Latar Belakang
Beberapa waktu lalu para ilmuwan di Pusat Penelitian di Almaden telah berhasil
menjalankan kalkulasi komputer kuantum yang paling rumit hingga saat ini. Mereka berhasil
membuat seribu triliun molekul yang didesain khusus dalam sebuah tabung menjadi sebuah
komputer kuantum 7-qubit yang mampu memecahkan sebuah versi sederhana perhitungan
matematika yang merupakan inti dari banyak di antara sistem kriptografis pengamanan
data (data security cryptographic system). Hal itu memberi peluang akan terjadinya
pengklonaan (cloning) berbagai objek ilmu pengetahuan, tidak terkecuali dalam
pengembangan bahasa, khususnya pengayaan kosakata (Korpus Indonesia). Oleh karena
itu, diperlukan pemikiran baru, yaitu pengembangan pengklonaan kosakata dari bahasa
resmi yang digunakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Tionghoa, Inggris,
Prancis, Rusia, Arab, dan Spanyol, ke dalam bahasa Indonesia. Ini akan menjadi lompatan
baru dalam kosakata bahasa Indonesia. Dengan aplikasi baru berkecepatan komputasi
kuantum seperti di atas, perlu adanya terobosan ekperimentasi. Ahli teknologi informasi
perlu diajak berpikir untuk merancang dan menangkap miliaran kosakata yang melayang di
dunia siber ini: bagaimana kosakata yang melayang tersebut dapat ditangkap melalui
aplikasi tertentu. Pengembangan bahasa perlu diarahkan ke berbagai aplikasi baru. Ini
merupakan sebuah pemikiran di era Revolusi Industri 4.0.
Welsch and Fischer (2016) menyatakan bahwa Revolusi Industri 4.0 berdampak pada
berkembangnya berbagai bidang sebagai konsekuensi dari adanya penemuan teknologi
terbaru seperti desain perangkat lunak tertentu. Schwab (2016) menambahkan bahwa
dampak tersebut terjadi pada semua aspek bukan hanya apa yang kita kerjakan melainkan
juga siapa diri kita. Bahasa, termasuk di dalamnya, merupakan aspek yang berkenaan
dengan identitas diri kita.
4. adanya akses pengetahuan, hiburan, bisnis, edukasi, dsb. yang hampir tak terbatas;
Aplikasi Klona Bahasa merupakan aplikasi yang dikembangkan untuk merekam dan
mendokumentasikan kosakata yang dipakai oleh pengguna internet dari semua bahasa.
Kosakata yang terekam tersebut didokumentasikan untuk mengembangkan kosakata yang
terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan melakukan peminjaman kosakata
dari bahasa lain. Sejarahnya, pola tipologi suatu bahasa berkembang dengan cara
meminjam kosakata dari bahasa lain. Contoh kosakata yang sudah dipinjam
adalah railway, airport, jetlag, turbo, servo, shampoo, chutney atau bungalow yang menjadi
item leksikal karena adanya inovasi teknologi pada era Revolusi Industri 1.0 (Welsch dan
Fischer, 2016).
Peminjaman kosakata dari bahasa lain juga terjadi pada pengembangan kosakata bahasa
Inggris. Shampoo, chutney atau bungalow merupakan kosakata yang berasal dari bahasa
India melalui perdagangan kolonial. Sementara itu, kosakata dalam bahasa Jerman
seperti fesch, dressman, smoking, handy, controlling, dan beamer dipengaruhi oleh adanya
kosakata bahasa Inggris. Menurut Welsch dan Fischer (2016), tiga alasan utama dalam
peminjaman kosakata tersebut adalah (1) kosakata yang belum ada seperti laser, (2)
kosakata yang secara konvensional dan internasional digunakan seperti computer, key
account, dan CEO, serta (3) kosakata dan frasa yang menjadi lebih “canggih” jika diambil
dari bahasa Inggris seperti last not least, just-in-time, dan state-of-the-art. Inovasi teknologi
seperti internet diprediksi akan mengakibatkan adanya back-translations atau kosakata
yang telah dipinjam kembali ke bahasa sumbernya dengan makna yang terpisah dari
makna aslinya. Peminjaman kosakata dari bahasa lain akan tetap ada dengan hipotesa:
makin tinggi level pendidikan atau status sosial, makin banyak peminjaman kosakata yang
dilisankan seseorang.
