PENGELOLAAN FRAKTUR
DENTOALVEOLAR
Disusun oleh :
Wahyu Septian 09/280097/KG/8381
Erliani Tantri Harsono 09/280502/KG/8403
Euis Sugiarti 09/280649/KG/8415
Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi, subluksasi, atau
fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur dentoalveolar dapat terjadi
tanpa atau disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya, biasanya terjadi akibat kecelakaan
ringan seperti jatuh, benturan saat bermain, berolahraga atau iatrogenik (Banks dan Brown,
2001).
Menurut Tiwana epidemiologi fraktur dentoalveolar serupa dengan epidemiologi fraktur
maksilofasial. Puncak insidensi terjadi pada anak usia 2 - 3 tahun, sebagai akibat sekunder
perkembangan koordinasi neuromuskular. Pada gigi tetap, puncak insidensi terjadi pada anak
usia 10 tahun saat dimulainya aktivitas atletik. Etiologi yang paling sering dilaporkan adalah
akibat jatuh dan kecelakaan olahraga. Seiring pertambahan usia, etiologi paling banyak adalah
kecelakaan lalu lintas dan perkelahian (Sirait dkk, 2008).
Insidensi fraktur dentoalveolar sering terjadi di Indonesia, maka dari itu penting
untuk memahami berbagai hal mengenai fraktur dentoalveoar seperti definisi dari
pengertian, etiologi, insidensi, klasifikasi, tanda-tanda klinis, perawatan/penanggulangan trauma
ecara umum, perawatan segera, perawatan fraktur mahkota/akar gigi, avulsi gigi dan perawatan,
alat restorasi semi tetap, penanggulangan gigi sulung yang terkena trauma, dan macam-macam
alat stabilisasi.
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi, subluksasi, atau
fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur dentoalveolar dapat terjadi
tanpa atau disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya, biasanya terjadi akibat kecelakaan
ringan seperti jatuh, benturan saat bermain, berolahraga atau iatrogenik (Banks dan Brown,
2001).
Trauma dentoalveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau terlepasnya gigi-gigi
(avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan dengan fraktur yang terjadi di alveolus, dan
mungkin terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung dengan setiap bentuk
fraktur lainnya. Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan terjadinya
trauma wajah adalah kerusakan pada mahkota gigi, yang menimbulkan fraktur dengan
atau tanpa terbukanya saluran pulpa (Baumann dkk, 2004).
B. Insidensi
Insidensi fraktur adalah sekitar 5%, Ellis melaporkan suatu insidensi 4,2%, dan
Grundy melaporkan suatu insidensi sebesar 5,1%. Hal itu berarti apabila terdapat 100
orang, maka 5 diantaranya mengalami fraktur dentoalveolar. Anak laki-laki mempunyai
sekitar 2 sampai 3 kali lebih banyak gigi yang patah daripada anak perempuan. Karena
begitu banyak kecelakaan gigi yang berhubungan dengan olah raga,maka sebaiknya tiap
usaha perlindungan diadakan untuk melindungi gigi anak-anak terhadap kecelakaan-
kecelakaan tersebut dengan menggunakan program pendidikan di samping menggunakan
pelidung mulut.
C. Etiologi
Penyebab terjadinya fraktur dentoalveolar diantaranya adalah karena trauma facial
seperti trauma athletik, terjatuh, kecelakaan industri, kecelakaan lalu lintas, dan lain-lain.
Penyebab lainnya adalah akibat dari prosedur iatrogenik pada pencabutan gigi.
2
tulang. Pada segmen yang fraktur sering ditemukan pergerakan, pergeseran segmen, dan
dislokasi. Terjadi perubahan oklusal akibat ketidaksejajaran dari segmen alveolar yang
fraktur. Tes sensitivitas pada gigi di daerah fraktur dapat positif atau negatif. Pada fraktur
tulang alveolar, gigi dapat mengalami perubahan posisi, gigi dapat menjadi luksasi,
avulsi, atau impaksi.
E. Gambaran radiografis
Pada fraktur dentoalveolar garis fraktur dapat terlokalisasi, dari tepi tulang alveolar
sampai apeks akar. Teknik panoramik sangat membantu dalam menentukan bagian dan
posisi garis fraktur. Garis fraktur dapat terlihat dengan atau tanpa adanya pemisahan
fragmen. Periapical dental radiographs dapat memberikan informasi mengenai status
gigi geligi di daerah tulang alveolar yang mengalami fraktur.
F. Klasifikasi
1. Klasifikasi fraktur gigi Ellis berdasarkan kerusakan struktur gigi :
a) Klas I : Tidak ada fraktur atau fraktur mengenai email dengan atau tanpa
perubahan tempat, menunjukkan luka kecil chipping dengan kasar.
b) Klas II : Fraktur mengenai dentin dan belum mengenai pulpa dengan atau
tanpa perubahan tempat. Pasien mungkin mengeluh rasa sakit untuk
menyentuh dan kepekaan terhadap udara. Mengakibatkan paparan kuning
pucat sebagai proses dentinal yang berkomunikasi langsung dengan pulpa.
c) Klas III : Fraktur mahkota dengan pulpa terbuka dengan atau tanpa
perubahan tempat. pasien mengeluh sakit dengan manipulasi, udara, dan
suhu. Tanda merah muda atau kemerahan di sekitar dentin sekitarnya atau
darah di tengah-tengah gigi dari pulpa terkena mungkin hadir.
