Anda di halaman 1dari 14

SENI KEINDAHAN DALAM FIKIH ARSITEKTUR

(FIKIH MENGGAMBAR: FIQHU AT-TAṢWĪR)

A. Definisi
Dalam Bahasa Arab, terma at-taṣwīr memiliki beberapa makna yang meliputi:
1. Ṣunˋu aṣ-ṣūroti atau membuat gambar.
‫ الَّذِي‬: ُ‫ َو َم ْعنَاه‬، ‫ص ِو ُر‬َ ‫ ْال ُم‬: ‫ َوفِي أ َ ْس َمائِ ِه تَعَالَى‬. ‫غي ِْر ِه‬
َ ‫ع ْن‬ َّ ‫ِي َه ْيئَتُهُ ْالخَا‬
َ ‫صةُ الَّتِي يَت َ َمي َُّز بِ َها‬ َ ‫ش ْيءِ ه‬ َّ ‫ورة ُ ال‬ َ ‫ص‬ ُ ‫َو‬
‫علَى ا ْختِالفِ َها‬ ْ ْ َ
َ ، َ ‫صة َو َه ْيئَتَهُ ال ُمف َر َدة‬ ْ
َّ ‫ورتَهُ الخَا‬
َ ‫ص‬ َ ‫طى ُك َّل‬
ُ ‫ش ْيءٍ مِ ْن َها‬ َ
َ ‫ فَأ ْع‬، ‫ت َو َرتَّبَ َها‬ ْ
ِ ‫ص َّو َر َجمِ ي َع ال َم ْو ُجو َدا‬ َ
ْ
‫َو َكث َرتِ َها‬
Gambar sesuatu adalah bentuk khusus sesuatu yang membedakanannya dari
bentuk yang lain. Makna pertmama ini selaras dengan salah satu nama Allah
SWT, yaitu al-Muṣowwiru. Sebuah nama yang berarti Tuhan yang membuat dan
menyusun setiap bentuk ciptaan-Nya berdasarkan kekhususan dan kekhasan
masing-masing.
2. Żikru ṣifati as-sya’i atau menyebutkan karakter sesuatu dalam bentuk gambar.
3. Ṣunˋu aṣ-ṣūroti al-latī hiya timṡālu as-sya’i atau membuat gambar sesuatu yang
meniru dan menyerupai bentuk aslinya. Baik gambar tersebut dalam fisik
(patung) atau hanya sekedar non fisik (gambar). Atau yang dalam istilah para
ulama fikih familier dengan gambar yang memiliki bayang-bayang
(mujassamatun aw żātu ẓillin) dan gambar yang tidak memiliki bayanga-
bayang (ghoiru mujassamatin aw ghoiru żāti ẓillin).
Sedangkan secara terminologi fikih, maka para ulama fikih memaknai at-taṣwīr
tidak berbeda dengan makna etimologinya.1
B. Berbagai Terma Yang Berkaitan Erat Dengan At-Taṣwīr
Berdasarkan pembahasan seputar definisi terma at-taṣwīr pada poin A, maka
dalam pembahasan seputar hukuh fikih at-taṣwīr ada beberapa terma yang sangat
erat kaitannya dengan menggambar, yaitu: patung dan membuat patung (at-
tamāṣīlu), melukis (ar-rosmu), membordir (at-tawsyiyyatu), mengukir (an-
naqsyu), menyetempel (at-tarqīmu), dan memahat (at-tanhītu).2
C. Ragam Sudut Pandang Suatu Gambar Dan Implikasinya Dalam Hukum Fikih
Sebelum membahas perihal hukum fikih seputar gambar, maka harus harus
diperjelas dulu sudut pandang perihal gambar tersebut. Mulai dari sudut pandang
tema dan tujuan sebuah gambar (iˋtibāru al-mauḍūˋ), sudut pandang alat
menggambar (iˋtibāru al-ālati), sudut pandang gambar (iˋtibāru żāti aṣ-ṣūroti),
sudut pandang ruang dan waktu sebuah gambar (iˋtibāru al-makāni wa az-
zamāni). 3

1 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, al-Mawsū`atu al-Fiqhiyyatu al-Kuwaitiyyatu, Vol. XII,
Cet. II, Kuwait: Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, hlm. hlm. 92-93.
2 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, Vol. XII, Cet. II, …, hlm. 94-95.
3 Ahmad Mustofa Ali al-Qudot, 1988, as-Syarīˋatu al-Islāmiyyatu Wa al-Funūnu “at-Taṣwīru, al-Mūsīqī, al-

Ghinā’u, at-tamsīlu”, Cet. I, Beirut: Darul Jil, hlm. 64.

1
Pertama, sudut pandang tema dan tujuan sebuah gambar (iˋtibāru al-mauḍūˋ).
Kaidah paling tepat untuk menerangkan sebab musabbab terjadinya perbedaan
tema dan tujuan sebuah gambar adalah:
َّ ‫ َومِ ْن ُه ْم َم ْن َه ْدفُهُ ال‬,ُ‫ فَمِ نَ النَّاِس َم ْن َه ْدفُهُ ْال ِع َبا َدة‬... ‫ع ْن َها‬
‫ َومِ ْن ُه ْم‬,ُ‫ش ْه َوة‬ َ ‫َار ْال ُم َعب َِّر‬
ِ ‫ت ْال َح َيا ِة َوت َ َبايُ ُن ْاْل َ ْفك‬ِ ‫عا‬ َ ‫ت َ َع ُّد ُد َم ْوض ُْو‬
‫ َوأَ ْن‬,ٌ‫َضي أَ ْن َي ُك ْونَ َح ٌّق َو َباطِ ل‬ ِ ‫سنَّةَ هللاِ تَ ْقت‬ُ ‫ َو َه َكذَا فَإِ َّن‬. َ‫سلَ َم و ْاْل َمان‬
َّ ‫ َومِ ْن ُه ْم َم ْن يُحِ بُّ ال‬,‫ِي‬ َ ‫ام َوالت َّ َعد‬ ِ ُّ‫َم ْن يُحِ ب‬
َ ‫اإلجْ َر‬
4.ٌ‫كو ل ِْلحق أَتْباعٌ ول ِْلب ل أَتْباع‬
َ ِ ِ‫َي ُ ْ نَ َ ِ َ َ َاط‬
Ragam macam tema hidup dan perbedaan cara berpikir yang melandasi konsep
sebuah gambar. Di antara manusia ada yang tujuan hidupnya adalah ibadah
sebagaimana di antara mereka ada yang tujuan hidupnya adalah syahwat. Di
antara mereka ada yang gemar berbuat kriminal dan keributan sebagaimana di
antara mereka ada yang gemar pada perdamaian dan keamanan. Begitulah
sunatulloh yang menghendaki adanya kebenaran dan kebatilan sebagaimana
kebenaran memiliki pengikut maka kebatilan juga mempunyai pengikut.
Di antara ragam contoh gambar berdasarkan tema dan tujuan pembuatannya
adalah gambar ilmiyah, gambar kedokteran, gambar perkotaan, gambar politik,
gambar sosialisme, gambar komunisme, gambar nasionalisme, gambar liberalism,
dan gambar Islamisme.
Menurut Ahmad Mustofa Ali Qudot, termasuk dalam kategori gambar berdasarkan
tema dan tujuan pembuatannya adalah karikatur dan kartun. Karikatur adalah
sebuah gambar yang dibuat dengan tujuan untuk menampakkan ciri khas yang
negatif dari sebuah. Sedangkan kartun adalah sebuah gambar yang dibuat untuk
mempresentasikan sebuah peristiwa atau pemikiran.5
Kedua, sudut pandang alat menggambar (iˋtibāru al-ālati). Berdasarkan sudut
pandang kedua ini, maka sebuah gambar dapat dibedakan menjadi empat. Mulai
gambar tangan (at-taṣwīru al-yadawi), gambar fotografi (at-taṣwīru al-fūtūgrafī),
sampai gambar sinema digital (at-taṣwīru as-sīnimā’i).6
Ketiga, sudut pandang gambar (iˋtibāru żāti aṣ-ṣūroti).
Berdasarkan sudut pandang ketiga ini, maka sudut pandang sebuah gambar bisa
dibedakan menjadi:
1. Gambar yang mempunyi bentuk dan bayang-banyang atau sebaliknya.
Gambar yang mempunya bentuk fisik dan bayang-bayang seperti patung dan
boneka mainan baik dalam bentuknya yang sempurna atau kurang. Sedangkan
gambar yang tidak mempunyai bentuk fisik dan bayang-bayang seperti gambar
yang dihasilkan dari lukisan, kaligrafi, ukiran, kartun, dan karikatur.
2. Gambar bergerak atau diam.
Gambar bergerak seperti gambar dalam sinema, televise, dan kaset video.
Sedangkan gambar yang tidak bergerak seperti gambar yang dihasilkan dari
fotografi dan ketrampilan tangan.