Perkembangan internet pada era Revolusi Industri 4.0 dapat mempercepat adanya
peminjaman kosakata dari bahasa lain. Gee dan Hayes (2016) menyatakan bahwa media
digital dengan cepat memengaruhi penggunaan bahasa yang bervariasi antarragam: formal
dan informal, small talk dan big talk, social bonding dan social distance. Namun, untuk
benar-benar mengetahui arti dari suatu kosakata, seseorang harus memiliki pengalaman
terhadap kata tersebut. Definisi/makna yang terdapat di dalam kamus tidak cukup untuk
menjelaskan arti sebuah kata. Di tambah lagi, satu individu dengan individu lainnya dapat
memiliki pengalaman yang berbeda terhadap suatu kata. Meskipun demikian, makna/arti
suatu kata tetap dianggap sama karena adanya kelompok sosial dengan interaksi antar-
individu di dalamnya. Pada era digital, setiap individu memiliki kesempatan yang sama
untuk membagi pengalaman mereka.
Dalam era digital, teknologi bahasa membantu manusia dalam berkolaborasi, berbisnis,
berbagi pengetahuan, dan berpartisipasi dalam perdebatan sosial dan politik terlepas dari
permasalahan bahasa dan keahlian menggunakan komputer. Contoh keterlibatan bahasa
dalam penggunaan teknologi adalah (1) menemukan informasi dengan mesin pencari, (2)
mengecek ejaan dan tata bahasa dengan prosesor kata, (3) mengikuti petunjuk lisan dari
sebuah sistem navigasi, dan (4) menerjemahkan halaman (web) melalui layanan daring.
Kekurangan yang masih ada dalam perkembangan teknologi bahasa yang sekarang adalah
penggunaan pendekatan statistik yang tidak tepat serta pengetahuan dan metode linguistik
yang tidak diterapkan secara lebih mendalam. Ananiadou, McNaught, dan Thompson
(2016) menekankan bahwa bahasa manusia bersifat ambigu. Ambiguitas menciptakan
tantangan pada berbagai level pengembangan mesin penerjemahan. Makna kata dalam
level leksikal, misalnya, dapat berbeda lagi pada level sintaks. Selain itu, popularitas
aplikasi media sosial seperti Twitter dan Facebook mengusulkan adanya kebutuhan akan
teknologi bahasa yang canggih yang dapat memonitor postingan, menyimpulkan diskusi,
menyarankan tren pendapat, mendeteksi respon emosional, atau mengidentifikasi
pelanggaran hak cipta.
Komputasi kuantum telah lama terasa seperti salah satu teknologi yang 20 tahun datang
lebih cepat, dan akan selalu demikian. Akan tetapi, saat ini menjadi pijakan tahun yang di
dalamnya terjadi pengembangan komputasi kuantum yang berlaku tidak hanya dalam
penelitiannya saja. Komputasi kuantum saat ini sudah menjadi aplikasi bagaikan raksasa,
menjelma menjadi raksasa baru dalam aplikasi Google dan Microsoft. Ambisi mereka
mencerminkan transisi yang sangat luas dan kompleks yang terjadi di laboratorium
penelitian dan pengembangan akademis: bergerak dari sains murni menuju rekayasa.
Apa hubungannya dengan bahasa? Menarik untuk dibahas. Bahasa adalah aksentuasi
pemikiran dalam wujud kata dan kalimat. Makin kompleks pemikiran yang ada, makin
kompleks juga aksentuasi kata atau kalimat yang akan digunakan dalam menyatakan
pemikiran tersebut. Berbagai penemuan baru membutuhkan kosakata baru dalam
menguraikannya. Oleh karena itu, bahasa mempunyai fungsi intrinsik, sebagai suatu sistem
pengacuan yang menghubungkan dunia konsep dengan lambang verbal.