http://dentalbooks-
drbassam.blogspot.in/
d) Klas IV :
Gigi
mengalami
trauma
3
sehingga gigi menjadi non vital dengan atau tanpa hilangnya struktur
mahkota
e) Klas V : Hilangnya gigi sebagai akibat trauma
http://dentalbooks-
drbassam.blogspot.in/
f) Klas VI :
Fraktur akar dengan
atau tanpa hilangnya
struktur mahkota
http://dentalbooks-
drbassam.blogspot.in/
g) Klas VII :
Perpindahan gigi
atau tanpa fraktur
mahkota atau akar gigi
http://dentalbooks-
drbassam.blogspot.in/
h) Klas VIII :
Fraktur mahkota
sampai akar
http://dentalbooks-
drbassam.blogspot.in/
i) Klas IX :
Fraktur pada gigi
desidui
(Ellis,1970)
2. Berdasarkan sistem
WHO
a. Fraktur terhadap jaringan keras gigi dan pulpa
Injury Criteria
Enamel infraction Fraktur mahkota yang tidak sempurna pada
4
enamel tanpa kehilangan substansi gigi
Enamel fracture (uncomplicated) Fraktur dengan kehilangan substansi gigi
pada enamel
Enamel-Dentin fracture Fraktur dengan kehilangan substansi gigi
(uncomplicated) pada enamel dan dentin
Complicated crown fracture Fraktur yang melibatkan enamel, dentin
hingga pulpa terbuka
Uncomplicated crown-root Fraktur yang melibatkan enamel, dentin
fracture dan sementum, tapi tidak membuka pulpa
Complicated crown-root fracture Fraktur yang melibatkan enamel, dentin
dan sementum, dan membuka pulpa
Root fracture Fraktur yang melibatkan dentin dan
sementum, dan pulpa
5
atau mandibula dan prosesus alveolaris
(fraktur rahang). Fraktur tersebut bisa/
tidak melibatkan soket alveolar
d. Fraktur pada gingival atau mukosa oral
Injury Criteria
Laserasi gingiva atau mukosa
Luka yang dangkal/ dalam pada mukosa
oral akibat robekan, biasanya oleh benda tajam
Contusion gingiva atau
Luka memar akibat tekanan oleh benda
mukosa oral tumpul, tidak diikuti robeknya mukosa,
biasanya menyebabkan hemoragi submukosa
Abrasi gingiva atau mukosa Luka pada superfisial akibat gosokan atau
oral kikisan pada mukosa, menghasilkan suatu
lecet dan permukaan yang berdarah
6
Tujuan dari fiksasi adalah agar fragmen yang telah direposisi dan mendapat
retensi tidak bergerak selama masa awal penyembuhan. Fiksasi dapat
menggunakan metode MMF (fiksasi maksilomandibular). MMR dapat dilakukan
baik menggunakan splin, arch bar, ligatur kawat, maupun miniscrew(Budiharjo
dan Rahmat, 2011). Penyembuhan tulang pada daerah fraktur membutuhkan
aposisi fragmen fraktur yang tertutup dan imobilitas fragmen selama kurang
lebih 6 minggu. Waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan tulang ini dapat
menjadi lebih cepat pada anak-anak, ataupun menjadi lebih lama pada pasien
usia lanjut. (Coulthard et al.,2003)
d. Mobilisasi
Mobilisasi dini setelah fraktur tidak hanya penting untuk kenyamanan
pasien, melainkan juga penting untuk mencegah ankilosis pada sendi rahang
pada kasus fraktur kondilus, mengembalikan jalan napas orofaringeal pada
fungsi normal dan mengembalikan rasa percaya diri pasien sehingga dapat
beraktifitas dengan normal (fungsi sosial)
(Budiharjo dan Rahmat, 2011)
F. Terapi Fraktur
Secara umum, perawatan fraktur dapat dibedakan menjadi perawatan fraktur secara
tertutup (closed atau konservatif) atau terbuka (open atau operatif). Pilihan antara terapi
fraktur konservatif dan operatif dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: jenis fraktur,
tingkat keparahan fraktur, kondisi umum pasien, dan keadaan sosioekonomi pasien. Pada
fraktur tertutup dan simpel dapat dilakukan terapi konservatif dengan MMF. Fraktur
tanpa displacement umumnya juga tidak memerlukan intervensi bedah.
1. Terapi Konservatif
Terapi fraktur konservatif dilakukan tanpa operasi terbuka (open reduction), dan
umumnya dicapai dengan melakukan fiksasi maksilofasial mandibular (MMF). MMF
dilakukan setelah reposisi fraktur ke posisi yang benar secara anatomis, secara tertutup
(umumnya dipakai oklusi gigi sebagai patokan).
Pada prinsipnya, terapi fraktur konservatif dapat menggunakan 3 metode :
7
a. Yang dicekatkan ke gigi pasien sebagai pegangan (ligatur dental, splint dental,
arch bar)
- Ligatur dental pada umunya hanya bersifat sementara dan hanya pada kasus-kasus
tertentu digunanakan sebagai alat terapi yang definitif karena kurangnya
stabilitas dalam jangka waktu lama. Ada beberapa tipe yang sering digunakan
seperti ligatur dental dari Ernst, Ivy, maupun Stout.
8
9
Ligatur Stout
Ligatur Ivy
Ligatur Essig
- Arch bar umumnya dipasang pada gigi-gigi rahang atas dan bawah untuk
Maxillo Mandibular Fixation (MMF). Setelah proses ligasi baru
dilakukan MMF. MMF dapat dilakukan dengan menggunakan karet
(rubber) maupun menggunakan kawat berukuran 0.04 mm. Selain itu,
dapat juga digunakan ligatur gilmer sebagai pengganti arch bar untuk
MMF.
10
Arch bar
(https://www2.aofo
undation.org)
b. Splin
protesa
digunakan
pada
rahang
yang tidak
bergigi
(edentulou
s), dapat
dicekatkan
dengan
sekrup
Tipe-tipe splinting
a. Suture splint
11
Pemasangan suture splint pada gigi incisive 1 regio 2
Tipe paling simple adalah letak suture pada incisal edge dari palatal/lingual
gingival menuju buccal gingival. Fiksasi seperti ini dapat digunakan, contohnya,
dalam mencegah reposisi incisor dari ekstruding, tapi hanya akan efektif untuk
jangka waktu pendek. Setelah autotransplantasi pada premolar, suture diletakkan
pada permukaan oklusal pada transplant. Suture splint ditemukan untuk
meningkatkan prognosis gigi autotransplanted dibandingkan rigid splint.
b. Arch bar
Penggunaan Arch
Bar yang mengiritasi
jaringan periodontal
disekitar tempat
pemasangan.
