Disusun Oleh:
Aliful Nisa Noviga
121611101047
Instruktur :
drg. Roedy Budirahardjo, M.Kes. Sp.KGA.
BAGIAN PEDODONSIA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2017
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL. .................................................................................... 1
DAFTAR ISI ............. .................................................................................... 2
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... 3
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................ 4
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 5
1.3 Tujuan Makalah ........................................................................ 5
1.4 Manfaat Makalah ...................................................................... 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 6
2.1 Klasifikasi Fraktur/Trauma pada Gigi ...................................... 5
2.2 Periode Erupsi Gigi Sulung....................................................... 10
2.3 Periode Erupsi Gigi Permanen .................................................. 11
BAB 3. PEMBAHASAN ............................................................................... 13
BAB 4. KESIMPULAN ................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 25
2
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Periode Erupsi Gigi Permanen .................................................................. 11
2.2 Periode Erupsi Gigi Permanen .................................................................. 12
3.1 Foto intraoral sebelum perawatan .............................................................. 15
3.2 Foto radiografi periapikal sebelum perawatan ........................................... 16
3.3 Foto radiografi periapikal setelah pengisian .............................................. 16
3.4 Foto intraoral setelah dilakukan restorasi tetap dengan GIC .................... 16
3.5 Foto intraoral pandangan labial .................................................................. 18
3.6 Foto intraoral pandangan oklusal ............................................................... 18
3.7 Foto radiografi panoramik sebelum perawatan .......................................... 19
3.8 Foto radiografi periapikal sebelum perawatan ........................................... 19
3.9 Perawatan menggunakan alat orthodontik cekat selama 4 bulan sebelum
dilakukan insersi mahkota tetap ................................................................ 20
3.10 Perencanaan mahkota zirkonium dengan menggunakan komputer ......... 21
3.11 Foto intraoral pada 1 minggu setelah insersi mahkota tetap .................... 21
3.12 Foto intraoral pada bulan keduabelas setelah insersi mahkota tetap........ 22
3.13 Foto radiografi periapikal pada bulan keduabelas ................................... 22
3
BAB 1. PENDAHULUAN
4
1.3 Tujuan makalah
Penelitian bertujuan untuk apakah terdapat perbedaan prevalensi fraktur
pada periode erupsi gigi sulung dengan periode erupsi gigi permanen pada
anak.
5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
6
1. Kemungkinan untuk mengidentifikasi keadaan klinis pulpa
2. Keyakinan mutlak bahwa tidak mungkin melihat dentin dan pulpa
sebagai organ yang terpisah dan bahwa itu merupakan sebuah satu
kesatuan sehingga setiap trauma yang mengenai dentin akan secara
tidak langsung juga berdampak pada pulpa.
3. Penentuan pengobatan
Klasifikasi ini cenderung disederhanakan dengan tidak
memperhitungkan besar atau kecilnya paparan yang mengenai pulpa
secara tidak langsung. Klasifikasi fraktur mahkota menurut Ulfohn:
1. Mengenai enamel
2. Mengenai pulpa secara indirect melalui dentin
3. Mengenai pulpa secara langsung
2.1.1.4 Klasifikasi Fraktur Berdasarkan Ellis (1970)
1. Klas I, fraktur mahkota sederhana yang tidak mengenai atau sedikit
mengenai dentin
2. Klas II, fraktur mahkota yang luas dengan kehilangan dentin yang
besar namun tidak mengenai pulpa
3. Klas III, fraktur mahkota yang luas dengan kehilangan dentin yang
besar dan mengenai pulpa
4. Klas IV, gigi devital karena trauma dengan atau tanpa kehilangan
struktur gigi
5. Klas V, kehilangan gigi akibat trauma
6. Klas VI, fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota
