Anda di halaman 1dari 277

KUALITAS PENDIDIKAN DAN 

PEMBELAJARAN
02 Mar

(Disarikan dari artikel mengenai Quality of Education, UNESCO)

Seperti dikemukakan Jan Amos Comenius bahwa kualitas pendidikan adalah sesuatu yang tidak
dapat ditawar lagi. Seperti dinyatakan bahwa setiap umat harus memperoleh pendidikan secara
penuh, dalam keserasian kemanusiaan dengan tidak membedakan siapa ia sesungguhnya, bukan
dilihat jumlahnya, laki atau perempuan, muda atau tua, miskin dan kaya, akan tetapi  lebih dilihat
dari sejatinya sebagai manusia. Pendidikan yang dimaksudkan yaitu pendidikan sebagai manusia
sejati sebagai makhluk yang utuh, terpenuhi kebutuhannya untuk menjadi manusia yang
sempurna. Read the rest of this entry »

 
2 Comments

Posted by ayiolim on March 2, 2011 in PERENCANAAN PLS

MANAJEMEN PELATIHAN
23 Feb

Kata Pengantar

Dengan berkembangnya jabatan fungsional pada hampir semua lembaga dan departemen,
kebutuhan akan profesi pelatih merupakan satu kesatuan nafas dengan keberadaan lembaga itu
sendiri. Lembaga yang menginginkan untuk mampu memenuhi kebutuhan stakeholdernya
menjadi sebuah keniscayaan untuk selalu mengembangkan pelatihan. Sementara pelatih yang
profesional tidak lain adalah mereka yang menjadikan pendidikan profesi sebagai bagian dari
kehidupannya, melalui semangat berlatih untuk belajar dan membaca, belajar untuk
mengaplikasikan hasil membaca dalam kehidupan dan belajar mengaplikasikan konsep untuk
meningkatkan peran dalam sebagai profesi dalam melakukan pelatihan.
Sehubungan dengan tuntutan tersebut diperlukan loncatan budaya dari budaya tutur menjadi
budaya baca, dimana seseorang melalui otoritas pribadi dan otonominya dapat beradaptasi pada
proses pembelajaran untuk meningkatkan profesi melalui kemampuan mencari dan
memanfaatkan sumber sebanyak-banyaknya. Bila pada konsep lama mengambil air harus datang
ke sumber air, seorang bijak mengatakan sumber air dapat datang ke tempat dimana seseorang
membutuhkan. Yang dibutuhkan kini yaitu kemampuan untuk memanfaatkan sumber yang
banyak itu, dimana tanpa kearifan sumber yang banyak itu akan tersia-sia tanpa kemampuan
memilih-memilah dan mencari yang terbaik untuk kehidupan.
Buku ini merupakan materi ajar pelatihan yang diarahkan pada konsep mutu dan penjaminan
mutu pelatihan. Persembahan yang diharapkan akan saling merabuk antara pengembangan
pendidikan nonformal sebagai bagian dari pembelajaran sepanjanghayat dengan kebutuhan
lapangan akan pelatihan. Semoga Tuhan selalu memberikan bimbingan. Amin
Bandung, Nopember 2009
Penyusun,

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 2
C. Sasaran 2
D. Hasil Yang Diharapkan 2
BAB II 4
PENDIDIKAN PROFESI 4
A. Pendidikan Tenaga Profesional 4
B. Pembelajaran Antisipatif 6
C. Tantangan dan Kiat Mengikuti Pendidikan Profesi 16
D. Sistem Pendidikan Berbasis Kompetensi 18
E. Kinerja Profesional 21
F. Etos Kerja dan Budaya Kerja/Organisasi 26
G. Etika Profesi 30
BAB III 33
PELATIHAN 33
A. Memahami Pelatihan 33
B. Pelatihan Sebagai Sistem 36
BAB IV 74
PENYULUHAN 74
A. Memahami Penyuluhan 74
B. Filsafat penyuluhan 77
C. Prinsip Penyuluhan 79
D. Kiat Melatih Dan Memberikan Penyuluhan 96
BAB V 107
MANAJEMEN PELATIHAN 107
A. Pendahuluan 107
B. Materi pembelajaran 107
C. Perspektif Manajemen Pelatihan 108
D. Tugas Pokok Manajemen pada Pelatihan 109
E. Fungsi Manajemen 112
F. Mengelola Unit Pelatihan. 115
G. Peluang Pendidik untuk meningkatkan diri 121
H. Kualitas peluang pembelajaran bagi Pelatih. 123
BAB V 125
MODEL PELATIHAN 125
PENDIDIKAN VOKASIONAL DAN TEKNIS 125
A. Pemahaman kebijakan 125
B. Komitmen bersama mengenai tujuan pelatihan 127
C. Pendidikan sebelum memasuki lapangan kerja 129
D. Pendidikan untuk kelompok khusus 130
E. Sumber-sumber pelatihan 131
F. Pembelajaran mandiri 132
G. Kursus yang didukung oleh serikat pekerja dan perusahaan 133
H. Program dan Pelayanan 134
BAB VI 135
SUBSTANSI DAN KURIKULUM PNF 135
A. Pendahuluan 135
B. Dasar Pengembangan Substansi dan Kurikulum 135
C. Sistem Internasional yang mengikat Indonesia untuk Memberikan Tanggapan dan
Pelaksanaan 136
D. Beberapa Kecenderungan Spektrum PNF dan Kurikulum Internasional 140
E. Substansi, Kurikulum Inti dan Pengembangannya 142
F. Implikasi bagi Pengembangan Kurikulum Jurusan Pendidikan Luar Sekolah 144
G. Aplikasi kurikulum 147
BAB VII 155
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN 155
A. Pendahuluan 155
B. Teori Belajar 157
C. Penerapan Teori Belajar 170
D. Penerapan Pendekatan Pembelajaran 172
E. Metode Pembelajaran 175
BAB VIII 206
MANAJEMEN SARANA DAN PRASARANA 206
A. Masalah Pendidikan 206
B. Fungsi Pendidikan Dasar 206
C. Pelatihan Dalam Kerangka Global 207
D. Model Manajemen Sarana Dan Prasarana Versi Global 207
E. Sistem Manajemen 215
BAB IX 235
KOMPETENSI PELATIH/FASILITATOR PENDIDIKAN KEAKSARAAN 235
A. Kompetensi Dasar 235
B. Kepekaaan dan Kemampuan Menganalisa Kegiatan Pembelajaran 236
C. Kemampuan Mengidentifikasi Kebutuhan Belajar 236
D. Kemampuan Merencanakan Kegiatan Pembelajaran 237
E. Kemampuan Pengorganisasian /Pengelolaan Pelatihan 238
F. Kemampuan Penguasaan Substansi Materi 241
G. Kemampuan Menguasai Metodologi Pembelajaran 241
H. Kemampuan menyusun dan Menggunakan Media Pembelajaran 246
I. Kemampuan mengevaluasi kegiatan pelatihan 246
BAB X 248
PEMBERDAYAAN VISI DARI PELATIHAN DAN PENYULUHAN 248
A. Pemberdayaan melalui Pendidikan 248
B. Tampilan Prinsip Pembangunan Masyarakat dalam Praktek 255
C. Pendidikan Luar Sekolah Berbasis Pembangunan Masyarakat 257
D. Aplikasi Konsep Pembangunan Masyarakat Lebih Jauh 258
E. Kompetensi kecakapan pembangunan masyarakat bagi praktisi Pendidikan Luar Sekolah 259
F. Perencanaan Strategik pendidikan Luar Sekolah Bebasis Pembangunan Masyarakat 262
G. Hubungan antara Pendidikan Luar sekolah dengan Pembangunan Masyarakat 262
BAB XI 265
KUALITAS PELATIHAN 265
A. Pendidikan untuk kepentingan pembangunan sosial : perluasan tanggung jawab sosial 267
B. Kualitas yang berhubungan dengan interdisiplin untuk semua tahapan kehidupan 269
C. Kualitas pendidikan dalam kerangka memenuhi tujuan abad 21 270
D. Kualitas dilihat dari relevansi dan fleksibilitas 272
E. Proses belajar mengajar yang berbasis pada peserta belajar 273
F. Kualitas berkaitan dengan efektivitas manajemen, kepemimpinan dan hubungan 275
G. Mutu berarti adanya penilaian dan monitoring keluaran pendidikan 276
H. Agenda untuk dilaksanakan 278
BAB XII 281
PENJAMINAN MUTU PELATIHAN 281
I. Konsep Penjaminan Mutu 283
J. Tujuan Penjaminan Mutu 283
K. Strategi Penjaminan Mutu 283
L. Standar dan Indikator Mutu 284
M. Proses Penjaminan Mutu 284
BAB XIII 287
PENGENDALIAN MUTU PELATIHAN 287
A. Model Pengendalian Mutu 287
B. Prinsip Pengendalian Mutu 288
C. Proses Pengendalian Mutu 289
BAB XIV 291
ORGANISASI PENJAMINAN MUTU 291
A. Tingkat 291
BAB XV 293
STANDAR MUTU PELATIHAN 293
A. Pengantar 293
B. Standar Mutu 294
C. Rincian Standar 295
BAB XVI 302
SKALA PENILAIAN KINERJA PELATIHAN 302
A. Pengantar 302
B. Penilaian Kinerja Pelatihan 303
Daftar Pustaka 331

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di setiap program pendidikan, apapun bentuk dan satuannya pelatihan merupakan salah satu
komponen penting yang harus diadakan. Begitu pula dengan satuan pendidikan keaksaraan yang
dilaksanakan melalui program. Mengingat program ini merupakan salah satu unggulan dalam
upaya mewujudkan masyarakat gemar belajar, maka diperlukan pelatihan yang memadai dan
komprehensif. Komponen utama yang berinteraksi langsung dengan berbagai komponen lainnya,
seperti peserta pelatihan, kurikulum, metode, media, waktu, proses pembelajaran, lingkungan
dan lain sebagainya adalah pelatih/fasilitator yang memiliki kompetensi baik dari sisi subtansi
maupun metodologi pelatihan.
Untuk menjadi pelatih/fasilitator yang profesional tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang
perlu diperhatikan, diantaranya: kesiapan, sikap/penampilan dan pengalaman mengajar sebagai
pelatih/fasilitator. Berkaitan dengan kesiapan, seorang pelatih profesional perlu menguasai ilmu
komunikasi termasuk komunikasi massa, metodologi pembelajaran termasuk teori-teori belajar
orang dewasa (andragogi) dan strategi, metode, dan teknik penyajian. Sedangkan menyangkut
sikap atau penampilan pada saat penyampaian materi, yang perlu diperhatikan misalnya
kedalaman kajian dan wawasan, penguasaan kelas, tidak statis (luwes, fleksibel, berpenampilan
tenang), dan sebagainya.
Seorang pelatih/fasilitator harus memiliki pengalaman mengajar yang cukup. Pengalaman
mengajar ini dapat diperoleh melalui berbagai cara misalnya, dengan memperhatikan pelatih lain
ketika sedang menyampaikan atau melalui kesempatan-kesempatan yang memungkinkan
pelatih/fasilitator untuk melatih orang lain.
Unsur penting lainnya sebagai pelatih profesional adalah bagaimana pelatih dapat belajar dari
pengalaman sendiri, dan bagaimana pelatih semaksimal mungkin melibatkan peserta secara aktif.
Metode “belajar aktif” ini akan membantu peserta pelatihan mengerti bagaimana melakukan
kegiatan di lapangan. Untuk itu, pelatih perlu merangsang peserta untuk berdiskusi dan
menganalisa setiap kegiatan. Hal ini bertujuan agar peserta mengerti prinsip-prinsip tentang
mengapa, bagaimana melaksanakan, dan menerapkan kegiatan pada saat pelatih melatih peserta.
Berdasarkan uraian di atas, Direktorat Pendidikan Masyarakat menyusun Acuan Menjadi
Pelatih/Fasilitator Profesional dengan maksud agar para calon pelatih/fasilitator memiliki
kemampuan yang profesional dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pelatih/fasilitator
dalam suatu pelatihan.

B. Tujuan
Secara umum tujuan acuan ini adalah memberikan petunjuk bagi para calon pelatih/fasilitator
dalam mempersiapkan diri sebagai pelatih/fasilitator profesional, yang mencakup:
1. Kompetensi dasar;
2. Kepekaaan dan kemampuan menganalisa kegiatan pembelajaran ;
3. Kemampuan mengidentifikasi kebutuhan belajar;
4. Kemampuan merencanakan kegiatan pembelajaran;
5. Kemampuan pengorganisasian/pengelolaan pembelajaran;
6. Kemampuan penguasaan subtansi materi;
7. Kemampuan penguasaan metodologi pembelajaran;
8. Kemampuan menyusun dan menggunakan media pembelajaran;
9. Kemampuan menggunakan media pembelajaran; dan
10. Kemampuan mengevaluasi kegiatan pelatihan.

C. Sasaran
Sasaran utama acuan ini adalah para calon pelatih/fasilitator, dan para stakeholders yang terkait
langsung maupun tidak langsung dalam menyelenggarakan pelatihan program , sehingga
menghasilkan tenaga-tenaga pendidik dan kependidikan tutor, khusus pada program pendidikan
keaksaraan.

D. Hasil Yang Diharapkan


Setelah mempelajari acuan ini, peserta diharapkan mampu menguasai hal-hal sebagai berikut:
1. Kompetensi dasar;
2. Kepekaaan dan kemampuan menganalisa kegiatan pembelajaran ;
3. Kemampuan mengidentifikasi kebutuhan belajar;
4. Kemampuan merencanakan kegiatan pembelajaran;
5. Kemampuan pengorganisasian/pengelolaan pembelajaran;
6. Kemampuan penguasaan subtansi materi;
7. Kemampuan penguasaan metodologi pembelajaran;
8. Kemampuan menyusun dan menggunakan media pembelajaran;
9. Kemampuan menggunakan media pembelajaran; dan
10. Kemampuan mengevaluasi kegiatan pelatihan.

BAB II
PENDIDIKAN PROFESI

A. Pendidikan Tenaga Profesional


Pendidikan profesi diperoleh melalui pendidikan di pendidikan tinggi baik jenjang Strata 1 (S1),
Master (S2) maupun Pendidikan Doktoral (S3). Khusus tuntutan pendidikan bagi pelatih harus
diperoleh dari lembaga pendidikan tinggi pada bidang spesialisasi keruangan dan perencanaan
tata kota dan regional.
Mengikuti pendidikan demikian penting didasarkan pada pemikiran bahwa dalam kehidupan
modern hampir tidak ada tempat yang aman dalam menduduki profesi. Tuntutan lingkungan
yang turmoil, tak ubahnya seperti kisaran yang demikian cepat yang dapat melemparkan siapa
saja tanpa melihat kedudukan maupun sosial ekonomi. Digambarkan bahwa lengsernya beberapa
pemimpin dunia yang selama ini dianggap memiliki kekebalan politik seperti halnya Gorbacev-
pemimpin Rusia, tidak terlepas dari keterlambatan untuk belajar terutama dalam memahami
demokratisasi dalam kehidupan. Karena bersikukuh dengan prinsip komunis-sosialis, tidak bisa
tidak harus menghadapi arus dan akhirnya jatuh dari kekuasaan yang telah mengakar dalam
budaya suatu bangsa.
Untuk dapat mempertahankan diri dari putaran yang demikain cepat dan mengimbangi
keabadian perubahan, hanya mungkin ditempuh melalui belajar-belajar dan belajar.
Pengembangan makna belajar ini yaitu menyelamatkan diri. Penyelamatan diri ini ditempuh
melalui enam rangkaian belajar yang terdiri dari kemampuan menyimak atau memahami,
produktif, inovatif, responsif, adaptif dan leading. Pertama, kemampuan menyimak merupakan
pengembangan dari kemampuan belajar seperti yang dijelaskan oleh Benyamin Bloom, meliputi
aspek afektif, kognitif dan konatif-psikomotorik. Kedua, produktif yaitu mampu menghasilkan
lebih dibandingkan dengan modal yang dikeluarkan. Ketiga inovatif, yaitu menggunakan cara
yang lebih efektif dan efisien yang relatif baru untuk menghasilkan keluaran yang diharapkan.
Keempat, renponsif yaitu peka pada perubahan yang ada di lingkungan sekitar melalui tanggapan
yang bernilaiguna. Kelima adaptif, yaitu kemampuan personal dalam menyesuaikan diri dengan
perubahan yang ada di sekitar tanpa harus mengorbankan prinsip yang telah dipegang selama ini.
Dan keenam, leading yaitu kemampuan mental untuk menjadi pendahulu untuk setiap perubahan
yang berlangsung.
Bila kita sandingkan keenam kemampuan untuk menyelamatkan diri terutama sekaitan dengan
kedudukan sebagai pemegang jabatan fungsional, termasuk dalam pribadi dengan tingkat inovasi
yang tinggi. Semua ketentuan yang berlaku bagi pribadi yang mampu menyelamatkan diri ada
dalam prinsip dasar inovasi seperti halnya kompatibilitas atau kesesuaian dengan sistem yang
ada, keuntungan relatif, observabilitas atau dapat dilihat secara langsung hasil kegiatan maupun
trialabilitas yaitu bukan hanya semata mencoba sesuatu akan tetapi telah dapat memperkirakan
hasil kerjanya.
Pembelajaran klasik umumnya bertumpu pada model pembelajaran kejutan, yaitu belajar
manakala terdapat tuntutan untuk belajar. Model pembelajaran seperti ini dapat dikatakan tidak
bermakna karena merusak sistem syaraf yang dimiliki seseorang karena adanya pemaksaan
untuk belajar karena tekanan dari luar.
Kebalikan dari model pembelajaran ini yaitu pembelajaran antisipatif, yaitu kemampuan untuk
memperkirakan peran apa yang akan dipikul dan sesuai dengan tuntutan peran itu
mempersiapkan sendiri materi atau pembelajaran apa yang harus dikuasai seseorang. Model
pembelajaran ini dianut oleh para pemikir humanis, seperti halnya Knowles. Knowles memiliki
sejumlah prinsip bahwa siapa saja dapat dan mampu belajar dalam kondisi tertentu. Asumsi-
asumsi yang dikemukakan sesuai dengan prinsip ini yaitu: motivasi merupakan dasar seseorang
belajar, belajar sangat tergantung pada kesiapan, belajar ditentukan oleh bagaimana seseorang
melihat dirinya sendiri dan menempatkan diri dalam sistem pekerjaan/masyarakat, belajar
tergantung pada pengalaman serta bagaimana seseorang mengorientasikan dirinya atau melihat
diri jauh ke depan terutama mengingat penting dan mendesaknya persoalan tata ruang dalam
kerangka menjaga kesatuan Republik Indonesia.
Lebih lanjut Burge and Howard menekankan perbedaan yang utama dalam pendidikan bagi
orang yang sudah dewasa yaitu:
1. tanggung jawab sepenuhnya berada pada peserta,
2. bahan belajar harus memiliki makna bagi peserta,
3. tanggung jawab, keterlibatan dan partisipasi merupakan hal yang penting dalam belajar
4. harus berkembang saling membantu dan tanggung jawab bersama antara pengajar dengan
peserta maupun sesama peserta,
5. pendidik bertindak sebagai fasilitator dan manusia sumber,
6. peserta dipacu untuk berbeda satu dengan lainnya sesuai dengan latar belakang
pengalamannya.
Atas dasar asumsi ini kemudian Knowles mengembangkan sejumlah prasarat untuk
berlangsungnya proses pembelajaran yaitu perlunya suasana fisik, psikologis dan kelembagaan
yang menunjang, pengembangan struktur kelembagaan diantara pendidik maupun peserta
pelatihan, kejelasan motivasi dalam bentuk kebutuhan dan minat belajar, kejelasan tujuan,
adanya perencanaan, implementasi pembelajaran dan kemampuan untuk mengevaluasi diri yaitu
melihat kembali hasil pembelajaran dengan minat dan kebutuhan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Semua tahapan pembelajaran model Knowles mensiratkan peran serta penuh
peserta pelatihan.
Secara skematis ke tujuh rangkaian belajar digambarkan seperti di bawah ini:

B. Pembelajaran Antisipatif
Perubahan mempengaruhi pula pada konsep pendidikan. Pendidikan di tingkat pendidikan tinggi
harus dihadapkan pada kemampuan untuk melakukan adaptasi pada perubahan. Sehubungan
dengan itu maka paradigma pendidikan pada era perubahan, yaitu:
1. Pendidikan merupakan kesatuan semua sub sistem pendidikan
2. Pendidikan tidak hanya terbatas pada penguasaan seperangkat pengetahuan tertentu.
Sehubungan dengan pertimbangan ini pendidikan diperluas menjadi pendidikan seumur hidup,
yang memungkinkan seseorang untuk mencapai dua tujuan dalam waktu yang bersamaan yaitu:
integrasi vertikal (pendidikan sepanjang hayat) dan pendidikan horisontal yaitu pendidikan yang
disesuaikan dengan kehidupan.
Perubahan ini selanjutnya mempengaruhi pula pada perubahan tujuan pendidikan. Pendidikan
tidak hanya ditujukan untuk belajar akan tetapi diperluas menjadi:

Belajar untuk belajar


Belajar untuk hidup
Belajar berperan dan mengambil posisi dalam hidup
Inilah sesungguhnya yang membedakan antara konsep pendidikan yang dikenal dengan
peluncuran pengetahuan dari satu generasi kepada generasi lainnya dengan konsep pendidikan
yang bersifat transformasi. Transformasi bukan hanya mengajarkan atau belajar sesuatu materi
akan tetapi secara sadar harus terjadi perubahan struktural pada seseorang. Perubahan itu
kemampuan untuk terus belajar, belajar yang ditujukan menunjukkan eksistensi peserta belajar
sendiri dan penunjukkan diri itu berupa peran nyata dalam posisi dan kehidupan. Sejalan dengan
pendapat Delor, dimana kemampuan untuk mengetahui merupakan bagian dari pengetahuan,
selanjutnya belajar untuk menemukan eksistensi diri, belajar untuk bekerja dan belajar untuk
hidup bersama. Baik belajar untuk memperoleh pekerjaan maupun untuk hidup bersama,
berdasarkan tafsiran dari belajar untuk mengambil posisi dan dalam hidup identik dengan belajar
untuk bekerja dan hidup bersama. Memang untuk berperan dalam kehidupan harus ditunjukkan
dengan bekerja, akan tetapi bukan hanya bekerja akan tetapi meliputi sejumlah peran lain yang
merupakan pengembangan dari hanya sekedar bekerja.

1. Perubahan dalam Peran dan Tanggung jawab Pengajar


Dalam memenuhi tujuan pendidikan di atas, pendidik tidak lagi sebatas sebagai sumber belajar,
sebagai peluncur pengetahuan (transmisi) dan berperan sebagai penguji (jugdement) dan
memberikan nilai. Pendidik hendaknya menjadi seorang animateur, seseorang yang mampu
memfasilitasi belajar sementara ia sendiri harus aktif belajar, akhirnya akan mampu
mengembangkan belajar yang berkelanjutan dan melakukan perubahan pada dirinya. Untuk
memenuhi fungsi sebagai animateur, pendidik harus memiliki kemampuan untuk
mengembangkan dirinya sendiri termasuk mampu mengimbangi perubahan yang terjadi di
sekitar mereka. Bagi profesional tugas mendidik dan aktif mengikuti pendidikan merupakan
kesatuan.
Perubahan peran pendidik memiliki implikasi pada perubahan tujuan dan strategi dalam
pendidikan. Sesuai dengan tugas dan tanggung jawab baru pendidik, maka sikap, keterampilan
dan kompetensi pendidik harus dikembangkan menjadi pengetahuan untuk hidup dan
pengetahuan untuk mengambil posisi dalam masyarakat. Beberapa kemampuan mendesak yang
sangat mendasar yang harus dikuasai pendidik meliputi:
a. Mengembangkan:
1) harmonisasi dalam kepribadian (image diri yang positif, dan stabilitas emosional)
2) kompetensi dasar (pengetahuan bagaimana melakukan observasi, efisien dalam
membaca/menyimak serta kemampuan untuk melakukan ekspresi diri)
3) kecakapan dalam kognisi (melakukan analisis penelitian, sintesis, kemampuan kritis,
mengevaluasi dan evaluasi diri)
4) kemampuan dan sikap sosial (komunikasi, kemampuan mendengarkan, ekspresi diri dan
memahami)
b. Melakukan adaptasi pada kehidupan nyata (fleksibilitas, adaptabilitas).
c. Melakukan fungsi dan tanggung jawab dalam lingkungan yang kreatif dan kritis (otonomi,
tanggung jawab dan kemampuan untuk memberikan penilaian)
d. Melakukan kerjasama tim secara harmonis dalam setiap lingkungan (kemampuan untuk
memahami permasalahan dan memecahkan pokok permasalahan, kemampuan untuk
berkomunikasi dan melakukan kerjasama).
e. Melakukan partisipasi bukan hanya pada lingkungan lokal akan tetapi pada lingkungan
nasional dan regional dengan berlandaskan pada kemampuan kedwibahasaan, seperti juga
tuntutan bagi profesi.
Dalam hal ini perlu ditegaskan kembali pendidik sebagai penyandang tugas utama pendidikan
yang lebih berorientasi pada pendidikan seumur hidup yaitu merangsang dan mengembangkan
kecakapan kepribadian dan sikap dalam belajar bagi pendidik sendiri, baik yang berhubungan
dengan pengetahuan maupun sikap sosial, yang pada akhirnya diharapkan calon pendidik
memahami peran baru yang akan dimainkannya. Pada calon pendidik harus berkembang
persyaratan minmal, kualitas dan kompetensi yang dibutuhkan yang berkaitan dengan
kemampuan untuk mendidik diri. Dengan demikian kompetensi yang harus memiliki keunggulan
dalam pengetahuan, kompetensi, bagaimana memanfaatkan diri secara langsung dalam
kehidupan serta bagaimana berperan dalam kehidupan (learn to learn, learn to be dan learn to
become). Bila tiga tujuan ini bisa dicapai maka dapat dicapai pula pola pendidikan kependidikan
yang dinamis yang bisa menggantikan pola yang dinilai klasik.
Bila kita cermati pola klasik dari pendidikan adalah sebagai berikut :

Pengetahuan kompetensi

Pada pola ini untuk memiliki kompetensi hanya dituntut kemampuan dalam pengetahuan dan ini
belum cukup untuk menjadi seorang profesional. Menggunakan prinsip yang dikembangkan
pada pembaharuan pendidikan profesional, diperlukan dasar dari pendidikan profesional, yang
merupakan pondasi dan syarat untuk memanfaatkan dua tujuan lainnya. Dalam proses yang
saling berkaitan antara aksi dan reaksi dua tujuan akan mempengaruhi dua lainnya, seperti
digambarkan:

Dalam konsepsi ini, pendidikan untuk tenaga profesional harus mampu menggabungkan antara
pendidikan dasar dengan pendidikan berkelanjutan, dengan memadukan antara pendidikan
keterampilan dengan pendidikan kepribadian.

2. Prinsip Pendidikan
Untuk memacu pendidikan tenaga pendidik yang berorientasi pada perubahan, persaingan dan
globalisasi dibutuhkan sejumlah prinsip, antara lain:
a. Pendidikan merupakan hubungan Interpersonal.
Melalui proses mendidik diharapkan dapat memberikan dasar pengetahuan faktual, teknik dan
metoda yang bersamaan dengan pengembangan kepribadian pendidik dan melakukan
transformasi potensi dirinya pada peserta didik. Titik perhatian hendaknya pada pribadi,
sepanjang pribadi dipandang sebagai pusat dari urusan pendidikan. Kepentingan pendidikan
yaitu untuk menyadari keberadaan diri dan orang lain serta mengembangkan hubungan antara
seseorang dengan lainnya, yang pada akhirnya harus diikuti dengan kemampuan intelektual,
sikap dan sosial.
b. Pendidikan hendaknya diselenggarakan dengan menggunakan metode aktif.
Metode aktif dimaksud yaitu dalam arti luas. Dalam hubungan ini harus menitikberatkan pada
pengembangan fungsi pendidik dari hanya sekedar peluncur pengetahuan menjadi pengembang
kemampuan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan peserta didik untuk
mengembangkan kapasitas, kecakapan dan sikap yang dibutuhkan untuk pengembangan
kemampuan belajar dan pertumbuhan diri.
Metode aktif ini yang akan menjadi bagian dari pendidikan hendaknya ditunjukkan pula dalam
sistem pengajaran pada muridnya kelak, terutama dalam menghadapi kenyataan tidak semua
proses pendidikan mensiratkan proses pembelajaran secara aktif. Tahapan yang harus
dikembangkan terdiri dari tiga bagian: pertama, kemampuan sensitivitas, yaitu pengembangan
kemampuan untuk mengobservasi, refleksi dan kemampuan meneliti yang secara bertahap
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan identifikasi komponen pendidikan,
serta mampu memilih berbagai model yang demikian banyak dan bervariasi dalam kehidupan
sehari-hari. Kedua, konsolidasi yaitu kemampuan untuk melakukan studi yang lebih mendalam
dalam upaya menyeimbangkan antara teori dengan praktek termasuk mengembangkan
keterlibatan dan partisipasi peserta pelatihan dalam proses pendidikan, sebagai jawaban atas
pertanyaan yang dikembangkan pada awal-awal peserta didik memasuki suatu sistem
pendidikan, sebagai upaya untuk menjawab permasalahan yang berhubungan dengan didaktik,
metode dan teknik pembelajaran. Ketiga, yang sangat penting pada model ini bahwa semua
pendekatan ini bukan pemaksaan pada peserta pelatihan akan tetapi hendaknya secara sadar
peserta pelatihan harus mampu memanfaatkan pengalaman untuk kepentingan hidupnya.
Sekaitan dengan ini sangat perlu kiranya untuk menata dan mengembangkan bimbingan dalam
belajar serta kondisi belajar yang memungkinkan untuk mengembangkan kemampuan untuk
membelajarkan diri dan secara bersamaan mengembangkan upaya mengevaluasi diri, dua proses
yang berhubungan antara satu dengan lainnya. Fungsi fasilitator dalam hubungan ini yaitu
memberikan arahan dan rangsangan yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan
sendiri teknik dan metode dalam upaya memanfaatkan semua sumber (termasuk informasi) yang
nyatanya terbatas serta mengeliminasi penggunaan metode yang selama ini berlangsung dalam
proses yang tradisional. Untuk memanfaatkan dan melakukan tanggapan pada metode yang
sifatnya tradisional ini perlu dikembangkan kerja kelompok, penggunaan pusat sumber belajar
dan seminar-seminar,
c. Pendidikan hendaknya didasarkan pada kenyataan dalam kehidupan dan pengalaman.
Semua tawaran pembaharuan pendidikan seperti yang dikemukakan terdahulu hendaknya
dirancang untuk menata pembelajaran yang memiliki hubungan langsung dengan kenyataan
sebagai persiapan untuk melaksanakan kemampuan seseorang dalam kehidupan. Selain
diharapkan dapat mengembangkan model, peserta pelatihan harus memberikan peluang untuk
menganalisis berbagai konsep yang berbagai aspek dalam upaya untuk mengembangkan
kemampuannya dalam melakukan inovasi. Observasi dalam kenyataan harus dilakukan secara
langsung, baik melalui praktek selama pendidikan maupun dengan menggunakan berbagai
penyajian melalui media. Model pembelajaran ini selain bersifat menggali pengalaman langsung,
hendaknya dilakukan pula secara paralel dengan memperhatikan berbagai alternatif. Proses
pengalaman langsung bukan hanya dilakukan pada berbagai lingkungan pembelajaran dan
pendidikan akan tetapi diberikan peluang pula untuk memberikan pengalaman pada berbagai
jenis dan tingkatan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan yang mendalam dalam
melakukan observasi. Peserta didik yang memasuki pengalaman belajar bukan hanya sebatas
sebagai observer akan tetapi pada saat yang sama bertindak sebagai aktor. Kemampuan untuk
melakukan analisis diarahkan dengan mengangkat kenyataan di lapangan dan mengembangkan
analisis internal yang tinggi melalui pengkajian berbagai proses pengalaman pendidikan maupun
psikologis.
Pada tahun-tahun berikutnya dari proses pembelajaran dipadukan antara penguasaan kemampuan
mengobservasi dengan memahami teori. Dengan mendasarkan pemikiran pada ilmu pendidikan
bukan hanya sekedar seni akan tetapi merupakan sains, maka peserta didik untuk jurusan
pendidikan luar sekolah harus diarahkan pula pada pengukuran dan eksperimen pendidikan,
d. Pendidikan bilingual dan internasional.
Pendidikan hendaknya memiliki dimensi internasional serta keterbukaan pada dunia yang
berbeda. Pendidikan untuk tenaga profesional tidak hanya membatasi pada sistem yang
berlangsung di Indonesia akan tetapi harus dikembangkan menjadi pendidikan dengan metode
berbeda dan sasaran yang berbeda pula. Tujuan lebih jauh dari pendekatan ini yaitu memberikan
bekal pada peserta didik untuk melakukan komunikasi dan memahami pihak lain, mengabaikan
dari mana asal mereka, dengan tujuan akhir yaitu mengembangkan kemampuan adaptabilitas dan
fleksibilitas dalam kehidupan.
Untuk memenuhi kebutuhan ini, kemampuan untuk memahami bahasa yang berbeda yang
potensial adalah menjadi keharusan, termasuk didalamnya pemahaman metode kebahasaan,
pemahaman pendidikan untuk hidup bersama dan pemahaman internasional serta sampai batas
tertentu pelatihan dan bagian dari pendidikan bisa dilakukan di wilayah negara lain. Mengingat
semakin terbukanya saluran informasi dan komunikasi peluang untuk belajar dari belahan bumi
yang berbeda sangat dimungkinkan melalui penggunaan internet dan peningkatan kemampuan
berbahasa Inggris sebagai .
e. Pendidikan yang berorientasi ke masa depan (future oriented).
Pandangan umum yang diterima di lingkungan pendidikan yaitu tidak ada yang kekal terhadap
perubahan, yang berimplikasi pada pendidikan tidak boleh statis dan kaku yang hanya
mementingkan bahan pelajaran yang baku bagi semua peserta didik yang berdasar pada bahan
ajar yang telah dibakukan. Pendidikan tidak berdasar asimilasi pada teori yang telah ada, akan
tetapi hendaknya dengan pendidikan mampu mengembangkan gaya yang berkembang pada
peserta pelatihan untuk mengambil peran lebih awal (get ahead), atau bila tidak mungkin
mengambil peran (to become) dilakukan secara seimbang dengan kondisi yang sedang
berlangsung. Untuk tujuan ini peserta didik harus mampu mengembangkan imajinasi yang
berkaitan dengan antisipasi peran, mengembangkan inovasi dan kreativitas dalam upaya untuk
berpatisipasi dan mengembangkan perubahan yang berarti. Sementara selama proses berlangsung
dia harus menerima kenyataan serta secara bersamaan harus mampu menghadapi perubahan dan
pembaharuan dalam pendidikan yang banyak dikembangkan antara lain dengan penggunaan
secara intensif sejumlah media baru dan membahas secara mendalam berbagai laporan maupun
jurnal pendidik yang berasal dari lingkungan yang berbeda.
f. Pendidikan Teknologi.
Perkembangan teknologi pendidikan dan audio-visual, semakin meningkat dari hari-kehari dan
tidak bisa dielakkan. Teknologi harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari alat dan proses
belajar, serta hendaknya menjadi bagian inti dari materi pembelajaran yang membawa pada
keberdayaan peserta didik dalam memanfaatkan teknologi pendidikan, termasuk dalam
mengakses internet dalam proses pembelajaran.
g. Meningkatkan pengalaman dalam berbagai proses pendidikan.
Hampir senada dengan pokok pendidikan yang berbasis teknologi, pada bagian ini memiliki
penekanan pada:
a. Memperbanyak keragaman periode pelatihan dalam berbagai lingkungan pendidikan,
tingkatan, lingkungan sosial dan wilayah yang berbeda
b. Merangsang dan memanfaatkan pengalaman secara aktif serta pengalaman dalam lingkungan
pendidikan tinggi
c. Memperbanyak keragaman pengunaan model dan teori pendidikan
d. Memperbanyak keanggotaan dalam lingkungan organisasi yang berbeda
e. Merangsang pencairan kelompok yang kaku melalui mobilitas kelompok.
h. Mengembangkan Pendidikan dalam Dimensi Global.
Untuk mewujudkan konsep ini muatan pendidikan harus terdiri dari:
a. Kunjungan dan praktek pada lingkungan regional dan global yang beragam.
b. Praktek laboratorium dan secara nyata penggunaan bahasa asing yang memiliki aplikabilitas
tinggi
c. Pelatihan dan pelaksanaan pelatihan di wilayah dan lingkungan yang berbeda serta studi
permasalahan pendidikan pada wilayah yang berbeda
d. Perbandingan atau berupa pengantar pada perbandingan permasalahan pendidikan antar
wilayah
e. Pendidikan untuk pemahaman regional dan internasional
i. Penganekaragaman pelatihan dan pengambilan makna pada lingkungan yang berbeda.
Untuk menjamin terjadinya proses pembelajaran pada lingkungan yang berbeda perlu ditunjang
dengan:
a. Mengalami secara langsung pelatihan pada berbagai substansi dan lingkungan belajar
b. Memahami berbagai sumber pengetahuan, dalam hal ini harus segera melakukan perubahan
diri dari belajar dari satu sumber menjadi belajar dari sumber yang beragam
c. Mengembangkan pengalaman pada setting perorangan (pendidikan individual), kelompok dan
masyarakat tertentu.
d. Memahami komunikasi pada berbagai bentuk dan lingkungan yang berbeda termasuk
penggunaan audio-visual dan media massa.
e. Mengembangkan pengetahuan untuk mengembangkan sikap dan keahlian baru.
j. Kemampuan Membelajarkan Diri dan Evaluasi Diri.
Perbedaan yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam membandingkan antara pendidikan
klasik dengan pendidikan yang harus berlangsung pada penyiapan pendidikan profesi, meliputi
upaya untuk membelajarkan diri dan evaluasi diri. Hal ini ditunjukkan dengan:
a. Kemampuan untuk mengkoordinasikan pengetahuan berupa kemampuan untuk melakukan
penelitian serta topik studi lanjutan secara bebas dan mengembangkan pilihan-pilihan bahan ajar
secara bebas.
b. Kemampuan membelajarkan diri dalam upaya memberikan kebebasan dalam belajar dan
belajar bagaimana cara belajar.
c. Kebebasan dalam memilih metode dan makna dalam proses pembelajaran.
d. Melakukan sendiri evaluasi diri dan mengembangkan kemampuan evaluasi. Bila selama ini
evaluasi menjadi kelajiman dilakukan oleh pihak pendidik pada peserta didik, sedangkan peserta
didik hanya mengikutinya dengan pasif, maka pada pembelajaran di lingkungan pendidikan luar
sekolah evaluasi harus dilakukan oleh peserta belajar sendiri.
k. Pendidikan dalam Keahlian Khusus.
Tuntutan untuk memperoleh predikat yang knowledgeable yaitu peserta pelatihan yang memiliki
pengetahuan umum yang luas akan tetapi memiliki bidang spesialisasi khusus, semakin
diperlukan dalam upaya mengimbangi kemampuan kependidikan profesi dengan kemampuan
menguasai kemampuan substantif. Pendidikan keahlian khusus sejalan dengan penguasaan
keahlian pada lingkungan yang berbeda. Keahlian khusus yang bisa dikembangkan didasarkan
pada permintaan pasar serta pengembangan dari konsentrasi pengetahuan yang secara akademis
dibina di lingkungan Jurusan Pendidikan Luar Sekolah.

C. Tantangan dan Kiat Mengikuti Pendidikan Profesi


Mengikuti pendidikan pada pendidikan tinggi bagi pelatih merupakan tantangan tersendiri. Pada
satu sisi hampir semua waktu harus dicurahkan pada pekerjaan, sedang pada sisi lain terdapat
tuntutan memiliki gelar sebagai modal melaksanakan tugas maupun meningkatkan karir sebagai
pemangku jabatan fungsional. Tantangan yang sering menjadi penghambat untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan yaitu:
1. Kurang menyadari hubungan antara jabatan fungsional dengan perolehan pendidikan, untuk
beberapa kasus dan situasi tertentu dianggap tidak memiliki hubungan saling melengkapi.
2. Motivasi ekstrinsik yang tidak diikuti oleh daya juang dari para peserta pendidikan, sehingga
sering gagal selama dalam perjalanan
3. Pendidikan instan yang diselenggarakan lembaga yang tidak memiliki arah profesi yang
memadai dan diselenggarakan hanya untuk memberikan gelar tertentu tanpa diimbangi oleh
kompetensi dan kinerja
4. tidak diberi ijin resmi untuk mengikuti pendidikan dari lembaga maupun atasan
5. tidak memiliki biaya atau sulit untuk mendapatkan bea peserta dalam menunjang proses
pendidikan
6. lembaga pendidikan yang tidak memiliki kemampuan untuk memberikan nilai tambah pada
pelatih dan mengembangkan struktur yang jelas pada diri peserta pendidikan untuk memperoleh
jabatan dan kedudukan yang lebih baik bagi mereka yang telah lulus satu jenjang pendidikan.
Atas dasar itu memasuki pendidikan profesi untuk menduduki dan menjelang posisi yang lebih
baik pada jabatan fungsional harus dilihat sebagai bagian tidak terpisahkan dari jabatan
fungsional sendiri. Baik pendidikan prajabatan maupun dalam jabatan hendaknya mampu
memberikan kontribusi yang lebih nyata pada peningkatan kinerja lulusan dalam menunjang
harkat serta peran yang nyata dalam mempertahan dan meningkatkan kefungsian tata ruang
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sesuai dengan fungsi pendidikan tinggi sebagai penunjang penyelenggaraan keruangan-tata
kelola perkotaan dan regional, kiat untuk sukses untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
pada pendidikan tinggi ditempuh melalui:
1. kejelasan kebutuhan bagi peserta maupun lembaga tempat peserta bekerja. Jelasnya tujuan
terutama tujuan tingkat tinggi dan canggih merupakan jaminan dapat mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan relatif tepat waktu yang diperuntukan bagi yang bersangkutan. Dalam
keadaan tertentu kebutuhan tidak terlalu jelas baik bagi yang bersangkutan maupun dukungan
lembaga, perlu adanya pembimbing akademis yang mampu memberikan bantuan dalam
memperjelas kebutuhan pendidikan.
2. Memiliki kejelasan tujuan pembelajaran. Kebutuhan pendidikan seperti yang telah dijelaskan
menjadi tujuan pendidikan yang jelas. Dalam kosa kata tujuan pembelajaran tujuan adalah untuk
dipelajari dan bukan untuk dikerjakan, dalam pengertian kejelasan bahan yang dipelajari,
perilaku antara yang harus dikuasai dan arah perkembangan dari hasil pendidikan.
3. Menetapkan strategi pembelajaran dan sumber belajar. Pada bagian ini harus cukup spesifik
strategi pembelajaran maupun sumber belajar yang harus dipersiapkan untuk memperoleh hasil
sebaik-baiknya serta efisien dalam penggunaan waktu. Dalam hal ini efisiensi penggunaan waktu
dan efektivitas penggunaan sumber-sumber merupakan jawaban yang jitu sehubungan dengan
penetapan strategi dan dan penggunaan sumber-sumber. Strategi mengikuti kecepatan perubahan
merupakan salah satu jaminan, sehingga secepat perubahan secepat itu pula proses pembelajaran
dilakukan. Selanjutnya mengenai penggunaan sumber-sumber dilakukan melalui:
a. mencari sejumlah referensi yang memungkinkan dapat mempercepat penyelesaian studi dalam
waktu yang secepatnya,
b. mencari model yang telah dilakukan oleh mereka yang telah sukses menyelesaikan
pembelajaran sesuai dengan waktu maupun kualitas yang ditetapkan
c. menggunakan jadwal yang ketat dan meminta seseorang untuk membantu mengontrol
percepatan dan kualitas pembelajaran sesuai dengan pagu yang ada.
4. Mengembangkan bukti-bukti ketercapaian tujuan yang ditetapkan melalui sejumlah
perancangan kegiatan yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
5. Menilai perkembangan studi yang tengah dilakukan melalui:
a. apakah tujuan pembelajaran telah demikian jelas, bisa dipahami dan realistis?
b. apakah semua tujuan pembelajaran telah cukup dipertimbangkan secara berimbang?
c. apakah strategi dan sumber dipertimbangakan secara rasional?
d. apakah bukti yang seharusnya ada telah cukup meyakinkan ketercapaian tujuan yang
ditetapkan?
e. apakah alat dan kriteria untuk memvalidasi tujuan yang ditetapkan cukup jelas, relevant dan
cukup meyakinkan.
Kiat seperti ini merupakan upaya untuk melakukan kontrak belajar antara peserta pendidikan
dengan lembaga pendidikan, akan tetapi pada hakikatnya merupakan kontrak antara peserta didik
dengan dirinya sendiri dengan asumsi bahwa siapapun kurang memiliki kontribusi pada bila
yang bersangkutan tidak memiliki komitmen untuk menyelesaikan pendidikan dan memperoleh
prestasi yang diharapkan dalam menunjang .

D. Sistem Pendidikan Berbasis Kompetensi


Untuk dapat memenuhi kebutuhan industri, sistem pendidikan dikembangkan atas dasar
kompetensi tertentu. Kompetensi yaitu tampilan peserta didik sesuai standar yang dibutuhkan
dunia kerja.
Kompetensi dengan demikian terdiri dari:
1. Kompetensi Personal. Kompetensi ini meliputi beriman kepada Tuhan YME, berakhlak mulia,
berpikir rasional, memahami diri sendiri, percaya diri, bertanggungjawab untuk pembelajaran
pribadi, memiliki etos kerja, dapat menghargai, dan menilai diri sendiri.
2. Kompetensi Sosial. Kompetensi ini meliputi bekerjasama dalam kelompok, menunjukkan
tanggung jawab sosial, mengendalikan emosi, dan berinteraksi dalam masyarakat dan budaya
lokal serta global.
3. Kompetensi Intelektual. Kompetensi ini meliputi menguasai pengetahuan, menggunakan
metode dan penelitian ilmiah, bersikap ilmiah, mengembangkan kapasitas sosial dan berpikir
strategis untuk belajar sepanjang hayat, serta berkomunikasi secara ilmiah.
4. Kompetensi vokasional. Kompetensi ini meliputi bidang kejuruan/keterampilan fungsional;
keterampilan bermatapencaharian seperti menjahit, bertani, beternak, otomotif; keterampilan
bekerja; kewirausahaan; dan keterampilan menguasai teknologi informasi dan komunikasi
Jadi bila disimpulkan kompetensi terdiri dari kompetensi umum seperti dalam bidang
pengetahuan, kemampuan berbahasa, matematika dan kompetensi khusus seperti kompetensi
dalam bidang keterampilan tertentu.
Untuk memperoleh kompetensi yang diharapkan maka persyaratan yang harus dipenuhi lembaga
pendidikan meliputi:
1. Kurikulum/proses belajar mengajar;
2. Administrasi dan manajemen sekolah;
3. Organisasi/kelembagaan pendidikan;
4. Sarana dan prasarana;
5. Ketenagaan;
6. Pembiayaan;
7. Peserta latihan/peserta;
8. Peran serta masyarakat;
9. Lingkungan/ kultur sekolah.(Kepmen No. 087/U/2002, hal 3).
Sistem pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi dimulai merupakan gabungan antara
lembaga pendidikan dengan dunia kerja. Standar keterampilan terbagi atas berbagai tingkat
keterampilan di tempat kerja. Standar keterampilan ini juga mencantumkan keterampilan umum
yang harus dimiliki seseorang untuk menunjang fungsi sebagai pekerja yang baik, misalnya
melek huruf, kemampuan berbahasa Inggris dan keterampilan sosial lainnya.
Standar keterampilan yang ditetapkan selanjutnya dijadikan dasar dalam pengembangan
kurikulum, sistem pengujian dan pengembangan bahan latihan, baik pelatihan on the job maupun
off the job.
Sebagai tanda bahwa seseorang telah menguasai kompetensi tertentu maka kepada yang
bersangkutan diberikan sertifikat kompetensi. Sertifikat yang dikeluarkan harus berbasis pada
standar kemampuan. Dalam hubungan ini diterbitkan paspor keterampilan, yang merupakan
bukti bahwa pemegangnya telah memiliki berbagai keterampilan seperti yang tercantum dalam
paspor keterampilan dimaksud. Melalui paspor keterampilan ini, maka seseorang dianggap
berhak untuk memasuki dunia di luar pendidikannya yaitu dunia kerja.
Kompetensi senantiasa merujuk pada standar tertentu, sebagai indikator dipenuhi tidaknya
kompetensi yang telah dikuasai seseorang.
Standar kompetensi yang berkaitan dengan kompetensi khusus, terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
1. standar internasional yang berbagai industri, karena industri tersebut melaksanakan pekerjaan
dalam konteks internasional,
2. standar nasional yang diperlukan di sebagian besar wilayah Indonesia yang menunjukkan
kebutuhan lapangan kerja industri Indonesia,
3. standar regional atau perusahaan yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan khusus regional
atau kebutuhan khusus,
4. keterampilan umum yang diperlukan yang dibutuhkan untuk bekerja pada industri kecil/
rumah tangga, dengan penekanan khusus pada keterampilan yang diperlukan untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup terutama di daerah terpencil.
Pada semua standar tersebut ditetapkan keterampilan-keterampilan teknis dan pengetahuan
pendukung seperti matematika, bahasa, ilmu pengetahuan alam, budaya untuk menjadi pekerja
yang kompeten di bidangnya. Dalam penyusunan materi belajar ini sejauh mungkin dihubungkan
dengan konteks bidang pekerjaannya.
Standar kompetensi yang diusulkan oleh satuan tugas tidak didefinisikan secara khusus. Standar
kompetensi juga harus mencakup berbagai pengetahuan yang dibutuhkan oleh para pekerja
dalam jabatan-jabatan dalam industri tertentu. Standar kompetensi merupakan kelanjutan dari
bahan kajian yang telah dirumuskan dalam kurikulum dan bahan ajar yang telah dipakai oleh
SMK dan program diploma. Dalam hal tertentu beberapa industri juga telah mengembangkan
pendekatan berbasis kompetensi dalam program pelatihannya.
Dalam menyusun standar keterampilan, wakil-wakil industri bersikap realitis terhadap sasaran
yang akan dicapai khususnya jika akses pada on the job training dan kemungkinan untuk
mendapatkan pengalaman kerja dalam keadaan terbatas.
Sistem pendidikan baru memiliki perbedaan paradigma dengan pendidikan klasik. Beberapa
perbedaan yang patut diperhatikan yaitu:
PEREGESERAN PARADIGMA BELAJAR

Keberhasilan pendidikan tinggi dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain keberhasilan dari sisi
peserta pelatihan dan keberhasilan dari sisi manfaat lembaga untuk masyarakat disekitarnya.
Dilihat dari manfaat bagi peserta didik antara lain:
a. peningkatan kemampuan untuk berpikir secara kritis, kemampuan menyajikan materi secara
rasional, memiliki argumen yang jelas dari sejumlah isu yang rumit menggunakan logika dan
kreativitas.
b. Mempersiapkan diri agar berhasil dalam kehidupan dengan menggunakan kemampuan teknis,
intelektual dan profesi.

E. Kinerja Profesional
Seorang profesional yang unggul memiliki karakter dan kemandirian. Karakter terdiri dari budi
pekerti dan watak yang dimiliki seseorang. Kedua hal ini yang membuat yang bersangkutan tetap
berani, bersemangat, bergairah dan disiplin. Mandiri artinya tidak tergantung pada orang lain
atau merdeka. Hubungan dengan orang lain bukan dalam hubungan ketergantungan akan tetapi
merupakan hubungan yang menguntungkan kedua belah pihak dan kemitraan. Kemandirian
memiliki kaitan dengan kemampuan memecahkan sendiri permasalahan, berinisiatif, kreatif,
inovatif, proaktif dan bekerja keras. Seorang yang unggul akan terpacu untuk selalu berbuat dan
bekerja, tidak pasrah dan beku, dinamis, energik dan optimis menghadapi masa depannya.
Demikian banyak ciri dari seorang yang unggul, akan tetapi pada garis besarnya memiliki ciri-
ciri gabungan dari karakter dan kemandirian, meliputi kemampuan membuat keputusan dan
memecahkan permasalahan, berinisiatif, kreatif, inovatif, proaktif, bekerja keras dan ulet,
dinamis, energik dan optimis.
Selain dari sifat-sifat itu masih ditambah kemampuan untuk melakukan negosiasi, mengambil
resiko, dan kemampuan untuk merintis dan membesarkan usaha.
Seorang yang unggul harus memiliki kemampuan bersaing. Terdapat lima kemampuan bersaing
yang harus dikembangkan lulusan pendidikan dan calon tenaga kerja meliputi kemampuan untuk
dididik (educativeness), keinginan untuk belajar, pekerja keras, gigih, ambisius dan memiliki
kebugaran.
1. Kemampuan untuk dididik (educativeness). Seseorang selalu dalam keadaan berkembang pada
sisi kekuatan dan kedewasaan. Banyak pihak yang tidak terlalu yakin pada konsep ini akan tetapi
terdapat demikian banyak bukti bahwa seseorang itu dalam proses untuk selalu berkembang dan
mencapai kesempurnaannya. Kemampuan untuk dididik bertalian dengan perubahan lingkungan
yang demikian berbeda dengan beberapa waktu-waktu sebelumnya termasuk ditemukannya
beberapa teknologi yang menuntut seorang employe untuk terus belajar. Kemampuan untuk
belajar memiliki dampak baik untuk yang bersangkutan maupun dalam upaya mengimbangi
perkembangan lingkungan
2. Keinginan untuk belajar. Para pemikir modern seperti halnya Tofler berkeyakinan bahwa
setiap orang maupun kelompok akan selalu tertinggal, bahkan jauh ditingggalkan oleh
lingkungan sekitarnya kecuali mereka yang mampu untuk memilih, belajar dan berinteraksi. Jadi
untuk tetap mampu mengimbangi kemajuan dan memiliki kemampuan untuk bersaing selain
kemampuan untuk memilih dan berinteraksi, sangat tergantung pula pada kemampuan untuk
belajar. Memilih berkaitan dengan demikian beragamnya pilihan. Interaksi karena demikian
cepatnya perubahan yang ada dalam lingkungan. Adapun belajar merupakan penunjang utama
dari kemampuan untuk memilih dan berinteraksi.
3. Berkemauan untuk selalu bekerja keras. Seorang pegawai selalu berhadapan dengan target
pekerjaan yang harus dihadapi. Semakin banyak tuntutan akan pekerjaan semakin banyak tenaga
dan pikiran dibutuhkan. Untuk hal ini dibutuhkan tenaga kerja yang mampu untuk bekerja keras.
Bila perlu melebihi waktu normal yang biasa dipergunakan untuk bekerja. Kemauan untuk
bekerja keras, merupakan modal dasar untuk melakukan persaingan.
4. Gigih. Kegigihan umumnya berkaitan dengan tantangan dan semakin rumitnya tuntutan
lingkungan kerja yang membutuhkan orang-orang yang berkeinginan keras dan tidak mudah
menyerah baik karena motivasi diri yang semakin melemah maupun karena tantangan
lingkungan yang semakin kuat menghadang seseorang dalam bekerja.
5. Abisius. Terdapat dorongan dari dalam diri untuk meningkatkan diri berbasis pada kekuatan
diri dan penggunaan sumber pada diri maupun lingkungan secara maksimal
6. Berjiwa Muda. Seorang profesional secara alami akan menjalani usia biologis secara normal,
termasuk menghadapi ketuaan. Akan tetapi seorang profesional harus senantiasa optimis,
berpandangan jauh ke depan dan energik sehingga dapat menunjang profesi secara maksimal dan
tidak terhambat oleh pengaruh negatif perkembangan lingkungan dan kurang kondusifnya
lingkungan sekitar.
Sekarang kita beralih pada pembentukan tenaga kerja profesional. Tenaga kerja profesional
diperoleh dari hasil pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang yang profesional dalam arti
teknis dan profesional dilihat secara akademis. Profesional teknis atau dikenal juga sebagai
seorang ahli dan umumnya setelah seseorang mencapai standar kompetensi tertentu. Sedangkan
profesional dalam arti akademis, umumnya merupakan hasil pendidikan dari jenjang profesi.
Untuk kesempatan ini kita hanya akan membahas lebih jauh kelompok profesional yang pertama.
Berdekatan dengan profesi yaitu keahlian atau seorang ahli. Lulusan pendidikan pada tingkatan
SMK atau akademi umumnya termasuk dalam keahlian, walaupun keduanya sering
dipertukarkan artinya dan seorang awam menyebut keahlian sebagai profesi, atau sebaliknya dan
semua ketentuan yang berlaku pada profesi dipergunakan pula untuk keahlian.
Jadi seorang profesional akan melakukan sesuatu atau tidak melakukannya karena menurut
aturan atau sesuai dengan profesinya ia diharuskan atau tidak diperbolehkan untuk
melakukannya. Sehubungan dengan itu terdapat ciri seorang profesional atau asosiasi
kelompoknya akan selalu mengawasi setiap perilaku seorang profesional, bahkan masyarakat
sekalipun turut mengawasi kehariannya.
Seorang profesional dengan demikian melakukan sesuatu atau tidak melakukannya berdasarkan
pada kode etika yang berlaku dilingkungannya secara mengikat. Dengan etika yang dipelajari
dan diamalkannya seorang profesional menjadi aturan itu sebagai bagian dari dirinya. Dengan
etika profesional, ia akan menjadikan sebagai pedoman dalam menjalankan keahliannya.
Dalam perkembangannya etika profesi dijadikan alat untuk mengontrol perilaku seseorang.
Dengan demikian etika profesi berfungsi bagi seorang profesional sebagai:
1. Inspirasi dan panduan dalam menjalankan tugas maupun mengembangkan visi dalam
menunjang kegiatan profesional
2. Alat sebagai pecegah penyimpangan dan meningkatkan disiplin
3. Perilakunya didasarkan pada standar yang sudah mapan.
4. Memelihara keharmonisan, yaitu seorang profesional akan melakukan sesuatu atau tidak
melakukannya dalam upaya memelihara hubungan dan mengurangi konflik yang bisa terjadi.
5. Dapat berarti sebagai sebuah dukungan, terutama pada saat seseorang dipertanyakan mengenai
profesi yang dijalankannya. Baik sebagai perorangan maupun dalam bentuk kelompok dapat
memberikan dukungan selama ia tetap konsisten dengan profesi yang dijalankannya.
Etika profesi ini berlaku diseluruh dunia dan diakui keberadaannya secara global pula seperti
dalam bidang kedokteran, perdagangan, kebidanan, kehakiman.
Selain dari gambaran mengenai seorang profesional yang menjalankan fungsi sesuai dengan
aturan, masyarakat dengan mudah memberikan penilaian kesalahan dalam menjalankan suatu
profesi. Contoh yang umum yang meyalahi etika profesi, antara lain:
1. Menyalahgunakan kewenangan
2. Menerima bentuk penghargaan yang tidak sepatutnya diperoleh seorang profesional atau lebih
banyak berkaitan dengan korupsi
3. Menipu dengan menggunakan profesi yang diakuinya,
Seorang profesional akan banyak terdorong untuk berbuat penyimpangan bila tidak berpedoman
kepada etika yang disandangnya karena kekuasaan dan kemampuan yang dimilikinya. Lebih
tinggi kepercayaan yang diberikan kepada seorang profesional akan semakin memungkinkan
yang bersangkutan untuk menyimpang dari profesi yang disandangnya.
Seorang profesional akan menunjukkan perilaku:
1. Bekerja dengan penuh kesungguhan dan ketulusan. Dia tidak hanya asal bekerja, dan bekerja
secara rutin, akan tetapi bekerja dengan penuh dengan kesungguhan.
2. Bekerja dengan inisiatif. Seorang profesional melakukan usaha atau sesuatu sebelum dipaksa
oleh keadaan atau dipaksa untuk melakukannya,
3. Niat yang tulus. Seorang profeional bekerja didasarkan pada niat untuk menjunjung profesinya
dengan penuh komitmen.
4. Bertanggungjawab terhadap masyarakat dan organisasi profesinya. Ia akan bekerja untuk
kepentingan masyarakat dan bukan hanya untuk kepentingan dirinya semata.
5. Amanah dalam bekerja. Sikap amanah berkaitan dengan pemeliharaan keharmonisan antara
lembaga tempat ia bekerja, masyarakat dan kepentingan orang banyak.
6. Komitmen pada pekerjaan. Komitmen artinya bekerja dengan penuh kesungguhan dan
mencurahkan lebih banyak waktu dibandingkan dengan pekerjaan lainnya.
7. Jujur. Sifat jujur berkaitan dengan menghindari perilaku syak wasangka, tipu daya dan
kebohongan.

F. Etos Kerja dan Budaya Kerja/Organisasi


Pendidikan profesi dimaksudkan dalam upaya menunjang etika kerja dan budaya kerya dan
organisasi. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, nilai sikap dan norma
keterampilan serta tujuan dan keyakinan. Lebih jauh seseorang yang telah memperoleh
pendidikan akan mampu pengembangan diri, meningkatkan produktivitas, mengembangkan
dinamika dan menjalin keserasian sosial.
Untuk bisa memenuhi peran sebagai pribadi maupun tenaga kerja seperti di atas, seorang tenaga
kerja maupun peserta dituntut untuk memiliki eros kerja dan budaya kerja dan organisasi.
Etos berasal dari Bahasa Latin ethos karakter atau watak dan kepribadian. Adapun definisi yang
dikemukakan Gluck (1986) yaitu prinsip dalam bertingkahlaku yang menjadi ciri individu dan
profesi. Etika selanjutnya dijadikan standar perilaku. Etika untuk kalangan akademis menjadi
standar moral dalam upaya meningkatkan integritas profesi di kalangan mereka.
Etos kerja yaitu semangat yang harus dimiliki seseorang untuk dapat bekerja secara produktif,
efektif dan efisien, maupun kembali belajar pada lingkungan pendidikan tertentu. Etos kerja
diperoleh seseorang sebagai hasil belajar dan proses pendidikan. Dari beberapa pengamatan
lembaga pendidikan yang memiliki kerja yang baik akan menghasilkan lulusan yang memiliki
etos kerja baik pula.
Etos kerja memiliki dua arti. Pertama berarti semangat yang dimiliki seseorang, yang kelak akan
bermanfaat untuk dirinya maupun dalam upaya mendukung dan bekerja sama dengan pihak lain
atau perusahaan. Tidak ada orang yang berhasil yang bermodalkan kemalasan, bekerja asal-
asalan dan tidak bertanggungjawab. Hanya ada satu kunci untuk berhasil yaitu gigih dalam
kesulitan dan tangguh dalam prestasi. Kedua, sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh seseorang.
Keharusan sesuai dengan perannya sebagai seorang tenaga kerja atau seseorang yang telah
menyelesaikan pendidikan pada bidang tertentu yang terikat oleh keahlian atau profesi teknis
tertentu.
Dengan demikian etos kerja yaitu panduan tingkah laku yang menjadi pedoman bagi tenaga kerja
dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupannya. Etos bersumber dari agama dan
keyakinan, yang berfungsi sebagai norma moral. Etos kerja ini menjadi alat untuk mengon-trol
tingkah laku dan mencegah hal yang bertentangan baik dengan kehendak undang-undang
maupun status seseorang sebagai tenaga kerja.
Etos selanjutnya harus selalu dipelajari dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Etika
menjadi melekat pada diri seseorang. Karenanya tanpa disiplin diri dan mental yang kuat
seseorang tidak akan menjunjung etika. Dengan demikian, etos kerja terlihat dalam diri
seseorang dalam disiplin dan kekuatan yang ada dalam dirinya.
Ada tiga ciri utama orang yang memiliki etos kerja yaitu bekerja produktif, efektif dan efisien.
Seorang yang produktif senantiasa menghasilkan barang dan jasa jauh lebih banyak
dibandingkan denganyang ia keluarkan dalam bentuk tenaga maupun dana. Seorang yang efektif
dapat bekerja sebaik-baiknya dengan waktu yang sesingkat-singkatnya. Sedangkan seorang
efisien dapat bekerja baik dengan biaya yang dikeluarkan yang sehemat-hematnya.
Ciri-ciri orang yang memiliki etos kerja
Selain memiliki ciri utama di atas seorang yang memiliki etos kerja memiliki sejumlah ciri
berikut: Bertindak segera, Responsif, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Bersih dan Baik Sangka.
Bertindak segera yang didasari oleh perhitungan yang matang dan ketelitian, merupakan salah
satu cara dalam upaya memberikan pelayanan yang maksimal kepada pelanggan maupun dalam
menghadapi situasi yang genting pada lingkungan kerja. Ketanggapan seorang tenaga kerja
untuk semua lingkungan kerja, terutama yang berhubungan dengan keinginan pelanggan
merupakan unsur pelayanan yang sangat diharapkan oleh semua. Sebaliknya seorang pegawai
atau penyedia jasa tertentu yang bertindak lambat, tidak akan disenangi dan akibatnya
perusahaan akan ditinggalkan pelanggan. Kemampuan bertindak segera disertai pertimbangan
yang matang dan ketelitian merupakan upaya untuk menyelamatkan diri dan perusahaan pada
saat mengahdapi situasi yang genting, seperti terjadinya perampokan atau kebakaran.
Bertindak segera juga menjadi sangat penting dalam menyesuaikan diri dengan jadwal waktu
yang disepakati dengan pelanggan maupun ditetapkan oleh perusahaan.
Responsif mampu untuk begerak kearah baru dengan cepat. Bila kemampuan bekerja cepat lebih
banyak dalam menghadapi pekerjaan seharian dalam perusahaan, maka responsif lebih banyak
berhubungan dengan menyesuaikan diri dan perusahaan dengan tuntutan produk baru yang lebih
baik dan canggih. Meskipun bekerja cepat dengan responsif tidak terlalu berbeda, akan
penekanan pada konsep yang kedua adalah pada kemampuan kemampuan mereaksi pada
perubahan, tidak membuang waktu dan menjadi pemenang yang diimbangi oleh kecepatan untuk
memperoleh inspirasi.
Disiplin, yaitu memiliki ketaatan pada ketentuan yang ditetapkan sehubungan dengan syarat
kerja maupun hubungan dengan pihak perusahaan dan pihak lain. Seorang yang disiplin dalam
hal menggunakan peralatan keselamatan kerja, akan mengenakan pakaian maupun perlengkapan
lain seperti helm dan masker dalam upaya menghindarkan dirinya dari kecelakaan yang
dikarenakan kondisi pada lingkungan kerja. Disiplin dalam waktu maupun menjaga rahasia
perusahaan, agar perusahaan tidak merugi karena kita sebagai tenaga kerja tidak bekerja
sepatutnya atau perusahaan menjadi merugi karena seorang tenaga membocorkan rahasia
membuat ramuan tertentu.
Kerja Keras, merupakan ciri keunggulan seseorang yang berhubungan dengan kegigihan. Orang
yang gagal umumnya memiliki salah satu ciri berikut, antara lain pasif, santai, kurang semangat,
ragu, tidak memiliki harapan, dan berpikir buntu. Sebaliknya siapa saja akan berhasil baik
bekerja mandiri maupun mendukung perusahaan bila berdedikasi, tidak menyerah karena faktor
di laur dirinya, selalu berbesar hati, pemberani, yakin akan berhasil, semangat, tidakmenyerah
pada lawan, senang dengan pengalaman pahit dan kurang menyenangkan. Seseorang cepat
lambat akan berhasil, bila mampu melakukan pengkajian atas segala kemungkinan, memiliki
tujuan yang jelas, mencoba dan memilih semua kemungkinan, menunggu sambil bekerja. Siapa
pun yakin akan berhasil bila memiliki keyakinan, bertindak, berani, menemukan, mencurahkan
dan tekun.
Kreatif, mampu untuk berpikir dan bertindak dengan cara yang berbeda dengan cara lama atau
dikerjakan selama ini. Selalu terdapat kreasi baru bagi orang yang kreatif. Kreativitas, adalah
baik bila sesuai dengan budaya yang ada, menunjukkan hasil nyata, tidak merusak, walaupun
memiliki kerumitan akan tetapi menjadi mudah untuk dilaksanakan dan memberikan
keuntungan.
Bersih, merupakan etos kerja dalam mendukung penampilan diri maupun perusahaan.
Kebersihan diri memungkinkan untuk memperoleh kesehatan selaras dengan jenis dan jumlah
makanan dan kebugaran. Kebersihan juga menyangkut pemeliharaan alat dan lingkungan kerja
agar lebih nyaman dan lebih langgeng dalam mendukung kondisi kerja. Diri, tempat kerja dan
peralatan yang dipelihara kebersihan akan menjadi daya dukung kebehasilan kerja yang tidak
terhingga.
Baik sangka, merupakan syarat dalam bekerja dengan orang lain dan majikan. Segala masalah
dan pekerjaan hanya bisa dikejakan dengan baik bila didukung oleh perasaan yang positif. Bila
sesuatu nampaknya terlihat negatif, maka reaksi kita hendaknya tetap positif, karena reaksi
negatif bukan hanya memberikan kerugian kepada perusahaan atau orang lain akan tetapi dapat
merugikan diri kita sendiri.
Budaya kerja dan organisasi
Budaya kerja dan budaya organisasi merupakan etika kita dalam bekerja dan melakukan kerja
sama dengan orang lain secara terarah dan berencana. Budaya kerja merupakan pancaran dari
etos kerja sehingga satu dengan lain akan saling berkaitan. Adapun budaya organisasi merupakan
cara untuk memperoleh prestasi kerja dengan menggunakan organisasi. Pada lingkungan
perusahaan hal ini bisa terwujud dalam pernan seseorang dalam mendukung perusahaan atau
merupakan cara menuntut hak seorang pegawai sesuai dengan perundangan.
Dalam mencermati budaya kerja, kita juga harus faham mengenai lingkungan kerja masa lalu,
saat ini dan masa yang akan datang. Bedasar pada lingkungan kerja masa lalu tuntutan
lingkungan kerja, antara lain: segalanya mudah untuk dilakukan diduga dan tidak ada perubahan
yang besar, tuntutan pada spesialisasi, bekerja banyak tergantung pada majikan yang akan
menentukan segalanya, segalanya tergantung pada pengalaman, dan segalanya bisa dikelola
dengan baik.
Berbeda dengan kondisi masa lalu, maka tuntutan kerja sekarang dapat dikatakan kurang
manusiawi. Banyak orang siksus masa lalu yang berlindung pada prinsip lama, sama sekali gagal
dalam menghadapi kondisi kerja saat ini. Akibatnya bukan hanya industri dan pelayanan jasa
yang gulung tikar, akan tetapi serta merta orang yang ada didalamnya ikut diputuskan hubungan
kerja karenanya.
Tuntutan kerja yang berlaku saat ini antara memerlukan kecapatan, penuh kompetisi dan penuh
rintangan. Lebih ektrimnya ibarat seseorang yang sudah memakai sarung tinju dan masuk ring,
hanya ada satu pilihan menghadapi dengan semua kesiapan dan perhitungan atau menjadi babak
belur. Kita semua tidak terkecuali, ibarat dimasukkan kedalam putaran, mengikuti cepatnya
gerak putaran atau terpelating menjadi sia-sia karena putaran itu.
Sehubungan dengan tuntutan kerja di atas, maka terdapat sejumlah kiat dalam bekerja saat ini.
Pertama, tidak sepenuhnya menggunakan cara lama. Mungkin dalam budaya kita masih
membutuhkan sopan santun pada atasan akan tetapi tidak berarti menggantungkan diri pada
senior kita, karena mereka pun sedang bingung untuk menyelamatkan dirinya. Kedua, tanam
kekuatan pada diri sendiri. Memilih, Belajar, dan berinteraksi merupakan kunci untuk
mengahadapi masa depan dalam bekerja. Kita perlu adaptif, menggali keunggulan yang ada pada
diri sendiri, apapun dan bagaimanapun sederhananya, karena itu yang cepat lambat akan menjadi
gudang emas bagi kareer kita. Ketiga, pergi dan berhasil. Inti dari pendidikan, adalah
meningkatkan kemampuan untuk mengantisipasi. Jangan pergi memancing ikan, bila hasil
bekerja satu minggu habis dipergunakan dan tidak mampu meningkatkan hasil kerja untuk
minggu berikutnya. Manusia memiliki kesenangan akan tetapi jangan segalanya menjadi terbuai
oleh kesenangan. Keempat, mulai bekerja dengan memahami manfaat bekerja dan jangan hanya
tahu mengerjakan pekerjaan itu. Kelima, bekerja dengan cepat. Bekerja baik adalah tidak salah,
bekerja baik, akan tetapi bekerja dengan tercepat adalah yang terbaik. Bekerja dengan
memadukan antara kecepatan dan ketangkasan dengan arah yang berbeda dengan waktu
sebelumnya.

G. Etika Profesi
Sejalan dengan etika kerja seorang profesional menjunjung tinggi etika profesi. Etika profesi
merupakan kemampuan mental untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan tindakan atas dasar
semangat kepatutan suatu profesi dan menghargai kesejawatan. Kode etik profesi juga berarti
disiplin berdasar pada kebaikan dan menghindarkan kejelekan dan tindakan yang berdasar pada
tanggung jawab moral. Etika profesi juga berarti prinsip-prinsip moral atau penerimaan
kemampuan berdasar pada standar profesi dalam melaksanakan sesuatu kegiatan
Beberapa sinonim dari etika atau etika profesi yaitu virtuous, yaitu kesesuaian dengan standar
kebenaran atau kata moral, mampu memilah kebaikan dan kesalahan.
Etika profesi, diperlukan sesuai pertimbangan:
1. adanya tuntutan baru dan berkembang menjadi profesi baru sehingga dibutuhkan kesepakatan
baru,
2. merupakan sarana pengembangan sumber daya manusia berbasis pada profesi yang
dijungjungnya.
Beberapa etika profesi yang harus didukung oleh para pemangku jabatan profesi yaitu:
a. memberikan sumbangan yang bermanfaat untuk kehidupan manusia
b. mengindari kecelakaan pihak lain
c. bekerja dengan jujur dan tulus,
d. adil dan tidak bertindak dikriminatif dalam mengambil tindakan
e. penghargaan pada hak kekayaan intelektual dan hak paten
f. memberikan penghargaan yang memadai pada kekayaan intelektual
g. menghargai hak perorangan
h. percayai diri yang tinggi
i. mengutamakan pada kualitas tinggi, bekerja secara efektif dan menghargai proses dan produk
dari pekerjaan profesi
j. menghargai pada kompetensi profesi
k. mengetahui dan menghargai ketentuan dan hukum yang berhubungan dengan kerja profesional
l. menerima pada tugas-tugas yang berhubungan dengan penilaian profesi.
m. Menghargai pada kesepakatan memenuhi tanggung jawab profesi,
n. Meningkatkan pemahaman publik pada kompetensi profesi dan konsekwensinya
o. Memiliki akses pada sumber-sumber yang berhubungan dengan kompetensi yang
dikembangkannya serta menunjukkan otoritas sesuai dengan profesi yang diusungnya,
p. Menunjukkan tanggung jawab sosial dan loyal pada keanggotan organisasi profesi
q. Mampu mengelola sumber yang ada pada pribadi dan lingkungan dan mengembangkjan
sistem informasi dalam upaya meningkatkan kualitas dalam pekerjaan
r. Menghargai semua dukungan dan kewenangan yang dipegunakan organisasi
s. Menerima dan meningkatkan kode etik
t. Melaksanakan tugas profesi
Kode etik juga menyangkut sesama koleha sebagai upaya untuk saling mengembangkan dan
menghargai kerabat sesama profesi. Diantara kode etik yang harus diperhatikan meliputi:
1. memberikan dorongan pada sesama koleha untuk menjunjung kode etik bersama,
2. memberikan bantuan pada sesama koleha untuk mengembangkan profesi
3. memberikan pengahargaan penuh pada kredit yang telah dicapai oleh pihak lain
4. memberikan penilaian pada koleha seprofesi secara objektif, dan menggunakan dokumen yang
memadai
5. memberikan penilaian pada pendapat, keperdulian pada sesama koleha secara adil
6. membantu sesama koleha untuk memenuhi standar kerja secara penuh
7. menghargai kesungguhan dalam bekerja, dan memberikan perhatian pada kompetensi kolega,

BAB III
PELATIHAN

A. Memahami Pelatihan
1. Definisi
Poerwadarminta (1984) memberikan arti kepada “pelatihan” sebagai pelajaran untuk
membiasakan atau memperoleh sesuatu kecakapan. Flippo (1961) menegaskan bahwa pelatihan
pada dasarnya merupakan suatu usaha pengetahuan dan kecakapan agar karyawan dapat
mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Berdasarkan kepada uraian di atas, pelatihan dapat
didefinisikan sebagai suatu kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan sengaja, terorganisir dan
sistematik di luar sistem persekolahan untuk memberikan dan meningkatkan suatu pengetahuan
dan keterampilan tertentu kepada kelompok tenaga kerja tertentu dalam waktu yang relatif
singkat dengan metode yang mengutamakan praktek daripada teori, agar mereka memperoleh
pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam memahami dan melaksanakan suatu pekerjaan
tertentu dengan cara yang efisien dab efektif.
Beberapa manfaat yang berharga dari pelatihan adalah sebagai berikut : (1) dapat memberikan
pengetahuan sikap dan keterampilan mengenai sesuatu pekerjaan; (2) dapat memberikan dasar
yang lebih luas bagi pendidikan lanjutan; (3) dapat menambah pemahaman terhadap wawasan
suatu pekerjaan; (4) dapat meningkatkan keterampilan dalam suatu pekerjaan; (5) dapat
menghasilkan efisiensi dan efektivitas dalam mengerjakan suatu pekerjaan; (6) dapat
memberikan rasa puas terhadap suatu pekerjaan; (7) dapat memberikan rasa sadar terhadap
kesempatan-kesempatan untuk mencapai kemajuan; (8) dapat menambah perasaan tanggung
jawab terhadap suatu pekerjaan; (9) dapat menambah kemampuan untuk menggunakan sumber-
sumber manusia atau materi yang belum di manfaatkan; (10) dapat memperkecil kecelakaan
dalam melakukan suatu pekerjaan; (11) dapat memberikan keterampilan untuk melakukan
perbaikan dalam suatu pekerjaan; (12) dapat memberikan didikan untuk melakukan suatu
pekerjaan dengan cara yang iebih baik; (13) dapat meningkatkan semangat kerja; (14) dapat
meningkatkan kualitas dan kuantitas produktivitas kerja; (l5) dapat me¬ngurangi pengawasan
terhadap suatu pekerjaan; dan (16) dapat meningkatkan kestabilan dan keluwesan organisasi atau
lembaga.
Bentuk atau tipe pelatihan itu bermacam-macam. Bentuk pelatihan dikategorikan kepada dua
golongan, yaitu (1) pelatihan yang didasarkan kepada lembaga dan (2) pelatihan yang didasarkan
kepada pekerjaan.
Dilihat dari segi jenis pekerjaan, tipe program pelatihan itu ada tiga, yaitu (1) pelatihan formal;
(2) pelatihan informal; dan (3) bentuk pelatihan lainnya.
2. Pendekatan Sistem Terhadap Pelatihan
a. Tujuan dan Fungsi Sistem Pelatihan
Semua jenis organisasi yang peka terhadap kebutuhan personil yang trampil, akan peka pula
terhadap usaha investasi melalui program-program pelatihan. Bahkan sering pula program-
program seperti ini berisi apa yang biasanya dinamakan pendekatan “paksa” (shotgun). Kursus-
kursus dalam berbagai organisasi telah banyak diselenggarakan, mulai dari yang pa¬ling
sederhana hingga kepada yang paling kompleks. Tetapi organisasi-organisasi itu semakin lama
semakin mempertanyakan manfaat dari program-program yang demikian. Banyak or¬ganisasi
yang memberikan kesimpulan bahwa program-program seperti itu tidak menghasilkan
keefektifan biaya, sehingga hasil dari investasi minim sekali bilamana investasi itu di tambah.
Kekurangefektifan dari program-program ini dalam memproduksi para pekerja dan para menejer
yang lebih baik, terletak dalam ketidakjelasan tujuan-tujuannya dan dalam
kekurangrelevansiannya dengan pekerjaan. Karena itu cara yang lebih tepat ialah
mengidentifikasi dan merumuskan tujuan-tujuan dan fungsi pelatihan dengan cara yang tegas
dan jelas. Program dan sistem pelatihan supaya dirancang untuk membekali pekerja de¬ngan
pengetahuan, sikap dan skill yang mereka butuhkan un¬tuk melaksanakan pekerjaan-
pekerjaannya.
b. Tahap-Tahap dan Langkah-Langkah dalam Merancang Sistem Pelatihan
Setiap pengelola pelatihan dan siapa saja yang terlibat da¬lam usaha-usaha pelatihan yang
berusaha akan merancang sistem pelatihan, maka terlebih dahulu perlu menentukan jawaban dari
lima pertanyaan penting berikut ini :
1) Siapa yang akan dijadikan sasaran program pelatihan?
2) Pengetahuan atau skill apa yang akan mereka pelajari?
3) Siapa yang akan dijadikan manusia sumber atau instruktur untuk melatihkan pengetahuan atau
skill tersebut?
4) Dengan cara bagaimana proses berlatih melatih atau belajar mengajar itu akan dilaksanakan?
5) Bagaimana output pelatihan itu akan dievaluasi ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan terjawab bilamana setiap menejer pelatihan dalam menyusun
rancangan sistem pelatihan itu menempuhnya melalui tiga tahap berikut ini. Pertama,
menentukan persyaratan atau keperluan yang dituntut oleh sis¬tem pelatihan; kedua, membina
atau mengembangkan sistem pelatihan dan terakhir, mengesahkan sistem pelatihan.
a. Tahap Penentuan Persyaratan Sistem Pelatihan
Tahap pertama ini merupakan tahap persyaratan yang secara mutlak dituntut oleh setiap sistem
pelatihan. Dalam tahap ini ada lima langkah yang harus dilaksanakan oleh setiap menejer
pelatihan, yaitu :
1) Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan;
2) Mengumpulkan dan menganalisis data pekerjaan;
3) Memilih dan merumuskan tujuan pelatihan;
4) Menyusun alat-alat evaluasi; dan
5) Menyusun ukuran-ukuran standar atau kriteria.
b. Tahap Pengembangan/Pembinaan Sistem Pelatihan
Tahap kedua ini merupakan tahap dimana sistem pelatihan harus diusahakan agar mempunyai
kerangka bentuk yang lengkap. Untuk itu mutlak diperlukan usaha-usaha untuk membentuk,
mengembangkan dan membinanya. Dalam tahap ini langkah-langkah yang harus dilaksanakan
oleh menejer pelatihan ialah :
1) Memilih dan menyusun urutan isi atau materi pelatihan;
2) Memilih dan menyusun strategi pelatihan;
3) Memilih alat-alat pembantu (AVA) pelatihan;
4) Menentukan dan menyiapkan perlengkapan keperluan pelatihan; dan
5) Menyusun dokumen atau bahan-bahan pelatihan.
c. Tahap Pengesahan Sistem Pelatihan
Suatu sistem pelatihan yang persyaratannya sudah terpenuhi dan pembentukannya sudah
dikembangkan belum merupakan suatu jaminan bahwa sistem pelatihan itu akan menjadi suatu
sis¬tem yang efisien dan efektif, bila sistem tersebut belum diketahui keampuhannya. Karena
agar suatu sistem pelatihan menjadi suatu sistem yang absah, maka menejer pelatihan harus
menempuh langkah-langkah terakhir sebagai berikut:
1) Memilih pelatih atau instruktur pelatihan;
2) Memilih para peserta pelatihan;
3) Mengevaluasi sistem pelatihan;
4) Mengelola dan menganalisis ukuran-ukuran standar atau kriteria; dan
5) Melakukan tindak lanjut terhadap tamatan pelatihan.
Pelaksanaan pelatihan atau pelaksanaan berlatih melatih merupakan sumber data untuk menguji
pengesahan sistem pelatihan tersebut. Karena itu komponen tersebut tidak termasuk kepada
langkah-langkah dalam kegiatan menyusun rancangan sistem pelatihan. Ketiga tahap yang berisi
kelimabelas langkah seperti disebutkan di atas itu pada dasarnya merupakan pedoman umum
untuk menyusun rancangan sistem pelatihan yang seksama untuk semua jenis pelatihan pada
tahap manapun.

B. Pelatihan Sebagai Sistem


Sistem pelatihan dapat digambarkan seperti di bawah ini

1. Identifikasi Kebutuhan Pelatihan


a. Kebutuhan dalam Perencanaan Pelatihan
Perencanaan melekat erat dengan setiap kegiatan manusia, baik secara individual maupun secara
kelompok, yang mengharapkan tercapainya kesuksesan.
Ada tiga hal yang ha¬rus dijadikan dasar pertimbangan dalam perencanaan pelatihan. Pertama,
perencanaan itu merupakan dasar dari menejemen yang efisien dan efektif. Perencanaan penting
dalam pelatihan karena tanpa adanya perancanaan yang teliti dan lengkap, maka sudah pasti akan
terjadi pemborosan dari berbagai sumber. Ke dua, perencanaan merupakan suatu faktor yang
penting, terutama dalam menyusun program-program yang efektif. Ke tiga, perencanaan
merupakan hal yang harus mendahului setiap kegiatan untuk memulai pelatihan, bilamana
pelatihan itu menghendaki kesesuaian dengan kebutuhan dan mengharapkan suatu peluang untuk
mencapai sukses.
Ketiga jenis pertimbangan, sebagaimana disebutkan di atas itulah yang dijadikan dasar berpijak
perencanaan pelatihan. Namun tidak berarti hanya hal itu saja yang harus dipertim¬bangkan
dalam perencanaan pelatihan. Perencanaan pelatihan yang memadai harus mempertimbangkan
berbagai faktor. Beberapa faktor yang mempunyai implikasi penting bagi perencanaan pelatihan
ialah (1) tujuan dan rencana organisasi/lembaga/masyarakat; (2) perubahan ilmu pengetahuan
dan teknologi; (3) sifat kegiatan organisasi/lembaga/masyarakat; (4) komposisi tenaga kerja; (5)
kebijaksanaan organisasi/lembaga/masyarakat; (6) staf pelatihan; (7) fasilitas untuk pelatihan;
dan (8) biaya untuk pelatihan.
Gambar Faktor-Faktor Dalam Perencanaan Pelatihan

b. Pengertian Kebutuhan Pelatihan


Kebutuhan pelatihan sebagai “sesuatu yang perlu dimiliki” oleh se¬seorang memberikan
pengertian bahwa “sesuatu yang perlu itu belum dimiliki” oleh seseorang; atau seseorang itu
“belum mempunyai kemampuan ” dalam hal yang diperlukan itu. Kebutuhan pelatihan
merupakan kesengajaan antara tingkat kemampuan yang dimiliki oleh seseorang pada masa kini
dengan tingkat kemampuan yang diperlukan untuk mencapai prestasi yang lebih. tinggi,
sebagaimana ditetapkan oleh dirinya sendiri, organisasinya atau masyarakatnya.Gambar
Kebutuhan Pelatihan

Kebutuhan pelatihan ini akan lebih mudah un¬tuk dipahami dengan menggunakan rumus di
bawah ini :

Atau

dimana :
KP = Kemampuan Patokan;
KN = Kemampuan Nyata;
KK = Ketidaksesuaian atau Kekurangan Kemampuan yang perlu diatasai melalui pelatihan; dan
L = Pelatihan.
Calon peserta pelatihan, organisasinya atau masyarakatnya beserta dokumen-dokumennya
merupakan sumber-sumber data utama untuk meneliti hal tersebut. Ilustrasi di bawah ini
menunjukkan tentang kemampuan-kemampuan patokan yang harus dimiliki oleh guru dan
penilik pendidikan masyarakat.
Dalam menetapkan kompetensi mengenai penyuluh ditetapkan kemampuan dasar meliputi; (1)
menguasai landasan-landasan penyuluhan; (2) menguasai bahan pelajaran; (3) mampu mengelola
program belajar mengajar; (4) mampu mengelola kelas; (5) mampu mengelola interaksi belajar
mengajar; (6) mampu menggunakan media/sumber belajar; (7) mampu menilai hasil bela¬jar
peserta; (8) mampu mengenali fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan; (9) mampu
memahami prinsip-prinsip dan hasil penelitian untuk keperluan penyuluhan; dan (10) mampu
mengenali dan menyelenggarakan administrasi penyuluhan.
2. Tujuan Pelatihan
Rumusan tujuan yang resmi ada empat macam, yaitu (1) rumusan tujuan pendidikan nasional; (2)
rumusan tujuan institusional; (3) rumusan tujuan kurikuler; dan (4) rumusan tujuan pengajaran.
Sama seperti tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan pendidikan pelatihanpun memiliki tujuan
masing- masing sesuai dengan tingkatan diatas. Baik lembaga formal maupun nonformal,
keduanya berkewajiban untuk merumuskan tujuan institusional, tujuan kurikuler dan tujuan
pengajarannya
a. Pengertian Pemilihan dan Perumusan Tujuan Pelatihan
Pemilihan tujuan pelatihan adalah suatu prosedur penilaian yang memerlukan penelitian yang
seksama terhadap berbagai kewajiban, tugas dan elemen yang dilakukan oleh pekerja dalam
suatu pekerjaan tertentuyang diperinci dalam daftar analisi pekerjaan dan akan dijadikan tujuan-
tujuan alternatif pelatihan.
Perumusan Tujuan Pelatihan adalah suatu prosedur penetapan maksud pelatihan yang dinyatakan
secara jelas dan tepat sehingga memungkinkan dapat dilakukan pengamatan dan pengukuran
terhadap pencapaian tujuan pelatihan tersebut. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
perumusan tujuan pelatihan yang baik:
1) menyatakan perilaku yang diinginkan
2) menyatakan kondisi belajar dimana kelakuan akan nyata
3) menyatakan patokan minimal atau derajat ketercapaian yang diharapkan dari tingkah laku
tersebut.
Pernyataan tujuan pelatihan harus dinyatakan dalam syarat-syarat perilaku.
b. Kegunaan Tujuan Pelatihan
Tujuan Pelatihan merupakan dasar pengembangan langkah lainnya dalam pelatihan, termasuk
pengambilan keputusan untuk pengajaran. Tujuan pelatihan yang dirumuskan secara baik akan
bermanfaat sekali dalam
1) Menciptakan Keajegan Dalam Pola Sistem Pelatihan,
Sistem pelatihan itu tersusun dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi dan terjalin secara
terpadu. Di dalamnya ada (1) unsur-unsur manusia, seperti instruktur dan peserta pelatihan; (2)
unsur-unsur materi, misalnya perlengkapan, alat-alat bantu pelatihan, teks, seiebaran, dan
sebagainya;dan (3) unsur-unsur organisasional dan strategi, seperti metode, teknik, sistem
organisasi peserta pelatihan dan instruktur.
2) Menjalin Komunikasi yang Efektif
Fungsi utama dari perumusan tujuan pelatihan adalah komunikasi. Tujuan pelatihan yang
disampaikan dengan jelas oleh pengirimnya dan diterima dengan baik oleh penerimanya, akan
lebih berhasil untuk dicapai daripada tujuan pelatihan yang tidak dikomunikasikan dengan jelas.
Dengan tujuan pelatihan yang dirumuskan secara jelas, instruktur dan peserta pelatihan akan
dapat melakukan kegiatan belajar mengajar dengan lebih baik. Instruktur akan mengetahui secara
tepat apa yang seharusnya ia lakukan. Peserta pelatihan mengetahui perilaku atau kemampuan
apa yang diharapkannya akan berhasil diraih dari pelatihan itu.
3) Memilih Materi Pelatihan yang Sepadan
Tujuan pelatihan sebenarnya merupakan gambaran tentang kerangka acuan suatu program
pelatihan. Materi pelatihan merupakan otot dan dagingnya tujuan pelatihan. Karena itu pemilihan
tujuan pelatihan yang tepat guna akan menentukan pula terhadap pemilihan jumlah dan jenis
materi yang benar serta akan membantu menghindarkan bahaya kekurangan dan kelebihan
pelatihan.
4) Memilih Strategi Belajar Mengajar yang Sesuai
Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan baik akan memberi¬kan suatu gambaran yang jelas
mengenai apa yang diperlukan oleh pekerjaan. Hal itu akan memudahkan untuk melakukan
pemilihan metode, media dan sistem pengorganisasiannya secara optimal. Bila instruktur
mengetahui dengan tepat apa yang seharusnya mampu dilakukan oleh peserta pelatihan dalam
menyelesaikan satuan acara pelatihan, maka dia akan dapat memilih strategi yang cocok untuk
pencapaian tujuan tersebut.
5) Memberikan Arah Kepada Instruktur dan Peserta Pelatihan
Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan baik akan membuat aktivitas proses Pelatihan yang
dapat dilakukan dengan lebih efisien dan lebih efektif.
6) Menjadi Landasan Pengukuran Patokan/Kriteria
Tes-tes yang absah dan dapat dipercaya sebagai alat pengukur patokan hanya bila disusun dan
dikembangkan berpedoman kepada tujuan pelatihan.
7) Memajukan, Memundurkan Patokan/Standar
Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan jelas, relatif akan memudahkan untuk menentukan
pada butir-butir mana saja dalam suatu program pelatihan seorang peserta pelatihan harus
menunjukkan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperolehnya yang diperlukan untuk
kemajuan lebih lanjut dalam suatu program pelatihan.
8) Menjadi Alat Evaluasi Isi Program Pelatihan
Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan tepat merupakan pedoman yang berharga bagi
penilaian terhadap isi program pelatihan yang telah disusun oleh instruktur, Sampai sejauh mana
terjadinya persetujuan antara penilai program dan penyusun program mengenai ketepatan
program tersebut, akan ditentukan oleh tujuan pelatihan itu sendiri, Bertitik tolak dari tu¬juan
pelatihan yang dirumuskan dengan baik, instruktur dan penilai keduanya akan mengetahui
apakah program pelatihan itu sudah memadai atau belum. Komentar-komentar yang diberikan
oleh penilai program pelatihan, merupakan input yang berharga bagi perbaikan program tersebut,
bilamana komentar-komentar tersebut dinilai dan diterima oleh isntruktur sebagai komentar yang
absah.
9) Untuk melihat Keterkaitan Program Pelatihan
Hampir-hampir tidak mungkin untuk dapat melakukan penilaian yang hasilnya dapat dipercaya
terhadap keefektifan kerja dari orang-orang yang pernah mengikuti suatu program pelatihan
dalam melakukan pekerjaan-pekerjaannya, kecuali bila ada patokan atau standar yang tepat, jelas
dan objektif. Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan baik merupakan patokan atau standar
dasar yang tepat untuk mengetahui hal tersebut.
10) Menjadi Persyaratan Program Pelatihan Di Tempat Kerja
Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan baik, akan memberikan suatu gambaran yang jelas
mengenai pengetahuan dan ketrampilan yang diraih dan dimiliki oleh para tamatan suatu
program pelatihan yang didemontrasikan oleh mereka dalam pekerjaan pekerjaannya.
Penampilan-penampilan yang mereka perlihatkan itu akan mempermudah untuk
mengembangkan program pelatihan yang khas dan realistik di tempat kerja.
11) Menjadi Persyaratan Kontrak dalam Pelatihan
Tujuan pelatihan yang dirumuskan secara tepat dapat digunakan untuk menentukan persyaratan
bagi para instruktur dari pihak kontraktor, bilamana pelatihan itu akan diselenggarakan di luar
lingkungan suatu organisasi atau lembaga. Tujuan pelatihan yang dirumuskan dalam bentuk
perilaku dapat dikomunikasikan secara tepat kepada kontraktor, mengenai output apa yang harus
diproduksi oleh pelatihan. Langkah seperti itu, tidak hanya akan memberikan suatu kesempatan
yang lebih baik untuk memperoleh hasil pelatihan yang diinginkan, melainkan juga akan
mengurangi bahaya pemborosan dana. Ringkasnya, de¬ngan tujuan pelatihan yang bersifat
perilaku, akan memudahksn untuk memonitor kemampuan kontraktor.
2. Klasifikasi dan Bentuk Tujuan Pelatihan
Tujuan pelatihan merupakan suatu pernyataan yang melukiskan perubahan-perubahan perilaku
atau kemampuan yang dii¬nginkan sebagai hasil dari kegiatan belajar mengajar.