Beberapa
decade yang lalu, rigid splinting dari gigi luxasi dianggap perlu, dan jenis splint
yang digunakan adalah arch bar atau cap splint. Splint ini menyebabkan
kerusakan pada gigi yang terluka, dikarenakan reposisi tidak akurat, yang dapat
menekan jaringan longgar gigi terhadap dinding soket. Selanjutnya, terdapat
resiko invasi bakteri ke dalam jaringan periodontal karena dekatnya letak splint
dan wire terhadap margin gingival.
c. Orthodontic appliance
12
Penggunaan Orthodontic splint pada anterior rahang atas
Orthodontic ligature wire bonded dengan composite atau attached pada
bracket telah dianjurkan. Bagaimanapun, orthodontic bracket wire dan
composite dapat mengakibatkan iritasi pada mukosa oral, gangguan pada oral
hygiene dan ketidaknyamanan, terutama pada awal dari periode splinting.
Selanjutnya, permintaan untuk splinting pasif (dengan gigi pada posisi netral)
terancam jika bracket bersatu dengan rectangular orthodontic wire. Maka dari
itu, direkomendasikan untuk menggunakan malleable steel wire.
d. Composite
Splint yang sepenuhnya terdiri dari composite resin bersifat estetik dan
mudah untuk dibuat, tetapi telah ditemukan untuk fraktur pada daerah
interdental, sebagaimana material tersebut fragile. Splint bersifat rigid dan
dengan demikian melanggar permintaan untuk splinting pada kebanyakan kasus.
Terlebih lagi, karena kecocokan warna dan bonding strength pada goresan
enamel, hal ini sulit untuk mengembalikannya tanpa merusak underlying tooth
structure. Jika splint dengan material ini harus digunakan, maka dianjurkan
untuk splint pada gigi luxasi dengan hanya satu gigi yang berdekatan.
e. Wire-composite
13
mengakibatkan kerusakan besar pada mukosa oral dan memperbolehkan
sukarelawan mempertahankan oral hygiene yg bagus. Pada beberapa studi yang
menggunakan fiber glass daripada wire telah dideskripsikan dan secara berkala
digunakan. Fiber glass ribbon dibasahkan dengan composite resin dan tidak ada
material pengisi yang digunakan. Fleksibilitas dapat divariasikan dengan
sejumlah layer dan extention pada splint.
f. Resin
Pemasangan Resin Splint penuh pada permukaan gigi anterior rahang atas
Protemp dan Luxatemp merupakan multi-fase material resin digunakan dalam
restorasi temporary prosthetic dan untuk lining prefabricated crown. Protemp
merupakan chemical cured; sedangkan Luxatemp merupakan dual cured
(chemical dan light cured).bhal ini memungkinkan untuk menerima material
dalam tahapannya, keuntungan dengan multiple displaced dan reposition teeth.
Material ini tidak menggunakan tenaga pada gigi selama aplikasi dan secara
estetik dan hygiene dapat diterima. Selanjutnya, keduanya telah menunjukkan
untuk memperbolehkan penggunaan semi-rigid splinting.
Pada kasus kehilangan gigi atau dalam mixed dentition, dimana gigi yang
bersebelahan tidak sepenuhnya erupsi, hal ini diperlukan untuk merentangkan
area edentulous. Pada kasus ini, diperlukan reinforcement. Hal ini dapat dicapai
dengan metal bars, orthodontic wire, nylon line, glass fiber, atau synthetic fiber
atau tape yang terdapat di market (Kevlar, Dupont Corp., Fiber-splint, Polydent
Corp., Mezzovico, Switzerland) dan yang dapat dipadukan dengan resin. Jika
tidak tersedia, bahkan paperclip dapat diluruskan untuk mencapai tujuannya.
Diperbolehkan beberapa material yang bersifat fleksibel dan splint diterima secara
direct pada etched crown surface.
g. Metal (TTS) splint
14
Pemasangan Metal Splint yang mampu beradaptasi dengan baik menggunakan
bahan titanium
Secara komersial, dental splint yang tersedia telah diperkenalkan.
Prefabricated splint yang terbuat dari titanium telah dilaporkan oleh von Arx dan
co-author. Prefabricated titanium trauma splint (TTS) mempunyai ketebalan
hanya 0,2 mm dan dapat dengan mudah dibengkokan dengan jari dan beradaptasi
pada dental arch. Karena desain rhomboid dari splint, dapat juga beradaptasi
dengan panjangnya. TTS berikatan pada enamel dengan light cured composite
resin dan dikembalikan dengan ‘peeling’ pada permukaan gigi. Splint ini telah
ditemukan agar dapat bertoleransi dengan baik dan mengakibatkan
ketidaknyamanan hanya pada sebagian kecil pasien.
2. Terapi Operatif
Terapi fraktur modern mengharuskan terjadinya penyembuhan tulang yang cepat
sehingga pasien dapat kembali menjalankan aktivitas dengan normal. Terapi fraktur
secara terbuka atau terapi operatif merupakan terapi fraktur yang memerlukan
intervensi bedah misalnya lewat insisi ataupun luka yang terdapat pada jaringan lunak
untuk melakukan eksplorasi dan reposisi dari fraktur dibawah pengamatan langsung.
Terapi fraktur operatif diindikasikan pada :
Fraktur multiple dan comminuted
Fraktur dengan defek
Fraktur panfasial
Fraktur terbuka
Fraktur midfasial dengan displacement
Fraktur pada rahang yang atrofi
Fraktur yang terinfeksi
Fraktur pada pasien yang tidak dapat dilakukan terapi konservatif seperti pada
pasien epilepsi, ketergantungan alkohol, keterbelakangan mental.
15
I. Perawatan/ Penanggulangan Trauma Secara Umum dan Segera
Kondisi Saluran Pernapasan
Pasien yang mengalami trauma orofasial harus diperhatikan benar-benar mengenai
pernapasannya. Tindakan pertama adalah aspirasi darah, pengambilan serpihan gigi atau
protesa. Dasar dari usaha mempertahankan jalan napas adalah dengan mengontrol
perdarahan dari mulut/hidung dan membersihkan orofaring. Gigi yang sangat goyang
yang dikhawatirkan akan terlepas sendiri, atau terhisap sebaiknya dicabut. Fraktur-
fraktur tertentu misalnya fraktur bilateral melalui region mentalis atau fraktur maksilla
dengan pergesaran ke arah posteroinferior menuju faring, cenderung menyumbat
saluran pernapasan. Jika fragmen symphysis mandibulae bergeser ke posterior, maka
dukungan ke arah anterior terhadap lidah akan hilang, sehingga mengakibatkan kolaps
lidah ke arah posterior (ke faring). Pergeseran maksilla ke arah inferoposterior bisa
mengakibatkan penyumbatan mekanis langsung pada orofaring. Lidah bisa dikontrol
dengan melakukan penjahitan menggunakan benang sutera tebal pada ujung lidah dan
menahan lidah untuk tetap pada posisi anterior. Keterlibatan maksila tidak mudah
diatasi dan mungkin tergantung pada reduksi dari fraktur, atau paling tidak pada
imobilisasi sementara yang dilakukan dengan jalan mengfiksasinya terhadap mandibula
yang masih utuh.