Demikian pula, bahasa memiliki fungsi sosial yang sifatnya komunikatif, ekspresif, dan
integratif. Walaupun diakui bahwa fungsi komunikatif itu merupakan fungsi sosial bahasa
yang primer, pada hakikatnya bahasa adalah aksentuasi pemikiran dalam simbol dan
lambang bunyi. Pemikiran yang tak terbatas perlu dijelaskan dalam bahasa yang kaya akan
makna.
Ketika William Shakespeare (WS) mencipta Hamlet, kosakata dalam bahasa Inggris sangat
terbatas untuk mewadahi pemikiran karyanya tersebut. WS akhirnya menciptakan kosakata
berdasarkan insting dan bunyi di alam raya yang dia saksikan. Tercetuslah berbagai
kosakata baru tersebut. Di situlah James Murray (penyusun pertama Oxford English
Dictionary) mengambil pelajaran, bahwa dunia alam ini memberikan pelajaran berharga
akan kosakata (words). Itulah yang akhirnya memberikan gagasan/ide baru tentang
menjemput kosakata yang dimiliki oleh masyarakat dunia, khususnya dalam bahasa
Inggris. Masyarakat dunia diminta menyumbang kosakata baru dengan sistem manual,
yaitu kartu kata (katalog kata). Era RVI 4.0 menghamparkan seluas samudra dan sejembar
galaksi kosakata yang bertebaran di dunia maya. Tinggal siapa yang mau menjemputnya
dengan perangkat yang lebih canggih. Sebuah program tentu berangkat dari suatu
ide/gagasan, kemudian diuraikan melalui deskripsi/pemaparan, dan yang lebih nyata perlu
rencana aksi. Siapa lagi kalau bukan kita?
Berkembangnya ide pohon kamus dan Korpus Indonesia yang sudah dan akan
dilaksanakan perlu dipercepat. Lima juta kosakata dalam Korpus harus cepat
dikembangkan. Tahap selanjutnya adalah apa yang dinamakan Klona Bahasa. Dengan
pengklonaan ini pengembangan bahasa bisa lebih cepat, asalkan kita bisa memasukkan
semua kosakata dari buku, jurnal, dsb. yang ada di dunia maya ini dengan cara berkerja
sama dengan berbagai lembaga di seluruh dunia untuk saling tukar buku elektronik/e-
books dan jurnal elektronik/e-journal terutama berkasnya. Ide dasarnya seperti Facebook
yang mengeluarkan bitcoin atau uang kripto yang dapat mensejajarkan seluruh mata uang
di dunia. Di dalam dunia Bahasa, aplikasi Klona Bahasa menyejajarkan kosakata di seluruh
dunia. Bahasa yang tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diambil dari
Webster, Oxford atau kamus yang lain. Setidaknya ada enam bahasa PBB. Senyampang
Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asailex (Asia Lexicography) tahun 2020 nanti di
Yogyakarta, ini kesempatan emas untuk menggelar gagasan ini.
Itulah ide pohon kamus. Terinspirasi dari kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan dulu. Ada pohon
filsafat. KBBI dengan dukungan kamus bahasa daerah yang sudah ratusan jumlahnya,
kamus bidang ilmu sekitar 400 ribuan lema, belum lagi ditambah lema kamus bahasa PBB
tersebut. Indah sekali rasanya membayangkan kekuatan kosakata yang meledak di kamus
dunia maya tersebut.
Referensi:
Ananiadou, Sophia, John McNaught, dan Paul Thompson. 2016. The English Language
in The Digital Age. White Paper Series. Springer Nature.
Gee, James Paul dan Elisabeth Hayes. 2011. Language and Learning in The Digital
Age. Routledge.
Welsh, Dominic dan Clemens Fischer. 2016. Social and Linguistic Change in The Era
of The Digital Economy (I4.0).
1
Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan Bahasa dan
Perbukuan.
2
Subbidang Pemasyarakatan Sastra, Bidang Pemasyarakatan, Pusat Pembinaan Bahasa
dan Sastra.