4 Ahmad Mustofa Ali al-Qudot, 1988, …, hlm. 65.


5 Ahmad Mustofa Ali al-Qudot, 1988, as-Syarīˋatu al-Islāmiyyatu Wa al-Funūnu “at-Taṣwīru, al-Mūsīqī, al-
Ghinā’u, at-tamsīlu”, Cet. I, Beirut: Darul Jil, hlm. 65-66.
6 Ahmad Mustofa Ali al-Qudot, 1988, …, hlm. 70.

2
3. Gambar berwarna atau tidak.7
4. Gambar makhluk hidup yang berakal dan mempunyai nyawa, gambar makhluk
hidup yang bernyawa tapi tidak berakal, atau gambar makhluk hidup selain
manusia dan binatang.
Contoh Gambar makhluk hidup yang berakal dan mempunyai nyawa seperti
gambar manusia. Contoh gambar makhluk hidup yang bernyawa tapi tidak
berakal seperti burung dan singa. Sedangkan contoh gambar makhluk hidup
selain manusia dan binatang seperti gambar tumbuhan, rerumputan, bunga,
atau gambar benda mati seperti matahari, rembulan, bintang, dan gunung, atau
gambar hasil karya cipta manusia seperti gambar rumah, mobil, Menara, dan
perahu.8
Keempat, sudut pandang ruang dan waktu sebuah gambar (iˋtibāru al-makāni wa
az-zamāni). Berdasarkan sudut pandang ini maka sebuah gambar bisa dilihat
berdasarkan konteks tempat terciptanya sebuah gambar di samping juga kapan
gambar tersebut dibuat. Dalam konteks inilah sebuah gambar dinyatakan sebagai
bagian dari gambar peradaban timur atau peradaban barat sebagaimana juga bisa
disebut sebagai gambar kuno, modern, atau abad pertengahan.9
Menurut para ahli Fikih termasuk dalam kategori sudut pandang ke empat adalah
gambar yang permanen (aṣ-ṣūrotu ad-dā’imatu) atau tidak permanen (aṣ-ṣūrotu
al-mu’aqqotu). Di antara contoh gambar yang tidak permanen seperti gambar di
cermin, gambar di permukaan air, bayang-bayang suatu benda, dan gambar
televisi.10
D. Tiga Standar Nilai Dalam Seni Arsitektur Islam
Menurut Mustofa Hasan Badawi, ada tiga standar nilai yang harus ada dalam setiap
seni dalam Islam khususnya dalam seni arsitertural. Ketiga nilai tersebut adalah
nilai kemanfaatan (al-qīmatu an-nafˋiyyatu), nilai keindahan (al-qīmatu al-
jamāliyyatu), dan nilai spiritual (al-qīmatu ar-rūhiyyatu). 11
Tiga nilai yang harus ada dalam setiap seni arsitektural Islam yang bersumberkan
QS. An-Nahel: 5-8:12
‫) َوتَحْمِ ُل‬6( َ‫) َولَ ُك ْم فِي َها َج َما ٌل حِ ينَ ت ُ ِري ُحونَ َوحِ ينَ تَس َْر ُحون‬5( َ‫ِف ٌء َو َمنَافِ ُع َومِ ْن َها ت َأ ْ ُكلُون‬ َ ‫َو ْاْل َ ْن َع‬
ْ ‫ام َخلَقَ َها لَ ُك ْم فِي َها د‬
َ ِ‫) َو ْال َخ ْي َل َو ْال ِبغَا َل َو ْال َحم‬7( ‫وف َرحِ ي ٌم‬
‫ير ِلت َْر َكبُوهَا‬ ِ ‫أَثْقَالَ ُك ْم ِإلَى بَلَ ٍد لَ ْم ت َ ُكونُوا بَا ِلغِي ِه ِإ ََّّل ِبش‬
ٌ ‫ِق ْاْل َ ْنفُ ِس ِإ َّن َربَّ ُك ْم لَ َر ُء‬
)8( َ‫َو ِزينَةً َو َي ْخلُقُ َما ََّل تَ ْعلَ ُمون‬
(5) Dan hewan ternak telah diciptakan-Nya, untuk kamu padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan; (6) Dan
kamu memperoleh keindahan padanya, ketika kamu membawanya kembali ke
kandang dan ketika kamu melepaskannya (ke tempat penggembalaan); (7) Dan ia

7 Ahmad Mustofa Ali al-Qudot, 1988, …, hlm. 70.


8 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, Vol. XII, Cet. II, …, hlm. 93.
9 Ahmad Mustofa Ali al-Qudot, 1988, …, hlm. 71.
10 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, Vol. XII, Cet. II, …, hlm. hlm. 93.
11 Mustofa Hasan Badawi, tt, al-Maˋānī al-ˋUlūwiyyatu Li al-ˋImāroti al-Islāmiyyati, Tarim: Darul Usul,

hlm. 25-33.
12 Mustofa Hasan Badawi, 2008, Laṭōifu al-Isyārotu Fī Asrōrui al-Ma’ādini Wa al-Manārōti, Cet. I, Qohiroh:

al-wabil as-Soib, hlm. 24.