Sumbatan Jalan Napas yang Tertunda
Sumbatan tertunda dari jalan napas bisa disebabkan karena pembengkakan atau
edema lidah atau faring yang diakibatkan oleh hematom sublingual, luka-luka lingual,
menghisap udara panas atau menelan bahan kausatik. Hematom bisa menyebabkan
elevasi dan penempatan lidah ke arah posterior. Luka-luka dan luka bakar sering
menyebabkan terjadinya edema lidah yang besar dan juga menyebabkan lidah tergeser
ke arah posterior. Cedera pada saraf sering mempersulit masalah yang sudah ada, yakni
berupa gangguan dalam melakukan kontrol gerakan lidah. Apabila diperkirakan akan
terjadi edema lingual atau faringeal, maka penggunaan fiksasi maksilomandibular
ditunda. Fiksasi interdental yang kaku menyebabkan lidah tidak dapat diprotrusikan,
sehingga membuat lidah cenderung bergerak ke arah posterior dan berakibat fatal.
Apabila kondisi saluran pernapasan diragukan, bisa dilakukan pemasangan alat bantu
pernapasan oro- atau nasofaringeal, intubasi endotracheal dan tracheostomi pada kasus
tertentu.
Perdarahan
16
Perdarahan yang menyertai trauma orofasial jarang berakibat fatal. Penekanan, baik
langsung dengan jari atau secara tidak langsung dengan menggunakan kasa, bisa
menghentikan sebagian besar kasus perdarahan rongga mulut. Untuk membatasi
perdarahan kadang-kadang diperlukan klem dan pengikat pembuluh yang terlibat
(biasanya a. maksillaris, a. lingualis, a. karotis eksterna). Walaupun perdarahan yang
tertunda jarang menimbulkan masalah yang serius, tetapi karena diperlukan untuk
tindakan bedah pada waktu selanjutnya, maka pada sebagian besar trauma orofasial
mayor harus dilakukan pemeriksaan golongan darah untuk keperluan tranfusi.
Antibiotik
Terapi antibiotic profilaksis diberikan berdasarkan pada kondisi individu. Terapi ini
diperuntukkan pada individu resiko tinggi, terutama untuk pasien di mana daerah yang
mengalami fraktur terbuka (berhubungan dengan permukaan kulit atau mukosa) dan
kemungkinan besar terkontaminasi, atau apabila perawatan definitif harus ditunda.
Kontrol Rasa Sakit
Terapi untuk menghilangkan rasa sakit biasanya minimal, karena pasien yang
mengalami cedera yang relatif berat, tidak terlalu menderita seperti kelihatannnya.
Karena analgesic narkotik cenderung menimbulkan edema serebral dan menyulitkan
penentuan tingkat kesadaran, pemberiannya ditunda sampai pasien jelas mengalami
cedera kranioserebral. Pada mulanya obat-obatan narkotik untuk pemberian intravena
atau intramuscular sering digunakan. Namun selanjutnya, kombinasi narkotik/ non
narkotik mulai dapat diberikan secara oral dan sering terdapat dalam bentuk cairan.
Aplikasi dingin pada bagian yang mengalami cedera bisa mengurangi ketidaknyamanan,
dan sekaligus mengontrol edema.
Perawatan Pendukung
Karena pasien biasanya tidak bisa makan secara normal, terapi pendukung untuk
pasien orofasial terdiri atas pemberian cairan yang cukup. Di rumah sakit hal ini
dilakukan dengan pemberian cairan intravena (biasanya larutan elektrolit yang
seimbang). Untuk perawatn di rumah, maka pemberian cairan bisa dilakukan lewat
mulut. Pasien diberi diet cairan, kadang ditambah dengan protein atau vitamin.
Seringkali pasien trauma orofasial harus berpuasa selama menunggu pembedahan.
17
III. PENGELOLAAN FRAKTUR DENTOAVEOLAR
A. Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan terhadap pasien meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terdiri atas
keadaan umum, kondisi ekstra oral dan intra oral.
1. Anamnesa
Dari anamnesis dapat diketahui mekanisme trauma, yang berguna untuk mengetahui
ada tidaknya fraktur di bagian tubuh lain. Keadaan umum pasien dengan fraktur
dentoalveolar yang berdiri sendiri biasanya baik, dengan kesadaran kompos mentis. Apabila
disertai cedera kepala dan fraktur serta vulnus di bagian tubuh lain yang dapat
menimbulkan gangguan pernafasan, sirkulasi, atau neurologi, maka kesadaran dapat
menurun (Ellis, 2005).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan ekstra oral dapat ditemukan asimetri wajah berupa bengkak di bibir,
hematoma, abrasi, dan laserasi. Kedalaman laserasi sebaiknya diperiksa untuk mengetahui
apakah ada struktur vital yang terlibat, seperti duktus kelenjar parotis atau nervus fasialis
(Ellis, 2005).
Pemeriksaan intra oral meliputi jaringan lunak dan jaringan keras. Trauma di anterior
biasanya mengakibatkan kerusakan bibir yang parah. Hematoma sering ditemukan dan pada
palpasi dapat teraba kepingan gigi atau benda asing yang tertanam di jaringan lunak. Bibir
bawah dapat tergigit sehingga terjadi laserasi. Bila gigi avulsi, pada gingiva akan tampak luka
seperti bekas ekstraksi. Selain itu bisa ditemukan juga laserasi gingiva dan deformitas tulang
alveolar. Pada anterior mandibula dapat terjadi degloving, yaitu sobekan horisontal di sulkus
labialis pada perbatasan attached dan free gingiva, bila pasien jatuh tertelungkup dan
terseret ke depan. Sobekan terjadi di periosteum dan pada kasus yang parah saraf mentalis
dapat terbuka (Killey, 1977).
