PEMBELAJARAN
02 Mar
Seperti dikemukakan Jan Amos Comenius bahwa kualitas pendidikan adalah sesuatu yang tidak
dapat ditawar lagi. Seperti dinyatakan bahwa setiap umat harus memperoleh pendidikan secara
penuh, dalam keserasian kemanusiaan dengan tidak membedakan siapa ia sesungguhnya, bukan
dilihat jumlahnya, laki atau perempuan, muda atau tua, miskin dan kaya, akan tetapi lebih dilihat
dari sejatinya sebagai manusia. Pendidikan yang dimaksudkan yaitu pendidikan sebagai manusia
sejati sebagai makhluk yang utuh, terpenuhi kebutuhannya untuk menjadi manusia yang
sempurna. Read the rest of this entry »
2 Comments
MANAJEMEN PELATIHAN
23 Feb
Kata Pengantar
Dengan berkembangnya jabatan fungsional pada hampir semua lembaga dan departemen,
kebutuhan akan profesi pelatih merupakan satu kesatuan nafas dengan keberadaan lembaga itu
sendiri. Lembaga yang menginginkan untuk mampu memenuhi kebutuhan stakeholdernya
menjadi sebuah keniscayaan untuk selalu mengembangkan pelatihan. Sementara pelatih yang
profesional tidak lain adalah mereka yang menjadikan pendidikan profesi sebagai bagian dari
kehidupannya, melalui semangat berlatih untuk belajar dan membaca, belajar untuk
mengaplikasikan hasil membaca dalam kehidupan dan belajar mengaplikasikan konsep untuk
meningkatkan peran dalam sebagai profesi dalam melakukan pelatihan.
Sehubungan dengan tuntutan tersebut diperlukan loncatan budaya dari budaya tutur menjadi
budaya baca, dimana seseorang melalui otoritas pribadi dan otonominya dapat beradaptasi pada
proses pembelajaran untuk meningkatkan profesi melalui kemampuan mencari dan
memanfaatkan sumber sebanyak-banyaknya. Bila pada konsep lama mengambil air harus datang
ke sumber air, seorang bijak mengatakan sumber air dapat datang ke tempat dimana seseorang
membutuhkan. Yang dibutuhkan kini yaitu kemampuan untuk memanfaatkan sumber yang
banyak itu, dimana tanpa kearifan sumber yang banyak itu akan tersia-sia tanpa kemampuan
memilih-memilah dan mencari yang terbaik untuk kehidupan.
Buku ini merupakan materi ajar pelatihan yang diarahkan pada konsep mutu dan penjaminan
mutu pelatihan. Persembahan yang diharapkan akan saling merabuk antara pengembangan
pendidikan nonformal sebagai bagian dari pembelajaran sepanjanghayat dengan kebutuhan
lapangan akan pelatihan. Semoga Tuhan selalu memberikan bimbingan. Amin
Bandung, Nopember 2009
Penyusun,
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 2
C. Sasaran 2
D. Hasil Yang Diharapkan 2
BAB II 4
PENDIDIKAN PROFESI 4
A. Pendidikan Tenaga Profesional 4
B. Pembelajaran Antisipatif 6
C. Tantangan dan Kiat Mengikuti Pendidikan Profesi 16
D. Sistem Pendidikan Berbasis Kompetensi 18
E. Kinerja Profesional 21
F. Etos Kerja dan Budaya Kerja/Organisasi 26
G. Etika Profesi 30
BAB III 33
PELATIHAN 33
A. Memahami Pelatihan 33
B. Pelatihan Sebagai Sistem 36
BAB IV 74
PENYULUHAN 74
A. Memahami Penyuluhan 74
B. Filsafat penyuluhan 77
C. Prinsip Penyuluhan 79
D. Kiat Melatih Dan Memberikan Penyuluhan 96
BAB V 107
MANAJEMEN PELATIHAN 107
A. Pendahuluan 107
B. Materi pembelajaran 107
C. Perspektif Manajemen Pelatihan 108
D. Tugas Pokok Manajemen pada Pelatihan 109
E. Fungsi Manajemen 112
F. Mengelola Unit Pelatihan. 115
G. Peluang Pendidik untuk meningkatkan diri 121
H. Kualitas peluang pembelajaran bagi Pelatih. 123
BAB V 125
MODEL PELATIHAN 125
PENDIDIKAN VOKASIONAL DAN TEKNIS 125
A. Pemahaman kebijakan 125
B. Komitmen bersama mengenai tujuan pelatihan 127
C. Pendidikan sebelum memasuki lapangan kerja 129
D. Pendidikan untuk kelompok khusus 130
E. Sumber-sumber pelatihan 131
F. Pembelajaran mandiri 132
G. Kursus yang didukung oleh serikat pekerja dan perusahaan 133
H. Program dan Pelayanan 134
BAB VI 135
SUBSTANSI DAN KURIKULUM PNF 135
A. Pendahuluan 135
B. Dasar Pengembangan Substansi dan Kurikulum 135
C. Sistem Internasional yang mengikat Indonesia untuk Memberikan Tanggapan dan
Pelaksanaan 136
D. Beberapa Kecenderungan Spektrum PNF dan Kurikulum Internasional 140
E. Substansi, Kurikulum Inti dan Pengembangannya 142
F. Implikasi bagi Pengembangan Kurikulum Jurusan Pendidikan Luar Sekolah 144
G. Aplikasi kurikulum 147
BAB VII 155
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN 155
A. Pendahuluan 155
B. Teori Belajar 157
C. Penerapan Teori Belajar 170
D. Penerapan Pendekatan Pembelajaran 172
E. Metode Pembelajaran 175
BAB VIII 206
MANAJEMEN SARANA DAN PRASARANA 206
A. Masalah Pendidikan 206
B. Fungsi Pendidikan Dasar 206
C. Pelatihan Dalam Kerangka Global 207
D. Model Manajemen Sarana Dan Prasarana Versi Global 207
E. Sistem Manajemen 215
BAB IX 235
KOMPETENSI PELATIH/FASILITATOR PENDIDIKAN KEAKSARAAN 235
A. Kompetensi Dasar 235
B. Kepekaaan dan Kemampuan Menganalisa Kegiatan Pembelajaran 236
C. Kemampuan Mengidentifikasi Kebutuhan Belajar 236
D. Kemampuan Merencanakan Kegiatan Pembelajaran 237
E. Kemampuan Pengorganisasian /Pengelolaan Pelatihan 238
F. Kemampuan Penguasaan Substansi Materi 241
G. Kemampuan Menguasai Metodologi Pembelajaran 241
H. Kemampuan menyusun dan Menggunakan Media Pembelajaran 246
I. Kemampuan mengevaluasi kegiatan pelatihan 246
BAB X 248
PEMBERDAYAAN VISI DARI PELATIHAN DAN PENYULUHAN 248
A. Pemberdayaan melalui Pendidikan 248
B. Tampilan Prinsip Pembangunan Masyarakat dalam Praktek 255
C. Pendidikan Luar Sekolah Berbasis Pembangunan Masyarakat 257
D. Aplikasi Konsep Pembangunan Masyarakat Lebih Jauh 258
E. Kompetensi kecakapan pembangunan masyarakat bagi praktisi Pendidikan Luar Sekolah 259
F. Perencanaan Strategik pendidikan Luar Sekolah Bebasis Pembangunan Masyarakat 262
G. Hubungan antara Pendidikan Luar sekolah dengan Pembangunan Masyarakat 262
BAB XI 265
KUALITAS PELATIHAN 265
A. Pendidikan untuk kepentingan pembangunan sosial : perluasan tanggung jawab sosial 267
B. Kualitas yang berhubungan dengan interdisiplin untuk semua tahapan kehidupan 269
C. Kualitas pendidikan dalam kerangka memenuhi tujuan abad 21 270
D. Kualitas dilihat dari relevansi dan fleksibilitas 272
E. Proses belajar mengajar yang berbasis pada peserta belajar 273
F. Kualitas berkaitan dengan efektivitas manajemen, kepemimpinan dan hubungan 275
G. Mutu berarti adanya penilaian dan monitoring keluaran pendidikan 276
H. Agenda untuk dilaksanakan 278
BAB XII 281
PENJAMINAN MUTU PELATIHAN 281
I. Konsep Penjaminan Mutu 283
J. Tujuan Penjaminan Mutu 283
K. Strategi Penjaminan Mutu 283
L. Standar dan Indikator Mutu 284
M. Proses Penjaminan Mutu 284
BAB XIII 287
PENGENDALIAN MUTU PELATIHAN 287
A. Model Pengendalian Mutu 287
B. Prinsip Pengendalian Mutu 288
C. Proses Pengendalian Mutu 289
BAB XIV 291
ORGANISASI PENJAMINAN MUTU 291
A. Tingkat 291
BAB XV 293
STANDAR MUTU PELATIHAN 293
A. Pengantar 293
B. Standar Mutu 294
C. Rincian Standar 295
BAB XVI 302
SKALA PENILAIAN KINERJA PELATIHAN 302
A. Pengantar 302
B. Penilaian Kinerja Pelatihan 303
Daftar Pustaka 331
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di setiap program pendidikan, apapun bentuk dan satuannya pelatihan merupakan salah satu
komponen penting yang harus diadakan. Begitu pula dengan satuan pendidikan keaksaraan yang
dilaksanakan melalui program. Mengingat program ini merupakan salah satu unggulan dalam
upaya mewujudkan masyarakat gemar belajar, maka diperlukan pelatihan yang memadai dan
komprehensif. Komponen utama yang berinteraksi langsung dengan berbagai komponen lainnya,
seperti peserta pelatihan, kurikulum, metode, media, waktu, proses pembelajaran, lingkungan
dan lain sebagainya adalah pelatih/fasilitator yang memiliki kompetensi baik dari sisi subtansi
maupun metodologi pelatihan.
Untuk menjadi pelatih/fasilitator yang profesional tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang
perlu diperhatikan, diantaranya: kesiapan, sikap/penampilan dan pengalaman mengajar sebagai
pelatih/fasilitator. Berkaitan dengan kesiapan, seorang pelatih profesional perlu menguasai ilmu
komunikasi termasuk komunikasi massa, metodologi pembelajaran termasuk teori-teori belajar
orang dewasa (andragogi) dan strategi, metode, dan teknik penyajian. Sedangkan menyangkut
sikap atau penampilan pada saat penyampaian materi, yang perlu diperhatikan misalnya
kedalaman kajian dan wawasan, penguasaan kelas, tidak statis (luwes, fleksibel, berpenampilan
tenang), dan sebagainya.
Seorang pelatih/fasilitator harus memiliki pengalaman mengajar yang cukup. Pengalaman
mengajar ini dapat diperoleh melalui berbagai cara misalnya, dengan memperhatikan pelatih lain
ketika sedang menyampaikan atau melalui kesempatan-kesempatan yang memungkinkan
pelatih/fasilitator untuk melatih orang lain.
Unsur penting lainnya sebagai pelatih profesional adalah bagaimana pelatih dapat belajar dari
pengalaman sendiri, dan bagaimana pelatih semaksimal mungkin melibatkan peserta secara aktif.
Metode “belajar aktif” ini akan membantu peserta pelatihan mengerti bagaimana melakukan
kegiatan di lapangan. Untuk itu, pelatih perlu merangsang peserta untuk berdiskusi dan
menganalisa setiap kegiatan. Hal ini bertujuan agar peserta mengerti prinsip-prinsip tentang
mengapa, bagaimana melaksanakan, dan menerapkan kegiatan pada saat pelatih melatih peserta.
Berdasarkan uraian di atas, Direktorat Pendidikan Masyarakat menyusun Acuan Menjadi
Pelatih/Fasilitator Profesional dengan maksud agar para calon pelatih/fasilitator memiliki
kemampuan yang profesional dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pelatih/fasilitator
dalam suatu pelatihan.
B. Tujuan
Secara umum tujuan acuan ini adalah memberikan petunjuk bagi para calon pelatih/fasilitator
dalam mempersiapkan diri sebagai pelatih/fasilitator profesional, yang mencakup:
1. Kompetensi dasar;
2. Kepekaaan dan kemampuan menganalisa kegiatan pembelajaran ;
3. Kemampuan mengidentifikasi kebutuhan belajar;
4. Kemampuan merencanakan kegiatan pembelajaran;
5. Kemampuan pengorganisasian/pengelolaan pembelajaran;
6. Kemampuan penguasaan subtansi materi;
7. Kemampuan penguasaan metodologi pembelajaran;
8. Kemampuan menyusun dan menggunakan media pembelajaran;
9. Kemampuan menggunakan media pembelajaran; dan
10. Kemampuan mengevaluasi kegiatan pelatihan.
C. Sasaran
Sasaran utama acuan ini adalah para calon pelatih/fasilitator, dan para stakeholders yang terkait
langsung maupun tidak langsung dalam menyelenggarakan pelatihan program , sehingga
menghasilkan tenaga-tenaga pendidik dan kependidikan tutor, khusus pada program pendidikan
keaksaraan.
BAB II
PENDIDIKAN PROFESI
B. Pembelajaran Antisipatif
Perubahan mempengaruhi pula pada konsep pendidikan. Pendidikan di tingkat pendidikan tinggi
harus dihadapkan pada kemampuan untuk melakukan adaptasi pada perubahan. Sehubungan
dengan itu maka paradigma pendidikan pada era perubahan, yaitu:
1. Pendidikan merupakan kesatuan semua sub sistem pendidikan
2. Pendidikan tidak hanya terbatas pada penguasaan seperangkat pengetahuan tertentu.
Sehubungan dengan pertimbangan ini pendidikan diperluas menjadi pendidikan seumur hidup,
yang memungkinkan seseorang untuk mencapai dua tujuan dalam waktu yang bersamaan yaitu:
integrasi vertikal (pendidikan sepanjang hayat) dan pendidikan horisontal yaitu pendidikan yang
disesuaikan dengan kehidupan.
Perubahan ini selanjutnya mempengaruhi pula pada perubahan tujuan pendidikan. Pendidikan
tidak hanya ditujukan untuk belajar akan tetapi diperluas menjadi:
Pengetahuan kompetensi
Pada pola ini untuk memiliki kompetensi hanya dituntut kemampuan dalam pengetahuan dan ini
belum cukup untuk menjadi seorang profesional. Menggunakan prinsip yang dikembangkan
pada pembaharuan pendidikan profesional, diperlukan dasar dari pendidikan profesional, yang
merupakan pondasi dan syarat untuk memanfaatkan dua tujuan lainnya. Dalam proses yang
saling berkaitan antara aksi dan reaksi dua tujuan akan mempengaruhi dua lainnya, seperti
digambarkan:
Dalam konsepsi ini, pendidikan untuk tenaga profesional harus mampu menggabungkan antara
pendidikan dasar dengan pendidikan berkelanjutan, dengan memadukan antara pendidikan
keterampilan dengan pendidikan kepribadian.
2. Prinsip Pendidikan
Untuk memacu pendidikan tenaga pendidik yang berorientasi pada perubahan, persaingan dan
globalisasi dibutuhkan sejumlah prinsip, antara lain:
a. Pendidikan merupakan hubungan Interpersonal.
Melalui proses mendidik diharapkan dapat memberikan dasar pengetahuan faktual, teknik dan
metoda yang bersamaan dengan pengembangan kepribadian pendidik dan melakukan
transformasi potensi dirinya pada peserta didik. Titik perhatian hendaknya pada pribadi,
sepanjang pribadi dipandang sebagai pusat dari urusan pendidikan. Kepentingan pendidikan
yaitu untuk menyadari keberadaan diri dan orang lain serta mengembangkan hubungan antara
seseorang dengan lainnya, yang pada akhirnya harus diikuti dengan kemampuan intelektual,
sikap dan sosial.
b. Pendidikan hendaknya diselenggarakan dengan menggunakan metode aktif.
Metode aktif dimaksud yaitu dalam arti luas. Dalam hubungan ini harus menitikberatkan pada
pengembangan fungsi pendidik dari hanya sekedar peluncur pengetahuan menjadi pengembang
kemampuan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan peserta didik untuk
mengembangkan kapasitas, kecakapan dan sikap yang dibutuhkan untuk pengembangan
kemampuan belajar dan pertumbuhan diri.
Metode aktif ini yang akan menjadi bagian dari pendidikan hendaknya ditunjukkan pula dalam
sistem pengajaran pada muridnya kelak, terutama dalam menghadapi kenyataan tidak semua
proses pendidikan mensiratkan proses pembelajaran secara aktif. Tahapan yang harus
dikembangkan terdiri dari tiga bagian: pertama, kemampuan sensitivitas, yaitu pengembangan
kemampuan untuk mengobservasi, refleksi dan kemampuan meneliti yang secara bertahap
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan identifikasi komponen pendidikan,
serta mampu memilih berbagai model yang demikian banyak dan bervariasi dalam kehidupan
sehari-hari. Kedua, konsolidasi yaitu kemampuan untuk melakukan studi yang lebih mendalam
dalam upaya menyeimbangkan antara teori dengan praktek termasuk mengembangkan
keterlibatan dan partisipasi peserta pelatihan dalam proses pendidikan, sebagai jawaban atas
pertanyaan yang dikembangkan pada awal-awal peserta didik memasuki suatu sistem
pendidikan, sebagai upaya untuk menjawab permasalahan yang berhubungan dengan didaktik,
metode dan teknik pembelajaran. Ketiga, yang sangat penting pada model ini bahwa semua
pendekatan ini bukan pemaksaan pada peserta pelatihan akan tetapi hendaknya secara sadar
peserta pelatihan harus mampu memanfaatkan pengalaman untuk kepentingan hidupnya.
Sekaitan dengan ini sangat perlu kiranya untuk menata dan mengembangkan bimbingan dalam
belajar serta kondisi belajar yang memungkinkan untuk mengembangkan kemampuan untuk
membelajarkan diri dan secara bersamaan mengembangkan upaya mengevaluasi diri, dua proses
yang berhubungan antara satu dengan lainnya. Fungsi fasilitator dalam hubungan ini yaitu
memberikan arahan dan rangsangan yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan
sendiri teknik dan metode dalam upaya memanfaatkan semua sumber (termasuk informasi) yang
nyatanya terbatas serta mengeliminasi penggunaan metode yang selama ini berlangsung dalam
proses yang tradisional. Untuk memanfaatkan dan melakukan tanggapan pada metode yang
sifatnya tradisional ini perlu dikembangkan kerja kelompok, penggunaan pusat sumber belajar
dan seminar-seminar,
c. Pendidikan hendaknya didasarkan pada kenyataan dalam kehidupan dan pengalaman.
Semua tawaran pembaharuan pendidikan seperti yang dikemukakan terdahulu hendaknya
dirancang untuk menata pembelajaran yang memiliki hubungan langsung dengan kenyataan
sebagai persiapan untuk melaksanakan kemampuan seseorang dalam kehidupan. Selain
diharapkan dapat mengembangkan model, peserta pelatihan harus memberikan peluang untuk
menganalisis berbagai konsep yang berbagai aspek dalam upaya untuk mengembangkan
kemampuannya dalam melakukan inovasi. Observasi dalam kenyataan harus dilakukan secara
langsung, baik melalui praktek selama pendidikan maupun dengan menggunakan berbagai
penyajian melalui media. Model pembelajaran ini selain bersifat menggali pengalaman langsung,
hendaknya dilakukan pula secara paralel dengan memperhatikan berbagai alternatif. Proses
pengalaman langsung bukan hanya dilakukan pada berbagai lingkungan pembelajaran dan
pendidikan akan tetapi diberikan peluang pula untuk memberikan pengalaman pada berbagai
jenis dan tingkatan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan yang mendalam dalam
melakukan observasi. Peserta didik yang memasuki pengalaman belajar bukan hanya sebatas
sebagai observer akan tetapi pada saat yang sama bertindak sebagai aktor. Kemampuan untuk
melakukan analisis diarahkan dengan mengangkat kenyataan di lapangan dan mengembangkan
analisis internal yang tinggi melalui pengkajian berbagai proses pengalaman pendidikan maupun
psikologis.
Pada tahun-tahun berikutnya dari proses pembelajaran dipadukan antara penguasaan kemampuan
mengobservasi dengan memahami teori. Dengan mendasarkan pemikiran pada ilmu pendidikan
bukan hanya sekedar seni akan tetapi merupakan sains, maka peserta didik untuk jurusan
pendidikan luar sekolah harus diarahkan pula pada pengukuran dan eksperimen pendidikan,
d. Pendidikan bilingual dan internasional.
Pendidikan hendaknya memiliki dimensi internasional serta keterbukaan pada dunia yang
berbeda. Pendidikan untuk tenaga profesional tidak hanya membatasi pada sistem yang
berlangsung di Indonesia akan tetapi harus dikembangkan menjadi pendidikan dengan metode
berbeda dan sasaran yang berbeda pula. Tujuan lebih jauh dari pendekatan ini yaitu memberikan
bekal pada peserta didik untuk melakukan komunikasi dan memahami pihak lain, mengabaikan
dari mana asal mereka, dengan tujuan akhir yaitu mengembangkan kemampuan adaptabilitas dan
fleksibilitas dalam kehidupan.
Untuk memenuhi kebutuhan ini, kemampuan untuk memahami bahasa yang berbeda yang
potensial adalah menjadi keharusan, termasuk didalamnya pemahaman metode kebahasaan,
pemahaman pendidikan untuk hidup bersama dan pemahaman internasional serta sampai batas
tertentu pelatihan dan bagian dari pendidikan bisa dilakukan di wilayah negara lain. Mengingat
semakin terbukanya saluran informasi dan komunikasi peluang untuk belajar dari belahan bumi
yang berbeda sangat dimungkinkan melalui penggunaan internet dan peningkatan kemampuan
berbahasa Inggris sebagai .
e. Pendidikan yang berorientasi ke masa depan (future oriented).
Pandangan umum yang diterima di lingkungan pendidikan yaitu tidak ada yang kekal terhadap
perubahan, yang berimplikasi pada pendidikan tidak boleh statis dan kaku yang hanya
mementingkan bahan pelajaran yang baku bagi semua peserta didik yang berdasar pada bahan
ajar yang telah dibakukan. Pendidikan tidak berdasar asimilasi pada teori yang telah ada, akan
tetapi hendaknya dengan pendidikan mampu mengembangkan gaya yang berkembang pada
peserta pelatihan untuk mengambil peran lebih awal (get ahead), atau bila tidak mungkin
mengambil peran (to become) dilakukan secara seimbang dengan kondisi yang sedang
berlangsung. Untuk tujuan ini peserta didik harus mampu mengembangkan imajinasi yang
berkaitan dengan antisipasi peran, mengembangkan inovasi dan kreativitas dalam upaya untuk
berpatisipasi dan mengembangkan perubahan yang berarti. Sementara selama proses berlangsung
dia harus menerima kenyataan serta secara bersamaan harus mampu menghadapi perubahan dan
pembaharuan dalam pendidikan yang banyak dikembangkan antara lain dengan penggunaan
secara intensif sejumlah media baru dan membahas secara mendalam berbagai laporan maupun
jurnal pendidik yang berasal dari lingkungan yang berbeda.
f. Pendidikan Teknologi.
Perkembangan teknologi pendidikan dan audio-visual, semakin meningkat dari hari-kehari dan
tidak bisa dielakkan. Teknologi harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari alat dan proses
belajar, serta hendaknya menjadi bagian inti dari materi pembelajaran yang membawa pada
keberdayaan peserta didik dalam memanfaatkan teknologi pendidikan, termasuk dalam
mengakses internet dalam proses pembelajaran.
g. Meningkatkan pengalaman dalam berbagai proses pendidikan.
Hampir senada dengan pokok pendidikan yang berbasis teknologi, pada bagian ini memiliki
penekanan pada:
a. Memperbanyak keragaman periode pelatihan dalam berbagai lingkungan pendidikan,
tingkatan, lingkungan sosial dan wilayah yang berbeda
b. Merangsang dan memanfaatkan pengalaman secara aktif serta pengalaman dalam lingkungan
pendidikan tinggi
c. Memperbanyak keragaman pengunaan model dan teori pendidikan
d. Memperbanyak keanggotaan dalam lingkungan organisasi yang berbeda
e. Merangsang pencairan kelompok yang kaku melalui mobilitas kelompok.
h. Mengembangkan Pendidikan dalam Dimensi Global.
Untuk mewujudkan konsep ini muatan pendidikan harus terdiri dari:
a. Kunjungan dan praktek pada lingkungan regional dan global yang beragam.
b. Praktek laboratorium dan secara nyata penggunaan bahasa asing yang memiliki aplikabilitas
tinggi
c. Pelatihan dan pelaksanaan pelatihan di wilayah dan lingkungan yang berbeda serta studi
permasalahan pendidikan pada wilayah yang berbeda
d. Perbandingan atau berupa pengantar pada perbandingan permasalahan pendidikan antar
wilayah
e. Pendidikan untuk pemahaman regional dan internasional
i. Penganekaragaman pelatihan dan pengambilan makna pada lingkungan yang berbeda.
Untuk menjamin terjadinya proses pembelajaran pada lingkungan yang berbeda perlu ditunjang
dengan:
a. Mengalami secara langsung pelatihan pada berbagai substansi dan lingkungan belajar
b. Memahami berbagai sumber pengetahuan, dalam hal ini harus segera melakukan perubahan
diri dari belajar dari satu sumber menjadi belajar dari sumber yang beragam
c. Mengembangkan pengalaman pada setting perorangan (pendidikan individual), kelompok dan
masyarakat tertentu.
d. Memahami komunikasi pada berbagai bentuk dan lingkungan yang berbeda termasuk
penggunaan audio-visual dan media massa.
e. Mengembangkan pengetahuan untuk mengembangkan sikap dan keahlian baru.
j. Kemampuan Membelajarkan Diri dan Evaluasi Diri.
Perbedaan yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam membandingkan antara pendidikan
klasik dengan pendidikan yang harus berlangsung pada penyiapan pendidikan profesi, meliputi
upaya untuk membelajarkan diri dan evaluasi diri. Hal ini ditunjukkan dengan:
a. Kemampuan untuk mengkoordinasikan pengetahuan berupa kemampuan untuk melakukan
penelitian serta topik studi lanjutan secara bebas dan mengembangkan pilihan-pilihan bahan ajar
secara bebas.
b. Kemampuan membelajarkan diri dalam upaya memberikan kebebasan dalam belajar dan
belajar bagaimana cara belajar.
c. Kebebasan dalam memilih metode dan makna dalam proses pembelajaran.
d. Melakukan sendiri evaluasi diri dan mengembangkan kemampuan evaluasi. Bila selama ini
evaluasi menjadi kelajiman dilakukan oleh pihak pendidik pada peserta didik, sedangkan peserta
didik hanya mengikutinya dengan pasif, maka pada pembelajaran di lingkungan pendidikan luar
sekolah evaluasi harus dilakukan oleh peserta belajar sendiri.
k. Pendidikan dalam Keahlian Khusus.
Tuntutan untuk memperoleh predikat yang knowledgeable yaitu peserta pelatihan yang memiliki
pengetahuan umum yang luas akan tetapi memiliki bidang spesialisasi khusus, semakin
diperlukan dalam upaya mengimbangi kemampuan kependidikan profesi dengan kemampuan
menguasai kemampuan substantif. Pendidikan keahlian khusus sejalan dengan penguasaan
keahlian pada lingkungan yang berbeda. Keahlian khusus yang bisa dikembangkan didasarkan
pada permintaan pasar serta pengembangan dari konsentrasi pengetahuan yang secara akademis
dibina di lingkungan Jurusan Pendidikan Luar Sekolah.
Keberhasilan pendidikan tinggi dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain keberhasilan dari sisi
peserta pelatihan dan keberhasilan dari sisi manfaat lembaga untuk masyarakat disekitarnya.
Dilihat dari manfaat bagi peserta didik antara lain:
a. peningkatan kemampuan untuk berpikir secara kritis, kemampuan menyajikan materi secara
rasional, memiliki argumen yang jelas dari sejumlah isu yang rumit menggunakan logika dan
kreativitas.
b. Mempersiapkan diri agar berhasil dalam kehidupan dengan menggunakan kemampuan teknis,
intelektual dan profesi.
E. Kinerja Profesional
Seorang profesional yang unggul memiliki karakter dan kemandirian. Karakter terdiri dari budi
pekerti dan watak yang dimiliki seseorang. Kedua hal ini yang membuat yang bersangkutan tetap
berani, bersemangat, bergairah dan disiplin. Mandiri artinya tidak tergantung pada orang lain
atau merdeka. Hubungan dengan orang lain bukan dalam hubungan ketergantungan akan tetapi
merupakan hubungan yang menguntungkan kedua belah pihak dan kemitraan. Kemandirian
memiliki kaitan dengan kemampuan memecahkan sendiri permasalahan, berinisiatif, kreatif,
inovatif, proaktif dan bekerja keras. Seorang yang unggul akan terpacu untuk selalu berbuat dan
bekerja, tidak pasrah dan beku, dinamis, energik dan optimis menghadapi masa depannya.
Demikian banyak ciri dari seorang yang unggul, akan tetapi pada garis besarnya memiliki ciri-
ciri gabungan dari karakter dan kemandirian, meliputi kemampuan membuat keputusan dan
memecahkan permasalahan, berinisiatif, kreatif, inovatif, proaktif, bekerja keras dan ulet,
dinamis, energik dan optimis.
Selain dari sifat-sifat itu masih ditambah kemampuan untuk melakukan negosiasi, mengambil
resiko, dan kemampuan untuk merintis dan membesarkan usaha.
Seorang yang unggul harus memiliki kemampuan bersaing. Terdapat lima kemampuan bersaing
yang harus dikembangkan lulusan pendidikan dan calon tenaga kerja meliputi kemampuan untuk
dididik (educativeness), keinginan untuk belajar, pekerja keras, gigih, ambisius dan memiliki
kebugaran.
1. Kemampuan untuk dididik (educativeness). Seseorang selalu dalam keadaan berkembang pada
sisi kekuatan dan kedewasaan. Banyak pihak yang tidak terlalu yakin pada konsep ini akan tetapi
terdapat demikian banyak bukti bahwa seseorang itu dalam proses untuk selalu berkembang dan
mencapai kesempurnaannya. Kemampuan untuk dididik bertalian dengan perubahan lingkungan
yang demikian berbeda dengan beberapa waktu-waktu sebelumnya termasuk ditemukannya
beberapa teknologi yang menuntut seorang employe untuk terus belajar. Kemampuan untuk
belajar memiliki dampak baik untuk yang bersangkutan maupun dalam upaya mengimbangi
perkembangan lingkungan
2. Keinginan untuk belajar. Para pemikir modern seperti halnya Tofler berkeyakinan bahwa
setiap orang maupun kelompok akan selalu tertinggal, bahkan jauh ditingggalkan oleh
lingkungan sekitarnya kecuali mereka yang mampu untuk memilih, belajar dan berinteraksi. Jadi
untuk tetap mampu mengimbangi kemajuan dan memiliki kemampuan untuk bersaing selain
kemampuan untuk memilih dan berinteraksi, sangat tergantung pula pada kemampuan untuk
belajar. Memilih berkaitan dengan demikian beragamnya pilihan. Interaksi karena demikian
cepatnya perubahan yang ada dalam lingkungan. Adapun belajar merupakan penunjang utama
dari kemampuan untuk memilih dan berinteraksi.
3. Berkemauan untuk selalu bekerja keras. Seorang pegawai selalu berhadapan dengan target
pekerjaan yang harus dihadapi. Semakin banyak tuntutan akan pekerjaan semakin banyak tenaga
dan pikiran dibutuhkan. Untuk hal ini dibutuhkan tenaga kerja yang mampu untuk bekerja keras.
Bila perlu melebihi waktu normal yang biasa dipergunakan untuk bekerja. Kemauan untuk
bekerja keras, merupakan modal dasar untuk melakukan persaingan.
4. Gigih. Kegigihan umumnya berkaitan dengan tantangan dan semakin rumitnya tuntutan
lingkungan kerja yang membutuhkan orang-orang yang berkeinginan keras dan tidak mudah
menyerah baik karena motivasi diri yang semakin melemah maupun karena tantangan
lingkungan yang semakin kuat menghadang seseorang dalam bekerja.
5. Abisius. Terdapat dorongan dari dalam diri untuk meningkatkan diri berbasis pada kekuatan
diri dan penggunaan sumber pada diri maupun lingkungan secara maksimal
6. Berjiwa Muda. Seorang profesional secara alami akan menjalani usia biologis secara normal,
termasuk menghadapi ketuaan. Akan tetapi seorang profesional harus senantiasa optimis,
berpandangan jauh ke depan dan energik sehingga dapat menunjang profesi secara maksimal dan
tidak terhambat oleh pengaruh negatif perkembangan lingkungan dan kurang kondusifnya
lingkungan sekitar.
Sekarang kita beralih pada pembentukan tenaga kerja profesional. Tenaga kerja profesional
diperoleh dari hasil pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang yang profesional dalam arti
teknis dan profesional dilihat secara akademis. Profesional teknis atau dikenal juga sebagai
seorang ahli dan umumnya setelah seseorang mencapai standar kompetensi tertentu. Sedangkan
profesional dalam arti akademis, umumnya merupakan hasil pendidikan dari jenjang profesi.
Untuk kesempatan ini kita hanya akan membahas lebih jauh kelompok profesional yang pertama.
Berdekatan dengan profesi yaitu keahlian atau seorang ahli. Lulusan pendidikan pada tingkatan
SMK atau akademi umumnya termasuk dalam keahlian, walaupun keduanya sering
dipertukarkan artinya dan seorang awam menyebut keahlian sebagai profesi, atau sebaliknya dan
semua ketentuan yang berlaku pada profesi dipergunakan pula untuk keahlian.
Jadi seorang profesional akan melakukan sesuatu atau tidak melakukannya karena menurut
aturan atau sesuai dengan profesinya ia diharuskan atau tidak diperbolehkan untuk
melakukannya. Sehubungan dengan itu terdapat ciri seorang profesional atau asosiasi
kelompoknya akan selalu mengawasi setiap perilaku seorang profesional, bahkan masyarakat
sekalipun turut mengawasi kehariannya.
Seorang profesional dengan demikian melakukan sesuatu atau tidak melakukannya berdasarkan
pada kode etika yang berlaku dilingkungannya secara mengikat. Dengan etika yang dipelajari
dan diamalkannya seorang profesional menjadi aturan itu sebagai bagian dari dirinya. Dengan
etika profesional, ia akan menjadikan sebagai pedoman dalam menjalankan keahliannya.
Dalam perkembangannya etika profesi dijadikan alat untuk mengontrol perilaku seseorang.
Dengan demikian etika profesi berfungsi bagi seorang profesional sebagai:
1. Inspirasi dan panduan dalam menjalankan tugas maupun mengembangkan visi dalam
menunjang kegiatan profesional
2. Alat sebagai pecegah penyimpangan dan meningkatkan disiplin
3. Perilakunya didasarkan pada standar yang sudah mapan.
4. Memelihara keharmonisan, yaitu seorang profesional akan melakukan sesuatu atau tidak
melakukannya dalam upaya memelihara hubungan dan mengurangi konflik yang bisa terjadi.
5. Dapat berarti sebagai sebuah dukungan, terutama pada saat seseorang dipertanyakan mengenai
profesi yang dijalankannya. Baik sebagai perorangan maupun dalam bentuk kelompok dapat
memberikan dukungan selama ia tetap konsisten dengan profesi yang dijalankannya.
Etika profesi ini berlaku diseluruh dunia dan diakui keberadaannya secara global pula seperti
dalam bidang kedokteran, perdagangan, kebidanan, kehakiman.
Selain dari gambaran mengenai seorang profesional yang menjalankan fungsi sesuai dengan
aturan, masyarakat dengan mudah memberikan penilaian kesalahan dalam menjalankan suatu
profesi. Contoh yang umum yang meyalahi etika profesi, antara lain:
1. Menyalahgunakan kewenangan
2. Menerima bentuk penghargaan yang tidak sepatutnya diperoleh seorang profesional atau lebih
banyak berkaitan dengan korupsi
3. Menipu dengan menggunakan profesi yang diakuinya,
Seorang profesional akan banyak terdorong untuk berbuat penyimpangan bila tidak berpedoman
kepada etika yang disandangnya karena kekuasaan dan kemampuan yang dimilikinya. Lebih
tinggi kepercayaan yang diberikan kepada seorang profesional akan semakin memungkinkan
yang bersangkutan untuk menyimpang dari profesi yang disandangnya.
Seorang profesional akan menunjukkan perilaku:
1. Bekerja dengan penuh kesungguhan dan ketulusan. Dia tidak hanya asal bekerja, dan bekerja
secara rutin, akan tetapi bekerja dengan penuh dengan kesungguhan.
2. Bekerja dengan inisiatif. Seorang profesional melakukan usaha atau sesuatu sebelum dipaksa
oleh keadaan atau dipaksa untuk melakukannya,
3. Niat yang tulus. Seorang profeional bekerja didasarkan pada niat untuk menjunjung profesinya
dengan penuh komitmen.
4. Bertanggungjawab terhadap masyarakat dan organisasi profesinya. Ia akan bekerja untuk
kepentingan masyarakat dan bukan hanya untuk kepentingan dirinya semata.
5. Amanah dalam bekerja. Sikap amanah berkaitan dengan pemeliharaan keharmonisan antara
lembaga tempat ia bekerja, masyarakat dan kepentingan orang banyak.
6. Komitmen pada pekerjaan. Komitmen artinya bekerja dengan penuh kesungguhan dan
mencurahkan lebih banyak waktu dibandingkan dengan pekerjaan lainnya.
7. Jujur. Sifat jujur berkaitan dengan menghindari perilaku syak wasangka, tipu daya dan
kebohongan.
G. Etika Profesi
Sejalan dengan etika kerja seorang profesional menjunjung tinggi etika profesi. Etika profesi
merupakan kemampuan mental untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan tindakan atas dasar
semangat kepatutan suatu profesi dan menghargai kesejawatan. Kode etik profesi juga berarti
disiplin berdasar pada kebaikan dan menghindarkan kejelekan dan tindakan yang berdasar pada
tanggung jawab moral. Etika profesi juga berarti prinsip-prinsip moral atau penerimaan
kemampuan berdasar pada standar profesi dalam melaksanakan sesuatu kegiatan
Beberapa sinonim dari etika atau etika profesi yaitu virtuous, yaitu kesesuaian dengan standar
kebenaran atau kata moral, mampu memilah kebaikan dan kesalahan.
Etika profesi, diperlukan sesuai pertimbangan:
1. adanya tuntutan baru dan berkembang menjadi profesi baru sehingga dibutuhkan kesepakatan
baru,
2. merupakan sarana pengembangan sumber daya manusia berbasis pada profesi yang
dijungjungnya.
Beberapa etika profesi yang harus didukung oleh para pemangku jabatan profesi yaitu:
a. memberikan sumbangan yang bermanfaat untuk kehidupan manusia
b. mengindari kecelakaan pihak lain
c. bekerja dengan jujur dan tulus,
d. adil dan tidak bertindak dikriminatif dalam mengambil tindakan
e. penghargaan pada hak kekayaan intelektual dan hak paten
f. memberikan penghargaan yang memadai pada kekayaan intelektual
g. menghargai hak perorangan
h. percayai diri yang tinggi
i. mengutamakan pada kualitas tinggi, bekerja secara efektif dan menghargai proses dan produk
dari pekerjaan profesi
j. menghargai pada kompetensi profesi
k. mengetahui dan menghargai ketentuan dan hukum yang berhubungan dengan kerja profesional
l. menerima pada tugas-tugas yang berhubungan dengan penilaian profesi.
m. Menghargai pada kesepakatan memenuhi tanggung jawab profesi,
n. Meningkatkan pemahaman publik pada kompetensi profesi dan konsekwensinya
o. Memiliki akses pada sumber-sumber yang berhubungan dengan kompetensi yang
dikembangkannya serta menunjukkan otoritas sesuai dengan profesi yang diusungnya,
p. Menunjukkan tanggung jawab sosial dan loyal pada keanggotan organisasi profesi
q. Mampu mengelola sumber yang ada pada pribadi dan lingkungan dan mengembangkjan
sistem informasi dalam upaya meningkatkan kualitas dalam pekerjaan
r. Menghargai semua dukungan dan kewenangan yang dipegunakan organisasi
s. Menerima dan meningkatkan kode etik
t. Melaksanakan tugas profesi
Kode etik juga menyangkut sesama koleha sebagai upaya untuk saling mengembangkan dan
menghargai kerabat sesama profesi. Diantara kode etik yang harus diperhatikan meliputi:
1. memberikan dorongan pada sesama koleha untuk menjunjung kode etik bersama,
2. memberikan bantuan pada sesama koleha untuk mengembangkan profesi
3. memberikan pengahargaan penuh pada kredit yang telah dicapai oleh pihak lain
4. memberikan penilaian pada koleha seprofesi secara objektif, dan menggunakan dokumen yang
memadai
5. memberikan penilaian pada pendapat, keperdulian pada sesama koleha secara adil
6. membantu sesama koleha untuk memenuhi standar kerja secara penuh
7. menghargai kesungguhan dalam bekerja, dan memberikan perhatian pada kompetensi kolega,
BAB III
PELATIHAN
A. Memahami Pelatihan
1. Definisi
Poerwadarminta (1984) memberikan arti kepada “pelatihan” sebagai pelajaran untuk
membiasakan atau memperoleh sesuatu kecakapan. Flippo (1961) menegaskan bahwa pelatihan
pada dasarnya merupakan suatu usaha pengetahuan dan kecakapan agar karyawan dapat
mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Berdasarkan kepada uraian di atas, pelatihan dapat
didefinisikan sebagai suatu kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan sengaja, terorganisir dan
sistematik di luar sistem persekolahan untuk memberikan dan meningkatkan suatu pengetahuan
dan keterampilan tertentu kepada kelompok tenaga kerja tertentu dalam waktu yang relatif
singkat dengan metode yang mengutamakan praktek daripada teori, agar mereka memperoleh
pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam memahami dan melaksanakan suatu pekerjaan
tertentu dengan cara yang efisien dab efektif.
Beberapa manfaat yang berharga dari pelatihan adalah sebagai berikut : (1) dapat memberikan
pengetahuan sikap dan keterampilan mengenai sesuatu pekerjaan; (2) dapat memberikan dasar
yang lebih luas bagi pendidikan lanjutan; (3) dapat menambah pemahaman terhadap wawasan
suatu pekerjaan; (4) dapat meningkatkan keterampilan dalam suatu pekerjaan; (5) dapat
menghasilkan efisiensi dan efektivitas dalam mengerjakan suatu pekerjaan; (6) dapat
memberikan rasa puas terhadap suatu pekerjaan; (7) dapat memberikan rasa sadar terhadap
kesempatan-kesempatan untuk mencapai kemajuan; (8) dapat menambah perasaan tanggung
jawab terhadap suatu pekerjaan; (9) dapat menambah kemampuan untuk menggunakan sumber-
sumber manusia atau materi yang belum di manfaatkan; (10) dapat memperkecil kecelakaan
dalam melakukan suatu pekerjaan; (11) dapat memberikan keterampilan untuk melakukan
perbaikan dalam suatu pekerjaan; (12) dapat memberikan didikan untuk melakukan suatu
pekerjaan dengan cara yang iebih baik; (13) dapat meningkatkan semangat kerja; (14) dapat
meningkatkan kualitas dan kuantitas produktivitas kerja; (l5) dapat me¬ngurangi pengawasan
terhadap suatu pekerjaan; dan (16) dapat meningkatkan kestabilan dan keluwesan organisasi atau
lembaga.
Bentuk atau tipe pelatihan itu bermacam-macam. Bentuk pelatihan dikategorikan kepada dua
golongan, yaitu (1) pelatihan yang didasarkan kepada lembaga dan (2) pelatihan yang didasarkan
kepada pekerjaan.
Dilihat dari segi jenis pekerjaan, tipe program pelatihan itu ada tiga, yaitu (1) pelatihan formal;
(2) pelatihan informal; dan (3) bentuk pelatihan lainnya.
2. Pendekatan Sistem Terhadap Pelatihan
a. Tujuan dan Fungsi Sistem Pelatihan
Semua jenis organisasi yang peka terhadap kebutuhan personil yang trampil, akan peka pula
terhadap usaha investasi melalui program-program pelatihan. Bahkan sering pula program-
program seperti ini berisi apa yang biasanya dinamakan pendekatan “paksa” (shotgun). Kursus-
kursus dalam berbagai organisasi telah banyak diselenggarakan, mulai dari yang pa¬ling
sederhana hingga kepada yang paling kompleks. Tetapi organisasi-organisasi itu semakin lama
semakin mempertanyakan manfaat dari program-program yang demikian. Banyak or¬ganisasi
yang memberikan kesimpulan bahwa program-program seperti itu tidak menghasilkan
keefektifan biaya, sehingga hasil dari investasi minim sekali bilamana investasi itu di tambah.
Kekurangefektifan dari program-program ini dalam memproduksi para pekerja dan para menejer
yang lebih baik, terletak dalam ketidakjelasan tujuan-tujuannya dan dalam
kekurangrelevansiannya dengan pekerjaan. Karena itu cara yang lebih tepat ialah
mengidentifikasi dan merumuskan tujuan-tujuan dan fungsi pelatihan dengan cara yang tegas
dan jelas. Program dan sistem pelatihan supaya dirancang untuk membekali pekerja de¬ngan
pengetahuan, sikap dan skill yang mereka butuhkan un¬tuk melaksanakan pekerjaan-
pekerjaannya.
b. Tahap-Tahap dan Langkah-Langkah dalam Merancang Sistem Pelatihan
Setiap pengelola pelatihan dan siapa saja yang terlibat da¬lam usaha-usaha pelatihan yang
berusaha akan merancang sistem pelatihan, maka terlebih dahulu perlu menentukan jawaban dari
lima pertanyaan penting berikut ini :
1) Siapa yang akan dijadikan sasaran program pelatihan?
2) Pengetahuan atau skill apa yang akan mereka pelajari?
3) Siapa yang akan dijadikan manusia sumber atau instruktur untuk melatihkan pengetahuan atau
skill tersebut?
4) Dengan cara bagaimana proses berlatih melatih atau belajar mengajar itu akan dilaksanakan?
5) Bagaimana output pelatihan itu akan dievaluasi ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan terjawab bilamana setiap menejer pelatihan dalam menyusun
rancangan sistem pelatihan itu menempuhnya melalui tiga tahap berikut ini. Pertama,
menentukan persyaratan atau keperluan yang dituntut oleh sis¬tem pelatihan; kedua, membina
atau mengembangkan sistem pelatihan dan terakhir, mengesahkan sistem pelatihan.
a. Tahap Penentuan Persyaratan Sistem Pelatihan
Tahap pertama ini merupakan tahap persyaratan yang secara mutlak dituntut oleh setiap sistem
pelatihan. Dalam tahap ini ada lima langkah yang harus dilaksanakan oleh setiap menejer
pelatihan, yaitu :
1) Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan;
2) Mengumpulkan dan menganalisis data pekerjaan;
3) Memilih dan merumuskan tujuan pelatihan;
4) Menyusun alat-alat evaluasi; dan
5) Menyusun ukuran-ukuran standar atau kriteria.
b. Tahap Pengembangan/Pembinaan Sistem Pelatihan
Tahap kedua ini merupakan tahap dimana sistem pelatihan harus diusahakan agar mempunyai
kerangka bentuk yang lengkap. Untuk itu mutlak diperlukan usaha-usaha untuk membentuk,
mengembangkan dan membinanya. Dalam tahap ini langkah-langkah yang harus dilaksanakan
oleh menejer pelatihan ialah :
1) Memilih dan menyusun urutan isi atau materi pelatihan;
2) Memilih dan menyusun strategi pelatihan;
3) Memilih alat-alat pembantu (AVA) pelatihan;
4) Menentukan dan menyiapkan perlengkapan keperluan pelatihan; dan
5) Menyusun dokumen atau bahan-bahan pelatihan.
c. Tahap Pengesahan Sistem Pelatihan
Suatu sistem pelatihan yang persyaratannya sudah terpenuhi dan pembentukannya sudah
dikembangkan belum merupakan suatu jaminan bahwa sistem pelatihan itu akan menjadi suatu
sis¬tem yang efisien dan efektif, bila sistem tersebut belum diketahui keampuhannya. Karena
agar suatu sistem pelatihan menjadi suatu sistem yang absah, maka menejer pelatihan harus
menempuh langkah-langkah terakhir sebagai berikut:
1) Memilih pelatih atau instruktur pelatihan;
2) Memilih para peserta pelatihan;
3) Mengevaluasi sistem pelatihan;
4) Mengelola dan menganalisis ukuran-ukuran standar atau kriteria; dan
5) Melakukan tindak lanjut terhadap tamatan pelatihan.
Pelaksanaan pelatihan atau pelaksanaan berlatih melatih merupakan sumber data untuk menguji
pengesahan sistem pelatihan tersebut. Karena itu komponen tersebut tidak termasuk kepada
langkah-langkah dalam kegiatan menyusun rancangan sistem pelatihan. Ketiga tahap yang berisi
kelimabelas langkah seperti disebutkan di atas itu pada dasarnya merupakan pedoman umum
untuk menyusun rancangan sistem pelatihan yang seksama untuk semua jenis pelatihan pada
tahap manapun.
Kebutuhan pelatihan ini akan lebih mudah un¬tuk dipahami dengan menggunakan rumus di
bawah ini :
Atau
dimana :
KP = Kemampuan Patokan;
KN = Kemampuan Nyata;
KK = Ketidaksesuaian atau Kekurangan Kemampuan yang perlu diatasai melalui pelatihan; dan
L = Pelatihan.
Calon peserta pelatihan, organisasinya atau masyarakatnya beserta dokumen-dokumennya
merupakan sumber-sumber data utama untuk meneliti hal tersebut. Ilustrasi di bawah ini
menunjukkan tentang kemampuan-kemampuan patokan yang harus dimiliki oleh guru dan
penilik pendidikan masyarakat.
Dalam menetapkan kompetensi mengenai penyuluh ditetapkan kemampuan dasar meliputi; (1)
menguasai landasan-landasan penyuluhan; (2) menguasai bahan pelajaran; (3) mampu mengelola
program belajar mengajar; (4) mampu mengelola kelas; (5) mampu mengelola interaksi belajar
mengajar; (6) mampu menggunakan media/sumber belajar; (7) mampu menilai hasil bela¬jar
peserta; (8) mampu mengenali fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan; (9) mampu
memahami prinsip-prinsip dan hasil penelitian untuk keperluan penyuluhan; dan (10) mampu
mengenali dan menyelenggarakan administrasi penyuluhan.
2. Tujuan Pelatihan
Rumusan tujuan yang resmi ada empat macam, yaitu (1) rumusan tujuan pendidikan nasional; (2)
rumusan tujuan institusional; (3) rumusan tujuan kurikuler; dan (4) rumusan tujuan pengajaran.
Sama seperti tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan pendidikan pelatihanpun memiliki tujuan
masing- masing sesuai dengan tingkatan diatas. Baik lembaga formal maupun nonformal,
keduanya berkewajiban untuk merumuskan tujuan institusional, tujuan kurikuler dan tujuan
pengajarannya
a. Pengertian Pemilihan dan Perumusan Tujuan Pelatihan
Pemilihan tujuan pelatihan adalah suatu prosedur penilaian yang memerlukan penelitian yang
seksama terhadap berbagai kewajiban, tugas dan elemen yang dilakukan oleh pekerja dalam
suatu pekerjaan tertentuyang diperinci dalam daftar analisi pekerjaan dan akan dijadikan tujuan-
tujuan alternatif pelatihan.
Perumusan Tujuan Pelatihan adalah suatu prosedur penetapan maksud pelatihan yang dinyatakan
secara jelas dan tepat sehingga memungkinkan dapat dilakukan pengamatan dan pengukuran
terhadap pencapaian tujuan pelatihan tersebut. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
perumusan tujuan pelatihan yang baik:
1) menyatakan perilaku yang diinginkan
2) menyatakan kondisi belajar dimana kelakuan akan nyata
3) menyatakan patokan minimal atau derajat ketercapaian yang diharapkan dari tingkah laku
tersebut.
Pernyataan tujuan pelatihan harus dinyatakan dalam syarat-syarat perilaku.
b. Kegunaan Tujuan Pelatihan
Tujuan Pelatihan merupakan dasar pengembangan langkah lainnya dalam pelatihan, termasuk
pengambilan keputusan untuk pengajaran. Tujuan pelatihan yang dirumuskan secara baik akan
bermanfaat sekali dalam
1) Menciptakan Keajegan Dalam Pola Sistem Pelatihan,
Sistem pelatihan itu tersusun dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi dan terjalin secara
terpadu. Di dalamnya ada (1) unsur-unsur manusia, seperti instruktur dan peserta pelatihan; (2)
unsur-unsur materi, misalnya perlengkapan, alat-alat bantu pelatihan, teks, seiebaran, dan
sebagainya;dan (3) unsur-unsur organisasional dan strategi, seperti metode, teknik, sistem
organisasi peserta pelatihan dan instruktur.
2) Menjalin Komunikasi yang Efektif
Fungsi utama dari perumusan tujuan pelatihan adalah komunikasi. Tujuan pelatihan yang
disampaikan dengan jelas oleh pengirimnya dan diterima dengan baik oleh penerimanya, akan
lebih berhasil untuk dicapai daripada tujuan pelatihan yang tidak dikomunikasikan dengan jelas.
Dengan tujuan pelatihan yang dirumuskan secara jelas, instruktur dan peserta pelatihan akan
dapat melakukan kegiatan belajar mengajar dengan lebih baik. Instruktur akan mengetahui secara
tepat apa yang seharusnya ia lakukan. Peserta pelatihan mengetahui perilaku atau kemampuan
apa yang diharapkannya akan berhasil diraih dari pelatihan itu.
3) Memilih Materi Pelatihan yang Sepadan
Tujuan pelatihan sebenarnya merupakan gambaran tentang kerangka acuan suatu program
pelatihan. Materi pelatihan merupakan otot dan dagingnya tujuan pelatihan. Karena itu pemilihan
tujuan pelatihan yang tepat guna akan menentukan pula terhadap pemilihan jumlah dan jenis
materi yang benar serta akan membantu menghindarkan bahaya kekurangan dan kelebihan
pelatihan.
4) Memilih Strategi Belajar Mengajar yang Sesuai
Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan baik akan memberi¬kan suatu gambaran yang jelas
mengenai apa yang diperlukan oleh pekerjaan. Hal itu akan memudahkan untuk melakukan
pemilihan metode, media dan sistem pengorganisasiannya secara optimal. Bila instruktur
mengetahui dengan tepat apa yang seharusnya mampu dilakukan oleh peserta pelatihan dalam
menyelesaikan satuan acara pelatihan, maka dia akan dapat memilih strategi yang cocok untuk
pencapaian tujuan tersebut.
5) Memberikan Arah Kepada Instruktur dan Peserta Pelatihan
Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan baik akan membuat aktivitas proses Pelatihan yang
dapat dilakukan dengan lebih efisien dan lebih efektif.
6) Menjadi Landasan Pengukuran Patokan/Kriteria
Tes-tes yang absah dan dapat dipercaya sebagai alat pengukur patokan hanya bila disusun dan
dikembangkan berpedoman kepada tujuan pelatihan.
7) Memajukan, Memundurkan Patokan/Standar
Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan jelas, relatif akan memudahkan untuk menentukan
pada butir-butir mana saja dalam suatu program pelatihan seorang peserta pelatihan harus
menunjukkan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperolehnya yang diperlukan untuk
kemajuan lebih lanjut dalam suatu program pelatihan.
8) Menjadi Alat Evaluasi Isi Program Pelatihan
Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan tepat merupakan pedoman yang berharga bagi
penilaian terhadap isi program pelatihan yang telah disusun oleh instruktur, Sampai sejauh mana
terjadinya persetujuan antara penilai program dan penyusun program mengenai ketepatan
program tersebut, akan ditentukan oleh tujuan pelatihan itu sendiri, Bertitik tolak dari tu¬juan
pelatihan yang dirumuskan dengan baik, instruktur dan penilai keduanya akan mengetahui
apakah program pelatihan itu sudah memadai atau belum. Komentar-komentar yang diberikan
oleh penilai program pelatihan, merupakan input yang berharga bagi perbaikan program tersebut,
bilamana komentar-komentar tersebut dinilai dan diterima oleh isntruktur sebagai komentar yang
absah.
9) Untuk melihat Keterkaitan Program Pelatihan
Hampir-hampir tidak mungkin untuk dapat melakukan penilaian yang hasilnya dapat dipercaya
terhadap keefektifan kerja dari orang-orang yang pernah mengikuti suatu program pelatihan
dalam melakukan pekerjaan-pekerjaannya, kecuali bila ada patokan atau standar yang tepat, jelas
dan objektif. Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan baik merupakan patokan atau standar
dasar yang tepat untuk mengetahui hal tersebut.
10) Menjadi Persyaratan Program Pelatihan Di Tempat Kerja
Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan baik, akan memberikan suatu gambaran yang jelas
mengenai pengetahuan dan ketrampilan yang diraih dan dimiliki oleh para tamatan suatu
program pelatihan yang didemontrasikan oleh mereka dalam pekerjaan pekerjaannya.
Penampilan-penampilan yang mereka perlihatkan itu akan mempermudah untuk
mengembangkan program pelatihan yang khas dan realistik di tempat kerja.
11) Menjadi Persyaratan Kontrak dalam Pelatihan
Tujuan pelatihan yang dirumuskan secara tepat dapat digunakan untuk menentukan persyaratan
bagi para instruktur dari pihak kontraktor, bilamana pelatihan itu akan diselenggarakan di luar
lingkungan suatu organisasi atau lembaga. Tujuan pelatihan yang dirumuskan dalam bentuk
perilaku dapat dikomunikasikan secara tepat kepada kontraktor, mengenai output apa yang harus
diproduksi oleh pelatihan. Langkah seperti itu, tidak hanya akan memberikan suatu kesempatan
yang lebih baik untuk memperoleh hasil pelatihan yang diinginkan, melainkan juga akan
mengurangi bahaya pemborosan dana. Ringkasnya, de¬ngan tujuan pelatihan yang bersifat
perilaku, akan memudahksn untuk memonitor kemampuan kontraktor.
2. Klasifikasi dan Bentuk Tujuan Pelatihan
Tujuan pelatihan merupakan suatu pernyataan yang melukiskan perubahan-perubahan perilaku
atau kemampuan yang dii¬nginkan sebagai hasil dari kegiatan belajar mengajar.
Strategi Melatih
Strategi
Melatih DOMAIN
Pengetahuan Sikap Perilaku
Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi
Ceramah VVV
Demonstrasi V V V V
Melatih dg.tim V V V
Diskusi V V V V
Debat V V V V
Bertanya dan menjawab V V V
Video V V V V V V
Seminar V V V V
Laboratorium/Workshop V V V V V V
Game V V V V
Branstorming V V
Studi lapangan V V V
Bermain peran V V V
Memecah kebekuan V V
Simulasi V V V V
Studi kasus V V
Projek dan penugasan V V V V VV
Tutorial V V VV
Chart( Bagan/carta)
Bagan atau carta adalah serangkaian gambar/uraian singkat yang tersusun rapi dan berbentuk
lambang-lambang visual yang menunjukkan perbandingan, perbedaan, proses kerja dari awal
sampai akhir suatu kejadian. Bagan umumnya menyampaikan pesan melalui saluran visual
(indera lihat) atau mata. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat bagan :
a. Bagan harus berisikan suatu informasi yang nyata dan dapat dilihat
b. Harus mudah dimengerti
c. Harus sederhana
Manfaat dari bagan:
a. merangkum suatu keterangan secara sederhana
b. memperlihatkan hubungan antara data yang satu dengan data yang lain secara jelas dan mudah
c. mendorong peserta berpikir secara kritis/analitis.