7. Klas VII, gigi mengalami displacement dengan atau tanpa fraktur pada
akar atau mahkota
8. Klas VIII, fraktur mahkota yang menyeluruh dan berpindah
9. Klas IX, trauma pada gigi sulung
2.1.1.5 Klasifikasi Fraktur Berdasarkan Ellis dan Davey(1970)
1. Klas 1, fraktur mahkota sederhana yang tidak mengenai atau sedikit
mengenai dentin
2. Klas 2, fraktur mahkota yang luas dengan kehilangan dentin yang
besar namun tidak mengenai pulpa
7
3. Klas 3, fraktur mahkota yang luas dengan kehilangan dentin yang
besar dan mengenai pulpa
4. Klas 4, gigi menjadi non vital karena trauma dengan atau tanpa
kehilangan struktur gigi
5. Klas V, kehilangan gigi akibat trauma
6. Klas VI, fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota
7. Klas VII, gigi mengalami displacement dengan atau tanpa fraktur pada
akar atau mahkota
8. Klas VIII, fraktur mahkota yang menyeluruh dan berpindah
2.1.1.6 Klasifikasi Fraktur Berdasarkan World Health Organization (WHO)
(1994)
Klasifikasi ini mengadaptasi sistem WHO yang diaplikasikan pada
International Classification of Disease to Dentistry and Stomatology. Klasifikasi
ini meliputi trauma pada gigi, jaringan pendukunh, gingiva, dan mukosa mulut
dan berdasarkan pertimbangan anatomi, perawatan dan prognosisnya. Klasifikasi
ini dapat diterapkan pada gigi sulung maupun permanen
1. Trauma mengenai jaringan keras gigi dan pulpa
a. Enamel infraction (N 502.50), fraktur yang tidak sempurna
(crack) pada enamel tanpa kehilangan substansi gigi
b. Fraktur enamel (fraktur mahkota sederhana) (N 502.50), fraktur
dengan kehilangan substansi gigi pada enamel
c. Fraktur enamel-dentin (fraktur mahkota sederhana) (N 502.51),
fraktur dengan kehilangan substansi gigi pada enamel dan
dentin tapi tidak melibatkan pulpa
d. Fraktur yang rumit (N 502.52), fraktur yang melibatkan enamel
dan dentin tapi dan mengenai pulpa
e. Fraktur mahkota-akar sederhana (N 502.54), fraktur yang
melibatkan enamel, dentin, dan sementum tapi tidak mengenai
pulpa
f. Fraktur mahkota-akar rumit (N 502.54), fraktur yang
melibatkan enamel, dentin, dan sementum, serta mengenai
pulpa
8
g. Fraktur akar (N.502.53) Fraktur mengenai dentin, sementum
dan pulpa.
2. Trauma mengenai jaringan periodontal
a. Concussion (N 503.20), trauma mengenai struktur pendukung
gigi sehingga terjadi pelonggaran soket yang abnormal dan gigi
mengalami displacement bila diperkusi
b. Subluksasi (loosening) (N 503.20), trauma mengenai struktur
pendukung gigi sehingga terjadi pelonggaran soket yang
abnormal namun tanpa displacement gigi.
c. Luksasi ekstrusif (peripheral dislocation, peripheral avulsion)
(N 503.20) bergeraknya sebagian gigi keluar dari soketnya
d. Luksasi lateral (N 503.20) bergeraknya sebagian gigi tidak
searah dengan sumbu aksial biasanya diikuti dengan fraktur
pada tulang alveolar.
e. Luksasi intrusif (N 503.21) bergeraknya sebagian gigi masuk
ke tulang alveolar biasanya diikuti dengan fraktur pada tulang
alveolar.
f. Avulsi (exarticulation) (N 503.21) lepasnya gigi keluar dari
soketnya.
3. Trauma mengenai tulang alveolar
a. Benturan di mandibula (N.502.60) atau maksila (N.502.40)
mengenai soket tulang alveolar. Kondisi ini secara ditemukan
bersamaan dengan terjadinya gigi yang intrusif atau luksasi
lateral
b. Fraktur mandibula (N.502.60) atau maksila (N.502.40)
mengenai dinding soket alveolar terbatas pada bagian fasial
maupun bagian oral.
c. Fraktur mandibula (N.502.60) atau maksila (N.502.40)
mengenai prosesus alveolar. Fraktur pada prosesus alveolar
yang mungkin melibatkan atau tidak melibatkan soket alveolar.
9
d. Fraktur melibatkan basis mandibula atau maksila dan sering
terjadi pada prosesus alveolar (fraktur dagu). Fraktur dapat
melibatkan atau tidak melibatkan soket alveolar.
4. Trauma mengenai gingiva atau mukosa rongga mulut
a. Laserasi gingiva atau pada mukosa mulut (S01.50), luka yang
dangkal maupun dalam pada mukosa yang merupakan akibat
dari luka sobek yang dihasilkan oleh benda tajam.
b. Contusion atau luka memar pada gingiva atau mukosa mulut
(S00.50). luka memar biasanya diakibatkan benda yang tumpul
dan tidak diikuti terjadinya kerusakan mukosa, biasanya
menyebabkan perdarahan sub mukosa.
c. Abrasi gingiva atau mukosa mulut (S00.50). Luka superfisial
yang diakibatkan goresan pada mukosa yang mengakibatkan
terjadinya perdarahan pada mukosa.