Pada gigi dapat terjadi fraktur mahkota, dengan atau tanpa terbukanya kamar pulpa,
dengan perkusi yang positif. Gigi dapat goyang, bergeser ke segala arah, ekstrusi, intrusi dan
bahkan avulsi. Perubahan tersebut dapat menimbulkan maloklusi. Gigi yang tidak tampak
bergeser tetapi goyang dicurigai telah mengalami fraktur akar, baik vertikal maupun
horisontal. Fraktur yang paling sulit dideteksi adalah fraktur akar yang stabil dan retak
vertikal mahkota gigi posterior. Dalam keadaan itu harus dilakukan sondasi, perkusi
18
dan tekan. Bila ada gigi yang tampak hilang, perlu dipastikan bahwa tidak ada akar
gigi yang tertinggal. Trauma pada gigi posterior dapat disebabkan benturan rahang
atas oleh rahang bawah sehingga gigi dapat terbelah secara vertikal. Serpihan gigi
dapat tertanam di jaringan lunak, tertelan, atau terinhalasi pada pasien yang
kehilangan kesadaran. Pada keadaan demikian perlu dibuat foto toraks (Ellis, 2003).
Kegoyahan beberapa gigi dalam satu segmen menunjukkan fraktur tulang
alveolar. Fraktur alveolar dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur gigi. Fraktur
alveolar di mandibula lebih sering merupakan bagian dari fraktur komplit mandibula,
sedangkan di maksila lebih sering berdiri sendiri. Gigi yang terdapat dalam fragmen
fraktur harus dicurigai vitalitasnya. Fraktur tulang alveolar dapat terbuka atau
tertutup, tunggal atau multipel. Pada saat pemeriksaan awal dapat dilakukan reposisi
fragmen yang goyah, karena semakin cepat hal itu dilakukan semakin baik prognosis
gigi geliginya. Setiap fragmen harus diperiksa untuk melihat apakah lengkap atau
tidak lengkap. Fraktur alveolar di maksila paling sering terjadi di regio insisif. Fraktur
tuberositas maksilaris dan dasar antrum merupakan komplikasi ekstraksi gigi molar
atas yang sering terjadi (Radford, 2012).
3. Pemeriksaan radiografis
Pemeriksaan radiografis yang paling sering digunakan untuk evaluasi fraktur
dentoalveolar adalah foto dental dan panoramik (Ellis, 2003).
B. Penatalaksanaan
Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, karena
penundaan perawatan akan mempengaruhi prognosis gigi geligi. Bila fraktur
dentoalveolar merupakan bagian dari fraktur wajah yang lebih serius, perawatan dapat
dilakukan secara efektif untuk menstabilkan keadaan umum pasien terlebih dahulu.
Tujuan perawatan fraktur dentoalveolar adalah mengembalikan bentuk dan fungsi organ
pengunyahan senormal mungkin. Prognosis fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh
keadaan umum dan usia pasien serta kompleksitas fraktur (Kruger, 1974).
Langkah-langkah perawatan yang harus dilakukan untuk memperbaiki fraktur sehingga gigi
bisa berfungsi kembali dengan normal.
1. Fraktur Email
19
Perawatan yang dapat diberikan antara lain dengan menghaluskan bagian email yang kasar
akibat fraktur tersebut atau dengan memperbaiki struktur gigi tersebut.
2. Fraktur Makhota dengan Pulpa Masih Tertutup
Perawatan yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan material komposit untuk
mengembalikan struktur gigi atau dengan cara yang lebih konservatif lagi yakni
menempelkan kembali fragmen fraktur tersebut pada jaringan gigi setelah sebelumnya
dilakukan etsa asam dan dengan bantuan bonding agent.
3. Fraktur Mahkota dengan Pulpa Terbuka
Fraktur jenis ini adalah tipe fraktur yang bisa dikatakan complicated, karena fraktur
melibatkan daerah email, dentin dan juga pulpa. Hal yang harus diperhatikan saat
menangani kasus ini adalah maturasi gigi, apakah apeks gigi sudah menutup sempurna atau
belum karena akan membedakan langkah perawatan yang akan diberikan.
a. Gigi dengan apeks yang masih terbuka
Kondisi ini sangat tidak memungkinkan dilakukan pulpektomi, karena dinding akar
masih tipis, vitalitas gigi harus tetap dipertahankan demi kelangsungan hidup gigi
selanjutnya. Hal yang bisa dilakukan pada tahap ini adalah dengan melakukan
pulpotomi dangkal dengan formokresol. Tahap yang bisa dilakukan:
o Anestesi lokal dan pemasangan isolator karet
o Pembuangan jaringan pulpa bagian koronal sampai garis serviks dengan bur
bulat steril.
o Kemudian lakukan irigasi dengan akuades steril atau garam fisiologis (NaOCl)
dan keringkan dengan cotton pellet steril.
o Letakkan cotton pellet yang sudah diberi formokresol di atas sisa jaringan
pulpa (3 menit)
o Setelah tiga menit, angkat dan letakkan adukan encer pasta Zn oksid dan
formokresol di atas jaringan pulpa.
o Tambahkan adukan kental semen ZOE
o Tutup kavitas dengan semen Zn oksifosfat
o Lakukan pemeriksaan radiografis selang 6 bulan sampai penutupan apeks
memungkinkan untuk dilakukan perawatan saluran akar.
