dentin
yang terkena pulpa. Gigi fraktur yang terkena pulpa kemungkinan
besar memerlukan penatalaksanaan dengan teknik pulpotomi,
bukan pulpotomi parsial. Pada gigi dengan pembentukan akar
yang tidak sempurna, pulpotomi sangat penting untuk menjaga
vitalitas pulpa (Vipul, Swarnika, and Roopali 2014)
4. Kelas IV : Gigi yang mengalami devitalisasi karena trauma
dengan atau tanpa kehilangan struktur gigi.
Fraktur Ellis kelas IV melibatkan gigi yang mengalami
trauma, yang menjadi non-vital dengan atau tanpa kehilangan
struktur mahkota. Ketika nekrosis pulpa secara keseluruhan terjadi
maka diperlukan pulpektomi atau pengangkatan pulpa seluruhnya.
Jika pembentukan akar belum sempurna, maka untuk mencapai
4
penutupan apikal harus dilakukan apeksifikasi (Vipul, Swarnika,
and Roopali 2014)
5. Kelas V : Gigi tanggal akibat trauma.
Karena posisi anatominya, gigi yang paling sering
mengalami avulsi adalah gigi seri tengah rahang atas. Menurut
Andreasen, gigi yang erupsi memiliki struktur ligamen periodontal
yang longgar sehingga rentan terjadi avulse. Pasien dengan gigi
avulsi harus dibawa ke dokter gigi untuk dilakukan replantasi gigi
sedini mungkin (Vipul, Swarnika, and Roopali 2014).
6. Kelas VI : Fraktur akar dengan atau tanpa hilangnya struktur
mahkota.
Merupakan fraktur akar paling sering terjadi di sepertiga
tengah akar. Tujuan akhir pengobatan fraktur akar ini adalah
menyatukan kembali segmen yang mengalami kalsifikasi yang
segera diikuti dengan imobilisasi dari segmen insisal untuk
memungkinkan penyatuan kembali (Vipul, Swarnika, and Roopali
2014)
7. Kelas VII : Perpindahan gigi tanpa fraktur akar atau mahkota
Tujuan dalam perawatan gigi yang mengalami
displacement adalah reposisi secepatnya, dapat dilakukan
prosedur pemasangan splint dan juga perawatan saluran akar.
Splint biasanya diperlukan kecuali pada kasus dimana
displacement sangat sedikit yang disertai dengan sedikit mobilitas
(Vipul, Swarnika, and Roopali 2014).
8. Kelas VIII : Fraktur mahkota lengkap dan penggantiannya.
Fraktur Ellis Kelas VIII ditandai dengan fraktur mahkota
yang parah. Terkadang gigi dapat retak secara horizontal pada
area sementoenamel junction. Jika fraktur sedemikian rupa maka
restorasi gigi tidak mungkin dilakukan sehingga diindikasikan
untuk ekstraksi gigi (Vipul, Swarnika, and Roopali 2014).
9. Kelas IX : Cedera traumatis pada gigi sulung.
Kebanyakan cedera disebabkan karena terjatuh dan
kecelakaan ketika bermain. Gigi pada rahang atas lebih sering
terkena dibandingkan rahang bawah, sedangkan manifestasinya
pada gigi sulung lebih sering berupa perubahan tempat
5
dibandingkan fraktur mahkota (Vipul, Swarnika, and Roopali
2014).
6
Gambar 4: Crown Fracrure Class III
4. Kelas IV : Gigi yang mengalami trauma yang menyebabkan gigi
menjadi nonvital dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota
7
terdeteksi dengan palpasi. Seperti adanya kecacatan, pembengkakan,
benjolan luka, cedera, memar, fraktur, dislokasi atau sebagainya.
Pada scenario dielaskan bahwa kelenjar getah bening tidak teraba.
B. Pemeriksaan Intraoral
1. Visual
Dilakukan dengan menggunakan kaca mulut dan sonde untuk
mengetahui keadaan jaringan pulpa dan periapeks untuk melihat
lokasi, kedalaman dan perluasan karies, warna gigi, fraktur
mahkota, restorasi yang rusak. Hasil pemeriksaan pada scenario
menunjukkan adanya pembengkakan berukuran 2x2 cm pada
mukosa palatal gigi 13, gigi 13 mengalami diskolorisasi warna, dan
adanya fraktur mahkota pada incisal edge gigi 13.
2. Perkusi
Perkusi dapat memnentukan ada tidaknya penyakit periapical.
Caranya dengan mengetukan ujung kaca mulut yang dipegang
pararel tegak lurus terhadap mahkota pada permukaan incisal
atau oklusal. Apabila positif (terasa linu) maka ada kelainan
jaringan periodontal. Pada skenario didapatkan hasil tes perkusi
adalah positif dapat diartikan adanya peradangan pada ligament
periodontal gigi 13.