Handouts
Seorang pelatih dapat menyusun bahan pelatihan berupa bahan bacaan jelas atau panjang, jadi
pelatih kreatif membuat rangkuman agar mempermudah peserta membaca materi.
Bahan bacaan cukup baik digunakan dengan alasan :
a. Menunjukkan materi pelatihan
b. memberi masukkan arahan materi yang berkaitan ( memperluas wawasan)
c. bacaan yang jelas
d. dapat dijadikan lembar kerja
e. memberikan tambahan informasi
Overhead Projector
OHP sangat mudah dikenal dan manfaatnya sangat baik sebagai audio visual dalam dunia
pendidikan saat ini. Alat ini sangat sederhana.
Kentungan penggunaan OHP adalah sebagai berikut ;
a. OHP/LCD memiliki keunikan dalam bentuk sehingga disukai oleh banyak orang terutama
pelatih
b. Lampu cukup terang dan gambar jelas walau di dalam ruangan yang tidak gelap
c. OHP/LCD mudah dioperasionalkan oleh pelatih atau peserta.
Pengunaan OHP/LCD digunakan dengan transparansi berupa tulisan atau gambar atau dengan
menggunakan program Power point yang tedapat pada soft ware.
OHP/LCD dapat digunakan pada semua jenis dan jenjang pendidikan, kantor, jawatan, maupun
lembaga pemerintahan ataupun non pemerintah.
Pembuatan transparansi :
• Bahan belajar ditik dengan komputer kemudian di fotocopy pada transparansi
• Kertas transparansi ditulis dengan pena khusus tinta anti cair atau sulit dihapus yang memiliki
ukuran mata pena.
• Tinta pena berwarna
Program Slide
Istilah ’slide’ mengandung arti suatu fotografi berukuran kecil dan tembus cahaya (transparan).
Penggunaan slide tidak mengandung arti apabila tidak menggunakan proyektor (Slide Projector)
yang berfungsi untuk memantulkan gambar yang tersimpan dalam klise atau slide tadi ke layar.
Keuntungan penggunaan slide :
• Slide lebih fleksibel, bila dibandingkan dengan film-strip
• Pelatih atau siapa saja yang memiliki kamera foto dapat menggunakan dengan baik
• Gambar slide memiliki warna sesuai dengan obyek yang diabadikan.
• Menimbulkan daya minat peserta untuk diskusi
• Dapat digunakan dalam kelompok kecil, besar atau individual
Penggunaan slide telah dimodifikasi sedemikian rupa dengan penggunaan power point,
merupakan pengembangan dari slide
Filmstrip
Proyektor filmstrip adalah media pandang yang diproyeksikan (proyected visual). Penggunaan
ini hampir sama dengan proyektor slide, hanya filmstrip bentuk rol film yang tembus cahaya..
Keuntungan memakai film strip :
• Tidak memerlukan ruangan gelap
• Pemeliharaan tidak sulit serta pengoperasiannya tidak terlalu rumit
• Harganya lebih murah, dibanding dengan film
• Kecepatannya dapat diatur
Memilih alat bantu visual
Dalam bab ini telah dibicarakan banyak persamaan dan perbedaan dalam hal bentuk beberapa
media pandang/visual yang di proyeksikan seperti: OHP/LCD, Slide, dan Filmstrip. Dapat kita
ketahui bahwa perbedaan- perbedaan itu utamanya pada hal- hal lain) dan evaluasi yang
menyangkut logistik, perbedaan-perbedaan secara teknis, harga dan kegunaan.
Pada dasarnya media pandang yang diproyeksikan, hampir sama semuanya bila telah
diproyeksikan pada layar. Bagi para peserta atau yang memandang/menonton, dalam banyak hal
tidak terdapat perbedaan yang berarti (signifikan) di antara bentuk- bentuk ini (dalam arti
pengaruhnya terhadap pelatihan).
Evaluasi alat bantu
Penilaian (evaluasi) ini dimaksud untuk mengetahui apakah media yang dibuat tersebut dapat
mencapai tujuan- tujuan yang telah ditetapkan atau tidak. Media belajar yang dibuat dapat
diketahui memberikan hasil pelatihan yang lebih baik.
Ada dua macam bentuk evaluasi media yang dikenal yaitu evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Evaluasi formatif adalah proses yang dimaksudkan untuk mengumpulkan data tentang
efektifitas dan efisiensi bahan-bahan pelatihan (termasuk ke dalamnya media) untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Kegiatan evaluasi dalam program pengembangan media pelatihan akan dititikberatkan pada
kegiatan evaluasi formatif. Ada tiga tahapan evaluasi formatif yaitu evaluasi satu lawan satu (one
to one), evaluasi kelompok kecil (small group evaluation) dan evaluasi lapangan (field
evaluation). Atas dasar itulah media diperbaiki dan semakin disempurnakan. Melalui ketiga
tahapan evaluasi dapat dipastikan kebenaran efektivitas dan efisiensi media yang dikembangkan .
Meningkatkan Kemampuan Berlatih
Para ahli sepakat bahwa pelatihan perlu menggunakan sejumlah metode, teknik dan alat bantu.
Dengan demikian tidak benar pendapat satu cara untuk semua. Terdapat kesimpulan sementara
bahwa metode merupakan cara untuk menempuh jalan tol perkotaan, sedangkan alat bantu
merupakan menu untuk menempuh jalan tol tersebut.
Dalam menghadapi rumitnya pembelajaran, terdapat sejumlah saran mengenai peningkatan
proses pelatihan, seperti melalui merangsang sistem syaraf, penguatan, fasilitasi dan
menggunakan andragogi. Melalui usaha merangsang syaraf dilakukan dengan memberikan
motivasi, yaitu memberikan motivasi untuk merangsang syaraf dan minat untuk berlatih.
Selanjutnya melalui penguatan (reinforcement) penekanannya yaitu peningkatan hubungan
antara peserta pelatihan dengan pelatih . Hal ini dilakukan melalui pemberian kesempatan
berlatih mandiri (umumnya dengan cara memberikan pekerjaan rumah), menjadikan proses
pelatihan memiliki manfaat langsung-sedangkan ketidakjelasan hasil berlatih membuat peserta
pelatihan diliputi ketidakpastian dan jelas catatan yang telah dicapai seseorang, selalu
memberikan penguatan dalam hal ini bukan hanya pengulangan akan tetapi lebih pada
peningkatan. Berlatih juga membutuhkan keragaman dan bukan hanya menggunakan salah satu
cara atau metode. Dari keseluruhan cara penguatan ini saling percaya antara satu peserta
pelatihan dengan pelatih sebagai jaminan adanya penguatan dalam proses pelatihan.
5. Evaluasi kegiatan pelatihan
Terdapat tiga hal yang berkaitan erat dengan evaluasi kegiatan pelatihan, yaitu menyangkut
otonomi dan akuntabilitas, pengembangan melatih sebagai kelanjutan dari tugas profesi dan
implikasinya pada evaluasi pelatihan
Otonomi dan Akuntabilitas. Evaluasi akan terus berkembang, karena semakin diterimanya dua
konsep yang berhubungan: otonomi profesional dan akuntabilitas. Otonomi berarti bahwa para
profesional seperti halnya pelatih dan penyuluh harus bebas untuk menentukan bagaimana
mereka melakukan praktek pelatihan sesuai standar yang ditetapkan. Publik semakin menuntut
profesionalisme dalam menjalankan tanggung jawab dalam pekerjaan.
Melatih sebagai profesi.
Kompetensi yang menjadi kewajiban pelatih, kita perlu mempertimbangkan (a) aspek-aspek
yang dibutuhkan untuk melatih materi pelatihan dan (b) aspek-aspek manajemen kelas dan
kurikulum. Oleh karena itu, tugas-tugas ini dapat dibagi kedalam (i) melatih dan (ii) tugas-tugas
profesional lainnya.
Tugas-tugas melatih dapat dibagi kedalam enam elemen utama yang mencerminkan pekerjaan
pelatih yang beroperasi dengan peserta pelatihan:
a. Penyiapan:
1) Identifikasi kebutuhan-kebutuhan peserta pelatihan;
2) Analisa materi pelatihan kedalam sekuen logis;
3) Indikasi pelatihan peserta pelatihan yang diharapkan
b. Penyajian:
1) Implementasi metode-metode melatih terpilih
2) Pengenalan, pengembangan dan kesimpulan yang tepat
3) Penggunaan sumber-sumber berlatih secara efektif.
c. Hubungan Peserta pelatihan/Pelatih
1) Menjaga partisipasi peserta pelatihan dalam pelatihan;
2) Peningkatan iklim pelatihan yang memfasilitasi pelatihan.
d. Komunikasi
1) Penggunaan bahasa yang tepat
2) Penggunaan skill-skill efektif dalam komunikasi verbal dan non-verbal.
e. Penilaian Pelatihan
1) Membuat penilaian sejauh mana peserta pelatihan mencapai tujuan pelatihan yang telah
ditetapkan.
f. Materi
1) Demonstrasi penguasaan materi;
Jika anda mengajak orang lain untuk mengevaluasi kinerja mengajar anda, maka anda dapat
menggunakan pro-forma seperti yang ditunjukan dalam Tabel 8.2.
Tugas-Tugas Profesional Lainnya
Melatih bukan hanya menghadapi peserta pelatihan atau penyiapannya, tetapi juga melibatkan
banyak aspek lainnya untuk membentuk ‘profesional yang meluas.’ Tansley (1989) menegaskan
mengenai tugas profesional seorang pelatih atau penyuluh, yaitu: (1) Tugas manajerial dan
administratif (2) Hubungan dengan lembaga/organisasi lain (3) Tanggung jawab kemajuan
peserta pelatihan (4) Tanggung jawab pelatihan (5) Pengadministrasian pengujian yang
dilakukan pada seorang peserta pelatihan.
Umpan Balik Pelatihan
Ada beberapa sumber yang dapat dijadikan umpan balik kinerja melatih sehingga kita
memperoleh keyakinan dari apa yang telah diajarkan. Umpan balik diperoleh dari peserta
pelatihan, teman, dan manajer atau tutor. Namun, semua orang ini harus memberikan anda
umpan balik dalam cara yang membantu anda dengan evaluasi diri sendiri. Mereka dapat
memberikan informasi (data dan kesan) yang sulit dikumpulkan oleh pelatih dengan hanya
mengandalkan pada proses selama pelatihan. Sementara itu diyakini bahwa satu-satunya evaluasi
terbaik adalah melalui evaluasi-diri, walaupun ini memerlukan keterampilan tersendiri.
Evaluasi materi pelatihan harus mengacu kepada tujuan pelatihan dan harus dilihat dari masukan,
proses dan keluaran.
Untuk mencapai kelengkapan menyangkut desain tujuan, anda perlu mempertimbangkan jenis-
jenis pertanyaan yang mungkin anda ajukan. Menurut Stufllebeam (1971) hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam mengembangkan evaluasi adalah sebagai berikut: (1) Konteks: yaitu yang
berhubungan dengan tujuan kurikulum (2) Masukan: Elemen-elemen masukan berhubungan
dengan peserta pelatihan, staf dan sumber-sumber yang digunakan; (3) Proses: Ini berhubungan
dengan ketepatan apa yang terjadi pada pelatihan- bagaimana elemen-elemen input digunakan
untuk mencapai tujuan dan sasaran; (4) Produk: Ini berhubungan dengan hasil-hasil peserta
pelatihan yang telah menjalani pelatihan dan apa yang telah mereka pelajari. Menurut
Stufflebeam evaluasi komprehensif harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan
dengan setiap elemen.
Instrumen instrumen untuk Menilai Pembelajaran
Jika evaluasi berfungsi untuk memenuhi tujuan-tujuan yang telah anda lakukan, selanjutnya
harus dilanjutkan dengan observasi berkala, pengukuran dan pelaporan dan bagaimana pelajaran
itu sedang dilaksanakan memenuhi standar sesuai dengan tujuan pengembangan kurikulum.
Metode-metode untuk memperoleh informasi dapat berupa: kuesioner, checklist, kinerja peserta
pelatihan, dan program wawancara terstruktur.
Daftar cek.
Checklist dapat menjadi penuntun dalam mengingat kembali yang berguna untuk menjamin
bahwa pelatih telah merangkum semua bahan penting yang harus dilatihkan. Daftar cek dapat
juga digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan kuesioner.
Kuesioner
Tujuan evaluasi ini adalah ‘untuk memeriksa bagaimana peserta pelatihan menggunakan daftar
buku-buku bacaan untuk pelatihan.’ Bagaimanapun pemprogramannya, kuesioner haruslah
mudah untuk dijawab dan jangan terlalu panjang. Pertanyaan-pertanyaan perlu secara langsung
berhubungan dengan tujuan-tujuan apa yang ingin anda ketahui dan desainnya harus mudah
untuk diikuti dan menarik. Telah menjadi ketentuan dari setiap pertanyaan hanya memiliki satu
subjek/pokok kalimat yang dipertanyakan.
Wawancara Terstruktur
Wawancara terstruktur, disiapkan sebagai dasar wawancara individual kepada sasaran anda.
Dalam wawancara terstruktur anda kemungkinan tidak dapat mencakup sebanyak mungkin aspek
seperti dalam kuesioner tetapi anda dapat mencakup soal secara lebih mendalam. Pertanyaan
berikutnya tergantung pada respon dari pertanyaan sebelumnya. Anda juga mendapatkan lebih
banyak mendapat kontrol terhadap respon-respon dimana anda dapat mengajukan pertanyaan
untuk menjamin bahwa mereka mengerti dan menjamin bahwa semua pertanyaan dijawab
dengan benar.
Menilai Peserta pelatihan
Informasi mengenai seberapa baik pelatihan itu berlangsung, dapat diperoleh dari hasil-hasil
penilaian peserta pelatihan. Jika sebagian besar peserta pelatihan gagal pada ujian akhir, ini
adalah informasi dan pertanyaan yang perlu dipertanyakan mengenai mengapa hal ini terjadi. Hal
ini tidak hanya dilakukan pada akhir pelatihan. Jika peserta pelatihan berkinerja buruk (atau
baik) pada tes-tes formatif anda, maka ini juga merupakan informasi yang berguna mengenai
keberhasilan pelatihan yang sedang dinilai.
Pengumpulan data dapat dalam jenis data kualitatif berhubungan dengan opini, atau data
kuantitatif ketika berhubungan dengan skala. Untuk tujuan perbandingan, lebih mudah untuk
menarik kesimpulan dari data kuantitatif daripada kualitatif. Untuk lebih menjamin dapat
ditransfer menjadi skala maka data kualitatif perlu dirubah menjadi data kuantitatif.
Menulis Laporan Evaluasi Pelatihan
Bagian penting dari proses evaluasi yaitu penyiapan laporan untuk disampaikan kepada pihak-
pihak yang terkait. Laporan biasanya memiliki empat divisi: pengantar, metodologi yang
digunakan, penyajian dan analisa data, kesimpulan dan rekomendasi. Format ini mencerminkan
tahap-tahap proses evaluasi. Pokok pokok di atas dapat diperluas menjadi sub-sub pokok yang
dapat membantu anda untuk menulis laporan. Sebelum memutuskan format terakhir, penting
untuk bertanya pada diri anda sendiri mengenai pemahaman laporan, dan bagaimana
memberikan bukti bahwa rekomendasi itu demikian penting?
BAB IV
PENYULUHAN
A. Memahami Penyuluhan
Hakikat dari pembelajaran melalui penyuluhan adalah pembelajaran yang benar-benar asli, yang
merupakan pengembangan dari proses pembelajaran yang berkembang selama ini, kendati belum
sepenuhnya dipahami semua pihak akan tetapi merupakan merupakan nyawa dari pendidikan itu
sendiri. Penyuluhan juga dikenal demikian sederhana akan tetapi akan tetapi penampilannya
demikian dipahami secara utuh baik bagi mereka yang benar-benar memberikan perhatian
khusus pada penyuluhan maupun bagi mereka yang kurang memberikan perhatian khusus.
Dalam banyak hal penyuluhan tidak diperhatikan secara utuh akan tetapi bagi seorang
profesional penyuluhan adalah merupakan bentuk keragaman pendidikan dari upaya untuk
mencerdaskan manusia.
Dalam skala rangking penyuluhan sendiri dapat diurutkan secara berjenjang sebagai berikut:
1. penyuluhan merupakan bentuk dari aplikasi sains yang bersumber dari sejumlah penelitian,
pengalaman yang beragam dan prinsip-prinsip yang relevan yang dihasilkan dari sains
keperilakuan, digabungkan dengan teknologi tepat guna berkembang menjadi kesatuan filsafat,
prinsip, muatan dan metode yang diarahkan pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan
pendidikan luar sekolah terutama untuk pemuda dan orang dewasa;
2. penyuluhan merupakan bagian dari pendidikan yang bertujuan untuk melakukan perubahan
perilaku dan keterampilan orang-orang yang bergabung dalam penyuluhan;
3. penyuluhan didefinisikan sebagai proses pendidikan diarahkan dalam upaya memberikan
pengetahuan bagi penduduk pedesaan dalam upaya meningkatkkan keterampilan dalam
meningkatkan kebermaknaan dan membantu mereka dalam membuat keputusan sesuai dengan
lingkungan sekitar dimana mereka berada;
4. penyuluhan ditujukan dalam membantu penduduk pedesaan dalam melakukan perubahan yang
berkelanjutan dalam melakukan perubahan lingkungan fisik, kesejahteraan ekonomi dan sosial
melalui usaha perorangan dan kelompok. ditujukan untuk memungkinkan tersedianya untuk
wilayah pedesaan, sesuai dengan prinsip keilmuan dengan memberikan sejumlah informasi,
pelatihan dan bimbingan dalam upaya memecahkan masalah pertanian dan kehidupan diantara
mereka;
5. pendidikan penyuluhan adalah kegiatan yang dilakukan diantara orang-orang dalam kegiatan
yang mudah dimengerti, bermuatan gagasan baru dan perbaikan teknologi mengenai praktek, dan
memberikan kemungkinan untuk memanfaatkannya dalam keseharian dalam upaya unutk
memudahkan peningkatan standar hidup melalui kemampuan merealisasikan diri dan usaha
mandiri;
6. penyuluhan adalah sains yang bermuatan berbagai strategi perubahan pola perilaku manusia
melalui inovasi pengetahuan dan teknologi dalam upaya meningkatkan standar kehidupannya;
7. penyuluhan merupakan proses yang berkelanjutan yang dirancang dalam upaya memberikan
kesadaran pada orang-orang akan permasalahan serta berusaha untuk mencari pemecahan sendiri
dalam memecahkannya. Didalamnya tidak hanya menekankan pada pendidikan untuk
menemukan masalah dan metode akan tetapi memberikan aspirasi untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik;
8. penyuluhan pertanian merupakan jembatan penghubung antara penelitian dalam pertanian
dengan masyarakat petani melalui proses pembelajaran dan berbagai ragam pengorganisasian;
9. pendidikan penyuluhan merupakan sains terapan, pengetahuan yang memungkinkan untuk
dimanfaatkan dalam mengarahkan perubahan dalam keseluruhan perilaku manusia yang
dmeikian rumit;
10. penyuluhan adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk pengembangan individu, dimana
melalui proses ini penduduk pertanian pedesaan ditingkatkan kesadarannya melalui bantuan
penyuluh dalam upaya meningkatkan kondisi kehidupannya;
11. penyuluhan adalah upaya untuk mengajar orang-orang mengenai bagaimana berpikir, bukan
mengenai apa yang harus dipikirkan dana mengajar bagaimana orang-orang untuk memprkirakan
secara tepat mengenai kebutuhan dan menemukan cara untuk memecahkan permasalahan mereka
dan membantu mereka untuk memperoleh pengetahuan dan mengembangkan kepercayaan diri
dalam memenuhi kebutuhnnya;
12. penyuluhan merupakan pendidikan di luar sekolah dimana orang dewasa dan pemuda
melakukan pembelajaran sambil bekerja. Dalam proses ini terjadi kerjasama antara pemerintah,
akademisi dan orang-orang dalam memberikan pelayanan dan pendidikan yang dirancang dalam
upaya memenuhi kebutuhan orang-orang.
13. penyuluhan dan penyuluhan pertanian adalah merupakan metode atau sekumpulan metode
dimana praktek keilmuan dilaksanakan termasuk praktek dalam melakukan pemeliharaan
tanaman;
14. pendidikan penyuluhan adalah upaya untuk melakukan pendidikan mengenai apa yang
mereka inginkan dan bagaimana bekerja dalam upaya memberi kepuasan pada mereka. Materi
pendidikan bukan hanya sebatas isi pendidikan akan tetapi lebih pada upaya untuk memenuhi
sendiri kepuasan mereka melalui kreativitas diri, meningkatkan kemauan dan keinginannya;
15. penyuluhan adalah pendidikan bagi orang dewasa di luar sistem sekolah yang menekankan
pada pilihan dan minat. Pendidikan ditujukan dalam upaya meningkatkan kebebasan mereka,
melalui upaya untuk membantu dalam memanfaatkan kebebasan untuk bertindak sesuai dengan
dasar dari kehidupan demokrasi.
Dari definisi di atas, pokok-pokok yang harus ditekankan meliputi:
1. pada kategori pengetahuan apa penyuluhan berada;
2. apa isi dari sebuah penyuluhan
3. apa hubungan antara penyuluhan dengan teknologi dan ilmu lain
4. siapa yang menjadi sasaran dari penyuluhan
5. apa metode, materi, prinsip dan filsafat yang ada dalam penyuluhan
Usaha untuk memberikan kepuasan pada definisi yang dikemukakan di atas akan selalu
diusahakan, akan tetapi definisi yang hampir lengkap adalah: pendidikan penyuluhan merupakan
ilmu perilaku yang mengikuti proses keberlanjutan, persuasi, dan memberikan pembedaan dari
proses pendidikan. Tujuan dari kegiatan ini yaitu mempengaruhi perilaku orang-orang sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan, melalui pemberian keyakinan, komunikasi dan difusi, dengan
menggunakan metode, prinsip dan filosofis yang diarahkan pada keterlibatan dalam belajar baik
peserta pelatihan maupun agen perubahan.
B. Filsafat penyuluhan
Filsafat umumnya dipergunakan untuk cakupan yang luas dan bersumber dari kebijakan, atau
pengetahuan mengenai sesuatu dan sumber keberadaannya baik teori maupun prakteknya.
Filsafat berusaha unutk memberikan jawaban akhir dari sebuah proses penyelidikan dan
penelitian mengenai segala sesuatu terutama untuk setiap pertanyaan yang sifatnya banyak
kemungkinan dan segera setelah tidak ada lagi keraguan sampai pada gagasan yang lebih nyata.
Filsafat penyuluhan didefinisikan dan diberikan interpretasi melalui berbagai cara sesuai dengan
latar belakang pemikirnya dan umumnya terdapat banyak sekali pemikiran yang beragam. Semua
pemikiran ini berupaya untuk mencapai gagasan dan kesimpulan yang komprehensif dengan
memberikan penekanan dari berbagai pemikiran yang dikemukakan berbagai ahli.
Dari berbagai pemikiran menekankan bahwa penyuluhan memiliki dasar mengenai pentingnya
perkembangan pribadi dalam rangka mendorong perkembangan masyarakat (pedesaan) yang
diharapkan memiliki imbas bagi perkembangan bangsa. Para penyuluh memiliki tugas untuk
bekerja dengan orang agar mereka mampu untuk membantu dirinya sendiri dan mampu
mencapai kemajuan dalam kehidupan. Secara bersama orang-orang menetapkan tujuan yang
akan dicapai, yang bersumber dari kenyataan dalam kehidupan, yang mengarahkan dirinya pada
keterpenuhan kebutuhan secara menyeluruh. Kemajuan yang dicapai orang-orang dengan
demikian dapat beragam sesuai dengan kebutuhan, minat dan kecakapannya. Melalui proses ini
diharapkan memiliki pengaruh pada masyarakat secara keseluruhan, sebagai dampak dari
partisipasi dan pengembangan kepemimpinan.
Sehubungan dengan itu filsafat penyuluhan berkembang dalam pemikiran sebagai berikut:
1. Penyuluhan merupakan proses pendidikan. Penyuluhan adalah perubahan sikap, pengetahuan
dan keterampilan orang-orang,
2. Penyuluhan memiliki sasaran laki, perempuan, pemuda dan anak dalam upaya memecahkan
permasalahan dan keinginan. Penyuluhan menekankan pada mendidik orang mengenai apa yang
diinginkan dan bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka;
3. Penyuluhan adalah membantu orang untuk membantu dirinya sendiri;
4. Penyuluhan menggunakan pendekatan belajar sambil bekerja dan proses mencari apa yang
diyakininya;
5. Penyuluhan melakukan pendekatan perorangan, pemimpin mereka, masyarakat dan dunia di
sekitar mereka;
6. Penyuluhan merupakan kerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan orang-
orang;
7. Penyuluhan bekerja berdasar pada keharmonisan dengan budaya dimana mereka berada;
8. Penyuluhan merupakan hubungan antar sesama dalam kehidupan, melalui kepercayaan dan
penghargaan akan orang lain;
9. Penyuluhan menggunakan saluran komunikasi yang beragam;
10. Penyuluhan merupakan proses pendidikan yang berkelanjutan.
Sehubungan dengan itu filsafat penyuluhan ditekankan:
1. Membantu orang untuk membantu dirinya sendiri,
2. Melihat manusia sebagai sumber yang tidak terhingga;
3. Ia merupakan usaha kerjasama;
4. Penyuluhan berangkat dari dasar demokrasi;
5. Menggunakan dua saluran baik dalam pengetahuan maupun dalam pengalaman;
6. Penekanan pada penciptaan minat melalui upaya untuk mengamati dan mengerjakan;
7. Berdasar pada kesukarelaan, partisipasi secara kooperatif dalam pengembangan program;
8. Persuasi dan pendidikan orang-orang;
9. Program didasari oleh sikap dan nilai yang berkembang diantara orang-orang;
10. Merupakan program yang berkelanjutan.
Dari gambaran ini dapat ditarik empat prinsip yang berkembang menjadi filsafat dari
penyuluhan:
1. Individu merupakan dasar dari demokrasi;
2. Rumah merupakan unit terkecil dari hakikat warga negara;
3. Keluarga merupakan tempat melakukan pendidikan pertama dari umat manusia;
4. Dasar dari kewarganegaraan yang menetap yaitu perpaduan antara manusia dengan tanah
Beberapa pemikir dengan menggabungkan pemikiran terdahulu menekankan: program
penyuluhan memiliki tekanan pada individu, pendamping dengan tujuan utama melakukan
perubahan sikap, pengetahuan, keterampilan, pemahaman, kapasitas dan kemampuan melalui
upaya persuasi dari pihak pendidik. Penekanan lain yaitu penggabungan antara pemikir lama
dengan baru dengan penekanan pada manusia dan nilai yang ada di dalamnya yang merupakan
hakikat dari nilai kemanusiaan itu sendiri. Dalam penyuluhan tidak dapat dipisahkan dari
keterlibatan pemerintah walaupun tidak selalu melibatkan pemerintah pusat dengan cara
memberikan pelayanan bagi petani melalui pemberian pengetahuan (know how) melalui
pembimbingan peningkatan metode, dalam upaya mencapai perubahan yang diharapkan melalui
peningkatan produksi. Untuk mencapai semua ini penyuluhan tidak dapat dilepaskan dari
penelitian dan pendidikan.
C. Prinsip Penyuluhan
1. Pemahaman mengenai prinsip
Prinsip adalah pernyataan yang dapat membimbing para pembuat keputusan dan kegiatan secara
konsisten. Dari prinsip ini berkembang generalisasi. Bila pernyataan ini diangkat lebih tinggi
maka ini akan menjadi maka ini menjadilah asumsi. Bila perlu pengujian lebih jauh maka
kemudian dikenal dengan hipotesis. Selanjutnya hipotesis yang telah di test atau asumsi yang
bisa diterima maka semua ini disebut sebagai teori. Bila teori kemudian diuji melalui sejumlah
pengujian yang sangat rumit, dalam satu kondisi tertentu oleh sejumlah individu dan temuan
dapat diterima maka hal ini disebut dengan prinsip. Jadi prinsip merupakan kebenaran yang
diterima umum dan telah mendapatkan pengamatan dan akhirnya sampai pada tingkat kebenaran
dengan tidak tergantung pada kondisi dan lingkungan. Prinsip merupakan dasar kebenaran dan
pengarah pada tindakan.
2. Pentingnya prinsip penyuluhan
Umumnya diyakini bahwa pengetahuan mengenai prinsip tidak memiliki arti bagi seorang
penyuluh. Prinsip umumnya hanya memiliki arti bagi para akademisi bagi mereka yang ingin
mendalami lebih jauh mengenai penyuluhan. Namun demikian terdapat makna khusus prinsip
bagi seorang penyuluh, dimana tanpa pengetahuan mengenai prinsip seorang penyuluh maka
amat mungkin akan menghadapi kesalahan besar terutama pada saat permulaan dalam
menghadapi pekerjaan sebagai penyuluh. Lebih jauh lagi bila seorang penyuluh ingin
mengembangkan diri menjadi seorang administrator atau supervise, maka tidak dapat tidak ia
harus memperhatikan prinsip-prinsip penyuluhan.
3. Relativitas dari prinsip penyuluhan
Prinsip penyuluhan bersifat relative dan tidak selalu harus pasti dilihat dari kepentingan dan
urutannya. Namun demikian, benar pula bahwa setiap prinsip itu penting. Pada hal lain tidak
mungkin pula terdapat prinsip penyuluhan yang lengkap dan merupakan sesuatu yang sempurna.
Bila kita perhatikan sejumlah prinsip berikut ini merupakan prinsip yang mendasar dan dapat
diterima dalam para pengkaji mengenai prinsip penyuluhan.
Sejumlah prinsip yang mengemuka antara lain:
a. Prinsip mengenai minat dan kebutuhan
Untuk efektifnya penyuluhan maka penyuluh harus mengawali kegiatan dengan
mengembangkan minat dan kebutuhan dari pihak yang akan diberikan penyuluhan. Dalam
banyak hal minat dari pihak yang akan mendapatkan penyuluhan tidak sejalan dengan pihak
penyuluh sendiri. Namun demikian kebutuhan dari pihak yang akan mendapatkan penyuluhan
dipandang lebih baik dibandingkan dengan kebutuhan para penyuluh sendiri, karenanya
semuanya harus dimulai dengan minat dan kebutuhan yang dirasakan oleh pihak yang akan
diberikan penyuluhan. Dalam hal ini para penyuluh harus menghimpun minat dan kebutuhan dari
pihak yang akan diberikan penyuluhan menjadi realistis. Kebutuhan yang akan dipenuhi harus
bisa memuaskan perorangan, kelompok, masyarakat dan minat nasional. Pemenuhan kebutuhan
akan mungkin bila menggunakan sumber yang ada, dan harus pula diberikan perioritas pada
kebutuhan yang saat ini sedang mendesak keberadaannya.
b. Prinsip kelembagaan akar rumput
Untuk menjadi sebuah kegiatan yang realistis dan efektif, maka lembaga yang dikembangkan
seharusnya harus berbasis prinsip demokrasi yang berkembang di lingkungan keluarga dan
terutama sekali yang berkembang di pedesaan. Semua pemikiran harus dimulai dari bawah atau
akar rumput. Pada saat yang sama, pengetahuan modern dibutuhkan untuk mengembangkan
lembaga dan membuat koordinasi yang lebih bijaksana baik yang menyangkut pemikiran dan
tindakan dan memungkinkan dilaksanakan pada lingkup keluarga maupun desa. Kehidupan yang
paling berbudaya yaitu terdapat spesialisasi dari sebuah desa. Untuk mewujudkannya dibutuhkan
dukungan dari sejumlah profesi dan asosiasi. Hal ini bisa ditingkatkan melalui perluasan peran
keluarga maupun masyarakat.
c. Prinsip perbedaan budaya
Dalam upaya untuk meningkatkan efektivitas dari penyuluhan, maka prosedur dan pedekatan
harus sesuai benar dengan budaya dimana penyuluhan diselenggarakan. Perbedaan budaya pada
hal lain membutuhkan pendekatan yang berbeda. Atas dasar itu perencanaan yang dirancang
untuk wilayah tertentu tidak serta merta dapat diaplikasikan sepenuhnya untuk wilayah yang
berbeda, sehubungan dengan perbedaan budaya ini. Perbedaan budaya termasuk didalamnya
filsafat hidup, sikap, nilai, loyalitas, kebiasaan dan kesenangan.
d. Prinsip perubahan budaya
Sehubungan dengan perubahan perlu diajarkan dan belajar perlu dimulai dengan sesuatu yang
telah dikenal oleh manusia, maka menjadi tuntutan seorang penyuluh harus mengetahui apa yang
telah diketahui oleh pihak yang akan mendapatkan penyuluhan dan bagaimana mereka berpikir.
Dengan mengutamakan pemikiran ini dan sikap yang menghargai pada saling menghargai dan
menerima keragaman budaya, penyuluh harus mampu untuk menemukan rahasia budaya yang
ada pada sasaran dan pada saat yang sama harus mampu menerima keterbatasan budaya, sesuatu
yang sifatnya tabu dan nilai yang berkaitan dengan setiap tahapan dari program yang sedang
dikembangkan, sebelum dimulai sehingga setiap pendekatan yang dilakukan dapat diterima.
Sebuah kesimpulan berkaitan dengan budaya, dimana budaya itu unik dan sesuai dengan situasi
yang berkembang maka budaya pun akan ikut berubah pula. Kendati budaya dikembangkan
maka ia akan tetap unik, karenanya tidak mungkin untuk mendeskripsikan sedemikian tepat apa
yang terjadi, dan karenanya pula setiap perorangan atau kelompok yang memiliki keterlibatan
dan tanggung jawab untuk melakukan perencanaan, melaksanakan atau melakukan penyesuaian
dengan perubahan tertentu, harus pula menyesuaikan dengan perubahan yang berkembang.
e. Prinsip kerjasama dan partisipasi
Dalam suatu kegiatan yang melibatkan sejumlah orang dalam menyelesaikan tujuan bersama,
tidak mungkin untuk menggunakan pilihan yang ditetapkan salah satu pihak akan tetapi
seharusnya mereka sendiri yang menentukan apa seharunya menjadi tujuan. Tugas dari penyuluh
adalah membantu mereka untuk melakukan pengorganisasian setiap usaha dan membimbingnya
kearah keberhasilan dari setiap kegiatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bila mereka sendiri
yang membuat suatu pilihan maka mereka jauh akan lebih bertanggungjawab dalam
menyelesaikan kegiatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengalaman dari beberapa negara
mereka jauh lebih dinamis bila mereka diberikan kesempatan untuk membuat keputusan dari
setiap yang menjadi urusannya, menunjukkan sendiri tanggung jawab dan dibantu untuk
menyelesaikan kegiatan yang ada di daerahnya.
Patisipasi dari dari mereka merupakan hal yang sangat mendasar untuk menjamin keberhasilan
dari setiap usaha pendidikan. Para sasaran penyuluhan harus memiliki urutan dalam
mengembangkan program dan harus merasakan bahwa mereka terlibat dalam program yang
sedang dilaksanakan.
f. Prinsip pemanfaatan ilmu melalui pendekatan demokratis
Pemanfaatan ilmu pertanian bukan hanya satu proses. Yang menjadi kunci dari sejauhmana
tingkat pemanfaatan ilmu yang sedang dipelajari yaitu siapa yang akan melakukan percobaan
dari kalangan mereka yang akan melakukan pemecahan pada permasalahan yang sedang
dihadapi. Semua alternative yang akan dilakukan seharusnya ditetapkan sendiri oleh mereka.
Penyuluh harus mampu menterjemahkan setiap fenomena yang berkembang yang memberikan
kepuasan pada pihak mendapatkan penyuluhan sehingga mereka benar-benar dapat menerima
materi inovasi yang diperkenalkan.
Semua bantuk dukungan yang diberikan oleh penyuluh harus berlangsung dalam suasana
demokratis. Hal ini ditempuh antara lain melalui proses diskusi dan pemberian saran. Dalam
kenyataan semua proses yang dilakukan bersama dengan pihak yang diberikan penyuluhan jauh
lebih mendapatkan dukungan jangka panjang dibanding dengan hanya sekedar dipaksakan.
Semua alternative pemecahan seharusnya dihadapi sendiri oleh pihak yang diberikan penyuluhan
dan keahlian yang diperolehnya seharusnya melalui diskusi diantara mereka. Selanjutnya berikan
kebebasan pada mereka untuk memilih sendiri kegiatan yang patut dilakukannya,
mempergunakan metode yang bernilai guna yang sesuai dengan situasi dan sumber yang terdapat
disekitar mereka dan bantuan yang ada dari pihak pemerintah.
2) Bidang perhatian pada perilaku dengan tekanan pada fenomena antar ketergantungan.
Dengan memperhatikan bahwa pendidikan penyuluhan memiliki penekanan pada penyuluhan
dan perluasan akan tetapi tidak dapat dilepaskan keseluruhannya dari pendidikan sebagai bagian
dari kehidupan manusia. Sasaran pendidikan pada penyuluhan tidak puas dengan hanya
memperhatikan deskripsi penyuluhan, kelengkapan dan semua hal yang berhubungan dengan itu.
Lebih dari segalanya peserta didik ingin melihat bagaimana suatu fenomena memiliki hubungan
satu dengan lainnya, dan bagaimana fenomena baru merupakan hasil dari kondisi dan kreativitas
yang sebelumnya tidak pernah muncul. Dengan kata lain keinginan untuk mengungkap prinsip
umum yang berhubungan dengan kondisi dan apa akibatnya. Kajian ini kemudian mendorong
pada kenyataan akan saling ketergantungan antara satu dengan lain fenomena dan memberikan
keyakinan akan kebermaknaan dari dapat diwujudkannya saling ketergantungan satu dengan lain
dari bidang kajian yang menjadi perhatian.
3) Interdisiplin yang relevan satu dengan lainnya
Sangat penting untuk dipahami bahwa kajian dan penelitian dalam penyuluhan belum memiliki
jalinan yang sempurna dengan ilmu pengetahuan sosial. Beberapa ahli dari kajian tertentu
banyak yang memberikan perhatian untuk melihat penyebab dari faktor pendorong dari
penyuluhan. Ahli sosiologi pedesaan melihat demikian kuatnya faktor manusia berpengaruh pada
perilaku dalam penyuluhan. Ahli psikologi lebih banyak memberikan perhatian pada pada kajian
manusia dalam kerangka kefungsian dalam kelompok dengan mempelajari perilaku dan ciri
kepribadian. Antropologis selain memiliki perhatian pada kajian seperti halnya sosiologis dan
psikologis menyajikan data dalam kehidupan kelompok dimana terdapat perbedaan yang sangat
jauh antara kehidupan masyarakat tradisional dengan masyarakat industri dan modern. Para ahli
politik memberikan perhatian pada lembaga lebih luas termasuk studi mengenai fungsi
administrasi, politik dan aspek lain yang berhubungan di pedesaan. Ahli ekonomi memiliki
perhatian khusus pada analisis data yang memberikan para pembuatan keputusan sekitar peluang
untuk meningkatkan tabungan untuk kepentingan pertanian dan keluarga dan membuat prediksi
mengenai akibat ekonomi dari penggunaan metode tertentu maupun untuk kepentingan advokasi.
Dinamika kelompok, komunikasi dan psikologi sosial dalam bidang pendidikan memiliki
kontribusi yang sangat bermanfaat untuk pengembangan penyuluhan sebagai suatu disiplin ilmu.
4) Potensi untuk memanfaatkan temuan untuk kepentingan praktek sosial
Setiap orang yang memiliki tanggung jawab dalam memperkuat usaha penyuluhan, harus melihat
tanda-tanda ini sebagai dasar untuk pengembangan program dan praktek sesuai dengan disiplin
pendidikan penyuluhan. Para profesional sampai pada keyakinan untuk meningkatkan standar
dan penetapan semua kelengkapan untuk berjalannya penyuluhan seperti yang diharapkan.
Universitas besar saat ini memiliki pelatihan profesional dan bagian-bagian dalam memberikan
pelatihan pada tingkatan yang lebih tinggi. Jadi tidak aneh nampaknya bila akhir-akhir ini
penyuluhan menjadi kegiatan pelatihan profesional yang dikenal, dimana orang yang pernah
mendapat pelatihan mendapatkan kesempatan lebih luas untuk bekerja dengan pertimbangan
nilai tambah dalam praktek profesionalnya serta meningkatnya penelitian dalam bidang
penyuluhan yang berkaitan dengan kebutuhan pemakai jasa. Potensi ini nampaknya yang harus
mulai mendapatkan perhatian untuk mendapatkan pengembangan lebih lanjut.
Dengan kata lain penyuluhan hendaknya lebih mendapatkan pengakuan sebagai suatu disiplin
ilmu, sejalan dengan demikian kuatnya pengaruh dalam memperluas pengetahuan mengenai
pengaruh pendekatan penyuluhan dalam membuat perubahan yang diharapkan dalam perilaku
manusia termasuk dukungan perundangan mengenai pemerintahan dan pengembangannya.
Jadi terdapat sejumlah faktor pendukung pada perkembangan penyuluhan yaitu dukungan
masyarakat, perkembangan ilmu sosial dan perkembangan profesi yang mendukung pada wujud
penyuluhan terutama yang berhubungan dengan pemahaman, objektivitas, kepercayaan,
kemampuan melakukan perkiraan dan pengontrolan.
Dukungan yang sangat membantu antara lain diterbitkannya sejumlah jurnal seperti halnya jurnal
pelayanan penyuluhan koperasi di Amerika dan Jurnal penyuluhan India, mendorong pada
perubahan berpikir dan menjadi awal pada pengembangan profesi mengenai penyuluhan.
Perkembangan keilmuan penyuluhan dengan demikian tidak hanya bersifat sederhana dan
seragam akan tetapi berkembang menjadi sangat bervariasi, rumit dan dinamis. Sejalan dengan
lahirnya beberapa pandangan baru semakin berkembang pula kebutuhan akan penelitian dan
semakin berkembangnya konsep baru dalam upaya mengatasi permasalahan.
Pengamatan dalam melihat interaksi sosial yang berkembang, yang semula hanya untuk
kepentingan melihat data kualitatif berkaitan dengan perilaku selanjutnya mendorong penelitian
yang lebih luas dalam penelitian mengenai penyuluhan.
Dengan lahirnya beberapa universitas pertanian dan lembaga penyuluhan pertanian semakin
mengakselerasi perkembangan penyuluhan. Semakin berkembang semakin meluas pula
penelitian yang berhubungan dengan penyuluhan.
Dari berbagai kajian, capaian dari kajian penyuluhan meliputi:
a) titik berat dari penyuluhan pertanian yang berkaitan dengan pengorganisasian manusia
dihasilkan dari observasi dan penelitian;
b) informasi dan fakta yang dihasilkan dari observasi dan penelitian;
c) dapat dikembangkannya batang tubuh yang berbentuk kesimpulan dan generalisasi menjadi
sebuah prinsip atau teori;
d) penyuluhan menggunakan metode penelitian sosial dan statistik yang pada gilirannya
mendorong pada penelitian lebih jauh, mengungkap sejumlah informasi, hipotesis diuji dan teori
dihasilkan;
e) penggunaan metode demikian bermanfaat dalam untuk memecahkan permasalahan dalam
memecahkan masalah pendidikan;
f) informasi dan pengetahuan, prinsip dan metode yang dipergunakan merupakan bahan dalam
pengemabangan hakikat penyuluhan yang selanjutnya menjadi bahan bagi pengembangan teori
dan praktek dalam penyuluhan.
l. Tujuan penyuluhan
Tujuan dari penyuluhan sebagai ilmu yaitu membangun batang tubuh keilmuan, fakta dan
generalisasi yang dapat dimanfaatkan oleh pendidik, peneliti dan penyuluh dalam mewujudkan
tujuan profesi dan budaya. Dari sejumlah analisa dapat dikembangkan sejumlah tujuan yang
berhubungan dengan penyuluhan yaitu:
1) mengembangkan keyakinan dan mewujudkan sejumlah fakta yang perkembangnya dapat
meningkatkan, memungkinkan proses pembelajaran, peningkatan perilaku sosial dan
meningkatkan penyesuaian kepribadian. Perwujudan dari tujuan akan meningkatkan apresiasi
dari sumbangan penyuluhan bagi para penyuluh dan para guru;
2) membantu dalam mendefinisikan dan mengembangkan tujuan penyuluhan dan standar yang
berkaitan dengan perilaku yang diharapkan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan itu;
3) membantu dalam mengembangkan perilaku simpati akan peserta penyuluhan sehingga
perilaku mereka sesuai dengan tujuan yang ditetapkan;
4) membantu dalam meningkatkan pemahaman sifat dan manfaat hubungan kemanusiaan dan
metode dalam memahami peserta penyuluhan bersamaan dengan pemahaman bagaimana bisa
bekerja satu dengan lainnya, partisipasi dalam kelompok dan kerjasama;
5) menyediakan batang tubuh mengenai fakta dan prinsip yang dapat dipergunakan dalam
memecahkan permalahan dan pemecahan proyek yang berkaitan dengan penyuluhan;
6) membantu dalam memberikan dukungan pada penyuluh dalam memahami perspektif untuk
menemukan dan memperoleh hasil yang lebih baik dari setiap usaha dan praktek pihak lain;
7) meningkatkan kemampuan penyuluh melalui peningkatan penguasaan fakta dan teknik yang
dibutuhkan dalam upaya menganalisis perilaku baik diri sendiri maupun pihak lain dalam upaya
mencapai penyesuaian normal terbaik dalam upaya lebih meningkatkan dan menyesuaikan
penyuluhan;
8) membantu dalam mendefinisikan, memelihara dan membuat perpaduan metode penyuluhan
yang lebih maju, mengembangkan prosedur dan teknik untuk memperluas teknik yang lebih
canggih dalam bentuk yang lebih sederhana dan dapat dipahami.
m. Prinsip Pemuasan Semua Pihak
Pemberian pemuasan pada semua pihak merupakan bagian utama dari penyuluhan. Bila mampu
memberikan kepuasan pada orang, maka serta merta semua pihak yang terpuaskan akan
memberikan dukungan penuh pada penyuluhan yang akan diberikan dan keberlangsungannya.
Patut diketahui sejalan dengan pertumbuhan demokrasi dalam kehidupan tidak lagi manusia
dipandang sebagai mesin. Sehubungan hal ini kebermaknaan dalam mengikuti kegiatan
penyuluhan harus sepenuhnya tergantung pada kesadaran diri, dan ini hanya mungkin dipenuhi
melalui pemberian kepuasan penuh pada mereka yang memiliki kaitan dengan penyuluhan
Atas dasar itu penyuluhan dapat dibedakan dengan pendidikan pada umumnya dari beberapa
aspek seperti di bawah ini:
PENDIDIKAN FORMAL PENYULUHAN
Pendidikan dimulai dengan deori yang diikuti dengan praktek Penyuluhan memulai dengan
praktek, kenyataan lapangan dan pemasalahan yang diikuti dengan pamahaman mengenai
konsep dan teori
Pendidikan sangat berdasar pada kurikulum baku Tidak ada kurikulumyang sangat baku. Dengan
keberadaan seperti ini dimungkinkajn untuk melakukan perubahan sesuai dengan kebutuhan dari
peserta pelatihan
Peserta pelatihan umumnya sangat homogen Peserta pelatihan umumnya sangat beragam
Mengajar sangat berdasar pada kurikulum yang ditentukan dari satu pusat dan relaltif sama untuk
satu tindakan Pembelajaran berlangsung secara horisontal dan berbasis pada permasalahan
Harus mengikuti tata cara yang berlaku dalam kelembagaan dan hampir tidak ada kesempatan
untuk melakukan perubahan pada cara yang ada Adanya kebebasan atas kesepakatan untuk
memilih bahan ajar
Pendidikan ini lebih bersifat khususan untuk suatu jenjang atau spesialisasi tertentu
Pembelajaran bukan didasarkan atas keperluan untuk jenjang pendidikan tertentu akan tetapi
lebih bersifat informal
Pengajaran berlaku satu arah yaitu oleh pengajar pada yang diajar Melakukan pembelajaran
dengan menggunakan potensi lokal.
Terdapat beberapa pihak yang memiliki sumbangan pada proses penyuluhan yanb baik, yaitu
penyuluh, perencana dan para spesialis kurikulum. Kriteria umum penyuluh yang berhasil,
adalah sebagai berikut:
1) melakukan penyuluhan dengan persiapan yang memadai menggunakan pembelajaran
pendekatan penyuluhan yang umum dipergunakan pada penyuluhan, seperti melalui diskusi,
pembahasan permasalahan dan pemecahannaya menggunakan sebanyak mungkin potensi yang
ada pada peserta penyuluhan,
2) pembelajaran diikuti dengan metode yang memadai yang umumnya menggunakan metode
demonstrasi,
3) mampu menterjemahkan pemikiran dan teori yang rumit menjadi bahan yang mudah
dipahami,
4) mampu mengorganisasikan workshop,
5) mampu mengorganisasikan peserta pada kegiatan lapangan untuk mempraktekan hasil
penyuluhan,
6) mampu mengorganisasikan peserta penyuluhan pada proses pembelajaran dengan
mengakomodasi minat dan kebutuhan peserta
7) berperan sebagai manusia sumber dan memiliki kemampuan untuk memecahkan
permasalahan yang rumit.
Sesuai dengan persyaratan ini seorang penyuluh yang baik umumnya memiliki ciri-ciri
memahami secara utuh dari semua materi yang harus diberikan pada proses penyuluhan, antusias
dalam memberikan penyuluhan dan penguasaan materi, memiliki minat yang memadai pada
perkembangan peserta penyuluhan, pemahaman yang luas mengenai pembelajaran, memiliki
minat mengenai pengembangan diri dan kepribadian, memiliki minat pada pengembangan diri
agar dibutuhkan (demanding) dan mampu memberikan motivasi untuk mengembangkan diri.
Selain itu dibutuhkan pula kemampuan perencana program, yang umumnya harus memiliki
kemampuan sebagai berikut:
1) mampu berperan sktif dalam proses penyuluhan,
2) memiliki pengetahuan yang memadai pengenai substansi penyuluhan,
3) pengetahuan yang memadai dalam melakukan pentahapan dalam proses penyuluhan,
4) dapat menetapkan metode yang paling bernilaiguna untuk dipergunakan dalam penyuluhan
5) dapat mensuplai lembaga dengan informasi yang paling mutakhir,
6) memiliki pengetahuan yang memadai mengenai cara mengevaluasi, melakukan pengolahan
data dan intepretasi hasil,
7) memiliki sejumlah data hasil penyuluhan yang telah dilakukan pada waktu lalu,
8) mampu mengembangkan diri berbasis pengalaman penyuluhan masa lalu untuk
mengembangkan kemampuan masa datang,
9) memiliki perhatian ekstra dalam mendalami proses penyuluhan yang menjadi tanggung
jawabnya,
Penyuluh juga harus mendapatkan dukungan dari ahli dalam bidang penyuluhan dan substansi.
Kemampuan khusus ahli substansi yang dituntut yaitu:
1) memiliki pemahaman yang luas mengenai materi yang akan disampaikan pada proses
penyuluhan,
2) memahami materi yang mutakhir yang akan dimanfaatkan dalam proses penyuluhan,
3) berperan sebagai penghubung dengan proses penelitian
4) mampu memilih, menginterpretasi dan memiliki kemampuan untuk memecahkan
permasalahan yang sedang dihadapi,
5) memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan hubungan antar manusia,
6) aktif untuk berperan dalam proses demonstrasi yang ada pada wilayah-wilayah yang memiliki
kaitan dengan materei penyuluhan
7) memiliki kaitan dengan sistem pendidikan tinggi yang berhubungan dengan penyuluhan dan
substansi penyuluhan
8) memiliki pengetahuan yang luas yang berhubungan dengan materi penyuluhan dan peran
spesialisasi
Fasilitas
a. mempersiapkan bahan secara seksama. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengeceknya jauh
sebelum proses pelatihan dimulai
b. datang lebih awal. Hal ini dimaksudkan dalam upaya mengenai fasilitas dan mempersiapkan
lebih awal sebelum pelatihan atau penyuluhan dimulai.
11. Pembukaan dan Penutupan
Pembukaan
a. selalu membuka setiap pertemuan. Hal ini dilakukan dengan memberikan ice breker. Selalu
melakukan observasi dan mencoba akan selalu memutakhirkan bahan untuk pembuka pertemuan
b. melakukan proses pelatihan secara tenang. Ketenangan dalam bagian dari pembukaan maupun
penciptaan susana yang mendukung.
Penutupan
a. membuat kesimpulan pada setiap proses pelatihan atau penyuluhan. Seorang profesional
berusaha untuk membuat kesimpulan singkat padat pada setiap penampilan sesuai dengan tujuan
yang menjadi arah pelatihan
b. memberikan apresiasi pada peserta dengan mengucapkan terima kasih.
12. Catatan Khusus
a. membuat catatan sebagai kebutuhan khusus
b. memanfaatkan bahan visual seperti manual sebagai bahan pelatihan
c. melakukan pelatihan sebelum melakukan pelatihan sebenarnya
Mempersiapkan penyuluhan
Persiapan penyuluhan seperti halnya juga untuk mempersiapkan seminar, pembelajaran dan
kegiatan sejenis sangat tergantung pada kemampuan untuk merencanakan. Semuanya sangat
tergantung pada kemampuan komunikasi, kemampuan dalam memberikan pengaruh, gagasan
yang cemerlang untuk menunjang proses penampilan serta kemampuan dalam mengajar
(memulai, melaksanakan dan mengerjakannya dengan sempurna). Secara keseluruhan persiapan
penyuluhan sangat tergantung pada pemahaman mengenai keberhasilan penyuluhan,
mempersiapkan bahan penyuluhan, pemahaman sejumlah model penyuluhan, penggunaan
beberapa alat Bantu dalam menunjang penyuluhan.
Penyuluhan yang berhasil
Kegagalan penyuluhan sangat tergantung pada beberapa faktor, seperti dapat diamati pada
sejumlah penyuluhan yang pernah kita laksanakan. Tanda-tanda yang muncul kepermukaan
terutama dilihat dari materi penyuluhan antara lain:
a. tidak jelas tujuan yang akan dicapai melalui penyuluhan,
b. kelemahan dalam struktur yang disajikan,
c. terlalu banyak informasi dan tidak dikelola seperti yang diharapkan atau sebaliknya informasi
yang terlalu sedikit,
d. kurang menghargai peserta , seperti tidak memberikan kesempatan untuk mengemukakan
pendapat atau kurang memberikan apresiasi pada proses penyuluhan,
e. kurang adanya kontak mata dengan peserta ,
f. penampilan yang kurang terorganisasi,
g. terlalu banyak kesalahan dan sikap depensif yang ditunjukkan oleh penyuluh terutama dalam
menerima semua kelemahan yang menyertai proses penyuluhan,
Sebaliknya penyuluhan yang berhasil dan dikatakan baik adalah memiliki sejumlah cirri:
a. memiliki tujuan yang jelas dan dapat dipahami oleh peserta ,
b. memiliki struktur yang jelas, baik dari sisi penyuluh atau peserta ,
c. memiliki informasi yang jelas yang dapat diikuti oleh peserta ,
d. selain dari pemaparan verbal juga dilengkapi dengan penampilan nonverbal,
e. hubungan dengan peserta demikian dekat serta bahan yang dikomunikasikan cukup relevan
Terdapat tiga tahapan dalam mempersiapkan penyuluhan yang baik yaitu perencanaan, persiapan
dan pemeriksaan persiapan penyuluhan. Dalam tahap ini yang harus diperhatikan yaitu:
a. mempertimbangkan sepenuhnya peserta yang akan mengikuti penyuluhan baik dari segi
kebutuhan, latar belakang sosial ekonomi maupun psikologis,
b. penetapan tujuan penyuluhan,
c. penetapan lama waktu penyuluhan,
d. mempersiapkan tempat yang menadai,
e. mempersiapkan alat dan bahan
f. membuat rancangan semua bahan yang akan dipergunakan.
Bahan ini secara sistemik terdiri dari tujuan, struktur (rangkaian logis dari penyuluhan, bahan
utama dan kesimpulan), bahasa, alat bantu dan pertanyaan yang akan dipergunakan sebagai alat
ukur dari proses penyuluhan. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam mempersiapkan
penyuluhan yaitu:
a. upayakan untuk memusatkan perhatian dari seluruh peserta pelatihan,
b. upayakan untuk memberikan penguatan,
c. memulai dengan membuat kesimpulan, semua informasi harus cukup tersedia untuk
menunjang simpulan yang akan dibuat,
d. membuat kunci-kunci keberhasilan dari semua tahapan yang akan dibuat.
Dalam melakukan persiapan harus diupayakan untuk melakukan praktek, bagaimana alur, waktu
yang dipergunakan, bagaimana komunikasi ebrlangsung, alat dan bahan apa yang dipergunakan,
bagaimana semua pertanyaan dapat dijawab dengan memuaskan semua pihak.
Tanggung jawab dalam penyuluhan
Tanggung jawab yang harus ditunjukkan dalam penyuluhan yaitu:
a. melakukan analisis pekerjaan dan mengembangkan deskripsi pekerjaan yang dipikul posisi
tertentu
b. membantu karyawan untuk mengembangkan penghargaan akan pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya
c. membuat pekerjaan sedemikian berharga dan dianggap sebagai suatu tantangan sehingga
semua karyawan mampu mengembangkan diri sesuai potensi yang dimilikinya,
d. mengembangkan metode agar pekerjaan menjadi mudah tanpa mengurangi standar dan
prosedur standar operasional yang dimiliki lembaga penyuluhan,
e. menempatkan pekerjaan demikian berarti sehingga semua karyawan memenuhi standar sesuai
dengan kebutuhan yang harus dipenuhinya
f. memberikan pelatihan dan pelatihan sebelum jabatan untuk karyawan,
g. memperkenalkan karyawan baru pada sesama pekerja,
h. memperkenalkan karwayan baru pada siapa mereka harus bertanggungjawab
i. mengembangkan rasa aman diantara karyawan dan peluang untuk saling membantu yang
menguntungkan,
j. membantu mengembangkan kondisi yang menunjang untuk setiap karyawan aagar mampu
mengerjakan pekerjaan dalam sebagai tim
k. mengembangkan disiplin diri berdasar pada keyakinan terutama dalam menunjang kerja tim
BAB V
MANAJEMEN PELATIHAN
A. Pendahuluan
Pelatihan pada konsep ini merupakan bagian dari pembelajaran sepanjang hayat ( continuing
Education) Tujuan dan keberadaan pelatihan berbeda dari suatu lembaga dengan lembaga lain.
Akan tetapi pada akhirnya tujuan dari lembaga yanag berhubungan dengan Pelatihan sangat
berkaitan dengan bagaimana efektivitas dalam mencapai tujuan. Bila setiap orang mempunyai
urunan yang sama untuk mencapai tujuan, pada akhirnya ketercapaian tujuan ini sangat
tergantung pada keberadaan manajer yang secara khusus memiliki tugas khusus dalam
melakukan perencanaan, pengorganisasian dan mengevaluasi setiap kegiatan lembaga dalam
upaya untuk mencapai tujuan.
B. Materi pembelajaran
Manajer setiap saat harus siap untuk bersaing dalam upaya menyelenggarakan kegiatan yang
diperlukan. Untuk tujuan ini manajer harus menyelengarakan antar hubungan melalui proses
yang sangat rumit. Pendekatan manajer yang berdasar pada personal lebih banyak dilakukan
dengan berdasar pada pertimbangan filosophis dalam upaya untuk membuat perencanaan,
pengorganisasian dan mengevaluasi pengalaman belajar bagi peserta belajar di luar sekolah.