3
mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup
mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sungguh, Tuhanmu Maha Pengasih,
Maha Penyayang; (8) dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk
kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu
ketahui.
Metodologi istinbath ketiga nilai dari QS. An-Nahel: 5-8 di atas adalah:
1. Nilai kemanfaatan dikembangkan dari pengertian ayat bahwa Allah SWT
menciptakan hewan ternak seperti unta, kuda, bagal, keledai untuk beberapa
fungsi kemanfaatan agar bisa dinikmati oleh umat manusia. Fungsi
kemanfaatan tersebut adalah kulit dan bulu sebagai penghangat badan, daging
untuk dimakan, dan punggung hewan ternak sebagai tunggangan. Nilai ini
secara eksplisit termaktub dalam penggalan ayat wa manāfiˋu.
2. Nilai keindahan dikembangkan dari pengertian ayat bahwa di samping Allah
SWT menciptakan hewan ternak memiliki nilai kemanfaatan juga memiliki
nilai keindahanan. Nilai ini sebagaimana tersurat dalam penggalan ayat ke
enam disebut sebagai keindahan (jamālun) sebagaimana dipenggalan ayat ke
tujuh disebut dengan perhiasan (zīnatun).
3. Nilai spiritualitas dikembangkan dari dari penutupan ayat ke tujuah yang
menyatakan bahwa Allah adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang. Sebuah
pernyataan yang menyempurnakan nilai kemanfaatan dan keindahan dalam
sebuah mahakarya Tuhan dalam penciptaan setiap hewan ternak.
E. Perbedaan sudut pandang ulama fikih perihal sebab hukum keharaman
menggambar.
Dalam madzhab fikih, para ulama fikih berbeda pendapat perihal alasan (ilat)
pengharaman suatu gambar. Mulai karena menyerupai ciptaan Allah (al-
muḍōhatu), menjadi wasilah pengagungan dan penyembahan selain Allah (at-
ta`ẓīm), menyerupai prilaku orang-orang yang menyekutukan Allah (at-
tasyabbuh), sampai keengganan malaikat memasuki rumah yang ada gambarnya
(imtinā`u al-malā’ikati).13
Di antara dalil yang menjadi dasar para ulama yang mengharamkan gambar
menggunakan alasan (ilat) menyerupai ciptaan Allah (al-muḍōhatu) adalah:
14»ِ‫بخ َْلق هللا‬
ِ ِ َ‫ضاهُون‬ َ ُ‫ الَّذِينَ ي‬،ِ‫عذَابًا ِع ْن َد هللاِ َي ْو َم ْال ِق َيا َمة‬َ ‫اس‬ َ َ ‫شة ُ أ‬
ِ َّ‫ش ُّد الن‬ َ ‫ « َيا‬: ‫قَا َل رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
َ ِ‫عائ‬
‫َب يَ ْخلُقُ خ َْلقًا َكخ َْلقِي فَ ْليَ ْخلُقُوا ذَ َّرة ً أَ ْو ِليَ ْخلُقُوا َحبَّةً أَ ْو‬ َ ‫ظلَ ُم مِ َّم ْن ذَه‬ ْ َ ‫ " َو َم ْن أ‬:‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫هللا‬ُ ‫صلَّى‬َ ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫قَا َل َر‬
َ َ ‫ِليَ ْخلُقُوا‬
15." ً ‫شعِيرة‬
16."‫خلَ ْقتُم‬ ْ
ْ َ ‫ أَ ْحيُوا َما‬:‫ يُقَا ُل لَ ُه ْم‬،ِ‫ص َو ِر يُ َعذَّبُونَ يَ ْو َم ال ِقيَا َمة‬ ُّ ‫اب ال‬ َ ‫ص َح‬ ْ َ ‫ " ِإ َّن أ‬:- ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو ُل‬
َ - ‫َّللا‬ ُ ‫قَا َل َر‬
Di antara dalil yang menjadi dasar para ulama yang mengharamkan gambar
menggunakan alasan (ilat) sebab menjadi wasilah pengagungan dan
penyembahan selain Allah (at-ta`ẓīm) adalah:

13 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, Vol. XII, Cet. II, …, hlm. 104-106.
14 Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Șahīhu Muslimu, Vol. III, Beirut: Darul Jil, hlm. 1668.
15 Al-Baihaqi, 2003, as-Sunanu al-Kubrō, Vol. VII, Cet. III, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, hlm. 438.
16 Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunanu Ibnu Mājati, Vol. II, Indonesia: Toha Putera, hlm. 728.

4
‫ب‬ٍ ‫َت ِلك َْل‬ ْ ‫ب َب ْع ُد أ َ َّما َو ٌّد كَان‬ ِ ‫وح فِي ال َع َر‬ ٍ ُ‫َت فِي قَ ْو ِم ن‬ ْ ‫ت اْل َ ْوثَا ُن الَّتِي كَان‬ ِ ‫ار‬ َ « ،‫ع ْن ُه َما‬
َ ‫ص‬ َ ‫َّللا‬
ُ َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َّاس َر‬ ٍ ‫عب‬ َ ‫ع ِن اب ِْن‬ َ
ُ‫ َوأ َ َّما َيعُوق‬،ٍ‫س َبإ‬ َ ‫د‬
َ ْ
‫ن‬ ‫ع‬
ِ ، ِ‫ف‬ ‫و‬ ‫ج‬
َْ ِ ْ
‫ال‬ ‫ب‬ ٍ‫ْف‬ ‫ي‬‫ط‬َ ُ
‫غ‬ ‫ِي‬ ‫ن‬‫ب‬‫ل‬ِ
َ َّ ‫م‬ُ ‫ث‬ ،ٍ‫د‬ ‫ا‬ ‫ر‬ ‫م‬
َ ُ ‫ل‬
ِ ‫َت‬ ْ ‫ن‬ ‫َا‬
‫ك‬ َ ‫ف‬ ُ
‫وث‬ ُ ‫غ‬ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫م‬ َ
َ َّ َ ٍ ُ ‫أ‬ ‫و‬ ، ‫ل‬ ‫ي‬
ْ َ ‫ذ‬ ‫ه‬ ‫ل‬
ِ ‫َت‬ْ ‫ن‬ ‫َا‬‫ك‬ ‫ع‬
ٌ ‫ا‬ ‫و‬ ‫س‬
ُ ‫ا‬
َ َّ َ ِ َ ‫م‬ َ ‫أ‬ ‫و‬ ، ‫ل‬ ‫د‬
َ ْ
‫ن‬ ‫ج‬ ‫ال‬ ‫ة‬ِ ‫م‬
َ ْ ‫ِب‬
‫و‬ ‫د‬
َ
‫ فَلَ َّما َهلَ ُكوا أَ ْو َحى‬،‫ح‬ ٍ ‫صالِحِ ينَ مِ ْن قَ ْو ِم نُو‬ َ ‫ أ َ ْس َما ُء ِر َجا ٍل‬،‫ع‬ ِ َ‫َت لِحِ ْم َي َر ِِل ِل ذِي ال َكال‬ ْ ‫ َوأ َ َّما نَس ٌْر فَكَان‬، َ‫َت ِل َه ْمدَان‬ ْ ‫فَكَان‬
‫ َحتَّى‬،ْ‫ فَلَ ْم ت ُ ْع َبد‬،‫ فَفَ َعلُوا‬،‫س ُّموهَا ِبأ َ ْس َمائِ ِه ْم‬ َ ‫صابًا َو‬ َ ‫صبُوا ِإلَى َم َجا ِل ِس ِه ُم الَّتِي كَانُوا َي ْج ِلسُونَ أ َ ْن‬ ِ ‫ أ َ ِن ا ْن‬،‫طا ُن ِإلَى قَ ْومِ ِه ْم‬ َ ‫ش ْي‬ َّ ‫ال‬
17.»‫ت‬ ْ ‫ع ِب َد‬ ُ ‫س َخ الع ِْل ُم‬ َّ َ‫ِإذَا َهلَكَ أولَئِكَ َوتَن‬ ُ
Di antara dalil yang menjadi dasar para ulama yang mengharamkan gambar
menggunakan alasan (ilat) sebab menyerupai prilaku orang-orang yang
menyekutukan Allah (at-tasyabbuh) adalah:
18."‫شبَّه بقوم فَهو ْنهم‬
ْ ُ ِ‫ٍ ُ َ م‬ َ َ‫ َمن ت‬،:- ‫ صلَّى هللا عليه وسلم‬- ‫قال رسو ُل هللا‬
Di antara dalil yang menjadi dasar para ulama yang mengharamkan gambar
menggunakan alasan (ilat) sebab keengganan malaikat memasuki rumah yang ada
gambarnya (imtinā`u al-malā’ikati)adalah:
ْ ‫ع ٍة َيأْتِي ِه فِي َها فَ َجا َء‬
َ‫ت ت ِْلك‬ َ ‫سا‬ َ ‫علَ ْي ِه الس ََّالم فِي‬ َ ‫سلَّ َم ِجب ِْري ُل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫َّللا‬ُ َّ ‫صلَّى‬ ِ َّ ‫سو َل‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ع َد َر‬ َ ‫ت َوا‬ ْ َ‫شةَ أَنَّ َها قَال‬ َ ‫عا ِئ‬ َ ‫ع ْن‬ َ
َ‫ب تَحْت‬ ٍ ْ
‫َل‬‫ك‬ ‫و‬ ‫ر‬ ‫ج‬
ُ ْ ِ ِ ‫ا‬ َ ‫ذ‬ ‫إ‬ َ ‫ف‬ َ‫ت‬ َ ‫ف‬ َ ‫ت‬ ْ
‫ال‬ ‫م‬ ُ ‫ث‬ ُ ‫ه‬ ُ ‫ل‬ ‫س‬ ‫ر‬
َّ ُ ُ َ ُ َ َ ُ َّ ُ َ
‫َّل‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫د‬ ‫ع‬
ْ ‫و‬ ‫َّللا‬ ‫ِف‬ ‫ل‬ ‫خ‬ ْ ُ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ‫و‬َ َ ِ‫م‬ ‫ه‬
ِ ‫د‬
ِ ‫ي‬ ‫ن‬ْ ‫َا‬‫ه‬ ‫ا‬ َ ‫ق‬‫ل‬ْ َ ‫أ‬َ ‫ف‬ ‫ا‬ ‫ص‬
ً َ َ ‫ع‬ ‫ه‬
ِ ‫د‬
ِ ‫ي‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ ‫و‬ ْ
َ ِ ِ َ ْ َ َ ‫ال‬
‫ه‬ ‫ت‬ ‫أ‬ ‫ي‬ ‫م‬ َ ‫ل‬ ‫و‬ ُ ‫ة‬ ‫ع‬ ‫َّا‬ ‫س‬
ِ َّ ‫سو ُل‬
‫َّللا‬ ُ ‫َّللا َما َد َريْتُ فَأ َ َم َر ِب ِه فَأ ُ ْخ ِر َج فَ َجا َء ِجب ِْري ُل فَقَا َل َر‬ ِ َّ ‫ت َو‬ ْ َ‫شةُ َمت َى َد َخ َل َهذَا ْالك َْلبُ هَاهُنَا فَقَال‬ َ ِ‫عائ‬ َ ‫ير ِه فَقَا َل َيا‬ ِ ‫س ِر‬ َ
ٌ‫ت فَقَا َل َمنَ َعنِي ْالك َْلبُ الَّذِي َكانَ فِي َب ْيتِكَ ِإنَّا ََّل نَ ْد ُخ ُل َب ْيتًا فِي ِه ك َْلب‬ ْ
ِ ‫ع ْدتَنِي فَ َجلَسْتُ لَكَ فَلَ ْم ت َأ‬ ‫ا‬ ‫و‬
َ َ َ َ َ َ ُ‫م‬ َّ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫َّللا‬
َّ ‫ى‬ َّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ
19.ٌ‫و ََّل صورة‬
َ ُ َ
Dari Aisyah, dia berkata: Jibril berjanji akan mendatangi rasul -saw- pada suatu
waktu. Namun di waktu yang telah ditentukan, Jibril tidak kunjung
mendatanginya. Rasul saat itu memegang tongkat lalu melemparkannya dari
tangannya sambil bersabda: Allah dan utusan-Nya tidak akan mengingkari janji.
Kemudian Beliau menoleh, saat itu juga Beliau melihat anak anjing di bawah
tempat tidur. Rasul bertanya: Wahai Aisyah, kapan anjing ini masuk ke sini? Aisyah
menjawab: Demi Allah, saya tidak tahu. Lalu Rasul memerintahkan untuk
mengeluarkan anak anjing tadi kemudian Jibril datang. Rasul saw bersabda: Kamu
berjanji padauk, aku menunggumu, namun kamu tidak datang. Jibril berkata:
Anjing kecil di dalam rumahmu mencegah aku karena kami tidak akan masuk
rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.
F. Ragam Hukum Menggambar (Taṣwīru aṣ-Ṣūroti)
1. Hukum Menggambar Karya Cipta Manusia (Taṣwīru al-Maṣnūˋati)
Hukum menggambar hasil cipta karya manusia seperti menggambar perahu,
mobil, rumah, masjid, dan sesamanya. Sebab ketika manusia diperbolehkan
membuat beberapa contoh yang sudah tersebut, maka mereka juga
diperbolehkan (al-ibāhatu) menggambarnya.20