10
8. Gigi caninus atas
9. Gigi molar kedua bawah
10. Gigi molar kedua atas
11
Gambar 2.2. Periode erupsi gigi permanen (ADA, 2005)
12
BAB 3. PEMBAHASAN
13
predisposisi yaitu, faktor eksternal, misalnya permainan yang berbahaya. dan
faktor internal, misalnya karena bibir yang inkompeten, posisi gigi anterior yang
protrusif atau struktur tulang pada gigi sulung yang jumlah mineral lebih sedikit
dibandingkan dengan gigi permanen (Fauziah dan Soenawan, 2008;Zaleckiene, et.
al, 2014). Berdasarkan jenis hubungan oklusinya, trauma gigi lebih sering
dijumpai pada klas I (neutroklusi) dibandingkan dengan jenis yang lainnya, yaitu
sebanyak 39%, namun ada pula yang menemukan bahwa trauma lebih sering
terjadi pada hubungan oklusi kelas II (Damia, et. al, 2011).
Trauma pada gigi sulung sering terjadi pada kelompok rentang usia 0-6
tahun terutama usia 1,5-2 tahun, yakni pada saat anak belum dapat berjalan stabil
sehingga mudah terjatuh atau tertabrak berhubungan dengan perkembangan
kemampuan anak untuk bergerak secara mandiri (Fauziah dan Soenawan, 2008;
Zaleckiene, et. al, 2014) . Sedangkan pada gigi permanen trauma banyak terjadi
disebabkan karena kecelakaan ketika bermain dan olahraga pada rentang usia 7-15
tahun dan disebabkan karena mengalami kekerasan pada rentang usia 21-25 tahun
(Zaleckiene, et. al, 2014).
Trauma gigi permanen pada anak disebabkan paling banyak karena
terjatuh 31,7%-64,2% diikuti oleh aktivitas olahraga 40,2%, kecelakaan saat
bersepeda 19,5%, kecelakaan lalu lintas 7,8%, dan kekerasan fisik 6,6%
(Zaleckiene, et. al, 2014). Pada anak usia 8-12 tahun bermain adalah aktivitas
yang penting untuk perkembangan fisik dan psikologis. Bentuk permainan yang
paling sering menyebabkan trauma gigi adalah permainan yang bersifat kompetisi.
Permainan tersebut menjadi penyebab terbesar kasus trauma gigi permanen
anterior karena memungkinkan terjadi ketidakseimbangan koordinasi motorik
sehingga menyebabkan anak memiliki potensi terjatuh ke depan dengan posisi
muka dan gigi membentur benda keras (Ikaputri, et. al., 2014).
Pada anak usia rentang 4-6 tahun lokasi trauma sering sekali terjadi di
taman bermain yaitu sebanyak 40%, sekolah 25%, rumah 15%, taman 10%, jalan
5%, dan tempat lainnya 5% (Bhayya dan Tarulatha, 2013). Perawatan yang biasa
diberikan pada gigi yang fraktur yaitu tumpatan sebanyak 43,2%, perawatan
endodontik 4,9%, ekstraksi 2,5%, re-implant 2,5% dan 37% lainnya tidak
diberikan perawatan (Damia, et. al, 2011).
14
Kasus 1
Seorang anak perempuan berusia 3,5th datang ke RSGM Ramaiah
University dengan keluhan utama gigi atas depan patah sejak 3hari yang lalu.
Tidak dijumpai adanya riwayat kesehatan umum dan kesehatan gigi yang ganjal.
Ayah pasien mengatakan bahwa anaknya terjatuh ketika bermain 2 hari yang lalu,
dan giginya patah. Anak dalam keadaan sadar dan tidak ada tanda-tanda mual
ataupun perubahan perilaku. Anak mulai merasakan sakit sehari setelah gigi
mengalami fraktur dan rasa sakit tidak dapat disembuhkan dengan obat apapun.
Pemeriksaan klinis menunjukkan kebersihan rongga mulut yang baik,
pasien sedang dalam periode gigi sulung, dan gigi insisiv kiri rahang atas
mengalami fraktur melibatkan enamel, dentin, dan pulpa. Pemeriksaan lanjutan
menggunakan foto radiografi periapikal menunjukkan adanya gambaran garis
horizontal yang radiolusen di sepertiga apikal.
Berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiografi, pasien didiagnosa fraktur
akar horizontal pada insisif sentral kanan rahang atas (51) dan fraktur mahkota
pada gigi insisif sentral kiri rahang atas (61). Rencana perawatan yang akan
dilakukan adalah pulpektomi pada gigi insisif sentral kiri dengan mengunakan
ZOE sebagai bahan pengisi dan menggunakan GIC untuk restorasi tetapnya. Pada
gigi insisif sentral kanan dilakukan observasi karena tidak terdapat displacement
mahkota dan tidak terjadi kegoyangan. Selain itu ketika oklusi pasien juga baik
dengan tumpang gigit dan jarak gigit yang memuaskan. Pasien diinstruksikan
untuk makanmakanan yang halus dan kontrol setiap. Setelah dilakukan follow up
selama 4 bulan tiap minggunya, yidak dijumpai adanya keluhan.
