Anda di halaman 1dari 5

STRATEGI HINDARI PLAGIARISME

Plagiarisme bisa diartikan sebagai pencomotan gagasan buah pikir orang lain yang
kita akui sebagai milik kita. Kebanyakan plagiarisme, khususnya dalam bidang pendidikan
banyak tumbuh dalam pembuatan karya ilmiah yang dibuat oleh mahasiswa, bahkan sampai
dosen pun melakukan hal yang termasuk tindakan tak terpuji itu. Hal ini marak dikarenakan
pengetahuan seputar plagiarism tidak banyak dituai bahkan di lingkungan kampus sekali pun,
apalagi dari sejak SMP dan SMA, para mahasiswa telah banyak dicekoki tugas pembuatan
makalah-makalah oleh gurunya, yang tidak disisipkan di dalamnya mengenai pengatahuan
terkait plagiarisme, lebih jauh lagi melakui teknik pengutipan yang benar.

Bab 1, Dengan pernyataan apakah plagiarisme merupakan feno mena universal. Di satu sisi,
spirit menulis untuk memaju- kan pengetahuan di kalangan akademisi, publish and flouirsh,
dikumandangkan. Di sisi lain, plagiarisme menghinggapi kalangan akademisi. Plagiarisme
membuat imu pengeta- huan stagnan, karena pengulangan gagasan dan daur ulang tulisan.
Indriati menelusuri pustaka apakah plagiarisme tejadi di berbagai negara. Dan, plagiarisme
ternyata dilakukan di banyak negara di kelima benua. Plagiarisme terjadi di Amerika, Jerman,
Bulgaria, Australia, Tiongkok, India, Jepang, Pakistan, Iran, Malaysia, Indonesia, dan Mesir.
Terdapatnya fenomena plagiarisme secara global melahirkan hipotesis apakah plagiarisme
merupakan fenomena transisi dari evolusi bahasa lisan mitos, legenda, atau cerita rakyat yang
kolektif tanpa kepemilikan personal menuju bahasa tu- lisan yang dipagari sebagai karya
personal? Pengetahuan ba gaimana strategi mengutip, integritas penulis, dan kekayaan bahan
bacaan serta pengalaman, menjadi landasan mence gah plagiat. Indriati merujuk pendapat
Dehaene (2014) bahwa tulisan dan membaca adalah pencapaian budaya manusia yang luar
biasa. Kekayaan sumber bacaan berkualitas membantu membangun struktur tulisan dan aliran
logika yang lancar dan tidak meloncat. Penguasaan materi substansi tulisan menambah nilai
kedalaman dan keluasan bahasan yang memperkaya pengetahuan pembaca.

Bab 2 tentang "Mengenali dan Mencegah terjadinya Plagiarisme” dalam karya tulis ulis
diuraikan oleh Ignatius Darma Juwono. Juwono mengadaptasi 10 contoh plagiarisme yang
dibuat oleh turnitin, dengan memberikan contoh-contoh nya. Dijabarkan pula bagaimana
mengenali derajat keparah an plagiarisme mulai dari cloning, control-C, find and replace,
remix, daur ulang, hybrid, mashup, 404-error, aggregator, dan re-tweet. Aturan sederhana
dalam merujuk dijabarkan oleh Juwono sebagai strategi mencegah terjadinya plagiarisme
dalam karya tulis.

Bab 3, Weny Pandia membuka tulisannya dengan mencontohkan direct plagiarisme langsung
copy paste dari internet, dan si pelaku yang merupakan siswa SMP tidak merasa melakukan
plagiarisme. Alasannya guru di sekolah tidak pernah mengomentari tindakannya dan banyak
teman melakukan hal yang sama. Pandia menawarkan solusi bagai mana mencegah
plagiarisme dengan melatih literasi sejak anak berusia dini, yang akan membekali anak untuk
tidak melakukan plagiarisme karena kemampuan literasi yang dicapai. Kemampuan literasi
yang diuraikan Weny meliputi ke- mampuan membaca, menulis, dan kreativitas. Pandia meru
juk McDevitt & Ormrod (2010) tentang cara guru mengasah keterampilan menulis anak
ditugaskan memilih topik untuk ditulis, masukkan berbagai tugas menulis dengan beragam
area pembelajaran, diktekan kata-kata kepada siswa yang kesulitan menulis, ajarin siswa
membuat organisasi pikiran dulu sebelum mulai menulis, ajarin siswa mengikuti struktur tulis
an, biasakan siswa mengkritisi tulisan sendiri, budayakan kegiatan saling membaca, dan
merespons tulisan orang lain.