Namun jika ingin hasil restorasi yang lebih estetik dapt dilakukan restorasi komposit,
dengan tahapan:
o Lakukan langkah a-c seperti di atas.
o Diberikan pelapis CaOH.
o Tambahkan semen glass ionomer
o Lakukan restorasi komposit sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pada perawatan dengan CaOH ini , jika memungkinkan dilakukan pembukaan gigi
kembali sekitar 6-12 bulan kemudian untuk membuang lapisan kalsium hidroksida
20
dan menggantinya dengan material adhesif. Hal ini dikarenakan CaOH adalah bahan
yang semakin lama akan makin terdisintegrasi. Pembongkaran kembali ini
diharapkan dapat meminimalisir kebocoran mikro yang nantinya akan menyebabkan
adanya rongga antara jembatan dentin yang baru dengan restorasi yang
menutupinya. Lain halnya jika kita menggunakan MTA (mineral trioksid agregat), jika
menggunakan material ini maka tidak diperlukan pembukaan gigi kembali setelah 6-
12 bulan. Namun ada tahapan yang berbeda yakni, pengaplikasian MTA harus pada
keadaan gigi yang lembab diletakkan sedikit demi sedikit pada pulpa lalu biarkan
mengeras selama 6-12 jam (tidak perlu ditutupi restorasi, pada saat ini pasien
diharapkan tidak menggunakan gigi tersebut). Setelah itu barulah diberikan
tambalan komposit.
b) Gigi dengan apeks yang sudah menutup sempurna
Perawatan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pulpektomi disertai
dengan perawatan saluran akar. Perawatan saluran akar biasanya dilakukan jika
fraktur yang terjadi sudah mencapai daerah margin ginggiva dan diperlukan
pembuatan mahkota pasak dan inti. Perawatan saluran akar tentunya akan sangat
membantu sebagai tahap persiapan.
Lain halnya jika fraktur dengan pulpa terbuka ini terjadi pada gigi sulung. Ada dua hal
yang diindikasikan yakni pencabutan dan pulpotomi. Semua ini bergantung pada
usia pasien, jika setengah bagian apeks sudah resorpsi maka pencabutan adalah
indikasi utama. Namun, jika akar belum mengalami resorpsi bisa dilakukan
perawatan saluran akar dengan pasta OSE yang bisa diresorpsi, mahkota yang fraktur
kemudian bisa direstorasi menggunakan komposit.
4. Fraktur Mahkota dengan pulpa nekrotik dan terbuka
Perawatan untuk kasus seperti ini juga dibedakan berdasarkan keadaan di derah apeks,
jika apeks sudah tertutup maka perawatannya sama seperti perawatan abses alveolar
akut. Namun jika apeks masih terbuka maka perawatan yang bisa dilakukan:
o Perawatan seperti abses alveolar akut
o Jika terjadi drainase maka biarkan terbuka dan pasien diminta datang 5-7 hari
kemudian
o Pada kunjungan berikutnya, dilakukan pembersihan saluran akar
o Kemudian dikeringkan dengan kertas isap steril
o Pasta campuran CaOH dan CMCP diletakkan di saluran akar
o Penutupan kavitas dengan semen ZnOe dan Zn oksifosfat.
o Pasien diminta datang 6 bulan kemudian untuk pemeriksaan klinis dan radiografik.
5. Fraktur Akar
21
Fraktur pada akar tidak selalu memerlukan perawatan saluran akar, hal terpenting yang
harus dilakukan adalah dengan menempatkan kembali segmen koronal dan distabilkan
dengan splin selama kurang lebih 12 minggu. Kemudian pasien diminta datang untuk
melakukan pemeriksaan apakah fraktur sudah membaik serta mengetahui kevitalan
pulpa.
a) Fraktur Sepertiga Serviks dengan Pulpa Nekrotik
o Perawatan yang bisa dilakukan antara lain:
o Melakukan anestesi lokal
o Melepaskan segmen korona
Lakukan ginggivektomi dan alveoplasti agar akar terlihat sehingga bisa dilakukan
perawatan saluran akar dan preparasi untuk pasak dan mahkota.
b) Fraktur Sepertiga Tengah
Perawatan yang bisa dilakukan antara lain dengan stabilisasi fragmen fraktur, implan
endosseous atau pengambilan kedua fragmen fraktur.
o Stabilisasi fragmen fraktur
Kunjungan pertama
Penstabilan gigi dengna menggunakan splin
Preparasi kedua segmen saluran akar dan lakukan pembersihan.
Preparasi saluran akar dengan file
Tutup kavitas dengan cotton pellet dan semen ZnOE.
Pasien diminta datang 1-2 minggu kemudian.
Kunjungan kedua
Lakukan irigasi dan pembersihan saluran akar
Keringkan dengan kertas isap (paper point)
Pilih pin chrome-cobalt yang sesuai dengan panjang saluran akar, dapat di cek
dengan bantuan rontgen.
Jika letaknya sudah sesuai maka pada bagian pin kita beri takik kira-kira pada
bagian orifis agar bisa dipisahkan ketika sementasi.
Sterilkan pin dan kemudian dimasukkan ke dalam saluran akar dengan
bantuan semen saluran akar, sambil ditekkan ke arah apeks dilakukan
pemutaran pin agar patah pada bagian takik yang sudah dibuat.
Periksa kedudukan pin, jika sudah pas bisa dilakukan restorasi tetap.
o Penempatan implant endosseous
Pada perawatan jenis ini, diharapkan penyembuhan akan memungkinkan tulang
baru terbentuk di sekitar pin dan gigi akan menjadi stabil. Tahapan yang
dilakukan:
Preparasi saluran akar
Pengambilan bagian apeks dengan teknik bedah, bagian apeks dibuka dan
fragmen akar diangkat.
Pilih pin chrome-cobbalt yang sesuai, masukkan melalui lubang preparasi.
22
Usahakan posisi pin mencapai posisi ujung akar semula, namun jangan
sampai menyentuh tulang. Setelah di dapat posisi yang pas, maka buat takik
pada pin.
Ketika saluran akar sudah bersih dan sudah dikeringkan dapat dimasukkan
adukan semen saluran akar, ulasi pin dengan adukan semen yang sama.
Masukkan pin ke dalam saluran akar.
Tutup kavitas dengan restorasi kemudian flap dijahit.
Selama periode penyembuhan dapat dipakai splin jika sesudah perawatan
gigi terlihat goyang.
c) Fraktur sepertiga apeks
Perawatannya bisa berupa stabilisasi kedua fragmen seperti pada kasus fraktur
sepertiga tengah atau dengan preparasi fragmen korona secara konvensional dan
diisi gutta perca, fragmen apeks dibiarkan dan jaringan pulpa mungkin tetap vital.
Terapi lain yang mungkin diberikan adalah dengan preparasi fragmen korona dan
mengisinya secara konvensional, fragmen apeks di angkat dengan cara bedah dan
dilakukan pengisian retrogard dengan amalgam.