17Muhammad bin Ismail al-Bukhori, 1400 H, al-Jāmi`u aș-Șahīhu, Vol. III, Cet. I, Qohiroh: Maktabah
Salafiyah, hlm. 316.
18Abu Daud, 1997, Sunanu Abī Dawūda, Vol. IV, Cet. I, Beirut:Daru Ibnu Hazem, hlm. 204.
19 Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Șahīhu Muslimu, Vol. VI, Beirut: Darul Jil, hlm. 155.
20 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, Vol. XII, Cet. II, …, hlm. 97.

5
Hukum kebolehan menggambar setiap hasil cipta karya manusia ini selaras
dengan kaidah fikih di bawah ini:
ُ‫ضى ِب َما َيت ََولَّ ُد مِ ْنه‬َ ‫ْئ ِر‬ ِ ‫شي‬َّ ‫ضى ِبال‬ َ ‫ا َ ِلر‬
Rela perihal sesuatu maka juga rela pada setiap perkara yang terlahir
darinya.21
2. Hukum Menggambar Benda Mati (Taṣwīru al-jamādati)
Para ulama fikih mufakat perihal kebolehan (mubah) hukum menggambar
benda mati seperti menggambar laut, gunung, matahari, bulan, bintang, air, api,
dan sesamanya. Sebagaimana para ulama fikih juga berfatwa perihal
keharaman menggambar api atau matahari untuk para penyembah matahari
atau penyembah api.22
3. Hukum Menggambar Pohon dan Bunga (Taṣwīru an-Nabātāti Wa al-
Asyjāri)
Mayoritas ulama fikih lintas madzhab memperbolehkan menggambar tumbuh-
tumbuhan, mengecualikan Imam Mujahid bin Jaber (W. 104 H) yang
mengharamkan menggambar pohon yang sedang berbuah sebagaimana dalam
salah satu madzhab Imam Ahmad bin Hambal disebutkan perihal kemakruhan
menggambar tumbuh-tumbuhan dan bunga-bungaan.23
4. Hukum Menggambar Binatang dan Manusia (Taṣwīru al-Hayawāni Wa al-
Insāni)
Dalam fikih Islam ada tiga pendapat perihal hukum menggambar apalagi
membuat patung setiap makhluk hidup yang bernyawa seperti manusia dan
binatang sebagaimana di bawah ini.
Pendapat pertama, menyatakan kemubahan at- taṣwīru baik dalam
bentuk lukisan atau patung, baik objek asli lukisan atau patung adalah makhluk
yang bernyawa seperti manusia dan binatang atau tidak bernyawa seperti
tumbuhan dan benda mati.24
Hukum kemubahan secara mutlak menggambar atau membuat patung
ini dibangun berdasarkan ayat al-Quran dan hadis Rasulillah saw dengan
pendekatan kaidah fikih dan sejarah.
Ayat al-Quran yang menjadi landasan hukum adalah QS. -Saba’: 13.
ُ ‫ت ا ْع َملُوا آ َ َل َد ُاوو َد‬
ْ‫ش ْك ًرا َوقَلِي ٌل مِ ن‬ ٍ ‫ُور َرا ِسيَا‬ ِ ‫َان ك َْال َج َوا‬
ٍ ‫ب َوقُد‬ ٍ ‫يب َوت َ َماثِي َل َو ِجف‬ َ ‫ار‬ ِ ‫يَ ْع َملُونَ لَهُ َما يَشَا ُء مِ ْن َم َح‬
ُ ‫ش ُك‬
‫ور‬ َّ ‫ِي ال‬
َ ‫ِعبَاد‬
Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang
dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-
patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang
tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk

21 Zarkasyi, 1982, al-Manṡūru Fī al-Qowāˋidi, Vol. II, Cet. I, Kuwait, Wuzarotul Awqof Was Suunnil
Islamiyah, hlm. 176.
22 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, Vol. XII, Cet. II, …, hlm. 98.
23 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, Vol. XII, Cet. II, …, hlm. 99.
24 Abu Hayyan al-Andalusi, 1993, Tafsīri al-Bahru al-Muhīṭu, Vol. VII, Cet. I, Beirut: Darul Kutub al-

Ilmiyah, hlm. 255.