Bab 4, Benedicta P. Dwi Riyanti mengajak kita mem bangun kreativitas sebagai upaya
menghindari plagiarisme Dalam tulisannya "Kreativitas dalam Menulis: Strategi Menghindari
plagiarisme. Menurut hemat editor, motivasi interno sangat penting dalam menjaga stamina
untuk menulis. Rendahnya penghargaan di kalangan akademisi yang belum terbangun
budaya menulis, tidak boleh menjadi penghalang untuk tidak menulis. Sebab, dunia
pendidikan tanpa tulisan bagaikan rumah tanpa pilar-pilar penyangga.Tulisan-tulisan yang
kita ajarkan kepada mahasis banyak diambil dari tulisan-tulisan ilmuwan luar negeri yang
lama kelamaan menggerus nilai-nilai dairi diri. Ki Riyanti menegaskan perlunya memiliki
cara pandang sendiri ketika menulis, dan harus pandai-pandai menemukan cara pandang yang
berbeda ketika membahas topik yang sama. Pendapat Riyanti untuk pandai-pandai menemu
pandang sendiri menyiratkan keunikan tulisan individu.

Bab 5 "Tulisanku, Karyaku, Identitasku” Rayini Dahesihsari menyampaikan pemikirannya


bahwa tulisan adalah buah pikir personal yang dikomunikasikan kepada orang lain, dan ciri
personal ini yang harus muncul dalam gaya penulisan. Oleh karenanya, bila seseorang
melakukan plagiarisme, sesungguhnya tulisan yang ia buat telah kehilangan karakter personal
dari dirinya. Keunikan sudut pandang penulis yang dituangkan dalam tulisannya sudah sejak
lama dikenal dalam metode penelitian komunikasi sebagai analisis framing. Dahesihsari
mengimbau penulis lebih mengedepankan ekspresi identitas personal yang asli dan unik
dalam menuangkan gagasan melalui tulisan. Prioritas pada menjaga keaslian dan ekspresi
identitas personal gaya penulisan dengan sendirinya mencegah plagiarisme.

Bab 6, Hana Panggabean menggambarkan kejujuran relasional dan situasional terhadap


tindakan plagiarisme yang terjadi di Indonesia akibat rasa guyub dan saling melindungi orang
lain. Bahkan mahasiswa bisa mengizinkan karyanya diplagiat temannya karena ingin
membantu. Budaya guyub yang ingin menjaga harmoni sosial ini menjadi latar belakang
melakukan plagiarisme, menurut Panggabean. Selain budaya guyub, Panggabean juga
menengarai bahwa linkungan pendidikan tinggi masih kurang mengedepankan pengakuan
terhadap ekspresi karya pribadi. Ketidakbiasaan penghargaan terhadap pencapaian individu
oleh payung institusinya sendiri perlu dibangun dengan mengumumkan nya melalui unit
hubungan masyarakat (Humas atau Public Relations) misalnya mengunggah di dunia virtual
dan media mengenai pencapaian seseorang dari lembaga seseorang ter- sebut bernaung.
Selain secara kolektif menjadikan bendera lembaga berkibar dikenal sebagai lembaga yang
berisi insan insan berprestasi, individu juga merasa jerih payah keilmuan yang berbuah dalam
tulisan ini dihargai. Panggabean menganjurkan strategi pencegahan plagiarisme dengan
membangun kesadaran konteks budaya dan dinamika plagiarisme, sosialisme dan edukasi,
dan peran institusi dimana pendidik berperan sebagai teladan.