a. Klasifikasi Tujuan Pelatihan


Tujuan pelatihan mungkin saja bisa diklasifikasikan dalam berbagai cara yang berbeda. Salah
satu cara ialah mengklasifikasikan tujuan pelatihan kepada dua kategori, yaitu (1) tujuan utama
pelatihan; dan (2) tujuan penunjang pelatihan.
Tujuan Utama Pelatihan. Tujuan utama pelatihan merupakan faktor sentral dan sangat
menentukan dalam suatu sistem pelatihan. Dia akan memberikan kebermaknaan, kejelasan dan
keterpaduan terhadap semua kegiatan belajar mengajar dalam pelaksanaan suatu program
pelatihan.
Tujuan Penunjang Pelatihan. Biasanya tujuan penunjang pelatihan itu merupakan inti dari suatu
pelajaran individual. Bilamana tujuan utamanya sdalah pembinaan kemampuan melakukan
wawancara, maka tujuan penunjangnya mungkin menyangkut kemampuan untuk menggugah,
untuk menyiapkan skala penilaian, untuk menciptakan hubungan, dan sebagainya.
b. Bentuk-Bentuk Perumusan Tujuan Pelatihan
c. Kriteria Pemilihan Tujuan Pelatihan
Ada sepuluh kriteria yang dijadikan pedoman untuk memilih tujuan-tujuan pelatihan, yaitu:
1) Kriteria Universalitas
Pembobotan pelatihan hendaknya diletakkan pada pembinaan keterampilan yang dikaitkan
dengan pengetahuan pendukung dan pengontrolan emosional, yang diperlukan oleh pekerja
dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu, tanpa menghiraukan di mana hal itu terjadi.
2) Kriteria Kesukaran
Pelatihan hendaknya memberikan penekanan pada isi atau keterampilan yang terbilang sukar
uatuk dipelajari dan diperoleh secara maadiri oleh para tenaga kerja, kecuali melalui jalur
pelatihan yang dilakasakan oleh para instruktur yang kompeten.
3) Kriteria Kepentingan
Kriteria kepentingan ini mempertanyakan soal: Bagaimana apakah ketrampilan itu memang
penting? praktek pekerjaan itu benar-benar memerlukannya? Apa yang akan terjadi, jika pekerja
itu tidak berpengetahuan atau berketerampilan yang dipersyaratkan? Sampai sejauh mana
pengaruh kekurangan pengetahuan atau keterampilan ini terhadap cara bekerja, produk,
perlengkapan atau citra organisasi atau lembaga yang bersangkutan?
4) Kriteria Frekuensi
Terbilang tepat bila pelatihan itu mengajarkan suatu cara yang paling baik untuk menghasilkan
sesuatu, yang dapat dilaksanakan secara lebih efisien dan lebih mampu menciptakan keajegan
kualitas produk atau jasa yang dihasilkan itu.
5) Kriteria Kepraktisan
Dalam pelatihan perlu ditetapkan apakah waktu, uang dan sumber-sumber lainnya yang telah
digunakan untuk membina keterampilan atau pengetahuan itu benar-benar sepadan dengan
peningkatan kemampuan kerja.
6) Kriteria Ketercapaian
Tujuan pelatihan harus sesuai dengan kecakapan peserta setelah melakukan pelatihan.
7) Kriteria Kualitas
Tujuan pelatihan yang harus dipilih itu hendaknya yang mencerminkan keterampilan dan
patokan yang layak dapat diterima daripada tujuan pelatihan yang berada di bawah atau di atas
persyaratan pekerjaan.
8) Kriteria Kekurangan
Penekanan pelatihan harus diletakkan pada peningkatan keterampilan dan pengetahuan yang
benar-benar secara terus- menerus diperlihatkan oleh para pekerja menjauhi kelemahan yang
sebelumnya pekerja miliki.
9) Kriteria Penggunaan
Jarak waktu antara selesainya program suatu pelatihan dengan penggunaan keterampilan dalam
pekerjaan harus pula dipertimbangkan dalam melakukan pemilihan tujuan pelatihan. Sampai
sejauh mana terjadinya kemerosotan atau erosi ketrampil an para tamatan program pelatihan
tersebut selama jarak waktu itu,benar-benar harus diperhitungkan. Derajat erosi keterampilan itu
akan memainkan peranan yang ikut menentukan tahap pencapaian kualitas keterampilan yang
diperlukan untuk keberhasilan penyelesaian pelatihan.
10) Kriteria Kebertautan Pelatihan
Suatu program pelatihan harus disusun sedemikian rupa sehingga dia tetap akan bertautan
dengan setiap pelatihan berikutnya. Dengan perkataan lain, suatu program pelatihan yang
pertama dan program pelatihan berikutnya hendaknya saling berhubungan.
d. Prosedur Pemilihan Tujuan Pelatihan
Prosedur pemilihan tujuan pelatihan itu pada dasarnya terdiri dari empat langkah.
Pertama, mendaftarkan semua kewajiban dan tugas yang di isikan dalam bagian B dari Laporan
Analisis Pekerjaan. Ke dua, menilai setiap item dalam daftar kewajiban dan tugas dengan
menggunakan setiap kriteria yang telah ditetapkan. Nilai-nilai untuk setiap kriteria dilukiskan
da¬lam Pedoman Penilaian Kriteria. Ke tiga, menjumlahkan skor-skor untuk setiap kewajiban
dan tugas dan menuliskan jumlah tersebut dalam kolom “Jumlah skor” yang terdapat dalam
Lembar Pemilihan Tujuan Pelatihan. Ke empat, menetapkan prioritas pelatihan untuk setiap
tugas. Prioritas ini ditunjukkan oleh ketentuan nomor prioritas dalam kolom “prioritas” dari
Lembar Pemilihan Tujuan Pelatihan.
e. Perumusan Tujuan Pelatihan
Aturan-aturan umum untuk merumuskan tujuan pelatihan de¬ngan cara yang baik, harus
diketahui oleh para inrfcruktur pelatihan.
1) Pedoman Umum Untuk Merumuskan Tujuan Pelatihan
a) Hindarkanlah penggunaan kata-kata yang tidak lajim.
b) Jangan mengacaukan atau menyalahgunakan kata-ka¬ta.
c) Rumuskan secara singkat tapi tepat.
d) Ciptakanlah kesederhanaan.
e) Bacalah lagi apa yang telah dirumuskan.
2) Perkataan Yang Samar Dan Yang Jelas Yang Digunakan Da¬lam Merumuskan Tujuan
Pelatihan
3) Ciri-Ciri Tujuan Pelatihan Yang Berpusat Pada Kemampuan
Ada tiga ciri utama dari tujuan-tujuan pelatihan yang berpusat pada kemampuan (Mager,
1962:12), yaitu:
a) Mengidentifikasi Perilaku Terminal
Identifikasi secara tepat apa yang seharusnya mampu dilakukan oleh peserta pelatihan di akhir
suatu satuan acara atau keseluruhan pelatihan.
b) Melukiskan Kondisi-Kondisi Kemampuan
melukiskan secara lengkap dan jelas mengenai kondisi-kondisi di mana peserta pelatihan harus
mampu untuk mendemonstrasikan perilaku yang diinginkan.
c) Mempunyai Seperangkat Kriteria Kemampuan Yang Dapat Diterima
Kriteria/patokan menetapkan persyaratan kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh peserta
pelatihan untuk melaksanakan kewajiban, tugas atau elemen pekerjaan.
4) Prosedur Merumuskan Tujuan Pelatihan yang Berpusat pada Kemampuan
a) Langkah pertama. mengidentifikasi perilaku yang diinginkan. Inti dari suatu tujuan pelatihan
yang berpusat pada ke¬mampuan, terletak dalam deskripsi perilaku yang dapat diamati.
b) Langkah kedua. menyatakan kondisi-kondisi yang diperlukan oleh perilaku yang akan
dilakukan. Agar kondisi itu mempunyai ciri-ciri yang dikehendaki , maka dia harus memenuhi
butir-butir di bawah ini:
 menetapkan secara tepat apa yang akan diberikan kepada peserta pelatihan bila dia
mendemonstrasikan perilaku;
 menetapkan pembatasan;
 mengidentifikasi peralatan, perlengkapan dan alat lainnya yang akan digunakan;
 mendaftarkan referensi dan alat-alat bantu pekerjaan yang digunakan; dan
 melukiskan kondisi lingkungan atau pisik yang khas.
c) Langkah ketiga, menyusun kriteria kemampuan yang dapat diterima. Maka perumusan kriteria
itu harus :
 bersifat realistik dan dapat dicapai;
 relevan dengan pekerjaan atau tugas;
 menetapkan secara jelas tingkat pencapaian minimal yang dapat diterima;
 menghindarkan penggunaan kata-kata yang tidak tepat, seperti efektif, dapat diterima, pantas,
dan yang lainnya; dan
 dapat diukur.
5) Format Merumuskan Tujuan Pelatihan Dan Prosedur Mengisi Lembar Tujuan Pelatihan
Perumusan tujuan pelatihan yang berkaitan dengan komponen perilaku, kondisi dan kriteria,
pada umumnya dinyatakan secara terpadu dalam satu kalimat. Namun untuk mempermudah
proses peninjauan kembali terhadap perumusan tujuan pelatihan maka dipandang akan lebih
praktis bilamana ketiga komponen tersebut dinyatakan secara terpisah. Karena itu dengan ti¬dak
menghiraukan apakah tujuan pelatihan itu dirumuskan untuk suatu pekerjaan, kewajiban, tugas,
elemen atau keterampilan penunjang.
Prosedur un¬tuk mengisi lembar tersebut adalah sebagai berikut :
a) Masukkan pada setiap “Lembar Tujuan Pelatihan Yang Berpusat Pada Kemampuan” nama
kewajiban yang penting, nama tugas dan jumlah elemen, misalnya “1 dari 3 elemen”.
b) Gunakanlah langkah-langkah pada “Perumusan Tujuan Yang Berpusat Pada Kemampuan”.
Buat perumusan secara terpisah untuk melukiskan perilaku, kondisi dan kriteria kemampuan
untuk setiap kewajiban, tugas dan elemen pekerjaan.
c) Tuliskan pada “referensi penting” sumber dokumen utama yang berkaitan dengan kewajiban,
tugas atau elemen.
3. Perencanaan pelatihan
Pada umumnya di dalam kelas pelatih melakukan banyak kegiatan yang merupakan bagian dari
siasat pelatihan. Pelatih sering kali berfungsi sebagai pemberi motivasi, penyaji informasi,
pemimpin latihan dan penguji. Pelatih membuat keputusan yang mempengruhi seluruh kelas
maupun setiap peserta pelatihan. Perencanaan memadukan semua pertimbangan yang
mempengaruhi keberhasilan semua rangkaian pelatihan.
Apabila seorang pelatih mengajarkan bahan pelatihan mengenai setiap pokok bahasan kepada
peserta pelatihan, ia harus mengadakan persiapan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar
proses pelatihan dapat berjalan lancar sehingga tujuan yang ditetapkan dapat tercapai.
Yang utama bahan atau materi pelatihan merupakan bahan pengajaran yang dapat dipelajari
sendiri oleh peserta pelatihan.
a. Memilih materi pelatihan yang sesuai
Materi pelatihan dalam hubungannya dengan proses penyusunan pelatihan merupakan gabungan
antara pengetahuan, keterampilan dan faktor sikap. Selesai mengembangkan siasat pelatihan
langkah berikutnya menentukan apakah sudah ada material yang cocok dengan tujuan pelatihan.
Siasat pelatihan dapat digunakan untuk menentukan apakah bahan yang telah tersedia sudah
memenuhi syarat, atau perlu disesuaikan sebelum dipakai.
1) Menurut (Munandir. 1987:199-200) Penilaian bahan dilakukan guna menentukan apakah:
a) Cukup menarik,
b) Isinya sesuai,
c) Urutannya tepat,
d) Informasi yang dibutuhkan ada,
e) Ada soal latihan,
f) Jawaban latihan diberikan,
g) Terdapat tes yang sesuai,
h) Terdapat petunjuk lanjutan yang jelas untuk usaha perbaikan,
i) Latihan lanjutan, atau kemajuan peserta pelatihan secara umum,
j) Petunjuk bagi peserta pelatihan yang mengarahkan mereka dari satu kegiatan yang lain.
b. Menentukan materi pokok pelatihan.
Dalam menentukan materi pokok pelatihan harus dipertimbangkan:
1) Relevansi materi pokok;
2) Tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual peserta pelatihan;
3) Kebermanfaatan bagi peserta pelatihan;
4) Struktur keilmuan;
5) Kedalaman dan keluasan materi;
6) Relefansi dengan kebutuhan peserta pelatihan dan tututan lingkungan;
7) Alokasi waktu.
c. Kriteria dalam mengembangkan kegiatan pelatihan:
1) Kegiatan pelatihan disusun bertujuan untuk memberikan bantuan kepada para pelatihan,
khususnya pelatih agar mereka dapat bekerja dan melaksanakan proses pelatihan secara
profesional sesuai dengan tuntutan kurikulum.
2) Kegiatan pelatihan disusun berdasarkan atas satu tuntutan Kompetensi Dasar secara utuh.
3) Kegiatan pelatihan memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta pelatihan
secara berurutan untuk mencapai Kompetensi Dasar.
4) Kegiatan pelatihan terpusat pada peserta pelatihan (student-centered). Pelatih harus selalu
berpikir kegiatan apa yang bisa dilakukan agar peserta pelatihan memiliki kompetensi yang telah
ditetapkan.
5) Materi kegiatan pelatihan dapat berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
6) Perumusan kegiatan pelatihan harus jelas memuat materi yang harus dikuasai untuk mencapai
Kompetensi Dasar.
7) Penemuan urutan langkah pelatihan sangat penting artinya bagi kompetensi dasar yang
memerlukan prasyarat tertentu.
8) Pelatihan bersifat spiral (terjadi pengulang-pengulangan pelatihan materi tertentu).
9) Rumusan pernyataan dalam kegiatan pelatihan minimal mengandung dua unsur penciri yang
mencerminkan pengelolaan kegiatan pelatihan peserta pelatihan, yaitu kegiatan (terlatih dan
pelatih ) dan obyek belajar.
d. Prinsip-prinsip penyusunan bahan pelatihan.
Dalam rangka mewujudkan bahan pelatihan yang tepat sasaran khususnya ketercapaian
penguasaan kompetensi peserta, sejumlah prinsip memang perlu diperhatikan pelatih dalam
menyusun bahan pelatihan. Prisip-prinsip itu adalah:
1) keaslian dan validitas. Materi pelatihan dikatakan asli/otentik apabila materi tersebut
menggambarkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang benar-benar digunakan atau dapat
dijumpai dalam komunikasi atau dalam kehidupan nyata. Keaslian materi ini juga mempengaruhi
kadar validitasnya, semakin otentik materi, semakin dapat dipercaya kebenaranya.
2) Tingkat kepentingan materi. Materi pelatihan yang dipilih hendaknya benar-benar penting
bagi Pelatihan dalam meningkatkan kompetensi mereka. Materi yang disusun diharapkan mampu
mencapai sasaran minimal indikator-indikator pelatihan.
3) Keterbelajaran. Materi yang dipilih dan dikembangkan dalam pelatihan hendaknya benar-
benar dapat dipelajari oleh peserta.
4) Keajegan/konsisten. Materi yang disiapkan pelatih hendaknya taat dengan kompetensi yang
hendak dicapai.
5) Kebermanfaatan. Materi-materi yang dihadirkan di kelas hendaknya benar-benar bermanfaat
untuk hidup mereka. Mater-materi yang dapat langsung dimanfaatkan dalam kehidupan mereka
akan sangat membantu penguasaan keterampilan peserta.
6) Keberagaman. Bahan/materi pelatihan yang beragam akan membantu peserta untuk
memahami berbagai jenis teks dan akan memperkaya mereka dengan beragam informasi yang
terkandung dalam materi. Selain itu, bahan yang beragam akan semakin memotivasi pembelajar
dan mengurangi kebosanan peserta.
7) Kemenarikan. Kemenarikan materi dapat dilihat dari aspek penampilan dan isi. Penampilan
materi yang menarik (dilengkapi dengan gambar, grafik, warna, dan bagan) akan mempengaruhi
peserta untuk mempelajarinya. Isi materi dikatakan menarik bila sesuai dengan tingkat umur,
minat, perkembangan kognitif, dan perkembangan psikologisnya.
8) Kebermaknaan. Materi yang bermakna adalah materi yang dikembangkan sesuai kebutuhan
peserta, memungkinkan mereka dapat mengungkapkan ide,pikiran, gagasan, perasaan, dan
informasi kepada orang lain, baik secara lisan maupun tertulis.
Dari delapan prinsip di atas dapat disederhanakan menjadi tiga prinsip.: Pertama, prinsip
relevansi artinya keterkaitan. Materi pelatihan hendaknya harus relevan atau ada kaitan atau ada
hubungannya dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Kedua, prinsip
konsistensi artinya keajegan. Jika kompetensi yang harus dikuasai peserta pelatihan empat
macam, maka bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi empat macam. Ketiga, prinsip
kecukupan ialah materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu peserta
pelatihan menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit dan
tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar
kompetensi dan kompentensi dasar. Sebaliknya, bila terlalu banyak akan buang-buang waktu dan
tenaga yang tidak perlu untuk mempelajarinya (Depdiknas, 2006: 6-7).
e. Seleksi dan pengorganisasian materi. Dalam melakukan seleksi dan pengorganisasian materi
hendaknya diperhatikan:
1) Materi pelatihan hendaknya diseleksi dengan memperhatikan karakteristik peserta pelatihan
dan lingkungan peserta pelatihan berada. Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai melalui materi
tersebut. Pemilihan materi pembelajaran hendaknya didasarkan atas prinsip-prinsip berikut ini.
2) Kebenaran materi. Sangatlah penting bagi para pelatih untuk membekali peserta pelatihan
dengan materi pelatihan yang benar dilihat segala aspeknya. Pelatih hendaknya senantiasa
berupaya menjauhkan aspek-aspek kekeliruan dari materi pelatihan. Beberapa kajian psikologis
menegaskan bahwa sangatlah sulit melepaskan kekeliruan yang tertanam dalam diri peserta
pelatihan melalui kegiatan pelatihan.
3) Kesesuaian materi dengan tingkat intelektual peserta pelatihan. Materi tidak boleh berada di
atas jangkauan penalaran peserta pelatihan, sehingga menyulitkan mereka dalam memahaminya,
dan jangan pula terlampau mudah, sehingga tidak menarik perhatian peserta pelatihan. Para
peserta pelatihan, misalnya, mengalami kesulitan untuk memahami konsep analisis tata ruang.
Karenanya, hal itu tidak sepatutnya disajikan kepada mereka pada kelas-kelas permulaan.
4) Hendaknya materi pelatihan dikaitkan dengan kehidupan peserta pelatihan dengan lingkungan
di mana dia hidup. Peserta pelatihan yang duduk di kelas permulaan sebaiknya disuguhi topik
tentang diri dan keluarganya yang setiap hari dijumpainya.
5) Pemilihan materi juga harus diselaraskan dengan alokasi waktu. Materi jangan terlalu panjang,
sehingga membosankan peserta pelatihan dan menyulitkan mereka. Sebaliknya, materi jangan
pula terlampau pendek, sehingga mereka dapat memahaminya dalam waktu singkat dan waktu
tersisa digunakan secara tidak produktif.
6) Hendaknya materi disusun dalam urutan yang logis. Setiap bagian materi harus benar-benar
berkaitan dengan materi sebelumnya. Unit-unit materi hendaknya saling berkaitan dan bertaut
serta terlihat jelas benang merahnya.
7) Materi hendaknya terbagi ke dalam unit-unit utama. Setiap unit merupakan kumpulan dari
unit-unit yang lebih kecil daripada unit utamanya. Tujuan dari pembagian materi ke dalam
beberapa unit ini ialah agar pertama-tama pelatih dapat merancang kegiatannya, dan agar pelatih
dapat membagi materi dari kurikulum ke dalam satuan-satuan alamiah yang logis sebagai
kegiatan harian, mingguan, atau semesteran. Ini bukan berarti urutan materi itu harus sesuai
dengan urutan dalam buku teks, sebab buku disusun selaras dengan tuntutan percetakan,
penulisan, dan penyusunan yang belum tentu sesuai dengan kegiatan pelatihan.
8) Materi pelajaran yang baru hendaknya dikaitkan dengan pelajaran yang lama. Hal ini
menuntut pelatih untuk menghubungkan materi baru dengan materi lama. Sebaiknya pelatih
menjadikan kesulitan pada materi yang lalu sebagai bahan penyampaian materi yang baru.
Pemilihan materi pelatihan selanjutnya diorganisasikan menurut landasan dan prinsip-prinsip
berikut.
1) Pelatih memilih bagian materi yang selaras dengan tingkat intelektual peserta pelatihan dan
dengan alokasi waktu yang tersedia.
2) Pelatih memilah materi ini ke dalam beberapa sekuens – tentu saja di antara sekuens tersebut
perlu ada perhentian – dan pada akhir dari setiap sekuens hendaknya ada masa yang
dimanfaatkan untuk mereviu sekuens sebelumnya.
3) Hendaknya pelatih memvariasikan ilustrasi dan contoh, sehingga tampak jelas keuniversalan
dan kekokohan teori atau prinsip yang diajarkan.
4) Hendaknya pelatih memfokuskan diri pada pokok-pokok yang dianggap penting bagi peserta
pelatihan. dia pun hendaknya beralih secara berangsur-angsur dari materi yang satu ke materi
yang lain. Peralihan hanya dilakukan jika peserta pelatihan telah mampu mencerna point
sebelumnya. Pelatih jangan hanya mementingkan penjelasan aneka hakikat, tetapi perlu
menggali hapalan dan ingatan para peserta pelatihan.
5) Hendaknya pelatih menjelaskan hubungan antara point yang satu dengan point yang lain,
sehingga dengan cara seperti itu materi pelatihan merupakan satu kesatuan yang utuh.
6) Perlu diperhatikan pelibatan peserta pelatihan dalam kegiatan pelatihan pada setiap
kesempatan yang ada, baik melalui cara bertanya atau diminta mengulangi atau menyebutkan
materi yang telah disampaikan. hal ini bertujuan untuk memotivasi peserta pelatihan agar
mengerahan upayanya dalam mencapai kebenaran dan agar mereka tidak mengalami kebosanan.
7) Pelatih perlu memilah antara peserta pelatihan yang cerdas dan yang normal, antara yang kuat
dan yang lemah. demikian pula pelatih hendaknya mendistribusikan pertanyaan kepada seluruh
peserta pelatihannya secara proporsional, di samping berupaya membangkitkan peserta pelatihan
yang lemah.
f. Langkah-langkah penyusunan bahan pelatihan
Langkah-langkah pemilihan bahan pelatihan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar.
2) Sebelum memilih materi pembelajaran terlebih dahulu perlu diidentifikasi aspek-aspek standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dipaelajari atau dikuasai peserta pelatihan. Aspek
tersebut perlu ditentukan, karena setiap aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar
memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam kegiatan pelatihan.
3) Identifikasi jenis-jenis materi pelatihan
4) Materi pelatihan juga dapat dibedakan menjadi jenis materi aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Pelatihan aspek kognitif secara terperinci dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:
fakta, konsep, prinsip dan prosedur.
5) Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetansi dasar
Hal yang dapat dilakukan berkaitan dengan pemilihan jenis materi ini adalah:
1) Mengidentifikasi apakah termasuk fakta, konsep, prinsip, prosedur, afektif, atau gabungan
lebih daripada satu jenis materi, hal ini memudahkan pelatih dalam pelatihan.
2) Memilih jenis materi yang sesuai dengan aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi
dan kompetensi dasar.
Cara yang paling mudah untuk menentukan jenis materi pelatihan yang akan diajarkan adalah
dengan jalan mengajukan pertanyaan tentang kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta
pelatihan.
g. Memilih sumber bahan pelatihan
Masalah cakupan atau ruang lingkup, kedalaman, dan urutan penyampaian materi pelatihan
penting diperhatikan. Materi pelatihan dapat kita temukan dari berbagai sumber seperti buku
pelatihan, majalah, jurnal, koran, internet, media audio-visual, dan sebagainya.
1) pemilihan dan pengembangan media. Media pelatihan merupakan bagian perencanaan
pembelajaran yang mengarah pada ketercapaian kompetensi peserta. Media memiliki peran
penting dalam pelatihan. Peran itu antara lain:
(a) media sebagai sarana pembentuk konstuksi pemahaman pelatihan terhadap suatu materi,
(b) media sebagai alat bantu menciptakan suasana pelatihan yang lebih efektif, dan
(c) media sebagai pendukung ketercapaian tujuan pelatihan yang keberhasilanya ditentukan oleh
pemilihan dan penggunaan media pelatihan oleh para pelatih .
2) Para ahli mendefinisikan media pelatihan berbeda-beda. Pada dasarnya media pelatihan
merupakan bagian:
(a) sarana pelatihan berupa alat fisik (manusia, materi, peristiwa),
(b) berisi pesan pelatihan,
(c) mampu menciptakan komunikasi efektif atara peserta dengan materi pelatihan, dan
(d) mampu mendukung ketercapaian tujuan pelatihan.
3) Jenis-jenis media pelatihan
Media Pelatihan dibagi menjadi enam kategori, yaitu:
(a) Media yang tidak diproyeksikan. Meliputi: papan tulis, papan flip, grafik, peta, gambar,
realia, model tiruan, papan pameran, dan diorama.
(b) Media yang diproyeksikan. Meliputi: OHP, slide, dan proyektor.
(c) Media audio. Meliputi: pita kaset, rekaman piringan, dan compact disc.
(d) Media film dan video (audio-visual). Berupa kaset video (DVD dan sejenisnya) yang memuat
pengkisahan (film).
(e) Multimedia. Menyangkut dengan koleksi berbagai tipe media yang terikat dalam satu topik
tertentu. Misal, modul pembelajaran yang berupa teks berisi soal-soal dilengkapI dengan gambar
dan program powerpoint.
(f) Media berbasis komunikasi. Diantaranya teleconference, dan kuliah jarak jauh (telelecture).
4) Pemilihan media pelatihan.
Terdapat ada enam dasar penentuan pemilihan media pelatihan. Dasar ini dikenal dengan
ACTION berikut ini penjelasanya:
(a) Akses. Kesempatan yang luas bagi peserta pelatihan untuk memperoleh pelatihan yang
memungkinkan bukan hanya menggunakan salah satu pendekatan atau media akan tetapi dengan
menggunakan pendekatan dan media yang beragam.
(b) Biaya. Pemilihan media berhubungan dengan biaya pengadaan dan penggunaan media,
termasuk kemudahan memperoleh dan menggunakan media.
(c) Teknologi. Pemilihan media juga dengan mempertimbangkan aspek teknologi baik dilihat
dari kemudahan penggunaannya maupun kemungkinan hambatan baik karena sistem
penggunaan maupun kelemahan sumber daya manusia untuk mengoperasikannya.
(d) Aspek interaktif. Penggunaan media harus mendukung penuh proses interaksi dengan
penekanan pada kemampuan belajar aktif peserta pelatihan sendiri maupun interaksi antara
peserta pelatihan dan peserta pelatihan dengan sumber belajar baik pelatih maupun nara sumber
lainnya yang mendukung proses pelatihan.
(e) Pengorganisasian. Penggunaan media juga harus mempertimbangkan kemudahan dalam
penggunaan serta pengorganisasian hasil pelatihan maupun dukungan pada pengorganisasian
materi pelatihan pada sistem yang sudah ada pada peserta pelatihan.
(f) Kebaharuan. berkaitan dengan perkembangan media pelatihan yang baru. Pelatih perlu
mengetahui perkembangan media pelatihan yang baru dengan maksud meningkatkan motivasi
dan ketertarikan peserta pelatihan dalam belajar. Penggunaan alat yang baru akan menambah
pemahaman peserta pelatihan tidak perlu media mahal dan canggih paling tidak peserta pelatihan
mendapatkan variasi media dalam pelatihan di kelas. Berhubungan dengan relasi koordinasi atara
pelatih dan pihak penyelenggara pelatihan dalam memanfaatkan fasilitas media pelatihan yang
ada di lokasi pelatihan. berkaitan dengan penciptaan komunikasi dua arah antara media dengan
materi pelatihan serta pencapaian keterpahaman peserta pelatihan. berhubungan dengan
ketersediaan media dan fasilitas pendukungnya.
Dasar pemilihan media menurut Arsyad (2007:75, melalui Rishe, 2007: 134)
(a) kemampuan lembaga dalam mendukung penyediaan media.
(b) kesesuaian dengan materi.
(c) karakteristik peserta pelatihan
(d) kemampuan dan sikap pelatih
(e) tujuan pelatihan
(f) interaksi/ strategi
(g) lokasi
(h) waktu
(i) kualitas alat
(j) kepraktisan
5) Penggunaan media pelatihan
Perlu adanya media yang digunakan dalam proses pelatihan adalah:
(a) media pelatihan dapat menarik perhatian pelatihan.
(b) media pelatihan dapat dijadikan sarana mengingat materi pelatihan yang lalu.
(c) media pelatihan dapat mempermudah peserta pelatihan dalam pemerolehan materi yang baru
dan mengingat materi pelatihan yang lalu.
(d) media pelatihan merupakan sarana pendukung dalam menyediakan contoh-contoh materi
yang dapat divisualisasikan secara nyata di dalam kelas.
(e) materi pelatihan menciptakan suasana belajar yang lebih interaktif.
(f) media pelatihan dapat dijadikan untuk menilai kevektoran keseluruhan proses pelatihan yang
diperoleh melalui umpan balik nyata yang diperhatikan para pesertanya.
(g) media pelatihan membantu peserta dalam memperoleh gambaran utuh tentang suatu materi
dan kemudahan memahami materi.
(h) media pelatihan dapat dijadiakan sarana penilaian tugas pelatihan peserta pelatihan.
6) Langkah-langkah penggunaan media antara lain:
(a) mengidentifikasi materi pelatihan yang akan disampaikan.
(b) mengorganisasikan materi mana yang perlu menggunakan media pelatihan atau semua media
memerlukan media dalam kegiatan pelatihan.
(c) menentukan jenis media yang akan dipergunakan berkaitan materi pelatihan.
(d) memastikan media yang dipilih dapat dioperasikan oleh pelatih .
(e) menyusun materi pelatihan secara utuh kedalam media pelatihan (pemilihan gambar ilustrasi,
kemenarikan, unsur pendukung audio perlu diperhatikan).
4. Proses pelatihan
Bila pelatihan pada lingkungan pendidikan formal pelatih yang aktif, sebaliknya untuk kegiatan
seperti pelatihan aktivitas seharusnya bergeser pada peserta pelatihan. Untuk lebih mengaktifkan
proses pelatihan kita bisa mencoba proses pelatihan yang lebih inovatif. Caranya sederhana, kita
baca beberapa model proses pelatihan yang terdapat pada sejumlah buku sumber, lalu kita
cobakan pada suatu proses pelatihan dengan peserta pelatihan. Pada tahap awal mungkin belum
berjalan sempurna, tetapi secara bertahap prosesnya akan lebih efektif.
Setiap kita mencoba strategi baru dalam kegiatan pelatihan, kita perlu membuat catatan sebagai
bahan refleksi, sehingga kita bisa memahami model baru dan strategi pelatihan yang lebih
efektif. Hal yang paling penting kita pertimbangkan dari sejak awal adalah: memahami berbagai
macam strategi melatih yang baik, yang bisa membantu proses berlatih bagi peserta pelatihan.
Untuk mencapai ini kita perlu terus memperbanyak pengalaman dalam melatih. Hal penting lain
yang harus kita ingat adalah: strategi melatih yang cocok untuk suatu kelompok peserta
pelatihan, belum tentu cocok untuk kelompok peserta pelatihan lainnya. Strategi melatih yang
cocok untuk suatu topik, belum tentu cocok untuk topik lainnya. Ini artinya bahwa kita selalu
harus selalu membaca signal, bahasa tubuh, atau respon dari peserta pelatihan, saat kita
menerapkan suatu pendekatan tertentu.
Terdapat sejumlah referensi tentang strategi melatih. Dalam bab ini akan dibahas
pengelompokan strategi melatih berdasarkan ukuran jumlah peserta pelatihan : Individu,
kelompok kecil atau kelompok besar. Dalam banyak kasus kita bisa menggunakan suatu strategi
melatih, dalam strategi melatih lainnya. Seperti yang sering kita lakukan dalam proses ceramah
lalu kita pergunakan strategi tanya jawab.
Pada table di bawah ini akan di gambarkan strategi mana saja yang efektif dalam hubungannya
dengan domain atau tujuan pelatihan yang ingin di capai: Perubahan pengetahuan, sikap atau
perilaku.

Strategi Melatih

Strategi
Melatih DOMAIN
Pengetahuan Sikap Perilaku
Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi
Ceramah VVV
Demonstrasi V V V V
Melatih dg.tim V V V
Diskusi V V V V
Debat V V V V
Bertanya dan menjawab V V V
Video V V V V V V
Seminar V V V V
Laboratorium/Workshop V V V V V V
Game V V V V
Branstorming V V
Studi lapangan V V V
Bermain peran V V V
Memecah kebekuan V V
Simulasi V V V V
Studi kasus V V
Projek dan penugasan V V V V VV
Tutorial V V VV

Beberapa faktor yang sangat menentukan strategi melatih


Penentuan strategi melatih yang akan kita gunakan, seharusnya disesuaikan dengan gaya berlatih
peserta pelatihan dan jenis ranah yang akan dilatih. Ada peserta pelatihan yang lebih efektif
berlatih sendiri, berlatih dalam kelompok kecil atau berlatih bersama-sama dalam kelompok
besar. Karenanya penentuan strategi melatih harus didasarkan pada ukuran jumlah peserta
pelatihan dan ranah yang ingin dirubah dari peserta pelatihan itu sendiri. Apakah perubahan
pengetahuan, sikap atau perubahan perilaku. Setiap strategi melatih akan efektif untuk ranah
tertentu.
Strategi yang kita pilih dalam melakukan proses melatih, tergantung pula pada tujuan yang ingin
dicapai dari proses pelatihan tersebut. Sebagai contoh, jika tujuan melatihnya ditujukan dalam
upaya meningkatkan pengetahuan, maka pemilihan metode ceramah akan lebih cocok dibanding
yang lainnya. Jika tujuan yang ingin dicapai adalah perubahan sikap, maka pemilihan strategi
melatih diskusi, debate, dan bermain peran akan lebih cocok. Jika tujuan yang ingin dicapai
adalah perubahan perilaku, maka demonstrasi, workshop, dan simulasi, akan lebih cocok. Dalam
realisasi di lapangan, seringnya berbagai strategi melatih tersebut dipadukan, sesuai dengan
ranah yang dijadikan tujuan perubahan. Misalkan dalam suatu paket pelatihan, awalnya
menggunakan ”ceramah” untuk memberikan penjelasan singkat tentang suatu infomasi, pada
tahap berikutnya dipadukan dengan diskusi kelompok kecil, diskusi kelompok besar atau proses
tanya jawab. Pelatih yang baik, tidak akan langsung menjawab suatu pertanyaan, sebelum
menggali pengetahuan peserta pelatihan.
Menentukan Strategi Melatih
Strategi Pelatihan dipengaruhi oleh besarnya peserta pelatihan. Yang dimaksud dengan ukuran
jumlah peserta pelatihan adalah: Kelompok besar jika peserta pelatihannya lebih dari 20 orang,
Kelompok kecil, jika jumlah peserta pelatihannya di antara 5-20 orang, Individual, jika jumlah
peserta pelatihan kurang dari 5 orang. Untuk setiap besaran peserta pelatihan, memiliki “strategi
Pelatihan” yang efektif tersendiri. Sebagai contoh, untuk proses mengajar “Individual” akan
lebih efektif menggunakan : “Projek/penugasan, tutoring, dan berlatih mandiri. Untuk ukuran
kelompok kecil, lebih efektif menggunkan metode diskusi, yang sering kita sebut diskusi
kelompok kecil. Tetapi untuk kelompok kecil ini juga sering digunakan variasi beberapa metode,
pada tahap awal digunakan ceramah (5 menit), kemudian di susul dengan tanya jawab dan
akhirnya disusul dengan metode “Diskusi Kelompok Kecil” atau “Kerja Kelompok”. Untuk
ukuran Kelompok Besar, lebih cocok dan efektif menggunakan metode ceramah dan
demonstrasi. Dari hasil penelitian beberapa ahli menujukan hasil sebagai berikut :
 Metode kerja pada kelompok kecil, memiliki skor tertinggi untuk kualitas melatih yang
didasarkan pada pemilihan berlatih mandiri dan proyek. Sedangkan ceramah, memiliki skor
qualitas yang paling rendah. Ukuran penilaian kualitas tersebut di tentukan berdasarkan pada
faktor penilaian: Hasil berlatih individu, hubungan antar individu Keaktifan kelompok dan
tingkat kreativitas kelas
Penentuan Strategi Melatih, berdasarkan pada kebutuhan dan karateristik peserta pelatihan.
Setiap peserta pelatihan memiliki karateristik berlatih yang berbeda-beda. Ada peserta pelatihan
yang lebih cocok dengan berinteraksi langsung dengan Pelatih dan peserta pelatihan lain. Ada
juga peserta pelatihan yang hanya memanfaatkan kelompok berlatih untuk mengumpulkan
informasi saja, sedangkan proses berlatihnya lebih efektif berlatih sendiri. Ada peserta pelatihan
lain, lebih cocok berlatih dengan cara membaca dan mendengar, sedangkan peserta pelatihan lain
lebih cocok dengan penerapan langsung dari pengetahuan yang diperolehnya.
Karena setiap peserta pelatihan memiliki karateristik berlatih yang berbeda-beda, maka seorang
pelatih yang bijak, akan memadukan berbagai metode melatih, sehingga bisa melayani
karateristik semua peserta pelatihan. Kita bisa memulai proses melatih dengan ceramah,
kemudian disusul dengan diskusi kelompok kecil, dan diakhiri dengan tugas penerapan hasil
latihan oleh setiap individu peserta .
Partisipasi peserta pelatihan. Tingkat partisipasi peserta pelatihan, adalah faktor yang sangat
penting dalam proses pelatihan. Tingkat partisipasi peserta pelatihan sangat tergantung kepada
pemilihan metode pelatihan. Diskusi, bermain, simulasi, tutorial, projek, memiliki tingkat
partisipasi yang lebih tinggi dibanding dengan metode melatih lainnya. Sedangkan ceramah
memiliki tingkat partisipasi yang sangat rendah.
Bagaimana cara yang cepat untuk memahami karateristik peserta?
Cara mengidentifikasi karateristik peserta pelatihan, sebagai berikut : (1) Tanyakan pada setiap
peserta pelatihan, metode apa yang paling mereka sukai dalam proses pelatiha. (2) Cobakan
beberapa metode melatih dan amati langsung reaksi dan bahasa tubuh dan gerak gerik dari setiap
peserta pelatihan dalam menghadapi metode melatih tersebut.
Dari hasil pengamatan bisa ditangkap beberapa reaksi dan bahasa tubuh yang bisa ditangkap dari
peserta pelatihan. Beberapa kenyataan yang sering terlihat: (1) Peserta pelatihan terlihat senang
atau malah pasif. (2) Bagaimana respon peserta terhadap suatu isu yang sedang di bahas? (3)
Berapa banyak hal yang bisa dieksplor dari suatu metode melatih yang digunakan? (4) Berapa
banyak ide-ide muncul dari peserta pelatihan?
Dari hasi pengamatan berikut ini rengking tertinggi dari metode melatih yang paling disukai oleh
peserta pelatihan yang dapat dijadikan pertimbangan dalam melatih:
a. Kerja Kelompok
b. Permainan
c. Simulasi
d. Mengerjakan suatu projek tertentu
e. Diskusi kelompok
f. Buzz Groups/diskusi kelompok kecil untuk suatu issue dengan waktu yang pendek
g. ceramah
h. studi kasus
i. belajar lapangan
Pertimbangan Motivasi Berlatih Peserta pelatihan. Pertimbangan lain dalam menentukan strategi
melatih yaitu motivasi berlatih dari peserta pelatihan. Motivasi merupakan faktor pendorong
seseorang untuk berlatih baik yang datangnya dari dalam maupun dari luar. Idealnya peserta
pelatihan harus memiliki motivasi berlatih sebagai bagian dari untuk memperkaya diri melalui
penambahan pengetahuan, peningkatan sikap dan keterampilan. Sebaliknya motif yang
datangnya dari luar umumnya tidak bertahan lama, sehingga untuk mengekalkannya perlu
pendekatan dan pengenalan sehingga peserta pelatihan memiliki perubahan motif berlatihnya
yang semula hanya didasarkan pada tuntutan dari luar dirinya menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari usaha untuk memperoleh pengetahuan.
Secara umum keseluruhan strategi melatih tersebut harus mempertimbangkan hal-hal berikut,
seperti di bawah ini.
Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam memilih Strategi Melatih Catatan Penting
Tujuan Pelatihan Jenis ranah yang ingin dirubah serta tingkat ranahnya, sangat perlu untuk
dipertimbangkan.
Ukuran dan Jumlah Peserta pelatihan Metode yang berbeda, akan lebih cocok dan efektif untuk
ukuran kelompok berlatih yang berbeda juga.
Jenis kebutuhan dan karateristik peserta pelatihan Kebutuhan peserta pelatihan dan karateristik
berloatih setiap peserta pelatihan, harus dipertimbangkan sejak awal proses melatih.
Tingkat kemampun peserta pelatihan Kemampuan dan kecerdasan setiap peserta pelatihan sangat
berbeda. Hal ini perlu dipertimbangkan oleh pelatih dalam menentukan variasi metode melatih.
Motivasi peserta pelatihan Strategi yang cocok akan meningkatkan semangat berlatih dari
peserta pelatihan.

Syarat Ruangan yang diperlukan


Setelah memilih media pelatihan dan menentukan alat peraga yang sesuai dengan materi,
tentukan pemondokan atau lokasi pelatihan. Anda dapat pula menentukan ruangan berapa jumlah
peserta yang ikut serta pelatihan, maka anda harus menentukan luasnya ruangan, jumlah meja,
kursi dan peralatan-peralatan lainnya yang mendukung jalannya proses pelatihan. Umumnya
seorang pelatih menerima keadaan ruangan apa adanya, tetapi hal ini akan mempengaruhi
pelatihan, karena kondisi ruangan akan mempengaruhi konsentrasi dan kenyamanan selama
proses pelatihan.
Ruangan yang baik untuk pelatihan adalah sebagai berikut :
a. Nyaman dan tenang
b. Luas ruangan sesuai dengan jumlah peserta
c. Ventilasi ruangan yang cukup
d. Baik
e. Pencahayaan yang cukup baik

Penyusunan atau penataan kursi belajar

Meja Empat persegi panjang untuk 20 peserta

Meja bentuk ’U’ untuk peserta 30 0rang

Teater atau sekolah- Tipe tempat duduk untuk banyak peserta


Boards/Papan
Papan lebih umum digunakan sebagai media pelatihan. Papan lebih mudah digunakan dan selalu
tersedia dalam ruang pelatihan, 99% proses pelatihan lebih banyak menggunakan papan .
Beberapa model papan data yang digunakan :
a. Papan tulis
b. Whiteboard
c. Layar
d. Papan magnit
e. papan bagan atau carta
Papan penyajian lebih mudah digunakan, hal ini dikarenakan lebih mudah didapatkan dengan
alasan :
a. Selalu tersedia
b. mudah digunakan oleh pelatih dan peserta
c. serbaguna
d. praktis
e. murah
f. mudah dibersihkan

Chart( Bagan/carta)
Bagan atau carta adalah serangkaian gambar/uraian singkat yang tersusun rapi dan berbentuk
lambang-lambang visual yang menunjukkan perbandingan, perbedaan, proses kerja dari awal
sampai akhir suatu kejadian. Bagan umumnya menyampaikan pesan melalui saluran visual
(indera lihat) atau mata. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat bagan :
a. Bagan harus berisikan suatu informasi yang nyata dan dapat dilihat
b. Harus mudah dimengerti
c. Harus sederhana
Manfaat dari bagan:
a. merangkum suatu keterangan secara sederhana
b. memperlihatkan hubungan antara data yang satu dengan data yang lain secara jelas dan mudah
c. mendorong peserta berpikir secara kritis/analitis.
Handouts
Seorang pelatih dapat menyusun bahan pelatihan berupa bahan bacaan jelas atau panjang, jadi
pelatih kreatif membuat rangkuman agar mempermudah peserta membaca materi.
Bahan bacaan cukup baik digunakan dengan alasan :
a. Menunjukkan materi pelatihan
b. memberi masukkan arahan materi yang berkaitan ( memperluas wawasan)
c. bacaan yang jelas
d. dapat dijadikan lembar kerja
e. memberikan tambahan informasi
Overhead Projector
OHP sangat mudah dikenal dan manfaatnya sangat baik sebagai audio visual dalam dunia
pendidikan saat ini. Alat ini sangat sederhana.
Kentungan penggunaan OHP adalah sebagai berikut ;
a. OHP/LCD memiliki keunikan dalam bentuk sehingga disukai oleh banyak orang terutama
pelatih
b. Lampu cukup terang dan gambar jelas walau di dalam ruangan yang tidak gelap
c. OHP/LCD mudah dioperasionalkan oleh pelatih atau peserta.
Pengunaan OHP/LCD digunakan dengan transparansi berupa tulisan atau gambar atau dengan
menggunakan program Power point yang tedapat pada soft ware.
OHP/LCD dapat digunakan pada semua jenis dan jenjang pendidikan, kantor, jawatan, maupun
lembaga pemerintahan ataupun non pemerintah.
Pembuatan transparansi :
• Bahan belajar ditik dengan komputer kemudian di fotocopy pada transparansi
• Kertas transparansi ditulis dengan pena khusus tinta anti cair atau sulit dihapus yang memiliki
ukuran mata pena.
• Tinta pena berwarna
Program Slide
Istilah ’slide’ mengandung arti suatu fotografi berukuran kecil dan tembus cahaya (transparan).
Penggunaan slide tidak mengandung arti apabila tidak menggunakan proyektor (Slide Projector)
yang berfungsi untuk memantulkan gambar yang tersimpan dalam klise atau slide tadi ke layar.
Keuntungan penggunaan slide :
• Slide lebih fleksibel, bila dibandingkan dengan film-strip
• Pelatih atau siapa saja yang memiliki kamera foto dapat menggunakan dengan baik
• Gambar slide memiliki warna sesuai dengan obyek yang diabadikan.
• Menimbulkan daya minat peserta untuk diskusi
• Dapat digunakan dalam kelompok kecil, besar atau individual
Penggunaan slide telah dimodifikasi sedemikian rupa dengan penggunaan power point,
merupakan pengembangan dari slide
Filmstrip
Proyektor filmstrip adalah media pandang yang diproyeksikan (proyected visual). Penggunaan
ini hampir sama dengan proyektor slide, hanya filmstrip bentuk rol film yang tembus cahaya..
Keuntungan memakai film strip :
• Tidak memerlukan ruangan gelap
• Pemeliharaan tidak sulit serta pengoperasiannya tidak terlalu rumit
• Harganya lebih murah, dibanding dengan film
• Kecepatannya dapat diatur
Memilih alat bantu visual
Dalam bab ini telah dibicarakan banyak persamaan dan perbedaan dalam hal bentuk beberapa
media pandang/visual yang di proyeksikan seperti: OHP/LCD, Slide, dan Filmstrip. Dapat kita
ketahui bahwa perbedaan- perbedaan itu utamanya pada hal- hal lain) dan evaluasi yang
menyangkut logistik, perbedaan-perbedaan secara teknis, harga dan kegunaan.
Pada dasarnya media pandang yang diproyeksikan, hampir sama semuanya bila telah
diproyeksikan pada layar. Bagi para peserta atau yang memandang/menonton, dalam banyak hal
tidak terdapat perbedaan yang berarti (signifikan) di antara bentuk- bentuk ini (dalam arti
pengaruhnya terhadap pelatihan).
Evaluasi alat bantu
Penilaian (evaluasi) ini dimaksud untuk mengetahui apakah media yang dibuat tersebut dapat
mencapai tujuan- tujuan yang telah ditetapkan atau tidak. Media belajar yang dibuat dapat
diketahui memberikan hasil pelatihan yang lebih baik.
Ada dua macam bentuk evaluasi media yang dikenal yaitu evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Evaluasi formatif adalah proses yang dimaksudkan untuk mengumpulkan data tentang
efektifitas dan efisiensi bahan-bahan pelatihan (termasuk ke dalamnya media) untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Kegiatan evaluasi dalam program pengembangan media pelatihan akan dititikberatkan pada
kegiatan evaluasi formatif. Ada tiga tahapan evaluasi formatif yaitu evaluasi satu lawan satu (one
to one), evaluasi kelompok kecil (small group evaluation) dan evaluasi lapangan (field
evaluation). Atas dasar itulah media diperbaiki dan semakin disempurnakan. Melalui ketiga
tahapan evaluasi dapat dipastikan kebenaran efektivitas dan efisiensi media yang dikembangkan .
Meningkatkan Kemampuan Berlatih
Para ahli sepakat bahwa pelatihan perlu menggunakan sejumlah metode, teknik dan alat bantu.
Dengan demikian tidak benar pendapat satu cara untuk semua. Terdapat kesimpulan sementara
bahwa metode merupakan cara untuk menempuh jalan tol perkotaan, sedangkan alat bantu
merupakan menu untuk menempuh jalan tol tersebut.
Dalam menghadapi rumitnya pembelajaran, terdapat sejumlah saran mengenai peningkatan
proses pelatihan, seperti melalui merangsang sistem syaraf, penguatan, fasilitasi dan
menggunakan andragogi. Melalui usaha merangsang syaraf dilakukan dengan memberikan
motivasi, yaitu memberikan motivasi untuk merangsang syaraf dan minat untuk berlatih.
Selanjutnya melalui penguatan (reinforcement) penekanannya yaitu peningkatan hubungan
antara peserta pelatihan dengan pelatih . Hal ini dilakukan melalui pemberian kesempatan
berlatih mandiri (umumnya dengan cara memberikan pekerjaan rumah), menjadikan proses
pelatihan memiliki manfaat langsung-sedangkan ketidakjelasan hasil berlatih membuat peserta
pelatihan diliputi ketidakpastian dan jelas catatan yang telah dicapai seseorang, selalu
memberikan penguatan dalam hal ini bukan hanya pengulangan akan tetapi lebih pada
peningkatan. Berlatih juga membutuhkan keragaman dan bukan hanya menggunakan salah satu
cara atau metode. Dari keseluruhan cara penguatan ini saling percaya antara satu peserta
pelatihan dengan pelatih sebagai jaminan adanya penguatan dalam proses pelatihan.
5. Evaluasi kegiatan pelatihan
Terdapat tiga hal yang berkaitan erat dengan evaluasi kegiatan pelatihan, yaitu menyangkut
otonomi dan akuntabilitas, pengembangan melatih sebagai kelanjutan dari tugas profesi dan
implikasinya pada evaluasi pelatihan
Otonomi dan Akuntabilitas. Evaluasi akan terus berkembang, karena semakin diterimanya dua
konsep yang berhubungan: otonomi profesional dan akuntabilitas. Otonomi berarti bahwa para
profesional seperti halnya pelatih dan penyuluh harus bebas untuk menentukan bagaimana
mereka melakukan praktek pelatihan sesuai standar yang ditetapkan. Publik semakin menuntut
profesionalisme dalam menjalankan tanggung jawab dalam pekerjaan.
Melatih sebagai profesi.
Kompetensi yang menjadi kewajiban pelatih, kita perlu mempertimbangkan (a) aspek-aspek
yang dibutuhkan untuk melatih materi pelatihan dan (b) aspek-aspek manajemen kelas dan
kurikulum. Oleh karena itu, tugas-tugas ini dapat dibagi kedalam (i) melatih dan (ii) tugas-tugas
profesional lainnya.
Tugas-tugas melatih dapat dibagi kedalam enam elemen utama yang mencerminkan pekerjaan
pelatih yang beroperasi dengan peserta pelatihan:
a. Penyiapan:
1) Identifikasi kebutuhan-kebutuhan peserta pelatihan;
2) Analisa materi pelatihan kedalam sekuen logis;
3) Indikasi pelatihan peserta pelatihan yang diharapkan
b. Penyajian:
1) Implementasi metode-metode melatih terpilih
2) Pengenalan, pengembangan dan kesimpulan yang tepat
3) Penggunaan sumber-sumber berlatih secara efektif.
c. Hubungan Peserta pelatihan/Pelatih
1) Menjaga partisipasi peserta pelatihan dalam pelatihan;
2) Peningkatan iklim pelatihan yang memfasilitasi pelatihan.
d. Komunikasi
1) Penggunaan bahasa yang tepat
2) Penggunaan skill-skill efektif dalam komunikasi verbal dan non-verbal.
e. Penilaian Pelatihan
1) Membuat penilaian sejauh mana peserta pelatihan mencapai tujuan pelatihan yang telah
ditetapkan.
f. Materi
1) Demonstrasi penguasaan materi;
Jika anda mengajak orang lain untuk mengevaluasi kinerja mengajar anda, maka anda dapat
menggunakan pro-forma seperti yang ditunjukan dalam Tabel 8.2.
Tugas-Tugas Profesional Lainnya
Melatih bukan hanya menghadapi peserta pelatihan atau penyiapannya, tetapi juga melibatkan
banyak aspek lainnya untuk membentuk ‘profesional yang meluas.’ Tansley (1989) menegaskan
mengenai tugas profesional seorang pelatih atau penyuluh, yaitu: (1) Tugas manajerial dan
administratif (2) Hubungan dengan lembaga/organisasi lain (3) Tanggung jawab kemajuan
peserta pelatihan (4) Tanggung jawab pelatihan (5) Pengadministrasian pengujian yang
dilakukan pada seorang peserta pelatihan.
Umpan Balik Pelatihan
Ada beberapa sumber yang dapat dijadikan umpan balik kinerja melatih sehingga kita
memperoleh keyakinan dari apa yang telah diajarkan. Umpan balik diperoleh dari peserta
pelatihan, teman, dan manajer atau tutor. Namun, semua orang ini harus memberikan anda
umpan balik dalam cara yang membantu anda dengan evaluasi diri sendiri. Mereka dapat
memberikan informasi (data dan kesan) yang sulit dikumpulkan oleh pelatih dengan hanya
mengandalkan pada proses selama pelatihan. Sementara itu diyakini bahwa satu-satunya evaluasi
terbaik adalah melalui evaluasi-diri, walaupun ini memerlukan keterampilan tersendiri.
Evaluasi materi pelatihan harus mengacu kepada tujuan pelatihan dan harus dilihat dari masukan,
proses dan keluaran.
Untuk mencapai kelengkapan menyangkut desain tujuan, anda perlu mempertimbangkan jenis-
jenis pertanyaan yang mungkin anda ajukan. Menurut Stufllebeam (1971) hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam mengembangkan evaluasi adalah sebagai berikut: (1) Konteks: yaitu yang
berhubungan dengan tujuan kurikulum (2) Masukan: Elemen-elemen masukan berhubungan
dengan peserta pelatihan, staf dan sumber-sumber yang digunakan; (3) Proses: Ini berhubungan
dengan ketepatan apa yang terjadi pada pelatihan- bagaimana elemen-elemen input digunakan
untuk mencapai tujuan dan sasaran; (4) Produk: Ini berhubungan dengan hasil-hasil peserta
pelatihan yang telah menjalani pelatihan dan apa yang telah mereka pelajari. Menurut
Stufflebeam evaluasi komprehensif harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan
dengan setiap elemen.
Instrumen instrumen untuk Menilai Pembelajaran
Jika evaluasi berfungsi untuk memenuhi tujuan-tujuan yang telah anda lakukan, selanjutnya
harus dilanjutkan dengan observasi berkala, pengukuran dan pelaporan dan bagaimana pelajaran
itu sedang dilaksanakan memenuhi standar sesuai dengan tujuan pengembangan kurikulum.
Metode-metode untuk memperoleh informasi dapat berupa: kuesioner, checklist, kinerja peserta
pelatihan, dan program wawancara terstruktur.
Daftar cek.
Checklist dapat menjadi penuntun dalam mengingat kembali yang berguna untuk menjamin
bahwa pelatih telah merangkum semua bahan penting yang harus dilatihkan. Daftar cek dapat
juga digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan kuesioner.
Kuesioner
Tujuan evaluasi ini adalah ‘untuk memeriksa bagaimana peserta pelatihan menggunakan daftar
buku-buku bacaan untuk pelatihan.’ Bagaimanapun pemprogramannya, kuesioner haruslah
mudah untuk dijawab dan jangan terlalu panjang. Pertanyaan-pertanyaan perlu secara langsung
berhubungan dengan tujuan-tujuan apa yang ingin anda ketahui dan desainnya harus mudah
untuk diikuti dan menarik. Telah menjadi ketentuan dari setiap pertanyaan hanya memiliki satu
subjek/pokok kalimat yang dipertanyakan.
Wawancara Terstruktur
Wawancara terstruktur, disiapkan sebagai dasar wawancara individual kepada sasaran anda.
Dalam wawancara terstruktur anda kemungkinan tidak dapat mencakup sebanyak mungkin aspek
seperti dalam kuesioner tetapi anda dapat mencakup soal secara lebih mendalam. Pertanyaan
berikutnya tergantung pada respon dari pertanyaan sebelumnya. Anda juga mendapatkan lebih
banyak mendapat kontrol terhadap respon-respon dimana anda dapat mengajukan pertanyaan
untuk menjamin bahwa mereka mengerti dan menjamin bahwa semua pertanyaan dijawab
dengan benar.
Menilai Peserta pelatihan
Informasi mengenai seberapa baik pelatihan itu berlangsung, dapat diperoleh dari hasil-hasil
penilaian peserta pelatihan. Jika sebagian besar peserta pelatihan gagal pada ujian akhir, ini
adalah informasi dan pertanyaan yang perlu dipertanyakan mengenai mengapa hal ini terjadi. Hal
ini tidak hanya dilakukan pada akhir pelatihan. Jika peserta pelatihan berkinerja buruk (atau
baik) pada tes-tes formatif anda, maka ini juga merupakan informasi yang berguna mengenai
keberhasilan pelatihan yang sedang dinilai.
Pengumpulan data dapat dalam jenis data kualitatif berhubungan dengan opini, atau data
kuantitatif ketika berhubungan dengan skala. Untuk tujuan perbandingan, lebih mudah untuk
menarik kesimpulan dari data kuantitatif daripada kualitatif. Untuk lebih menjamin dapat
ditransfer menjadi skala maka data kualitatif perlu dirubah menjadi data kuantitatif.
Menulis Laporan Evaluasi Pelatihan
Bagian penting dari proses evaluasi yaitu penyiapan laporan untuk disampaikan kepada pihak-
pihak yang terkait. Laporan biasanya memiliki empat divisi: pengantar, metodologi yang
digunakan, penyajian dan analisa data, kesimpulan dan rekomendasi. Format ini mencerminkan
tahap-tahap proses evaluasi. Pokok pokok di atas dapat diperluas menjadi sub-sub pokok yang
dapat membantu anda untuk menulis laporan. Sebelum memutuskan format terakhir, penting
untuk bertanya pada diri anda sendiri mengenai pemahaman laporan, dan bagaimana
memberikan bukti bahwa rekomendasi itu demikian penting?

BAB IV
PENYULUHAN

A. Memahami Penyuluhan
Hakikat dari pembelajaran melalui penyuluhan adalah pembelajaran yang benar-benar asli, yang
merupakan pengembangan dari proses pembelajaran yang berkembang selama ini, kendati belum
sepenuhnya dipahami semua pihak akan tetapi merupakan merupakan nyawa dari pendidikan itu
sendiri. Penyuluhan juga dikenal demikian sederhana akan tetapi akan tetapi penampilannya
demikian dipahami secara utuh baik bagi mereka yang benar-benar memberikan perhatian
khusus pada penyuluhan maupun bagi mereka yang kurang memberikan perhatian khusus.
Dalam banyak hal penyuluhan tidak diperhatikan secara utuh akan tetapi bagi seorang
profesional penyuluhan adalah merupakan bentuk keragaman pendidikan dari upaya untuk
mencerdaskan manusia.
Dalam skala rangking penyuluhan sendiri dapat diurutkan secara berjenjang sebagai berikut:
1. penyuluhan merupakan bentuk dari aplikasi sains yang bersumber dari sejumlah penelitian,
pengalaman yang beragam dan prinsip-prinsip yang relevan yang dihasilkan dari sains
keperilakuan, digabungkan dengan teknologi tepat guna berkembang menjadi kesatuan filsafat,
prinsip, muatan dan metode yang diarahkan pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan
pendidikan luar sekolah terutama untuk pemuda dan orang dewasa;
2. penyuluhan merupakan bagian dari pendidikan yang bertujuan untuk melakukan perubahan
perilaku dan keterampilan orang-orang yang bergabung dalam penyuluhan;
3. penyuluhan didefinisikan sebagai proses pendidikan diarahkan dalam upaya memberikan
pengetahuan bagi penduduk pedesaan dalam upaya meningkatkkan keterampilan dalam
meningkatkan kebermaknaan dan membantu mereka dalam membuat keputusan sesuai dengan
lingkungan sekitar dimana mereka berada;
4. penyuluhan ditujukan dalam membantu penduduk pedesaan dalam melakukan perubahan yang
berkelanjutan dalam melakukan perubahan lingkungan fisik, kesejahteraan ekonomi dan sosial
melalui usaha perorangan dan kelompok. ditujukan untuk memungkinkan tersedianya untuk
wilayah pedesaan, sesuai dengan prinsip keilmuan dengan memberikan sejumlah informasi,
pelatihan dan bimbingan dalam upaya memecahkan masalah pertanian dan kehidupan diantara
mereka;
5. pendidikan penyuluhan adalah kegiatan yang dilakukan diantara orang-orang dalam kegiatan
yang mudah dimengerti, bermuatan gagasan baru dan perbaikan teknologi mengenai praktek, dan
memberikan kemungkinan untuk memanfaatkannya dalam keseharian dalam upaya unutk
memudahkan peningkatan standar hidup melalui kemampuan merealisasikan diri dan usaha
mandiri;
6. penyuluhan adalah sains yang bermuatan berbagai strategi perubahan pola perilaku manusia
melalui inovasi pengetahuan dan teknologi dalam upaya meningkatkan standar kehidupannya;
7. penyuluhan merupakan proses yang berkelanjutan yang dirancang dalam upaya memberikan
kesadaran pada orang-orang akan permasalahan serta berusaha untuk mencari pemecahan sendiri
dalam memecahkannya. Didalamnya tidak hanya menekankan pada pendidikan untuk
menemukan masalah dan metode akan tetapi memberikan aspirasi untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik;
8. penyuluhan pertanian merupakan jembatan penghubung antara penelitian dalam pertanian
dengan masyarakat petani melalui proses pembelajaran dan berbagai ragam pengorganisasian;
9. pendidikan penyuluhan merupakan sains terapan, pengetahuan yang memungkinkan untuk
dimanfaatkan dalam mengarahkan perubahan dalam keseluruhan perilaku manusia yang
dmeikian rumit;
10. penyuluhan adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk pengembangan individu, dimana
melalui proses ini penduduk pertanian pedesaan ditingkatkan kesadarannya melalui bantuan
penyuluh dalam upaya meningkatkan kondisi kehidupannya;
11. penyuluhan adalah upaya untuk mengajar orang-orang mengenai bagaimana berpikir, bukan
mengenai apa yang harus dipikirkan dana mengajar bagaimana orang-orang untuk memprkirakan
secara tepat mengenai kebutuhan dan menemukan cara untuk memecahkan permasalahan mereka
dan membantu mereka untuk memperoleh pengetahuan dan mengembangkan kepercayaan diri
dalam memenuhi kebutuhnnya;
12. penyuluhan merupakan pendidikan di luar sekolah dimana orang dewasa dan pemuda
melakukan pembelajaran sambil bekerja. Dalam proses ini terjadi kerjasama antara pemerintah,
akademisi dan orang-orang dalam memberikan pelayanan dan pendidikan yang dirancang dalam
upaya memenuhi kebutuhan orang-orang.
13. penyuluhan dan penyuluhan pertanian adalah merupakan metode atau sekumpulan metode
dimana praktek keilmuan dilaksanakan termasuk praktek dalam melakukan pemeliharaan
tanaman;
14. pendidikan penyuluhan adalah upaya untuk melakukan pendidikan mengenai apa yang
mereka inginkan dan bagaimana bekerja dalam upaya memberi kepuasan pada mereka. Materi
pendidikan bukan hanya sebatas isi pendidikan akan tetapi lebih pada upaya untuk memenuhi
sendiri kepuasan mereka melalui kreativitas diri, meningkatkan kemauan dan keinginannya;
15. penyuluhan adalah pendidikan bagi orang dewasa di luar sistem sekolah yang menekankan
pada pilihan dan minat. Pendidikan ditujukan dalam upaya meningkatkan kebebasan mereka,
melalui upaya untuk membantu dalam memanfaatkan kebebasan untuk bertindak sesuai dengan
dasar dari kehidupan demokrasi.
Dari definisi di atas, pokok-pokok yang harus ditekankan meliputi:
1. pada kategori pengetahuan apa penyuluhan berada;
2. apa isi dari sebuah penyuluhan
3. apa hubungan antara penyuluhan dengan teknologi dan ilmu lain
4. siapa yang menjadi sasaran dari penyuluhan
5. apa metode, materi, prinsip dan filsafat yang ada dalam penyuluhan
Usaha untuk memberikan kepuasan pada definisi yang dikemukakan di atas akan selalu
diusahakan, akan tetapi definisi yang hampir lengkap adalah: pendidikan penyuluhan merupakan
ilmu perilaku yang mengikuti proses keberlanjutan, persuasi, dan memberikan pembedaan dari
proses pendidikan. Tujuan dari kegiatan ini yaitu mempengaruhi perilaku orang-orang sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan, melalui pemberian keyakinan, komunikasi dan difusi, dengan
menggunakan metode, prinsip dan filosofis yang diarahkan pada keterlibatan dalam belajar baik
peserta pelatihan maupun agen perubahan.

B. Filsafat penyuluhan
Filsafat umumnya dipergunakan untuk cakupan yang luas dan bersumber dari kebijakan, atau
pengetahuan mengenai sesuatu dan sumber keberadaannya baik teori maupun prakteknya.
Filsafat berusaha unutk memberikan jawaban akhir dari sebuah proses penyelidikan dan
penelitian mengenai segala sesuatu terutama untuk setiap pertanyaan yang sifatnya banyak
kemungkinan dan segera setelah tidak ada lagi keraguan sampai pada gagasan yang lebih nyata.
Filsafat penyuluhan didefinisikan dan diberikan interpretasi melalui berbagai cara sesuai dengan
latar belakang pemikirnya dan umumnya terdapat banyak sekali pemikiran yang beragam. Semua
pemikiran ini berupaya untuk mencapai gagasan dan kesimpulan yang komprehensif dengan
memberikan penekanan dari berbagai pemikiran yang dikemukakan berbagai ahli.
Dari berbagai pemikiran menekankan bahwa penyuluhan memiliki dasar mengenai pentingnya
perkembangan pribadi dalam rangka mendorong perkembangan masyarakat (pedesaan) yang
diharapkan memiliki imbas bagi perkembangan bangsa. Para penyuluh memiliki tugas untuk
bekerja dengan orang agar mereka mampu untuk membantu dirinya sendiri dan mampu
mencapai kemajuan dalam kehidupan. Secara bersama orang-orang menetapkan tujuan yang
akan dicapai, yang bersumber dari kenyataan dalam kehidupan, yang mengarahkan dirinya pada
keterpenuhan kebutuhan secara menyeluruh. Kemajuan yang dicapai orang-orang dengan
demikian dapat beragam sesuai dengan kebutuhan, minat dan kecakapannya. Melalui proses ini
diharapkan memiliki pengaruh pada masyarakat secara keseluruhan, sebagai dampak dari
partisipasi dan pengembangan kepemimpinan.
Sehubungan dengan itu filsafat penyuluhan berkembang dalam pemikiran sebagai berikut:
1. Penyuluhan merupakan proses pendidikan. Penyuluhan adalah perubahan sikap, pengetahuan
dan keterampilan orang-orang,
2. Penyuluhan memiliki sasaran laki, perempuan, pemuda dan anak dalam upaya memecahkan
permasalahan dan keinginan. Penyuluhan menekankan pada mendidik orang mengenai apa yang
diinginkan dan bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka;
3. Penyuluhan adalah membantu orang untuk membantu dirinya sendiri;
4. Penyuluhan menggunakan pendekatan belajar sambil bekerja dan proses mencari apa yang
diyakininya;
5. Penyuluhan melakukan pendekatan perorangan, pemimpin mereka, masyarakat dan dunia di
sekitar mereka;
6. Penyuluhan merupakan kerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan orang-
orang;
7. Penyuluhan bekerja berdasar pada keharmonisan dengan budaya dimana mereka berada;
8. Penyuluhan merupakan hubungan antar sesama dalam kehidupan, melalui kepercayaan dan
penghargaan akan orang lain;
9. Penyuluhan menggunakan saluran komunikasi yang beragam;
10. Penyuluhan merupakan proses pendidikan yang berkelanjutan.
Sehubungan dengan itu filsafat penyuluhan ditekankan:
1. Membantu orang untuk membantu dirinya sendiri,
2. Melihat manusia sebagai sumber yang tidak terhingga;
3. Ia merupakan usaha kerjasama;
4. Penyuluhan berangkat dari dasar demokrasi;
5. Menggunakan dua saluran baik dalam pengetahuan maupun dalam pengalaman;
6. Penekanan pada penciptaan minat melalui upaya untuk mengamati dan mengerjakan;
7. Berdasar pada kesukarelaan, partisipasi secara kooperatif dalam pengembangan program;
8. Persuasi dan pendidikan orang-orang;
9. Program didasari oleh sikap dan nilai yang berkembang diantara orang-orang;
10. Merupakan program yang berkelanjutan.
Dari gambaran ini dapat ditarik empat prinsip yang berkembang menjadi filsafat dari
penyuluhan:
1. Individu merupakan dasar dari demokrasi;
2. Rumah merupakan unit terkecil dari hakikat warga negara;
3. Keluarga merupakan tempat melakukan pendidikan pertama dari umat manusia;
4. Dasar dari kewarganegaraan yang menetap yaitu perpaduan antara manusia dengan tanah
Beberapa pemikir dengan menggabungkan pemikiran terdahulu menekankan: program
penyuluhan memiliki tekanan pada individu, pendamping dengan tujuan utama melakukan
perubahan sikap, pengetahuan, keterampilan, pemahaman, kapasitas dan kemampuan melalui
upaya persuasi dari pihak pendidik. Penekanan lain yaitu penggabungan antara pemikir lama
dengan baru dengan penekanan pada manusia dan nilai yang ada di dalamnya yang merupakan
hakikat dari nilai kemanusiaan itu sendiri. Dalam penyuluhan tidak dapat dipisahkan dari
keterlibatan pemerintah walaupun tidak selalu melibatkan pemerintah pusat dengan cara
memberikan pelayanan bagi petani melalui pemberian pengetahuan (know how) melalui
pembimbingan peningkatan metode, dalam upaya mencapai perubahan yang diharapkan melalui
peningkatan produksi. Untuk mencapai semua ini penyuluhan tidak dapat dilepaskan dari
penelitian dan pendidikan.

C. Prinsip Penyuluhan
1. Pemahaman mengenai prinsip
Prinsip adalah pernyataan yang dapat membimbing para pembuat keputusan dan kegiatan secara
konsisten. Dari prinsip ini berkembang generalisasi. Bila pernyataan ini diangkat lebih tinggi
maka ini akan menjadi maka ini menjadilah asumsi. Bila perlu pengujian lebih jauh maka
kemudian dikenal dengan hipotesis. Selanjutnya hipotesis yang telah di test atau asumsi yang
bisa diterima maka semua ini disebut sebagai teori. Bila teori kemudian diuji melalui sejumlah
pengujian yang sangat rumit, dalam satu kondisi tertentu oleh sejumlah individu dan temuan
dapat diterima maka hal ini disebut dengan prinsip. Jadi prinsip merupakan kebenaran yang
diterima umum dan telah mendapatkan pengamatan dan akhirnya sampai pada tingkat kebenaran
dengan tidak tergantung pada kondisi dan lingkungan. Prinsip merupakan dasar kebenaran dan
pengarah pada tindakan.
2. Pentingnya prinsip penyuluhan
Umumnya diyakini bahwa pengetahuan mengenai prinsip tidak memiliki arti bagi seorang
penyuluh. Prinsip umumnya hanya memiliki arti bagi para akademisi bagi mereka yang ingin
mendalami lebih jauh mengenai penyuluhan. Namun demikian terdapat makna khusus prinsip
bagi seorang penyuluh, dimana tanpa pengetahuan mengenai prinsip seorang penyuluh maka
amat mungkin akan menghadapi kesalahan besar terutama pada saat permulaan dalam
menghadapi pekerjaan sebagai penyuluh. Lebih jauh lagi bila seorang penyuluh ingin
mengembangkan diri menjadi seorang administrator atau supervise, maka tidak dapat tidak ia
harus memperhatikan prinsip-prinsip penyuluhan.
3. Relativitas dari prinsip penyuluhan
Prinsip penyuluhan bersifat relative dan tidak selalu harus pasti dilihat dari kepentingan dan
urutannya. Namun demikian, benar pula bahwa setiap prinsip itu penting. Pada hal lain tidak
mungkin pula terdapat prinsip penyuluhan yang lengkap dan merupakan sesuatu yang sempurna.
Bila kita perhatikan sejumlah prinsip berikut ini merupakan prinsip yang mendasar dan dapat
diterima dalam para pengkaji mengenai prinsip penyuluhan.
Sejumlah prinsip yang mengemuka antara lain:
a. Prinsip mengenai minat dan kebutuhan
Untuk efektifnya penyuluhan maka penyuluh harus mengawali kegiatan dengan
mengembangkan minat dan kebutuhan dari pihak yang akan diberikan penyuluhan. Dalam
banyak hal minat dari pihak yang akan mendapatkan penyuluhan tidak sejalan dengan pihak
penyuluh sendiri. Namun demikian kebutuhan dari pihak yang akan mendapatkan penyuluhan
dipandang lebih baik dibandingkan dengan kebutuhan para penyuluh sendiri, karenanya
semuanya harus dimulai dengan minat dan kebutuhan yang dirasakan oleh pihak yang akan
diberikan penyuluhan. Dalam hal ini para penyuluh harus menghimpun minat dan kebutuhan dari
pihak yang akan diberikan penyuluhan menjadi realistis. Kebutuhan yang akan dipenuhi harus
bisa memuaskan perorangan, kelompok, masyarakat dan minat nasional. Pemenuhan kebutuhan
akan mungkin bila menggunakan sumber yang ada, dan harus pula diberikan perioritas pada
kebutuhan yang saat ini sedang mendesak keberadaannya.
b. Prinsip kelembagaan akar rumput
Untuk menjadi sebuah kegiatan yang realistis dan efektif, maka lembaga yang dikembangkan
seharusnya harus berbasis prinsip demokrasi yang berkembang di lingkungan keluarga dan
terutama sekali yang berkembang di pedesaan. Semua pemikiran harus dimulai dari bawah atau
akar rumput. Pada saat yang sama, pengetahuan modern dibutuhkan untuk mengembangkan
lembaga dan membuat koordinasi yang lebih bijaksana baik yang menyangkut pemikiran dan
tindakan dan memungkinkan dilaksanakan pada lingkup keluarga maupun desa. Kehidupan yang
paling berbudaya yaitu terdapat spesialisasi dari sebuah desa. Untuk mewujudkannya dibutuhkan
dukungan dari sejumlah profesi dan asosiasi. Hal ini bisa ditingkatkan melalui perluasan peran
keluarga maupun masyarakat.
c. Prinsip perbedaan budaya
Dalam upaya untuk meningkatkan efektivitas dari penyuluhan, maka prosedur dan pedekatan
harus sesuai benar dengan budaya dimana penyuluhan diselenggarakan. Perbedaan budaya pada
hal lain membutuhkan pendekatan yang berbeda. Atas dasar itu perencanaan yang dirancang
untuk wilayah tertentu tidak serta merta dapat diaplikasikan sepenuhnya untuk wilayah yang
berbeda, sehubungan dengan perbedaan budaya ini. Perbedaan budaya termasuk didalamnya
filsafat hidup, sikap, nilai, loyalitas, kebiasaan dan kesenangan.
d. Prinsip perubahan budaya
Sehubungan dengan perubahan perlu diajarkan dan belajar perlu dimulai dengan sesuatu yang
telah dikenal oleh manusia, maka menjadi tuntutan seorang penyuluh harus mengetahui apa yang
telah diketahui oleh pihak yang akan mendapatkan penyuluhan dan bagaimana mereka berpikir.
Dengan mengutamakan pemikiran ini dan sikap yang menghargai pada saling menghargai dan
menerima keragaman budaya, penyuluh harus mampu untuk menemukan rahasia budaya yang
ada pada sasaran dan pada saat yang sama harus mampu menerima keterbatasan budaya, sesuatu
yang sifatnya tabu dan nilai yang berkaitan dengan setiap tahapan dari program yang sedang
dikembangkan, sebelum dimulai sehingga setiap pendekatan yang dilakukan dapat diterima.
Sebuah kesimpulan berkaitan dengan budaya, dimana budaya itu unik dan sesuai dengan situasi
yang berkembang maka budaya pun akan ikut berubah pula. Kendati budaya dikembangkan
maka ia akan tetap unik, karenanya tidak mungkin untuk mendeskripsikan sedemikian tepat apa
yang terjadi, dan karenanya pula setiap perorangan atau kelompok yang memiliki keterlibatan
dan tanggung jawab untuk melakukan perencanaan, melaksanakan atau melakukan penyesuaian
dengan perubahan tertentu, harus pula menyesuaikan dengan perubahan yang berkembang.
e. Prinsip kerjasama dan partisipasi
Dalam suatu kegiatan yang melibatkan sejumlah orang dalam menyelesaikan tujuan bersama,
tidak mungkin untuk menggunakan pilihan yang ditetapkan salah satu pihak akan tetapi
seharusnya mereka sendiri yang menentukan apa seharunya menjadi tujuan. Tugas dari penyuluh
adalah membantu mereka untuk melakukan pengorganisasian setiap usaha dan membimbingnya
kearah keberhasilan dari setiap kegiatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bila mereka sendiri
yang membuat suatu pilihan maka mereka jauh akan lebih bertanggungjawab dalam
menyelesaikan kegiatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengalaman dari beberapa negara
mereka jauh lebih dinamis bila mereka diberikan kesempatan untuk membuat keputusan dari
setiap yang menjadi urusannya, menunjukkan sendiri tanggung jawab dan dibantu untuk
menyelesaikan kegiatan yang ada di daerahnya.
Patisipasi dari dari mereka merupakan hal yang sangat mendasar untuk menjamin keberhasilan
dari setiap usaha pendidikan. Para sasaran penyuluhan harus memiliki urutan dalam
mengembangkan program dan harus merasakan bahwa mereka terlibat dalam program yang
sedang dilaksanakan.
f. Prinsip pemanfaatan ilmu melalui pendekatan demokratis
Pemanfaatan ilmu pertanian bukan hanya satu proses. Yang menjadi kunci dari sejauhmana
tingkat pemanfaatan ilmu yang sedang dipelajari yaitu siapa yang akan melakukan percobaan
dari kalangan mereka yang akan melakukan pemecahan pada permasalahan yang sedang
dihadapi. Semua alternative yang akan dilakukan seharusnya ditetapkan sendiri oleh mereka.
Penyuluh harus mampu menterjemahkan setiap fenomena yang berkembang yang memberikan
kepuasan pada pihak mendapatkan penyuluhan sehingga mereka benar-benar dapat menerima
materi inovasi yang diperkenalkan.
Semua bantuk dukungan yang diberikan oleh penyuluh harus berlangsung dalam suasana
demokratis. Hal ini ditempuh antara lain melalui proses diskusi dan pemberian saran. Dalam
kenyataan semua proses yang dilakukan bersama dengan pihak yang diberikan penyuluhan jauh
lebih mendapatkan dukungan jangka panjang dibanding dengan hanya sekedar dipaksakan.
Semua alternative pemecahan seharusnya dihadapi sendiri oleh pihak yang diberikan penyuluhan
dan keahlian yang diperolehnya seharusnya melalui diskusi diantara mereka. Selanjutnya berikan
kebebasan pada mereka untuk memilih sendiri kegiatan yang patut dilakukannya,
mempergunakan metode yang bernilai guna yang sesuai dengan situasi dan sumber yang terdapat
disekitar mereka dan bantuan yang ada dari pihak pemerintah.

g. Prinsip belajar sambil bekerja


Dalam kegiatan penyuluhan, pihak yang mandapatkan penyuluhan harus dirangsang untuk
mempelajari sesuatu yang baru melalui kegiatan bekerja melalui partisipasi langsung. Petani
seperti halnya juga pihak lain sulit untuk memahami satu teori tertentu, atau berdasar pada
berbagai bukti mereka akan mengamati sampai benar-benar melihat hasilnya. Tugas yang harus
dilakukan penyuluh yaitu membawa pihak yang diberikan penyuluhan untuk menjadikan setiap
yang ia kerjakan menjadi bagian dari perhatian dan tanggungjawabnya. Semua harus menjadi
bagian dari kehidupannya.
Dorongan untuk melakukan perbaikan seharusnya datang dari mereka sendiri. Mereka harus
mengerjakannya berdasar pada apa yang menjadi perhatian mereka dengan menggunakan
gagasan baru serta mengerjakannya. Melalui belajar sambil bekerja diyakini merupakan cara
yang paling efektif dalam melakukan perubahan perilaku dan mengembangkan kepercayaan
dalam memanfaatkan metode baru yang berguna untuk masa depannya.
h. Prinsip bekerja atas dasar keahlian
Tugas yang paling sulit bagi seorang penyuluh yaitu menempatkan diri sebagai peneliti
kemutakhiran dalam setiap cabang keilmuan dan hal ini harus merupakan kegiatan
kesehariannya. Tugas seorang ahli adalah selalu terlibat dalam proses penelitian dan
mengembangkan hasil penelitian dalam melaksankan tugas sebagai seorang penyuluh,
mengembangkan aspek-aspek yang penting serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan
dilaksanakan untuk bidang-bidang khusus pula.
Adaptabilitas dalam memanfaatkan metode pembelajaran
Tidak semua metode pembelajaran dapat dimanfaatkan untuk semua situasi. Bahan bacaan hanya
bemanfaat bagi mereka yang mampu membaca. Program radio berguna bagi yang memiliki
radio. Pertemuan hanya bagi mereka yang dapat menghadiri pertemuan. Demonstrasi harus
diikuti dengan percobaan untuk mereka yang menghadiri pertemuan. Kunjungan rumah sebegitu
jauh demikian berarti akan tetapi sangat boros dalam penggunaan waktu. Situasi baru umumnya
membutuhkan kombinasi dari dua atau berbagai metode pendekatan.
Sesuai dengan tuntutan situasi itu bagi penyuluh diharapkan memiliki sejumlah kemampuan
metode sehingga dapat memilihnya sesuai dengan keadaan dan mencari pedekatan yang paling
efektif sesuai dengan budaya dimana mereka harus tampil. Metode juga harus memiliki
kemampuan untuk dimanfaatkan dalam situasi dan kondisi baru. Selanjutnya penggunaan
metode harus memiliki sifat fleksibel dan dapat diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat
yang dalam kenyataan memiliki perbedaan dalam usia, pendidikan, status sosial ekonomi, jenis
kelamin dan perbedaan dalam menerima setiap perubahan.
i. Prinsip kepemimpinan
Salah satu prinsip yang harus diperhatikan seorang penyuluh yaitu: jangan menuntut apapun dari
peserta penyuluhan yang tidak mungkin untuk menunjukkan harapan penyuluh. Prinsip ini
menuntut kepemimpinan tingkat lokal. Dalam kepemimpinan termasuk pengembangan
kepemimpinan lokal berbasis pada kesukarelaan yang menjamin keberhasilan dari kegiatan yang
dilaksanakan pada tingkat lokal. Pemimpinan lokal adalah pelindung untuk berkembang dan
dapat dilaksanakannya pemikiran-pemikiran dan praktek lokal yang pelatihan dan
pengembangannya dapat dilaksanakan sebaik-baiknya sebagai penerjemah dari pemikiran baru
yang ada di daerah tersebut.
Pemimpin lokal harus diyakini selalu tersedia. Pada setiap komunitas selalu tersedia pemimpin
lokal yang potensial. Hal ini yang mengundang untuk selalu mencari dan mengembangkan
pemimpin lokal yang mampu mengembangkan dirinya sendiri.
Dalam upaya mempromosikan perubahan kita juga harus selalu memperhatikan keberadaan dari
pemimpin yang sudah tua sesuai dengan potensinya yang memungkinkan dapat membuka
cakrawala pemikiran atau bisa pula merupakan kebalikannya sebagaipemelihara kebiasaan lama
yang menjadi tantangan tersendiri dalam penyuluhan. Bila dalam kenyataan kita menemukan
pemimpin tua yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi baru maka kita telah menemukan peran
pemimpin yang mampu memimpin orang-orang di sekitarnya.
j. Prinsip keseluruhan keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Untuk menjamin keterlaksanaan penyuluhan
keluarga harus dikembangkan secara simultan. Beberapa alasan yang menuntut keterlaksanaan
prinsip ini yaitu:
1) program penyuluhan akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga;
2) anggota keluarga akan sangat mempengaruhi pada pembuatan keputusan;
3) dibutuhkan pengertian bersama;
4) akan membantu manajemen keuangan;
5) akan menjamin keseimbangan antara pertanian dengan keluarga;
6) dibutuhkan pula pendidikan untuk generasi pemuda;
7) membutuhkan kegiatan semua anggota keluarga;
8) membutuhkan semua aspek yang mempengaruhi penyuluhan seperti aspek sosial, ekonomi,
budaya dari keluarga;
9) harus ada jaminan pelayanan yang sama untuk semua anggota keluarga.
Tidak sulit untuk menerima pendekatan ini dalam upaya melakukan penyuluhan. Untuk kegiatan
petanian lapangan banyak tergantung pada kaum laki-laki, sedangkan untuk kegiatan petanian di
sekitar rumah kuncinya kaum perempuan. Program 4H seperti yang dikembangkan di Thailand
memberikan pelajaran mengenai pentingnya memperhatikan semua anggota keluara dalam
melakukan kegiatan tangan, kepala, kesehatan dan hati (hand, head, health dan harth). Studi
perbandingan menunjukkan bahwa kelompok pemuda yang ditangani melalui kegiatan ini jauh
lebih memiliki keperdulian pada kegiatan keilmuan dibanding dengan mereka yang tidak dibina.
k. Prinsip kepuasan
Kepuasan peserta merupakan bagian penting dalam kegiatan penyuluhan. Bila tidak ada
kepastian kepuasan bagi peserta penyuluhan sebenarnya tidak ada jaminan untuk tetap
berlangsungnya proses penyuluhan. Dalam masyarakat yang demokratis tidak mungkin lagi kita
mengarahkan anggota masyarakat seperti layaknya mesin. Mereka harus dibina berdasar pada
keyakinan yang mereka miliki dan ini sangat tergantung pada kepuasan melalui pengadopsian
inovasi untuk kebutuhan sesuai dengan sumber-sumber yang mereka miliki.
Dalam melihat prinsip ini perlu kita didukung oleh pemahaman perbedaan antara pendidikan
sekolah dengan penyuluhan;
PENDIDIKAN SEKOLAH PENYULUHAN
Pendidikan sekolah dimulai dari teori atau konsep yang diikuti dengan praktek dan kegiatan
lapangan Penyuluhan berintikan praktek dan kegiatan lapangan serta pemecahan masalah oleh
petani. Jadi dari praktek menuju pada teori dan konsep
Pada pendidikan sekolah, kurikulum biasanya telah ditatapkan terlebih dahulu Pada penyuluhan
kurikulum tidak ditetapkan terlebih dahulu. Kurikulum lebih fleksibel dan berkembang sesuai
dengan kebutuhan.
Peserta pelatihan bersifat homogen dengan tujuan yang hampir sama Peserta pelatihan bersifat
heterogen dengan tujuan yang beragam pula
Pembelajaran bersifat vertical dan berbasis kurikulum Pembelajaran bersifat horizontal dan
umum berdasar atas kebutuhan dan permasalahan
Semua ditetapkan berdasar pada norma lembaga dan sangat terbatas peluang untuk kebebasan
Kebebasan untuk memilih merupakan hal utama dari peserta pelatihan
Pendidikan ini lebih bersifat spesialis; berorientasi kelas, mata pelajaran dan tingkatan Bersifat
informal kendati terdapat pendekatan kelas akan tetapi tidak sepenuhnya serta tidak berbasis
pada tingkatan
Arah peserta pelatihan berpikir tergantung pada guru Pengajar tingkat lokal menjadi pilihan
utama dan memiliki tugas sebagai sumber dan penyebar pengetahuan

Penyuluhan sebagai disiplin yang sedang berkembang


Terdapat komentar banyak pihak pada penyuluhan seperti yang mengemukakan bahwa
penyuluhan adalah pendidikan yang bertujuan untuk melakukan perubahan yang diharapkan
dalam peilaku manusia. Penyuluhan bisa diarahkan untuk meningkatkan pemahaman atau dalam
rangka meningkatkan perilaku manusia, perlu kiranya dipahami hakikat dari penyuluhan sebagai
disiplin ilmu yang berkembang. Ciri-ciri yang seharusnya kita perhatikan yaitu:
1) Penekanan pada teori yang dihasilkan dari penelitian empiris.
Dengan memperhatikan awal dari pengembangan penyuluhan sebagai aplikasi dari pengetahuan
dan penelitian empiris, banyak pihak yang memiliki kekaguman akan hakikat dari penyuluhan
yang berkembang dari pengalaman personal dan perjalanan sejarah dalam upaya memberikan
tanggapan akan sejumlah pertanyaan yang berkembang selama ini. Dengan tidak hanya terpaku
pada data yang dikumpulkan, para pengembang penyuluhan lebih banyak menekankan pada
pengembangan dan penciptaan teori yang komprehensif.
Pada pertengahan abad ini terjadi pengkerdilan pada ilmu sosial. Bukannya semakin
mengagungkan akan perilaku manusia, banyak pihak semakin mencari fakta yang berusaha
untuk membedakan antara data objektif dengan pendapat yang subjektif. Kendati hanya
ditunjang oleh pengarahan yang amat sederhana, dasar untuk pengembangan ilmu tentang
perilaku mulai menyeruak sejak tahun 1950-an mendorong lahirnya penyuluhan sebagai suatu
disiplin ilmu. Semula penyuluhan tidak memiliki dasar keilmuan yang jelas sampai akhirnya
diketahui memiliki sumber dan kaitan yang erat dengan psikologi sosial dan sosiologi. Sesuai
dengan sumber ini kemudian proses penelitian dan metode yang berkembang memiliki
kedekatan dengan kedua ilmu dasar tersebut. Dalam kenyataan penyuluhan dibedakan dengan
usaha keilmuan lainnya terutama dari sisi bukti dan observasi yang hati-hati, penghitungan,
pengukuran dan ekperimentasi.

2) Bidang perhatian pada perilaku dengan tekanan pada fenomena antar ketergantungan.
Dengan memperhatikan bahwa pendidikan penyuluhan memiliki penekanan pada penyuluhan
dan perluasan akan tetapi tidak dapat dilepaskan keseluruhannya dari pendidikan sebagai bagian
dari kehidupan manusia. Sasaran pendidikan pada penyuluhan tidak puas dengan hanya
memperhatikan deskripsi penyuluhan, kelengkapan dan semua hal yang berhubungan dengan itu.
Lebih dari segalanya peserta didik ingin melihat bagaimana suatu fenomena memiliki hubungan
satu dengan lainnya, dan bagaimana fenomena baru merupakan hasil dari kondisi dan kreativitas
yang sebelumnya tidak pernah muncul. Dengan kata lain keinginan untuk mengungkap prinsip
umum yang berhubungan dengan kondisi dan apa akibatnya. Kajian ini kemudian mendorong
pada kenyataan akan saling ketergantungan antara satu dengan lain fenomena dan memberikan
keyakinan akan kebermaknaan dari dapat diwujudkannya saling ketergantungan satu dengan lain
dari bidang kajian yang menjadi perhatian.
3) Interdisiplin yang relevan satu dengan lainnya
Sangat penting untuk dipahami bahwa kajian dan penelitian dalam penyuluhan belum memiliki
jalinan yang sempurna dengan ilmu pengetahuan sosial. Beberapa ahli dari kajian tertentu
banyak yang memberikan perhatian untuk melihat penyebab dari faktor pendorong dari
penyuluhan. Ahli sosiologi pedesaan melihat demikian kuatnya faktor manusia berpengaruh pada
perilaku dalam penyuluhan. Ahli psikologi lebih banyak memberikan perhatian pada pada kajian
manusia dalam kerangka kefungsian dalam kelompok dengan mempelajari perilaku dan ciri
kepribadian. Antropologis selain memiliki perhatian pada kajian seperti halnya sosiologis dan
psikologis menyajikan data dalam kehidupan kelompok dimana terdapat perbedaan yang sangat
jauh antara kehidupan masyarakat tradisional dengan masyarakat industri dan modern. Para ahli
politik memberikan perhatian pada lembaga lebih luas termasuk studi mengenai fungsi
administrasi, politik dan aspek lain yang berhubungan di pedesaan. Ahli ekonomi memiliki
perhatian khusus pada analisis data yang memberikan para pembuatan keputusan sekitar peluang
untuk meningkatkan tabungan untuk kepentingan pertanian dan keluarga dan membuat prediksi
mengenai akibat ekonomi dari penggunaan metode tertentu maupun untuk kepentingan advokasi.
Dinamika kelompok, komunikasi dan psikologi sosial dalam bidang pendidikan memiliki
kontribusi yang sangat bermanfaat untuk pengembangan penyuluhan sebagai suatu disiplin ilmu.
4) Potensi untuk memanfaatkan temuan untuk kepentingan praktek sosial
Setiap orang yang memiliki tanggung jawab dalam memperkuat usaha penyuluhan, harus melihat
tanda-tanda ini sebagai dasar untuk pengembangan program dan praktek sesuai dengan disiplin
pendidikan penyuluhan. Para profesional sampai pada keyakinan untuk meningkatkan standar
dan penetapan semua kelengkapan untuk berjalannya penyuluhan seperti yang diharapkan.
Universitas besar saat ini memiliki pelatihan profesional dan bagian-bagian dalam memberikan
pelatihan pada tingkatan yang lebih tinggi. Jadi tidak aneh nampaknya bila akhir-akhir ini
penyuluhan menjadi kegiatan pelatihan profesional yang dikenal, dimana orang yang pernah
mendapat pelatihan mendapatkan kesempatan lebih luas untuk bekerja dengan pertimbangan
nilai tambah dalam praktek profesionalnya serta meningkatnya penelitian dalam bidang
penyuluhan yang berkaitan dengan kebutuhan pemakai jasa. Potensi ini nampaknya yang harus
mulai mendapatkan perhatian untuk mendapatkan pengembangan lebih lanjut.
Dengan kata lain penyuluhan hendaknya lebih mendapatkan pengakuan sebagai suatu disiplin
ilmu, sejalan dengan demikian kuatnya pengaruh dalam memperluas pengetahuan mengenai
pengaruh pendekatan penyuluhan dalam membuat perubahan yang diharapkan dalam perilaku
manusia termasuk dukungan perundangan mengenai pemerintahan dan pengembangannya.

5) Gambaran untuk meningkatkan penyuluhan sebagai disiplin ilmu


Penyuluhan sebagai suatu disiplin ilmu memiliki akar yang kuat dibeberapa Negara maju seperti
hanya Amerika, dimana di Negara ini banyak pihak yang memiliki sumbangan pada penelitian
dan teori penyuluhan. Mereka juga kelompok pendahulu yang menetapkan lembaga penelitian
yang memiliki perhatian khusus pada penyuluhan.
Waktu dan tempat dimana penyuluhan mendapatkan perhatian khusus bukan hanya kebetulan.
Seperti halnya pelayanan penyuluhan koperasi menjadi cikal bakan untuk perkembangan
penyuluhan sebagai suatu gerakan intelektual. Beberapa tahun setelah perkembangannya hanya
beberapa Negara saja di dunia yang memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan
penyuluhan. Saat ini penyuluhan tumbuh dari akar budaya yang kokoh baik di Amerika maupun
India. Sejumlah pendorong yang memungkinkan untuk semakin berkembangnya penyuluhan
dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Jadi terdapat sejumlah faktor pendukung pada perkembangan penyuluhan yaitu dukungan
masyarakat, perkembangan ilmu sosial dan perkembangan profesi yang mendukung pada wujud
penyuluhan terutama yang berhubungan dengan pemahaman, objektivitas, kepercayaan,
kemampuan melakukan perkiraan dan pengontrolan.
Dukungan yang sangat membantu antara lain diterbitkannya sejumlah jurnal seperti halnya jurnal
pelayanan penyuluhan koperasi di Amerika dan Jurnal penyuluhan India, mendorong pada
perubahan berpikir dan menjadi awal pada pengembangan profesi mengenai penyuluhan.
Perkembangan keilmuan penyuluhan dengan demikian tidak hanya bersifat sederhana dan
seragam akan tetapi berkembang menjadi sangat bervariasi, rumit dan dinamis. Sejalan dengan
lahirnya beberapa pandangan baru semakin berkembang pula kebutuhan akan penelitian dan
semakin berkembangnya konsep baru dalam upaya mengatasi permasalahan.
Pengamatan dalam melihat interaksi sosial yang berkembang, yang semula hanya untuk
kepentingan melihat data kualitatif berkaitan dengan perilaku selanjutnya mendorong penelitian
yang lebih luas dalam penelitian mengenai penyuluhan.
Dengan lahirnya beberapa universitas pertanian dan lembaga penyuluhan pertanian semakin
mengakselerasi perkembangan penyuluhan. Semakin berkembang semakin meluas pula
penelitian yang berhubungan dengan penyuluhan.
Dari berbagai kajian, capaian dari kajian penyuluhan meliputi:
a) titik berat dari penyuluhan pertanian yang berkaitan dengan pengorganisasian manusia
dihasilkan dari observasi dan penelitian;
b) informasi dan fakta yang dihasilkan dari observasi dan penelitian;
c) dapat dikembangkannya batang tubuh yang berbentuk kesimpulan dan generalisasi menjadi
sebuah prinsip atau teori;
d) penyuluhan menggunakan metode penelitian sosial dan statistik yang pada gilirannya
mendorong pada penelitian lebih jauh, mengungkap sejumlah informasi, hipotesis diuji dan teori
dihasilkan;
e) penggunaan metode demikian bermanfaat dalam untuk memecahkan permasalahan dalam
memecahkan masalah pendidikan;
f) informasi dan pengetahuan, prinsip dan metode yang dipergunakan merupakan bahan dalam
pengemabangan hakikat penyuluhan yang selanjutnya menjadi bahan bagi pengembangan teori
dan praktek dalam penyuluhan.
l. Tujuan penyuluhan
Tujuan dari penyuluhan sebagai ilmu yaitu membangun batang tubuh keilmuan, fakta dan
generalisasi yang dapat dimanfaatkan oleh pendidik, peneliti dan penyuluh dalam mewujudkan
tujuan profesi dan budaya. Dari sejumlah analisa dapat dikembangkan sejumlah tujuan yang
berhubungan dengan penyuluhan yaitu:
1) mengembangkan keyakinan dan mewujudkan sejumlah fakta yang perkembangnya dapat
meningkatkan, memungkinkan proses pembelajaran, peningkatan perilaku sosial dan
meningkatkan penyesuaian kepribadian. Perwujudan dari tujuan akan meningkatkan apresiasi
dari sumbangan penyuluhan bagi para penyuluh dan para guru;
2) membantu dalam mendefinisikan dan mengembangkan tujuan penyuluhan dan standar yang
berkaitan dengan perilaku yang diharapkan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan itu;
3) membantu dalam mengembangkan perilaku simpati akan peserta penyuluhan sehingga
perilaku mereka sesuai dengan tujuan yang ditetapkan;
4) membantu dalam meningkatkan pemahaman sifat dan manfaat hubungan kemanusiaan dan
metode dalam memahami peserta penyuluhan bersamaan dengan pemahaman bagaimana bisa
bekerja satu dengan lainnya, partisipasi dalam kelompok dan kerjasama;
5) menyediakan batang tubuh mengenai fakta dan prinsip yang dapat dipergunakan dalam
memecahkan permalahan dan pemecahan proyek yang berkaitan dengan penyuluhan;
6) membantu dalam memberikan dukungan pada penyuluh dalam memahami perspektif untuk
menemukan dan memperoleh hasil yang lebih baik dari setiap usaha dan praktek pihak lain;
7) meningkatkan kemampuan penyuluh melalui peningkatan penguasaan fakta dan teknik yang
dibutuhkan dalam upaya menganalisis perilaku baik diri sendiri maupun pihak lain dalam upaya
mencapai penyesuaian normal terbaik dalam upaya lebih meningkatkan dan menyesuaikan
penyuluhan;
8) membantu dalam mendefinisikan, memelihara dan membuat perpaduan metode penyuluhan
yang lebih maju, mengembangkan prosedur dan teknik untuk memperluas teknik yang lebih
canggih dalam bentuk yang lebih sederhana dan dapat dipahami.
m. Prinsip Pemuasan Semua Pihak
Pemberian pemuasan pada semua pihak merupakan bagian utama dari penyuluhan. Bila mampu
memberikan kepuasan pada orang, maka serta merta semua pihak yang terpuaskan akan
memberikan dukungan penuh pada penyuluhan yang akan diberikan dan keberlangsungannya.
Patut diketahui sejalan dengan pertumbuhan demokrasi dalam kehidupan tidak lagi manusia
dipandang sebagai mesin. Sehubungan hal ini kebermaknaan dalam mengikuti kegiatan
penyuluhan harus sepenuhnya tergantung pada kesadaran diri, dan ini hanya mungkin dipenuhi
melalui pemberian kepuasan penuh pada mereka yang memiliki kaitan dengan penyuluhan
Atas dasar itu penyuluhan dapat dibedakan dengan pendidikan pada umumnya dari beberapa
aspek seperti di bawah ini:
PENDIDIKAN FORMAL PENYULUHAN
Pendidikan dimulai dengan deori yang diikuti dengan praktek Penyuluhan memulai dengan
praktek, kenyataan lapangan dan pemasalahan yang diikuti dengan pamahaman mengenai
konsep dan teori
Pendidikan sangat berdasar pada kurikulum baku Tidak ada kurikulumyang sangat baku. Dengan
keberadaan seperti ini dimungkinkajn untuk melakukan perubahan sesuai dengan kebutuhan dari
peserta pelatihan
Peserta pelatihan umumnya sangat homogen Peserta pelatihan umumnya sangat beragam
Mengajar sangat berdasar pada kurikulum yang ditentukan dari satu pusat dan relaltif sama untuk
satu tindakan Pembelajaran berlangsung secara horisontal dan berbasis pada permasalahan
Harus mengikuti tata cara yang berlaku dalam kelembagaan dan hampir tidak ada kesempatan
untuk melakukan perubahan pada cara yang ada Adanya kebebasan atas kesepakatan untuk
memilih bahan ajar
Pendidikan ini lebih bersifat khususan untuk suatu jenjang atau spesialisasi tertentu
Pembelajaran bukan didasarkan atas keperluan untuk jenjang pendidikan tertentu akan tetapi
lebih bersifat informal
Pengajaran berlaku satu arah yaitu oleh pengajar pada yang diajar Melakukan pembelajaran
dengan menggunakan potensi lokal.
Terdapat beberapa pihak yang memiliki sumbangan pada proses penyuluhan yanb baik, yaitu
penyuluh, perencana dan para spesialis kurikulum. Kriteria umum penyuluh yang berhasil,
adalah sebagai berikut:
1) melakukan penyuluhan dengan persiapan yang memadai menggunakan pembelajaran
pendekatan penyuluhan yang umum dipergunakan pada penyuluhan, seperti melalui diskusi,
pembahasan permasalahan dan pemecahannaya menggunakan sebanyak mungkin potensi yang
ada pada peserta penyuluhan,
2) pembelajaran diikuti dengan metode yang memadai yang umumnya menggunakan metode
demonstrasi,
3) mampu menterjemahkan pemikiran dan teori yang rumit menjadi bahan yang mudah
dipahami,
4) mampu mengorganisasikan workshop,
5) mampu mengorganisasikan peserta pada kegiatan lapangan untuk mempraktekan hasil
penyuluhan,
6) mampu mengorganisasikan peserta penyuluhan pada proses pembelajaran dengan
mengakomodasi minat dan kebutuhan peserta
7) berperan sebagai manusia sumber dan memiliki kemampuan untuk memecahkan
permasalahan yang rumit.
Sesuai dengan persyaratan ini seorang penyuluh yang baik umumnya memiliki ciri-ciri
memahami secara utuh dari semua materi yang harus diberikan pada proses penyuluhan, antusias
dalam memberikan penyuluhan dan penguasaan materi, memiliki minat yang memadai pada
perkembangan peserta penyuluhan, pemahaman yang luas mengenai pembelajaran, memiliki
minat mengenai pengembangan diri dan kepribadian, memiliki minat pada pengembangan diri
agar dibutuhkan (demanding) dan mampu memberikan motivasi untuk mengembangkan diri.
Selain itu dibutuhkan pula kemampuan perencana program, yang umumnya harus memiliki
kemampuan sebagai berikut:
1) mampu berperan sktif dalam proses penyuluhan,
2) memiliki pengetahuan yang memadai pengenai substansi penyuluhan,
3) pengetahuan yang memadai dalam melakukan pentahapan dalam proses penyuluhan,
4) dapat menetapkan metode yang paling bernilaiguna untuk dipergunakan dalam penyuluhan
5) dapat mensuplai lembaga dengan informasi yang paling mutakhir,
6) memiliki pengetahuan yang memadai mengenai cara mengevaluasi, melakukan pengolahan
data dan intepretasi hasil,
7) memiliki sejumlah data hasil penyuluhan yang telah dilakukan pada waktu lalu,
8) mampu mengembangkan diri berbasis pengalaman penyuluhan masa lalu untuk
mengembangkan kemampuan masa datang,
9) memiliki perhatian ekstra dalam mendalami proses penyuluhan yang menjadi tanggung
jawabnya,
Penyuluh juga harus mendapatkan dukungan dari ahli dalam bidang penyuluhan dan substansi.
Kemampuan khusus ahli substansi yang dituntut yaitu:
1) memiliki pemahaman yang luas mengenai materi yang akan disampaikan pada proses
penyuluhan,
2) memahami materi yang mutakhir yang akan dimanfaatkan dalam proses penyuluhan,
3) berperan sebagai penghubung dengan proses penelitian
4) mampu memilih, menginterpretasi dan memiliki kemampuan untuk memecahkan
permasalahan yang sedang dihadapi,
5) memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan hubungan antar manusia,
6) aktif untuk berperan dalam proses demonstrasi yang ada pada wilayah-wilayah yang memiliki
kaitan dengan materei penyuluhan
7) memiliki kaitan dengan sistem pendidikan tinggi yang berhubungan dengan penyuluhan dan
substansi penyuluhan
8) memiliki pengetahuan yang luas yang berhubungan dengan materi penyuluhan dan peran
spesialisasi

D. Kiat Melatih Dan Memberikan Penyuluhan


Memberikan penyuluhan membutuhkan kiat tersendiri selain dari jam terbang, juga harus
memperhatikan faktor psikologis dan sosiologis dalam memberikan pelatihan maupun
penyuluhan.
Kemampuan untuk mempersiapkan pemaparan
Pemaparan dipergunakan pada setiap pelatihan dan penyuluhan. Kemampuan mepersiapkan
pemaparan merupakan kunci untuk keberhasilan kegiatan-kegiatan tersebut. Pemahaman utama
yang menjadi dasar untuk mempersiapkan pemaparan yaitu:
1. ide, konsep dan isu yang berhubungan dengan substansi yang akan disampaikan pada sasaran
pelatihan dan penyuluhan
2. kemampuan berbicara dihadapan publik,
3. kemampuan untuk menyampaikan materi,
Mempersiapkan
Dalam mempersiapkan sejumlah kata kunci yang harus dijawab yaitu siapa peserta pelatihan
pelatihan atau penyuluhan, materi yang akan disampaikan, tujuan pembelajaran, sekitar tempat
pelaksanaan pemberian pelatihan dan penyuluhan dan bagaimana cara memberikan atau
menyampaikan materi.
Bagian utama yang dari persiapkan adalah memperhitrungkan peserta pelatihan. Hal yang perlu
mendapatkan pengkajian yang minat, keinginan, apa yang telah diketahui, harapan dan
keuntungan yang akan diperoleh dari proses penyuluhan.
Mempersiapkan juga mengantisipasi struktur dari kebutuhan peserta pelatihan, apa yang akan
disampaikan pada peserta , apa tujuan, pengalokasian waktu, pertanyaan yang bisa dipersiapkan
atau diantisipasi akan berkembang, dukungan materi yang harus dipersiapkan, pengaturan
pokok-pokok secara runtun dan mempersiapkan handout untuk penyajian.
Mengawali penampilan persiapan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Perhatian
harus didukung dengan pemanfraatan humor, adanya bahan yang dipergunakan sebagai kejutan,
mengembangkan pertanyaan, membahas sejarah yang berhubungan dengan materi,
menyampaikan fakta dan latar belakang yang kesemuanya dirancang sealami mungkin. Masih
bagian tidak terpisahkan yaitu kemampuan untuk memberikan motivasi pada peserta didik yang
diawali dengan kemampuan untuk mendengarkan semua aspirasi yang berkembang selama
proses, terutama proses pencairan suasana.
Struktur penyajian harus dipesiapkan sedemikian rupa. Faktor-faktor yang termasuk dalam
pengembangan struktur untuk penampilan yaitu keruntunan yang logis dan bisa dipahami,
adanya simpulan dari proses pemaparan, memberikan perhatian alat bantu, handout. Ukuran dari
penggunaan struktur yaitu posisi yang jelas, permsalahan yang akan dipecahkan, kemungkinan
yang bisa berkembang dan kerangka acuan atau rancangan dari seluruh penampilan.
Setelah semua kegiatan dilakukan bagian dari persiapan yaitu penutupan. Kegiatan ini dilakukan
selama 2-2.5 menit yang merupakan bagian terpenting dari seluruh pemaparan. Adanya
kesimpulan dan sejumlah rekomendasi yang akan dikembangkan setelah seluruh pemaparan
selesai.
Saat pemaparan
Saat pemaparan dianggap efektif sesuai kenyataan:
1. aktif dan adanya variasi gerak,
2. memiliki tujuan yang jelas
3. adanya variasi baik lisan volume dan tingkat kecepatan
4. selami mungkin
5. memiliki sasaran yang jelas, dengan catatan jangan hanya ditujukan pada kelompok tertentu
akan tetapi pada semua yang hadir.
Tidak semua materi dapat disampaikan secara sempurna terdapat beberapa faktor penghambat
diantaranya faktor hambatan komunikasi verbal. Hal ini terjadi terjadi karena:
1. berbicara terlalu cepat,
2. tidak memiliki tekanan dalam pembicaraan
3. penggunaan istilah yang mendua dan sulit dipahami,
4. keadaan fisik dari peserta yang tidak menunjang
5. datar dan tidak ada variasi selama proses pemaparan
Untuk mengurangi kemungkinan terjadi kekurangan faktor komunikasi ini dapat diatasi dengan:
1. melihat langsung pada peserta
2. memanfaatkan umpan balik dari masukan nonverbal
3. melakukan modifikasi disesuaikan dengan kebutuhan peserta ,
4. ada kehati-hatian dalam membuat paparan
Menjawab pertanyaan dapat membantu mengurangi kelemahan dalam proses pemaparan. Khusus
dalam menjawab pertanyaan hendaknya diperjatikan:
1. jangan bingung dan membuat bingung peserta dalam menjawab pertanyaan
2. jangan berpretensi pemapar mengetahui segalanya, sehingga tidak perlu segan untuk
memberikan peluang menjawab pada pihak lain,
3. kemampuan untuk melakukan antisipasi pada pertanyaan dan jawaban
4. untuk beberapa hal pertanyaan dapat menggiring pada pokok-pokok yang harus mendapatkan
penekanan pada proses pemaparan.
Masalah sikap pemapar juga cukup mempengaruhi proses secara keseluruhan, sikap yang harus
ditunjukkan yaitu:
1. ketika kita menyampaikan paparan menggunakan proyektor usahakan untuk selalu menatap
peserta pelatihan,
2. mengusahakan untuk menunjuk pokok yang dibahas,
3. pencahayaan yang memadai,
4. adanya variasi warna
5. dapat dilihat dengan jelas,
6. maksimal menggunakan 10 baris dan tiap baris maksimal 10 kata.
Beberapa kiat yang harus menjadi keperdulian penyuluh adalah seperti di bawah ini.
1. Kekhawatiran
Setiap pelatih senantiasa dihadapkan pada kekhawatiran sebelum menyajikan sesuatu bahan atau
berdiri dihadapan terlatih. Kekhawatiran dapat dianggap sebagai suatu kewajaran akan tetapi
kekhawatiran dapat menjadi patal karena hilangnya konsentrasi dan arah pembicaraan. Untuk
mengurangi bahkan menghialngkan kekhawatiran sampai pada ketakutan dapat dilakukan
melalui usaha-usaha sebagai berikut:
a. mempersiapkan penyajian sesempurna mungkin. Seorang pelatih profesional mempersiapkan
bahan pemebelajaran sedetil mungkin, menguasai dan mempersiapkan bahan pembelajaran serta
memiliki kesiapan dengan cara melatih diri sebelum benar-benar tampil dihadapan kelas.
b. Memanfaatkan ice breaker. Memecah suasana belajar sangat bermanfaat memecah kebekuan
lingkungan belajar dengan cara melibatkan semua pihak dalam proses pelatihan maupun dalam
upaya mengurangi ketegangan yang dialami pelatih sendiri. Pemanfaatan menyanyi bersama,
menari bersama atau menggunakan sejumlah jock dapat memecah kebekuan dalam belajar
c. Berbagi mengenai kekhawatiran dan ketakutan sebelum tampil dengan peserta pelatihan
adalah sesuatu yang normal. Karenanya sampai batas tertentu perlu juga disampaikan akan tetapi
tidak untuk setiap saat. Selanjutnya ada baik tampil rilek dan tanpa tekanan
2. Kredibel
Seorang yang kredibel menguasai materi, menguasai cara penyampaian, alat dan bahan serta
suasana proses pembelajaran. Beberapa acauan yang harus diperhatikan yaitu:
a. pengusaan materi pembelajaran. Seorang yang kredibel menguasai sepenuhnya materi, cara
penyampaian semua ilustrasi yang berkaitan dengan materi yang disampaikan
b. memiliki sikap sebagai seorang ahli. Seorang ahli selalu mempersiapkan bahan dan melakukan
pengorganisasian secara seksama. Seorang yang kredibel harus mampu mendengarkan dalam
waktu singkat, mampu melakukan observasi dan memanfaatkan hasil belajar dalam waktu
singkat dan mengaplikasikan dalam proses pembelajaran
c. beberapa rintangan dalam belajar banyak hal ditentukan oleh ketidakfahaman antara pelatih
dengan pihak yang dilatih. Sekaitan dengan itu tidak ada salah untuk berbagi mengenai latar
belakang baik kemampuan pelatih maupun yang dilatih untuk mencari kesamaan di atas
perbedaan.
3. Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadi, menjadi dasar untuk berhasilnya proses pelatihan maupun penyuluhan.
Pengalaman juga faktor yang harus dijaring dari peserta pelatihan agar bisa dimanfaatkan
sebagai bahan pembelajaran. Kiat yang bisa dimanfaatkan antara lain:
a. pelatih dapat menyampaikan pengalaman pada peserta pelatiihan sekitar bidang pengetahuann
yang dikuasainya.
b. peserta pelatihan menyampaikan latar belakang pengalaman, atau menyampaikan pertanyaan
sekitar pengalaman dan berikan pula kesempatan peserta atau peserta lain untuk saling
menanggapi.
c. menggunakan sejumlah analogi, tokoh film atau tokoh terkenal lainnya. Pelatih memanfaatkan
kejadian yang dikenal bersama atau sebuah situasi yang dapat dipahami sebagai bahan untuk
proses pembelajaran.
4. Memahami kesulitan peserta pelatihan
Seorang peserta pelatihan yang kredibel harus berempati, mampu memahami permasalahan yang
dihadapi oleh peserta. Dengan memahami secara proporsional dapat memanfaatkan
permasalahan yang dihadapi peserta pelatihan sebagai bagian dari proses pembelajaran dan
mengatasi langsung permasalahan. Langkah yang biasa dilakukan para pelatih dalam memahami
permasalahan peserta pelatihan antara lain:
a. memanfaatkan permasalahan. Pelatih dapat memanfaatkan humor untuk tidak menyinggung
salah seorang peserta pelatihan. Pada kesempatan lain dapat pula memanfaatkan waktu istirahat
untuk menanggapi permasalahan yang dihadapi peserta pelatihan
b. penggunaan kontak nonverbal, seperti halnya kontak mata sebagai bagian dari tanggapan pada
permasalahan yang dihadapi peserta . Hal serupa dapat dilakukan pula oleh peserta lain dalam
upaya memberikan apresiasi pada permasalahan yang dihadapi seseorang.
c. Menggunakan kelompok kecil untuk saling berbagi pengalaman. Kadang permasalahan tidak
muncul dalam kelompok besar maupun cara menanggapinya tidak semua dapat dilakukan pada
kelompopk besar. Untuk ini pelatih dapat mengembangkan struktur kelompok yang lebih kecil
untuk saling berbagi permasalahan yang dihadapi peserta pelatihan.
5. Partisipasi
Tingkat partisipasi yang dilakukan oleh peserta pelatihan merupakan ukuran berhasil tidaknya
proses pelatihan. Partisipasi bias dalam bentuk pemikiran, maupun tindakan. Pelatihan yang
lebih modern justru memanfaatkan peserta pelatihan, nara sumber bahkan tokoh masyarakat
dalam menyelenggarakan pembelajaran di kelas maupun dalam menunjang pembelajaran.
Tindakan yang dapat dilakukan pelatih antara lain:
a. menyampaikan pertanyaan terbuka. Pelatih bisa menggunakan pertanyaan terbuka dalam
upaya menampung semua partisipasi peserta pelatihan dan memberikan umpan balik pada proses
pelatihan
b. mengembangkan kelompok kecil. Menggunakan kelompok kecil dimaksudkan untuk
memberikan kebebasan pada peserta untuk lebih banyak berpartisipasi.
c. Memberikan kesempatan untuk berpartisipasi. Pelatih dapat pula mengembangkan struktur dan
memberikan kesempatan pada peserta untuk berpartisipasi dalam proses pelatihan
6. Waktu
a. merencakan pelatihan dengan cara seksama. Pelatih dapat mengelola waktu melalui penyiapan
bahan secara seksama sehingga waktu yang dipergunakan lebih efisien dan tidak mengarah pada
pemanfaatan waktu yang kurang efektif.
b. Melakukan persiapan dan praktek sebelum melakukan proses pelatihan dan penyuluhan
7. Melakukan Penyesuaian Proses Pelatihan
Pelatihan mungkin tidak berjalan sesuai dengan perhitungan yang telah dirancang sebelumnya.
Untuk hal itu perlu dilakukan berbagai penyesuaian melalui:
a. memahami benar kebutuhan perorangan maupun kelompok. Pelatih harus peka pada
kebutuhan perorangan maupun kelompok. Hal ini perlu diketahui pada awal pemberian pelatihan
sehingga bisa dilakukan penyesuaian seperlunya
b. meminta umpan balik dari peserta . Penyesuain juga bisa didasarkan pada umpan balik yang
diberikan oleh peserta pelatihan, dengan mana pelatih dapat melakukan penyuaian secara
periodik.
c. Mendisain ulang materi pelatihan. Disain ulang dimaksudkan dalam upaya melakukan
penyesuaian pelatihan.
8. Pertanyaan
Menjawab pertanyaan. Jawaban atas pertanyaan merupakan bagian dari kesempurnaan pelatihan.
Hal ini dapat ditingkatkan kebermaknaannya melalui:
a. melakukan antisipasi pada pertanyaan. Pertanyaan harus dijawab secara sempurna untuk
memberikan kepuasan pada proses pelatihan maupun dalam mengembangkan suasana pelatihan
b. mengulang kembali pokok pertanyaan yang diajukan peserta pelatihan. Untuk memberikan
antisipasi yang maksimal pada pertanyaan yang diberikan peserta pelatihan, dapat pula dengan
cara mengulang pokok pertanyaan yang diajukan peserta
c. jangan segan untuk mengakui pertanyaan yang diajukan peserta dengan cara memberikan
kesempatan pada ahli lain atau peserta untuk memberikan jawaban dan memberikan komentar
proporsional dan penghargaan pada jawaban yang diberikan
Menjawab pertanyaan
 memberikan jawaban secara singkat dan jelas dan memberikan apresiasi wajar pada pemberi
pertanyaan
9. Umpan balik
a. umpan balik dilakukan secara informal. Pertanyaan merupakan alat yang ampuh dalam
melakukan umpan balik proses pembelajaran dan pelatihan.
b. Evaluasi sumatif. Evaluasi sumatif merupakan alat lain yang dapat dimanfaatkan dalam upaya
memperoleh umpan balik pada proses pembelajaran.
10. Media, Bahan Pembelajaran dan Fasilitas
Media
a. memahami benar semua perlengkapan yang dipergunakan. Pelatih memahami benar semua
alat dan bahan yang dipergunakan sebagai media pembelajaran
b. memiliki cadangan media. Setiap pelatihan akan dihadapkan pada kegagalan dalam
penggunaan media. Untuk hal itu pelatih harus mempersiapkan alat dan bahan cadangan bila satu
saat menghadapi permasalahan dalam penggunaan media
c. mengenali ahli yang memahami benar menggunakan media. Hal ini diperlukan sewaktu-waktu
terjadinya permasalahan penggunaan media atau bahan pendukungnya.
Material
a. mempersiapkan bahan secara seksama

Fasilitas
a. mempersiapkan bahan secara seksama. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengeceknya jauh
sebelum proses pelatihan dimulai
b. datang lebih awal. Hal ini dimaksudkan dalam upaya mengenai fasilitas dan mempersiapkan
lebih awal sebelum pelatihan atau penyuluhan dimulai.
11. Pembukaan dan Penutupan
Pembukaan
a. selalu membuka setiap pertemuan. Hal ini dilakukan dengan memberikan ice breker. Selalu
melakukan observasi dan mencoba akan selalu memutakhirkan bahan untuk pembuka pertemuan
b. melakukan proses pelatihan secara tenang. Ketenangan dalam bagian dari pembukaan maupun
penciptaan susana yang mendukung.
Penutupan
a. membuat kesimpulan pada setiap proses pelatihan atau penyuluhan. Seorang profesional
berusaha untuk membuat kesimpulan singkat padat pada setiap penampilan sesuai dengan tujuan
yang menjadi arah pelatihan
b. memberikan apresiasi pada peserta dengan mengucapkan terima kasih.
12. Catatan Khusus
a. membuat catatan sebagai kebutuhan khusus
b. memanfaatkan bahan visual seperti manual sebagai bahan pelatihan
c. melakukan pelatihan sebelum melakukan pelatihan sebenarnya

Mempersiapkan penyuluhan
Persiapan penyuluhan seperti halnya juga untuk mempersiapkan seminar, pembelajaran dan
kegiatan sejenis sangat tergantung pada kemampuan untuk merencanakan. Semuanya sangat
tergantung pada kemampuan komunikasi, kemampuan dalam memberikan pengaruh, gagasan
yang cemerlang untuk menunjang proses penampilan serta kemampuan dalam mengajar
(memulai, melaksanakan dan mengerjakannya dengan sempurna). Secara keseluruhan persiapan
penyuluhan sangat tergantung pada pemahaman mengenai keberhasilan penyuluhan,
mempersiapkan bahan penyuluhan, pemahaman sejumlah model penyuluhan, penggunaan
beberapa alat Bantu dalam menunjang penyuluhan.
Penyuluhan yang berhasil
Kegagalan penyuluhan sangat tergantung pada beberapa faktor, seperti dapat diamati pada
sejumlah penyuluhan yang pernah kita laksanakan. Tanda-tanda yang muncul kepermukaan
terutama dilihat dari materi penyuluhan antara lain:
a. tidak jelas tujuan yang akan dicapai melalui penyuluhan,
b. kelemahan dalam struktur yang disajikan,
c. terlalu banyak informasi dan tidak dikelola seperti yang diharapkan atau sebaliknya informasi
yang terlalu sedikit,
d. kurang menghargai peserta , seperti tidak memberikan kesempatan untuk mengemukakan
pendapat atau kurang memberikan apresiasi pada proses penyuluhan,
e. kurang adanya kontak mata dengan peserta ,
f. penampilan yang kurang terorganisasi,
g. terlalu banyak kesalahan dan sikap depensif yang ditunjukkan oleh penyuluh terutama dalam
menerima semua kelemahan yang menyertai proses penyuluhan,
Sebaliknya penyuluhan yang berhasil dan dikatakan baik adalah memiliki sejumlah cirri:
a. memiliki tujuan yang jelas dan dapat dipahami oleh peserta ,
b. memiliki struktur yang jelas, baik dari sisi penyuluh atau peserta ,
c. memiliki informasi yang jelas yang dapat diikuti oleh peserta ,
d. selain dari pemaparan verbal juga dilengkapi dengan penampilan nonverbal,
e. hubungan dengan peserta demikian dekat serta bahan yang dikomunikasikan cukup relevan
Terdapat tiga tahapan dalam mempersiapkan penyuluhan yang baik yaitu perencanaan, persiapan
dan pemeriksaan persiapan penyuluhan. Dalam tahap ini yang harus diperhatikan yaitu:
a. mempertimbangkan sepenuhnya peserta yang akan mengikuti penyuluhan baik dari segi
kebutuhan, latar belakang sosial ekonomi maupun psikologis,
b. penetapan tujuan penyuluhan,
c. penetapan lama waktu penyuluhan,
d. mempersiapkan tempat yang menadai,
e. mempersiapkan alat dan bahan
f. membuat rancangan semua bahan yang akan dipergunakan.
Bahan ini secara sistemik terdiri dari tujuan, struktur (rangkaian logis dari penyuluhan, bahan
utama dan kesimpulan), bahasa, alat bantu dan pertanyaan yang akan dipergunakan sebagai alat
ukur dari proses penyuluhan. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam mempersiapkan
penyuluhan yaitu:
a. upayakan untuk memusatkan perhatian dari seluruh peserta pelatihan,
b. upayakan untuk memberikan penguatan,
c. memulai dengan membuat kesimpulan, semua informasi harus cukup tersedia untuk
menunjang simpulan yang akan dibuat,
d. membuat kunci-kunci keberhasilan dari semua tahapan yang akan dibuat.
Dalam melakukan persiapan harus diupayakan untuk melakukan praktek, bagaimana alur, waktu
yang dipergunakan, bagaimana komunikasi ebrlangsung, alat dan bahan apa yang dipergunakan,
bagaimana semua pertanyaan dapat dijawab dengan memuaskan semua pihak.
Tanggung jawab dalam penyuluhan
Tanggung jawab yang harus ditunjukkan dalam penyuluhan yaitu:
a. melakukan analisis pekerjaan dan mengembangkan deskripsi pekerjaan yang dipikul posisi
tertentu
b. membantu karyawan untuk mengembangkan penghargaan akan pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya
c. membuat pekerjaan sedemikian berharga dan dianggap sebagai suatu tantangan sehingga
semua karyawan mampu mengembangkan diri sesuai potensi yang dimilikinya,
d. mengembangkan metode agar pekerjaan menjadi mudah tanpa mengurangi standar dan
prosedur standar operasional yang dimiliki lembaga penyuluhan,
e. menempatkan pekerjaan demikian berarti sehingga semua karyawan memenuhi standar sesuai
dengan kebutuhan yang harus dipenuhinya
f. memberikan pelatihan dan pelatihan sebelum jabatan untuk karyawan,
g. memperkenalkan karyawan baru pada sesama pekerja,
h. memperkenalkan karwayan baru pada siapa mereka harus bertanggungjawab
i. mengembangkan rasa aman diantara karyawan dan peluang untuk saling membantu yang
menguntungkan,
j. membantu mengembangkan kondisi yang menunjang untuk setiap karyawan aagar mampu
mengerjakan pekerjaan dalam sebagai tim
k. mengembangkan disiplin diri berdasar pada keyakinan terutama dalam menunjang kerja tim

BAB V
MANAJEMEN PELATIHAN

A. Pendahuluan
Pelatihan pada konsep ini merupakan bagian dari pembelajaran sepanjang hayat ( continuing
Education) Tujuan dan keberadaan pelatihan berbeda dari suatu lembaga dengan lembaga lain.
Akan tetapi pada akhirnya tujuan dari lembaga yanag berhubungan dengan Pelatihan sangat
berkaitan dengan bagaimana efektivitas dalam mencapai tujuan. Bila setiap orang mempunyai
urunan yang sama untuk mencapai tujuan, pada akhirnya ketercapaian tujuan ini sangat
tergantung pada keberadaan manajer yang secara khusus memiliki tugas khusus dalam
melakukan perencanaan, pengorganisasian dan mengevaluasi setiap kegiatan lembaga dalam
upaya untuk mencapai tujuan.
B. Materi pembelajaran
Manajer setiap saat harus siap untuk bersaing dalam upaya menyelenggarakan kegiatan yang
diperlukan. Untuk tujuan ini manajer harus menyelengarakan antar hubungan melalui proses
yang sangat rumit. Pendekatan manajer yang berdasar pada personal lebih banyak dilakukan
dengan berdasar pada pertimbangan filosophis dalam upaya untuk membuat perencanaan,
pengorganisasian dan mengevaluasi pengalaman belajar bagi peserta belajar di luar sekolah.
Manajemen ialah seni dan ilmu dalam upaya untuk mencapai tujuan orang-orang. Dalam
beberapa segi manajemen berbeda dengan administrasi karena yang terakhir ini lebih
menekankan pada keterselenggaraan tugas dibandingkan dengan melakukan kerjasama dengan
orang-orang. Litelatur yang berhubungan dengan pelatihan sering mengunakan istilah
manajemen dengan administrasi secara bergantian. Akan tetapi pada kepustakaan yang terakhir
istilah manajemen yang paling banyak dipergunakan. Istilah lain yang banyak dipergunakan
untuk menggantikan manajemen yaitu kepemimpinan, akan tetapi kepemimpinan tidak terlalu
banyak memiliki kajian pada mengelola organisasi. Kepemimpinan adalah kapasitas untuk
mengembangkan harapan anggota. Jadi kepemimpinan harusnya menjadi keperdulian dari semua
anggota dalam suatu organisasi.
C. Perspektif Manajemen Pelatihan
Bagian berikut memaparkan jaringan kerja dari manajemen Pelatihan. Manajemen Pelatihan
terdiri dari lima subsistem yaitu (1) Tujuan jangka pendek dan jangka panjang (2) stuktur, yaitu
tugas yang harus dikerjakan serta pembagian dan koordinasinya (3) psikokultural dan
sosiokultural, perilaku perorangan dan motivasi, group dinamik, budaya dan perilaku politik (4)
teknis, teknik untuk mentransformasikan program yang dibutuhkan serta gagasan kedalam
kursus, workshop, seminar dll. (5) manajerial, merupakan hal yang paling mendasar dan upaya
untuk mengkoordinasikan subsistem dalam upaya mencapai tujuan, merencanakan struktur,
mengimplementasikan kebijakan, memfasilitasi dinamika kelompok dari lembaga, menetapkan
proses pengawasan. Kelima subsistem itu merupakan dasar dari perencanaan dan
implementasinya.
Sistem manajerial merupakan sasaran utama dari pembahasan mengenai pengelolaan. Untuk hal
itu akan dibahas beberapa faktor utama yang berhubungan dengan pengelolaan ini.
Berikut ini digambarkan jaringan dari pengelolaan dalam Pelatihan

Terdapat empat tugas pelatihan yaitu pemerograman, staffing, pembiayaan dan pemasaran.
Keempat tugas itu dilaksanakan dengan menyelenggarakan tiga fungsi manajemen yaitu
perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi. Pelaksanaan fungsi manajemen itu harus pula
didasarkan kepada keadaan sosial masyarakat meliputi keluarga dan organisasi kemasyarakatan
lainnya, masyarakat dan sistem belajar manusia.
Litelatur mengenai pengelolaan pelatihan memiliki banyak keragaman dalam fungsi dan
peranannya. Secara umum fungsi pengelolaan meliputi perencanaan, pengorganisasin, staffing,
kepemimpinan dan pengawasan (Langerman dan Smith, 1979). Tugas manajerial yang isinya
memuat tugas yang harus dikerjakan dibedakan dengan fungsi (langkah-langkah dimana tugas
dipenuhi dan diakses). Kepemimpinan tidak dimasukkan pada salah satu tugas maupun funsgi
karena harus dijalankan olegh semua staf. Evaluasi menggantikan pengawasan karena evaluasi
dilakukan secara bersama, dengan asumsi tidak dibedakan secara tegas antara atasan bawahan
yang biasanya menjadi bagian utama pada pengawasan.