3. Palpasi
Palpasi digunakan untuk menentukan seberapa jauh proses
inflamasi telah meluas ke arah periapical dengan
perabaan/tekanan ringan untuk mengetahuai ada tidaknya
pembengkakan, ada tidaknya rasa sakit pada daerah palpasi,
perluasan lesi, dan konsistensi lesi. Apabila positif (ada rasa sakit)
berarti adanya perluasan lesi sampai melewati korteks tulang,
apabila hasilnya negative (tidak sakit) lesi belum melewati korteks
tulang.
4. Tes Mobilitas
Tes mobilitas digunakan untuk mengetahui derajat kegoyanga gigi
sehingga dapat mendeteksi ada atau tidaknya kerusakan tulang
alveolar, caranya dengan mengunakan 2 ujung instrument yang
digerakkan. Pada scenario didapatkan hasil tes mobilitasnya
8
positif dapat diartikan adanya kerusakan pada tulang alveolar di
gigi 13.
5. Tes vitalitas
Digunakan untuk mendeteksi kondisi pulpa dengan menggnakan
termal. Termal panas dengan menggunakan gutta perca panas
atau instrument panas, termal dingin menggunakan chloretyl yang
ditempelkan pada servikal gigi. Apabila positif (ada rasa linu)
berarti pulpa masih vital, apabila negative (tidak ada rasa linu),
pulpa sudah non vtal. Pada pemeriksaan tes vitalitas scenario,
menunjukkan hasil negative tidak adanya rasa linu atau gigi 13
sudah non vital.
3. Interpretasi hasil pemeriksaan radiografi
• Interpretasi Hasil :
A. KUALITAS MUTU
Excellence
Keterangan :
a) Kontras : Baik
b) Resolusi : Baik
c) Densitas : Cukup
d) Region of interest : Baik
e) Distorsi : Tidak adanya distorsi
B. INTERPRETASI RADIOGRAF
a) Mahkota : Elemen gigi 13, mahkota secara anatomis terlihat
seluruhnya.
b) Akar : jumlah akar 1, saluran akar 1, terdapat
readiolusen pada distal dekat dengan cervical gigi 13.
9
c) Periodontal Space : dalam batas normal, pada 1/3 bawah tidak
terlihat karena tertutup oleh lesi.
d) Lamina Dura : menghilang pada bagian distal dan bagian
1/3 apeks mesial menghilang.
e) Alveolar Crest : terdapat penurunan tulang alveolar di
sebelah mesia kea rah horizontal dan resorbsi bagian distal ke
arah vertical.
f) Furkasi :-
g) Periapical : terdapat radiolusen pada daerah periapical
dengan batas jelas (well-defined) dan dibatasi oleh garis
radioopak
h) Radiodiagnosis : Nekrosis pulpa dengan kista periapical
10
akan menjadi hebat karena adanya penumpukan nanah dan terjebak
dalam tulang. Nyeri merupakan pengalaman sensorik yang
multidimensional. Dapat berbesa dalam intensitasnya (ringan,sedang,
berat), kulitasnya (tumpul, seperti terbakar, atau tajam), durasi (transien,
intermiten, atau persisten), penyebarannya (superfisial atau dalam,
terlokalisir atau difus). Ketika diaktifkan oleh stimulus yang cukup
menyebabkan kerusakan jaringan atau pelepasan mediator inflamasi,
ujung saraf dipulpa dan jaringan periradikuler mulai mengirimkan sinyal
ke system saraf pusat (SSP) yang pada akhirnya dapat dianggap sebagai
nyeri.
Kista radikuler adalah kelanjutan dari granuloma periapikal. Dalam
keadaan normal, jaringan di sekitar apeks gigi akan berusaha
membendung laju jejas untuk menyebar ke jaringan periradikuler dengan
cara mengadakan proliferasi jaringan granulasi sehingga terbentuk suatu
granuloma periapikal. Jika proses epitel berlangsung terus maka epitel sel
malassez yang terperangkap di dalam granuloma mengadakan
proliferasi. Proliferasi ini diduga terjadi karena adanya penurunan tekanan
oksigen dan adanya kemampuan epitel untuk mengadakan glikolisis
anaerobik(Mappangara and Tajrin 2014).
Grossmann dkk menyatakan bahwa pertumbuhan kista yang terus
berlangsung disebabkan oleh karena meningkatnya tekanan osmosis
dalam lumen sehingga sel di pusat dan pada dinding sel mengalami
degenerasi akibat dari ischemia. Epitel memperbanyak diri dengan cara
pembelahan sel di daerah yang berdekatan dengan lapisan sel basal, sel
pada bagian sentral menjadi terpisah, semakin lama semakin menjauh
dari sumber nutrisi, kapiler dan cairan jaringan dari jaringan ikat. Oleh
karena kegagalan memperoleh nutrisi, bagian tersebut akan mengalami
degenerasi sehingga menjadi nekrotik. Sel pada bagian sentral proliferasi
epitel malassez ini akan mengalami kematian, membentuk suatu
epithelial loop, sehingga terbentuk suatu kista radikuler yang kecil.