6
bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang
bersyukur.
Sedangkan hadis Rasulillah saw yang dijadikan dasar pijakan hukum
adalah:
ِ َّ ‫ق‬ ِ ‫عذَابًا َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة الَّذِينَ يُش َِب ُهونَ ِبخ َْل‬ ِ َّ‫ت « ِإ َّن مِ ْن أَش َِد الن‬ ْ َ‫شةَ قَال‬ َ ‫ع ْن‬
25)‫ (رواه مسلم‬.» ‫َّللا‬
َ ‫اس‬ َ ‫عا ِئ‬ َ
Dari Aisyah, dia berkata: di antara manusia yang paling berat siksanya di hari
kiamat adalah orang-orang yang membuat ciptaan seperti ciptaan Allah.
ُ‫سمِ ْعت‬ َ ‫َّللاِ قَا َل‬ َ ُ‫سمِ ْعت‬
َّ ‫ع ْب َد‬ ُ ‫ فَ َرأَى فِى‬، ‫ار ب ِْن نُ َمي ٍْر‬
َ ‫صفَّتِ ِه ت َ َماثِي َل فَقَا َل‬ ِ ‫س‬ َ َ‫ق فِى َد ِار ي‬ ٍ ‫ع ْن ُم ْسل ٍِم قَا َل ُكنَّا َم َع َمس ُْرو‬ َ
)‫ص ِو ُرونَ » (رواه البخاري‬ ْ ْ ِ
َ ‫َّللا يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة ال ُم‬ ْ َ
َّ ‫عذابًا ِعن َد‬ َ ‫اس‬ َّ
ِ ‫شد الن‬ َّ َ َّ ُ ُ
َ ‫ يَقول « إِن أ‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َّ
َّ ِ‫النب‬
Dari Muslim, dia berkata: kami bersama Masruk di dalam rumah Yasar bin
Numair. Lalu Masruk melihat patung di pelataran rumah Yasar. Masruk
berkata, saya mendengar Abdulloh berkata: saya mendengar Nabi saw
bersabda: sungguh manusia yang paling berat siksanya di hari kiamat adalah
para penggambar.
Menurut para penganut pendapat kebolehan menggambar dan
membuat patung dengan syarat tidak untuk disembang, kedua hadis di atas
tidak bisa dipahami secara tekstual. Sebab dalam syariat Islam, dosa syirik,
membunuh, dan berzina tentu lebih besar dari menggambar dan membuat
patung manusia atau hewan. Oleh sebab itu, pasti dosa dan siksa perbuatan
syirik, pembunuhan, dan perzinahan lebih berat dari sekedar menggambar dan
membuat patung manusia atu hewan.
Berdasarkan kontekstualisasi kedua hadis tersebut, maka tidak benar
jika menggambar dan membuat patung hewan atau manusia termasuk dalam
perbuatan yang diharamkan.
Dalil terakhir yang diketengahkan golongan yang memperbolehkan
menggambar dan membuat patung manusia atau binatang adalah bukti sejarah
perihal keberadaan gambar di rumah Nabi saw dan para sahabatnya. Di
samping mata uang yang dipergunakan oleh para sahabat adalah dinar
Romawi dan dirham Persia yang di dalamnya terdapat gambar.26
Di antara ulama kontemporer yang mengamini bahkan menyuarakan
dengan lantang kebolehan menggambar dan membuat patung makhluk hidup
adalah Muhammad Rasyid Ridlo (W. 1354 H) sebagaimana ppendapatnya
dibawah ini:
ُ‫ َوأ َ َّما َما ََّلظِ َّل لَه‬,ٌّ‫ َوقِ ْي َل ا َِّن ْال ُم َح َّر َم مِ ْن َها َما لَهُ ظِ ل‬.‫طلَقًا‬
ْ ‫ فَ ِق ْي َل إِنَّهُ ُم َح َّر ٌم ُم‬.‫ص َو ِر‬ ُّ ‫ف العُلَ َما ُء فِي اتِخَا ِذ ال‬ َ َ‫إِ ْختَل‬
ْ ِ ِ ِ َ ْ ‫ َو َهذَا أَ ْق َوى‬.‫ َوقِ ْي َل إِ َّن ْال ُم َح َّر َم ه َُو َما إتُّخِ ذَ بِ َه ْيئ َ ِة النَّعْظِ ي ِْم‬.ِ‫س بِاتِخَا ِذه‬
27.‫اْل َ ْقوال ع ْندي‬
َ ْ‫فَ َال بَأ‬
Para ulama berpenda pendapat perihal hukum menggambar. Disebutkan
bahwa hukum menggambar adalah haram secara mutlak. Disebutkan bahwa
yang haram adalah membuat patung. Sedangkan jika hanya dalam bentuk
gambar maka tidak haram. Dikatakan bahwa yang haram adalah gambar atau

25 Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Șahīhu Muslimu, Vol. VI, Beirut: Darul Jil, hlm. 158.
26 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, Vol. XII, Cet. II, …, hlm. 101.
27 Muhammad Rasyid Ridlo, 2005, Fatāwi Muhammad Rasyīdu Riḍo, Vol. III, Beirut: Darul Kutub al-

Jadid, hlm. 1060.