D. Tugas Pokok Manajemen pada Pelatihan


Terdapat empat tugas pokok pada manajemen Pelatihan yaitu programming, pembiayaan,
staffing dan pemasaran. Keempat tugas itu diletakkan berdasarkan perioritas. Tugas yang paling
utama yaitu programming, yang merupakan tujuan utama dari manajemen pelatihan. Pembuatan
program dilakukan oleh staf dan semuanya menjadi mungkin untuk berjalan dengan dukungan
pembiayaan. Pemasaran yang merupapakan bagian akhir dari suatu proses manajemen,
membutuhkan kepemimpinan yang kreatif dari suatu program Pelatihan dalam upaya untuk
mempromosikan kegiatan, yang umumnya didukung dengan pembiayaan yang terbatas.
Pemrograman. Program dapat dikatakan merupakan puncak segalanya, yang membentuk image
tentang sebuah organisasi serta menjadi dasar untuk pengembangan keputusan serta dukungan.
Program juga yang kemudian menjadi dasar dapat dicapainya produktivitas yang merupakan
identias dari sebuah organisasi. Pada sisi lain dibutuhkan staf yang memiliki responsivitas yang
tinggi, program yang berkulitas akan membeerikan dukungan pada lembaga keluarga serta
menjamin keberadaannya yang sehat, mendapat dukungan serta memiliki keberhasilan.
Seorang pembuat program mempunyai tugas yang berbeda dengan anggota yang lain. Seorang
manajer Pelatihan mempunyai kewajiban pada peserta Pelatihan untuk memberikan arah serta
landasan philosifis yang sesuai yang menjadi dalam pemrograman. Setiap program hendaknya
memiliki jaminan (1) mencerminkan misi dari unit Pelatihan dan unit keluarga (2) diprogramkan
dan dilaksanakan sesuai dengan tahapan pelatihan yang dilaksanakan (3) menunjukkan kualitas
pada tahapan dimana program dilaksanakan. Untuk tujuan ini manajer hendaknya memiliki
pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan penjajagan kebutuhan dari setiap peserta didik
yang pada hakekatnya sangat beragam, menyertakan peserta didik dalam membuat keputusan,
membuat perencanaan dan mengevaluasi proses pengembangan kemampuan mencipta dari setiap
peserta didik, serta puncak dari segalanya harus menguasai benar teori dan praktek dari
Pelatihan.
Staffing. Selama manajemen diartikan ketercapaian program lembaga dengan bekerja efektif dan
efisien melalui orang-oranng, maka keberhasilan manajemen sepenuhnya hanya tergantung pada
penampilan staf. Fungsi dari staffing terdiri dari perekrutan, pengenalan dan perkenalan,
pengembangan dan menghasilkan staf yang baik. Dalam hubungannya dengan programming
sebagai inti dari suatu lembaga, staffing tidak kalah pentingnya sebagai fungsi inti. Sesuai
dengan sifatnya dari Pelatihan yang sepenuhnya bertumpu pada kekuatan masyarakat dan orang-
orang keberadaan staff yang bersifat voluntir menjadi ciri utamanya.
Staff yang handal harus didasarkan pada kemampuan yang tinggi dan keahlian. Untuk
mendapatkan persyaratan ini manajer harus mengembangkan kepemimpinan dan kemampuan
memberdayakan staf untuk mengembangkan kepemimpinan dan kekuatan yang berada pada
dirinya. Pemberdayaan dan kemampuan megembangkan diri sesungguhnya enjadi ciri pula bagi
Pelatihan. Dengan berdasar pada kekuatan ini maka penciptaan kemampuan staf yang dinamis,
sejalan dengan pengembangan staf yng berkeahlian dan ekselence. Hampir semua manajer lebih
banyak mengkonsentrasikan diri pada ootoritas, sedangkan yang diharapkan dari seorang
manajer yang bijaksana adalah mengembangkan kemampuan kepemimpinan stafnya.
Manajer harus pula membina kemampuan staf dalam mengembangkan kepribadian dari
profesionalnya dengan cara menggabungkan antara kemampuan memebelajarkan diri, membaca,
keterlibatan dalam pertemuan ilmiah dan keterlibatan dalam lembaga profesional. Kepaduan ini
dapat memadukan antara kontak ke dunia luar dan pengembangan gagasan baru, sesuai dengan
peningkatan kemampuan berpikir dan introspeksi.
Pembiayaan
Keperdulian dari organisasi berikutnya yaitu pencarian sumber-sumber untuk pembiayaan.
Pembiayaan ini bersumber dari pungutan yang diperoleh dari peserta belajar sampai pada grand
dan pembiayaan yang bersumber dari pemerintah. Manajer dalam hubungan ini
bertanggungjawab dalam menjamin pembiayaan yang penuh sesui dengan tujuan organisasi serta
tujuan dari program yang dilaksanakan.
Pemasaran
Pemasaran merupakan kajian baru dalam Pelatihan. Kejadian yang umum yaitu kegagalan dari
manajer dalam mengenali sumber unsur sektor nonprofit seperti halnya Pelatihan. Kunci dari
keberhasilan dalam memperoleh dukungan dana untuk kepentingan penunjangan dana sektor
nonprofit yaitu dengan menyelenggarakan pelayanan yang maksimum terutama bagi klient yang
menjadi andalan program pelatihan. Hal ini sesuai dengan tujuan penyelenggaraan pelatihan
terutama dilihat dari filsafat yang dikembangkannya yaitu memberikan informasi yang lengkap,
merangsang (stimulate) dan memenuhi kebutuhan dari peserta didik dan orang tua sebagai klient.
Pemasaran tidak terbatas pada pengguna dari instansi khusus maupun hanya untuk kepentingan
individu. Sikap ini hendaknya dikembangkan secar luas di kalangan lembaga penyelenggara
pelatihan. Setiap orang yang merasa perduli dengan pemasaran harus mulai pemikiran dalam
upaya memenuhi kepentingan klient. Staf yang bertugas hendaknya senantiasa melaksanakan
dialog dan melakukan perencanaan bersama dengan peserta didik agar tetap terjamin komunikasi
yang saling menguntungkan, peningkatan dan evaluasi yang berkesinambungan dalam upaya
memenuhi kebutuhan setiap pihak.

E. Fungsi Manajemen
Walaupun terdapat banyak variasi mengenai fungsi manajemen, namun terdapat tiga fungsi
utama manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi. Ketiga fungsi ini sering
dilihat secara linier, yaitu perencanaan sebagai awal dari fungsi manajemen serta evaluasi berada
pada perencanaan dan pengorganisasian. Pada pemikiran lain ketiga fungsi ini berlangsung
secara simultan, dinamis dan saling menunjang satu dengan lainnya. Dalam hubungan ini
perencanaan tidak senantiasa diakhiri dengan pengorganisasian serta evaluasi tidak selalu berada
diujung perencanaan dan pengorganisasian.
1. Perencanaan
Setiap program pelatihan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu serta bagaimana mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan adalah proses bagaimana menetapkan tujuan serta
menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan yang ditetapkan melalui tahapan analisis
dan evaluasi alternatif yang mungkin dikerjakan. Perencanaan berfungsi pula untuk menetapkan
dasar dan arah untuk sebuah lembaga pelatihan dan mengarahkan program yang dilakukan secara
bersama oleh anggota staf untuk mencapai tujuan yang secara eksplisit telah ditetapkan dalam
perencanaan.
Salah satu pendekatan khusus dalam perencanaan yaitu perencanaan strategis, dengan
menggabung secara komprehensif dasar-dasar manajemen. Perencanaan ini lebih merupakan
metodologi yang mempertimbangkan secara sungguh-sungguh seluruh pertimbangan lingkungan
dan peluang serta hambatan. Tujuan utama dari perencanaan strategis yaitu memadukan antara
tujuan fungsional dengan perencanaan operasional dari staf. Terdapat lima langkah dari
perencananan strategis yaitu: Satu, penetapan tujuan dari lembaga (bagaimana cara untuk
memberikan pelayanan pada klient). Kedua, menetapkan kekuatan dari lembaga (Bagaimana
cara kerja yang baik serta mengapa dilakukan). Ketiga, penetapan kenyataan dan potensi dari
klien (bagaimana sasaran pelatihan dilayani, apa yang seharusnya dilakukan serta sejauh mana
kita memahami harapan mereka). Keempat, penetapan faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi lembaga (sumber-sumber yang dibutuhkan dari lembaga pelatihan dan
masyarakat). Kelima, pengembangan dan operasional kegiatan (apa yang seharusnya yang harus
dilaksanakan dalam pemerograman, staffing dan pemasaran serta apakah semua itu bisa didanai)
Perencanaan merupakan keseimbangan tugas satuan pelatihan, programming, staffing,
pemasaran dan kemampuan finansial. Dalam arti sempit perencanaan diartikan upaya
menghadapi tantangan untuk mencapai efektivitas.
2. Pengorganisasian
Perencanaan yang dibuat harus dilaksanakan. Pengoorganisasian yaitu menegembangkan sistem
peranan dan tanggung jawab serta pendelegasian tugas dan sumber-sumber untuk menjamin
penampilan yang maksimum, kejelasan harapan dan pembuatan keputusan yang efektif.
Lembaga yang berhasil memliki dasar yang kuat, struktur lembaga yang tidak terlalu rumit yang
memungkinkan terjadinya fleksibilitas dan adaptasi yang cepat. Dalam hubungan ini, lembaga
pelatihan yang berhasil ditandai dengan kejelasan tujuan lembaga yang akan dicapai serta
peluang untuk terselenggaranya fungsi secara efektif.
3. Evaluasi
Secepat perkembangan dari perencanaan, serta sumber-sumber diorganisasikan dibutuhkan pula
dukungan kemampuan untuk mengevaluasi proses dalam upaya menilai keberhasilan tujuan yang
ditetapkan. Dengan evaluasi, staf akan memiliki gambaran antara kenyataan yang telah dicapai
dengan harapan yang diinginkan dalam perencananaan. Pada hal lain dapat diketahui
penyimpangan yang terjadi, sehingga dapat dilakukan perubahan dari komponen kelembagaan
dalam upaya untuk menjamin ketercapaian rencana yang ditetapkan.
Evaluasi yang diselenggarakan hendaknya mempertimbangkan antara kemampuan untuk
menyediakan informasi yang dibutuhkan serta kemudahan dalam upaya untuk
mengimplementasikan program. Metode yang dipergunakan harus pula memperhatikan hak-hak
staf maupun peserta belajar. Evaluasi dilakukan melalui analisis data, interview pada klien dan
audit program. Hal yang terpenting lainnya evaluasi hendaknya dilakukan melalui upaya yang
hati-hati berdasar atas observasi personal yang berkelanjutan.
Fungsi dan tugas dari manajemen dilaksanakan dalam organisasi dan lingkungan masyarakat
yang keduanya bisa membatasi keberfungsian manajerial

Lingkungan dimana Fungsi Pelatihan dilaksanakan.


Setiap organisasi berlangsung dalam lingkungan yang mempengaruhi penyelenggaraan satuan
pelatihan serta masyarakat yang dipengaruhi penyelenggaraan pelatihan. Satuan pelatihan itu
sendiri terdiri dari kumpulan orang-orang dan fungsi tertentu. Satuan pelatihan itu sendiri
merupakan bagian tidak terpisahkan dari kekuatan organisasi keluarga, masyarakat dan sistem
belajar umat manusia.
1. Unit Pelatihan
Faktor utama yang harus menjadi perhatian dalam manajemen yaitu suasana/iklim unit Pelatihan.
Untuk meningkatkan pelayanan serta kualitas kerja dari staf diperlukan suasana kerja yang
menunjang. Lingkungan kerja yang menunjang demikian mempengaruhi pandangan dari staf
mengenai lingkungan kerja serta bagaimana seharusnya menyelesaikan pekerjaan. Programming
yang efektif dan kualitas pelayanan bersumber dari lingkungan kerja yang nyaman serta adanya
saling pengertuan dan harga menghargai diantara sesama staf.
2. Organisasi Keluarga
Pelatihan merupakan bagian dari lembaga yang lebih besar yang bidang garapannya tidak hanya
sebatas yang berhubungan dengan pelatihan. Keluarga secara berarti memiliki sumbangan pada
penydiaan sumber-sumber untuk kepentingan penyelenggaraan pelatihan. Atas dasar itu unit
pelatihan sudah sewajarnya memahami dengan sepenuhnya budaya dan dinamika dari organisasi
keluarga. Unit pelatihan harus mengenal pula peran-peran yang ada pada pelatihan keluarga ini
serta mengembangkan pelatihan sesai dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikembangkan di
lingkungan keluarga. Hal penting lainnya upaya menjalin kerjasama dengan unit/bagian yang
menajdi cakupan dari lembaga keluarga. Bila kerjasama dan mekanisme kerja ini berjalan sesuai
dengan nilai yang dikembangkan keluarga, maka unit pelatihan secara tidak langsung telah
mengembangkan sumber-sumber yang sesungguhnya menjadi dasar pengembangannya.
3. Masyarakat
Bila unit pelatihan memiliki keperdulian pada lingkungan disekitarnya, maka yang dimaksud
diantaranya yaitu masyarakat disekitar unit tersebut. Pada tataran ini termasuk semua sasaran
pelatihan, organisasi dari klien dan kelompoknya, orang yang menjadi provider, kritisi, dan
pendukung. Untuk memperoleh informasi yang diharapakan dibutuhkan kemampuan untuk
meneliti aspek yang paling bernilai guna dari sumber yang ada pada masyarakat. Kemampuan
untuk meneliti sumber masyarakat menjadi dasar bagi pengembangan kevcenderungan dan
kegiatan yang menjadi bagian dari unit pelatihan. Hal yang paling inti dari lingkungan
masyarakat harus dikategorikan, dikumpulkan dan dianalisis. Kumpulan data ini merupakan
bagian dari perenvcanaan strategik. Beberapa yang umum dijadikan masukkan untuk unit
Pelatihan meliputi: demografi, ekonomi, sumber daya alam, teknologi, politik, dan budaya. Data
yang bernilai guna ini pada tahapan akhir perlu dikajiulang untuk mendapatkan data ayang
benar-benar paling bermanfaat.
Sistem pembelajaran masyarakat.
Bagian terakhir dari manajemen lingkungan yaitu organisasi sistem pembelajaran masyarakat.
Unit Pelatihan yang umumnya hidup dan mendapat dukungan dari sistem pembelajaran dari
masyarakat harus mengenal dengan pasti sistem seperti keluarga, masyarakat, mesjid,
lingkungan kerja, media, sekolah, perguruan tinggi. Sistem ini dilihat dari kemitraan dan antar
hubungan (interdependensi) mempunyai hubungan baik langsung maupun tidak dengan
penyelenggaraan unit pelatihan. Unit ini saling berhubungan baik langsung maupun tidak secara
formal maupun informal. Manajer dalam dekade kedepan ini harus benar-benar memperhatikan
komponen dan interaksi dengan unit pembelajaran masyarakat.

F. Mengelola Unit Pelatihan.


Prinsip-prinsip dasar dari organisasi berlaku dalam mengelola unit pelatihan. Hal yang sangat
menatang justru dalam mengaplikasikan prinsip ini pada lembaga yang lebih khusus yang
umumnya sangat rumit pada dekade ini.
Bangsa maupun dunia saat ini dihadapkan pada era baru yang lebih dikenal dengan era
informasi, masyarakat jasa, masyarakat komputer, serta masyarakat ekonomi baru. Semua itu
secara bersama bergerak menuju teknologi tingkat tinggi, persaingan internasional, komunikasi
yang berdasar pada media, keterlibatan kelompok minoritas, semakin meningkatnya prinsip
individualime serta erosinya beberapa nilai sosial dan kerentanan keluarga. Hal yang harus
menjadi perhatian dari unit pelatihan pada dekade ini terutama berkaitan dengan tenaga kerja dan
media. Demikian pula keberadaan dari keluarga, lembaga keagamaan dan masyarakat sendiri
yang semakin melemahnya kemampuannya sebagai provider. Sama halnya dengan sekolah yang
karena keterbatasannya hanya mampu memberikan kemampuan dasar dalam pengembangan
sumber daya manusia yang pada saat yang bersamaan memberikan peluang pada organisasi
kemasayarakatan untuk lebih melengkapkan pelatihan. Pada hal lain media berada pada
persimpangan jalan apakah menjadi bagian dari penyedia sarana untuk proses pembelajaran atau
hanya memenuhi fungsinya sebagai entertainer.
Pada keberadaan melemahnya institusi dan media ini, unit Pelatihan harus menunjukkan
funsginya dengan penekanan pada kualitas pelayanan. Bagaimana manajer dapat menjemput
peluang ini? Jawabannya tergantung pada sistem manajemen, yang berkaitan dengan kefungsian
pada tahapan pemerograman, pembiayaan, pemasarana dan staffing yang memungkinkan
terjalinnya jaringan kerja yang memungkinkan untuk mmengidentifikasikan kecenderungan
utama (key trends) dan isu-isu yang dipadukan dengan pedoman manajemen yang efektif.
Pemprograman. Unit pelatihan luar seklah hendaknya memiliki sensitivitas pada hal-hal sebagai
berikut:
• Lingkungan kerja hendaknya menjadi pusat kegiatan belajar bagi umumnya penduduk.
Lembaga pelatihan harus bertanggungjawab untuk menjadikan lingkungan kerja sebagai pusat
belajar.
• Kompetisi bagi peserta belajar akan semakin meningkat. Pada kondisi seperti dibuthkan
kemampuan untuk memberikan bimbingan melalui kemampuan pemasaran dan promosi yang
canggih. Hubungan dengan lembaga lain di luar unit Pelatihan akan semakin dibutuhkan dalam
upaya memberikan pelayanan pada peserta belajar yang siap untuk berkompetisi.
• Semakin berkembangnya budaya dan heterogennya keadaan penduduk yang membutuhkan
cara pembelajaran yang berbeda pada tahapan belajar yang berbeda pula.
Beberapa hal yang akan mempengaruhi bagian programming pada dekade ini, yaitu:
• Perencanaan akan semakin sulit berkaitan dengan peningkatan kebutuhan, latar belakang sosial
ekonomi yang demikian beragam serta keterbatasan sumber-sumber yang berkelanjutan.
• Unit Pelatihan harus lebih adaptif yang pada saat yang sama unit pendidkan masih demikian
terikat oleh tradisi pembelajaran yang klasik.
• Unit Pelatihan akan semakin bersaing baik yang diselenggarakan oleh lingkungan lembaga
resmi maupun lembaga lain yang pada saat bersaamaan menyelenggarakan proses Pelatihan.
Pelatihan akan berkisar antara yang bersifat peluncuran menjadi pelatihan yang bersifat learner
oriented. Bila sifat pelatihannya lebih diarahkan pada pekerjaan maka lingkungan pelatihan harus
lebih diarahkan pada lingkungan kerja seperti hanya perkantoran, toko, pusat latihan dan
executive suite. Program hendaknya lebih banyak diarahkan pada kebutuhan pelanggan,
teknologi tingkat tinggi (high tech dan berdasar pada komputer) serta lebih berpusat pada
pengembangan individu.
Semakin meluas keragaman peserta didik semakin diperlukan keterlibatan peserta belajar dalam
perencanaan. Demikian pula staf yang sifat waktu penuh menuntut pemahaman yang lebih jauh
dari kebutuhan peserta didik dan basa-basi bahwa mereka memiliki urunan yang kuat dalam
menetuka perencanaan sudah harus dihapus. Kepanitiaan unit Pelatihan harus terdiri dari para
perencana yang mampu menerima saran dari berbagai pihak serta dialog yang berkelanjutan serta
kebutuhan perkelompok harus lebih diwujudkan.
Evaluasi hedaknya lebih diarahkan dari performance based learning pada produktivitas peserta
belajar yang bersamaan dengan pengembangan lembaga. Sekalipun tujuan unit pelatihan lebih
dikembangkan pada pengembangan keterampialn akan tetapi pada saat yang sama tidak mungkin
dilepaskan dari kemampuan manajerial dan kemampuan belajar. Pada gilirannya satuan pelatihan
tidak pula melupakan tentang outcome.
Staffing
Ada beberapa asumsi sehubungan dengan outcome.
• Peningkatan kualitas staff dipengaruhi secara berarti oleh tingkat pelatihan. Kemapanan dalam
menghadapi pekerjaan mempunyai kaitan dengan kaitan dengan kepemimpinan dan manajemen
yang inovatif.
• Dengan tidak melemahkan faktor penghasilan, dibutuhkan pula kepuasan dalam bekerja,
rintangan, dan kepemimpinan.
Dari kecenderungan itu selanjutnya berkembang isu-isu:
• Perubahan di lingkungan staf akan meningkat manakala para profesional unit pelatihan
diganggu faktor bisnis.
• Campu tangan pihak keluarga sebagai organisasi akan meningkat sejalan dengan penampilan
dari unit pelatihan yang bersifat marginal
• Kedua hal itu sejalan dengan penghasilan yang tidak meningkat dan beratnya beban kerja akan
mengundang semakin meningkatnya stres dan mengganggu keberaadaan staf unti pelatihan.
Setiap manajer harus memiliki keyakinan bahwa keberadaan mereka semata-mata untuk
menggerakkan orang-oang di sekitar mereka. Tugas yang kritis berikutnya yaitu untuk
memberikan dorongan kepada staf yang memiliki potensi agar mampu tampil maksimal.
Sehubungan dengan ini lembaga pelatihan harus senantiasa fleksibel untuk mengakomodasikan
setiap potensi dari staf.
Sikap yang positif terhadap keberadaan dan peningkatan staf akan mendorong staf nit pelatihan
untuk meningkatkan dedikasi serta perannya pada unit pelatihan, yang pada saat yang bersamaan
jumlah gaji yang diterima tidak merupakan satu-satunya jaminan dukungan mereka pada
keberadaan unit pelatihan. Manager yang memiliki kemampuan untuk mendukung staf dan
memiliki sensitivitas yang tinggi akan memberikan rangsangan kepada para pencinta lain untuk
memberikan dukungannya pada penyelenggaraan unit pelatihan dengan tidak semata-mata
tertarik oleh besarnya jumlah penghasilan. Faktorlain yang demikian kuat dukungannya untuk
meengembangkan kerjasama penampilan perorangan (individual performance) dan produktivitas
kelompok dari staf. Manager memberikan dukungan pada staf dengan cara memfasilitasi untuk
bekerja secara efektif serta memiliki pengaruh yang nyata untuk pelayanan bagi unit pelatihan
yang merupakan puncak dari kepemimpinan bagi unit pelatihan yang dipimpinannya.
Pembiayaan.
Kecenderungan-kecenderungan yang akan memberikan dampak pada unit pelatihan mengenai
pembiayaan diantaranya:
• Kebutuhan akan pelatihan semakin meningkat secepat perkembangannya yang tidak lagi
dianggap satu-satunya pemuas pencapaian tujuan.
• Tekanan untuk pelayanan lainnya seperti bantuan untuk mereka yang terkena pengaruh obat
bius adan kejahatan akan semakin mengurangi dana untuk penyelenggaraan pelatihan
• Di lingkungan pelatihan sendiri, maslaah yang selalu timbul seperti halnya tinggi angka
dropout akan semakin membutuhkan dana yang lebih besar.
Sehubungan dengan kecenderungan ini maka dana untuk penyelenggaraan pelatihan yang akan
terjadi:
• Dana untuk penyelenggaraan pelatihan setiap tahunnya akan cenderung menurun.
• Kebijakan untuk penyelenggaraan pelatihan yang paling realitis yaitu dengan self sustaining.
• Kebijakan administrasi pendukung penyelenggaraan unit pelatihan sudah waktunya menjadi
sumber keuangan untuk penyelenggaraan kegiatan yang lebih besar.
Unit pelatihan sesuai dengan asumsi-asumsi di atas hendaknya mengembangkan pernannya
sebagai unit produksi yang berdasar pada usaha wirausaha. Sekaitan dengan pemikiran ini istilah
profit hendaknya lebih diterjemahkan pada kemampuan untuk menutup semua pembiayaan
secara normal seperti halnya untuk kepentingan ruangan, mebeler dan penggajian bukan semata-
mata untuk keuntungan dalam arti umum. Pada tahapan berikutnya sumber-sumber untuk
kegiatan unit pelatihan harus dikembangkan untuk pertumbuhan dan perkembangan dimasa yang
akan datang. Seperti yang sering dikemukakan ahli, bahwa profit adalah biaya yang harus selalu
menjadi bagian dari suatu usaha bisnis. Ini adalah bibit untuk pertumbuhan di masa yang akan
datang serta dana yang dicurahkan untuk pertumbuhan yang sehat bagi kemajuan unit pelatihan
terutama dalam menghadapi persaingan global pada dekade yang akan datang.
Pemasaran
Kecenderungan dalam pemasaran yang memiliki pengaruh pada pelatihan, meliputi:
• Pemasaran lebih tertuju pada produk yang sifatnya pelayanan (service) dibanding dengan
pemasaran dalam bentuk barang dan benda yang biasa dijual.
• Pengiklanan akan cenderung meningkat dan canggih menggunakan berbagai media dan
strategi.
• Pengiklanan yang terbaik masih tetap pada word of mouth, kata meluncur dari media sejalan
dengan peningkatan jaringan dalam setiap bidang.
Sesuai dengan asumsi ini berkembang kecenderungan berikutnya:
• Kebutuhan akan ahli pemasaran akan cenderung meningkat, akan tetapi dana untuk bidang ini
akan semakin menuurun serta curahan dana yang cenderung aka semakin mengecil pula.
• Dibutuhkan waktu yang lebih banyak bagi staf untuk mengembangkan strategi pemasaran yang
komprehensif dengan fokus lebih pada pelayanan.
• Unit pelatihan harus meningkatkan keperdulian bahwa peserta belajar adalah sebagai
customers.
Sangat langka keberadaan staf yang memiliki keahlian dalam pemasaran. Pada bagian awal dari
tulisan ini ditekankan bahwa kompetisi pemasaran pelatihan unit pelatihan akan menjadi bagian
utama pada dekade ini. Sehubungan dengan ini diperlukan seorang ahli yang profesinal yang full
timer. Dukungan dana untuk pemasaran perlu pula ditingkatkan.
Toleransi lingkungan pada kealfaan dalam pemasaran akan semakin sulit untuk diperoleh.
Sehubungan dengan hal ini diperlukan strategi pemasaran yang inovatif serta perencanaan yang
semakin ditingkatkan untuk memaksimalkan kemampuan unit pelatihan sendiri. Program yang
semakin ditingkatkan dan sumber belajar harus semakin ditingkatkan, dengan penekanan pada
strategi pemasaran dan pengiklanan yang creatif yang ditujukan pada poulasi yang terarah
pula/pangsa pasar.
Pemarasan ang utama ditujukan pada pembelajar yang bekerja (worker learner), sedang pada saat
yang sama sasaran lainnyapun harus pula mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.
Pertimbangan utama hendanya diberikan pula pada pendekatan lingkaran belajar dengan
penekanan bahwa peserta belajar adalah customer. Dalam hubungan ini pemilihan kegiatan
ditujukan pada pertimbangan utama bahwa apa yang dicurahkan oleh peserta belajar akan
mendapat imbalan dalam bentuk kebutuhan individual. Dengan cara memperogram pelajaran
untuk kelompok kecil atau learning circles, memungkinkan manajer unit pelatihan untuk
menetakan program inti serta mengembankan sumber-sumber pendukungnya. Dari gambaran ini
selanjutnya bisa dikembangkan program dan rencana pemasarana untuk sasaran yang lebih
terarah seperti halnya para profesional baru, kelompok yang menghadapi PHK, asosiasi
profesional serta persatuan dari pengusaha. Semua kemungkinannya sangat tergantung pada
kreativitas manajer.
Pemasaran yang paling efektif selanjutnya masih tetap akan didominasi oleh program yang
berkualitas yang dikreasi dengan berdasar pada learner-centered. Hal ini sesuai dengan asumsi
bahwa unit pelatihan yang berhasil tergantung pada apresiasi dan pemahaman peserta belajar
bahwa belajar yang akan diikuti dan sedang dilakukannya merupakan bagian dari urusan dirinya
sendiri.
Kecenderungan dari unit pelatihan pada dekade terakhir ini membatasi kreativitas dan efektivitas
dari manajer sehingga tidak semua sasaran secara efisien bisa dilakukan. Jawaban yang langsung
tergantung pada bagaimana kita mengantisipasi kecenderungan, ketanggapan pada isu yang
berkembang serta bagaimana tugas-tugas manajemen secara efektif dilaksanakan akan
menghasilakan buah secara langsung. Hadiah langsung bagi seorang manajer yaitu keuntungan
dalam bentuk kepemimpinan yang efektif dan staf yang produktif yang mendukung pada
perwujudan program yang berkualitas.

G. Peluang Pendidik untuk meningkatkan diri


Sesungguhnya terdapat berbagai peluang bagi Pendidik untuk melakukan proses pembelajaran
baik secara formal maupun informal. Dalam keterbatasan waktu yang dimilikinya pelatih,
terdapat beberapa peluang bagi untuk meningkatkan diri, baik yang bersifat formal maupun
informal. Dalam keterbatasan waktu yang dimilikinya, sangat penting baginya untuk melihat
peluang belajar ini sebagai bagian dari pelatihan seumur hidup (life long learning). Peluang
belajar ini lebih dikenal dengan fasilitasi belajar (Koppich and Knapp, 1998). Proses belajar bagi
Pendidik sangat tergantung pada ciri-ciri lingkungan belajar yang efektif, baik yang menyangkut
pelatihan inservice maupun pelatihan pada tingkatan perguruan tinggi.
Peluang belajar bagi seorang pelatih dapat dikembangkan dari praktek mengajar yang
dilakukannya. Bila proses mengajar ini dikembangkan atas dasar upaya monitoring dan
penyesuaian atau dilihat dari model pengajaran yang lebih rasional maka hal ini dapat
dikategorikan pada proses pembelajaran bagi pelatih. Dengan cara ini pelatih dapat memperoleh
pengetahuan baru dan memahami lebih jauh mengenai peserta, tempat pelatihan, kurikulum dan
metode pembelajaran dengan cara menyelenggarakan proses eksperimen sesuai dengan
pengembangan profesi yang menjadi keperduliannya. Pelatih juga dapat mengembangkan upaya
pembelajaran bagi dirinya dengan mengembangkan berbagai jenis penelitian, misalnya dengan
cara mengembangkan action research, dengan menindaklanjuti melalui jurnal, essay, riset
tindakan kelas dan proses inkuiri.
Pendidik dapat pula mengembangkan proses pembelajaran dengan melakukan interaksi dengan
sesama pelatih. Proses seperti ini sering dilakukan pada mentoring dalam kegiatan permagangan.
Pendekatan yang lebih formal bisa dilakukan dengan mengikuti proses pembimbingan yang
diberikan oleh pelatih tertentu yang bisa dilakukan melalui program pemerintah. Dalam bentuk
informal dilakukan melalui proses pembicaraan yang dilakukan sesama pelatih. Proses lain yang
biasa dilakukan melalui kegiatan supervisi yang dilakukan oleh pihak pengawas, pimpinan atau
pihak lainnya. Dalam kadar yang demikian terbatas pengembangan pelatih dapat dilakukan
dalam proses pembelajaran seperti inservice formal.
Pengawas umumnya mengenali pihak yang memiliki kahlian, dan melalui mereka dikembangkan
kegiatan inservice kepada sesama pelatih. Proses pembelajaran dapat terjadi pula pada saat
pelatih memperoleh peluang untuk mengajar di luar sekolahnya, dengan cara bertemu teman
seprofesi atau melalui workshop dan penampilan didepan pelatih lainnya.
Peluang lain lagi dapat diperoleh dengan cara mengikuti pelatihan formal atau program gelar,
atau melalui kegiatan khusus yang deselenggarakan dalam upaya meningkatkan kemampuan
pelatih.
Pelatih dapat pula mengikuti program master, baik untuk program master pelatihan dalam upaya
untuk memperoleh sertifikasi atau dalam upaya promosi yang berhubungan dengan peningkatan
pendapatan/gaji. Dalam kegiatan seperti ini penekanan lebih pada penguasaan gelar
dibandingkan dengan penguasaan materi pembelajaran.
Bagian terakhir yang berhubungan dengan peningkatan kemampuan pelatih yaitu mempelajari
materi di luar tugas profesinya, dengan mempelajari pengembangan intelektual dan moral. Bahan
yang dipelajari bisa bentuk nondidaktik dalam bentuk pelatihan atau hal lain yang berhubungan
dengen kepemudaan dalam masyarakat.
Mengingat demikian banyaknya variasi kesempatan belajar bagi seorang pelatih, maka tidak
mungkin untuk mengelompokkannya dalam kualitas tertentu sebagai proses pembelajaran yang
berkualitas serta amat terbatas kegiatan yang bersifat finansial. Selain dari itu amat terbatas pula
invesmen publik yang secara khusus ditujukan untuk pengembangan kemampuan profesional
pelatih.

H. Kualitas peluang pembelajaran bagi Pelatih.


Kesempatan pembelajaran bagi seorang pelatih memang terbatas akan tetapi tidak berarti tidak
dapat memenuhi kualitas yang diharapkan. Beberapa kecenderungan yang berkembang dapat
dilihat dari pembelajaran yang berpusat pada peserta belajar, pembelajaran yang berpokok pada
pengetahuan, pembelajaran yang berpangkal pada kebutuhan dan pembelajaran yang berpangkal
pada masyarakat.
Salah satu proses pembelajaran berlangsung di lingkungan pelatih sebagai peserta belajar.
Lingkungan pembelajaran yang berpangkal pada peserta belajar lebih menekankan pada
kekuatan, minat dan kebutuhan dari pelatih sebagai peserta belajar. Beberapa kesimpulan dari
proses pembelajran ini lebih bersifat ceramah dan workshop yang umumnya tidak atas kebutuhan
pelatih. Keinginan untuk mengikuti proses pembelajaran yang didasarkan pada kebutuhan pelatih
dalam upaya memenuhi standar seorang pelatih. Pelatih yang memiliki keinginan menjadi
seorang profesional, dilakukan dengan cara kerap menghadiri pertemuan dalam membahas
kurikulum.
Proses pembelajaran bagi pelatih ini lebih menekankan pada pengetahuan dalam kontek
pedagogi yang umumnya tidak terlalu ideal. Kelemahan umumnya terletak pengetahuan
berkembang dari pelatih ke pelatih akan tetapi kurang didukung dengan penelitian.
Pembelajaran berdasar pada asesmen. Dengan asesmen peluang belajar bagi pelatih lebih
menekankan pada pemahaman dengan cara mencoba dan melakukan umpan balik. Sertifikasi
dikembangkan dalam upaya mengembangkan kemampuan praktis dari pelatih. Kegitan
sertifikasi dapat mengarahkan pelatih untuk menekankan pada segi-segi yang dianggap kurang
diperhatikan. Selain dari itu pelatih yang dipersiapkan untuk program sertifikasi dapat pula
mengembangkan permasalahan yang dihadapinya dengan melakukan diskusi dengan sesama
pelatih berkaitan dengan umpan balik dari proses pembelajaran dan gagasan yang dimilikinya.
Penemuan dari Renyi (1996) menyimpulkan bahwa tujuan sertifikasi yaitu melakukukan
identifikasi tingkat “penguasaan materi/master” pelatih yang telah memiliki tingkatan keahlian
tertentu dalam bidang yang ditekuninya. Pada beberapa negara maju dilakukan pula penilaian
pelatih lokal yang memiliki kemampuan tertentu dengan cara menjaring dan memberikan
penghargaan. Penyaringan seharusnya tidak dilakukan oleh panitia lokal akan tetapi dilakukan
lembaga independen di luar struktur kelembagaan pelatih yang telah ada. Praktek inipun sering
mendapat kritik karena pihak luar dianggap tidak memiliki pemahaman dalam melakukan
penilaian. Bahan yang dijadikan penilaian diantaranya fortfolio yang berhubungan dengan
kerjasama antara pelatih dengan muridnya.
Kemampuan pendidik untuk mengembangkan diri adalah bagian dari makna keberadaan pusat
kegiatan belajar masyarakat, terutama sekaitan dengan fungsinya sebagai wahana peningkatan
diri dan sarana tukar pikiran antar berbagai aktivis yang ada dalam masyarakat.

BAB V
MODEL PELATIHAN
PENDIDIKAN VOKASIONAL DAN TEKNIS

Model ini dikembangkan untuk menjawab model pelatihan yang tepat untuk pelatihan
vokasional dan teknis. Penekanan terletak pada tujuan yang menekankan keterserapan oleh
lingkunga kerja melalui pendidikan yang diselenmggarakan oleh sekolah negeri maupun swasta,
dengan dokus utama pada lembaga publik. Pelatihan nditujukanagar pemuda mampu untuk
diserap oleh lingkungan kerja. Pada diskusi ini tidak dibahas pendidkkan tingkat akademi.
Model pengembangan pelatihan ini terdiri dari empat tahapan:

A. Pemahaman kebijakan
Pemahaman kebijakan bekaitan dengan sumber-sumber yang berlangsung apda sisitem
pendidikan sendiri maupun lingkungan kerja sebagai dsar untuk penetapan kebijakan sesuai
dengan pilihan yang ada terutama yang menyangkut mengenai filsafat. Perusahaan kecil dnegan
sumber daya yang terbatas, berlebihnya tenaga pengawasan dan pelatihan paruh waktu
sepenuhnya sangat tergantung pada sumber dan jasa pelatihan yang dapat disediakan dari luar
sistem. Sebaliknya perusahaan besar dengan tingkat kecanggihan tinggi memiliki lembaga
pelatihan tersendiri sebagai bagian pendukung yang berkitan erat dengan pejualan dan kegiatan
rpoduksi, umumnya memiliki pilihannyanhg cukup banyak dalam penyediaan tenaga kerja.
Dalam menunjang kegiatan pelatihan akan terjadi penambahan biaya dan merupakan resiko
tersendiri bila akan menyelenggarakan sendiri proses pelatihan.
Penyediaan lembaga pelatihan kerja tersendiri bukan merupakan pilihan yang paling baik,
termasuk untuk perusahaan besar sekali pun. Seperti yang dilakukan Perusahaan Motor Ford,
lebih memilih fasilitas yang disediakan oleh lembaga di luar perusahaan dalam memberikan
pelatihan pada tenaga kerjanya. Terndapat pula lembaga seperti general motor dan chrysler yang
memiliki sendiri lembaga pelatihan di lingkungan perusahaan.
Sebagai konsekulensinya diperlukan pengaturan khusus mengenai ketenagaan kerjaan dan
pendidikan vikasional pada semua tataran pemerintahan. Selanjutnya maka lembaga harus
melakukan keputusan: 1) apakah menyelenggarkaan proses pelatihan dengan menggunakan
fasilitas publik 2) bagaimana melakukantanggapan akan tekanan prioritas sosial yang langsung.
Semua keputusan itu harus segera dilakukan dan bila tidak dipandang lebih bermanfaat amat
mungkin pula tidak dapat memenuhi tuntutan kewajiban yang seharusnya ditunjukkan lembaga.
Dalam hal ini pilihan mengenai siapa yang menyelenggarakan pendidikan untuk tenaga kerja
demikian krusial.
Untuk membuat keputusan penggunaan lembaga penyelenggara pelatihan publik serta penetapan
lembaga pendidikan yang lebih memadai berikut programnya yang memenuhi ketentuan
manajemen, dimana pada umumnya tidak menjadi keperdulian. Sebagian kecil pengelola
berpendapat bahwa melalui penyediaan akademi dapat melakukan pelatihan untuk kepentingan
pertanian maupun mekanik. Calon peserta belajar unutk lembaga ini benar-benar merupakan
tantangan tersendiri.
Manajemen dalam hubungan ini perlu secara skeptis dalam melihat manfaat program yang
dikembangkan. Pengembangan akademi tidak luput dari dukungan sponsor yang sungguh-
sungguh. Kerjasama perlu secara berlanjut dilakukan antara pusat pelatihan tenaga kerja, pusat
pelatihan dan lembaga pelatihan keterampilan regional.
Kebijakan lembaga pelatihan sangat ditekankan pada program prioritas yang mempunyai
dimensi nilai tambah. Selama ini pelatihan lebih bayak ditujukan pada peserta belajar hyang
memiliki kekurnagan secara fisik seperti halnya untuk veteran. Dalam rangka pengembangan
pelatihan perhatian harus pula ditujukan dalam upaya memberikan hak yang sama untuk
memperoleh kemampuan vokasional terutama bagi etnis minoritas, perempuan, pekerja yang
lebih tua dalam mempersiapkan kareer dan kepada pihak yang selama ini kurang menfapatkan
perhatian.
Keikutsertaan dalam proses pelatihan berdasar pada sejumlah pertimbangan kebijakan. Dalam
hal ini standar yang ada perlu mendapat peninjauan kembali, peserta latihan hahrus dilihat dalam
hubungannya dengan peluang ekonomi, dengan memanfaatkan subsidi yang bisa disediakan oleh
pemerintah berkaitan dengan peluang kerja yang berkaitan dengan sektor usaha.
Isu yang berhubungan dengan aspek legal, sosial, filsafat dan ekonomi hendaknya menjadi
pertimbangan utama dalam pembuatan keputusan yang berkaitan dengan pelatihan tenaga kerja.
Rangkaian pertimbangan hendaknya lebih diperioritaskan pada aspek manajemen sebelum
diarahkan pada pemanfaatan sumber keterampilan dan teknis yang berhubungtan dengan
program yang dikembangkan.

B. Komitmen bersama mengenai tujuan pelatihan


Analisis kebutuhan dan penetapan tujuan pelatihan merupakan faktor yang demikian penting
dalam pelatihan vokasional dan teknis. Perkembangannya sangat dipengaruhi oleh materi/isi
pelatihan, kualitas dan tingkat kesesuaian antara pelatihan dengan kebutuhan akan tenaga kerja.
Penetapan tujuan yang sesuai berkaitan dengan keterampilan yang diharapkan dan standar
pengetahuan merupakan dasar dalam membuat perencanaan yang sesuai dengan evaluasi tingkat
efektivitas serta sumber-sumber untuk penyelenggaraan pendidikan. Beberapa hal yang harus
dieprhatikan meliputi: analisis tugas, pendidikan prakerja, pendidikan untuk kelompok tertentu
dan program pelatihan.
Analisis tugas
Analisis tugas, tujuan pelatihan dan keterampialn yang diharapkan dan pengetahuan merupakan
hasil yang harus dilihat dari aspek produk (by product) dari gerakan pembelajaran keterampilan.
Terdapat beberapa model analisis tugas, seperti halnya model yang dikembangkan pada lingkup
perbankan.
Pada umumnya pendidik memiliki perhatian yang sungguh-sungguh dalam penetapan tujuan.
Tingkat kesempurnaan sebuah pelatihan banyak dipengaruhi oleh penetapan tujuan dalam
pelatihan vokasional dan teknis.

C. Pendidikan sebelum memasuki lapangan kerja


Pendidikan sebelum memasuki lapangan kerja umumnya dilakukan dalam seting waktu penuh.
Perancangan bahan ajar dilakukan utuk memenuhi kebutuhan kerja seperti halnya kemampuan
mengetik, operator komputer, mekanik otomotif atau asisten memasak. Lulusan umumnya
dikenali melalui sertifikat atau diploma bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan
tingkat akademi. Bila pendidikan ditujukan untuk memperoleh pengakuan dalam memasuki
lapangan kerja, tujuan dalam bentuk perilaku merupakan standar dalam membuat keputusan
ketenagakerjaan.
Pendidikan untuk memasuki lapangan kerja merupakan jawaban pada pertanyaan: dapatkah
lulusan memenuhi standar yang ditetapkan untuk memasuki lapangan kerja? Dapatkah lulusan
menunjukkan kinerja lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak memperoleh pelatihan
khusus? Apakah manfaat dari pelatihan dalam meningkatkan kereer lulusan? Bila perilaku yang
dapat diwujudkan dapat memenuhi standar yang ditetapkan maka pelatihan dapat dikatakan
memenuhi makna efektivitas pembiayaan.

D. Pendidikan untuk kelompok khusus


Kelompok pendididkan ini dimaksudkan bagi peserta pelatihan untuk dipekerjakan khusus atau
untuk organisasi tertentu. Tenaga yang dibutuhkan untuk lembaga tertentu dapat dilatih pada
lembaga khusus atau dengan menggunakan pelatihan yang dimiliki oleh lembaga pendidikan
pemerintah. Menggunakan lembaga pemerintah dengan penataan yang memadai dapat
meningkatkan efektivitas dalam penggunaan sumber-sumber.
Lembaga pelatihan pemerintah dapat melayani perusahaan motor untuk memenuhi kualifikasi
bagi mereka yang gagal mengikuti ujian melalui pemagangan. Untuk memenuhi tingkat
efektivitas lembaga pengirim melakukan identifikasi kesenjangan yang ditunjukkan oleh
pegawai. Kesenjangan ini kemudian dikembangkan menjadi tujuan pembelajaran dan diperbaiki
melalui pembelajaran individual. Pegawai menggunakan pembelkajaran mandiri dan bahan ajar
yang dibutuhkan untuk memperbaiki kekurangan yang dirasakan. Untuk memperbaiki proses,
pembimbing yang ada pada lingkungan lembaga membantu para peserta belajar dengan
memberikan bahan ajar di lingkungan kerja dalam upaya meningkatkan keterlibatan tenaga kerja
dan komitmen pada pekerjaan.
Peserta belajar yang terlibat dalam pelatihan ini umumnya mereka yang memasuki lingkungan
kerja akan tetapi tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai.
Program dan kursus individual
Tipe ketiga dari pelatihan yaitu program dan kursus dengan menggunakan kurikulum standar.
Sekolah baik negeri maupun swasta banyak menyelenggarakan kursus dalam memenuhi tuntutan
lapangan kerja, seperti halnya komputer untuk lingkungan industri maupun untuk kepentingan
tradisional seperti halnya pelatihan sebagai supervisor.
Kursus beragam dan banyak jenisnya, dan para profesional pelatihan mendapat tantangan untuk
memenuhi kebutuhan akan bahan ajar tertentu yang dikehendaki. Ukuran dari sebuah pelatihan
yang diharapkan ditentukan oleh kualitas relevansinya. Dengan banyaknya kursus dan bahan
ajar, maka para profesional sangat tergantung pada evaluasi dari peserta belajar.
Ukuran yang paling baik yaitu sejauh mana catatan tampilan dari peserta kursus. Peserta belajar
yang mengenal dan dapat menunjukkan tujuan yang seharusnya dipenuhi, mereka akan dapat
menjelaskan mengenai makna belajar dan kemanfaatan pengetahuan yang diperoleh dalam
memenuhi pekerjaan.

E. Sumber-sumber pelatihan
Terdapat beberapa sekolah yang menyelenggarakan pendidikan untuk memenuhi tenaga yang
memenuhi kualifikasi dalam bidang keterampilan dan teknis baik untuk pemuda maupun orang
dewasa yang pengkoordinasiannya terletak pada sekolah. Beberapa lembaga pendidikan juga
menyelenggarkan pendidikan pada waktu petang untuk ornag dewasa.
Kurikulum umumnya terbagi menjadi tiga bagian 1) komersil dan bisnis seperti kemampuan
mengetik dan home ekonomic 2) vokasional menekankan pada permesinan, kerja metal dan
perabotan rumah tangga 3) pertanian. Sebagai tambahan juga diselenggarakan pelatihan yang
ditujukan dalam memenuhi kebutuhan pada perkotaan
a. Bidang pendidikan vokasional
Sekolah dengan tipe ini merupakan tipe baru dari lembaga pendidikan dengan tujuan utama
memenuhi kebutuhan masyarakat pada lingkup sosial yang terbatas di pedesaan yang tidak dapat
menyelenggarakan pendidikan teknik setingkat sekolah menengah atas. Lembaga ini umumnya
mendapat pasokan dana dan karenanya memiliki peralatan yang relatif baru dan lengkap
b. Program diploma
Terdapat pula akademi tingkat dasar menyelenggarakan pendidikan yang memadai dengan
perlengkapan yang cukup, baik peralatan maupun staf yang terlatih. Selain memberikan
pelatihan dalam kelas melalui program permagangan lembaga ini juga menyelenggarakan
pelatihan hidraulik, elektronik, teknologi industri, disain alat, perancan gan dan bidang khusus
teknik.
c. Universitas.
Pendidikan yang diselenggarakan selama empat tahun banyak yang menyelenggarakan pelatihan
profesional. Lembaga pemerintah banyak yang menyelenggarakan pelatihan dalam upaya
memperbaharui dan meningkatkan kemampuan untuk bidang tertentu. Pelatihan umumnya
diselenggarakan merupakan pendidikan berkelanjutan dengan ciri pendekatan yang baku,
struktur yang baku dan program dengan kredit konvensional. Umumnya lembaga ini memiliki
pengajar dari industri.

F. Pembelajaran mandiri
Pembelajaran mandiri dimanfaatkan pada lingkungan industri sesuai waktu yang tersedia.
Lembaga pendidikan dengan menggunakan persuratan banyak melayani peminat melalui
pembelajaran mandiri dengan menggunakan bahan ajar, program dan pembimbingan sebagai
bagian dari pelatihan formal.
Beberapa perusahaan besar menggunakan bahan belajar mandiri dengan menggunakan dukungan
media dengan memperhatikan penghematan dana dan menghindari penggajian khusus setelah
selesai pelatihan. Bahan pelatihan dipaket dalam bentuk dipublikasikan secara komersial dan
menggunakan bahan ajar dalam bentuk video tape dan didukung dengan buku sesuai dengan
penyajian video. Beberapa bahan ajar dikemas dalam bentuk simulasi dan bahan pelatihan
mutakhir untuk menjamin kesesuaian dengan lingkiungan kerja.

G. Kursus yang didukung oleh serikat pekerja dan perusahaan


1. Asosiasi
Asosiasi dan perusahaan banyak dimanfaatkan oleh tenaga tenaga kerja sebagai sumber
pembelajaran dan pendidikan. Bangunan milik perusahaan dan asosiasi banyak dimanfaatkan
untuk pemagangan terutama bagi tenaga kerja di kota besar. Beberapa asosiasi melaksanakan
pelatihan bagi mereka yang kurang beruntung. Bangunan milik asosiasi ini dipergunakan unutk
kepentingan pelayanan yang beragam baik untuk pemagangan petukangan sampai pada para
pemasang tegel.
2. Sekolah swasta yang berorientasi pada keuntungan
Di banyak negara sekolah swasta yang bergerak dalam bidang keterampilan menyelenggarakan
pelatihan berbasis pada profit. Selain itu banyak pula sekolah yang menyelenggarakan pelatihan
bagi para pencari kerja dengan memberikan pelatihan mengetik atau melakukan pengolahan data.
Diantara sekolah itu ada pula yang menyelenggarakan sekolah malam dalam upaya meninkatkan
kemampuan tenaga kerja. Kegiatan sekolah ini umumnya luput dari pemberitaan, karenanya
dibutuhkan evaluasi tingkat kemanfaatan dari lembaga ini. Dengan memberikan batasan tujuan
yang lebih khusus selanjutnya kita dapat melihat hasil langsung yang diperoleh bagi peserta
didik sehingga dapat dihindari kegiatan yang kurang bermakna.
3. Pusat pelatihan keterampilan
Pusat kegiatan ini bermula merupakan bagian dari sekolah formal yang menyelenggarakan
pelatihan keterampilan dan pengetahuan umum bagi ornag dewasa yang kurang terampil.
lembaga ini memberikan peluang bagi orang dewasa pencari kerja, buta huruf dan sejenisnya
dengan memberikan layanan dengan waktu yang tidak terlalu ketat. Pusat kegiatan ini
selayaknya terus dikembangkan dalam memberikan pelayanan kebutuhan khusus bagi tenaga
kerja yang beragam.

H. Program dan Pelayanan


Beberapa faktor menentukan jenis program yang dikembangkan. Sekolah negeri kejuruan
menyelenggarakan kegiatan ini sesuai dengan skim pembiayaan yang disediakan dan dibenarkan
menurut perundangan. Beberapa akademi menyelenggarakan secara terpisah dari kegiatan
akademis untuk menjamin mutu lulusan. Kegiatan berbeda dilihat dari pendidikan yang
menyelenggarakan pembelajaran sampai pada penggunaan media pembelajaran menggunakan
alat yang modern. Bentuk layanan yang dikembangkan bisa dalam bentuk pemagangan,
pendidikan koperasi, pelatihan kterampilan dan teknis berkelanjutan.
Pemagangan
Pemagangan dilaksanakan umumnya dengan menggunakan bangunan asosiasi. Pemagangan
merupakan bentuk pendidikan yang paling tua terutama dalam pengembangan industri di negara
maju seperti Amerika.

BAB VI
SUBSTANSI DAN KURIKULUM PNF

A. Pendahuluan
Semakin berkembangnya tuntutan lingkungan disekitar Pendidikan Luar Sekolah menuntun pada
perubahan dan mulai meninggalkan kurikulum yang dibakukan untuk kurun waktu yang
demikian lama. Kurikulum lama sering dihadapkan pada permasalahan retorik karena berangkat
dari konsep pendidikan idealisme dimana mempersiapkan peserta didik untuk perannya dimasa
yang akan datang tanpa memperhatikan perubahan yang ada.. Kurikulum baru berorientasi pada
pemikiran konstruktivisme dimana peserta didik dibina belajar untuk lingkungan bukan tentang
dan mengenai lingkungan. Cakupannya tidak hanya melulu pada silabus pembelajaran akan
tetapi menyangkut penyediaan ketenagaan, sarana pendukung, metodologi dan system evaluasi.
Perubahan orientasi ini memberikan implikasi pada kurikulum dalam arti luas.

B. Dasar Pengembangan Substansi dan Kurikulum


Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional menyatakan:
1. bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global
sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan;
2. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
3. Pendidikan Non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

C. Sistem Internasional yang mengikat Indonesia untuk Memberikan Tanggapan dan


Pelaksanaan
Indonesia termasuk negara yang telah merativikasi kesepakatan internasional mengenai
pendidikan. Kesepakatan itu dibuat berdasarkan kesepakatan delapan tahunan yaitu tahun 1990
di Jomtien dan tahun 1998 di Dakar. Kesepakatan itu kemudian secara regional telah
diperbaharui dan lebih dijelastegaskan, seperti halnya dalam pertemuan Tokyo. Pertemuan
dilaksanakan bersama ACCU APPEAL tahun 2001 mengenai pendidikan non formal di Asia dan
Fasilifik, yang diselenggarakan di Jepang tanggal 26-30 Juni 2001. Dinyatakan bahwa wilayah
Asia-Fasifik, masih memiliki warga negara yang masih terbelakang, merupakan sumber daya
intelektual yang potensial dan seharusnya dapat menjadi pendorong bagi kemajuan ekonomi,
merupakan paradok dengan 612 juta buta huruf pemuda dan orang dewasa, dan sebanyak 60 juta
belajar di luar sekolah. Hak untuk memperoleh pendidikan harus tetap dipenuhi dalam upaya
memberikan life skill dan hidup layak sebagai manusia terhormat.
Sebanyak 19 negara menegaskan lagi komitmen untuk mencapai PUS yang telah diundangkan
dalam pertemuan Dakar. Untuk mencapai tujuan itu sangat mendesak untuk melihat pendidikan
non formal sebagai partner setara dengan pendidikan sekolah. Dengan mempertimbangkan
keragaman di wilayah ini, kita sangat mendambakan pendidikan non formal dengan pendidikan
sekolah saling kerja sama untuk mencapai masyarakat berbasis pengetahuan. Kita menghimbau
negara yang terhimpun dalam negara EFA untuk segera melangkah sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan dalam deklarasi Dakar, meliputi:
1. Memperluas dan meningkatkan pendidikan bagi anak dini usia, terutama mereka yang kurang
memiliki peluang dan kurang beruntung;
2. Menjamin bahwa pada tahun 2015, terutama bagi kelompok perempuan, anak yang berada
pada lingkungan yang kurang memadai dan dari kelompok etnis minoritas memiliki peluang
untuk menyelesaikan wajib belajar pendidikan dengan kualitas yang baik;
3. Memberikan jaminan bahwa kebutuhan belajar bagi pemuda dan orang dewasa dapat dipenuhi
dengan peluang yang sama untuk mendapatkan pengajaran dan kecakapan yang memadai;
4. Mencapai 50% perbaikan bagi orang dewasa yang belum melek huruf pada tahun 2015,
terutama bagi kelompok perempuan, dan peluang yang sama untuk memperoleh pendidikan
dasar dan pendidkan yang berkelanjutan bagi orang dewasa;
5. Membatasi ketidakadilan gender untuk pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan
mencapai kesetaraan gender pada tahun 2015;
6. Meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin program yang sempurna
sehingga hasil pemelajaran dikenal dan dapat diukur dari segi keluarannya bagi semua, terutama
yang berhubungan dengan kemelekhurufan, kemampuan menghitung dan life skill
Kesepakatan ini berdampak pada perubahan visi pendidikan dan perubahan kurikulum. Dalam
perluasan visi pendidikan, hal-hal yang menjadi perioritas meliputi:
1. pendidikan sebagai bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia,
2. pendidikan sebagai investasi untuk kepentingan kemajuan ekonomi, sosial dan politik
3. sebagai alat dalam melakukan pemerdayaan terutama untuk kelompok yang kurang beruntung
4. sebagai prinsip utama dalam upaya pengembangan sumber daya manusia seutuhnya dan
pengembangan kemampuan pribadi
5. sebagai batu loncatan dalam peningkatan perdamaian
6. sebagai jalan utama dalam mengembangkan masyarakat belajar

Orientasi dan perubahan visi ini memberikan dampak pada perubahan kurikulum pendidikan non
formal:
1. tidak hanya sebatas menjadi pelengkap bagi pendidikan sekolah karena dibutuhkan
pendekatan dan sasaran yang berbeda sesuai dengan latar belakang peserta didik dan tuntutan
lingkungan,
2. mutu pendidikan merupakan tuntutan tersendiri dan ini memberkan dampak pula pada semua
aspek penunjanng pendidikan non formal
3. perubahan kurikulum pendidikan non formal tidak dipisahkan dari pemerdayaan peserta didik,
dan untuk kepentingan ini dibutuhkan kemelekan politis baik selam proses pemelajaran maupun
dalam mengorientasikan mereka pada kehidupan nyata,
4. pendidikan non formal sudah waktunya untuk memberikan elaborasi pada kurikulumnya
berkaitan dengan life skill, sepanjang faktor utama kesenjangan kehidupan di sekitar lingkungan
disebabkan oleh faktor ekonomi,
5. pendidikan non formal juga harus memperhatikan masyarakat belajar, karenanya
pengembangan kurikulum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat belajar (learning community,
long life learning, pengembangan lembaga, dan learning organization)
6. kurikulum juga harus memperhatikan lingkungan dimana peserta belajar tumbuh kembang
atau glokalisasion.
Atas dasar perbedaan ini maka pertimbangan dalam mengembangkan kurikulum dan sistem
pembelajaran harus senantiasa memperhatikan:
1. identifikasi permasalahan dan kondisi kebutuhan untuk kelompok yang memiliki kemiripan,
2. mempertimbangkan perbedaan individu dalam hal ekonomi, budaya dan keyakinan, dan
pengetahuan yang bisa dimanfaatkan dalam memecahkan permasalahan kehidupan,
3. pertimbangan beberapa kelemahan yang terjadi pada masa lalu,
4. mencari keunggulan lokal yang dapat dimanfaatkan untuk proses pemelajaran,
5. indentifikasi kesiapan kelompok untuk melakukan proses pemelajaran.
Dalam cakupan yang lebih luas pertimbangan dalam mengembangkan substansi dan kurikulum
PNF harus merujuk pada:
1. penghargaan yang proporsional pada keunggukan lokal,
2. penghargaan pada nilai budaya dan norma,
3. menggunakan lembaga dan sumber daya lokal
4. memiliki kemanfaatan untuk kepentingan lokal dan global,
5. mengembangkan paraprofesional,
6. program dan pendekatan terpadu,
7. kebutuhan dan dukungan dari pusat dan daerah,
8. terintergrasi kedalam pendidikan terpadu dan pembangunan masyarakat
Beberapa perbandingan antara antara masyarakat sekolah dengan MB antara lain
SEKOLAH MB
Terdiri dari anak dan pemuda yang belajar Anak, pemuda dan orang dewasa belajar
Orang dewasa mendidik anak Intergenerasi dan belajar dari teman
Pendidikan di sekolah Pendidikan di sekolah dan luar sekolah
Pendidikan formal Formal, informal dan non formal
Pelatih sebagai satu-satu nya sumber belajar Setiap orang bisa menjadi sumber beajar
Sekolah sebagai agent perbuahan Pendidikan sebagai agent perubahan
Murid sebagai subjek Anak dan pendidikan sebagai subjek pendidikan
Pendidikan merupakan fragmentasi Pendidikan secara sistemik
Perencaan oleh lembaga pendidikan Perencanaan terpadu
Innováis terisolasi pada lingkungan sekolah Innovási berada pada jaringan
Jeringan hanya pada lingkungan sekolah Jaringan terjadi pada semua lembaga pendidikan
Pendekatan sektoral Pendekatan teritorial
Tanggung jawab pada satu kementrian Tanggung jawab bersama
Penekanan pada negara Negara, masyarakat lokal
PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP BELAJAR SEPANJANG HAYAT

D. Beberapa Kecenderungan Spektrum PNF dan Kurikulum Internasional


Negara berkembang cenderung menterjemahkan penuh kesepakatan Jomtien dan Dakar, dengan
menginterpretasikan substansi pendidikan non formal menjadi PADU, pendidikan pemuda,
gender, pendidikan orang dewasa dan life skill dalam pengertian keterampilan manual. Hal-hal
yang terabaikan yaitu melihat pendidikan sekolah sebagai partner setara dengan pendidikan
sekolah sehingga justifikasi sepenuhnya berada pada pendidikan sekolah, peningkatan mutu
(pendidik, metodologi, sarana dan evaluasi), pendidikan untuk kelompok yang terabaikan
termasuk keloompok minoritas, pendidikan kecakapan hidup yang dapat dijadikan modal dalam
pembelajaran seumur hidup. Pendekatan lebih menekankan pada pengembangann individu.
Sebaliknya negara maju memberikan tafsiran substansi PNF sebagai pendidikan yang melewati
batas-batas sekolah, dengan memberikan pelayanan khusus sesuai dengan kebutuhan peserta
didik dan memanfaatkan dinamika kelompok sebagai sarana untuk mengembangkan individu.
Orientasi pendidikan diarahkan pada pengembangan diri, produktivitas, kelompok yang dinamis
dan tanggapan pada keserasian dalam melakukan kehidupan bersama dan global. Inspirasi yang
diangkat yaitu pemikiran Delor yaitu mengutamakan pengetahuan, bekerja, dan keserasian
dengan lingkungan dalam arti untuk hidup bersama. Pengembangan substansi pemelajaran lebih
berorientasi pada masyarakat berbasis pengetahuan dan life skill dalam arti kecakapan untuk
hidup dimana. Masyarakat berbasis pengetahuan menekankan pembelajaran sepanjang hayat,
masyarakat berbasis informasi dan penelitian yang intensif. Ironisnya kendati demikian
intensifnya mengembangkan masyarakat berbasis pengetahuan akan tetapi kajian PNF seperti
tidak bergeming dari pendidikan berbasis lingkungan seperti pendidikan pertanian atau
pendidikan mengenai air.
Atas dasar kecendrungan global ini maka spektrum substansi PNF memiliki keragaman seperti di
bawah ini:

Dari gambaran ini negara berkembang termasuk didalamnya pelatihan hampir bisa dipastikan
tidak menganut secara utuh salahs satu jenis

E. Substansi, Kurikulum Inti dan Pengembangannya


Dinyatakan dalam UU Pasal 36:
1. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
3. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
(4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 37
(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan;
c. bahasa;
d. matematika;
e. ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g. seni dan budaya;
h. pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal.
Pengembangan substansi PNF bila merujuk pada rancangan PP PNF dari UU No 20-2003 lebih
banyak mengikuti pola negara berkembang dengan substansi kecakapan hidup, PADU,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan,
pendidikan kesetaraan, kursus dan pelatihankerja. Substansi yang tidak secara eksplisit
dikembangkan yaitu pendidikan jarak jauh, pendidikan virtual dengan mengembangkn teknologi,
pendidikan berkelanjutan dan pengembangan msyarakat belajar sebagai sendi dari pembangunan
masyarakat. Penekanan pada substansi dan kurikulum seperti tercantum dalam rancangan adalah
upaya untuk mengisi bunyi peran PNF dalam undang-undang sebagai substitusi, komplemen dan
suplemen pendidikan sekolah. Pada hal lain mengabaikan segi-segi yang dianggap strategis
menunjukkan kerentanan keberadaan PNF sebatas penunjang pendidikan sekolah dan tidak
memiliki nilai dalam pengembangan masyarakat maju dan belajar.

F. Implikasi bagi Pengembangan Kurikulum Jurusan Pendidikan Luar Sekolah


Sebagai pengembang tenaga kependidikan PNF, jurusan Pendidikan luar sekolah harus tetap
memperhatikan perannya sebagai pencetak tenaga pendidik pada lingkungan pendidikan luar
sekolah. Kemapanan penguasaan substansi baik yang bersifat inti maupun yang berorientasi ke
masa depan merupakan ukuran tingkat kredibilitas lembaga dalam menyediakan tenaga
kependidikan PNF. Untuk dapat merespon kesepakatan internasional dan kebutuhan masyarakat
mengenai substansi pendidikan PNF, perlu kiranya dipertimbangkan kembali untuk menguasai
substansi kurikulum inti maupun penunjang, sehingga predikat lembaga kependidikan hanya
mampu untuk mencetak ahli teori pendidikan dapat segera dihapus.
Modal yang harus dipertahankan yaitu pengembangan masyarakat belajar, sesuai pertimbangan:
1. berkaitan dengan glokalisation, (sebagai kebalikan dari globalisation) yang dalam hubungan
ini lebih menekankan pada pembangunan masyarakat,
2. lebih mempersempit peran luas dari suatu Negara, dan memperdepat proses desentralisasi,
dalam upaya menghadapi mesyarakat yang majemuk, dan lebih melihat keaktifan dari berbagai
sektor dan actor, serta memperluas partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang, termasuk
pendidikan,
3. menunjukkan semakin luas dan aktifnya penggunaan teknologi dan informasi dalam
kehidupan,
4. memperbaharui kembali pentingnya pendidikan dan lebih meneakankan pada belajar, terutama
berkaitan dengan pendidikan seumur hidup sebagai prisnip pengembangan kelembagaan untuk
masyarakat dimasa yang akan datang yang lebih dikenbal dengan masyarakat pengeatahuan dan
masyarakat belajar,
5. lebih menunbuhkembangkan keragaman kebutuhan peluang belajar, yang menekankan pada
inovasi dan pengujian berbagai model, lebih sensitif pada kenyataan dan lingkungan dimana
situasi berlangsung,
6. penekanan pada reformasi di lingkungan pendidikan, termasuk mencari kembali cara
pendidikan dalam menghubungkan antara sekolah dengan di luar sekolah

Sesuai dengan kuatnya tekanan perubahan yang ada pada lingkungan, maka proses pembelajaran
hendaknya lebih diarahkan pada pengembangan produktivitas dan posibilitas. Skema dari
pemelajaran ini adalah seperti pada gambar berikut:

Melalui sistem pemelajaran ini maka si terlatih bukan hanya sebatas tabung tabularasa yang siap
untuk diisi tetapi secara aktif mengembangkan sendiri pengetahuan.
Untuk mewadahi pemelajaran seperti ini dibutuhkan pendidikan kritis, dimana sumber belajar
maupun peserta belajar aktif untuk tetap melihat perkembangan lingkungan melalui sistem:
PENDIDIKAN KRITIS UNTUK PELATIHAN
Peran lembaga pendidikan Lembaga pendidikan dan masyarakat saling merefleksikan, dimana
lembaga pendidikan berupaya untuk memecahkan permasalahan sosial
Outcome pendidikan Lulusan yang mampu berpartisipasi dan mampu melakukan rekonstruksi
pada lingkungan masyarakat
Pengorganisasian kurikulum Materi yang beragam diangkat berdasar pada negosiasi antara
lembaga pendidikan, tutor dan peserta didik
Organisasi kelas heterogen
Peran pengajar Sebagai proyek organizer dan sumber belajar
Peran peserta didik Sebagai co learner, yang menggunakan pengetahuan dalam interaksi dengan
lingkungan
Hubungan pendidik dan peserta didik Pendidik sebagaio koordinator dalam melakukan negosiasi
Control
Dilakukan secara bersama
Pengetahuan Bersifat dialektis, memiliki kebermaknaan dilihat dari kemanfaatan dalam aksi di
masyarakat
Teori Belajar Konstruktivisme-interaksionis
Sumber belajar Bersifat luas
Pengujian
Didasarkan pada negosiasi dan penilaian sebaya sesuai dengan lingkungan kerja
Sumber: Kemmis, 1983

G. Aplikasi kurikulum
Kompetensi merupakan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus
menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dasar pemikiran penggunaan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah:
1. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan terlatih melakukan sesuatu dalam berbagai
konteks.
2. Kompetensi merupakan hasil belajar (learning out comes) yang menjelaskan hal-hal yang
dilakukan terlatih setelah melalui proses pembelajaran.
3. Kehandalan kemampuan terlatih melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas
dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur (Pusat Kurikulum,
Balitbang Diknas: 2002)
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang
kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai terlatih, penilaian, KBM, dan pemberdayaan
sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah.
Ciri-ciri Kurikulum Berbasis Kompetensi:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi terlatih baik secara individual maupun klaikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan metode yang bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya pelatih, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur
edukatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian
suatu kompetensi.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai Sistem Kurikulum Nasional
Sebagai suatu sistem kurikulum nasional, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
mengakomodasi berbagai perbedaan secara tanggap dengan memadukan beragam kepentingan
dan kemampuan daerah. KBK menerapkan strategi yang meningkatkan kebermaknaan
pembelajaran untuk semua peserta didik terlepas dari latar budaya, etnik, agama, dan jender
melalui pengelolaan kurikulum berbasis sekolah. Kedudukan pengelolaan kurikulum berbasis
kompetensi dalam pengembangan sistem kurikulum nasional dapat dilihat pada bagan berikut.

Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Pengelolaan Kurikulum Berbasis Kompetensi


Dalam rekonseptualisasi kurikulum ini digunakan landasan filosofis Pancasila sebagai dasar
pengembangan kurikulum. Pancasila sangat relevan untuk penerapan filosofi pendidikan yang
mendunia seperti empat pilar belajar – belajar menjadi diri sendiri, belajar mengetahui, belajar
melakukan, dan belajar hidup dalam kebersamaan.

Pengembangan Silabus
1. Pembentukan Tim Pengembang Silabus
Pembentukan tim pengembang atau penyusun silabus mutlak perlu untuk memenuhi kriteria
mutu silabus yang dapat dipertanggung jawabkan. Anggota tim dipilih berdasarkan kriteria
tertentu untuk menjaring orang yang memiliki kemampuan menjadi penyusun silabus.
Pengembang yang direkrut terdiri atas spesialis pengembang kurikulum, ahli mata pelajaran, ahli
metodik/didaktik, ahli penilaian, konselor, psikolog, pelatih atau instruktur, kepala sekolah,
pengawas dan perwakilan orang tua. Tim tersebut bertanggungjawab kepada Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota atau sekolah sesuai dengan mekanisme kerja yang berlaku di daerah
masing-masing.
2. Penyusunan Silabus dengan langkah-langkah:
a. Perencanaan
b. Pelaksanaan
c. Penilaian Silabus

Kegiatan Belajar Mengajar


1. Berpusat pada Terlatih
Terlatih memiliki perbedaan satu sama lain. Terlatih berbeda dalam minat, kemampuan,
kesenangan, pengalaman, dan cara belajar. Terlatih tertentu lebih mudah belajar dengan dengar-
baca, terlatih lain lebih mudah dengan melihat (visual), atau dengan cara kinestetika (gerak).
Oleh karena itu kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat
belajar, dan cara penilaian perlu beragam sesuai dengan karakteristik terlatih. Artinya kegiatan
belajar mengajar memperhatikan bakat, minat, kemampuan, cara dan strategi belajar, motivasi
belajar, dan latar belakang sosial terlatih.
2. Belajar dengan Melakukan
Kegiatan belajar mengajar perlu memberikan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari dan
di dunia kerja yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah dan prinsip disiplin ilmu yang
dipelajari.
3. Mengembangkan Kemampuan sosial
Terlatih akan lebih mudah membangun pemahaman apabila dapat mengkomunikasikan gagasan
kepada terlatih lain atau pelatih. Penyampaian gagasan oleh terlatih dapat mempertajam,
memperdalam, memantapkan atau menyempurnakan gagasan itu karena memperoleh tanggapan
dari terlatih lain atau pelatih.
4. Mengembangkan Keingintahuan, Imajinasi, dan fitrah Bertuhan.
Terlatih dilahirkan dengan memiliki rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah bertuhan. Dua yang
pertama merupakan modal dasar untuk bersikap peka, kritis, mandiri, dan kreatif, yang ketiga
untuk bertaqwa kepada tuhan. Kegiatan Belajar Mengajar perlu memperhatikan rasa ingin tahu,
imajinasi, dan fitrah bertuhan agar bermakna bagi terlatih.
5. Mengembangkan Keterampilan Pemecahan Masalah
Terlatih memerlukan keterampilan memecahkan masalah agar berhasil dalam kehidupannya.
Untuk itu kegiatan belajar mengajar hendaknya dipilih dan dirancang agar mampu mendorong
dan melatih terlatih untuk mampu mengidentifikasi masalah dan memecahkannya dengan
menggunakan kemampuan kognitif dan meta kognitif. Selain itu kegiatan belajar mengajar
hendaknya merangsang terlatih untuk secara aktif mencari jawaban atas permasalahannya
dengan menggunakan prosedur ilmiah.
6. Mengembangkan Kreativitas Terlatih
Terlatih memiliki potensi untuk berbeda. Perbedaan terlatih terlihat dalam pola pikir, daya
imajinasi, fantasi (pengandaian) dan hasil karyanya. Akibatnya KBM perlu dipilih dan dirancang
agar memberikan kesempatan dan kebebasan berkreasi secara berkesinambungan. Untuk
mengembangkan dan mengoptimalkan kreativitas terlatih.
7. Mengembangkan Kemampuan Menggunakan Ilmu dan Teknologi
Terlatih perlu mengenal penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi sejak dini. Dengan
demikian kegiatan belajar mengajar perlu memberikan peluang agar terlatih memperoleh
informasi dari multi media setidaknya dalam penyajian materi dan penggunaan media
pembelajaran.
8. Menumbuhkan Kesadaran sebagai Warganegara yang Baik
Terlatih perlu memperoleh wawasan dan kesadaran untuk menjadi warganegara yang produktif
dan bertanggungjawab. Dengan demikian kegiatan belajar mengajar perlu memberikan wawasan
nilai-nilai moral dan sosial yang dapat membekali terlatih agar menjadi warga masyarakat dan
warganegara yang bertanggungjawab. Dengan demikian menimbulkan kesadaran terlatih akan
kemajemukan bangsa, akibat keragaman latar geografis, budaya, sosial, adat istiadat, agama,
sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemudian kegiatan belajar mengajar hendaknya
mampu menggugah kesadaran terlatih akan hak dan kewajibannya sebagai warganegara.
9. Belajar Sepanjang Hayat
Terlatih memerlukan kemampuan belajar sepanjang hayat untuk ketahanan fisik dan mentalnya.
Kegiatan belajar mengajar perlu mendorong terlatih untuk dapat melihat dirinya secara poitif,
mengenali dirinya sendiri – baik kelebihan maupun kekurangannya untuk kemudian dapat
mensyukuri apa yang telah dianugerahkan Tuhan YME kepadanya. Demikian pula kegiatan
belajar mengajar perlu membekali terlatih dengan keterampilan belajar yang meliputi rasa
percaya diri, keingintahuan, kemampuan memahami orang lain, kemampuan berkomunikasi dan
bekerjasama supaya mendorong dirinya untuk senantiasa belajar, baik secara formal di sekolah
maupun secara informal di luar kelas.
10. Perpaduan Kompetisi, Kerjasama, dan solidaritas
Terlatih perlu berkompetisi, bekerjasama, dan mengembangkan solidaritasnya. Kegiatan belajar
mengajar perlu memberikan kesempatan kepada terlatih untuk mengembangkan semangat
berkompetisi sehat untuk memperoleh insentif, bekerjasama, dan solidaritas. Kegiatan belajar
mengajar perlu menyediakan tugas-tugas yang memungkinkan terlatih bekerja secara mandiri.
Pada era desentralisasi pendidikan, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dirancang dan
dilaksanakan dalam rangka Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Unsur utama dalam MBS
adalah pentingnya partisipasi masyarakat, transparansi, dan akuntabilitas publik. Atas dasar
itulah laporan kemajuan belajar terlatih harus dibuat sebagai pertanggungjawaban lembaga
sekolah kepada terlatih, orang tua atau wali, masyarakat, atasan, dan instansi terkait lainnya.
Penilaian kompetensi tamatan mencakup aspek:
- Afektif, terlatih memiliki: intak yang tercermin dan perilaku sehari-hari, nilai etika dan estetika
serta mampu mengamalkan dan mengekspresikan dalam kehidupan.
- Kognitif, menguasai Ipteks dan memiliki kemampuan akademik untuk melanjutkan studi.
- Psikomotorik, memiliki keterampilan hidup, keterampilan hidup dan mampu beradaptasi
dengan lingkungan sosial dan alam secara lokal, regional maupun global, memiliki kesehatan
yang bermanfaat untuk melaksanakan tugas sehari-hari.
Penilaian dilakukan secara terpadu dengan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), karena itu disebut
Penilaian Berbasis Kelas (PBK) yang dilakukan dengan pengumpulan kerja terlatih (portofolio),
hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tertulis (paper and pencil).
Pelatih menilai kompetensi dan hasil belajar terlatih berdasarkan level pencapaian prestasi
terlatih.

BAB VII
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN

A. Pendahuluan
Dari beberapa kenyataan dilapangan, pendidikan di Indonesia masih kurang memuaskan dan
tentunya harus dilakukan upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan secara
menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-
aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku.
Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan
hidup (life-skill) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik/peserta untuk
bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. dengan demikian peserta
didik/peserta memiliki ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui
pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan
(Depdiknas, 2003).
Di dalam Undang-undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003 menyatakan
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru/dosen
untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir
peserta/peserta didik, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru
sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang lebih baik terhadap materi perkuliahan.
Sementara itu di dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan; menegaskan bahwa pendidikan Nasional harus memenuhi standar Nasional
Pendidikan yang meliputi : 1) Standar isi, 2) Standar proses, 3) Standar kompetensi lulusan, 4)
Standar pendidikan tenaga kependidikan, 5) Standar sarana dan prasarana, 6) Standar
pengelolaan, 7), Standar pembiayaan, 8) Standar penilaian pendidikan. Dalam standar proses;
dinyatakan bahwa Proses pembelajaran pada tingkat satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi
aktif, serta memberi ruang lingkup yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Secara umum pembelajaran mempunyai dua karakteristik, yaitu : pertama, dalam proses
pembelajaran melibatkan proses mental peserta didik secara maksimal, bukan hanya menuntut
peserta didik sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas peserta didik
dalam proses berpikir. Kedua, dalam pembelajaran membangun suasana dialogika dan proses
tanya jawab yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir peserta
didik yang pada gilirannya membantu peserta didik untuk memperoleh pengetahuan yang
mereka konstruksi sendiri.
Belajar secara umum adalah proses manusia memperoleh berbagai pengetahuan, skill, dan
perilaku/attitude dan nilai-nilai yang dimulai sejak bayi sampai dewasa.
Proses pembelajaran di kelas adalah proses yang kompleks, interaktif, dan setingnya dinamis.
Teori belajar diharapkan dapat memberi sumbangan untuk memahami seting tersebut.
Menurut Corey (1986-1905) pembelajaran adalah suatu proses di mana lingkungan seseorang
secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam
kondisi – kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu.
Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang
mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya
meminta dosen/guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh peserta didik
meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademiknya, latar belakang sosial
ekonominya, dan lain sebagainya. Kesiapan dosen/guru untuk mengenal karaktersitik peserta
didik daam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi
indikator susksesnya pelaksanaan pembelajaran.

B. Teori Belajar
Beberapa teori belajar yang akan di bahas antara lain :
1. Teori belajar Skinner “Operant Conditioning”
2. Teori Belajar Conditining of Learning, Robert M. Gagne
3. Teori Belajar Perkekmembangan Kognitif Jean Piaget
4. Teori Belajar Sosial Albert Bandura
5. Teori Belajar Orang Dewasa
6. Teori Pembelajaran Orang Dewasa
1. Teori Operant Conditioning
Teori operant conditioning dimulai pada tahun 1930-an. Burhus Fredik Skinner selama periode
teori stimulus (S)- Respons ( R) untuk menyempurnakan teorinya Ivan Pavlo yang disebut
“Classical Conditioning”. Skinner setuju dengan konsepnya John Watson bahwa psikologi akan
diterima sebagai sain (science) bila studi tingkah laku (behavior) tersebut dapat diukur, seperti
ilmu fisika, teknik, dan sebagainya.
Menurut Skinner , belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang harus dapat diukur. Bila
pembelajar (peserta didik) berhasil belajar, maka respon bertambah, tetapi bila tidak belajar
banyaknya respon berkurang, sehingga secara formal hasil belajar harus bisa diamati dan diukur.
Hasil temuan skinner terdapat tiga komponen dalam belajar yaitu :
a. Discriminative stimulus (SD)
b. Response
c. Reinforcement (penguatan)
- penguatan positif
- penguatan negative
2. Teori Conditioning Of Learning, Robert M. Gagne
Teori ini ditemukan oleh Gagne yang didasarkan atas hasil riset tentang faktor-faktor yang
kompleks pada proses belajar manusia. Penelitiannya diamksudkan untuk menemukan teori
pembelajaran yang efektif. Analisanya dimulai dari identifikasi konsep hirarki belajar, yaitu urut-
urutan kemampuan yang harus dikuasai oleh pembelajar (peserta didik) agar dapat mempelajari
hal-hal yang lebih sulit atau lebih kompleks.
Menurut Gagne belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk
mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior) adalah hasil
dari efek belajar yang komulatif (gagne, 1968). Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu
bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena
belajar bersifat kompleks.
Gagne (1972) mendefinisikan belajar adalah : mekanisme dimana seseorang menjadi anggota
masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi, skill, pengetahuan,
attitude (perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia, sehingga belajar adalah hasil
dalam berbagai macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas atau outcome.
Kemampuan-kemampuan tersebut diperoleh pembelajar (peserta didik) dari :
a. Stimulus dan lingkungan
b. proses kognitif
Menurut Gagne belajar dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Verbal information (informasi verbal)
b. Intellectual Skill (skil Intelektual)
c. Attitude (perilaku)
d. Cognitive strategi (strategi kognitif)
Belajar informasi verbal merupakan kemampuan yang dinyatakan , seperti membuat label,
menyusun fakta-fakta, dan menjelaskan. Kemampuan / unjuk kerja dari hasil belajar, seperti
membuat pernyataan, penyusunan frase, atau melaporkan informasi.
Kemampuan skil intelektual adalah kemampuan pembelajar yang dapat menunjukkan
kompetensinya sebagai anggota masyarakat seperti; menganalisa berita-berita. Membuat
keseimbangan keuangan, menggunakan bahasa untuk mengungkapkan konsep, menggunakan
rumus-rumus matematika. Dengan kata lain ia tahu “ Knowing how”
Attitude (perilaku) merupakan kemampuan yang mempengaruhi pilihan pembelajar (peserta
didik) untuk melakukan suatu tindakan. Belajar mealui model ini diperoleh melalui pemodelan
atau orang yang ditokohkan, atau orang yang diidolakan.
Strategi kognitif adalah kemampuan yang mengontrol manajemen belajar si pembelajar
mengingat dan berpikir. Cara yang terbaik untuk mengembangkan kemampuan tersebut adalah
dengan melatih pembelajar memecahkan masalah, penelitian dan menerapkan teori-teori untuk
memecahkan masalah ril dilapangan. Melalui pendidikan formal diharapkan pembelajar menjadi
“self learner” dan “independent tinker”.
3. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget (Cognitive Development Theory)
Menurut Piaget pengetahuan (knowledge) adalah interksi yangterus menerus antara individu
dengan lingkungan.
Fokus perkembangan kognitif Piaget adalah perkembangan secara alami fikiran pembelajar
mulai anak-anak sampai dewasa. Konsepsi perkembangan kognitif Piaget, duturunkan dari
analisa perkembangan biologi organisme tertentu. Menurut Piaget, intelegen (IQ=kecerdasan)
adalah seperti system kehidupan lainnya, yaitu proses adaptasi.
Menurut Piaget ada tiga perbedaan cara berfikir yang merupakan prasyarat perkekmbangan
operasi formal, yaitu; gerakan bayi, semilogika, praoprasional pikiran anak-anak, dan operasi
nyata anak-anak dewas.
Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif yaitu:
a. lingkungan fisik
b. kematangan
c. pengaruh sosial
d. proses pengendalian diri (equilibration)
(Piaget, 1977)
Tahap perkembangan kognitif :
a. Periode Sensori motor (sejak lahir – 1,5 – 2 tahun)
b. Periode Pra Operasional (2-3 tahun sampai 7-8 tahun)
c. Periode operasi yang nyata (7-8 tahun sampai 12-14 tahun)
d. Periode operasi formal
Kunci dari keberhasilan pembelajaran adalah instruktur/guru/dosen/guru harus memfasilitasi
agar pembelajar dapat mengembangkan berpikir logis.
4. Teori Berpikir Sosial (sosial Learning Theory)
Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang psikolog pendidikan dari Stanford
University, USA. Teori belajar ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana orang belajar
dalam seting yang alami/lingkungan sebenarnya.
Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku (B), lingkungan (E) dan kejadian-
kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P) adalah merupakan
hubungan yang saling berpengaruh (interlocking),

Skema
Proses Kognitif Pembelajar

Proses perhatian sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang baru (kompetensi)
tidak akan diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi sangat penting agar
pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual atau kode verbal dan penyimpanan dalam
memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini rehearsal (ulangan ) memegang peranan
penting.
Proses motivasi yang penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari dirinya sendiri dan
Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi).
Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak
hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga
sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni “sense of
self Efficacy” dan “self – regulatory system”. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar
bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku.
Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku
dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah
laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan “goal setting”
dan “self evaluation” pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang
tinggi dan sebaliknya.
Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan
model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan “self of
mastery”, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.
Berikut Bandura mengajukan usulan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran yaitu
sebagi berikut :
No Strategi Proses
1 Analisis tingkah laku yang akan dijadikan model yang terdiri :
a. Apakah karekter dari tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep, motor skil
atau efektif?
b. Bagaimanakah urutan atau sekuen dari tingkah laku tersebut?
c. Dimanakah letak hal-hal yang penting (key point) dalam sekuen tersebut?
2 Tetapkan fungsi nilai dari tingkah laku dan pilihlah tingkah laku tersebut sebagai model.
a. Apakah tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yang penting dalam
kehidupan dimasa datang? (success prediction)
b. Bila tingkah laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidk begitu penting) model
manakah yang lebih penting?
c. Apakah model harus hidup atau simbol?
Pertimbangan soal biaya, pengulangan demonstrasi dan kesempatan untuk menunjukkan fungsi
nilai dan tingkah laku.
d. Apakah reinforcement yang akan didapat melalui model yang dipilih?

3 Pengembangan sekuen instruksional


a. Untuk mengajar motor skill, bagaimana caramengerjakan pekerjaan/kemampuan yang
dipelajari :how to do this” dan bukannya “not this”.
Langkah-langkah manakah menurut sekuen yang harus dipresentasikan secara perlahan-lahan
4 Implementasi pengajaran untuk menunut proses kognitif dan motor reproduksi.
a. motor skill
1) hadirkan model
2) beri kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar untuk latihan secarasimbolik
3) beri kesempatan kepada pembelajar untuk latihan dengan umpan balik visual
b. proses kognitif
1) Tampilkan model, baik yang didukung oleh kode-kode verbal atau petunjuk untuk mencari
konsistensi pada berbagai contoh
2) Beri kesempatan kepada pembelajar untuk membuat ihtisar atau summary
3) Jika yang dipelajari adalah pemecahan masalah atau strategi penerapan beri kesempatan
pembelajar untuk berpartisipasi secaraaktif
4) Beri kesempatan pembelajar untuk membuat generalisasi ke berbagai siatuasi.

Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara
lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar.
2. komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap
model dan proses-proses kognitif pembelajar.
3. hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali
atau tidak (retrievel).
4. dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaran-pembelajaran
komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan “sense of efficacy” dan self
regulatory” pembelajar.
5. dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk
latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan “reinforcement” dan hindari punishment yang
tidak perlu.
Ahli lain yaitu Bloom dkk, menjelaskan domain tujuan pendidikan ada tiga ranah yaitu : 1)
kognitif, yang berhubungan dengan ingatan, pengetahuan, dan perkembangan kemampuan dan
skill intelektual, 2) afektif yang menjelaskan tentang perubahan dalam minat, perilaku (attitudes),
nilai-nilai dan perkembangan dalam apresiasi dan penyesuaian, dan 3) psikomotor.

5. Teori Belajar Orang dewasa


Gagne membagi teori belajar dalam 3 famili :
1. conditioning
2. modelling
3. kognitif
Kingsley dan Garry membagi teori belajar dalam 2 bagian yaitu ;
1. teori stimulus-respon
2. teori medan
Taba membagi teori belajar menjadi 2 famili :
1. teori asosiasi atau behaviorisme
2. teori organismik, gestalt dan teori medan
Di dalam pembahasan akan difokuskan pada teori belajar orang dewasa. Ada aliran inkuiri yang
merupakan landasan teori belajar dan mengajar orang dewasa yaitu : “scientific stream” dan
“artistic atau intuitive/reflective stream”. Aliran “scientific stream” adalah menggali atau
menemukan teori baru tentang belajar orang dewasa melalui penelitian dan eksperimen . Teori
ini diperkenalkan oleh Edward L. Thorndike dengan pubilkasinya “ Adult Learning”, pada tahun
1928.
Pada aliran artistic, teori baru ditemukan melalui instuisi dan analisis pengalaman yang
memberikan perhatian tentang bagaimana orang dewasa belajar. Aliran ini diperkenalkan oleh
Edward C. Lindeman dalam penerbitannya “ The Meaning of Adult Education” pada tahun 1926
yang sangat dipengaruhi oleh filsafat pendidikan John Dewey.
Menurutnya sumber yang paling berguna dalam pendidikan orang dewasa adalah pengalaman
peserta didik. Dari hasil penelitian, Linderman mengidentifikasi beberapa asumsi tentang
pembelajar orang dewasa yang dijadikan fondasi teori belajar orang dewasa yaitu sebagai berikut
:
1. pembelajar orang dewasa akan termotivasi untuk belajar karena kebutuhan dan minat dimana
belajar akan memberikan kepuasan
2. orientasi pembelajar orang dewasa adalah berpusat pada kehidupan, sehingga unit-unit
pembelajar sebaiknya adalah kehidupan nyata (penerapan) bukan subject matter.
3. Pengalaman adalah sumber terkaya bagi pembelajar orang dewasa, sehingga metode
pembelajaran adalah analisa pengalaman (experiential learning).
4. Pembelajaran orang dewasa mempunyai kebutuhan yang mendalam untuk mengarahkan diri
sendiri (self directed learning), sehingga peran guru sebagai instruktur.
5. Perbedaan diantara pembelajar orang dewasa semakin meningkat dengan bertambahnya usia,
oleh karena itu pendidikan orang dewasa harus memberi pilihan dalam hal perbedaan gaya
belajar, waktu, tempat dan kecepatan belajar.
Carl R Rogers (1951) mengajukan konsep pembelajaran yaitu “ Student-Centered Learning”
yang intinya yaitu :
1. kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi belajarnya.
2. Seseorang akan belajar secarasignifikan hanya pada hal-hal yang dapat
memperkuat/menumbuhkan “self”nya
3. Manusia tidak bisa belajar kalau berada dibawah tekanan
4. Pendidikan akan membelajarkan peserta didik secara signifkan bila tidak ada tekanan terhadap
peserta didik, dan adanya perbedaan persepsi/pendapat difasilitasi/diakomodir
Peserta didik orang dewasa menurut konsep pendidikan adalah :
1. meraka yang berperilaku sebagai orang dewasa, yaitu orang yang melaksanakan peran sebagai
orang dewasa
2. meraka yang mempunyai konsep diri sebagai orang dewasa
Andragogi mulai digunakan di Netherlands oleh professor T.T Ten have pada tahun 1954 dan
pada tahun 1959 ia menerbitkan garis-garis besar “Science of Andragogy”
Model andragogi mempunyai konsep bahwa : kebutuhan untuk tahu (The need to know), konsep
diri pembelajar ( the learner’s concept),peran pengalaman pembelajar (the role of the leaner’s
experience), kesiapan belajar ( readiness to learn), orientasi belajar (orientation of learning) dan
motivasi lebih banyak ditentukan dari dalam diri si pembelajar itu sendiri.
Didalam pembelajaran orang dewasa tidak sepenuhnya harus menggunakan model andragogi,
tetapi bisa digabung model pedagogi. Jika pembelajarnya belum mengetahui atau sangat asing
dengan materi yang disampaikan tentunya kita bisa menggunakan model pedagogi pada awal-
awal pertemuan untuk mengkonstruksi pengalaman dengan pengetahuan yang baru didapatkan,
selanjutnya bisa digunakan model andragogi sebagai penguatan dan pengembangan.

Prinsip Mengajar Berdasarkan Teori Belajar Orang Dewasa


Robert L. Gagne (1973) menjelaskan bahwa pembelajaran menjadi proses penyediaan/pemberian
fasilitas kepada peserta didik apa-apa yang dianggap penting oleh tori belajar tersebut.
Hilgrad mengidentifikasi dua puluh prinsip dari tiga famili teori belajar yang berbeda yaitu teori
S (stimulus) – R (response), teori kognitif, dan teori motivasi dan kepribadian yang sangat
berguna dalam pembelajarn yaitu :
a) Prinsip S –R
1) Pembelajar harus aktif, dan bukan hanya pendengar dan pemirsa yang aktif
2) Pengulangan tetap penting, untuk pembentukan skill, maupun ingatan melalui belajar
berulang-ulang (overt learning)
3) Reinfrocement (penguatan) adalah penting sebagai hadiah bagi yang menjawab/mengerjakan
tugas dengan baik.
4) Generalisasi dan kemampuan membedakan (discrimination) perlu dilatih dalam berbagai
konteks, sehingga belajar menjadi cocok untuk berbagai situasi.
5) Perilaku/tingkah laku yang diidolakan dapat dibentuk melalui model /pemodelan
6) Dorongan/motivasi sangat penting dalam belajar
7) Konflik dan frustasi sering muncul ketika pembelajar menghadapi kesulitan dalam proses
belajar membedakan (deskriminasi)

3. Prinsip-prinsip dalam Teori kognitif


1. Gambaran tentang problem yang diberikan kepada pembelajar adalah kondisi yang penting
dalam belajar oleh karena itu masalah/problem harus disajikan dalam struktur yang sistematis,
sehingga mudah dipelajari oleh peserta didik
2. Organisasi pengetahuan harus disusun mulai dari konsep yang sederhana menuju ke konsep
yang kompleks
3. Belajar secara budaya adalah relative, sehingga kultur yang dimiliki pembelajar
mempengaruhi proses belajarnya
4. Umpan balik kognitif, digunakan untuk mengoreksi pengetahuan dan kesalahan pembelajar
dalam proses pembelajaran
5. Penentuan tujuan oleh pembelajar penting sebagai motivasi dalam belajar, sukses maupun
kegagalan mempengaruhi bagaimana ia menentukan tujuannya
6. Berpikir divergen dapat digunakan dalam memecahkan masalah – masalah demikian berpikir
konvergen.

4. Prinsip-prinsip Teori Motivasi dan Kepribadian


1. Kemampuan pembelajar sangat penting sehingga program harus dibuat bagi pembelajar yang
lambat, pembelajar yang cepat, dan untuk mereka yang mempunyai kemampuan khusus.
2. Perkembangan setelah lahir adalah sama pentingnya dengan faktor bawaan oleh karena itu
harus dipahami karena akan mempengaruhi perkembangannya.
3. Belajar secara budaya bersifat relative sehingga budaya bawaannya akan mempengaruhi
belajarnya
4. Tingkat kecemasan dapat menguntungkan tetapi dapat pula merugika karena mempengaruhi
kebenarannya dalam belajar.
5. Situasi yang sama mungkin cocok untuk pembelajar tertentu, tetapi tidak cocok untuk yang
lain.
6. Organisasi motif dan nilai-nilai (values) dalam diri pembelajar adalah relevan, sehingga tujuan
jangka jauh mempengaruhi kegiatan-kegiatan belajarnya.
7. Iklim belajar dalam grup (kompetisi VS kerjasama, otoriter VS demokrasi, Indivbidu VS grup)
akan mempengaruhi keputusan dalam belajar, dan hasil belajar (Hilgrad dan Bawer, 1996).

Menurut Robert Gagne belajar meliputi hierarki tertentu. Ada 8 jenis proses mental yaitu sebagai
berikut :
1) belajar isyarat
2) belajar stimulus-respon
3) belajar motorik
4) belajar berangkai
5) belajar membedakan berganda
6) belajar konsep
7) belajar aturan
8) belajar pemecahan masalah.

Konsep Pembelajaran Berdasarkan teori belajar Orang Dewasa


Menurut rogers kunci yang kritis akan peran dosen/guru/instruktur adalah hubungan antara
dosen/guru dan peserta didik/peserta didik. Kualitas perilaku instruktur/dosen/guru yang
dipenuhi adalah :
a. keaslian/ketulusan
b. adanya kepedulian, penghargaan, kepercayaan dan respek
c. pengertian yang empati dan senstitive serta mendengarkan persoalan peserta didik
Faktor yang mempengaruhi belajar orang dewasa
Secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi belajar orang dewasa yaitu : faktor internal dan
faktor eksternal.faktor internal meliputi ; faktor fisiologi dan psikologi. Sedangkan faktor
eksternal meliputi semua faktor dari luar.
Faktor fisiologi meliputi : pendengaran, penglihatan, dan kondisi fisiologi lainnya.
Faktor psikologis meliputi : kecerdasan, motivasi, ingatan, lupa, kebutuhan, perhatian, dan
kemampuan berpikir.
Faktor eksternal meliputi : fisik, sosial, alam sekitar, kurikulum, bahan ajar, metode
pembelajaran, sistem evaluasi, dan kemampuan berpikir.