Eksudat mengalir kerongga kista secara pasif akibat adanya kenaikan
tekanan osmosis yang timbul oleh karena adanya pelepasan sel-sel
epitel, leukosit, dan makrofag ke rongga kista. Dengan adanya akumulasi
cairan di dalam rongga kista serta resorpsi tulang rahang di sekitarnya,
kista radikuler menjadi bertambah besar. Membesarnya kista radikuler
11
diduga juga disebabkan oleh karena adanya tekanan hidrostatik internal
pada kista radikuler (berkisar antara 55,6 – 95,0 cm air, dengan rerata
70,0 cm air) yang lebih tinggi dari tekanan darah kapiler sekitar.
(Mappangara and Tajrin 2014).
12
Trauma pada Gigi
Bakteri patogen
Respon kemokin
Bermigrasi
Sitokin
Th 1
Berdiferensiasi Sel T regulator
Th 2
Hasil :
13
6. Pathogenesis diskolorasi scenario
Diskolorasi adalah suatu keadaan dimana warna gigi mengalami
perubahan karena berbagai faktor penyebab baik bersifat fisiologik dan
patologik atau eksogenus dan endogenus Perubahan warna pada gigi
terjadi seiring bertambahnya umur pada hidup seseorang. Warna normal
pada gigi susu adalah putih kebiruan dan pada gigi permanen adalah
kuning keabu-abuan, putih keabu-abuan atau putih kekuning-kuningan,
warna gigi pada orang tua biasanya lebih kuning atau keabu-abuan
dibanding dengan gigi permanen muda, hal tersebut ditentukan oleh
ketebalan dan derajat tembus cahaya atau translusensi email, warna dan
ketebalan pada dentin serta pulpa (Grossman, 2010).
Klasifikasi diskolorasi gigi menurut Grossman (2010), adalah
sebagai berikut :
1) Diskolorasi Ekstrinsik
Diskolorasi ekstrinsik yang bersifat lokal ini ditemukan pada
permukaan luar gigi. Beberapa penyebab dari diskolorasi ekstrinsik
adalah noda tembakau, teh yang dapat melekat pada pelikel email
dan bergabung melalui lapisan permukaan. Diskolorasi ekstrinsik ini
dapat dihilangkan dengan skaling dan pemolesan pada gigi.
2) Diskolorasi Intrinsik
Diskolorasi intrinsik disebabkan karna akumulasi atau penumpukan
suatu agen aktif yang menghasilkan noda pada gigi yang terdapat di
dalam email dan dentin. Penyebab diskolorasi intrinsik membuat
email menjadi translusensi karna stain sudah masuk ke dalam dentin.
Penyebab lain pada gigi nonvital, misalnya trauma selama ekstirpasi
pulpa, material restorasi gigi, dan material perawatan saluran akar.
Dentinogenesis imperfekta dan amelogenesis imperfekta yang terjadi
pada periode perkembangan gigi menjadi salah satu penyebab
diskolorasi intrinsik dan tidak dapat dihilangkan prosedur perawatan
pemutihan biasa karna kerusakan terjadi dalam email dan dentin.
14
Tabel 1: etiologi diskolorisasi (intrinsik dan ekstrinsik)
Pada kasus di scenario pasien mengalami trauma karena terjatuh dari
sepeda motor yang menyebabkan gigi depannya terbentur keras, terjadinya
trauma mengakibatkan perubahan warna pada gigi. Trauma/cedera yang tidak
disengaja pada gigi dapat menyebabkan perubahan degeneratif pulpa dan email
yang dapat mengubah warna gigi (Gambar 30.11). Perdarahan pulpa
menyebabkan perubahan warna keabu-abuan dan pulpa menjadi nonvital.
Cedera menyebabkan perdarahan yang mengakibatkan lisis sel darah merah
dan pelepasan besi sulfida yang masuk ke tubulus dentin dan menghitamkan gigi
di sekitarnya. (Garg Nisha, 2019)
15
Gambar 8: pathogenesis kista radikuler (a) karies gigi menunjukkan infeksi
periapical (b) fase inisiasi (c) fase proliferasi (d) fase pembentukan kista € gigi non
vital dengan kista radikuler.