7
patung yang dibuat untuk diagungkan (layaknya sesembahan). Pendapat
terakhir inilah yang paling kuat menurutku.
Pendapat kedua, pendapat yang menyatakan keharaman menggambar
manusia atau binatang jika sudah memenuhi tiga syarat. Ini adalah pendapat
sebagian ulama salaf, Madzhab Maliki, dan diamini oleh Ibnu Hamdan (W. 690
H) dari Madzhab Hambali. Ketiga syarat tersebut adalah:
a. Gambar manusia atau binatang tersebut harus dalam bentuk patung. Oleh
sebab, setiap gambar yang tidak sampai pada definisi patung, maka
hukumnya hanya makruh. Seperti gambar relief, seni pahat dinding, mata
uang, kain bordiran, dan sesamanya.
b. Gambar atau patung manusia atau binatang tersebut harus digambar
dengan lengkap keseluruhan anggota tubuhnya. Oleh sebab itu, jika ada
gambar manusia atau binatang yang digambar tanpa menyertakan anggota
tubuh yang menjadi prasarat kehidupannya maka hukumnya tidak haram.
Seperti tanpa kepala atau dada dan perut yang berlobang.
c. Gambar atau patung manusia atau binatang tersebut harus terbuat dari
bahan yang tahan lama seperti besi, tembaga, batu, atau kayu. Oleh sebab
itu setiap gambar atau patung yang dibuat dari bahan yang mudah rusak,
maka hukumnya tidak haram. Seperti bila terbuat dari kulit semangka,
adonan roti, dan sesamanya.28
Pendapat Ketiga, pendapat yang mengaharamkan mengggambar dan
membuat patung setiap makhluk yang bernyawa seperti manusia dan
binatang. Pendapat ini menjadi hukum tetap dalam madzhab Hanafi, Syafii, dan
Hambali.29
Secara garis besar dalil yang dipergunakan kelompok penganut
pendapat kedua dan ketiga dalam mengharamkan menggambar apalagi
membuat patung makhluk yang bernyawa adalah:
‫س ْه َوةً لِى بِق َِر ٍام فِي ِه‬
َ ُ‫ست َْرت‬ َ ‫ َوقَ ْد‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ى َر‬َّ َ‫عل‬
َ ‫ َد َخ َل‬:‫ت‬ ْ َ‫ع ْن َها قَال‬ َ ‫َّللا‬
ُ َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫شةَ َر‬ َ ِ‫عائ‬ َ ‫ع ْن‬ َ
‫ق‬ ْ
‫َل‬‫خ‬ ‫ب‬ ‫ه‬ ‫ا‬ ‫ض‬ ‫ي‬ ‫ذ‬ َّ ‫ال‬
ِ ِ َ‫ِ َ َّ َ ْ َ ِ َ َ ِ ِينَ ُ َ ُون‬‫ة‬ ‫م‬‫ا‬ ‫ي‬‫ق‬ ْ
‫ال‬ ‫م‬ ‫و‬‫ي‬ ِ ‫َّللا‬ ‫د‬ ْ
‫ن‬ ‫ع‬ ‫ًا‬ ‫ب‬‫ا‬ َ ‫ذ‬ ‫ع‬ ‫اس‬
َ ِ َّ ‫ن‬‫ال‬ ُّ
‫د‬ ‫ش‬
َ َ ‫أ‬ ُ ‫ة‬ ‫ش‬
َ ‫ئ‬ ‫ا‬ ‫ع‬ ‫ا‬ ‫ي‬ « ‫ل‬ ‫ا‬ َ ‫ق‬
ِ َ َ َ َ ُ ْ َ َ‫َ َّ ن‬‫و‬ ُ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫و‬ َ ‫ل‬َ ‫ت‬‫و‬ ُ ‫ه‬ َ
‫ك‬ َ ‫ت‬‫ه‬ ‫ه‬‫آ‬ ‫ر‬
َ ُ َ َّ ‫ا‬ ‫م‬َ ‫ل‬ َ ‫ف‬ ‫ل‬ُ ‫ِي‬ ‫ث‬‫ا‬ َ َ‫ت‬
‫م‬
30.‫طعنَاه فَجع ْلنَا ْنهُ وسادة ً أَو وسادتَيْن‬
ِ َ َ ِ ْ َ َ ِ ِ‫شةُ فَقَ َ ْ ُ َ َ م‬ َ ‫عا ِئ‬
َ ‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬.» ‫َّللا‬ ِ َّ
Dari Aisyah ra, dia berkata: Rasulillah -saw- masuk menghampiriku sedangkan
aku telah menutup sebuah jendela dengan kain penutup yang bergambar.
Ketika Rasul -saw- melihatnya, beliau merobeknya sambil marah, lalu Beliau
berkata: (Wahai Aisyah, manusia yang paling berat siksanya di hari kiamat
adalah orang-orang yang menyerupai ciptaan Allah). Aisyah berkata: lalu aku
memotong-motong tirai tadi dan menjadikannya satu atau dua bantal.

‫ت‬ْ ‫ع ٍة يَأْتِي ِه فِي َها فَ َجا َء‬ َ ‫سا‬ َ ‫سلَّ َم ِجب ِْري ُل‬
َ ‫علَ ْي ِه الس ََّالم فِي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو َل‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ع َد َر‬ َ ‫ت َوا‬ْ َ‫شةَ أَنَّ َها قَال‬ َ ‫ع ْن‬
َ ِ‫عائ‬ َ
ْ َ َ ْ
ٍ ‫سلهُ ث َّم التَفَتَ فإِذا ِج ْر ُو كَل‬
‫ب‬ ُ ُ َ
ُ ‫َّللا َو ْع َدهُ َوَّل ُر‬
ُ َّ ‫ِف‬ ْ َ ْ َ ْ َ
ُ ‫صا فألقاهَا مِ ن يَ ِد ِه َوقا َل َما يُخل‬ َ ً ‫ع‬ ْ َ
َ ‫عة َول ْم يَأتِ ِه َوفِي يَ ِد ِه‬ُ َ ‫ت ِْلكَ السَّا‬

28 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, Vol. XII, Cet. II, …, hlm 102.
29 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, Vol. XII, Cet. II, …, hlm 104.
30 Muhammad bin Ismail al-Bukhori, 1987, al-Jāmi`u aș-Șahīhu al-Mukhtașoru, Vol. V, Cet. III, Beirut:

Daru Ibnu Kasir, hlm. 2221.

8
‫َّللا َما َد َريْتُ فَأ َ َم َر ِب ِه فَأ ُ ْخ ِر َج فَ َجا َء ِجب ِْري ُل فَقَا َل‬ ِ َّ ‫ت َو‬ ْ َ‫شةُ َمت َى َد َخ َل َهذَا ْالك َْلبُ هَاهُنَا فَقَال‬ َ ِ‫عائ‬ َ ‫ير ِه فَقَا َل َيا‬ ِ ‫س ِر‬ َ َ‫تَحْت‬
‫ت فَقَا َل َمنَ َعنِي ْالك َْلبُ الَّذِي َكانَ فِي َب ْيتِكَ ِإنَّا ََّل‬ ْ
ِ ‫ع ْدتَنِي فَ َجلَسْتُ لَكَ فَلَ ْم ت َأ‬ َ ‫سلَّ َم َوا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫َّللا‬ ُ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َر‬
31.ٌ‫ل ب ْيتًا فِيه ك َْل و ََّل صورة‬
َ ُ َ ٌ‫ِ ب‬ َ ُ ‫نَ ْد ُخ‬
Dari Aisyah, dia berkata: Jibril berjanji akan mendatangi rasul -saw- pada suatu
waktu. Namun di waktu yang telah ditentukan, Jibril tidak kunjung
mendatanginya. Rasul saat itu memegang tongkat lalu melemparkannya dari
tangannya sambil bersabda: Allah dan utusan-Nya tidak akan mengingkari
janji. Kemudian Beliau menoleh, saat itu juga Beliau melihat anak anjing di
bawah tempat tidur. Rasul bertanya: Wahai Aisyah, kapan anjing ini masuk ke
sini? Aisyah menjawab: Demi Allah, saya tidak tahu. Lalu Rasul memerintahkan
untuk mengeluarkan anak anjing tadi kemudian Jibril datang. Rasul saw
bersabda: Kamu berjanji padauk, aku menunggumu, namun kamu tidak
datang. Jibril berkata: Anjing kecil di dalam rumahmu mencegah aku karena
kami tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.
ُ‫ص َو َر فَأ َ ْفتِنِي فِي َها فَقَا َل لَه‬ُّ ‫ص ِو ُر َه ِذ ِه ال‬ َ ُ ‫َّاس فَقَا َل إِنِي َر ُج ٌل أ‬ ٍ ‫عب‬ َ ‫س ِن قَا َل َجا َء َر ُج ٌل إِلَى اب ِْن‬ َ ‫سعِي ِد ب ِْن أَبِي ْال َح‬ َ ‫ع ْن‬ َ
ِ َّ ‫سو ِل‬
- ‫َّللا‬ ُ ‫سمِ ْعتُ مِ ْن َر‬ ُ ُ َ
َ ‫على َرأ ِس ِه وقا َل أنَبِئكَ بِ َما‬ ْ َ َ ُ‫ض َع يَ َده‬ َّ َ ُ ْ
َ ‫ادْنُ مِ نِي فَ َدنَا مِ نهُ ث َّم قا َل ا ْد ُن مِ نِي فَ َدنَا َحتى َو‬
ُ َ
‫ار يَ ْجعَ ُل لهُ بِك ِل‬ َّ
ِ ‫ص ِو ٍر فِي الن‬ ُ ُ
َ ‫ يَقو ُل ك ُّل ُم‬- ‫سل َم‬ َّ َ ‫عل ْي ِه َو‬ َ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ َ - ‫َّللا‬ِ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سمِ ْعتُ َر‬ َ - ‫سلَّ َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫َّللا‬ُ َّ ‫صلَّى‬ َ
32.ُ‫شجر وما ََّل نَ ْفس لَه‬ َّ َ ً َ َ ْ ُ ْ َ َّ ُ َ ْ
َ َ َ َ َ ‫صنَ ْع ال‬ ْ ‫سا فتعَ ِذبُهُ فِي َج َهن َم وقا َل إِن كنتَ َّل بُ َّد فاعِال فا‬ ً ‫ص َّو َرهَا نَف‬ َ ٍ‫ورة‬ َ ‫ص‬ ُ
Dari Said bin Abi Hasan, dia berkata: ada seorang pria datang menghampiri
Ibnu Abas sambil bertanya, “saya adalah pria yang menggambar gambar ini.
Berilah saya fatwa seputar permasalahan ini. Lalu Ibnu Abas berkata:
mendekatlah padauk, lalu pria tadi mendekat. Ibnu Abas berkat, mendekatlah
padaku. Lalu pria tadi mendekat sampai Ibnu Abas meletakan tangannya di
kepala pria tersebut. Ibnu Abas berkata, saya akan bercerita padamu dengan
sebuah cerita yang aku dengar dari Rasulillah saw. Saya mendengar Rasul saw
bersabda: (semua tukang gambar di neraka. Dia diminta untuk memberi nyawa
setiap hasil gambarnya. Oleh sebab itulah nyawa itu menyiksanya di
Jahannam). Ibnu Abas berkata: jika engkau harus menggambar, maka
gambarlah pohon atau sesuatu yang tidak bernyawa.
‫صلى هللا‬- ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫علَ ْي ِه َر‬
َ ‫علَى َما بَ َعثَنِى‬ َ َ‫ب أََّلَّ أ َ ْب َعثُك‬ ٍ ‫طا ِل‬َ ‫ى ْب ُن أَبِى‬ َ ‫ِى قَا َل قَا َل لِى‬
ُّ ‫ع ِل‬ ِ ‫سد‬ ِ ‫ع ْن أَبِى ْال َهي‬
َ َ ‫َّاج اْل‬ َ
33.ُ‫شرفًا إَّلَّ سو ْيتَه‬
َّ َ ِ ِ ْ ‫ط َم ْستَهُ َوَّلَ قَب ًْرا ُم‬ َ َّ‫ع تِ ْمثَاَّلً ِإَّل‬ َ
َ ‫ أ ْن َّلَ ت َ َد‬-‫عليه وسلم‬
Dari Abu Hayyaj al-Asadi, dia berkata: Ali bin Abi Tolib berkata: Maukah kamu
saya utus sebagaimana Rasul saw mengutusku, janganlah kamu tinggalkan
patung kecuali berangus, dan kubur yang menjulang kecuali kamu
meratakannya.