15
Gambar 3.2 Foto radiografi periapikal sebelum perawatan
Gambar 3.4 Foto intraoral setelah dilakukan restorasi tetap dengan GIC
16
Pada kasus fraktur mahkota, dalam menentukan rencana perawatan perlu
mempertimbangkan ukuran ruang pulpa, tahap perkembangan akar dan derajat
resorbsi akar. Selain itu juga memperhatikan kekooperatifan pasien serta usia gigi
yang terkena. Berdasarkan panduan IADT, pada anak yang masih sangat muda,
akar gigi masih mengalami perkembangan dan belum sempurna sehingga dapat
menguntungkan untuk dilakukan pulp capping untuk mempertahankan vitalitas
pulpa ataupun pulpotomi sebagian. Rencana perawatan tersebut juga merupakan
pilihan bagi pasien muda yang akarnya sudah terbentuk sempurna. Bahan yang
digunakan dapat menggunakan Calcium hydroxide. Selain itu ekstraksi gigi juga
dapat menjadi pilihan terakhir karena dapat mengganggu estetik, fungsi bicara,
kehilangan ruang, dan kualitas hidup anak.
Kasus 2
17
Gambar 3.5 Foto intraoral pandangan labial
18
Gambar 3.7 Foto panoramik sebelum perawatan
19
Gutta-percha (Sure- Endo, Seoul, Korea) dan AH plus sealer (Dentsply, De Trey
GmBH, Germany) dan diberi tumpatan sementara menggunakan semen glass
ionomer (Fuji IX, GC Corporation, Tokyo, Japan).
Pengurangan bahan pengisi hingga sepertiga apikal dilakukan, kemudian
pasak fiber glass (Everstick POST, Stick Tech, Ltd, Turku, Finland) yang sudah
diukur dan disesuaikan dengan diameter saluran akar menggunakan scalpel
dipasang-cobakan dalam saluran akar. Kemudian dilakukan aplikasi bahan etsa
dan bonding, kemudian pasak diinsersikan dan dipasang mahkota sementara dari
bahan akrilik.
Mahkota keramik zirkonium disiapkan. Namun, tidak tersedia cukup ruang
untuk mahkota tetap karena sumbu gigi pada gigi-gigi yang berdekatan tidak baik
sehingga dilakukan perawatan menggunakan alat orthodontik cekat selama 4
bulan untuk merapikan lengkungnya (leveling). Setelah alat orthodontik ceka
dilepas, kemudian diberi retainer untuk mencegah terjadinya relaps. Kemudian
dilakukan pencetakan, dan pendesainan mahkota zirkonia menggunakan
komputer. Setelah itu dilakukan insersi mahkota tetap. Pasien kemudian
diinstruksikan untuk kontrol pada bulan pertama, ketiga, keenam dan keduabelas.
20
Gambar 3.10 Perencanaan mahkota zirkonium dengan menggunakan komputer
Gambar 3.11 Foto intraoral pada 1 minggu setelah insersi mahkota tetap
21
Gambar 3.12 Foto intraoral pada bulan keduabelas setelah insersi mahkota tetap
22
perawatan rehabilitatif prostetik. Rencana perawatan ditentukan pada jenis dan
level frakturnya.
Pada pasien yang menerima perawatan endodontik dan mengalami
kehilangan mahkota yang besar, dukungan akar diperlukan, karena jaringan gigi
yang tersisa tidak cukup kuat untuk menahan beban restorasi. Penggunaan pasak
direkomendasikan pada gigi yang mengalami trauma yang melibatkan duapertiga
bagian mahkota.
Pasak fiber memberikan estetik yang baik, selain itu, modulus elastisitas
pada pasak fiber hampir sama dengan dengan dentin. Pada kasus ini dimana faktor
estetik memegang peranan penting, maka diaplikasikan pasak fiber.
23
BAB 4. KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
Gadicherla, Prahlad dan M. Mala Devi. Root Fracture in Primary Teeth: Case
Report. Journal of Dental & Oro Facial Research. 2016;12(1):33-35.
Loomba K., Loomba A., Bains R., Bains V. K. Proposal For Classification Of
Tooth Fractures Based On Treatment Need. Journal of Oral Science.
2010;52(4):517-529).
25