6. Fraktur Mahkota-Akar
Fraktur mahkota akar sangat sulit dirawat dan keberhasilannya tergantung pada
kedalaman garis fraktur di palatal. Bila pasien datang, fragmen korona sering sangat
goyang dapat tetap melekat melalui ligament periodontal. Biasanya anestesi local perlu
diberikan agar fragmen dapat dilepas dan dilakukan pemeriksaan dari luas fraktur. Bila
fraktur terletak superficial, maka perawatan saluran akar dapat dilakukan dan dilakukan
pembuatan mahkota pasak. Bila fraktur lebih dalam, akan lebih sulit untuk mengisolasi
gigi untuk perawatan saluran akar dan ekstruksi ortodonti dari akar perlu
dipertimbangkan sebelum merestorasi dengan mahkota pasak (Heithersay). Bila fraktur
sangat dalam maka apa yang tertinggal terlalu kecil untuk mendukung restorasi bahkan
setelah dilakukan ekstruksi ortodonti; gigi seperti ini juga cenderung tanggal (Feiglin).
23
(2). Cara lain adalah menempatkan gigi diantara bibir bawah dan gigi atau bila tidak
memungkinkan letakkan gigi pada segelas air susu.
(3). Periksakan ke dokter gigi sesegera mungkin.
24
(11). Lepaskan splint setelah 1-2 minggu.
(12). Perawatan saluran akar dipertimbangkan bila tampak adanya kelainan pada
pulpa.
Avulsi gigi
25
fungsinya. Restorasi sementara semipermanen untuk gigi posterior yang baik adalah
amalcore yang meng”onlay” cusp yang telah lemah, sehingga dapat melindungi fungsi
dan kerapatannya. Jika dikemudian hari harus diganti dengan mahkota, preparasi
mahkota akhirnya dapat diselesaikan tanpa membuang intinya. Restorasi anterior
analognya biasanya lebih sukar karena adanya faktor estetik dan adanya kesukaran dalam
memperoleh mahkota yang rapat. Suatu mahkota pasak sementara tidak menjamin adanya
kerapatan yang adekuat. Lebih disukai untuk membuat pasak dan inti segera setelah
perawatan (yang menjamin adanya kerapatan mahkota yang baik) jika gigi tersebut
merupakan indikasi bagi pemasangan mahkota sementara.
26
Retensi dengan memanfaatkan undercut pada kamar pulpa dan orifis saluran akar
3. Proteksi sisa struktur gigi.
Proteksi sisa struktur gigi ini diaplikasikan pada gigi posterior untuk memproteksi
cusp yang tidak terdukung supaya bisa menghindari terjadinya fleksur dan fraktur.
Restorasi didesain sedemikian rupa sehingga beban fungsional dapat ditransmisikan
melalui gigi ke jaringan penyangga.
.
Posisi bukal - oklusal gigi primer terhadap benih gigi permanen
27
Transmisi gaya pada gigi yang berkembang memungkinkan terjadinya displacement
yang dapat menyebabkan gangguan odontogenesis, sehingga menghasilkan perubahan
warna enamel dan atau hyploplasia (Peterson, 2003).
1. Fraktur Mahkota Sebagian
Pada fraktur mahkota sebagian, bagian runcing dari mahkota harus di haluskan atau
restorasi morfologi mahkota dapat didapatkan dengan cooperation reasonable.
Andreasen dan Raven melaporkan tentang prognosis pada trauma gigi pengganti
permanen, juga gaya yang diberikan oleh gigi primer. Mereka menemukan bahwa usia
individu pada saat cedera dan jenis cedera berperan penting dalam pengembangan gigi
permanen (Peterson, 2003).
28
3. Dimana luka terjadi untuk menentukan apakan perlu diberikan injeksi tetanus
4. Apakah trauma cukup berat sehingga menyebabkan masalah medis seperti sakit
kepala, muntah, dan simptom lainnya pada trauma kepala
5. Stimuli apa yang menyebabkan respon pada wilayah trauma (termal, tekanan,
kimia).
29
Ekstrusi gigi primer dapat mangalami reposisi dan stabil untuk waktu yang
singkat jika anak segera diobati jika ada cedera. Jika bekuan darah sudah masuk ke
dalam soket alveolar dan tidak terjadi reposisi, gigi dapat kembali normal secara
spontan atau diekstraksi tergantung pada tingkat ekstrusi dan mobilitas.
c. Lateral Luxation
Dalam beberapa kasus lateral luksasi mungkin terdapat gangguan occlusal.
dalam kasus ini, setelah penggunaan anestesi lokal, gigi yang posisinya kombinasi
antara gabungan tekanan labial dan palatal. Jika perlu dan mungkin, splint dapat
digunakan selama 2-3 minggu. Karena open bite anterior pada anak kecil lebih sering
terlukasi lateral gigi utama tidak mengalami gangguan oklusal dapat sembuh tanpa
pengobatan, dan reposisi spontan dipengaruhi oleh kekuatan fisiologis lidah biasanya
dapat terjadi dalam waktu 3 bulan. Untuk mengobati lateral luxations tanpa open
bite yang tidak dapat direposisi, mengikis tepi incisal gigi atas dan bawah atau
sementara menambahkan komposit ke permukaan occlusal molar untuk membuat
artifisial anterior.
d. Intrusion
Perawatan gigi instrusi dapat dibagi 3, yaitu : Reposisi dengan pesawat
ortodonti, reposisi gigi dengan tindakan bedah dan observasi gigi dengan cara
reerupsi. Sebaiknya jika gigi yang intrusi akarnya belum tumbuh sempurma, dapat
diobservasi dengan cara re-erupsi, sedangkan jika akar gigi sudah tumbuh sempurna
reposisi secara bedah atau dengan pesawat ortodonti merupakan pilihan.
e. Avulsion
Keberhasi1an perawatan dari gigi yang avulsi tergantung dari berapa lama
terjadinya, tempat kejadian, tindakan apa yang dilakukan pertama kali ketika
terjadinya gigi avulsi dan bagaimana cara penanganan gigi avulsi tersebut.
Penanganan pendahuluan terhadap gigi yang mengalami avulsi ini terdiri dari
replantasi, splinting serta kontrol secara periodik. Kemudian dilanjutkan dengan
perawatan saluran akar dan restorasi resin komposit.
30
alveolar adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan tulang alveolar pada maksila
atau mandibula.