Manajemen ialah seni dan ilmu dalam upaya untuk mencapai tujuan orang-orang. Dalam
beberapa segi manajemen berbeda dengan administrasi karena yang terakhir ini lebih
menekankan pada keterselenggaraan tugas dibandingkan dengan melakukan kerjasama dengan
orang-orang. Litelatur yang berhubungan dengan pelatihan sering mengunakan istilah
manajemen dengan administrasi secara bergantian. Akan tetapi pada kepustakaan yang terakhir
istilah manajemen yang paling banyak dipergunakan. Istilah lain yang banyak dipergunakan
untuk menggantikan manajemen yaitu kepemimpinan, akan tetapi kepemimpinan tidak terlalu
banyak memiliki kajian pada mengelola organisasi. Kepemimpinan adalah kapasitas untuk
mengembangkan harapan anggota. Jadi kepemimpinan harusnya menjadi keperdulian dari semua
anggota dalam suatu organisasi.
C. Perspektif Manajemen Pelatihan
Bagian berikut memaparkan jaringan kerja dari manajemen Pelatihan. Manajemen Pelatihan
terdiri dari lima subsistem yaitu (1) Tujuan jangka pendek dan jangka panjang (2) stuktur, yaitu
tugas yang harus dikerjakan serta pembagian dan koordinasinya (3) psikokultural dan
sosiokultural, perilaku perorangan dan motivasi, group dinamik, budaya dan perilaku politik (4)
teknis, teknik untuk mentransformasikan program yang dibutuhkan serta gagasan kedalam
kursus, workshop, seminar dll. (5) manajerial, merupakan hal yang paling mendasar dan upaya
untuk mengkoordinasikan subsistem dalam upaya mencapai tujuan, merencanakan struktur,
mengimplementasikan kebijakan, memfasilitasi dinamika kelompok dari lembaga, menetapkan
proses pengawasan. Kelima subsistem itu merupakan dasar dari perencanaan dan
implementasinya.
Sistem manajerial merupakan sasaran utama dari pembahasan mengenai pengelolaan. Untuk hal
itu akan dibahas beberapa faktor utama yang berhubungan dengan pengelolaan ini.
Berikut ini digambarkan jaringan dari pengelolaan dalam Pelatihan
Terdapat empat tugas pelatihan yaitu pemerograman, staffing, pembiayaan dan pemasaran.
Keempat tugas itu dilaksanakan dengan menyelenggarakan tiga fungsi manajemen yaitu
perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi. Pelaksanaan fungsi manajemen itu harus pula
didasarkan kepada keadaan sosial masyarakat meliputi keluarga dan organisasi kemasyarakatan
lainnya, masyarakat dan sistem belajar manusia.
Litelatur mengenai pengelolaan pelatihan memiliki banyak keragaman dalam fungsi dan
peranannya. Secara umum fungsi pengelolaan meliputi perencanaan, pengorganisasin, staffing,
kepemimpinan dan pengawasan (Langerman dan Smith, 1979). Tugas manajerial yang isinya
memuat tugas yang harus dikerjakan dibedakan dengan fungsi (langkah-langkah dimana tugas
dipenuhi dan diakses). Kepemimpinan tidak dimasukkan pada salah satu tugas maupun funsgi
karena harus dijalankan olegh semua staf. Evaluasi menggantikan pengawasan karena evaluasi
dilakukan secara bersama, dengan asumsi tidak dibedakan secara tegas antara atasan bawahan
yang biasanya menjadi bagian utama pada pengawasan.
E. Fungsi Manajemen
Walaupun terdapat banyak variasi mengenai fungsi manajemen, namun terdapat tiga fungsi
utama manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi. Ketiga fungsi ini sering
dilihat secara linier, yaitu perencanaan sebagai awal dari fungsi manajemen serta evaluasi berada
pada perencanaan dan pengorganisasian. Pada pemikiran lain ketiga fungsi ini berlangsung
secara simultan, dinamis dan saling menunjang satu dengan lainnya. Dalam hubungan ini
perencanaan tidak senantiasa diakhiri dengan pengorganisasian serta evaluasi tidak selalu berada
diujung perencanaan dan pengorganisasian.
1. Perencanaan
Setiap program pelatihan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu serta bagaimana mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan adalah proses bagaimana menetapkan tujuan serta
menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan yang ditetapkan melalui tahapan analisis
dan evaluasi alternatif yang mungkin dikerjakan. Perencanaan berfungsi pula untuk menetapkan
dasar dan arah untuk sebuah lembaga pelatihan dan mengarahkan program yang dilakukan secara
bersama oleh anggota staf untuk mencapai tujuan yang secara eksplisit telah ditetapkan dalam
perencanaan.
Salah satu pendekatan khusus dalam perencanaan yaitu perencanaan strategis, dengan
menggabung secara komprehensif dasar-dasar manajemen. Perencanaan ini lebih merupakan
metodologi yang mempertimbangkan secara sungguh-sungguh seluruh pertimbangan lingkungan
dan peluang serta hambatan. Tujuan utama dari perencanaan strategis yaitu memadukan antara
tujuan fungsional dengan perencanaan operasional dari staf. Terdapat lima langkah dari
perencananan strategis yaitu: Satu, penetapan tujuan dari lembaga (bagaimana cara untuk
memberikan pelayanan pada klient). Kedua, menetapkan kekuatan dari lembaga (Bagaimana
cara kerja yang baik serta mengapa dilakukan). Ketiga, penetapan kenyataan dan potensi dari
klien (bagaimana sasaran pelatihan dilayani, apa yang seharusnya dilakukan serta sejauh mana
kita memahami harapan mereka). Keempat, penetapan faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi lembaga (sumber-sumber yang dibutuhkan dari lembaga pelatihan dan
masyarakat). Kelima, pengembangan dan operasional kegiatan (apa yang seharusnya yang harus
dilaksanakan dalam pemerograman, staffing dan pemasaran serta apakah semua itu bisa didanai)
Perencanaan merupakan keseimbangan tugas satuan pelatihan, programming, staffing,
pemasaran dan kemampuan finansial. Dalam arti sempit perencanaan diartikan upaya
menghadapi tantangan untuk mencapai efektivitas.
2. Pengorganisasian
Perencanaan yang dibuat harus dilaksanakan. Pengoorganisasian yaitu menegembangkan sistem
peranan dan tanggung jawab serta pendelegasian tugas dan sumber-sumber untuk menjamin
penampilan yang maksimum, kejelasan harapan dan pembuatan keputusan yang efektif.
Lembaga yang berhasil memliki dasar yang kuat, struktur lembaga yang tidak terlalu rumit yang
memungkinkan terjadinya fleksibilitas dan adaptasi yang cepat. Dalam hubungan ini, lembaga
pelatihan yang berhasil ditandai dengan kejelasan tujuan lembaga yang akan dicapai serta
peluang untuk terselenggaranya fungsi secara efektif.
3. Evaluasi
Secepat perkembangan dari perencanaan, serta sumber-sumber diorganisasikan dibutuhkan pula
dukungan kemampuan untuk mengevaluasi proses dalam upaya menilai keberhasilan tujuan yang
ditetapkan. Dengan evaluasi, staf akan memiliki gambaran antara kenyataan yang telah dicapai
dengan harapan yang diinginkan dalam perencananaan. Pada hal lain dapat diketahui
penyimpangan yang terjadi, sehingga dapat dilakukan perubahan dari komponen kelembagaan
dalam upaya untuk menjamin ketercapaian rencana yang ditetapkan.
Evaluasi yang diselenggarakan hendaknya mempertimbangkan antara kemampuan untuk
menyediakan informasi yang dibutuhkan serta kemudahan dalam upaya untuk
mengimplementasikan program. Metode yang dipergunakan harus pula memperhatikan hak-hak
staf maupun peserta belajar. Evaluasi dilakukan melalui analisis data, interview pada klien dan
audit program. Hal yang terpenting lainnya evaluasi hendaknya dilakukan melalui upaya yang
hati-hati berdasar atas observasi personal yang berkelanjutan.
Fungsi dan tugas dari manajemen dilaksanakan dalam organisasi dan lingkungan masyarakat
yang keduanya bisa membatasi keberfungsian manajerial
BAB V
MODEL PELATIHAN
PENDIDIKAN VOKASIONAL DAN TEKNIS
Model ini dikembangkan untuk menjawab model pelatihan yang tepat untuk pelatihan
vokasional dan teknis. Penekanan terletak pada tujuan yang menekankan keterserapan oleh
lingkunga kerja melalui pendidikan yang diselenmggarakan oleh sekolah negeri maupun swasta,
dengan dokus utama pada lembaga publik. Pelatihan nditujukanagar pemuda mampu untuk
diserap oleh lingkungan kerja. Pada diskusi ini tidak dibahas pendidkkan tingkat akademi.
Model pengembangan pelatihan ini terdiri dari empat tahapan:
A. Pemahaman kebijakan
Pemahaman kebijakan bekaitan dengan sumber-sumber yang berlangsung apda sisitem
pendidikan sendiri maupun lingkungan kerja sebagai dsar untuk penetapan kebijakan sesuai
dengan pilihan yang ada terutama yang menyangkut mengenai filsafat. Perusahaan kecil dnegan
sumber daya yang terbatas, berlebihnya tenaga pengawasan dan pelatihan paruh waktu
sepenuhnya sangat tergantung pada sumber dan jasa pelatihan yang dapat disediakan dari luar
sistem. Sebaliknya perusahaan besar dengan tingkat kecanggihan tinggi memiliki lembaga
pelatihan tersendiri sebagai bagian pendukung yang berkitan erat dengan pejualan dan kegiatan
rpoduksi, umumnya memiliki pilihannyanhg cukup banyak dalam penyediaan tenaga kerja.
Dalam menunjang kegiatan pelatihan akan terjadi penambahan biaya dan merupakan resiko
tersendiri bila akan menyelenggarakan sendiri proses pelatihan.
Penyediaan lembaga pelatihan kerja tersendiri bukan merupakan pilihan yang paling baik,
termasuk untuk perusahaan besar sekali pun. Seperti yang dilakukan Perusahaan Motor Ford,
lebih memilih fasilitas yang disediakan oleh lembaga di luar perusahaan dalam memberikan
pelatihan pada tenaga kerjanya. Terndapat pula lembaga seperti general motor dan chrysler yang
memiliki sendiri lembaga pelatihan di lingkungan perusahaan.
Sebagai konsekulensinya diperlukan pengaturan khusus mengenai ketenagaan kerjaan dan
pendidikan vikasional pada semua tataran pemerintahan. Selanjutnya maka lembaga harus
melakukan keputusan: 1) apakah menyelenggarkaan proses pelatihan dengan menggunakan
fasilitas publik 2) bagaimana melakukantanggapan akan tekanan prioritas sosial yang langsung.
Semua keputusan itu harus segera dilakukan dan bila tidak dipandang lebih bermanfaat amat
mungkin pula tidak dapat memenuhi tuntutan kewajiban yang seharusnya ditunjukkan lembaga.
Dalam hal ini pilihan mengenai siapa yang menyelenggarakan pendidikan untuk tenaga kerja
demikian krusial.
Untuk membuat keputusan penggunaan lembaga penyelenggara pelatihan publik serta penetapan
lembaga pendidikan yang lebih memadai berikut programnya yang memenuhi ketentuan
manajemen, dimana pada umumnya tidak menjadi keperdulian. Sebagian kecil pengelola
berpendapat bahwa melalui penyediaan akademi dapat melakukan pelatihan untuk kepentingan
pertanian maupun mekanik. Calon peserta belajar unutk lembaga ini benar-benar merupakan
tantangan tersendiri.
Manajemen dalam hubungan ini perlu secara skeptis dalam melihat manfaat program yang
dikembangkan. Pengembangan akademi tidak luput dari dukungan sponsor yang sungguh-
sungguh. Kerjasama perlu secara berlanjut dilakukan antara pusat pelatihan tenaga kerja, pusat
pelatihan dan lembaga pelatihan keterampilan regional.
Kebijakan lembaga pelatihan sangat ditekankan pada program prioritas yang mempunyai
dimensi nilai tambah. Selama ini pelatihan lebih bayak ditujukan pada peserta belajar hyang
memiliki kekurnagan secara fisik seperti halnya untuk veteran. Dalam rangka pengembangan
pelatihan perhatian harus pula ditujukan dalam upaya memberikan hak yang sama untuk
memperoleh kemampuan vokasional terutama bagi etnis minoritas, perempuan, pekerja yang
lebih tua dalam mempersiapkan kareer dan kepada pihak yang selama ini kurang menfapatkan
perhatian.
Keikutsertaan dalam proses pelatihan berdasar pada sejumlah pertimbangan kebijakan. Dalam
hal ini standar yang ada perlu mendapat peninjauan kembali, peserta latihan hahrus dilihat dalam
hubungannya dengan peluang ekonomi, dengan memanfaatkan subsidi yang bisa disediakan oleh
pemerintah berkaitan dengan peluang kerja yang berkaitan dengan sektor usaha.
Isu yang berhubungan dengan aspek legal, sosial, filsafat dan ekonomi hendaknya menjadi
pertimbangan utama dalam pembuatan keputusan yang berkaitan dengan pelatihan tenaga kerja.
Rangkaian pertimbangan hendaknya lebih diperioritaskan pada aspek manajemen sebelum
diarahkan pada pemanfaatan sumber keterampilan dan teknis yang berhubungtan dengan
program yang dikembangkan.
E. Sumber-sumber pelatihan
Terdapat beberapa sekolah yang menyelenggarakan pendidikan untuk memenuhi tenaga yang
memenuhi kualifikasi dalam bidang keterampilan dan teknis baik untuk pemuda maupun orang
dewasa yang pengkoordinasiannya terletak pada sekolah. Beberapa lembaga pendidikan juga
menyelenggarkan pendidikan pada waktu petang untuk ornag dewasa.
Kurikulum umumnya terbagi menjadi tiga bagian 1) komersil dan bisnis seperti kemampuan
mengetik dan home ekonomic 2) vokasional menekankan pada permesinan, kerja metal dan
perabotan rumah tangga 3) pertanian. Sebagai tambahan juga diselenggarakan pelatihan yang
ditujukan dalam memenuhi kebutuhan pada perkotaan
a. Bidang pendidikan vokasional
Sekolah dengan tipe ini merupakan tipe baru dari lembaga pendidikan dengan tujuan utama
memenuhi kebutuhan masyarakat pada lingkup sosial yang terbatas di pedesaan yang tidak dapat
menyelenggarakan pendidikan teknik setingkat sekolah menengah atas. Lembaga ini umumnya
mendapat pasokan dana dan karenanya memiliki peralatan yang relatif baru dan lengkap
b. Program diploma
Terdapat pula akademi tingkat dasar menyelenggarakan pendidikan yang memadai dengan
perlengkapan yang cukup, baik peralatan maupun staf yang terlatih. Selain memberikan
pelatihan dalam kelas melalui program permagangan lembaga ini juga menyelenggarakan
pelatihan hidraulik, elektronik, teknologi industri, disain alat, perancan gan dan bidang khusus
teknik.
c. Universitas.
Pendidikan yang diselenggarakan selama empat tahun banyak yang menyelenggarakan pelatihan
profesional. Lembaga pemerintah banyak yang menyelenggarakan pelatihan dalam upaya
memperbaharui dan meningkatkan kemampuan untuk bidang tertentu. Pelatihan umumnya
diselenggarakan merupakan pendidikan berkelanjutan dengan ciri pendekatan yang baku,
struktur yang baku dan program dengan kredit konvensional. Umumnya lembaga ini memiliki
pengajar dari industri.
F. Pembelajaran mandiri
Pembelajaran mandiri dimanfaatkan pada lingkungan industri sesuai waktu yang tersedia.
Lembaga pendidikan dengan menggunakan persuratan banyak melayani peminat melalui
pembelajaran mandiri dengan menggunakan bahan ajar, program dan pembimbingan sebagai
bagian dari pelatihan formal.
Beberapa perusahaan besar menggunakan bahan belajar mandiri dengan menggunakan dukungan
media dengan memperhatikan penghematan dana dan menghindari penggajian khusus setelah
selesai pelatihan. Bahan pelatihan dipaket dalam bentuk dipublikasikan secara komersial dan
menggunakan bahan ajar dalam bentuk video tape dan didukung dengan buku sesuai dengan
penyajian video. Beberapa bahan ajar dikemas dalam bentuk simulasi dan bahan pelatihan
mutakhir untuk menjamin kesesuaian dengan lingkiungan kerja.
BAB VI
SUBSTANSI DAN KURIKULUM PNF
A. Pendahuluan
Semakin berkembangnya tuntutan lingkungan disekitar Pendidikan Luar Sekolah menuntun pada
perubahan dan mulai meninggalkan kurikulum yang dibakukan untuk kurun waktu yang
demikian lama. Kurikulum lama sering dihadapkan pada permasalahan retorik karena berangkat
dari konsep pendidikan idealisme dimana mempersiapkan peserta didik untuk perannya dimasa
yang akan datang tanpa memperhatikan perubahan yang ada.. Kurikulum baru berorientasi pada
pemikiran konstruktivisme dimana peserta didik dibina belajar untuk lingkungan bukan tentang
dan mengenai lingkungan. Cakupannya tidak hanya melulu pada silabus pembelajaran akan
tetapi menyangkut penyediaan ketenagaan, sarana pendukung, metodologi dan system evaluasi.
Perubahan orientasi ini memberikan implikasi pada kurikulum dalam arti luas.
Orientasi dan perubahan visi ini memberikan dampak pada perubahan kurikulum pendidikan non
formal:
1. tidak hanya sebatas menjadi pelengkap bagi pendidikan sekolah karena dibutuhkan
pendekatan dan sasaran yang berbeda sesuai dengan latar belakang peserta didik dan tuntutan
lingkungan,
2. mutu pendidikan merupakan tuntutan tersendiri dan ini memberkan dampak pula pada semua
aspek penunjanng pendidikan non formal
3. perubahan kurikulum pendidikan non formal tidak dipisahkan dari pemerdayaan peserta didik,
dan untuk kepentingan ini dibutuhkan kemelekan politis baik selam proses pemelajaran maupun
dalam mengorientasikan mereka pada kehidupan nyata,
4. pendidikan non formal sudah waktunya untuk memberikan elaborasi pada kurikulumnya
berkaitan dengan life skill, sepanjang faktor utama kesenjangan kehidupan di sekitar lingkungan
disebabkan oleh faktor ekonomi,
5. pendidikan non formal juga harus memperhatikan masyarakat belajar, karenanya
pengembangan kurikulum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat belajar (learning community,
long life learning, pengembangan lembaga, dan learning organization)
6. kurikulum juga harus memperhatikan lingkungan dimana peserta belajar tumbuh kembang
atau glokalisasion.
Atas dasar perbedaan ini maka pertimbangan dalam mengembangkan kurikulum dan sistem
pembelajaran harus senantiasa memperhatikan:
1. identifikasi permasalahan dan kondisi kebutuhan untuk kelompok yang memiliki kemiripan,
2. mempertimbangkan perbedaan individu dalam hal ekonomi, budaya dan keyakinan, dan
pengetahuan yang bisa dimanfaatkan dalam memecahkan permasalahan kehidupan,
3. pertimbangan beberapa kelemahan yang terjadi pada masa lalu,
4. mencari keunggulan lokal yang dapat dimanfaatkan untuk proses pemelajaran,
5. indentifikasi kesiapan kelompok untuk melakukan proses pemelajaran.
Dalam cakupan yang lebih luas pertimbangan dalam mengembangkan substansi dan kurikulum
PNF harus merujuk pada:
1. penghargaan yang proporsional pada keunggukan lokal,
2. penghargaan pada nilai budaya dan norma,
3. menggunakan lembaga dan sumber daya lokal
4. memiliki kemanfaatan untuk kepentingan lokal dan global,
5. mengembangkan paraprofesional,
6. program dan pendekatan terpadu,
7. kebutuhan dan dukungan dari pusat dan daerah,
8. terintergrasi kedalam pendidikan terpadu dan pembangunan masyarakat
Beberapa perbandingan antara antara masyarakat sekolah dengan MB antara lain
SEKOLAH MB
Terdiri dari anak dan pemuda yang belajar Anak, pemuda dan orang dewasa belajar
Orang dewasa mendidik anak Intergenerasi dan belajar dari teman
Pendidikan di sekolah Pendidikan di sekolah dan luar sekolah
Pendidikan formal Formal, informal dan non formal
Pelatih sebagai satu-satu nya sumber belajar Setiap orang bisa menjadi sumber beajar
Sekolah sebagai agent perbuahan Pendidikan sebagai agent perubahan
Murid sebagai subjek Anak dan pendidikan sebagai subjek pendidikan
Pendidikan merupakan fragmentasi Pendidikan secara sistemik
Perencaan oleh lembaga pendidikan Perencanaan terpadu
Innováis terisolasi pada lingkungan sekolah Innovási berada pada jaringan
Jeringan hanya pada lingkungan sekolah Jaringan terjadi pada semua lembaga pendidikan
Pendekatan sektoral Pendekatan teritorial
Tanggung jawab pada satu kementrian Tanggung jawab bersama
Penekanan pada negara Negara, masyarakat lokal
PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP BELAJAR SEPANJANG HAYAT
Dari gambaran ini negara berkembang termasuk didalamnya pelatihan hampir bisa dipastikan
tidak menganut secara utuh salahs satu jenis
Sesuai dengan kuatnya tekanan perubahan yang ada pada lingkungan, maka proses pembelajaran
hendaknya lebih diarahkan pada pengembangan produktivitas dan posibilitas. Skema dari
pemelajaran ini adalah seperti pada gambar berikut:
Melalui sistem pemelajaran ini maka si terlatih bukan hanya sebatas tabung tabularasa yang siap
untuk diisi tetapi secara aktif mengembangkan sendiri pengetahuan.
Untuk mewadahi pemelajaran seperti ini dibutuhkan pendidikan kritis, dimana sumber belajar
maupun peserta belajar aktif untuk tetap melihat perkembangan lingkungan melalui sistem:
PENDIDIKAN KRITIS UNTUK PELATIHAN
Peran lembaga pendidikan Lembaga pendidikan dan masyarakat saling merefleksikan, dimana
lembaga pendidikan berupaya untuk memecahkan permasalahan sosial
Outcome pendidikan Lulusan yang mampu berpartisipasi dan mampu melakukan rekonstruksi
pada lingkungan masyarakat
Pengorganisasian kurikulum Materi yang beragam diangkat berdasar pada negosiasi antara
lembaga pendidikan, tutor dan peserta didik
Organisasi kelas heterogen
Peran pengajar Sebagai proyek organizer dan sumber belajar
Peran peserta didik Sebagai co learner, yang menggunakan pengetahuan dalam interaksi dengan
lingkungan
Hubungan pendidik dan peserta didik Pendidik sebagaio koordinator dalam melakukan negosiasi
Control
Dilakukan secara bersama
Pengetahuan Bersifat dialektis, memiliki kebermaknaan dilihat dari kemanfaatan dalam aksi di
masyarakat
Teori Belajar Konstruktivisme-interaksionis
Sumber belajar Bersifat luas
Pengujian
Didasarkan pada negosiasi dan penilaian sebaya sesuai dengan lingkungan kerja
Sumber: Kemmis, 1983
G. Aplikasi kurikulum
Kompetensi merupakan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus
menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dasar pemikiran penggunaan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah:
1. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan terlatih melakukan sesuatu dalam berbagai
konteks.
2. Kompetensi merupakan hasil belajar (learning out comes) yang menjelaskan hal-hal yang
dilakukan terlatih setelah melalui proses pembelajaran.
3. Kehandalan kemampuan terlatih melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas
dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur (Pusat Kurikulum,
Balitbang Diknas: 2002)
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang
kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai terlatih, penilaian, KBM, dan pemberdayaan
sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah.
Ciri-ciri Kurikulum Berbasis Kompetensi:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi terlatih baik secara individual maupun klaikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan metode yang bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya pelatih, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur
edukatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian
suatu kompetensi.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai Sistem Kurikulum Nasional
Sebagai suatu sistem kurikulum nasional, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
mengakomodasi berbagai perbedaan secara tanggap dengan memadukan beragam kepentingan
dan kemampuan daerah. KBK menerapkan strategi yang meningkatkan kebermaknaan
pembelajaran untuk semua peserta didik terlepas dari latar budaya, etnik, agama, dan jender
melalui pengelolaan kurikulum berbasis sekolah. Kedudukan pengelolaan kurikulum berbasis
kompetensi dalam pengembangan sistem kurikulum nasional dapat dilihat pada bagan berikut.
Pengembangan Silabus
1. Pembentukan Tim Pengembang Silabus
Pembentukan tim pengembang atau penyusun silabus mutlak perlu untuk memenuhi kriteria
mutu silabus yang dapat dipertanggung jawabkan. Anggota tim dipilih berdasarkan kriteria
tertentu untuk menjaring orang yang memiliki kemampuan menjadi penyusun silabus.
Pengembang yang direkrut terdiri atas spesialis pengembang kurikulum, ahli mata pelajaran, ahli
metodik/didaktik, ahli penilaian, konselor, psikolog, pelatih atau instruktur, kepala sekolah,
pengawas dan perwakilan orang tua. Tim tersebut bertanggungjawab kepada Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota atau sekolah sesuai dengan mekanisme kerja yang berlaku di daerah
masing-masing.
2. Penyusunan Silabus dengan langkah-langkah:
a. Perencanaan
b. Pelaksanaan
c. Penilaian Silabus
BAB VII
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
A. Pendahuluan
Dari beberapa kenyataan dilapangan, pendidikan di Indonesia masih kurang memuaskan dan
tentunya harus dilakukan upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan secara
menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-
aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku.
Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan
hidup (life-skill) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik/peserta untuk
bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. dengan demikian peserta
didik/peserta memiliki ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui
pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan
(Depdiknas, 2003).
Di dalam Undang-undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003 menyatakan
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru/dosen
untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir
peserta/peserta didik, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru
sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang lebih baik terhadap materi perkuliahan.
Sementara itu di dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan; menegaskan bahwa pendidikan Nasional harus memenuhi standar Nasional
Pendidikan yang meliputi : 1) Standar isi, 2) Standar proses, 3) Standar kompetensi lulusan, 4)
Standar pendidikan tenaga kependidikan, 5) Standar sarana dan prasarana, 6) Standar
pengelolaan, 7), Standar pembiayaan, 8) Standar penilaian pendidikan. Dalam standar proses;
dinyatakan bahwa Proses pembelajaran pada tingkat satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi
aktif, serta memberi ruang lingkup yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Secara umum pembelajaran mempunyai dua karakteristik, yaitu : pertama, dalam proses
pembelajaran melibatkan proses mental peserta didik secara maksimal, bukan hanya menuntut
peserta didik sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas peserta didik
dalam proses berpikir. Kedua, dalam pembelajaran membangun suasana dialogika dan proses
tanya jawab yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir peserta
didik yang pada gilirannya membantu peserta didik untuk memperoleh pengetahuan yang
mereka konstruksi sendiri.
Belajar secara umum adalah proses manusia memperoleh berbagai pengetahuan, skill, dan
perilaku/attitude dan nilai-nilai yang dimulai sejak bayi sampai dewasa.
Proses pembelajaran di kelas adalah proses yang kompleks, interaktif, dan setingnya dinamis.
Teori belajar diharapkan dapat memberi sumbangan untuk memahami seting tersebut.
Menurut Corey (1986-1905) pembelajaran adalah suatu proses di mana lingkungan seseorang
secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam
kondisi – kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu.
Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang
mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya
meminta dosen/guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh peserta didik
meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademiknya, latar belakang sosial
ekonominya, dan lain sebagainya. Kesiapan dosen/guru untuk mengenal karaktersitik peserta
didik daam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi
indikator susksesnya pelaksanaan pembelajaran.
B. Teori Belajar
Beberapa teori belajar yang akan di bahas antara lain :
1. Teori belajar Skinner “Operant Conditioning”
2. Teori Belajar Conditining of Learning, Robert M. Gagne
3. Teori Belajar Perkekmembangan Kognitif Jean Piaget
4. Teori Belajar Sosial Albert Bandura
5. Teori Belajar Orang Dewasa
6. Teori Pembelajaran Orang Dewasa
1. Teori Operant Conditioning
Teori operant conditioning dimulai pada tahun 1930-an. Burhus Fredik Skinner selama periode
teori stimulus (S)- Respons ( R) untuk menyempurnakan teorinya Ivan Pavlo yang disebut
“Classical Conditioning”. Skinner setuju dengan konsepnya John Watson bahwa psikologi akan
diterima sebagai sain (science) bila studi tingkah laku (behavior) tersebut dapat diukur, seperti
ilmu fisika, teknik, dan sebagainya.
Menurut Skinner , belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang harus dapat diukur. Bila
pembelajar (peserta didik) berhasil belajar, maka respon bertambah, tetapi bila tidak belajar
banyaknya respon berkurang, sehingga secara formal hasil belajar harus bisa diamati dan diukur.
Hasil temuan skinner terdapat tiga komponen dalam belajar yaitu :
a. Discriminative stimulus (SD)
b. Response
c. Reinforcement (penguatan)
- penguatan positif
- penguatan negative
2. Teori Conditioning Of Learning, Robert M. Gagne
Teori ini ditemukan oleh Gagne yang didasarkan atas hasil riset tentang faktor-faktor yang
kompleks pada proses belajar manusia. Penelitiannya diamksudkan untuk menemukan teori
pembelajaran yang efektif. Analisanya dimulai dari identifikasi konsep hirarki belajar, yaitu urut-
urutan kemampuan yang harus dikuasai oleh pembelajar (peserta didik) agar dapat mempelajari
hal-hal yang lebih sulit atau lebih kompleks.
Menurut Gagne belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk
mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior) adalah hasil
dari efek belajar yang komulatif (gagne, 1968). Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu
bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena
belajar bersifat kompleks.
Gagne (1972) mendefinisikan belajar adalah : mekanisme dimana seseorang menjadi anggota
masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi, skill, pengetahuan,
attitude (perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia, sehingga belajar adalah hasil
dalam berbagai macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas atau outcome.
Kemampuan-kemampuan tersebut diperoleh pembelajar (peserta didik) dari :
a. Stimulus dan lingkungan
b. proses kognitif
Menurut Gagne belajar dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Verbal information (informasi verbal)
b. Intellectual Skill (skil Intelektual)
c. Attitude (perilaku)
d. Cognitive strategi (strategi kognitif)
Belajar informasi verbal merupakan kemampuan yang dinyatakan , seperti membuat label,
menyusun fakta-fakta, dan menjelaskan. Kemampuan / unjuk kerja dari hasil belajar, seperti
membuat pernyataan, penyusunan frase, atau melaporkan informasi.
Kemampuan skil intelektual adalah kemampuan pembelajar yang dapat menunjukkan
kompetensinya sebagai anggota masyarakat seperti; menganalisa berita-berita. Membuat
keseimbangan keuangan, menggunakan bahasa untuk mengungkapkan konsep, menggunakan
rumus-rumus matematika. Dengan kata lain ia tahu “ Knowing how”
Attitude (perilaku) merupakan kemampuan yang mempengaruhi pilihan pembelajar (peserta
didik) untuk melakukan suatu tindakan. Belajar mealui model ini diperoleh melalui pemodelan
atau orang yang ditokohkan, atau orang yang diidolakan.
Strategi kognitif adalah kemampuan yang mengontrol manajemen belajar si pembelajar
mengingat dan berpikir. Cara yang terbaik untuk mengembangkan kemampuan tersebut adalah
dengan melatih pembelajar memecahkan masalah, penelitian dan menerapkan teori-teori untuk
memecahkan masalah ril dilapangan. Melalui pendidikan formal diharapkan pembelajar menjadi
“self learner” dan “independent tinker”.
3. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget (Cognitive Development Theory)
Menurut Piaget pengetahuan (knowledge) adalah interksi yangterus menerus antara individu
dengan lingkungan.
Fokus perkembangan kognitif Piaget adalah perkembangan secara alami fikiran pembelajar
mulai anak-anak sampai dewasa. Konsepsi perkembangan kognitif Piaget, duturunkan dari
analisa perkembangan biologi organisme tertentu. Menurut Piaget, intelegen (IQ=kecerdasan)
adalah seperti system kehidupan lainnya, yaitu proses adaptasi.
Menurut Piaget ada tiga perbedaan cara berfikir yang merupakan prasyarat perkekmbangan
operasi formal, yaitu; gerakan bayi, semilogika, praoprasional pikiran anak-anak, dan operasi
nyata anak-anak dewas.
Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif yaitu:
a. lingkungan fisik
b. kematangan
c. pengaruh sosial
d. proses pengendalian diri (equilibration)
(Piaget, 1977)
Tahap perkembangan kognitif :
a. Periode Sensori motor (sejak lahir – 1,5 – 2 tahun)
b. Periode Pra Operasional (2-3 tahun sampai 7-8 tahun)
c. Periode operasi yang nyata (7-8 tahun sampai 12-14 tahun)
d. Periode operasi formal
Kunci dari keberhasilan pembelajaran adalah instruktur/guru/dosen/guru harus memfasilitasi
agar pembelajar dapat mengembangkan berpikir logis.
4. Teori Berpikir Sosial (sosial Learning Theory)
Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang psikolog pendidikan dari Stanford
University, USA. Teori belajar ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana orang belajar
dalam seting yang alami/lingkungan sebenarnya.
Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku (B), lingkungan (E) dan kejadian-
kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P) adalah merupakan
hubungan yang saling berpengaruh (interlocking),
Skema
Proses Kognitif Pembelajar
Proses perhatian sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang baru (kompetensi)
tidak akan diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi sangat penting agar
pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual atau kode verbal dan penyimpanan dalam
memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini rehearsal (ulangan ) memegang peranan
penting.
Proses motivasi yang penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari dirinya sendiri dan
Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi).
Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak
hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga
sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni “sense of
self Efficacy” dan “self – regulatory system”. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar
bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku.
Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku
dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah
laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan “goal setting”
dan “self evaluation” pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang
tinggi dan sebaliknya.
Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan
model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan “self of
mastery”, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.
Berikut Bandura mengajukan usulan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran yaitu
sebagi berikut :
No Strategi Proses
1 Analisis tingkah laku yang akan dijadikan model yang terdiri :
a. Apakah karekter dari tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep, motor skil
atau efektif?
b. Bagaimanakah urutan atau sekuen dari tingkah laku tersebut?
c. Dimanakah letak hal-hal yang penting (key point) dalam sekuen tersebut?
2 Tetapkan fungsi nilai dari tingkah laku dan pilihlah tingkah laku tersebut sebagai model.
a. Apakah tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yang penting dalam
kehidupan dimasa datang? (success prediction)
b. Bila tingkah laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidk begitu penting) model
manakah yang lebih penting?
c. Apakah model harus hidup atau simbol?
Pertimbangan soal biaya, pengulangan demonstrasi dan kesempatan untuk menunjukkan fungsi
nilai dan tingkah laku.
d. Apakah reinforcement yang akan didapat melalui model yang dipilih?
Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara
lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar.
2. komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap
model dan proses-proses kognitif pembelajar.
3. hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali
atau tidak (retrievel).
4. dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaran-pembelajaran
komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan “sense of efficacy” dan self
regulatory” pembelajar.
5. dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk
latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan “reinforcement” dan hindari punishment yang
tidak perlu.
Ahli lain yaitu Bloom dkk, menjelaskan domain tujuan pendidikan ada tiga ranah yaitu : 1)
kognitif, yang berhubungan dengan ingatan, pengetahuan, dan perkembangan kemampuan dan
skill intelektual, 2) afektif yang menjelaskan tentang perubahan dalam minat, perilaku (attitudes),
nilai-nilai dan perkembangan dalam apresiasi dan penyesuaian, dan 3) psikomotor.
Menurut Robert Gagne belajar meliputi hierarki tertentu. Ada 8 jenis proses mental yaitu sebagai
berikut :
1) belajar isyarat
2) belajar stimulus-respon
3) belajar motorik
4) belajar berangkai
5) belajar membedakan berganda
6) belajar konsep
7) belajar aturan
8) belajar pemecahan masalah.
E. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran adalah strategi pengajaran sebagai alat untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Pemilihan dan penentuan metode dalam pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa
faktor ; 1) Peserta didik/peserta didik, 2) Tujuan, 3) Situasi , 4) Fasilitas , 5) Dosen/guru
Macam-macam metode pembelajaran
1. Metode Proyek
Cara penyajian perkuliahan yang bertitik tolak dari suatu maslah, kemudian dibahas dari
berbagai segi (mata perkuliahan yang berbeda) yang berhubungan sehingga pemecahannya
secara keseluruhan dan bermakna.
2. Metode eksperimen
Cara penyajian perkuliahan, dimana peserta didik melakukan percobaan dengan mengalami dan
membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari.
3. Metode tugas dan resitasi/review
Cara penyajian pengajaran dimana dosen/guru memberikan tugas tertentu agas peserta didik
melakukan kegiatan belajar.
4. Metode Diskusi
Cara penyajian perkuliahan, di mana peserta didik-peserta didik dihadapkan kepada suatu
masalah yang bisa berupa pernyataan atau pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas
dan dipecahkan bersama.
5. Metode Sosiodrama/ role playing
Cara penyajian pengajaran dengan mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan
masalah sosial.
6. Metode demonstrasi
Cara penyajian bahan perkuliahan dengan memperagakan atau mempertunjukkan kepada peserta
didik suatu proses, siatuasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari, baik sebenarnya ataupun
tiruan, dan disertai dengan penjelasan lisan.
7. Metode Problem solving
Cara penyajian bahan perkuliahan yang dimulai dengan adanya masalah, kemudian mencari
data-data pendukung untuk memecahkan maslaah tersebut, menetapkan jawaban sementara,
menguji kebenaran dan pada kahirnya menarik kesimpulan.
8. Metode karyawisata
Cara penyajian bahan perkuliahan dengan mengajak peserta didik mengunjungi tempat atau
objek tertentu yang berhubungan dengan bahan yang dipelajari.
9. Metode Tanya jawab
Cara penyajian perkuliahan dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab. Dari dosen/guru ke
peserta didik atau dari peserta didik ke dosen/guru.
10. Metode Latihan
Cara penyajian bahan perkuliahan melalui training atau latihan untuk menanamkan kebiasan-
kebiasan tertentu dan dapat juga digunakan untuk meperoleh suatu ketangkasan, ketepatan,
kesempatan, dan keterampilan.
11. Metode Ceramah
Cara penyajian bahan perkuliahan dalam bentuk penyampaian informasi, keterangan atau uraian
tentang suatu pokok persoalan secara lisan.
Kegiatan Pembelajaran yang Efektif
Kegiatan belajar mengajar berbasis kompetensi menuntut pendekatan kolaboratif antara peserta
didik/peserta didik, guru/dosen/guru, orang tua, perguruan tinggi, dunia usaha, dan masyarakat
dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pendidikan. Secara umum pengelolaan Pembelajaran
dapat dibagi dalam tahap pengelolaan sebagai berikut :
1. Mengelola ruang kelas
Dosen/guru dalam mengelola kelas harus mempertimbangkan : hal-hal sebagai berikut
diantaranya : aksebilitas yaitu kemudahan peserta didik menjangkau alat dan maupun sumber
belajar; mobilitas yaitu terjadi gerak secara leluasa baik dosen/guru maupun peserta didik dalam
proses pembelajaran; interaksi yaitu hubungan dan terjadi interaksi baik antar peserta
didik/peserta didik maupun peserta didik/peserta didik dengan dosen/guru secara leluasa; variasi
kerja peserta didik/peserta didik yaitu dimungkinkan peserta didik/peserta didik kerja secara
variasi sehingga tidak menimbulkan kejenuhan dapat kerja mandiri, berpasangan dan kelompok
sesuai dengan karakteristik masing-masing.
2. Mengelola Peserta didik/peserta didik
Dosen/guru harus mengatur skenario untuk kegiatan peserta didik/peserta didik sehingga
langkah-langkah yang harus dijalani peserta didik/peserta didik dalam pembelajaran jelas seperti
kapan peserta didik/peserta didik harus bekerja mandiri, berpasangan dan kelompok sesuai
karakteristik pembelajran, kapan peserta didik/peserta didik mencari informasi, mengolah
informasi dan menyampaikan informasi secara lisan maupun tulisan dan kapan peserta
didik/peserta didik melakukan dan penyampaian informasi.
3. Mengelola Kegiatan Pembelajaran
Dosen/guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran dengan peserta didik/peserta didik harus
memiliki perencanaan yang matang, pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang telah terinci
dengan baik meliputi ; materi pembelajaran, pengalaman belajar yang akan dilakukan oleh
peserta didik/peserta didik, indikator yang akan dicapai, penilaian yang akan dilaksanakan,
waktu dan bahan yang digunakan serta skenario yang akan dijalankan selama proses
pembelajaran.
Idealnya kegiatan pembelajaran harus mampu mengakomodasi keberagaman tingkat kemampuan
peserta didik/peserta didik untuk itu diperlukan lembar kerja yang berbeda, bagi setiap peserta
didik/peserta didik, hal itu yang paling efektif untuk mengakomodasi keberagaman tingkat
kemampuan peserta didik/peserta didik.
Prinsip-prinsip pembelajaran yang efektif
1. Mengalami
Melalui pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari akan lebih mengaktifkan
indera dari pada hanya mendengarkan lisan
2. Interaksi
Antara peserta didik/peserta didik dengan lingkungan sosialnya melalui diskusi, saling bertanya
dan menjelaskan.
3. Komunikasi
Pengungkapan isi pikiran gagasan sendiri maupun mengomentari gagasan orang lain, akan
mendorong peserta didik untuk membenahi gagasannya dan memantapkan pemahaman tentang
apa yang sedang dipelajari. Dosen/guru harus siap memberikan tanggapan terhadap pendapat
atau gagasan yang dikomunikasikan.
4. Refleksi
Memikirkan ulang (refleksi) apa yang sedang dikerjakan atau dipikirkan, akan lebih
memantapkan pemahaman.
5. Mengembangkan keingintahuan, imajinasi dan fitrah bertuhan
Rasa ingin tahu dan imajinasi menghasilkan sikap peka, kritis, mandiri dan kreatif sedangkan
fitrah bertuhan menghasilkan sikap bertaqwa.
6. Membangkitkan motivasi Peserta didik/peserta didik
Motivasi (daya dorongan untuk belajar) dipengaruhi oleh keingintahuan dan keyakinan akan
kemampuan diri, melalui antara lain : pemberian tugas, dan sekaligus menyakinkan kepada
peserta didik/peserta didik bahwa mereka pasti bisa.
7. Memanfaatkan Pengalaman Awal Peserta didik/peserta didik
Peserta didik/peserta didik membangun pengalaman terhadap apa yang dipelajari, diwarnai oleh
pengetahuan awal yang dimiliki. Dosen/guru harus berupaya untuk menggali pengalaman awal
peserta didik/peserta didik sebelum memulai perkuliahan.
8. Menyenangkan Peserta didik/peserta didik
Suasana belajarsangatmempengaruhi efektivitas proses pembelajaran, peserta didik/peserta didik
akan sulit membangun pemahaman dalam keadaan tertekan. Dosen/guru/dosen/guru harus dapat
menciptakan suasana yang menyenangkan/mengasikan sesuai dengan tingkat perkembangan
peserta didik/peserta didik, dengan pendekatan “Belajar sambil bereksperimen”.
9. Tugas yang menantang
Pada prinsipnya semakin banyak waktu konsentrasi anak maka semakin baik hasil belajarnya,
dan konsentrasi akan terjadi bila peserta didik/peserta didik mendapat tugas yang menantang
(sedikit melebihi kemampuannya).
10. Pemberian Kesempatan Belajar
Belajar merupakan proses membangun pemahaman. Maka dosen/guru/dosen/guru harus
memberikan kesempatan bagi peserta didik/peserta didik untuk berpikir pada saat memecahkan
masalah, dan membangun gagasannya sendiri.
11. Belajar Untuk kebersamaan
Perbedaan individu jangan sampaikan menciptakan manusia yang individualis, sehingga perlu
dibangun kehidupan bersama melalui tugas-tugas yang memungkinkan peserta didik bekerja baik
mandiri maupun kelompok.
12. Pengembangan Multi Kecerdasan
Setiap peserta didik/peserta didik memiliki lebih dari satu kecerdasan (selain kecerdasan
akademik). Untuk perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk berupaya mengakomodasi
keberagaman kecerdasan tersebut.
Penyiapan Rancangan Pembelajaran
Agar kegiatan belajar mengajar dapat dilaksanakan secara efektif sesuai dengan kurikulum,
dosen/guru harus membuat rencana pembelajaran dan perangkat pembekajaran sekurang-
kurangnya untuk 1 semester. Rencana pembelajaran ini merupakan skenario tentang aktivitas
selama proses pembelajaran berlangsung baik yang dilakukan peserta didik/peserta didik
(pengalaman belajar) maupun aktivitas dosen/guru di dalam mengelola aktivitas peserta
didik/peserta didik serta dalam memberikan penjelasan. Perangkat pembekajaran dapat dibuat
dalam berbagai bentuk sesuai dengan aktivitas yang akan dilakukan baik oleh dosen/guru
maupun peserta didik/peserta didik antara lain :
1. Lembar informasi
2. lembar tugas
3. lembar kerja
4. lembar laporan diskusi
5. dll
Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu dosen/guru dalam
mengkaitkan materi pelajaran/perkuliahan dengan kehidupan nyata, dan memotivasi peserta
didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka.
Melalui pembelajaran kontekstal diharapkan konsep-konsep materi perkuliahan dapat
diintegrasikan dalam konteks kehidupan nyata dengan harapan peserta didik dapat memahami
apa yang dipelajarinya dengan baik dan mudah.
Pembelajaran kontekstual telah berkembang di negara-negara maju dengan berbagai nama. Di
Belanda berkembang apa yang disebut dengan Realistic Mathematics Education (RME) yang
menjelaskan bahwa pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan kehidupan nyata peserta
didik. Di Amerika berkembang apa yang disebut Contextual Teaching and Learning (CTL) yang
intinya membantu dosen/guru/guru untuk mengkaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan
nyata dan memotivasi peserta didik untuk mengkaitkan pengetahuan yang dipelajarinya dengan
kehidupan mereka. Sementara itu di Michigan juga berkembang Connected Mathematics Project
(CMP) yang bertujuan mengintegrasikan ide matematika ke dalam konteks kehidupan nyata
dengan harapan peserta didik dapat memahami apa yang dipelajarinya dengan baik dan mudah.
Pembelajaran kontekstual berbeda dengan pembelajaran konvensional yang selama ini kita
kenal. Tabel 1 berikut ini menunjukkan perbedaan antara pembelajaran kontekstual dan
pembelajaran konvensional.
Tabel 1.
Perbedaan Pola pembelajaran kontekstual dan konvensional
Konvensional Kontekstual
Menyandarkan kepada hapalan. Menyandarkan pada memori spasial.
Pemilihan informasi ditentukan oleh guru/dosen/guru Pemilihan informasi berdasarkan
kebutuhan individu peserta didik.
Cenderung terfokus (disiplin) tertentu. Cenderung mengintegraskan beberapa bidang
(disiplin).
Memberikan tumpukan informasi kepada peserta didik sampai pada saaatnya diperlukan.
Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki peserta didik/peserta
didik.
Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian/ulangan. Menerapkan
penilaian autentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah.
SNOWBALL THROWING
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru menyampaikan materi yang akan disajikan
2. Dosen/guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok
untuk memberikan penjelasan tentang materi
3. Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian
menjelaskan materi yang disampaikan oleh dosen/guru kepada temannya
4. Kemudian masing-masing peserta didik diberikan satu lembar kertas kerja, untuk menuliskan
satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok
5. Kemudian kertas tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu peserta didik ke peserta
didik yang lain selama ± 15 menit
6. Setelah peserta didik dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara
bergantian
7. Evaluasi
8. Penutup
STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING
Peserta didik/peserta mempresentasikan ide/pendapat pada rekan peserta lainnya
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
2. Dosen/guru mendemonstrasikan/menyajikan materi
3. Memberikan kesempatan peserta didik/peserta untuk menjelaskan kepada peserta untuk
menjelaskan kepada peserta lainnya baik melalui bagan/peta konsep maupun yang lainnya
4. Dosen/guru menyimpulkan ide/pendapat dari peserta didik
5. Dosen/guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu
6. Penutup
INSIDE-OUTSIDE-CIRCLE
(LINGKARAN KECIL-LINGKARAN BESAR)
“Peserta didik saling membagi informasi pada saat yang bersamaan, dengan pasangan yang
berbeda dengan singkat dan teratur”
Langkah-langkah :
1. Separuh kelas berdiri membentuk lingkaran kecil dan menghadap keluar
2. Separuh kelas lainnya membentuk lingkaran di luar lingkaran pertama, menghadap ke dalam
3. Dua peserta didik yang berpasangan dari lingkaran kecil dan besar berbagi informasi.
Pertukaran informasi ini bisa dilakukan oleh semua pasangan dalam waktu yang bersamaan
4. Kemudian peserta didik berada di lingkaran kecil diam di tempat, sementara peserta didik
yang berada di lingkaran besar bergeser satu atau dua langkah searah jarum jam.
5. Sekarang giliran peserta didik berada di lingkaran besar yang membagi informasi. Demikian
seterusnya
CONSEPT SENTENCES
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru menyampaikan kompentensi yang ingin dicapai
2. Dosen/guru menyajikan materi secukupnya
3. Dosen/guru membentuk kelompok yang anggotanya ± 4 orang secara heterogen
4. Menyajikan beberapa kata kunci sesuai materi yang disajikan
5. Tiap kelompok disuruh membuat beberapa kalimat dengan menggunakan minimal 4 kata
kunci setiap kalimat
6. Hasil diskusi kelompok. Didiskusikan lagi secara pleno yang dipandu Dosen/guru
7. Kesimpulan
TIME TOKEN
Struktur yang dapat digunakan untuk mengajarkan keterampilan sosial, untuk menghindari
peserta didik mendominasi pembicaraan atau peserta didik diam sama sekali
Langkah-langkah :
1. Kondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi (cooperative learning / CL)
2. Tiap peserta didik diberi kupon berbicara dengan waktu ± 30 detik. Tiap peserta didik diberi
sejumlah nilai sesuai waktu keadaan
3. Bila telah selesai bicara kopon yang dipegang peserta didik diserahkan. Setiap bebicara satu
kupon
4. Peserta didik yang telah habis kuponnya tak boleh bicara lagi. Yang masih pegang kupon
harus bicara sampai kuponnya habis
5. Dan seterusnya
KELILING KELOMPOK
Maksudnya agar masing-masing anggota kelompok mendapat kesempatan untuk memberikan
kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota lainnya
Caranya:
1. Salah satu peserta didik dalam masing-masing kelompok menilai dengan memberikan
pandangan dan pemikirannya mengenai tugas yang sedang mereka kerjakan
2. Peserta didik berikutnya juga ikut memberikan kontribusinya
3. Demikian seterusnya giliran bicara bisa dilaksanakan arah perputaran jarum jam atau dari kiri
ke kanan
TWO STAY TWO STRAY
(DUA TINGGAL, DUA TAMU)
Memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan
kelompok lainnya.
Langkah-langkah :
1. Peserta didik bekerja sama dalam kelompok berempat seperti biasa
2. Setelah selesai, dua orang dari masing-masing bertamu kedua kelompok yang lain
3. Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi
mereka ke tamu mereka
4. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka
dari kelompok lain
5. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka
PEMBELAJARAN FORTOFOLIO
Prinsip Dasar :
1. Belajar peserta didik aktif
a. Fase perencanaan
b. Fase keg. lapangan
c. Fase pelaporan
1. Kelompok belajar kooperatif
2. Pembelajaran partisipatorik
3. Menciptakan motivasi peserta didik
Langkah-langkah Pembelajaran Portofolio
1. Mengidentifikasi masalah
a. Kegiatan kelompok kecil
Membagi kelas dalam kelompok kecil (3-4 orang) dan mencari masalah yang dianggap penting
b. Pekerjaan rumah
Wawancara, mencari informasi dari media cetak/ elektronik
2. Memilih Masalah untuk kajian kelas
a. Membuat daftar masalah
b. Melakukan vooting
3. Mengumpulkan informasi masalah yang akan dikaji di kelas
a. Kegiatan kelas
b. Tugas pekerjaan rumah
4. Mengembangkan Portofolio kelas
a. Spesifikasi Portofolio
Jika informasi cukup, portofolio dikembangkan menjadi dua seksi:
seksi penayangan
seksi dokumentasi
b. Kelompok portofolio
BAB VIII
MANAJEMEN SARANA DAN PRASARANA
A. Masalah Pendidikan
1. Masalah Akses. Tidak semua anak bangsa dan umat menikmati arti kemerdekaan untuk
memanfaatkan kesempatan memperoleh ilmu. Sumbangan bagi umat juga masih perlu
ditingkatkan
2. Kualitas. Kualitas sarana dan prasarana kurang memadai yang berdampak pada kualitas
pendidikan relatif rendah
3. Relevansi. Ilmu-ilmu yang diperoleh masih perlu ditingkatkan sehingga sanggu
memakmurkan dunia. Nilai pertukaran yang relatif rendah sehingga lebih banyak dipakai sebagai
lahan uji coba.
4. Efisiensi dan efektivitas yang rendah. Hasilan pendidikan dalam kerangka meningkatkan
produktivitas masih belum sejalan dengan pemanfaatan sumber-sumber. Masih terlalu banyak
yang disia-siakan.
• Melek huruf
• Kemampuan menghitung
• Memperoleh informasi
• Belajar dari pengalaman
• Menggunakan pendekatan seluruh pikiran
• Kemampuan memanfaat komputer
• Keterampilan belajar
• Melek komputer • Memulai dan memelihara hubungan
• Berkomunikasi
• Kemampuan untuk menjadi sumber
• Menjadi anggota yang efektif dalam kelompok
• Manajemen konflik
• Memberi dan menerima umoan balik,
• Berkeluarga
• mempengaruhi • Pengembangan kareer,
• Pengelolaan waktu,
• Pengelolaan keuangan
• kewirausahaan,
• memilih dan menggunakan waktu luang
• persiapan untuk pensiun
• mencari dan mempertahankan pekerjaan
• mengatasi kehilangan pekerjaan,
• mengelola rumah
• menetapkan tujuan dan perencanaan kegiatan
• Memiliki pemikiran positif pada diri sendiri,
• kreatif dalam memcahkan permasalahan
• membuat keputusan
• mengelola stres
• mengelola hubunan sek
• memelihara kesehatan tubuh
• memelihara kemutakhiran
• proaktif
• mengelola emosi negatif
• mengungkap minat, nilai dan keterampilan,
• mengungkap rahasia pekerjaan,
• mengembangkan keyakinan diri
• membantu orane lain
• mengembangkan politik diri
Bagan 1
Alur Pengembangan Sarana dan Prasarana PELATIHAN
4. Persiapan
Pengembangan sarana dan prasarana bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi serta
kualitas penyelenggaraan program Pelatihan. Oleh karena itu dalam pengembangan sarana dan
prasarana perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : apa yang perlu dikembangkan, untuk
apa, untuk siapa, siapa yang akan melakukan pengembangan, kapan, untuk berapa lama, dan
bagaimana mengembangkannya. Untuk menjadi lembaga Pelatihan yang efektif dan efisien perlu
dipersiapkan dan direncanakan secara cermat dengan mempertimbangkan sejumlah aspek
diantaranya:
a. Visi, Misi, Tujuan dan Strategi
Visi, misi, tujuan dan strategi adalah landasan utama dalam penyusunan rencana strategi. Visi
merupakan pandangan kedepan lembaga tentang masa depan yang akan dicapai dan
pencapaiannya melalui sejumlah misi yang diemban oleh lembaga. Selanjutnya pencapaian-
pencapaiannya dirujuk dengan tujuan-tujuan kelembagaan dan strategi pelaksanaan yang
dipergunakan.
b. Analisis Kebutuhan (need assessment)
Definisi analisis/identifikasi kebutuhan (needs assesment) adalah suatu cara untuk menentukan
ada atau tidaknya kesenjangan antara kenyataan dengan yang diinginkan atau menentukan
kelayakan suatu keadaan. Dengan kata lain, analisis kebutuhan adalah suatu cara yang sistimatis
untuk memilih dan menentukan prioritas kebutuhan sebagai masukan dalam pengambilan
alternatif kebijakan tentang lembaga bagi para pemimpin.
Definisi lain, analisis kebutuhan adalah suatu investigasi sistematik mengenai diskripsi dimensi
manusia, sarana dan prasarana, program, dan dana untuk menggambarkan kesenjangan,
menetapkan penyebab terjadinya kesenjangan, dan memutuskan apakah keberadaan lembaga
dengan dimensi manusia, sarana dan prasarana, program, dan dana merupakan solusi potensial
untuk mengatasi kesenjangan tersebut.
Adapun tujuan analisis kebutuhan lembaga Pelatihan adalah :
1) Menggambarkan kondisi riil keberadaan lembaga Pelatihan terkait dengan tantangan kerja
saat ini dan masa yang akan datang.
2) Menentukan sebab-sebab adanya kesenjangan antara kondisi riil saat ini dengan kondisi ideal
yang dibutuhkan untuk mewujudkan tugas pokok dan fungsi lembaga Pelatihan
3) Merekomendasikan solusi yang sesuai dalam menjembatani kesenjangan antara kondisi riil
saat ini dengan kondisi ideal yang diharapkan.
4) Menggambarkan peta permasalahan yang dihadapi oleh lembaga Pelatihan baik dari dimensi
sarana prasarana, ketersediaan dana, SDM dan Program Pelatihan serta akses jejaring antar lintas
institusi.
Langkah-langkah dalam melakukan analisis kebutuhan
Ada empat langkah yang harus ditempuh dalam melakukan analisis kebutuhan lembaga
Pelatihan. Pertama analisis kesenjangan (gap analysis); kedua analisis skala prioritas; ketiga
analisis kinerja kelembagaan dan peluang; keempat mengindentifikasi solusi atau peluang yang
mungkin dapat diambil. Adapun rinciannya sebagai berikut:
1) Analisis kesenjangan:
a) Mendiskripsikan tujuan institusional kelembagaan Pelatihan
b) Mendiskripsikan tugas pokok dan fungsi lembaga Pelatihan secara rinci.
c) Mendiskripsikan prakondisi yang harus dipenuhi untuk menunjang pencapaian tugas pokok
dan fungsi lembaga Pelatihan.
Dari ketiga tahap itu akan ditemukan adanya kesenjangan antara kondisi saat ini (existing
condition) yang riil yang dimiliki oleh lembaga Pelatihan dengan kondisi ideal (future condition)
sesuai tebaran tugas pokok, fungsi serta tujuan yang ingin dicapai oleh lembaga Pelatihan.
Kondisi ini perlu dianalisis seberapa jauh kesenjangan antara keadaan saat ini dengan tujuan
yang hendak dicapai serta tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh suatu lembaga Pelatihan.
Dari kesenjangan yang teridentifikasi tersebut dapat dijadikan rujukan dalam menentukan
beragam kebutuhan lembaga Pelatihan yang ideal. Penting diperhatikan dalam identifikasi ini
adalah seberapa besar peluang lembaga Pelatihan mampu menjalankan tugas pokok dan
fungsinya sekaligus mencapai tujuan kelembagaan secara efektif.