C. Penerapan Teori Belajar


Berbeda dengan pendekatan pedagogi pada umumnya, pendekatan andragogi disebut “model
proses”. Dalam pendekatan andragogi, seorang dosen/guru, instruktur, agen pembaharuan,
mempersiapkan terlebih dahulu sejumlah prosedur untuk melibatkan pembelajar dalam belajar.
1) menciptakan kondisi yang kondusif untuk belajar bagi pembelajar orang dewasa.
2) Menciptakan mekanisme perencanaan
3) Mendiagnosis kebutuhan belajar
4) Memformulasikan tujuan program yang memenuhi kebutuhan institusi, pembelajar dan
masyarakat
5) Merencanakan pola pengalaman belajar
6) Melaksanakan pengalaman belajar (kegiatan) yang sesuai dengan materi dan metode
pembelajaran, dan
7) Melaksanakan evaluasi hasil belajar dan mendiagnosa ulang kebutuhan belajar (Knowles,
1980).
Penekanan pembelajaran pada andragogi adalah menyediakan prosedur dan sumber-sumber
untuk membantu belajar peserta didik untuk meningkatkan pengetahuan, skill, kebiasaan, nilai-
nilai, dan kemampuan yang dibutuhkan.
Di dalam pelaksanaannya, proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik jika
guru/dosen/guru sebagai agen pembelajaran mempunyai kompetensi utama sebagai pendidik
yaitu ;
1. Kompetensi pedagogik,
2. Kompetensi kepribadian,
3. Kompetensi profesional, dan
4. Kompetensi sosial.
Implementasi di lapangan dosen/guru harus mempersiapkan dan merencanakan proses
pembelajaran yang meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat
sekurang-kurangnya ; tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, media dan sumber
belajar, dan penilaian hasil belajar. Di dalam penyusunannya dosen/guru harus mampu :
a. memahami keseluruhan konteks kurikulum
b. menyusun pemetaan kompetensi dasar
c. merumuskan tujuan pembelajaran
d. menentukan/memilih pendekatan pembelajaran
e. menentukan cara atau metode pembelajaran
f. merumuskan deskripsi materi kuliah
g. merumuskan materi ajar/perkuliahan
h. menentukan media pembelajaran
i. menentukan cara dan alat penilaian hasil belajar
j. menyusun program pembelajaran/skenario umum setiap pertemuan
k. Daftar pustaka utama
D. Penerapan Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan pembelajaran di dalam perkuliahan merupakan jalan yang akan ditempuh oleh
dosen/guru dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu.
Pendekatan pembelajaran merupakan aktivitas dosen/guru dalam memilih kegiatan
pembelajaran. Pada pokoknya pendekatan pembelajaran dilakukan oleh dosen/guru untuk
menjelaskan materi perkuliahan dan bagian-bagian yang satu dengan yang lainnya dengan
berorientasi pada pengalaman-pengalaman yang dimiliki peserta didik untuk mempelajari
konsep, prinsip dan teori yang baru tentang suatu bidang ilmu.
1. Pendekatan konsep
Pendekatan konsep adalah suatu pendekatan pengajaran yang secara langsung menyajikan
konsep tanpa memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menghayati bagaimana konsep itu
diperoleh.
2. Pendekatan Proses
Pendekatan proses adalah suatu pendekatan pengajaran yang memberi kesempatan kepada
peserta didik untuk ikut menghayati proses penemuan konsep sebagai suatu keterampilan proses.
3. Pendekatan deduktif
Pendekatan deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaan umum ke-keadaan
khusus.
Langkah-langkah :
a. memilih konsep, aturan, prinsip yang akan disajikan
b. menyajikan aturan, prinsip yang bersifat umum lengkap dengan definisi dan buktinya.
c. Disajikan contoh-contoh khusus agar peserta didik dapat menyusun hubungan antara keadaan
khusus dengan aturan, prinsip umum, dan
d. Disajikan bukti-bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan.
4. Pendekatan Induktif
Pendekatan induktif adalah pendekatan pembelajaran yang bermula ddengan menyajikan
sejumlah keadaan khusus kemudian disimpukan menjadi suatu fakta, prinsip atau aturan.
Langkah-langkah :
a. memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan
b. menyajikan contoh-contoh khusus, yang memungkinkan peserta didik memperkirakan sifat
umum (general) yang terkandung dalam cntoh-contoh itu.
c. Disajikan bukti-bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau menyangkal
hipotesis
d. Disusun pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-langkah
terdahulu.
5. Pendekatan Ekspositori
Pendekatan ekspositori adalah pendekatan pembelajaran yang menunjukkan dosen/guru berperan
lebih aktif dalam menyajikan bahan ajar dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi,
sistematik dan lengkap sementara peserta didik peserta didik berperan lebih pasif; tinggal
menyimak dan mencernanya secara teratur dan tertib. Peserta didik dapat mengungkapkan
kembali melalui respons pada saat diberikan pertanyaan oleh dosen/guru.
Langkah-langkah :
a. Preparation ; Persiapan bahan selengkap-lengkapnya secara sistematik dan rapi.
b. Aperception ; keterkaitan bahan sebelumnya dengan yang akan dibahas; melalui pertanyaan
atau informasi.
c. Presentation ; menyajikan bahan dengan ceramah atau menyuruh peserta didik membaca.
d. Resitation; dosen/guru bertanya dan peserta didik menjawab sesuai dengan bahan yang
dipelajari, atau peserta didik membacakan kembali hasilnya.
6. Pendekatan Heuristik
Pendekatan heuristik adalah pendekatan pembelajaran yang menyajikan sejumlah data dan
peserta didik diminta untuk membuat kesimpulan menggunakan data tersebut. Dalam
implementasinya menggunakan metode penemuan dan inkuiri.
Pendekatan heuristik merupakan strategi bagaimana merancang pembelajaran dari berbagai
aspek dari pembentukan sistem instruksional mengarah pada pengaktifan peserta didik/peserta
didik mencari dan menemukan sendiri fakta, prinsip, dan konsep yang mereka butuhkan.
7. Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan yang membantu dosen/guru dalam mengaitkan
bahan ajarnya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-
hari.
8. Pendekatan Inquiry
Pendekatan inquiry merupakan pendekatan mengajar yang berusaha meletakkan dasar dan
mengembangkan cara berpikir ilmiah, dengan menempatkan peserta didik lebih banyak belajar
sendiri mengembangkan kekreatifan dalam memecahkan masalah. Peserta didik diposisikan
sebagai subjek yang belajar sementara dosen/guru lebih berperan sebagai pembimbing dan
fasilitator belajar.
Ada lima tahapan yang ditempuh :
a. perumusan masalah
b. membuat hipotesis, jawaban sementara
c. mencari informasi, data, fakta, yang diperlukan untuk menjawab hipotesis
d. menarik kesimpulan; generalisasi
e. mengaplikasikan kesimpulan
9. Pendekatan Tingkah Laku (Behaviorisme)
Pendekatan tingkah lau lebih menekankan kepada teori tingkah laku, sebagai plikasi dari teori
belajar behaviorisme.
Langkah-langkah ;
a. dosen/guru menyajikan stimulus
b. mengamati tingkah laku peserta didik dalam menanggapi stimulus
c. memberikan latihan kepada peserta didik dalam memberikan respon terhadap stimulus
d. memperkuat respon

E. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran adalah strategi pengajaran sebagai alat untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Pemilihan dan penentuan metode dalam pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa
faktor ; 1) Peserta didik/peserta didik, 2) Tujuan, 3) Situasi , 4) Fasilitas , 5) Dosen/guru
Macam-macam metode pembelajaran
1. Metode Proyek
Cara penyajian perkuliahan yang bertitik tolak dari suatu maslah, kemudian dibahas dari
berbagai segi (mata perkuliahan yang berbeda) yang berhubungan sehingga pemecahannya
secara keseluruhan dan bermakna.
2. Metode eksperimen
Cara penyajian perkuliahan, dimana peserta didik melakukan percobaan dengan mengalami dan
membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari.
3. Metode tugas dan resitasi/review
Cara penyajian pengajaran dimana dosen/guru memberikan tugas tertentu agas peserta didik
melakukan kegiatan belajar.
4. Metode Diskusi
Cara penyajian perkuliahan, di mana peserta didik-peserta didik dihadapkan kepada suatu
masalah yang bisa berupa pernyataan atau pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas
dan dipecahkan bersama.
5. Metode Sosiodrama/ role playing
Cara penyajian pengajaran dengan mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan
masalah sosial.
6. Metode demonstrasi
Cara penyajian bahan perkuliahan dengan memperagakan atau mempertunjukkan kepada peserta
didik suatu proses, siatuasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari, baik sebenarnya ataupun
tiruan, dan disertai dengan penjelasan lisan.
7. Metode Problem solving
Cara penyajian bahan perkuliahan yang dimulai dengan adanya masalah, kemudian mencari
data-data pendukung untuk memecahkan maslaah tersebut, menetapkan jawaban sementara,
menguji kebenaran dan pada kahirnya menarik kesimpulan.
8. Metode karyawisata
Cara penyajian bahan perkuliahan dengan mengajak peserta didik mengunjungi tempat atau
objek tertentu yang berhubungan dengan bahan yang dipelajari.
9. Metode Tanya jawab
Cara penyajian perkuliahan dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab. Dari dosen/guru ke
peserta didik atau dari peserta didik ke dosen/guru.
10. Metode Latihan
Cara penyajian bahan perkuliahan melalui training atau latihan untuk menanamkan kebiasan-
kebiasan tertentu dan dapat juga digunakan untuk meperoleh suatu ketangkasan, ketepatan,
kesempatan, dan keterampilan.
11. Metode Ceramah
Cara penyajian bahan perkuliahan dalam bentuk penyampaian informasi, keterangan atau uraian
tentang suatu pokok persoalan secara lisan.
Kegiatan Pembelajaran yang Efektif
Kegiatan belajar mengajar berbasis kompetensi menuntut pendekatan kolaboratif antara peserta
didik/peserta didik, guru/dosen/guru, orang tua, perguruan tinggi, dunia usaha, dan masyarakat
dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pendidikan. Secara umum pengelolaan Pembelajaran
dapat dibagi dalam tahap pengelolaan sebagai berikut :
1. Mengelola ruang kelas
Dosen/guru dalam mengelola kelas harus mempertimbangkan : hal-hal sebagai berikut
diantaranya : aksebilitas yaitu kemudahan peserta didik menjangkau alat dan maupun sumber
belajar; mobilitas yaitu terjadi gerak secara leluasa baik dosen/guru maupun peserta didik dalam
proses pembelajaran; interaksi yaitu hubungan dan terjadi interaksi baik antar peserta
didik/peserta didik maupun peserta didik/peserta didik dengan dosen/guru secara leluasa; variasi
kerja peserta didik/peserta didik yaitu dimungkinkan peserta didik/peserta didik kerja secara
variasi sehingga tidak menimbulkan kejenuhan dapat kerja mandiri, berpasangan dan kelompok
sesuai dengan karakteristik masing-masing.
2. Mengelola Peserta didik/peserta didik
Dosen/guru harus mengatur skenario untuk kegiatan peserta didik/peserta didik sehingga
langkah-langkah yang harus dijalani peserta didik/peserta didik dalam pembelajaran jelas seperti
kapan peserta didik/peserta didik harus bekerja mandiri, berpasangan dan kelompok sesuai
karakteristik pembelajran, kapan peserta didik/peserta didik mencari informasi, mengolah
informasi dan menyampaikan informasi secara lisan maupun tulisan dan kapan peserta
didik/peserta didik melakukan dan penyampaian informasi.
3. Mengelola Kegiatan Pembelajaran
Dosen/guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran dengan peserta didik/peserta didik harus
memiliki perencanaan yang matang, pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang telah terinci
dengan baik meliputi ; materi pembelajaran, pengalaman belajar yang akan dilakukan oleh
peserta didik/peserta didik, indikator yang akan dicapai, penilaian yang akan dilaksanakan,
waktu dan bahan yang digunakan serta skenario yang akan dijalankan selama proses
pembelajaran.
Idealnya kegiatan pembelajaran harus mampu mengakomodasi keberagaman tingkat kemampuan
peserta didik/peserta didik untuk itu diperlukan lembar kerja yang berbeda, bagi setiap peserta
didik/peserta didik, hal itu yang paling efektif untuk mengakomodasi keberagaman tingkat
kemampuan peserta didik/peserta didik.
Prinsip-prinsip pembelajaran yang efektif
1. Mengalami
Melalui pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari akan lebih mengaktifkan
indera dari pada hanya mendengarkan lisan
2. Interaksi
Antara peserta didik/peserta didik dengan lingkungan sosialnya melalui diskusi, saling bertanya
dan menjelaskan.
3. Komunikasi
Pengungkapan isi pikiran gagasan sendiri maupun mengomentari gagasan orang lain, akan
mendorong peserta didik untuk membenahi gagasannya dan memantapkan pemahaman tentang
apa yang sedang dipelajari. Dosen/guru harus siap memberikan tanggapan terhadap pendapat
atau gagasan yang dikomunikasikan.
4. Refleksi
Memikirkan ulang (refleksi) apa yang sedang dikerjakan atau dipikirkan, akan lebih
memantapkan pemahaman.
5. Mengembangkan keingintahuan, imajinasi dan fitrah bertuhan
Rasa ingin tahu dan imajinasi menghasilkan sikap peka, kritis, mandiri dan kreatif sedangkan
fitrah bertuhan menghasilkan sikap bertaqwa.
6. Membangkitkan motivasi Peserta didik/peserta didik
Motivasi (daya dorongan untuk belajar) dipengaruhi oleh keingintahuan dan keyakinan akan
kemampuan diri, melalui antara lain : pemberian tugas, dan sekaligus menyakinkan kepada
peserta didik/peserta didik bahwa mereka pasti bisa.
7. Memanfaatkan Pengalaman Awal Peserta didik/peserta didik
Peserta didik/peserta didik membangun pengalaman terhadap apa yang dipelajari, diwarnai oleh
pengetahuan awal yang dimiliki. Dosen/guru harus berupaya untuk menggali pengalaman awal
peserta didik/peserta didik sebelum memulai perkuliahan.
8. Menyenangkan Peserta didik/peserta didik
Suasana belajarsangatmempengaruhi efektivitas proses pembelajaran, peserta didik/peserta didik
akan sulit membangun pemahaman dalam keadaan tertekan. Dosen/guru/dosen/guru harus dapat
menciptakan suasana yang menyenangkan/mengasikan sesuai dengan tingkat perkembangan
peserta didik/peserta didik, dengan pendekatan “Belajar sambil bereksperimen”.
9. Tugas yang menantang
Pada prinsipnya semakin banyak waktu konsentrasi anak maka semakin baik hasil belajarnya,
dan konsentrasi akan terjadi bila peserta didik/peserta didik mendapat tugas yang menantang
(sedikit melebihi kemampuannya).
10. Pemberian Kesempatan Belajar
Belajar merupakan proses membangun pemahaman. Maka dosen/guru/dosen/guru harus
memberikan kesempatan bagi peserta didik/peserta didik untuk berpikir pada saat memecahkan
masalah, dan membangun gagasannya sendiri.
11. Belajar Untuk kebersamaan
Perbedaan individu jangan sampaikan menciptakan manusia yang individualis, sehingga perlu
dibangun kehidupan bersama melalui tugas-tugas yang memungkinkan peserta didik bekerja baik
mandiri maupun kelompok.
12. Pengembangan Multi Kecerdasan
Setiap peserta didik/peserta didik memiliki lebih dari satu kecerdasan (selain kecerdasan
akademik). Untuk perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk berupaya mengakomodasi
keberagaman kecerdasan tersebut.
Penyiapan Rancangan Pembelajaran
Agar kegiatan belajar mengajar dapat dilaksanakan secara efektif sesuai dengan kurikulum,
dosen/guru harus membuat rencana pembelajaran dan perangkat pembekajaran sekurang-
kurangnya untuk 1 semester. Rencana pembelajaran ini merupakan skenario tentang aktivitas
selama proses pembelajaran berlangsung baik yang dilakukan peserta didik/peserta didik
(pengalaman belajar) maupun aktivitas dosen/guru di dalam mengelola aktivitas peserta
didik/peserta didik serta dalam memberikan penjelasan. Perangkat pembekajaran dapat dibuat
dalam berbagai bentuk sesuai dengan aktivitas yang akan dilakukan baik oleh dosen/guru
maupun peserta didik/peserta didik antara lain :
1. Lembar informasi
2. lembar tugas
3. lembar kerja
4. lembar laporan diskusi
5. dll
Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu dosen/guru dalam
mengkaitkan materi pelajaran/perkuliahan dengan kehidupan nyata, dan memotivasi peserta
didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka.
Melalui pembelajaran kontekstal diharapkan konsep-konsep materi perkuliahan dapat
diintegrasikan dalam konteks kehidupan nyata dengan harapan peserta didik dapat memahami
apa yang dipelajarinya dengan baik dan mudah.
Pembelajaran kontekstual telah berkembang di negara-negara maju dengan berbagai nama. Di
Belanda berkembang apa yang disebut dengan Realistic Mathematics Education (RME) yang
menjelaskan bahwa pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan kehidupan nyata peserta
didik. Di Amerika berkembang apa yang disebut Contextual Teaching and Learning (CTL) yang
intinya membantu dosen/guru/guru untuk mengkaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan
nyata dan memotivasi peserta didik untuk mengkaitkan pengetahuan yang dipelajarinya dengan
kehidupan mereka. Sementara itu di Michigan juga berkembang Connected Mathematics Project
(CMP) yang bertujuan mengintegrasikan ide matematika ke dalam konteks kehidupan nyata
dengan harapan peserta didik dapat memahami apa yang dipelajarinya dengan baik dan mudah.
Pembelajaran kontekstual berbeda dengan pembelajaran konvensional yang selama ini kita
kenal. Tabel 1 berikut ini menunjukkan perbedaan antara pembelajaran kontekstual dan
pembelajaran konvensional.
Tabel 1.
Perbedaan Pola pembelajaran kontekstual dan konvensional
Konvensional Kontekstual
 Menyandarkan kepada hapalan.  Menyandarkan pada memori spasial.
 Pemilihan informasi ditentukan oleh guru/dosen/guru  Pemilihan informasi berdasarkan
kebutuhan individu peserta didik.
 Cenderung terfokus (disiplin) tertentu.  Cenderung mengintegraskan beberapa bidang
(disiplin).
 Memberikan tumpukan informasi kepada peserta didik sampai pada saaatnya diperlukan. 
Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki peserta didik/peserta
didik.
 Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian/ulangan.  Menerapkan
penilaian autentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah.

Landasan konsepsi Pembelajaran Kontekstual


Pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsep yang didukung oleh berbagai penelitian
aktual di dalam ilmu kognitif (cognitive science) dan teori-teori tentang tingkah laku (behavior
theories) yang secara bersama-sama mendasari konsepsi dan proses pembelajaran kontekstual,
antara lain:
1. Konstruktivisme berbasis pengetahuan (Knowledge-Based constructivism) – Baik instruksi
langsung maupun kegiatan konstruktivis dapat sesuai dan efektif didalam pencapaian tujuan
belajar peserta didik (Resnick dan Hall, 1998).
2. Pembelajaran berbasis usaha / teori pertumbuhan kecerdasan (Effort-Based
Learnnig/Incremental Theory of Intellegence) – Peningkatan usaha seseorang untuk
menghasilkan peningkatan kemampuan. Teori ini berlawanan dengan gagasan bahwa kecerdasan
seseorang tidak dapat diubah. Bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar akan motivasi
seseorang untuk terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan komitmen untuk belajar.
3. Sosialisasi (Sosialization) – Anak-anak mempelajari standar, nilai-nilai, dan pengetahuan
kemasyarakatan dengan mengajukan berbagai pertanyaaan dan menerima tantangan untuk
menemukan solusi yang tidak segera terlihat, bersama-sama dengan penjelasan konsep,
pembenaran pemikiran mereka, dan pencarian informasi. Sesungguhnya, belajar adalah proses
sosial, oleh karenanya faktor sosial dan budaya perlu diperhatikan selama perencanaan
pengajaran. Sifat dasar sosial dari belajar juga mengendalikan penentuan tujuan belajar ( Borko
dan Putnam, 1998 ).
4. Pembelajaran situasi (Situated Learning) – pengetahuan dan belajar dikondisikan dalam fisik
tertentu dan konteks sosial. Serangkaian tatanan yang mungkin dipergunakan seperti rumah,
masyarakat, tempat kerja, akan tergantung pada tujuan pengajaran dan tujuan pembelajaran yang
di harapkan.
5. Pembelajaran distribusi (Distributed Learning) – pengetahuan mungkin di pandang sebagai
pendistribusian dan penyebaran (Lave, 1988) individu, orang lain, dan berbagai benda (artifacts)
seperti alat-alat fisik dan alat-alat simbolis (Solomon, 1993), dan bukan semata-mata sebagai
suatu kekayaan individual. Dengan demikian, manusia merupakan suatu bagian terintegrasi dari
proses belajar, harus berbagai pengetahuan dan tugas-tugas (Borko dan Putman, 1998).
The Northwest Region Education Laboratory USA mengidentifikasikan adanya 6 kunci dasar
dari pembelajaran kontekstual, sebagai berikut :
1. Pembelajaran bermakna : pemahaman, relevansi, dan penilaian pribadi sangat terkait dengan
kepentingan peserta didik. Didalam mempelajari isi metri perkuliahan. Pembelajaran dirasakan
terkait dengan kehidupan nyata atau peserta didik mengerti manfaat isi pembelajaran, jika
mereka merasakan berkepentingan untuk belajar demi kehidupannya dimasa mendatang. Prinsip
ini sejalan dengan, pembelajaran bermakna (Meaningful Learning) yang diajukan.
2. Penerapan pengetahuan, ada kemampuan peserta didik untuk memahami apa yang dipelajari
dan diterapkan dalam tatanan kehidupan dan fungsi dimasa sekarang atau masa depan.
3. Berpikir tingkat tinggi ; peserta didik diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan
berpikir kreatifnya dalam pengumpulkan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu
masalah.
4. Kurikulum yang dikembangkan berdasar standar : Isi pembelajaran harus dikaitkan dengan
standar lokal, profinsi, nasional, perkembangan ilmu dan teknologi serta dunia kerja.
5. Responsif terhadap budaya : dosen/guru harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan,
kebiasaan peserta didik, teman pendidik, dan masyarakat tempat ia mendidik. Ragam individu
dan budaya suatu kelompok serta hubungan antar budaya tersebut akan mempengaruhi
pembelajaran dan sekaligus akan berpengaruh terhadap cara mengajar dosen/guru. Setidaknya
ada 4 hal yang perlu diperhatikan didalam pembelajaran kontekstual, yaitu individu peserta
didik, kelompok, peserta didik baik sebagai tim atau keseluruhan kelas, tatanan perguruan tinggi
dan besarnya tatanan komunikasi kelas.
6. Penilaian autentik ; penggunaan berbagai strategi penilaian (misalnya penilaian proyek/tugas
terstruktur, kegiatan peserta didik, penggunaan portofolio, rubrik, daftar cek, pedoman observasi,
dsb) akan merefleksikan hasil belajar sesungguhnya.
Sehubungan dengan itu maka pendekatan pengajaran kontekstual haruslah menekankan pada hal-
hal sebagai berikut :
1. Belajar berbasis Masalah ( Problem – Based Learning ), yaitu suatu pendekatan pengajaran
yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar
tentang berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi perkuliahan.
2. Pengajaran Autentik (Authentic Instruction) yaitu pendekatan pembelajaran yang
memperkenankan peserta didik untuk mempelajari konteks bermakna, Ia mengembangkan
ketrampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting didalam konteks kehidupan nyata.
3. Belajar Berbasis Inquiri (Inquiry – Based – Learning) yang membutuhkan strategi pengajaran
yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
4. Belajar Berbasis Proyek / Tugas Terstruktur (Project – Based Learning) yang membutuhkan
suatu pendekatan pengajaran komprehensif dimana lingkungan belajar peserta didik (kelas)
didesain agar peserta didik dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk
pendalaman materi dari suatu topik mata perkuliahan, dan melaksanakan tugas bermakna
lainnya. (Buck Institute for Education, 2001)
5. Belajar Berbasis Kerja (Work – Based Learning) yang memerlukan suatu pendekatan
pengajaran yang memungkinkan peserta didik menggunakan konteks tempat kerja untuk
mempelajari materi perkuliahan berbasis perguruan tinggi dan bagaimana materi tersebut
dipergunakan kembali di dalam tempat kerja. Jadi dalam hal ini tempat kerja atau sejenisnya dan
berbagai aktivitas dipadukan dengan materi perkuliahan untuk kepentingan peserta didik (Smith,
2001).
6. Belajar Jasa Layanan (Service Learning) . Pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis
dari pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagai ketrampilan untuk memenuhi kebutuhan
didalam masyarakat melalui proyek / tugas terstruktur dan kegiatan lainnya. (Mc Pherson, 2001)
7. Belajar Kooperatif (Cooperative Learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui
penggunaan kelompok kecil peserta didik untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi
belajar dalam mencapai tujuan belajar (Holubec, 2001)
Berkaitan dengan faktor kebutuhan individual peserta didik maka untuk menggunakan metode
pendekatan kontekstual dosen/guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental
(Developmentally approriate) peserta didik.
2. Membentuk grup belajar yang saling tergantung (interdependent learning groups).
3. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (Self Regulated Learning)
yang memiliki 3 karakteristik umum, yaitu kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan motivasi
berkelanjutan.
4. Mempertimbangkan keragaman peserta didik (diversity of students).
5. Memperhatikan multi intelegensi (Multiple Intellegences) peserta didik.
6. Menggunakan teknik-teknik bertanya yang meningkatkan pembelajaran peserta didik,
perkembangan pemecahan masalah dan ketrampilan berpikir tingkat tinggi.
7. Menerapkan penilaian autentik (Authentic Assesment).
Berkaitan dengan faktor peran dosen/guru, agar proses pengajaran kontekstual dapat lebih efektif
kaitannya dengan pembelajaran peserta didik, dosen/guru diharuskan merencanakan,
mengimplementasikan, merefleksikan dan menyempurnakan pembelajaran. Untuk keperluan itu,
dosen/guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut :
1. Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh peserta didik.
2. Memahami latar belakang dan pengalaman hidup peserta didik melalui proses pengkajian
secara seksama.
3. Mempelajari lingkungan perguruan tinggi dan tempat tinggal peserta didik, selanjutnya
memilih dan mengkaitkannya dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam proses
pembelajaran kontekstual.
4. Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan
mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki peserta didik dan lingkungan kehidupan mereka.
5. Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong peserta didik untuk mengkaitkan apa
yang sedang dipelajari dengan pengetahuan / pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dan
mengkaitkan apa yang dipelajarinya dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya
peserta didik didorong untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman peserta didik
terhadap konsep / teori yang sedang dipelajarinya.
6. Melakukan penilaian terhadap pemahaman peserta didik. Hasil penilaian tersebut dijadikan
sebagai bahan refleksi terhadap rancangan pembelajaran dan pelaksanaannya.
Sementara itu, Center for Occupation Ressearch and Development (CORD) menyampikan 5
strategi bagi pendidik dalam rangka penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat dengan
REACT, yaitu :
1. Relating ; belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata.
2. Experiencing: belajar ditekankan kepada penggalian (eksplorasi), penemuan (discovery), dan
penciptaan (invention)
3. Applying: belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan didalam konteks pemanfaatannya.
4. Cooperating: belajar melalui konteks komunikasi interpersonal, pemakaian bersama, dsb.
5. Transferring: belajar melalui pemanfaatan pengetahuan didalam situasi atau konteks baru.
Melalui landasan filosofi kontruktivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar
yang baru. Melalui strategi CTL, peserta didik diharapkan belajar melalui “mengalami” bukan
“menghafal”.
Pembelajaran Kontekstual hanyalah sebuah pendekatan pembelajaran, seperti halnya pendekatan
pembelajaran yang lain, pembelajaran kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar
pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan
tanpa harus mengubah kurikulum atau tatanan yang ada (Nurhadi, 2002).
Nurhadi (2002) mengemukakan bahwa pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen
utama, yaitu:
1. kontruktivisme (contructivism),
2. bertanya (questioning),
3. menemukan (inquiri),
4. masyarakat belajar (learning community),
5. pemodelan (modeling),
6. refleksi (reflection),
7. dan penilaian sebenarnya (authentic assesment).
Sedangkan menurut Zahoric (Nurhadi, 2002), ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam
praktek pembelajaran kontekstual, yaitu:
1. pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activaing knowledge)
2. perolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge)
3. pemahaman pengetahuan (understanding knowledge)
4. mempraktekan pengetahuan dan pengalaman (appying knowledge)
5. melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan
tersebut.
Penilaian Pada Pendekatan kontekstual
Penilaian autentik sesungguhnya adalah suatu istilah/terminologi yang diciptakan untuk
menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif. Berbagai metode tersebut memungkinkan
peserta didik dapat mendemonstrasikan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas,
memecahkan masalah, atau mengekspresikan pengetahuannya dengan cara mensimulasikan
situasi yang dapat ditemui di dalam dunia nyata di luar lingkungan perguruan tinggi (Hymes,
1991). Berbagai simulasi tersebut semestinya dapat mengekspresikan prestasi (performance)
yang ditemui di dalam praktek dunia nyata seperti tempat kerja. Penilaian autentik seharusnya
dapat menjelaskan bagaimana peserta didik menyelesaikan masalah dan dimungkinkan memiliki
lebih dari satu solusi yang benar. Strategi penilaian yang cocok dengan kriteria yang
dimaksudkan adalah suatu kombinasi dari beberapa teknik penilaian sebagai berikut :
1. Penilaian kinerja (Performance assessment):
2. Observasi sistematik (System Observation),.
3. Portfolio (Portfolio) .
4. Jurnal sains (Journal) .
.Ada 2 bentuk jurnal, yaitu :
• Jurnal arahan pribadi (Self-directed jurnaling), dimana peserta didik akan menetukan topik, isi
dan arah kemana refleksi akan diambil.
• Jurnal arahan dosen/guru/guru (teaher-directed jurnaling) akan mengarahkan respon dari
refleksi mendekati tujuan khusus outcome atau topik.
Menurut Darling-Hammond dan Snyder (1998), penilaian autentik sebagai penilaian telah
memenuhi 5 kondisi, sebagai berikut :
1. Penilaian mewakili pengetahuan yang sebenarnya, ketrampilan dan bentuk keinginan peserta
didik.
2. Penilaian terkait erat dengan kesempatan belajar dan sesuai dengan isi program, outcome yang
diinginkan dan pelaksanaan pengajaran.
3. Ada berbagai kesempatan berganda untuk belajar, latihan, dan penilaian outcome yang
diinginkan, sehingga penilaian membantu mengembangkan kompetensi bukan hanya
mengukurnya.
4. Penilaian mencakup umpan balik dan berbagai bentuk refleksi.
Beberapa Model Pembelajaran Alternatif yang dikembangkan
a. Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning)
b. Pengajaran langsung (Direc Instruction)
c. Pembelajaran Koperatif (Cooperativ Learning)
d. Pembelajaran Fortopolio
1) Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
PBL banyak dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktif-kognitif Piaget, PBL merupakan
salah satu model pembelajaran memiliki karakteristik sebagai berikut (Ibrahim-Nur, 2000) :
1. Pengajuan pertanyaan atau masalah
2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin
3. Penyelidikan Autentik
4. Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
5. Kerjasama
Ada lima tahapan utama dalam PBL (Ibrahim-Nur, 2000) yang digambarkan sebagai berikut :

Tahap Tingkah Laku Dosen/guru


Tahap – 1
Mengorientasikan peserta didik kepada masalah Menjelaskan tujuan pembelajaran dan logistik
yang dibutuhkan, memotivasi peserta didik terlibat, pada aktivitas pemecahan masalah yang
dipilihnya.
Tahap – 2
Mengorganisasi peserta didik untuk belajar Membantu peserta didik mendifisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
Tahap – 3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Mendorong peserta didik untuk
mengumpulkan informasi yangs sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap – 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil-karya Membantu peserta didik dalam merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai.
Tahap – 5
Menganalsis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Membantu peserta didik untuk
melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses – proses yang mereka
gunakan.
2) Pengajaran Langsung
Landasan teori : Albert Bandura : Pemodelan tingkah laku (modelling) dengan Ciri ; Teacher
center
Keterampilan dasar yang dilatihkan ; 1) Pengetahuan Deklaratif , yaitu merupakan merupakan
pengetahuan tentang sesuatu, dan 2) Pengetahuan Prosedural yaitu, merupakan pengetahuan
tentang bagaimana melaksanakan sesuatu .
a. Menyampaikan tujuan
b. Membimbing pelatihan
c. Mendemonstrasikan pengetahuan/ keterampilan
d. Meningkatkan kemampuan
3) Pembelajaran Koperatif
Landasan teori Vygotsky : teori belajar kognitif-konstruktivis
Keterampilan yang dikembangkan :
1. Keterampilan akademik
2. Keterampilan sosial peserta didik :
- Ket. Kooperatif tingkat awal
- Ket. Kooperatif tingkat menengah
- Ket. Kooperatif tingkat mahir
Beberapa model dalam Pembelajaran koperatif
EXAMPLES NON EXAMPLES
(CONTOH DAPAT DARI KASUS/GAMBAR YANG RELEVAN)
Langkah-langkah :
Dosen/guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran
Dosen/guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan melalui OHP
Dosen/guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan pada peserta didik untuk
memperhatikan/menganalisa gambar
Melalui diskusi kelompok 2-3 orang peserta didik, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut
dicatat pada kertas
Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya
Mulai dari komentar/hasil diskusi peserta didik, dosen/guru mulai menjelaskan materi sesuai
tujuan yang ingin dicapai
Kesimpulan
PICTURE AND PICTURE
Langkah-langkah :
Dosen/guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
Menyajikan materi sebagai pengantar
Dosen/guru menunjukkan/memperlihatkan gambar-gambar kegiatan berkaitan dengan materi
Dosen/guru menunjuk/memanggil peserta didik secara bergantian memasang/mendosen/gurutkan
gambar-gambar menjadi urutan yang logis
Dosen/guru menanyakan alasan/dasar pemikiran urutan gambar tersebut
Dari alasan/urutan gambar tersebut dosen/guru memulai menamkan konsep/materi sesuai dengan
kompetensi yang ingin dicapai
Kesimpulan/rangkuman
NUMBERED HEADS TOGETHER
(KEPALA BERNOMOR)
Langkah-langkah :
Peserta didik dibagi dalam kelompok, setiap peserta didik dalam setiap kelompok mendapat
nomor
Dosen/guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya
Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat
mengerjakannya/mengetahui jawabannya
Dosen/guru memanggil salah satu nomor peserta didik dengan nomor yang dipanggil
melaporkan hasil kerjasama mereka
Tanggapan dari teman yang lain, kemudian dosen/guru menunjuk nomor yang lain
Kesimpulan
COOPERATIVE SCRIPT
Metode belajar dimana peserta didik bekerja berpasangan dan bergantian secara lisan
mengikhtisarkan, bagian-bagian dari materi yang dipelajari
Langkah-langkah :
Dosen/guru membagi peserta didik untuk berpasangan
Dosen/guru membagikan wacana/materi tiap peserta didik untuk dibaca dan membuat ringkasan
Dosen/guru dan peserta didik menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan
siapa yang berperan sebagai pendengar
Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok
dalam ringkasannya.
Sementara pendengar :
Menyimak/mengoreksi/menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap
Membantu mengingat/menghafal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau
dengan materi lainnya
Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya. Serta
lakukan seperti diatas.
Kesimpulan Peserta didik bersama-sama dengan Dosen/guru
Penutup
KEPALA BERNOMOR STRUKTUR
(MODIFIKASI DARI NUMBER HEADS)
Langkah-langkah :
Peserta didik dibagi dalam kelompok, setiap peserta didik dalam setiap kelompok mendapat
nomor
Penugasan diberikan kepada setiap peserta didik berdasarkan nomorkan terhadap tugas yang
berangkai
Misalnya : peserta didik nomor satu bertugas mencatat soal. Peserta didik nomor dua
mengerjakan soal dan peserta didik nomor tiga melaporkan hasil pekerjaan dan seterusnya
Jika perlu, dosen/guru bisa menyuruh kerja sama antar kelompok. Peserta didik disuruh keluar
dari kelompoknya dan bergabung bersama beberapa peserta didik bernomor sama dari kelompok
lain. Dalam kesempatan ini peserta didik dengan tugas yang sama bisa saling membantu atau
mencocokkan hasil kerja sama mereka
Laporkan hasil dan tanggapan dari kelompok yang lain
Kesimpulan
STUDENT TEAMS – ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD)
Langkah-langkah :
Membentuk kelompok yang anggotanya = 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi,
jenis kelamin, suku, dll)
Dosen/guru menyajikan perkuliahan
Dosen/guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok.
Anggotanya tahu menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu
mengerti.
Dosen/guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh peserta didik. Pada saat menjawab kuis
tidak boleh saling membantu
1. Memberi evaluasi
2. Kesimpulan
JIG SAW
Langkah-langkah :
1. Peserta didik dikelompokkan ke dalam = 4 anggota tim
2. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda
3. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan
4. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab yang sama bertemu
dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka
5. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian
mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya
mendengarkan dengan sungguh-sungguh
6. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi
7. Dosen/guru memberi evaluasi
8. Penutup
ARTIKULASI
Langkah-langkah :
1. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
2. Dosen/guru menyajikan materi sebagaimana biasa
3. Untuk mengetahui daya serap peserta didik, bentuklah kelompok berpasangan dua orang
4. Suruhlan seorang dari pasangan itu menceritakan materi yang baru diterima dari dosen/guru
dan pasangannya mendengar sambil membuat catatan-catatan kecil, kemudian berganti peran.
Begitu juga kelompok lainnya
5. Suruh peserta didik secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil wawancaranya dengan
teman pasangannya. Sampai sebagian peserta didik sudah menyampaikan hasil wawancaranya
6. Dosen/guru mengulangi/menjelaskan kembali materi yang sekiranya belum dipahami peserta
didik
7. Kesimpulan/penutup
MIND MAPPING
Sangat baik digunakan untuk pengetahuan awal peserta didik atau untuk menemukan alternatif
jawaban
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
2. Dosen/guru mengemukakan konsep/permasalahan yang akan ditanggapi oleh peserta
didik/sebaiknya permasalahan yang mempunyai alternatif jawaban
3. Membentuk kelompok yang anggotanya 2-3 orang
4. Tiap kelompok menginventarisasi/mencatat alternatif jawaban hasil diskusi
5. Tiap kelompok (atau diacak kelompok tertentu) membaca hasil diskusinya dan dosen/guru
mencatat di papan dan mengelompokkan sesuai kebutuhan dosen/guru
6. Dari data-data di papan peserta didik diminta membuat kesimpulan atau dosen/guru memberi
bandingan sesuai konsep yang disediakan dosen/guru
MAKE – A MATCH
(MENCARI PASANGAN)
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok
untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban
2. Setiap peserta didik mendapat satu buah kartu
3. Tiap peserta didik memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang
4. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya
(soal jawaban)
5. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin
6. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari
sebelumnya
7. Demikian seterusnya
8. Kesimpulan/penutup
THINK PAIR AND SHARE
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai
2. Peserta didik diminta untuk berfikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan
dosen/guru
3. Peserta didik diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang) dan
mengutarakan hasil pemikiran masing-masing
4. Dosen/guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya
5. Berawal dari kegiatan tersebutmengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan
menambah materi yang belum diuangkapkan para peserta didik
6. Dosen/guru memberi kesimpulan
7. Penutup
DEBATE
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru membagi 2 kelompok peserta debat yang satu pro dan yg lainnya kontra
2. Dosen/guru memberikan tugas untuk membaca materiyang akan didebatkan oleh kedua
kelompok diatas
3. Setelah selesai membaca materi. Dosen/guru menunjuk salah satu anggotanya kelompok pro
untuk berbicara saat itu ditanggapi atau dibalas oleh kelompok kontra demikian seterusnya
sampai sebagian besar peserta didik bisa mengemukakan pendapatnya.
4. Sementara peserta didik menyampaikan gagasannya dosen/guru menulis dosen/guru menulis
inti/ide-ide dari setiap pembicaraan di papan tulis. Sampai sejumlah ide yang diharapkan
dosen/guru terpenuhi
5. Dosen/guru menambahkan konsep/ide yang belum terungkap
6. Dari data-data di papan tersebut, dosen/guru mengajak peserta didik membuat
kesimpulan/rangkuman yang mengacu pada topik yang ingin dicapai
ROLE PLAYING
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan
2. Menunjuk beberapa peserta didik untuk mempelajari skenario dua hari sebelum kbm
3. Dosen/guru membentuk kelompok peserta didik yang anggotanya 5 orang
4. Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai
5. Memanggil para peserta didik yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah
dipersiapkan
6. Masing-masing peserta didik duduk di kelompoknya, masing-masing sambil memperhatikan
mengamati skenario yang sedang diperagakan
7. Setelah selesai dipentaskan, masing-masing peserta didik diberikan kertas sebagai lembar
kerja untuk membahas
8. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya
9. Dosen/guru memberikan kesimpulan secara umum
10. Evaluasi
11. Penutup
GROUP INVESTIGATION
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru membagi kelas dalam beberapa kelompok heterogen
2. Dosen/guru menjelaskan maksud pembelajaran dan tugas kelompok
3. Dosen/guru memanggil ketua-ketua untuk satu materi tugas sehingga satu kelompok mendapat
tugas satu materi/tugas yang berbeda dari kelompok lain
4. Masing-masing kelompok membahas materi yang sudah ada secara kooperatif berisi
penemuan
5. Setelah selesai diskusi, lewat juru bicara, ketua menyampaikan hasil pembahasan kelompok
6. Dosen/guru memberikan penjelasan singkat sekaligus memberi kesimpulan
7. Evaluasi
8. Penutup
TALKING STIK
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru menyiapkan sebuah tongkat
2. Dosen/guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk untuk membaca dan mempelajari materi pada
pegangannya/paketnya
3. Setelah selesai membaca buku dan mempelajarinya mempersilahkan peserta didik untuk
menutup bukunya
4. Dosen/guru mengambil tongkat dan memberikan kepada peserta didik, setelah itu dosen/guru
memberikan pertanyaan dan peserta didik yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya,
demikian seterusnya sampai sebagian besar peserta didik mendapat bagian untuk menjawab
setiap pertanyaan dari dosen/guru
5. Dosen/guru memberikan kesimpulan
6. Evaluasi
7. Penutup
BERTUKAR PASANGAN
Langkah-langkah :
1. Setiap peserta didik mendapat satu pasangan (dosen/guru biasa menunjukkan pasangannya
atau peserta didik menunjukkan pasangannya
2. Dosen/guru memberikan tugas dan peserta didik mengerjakan tugas dengan pasangannya
3. Setelah selesai setiap pasangan bergabungdengan satu pasangan yang lain
4. Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan masing-masing pasangan yang baru ini saling
menanyakan dan mengukuhkan jawaban mereka
5. Temuan baru yang didapat dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan kepada pasangan
semula

SNOWBALL THROWING
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru menyampaikan materi yang akan disajikan
2. Dosen/guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok
untuk memberikan penjelasan tentang materi
3. Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian
menjelaskan materi yang disampaikan oleh dosen/guru kepada temannya
4. Kemudian masing-masing peserta didik diberikan satu lembar kertas kerja, untuk menuliskan
satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok
5. Kemudian kertas tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu peserta didik ke peserta
didik yang lain selama ± 15 menit
6. Setelah peserta didik dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara
bergantian
7. Evaluasi
8. Penutup
STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING
Peserta didik/peserta mempresentasikan ide/pendapat pada rekan peserta lainnya
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
2. Dosen/guru mendemonstrasikan/menyajikan materi
3. Memberikan kesempatan peserta didik/peserta untuk menjelaskan kepada peserta untuk
menjelaskan kepada peserta lainnya baik melalui bagan/peta konsep maupun yang lainnya
4. Dosen/guru menyimpulkan ide/pendapat dari peserta didik
5. Dosen/guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu
6. Penutup

COURSE REVIEW HORAY


Langkah-langkah :
1. Dosen/guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
2. Dosen/guru mendemonstrasikan/menyajikan materi
3. Memberikan kesempatan peserta didik tanya jawab
4. Untuk menguji pemahaman, peserta didik disuruh membuat kotak 9/16/25 sesuai dengan
kebutuhan dan tiap kotak diisi angka sesuai dengan seler masing-masing peserta didik
5. Dosen/guru membaca soal secara acak dan peserta didik menulis jawaban di dalam kotak yang
nomornya disebutkan dosen/guru dan langsung ) dan salan diisi tandadidiskusikan, kalau benar
diisi tanda benar ( silang (x)
6. vertikal atau horisontal,Peserta didik yang sudah mendapat tanda atau diagonal harus
berteriak horay … atau yel-yel lainnya
7. Nilai peserta didik dihitung dari jawaban benar jumlah horay yang diperoleh
8. Penutup
DEMONSTRATION
(Khusus materi yang memerlukan peragaan atau percobaan misalnya Gussen)
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru menyampaikan TPK
2. Dosen/guru menyajikan gambaran sekilas materi yang akan dismpaikan
3. Siapkan bahan atau alat yang diperlukan
4. Menunjukan salah seorang peserta didik untuk mendemontrasikan sesuai skenario yang telah
disiapkan
5. Seluruh peserta didik memperhatikan demontrasi dan menganalisa
6. Tiap peserta didik atau kelompok mengemukakan hasil analisanya dan juga pengalaman
peserta didik didemontrasikan
7. Dosen/guru membuat kesimpulan
COOPERATIVE INTEGRATED READING AND COMPOSITION (CIRC)
(KOOPERATIF TERPADU MEMBACA DAN MENULIS)
Langkah-langkah :
1. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang yang secara heterogen
2. Dosen/guru memberikan wacana/kliping sesuai dengan topik pembelajaran
3. Peserta didik bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberi
tanggapan terhadap wacana/kliping dan ditulis pada lembar kertas
4. Mempresentasikan/membacakan hasil kelompok
5. Dosen/guru membuat kesimpulan bersama
6. Penutup

INSIDE-OUTSIDE-CIRCLE
(LINGKARAN KECIL-LINGKARAN BESAR)
“Peserta didik saling membagi informasi pada saat yang bersamaan, dengan pasangan yang
berbeda dengan singkat dan teratur”
Langkah-langkah :
1. Separuh kelas berdiri membentuk lingkaran kecil dan menghadap keluar
2. Separuh kelas lainnya membentuk lingkaran di luar lingkaran pertama, menghadap ke dalam
3. Dua peserta didik yang berpasangan dari lingkaran kecil dan besar berbagi informasi.
Pertukaran informasi ini bisa dilakukan oleh semua pasangan dalam waktu yang bersamaan
4. Kemudian peserta didik berada di lingkaran kecil diam di tempat, sementara peserta didik
yang berada di lingkaran besar bergeser satu atau dua langkah searah jarum jam.
5. Sekarang giliran peserta didik berada di lingkaran besar yang membagi informasi. Demikian
seterusnya
CONSEPT SENTENCES
Langkah-langkah :
1. Dosen/guru menyampaikan kompentensi yang ingin dicapai
2. Dosen/guru menyajikan materi secukupnya
3. Dosen/guru membentuk kelompok yang anggotanya ± 4 orang secara heterogen
4. Menyajikan beberapa kata kunci sesuai materi yang disajikan
5. Tiap kelompok disuruh membuat beberapa kalimat dengan menggunakan minimal 4 kata
kunci setiap kalimat
6. Hasil diskusi kelompok. Didiskusikan lagi secara pleno yang dipandu Dosen/guru
7. Kesimpulan
TIME TOKEN
Struktur yang dapat digunakan untuk mengajarkan keterampilan sosial, untuk menghindari
peserta didik mendominasi pembicaraan atau peserta didik diam sama sekali
Langkah-langkah :
1. Kondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi (cooperative learning / CL)
2. Tiap peserta didik diberi kupon berbicara dengan waktu ± 30 detik. Tiap peserta didik diberi
sejumlah nilai sesuai waktu keadaan
3. Bila telah selesai bicara kopon yang dipegang peserta didik diserahkan. Setiap bebicara satu
kupon
4. Peserta didik yang telah habis kuponnya tak boleh bicara lagi. Yang masih pegang kupon
harus bicara sampai kuponnya habis
5. Dan seterusnya
KELILING KELOMPOK
Maksudnya agar masing-masing anggota kelompok mendapat kesempatan untuk memberikan
kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota lainnya
Caranya:
1. Salah satu peserta didik dalam masing-masing kelompok menilai dengan memberikan
pandangan dan pemikirannya mengenai tugas yang sedang mereka kerjakan
2. Peserta didik berikutnya juga ikut memberikan kontribusinya
3. Demikian seterusnya giliran bicara bisa dilaksanakan arah perputaran jarum jam atau dari kiri
ke kanan
TWO STAY TWO STRAY
(DUA TINGGAL, DUA TAMU)
Memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan
kelompok lainnya.
Langkah-langkah :
1. Peserta didik bekerja sama dalam kelompok berempat seperti biasa
2. Setelah selesai, dua orang dari masing-masing bertamu kedua kelompok yang lain
3. Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi
mereka ke tamu mereka
4. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka
dari kelompok lain
5. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka
PEMBELAJARAN FORTOFOLIO
Prinsip Dasar :
1. Belajar peserta didik aktif
a. Fase perencanaan
b. Fase keg. lapangan
c. Fase pelaporan
1. Kelompok belajar kooperatif
2. Pembelajaran partisipatorik
3. Menciptakan motivasi peserta didik
Langkah-langkah Pembelajaran Portofolio
1. Mengidentifikasi masalah
a. Kegiatan kelompok kecil
Membagi kelas dalam kelompok kecil (3-4 orang) dan mencari masalah yang dianggap penting
b. Pekerjaan rumah
Wawancara, mencari informasi dari media cetak/ elektronik
2. Memilih Masalah untuk kajian kelas
a. Membuat daftar masalah
b. Melakukan vooting
3. Mengumpulkan informasi masalah yang akan dikaji di kelas
a. Kegiatan kelas
b. Tugas pekerjaan rumah
4. Mengembangkan Portofolio kelas
a. Spesifikasi Portofolio
Jika informasi cukup, portofolio dikembangkan menjadi dua seksi:
seksi penayangan
seksi dokumentasi
b. Kelompok portofolio

BAB VIII
MANAJEMEN SARANA DAN PRASARANA

A. Masalah Pendidikan
1. Masalah Akses. Tidak semua anak bangsa dan umat menikmati arti kemerdekaan untuk
memanfaatkan kesempatan memperoleh ilmu. Sumbangan bagi umat juga masih perlu
ditingkatkan
2. Kualitas. Kualitas sarana dan prasarana kurang memadai yang berdampak pada kualitas
pendidikan relatif rendah
3. Relevansi. Ilmu-ilmu yang diperoleh masih perlu ditingkatkan sehingga sanggu
memakmurkan dunia. Nilai pertukaran yang relatif rendah sehingga lebih banyak dipakai sebagai
lahan uji coba.
4. Efisiensi dan efektivitas yang rendah. Hasilan pendidikan dalam kerangka meningkatkan
produktivitas masih belum sejalan dengan pemanfaatan sumber-sumber. Masih terlalu banyak
yang disia-siakan.

B. Fungsi Pendidikan Dasar


1. Paspor kehidupan. Dengan memperoleh pendidikan dasar, merupakan alat untuk maju
selanjang hayat.
2. Tuntutan Kecakapan (pribadi, akademis, vokasional dan sosial)
Keterampilan Belajar Keterampilan menjalin hubungan relasional Keterampilan bekerja dan
bermain Keterampilan mengembangkan diri dan orang lain

• Melek huruf
• Kemampuan menghitung
• Memperoleh informasi
• Belajar dari pengalaman
• Menggunakan pendekatan seluruh pikiran
• Kemampuan memanfaat komputer
• Keterampilan belajar
• Melek komputer • Memulai dan memelihara hubungan
• Berkomunikasi
• Kemampuan untuk menjadi sumber
• Menjadi anggota yang efektif dalam kelompok
• Manajemen konflik
• Memberi dan menerima umoan balik,
• Berkeluarga
• mempengaruhi • Pengembangan kareer,
• Pengelolaan waktu,
• Pengelolaan keuangan
• kewirausahaan,
• memilih dan menggunakan waktu luang
• persiapan untuk pensiun
• mencari dan mempertahankan pekerjaan
• mengatasi kehilangan pekerjaan,
• mengelola rumah
• menetapkan tujuan dan perencanaan kegiatan
• Memiliki pemikiran positif pada diri sendiri,
• kreatif dalam memcahkan permasalahan
• membuat keputusan
• mengelola stres
• mengelola hubunan sek
• memelihara kesehatan tubuh
• memelihara kemutakhiran
• proaktif
• mengelola emosi negatif
• mengungkap minat, nilai dan keterampilan,
• mengungkap rahasia pekerjaan,
• mengembangkan keyakinan diri
• membantu orane lain
• mengembangkan politik diri

C. Pelatihan Dalam Kerangka Global


1. Dolar banyak yang tidak termanfaatkan. Ilustrasi al Zaitun dan Malaysia, sebagai tujuan
alternatif penggunaan dolar dari Timur Tengah.
2. Harapan dunia pada Indonesia, sebagai faktor penyeimbang kekuatan
3. Adanya konspirasi untuk membuat kesan Indonesia tidak aman, ditunjukkan dengan kesan
peledakan bom dan teroris,
4. Teori sosial menekankan kembali mengenai teori fungsi dan pertukaran

D. Model Manajemen Sarana Dan Prasarana Versi Global


Dengan menggunakan sumber yang dikeluarkan oleh GLOBAL model pengembangan standar
sarana dan prasarana, menempuh tahapan (1) analisis dan diagnosis kebutuhan sarana pendidikan
latihan (2) penelitian dan pengembangan untuk menetapkan standar (3) perencanaan dan
pencanderaan program pendidikan dan latihan yan berubungan dengan sarana dan prasarana dan
(4) implementasi dari pemeliharaan, perbaikan dan konstruksi sarana dan prasarana .
Dalam melakukan diagnosis dan analisis kebutuhan akan sarana dan prasarana ditempuh langkah
(1) jalur yang mengkaji sumber yang dimiliki dan kebutuhan akan lembaga Pelatihan. (2) jalur
mengkaji dan menganalisis mengenai inventaris yang dimiliki saat ini sekaitan dengan lembaga
Pelatihan, pemetaan kebutuhan nasional maupun regional, kebutuhan akan lembaga Pelatihan
serta identifikasi permalahan yang harus dipecahkan melalui penyediaan sarana fisik dan
penunjang. Perpaduan antara kebutuhan dan identifikasi permasalahan akan menghasilkan
alternatif kebijakan mengenai pendirian lembaga Pelatihan terutama yang menyangkut sarana
dan prasarana, yang umumnya terdiri dari dua atau tiga alternatif.
Dalam mengembangkan penelitian yang berhubungan dengan penyediaan sarana fisik dan
penunjang terutama diarahkan pada survey kenyataan pengguna sarana dan prasarana . Survey
ini mengambil pola alaternatif yang diperoleh pada tahapan diagnosis dan analisis, diarahkan
pada delapan aspek kelayakan dan standar mengenai sarana fisik dan penunjang lembaga
Pelatihan, meliputi: (1) spesifikasi lembaga Pelatihan, (2) perlengkapan mebeler, (3) norma
mengenai ruang yang layak dipergunakan, (4) norma yang berhubungan dengan kenyamanan, (5)
norma mengenai keamanan dan rasa aman (6) metode pembangunan termasuk material yang
dipergunakan (7) pembiayaan dan (8) kriteria lingkungan. Semua hasil yang bersumber dari
bentuk tubuh pengguna (survey antropometrik) Pelatihan ini dipergunakan untuk tahapan
berikutnya dalam penelitian yaitu konsep perencanaan keruangan, petunjuk pelaksanaan dan
teknis sarana dan prasarana (menyangkut pembangunan, pengembangan model dan
pemeliharaan), pengembangan prototipe dan evaluasi prototipe.
Dalam perencanaan, memanfaatkan studi kelayakan mengenai pengembangan sarana fisik dan
penunjang, dengan mengembangkan rencana pengembangan jangka menengah dan rencana
tahunan mengenai sarana dan prasarana . Perencanaan jangka menengah meliputi perioritas,
pengembangan denah lembaga Pelatihan, pembiayaan dan administrasi. Menggunakan data
perencanaan regional mengenai satuan pendidikan dan latihan dan memadukan dengan
perancanaan nasional mengenai sarana dan prasarana , dengan penekanan pada pereencanaan
jangka menengah dan jangkan panjang. Perencanaan nasional ini dikembangkan berdasarkan
pada perencanaan regional mengenai sarana dan prasarana . Perencanaan nasional ini selanjutnya
menjadi dasar dari rencana tahunan, yang terdiri dari pengembangan rencana tahunan mengenai
pembangunan, pereubahan dan pemeliharaan rencana fisik dan sarana penunjang.
Bagian akhir dari rangkaian pengelolaan yaitu implementasi standarisasi sarana dan prasarana.
Implementasi standarisasi sarana dan prasarana mendasarkan diri berdasar pada rencana regional
dan tata kota mengenai sarana fisik dan penunjang sarana dan prasarana pendidikan dan latihan.
Dengan menggunakan input ini dikembangkan dua hal yaitu perencanaan tata ruang dan rancang
bangun dan pembiayaan. Tata ruang sangat menentukan rancang bangun dan perkiraan pembiaan
dan gambaran mengenai arsistektur sarana dan prasarana. Sementara rancang bangun dan
perkiraan biaya selanjutnya menjadi bahan untuk evaluasi rancang bangun sarana. Selanjutnya
gambaran mengenai arsitektur dan evaluasi disain menjadi bahan penetapan pembangunan,
perbaikan dan pemeliharaan. Semua produk penetapan ini akan dievaluasi sesuai dengan
kebutuhan yang telah ditetapkan pada tahapan analisis dan diagnosa kebutuhan srana fisik dan
penunjangnya.
1. Rincian Standarisasi Sarana dan Prasarana Generik
a. Tata Letak Bangunan
Bila tofogragi bertingkat, ruang kelas harus berada di bagian bawah sehingga memudahkan akses
dan lebih menyenangkan dalam melakukan proses pembelajaran. Bila dalam satu komplek
terdapat semua bentuk kegiatan (ruang kuliah, kantor dan laboratorium), hendaknya ruang kelas
diberikan jarak dengan ruang untuk kepentingan lainnya)
Ruang kelas hendaknya dijauhkan dari ruang generator. Untuk mengurangi kegaduhan dari luar,
wilayah kelas hendaknya dijauhkan dari wilayah kehaduhan, seperti: jalan, dari parkir,
perumahan, plasa, wilayah rekreasi, lapangan olah raga. Dalam upaya mengurangi kegaduhan
yang datang dari lingkungan kelas hendaknya ruangan kelas cukup jauh dari ruangan mekanik,
elevator, ruang istirahat dan ruangan generator.
b. Jalan masuk.
Jalan masuk hendaknya terbagi menjadi dua bagian yaitu jalan masuk langsung dan jalan menuju
kelas. Jalan masuk hendaknya diberikan tanda, sehingga kelompok yang berasal dari luar dapat
masuk dengan tidak mengganggu kegiatan dalam kelas. Jarak dari pintu masuk ke ruangan kelas
tidak terlalu jauh sehingga dalam proses menuju kelas peserta tidak menggangu kegiatan
pembelajaran pada rauangan lain.
Jalan masuk dan keluar seharusnya dibedakan sehingga tidak mengganggu proses selam keluar
masuk.
Dalam ruang bertingkat, maka tangga harus mampu mengakomodasi peserta belajar yang masuk
dan keluar.
c. Pintu
Pintu masuk minimal berukuran tiga kaki (di atas 80 cm). Sebaiknya memiliki panel tembus
pandang, yang umumnya menggunakan kaca untuk menghindari kecelakaan pada saat dibuka.
d. Ruang istirahat
Ruang istirahat harus terdapat pada setiap lantai, dengan besar ruangan diseimbangkan dengan
banyak peserta belajar, terutama pada saat pergantian jam pelajaran. Pada setiap ruang istirahat
harus tersedia toilet, baik bagi kebanyakan maupun peserta belajar dengan kebutuhan khusus.
Ruangan kelas besar juga harus memiliki kedekatand dengan ruang istirahat. Ruang istirahat
harus dibuka untuk kepentingan malam hari, walaupun ruang lain sudah dikunci.
e. Fasilitas air minum
Fasilitas air minum harus dimiliki paling tidak oleh 50% dari ruangan yang ada dari setiap lantai,
dan memudahkan untuk dijangkau.
f. Telepon
Telepon untuk umum harus ditempatkan pada wilayah yang mudah dilihat yaitu sekitar lobi atau
pintu masuk bangunan. Telepon juga jangan terlalu jajuh dari ruangan kuliah, dan sebaiknya
tidak saling mengganggu dengan ruang lobi.
g. Warna
Pemilihan warna hendaknya diperhitungkan benar untuk setiap ruangan dengan warna cerah.
Warna harus memungkinkan untuk dicuci. Jangan menggunakan bahan yang lunak sehingga
tidak memungkinkan untuk pencucian. Ruang yang dilengkapi dengan televisi sebaiknya
menggunakan warna biru atau abu, dan tidak memantulkan cahaya. Kekuatan untuk
merefleksikan cahaya, pada tiap bagian adalah sebagai berikut:
1) langit-langit 80% atau lebih
2) dinding 50-70%
3) lantai 20-40%
4) meja 20-40%
tingkat kekuatan cahaya harus memungkinkan untuk melihat benda yang sedang dipegang dan
untuk itu warna tidak bolah mengganggu penglihatan. Permukaan meja dibuat kontras dengan
kertas, buku dan layar komputer ketika sedang dioperasikan.
h. Lantai
Lantai harus memiliki permukaan yang halus. Penggunaan karpet lebih bagus karena
memberikan efek akustik. Bila mengunakan kursi yang bergerak pertimbangan menggunakan
karpet hendaknya diimbangi dengan biaya yang harus ditanggung.
i. Koridor
Koridor hendaknya dilengkapi dengan tempat duduk sehingga tidak memungkinkan peserta
untuk duduk di lantai dan mengganggu lalu lalang. Lantai koridor harus cukup halus, sehingga
tidak menimbulkan suara saat dipergunakan untuk pengangkutan barang atau orang yang
menggunakan roda.
j. Kloset.
Setiap ruangan kelas harus memiliki kloset atau berdekatan dengan kloset, sehingga peserta
belajar yang akan menggunakan tidak perlu terlalu lama meninggalkan kelas. Untuk wilayah
tertentu dibutuhkan kloset dalam jumlah lebih dari satu.
k. Akustik
Pertimbangan tingkat kebisingan dilakukan dalam upaya memperhatikan:
1) membatasi suara yang datang dari luar
2) tingkat kejernihan suara yang dibutuhkan untuk setiap ruangan,
3) pembagian suara kepada ruang yang berbeda bila dibutuhkan
4) mempertimbangkan berbagai jenis suara yang dibutuhkan dalam ruangan baik suara langsung
maupun suara yang datangnya dari alat.
Sehubungan dengan kualitas suara ini maka faktor lain yang mempengaruhi yaitu dinding,
langit-langit dan alat isolasi dari berbagai kebisingan.
l. Kemudahan untuk mengakses.
Tiap ruangan harus memiliki pintu yang sesuai dengan besarnya ruangan. Antar ruangan juga
diberikan petunjuk dan denah rute serta pintu darurat pada saar terjadi kebakaran dan musibah
lainnya. Setiap raungtan juga harus dilengkapi dengan suplay udara yang memadai dengan
penyediaan jendela dan dijauhkan dari udara buangan dari pembangkit tenaga.
m. Sistem bangunan
Cahaya dalam ruangan harus memadai untuk penggunaan teknologi, dengan disain memudahkan
untuk pemakaian, mudah dilakukan penyesuaian semisal pada saat terjadinya pemadaman listrik.
Pada saat dilakuakan pengurangan cahaya dibutuhkan jenis pencahayaan lain sehingga proses
pembelajaran dapat berjalan dengan baik.
Pencahayaan untuk ruangan kelas paling tidak harus memiliki kekuatan sebanyak 50-60 cahaya
lilin. Pada tiap ruangan memiliki saklar dan ruangan kontrol daya yang cukup jelas, sehingga
bisa dikelola tiap saat dibutuhkan. Cahaya untuk sekitar papan tulis cukup memadai untuk proses
pembelajaran.
Pencahayaan khusus dibutuhkan untuk perekaman video dan pembelajaran jarak jauh.
Ventilasi udara dan penyejuk ruangan dibutuhkan untuk kondisi tertentu
n. Pelayanan listrik, telekomunikasi dan audiovisual
Sesuai dengan kebutuhan penggunaan teknologi pembelajaran, dibutuhkan pelayanan listrik,
telekomunikasi dan audiovisual. Instalasi hendaknya memudahkan untuk peningkatan an
perluasan dan tidak perlu melakukan renovasi. Semua sirkuit hendaknya memiliki kode yang
jelas untuk kepentingan penggunaan dan pemeliharaan.
o. Teknologi
Sarana dan prasarana Pelatihan hendaknya dipersiapkan untuk melayani teknologi dengan
memperhatikan standar, keamanan, sistem proyeksi video dan komputer, layar proyeksi,
komputer.
p. Ruang kelas
Ruang kelas dipersoapkan untuk mengakomodasi sekitar 20-75 peserta belajar. Ruang kelas yang
memadai yaitu panjang sebanyak satu setangah kali lebarnya. Semua kelengkapan kelas
hendaknya tidak mengganggu proses pembelajaran. Kelas yang memuat 50 tempat duduk
dipersyaratkan memiliki satu jalan keluar dan masuk. Pintu depan umumnya mengganggu proses
pembelajaran.
Jendela hendaknya dijauhkan dari daerah parkir, buangan udara dan kebisingan lainnya
q. Tempat duduk.
Tempat duduk peserta belajar memperhatikan kejelasan penglihatan pada layar bila pembelajaran
menggunakan layar
r. Sarana penangkal kebisingan. Sarana ini dapat dipakai dalam bentuk panel maupun tanaman.
Tiap bahan yang dipergunakan memiliki nilai positif dan negatif. Terutama penggunaan pohon
harus diperhitungkan jenis tanaman yang kokoh, cukup rindang, tidak memiliki daun yang terlalu
besar karena menyulitkan dalam penangan sampah atau tanaman berdaun jarum karena kurang
memiliki kemampuan untuk menjaga air tanah.
E. Sistem Manajemen
1. Kaidah Umum
Pengembangan sarana dan prasarana Pelatihan ditujukan untuk peningkatan pelayanan yang
berlangsung terus menerus, kegiatan dan prosedur yang perlu untuk menjamin kondisi sarana
dan prasarana yang paling baik, (Oteng Sutisna, 1983: 133). Selanjutnya beliau menyebutkan
lima hal pokok yang sangat penting untuk diperhatikan oleh para Pengelola sarana dan prasarana
lembaga Pelatihan , yaitu:
a. Memajukan iklim belajar. Sarana dan prasarana Pelatihan yang bersih, nyaman, sejuk,
menyenangkan, teratur serta memberikan perasaan aman dan tentram menyumbang secara tidak
langsung kepada proses belajar. Lingkungan Pelatihan yang menarik tidak saja menghasilkan
iklim belajar yang merangsang untuk belajar dengan menyenangkan tetapi juga memajukan rasa
bangga dan respek terhadap barang-barang milik lembaga Pelatihan.
b. Memajukan kesehatan dan keamanan. Tanggung jawab pemeliharaan lembaga Pelatihan
meliputi perlindungan peserta Pelatihan dan personel Pelatihan terhadap kondisi yang merusak
kesehatan dan keamanan. Kewaspadaan maupun perencanaan kooperatif adalah perlu jika
kondisi aman dan sehat akan terpelihara.
c. Memelihara gedung secara ekonomis. Pengelola Pelatihan bertanggungjawab atas
pemeliharaan sarana dan prasana Pelatihan yang ekonomis. Ada tiga bidang yang jika
diperhatikan dapat menghindarkan pemborosan dalam pelayanan pemeliharaan : personil,
perbekalan dan perlengkapan yang dipakai dalam pekerjaan pemeliharaan, dan pemakaian tilpon,
air dan listrik. Karena bidang-bidang ini menimbulkan biaya yang cukup besar, kebutuhan akan
program pelayanan dan pemeliharaan yang disusun dengan teliti menjadi jelas.
d. Melindungi barang-barang milik lembaga Pelatihan. Pencegahan kerusakan pada fasiltas dan
perlengkapan lembaga Pelatihan adalah maksud pokok dalam pengembangan sarana dan prasana
lembaga Pelatihan. Perlindungan barang-bartang lembaga Pelatihan meliputi pemeliharaan,
termasuk perhatian segera kepada perbaikan-perbaikan kecil dan besar; kegiatan pembersihan,
yang mengarahkan perhatian kepada pekerjaan pembersihan; dan tindakan pencegahan untuk
melindungi gedung dan halaman terhadap kerusakan, kebrutalan, dan bahaya kebakaran.
e. Memajukan citra masyarakat terhadap lembaga Pelatihan. Kesan yang menyenangkan yang
diciptakan oleh sarana dan prasarana lembaga Pelatihan yang bersih dan rapi dan halaman yang
terpelihara cenderung untuk membangkitkan sikap-sikap mendukung lembaga Pelatihan di
antara para pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) Pelatihan. Lembaga Pelatihan
berpotensi untuk memberikan kepuasaan kepada stakeholder mereka.
Pengembangan sarana dan prasarana dalam menunjang peningkatan kualitas pendidikan dan
pelatihan, sangat ditentukan oleh perancangan dan perencanaan bangunan dan penunjangnya.
Sarana prasarana dalam mengembangkan perancangan sarana fisik dan perlengkapan tergantung
pada empat faktor, yaitu:
a. Aspek Fungsional, dilihat dari kesesuaian dengan kebutuhan akan ruang, memperhatikan
norma kenyamanan dari pandangan arsitektur dan kaidah internasional, aspek hubungan antara
lembaga Pelatihan non formal dengan pusat kegiatan lain yang berhubungan dengan pendidikan
dan latihan, serta terhindar dari kebisingan dan kegiatan yang membutuhkan ketenangan di
sekitar pusat Pendidikan dan Latihan.
b. Aspek Konstruksi, harus memanfaatkan bahan lokal yang berkualitas yang dapat ditangani
oleh pekerja lokal, memenuhi tuntutan kekhasan bangunan lokal, dapat dipadukan dengan bahan
modern dalam upaya memenuhi kebutuhan jangka panjang dan pemeliharaan yang murah serta
pemilihan konstruksi dan bahan yang tahan terhadap gangguan dan kerusakan alam,
c. Aspek Estetika, memiliki kesesuaian dengan kebutuhan ruang yang layak untuk kemanusiaan,
terintegrasi secara visual dengan masyarakatnya, menarik bagi peserta belajar dan masyarakat
untuk mengambil keberdaannya serta mempertimbangkan secara sempurna tuntutan arsitektur,
dan
d. Aspek Pembiayaan, masih dalam batas pertimbangan kebutuhan arsitektur, baik dilihat dari
biaya per-unit, biaya per-satuan peserta belajar.
2. Jenis Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana pendidikan pada dasarnya dapat dikelompokaan dalam empat kelompok,
yaitu tanah, bangunan, perlengkapan, dan perabot lembaga Pelatihan (site, building, equipment,
and furniture).
a. Lahan atau “site”
Lahan atau “site” yang dimaksud adalah letak/lokasi tanah atau suatu lahan yang telah dipilih
secara seksama untuk dibangun di atas tanah/lahan tersebut gedung atau bangunan lembaga
Pelatihan atau lembaga pendidikan. Bahkan dalam pengertian yaang lebih luas lahan ini
mencakup pula tempat berkebun, bertani, beternak, maupun berolah raga serta halaman tempat
upacara berlangsung, dan kegiatan lain sepanjang ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan
pendidikan dan latihan.
b. Bangunan atau “Building”
Bangunan atau “Building” berarti semua bangunan atau ruangan yang sengaja didirikan di atas
lahan tersebut dan digunakan untuk kepentingan pendidikan dan latihan.
c. Perabot dan perlengkapan atau ”Equipment”
Perabot adalah sarana pendidikan yang mudah dipindahkan dan disusun sesuai kebutuhan
program. Pada umumnya digunakan sebagai sarana dan prasarana dalam proses pembelajaran.
Pelaksanaan pengadaan perabot direncanakan sesuai dengan fungsi dan kegunaannya. Fungsi
perabot erat kaitannya dengan jenis kegiatan yang dilaksanakan, ruang penempatan perabot dan
calon pemakai perabot tersebut
d. Furniture
Furniture atau mebeler, berarti berupa meja, kursi, bangku, berbagai macam papan pendidikan,
kotak maupun rak dan gantungan.
3. Prinsip-Prinsip Pengembangan Sarana dan Prasarana Pelatihan
Pengembangan sarana dan prasarana pada PELATIHAN menerapkan prinsip-prinsip:
a. Efisien, berarti pengembangan sarana dan prasarana harus diusahakan dengan menggunakan
dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-
singkatnya dan dapat dipertanggung jawabkan;
b. Efektif, berarti pengembangan sarana dan prasarana harus sesuai dengan kebutuhan yang telah
ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang
ditetapkan;
c. Kesesuaian, berarti pengembangan sarana dan prasarana harus sesuai dengan apa yang telah
diusulkan berdasarkan kesepakan baik dari segi kualitas sarana dan prasarana berdasarkan
standar mutu dan kuantitas yaitu jumlah sarana dan prasarana yang telah disepakati bersama.
d. Ketersediaan, berarti tersedianya sarana dan prasarana yang akurat sesuai dengan jenis sarana
dan prasarana yang telah disepakati. Jika salah satu subsistem dalam system pengembangan
sarana dan prasarana melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan mempengaruhi
ketersediaan sarana dan prasarana yang telah disepakati.
e. Kelayakan, berarti adanya kelayakan baik dari segi harga, maupun kualitas sarana dan
prasarana yang disediakan sesuai dengan kesepakatan dan layak untuk digunakan sesuai dengan
standar mutu.
f. Terbuka dan bersaing, berarti pengembangan sarana dan prasarana harus terbuka bagi penyedia
sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat
di antara penyedia sarana dan prasarana yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu
berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;
g. Transfaran, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengembangan sarana dan
prasarana, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi,
penetapan calon pengembang sarana dan prasarana, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia
sarana dan prasarana yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya;
h. Adil/Tidak Diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon
pengembang sarana dan prasarana dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak
tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;
i. Akuntabel, LAN & BPKP (2000: 43) mendefinisikan akuntabilitas sebagai kewajiban untuk
memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan
seseorang/badan hukum/lembaga kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk
meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Pengembangan sarana prasarana lembaga
Pelatihan hendaknya memenuhi prinsip akuntabilitas yang berarti bahwa hasil dan kesimpulan
hendaknya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, moral, spiritual maupun finansial.
j. Tindak lanjut berarti ada upaya untuk menindaklanjuti apa yang sudah dilaksanakan. Hal ini
didasarkan pada hasil evaluasi, apakah pelaksanaannya dapat diteruskan ataukah dihentikan.
k. Komprehensif. Sarana prasarana yang telah dikembangkan harus disusun secara konprehensif
dari yang sederhana hingga yang lebih kompleks.
Pengembangan manajemen sarana dan prasarana bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan
efesiensi serta kualitas penyelenggaraan program Pelatihan. Oleh karena itu dalam
pengembangan sarana dan prasarana perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

Bagan 1
Alur Pengembangan Sarana dan Prasarana PELATIHAN
4. Persiapan
Pengembangan sarana dan prasarana bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi serta
kualitas penyelenggaraan program Pelatihan. Oleh karena itu dalam pengembangan sarana dan
prasarana perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : apa yang perlu dikembangkan, untuk
apa, untuk siapa, siapa yang akan melakukan pengembangan, kapan, untuk berapa lama, dan
bagaimana mengembangkannya. Untuk menjadi lembaga Pelatihan yang efektif dan efisien perlu
dipersiapkan dan direncanakan secara cermat dengan mempertimbangkan sejumlah aspek
diantaranya:
a. Visi, Misi, Tujuan dan Strategi
Visi, misi, tujuan dan strategi adalah landasan utama dalam penyusunan rencana strategi. Visi
merupakan pandangan kedepan lembaga tentang masa depan yang akan dicapai dan
pencapaiannya melalui sejumlah misi yang diemban oleh lembaga. Selanjutnya pencapaian-
pencapaiannya dirujuk dengan tujuan-tujuan kelembagaan dan strategi pelaksanaan yang
dipergunakan.
b. Analisis Kebutuhan (need assessment)
Definisi analisis/identifikasi kebutuhan (needs assesment) adalah suatu cara untuk menentukan
ada atau tidaknya kesenjangan antara kenyataan dengan yang diinginkan atau menentukan
kelayakan suatu keadaan. Dengan kata lain, analisis kebutuhan adalah suatu cara yang sistimatis
untuk memilih dan menentukan prioritas kebutuhan sebagai masukan dalam pengambilan
alternatif kebijakan tentang lembaga bagi para pemimpin.
Definisi lain, analisis kebutuhan adalah suatu investigasi sistematik mengenai diskripsi dimensi
manusia, sarana dan prasarana, program, dan dana untuk menggambarkan kesenjangan,
menetapkan penyebab terjadinya kesenjangan, dan memutuskan apakah keberadaan lembaga
dengan dimensi manusia, sarana dan prasarana, program, dan dana merupakan solusi potensial
untuk mengatasi kesenjangan tersebut.
Adapun tujuan analisis kebutuhan lembaga Pelatihan adalah :
1) Menggambarkan kondisi riil keberadaan lembaga Pelatihan terkait dengan tantangan kerja
saat ini dan masa yang akan datang.
2) Menentukan sebab-sebab adanya kesenjangan antara kondisi riil saat ini dengan kondisi ideal
yang dibutuhkan untuk mewujudkan tugas pokok dan fungsi lembaga Pelatihan
3) Merekomendasikan solusi yang sesuai dalam menjembatani kesenjangan antara kondisi riil
saat ini dengan kondisi ideal yang diharapkan.
4) Menggambarkan peta permasalahan yang dihadapi oleh lembaga Pelatihan baik dari dimensi
sarana prasarana, ketersediaan dana, SDM dan Program Pelatihan serta akses jejaring antar lintas
institusi.
Langkah-langkah dalam melakukan analisis kebutuhan
Ada empat langkah yang harus ditempuh dalam melakukan analisis kebutuhan lembaga
Pelatihan. Pertama analisis kesenjangan (gap analysis); kedua analisis skala prioritas; ketiga
analisis kinerja kelembagaan dan peluang; keempat mengindentifikasi solusi atau peluang yang
mungkin dapat diambil. Adapun rinciannya sebagai berikut:
1) Analisis kesenjangan:
a) Mendiskripsikan tujuan institusional kelembagaan Pelatihan
b) Mendiskripsikan tugas pokok dan fungsi lembaga Pelatihan secara rinci.
c) Mendiskripsikan prakondisi yang harus dipenuhi untuk menunjang pencapaian tugas pokok
dan fungsi lembaga Pelatihan.
Dari ketiga tahap itu akan ditemukan adanya kesenjangan antara kondisi saat ini (existing
condition) yang riil yang dimiliki oleh lembaga Pelatihan dengan kondisi ideal (future condition)
sesuai tebaran tugas pokok, fungsi serta tujuan yang ingin dicapai oleh lembaga Pelatihan.
Kondisi ini perlu dianalisis seberapa jauh kesenjangan antara keadaan saat ini dengan tujuan
yang hendak dicapai serta tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh suatu lembaga Pelatihan.
Dari kesenjangan yang teridentifikasi tersebut dapat dijadikan rujukan dalam menentukan
beragam kebutuhan lembaga Pelatihan yang ideal. Penting diperhatikan dalam identifikasi ini
adalah seberapa besar peluang lembaga Pelatihan mampu menjalankan tugas pokok dan
fungsinya sekaligus mencapai tujuan kelembagaan secara efektif.

2) Analisis Skala Prioritas


Berdasarkan kondisi riil yang saat ini dimiliki oleh lembaga Pelatihan kemudian diidentifikasi
skala prioritas apa yang hendak diutamakan untuk dipenuhi. Hal ini mencakup sejumlah daftar
kebutuhan yang dihasilkan dari tahap identifikasi kebutuhan lantas diputuskan mana skala
prioritas utama yang mendesak untuk dipenuhi mana yang bisa ditangguhkan sementara.
Argumen yang menjadi dasar penentuan skala prioritas mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Feasibilitas. Artinya, kebutuhan mana yang paling mungkin untuk bisa dipenuhi lebih dulu
berdasarkan efektivitas anggaran yang dimiliki. Dalam hal ini perlu dilakukan analisis cost and
benefit.
b) Implementasi peraturan perundang-undangan. Artinya, apakah ada suatu peraturan perundang-
undangan yang “memaksa” lembaga Pelatihan harus mengutamakan pemenuhan kebutuhan
terkait dengan implementasi peraturan perundang-undangan. Misalnya, implementasi standar
pelayanan prima, peraturan keselamatan kerja dan sebagainya.
c) Kebijakan pimpinan. Artinya, jika pimpinan memiliki kebijakan yang urgen untuk
diimplementasikan maka hal itu harus menjadi skala prioritas. Misalnya, kebijakan pimpinan
untuk meningkatkan kinerja karyawan maka semua hal yang terkait dengan peningkatan kinerja
akan menjadi skala prioritas.
d) Konsumen. Artinya, penentuan skala prioritas hendaknya juga memperhatikan harapan dan
tuntutan konsumen. Apa saja yang diinginkan konsumen perlu diposisikan sebagai skala prioritas
tentu saja dengan mempertimbangkan kemampuan lembaga Pelatihan dalam memenuhi harapan
konsumen.
3) Analisis Masalah
Pada langkah ini sangat urgen untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi oleh
lembaga Pelatihan. Identifikasi masalah yang cermat akan menjadi pedoman dalam mencari
solusi yang tepat dan feasible.
4) Analisis Peluang
Eksistensi lembaga Pelatihan sangat ditentukan oleh kemampuan lembaga tersebut dalam
survival menjalankan tugas pokok dan fungsinya serta terus menerus melakukan inovasi-inovasi
kreatif. Sebab lembaga Pelatihan tidak hidup dalam situasi yang steril dan status melainkan
hidup dalam kompetisi yang dinamis. Oleh karena itu lembaga Pelatihan harus cerdas membaca
peluang dan memanfaatkan untuk mengukuhkan eksistensinya.
Jenis-jenis Analisis Kebutuhan
1) Analisis kinerja
Analisis kinerja adalah pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi kesenjangan antara kinerja
yang terjadi yang diharapkan serta faktor-faktor yang menghambat kinerja yang diinginkan.
Tujuan analisis kinerja adalah menentukan penyebab kesenjangan kinerja dan kemungkinan
solusinya.
2) Analisis fungsi
Analisis fungsi adalah mengidentifikasi suatu posisi yang melaksanakan sejumlah besar tugas-
tugas kelembagaan.
Tujuan analisis fungsi adalah untuk menentukan peran dan fungsi, serta kompetensi pimpinan
atau pengambil kebijakan di lembaga.
3) Analisis pekerjaan
Analisis pekerjaan adalah proses untuk menyusun daftar semua tugas bagi pekerjaan atau posisi
tertentu. Tujuan analisis pekerjaan adalah membantu pimpinan untuk mengalokasikan sumber
daya di tempat yang paling memerlukan
4) Analisis tugas
Analisis tugas adalah upaya menganalisis pekerjaan dan menguraikan semua tugas yang tercakup
dalam pelaksanaannya. Analisis tugas bertujuan untuk memperoleh gambaran dalam menentukan
atau merancang tugas/pekerjaan bagi pegawai di lembaga.
Metodologi Analisis Kebutuhan
Langkah-langkah analisis kebutuhan
1) Melakukan identifikasi kesenjangan
a) Situasi sekarang.
b) Situasi yang diinginkan.
2) Menentukan sebab-sebab terjadinya kesenjangan
a) Faktor dari luar lembaga
b) Faktor dari dalam lembaga
3) Mengidentifikasi prioritas lembaga
Dalam menentuan prioritas suatu lembaga dengan memperhatikan beberapa hal antara lain:
a) Efektivitas biaya, yaitu sejauh mana perbandingan antara masalah dan biaya solusinya.
b) Mandat peraturan perundang-undangan
c) Desakan pimpinan
d) Populasi
e) Pelanggan
4) Mengidentifikasi penyebab masalah kinerja dan atau peluang
5) Mengidentifikasi solusi dan atau peluang pertumbuhan
6) Menggambarkan tentang peran atau pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga
Teknik Analisis Kebutuhan
Teknik/metode yang dapat dipergunakan untuk melakukan analisis kebutuhan lembaga antara
lain:
1) Instrumen wawancara
2) Instrumen isian/angket
3) Pengamatan/penilaian dokumen

c. Perencanaan Strategis (Renstra)


Perencanaan strategik (Renstra) merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin
dicapai selama kurun waktu 1-5 tahun dengan memperhitungkan potensi, peluang, dan kendala
yang ada atau mungkin timbul. Rencana strategic mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, cara
mencapai tujuan dan sasaran yang meliputi kebijakan, program, dan kegiatan yang realistis
dengan mengantisipasi perkembangan masa depan.
Perumusan rencana strategik dilakukan oleh tim khusus yang dibentuk oleh lembaga atau divisi
penelitian pengembangan di lembaga yang bersangkutan.
d. Penetapan Dasar Hukum
Dalam mengembangkan program pengembangan sarana dan prasarana Pelatihan, penyelenggara
harus mengacu pada peraturan yang berlaku pada saat program dilaksanakan.
Pengelola program pengembangan adalah sumberdaya manusia yang mempunyai kompetensi
dalam menentukan peraturan-peraturan maupun hukum-hukum yang berlaku dan sesuai dengan
program yang dilaksanakan.
e. Penyusunan Program
Program lembaga disusun pada awal tahun anggaran oleh bagian terkait seperti seksi program,
penyusunan mengacu pada kebutuhan dengan memeprtimbangkan skala prioritas dan sumber
daya yang ada. Sebelum kegiatan penyusunan program, lembaga harus menginformasikan
tentang: dasar penyusunan program, jenis program, sasaran, waktu dan sumberdaya. Adapun
langkah-langkah penyusunan program, yaitu
1) mengidentifikasi dan mengkaji ulang renstra
2) menganalisis kebutuhan program
3) menentukan skala prioritas program
4) membuat rancangan program
5) menyusun program
6) memverifikasi program
7) mensosialisasikan program
f. Penyusunan Term of Reference (TOR)
Term of Reference adalah acuan rencana kegiatan untuk merealisasikan program. TOR disusun
oleh bagian teknis yang membidangi/menguasai materi kegiatan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi program yang telah disusun oleh pelatihan;
2) Mengklasifikasi program pelatihan berdasarkan skala prioritas;
3) Menentukan tim ahli yang akan menyusun TOR sesuai dengan karakteristik jenis program;
4) Menyusun TOR sesuai dengan program yang telah ditetapkan;
5) Menelaah TOR yang telah disusun oleh tim ahli yang telah ditunjuk.
6) Menetapkan TOR yang telah ditelaah untuk digunakan.
g. Penyusunan rencana implementasi program
Tujuan prosedur ini adalah untuk memastikan seberapa banyak kebutuhan yang diperlukan untuk
mengimplementasikan program. Menyusun rencana implementasi program adalah kegiatan
penyusunan rencana program tahunan yang merupakan implementasi dari rencana strategik
lembaga. Dalam rangka mengimplementasikan program diperlukan langkah-langkah penyusunan
rencana implementasi program sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi seluruh program yang telah disusun.
2) Mengidentifikasi kebutuhan sumber daya manusia yang terlibat;
3) Mengidentifikasi kebutuhan biaya untuk mengimplemen ta- sikan program
4) Mengidentifikasi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) yang terlibat untuk
mengimplemetasikan program
5) Membuat jadwal kegiatan
Terkait dengan hal tersebut, persiapan pengembangan sarana dan prasarana dilakukan dengan
pendekatan komprehensif berdasarkan pada tujuan pelatihan. Untuk memenuhi tuntutan itu
dibutuhkan persyaratan :
1) Rencana induk pengembangan lembaga Pelatihan disesuaikan dengan misi dan tujuan jangka
panjang lembaga PELATIHAN dan rencana induk pengembangan secara periodik.
2) Sarana dan prasarana yang dikembangkan memperhitungkan alokasi pembiayaan dan modal
yang dimiliki pelatihan
3) Perencanaan sarana dan prasarana diarahkan dapat disesuaikan bagi pengguna yang memiliki
hambatan dan cukup memenuhi syarat keamanan bagi kelompok yang berkekurangan
4) Pihak yang bertanggungjawab dalam pengembangan dan penggunaan merepresentasikan
semua pihak-pihak yang pemangku kepentingan
h. Pelaksanaan
1) Implementasi Program
Implementasi program adalah pelaksanaan program yang telah ditetapkan oleh lembaga, maka
untuk itu diperlukan kelengkapan, yang meliputi:
a) Administrasi yang meliputi: administrasi persuratan, administrasi umum, serta administrasi
lainnya.
b) penyiapan sumberdaya manusia
c) penyiapan sarana prasarana
d) dokumen pendukung, seperti: bahan ajar, buku panduan dan materi lain yang sesuai dengan
jenis program.
Pelaksanaan pengembangan sarana dan prasarana harus disesuaikan dengan misi dan tujuan dari
lembaga Pelatihan. Untuk memenuhi tuntutan itu dibutuhkan persyaratan khusus:
a) Sarana dan prasarana memadai untuk mencapai tujuan dan misi pelatihan. Terutama dalam
memberikan layanan kepada ustadz dan warga belajar.
b) Sarana dan prasarana yang ditujukan dalam menunjang pembelajaran, memadai untuk
keberlangsungan fungsi pembelajaran
c) Sarana dan prasarana cocok diperuntukkan selama proses pembelajaran dan penelitian baik
yang dilakukan oleh warga belajar, ustadz maupun staf lainnya.
d) Pengembangan, pemeliharaan dan pengoperasian sarana dan prasarana pendidikan memadai
sesuai dengan tuntutan kualitas dan keamanan yang dibutuhkan dalam menunjang pendidikan
dan latihan serta pelayanan dari pelatihan.
e) Sarana dan prasarana dibangun dan dipelihara dengan memperhatikan unsur kesehatan dan
keamanan dalam memberikan pelayanan kepada kelompok yang berkebutuhan khusus
(disabled);
f) Sarana dan prasarana memadai baik kualitas maupun jumlahnya dalam mendukung
ketercapaian tujuan pendidikan dan tujuan pelatihan.
g) Sarana dan prasarana memadai dan mudah untuk dipakai yang ada di lingkungan pelatihan
sesuai dengan tuntutan pendidikan dan administratif.
h) Sarana dan prasarana dirawat sesuai dengan persyaratan operasi, diadministrasikan dan
diawasi serta ditempatkan dan ditingkatkan kondisinya bila diperlukan.
2) Mekanisme Pengembangan Sarana Prasarana Pelatihan
b) Pengembangan Bangunan Serta Kesehatan Lingkungan
c) Pengembangan Fasilitas Pembelajaran
d) Pengembangan Sumber Belajar (Learning Resources)
e) Pengembangan Standar Pengadaan, Pengoperasian, Perawatan, dan Perbaikan Alat
f) Pengembanga Prasarana Umum Berupa Air, Listrik, dan Telefon

3) Aspek Pengembangan Sarana dan Prasarana


a) Bangunan
b) Perpustakaan
c) Exterior
d) Interior
e) Mebeler
f) Ruangpajang dan Kelengkapannya
g) Pemeliharaan
h) Emergency Plans (Rencana Keadaan Darurat)
i) Children’s Area (Wilayah Anak-anak)
4) Komponen dan Jenis Sarana dan Prasarana

No Komponen Jenis
1 Site (lokasi lahan) a. Areal tempat Pelatihan
b. Halaman
c. Taman
d. Lapanagan olah raga
e. Tempat parkir kendaraan
f. Jalan
g. Lapangan Upacara
h. Kebun
i. Taman
j. Kolam
k. Ternak
l. Drainase
m. Tempat pembuangan sampah sementara
2 Gedung/Ruang a. Ruang Belajar
b. Perpustakaan
c. Mes atau pemondokan
d. Aula
e. Dapur
f. Kantin
g. Ruang Ibadah
h. Ruang kantor manajemen /administrasi
i. Kamar mandi dan WC
j. Ruang Tunggu/Tamu
k. Laboratorium
l. Ruang kerja/Workshop
m. Gudang/Store
n. Ruang Tenaga listrik
o. Ruang Teleconference
p. Ruang Radio Komunitas
q. Laboratorium Komputer
r. Ruang Pajang
s. Ruang Kesehatan/Klinik
t. Ruang Pos Jaga/Keamanan
3 Perlengkapan a. Komputer
b. Printer
c. Telp dan Faximile
d. Media pembelajaran baik elektronik maupun bukan elektronik
e. Radio Komunitas
f. Jaringan ICT
g. Audio Visual Equipment
h. Kamera
i. OHP
j. LCD Proyektor
k. DVD Cam/ Video Digital
l. Sound system
m. Televisi
n. Server
o. PHBX
p. Handy Talky
q. Tape Recorder
Perlengkapan Penunjang a. Instalasi listrik
b. Instalasi air
c. Cadangan listrik
d. Pemanas dan pendingin
e. Sarana komunikasi
4 Perabot (Furniture) a. Meja
b. Kursi
c. Lemari
d. Papan Tulis Elektronik
e. Rak
f. Kabinet
5 Kendaraan a. Motor
b. Mobil Dinas
c. Mobil Unit

i. Monitoring dan Evaluasi


Monitoring dan evaluasi (monev) merupakan salah satu komponen kegiatan yang tidak dapat
dipisahkan dari sistem pengelolaan sarana dan prasasarana terutama pengembangan sarana dan
prasarana lembaga Pelatihan.
Monitoring adalah suatu penilaian yang dilaksanakan terus menerus (berkelanjutan) untuk
mengecek dan mencatat keadaan yang berkaitan dengan kegiatan yang sedang berjalan. Evaluasi
merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu objek dengan
menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolok ukur untuk memperoleh
kesimpulan.
Monitoring dan evaluasi (Monev) ini sebagai sarana untuk mengukur dan menilai sejauhmana
apa yang telah direncanakan dan diprogramkan dalam pengembangan sarana dan prasarana
lembaga Pelatihan non formal dilaksanakan dengan memenuhi standar yang telah ditetapkan
baik mutu, waktu dan biayanya. Monev diperlukan untuk menghindari terjadinya penyimpangan
biaya, waktu pelaksanaan dan mutu yang tidak sesuai dengan anggaran, sehingga mengakibatkan
kecerobohan dan pemborosan. Selain itu dengan monev ini ingin mengetahui sejauh mana
pelaksanaan setiap kegiatan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Biasanya Monitoring
dan evaluasi ini dilaksanakan dalam tiga dimensi waktu yaitu pada awal tahun, tengah tahun dan
akhir tahun.
Berikut ini adalah langkah-langkah monitorong dan evaluasi:
1) Perencanaan: penyusunan pedoman pelaksanaan
2) Penyiapan instrumen : kisi-kis, penulisan instrumen, validasi, revisi, penggandaan
3) Pelaksanaan; penetuan petugas, sasaran, waktu, kesiapan instrumen, pengolahan data/analisis,
pelaporan
Dari hasil monitoring dan evaluasi di atas akan digunakan oleh pengelola Pelatihan sebagai
bahan kajian dan pertimbangan dalam perencanaan kegiatan pengembangan sarana dan prasarana
lembaga Pelatihan pada periode berikutnya.
j. Pelaporan
Pelaporan merupakan kegiatan yang dilakukan setelah semua kegiatan pengembangan sarana
prasarana dilakukan. Penyusunan laporan dimaksudkan untuk memberikan pertanggungjawaban
dari kegiatan pengembangan yang dilakukan. Laporan pelaksanaan pengembangan harus dapat
memberikan gambaran tentang persiapan, proses dan hasil dari pelaksanaan pengembangan.
Tujuan penyusunan laporan adalah untuk memberikan pertanggungjawaban atas kegiatan yang
telah dilaksanakan dan memberikan informasi kepada pihak lain tentang keterlaksanaan kegiatan
tersebut.
Sistematika penyusunan laporan adalah sebagai berikut:
Laporan harus objektif
Bentuk-bentuk laporan direncanakan dalam urutan yang logis
Bagian-bagian laporan terdiri dari judul, perincian isi, masalah pokok, kesimpulan, saran, batang
tubuh, sumber data dan disertai lampiran-lampiran secukupnya.
Standarisasi sarana dan prasarna, merupakan bagian penting yang harus diperhatikan dalam
penyelenggaraan kegiatan pelatihan. Pelatihan dapat menyesuaikan dan mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan mempengaruhi peralatan dan
perlengkapan penunjang kegiatan. Sarana dan prasarana harus memungkinkan dipergunakan
untuk melayani kebutuhan internal pelatihan maupun untuk melayani pengguna yang datang dari
masyarakat.
Pengembangan sarana dan prasarana perlu disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan
kemampuan pengembangan.

BAB IX
KOMPETENSI PELATIH/FASILITATOR PENDIDIKAN KEAKSARAAN

A. Kompetensi Dasar
Suatu pelatihan dikatakan berhasil apabila persiapan, proses, dan hasilnya berjalan lancar dan
menyenangkan semua pihak baik bagi peserta, pelatih/fasilitator maupun penyelenggara/panitia.
Setiap pelatihan, tujuan akhir yang ingin dicapai adalah para peserta dapat menerapkan isi
pelatihan dalam tugasnya sehari-hari. Untuk memenuhi hal itu, salah satu upaya yang perlu
dipersiapkan oleh seorang pelatih/fasilitator profesional memiliki kompetensi dasar umum
sebagai pelatih/fasilitator, yang mencakup:
1. Seorang pelatih/fasilitator harus mampu berfikir logis dan positif sebelum mengatakan
sesuatu;
2. Kemampuan untuk menyesusaikan diri pada orang lain
3. Kemampuan menjelaskan sesuatu dan dikomunikasikan secara singkat dan jelas;
4. Kemampuan membedakan antara persoalan pribadi dengan persoalan pekerjaan;
5. Kepekaan mendengarkan pembicaraan orang lain dengan aktif;
6. Kemampuan menghargai pendapat/ide/gagasan orang lain;
7. Kemampuan berempati;
8. Kemampuan memahami sebab akibat tindakannya sebagai seorang pelatih/fasilitator;
9. Kemampuan menghadapi suasana konflik dan tegang selama proses pelatihan berlangsung;
10. Kemampuan membangun suasana saling percaya dan terbuka dengan semua pihak yang
terlibat dalam pelatihan.
11. Kemampuan mengendalikan emosi dan sikap tidak bersikukuh pada pendapatnya sendiri.

B. Kepekaaan dan Kemampuan Menganalisa Kegiatan Pembelajaran


Menyangkut kepekaan dan kemampuan menganalisa kegiatan berkaitan dengan pelatihan banyak
ragamnya, namun dalam kesempatan ini diberikan beberapa hal yang dianggap paling penting
dalam suatu pelatihan, yaitu:
1. mampu membantu orang lain/peserta dalam merumuskan permasalahannya;
2. Kemampuan mengajukan pertanyaan pada situasi dan kondisi yang tepat;
3. Kemampuan membangkitkan kepercayaan orang lain/peserta untuk menyelesaikan masalah
yang berkaitan dengan tugas/pekerjaannya;
4. Kemampuan mengantarkan seseorang/peserta untuk menemukan jawaban dari suatu
pertanyaan;
5. Kemampuan memancing pendapat orang lain/peserta tentang sesuatu berkenaan dengan materi
yang dipelajari dalam pelatihan tersebut.
6. Kemampuan membantu orang lain/peserta dalam menemukan pemecahan masalah yang
dihadapinya.
7. Kemampuan menerima perumusan orang lain/peserta tentang pengertian suatu masalah
tertentu, dan sebagainya.

C. Kemampuan Mengidentifikasi Kebutuhan Belajar


Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pelatih (Fasilitator) adalah mampu
mengidentifikasi kebutuhan belajar dalam kegiatan pelatihan. Oleh sebab itu untuk menjadi
seorang pelatih/fasilitator pada program pendidikan keaksaraan, hal-hal yang harus diperhatikan
antara lain adalah :
1. Identifikasi potensi lokal;
2. Kepekaan terhadap masalah-masalah lingkungan;
3. Kemampuan awal peserta;
4. Lokasi praktek lapangan yang akan digunakan;
5. Karakteristik peserta;

D. Kemampuan Merencanakan Kegiatan Pembelajaran


Untuk menjadi pelatih/fasilitator profesional pada saat sebelum menyampaikan materi
pembelajaran, hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembelajaran adalah:
1. Pelajari semua materi pelatihan, petunjuk, makalah, hand-out, bahan-bahan yang akan
dipraktekkan, sehingga pelatih mengetahui secara menyeluruh bagaimana melaksanakannya dan
juga mengetahui isinya;
2. Buatkan rencana pembelajaran, apa yang akan dilakukan ketika menyampaikan pembelajaran
kepada peserta, siapkan pertanyaan untuk peserta guna memancing partisipasi mereka;
3. Perlu disadari bahwa peranan pelatih/fasilitator lebih ruwet daripada seorang guru di muka
kelas, oleh karena itu, untuk melaksanakan tugasnya dengan efektif pelatih/fasilitator
mempunyai banyak tanggung jawab untuk menjamin keberhasilan pengelolaan pembelajaran.
4. Kenali para peserta pelatihan, siapa mereka, keterampilan/pengetahuan apa yang sudah
mereka miliki, bagaimana kebiasaan, adat dan tabiat mereka, apa yang menjadi kebutuhan nyata
mereka, dan sebagainya.
5. Tentukan tambahan materi pelatihan apa yang diperlukan oleh pelatih/fasilitator, kemudian
siapkan materi tersebut dengan sungguh-sungguh.
6. Siapkan ruangan, dan atur sedemikian rupa tempat duduk peserta sesuai tuntutan metodologi
pembelajaran yang akan disampaikan.
7. Siapkan, sarana-prasarana (alat-alat tulis, OHP, VCD, media pembelajaran, dan sebagainya).
Pastikan sarana prasarana tersebut dapat difungsikan sebagaimana mestinya dengan melakukan
percobaan sebelum memulai penyampaian materi pembelajaran.
8. Sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, pastikan semua persiapan sudah dilakukan dengan
tidak ada yang terlewat.
Dalam rangka untuk memulai pelatihan yang perlu diperhatikan oleh seorang Pelatih/Fasilitator
adalah:
1. Mulailah dengan menggali informasi, pengetahuan, atau pengalaman dari peserta, bukan
pengetahuan atau informasi yang berasal dari pelatih.
2. Gunakan metode “induktif”, dengan memberi kesempatan pada peserta mengumpulkan dan
menganalisa informasi sendiri, berdasarkan masalah-masalah atau kesulitan-kesulitan yang
dihadapi oleh para peserta pelatihan di daerah masing-masing.
3. Pelatih perlu mempersiapkan peserta dengan cara membantu mereka, memikirkan tentang
bagaimana cara mempelajari informasi berdasarkan kegiatan dan analisa pengalamannya sendiri.
4. Aktivitas belajar dimulai dari proses belajar dari pengalaman sendiri (BDPS) atau berdasarkan
masalah-masalah/kesulitan-kesulitan nyata yang dialami peserta, bukan dimulai dengan
pemberian informasi dari pelatih.

E. Kemampuan Pengorganisasian /Pengelolaan Pelatihan


Sebagai Pelatih/Fasilitator Profesional dalam Pengelolaan Pelatihan ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
1. Bina Suasana
a. Penciptaan suasana sebelum dan selama penyajian materi perlu diperhatikan, karena bina
suasana ini disamping akan menyegarkan suasana juga menjaga kebosanan para peserta
pelatihan.
b. Buatlah permainan belajar, cerita yang sesuai dengan materi pembahasan atau permainan yang
dapat menyegarkan suasana belajar.
2. Penyampaian Materi
a. Berikan informasi/pengetahuan pada peserta dengan singkat dan jelas.
b. Sebagai bahan penguatan (reinforcement) atau penjelasan tentang informasi tersebut, mintalah
peserta untuk memberikan contoh konkretnya.
c. Dalam proses pemberian penjelasan, sertakan tanya jawab sesuai dengan situasi dan kondisi
materi yang sedang dibicarakan.
3. Keseimbangan antara penjelasan dan aktivitas
a. Penjelasan ±30% dan kegiatan/aktivitas ±70%.
b. Menjelaskan prinsip-prinsip materi yang disampaikan dan petunjuk tugas ±10%,
melaksanakan kegiatan/praktek ±70%, dan kesimpulan prinsip materi ± 20%.
4. Membagi peserta dalam kelompok kecil
a. Pelatih perlu menganalisa tugas, berapa orang yang dianggap paling optimal untuk
melaksanakan tugas tersebut.
b. Analisa waktu (berapa waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas tersebut).
c. Analisa pembagian kelompok, bisa berdasarkan daerah, pekerjaan, golongan/kepangkatan,
pengalaman, minat, pengetahuan dan sebagainya.
5. Teknik pengelompokkan peserta
a. Peserta diminta berhitung secara berurutan: 1,2,3,4, 1,2,3,4, 1,2,3,4, dan seterusnya.
b. Peserta yang mempunyai nomor sama diminta bergabung menjadi satu kelompok.
c. Buat dan berikan petunjuk berupa lembar tugas sekaligus nomor kelompok.
d. Meminta peserta memilih kelompok yang sama berdasarkan kesesuaian minat.
6. Pemberian tugas/petunjuk kegiatan partisipatif
a. Pelatih perlu menganalisa, konsep pokok, tugas, kesimpulan tujuan serta langkah-langkahnya.
b. Tulis konsep pokok, tujuan, dan langkah-langkah tersebut pada poster, bila kegiatan dirasa
sulit atau peserta bekerja di ruang pelatihan.
c. Jelaskan tujuan dengan petunjuk yang sederhana, sebelum membagi peserta dalam kelompok
kecil.
d. Bila masing-masing kelompok mempunyai tugas yang berbeda, bagilah peserta dalam
kelompok, kemudian berikan petunjuk sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
e. Dorong anggota-anggota kelompok untuk berpartisipasi aktif, yakinkan bahwa dengan belajar
aktif (menjadi pelaku) akan lebih baik dibanding belajar pasif (sekedar sebagai penonton)
f. Selama peserta kerja kelompok, amati setiap kelompok kalau-kalau ada masalah yang dihadapi
kelompok dan cobalah bantu untuk memecahkannya.
7. Kesimpulan hasil kegiatan kelompok kecil
a. Berikan kertas koran untuk membantu kelompok kecil tersebut, guna membuat kesimpulan
informasi yang telah didiskusikannya.
b. Pilih salah seorang dari masing-masing kelompok untuk mem-presentasi-kan kesimpulan hasil
diskusinya kepada peserta lain.
c. Mintalah kelompok kecil untuk membuat poster yang berisi informasi dari kegiatan yang
dilakukan, dan berikan waktu untuk menjelaskan isi masing-masing poster tersebut.
d. Meminta peserta untuk saling mengunjungi kelompok lain, guna melihat dan mencari
kejelasan serta berdiskusi hasil kegiatan dari kelompok yang dikunjungi.
8. Memperkirakan waktu untuk kegiatan partisipatif
a. Manfaatkan dan analisalah waktu yang tersedia untuk materi tersebut.
b. Analisalah kegiatannya dan perkirakan waktunya untuk menjelaskan petunjuk, melaksanakan
kegiatan/praktek dan membuat kesimpulan.
c. Bila tidak dapat memperkirakannya, lakukan percobaan sendiri dengan melihat dan
memperhatikan waktu yang ada.
9. Cara menyusun kegiatan berikutnya
a. Analisa dan sesuaikan kegiatan yang saling berkaitan. Sebagai contoh, Pelatih perlu
menganalisa dan menyesuaikan teknik PRA (Participatory Rural Appraisal) dengan kegiatan
mengidentifikasi kebutuhan belajar calon kelompok sasaran (poksar), dan kegiatan lainnya.
b. Gunakan materi yang telah dipelajari melalui praktek teknik PRA seperti teknik peta, tabel,
dan lain-lain, untuk dipraktekkan dalam kunjungan lapangan.
c. Gunakan kegiatan praktek untuk membuat kesimpulan informasi atau membuat bahan
pembelajaran yang langsung dapat dimanfaatkan kelak, ketika peserta menjadi Pelatih.
F. Kemampuan Penguasaan Substansi Materi
Kemampuan mengaplikasikan suatu teori/konsep dalam bentuk kegiatan nyata merupakan
prasyarat bagi kesuksesan seorang pelatih/fasilitator. Oleh karenanya sebagai seorang
pelatih/fasilitator profesional, akan lebih berbobot jika pelatih memahami suatu persoalan sampai
ke akar-akarnya. Untuk bisa memahami program sampai ke akarnya, akan sangat baik apabila
sebelum menjadi pelatih/fasilitator memiliki pengalaman program . Sebab bekerja secara
langsung dengan objek sesungguhnya (sebagai praktisi) sesungguhnya pelatih telah belajar dan
merupakan pengalaman yang sangat berharga. Atas dasar itu, hal-hal berikut ini yang menjadi
perhatian pelatih/fasilitator profesional, yaitu:
1. Tingkat kesulitan setiap pokok bahasan dalam materi pelatihan
2. Ruang lingkup subtansi materi pelatihan.
3. Pemberian contoh – contoh yang sesuai dengan materi pelatihan
4. Kemampuan memberikan pertanyaan dan jawaban yang sesuai dengan konteks subtansi
materi.

G. Kemampuan Menguasai Metodologi Pembelajaran


Metodologi pembelajaran merupakan sesuatu yang pokok untuk keberhasilan suatu proses
pelatihan, maka dalam acuan ini akan diperoleh penambahan pengetahuan metode pada
program . Dengan demikian, diharapkan para calon pelatih/fasilitator memiliki keterampilan
menggunakan metode-metode pelatihan yang disarankan dalam acuan ini. Hal terpenting yang
harus diingat, setiap metode memiliki karakteristik (kelebihan, dan kelemahan) tersendiri yang
harus disesuaikan dengan berbagai hal seperti situasi dan kondisi pembelajaran, peserta, materi,
media dan sebagainya. Atas dasar itu, kemampuan pelatih/fasilitator dalam meramu dan
mengkombinasikan metode-metode tersebut sangat diharapkan.
Metode-metode yang umum digunakan dalam suatu pelatihan yang perlu diperhatikan para
pelatih/fasilitator adalah:
1. Ceramah (lecture) merupakan bentuk pembelajaran atau penyajian lisan yang dipersiapkan dan
dilakukan orang yang tepat. Contoh kegiatan ceramah misalnya untuk pemberian informasi yang
berupa konsep, prinsip-prinsip atau pokok-pokok bahasan tertentu. Ceramah pada umumnya
merupakan teknik untuk menjelaskan dengan satu arah dari sumber belajar pada peserta, agar
terjadi rangsangan untuk melakukan kegiatan partisipatif melalui penggunaan teknik-teknik
lainnya. Ceramah ini merupakan teknik paling rendah jika dilihat dari daya serap peserta
pelatihan terhadap suatu materi, karena (1) hanya mengandalkan indera pendengaran; dan (2)
hanya berjalan satu arah (dari fasilitator/tutor ke WB).
2. Membaca (reading) merupakan bentuk pembelajaran individu atau kelompok. Contohnya
peserta pelatihan diminta membaca suatu buku atau topik tentang pelatihan, untuk memahami
jalan pikiran pengarangnya atau mencari sesuatu informasi yang diperlukan untuk kemudian
dikaji/dianalisis atau dirangkum agar mudah dipahami isinya. Metode membaca lebih baik jika
dibandingkan dengan ceramah, karena peserta pelatihan dapat merangkum, menelaah, mengkaji
dan menganilsis sendiri tentang apa yang dibacanya.
3. Media Pandang Dengar (audio visual) merupakan sarana pembelajaran dimana peserta
pelatihan diberikan atau ditunjukkan suatu objek/informasi yang dapat ditangkap melalui dua
inderanya sekaligus dalam waktu yang sama, yaitu indera penglihatan dan pendengaran,
misalnya pembelajaran melalui TV/video atau Nara sumber yang sedang menjelaskan sesuatu
disertai poster, gambar atau lainnya yang dapat dilihat. Pembelajaran melalui audio visual ini
memang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan kedua metode di atas, karena dalam waktu yang
bersamaan dua indera memperoleh objek/informasi yang sama dan saling berkaitan, saling
menunjang, serta saling memperkuat informasi yang masuk.
4. Demonstrasi (demonstation) adalah proses pembelajaran dimana para peserta pelatihan
diberikan pertunjukkan tentang sesuatu hal, atau melakukan serangkaian perbuatan tertentu atau
menunjukkan hasil-hasil dari suatu prosedur yang spesifik. Kemudian mereka diberikan
kesempatan untuk mempraktekkan prosedur atau operasi tersebut. Hal ini memperkuat daya
tangkap/serap peserta pelatihan, karena disamping indera penglihatan dan pendengaran mereka
juga diberikan kesempatan untuk melakukan “action” melalui pertunjukkannya tersebut. Contoh
kegiatannya, misalnya Nara sumber atau peserta yang ditunjuk mendemontrasikan atau
mempertunjukkan kemampuan cara membuat “Bahan Ajar Tematik” kepada seluruh peserta
pelatihan. Maksud demonstrasi adalah memberi kesempatan kepada peserta pelatihan, untuk
mengobservasi masalah-masalah atau kesulitan yang dialami selama membuat bahan ajar tematik
tersebut. Dalam kaitan ini, semaksimal mungkin fasilitator memberikan kesempatan kepada
peserta untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan demonstrasi tersebut. Untuk itu, Pelatih perlu
menjelaskan konsep pokok, tujuan, langkah-langkah kegiatan dan membuat demonstrasi masing-
masing langkah/tekniknya.
5. Diskusi Kelompok (group discussion) merupakan bentuk pembelajaran yang melibatkan
semua peserta pelatihan secara aktif. Tujuan diskusi kelompok adalah untuk menyatakan
pendapat dan memperoleh informasi tentang topik yang menjadi perhatian, mereka juga saling
membelajarkan diantara sesama anggota kelompok dan fasilitator/tutor. Daya serap peserta
menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan kegiatan di atas, karena banyak informasi yang
masuk dan karena adanya proses analisa di dalam dirinya sebelum ia mengeluarkan pendapatnya
atau saling tukar informasi/pikiran. Misalnya peserta diminta untuk mendiskusikan tentang
langkah-langkah membuat desain pelatihan.
6. Praktek langsung (praktice by doing) merupakan teknik pembelajaran yang memberikan
pengalaman secara langsung pada para peserta. Semua kegiatan pelatihan yang dapat melibatkan
peserta secara aktif dalam praktek akan membantu mereka mengerti bagaimana melakukan
sesuatu yang dipraktekkan. Pelatih/fasilitator perlu memberi kesempatan kepada peserta untuk
mepraktekkan sesuatu tersebut, agar mereka dapat memiliki pengalaman lebih konkrit daripada
teknik-teknik yang di atas. Misalnya praktek mengajar dikelas yang pesertanya sesama teman,
atau praktek melakukan sendiri bagaimana mengelola atau memfasilitasi suatu “debate atau
panel” di kelas.
7. Simulasi dan Praktek Pengalaman Lapangan adalah suatu bentuk pembelajaran yang
memberikan kesempatan pada peserta untuk mengajar peserta lainnya secara langsung,
sedangkan praktek pengalaman lapangan adalah suatu bentuk pembelajaran yang memberikan
kesempatan pada peserta untuk mempraktekkan secara langsung pada objeknya.
Simulasi maksudnya adalah memberi kesempatan kepada peserta untuk praktek menjadi
“seseorang”. Untuk melakukan simulasi, peserta dibagi dalam kelompok kecil dan berperan
sebagai “pelatih/fasilitator”, sementara salah seorang peserta berperan sebagai “penilai”. Dalam
hal ini pelatih perlu mengelola perputaran peran, agar masing-masing peserta memiliki
kesempatan berperan sebagai “penilai”.
Praktek pengalaman lapangan bertujuan agar para peserta dapat mengalami secara nyata suatu
“objek” sesungguhnya, sehingga mereka mendapatkan “penguatan” (reinforcement) dari
kegiatan tersebut. Karena diyakini bahwa pengalaman langsung dengan objek memiliki nilai
tertinggi (daya serap) sekitar 75%-90% dari suatu proses pembelajaran. Pelatih/fasilitator dapat
menggabungkan beberapa kegiatan dalam satu kunjungan lapangan dengan memperhatikan
efesiensi waktu dan pemahaman para peserta.
Kedua teknik di atas, merupakan bentuk pembelajaran paling tinggi, karena peserta dikenalkan
secara langsung dengan objek nyata, dan melibatkan semua aktivitas baik fisik maupun psikis.
Selain itu peserta diberikan kesempatan untuk melihat, mengobservasi atau mengamati sumber
informasi pertama secara langsung. Hal ini juga memberikan pengalaman langsung mengenai
tempat/objek yang menjadi minat dan perhatiannya. Misalnya peserta pelatihan diajak untuk
mengunjungi dan mengamati proses pembelajaran di suatu kelompok belajar. Kegiatan ini
bertujuan untuk mengubah perilaku dan meningkatkan kompetensi peserta dalam melakukan
tugasnya.
Untuk selengkapnya piramida tentang persentase metode-metode belajar di atas, terhadap daya
serap peserta dapat digambarkan sebagai berikut:

8. Tugas Analisa: Dalam kegiatan ini, peserta bekerja bersama atau sendiri-sendiri untuk
menganalisa teori, konsep, prinsip, dan langkah-langkah aplikasinya di lapangan.
9. Permainan dan Kegiatan (energizer): Karena waktu pelatihan sangat intensif, peserta perlu
diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan yang bersifat hiburan/ice breaking dalam rangka
mendinamisasi kelompok, tanpa terlepas dari unsur-unsur edukasi atau pelatihan.

H. Kemampuan menyusun dan Menggunakan Media Pembelajaran


Peranan utama pelatih/fasilitator adalah sebagai pemandu, oleh karenanya pelatih/fasilitator perlu
memikirkan bagaimana memaksimalkan potensi, pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan
lain sebagainya untuk menumbuhkan kemampuan dan pengertian mereka. Untuk mencapai itu
semua, pelatih/fasilitator perlu mempersiapkan berbagai media pembelajaran yang diperlukan
untuk memudahkan penyampaian materi. Berikut ini hal-hal yang harus diperhatikan:
1. Untuk menarik perhatian, gunakan poster atau transparan yang berisi kesimpulan informasi
dasar, sederhana dan jelas, bukan uraian yang bertele-tele.
2. Buat tulisan besar yang menarik, dan jelas dengan menggunakan warna kontras, dan terbaca
oleh seluruh peserta. Upayakan jangan terlalu banyak meletakkan informasi dalam satu lembar
transparan/poster. (baca poster dari belakang ruang melatih sebelum digunakan) Pada saat
sedang menyampaikan materi, pandangan ditujukan ke peserta, bukan pada poster/transparan.
3. Bila banyak informasi yang perlu dijelaskan, dan tidak cukup waktu untuk menjelaskannya,
berikan bahan serahan (handout) sebelumnya, agar peserta bisa membaca bahan serahan tersebut
selama pelatih menjelaskan informasi.
4. Penjelasan hanya pada point-point inti yang dianggap penting saja.
5. Bila informasi cukup jelas dan hanya bertujuan untuk memperkaya informasi, berikan setelah
penyampaian presentasi selesai.