31 Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Șahīhu Muslimu, Vol. VI, Beirut: Darul Jil, hlm. 155.
32 Al-Mundziri, 1987, Mukhtașoru Șahīhi Muslimi, Vol. II, Cet. VI, Beirut: Maktabah al-Islami, hlm. 365.
33 Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Șahīhu Muslimu, Vol. III, Beirut: Darul Jil, hlm. 61.

9
5. Fotografi
Para ulama fikih terbagi kedalam dua kelompok perihal status hukum fotografi.
Golonga pertama mengharamkan (at-tahrīm). Golongan kedua
memperbolehkan (al-ibāhatu). Di antara golongan ulama yang mengharamkan
adalah Muhammad Ali as-Sobuni,34 Muhammad Said Romdon al-Buti,35 dan
Muhammad Nasiruddin al-Albani.36 Sedangkan di antara ulama yang
memperbolehkan fotografi adalah Abdurrohman al-Jariri,37 Yusuf Qordowi,38
dan Muhammad Bukhait al-Hanafi.39
Menurut Ahmad Mustofa Ali Qudot, di antara landasan berpikir yang
dipergunakan kelompok ulama yang memperbolehkan fotografi adalah:
a. Mengiyaskan hukum cabang kebolehan fotografi kepada hukum asal
kebolehan setempel (gambar) di baju.
b. Metode pengambilan gambar melalui fotografi tidak bisa dihukumi haram
sebagaimana keharaman seni gambar yang dilarang dalam setiap hadis
Rasul saw. Sebab seni gambar yang dilarang pada zaman Rasul saw
menggunakan media tangan sedangkan fotografi menggunakan
penangkapan cahaya. Artinya, keduanya, tidak sama.
c. Keharaman menggambar adalah sebab membuat sesuatu yang sama
dengan ciptaan Allah dan tujuannya untuk mengagungkan kemudia
disembah (al-muḍōhatu wa at-ta`ẓīmu). Kedua sebab tersebut tidak
ditemukan dalam proses pengambilan gambar menggunakan kamera foto.
d. Gambar yang dihasilkan dari fotografi lebih cocok jika disamakan dengan
gambar yang berada dicermin atau air.40
Sedangkan di antara alasan yang disampaikan para ulama yang
mengharamkan fotografi adalah:
a. Fotografi tetap masuk dalam ragam kategori pengambilan suatu gambar
walaupun dengan Teknik yang berbeda dengan pengambilan gambar era
Rasul saw. Oleh sebab itu yang dilihat adalah hakikat fotografi sebagai
aktifitas menggambar bukan perbedaan alatnya.
b. Penyembahan pada selain Allah SWT yang terjadi di umat para nabi
terdahulu adalah melalui jalur gambar dan patung. Oleh sebab itu

34 Ali as-Sobuni, 1981, Rowā’i`u al-Bayāni, Vo. II, Cet. III, Dimsyik: Maktabah al-Ghazali, hlm. 416.
35 Muhammad Said Romdon al-Buti, 1991, Fiqhu as-Sīroti, Cet. X, Beirut: Darul Fiker al-Muasir, hlm.
411.
36 Al-Albani, 1409, Ādābu az-Zifāfi Fī as-Sunnati al-Muṭohharoti, Oman: al-Maktabah al-Islamiyah, hlm.

161.
37 Abdurrohman al-Jaziri, 2003, Kitābu al-Fiqhi `Alā al-Mażāhibi al-Arba`ati, Vol. II, Cet. II, Beirut: Darul

Kutub al-Ilmiyah, hlm. 41.


38 Al-Qordowi, 1997, al-Halālu Wa al-Harōmu Fī al-Islāmi, Cet. XXII, Qohiroh: Maktabah Wahbah, hlm.

103.
39 Muhammad Bukhait al-Hanafi, 1302 H, al-Jawābu as-Syāfī Fī Ibāhati at-Tașwīru al-Fūtūgrafī, Cet. I,

Matbaah Khoiriyah Idaroh Sayyid Muhammad Umar Khosab, hlm. 23.