No Komponen Jenis
1 Site (lokasi lahan) a. Areal tempat Pelatihan
b. Halaman
c. Taman
d. Lapanagan olah raga
e. Tempat parkir kendaraan
f. Jalan
g. Lapangan Upacara
h. Kebun
i. Taman
j. Kolam
k. Ternak
l. Drainase
m. Tempat pembuangan sampah sementara
2 Gedung/Ruang a. Ruang Belajar
b. Perpustakaan
c. Mes atau pemondokan
d. Aula
e. Dapur
f. Kantin
g. Ruang Ibadah
h. Ruang kantor manajemen /administrasi
i. Kamar mandi dan WC
j. Ruang Tunggu/Tamu
k. Laboratorium
l. Ruang kerja/Workshop
m. Gudang/Store
n. Ruang Tenaga listrik
o. Ruang Teleconference
p. Ruang Radio Komunitas
q. Laboratorium Komputer
r. Ruang Pajang
s. Ruang Kesehatan/Klinik
t. Ruang Pos Jaga/Keamanan
3 Perlengkapan a. Komputer
b. Printer
c. Telp dan Faximile
d. Media pembelajaran baik elektronik maupun bukan elektronik
e. Radio Komunitas
f. Jaringan ICT
g. Audio Visual Equipment
h. Kamera
i. OHP
j. LCD Proyektor
k. DVD Cam/ Video Digital
l. Sound system
m. Televisi
n. Server
o. PHBX
p. Handy Talky
q. Tape Recorder
Perlengkapan Penunjang a. Instalasi listrik
b. Instalasi air
c. Cadangan listrik
d. Pemanas dan pendingin
e. Sarana komunikasi
4 Perabot (Furniture) a. Meja
b. Kursi
c. Lemari
d. Papan Tulis Elektronik
e. Rak
f. Kabinet
5 Kendaraan a. Motor
b. Mobil Dinas
c. Mobil Unit
BAB IX
KOMPETENSI PELATIH/FASILITATOR PENDIDIKAN KEAKSARAAN
A. Kompetensi Dasar
Suatu pelatihan dikatakan berhasil apabila persiapan, proses, dan hasilnya berjalan lancar dan
menyenangkan semua pihak baik bagi peserta, pelatih/fasilitator maupun penyelenggara/panitia.
Setiap pelatihan, tujuan akhir yang ingin dicapai adalah para peserta dapat menerapkan isi
pelatihan dalam tugasnya sehari-hari. Untuk memenuhi hal itu, salah satu upaya yang perlu
dipersiapkan oleh seorang pelatih/fasilitator profesional memiliki kompetensi dasar umum
sebagai pelatih/fasilitator, yang mencakup:
1. Seorang pelatih/fasilitator harus mampu berfikir logis dan positif sebelum mengatakan
sesuatu;
2. Kemampuan untuk menyesusaikan diri pada orang lain
3. Kemampuan menjelaskan sesuatu dan dikomunikasikan secara singkat dan jelas;
4. Kemampuan membedakan antara persoalan pribadi dengan persoalan pekerjaan;
5. Kepekaan mendengarkan pembicaraan orang lain dengan aktif;
6. Kemampuan menghargai pendapat/ide/gagasan orang lain;
7. Kemampuan berempati;
8. Kemampuan memahami sebab akibat tindakannya sebagai seorang pelatih/fasilitator;
9. Kemampuan menghadapi suasana konflik dan tegang selama proses pelatihan berlangsung;
10. Kemampuan membangun suasana saling percaya dan terbuka dengan semua pihak yang
terlibat dalam pelatihan.
11. Kemampuan mengendalikan emosi dan sikap tidak bersikukuh pada pendapatnya sendiri.
8. Tugas Analisa: Dalam kegiatan ini, peserta bekerja bersama atau sendiri-sendiri untuk
menganalisa teori, konsep, prinsip, dan langkah-langkah aplikasinya di lapangan.
9. Permainan dan Kegiatan (energizer): Karena waktu pelatihan sangat intensif, peserta perlu
diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan yang bersifat hiburan/ice breaking dalam rangka
mendinamisasi kelompok, tanpa terlepas dari unsur-unsur edukasi atau pelatihan.
BAB X
PEMBERDAYAAN VISI DARI PELATIHAN DAN PENYULUHAN
Bersasarkan konsep ini maka langkah yang akan diambil dalam pengembangan desa
(baca=kecamatan) Cibugel sebagai desa PNFI berdasar pada pemilahan sebagai berikut:
Dari jejaring pengelolaan ini nampak perioritas garapan serta jalinan satu kegiatan dengan
kegiatan lain maupun tugas masing-masing pemangku kepentingan dalam mendukung
keberhasilan pengembangan desa PNFI sebagai bagian dari pengembangan sumbe daya manusia.
BAB XI
KUALITAS PELATIHAN
Seperti dikemukakan Jan Amos Comenius bahwa kualitas pendidikan adalah sesuatu yang tidak
dapat ditawar lagi. Seperti dinyatakan bahwa setiap umat harus memperoleh pendidikan secara
penuh, dalam keserasian kemanusiaan dengan tidak membedakan siapa ia sesungguhnya, bukan
dilihat jumlahnya, laki atau perempuan, muda atau tua, miskin dan kaya, akan tetapi lebih dilihat
dari sejatinya sebagai manusia. Pendidikan yang dimaksudkan yaitu pendidikan sebagai manusia
sejati sebagai makhluk yang utuh, terpenuhi kebutuhannya untuk menjadi manusia yang
sempurna.
Ternyata kualitas pendidikan memiliki penekanan yang berbeda. Seperti diungkapkan Unesco.
Titik berat mutu pendidikan memiliki penekanan yang berbeda. Pada kebijakan tahun 2002-2007
kualitas pendidikan ditekankan pada penganekaragaman isi dan metode pembelajaran dan
promosi nilai-nilai yang sifatnya universal. Sedikit berbeda dengan program tahunan 2002-2003
yang memberikan mandat dan penekanan baru pada hakikat kualitas pendidikan. Dalam hal
menata fokus pendidikan, lebih menekankan pada dialog yang lebih luas antar kelembagaan dan
negara anggota yang memiliki keterbatasan dalam sumber-sumber untuk pendidikan agar
mempergunakannya secara efekktif, untuk menjamin kesamaan hak untuk mendapatkan
pendidikan untuk semua (education for all). Penekanannya secara kelembagaan Unesco agar
mengatur keserasian usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui dukungan
lingkungan yang menunjang, proses belajar dan mengajar, dan keluaran pendidikan yang lebih
diarahkan pada penciptaan generasi baru yang lebih mandiri dan peserta belajar yang kritis yang
mampu untuk menetapkan dan melaksanakan pendidikan yang berkelanjutan yang diperlukan
untuk setiap tahapan dalam kekhidupan mereka.
Kualitas pendidikan merupakan bagian yang menjadi debat badan dunia karena berbagai hal
dilihat dari tujuan, kontekstual, pengguna dan waktu. Akan tetapi semuanya merujuk pada
standar yang tinggi dan kualitas untuk semua. Kualitas pendidikan tidak hanya dapat dilihat
secara terpisah dengan hanya menekankan pada pendidikan sekolah, untuk kepentingan prestasi
kognitif atau budaya global yang berhubungan dengan pembelajaran. Tantangan sesungguhnya
terletak pada ketidakmampuan untuk memenuhi standar pendidik dan fasilitator sehubungan
dengan rendahnya asupan sarana prasarana, kurangnya buku sumber yang memadai, pedoman
dan acuan serta ketidakadaan identifikasi dan penilaian yang bekelanjutan untuk melihat
keluaran dan kurangnya kemampuan pengadministrasian pendidikan dan kapasitas dalam
manajemen. Semua kelemahan ini berujung pada tingginya tingkat dropout, kegagalan dalam
pendidikan, pencapaian dibawah standar dan angka mengulang yang tinggi.
Mutu pendidikan tidak sebatas pada penyediaan asupan pendidikan untuk kepentingan di
lingkungan pendidikan formal atau dalam kerangka meningkatkan efektivitas sekolah. Mutu
pendidikan lebih diarahkan pada memberikan fasilitasi pada peningkatan kemampuan setiap
individu serta pengembangan diri secara penuh kepribadian peserta belajar. 1)Di atas segalanya
kualitas pendidikan menekankan pada pengembangan individu yang mandiri dan kritis dalam
belajar, setiap individu diperhatikan kebutuhan sesuai dengan usianya untuk memilih sendiri dan
memanfaatkan keunggulan untuk memanfaatkan peluang belajar secara berkelanjutan yang
dibutuhkan dalam upaya melakukan transisi dari tahapan kehidupan satu tahap pada tahapan
berikutnya. 2) Pembelajaran sepanjang hayat hanya bisa dimaknai dilihat dari peningkatan
kecakapan perorangan dan peluang untuk memilih berbasis informasi dan tidak hanya sekedar
untuk memenuhi tekanan ekonomi dan politik semata. 3)Mutu pendidikan juga hendaknya dilihat
dari sudut pembauran sosial dan penghargaan atas kemanusiaan, solidaritas, keadilan dan
kedamaian yang dibangun pada sendi warga negara yang merdeka dan berbasis informasi.
4)Kualitas pendididkan juga berbasis antar hubungan yang luas dari semua pemangku
kepentingan pendidikan, termasuk negara dan pemerintah daerah, lembaga sosial
kemasyarakatan, asosiasi dan kelompok, lembaga swasta serta. Diatas semuanya yaitu orang tua,
guru dan peserta belajar sendiri.
Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan merupakan payung dari mutu pendidikan.
Hal ini hanya mungkin melalui peletakkan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan
sebagai bagian integral dari mutu pendidikan sesuai dengan kenyataan. Dalam konsep
pembangunan berkelanjutan mutu pendidikan harus merupakan bagian tidak terpisahkan dari
pemenuhan hak dasar manusia, demokrasi, toleransi dan penghargaan pada keragaman nilai,
perlindungan, warga negara, lingiungan, kesehatan, pemanfaatan budaya lokal dan penghargaan
atas keragaman budaya yang dijadikan bagian utama dalam penetapan keluaran dari pendidikan
sesuai dengan tantangan yang sangat mendesak pada abad 21. Atas dasar itu pula tedapat
penekanan pada keseimbangan antara kebutuhan global dan regional, antara bangsa dan dalam
bangsa sendiri, untuk kepentingan universal dan individu, tradisi dan modern, kebutuhan untuk
kepentingan kompetisi dan dan kebutuhan untuk kesamaan untuk memeperoleh kesempatan,
antara perluasan pengetahuan dan kapasitas untuk melakukan asimilasi dan antara kepetingan
untuk spiritual dam material.
Selanjutnya kualitas pendidikan berbasis pada pembangunan berkelanjutan dibagi menjadi
dimensi 1) pendidikan untuk kepentingan pembangunan sosial sebagai perluasan dari tanggung
jawab sosial, 2) keterpaduan interdisiplin pada semua tingkatan 3) pencapaian tujuan untuk
kepentingan abad 21 4) relevansi dan tidak terpisahkan dilihat dari fleksibiltas 5) mutu dalam
proses mengajar dan belajar berbasis pada peserta belajar 6) efektivitas dalam menejemen,
kepemimpinan dankerjasama, serta 7) pengukuran dan monitoring hasilan belajar.
BAB XII
PENJAMINAN MUTU PELATIHAN
Seiring dengan perubahan lingkungan global (globalisasi) terjadilah perubahan yang signifikan
pada lingkungan pelatihan. Perubahan pada lingkungan lingkungan umumnya lebih cepat
dibandingkan dengan perubahan yang ada dalam lembaga sendiri. Pasar dan persaingan dalam
angkutan yang demikian sporadic dan sistemik berlangsung sangat luas, baikpada sisi input
maupun sisi output. Keadaan ini menunjukkan bahwa tuntutan lingkungan dunia angkutan di
Indonesia semakin kompleks dan dinamis, yang berdampak pada tuntutan sumber daya dimana
dalam kenyataan relatif beragam dan terbatas.
Fenomena masalah di atas dihadapi juga oleh lingkungan pelatihan. Karena itu unit pelatihan
perlu meredefinisi strateginya yang difokuskan pada upaya mengurangi kesenjangan antara
tuntutan lingkungan dan persaingan dengan sumber daya internalnya, sekaligus meningkatkan
daya saingnya baik di pasar regional maupun nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan
melakukan perbaikan secara berkelanjutan terhadap mutu sumber daya manusia, proses, dan
fasilitas fisik melalui suatu sistem penjaminan mutu yang memadai.
Dalam perspektif manajemen mutu, unit pelatihan perlu mengendalikan mutu kegiatan yang
diselenggarakannya pada setiap tahapan dalam proses bisnisnya mencakup input, proses, output,
dan kepuasan stakeholders.
Secara yuridis, tuntutan penjaminan mutu di atas sesuai dengan Undang-Undang No 23 tahun
2007 Pasal 80 yang menyatakan:
Perbaikan mutu pendidikan secara berkelanjutan (continuous quality improvement) di perlu
dilakukan dalam kerangka manajemen mutu, baik atas inisiatif sendiri (internally driven) dan
atau melibatkan pihak eksternal. Tuntutan mutu pada lembaga pelatihan menegaskan: … a
healthy organization, a continuous quality improvement should become its primary concern.
Quality asserance should be internally driven….”. Pendekatan penjaminan mutu tersebut penting
agar dapat mengelola sumber daya secara optimal untuk menjamin mutu layanan akademik bagi
peserta dan menjamin akuntabilitas terhadap stakeholder.
Dalam strategi Pengembangan pelatihan rujukan utama seperti yang dikemukakan KELTS,
2003-2010 yaitu:
1. Peningkatan daya saing bangsa
Peningkatan daya saing dengan berbasis pengetahuan dan teknologi juga memerlukan basis
sosial-budaya internal yang kuat. Indonesia dengan keberagaman dan pluralistik dalam tingkat
perkembangan ekonomi, ketersediaan infrastruktur, kekayaan sumber daya alam, dan sosial-
budaya.
2. Desentralisasi otoritas dan pemberian otonom yang lebih luas kepada institusi
Pemberian otonomi yang lebih luas kepada setiap institusi akan mampu mengembangkan diri
sesuai dengan konteksnya dan berkontribusi untuk meningkatkan daya saing bangsa. Program-
program pengembangan akan secara sistematis dan terprogram dikembangkan berdasarkan
prinsip pemberian otonomi yang lebih luas kepada setiap institusi. Dalam hubungan ini PT
sebagai lembaga otonom perlu menjadikan peluang sebagai sarana untuk meningkatkan
pelayanan dan kepuasan stakeholders.
3. Kesehatan organisasi
Desentralisasi otoritas dengan mernberikan otonomi yang lebih luas kepada institusi dapat
dilaksanakan apabila setiap institusi memiliki organisasi serta manajemen internal yang sehat
dan memenuhi syarat. Kemampuan intitusi pendidikan tinggi untuk berkontribusi kepada
peningkatan daya saing bangsa hanya dapat dilakukan oleh suatu organisasi yang sehat, maka
program pengembangan hams dirancang untuk memberikan dorongan bagi tumbuhnya kapasitas
organisasi dalam kerangka otonomi dan desentralisasi.
Bagi dunia pelatihan, perubahan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan teknologi
dan seni merupakan tantangan yanga amat kompleks dan saling berkaitan. Dalam menghadapi
tantangan global, tugas semakin berat karena selain harus memenuhi tuntutan lokal dan nasional,
juga harus berusaha memenuhi tuntutan lokal yang mampu bersaing di tingkat regional dan
global. Oleh karena itu, pelatihan selain harus mampu memberikan pelayanan pedagogik,
keilmuan dan profesionalisme untuk memenuhi kebutuhan individu peserta latihan, juga harus
mampu memberikan pencerahan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, harus mengembangkan rencana strategis (Renstra) untuk
jangka waktu lima tahun kedepan. Rencana tersebut disusun dengan memperhatikan hasil
evaluasi pelaksanaan Rencana Strategis sebelumnya dan hasil-hasil analisis kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman serta transisi budaya korporasi yang ada saat ini. Selanjutnya,
dikembangkan kebijakan, strategi, program kerja, dan indikator kinerjanya dengan standar mutu
nasional tanpa mengabaikan kemungkinan penerapan standar internasional.
Isu mutu dalam dalam pelatihan di mendapat perhatian penting. Dalam hal ini prioritas
pengembangan unit pelatihanselama lima tahun ke depan difokuskan pada peningkatan mutu,
akses, dan daya saing. Oleh karena itu, penyelenggaraan manajemen mutu merupakan necessary
condition bagi unit pelatihandalam melaksanakan seluruh kegiatan dari proses bisnisnya agar
dapat bersaing dan mencapai keunggulan posisional di tingkat nasional, internasional, bahkan
global tanpa mengabaikan tanggung jawab lokal.
BAB XIII
PENGENDALIAN MUTU PELATIHAN
BAB XIV
ORGANISASI PENJAMINAN MUTU
Organisasi penjaminan mutu Unit Pelatihan selain bersifat inheren dalam proses manajemen juga
dibentuk Satuan Penjaminan Mutu (SPM) yang merupakan alat manajemen yang
bertanggungjawab kepada Direktur. Organisasi penjaminan mutu Unit Pelatihan berada pada
lingkungan Unit Pelatihan
A. Tingkat
Organisasi penjaminan mutu di tingkat Pusat melibatkan Dewan Direksi, Pimpinan, Satuan
Penjaminan Mutu (SPM), dan Satuan Audit Internal (SAI). Dewan Direksi, adalah badan
normatif tertinggi yang bertugas untuk:
1. menyusun kebijakan pelatihan;
2. menyusun kebijakan penilaian prestasi pelatihan dan kecakapan serta kepribadian tenaga
instruktur;
3. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan pelatihan;
4. memberikan masukan kepada pimpinan dalam penyusunan Rencana Strategis serta Rencana
Kerja dan Anggaran;
5. melakukan pengawasan mutu pelatihan dalam penyelenggaraan Unit Pelatihan ; dan
6. merumuskan tata tertib penyelenggaraan Pelatihan
Dewan direksi melaksanakan tugas-tugas di atas dengan menyusunan berbagai kebijakan yang
berkaitan dengan aspek mutu. Kebijakan mutu inilah yang kemudian dijadikan landasan melalui
SPM dalam melakukan kegiatan penjaminan mutu.
Dalam pelaksanaan di tingkat unit pelatihan dilakukan oleh SPM Unit Pelatihan yang bertugas:
1. mengembangkan dan melaksanakan sistem penjaminan mutu Unit Pelatihan ;
2. menyusun perangkat atau standar yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan sistem
penjaminan mutu Unit Pelatihan ;
3. menyelenggarakan sosialisasi, pelatihan, dan kerjasama penj aminan mutu;
4. mengkoordinasikan, memfasilitasi, dan memotivasi kegiatan penj aminan mutu pada setiap
unit kerja di lingkungan Unit Pelatihan ;
5. melakukan evaluasi pelaksanaan sistem penjaminan mutu Unit Pelatihan ; dan
6. melaporkan secara berkala pelaksanaan penj aminan mutu Unit Pelatihan untuk setiap periode
mutu.
Pengendalian mutu pada digambarkan seperti bagan di bawah ini:
Keterangan:
SKM : Satuan Kendali Mutu
GKM : Gugus Kendali Mutu
BAB XV
STANDAR MUTU PELATIHAN
A. Pengantar
Standar sangat diperlukan untuk menentukan, mengkaji, memonitor dan menilai mutu kinerja,
keadaan, dan menyiapkan perangkat pelatihan dalam rangka penjaminan mutu suatu unit
pelatihan. Standar adalah tolok ukur yang harus dipenuhi lembaga pelatihan, digunakan sebagai
dasar untuk merancang, melaksanakan, memonitor dan menilai mutu kinerja, keadaan, dan
perangkat kependidikan lembaga pelatihan, serta untuk menentukan tingkat kepuasan dari
stakeholders dari lembaga yang bersangkutan. menentukan dan merumuskan standar mutunya
melalui analisis sistemik terhadap komponen-komponen sistem penyelenggaraan pendidikan
tinggi yang mencakup masukan, proses, keluaran, dan dampak. Analisis komponen sistemik
penyelenggaraan pelatihan itu dibagankan dalam gambar berikut:
ANALISIS SISTEMATIK
DALAM MENENTUKAN STANDAR MUTU
Dengan analisis sistemik itu ditemukan dimensi-dimensi mutu Unit Pelatihan pada, yaitu sebagai
berikut.
1. Masukan, mencakup komponen:
a. Visi dan misi Unit Pelatihan
b. Tujuan dan sasaran
c. Peserta Pelatihan
d. Pelatih dan tenaga pendukung/tenaga kependidikan lainnya
e. Kurikulum atau bahan ajar
f. Sarana dan prasarana
g. Biaya dan sumber dana (pendanaan)
2. Proses, mencakup komponen:
a. Tatapamong (governance)
b. Pengelolaan program
c. Proses pembelajaran
d. Suasana Akademik
e. karya tulis atau dan laporan tugas akhir
3. Keluaran/dampak, mencakup komponen:
a. Lulusan pelatihan dan kinerjanya
b. Keluran lainnya: publikasi hasil kajian dan atau produk kajian dalam bentuk patent, rancang
bangun, prototip, perangkat lunak, serta pemanfaatannya
c. Sistem informasi
4. Balikan dan tindak lanjut, mencakup komponen:
a. Sistem peningkatan, kendali dan jaminan mutu pelatihan
b. Mutu Unit Pelatihan
B. Standar Mutu
Berdasarkan analisis tersebut, ditentukan dan dirumuskan standar mutu Unit Pelatihan sebagai
berikut:
1. Eligibilitas, Integritas, Visi, Misi, Sasaran, dan Tujuan
2. Peserta pelatihan
3. Pelatih dan Tenaga Kependidikan Lainnya
4. Kurikulum dan Pengembangannya
5. Sarana dan Prasarana
6. Sistem Pendanaan
7. Penatakelolaan (Governance)
8. Sistem Pengelolaan
9. Sistem Pembelajaran
10. SuasanaAkademik
11. Lulusan dan Kinerjanya
12. Kajian, Publikasi dan Karya Inovatif,
13. Pengabdian Kepada Masyarakat dan Hasil Lainnya, serta Penerapannya
14. Sistem Informasi
15. Sistem Jaminan Mutu Internal
16. Mutu Program Latihan
Sementara itu Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Bab II Pasal 2 menetapkan standar
nasional pendidikan seprti berikut.
1. Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:
a. standar isi;
b. standar proses;
c. standar kompetensi lulusan;
d, standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e. standar sarana dan prasarana;
f. standar pengelolaan;
g. standar pembiayaan; dan
h. standar penilaian pendidikan.
2. Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional
Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.
3. Standar Nasional Pendidikan disempurnkan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai
dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Standar mutu hasil analisis sistemik itu dapat dipadukan dengan Standar Nasional Pendidikan
sebagai berikut.
Standar mutu unit pelatihan yang dijabarkan sebelum PP 19/2005 diberlakukan tidak berubah,
karena seperti dikemukakan dalam komparasi di atas, standar yang telah ada itu lebih merupakan
rincian dari Standar Nasional Pendidikan yang termaktub dalamPP 19/2005.
C. Rincian Standar
Standar 1. Eligibilitas, Integritas, Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran
1. Unit Pelatihan memiliki izin resmi penyelenggaraan pelatihan.
2. Unit Pelatihan memperlihatkan sifat jujur, terbuka, peduli terhadap kesejahteraan dan
kebutuhan pelatih, peserta pelatihan dan masyarakat.
3. Unit Pelatihan memiliki visi yang jelas dan relevan dengan tugas pokok dan fungsi Unit
Pelatihan, dan mencerminkan kepedulian terhadap kehidupan dan kepentingan masyarakat dan
bangsa khususnya pemakai jasa perkeretaapian.
4. Misi Unit Pelatihan dirumuskan sesuai dengan visi Unit Pelatihan
5. Tujuan Unit Pelatihan ditentukan dan dirumuskan sebagai rincian dan pengkhususan dari misi
Unit Pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
6. Sasaran Unit Pelatihan dirumuskan sebagai hasil yang diharapkan dari upaya penyelenggaraan
program Unit Pelatihan, termasuk profil lulusan pelatihan,
Standar 2. Peserta Pelatihan
1. Unit Pelatihan memiliki sistem rekrutmen dan seleksi calon Peserta Pelatihan.
2. Unit Pelatihan memiliki profil Peserta Pelatihan: akademik, sosio-ekonomi, pribadi (termasuk
kemandirian dan kreativitas) yang didukung oleh data dan evidensi yang lengkap dan valid.
3. Unit Pelatihan memiliki catatan mengenai keterlibatan Peserta Pelatihandalam berbagai
kegiatan sosial dan akademik yang relevan.
4. Unit Pelatihan menjamin keberlanjutan penerimaan Peserta Pelatihan(minat calon Peserta
Pelatihan dan kebutuhan akan lulusan program).
5. Unit Pelatihan mengorganisasikan layanan bagi Peserta Pelatihan dalam bentuk: a. Bantuan
tutorial akademik. b. Informasi dan bimbingan karir. c. Konseling pribadi dan sosial.
Standar 3. Pelatih dan Tenaga Kependidikan Lainnya
1. Unit Pelatihan memiliki sistem rekrutmen dan seleksi Pelatih dan tenaga kependidikan
lainnya.
2. Unit Pelatihan memiliki sistem pengelolaan Pelatih dan tenaga kependidikan lainnya.
3. Unit Pelatihan memiliki profil Pelatih dan tenaga kependidikan lainnya yang didukung oleh
data dan evidensi yang lengkap dan valid, termasuk mutu, kualifikasi; pengalaman, ketersediaan
(kecukupan, kesesuaian, dan rasio dosen-Peserta Pelatihan ).
4. Unit Pelatihan memiliki catatan lengkap dan bukti-bukti hasil karya akademik Pelatih (hasil
pengkajian dan karya lainnya).
5. Unit Pelatihan memiliki peraturan kerja dan kode etik yang komprehensif.
6. Unit Pelatihan memiliki rancangan pengembangan staf yang telah dan akan dilaksanakan.
7. Unit Pelatihan menjamin keberlanjutan pengadaan dan pemanfaatan Pelatih dan tenaga
kependidikan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Standar 4. Kurikulum dan Pengembangannya
1. Unit Pelatihan memiliki kurikulum yang sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan sasaran Unit
Pelatihan.
2. Kurikulum program-program dalam Unit Pelatihan relevan dengan tuntutan dan kebutuhan
stakeholders.
3. Kurikulum program-program dalam Unit Pelatihan memiliki struktur dan isi yang sesuai
dengan tuntutan masyarakat dalam hal keluasan, kedalaman, koherensi, penataan/organisasinya.
4. Kurikulum program-program dalam Unit Pelatihan memiliki rumusan kompetensi dan etika
lulusan yang diharapkan.
5. Kurikulum program-program dalam Unit Pelatihan memenuhi derajat integrasi materi
pembelajaran (intra dan antar disiplin ilmu).
6. Kurikulum program-program dalam Unit Pelatihan memiliki mata latih pilihan yang merujuk
pada harapan/kebutuhan Peserta Pelatihansecara individual/ kelompok Peserta Pelatihantertentu.
7. Kurikulum program-program dalam Unit Pelatihan menjamin peluang bagi Peserta
Pelatihanuntuk mengembangkan diri berupa kesempatan untuk melanjutkan studi,
mengembangkan pribadi, memperoleh pengetahuan dan pemahaman materi khusus sesuai
dengan bidang studinya, mengembangkan keterampilan yang dapat dialihkan (transferable
skills)., terorientasi ke arah karir, dan pemerolehan pekerjaan.
Standar 5. Sarana dan Prasarana
1. Unit Pelatihan memiliki sarana dan prasarana yang cukup dan relevan untuk digunakan
sebagai pendukung penyelenggaraan program-programnya.
2. Unit Pelatihan mengelola, memanfaatkan, dan memelihara sarana dan prasarana secara efisien
dan efektif.
3. Unit Pelatihan menyediakan gedung, ruang kuliah, laboratorium, ruang perpustakaan, dll.
untuk mendukung penyelenggaraan program pelatihan, pengkajian dan program labolatorium
dalam ruang pengujian dan lapangan.
4. Unit Pelatihan menyediakan fasilitas komputer untuk mendukung penyelenggaraan program
pelatihan, pengkajian dan program labolatorium dalam ruang pengujian dan lapangan.
5. Unit Pelatihan menjamin keberlanjutan pengadaan, pemeliharaan dan pemanfaatan sarana dan
prasarana secara tepat.
Standar 6. Sistem Pendanaan
1. Unit Pelatihan merancang dan merinci sumber dana untuk mendukung penyelenggaraan
program-programnya.
2. Unit Pelatihan memiliki sistem alokasi dana yang efektif dan efisien.
3. Unit Pelatihan menata pengelolaan dana dan memelihara akuntabilitas pemanfaatannya.
4. Unit Pelatihan menjamin keberlanjutan pengadaan dana dan pemanfaatannya.
5. Unit Pelatihan mengembangkan sumber dana dari pemanfaatan jasa palatihan
Standar 7. Penatakelolaan (Governance)
1. Unit Pelatihan memiliki sistem nilai dasar sebagai rujukan utama dalam penyelenggaraan
program-programnya.
2. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan sistem pengeloan kelembagaan yang menjadi
rujukan bagi pengelolaan pada tingkat dibawahnya.
3. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan sistem kepemimpinan yang efektif dan efisien.
4. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan sistem untuk memotivasi civitas pelatihan dalam
pengembangan kebijakan, serta pengelolaan dan koordinasi pelaksanaan program.
5. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan sistem perencanaan program jangka panjang
(Renstra), serta monitoring pelaksanaannya sesuai dengan visi, misi, tujuan dan sasaran Unit
Pelatihan.
Standar 8. Sistem Pengelolaan
1. Unit Pelatihan menerapkan kepemimpinan yang efisien dan efektif.
2. Unit Pelatihan merancang dan melaksanakan program evaluasi kelembagaan/program dan
pelacakan lulusan.
3. Unit Pelatihan melaksanakan perencanaan dan pengembangan program dengan memanfaatkan
hasil evaluasi internal dan eksternal.
4. Unit Pelatihan memiliki dan melaksanakan program kerjasama dan kemitraan dengan lembaga
lain.
5. Unit Pelatihan memonitor dan menilai dampak hasil evaluasi program terhadap pengalaman
dan mutupembelajaran Peserta Pelatihan .
Standar 9. Sistem Pembelajaran
1. Unit Pelatihan mempunyai rumusan mengenai misi pembelajaran
2. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan rumusan strategi dan Pedoman Pembelajaran
3. Unit Pelatihan memiliki dan menggunakan Pedoman tentang Bimbingan Belajar dan Tutorial
Peserta Pelatihan .
4. Unit Pelatihan memiliki dan menggunakan Pedoman penilaian kemajuan dan keberhasilan
belajar Peserta Pelatihan
Standar 10. Suasana Akademik
1. Unit Pelatihan memiliki sarana yang diperlukan untuk memelihara interaksi dosen-Peserta
Pelatihan, baik di dalam maupun di laboratorium lapangan, dan untuk menciptakan iklim yang
mendorong perkembangan dan kegiatan akademik/profesional.
2. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan cara untuk mendorong interaksi kegiatan akademik
pelatih, Peserta Pelatihandan civitas pelatihanlainnya.
3. Unit Pelatihan memiliki dan melaksanakan rancangan menyeluruh untuk mengembangkan
suasana akademik yang kondusif untuk pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
4. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan metode untuk mengembangkan pribadi gemar
belajar pada Pelatih, Peserta Pelatihan , dan tenaga kependidikian lainnya
Standar 11. Lulusan Pelatihan dan Kinerjanya
1. Unit Pelatihan memiliki catatan data dan informasi yang komprehensif tentang kemajuan dan
hasil pembelajaran Peserta Pelatihan .
2. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan kriteria keberhasilan belajar dalam bentuk profil
kompetensi Peserta Pelatihanyang diharapkan.
3. Unit Pelatihan memiliki catatan yang komprehensif tentang kepuasan Peserta Pelatihandengan
hasil pemebelajarannya.
4. Unit Pelatihan memiliki catatan data dan informasi yang komprehensif tentang kepuasan
pengguna lulusan.
5. Unit Pelatihan melaksanakan usaha untuk menjamin keberlanjutan penyerapan lulusan oleh
pasar kerja.
6. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan sistem pelacakan lulusan untuk mengetahui kinerja
lulusan dan kepuasan pengguna lulusan, dan memanfaatkan hasilnya untuk perbaikan program-
programnya.
Standar 12. Penelitian, Publikasi, karya tulis, Karyal novatif, Layanan kepada Masyarakat, dan
hasil Lainnya, serta pemanfaatannya
1. Unit Pelatihan memiliki catatan data dan informasi mengenai kualitas, produktivitas, relevansi
sasaran, dan efisiensi pemanfaatan dana penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
2. Unit Pelatihan memiliki agenda berkelanjutan dan diseminasi hasil penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat.
3. Unit Pelatihan memiliki rancangan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang
dilakukan bersama antara dosen dan peserta.
4. Unit Pelatihan memiliki catatan data dan informasi mengenai kegiatan dan hasil penelitian
yang dilakukan oleh peserta, didukung dengan dokumentasinyayang lengkap.
5. Unit Pelatihan memiliki pedoman untuk menghubungkan pengaj aran dengan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat.
6. Unit Pelatihan memiliki catatan data dan informasi lengkapmengenai kegiatan penelitian dan
publikasi dosen.
7. Unit Pelatihanmerancang dan melaksanakan sistem kerj a sama dan kemitraan dalam
penelitian dengan lembaga penelitian lain di dalam danluarnegeri.
8. Unit Pelatihan memiliki pedoman penulisan karya tulis ilmiah untuk menjamin mutu dan
ketepatan waktu penyelesaiannya.
9. Unit Pelatihan memiliki dan memanfaatkan publikasi hasil kajian, karya inovatif, dan
rangkuman tesis
10. Unit Pelatihan memiliki dan memanfaatkan produk ilmiah berupa model-model, hak paten,
hasil pengembangan prosedur kerja, produk fisik sebagai hasil penelitian.
Standar 13. Sistem Informasi
1. Unit Pelatihan merancang pengembangan sistem informasi dan melaksanakannya secara
efisien dan efektif.
2. Unit Pelatihan memiliki sumber daya manusia, sarana dan prasarana pendukung dengan
jumlah dan mutu yang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sisrtem informasi.
3. Unit memanfaatkan sistem informasi secara efisien dan efektif.
4. Unit Pelatihan memiliki dan memanfaatkan on-campus connectivity devices (intranet).
5. Unit Pelatihan memiliki dan memanfaatkan global connectivity devices (internet).
Standar 14. Sistem Jaminan Mutu Internal
1. Unit Pelatihan memiliki Satuan Penjaminan Mutu (SPM).
2. SPM mengembangkan dan melaksanakan sistem jaminan mutu secara efisien dan efektif.
3. SPM mengembangkan dan menerapkan standar jaminan mutu Unit Pelatihan.
4. SPM mengembangkan dan menerapkan kriteria keberhasilan lembaga SPM.
5. SPM melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien.
6. SPM memotivasi pengembangan dan pelaksanaan penj aminan mutu pada tingkat fakultas,
jurusan dan program studi.
7. SPM memonitor dampak proses penj aminan mutu terhadap pengalaman dan mutu hasil
belajar Peserta Pelatihan .
8. SPM memiliki dan menerapkan metodologi baku mutu (benchmarking).
9. SPM melaksanakan evaluasi internal Unit Pelatihan secara berkelanjutan.
10. SPM mempersiapkan evaluasi eksternal/akreditasi oleh lembaga yang berwewenang.
11. SPM memanfaatkan hasil evaluasi internal dan eksternal dalam perbaikan dan
pengembangan progrman-program Unit Pelatihan.
12. SPM melaksanakan kerja sama dan kemitraan dengan instansi terkait.
Standar 15. Mutu Program Studi
1. Unit Pelatihan memiliki program studi yang teruji mutunya.
2. Program studi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan kriteria untuk menilai mutu program studi.
4. Unit Pelatihan memiliki dan menggunakan instrumen untuk menilai mutu program studi.
BAB XVI
SKALA PENILAIAN KINERJA PELATIHAN
A. Pengantar
Daftar pernyataan karakteristik kinerja lembaga pelatihan terutama digunakan dalam penilaian-
diri (self-assessment) atau pengkajian-diri (self-review) yang dilakukan oleh unit pelatihan di
lingkungan mengenai keadaan dan kinerjanya dengan cara mengkaji kecocokan keadaan dan
kinerjanya itu dengan setiap pernyataan terkait.
Pernyataan-pernyataan itu dapat pula digunakan dalam rangka pengkajian internal yang
dilakukan oleh pihak dalam lingkungan lembaga pelatihan tersebut, atau kadang-kadang
mengikutsertakan pula pihak di luar lembaga pelatihan yang bersangkutan, misalnya personil
kalangan profesi atau pengguna lulusan lembaga pelatihan yang sengaja dihadirkan.
Penilaian atau pengkajian-diri itu dilakukan dengan menelaah keadaan, kinerja, informasi, data
dan bukti-bukti lainnya yang ada di program eplatihan dan mencocokkannya dengan setiap
pernyataan karakteristik terkait, dengan kriteria umumnya ditetapkan sebagai berikut:
1. Patut dicontoh (exemplary), yaitu apabila aspek yang dinilai sepenuhnya memenuhi
persyaratan karakteristik terkait, serta memperlihatkan adanya inovasi dan dilaksanakan secara
efektif, dan bermanfaat untuk didesiminasikan kepada Program Pelatihanlain.
2. Memenuhi syarat (compliant), yaitu apabila aspek yang dinilai sepenuhnya memenuhi
persyaratan karakteristik terkait.
3. Sebagian memenuhi syarat (partially compliant), yaitu apabila aspek yang dinilai sebagian
memenuhi persyaratan karakteristik terkait, tetapi memerlukan bantuan tertentu untuk dapat
memenuhi persyaratan itu.
4. Tidak memenuhi syarat (not compliant), yaitu apabila aspek yang dinilai tidak memenuhi
persyaratan karakteristik terkait, dan Program Pelatihandituntut untuk melakukan tindakan yang
diperlukan untuk memperbaikinya.
5. Tidak sesuai (not relevant), yaitu apabila aspek yang dinilai sama sekali tidak sesuai dengan
persyaratan karakteristik terkait.
Berdasarkan hasil kajian-diri ini, setiap unit pelatihan dapat membuat profil dirinya menurut
pernyataan-pertanyaan yang ditetapkan. Selanjutnya, satuan pelatihan dapat menggunakan semua
hasil evaluasi diri yang akan dipergunakan untuk akreditasi lembaga yang bersangkutan yang
akan dilakukan oleh aksesor yang ditunjuk dengan menggunakan borang akreditasi dan porto
folio lembaga pelatihan.
Pada paparan berikut ini didisajikan Skala Penilaian, dengan menyajikan karakteristik kinerja
Program Pelatihansebagai pernyataan-pernyataan karakteristik kinerjaProgram Pelatihanyang
baik (statements of good practice), beserta skala penilaian (A, B, C, D dan E) seperti yang
dikemukakan di atas.
Anda dapat mencocokkan keadaan dan kinerja Program PelatihanAnda dengan menggunakan
skala penilaian tersebut. Pengerjaannya dapat dilakukan dalam LembaranJawaban yang
disediakan.
Daftar Pustaka
Arief S. Sadiman.Dr.Msc, Media Pendidikan, Pustekom Dikbud & PT. RajaGrafindo Persada,
1993
A.M Sardiman (2004), Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, Cetakan kesebelas.
Ahmed, Manzoor. ( 1975 ). The Economic of Nonformal Education. California: Praeger
Publisher.
Ansyar, Mohamad.1989. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Depdikbud.
Archer, David & Sara Cotingham. (1996). Regenerated Freirean Literacy through empowering
Community Techniques, Actionaids, London.
Bachman Edmund (2005) Meetoda Belajar berpikir kritis dan inovatif, alih bahasa, jakarta,
Prestasi Pustaka.
Bistok.1987. Pengembangan Materi Pengajaran Bahasa FPS 626..Jakarta: Depdikbud
Bobbi DePoerter dan Mak Reardon (1999), Quantum Learning : Membiasakan belajar nyaman
dan mehnyenangkan. Alih bahasa Alwiyah Abdurrohan, bandung, Kaifa.
Bobbi DePoerter dan Mike Hernacki (1999), Quantum Learning : Membiasakan beajar nyaman
dan mehnyenangkan. Alih bahasa Alwiyah Abdurrohan, bandung, Kaifa.
Boikin, James. W. (1979 ). No Limits to Learning. Oxford : The Pergamon Text Book.
Broockfield, Stephen. ( 1984 ). Adult Learners, Adult Education and The Comnmnity. New
York: Teacher College Press.
Cross, K. Patricia. (1984). Adults as Learners. San Francisco: Jossey Bass Publishers.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994/1995). Model Penilaian Paket A setara SD,
Bagian Proyek Pembinaan Balai Pengembangan Kegiatan Belajar, Lembang Bandung.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994/1995). Model Penilaian Paket B setara SMP,
Bagian Proyek Pembinaan Balai Pengembangan Kegiatan Belajar, Lembang Bandung.
Depdikbud. 2006. Panduan Pengembangan Silabus dan Panduan Pengembangan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Depdiknas (2003) Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) Jakarta,
Depdiknas Dirjen Dikdasmen.
Dimyati dan moejiono (1996) Belajar dan Pembelajaran, Jakarta . Rineka Cipta.
Djudju Sudjana, (1983 ). Pendidikan Non Formal, Wawasan, Sejarah, Asas. Bandung: Theme
76.
Dunkin, Michael J. Teaching and Teacher Education, Oxford: Pergamon Press.
Elias, John L. &Sharran Memam. ( 1980 ). Philoshophical Foundations of Adult Educations.
Florida: Robert E. Krieger Pub. Coy.
Fenstermacher, Garry D & Jonas F. Soltis, ( 1986 ). Approach to Teaching. New York: Teacher
College Press.
Fien, John. ( 1993). Education for The Environment. Victoria: Deakin University. Fowles, Jib.
(1984 ). Handbook of Future Research. London : Greenwood Press.
Gilbreath, Robert D. (1991). Save Yourself. ,New York: McGraww-Hi!!, Inc.
Goad, L.H. (1984). Preparing Teachers for Lifelong Education. Hamburg: Pergamon Press.
Hamalik. U . (1995) Kurikulum dan Pembelajaran, jakarta. Bumi Aksara Cetakan pertama.
Hasibuan dan Moejiono, (2000), Proses Belajar Mengajar, bandung, rosdakarya.
Hiemstra, Roger. ( 1976 ). Life Long Learning. Lincoln: Profesional Educator Publications.
http://www.puskur.net/download/naskahakademik/naskahakademikbasing/babiii.doc.
Ian Reece & Stephen Walker, Teaching, Training and Learning, Business Education Publishers
Limited, 1997
Ingalls, John D. (1973). A Trainer Guide to Andragogy. Washington D.C.: US Departement of
Health, Education and Welfare.
John.D.Latuheru. Drs, M.P, Media Pembelajaran, Dirjen Dikti,Depdiknas, 1988
Kardiawarman, Metode dan Model Pembelajaran yang relevan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran sains, makalah, 2005
Knowles, Malcolm S. (1973) A Trainer guide to Andragogy: It Concept, experience dan
application, US Departement of Health, Education and Welfare, Washington D.C.
Knowles, Malcolm S. (1984) Andragogy versus Pedagogy, US Departement of Health,
Education and Welfare, Washington D.C.
Knowles, Malcolm. ( 1990 ). The Adult Learner : A Neglected Species. London: Gulf Publishing
Coy.
Mansyur (1996), Pemanfaatan model-model pembelajaran: Strategi belajar Mengajar, jakarta:
Dirjen Pembinaan kelembagaan agama islam dan UT.
Merriam, Sharran. & Phyllis M. Cunningham (1989). Handbook of Adult and Continuing
Education. San Francisco: Jossey Bass Publication.
Munandir.1987. Rancangan Sistem Pengajaran. Jakarta: Depdikbud.Siahaan,
Nurhadi, Pendekatan Kontekstual (Contextual teaching and Learning), Jakrta : Depdiknas-
Direktorat Jendral Pendidikan dasar dan menengah PLP, 2002
Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, jakarta Eka jaya.
Presiden RI (2003) Undang-undang Republik indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional , jakarta Restindo Mediatama.
Presiden RI (2005) Undang-undang Republik indonesia No. 14 tahun 2005 tentang Dosen/guru
dan Dosen/guru , jakarta.
Reece, Ian and Stephen Walker (1997). Teaching, Training and Learning: A Practice Guide,
Aethanueum Press, Gateshead
S. Nasution, Teknologi Pendidikan, C.v Jemmars, 1982
Sagala Syaiful, (2005) Konsep dan Makna Pembelajaran; Bandung Alfabeta
Sunaryo Wowo, (2004) Konsep Pembelajaran Orang dewasa, UPTD Balai Pelatihan guru.
Wilis Dahar, R (1989) Teori-teori Belajar, jakarta erlangga
Zahorik, John A. (1995) Constrictivist Teaching (Fastback 390). Bloomington, Indiana: Phi-
Delta Kappa Educational Foundation.
Zain Aswan dan Bahri Syaiful, (2002), Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, rineka Cipta.
Zainul asmawi dan Nasution Noehi, Penilaian Hasil Belajar (2001) Jakarta, PAU-PPAI-UT.
6 Comments
Keempat kategori memberikan kerangka konseptual yang memadai yang menunjukkan adanya
proses belajar bagi umat manusia. Sehingga dapat dibedakan bila pembelajaran dilakukan oleh
orang tua kendati dalam suasana kelas, maka pengkategoriannya dimasukkan ke dalam
pendidikan insidental atau pendidikan informal. Selanjutnya yang berhubungan dengan
pembelajaran bahasa, perilaku budaya yang khusus, sikap dan keyakinan yang umum serta
pengetahuan untuk kehidupan sehari-hari, semua kegiatan ini hampir tidak mengenal lingkungan
belajar dan mengajar yang terstruktur. Hampir semua kegiatan belajar berlangsung melalui
observasi, imitasi dan penguatan yang selektif oleh anggota lain dalam masyarakat. Dalam hal
pendidikan insidental baik peserta belajar maupun pendidik tidak dalam keadaan sadar untuk
melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Pendidikan informal lebih menekankan pada pembelajaran dimana salah satu dari peserta belajar
maupun pendidik menyadari sedang brekangsung proses pembelajaran, seperti halnya yang
dilakukan oleh individu maupun bagian dari lembaga. Seperti halnya radio pendidikan mereka
memiliki keyakinan untuk melakukan pembelajaran, akan tetapi bisa sadar ataupun tidak peserta
belajar sedang melakukan proses pembelajaran dari pesan yang diterimanya. Atau seseorang
yang menginginkan untuk belajar mengenai otomotif dapat saja bertanya pada dari seorang
mekanik dan berlangsung di garasi dan ketika sedang memperbaiki mobil. Dalam hubungan ini
peserta belajar memiliki keperdulian untuk belajar akan tetapi situasi benar-benar tidak
terstruktur yang memungkinkan untuk melakukan proses pembelajaran yang sungguh-sungguh.
Pendidikan informal memberikan peluang untuk melakukan perbaikan diri bagi peserta belajar
yang tidak memiliki peluang untuk memasuki sekolah. Keadaan ini sering dikenal dengan
berpikir sendiri (self tought)
Pemilahan pendidikan informal dengan nonformal terletak pada situasi dimana peserta belajar
maupun pendidik secara sadar berkehendak untuk menyelenggarakan kegiatan belajar. Semisal
radio menyelenggarakan kegiatan dengan membuat kelompok yang terstruktur, maka kegiatan
jelas termasuk pada PNF. Demikian pula dalam peristiwa pembelajaran otomotif, bila dari pihak
peserta belajar memiliki kesadaran akan pemegangan dalam kerangka belajar demikian pula ada
kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan dari sisi instruktur ini pun termsuk pada PNF.
Batasannya dalam hal tertentu tidak terlalu jelas, seperti halnya sadar tidaknya seseorang untuk
belajar mengenai otomotif atau seorang dewasa yang datang ke perpustakaan untuk meminjam
buku dalam memperbaiki rumahnya. Dari sisi perencanaan dapat pula dilihat sejauh mana
seseorang berperanserta dalam proses perencanaan maka hal ini dapat diketegorikan pada PNF.
Batasan antara pendidikan formal dengan PNF sangat jelas ditentukan oleh kegiatan yang
dilakukan oleh pendidikan secara reguler dan menjalankan kurikulum yang normal dan baku
maka hal ini termasuk pada pendidikan formal. Bila ciri-ciri ini tdiak ditemukan akan tetapi
terdapat usaha yang sungguh-sungguh baik dari sisi peserta belajar maupun dari pihak pendidik
maka kegiatan ini diklasifikasikan pada PNF. Kadang perbedaannya tidak demikian tegas pada
saat sekolah mengundang seorang ahli musik tradisional dan memberikan tambahan
pembelajaran setelah selesai kegiatan kelas. Bagi seorang perencana pendidikan kegiatan ini
tidak dapat diklasifikasikan pada pendidikan formal. Dengan demikian bagi perencana ukuran
yang paling mudah jaitu dengan melihat pengorganisasian kegiatan, kegiatan pengawasan dan
keuangan dan ini dapat membantu untuk mengkategorikan pada pendidikan formal atau PNF.
Dengan empat kategori seperti yang dipaparkan tidak secara utuh memberikan batasn untuk
perencanaan pendidikan nonformal. Perencana dengan demikian tidak hanya memberikan asumsi
akan tetapi harus penuh keyakinan kedalam bentuk mana kegiatan akan dikategorikan. Dengan
demikian amat mungkin dalam perencanaan PNF menyertakan pula pendidikan yang sifatnya
insidental dan informal. Pada bagian lain kita akan sampai isu-isu pokok yang harus menjadi
bagian dari perencanaan PNF. Karenanya pembelajaran sepanjang hayat yang memiliki cakupan
empat kategori pendidikan, kurang membantu untuk dijadikan perencanaan PNF. Namum
demikian pemikiran Coombs maupun pemilahan pendidikan menjadi empat kelompok sedikit
membantu untuk menetapkan perencanaan PNF.
Permasalahan untuk mengungkap definisi dan kriteria taksonomi untuk melihat rentangan
pendekatan PNF tidak dapat lain keculai dilihat secara alami. Skema dikembangkan untuk
mendekripsikan dan menganalisis program dan mempelajarinya. Perencana, sementara
memanfaatkan hasil-hasil ini dapat menemukan perbedaan yang nyata dari: kebutuhan
pendefinisian pendidikan, menetapkan perioritas, pengalokasian sumber yang terbatas diantara
penggunaan yang bersaing pula, dan merencanakan pemecahan khusus yang paling mungkin
dalam kerangka hambatan yang ada. Perencana juga harus memahami tugas untuk melihat
rentangan pilihan, memahami biaya dan keuntungan dan usaha untuk menetapkan kriteria dalam
menentukan pilihan diantara sejumlah alternatif. Mengunakan pendekatan ini maka pembahasan
definisi dapat tergeser dengan proses perencanaan yang dapat dilaksanakan. Hal ini sesuai
dengan prinsip utama perencanaan yang aktif, kreatif dan prekriptif serta membutuhkan alat yang
memadai untuk mengerjakan tugas-tugas perancangan.
Beberapa perencana mulai bertindak realistis dengan tidak hanya memperhatikan hakikat PNF
dengan memperhatikan pendefinisian, dan bergerak pada analitis dimensi jaringan yang bisa
membantu perencana menganalisis program yang sedang berlangsung dan mengembangkan
perencangan baru. Salah satu hasilan berbasis produk melihat bahwa PNF terdiri dari satu atau
dua dimensi. Yang membuat kejelasan juga misalnya kurikulum formal hanya merupakan bagian
dari perancangan lingkungan belajar untuk sasaran belajar tertentu, dalam upaya mendapai
tujuan belajar. Keunikan dari perencanaan PNF yaitu terbebas dari hanya sebatas satu set
alternatif yang kerap ditunjukkan kinerja pendidikan formal. Perancangan PNF merupakan
perancanaan berbasis aternatif yang terbuka dalam rentangan yang luas. Perencanaan PNF akan
terdiri dari sejumlah alternatif, terutama dalam melihat lingkungan belajar, atau kurikulum yang
dirahkan pada upaya untuk memenuhi kebutuhan.
Dengan demikian apa yang seharusnya menjadi pembahasan ? Jawabannya lebih banyak
berkaitan dengan analisis dimensi dari PNF. Bagian berikut terdiri dari sejumlah dimensi beserta
ragam alternatif dalam dimensi ini. Contoh yang dikembangkan untuk memperkaya dimensi
akan tetapi kita dituntut untuk menambah sesuai dengan pengalaman yang dimiliki perencana
sendiri.
1. Tujuan Pembelajaran
Hal ini merupakan dimensi paling mendasar yang menjadi jawaban pada pertanyaan mengenai
dimensi. Mengapa program pendidikan membutuhkan tujuan pembelajaran. Dalam beberapa
kasus program PNF lebih banyak didominasi oleh alasan politik dan sosial, sehingga yang timbul
lebih banyak tujuan program dan bukan tujuan belajar. Selanjutnya apa tujuan pendidikan dari
proyek pendidikan nonformal ?
Sabagai misal yang berkembang pada pendidikan dasar, maka tujuan program yaitu keaksaraan
atau kefungsian atau mengenai angka, kesehatan dasar dan nutrisi, motivasi untuk melakukan
perubahan dan pengembangan, dalam beberapa kasus menimbulkan kesadaran kritik. Maka
dalam kenyataan kita akan menghadapi beberapa tujuan yang saling berkaitan satu dengan
lainnya, kendati penekanan akan diberikan pada satu atau lebih tujuan sesuai dengan dari mana
datangnya sumber-sumber yang dicurahkan untuk keberlangsungan proram tersebut. Program
pendidikan orang dewasa yang mendapatkan dukungan dana dari departemen pendidikan aka
lebih menekankan pada keaksaraan dan perhitungan. Kendati dikehendaki dieksplisitkan tujuan
lain, akan tetapi kemampuan petugas lapangan dalam hal ini memiliki keterbatasan dan dilihat
dari praktek pendidikan menyulitkan untuk mewujudkan tujuan pembelajaran. Sebagai
imbangannya kampanye nasional mengenai keaksaraan lebih banyak menekankan pada motivasi
dan partisipasi secara meluas dari kelompok penduduk atau generasi dalam mendukung
pemerintahan atau filasafat nasional. Dalam hal kasus yang mendapat dukungan dari departemen
pertanian atau pembangunan pedesaan, maka keaksaraan dan penghitungan merupakan perioritas
ke dua dalam upaya mendukung paset pertama untuk mendukung perorangan atau kelompok
untuk mengadopsi metode baru produksi dan pemasaran hasil pertanian, serta mendukung
pemikirna yang kritis serta kepercayaan diri sebagai bagian dari kebutuhan akan partisipasi.
Program keaksaraan dan penyertanya kurang populer akan tetapi merupakan potensi untuk
berhasil mengingat diperlukan keterpaduan dalam pendekatan untuk memenuhi kebutuhan
belajar dan meningkatkan pembangunan.
Selain itu dalam pengembangan proyek pembelajaran yang menunjang tujuan pendidikan umum,
terdapat tujuan yang lebih khusus. Dalam beberapa hal proyek menyertakan tujuan yang
pendidikan umum dengan pelatihan keterampilan vokasional. Hanya ditunjukkan pada
pembelajaran paket A yang menyertakan beberapa keterampilan seperti komputer. Tujuan
merupakan keterpaduan dalam upaya memelihara dan memperluas kemampuan dasar yang
umumnya dilakukan pada pendidikan formal dengan mempersiapkan kertampilan vokasional
yeng memungkinkan peserta belajar menjadi anggota produktif dalam masyarakatnya. Akhirnya
beberapa terdapat program dengan cakupan yang luas yang membahas mengenai: pertanian
untuk petani, kerajian dan perdagangan untuk artisan, keterampialn dalam kehidupan keluarga
untuk gadis dan ibu-ibu dan kewiraswastaan dan keterampilan manajemen untuk usahawan kecil.
Harus diperhatikan oleh perencanan PNF yaitu pertanyaan mengenai bagaimana dan oleh siapa
tujuan pendidikan seharusnya ditetapkan. Penetapan tujuan yang sifatnya sebtralistis untuk
semua pada dasarnya menjadi ciri dari pendidikan formal yang kurang tepat dilakukan untuk
PNF. Beberapa proyek memang didorong agar anggota kelompok peserta belajar mampu
menetpakan sendiri tujuan belajar dan berusaha untuk mencapainya. Penetapan tujuan yang
dilakukan oleh peserta belajar sendiri dalam hal tertentu memiliki kaitan dengan partisipasi dan
kepercayaan diri peserta. Untuk hal ini para perencana membutuhkan waktu untuk menetapkan
tujuan sehingga tujuan pendidikan benar-benar merupakan bagian dari partisipasi peserta belajar.
Keseimbangan antara tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dengan proses pembuatan tujuan
sangat tergantung pada karakteristik dari peserta belajar.
Struktur Organisasi
Dimensi ini memiliki cakupan mengenai struktur internal dan hubungan antara program dengan
lembaga yang lebih luas. Isu-isu organisasi internal memiliki cakupan sekitar staf, metode
pembelajaran dan pembiayaan. Yang berhubungan organisasi ekternal yaitu dalam hubungan
antara menteri pendidikan dengan lainnya. Pemilihan hal ini memiliki pengaruh langsung pada
sumber pembiayaan dan hal lain yang seharusnya menjadi bagian dari perencanaan program.
Kadang dibutuhkan makna fleksibilitas, kepekaan lokal dan efektivoitas yang seharusnya lebih
ditingkatlkan program yang lebih kecil diluar administrasi pemerintahan yang lebih luas. Dalam
beberapa hal adanya kerjasama dengan keagamaan dan lembaga sukarelawan lainnya demikian
bermanfaat, sedangkan program mungkin dimotori dan mendapatkan pengelolaan masyarakat.
Bila demikian banyak dana yang dipergunakan untuk cakupan wilayah penggunaan yang
demikian luas maka diperlukan penawasan dari pihak pemerintah. Bila benar dibutuhkan
supervisi dari pemerintah pusat, maka usaha seharusnya dilakukan dengan memberikan delegasi
pada tingkat regional atau tingkat kabupaten/kota. Rekomendasi ini dilakukan untuk mensiasati
pentingnya pelksibilitas dan tingkat responsif dalam PNF. Selain dari itu dana yang
dipergunakan untuk administratif lebih rendah dengan menyederhanakan hierarkhi pengawasan
dan menempatkan administrasi pada tingkat lokal. Berikutnya yang harus menjadi perhatian
perencana, lebih banyak melakukan kerjasama dengan pihak lain seperti halnya militer, industri,
pertanian komersial dan usaha yang lebih besar sepertei halnya progam irigasi atau pemukiman
penduduk pedesaan. PNF yang efektif memiliki keragaman dapat dilalui melalui kelembagaan
yang demikian beragam dan seringkali memiliki manfaat dari interaksi yang lebih lekat dengan
beberapa asosiasi dengan kegiatan lain yang saling berhubungan.
Staf.
Staf merupakan merupaka aspek yang sangat menentukan dalam PNF, sekaitan pertimbangan
terbatasnya pendanaan untuk menunjang program kegiatan. Mengingat dana utama dipergunakan
pada pembayaran tenaga pendidik, apakah pelaksanaan PNF dapat dilaksanakan dengan
sempurna tanpa memperhatikan alternatif dalam penetapan staf. Salah satu ciri yang paling
banyak ditunjukkan dalam upaya mengatasi keterbatasn staf yaitu melalui upaya sukarena dan
staf paruh waktu. Upaya awal yang umum dilakukan untuk memenuhi kebutuhan staf yaitu
dengan merekrut guru-guru sekolah dasar sebagai pekerjaan tambahan pada tugas utamanya.