I. Kemampuan mengevaluasi kegiatan pelatihan


Sebagai pelatih/fasilitator profesional kemampuan mengevaluasi kegiatan pelatihan sangat
diperlukan, terutama menyangkut:
1. Kemampuan menilai diri sendiri sebagai pelatih/fasilitator secara realistik;
2. Keberanian mengakui kegagalan diri sendiri sebagai pelatih/fasilitator secara tepatguna;
3. Kesiapan menerima kritik orang lain/peserta dengan terbuka;
4. Keterampilan mengendalikan perubahan yang terjadi di luar dugaan ketika sedang
menyampaikan materi pelatihan;
5. Peka dan mampu memanfaatkan umpan balik informasi yang disampaikan orang lain/peserta
ketika pelatihan sedang berlangsung;
6. Keranian memutuskan persoalan dan melepaskan diri suatu masalah yang ditemui ketika
sedang melakukan suatu pekerjaan sebagai pelatih/fasilitator; dan
7. Kemampuan merencanakan tindak lanjut suatu pelatihan.

BAB X
PEMBERDAYAAN VISI DARI PELATIHAN DAN PENYULUHAN

A. Pemberdayaan melalui Pendidikan


Kata pemberdayaan mula-mula dipakai dalam bidang pendidikan non formal oleh Kindervatter
(1979). Dalam studinya terhadap pendidikan non formal di Indonesia dan Thailand tahun 1976
untuk kepentingan pembuatan disertasinya, mengajukan suatu thesis tentang peranan pendidikan
non formal merupakan suatu proses pemberdayaan (Kindervatter, 1979:vii). Salah satu contoh
proses pemberdayaan yang dia berikan adalah peningkatan peran warga belajar untuk
mengontrol pengambilan keputusan, sumber-sumber daya, dan institusi yang berpengaruh
terhadap kehidupan mereka. Simpulan dari studi Kindervatter memberikan garis-garis besar bagi
kreasi pendidikan non formal dalam mendukung konsep-konsep pembangunan terbaru.
Kindervatter (1979:13,150) memberikan batasan pemberdayaan (empowering) dipandang dari
hasilnya sebagai; ”people gaining an understanding of and control over sosial, economic, and or
political forces in order to improve their standing in society”. Batasan ini lebih menekankan pada
produk akhir dari proses pemberdayaan, yaitu anggota masyarakat memperoleh pemahaman dan
mampu mengontrol sumber daya sosial, ekonomi, dan politik agar bisa meningkatkan
kedudukannya dalam masyarakat.
Dalam latar manajemen, Cook dan Macaulay (1997:1) memberikan definisi pemberdayaan
sebagai “alat penting untuk memperbaiki kinerja organisasi melalui penyebaran pembuatan
keputusan dan tanggung jawab”. Dengan demikian akan mendorong keterlibatan para karyawan
dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab.
Dalam dunia usaha, pemberdayaan ditujukan kepada karyawan. Tekanan pemberdayaan dalam
dunia usaha tentu saja profit margin yang tinggi yang bersumber dari kinerja karyawan yang
produktif dan sempurna (excellent). Cook dan Macaulay (1997) membuat sebuah ilustrasi,
dimana pada sebuah perusahaan perdagangan dengan omzet penjualannya meningkat tajam
karena pihak manajemen memberikan kewenangan yang leluasan kepada staf untuk mengambil
peran dalam pengambilan keputusan-keputusan sehubungan dengan pekerjaannya sehari-hari.
Salah satu contoh adalah karyawan bagian pramunisaga yang diberi kewenangan mengambil
keputusan dan tindakan sehubungan dengan klaim-klaim pelanggan. Terbukti para pelanggan
merasa puas, dan tetap menjadi pelanggan usaha dagang yang bersangkutan. Pengambilan
keputusan terdistribusi pada seluruh staf. Dengan cara tersebut hal-hal penting yang
membutuhkan keputusan dan tindakan cepat tidak harus menunggu keputusan dari manajemen
puncak.
Pada buku lain, Stewart (1994:6) mengartikan pemberdayaan secara sederhana sebagai “a highly
racticaland productive way to get the from your self and yourstaff”. Pemaknaan ini melihat
pemberdayaan dari sisi proses dan hasil, yaitu disebut sebagai cara yang sangat praktis dan
produktif untuk mendapatkan (produk) yang terbaik dari sendiri (manajer) dan karyawannya.
Proses yang ditempuh untuk mendapatkan hal terbaik dan produktif tersebut adalah dengan
membagi tanggung jawab secara proporsional kepada para karyawan. Satu prinsip terpenting
dalam pemberdayaan ini adalah melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan dan
tanggung jawab.
Jika dielaborasi, pemberdayaan memiliki makna upaya penyadaran kepada seseorang atau
kelompok untuk memahami dan mengontrol dimensi-dimensi kekuatan yang dimiliki (religi,
fisik, psikis, sosial, ekonomi, politik dan budaya) untuk mencapai kedudukan optimal dalam
kehidupan (Kindervatter, 1979:150; Stewart, 1994:3; Cook dan Macaulay,1997). Dengan proses
empowering tersebut diharapkan khalayak sasaran memiliki kepercayaan diri (self -reliance).
Dengan istilah lain namun dalam makna yang hampir sama Freire (1972) menyebutnya sebagai
penyadaran (conscientizacao).
Dari ketiga pemaknaan terhadap istilah pemberdayaan (empowerment atau empowering) tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberdayaan adalah upaya memampukan (enabling)
masyarakat kecil atau bawahan yang selama ini dianggap tidak atau kurang berperan agar
meningkat dan memiliki kemampuan yang lebih baik sehubungan dengan status dan peranan
mereka di dalam sistem sosial. Pada prinsipnya yang disebut bawahan dapat meliputi; karyawan,
klien, tenant, warga masyarakat, warga belajar, dan sebagainya. Seting atau yang disebut sistem
sosial dapat berupa dunia usaha, pabrik, organisasi, masyarakat, maupun sistem sosial lainnya.
Cara yang dapat dilakukan untuk terjadinya pemberdayaan adalah dengan memberikan
kesempatan dan kewenangan kepada pihak-pihak yang diberdayakan untuk mengambil bagian
dalam pengambilan keputusan dan tindakan sesuai dengan kewenangannya.
Indikator pemberadayaan memiliki muatan sebagai berikut:
1. Akses (acces), memiliki peluang yang cukup besar untuk mendapatkan sumber-sumber daya,
2. Daya pengungkit (leverage), meningkat dalam hal daya tawar kolektifnya,
3. Pilihan-pilihan (choices), mampu dan memiliki peluang memilih berbagai pilihan,
4. Status (status), meningkat citra diri, kepuasan diri, dan memiliki perasaan yang positif atas
identitas budayanya,
5. Kemampuan refleksi kritis (critical reflection capability), menggunakan pengalaman untuk
mengukur potensi keunggulannya atas berbagai peluang pilihan-pilihan dalam pemecahan
masalah,
6. Legitimasi (legitimation), didasarkan pada alasan-alasan rasional atas kebutuhan-kebutuhan
masyarakat, dan adanya pertimbangan ahli yang menjadi jastifikasi atau dasar pembenaran.
7. Disiplin (discipline), menetapkan sendiri standard mutu pekerjaan yang dilakukannya dalam
hubungan dengan orang lain,
8. Persepsi kreatif (creative perceptions), sebuah pandangan yang lebih positif dan inovatif
terhadap antar hubungan dirinya dengan lingkungannya.
Tujuan jangka panjang dari pemberdayaan individu diletakkan pada penciptaan pemenuhan
kebutuhan, sebagai pemenuhan hak dasar manusia, kepercayaan diri, bersumber dari kekuatan
internal, sumber dari dalam terutama menyangkut nilai dan visi, akrab lingkungan berkaitan
dengan pemanfaatan dan peningkatan kelestarian sumber-sumber dan transformasi struktural
menekankan pada perubahan secara sadar dan berjangka panjang.
Suzanne Kindervatter mengajukan delapan karakteristik dari empowering process (1979: 152 –
153), yaitu : (1) Small group structur, empowering process menekankan aktivitas dan otonomi
kelompok kecil. Batasan kelompok ini disebarkan oleh kesamaan minat dan lain-lain. (2)
Transfer of responsibility. Selama pelaksanaan pembelajaran, partisipan mungkin enggan atau
ragu dilibatkan tetapi lama kelamaan setelah berpengalaman hal ini dapat di atasi. (3) Participant
Leadership. Partisipan diberikan kesempatan melakukan latihan mengambil keputusan pada
seluruh aspek aktivitas organisasi. Pimpinan hanya bersiap-siap membantu kalau mereka
menemui kesulitan. (4) Agen as fasilitator. Diluar tugas agent juga sebagai pelayan didalam
menagarahkan proses, sebagai sumber person, mengajukan masalah dan lain-lain. Seorang
fasilitator sepakat terhadap sasaran pemberdayaan dan memperlihatkan pendukungnya di dalam
melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. (5) Democratis and non-hierarchical realtionship and
process. Semua pendapat sama dan keputusan diambil berdasarkan konsensus suara terbanyak.
Peran dan tanggung jawab didistribusikan secara merata. Didalam beberapa hal, partisipan
mungkin tidak memahami cara kerja sama dan demokrasi. Karena itu, dibutuhkan proses latihan.
(6) Integration of reflection. Pengalaman partisipan dan perbaikan masalah dijadikan fokus.
Analisa kerjasama untuk meningkatkan perubahan yang dapat melibatkan personal, adalah
pemecahan masalah, perencanaan, pengembangan keterampilan, dan/atau perselisihan. (7)
Method wich encourage self-reliace. Teknik yang digunakan untuk meningkatkan keterlibatan
aktif warga belajar adalah dialog, dan aktivitas kelompok mandiri seperti belajar sesama teman,
jaringan kerja, workshop, menyediakan alat yang dapat digunakan oleh partisipan scara mandiri,
latihan mengekspresikan diri sendiri dan permainan. (8) Improvement of sosial, economic,
and/or political standing. Sebagai hasil empowering process, partisipan dapat meningkatkan
kemampuan di bidang khusus di dalam masyarakat.
Adapun strategi yang ditempuh di dalam empowering perocess adalah (1) pengorganisasian
masyarakat untuk mengaktifkan masyarakat di dalam memperbaiki dan mengubah kondisi sosial,
ekonomi dan lingkungannya, (2) mengelola diri sendiri dan keja sama, untuk menjaring kakuatan
kerjasama melalui pembinaan hubungan baik antara anggota, (3) pendekatan partisipatoris, untuk
menyiapkan orang-orang yang mengendalikan hakekat dan arah perubahan yang direncanakan,
(4) pendidikan keahlian, untuk membantu menyadarkan orang-orang akan ketidakmerataan dan
kemampuan mencegahnya. Yang terakhir ini dikenla luas dengan sebutan life skills
Dalam kaitannya dengan partisipasi warga dintadai dengan sepuluh karakteristik pendekatan
partisipatoris, yaitu (1) memberi kuasa bukan hanya kepada advisor tetapi kepada warga belajar
sebagai pengambil keputusan pada semua aspek mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai
dengan evaluasi, (2) mengikutsertakan sejumlah orang seperti para pimpinan informal atau
mereka yang mewakilinya, para fropesional, dan/atau anggota ynag aktif di dalam kelompok, (3)
mendasarkan kepada minat dan kebutuhan warga belajar, (4) permasalahan dan pemecahannya
berasal dari dan ditentukan oleh partisipasi melalui diskusi dan lain-lain (5) menggunakan
metode yang dapat mengembangkan ekspresi diri dan dialog, (6) keuntungan dirasakan secara
langsung oleh partisipan, (7) memperlakukan agen perubahan sebagai fasilisator, memasukan
petunjuk, sumber materi ajar, dan mengakitkannya dengan sumber luar, (8) mengakui pentingnya
latihan bagi agen perubahan guna menyamakan pengertian tentang penggunaan prinsip
partisipatoris, (9) melaksanankan kegiatan berdasarkan struktur ynag ditentukan berasama, dan
(10) mengoprasikan kegiatan berdasarkan prinsip yang ditentukan.
Secara lebih operasional Kindervatter (1979:247) mengemukakan bahwa Empowering process
memiliki sebelas dimensi, terutama dalam kaitannya dengan pendidikan nonformal, yaitu : (1)
structure, menekankan pada aktivitas dan otonomi kelompok kecil yang anggotanya mempunyai
latar belakang dan minat yang sama, (2) setting time, ditentukan oleh warga belajar dan
pertemuannya dilakukan secara informal di lingkungan masyarakat, (3) Role of learner, warga
belajar dan fasilisator kerja sam membuat keputusan di dalam semua aspek program. Warga
belajar berangsur-angsur mengambil alih kepemimpinan dan tanggung jawab dari fasilisator, (4)
Role of fasilisator, mendukung warga belejar melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri,
membantu warga belajar menyusun pengalaman belajar, secara ideal dari masyarakat warga
belajar, (5) Relationship between learners and fasilisator, status perbedaan fasilisator dan
partisipan dihilangkan. Hubungan kemajuan program, aktivitas warga belajar semakin meningkat
dan aktivitas fasilitator semakin menurun. Berdasarkan respek yang saling menguntungkan, (6)
Needs assessment, kebutuhan muncul dari minat dan masalah kehidupan nyata warga belajar
yang diidentifikasi melalui proses dialog antara warga belajar dan antara fasilitator dengan warga
belajar dan seterusnya, (Curriculum development, berkembang, terbuka, dan lentur). Tujuan
umum dibuat secara luas tetapi tujuan khusus dan rencana pelajaran dikembangkan dari satu
tahap ke tahap berikutnya, (8) Subject matter, fasilitator membantu warga belajar
mengembangkan dan menyelesaikan masalahnya. Berdasarkan analisis ini, warga belajar
menentukan apa yang ingin dipelajari dan menentukan sumber belajar yang digunakan. Isi
pelajaran termasuk dua bidang, yaitu (a) tujuan proses dikaitkan dengan pemecahan masalah
kelompok , dan (b) tujuan isi dikaitkan dengan informasi, keterampilan, atau projek aksi
masyarakat yang ditentukan warga belajar sendiri, (9) Material, biasanya bukan paket,
dikembangkan oleh warga belajar bersama fasilitator sebagai alat untuk memberikan stimulus
mengidentifikasi dan analisis masalah, mengajukan ekspresi diri dan mengaktifkan dukungan
kelompok. Termasuk photo, audio tapes, cerita, buletin, dan sejenisnya, chart, dan lain-lain, (10)
Methode, aktivitas kelompok kecil yang terstruktur, diskusi, pengembangan keterampilan,
perencanaan dan implementasi projek. Mengajukan pengembangan kelompok kecil seperti
dialog, dan lain-lain. (11) Evaluation, warga belajar secara kontinu menilai perkembangan dan
pengaruhnya pada masyarakatnya. Warga belajar tidak dievaluasi, mereka evaluator yang
bekerja sama dengan fasilitator. Alat evaluasi yang digunakan sederhana sehingga warga belajar
dapat menerapkannya sendiri walaupun tidak ada sumber belajar yang memberitahukan
Pemberdayaan Macro, Pembangunan Masyarakat
Peningkatan kinerja sosial memiliki sumbangan yang besar pada asupan modal. Bila masyarakat
memiliki kemampuan untuk mengembangkan kemampuan pribadi-pribadinya maka modal yang
dikembangkan oleh lingkungan maupun perusahaan akan mendapatkan dukungan dari
kemampuan pribadi yang ada dalam masyarkat tersebut dalam hal memecahkan permasalahan
yang pada gilirannya akan memiliki dampak pada masyarakat pada umumnya maupun para
providers yang memberikan dukungan pada pembangunan. Pengembangan masyarakat yang
akan memiliki dampak pada peningkatan modal-modal yang dikembangkan oleh lingkungan
antara lain ditempuh melalui reputasi, pengemnbangan sumber-sumber, kemudahan dalam
melakukan proses dan bantuan dalam memecahkan kebutuntuan, mengurangi biaya yang tidak
dibutuhkan, efisien dalam produksi dan dukungan pelayanan lokal, serta peningkatan tenaga
kerja lokal.
1. Reputasi. Melalui pengembangan kemampuan orang di sekitar pembangunan dan lembaga
pendidikan akan berarti meningkatkan reputasi orang-orang melalui peningkatan kemmapuan
dan pendidikan dalam emmecahkan permasalahan yang dihadapi. Peningkatan orang-orang akan
berarti pula pada peningkatan ornag dalam pemerintahan dan pelanggan lainnya.
2. Pengembangan sumber-sumber yang sangat bermanfaat untuk pembangunan.
Mengembangkan pendidikan akan berarti meningkatkan kemampuan orang-orang untuk
memanfaatkan sumber secara bijaksana sesuai dengan perkembangan dan kelestarian
lingkungan. Dengan ini ornag akan mampu untuk mengendalikan resiko dan melakukan
perubahan yang sangat bermanfaat.
3. Memudahkan untuk menerima berbagai perubahan. Dengan peningkatan pendidikan
diharapkan orang-orang sekitar dapat menerima dengan mudah usulan yang berhubungan dnegan
pembangunan. Kemudahan itu akan berdampak pada menerima proyek pembangunan, perluasan
bila dimungkinkan serta ememcahkan kebuntuan dan menghindari situasi dan suasana yang
mungkin berkembang disekitar lokasi pembangunan.
4. Mengindari biaya dan resiko. Dengan meningkatnya pendidikan dan kemampuan orang
disekitar diharapkan dapat mengurangi biaya-biaya tambahan dan adanya resiko yang tidak
diharapkan yang akan terjadi akibat kecerobohan dan resiko yang diambil di luar prosedur.
5. Produksi menjadi semakin efisien karena dukungan pelayanan dari lingkungan sekitar.
Dengan meningkatnya pendidikan dan pembangunan masyarakat diharapkan semakin
meningkatnya produkstivitas lembaa maupun masyarakat sendiri karena semakin meninkatnya
pelayanan yang tumbuh dari wilayah sekitar.
6. Hadirnya pekerja lokal. Meningkatnya pendidikan akan semakin mendorong pekerja lokal
untuk berperan dalam proses pembangunan yang berkembang di sekitar. Ketergantungan pada
pekerja dari luar akan meningkatkan biaya. Dengan berkembangnya ketenagaan yang akan
mendukung proses produksi sekitar diharapkan akan mengurangi waktu, usaha, frstrasi dan dana
yang harus dikeluarkan.
7. Meningkatkan kapasitas. Melalui peningkatan pendidikan sebaai bagian dari pembangunan
masyarakat akan memperkua kelembagaan kelembagaan dan pribadi-pribadi lokal, lembaga
sosial lokal dan pemerintahan yang lebih mendiri dan berkelanjutan untuk mendukung
pembanguna jangka panjang yang pada gilirannya akan mendukung pada pemupukan modal,
mengembangkan sumber yang bisa diperbaharui dan dukungan sarana yang akan mendukung
pada proses pembangunan itu sendiri melalui jaringan partisipasi yang lebih berkualitas.

B. Tampilan Prinsip Pembangunan Masyarakat dalam Praktek


Pembangunan masyarakat akan demikian maju dengan tumbuhnya prinsip-prinsip utama yang
seharusnya berkembang, meliputi:
1. Dilaksanakannya pendekatan yang strategis. Kegiatan pembangunan pada tahapan
pelaksanaan sangat membutuhkan jalinan dengan tujuan jangka panjang, termasuk dengan masa
depan masyarakat dan keterkaitan dengan rencana pembangunan regional dan nasional,
2. Lebih adanya jaminan konsultasi dan partisipasi. Rintangan masyarakat pada umumnya
maupun bagi lembaga yang ada dalam masyarakat sangat tergantung pada tingkat konsultasi dan
partisipasi. Adanya aspek ini dapat mengurnagi tingkat kesalahfahaman dan keengganan untuk
berpartisipasi. Melalui konsultasi dan partisipasi pada tahapan konsepsi, perancangan dan
impelementasi akan meningkatkan pamahaman dan mengurangi resiko yang bersumber dari
ketidaksepahaman dan saling curiga.
3. Bekerja dalam jalinan kesetaraan. Baik pemerintah, pihak pengembang suatu kegiatan maupun
lembaga sosial kemasyarakatan hanya akan memberikan dampak yang besar pada pembangunan
sekitar, melalui keberja dalam kesetaraan sebagai bagian yang setara dalam suatu kegiatan.
Melalui ketulusan dalam bekerja akan semakin banyak sumber yang bisa dicurahkan. Melalui
sumbangan untuk saling berbagi minat dan tujuan akan bekerja lebih bermakna melalui
kerjasama dan akan lebih baik dibandingkan dengan bekerja perorangan. Melalui jalinan
kerjasama akan semakin mengurangi besarnya biaya, mengurangi tingkat pengulangan dan
mengurangi ketergantungan pada salah satu sumber dan kekuatan.
Kegagalan dalam pembangunan masyarakat umumnya terjadi bila:
1. Pengambilan keputusan oleh pihak penyumbang atau kelompok kecil elit,
2. Semua fasilitas dibuat oleh pihak luar dengan sedikit sekali keterlibatan pihak masyarakat
lokal,
3. Bila hanya dapat dimanfaat oleh kelompok yang berpengaruh dan tidak dapat dimanfaatkan
oleh kelompok kecil minoritas,
4. Teknologi dan pengetahuan tergantung pada pengetahuandari luar
5. Tidak sesuai dengan percapatan dan kesiapan kapasitas pengelolaan masyarakat lokal
Pembagian peran dalam upaya dalam peningkatan pendidikan luar sekolah berbasis
pembangunan masyarakat

Kelompok masyarakat Pemerintah Lembaga sosial kemasyarkatan Providers


• definisi kebutuhan dan prioritas

• pengetahuan dan nilai lokal

• perencanaan dan mobilisasi sosial

• mobilisasi sumber-sumber lokal

• monitoring dan evaluasi


• pengorganisasian lokal dan penyelesaian konflik • mengembangkan kepemimpinan strategik

• mengembangkan koordinasi strategik,

• memberikan dukungan dalam pengembangan kapasitas


• memberikan dukungan pada lembaga dan pelayanan lokal

• melakukan evaluasi dan monitoring


• menjembatani dalam mendapatkan dukungan dan sumber dari luar
• identifikasi kebutuhan lokal

• pengembangan kapasitas lokal


• mengembangkan disain dan implementasi proyek,
• melakukan negosiasi pembiayaan dan dukungan
• monitoring dan evaluasi
• memberikan dukungan pembanguna dan kemudahan sesuai dengan peraturan yang ada,

• sebagai katalis bagi masyarakat lokal,

• melakukan koordinasi sesama stakeholders dalam mengembangkan proyek


• memberikan dukungan finansial dan fasilitas

• monitoring dan evaluasi


• melakukan transfer teknis dan manajemen pada masyarakat lokal

C. Pendidikan Luar Sekolah Berbasis Pembangunan Masyarakat


Tujuan umum pendidikan luar sekolah berbasis pembangunan masyarakat yaitu:
1. Meningkatkan pemahaman letak pendidikan luar sekolah dalam proses pembangunan
masyarakat,
2. Meningkatkan kemanfaatan pendidikan luar sekolah dalam mendukung kualitas sumber daya
manusia,
3. Memfasilitasi pemberdayaan masyarakat melalui proses pengembangan partisipatif
4. Mengembangkan kapasitas lokal
5. Meningkatkan kerja sama antara semua pihak yang beekepentingan dalam mensukseskan dan
memberikan diukungan pada pengembangan pendidikan berbasis pembangunan masyarakat
6. Mengurangi berkembangnya konflik yang terjadi sebagai ekses pelaksanaan pendidikan luar
sekolah
Adapun tujuan dari khususnya yaitu:
1. Meningkatkan pemahaman mengenai pembangunan masyarakat melalui pengamalan
pendidikan luar sekolah,
2. Mendukung gagasan peningkatan kualitas hidup melalui pendidikan luar sekolah,
3. Memfasilitasi pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan partisipatif,
4. Mengembangkan kemampuan lokal masyarakat dan kemampuan untuk mengembangkan
sumber-sumber untuk pembangunan wilayah,
5. Meningkatkan hubungan yang yang lebih positif diantara sesama anggota masyarakat,
pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan dan providers,
6. Mengurangi tingkat konflik yang mungkin dalam mengembangkan pendidikan luar sekolah,
pembangunan masyaranat dan pembangunan

D. Aplikasi Konsep Pembangunan Masyarakat Lebih Jauh


Seperti juga terjadi pada masyarakat pada umumnya pendidikan senantiasa bias gender dengan
membedakan kesempatan untuk berkembang bagi kelompok laki dengan perempuan. Hal ini
termasuk dalam peluang memperoleh pekerjaan, penghasilan dan pembangunan sarana.
Kecenderungan ini akan berdampak pada perusakan budaya, stess sosial, perusakan lingkungan
dan kejahatan domestik yang akan mempengaruhi perempuan dan anak. Pendidikan luar sekolah
berwawasan gender dan inklusi harus merupakan koreksi pada proses pendidikan selama ini
dengan memberikan penekanan pada kehidupan yang lebih baik, aman dan damai bagi kelompok
perempuan dan anak. Melalui kegiatan ini semua stakeholders (pemerintah, lembaga pendidikan,
lembaga sosial dan providers) harus melakukan introspeksi dengan melihat kembali mengenai
keterwakilan perempuan, meningkatkan keperdulian, memberikan pelayanan yang lebih bermutu
dan memberikan kesempatan untuk ambil bagian dalam dalam kegiatan penilaian dan monitoring
yang berhubungan dengan pendidikan luar sekolah dan kegiatan lainnya.
Pemanfaatan alat pendidikan yang berbasis pendidikan masyarakat
1. Penilaian lingkungan. Dalam hal yang berhubungan dengan penilaian lingkungan penekanan
yaitu rincian kelompok wanita anak dan berkebutuhan khusus yang ada, bagaimana kehidupan
mereka, bagaimana kedudukan mereka dalam konflik yang sedang berlangsung, dan sumber-
sumber apa yang dibutuhkan untuk mendukung kehdiupan mereka
2. Perencanaan. Dalam mengembangkan disain dengan jaminan semua mendapatkan kesempatan
dan berlangsung secara berkelanjutan. Baik yang dilakukan oleh lembaga internal maupun
eksternal maupun dengan melakukan koordinasi antara kelompok yang ada hendaknya
memperhatikan peluang dan keberlanjutan.
3. Antar hubungan. Antara hubungan hendaknya dibangun dan dipelihara antara berbagai pihak
yang memberikan dukungan pada pendidikan luar sekolah.

E. Kompetensi kecakapan pembangunan masyarakat bagi praktisi Pendidikan Luar Sekolah


Terdapat tiga kelompok kompetensi kecakapan Pembangunan Masyarakat bagi praktisi PLS,
yaitu memahami masyarakat dan dinamikanya, mengembangkan inisiatif masyarakat yang
berhasil dan bidang spesialis dan penekanan pembangunan masyarakat. Kompetensi pertama
memahami masyarakat dan dinamikanya, yaitu kemampuan untuk memahami masyarakat yang
berhubungan dnegan keruangan, sifat dari isu publik dinamika dan antar hubungan yang
berhubungan dnegan aspek kemasyarakatan serta dari dari pekerjaan yang berhubungan dengan
pembangunan masyarakat, terdiri dari:
1. Pemahaman yang berhubungan dengan hakikat masyarakat, yaitu yang berhubungan dengan
kemampuan untuk memahami secara utuh mengenai rumit dan dinamika isu-siu dan situasi
dalam masyarakat dalam menunjang program yang efektif,
2. Demografi, yang menekankan pada kemampuan untuk memahami profil dan kecendrungan
demografi dalam masyarakat sebagai faktor esensialndalam melakukan identifikasi isu dan
alternatif penanganan yang berkelanjutan,
3. Ekonomi masyarakat, menekankan pada kemampuan untuk memahami dasar ekonomi
masyarakat dan dinamika yang berhubungan dengan berbagai sektor ekonomi, termasuk
bagaimana peredaran uang dalam masyarakat, keluar dari masyarakat dan bentuk investasi yang
penting dalam masyarakat,
4. Struktur kekuatan dalam masyarakat, yaitu menekankan pada kemampuan untuk melakukan
identifikasi sispa yang menjadi pembuat keputusan dalam masyarakat, sumber yang berpengaruh
dan struktur kekuatan yang penting dalam mendistribusikan sumber dalam masyarakat,
kepercayaan dan kredibilitas dan bagaimana efektivitas penggunaannya dalam pendidikan luar
sekolah,
5. Sumber daya alam dan pemeliharaan kelangsungannya, menekankan pada kemampuan untuk
memahami berbagai keputusan yang berhubungan dnegan kualitas sumber daya alam dan
pemeliharaan keberlangsungan lingkungan jangka panjang yang merupakan kompenen utama
dari pembangunan masyarakat,
6. Analisis situasional masyarakat, menekankan pada kemampuan untuk menganalisis isu
mendasar atau situasi masyarakat yang berhubungan dnegan sejarah, politik, budaya, dan
konteks sosial yang menentukan peran pendidik luar sekolah yang berhubungan dengan
pembangunan masyarakat,
7. Proses dan evakuasi pembangunan masyaranat, menekankan pada kemampuan memahami
pengorganisasian dan memobilisasi sumber-sumber kegiatan, termsuk didalamnya berbagai
rintangan yang maghalani pembangunan masyarakat yang bermakna dan efektif.
Kedua, mengembangkan inisiatif masyarakat yang berhasil, dengan penekanan pada kecakapan
untuk menyelenggarakan proses pembangunan masyarakat dalam mencapai pengaruh yang
akuntabel. Kemampuan ini termasuk didalamnya:
1. Prinsip pembangunan masyarakat
2. Partisipasi secara luas dalam mengajak masyarakat untuk melakukan pembangunan,
3. Perencanaan partisipatif termasuk dalam pengembangan visi, identifikasi dan analisis serta
mengembangkan perencaan,
4. Impelementasi dan manajemen proyek,
5. Memfasilitasi pertemuan kelompok,
6. Kolaborasi dalam masyarakat,
7. Evaluasi, termasuk evaluasi tingkat partisipasi, insikator dan benchmark keberhsilan dan
pengukuran dampak.
Ketiga, bidang spesialis dan penekanan pembangunan masyarakat, penekanan pada kemampuan
bidang utama dari pembangunan. Sebagai praktisi pada pendidikan luar sekolah akan sangat
menunjang bila memiliki kecakapan dalam salah satu dari kategori pembangunan masyarakat di
bawah inim yaitu:
1. pengembangan ekonomi, termasuk didalamnya sebagai wirausahawan, perluasan usaha atau
bidang turis,
2. pembangunan dan pemerintahan lokal,
3. pemanfaatan sumber daya alam termasuk penggunaan lahan,
4. proses dan fasilitasi kelompok,
5. pengembangan organisasi bekerja non profit dan profit,
6. kepemimpinan dan bekerja di lingkungan masyarakat termasuk manajemen konflik dan isu
yang berhubungan dnegan pendidikan luar sekolah,
7. pelayanan masyarakat
8. pengembangan lingkungan kerja terutama lingkungan kerja pedesaan berbasis pendidikan.
F. Perencanaan Strategik pendidikan Luar Sekolah Bebasis Pembangunan Masyarakat
Perencanaan strategik dalam pendidikan luar sekolah berbasis pembengunan masyarakat yaitu
jaringan yang merupakan pendekatan sistemik dalam perencanaan untuk pembangunan jangka
panjang dan berkelanjutan dengan menempatkan sumber-sumber serara arif dalam kernagka
perubahan. Aspek-aspek dari pencanaan strategis hahrus memuat:
1. Harapan dari masyarakat dalam dekade yang akan datang yang bersumber dari pendididkan
lauar sekolah,
2. Kegiatan apa saja yang mungkin dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan
melalui pembanguna masyarakat sesuai dnegan visi masyarakat,
3. Bagaimana mengorganisasikan dan melakukan proses untuk melaksanakan perencanaan,
4. Siapa yang akan memimpin dan siapa pula yang akan melaksanakan perencanaan
5. Dari mana diperoleh sumber-sumber dalam mendukung perencanaan
Melalui pendidikan luar sekolah berbasis pembangunan masyarakat maka kegiatan bukan hanya
semata kegiatan akan tetapi merupakan pengembangan kapasitas untuk memacu perkembangan
pribadi maupun kelompok menuju kehidupan yang lebih baik.
G. Hubungan antara Pendidikan Luar sekolah dengan Pembangunan Masyarakat
Konsep hubungan pendidikan luar sekolah berbasis pembangunan masyarakat dapat
digambarkan sebagai berikut:

Bersasarkan konsep ini maka langkah yang akan diambil dalam pengembangan desa
(baca=kecamatan) Cibugel sebagai desa PNFI berdasar pada pemilahan sebagai berikut:

Dari jejaring pengelolaan ini nampak perioritas garapan serta jalinan satu kegiatan dengan
kegiatan lain maupun tugas masing-masing pemangku kepentingan dalam mendukung
keberhasilan pengembangan desa PNFI sebagai bagian dari pengembangan sumbe daya manusia.

BAB XI
KUALITAS PELATIHAN

Seperti dikemukakan Jan Amos Comenius bahwa kualitas pendidikan adalah sesuatu yang tidak
dapat ditawar lagi. Seperti dinyatakan bahwa setiap umat harus memperoleh pendidikan secara
penuh, dalam keserasian kemanusiaan dengan tidak membedakan siapa ia sesungguhnya, bukan
dilihat jumlahnya, laki atau perempuan, muda atau tua, miskin dan kaya, akan tetapi lebih dilihat
dari sejatinya sebagai manusia. Pendidikan yang dimaksudkan yaitu pendidikan sebagai manusia
sejati sebagai makhluk yang utuh, terpenuhi kebutuhannya untuk menjadi manusia yang
sempurna.
Ternyata kualitas pendidikan memiliki penekanan yang berbeda. Seperti diungkapkan Unesco.
Titik berat mutu pendidikan memiliki penekanan yang berbeda. Pada kebijakan tahun 2002-2007
kualitas pendidikan ditekankan pada penganekaragaman isi dan metode pembelajaran dan
promosi nilai-nilai yang sifatnya universal. Sedikit berbeda dengan program tahunan 2002-2003
yang memberikan mandat dan penekanan baru pada hakikat kualitas pendidikan. Dalam hal
menata fokus pendidikan, lebih menekankan pada dialog yang lebih luas antar kelembagaan dan
negara anggota yang memiliki keterbatasan dalam sumber-sumber untuk pendidikan agar
mempergunakannya secara efekktif, untuk menjamin kesamaan hak untuk mendapatkan
pendidikan untuk semua (education for all). Penekanannya secara kelembagaan Unesco agar
mengatur keserasian usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui dukungan
lingkungan yang menunjang, proses belajar dan mengajar, dan keluaran pendidikan yang lebih
diarahkan pada penciptaan generasi baru yang lebih mandiri dan peserta belajar yang kritis yang
mampu untuk menetapkan dan melaksanakan pendidikan yang berkelanjutan yang diperlukan
untuk setiap tahapan dalam kekhidupan mereka.
Kualitas pendidikan merupakan bagian yang menjadi debat badan dunia karena berbagai hal
dilihat dari tujuan, kontekstual, pengguna dan waktu. Akan tetapi semuanya merujuk pada
standar yang tinggi dan kualitas untuk semua. Kualitas pendidikan tidak hanya dapat dilihat
secara terpisah dengan hanya menekankan pada pendidikan sekolah, untuk kepentingan prestasi
kognitif atau budaya global yang berhubungan dengan pembelajaran. Tantangan sesungguhnya
terletak pada ketidakmampuan untuk memenuhi standar pendidik dan fasilitator sehubungan
dengan rendahnya asupan sarana prasarana, kurangnya buku sumber yang memadai, pedoman
dan acuan serta ketidakadaan identifikasi dan penilaian yang bekelanjutan untuk melihat
keluaran dan kurangnya kemampuan pengadministrasian pendidikan dan kapasitas dalam
manajemen. Semua kelemahan ini berujung pada tingginya tingkat dropout, kegagalan dalam
pendidikan, pencapaian dibawah standar dan angka mengulang yang tinggi.
Mutu pendidikan tidak sebatas pada penyediaan asupan pendidikan untuk kepentingan di
lingkungan pendidikan formal atau dalam kerangka meningkatkan efektivitas sekolah. Mutu
pendidikan lebih diarahkan pada memberikan fasilitasi pada peningkatan kemampuan setiap
individu serta pengembangan diri secara penuh kepribadian peserta belajar. 1)Di atas segalanya
kualitas pendidikan menekankan pada pengembangan individu yang mandiri dan kritis dalam
belajar, setiap individu diperhatikan kebutuhan sesuai dengan usianya untuk memilih sendiri dan
memanfaatkan keunggulan untuk memanfaatkan peluang belajar secara berkelanjutan yang
dibutuhkan dalam upaya melakukan transisi dari tahapan kehidupan satu tahap pada tahapan
berikutnya. 2) Pembelajaran sepanjang hayat hanya bisa dimaknai dilihat dari peningkatan
kecakapan perorangan dan peluang untuk memilih berbasis informasi dan tidak hanya sekedar
untuk memenuhi tekanan ekonomi dan politik semata. 3)Mutu pendidikan juga hendaknya dilihat
dari sudut pembauran sosial dan penghargaan atas kemanusiaan, solidaritas, keadilan dan
kedamaian yang dibangun pada sendi warga negara yang merdeka dan berbasis informasi.
4)Kualitas pendididkan juga berbasis antar hubungan yang luas dari semua pemangku
kepentingan pendidikan, termasuk negara dan pemerintah daerah, lembaga sosial
kemasyarakatan, asosiasi dan kelompok, lembaga swasta serta. Diatas semuanya yaitu orang tua,
guru dan peserta belajar sendiri.
Pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan merupakan payung dari mutu pendidikan.
Hal ini hanya mungkin melalui peletakkan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan
sebagai bagian integral dari mutu pendidikan sesuai dengan kenyataan. Dalam konsep
pembangunan berkelanjutan mutu pendidikan harus merupakan bagian tidak terpisahkan dari
pemenuhan hak dasar manusia, demokrasi, toleransi dan penghargaan pada keragaman nilai,
perlindungan, warga negara, lingiungan, kesehatan, pemanfaatan budaya lokal dan penghargaan
atas keragaman budaya yang dijadikan bagian utama dalam penetapan keluaran dari pendidikan
sesuai dengan tantangan yang sangat mendesak pada abad 21. Atas dasar itu pula tedapat
penekanan pada keseimbangan antara kebutuhan global dan regional, antara bangsa dan dalam
bangsa sendiri, untuk kepentingan universal dan individu, tradisi dan modern, kebutuhan untuk
kepentingan kompetisi dan dan kebutuhan untuk kesamaan untuk memeperoleh kesempatan,
antara perluasan pengetahuan dan kapasitas untuk melakukan asimilasi dan antara kepetingan
untuk spiritual dam material.
Selanjutnya kualitas pendidikan berbasis pada pembangunan berkelanjutan dibagi menjadi
dimensi 1) pendidikan untuk kepentingan pembangunan sosial sebagai perluasan dari tanggung
jawab sosial, 2) keterpaduan interdisiplin pada semua tingkatan 3) pencapaian tujuan untuk
kepentingan abad 21 4) relevansi dan tidak terpisahkan dilihat dari fleksibiltas 5) mutu dalam
proses mengajar dan belajar berbasis pada peserta belajar 6) efektivitas dalam menejemen,
kepemimpinan dankerjasama, serta 7) pengukuran dan monitoring hasilan belajar.

A. Pendidikan untuk kepentingan pembangunan sosial : perluasan tanggung jawab sosial


Dimensi mutu pendidikan hendaknya didefinisi ulang dalam pengertian luas sesuai dengan
tujuan pembangunan nasional dan dicarikan strategi yang paling efektif nuntuk mencapai
keberlanjutan dalam pembangunan. Mutu pendidikan bukan hanya ditujukan untuk kelompok
kecil akan tetapi untuk semua. Kualitas yang paling mendesak yaitu untuk peserta belajar yang
beriko dan termarginalisasikan, sehingga perlu dicarikan peluang pendidikan yang lebih
responsive sesuai dengan tuntutan dari pertemuan Dakar April 2000. Semakin hari semakin
meningkat jumlah orang yang terpinggirkan dari partisipasi dalam ekonomi, sosial dan politik
dalam kehidupan masyarakatnya. Bila kelompok individu menjadi termarginalkan, masyarakat
sendiri menjadi terpolarisasi. Masyarakat sendiri tidak mengenal efisiensi maupun adanya
jaminan. Karena semua warga masyarakat harus memiliki hak yang sama untuk menerima
pendidikan yang berkualitas dan tidak mendapatkan perlakukan yang berbeda atas pemilahan ras,
kelas, kelompok yang terbelakang, etnis, agama, bahasa, gender dan kecakapan.
Mutu pendidikan demikian mendesak dalam situasi masyarakat yang sedang mengalami suasana
darurat dan krisis, dimana anak tidak mendapatkan perlindungan untuk mendapatkan harapan,
penghargaan, ketentraman dan memperoleh hak untuk hidup dimana mereka umumnya pihak
mendapatkan pengaruh langsung dari suasana konflik dan bencana. Pendidikan untuk
masyarakat dalam keadaan darurat hendakanya mendapatkan perioritas untuk
memperolehrelevansi dan efektivitas. Dalam hal ini suasana krisis secara paradok dapat
memberikan peluang untuk kepentingan jangka panjang seperti semakin meningkatkan kapasitas
lokal, manajemen program, pelatihan guru, penataan pedoman baru, prinsip, standar dan
mencipatakan bahan ajar baru. Pada akhir konflik dan tahapan rekonstruksi, demikian banyak
peluang untuk melakukan transformasi pendidikan yang berhubungan dengan perubahan
kurikulum, infrastruktur, nilai sosial pendidikan (pendidikan untuk perdamaian,
kewarganegaraan, demokrasi, kesadaran akan lingkungan, pendidikan kesehatan dll) partisipasi
sosial dan tata kelola dalam pendidikan.

B. Kualitas yang berhubungan dengan interdisiplin untuk semua tahapan kehidupan


Kualitas pendidikan hendaknya dimulai sejak pendidikan bayi sampai dan diperluas sesuai
dengan kehidupan. Kualitas pendidikan hendaknya diberikan pada usia dini melalui sajian
pendidikan yang mengetengahkan perdamaian, tidak jahat, mennghargai diri sendiri dan ornag
lain dan menghargai adanya perbedaan. Pada usia dini anak menjadi matang dan memberikan
sumbangan dari jaringan pengetahuan dan sikap pada perdamaian. Pendidikan dasar diberikan
penakanan pada nilai kemanusiaan, sikap yang positif pada kehidupan dan keterampilan dasar
pada usia tertentu dimana anak diberikan kemudahan untuk mempelajarinya. Hasil penelitian
mengemukakan bahwa nilai-nilai dasar, sikap dasar dan kecakapan untuk memecahkan masalah
dikembangkan sebelum usia sekolah.
Pengalaman yang berkaitan dengan kualitas pendidikan yang diperoleh pada pendidikan dasar
hendaknya segera diitegrasikan dengan pendidikan lanjutan. Keserasian harus timbul antara
pendidikan akademik dengan vokasional serta kaitannya dengan pendidikan keseluruhan pada
masa remaja. Dalam tahapan ini penekanan lebih diarahkan pada sensitivitas gender,
kebermaknaan sosial dan budaya, serta keserasian dengan pendidikan sains dan teknologi yang
demikian menarik bagi kelompok pemuda, terutama sesuai dengan tuntutan dalam upaya
pengembangan pribadi berkelanjutan dan pengembangan sosial. Kualitas pendidikan
sesungguhnya dapat dilihat dalam pengembangan individu melalui pendidikan sosial sains, ilmu
fisik dan teknik, pendidikan kesenian dan pendidikan fisik dan olah raga. Kualitas
pendidikanjuga perlku ditunjang oleh keberadaan rumah pertunjukan dan konsert, bioskop, pusat
pengembangan puisi, seni tradisionil, musium, pusat budaya untuk memberikan pelayanan pada
minat tertentu paling tidak untuk cakupan ketetanggaan, kecamatan atau kota.
Kualitas yang berhubungan dengan multidimensi hendaknya menekankan pada fungsi, kegiatan,
program akademis, penelitian dan beapeserta, staf, peserta belajar, bangunan, fakultas,
perlengkapan, pelayanan masyarakat dan lingkungan akademis.
Kualitas Pembelajaran sepanjang hayat termasuk tingkat resposivness pada keragaman
kebutuhan yang senantiasa berkembang baik melihat kecenderungan bangsa maupun global.
Kualitas program keaksaraan merupakan bentuk tanggapan baru pada kebutuhan warga belajar
baik melalui pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan yang sehat senantiasa
memperhatikan keserasian antara perhatian pada pemenuhan aspirasi dengan tujuan pendidikan
berbasis masyarakat. Isu baru dari tujuan masyarakat yaitu perhtian pada pengunaan bahasa.
Beberapa negara memberikan tekana bahwa memperhatikan bahasa nasional merupakan bagian
tidak terpisahkan dari pengembangan tanggung jawab peserta belajar sesuai dengan batasan
mengenai kesamaan dalam memperoleh kesempatan. Negara lain berpandangan bahwa
kesamaan hak sebenarnya tidak hanya memperhatikan satiu bahasa seperti halnya bahasa
nasional/ibu. Akan tetapi hasil penelitian mengungkapkan bahwa anaka belajar dan mencapai
prestasi maksimal menggunakan bahasa utama dalam kehidupan sehariharinya atau bahasa ibu.

C. Kualitas pendidikan dalam kerangka memenuhi tujuan abad 21


Kualitas pendidikan yang menjadi penekanan pada bagian ini yaitu kualitas yang menekankan
pada peserta belajar, guru, lingkungan belajar, struktur pembelajaran, metode dan ini, proses
belajar dan mengajar serta keluaran pendidikan. Argumentasi utama dari pemikiran ini bahwa
kualitas pendidikan intinya ditentukan oleh lingkungan pembelajaran, lingkungan keluarga
(pendidikan orang tua, nutrisi, pemeliharaan kesehatan, harapan yang tinggi, pengasuhan dan
rangsangan), lingkiungan sekolah (dukungan kesehatan lingkungtan sekolah, suasana pendidikan
dan nilai yang berkembang), jaminan adanya lingkiungan sosial (media masa) dan standar
kualitas yang menunjukkan penghargaan pada keragaman budaya dan perbedaan individual.
Puncak dari semuanya yaitu kualitas yang berhubungan dengan proses belajar dan mengajar
yang menekankan pada proses pengajaran sesuai dengan kebutuhan anak, kecakapan, gaya
dalam balajar (aktif, kooperative, demokratis, pembelajar yang sensitif gender). Pembelajaran ini
hendaknya didukung dengan penyedian bahan belajar yang mamadai. Demikian pula halnya
kemampuan tenaga pendidik, moral, komitmen, status dan penghasilan dan sejumlah
pemahaman atas hak peserta belajar. Kualitas juga memiliki penekanan pada keluaran dan
hasilan pendidikan yang membantu menemukan makna peserta belajar dalam lingkungan (yang
berhubungan dengan kemampuan dalam literasi, numerasi, kecakapan hidup dan pemenuhan hak
anak) dan pendidik mampu mengarahkan bagaimana seharusnya anak belajar (learn to be dan
learn how to learn).
Kualitas dengan penekanan pada pembelajaran yang berorientasi dan berbasis peserta leboih
menekankan pada belajar aktif dan diukur pada hasilan belajar. Lingkungan belajar yang
menunjukkan chlid-friendly memiliki penekanan demikian kuatnya tuntutan pada peran pendidik
yang sensitif pada keragaman kecakapan warga belajar serta pentingnya dukungan dari
kesehatan, makanan yang memadai, lingkungan yang aman dan sensitif pada perbedaan gender.
Dengan demikian kurikukum hendaknya dilihat dari kebermaknaan dari konteks sosial, budaya
dan lingkungan. Atas dasar itu sejak pendidikan dasar, pendidik dituntut untuk menjadi
pengembang kurikulum dan menekankan pada pengunaan kurikulum yang bersifat fleksibel dan
memberikan peluang untuk mengembangkan konteks lokal.
Sehubungan dengan pentingnya pendidikan yang berbasis pada peserta didik, melihat bahwa
peserta belajar yang sehat didukung dengan penglaman belajar secara dini dan penuh dukungan,
teramsuk dukungan orang tua, akan memiliki peluang untuk berhasil pada proses pembelajaran
berikutnya. Dalam kasus masih dihdapinya sejumlah halangan, lembaga pendidikan dapat
mengembangkan kurikulum berbasis keluarga sebagai komplemen pada kurikulkum inti dimana
orang tua dapat memberikan dukungan maksimal dalam memberikan pendidikan pada anak
mereka.

D. Kualitas dilihat dari relevansi dan fleksibilitas


Kualitas pendidikan dilihat dari sisi relevansi dan fleksibilitas memadukan antara kulaitas
dengan kuantitas sebagai satu lingkaran yang saling menyatu satu dengan lainnya. Sejumlah
parameter yang berhubungan dengan relevansi dan fleksibilitas telah ditetapkan sebagai berikut:
1. kemampuan untuk melakukan komunikasi secara efektif,
2. kemampuan untuk berpikir secara sistemik,
3. kemampuan untuk berpikir dalam kerangka waktu-untuk memperkirakan, berpikir jauh ke
depan dan merencanakan,
4. kecakapan berpikir secara kritis mengenai sejumlah isu-isu nilai,
5. kecakapan berpikir secara komprehensif mengenai kualitas, kuantitas dan nilai
6. kapasitas bergerak dari kesadaran pada pengetahuan menuju pada aksi,
7. kecapakan untuk bertindak secara kooperatif dengan pihak lain,
8. kapasitas untuk menggunakan sejumlah proses, mengetahui, menemukan, aksi, memberikan
keputusan, berimajinasi, melakukan hubungan, menielai, mempertanyakan dan memilih.
9. kapasitas untuk melakukan tanggapan estetis pada lingkungan,
Sesuai dengan prinsip keranekaragaman kurikulum, baik pendidik maupun peserta didik harus
memiliki rasa nyaman dan rasa memiliki pada lingkungan belajar. Dalam hal ini termasuk
toleran pada sejumlah keragaman (budaya, gender, bahasa, orientasi sek dan kecakapan dalam
keragaman) membantu dan bekerja secara kooperatif dengan pihak lain, memiliki harapan yang
tinggi bagi peserta belajarnya dan mampu menjaga suasana yang kondusif (adanya umpan balik).
Lingkungan kelas dan pengaturannya (secara fisik dan suasana untuk berpartisipasi)
memungkinkan peserta belajar memiliki rasa sebagai bagian dari masyarakatnya. Pengaturan
kelas menjamin keinklusifan (termasuk pengaturan peserta dalam kelas-tidak terkesan adanya
isolasi perorangan atau kelompok kelas) adanya jaminan kenyamanan ( tempat duduk, jauh dari
kebisingan, dan pengaturan secara fisik) dan adanya rasa keteraturan (penempatan bahan, adanya
folders terpisah untuk setiap orang anak)
Struktur kurikulum, metode dan isi memiliki sensitivitas gender dan memperhatikan perbedaan
latar belakang dan kemampuan peserta serta responsif pada isu yang berkembang seperti halnya
mengenai HIV/AIDS dan pemecahan konflik. Pelkuang belajar perorangan sangat tergantung
pada lingkungan dan program yang dikembangkan sekolah yang bisa disediakan oleh lingkungan
masyarakat dimana orang berada. Materi yang seharusnya dipelajari oleh warga belajar dan
dilaksanakan, termsuk didalamnya sejumlah fakata, konsep dan keterampilan yang seharusnya
dikuasai oleh peserta belajar sesuai dengan lingkungan dimana mereka berada. Bila kita
membahas mengenai baan belajar maka sepenuhnya harus dipertimbangkan atas dasar
kebermaknaan, berbasis kebahasaan dan pertimbangan kemanusiaan. Demikian pula lingkungan
yang ramah pada peserta belajar seharusnya menjadi pertimbangan utama lembaga
penyelenggara, perencanaan dan pengelolaan keseluruhan peluang belajar untuk semua peserta
belajar dan mampu mengembangkan karakter diantara mereka.

E. Proses belajar mengajar yang berbasis pada peserta belajar


Baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal memiliki tantangan tersendiri dalam
pengembangan proses belajar mengajar. Perubahan yang dikembangkan hendaknya selalu
memperhatikan setiap materi pembelajaran. Setiap kegiatan belajar dan mengajar selalu memiliki
aspek formal dan harus selalu diikuti dengan peningkatan dan adaptasi pada progam pendidikan
nonformal. Untuk beberapa negara pembelajaran bahasa selalu diimbangi dengan pembelajaran
bilingual dan multi lingual. Materi pembelajaran seperti halnya pada pendidikan
kewarganegaraan, sejarah, geografi, biologi harus menyeratakan isu yang berkembang kadang
taboo yang memberikan tantangan pada peserta belajar untuk menghargai masyarakatnya. Dalam
matematika, hendaknya dikaitkan pada kemampuan peserta belajar untuk mengembangkan
peluang, statistik dan aplikasi dari matekatika untuk mengembangkan model yang interpretatif.
Dalam ilmu sosial pengembangan pembelajaran diarahkan pada transmisi dari ide-ide. Dalam
pendidikan fisik, metode yang dipergunakan sering dimanfaatkan dalam pelatihan militer seperti
halnya olah raga untuk semua, pendidikan kesehatan). Dalam pendidikan kesenian penekanan
yang lebih besar pada produksi perorangan dan kreativitas sesuai dengan dasar pengembangan
kemampuan seni dan kreativitas yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan pribadi,
kelompok dan masyarakat untuk masa depan.
Strategi dalam peningkatan kualitas pengajaran hendaknya mengetengahkan peluang bagi
peserta belajar untuk mengembangkan pilihan dalam menerima informasi (models masukan),
bagaimana mereka melaksanakan praktek hasil belajar (proses), dan menunjukkan semua hasil
belajar yang pernah diperolehnya (model keluaran). Dalam diferensiasi kurikulum terdapat
sejumlah strategi pembelajaran yang dapat membantu pendidik untuk menganekaragamkan
masukan dan keluaran dan metode yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perorangan. Seperti
dalam pendidikan keterampilan dan pelatihan, diajukan metode pendekatan yang memberikan
metode pembelajaran yang memberikan peluang untuk menemukan, berpikir kritik dan mandiri
dalam melakukan refleksi, serta pembelajaran berbasis kemampuan perorangan.
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang memadai merupakan dukungan penuh
pada akses untuk memperoleh pendidikan untuk semua. Program yang dicanangkan secara
seksama demikian berguna dalam memberikan pendidikan inservice pada pelatihan guru melalui
peluang stimulasi pada praktek dan peluang untuk meningkatkan profesionalisasi. Penggunaan
teknologi komunikasi sedikit merubah pola hubungan interpersonal antara peserta belajar, guru
dan keluarga. Perubahan ini akan bisa dikurangi dengan memberikan peluang yang lebih luas
dengan berbasis pada pemebelajaran yang saling menghargai dan menghargai pada keragaman.

F. Kualitas berkaitan dengan efektivitas manajemen, kepemimpinan dan hubungan


Sementara kualitas tidak bisa dipisahkan dengan memperoleh hak dan kualitas, partisipasi dari
pemangku kepentingan merupakan hal yang sangat mendesak. Adanya dialog politis antara
semua aktor dan pemangku kepentingan dalam pendidikan (pemerintah, nonpemerintah, asosiasi
guru, pemeritahan sipil dan sektor swasta dan lembaga antar pemerintahan) merupakan prasarat
dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Peran aktif dari asosiasi orang tua dan pendidik
merupakan prasarat dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Manajemen pendidikan yang
efektif, peningkatan supervisi, bimbingan dan penyuluhan, merupakan bagian tidak terpisahkan
dari monitoring dan evaluasi dari proses dan implementasi kebijakan dan penguatan kapasitas
kepemimpinan lokal adalah penentu yang umum dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Saling keterhubungan dari semua determinat dan komponen merupakan prasarat dalam
meningkatkan kualitas dan melakukan perubahan yang mendasar, seperti halnya perubahan dari
peran inspektorat dari pengawasan pada fasilitasi dan pengelolaan pendidikan yang diarahkan
pada peningkatan efektivitas dan partisipasi.
Pengelolaan pendidikan yang efektif dan kepemimpinan ditentukan oleh lingkungan dan suasana
kekerabatan dan partisipasi dalam membuat keputusan. Perspektif dan prosfek tata kelola
pendidikan lokal lebih akrab dalam pendidikan nonformal, yang umumnya dikelola oleh lembaga
non pemerintan dan kepempinan lokal. Sementara itu berkembang isu yang berhubungan dengan
standar, kesamaan hal memperoleh pendidikan dan tranparansi. Tidak dapat dipungkiri bahwa
masyarakat tidak seragam serta memiliki kemampuan yang sangat terabatas dalam sumber-
sumber dan kapasitas. Pengembangan tanggung jawab dalam masyarakat sepenuhnya tergantung
pada kapasitas masyarakat untuk melakukan tanggung jawab secara efektif. Di beberapa negara,
reformasi untuk pelaksanaan pengembangan program banyak dibantu dengan dikembangkannya
prosedur desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat lokal. Salah satu ukuran adanya
desentralisasi yaitu berkembangnya lembaga lokal dan berkembangnya kapasitas pengelolaan
sesuai dengan mutu yang dikembangkan pada lingkup regional, provinsi dan tingkat masyarakat
lokal untuk mengembangkan kebijakan, perencanaan, program dan semua proyek itu dalam
tingkatan yang berbeda. Untuk beberapa tempat, kesamaan hak dan adanya urunan nyata dari
sumbangan masyarakat hanya berlangsung pada lingkup nasional. Selanjutnya, dituntut
pemikiran mengenai pilihan desentralisasi atau sentralisasi untuk menjamin adanya peningkatan
mutu secara berkelanjutan.

G. Mutu berarti adanya penilaian dan monitoring keluaran pendidikan


Seperti tercantum dalam tujuan pendidikan untuk semua bagian 6 bahwa tujuan dari pendidikan
untuk semua yaitu adanya peningkatan semua aspek mutu pendidikan dan adanya jaminan
pelakasanaan secara memadai untuk semua sehingga keluaran hasil pembelajaran dikenali dan
dapat diukur yang dicapai untuk semua, terutama yang berhubungan dengan literasi, numerasi
dan kecakapan hidup yang esensil.
Terdapat sejumlah survey yang berhubungan dengan penilaian dan monitoring keluaran
pendidikan pada dekade terakhir, seperti yang dilaksanakan oleh liga internasional semisal
International Assosiation for The Evaluation of Educational Achievement (IEA). Demikian pula
di negara berkembang terdapat sejumlah lembaga regional yang melakukan penilaian dan
monitoring.
Sementara UNESCO dan UNICEF telah membentuk membentuk lembaga antar negara yang
melakukan evaluasi dan monitoring yang terdiri dari 60 negara dalam payung Inter-Agency
Monitoring Learning Achievement Project (MLA). Lembaga ini telah mengembangkan budaya
dalam melakukan evaluasi dan monitoring dalam pendidikan menggunakan peningkatan
kapasitas “critical mass approach”. Proyek menekankan pada hasil belajar dan sejumlah faktir
yang mempengaruhi kualitas hasilan pendidikan yang berasal dari peribadi, rumah, sekolah dan
kelas dan proses. Beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari kinerja selama ini yaitu:
1. kualitas pendidikan untuk semua dan tingkat penguasaan minimal bahan ajar sesuai tujuan
merupakan masalah sekaitan dengan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan dan
merupakan masalah yang paling kerap dijumpai,
2. penekanan hendaknya lebih diarahkan pada tingkat penguasaan minimum keberlanjutan pada
semua bidang pelajaran, semua tingkatan dan semua bentuk dan tipe pendidikan, yang
merupakan dasar bagi tingkat penguasaan hasilan pendidikan yang diharapkan,
3. lebih banyak perhatian hendaknya diberikan pada perencanaan kurikulum dan penetapan isi
pelajaran yang memadaid an relevan untuk meningkatkan proses belajar dan mengajar,
4. pendidikan guru, pelatihan dan lingkungan kerja pendidik merupakan faktor yang perlu
diperhatikan untuk mencapai kualitas pendidikan untuk semua termasuk bagi pendidik dan
fasilitator pendidikan nonformal,
5. penilaian pembelajaran yang sistematis dan berkelanjutan dibutuhkan dalam semua sistem
pendidikan dalam upaya memahami dinamika konteks mengajar dan belajar. Hal ini juga harus
menjadi keperdulian semua pemangku kepentingan untuk mengembangkan strategi yang relevan
sehingga terdapat jaminan bahwa semua potensi peserta beelajar dan kelengkapan pendukungnya
mendapatkan perhatian seksama dan dioptimalkan.
6. memberikan perhatian khusus pada aspek gender, kota dan desa, lembaga pemerintah dan
swasta dan semua keragaman dalam negeri dalam mencapai hasilan pendidikan sehingga
perkembangan semua aspek pendidikan dipadukan antara kualitas dan kuantitas dan hendaknya
menjadi perhatian khusus pada pengambil kebijakan, perencanaan pada lingkup nasional,
regional dan internasioanal.
7. efektivitas kelembagaan baik formal maupun nonformal dapat ditingkatkan melalui
pengembangan perangkat lunak (soft resources) seperti halnya disiplin, pentingnya penghargaan
diri, bekerja untuk meningkatkan lingkungan kolektif, antar hubungan dan komitment pada
ekselensi dan pengelolaan kepemimpinan yang demokratis.
8. perhatian pada lingkungan keluarga peserta belajar tidak dapat diabaikan, mengingat demikian
kuatnya pengaruh pendidikan keluarga dan dukungan lingkungan keluarga pada keberhasilan
pendidikan. Moral, nilai, pelaksanaan dan sejumlah kecakapan banyak hal dipengaruhi oleh
situasi, perilaku dan sikap keluarga.
9. keluarga memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan, semakin tinggi
keluarga memiliki hubungan dengan kebutuhan dan fungsi lembaga pendidikan, semakin
bermanfaat secara langsung bagi sasaran termasuk bagi peserta belajar dan guru.
10. kurikulum dan relevansinya seperti halnya proses belajar dan mengajar hendaknya lebih
berbasis pada peserta belajar. Dalam hal ini dibutuhkan peraturan untuk mengintegrasikan dan
memfasilitasi pengajaran dan pembelajaran kecakapan dasar, nilai dan perilaku, mengarahkan
diri untuk belajar dan memperkuat peserta belajar untuk memvisualisasikan, melakukan
pemecahan masalah, berkomunikasi dan berpikir kritik dan kreatif.

H. Agenda untuk dilaksanakan


Kualitas pendidikan merupakan jantung dari pelaksana pendidikan semisal UNESCO dan
rekanan kerjanya. Kualitas pendidikan perlu mendapatkan pemuasan seperti halnya pembelajaran
sepanjang hayat. Hal ini harus merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses pendidikan bagi
peserta belajar. Arahan dari pertemuan Dakar mengenai pendidikan untuk semua menjadi dasar
kebijakan UNESCO mengenai kualitas pendidikan. Sekaitan dengan pengarusutamaan gender,
sumber-sumber, keragaman wilayah, keaslian etnis, maka kualitas pendidikan untuk kepentingan
aksi diarahkan pada:
1. sehat, pola asuh yang sehat dan memberikan motivasi pada peserta belajar,
2. pendidik yang terlatih secara memadai dan menguasai teknik pembelajaran aktif,
3. dukungan fasilitas dan bahan ajar yang memadai,
4. kurikulum yang relevan yang dapat dipelajari dan diajarkan menggunakan bahasa lokal dan
dikembangkan secara bersama oleh pendidik dan peserta belajar,
5. lingkungan yang bukan hanya bisa merangsang kemampuan belajar akan tetapi ramah, sensitif
gender, sehat dan aman,
6. adanya definisi yang jelas mengenai penilai yang akurat dari hasilan belajar, mencakup
pengetahuan, kecakapan, sikap dan nilai,
7. tata kelola dan pengelolaan yang paratisipatif
8. menghargai pada keragaman budaya lokal dan masyarakat lolak.
Sesuai acuan ini maka pedoman pelaksanaan dari peningkatan kualitas pendidikan hendaknya
merujuk pada:
1. kebijakan dan strategi untuk meningkatkan kualitas pendidikan hendaknya memadukan dan
meyeimbangkan perspektif pada semua tingkat, tipe dan bentuk pendidikan. Hal ini juga sesuatu
yang sangat mendesak untuk mengadopsi kebijakan yang efektif sesuai dengan lingkungan
sosial, budaya dan ekonomi dimana kegiatan berlangsung. Hal ini membutuhkan analisis
partisipatif untuk menjaring kebutuhan pada lingkungan rumah tangga, masyarakat dan tingkat
sekolah, dan mengembangkan keragaman, fleksibilitas dan pendekatan yang inovatif untuk
pembelajran dan lingkungan dan menjamin adanya perasaan saling menghargai dan
mempercayai,
2. indikator pengukuran dan monitoring mengenai kualitas pendidikan hendaknya tidak hanya
diarahkan masukan belajar akan tetapi memperhatikan lingkungan belajar di rumah, lingkungan
masyarakat, proses pembelajaran, hasilan pendidikan (kepentingan jangka pendek dan panjang).
Dalam hal kecakapan hidup, indikator harus mencakup pula kesehatan, pencegahan, nutrisi,
kewarganegaraan dan kesadaran lingkungan termasuk didalamnya kecakapan sosial dan
komunikasi dari warga belajar baik pada lingkup pendidikan formal maupun non formal.
3. penguatan struktur dan kelembagaan yang demokratis, penguatan tata kelola dan
pemberdayaan masyarakat sipil, pengelola pendidikan lokal, perencana dan administrator adalah
mutlak untuk mendukung kesepakatan pada peningkatan kualitas pendidikan secara luas.
Kualitas pendidikan membutuhkan kepemimpinan lokal dan pengembangan sumber daya
manusia yang memadai serta strategi implementasinya,
4. mekanisme think-tank dan jaringan kerja untuk menunjang kualitas pendidikan perlu
dilakukan dalam menunjang pemangku kebijakan untuk lebih meningkatkan pendekatan antar
disiplin untuk mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran melalui pengembangan
apanduan, metodologi dan instrumen pengambangan mutu baik untuk penilaian maupun
monitoring.
5. harus lebih dipelihara dialog global yang berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan
melalui berbagai strategi dan sinergi asosiasi. Harus lebih diperkuat pertukaran informasi yang
berhubungan dengan pengalaman, hasilan pendidikan dan pengetahuan yang inovatif serta
program yang berhsil dan penelitian yang dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas
pendidikan.

BAB XII
PENJAMINAN MUTU PELATIHAN

Seiring dengan perubahan lingkungan global (globalisasi) terjadilah perubahan yang signifikan
pada lingkungan pelatihan. Perubahan pada lingkungan lingkungan umumnya lebih cepat
dibandingkan dengan perubahan yang ada dalam lembaga sendiri. Pasar dan persaingan dalam
angkutan yang demikian sporadic dan sistemik berlangsung sangat luas, baikpada sisi input
maupun sisi output. Keadaan ini menunjukkan bahwa tuntutan lingkungan dunia angkutan di
Indonesia semakin kompleks dan dinamis, yang berdampak pada tuntutan sumber daya dimana
dalam kenyataan relatif beragam dan terbatas.
Fenomena masalah di atas dihadapi juga oleh lingkungan pelatihan. Karena itu unit pelatihan
perlu meredefinisi strateginya yang difokuskan pada upaya mengurangi kesenjangan antara
tuntutan lingkungan dan persaingan dengan sumber daya internalnya, sekaligus meningkatkan
daya saingnya baik di pasar regional maupun nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan
melakukan perbaikan secara berkelanjutan terhadap mutu sumber daya manusia, proses, dan
fasilitas fisik melalui suatu sistem penjaminan mutu yang memadai.
Dalam perspektif manajemen mutu, unit pelatihan perlu mengendalikan mutu kegiatan yang
diselenggarakannya pada setiap tahapan dalam proses bisnisnya mencakup input, proses, output,
dan kepuasan stakeholders.
Secara yuridis, tuntutan penjaminan mutu di atas sesuai dengan Undang-Undang No 23 tahun
2007 Pasal 80 yang menyatakan:
Perbaikan mutu pendidikan secara berkelanjutan (continuous quality improvement) di perlu
dilakukan dalam kerangka manajemen mutu, baik atas inisiatif sendiri (internally driven) dan
atau melibatkan pihak eksternal. Tuntutan mutu pada lembaga pelatihan menegaskan: … a
healthy organization, a continuous quality improvement should become its primary concern.
Quality asserance should be internally driven….”. Pendekatan penjaminan mutu tersebut penting
agar dapat mengelola sumber daya secara optimal untuk menjamin mutu layanan akademik bagi
peserta dan menjamin akuntabilitas terhadap stakeholder.
Dalam strategi Pengembangan pelatihan rujukan utama seperti yang dikemukakan KELTS,
2003-2010 yaitu:
1. Peningkatan daya saing bangsa
Peningkatan daya saing dengan berbasis pengetahuan dan teknologi juga memerlukan basis
sosial-budaya internal yang kuat. Indonesia dengan keberagaman dan pluralistik dalam tingkat
perkembangan ekonomi, ketersediaan infrastruktur, kekayaan sumber daya alam, dan sosial-
budaya.
2. Desentralisasi otoritas dan pemberian otonom yang lebih luas kepada institusi
Pemberian otonomi yang lebih luas kepada setiap institusi akan mampu mengembangkan diri
sesuai dengan konteksnya dan berkontribusi untuk meningkatkan daya saing bangsa. Program-
program pengembangan akan secara sistematis dan terprogram dikembangkan berdasarkan
prinsip pemberian otonomi yang lebih luas kepada setiap institusi. Dalam hubungan ini PT
sebagai lembaga otonom perlu menjadikan peluang sebagai sarana untuk meningkatkan
pelayanan dan kepuasan stakeholders.
3. Kesehatan organisasi
Desentralisasi otoritas dengan mernberikan otonomi yang lebih luas kepada institusi dapat
dilaksanakan apabila setiap institusi memiliki organisasi serta manajemen internal yang sehat
dan memenuhi syarat. Kemampuan intitusi pendidikan tinggi untuk berkontribusi kepada
peningkatan daya saing bangsa hanya dapat dilakukan oleh suatu organisasi yang sehat, maka
program pengembangan hams dirancang untuk memberikan dorongan bagi tumbuhnya kapasitas
organisasi dalam kerangka otonomi dan desentralisasi.
Bagi dunia pelatihan, perubahan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan teknologi
dan seni merupakan tantangan yanga amat kompleks dan saling berkaitan. Dalam menghadapi
tantangan global, tugas semakin berat karena selain harus memenuhi tuntutan lokal dan nasional,
juga harus berusaha memenuhi tuntutan lokal yang mampu bersaing di tingkat regional dan
global. Oleh karena itu, pelatihan selain harus mampu memberikan pelayanan pedagogik,
keilmuan dan profesionalisme untuk memenuhi kebutuhan individu peserta latihan, juga harus
mampu memberikan pencerahan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, harus mengembangkan rencana strategis (Renstra) untuk
jangka waktu lima tahun kedepan. Rencana tersebut disusun dengan memperhatikan hasil
evaluasi pelaksanaan Rencana Strategis sebelumnya dan hasil-hasil analisis kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman serta transisi budaya korporasi yang ada saat ini. Selanjutnya,
dikembangkan kebijakan, strategi, program kerja, dan indikator kinerjanya dengan standar mutu
nasional tanpa mengabaikan kemungkinan penerapan standar internasional.
Isu mutu dalam dalam pelatihan di mendapat perhatian penting. Dalam hal ini prioritas
pengembangan unit pelatihanselama lima tahun ke depan difokuskan pada peningkatan mutu,
akses, dan daya saing. Oleh karena itu, penyelenggaraan manajemen mutu merupakan necessary
condition bagi unit pelatihandalam melaksanakan seluruh kegiatan dari proses bisnisnya agar
dapat bersaing dan mencapai keunggulan posisional di tingkat nasional, internasional, bahkan
global tanpa mengabaikan tanggung jawab lokal.

I. Konsep Penjaminan Mutu


Pada dasarnya mutu pelatihan berkaitan dengan pencapaian tujuan pendidikan dan kompetensi
peserta latihan yang telah ditetapkan oleh Unit Pelatihan di dalam rencana strategisnya atau
kesesuaian tujuan dan kompetensi dengan standar yang telah ditetapkan. Sementara itu
penjaminan mutu berkaitan dengan keseluruhan aktivitas dalam berbagai bagian dari suatu
sistem untuk memastikan bahwa mutu produk atau layanan yang dihasilkan itu konsisten dan
sesuai dengan yang direncanakan atau ditetapkan.
Secara umum penjaminan mutu pendidikan tinggi merupakan proses penetapan dan pemenuhan
standar mutu pengelolaan pendidikan tinggi secara konsisten dan berkelanjutan (continuous
quality improvement), sehingga seluruh stakeholders memperoleh kepuasan (stakeholder
satisfaction).
Sehubungan dengan konsep penjaminan mutu di atas, Unit Pelatihan harus mampu
merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan mutu, baik untuk setiap satuan kegiatan pada
setiap butir mutu maupun untuk seluruh kegiatan dalam proses bisnis yang diselenggarakannya.
Penjaminan mutu unit pelatihansecara internal dikoordinasikan/difasilitasi oleh Satuan
Penjaminan Mutu unit pelatihan dan secara eksternal penjaminan itu melibatkan Badan
Akreditasi Nasional Pendidikan atau lembaga lain yang kompeten. Penjaminan mutu tersebut
dapat digambarkan seperti berikut.
J. Tujuan Penjaminan Mutu
Secara umum tujuan penjaminan mutu pendidikan tinggi adalah untuk merencanakan, mencapai,
memelihara, dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan. Dalam hal ini
penjaminan mutu unit pelatihanbertujuan untuk merencanakan, mencapai, memelihara, dan
meningkatkan standar atau sasaran mutu unit pelatihansecara berkelanjutan sesuai dengan
rencana strategis yang ditetapkan, serta memuaskan stakeholders. Dalam jangka panjang,
penjaminan mutu unit pelatihan dilakukan untuk mewujudkan visi lembaga pelatihan unit
pelatihan.

K. Strategi Penjaminan Mutu


Untuk mencapai tujuan penjaminan mutu di atas, unit pelatihanmerancang dan melaksanakan
strategi penjaminan mutu yang mengacu pada pedoman penjaminan mutu yang ditetapkan oleh
Direktorat jenderal Perhubungan Darat, Departemen Perhubungan Nasional. Penjaminan mutu
UNIT PELATIHAN dikoordinasikan oleh Pimpinan melalui Satuan Penjaminan Mutu unit
pelatihan. Adapun strategi penjaminan mutu unit pelatihanadalah seperti diuraikan berikut:
1. Mengembangkan sistem penjaminan mutu unit pelatihandan perangkat implementasinya;
2. Membangun dan atau meningkatkan komitmen pimpinan unit pelatihandan seluruh unit kerja
untuk melaksanakan penjaminan mutu setiap kegiatan yang diselenggarakannya sesuai dengan
sistem penjaminan mutu unit pelatihandan model implementasinya;
3. Menetapkan sasaran atau standar mutu unit pelatihandan unit kerja di lingkungan unit
pelatihanuntuk setiap periode mutu;
4. Merancang organisasi dan mekanisme kerjapenjaminan mutu unit pelatihanserta
melaksanakannya secara konsisten;
5. Mengidentifikasi satuan kegiatan untuk setiap butir mutu pada setiap tahap dalam proses
bisnis unit pelatihan, serta menetapkan kegiatan yang mutunya dijaminkan;

L. Standar dan Indikator Mutu


Lembaga pelatihan menentukan dan merumuskan standar mutunya melalui analisis
sistemikterhadap komponen-komponen sistem penyelenggaraan pendidikan tinggi yang
mencakup masukan, proses, keluaran, dan dampak.
Pembahasan lebih lanjut tentang standar dan indikator mutu akan disajikan pada bahasan
berikutnya.

M. Proses Penjaminan Mutu


Kegiatan penjaminan mutu di unit pelatihan dilaksanakan berdasarkan Ketetapan sebagai
pelatihan tentang Anggaran Rumah Tangga mengenai Auditor Internal, Auditor Eksternal, dan
Penjaminan Mutu. Dalam ketetapan tersebut ditegaskan:
1. Pimpinan unit pelatihan melaksanakan penjaminan mutu disesuaikan dengan Standar Nasional
Pendidikan, secara konsisten dan berkelanjutan sebagai wujud akuntabilitas publik Universitas
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Penjaminan mutu dilakukan secara berkelanjutan oleh seluruh unit unsur pelaksana dan
penunjang lembaga dan atau dibantu lembaga lain.
3. Mutu sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dijamin dengan memperhatikan:
a. pelaksanaan visi, misi, dan tujuan unit pelatihansecara nyata;
b. ketanggapan unit pelatihanterhadap kebutuhan dan aspirasi pihak-pihak yang berkepentingan;
c. kesesuaian penyelenggaraan unit pelatihandisesuaikan dengan Standar Nasional Pendidikan;
dan
d. kesesuaian penyelenggaraan unit pelatihandengan standar mutu pelatihan pada Direktorat
Perhubungan Darat intemasional.
4. Lembaga lain seperti yang dimaksud dalam ayat (2) dapat berupa Satuan Penjaminan Mutu
(SPM) atau lembaga lainnya; Tatanan kelembagaan, tugas pokok, fungsi, dan kewenangannya
diatur dalam keputusan Pimpinan dan Unit pelatihan dengan persetujuan Dewan Audit.
5. Keberhasilan penjaminan mutu dinilai dengan akreditasi yang menentukan kelayakan jurusan
dan atau program studi.
6. Akreditasi wajib bagi setiap unit pelatihanoleh Badan Akreditasi Nasional perhubungan dan
atau badan akreditasi lainnya yang ditentukan oleh peraturaturan perundang-undangan.
7. Ketentuan tentang program pelaksanaan penjaminan mutu diatur lebih lanjut dalam Pimpinan
melalui sebuah musyawarah.
Selanjutnya, ketetapan ihwal penjaminan mutu UNIT PELATIHAN tersebut dilaksanakan
melalui proses atau tahapan kegiatan sebagai berikut:
a. Menyusun standar atau sasaran mutu yang dituangkan dalam rencana mutu unit pelatihan
untuk setiap periode mutu. Penyusunan standar atau sasaran mutu ini didasarkan pada rencana
strategis;
b. Setiap unit pelatihanmenyusun standar mutu unit kerja yang bersangkutan dan standar atau
sasaran mutu setiap kegiatan untuk setiap butir mutu pada setiap periode mutu;
c. Setiap unit pelatihanmenyusun mekanisme kegiatan untuk setiap satuan kegiatan yang
dituangkan dalam prosedur operasional standar (standard operational procedure);
d. Setiap unit pelatihanmelaksanakan penjaminan mutu kegiatan yang diselenggarakannya
dengan melaksanakan prosedur operasional standar (standard operational procedure) kegiatan
itu;
e. Setiap unit pelatihanmelaksanakan pengendalian mutu kegiatan yang diselenggarakannya
dengan melakukan evaluasi atau pengukuran hasil kegiatan dengan standar atau sasaran mutu
yang telah ditetapkan. Hasil kegiatan evaluasi atau pengukuran ini kemudian ditindaklanjuti
dengan tindakan perbaikan mutu secara berkelanjutan (continuous quality improvement);
f. Melaksanakan evaluasi mutu untuk setiap periode mutu yang difokuskan pada audit
implementasi sistem penjaminan mutu dan audit tingkat ketercapaian standar atau sasaran mutu
dan atau unit kerja. Kegiatan audit mutu internal ini dilaksanakan oleh Satuan Audit Internal
(SAI).

BAB XIII
PENGENDALIAN MUTU PELATIHAN

A. Model Pengendalian Mutu


Unit pelatihan dituntut untuk melakukan perbaikan mutu penyelenggaraan pendidikannya secara
berkelanjutan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari keberadaan/keterlibatan unit
pelatihandalam lingkungan dan persaingan pengangkutan yang semakin kompleks dan dinamis.
Perbaikan mutu secara berkelanjutan (continuous quality improvement) ini harus dilakukan
secara sistematis dengan pendekatan atau model pengendalian mutu yang tepat.
Pengendalian mutu unit pelatihanmenggunakan pendekatan total quality management (TQM).
Dalam pendekatan ini terdapat empat komponen dasar pengendalian mutu, yaitu: input,
transformasi atau proses, output, dan nilai bagi stakeholders. Pengendalian mutu untuk setiap
kegiatan pada setiap komponen dasar dilakukan secara sistematis mencakup kegiatan penetapan
standar, pengukuran, studi, dan tindakan koreksi. Kegiatan pengendalian mutu ini dilakukan
pada setiap tingkatan organisasi dan atau unit kerja di unit pelatihansesuai dengan fungsinya
yang berkaitan dengan komponen dasar pengendalian.
Pengendalian mutu di tingkat unit pelatihandilakukan oleh Satuan Penjaminan Mutu (SPM) unit
pelatihan. Pengendalian mutu ini diarahkan pada pencapaian standar atau sasaran mutu yang
telah ditetapkan dan perbaikan mutu berkelanjutan (continuous quality improvement). Pada
setiap periode mutu, Satuan Audit Internal (SAI) unit pelatihanmelakukan audit mutu yang
difokuskan pada tingkat ketercapaian standar atau sasaran mutu dan atau pelaksanaan sistem
penjaminan mutu, terutama untuk unit pelatihan
Pada dasarnya kegiatan pengendalian mutu di atas menggambarkan pendekatan perbaikan mutu,
yaitu:
1. Kontrol awal (Preliminary Control)
Preliminary control bersifat preventif untuk menghindari mutu yang tidak diinginkan dan
proaktif untuk mencapai mutu yang semakin meningkat. Preliminary control ini difokuskan pada
input atau sumber penyebabnya. Dengan memperbaiki input berarti melakukan pengendalian
terhadap komponen transformasi, output, dan nilai bagi stakeholders.
2. Kontrol berkelanjutan (Concurrent Control)
Concurrent control dilakukan terhadap kegiatan yang telah dilakukan dan menggambarkan
pengendalian operasional. Fokus concurrent control ini pada transformasi atau proses.
3. Kontrol lanjutan (Rework Control)
Rework control dilakukan apabila preliminary control dan concurrent control mengalami
kegagalan sehingga perlu rework terhadap defect dan output yang tidak sesuai dengan target.
Pendekatan perbaikan mutu ini memerlukan sumber daya yang relatif besar. Fokus rework
control pada komponen output.
4. Kontrol mengurangi tingkat kerusakan (Damage Control)
Damage control dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif dari tidak tercapainya target
nilai bagi stakeholders. Fokus damage control ini pada komponen nilai bagi stakeholders.
Secara skematis pendekatan alau model pengendalian mutu yang digunakan Unit Pelatihandalam
rangka penjaminan mutu pendidikan disajikan sebagaiberikut:

B. Prinsip Pengendalian Mutu


Pengendalian mutu dalam rangka penjaminan mutu pendidikan di Unit Pelatihandidasarkan pada
prinsip berikut:
1. Quality First
Seluruh pikiran dan tindakan pimpinan pada berbagai tingkat organisasi dan atau unit di UNIT
PELATIHAN harus memprioritaskan mutu.
2. Stakeholders-in
Seluruh pikiran dan tindakan pimpinan pada berbagai tingkat organisasi dan atau unit di UNIT
PELATIHAN harus ditujukan pada kepuasan stakeholders.
3. The Next Process is Our Stakeholders
Setiap orang yang melaksanakan tugas dalam penyelenggaraan proses pendidikan di Unit
Pelatihanharus menganggap pihak lain yang menggunakan hasil pelaksanaan togasnya sebagai
stakeholder-nya yang harus dipuaskan.
4. Speak With Data
Setiap orang yang menyelenggarakan proses pendidikan di Unit Pelatihandalam melakukan
tindakan dan pengambilan keputusan harus didasarkan pada hasil analisis data yang relevan.
5. Upstream Management
Seluruh pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan proses pendidikan di Unit
Pelatihandilakukan secarapartisipatif.
C. Proses Pengendalian Mutu
Proses pengendalian mutu dalam rangka penjaminan mutu pendidikan di UNIT PELATIHAN
mengarah pada pengendalian mutu berbasis PDCA (Plan, Do, Check, Action). Proses ini sesuai
dengan model TQM sebagai pendekatan atau model pengendalian mutu yang dipilih/digunakan
Unit Pelatihan. Proses pengendalian mutu berbasis PDCA ini akan
menghasilkanperbaikanberkelanjutan (continouos improvement) atas mutu pendidikan.
Secara skematis pengendalian mutu berbasis PDCA dalam rangka perbaikan mutu berkelanjutan
disajikan sebagai berikut:

PENGENDALIAN MUTU BERBASIS PDCA


Pada tahap check terdapat titik-titik kendali mutu (quality check-points) di mana setiap
penyelenggaraan proses pendidikan pada setiap tingkat organisasi dan atau unit kerja di UNIT
PELATIHAN harus mengevaluasi atau mengukur hasil pelaksanaan tugasnya dengan standar
atau sasaran mutu yang telah ditetapkan. Penetapan titik-titik kendali mutu (quality check-points)
ini harus dilakukan pada setiap satuan kegiatan untuk setiap butir mutu. Sebagai contoh, tes
formatif yang dilakukan pada akhir setiap pokok bahasan merupakan titik kendali mutu dalam
proses pembelajaran. Tes ini dilakukan untuk mengevaluasi atau mengukur apakah standar mutu
pembelajaran sebagaimana dirumuskan dalam bentuk tujuan pembelajaran telah dicapai
ataubelum.
Apabila hasil evaluasi atau pengukuran ternyata telah mencapai standar (S dalam PDCA) mutu
yang ditetapkan sebagaimana dirumuskan dalam bentuk tujuan pembelajaran, maka proses
perencanaan atau plan (P dalam PDCA) berikutnya untuk standar mutu ditingkatkan sehingga
terjadi perbaikan mutu berkelanjutan. Namun, apabila hasil evaluasi atau pengukuran ternyata
standar atau sasaran mutu yang ditetapkan sebagaimana dirumuskan dalam bentuk tujuan
perkuliahan/ pembelajaran belum atau tidak tercapai, maka harus dilakukan tindakan atau action
(A dalam PDCA) agar standar atau sasaran mutu dapat dicapai. Action yang dapat dilakukan
antara lain pengulangan pembahasan pokok bahasan yang bersangkutan sampai tujuan
pembelajaran untuk pokok bahasan itu tercapai.

BAB XIV
ORGANISASI PENJAMINAN MUTU

Organisasi penjaminan mutu Unit Pelatihan selain bersifat inheren dalam proses manajemen juga
dibentuk Satuan Penjaminan Mutu (SPM) yang merupakan alat manajemen yang
bertanggungjawab kepada Direktur. Organisasi penjaminan mutu Unit Pelatihan berada pada
lingkungan Unit Pelatihan
A. Tingkat
Organisasi penjaminan mutu di tingkat Pusat melibatkan Dewan Direksi, Pimpinan, Satuan
Penjaminan Mutu (SPM), dan Satuan Audit Internal (SAI). Dewan Direksi, adalah badan
normatif tertinggi yang bertugas untuk:
1. menyusun kebijakan pelatihan;
2. menyusun kebijakan penilaian prestasi pelatihan dan kecakapan serta kepribadian tenaga
instruktur;
3. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan pelatihan;
4. memberikan masukan kepada pimpinan dalam penyusunan Rencana Strategis serta Rencana
Kerja dan Anggaran;
5. melakukan pengawasan mutu pelatihan dalam penyelenggaraan Unit Pelatihan ; dan
6. merumuskan tata tertib penyelenggaraan Pelatihan
Dewan direksi melaksanakan tugas-tugas di atas dengan menyusunan berbagai kebijakan yang
berkaitan dengan aspek mutu. Kebijakan mutu inilah yang kemudian dijadikan landasan melalui
SPM dalam melakukan kegiatan penjaminan mutu.
Dalam pelaksanaan di tingkat unit pelatihan dilakukan oleh SPM Unit Pelatihan yang bertugas:
1. mengembangkan dan melaksanakan sistem penjaminan mutu Unit Pelatihan ;
2. menyusun perangkat atau standar yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan sistem
penjaminan mutu Unit Pelatihan ;
3. menyelenggarakan sosialisasi, pelatihan, dan kerjasama penj aminan mutu;
4. mengkoordinasikan, memfasilitasi, dan memotivasi kegiatan penj aminan mutu pada setiap
unit kerja di lingkungan Unit Pelatihan ;
5. melakukan evaluasi pelaksanaan sistem penjaminan mutu Unit Pelatihan ; dan
6. melaporkan secara berkala pelaksanaan penj aminan mutu Unit Pelatihan untuk setiap periode
mutu.
Pengendalian mutu pada digambarkan seperti bagan di bawah ini:

Keterangan:
SKM : Satuan Kendali Mutu
GKM : Gugus Kendali Mutu

BAB XV
STANDAR MUTU PELATIHAN
A. Pengantar
Standar sangat diperlukan untuk menentukan, mengkaji, memonitor dan menilai mutu kinerja,
keadaan, dan menyiapkan perangkat pelatihan dalam rangka penjaminan mutu suatu unit
pelatihan. Standar adalah tolok ukur yang harus dipenuhi lembaga pelatihan, digunakan sebagai
dasar untuk merancang, melaksanakan, memonitor dan menilai mutu kinerja, keadaan, dan
perangkat kependidikan lembaga pelatihan, serta untuk menentukan tingkat kepuasan dari
stakeholders dari lembaga yang bersangkutan. menentukan dan merumuskan standar mutunya
melalui analisis sistemik terhadap komponen-komponen sistem penyelenggaraan pendidikan
tinggi yang mencakup masukan, proses, keluaran, dan dampak. Analisis komponen sistemik
penyelenggaraan pelatihan itu dibagankan dalam gambar berikut:

ANALISIS SISTEMATIK
DALAM MENENTUKAN STANDAR MUTU
Dengan analisis sistemik itu ditemukan dimensi-dimensi mutu Unit Pelatihan pada, yaitu sebagai
berikut.
1. Masukan, mencakup komponen:
a. Visi dan misi Unit Pelatihan
b. Tujuan dan sasaran
c. Peserta Pelatihan
d. Pelatih dan tenaga pendukung/tenaga kependidikan lainnya
e. Kurikulum atau bahan ajar
f. Sarana dan prasarana
g. Biaya dan sumber dana (pendanaan)
2. Proses, mencakup komponen:
a. Tatapamong (governance)
b. Pengelolaan program
c. Proses pembelajaran
d. Suasana Akademik
e. karya tulis atau dan laporan tugas akhir
3. Keluaran/dampak, mencakup komponen:
a. Lulusan pelatihan dan kinerjanya
b. Keluran lainnya: publikasi hasil kajian dan atau produk kajian dalam bentuk patent, rancang
bangun, prototip, perangkat lunak, serta pemanfaatannya
c. Sistem informasi
4. Balikan dan tindak lanjut, mencakup komponen:
a. Sistem peningkatan, kendali dan jaminan mutu pelatihan
b. Mutu Unit Pelatihan

B. Standar Mutu
Berdasarkan analisis tersebut, ditentukan dan dirumuskan standar mutu Unit Pelatihan sebagai
berikut:
1. Eligibilitas, Integritas, Visi, Misi, Sasaran, dan Tujuan
2. Peserta pelatihan
3. Pelatih dan Tenaga Kependidikan Lainnya
4. Kurikulum dan Pengembangannya
5. Sarana dan Prasarana
6. Sistem Pendanaan
7. Penatakelolaan (Governance)
8. Sistem Pengelolaan
9. Sistem Pembelajaran
10. SuasanaAkademik
11. Lulusan dan Kinerjanya
12. Kajian, Publikasi dan Karya Inovatif,
13. Pengabdian Kepada Masyarakat dan Hasil Lainnya, serta Penerapannya
14. Sistem Informasi
15. Sistem Jaminan Mutu Internal
16. Mutu Program Latihan
Sementara itu Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Bab II Pasal 2 menetapkan standar
nasional pendidikan seprti berikut.
1. Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:
a. standar isi;
b. standar proses;
c. standar kompetensi lulusan;
d, standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e. standar sarana dan prasarana;
f. standar pengelolaan;
g. standar pembiayaan; dan
h. standar penilaian pendidikan.
2. Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional
Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.
3. Standar Nasional Pendidikan disempurnkan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai
dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Standar mutu hasil analisis sistemik itu dapat dipadukan dengan Standar Nasional Pendidikan
sebagai berikut.

Standar mutu unit pelatihan yang dijabarkan sebelum PP 19/2005 diberlakukan tidak berubah,
karena seperti dikemukakan dalam komparasi di atas, standar yang telah ada itu lebih merupakan
rincian dari Standar Nasional Pendidikan yang termaktub dalamPP 19/2005.
C. Rincian Standar
Standar 1. Eligibilitas, Integritas, Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran
1. Unit Pelatihan memiliki izin resmi penyelenggaraan pelatihan.
2. Unit Pelatihan memperlihatkan sifat jujur, terbuka, peduli terhadap kesejahteraan dan
kebutuhan pelatih, peserta pelatihan dan masyarakat.
3. Unit Pelatihan memiliki visi yang jelas dan relevan dengan tugas pokok dan fungsi Unit
Pelatihan, dan mencerminkan kepedulian terhadap kehidupan dan kepentingan masyarakat dan
bangsa khususnya pemakai jasa perkeretaapian.
4. Misi Unit Pelatihan dirumuskan sesuai dengan visi Unit Pelatihan
5. Tujuan Unit Pelatihan ditentukan dan dirumuskan sebagai rincian dan pengkhususan dari misi
Unit Pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
6. Sasaran Unit Pelatihan dirumuskan sebagai hasil yang diharapkan dari upaya penyelenggaraan
program Unit Pelatihan, termasuk profil lulusan pelatihan,
Standar 2. Peserta Pelatihan
1. Unit Pelatihan memiliki sistem rekrutmen dan seleksi calon Peserta Pelatihan.
2. Unit Pelatihan memiliki profil Peserta Pelatihan: akademik, sosio-ekonomi, pribadi (termasuk
kemandirian dan kreativitas) yang didukung oleh data dan evidensi yang lengkap dan valid.
3. Unit Pelatihan memiliki catatan mengenai keterlibatan Peserta Pelatihandalam berbagai
kegiatan sosial dan akademik yang relevan.
4. Unit Pelatihan menjamin keberlanjutan penerimaan Peserta Pelatihan(minat calon Peserta
Pelatihan dan kebutuhan akan lulusan program).
5. Unit Pelatihan mengorganisasikan layanan bagi Peserta Pelatihan dalam bentuk: a. Bantuan
tutorial akademik. b. Informasi dan bimbingan karir. c. Konseling pribadi dan sosial.
Standar 3. Pelatih dan Tenaga Kependidikan Lainnya
1. Unit Pelatihan memiliki sistem rekrutmen dan seleksi Pelatih dan tenaga kependidikan
lainnya.
2. Unit Pelatihan memiliki sistem pengelolaan Pelatih dan tenaga kependidikan lainnya.
3. Unit Pelatihan memiliki profil Pelatih dan tenaga kependidikan lainnya yang didukung oleh
data dan evidensi yang lengkap dan valid, termasuk mutu, kualifikasi; pengalaman, ketersediaan
(kecukupan, kesesuaian, dan rasio dosen-Peserta Pelatihan ).
4. Unit Pelatihan memiliki catatan lengkap dan bukti-bukti hasil karya akademik Pelatih (hasil
pengkajian dan karya lainnya).
5. Unit Pelatihan memiliki peraturan kerja dan kode etik yang komprehensif.
6. Unit Pelatihan memiliki rancangan pengembangan staf yang telah dan akan dilaksanakan.
7. Unit Pelatihan menjamin keberlanjutan pengadaan dan pemanfaatan Pelatih dan tenaga
kependidikan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Standar 4. Kurikulum dan Pengembangannya
1. Unit Pelatihan memiliki kurikulum yang sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan sasaran Unit
Pelatihan.
2. Kurikulum program-program dalam Unit Pelatihan relevan dengan tuntutan dan kebutuhan
stakeholders.
3. Kurikulum program-program dalam Unit Pelatihan memiliki struktur dan isi yang sesuai
dengan tuntutan masyarakat dalam hal keluasan, kedalaman, koherensi, penataan/organisasinya.
4. Kurikulum program-program dalam Unit Pelatihan memiliki rumusan kompetensi dan etika
lulusan yang diharapkan.
5. Kurikulum program-program dalam Unit Pelatihan memenuhi derajat integrasi materi
pembelajaran (intra dan antar disiplin ilmu).
6. Kurikulum program-program dalam Unit Pelatihan memiliki mata latih pilihan yang merujuk
pada harapan/kebutuhan Peserta Pelatihansecara individual/ kelompok Peserta Pelatihantertentu.
7. Kurikulum program-program dalam Unit Pelatihan menjamin peluang bagi Peserta
Pelatihanuntuk mengembangkan diri berupa kesempatan untuk melanjutkan studi,
mengembangkan pribadi, memperoleh pengetahuan dan pemahaman materi khusus sesuai
dengan bidang studinya, mengembangkan keterampilan yang dapat dialihkan (transferable
skills)., terorientasi ke arah karir, dan pemerolehan pekerjaan.
Standar 5. Sarana dan Prasarana
1. Unit Pelatihan memiliki sarana dan prasarana yang cukup dan relevan untuk digunakan
sebagai pendukung penyelenggaraan program-programnya.
2. Unit Pelatihan mengelola, memanfaatkan, dan memelihara sarana dan prasarana secara efisien
dan efektif.
3. Unit Pelatihan menyediakan gedung, ruang kuliah, laboratorium, ruang perpustakaan, dll.
untuk mendukung penyelenggaraan program pelatihan, pengkajian dan program labolatorium
dalam ruang pengujian dan lapangan.
4. Unit Pelatihan menyediakan fasilitas komputer untuk mendukung penyelenggaraan program
pelatihan, pengkajian dan program labolatorium dalam ruang pengujian dan lapangan.
5. Unit Pelatihan menjamin keberlanjutan pengadaan, pemeliharaan dan pemanfaatan sarana dan
prasarana secara tepat.
Standar 6. Sistem Pendanaan
1. Unit Pelatihan merancang dan merinci sumber dana untuk mendukung penyelenggaraan
program-programnya.
2. Unit Pelatihan memiliki sistem alokasi dana yang efektif dan efisien.
3. Unit Pelatihan menata pengelolaan dana dan memelihara akuntabilitas pemanfaatannya.
4. Unit Pelatihan menjamin keberlanjutan pengadaan dana dan pemanfaatannya.
5. Unit Pelatihan mengembangkan sumber dana dari pemanfaatan jasa palatihan
Standar 7. Penatakelolaan (Governance)
1. Unit Pelatihan memiliki sistem nilai dasar sebagai rujukan utama dalam penyelenggaraan
program-programnya.
2. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan sistem pengeloan kelembagaan yang menjadi
rujukan bagi pengelolaan pada tingkat dibawahnya.
3. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan sistem kepemimpinan yang efektif dan efisien.
4. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan sistem untuk memotivasi civitas pelatihan dalam
pengembangan kebijakan, serta pengelolaan dan koordinasi pelaksanaan program.
5. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan sistem perencanaan program jangka panjang
(Renstra), serta monitoring pelaksanaannya sesuai dengan visi, misi, tujuan dan sasaran Unit
Pelatihan.
Standar 8. Sistem Pengelolaan
1. Unit Pelatihan menerapkan kepemimpinan yang efisien dan efektif.
2. Unit Pelatihan merancang dan melaksanakan program evaluasi kelembagaan/program dan
pelacakan lulusan.
3. Unit Pelatihan melaksanakan perencanaan dan pengembangan program dengan memanfaatkan
hasil evaluasi internal dan eksternal.
4. Unit Pelatihan memiliki dan melaksanakan program kerjasama dan kemitraan dengan lembaga
lain.
5. Unit Pelatihan memonitor dan menilai dampak hasil evaluasi program terhadap pengalaman
dan mutupembelajaran Peserta Pelatihan .
Standar 9. Sistem Pembelajaran
1. Unit Pelatihan mempunyai rumusan mengenai misi pembelajaran
2. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan rumusan strategi dan Pedoman Pembelajaran
3. Unit Pelatihan memiliki dan menggunakan Pedoman tentang Bimbingan Belajar dan Tutorial
Peserta Pelatihan .
4. Unit Pelatihan memiliki dan menggunakan Pedoman penilaian kemajuan dan keberhasilan
belajar Peserta Pelatihan
Standar 10. Suasana Akademik
1. Unit Pelatihan memiliki sarana yang diperlukan untuk memelihara interaksi dosen-Peserta
Pelatihan, baik di dalam maupun di laboratorium lapangan, dan untuk menciptakan iklim yang
mendorong perkembangan dan kegiatan akademik/profesional.
2. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan cara untuk mendorong interaksi kegiatan akademik
pelatih, Peserta Pelatihandan civitas pelatihanlainnya.
3. Unit Pelatihan memiliki dan melaksanakan rancangan menyeluruh untuk mengembangkan
suasana akademik yang kondusif untuk pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
4. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan metode untuk mengembangkan pribadi gemar
belajar pada Pelatih, Peserta Pelatihan , dan tenaga kependidikian lainnya
Standar 11. Lulusan Pelatihan dan Kinerjanya
1. Unit Pelatihan memiliki catatan data dan informasi yang komprehensif tentang kemajuan dan
hasil pembelajaran Peserta Pelatihan .
2. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan kriteria keberhasilan belajar dalam bentuk profil
kompetensi Peserta Pelatihanyang diharapkan.
3. Unit Pelatihan memiliki catatan yang komprehensif tentang kepuasan Peserta Pelatihandengan
hasil pemebelajarannya.
4. Unit Pelatihan memiliki catatan data dan informasi yang komprehensif tentang kepuasan
pengguna lulusan.
5. Unit Pelatihan melaksanakan usaha untuk menjamin keberlanjutan penyerapan lulusan oleh
pasar kerja.
6. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan sistem pelacakan lulusan untuk mengetahui kinerja
lulusan dan kepuasan pengguna lulusan, dan memanfaatkan hasilnya untuk perbaikan program-
programnya.
Standar 12. Penelitian, Publikasi, karya tulis, Karyal novatif, Layanan kepada Masyarakat, dan
hasil Lainnya, serta pemanfaatannya
1. Unit Pelatihan memiliki catatan data dan informasi mengenai kualitas, produktivitas, relevansi
sasaran, dan efisiensi pemanfaatan dana penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
2. Unit Pelatihan memiliki agenda berkelanjutan dan diseminasi hasil penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat.
3. Unit Pelatihan memiliki rancangan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang
dilakukan bersama antara dosen dan peserta.
4. Unit Pelatihan memiliki catatan data dan informasi mengenai kegiatan dan hasil penelitian
yang dilakukan oleh peserta, didukung dengan dokumentasinyayang lengkap.
5. Unit Pelatihan memiliki pedoman untuk menghubungkan pengaj aran dengan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat.
6. Unit Pelatihan memiliki catatan data dan informasi lengkapmengenai kegiatan penelitian dan
publikasi dosen.
7. Unit Pelatihanmerancang dan melaksanakan sistem kerj a sama dan kemitraan dalam
penelitian dengan lembaga penelitian lain di dalam danluarnegeri.
8. Unit Pelatihan memiliki pedoman penulisan karya tulis ilmiah untuk menjamin mutu dan
ketepatan waktu penyelesaiannya.
9. Unit Pelatihan memiliki dan memanfaatkan publikasi hasil kajian, karya inovatif, dan
rangkuman tesis
10. Unit Pelatihan memiliki dan memanfaatkan produk ilmiah berupa model-model, hak paten,
hasil pengembangan prosedur kerja, produk fisik sebagai hasil penelitian.
Standar 13. Sistem Informasi
1. Unit Pelatihan merancang pengembangan sistem informasi dan melaksanakannya secara
efisien dan efektif.
2. Unit Pelatihan memiliki sumber daya manusia, sarana dan prasarana pendukung dengan
jumlah dan mutu yang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sisrtem informasi.
3. Unit memanfaatkan sistem informasi secara efisien dan efektif.
4. Unit Pelatihan memiliki dan memanfaatkan on-campus connectivity devices (intranet).
5. Unit Pelatihan memiliki dan memanfaatkan global connectivity devices (internet).
Standar 14. Sistem Jaminan Mutu Internal
1. Unit Pelatihan memiliki Satuan Penjaminan Mutu (SPM).
2. SPM mengembangkan dan melaksanakan sistem jaminan mutu secara efisien dan efektif.
3. SPM mengembangkan dan menerapkan standar jaminan mutu Unit Pelatihan.
4. SPM mengembangkan dan menerapkan kriteria keberhasilan lembaga SPM.
5. SPM melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien.
6. SPM memotivasi pengembangan dan pelaksanaan penj aminan mutu pada tingkat fakultas,
jurusan dan program studi.
7. SPM memonitor dampak proses penj aminan mutu terhadap pengalaman dan mutu hasil
belajar Peserta Pelatihan .
8. SPM memiliki dan menerapkan metodologi baku mutu (benchmarking).
9. SPM melaksanakan evaluasi internal Unit Pelatihan secara berkelanjutan.
10. SPM mempersiapkan evaluasi eksternal/akreditasi oleh lembaga yang berwewenang.
11. SPM memanfaatkan hasil evaluasi internal dan eksternal dalam perbaikan dan
pengembangan progrman-program Unit Pelatihan.
12. SPM melaksanakan kerja sama dan kemitraan dengan instansi terkait.
Standar 15. Mutu Program Studi
1. Unit Pelatihan memiliki program studi yang teruji mutunya.
2. Program studi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3. Unit Pelatihan memiliki dan menerapkan kriteria untuk menilai mutu program studi.
4. Unit Pelatihan memiliki dan menggunakan instrumen untuk menilai mutu program studi.

BAB XVI
SKALA PENILAIAN KINERJA PELATIHAN

A. Pengantar
Daftar pernyataan karakteristik kinerja lembaga pelatihan terutama digunakan dalam penilaian-
diri (self-assessment) atau pengkajian-diri (self-review) yang dilakukan oleh unit pelatihan di
lingkungan mengenai keadaan dan kinerjanya dengan cara mengkaji kecocokan keadaan dan
kinerjanya itu dengan setiap pernyataan terkait.
Pernyataan-pernyataan itu dapat pula digunakan dalam rangka pengkajian internal yang
dilakukan oleh pihak dalam lingkungan lembaga pelatihan tersebut, atau kadang-kadang
mengikutsertakan pula pihak di luar lembaga pelatihan yang bersangkutan, misalnya personil
kalangan profesi atau pengguna lulusan lembaga pelatihan yang sengaja dihadirkan.
Penilaian atau pengkajian-diri itu dilakukan dengan menelaah keadaan, kinerja, informasi, data
dan bukti-bukti lainnya yang ada di program eplatihan dan mencocokkannya dengan setiap
pernyataan karakteristik terkait, dengan kriteria umumnya ditetapkan sebagai berikut:
1. Patut dicontoh (exemplary), yaitu apabila aspek yang dinilai sepenuhnya memenuhi
persyaratan karakteristik terkait, serta memperlihatkan adanya inovasi dan dilaksanakan secara
efektif, dan bermanfaat untuk didesiminasikan kepada Program Pelatihanlain.
2. Memenuhi syarat (compliant), yaitu apabila aspek yang dinilai sepenuhnya memenuhi
persyaratan karakteristik terkait.
3. Sebagian memenuhi syarat (partially compliant), yaitu apabila aspek yang dinilai sebagian
memenuhi persyaratan karakteristik terkait, tetapi memerlukan bantuan tertentu untuk dapat
memenuhi persyaratan itu.
4. Tidak memenuhi syarat (not compliant), yaitu apabila aspek yang dinilai tidak memenuhi
persyaratan karakteristik terkait, dan Program Pelatihandituntut untuk melakukan tindakan yang
diperlukan untuk memperbaikinya.
5. Tidak sesuai (not relevant), yaitu apabila aspek yang dinilai sama sekali tidak sesuai dengan
persyaratan karakteristik terkait.
Berdasarkan hasil kajian-diri ini, setiap unit pelatihan dapat membuat profil dirinya menurut
pernyataan-pertanyaan yang ditetapkan. Selanjutnya, satuan pelatihan dapat menggunakan semua
hasil evaluasi diri yang akan dipergunakan untuk akreditasi lembaga yang bersangkutan yang
akan dilakukan oleh aksesor yang ditunjuk dengan menggunakan borang akreditasi dan porto
folio lembaga pelatihan.
Pada paparan berikut ini didisajikan Skala Penilaian, dengan menyajikan karakteristik kinerja
Program Pelatihansebagai pernyataan-pernyataan karakteristik kinerjaProgram Pelatihanyang
baik (statements of good practice), beserta skala penilaian (A, B, C, D dan E) seperti yang
dikemukakan di atas.
Anda dapat mencocokkan keadaan dan kinerja Program PelatihanAnda dengan menggunakan
skala penilaian tersebut. Pengerjaannya dapat dilakukan dalam LembaranJawaban yang
disediakan.