Sumber dari :
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/2987/pengembangan-bahasa-
indonesia-di-era-revolusi-40 Diakses tanggal 13 oktober 2020
Esensi dan Eksistensi Penggunaan Bahasa
Indonesia di Era Globalisasi
Jumat, 21 Agustus 2020 | 16:35
Bahasa merupakan gerbang utama bagi manusia agar bisa mendapatkan pemahaman
dan ilmu pengetahuan. Menurut Plato, seorang filsuf dan matematikawan asal Yunani
“Bahasa adalah pernyataan yang ada pada pikiran seseorang dengan memakai
perantara rhemata (ucapan) serta onomata (nama benda) yang merupakan cerminan
ide seseorang dalam arus udara dengan melalui suatu media yaitu mulut.” Secara
sederhana, bahasa merupakan sebuah alat untuk dapat terhubung dengan manusia
lainya. Namun, jika dikaji lebih jauh, bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat
untuk berkomunikasi, dalam hal ini bahasa merupakan media untuk menyampaikan
pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan
sebagai sebuah sistem lambang berupa bunyi yang bersifat arbitrer, produktif, dinamis,
beragam dan manusiawi.
BACAJUGA
Omnibus Law dalam Pemerintahan Omnipotent
Cari Ibumu, Minta Doanya agar Corona Menjauh
Bahasa mempunyai beberapa fungsi tertentu yang dapat digunakan berdasarkan
kebutuhan seseorang. Karena fungsinya yang sangat beragam, sehingga bahasa bisa
digunakan sebagai media ekspresi diri, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan
sebagai alat untuk beradaptasi sosial dalam lingkungan. Melalui bahasa kita juga dapat
menilai bagaimana karakteristik seseorang, sebab dari tutur kata yang diucapkan akan
terlihat kualitas diri dari seseorang tersebut. Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, bahasa merupakan suatu hal yang fundamental. Hal tersebut diperkuat
dengan adanya UU no 24 tahun 2009 tentang “Bendera, bahasa, dan lambang
negara.” Sejatinya, bahasa menjadi alat ucap yang digunakan oleh sesama masyarakat
pada suatu negara, dengan bahasa masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain dan
bersosialisasi.
Saat ini kita telah memasuki era globalisasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
menyatakan bahwa “Globalisasi adalah proses masuknya ke ruang lingkup dunia.”
Globalisasi dapat mempengaruhi semua aspek dalam kehidupan, termasuk bahasa.
Seiring berjalanya waktu, bahasa terus mengalami perkembangan serta mengalami
adaptasi dengan lingkungan di era globalisasi. Di dalam ruang lingkup kecil yaitu di
dalam keluarga, masyarakat Indonesia mayoritas menggunakan bahasa daerah untuk
berkomunikasi, sementara pada ruang lingkup yang lebih luas dan bersifat resmi,
masyarakat Indonesia lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan. Dengan dicetuskannya Bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Indonesia
pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 lalu, perkembangan bahasa Indonesia terus
meningkat. Di balik arus permasalahan kebahasaan yang terjadi di Indonesia, bahasa
daerah tetap dijaga eksistensinya dan esensinya, sesuai dengan trigatra bangun
bahasa .
Menilik pada pemakaian bahasa Indonesia yang terjadi di kalangan masyarakat, terjadi
banyak fenomena negatif di tengah masyarakat Indonesia, misalnya banyak orang
Indonesia yang merasa bangga memperlihatkan kemahiran nya menggunakan bahasa
Inggris meskipun mereka tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Fenomena
seperti ini jika tidak cepat ditanggapi dan dicari solusinya maka akan menyebabkan
eksistensi serta esensi bahasa Indonesia memudar, sehingga hal tersebut perlu
ditanggapi sedari dini. Namun, usaha pemerintah untuk mewujudkan cita-cita sumpah
pemuda yang menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia pantas
diberi acungan jempol. Di tengah era globalisasi ini usaha masyarakat Indonesia untuk
tetap mempertahankan bahasa Indonesia dengan cara menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa formal yang tetap digunakan walaupun hanya pada situasi formal. Hal
tersebut merupakan salah satu upaya pelestarian bahasa Indonesia yang bak dan
benar di tengah perkembangan globalisasi.
https://hariansinggalang.co.id/esensi-dan-eksistensi-penggunaan-bahasa-indonesia-di-era-globalisasi/