Dengan banyaknya guru sekolah dasar yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebituhan staf di
kota maupun di desa merupakan sumber yang demikian menarik untuk memenuhi kebutuhan
staf. Pada sisi lain terdapat permasalahan dimana terjadi penumpukan peran guru dalam
menambah tanggungjawabnya. Dampaknya cukup nyata dimana penambahan tugas tidak terlalu
memberikan dam[ka yang diharapkan sehubungan terbaginya waktu mereka dan rendahnya
motivasi.
Upaya lain yaitu dengan menggunakan pihak lain yang tidak memiliki kaitan dengan pendidikan
formal. Keluarga, pimpinan desa, petani dan siswa baik pada pendidikan formal maupun PNF,
dan anggota dari kelompok belajar yang beragam merupakan potensi dalam mengembangkan
staf. Pernyataan bagi perncana yaitu yaitu identifikasi, memotivasi dan memberikan dukungan
pada staf. Sumber di luar guru merupakan sumber yang potensil untuk pengemangan staf.
Permasalahan yang menjadi pertimbangan PNF juga pada kisaran dana yang perlu dihemat pada
penetapan staf merupakan kunci keberhasilan. Perencana juga perlu memperhatikan faktor yang
demikian mendesak dalam upaya meningkatkan profesionalisasi staf dengan memberikan
pelatihan, sertifikat dan pemberian penghargaan yang merupakan keuntungan bagi staf. Untuk
sementara penggunaan pendidik pada pendidikan formal dalam hal penghematan pembiayaan.
5. Biaya
Biaya untuk PNF umumnya diperuntukkan untuk pembayar-an staf, fasilitas, transport dan
berbagai pengeluaran untuk bahan sarana dan prasarana. Setelah pembiayaan staf banyak
didiskusi-kan maka giliran berikutnya membahas lebih jauh yang berhu-bungan dengan fasilitas
yang tidak begitu banyak diperhatikan dilihat dari pembiayaan baik pada pendidikan formal
maupun PNF. Umumnya pembiayaan untuk fasilitas mandapat dukungan dari lokal. Untuk
transport, misalnya merupakan masalah, terutama untuk kepentingan suppervisi dan dukungan
operasional. Beberapa pihak mengusulkan dengan cara memberikan pelatihan pada personal
lokal akan mengurangi dana supervisi.
Strategi utama bagi perencana lebih banyak pada mengu¬rangi pembiayaan dibanding dengan
membuang energi untuk usaha mencari tambahan dana. Usaha berikutnya yaitu mengurangi dana
lain yang tidak berhubungan langsung dengan kepentingan organisasi bila masih memungkinkan,
misalnya melalui kegiatan swadaya dalam pembelajaran di lingkungan masyarakat. Mengingat
peningkatan dana lokal membutuhkan struktur organisasi dan lebih mengarahkan dana untuk
kepen¬tingan langsung. Umumnya, perencana lebih memperhatikan dimana dana sangat
tergantung pada dimensi lain dari PNF dan biaya alternatif hendaknya merupakan bagian
eksplisit dari proses pembuatan kepuutusan setiap pilihan dikembangkan.
6. Metode pembelajaran
Metode pembelajaran menyiratkan sejumlah alternatif yang mungkin merupakan kesulitan utama
dalam pelatihan staf PNF dalam melaksanakan peran pendidikan. Sejumlah variasi alternatif
inovatif terjadi dan dalam berbagai situasi menghasilkan sejumlah model alternatif, seperti
pembelajaran tutor sebaya, metode discovery, kurikulum berbasis pada peserta belajar,
pembelajaran berbasis masyarakat dan sejumlah metode berbasis penggunaan media. Pemilihan
metode pembelajaran memiliki hubungan lang-sung dengan pemilihan staf yang dibutuhkan dan
struktur internal seting pembelajaran. Ketiga hal ini perlu dirancanakan bersama. Pemilihan
mengenai metode pembelajaran, atau lebih jauh lagi perpaduan dari metode yang dipergunakan
tergantung pada tujuan pembelajaran dan ciri peserta belajar.
Pertimbangan utama pada pilihan ini yaitu dari sisi peserta belajar yang memainkan peran dalam
proses yang umumnya terbagi atas peserta aktif atau pasif dalam proses pembelajaran. Ciri utama
dalam proses pembelajaran sekolah yaitu berbasis guru dimana informasi disampaikan kepada
murid yang pasif. PNF yang dilakukan dengan penekanan pada kesadaran dan pengembangan
yang lebih aktif dari anggota masyarakat, membutuhkan metode yang merangsang dan
memberikan peluang pada peserta belajar untuk ambil bagian dalam tangung jawab untuk proses
pembelajaran yang sedang diikutinya. Dalam disain perancangan, terutama pada awal kegiatan,
perencana hendaknya lebih mengembangkan strategi untuk mengurangi penggunaan model
pembelajaran ceramah oleh guru. Pelatihan yang seksama akan mengurangi kecenderungan ini.
Namun demikian dalam pelatihan acapkali proses berulang pada pembelajaran ceramah
dibanding-kan dengan penggunaan metode yang diharapkan semula.
7. Kontrol kegiatan
Isu yang berhubungan dengan kontrol merupakan jantungnya PNF dan hal ini merupakan bagian
tidak terpisahkan dari pemberian peran belajar berbasis pada peserta belajar. Identifikasi
kebutuhan belajar, disain metode pembelajaran, peningkatan dan penetapan dana, dan penetapan
organisasi internal merupakan bagian utama dari proses kontrol. Pertanyaan utama yaitu siapa
yang membuat keputusan dan dengan mekanisme yang bagaimana? Retorika mengenai PNF
terutama yang berhubungan dengan keterlibatan peserta belajar dalam pendidikan dasar di
pedesaan dan proyek pembangunan berbasis masyarakat, lebih menekankan pada peran yang
lebih luas dari peserta belajar dalam melakukan kontrol. Namun demikian struktur yang amat
terprogram yang dirancang untuk menghasilkan kecakapan mengontrol acapkali bertolak
belakang dengan mengembangkan kontrol dari luar kelompok masyarakat. Atas dasar itu maka
pengembangan kontrol berbasis partisipasi merupakan tantangan tersendiri bagi perencana.
Isu ini merupakan tantangan tersendiri dari kematangan sebuah perencanaan berbasis pusat atau
regional untuk program tertentu. Tugas utama dari perencana yaitu mengatur keseim-bangan
kebutuhan antara tingkat nasional dan kebutuhan adanya kontrol dari tingkat lokal melalui upaya
yang dilakukan oleh pihak lokal untuk kebermaknaan bagi mereka. Konsep yang ditawarkan
melalui desentralisasi, struktur partisipatif dan sistem perwakilan merupakan bagian upaya
mengatasi hal ini. Permsalahan yang dihadapi perencana yaitu antara retorika politik dengan
perilaku kelembagaan. Perencana harus menyadari bahwa untuk program PNF tertentu, sangat
tergantung pada akar pembuatan keputusan yang memiliki kaitan erat dengan dimensi lain.
8. Dimensi lain
Ketujuh dimensi terdahulu merupakan jaringan dalam pem¬buatan keputusan perencanan PNF.
Di luar itu masih ada dimensi lain dari sistem PNF baik secara terpisah maupun merupakan
pengembangan dari dimensi yang sudah dibahas sebelumnya. Isu-isu yang berkembang sekaitan
dengan dimensi ini sampai batas tertentu dapat diperlakukan sebagai bagian dari dimensi yang
sudah dibahas. Seperti halnya yang berhubungan waktu pem-belajaran, memiliki kaitan erat
dengan metode yang diperguna-kan. Sering dengan menggunakan metode yang lebih canggih
akan memakan waktu lebih banyak yang berhubungan dengan sifat dari metode itu maupun
karena berbagai hambatan yang datang baik dari pihak pendidik, peserta didik maupun sarana
pendukung yang merupakan hambatan tersendiri dan menjadikan waktu yang dipergunakan
menjadi lebih banyak. Pendeknya pemanfaatan waktu merupakan bagian dari isu besar dari
proses pembelajaran dilihat dari sisi peserta belajar. Pola belajar di bebeapa negara seringkali
menjadi tantangan tersendiri baik untuk pendidikan formal maupun PNF. Waktu dalam proses
pendidikan bag! peserta belajar merupakan bahan pilihan dari sejumlah altenatif dalam sistem
pembelajaran. Waktu juga merupakan pertimbangan apakah hasil belajar dapat dimanfaatkan
secara langsung dalam kehidupan dari peserta belajar. Selanjutnya pemanfaatan secara langsung
dapat merupakan hadiah langsung dalam upaya meningkatkan partisipasi peserta belajar, dan
karenanya juga menjadi pendorong untuk memberikan kontribusi nyata untuk penyelenggaraan
pendidikan.
Dimensi lain dari PNF yaitu berkaitan dengan upaya mem-pertegas definisi dari PNF sendiri.
Penggunaan dimensi dapat menjadikan upaya untuk mempertegas dari definisi PNF sendiri. Bila
terdapat gabungan dari pemuda dan orang dewasa dalam satu kegiatan maka hal ini
dikelompokkan pada pendidikan pedesaan. Pembelajaran sepanjang hayat memiliki kaitan
dengan pendidikan secara umum, karena termasuk melibatkan pendidikan formal, informal dan
PNF. Sedangkan pendidikan luar sekolah lebih menekankan pada lokasi lembaga. Koperasi,
petani dan pendidik¬an unit perdagangan lebih banyak menekankan pada asal peserta didik dan
tujuan pembelajaran. Sedangkan batasan PNF sendiri lebih diarahkan pada metode pembelajaran
atau seting kelem-bagaan. Semuanya bila dilihat dari dimensi lain sangat tergantung tanggapan
dan minat dalam penggunaan terminologi tersebut. Walaupun sangat rumit dan sulit untuk
dijelaskan dalam mene-rangkan dimensi akan tetapi dengan bantuan membuat cluster akan
memberikan kemudahan pula untuk memahami sejumlah program yang termasuk PNF dan hal
yang lebih penting lagi adalah dapat menjadikan jaringan untuk pengembangan perencanaan
ketika seorang perencana menghadapi masalah dalam meng-hadapi pola tertentu. Perencanaan
adalah merupakan proses yang sistematis dan bukan merupakan pilihan program yang
didasarkan pada label yang terpisah-pisah dengan bedasar pada komponen khusus dari program.
Ringkasan
Prinsip perencanaan pendidikan nonformal antara lain: (1) perencanaan yang dikembangkan
harus bersifat fleksibel, memadukan antara kualitas dengan sifat khusus dan keragaman program
dan (2) lebih menekankan pada kebermaknaan dalam upaya menunjang efisiensi dan
memberikan peluang sesuai dengan tujuan dan tuntutan dari program pendidikan nonformal.
Bentuk penyederhanaan dari pendidikan nonformal yaitu dengan melihat hubungannya dengan
pendidikan formal. Dalam bentuk termasuk pendidikan nonformal sebagai komplemen,
suplemen dan pengganti dari pendidikan formal.
Secara general pendidikan nonformal dan informal mem-punyai makna sebagai kegiatan
pendidikan yang terorganisir yang berlangsung di luar pendidikan sekolah, baik dalam kegiatan
yang nyata berbeda maupun dimasukkan dalam kegiatan yang lebih luas, yang ditujukan untuk
melayani peserta belajar yang jelas dan memiliki seperangkat tujuan pendidikan.
Dimensi perencanaan pendidikan nonformal mencakup: (1) tujuan pembelajaran, (2)
karakteristik peserta belajar, (3) struktur organisasi, (4) staf, (5) Biaya, (6) Metode pembelajaran,
dan (7) Kontrol kegiatan.
Latihan Soal
1. Perkembangan terakhir dari pendidikan nonformal yaitu kepentingan dalam rangka pendidikan
untuk semua dimana pendidikan nonformal dapat memainkan peranan yang lebih besar, menurut
anda sudahkan hal tersebut di atas terlaksanakan di Indonesia!
2. Di Jepang dikemukakan bahwa tidak ada pemilahan antara pendidikan nonformal dengan
formal, mengapa demikian, dapatkan Indonesia malaksanakan proses tersebut, apa keuntungan
dan kerugiannya bagi Indonesia!
3. Temukan makna pendidikan nonformal dari para ahli dan kemukakan makna pendidikan
nonformal menurut pendapat anda!
4. Dimensi mana yang paling utama diantara dimensi-dimensi dalam pendidikan nonformal,
mengapa demikian!
5. Coba anda prediksi perencanaan pendidikan nonformal berdasarkan dimensi-dimensinya!
Leave a comment
BAB I
Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat,
khususnya di negara-negara berkembang. Dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah
kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus
menerus. Bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena
hingga kini belum bisa dientaskan dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan
krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia (Alfian, 2000: 13).
Kemiskinan dalam sebuah keluarga merupakan permasalahan kemanusiaan purba, yang bersifat
laten dan aktual sekaligus. Kemiskinan telah ada sejak peradaban manusia ada dan hingga kini
masih menjadi masalah sentral di belahan bumi manapun.
Ada dua fenomena kemiskinan yang menarik diperbincangkan, yaitu (1) sisi kemiskinan sosial
dan segala persoalannya, dan (2) karakteristik kemiskinan dalam keluarga. Ada benang merah
yang menghubungkan persoalan kemiskinan dalam keluarga, yakni bahwa ia bukanlah energi
persoalan yang terpisah. Kemiskinan bahkan bukan lagi isu kelas atau bicara tentang si kaya dan
si miskin, kemiskinan menjadi sesuatu yang diciptakan, disengaja, bahkan dibangun karena
kesalahan menerjemahkan demokrasi dalam kondisi transisi, dan ketidakcerdasan pengelolaan
krisis yang berkepanjangan.
Hal paling menarik ketika menggambarkan kondisi kemiskinan dalam keluarga, adalah kondisi
perempuan yang berbeda dengan lelaki, dan suasana perjuangan untuk melawan kemiskinan
yang mereka lakukan. Hal-hal kecil yang tak terpikirkan orang mampu, akan menjadi berarti
ketika keseimbangan hidup mulai terganggu. Disadari atau tidak, saat ini, agenda perempuan
berada dalam posisi penting dalam isu kemiskinan. Belajar dari pengalaman di lapangan dan
melihat negara-negara lain dalam hal pendampingan seperti di India, dan negara berkembang
lainnya, ternyata perempuan miskin paling punya banyak persoalan dibandingkan laki-laki.
Salah satu tujuan dari pembangunan nasional adalah pembangunan sumber daya manusia, baik
laki-laki maupun perempuan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia
2005). Indonesia telah mencanangkan dan mengimplementasikan konsep dasar gender dalam
Peraturan Presiden Nomor Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2004-2009. Sasarannya adalah mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis
dengan terjaminnya keadilan gender bagi peningkatan peran perempuan, yang salah satunya
tercermin dengan membaiknya angka GDI (Genderrelated Development Index) dan angka GEM
(Gender Empowerment Measure).
Kajian mengenai nilai ekonomi keluarga yang menyangkut peran perempuan di sektor domestik,
kurang mendapatkan perhatian baik oleh pihak pemerintah maupun masyarakat. Kajian di
Indonesia belum banyak membahas tentang nilai ekonomi ibu keluarga. Kajian nilai ekonomi
keluarga di Indonesia diawali oleh penelitian Mangkuprawira (1985) dan Guhardja (1986)
tentang “Alokasi Waktu dan Kontribusi Kerja Anggota Rumah Tangga dalam Kegiatan Ekonomi
Rumah Tangga” dan “Alokasi Waktu Keluarga di Pedesaan dan Desa Kota: Kasus di Dua Desa
Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat” (Puspitawati, 2009).
Kemampuan dan potensi yang memadai dari perempuan, sebagai istri dan ibu keluarga,
merupakan aspek terpenting dalam menentukan keberhasilan keluarga terutama masa depan
anak-anak/generasi penerus (Elizabeth 2007). Oleh karena itu potensi keprofesionalan “ibu
rumah tangga” harus diangkat dalam kajian akademis dan merupakan aspek penting dalam
meningkatkan kualitas kesejahteraan keluarga. Semua anggota keluarga sudah semestinya
memiliki kemampuan atau keberdayaan dalam berbagai hal, terutama yang terkait dengan
kompetensi yang mampu mendorong keluarga ke arah yang lebih sejahtera.
Berdasarkan pertimbangan dari sisi akademis, sangat penting mendorong setiap anggota keluarga
untuk memiliki keberdayaan dalam bentuk penguasaan kecakapan hidup (life skill) yang sekali
lagi berkaitan dengan kualitas dan keterukuran pendidikan. Mutu pendidikan saat ini bergerak
dari pendekatan hasil pada proses. Unesco mengatur agar keserasian usaha untuk meningkatkan
kualitas pendidikan melalui dukungan lingkungan yang menunjang, proses pembelajaran, dan
keluaran pendidikan yang lebih diarahkan pada penciptaan generasi baru yang lebih mandiri dan
peserta belajar yang kritis yang mampu untuk menetapkan dan melaksanakan pendidikan yang
berkelanjutan yang diperlukan untuk setiap tahapan kehidupan mereka. Salah satu yang pokok
diantaranya adalah perlunya mendorong setiap anggota keluarga untuk berkemampuan melek
aksara.
Sehubungan dengan itu, pertemuan Dakkar di Senegal tahun 2000 (UNESCO) dengan tema
“pendidikan untuk semua”, menekankan komitmen atas pokok-pokok tersebut, yaitu sebagai
berikut:
1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia,
terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung.
Pendidikan merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebuah negara, jika ingin maju di
bidang pembangunan ekonomi. Tidak ada negara yang maju perekonomiannya hanya
berdasarkan kekayaan alam. Negara harus berinvestasi pada manusia karena manusia bias selalu
diperbaharui (renewed).
2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-
anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan
menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik.
3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi
melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang
sesuai.
4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun
2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan
berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
5. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun
2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu
focus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar
dengan kualitas yang baik.
6. Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga
hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan,
angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting.
Upaya yang dilakukan untuk menangani persoalan pendidikan khususnya (illiteracy) atau buta
aksara, adalah diselenggarakannya program pendidikan keaksaraan fungsional (KF). Program ini
dianggap strategis dan harus menjadi gerakan nasional yang perlu dikampanyekan secara
menyeluruh dengan beberapa alasan aktual, yaitu: (1) merupakan salah satu unsur utama yang
mempengaruhi indeks pembangunan manusia, (2) masih adanya kelompok masyarakat yang buta
aksara, (3) adanya kelompok masyarakat yang telah melek huruf namun menjadi buta huruf
kembali, dan (4) kemelekhurufan merupakan dasar pengetahuan bagi setiap individu.
Dalam sistem pendidikan sepanjang hayat, kegiatan pendidikan atau belajar tidak lagi
menekankan pada sekedar pemilikan (having) sejumlah stok ilmu pengetahuan yang diberikan
oleh pemegang otoritas pengetahuan seperti guru di sekolah. Pendidikan lebih menekankan
aktivitas belajar bagi pengembangna diri (being) baik yang dilakukan dalam bentuk formal,
nonformal, atau informal dengan kurikulum yang dirancang oleh lembaga atau yang dirancang
oleh dirinya sendiri (self-education atau self-directed learning). Aktivitas belajar yang dilakukan
secara terorganisir oleh diri sendiri dengan tujuan bagi pengembangan diri perlu memperoleh
penghargaan sebagai bagian dari kegiatan pendidikan. Apalagi saat ini berkembang ungkapan
bahwa hampir seluruh aktivitas dalam kehidupan dapat dipandang sebagai bagian dari belajar
sepanjang hayat.
Apa yang penting dalam sistem pendidikan sepanjang hayat adalah adanya kemauan untuk terus
menerus belajar dalam diri setiap individu dan masyarakat, kemauan untuk mengembangkan diri
berkelanjutan (continuing self development). Persoalannya adalah sudah siapkah individu dan
masyarakat dengan budaya belajar yaitu sikap dan perilaku menyenangi dan menghargai
aktivitas belajar bagi pengembangan dirinya. Apakah layanan pendidikan sekarang ini baik
formal, nonformal, dan informal sudah dapat membentuk suatu nilai sikap dan perilaku yang
menyenangi kegiatan belajar dalam diri individu dan masyarakat?
Memasuki babak baru inovasi pembelajaran, negeri ini menetapkan sejumlah pertimbangan
mengenai diperlukannya pendekatan baru dalam pembelajaran, seperti berikut:
7. Pendekatan inkuiri, analitik dan kreatif (The China Paper, 2004)
Sekaitan dengan tuntutan pendidikan yang dicanangkan Kong Fu Tsu, “bukan berikan ikan tapi
berikan pancing”, mengisyaratkan adanya inovasi pendidikan seperti di bawah ini:
7. Lokakarya
Babak baru inovasi pembelajaran di atas, dalam perjalanannya cukup sulit direalisasikan.
Kesulitan tersebut diakibatkan oleh beberapa hal diantaranya: pertama kesulitan untuk merubah
pola pikir praktisi mengenai kebiasaan yang dilakukan keseharian terutama dari pembelajaran
transmisi menjadi pembelajaran yang inovatif dan kebiasaan mereka umumnya melakukan
pembelajaran transmisi. Kedua, resistensi dari kelompok warga belajar yang telah terbiasa
melakukan pembelajaran konvensional menjadi pembelajaran yang lebih canggih, karena
dianggap memberatkan. Ketiga, daya dukung lingkungan yang kurang kondusif untuk
melakukan pembelajaran yang inovatif. Keempat, bagi peserta belajar dibutuhkan loncatan
berpikir karena yang ada di benak mereka yang dimaksud dengan belajar adalah belajar
menghapal dan bukan mengaplikasikan konsep dalam kenyataan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009 dan Rencana
Strategis Pendidikan Nasional tahun 2005-2009 serta dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2006
ditegaskan bahwa akhir tahun 2009, angka buta huruf usia 15 tahun ke atas tersisa 5% atau 7,7
juta orang. Sementara itu, sampai akhir tahun 2008 menunjukkan bahwa penduduk buta huruf
9,76 juta orang atau setara dengan 7,51% populasi (www.diknas.depdiknas.co.id)
Ada beberapa alasan mengapa mereka buta huruf, antara lain disebabkan: (1) tidak sekolah sejak
awal (karena alasan geografis dan ekonomi), (2) drop out sekolah dasar (SD Kelas 1-3), (3)
keterbatasan kemampuan pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan pelayanan kepada
kelompok marginal, (4) buta huruf kembali, karena tidak diaplikasikannya hasil pendidikan
keaksaraan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai hal ini Direktorat Pendidikan
Masyarakat melaksanakan program pemberantasan buta aksara yang sejalan dengan prakarsa
keaksaraan untuk pemberdayaan.
Sesuai dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 26 ayat
3 dinyatakan bahwa: “Pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan
anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan
lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik”.
Gerakan pemberantasan buta aksara merupakan salah satu program untuk menuntaskan
penduduk yang masih buta aksara, mereka dituntut untuk bisa menulis, membaca dan
menghitung dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai realisasi untuk menuntaskan penduduk yang
belum melek aksara, terdapat strategi baru dalam pembelajaran pendidikan keaksaraan, yaitu
pendidikan keaksaraan keluarga bagi masyarakat. Pendidikan keaksaraan keluarga yang diilhami
oleh konsep family literacy, dipandang sebagai pendekatan keaksaraan yang paling
mempertimbangkan aspek etnososial, karena proses pembelajaran tidak lagi didasarkan pada
transaksi ekonomi, akan tetapi lebih pada rasa kemanusiaan dan kasih sayang. Beberapa
pertimbangan keunggulan dari keaksaraan keluarga yaitu: saling percaya, ketulusan, kasih
saying, dukungan dana, dan dukungan fasilitas.
Melalui tanggung jawab keluarga sebagai unit paling kecil, diharapkan berkembang budaya malu
apabila tidak bisa baca tulis dan hitung. Sementara itu, anggota keluarga diminta untuk
mengakrabi dan membantu mengajarkan kembali yang sudah diajarkan oleh tutor. Dengan cara
ini bisa berlaku one teach one, sehingga anggota keluarga yang sudah melek aksara melakukan
transformasi pembelajaran secara sadar dan bermakna dalam kehidupan sehari-hari. Anak
maupun cucu umumnya merupakan inspirasi yang sangat mendalam untuk membiasakan proses
belajar dan dapat memfasilitasi proses pembelajaran bagi orang tua atau pembantu yang belum
melek aksara dengan membawa situasi pada pembelajaran yang sesungguhnya. Keluarga
umumnya sensistif dalam mengurai kesulitan dalam melakukan pembelajaran.
Survey yang dilakukan Departmen Pendidikan USA (1999) menunjukkan 43% dari kelompok
miskin mempunyai kemampuan baca dan tulis yang rendah. Studi yang dilakukan oleh lembaga
Keaksaraan USA menunjukkan peningkatan dalam kemampuan membaca secara berarti
mempengaruhi peningkatan penyerapan dalam lapangan kerja, pendapatan dan kemampuan
untuk meningkatkan diri. Khusus untuk wanita dewasa, peningkatan kemampuan membaca
melalui peningkatan tahun belajar mempengaruhi sebanyak 7% dari pendapatan mereka.
Di dunia terdapat 1.2 miliar penduduk yang mempunyai kesulitan untuk membaca dan mereka
dihadapkan kepada masalah serius dalam mengatasi masalah keseharian seperti membaca rambu-
rambu, memahami label obat-obatan dan petunjuk kerja mesin, melakukan transaksi komersial
dan sangat rentan menjadi sasaran penipuan (Institute of Development Studies, 2005). Kemajuan
dalam kemampuan keaksaraan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kemajuan sosial
seperti halnya:
2. Adanya pengakuan pada keanekaragaman manfaat keaksaraan dalam kehidupan global
dan penciptaan masyarakat global
3. Adanya dorongan untuk membangun kekuatan dalam keaksaraan dan komunikasi
4. Kesadaran bahwa kebutuhan informasi, dan penggunaan keaksaraan terus meningkat dan
mengalami perbahan yang semakin meningkat.
5. Adanya peningkatan yang lebih baik pada perhatian pada kelompok miskin untuk
berpartisipasi pada dunia pendidikan
BAB II
Berikut ditampilkan pengalaman lapangan hasil kajian PKK di Semarang, Sumedang, Gresik dan
Mataram. Semarang ditampilkan dengan karakteristik pendekatan agama dan kebanyakan peserta
belajar laki-laki dewasa, kemudian Sumedang ditampilkan dengan fokus dari sisi keaksaraan
usaha mandiri. Gresik ditampilkan dengan karakteristik pembinaan yang dilakukan oleh Sanggar
Kegiatan Belajar serta didasarkan pada kecakapan hidup, sedangkan Mataram ditampilkan
dengan karakteristik berdasar pada jumlah peserta relatif cukup tinggi, serta berbasis pada
kegiatan menabung setiap kegiatan pembelajaran.
Gambar 2.1.
PKBM La Tahzan berdiri diinisiasi oleh kondisi masayarakat sekitar Desa Jombor yang relatif
masih tertinggal dari desa-desa lainnya di Kabupaten Semarang. Di Desa Jombor, rata-rata mata
pencaharian penduduk adalah bertani, namun tidak sedikit diantara mereka tidak mempunyai
pekerjaan tetap. Berdasarkan data kependudukan, dari jumlah penduduk Desa sebanyak 3.232
orang, diketahui sekitar 10% atau 323 orang penduduk dalam kondisi buta aksara. Kondisi
masyarakat yang demikian, disebabkan oleh cara pandang sebagain besar masyarakat yang
kurang memperhatikan pendidikan.
Keadaan masyarakat yang sangat terbelakang dalam bidang pendidikan tersebuat, mendorong
tokoh masyarakat dan pemuda untuk mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Adalah Azizatun Nikmah, yang paling bersemangat mempelopori lahirnya PKBM di desa
tersebut dengan nama La Tahzan, yang artinya Jangan Bersedih. Nama tersebut terinspirasi dari
sebuah judul buku best seller yang terbit tahun 2008. Azizatun Nikmah nampaknya ingin
memberikan jawaban kepada masyarakat bahwa jangan bersedih tidak bisa baca, tulis dan
berhitung, jangan bersedih tidak dapat melanjutkan sekolah, dan jangan bersedih tidak bisa
berwirausaha, karena PKBM La Tahzan siap membantu mereka melalui proses pendidikan
keterampilan, proses pendidikan kesetaraan, dan proses belajar usaha. Berkat kerja keras seorang
Azizatun yang didukung tokoh masyarakat serta pemerintahan setempat, maka PKBM La
Tahzan resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 2008. Di atas tanah milik sendiri disamping rumah
Azizatun berdiri bangunan permanen sebagai secretariat sekaligus ruangan belajar PKBM La
Tahzan berukuran 8X6 M2. Berdasarkan pengakuan pengelola, berdirinya bangunan PKBM
adalah wujud impian yang sudah bertahun-tahun diharapkan. Pengelola dan warga masyarakat
terus berharap dan berikhtiar menyisihkan uang agar dapat membangun ruang belajar di desanya,
namun karena kecilnya dana hasil penyisihan dan mahalnya biaya pembangunan, maka mereka
harus rela menunggu sampai waktu yang tidak ditentukan. Doa dan ikhtiar mereka terkabul saat
PKBM La Tahzan terpilih sebagai juara pada suatu event perlombaan nasional dan mendapat
hadiah dari Mendiknas berupa sertifikat, piala dan uang yang cukup besar. Saat itulah, seluruh
uang hasil tabungan dan hadiah kejuaraan dipersembahkan untuk membangun ruangan PKBM
Latahzan yang asri.
Gambar 2.2.
Program-program PKBM tersebut dirancang sesuai dengan tujuan didirikannya lembaga PKBM
La Tahzan yaitu sebagai wadah masyarakat Desa Jombor dan sekitarnya dapat belajar bersama-
sama mengatasi kebodohan dan keterbelakangan serta untuk meningkatkan taraf hidupnya
melalui pendidkan Non Formal dan Informal.
Melalui jaringan kemitraan dengan SKB Semarang, Forum PKBM Kab. Semarang, Majelis
Taklim, Persatuan Hotel dan Restauran Kab. Semarang serta Muslimat Nahdatul Ulama Jawa
Tengah, langkah dan kifrah serta citra Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat La Tahzan semakin
menggema dan dijadikan rujukan bagi PKBM lainnya di Kabupaten Semarang.
1. Awal Bergulirnya Pendidikan Keaksaraan Keluarga
Program Pendidikan Keaksaraan keluarga di PKBM ini dimulai tahun 2008, dan berjalan hingga
saat ini, dengan jumlah warga belajar sebanyak 70 orang. Dana belajar yang digunakan untuk
kegiatan program keaksaraan keluarga diperoleh dari bantuan pemerintah sebesar 40 juta rupiah
yang pencairannya langsung diterima melalui rekening Ketua PKBM La Tahzan. Tujuan
diselenggarakan pendidikan keaksaraan keluarga adalah untuk memberdayakan masyarakat yang
belum melek huruf dalam lingkup keluarga, melalui peran serta dan pelibatan seluruh anggota
keluarga, sehingga semua anggota keluarga memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung,
berkomunikasi secara lisan maupun tulisan dalam meningkatkan tarap hidupnya.
Berdasarkan informasi dari pengelola PKBM La Tahzan, pada awalnya masyarakat kurang
antusias mengikuti program pendidikan keaksaraan keluarga, karena berbagai alasan. Umumnya
mereka keberatan mengikuti program keaksaraan keluaraga karena pertimbangan waktu. Selam
ini mereka bekerja menggarap sawah sehingga tidak ada pilihan waktu yang dapat diluangkan
untuk belajar. Selain itu, asumsi masyarakat bahwa tidak bisa membaca dan menulis serta
berhitung pun, mereka masih bisa bekerja dan menanggulangi kebutuhan keluarga. Mereka yang
buta aksara sebagain besar adalah orang tua yang sudah lanjut usia, sehingga rasa malu dan
malas belajar menjadi kendala utama untuk mengikuti program pendidikan keaksaraan keluarga.
Tantangan berat bagi tokoh masyarakat dan pengelola PKBM La Tahzan dalam menggulirkan
program pendidikan keaksaraan.
Berkat kerja keras dan ketekunan pengelola program, sedikit demi sedikit masyarakat mulai ada
yang melibatkan diri kegiatan pendidikan keaksaraan. Strategi yang digunakan oleh pengelola
program adalah melakukan apresiasi dengan pendekatan dogma religi (Agama Islam).
Gambar 2.3.
Peserta Belajar Keagamaan
Masyarakat sekitar yang menjadi sasaran pendidikan keaksaraan keluarga, mayoritas beragama
Islam, umumnya mereka patuh dengan ajaran agama, sehingga setiap informasi yang dianjurkan
agama mereka lakukan dan setiap pekerjaan yang dilarang agama tabu untuk dilakukan.
Karakteristik inilah potensi lokal yang dimanfaatkan pengelola program PKBM untuk
melancarkan program keaksaraan keluarga. Lewat obrolan dalam keseharian, atau obrolan
setelah shalat magrib berjamaah, pengelola program dan tokoh agama menyampaikan informasi
dan memahamkan masyarakat tentang pentingnya belajar sepanjang hayat. Beberapa dalil dalam
ayat Al Quran yang dijadikan motivasi bagi warga belajar, diantaranya: “Bahwa Alloh akan
mengangkat derajat orang-orang beriman dan mereka yang berimu pengetahuan beberapa
derajat” selain itu, beberapa hadist nabi yang mewajibkan orang Islam untuk belajar mulai dari
lahir sampai meninggal dunia, serta rujukan ayat al qur’an dan hadist nabi lainnya.
Gambar 2.4.
Motivasi belajar yang dianjurkan agama telah membangun kesadaran belajar, sehingga kaum
pria yang awalnya kurang peduli dengan program keaksaraan keluarga, mulai tertarik untuk
melakukan proses belajar membaca terjemahan Al-Quran dan menulis hasil terjemahan. Bagi
kaum akhwat (ibu-ibu) kegiatan memotivasi dilakukan lewat majelis talim, sedangkan untuk
kaum ikhwan (pria) dilakukan lewat obrolan ba’da Sahat Isa. Selain itu, pengelola program juga
melakukan silaturahmi kunjungan rumah, terutama bagi keluarga yang dianggap anggota
keluarganya belum melek huruf. Cara-cara sebagaiman diungkapkan di atas, cukup berhasil.
Rentang waktu antara ba’da Shalat Magrib sampai tibanya Shalat Isa, yang awalnya digunakan
ngobrol oleh para bapak berubah menjadi nuansa belajar keaksaraan, yang substansi materinya
tentang agama.
Begitu pula dengan kegiatan kaum ibu, menunjukan ketertarikannya mengikuti program
keaksaraan lewat kegiatan koperasi keluarga. Mereka menyengajakan datang ke PKBM untuk
belajar membaca, menulis dan berhitung. Sampai saat ini warga belajar pendidikan keaksaraan
keluaraga PKBM La Tahzan bukan hanya didominasi oleh ibu-ibu usia lanjut, tetapi juga
banyak remaja putra serta bapak-bapak ahli masjid. Saat ini jumlah warga belajar keaksaraan
keluarga PKBM La Tahzan berjumlah 97 orang, adalah jumlah yang cukup fantastis dan
nampaknya akan terus bertambah sejalan dengan informasi yang terus bergulir.
Warga belajar yang mengikuti kegiatan keaksaraan keluarga ternyata memiliki latar belakang
motivasi yang berbeda-beda dan cukup rasional. Sebagian warga belajar mengikuti kegiatan
dimotivasi oleh factor keluarga. Mereka mengaku seringkali ditanya oleh cucu-cucunya tentang
pekerjaan rumah yang ditugaskan guru sekolahnya. Karena ketidak-mampuannya, akhirnya
mereka tidak dapat membantu menyelesaikan tugas cucunya. Itulah salah satu motovasi warga
belajar tertarik mengikuti gagasan PKBM La Tahzan mengikuti belajar menulis, membaca dan
berhitung. Motivasi lain yang diungkapan warga belajar adalah, karena factor ekonomi. Mereka
seringkali kesulitan dalam menanggulangi kebutuhan ekonomi keluarga. Padahal mereka sangat
tertarik dengan kegiatan usaha dan keterampilan memasak. Sepertinya mereka ingin membuka
usaha membuat kue-kue modern yang dapat dijualnya ke pasar. Tapi ketidakpahaman membaca
resep dan formula cara membuat kue-kue yang mendorong mereka tertarik belajar membaca
resep. Sebagian lagi memaparkan bahwa motivasi mereka karena ketidakmampuan orang tua
mereka dulu karena keterbatasan ekonomi menyekolahkan pada jalur sekolah formal. Sehingga
saat ini dalam rentang relative muda tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah dan tidak bias
membaca, menulis dan berhitung. Walaupun terlambat dan tidak di sekolah formal, mereka ingin
belajar lewat PKBM La Tahzan. Berbagai motivasi warga belajar tersebut merupakan kondisi
gayung bersambut, antara gagasan pengelola PKBM dengan kebutuhan masyarakat.
Gambar 2.5.
Ketelatenan pengelola dan ketekunan warga masyarakat untuk terus belajar dan membelajarkan
telah merubah image (citra) kegiatan PKBM di tengah-tengah masayarakat. Respon awal yang
kurang peduli dari sebagin masyarakat terhadap gagasan dan program-program PKBM, pada
beberapa tahun terakhir ini sudah mulai berubah. Saat ini umumnya warga masyarakat secara
moril mendukung bagi kelangsuangan program-program PKBM, karena asumsi mereka melalui
program PKBM banyak anggota keluarga yang berubah sikap belajarnya kearah yang lebih baik
sehingga meningkat ilmu pengetahuannya. Selain itu, warga masyarakat mearasa bangga bila
semua anggota keluarga dilingkungannya desanya tidak termasuk dalam kelompok keluarga buta
huruf.
Tahap perencanaan diawali dengan pendataan kepada warga masyarakat melalui kerjasama
dengan pengelola majelis taklim, Ketua RT dan Ketua RW setempat. Setelah mendapatkan data
warga masyarakat yang belum bias baca tulis, selajutnya melakukan sosialisasi dan penjelasan
kepada warga masyarakat calon program pendidikan keaksaraan beserta keluarganya. Bersamaan
dengan kegiatan sosialisasi dilakukan pula pendataan anggota keluarga dari warga belajar yang
melek aksara. Lewat kegiatan sosialisasi diketahui minat belajar masyarakat tentang apa yang
ingin dipelajarinya lewat pendidikan keaksaraan keluarga. Oleh karena itu, dalam perencanaan
dan penyelenggara pendidikan keaksaraan keluarga di PKBM La Tahzan disusun berdasarkan
kebutuhan warga belajar dengan tetap mengacu kepada standar kurikulum keaksaraan (SKK)
yang disusun pemerintah. Misalnya, ibu-ibu yang membutuhkan pengetahuan agama difasilitasi
melalui kegiatan ceramah kegamaan. Pembelajaran keaksaraan disesuaikan dengan tema
ceramah yang disampaikan ustadz, mislanya: tema ceramah tentang cara-cara wudhu, dilanjutkan
dengan belajar menulis kalimat yang isinya langkah-langkah berwudu. Apabila tema ceramah
tentang shalat dilanjutkan dengan belajar membaca bacaan latin cara-cara shalat, menuliskan
jumlah rakaat pada setiap waktu sahlat dan menulis huruf arab dan latin.
Kegiatan belajar di PKBM La Tahzan juga dilengkapi dengan belajar keterampilan bagi warga
belajarnya. Salah satu keterampilan yang diminati warga belajar adalah membuat dan
memasarkan telor asin.
Gambar 2.6.
Melalui keterampilan membuat telor asin, warga belajar banyak mengenal huruf dan angka serta
kalimat yang berkaitan dengan telor asin. Misalnya, warga belajar mengawali belajar dengan
menulis hurup yang T E L O R, serta hurup-hurup lainnya yang melafalkan resep tentang tahap-
tahap membuat telor asin. Selain keterampilan di atas, warga belajar juga mempalajari
keterampilan lain seperti cara-cara membuat kue dari bahan singkong dan terigu. Melalui
pembelajaran ini, Tutor selalu meminta warga belajar untuk menjelaskan bahan-bahan dan cara
membuat kue, yang ditindak-lanjuti dengan menuliskannya dalam selembar kertas tentang apa
yang mereka telah jelaskan.
Proses belajar antara tutor dengan warga belajar dilaksanakan di ruang PKBM dalam rentang
seminggu tiga kali selama dua jam penuh. Dalam suasana kekeluargaan, dan proses belajar yang
disetting secara lesehan beralaskan tikar mereka belajar. PKBM menyediakan meja pendek yang
dapat dijadikan alas menulis sambil duduk. Selain itu, pengelola juga menyediakan whiteboard
dan spidol untuk menulis ketika tutor menjelaskan materinya. Mengingat kegiatan pembelajaran
keaksaraan keluarga merupakan proses pelibatan anggota keluaraga yang difasilitasi oleh tutor,
maka kecenderungan terjadinya pemberian motivasi dan semangat belajar diantara keluaraga
sangat tinggi, terutama dorongan keluarga yang sudah melek huruf terhadap anggota keluarga
lainnya yang belum memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Oleh karena itu,
pengelola program keaksaraan keluarga, pada awal pertemuan mengidentifikasi anggota keluarga
warga belajar yang sudah melek huruf.
Maksud dari kegiatan ini adalah untuk menentukan siapa tutor keluarga yang akan membantu
warga belajar menyelesaikan tugas warga belajar di rumahnya masing-masing. Tutor
Keaksaraan Keluarga di PKBM La Tahzan selama ini bertugas memberikan pembelajaran sesuai
standar kompetensi keaksaraan (SKK) serta menstimulasi warga belajar untuk melakukan
kegiatan belajar. Para tutor menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dengan cara mengajari cara
menulis, membaca dan berhitung bagi warga belajarnya, kemudian memberikan tugas menulis
atau berhitung yang harus dikerjakan di rumah. Tutor kemudian meminta anggota keluarga dari
warga belajar tersebut yang sudah melek huruf untuk mendampingi mengajari dan
menyelesaikan tugas tersebut bersama-sama warga belajar di rumahnya masing-masing.
Kegiatan ini cukup efektif mengingat waktu belajar di rumah relative lebih leluasa serta suasana
interkasi lebih kondisuf dibadingkan di PKBM bersama tutor.
Kegiatan evaluasi dilakukan pada akhir proses pembelajaran sesuai standar kompetensi
keaksaraan (SKK) yang disusun diknas.
Gambar 2.7.
Pengelola PKBM menyusun sendiri instrument tes berdasarkan SKK. Proses penilaian
dilakukan secara individual, sehingga skor nilai pada setiap warga belajar dapat diketahui secara
langsung melalui alat tes tersebut. Prosedur evaluasi dilakukan melalui proses pembelajaran,
dimana pada tahap awal tutor membagikan kertas kerja, berupa selembar kertas HVS ukuran
kuarto (A4) kepada setiap peserta. Langkah selanjutnya, tutor meminta warga belajar untuk
menuliskan apa yang telah mereka pelajri dalam bentuk kalimat. Seringkali warga belajar
kesulitan tentang apa yang harus mereka tuliskan. Untuk menanggulangi kesulitan tersebut, tutor
meminta warga belajar menceritakan tentang beberapa hal yang mereka ketahui, misalnya: warga
belajar menjelaskan resep/bumbu masakan tertentu dan bagaimana cara memasaknya. Setelah
warga belajar menceritakan nama-nama bumbu dan cara-cara memasak sesuatu yang
diketahuinya, kemudian tutor meminta warga belajar untuk menuliskan apa yang telah mereka
ceritakan. Contoh lain, tutor meminta warga belajar menjelaskan tentang rukun iman dan rukun
islam yang mereka ketahui. Setelah itu, tutor meminta warga belajar menuliskannya, dan banyak
contoh lainnya ang dilakukan oleh tutor dalam mengevaluasi kemampuan warga belajaranya.
Hasil tulisan warga belajar diminta oleh tutor untuk dikumpulkan sebagai bahan evaluasi bagi
tutor dan penyelenggara pendidikakan keaksaran keluarga tentang kemajuan warga belajar dalam
belajar.
Dampak dari program pendidikan keaksaran keluarga adalah tumbuhnya jiwa kemandirian warga
belajar, karena dengan bekal kemampuan keaksaraan, mereka merasa percaya diri untuk
menyelesaikan bebagai pekerjaan. Kemampuan membaca warga belajar mendorong mereka
untuk mencoba berbuat melakukan berbagai keterampilan. Sebagai contoh, salah seorang warga
belajar dengan kemampuan membaca resep tentang membuat telor asin, tertarik untuk
berwirausaha membuat dan menjual telor asin, dan sukses menghasilkan uang.
Kemampuan membaca dan menulis serta berhitung warga belajar, menjadi motivasi dalam
mengaktualisasikan diri warga belajar melalui penuangan gagasan-gagasan lewat tulisannya,
walaupun gagasan sederhana dan dalam bentuk tulisan tangan. Hal tersebut dibuktikan dengan
terkumpulnya naskah-naskah tentang bebagai gagasan, pemikiran, termasuk resep-resep
makanan yang mereka ketahui untuk diterbitkan lewat bulletin dan tabloid MEKAR yang
diterbitkan Sanggar Kegiatan belajar (SKB) Sususkan Kabupaten Semarang yang terbit tiga kali
dalam satu tahun.
Gambar 2.8.
Program pendidikan keaksaraan keluarga yang dilakukan PKBM La Tahza mengacu kepada
Standar Kurikulum Keaksaraan (SKK) dasar yang pelaksanaannya dikemas sesuai dengan
lingkungan social budaya masyarakat. Komponen pembelajaran pendidikan keaksaraan keluarga
terdiri atas beberapa materi yaitu: (a) membaca, (b) menulis, (c) Berhitung, (d) berkomunikasi,
(e) keterampilan. Sedangkan strategi pembelajaran yang dilakukan menggunakan pendekatan
andragogik (pendidikan orang dewasa) dan pendekatan agama.
Berdasarkan hasil observasi lapangan dan pendapat pengelola serta warga belajar, kendala utama
penyelenggaraan proram pendidikan keaksaraan keluarga di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) La Tahzan adalah: pertama, ketersediaan sarana bahan bacaan. Pihak pengelola PKBM
La Tahzan telah melengkapi sumber bacaan, namun jenis bukunya kurang bervariasi. Selama ini
buku-buku yang ada lebih berupa bahaan bacaan pelajaran dan sangat sedikit buku-buku bacaan
pouler atau sumber bacaan tentang keterampilan. Padahal warga belajar yang sering mampir ke
PKBM adalah ibu-ibu yang sangat membutuhkan informasi tentang berbagai keterampilan
hidup.
Kedua, Keterbatasan anggaran atau biaya opersional pembelajaran seperti membeli sarana dan
prasarana serta gaji pelaksana. Kebutuhan sarana pembelajarn seperti karton, kertas, dan alat
tulis kantor (ATK) lainnya ditanggulangi dengan biaya pribadi penyelenggara, karena kebutuhan
tersebut bukan pengeluaran rutin sehingga dapat ditanggulangi penyelenggara. Kendala yang
seringkali menjadi bahan pemikiran penyelenggara dan samapai saat ini belum dapat dipenuhi
adalah honor tutor dan adminsitrasi lainnya. Karena keterbatasan sumber biaya tersebut,
pengelola PKBM La Tahzan belum mampu merekrut tutor atau fasilitator yang disengaja
dipekerjakan dengan honor tetap. Selama ini, tutor yang dilibatkan dalam proses pembelajaran di
PKBM La Tahzan adalah warga masyarakat yang memiliki kesadaran, mampu dan mau
bekerjasama membantu penyelenggaran pendidikan tanpa harus mendapatkan honor tetap. Tutor
program pendidikan keakasaraan keluarga yang saat ini terlibat adalah keluarga diantaranya
suami dan orang tua ketua PKBM La Tahzan dan dibantu beberapa guru sekolah dasar yang
tempat tinggalnya berdekatan dengan lokasi PKBM La Tahzan.
Gambar 2.9.
Menurut Ketua PKMB La Tahzan, banyak manfaat ganda dari kegiatan koperasi simpan pinjam
sesama warga. Pertama, keterlibatan warga belajar sebagai anggota koperasi menjadi pengikat
keberlanjutan keikutsertaan warga belajar. Kedua, Warga belajar yang memiliki kelebihan uang
dapat ditabungkan di koperasi simpan pinjam warga belajar PKBM La Tahzan, sehingga merasa
ada tempat penitipan uang yang aman dan memberikan hasil. Selanjutnya bagi warga belajar
yang membutuhkan uang sangat mendesak dapat terbantu dengan cara meminjam uang koperasi.
Sehingga kehadiran koperasi dianggap penting dan memberikan manfaat ekonomis dan
kekerabatan bagi warga belajar. Ketiga, Lewat koperasi simpan pinjam anggota koperasi yang
juga warga belajar dapat secara langsung menerapkan pengetahuan dan kemampuan membaca,
menulis dan berhitung yang telah dipelajarinya melalui kegiatan transaksi keuangan.
Selama ini yang menjadi pengurus koperasi adalah warga belajar, tetapi penyimpanan buku kas
dan uang dilakukan oleh penyelengra PKBM La Tahzan. Proses transaksi pencatatan dan
penghitungan uang dilakukan murni oleh warga belajar sebagai anggota dan pengurus koperasi.
Posisi penelenggara PKBM adalah memfasilitasi, mendampingi dan membantu mengarahkan
proses transaksi tersebut. Oleh karenanya, kemampuan keaksaraan warga belajar semakin
mantap karena terdapat media koperasi sebagai best practice yang simultan (bersamaan)
membantu melancarkan kemampuan keaksaraan warga belajar.
Inovasi lainnya yang sedang dipersiapkan oleh penyelengara adalah pendidikan keaksaraan
keluarga dengan pendekatan pertanian budidaya jamur kuping. Beberapa alasan penyelenggara
PKBM untuk mendampingkan pembelajaran keaksaran dengan pertanian budidaya jamur
kuping, diantaranya: pertama, posisi PKBM berada di daerah pertanian dan perkebunan,
sehingga memungkinkan memprogramkan pembelajaran bagi masyarakat sekitar tentang
budidaya pertanian. Selain itu, setiap warga belajar peserta didik rata-rata memiliki pekarangan
rumah yang dapat dimanfaatkan untuk menanam tanaman yang dapat menjadi sumber
pemenuhan kebutuhan dan pendapatan keluarga. Rencana yang dikembangkan melalui budidaya
jamur kuping, karena suhu udara yang relatif dingin, karena lokasi Desa Jombor berada di
dataran tinggi dan memiliki derajat suhu udara yang mendukung untuk budidaya dipertanian
bidang pertanian budidaya jamur kuping. Kedua, kultur masyarakat di daerah Kecamatan
Tuntang khususnya warga Desa Jombor adalah petani, sehingga kebiasaan bercocok tanam
bukan hal baru, dan diperkirakan mereka akan menerima gagasan tentang penerapan pertanian
budidaya jamur kuping sebagai inovasi pembelajaran keaksaraan, karena dianggap sejalan
dengan adat dan kebiasaan yang selama ini mereka lakukan. Ketiga, proses pembelajaran
keakasaraan melalui program pengembangan pertanian budidaya jamur kuping, lebih bersifat
paktek lapangan. Sehingga proses pembelajaran tidak selamanya harus berada di ruangan dan di
PKBM seperti yang selama ini dilakukan. Kondisi ini sangat efektif dan efisien, walaupun tentu
pihak penyelenggara harus menyiapkan seperangkat kebutuhan tim yang difasilitasi untuk
menjadi tutor di lapangan.
Gagasan tenang inovasi pendidikan keaksaaan yang digandengan dengan proses budidaya
pertanian budidaya jamur kuping ini adalah hasil pemikiran penyelengara PKBM La Tahzan
yang setiap saat selalu mengembangkan inovasi dalam proses pembelajaran program pendiidkan
keakasaraan yang lebih efektif dan efisien.
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Widya Cipta adalah tempat pembelajaran dan
tempat sumber informasi yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat Tanjungsari. Wadah ini
berisi berbagai jenis keterampilan fungsional yang berorientasi pada pemberdayaan potensi
setempat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat dibidang
ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan kesehatan.
Gambar 2.10.
PKBM Widya Cipta terletak di Dusun Depok Rt.01 Rw.03 Desa Jatisari Kecamatan Tanjungsari
Kabupaten Sumedang, letaknya strategis diantara Desa Tanjungsari dan Desa Margaluyu dan
dekat Kota Kecamatan/Alun alun Tanjungsari. Wilayah garapan dan kelompok sasaran PKBM
Widya Cipta mencakup beberapa wilayah desa yang belum mempunyai Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat, diantaranya Desa Jatisari, Desa Kutamandiri, Desa Gunung Manik, Desa
Cinanjung, Desa Raharja, Desa Cijambu, Desa Margaluyu, Desa Pasigaran, Desa Kadaka Jaya,
Desa Gudang dan Desa Tanjungsari.
Berdasarkan wilayah jangkauan yang dijadikan sasaran PKBM Widya Cipta sebagaimaan
disebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh wilayah kecamatan Tanjungsari
Kabupaten Sumedang menjadi wilayah jangkaun pendidikan PKBM Widya Cipta. Wilayah
Tanjungsari sebagai garapan PKBM dilihat dari letak geografis berada pada ketinggian dari
permukaan laut terendah 500 meter dan ketinggian dari permukaan laut tertinggi 700 meter,
batas sebelah Utara Kecamatan Pamulihan dan Kecamatan Rancakalong, batas sebelah timur
Kecamatan Pamulihan dan Kecamatan Cimanggung, batas sebelah selatan Kecamatan
Cimanggung dan Kecamatan Jatinangor, sebelah barat kecamatan Sukasari dan Kecamatan
Jatinangor. Mempunyai luas wilayah 34,62 Km2, terdiri dari 12 Desa dengan jumlah penduduk
cukup padat yaitu 63.500 orang terdiri dari Perempuan 30.760 orang dan laki laki 32.470 orang.
Jumlah Penduduk dilihat daristatus pekerjaan dari 12 Desa yang ada di Kecamatan Tanjungsari
sebagian besar adalah petani, buruh tani dan buruh/karyawan, sebagian kecil adalah pedagang,
PNS/TNI dan wiraswasta.
Gambar 2.11.
Atas dasar alasan-alasan tersebut diatas, PKBM Widya Cipta didirikan dengan tujuan: Pertama,
untuk tempat pembelajaran dan wadah yang menyediakan informasi dan kegiatan belajar
sepanjang hayat bagi setiap warga masyarakat. Kedua, untuk memperluas kesempatan warga
masyarakat khususnya yang tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan bekerja mencari nafkah. Ketiga,
mengembangkan berbagai jenis keterampilan fungsional yang berorientasi pada pemberdayaan,
potensi setempat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat di
bibang ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan kesehatan.
Secara khusus program pendidikan keaksaraan keluarga yang diselenggarakan PKBM Widya
Cipta merupakan program penting, yang diarahkan bagi warga masyarakat usia 3-45 tahun dan
diutamakan keluarga miskin yang masih berkeaksaraan rendah bahkan buta huruf. Selain itu,
program pendidikan keaksaraan keluarga juga memperhatikan potensi anggota keluarga lainnya
yang memiliki anak yang sudah lancar membaca, menulis dan berhitung.
Selain data diatas, terdapat beberapa asumsi dari pihak penyelenggara yang melandasi
penyelenggraan program pendidikan keaksaraan keluarga diantaranya: Pertama, keberhasilan
masyarakat meningkatkan kemampuan keberaksaraan adalah modal dasar untuk peningkatan
kemampuan warga belajar sehingga dengan kemampuan tersebut, warga belajar sebgai anggota
masyarakat dapat berusaha memnuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Kedua, warga
masyarakat yang melek huruf akan memiliki peluang yang sama dengan anggota masyarakat
lainnya dalam bersaing mengakses berbagai peluang sehingga dapat meningkatkan tatanan
ekonomi keluarga. Ketiga, program pendidikan keaksaraan keluarga adalah program pemerintah
yang digulirkan secara nasional disertai dana stimulasi untuk dipergunakan oleh warga belajar.
Oleh karena itu, dipelukan keseriusan optimal daripada penyelenggra PKBM mulai tahap
persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan tindaklanjut, termasuk laporan kegiatan. Keempat, program
ini diperuntukan bagi warga masyarakat yang belum melek huruf, ol eh karena itu pengelola
tidak membatasi dan tidak memilah warga belajar berdasarkan jenis kelamin. Program
keaksaraan keluarga ini pada gilirannya menjadi hak semua warga masyarakat terutama yang
belum melek huruf. Kelima, warga belajar adalah anggota dari suatu keluarga, yang tentunya
dalam keluarga tersebut terdiri atas banyak anggota keluarga lainya. Tentu sajadalam suatu
keluarga, ada anggota yang melek huruf bahkan mengecam pendidikan cukup tinggi. Sehingga
anggota keluarga dimaksud dapat bermanfaat dan menjadi sumber belajar bagi anggota keluarga
yang ralatif masih kurang melek huruf (tidak bisa membaca dan berhitung). Oleh karena itu
penyelenggara PKBM memiliki kayakinan bahwa melalui keterlibatan anggota keluarga yang
dianggap memiliki potesi sebagai tutor atau sumber belajar dapat membantu mempercepat
penuntasan buta aksra di Kabupaten Sumedang. Melalui koodinasi intensif dan pengkondisian
yang baik, maka anggota keluarga menjadi partner kerja penyelenggara PKBM dalam program
pendidikan keaksaraan keluarga. Keenam, setiap anggota keluarga yang telah melek huruf akan
semakin cerdas dan meningkat kemampuan keaksaraannya apabila terus menerus dikondisikan
untuk tetap belajar, sebaliknya kemampuan keterbacaan warga belajar akan berkurang apabila
setelah atau pasca belajar tidak dikondisikan untuk terus berkelanjutan belajar. Oleh karena itu,
penyelenggara PKBM memiliki asumsi bahwa penyelenggraan pendidikan keaksaraan keluarga
harus ditopang oleh kegiatan nyata dalam sebuah pekerjaan bagi warga belajarnya. Memadukan
program pendidikan keaksaraan keluarga dengan program keaksaraan usaha mandiri menjadi
pilihan tepat ketika ada harapan kemampuan keterbacaan warga belajar harus terus berlanjut
melalui proses pekerjaan berusaha atau mengerjakan suatu kegiatan ekonomi yang berkelanjtan.
Selain asumsi dasar yang diuraikan diatas, penyelenggaraan program juga dapat berjalan karena
aspek religi.
Gambar 2.12.
Secara konseptual pengelola PKBM Widya Cipta memahami bahwa arah program pendidikan
keaksaraan keluarga (PKK) dengan program keaksaraan fungsional relatif berbeda, terutama
dalam segi teknis pembelajaran dimana dalam pendidikan keaksaran keluarga lebih banyak
melibatkan anggota keluarga dalam layanan pembelajaran, berbeda dengan keaksaraan usaha
mandiri yang lebih menitikberatkan pada kemandirian berusaha warga belajar. Walaupun mereka
memahami perbedaan tersebut, namun dalam teknik pelaksanaannya kedua program tersebut
diselenggarakan secara terpadu dengan alasan bahwa sasaran program keaksaraan pada kedua
program tersebut sama. Alasan lain, yang dikemukakan pengelola PKBM adalah bahwa proses
penyelenggaraan keaksaraan keluarga (PKK) digabung dengan program Keaksaraan Usaha
Mandiri (KUM), diharapkan warga belajar akan lebih termotivasi untuk ikut dalam program
keaksaraan.