B. Penilaian Kinerja Pelatihan


PERNYATAAN TENTANG STANDAR KINERJA Penilaian-diri
ABCDE
I. Visi Program Pelatihan
1. Program Pelatihan memiliki rumusan visi yang merupakan rumusan kehendak yang mendasari
dan menjadi rujukan dalam menentukan tujuan atau keadaan masa depan yang secara khusus
diharapkan oleh suatu Program Pelatihan dalam kurun vaktu tertentu, dan mengandung apresiasi
serta merujuk etika Program Pelatihan yang mewarnai rumusan misi dan semua upaya untuk
mewujudkannya.
2. Rumusan dan upaya pencapaian visi mencakup indikator sebagai berikut.
a. Berorientasi ke masa depan dalam kurun waktu tertentu, dan bukan sekedar proyeksi dari
keadaan masa kini.
b. Keyakinan akan keadaan masa depan yang jauh lebih baik.
c. Konsisten dengan perkembangan sejarah, budaya, dan nilai-nilai program latihandan
masyarakat.
d. Mencerminkan standar keunggulan cita-cita tinggi yang hendak dicapai dan kompetensi yang
hendak dihasilkan.
e. Mencerminkan dorongan yang kuat akan tumbuhnya inspirasi, semangat, ambisi positif, dan
komitmen peserta pelatihan Program Pelatihan.
f. Menjadi dasar dan acuan bagi perubahan dan pengembangan Program Pelatihansecara sistemik
dan sistematik serta rasional.
g. Menjadi dasar dan acuan bagi perumusan misi, sasaran dan tujuan Program Pelatihan
/lembaga perguman tinggi dan pelaksanaannya.
II. Misi, Tujuan dan Sasaran
3. Setiap Program Pelatihan memiliki rumusan yang jelas dan spesifik mengenai misi yang
membedakannya dari Program Pelatihanlain
4. Misi Program Pelatihanmerupakan penjabaran visi dalam bentuk rumusan tugas, kewajiban,
dan rancangan tindakan yang dijadikan arahan bagi pengembangan program
pendidikan/pengajaran, pengkajian dan aplikasi kepada masyarakat
5. Program Pelatihan mempunyai sasaran yang dispesifikasikan dalam bentuk profil kemampuan
dan bakat peserta pelatihan yang berhasil menyelesaikannya.
6. Program Pelatihan memiliki tujuan yang berupa pernyataan tentang hasil belajar khusus yang
diharapkan dalam bentuk
a. Pengetahuan dan pemahaman mengenai bidang ilmu khusus tertentu (subject specific
knowledge and understanding).
b. Keterampilan pokok, termasuk keterampilan kognitif, keterampilan profesional/praktis yang
berkaitan dengan bidang ilmu khusus tertentu.
c. Sikap /profesional.
7. Tujuan dan sasaran Program Pelatihan mencakup deskripsi yang jelas dan spesifik mengenai:
a. Hal-hal yang ingin dicapai oleh Program Pelatihan;
b. Mutu keluaran yang diharapkan;
c. Ciri dan profil kemampuan yang diharapkan;
d. Standar minimal yang haras dicapai yang berkaitan dengan ciri-ciri itu;
e. Kondisi minimal yang haras dipenuhi untuk mencapai tujuan yang telah dideskripsikan, yang
meliputi variabel masukan, proses, dan kondisi lingkungan;
f. Rincian tujuan yang dijadikan rujukan bagi setiap langkah operasional dalam perencanaan
program kegiatan, dalam pelaksahaannya, dan dalam penilaian keberhasilannya;
g. Upaya yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan/hasil yang diharapkan
8. Program pelatihan menggunakan misi, sasaran, dan tujuannya sebagai landasan dalam
mengembangkan setiap komponen dari seluruh program, termasuk:
a. Rekrutmen, seleksi peserta pelatihan
b. Rekrutmen, seleksi dan induksi pelatih dan tenaga kependidikan
c. Sarana dan prasarana;
d. Pembiayaan;
e. Pengelolaan program;
f. Sistem pembelajaran;
g. Bantuan/pembimbingan peserta pelatihan;
h. Evaluasi dan penilaian
9. Program pelatihan menerapkan misi, sasaran, dan tujuannya dalam melaksanakan:
a. Rekrutmen, seleksi dan penyelarasan peserta latihan;
b. Rekrutmen, seleksi dan penyelarasan pendidik dan tenaga kependidikan;
c. Pengembangan sarana dan prasarana;
d. Pemanfaatan biaya;
e. Pengelolaan program;
f. sistem pembelajaran;
g. bantuan/pembimbingan peserta pelatihan;
h. evaluasi dan penilaian.
10. Program Pelatihan menerapkan misi, sasaran, dan tujuannya dalam melaksanakan:
a. rekrutmen, seleksi dan penyelarasan peserta pelatihan;
b. rekrutmen, seleksi dan penyelarasan pelatih dan tenaga kependidikan;
c. pengembangan sarana dan prasarana;
d. pemanfaatan biaya;
e. pengelolaan program;
f. pembelajaran;
g. bantuan/pembimbingan peserta pelatihan;
h. evaluasi program dan penilaian keberhasilan peserta pelatihan;
i. peningkatan kualitas Program Pelatihan
III. Peserta Pelatihan
1. Program Pelatihan mempunyai pedoman seleksi calon peserta pelatihan, berisi deskripsi
tentang kebijakan yang dikembangkan dengan menggunakan bukti-bukti yang tepat dan lengkap
mengenai potensi calon peserta pelatihan untuk mencapai suatu gelar dan atau kemampuan untuk
memenuhi persyaratan profesional.
2. Sebelum memasuki Program Pelatihan , calon terlatih diberi informasi tentang kebijakan
seleksi calon peserta pelatihan.
3. Petugas seleksi memahami dan menerapkan kebijakan lembaga pelatihan mengenai seleksi
calon peserta pelatihan.
4. Pada saat memasuki lembaga pelatihan, peserta pelatihan diberi informasi yang lengkap
mengenai Program Pelatihan secara keseluruhan seperti telah disiapkan dalam Pedoman Program
Pelatihan , berisi informasi yang telah dispesifikasikan dari Pedoman Penyelenggara-an Program
pada tingkat perguruan tinggi.
5. Pedoman Program pelatihan menyertakan informasi kepada peserta pelatihan mengenai:
a. sasaran dan tujuan Program Pelatihan ;
b. isi kurikulum, termasuk rangkuman matalatih utama dan matalatih pelengkap lainnya disertai
kontribusi setiap matalatih terhadap keseluruhan kompetensi yang akan dipelajari;
c. metode pembelajaran, termasuk peluang untuk belajar mandiri;
d. metode penilaian;
e. kriteria pemberian nilai yang berupa tingkat pencapaian yang dipersyaratkan oleh lembaga
pelatihan
f. tatacara ujian;
g. standar yang berlaku bagi program yang disajikan;
h. informasi yang diperlukan mengenai program pelatihan terkait.

6. Pedoman Program Pelatihan menyertakan informasi kepada peserta pelatihan mengenai


peraturan-peraturan yang berlaku pada program pelatihan, termasuk:
a. struktur dan penanggalan program pelatihan;
b. peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Program Pelatihanyang tercantum dalam Kalender
program pelatihan;
c. persyaratan kehadiran dan sangsi-sangsi bagi ketidakhadiran peserta pelatihan sebagaimana
ditetapkan dalam ketentuan pada tingkat program pelatihan;
d. persyaratan bagi pemasukan tugas-tugas, sangsi-sangsi bagi tidak dimasukkannya tugas, dan
batas tanggal pemasukan tugas;
e. penataan ujian dan penataan ujian-ulang;
f. kebijakan mengenai sangsi terhadap penyimpangan dalam ujian, misalnya plagiarisme
7. Pedoman Program latihan mengatur dukungan akademik bagi peserta pelatihan termasuk:
a. saran-saran dalam memilih matalatih;
b. penataan balikan bagi tugas-tugas yang dimasukkan;
c. program penyesuaian/induksi peserta latihan;
d. fasilitas perpustakaan;
e. fasilitas komputer;
f. fasilitas laboratorium sesuai dengan yang diperlukan jalur-jalur yang tepat untuk mengajukan
keluhan, misalnya pembimbing akademik, ketua Program Pelatihan
8. Pedoman Program Pelatihan mengatur bantuan pribadi bagi peserta pelatihan, termasuk:
a. bimbingan pribadi;
b. penunjukan dan perubahan pembimbing pribadi peserta latihan;
c. pemberian layanan konseling bagi peserta latihan;
d. pemberian layanan bimbingan karir.
9. Pedoman Program Pelatihan mengatur prosedur evaluasi peserta latihan terhadap mutu
program pendidikan:
a. penggunaan angket penilaian anonim;
b. mekanisme pertimbangan terhadap hasil angket;
c. mekanisme balikan terhadap hasil evaluasi peserta pelatihan.
10. Peserta latihan yang baru mengikuti studi memahami:
a. sasaran dan tujuan tingkatan program yang dimasukinya;
b. kurikulum untuk tingkatan program yang dimasukinya;
c. metode pembelajaran dan penilaian untuk tingkatan program yang dimasukinya
d. matalatih yang akan ditempuhnya sebagai bagian dari keseluruhan program pendidikan yang
disajikan dalam bentuk garis besar (outline).
11. Garis besar setiap matalatih berisi:
e. penjabaran sasaran, tujuan dan hasil belajar yang diharapkan dari setiap matalatih, termasuk ‘
keterampilan-keterampilan pokok;
f. penjelasan garis besar isi setiap matalatih;
g. penjelasan garis besar metode mengajar dan belajar;
h. penjelasan garis besar jenis penilaian;
i. penjelasan garis besar metode penilaian;
j. penjelasan garis besar jadwal penilaian;
k. spesifikasi persyaratan untuk mengikuti suatu mata pelatihan serta nil’ai kredit setiap
matalatih;
l. rincian persyaratan kehadiran dan persyaratan
lainnya;
m. daftar staf pengajar;
n. acuan studi yang diperlukan
IV. Kurikulum
1. Program Latihan memiliki kurikulum yang merupakan rancangan dari selurah kegiatan
Program Latihan, terutama yang berkenaan dengan pembelajaran.
2. Kurikulum Program Latihan dikembangkan, dilaksanakan, dikendalikan dan dievaluasi,
sehingga memiliki ciri-ciri yang merupakan kriteria atau standar mutu, sesuai dengan tuntutan
kompetensi dari ikatan profesi, serta lingkungan/ masyarakat dan kebutuhan peserta latihan .
3. Kurikulum yang ditawarkan dideskripsikan secara jelas dan tepat dalam bentuk penerbitan.
4. Peserta latihan memiliki peluang untuk:
a. melakukan interaksi yang bermakna dengan pelatih ;
b. melibatkan diri dalam kegiatan pelatihan baik di sekitar ruangan maupun di luar ruangan;
c. melakukan antar hubungan dengan pengembang keilmuan yang memiliki kaitan dengan
pelatihan;
d. melakukan interaksi yang bermakna antar sebaya di antara para peserta latihan ;
e. memperoleh penilaian yang mendalam dari pelatih .
5. Struktur kurikulum mencakup:
a. landasan dan tujuan keseluruhan kurikulum;
b. kode dan nama mata-mata latih, bobot, dan persebarannya dalam setiap program;
c. garis besar isi setiap matalatih;
d. perkembangan/perubahan kurikulum.
6. Program Latihan memiliki standar program yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan-
pernyataan secara eksplisit dan spesifik, yang mencerminkan tingkat perolehan kemampuan
dalam bentuk:
a. pengetahuan dan pemahaman mengenai bidang yang memiliki kaitan strategik dengan
pelatihan
b. keterampilan-keterampilan pokok sebagaimana dicantumkan dalam rumusan tujuan.
c. sikap-sikap akademik profesional
7. Kurikulum mencerminkan tuntutan bagi peserta latihan untuk memunculkan dan
pengembangkan:
a. kematangan intelektual;
b. penguasaan pengetahuan yang kompleks dan spesifik;
c. kreativitas dan kemandirian
8. Kurikulum bagi peserta latihan untuk melaksanakan praktikum dan kerja lapangan dengan
proporsi yang wajar antara teori dan praktek, yang berfungsi sebagai:
a. pelatihan dalam penerapan pengetahuan yang dikajinya;
b. pembuktian dalil-dalil yang dikajinya;
c. pembentukan keterampilan yang diharapkan;
d. penuntasan keseluruhan program pendidikan yang diikutinya;
V. Pelatih dan Tenaga Kependidikan Lainnya
1. Program Latihan dilengkapi dengan pelatih dan tenaga administrasi yang memadai untuk
menyelenggarakan program-programnya
2. Pelatih penyelenggara Program Latihan memiliki kualifikasi pendidikan dalam bidang
keahliannya, minimal:
a. Setara sarjana (SI)
3. Pelatih dan tenaga administrasi penyelenggara Program Latihan memiliki karakteristik:
a. mutu dan banyaknya cukup untuk melaksanakan pendidikan/pengajaran, pembimbingan,
pengkajian dan aplikasi kepada masyarakat;
b. kepedulian dan kehendak untuk mencapai hasil kinerja yang bermutu tinggi;
c. kemampuan dan keterampilan akademik/ administratif/profesional;
d. kemampuan dan kesediaan untuk melaksanakan fungsi program latihan yang mencakup
pendidikan/pengajaran, pengkajian dan aplikasi kepada masyarakat;
e. kemampuan dan kesediaan untuk melaksanakan interaksi dengan peserta latihan , pelatih
lainnya, dan pimpinan program;
4. Selain peserta pelatihan, pelatih penyelenggara Program Latihan:
a. melakukan pengkajian yang hasilnya dipublikasikan;
b. menulis karya ilmiah yang dipublikasikan;
c. melibatkan peserta latihan daram kegiatan pengkajian ;
d. membimbing pengkajian peserta latihan .
5. Program Latihan menyampaikan proposal pengembangnan staf kepada lembaga pelatihan
terkait.
6. Semua staf yang terlibat dalam pengajaran memahami:
a. sasaran dan tujuan, kurikulutn, dan metode belajar-mengajar serta penilaian yang berkaitan
dengan matalatih yang mereka berikan;
b. kaitan antara matalatih yang diberikannya dengan tingkatan program dan keseluruhan program
pendidikan;
c. sasaran dan tujuan, kurikulum, metode belajar-mengajar serta penilaian, dan standar-standar
dari keseluruhan Program Latihan.
7. Lembaga pelatihan memiliki program pengadaan dan pengembangan staf, dan
melaksanakannya sesuai dengan kebutuhan, yang mencakup komponen-komponen:
d. pedoman mengenai proses rekruitmen dan seleksi calon pelatih, sesuai dengan tuntutan
kurikulum;
e. deskripsi yang jelas mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelatih /calon pelatih
berkenaan dengan tingkat pendidikan dan pengalaman serta kerhampuan pengkajian ;
f. sumber dana yang memadai untuk menarik dan mempertahankan staf pengajar yang bermutu;
g. rancangan untuk memanfaatkan tenaga pengajar luar biasa yang memiliki kepakaran, baik dari
dalam maupun luar negeri;
h. penataan akses peserta latihan dengan pengajar luar biasa;
i. penataan keseimbangan beban kerjan pelatih ;
j. tanggung jawab dan peranan pelatih ;
k. hubungan/kemitraan antara pelatih dengan masyarakat pengguna lulusan Program Latihan;
l. kendali dan evaluasi mutu dan kinerja pelatih pada segi akademik, sosial, pribadi dan interaksi
dengan peserta latihan serta teman sejawatnya;
m. rumusan tentang prosedur kerja yang harus ditaati oleh pelatih dan staf lainnya.
VI. Sarana dan Prasarana
1. Program Latihan dilengkapi/memiliki akses yang tinggi terhadap sarana dan prasarana yang
memadai untuk penyelenggaraan program pendidikan/pengajaran, pembimbingan, pengkajian ,
dan pengabdian kepada masyarakat, yang mencakup:
a. bangunan dan prasarana lainnya, termasuk ruang belajar dan ruang kerja dan pemanfaatannya;
b. perabotan/peralatan pendukung dan pemanfaatannya;
c. perpustakaan dan pemanfaatannya;
d. laboratorium yang relevan dan pemanfaatannya;
e. alat bantu/media pendidikan/pengajaran dan pemanfaatannya;
f. fasilitas komputer: kuantitas, kualitas komputer dan pemanfaatannya oleh pelatih dan peserta
latihan ;
g. perlengkapan khusus dan pemanfaatannya terutama dalam mendukung profesi jasa KA;
h. sarana bimbingan peserta latihan dan pemanfaatannya;
i. fasilitas lain dan pemanfaatannya: asrama, perumahan, dll.
2. Bangunan fisik termasuk ruang belajar dan ruang kerja yang dirancang secara khusus untuk
kegiatan proses belajar-mengajar, dan dilengkapi dengan perabotan dan peralatan yang
diperlukan.
3. Program Latihan memiliki deskripsi yang jelas mengenai bangunan fisik termasuk lokasi,
kemudahan akses pencapaian, status kepemilikan, luas, dan mutu bangunan
4. Program Latihan memiliki/mempunyai akses yang tinggi terhadap:
a. perpustakaan sebagai sarana sumber belajar dan pengkajian bagi peserta latihan dan pelatih ;
b. laboratorium yang diperlukan untuk melaksanakan proses belajar-mengajar dan pengkajian
oleh peserta latihan dan pelatih ;
c. alat bantu/media pendidikan yang memadai untuk kelancaran proses belajar-mengajar;
d. perangkat komputer yang pesertaikan peluang kepada pelatih dan peserta latihan , baik dalam
pemrosesan kata dan data, maupun dalam melakukan akses terhadap sumber belajar-mengajar
yang mutakhir dan dalam jangkauan yang luas melalui internet dan sebagainya
VII. Pendanaan
5. Program Latihan memiliki alokasi pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan untuk
menyelenggarakan pendidikan/pengajaran, pembimbingan, pengkajian dan aplikasi kepada
masyarakat, sehingga program kegiatan yang dilakukan benar-benar dapat menunjang
perwujudan visi, pelaksanaan misi, dan pencapaian tujuan Program Latihan.
6. Rancangan pembiayaan Program Latihan mencakup:
a. anggaran belanja (pernyataan pendanaan) yang disiapkan untuk penyelenggaraan
pendidikan/pengajaran, pengkajian, dan aplikasi kepada masyarakat;
b. rancangan pemanfaatan anggaran belanja;
c. sumber dana anggaran belanja;
d. upaya/kegiatan khusus untuk menyediakan dana tambahan;
e. dana khusus pengembangan program;
f. dana khusus pengembangan dan pemanfaatan staf
g. dana khusus sarana/prasarana: jumlah, pengadaan, dan pemanfaatannya;
h. pertanggungjawaban anggaran belanja Program Latihan.
7. Program Latihan beroperasi berdasarkan anggaran belanja yang disiapkan sesuai dengan dana
yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pendidikan yang baik, termasuk anggaran biaya
operasional serta pengadaan dan pemeliharaan berbagai sumber daya yang diperlukan.
8. Setiap awal tahun anggaran, Program Latihan mengusulkan pendanaan dengan menyertaikan
gambaran yang jelas dan cermat, serta alasan untuk setiap butir pendanaan itu.
9. Setiap akhir tahun anggaran, Program Latihan mengusulkan rancangan pendanaan untuk tahun
berikutnya.
10. Setiap akhir tahun anggaran, Program Latihan menerbitkan laporan/pertanggungjawaban
pemanfaatan dana pada tahun anggaran yang bersangkutan.
VIII. Pengelolaan Program
1. Lembaga pelatihan memiliki Pedoman Pengelolaan Program Latihan tertulis yang merupakan
ketentuan dan peraturan untuk menunjang pencapaian misi dan tujuannya, yang mencakup
pengelolaan:
a. kurikulum dan proses pembelajaran;
b. ketenagaan (pelatih dan tenaga administrasi);
c. peserta latihan , termasuk penerimaan peserta latihan , monitoring kemajuan yang dicapai,
penanganan terhadap keluhan-keluhan peserta latihan , pertum-buhan keadaan peserta latihan ,
penanganan putus pelatihan;
d. sistem evaluasi, termasuk penelusuran dan pendataan para lulusan, dan penggunaan berbagai
metode penilaian untuk mengetahui sejauh mana tujuan-tujuan program telah dicapai;
e. sarana/prasarana dan pembiayaanpersonil organisasi Program Latihan yang memiliki
kemampuan dan keterampilan akademik dan atau administratif yang diharapkan, dan upaya
Program Latihan dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan personilnya;
f. sistem kerjasama Program Latihan dengan instansi lain: instansi atau pihak di luar lembaga
pelatihan yang menjadi mitra kerja sama Program Latihan, keselarasan tujuan kerja
sama/kemitraan dengan misi dan tujuan Program Latihan, manfaat yang diharapkan dari
kerjasama/kemitraan, dan rencana pengembangan kerja sama/kemitraan untuk masa yang akan
datang, dikaitkan dengan visi, misi, dan tujuan Program Latihan
2. Lembaga pelatihan memiliki Unit Khusus Kendali Mutu yang berfungsi mengkaji dan
mengendalikan kualitas semua Program Latihan, termasuk:
a. sasaran dan tujuan program berdasarkan relevansinya dengan bidang studi.
b. sasaran dan tujuan program berdasarkan relevansinya dengan bidang pekerjaan, dengan
memperhatikan pendapat-pendapat dari peserta latihan, lulusan, lembaga profesional terkait dan
pendapat para pengguna lulusan;
c. isi dan organisasi program dalam kaitannya dengan pencapaian sasaran dan tujuan;
d. metode belajar-mengajar dan penilaian dalam kaitannya dengan pencapaian sasaran dan
tujuan;
e. standar-standar program dalam kaitannya dengan pelestarian standar-standar itu dalam kurun
waktu tertentu dan pembandingannya dengan lembaga lain;
f. kebijakan mengenai seleksi calon peserta latihan dalam kaitannya dengan keberlanjutan
kemampuan Program Latihan untuk menarik minat calon peserta latihan yang memiliki potensi
untuk menyelesaikan gelar yang diberikan oleh Program Latihan dan atau potensi untuk
memenuhi tuntutan profesional;
g. program penyesuaian peserta latihan baru dalam mempersiapkan peserta latihan untuk
memperoleh gelar;
h. program penyesuaian peserta latihan yang kembali mengikuti studi;
i. program penyesuaian peserta latihan yang kembali mengikuti studi;
j. mekanisme penyesuaian pelatih kepada program terkait;
k. mutu pengajaran dalam program dengan memperhatikan hasil evaluasi dari peserta latihan ,
dan setiap permasalahan dan masalah umum yang ditemukan dalam rangka pengamatan sejawat
(peer observation);
l. mekanisme pemberian balikan kepada peserta latihan tentang hasil penilaian;
m. kemajuan peserta latihan setiap angkatan, dan apabila kemajuan peserta latihan itu tidak dapat
diterima, Unit Khusus Kendali Mutu berupaya untuk mengungkap sebab-sebanya dan melakukan
penyesuaian yang diperlukan;
n. kemajuan peserta latihan dalam memperoleh dan melaksanakan pekerjaannya setelah lulus,
dan apabila kemajuan itu tidak dapat diterima, Unit Khusus Kendali Mutu berupaya untuk
mengungkapkan sebab-sebanya dan melakukan penyesuaian yang diperlukan.
IX. Proses Belajar-mengajar
1. Program Latihan memiliki Pedoman Sistem Pembelajaran tertulis yang komprehensif dan
operasional, terpusat pada peserta latihan , merujuk kepada dan diselaraskan dengan sasaran dan
tujuan Program Latihan, yang berisi penataan mengenai:
a. metode pembelajaran dan penerapannya;
b. kelengkapan sarana pembelajaran dan pemanfaatannya;
c. perencanaan pembelajaran dan penerapannya oleh pelatih ;
d. interaksi pelatih dengan peserta latihan dan implementasinya;
e. pengawasan dan kendali mutu pembelajaran;peluang peserta latihan untuk mengakses dan
memanfaatkan fasilitas pendukung pembelajaran; peluang peserta latihan untuk melakukan
interaksi akademik dengan pihak tertentu di dalam dan di luar disiplin ilmu yang ditekuninya.
2. Kesempatan bagi peserta latihan untuk belajar mandiri dirancang dalam kaitannya dengan
sasaran dan tujuan Program Latihan
3. Kesempatan bagi peserta latihan untuk belajar mandiri meningkat selama peserta latihan
mengikuti Program Latihan.
X. Pengkajian dan Aplikasi kepada masyarakat
1. Lembaga pelatihan memiliki program pengkajian yang dirancang dan dilaksanakan dengan
melibatkan pelatih dan peserta latihan .
2. Lembaga pelatihan menyediakan biaya dan sarana yang memadai untuk pengkajian yang
dilaksanakan oleh pelatih dan atau peserta latihan baik secara perorangan maupun kelompok.
3. Biaya pengkajian diberikan kepada pelatih /peserta latihan berdasarkan proses kompetitif.
4. Pengkajian yang dipersyaratkan bagi peserta latihan dirancang dalam kurikulum terpadu
dengan kegiatan pembelajaran.
5. Lembaga pelatihan memiliki Pedoman Pelaksanaan Pengkajian tertulis yang digunakan oleh
semua pihak terkait di lembaga pelatihan untuk mengajukan proposal, memilih proposal yang
dapat diterima dan dilaksanakan, penganugrahan biaya, tatacara pelaksanaan, pengawasan dan
pengendalian mutu, pelaporan, dan penerbitan hasil pengkajian .
6. Setiap pelatih mempunyai hak untuk mengajukan proposal dan memperoleh kesempatan untuk
melakukan pengkajian yang sesuai dengan bidang studinya, baik perorangan, kelompok maupun
dengan mengikutsertakan peserta latihan .
7. Pengkajian yang diajukan dan dilaksanakan di lembaga pelatihan mencakup:
a. pengkajian murni dalam rangka pengembangan ilmu;
b. pengkajian terapan dalam rangka pemecahan masalah tertentu;
c. pengkajian kebijakan dalam rangka pengembangan kebijakan;
d. pengkajian tindakan, dalam rangka pengembangan atau perbaikan kinerja tertentu.
8. Lembaga pelatihan memiliki program aplikasi kepada masyarakat yang dirancang dan
dilaksanakan dengan melibatkan pelatih dan peserta latihan.
9. Lembaga pelatihan menyediakan biaya dan sarana yang memadai untuk aplikasi kepada
masyarakat yang dilaksanakan oleh pelatih dan atau peserta latihan baik secara perorangan
maupun kelompok.
10. Biaya aplikasi kepada masyarakat diberikan kepada pelatih /peserta latihan berdasarkan
proses kompetitif.
11. Lembaga pelatihan memiliki Pedoman Pelaksanaan Aplikasi kepada masyarakat tertulis yang
digunakan oleh semua pihak terkait di lembaga pelatihan untuk mengajukan proposal, memilih
proposal yang dapat diterima dan dilaksanakan, penganugrahan biaya, tatacara pelaksanaan,
pengawasan dan pengendalian mutu, pelaporan, dan penerbitan hasil aplikasi kepada masyarakat
12. Setiap pelatih mempunyai hak untuk mengajukan proposal dan memperoleh kesempatan
untuk melakukan aplikasi kepada masyarakat yang sesuai dengan bidang studinya, baik
perorangan, kelompok maupun dengan mengikutsertakan peserta latihan.
13. Aplikasi kepada masyarakat yang diajukan dan dilaksanakan di lembaga pelatihan dapat
mencakup:
a. desiminasi penerapan hasil pengkajian ;
b. penerapan konsep tentang pengembangan masyarakat dalam berpartisipasi pada jasa layanan
KA;
c. upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tertentu, maupun peningkatan layanan KA;
d. pengkajian tindakan berbasis kolaborasi dengan masyarakat tertentu.
14. Dalam mengikuti studi, peserta latihan memiliki dan memanfaatkan:
a. kebebasan akademik dalam rangka pendidikan dan pengkajian secara bertanggungjawab;
b. peluang untuk berpartisipasi dalam pengkajian yang dilakukan oleh pelatih ;
c. pengkajian tindakan, dalam rangka pengembangan atau perbaikan kinerja tertentu
15. Lembaga pelatihan memiliki program aplikasi kepada masyarakat yang dirancang dan
dilaksanakan dengan melibatkan pelatih dan peserta latihan .
16. Lembaga pelatihan menyediakan biaya dan sarana yang memadai untuk aplikasi kepada
masyarakat yang dilaksanakan oleh pelatih dan atau peserta latihan baik secara perorangan
maupun kelompok.
17. Biaya aplikasi kepada masyarakat diberikan kepada pelatih /peserta latihan berdasarkan
proses kompetitif.
18. Lembaga pelatihan memiliki Pedoman Pelaksanaan Aplikasi kepada masyarakat tertulis yang
digunakan oleh semua pihak terkait di lembaga pelatihan untuk mengajukan proposal, memilih
proposal yang dapat diterima dan dilaksanakan, penganugrahan biaya, tatacara pelaksanaan,
pengawasan dan pengendalian mutu, pelaporan, dan penerbitan hasil aplikasi kepada masyarakat.
19. Setiap pelatih mempunyai hak untuk mengajukan proposal dan memperoleh kesempatan
untuk melakukan aplikasi kepada masyarakat yang sesuai dengan bidang studinya, baik
perorangan, kelompok maupun dengan mengikutsertakan peserta latihan .
20. Aplikasi kepada masyarakat yang diajukan dan dilaksanakan di lembaga pelatihan dapat
mencakup:
a. desiminasi penerapan hasil pengkajian ;
b. penerapan konsep tentang pembangunan masyarakat;
c. upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tertentu;
d. pengkajian tindakan berbasis kolaborasi dengan masyarakat tertentu.
21. Dalam mengikuti studi, peserta latihan memiliki dan memanfaatkan:
a. kebebasan akademik dalam rangka perpelatihanan dan pengkajian secara bertanggungjawab;
b. peluang untuk berpartisipasi dalam pengkajian yang dilakukan oleh pelatih;
c. peluang untuk berpartisipasi dalam kegiatan aplikasi kepada masyarakat;
d. hak kepemilikan intelektual untuk partisipasinya dalam pengkajian dan pengembangan tulisan
ilmiah, termasuk tulisan sebagai bagian dari tugas-tugas perpelatihanan.
XI. Layanan bagi Peserta latihan
1. Untuk mencapai misi dan tujuannya, Program Latihan memililh pedoman yang komprehensif
mengenai program dan layanan bimbingan bagi peserta latihan .
2. Kebijakan dan prosedur pelaksanaan pemberian bantuan bagi peserta latihan , mencakup
pembimbingan akademik, bantuan pemecahan masalah sosial/pribadi, bantuan keuangan
sepanjang memungkinkan, penempatan kerja dan bantuan lainnya.
3. Program studi melaksanakan program bantuan (akademik dan non-akademik) bagi peserta
latihan secara reguler.
4. Program Latihan memiliki strategi dan metode bimbingan yang tepat untuk pesertaikan
layanan bimbingan sesuai dengan kebutuhan peserta latihan .
5. Program Latihan dilengkapi tenaga pembimbing yang memiliki kemampuan dan kesempatan
yang memadai untuk melaksanakan program bantuan peserta latihan .
6. Program Latihan memiliki akses yang tinggi terhadap sarana penunjang yang memadai untuk
pelaksanaan layanan bimbingan bagi peserta latihan.
7. Program Latihan melakukan pengawasan dan kendali mutu pelaksanaan layanan bimbingan
bagi peserta latihan.
8. Program latihan memiliki dan melaksanakan program pengembangan kemampuan dalam
bidang bimbingan peserta latihan bagi personil sesuai dengan fungsinya masing-masing.
9. Selain pesertaikan pelatihan, pelatih pesertaikan pembimbingan akademik dan non-akademik,
baik di dalam maupun di luar kegiatan belajar-mengajar yang reguler.
XII. Evaluasi dan Penilaian
1. Program latihan memiliki sistem evaluasi yang merupakan suatu wahana untuk mengetahui:
a. sampai di mana suatu program telah mencapai tujuannya, seberapa banyak kontribusi program
tersebut kepada kepentingan masyarakat dan kepentingan program itu sendiri (evaluasi
program);
b. bagaimana efektivitas dan efisiensi proses-proses yang diterapkan untuk mencapai tujuan
program (evaluasi proses);
c. berapa tinggi mutu hasil yang diperoleh dari pelaksanaan program itu (penilaian produk:
keberhasilan belajar peserta latihan ).
2. Program Latihan memiliki Pedoman Evaluasi tertulis yang jelas dan lengkap mengenai
penilaian keberhasilan belajar peserta latihan , dan menerapkannya sesuai dengan ketentuan yang
dipersyaratkan dalam pedoman itu.
3. Perguruan tinggi melaksanakan evaluasi program melalui:
a. monitoring pelaksanaan program-program yang diselenggarakan oleh Program Latihan,
termasuk program pengajaran, pengkajian, dan aplikasi kepada masyarakat;
b. pelacakan lulusan Program Latihan;
c. pengumpulan dan pengolahan informasi balikan dari masyarakat, terutama pengguna lulusan
mengenai program-program yang diselenggarakan;
d. survai pendapat peserta latihan ;
e. survai pendapat lulusan.
4. Data evaluasi mengenai pengajaran yang dilakukan oleh pelatih secara individual merupakan
salah satu bagian dari keseluruhan proses evaluasi.
5. Ketua Program Latihan menghimpun data evaluasi dan menyiapkan rangkumannya untuk
disampaikan kepada Unit Khusus Kendali Mutu program latihan terkait, dilengkapi dengan
usulan untuk menangani permasalahan yang ditemukan.
6. Rangkuman hasil evaluasi mengenai matalatih beserta usulan untuk menangani permasalahan
yang ditemukan didiskusikan oleh Unit Khusus Kendali Mutu, dan apabila diterima usulan itu
dilaksanakan dan dimonitor.
7. Program Latihan melaksanakan evaluasi proses yang mencakup penilaian terhadap efektivitas
dan efisiensi proses kegiatan, termasuk:
a. penyelenggaraan pembelajaran;
b. layanan administrasi bagi pelatih dan peserta latihan ;
c. pembimbingan peserta latihan ;
d. pengkajian oleh pelatih dan peserta latihan ;
e. aplikasi kepada masyarakat oleh pelatih dan peserta latihan
8. Program Latihan melaksanakan penilaian keberhasilan belajar peserta latihan yang mencakup:
a. waktu yang ditempuh untuk mencapai gelar/menyelesaikan studi;
b. syarat mengenai kehadiran;
c. (syarat penyusunan karya tulis);
d. jumlah sks minimum yang harus ditempuh;
e. indeks prestasi minimum;
f. syarat untuk dinyatakan berhasil/boleh meneruskan studi yang dilakukan secara dini untuk
menghindari rendahnya kualitas;
g. jenis ujian kualifikasi/penyelesaian studi;
h. Program Latihan/lembaga pelatihan memiliki sistem pencatatan yang terpusat dan
terkomputerisasi mengenai kondisi akademik setiap peserta latihan;
i. program studi/perguruan tinggi memelihara keamanan dan kerahasiaan data mengenai peserta
latihan;
j. Program Latihan/lembaga pelatihan memiliki dan menerapkan pedoman menyeluruh mengenai
evaluasi program, evaluasi proses, dan evaluasi produk (keberhasilan belajar peserta latihan).
9. Metode penilaian dirancang untuk menilai keberhasilan peserta latihan dalam mencapai hasil
belajar yang diharapkan.
10. Penilaian keberhasilan belajar mahaapeserta digunakan untuk tujuan penilaian formatif dan
sumatif.
11. Peserta latihan diberi balikan mengenai hasil penilaian yang berisi saran yang diperlukan
bagi peserta latihan untuk memperbaiki kinerjanya.
XIII. Lulusan
1. Lulusan program studi memiliki profil kemampuan seperti yang diharapkan sebagaimana
dijabarkan dalam sasaran Program Latihan.
2. Lembaga pelatihan memiliki Pedoman dan Rancangan Pelacakan Lulusan sebagai salah satu
wahana untuk perbaikan program-programnya.
3. Program studi melaksanakan program pelacakan terhadap lulusannya secara efisien dan efektif
sesuai dengan ketentuan dan rancangan dalam Pedoman dan Rancangan Pelacakan Lulusan
perguruan tinggi terkait.
4. Program Latihan memiliki Catatan lengkap mengenai mutu hasil dan keberhasilan karir
lulusannya yang merupakan salah satu indikator dari keberhasilan Program Latihan.
XIV. Sistem Informasi
1. Lembaga pelatihan memiliki dan menerapkan sistem informasi sebagai salah satu pendukung
penyelenggaraan program-programnya, yang merupakan keseluruhan upaya layanan
pengumpulan, pengolahan, dan penyampaian informasi bagi peserta pelatihandan masyarakat
yang terkait dengan Program Latihan, terutama masyarakat pengguna lulusannya.
2. Sistem informasi mencakup:
a. pedoman penyelenggaraan sistem informasi;
b. pokok-pokok materi informasi pelatihan;
c. metode pemerolehan dan pengolahan informasi;
d. kelengkapan sarana penunjang;
e. penanggungjawab sistem informasi;
f. prosedur diseminasi dalam sistem informasi;
g. pengawasan dan kendali mutu pelaksanaan sistem informasi.
XV. Program Pengembangan
1. Lembaga pelatihan memiliki Pedoman Pengembangan Lembaga tertulis yang komprehensif,
yaitu pedoman tentang upaya peningkatan kinerja lembaga pelatihan beserta program-Program
Latihannya dengan memanfaatkan berbagai informasi balikan yang diperoleh dari evaluasi
program, proses dan penilaian keberhasilan belajar peserta latihan .
2. Pedoman Pengembangan Lembaga mencakup:
a. aspek-aspek pengembangan, termasuk: kurikulum, ketenagaan, kepeserta latihan an.
sarana/prasarana, sistem pembelajaran, sistem bimbingan, dan sistem penilaian.
b. prosedur pengembangan Program Latihan;
c. kelengkapan sarana penunjang;
d. penanggungjawab pengembangan Program Latihan;
e. pelaksanaan pengembangan Program Latihan;
f. kriteria keberhasilan pengembangan Program Latihan;
g. pengawasan dan kendali mutu pelaksanaan Program Latihan;
h. rencana pengembangan Program Latihan untuk masa yang akan datang dalam kaitannya
dengan visi, misi dan tujuan Program Latihan;
i. rancangan pengembangan sarana dan prasarana untuk mendukung perwujudan visi,
pelaksanaan misi dan pencapaian tujuan Program Latihan;
j. rancangan pengembangan kurikulum;
k. rancangan pengembangan saran dan prasarana;
l. rancangan pengembangan pelatih ;
m. rancangan pengembangan tenaga administrasi;
n. rancangan pengembangan sistem pembelajaran, bimbingan, dan evaluasi;
o. rancangan pengembangan program pengkajian dan aplikasi kepada masyarakat.
3. Program Latihan mengajukan proposal program pengembangannya kepada lembaga pelatihan
terkait sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Pengembangan Lembaga lembaga pelatihan.
4. Program Latihan melaksanakan program pengembangan sesuai dengan ketentuan dan
rancangan yang terdapat dalam Pedoman Pengembangan Lembaga lembaga pelatihan terkait.
5. Program Latihan memiliki dan menerapkan kriteria keberhasilan program pengembangan
yang merujuk pada kriteria keberhasilan dalam Pedoman Pengembangan Lembaga lembaga
pelatihan terkait.
6.
a. rencana pengembangan Program Latihan untuk masa yang akan datang dalam kaitannya
dengan visi, misi dan tujuan Program Latihan;
b. rancangan pengembangan sarana dan prasarana untuk mendukung perwujudan visi,
pelaksanaan misi dan pencapaian tujuan Program Latihan;
c. rancangan pengembangan kurikulum;
d. rancangan pengembangan saran dan prasarana;
e. rancangan pengembangan pelatih ;
f. rancangan pengembangan tenaga administrasi;
g. rancangan pengembangan sistem pembelajaran, bimbingan, dan evaluasi;
h. rancangan pengembangan program pengkajian dan aplikasi kepada masyarakat.
7. Program Latihan mengajukan proposal program pengembangannya kepada lembaga pelatihan
terkait sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Pengembangan Lembaga lembaga pelatihan.
8. Program Latihan melaksanakan program pengembangan sesuai dengan ketentuan dan
rancangan yang terdapat dalam Pedoman Pengembangan Lembaga lembaga pelatihan terkait.
9. Program Latihan memiliki dan menerapkan kriteria keberhasilan program pengembangan
yang merujuk pada kriteria keberhasilan dalam Pedoman Pengembangan Lembaga lembaga
pelatihan terkait.

Daftar Pustaka

Arief S. Sadiman.Dr.Msc, Media Pendidikan, Pustekom Dikbud & PT. RajaGrafindo Persada,
1993
A.M Sardiman (2004), Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, Cetakan kesebelas.
Ahmed, Manzoor. ( 1975 ). The Economic of Nonformal Education. California: Praeger
Publisher.
Ansyar, Mohamad.1989. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Depdikbud.
Archer, David & Sara Cotingham. (1996). Regenerated Freirean Literacy through empowering
Community Techniques, Actionaids, London.
Bachman Edmund (2005) Meetoda Belajar berpikir kritis dan inovatif, alih bahasa, jakarta,
Prestasi Pustaka.
Bistok.1987. Pengembangan Materi Pengajaran Bahasa FPS 626..Jakarta: Depdikbud
Bobbi DePoerter dan Mak Reardon (1999), Quantum Learning : Membiasakan belajar nyaman
dan mehnyenangkan. Alih bahasa Alwiyah Abdurrohan, bandung, Kaifa.
Bobbi DePoerter dan Mike Hernacki (1999), Quantum Learning : Membiasakan beajar nyaman
dan mehnyenangkan. Alih bahasa Alwiyah Abdurrohan, bandung, Kaifa.
Boikin, James. W. (1979 ). No Limits to Learning. Oxford : The Pergamon Text Book.
Broockfield, Stephen. ( 1984 ). Adult Learners, Adult Education and The Comnmnity. New
York: Teacher College Press.
Cross, K. Patricia. (1984). Adults as Learners. San Francisco: Jossey Bass Publishers.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994/1995). Model Penilaian Paket A setara SD,
Bagian Proyek Pembinaan Balai Pengembangan Kegiatan Belajar, Lembang Bandung.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994/1995). Model Penilaian Paket B setara SMP,
Bagian Proyek Pembinaan Balai Pengembangan Kegiatan Belajar, Lembang Bandung.
Depdikbud. 2006. Panduan Pengembangan Silabus dan Panduan Pengembangan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Depdiknas (2003) Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) Jakarta,
Depdiknas Dirjen Dikdasmen.
Dimyati dan moejiono (1996) Belajar dan Pembelajaran, Jakarta . Rineka Cipta.
Djudju Sudjana, (1983 ). Pendidikan Non Formal, Wawasan, Sejarah, Asas. Bandung: Theme
76.
Dunkin, Michael J. Teaching and Teacher Education, Oxford: Pergamon Press.
Elias, John L. &Sharran Memam. ( 1980 ). Philoshophical Foundations of Adult Educations.
Florida: Robert E. Krieger Pub. Coy.
Fenstermacher, Garry D & Jonas F. Soltis, ( 1986 ). Approach to Teaching. New York: Teacher
College Press.
Fien, John. ( 1993). Education for The Environment. Victoria: Deakin University. Fowles, Jib.
(1984 ). Handbook of Future Research. London : Greenwood Press.
Gilbreath, Robert D. (1991). Save Yourself. ,New York: McGraww-Hi!!, Inc.
Goad, L.H. (1984). Preparing Teachers for Lifelong Education. Hamburg: Pergamon Press.
Hamalik. U . (1995) Kurikulum dan Pembelajaran, jakarta. Bumi Aksara Cetakan pertama.
Hasibuan dan Moejiono, (2000), Proses Belajar Mengajar, bandung, rosdakarya.
Hiemstra, Roger. ( 1976 ). Life Long Learning. Lincoln: Profesional Educator Publications.

http://www.puskur.net/download/naskahakademik/naskahakademikbasing/babiii.doc.

Ian Reece & Stephen Walker, Teaching, Training and Learning, Business Education Publishers
Limited, 1997
Ingalls, John D. (1973). A Trainer Guide to Andragogy. Washington D.C.: US Departement of
Health, Education and Welfare.
John.D.Latuheru. Drs, M.P, Media Pembelajaran, Dirjen Dikti,Depdiknas, 1988
Kardiawarman, Metode dan Model Pembelajaran yang relevan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran sains, makalah, 2005
Knowles, Malcolm S. (1973) A Trainer guide to Andragogy: It Concept, experience dan
application, US Departement of Health, Education and Welfare, Washington D.C.
Knowles, Malcolm S. (1984) Andragogy versus Pedagogy, US Departement of Health,
Education and Welfare, Washington D.C.
Knowles, Malcolm. ( 1990 ). The Adult Learner : A Neglected Species. London: Gulf Publishing
Coy.
Mansyur (1996), Pemanfaatan model-model pembelajaran: Strategi belajar Mengajar, jakarta:
Dirjen Pembinaan kelembagaan agama islam dan UT.
Merriam, Sharran. & Phyllis M. Cunningham (1989). Handbook of Adult and Continuing
Education. San Francisco: Jossey Bass Publication.
Munandir.1987. Rancangan Sistem Pengajaran. Jakarta: Depdikbud.Siahaan,
Nurhadi, Pendekatan Kontekstual (Contextual teaching and Learning), Jakrta : Depdiknas-
Direktorat Jendral Pendidikan dasar dan menengah PLP, 2002
Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, jakarta Eka jaya.
Presiden RI (2003) Undang-undang Republik indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional , jakarta Restindo Mediatama.
Presiden RI (2005) Undang-undang Republik indonesia No. 14 tahun 2005 tentang Dosen/guru
dan Dosen/guru , jakarta.
Reece, Ian and Stephen Walker (1997). Teaching, Training and Learning: A Practice Guide,
Aethanueum Press, Gateshead
S. Nasution, Teknologi Pendidikan, C.v Jemmars, 1982
Sagala Syaiful, (2005) Konsep dan Makna Pembelajaran; Bandung Alfabeta
Sunaryo Wowo, (2004) Konsep Pembelajaran Orang dewasa, UPTD Balai Pelatihan guru.
Wilis Dahar, R (1989) Teori-teori Belajar, jakarta erlangga
Zahorik, John A. (1995) Constrictivist Teaching (Fastback 390). Bloomington, Indiana: Phi-
Delta Kappa Educational Foundation.
Zain Aswan dan Bahri Syaiful, (2002), Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, rineka Cipta.
Zainul asmawi dan Nasution Noehi, Penilaian Hasil Belajar (2001) Jakarta, PAU-PPAI-UT.

 
6 Comments

Posted by ayiolim on February 23, 2011 in PERENCANAAN PLS

PERENCANAAN PENDIDIKAN NONFORMAL


SEBAGAI PENDEKATAN TERPADU
23 Feb

Prinsip Perencanaan Pendidikan nonformal


Terdapat sejumlah prinsip mengenai perencanaan pendidikan nonformal antara lain:
1. Perencanaan yang dikembangkan harus bersifat fleksibel, memadukan antara kualitas dengan
sifat khusus pendidikan nonformal dan keragaman program
2. Dalam kasus tertentu penekanan lebih pada kebermaknaan dalam upaya menunjang efisiensi
dan memberikan peluang sesuai dengan tujuan dan tuntutan dari program pendidikan nonformal.
Sehubungan dengan itu para perencana pendidikan nonformal hendaknya lebih memahami
tuntutan khusus dan ciri serta kondisi dari pendidikan nonformal, serta memanfaatkan sejumlah
informasi yang mendesak dan strategi pembembangan pendidikan nonformal.
Pendidikan nonformal adalah bagian dari tantangan bagi perencana pendidikan. Sifatnya yang
beragam termasuk dalam proses pendidikan, menjadi tantangan tersendiri bagi perencana yang
akan memanfaatkan cara tradisional yang sudah sistemik untuk pendidikan nonformal. Beberapa
petimbangan yang harus diperhatikan dalam membuat perencanaan pendidikan nonformal yaitu:
1. Apa tujuan yang akan diwujudkan dalam memberikan pelayanan pada pendidikan nonformal ?
2. Kegiatan apa saja yang harus disertakan dalam kegiatan pendidikan ?
3. Begaimana hubungan dengan sistem pendidikan secara keseluruhan, termasuk pada
pendidikan formal dan informal ?
4. Dapatkah perencanaan pendidikan nonformal dikemabangkan secara efektif, dengan cara
bagaimana dan oleh siapa ?
Sesuai dengan perkembangan yang berlangsung pada lingkungan pendidikan nonformal saat ini
termasuk semakin meningkatnya sumber yang dipergunakan sedang pada sisi lain
ketersediaannya semakin langka, maka kompetensi dari tenaga perencana harus pula
ditingkatkan dan diperluas termasuk dalam mengembangkan metode kerja dalam membuat
perencanaan pendidikan nonformal.
Pendidikan nonformal memiliki variasi yang berbeda. Dari sejarah peradaban kita temukan
bahwa pendidikan yang paling asali yaitu pendidikan informal. Kegiatan ini berlangsung sejalan
dengan kehidupan yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat. Bahasa, perilaku dan nilai-
nilai untuk menjadi anggota dalam suatu kelompok dipelajari dari orang-orang yang ada dalam
masyarakat. Model pembelajaran yang paling umum yaitu dengan meniru dan diikuti dengan
belajar sambil bekerja. Keterampilan khusus dipejajari melalui proses permagangan. Model
pembelajaran yang paling akhir yaitu pendidikan formal yang dikenal pada beberapa ratus tahun
yang lalu. Kegiatan persekolahan malah hanya berlangsung untuk rentang waktu tertentu pada
beberapa bagian dari penduduk. Sekolah yang sifatnya menyeluruh dalam arti kewajiban bagi
setiap orang tidak lebih dari lima puluh tahun lalu mulai ditetapkannya. Untuk beberapa bagian
dari negara sekolah yang sifatnya universal masih dalam wacana dan belum dapat diwujudkan
secara menyeluruh.
Baik negara maju maupun berkembang memiliki kesadaran bahwa hanya mengandalkan salah
satu satuan jenis pendidikan seperti mengandalkan secara berlebihan pada pendidikan formal
bukan satu-satunya cara. Kedati pendidikan formal memiliki kelengkapan yang memadai untuk
melaksanakan tugas pendidikan bagi generasi muda akan tetapi tidak semua tugas perkembangan
dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal. Karenannya perencana sampai pada satu
kesimpulan bahwa untuk memajukan pendidikan seharusnya dengan memadukan antara
pendidikan formal dengan pendidikan nonformal dan informal.
Dengan demikian tedapat tiga model pembelajaran dalam masyarakat, yaitu pendidikan yang
menyertai kehidupan manusia dilakukan melalui pendidikan informal; pendidikan untuk jangka
waktu relatif pendek umumnya diselenggarakan oleh lingkungan sekolah dan bentuk pendidikan
pola baru yang dilakukan melalui pendidikan nonformal. Konsep baru dari pendidikan yang
terakhir dikenal dengan sebutan pembelajaran sepanjang hayat.
Dalam jaringan kerja baru, pendidikan nonformal harus dikembangkan dalam bentuk
perencanaan yang lebih lengkap menyertai kagiatan pendidikan yang berlangsung pada
lingkungan masyarakat. Pada pola ini pendidikan merupakan sejumlah kegiatan yang
berlangsung sejalan dengan perkembangan masyarakat yang melayani semua rentang usia
melalui penyediaan kesempatan untuk belajar melalui keragaman isi dan metode. Gaya belajar
anggota masyarakat dan bahan ajar yang dibutuhkan akan disesuaikan dengan perkembangan
waktu dan kebutuhan pada masyarakat sendiri.
Sesuai dengan sifatnya, maka perencanaan bukan merupakan tugas yang mudah. Perhatian baru
yang diberikan pada pendidikan nonformal demikian overlap dilihat dari terminologi dan
konsepnya. Banyak padanan yang dipergunakan untuk menjelaskan mengenai pendidikan
nonformal meliputi pendidikan orang dewasa, pelatihan literasi, pendidikan dasar, pendidikan
fundamental serta pendidikan berbasis masyarakat dan sejumlah lainnya. Berangkat dari definisi
yang demikian beragam maka terjadi pula pengelompokkan bentuk pendidikan yang berlangsung
di luar sekolah.
Perencanaan pendidikan nonformal demikian kuat tuntutannya sehubungan dengan semakin
meningkatnya kepercayaan pada desentralisasi dari proses pembangunan serta semakin
berkembangnya kepentingan partisipasi pada proses pembangunan. Terdapat banyak bukti
bahwa pembangunan terutama dipedesaan hanya mungkin bisa berkembang melalui partisipasi
dari masyarakatnya. Beberapa bentuk dari pendidikan nonformal lebih menekankan pada peserta
belajar dimana penekannya pada kemampun untuk memotivasi sehingga anggota masyarakat
menjadi lebih banyak terlibat dalam pembangunan yang sedang dikukan. Cakupan pendidikan
nonformal lebih menekankan pada motivasi dan peningkatan kesadaran orang-orang untuk
berpartisipasi dalam perencanaan pendidikan dan struktur administrasi yang memungkinkan
mereka berpartisipasi dan memberikan kontrol pada penyelenggaraan. Prosedur perencanaan
sangat menuntut pendekatan ini dan inilah yang membedakan dengan perencanaan yang
berlangsung pada pendidikan formal. Perencanaan pendidikan dan struktur manajemen
nonformal lebih menekankan pada upaya untuk merintis, memfasilitasi, dan meningkatkan kerja
sama dalam melakukan partisipasi yang merupakan tantangan baru bagi perencana. Tuntutan ini
berlaku bagi pendidikan formal maupun nonformal, akan tetapi merupakan keharusan yang tidak
dapat ditawar pada pendidikan nonformal.
Perencanaan untuk pendidikan nonformal menyertakan sejumlah isu. Isu-isu itu diantaranya:
Bagaimana mengembangkan pendidikan nonformal yang selama ini berlangsung dengan kualitas
rendah, yang dianggap kelas dua setelah pendidikan formal ? Apakah masyarakat memberikan
toleransi pada dual sistem yang berarti memberikan peluang untuk mengelompokkan masyarakat
atas dasar perbedaan ekonomi dan status sosial ? Sesuai dengan permasalahan yang ada apakah
dibutuhkan perubahan terutama bagi pendidikan formal ? Atas dasar itu para pengambil
kebijakan dan perencana harus melakukan pengkajian kembali mengenai semua peluang
pendidikan ini.
Pelaksanaan pendidikan nonformal dilihat dari lintasan perkembangannya lebih banyak
dilakukan oleh lembaga nonpemerintahan. Mereka terdiri dari lembaga swasta, lembaga
keagamaan, dan kelompok masyarakat yang banyak memberikan dukungan pada kegiatan
nonformal saat ini. Bagaimana masa depan kegiatan pendidikan nonformal? Apakah
keterbatasan dari program pendidikan nonformal berbasis masyarakat ? Bagaimana pemerintah
dan pihak swasta melakukan kerjasama dan koordinasi satu dengan lainnya ? Apakah dibutuhkan
dukungan dana dari pihak pemerintah dan bagaimana pengaruhnya bagi kemandirian program
yang sebelumnya merupakan ciri dari pendidikan nonformal ? Apakah perencanaan dan kontrol
yang dilakukan oleh pihak pemerintah akan cenderung untuk mengurangi tingkat efektivitas dan
responsifness pada kebutuhan ?
Siapa yang seharusnya membiayai pendidikan nonformal apakah pengguna ataukah masyarakat ?
Apakah pengguna harus memberikan dukungan dana sedangkan umumnya yang menanggung
biaya adalah masyarakat ? Pendidikan nonformal juga mencakup isu kesempatan memperoleh
pendidikan dan diharapkan peluang dan sumber-sumber juga meningkat karenanya. Pertanyaan
yang berkembang apakah betul pendidikan nonformal lebih murah, sehingga negara dengan
sumber yang terbatas dapat memanfaatkan pendidikan nonformal untuk memberikan pelayanan
pada kelompok miskin ?
Melalui pengkajian singkat ini, masalah yang dihadapi demikian beragam dan luas. Jawaban
pada pertanyaan itu hampir tidak ada. Hanya pengalaman memberikan petunjuk bahwa isu yang
berkembang menjadi semakin jelas. Jawabannya hanya terletak pada pemahaman yang lebih luas
dari isu-isu yang berkembang saat ini, sehingga dimungkinkan untuk memberikan tanggapan
yang lebih rinci.
Karakteristik Pendidikan Nonformal sebagai Basis Perencanaan
Pendidikan luar sekolah dalam bentuknya yang umum selalu eksis dalam suatu masyarakat.
Setiap masyarakat mengembangkan mekanisme sosialisasi untuk memberikan arahan bagi
pemuda pada sejumlah aturan (mores) yang berlaku dalam masyarakat yang besangkutan.
Kegiatan ini merentang dari bentuknya yang informal yang berlangsung dalam kehidupan sehari-
hari sampai pada bentuk yang lebih terstrktur merupakan upacara-upacara yang merupakan
peralihan dari usia tertentu pada usia berikutnya. Istilah indigeneous acap dipergunakan dalam
proses pendidikan ini.
Pendidikan indigeneous masih berlangsung pada masyarakat saat ini. Dalam masyarakat tertentu
berkembang upacara dengan segala keragaman yang berlangsung dalam setiap masyarakat.
Dilihat dari waktunya ada yang hanya menghabiskan dalam hitungan hari sampai pada hitungan
yang cukup lamanya bila hal ini dianalogkan dengan kegiatan sekolah. Pendidikan indigeneous
acap memiliki kaitan erat dengan pembelajaran keagamaan. Yang cukup dikenal yaitu berbagai
bentuk pesantren dalam dunia Islam dan beberapa diantara bagi Umat Budha di Asia Tenggara.
Pelengkap dari kegiatan pendidikan yang turun temurun ini yaitu diselenggarakannya
pemagangan terutama dalam pengobatan orang yang sakit atau praktek dalam kerajinan tertentu.
Dari pendidikan indigeneous kini berkembang menjadi pendidikan nonformal. Pengkajian
bentuk pendidikan ini didorong oleh kesadaran mengenai identitas nasional suatu negara, yang
membutuhkan proses pendidikan khusus bersumber dari akar budaya yang unik. Akan tetapi
amat terbatas pengkajian yang mendalam sekaitan dengan cara-cara untuk menurunkan
kebiasaan dari kelompok yang lebih tua pada kelompok muda.
Perkembangan terakhir dari pendidikan nonformal yaitu kepentingan dalam rangka pendidikan
untuk semua dimana pendidikan nonformal dapat memainkan peranan yang lebih besar.
Sehubungan dengan tuntutan baru ini para perencana dituntut untuk mengembangkan
perencanaan yang lebih terpadu. Pengetahuan mengenai akar pendidikan nonformal akan
memberikan dukungan bagi perencana untuk menetapkan pendekatan apa yang paling cocok
untuk mengatasi permasalahan pada tingkat global maupun regional. Paling tidak terdapat tiga
akar permasalahan yang menuntun kita pada pemahaman mengenai pendidikan nonformal, yaitu:
pelaksana dari pendidikan non formal, perencana pendidikan internasional dan kritik pada
sekolah.
Pertama menyangkut pelaksana pendidikan nonformal, terdapat sejumlah lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan nonformal, yaitu dilihat dari pemababakannya adanya yang
mengambil fokus pada usaha kesehatan, ekonomi dalam kehidupan dan pendidikan dalam upaya
memberdayakan kelompok tertentu dalam masyarakat. Kelompok kedua lebih menekankan pada
dilihat dari jumlah yang sangat terbatas akan tetapi demikian kuat pengaruhnya pada tingkat
pengambilan kebijaksanaan. Kelompok ini terdiri dari para spesialis yang melihat secara kritis
peran pendidikan nonformal dalam pembangunan. Sejalan dengan perkembangan kedua
kelompok ini lahir pada kritikus pada pendidikan nonformal antara lain Illich dan Freire
mengenai peranan sekolah dalam pembangunan. Berangkat dari pemikiran ideologis dan
keadilan sosial, kelompok ini mengembangkan konflik dan dialog yang berbasis pada litelatur
teknis dan mengembangkan diskusi lebih jauh untuk memperluas spektrum pemikiran pada
intelektual dan ahli ilmu sosial.
Kendati diramaikan oleh tulisan para perencana dan kritikus, akan tetapi kesadaran yang
sesungguhnya datang dari para praktisi. Pada praktisi bergabung dalam kegiatan: pendidikan
orang dewasa, keaksaraan, keaksaraan fungsional, pendidikan bagi petani, pendidikan koperasi,
penyuluhan pertanian, pendidikan kependudukan, pendidikan keluarga berencana, pendidikan
kesehatan dan pengembangan sosial. Sementara pada persimpangan terdapat juga penyumbang
dari pendidikan pemuda, para sukarelawan nasional dan internsional serta kepramukaan dalam
berbagai bentuknya. Lembaga-lembaga itu berlindung sebagian dalam naungan lembaga
internasional UNESCO, Unicef, FAO dan ILO. Sementara bagian terbesar berada dalam cakupan
dari lembaga swadaya yang tekah memberikan dukungan dan penciptaan lembaga pada lingkup
nasional dan lokal.
Berbasis pada pengalaman, bentuk-bentuk pendidikan nonformal atau semua bentuk pendidikan
luar sekolah dapat dikelompokkan pada salah satu dari bentuk pendidikan seperti yang
dikemukakan di atas. Dari dasar ini pula sejumlah teknik pembelajaran telah dimanfaatkan dalam
pendidikan nonformal saat ini.
Untuk membahas lebih lanjut dari pendidikan nonformal untuk kepentingan perencanaan dapat
dikelompokkan pendidikan yang sejenis sehingga memudahkan untuk melakukan pengkajian.
Salah satu bentuk penyederhanaan dari pendidikan nonformal yaitu dengan melihat hubungannya
dengan pendidikan formal. Dalam bentuk teramasuk pendidikan nonformal sebagai komplemen,
suplemen dan pelengkap dari pendidikan formal. Kendati masih terdapat pemilahan yang melihat
antara pendidikan formal dengan pendidikan nonformal sebagai satu kesatuan seperti
berkembang pada beberapa negara maju seperti haknya di Jepang.
Pendidikan Nonformal sebagai Komplemen
Pendidikan nonformal sebagai komplemen dilakukan dalam upaya untuk melengkapi pendidikan
formal. Umumnya dilakukan pada pendidikan dasar dan lanjutan mengingat ketidakmungkinan
pendidikan nonformal untuk melakukan pendidikan pelengkap ini. Bentuk kegiatan berupa
tambahan pada pendidikan formal dalam bentuk pelatihan bagi mereka yang telah lulus pada
pendidikan dasar. Termasuk pada kelompok ini yaitu sejumlah kegiatan pemagangan, program
pelatihan vokasional, kursus pertanian yang memiliki kaitan dengan praktek termasuk
didalamnya pengembangan keterampilan bagi peserta belajar yang akan segera dipergunakan
dalam kehidupan sehari-hari.
Keterlibatan secara fisik berbeda satu dengan lainnya. Beberapa kegiatan seperti halnya
kelompok olah raga, kelompok hobi, kelompok masyarakat debat, drama yang umumnya
berbasis sekolah dan di bawah pengawasan sekolah. Namun semua kegiatan itu umumnya tidak
termasuk kedalam kurikulum sekolah.
Dalam penggunaan fasilitas mungkin dipersiapkan pihak sekolah maupun tidak sama sekali yaitu
yang berada dibawah pengawasan lembaga atau organisasi. Termasuk dalam kelompok ini
sejumlah kegiatan pemuda melalui kepramukaan, kelompok petani muda dan kegiatan pelayanan
sukarela lainnya yang mendapatkan dukungan dari lembaga swasta. Pada bentuknya yang baru
kegiatan mendapatkan dukungan dari lembaga pendidikan formal seperti halnya kelas jauh.
Sekolah komprehensif dimana peserta belajar dituntut untuk langsung bekerja pada lingkungan
masyarakat. Bentuk terakhirnya merupakan keterpaduan antara peluang peserta belajar untuk
mendapatkan pengetahuan dengan tuntutan untuk menjadi manusia yang produktif. Terdapat
gerakan bahwa pendidikan hendaknya berlangsung di luar kelas, terutama pada lingkungan
masyarakat dimana sekolah terkesan mencetak kelompok elite dan terdapat usaha kearah
pencetakan lulusan menjadi kelompok pekerja fisik dalam pembangunan.
Pergeseran pendidikan nonformal sebagai komplemen merupakan bagian dari gerakan
descholling education. Dari sisi kajian perencanaan, pendidikan sebagai suplemen sangat
diutamakan bagi penduduk yang telah secara nyata ikutserta dalam pendidikan sekolah, akan
tetapi sesuai dengan perkembangan sangat mungkin untuk tidak diserap oleh lingkungan kerja
sehingga tekanan pada pihak perencana demikian tinggi. Bagi perencana keadaan seperti ini
perlu menjadi pertimbangan bagi mereka yang tidak sama sekali mendapatkan pendidikan
sekolah atau tidak sepenuhnya mendapatkan kesempatan ini.
Pendidikan Nonformal sebagai Suplemen
Kategori ini biasanya muncul pada saat usia peserta didik lewat usia sekolah dan membutuhkan
penambahan kemampuan dari pengetahuan yang pernah didapatkan pada bangku sekolah. Dalam
bentuknya, kebanyakan merupakan pelatihan bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan
di sekolah. Dalam kelompok ini termasuk sejumlah kegiatan pemagangan, pelatihan
keterampilan, pelatihan bagi petani dan kegiatan home economic. Bahan ajar umumnya
berkaitan dengan keterampilan untuk hidup dalam masyrakat.
Bagi mereka yang telah menamatkan tingkat pendidikan tertentu akan tetapi tidak memiliki
peluang untuk melanjutkan pendidikan pada tahapan berikutnya, siberikan pelatihan seperti
pertanian, membangun rumah atau pengolahan kulit. Kegiatan merupakan gabungan antara
pendidikan umum, pelatihan keterampilan dan upaya produktif yang dapat diaplikasikan dalam
kehidupan. Kegiatan kerja dari peserta didik diharapkan dapat menutup biaya pendidikan dan
apda saat yang sama mereka akan mendapatkan pelatihan yang dibutuhkan untuk kehidupannya.
Pendidikan suplemen terdiri dari serangkaian pelatihan keterampilan yang diselenggarakan di
luar sekolah untuk penduduk di negara berkembang. Peserta belajar sering menyertakan mereka
yang drop-out dari pendidikan lanjutan atau mereka yang telah lulus akan tetapi tidak terserap
lingkungan kerja.
Dari sisi perencanaan, pendidikan nonformal sebagai komplemen, diarahkan pada mereka yang
telah menikmati pendidikan pada lingkungan pendidikan formal. Kelompok ini memungkinkan
untuk menjadi kelompok yang tidak memiliki pekerjaan segera setelah lulus dari lingkungan
sekolah. Sejalan dengan kepentingan politik maka tuntutan untuk menyelenggarakan pendidikan
untuk kelompok ini demikian kuat. Dalam perencanaan hendaknya dipadukan antara mereka
yang tidak mungkin memasuki lingkungan kerja dengan memberikan peluang pada mereka
untuk memperoleh pendidikan sekolah.
Pendidikan Nonformal sebagai Pengganti
Kategori ke tiga hubungan antara pendidikan formal dengan pendidikan nonformal yaitu sebagai
pengganti untuk pendidikan formal. Model ini merupakan layanan pada anak maupun orang
dewasa yang karena satu hal tidak dapat menyelesaikan pendidikan formal. Untuk beberapa
negara pendidikan keaksaraan yang diikuti secara bersama baik oleh anak maupun orang dewasa.
Peserta belajar yaitu mereka yang memiliki keterisolasian secara sosial karena tinggal di
pedesaan, kemiskinan dan tertinggal dari wilayah negara tertentu. Terjadi pula bagi etnik tertentu
yang karena satu hal tidak mungkin untuk mengikuti pendidikan sekolah. Untuk beberapa kasus
merupakan batu loncatan agar peserta didik bisa kembali ke lingkungan sekolah.
Materi pembelajaran ditekankan pada kemampuan dasar membaca dan berhitung serta
keterampilan dasar lainnya yang secara fungsional dapat diterapkan untuk kepentingan
kesehatan, nutrisi dan pertanian. Pendukung kegiatan ini kecuali untuk pendidikan keaksaraan
umumnya adalah menteri pendidikan, selebihnya umumnya bukan dari pihak pemerintah.
Program lebih singkat dilihat dari waktu pelaksanaan, antara tiga bulan sampai satu tahun, dan
cenderung berlebih dilihat dari peserta maupun bahan yang diajarkan. Untuk beberapa negara
tertentu, pengajar umumnya guru pendidikan dasar atau sukarelawan dengan tingkat kompetensi
yang terbatas melalui sedikit pelatihan. Pembiayaan umumnya hanya seadanya serta kurang
memiliki kejelasan masa depan dari tipe pendidikan ini.
Pendidikan sebagai pengganti banyak menarik perhtian para perencana. Pendidikan ini memiliki
biaya rendah dan menggarap kelompok yang seharusnya menjadi bagian kerja pendidikan formal
akan tetapi kurnag terperhatikan sekolah untuk waktu dekat. Selebihnya penggarapan melalui
pendidikan nonformal juga menimbulkan isu tersendiri, dimana jumlah yang demikian banyak
sedangkan sumber yang tersedia umumnya terbatas. Kritik umumnya memiliki tekanan pada
kualitas pendidikan yang rendah serta akibat peserta belajar yang umumnya terdiri dari
kelompok miskin sebagai lapis kedua kelompok yang kurang beruntung. Untuk perencana yaitu
kegamanagan antara memperhatikan kelompok yang kurnag beruntung dengan kualitas hasilan
pendidikan.
Terlepas dari posisinya sebagai komplemen, suplemen maupun pengganti, selama ini
pelaksanaan pendidikannya merupakan tulangpunggung dalam menyelenggarakan pendidikan di
luar tembok sekolah. Kegiatan telah berlangsung demikian lama tanpa melihat profeknya,
penggunaan sumber seadanya dan dan kurang mendapatkan perioritas dibandingkan dengan
kebutuhan akan pendidikan formal.
Upaya inovatif dilakukan sebagai masukan baru dari model hubungan dengan pendidikan formal,
antara lain yang dianbgkat dari konferensi tahun 1960 mengenai : Krisis Pendidikan Dunia:
Sebuah Analisis Sistem yang ditulis Philip Coombs, yang terlahir akibat ketidakpuasan pada
pendidikan formal sementara pendekatan yang dilakukan demikian terbatas. Pemikirannya
menekankan pada tingginya biaya pendidikan formal akan tidak tetapi tidak mampu memenuhi
harapan terutama berkaitan dengan banyaknya calon peserta didik yang tidak terlayani di dunia
ketiga. Minat pada pendidikan nonformal demikian tinggi sebagai upaya memecahkan masalah
secara cepat, terutama bagi negara donor. Beberapa negara telah mencurahkan danan untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan dan melakukan uji lapangan untuk melihat pengaruh
dari pendekatan pendidikan nonformal.
Perhatian pada pendidikan nonformal terus berkembang diantara perencana, ahli pengembangan
dan universitas baik pada lingkungan kementerian pendidikan maupun lembaga internasional.
Kegiatan pendahuluan memfokuskan pada dua hal: Pertama, memberikan definisi apa yang
termasuk pada pendidikan nonformal dan apa pula yang tidak termsuk pada pendidikan
nonformal. Ke dua, menemukan, menterakan, menganalisis dan membuat kodifikasi mengenai
hakikat pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal yang ditemukan pada beberapa
negara berkembang. Para pemikir sampai pada kesimpulan yang dapat diperdiksi di lapangan.
Sesuai dengan debat dan perkembangan dicapai kesepakatan mengenai makna dan terminologi.
Hasilan kajian telah menjadikan bahan berharga untuk perencanaan.
Kumpulan kasus telah memberikan dasar untuk diambil tindakan. Beberapa usaha lanjutan telah
dilakukan dengan mengumpulkan data lebih lanjut, melakukan analis dan membuat kategorisasi
sehingga mampu membantu dalam mendefinisikan mengenan pendidikan nonformal dari
kacamata praktisi. Beberapa bagian dari belahar bumi telah melakukan kegiatan yang intensif
termasuk: Non-formal education in African development (1972) yang memuat hampir delapan
studi kasus di negara tropis Afrika.
Kegiatan telah dianalisis secara terpisah: industri dan vocasional, pertanian dan pembangunan
masyarakat, program yang dilakuakn pada lingkungan pemuda di luar sekolah, dan program
untuk orang dewasa di pedesaan. Kelompok yang kelima merupakan sisa dari empat kelompok
sebelumnya yang tidak dapat dikategorisasikan pada empat bagian tersebut. Penulisnya yaitu
Sheffield and Diejomaoh, menjelaskan bahwa pengelompokkan dilakukan melalui isi program,
usia target dan lokasi kegiatan di kota dan desa. Kendati kasus sangat terbatas, namun demikian
dinilai telah dapat membuat klasifikasi mengenai proyek pendidikan nonformal. Dari hasil kajian
bermakna untuk perencana terutama dalam memahami keragaman yang bisa dimanfaatkan untuk
memberikan makna pada hakikat pendidikan nonformal.
Pengkajian berikutnya dilakukan oleh Manzoor Ahmed and Philip Coombs,dalam judul
Education for rural development (1975). Hasil studi telah membagi sesuai tujuan dari setiap
program. Pengelompokkan juga dibagi atas sasaran yang dilayani. Pada setiap kasus dilihat dari
isu organisasi, staf dan kegiatan yang dididiskusikan dalam kerangka pembangunan umum
dimana kegiatan dilakukan. Hasil kajian bermakna untuk perencana terutama pada penekanan
kebutuhan untuk melakukan koordinasi dalam pembangunan sebagai kontras dari pendidikan
yang dianggap sebagai sumber pembangunan. Analisis lebih lanjut bermakna bagi perencana
untuk menetapkan pendekatan yang paling cocok sesuai situasi yang dihadapi.
Analisis yang paling akhir yaitu dilakukan yaitu kajian regional seperti yang dilakukan oleh
South-East Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) terutama usaha yang
dilakukan oleh Pusat Kajian Pembangunan pendidikan nonformal, lembaga penelitian di
Columbia, Amerika Selatan. Hasil penelitian memberikan gambaran lengkap bagi perencana
untuk daerah tertentu. Seperti halnya pemetaan peluang untuk perencanaan sistemik dan
koordinasi dari sektor-sektor pendidikan. Perencana pendidikan telah berhasil dalam
meningkatkan kesadaran melalui pendidikan nonformal dan ditunjang penelitian untuk
pembangunan. Hasil kajian terdiri dari bahan dasar perencanaan pada negara dimana perhatian
pada pendidikan nonformal tergolong tinggi.
Pilar ke tiga dari usaha dan kajian pendidikan nonformal yaitu kelompok kritik pada
persekolahan, yang menjadi populer pada tahun 60-an. Pemikiran utama lahir dari Ivan Illich
yang memaparkan sekolah sebagai lembaga pendukung pembangunan. Tulisannya merupakan
garis berseberangan untuk melakukan perbaikan sekolah, yang harus segera diganti dengan
jaringan belajar yang terdiri dari kecakapan untuk melakukan pertukaran, sistem pembelajaran
melalui peer dan saran pelayanan yang berhubungan sesuai tujuan pendidikan dan ketenagaan.
Pendidikan hendaknya merupakan bagian dari atuaran baru yang harus merubah pola konsumsi
menjadi pola interaksi bermakna untuk pemangku kepentingan. Pendidikan harus merupakan
pembebasan yang dikontrol oleh peserta belajar bukan oleh lembaga yang memandang manusia
sebagai bagian dari lembaga.
Senada dengan permikiran terdahulu yaitu Paulo Freire yang telah memberikan pemikiran yang
ditanggapi luas mengenai penekanan (oppressed) dari pendidikan formal. Perbedaan dengan
Illich, Freire lebih menekankan pada pengembangan model teori untuk memahami proses
pendidikan formal, yang intinya bertindak sebagai penekan dimana murid berada pada pihak
yang harus dibantu. Dia bekerja bersama pengikutnya untuk mengembangkan praktek, studi
lapangan untuk menentang penekanan dan memulai dengan suatu dialog dalam menghilangkan
penakanan. Freire sendiri tidak menyebut pendidikan nonformal sebagai tandingan dari
pendidikan formal, akan tetapi metode yang dimanfaatkan lebih banyak pada usaha merangsang
dan model-model yang kreatif dalam memecahkan pendidikan keaksaraan. Konsepnya yang
menaknakan pada kesadaran diri (consciousness)merupakan alat kerja untuk sejumlah pendidik
pada PNF dan secara utuh telah mengganti tujuan proyek pendidikannya. Bagi sejumlah pekerja
sosial yang enggan menggunakan kesadaran sebagai tujuan, memanfaatkan kesadaran sebagai
etika kerjanya. Makna dari etikanya bahwa pembangunan bukan merupakan hasil usaha
pendidikan selama tidak mampu memberikan kesadaran pada peserta belajar mengenai
kehidupan dan lingkungannya.
Makna dari kedua pemikir ini sebegitu jauh telah memberikan gambaran bagi perencana PNF.
Mereka meyakini bahwa melalui PNF biaya pendidikan bisa ditekan sementara krisis keuangan
yang dihadapi pendidikan formal bisa diatasi. Pada sisi lain pemikirna telah membangkitkan
kesadaran pada nilai keadilan dan kemanusiaan, yang selama ini diabaikan oleh para ekonom
kapitalis dengan cara menyebar rata hasil pembangunan. Selanjutnya terdapat kemajuan
pemikiran dari PNF yang semulakurang terperhatikan menjadi kegiatan PNF sebagai unsur
utama dari pembangunan dan merupakan investasi yang tidak ternilai.
Perpaduan dari tiga akar PNF, menyebabkan semakin populernya PNF melalui sejumlah
penelitian dan diskusi mengenai pentingnya dalam menunjang pembangunan. Bagi perencana,
hal ini merupakan tekanan dari agen eksternal dan kementerian untuk secepatnya melakukan
perancangan PNF untuk mengambil manfaat dari sejumlah keuntuntungan dan memanfaatkan
sistem koordinasi dengan sektor pendidikan lainnya dalam menunjang pembangunan. Dalam
memulai pemikiran ini, perencana hendaknya memahami benar cakupan dari PNF.

Makna Pendidikan Nonformal


Dari sejumlah dialog yang berkembang terlalu sedikit pemahaman mengenai batasan PNF, serta
demikian terbatas aspek-aspek yang diharapkan dari PNF yang bermanfaat untuk kepentingan
berbagai sektor pembangunan. Pembicaraan yang berlangsung selama ini memiliki kesulitan
pula untuk menyederhanakan kegiatan pendidikan yang bersifat umum menjadi bagian-bagian.
Kadang penggunaan pendidikan nonformal yang sering juga disebut sebagai pendidikan luar
sekolah masih sering overlap dan menimbulkan konflik. Diskusi berikut ini diharapkan dapat
memberikan konsep yang bermanfaat bagi para perencana.
Perdebatan demikian bermanfaat terutama bagi mereka yang ingin mengembangkan jaringan
teoretikal untuk kepentingan analisis. Hampir semua bahan diperoleh dari praktisi pendidikan
sesuai dengan tugas mereka dalam upaya memecahkan permasalahan pendidikan.
Sebagai batasan dari PNF terutama diarahkan pada terminologi yang tidak mungkin. Hal ini
mengingat didasarkan pada kesadaran akan potensi yang dimiliki PNF serta upaya untuk
melegitimasi usaha yang dilakukan PNF. Baru pada giliran berikutnya bisa membedakan antara
pendidikan formal dengan PNF. Hasil pemikiran sampai pada definisi kerja yang mampu
meningkatkan pemanfaatan dari PNF.
Definisi yang dikemukakan Coombs dan kawan-kawannya umumnya dapat diterima yaitu: “
kegiatan pendidikan yang terorganisir yang berlangsung di luar pendidikan sekolah, baik dalam
kegiatan yang nyata berbeda maupun dimasukkan dalam kegiatan yang lebih laus, yang
ditujukan untuk melayani peserta belajar yang jelas dan memiliki seperangkat tujuan pendidikan.
Definisi lebih ditekankan pada kegiatan yang berkangsung di luar sekolah, dengan asumsi
kegiatan dapat dibedakan dari pembelajaran yang umum terjadi pada lingkungan sekolah dan
dari rentang pendidikan sekolah yang biasa berlkangsung. Terdapat tiga ciri lainnya yang
menyatu dalam definisi, pendidikan nonformal harus merupakan kegiatan terorganisir untuk
sasaran yang jelas dan diarahkan untuk tujuan kegiatan belajar yang jelas pula. Kriteria mungkin
ditemukan pula pada kegiatan pendidikan lain akan tetapi penekanan yang bermanfaat bagi
perencana yaitu cakupan kegiatan yang memungkinkan peserta belajar merasa memiliki
tanggungjawab di dalamnya.
Proses pengembangan definisi mengenai PNF merangsang pada pembuatan analisis dari
rentangan pendidiakjn saat ini dalam upaya membedakan antara pendidiakn formal dengan
kegiatan lainnya. Terdapat sejumlah skema variasi untuk melihat spektrum seting pembelajaran
seperti halnya yang dikemukakan oleh Michigan State University, yang membaginya menjadi
empat kategori, yaitu:
1. pendidikan insidental, pembelajaran belangsung tanpa kesadaran penuh baik dari sisi sumber
belajar maupun peserta belajar,
2. pendidikan informal, belajar sebagai hasilan dari situasi dimana salah satu baik sumber belajar
maupun peserta belajar merasa sadar untuk mengembangkan suasana belajar akan tetapi tidak
keduanya.
3. pendidikan nonformal, salah satu bentuk pembelajaran di luar sekolah dimana baik sumber
belajar maupun peserta belajar menyadari untuk mengembangkan suasana belajar,
4. pendidikan formal, dibedakan dari pendidikan nonformal ditandai dengan penggunaan
tingkatan kelas pemuda dan diajari menggunakan kurikulum yang telah baku dilakuakn oleh
pendidik yang memiliki sertifikat menggunakan metode pengajaran standar.

Keempat kategori memberikan kerangka konseptual yang memadai yang menunjukkan adanya
proses belajar bagi umat manusia. Sehingga dapat dibedakan bila pembelajaran dilakukan oleh
orang tua kendati dalam suasana kelas, maka pengkategoriannya dimasukkan ke dalam
pendidikan insidental atau pendidikan informal. Selanjutnya yang berhubungan dengan
pembelajaran bahasa, perilaku budaya yang khusus, sikap dan keyakinan yang umum serta
pengetahuan untuk kehidupan sehari-hari, semua kegiatan ini hampir tidak mengenal lingkungan
belajar dan mengajar yang terstruktur. Hampir semua kegiatan belajar berlangsung melalui
observasi, imitasi dan penguatan yang selektif oleh anggota lain dalam masyarakat. Dalam hal
pendidikan insidental baik peserta belajar maupun pendidik tidak dalam keadaan sadar untuk
melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Pendidikan informal lebih menekankan pada pembelajaran dimana salah satu dari peserta belajar
maupun pendidik menyadari sedang brekangsung proses pembelajaran, seperti halnya yang
dilakukan oleh individu maupun bagian dari lembaga. Seperti halnya radio pendidikan mereka
memiliki keyakinan untuk melakukan pembelajaran, akan tetapi bisa sadar ataupun tidak peserta
belajar sedang melakukan proses pembelajaran dari pesan yang diterimanya. Atau seseorang
yang menginginkan untuk belajar mengenai otomotif dapat saja bertanya pada dari seorang
mekanik dan berlangsung di garasi dan ketika sedang memperbaiki mobil. Dalam hubungan ini
peserta belajar memiliki keperdulian untuk belajar akan tetapi situasi benar-benar tidak
terstruktur yang memungkinkan untuk melakukan proses pembelajaran yang sungguh-sungguh.
Pendidikan informal memberikan peluang untuk melakukan perbaikan diri bagi peserta belajar
yang tidak memiliki peluang untuk memasuki sekolah. Keadaan ini sering dikenal dengan
berpikir sendiri (self tought)
Pemilahan pendidikan informal dengan nonformal terletak pada situasi dimana peserta belajar
maupun pendidik secara sadar berkehendak untuk menyelenggarakan kegiatan belajar. Semisal
radio menyelenggarakan kegiatan dengan membuat kelompok yang terstruktur, maka kegiatan
jelas termasuk pada PNF. Demikian pula dalam peristiwa pembelajaran otomotif, bila dari pihak
peserta belajar memiliki kesadaran akan pemegangan dalam kerangka belajar demikian pula ada
kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan dari sisi instruktur ini pun termsuk pada PNF.
Batasannya dalam hal tertentu tidak terlalu jelas, seperti halnya sadar tidaknya seseorang untuk
belajar mengenai otomotif atau seorang dewasa yang datang ke perpustakaan untuk meminjam
buku dalam memperbaiki rumahnya. Dari sisi perencanaan dapat pula dilihat sejauh mana
seseorang berperanserta dalam proses perencanaan maka hal ini dapat diketegorikan pada PNF.
Batasan antara pendidikan formal dengan PNF sangat jelas ditentukan oleh kegiatan yang
dilakukan oleh pendidikan secara reguler dan menjalankan kurikulum yang normal dan baku
maka hal ini termasuk pada pendidikan formal. Bila ciri-ciri ini tdiak ditemukan akan tetapi
terdapat usaha yang sungguh-sungguh baik dari sisi peserta belajar maupun dari pihak pendidik
maka kegiatan ini diklasifikasikan pada PNF. Kadang perbedaannya tidak demikian tegas pada
saat sekolah mengundang seorang ahli musik tradisional dan memberikan tambahan
pembelajaran setelah selesai kegiatan kelas. Bagi seorang perencana pendidikan kegiatan ini
tidak dapat diklasifikasikan pada pendidikan formal. Dengan demikian bagi perencana ukuran
yang paling mudah jaitu dengan melihat pengorganisasian kegiatan, kegiatan pengawasan dan
keuangan dan ini dapat membantu untuk mengkategorikan pada pendidikan formal atau PNF.
Dengan empat kategori seperti yang dipaparkan tidak secara utuh memberikan batasn untuk
perencanaan pendidikan nonformal. Perencana dengan demikian tidak hanya memberikan asumsi
akan tetapi harus penuh keyakinan kedalam bentuk mana kegiatan akan dikategorikan. Dengan
demikian amat mungkin dalam perencanaan PNF menyertakan pula pendidikan yang sifatnya
insidental dan informal. Pada bagian lain kita akan sampai isu-isu pokok yang harus menjadi
bagian dari perencanaan PNF. Karenanya pembelajaran sepanjang hayat yang memiliki cakupan
empat kategori pendidikan, kurang membantu untuk dijadikan perencanaan PNF. Namum
demikian pemikiran Coombs maupun pemilahan pendidikan menjadi empat kelompok sedikit
membantu untuk menetapkan perencanaan PNF.
Permasalahan untuk mengungkap definisi dan kriteria taksonomi untuk melihat rentangan
pendekatan PNF tidak dapat lain keculai dilihat secara alami. Skema dikembangkan untuk
mendekripsikan dan menganalisis program dan mempelajarinya. Perencana, sementara
memanfaatkan hasil-hasil ini dapat menemukan perbedaan yang nyata dari: kebutuhan
pendefinisian pendidikan, menetapkan perioritas, pengalokasian sumber yang terbatas diantara
penggunaan yang bersaing pula, dan merencanakan pemecahan khusus yang paling mungkin
dalam kerangka hambatan yang ada. Perencana juga harus memahami tugas untuk melihat
rentangan pilihan, memahami biaya dan keuntungan dan usaha untuk menetapkan kriteria dalam
menentukan pilihan diantara sejumlah alternatif. Mengunakan pendekatan ini maka pembahasan
definisi dapat tergeser dengan proses perencanaan yang dapat dilaksanakan. Hal ini sesuai
dengan prinsip utama perencanaan yang aktif, kreatif dan prekriptif serta membutuhkan alat yang
memadai untuk mengerjakan tugas-tugas perancangan.
Beberapa perencana mulai bertindak realistis dengan tidak hanya memperhatikan hakikat PNF
dengan memperhatikan pendefinisian, dan bergerak pada analitis dimensi jaringan yang bisa
membantu perencana menganalisis program yang sedang berlangsung dan mengembangkan
perencangan baru. Salah satu hasilan berbasis produk melihat bahwa PNF terdiri dari satu atau
dua dimensi. Yang membuat kejelasan juga misalnya kurikulum formal hanya merupakan bagian
dari perancangan lingkungan belajar untuk sasaran belajar tertentu, dalam upaya mendapai
tujuan belajar. Keunikan dari perencanaan PNF yaitu terbebas dari hanya sebatas satu set
alternatif yang kerap ditunjukkan kinerja pendidikan formal. Perancangan PNF merupakan
perancanaan berbasis aternatif yang terbuka dalam rentangan yang luas. Perencanaan PNF akan
terdiri dari sejumlah alternatif, terutama dalam melihat lingkungan belajar, atau kurikulum yang
dirahkan pada upaya untuk memenuhi kebutuhan.
Dengan demikian apa yang seharusnya menjadi pembahasan ? Jawabannya lebih banyak
berkaitan dengan analisis dimensi dari PNF. Bagian berikut terdiri dari sejumlah dimensi beserta
ragam alternatif dalam dimensi ini. Contoh yang dikembangkan untuk memperkaya dimensi
akan tetapi kita dituntut untuk menambah sesuai dengan pengalaman yang dimiliki perencana
sendiri.
1. Tujuan Pembelajaran
Hal ini merupakan dimensi paling mendasar yang menjadi jawaban pada pertanyaan mengenai
dimensi. Mengapa program pendidikan membutuhkan tujuan pembelajaran. Dalam beberapa
kasus program PNF lebih banyak didominasi oleh alasan politik dan sosial, sehingga yang timbul
lebih banyak tujuan program dan bukan tujuan belajar. Selanjutnya apa tujuan pendidikan dari
proyek pendidikan nonformal ?
Sabagai misal yang berkembang pada pendidikan dasar, maka tujuan program yaitu keaksaraan
atau kefungsian atau mengenai angka, kesehatan dasar dan nutrisi, motivasi untuk melakukan
perubahan dan pengembangan, dalam beberapa kasus menimbulkan kesadaran kritik. Maka
dalam kenyataan kita akan menghadapi beberapa tujuan yang saling berkaitan satu dengan
lainnya, kendati penekanan akan diberikan pada satu atau lebih tujuan sesuai dengan dari mana
datangnya sumber-sumber yang dicurahkan untuk keberlangsungan proram tersebut. Program
pendidikan orang dewasa yang mendapatkan dukungan dana dari departemen pendidikan aka
lebih menekankan pada keaksaraan dan perhitungan. Kendati dikehendaki dieksplisitkan tujuan
lain, akan tetapi kemampuan petugas lapangan dalam hal ini memiliki keterbatasan dan dilihat
dari praktek pendidikan menyulitkan untuk mewujudkan tujuan pembelajaran. Sebagai
imbangannya kampanye nasional mengenai keaksaraan lebih banyak menekankan pada motivasi
dan partisipasi secara meluas dari kelompok penduduk atau generasi dalam mendukung
pemerintahan atau filasafat nasional. Dalam hal kasus yang mendapat dukungan dari departemen
pertanian atau pembangunan pedesaan, maka keaksaraan dan penghitungan merupakan perioritas
ke dua dalam upaya mendukung paset pertama untuk mendukung perorangan atau kelompok
untuk mengadopsi metode baru produksi dan pemasaran hasil pertanian, serta mendukung
pemikirna yang kritis serta kepercayaan diri sebagai bagian dari kebutuhan akan partisipasi.
Program keaksaraan dan penyertanya kurang populer akan tetapi merupakan potensi untuk
berhasil mengingat diperlukan keterpaduan dalam pendekatan untuk memenuhi kebutuhan
belajar dan meningkatkan pembangunan.
Selain itu dalam pengembangan proyek pembelajaran yang menunjang tujuan pendidikan umum,
terdapat tujuan yang lebih khusus. Dalam beberapa hal proyek menyertakan tujuan yang
pendidikan umum dengan pelatihan keterampilan vokasional. Hanya ditunjukkan pada
pembelajaran paket A yang menyertakan beberapa keterampilan seperti komputer. Tujuan
merupakan keterpaduan dalam upaya memelihara dan memperluas kemampuan dasar yang
umumnya dilakukan pada pendidikan formal dengan mempersiapkan kertampilan vokasional
yeng memungkinkan peserta belajar menjadi anggota produktif dalam masyarakatnya. Akhirnya
beberapa terdapat program dengan cakupan yang luas yang membahas mengenai: pertanian
untuk petani, kerajian dan perdagangan untuk artisan, keterampialn dalam kehidupan keluarga
untuk gadis dan ibu-ibu dan kewiraswastaan dan keterampilan manajemen untuk usahawan kecil.
Harus diperhatikan oleh perencanan PNF yaitu pertanyaan mengenai bagaimana dan oleh siapa
tujuan pendidikan seharusnya ditetapkan. Penetapan tujuan yang sifatnya sebtralistis untuk
semua pada dasarnya menjadi ciri dari pendidikan formal yang kurang tepat dilakukan untuk
PNF. Beberapa proyek memang didorong agar anggota kelompok peserta belajar mampu
menetpakan sendiri tujuan belajar dan berusaha untuk mencapainya. Penetapan tujuan yang
dilakukan oleh peserta belajar sendiri dalam hal tertentu memiliki kaitan dengan partisipasi dan
kepercayaan diri peserta. Untuk hal ini para perencana membutuhkan waktu untuk menetapkan
tujuan sehingga tujuan pendidikan benar-benar merupakan bagian dari partisipasi peserta belajar.
Keseimbangan antara tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dengan proses pembuatan tujuan
sangat tergantung pada karakteristik dari peserta belajar.

Karateristik peserta belajar


Dalam beberapa proyek tertentu penetapan tujuan peserta belajar ditetapkan oleh faktor politik
dan sosial dan merupakan rintangan tertentu untuk perencana. Tujuan dan aspek lain program
banyak ditentukan oleh ciri warga belajar. Peserta belajar ditentukan oleh umur dan keterlibatan
sebelumnya pada sekolah, seperti halnya kasus drop-out dan mereka yang berhenti pada kelas
awal dari pendidikan dasar yang dipertimbangkan menjadi hambatan tersendiri. Pemilahan lain
bisa berdasar pada jenis kelamin dan peranan, seperti ditunjukkan oleh gadis dan ibu-ibu yang
dibedakan dari anak-anak. Atau mungkin juga ditentukan oleh peran dalam pekerjaan, sebagai
petani atau mekanik otomotif, pengusaha kecil atau pimpinan desa. Jelasnya ciri peserta belajar
merupakan faktor utama dalam menetapkan tujuan belajar, tempat belajar, keterbatasan dalam
waktu dan pemanfaatan metode.
Perencana memiliki sejumlah pilihan sehubungan dengan ciri dari peserta belajart. Perhatian
hendaknya diberikan pada terlalu berorientasi pada pendidikan sekolah, dimana peserta belajar
memiliki latar belakang yang relatif homogen yang memungkinkan untuk mendapatkan
pelayanan yang standar. Peserta belajar yang beragam membuka kemungkinan untuk
keberagaman strategi pembelajaran dimana kelompok belajar dapat dimanfaatkan sebagai
sumber belajar bagi anggota lain dalam kelompok. Anak dapat mengajar orang dewasa dalam
melakukan perhitungan, kakek mengajari cucu mengenai sejarah budaya, petani belajar dari
pelayan toko, penduduk kota dan desa bisa saling membelajarkan, suami belajar dari istri; semua
ini memungkinkan untuk dilakukan dalam dalam kelompok yang beragam. Pemanfaatan
pendekatan ini juga menuntut kejelian dalam menetapkan staf yang mampu mengelola
pembelajaran.
Proses pembelajaran yang berbasis pada peserta belajar juga memiliki hubungan dengan struktur
pembelajaran dan keberlanjutan dari proses pembelajaran. PNF hendaknya lebih memberikan
peluang pada masukan yang beragam dan memungkinkan untuk saling belajar antara sesama
mereka. Arahan pembelajaran lebih diarahkan pada motivasi dibandingkan dengan pada
kecakapan. Untuk perancangan jangka penjang memungkinkan untuk multi entri dan eksit yang
memungkin pihak pemangku kepentingan untuk memulai, keluar dan masuk tergantung pada
kebutuhan dan kepentingan lain pada waktu yang bersangkutan. Pilihan ini dapat merupakan
modal dalam membantu mereaka yang tidak bekerjasama. Perencana hendaknya lebih banyak
untuk bertanya pada diri sendiri apakh dibutuhkjan persyaratan bagi peserta belajar benar-benar
dibutuhkan atau dukungan bukan merupakan peluang untuk memndapatkan tingkat fleksibilitas
yang lebih besar.

Struktur Organisasi
Dimensi ini memiliki cakupan mengenai struktur internal dan hubungan antara program dengan
lembaga yang lebih luas. Isu-isu organisasi internal memiliki cakupan sekitar staf, metode
pembelajaran dan pembiayaan. Yang berhubungan organisasi ekternal yaitu dalam hubungan
antara menteri pendidikan dengan lainnya. Pemilihan hal ini memiliki pengaruh langsung pada
sumber pembiayaan dan hal lain yang seharusnya menjadi bagian dari perencanaan program.
Kadang dibutuhkan makna fleksibilitas, kepekaan lokal dan efektivoitas yang seharusnya lebih
ditingkatlkan program yang lebih kecil diluar administrasi pemerintahan yang lebih luas. Dalam
beberapa hal adanya kerjasama dengan keagamaan dan lembaga sukarelawan lainnya demikian
bermanfaat, sedangkan program mungkin dimotori dan mendapatkan pengelolaan masyarakat.
Bila demikian banyak dana yang dipergunakan untuk cakupan wilayah penggunaan yang
demikian luas maka diperlukan penawasan dari pihak pemerintah. Bila benar dibutuhkan
supervisi dari pemerintah pusat, maka usaha seharusnya dilakukan dengan memberikan delegasi
pada tingkat regional atau tingkat kabupaten/kota. Rekomendasi ini dilakukan untuk mensiasati
pentingnya pelksibilitas dan tingkat responsif dalam PNF. Selain dari itu dana yang
dipergunakan untuk administratif lebih rendah dengan menyederhanakan hierarkhi pengawasan
dan menempatkan administrasi pada tingkat lokal. Berikutnya yang harus menjadi perhatian
perencana, lebih banyak melakukan kerjasama dengan pihak lain seperti halnya militer, industri,
pertanian komersial dan usaha yang lebih besar sepertei halnya progam irigasi atau pemukiman
penduduk pedesaan. PNF yang efektif memiliki keragaman dapat dilalui melalui kelembagaan
yang demikian beragam dan seringkali memiliki manfaat dari interaksi yang lebih lekat dengan
beberapa asosiasi dengan kegiatan lain yang saling berhubungan.
Staf.
Staf merupakan merupaka aspek yang sangat menentukan dalam PNF, sekaitan pertimbangan
terbatasnya pendanaan untuk menunjang program kegiatan. Mengingat dana utama dipergunakan
pada pembayaran tenaga pendidik, apakah pelaksanaan PNF dapat dilaksanakan dengan
sempurna tanpa memperhatikan alternatif dalam penetapan staf. Salah satu ciri yang paling
banyak ditunjukkan dalam upaya mengatasi keterbatasn staf yaitu melalui upaya sukarena dan
staf paruh waktu. Upaya awal yang umum dilakukan untuk memenuhi kebutuhan staf yaitu
dengan merekrut guru-guru sekolah dasar sebagai pekerjaan tambahan pada tugas utamanya.
Dengan banyaknya guru sekolah dasar yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebituhan staf di
kota maupun di desa merupakan sumber yang demikian menarik untuk memenuhi kebutuhan
staf. Pada sisi lain terdapat permasalahan dimana terjadi penumpukan peran guru dalam
menambah tanggungjawabnya. Dampaknya cukup nyata dimana penambahan tugas tidak terlalu
memberikan dam[ka yang diharapkan sehubungan terbaginya waktu mereka dan rendahnya
motivasi.
Upaya lain yaitu dengan menggunakan pihak lain yang tidak memiliki kaitan dengan pendidikan
formal. Keluarga, pimpinan desa, petani dan siswa baik pada pendidikan formal maupun PNF,
dan anggota dari kelompok belajar yang beragam merupakan potensi dalam mengembangkan
staf. Pernyataan bagi perncana yaitu yaitu identifikasi, memotivasi dan memberikan dukungan
pada staf. Sumber di luar guru merupakan sumber yang potensil untuk pengemangan staf.
Permasalahan yang menjadi pertimbangan PNF juga pada kisaran dana yang perlu dihemat pada
penetapan staf merupakan kunci keberhasilan. Perencana juga perlu memperhatikan faktor yang
demikian mendesak dalam upaya meningkatkan profesionalisasi staf dengan memberikan
pelatihan, sertifikat dan pemberian penghargaan yang merupakan keuntungan bagi staf. Untuk
sementara penggunaan pendidik pada pendidikan formal dalam hal penghematan pembiayaan.
5. Biaya
Biaya untuk PNF umumnya diperuntukkan untuk pembayar-an staf, fasilitas, transport dan
berbagai pengeluaran untuk bahan sarana dan prasarana. Setelah pembiayaan staf banyak
didiskusi-kan maka giliran berikutnya membahas lebih jauh yang berhu-bungan dengan fasilitas
yang tidak begitu banyak diperhatikan dilihat dari pembiayaan baik pada pendidikan formal
maupun PNF. Umumnya pembiayaan untuk fasilitas mandapat dukungan dari lokal. Untuk
transport, misalnya merupakan masalah, terutama untuk kepentingan suppervisi dan dukungan
operasional. Beberapa pihak mengusulkan dengan cara memberikan pelatihan pada personal
lokal akan mengurangi dana supervisi.
Strategi utama bagi perencana lebih banyak pada mengu¬rangi pembiayaan dibanding dengan
membuang energi untuk usaha mencari tambahan dana. Usaha berikutnya yaitu mengurangi dana
lain yang tidak berhubungan langsung dengan kepentingan organisasi bila masih memungkinkan,
misalnya melalui kegiatan swadaya dalam pembelajaran di lingkungan masyarakat. Mengingat
peningkatan dana lokal membutuhkan struktur organisasi dan lebih mengarahkan dana untuk
kepen¬tingan langsung. Umumnya, perencana lebih memperhatikan dimana dana sangat
tergantung pada dimensi lain dari PNF dan biaya alternatif hendaknya merupakan bagian
eksplisit dari proses pembuatan kepuutusan setiap pilihan dikembangkan.
6. Metode pembelajaran
Metode pembelajaran menyiratkan sejumlah alternatif yang mungkin merupakan kesulitan utama
dalam pelatihan staf PNF dalam melaksanakan peran pendidikan. Sejumlah variasi alternatif
inovatif terjadi dan dalam berbagai situasi menghasilkan sejumlah model alternatif, seperti
pembelajaran tutor sebaya, metode discovery, kurikulum berbasis pada peserta belajar,
pembelajaran berbasis masyarakat dan sejumlah metode berbasis penggunaan media. Pemilihan
metode pembelajaran memiliki hubungan lang-sung dengan pemilihan staf yang dibutuhkan dan
struktur internal seting pembelajaran. Ketiga hal ini perlu dirancanakan bersama. Pemilihan
mengenai metode pembelajaran, atau lebih jauh lagi perpaduan dari metode yang dipergunakan
tergantung pada tujuan pembelajaran dan ciri peserta belajar.
Pertimbangan utama pada pilihan ini yaitu dari sisi peserta belajar yang memainkan peran dalam
proses yang umumnya terbagi atas peserta aktif atau pasif dalam proses pembelajaran. Ciri utama
dalam proses pembelajaran sekolah yaitu berbasis guru dimana informasi disampaikan kepada
murid yang pasif. PNF yang dilakukan dengan penekanan pada kesadaran dan pengembangan
yang lebih aktif dari anggota masyarakat, membutuhkan metode yang merangsang dan
memberikan peluang pada peserta belajar untuk ambil bagian dalam tangung jawab untuk proses
pembelajaran yang sedang diikutinya. Dalam disain perancangan, terutama pada awal kegiatan,
perencana hendaknya lebih mengembangkan strategi untuk mengurangi penggunaan model
pembelajaran ceramah oleh guru. Pelatihan yang seksama akan mengurangi kecenderungan ini.
Namun demikian dalam pelatihan acapkali proses berulang pada pembelajaran ceramah
dibanding-kan dengan penggunaan metode yang diharapkan semula.
7. Kontrol kegiatan
Isu yang berhubungan dengan kontrol merupakan jantungnya PNF dan hal ini merupakan bagian
tidak terpisahkan dari pemberian peran belajar berbasis pada peserta belajar. Identifikasi
kebutuhan belajar, disain metode pembelajaran, peningkatan dan penetapan dana, dan penetapan
organisasi internal merupakan bagian utama dari proses kontrol. Pertanyaan utama yaitu siapa
yang membuat keputusan dan dengan mekanisme yang bagaimana? Retorika mengenai PNF
terutama yang berhubungan dengan keterlibatan peserta belajar dalam pendidikan dasar di
pedesaan dan proyek pembangunan berbasis masyarakat, lebih menekankan pada peran yang
lebih luas dari peserta belajar dalam melakukan kontrol. Namun demikian struktur yang amat
terprogram yang dirancang untuk menghasilkan kecakapan mengontrol acapkali bertolak
belakang dengan mengembangkan kontrol dari luar kelompok masyarakat. Atas dasar itu maka
pengembangan kontrol berbasis partisipasi merupakan tantangan tersendiri bagi perencana.
Isu ini merupakan tantangan tersendiri dari kematangan sebuah perencanaan berbasis pusat atau
regional untuk program tertentu. Tugas utama dari perencana yaitu mengatur keseim-bangan
kebutuhan antara tingkat nasional dan kebutuhan adanya kontrol dari tingkat lokal melalui upaya
yang dilakukan oleh pihak lokal untuk kebermaknaan bagi mereka. Konsep yang ditawarkan
melalui desentralisasi, struktur partisipatif dan sistem perwakilan merupakan bagian upaya
mengatasi hal ini. Permsalahan yang dihadapi perencana yaitu antara retorika politik dengan
perilaku kelembagaan. Perencana harus menyadari bahwa untuk program PNF tertentu, sangat
tergantung pada akar pembuatan keputusan yang memiliki kaitan erat dengan dimensi lain.
8. Dimensi lain
Ketujuh dimensi terdahulu merupakan jaringan dalam pem¬buatan keputusan perencanan PNF.
Di luar itu masih ada dimensi lain dari sistem PNF baik secara terpisah maupun merupakan
pengembangan dari dimensi yang sudah dibahas sebelumnya. Isu-isu yang berkembang sekaitan
dengan dimensi ini sampai batas tertentu dapat diperlakukan sebagai bagian dari dimensi yang
sudah dibahas. Seperti halnya yang berhubungan waktu pem-belajaran, memiliki kaitan erat
dengan metode yang diperguna-kan. Sering dengan menggunakan metode yang lebih canggih
akan memakan waktu lebih banyak yang berhubungan dengan sifat dari metode itu maupun
karena berbagai hambatan yang datang baik dari pihak pendidik, peserta didik maupun sarana
pendukung yang merupakan hambatan tersendiri dan menjadikan waktu yang dipergunakan
menjadi lebih banyak. Pendeknya pemanfaatan waktu merupakan bagian dari isu besar dari
proses pembelajaran dilihat dari sisi peserta belajar. Pola belajar di bebeapa negara seringkali
menjadi tantangan tersendiri baik untuk pendidikan formal maupun PNF. Waktu dalam proses
pendidikan bag! peserta belajar merupakan bahan pilihan dari sejumlah altenatif dalam sistem
pembelajaran. Waktu juga merupakan pertimbangan apakah hasil belajar dapat dimanfaatkan
secara langsung dalam kehidupan dari peserta belajar. Selanjutnya pemanfaatan secara langsung
dapat merupakan hadiah langsung dalam upaya meningkatkan partisipasi peserta belajar, dan
karenanya juga menjadi pendorong untuk memberikan kontribusi nyata untuk penyelenggaraan
pendidikan.
Dimensi lain dari PNF yaitu berkaitan dengan upaya mem-pertegas definisi dari PNF sendiri.
Penggunaan dimensi dapat menjadikan upaya untuk mempertegas dari definisi PNF sendiri. Bila
terdapat gabungan dari pemuda dan orang dewasa dalam satu kegiatan maka hal ini
dikelompokkan pada pendidikan pedesaan. Pembelajaran sepanjang hayat memiliki kaitan
dengan pendidikan secara umum, karena termasuk melibatkan pendidikan formal, informal dan
PNF. Sedangkan pendidikan luar sekolah lebih menekankan pada lokasi lembaga. Koperasi,
petani dan pendidik¬an unit perdagangan lebih banyak menekankan pada asal peserta didik dan
tujuan pembelajaran. Sedangkan batasan PNF sendiri lebih diarahkan pada metode pembelajaran
atau seting kelem-bagaan. Semuanya bila dilihat dari dimensi lain sangat tergantung tanggapan
dan minat dalam penggunaan terminologi tersebut. Walaupun sangat rumit dan sulit untuk
dijelaskan dalam mene-rangkan dimensi akan tetapi dengan bantuan membuat cluster akan
memberikan kemudahan pula untuk memahami sejumlah program yang termasuk PNF dan hal
yang lebih penting lagi adalah dapat menjadikan jaringan untuk pengembangan perencanaan
ketika seorang perencana menghadapi masalah dalam meng-hadapi pola tertentu. Perencanaan
adalah merupakan proses yang sistematis dan bukan merupakan pilihan program yang
didasarkan pada label yang terpisah-pisah dengan bedasar pada komponen khusus dari program.

Ringkasan
Prinsip perencanaan pendidikan nonformal antara lain: (1) perencanaan yang dikembangkan
harus bersifat fleksibel, memadukan antara kualitas dengan sifat khusus dan keragaman program
dan (2) lebih menekankan pada kebermaknaan dalam upaya menunjang efisiensi dan
memberikan peluang sesuai dengan tujuan dan tuntutan dari program pendidikan nonformal.
Bentuk penyederhanaan dari pendidikan nonformal yaitu dengan melihat hubungannya dengan
pendidikan formal. Dalam bentuk termasuk pendidikan nonformal sebagai komplemen,
suplemen dan pengganti dari pendidikan formal.
Secara general pendidikan nonformal dan informal mem-punyai makna sebagai kegiatan
pendidikan yang terorganisir yang berlangsung di luar pendidikan sekolah, baik dalam kegiatan
yang nyata berbeda maupun dimasukkan dalam kegiatan yang lebih luas, yang ditujukan untuk
melayani peserta belajar yang jelas dan memiliki seperangkat tujuan pendidikan.
Dimensi perencanaan pendidikan nonformal mencakup: (1) tujuan pembelajaran, (2)
karakteristik peserta belajar, (3) struktur organisasi, (4) staf, (5) Biaya, (6) Metode pembelajaran,
dan (7) Kontrol kegiatan.
Latihan Soal
1. Perkembangan terakhir dari pendidikan nonformal yaitu kepentingan dalam rangka pendidikan
untuk semua dimana pendidikan nonformal dapat memainkan peranan yang lebih besar, menurut
anda sudahkan hal tersebut di atas terlaksanakan di Indonesia!
2. Di Jepang dikemukakan bahwa tidak ada pemilahan antara pendidikan nonformal dengan
formal, mengapa demikian, dapatkan Indonesia malaksanakan proses tersebut, apa keuntungan
dan kerugiannya bagi Indonesia!
3. Temukan makna pendidikan nonformal dari para ahli dan kemukakan makna pendidikan
nonformal menurut pendapat anda!
4. Dimensi mana yang paling utama diantara dimensi-dimensi dalam pendidikan nonformal,
mengapa demikian!
5. Coba anda prediksi perencanaan pendidikan nonformal berdasarkan dimensi-dimensinya!

 
Leave a comment

Posted by ayiolim on February 23, 2011 in PERENCANAAN PLS

PENDIDIKAN KEAKSARAAN KELUARGA DAN


MINAT BACA
23 Feb

BAB I

KEMISKINAN DAN PEMBERANTASAN BUTA AKSARA

A. Permasalahan Ekonomi  Keluarga di Indonesia

Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat,
khususnya di negara-negara berkembang. Dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah
kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus
menerus. Bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena
hingga kini belum bisa dientaskan dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan
krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia (Alfian, 2000: 13).

Kemiskinan dalam sebuah keluarga merupakan permasalahan kemanusiaan purba, yang bersifat
laten dan aktual sekaligus. Kemiskinan telah ada sejak peradaban manusia ada dan hingga kini
masih menjadi masalah sentral di belahan bumi manapun.

Kemisikinan dalam keluarga merupakan faktor dominan yang mempengaruhi persoalan


kemanusiaan lainnya, seperti keterbelakangan, kebodohan, ketelantaran, kematian dini. Masalah
buta huruf, putus sekolah, anak jalanan, pekerja anak, perdagangan manusia (human trafficking)
tidak bisa dipisahkan dari masalah kemiskinan.

Ada dua fenomena kemiskinan yang menarik diperbincangkan, yaitu (1) sisi kemiskinan sosial
dan segala persoalannya, dan (2) karakteristik kemiskinan dalam keluarga. Ada benang merah
yang menghubungkan persoalan kemiskinan dalam keluarga, yakni bahwa ia bukanlah energi
persoalan yang terpisah. Kemiskinan bahkan bukan lagi isu kelas atau bicara tentang si kaya dan
si miskin, kemiskinan menjadi sesuatu yang diciptakan, disengaja, bahkan dibangun karena
kesalahan menerjemahkan demokrasi dalam kondisi transisi, dan ketidakcerdasan pengelolaan
krisis yang berkepanjangan.

Hal paling menarik ketika menggambarkan kondisi kemiskinan dalam keluarga, adalah kondisi
perempuan yang berbeda dengan lelaki, dan suasana perjuangan untuk melawan kemiskinan
yang mereka lakukan. Hal-hal kecil yang tak terpikirkan orang mampu, akan menjadi berarti
ketika keseimbangan hidup mulai terganggu. Disadari atau tidak, saat ini, agenda perempuan
berada dalam posisi penting dalam isu kemiskinan.  Belajar dari pengalaman di lapangan dan
melihat negara-negara lain dalam hal pendampingan seperti di India, dan negara berkembang
lainnya, ternyata perempuan miskin paling punya banyak persoalan dibandingkan laki-laki.