40 Ahmad Mustofa Ali al-Qudot, 1988 ,…, hlm. 106.

10
keharaman fotografi bukan pada alatnya, tapi pada produk gambar yang
dihasilkan darinya.41
6. Karikatur
Secara fikih, hukum asli pembuatan karikatur adalah diperbolehkan (al-
ibāhatu) sebab dikiyaskan dengan kebolehan setempel (gambar) dibaju yang
sama sekali tidak ada unsur menyamai ciptaan Allah kemudian
memuliakannya dan menyembahnya. Namun jika pembuatan karikatur itu
dengan tujuan menghina orang lain atau mempopulerkan sesuatu yang
sebenarnya tidak dimilki orang tersebut, maka hukum karikatur seperti ini
menjadi haram. Sebab prilaku merendahkan orang lain adalah prilaku yang
sangat terlarang dalam Islam sebagaimana tertera dalam QS. Al-Hujurot: 11.42
‫سى أَ ْن يَ ُك َّن َخي ًْرا‬َ ‫ع‬ َ ٍ‫ساء‬ َ ِ‫سا ٌء مِ ْن ن‬ َ ِ‫سى أ َ ْن يَ ُكونُوا َخي ًْرا مِ ْن ُه ْم َو ََّل ن‬ َ ‫ع‬ َ ‫{يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََّل يَ ْسخ َْر قَ ْو ٌم مِ ْن قَ ْو ٍم‬
} َ‫ظا ِل ُمون‬َّ ‫ان َو َم ْن لَ ْم يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُ ُم ال‬
ِ ‫اإلي َم‬ِ ْ ‫سوقُ بَ ْع َد‬ ُ ُ‫س ِاَّل ْس ُم ْالف‬ ِ ‫س ُك ْم َو ََّل تَنَابَ ُزوا بِ ْاْل َ ْلقَا‬
َ ْ‫ب بِئ‬ َ ُ‫مِ ْن ُه َّن َو ََّل ت َْلمِ ُزوا أ َ ْنف‬
]11 :‫[الحجرات‬
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum
yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari
mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan
(mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang
diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).
Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan)
yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.
7. Hukum menggambar gambar atau membuat patung manusia imajener (bentuk
yang hanya ada di alam imajinasi bukan realita)
Perihal gambar imajiner manusia dan hewan dalam madzhab syafii terdapat
dua pendapat seperti gambar manusia dengan dua sayap atau kerbau
berpelatuk (berparuh) layaknya burung. Pendapat jumhur syafiiyah
mengharamkan sedangkan sedangkan statmen Ibnu Muqri (W. 837 H)
mengindikasikan kebolehan.43

41 Ahmad Mustofa Ali al-Qudot, 1988, …, hlm. 105.


42 Ahmad Mustofa Ali al-Qudot, 1988, …, hlm. 102.
43 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, Vol. XII, Cet. II…, hlm 111.

11
G. Hukum Menyimpan Dan Memanfaatkan Gambar di Selain Tempat Ibadah
1. Hukum menyimpan dan menjadikan gambar atau patung selain binatang dan
manusia sebagai hiasan rumah
Hukum asli menyimpan dan menjadikan gambar atau patung selain manusia
dan binatang seperti gambar benda mati, pepohonan, dan pemandangan alam
semesta adalah boleh (al-ibāhatu). Sebab ketika seseorang boleh menggambar
atau memahat sesuatu maka dia juga boleh menyimpan dan memanfaatkannya
sebagai hiasan memperindah rumahnya.
Kebolehan memanfaatkan tersebut sangat luas. Mulai Ketika hanya untuk
keperluan dan kemanfaatan primer seperti menutup dinding yang rusak
dengan sebuah gambar atau sampai pada pemanfaatan gambar sebagai
perhiasan mempercantik rumah.44
2. Hukum menyimpan dan menjadikan gambar manusia dan binatang sebagai
hiasan rumah
Seluruh ulama fikih lintas madzhab sepakat perihal keharaman memanfaatkan
gambar apalagi patung yang sebagai sesembahan (berhala). Adapun ragam
pemanfaatan selain motif penyembahan dan kesyirikan maka para ulama fikih
masih berbeda pendapat perihal kebolehan atau keharamannya. Hanya saja
ada enam kriteria yang hampir menjadi kesepakatan para ahli fikih perihal
sebab keharaman pemanfaatan gambar manusia atau hewan. Keenam kriteria
tersebut adalah:
a. Jika gambar tersebut mempunyai bayang-bayang (patung) maka patung
tersebut harus patung sesuatu yang bernyawa (manusia atau binatang).
b. Anggota tubuh yang menjadikan gambar atau patung tersebut hidup -
seandainya dalam bentuk aslinya- harus sempurna.
c. Gambar atau patung tersebut harus diletakkan atau digantung di tempat
yang terhormat.
d. Gambar atau patung tersebut bukan dalam kategori boneka mainan anak-
anak.
e. Gambar atau patung tidak terbuat dari bahan yang cepat rusak seperti
tepung, gula, dan sesamanya.45

44 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, Vol. XII, Cet. II, …, hlm 116.
45 Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, 1998, Vol. XII, Cet. II, …, hlm 116.

12
Daftar Pustaka

Abdurrohman al-Jaziri, Kitābu al-Fiqhi `Alā al-Mażāhibi al-Arba`ati, Vol. II, Cet. II,
Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2003.
Abu Daud, Sunanu Abī Dawūda, Beirut:Daru Ibnu Hazem, 1997.
Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsīri al-Bahru al-Muhīṭu, Vol. VII, Cet. I, Beirut: Darul Kutub
al-Ilmiyah, 1993.
Ahmad Mustofa Ali al-Qudot, as-Syarīˋatu al-Islāmiyyatu Wa al-Funūnu “at-Taṣwīru, al-
Mūsīqī, al-Ghinā’u, at-tamsīlu”, Cet. I, Beirut: Darul Jil, 1988.
Al-Albani, Ādābu az-Zifāfi Fī as-Sunnati al-Muṭohharoti, Oman: al-Maktabah al-
Islamiyah, 1409 H.
Al-Baihaqi, as-Sunanu al-Kubrō, Vol. VII, Cet. III, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2003.
Ali as-Sobuni, Rowā’i`u al-Bayāni, Vo. II, Cet. III, Dimsyik: Maktabah al-Ghazali, 1981.
Al-Mundziri, Mukhtașoru Șahīhi Muslimi, Vol. II, Cet. VI, Beirut: Maktabah al-Islami,
1987.
Al-Qordowi, al-Halālu Wa al-Harōmu Fī al-Islāmi, Cet. XXII, Qohiroh: Maktabah
Wahbah, 1997.
Muhammad bin Ismail al-Bukhori, , al-Jāmi`u aș-Șahīhu al-Mukhtașoru, Beirut: Daru
Ibnu Kasir, 1987.
Muhammad bin Ismail al-Bukhori, al-Jāmi`u aș-Șahīhu, Vol. III, Cet. I, Qohiroh:
Maktabah Salafiyah, 1400 H.
Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunanu Ibnu Mājati, Vol. II, Indonesia: Toha Putera,
tt.
Muhammad Bukhait al-Hanafi, , al-Jawābu as-Syāfī Fī Ibāhati at-Tașwīru al-Fūtūgrafī,
Cet. I, Matbaah Khoiriyah Idaroh Sayyid Muhammad Umar Khosab, 1302 H.
Muhammad Rasyid Ridlo, Fatāwi Muhammad Rasyīdu Riḍo, Vol. III, Beirut: Darul Kutub
al-Jadid, 2005.
Muhammad Said Romdon al-Buti, Fiqhu as-Sīroti, Cet. X, Beirut: Darul Fiker al-Muasir,
1991.
Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Șahīhu Muslimu, Vol. III, Beirut: Darul Jil, hlm, tt.
Mustofa Hasan Badawi, Laṭōifu al-Isyārotu Fī Asrōrui al-Ma’ādini Wa al-Manārōti, Cet.
I, Qohiroh: al-wabil as-Soib, 2008.
Mustofa Hasan Badawi, tt, al-Maˋānī al-ˋUlūwiyyatu Li al-ˋImāroti al-Islāmiyyati, Tarim:
Darul Usul, tt.

13
Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-Islamiyah, , al-Mawsū`atu al-Fiqhiyyatu al-
Kuwaitiyyatu, Vol. XII, Cet. II, Kuwait: Wuzarotul Awqof Was Syuun ad-
Islamiyah, 1998.
Zarkasyi, al-Manṡūru Fī al-Qowāˋidi, Vol. II, Cet. I, Kuwait, Wuzarotul Awqof Was
Suunnil Islamiyah, 1982.

14

Anda mungkin juga menyukai