Fraktur dari processus alveolaris sering terjadi pada maksila yang tipis dibandingkan
dengan mandibula. Akan tetapi, tipe fraktur yang sering terjadi pada mandibula adalah
fraktur alveolar. Trauma alveolar pada mandibula berhubungan dengan fraktur komplit
pada daerah penyangga gigi, sedangkan pada maksila biasanya disebabkan oleh trauma
lokal. Jika terjadi trauma secara langsung processus alveolaris bagian anterior memiliki
resiko terbesar untuk terjadi fraktur.
Trauma lokal pada tulang rahang dapat menyebabkan terjadinya fraktur pada tulang
alveolar. Fraktur pada tulang alveolar biasanya tidak menyababkan kerusakan yang serius
pada gigi, gigi diharapkan masih dapat melakukan devitalisasi pasca trauma.
Klasifikasi
Klasifikasi dari fraktur tulang alveolar menurut Per Clark
Kelas 1, fraktur pada segmen edentulous
Kelas 2, fraktur pada segmen dentulous dengan sedikit perubahan posisi
Kelas 3, fraktur pada segmen dentulous dengan sedang-berat perubahan posisi
Kelas 4, fraktur processus alveolaris. Terdapat satu atau lebih garis fraktur dengan
fraktur pada tulang facial penyangga gigi
Perawatan
1. Perawatan medikasi
Perawatan ini ditujukan untuk memberi kenyamanan pada pasien dan untuk
mencegah komplikasi terutama akibat infeksi. Analgesik ringan sampai sedang dapat
diberikan, namun perlu mempertimbangkan status kesehatan umum pasien dan dosis
obat. Contoh analgesik yang bisa diberikan adalah Acetaminophen.
Terapi antibiotik mengurangi prevalensi dari infeksi. Golongan penisilin diberikan
dan disesuaikan dosisnya dengan umur. Pada pasien yang alergi dengan golongan
penisilin, clindamycin dapat digunakan sebagai alternatif pengganti.
2. Perawatan bedah
Pada fraktur alveolar perawatan dilakukan dengan tujuan mengembalikan segmen
farktur ke posisi semula. Sebelum dilakukan perawatan, sebaiknya dilakukan foto rontgen
untuk mengetahui seberapa luas fraktur yang terjadi. Perawatan dilakukan dengan
bantuan anestesi lokal. Namun pada keadaan tertentu perlu dilakukan anestesi umum
yaitu apabila anastesi lokal tidak berhasil atau pada pasien yang sangat penakut. Reposisi
segmen fraktur yang mengalami perubahan lokasi dengan melakukan reduksi yaitu
menggerakkan segmen yang fraktur dengan finger manipulation, periksa hubungan
oklusalnya. Fiksasi untuk imobilisasi segmen yang fraktur dengan splint atau arch bar.
31
Hilangkan kontak prematur dan trauma oklusal. Stabilisasi segmen yang fraktur tersebut
selama 4 minggu. Contoh cara fiksasi lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan 2-
0 Chromic gut suture material untukimmobilisasi gigi.
Alat untuk stabilisasi segmen dilepas setelah 4-6 minggu kemudian evaluasi
mobilitas gigi dan segmen. Untuk mengetahui keberhasilan perawatan, lakukan foto
rontgen. Status pulpa perlu dilihat untuk mempertimbangkan kemungkinan perawatan
endodontik bila gigi menjadi nonvital.
IV. KESIMPULAN
Fraktur dentoalveolar dapat berdiri sendiri atau terjadi bersamaan dengan fraktur pada
wajah dan bagian tubuh lainnya. Perawatan komprehensif dilakukan setelah perbaikan keadaan
umum pasien tercapai, bersama dengan disiplin ilmu yang terkait. Diagnosis fraktur
32
dentoalveolar ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik ekstra oral dan intra oral,
serta pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan fraktur dentoalveolar pada gigi sulung tidak
berbeda jauh dengan gigi tetap. Setiap struktur yang terlibat sebaiknya diperiksa dengan
seksama. Vitalitas, warna dan kegoyangan gigi harus dimonitor untuk mengetahui perlu tidaknya
DAFTAR PUSTAKA
Banks P, Brown A., 2001, Fractures of the facial skeleton. Wright, p.40-2,72-9.
Baumann A, Troulis MJ, Kaban LB., 2004, Facial trauma II : dentoalveolar injuries and
mandibular fractures. In: Kaban LB, Troulis MJ, Pediatric oral and maxillofacial
33
surgery,USA: Elsevier Science: p.446.
Booth, Peter Ward, dkk. 2012. Maxillofacial Trauma & Esthetic Facial Reconstruction.
Missouri: Elsevier.
Budiharja AS, Rahmat M, 2011, Trauma oral dan maksilofasial, EGC, Jakarta: p.33-171.
Ellis E, 2003, Soft tissue and dentoalveolar injuries. Dalam: Peterson LJ, Ellis E, Hupp J, Tucker M.
Contemporary oral and maxillofacial surgery, 4th eds, St.Lauis, Mosby Inc.
Ellis RG, Davey KW., 1970, The classification and treatment of injuries to the teeth of children
(5th ed.), Year Book Medical Publishers Inc. Chicago
Fonseca RJ, Walker RV., 2005, Oral and maxillofacial trauma, Ed. 2, Vol.2 USA:
W.B.Saunders Company.
Fraioli Rebecca E, 2008, Facial Fractures: Beyond Le Fort. Otolaryngol Clin N Am ;
41:51-76.
Grossman, Louis I, Seymour Oliet, 1988, Endodontic Practice 11th edition, Philadelphia:
Lea & Febiger.
Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002. EGC, Jakarta.
Killey HC, 1977, Fractures of the middle third of the facial skeleton, 3rd ed. Bristol: John Wright &
Sons Ltd.
Mathewson, Richard J., DDS, MS, PhD., Primosch, E. Robert, DDS, MS, Mend 1995.
Fundamental of Pediatric Dentistry, 3rd. Ed. Quintescience Publishing Co, Inc. US.
Peterson Lj., 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4 th ed St Louis :
Mosby
Radford G, 2012,Treatment of injured tissues (dentoalveolar). Smile Restoration, Almeda Dental
Groups.
Riyanti, Eriesca., Sp.KGA. Penatalaksanaan Trauma Gigi Pada Anak- pustakaunpad.ac.id
34