Salah satu tujuan dari pembangunan nasional adalah pembangunan sumber daya manusia, baik
laki-laki maupun perempuan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia
2005). Indonesia telah mencanangkan dan mengimplementasikan konsep dasar gender dalam
Peraturan Presiden Nomor Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2004-2009. Sasarannya adalah mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis
dengan terjaminnya keadilan gender bagi peningkatan peran perempuan, yang salah satunya
tercermin dengan membaiknya angka GDI (Genderrelated Development Index) dan angka GEM
(Gender Empowerment Measure).

Masalah rendahnya produktivitas perempuan dalam pengembangan ekonomi keluarga sama


sekali belum disentuh secara mendetail dan berkesinambungan. Produktivitas perempuan dalam
hal ini diukur berdasarkan kontribusi pekerjaan publik yang dibayar, sedangkan pekerjaan
perempuan di aspek domestik tidak diperhitungkan. Peran gender di sektor domestik melibatkan
peran reproduktif atau domestik yang menyangkut aktivitas manajemen sumberdaya keluarga
(materi, nonmateri, waktu, pekerjaan dan keuangan), pengasuhan dan pendidikan anak serta
pekerjaan dalam keluarga (Puspitawati, 2007).

Kajian mengenai nilai ekonomi keluarga yang menyangkut peran perempuan di sektor domestik,
kurang mendapatkan perhatian baik oleh pihak pemerintah maupun masyarakat. Kajian di
Indonesia belum banyak membahas tentang nilai ekonomi ibu keluarga.  Kajian nilai ekonomi
keluarga di Indonesia diawali oleh penelitian Mangkuprawira (1985) dan Guhardja (1986)
tentang “Alokasi Waktu dan Kontribusi Kerja Anggota Rumah Tangga dalam Kegiatan Ekonomi
Rumah Tangga” dan “Alokasi Waktu Keluarga di Pedesaan dan Desa Kota: Kasus di Dua Desa
Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat” (Puspitawati, 2009).

Kemampuan dan potensi yang memadai dari perempuan, sebagai istri dan ibu keluarga,
merupakan aspek terpenting dalam menentukan keberhasilan keluarga terutama masa depan
anak-anak/generasi penerus (Elizabeth 2007). Oleh karena itu potensi keprofesionalan “ibu
rumah tangga” harus diangkat dalam kajian akademis dan merupakan aspek penting dalam
meningkatkan kualitas kesejahteraan keluarga. Semua  anggota keluarga sudah semestinya
memiliki kemampuan atau keberdayaan dalam berbagai hal, terutama yang terkait dengan 
kompetensi yang mampu mendorong keluarga ke arah yang lebih sejahtera.
Berdasarkan pertimbangan dari sisi akademis, sangat penting mendorong setiap anggota keluarga
untuk memiliki keberdayaan dalam bentuk penguasaan kecakapan hidup (life skill) yang sekali
lagi berkaitan dengan kualitas dan keterukuran pendidikan. Mutu pendidikan saat ini bergerak
dari pendekatan hasil pada proses. Unesco mengatur agar keserasian usaha untuk meningkatkan
kualitas pendidikan melalui dukungan lingkungan yang menunjang, proses pembelajaran, dan
keluaran pendidikan yang lebih diarahkan pada penciptaan generasi baru yang lebih mandiri dan
peserta belajar yang kritis yang mampu untuk menetapkan dan melaksanakan pendidikan yang
berkelanjutan yang diperlukan untuk setiap tahapan kehidupan mereka. Salah satu yang pokok
diantaranya adalah perlunya mendorong setiap anggota keluarga untuk berkemampuan melek
aksara.

B. Komitmen Internasional dan Kebijakan Pemberantasan Buta Aksara

Persoalan mendasar berkenaan dengan kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat,


merupakan salah satu pemicu ketidak-tersentuhan pendidikan. Deklarasi Dakkar berkenaan
dengan pendidikan untuk semua (education for all), semakin menguatkan dan memacu negara-
negara berkembang untuk berbuat dan berusaha menepati komitmennya dalam memberikan
kesempatan kepada setiap warga masyarakat untuk mengikuti pendidikan. Hal ini dilandasi
pemikiran bahwa permasalahan di bidang pendidikan, baik di Indonesia maupun di kawasan
Asia Pasifik lainnya adalah jumlah angka buta aksara yang masih besar.

Sehubungan dengan itu, pertemuan Dakkar di Senegal tahun 2000 (UNESCO) dengan tema
“pendidikan untuk semua”, menekankan komitmen atas pokok-pokok tersebut, yaitu sebagai
berikut:

1.        Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia,
terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung.

Pendidikan merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebuah negara, jika ingin maju di
bidang pembangunan ekonomi. Tidak ada negara yang maju perekonomiannya hanya
berdasarkan kekayaan alam. Negara harus berinvestasi pada manusia karena manusia bias selalu
diperbaharui (renewed).

2.        Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-
anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan
menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik.

3.        Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi
melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang
sesuai.

4.        Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun
2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan
berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
5.        Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun
2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu
focus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar
dengan kualitas yang baik.

6.        Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga
hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan,
angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting.

Upaya yang dilakukan untuk menangani persoalan pendidikan khususnya (illiteracy) atau buta
aksara, adalah diselenggarakannya program pendidikan keaksaraan fungsional (KF). Program ini
dianggap strategis dan harus menjadi gerakan nasional yang perlu dikampanyekan secara
menyeluruh dengan beberapa alasan aktual, yaitu: (1) merupakan salah satu unsur utama yang
mempengaruhi indeks pembangunan manusia, (2) masih adanya kelompok masyarakat yang buta
aksara, (3) adanya kelompok masyarakat yang telah melek huruf namun menjadi buta huruf
kembali, dan (4) kemelekhurufan merupakan dasar pengetahuan bagi setiap individu.

Undang-undang Sisdiknas Republik Indonesia Tahun 2003 Pasal 26 menegaskan peran


pendidikan nonformal bagi pendukung pelaksanaan pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan
sepanjang hayat merupakan suatu sistem baru, yang berbeda dengan sistem pendidikan yang
sekarang sedang berjalan. Dalam pendidikan sepanjang hayat peran-peran baru dan fleksibilitas
kelembagaan dikembangkan agar dapat menjangkau layanan pendidikan yang lebih luas. Dalam
sistem pendidikan sepanjang hayat, semua aktivitas pendidikan yang terkotak-kotak dan terpisah
(seperti: kejuruan dan umum, formal dan informal, sekolah dan luar sekolah, kebudayaan dan
pendidikan, dll.), diupayakan untuk diintegrasikan dengan suatu pandangan yang bersifat organik
bahwa semua aktivitas pendidikan dilakukan dalam kehidupan yang berguna bagi pengembangan
potensi manusia secara utuh.

Dalam sistem pendidikan sepanjang hayat, kegiatan pendidikan atau belajar tidak lagi
menekankan pada sekedar pemilikan (having) sejumlah stok ilmu pengetahuan yang diberikan
oleh pemegang otoritas pengetahuan seperti guru di sekolah. Pendidikan lebih menekankan
aktivitas belajar bagi pengembangna diri (being) baik yang dilakukan dalam bentuk formal,
nonformal, atau informal dengan kurikulum yang dirancang oleh lembaga atau yang dirancang
oleh dirinya sendiri (self-education atau self-directed learning). Aktivitas belajar yang dilakukan
secara terorganisir oleh diri sendiri dengan tujuan bagi pengembangan diri perlu memperoleh
penghargaan sebagai bagian dari kegiatan pendidikan. Apalagi saat ini berkembang ungkapan
bahwa hampir seluruh aktivitas dalam kehidupan dapat dipandang sebagai bagian dari belajar
sepanjang hayat.

Apa yang penting dalam sistem pendidikan sepanjang hayat adalah adanya kemauan untuk terus
menerus belajar dalam diri setiap individu dan masyarakat, kemauan untuk mengembangkan diri
berkelanjutan (continuing self development). Persoalannya adalah sudah siapkah individu dan
masyarakat dengan budaya belajar yaitu sikap dan perilaku menyenangi dan menghargai
aktivitas belajar bagi pengembangan dirinya. Apakah layanan pendidikan sekarang ini baik
formal, nonformal, dan informal sudah dapat membentuk suatu nilai sikap dan perilaku yang
menyenangi kegiatan belajar dalam diri individu dan masyarakat?
Memasuki babak baru inovasi pembelajaran, negeri ini menetapkan sejumlah pertimbangan
mengenai diperlukannya pendekatan baru dalam pembelajaran, seperti berikut:

1.        Kekuatan intelektual dan imajinatif;

2.        Pemahaman  dan pembuatan;

3.        Keterampilan  komunikasi;

4.        Keterampilan  kerjasama;

5.        Keterampilan   pemecahan masalah;

6.        Perluasan perspektif pada disiplin keaklian, dan

7.        Pendekatan inkuiri, analitik dan kreatif (The China Paper, 2004)

Sekaitan dengan tuntutan pendidikan yang dicanangkan Kong Fu Tsu, “bukan berikan ikan tapi
berikan pancing”, mengisyaratkan adanya inovasi pendidikan seperti di bawah ini:

1.        Memetakan Konsep

2.        Perubahan Konsep

3.        Pemecahan  masalah

4.        Pembelajaran  berbasis masalah

5.        Studi kasus

6.        Pemecahan isu-isu sosial

7.        Lokakarya

8.        Mengajar bantuan teknis

9.        Pembelajaran  berbasis Perpustakaan

10.    Pembelajaran  berbasis web

11.    Pemodelan  menggunakan komputer (The China Paper, 2004)

Babak baru inovasi pembelajaran di atas, dalam perjalanannya cukup sulit direalisasikan.
Kesulitan tersebut diakibatkan oleh beberapa hal diantaranya: pertama kesulitan untuk merubah
pola pikir praktisi mengenai kebiasaan yang dilakukan keseharian terutama dari pembelajaran
transmisi menjadi pembelajaran yang inovatif dan kebiasaan mereka umumnya melakukan
pembelajaran transmisi. Kedua, resistensi dari kelompok warga belajar yang telah terbiasa
melakukan pembelajaran konvensional menjadi pembelajaran yang lebih canggih, karena
dianggap memberatkan. Ketiga, daya dukung lingkungan yang kurang kondusif untuk
melakukan pembelajaran yang inovatif. Keempat, bagi peserta belajar dibutuhkan loncatan
berpikir karena yang ada di benak mereka yang dimaksud dengan belajar adalah belajar
menghapal dan bukan mengaplikasikan konsep dalam kenyataan.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009 dan Rencana
Strategis Pendidikan Nasional tahun 2005-2009 serta dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2006
ditegaskan bahwa akhir tahun 2009, angka buta huruf usia 15 tahun ke atas tersisa 5% atau 7,7
juta orang. Sementara itu, sampai akhir tahun 2008 menunjukkan bahwa penduduk buta huruf
9,76 juta orang atau setara dengan 7,51% populasi (www.diknas.depdiknas.co.id)

Ada beberapa alasan mengapa mereka buta huruf, antara lain disebabkan: (1) tidak sekolah sejak
awal (karena alasan geografis dan ekonomi), (2) drop out sekolah dasar (SD Kelas 1-3), (3)
keterbatasan kemampuan pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan pelayanan kepada
kelompok marginal, (4) buta huruf kembali, karena tidak diaplikasikannya hasil pendidikan
keaksaraan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai hal ini Direktorat Pendidikan
Masyarakat melaksanakan program pemberantasan buta aksara yang sejalan dengan prakarsa
keaksaraan untuk pemberdayaan.

Sesuai dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 26 ayat
3 dinyatakan bahwa: “Pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan
anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan
lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik”.

Gerakan pemberantasan buta aksara merupakan salah satu program untuk menuntaskan
penduduk yang masih buta aksara, mereka dituntut untuk bisa menulis, membaca dan
menghitung dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai realisasi untuk menuntaskan penduduk yang
belum melek aksara, terdapat strategi baru dalam pembelajaran pendidikan keaksaraan, yaitu
pendidikan keaksaraan keluarga bagi masyarakat. Pendidikan keaksaraan keluarga yang diilhami
oleh konsep family literacy, dipandang sebagai pendekatan keaksaraan yang paling
mempertimbangkan aspek etnososial, karena proses pembelajaran tidak lagi didasarkan pada
transaksi ekonomi, akan tetapi lebih pada rasa kemanusiaan dan kasih sayang. Beberapa
pertimbangan keunggulan dari keaksaraan keluarga yaitu: saling percaya, ketulusan, kasih
saying, dukungan dana, dan dukungan fasilitas.

Melalui tanggung jawab keluarga sebagai unit paling kecil, diharapkan berkembang budaya malu
apabila tidak bisa baca tulis dan hitung. Sementara itu, anggota keluarga diminta untuk
mengakrabi dan membantu mengajarkan kembali yang sudah diajarkan oleh tutor. Dengan cara
ini bisa berlaku one teach one, sehingga anggota keluarga yang sudah melek aksara melakukan
transformasi pembelajaran secara sadar dan bermakna dalam kehidupan sehari-hari. Anak
maupun cucu umumnya merupakan inspirasi yang sangat mendalam untuk membiasakan proses
belajar dan dapat memfasilitasi proses pembelajaran bagi orang tua atau pembantu yang belum
melek aksara dengan membawa situasi pada pembelajaran yang sesungguhnya. Keluarga
umumnya sensistif dalam mengurai kesulitan dalam melakukan pembelajaran.

Upaya pendampingan dalam proses pembelajaran pendidikan keaksaraan keluarga adalah


anggota keluarga yang mempunyai kemampuan membaca, menulis, berhitung dan paling utama
mempunyai kesabaran yang tinggi untuk mendampingi warga belajar. Dengan teknik
pendampingan dalam keluarga, proses pembelajaran pendidikan keaksaraan akan lebih efektif
dan efisien dalam percepatan pemberantasan buta aksara.

Pendidikan keaksaraan keluarga dalam penyeleng-garaannya semua anggota keluarga


mempunyai kontribusi pada upaya meningkatkan kemampuan keterbacaan dan keberadaban.
Hasil kajian lintas budaya sebagaiamana tertuang dalam beberapa referensi, memberikan bukti
yang sangat kuat begitu besarnya kemelekan huruf pada prestasi anggota keluarga terutama yang
masih sekolah. Sementara anggota keluarga dapat memberikan dukungan penuh pada salah
seorang anggota keluarga yang memiliki kesulitan dalam keaksaraan atau masih buta huruf.

Survey yang dilakukan Departmen Pendidikan USA (1999) menunjukkan 43% dari kelompok
miskin mempunyai kemampuan baca dan tulis yang rendah. Studi yang dilakukan oleh lembaga
Keaksaraan USA menunjukkan peningkatan dalam kemampuan membaca secara berarti
mempengaruhi peningkatan penyerapan dalam lapangan kerja, pendapatan dan kemampuan
untuk meningkatkan diri. Khusus untuk wanita dewasa, peningkatan kemampuan membaca
melalui peningkatan tahun belajar mempengaruhi sebanyak 7% dari pendapatan mereka.

Di dunia terdapat 1.2 miliar penduduk yang mempunyai kesulitan untuk membaca dan mereka
dihadapkan kepada masalah serius dalam mengatasi masalah keseharian seperti membaca rambu-
rambu, memahami label obat-obatan dan petunjuk kerja mesin, melakukan transaksi komersial
dan sangat rentan menjadi sasaran penipuan (Institute of Development Studies, 2005). Kemajuan
dalam kemampuan keaksaraan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kemajuan sosial
seperti halnya:

1.        Menggunakan pendekatan kehidupan yang berkelanjutan dan menyesuaikannya dengan


pemanfaatan keaksaraan  untuk kehidupan keseharian.

2.        Adanya pengakuan pada keanekaragaman manfaat keaksaraan dalam kehidupan global
dan penciptaan masyarakat global

3.        Adanya dorongan untuk membangun kekuatan dalam  keaksaraan dan komunikasi

4.        Kesadaran bahwa kebutuhan informasi, dan penggunaan keaksaraan terus meningkat dan
mengalami perbahan yang semakin meningkat.

5.        Adanya peningkatan yang lebih baik pada perhatian pada kelompok miskin untuk
berpartisipasi pada dunia pendidikan

6.        Adanya peningkatan pemikiran yang melembaga dalam mengembangkan indikator-


indikator ketercapaian target keaksaraan internasional (Institute of Development Studies, 2005).
Disamping faktor kemiskinan, kesulitan untuk menumbuhkan minat baca juga sangat terkait
dengan semua kesenjangan dalam keaksaraan. Kajian yang dilakukan pada negara-negara maju
di Eropa menunjukan kemampuan membaca untuk Kroasia, Slovenia and Austria belum
terbangun secara berkelanjutan. Salah satu penyebabnya adalah pendidik belum menerapkan
langkah yang perlu dalam meningkatkan minat baca. Termasuk terobosan penggunaan media
yang tepat untuk mendongkrak kemampuan membaca (Bratović, 2010)

BAB II

PENGALAMAN LAPANGAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KEAKSARAAN


KELUARGA

DI BEBERAPA DAERAH DI INDONESIA

Berikut ditampilkan pengalaman lapangan hasil kajian PKK di Semarang, Sumedang, Gresik dan
Mataram. Semarang ditampilkan dengan karakteristik pendekatan agama dan kebanyakan peserta
belajar laki-laki dewasa, kemudian Sumedang ditampilkan dengan fokus dari sisi keaksaraan
usaha mandiri.  Gresik ditampilkan dengan karakteristik pembinaan yang dilakukan oleh Sanggar
Kegiatan Belajar serta didasarkan pada kecakapan hidup, sedangkan Mataram ditampilkan
dengan karakteristik berdasar pada jumlah peserta relatif  cukup tinggi, serta berbasis pada
kegiatan menabung setiap kegiatan pembelajaran.

A. PKK Berbasis Nilai-nilai Agama, La Tahzan Semarang

Adalah Al Qur’an melalui penurunan Surah pertama mendalilkan mengenai membaca-IQRO.


Dari beberapa penjelasan yang membuat nilai bacaan semakin meningkat ditentukan pula dari
sisi keseringan membaca. Selanjutnya melalui dalil pula bahwa belajar diperlukan dari mulai
buaian sampai ke liang lahat, belajar sampai ke negeri Cina sekalipun dan dimantapkan dengan
Tuhan memberikan beberapa derajat pada orang yang berilmu dan belajar, bahkan menurut
sebagiannya orang yang meninggal waktu belajar adalah mati syahid dan mungkin surga
balasannya.

Kegiatan Pendidikan Keaksaraan Keluarga (PKK) di Kabupaten Semarang Provinsi Jawa


Tengah, salah satunya diselenggarakan di Pusat Kegiatan Belajar Mayarakat (PKBM) La
Tahzan, yang berlokasi di jalan Bangka, Dusun Ngelosari RT 02 RW 01 Desa Jombor
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang, Desa Jombor berada di darah pinggiran yang
jaraknya + 5 km dari pusat Kecamatan Tuntang. PKBM ini merupakan organisasi
kemasyarakatan yang mendapatkan ijin operasional dari Dinas Pendidikan Kab Semarang pada
tanggal 16 Februari 2009.

Gambar 2.1.

Kantor PKBM La Tahzan Semarang

PKBM La Tahzan berdiri  diinisiasi oleh kondisi  masayarakat sekitar Desa Jombor yang relatif
masih tertinggal dari desa-desa lainnya di Kabupaten Semarang. Di Desa Jombor, rata-rata mata
pencaharian penduduk adalah bertani, namun tidak sedikit diantara mereka tidak mempunyai
pekerjaan tetap. Berdasarkan data kependudukan, dari jumlah penduduk Desa sebanyak 3.232
orang, diketahui sekitar 10% atau 323 orang penduduk dalam kondisi buta aksara. Kondisi
masyarakat yang demikian, disebabkan oleh cara pandang sebagain besar masyarakat yang
kurang memperhatikan pendidikan.

Keadaan masyarakat yang sangat terbelakang dalam bidang pendidikan tersebuat, mendorong
tokoh masyarakat dan pemuda untuk mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Adalah Azizatun Nikmah, yang paling bersemangat mempelopori lahirnya PKBM di desa
tersebut dengan nama La Tahzan, yang artinya Jangan Bersedih. Nama tersebut terinspirasi dari
sebuah judul buku best seller yang terbit tahun 2008. Azizatun Nikmah  nampaknya ingin
memberikan jawaban kepada masyarakat bahwa jangan bersedih tidak bisa baca, tulis dan
berhitung, jangan bersedih tidak dapat melanjutkan sekolah, dan jangan bersedih tidak bisa
berwirausaha, karena PKBM La Tahzan siap membantu mereka melalui proses pendidikan
keterampilan, proses pendidikan kesetaraan, dan proses belajar usaha. Berkat kerja keras seorang
Azizatun yang didukung tokoh masyarakat serta pemerintahan setempat, maka PKBM La
Tahzan resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 2008. Di atas tanah milik sendiri disamping rumah
Azizatun berdiri  bangunan permanen sebagai secretariat sekaligus ruangan belajar PKBM La
Tahzan berukuran 8X6 M2. Berdasarkan pengakuan pengelola, berdirinya bangunan PKBM
adalah wujud impian yang sudah bertahun-tahun diharapkan. Pengelola dan warga masyarakat
terus berharap dan berikhtiar menyisihkan uang agar dapat membangun ruang belajar di desanya,
namun karena kecilnya dana hasil penyisihan dan mahalnya biaya pembangunan, maka mereka
harus rela menunggu sampai waktu yang tidak ditentukan. Doa dan ikhtiar mereka terkabul saat
PKBM La Tahzan terpilih sebagai juara pada suatu event perlombaan nasional dan mendapat
hadiah dari Mendiknas berupa sertifikat, piala dan uang yang cukup besar. Saat itulah, seluruh
uang hasil tabungan dan hadiah kejuaraan dipersembahkan untuk membangun ruangan PKBM
Latahzan yang asri.

Dalam ruangan PKBM hasil swadaya masyarakat itulah proses pendidikan


ditumbuhkembangkan, diantaranya: program Paket B, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),
Pendidikan Keaksaraan (KF), Kelompok Belajar Usaha (KBU), Taman Pendidikan Al- Qur’an
(TPA), Majelis Taklim dan Koperasi Wanita.

Gambar 2.2.

Peserta Sedang Belajar

Program-program PKBM tersebut dirancang sesuai dengan tujuan didirikannya lembaga PKBM
La Tahzan yaitu sebagai wadah masyarakat Desa Jombor dan sekitarnya dapat belajar bersama-
sama mengatasi kebodohan dan keterbelakangan serta untuk meningkatkan taraf hidupnya
melalui pendidkan Non Formal dan Informal.

Melalui jaringan kemitraan dengan SKB Semarang, Forum PKBM Kab. Semarang, Majelis
Taklim, Persatuan Hotel dan Restauran Kab. Semarang serta Muslimat Nahdatul Ulama  Jawa
Tengah, langkah dan kifrah serta citra Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat La Tahzan semakin
menggema dan dijadikan rujukan bagi PKBM lainnya di Kabupaten Semarang.
1. Awal Bergulirnya Pendidikan Keaksaraan Keluarga

Program Pendidikan Keaksaraan keluarga di PKBM ini dimulai tahun 2008, dan berjalan hingga
saat ini, dengan jumlah warga belajar sebanyak 70 orang. Dana belajar yang digunakan untuk
kegiatan program keaksaraan keluarga diperoleh dari bantuan pemerintah sebesar 40 juta rupiah
yang pencairannya langsung diterima melalui rekening Ketua PKBM La Tahzan. Tujuan
diselenggarakan pendidikan keaksaraan keluarga adalah untuk memberdayakan masyarakat yang
belum melek huruf dalam lingkup keluarga, melalui peran serta dan pelibatan seluruh anggota
keluarga, sehingga semua anggota keluarga memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung,
berkomunikasi secara lisan maupun tulisan dalam meningkatkan tarap hidupnya.

Sebelum diselenggarakan pendidikan keaksaran keluarga (PKK), pengelola PKBM La Tahzan


telah menyelenggarakan pendidikan keaksaraan fungsional (KF) dasar. Walaupun kedua
program tersebut memiliki substansi yang sama tentang keaksaraan, namun dalam prosesnya
relatif berbeda. Perbedaan tersebut diantaranya, pertama, pada sisi perencanaan, pendidikan
keaksaraan keluarga adalah proses pembelajaran yang tidak hanya disepakati antara tutor dan
warga belajar seperti halnya pendidikan keaksaraan fungsional, akan tetapi perlu melibatkan pula
pendamping keluarga. Oleh karena itu, pendidikan keaksaraan keluarga persiapannya melibatkan
anggota keluarga lainnya terutama yang sudah melek huruf. Kedua, tempat belajar pendidikan
keaksaraan keluarga dilakukan di pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) dan di rumah
masing-masing warga belajar bersama anggota keluarga lainnya, berbeda dengan program
keaksaran fungsional yang praktis lebih banyak dilakukan di PKBM. Ketiga, Sumber belajar
pada program pendidikan keaksaraan fungsional berpusat pada tutor, sedangkan pendidikan
keaksaraan keluarga tutor diposisikan sebagai fasilitator, anggota keluarga yang sudah melek
aksara diperankan sebagai tutor keluarga sehingga kesempatan waktu untuk belajar lebih banyak.
Keempat, program pendidikan keaksaraan fungsional merupakan proses belajar mengajar tentang
substansi keaksaraan. Berbeda dengan dengan keaksaran keluarga yang diselenggarakan melalui
pembelajaran yang dipadukan dengan belajar keterampilan.

Berdasarkan informasi dari pengelola PKBM La Tahzan, pada awalnya masyarakat kurang
antusias mengikuti program pendidikan keaksaraan keluarga, karena berbagai alasan. Umumnya
mereka keberatan mengikuti program keaksaraan keluaraga karena pertimbangan waktu. Selam
ini mereka bekerja menggarap sawah sehingga tidak ada pilihan waktu yang dapat diluangkan
untuk belajar. Selain itu, asumsi masyarakat bahwa tidak bisa membaca dan menulis serta
berhitung pun, mereka masih bisa bekerja dan menanggulangi kebutuhan keluarga. Mereka yang
buta aksara sebagain besar adalah orang tua yang sudah lanjut usia, sehingga rasa malu dan
malas belajar menjadi kendala utama untuk mengikuti program pendidikan keaksaraan keluarga.
Tantangan berat bagi tokoh masyarakat dan pengelola PKBM La Tahzan dalam menggulirkan
program pendidikan keaksaraan.

Berkat kerja keras dan ketekunan pengelola program, sedikit demi sedikit masyarakat mulai ada
yang melibatkan diri kegiatan pendidikan keaksaraan. Strategi yang digunakan oleh pengelola
program adalah melakukan apresiasi dengan pendekatan dogma religi (Agama Islam).

Gambar 2.3.
Peserta Belajar Keagamaan

Masyarakat sekitar yang menjadi sasaran pendidikan keaksaraan keluarga, mayoritas beragama
Islam, umumnya mereka patuh dengan ajaran agama, sehingga setiap informasi yang dianjurkan
agama mereka lakukan dan setiap pekerjaan yang dilarang agama tabu untuk dilakukan.
Karakteristik inilah potensi lokal yang dimanfaatkan pengelola program PKBM untuk
melancarkan program keaksaraan keluarga. Lewat obrolan dalam keseharian, atau obrolan
setelah shalat magrib berjamaah, pengelola program dan tokoh agama menyampaikan informasi
dan memahamkan masyarakat tentang pentingnya belajar sepanjang hayat. Beberapa dalil dalam
ayat Al Quran yang dijadikan motivasi bagi warga belajar, diantaranya: “Bahwa Alloh akan
mengangkat derajat orang-orang beriman dan mereka yang berimu pengetahuan beberapa
derajat”  selain itu, beberapa hadist nabi yang mewajibkan orang Islam untuk belajar mulai dari
lahir sampai meninggal dunia, serta rujukan ayat al qur’an dan hadist nabi lainnya.

Gambar 2.4.

Pengelola Program PKBM sedang Membimbing Peserta

Motivasi belajar yang dianjurkan agama telah membangun kesadaran belajar, sehingga kaum
pria  yang awalnya kurang peduli dengan program keaksaraan keluarga, mulai tertarik untuk
melakukan proses belajar membaca terjemahan Al-Quran dan menulis hasil terjemahan. Bagi
kaum akhwat (ibu-ibu) kegiatan memotivasi dilakukan lewat majelis talim, sedangkan untuk
kaum ikhwan (pria) dilakukan lewat obrolan ba’da Sahat Isa. Selain itu, pengelola program juga
melakukan silaturahmi kunjungan rumah, terutama bagi keluarga yang dianggap anggota
keluarganya belum melek huruf. Cara-cara sebagaiman diungkapkan di atas, cukup berhasil.
Rentang waktu antara ba’da Shalat Magrib sampai tibanya Shalat Isa, yang awalnya digunakan
ngobrol oleh para bapak berubah menjadi nuansa belajar keaksaraan, yang substansi materinya
tentang agama.

Begitu pula dengan kegiatan kaum ibu, menunjukan ketertarikannya mengikuti program
keaksaraan lewat kegiatan koperasi keluarga. Mereka menyengajakan datang ke PKBM untuk
belajar membaca, menulis dan berhitung. Sampai saat ini warga belajar pendidikan keaksaraan
keluaraga PKBM La Tahzan  bukan hanya didominasi oleh ibu-ibu usia lanjut, tetapi juga
banyak remaja putra serta bapak-bapak ahli masjid. Saat ini jumlah warga belajar keaksaraan
keluarga PKBM La Tahzan berjumlah 97 orang, adalah jumlah yang cukup fantastis dan
nampaknya akan terus bertambah sejalan dengan informasi yang terus bergulir.

2. Apa Motivasi Warga Belajar?

Warga belajar yang mengikuti kegiatan keaksaraan keluarga ternyata memiliki latar belakang
motivasi yang berbeda-beda dan cukup rasional. Sebagian warga  belajar mengikuti kegiatan
dimotivasi oleh factor keluarga. Mereka mengaku seringkali ditanya oleh cucu-cucunya tentang
pekerjaan rumah yang ditugaskan guru sekolahnya. Karena ketidak-mampuannya, akhirnya
mereka tidak dapat membantu menyelesaikan tugas cucunya. Itulah salah satu motovasi warga
belajar tertarik mengikuti gagasan PKBM La Tahzan mengikuti belajar menulis, membaca dan
berhitung. Motivasi lain yang diungkapan warga belajar adalah, karena factor ekonomi. Mereka
seringkali  kesulitan dalam menanggulangi kebutuhan ekonomi keluarga. Padahal mereka sangat
tertarik dengan kegiatan usaha dan keterampilan memasak. Sepertinya mereka ingin membuka
usaha membuat kue-kue modern yang dapat dijualnya ke pasar. Tapi ketidakpahaman membaca
resep dan formula cara membuat kue-kue yang mendorong mereka tertarik belajar membaca
resep. Sebagian lagi memaparkan bahwa motivasi mereka karena ketidakmampuan orang tua
mereka dulu karena keterbatasan ekonomi menyekolahkan pada jalur sekolah formal. Sehingga
saat ini dalam rentang relative muda tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah dan tidak bias
membaca, menulis dan berhitung. Walaupun terlambat dan tidak di sekolah formal, mereka ingin
belajar lewat PKBM La Tahzan. Berbagai motivasi warga belajar tersebut merupakan kondisi
gayung bersambut, antara gagasan pengelola PKBM dengan kebutuhan masyarakat.

Gambar 2.5.

Peserta PKK Memiliki Motivasi untuk Belajar

Ketelatenan pengelola dan ketekunan warga masyarakat untuk terus belajar dan membelajarkan
telah merubah image (citra) kegiatan PKBM di tengah-tengah masayarakat. Respon awal yang
kurang peduli dari sebagin masyarakat terhadap gagasan dan program-program  PKBM,  pada
beberapa tahun terakhir ini sudah mulai berubah. Saat ini umumnya warga masyarakat secara
moril mendukung bagi kelangsuangan program-program PKBM, karena asumsi mereka melalui
program PKBM banyak anggota keluarga yang berubah sikap belajarnya kearah yang lebih baik
sehingga meningkat ilmu pengetahuannya. Selain itu, warga masyarakat mearasa bangga bila
semua anggota keluarga dilingkungannya desanya tidak termasuk dalam kelompok keluarga buta
huruf.

3. Penyelenggaraan Program Keaksaran Keluarga

Tahap perencanaan diawali dengan pendataan kepada warga masyarakat melalui kerjasama
dengan pengelola majelis taklim, Ketua RT dan Ketua RW setempat. Setelah mendapatkan data
warga masyarakat yang belum bias baca tulis, selajutnya melakukan sosialisasi dan penjelasan
kepada warga masyarakat calon program pendidikan keaksaraan beserta keluarganya. Bersamaan
dengan kegiatan sosialisasi dilakukan pula pendataan anggota keluarga dari warga belajar yang
melek aksara. Lewat kegiatan sosialisasi diketahui minat belajar  masyarakat tentang apa yang
ingin dipelajarinya lewat pendidikan keaksaraan keluarga. Oleh karena itu, dalam perencanaan
dan penyelenggara pendidikan keaksaraan keluarga di PKBM La Tahzan disusun berdasarkan
kebutuhan warga belajar dengan tetap mengacu kepada standar kurikulum keaksaraan (SKK)
yang disusun pemerintah. Misalnya, ibu-ibu yang membutuhkan pengetahuan agama difasilitasi
melalui kegiatan ceramah kegamaan. Pembelajaran keaksaraan disesuaikan dengan tema
ceramah yang disampaikan ustadz, mislanya: tema ceramah tentang cara-cara wudhu, dilanjutkan
dengan belajar menulis kalimat yang isinya langkah-langkah berwudu. Apabila tema ceramah
tentang shalat dilanjutkan dengan belajar membaca bacaan latin cara-cara shalat, menuliskan
jumlah rakaat pada setiap waktu sahlat dan menulis huruf arab dan latin.

Kegiatan belajar di PKBM La Tahzan juga dilengkapi dengan belajar keterampilan bagi warga
belajarnya. Salah satu keterampilan yang diminati warga belajar adalah membuat dan
memasarkan telor asin.
Gambar 2.6.

Peserta Belajar Membuat Telor Asin

Melalui keterampilan membuat telor asin, warga belajar banyak mengenal huruf dan angka serta
kalimat yang berkaitan dengan telor asin. Misalnya, warga belajar mengawali belajar dengan
menulis hurup yang T E L O R, serta hurup-hurup lainnya yang melafalkan resep tentang tahap-
tahap membuat telor asin. Selain keterampilan di atas, warga belajar juga mempalajari
keterampilan lain seperti cara-cara membuat kue dari bahan singkong dan terigu. Melalui
pembelajaran ini, Tutor selalu meminta warga belajar untuk menjelaskan bahan-bahan dan cara
membuat kue, yang ditindak-lanjuti dengan menuliskannya dalam selembar kertas tentang apa
yang mereka telah jelaskan.

Proses belajar antara tutor dengan warga belajar dilaksanakan di ruang PKBM dalam rentang
seminggu tiga kali selama dua jam penuh. Dalam suasana kekeluargaan, dan proses belajar yang
disetting secara lesehan beralaskan tikar mereka belajar. PKBM menyediakan meja pendek yang
dapat dijadikan alas menulis sambil duduk. Selain itu, pengelola juga menyediakan whiteboard
dan spidol untuk menulis ketika tutor menjelaskan materinya. Mengingat kegiatan pembelajaran
keaksaraan keluarga merupakan proses pelibatan anggota keluaraga yang difasilitasi oleh tutor,
maka kecenderungan terjadinya pemberian motivasi dan semangat belajar diantara keluaraga
sangat tinggi, terutama dorongan keluarga yang sudah melek huruf terhadap anggota keluarga
lainnya yang belum memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Oleh karena itu,
pengelola program keaksaraan keluarga, pada awal pertemuan mengidentifikasi anggota keluarga
warga belajar yang sudah melek huruf.

Maksud dari kegiatan ini adalah untuk menentukan siapa tutor keluarga yang akan membantu
warga belajar menyelesaikan tugas warga belajar di rumahnya masing-masing.  Tutor
Keaksaraan Keluarga di PKBM La Tahzan selama ini bertugas memberikan pembelajaran sesuai
standar kompetensi keaksaraan (SKK) serta menstimulasi warga belajar untuk melakukan
kegiatan belajar. Para tutor menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dengan cara mengajari cara
menulis, membaca dan berhitung bagi warga belajarnya, kemudian memberikan tugas menulis
atau berhitung yang harus dikerjakan di rumah. Tutor kemudian meminta anggota keluarga dari
warga belajar tersebut yang sudah melek huruf untuk mendampingi mengajari dan
menyelesaikan tugas tersebut bersama-sama warga belajar  di rumahnya masing-masing.
Kegiatan ini cukup efektif mengingat waktu belajar di rumah relative lebih leluasa serta suasana
interkasi lebih kondisuf dibadingkan di PKBM bersama tutor.

Kegiatan evaluasi dilakukan pada akhir proses pembelajaran sesuai standar kompetensi
keaksaraan (SKK) yang disusun diknas.

Gambar 2.7.

Hasil Tulisan Peserta

Pengelola PKBM menyusun sendiri instrument tes berdasarkan SKK.  Proses penilaian
dilakukan secara individual, sehingga skor nilai pada setiap warga belajar dapat diketahui secara
langsung melalui alat tes tersebut. Prosedur evaluasi dilakukan melalui proses pembelajaran,
dimana pada tahap awal tutor membagikan  kertas kerja, berupa selembar kertas HVS ukuran
kuarto (A4) kepada setiap peserta.  Langkah selanjutnya, tutor meminta warga belajar untuk
menuliskan apa yang telah mereka pelajri dalam bentuk kalimat. Seringkali warga belajar
kesulitan tentang apa yang harus mereka tuliskan. Untuk menanggulangi kesulitan tersebut, tutor
meminta warga belajar menceritakan tentang beberapa hal yang mereka ketahui, misalnya: warga
belajar menjelaskan resep/bumbu masakan tertentu dan bagaimana cara memasaknya. Setelah
warga belajar menceritakan nama-nama bumbu dan cara-cara memasak sesuatu yang
diketahuinya, kemudian tutor meminta warga belajar untuk menuliskan  apa yang telah mereka
ceritakan.  Contoh lain, tutor meminta warga belajar menjelaskan tentang rukun iman dan rukun
islam yang mereka ketahui. Setelah itu,  tutor meminta warga belajar menuliskannya, dan banyak
contoh lainnya ang dilakukan oleh tutor dalam mengevaluasi kemampuan warga belajaranya.

Hasil tulisan warga belajar diminta oleh tutor untuk dikumpulkan sebagai bahan evaluasi bagi
tutor dan penyelenggara pendidikakan keaksaran keluarga tentang kemajuan warga belajar dalam
belajar.

4. Dampak  dan Mafaat Program Bagi Warga Belajar

Kondisi keaksaaan yang diselengarakan melalui pelibatan keluarga tersebut, memberikan


dampak positif terutama kesadaran anggota keluarga untuk saling melibatkan diri dalam program
keaksaraan keluarga yang dimotori PKBM La Tahzan. Manfaat pendidikan keaksaraan keluarga
memiliki dampak secara sosial dan ekonomi, karena dalam proses pembelajarannya, selain
meningkatkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, juga warga belajar diarahkan pada
kemampuan laian untuk berkomunikasi secara lisan dan tulisan.

Dampak dari program pendidikan keaksaran keluarga adalah tumbuhnya jiwa kemandirian warga
belajar, karena dengan bekal kemampuan keaksaraan, mereka merasa percaya diri untuk
menyelesaikan bebagai pekerjaan. Kemampuan membaca warga belajar mendorong mereka
untuk mencoba berbuat melakukan berbagai keterampilan. Sebagai contoh, salah seorang warga
belajar dengan kemampuan membaca resep tentang membuat telor asin, tertarik untuk
berwirausaha membuat dan menjual telor asin, dan sukses menghasilkan uang.

Kemampuan membaca dan menulis serta berhitung warga belajar, menjadi motivasi dalam
mengaktualisasikan diri warga belajar melalui penuangan gagasan-gagasan lewat tulisannya,
walaupun gagasan sederhana dan dalam bentuk tulisan tangan.  Hal tersebut dibuktikan dengan
terkumpulnya naskah-naskah tentang bebagai gagasan, pemikiran, termasuk resep-resep
makanan yang mereka ketahui untuk diterbitkan lewat bulletin dan tabloid MEKAR  yang
diterbitkan Sanggar Kegiatan belajar (SKB) Sususkan Kabupaten Semarang yang terbit tiga kali
dalam satu tahun.

Gambar 2.8.

Hasil Tulisan Peserta untuk Dimuat di Koran


Dalam Koran tersebut ada halaman tertentu yang memuat tulisan-tulisan tangan warga belajar
keaksaran keluarga. Karya tulisan warga belajar dimuat secara bergiliran, mereka mendapatkan
imbalan. Bagi warga belajar Koran ibu merupakan media informasi yang bukan hanya sebagai
media dan sumber informasi tetapi juga sebagai media menyampaikan informasi yang
memberikan nilai tambah secara ekonomis.

Program pendidikan keaksaraan keluarga yang dilakukan PKBM La Tahza mengacu kepada
Standar Kurikulum Keaksaraan (SKK) dasar yang pelaksanaannya dikemas sesuai dengan
lingkungan social budaya masyarakat. Komponen pembelajaran pendidikan keaksaraan keluarga
terdiri atas beberapa materi yaitu: (a) membaca, (b) menulis, (c) Berhitung, (d) berkomunikasi,
(e) keterampilan. Sedangkan strategi pembelajaran yang dilakukan menggunakan pendekatan
andragogik (pendidikan orang dewasa) dan pendekatan agama.

5. Kendala dan Inovasi Penyelenggaraan

Berdasarkan hasil observasi lapangan dan pendapat pengelola serta warga belajar, kendala utama
penyelenggaraan proram pendidikan keaksaraan keluarga di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) La Tahzan adalah: pertama, ketersediaan sarana bahan bacaan. Pihak pengelola PKBM
La Tahzan telah melengkapi sumber bacaan, namun jenis bukunya kurang bervariasi.  Selama ini
buku-buku yang ada lebih berupa bahaan bacaan pelajaran dan sangat sedikit buku-buku bacaan
pouler atau sumber bacaan tentang   keterampilan. Padahal warga belajar yang sering mampir ke
PKBM adalah ibu-ibu yang sangat membutuhkan informasi tentang berbagai keterampilan
hidup.

Kedua, Keterbatasan anggaran atau biaya opersional pembelajaran seperti membeli sarana dan
prasarana serta gaji pelaksana. Kebutuhan sarana pembelajarn seperti karton, kertas, dan alat
tulis kantor (ATK) lainnya ditanggulangi dengan biaya pribadi penyelenggara, karena kebutuhan
tersebut bukan pengeluaran rutin sehingga dapat ditanggulangi penyelenggara. Kendala yang
seringkali menjadi bahan pemikiran penyelenggara dan samapai saat ini belum dapat dipenuhi
adalah honor tutor dan adminsitrasi lainnya. Karena keterbatasan sumber biaya tersebut,
pengelola PKBM La Tahzan belum mampu merekrut tutor atau fasilitator yang disengaja
dipekerjakan dengan honor tetap. Selama ini, tutor yang dilibatkan dalam proses pembelajaran di
PKBM La Tahzan adalah warga masyarakat yang memiliki kesadaran, mampu dan mau
bekerjasama membantu penyelenggaran pendidikan tanpa harus mendapatkan honor tetap. Tutor
program pendidikan keakasaraan keluarga yang saat ini terlibat adalah keluarga diantaranya
suami dan orang tua ketua PKBM La Tahzan dan dibantu beberapa guru sekolah dasar yang
tempat tinggalnya berdekatan dengan lokasi PKBM La Tahzan.

Penyelenggara pendidikan keaksaraan keluarga pada PKBM La Tahzan memiliki komitmen


untuk terus melanjutkan kegiatan pembelajaran, walaupun berbgai kendala yang mereka hadapai.
Berbagai upaya terus dilakukan baik  aspek ekonomi yang berkenaan dengan pemenuhan
kebutuhan material, maupun aspek psikologis yang berkenaan dengan penguatan motivasi
belajar bagi warga masyarakat, khususnya warga belajar program pendidikan keaksaraan
keluarga (PKK) yang telah tercatat sebagai peserta didik, maupun penguatan kesadaran dan spirit
kerja bagi tutor dan tenaga administrasi lainnya yang selam ini telah menunjukan loyalitasnya
membantu PKBM La Tahzan dalam penyelenggaraan program pendidikan keakasaraan.
Untuk menjaga keberlanjutan program pendidikan keaksaraan keluarga, pihak penyelenggara
melakukan berbagai inovasi, diantaranya menyelenggarakan koperasi simpan pinjam warga
belajar program pendidikan keaksaraan.

Gambar 2.9.

Peserta Sedang Belajar Menghitung Uang

Menurut  Ketua PKMB La Tahzan, banyak manfaat ganda dari kegiatan koperasi simpan pinjam
sesama warga. Pertama, keterlibatan warga belajar sebagai anggota koperasi menjadi pengikat
keberlanjutan keikutsertaan warga belajar. Kedua, Warga belajar yang memiliki kelebihan uang
dapat ditabungkan di koperasi simpan pinjam warga belajar PKBM La Tahzan, sehingga merasa
ada tempat penitipan uang yang aman dan memberikan hasil. Selanjutnya bagi warga belajar
yang membutuhkan uang sangat mendesak dapat terbantu dengan cara meminjam uang koperasi.
Sehingga kehadiran koperasi dianggap penting dan memberikan manfaat ekonomis dan
kekerabatan bagi warga belajar. Ketiga, Lewat koperasi simpan pinjam  anggota koperasi yang
juga warga belajar dapat secara langsung menerapkan pengetahuan dan kemampuan membaca,
menulis dan berhitung yang telah dipelajarinya melalui kegiatan transaksi keuangan.

Selama ini yang menjadi pengurus koperasi adalah warga belajar, tetapi penyimpanan buku kas
dan uang dilakukan oleh penyelengra PKBM La Tahzan.  Proses  transaksi pencatatan dan
penghitungan uang dilakukan murni oleh warga belajar sebagai anggota dan pengurus  koperasi.
Posisi penelenggara PKBM adalah memfasilitasi, mendampingi dan membantu mengarahkan
proses transaksi tersebut. Oleh karenanya, kemampuan keaksaraan warga belajar semakin
mantap karena terdapat media koperasi sebagai best practice yang simultan (bersamaan)
membantu melancarkan  kemampuan keaksaraan warga belajar.

Inovasi lainnya yang sedang dipersiapkan oleh penyelengara adalah pendidikan keaksaraan
keluarga dengan pendekatan pertanian budidaya jamur kuping. Beberapa alasan penyelenggara
PKBM untuk mendampingkan pembelajaran keaksaran dengan pertanian budidaya jamur
kuping, diantaranya: pertama, posisi PKBM berada di daerah pertanian dan perkebunan,
sehingga memungkinkan memprogramkan pembelajaran bagi masyarakat sekitar tentang
budidaya pertanian. Selain itu, setiap warga belajar peserta didik rata-rata memiliki pekarangan
rumah yang  dapat dimanfaatkan untuk menanam tanaman yang  dapat menjadi sumber
pemenuhan kebutuhan dan pendapatan keluarga. Rencana yang dikembangkan melalui budidaya
jamur kuping, karena suhu udara yang relatif dingin, karena lokasi Desa Jombor berada di
dataran tinggi dan memiliki derajat suhu udara yang mendukung untuk budidaya dipertanian
bidang pertanian budidaya jamur kuping.  Kedua, kultur masyarakat di daerah Kecamatan
Tuntang khususnya warga Desa Jombor  adalah petani, sehingga kebiasaan bercocok tanam
bukan hal baru, dan diperkirakan mereka akan menerima gagasan tentang penerapan pertanian
budidaya jamur kuping sebagai inovasi pembelajaran keaksaraan, karena dianggap sejalan
dengan adat dan kebiasaan yang selama ini mereka lakukan. Ketiga, proses pembelajaran
keakasaraan melalui program pengembangan pertanian budidaya jamur kuping, lebih bersifat
paktek lapangan. Sehingga proses pembelajaran tidak selamanya harus berada di ruangan dan di
PKBM seperti yang selama ini dilakukan. Kondisi ini sangat efektif dan efisien, walaupun tentu
pihak penyelenggara harus menyiapkan seperangkat kebutuhan tim yang difasilitasi untuk
menjadi tutor di lapangan.

Gagasan tenang inovasi pendidikan keaksaaan yang digandengan dengan proses budidaya
pertanian budidaya jamur kuping ini adalah hasil pemikiran penyelengara PKBM La Tahzan
yang setiap saat selalu mengembangkan inovasi dalam proses pembelajaran program pendiidkan
keakasaraan yang lebih efektif dan efisien.

B. PKK Berbasis Usaha Mandiri Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat

1. Potret PKBM Widya Cipta dan Program Keaksaraan Keluarga

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Widya Cipta adalah tempat pembelajaran dan
tempat sumber informasi yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat Tanjungsari. Wadah ini
berisi berbagai jenis keterampilan fungsional yang berorientasi pada pemberdayaan potensi
setempat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat dibidang
ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan kesehatan.

Gambar 2.10.

PKBM Widya Cipta

PKBM Widya Cipta terletak di Dusun Depok Rt.01 Rw.03 Desa Jatisari Kecamatan Tanjungsari
Kabupaten Sumedang, letaknya strategis diantara Desa Tanjungsari dan Desa Margaluyu dan
dekat Kota Kecamatan/Alun alun Tanjungsari. Wilayah garapan dan kelompok sasaran PKBM
Widya Cipta mencakup beberapa wilayah desa yang belum mempunyai Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat,  diantaranya Desa Jatisari, Desa Kutamandiri, Desa Gunung Manik, Desa
Cinanjung, Desa Raharja, Desa Cijambu, Desa Margaluyu, Desa Pasigaran, Desa Kadaka Jaya,
Desa Gudang dan Desa Tanjungsari.

Berdasarkan wilayah jangkauan yang dijadikan sasaran PKBM Widya Cipta sebagaimaan
disebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh wilayah kecamatan Tanjungsari
Kabupaten Sumedang menjadi wilayah jangkaun pendidikan PKBM Widya Cipta. Wilayah
Tanjungsari sebagai garapan PKBM dilihat dari letak geografis berada pada ketinggian dari
permukaan laut terendah 500 meter dan ketinggian dari permukaan laut tertinggi 700 meter,
batas sebelah Utara Kecamatan Pamulihan dan Kecamatan Rancakalong, batas sebelah timur
Kecamatan Pamulihan dan Kecamatan Cimanggung, batas sebelah selatan Kecamatan
Cimanggung dan Kecamatan Jatinangor, sebelah barat kecamatan Sukasari dan Kecamatan
Jatinangor. Mempunyai luas wilayah 34,62 Km2, terdiri dari 12 Desa dengan jumlah penduduk
cukup padat yaitu 63.500 orang terdiri dari Perempuan 30.760 orang dan laki laki 32.470 orang.
Jumlah Penduduk dilihat daristatus pekerjaan dari 12 Desa yang ada di Kecamatan Tanjungsari
sebagian besar adalah petani, buruh tani dan buruh/karyawan, sebagian kecil adalah pedagang,
PNS/TNI dan wiraswasta.

Data monografi Kecamatan Tanjungsari sebagaimana diungkapkan di atas menunjukan data


positif, sehingga kalau dianalisis lebih lanjut akan diketemukan kesimpulan-kesimpulan data
bagi pengembangan PKBM Widya Cipta sebagai berikut: (1) masyarakat Kecamatan
Tanjungsari mempunyai penduduk yang cukup padat, sehingga perlu peningkatan kualitas hidup
dalam bidang pendidikan, pendapatan, kesehatan, lingkungan, agama, seni dan budaya. (2) tentu
akan banyak tokoh tokoh masyarakat dan kaum cendikiawan yang ingin berpartisipasi dalam
pembangunan pendidikan masyarakat. (3) memiliki peluang untuk diselengarakannya berbagai
jenis program pendidikan non formal  dan informal. (4) dapat dipastikan memiliki beberapa nara
sumber ahli yang cukup berpengalaman dalam masing-masing bidang kegiatan. (5) memiliki
tenaga kependidikan dan Pembina teknis yang cukup berpengalaman dalam bidang pendidikan,
dan (6) Adanya dukungan masyarakat yang cukup baik atas di bangunnya PKBM Widya Cipta.

Gambar 2.11.

Peserta PKK PKBM Widaya Cipta

Atas dasar alasan-alasan tersebut diatas, PKBM Widya Cipta didirikan dengan tujuan: Pertama,
untuk tempat pembelajaran dan wadah yang menyediakan informasi dan kegiatan belajar
sepanjang hayat bagi setiap warga masyarakat. Kedua, untuk memperluas kesempatan warga
masyarakat khususnya yang tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan bekerja mencari nafkah. Ketiga,
mengembangkan berbagai jenis keterampilan fungsional yang berorientasi pada pemberdayaan,
potensi setempat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat di
bibang ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan kesehatan.

Secara khusus program pendidikan keaksaraan keluarga yang diselenggarakan PKBM Widya
Cipta merupakan program penting, yang diarahkan bagi warga masyarakat usia 3-45 tahun dan
diutamakan  keluarga miskin yang masih berkeaksaraan rendah bahkan buta huruf. Selain itu,
program pendidikan keaksaraan keluarga juga memperhatikan potensi anggota keluarga lainnya
yang memiliki anak yang sudah lancar membaca, menulis dan berhitung.

2. Persepsi Penyelenggaraan Pendidikan Keaksaraan Keluarga

Kegiatan Pendidikan Keaksaraan Keluarga di Sumedang, khususnya yang diselenggarakan oleh


PKBM Widya Cipta, dilaksanakan dengan tujuan untuk menuntaskan buta huruf  dikalangan
anggota keluarga. Tujuan tetrsebut cukup beralasan sebab dilihat dari tingkat pendidikan
sebagian besar dari warga masyarakat di sekitar lokasi PKBM Widya Cipta adalah mereka yang
membutuhkan penanggulangan pendidikan. Berdasarkan data monografi Kecamatan Tanjungsari
yang tertuang dalam Profil PKBM,  diketahui tamat Sekolah Dasar sekitar 20.461 orang, tamat
SLTP  9.679 orang, tamat SLTA 7.515 orang dan tamat perguruan tinggi 1.652 orang, tidak
tamat SD 421 Orang dan tidak pernah sekolah 159 orang dan yang belum sekolah 3.624 orang.

Selain  data diatas, terdapat beberapa asumsi dari pihak penyelenggara yang melandasi
penyelenggraan program pendidikan keaksaraan keluarga diantaranya: Pertama, keberhasilan
masyarakat meningkatkan kemampuan keberaksaraan adalah modal dasar untuk peningkatan 
kemampuan warga belajar sehingga dengan kemampuan tersebut, warga belajar sebgai anggota
masyarakat dapat berusaha memnuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Kedua, warga
masyarakat yang melek huruf akan memiliki peluang yang sama dengan anggota masyarakat
lainnya dalam bersaing mengakses berbagai peluang sehingga dapat meningkatkan tatanan
ekonomi keluarga. Ketiga, program pendidikan keaksaraan keluarga adalah program pemerintah
yang digulirkan secara nasional disertai dana stimulasi untuk dipergunakan oleh warga belajar.
Oleh karena itu, dipelukan keseriusan optimal daripada penyelenggra PKBM mulai tahap
persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan tindaklanjut, termasuk laporan kegiatan. Keempat, program
ini diperuntukan  bagi warga masyarakat yang belum melek huruf, ol eh karena itu pengelola
tidak membatasi dan tidak memilah warga belajar berdasarkan jenis kelamin. Program
keaksaraan keluarga ini pada gilirannya menjadi hak semua warga masyarakat terutama yang
belum melek huruf.  Kelima, warga belajar adalah anggota dari suatu keluarga, yang tentunya
dalam keluarga tersebut terdiri atas banyak anggota keluarga lainya. Tentu sajadalam suatu
keluarga, ada anggota yang melek huruf bahkan mengecam pendidikan cukup tinggi. Sehingga
anggota keluarga dimaksud dapat bermanfaat dan menjadi sumber belajar bagi anggota keluarga
yang ralatif masih kurang melek huruf (tidak bisa membaca dan berhitung). Oleh karena itu
penyelenggara PKBM memiliki kayakinan bahwa melalui keterlibatan anggota keluarga yang
dianggap memiliki potesi sebagai tutor atau sumber belajar dapat membantu mempercepat
penuntasan buta aksra di Kabupaten Sumedang. Melalui koodinasi intensif dan pengkondisian
yang baik, maka anggota keluarga menjadi partner kerja penyelenggara PKBM dalam program
pendidikan keaksaraan keluarga. Keenam, setiap anggota keluarga yang telah melek huruf akan
semakin cerdas dan meningkat kemampuan keaksaraannya apabila terus menerus dikondisikan
untuk tetap belajar, sebaliknya kemampuan keterbacaan warga belajar akan berkurang apabila
setelah atau pasca belajar tidak dikondisikan untuk terus berkelanjutan belajar. Oleh karena itu,
penyelenggara PKBM memiliki asumsi bahwa penyelenggraan pendidikan keaksaraan keluarga
harus ditopang oleh kegiatan nyata dalam sebuah pekerjaan bagi warga belajarnya. Memadukan
program pendidikan keaksaraan keluarga dengan program keaksaraan usaha mandiri menjadi
pilihan tepat ketika ada harapan kemampuan keterbacaan warga belajar harus terus berlanjut
melalui proses pekerjaan berusaha atau mengerjakan suatu kegiatan ekonomi yang berkelanjtan.

Selain asumsi dasar yang diuraikan diatas, penyelenggaraan program juga dapat berjalan karena
aspek religi.

Gambar 2.12.

Peserta PKK Menyimak Pembelajaran Keagamaan

Masyarakat di Kabupaten Sumedang khususnya warga belajar program keaksaraan keluarga


yang mayoritas beragam Islam relatif  memliki dogma agama yang diyakini bahwa  belajar itu
adalah mulai sejak dilahirkan sampai masuk ke liang lahat. Selain itu, ajaran Islam
menganjurkan bahwa setiap orang memiliki kewajiban menuntut ilmu tanpa dibatasi berapa usia
yang bersangkutan. Sebagian  warga belajar juga adalah anggota majelis taklim yang tentunya
sering  mendapat siraman rohani dari para ustaz dan kiyai, tentang betapa pentingnya dan
berharganya orang yang memiliki ilmu. Pemahaman tentang ayat al quran (QS. Al Hujurot),
tentang “Allah akan mengangkat derajar orang orang yang beriman dan berilmu pengetahuan
beberapa derajat” menjadi spirit tersendiri bagi warga belajar utuk ikut terlibat dalam pembejaran
keaksaran keluarga.
Persepsi masyarakat terhadap program keaksaraan keluarga sangat positif, terutama berkenaan
dengan tujuan program yang umumnya berpendapat bahwa keaksaran keluarga digulirkan untuk
menuntaskan buta huruf dikalangan masyarakat. Program pendidikan keaksaraan keluarga
dipandang memiliki kesamaaan dengan program pendidikan keaksaraan fungsional yaitu
membelajarkan masyarakat agar tuntas pendidikan dasar yakni baca, tulis dan hitung.
Perbedaannya, terletak pada pelibatan anggota keluarga lain yang melek huruf dalam membantu
warga belajar, yang tidak ditemukan pada program pendidikan keaksaraan fungsional. Oleh
karena itu, warga belajar lebih cepat paham dan tuntas belajar, mengingat tutor yang banyak
karena melibatkan anggota  keluarga dan tidak harus tutor khusus dari PKBM, serta waktu
belajar lebih leluasa karena pembelajaran selain dilakukan di PKBM juga di rumah masing-
masing yang waktunya lebih leluasa.

3. Penyelenggaraan Program Terpadu

Secara konseptual pengelola PKBM Widya Cipta memahami bahwa arah program pendidikan
keaksaraan keluarga (PKK) dengan program keaksaraan fungsional relatif berbeda, terutama
dalam segi teknis pembelajaran dimana dalam pendidikan keaksaran keluarga lebih banyak
melibatkan anggota keluarga dalam layanan pembelajaran, berbeda dengan keaksaraan usaha
mandiri yang lebih menitikberatkan pada kemandirian berusaha warga belajar. Walaupun mereka
memahami perbedaan tersebut, namun dalam teknik pelaksanaannya kedua program tersebut
diselenggarakan secara terpadu dengan alasan bahwa sasaran program keaksaraan  pada kedua
program tersebut sama. Alasan lain, yang dikemukakan pengelola PKBM adalah bahwa proses
penyelenggaraan keaksaraan keluarga (PKK) digabung dengan program Keaksaraan Usaha
Mandiri (KUM), diharapkan warga belajar akan lebih termotivasi untuk ikut dalam program
keaksaraan.

Gambar 2.13.

Peserta Menyimak Materi yang Disampaikan Tutor

Pemaduan program ini diawali sejak proses identifikasi warga belajar, terutama pada keluarga
miskin dan yang masih belum melek huruf, serta tidak punya pekerjaan tetap. Proses identifikasi
dilakukan oleh pengelola PKBM terhadap anggota keluarga yang masih memiliki anggota
keluarga inti yang buta aksara atau berkeaksaraan rendah. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut,
didapat sejumlah data warga belajar calon peserta program keaksaraan keluarga. Selanjutnya atas
inisiatif pengelola PKBM, mereka diundang dan dikumpulkan untuk mendapatkan pengarahan,
sekaligus menampung aspirasi warga masyarakat tentang harapan dari penyelenggraan program
keaksaraan keluarga dan program keaksaraan usaha mendiri.

Berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan dan harapan warga belajar, didapat beberapa rencana
kegiatan usaha yang mereka minati diantaranya:  membuka usaha bengkel, usaha menjahit dan
usaha beternak kambing.

Gambar 2.14.

Peserta sedang Praktek Menjahit


Mengingat banyaknya rencana program usaha, dan dengan mempertimbangkan potensi dan
lingkungan daerah Sumedang yang subur, maka disepakati usaha yang dijalankan yaitu beternak
kambing. Setiap anggota keluarga sebagai warga belajar diberikan modal usaha dalam bentuk
binatang ternak kambing.

Melalui dukungan program ini, kegiatan pendidikan keaksaraan mulai dilakukan oleh warga
belajar dengan cara bersilaturahmi dan diskusi tukar pengalaman. Selama mereka mengurus
kambing diupayakan untuk terus membaca buku dan sumber lain dalam rangka memelihara
ternak secara lebih baik.

4. Deskripsi Proses Pembelajaran Keaksaraan Keluarga

Program Pendidikan Keaksaraan Keluarga yang diselenggarakan PKBM Widya Cipta diawali
dengan proses identifikasi terhadap warga masyarakat sekitar yang dianggap belum melek huruf
(baca, tulis, dan hitung). Selanjutnya dilakukan sosialisasi kepada calon warga belajar dengan
memperhatikan harapan-harapan warga belajar serta anggota keluarga lainnya. Sosialisasi dan
informasi yang diberikan oleh pengelola PKBM Widya Cipta lebih pada motivasi belajar yang
diarahkan pada proses penyadaran akan pentingnya pendidikan keaksaraan keluarga karena
beberapa alasan: pertama, pembelajaran memperkuat kemampuan keaksaraan warga belajar agar
tidak buta aksara kembali dan menjadi warga belajar yang mandiri. Kedua, pembelajaran
memperbaiki keterampilan ekonomis. Ketiga, pembelajaran memberikan akses/kemudahan
warga belajar dalam memperoleh informasi. Keempat, pembelajaran yang dapat menentukan
sikap mental rasional dan ilmiah warga belajar.

Proses pembelajaran keaksaraan bagi warga belajar, selain mereka lakukan melalui program
usaha mandiri dalam bentuk pemeliharaan binatang ternak, berdasarkan inisiatif warga belajar
beberapa diantaranya melakukan usaha membuat surabi, usaha membuat gula merah, juga
dilakukan melalui proses pembelajaran keaksaraan tentang cara baca, tulis dan berhitung lewat
keluarga.

Gambar 2.15.

Peserta Belajar di Lingkungan Keluarga

Melalui proses pembelajaran informal, seringkali mereka belajar tentang suatu yang tidak
mereka ketahui dengan cara bertanya kepada anggota keluarga. Tidak sedikit pengetahuan
diperoleh tentang cara berternak dan berhitung diperoleh lewat belajar bersama anggota
keluarga. Oleh karena itu pihak pengelola PKBM yang menjadi fasilitator program keaksaraan
keluarga selalu memberikan motivasi kepada anggota keluarga untuk terus memberikan bantuan
dan dorongan kepada anggota keluarganya untuk belajar berdasarkan minat dan keinginan
belajar pada tiap keluarga

Pada tahap awal, proses pembelajaran keaksaraan dilaksanakan di ruangan PKBM yang jadwal
pelaksanaannya dikoordinasikan oleh pengelola program keaksaraan. Pendekatan pembelajaran
menggunakan pembelajaran partisipatif, mengingat warga belajar mayoritas orang dewasa yang
sudah lanjut usia. Proses pembelajaran lebih menekankan kepada pelibatan secara langsung
warga belajar dalam menentukan jadwal, substansi belajar dan pelaksanaan evaluasi.
Penghargaan terhadap prestasi belajar secara terus menerus dilakukan sejalan dengan
peningkatan perhatian dan antusias warga belajar. Metoda pembalajaran yang dikembangkan
oleh  tutor adalah ceramah, tanya jawab dan praktek. Kegiatan praktek berupa belajar menulis
huruf latin dan berhitung angka, terutama belajar menambah, mengurangi, dan membagi. Pada
sebagian warga masyarakat yang telah agak paham berhitung tingkat dasar  dilanjutkan dengan
kemampuan berhitung yang agak rumit, misalnya mengkalikan dan menjawab soal-soal
matematika sekolah dasar.

Proses pembelajaran selanjutnya dilakukan tidak hanya melalui pembelajaran tatap muka antara
tutor/fasilitator PKBM dengan warga masyarakat di ruang PKBM Widya Cipta, tetapi kemudian
dilakukan melalui pembelajaran dalam keluarga atau warga belajar lebih banyak diskusi tentang
bahan belajar  dengan anggota keluarga. Umumnya mereka melakukan proses pembelajaran
tentang cara membaca, menulis dan berhitung melalui pembimbingan anggota keluarganya yang
sudah melek huruf. Oleh karena itu, tutor PKBM lebih memposisikan diri sebagai fasilitator
yang fungsinya membantu memberikan layanan belajar dalam mengatasi kesulitan-kesulitan
yang dihadapi warga belajar.

Pendekatan pembelajaran partisipatif yang melibatkan warga belajar sebagai orang dewasa
dalam menentukan rencana pembelajaran merupakan upaya strategis sehingga warga belajar
merasa memiliki dan mengambil peran dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini juga nampak
dari perlakukan tutor dalam strategi belajar mengajar yang membuka kesempatan luas kepada
warga belajar untuk mengemukakan pendapat harapan dan kendala yang mereka hadapi baik
aspek pribadi maupun aspek penguasaan materi pembelajaran.

Gambar 2.16.

Tutor sedang Membimbing Peserta Belajar

Tutor lebih memposisikan sebagai pembimbing dan pendamping yang memberikan layanan
pembelajaran bagi warga belajar. Hal tersebut terungkap dari pendapat warga belajar yang
memandang tutur mampu menyusun bahan ajar berbasis tematis, selain bahasa yang digunakan
dalam bahan ajar sesuai dengan kemampuan  warga belajar. Untuk memberikan suasana belajar
aktif, tutor memperkenalkan cara belajar tematis  sesuai dengan masalah dalam kehidupan
sehari-hari sebagai kunci penggerak diskusi/dialog. Tutor bersama warga belajar berdialog
tentang ide mereka sesuai dengan masalah-masalah  yang dihadapi warga belajar. Sedangkan
warga belajar berlatih menggunakan kata kunci yang sudah dikenalnya. Suasana diskusi yang
lebih interaktif terjadi karena: (1) tema bahan ajar yang dikembangkan sesuai dengan dengan
kebutuhan warga belajar, (2) bahan ajar menggunakan kata-kata kunci yang diangkat dari
kehidupan nyata masayarakat, (3) warga  belajar juga diberi kesempatan untuk aktif memberi
masukan terhadap proses dan bahan ajar. Melalui pembelajaran ini tutor telah mendorong dan
menggugah warga belajar untuk  belajar tentang kehidupan yang terjadi disekitar tempat
tinggalnya.

Umumnya motivasi  warga belajar cenderung meningkat untuk mengikuti proses pembelajaran
dikarenakan beberapa  faktor, diantaranya: pertama, kebutuhan warga masyarakat untuk dapat
membaca dan menulis serta berhitung. Kedua, dorongan anggota keluarga yang lain, terutama
anak-anak mereka yang relatif sudah melek huruf, karena umumnya yang belum melek huruf
adalah ayah dan ibunya. Pada beberapa keluarga, anak tertua atau kedua yang umurnya rata-rata
sudah di atas 60 tahun  juga belum melek huruf. Ketiga, ajaran agama yang mereka (warga
belajar) dapatkan lewat informasi yang disampaikan para ustadz dan kiayi pada forum majelis
taklim, tentang  pentingnya manusia belajar dan menuntut ilmu. Keempat, warga belajar
memandang pendidikan keaksaraan keluarga lebih mudah dilakukan karena melibatkan anggota
keluarga serta waktu dan tempatnya tidak setiap hari harus di ruang PKBM, berbeda dengan
program pendidikan keaksaraan fungsional yang tidak banyak melibatkan anggota keluarga.
Kelima, selain belajar juga mereka dapat melakukan kegiatan usaha, karena melalui program
pendidikan keaksaraan keluarga mereka diberi modal usaha juga dilibatkan dalam pelatihan-
pelatihan keterampilan produktif, seperti membuat surabi, gula merah, dll yang dapat dijual dan
menghasilkan uang. Ketujuh, adanya peran aparat pemerintah setempat, terutama instansi
pemerintah yang berkaitan langsung dengan penyelengaran program pendiidkan keaksaraan.
Perhatian dari pimpinan RT dan RW serta beberapa Kepala Desa bertetangga yang warganya
terlibat langsung  sebagai warga belajar di PKBM Widya Cipta turut mempengaruhi keseriusan
warga masyarakat untuk  melibatkan diri belajar di PKBM. Berdasarkan penuturan pengelola
PKBM, pembinaan seringkali dilakukan oleh penilik Pendidikan Luar Sekolah setempat.
Informasi yang berkenaan dengan upaya-upaya pengembangan PKBM termasuk berbagai
program bantuan selalu dikomunikasikan secara intensif oleh penilik setempat. Oleh karena itu,
sirkulasi komunikasi antara penyelengara PKBM Widya Cipta, warga belajar, warga masyarakat
serta aparat pemerintah setempat sangat kondusif dan berpengaruh besar terhadap atmosfir
proses pembelajaran dan pengelolaan program pendidikan keaksaraan keluarga.

Satu dorongan lain yang mungkin tidak akan dijumpai pada kelompok belajar lain yaitu motivasi
untuk menulis atikel menggunakan tulisan tangan untuk diterbitkan pada tabloid yang
diterbitkan  SKB Semarang dengan imbalan yang jauh lebih menggairahkan, dan tidak lagi harus
bergelut dengan keringat dan kecapaian sedang jumlah rupiah yang diterima dan sudah barang
tentu prestise jauh lebih merangsang.

5. Kendala Pelaksanaan

Disiplin mengggunakan waktu merupakan kendala tersendiri. Permasalahan sering datang dari
warga belajar maupun dari tutor pendamping. Selalu saja ada perintang walaupun tidak sampai
fatal, akan tetapi hal ini dapat mengganggu proses dan rutinitas pembelajaran.

Kendala lain adalah keterbatasan bahan bacaan yang berhubungan dengan  program keaksaraan
keluarga. Terjadinya pemilahan yang terlalu tajam antara fasilitas umum dengan  peruntukan
bagi PKBM sering menggiring pada kurangnya efisien dalam penggunaan sarana pembelajaran.
Pada satu sisi sarana pembelajaran tidak dipergunakan secara efisien, sedangkan penggunaan
pada sekolah formal hanya terbatas pada jam tertentu, bahkan beberapa buku tidak dipergunakan,
buku-buku dibiarkan tidak dimanfaatkan untuk dibaca. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa
TBM yang ada di sekitar PKBM, hampir sulit melihat pemandangan penggunaan buku seperti
layaknya bagi pembelajar yang seharusnya lebih banyak mamanfaatkan waktu belajar dengan
membaca buku.
Secara umum rintangan belajar datang dari sistem. Baik pihak Penyelenggara yang tidak
menyadari sepenuhnya mengenai pembelajaran yang tidak bisa ditawar kecuali harus dilakukan
secara rutin, sementara dalam pelaksanaan baik dari warga belajar maupun dari tutor selalu ada
alasan untuk menunda waktu walaupun kegiatan tetap berjalan. Dengan demikian mungkin saja
keterampilan membaca terus dipelajari akan tetapi taat aturan untuk belajar secara berkelanjutan
belum merupakan paket yang menyatu dengan belajar itu sendiri.

6. Motivasi Warga Belajar dan Inovasi Pembelajaran

Secara umum warga belajar melibatkan diri dalam kegiatan program pendidikan keaksaraan
dengan motivasi tertentu. Berdasarkan informasi yang disampaikan penyelenggara PKBM,
terdapat beberapa motivasi warga belajar diantaranya: pertama, faktor internal warga belajar
yang memiliki keinginan untuk bisa membaca, menulis dan berhitung. Kedua, faktor eksternal,
yaitu adanya motivasi dan dorongan serta fasilitasi dari pemerintah setempat. Motivasi lain yang
menyebabkan warga belajar terus melibatkan diri dalam program keksaraan keluarga adalah
inovasi pembentukan kelompok pra-koperasi. Atas inisiatif penyelenggara PKBM, warga belajar
dimotivasi untuk membentuk kelompok-kolompok anggota pra-koperasi, sehingga atas motivasi
tersebut hampir semua  warga belajar keaksaraan fungsional masuk dalam kelompok pra-
koperasi. Hal tersebut mudah dipahami, sebab warga belajar distimulasi dengan model belajar,
sehingga mereka dapat menyisihkan sebagian dari pendapatan. Pembentukan koperasi (pra
koperasi) simpan pinjam merupakan inovasi yang memberikan dorongan kuat bagi warga belajar
untuk melibatkan dirinya dalam pembelajaran keaksaraan keluarga, karena selain memberikan
nilai tambah pengetahuan dan keterampilan, juga secara ekonomi membantu dirinya dan
keluarganya dalam menanggulangi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh
karena itu,  kegiatan koperasi warga dipandang sebagai kegiatan ekonomi asli masyarakat
sekaligus modal awal bagi pengembangan kelembagaan ekonomi masyarakat.

7. Dampak Program

Kebelangsungan proses belajar bagi warga belajar peserta program keaksaraan keluarga sampai
saat ini terus berlanjut, walaupun program keaksaaan keluarga telah berakhir. Umumnya warga
belajar membiasakan diri terus belajar pada waktu-waktu luang setelah menyelesaikan pekerjaan
bertani atau berjualan. Interaksi dan komunikasi antara warga belajar berjalan seperti mereka
masih diskusi bersama mengelola dana bantuan dalam bentuk binatang ternak.

Gambar 2.17.

Peserta Belajar Kerajinan Tangan

Pada beberapa kasus keluarga, saat ini setelah bisa membaca dan berhitung, selanjutnya
menjalankan usaha jualan surabi tradisional buatan sendiri. Melalui proses jualan itu pun
kegiatan belajar terus berlanjut, mereka terbiasa menghitung jumlah surabi yang dibuat, jumlah
surabi yang laku dan jumlah surabi yang tidak terjual. Lebih jauhnya lagi mereka sudah mulai
menghitung jumlah modal yang dikeluarkan, jumlah keuntungan yang didapatkan. Awalnya
mereka sangat kesulitan untuk mengerti alur penggunaan keuangan dan cara menghitung uang,
namun karena kegiatan tersebut dilakukan melalui praktek berusaha/berjualan akhirnya mereka
terbiasa dengan hitungan-hitungan pratis walaupun sederhana. Dampak lain yang sangat utama
adalah munculnya rasa percaya diri warga belajar setelah bias membaca, menulis dan berhitung
melalui kegiatan usaha mandiri.

Kasus lain yang dijadikan temuan dari program keaksaraan adalah munculnya jiwa wirausaha
diantara warga belajar. Misalnya, warga belajar yang sehari-harinya sebagai kuli bangunan,
kemudian melakukan usaha pembuatan dan pemasaran bilik, karena mereka bertempat tinggal di
daerah yang banyak tumbuh pohon bambu. Kemampuan membaca dan berhitung dan
berkomunikasi telah mendorong mereka untuk mengorganisir kegiatan usaha. Jiwa
kepemimpinan mulai nampak diantara mereka, melalui kepercayaan diri dan keberanian untuk
mengorganisir rekan-rekannya dalam kegiatan usaha.

Sebagai kesimpulan dari uraian diatas, maka pendidikan keaksaraan keluarga di PKBM Widya
Cipta merupakan program pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, terutama dalam
meningkatkan sinergi antara pendidikan formal dan non formal dan mempromosikan pendidikan
berkelanjutan untuk meningkatkan peluang dan tindak lanjut penggunaan keterampilan
keaksaraan dalam rangka belajar sepanjang hayat. Secara individual program pendidikan
keaksaran keluarga telah mampu meningkatkan keaksaraan keluarga melalui pembelajaran antar
generasi dan pendekatan berbasis masyarakat. Selian itu, telah mensinergikan pembelajaran yang
berkelanjutan dalam pemberdayaan ekonomi yang memadukan keterampilan dengan
pembelajaran bagi warga masyarakat.

C. PKK Berbasis Kecakapan Hidup Kabupaten Gresik Provinsi  Jawa Timur

1. Potret SKB Gresik dalam Penyelengaraan Program Keaksaraan Keluarga

Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Gresik beralamat di Jl. Jutrit Cerme Kidul Kecamatan Cerme
Kabupaten Gresik. SKB Gresik  pada awal berdirinya tahun 1975 bernama Pusat Latihan
Pendidikan Masyarakat (PLPM). Lembaga ini didirikan berdasarkan Surat Keputusan
Mendikbud Republik Indonesia nomor 079/0/1975, dengan tugas pokok melaksanakan kursus-
kursus dan pelatihan pendidikan kejuruan bagi masyarakat. Tahun 1978 berdasarkan Surat
Keputusan Mendikbud RI nomor 0206/0/1978, PLPM dirubah menjadi SKB (Sanggar Kegiatan
Belajar) Cerme, dengan tugas pokok melaksanakan program: Kegiatan belajar Pendidikan Luar
Sekolah, Pemuda, dan Olahraga serta menyediakan sarana belajar untuk kelompok belajar dan
instruktur.

Pada tahun 1997 berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud RI Nomor 023/0/1997, SKB Cerme
mengalami perubahan nama menjadi Sanggar Kegatan Belajar (SKB) Gresik, dengan tugas
pokok pembuatan percontohan program, melaksanakan pendidikan dan pelatihan, pengendalian
mutu program, serta pelayanan informasi dibidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Pemuda, dan
Olahraga.

Pendidikan Keaksaraan Keluarga di Propinsi Jawa Timur berlangsung sejak tahun 2006, yang
pertama kali diselengarakan di  Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)  Gresik sebagai pelopor dan
pelaksana program. Sesuai dengan acuan, bahwa program rintisan tahun tersebut pelaksanaan
dilakukan pada 10 orang warga belajar yang secara potensial memiliki sukwan pendamping dari
lingkungan keluarga yang dipertimbangkan memiliki keperdulian dan kemampuan serta
kemauan memposisikan diri sebagai fasilitator pendidikan keaksaraan keluarga.

Gambar 2.18.

Pelibatan Anggota Keluarga sebagai Tutor/Fasilitator

dalam Pendidikan Keaksaraan Keluarga

Berdasarkan data yang berhasil diungkap, usia peserta berkisar diantara usia 35-40 tahun. Dari
seluruh peserta belajar yang direkrut  tidak ada yang buta aksara murni. Mereka umumnya
berasal dari dropout sekolah dasar.   Berdasarkan data yang berhasil dijaring melalui wawancara
mendalam, sebanyak sembilan orang peserta pendidikan keaksaraan keluarga adalah dropout
sekolah dasar yang saat itu mereka dropout dari kelas dua dan kelas tiga, selanjutnya satu orang
dari dropout kelas enam. Oleh karena itu, apabila diamati dari kemampuan membaca warga
belajarnya, mereka telah dapat membaca kalimat pendek, akan tetapi untuk kalimat panjang
umumnya tidak dapat menangkap isi atau makna dari bacaan. Huruf yang paling dikuasai dari
abjad latin umumnya yang dipergunakan pada pemakaian keseharian.

Seperti umumnya kondisi program pendidikan keaksaraan keluarga, proses pembelajaran yang
dilakukan warga belajar di SKB Gresik adalah penguatan pendidikan keaksaraan keluarga yang
lebih banyak dibelajarkan oleh tutor pendamping dari dalam keluarga, terutama mereka yang
telah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah kepada kelompok tua, terutama  orang tua
maupun saudara yang dijadikan peserta belajar.

Gambar 2.19.

Peserta PKK Menyimak Penjelasan Tutor

Posisi dan kontribusi kaum muda yang sudah melek huruf dalam kenyataan telah berhasil dalam
membelajarkan kaum tua dalam meningkatkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung.
Sedangkan pengaruh pada anggota keluarga terutama yang masih muda belum terlihat, sebab
motivasi belajarnya sudah berorientasi sekolah pada jalur pendidikan formal. Harapan kaum
muda tersebut, belum sepenuhya dapat dipenuhi, dikarenakan  tingkat ekonomi mereka
umumnya masih sangat sederhana.

Proses penyelenggaraan kegiatan Pendidikan Keaksaraan Keluarga, selama ini diselenggarakan


secara sepihak dari Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Gresik pada kelompok dan
peserta belajar. Artinya, program pendidikan lebih merupakan program topdown yang secara
fungsional diprogramkan dan dipersiapkan oleh SKB Kabupaen Gresik, sementara warga
masayarakat sebagai subjek pembelajaran, seperti umumnya warga belajar dan nampaknya
belum menyadari akan  makna dan manfaat lebih lanjut dari program pendidikan keaksaraan.

Pada aspek kemitraan penyelenggraan program pendidikan keaksaraan keluarga di Kabupaten


Gresik, masih bersifat linier berjalan secara wajar sebagaimana diatur dalam acuan yang berlaku
belum merekrut rekanan yang ada dari luar SKB dan keluarga. Penyelenggraan program dikelola
oleh pemerintah dalam hal ini SKB Kabupaten Gresik, belum dilakukan dengan cara
menggandeng mitra kerjasama atau melibatkan pihak lain misalnya pemangku kepentingan
(stakeholder) terkait dengan penuntasan buta aksara, perguruan tinggi, pihak swasta atau institusi
penyandang dana lainnya.

2. Stimulasi untuk menjamin Keberlangsungan Program

Ketertarikan dan motivasi warga belajar untuk mengikuti progam pendidikan keaksaraan sangat
ditentukan oleh prakarsa dari pengelola. Tiap daerah tentu memiliki upaya yang sangat bervariasi
dalam memicu warga belajarnya agar  mau terlibat dalam proses pembelajaran. Kasus di Sanggar
Kegiatan Belajar  Kabupaten Gresik, pengelola memotivasi warga belajar melalui pemberian
kaca mata belajar bagi warga belajar yang membutuhkanya. Tujuan pemberian kaca mata ini
adalah untuk mempermudah proses pembelajaran, cara memperoleh bantuan kaca mata baca
melalui proses pengukuran langsung sesuai dengan kemampuan membaca tiap peserta belajar.
Asumsi pemberian kaca mata ini adalah, selain sangat membantu warga belajar yang bermasalah
dengan penglihatannya, juga sebagai stimulasi yang senapas dengan program yaitu
meningkatkan kemampuan keberaksaran (membaca, menulis dan berhitung). Kaca mata yang
diberikan dan dipersiapkan untuk warga belajar yang relatif membutuhkannya sesuai dengan usia
warga belajar. Sebagai tindak lanjut program stimulasi diarahkan pada peningkatan kemampuan
kecakapan hidup bagi warga belajar pendidikan keaksaraan keluarga dibawah binaan Sanggar
Kegiatan Belajar Kabupaten Gresik.

Stimulasi lain dalam proses pendidikan keaksaraan adalah melalui pemberian modal belajar yang
dikemas melalui program kecakapan hidup dalam bentuk peningkatan kemampuan menjahit,
dengan mengkhususkan pada pembuatan kesed. Kesed yang diproduksi warga belajar terdiri dari
dua model yaitu model sederhana  dan model yang lebih bagus, dengan nilai jual Rp 1.500,- dan
Rp 2.500,-. Tiap warga belajar dapat menghasilkan 10 buah setiap harinya yang dijaul sendiri
kepada pembeli maupun pada bakul. Dari sisi pengembangan kemampuan dan kreativitas selama
empat tahun terakhir tidak terjadi perubahan yang berarti, belum terdapat perluasan dari kesed
menjadi tutup kasur (bathcover) maupun jenis lainnya.

Walau demikian dilihat dari sisi pembelajaran, warga belajar yang dibina melalui pembuatan
kesed relatif lebih mandiri serta mampu melakukan transaksi dengan memanfaat kemampuan
dirinya dalam membaca, menulis dan menghitung dalam kegiatan jual beli dengan pelanggan.

Gambar 2.20.

Kesed Merupakan Hasil Karya Peserta PKK

3. Proses Penyelenggaran Program Keaksaraan

Pengelola pendidikan keaksaraan keluarga yang selenggarakan Sangar kegiatan Belajar (SKB)
Kabupaten Gresik dipadukan dengan pendidikan keaksaraan usaha mandiri.

Gambar 2.21.
Substansi Pembelajaran Berbasis Kecakapan Hidup

Implementasi kegiatan dilakukan melalui tahap persiapan, tahap pelaksanan, dan tahap evaluasi.
Pada tahap persiapan pembelajaran yang dilakukan oleh penyelenggara diawali dengan proses
sosialisasi dan publikasi kepada warga masyarakat. Tentu sasaran warga masyarakat program
kekasaraan keluarga ini adalah mereka yang merasa dirinya belum memiliki kemampuan
membaca, menulis dan berhitung secara memadai. Melalui proses sosialisasi ini, pengelola
bekerjasama dengan berapa tokoh masyarakat juga melakukan identifikasi tentang anggota
keluarga calon/sasaran pendidikan kekasaraan yang dianggap telah melek huruf. Hal ini
maksudkan untuk memudahkan koordinasi pelibatan anggota keluarga dalam proses
pembelajaran.

Proses pelaksanaan pembelajaran program pendidikan keaksaraan keluarga dan program


pendidikan keaksaraan usaha mandiri yang dilakukan oleh tutor dan warga belajar dalam suasana
menyenangkan dan saling membutuhkan. Umumnya yang bertindak sebagai tutor adalah
sukarelawan yang ditugaskan oleh pimpinan SKB Kabupaten Gresik. Proses pembelajaran
selanjutnya pada masing-masing keluarga difasilitasi oleh anggota keluarga yang dianggap
mampu dan mau membantu keluarganya. Media belajar yang digunakan fasilitator/tutor dari
SKB Kabupaten Gresik adalah menggunakan lembar paparan/leaflet sebagai sarana
pembelajaran. Dengan menggunakan leaflet yang berukuran 50 x 70 cm, warga belajar
menuangkan goresan tangannya membentuk huruf-huruf yang diinstruksikan tutor. Hasil tulisan
warga belajar dikumpulkan kepada petugas SKB Kabupaten Gresik untuk dijadikan dokumen
penyelenggaraan dan menilai kemajuan belajar. Selain leaflet, terdapat pula media pembelajaran
lain yang tidak diproduksi baik oleh SKB Kabupaten Gresik.

Tutor yang membantu proses pembelajaran hanya membatasi pada kemampuan dasar dan tidak
mengembangkan kemampuan membaca pada kemampuan menulis artikel pendek, kemampuan
untuk menemukan cara baru dan mengkomunikasikan pada pihak lain. Warga belajar hanya
menggunakan sumber yang diberikan oleh SKB dan belum terdapat usaha untuk memanfaatkan
sumber yang berasal dari sekolah tempat keluarga belajar maupun dari sumber lain. Ketiga,
tahap evaluasi dialukan oleh pengelola program pendidikan keaksaraan keluarga Sanggar
kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Gresik bersama dengan warga belajar. Karena proses
pembelajaran kekasaraan ini menggunakan pendekatan andragogik, maka waga belajar secara
aktif dilibatkan untuk mengevaluasi tingkat kemajuan kemampaun dirinya saaat setelah
mengikuti proses belajar.

Gambar 2.22.

Pembimbingan dari Tutor dalam Penyelenggaraan PKK

Evaluasi terhadap hasil belajar bagi warga belajar dalam pemanfaatan dana belajar untuk
kegiatan peningkatan keterampilann hidup (life skills) melalui program keaksaraan usaha
mandiri, belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Berdasarkan data yang ada pada
pengelola program di SKB Kabupaten Gresik, ternyata dari 10 orang warga belajar, hanya
terdapat satu orang yang mengembangkan kemampuan berusahanya dalam menerima jahitan
yang diperuntukan untuk umum. Ketidakberhasilan warga belajar dalam menindaklanjuti
program belajar berusaha disebabkan oleh banyak faktor dintaranya tingkat ketekunan warga
belajar dan fasilitasi pengembangan jaringan pemasaran, selain rendahnya motivasi dari pihak
pengelola program.

4. Refleksi Penyelenggaraan Keaksaraan

Proses dan hasil pendidikan keaksaraan keluarga yang diselenggarakan SKB Kabupaten Gresik,
belum menunjukan hasil yang menggembirakan sesuai harapan. Dukungan kemampuan
keaksaraan pada perubahan sosial ekonomi  masih kurang berarti. Begitu pula dukungan pada
peningkatan jejaring, otoritas dalam penyelenggaraan serta peningkatan kemampuan membaca
dengan menulis, mengemukakan pendapat dan penciptaan kreativitas baru dalam kehidupan
pedesaan belum terlihat. Keterlibatan kaum lelaki pada kegiatan keaksaraan keluarga juga masih
sangat terbatas, sehingga patut diduga adanya perubahan dalam lingkungan sosial ekonomi juga
masih terkendala oleh faktor gender.

Penularan kemampuan membaca masih sangat terbatas pada lingkungan keluarga kecil,
sedangkan getok tular pada keluarga besar maupun komunitas mengenai kemampuan keaksraan
belum terlihat. Kelembagaan seperti halnya kelompok belajar masih berkutat pada kemampuan
yang sangat sederhana, berupa pembelajaran transmisi dalam kemampuan membaca, bukan
kemampuan mambaca pada kegiatan penciptaan inovasi yang berbasis pada keaksaraan.

D. PKK Berbasis Program Menabung Kabupaten Mataram Provinsi Nusa Tenggra Barat

1. Sekilas tentang Penyelenggara dan Program Keaksaraan Keluarga

Kegiatan PKK yang dilaksanakan oleh salah satu lembaga PKBM Taman Siswa yang dipimpin
oleh seorang pengelola bernama Drs. Zainal Arifin,M.Pd. beralamat di Jl Raya Kediri Km 2
Dusun Datar Desa Bengkel Kec.Labuapi Kabupaten Lombok Barat Propinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB).

Kegiatan PKK di PKBM ini berjalan cukup baik karena memiliki pengelola dengan kualifikasi
akademik memadai serta memperoleh dukungan dari keluarga dimana beberapa istri peserta
belajar pun terlibat secara penuh untuk kegiatan tersebut.

Asumsi dasar pentingnya program keaksaraan Keluarga diselenggarakan di Mataram adalah


didasari pemikiran bahwa tingkat keaksaraan penduduk merupakan indikator penting bagi
ukuran kinerja pendidikan keaksaraan yang selanjutnya digunakan dalam menentukan nilai
indeks pembangunan manusia. Keberhasilan pembangunan sektor pendidikan keaksaraan orang
dewasa merupakan salah satu faktor penting dan sangat esensial dalam pembangunan manusia
seutuhnya. Jika masih terdapat warga masyarakat yang buta aksara akan menjadi faktor
penghambat bagi pembangunan pada sektor lainnya.

Program Pendidikan Keaksaraan Keluarga di Lombok Barat yang dikelola oleh PKBM Taman
Siwa melibatkan warga masyarakat yang cukup banyak. Berdasarkan data yang ada kegiatan
pendidikan keaksraan ini diikuti oleh 30 (tiga puluh) keluarga, yang masing-masing keluarga
tersebut terdiri atas tiga orang anggota keluarga. Dengan demikian jumlah peserta pendidikan
keaksaraan  yang diselenggarakan PKBM Taman Siswa berjumlah 90 orang. Dari data tersebut,
ternyata sebagian besar posisi ayah yang rata-rata rentang usianya antara 45-55 tahun sebagai
kepala keluarga dan ibu sebagai istri  yang usianya tidak jauh berbeda dengan suaminya hampir
semuanya menjadi peserta atau warga belajar. Artinya, suami dan istri pada masyarakat Desa
Bengkel umumnya buta aksara, sehingga memerlukan perhatian lebih serus dari pemerintah
setempat. Usia warga belajar cukup bervariatif rentang 15-55 tahun. Pekerjaan masyarakat warga
belajar pendidikan keaksaraan tersebut hampir setengahnya atau 46 orang bekerja sebagai buruh,
disusul oleh pekerjaan berdagang, dan sebagain kecil ngojeg dan sopir. Selain itu terdapat juga
warga belajar di PKBM Taman Siswa tersebut belum memiliki pekerjaan  tetap.

Keterlibatan ayah atau suami dalam pendidikan keaksaraan memberikan dampak positif
diantaranya, pertama, perbandingan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang
mengikuti pembelajaran pada PKK relaif seimbang. Berdasarkan data, ternyata jenis kelamin
laki-laki 50 orang sisanya 40 orang lagi wanita. Kedua, kesinambungan dan dinamika proses
pembelajaran akan lebih baiak, sebab posisi ayah sebagai kepala keluarga akan menjadi motor
penggerak keberlanjutan program.

2. Proses Penyelenggaraan

Awal bergulirnya kegiatan pendidikan keaksaraan adalah program yang distimulasi oleh
anggaran pemerintah.

Gambar 2.23.

Identifikasi Kebutuhan Belajar

Berdasarkan pengakuan penyelenggara yaitu pimpinan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat


(PKBM) Taman Siswa, kegiatan pendidikan keaksaraan keluarga di lembaganya dibiyai dana
bantuan pmemerintah sebesar Rp 27.000.000, (Dua Puluh Tujuh Juta Rupiah). Proses
penyelenggaran Pendidikan Keluarga di Desa Bengkel ini diawali dengan pertama, kegiatan
pendataan dan sosialisasi program kepada warga masyarakat di Desa Bengkel dan sekitarnya.
Data yang dijaring sesuai dengan target semula adalah 100 orang warga belajar, namun dengan
berbagai keterbatasan penyelenggara mendapatkan data warga masyarakat yang masih buta
aksara sebnayak 90 orang. Kedua, melakukan diskusi kecil dengan masyarakat yang
diperkirakan akan menjadi calon warga belajar berkenaan dengan informasi penyelenggaraan
pendidikan keaksaraan keluarga serta harapan warga masyarakat calon warga belajarnya.
Melalui diskusi ini juga dibahas tentang materi belajar, waktu penyelenggaraan, serta mekanisme
pembelajaran, mengingat program pendidikan keaksaraan keluarga ini relatif berbeda dengan
pendidikan keaksraan fungsional (KF) yang selama ini dijalankan PKBM Taman Siswa. Ketiga,
proses pembelajaran pendidikan keaksaraan keluarga. Mengingat warga belajarnya sebagian
besar juga terlibat dalam kegiatan pendidikan keaksaraan dasar, maka model pembelajarannya
secara teknis merupakan gabungan atau perpaduan antara keaksaraan tingkat dasar, keaksaraan
keluarga dan keaksaraan usaha mandiri.

Alasan dipadukannya antara pendidikan keaksaraan keluarga dengan pendidikan keaksaran


fungsional tingkat dasar mengingat secara subtantif materai pembelajaran pada kedua program
tersebut sama yaitu mengajarkan pendidikan dasar (baca, tulis, dan hitung), bedanya hanya pada
peran dan jumlah tutor. Peran tutor yang semula pada pendidikan keaksaran fungsional ditangani
oleh tutor dari PKBM Taman Siswa, maka pada program pendidikan keaksaraan keluarga peran
tutor diperluas kepada anggota keluarga lain yang melek huruf. Sehingga proses pembelajaran
bisa berlangsung di PKBM Taman Siswa dibawah binaan tutor PKBM Taman Siswa dan juga di
rumah warga belajar masing-masing di bawah bimbingan anak atau keluarga lain ang dianggap
sudah melek huruf.

Sebagian besar warga belajar Pendidikan Keakasraan Keluarga adalah warga belajar pendidikan
dasar pada pendidikan keaksaraan fungsional, yang pernah belajar di PKBM Taman Siswa pada
tahun 2008. Pertimbangan pelibatan mereka dalam PKK adalah kekhawatirkan akan kembali
buta aksara lagi, karena kemampuan keaksaraannya tidak dipergunakan secara fungsional dan
berkelanjutan. Oleh karena itu mereka perlu dibantu untuk terus berkesinambungan belajar
melalui program pendidikan keaksaraan keluarga.

Dalam proses pembelajaran, diselenggarakan pula kegiatan lain yang bersifat inovatif untuk
menambah motivasi dan keterikatan warga belajar dalam program pendidikan keaksaraan
keluarga. Pengelola bersama warga belajar memprakarsai diselenggarakannya kegiatan
menabung bagi warga belajar.  Kegiatan menabung ini dilakukan pada setiap kali pertemuan
belajar. Banyak manfaat yang dirasakan warga belajar melalui kegiatan menambung ini
diantaranya membantu menyisihkan untuk kegiatan sekolah anak.

Dilihat dari sisi watu belajar, kegiatan pendidikan keaksaran keluarga diselengarakan secara
alamiah dan melekat dengan kegiatan warga. Penyelenggara sangat pandai memanfaatkan
peluang yang ada, sehingga program dapat berjalan sesuai harapan. Selain siang hari yang secara
khusus disengajakan dibuat jadual belajar kekasaraan, pada malam hari pun diselenggarakan
lewat kegiatan rutin masyarakat terutama pada setiap Malam Jum’at  ketika diadakan pengajian
membaca Yasinan dari mulai ba’da magrib sampai isya. Mengingat kegiatan seperti ini bersifat
informal, maka pengelompokan sasaran tidak berdasar pada pengelompokkan formal. Namun
demikian, upaya ini patut dihargai dan juga sedikit atau banyak telah berdampak terhadap
peningkatan pengetahuan dan kemampuan kekasaraan warga masyarakat.

Kegiatan pembelajaran pendidikan keaksaraan keluarga baik yang diselenggarkan secara


terjadual oleh penyelenggara PKBM Taman Siswa, maupun yang dipadukan dengan kegiatan
warga, selalu didampingi tutor. Untuk meningkatkan gairah pembelajaran diperbantukan pula
tutor paruh waktu yang berasal dari istri pengelola sebagai guru TK, mahasiswa UIN NTB,
Kader lulusan SMA yang dibantu oleh keluarga yang sudah melek aksara lulusan SD dan SMP.

Gambar 2.24.

Suasana Kerjasama

Kegiatan evaluasi untuk mengukur efektifitas program dilakukan dalam dua pendekatan, yaitu
evaluasi terhadap mutu warga belajar dan evaluasi terhadap proses pengelolaan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil belajar. Secara umum kemampuan hasil belajar
warga belajar cukup baik. Rata-rata warga belajar sudah mulai meningkat cara membaca kalimat
walaupun terbatas pada kalimat pendek. Mereka sudah lancar menulis haruf dan angka walaupun
belum sempurna, dan warga belajar sangat paham cara menghitung, terutama dalam hitungan
dasar yakni menambah, membagi. Pada beberapa warga belajar sudah mampu mengalikan angka
walaupun dalam jumlah yang terbatas.

Menurut pengakuan penyelenggara kegiatan pendidikan keaksaran keluarga dijalankan dengan


perencanaan yang cukup matang dan dilaksanakan sesuai rencana yang disusun sebelumnya,
walaupun diakui bayak kelemahan dan kekurangan karena berbagai keterbatasan, terutama bahan
atau sumber bacaan. Kegiatan penilaian terhadap warga belajar dilakukan secara berkala.
Beberapa karya hasil menulis warga belajar diarsipkan sebagai bukti adanya proses belajar dan
peningkatan kemampuan warga belajar, khususnya bagi warga masyarakat  di Desa Bengkel.

Gambar 2.25.

TBM Sanggar Belajar Bersama NTB

3. Koordinasi dalam Penyelenggara Program Keaksaraan

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Taman Siswa adalah satu lembaga pendidikan
masyarakat dibawah pembinaan penilik pendidikan luar sekolah di Kecamatan Labuapi
Kabupaten Lombok Barat. Terdapat beberapa hambatan komunikasi dan koordinasi keduanya.
Berdasarkan  hasil temuan tim yang survey ke lokasi diketahui adanya koordinasi yang belum
terjalin antara pihak pemerintah terkait dalam menjalankan suatu kegiatan. Pada beberapa
program terlihat pihak dinas tidak mengetahui banyak tentang kegiatan dilapangan yang
dilakukan PKBM binaanya. Sebagai contoh pihak dinas tidak mengetahui bahwa sejumlah
PKBM atau penyelenggara  pendidikan luar sekolah dibawah binaannya mendapat bantuan dana
untuk penyelengaraan pendidikan keaksaraan keluarga, sementara pihak lembaga penerima pun
belum melaporkannya dan proses pengajuannya tidak diketahui dinas setempat.

Beberapa program yang bergulir baik dari pusat ataupun swadaya masyarakat seolah-olah berdiri
sendiri-sendiri, sehingga mungkin hal ini merupakan salah satu kelemahan sistem yang ada. Oleh
karena itu sebagai tindak lanjut, khususnya pada program pendidikan keaksaraan keluarga perlu
adanya sosialisasi yang menyeluruh baik untuk warga belajar, pengelola, dan dinas terkait.
Selain itu dipandang perlu adanya penghargaan dan perhatian dari dinas pendidikan setemat atau
pusat untuk kegiatan ini sehingga menambah motivasi para pengelola.

4. Kendala Penyelenggaraan

Berdasarkan wawancara dengan pengelola program pendidikan keaksaraan keluarga di PKBM


Taman Siswa ditemukan banyak hal yang perlu dikembangkan dalam penyelenggaraan
pendidikan keaksaraan keluarga, diantaranya: pertama, masalah koordinasi, merupakan kendala
tersendiri. Hal ini bermula dari tumpang tindihnya program pada satu sisi dan ketidakjelasan
fungsi pemda dalam melakukan fasilitasi. Kedua, pendidikan keaksaraan keluarga tidak memiliki
waktu yang cukup dalam melakukan sosialisasi dan tidak sampainya pedoman ke tingkat
pengguna. Harapan dari penyelenggara adanya rujukan penyelenggaran pendidikan keaksaran
keluarga. Oleh karena itu perlu dieksplorasi beberapa model model percontohan program
pendidikan kekasaraan keluarga dari beberapa daerah di tanah air. Ketiga, diperlukan adanya
panduan program pendidikan keaksaraan keluarga sehingga ada keseragaman yang disesuaikan
dengan kondisi daerah.

5. Inovasi Penyelenggaraan

Pendidikan Keaksaraan Keluarga yang diselenggrakan oleh PKBM Taman Siswa di Lombok
memiliki sejumlah inovasi dalam beberapa aspek, yaitu: Pertama, peserta didik adalah anggota
keluarga yang belum melek aksara dari setiap keluarga rata-rata 2 orang  anggota keluarga.
Kedua, Sumber Belajar atau bahan belajar yang digunakan masih menggunakan buku panduan
belajar baca tulis karena WB rata-rata baru bisa menulis nama sendiri bahkan ada yang masih
belajar huruf alfabet karena WB menjadi buta aksara kembali karena kemampuan keaksaraannya
tidak dipergunakan secara fungsional dan berkelanjutan. Ketiga, tutor berasal dari keluarga yang
sudah bisa baca tulis dengan dibantu oleh tutor dari lembaga yaitu  istri pengelola sebagai guru
TK formal, ada yang sedang kuliah di UIN NTB, dari Kader lulusan SMA. Keempat, Kelompok
belajar merupakan kelas campuran antara keaksaraan dasar dan pemeliharaan keaksaraan melalui
PKK. Kelima, Sarana Belajar  yang ada berupa area lesehan menggunakan alas tikar atau karpet
dan ada papan tulis, spidol dan penghapus hanya kalau mau ideal jauh dari harapan dengan posisi
menulis menjongkok tidak ada meja untuk belajar. Keenam, Dana Belajar yang diperoleh dari
bantuan pusat langsung ke lembaga yaitu PKBM Taman Siswa. Ketujuh, Tempat belajar samapai
saat ini dilaksanakan dirumah tutor atau apabila ada keluarga yang tidak hadir didatangi ke
rumah WB. Kedelapan, Program Belajar, berasal dari program PKK yang ada yang menjadi
inovasi disana adanya gabungan antara keaksaraan dasar, aksara keluarga dan keaksaraan usaha
mandiri. Kesembilan, Hasil belajar dari program ini adalah mendengar, berbicara, membaca
huruf alfabet dengan sambil dinyanyikan, menulis nama sendiri dan berhitung sambil
mengenalkan bahasa indonesia sebagai bahasa persatuan karena masih ada WB yang belum
pahan denganbahasa indonesia kebanyakan WB masih menggunakan bahasa daerah setempat.

E. Minat Baca

Dari seluruh penggambaran kelompok belajar PKK bagian yang perlu ditegaskan kembali yaitu
persoalan minat baca. Sebenarnya belajar keaksaraan hampir tidak memiliki makna sama sekali
tanpa didukung minat baca. Minat baca ini hampir lepas dari perhatian penyelenggara maupun
pihak inisiator pendidikan keaksaraan terlebih pemerintah daerah karena dianggap tidak terlalu
berkaitan erat dengan program PKK. Hal ini justru yang sedikit berseberangan dengan
pertimbangan konsepsional, apalagi bila mengikuti pola pemikiran keterukuran dan
pembelajaran yang berkelanjutan. Hal ini mengingatkan pula pada kelemahan bangsa ini dalam
hal minat baca yang terpuruk jauh dibandingkan dengan bangsa lain.

Tinjauan yang berhubungan dengan minat baca pada semua lembaga PKK yang diobservasi
diperoleh data sebagai berikut:

1.        Dilihat dari motivasi intrinsik warga belajar PKK umumnya belum terdapat dorongan
yang timbulnya dari dalam. Umumnya mereka berpartisipasi pada kegiatan karena dorongan
keikutsertaan pada program yang ditawarkan dari luar.
2.        Selanjutnya dilihat dari motivasi ekstrinsik, umumnya sangat kental menjadi dorongan
utama bagi bagi warga belajar, sesuai dengan sistem pendekatan yang mengabaikan aspek
motivasi belajar yang diikuti dengan minat baca sebagai salah satu pendekatan

Minat baca sedikit sekali tumbuh dalam interaksi sesama peserta belajar dengan lainnya, maupun
yang terjadi antara tutor pendamping dengan warga belajar. Tuntutan untuk mempelajari bahan
secara mandiri terjadi sangat terbatas terjadi pada subjek yang diteliti dan hanya dipelajari secara
terbatas. Inisiatif untuk lebih menggalakkan minat baca sangat terbatas baik yang datangnya
daari pihak penyelenggara dengan memberikan fasilitasi buku bacaan untuk tiap keluarga
maupun dari warga belajar sendiri yang umumnya sangat dibatasi oleh kesulitan dana.

Tumpuan dari peningkatan minat baca yaitu terjadinya pembelajaran antar generasi seperti yang
dicanangkan pada PKK. Dalam hal ini hanya terjadi sangat terbatas pada beberapa kasus, dimana
antara warga belajar bersamaan dengan anggota keluarga yang paling muda saling
membelajarkan tanpa terikat oleh jadual yang ditetapkan oleh pihak penyelenggara.

Untuk mendukung minat baca dalam keluarga hanya dipergunakan media buku. Karenanya pada
saat pasokan buku ini terhambat, menjadikan alasan minat baca terhalang pula. Upaya untuk
mencarikan bacaan populer masih sangat terbatas terutama yang dimotori oleh keluarga. Dalam
menghadapi rintangan ini seharusnya pihak penyelenggara dapat mencarikan jalan keluar untuk
mencarikan minat baca yang menarik dan mampu memberikan motivasi pada aksarawan baru.
Penggunaan media elektronik untuk menunjang minat baca sangat terbatas, walaupun terdapat
beberapa peluang untuk menggunakan tayangan iklan dan pesan yang disediakan pada acara
televisi.

Strategi yang khusus diperkenalkan pada aksarawan baru atau warga belajar yang berkenaan
dengan minat baca belum banyak dipergunakan. Pembelajaran antar generasi yang seharusnya
lebih banyak dimanfaatkan dengan cara membaca bersama maupun dengan cara membacakan
artikel dan bacaan yang bersifat menghibur belum banyak dilakukan. Hal ini berkaitan pula
dengan terbatasnya bahan bacaan yang sampai pada warga belajar dan jenis bacaan yang
diminati oleh mereka sangat terbatas pula.

Menyimak kondisi yang ada pada hampir semua pembelajaran multi aksara termasuk Pendidikan
Keaksaraan Keluarga, yang lebih banyak mengandalkan pada kemampuan untuk mengahapal
bunyi dan huruf, sesungguhnya perubahan terstruktur dari pola belajar tutur menjadi belajar
melalui tulisan belum terjadi. Kendati terdapat  beberapa warga belajar yang mampu menembus
cara belajar baru melalui peningkatan minat baca, bukan karena hasil pembelajaran akan tetapi
karena latar belakang mereka memungkinkan untuk terjadinya peningkatan minat baca. Dengan
kecenderungan seperti ini maka hasil belajar melalui kegiatan formal PKK dikhawatirkan akan
menjadi relaps sejalan dengan pertambahan usia dan kesibukan dalam memenuhi kebutuhan
dasar bagi warga belajar.

BAB III

ANALISIS TERHADAP PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN


KEAKSARAAN KELUARGA
A. Komponen Program Pendidikan Keaksaraan Keluarga yang sudah Berjalan Baik

Berasarkan hasil analisis yang cukup mendalam terhadap beberapa fenomena penerapan program
pendidikan keaksaraan keluarga di lokasi yang menjadi subyek pengamatan, diperoleh data dan
informasi sinergis yang dapat dijadikan sebagai temuan penting sekaligus sebagai nilai tambah
(added value) dan praktek yang baik -“good practices” dalam penyelenggaraann program PKK.
Paling tidak terdapat enam komponen program yang dapat dikategorikan sudah berjalan baik,
yaitu: (1) penyelenggaraan program keaksaran keluarga; (2) pelibatan anggota keluarga sebagai
tutor/fasilitator; (3) substansi pembelajaran berbasis kecakapan hidup; (4) proses pembelajaran;
(5) strategi penyelenggaraan; (6) perbaikan sosial dan peningkatan aspek ekonomi.