Gambar 2.13.
Pemaduan program ini diawali sejak proses identifikasi warga belajar, terutama pada keluarga
miskin dan yang masih belum melek huruf, serta tidak punya pekerjaan tetap. Proses identifikasi
dilakukan oleh pengelola PKBM terhadap anggota keluarga yang masih memiliki anggota
keluarga inti yang buta aksara atau berkeaksaraan rendah. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut,
didapat sejumlah data warga belajar calon peserta program keaksaraan keluarga. Selanjutnya atas
inisiatif pengelola PKBM, mereka diundang dan dikumpulkan untuk mendapatkan pengarahan,
sekaligus menampung aspirasi warga masyarakat tentang harapan dari penyelenggraan program
keaksaraan keluarga dan program keaksaraan usaha mendiri.
Berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan dan harapan warga belajar, didapat beberapa rencana
kegiatan usaha yang mereka minati diantaranya: membuka usaha bengkel, usaha menjahit dan
usaha beternak kambing.
Gambar 2.14.
Melalui dukungan program ini, kegiatan pendidikan keaksaraan mulai dilakukan oleh warga
belajar dengan cara bersilaturahmi dan diskusi tukar pengalaman. Selama mereka mengurus
kambing diupayakan untuk terus membaca buku dan sumber lain dalam rangka memelihara
ternak secara lebih baik.
Program Pendidikan Keaksaraan Keluarga yang diselenggarakan PKBM Widya Cipta diawali
dengan proses identifikasi terhadap warga masyarakat sekitar yang dianggap belum melek huruf
(baca, tulis, dan hitung). Selanjutnya dilakukan sosialisasi kepada calon warga belajar dengan
memperhatikan harapan-harapan warga belajar serta anggota keluarga lainnya. Sosialisasi dan
informasi yang diberikan oleh pengelola PKBM Widya Cipta lebih pada motivasi belajar yang
diarahkan pada proses penyadaran akan pentingnya pendidikan keaksaraan keluarga karena
beberapa alasan: pertama, pembelajaran memperkuat kemampuan keaksaraan warga belajar agar
tidak buta aksara kembali dan menjadi warga belajar yang mandiri. Kedua, pembelajaran
memperbaiki keterampilan ekonomis. Ketiga, pembelajaran memberikan akses/kemudahan
warga belajar dalam memperoleh informasi. Keempat, pembelajaran yang dapat menentukan
sikap mental rasional dan ilmiah warga belajar.
Proses pembelajaran keaksaraan bagi warga belajar, selain mereka lakukan melalui program
usaha mandiri dalam bentuk pemeliharaan binatang ternak, berdasarkan inisiatif warga belajar
beberapa diantaranya melakukan usaha membuat surabi, usaha membuat gula merah, juga
dilakukan melalui proses pembelajaran keaksaraan tentang cara baca, tulis dan berhitung lewat
keluarga.
Gambar 2.15.
Melalui proses pembelajaran informal, seringkali mereka belajar tentang suatu yang tidak
mereka ketahui dengan cara bertanya kepada anggota keluarga. Tidak sedikit pengetahuan
diperoleh tentang cara berternak dan berhitung diperoleh lewat belajar bersama anggota
keluarga. Oleh karena itu pihak pengelola PKBM yang menjadi fasilitator program keaksaraan
keluarga selalu memberikan motivasi kepada anggota keluarga untuk terus memberikan bantuan
dan dorongan kepada anggota keluarganya untuk belajar berdasarkan minat dan keinginan
belajar pada tiap keluarga
Pada tahap awal, proses pembelajaran keaksaraan dilaksanakan di ruangan PKBM yang jadwal
pelaksanaannya dikoordinasikan oleh pengelola program keaksaraan. Pendekatan pembelajaran
menggunakan pembelajaran partisipatif, mengingat warga belajar mayoritas orang dewasa yang
sudah lanjut usia. Proses pembelajaran lebih menekankan kepada pelibatan secara langsung
warga belajar dalam menentukan jadwal, substansi belajar dan pelaksanaan evaluasi.
Penghargaan terhadap prestasi belajar secara terus menerus dilakukan sejalan dengan
peningkatan perhatian dan antusias warga belajar. Metoda pembalajaran yang dikembangkan
oleh tutor adalah ceramah, tanya jawab dan praktek. Kegiatan praktek berupa belajar menulis
huruf latin dan berhitung angka, terutama belajar menambah, mengurangi, dan membagi. Pada
sebagian warga masyarakat yang telah agak paham berhitung tingkat dasar dilanjutkan dengan
kemampuan berhitung yang agak rumit, misalnya mengkalikan dan menjawab soal-soal
matematika sekolah dasar.
Proses pembelajaran selanjutnya dilakukan tidak hanya melalui pembelajaran tatap muka antara
tutor/fasilitator PKBM dengan warga masyarakat di ruang PKBM Widya Cipta, tetapi kemudian
dilakukan melalui pembelajaran dalam keluarga atau warga belajar lebih banyak diskusi tentang
bahan belajar dengan anggota keluarga. Umumnya mereka melakukan proses pembelajaran
tentang cara membaca, menulis dan berhitung melalui pembimbingan anggota keluarganya yang
sudah melek huruf. Oleh karena itu, tutor PKBM lebih memposisikan diri sebagai fasilitator
yang fungsinya membantu memberikan layanan belajar dalam mengatasi kesulitan-kesulitan
yang dihadapi warga belajar.
Pendekatan pembelajaran partisipatif yang melibatkan warga belajar sebagai orang dewasa
dalam menentukan rencana pembelajaran merupakan upaya strategis sehingga warga belajar
merasa memiliki dan mengambil peran dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini juga nampak
dari perlakukan tutor dalam strategi belajar mengajar yang membuka kesempatan luas kepada
warga belajar untuk mengemukakan pendapat harapan dan kendala yang mereka hadapi baik
aspek pribadi maupun aspek penguasaan materi pembelajaran.
Gambar 2.16.
Tutor lebih memposisikan sebagai pembimbing dan pendamping yang memberikan layanan
pembelajaran bagi warga belajar. Hal tersebut terungkap dari pendapat warga belajar yang
memandang tutur mampu menyusun bahan ajar berbasis tematis, selain bahasa yang digunakan
dalam bahan ajar sesuai dengan kemampuan warga belajar. Untuk memberikan suasana belajar
aktif, tutor memperkenalkan cara belajar tematis sesuai dengan masalah dalam kehidupan
sehari-hari sebagai kunci penggerak diskusi/dialog. Tutor bersama warga belajar berdialog
tentang ide mereka sesuai dengan masalah-masalah yang dihadapi warga belajar. Sedangkan
warga belajar berlatih menggunakan kata kunci yang sudah dikenalnya. Suasana diskusi yang
lebih interaktif terjadi karena: (1) tema bahan ajar yang dikembangkan sesuai dengan dengan
kebutuhan warga belajar, (2) bahan ajar menggunakan kata-kata kunci yang diangkat dari
kehidupan nyata masayarakat, (3) warga belajar juga diberi kesempatan untuk aktif memberi
masukan terhadap proses dan bahan ajar. Melalui pembelajaran ini tutor telah mendorong dan
menggugah warga belajar untuk belajar tentang kehidupan yang terjadi disekitar tempat
tinggalnya.
Umumnya motivasi warga belajar cenderung meningkat untuk mengikuti proses pembelajaran
dikarenakan beberapa faktor, diantaranya: pertama, kebutuhan warga masyarakat untuk dapat
membaca dan menulis serta berhitung. Kedua, dorongan anggota keluarga yang lain, terutama
anak-anak mereka yang relatif sudah melek huruf, karena umumnya yang belum melek huruf
adalah ayah dan ibunya. Pada beberapa keluarga, anak tertua atau kedua yang umurnya rata-rata
sudah di atas 60 tahun juga belum melek huruf. Ketiga, ajaran agama yang mereka (warga
belajar) dapatkan lewat informasi yang disampaikan para ustadz dan kiayi pada forum majelis
taklim, tentang pentingnya manusia belajar dan menuntut ilmu. Keempat, warga belajar
memandang pendidikan keaksaraan keluarga lebih mudah dilakukan karena melibatkan anggota
keluarga serta waktu dan tempatnya tidak setiap hari harus di ruang PKBM, berbeda dengan
program pendidikan keaksaraan fungsional yang tidak banyak melibatkan anggota keluarga.
Kelima, selain belajar juga mereka dapat melakukan kegiatan usaha, karena melalui program
pendidikan keaksaraan keluarga mereka diberi modal usaha juga dilibatkan dalam pelatihan-
pelatihan keterampilan produktif, seperti membuat surabi, gula merah, dll yang dapat dijual dan
menghasilkan uang. Ketujuh, adanya peran aparat pemerintah setempat, terutama instansi
pemerintah yang berkaitan langsung dengan penyelengaran program pendiidkan keaksaraan.
Perhatian dari pimpinan RT dan RW serta beberapa Kepala Desa bertetangga yang warganya
terlibat langsung sebagai warga belajar di PKBM Widya Cipta turut mempengaruhi keseriusan
warga masyarakat untuk melibatkan diri belajar di PKBM. Berdasarkan penuturan pengelola
PKBM, pembinaan seringkali dilakukan oleh penilik Pendidikan Luar Sekolah setempat.
Informasi yang berkenaan dengan upaya-upaya pengembangan PKBM termasuk berbagai
program bantuan selalu dikomunikasikan secara intensif oleh penilik setempat. Oleh karena itu,
sirkulasi komunikasi antara penyelengara PKBM Widya Cipta, warga belajar, warga masyarakat
serta aparat pemerintah setempat sangat kondusif dan berpengaruh besar terhadap atmosfir
proses pembelajaran dan pengelolaan program pendidikan keaksaraan keluarga.
Satu dorongan lain yang mungkin tidak akan dijumpai pada kelompok belajar lain yaitu motivasi
untuk menulis atikel menggunakan tulisan tangan untuk diterbitkan pada tabloid yang
diterbitkan SKB Semarang dengan imbalan yang jauh lebih menggairahkan, dan tidak lagi harus
bergelut dengan keringat dan kecapaian sedang jumlah rupiah yang diterima dan sudah barang
tentu prestise jauh lebih merangsang.
5. Kendala Pelaksanaan
Disiplin mengggunakan waktu merupakan kendala tersendiri. Permasalahan sering datang dari
warga belajar maupun dari tutor pendamping. Selalu saja ada perintang walaupun tidak sampai
fatal, akan tetapi hal ini dapat mengganggu proses dan rutinitas pembelajaran.
Kendala lain adalah keterbatasan bahan bacaan yang berhubungan dengan program keaksaraan
keluarga. Terjadinya pemilahan yang terlalu tajam antara fasilitas umum dengan peruntukan
bagi PKBM sering menggiring pada kurangnya efisien dalam penggunaan sarana pembelajaran.
Pada satu sisi sarana pembelajaran tidak dipergunakan secara efisien, sedangkan penggunaan
pada sekolah formal hanya terbatas pada jam tertentu, bahkan beberapa buku tidak dipergunakan,
buku-buku dibiarkan tidak dimanfaatkan untuk dibaca. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa
TBM yang ada di sekitar PKBM, hampir sulit melihat pemandangan penggunaan buku seperti
layaknya bagi pembelajar yang seharusnya lebih banyak mamanfaatkan waktu belajar dengan
membaca buku.
Secara umum rintangan belajar datang dari sistem. Baik pihak Penyelenggara yang tidak
menyadari sepenuhnya mengenai pembelajaran yang tidak bisa ditawar kecuali harus dilakukan
secara rutin, sementara dalam pelaksanaan baik dari warga belajar maupun dari tutor selalu ada
alasan untuk menunda waktu walaupun kegiatan tetap berjalan. Dengan demikian mungkin saja
keterampilan membaca terus dipelajari akan tetapi taat aturan untuk belajar secara berkelanjutan
belum merupakan paket yang menyatu dengan belajar itu sendiri.
Secara umum warga belajar melibatkan diri dalam kegiatan program pendidikan keaksaraan
dengan motivasi tertentu. Berdasarkan informasi yang disampaikan penyelenggara PKBM,
terdapat beberapa motivasi warga belajar diantaranya: pertama, faktor internal warga belajar
yang memiliki keinginan untuk bisa membaca, menulis dan berhitung. Kedua, faktor eksternal,
yaitu adanya motivasi dan dorongan serta fasilitasi dari pemerintah setempat. Motivasi lain yang
menyebabkan warga belajar terus melibatkan diri dalam program keksaraan keluarga adalah
inovasi pembentukan kelompok pra-koperasi. Atas inisiatif penyelenggara PKBM, warga belajar
dimotivasi untuk membentuk kelompok-kolompok anggota pra-koperasi, sehingga atas motivasi
tersebut hampir semua warga belajar keaksaraan fungsional masuk dalam kelompok pra-
koperasi. Hal tersebut mudah dipahami, sebab warga belajar distimulasi dengan model belajar,
sehingga mereka dapat menyisihkan sebagian dari pendapatan. Pembentukan koperasi (pra
koperasi) simpan pinjam merupakan inovasi yang memberikan dorongan kuat bagi warga belajar
untuk melibatkan dirinya dalam pembelajaran keaksaraan keluarga, karena selain memberikan
nilai tambah pengetahuan dan keterampilan, juga secara ekonomi membantu dirinya dan
keluarganya dalam menanggulangi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh
karena itu, kegiatan koperasi warga dipandang sebagai kegiatan ekonomi asli masyarakat
sekaligus modal awal bagi pengembangan kelembagaan ekonomi masyarakat.
7. Dampak Program
Kebelangsungan proses belajar bagi warga belajar peserta program keaksaraan keluarga sampai
saat ini terus berlanjut, walaupun program keaksaaan keluarga telah berakhir. Umumnya warga
belajar membiasakan diri terus belajar pada waktu-waktu luang setelah menyelesaikan pekerjaan
bertani atau berjualan. Interaksi dan komunikasi antara warga belajar berjalan seperti mereka
masih diskusi bersama mengelola dana bantuan dalam bentuk binatang ternak.
Gambar 2.17.
Pada beberapa kasus keluarga, saat ini setelah bisa membaca dan berhitung, selanjutnya
menjalankan usaha jualan surabi tradisional buatan sendiri. Melalui proses jualan itu pun
kegiatan belajar terus berlanjut, mereka terbiasa menghitung jumlah surabi yang dibuat, jumlah
surabi yang laku dan jumlah surabi yang tidak terjual. Lebih jauhnya lagi mereka sudah mulai
menghitung jumlah modal yang dikeluarkan, jumlah keuntungan yang didapatkan. Awalnya
mereka sangat kesulitan untuk mengerti alur penggunaan keuangan dan cara menghitung uang,
namun karena kegiatan tersebut dilakukan melalui praktek berusaha/berjualan akhirnya mereka
terbiasa dengan hitungan-hitungan pratis walaupun sederhana. Dampak lain yang sangat utama
adalah munculnya rasa percaya diri warga belajar setelah bias membaca, menulis dan berhitung
melalui kegiatan usaha mandiri.
Kasus lain yang dijadikan temuan dari program keaksaraan adalah munculnya jiwa wirausaha
diantara warga belajar. Misalnya, warga belajar yang sehari-harinya sebagai kuli bangunan,
kemudian melakukan usaha pembuatan dan pemasaran bilik, karena mereka bertempat tinggal di
daerah yang banyak tumbuh pohon bambu. Kemampuan membaca dan berhitung dan
berkomunikasi telah mendorong mereka untuk mengorganisir kegiatan usaha. Jiwa
kepemimpinan mulai nampak diantara mereka, melalui kepercayaan diri dan keberanian untuk
mengorganisir rekan-rekannya dalam kegiatan usaha.
Sebagai kesimpulan dari uraian diatas, maka pendidikan keaksaraan keluarga di PKBM Widya
Cipta merupakan program pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, terutama dalam
meningkatkan sinergi antara pendidikan formal dan non formal dan mempromosikan pendidikan
berkelanjutan untuk meningkatkan peluang dan tindak lanjut penggunaan keterampilan
keaksaraan dalam rangka belajar sepanjang hayat. Secara individual program pendidikan
keaksaran keluarga telah mampu meningkatkan keaksaraan keluarga melalui pembelajaran antar
generasi dan pendekatan berbasis masyarakat. Selian itu, telah mensinergikan pembelajaran yang
berkelanjutan dalam pemberdayaan ekonomi yang memadukan keterampilan dengan
pembelajaran bagi warga masyarakat.
Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Gresik beralamat di Jl. Jutrit Cerme Kidul Kecamatan Cerme
Kabupaten Gresik. SKB Gresik pada awal berdirinya tahun 1975 bernama Pusat Latihan
Pendidikan Masyarakat (PLPM). Lembaga ini didirikan berdasarkan Surat Keputusan
Mendikbud Republik Indonesia nomor 079/0/1975, dengan tugas pokok melaksanakan kursus-
kursus dan pelatihan pendidikan kejuruan bagi masyarakat. Tahun 1978 berdasarkan Surat
Keputusan Mendikbud RI nomor 0206/0/1978, PLPM dirubah menjadi SKB (Sanggar Kegiatan
Belajar) Cerme, dengan tugas pokok melaksanakan program: Kegiatan belajar Pendidikan Luar
Sekolah, Pemuda, dan Olahraga serta menyediakan sarana belajar untuk kelompok belajar dan
instruktur.
Pada tahun 1997 berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud RI Nomor 023/0/1997, SKB Cerme
mengalami perubahan nama menjadi Sanggar Kegatan Belajar (SKB) Gresik, dengan tugas
pokok pembuatan percontohan program, melaksanakan pendidikan dan pelatihan, pengendalian
mutu program, serta pelayanan informasi dibidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Pemuda, dan
Olahraga.
Pendidikan Keaksaraan Keluarga di Propinsi Jawa Timur berlangsung sejak tahun 2006, yang
pertama kali diselengarakan di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Gresik sebagai pelopor dan
pelaksana program. Sesuai dengan acuan, bahwa program rintisan tahun tersebut pelaksanaan
dilakukan pada 10 orang warga belajar yang secara potensial memiliki sukwan pendamping dari
lingkungan keluarga yang dipertimbangkan memiliki keperdulian dan kemampuan serta
kemauan memposisikan diri sebagai fasilitator pendidikan keaksaraan keluarga.
Gambar 2.18.
Berdasarkan data yang berhasil diungkap, usia peserta berkisar diantara usia 35-40 tahun. Dari
seluruh peserta belajar yang direkrut tidak ada yang buta aksara murni. Mereka umumnya
berasal dari dropout sekolah dasar. Berdasarkan data yang berhasil dijaring melalui wawancara
mendalam, sebanyak sembilan orang peserta pendidikan keaksaraan keluarga adalah dropout
sekolah dasar yang saat itu mereka dropout dari kelas dua dan kelas tiga, selanjutnya satu orang
dari dropout kelas enam. Oleh karena itu, apabila diamati dari kemampuan membaca warga
belajarnya, mereka telah dapat membaca kalimat pendek, akan tetapi untuk kalimat panjang
umumnya tidak dapat menangkap isi atau makna dari bacaan. Huruf yang paling dikuasai dari
abjad latin umumnya yang dipergunakan pada pemakaian keseharian.
Seperti umumnya kondisi program pendidikan keaksaraan keluarga, proses pembelajaran yang
dilakukan warga belajar di SKB Gresik adalah penguatan pendidikan keaksaraan keluarga yang
lebih banyak dibelajarkan oleh tutor pendamping dari dalam keluarga, terutama mereka yang
telah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah kepada kelompok tua, terutama orang tua
maupun saudara yang dijadikan peserta belajar.
Gambar 2.19.
Posisi dan kontribusi kaum muda yang sudah melek huruf dalam kenyataan telah berhasil dalam
membelajarkan kaum tua dalam meningkatkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung.
Sedangkan pengaruh pada anggota keluarga terutama yang masih muda belum terlihat, sebab
motivasi belajarnya sudah berorientasi sekolah pada jalur pendidikan formal. Harapan kaum
muda tersebut, belum sepenuhya dapat dipenuhi, dikarenakan tingkat ekonomi mereka
umumnya masih sangat sederhana.
Ketertarikan dan motivasi warga belajar untuk mengikuti progam pendidikan keaksaraan sangat
ditentukan oleh prakarsa dari pengelola. Tiap daerah tentu memiliki upaya yang sangat bervariasi
dalam memicu warga belajarnya agar mau terlibat dalam proses pembelajaran. Kasus di Sanggar
Kegiatan Belajar Kabupaten Gresik, pengelola memotivasi warga belajar melalui pemberian
kaca mata belajar bagi warga belajar yang membutuhkanya. Tujuan pemberian kaca mata ini
adalah untuk mempermudah proses pembelajaran, cara memperoleh bantuan kaca mata baca
melalui proses pengukuran langsung sesuai dengan kemampuan membaca tiap peserta belajar.
Asumsi pemberian kaca mata ini adalah, selain sangat membantu warga belajar yang bermasalah
dengan penglihatannya, juga sebagai stimulasi yang senapas dengan program yaitu
meningkatkan kemampuan keberaksaran (membaca, menulis dan berhitung). Kaca mata yang
diberikan dan dipersiapkan untuk warga belajar yang relatif membutuhkannya sesuai dengan usia
warga belajar. Sebagai tindak lanjut program stimulasi diarahkan pada peningkatan kemampuan
kecakapan hidup bagi warga belajar pendidikan keaksaraan keluarga dibawah binaan Sanggar
Kegiatan Belajar Kabupaten Gresik.
Stimulasi lain dalam proses pendidikan keaksaraan adalah melalui pemberian modal belajar yang
dikemas melalui program kecakapan hidup dalam bentuk peningkatan kemampuan menjahit,
dengan mengkhususkan pada pembuatan kesed. Kesed yang diproduksi warga belajar terdiri dari
dua model yaitu model sederhana dan model yang lebih bagus, dengan nilai jual Rp 1.500,- dan
Rp 2.500,-. Tiap warga belajar dapat menghasilkan 10 buah setiap harinya yang dijaul sendiri
kepada pembeli maupun pada bakul. Dari sisi pengembangan kemampuan dan kreativitas selama
empat tahun terakhir tidak terjadi perubahan yang berarti, belum terdapat perluasan dari kesed
menjadi tutup kasur (bathcover) maupun jenis lainnya.
Walau demikian dilihat dari sisi pembelajaran, warga belajar yang dibina melalui pembuatan
kesed relatif lebih mandiri serta mampu melakukan transaksi dengan memanfaat kemampuan
dirinya dalam membaca, menulis dan menghitung dalam kegiatan jual beli dengan pelanggan.
Gambar 2.20.
Pengelola pendidikan keaksaraan keluarga yang selenggarakan Sangar kegiatan Belajar (SKB)
Kabupaten Gresik dipadukan dengan pendidikan keaksaraan usaha mandiri.
Gambar 2.21.
Substansi Pembelajaran Berbasis Kecakapan Hidup
Implementasi kegiatan dilakukan melalui tahap persiapan, tahap pelaksanan, dan tahap evaluasi.
Pada tahap persiapan pembelajaran yang dilakukan oleh penyelenggara diawali dengan proses
sosialisasi dan publikasi kepada warga masyarakat. Tentu sasaran warga masyarakat program
kekasaraan keluarga ini adalah mereka yang merasa dirinya belum memiliki kemampuan
membaca, menulis dan berhitung secara memadai. Melalui proses sosialisasi ini, pengelola
bekerjasama dengan berapa tokoh masyarakat juga melakukan identifikasi tentang anggota
keluarga calon/sasaran pendidikan kekasaraan yang dianggap telah melek huruf. Hal ini
maksudkan untuk memudahkan koordinasi pelibatan anggota keluarga dalam proses
pembelajaran.
Tutor yang membantu proses pembelajaran hanya membatasi pada kemampuan dasar dan tidak
mengembangkan kemampuan membaca pada kemampuan menulis artikel pendek, kemampuan
untuk menemukan cara baru dan mengkomunikasikan pada pihak lain. Warga belajar hanya
menggunakan sumber yang diberikan oleh SKB dan belum terdapat usaha untuk memanfaatkan
sumber yang berasal dari sekolah tempat keluarga belajar maupun dari sumber lain. Ketiga,
tahap evaluasi dialukan oleh pengelola program pendidikan keaksaraan keluarga Sanggar
kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Gresik bersama dengan warga belajar. Karena proses
pembelajaran kekasaraan ini menggunakan pendekatan andragogik, maka waga belajar secara
aktif dilibatkan untuk mengevaluasi tingkat kemajuan kemampaun dirinya saaat setelah
mengikuti proses belajar.
Gambar 2.22.
Evaluasi terhadap hasil belajar bagi warga belajar dalam pemanfaatan dana belajar untuk
kegiatan peningkatan keterampilann hidup (life skills) melalui program keaksaraan usaha
mandiri, belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Berdasarkan data yang ada pada
pengelola program di SKB Kabupaten Gresik, ternyata dari 10 orang warga belajar, hanya
terdapat satu orang yang mengembangkan kemampuan berusahanya dalam menerima jahitan
yang diperuntukan untuk umum. Ketidakberhasilan warga belajar dalam menindaklanjuti
program belajar berusaha disebabkan oleh banyak faktor dintaranya tingkat ketekunan warga
belajar dan fasilitasi pengembangan jaringan pemasaran, selain rendahnya motivasi dari pihak
pengelola program.
Proses dan hasil pendidikan keaksaraan keluarga yang diselenggarakan SKB Kabupaten Gresik,
belum menunjukan hasil yang menggembirakan sesuai harapan. Dukungan kemampuan
keaksaraan pada perubahan sosial ekonomi masih kurang berarti. Begitu pula dukungan pada
peningkatan jejaring, otoritas dalam penyelenggaraan serta peningkatan kemampuan membaca
dengan menulis, mengemukakan pendapat dan penciptaan kreativitas baru dalam kehidupan
pedesaan belum terlihat. Keterlibatan kaum lelaki pada kegiatan keaksaraan keluarga juga masih
sangat terbatas, sehingga patut diduga adanya perubahan dalam lingkungan sosial ekonomi juga
masih terkendala oleh faktor gender.
Penularan kemampuan membaca masih sangat terbatas pada lingkungan keluarga kecil,
sedangkan getok tular pada keluarga besar maupun komunitas mengenai kemampuan keaksraan
belum terlihat. Kelembagaan seperti halnya kelompok belajar masih berkutat pada kemampuan
yang sangat sederhana, berupa pembelajaran transmisi dalam kemampuan membaca, bukan
kemampuan mambaca pada kegiatan penciptaan inovasi yang berbasis pada keaksaraan.
D. PKK Berbasis Program Menabung Kabupaten Mataram Provinsi Nusa Tenggra Barat
Kegiatan PKK yang dilaksanakan oleh salah satu lembaga PKBM Taman Siswa yang dipimpin
oleh seorang pengelola bernama Drs. Zainal Arifin,M.Pd. beralamat di Jl Raya Kediri Km 2
Dusun Datar Desa Bengkel Kec.Labuapi Kabupaten Lombok Barat Propinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB).
Kegiatan PKK di PKBM ini berjalan cukup baik karena memiliki pengelola dengan kualifikasi
akademik memadai serta memperoleh dukungan dari keluarga dimana beberapa istri peserta
belajar pun terlibat secara penuh untuk kegiatan tersebut.
Program Pendidikan Keaksaraan Keluarga di Lombok Barat yang dikelola oleh PKBM Taman
Siwa melibatkan warga masyarakat yang cukup banyak. Berdasarkan data yang ada kegiatan
pendidikan keaksraan ini diikuti oleh 30 (tiga puluh) keluarga, yang masing-masing keluarga
tersebut terdiri atas tiga orang anggota keluarga. Dengan demikian jumlah peserta pendidikan
keaksaraan yang diselenggarakan PKBM Taman Siswa berjumlah 90 orang. Dari data tersebut,
ternyata sebagian besar posisi ayah yang rata-rata rentang usianya antara 45-55 tahun sebagai
kepala keluarga dan ibu sebagai istri yang usianya tidak jauh berbeda dengan suaminya hampir
semuanya menjadi peserta atau warga belajar. Artinya, suami dan istri pada masyarakat Desa
Bengkel umumnya buta aksara, sehingga memerlukan perhatian lebih serus dari pemerintah
setempat. Usia warga belajar cukup bervariatif rentang 15-55 tahun. Pekerjaan masyarakat warga
belajar pendidikan keaksaraan tersebut hampir setengahnya atau 46 orang bekerja sebagai buruh,
disusul oleh pekerjaan berdagang, dan sebagain kecil ngojeg dan sopir. Selain itu terdapat juga
warga belajar di PKBM Taman Siswa tersebut belum memiliki pekerjaan tetap.
Keterlibatan ayah atau suami dalam pendidikan keaksaraan memberikan dampak positif
diantaranya, pertama, perbandingan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang
mengikuti pembelajaran pada PKK relaif seimbang. Berdasarkan data, ternyata jenis kelamin
laki-laki 50 orang sisanya 40 orang lagi wanita. Kedua, kesinambungan dan dinamika proses
pembelajaran akan lebih baiak, sebab posisi ayah sebagai kepala keluarga akan menjadi motor
penggerak keberlanjutan program.
2. Proses Penyelenggaraan
Awal bergulirnya kegiatan pendidikan keaksaraan adalah program yang distimulasi oleh
anggaran pemerintah.
Gambar 2.23.
Sebagian besar warga belajar Pendidikan Keakasraan Keluarga adalah warga belajar pendidikan
dasar pada pendidikan keaksaraan fungsional, yang pernah belajar di PKBM Taman Siswa pada
tahun 2008. Pertimbangan pelibatan mereka dalam PKK adalah kekhawatirkan akan kembali
buta aksara lagi, karena kemampuan keaksaraannya tidak dipergunakan secara fungsional dan
berkelanjutan. Oleh karena itu mereka perlu dibantu untuk terus berkesinambungan belajar
melalui program pendidikan keaksaraan keluarga.
Dalam proses pembelajaran, diselenggarakan pula kegiatan lain yang bersifat inovatif untuk
menambah motivasi dan keterikatan warga belajar dalam program pendidikan keaksaraan
keluarga. Pengelola bersama warga belajar memprakarsai diselenggarakannya kegiatan
menabung bagi warga belajar. Kegiatan menabung ini dilakukan pada setiap kali pertemuan
belajar. Banyak manfaat yang dirasakan warga belajar melalui kegiatan menambung ini
diantaranya membantu menyisihkan untuk kegiatan sekolah anak.
Dilihat dari sisi watu belajar, kegiatan pendidikan keaksaran keluarga diselengarakan secara
alamiah dan melekat dengan kegiatan warga. Penyelenggara sangat pandai memanfaatkan
peluang yang ada, sehingga program dapat berjalan sesuai harapan. Selain siang hari yang secara
khusus disengajakan dibuat jadual belajar kekasaraan, pada malam hari pun diselenggarakan
lewat kegiatan rutin masyarakat terutama pada setiap Malam Jum’at ketika diadakan pengajian
membaca Yasinan dari mulai ba’da magrib sampai isya. Mengingat kegiatan seperti ini bersifat
informal, maka pengelompokan sasaran tidak berdasar pada pengelompokkan formal. Namun
demikian, upaya ini patut dihargai dan juga sedikit atau banyak telah berdampak terhadap
peningkatan pengetahuan dan kemampuan kekasaraan warga masyarakat.
Gambar 2.24.
Suasana Kerjasama
Kegiatan evaluasi untuk mengukur efektifitas program dilakukan dalam dua pendekatan, yaitu
evaluasi terhadap mutu warga belajar dan evaluasi terhadap proses pengelolaan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil belajar. Secara umum kemampuan hasil belajar
warga belajar cukup baik. Rata-rata warga belajar sudah mulai meningkat cara membaca kalimat
walaupun terbatas pada kalimat pendek. Mereka sudah lancar menulis haruf dan angka walaupun
belum sempurna, dan warga belajar sangat paham cara menghitung, terutama dalam hitungan
dasar yakni menambah, membagi. Pada beberapa warga belajar sudah mampu mengalikan angka
walaupun dalam jumlah yang terbatas.
Gambar 2.25.
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Taman Siswa adalah satu lembaga pendidikan
masyarakat dibawah pembinaan penilik pendidikan luar sekolah di Kecamatan Labuapi
Kabupaten Lombok Barat. Terdapat beberapa hambatan komunikasi dan koordinasi keduanya.
Berdasarkan hasil temuan tim yang survey ke lokasi diketahui adanya koordinasi yang belum
terjalin antara pihak pemerintah terkait dalam menjalankan suatu kegiatan. Pada beberapa
program terlihat pihak dinas tidak mengetahui banyak tentang kegiatan dilapangan yang
dilakukan PKBM binaanya. Sebagai contoh pihak dinas tidak mengetahui bahwa sejumlah
PKBM atau penyelenggara pendidikan luar sekolah dibawah binaannya mendapat bantuan dana
untuk penyelengaraan pendidikan keaksaraan keluarga, sementara pihak lembaga penerima pun
belum melaporkannya dan proses pengajuannya tidak diketahui dinas setempat.
Beberapa program yang bergulir baik dari pusat ataupun swadaya masyarakat seolah-olah berdiri
sendiri-sendiri, sehingga mungkin hal ini merupakan salah satu kelemahan sistem yang ada. Oleh
karena itu sebagai tindak lanjut, khususnya pada program pendidikan keaksaraan keluarga perlu
adanya sosialisasi yang menyeluruh baik untuk warga belajar, pengelola, dan dinas terkait.
Selain itu dipandang perlu adanya penghargaan dan perhatian dari dinas pendidikan setemat atau
pusat untuk kegiatan ini sehingga menambah motivasi para pengelola.
4. Kendala Penyelenggaraan
5. Inovasi Penyelenggaraan
Pendidikan Keaksaraan Keluarga yang diselenggrakan oleh PKBM Taman Siswa di Lombok
memiliki sejumlah inovasi dalam beberapa aspek, yaitu: Pertama, peserta didik adalah anggota
keluarga yang belum melek aksara dari setiap keluarga rata-rata 2 orang anggota keluarga.
Kedua, Sumber Belajar atau bahan belajar yang digunakan masih menggunakan buku panduan
belajar baca tulis karena WB rata-rata baru bisa menulis nama sendiri bahkan ada yang masih
belajar huruf alfabet karena WB menjadi buta aksara kembali karena kemampuan keaksaraannya
tidak dipergunakan secara fungsional dan berkelanjutan. Ketiga, tutor berasal dari keluarga yang
sudah bisa baca tulis dengan dibantu oleh tutor dari lembaga yaitu istri pengelola sebagai guru
TK formal, ada yang sedang kuliah di UIN NTB, dari Kader lulusan SMA. Keempat, Kelompok
belajar merupakan kelas campuran antara keaksaraan dasar dan pemeliharaan keaksaraan melalui
PKK. Kelima, Sarana Belajar yang ada berupa area lesehan menggunakan alas tikar atau karpet
dan ada papan tulis, spidol dan penghapus hanya kalau mau ideal jauh dari harapan dengan posisi
menulis menjongkok tidak ada meja untuk belajar. Keenam, Dana Belajar yang diperoleh dari
bantuan pusat langsung ke lembaga yaitu PKBM Taman Siswa. Ketujuh, Tempat belajar samapai
saat ini dilaksanakan dirumah tutor atau apabila ada keluarga yang tidak hadir didatangi ke
rumah WB. Kedelapan, Program Belajar, berasal dari program PKK yang ada yang menjadi
inovasi disana adanya gabungan antara keaksaraan dasar, aksara keluarga dan keaksaraan usaha
mandiri. Kesembilan, Hasil belajar dari program ini adalah mendengar, berbicara, membaca
huruf alfabet dengan sambil dinyanyikan, menulis nama sendiri dan berhitung sambil
mengenalkan bahasa indonesia sebagai bahasa persatuan karena masih ada WB yang belum
pahan denganbahasa indonesia kebanyakan WB masih menggunakan bahasa daerah setempat.
E. Minat Baca
Dari seluruh penggambaran kelompok belajar PKK bagian yang perlu ditegaskan kembali yaitu
persoalan minat baca. Sebenarnya belajar keaksaraan hampir tidak memiliki makna sama sekali
tanpa didukung minat baca. Minat baca ini hampir lepas dari perhatian penyelenggara maupun
pihak inisiator pendidikan keaksaraan terlebih pemerintah daerah karena dianggap tidak terlalu
berkaitan erat dengan program PKK. Hal ini justru yang sedikit berseberangan dengan
pertimbangan konsepsional, apalagi bila mengikuti pola pemikiran keterukuran dan
pembelajaran yang berkelanjutan. Hal ini mengingatkan pula pada kelemahan bangsa ini dalam
hal minat baca yang terpuruk jauh dibandingkan dengan bangsa lain.
Tinjauan yang berhubungan dengan minat baca pada semua lembaga PKK yang diobservasi
diperoleh data sebagai berikut:
1. Dilihat dari motivasi intrinsik warga belajar PKK umumnya belum terdapat dorongan
yang timbulnya dari dalam. Umumnya mereka berpartisipasi pada kegiatan karena dorongan
keikutsertaan pada program yang ditawarkan dari luar.
2. Selanjutnya dilihat dari motivasi ekstrinsik, umumnya sangat kental menjadi dorongan
utama bagi bagi warga belajar, sesuai dengan sistem pendekatan yang mengabaikan aspek
motivasi belajar yang diikuti dengan minat baca sebagai salah satu pendekatan
Minat baca sedikit sekali tumbuh dalam interaksi sesama peserta belajar dengan lainnya, maupun
yang terjadi antara tutor pendamping dengan warga belajar. Tuntutan untuk mempelajari bahan
secara mandiri terjadi sangat terbatas terjadi pada subjek yang diteliti dan hanya dipelajari secara
terbatas. Inisiatif untuk lebih menggalakkan minat baca sangat terbatas baik yang datangnya
daari pihak penyelenggara dengan memberikan fasilitasi buku bacaan untuk tiap keluarga
maupun dari warga belajar sendiri yang umumnya sangat dibatasi oleh kesulitan dana.
Tumpuan dari peningkatan minat baca yaitu terjadinya pembelajaran antar generasi seperti yang
dicanangkan pada PKK. Dalam hal ini hanya terjadi sangat terbatas pada beberapa kasus, dimana
antara warga belajar bersamaan dengan anggota keluarga yang paling muda saling
membelajarkan tanpa terikat oleh jadual yang ditetapkan oleh pihak penyelenggara.
Untuk mendukung minat baca dalam keluarga hanya dipergunakan media buku. Karenanya pada
saat pasokan buku ini terhambat, menjadikan alasan minat baca terhalang pula. Upaya untuk
mencarikan bacaan populer masih sangat terbatas terutama yang dimotori oleh keluarga. Dalam
menghadapi rintangan ini seharusnya pihak penyelenggara dapat mencarikan jalan keluar untuk
mencarikan minat baca yang menarik dan mampu memberikan motivasi pada aksarawan baru.
Penggunaan media elektronik untuk menunjang minat baca sangat terbatas, walaupun terdapat
beberapa peluang untuk menggunakan tayangan iklan dan pesan yang disediakan pada acara
televisi.
Strategi yang khusus diperkenalkan pada aksarawan baru atau warga belajar yang berkenaan
dengan minat baca belum banyak dipergunakan. Pembelajaran antar generasi yang seharusnya
lebih banyak dimanfaatkan dengan cara membaca bersama maupun dengan cara membacakan
artikel dan bacaan yang bersifat menghibur belum banyak dilakukan. Hal ini berkaitan pula
dengan terbatasnya bahan bacaan yang sampai pada warga belajar dan jenis bacaan yang
diminati oleh mereka sangat terbatas pula.
Menyimak kondisi yang ada pada hampir semua pembelajaran multi aksara termasuk Pendidikan
Keaksaraan Keluarga, yang lebih banyak mengandalkan pada kemampuan untuk mengahapal
bunyi dan huruf, sesungguhnya perubahan terstruktur dari pola belajar tutur menjadi belajar
melalui tulisan belum terjadi. Kendati terdapat beberapa warga belajar yang mampu menembus
cara belajar baru melalui peningkatan minat baca, bukan karena hasil pembelajaran akan tetapi
karena latar belakang mereka memungkinkan untuk terjadinya peningkatan minat baca. Dengan
kecenderungan seperti ini maka hasil belajar melalui kegiatan formal PKK dikhawatirkan akan
menjadi relaps sejalan dengan pertambahan usia dan kesibukan dalam memenuhi kebutuhan
dasar bagi warga belajar.
BAB III
Berasarkan hasil analisis yang cukup mendalam terhadap beberapa fenomena penerapan program
pendidikan keaksaraan keluarga di lokasi yang menjadi subyek pengamatan, diperoleh data dan
informasi sinergis yang dapat dijadikan sebagai temuan penting sekaligus sebagai nilai tambah
(added value) dan praktek yang baik -“good practices” dalam penyelenggaraann program PKK.
Paling tidak terdapat enam komponen program yang dapat dikategorikan sudah berjalan baik,
yaitu: (1) penyelenggaraan program keaksaran keluarga; (2) pelibatan anggota keluarga sebagai
tutor/fasilitator; (3) substansi pembelajaran berbasis kecakapan hidup; (4) proses pembelajaran;
(5) strategi penyelenggaraan; (6) perbaikan sosial dan peningkatan aspek ekonomi.
Dalam sebagian besar kasus yang menjadi subyek pengamatan, penyelenggaraan program
Pendidikan Keaksaraan Keluarga megikuti tiga tahapan penting, yaitu perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi. Tahap perencanaan diawali dengan pendataan kepada warga masyarakat melalui
kerjasama dengan pengelola satuan Pendidikan Nonformal, institusi Rukun Tetangga dan Rukun
Warga setempat. Setelah memperoleh data warga masyarakat yang belum bisa baca tulis,
selajutnya melakukan sosialisasi dan penjelasan kepada warga masyarakat calon program
pedidikan keaksaraan beserta keluarganya. Bersamaan dengan kegiatan sosialisasi dilakukan
pula pendataan anggota keluarga dari warga belajar yang melek aksara. Melalui kegiatan
sosialisasi diketahui minat belajar masyarakat tentang apa yang ingin dipelajarinya lewat
pendidikan keaksaraan keluarga. Oleh karena itu, dalam perencanaan dan penyelenggara
pendidikan keaksaraan keluarga disusun berdasarkan kebutuhan warga belajar dengan tetap
mengacu kepada standar kurikulum keaksaraan (SKK) yang disusun pemerintah.
Inti (core) dari tahap pelaksanaan pada penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan adalah
proses pembelajaran keaksaraan keluarga. Kegiatan belajar dalam program PKK juga dilengkapi
dengan belajar keterampilan (lifeskills) bagi warga belajarnya. Ada beberapa jenis kecakapan
hidup yang cukup diminati antara lain membuat dan memasarkan telor asin. Melalui
keterampilan membuat telor asin, beternak kambing, pembuatan makanan ringan/kue, rajutan
dan keset, kerajinan industri rumahan (home industry), dan lain-lain. Warga belajar banyak
mengenal huruf dan angka serta kalimat yang diintegrasikan dengan jenis keterampilan yang
diminati sekaligus diikuti oleh warga belajar. Melalui pembelajaran semacam ini, Tutor selalu
meminta warga belajar untuk menjelaskan bahan-bahan dan cara yang terkait dengan jenis
kecakapan hidup yang dipelajari. Proses belajar antara tutor dengan warga belajar dilaksanakan
di ruang PKBM dalam rentang seminggu tiga kali selama dua jam penuh. Dalam suasana
kekeluargaan, dan proses belajar yang disetting secara lesehan beralaskan tikar mereka belajar.
PKBM menyediakan meja pendek yang dapat dijadikan alas menulis sambil duduk. Selain itu,
pengelola juga menyediakan whiteboard dan spidol untuk menulis ketika tutor menjelaskan
materinya. Mengingat kegiatan pembelajaran keaksaraan keluarga merupakan proses pelibatan
anggota keluaraga yang difasilitasi oleh tutor, maka kecenderungan terjadinya pemberian
motivasi dan semangat belajar diantara keluaraga sangat tinggi, terutama dorongan keluarga
yang sudah melek huruf terhadap anggota keluarga lainnya yang belum memiliki kemampuan
membaca, menulis dan berhitung. Oleh karena itu, pengelola program keaksaraan keluarga, pada
awal pertemuan mengidentifikasi anggota keluarga warga belajar yang sudah melek huruf.
Maksud dari kegiatan ini adalah untuk menentukan siapa tutor keluarga yang akan membantu
warga belajar menyelesaikan tugas warga belajar di rumahnya masing-masing. Tutor
Keaksaraan Keluarga selama ini bertugas memberikan pembelajaran sesuai standar kompetensi
keaksaraan (SKK) serta menstimulasi warga belajar untuk melakukan kegiatan belajar. Para
tutor menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dengan cara mengajari cara menulis, membaca
dan berhitung bagi warga belajarnya, kemudian memberikan tugas menulis atau berhitung yang
harus dikerjakan di rumah. Tutor kemudian meminta anggota keluarga dari warga belajar
tersebut yang sudah melek huruf untuk mendampingi mengajari dan menyelesaikan tugas
tersebut bersama-sama warga belajar di rumahnya masing-masing. Kegiatan ini cukup efektif
mengingat waktu belajar di rumah relative lebih leluasa serta suasana interkasi lebih kondusif
dibandingkan di PKBM bersama tutor.
Kegiatan evaluasi dilakukan pada akhir proses pembelajaran sesuai standar kompetensi
keaksaraan (SKK) yang disusun diknas. Pengelola PKBM menyusun sendiri instrument tes
berdasarkan SKK. Proses penilaian dilakukan secara individual, sehingga skor nilai pada setiap
warga belajar dapat diketahui secara langsung melalui alat tes tersebut. Prosedur evaluasi
dilakukan melalui proses pembelajaran, dimana pada tahap awal tutor membagikan kertas kerja,
berupa selembar kertas HVS ukuran kuarto (A4) kepada setiap peserta. Langkah selanjutnya,
tutor meminta warga belajar untuk menuliskan apa yang telah mereka pelajri dalam bentuk
kalimat. Seringkali warga belajar kesulitan tentang apa yang harus mereka tuliskan. Untuk
menanggulangi kesulitan tersebut, tutor meminta warga belajar menceritakan tentang beberapa
hal yang mereka ketahui, misalnya: warga belajar menjelaskan resep/bumbu masakan tertentu
dan bagaimana cara memasaknya. Setelah warga belajar menceritakan nama-nama bumbu dan
cara-cara memasak sesuatu yang diketahuinya, kemudian tutor meminta warga belajar untuk
menuliskan apa yang telah mereka ceritakan. Contoh lain, tutor meminta warga belajar
menjelaskan tentang rukun iman dan rukun islam yang mereka ketahui. Setelah itu, tutor
meminta warga belajar menuliskannya, dan banyak contoh lainnya ang dilakukan oleh tutor
dalam mengevaluasi kemampuan warga belajaranya. Hasil tulisan warga belajar diminta oleh
tutor untuk dikumpulkan sebagai bahan evaluasi bagi tutor dan penyelenggara pendidikakan
keaksaran keluarga tentang kemajuan warga belajar dalam belajar.
Adanya keterpaduan dalam penyelenggaraan program merupakan nilai tambah (added value)
dalam penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan, apakah itu program Pendidikan
Keaksaraan Keluarga, Keaksaraan Usaha Mandiri, dan program keaksaraan sejenis lainnya.
Keterpaduan program ini cukup memberikan manfaat bagi warga belajar, terutama untuk
memberikan pengayaan dan keberagaman pilihan program yang menarik minat mereka, dan
keadaan ini mampu membuat warga belajar lebih termotivasi untuk ikut dalam program
keaksaraan.
Pelibatan seluruh anggota keluarga sebagai tutor/ fasilitator dalam Pendidikan Keaksaraan
Keluarga merupakan fenomena menarik dan inovatif dalam konteks pemberantasan buta aksara
di Indonesia. Fakta ini bersinergi dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan keaksaraan
keluarga yakni untuk memberdayakan masyarakat yang belum melek huruf dalam lingkup
keluarga, melalui peran serta dan pelibatan seluruh anggota keluarga, sehingga semua anggota
keluarga memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung, berkomunikasi secara lisan
maupun tulisan dalam meningkatkan tarap hidupnya.
Adanya partisipasi seluruh anggota keluarga dalam melakukan pembimbingan terhadap anggota
keluarga lainnya yang masih belum melek aksara, berimplikasi positif terhadap motivasi dan
tingkat kepercayaan diri warga belajar dalam melakukan aktivitas belajar dan pembelajaran.
Keberadaan tutor yang berasal dari anggota keluarga warga belajar cukup menciptakan ruang
belajar yang kondusif, nyaman dan menyenangkan. Warga belajar tidak perlu lagi merasa malu
dan minder dengan keterbatasannya, malah cenderung merasa lebih termotivasi untuk segera
mencapai hasil belajar yang baik sesuai dengan tuntutan kompetensi yang diharapkan.
Substansi pembelajaran pendidikan keaksaraan keluarga kini tak lagi berkutat pada kegiatan
calistung (membaca, menulis dan berhitung), tetapi dititikberatkan pada pemberdayaan secara
ekonomi, sosial dan budaya. Dengan kata lain, substansi program pendidikan keaksaraan
keluarga terintegrasikan dengan program kecakapan hidup. Hasil yang diperoleh cukup
signifikan dan luar biasa. Warga belajar jadi memiliki semangat belajar lebih karena ada kegiatan
ekonomis yang dilakukan di pusat kegiatan belajar masyarakat atau pada institusi penyelenggara.
Disamping itu, tidak hanya keterampilan semata yang disampaikan dalam PKK, tetapi
dibelajarkan dengan diberi modal dasar.
Program keaksaraan keluarga juga diintegrasikan dengan pemberdayaan dan keaksaraan media
melalui seni budaya lokal dan cerita rakyat. Selain itu, pemberdayaan dilakukan dengan
memperluas akses taman bacaan masyarakat (TBM) di ruang publik. Khusus bagi ibu-ibu
digerakkan aksi menulis yang difasilitasi melalui Koran Ibu. Semacam surat kabar local/desa,
tetapi khusus untuk perempuan. Mereka dilatih untuk membuat korannya sendiri. Sehingga
warga belajar terlatih menulis dan mengeluarkan idenya.
Hal ini terkait dengan kondisi penyandang buta aksara latin berasal dari keluarga miskin. Oleh
karena itu, di beberapa lokasi penyelenggaraan program PKK, substansi pembelajaran secara
tematik disesuaikan dengan kondisi nyata yang ada di lingkungan sekitar (potensi lokal). Melatih
dan membelajarkan orang dewasa untuk membaca, berbeda dengan membelajarkan anak, karena
pada dasarnya mereka sudah mempunyai sikap hidup, pengalaman hidup, dan dorongan untuk
melakukan sesuatu perbuatan. Kegiatan pembelajaran membaca dimulai dengan
memperkenalkan kata-kata yang melekat dengan peserta, mereka diminta untuk melafalkan
nama dirinya, untuk kemudian membaca perhuruf, proses ini terus berlanjut pada kata-kata yang
semakin meluas.
Demikian pula dengan materi menulis, tidak hanya diposisikan sebagai sebuah proses
membentuk huruf atau membuat kalimat, akan tetapi merupakan hasil karya cipta warga belajar.
Tulisan adalah serangkaian lambang bunyi yang mengungkapkan pokok pikiran si warga belajar.
Oleh karena itu rangkaian lambang bunyi harus bermakna sehingga pokok pikiran yang ingin
disampaikan melalui tulisan dapat dipahami pembaca. Terkait dengan materi berhitung, warga
belajar pada dasarnya sudah memiliki kemampuan dalam menghitung nilai nominal uang, jumlah
keluarga, jumlah ternak yang dimiliki, dan sebagainya, hanya saja mereka belum mampu
menggunakan secara benar simbol-simbol perhitungan. Terkait dengan hal ini, dalam membela-
jarkan orang dewasa, berhitung sudah menjadi kompetensi dasar fasilitator. Oleh karena itu
fasilitator dituntut untuk memahami betul tentang waktu dan tempat mereka biasanya melakukan
kegiatan, batas hitungan yang biasa digunakan, alat bantu yang biasa digunakan, simbol-simbol
penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, beberapa jenis permainan, format apa yang
biasa gunakan untuk angka, harga barang-barang pokok yang biasa dijual atau dibeli, dan lain-
lain.
Intinya, substansi pembelajaran keaksaraan keluarga bagi warga belajar sangat dirasakan lebih
mudah dan memiliki makna, karena apa yang diungkap dan dipelajari benar-benar berhubungan
dengan kehidupan mereka dalam keseharian.
4. Proses Pembelajaran
a. Pada sisi perencanaan, pendidikan keaksaraan keluarga adalah proses pembelajaran yang
tidak hanya disepakati antara tutor dan warga belajar seperti halnya pendidikan keaksaraan
fungsional. Oleh karena itu, pendidikan keaksaraan keluarga persiapannya melibatkan anggota
keluarga lainnya terutama yang sudah melek huruf.
b. Tempat belajar pendidikan keaksaraan keluarga dilakukan di pusat kegiatan belajar
masyarakat (PKBM) dan di rumah masing-masing warga belajar bersama anggota keluarga
lainnya, berbeda dengan program keaksaran fungsional yang praktis lebih banyak diakukan di
PKBM.
c. Sumber belajar pada program pendidikan keaksaraan fungsional berpusat pada tutor,
sedangkan pendidikan keaksaraan keluarga tutor diposisikan sebagai fasilitator, anggota keluarga
yang sudah melek aksara diperankan sebagai tutor keluarga sehingga kesempatan waktu untuk
belajar lebih banyak.
d. Program pendidikan keaksaraan fungsional merupakan proses belajar mengajar tentang
substansi keaksaraan. Berbeda dengan dengan keaksaran keluarga yang diselenggarakan melalui
pembelajaran yang dipadukan dengan belajar keterampilan.
Keikutsertaan warga belajar terhadap program Pendidikan Keaksaraan Keluarga (PKK) pada
awalnya masyarakat kurang antusias, karena berbagai alasan. Umumnya mereka keberatan
mengikuti program keaksaraan keluarga karena pertimbangan waktu dan kesibukan bekerja.
Bagi mereka yang bekerja nyaris tidak ada pilihan waktu yang dapat diluangkan untuk mengikuti
aktivitas belajar dan pembelajaran. Hal terberat yang sedikit menghambat program ini adalah
berkembangnya asumsi masyarakat bahwa tanpa kemampuan membaca dan menulis serta
berhitung pun, mereka masih bisa bekerja dan menanggulangi kebutuhan hidup keluarga.
Mereka yang buta aksara sebagain besar adalah orang tua yang sudah lanjut usia, sehingga rasa
malu dan malas belajar menjadi kendala utama untuk mengikuti program pendidikan keaksaraan
keluarga.
Warga belajar yang mengikuti kegiatan keaksaraan keluarga ternyata memiliki latar belakang
motivasi yang berbeda-beda dan cukup rasional. Sebagian warga belajar mengikuti kegiatan
dimotivasi oleh factor keluarga. Mereka mengaku seringkali ditanya oleh cucu-cucunya tentang
pekerjaan rumah yang ditugaskan guru sekolahnya. Karena ketidak-mampuannya, akhirnya
mereka tidak dapat membantu menyelesaikan tugas cucunya. Itulah salah satu motovasi warga
belajar tertarik mengikuti program pendidikan keaksaraan keluarga agar berkesempatan untuk
belajar menulis, membaca dan berhitung. Motivasi lain yang diungkapkan warga belajar adalah,
karena faktor ekonomi. Mereka seringkali kesulitan dalam menanggulangi kebutuhan ekonomi
keluarga. Padahal mereka sangat tertarik dengan kegiatan usaha dan keterampilan memasak.
Sepertinya mereka ingin membuka usaha membuat kue-kue modern yang dapat dijualnya ke
pasar. Tapi ketidakpahaman membaca resep dan formula cara membuat kue-kue yang
mendorong mereka tertarik belajar membaca resep. Sebagian lagi memaparkan bahwa motivasi
mereka karena ketidakmampuan orang tua mereka dulu karena keterbatasan ekonomi
menyekolahkan pada jalur sekolah formal. Sehingga saat ini dalam rentang relative muda tidak
pernah mengenyam pendidikan sekolah dan tidak bias membaca, menulis dan berhitung.
Walaupun terlambat dan tidak di sekolah formal, mereka ingin belajar lewat institusi dan satuan
pendidikan nonformal. Berbagai motivasi warga belajar tersebut merupakan kondisi gayung
bersambut, antara gagasan pengelola program pendidikan keaksaraan keluarga (PKK) dengan
kebutuhan masyarakat.
Ketelatenan pengelola dan ketekunan warga masyarakat untuk terus belajar dan membelajarkan
telah merubah citra (image) kegiatan pendidikan nonformal di tengah-tengah masayarakat.
Respon awal yang kurang peduli dari sebagin masyarakat terhadap gagasan dan program-
program pendidikan nonformal, pada beberapa tahun terakhir ini sudah mulai berubah. Saat ini
umumnya warga masyarakat secara moril mendukung bagi kelangsungan program-program
pendidikan nonformal, karena asumsi mereka melalui program PNF banyak anggota keluarga
yang berubah sikap belajarnya kearah yang lebih baik sehingga meningkat ilmu pengetahuannya.
Selain itu, warga masyarakat mearasa bangga bila semua anggota keluarga dilingkungannya
desanya tidak termasuk dalam kelompok keluarga buta huruf.
Program Pendidikan Keaksaraan Keluarga diawali dengan proses identifiaksi terhadap warga
masyarakat sekitar yang dianggap belum melek huruf (baca, tulis, dan hitung). Selanjutnya
dilakukan sosialisasi kepada calon warga belajar dengan memperhatikan harapan-harapan warga
belajar serta anggota keluarga lainnya. Sosialiasai dan informasi yang diberikan oleh pengelola
lebih menekankan pada motivasi belajar yang diarahkan pada proses penyadaran akan
pentingnya pendidikan keaksaran keluarga karena beberapa alasan: pertama, pembelajaran
memperkuat kemampuan keaksaraan warga belajar agar tidak buta aksara kembali dan menjadi
warga belajar yang mandiri. Kedua, pembelajaran memperbaiki keterampilan ekonomis. Ketiga,
pembelajaran memberikan akses/ kemudiahan warga belajar dalam memperoleh informasi.
Keempat, pembelajaran yang dapat menentukan sikap mental rasional dan ilmiah warga belajar.
Proses pembelajaran keaksaraan bagi warga belajar, selain mereka lakukan melalui program
usaha mandiri dalam bentuk pemeliharaan binatang ternak, usaha membuat surabi, uasaha
membuat gula merah, juga dilakukan melalui proses pembelajaran keaksaraan tentang cara baca,
tulis dan berhitung lewat keluarga. Mereka seringkali belajar tentang suatu yang tidak mereka
ketahui dengan cara bertanya kepada anggota keluarga. Tidak sedikit pengetahuan mereka
tentang cara berternak dan berhitung diperoleh lewat belajar bersama anggota keluarga. Oleh
karena itu pihak pengelola yang menjadi fasilitator program keaksaraan keluarga selalu
memberikan motivasi kepada anggota keluarga untuk terus memberikan bantuan dan dorongan
kepada anggota keluarganya yang dianggap belum melek huruf.