Bab 7, Laurike Moeliono menulis berjudul "Apa dan Bagaimana Tindakan Plagiat oleh
Mahasiswa" dan memberi kan 4 contoh plagiarisme. Apa yang perlu dilakukan? Ketika
norma budaya sudah dipahat dalam bentuk peraturan (misalnya Permendiknas no. 17/2015)
maka nilai personal seharusnya mengacu pada peraturan tersebut. Dengan demikian, individu
tidak perlu lagi mengalami kebimbangan atau disonansi kognitif yaitu perasaan
ketidaknyamanan karena sikap, pemikiran, dan perilaku yang saling bertentangan untuk
kemudian mencari pembenaran atau rasionalisasi atas tindakannya demi mengurangi
disonansi. Dengan adanya peraturan nasional, nilai personal dapat diselaraskan dengan norma
atau aturan yang lebih tegas. Masalahnya adalah sejauh mana nilai dan norma yang berlaku
itu dirasakan "memaksa" bagi masyarakat umumnya atau mahasiswa khususnya.
Bab 8, Angela Suryani mengemukakan plagiarisme dalam konteks lntas budaya dan
menengarai bahwa "Pemahaman individu mengenai plagiarisme dipengaruhi oleh nilai-nilai
dan prinsip-prinsip yang dipercayai oleh lingkungan tempat ia tinggal". Suryani membahas
perbedaan pandangan plagiarisme dari budaya Barat dan Timur. Sistem pendidikan di budaya
Barat mendidik siswa mandiri dan belajar cara berpikir (how to think). Bukan sekadar isi
pengetahuan dan pencapaian individu (individual achievement) bernilai tinggi dibanding
prestasi kelompok sehingga mencipta- kan siswa yang kompetitif. Sebaliknya dalam budaya
Timur, system Pendidikan fokus pada meniru, menyalin, imitasi, dan hafalan. Suryani lebih
lanjut menjabarkan bahwa dalambudaya Timur, perisai memberikan isi pengetahuan sangat
penting sehingga penulis cenderung menulis sama persis seperti kutipan, minim
pengembangan gagasan. Berlandaskan perbedaan budaya Barat dan Timur ini, Suryani
menganjurkan penanganan plagiarisme diarahkan kea rah strategi Pendidikan, bukan semata-
mata hukuman terhadap pelaku plagiarisme.

Bab 9, Penny Handayani melakukan survei sederhana terhadap 36 responden melalui email
dengan jawaban berupa self-report. Responden yang memberi alasan akan tetap melakukan
plagiarisme, alasan-alasannya adalah peraturan yang kurang ketat terkait plagiat, yang
meliputi: 1) Hanya sekadar mengurangi intensitas plagiarisme, 2)Pperilaku plagiarisme yang
dilakukan tidak berdampak besar karena ruang lingkup yang kecil seperti hanya tugas di
kelas, dan 3) Guru atau pengawas yang tidak memperhatikan apabila anak didiknya
melakukan plagiarisme. Meskipun demikian, Handayani menyatakan bahwa responden juga
memberi jawaban alasan untuk berhenti melakukan plagiarisme karena rasa takut akan sanksi
dan pengembangan diri untuk memiiki pemikiran sendiri, dengan penjabaran sebagai ber
ikut: 1) Tahu plagiarisme adalah perilaku yang tidak baik 2) Ingin lebih menghargai hasil
kerja orang lain 3) Takut diketahui pihak lain apabila melakukan plagiat 4) Takut ter hadap
hukuman yang berlaku 5) Memiliki pengalaman di hukum karena melakukan plagiat dan
lainnya

Bab 10, Danny Yatim membahas contoh-contoh plagiarisme di bidang seni musik, sastra, dan
film. Yatim menyatakan bahwa terjadinya penjiplakan di bidang-bidang seni musik, sastra,
dan film merupakan konteks sosial yang terjadi di Indonesia yang mendukung terjadinya
plagiarisme Yatim berpendapat seolah-olah lingkungannya memungkinkan plagiarisme
terjadi sehingga perlu revolusi mental untuk membuang sikap bahwa "menjiplak itu tidak jadi
masalah"
Dalam Bab 11, Juliana Murniati meluncurkan pertanya- apakah benar bahwa relasi yang
hierarkis menyuburkan plagiarisme? Pertanyaan yang mengundang an ini dijawab dengan
menguraikan peran guru sejak masa rasa penasar kanak-kanak untuk dicontoh dan ditiru, dan
relasi jarak kuasa yang besar antara murid dan guru, serta cara belajar menghafal, yang
seluruhnya menjadi cikal-bakal meniru dan plagiarisme. Murniati membuka tulisan dengan
mencontohkan dua kasus plagiarisme oleh mahasiswa yang diberi tugas kelompok. Meskipun
mengerjakan sendiri-sendiri, hasil tulisan mereka adalah kesepakatan dan pemikiran bersama
sehingga hasilnya sama. Murniati mengemukakan strategi pencegahan yang dijalankan di
Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya pada kurikulum 2011 dengan mengubah paradigma
pembelajaran berpusat merujuk pada guru menjadi pembel ajaran berpusat pada siswa.

Anda mungkin juga menyukai