Patogenesis kista radikuler dijelaskan dalam tiga fase, yaitu fase
inisiasi, fase pembentukan kista, dan fase pembesaran. Pada awalnya,
akibat dari adanya trauma atau infeksi, sisa sisa epitel Malassez di PDL
dirangsang untuk berkembang. Selanjutnya, akan terbentuk rongga oleh
cairan nekrosis epitel odontogenic. Pada fase inisiasi, ini dikaitkan
dengan peran dari berbagai sitokin dan kemokin. Infeksi dari trauma atau
infeksi menyebar kearah periapical, dimana bakteri endotoksin memicu
sel epitel untuk beristirahat, akibatnya, terjadi proses inflamasi yang
mengakibatkan pelepasan sitokin. Fase perkembangan kista atau fase
kedua, sel epitel proliferative berungsi sebagai blok untuk perkembangan
dinding kista. Hal ini terjadi karena dekomposisi simultan jaringan epitel
dan granulasi dan konvergensi beberapa rongga, dengan epitelisasi
berikutnya. Pada fase ketiga, yaitu pembesaran, atau pertumbuhan kista,
karena dekomposisi sel epitel, leukosit dan akumulasi eksudat plasma,
osmolalitas cairan kista menjadi lebih tinggi daripada serum. Akibatnya,
tekanan internal hidrostatis menjadi lebih besar dari tekanan kaipler. Oleh
karena itu, cairan jaringan berdifusi kedalam kista, membuatnya
bertambah besar, dengan resorpsi tulang osteoklastik, kista berkembang
dan factor resorbsi lainnya, seperti prostaglandin, interleukin, dan
proteinase, dari sel inflamasi dan sel-sel dibagian perifer lesi
memungkinkan pembesaran kista tambahan. Pada peletitian terdahulu
16
telah memberikan bukti bahwa yang berperan dalam pembesaran kista
adalah osmosis, produk litik dari sel epitel dan adanya inflamasi
memberikan pengaruh terhadap perubahan tekanan osmotic di berbagai
area, yang menyebabkan bertambahnya ukuran kista. (Garg Nisha, 2019)
Sedangkan menurut Lin, et al. 2007. Penyebab pembentukan
kista apical ada tiga teori yaitu “Nutricial deficiency theory”, “Abcess
theory”, dan “Merging of epithelial standars theory”. Nutricial deficiency
theor mengasumsikan bahwa Ketika pulau epitel terus meluas, banak sel
epitel sentral menjauhi suplai nutrisinya dan mengalami nekrosis dan
degenerasi likuifaksi. Abcess theory ketika rongga abses terbentuk
dijaringan ikat periapical, selanjutnya abses akan dikelilingi oleh epitel
karena pergerakan alami epitel skuamous berlapis ke garis permukaan
jaringan ikat yang terbuka. Dapat dihipotesiskan bahwa pembentukan
kista apikalis kepmungkinan besar disebabkan karena munculnya epitel
yang berkembang ke segala arah untuk membentuk seperti bola,
terutama jaringan ikat fibrosa dengan berbagai tingkat sel inflamasi, yang
terperangkap dalam epitel dan akan berangsur menurun karena
hilangnya suplai darah, dan rongga kista akan terbentuk. Akibatnya,
mediator inflamasi, sitokin proinflamasi, growth factor, dan
immunoglobulin dapat ditemukan dalam rongga kista.
17
Gambar 10: pathogenesis lesi periodontitis apical akut (a,b), kronis (c), dan
kista (d,e) lesi periodontitis apical (AP). Lesi akut bisa primer (a) atau sekunder (b)
dan ditandai dengan adanya PMNs. Komponen utama dari lesi kronis adalah (c)
adalah Limfosit (Ly), sel plasma (Pc), dan makrofag (Ma). Kista periapical dapat
dibedakan menjadi true cyst (d) dengan lumina yang tertutup sepenuhnya, dan
pocket cyst, dengan rongga terbuka ke saluran akar.
18
BAB III
PETA KONSEP DAN KESIMPULAN
A. Peta Konsep
Trauma
Management
Ya Tidak
Lesi Periapikal
Kista Periapikal
Pemeriksaan :
Patogenesis
1. Pemeriksaan subjektif
2. Pemeriksaan objektif
3. Pemeriksaan penunjang
(radiografi)
Penatalaksanaan
B. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa fraktur gigi akibat dari trauma apabila
tidak dilakukan perawatan dengan baik akan berlanjut dan bertambah
buruk kondisinya sampai pada lesi periapical. Hal ini karena adanya
trauma yang menyebabkan gigi menjadi fraktur, masuknya bakteri
kedalam pulpa gigi sehingga menyebabkan nekrosis pulpa dan kondisi
pulpa menjadi non vital, dan bila dibiarkan terus menerus akan terbentuk
cairan (pus) yang keluar dari periapical gigi dan berkembang menjadi
kista periapical, sehingga perlu dilakukannya perawatan bedah.
19
DAFTAR PUSTAKA
20