Pada tahap awal, proses pembelajaran keaksaran dilaksanakan di ruang belajar institusi
penyelenggara program PKK yang jadual pelaksanannya dikoordi-nasikan oleh pengelola
program keaksaraan. Pendekatan pembelajaran menggunakan pembelajaran partisifatif,
mengingat warga belajar mayoritas orang dewasa yang sudah lanjut usia. Sehingga proses
pembelajaran lebih menekankan kepada pelibatan secara langsung warga belajar dalam
menentukan jadual, substansi belajar dan pelaksanaan evaluasi. Penghargaan terhadap prestasi
belajar warga belajar perlu dihargai karena ternyata perhatian dan antusias warga belajar semakin
meningkat. Metoda pembalajaran yang dikembangkan oleh tutor adalah ceramah, tanya jawab
dan praktek. Kegiatan praktek berupa belajar menulis huruf latin dan berhitung angka, terutama
belajar menambah, mengurangi, dan membagi. Pada sebagian warga masyarakat yang telah agak
paham berhitung tingkat dasar dilanjutkan dengan kemampuan berhitung yang agak rumit,
mislanya mengkalikan dan mejawab soal-soal matematika sekolah dasar.
Proses pembelajaran selanjutnya dilakukan tidak hanya melalui pembelajaran tatap muka antara
tutor/fasilitator dengan warga masyarakat di ruangan, tetapi kemudian dilakukan melalui
pembelajaran dalam keluarga atau warga belajar lebih banyak diksusi tentang materi belajarnya
dengan anggota keluarga. Umumnya mereka melakukan proses pembelajaran tentang cara
membaca, menulis dan berhitung melalui pembimbingan anggota keluarganya yang sudah melek
huruf. Oleh karena itu, tutor lebih memposisikan diri sebagai fasilitator yang fungsinya
membantu memberikan layanan belajar dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi
warga belajar.
Pendekatan pembelajaran partisipatif yang melibatkan warga belajar sebagai orang dewasa
dalam menentukan rencana pembelajaran merupakan upaya strategis sehingga warga belajar
merasa memiliki dan mengambil peran dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini juga nampak
dari perlakukan tutor dalam strategi belajar mengajar yang membuka kesempatan luas kepada
warga belajar untuk mengemukakan pendapat harapan dan kendala yang mereka hadapi baik
aspek pribadi maupun aspek penguasaan materi pembelajaran. Tutor lebih memposisikan sebagai
pembimbing dan pendamping yang memberikan layanan pembelajaran bagi warga belajar. Hal
tersebut terungkap dari pendapat warga belajar yang memandang tutur mampu menyusun bahan
ajar berbasis tematis, selain bahasa yang digunakan dalam bahan ajar sesuai dengan kemampuan
warga belajar. Untuk memberikan suasana belajar aktif, tutor dianggap terampil dalam
mengenalkan macam-macam masalah dalam kehidupan sehari-hari sebagai kunci pengerak
diskusi/dialog. Tutor bersama warga belajar berdialog tentang ide mereka sesuai dengan
masalah-masalah yang dihadapi warga belajar. Sedangkan warga belajar berlatih berlatih
menggunakan kata kunci yang sudah dikenalnya. Suasana diskusi yang seperti tersebut terjadi
kerena: (1) tema bahan ajar yang dikembangkan sesuai dengan dengan kebutuhan warga belajar,
(2) bahan ajar mengunakan kata-kata kunci yang diangkat dari kehidupan nyata masayarakat, (3)
warga belajar juga diberi kesempatan untuk aktif memberi masukan terhadap proses dan bahan
ajar. Dengan demikian kemampuan tutor telah mendorong dan menggugah warga belajar untuk
belajar tentang hidupnya.
Umumnya motivasi warga belajar mengikuti proses pembelajaran dikarenakan beberapa factor,
diantaranya: pertama, kebutuhan warga masayarakat untuk dapat membaca dan menulis serta
berhitung. Kedua, dorongan anggota keluarga yang lain, terutama anak-anak mereka yang
relative sudah melek huruf, karena umumnya yang belum merek huruf adalah ayah dan ibunya.
Pada beberapa keluarga, anak tertua atau kedua yang umurnya rata-rata sudah di atas 60 tahun
juga belum merek huruf. Ketiga, ajaran agama yang mereka (warga belajar) dapatkan lewat
informasi yang disampaikan para ustadz dan kiyai pada forum majelis taklim, tentang
pentingnya manusia belajar dan menuntut ilmu. Keempat, warga belajar memandang pendidikan
keaksaraan keluarga lebih mudah dilakukan karena melibatkan anggota keluarga serta waktu dan
tempatnya tidak selemanya harus di ruang belajar, bebeda dengan program pendidikan
keaksaraan fungsional yang tidak banyak melibatkan anggota keluarga. Kelima, selain belajar
juga mereka dapat melakukan kegiatan usaha, karena melalui program pendidikan keaksaraan
keluarga mereka diberi modal usaha juga dilibatkan dalam pelatihan-pelatihan keterampilan
produktif, seperti membuat surabi, gula merah, dll yang dapat dijual dan menghasilkan uang.
Ketujuh, adanya peran aparat pemerintah setempat, terutama instansi pemerintah yang berkaitan
langsung dengan penyelengaran program pendiidkan keaksaraan. Perhatian dari pimpinan RT
dan RW serta beberapa Kepala Desa yang warganya terlibat langsung sebagai warga belajar
turut mempengaruhi keseriusan warga masyarakat untuk melibatkan diri belajar. Informasi yang
berkenaan dengan upaya-upaya pengembangan program PNF termasuk berbagai program
bantuan selalu dikomunikasikan secara intensif oleh penilik setempat. Oleh karena itu, sirkulasi
komunikasi anatara penyelengara program PNF, warga belajar, warga masyarakat serta aparat
pemerintah setempat sangat kondusif dan berpengaruh besar terhadap atmosfir proses
pembelajaran dan pengelolaan program pendidikan keaksaraan keluarga.
5. Strategi Penyelenggaraan
Strategi penyelenggaraan yang digunakan oleh pengelola program PKK adalah melakukan
pendekatan persuasif melalui pendekatan norma agama. Pendekatan ini cukup efektif dalam
menumbuhkan kesadaran dan minat belajar warga belajar. Apalagi pada mayoritas masyarakat
yang menjadi sasaran pendidikan keaksarana keluarga adalah beragama Islam, umumnya mereka
patuh dengan ajaran agama, sehingga setiap informasi yang dianjurkan agama mereka lakukan
dan setiap pekerjaan yang dilarang agama tabu untuk dilakukan. Pendekatan ini sangat baik
untuk dipertahankan dalam konteks karakteristik masyarakat seperti yang digambarkan di atas.
Inilah yang dinamakan potensi lokal yang kemudian dimanfaatkan betul pengelola program PNF
untuk mempermulus jalannya program keaksaraan keluarga. Melalui perbincangan dalam
keseharian, atau pembicaraan setelah sahalat magrib berjamaah, pengelola program dan tokoh
agama menyampaikan informasi dan memahamkan masyarakat tentang pentingnya belajar
sepanjang hayat. Belajar sepanjang hayat memberikan kesempatan belajar secara wajar dan luas
kepada setiap orang sesuai dengan perbedaan minat, usia, dan kebutuhan belajar masing-masing.
Kesempatan ini merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk belajar seperti program-
program kegiatan belajar kelompok (group learning), kegiatan belajar perorangan (individual
learning), dan kegiatan belajar melalui media massa. Kegiatan belajar tersebut dapat dilakukan
di berbagai tempat yaitu di tempat kerja, rumah ibadat, rumah tinggal; gedung perkumpulan,
sekolah, tempat bermain, lapangan olah raga, gelanggang remaja/pemuda, majelis ta’lim,
padepokan, perpustakaan, pusatpusat pembelajaran, panti dan lain sebagainya.
Dampak dari program pendidikan keaksaran keluarga adalah tumbuhnya jiwa kemandirian warga
belajar, karena dengan bekal kemampuan keaksaraan, mereka merasa percaya diri untuk
menyelesaikan berbagai pekerjaan. Kemampuan membaca warga belajar mendorong mereka
untuk mencoba berbuat melakukan berbagai keterampilan. Sebagai contoh, salah seorang warga
belajar dengan kemampuan membaca resep tentang membuat telor asin, tertarik untuk
berwirausaha membuat dan menjual telor asin, dan sukses menghasilkan uang.
Kemampuan membaca dan menulis serta berhitung warga belajar, menjadi motivasi dalam
mengaktualisasikan diri warga belajar melalui penuangan gagasan-gagasan lewat tulisannya,
walaupun gagasan sederhana dan dalam bentuk tulisan tangan. Hal tersebut dibuktikan dengan
terkumpulnya naskah-naskah tentang bebagai gagasan, pemikiran, termasuk resep-resep
makanan yang mereka ketahui untuk diterbitkan lewat media massa loka, seperti bulletin, tabloid
dan koran yang diterbitkan. Dalam Koran tersebut ada halaman tertentu yang memuat tulisan-
tulisan tangan warga belajar keaksaran keluarga. Karya tulisan warga belajar dimuat secara
bergiliran, mereka mendapatkan imbalan. Bagi warga belajar Koran ibu merupakan media
informasi yang bukan hanya sebagai media dan sumber informasi tetapi juga sebagai media
menyampaikan informasi yang memberikan nilai tambah secara ekonomis.
Pembelajaran pendidikan keaksaraan keluarga kini tak lagi berkutat pada kegiatan calistung
(membaca, menulis dan berhitung), tetapi dititikberatkan pada pemberdayaan secara ekonomi,
sosial dan budaya. Karena hampir seratus persen penyandang buta aksara latin berasal dari
keluarga miskin. Pada hampir semua subyek pengamatan, program PKK ini telah mampu
meningkatkan ekonomi keluarga, khususnya peningkatan pendapatan (income generating)
keluarga.
Semarang, Sumedang, Gresik dan Mataram merupakan sebagian wilayah yang menjadi lokasi
untuk diobservasi dalam kegiatan Pendidikan Keaksaraan Keluarga yang salah satu tugasnya
adalah mengembangkan program pendidikan keaksaraan keluarga dalam pendidikan non formal.
Agar wilayah tersebut dapat menjalankan tugas dan fungsinya perlu didukung oleh tenaga, baik
pendidik maupun kependidikan yang memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai standar
nasional pendidikan. Karena lembaga ini dihadapkan pada permasalahan utama yaitu dalam
manajemen program PNF dan penilaian kebutuhannya, dalam pelaksanaannya belum efektif dan
efisien serta belum sesuai dengan harapan. Untuk itu, informasi yang tepat dan kebutuhan yang
amat penting, dan visioner dengan penilaian yang realistik terhadap kebutuhan masa datang
sangat diperlukan. Kebutuhan tersebut meliputi: sumber daya manusia, sarana prasarana, proses,
evaluasi dan monitoring. Oleh sebab itu perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dari segi sistem, manajemen program PNF dan penilaian kebutuhannya perlu dilakukan
secara tersistem dan sistematik;
b. Dari segi substansi, manajemen program PNF dan penilaian kebutuhannya perlu
mengakomodasi berbagai tuntutan, diantaranya:
1) Tuntutan kebutuhan kelompok masyarakat sasaran sesuai dengan visi, misi, tugas, dan fungsi
lembaga;
1) Undang-Undang;
2) Manajemen program PNF dan penilaian kebutuhan jangka menengah; dan
3) Manajemen program PNF dan penilaian kebutuhan jangka pendek/ program tahunan.
3. Model Pembelajaran
b. Ketulusan
Pendidikan Keaksaraan Keluarga dipandang paling ideal karena semua anggota keluarga
memiliki urunan pada upaya meningkatkan kemampuan keberadaban. Untuk itu perlu diciptakan
model pembelajaran yang bisa menyentuh aspek saling percaya, ketulusan,kasih sayang,
dukungan dana dan fasilitas. Dengan demikian program Keaksaraaan Keluarga perlu
mendapatkan tempat dan kajian khusus, dengan penyediaan dan pemunculan model-model
pembelajaran yang khusus pula. Hal tersebut di tempuh dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Mendinamisir kelompok sasaran/warga belajar, hal ini dimaksudkan agar kelompok sasaran
dinamis dan selalu kondusif didalam menerima materi kegiatan. Hal ini mengingat peserta
program (masyarakat miskin) sebagian besar mayarakat dewasa yang turut membantu keluarga
dan menjadi tulang punggung keluarga mencari nafkah. Biasanya kelompok sasaran seperti ini
sulit mempertemukan waktu yang tepat secara bersama-sama dalam suatu kegiatan
pembelajaran.
b. Pemberian materi disesuikan dengan waktu kegiatan antara bekerja (mencari nafkah) dengan
menuntut pelajaran. Point in menjadi sangat penting mengingat kebanyakan masyarakat miskin
lebih banyak putus sekolah disebabkan ketiadaan biaya/dana. Termasuk kurikulum yang
diberikan pun harus disesuaikan dengan kebutuhan mata pencaharian.
c. Model pembelajaran harus bersifat mastery learning. Hal ini dimaksudkan agar materi yang
diterima benar benar aflikatif pada kegiatan sehari-hari yaitu mencari nafkah.
Dalam Penyelenggaraaan Program PKK terdapat banyak variasi mengenai fungsi manajemen,
namun terdapat tiga fungsi utama manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi.
Ketiga fungsi ini sering dilihat secara linier, yaitu perencanaan sebagai awal dari fungsi
manajemen serta evaluasi berada pada perencanaan dan pengorganisasian. Pada pemikiran lain
ketiga fungsi ini berlangsung secara dinamis dan saling menunjang satu dengan lainnya. Dalam
hubungan ini perencanaan tidak senantiasa diakhiri dengan pengorganisasian serta evaluasi tidak
selalu berada diujung perencanaan dan pengorganisasian
a. Perencanaan
Program Pendidikan Keaksaraan Keluarga adalah bagian dari perubahan struktur dalam belajar
dari budaya tutur menjadi budaya baca. Semua tujuan pembelajaran kebahasaan meliputi
memahami, membaca, menulis dan mengemukakan pendapat secara lisan maupun tulisan akan
serta merta merubah tatanan kemasyarakatan, dari masyarakat yang berbasis kata yang kemudian
akan hilang segera semua ide dan gagasan yang dikemukakan menjadi masyarakat dengan
dukungan perangkat keras yang akan dapat dijadikan titik tolak dan modalitas dalam
mengembangkan keilmuan dan pada gilirannya akan memberikan dampak pada kemakmuran
masyarakat secara keseluruhan.. Perencanaan adalah proses bagaimana menetapkan tujuan serta
menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan yang ditetapkan melalui tahapan analisis
dan evaluasi alternatif yang mungkin dikerjakan. Perencanaan berfungsi pula untuk menetapkan
dasar dan arah untuk sebuah lembaga penyelenggara program PKK dan mengarahkan program
yang dilakukan secara bersama oleh anggota staf untuk mencapai tujuan yang secara eksplisit
telah ditetapkan dalam perencanaan.
Salah satu pendekatan khusus dalam perencanaan yaitu perencanaan strategis, dengan
menggabung secara komprehensif dasar-dasar manajemen. Perencanaan ini lebih merupakan
metodologi yang mempertimbangkan secara sungguh-sungguh seluruh pertimbangan lingkungan
dan peluang serta hambatan. Tujuan utama dari perencanaan strategis yaitu memadukan antara
tujuan fungsional dengan perencanaan operasional dari staf. Terdapat lima langkah dari
perencananan strategis yaitu: Satu, penetapan tujuan dari lembaga PKBM sebagai
penyelenggaran Program PKK (bagaimana cara untuk memberikan pelayanan pada masyarakat
sasaran Program PKK). Kedua, menetapkan kekuatan dari lembaga (Bagaimana cara kerja yang
baik serta mengapa dilakukan). Ketiga, penetapan kenyataan dan potensi dari sasaran PKK
(bagaimana sasaran pelatihan dilayani, apa yang seharusnya dilakukan serta sejauh mana kita
memahami harapan mereka). Keempat, penetapan faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi lembaga (sumber-sumber yang dibutuhkan dari PKBM dan masyarakat). Kelima,
pengembangan dan operasional kegiatan (apa yang seharusnya yang harus dilaksanakan dalam
pemerograman, staffing dan pemasaran serta apakah semua itu bisa didanai).
b. Pengorganisasian
PKBM sebagai lembaga penyelenggaran program PKK dengan didanai oleh pemerintah tentunya
haarus benar-benar pelaksanaannya berdasarkan kebutuhan masyarakat. Dalam hubungan ini,
PKBM yang berhasil ditandai dengan kejelasan tujuan lembaga yang akan dicapai serta peluang
untuk terselenggaranya fungsi pengelolaan secara efektif.
c. Evaluasi
Secepat perkembangan dari perencanaan, serta sumber-sumber diorganisasikan dibutuhkan pula
dukungan kemampuan untuk mengevaluasi proses dalam upaya menilai keberhasilan tujuan yang
ditetapkan. Dengan evaluasi, lembaga penyeleng-garaan PKK akan memiliki gambaran antara
kenyataan yang telah dicapai dengan harapan yang diinginkan dalam perencanaan. Pada hal lain
dapat diketahui penyimpangan yang terjadi, sehingga dapat dilakukan perubahan dari komponen
kelembagaan dalam upaya untuk menjamin ketercapaian rencana yang ditetapkan.
Fungsi dan tugas dari manajemen dilaksanakan dalam organisasi dan lingkungan masyarakat
yang keduanya bisa membatasi keberfungsian manajerial suatu program yang sedang
dilaksanakan.
Strategi dasar yang menjadi andalan konsep pendidikan luar sekolah pada intinya diarahkan pada
peningkatan kecakapan warga masyarakat khususnya, kualitas penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, penguatan semangat untuk berprestasi, etos kerja, disiplin dan tanggung jawab,
kemampuan kewirausahaan, serta kemampuan memproteksi diri dari masalah-masalah kesehatan
dalam kehidupan. Untuk kepentingan itulah pembangunan pendidikan luar sekolah yang berbasis
pada kebutuhan belajar masyarakat sangat terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Untuk
menjawab tantangan tersebut maka pengelolaan pendidikan luar sekolah yang berbasis
manajemen yang sangat dibutuhkan saat ini, terutama pengelolaan pendidikan luar sekolah yang
berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengujian mutunya didasarkan atas kebutuhan
pasar kerja atau menganut prinsip demand driven dan selaras dengan upaya menumbuhkan dan
menggerakkan kegiatan industri dan ekonomi yang berbasis pada sumber daya alam. Beberapa
standard yang dapat dijadikan model pengembangan dan pengelolaan pendidikan luar sekolah
saat ini dan ke depan di antaranya adalah : model Manajemen strategik, TQM, learning
organization (LO) dan lain-lain.
Suatu contoh ilustrasi yang mengambil model manajemen strategik dan model learning
organization bagi pengelolaan pendidikan luar sekolah berdasar pada benchmark berikut ini :
Seperti diketahui ujung tombak dari kinerja organisasi pengelolaan pendidikan luar sekolah
menurut konsep manajemen terletak pada manusia, oleh karena itu kinerja organisasi yang
berkualitas merupakan penggerak (leverege) kinerja organisasai. Sumber daya manusia yang
berkualitas atau disebut dengan human capital. Human capital diperoleh melalui proses
pembelajaran dalam perspektif pertumbuhan (learning and growth). Human capital yang
berperan dalam perspektif bisnis internal akan menghasilkan modal organisasi (organizational
capital), yaitu memanfaatkan modal manusia untuk membangun jejaring organisasi. Modal
manusia dan modal organisasi akan menghasilkan ekuitas perusahaan bisnis dan pelanggan dan
ketiga perspektif (pembelajaran & pertumbuhan, proses bisnis internal dan pelanggan) secara
bersama-sama akan menghasilkan nilai bagi pemegang saham (sharehoder value) melalui
efisiensi biaya.
5. Memilih solusi yang terbaik untuk Program PKK
Serangkaian proses memilih solusi dapat dilakukan melalui empat tahapan yaitu : (1) memilih
solusi melalui data identifikasi sasaran pendidikan luar sekolah secara umum (2) memilih solusi
melalui gagasan berdasarkan kajian konsep dan teori tentang Pendidikan Keaksaraan Keluarga.
(3) memilih solusi melalui analisis hasil identifikasi kebutuhan belajar masyarakat (4) memilih
solusi melalui adaptasi dan prioritas program berdasarkan musyawarah.
Kajian analisis yang kita kembangkan untuk kebutuhan penyelesaian buku ini tentunya dengan
melalui tahapan-tahapan yang cukup bervariasi dimulai dengan adanya kajian lapangan ke
beberapa wilayah (Semarang, Sumedang, Gresik dan Mataram) yang sedang menyelenggarakan
program Pendidikan Keaksaraan Keluarga dan memperoleh dana bantuan dari pemerintah,
dengan harapan program tersebut menjadi model yang bisa dipakai contoh dan diadopsi oleh
lembaga-lembaga lain yang akan meyelenggarakan program yang sama. Dari hasil kajian di
lapangan kami memperoleh data yang beragam tentang pelaksanaannya disesuaikan engan
potensi wilayah masing-masing.
Keterlibatan warga belajar pada suatu program intervensi dalam konteks penguatan masyarakat,
didasarkan pada dua alasan berikut. Pertama, upaya menempatkan warga belajar sebagai pelaku
utama yang peka dan aktif pada seluruh kegiatan yang terkait dengan substansi program
berdasarkan: kondisi, sumber daya yang dimiliki dan potensi sumber daya yang dapat
dikuasainya. Kedua, memposisikan peran kelompok sasaran Program PKK sebagai pelaku utama
yang peka dan aktif dapat terwujud. Kedua alasan tersebut beranjak dari pandangan bahwa suatu
program intervensi yang benar-benar melibatkan warga belajar mengarahkan kepada
keberhasilan program itu sendiri dan sekaligus membangun kekuatan kelompok
Warga belajar sebagai pelaku utama dalam pembangunan mengandung pengertian bahwa seluruh
aspek manajemen program tersebut pada dasarnya dilakukan oleh para warga belajar. Sehingga
dengan demikian konteks pelibatan warga belajar dalam program tersebut bukan sekedar untuk
mengarahkan mereka sebagai pelaksana tetapi memberikan kondisi agar melakukan
pengembangan aspek program yang dibutuhkannya dan sekaligus memberikan persfektif
terhadap pembangunan yang lebih luas.
Fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan dalam kerangka penguatan kemampuan dan
potensi masyarakat (pembelajaran dan pemberdayaan serta pembaharuan masyarakat). Artinya
peserta belajar dalam kelompok tersebut diharapkan memiliki proses yang terbuka dengan
pemikiran dan keterampilan baru. Sehingga dengan pelibatan mereka secara langsung
merupakan media untuk terjadi proses penerimaan dan pengalihan kemampuan masyarakat
dalam mengelola aspek program yang dibutuhkannya.
Pelibatan warga belajar dipandang sebagai upaya fasilitasi dari unsure masyarakat yang terkait
dengan aspek perilaku (psiko-sosial), budaya dan politik, serta mata pencaharian. Ketiga aspek
tersebut saling mempengaruhi sehingga baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama akan
berpengaruh terhadap tingkat kesiapan warga belajar untuk melibatkan diri atau dilibatkan dalam
suatu program. Merujuk pada makna dasar dan dimensi yang terkandung di dalamnya maka hasil
akhir dari proses pelibatan warga belajar dalam kerangka pembangunan yang berpersfektif
penguatan kelompok adalah tumbuhnya: (1) rasa memiliki terhadap keberadaan kelompok ; (2)
kemandirian dan kewirausahaan warga belajar sebagai penggagas, pelaksana maupun
pemanfaatan pembangunan, dan (3) kepercayaan diri yang mapan terhadap potensi, sumber daya
dan kemampuan yang dimiliki untuk membangun dirinya sendiri ketika masyarakat sudah
terbebas dari buta huruf.
Apabila kebijakan pembangunan masyarakat lebih menekankan kepada terwujudnya peran serta
masyarakat dan pemberdayaan masyarakat menjadi satu-satunya pilihan, maka persoalan sangat
mendasar yang perlu diantisipasi dalam pemberdayaan warga belajar sebagai pola pembangunan
berbasis masyarakat harus bercirikan: (1) ada kebijakan yang menjamin hak dan kewajiban
warga belajar dalam menggali, merumuskan kebutuhan dan melaksaanakan aktifitas dalam
memenuhi kebutuhannya; (2) ada system informasi yang melembaga dalam masyarakat , (3) ada
upaya penguatan kapasitas atau kemampuan pengurus PKBM dan anggota kelompok dalam
pelaksanaan program; (4) ada transparansi keterpaduan visi dan misi program; (5) ada
akuntabilitas program, dan (6) ada lembaga yang menjadi mitra kerja pelaksanaan program.
Keenam ciri tersebut akan muncul apabila: (1) warga belajar mengetahui akan kebutuhan,
keinginan dan harapannya; (2) warga belajar mempunyai kesempatan dan keleluasaan untuk
memutuskan keinginan, kebutuhan dan harapannya; (3) warga belajar memahami visi, misi,
prinsip dan tujuan program; (4) warga belajar mengetahui tugas dan perannya; (5) warga belajar
mempunyai penggerak baik bersifat individual maupun kelompok; (6) warga belajar diberi
kepercayaan untuk melaksanakan program bahwa mereka mempunyai potensi.
Membaca sangat penting bagi setiap orang dalam rangka mengatasi kesenjangan pada
pengetahuan baru dan perubahan zaman. Penting dan keharusan membaca diharapkan akan
terus meningkat dari tahun-tahun. Namun, jumlah mereka yang tahu bagaimana membaca tetapi
tidak memanfaatkan potensi ini juga meningkat. Masih banyak orang muda dan tua, yang tidak
bisa mendapatkan akses pada kegiatan membaca dan program membaca di semua orang dan
beberapa yang mampu membaca tidak mendapatkan akses pada program membaca serta
kurangnya mendapatkan kepuasan dari membaca. Kelompok keaksaraan tidak memiliki banyak
minat awal dan kemanfaatan serta pemeliharaan dari kemampuan membaca. Kebiasaan
membaca harus dibangun dan dipromosikan sepanjang kehidupan. Minat baca tidak terlepas dari
kampanye keaksaraan yang luas, dalam arti mengajar orang untuk menulis dan membaca dan
menjadikan minat baca sebagai upaya memelihara keberlanjutan dari pembeajaran. Yang
menjadi persoalan bagi pembaca pemula bagaimana lebih memanfaatkan bahan bacaan dan
minat baca sebagai bagian dari kebiasaan pribadi dan sosial mereka. Untuk meningkatkan
kecintaan pada minat baca peran pemerintah, nonpemerintah, perpustakaan, sekolah dan
keluarga adalah sangat penting bagi kerjasama untuk mempromosikan kebiasaan membaca
Untuk memberikan solusi pada peningkatan minat baca akan diuraikan faktor yang
mempengaruhi minat baca, peran kelembagaan dalam menunjang minat baca, serta upaya
meningkatkan minat baca.
Berdasarkan hasil pengamatan pada satuan belajar yang diteliti terdapat tiga faktor utama yang
menghambat promosi membaca, diantaranya: pertama, kebiasaan yang didominasi budaya
mendengarkan atau tutur. Kelompok pembelajar awal khususnya hanya menekankan pada
kemampuan untuk melafalkan kembali, seperti dramatisasi, membaca animasi atau bahkan
demonstrasi. Penggunaan metode yang lebih didominasi penuturan ini karena buku-buku tidak
begitu tersedia. Kebiasaan yang merupakan budaya warisan menjadi kebiasaan dan menjadi
penghalang utama untuk meningkatkan kebiasaan membaca dari generasi ke generasi.
Singkatnya, pada saat ini masyarakat masih bergantung informasi dari mulut kemulut dan
bukan bahan tertulis. Kedua, pengelolaan pusat kegiatan belajar masyarakat yang didalamnya
terdapat taman bacaan masyarakat yang berfungsi menampung aspirasi dan minat baca yang
menyangkut sumber daya, keuangan dan bahan bacaan belum tersedia dengan memadai.
Perpustakaan yang telah dianggap representatif berada jauh di luar wilayah tempat tinggal warga
belajar, dan untuk mencapainya dibutuhkan waktu dan kesiapan mental. Kendati terdapat
beberapa sumber bacaan seperti yang ada di sekolah dan kantor tertentu, selain tidak
diperuntukkan bagi pembaca pemula, sumber daya manusia tidak memiliki kesiapan untuk
menjadi fasilitator bagi pembaca pemula dewasa. Selain itu jumlah dan keragaman buku yang
bisa melayani pembaca pemula masih sangat terbatas. Ketiga, terdapat media tandingan terutama
televisi yang menyajikan program yang ditata berbasis pada penataan media jarum hipodermis,
dimana penonton tanpa reserve tunduk pada tampilan yang desuguhkan dengan sedikit nsekali
nilai nalar yang dipergunakan terutama untuk sesi iklan. Kenyataan ini yang telah menghinggapi
semua golongan penduduk, tua muda.
Untuk mendongkrak minat baca sebagai bentuk tindak lanjut dan pemeliharan pembelajaran
yang berkelanjutan dari aksarawan dewasa baru dibutuhkan dukungan tokoh dan lembaga yang
akan mendukung kinerja perpustakaan dan rumah baca lain yang ada pada lingkup aksarawan
dewasa baru. Kesulitan baru yang diarasakan sangat mengganggu yaitu kerjasama dan jaringan
diantara aktor pendukung minat baca. Mereka yang memiliki andil dalam upaya memelihara
kemampuan baru dalam membaca yaitu:
a. Keluarga. Orang tua jelas agen sosialisasi penting. Orangtua yang menghabiskan waktu
membaca untuk anak-anak mereka memberi mereka awal terbaik di jalan menuju keaksaraan.
Banyak studi penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menunjukkan keterampilan
keaksaraan di sekolah adalah mereka yang berasal dari rumah dimana ada buku, dimana orangtua
mereka menghabiskan waktu untuk membaca bagi anak-anak mereka dan di mana anak-anak
melihat orangtua mereka dan saudara-saudara yang lebih tua terlibat dalam kegiatan membaca.
Beberapa cara yang pernah dilakukan dalam upaya meningkatkan minat baca yaitu membaca
buku cerita keras, menciptakan lingkungan belajar dengan mendirikan sebuah sudut mini
membaca dan diisi dengan bahan bacaan, mengunjungi perpustakaan, toko buku, kado buku
sebagai hadiah.
b. Peran perpustakaan, pustakawan, program perpustakaan yang dianggap masih terlalu langka
terutama yang berada di pelosok sana. Perpustakaan merupakan sarana untuk merangsang dan
mengembangkan minat baca. Berikut ini adalah beberapa strategi yang perpustakaan dan
perpustakaan memainkan peranan penting dalam promosi membaca.
1) Pustakawan terutama yang bertugas pada Taman Bacaan Masyarakat maupun mereka yang
bertugas pada aset lainnya seperti perpustakaan sekolah, daerah dan perusahaan harus membantu
mengembangkan antara sikap dan minat terhadap membaca. Sikap yang menyenangkan dan
positif dari pembaca harus dikembangkan terlebih dahulu sebelum seseorang dapat secara
otomatis membentuk kebiasaan membaca buku
2) Fungsi utama pustakawan adalah untuk melayani program pendidikan formal maupun
informal. Ketika kita berpikir tentang peran pustakawan di pendidikan, kita berpikir tugas
utamanya untuk memberikan pelayanan pada yang membutuhkan dan memperlakukan buku.
Pustakawan juga sesungguhnya memiliki tanggung jawab dan kesempatan untuk pergi keluar
dan memberitahu publik apa yang mereka miliki dalam perpustakaan mereka dan mencari tahu
apa yang mereka ingin membaca. Dari hubungan dengan peminat buku ini, lembaga bisa
memperbaiki dan terus meningkatkan pemajangan perpustakaan untuk mendorong pembaca
berminat dan mencari bahan yang dibutuhkan yang tersedia di perpustakaan yang dikelolanya.
3) Dalam setiap program perpustakaan yang efektif, pustakawan harus memiliki tanggung jawab
tambahan untuk menyediakan kurikulum dan kelengkapan bahan ajar untuk menunjang
kurikulum tersebut dan memiliki peran pengajaran aktif. Peran ini harus selalu dikoordinasikan
dengan kegiatan pembelajaran yang berlangsung dalam masyarakat seperti halnya. Dengan
pengetahuan yang luas tentang bahan dan teknik untuk menggunakan mereka, pustakawan dapat
membuat mitra yang kuat dalam perencanaan dan pelaksanaan dari lembaga pendidikan.
4) Membuat perpustakaan dan taman bacaan menjadi lebih menarik bagi masyarakat.
c. Bila minat baca seharusnya dijadikan sebagai icon nasional yang berfungsi menunjang
kemampuan sumber daya manusia dan membangun perubahan dan peningkatan peradaban dari
budaya tutur menjadi budaya baca perlu ditunjang dengan peran media massa Radio, TV, surat
kabar dan majalah yang dapat membantu mempromosikan proyek membaca, perpustakaan desa,
seminar-lokakarya pelatihan, wawancara otoritas membaca/penulis/tutor dan organisasi yang
terlibat dalam kegiatan membaca.
d. Peran sektor swasta dan pemerintah dalam membantu pengabdi perpustakaan melakukan
peningkatan membaca masyarakat. Para profesional seperti perguruan tinggi atau badan-badan
memainkan peran sangat banyak untuk sejenis taman bacaan masyarakat dan jasa melalui
kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan atau kegiatan merangsang kegiatan membaca
dan menulis. Hari besar negara dan keagamaan dapat dipergunakan untuk kegiatan merangsang
minat membaca dan menulis.
Untuk itu beberapa metode yang dipertimbangkan efektif untuk meningkatkan minat baca pada
aksarawan baru yaitu:
a. Mempromosikan list buku yang dapat diakses oleh pembaca aksarawan baru, dilihat dari
jenis, kalitas dan jumlah yang tersedia pada pangkalan baca tertentu. Ketersediaan buku juga
ditunjang dengan abstrak dari buku, sehingga para peminta dapat dengan mudah untuk
menjelajahi buku mana yang paling dibutuhkan. Buku dan kepustakaan yang tesedia harus
selektif diperuntukan bagi pelayanan tertentu.
b. Terdapat kegiatan dimana membaca dipromosikan pada aksarawan baru. Beberapa contoh
yang perlu dipertimbangkan untuk kebijakan pengembangan minat baca yaitu:
1) Promosi bacaan. Kegiatan bisa dilakukan kerjasama dengan pihak penulis yang secara
utuh menampilkan buku bacaan menggunakan media. Kegiatan ini bida dilakukan pada beberapa
hari besar yang berhubungan dengan pendidikan dan keaksaraan.
2) Perlombaan membaca. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kebiasaan membaca di
kalangan aksarawan baru dengan menggunakan perpustakaan dianggap sebagai salah satu
potensi dalam pembangunan bangsa. Bahan kontes adalah sejumlah buku tentang sastra: prosa
dan puisi, dipilih pihak berwenang atau komite yang ada pada wilayah. Peserta kontes
diwajibkan untuk mengembangkan dan menyampaikan beberapa ringkasan dari buku yang
dibacanya.
3) Bedah Buku. Strategi hemat biaya rendah dengan kemampuan untuk mencapai pemiarsa
yang lebih besar adalah bedah buku. Penyelenggara atau otoritas pada wilayah tertentu
bekerjasama dengan pustakawan atau pengelola taman bacaan masyarakat dan forum dapat
menetapkan jenis buku yang akan diungkap yang dilankutkan dengan pameran buku.
4) Upaya untuk membacakan buku. Cara ini mungkin baru tapi bisa dikombinasikan dnegan
tanya jawab, penugasan yang berujung pada upaya memotivasi untuk membaca dan menulis.
5) Pembacaan puisi kreatif. Sebenarnya terdapat potensi lokal yang berhubungan dengan
membaca seperti pembacaan hikayat atau wawacan. Pada kesempatan lain pembacaan dapat
dipadukan dengan nyanyian dan ritme tertentu sehingga memungkinkan penjiwaan dalam
membaca. Upaya untuk menggunakan cerita rakyat sebagai bagian dari peningkatan minat baca
perlu lebih dikembangkan ditunjang dengan sastra dan budaya daerah yang mudah difahami
masyarakat. Beberapa lagu daerah yang populer untuk wilayah tertentu potensi untuk dijadikan
materi pembacaan puisi kreatif.
6) Buku bergambar. Buku seperti ini dapat menolong aksarawan baru menghayati buku yang
dibacanya. Buku bergambar yang paling menarik yang menantang dan membuat masalah.
Gambar harus cukup jelas dan tidak memberikan tafsiran yang terlalu berbeda.
7) Jam Cerita. Kegiatan ini sebenarnya telah menjadi bagian dari siaran lokal. Bila ini
dipadukan dnegan pembelajaran bagi aksarawan baru dapat dikembangkan cerita yang akan
direspon oleh aksarawan baru dalam bentuk tugas yang akan dibahas di kelas.
8) Bermain peran bagi Aksarawan Baru. Melalui kemampuan membaca skrip awal,
aksarawan baru dapat ditugasi untuk membaca dan memerankan atau simulasi peran bedasarkan
penghayatan pada bacaan. Untuk lebih menjiwai pengelola dapat memadukan dengan seting
ruangan yang menunjang penghayatan pada bacaan. Bahan yang diangkat dapat diambil dari
buku atau bagian dari buku yang berhubungan dengan kehidupan peserta belajar keseharian.
9) Wayang. Bermain peran dapat dikombinasikan dengan pembuatan wayang atau boneka
yang dibuat oleh peserta belajar baik dengan menggunakan tanah liat, batang pohon atau kertas
koran bekas atau wayang dan boneka yang dibuat di pasaran. Presentasi mereka bisa
berdasarkan cerita atau episode tertentu dari sebuah buku. Antara pemeran dan penonton dapat
melakukan dialog berdasarkan pada improvisasi masing-masing.
10) Kompetisi kuis. Kuis ini ditujukan untuk mendorong peserta belajar dewasa agar
menggunakan nalar yang diperoleh hasil membaca buku pelajaran sambil memperomosikan
mereka sendiri. Pemeranan dalam kuis dapat diukur dalam peringkat antara delapan sampai
sepuluh terbaik.
11) Permainan. Beberapa materi yang dibaca dari buku dapat dikembangkan pada pembelajaran
yang lebih luas dalam bentuk permainan, menggunakan jigasaws, cardgames terutama materi
yang berhubungan dengan karakter dan jauh lebih menarik.
12) Promosi buku. Promosi buku dapat sangat berarti bagi pembaca maupun mereka yang
memiliki minat membaca, melalui ringkasan yang ada dalam buku, promosi jenis dan harga
buku, jenis dan isi cerita atau dengan memperomosikan naskah-naskah lokal yang belum dicetak
yang dapat memberikan rangsangan pada minat baik pada mereka yang membutuhkan peluang
membaca maupun untuk ragam kepentingan lainnya
Semua usaha peningkatan minat baca, banyak menyangkut teknis akan tetapi yang lebih penting
dari itu adalah sifat dari peningkatan minat baca bukan hanya sekedar teknis akan tetapi kesatuan
antara pembelajaran, refleksi dan aplikasi. Semua itu amat tergantung pada hakikat
pengembangan minat baca sebagai sebuah layanan.
BAB IV
KEAKSARAAN KELUARGA
Setelah melihat kondisi objektif Pendidikan Keaksaraan Keluarga (PKK) menilai kebaikan dan
kelemahan, peluang dan tantangan yang ada, pada bagian ini disampaikan upaya yang harus
dilakukan dalam meningkatkan kinerja PKK sebagai upaya yang lebih manusiawi dalam
mengatasi permasalahan keaksaraan bagi orang dewasa. Seperti diajukan terdahulu pola pikir
PKK dalam khasanah pendidikan bagi orang dewasa dan pemuda di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dengan hakikat PKK sendiri, minat baca, pendidikan keaksaraan usaha mendiri
sebagai upaya mendorong kelompok miskin dan menjaga keberlanjutan pembelajaran serta
tujuan pendidikan keaksaraan keluarga dalam kaitan dengan pemberdayaan atau lebih sfesifik
berkaitan dengan aksara untuk berdaya.
Paparan ini merupakan pertimbangan logis untuk lebih meningkatkan PKK sebagai upaya
sistemik pendidikan dan penghampiran warga negara pada bentuk peradaban yang tidak dapat
dipisahkan dengan informasi yang hakikatnya keaksaraan itu sendiri.
Konvensi berikutya yaitu pertemuan Jomtien tahun 1990 mengenai pendidikan untuk semua.
Penekanannya terletak pada: promosi akses dan ekuitas Universal; lebih fokus pada
pembelajaran; perluasan makna dan ruang lingkup pendidikan dasar; meningkatkan lingkungan
untuk belajar; serta memperkuat kemitraan. Nampaknya diskrepansi antara ide dengan kenyataan
masih tetap menandai praktik pendidikan untuk semua terutama bagi kelompok yang kurang
beruntung. Dari mulai akses dan kesamaan hak, dominasi mengajar dibanding pembelajaran,
perluasan makna pendidikan dasar, sampai saat ini masih terbatas pada kemampuan baca tulis
dan tidak bergerak dari ketergantungan dan tidak mampu menempatkan sebagai pendidikan
dasar yang dan diharapkan mampu untuk melakukan pembelajaran lanjutan. Dalam sisi lain
lingkungan belajar yang diharapkan mampu memicu keinginan untuk belajar masih belum
bergerak dari pembelajaran klasik yang dianggap menambah beban baru. Hal ini sejalan dengan
kemitraan yang tidak bergerak dari pemeranan pendidikan sebagai kareer solo, kendati banyak
pihak setuju bahwa pendidikan adalah kepentingan semua pihak.
Tindak lanjut dari pertemuan Jomtien yaitu pertemuan Dakar tahun 2000 yang menghasilkan
obsesi Delor bahwa pendidikan merupakan harta karun, bilamana mampu mewujudkan learning
to know, learning to do, learning to live together and learning to be. Dalam kenyataan
pendidikan hanya terbatas pada kemampuna kognisi dan amat kurang apresiasi pada pengaruh
dari pendidikan terutama dorongan untuk bekerja, hidup rukun dan aplikasi hasil belajar dalam
kehidupan. Untuk menegaskan keinginan tersebut ditetapkan keputusan Dakar dalam pokok
sebagai berikut:
1. Memperluas dan meningkatkan pendidikan bagi anak dini usia, terutama mereka yang
kurang memiliki peluang dan kurang beruntung;
2. Menjamin bahwa pada tahun 2015, terutama bagi kelompok perempuan, anak yang berada
pada lingkungan yang kurang memadai dan dari kelompok etnis minoritas memiliki peluang
untuk menyelesaikan wajib belajar pendidikan dengan kualitas yang baik;
3. Memberikan jaminan bahwa kebutuhan belajar bagi pemuda dan orang dewasa dapat
dipenuhi dengan peluang yang sama untuk mendapatkan pengajaran dan kecakapan yang
memadai;
4. Mencapai 50% perbaikan bagi orang dewasa yang belum melek huruf pada tahun 2015,
terutama bagi kelompok perempuan, dan peluang yang sama untuk memperoleh pendidikan
dasar dan pendidkan yang berkelanjutan bagi orang dewasa;
5. Membatasi ketidakadilan gender untuk pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005
dan mencapai kesetaraan gender pada tahun 2015;
6. Meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin program yang sempurna
sehingga hasil pemelajaran dikenal dan dapat diukur dari segi keluarannya bagi semua, terutama
yang berhubungan dengan kemelekhurufan, kemampuan menghitung dan life skill
Bila disimak penegasan yang terdapat pada pertemuan Dakar kembali pada masyarakat miskin
yang sulit untuk disentuh, baik untuk anak usia dini, pemuda, perempuan maupun bagi orang
dewasa yang masih buta huruf dan hidup dalam dunia yang berbeda terutama dalam
memanfaatkan kemampuan baca tulis untuk mengikuti perkembangan dan penciptaan ilmu
pengetahuan. Budaya tutur yang kurang efisien dalam menciptakan budaya karena ketiadaan
dokumen, membuat semua produk pemikiran yang tidak terhingga banyaknya akan hilang pada
saat putus mata rantai penutur. Hal ini yang kemudian ditekankan tentang pentingnya
keberkualitasan, keterukuran dan penguasaan life skill, termasuk kemampuan keras dan lunak.
Kemampuan keras saat ini sangat tergantung pada penggunaan otot sedangkan kemampuan
lunak menyertai jenis pekerjaan yang hanya terbatas pada kefungsian sebagai tukang dan bukan
sebagai manajer maupun employe.
Memang hampir menghadapi kebuntuan menghadapi kenyataan sumber daya yang miskin,
seperti ternyata dikeluarkan kembali pada tujuan milenium tahun 2005. Lihat saja penekanannya
seperti:
Untuk menghilangkan kebuntuan dan menghadapi kenyataan pendidikan kejutan (Botkin, 1986)
ditandingi dengan pendidikan untuk maju berkelanjutan (education for sustainable development)
melalui deklarasi Bonn tahun 2009 yang kemudian dipopulerkan dengan sebutan ESD. Memang
pendidikan hampir tidak memiliki makna yang jelas tanpa adanya keberlanjutan. Pokok-pokok
yang terdapat pada kesepakatan itu, menekankan mengenai hakikat ESD, kebijakan dan praksis.
Hakikat ESD adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan adalah menetapkan arah baru untuk
pendidikan dan pembelajaran untuk semua
2. ESD membantu masyarakat untuk menangani prioritas isu-isu yang berbeda antara lain:
air, energi, perubahan iklim, bencana dan pengurangan risiko, hilangnya keanekaragaman hayati,
krisis pangan, risiko kesehatan, kerentanan sosial dan ketidakamanan. Hal ini penting untuk
pengembangan pemikiran ekonomi baru
3. ESD didasarkan pada nilai-nilai keadilan, pemerataan, toleransi, dan tanggung jawab.
4. Mempromosikan kesetaraan gender, kohesi sosial dan pengurangan kemiskinan dan
menekankan perawatan, integritas dan kejujuran, seperti tertuang dalam Piagam Bumi
5. ESD menekankan pendekatan kreatif dan kritis, inovasi berpikir panjang, panjang dan
pemberdayaan untuk menangani ketidakpastian, dan untuk memecahkan masalah kompleks
6. Terkait dengan kebutuhan yang berbeda dan kondisi kehidupan nyata orang, ESD
memberikan keterampilan untuk mencari solusi dan mengacu pada praktek-praktek dan
pengetahuan tertanam dalam budaya lokal sebagai ide-ide baru juga di dan teknologi
Berdasarkan kenyataan ini langkah yang harus diambil terdiri dari kebijakan dan praktis. Pada
tingkat kebijakan:
1. Promosikan ESD yang memiliki kontribusi bagi pendidikan untuk semua dan untuk
mencapai kualitas pendidikan
3. Memobilisasi sumber daya dan pendanaan yang memadai dalam mendukung ESD
4. Re-orientasi pendidikan dan sistem pelatihan untuk mengatasi masalah kesinambungan
melalui kebijakan yang melekat pada tingkat nasional dan lokal
1. Reorientasi kurikulum dan program pendidikan guru untuk mengintegrasikan ESD ke
kedua pre-service dan program in-service
2. Mendukung penggabungan isu-isu pembangunan berkelanjutan menggunakan pendekatan
terpadu dan sistemik dalam pendidikan formal maupun pendidikan non-formal dan informal
pada semua tingkatan
6. Meningkatkan kontribusi dan peran penting dari masyarakat sipil dalam menstimulasi
debat dan partisipasi publik, dan tindakan memulai ESD
7. Memberikan nilai dan pengakuan kontribusi penting dari sistem pengetahuan tradisional,
masyarakat adat dan lokal untuk ESD dan kontribusi nilai budaya yang berbeda dalam
mempromosikan ESD
13. Meningkatkan upaya dalam sistem pendidikan dan pelatihan untuk mengatasi tantangan
keberlanjutan kritis dan mendesak seperti perubahan iklim, air dan ketahanan pangan dengan
mengembangkan rencana tindakan tertentu dan/atau program dalam payung dan kerangka
kemitraan
Memperhatikan langkah yang perlu dilakukan baik yang berhubungan dengan tingkatan
kebijakan maupun dari sisi praksis, menunjukkan mengenai perlunya penanganan pendidikan
untuk pembangunan berkelanjutan ditata. Pada sisi lain juga menujukkan betapa seriusnya
konsep ini sebagai tanggapan pada pendidikan saat ini yang sangat terbatas pada kegiatan yang
berlangsung di permukaan terbukti tidak sukup berartinya lulusan pendidikan tinggi sekalipun
dalam meningkatkan kinerja hasil pendidikan dan terbukti lebih memilih menganggur. Hal ini
pun tidak terkecuali untuk pendidikan keaksaraan yang perlu ditata lagi agar hasil pendidikan
memberikan efek berkelanjutan baik untuk mengembangkan pengetahuan maupun penghidupan
yang lebih baik dari peserta belajar.
B. Peningkatan Pendidikan Keaksaraan Keluarga
Sepanjang sejarah, keluarga telah menjadi sumber kekuatan utama belajar. Sebelum diberikan
mandat pembelajaran kepada sekolah, anak-anak diajar di rumah oleh orang tuanya, saudara
yang lebih tua, kakek-nenek, dan/atau kerabat lainnya. Dengan diperkenalkannya sekolah,
sejumlah pengajaran nilai-nilai, praktek budaya, dan keterampilan seperti memasak, menjahit,
pertanian dan perburuan masih diajarkan oleh keluarga. Saat ini pun, meskipun masyarakat luas
dan menjamurnya sistem pendidikan sekolah, beberapa orang tua masih tetap memilih untuk
mengajar anak-anak mereka di rumah, dengan keyakinan bahwa pembelajaran dalam lingkungan
keluarga adalah cara terbaik untuk memastikan hasrat mengajar pada anak mereka.
Lembaga sosial seperti halnya Pendidikan Keaksaraan Keluarga, telah menunjukkan fungsinya
sebagai tempat utama belajar, menyediakan sarana, pelatihan dan bantuan kepada keluarga untuk
mempromosikan keaksaraan. Keluarga telah berkiprah sebagai tempat pilihan pengembangan
melek huruf dan mengambil inisiatif keaksaraan keluarga yang mencerminkan penghormatan
terhadap keluarga sebagai situs pembelajaran.
Pengajaran keaksaraan dalam konteks keluarga dan bermanfaat bagi anggota keluarga adalah
sebuah pendekatan digambarkan oleh Auerbach (1989), yang berpendapat bahwa praktek-
praktek budaya dan sosial dari sebuah keluarga adalah pertimbangan utama dalam
pengembangan program keaksaraan keluarga. Model sosio-kontekstual Auerbach yang
digunakan sesuai dengan pembelajaran kontekstual dan pendekatan belajar untuk perkembangan
ilmu pengetahuan. Pendekatan ini didasarkan pada proposisi bahwa siswa belajar terbaik ketika
belajar bermakna bagi mereka dan berada dalam konteks lingkungan sosial mereka. Model ini
mengakui demikian relevannya untuk membawa konsep keaksaraan kelingkungan keluarga dan
rumah. Model juga melihat kontribusi positif dari anggota keluarga dengan pertimbangan
pengaruh nilai-nilai dan praktek budaya terhadap pengembangan keaksaraan.
Konsep keaksaraan keluarga memiliki perbedaan dengan yang berlangsung pada lingkungan
sekolah. Pendidikan keaksaraan keluarga diarahkan kepada orang-orang dari kelompok miskin,
minoritas, dan/atau keluarga imigran yang memiliki kekurang-mampuan dalam keaksaraan.
Program ini mengasumsikan bahwa individu-individu ini memiliki kesulitan karenanya
membutuhkan model keaksaraan yang dapat diterima untuk keluarga. Mengacu pada asumsi ini
menuntut pendidik untuk mendefinisikan kembali hubungan keaksaraan dengan kemiskinan dan
status sosial ekonomi dan mengakui potensi yang dimiliki keluarga misalnya bahasa, beberapa
pendekatan keaksaraan, dan kemampuan untuk menjadikan kehidupan mereka sebagai bahan
pembelajaran .
Walaupun kemampuan dalam melaksanakan pendidikan tidak seperti yang berlangsung pada
sekolah dan tidak mendapatkan penghargaan yang sama, terdapat cara-cara dimana semua orang
tua memberikan kontribusi keaksaraan dan kesadaran kontribusi tersebut terjadi jika orang tua
terlibat dalam pengalaman keaksaraan yang diaplikasikan secara bermakna dalam kehidupan
mereka. Program ini dirancang dengan cara melibatkan semua pihak dalam keluarga dalam
mengembangkan keaksaraan melalui berbagi pengalaman kehidupan nyata (Griswold dan
Ullman 1997). Konsep ini berkembang melalui kemitraan antara sekolah dengan keluarga, dan
berbagi cara sebagai sarana meningkatkan membaca, menulis, dan berbicara. Karena kedekatan
sosial ini beberapa peserta menyiapkan hidangan yang mereka bawa untuk dicicipi anggota
keluarga lain; beberapa lagi membawa resep yang ditulis bersama hidangan populer yang
disajikan bersamaan dengan kenangan mengenai makanan tersebut; dan beberapa menceritakan
asal usul makanan mereka berasal. Dengan cara ini merupakan alat yang ampuh untuk
meningkatkan pengetahuan dan melek huruf dari semua peserta dan merupakan contoh dari
pembelajaran kontekstual di lingkungan masyarakat.
Dalam PKK dikenal bahwa ibu adalah sosok yang paling penting dalam pendidikan keluarga.
Selama ini perhatian lebih banyak tercurah pada hubungan satu arah dari ibu kepada anak, dan
kurang memberdayakan dari proses dimana terdapat potensi sosial psikologis yang belum
dimanfatkan dalam meningkatkan makna pendidikan keaksaraan keluarga. Selama ini masih
dinilai kurang diberdayakan hubungan yang dapat dikembngkan dalam pembelajaran sesama
orang dewasa maupun sesama saudara seperti yang berkembang selama ini pada berbagai budaya
masyarakat.
Studi yang dilakukan Puchner (1997) melihat potensi dalam pembelajaran bahasa Inggris
imigran Asia Tenggara di Amerika Serikat, dimana pembelajaran keaksaraan dan berbahasa
Inggris dilakukan antara sesama saudara karena kemampuan orang tua terbatas dalam membantu
anak-anak mereka. Orang tua yang memiliki keterbatasan kemampuan bahasa Inggris, misalnya
sering kurang percaya diri dalam kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam program
keaksaraan keluarga. Dalam hal ini tutor keaksaraan, telah berkontribusi pada peningkatan
kesadaran orang tua dalam pendidikan keaksaraan dengan cara menyediakan waktu dan tempat
bagi anak-anak mereka untuk melakukan pekerjaan rumah dan/atau dengan mengamati dan
memberikan perhatian pada anggota keluarga dan anak yang lebih besar untuk membimbing
kelompok yang lebih kecil dalam mengerjakan kegiatan PR. Karena kesadaran akan kemampuan
orang tua dalam memfasilitasi pengembangan keaksaraan yang demikian berharga, kepercayaan
pada diri sendiri meningkat dan berpendapat tidak sepatutnya memberkan kepercayaan yang
berlebihan kepada pihak lain dalam melakukan pendidikan pada anak-anak mereka.
Variasi lain yang berkembang pada keluarga dengan tingkat melek huruf yang rendah dapat
dilakukan dengan cara yang relatif baru, dengan bantuan tutor seorang ayah dapat menceritrakan
pengalaman dalam pekerjaannya dan direkaman dalam tape recorder. Selanjutnya istrinya
diminta untuk mendengarkan rekaman dan menulis di atas kertas kata-kata yang telah dicatat
sehingga ia bisa membacanya kembali kepada suaminya. Pada kesempatan lain tutor kunjung
dapat membawa buku bergambar ke rumah untuk ayah dan anak untuk melihat sementara ia
menceritakan kisah yang ada dalam buku bergambar. Contoh ini menggambarkan tiga aspek
pendekatan pendidikan keaksaraan yaitu: (1) makna pendidikan keaksaraan untuk tujuan dan
aspek yang lebih luas, (2) pengalaman belajar dapat mendorong kemampuan belajar, dan (3)
belajar dapat dilakukan dengan cara yang tidak langsung.
Dari aspek sosial psikologis PKK yaitu sebuah program yang intensif dalam waktu dan upaya
perubahan yang berkelanjutan dalam keluarga dengan mengintegrasikan kekuatan-kekuatan.
1. Simak
Membaca fonetik,
a. Kegiatan keaksaraan interaktif antara orang tua dan anak-anak mereka;
b. Pelatihan bagi orang tua tentang bagaimana menjadi guru utama dan mitra penuh dalam
pendidikan anak-anak mereka;
c. Keaksaraan sebagai pangkal pelatihan yang mengarah pada kecukupan ekonomi
d. Sebuah pendidikan usia yang tepat untuk mempersiapkan anak-anak untuk sukses di sekolah
dan kehidupan.
Pendidikan Keaksaraan Keluarga sebuah program dengan cara menyediakan dukungan jangka
panjang untuk seluruh keluarga untuk mengembangkan keterampilan membaca dan bekerja
sesuai dengan tujuan pendidikan. Keaksaraan keluarga berangkat dari proposisi bahwa semua
anggota keluarga memiliki kekuatan. Tutor kunjung bermitra dengan keluarga untuk
mempromosikan konsep pendidikan partisipatif diantara orang dewasa dan anak-anak. Layanan
budaya yang relevan dikembngkan, dan keluarga dihormati karena kedalaman dan kekayaan
pengalaman hidup mereka. Kemitraan melalui keluarga mempromosikan keaksaraan sebagai
sesuatu yang bermakna bagi keluarga maupun sekolah. Program tersebut dapat dianggap sebagai
strategi yang efektif untuk menghindarkan kesenjangan prestasi yang terjadi bagi keluarga
berpenghasilan rendah.
a. Menghargai makna pendidikan sebagai cara untuk sukses dalam kehidupan;
Anak yang sukses dalam pendidikan dan kehidupan sangat dipengaruhi oleh pendidikan orang
tua, situasi ekonomi keluarga, di mana mereka tinggal, dan keutuhan orang tua. PKK memiliki
nilai folosofis bahwa keaksaraan keluarga memiliki pengaruh yang kuat bagi kemajuan anak dan
masa depan mereka. Keterlibatan orangtua adalah betuk kemitraan yang akan memberikan
dampak pada pendidikan anak mereka. PKK juga melibatkan secara penuh anggota keluarga
dalam mendorong keberhasilan pendidikan anak dan keluarga. Selanjutnya, melalui PKK
keluarga akan mendorong anggota keluarga untuk memperleh pekerjaan dan berhasil dalam
pekerjaan mereka dan serta merta mengembangkan keaksaraan dalam lingkungan kerja mereka.
Dengan terjaminnya pekerjaan maka kesetabilan dalam keluarga dan menjamin kesejahteran
yang lebih langgeng bagi keluarga.
PKK umumnya berlangsung pada masyarakat yang memiliki visi keunggulan bagi anggota
keluarga. Karenanya PKK mandapat dukungan penuh dari sekolah, organisasi nirlaba, perguruan
tinggi, dan perpustakaan. Model pendidikan antargenerasi dapat ditemukan di semua negara, dari
desa ke metropolitan, dimana pelayanan keaksaraan dapat dilihat sebagai upaya puncak dari
pendidikan masyarakat secara keseluruhan. PKK ditujukan pada mereka yang paling
membutuhkan layanan keaksaraan. Indikator kelompok ini yaitu:
Seringkali, keluarga tidak mungkin memiliki akses pada layanan PKK karena tidak mampu
mengakomodasinya. Karena biaya dan aksesibilitas dapat menimbulkan hambatan untuk
berpartisipasi, karenanya penting untuk mempertimbangkan lokasi dan sumber daya yang
tersedia ketika melaksanakan PKK. Terdapat PKK yang berhasil karena ditunjang aksesibilitas
dan kedekatan lokasi dimana orang hidup dan bersosialisasi. Berdasarkan pertimbangan ini
terdapat sejumlah prasarat untuk keberhasilan PKK, yaitu:
c. Mulailah mengeksplorasi cara-cara terbaik yang ditujukan pada kemanfaatan keluarga
melalui layanan bersama atau sebuah sistem lintas kepentingan. Sebuah program keaksaraan
keluarga harus menekankan pada layanan berkualitas tinggi dalam masyarakat.
d. Untuk memastikan bahwa pelayanan pendidikan sempurna bagi keluarga lembaga yang
diajak berkolaborasi adalah mitra aktif dalam PKK.
e. Keluarga sebagai pemangku kepentingan utama selama proses PKK harus sejak awal
diminta masukan dan harus secara aktif memberikan layanan yang diperlukan, kolaborator
potensial, dan perekrutan tenaga pendaping yang ada dalam masyarakat.
Selain dari itu dibutuhkan sejumlah penunjang yang akan memberikan dampak pada
keberhasilan PKK yaitu:
a. Lembaga sosial yang bergerak dalam memfasilitasi, pengembangan populasi etnis miskin;
b. Lembaga yang mengembangkan bahan ajar yang diperuntukan bagi PKK, novel dan suasana
pembelajaran yang menarik, dan mengembangkan kesadaran tentang buta huruf pentingnya
belajar seumur hidup, meningkatkan motif belajar mereka, memperbaiki hidup mereka dan
kemampuan meningkatkan kehidupan.
c. Lembaga yang giat dalam melakukan percobaan, dan membuat kebijakan terutama dalam
mengembangkan visi pendidikan keaksaraan dan mengembangkan pendidikan untuk populasi
etnis miskin di daerah pedesaan;
d. Instansi atau lembaga yang membuat buku pelajaran model pendidikan keaksaraan keluarga
dan bahan bacaan pelengkap yang berorientasi pada pertimbangan psikologis dan kebutuhan
mereka dalam kehidupan sehari-hari dan bekerja untuk kelompok etnis, meningkatkan fungsi
organisasi pendidikan, proses pengajaran dan metode pengajaran pendidikan keaksaraan dan
mencari cara untuk mengarahkan prinsip-prinsip dan metode untuk meningkatkan kualitas
pengajaran keaksaraan kelompok etnis dan komunitas tertentu;
e. Lembaga yang mengembangkan penelitian untuk membangun suatu sistem evaluasi
indikator yang efektif untuk keaksaraan dan pendidikan pasca-keaksaraan bagi komunitas
tertentu terutama di daerah pedesaan.
PKK banyak sekali mensiratkan kelompok miskin, sehingga dalam beberapa hal perlu
mendapatkan penjelasan dari sisi sosial dan psikologisnya. Kemiskinan dapat dijelaskan dalam
berbagai aspek seperti alasan sejarah, geografi dan lingkungan yang tidak bersahabat,
kelemahan dalam budaya dan tradisi, keterbelakangan dalam nilai dan ideologi, aplikasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tertinggal, dll. Secara umum alasan utama adalah pendidikan
yang tidak efisien dan akibatnya kualitas tidak memuaskan dan produktivitas dari pendidikan
kurnag terukur. Semua ini berlangsung seperti lingkaran setan proses kemiskinan. Hubungan
sistemik yang menyelimuti mereka melemahkan ambisi mereka, rendahnya kepercayaan diri dan
keterampilan untuk meningkatkan kondisi kehidupan, yang pada gilirannya menyebabkan
kemiskinan atau semakin menurunkan tingkat kemiskinan mereka. Sementara itu, pengaruh dari
pendidikan tidak terlalu memberkan kontribusi pada kehidupan mereka. Dalam era ekonomi
berbasis pengetahuan, variabel yang menentukan kecepatan pembangunan ekonomi dan sosial
untuk negara atau daerah adalah manusia terdidik sebagai sumber daya yang memadai kuantitas
dan kualitasnya serta angkatan kerja yang produktif yang mampu memanfaatkan sumber daya
alam dan kelembagaan. Akibatnya, pembangunan ekonomi dan sosial termasuk pengentasan
kemiskinan tergantungpada pemberdayaan kemampuan produksi/menghasilkan barang dan jasa
melalui pendidikan.Bagaimana memahami kemiskinan? Kemiskinan biasanya terkait dengan
kelaparan, kekurangan pangan, miskinkebersihan, tempat tinggal yang buruk, dll. Bank Dunia
dan UNESCO juga mendefinisikan kemiskinan dari perspektif ekonomi. Kita begitu terbiasa
untuk melihat ke dalam kemiskinan dalam arti ekonomibahwa kita cenderung melihat fenomena
kemiskinan daripada studi penyebab maupun implisitdan eksplisit. Bahkan, kemiskinan harus
dilihat dari multi-dimensi, yaitu, ideologis dan kemiskinan intelektual selain satu tidak akurat
dan tidak lengkap yang berkaitan dengan ekonomi, yang menjadi inti dari pemahaman kita.
Kemiskinan ideologi terdiri dari beberapa variasi seperti cara berpikir yang tidak memadai,
kurangnya semangat modern, kesadaran pada kewirausahaan dan daya saing. Kemiskinan
intelektual ditunjukkan kurangnya dasar pengetahuan yang diperlukan bagi warga untuk hidup
produktif, bagi diri maupun kegiatan sosial.
Strategi yang diambil dalam mengurangi kemiskinan. Terdapat sejumlah strategi yang sangat jitu
dalam mengurangi kemiskinan, antara lain:
a. Peran sentral dari pemerintah daerah. Peningkatan pendidikan didalamnya pendidikan
keaksaraan dan pengentasan kemiskinan adalah tanggungjawab utama pemerintah di tingkat
lokal. Tanggungjawab ini harus merata dari mulai pucuk pimpinan pemerintah daerah sampai ke
pemerintah desa. Pemerintah daerah bertanggungjawab dalam memfasilitasi ruangan belajar,
fasilitas, gaji guru, dll. Pemerintah harus meningkatkan upaya dalam meningkatkan investasi
untuk pengentasan kemiskinan.
b. Peran kelompok peneliti proyek yang utamanya berasal dari perguruan tinggi dan tenaga
profesi lainnya. Sekelompok peneliti proyek dibentuk. Kelompok ini bertemu secara teratur
untuk membahas masalah dalam pelaksanaan proyek dan menemukan solusi dalam mengatasi
kemiskinan. Anggota kelompok ini bertanggung jawab terutama untuk penggalangan dana
melalui berbagai cara untuk tujuan melakukan penelitian, mengorganisir seminar tentang tugas-
tugas eksperimental tertentu, membuat tugas-tugas yang jelas untuk setiap subproyek dan
menugaskan individu untuk penelitian tertentu, memiliki bengkel lokal kecil tentang tugas-tugas
penelitian tertentu, membimbing dan berpartisipasi dalam menulis dan mencetak buku teks
melek pendidikan atau bahan bacaan, koordinasi berbagai pihak dan memobilisasi sumber daya
lokal untuk mendukung proyek, pelatihan pelatih dan guru yang terlibat dalam proyek.
c. Koordinasi dari semua sektor masyarakat untuk kampanye dalam pengentasan kemiskinan.
Pengentasan kemiskinan adalah rekayasa sistematis yang membutuhkan partisipasi dari semua
sektor sosial lainnya selain pendidikan. Penduduk miskin terjebak dalam kesakitan, pegunungan,
berbatu, gurun, dataran tinggi yang dingin dan dilanda epidemi dan kekurangan air, dengan
infrastruktur yang buruk. Pemerintah setempat harus menerapkan kebijakan yang komprehensif
mendorong partisipasi sosial bagi pengentasan kemiskinan di daerah-daerah. Pemerintah tidak
hanya terlibat dalam pembuatan kebijakan yang relevan dan investasi tetapi mengembangkan
organisasi bagi masyarakat, LSM dan individu didalamnya. Beberapa usaha transdepartmental
dilakukan dengan menggabungkan upaya tiap cabang yang bergerak dalam pemerintahan di
bidang pertanian, peternakan, kehutanan, pertanian dengan produk pengolahan, infrastruktur,
penelitian, promosi dan penerapan teknologi, kesehatan, lingkungan pendidikan, dll. Pemerintah
daerah berfungsi sangat penting dalam melakukan koordinasi melalui kegiatan akses yang tepat
terhadap sumber daya dalam bentuk tenaga dan dana bagi masyarakat yang kurang beruntung.
d. Integrasi PKK di pedesaan dan proyek pengentasan kemiskinan. Sebagai dasar untuk
pendidikan orang dewasa, promosi langsung keaksaraan harus melayani kemampuan produksi
dan hidup orang dewasa pedesaan, sebagai proyek yang berkelanjutan. Hal ini baru dapat
dikatakan menarik dan bermanfaat bagi kelompok yang kurang beruntung manakala
dikombinasikan dengan teknik praktis dan relevan dalam bidang kerajinan dan pertanian atau
kegiatan ekonomi lainnya. Dengan demikian PKK tidak hanya membatasi pada kemampuan
membaca, menulis dan dan berhitung berdasarkan belajar mandiri, tetapi juga terpadu dengan
pendidikan kewarganegaraan, produksi dan hidup, sanitasi, lingkungan; tetapi difasilitasi juga
pendidikan perempuan, misalnya, pendidikan keluwesan dan kemandirian, kebersihan dan
perawatan anak dan ekonomi keluarga. Pada masyarakat dengan tingkat kemajuan sosial
ekonomi rendah, materi tambahan seperti budaya etnik dan tradisi dapat dimasukkan ke dalam
pendidikan secara sukarela. Dengan cara ini PKK akan semakin dapat memotivasi dan pada
gilirannya dapat meningkatkan kualitas kegiatan literasi dan mempercepat proses pengentasan
kemiskinan di daerah tertinggal.
e. Rendahnya pengetahuan mendorong komunitas untuk berpikir tidak rasional seperti
kepercayaan yang berlebihan pada nasib dan takhayul, karena kurangnya kurangnya informasi
dan kegiatan budaya. Melalui PKK sangat bermanfaat dalam memberikan pemahaman pada
masyarakat pedesaan, terutama dalam mengentaskan kemiskinan di daerah-daerah. Secara
umum pengembangan bahan PKK diperlukan untuk: a) pengambilan kebijakan negara dalam
bentuk pengembangan tujuan dan prinsip-prinsip, seperti halnya penekanan pendidikan literasi
dalam mengurangi tingkat kemiskinan. b) bahan belajar yang praktis misalnya sekitar masalah
yang dihadapi oleh penduduk yang kurang beruntung, misalnya masalah air minum,wc, kandang
ternak dan lain-lain; c) untuk mengeksplorasi variasi dalam format bahan ajar keaksaraanseperti
buku, booklet, leaflet, buku bergambar, poster, bahan audio-visual, dan lain-lain.
Membaca sangat penting bagi setiap orang dalam rangka mengatasi kesenjangan pada
pengetahuan baru dan perubahan zaman. Penting dan keharusan membaca diharapkan akan terus
meningkat dari tahun-tahun. Namun, jumlah mereka yang tahu bagaimana membaca tetapi tidak
memanfaatkan potensi ini juga meningkat. Masih banyak orang muda dan tua, yang tidak bisa
mendapatkan akses pada kegiatan membaca dan program membaca di semua orang dan beberapa
yang mampu membaca tidak mendapatkan akses pada program membaca serta kurangnya
mendapatkan kepuasan dari membaca. Kelompok keaksaraan tidak memiliki banyak minat awal
dan kemanfaatan serta pemeliharaan dari kemampuan membaca. Kebiasaan membaca harus
dibangun dan dipromosikan sepanjang kehidupan minat baca tidak terlepas dari kampanye
keaksaraan yang luas, dalam arti mengajar orang untuk menulis dan membaca dan menjadikan
minat baca sebagai upaya memelihara keberlanjutan dari pembeajaran. Yang menjadi persoalan
bagi pembaca pemula bagaimana lebih memanfaatkan bahan bacaan dan minat baca sebagai
bagian dari kepribadian pribadi dan sosial mereka. Untuk meningkatkan kecintaan pada minat
baca peran pemerintan, nonpemerintah, perpustakaan, sekolah dan keluarga adalah sangat
penting bagi kerjasama untuk mempromosikan kebiasaan membaca
Untuk memberikan solusi pada peningkatan minat baca akan diuraikan faktor yang
mempengaruhi minat baca, peran kelembagaan dalam menunjang minat baca, serta upaya
meningkatkan minat baca.
Berdasarkan hasil pengamatan pada satuan belajar yang diteliti terdapat tiga faktor utama yang
menghambat promosi membaca, diantaranya: pertama, kebiasaan yang didominasi budaya
mendengarkan atau tutur. Kelompok pembelajar awal khususnya hanya menekankan pada
kemampuan untuk melafalkan kembali, seperti dramatisasi, membaca animasi atau bahkan
demonstrasi. Penggunaan metode yang lebih didominasi penuturan ini karena buku-buku tidak
begitu tersedia. Kebiasaan yang merupakan budaya warisan menjadi kebiasaan dan menjadi
penghalang utama untuk meningkatkan kebiasaan membaca dari generasi ke generasi.
Singkatnya, pada saat ini masyarakat masih bergantung informasi dari mulut kemulut dan
bukan bahan tertulis. Kedua, pengelolaan pusat kegiatan belajar masyarakat yang didalamnya
terdapat taman bacaan masyarakat yang berfungsi menampung aspirasi dan minat baca yang
menyangkut sumber daya, keuangan dan bahan bacaan belum tersedia dengan memadai.
Perpustakaan yang telah dianggap representatif berada jauh di luar wilayah tempat tinggal warga
belajar, dan untuk mencapainya dibutuhkan waktu dan kesiapan mental. Kendati terdapat
beberapa sumber bacaan seperti yang ada di sekolah dan kantor tertentu, selain tidak
diperuntukkan bagi pembaca pemula, sumber daya manusia tidak memiliki kesiapan untuk
menjadi fasilitator bagi pembaca pemula dewasa. Selain itu jumlah dan keragaman buku yang
bisa melayani pembaca pemula masih sangat terbatas. Ketiga, terdapat media tandingan terutama
televisi yang menyajikan program yang ditata berbasis pada penataan media jarum hipodermis,
dimana penonton tanpa reserve tunduk pada tampilan yang desuguhkan dengan sedikit nsekali
nilai nalar yang dipergunakan terutama untuk sesi iklan. Kenyataan ini yang telah menghinggapi
semua golongan penduduk, tua muda.
Untuk mendongkrak minat baca sebagai bentuk tindak lanjut dan pemeliharan pembelajaran
yang berkelanjutan dari aksarawan dewasa baru dibutuhkan dukungan tokoh dan lembaga yang
akan mendukung kinerja perpustakaan dan rumah baca lain yang ada pada lingkup aksarawan
dewasa baru. Kesulitan baru yang diarasakan sangat mengganggu yaitu kerjasama dan jaringan
diantara aktor pendukung minat baca. Mereka yang memiliki andil dalam upaya memelihara
kemampuan baru dalam membaca yaitu:
1. Keluarga. Orang tua jelas agen sosialisasi penting. Orangtua yang menghabiskan waktu
membaca untuk anak-anak mereka memberi mereka awal terbaik di jalan menuju keaksaraan.
Banyak studi penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menunjukkan keterampilan
keaksaraan di sekolah adalah mereka yang berasal dari rumah di mana ada buku, di mana
orangtua mereka menghabiskan waktu untuk membaca bagi anak-anak mereka dan di mana
anak-anak melihat orangtua mereka dan saudara-saudara yang lebih tua terlibat dalam kegiatan
membaca. Beberapa cara yang pernah dilakukan dalam upaya meningkatkan minat baca yaitu
membaca buku cerita keras, menciptakan lingkungan belajar dengan mendirikan sebuah sudut
mini membaca dan diisi dengan bahan bacaan, mengunjungi perpustakaan, toko buku, kado buku
sebagai hadiah.
2. Peran perpustakaan, pustakawan, program perpustakaan yang dianggap masih terlalu
langka terutama yang berada di pelosok sana. Perpustakaan merupakan sarana untuk merangsang
dan mengembangkan minat baca. Berikut ini adalah beberapa strategi yang perpustakaan dan
perpustakaan memainkan peranan penting dalam promosi membaca.
a. Pustakawan terutama yang bertugas pada Taman bacaan masyarakat maupun mereka yang
bertugas pada aset lainnya seperti perpustakaan sekolah, daerah dan perusahaan harus membantu
mengembangkan antara sikap dan minat terhadap membaca. Sikap yang menyenangkan dan
positif dari pembaca harus dikembangkan terlebih dahulu sebelum seseorang dapat secara
otomatis membentuk kebiasaan membaca buku
b. Fungsi utama pustakawan adalah untuk melayani program pendidikan formal maupun
informal. Ketika kita berpikir tentang peran pustakawan di pendidikan, kita berpikir tugas
utamanya untuk memberikan pelayanan pada yang membutuhkan dan memperlakukan buku.
Pustakawan juga sesungguhnya memiliki tanggung jawab dan kesempatan untuk pergi keluar
dan memberitahu publik apa yang mereka miliki dalam perpustakaan mereka dan mencari tahu
apa yang mereka ingin membaca. Dari hubungan dengan peminat buku ini, lembaga bisa
memperbaiki dan terus meningkatkan pemajangan perpustakaan untuk mendorong pembaca
berminat dan mencari bahan yang dibutuhkan yang tersedia di perpustakaan yang dikelolanya.
c. Dalam setiap program perpustakaan yang efektif, pustakawan harus memiliki tanggung
jawab tambahan untuk menyediakan kurikulum dan kelengkapan bahan ajar untuk menunjang
kurikulum tersebut dan memiliki peran pengajaran aktif. Peran ini harus selalu dikoordinasikan
dengan kegiatan pembelajaran yang berlangsung dalam masyarakat seperti halnya. Dengan
pengetahuan yang luas tentang bahan dan teknik untuk menggunakan mereka, pustakawan dapat
membuat mitra yang kuat dalam perencanaan dan pelaksanaan dari lembaga pendidikan.
d. Membuat perpustakaan dan taman bacaan menjadi lebih menarik bagi masyarakat.
3. Bila minat baca dijadikan sebagai icon nasional yang berfungsi menunjang kemampuan
sumber daya manusia dan membangun perubahan dan peningkatan peradaban dari budaya tutur
menjadi budaya baca perlu ditunjang dengan peran media massa Radio, TV, surat kabar dan
majalah yang dapat membantu mempromosikan proyek membaca, perpustakaan desa, seminar-
lokakarya pelatihan, wawancara otoritas membaca/penulis/tutor dan organisasi yang terlibat
dalam kegiatan membaca.
4. Peran sektor swasta dan pemerintah dalam membantu pengabdi perpustakaan melakukan
peningkatan membaca masyarakat. Para profesional seperti perguuran tinggi atau badan-badan
memainkan banyak untuk sejenis taman bacaan masyarakat dan jasa melalui kegiatan yang
bertujuan untuk mengembangkan atau kegiatan merangsang kegiatan membaca dan menulis.
Hari besar negara dan keagamaan dapat dipergunakan untuk kegiatan merangsang minat
membaca dan menulis.
Untuk itu beberapa metode yang dipertimbangkan efektif untuk meningkatkan minat baca pada
aksarawan baru yaitu:
1. Mempromosikan list buku yang dapat diakses oleh pembaca aksarawan baru, dilihat dari
jenis, kalitas dan jumlah yang tersedia pada pangkalan baca tertentu. Ketersediaan buku juga
ditunjang dengan abstrak dari buku, sehingga para peminta dapat dengan mudah untuk
menjelajahi buku mana yang paling dibutuhkan. Buku dan kepustakaan yang tesedia harus
selektif diperuntukan bagi pelayanan tertentu.
2. Terdapat kegiatan dimana membaca dipromosikan pada aksarawan baru. Beberapa contoh
yang perlu dipertimbangkan untuk kebijakan pengembangan minat baca yaitu:
a. Promosi bacaan. Kegiatan bisa dilakukan kerjasama dengan pihak penulis yang secara utuh
menampilkan buku bacaan menggunakan media. Kegiatan ini bida dilakukan pada beberapa hari
besar yang berhubungan dengan pendidikan dan keaksaraan.
b. Perlombaan membaca. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kebiasaan membaca di
kalangan aksarawan baru dengan menggunakan perpustakaan dianggap sebagai salah satu
potensi dalam pembangunan bangsa. Bahan kontes adalah sejumlah buku tentang sastra: prosa
dan puisi, dipilih pihak berwenang atau komite yang ada pada wilayah. Peserta kontes
diwajibkan untuk mengembangkan dan menyampaikan beberapa ringkasan dari buku yang
dibacanya.
c. Bedah Buku. Strategi hemat biaya rendah dengan kemampuan untuk mencapai pemiarsa
yang lebih besar adalah bedah buku. Penyelenggara atau otoritas pada wilayah tertentu
bekerjasama dengan pustakawan atau pengelola taman bacaan masyarakat dan forum dapat
menetapkan jenis buku yang akan diungkap yang dilankutkan dengan pameran buku.
d. Upaya untuk membacakan buku. Cara ini mungkin baru tapi bisa dikombinasikan dnegan
tanya jawab, penugasan yang berujung pada upaya memotivasi untuk membaca dan menulis.
e. Pembacaan puisi kreatif. Sebenarnya terdapat potensi lokal yang berhubungan dengan
membaca seperti pembacaan hikayat atau wawacan. Pada kesempatan lain pembacaan dapat
dipadukan dengan nyanyian dan ritme tertentu sehingga memungkinkan penjiwaan dalam
membaca. Upaya untuk menggunakan cerita rakyat sebagai bagian dari peningkatan minat baca
perlu lebih dikembangkan ditunjang dengan sastra dan budaya daerah yang mudah difahami
masyarakat. Beberapa lagu daerah yang populer untuk wilayah tertentu potensi untuk dijadikan
materi pembacaan puisi kreatif.
f. Buku bergambar. Buku seperti ini dapat menolong aksarawan baru menghayati buku yang
dibacanya. Buku bergambar yang paling menarik yang menantang dan membuat masalah.
Gambar harus cukup jelas dan tidak memberikan tafsiran yang terlalu berbeda.
g. Jam Cerita. Kegiatan ini sebenarnya telah menjadi bagian dari siaran lokal. Bila ini
dipadukan dnegan pembelajaran bagi aksarawan baru dapat dikembangkan cerita yang akan
direspon oleh aksarawan baru dalam bentuk tugas yang akan dibahas di kelas.
3. Bermain peran bagi Aksarawan Baru. Melalui kemampuan membaca skrip awal,
aksarawan baru dapat ditugasi untuk membaca dan memerankan atau simulasi peran bedasarkan
penghayatan pada bacaan. Untuk lebih menjiwai pengelola dapat memadukan dengan seting
ruangan yang menunjang penghayatan pada bacaan. Bahan yang diangkat dapat diambil dari
buku atau bagian dari buku yang berhubungan dengan kehidupan peserta belajar keseharian.
4. Wayang. Bermain peran dapat dikombinasikan dalam pembuatan wayang atau boneka
yang dibuat oleh peserta belajar baik dengan menggunakan tanah liat, batang pohon atau kertas
koran bekas atau wayang dan boneka yang dibuat di pasaran. Presentasi mereka berdasarkan
cerita atau episode dari sebuah buku. Antara pemeran dan penonton dapat melakukan dialog
berdasarkan pada improvisasi masing-masing.
5. Kompetisi kuis. Kuis ini ditujukan untuk mendorong peserta belajar dewasa agar
menggunakan nalar yang diperoleh hasil membaca buku pelajaran sambil memperomosikan
mereka sendiri. Pemeranan dalam kuis dapat diukur dalam peringkat antara delapan sampai
sepuluh terbaik.
6. Permainan. Beberapa materi yang dibaca dari buku dapat dikembangkan pada
pembelajaran yang lebih luas dalam bentuk permainan, menggunakan jigasaws, cardgames
terutama materi yang berhubungan dengan karakter dan jauh lebih menarik.
7. Promosi buku. Promosi buku dapat sangat berarti bagi pembaca maupun mereka yang
memiliki minat lebih, melalui ringkasan yang ada dalam buku, promosi jenis dan harga buku,
jenis dan isi cerita atau dengan memperomosikan naskah-naskah lokal yang belum dicetak yang
dapat memberikan rangsangan pada minat baik pada mereka yang membutuhkan peluang
membaca maupun untuk ragam kepentingan lainnya
Semua usaha peningkatan minat baca, banyak menyangkut teknis akan tetapi yang lebih penting
dari itu adalah sifat dari peningkatan minat baca bukan hanya teknis akan tetapi kesatuan antara
pembelajaran, refleksi dan aplikasi. Semua itu amat tergantung pada hakikat pengembangan
minat baca sebagai sebuah layanan.
Bila dicermati secara seksama, pendidikan orang dewasa, pendidikan keaksaraan keluarga
dengan kewirausahaan memiliki hubungan yang saling berkaitan. Kenyataan ini relevan dengan
tinjauan ekonomi dari sistem pembelajaran yang oleh Manzoor Ahmed dibagi menjadi dua
bagian yaitu efisiensi internal, yang meliputi tercapainya penguasan kognisi, afeksi dan
psikomotorik, serta dicapai pula produktivitas ekternal, yang meliputi output pendidikan yang
mampu melampaui sumber-sumber yang dikeluarkan. Dengan demikian, hanya dengan
pendekatan wirausaha konsep Manzoor Ahmed dapat diwujudkan.
Penetapan aspek ekonomi sebagai motif utama dalam pendidikan keaksaraan keluarga adalah
sebagai upaya untuk memelihara keberlanjutan dari pendidikan itu sendiri. Hal ini tidak boleh
ditafsirkan melupakan asfek keaksaraan dan lebih mementingkan usaha seperti banyak terjadi
selama ini. Justru kehadiran usaha sebagai upaya untuk memelihara kemampuan membaca yang
dinilai masih sangat rentan untuk kembali pada posisi semula atau paling tidak fungsionalnya
keaksaraan dalam keperluan sehari-hari.
Bila kita kaji lebih jauh dari keaksaraan sebagai upaya untuk memelihara keberaksaraan dan
meningkatkannya, maka kewirausahaan merupakan salah satu jawaban kendati terdapat berbagai
pendapat yang melihat kewirausahaan untuk kelompok kurang beruntung dihadapkan pada
sejumlah permasalahan yang bertentangan dengan hakikat dari jiwa wirausaha sendiri. Sejumlah
hasil studi lapangan yang mengemuka yaitu:
3. Rendahnya tingkat komitmen terutama untuk bekerja keras dan mencurahkan perhatian
khusus
4. Pembatasan yang dipaksakan oleh kebiasaan dan tradisi, misalnya perempuan yang
dibatasi ruang gerak dan kemajuannya,
5. Keterlibatan risiko tinggi sedangkan subjek lebih memilih untuk bermain pada resiko
rendah,
6. Sosial-budaya yang kaku, untuk tidak merubah sistem kerja dan memasukkan cara baru
8. Kurangnya jaringan komunikasi, dimana orang begitu menikmati hubungan internal
dalam keluarga dan terbatas hubungan dengan dunia luar
10. Rendah status pengusaha, perbedaan sebagai konsumen dengan produsen. Di lingkup desa
dimana ia tinggal, seseorang akan lebih mementingkan perasaan aman untuk diri dan tetangga
melalui kehidupan yang relatif stabil dan tidak menyakiti orang lain dibanding dengan perubahan
yang mencolok dan membuat tetangganya menjadi gerah karenanya
Hal ini sedikit berseberangan dengan ciri-ciri dari wirausahawan sendiri yang dapat dirinci atas
tampirlan sebagai berikut:
10. Inovatif
13. Ketekunan
Dengan tidak mengecilkan arti kelompok aksarawan baru, mereka yang tergabung pada
kelompok ini tergolong residu yang sejak awal kurang terbina dan tidak mampu memuncukan
potensi-potensi diatas, baik karena keengganan yang bersangkutan, ketiadaan lembaga pembina
maupun maupun gabungan keduanya\
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi maka upaya pengembangan dan pembinaan yang
dilakukan dapat dikelompokkan melalui tinjauan sistem pembinaan, induk semang, lingkup
usaha dan bentuk usaha, manajemen kelompok.
2. Penijauan dan evaluasi kurikulum wirausaha. Seperti dimaklumi kurikulum keaksaraan
usaha mendiri dikembangkan untuk kelompok normal dengan 12 standar kompetensi, yang
terdiri dari: keinginan usaha berdasar potensi dan minat, praktek keterampilan yang memiliki
peluang usaha, identifikasi sumber daya alam dan manusia, identifikasi kebutuhan dan
permintaan pasar, penyusunan rancangan usaha, merancang dan mengola usaha, identifikasi
resiko usaha, interaksi dengan konsumen dan fasilitator, strategi pemasaran, penguasaan pesaing
usaha, kemitraan dan memelihara keberlangsungan usaha. Bila kita perhatikan pagu yang
dikeluarkan Direktorat Penmas sangat ideal dan sangat sulit dilakukan oleh perorangan warga
belajar dengan tingkat melek aksara dasar. Peninjauan kurikulum harus mengeksplisitkan sistem
pembelajaran, sistem pembinaan, pola inkubasi dan pembinaan keberlanjutan usaha. Sistem
pembelajaran belum menetapkan pertimbangan tutor dan nara sumber teknis yang bisa
menunjang pada keberlanjutan usaha, seperti hanya pemagangan yang mungkin dilakukan
dengan pola hubungan antara permagang dengan pemagang. Hal lain yang masih dianggap
kronis yaitu jenis usaha, strategi pemasaran, penguasaan pesaing usaha, kemitraan dan
memelihara keberlangsungan usaha.
3. Sistem pembinaan. Selama usaha dianggap persaingan dan ketiadaan lembaga pembina
atau pembina yang merangkap sebagai pesaing yang bertindak aman untuk mengurangi jumlah
pesaing untuk dirinya, maka wirausahawan baru dari kelompok aksarawan baru akan tetap tidak
akan berkembang. Sehubungan dengan itu dibutuhkan pembina yang kompeten dan memiliki
dedikasi yang tinggi. Kompetensi pembina yaitu mampu mengarahkan para aksarawan baru
untuk melakukan usaha yang berkembang dari waktu ke waktu atas inisiatif dan
tanggungjawabnya dan mampu melepaskan ketergantungan pada pasokan dana non komersial.
Sehubungan itu pembina juga harus mampu melibatkan pengusaha baru dari kelompok ini
sebagai bagian dari usahanya yang dari waktu kewaktu menunjukkan kedewasaan dalam
berusaha dan bila mungkin melepaskan diri dari pembinaan dalam status yang jauh lebih
mandiri. Dari waktu kewaktu perlu memacu motivasi usaha, dan mengurangi tingkat
ketergantungan dengan memodifikasi jenis usaha dan cara dalam produksi yang lebih efisien.
Lain halnya pembina dari perguruan tinggi atau lembaga profesi sejenis, pembinaan lebih
diarahkan pada sumber daya manusia dan kemampuan manajemen perusahaan.
4. Induk semang. Sesuai dengan kenyataan bahwa wirausahawan baru umumnya hanya
bergerak parsial pada bidang yang paling dikuasainya, maka dibutuhkan induk semang yang
akan menterjemahkan upaya selama ini menjadi sesuatu yang dapat ditingkatkan nilai
produksinya. Bila para usahawan baru hanya bergerak pada tingkat produksi, maka induk
semang harus mampu memasarkan hasil produksi itu dengan standar baku dan diminati oleh
pembeli melalui sentuhan pengepakan dan promosi.
5. Perubahan minset dari warga belajar sebagai wirausahawan. Sejalan dengan usaha
pembinaan warga belajar juga harus berusaha untuk merubah mindset dari kedudukan yang
nyaris tidak diperitungkan dengan tingkat ketergantungan yang tinggi menjadi warga negara
yang bermakna dan memiliki sumbangan pada kemajuan ekonomi maupun peningkatan
produksi.
6. Perubahan lingkup usaha. Bila selama ini sekala usaha yang dilakukan warga belajar
hanya terbatas pada sekala kecil, maka harus ada upaya baik dilakukan oleh warga belajar sendiri
maupun pembina untuk memindahkannya pada sekala medium. Dengan sekala kecil usaha yang
dilakukan hanya mungkin memenuhi kebutuhan sendiri atau bahkan lebih banyak tenaga yang
dicurahkan dibanding dengan produksi yang dihasilkan. Sejalan dengan lingkup usaha ini perlu
dikembangkan penganekaragaman usaha, sehingga tidak terjadi kongesti hasil usaha karena
produksi yang bersamaan sedangkan pasar yang tersedia terbatas.
7. Manajemen kelompok. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, volume usaha
yang dilakukan saat ini hanya berjalan dalam sekala sangat kecil dan tidak memungkinkan untuk
self suffisient. Berdasarkan pertimbangan ini perlu diperkenalkan manajemen kelompok dalam
membagi jenis usaha dan meningkatkan aset usaha seperti permodalan yang sulit untuk
dilakukan secara perorangan. Melalui manajemen kelompok ini ditingkatkan pola kolaborasi
baik di tingkat perencanaan dengan melibatkan konsultan untuk meningkatkan usaha, pada
tingkat operasional dengan mengatur hubungan vertikal dengan pengusaha yang lebih besar
maupun pembagian produksi sehingga terjadi tingkat efisiensi yang tinggi dan pada tingkat
tindak lanjut kegiatan untuk menjamin keberlangsungan usaha.
8. Pengembangan kebutuhan. Bila selama ini aksarawan baru hidup dalam memenuhi
kebutuhan dasar untuk makan, minum, pakaian dan tempat tinggal; kemudian diperkenalkan
pada dunia baru yaitu dunia ilmu pengetahuan dan informasi. Perubahan ini membutuhkan
penyesuaian dari pemenuhan kebutuhan tingkat dasar pada kebutuhan yang lebih jauh yang
membutuhkan kemampuan berpikir dan bertindak.
9. Pengembangan jejaring. Sebenarnya warga belajar dengan tingkat intelektual sebagai
aksarawan baru kemampaun jejaringnya juga sangat terbatas. Mereka umumnya sangat
disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan hubungan afiliasi sangat terbatas pula.
Sehubungan itu pengembangan kemampuan jejaring membutuhkan pembinaan yang
berkelanjutan untuk menghubungkan dengan jejaring baru, melakukan impelementasi dan
memelihara keberlanjutan jejaring yang dikembangkan agar memiliki makna positif bagi
aksarawan baru dan berdampak sebaliknya.
Pengembangan kewirausahaan bagi aksarawan baru melalui skim keaksaraan usaha mandiri
merupakan pilar baru yang menyatukan kemampuan pribadi, kemampuan usaha dan
pengembangan ekonomi. Kendati banyak pihak yang meragukan kelompok miskin akan
memiliki dampak pada perubahan dan peningkatan ekonomi macro, usaha optimis telah
dilakukan dengan mempertimbangkan kekurangan yang dimiliki kelompok ini. Hasil akhir dari
kegiatan ini tetap tergantung pada nilai residual yang masih bisa dikembangkan atau karena
perkembangannya tertunda, sehingga tidak mungkin untuk berharap terlalu tinggi semua anggota
kelompok dapat mencapai prestasi maksimal dalam pengembangan kewirausaan.
4. Walaupun tergantung pada sumber daya alam akan tetapi aksibilitas dan penguasaan akan
tanah sangat terbatas,
5. Dilingkupi oleh sumber daya alam yang semakin lama semakin menurun kualitasnya,
Sekaitan dengan itu untuk meningkatkan keberdayaan kelompok ini masih dirasakan sangat
pesimis dan perlu dikembangkan pendekatan baru, karenanya langkah yang ditempuh meliputi:
1. Advokasi dan Komunikasi, melalui kampanye dan kemitraan untuk advokasi yang
diarahkan dalam upaya meningkatkan komitmen baik lokal maupun nasional.
3. Penguatan Kapasitas Nasional terdiri dari Desain Program dan pelaksanaannya,
peningkatan kualifikasi sumber daya manusia serta peningkatan monitoring dan evaluasi.
Memperkuat kelembagaan dan operasional infrastruktur, yang bertanggung jawab untuk desain
dan pendekatan dalam keaksaraan, profesionalisasi pendekatan belajar sambil bekerja dan
memperkuat pemantauan dengan menggunakan pendekatan yang terukur.
4. Inovasi yang diarahkan pada membangun best practice dan aplikasinya, dilakukan dengan
penelitian tindakan-partisipatif untuk mengembangkan program inovatif dan praktik terbaik
mendokumentasikan tentang masyarakat belajar alternatif dan melanjutkan pendidikan serta
pengaturan jaringan, pertukaran praktik terbaik, penelitian tematik dan kebijakan forum.
Kegiatan ini dilakukan dalam upaya penilaian sarana, dan pedoman untuk menentukan
kebutuhan belajar, aset masyarakat, dan peluang untuk meningkatkan dan mempertahankan mata
pencaharian.
a. Kepemilikan pada unit masyarakat dan diterimanya berbagai keanekaragaman. Kepemilikan
akan program keaksaraan harus diperkuat dengan menerima keragaman lokal maupun nasional
dan semakin meningkat pengertian dan pendekatan untuk keaksaraan. Dengan demikian
penyelenggara dan peserta belajar akan menerima dukungan untuk memperluas pendekatan
mereka, dengan maksud untuk mempromosikan lebih komprehensif pengertian dan dukungan
akan keaksaraan. Sangat penting untuk memiliki tim pelaksana di lapangan dalam bentuk komite
nasional yang diikuiti komite kabupaten/kota yang terdiri dari wakil dari sektor pemerintah,
mitra pembangunan lokal dan sektor swasta termasuk LSM, Ormas, universitas dan lembaga
penelitian lainnya.
b. Linkage dengan kebijakan nasional maupun lokal. Strategi dan tindakan untuk menerapkan
Akrab harus diintegrasikan ke dalam kerangka pembangunan nasional dan lokal, seperti agenda
kebijakan pendidikan untuk semua, rencana pendidikan tiap sektor, pengembangan dan
kerangka pendidikan berbasis pada produk.
c. Progresif dalam pentahapan. Dilakukan untuk kegiatan sampai 2005-2015, dimulai dengan
memperhatikan kegiatan pada lingkup negara, penilaian tengah kegiatan pada tahun 2011 dan
periode 2012-2015 masa uji keberlanjutan dan perluasan.
6. Pembiayaan. Pembiayaan lebih ditekankan pada dana lokal baik yang berasal dari negara
maupun swasta. Untuk negara yang memiliki masalah pendanaan akan diusahakan dana bantuan.
7. Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi diarahkan pada pencapaian tujuan
pendidikan untuk semua, dengan penekanan pada:
Dengan mempelajari prinsip keaksaraan untuk berdaya, maka upaya perbaikan pemberdayaan
untuk keaksaraan perlu memperhatikan aspek sosiologis, ekonomi, peningkatan kemampuan
individu, dan pendekatan terpadu. Gambaran perbaikan untuk pemberdayaan keaksaraan sebagai
berikut:
1. Dari aspek ekonomi yang perlu diperhatikan adalah pemenuhan kebutuhan dari kelompok
kurang beruntung, sesuai kondisinya mereka lebih banyak berkutat pada pemenuhan kebutuhan
dasar, walaupun keaksaraan sendiri dapat dikategorikan sebagai kebutuhan dasar, prioritas akan
lebih banyak diberikan pada pemenuhan kebutuhan pokok tersebut.
2. Dari aspek sosiologis, kelompok aksarawan baru termasuk mayoritas yang kurang
memiliki kekuatan, sehingga tidak memiliki kemampuan bargaining dalam masyarakat.
3. Aspek psikologis, berkaitan dengan cara pandang aksarawan baru pada diri dan
lingkungan sama halnya dengan cara pandang lingkungan terutama orang yang melek huruf pada
orang yang yang nir aksara. Dalam hal ini perlu adanya perhatian khusus pada aspek motivasi
internal sering diabaikan.
4. Aspek politik, orang nir aksara maupun aksarawan baru relatif memiliki akses yang
terbatas dalam hubungan diri dengan lingkungannya terutama dalam menempatkan diri sesuai
dengan hak dan kewajibannya.
Pendidikan keaksaraan keluarga merupakan bagian dari inisiatif keaksaraan untuk berdaya
(Akrab). PKK adalah wahana belajar dalam keluarga, yang secara struktural hanya mungkin
terpelihara melalui peningkatan minat baca pada keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Peningkatan minat baca adalah perubahan struktural dari pola komunikasi tutur menjadi
menggunakan tulisan, bagian dari era informasi yang akan berdampak pada peningkatan ilmu
pengetahuan dan peradaban hasil dari penggunaan dan pengembangan informasi dalam
keseharian. Hasil kajian menunjukkan PKK perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh
sehubungan dengan fungsinya dalam meningkatkan fungsi keluarga sebagai unit pembelajaran
dalam koordinasi lembaga belajar dalam masyarakat. Untuk meningkatkannya perlu dukungan
pusat, otonomi daerah, perguruan tinggi, peningkatan lembaga belajar masyarakat dan
pemberdayaan keluarga dan warga belajar.
Berdasarkan kajian di bawah ini dapat diajukan pola pengembangan struktur sebagai berikut:
Bagan 4.1.
Inisiatif keaksaraan untuk berdaya merupakan kegiatan relatif baru, dan diawali dalam bentuk
program pengurangan tingkat illiteracy pada tahun 2006. Hasil studi juga menunjukkan para
pelaksana di lapangan selalu berpikir hierarkhis, dimana kegiatan perlu berjenjang dan
dilaksanakan melalui proses penyesuaian yang panjang. Sebenarnya bisa saja dari pihak
Direktorat telah lebih dahulu menyampaikan program baru seperti halnya PKK, akan tetapi
karena perlunya penyesuaian dan sifat umumnya sering menyederhanakan pemikiran seperti
halnya PKK, maka kadang apapun perubahan yang seharusnya dilakukan akan senantiasa
ditafsirkan seperti yang telah terjadi selama ini yaitu keaksaraan klasik, yang sebenuhnya
tergantung pada inisiatif yang datangnya dari pihak pemerintah dan sistem penunjang seperti
dana dan berbagai kebutuhan teknis lainnya seperti halnya tenaga. Nampaknya pola ini harus
sudah berubah, dari ketergantungan pada salah sumber pada komitmen bersama untuk
memberikan layanan pada masyarakat temasuk inisiatif internal yang datangnya dari lingkungan
masyarakat sendiri. Berkaitan dengan itu tugas mendesak yang harus dilakukan oleh pemerintah
yaitu:
a. Memberikan layanan advokasi dan sosialisasi kegiatan sehingga terdapat pemahaman yang
diharapkan mengenai keaksaraan keluarga, hubungan dengan peningkatan kesejahteraan dan
keberlanjutan pembelajaran PKK.
b. Mengembangkan jejaring kegiatan PKK dengan lembaga terkait lainnya baik dengan
pemerintah daerah yang memiliki hubungan lebih dekat dengan warga belajar, lembaga pembina
dan pengembang kegiatan seperti P2PNFI, BPPNFI, BPKB, SKB dan perguruan tinggi yang ada
pada lingkup wilayah kerja PKK. Upaya ini harus segera dilakukan untuk mengatasi
kecenderungan selama ini dimana fasilitasi untuk kelompok yang kurang beruntung terlalu
banyak dilakuakan sacara segmentasi dan hanya tergantung pada satu-satunya lembaga pembina.
Pengembangan otonomi daerah dilakukan dalam upaya memberikan layanan lebih dekat pada
rakyat, sehingga lahir istilah ramping-kaya fungsi, terutama dalam memberikan kemudahan pada
masyarakat. Tuntutan yang paling mendesak yang segera dilakukan oleh pemerintah otonom
yaitu:
a. Menjamin ketersediaan layanan yang adil untuk semua anggota masyarakat yang
membutuhkan bantuan sehingga tidak terkonsentrasi pada sekelompok dan wilayah tertentu.
b. Menjamin keberlanjutan sumber yang diperlukan sehingga kegiatan bisa berjalan secara
berkelanjutan
c. Mengembangkan jejaring pada lingkup daerah sehingga sumber yang ada pada wilayah kerja
dapat dimanfaatkan secara maksimal efektif dan efisien
Perguruan tinggi berfungsi mencari solusi baru dalam mengatasi permasalahan yang
berhubungan dengan pendidikan keaksaraan keluarga terutama dilihat dari keberlanjutan,
pemanfaatan anggota keluarga dalam meningkatkan keaksaraan dan minat baca serta
mengarahkan aksarawan baru pada dunia informasi sebagai tuntutan baru pada era global.
Dukungan spesifik yang bisa dilakukan perguruan tinggi, yaitu:
a. Mencari inovasi baru yang berhubungan dengan PKK, minat baca dan pemberdayaan
aksarawan baru
b. Mengembangkan model motivasi yang bersumber dari motivasi internal, sebagai tumpuan
akhir dari pembelajaran yang tidak lagi menggantungkan diri pada dukunagn dari luar sebagai
upaya memelihara keberlanjutan belajar bagi aksarawan baru.
Kesulitan utama yang dihadapi oleh aksarawan baru pada PKK yaitu kesulitan untuk mencari
model penggunaan aksara dalam lingkungan terdekat, berupa ketersediaan sarana baca dan
wahana ekspresi hasil pembelajaran sehingga tidak cepat terlupakan karena tertimbun oleh
kesibukan keseharian warga belajar dalam memenuhi kebutuhan bagi kelompok kurang
beruntung. Beberapa tugas mendesak yang dilakukan oleh kelompok belajar tempat warga
belajar aksarawan baru PKK yaitu:
a. Menyediakan sarana baca dan menyediakan buku yang menarik untuk aksarawan baru PKK
b. Mengembangkan metode dan kegiatan paska pembelajaran formal, agar kegiatan bisa
berlanjut dengan mementingkan kemampuan baca tulis dan mengekpresikan diri melalui tulisan
dalam kehidupan sehari-hari, seperti menulis untuk koran ibu dan lain-lain.
c. Mengembangkan kegiatan lain yang berfungsi memelihara kebiasaan membaca melalui
kewirausahaan yang memungkinkan aksarawan baru tetap menembangkan kemampuan baca
tulis dan mengembangkan infromasi.
d. Mengembangkan kegiatan bersama dengan tutor sebagai model dalam memelihara
kemampuan membaca, menulis dan mengembangkan informasi
e. Menjaga ritme belajar terutama pada masa transisi yang dianggap paling rentan untuk
kembali pada kebiasaan semula dan melupakan kemampuan keaksaraan sebagai bagian dari
kehidupan pada era informasi.
9. Peningkatan Pemberdayaan Keluarga dan warga belajar
Tujuan dari PKK dikaitkan dengan LIFE yaitu menjadikan anggota keluarga aksarawan baru
menjadi pembelajar dengan memanfaatkan sumber belajar yang ada pada lingkungan keluarga,
dan menjadikan anggota keluarga sebagai aset untuk meningkatkan anggota keluarga lainnya.
Secara normatif tanggungjawab dalam keaksaraan berbah dari pihak luar kepada anggota
keluarga sendiri. Keberdayaan anggota keluarga banyak dikaitkan dengan keberadaban
(civilization), berupa keterlibatan pada proses ekonomi yang diukur dengan produktivitas, sosial
dalam bentuk aktif dalam belajar dan politik dalam bentuk pemenuhan hak dan kewajiban
sebagai warga negara dalam memberikan sumbangan terbaik pada kebijakan negara termasuk
pengurangan angka buta aksara.
Pemberdayaan yang harus terlihat dari tampilan aksarawan baru dapat dilihat dari hakikat
belajar, ciri perorangan maupun dan pengembangan kelompok sebagai upaya memelihara
keberlanjutan belajar.
a. Dari aspek hakikat belajar bagi aksarawan baru sebagai orang orang dewasa harus
ditempatkan motivasi intrinsik sebagai cara untuk tetap memelihara keberlanjutan kemampuan
keaksaraan. Dengan menggunakan semua karakteristik orang dewasa yang didalamnya
pengalaman, pencitraan konsep diri, kejelasan arah, motivasi, kesisapan belajar dan kebutuhan
pembelajaran diarahkan pada pembelajaran berbasis mengarahkan diri (self directed learning).
b. Dari aspek keberdayaan individu yang harus dimiliki oleh warga belajar yaitu perubahan dari
kondisi selama ini yang tidak memiliki kekuatan menjadi orang yang kuat melalui kemampuan
keaksaraan, yang ditunjukkan melalui ciri-ciri:
1) Akses (acces), memiliki peluang yang cukup besar untuk mendapatkan sumber-sumber
daya melalui kemampuan mengakses informasi.
2) Daya pengungkit (leverage), meningkat dalam hal daya tawar kolektifnya sehingga tidak
lagi hanya memberikan layanan akan tetapi secara proporsional harus pula mendapatkan layanan
karena kemampuan yang dimilikinya
3) Pilihan-pilihan (choices), mampu dan memiliki peluang memilih berbagai pilihan
terutama dalam menentukan nasib dirinya yang tidak lagi sepenuhnya diatur oleh nasib.
4) Status (status), meningkat citra diri, kepuasan diri, dan memiliki perasaan yang positif
atas identitas budayanya sebagai penghulu dan bukan hanya pengikut
7) Disiplin (discipline), menetapkan sendiri standard mutu pekerjaan yang dilakukannya
dalam hubungan dengan orang lain, berubah dari disiplin karena faktor yang datangnya dari luar
dengan kesadaran diri untuk diri dan keluarga dan sumbangan pada lingkungan
8) Persepsi kreatif (creative perceptions), sebuah pandangan yang lebih positif dan inovatif
terhadap antar hubungan dirinya dengan lingkungannya. Berdasarkan hasil belajar kemudian
dikembangkan kemampuan kreatif sebagai bukti hasil belajar dengan memanfaatkan kemampuan
diri, lingkungan kelurga dan sumber daya sosial dan alam.
c. Keberdayaan individu juga dapat dilihat dari kemajuan dalam ekonomi dalam bentuk
produktivitas dengan menghasilkan produk kasat mata untuk diri dan lingkungannya, serta
kemampuan untuk mengorganisir diri dalam bentuk badan komunitas, untuk tujuan
pembelajaran. Lembaga yang dikembangkan hendaknya memiliki karakteristik:
d. Struktur kelompok kecil berkisar 10 orang. Proses pemberdayaan menekankan aktivitas dan
otonomi kelompok kecil. Batasan kelompok ini didasarkan pada kesamaan kebutuhan dan
minat.
e. Transfer tanggungjawab. Pada proses pembelajaran yang semula sangat tergantung pada
tutor dan tutor keluarga secara bertahap harus dipindahkan pada kelompok dan warga belajar
sendiri. Selama pelaksanaan pembelajaran, partisipan mungkin enggan atau ragu dilibatkan tetapi
lama kelamaan setelah berpengalaman hal ini dapat di atasi.
g. Pihak penggagas yang berubah menjadi fasilitator. Diluar tugas agent juga sebagai pelayan
didalam menagarahkan proses, sebagai manusia sumber, mengajukan masalah dan lain-lain.
Seorang fasilitator sepakat terhadap sasaran pemberdayaan dan memperlihatkan dukungannya
dalam melakukan upaya untuk diri peserta belajar sendiri.
h. Proses yang demokratis dan tidak hierakhis. Semua pendapat dihargai sama dan keputusan
diambil berdasarkan konsensus. Peran dan tanggung jawab didistribusikan secara merata.
Didalam beberapa hal, partisipan mungkin tidak memahami cara kerja sama dan demokrasi.
Karena itu, dibutuhkan proses latihan. Pengurangan tingkat birokratis menjadi lebh fleksibel
i. Refleksi. Pengalaman partisipan dan perbaikan masalah dijadikan fokus. Analisa kerjasama
untuk meningkatkan perubahan yang dapat melibatkan personal, adalah pemecahan masalah,
perencanaan, pengembangan keterampilan, dan/atau perselisihan. Warga negara yang baik
ditunjukkan dengan kemampuan untuk memperoleh sejumlah informasi, melakukan refleksi dan
memanfaatkan untuk kehidupan keseharian
j. Metode yang mengutamakan kepercayaan diri. Teknik yang digunakan untuk meningkatkan
keterlibatan aktif warga belajar adalah dialog, dan aktivitas kelompok mandiri seperti belajar
sesama teman, jaringan kerja, workshop, menyediakan alat yang dapat digunakan oleh partisipan
scara mandiri, latihan mengekspresikan diri sendiri dan permainan.
k. Peningkatan ekonomi, sosial dan kedudukan secara politik. Sebagai hasil empowering
process, partisipan dapat meningkatkan kemampuan di bidang ekonomi, sosial dan politik di
dalam masyarakat.
Pendidikan keaksaraan termasuk pendidikan keaksaraan keluarga dapat diukur dari peningkatan
minat baca yang ada dalam masyarakat, dan ini merupakan sumber daya manusia yang selama
ini kurang mendapat perhatian. Pentingnya minat baca demikian mendesak terutama dalam
mengantisipasi loncatan konsep dalam pembangunan, dimana untuk mencapai tingkatan tertentu
dalam peradaban, pendidikan dan kebudayaan kunci utamanya sangat tergantung pada
penguasaan informasi yang hanya bisa diperoleh melalui keaksaraan, peningkatan minat baca
dan berujung pada keberdayaan.
Knowles membuka paradigma baru hubungan sistemik antara penciptaan iklim dalam
pendidikan orang dewasa termasuk keaksaraan yang hakikatnya penjalinan motivasi dari sisi
penanggungjawab maupun peserta didik, penciptaan struktur kerjasama, pemenuhan kebutuhan
dan minat, penetapan tujuan, pembuatan perencanaan, implementasi dan evaluasi. Perbedaan
prinsip terletak pada setiap tahapan dimana keterlibatan peserta didik merupakan jaminan dalam
penyelenggaraan pendidikan orang dewasa berbasis pada psikologi dan humanisme. Demikian
pula evaluasi diukur dari sejauhmana keberhasilan minat dan tujuan yang dimiliki oleh peserta
belajar berbasis pada kompetensi yang telah dicapai oleh mereka. Ukuran ini nampaknya yang
belum lazim, dimana sebelumnya keberhasilan hanya dilihat dari pihak luar dan bukan oleh
peserta belajar sendiri. Melalui konsep aktulisasi diri buah pikiran dari Maslow, komitmen PKK
harus bermula dari peserta didik untuk memulai perubahan dalam hidup melalui kemampuan
membuka cakrawala melalui melek huruf yang diikuti dengan kemajuan dalam keberdayaan
politik, sosial dan terutama ketercukupan ekonomi.
bab v
A. Penutup
Berdasarkan hasil temuan dan kajian dalam bab terdahulu tentang Pendidikan Keaksaraan
Keluarga, ada beberapa hal pokok yang dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut sebagai
penutup sebagai berikut:
1. Pendidikan Keaksaraan Keluarga merupakan transfer tanggung jawab negara terhadap
keluarga tentang pentingnya penyelenggaraan pendidikan keaksaraan. Perbedaan dari sisi
konsep, bila semula pendidikan keaksaraan keluarga merupakan pendidikan antar generasi
dimana orang tua memberikan sumbangan yang lebih besar, sedang dalam pelaksanaan PKK
orang tua menjadi penerima pembelajaran.
2. Keluarga sebagai wahana penyelenggaraan pendidikan keaksaraan mempunyai
keunggulan, yaitu melepaskan aspek komersial menuju aspek moral. Pendidikan keaksaraan
selama ini lebih dilihat sebagai bentuk komersialisasi kekurangan keaksaraan sehingga
menumbuhkan pengulangan yang tidak perlu. Dalam perkembangannya PKK lebih menekankan
pada tanggungjawab dari generasi muda yang telah melek huruf untuk membantu orang tua
mereka yang masih membutuhkan dukungan semangat dan kemampuan membaca
B. Rekomendasi
Pendidikan Keaksaraan Keluarga adalah wahana untuk saling membelajarkan dalam keluarga
atau transgenerasi dalam keaksaraan. Untuk menjamin keberlangsungan PKK perlu rekomendasi
sebagai berikut:
1. Adalah kenyataan bahwa motivasi pendidikan keaksaraan keluarga masih sangat terbatas
pada motivasi ekstrinsik. Sehubungan dengan itu perlu dicarikan pendorong yang lebih inovatif
misalnya dengan menekankan mengenai kemampuan belajar untuk mengarahkan diri, untuk
memberikan ruang yang lebih bermakna pada warga belajar dalam melakukan pembelajaran
keaksaraan melalui pemberian reward yang lebih manusiawi sebagai wujud kepeloporan
kemanusiaan warga belajar dalam memanfaatkan kemampuan keaksaraan yang tidak dapat
dipisahkan dengan target internasional pengurangan angka nir aksara dan peningkatan indek
mutu manusia yang secara eksplisit menjadi bagian dari kemajuan suatu bangsa. Untuk itu
dibutuhkan bentuk penghargaan atas partisipasi kelompok nir-aksara dan sejumlah fasilitator.
2. Bahwa untuk berlangsungnya pendidikan keaksaraan keluarga sangat tergantung pada
dukungan keluarga yang notabene masih berada pada cakupan kebutuhan tingkat dasar terutama
dalam memenuhi kebutuhan dasar. Jumlah nir aksara dan pemanfaat aksara yang terbatas adalah
beban bagi kelompok aksarawan, atau bahkan kelompok aksarawan akan terbawa kelompok nir
aksara tersebut. Memang tidak ada jalan lain kecuali dibutuhkan loncatan dari kebutuhan dasar
seperti yang diteorikan Maslow pada kebutuhan self esteem dan aktualisasi diri. Untuk itu
dibutuhkan dukungan keluarga batih maupun keluarga besar untuk memberikan fasilitasi sudut
baca pada tiap satuan terkecil, untuk memungkinkan agar setiap aksarawan baru bisa
mempertahankan dan meningkatkan kemampuan keaksaraan dan pemanfaatan untuk memasuki
era informasi dan ilmu pengetahuan
3. Bahwa selama ini otonomi daerah dengan seluruh jajarannya terkesan minor dalam
melihat pendidikan keaksaraan umumnya dan pendidikan keaksaraan keluarga pada khususnya.
Bila kita hubungkan otonomi daerah adalah sebuah fungsi dalam memenuhi kesejahteraan
masyarakat, maka kemampuan keaksaraan adalah upaya yang sangat berbasis pada penyadaran
diri dalam memenuhi kesejahteraan dimaksud. Atas dasar itu sewajarnyalah upaya pendidikan
keaksaraan bukan hanya dilihat dari pencapaian target yang kadang banyak ditunggangi asfek
politis, akan tetapi benar-benar sebagai wujud pemberian kesejahteraan bagi masyarakat.
4. Kita selangkah tertinggal dalam menggunakan kemampuan keaksaraan sebagai bagian
dari memajukan bangsa, terbukti ketiadaan lembaga akademis yang secara khusus
mengembangkan kemampuan keaksaraan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Sudah selayaknya semua pihak mulai mewujudkan profesi tenaga pendidikan masyarakat yang
salah satu tugasnya memberikan layanan keaksaraan dan menjadikan kemampuan keaksaraan
sebagai bagian integral dari pengembangan kemanusiaan, informasi, teknologi, ilmu
pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat.
5. Terdapat sejumlah potensi lingkungan yang selama ini belum dimanfaatkan secara
maksimal baik pada lingkungan Kementerian Pendidikan maupun pada lintas kementerian. Pada
lingkup Kementerian saja masih terdapat pengkotakan, semisal sumber daya yang ada pada
pendidikan dasar hampir tidak dapat disentuh untuk penyelenggaraan pendidikan keaksaraan,
padahal sumber daya itu sedang tidak dipergunakan pada saat-saat tertentu. Untuk itu
kementerian hendaknya lebih meningkatkan fasilitasi penggunaan sumber-sumber itu sehingga
dapat lebih bernilai guna terutama untuk kelompok yang kurang beruntung.