1. Penyelenggaraan Program Keaksaran Keluarga

Dalam sebagian besar kasus yang menjadi subyek pengamatan, penyelenggaraan program
Pendidikan Keaksaraan Keluarga megikuti tiga tahapan penting, yaitu perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi. Tahap perencanaan diawali dengan pendataan kepada warga masyarakat melalui
kerjasama dengan pengelola satuan Pendidikan Nonformal, institusi Rukun Tetangga dan Rukun
Warga setempat. Setelah memperoleh data warga masyarakat yang belum bisa baca tulis,
selajutnya melakukan sosialisasi dan penjelasan kepada warga masyarakat calon program
pedidikan keaksaraan beserta keluarganya. Bersamaan dengan kegiatan sosialisasi dilakukan
pula pendataan anggota keluarga dari warga belajar yang melek aksara. Melalui kegiatan
sosialisasi diketahui minat belajar  masyarakat tentang apa yang ingin dipelajarinya lewat
pendidikan keaksaraan keluarga. Oleh karena itu, dalam perencanaan dan penyelenggara
pendidikan keaksaraan keluarga disusun berdasarkan kebutuhan warga belajar dengan tetap
mengacu kepada standar kurikulum keaksaraan (SKK) yang disusun pemerintah.

Inti (core) dari tahap pelaksanaan pada penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan adalah
proses pembelajaran keaksaraan keluarga. Kegiatan belajar dalam program PKK juga dilengkapi
dengan belajar keterampilan (lifeskills) bagi warga belajarnya. Ada beberapa jenis kecakapan
hidup yang cukup diminati antara lain membuat dan memasarkan telor asin. Melalui
keterampilan membuat telor asin, beternak kambing, pembuatan makanan ringan/kue, rajutan
dan keset, kerajinan industri rumahan (home industry), dan lain-lain. Warga belajar banyak
mengenal huruf dan angka serta kalimat yang diintegrasikan dengan jenis keterampilan yang
diminati sekaligus diikuti oleh warga belajar. Melalui pembelajaran semacam ini, Tutor selalu 
meminta warga belajar untuk menjelaskan bahan-bahan dan cara yang terkait dengan jenis
kecakapan hidup yang dipelajari.  Proses belajar antara tutor dengan warga belajar dilaksanakan
di ruang PKBM dalam rentang seminggu tiga kali selama dua jam penuh. Dalam suasana
kekeluargaan, dan proses belajar yang disetting secara lesehan beralaskan tikar mereka belajar.
PKBM menyediakan meja pendek yang dapat dijadikan alas menulis sambil duduk. Selain itu,
pengelola juga menyediakan whiteboard dan spidol untuk menulis ketika tutor menjelaskan
materinya. Mengingat kegiatan pembelajaran keaksaraan keluarga merupakan proses pelibatan
anggota keluaraga yang difasilitasi oleh tutor, maka kecenderungan terjadinya pemberian
motivasi dan semangat belajar diantara keluaraga sangat tinggi, terutama dorongan keluarga
yang sudah melek huruf terhadap anggota keluarga lainnya yang belum memiliki kemampuan
membaca, menulis dan berhitung. Oleh karena itu, pengelola program keaksaraan keluarga, pada
awal pertemuan mengidentifikasi anggota keluarga warga belajar yang sudah melek huruf.
Maksud dari kegiatan ini adalah untuk menentukan siapa tutor keluarga yang akan membantu
warga belajar menyelesaikan tugas warga belajar di rumahnya masing-masing.  Tutor
Keaksaraan Keluarga selama ini  bertugas memberikan pembelajaran sesuai standar kompetensi
keaksaraan (SKK) serta menstimulasi warga belajar untuk melakukan kegiatan belajar.  Para
tutor menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dengan cara  mengajari cara menulis, membaca
dan berhitung bagi warga belajarnya, kemudian memberikan tugas menulis atau berhitung yang
harus dikerjakan di rumah. Tutor kemudian meminta anggota keluarga dari warga belajar
tersebut yang sudah melek huruf untuk mendampingi mengajari dan menyelesaikan tugas
tersebut bersama-sama warga belajar di rumahnya masing-masing. Kegiatan ini cukup efektif
mengingat waktu belajar di rumah relative lebih leluasa serta suasana interkasi lebih kondusif
dibandingkan di PKBM bersama tutor.

Kegiatan evaluasi dilakukan pada akhir proses pembelajaran sesuai standar kompetensi
keaksaraan (SKK) yang disusun diknas. Pengelola PKBM menyusun sendiri instrument tes
berdasarkan SKK.  Proses penilaian dilakukan secara individual, sehingga skor nilai pada setiap
warga belajar dapat diketahui secara langsung melalui alat tes tersebut. Prosedur evaluasi
dilakukan melalui proses pembelajaran, dimana pada tahap awal tutor membagikan kertas kerja,
berupa selembar kertas HVS ukuran kuarto (A4) kepada setiap peserta.  Langkah selanjutnya,
tutor meminta warga belajar untuk menuliskan apa yang telah mereka pelajri dalam bentuk
kalimat. Seringkali warga belajar kesulitan tentang apa yang harus mereka tuliskan.  Untuk
menanggulangi kesulitan tersebut, tutor meminta warga belajar menceritakan tentang beberapa
hal yang mereka ketahui, misalnya: warga belajar menjelaskan resep/bumbu masakan tertentu
dan bagaimana cara memasaknya. Setelah warga belajar menceritakan nama-nama bumbu dan
cara-cara memasak sesuatu yang diketahuinya, kemudian tutor meminta warga belajar untuk
menuliskan  apa yang telah mereka ceritakan.  Contoh lain, tutor meminta warga belajar
menjelaskan tentang rukun iman dan rukun islam yang mereka ketahui. Setelah itu,  tutor
meminta warga belajar menuliskannya, dan banyak contoh lainnya ang dilakukan oleh tutor
dalam mengevaluasi  kemampuan warga belajaranya. Hasil tulisan warga belajar diminta oleh
tutor untuk dikumpulkan sebagai bahan evaluasi bagi tutor dan penyelenggara pendidikakan
keaksaran keluarga tentang kemajuan warga belajar dalam belajar.

Adanya keterpaduan dalam penyelenggaraan program merupakan nilai tambah (added value)
dalam penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan, apakah itu program Pendidikan
Keaksaraan Keluarga, Keaksaraan Usaha Mandiri, dan program keaksaraan sejenis lainnya.
Keterpaduan program ini cukup memberikan manfaat bagi warga belajar, terutama untuk
memberikan pengayaan dan keberagaman pilihan program yang menarik minat mereka, dan
keadaan ini mampu membuat warga belajar lebih termotivasi untuk ikut dalam program
keaksaraan.

2. Pelibatan Anggota Keluarga sebagai Tutor/ Fasilitator

Pelibatan seluruh anggota keluarga sebagai tutor/ fasilitator dalam Pendidikan Keaksaraan
Keluarga merupakan fenomena menarik dan inovatif dalam konteks pemberantasan buta aksara
di Indonesia. Fakta ini bersinergi dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan keaksaraan
keluarga yakni untuk memberdayakan masyarakat yang belum melek huruf dalam lingkup
keluarga, melalui peran serta dan pelibatan seluruh anggota keluarga, sehingga semua anggota
keluarga  memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung, berkomunikasi secara lisan
maupun tulisan dalam meningkatkan tarap hidupnya.

Adanya partisipasi seluruh anggota keluarga dalam melakukan pembimbingan terhadap anggota
keluarga lainnya yang masih belum melek aksara, berimplikasi positif terhadap motivasi dan
tingkat kepercayaan diri warga belajar dalam melakukan aktivitas belajar dan pembelajaran.
Keberadaan tutor yang berasal dari anggota keluarga warga belajar cukup menciptakan ruang
belajar yang kondusif, nyaman dan menyenangkan. Warga belajar tidak perlu lagi merasa malu
dan minder dengan keterbatasannya, malah cenderung merasa lebih termotivasi untuk segera
mencapai hasil belajar yang baik sesuai dengan tuntutan kompetensi yang diharapkan.

3. Substansi Pembelajaran Berbasis Kecakapan Hidup

Substansi pembelajaran pendidikan keaksaraan keluarga kini tak lagi berkutat pada kegiatan
calistung (membaca, menulis dan berhitung), tetapi dititikberatkan pada pemberdayaan secara
ekonomi, sosial dan budaya. Dengan kata lain, substansi program pendidikan keaksaraan
keluarga terintegrasikan dengan program kecakapan hidup. Hasil yang diperoleh cukup
signifikan dan luar biasa. Warga belajar jadi memiliki semangat belajar lebih karena ada kegiatan
ekonomis yang dilakukan di pusat kegiatan belajar masyarakat atau pada institusi penyelenggara.
Disamping itu, tidak hanya keterampilan semata yang disampaikan dalam PKK, tetapi
dibelajarkan dengan diberi modal dasar.

Program keaksaraan keluarga juga diintegrasikan dengan pemberdayaan dan keaksaraan media
melalui seni budaya lokal dan cerita rakyat. Selain itu, pemberdayaan dilakukan dengan
memperluas akses taman bacaan masyarakat (TBM) di ruang publik. Khusus bagi ibu-ibu
digerakkan aksi menulis yang difasilitasi melalui Koran Ibu. Semacam surat kabar local/desa,
tetapi khusus untuk perempuan. Mereka dilatih untuk membuat korannya sendiri. Sehingga
warga belajar terlatih menulis dan mengeluarkan idenya.

Hal ini terkait dengan kondisi penyandang buta aksara latin berasal dari keluarga miskin. Oleh
karena itu, di beberapa lokasi penyelenggaraan program PKK, substansi pembelajaran secara
tematik disesuaikan dengan kondisi nyata yang ada di lingkungan sekitar (potensi lokal). Melatih
dan membelajarkan orang dewasa untuk membaca, berbeda dengan membelajarkan anak, karena
pada dasarnya mereka sudah mempunyai sikap hidup, pengalaman hidup, dan dorongan untuk
melakukan sesuatu perbuatan. Kegiatan pembelajaran membaca dimulai dengan
memperkenalkan kata-kata yang melekat dengan peserta, mereka diminta untuk melafalkan
nama dirinya, untuk kemudian membaca perhuruf, proses ini terus berlanjut pada kata-kata yang
semakin meluas.

Demikian pula dengan materi menulis, tidak hanya diposisikan sebagai sebuah proses
membentuk huruf atau membuat kalimat, akan tetapi merupakan hasil karya cipta warga belajar.
Tulisan adalah serangkaian lambang bunyi yang mengungkapkan pokok pikiran si warga belajar.
Oleh karena itu rangkaian lambang bunyi harus bermakna sehingga pokok pikiran yang ingin
disampaikan melalui tulisan dapat dipahami pembaca. Terkait dengan materi berhitung, warga
belajar pada dasarnya sudah memiliki kemampuan dalam menghitung nilai nominal uang, jumlah
keluarga, jumlah ternak yang dimiliki, dan sebagainya, hanya saja mereka belum mampu
menggunakan secara benar simbol-simbol perhitungan. Terkait dengan hal ini, dalam membela-
jarkan orang dewasa, berhitung sudah menjadi kompetensi dasar fasilitator. Oleh karena itu
fasilitator dituntut untuk memahami betul tentang waktu dan tempat mereka biasanya melakukan
kegiatan, batas hitungan yang biasa digunakan, alat bantu yang biasa digunakan, simbol-simbol
penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, beberapa jenis permainan, format apa yang
biasa gunakan untuk angka, harga barang-barang pokok yang biasa dijual atau dibeli, dan lain-
lain.

Intinya, substansi pembelajaran keaksaraan keluarga bagi warga belajar sangat dirasakan lebih
mudah dan memiliki makna, karena apa yang diungkap dan dipelajari benar-benar berhubungan
dengan kehidupan mereka dalam keseharian.

4. Proses Pembelajaran

Proses pembelajaran dalam program pendidikan keaksaran keluarga (PKK) memiliki


karakteristik yang khas (unik) dibanding dengan penyelenggaraan pendidikan keaksaraan
fungsional (KF) dasar. Meskipun kedua program tersebut memiliki substansi yang sama tentang
keaksaraan, akan tetapi dalam prosesnya relatif berbeda. Hasil pengamatan dan proses analisis
yang mendalam terhadap keduanya, diperoleh 4 (empat) perbedaan yang cukup mendasar, yaitu:

a.    Pada sisi perencanaan, pendidikan keaksaraan keluarga adalah proses pembelajaran yang
tidak hanya disepakati antara tutor dan warga belajar seperti halnya pendidikan keaksaraan
fungsional. Oleh karena itu, pendidikan keaksaraan keluarga persiapannya melibatkan anggota
keluarga lainnya terutama yang sudah melek huruf.

b.   Tempat belajar pendidikan keaksaraan keluarga dilakukan di pusat kegiatan belajar
masyarakat (PKBM) dan di rumah masing-masing warga belajar bersama anggota keluarga
lainnya, berbeda dengan program keaksaran fungsional yang praktis lebih banyak diakukan di
PKBM.

c.    Sumber belajar pada program pendidikan keaksaraan fungsional berpusat pada tutor,
sedangkan pendidikan keaksaraan keluarga tutor diposisikan sebagai fasilitator, anggota keluarga
yang sudah melek aksara diperankan sebagai tutor keluarga sehingga kesempatan waktu untuk
belajar lebih banyak.

d.   Program pendidikan keaksaraan fungsional merupakan proses belajar mengajar tentang
substansi keaksaraan. Berbeda dengan dengan keaksaran keluarga yang diselenggarakan melalui
pembelajaran yang dipadukan dengan belajar keterampilan.

Keikutsertaan warga belajar terhadap program Pendidikan Keaksaraan Keluarga (PKK) pada
awalnya masyarakat kurang antusias, karena berbagai alasan. Umumnya mereka keberatan
mengikuti program keaksaraan keluarga karena pertimbangan waktu dan kesibukan bekerja.
Bagi mereka yang bekerja nyaris tidak ada pilihan waktu yang dapat diluangkan untuk mengikuti
aktivitas belajar dan pembelajaran. Hal terberat yang sedikit menghambat program ini adalah
berkembangnya asumsi masyarakat bahwa tanpa kemampuan membaca dan menulis serta
berhitung pun, mereka masih bisa bekerja dan menanggulangi kebutuhan hidup keluarga.
Mereka yang buta aksara sebagain besar adalah orang tua yang sudah lanjut usia, sehingga rasa
malu dan malas belajar menjadi kendala utama untuk mengikuti program pendidikan keaksaraan
keluarga.

Warga belajar yang mengikuti kegiatan keaksaraan keluarga ternyata memiliki latar belakang
motivasi yang berbeda-beda dan cukup rasional. Sebagian warga  belajar mengikuti kegiatan
dimotivasi oleh factor keluarga. Mereka mengaku seringkali ditanya oleh cucu-cucunya tentang
pekerjaan rumah yang ditugaskan guru sekolahnya. Karena ketidak-mampuannya, akhirnya
mereka tidak dapat membantu menyelesaikan tugas cucunya. Itulah salah satu motovasi warga
belajar tertarik mengikuti program pendidikan keaksaraan keluarga agar berkesempatan untuk
belajar menulis, membaca dan berhitung. Motivasi lain yang diungkapkan warga belajar adalah,
karena faktor ekonomi. Mereka seringkali  kesulitan dalam menanggulangi kebutuhan ekonomi
keluarga. Padahal mereka sangat tertarik dengan kegiatan usaha dan keterampilan memasak.
Sepertinya mereka ingin membuka usaha membuat kue-kue modern yang dapat dijualnya ke
pasar. Tapi ketidakpahaman membaca resep dan formula cara membuat kue-kue yang
mendorong mereka tertarik belajar membaca resep. Sebagian lagi memaparkan bahwa motivasi
mereka karena ketidakmampuan orang tua mereka dulu karena keterbatasan ekonomi
menyekolahkan pada jalur sekolah formal. Sehingga saat ini dalam rentang relative muda tidak
pernah mengenyam pendidikan sekolah dan tidak bias membaca, menulis dan berhitung.
Walaupun terlambat dan tidak di sekolah formal, mereka ingin belajar lewat institusi dan satuan
pendidikan nonformal. Berbagai motivasi warga belajar tersebut merupakan kondisi gayung
bersambut, antara gagasan pengelola program pendidikan keaksaraan keluarga (PKK) dengan
kebutuhan masyarakat.

Ketelatenan pengelola dan ketekunan warga masyarakat untuk terus belajar dan membelajarkan
telah merubah citra (image) kegiatan pendidikan nonformal di tengah-tengah masayarakat.
Respon awal yang kurang peduli dari sebagin masyarakat terhadap gagasan dan program-
program  pendidikan nonformal,  pada beberapa tahun terakhir ini sudah mulai berubah. Saat ini
umumnya warga masyarakat secara moril  mendukung bagi kelangsungan program-program
pendidikan nonformal, karena asumsi mereka melalui program PNF banyak anggota keluarga
yang berubah sikap belajarnya kearah yang lebih baik sehingga meningkat ilmu pengetahuannya.
Selain itu, warga masyarakat mearasa bangga bila semua anggota keluarga dilingkungannya
desanya tidak termasuk dalam kelompok keluarga buta huruf.

Program Pendidikan Keaksaraan Keluarga diawali dengan proses identifiaksi terhadap warga
masyarakat sekitar yang dianggap belum melek huruf (baca, tulis, dan hitung). Selanjutnya
dilakukan sosialisasi kepada calon warga belajar dengan memperhatikan harapan-harapan warga
belajar serta anggota keluarga lainnya. Sosialiasai dan informasi yang diberikan oleh pengelola
lebih menekankan pada motivasi belajar yang diarahkan pada proses penyadaran akan
pentingnya pendidikan keaksaran keluarga karena beberapa alasan: pertama, pembelajaran
memperkuat kemampuan keaksaraan warga belajar agar tidak buta aksara kembali dan menjadi
warga belajar yang mandiri. Kedua, pembelajaran memperbaiki keterampilan ekonomis. Ketiga,
pembelajaran memberikan akses/ kemudiahan warga belajar dalam memperoleh informasi.
Keempat, pembelajaran yang dapat menentukan sikap mental rasional dan ilmiah warga belajar.
Proses pembelajaran keaksaraan bagi warga belajar, selain mereka lakukan melalui program
usaha mandiri dalam bentuk pemeliharaan binatang ternak, usaha membuat surabi, uasaha
membuat gula merah, juga dilakukan melalui proses pembelajaran keaksaraan tentang cara baca,
tulis dan berhitung lewat keluarga. Mereka seringkali belajar tentang suatu yang tidak mereka
ketahui dengan cara bertanya kepada anggota keluarga. Tidak sedikit pengetahuan mereka
tentang cara berternak dan berhitung diperoleh lewat belajar bersama anggota keluarga. Oleh
karena itu pihak pengelola yang menjadi fasilitator program keaksaraan keluarga selalu
memberikan motivasi kepada anggota keluarga untuk terus memberikan bantuan dan dorongan
kepada anggota keluarganya yang dianggap belum melek huruf.

Pada tahap awal, proses pembelajaran keaksaran dilaksanakan di ruang belajar institusi
penyelenggara program PKK yang jadual pelaksanannya dikoordi-nasikan  oleh pengelola
program keaksaraan. Pendekatan pembelajaran menggunakan pembelajaran partisifatif,
mengingat warga belajar mayoritas orang dewasa yang sudah lanjut usia. Sehingga proses
pembelajaran lebih menekankan kepada pelibatan secara langsung warga belajar dalam
menentukan jadual, substansi belajar dan pelaksanaan evaluasi. Penghargaan terhadap prestasi
belajar warga belajar perlu dihargai karena ternyata perhatian dan antusias warga belajar semakin
meningkat. Metoda pembalajaran yang dikembangkan oleh  tutor adalah ceramah, tanya jawab
dan praktek. Kegiatan praktek berupa belajar menulis huruf latin dan berhitung angka, terutama
belajar menambah, mengurangi, dan membagi. Pada sebagian warga masyarakat yang telah agak
paham berhitung tingkat dasar  dilanjutkan dengan kemampuan berhitung yang agak rumit,
mislanya mengkalikan dan mejawab soal-soal matematika sekolah dasar.

Proses pembelajaran selanjutnya dilakukan tidak hanya melalui pembelajaran tatap muka antara
tutor/fasilitator dengan warga masyarakat di ruangan, tetapi kemudian dilakukan melalui
pembelajaran dalam keluarga atau warga belajar lebih banyak diksusi tentang materi belajarnya
dengan anggota keluarga. Umumnya mereka melakukan proses pembelajaran tentang cara
membaca, menulis dan berhitung melalui pembimbingan anggota keluarganya yang sudah melek
huruf. Oleh karena itu, tutor lebih memposisikan diri sebagai fasilitator yang fungsinya
membantu memberikan layanan belajar dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi
warga belajar.

Pendekatan pembelajaran partisipatif yang melibatkan warga belajar sebagai orang dewasa
dalam menentukan rencana pembelajaran merupakan upaya strategis sehingga warga belajar
merasa memiliki dan mengambil peran dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini juga nampak
dari  perlakukan tutor dalam strategi belajar mengajar yang membuka kesempatan luas kepada
warga belajar untuk mengemukakan pendapat harapan dan kendala yang mereka hadapi baik
aspek pribadi maupun aspek penguasaan materi pembelajaran. Tutor lebih memposisikan sebagai
pembimbing dan pendamping yang memberikan layanan pembelajaran bagi warga belajar. Hal
tersebut terungkap dari pendapat warga belajar yang memandang tutur mampu menyusun bahan
ajar berbasis tematis, selain bahasa yang digunakan dalam bahan ajar sesuai dengan kemampuan
warga belajar. Untuk memberikan suasana belajar aktif, tutor dianggap terampil dalam
mengenalkan macam-macam masalah dalam kehidupan sehari-hari sebagai kunci pengerak
diskusi/dialog. Tutor bersama warga belajar berdialog tentang ide mereka sesuai dengan
masalah-masalah  yang dihadapi warga belajar. Sedangkan warga belajar berlatih berlatih
menggunakan kata kunci yang sudah dikenalnya. Suasana diskusi yang seperti tersebut terjadi
kerena: (1) tema bahan ajar yang dikembangkan sesuai dengan dengan kebutuhan warga belajar,
(2) bahan ajar mengunakan kata-kata kunci yang diangkat dari kehidupan nyata masayarakat, (3)
warga  belajar juga diberi kesempatan untuk aktif memberi masukan terhadap proses dan bahan
ajar. Dengan demikian kemampuan tutor telah mendorong dan menggugah warga belajar untuk 
belajar tentang hidupnya.

Umumnya motivasi warga belajar mengikuti proses pembelajaran dikarenakan beberapa  factor,
diantaranya: pertama,  kebutuhan warga masayarakat untuk dapat membaca dan menulis serta
berhitung.  Kedua, dorongan anggota keluarga yang lain, terutama anak-anak mereka yang
relative sudah melek huruf, karena umumnya yang belum merek huruf adalah ayah dan ibunya.
Pada beberapa keluarga, anak tertua atau kedua yang umurnya rata-rata sudah di atas 60 tahun 
juga belum merek huruf. Ketiga, ajaran agama yang mereka (warga belajar) dapatkan lewat
informasi yang disampaikan para ustadz dan kiyai pada forum majelis taklim, tentang 
pentingnya manusia belajar dan menuntut ilmu. Keempat, warga belajar memandang pendidikan
keaksaraan keluarga lebih mudah dilakukan karena melibatkan anggota keluarga serta waktu dan
tempatnya tidak selemanya harus di ruang belajar, bebeda dengan program pendidikan
keaksaraan fungsional yang tidak banyak melibatkan anggota keluarga. Kelima, selain belajar
juga mereka dapat melakukan kegiatan usaha, karena melalui program pendidikan keaksaraan
keluarga mereka diberi modal usaha juga dilibatkan dalam pelatihan-pelatihan keterampilan
produktif, seperti membuat surabi, gula merah, dll yang dapat dijual dan menghasilkan uang.
Ketujuh, adanya peran aparat pemerintah setempat, terutama instansi pemerintah yang berkaitan
langsung dengan penyelengaran program pendiidkan keaksaraan. Perhatian dari pimpinan RT
dan RW serta beberapa Kepala Desa yang warganya terlibat langsung  sebagai warga belajar
turut mempengaruhi keseriusan warga masyarakat untuk  melibatkan diri belajar. Informasi yang
berkenaan dengan upaya-upaya pengembangan program PNF termasuk berbagai program
bantuan selalu dikomunikasikan secara intensif oleh penilik setempat. Oleh karena itu, sirkulasi
komunikasi anatara penyelengara program PNF, warga belajar, warga masyarakat serta aparat
pemerintah setempat sangat kondusif dan berpengaruh besar terhadap atmosfir proses
pembelajaran dan pengelolaan program pendidikan keaksaraan keluarga.

5. Strategi Penyelenggaraan

Strategi penyelenggaraan yang digunakan oleh pengelola program PKK adalah melakukan
pendekatan persuasif melalui pendekatan norma agama. Pendekatan ini cukup efektif dalam
menumbuhkan kesadaran dan minat belajar warga belajar. Apalagi pada mayoritas masyarakat
yang menjadi sasaran pendidikan keaksarana keluarga adalah beragama Islam, umumnya mereka
patuh dengan ajaran agama, sehingga setiap informasi yang dianjurkan agama mereka lakukan
dan setiap pekerjaan yang dilarang agama tabu untuk dilakukan. Pendekatan ini sangat baik
untuk dipertahankan dalam konteks karakteristik masyarakat seperti yang digambarkan di atas.
Inilah yang dinamakan potensi lokal yang kemudian dimanfaatkan betul pengelola program PNF
untuk mempermulus jalannya program keaksaraan keluarga. Melalui perbincangan dalam
keseharian, atau pembicaraan setelah sahalat magrib berjamaah, pengelola program dan tokoh
agama menyampaikan informasi dan memahamkan masyarakat tentang pentingnya belajar
sepanjang hayat. Belajar sepanjang hayat memberikan kesempatan belajar secara wajar dan luas
kepada setiap orang sesuai dengan perbedaan minat, usia, dan kebutuhan belajar masing-masing.
Kesempatan ini merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk belajar seperti program-
program kegiatan belajar kelompok (group learning), kegiatan belajar perorangan (individual
learning), dan kegiatan belajar melalui media massa. Kegiatan belajar tersebut dapat dilakukan
di berbagai tempat yaitu di tempat kerja, rumah ibadat, rumah tinggal; gedung perkumpulan,
sekolah, tempat bermain, lapangan olah raga, gelanggang remaja/pemuda, majelis ta’lim,
padepokan, perpustakaan, pusatpusat pembelajaran, panti dan lain sebagainya.

6. Perbaikan Sosial dan Peningkatan Aspek Ekonomi

Kondisi keaksaaan yang diselengarakan melalui pelibatan keluarga tersebut, memberikan


dampak positif terutama kesadaran anggota keluarga untuk saling melibatkan diri dalam program
keaksaraan keluarga. Manfaat pendidikan keaksaraan keluarga memiliki dampak sosial dan
ekonomi, karena dalam proses pembelajarannya selain meningkatkan kemampuan membaca,
menulis, dan berhitung, juga warga belajar diarahkan pada kemampuan untuk berkomunikasi
secara lisan dan tulisan.

Dampak dari program pendidikan keaksaran keluarga adalah tumbuhnya jiwa kemandirian warga
belajar, karena dengan bekal kemampuan keaksaraan, mereka merasa percaya diri untuk
menyelesaikan berbagai pekerjaan. Kemampuan membaca warga belajar mendorong mereka
untuk mencoba berbuat melakukan berbagai keterampilan. Sebagai contoh, salah seorang warga
belajar dengan kemampuan membaca resep tentang membuat telor asin, tertarik untuk
berwirausaha membuat dan menjual telor asin, dan sukses menghasilkan uang.

Kemampuan membaca dan menulis serta berhitung warga belajar, menjadi motivasi dalam
mengaktualisasikan diri warga belajar melalui penuangan gagasan-gagasan lewat tulisannya,
walaupun gagasan sederhana dan dalam bentuk tulisan tangan.  Hal tersebut dibuktikan dengan
terkumpulnya naskah-naskah tentang bebagai gagasan, pemikiran, termasuk resep-resep
makanan yang mereka ketahui untuk diterbitkan lewat media massa loka, seperti bulletin, tabloid
dan koran yang diterbitkan. Dalam Koran tersebut ada halaman tertentu yang memuat tulisan-
tulisan tangan warga belajar keaksaran keluarga. Karya tulisan warga belajar dimuat secara
bergiliran, mereka mendapatkan imbalan. Bagi warga belajar Koran ibu merupakan media
informasi yang bukan hanya sebagai media dan sumber informasi tetapi juga sebagai media
menyampaikan informasi yang memberikan nilai tambah secara ekonomis.

Pembelajaran pendidikan keaksaraan keluarga kini tak lagi berkutat pada kegiatan calistung
(membaca, menulis dan berhitung), tetapi dititikberatkan pada pemberdayaan secara ekonomi,
sosial dan budaya. Karena hampir seratus persen penyandang buta aksara latin berasal dari
keluarga miskin. Pada hampir semua subyek pengamatan, program PKK ini telah mampu
meningkatkan ekonomi keluarga, khususnya peningkatan pendapatan (income generating)
keluarga.

B. Aspek Program PKK yang Perlu Diperbaiki

1. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat, sebagai Landasan Filosofis Penyelenggaraan


Progam Pendidikan Keaksaraan Keluarga
Salah satu asumsi dasar suatu organisme belajar tidak hanya berhubungan  dengan proses
mempelajari kebiasaan gerak, akan tetapi belajar bisa saja berhubungan dengan kebiasaan hidup
masyarakat yang menjadi standar bagi pengembangan perilaku di tempat itu. Tingkat kebiasaan
masyarakat yang terjadi dan sudah merupakan suatu tatanan nilai yang melembaga bagi
masyarakat dapat dijadikan sumber bagi pengembangan proses pembelajaran. Teori ini
memberikan bukti bahwa nilai budaya yang asli di masyarakat, dapat membentuk perilaku
masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai kelompok pada tingkat kemauan dan
kemampuan untuk belajar. Baik buruknya proses pembentukan perilaku itu tergantung dari nilai
pepatah dan peribahasa yang muncul serta pemaknaan terhadap pepatah dan peribahasa
dimaksud. Demikian pula dengan Jawa Barat (Sunda) memiliki pepatah dan peribahasa yang
merupakan nilai budaya asli masyarakat, sekaligus merupakan nilai filosofis masyarakat sunda,
diantaranya yaitu: ”Elmu Tungtut Dunya Siar” serta ”Nu Goreng Kudu Disinglar” . Pepatah
tersebut memberikan gambaran betapa belajar (mencari ilmu = elmu tungtut) dan sambil
berihtiar mencari harta (dunya siar) adalah suatu perbuatan yang satu sama lainnya dapat
dilakukan bersama sama  (learning by doing) atau learning to be. Pepatah tersebut mengandung
pula unsur motivasi belajar. Dari segi teoritis kedua pepatah tersebut memiliki kandungan
mendasar bagi konsep pembelajaran dimana keseimbangan antara kognisi dan afeksi  merupakan
satu gayutan yang satu sama lain saling mengisi. Konsep-konsep di atas dapat dijadikan patokan,
betapa unsur budaya asli (indigenous culture) dapat mewarnai tingginya keberhasilan belajar.
Artinya peribahasa dan pepatah tersebut mampu mewarnai perilaku hidup masyarakat. Baik
belajar melalui pendidikan formal (persekolahan) maupun non-formal (luar sekolah). Pepatah itu
pula berkembang pada prinsip belajar lainnya. Budaya yang asli dapat dikembangkan  lebih jauh
pada konsep pembelajaran lainnya. Juga dapat dijadikan patokan bagi pengembangan model
belajar, serta pengembangan kurikulum muatan lokal (mulok), dengan tujuan tidak hanya
memenuhi kebutuhan praktis sebagai pendorong bagi tumbuhnya motivasi belajar. Akan tetapi,
sampai pada tahap meneruskan warisan sosial budaya, pada tahapan kemampuan dan cara-cara
kerja dari satu generasi ke generasi berikutnya.

2. Sistim Penyelenggaraan Program PKK

Semarang, Sumedang, Gresik dan Mataram merupakan sebagian wilayah yang menjadi lokasi
untuk diobservasi dalam kegiatan Pendidikan Keaksaraan Keluarga yang salah satu tugasnya
adalah mengembangkan program pendidikan keaksaraan keluarga dalam pendidikan non formal.
Agar wilayah tersebut dapat menjalankan tugas dan fungsinya perlu didukung oleh tenaga, baik
pendidik maupun kependidikan yang memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai standar
nasional pendidikan. Karena lembaga ini dihadapkan pada permasalahan  utama yaitu dalam
manajemen program PNF dan penilaian kebutuhannya, dalam pelaksanaannya belum efektif dan
efisien serta belum sesuai dengan harapan. Untuk itu, informasi yang tepat dan kebutuhan yang
amat penting, dan visioner dengan penilaian yang realistik terhadap kebutuhan masa datang
sangat diperlukan. Kebutuhan tersebut meliputi: sumber daya manusia, sarana prasarana, proses,
evaluasi dan monitoring. Oleh sebab itu perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a.    Dari segi sistem, manajemen program PNF dan penilaian kebutuhannya perlu dilakukan
secara tersistem dan sistematik;
b.   Dari segi substansi,  manajemen program PNF dan penilaian kebutuhannya perlu
mengakomodasi berbagai tuntutan, diantaranya:

1)  Tuntutan kebutuhan kelompok masyarakat sasaran sesuai dengan visi, misi, tugas, dan fungsi
lembaga;

2)  Tuntutan kebutuhan masyarakat;

3)  Tuntutan kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders);

c.    Dari segi peraturan, perlu memperhatikan antara lain:

1)  Undang-Undang;

2)  Peraturan Pemerintah;

3)  Peraturan Menteri; dan

4)  Peraturan daerah

d.   Dari segi kebijakan, perlu memperhatikan:

1)  Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah;

2)  Kebijakan Menteri;

3)  Kebijakan Direktur Jenderal;

4)  Kebijakan Direktorat Teknis; dan

5)  Kebijakan Dinas Pendidikan.

e.    Dari segi waktu, perlu memperhatikan:

1)  Manajemen program PNF dan penilaian kebutuhan jangka panjang;

2)  Manajemen program PNF dan penilaian kebutuhan jangka menengah; dan

3)  Manajemen program PNF dan penilaian kebutuhan jangka pendek/ program tahunan.

3. Model Pembelajaran

Penyelenggaran Pendidikan Keaksaraan Keluarga dipandang merupakan pendekatan keaksaraan


yang paling mempertimbangkan aspek etnososial, karena proses pembelajaran tidak lagi
didasarkan pada transaksi ekonomi, akan tetapi lebih pada rasa kemanusiaan dan kasih sayang.
Beberapa pertimbangan keunggulan dari keaksaraan keluarga yaitu:
a.    Saling percaya

b.   Ketulusan

c.    Kasih sayang

d.   Dukungan dana

e.    Dukungan fasilitas

Pendidikan Keaksaraan Keluarga dipandang paling ideal karena semua anggota keluarga
memiliki urunan pada upaya meningkatkan kemampuan keberadaban. Untuk itu perlu diciptakan
model pembelajaran yang bisa menyentuh aspek saling percaya, ketulusan,kasih sayang,
dukungan dana dan fasilitas. Dengan demikian program Keaksaraaan Keluarga perlu
mendapatkan tempat dan kajian khusus, dengan penyediaan dan pemunculan model-model
pembelajaran yang khusus pula. Hal tersebut di tempuh dengan langkah-langkah sebagai
berikut :

a.    Mendinamisir kelompok sasaran/warga belajar, hal ini dimaksudkan agar kelompok sasaran
dinamis dan selalu kondusif didalam menerima materi kegiatan. Hal ini mengingat peserta
program (masyarakat miskin) sebagian besar mayarakat dewasa yang turut membantu keluarga
dan menjadi tulang punggung keluarga mencari nafkah. Biasanya kelompok sasaran seperti ini
sulit mempertemukan waktu yang tepat secara bersama-sama dalam suatu kegiatan
pembelajaran.

b.   Pemberian materi disesuikan dengan waktu kegiatan antara bekerja (mencari nafkah) dengan
menuntut pelajaran. Point in menjadi sangat penting mengingat kebanyakan masyarakat miskin
lebih banyak putus sekolah disebabkan ketiadaan biaya/dana. Termasuk kurikulum yang
diberikan pun harus disesuaikan dengan kebutuhan mata pencaharian.

c.    Model pembelajaran harus bersifat mastery learning. Hal ini dimaksudkan agar materi yang
diterima benar benar aflikatif pada kegiatan sehari-hari yaitu mencari nafkah.

4. Manajemen Penyelenggaraan Program PKK

Dalam Penyelenggaraaan Program PKK terdapat banyak variasi mengenai fungsi manajemen,
namun terdapat tiga fungsi utama manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi.
Ketiga fungsi ini sering dilihat secara linier, yaitu perencanaan sebagai awal dari fungsi
manajemen serta evaluasi berada pada perencanaan dan pengorganisasian. Pada pemikiran lain
ketiga fungsi ini berlangsung secara dinamis dan saling menunjang satu dengan lainnya. Dalam
hubungan ini perencanaan tidak senantiasa diakhiri dengan pengorganisasian serta evaluasi tidak
selalu berada diujung perencanaan dan pengorganisasian

a. Perencanaan
Program Pendidikan Keaksaraan Keluarga adalah bagian dari perubahan struktur dalam belajar
dari budaya tutur menjadi budaya baca. Semua tujuan pembelajaran kebahasaan meliputi
memahami, membaca, menulis dan mengemukakan pendapat secara lisan maupun tulisan akan
serta merta merubah tatanan kemasyarakatan, dari masyarakat yang berbasis kata yang kemudian
akan hilang segera semua ide dan gagasan yang dikemukakan menjadi masyarakat dengan
dukungan perangkat keras yang akan dapat dijadikan titik tolak dan modalitas dalam
mengembangkan keilmuan dan pada gilirannya akan memberikan dampak pada kemakmuran
masyarakat secara keseluruhan.. Perencanaan adalah proses bagaimana menetapkan tujuan serta
menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan yang ditetapkan melalui tahapan analisis
dan evaluasi alternatif yang mungkin dikerjakan. Perencanaan berfungsi pula untuk menetapkan
dasar dan arah untuk sebuah lembaga penyelenggara program PKK dan mengarahkan program
yang dilakukan secara bersama oleh anggota staf untuk mencapai tujuan yang secara eksplisit
telah ditetapkan dalam perencanaan.

Salah satu pendekatan khusus dalam perencanaan yaitu perencanaan strategis, dengan
menggabung secara komprehensif dasar-dasar manajemen. Perencanaan ini lebih merupakan
metodologi yang mempertimbangkan secara sungguh-sungguh seluruh pertimbangan lingkungan
dan peluang serta hambatan. Tujuan utama dari perencanaan strategis yaitu memadukan antara
tujuan fungsional dengan perencanaan operasional dari staf. Terdapat lima langkah dari
perencananan strategis yaitu:  Satu, penetapan tujuan dari lembaga PKBM sebagai
penyelenggaran Program PKK (bagaimana cara untuk memberikan pelayanan pada masyarakat
sasaran Program PKK). Kedua, menetapkan kekuatan dari lembaga (Bagaimana cara kerja yang
baik serta mengapa dilakukan). Ketiga, penetapan kenyataan dan potensi dari sasaran PKK
(bagaimana sasaran pelatihan dilayani, apa yang seharusnya dilakukan serta sejauh mana kita
memahami harapan mereka). Keempat, penetapan faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi lembaga (sumber-sumber yang dibutuhkan dari PKBM dan masyarakat). Kelima,
pengembangan dan operasional kegiatan (apa yang seharusnya yang harus dilaksanakan dalam
pemerograman, staffing dan pemasaran serta apakah semua itu bisa didanai).

Perencanaan merupakan keseimbangan  tugas satuan pelatihan, programming, staffing,


pemasaran dan kemampuan finansial. Dalam arti sempit perencanaan diartikan upaya
menghadapi tantangan untuk mencapai efektivitas.

b. Pengorganisasian

Perencanaan yang dibuat harus dilaksanakan. Pengoorganisasian yaitu mengembangkan sistem


peranan dan tanggung jawab serta pendelegasian tugas dan sumber-sumber untuk menjamin
penampilan yang maksimum, kejelasan harapan dan pembuatan keputusan yang efektif.

PKBM sebagai lembaga penyelenggaran program PKK dengan didanai oleh pemerintah tentunya
haarus benar-benar pelaksanaannya berdasarkan kebutuhan masyarakat. Dalam hubungan ini,
PKBM yang berhasil ditandai dengan kejelasan tujuan lembaga yang akan dicapai serta peluang
untuk terselenggaranya fungsi pengelolaan secara efektif.

c. Evaluasi
Secepat perkembangan dari perencanaan, serta sumber-sumber diorganisasikan dibutuhkan pula
dukungan kemampuan untuk mengevaluasi proses dalam upaya menilai keberhasilan tujuan yang
ditetapkan. Dengan evaluasi, lembaga penyeleng-garaan PKK akan memiliki gambaran antara
kenyataan yang telah dicapai dengan harapan yang diinginkan dalam perencanaan. Pada hal lain
dapat diketahui penyimpangan yang terjadi, sehingga dapat dilakukan perubahan dari komponen
kelembagaan dalam upaya untuk menjamin ketercapaian rencana yang ditetapkan.

Evaluasi yang diselenggarakan hendaknya mempertimbangkan antara kemampuan untuk


menyediakan informasi yang dibutuhkan serta kemudahan dalam upaya untuk
mengimplementasikan program. Metode yang dipergunakan harus pula memperhatikan hak-hak
pengelola maupun peserta belajar. Evaluasi dilakukan melalui analisis data, interview pada klien
dan audit program. Hal yang terpenting lainnya evaluasi hendaknya dilakukan melalui upaya
yang hati-hati berdasar atas observasi personal yang berkelanjutan.

Fungsi dan tugas dari manajemen dilaksanakan dalam organisasi dan lingkungan masyarakat
yang keduanya bisa membatasi keberfungsian manajerial suatu program yang sedang
dilaksanakan.

Strategi dasar yang menjadi andalan konsep pendidikan luar sekolah pada intinya diarahkan pada
peningkatan kecakapan warga masyarakat khususnya, kualitas penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, penguatan semangat untuk berprestasi, etos kerja, disiplin dan tanggung jawab,
kemampuan kewirausahaan, serta kemampuan memproteksi diri dari masalah-masalah kesehatan
dalam kehidupan. Untuk kepentingan itulah pembangunan pendidikan luar sekolah yang berbasis
pada kebutuhan belajar masyarakat sangat terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Untuk
menjawab tantangan tersebut maka pengelolaan pendidikan luar sekolah yang berbasis
manajemen yang sangat dibutuhkan saat ini, terutama pengelolaan pendidikan luar sekolah yang
berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengujian mutunya didasarkan atas kebutuhan
pasar kerja atau menganut prinsip demand driven dan selaras dengan upaya menumbuhkan dan
menggerakkan kegiatan industri dan ekonomi yang berbasis pada sumber daya alam. Beberapa
standard yang dapat dijadikan model pengembangan dan pengelolaan pendidikan luar sekolah
saat ini dan ke depan di antaranya adalah : model Manajemen strategik, TQM, learning
organization (LO) dan lain-lain.

Suatu contoh ilustrasi yang mengambil model manajemen strategik dan model learning
organization bagi pengelolaan pendidikan luar sekolah berdasar pada benchmark berikut ini :
Seperti diketahui ujung tombak dari kinerja organisasi pengelolaan pendidikan luar sekolah
menurut konsep manajemen terletak pada manusia, oleh karena itu kinerja organisasi yang
berkualitas merupakan penggerak (leverege) kinerja organisasai. Sumber daya manusia yang
berkualitas atau disebut dengan human capital. Human capital diperoleh melalui proses
pembelajaran dalam perspektif pertumbuhan (learning and growth). Human capital yang
berperan dalam perspektif bisnis internal akan menghasilkan modal organisasi (organizational
capital), yaitu memanfaatkan modal manusia untuk membangun jejaring organisasi. Modal
manusia dan modal organisasi akan menghasilkan ekuitas perusahaan bisnis dan pelanggan  dan
ketiga perspektif  (pembelajaran & pertumbuhan, proses bisnis internal dan pelanggan) secara
bersama-sama akan menghasilkan nilai bagi pemegang saham (sharehoder value) melalui
efisiensi biaya.
5. Memilih solusi yang terbaik untuk Program PKK

Serangkaian proses memilih solusi dapat dilakukan melalui empat tahapan yaitu : (1) memilih
solusi melalui data identifikasi sasaran pendidikan luar sekolah secara umum (2) memilih solusi
melalui gagasan berdasarkan kajian konsep dan teori tentang Pendidikan Keaksaraan Keluarga.
(3) memilih solusi melalui analisis hasil identifikasi kebutuhan belajar masyarakat (4) memilih
solusi melalui adaptasi dan prioritas program berdasarkan musyawarah.

Kajian analisis yang kita kembangkan untuk kebutuhan penyelesaian buku ini tentunya dengan
melalui tahapan-tahapan yang cukup bervariasi dimulai dengan adanya kajian lapangan ke
beberapa wilayah  (Semarang, Sumedang, Gresik dan Mataram) yang sedang menyelenggarakan
program Pendidikan Keaksaraan Keluarga dan memperoleh dana bantuan dari pemerintah,
dengan harapan program tersebut menjadi model yang bisa dipakai contoh dan diadopsi oleh
lembaga-lembaga lain yang akan meyelenggarakan program yang sama. Dari hasil kajian di
lapangan kami memperoleh data yang beragam tentang pelaksanaannya disesuaikan engan
potensi wilayah masing-masing.

Keterlibatan warga belajar pada suatu program intervensi dalam konteks penguatan masyarakat,
didasarkan pada dua alasan berikut. Pertama, upaya menempatkan warga belajar sebagai pelaku
utama yang peka dan aktif pada seluruh kegiatan yang terkait dengan substansi program
berdasarkan: kondisi, sumber daya yang dimiliki dan potensi sumber daya yang dapat
dikuasainya. Kedua, memposisikan peran kelompok sasaran Program PKK sebagai pelaku utama
yang peka dan aktif dapat terwujud. Kedua alasan tersebut beranjak dari pandangan bahwa suatu
program intervensi yang benar-benar melibatkan warga belajar mengarahkan kepada
keberhasilan program itu sendiri dan sekaligus membangun kekuatan kelompok

Warga belajar sebagai pelaku utama dalam pembangunan mengandung pengertian bahwa seluruh
aspek manajemen program tersebut pada dasarnya dilakukan oleh para warga belajar. Sehingga
dengan demikian konteks pelibatan warga belajar dalam program tersebut bukan sekedar untuk
mengarahkan mereka sebagai pelaksana tetapi memberikan kondisi agar melakukan
pengembangan aspek program yang dibutuhkannya dan sekaligus memberikan persfektif
terhadap pembangunan yang lebih luas.

Fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan dalam kerangka penguatan kemampuan dan
potensi masyarakat (pembelajaran dan pemberdayaan serta pembaharuan masyarakat). Artinya
peserta belajar dalam kelompok tersebut diharapkan memiliki proses yang terbuka dengan
pemikiran dan keterampilan baru. Sehingga dengan pelibatan mereka secara langsung
merupakan media untuk terjadi proses penerimaan dan pengalihan kemampuan masyarakat
dalam mengelola aspek program yang dibutuhkannya.

Pelibatan warga belajar dipandang sebagai upaya fasilitasi dari unsure masyarakat yang terkait
dengan aspek perilaku (psiko-sosial), budaya dan politik, serta mata pencaharian. Ketiga aspek
tersebut saling mempengaruhi sehingga baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama akan
berpengaruh terhadap tingkat kesiapan warga belajar untuk melibatkan diri atau dilibatkan dalam
suatu program. Merujuk pada makna dasar dan dimensi yang terkandung di dalamnya maka hasil
akhir dari proses pelibatan warga belajar dalam kerangka pembangunan yang berpersfektif
penguatan kelompok adalah tumbuhnya: (1) rasa memiliki terhadap keberadaan kelompok ; (2)
kemandirian dan kewirausahaan warga belajar sebagai penggagas, pelaksana maupun
pemanfaatan pembangunan, dan (3) kepercayaan diri yang mapan terhadap potensi, sumber daya
dan kemampuan yang dimiliki untuk membangun dirinya sendiri ketika masyarakat sudah
terbebas dari buta huruf.

Apabila kebijakan pembangunan masyarakat lebih menekankan kepada terwujudnya peran serta
masyarakat dan pemberdayaan masyarakat menjadi satu-satunya pilihan, maka persoalan sangat
mendasar yang perlu diantisipasi dalam pemberdayaan warga belajar sebagai pola pembangunan
berbasis masyarakat harus bercirikan: (1) ada kebijakan yang menjamin hak dan kewajiban
warga belajar dalam menggali, merumuskan kebutuhan dan melaksaanakan aktifitas dalam
memenuhi kebutuhannya; (2) ada system informasi yang melembaga dalam masyarakat , (3) ada
upaya penguatan kapasitas atau kemampuan pengurus PKBM dan anggota kelompok dalam
pelaksanaan program; (4) ada transparansi keterpaduan visi dan misi program; (5) ada
akuntabilitas program, dan (6) ada lembaga yang menjadi mitra kerja pelaksanaan program.

Keenam ciri tersebut akan muncul apabila: (1) warga belajar mengetahui akan kebutuhan,
keinginan dan harapannya; (2) warga belajar mempunyai kesempatan dan keleluasaan untuk
memutuskan keinginan, kebutuhan dan harapannya; (3) warga belajar memahami visi, misi,
prinsip dan tujuan program; (4) warga belajar mengetahui tugas dan perannya; (5) warga belajar
mempunyai penggerak baik bersifat individual maupun kelompok; (6) warga belajar diberi
kepercayaan untuk melaksanakan program bahwa mereka mempunyai potensi.

6. Mendongkrak Minat Baca

Membaca sangat penting bagi setiap orang dalam rangka mengatasi kesenjangan pada
pengetahuan baru  dan  perubahan zaman. Penting  dan keharusan membaca diharapkan akan
terus meningkat dari tahun-tahun. Namun, jumlah mereka yang tahu bagaimana membaca tetapi
tidak memanfaatkan potensi ini juga meningkat. Masih banyak orang  muda dan tua, yang tidak
bisa mendapatkan akses pada kegiatan membaca dan program membaca di semua orang dan
beberapa yang mampu membaca tidak mendapatkan akses pada program membaca serta
kurangnya mendapatkan kepuasan dari membaca. Kelompok keaksaraan tidak memiliki banyak
minat awal dan kemanfaatan serta pemeliharaan dari kemampuan membaca. Kebiasaan
membaca harus dibangun dan dipromosikan sepanjang kehidupan. Minat baca tidak terlepas dari
kampanye keaksaraan yang luas, dalam arti mengajar orang untuk menulis dan membaca dan
menjadikan minat baca sebagai upaya memelihara keberlanjutan dari pembeajaran. Yang
menjadi persoalan bagi pembaca pemula bagaimana lebih memanfaatkan bahan bacaan dan
minat baca sebagai bagian dari  kebiasaan pribadi dan sosial mereka. Untuk meningkatkan
kecintaan pada minat baca peran pemerintah, nonpemerintah,  perpustakaan, sekolah dan
keluarga adalah sangat penting bagi kerjasama untuk mempromosikan kebiasaan membaca

Untuk memberikan solusi pada peningkatan minat baca akan diuraikan faktor yang
mempengaruhi minat baca, peran kelembagaan dalam menunjang minat baca, serta upaya
meningkatkan minat baca.
Berdasarkan hasil pengamatan pada satuan belajar yang diteliti terdapat tiga faktor utama yang
menghambat promosi membaca, diantaranya: pertama, kebiasaan yang didominasi budaya
mendengarkan atau tutur. Kelompok pembelajar awal khususnya hanya menekankan pada
kemampuan untuk melafalkan kembali, seperti dramatisasi, membaca animasi atau bahkan
demonstrasi. Penggunaan metode yang lebih didominasi penuturan ini karena buku-buku tidak
begitu tersedia. Kebiasaan yang merupakan budaya warisan menjadi kebiasaan dan menjadi
penghalang utama untuk meningkatkan kebiasaan membaca dari generasi ke generasi.
Singkatnya, pada saat ini masyarakat   masih bergantung informasi dari mulut kemulut dan
bukan bahan tertulis. Kedua, pengelolaan pusat kegiatan belajar masyarakat yang didalamnya
terdapat taman bacaan masyarakat yang berfungsi menampung aspirasi dan minat baca yang
menyangkut sumber daya, keuangan dan bahan bacaan belum tersedia dengan memadai.
Perpustakaan yang telah dianggap representatif berada jauh di luar wilayah tempat tinggal warga
belajar, dan untuk mencapainya dibutuhkan waktu dan kesiapan mental. Kendati terdapat
beberapa sumber bacaan seperti yang ada di sekolah dan kantor tertentu, selain tidak
diperuntukkan bagi pembaca pemula, sumber daya manusia tidak memiliki kesiapan untuk
menjadi fasilitator bagi pembaca pemula dewasa. Selain itu jumlah dan keragaman buku yang
bisa melayani pembaca pemula masih sangat terbatas. Ketiga, terdapat media tandingan terutama
televisi yang menyajikan program yang ditata berbasis pada penataan media jarum hipodermis,
dimana penonton tanpa reserve tunduk pada tampilan yang desuguhkan dengan sedikit nsekali
nilai nalar yang dipergunakan terutama untuk sesi iklan. Kenyataan ini yang telah menghinggapi
semua golongan penduduk, tua muda.

Untuk mendongkrak minat baca sebagai bentuk tindak lanjut dan pemeliharan pembelajaran
yang berkelanjutan dari aksarawan dewasa baru dibutuhkan dukungan tokoh dan lembaga yang
akan mendukung kinerja perpustakaan dan rumah baca lain yang ada pada lingkup aksarawan
dewasa baru. Kesulitan baru yang diarasakan sangat mengganggu yaitu kerjasama dan jaringan
diantara aktor pendukung minat baca. Mereka yang memiliki andil dalam upaya memelihara
kemampuan baru dalam membaca yaitu:

a.    Keluarga. Orang tua jelas agen sosialisasi penting. Orangtua yang menghabiskan waktu
membaca untuk anak-anak mereka memberi mereka awal terbaik di jalan menuju keaksaraan.
Banyak studi penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menunjukkan keterampilan
keaksaraan di sekolah adalah mereka yang berasal dari rumah dimana ada buku, dimana orangtua
mereka menghabiskan waktu untuk membaca bagi anak-anak mereka dan di mana anak-anak
melihat orangtua mereka dan saudara-saudara yang lebih tua terlibat dalam kegiatan membaca.
Beberapa cara yang pernah dilakukan dalam upaya meningkatkan minat baca yaitu membaca
buku cerita keras, menciptakan lingkungan belajar dengan mendirikan sebuah sudut mini
membaca dan diisi dengan bahan bacaan, mengunjungi perpustakaan, toko buku, kado buku
sebagai hadiah.

b.   Peran perpustakaan, pustakawan, program perpustakaan yang dianggap masih terlalu langka
terutama yang berada di pelosok sana. Perpustakaan merupakan sarana untuk merangsang dan
mengembangkan minat baca. Berikut ini adalah beberapa strategi yang perpustakaan dan
perpustakaan memainkan peranan penting dalam promosi membaca.
1)  Pustakawan terutama yang bertugas pada Taman Bacaan Masyarakat maupun mereka yang
bertugas pada aset lainnya seperti perpustakaan sekolah, daerah dan perusahaan harus membantu
mengembangkan antara sikap dan minat terhadap membaca. Sikap yang menyenangkan dan
positif dari pembaca harus dikembangkan terlebih dahulu sebelum seseorang dapat secara
otomatis membentuk kebiasaan membaca buku

2)  Fungsi utama pustakawan adalah untuk melayani program pendidikan formal maupun
informal. Ketika kita berpikir tentang peran pustakawan di pendidikan, kita berpikir tugas
utamanya untuk memberikan pelayanan pada yang membutuhkan dan memperlakukan buku.
Pustakawan juga sesungguhnya memiliki tanggung jawab dan kesempatan untuk pergi keluar
dan memberitahu publik apa yang mereka miliki dalam perpustakaan mereka dan mencari tahu
apa yang mereka ingin membaca. Dari hubungan dengan peminat buku ini, lembaga bisa
memperbaiki dan terus meningkatkan pemajangan perpustakaan untuk mendorong pembaca
berminat dan mencari bahan yang dibutuhkan yang tersedia di perpustakaan yang dikelolanya.

3)  Dalam setiap program perpustakaan yang efektif, pustakawan harus memiliki tanggung jawab
tambahan untuk menyediakan kurikulum dan kelengkapan bahan ajar untuk menunjang
kurikulum tersebut dan memiliki peran pengajaran aktif. Peran ini harus selalu dikoordinasikan
dengan kegiatan pembelajaran yang berlangsung dalam masyarakat seperti halnya. Dengan
pengetahuan yang luas tentang bahan dan teknik untuk menggunakan mereka, pustakawan dapat
membuat mitra yang kuat dalam perencanaan dan pelaksanaan dari lembaga pendidikan.

4)  Membuat perpustakaan dan taman bacaan menjadi lebih menarik bagi masyarakat.

c.    Bila minat baca seharusnya dijadikan sebagai icon nasional yang berfungsi menunjang
kemampuan sumber daya manusia dan membangun perubahan dan peningkatan peradaban dari
budaya tutur menjadi budaya baca perlu ditunjang dengan peran media massa Radio, TV, surat
kabar dan majalah yang dapat membantu mempromosikan proyek membaca, perpustakaan desa,
seminar-lokakarya pelatihan, wawancara otoritas membaca/penulis/tutor dan organisasi yang
terlibat dalam kegiatan membaca.

d.   Peran sektor swasta dan pemerintah dalam membantu pengabdi perpustakaan melakukan
peningkatan membaca masyarakat. Para  profesional seperti perguruan tinggi atau badan-badan
memainkan peran sangat banyak untuk sejenis taman bacaan masyarakat dan jasa melalui
kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan atau   kegiatan merangsang kegiatan membaca
dan menulis. Hari besar negara dan keagamaan dapat dipergunakan untuk kegiatan merangsang
minat membaca dan menulis.

Untuk itu beberapa metode yang dipertimbangkan efektif untuk meningkatkan minat baca pada
aksarawan baru yaitu:

a.    Mempromosikan list buku yang dapat diakses oleh pembaca aksarawan baru, dilihat dari
jenis, kalitas dan jumlah yang tersedia pada pangkalan baca tertentu. Ketersediaan buku juga
ditunjang dengan abstrak dari buku, sehingga para peminta dapat dengan mudah untuk
menjelajahi buku mana yang paling dibutuhkan. Buku dan kepustakaan yang tesedia harus
selektif diperuntukan bagi pelayanan tertentu.
b.   Terdapat kegiatan dimana membaca dipromosikan pada aksarawan baru. Beberapa contoh
yang perlu dipertimbangkan untuk kebijakan pengembangan minat baca yaitu:

1)       Promosi bacaan. Kegiatan bisa dilakukan kerjasama dengan pihak penulis yang secara
utuh menampilkan buku bacaan menggunakan media. Kegiatan ini bida dilakukan pada beberapa
hari besar yang berhubungan dengan pendidikan dan keaksaraan.

2)       Perlombaan membaca. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kebiasaan membaca di
kalangan aksarawan baru dengan menggunakan perpustakaan dianggap sebagai salah satu
potensi dalam pembangunan bangsa. Bahan kontes adalah sejumlah buku tentang sastra: prosa
dan puisi, dipilih pihak berwenang atau komite yang ada pada wilayah. Peserta kontes
diwajibkan untuk mengembangkan dan menyampaikan beberapa ringkasan dari buku yang
dibacanya.

3)       Bedah Buku. Strategi hemat biaya rendah dengan kemampuan untuk mencapai pemiarsa
yang lebih besar adalah bedah buku. Penyelenggara atau otoritas pada wilayah tertentu
bekerjasama dengan pustakawan atau pengelola taman bacaan masyarakat dan forum dapat
menetapkan jenis buku yang akan diungkap yang dilankutkan dengan pameran buku.

4)       Upaya untuk membacakan buku. Cara ini mungkin baru tapi bisa dikombinasikan dnegan
tanya jawab, penugasan yang berujung pada upaya memotivasi untuk membaca dan menulis.

5)       Pembacaan puisi kreatif. Sebenarnya terdapat potensi lokal yang berhubungan dengan
membaca seperti pembacaan hikayat atau wawacan. Pada kesempatan lain pembacaan dapat
dipadukan dengan nyanyian dan ritme tertentu sehingga memungkinkan penjiwaan dalam
membaca. Upaya untuk menggunakan cerita rakyat sebagai bagian dari peningkatan minat baca
perlu lebih dikembangkan ditunjang dengan sastra dan budaya daerah yang mudah difahami
masyarakat. Beberapa lagu daerah yang populer untuk wilayah tertentu potensi untuk dijadikan
materi pembacaan puisi kreatif.

6)       Buku bergambar. Buku seperti ini dapat menolong aksarawan baru menghayati buku yang
dibacanya. Buku bergambar yang paling menarik yang menantang dan membuat masalah.
Gambar harus cukup jelas dan tidak memberikan tafsiran yang terlalu berbeda.

7)       Jam Cerita. Kegiatan ini sebenarnya telah menjadi bagian dari siaran lokal. Bila ini
dipadukan dnegan pembelajaran bagi aksarawan baru dapat dikembangkan cerita yang akan
direspon oleh aksarawan baru dalam bentuk tugas yang akan dibahas di kelas.

8)       Bermain peran bagi Aksarawan Baru. Melalui kemampuan membaca skrip awal,
aksarawan baru dapat ditugasi untuk membaca dan memerankan atau simulasi peran bedasarkan
penghayatan pada bacaan. Untuk lebih menjiwai pengelola dapat memadukan dengan seting
ruangan yang menunjang penghayatan pada bacaan. Bahan yang diangkat dapat diambil dari
buku atau bagian dari buku yang berhubungan dengan kehidupan peserta belajar keseharian.

9)       Wayang. Bermain peran dapat dikombinasikan dengan pembuatan wayang atau boneka
yang dibuat oleh peserta belajar baik dengan menggunakan tanah liat, batang pohon  atau kertas
koran bekas atau wayang dan boneka yang dibuat di pasaran. Presentasi  mereka bisa
berdasarkan cerita atau episode tertentu dari sebuah buku. Antara pemeran dan penonton dapat
melakukan dialog berdasarkan pada improvisasi masing-masing.

10)  Kompetisi  kuis. Kuis  ini ditujukan untuk mendorong peserta belajar dewasa agar
menggunakan nalar yang diperoleh hasil membaca buku pelajaran sambil memperomosikan
mereka sendiri. Pemeranan dalam kuis dapat diukur dalam peringkat antara delapan sampai
sepuluh terbaik.

11)  Permainan. Beberapa materi yang dibaca dari buku dapat dikembangkan pada pembelajaran
yang lebih luas dalam bentuk permainan, menggunakan jigasaws, cardgames  terutama materi
yang berhubungan dengan karakter dan jauh lebih menarik.

12)  Promosi buku. Promosi buku dapat sangat berarti bagi pembaca maupun mereka yang
memiliki minat membaca, melalui ringkasan yang ada dalam buku,  promosi jenis dan harga
buku, jenis dan isi cerita atau dengan memperomosikan naskah-naskah lokal yang belum dicetak
yang dapat memberikan rangsangan pada minat baik pada mereka yang membutuhkan peluang
membaca maupun untuk ragam kepentingan lainnya

Semua usaha peningkatan minat baca, banyak menyangkut teknis akan tetapi yang lebih penting
dari itu adalah sifat dari peningkatan minat baca bukan hanya sekedar teknis akan tetapi kesatuan
antara pembelajaran, refleksi dan aplikasi. Semua itu amat tergantung pada hakikat
pengembangan minat baca sebagai sebuah layanan.

BAB IV

UPAYA PENINGKATAN PENDIDIKAN

KEAKSARAAN KELUARGA

Setelah melihat kondisi objektif Pendidikan Keaksaraan Keluarga (PKK) menilai kebaikan dan
kelemahan, peluang dan tantangan yang ada, pada bagian ini disampaikan upaya yang harus
dilakukan dalam meningkatkan kinerja PKK sebagai upaya yang lebih manusiawi dalam
mengatasi permasalahan keaksaraan bagi orang dewasa. Seperti diajukan terdahulu pola pikir
PKK dalam khasanah pendidikan bagi orang dewasa dan pemuda di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dengan hakikat PKK sendiri, minat baca, pendidikan keaksaraan usaha mendiri
sebagai upaya mendorong kelompok miskin dan menjaga keberlanjutan pembelajaran serta
tujuan pendidikan keaksaraan keluarga dalam kaitan dengan pemberdayaan atau lebih sfesifik
berkaitan dengan aksara untuk berdaya.

Paparan ini merupakan pertimbangan logis untuk lebih meningkatkan PKK sebagai upaya
sistemik pendidikan dan penghampiran warga negara pada bentuk peradaban yang tidak dapat
dipisahkan dengan informasi  yang hakikatnya keaksaraan itu sendiri.

A. Rujukan Perbaikan Pendidikan Keaksaraan Keluarga


Terdapat sejumlah rujukan dari PKK berkaitan dengan upaya perbaikan dan peningkatannya.
Pendidikan dalam rangka pembelajaran seumur hidup dimulai sejak tahun 1962 dengan
dideklarasikan pertemuan Rio de Janeiro mengenai hak melalui tiga ketetapan yaitu hak dasar
petani dan nelayan untuk maju maju berkelanjutan dalam kesimbangan dengan lingkungan.
Sejak dibuat kesepakatan nampaknya kemiskinan terutama petani dan nelayan masih dalam
kondisi stagnan atau bahkan semakin hari semakin bertambah buruk. Jumlah mereka dengan
predikat miskin per Agustus 2010 di Indonesia sebanyak 31,02 juta orang (13,33 persen) dan
didominasi oleh dua kelompok pekerjaan besar yaitu petani dan nelayan, dengan kefungsian
yang tidak diragukan untuk menunjang hajat hidup orang banyak terutama yang berhubungan
dengan penyediaan energi, baik yang bersumber dari sandang dan pangan maupun hasil laut.

Konvensi berikutya yaitu pertemuan Jomtien tahun 1990 mengenai pendidikan untuk semua.
Penekanannya terletak pada:   promosi  akses dan ekuitas Universal; lebih fokus  pada
pembelajaran; perluasan makna  dan ruang lingkup pendidikan dasar; meningkatkan lingkungan
untuk belajar; serta memperkuat kemitraan. Nampaknya diskrepansi antara ide dengan kenyataan
masih tetap menandai praktik pendidikan untuk semua terutama bagi kelompok yang kurang
beruntung. Dari mulai akses dan kesamaan hak, dominasi mengajar dibanding pembelajaran,
perluasan makna pendidikan dasar, sampai saat ini masih terbatas pada kemampuan baca tulis
dan tidak bergerak dari ketergantungan dan tidak mampu menempatkan sebagai pendidikan
dasar yang dan diharapkan mampu untuk melakukan pembelajaran lanjutan. Dalam sisi lain
lingkungan belajar yang diharapkan mampu memicu keinginan untuk belajar masih belum
bergerak dari pembelajaran klasik yang dianggap menambah beban baru. Hal ini sejalan dengan
kemitraan yang tidak bergerak dari pemeranan pendidikan sebagai kareer solo, kendati banyak
pihak   setuju bahwa pendidikan adalah kepentingan semua pihak.

Tindak lanjut dari pertemuan Jomtien yaitu pertemuan Dakar tahun 2000 yang menghasilkan
obsesi Delor bahwa pendidikan merupakan harta karun, bilamana mampu mewujudkan learning
to know, learning to do, learning to live together and learning to be. Dalam kenyataan
pendidikan hanya terbatas pada kemampuna kognisi dan amat kurang apresiasi pada pengaruh
dari pendidikan terutama dorongan untuk bekerja, hidup rukun dan aplikasi hasil belajar dalam
kehidupan. Untuk menegaskan keinginan tersebut ditetapkan keputusan Dakar dalam pokok
sebagai berikut:

1.        Memperluas dan meningkatkan pendidikan bagi anak dini usia, terutama mereka yang
kurang memiliki peluang dan kurang beruntung;

2.        Menjamin bahwa pada tahun 2015, terutama bagi kelompok perempuan, anak yang berada
pada lingkungan yang kurang memadai dan dari kelompok etnis minoritas memiliki peluang
untuk menyelesaikan wajib belajar pendidikan dengan kualitas yang baik;

3.        Memberikan jaminan bahwa kebutuhan belajar bagi pemuda dan orang dewasa dapat
dipenuhi dengan peluang yang sama untuk mendapatkan pengajaran dan kecakapan yang
memadai;
4.        Mencapai 50% perbaikan bagi orang dewasa yang belum melek huruf pada tahun 2015,
terutama bagi kelompok perempuan, dan peluang yang sama untuk memperoleh pendidikan
dasar dan pendidkan yang berkelanjutan bagi orang dewasa;

5.        Membatasi ketidakadilan gender  untuk pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005
dan mencapai kesetaraan gender pada tahun 2015;

6.        Meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin program yang sempurna
sehingga hasil pemelajaran dikenal dan dapat diukur dari segi keluarannya bagi semua, terutama
yang berhubungan dengan kemelekhurufan, kemampuan menghitung dan life skill

Bila disimak penegasan yang terdapat pada pertemuan Dakar kembali pada masyarakat miskin
yang sulit untuk disentuh, baik untuk anak usia dini, pemuda, perempuan maupun bagi orang
dewasa yang masih buta huruf dan hidup dalam dunia yang berbeda terutama dalam
memanfaatkan kemampuan baca tulis untuk mengikuti perkembangan dan penciptaan ilmu
pengetahuan. Budaya tutur yang kurang efisien dalam menciptakan budaya karena ketiadaan
dokumen, membuat semua produk pemikiran yang tidak terhingga banyaknya akan hilang pada
saat putus mata rantai penutur. Hal ini yang kemudian ditekankan tentang pentingnya
keberkualitasan, keterukuran dan penguasaan life skill, termasuk kemampuan keras dan lunak.
Kemampuan keras saat ini sangat tergantung pada penggunaan otot sedangkan kemampuan
lunak menyertai jenis pekerjaan yang  hanya terbatas pada kefungsian sebagai tukang dan bukan 
sebagai manajer maupun employe.

Memang hampir menghadapi kebuntuan menghadapi kenyataan sumber daya yang miskin,
seperti ternyata dikeluarkan kembali pada tujuan milenium tahun 2005. Lihat saja penekanannya
seperti:

1.        Menghapuskan Kemiskinan dan Kelaparan Ekstrim

2.        Mencapai Pendidikan Dasar Universal

3.        Mempromosikan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan perempuan

4.        Mengurangi Angka Kematian Anak

5.        Meningkatkan Kesehatan Ibu

6.        Memerangi HIV / AIDS, malaria dan penyakit lainnya.

7.        Memastikan Keberlanjutan Lingkungan.

8.        Mengembangkan Kemitraan Global untuk pembangunan

Untuk menghilangkan kebuntuan dan menghadapi kenyataan pendidikan kejutan (Botkin, 1986)
ditandingi dengan pendidikan untuk maju berkelanjutan (education for sustainable development)
melalui deklarasi Bonn tahun 2009 yang kemudian dipopulerkan dengan sebutan ESD. Memang
pendidikan hampir tidak memiliki makna yang jelas tanpa adanya keberlanjutan. Pokok-pokok
yang terdapat pada kesepakatan itu, menekankan mengenai hakikat ESD, kebijakan dan praksis. 
Hakikat ESD adalah sebagai berikut:

1.        Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan adalah menetapkan arah baru untuk
pendidikan dan pembelajaran untuk semua

2.        ESD membantu masyarakat untuk menangani prioritas isu-isu yang berbeda antara lain:
air, energi, perubahan iklim, bencana dan pengurangan risiko, hilangnya keanekaragaman hayati,
krisis pangan, risiko kesehatan, kerentanan sosial dan ketidakamanan. Hal ini penting untuk
pengembangan pemikiran ekonomi baru

3.        ESD didasarkan pada nilai-nilai keadilan, pemerataan, toleransi, dan tanggung jawab.

4.        Mempromosikan kesetaraan gender, kohesi sosial dan pengurangan kemiskinan dan
menekankan perawatan, integritas dan kejujuran, seperti tertuang dalam Piagam Bumi

5.        ESD menekankan pendekatan kreatif dan kritis, inovasi berpikir panjang, panjang dan
pemberdayaan untuk menangani ketidakpastian, dan untuk memecahkan masalah kompleks

6.        Terkait dengan kebutuhan yang berbeda dan kondisi kehidupan nyata orang, ESD
memberikan keterampilan untuk mencari solusi dan mengacu pada praktek-praktek dan
pengetahuan tertanam dalam budaya lokal sebagai ide-ide baru juga di dan teknologi

Berdasarkan kenyataan ini langkah yang harus diambil terdiri dari kebijakan dan praktis. Pada
tingkat kebijakan:

1.        Promosikan ESD yang memiliki kontribusi bagi pendidikan untuk semua dan untuk
mencapai kualitas pendidikan

2.        Meningkatkan kesadaran masyarakat dan pemahaman tentang pembangunan


berkelanjutan dan ESD

3.        Memobilisasi sumber daya dan pendanaan yang memadai dalam mendukung ESD

4.        Re-orientasi pendidikan dan sistem pelatihan untuk mengatasi masalah kesinambungan
melalui kebijakan yang melekat pada tingkat nasional dan lokal

5.        Mengembangkan dan memperkuat kebijakan internasional, suatu mekanisme yang


memungkinkan kerjasama regional dan nasional   untuk ESD yang menghormati keragaman
budaya

Pada tingkat praktis:

1.        Reorientasi kurikulum dan program pendidikan guru untuk mengintegrasikan ESD ke
kedua pre-service dan program in-service
2.        Mendukung penggabungan isu-isu pembangunan berkelanjutan menggunakan pendekatan
terpadu dan sistemik dalam pendidikan formal maupun pendidikan non-formal dan informal
pada semua tingkatan

3.        Mempromosikan dialog tentang ESD, menghargai dan meningkatkan  relevansi,


penelitian dan strategi evaluasi, dan berbagi best practice

4.        Mengembangkan dan memperluas kemitraan ESD untuk mengintegrasikan ESD ke


pelatihan, pendidikan kejuruan dan belajar di tempat kerja yang melibatkan sektor masyarakat
sipil, publik dan swasta, LSM, dan mitra pembangunan.

5.        Memberikan penghargaan dan kepemilikan pada pemuda

6.        Meningkatkan kontribusi dan peran penting dari masyarakat sipil dalam menstimulasi
debat dan partisipasi publik, dan tindakan memulai ESD

7.        Memberikan nilai dan pengakuan kontribusi penting dari sistem pengetahuan tradisional,
masyarakat adat dan lokal untuk ESD dan kontribusi nilai budaya yang berbeda dalam
mempromosikan ESD

8.        Mempromosikan secara aktif kesetaraan gender

9.        Mengembangkan pengetahuan melalui jaringan ESD

10.    Mendorong dan meningkatkan keunggulan ilmiah, penelitian dan pengembangan


pengetahuan baru untuk ESD melalui keterlibatan lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan
jaringan penelitian di ESD

11.    Mengembangkan mekanisme kelembagaan

12.    Melibatkan keahlian

13.    Meningkatkan upaya dalam sistem pendidikan dan pelatihan untuk mengatasi tantangan
keberlanjutan kritis dan mendesak seperti perubahan iklim, air dan ketahanan pangan dengan
mengembangkan rencana tindakan tertentu dan/atau program dalam payung dan kerangka
kemitraan

Memperhatikan langkah yang perlu dilakukan baik yang berhubungan dengan tingkatan
kebijakan maupun dari sisi praksis, menunjukkan mengenai perlunya penanganan pendidikan
untuk pembangunan berkelanjutan ditata. Pada sisi lain juga menujukkan betapa seriusnya
konsep ini sebagai tanggapan pada pendidikan saat ini yang sangat terbatas pada kegiatan yang
berlangsung di permukaan terbukti tidak sukup berartinya lulusan pendidikan tinggi sekalipun
dalam meningkatkan kinerja hasil pendidikan dan terbukti lebih memilih menganggur. Hal ini
pun tidak terkecuali untuk pendidikan keaksaraan yang perlu ditata lagi agar hasil pendidikan
memberikan efek berkelanjutan baik untuk mengembangkan pengetahuan maupun penghidupan
yang lebih baik dari peserta belajar.
B. Peningkatan Pendidikan Keaksaraan Keluarga

Sepanjang sejarah, keluarga telah menjadi sumber kekuatan utama belajar. Sebelum diberikan
mandat pembelajaran kepada sekolah, anak-anak diajar di rumah oleh orang tuanya, saudara
yang lebih tua, kakek-nenek, dan/atau kerabat lainnya. Dengan diperkenalkannya sekolah,
sejumlah pengajaran nilai-nilai, praktek budaya, dan keterampilan seperti memasak, menjahit,
pertanian dan perburuan masih diajarkan oleh keluarga. Saat ini pun, meskipun masyarakat luas
dan menjamurnya sistem pendidikan sekolah, beberapa orang tua masih tetap memilih untuk
mengajar anak-anak mereka di rumah, dengan keyakinan bahwa pembelajaran dalam lingkungan
keluarga adalah cara terbaik untuk memastikan hasrat mengajar pada anak mereka.

Lembaga sosial seperti halnya Pendidikan Keaksaraan Keluarga, telah menunjukkan fungsinya
sebagai tempat utama belajar, menyediakan sarana, pelatihan dan bantuan kepada keluarga untuk
mempromosikan keaksaraan. Keluarga telah berkiprah sebagai tempat pilihan pengembangan
melek huruf dan mengambil inisiatif keaksaraan keluarga yang mencerminkan penghormatan
terhadap keluarga sebagai situs pembelajaran.

Pengajaran keaksaraan dalam konteks keluarga dan bermanfaat bagi anggota keluarga adalah
sebuah pendekatan digambarkan oleh Auerbach (1989), yang berpendapat bahwa praktek-
praktek budaya dan sosial dari sebuah keluarga adalah pertimbangan utama dalam
pengembangan program keaksaraan keluarga. Model sosio-kontekstual Auerbach yang
digunakan sesuai dengan pembelajaran kontekstual dan pendekatan belajar untuk perkembangan
ilmu pengetahuan. Pendekatan ini didasarkan pada proposisi bahwa siswa belajar terbaik ketika
belajar bermakna bagi mereka dan berada dalam konteks lingkungan sosial mereka. Model ini
mengakui demikian relevannya untuk membawa konsep keaksaraan kelingkungan keluarga dan
rumah. Model juga melihat  kontribusi positif dari anggota keluarga dengan pertimbangan
pengaruh nilai-nilai dan praktek budaya terhadap pengembangan keaksaraan.

Konsep keaksaraan keluarga memiliki perbedaan dengan yang berlangsung pada lingkungan
sekolah. Pendidikan keaksaraan keluarga diarahkan kepada orang-orang dari kelompok miskin,
minoritas, dan/atau keluarga imigran yang memiliki kekurang-mampuan dalam keaksaraan.
Program  ini mengasumsikan bahwa individu-individu ini memiliki kesulitan karenanya
membutuhkan model keaksaraan yang dapat diterima untuk keluarga. Mengacu pada asumsi ini
menuntut pendidik untuk mendefinisikan kembali hubungan keaksaraan dengan kemiskinan dan
status sosial ekonomi dan  mengakui potensi yang dimiliki keluarga  misalnya  bahasa, beberapa
pendekatan keaksaraan, dan kemampuan untuk  menjadikan kehidupan mereka sebagai bahan
pembelajaran .

Walaupun kemampuan dalam melaksanakan pendidikan tidak seperti yang berlangsung pada
sekolah dan tidak mendapatkan penghargaan yang sama, terdapat cara-cara dimana semua orang
tua memberikan kontribusi keaksaraan dan kesadaran kontribusi tersebut  terjadi jika orang tua
terlibat dalam pengalaman keaksaraan yang diaplikasikan secara  bermakna dalam kehidupan
mereka. Program ini dirancang dengan cara melibatkan semua pihak dalam keluarga dalam
mengembangkan keaksaraan melalui berbagi pengalaman kehidupan nyata (Griswold dan
Ullman 1997). Konsep ini berkembang melalui kemitraan antara sekolah  dengan keluarga, dan
berbagi cara sebagai sarana meningkatkan membaca, menulis, dan berbicara. Karena kedekatan
sosial ini beberapa peserta menyiapkan hidangan yang mereka bawa untuk dicicipi anggota
keluarga lain; beberapa lagi membawa resep yang ditulis bersama hidangan populer yang
disajikan bersamaan dengan kenangan mengenai makanan tersebut; dan beberapa menceritakan
asal usul makanan mereka berasal. Dengan cara ini merupakan alat yang ampuh untuk
meningkatkan pengetahuan dan melek huruf dari semua peserta dan merupakan contoh dari
pembelajaran kontekstual di lingkungan masyarakat.

Komunikasi tentang pengalaman pribadi juga merupakan bagian pembelajaran sesama


komunitas pekerja miskin. Peserta dalam kegiatan program didorong untuk mendiskusikan
pengalaman pendidikan mereka dan untuk menjelaskan beberapa cara di mana mereka
membantu anak-anak mereka dalam keaksaraan keaksaraan. Dengan menyoroti kesamaan antara
pengalaman dan praktek pembelajaran yang telah mereka alami, maka pembelajaran menjadi
tidak seseram seperti yang dibayangkan.

C. Keragaman Program dalam Pendidikan Keaksaraan Keluarga

Dalam PKK dikenal bahwa ibu adalah sosok yang paling penting dalam pendidikan keluarga.
Selama ini perhatian lebih banyak tercurah pada hubungan satu arah dari ibu kepada anak, dan
kurang memberdayakan dari proses dimana terdapat potensi sosial psikologis yang belum
dimanfatkan dalam meningkatkan makna pendidikan keaksaraan keluarga. Selama ini masih
dinilai kurang diberdayakan hubungan yang dapat dikembngkan dalam pembelajaran sesama
orang dewasa maupun sesama saudara seperti yang berkembang selama ini pada berbagai budaya
masyarakat.

Studi yang dilakukan Puchner (1997) melihat potensi dalam pembelajaran bahasa Inggris
imigran Asia Tenggara di Amerika Serikat, dimana pembelajaran keaksaraan dan berbahasa
Inggris dilakukan antara sesama saudara karena kemampuan orang tua  terbatas dalam membantu
anak-anak mereka. Orang tua yang memiliki keterbatasan kemampuan bahasa Inggris, misalnya 
sering kurang percaya diri dalam kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam program
keaksaraan keluarga. Dalam hal ini tutor keaksaraan, telah berkontribusi pada peningkatan
kesadaran orang tua dalam pendidikan keaksaraan dengan cara menyediakan  waktu dan tempat
bagi anak-anak mereka untuk melakukan pekerjaan rumah dan/atau dengan mengamati dan
memberikan perhatian pada anggota keluarga dan anak yang lebih besar untuk membimbing
kelompok yang lebih kecil dalam mengerjakan kegiatan PR. Karena kesadaran akan kemampuan
orang tua dalam memfasilitasi pengembangan keaksaraan yang demikian berharga, kepercayaan
pada diri sendiri meningkat dan berpendapat tidak sepatutnya memberkan kepercayaan yang
berlebihan kepada pihak lain dalam melakukan pendidikan pada anak-anak mereka.

Variasi lain yang berkembang pada keluarga dengan tingkat melek huruf yang rendah dapat
dilakukan dengan cara yang relatif baru, dengan bantuan tutor seorang ayah dapat menceritrakan
pengalaman dalam pekerjaannya dan direkaman dalam tape recorder. Selanjutnya istrinya
diminta untuk mendengarkan rekaman dan menulis di atas kertas kata-kata yang telah dicatat
sehingga ia bisa membacanya kembali kepada suaminya. Pada kesempatan lain tutor kunjung
dapat membawa buku bergambar ke rumah untuk ayah dan anak untuk melihat sementara ia
menceritakan  kisah yang ada dalam buku bergambar. Contoh ini menggambarkan tiga aspek
pendekatan pendidikan keaksaraan yaitu: (1) makna pendidikan keaksaraan untuk tujuan dan
aspek yang lebih luas, (2) pengalaman belajar dapat mendorong kemampuan belajar, dan (3)
belajar dapat dilakukan dengan cara yang tidak langsung.

Dari aspek sosial psikologis PKK yaitu sebuah program yang intensif dalam waktu dan upaya
perubahan yang berkelanjutan dalam keluarga dengan mengintegrasikan kekuatan-kekuatan.

1. Simak

Membaca  fonetik,

a.    Kegiatan keaksaraan interaktif antara orang tua dan anak-anak mereka;

b.   Pelatihan bagi orang tua tentang bagaimana menjadi guru utama  dan mitra penuh dalam
pendidikan anak-anak mereka;

c.    Keaksaraan sebagai pangkal pelatihan yang mengarah pada kecukupan ekonomi

d.   Sebuah pendidikan usia yang tepat untuk mempersiapkan anak-anak untuk sukses di sekolah
dan kehidupan.

Pendidikan Keaksaraan Keluarga sebuah program dengan cara menyediakan dukungan jangka
panjang untuk seluruh keluarga untuk mengembangkan keterampilan membaca dan bekerja
sesuai dengan tujuan pendidikan. Keaksaraan keluarga berangkat dari proposisi bahwa semua
anggota keluarga memiliki kekuatan. Tutor kunjung bermitra dengan keluarga untuk
mempromosikan konsep pendidikan partisipatif diantara orang dewasa dan anak-anak. Layanan
budaya yang relevan dikembngkan, dan keluarga dihormati karena kedalaman dan kekayaan
pengalaman hidup mereka. Kemitraan melalui keluarga mempromosikan keaksaraan sebagai
sesuatu yang bermakna bagi keluarga maupun sekolah. Program  tersebut dapat dianggap sebagai
strategi yang efektif untuk menghindarkan kesenjangan prestasi yang terjadi bagi keluarga
berpenghasilan rendah.

Program keaksaraan keluarga dibangun berdasar pada prinsip-prinsip berikut:

a.    Menghargai makna pendidikan sebagai cara  untuk sukses dalam kehidupan;

b.   Peran sentral dari orang tua dalam perkembangan anak;

c.    Identifikasi kekuatan individu, dan

d.   Nilai belajar dalam kehidupan.

2. Makna dan Upaya Peningkatan PKK

Anak yang sukses dalam pendidikan dan kehidupan sangat dipengaruhi oleh pendidikan orang
tua, situasi ekonomi keluarga, di mana mereka tinggal, dan keutuhan orang tua. PKK memiliki
nilai folosofis bahwa keaksaraan keluarga memiliki pengaruh yang kuat bagi kemajuan anak dan
masa depan mereka. Keterlibatan orangtua adalah betuk kemitraan yang akan memberikan
dampak pada pendidikan anak mereka. PKK juga melibatkan secara penuh anggota keluarga
dalam mendorong keberhasilan pendidikan anak dan keluarga. Selanjutnya, melalui PKK
keluarga akan mendorong anggota keluarga untuk memperleh pekerjaan dan berhasil dalam
pekerjaan mereka dan serta merta mengembangkan keaksaraan dalam lingkungan kerja mereka.
Dengan terjaminnya pekerjaan maka kesetabilan dalam keluarga dan menjamin kesejahteran
yang lebih langgeng bagi keluarga.

PKK umumnya berlangsung pada masyarakat yang memiliki visi keunggulan bagi anggota
keluarga. Karenanya PKK mandapat dukungan penuh dari sekolah, organisasi nirlaba, perguruan
tinggi, dan perpustakaan. Model pendidikan antargenerasi dapat ditemukan di semua negara, dari
desa ke metropolitan, dimana pelayanan keaksaraan dapat dilihat sebagai upaya puncak dari
pendidikan masyarakat secara keseluruhan. PKK ditujukan pada mereka yang paling
membutuhkan layanan keaksaraan. Indikator kelompok ini yaitu:

a.    Tingkat pendapatan rendah;

b.   Tingkat melek huruf rendah, dan / atau

c.    Terbatas kemampuan bahasa di luar bahasa ibu.

Seringkali, keluarga tidak mungkin memiliki akses pada layanan PKK karena tidak mampu
mengakomodasinya. Karena biaya dan aksesibilitas dapat menimbulkan hambatan untuk
berpartisipasi, karenanya penting untuk mempertimbangkan lokasi dan sumber daya yang
tersedia ketika melaksanakan PKK. Terdapat PKK yang berhasil karena ditunjang aksesibilitas
dan kedekatan lokasi dimana orang hidup dan bersosialisasi. Berdasarkan pertimbangan ini
terdapat sejumlah prasarat untuk keberhasilan PKK, yaitu:

a.    Pentingnya kolaborasi dalam pendidikan keaksaraan keluarga.

b.   Pastikan untuk mengidentifikasi lembaga-lembaga di komunitas yang berkomitmen untuk


menyediakan layanan berbasis kekuatan keluarga. Badan-badan ini mungkin sudah mendukung
satu atau lebih dari komponen keaksaraan keluarga melalui pekerjaan mereka.

c.    Mulailah mengeksplorasi cara-cara terbaik yang ditujukan pada kemanfaatan keluarga
melalui layanan bersama atau sebuah sistem lintas kepentingan. Sebuah program keaksaraan
keluarga harus menekankan pada layanan berkualitas tinggi dalam masyarakat.

d.   Untuk memastikan bahwa pelayanan pendidikan sempurna bagi keluarga lembaga yang
diajak berkolaborasi adalah mitra aktif dalam PKK.

e.    Keluarga sebagai pemangku kepentingan utama selama proses PKK harus sejak awal
diminta masukan dan harus secara aktif memberikan layanan yang diperlukan, kolaborator
potensial, dan perekrutan tenaga pendaping yang ada dalam masyarakat.
Selain dari itu dibutuhkan sejumlah penunjang yang akan memberikan dampak pada
keberhasilan PKK yaitu:

a.    Lembaga sosial yang bergerak dalam memfasilitasi, pengembangan populasi etnis miskin;

b.   Lembaga yang mengembangkan bahan ajar yang diperuntukan bagi PKK, novel dan suasana
pembelajaran yang menarik, dan mengembangkan kesadaran tentang buta huruf pentingnya
belajar seumur hidup, meningkatkan motif belajar mereka, memperbaiki hidup mereka dan
kemampuan meningkatkan kehidupan.

c.    Lembaga yang giat dalam melakukan percobaan, dan membuat kebijakan terutama dalam
mengembangkan visi pendidikan keaksaraan dan mengembangkan pendidikan untuk populasi
etnis miskin di daerah pedesaan;

d.   Instansi atau lembaga yang membuat buku pelajaran model pendidikan keaksaraan keluarga
dan bahan bacaan pelengkap yang berorientasi pada pertimbangan psikologis dan kebutuhan
mereka dalam kehidupan sehari-hari dan bekerja untuk kelompok etnis, meningkatkan fungsi
organisasi pendidikan, proses pengajaran dan metode pengajaran pendidikan keaksaraan dan
mencari cara untuk mengarahkan prinsip-prinsip dan metode untuk meningkatkan kualitas
pengajaran keaksaraan kelompok  etnis dan komunitas tertentu;

e.    Lembaga yang mengembangkan penelitian untuk membangun suatu sistem evaluasi
indikator yang efektif untuk keaksaraan dan pendidikan pasca-keaksaraan bagi komunitas
tertentu terutama di daerah pedesaan.

PKK banyak sekali mensiratkan kelompok miskin, sehingga dalam beberapa hal perlu
mendapatkan penjelasan dari sisi sosial dan psikologisnya. Kemiskinan dapat dijelaskan dalam
berbagai aspek seperti  alasan sejarah, geografi dan lingkungan yang tidak bersahabat,
kelemahan dalam budaya dan tradisi, keterbelakangan dalam nilai dan ideologi, aplikasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tertinggal, dll. Secara umum alasan utama adalah pendidikan
yang tidak efisien dan akibatnya kualitas tidak memuaskan dan produktivitas dari pendidikan
kurnag terukur. Semua ini berlangsung seperti lingkaran setan  proses kemiskinan. Hubungan
sistemik yang menyelimuti mereka melemahkan ambisi mereka, rendahnya kepercayaan diri dan
keterampilan untuk meningkatkan kondisi kehidupan, yang pada gilirannya menyebabkan
kemiskinan atau semakin menurunkan tingkat kemiskinan mereka. Sementara itu, pengaruh dari
pendidikan tidak terlalu memberkan kontribusi pada kehidupan mereka. Dalam era ekonomi
berbasis pengetahuan, variabel yang menentukan kecepatan pembangunan ekonomi dan sosial
untuk negara atau daerah adalah manusia terdidik sebagai sumber daya yang memadai kuantitas
dan kualitasnya serta angkatan kerja yang produktif yang mampu memanfaatkan sumber daya
alam dan kelembagaan. Akibatnya, pembangunan ekonomi dan sosial termasuk pengentasan
kemiskinan tergantungpada pemberdayaan kemampuan produksi/menghasilkan barang dan jasa
melalui pendidikan.Bagaimana memahami kemiskinan? Kemiskinan biasanya terkait dengan
kelaparan, kekurangan pangan, miskinkebersihan, tempat tinggal yang buruk, dll. Bank Dunia
dan UNESCO juga mendefinisikan kemiskinan dari perspektif ekonomi. Kita begitu terbiasa
untuk melihat ke dalam kemiskinan dalam arti ekonomibahwa kita cenderung melihat fenomena
kemiskinan daripada studi penyebab maupun implisitdan eksplisit. Bahkan, kemiskinan harus
dilihat dari multi-dimensi, yaitu, ideologis dan kemiskinan intelektual selain satu tidak akurat
dan tidak lengkap yang berkaitan dengan ekonomi, yang menjadi inti dari pemahaman kita.
Kemiskinan  ideologi terdiri dari beberapa variasi seperti cara berpikir yang tidak memadai,
kurangnya semangat modern, kesadaran pada kewirausahaan dan daya saing. Kemiskinan
intelektual ditunjukkan kurangnya dasar pengetahuan yang diperlukan bagi warga untuk hidup
produktif, bagi diri maupun kegiatan sosial.

Strategi yang diambil dalam mengurangi kemiskinan. Terdapat sejumlah strategi yang sangat jitu
dalam mengurangi kemiskinan, antara lain:

a.    Peran sentral dari pemerintah daerah. Peningkatan pendidikan didalamnya pendidikan
keaksaraan dan pengentasan kemiskinan adalah tanggungjawab utama pemerintah di tingkat
lokal. Tanggungjawab ini harus merata dari mulai pucuk pimpinan pemerintah daerah sampai ke
pemerintah desa. Pemerintah daerah bertanggungjawab dalam memfasilitasi ruangan belajar,
fasilitas, gaji guru, dll. Pemerintah harus meningkatkan upaya dalam meningkatkan investasi
untuk pengentasan kemiskinan.

b.   Peran kelompok peneliti proyek yang utamanya berasal dari perguruan tinggi dan tenaga
profesi lainnya. Sekelompok peneliti proyek dibentuk. Kelompok ini bertemu secara teratur
untuk membahas masalah dalam pelaksanaan proyek dan menemukan solusi dalam mengatasi
kemiskinan. Anggota kelompok ini bertanggung jawab terutama untuk penggalangan dana
melalui berbagai cara untuk tujuan melakukan penelitian, mengorganisir seminar tentang tugas-
tugas eksperimental tertentu, membuat tugas-tugas yang jelas untuk setiap subproyek  dan
menugaskan  individu untuk penelitian tertentu, memiliki bengkel lokal kecil tentang tugas-tugas
penelitian tertentu, membimbing dan berpartisipasi dalam menulis dan mencetak buku teks
melek pendidikan atau bahan bacaan, koordinasi berbagai pihak dan memobilisasi sumber daya
lokal untuk mendukung proyek, pelatihan pelatih dan guru yang terlibat dalam proyek.

c.    Koordinasi dari semua sektor masyarakat untuk kampanye dalam pengentasan kemiskinan.
Pengentasan kemiskinan adalah rekayasa sistematis yang membutuhkan partisipasi dari semua
sektor sosial lainnya selain pendidikan. Penduduk miskin terjebak dalam kesakitan, pegunungan,
berbatu, gurun, dataran tinggi yang dingin dan dilanda epidemi dan kekurangan air, dengan
infrastruktur yang buruk. Pemerintah  setempat harus menerapkan kebijakan yang komprehensif
mendorong partisipasi sosial bagi pengentasan kemiskinan di daerah-daerah. Pemerintah tidak
hanya terlibat dalam pembuatan kebijakan yang relevan dan investasi tetapi mengembangkan
organisasi bagi masyarakat, LSM dan individu didalamnya. Beberapa usaha transdepartmental
dilakukan dengan menggabungkan upaya tiap cabang yang bergerak dalam pemerintahan di
bidang pertanian, peternakan, kehutanan, pertanian dengan produk pengolahan, infrastruktur,
penelitian, promosi dan penerapan teknologi, kesehatan, lingkungan pendidikan, dll. Pemerintah
daerah berfungsi sangat penting dalam melakukan koordinasi melalui kegiatan akses yang tepat
terhadap sumber daya dalam bentuk tenaga dan dana bagi masyarakat yang kurang beruntung.

d.   Integrasi PKK di pedesaan dan proyek pengentasan kemiskinan. Sebagai dasar untuk
pendidikan orang dewasa, promosi langsung keaksaraan harus melayani kemampuan produksi
dan hidup orang dewasa pedesaan, sebagai proyek yang berkelanjutan.  Hal ini baru dapat
dikatakan menarik dan bermanfaat bagi kelompok yang kurang beruntung manakala
dikombinasikan dengan teknik praktis dan relevan dalam bidang kerajinan dan pertanian atau
kegiatan ekonomi lainnya. Dengan  demikian PKK tidak hanya membatasi pada kemampuan
membaca, menulis dan dan berhitung berdasarkan belajar mandiri, tetapi juga terpadu dengan
pendidikan kewarganegaraan, produksi dan hidup, sanitasi, lingkungan;   tetapi difasilitasi juga
pendidikan perempuan, misalnya, pendidikan keluwesan dan kemandirian, kebersihan dan
perawatan anak dan ekonomi keluarga.  Pada masyarakat dengan tingkat kemajuan sosial
ekonomi rendah, materi tambahan seperti budaya etnik dan tradisi dapat dimasukkan ke dalam
pendidikan secara sukarela. Dengan cara ini PKK akan semakin dapat memotivasi dan pada 
gilirannya dapat meningkatkan kualitas kegiatan literasi dan mempercepat proses pengentasan
kemiskinan di daerah tertinggal.

e.    Rendahnya pengetahuan mendorong komunitas untuk berpikir tidak rasional seperti
kepercayaan yang berlebihan pada nasib dan takhayul, karena kurangnya kurangnya informasi
dan kegiatan budaya. Melalui PKK sangat bermanfaat dalam memberikan pemahaman pada
masyarakat pedesaan, terutama dalam mengentaskan kemiskinan di daerah-daerah. Secara
umum  pengembangan bahan PKK diperlukan untuk: a) pengambilan kebijakan negara dalam
bentuk pengembangan tujuan dan prinsip-prinsip, seperti halnya penekanan pendidikan literasi
dalam mengurangi tingkat kemiskinan. b) bahan belajar yang praktis misalnya sekitar masalah
yang dihadapi oleh penduduk yang kurang beruntung, misalnya masalah air minum,wc, kandang
ternak dan lain-lain; c) untuk mengeksplorasi variasi dalam format bahan ajar  keaksaraanseperti
buku, booklet, leaflet, buku bergambar, poster, bahan audio-visual, dan lain-lain.

D. Minat Baca, Motivasi Internal Pendidikan Keaksaraan Keluarga

Membaca sangat penting bagi setiap orang dalam rangka mengatasi kesenjangan pada
pengetahuan baru dan perubahan zaman. Penting dan keharusan membaca diharapkan akan terus
meningkat dari tahun-tahun. Namun, jumlah mereka yang tahu bagaimana membaca tetapi tidak
memanfaatkan potensi ini juga meningkat. Masih banyak orang  muda dan tua, yang tidak bisa
mendapatkan akses pada kegiatan membaca dan program membaca di semua orang dan beberapa
yang mampu membaca tidak mendapatkan akses pada program membaca serta kurangnya
mendapatkan kepuasan dari membaca. Kelompok keaksaraan tidak memiliki banyak minat awal
dan kemanfaatan serta pemeliharaan dari kemampuan membaca. Kebiasaan membaca harus
dibangun dan dipromosikan  sepanjang kehidupan minat baca tidak terlepas dari kampanye
keaksaraan yang luas, dalam arti mengajar orang untuk menulis dan membaca dan menjadikan
minat baca sebagai upaya memelihara keberlanjutan dari pembeajaran. Yang menjadi persoalan
bagi pembaca pemula bagaimana lebih memanfaatkan bahan bacaan dan minat baca sebagai
bagian dari kepribadian pribadi dan sosial mereka. Untuk meningkatkan kecintaan pada minat
baca peran pemerintan, nonpemerintah, perpustakaan, sekolah dan keluarga adalah sangat
penting bagi kerjasama untuk mempromosikan kebiasaan membaca

Untuk memberikan solusi pada peningkatan minat baca akan diuraikan faktor yang
mempengaruhi minat baca, peran kelembagaan dalam menunjang minat baca, serta upaya
meningkatkan minat baca.

Berdasarkan hasil pengamatan pada satuan belajar yang diteliti terdapat tiga faktor utama   yang  
menghambat promosi membaca, diantaranya: pertama, kebiasaan yang didominasi budaya
mendengarkan atau tutur. Kelompok pembelajar awal khususnya hanya menekankan pada
kemampuan untuk melafalkan kembali, seperti dramatisasi, membaca animasi atau bahkan
demonstrasi. Penggunaan metode yang lebih didominasi penuturan ini karena buku-buku tidak
begitu tersedia. Kebiasaan yang merupakan budaya warisan menjadi kebiasaan dan menjadi
penghalang utama  untuk meningkatkan kebiasaan membaca dari generasi ke generasi.
Singkatnya, pada saat ini  masyarakat   masih bergantung informasi dari mulut kemulut dan
bukan bahan tertulis. Kedua, pengelolaan pusat kegiatan belajar masyarakat yang didalamnya
terdapat taman bacaan masyarakat yang berfungsi menampung aspirasi dan minat baca yang
menyangkut sumber daya, keuangan dan bahan bacaan belum tersedia dengan memadai.
Perpustakaan yang telah dianggap representatif berada jauh di luar wilayah tempat tinggal warga
belajar, dan untuk mencapainya dibutuhkan waktu dan kesiapan mental. Kendati terdapat
beberapa sumber bacaan seperti yang ada di sekolah dan kantor tertentu, selain tidak
diperuntukkan bagi pembaca pemula, sumber daya manusia tidak memiliki kesiapan untuk
menjadi fasilitator bagi pembaca pemula dewasa. Selain itu jumlah dan keragaman buku yang
bisa melayani pembaca pemula masih sangat terbatas. Ketiga, terdapat media tandingan terutama
televisi yang menyajikan program yang ditata berbasis pada penataan media jarum hipodermis,
dimana penonton tanpa reserve tunduk pada tampilan yang desuguhkan dengan sedikit nsekali
nilai nalar yang dipergunakan terutama untuk sesi iklan. Kenyataan ini yang telah menghinggapi
semua golongan penduduk, tua muda.

Untuk mendongkrak minat baca sebagai bentuk tindak lanjut dan pemeliharan pembelajaran
yang berkelanjutan dari aksarawan dewasa baru dibutuhkan dukungan tokoh dan lembaga yang
akan mendukung kinerja perpustakaan dan rumah baca lain yang ada pada lingkup aksarawan
dewasa baru. Kesulitan baru yang diarasakan sangat mengganggu yaitu kerjasama dan jaringan
diantara aktor pendukung minat baca. Mereka yang memiliki andil dalam upaya memelihara
kemampuan baru dalam membaca yaitu:

1.        Keluarga. Orang tua jelas agen sosialisasi penting. Orangtua yang menghabiskan waktu
membaca untuk anak-anak mereka memberi mereka awal terbaik di jalan menuju keaksaraan.
Banyak studi penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menunjukkan keterampilan
keaksaraan di sekolah adalah mereka yang berasal dari rumah di mana ada buku, di mana
orangtua mereka menghabiskan waktu untuk membaca bagi anak-anak mereka dan di mana
anak-anak melihat orangtua mereka dan saudara-saudara yang lebih tua terlibat dalam kegiatan
membaca. Beberapa cara yang pernah dilakukan dalam upaya meningkatkan minat baca yaitu
membaca buku cerita keras, menciptakan lingkungan belajar dengan mendirikan sebuah sudut
mini membaca dan diisi dengan bahan bacaan, mengunjungi perpustakaan, toko buku, kado buku
sebagai hadiah.

2.        Peran perpustakaan, pustakawan, program perpustakaan yang dianggap masih terlalu
langka terutama yang berada di pelosok sana. Perpustakaan merupakan sarana untuk merangsang
dan mengembangkan minat baca. Berikut ini adalah beberapa strategi yang perpustakaan dan
perpustakaan memainkan peranan penting dalam promosi membaca.

a.    Pustakawan terutama yang bertugas pada Taman bacaan masyarakat maupun mereka yang
bertugas pada aset lainnya seperti perpustakaan sekolah, daerah dan perusahaan harus membantu
mengembangkan antara sikap dan minat terhadap membaca. Sikap yang menyenangkan dan
positif dari pembaca harus dikembangkan terlebih dahulu sebelum seseorang dapat secara
otomatis membentuk kebiasaan membaca buku

b.   Fungsi utama pustakawan adalah untuk melayani program pendidikan formal maupun
informal. Ketika kita berpikir tentang peran pustakawan di pendidikan, kita berpikir tugas
utamanya untuk memberikan pelayanan pada yang membutuhkan dan memperlakukan buku.
Pustakawan juga sesungguhnya memiliki tanggung jawab dan kesempatan untuk pergi keluar
dan memberitahu publik apa yang mereka miliki dalam perpustakaan mereka dan mencari tahu
apa yang mereka ingin membaca. Dari hubungan dengan peminat buku ini, lembaga bisa
memperbaiki dan terus meningkatkan pemajangan perpustakaan untuk mendorong pembaca
berminat dan mencari bahan yang dibutuhkan yang tersedia di perpustakaan yang dikelolanya.

c.    Dalam setiap program perpustakaan yang efektif, pustakawan harus memiliki tanggung
jawab tambahan untuk menyediakan kurikulum dan kelengkapan bahan ajar untuk menunjang
kurikulum tersebut dan memiliki peran pengajaran aktif. Peran ini harus selalu dikoordinasikan
dengan kegiatan pembelajaran yang berlangsung dalam masyarakat seperti halnya. Dengan
pengetahuan yang luas tentang bahan dan teknik untuk menggunakan mereka, pustakawan dapat
membuat mitra yang kuat dalam perencanaan dan pelaksanaan dari lembaga pendidikan.

d.   Membuat perpustakaan dan taman bacaan menjadi lebih menarik bagi masyarakat.

3.        Bila minat baca dijadikan sebagai icon nasional yang berfungsi menunjang kemampuan
sumber daya manusia dan membangun perubahan dan peningkatan peradaban dari budaya tutur
menjadi budaya baca perlu ditunjang dengan peran media massa Radio, TV, surat kabar dan
majalah yang dapat membantu mempromosikan proyek membaca, perpustakaan desa, seminar-
lokakarya pelatihan, wawancara otoritas membaca/penulis/tutor dan organisasi yang terlibat
dalam kegiatan membaca.

4.        Peran sektor swasta dan pemerintah dalam membantu pengabdi perpustakaan melakukan
peningkatan membaca masyarakat. Para  profesional seperti perguuran tinggi atau badan-badan
memainkan banyak untuk sejenis taman bacaan masyarakat dan jasa melalui kegiatan yang
bertujuan untuk mengembangkan atau kegiatan merangsang kegiatan membaca dan menulis.
Hari besar negara dan keagamaan dapat dipergunakan untuk kegiatan merangsang minat
membaca dan menulis.

Untuk itu beberapa metode yang dipertimbangkan efektif untuk meningkatkan minat baca pada
aksarawan baru yaitu:

1.        Mempromosikan list buku yang dapat diakses oleh pembaca aksarawan baru, dilihat dari
jenis, kalitas dan jumlah yang tersedia pada pangkalan baca tertentu. Ketersediaan buku juga
ditunjang dengan abstrak dari buku, sehingga para peminta dapat dengan mudah untuk
menjelajahi buku mana yang paling dibutuhkan. Buku dan kepustakaan yang tesedia harus
selektif diperuntukan bagi pelayanan tertentu.

2.        Terdapat kegiatan dimana membaca dipromosikan pada aksarawan baru. Beberapa contoh
yang perlu dipertimbangkan untuk kebijakan pengembangan minat baca yaitu:
a.    Promosi bacaan. Kegiatan bisa dilakukan kerjasama dengan pihak penulis yang secara utuh
menampilkan buku bacaan menggunakan media. Kegiatan ini bida dilakukan pada beberapa hari
besar yang berhubungan dengan pendidikan dan keaksaraan.

b.   Perlombaan membaca. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kebiasaan membaca di
kalangan aksarawan baru dengan menggunakan perpustakaan dianggap sebagai salah satu
potensi dalam pembangunan bangsa. Bahan kontes adalah sejumlah buku tentang sastra: prosa
dan puisi, dipilih pihak berwenang atau komite yang ada pada wilayah. Peserta kontes
diwajibkan untuk mengembangkan dan menyampaikan beberapa ringkasan dari buku yang
dibacanya.

c.    Bedah Buku. Strategi hemat biaya rendah dengan kemampuan untuk mencapai pemiarsa
yang lebih besar adalah bedah buku. Penyelenggara atau otoritas pada wilayah tertentu
bekerjasama dengan pustakawan atau pengelola taman bacaan masyarakat dan forum dapat
menetapkan jenis buku yang akan diungkap yang dilankutkan dengan pameran buku.

d.   Upaya untuk membacakan buku. Cara ini mungkin baru tapi bisa dikombinasikan dnegan
tanya jawab, penugasan yang berujung pada upaya memotivasi untuk membaca dan menulis.

e.    Pembacaan puisi kreatif. Sebenarnya terdapat potensi lokal yang berhubungan dengan
membaca seperti pembacaan hikayat atau wawacan. Pada kesempatan lain pembacaan dapat
dipadukan dengan nyanyian dan ritme tertentu sehingga memungkinkan penjiwaan dalam
membaca. Upaya untuk menggunakan cerita rakyat sebagai bagian dari peningkatan minat baca
perlu lebih dikembangkan ditunjang dengan sastra dan budaya daerah yang mudah difahami
masyarakat. Beberapa lagu daerah yang populer untuk wilayah tertentu potensi untuk dijadikan
materi pembacaan puisi kreatif.

f.     Buku bergambar. Buku seperti ini dapat menolong aksarawan baru menghayati buku yang
dibacanya. Buku bergambar yang paling menarik yang menantang dan membuat masalah.
Gambar harus cukup jelas dan tidak memberikan tafsiran yang terlalu berbeda.

g.    Jam Cerita. Kegiatan ini sebenarnya telah menjadi bagian dari siaran lokal. Bila ini
dipadukan dnegan pembelajaran bagi aksarawan baru dapat dikembangkan cerita yang akan
direspon oleh aksarawan baru dalam bentuk tugas yang akan dibahas di kelas.

3.        Bermain peran bagi Aksarawan Baru. Melalui kemampuan membaca skrip awal,
aksarawan baru dapat ditugasi untuk membaca dan memerankan atau simulasi peran bedasarkan
penghayatan pada bacaan. Untuk lebih menjiwai pengelola dapat memadukan dengan seting
ruangan yang menunjang penghayatan pada bacaan. Bahan yang diangkat dapat diambil dari
buku atau bagian dari buku yang berhubungan dengan kehidupan peserta belajar keseharian.

4.        Wayang. Bermain peran dapat dikombinasikan dalam pembuatan wayang atau boneka
yang dibuat oleh peserta belajar baik dengan menggunakan tanah liat, batang pohon  atau kertas
koran bekas atau wayang dan boneka yang dibuat di pasaran. Presentasi  mereka berdasarkan
cerita atau episode dari sebuah buku. Antara pemeran dan penonton dapat melakukan dialog
berdasarkan pada improvisasi masing-masing.
5.        Kompetisi  kuis. Kuis  ini ditujukan untuk mendorong peserta belajar dewasa agar
menggunakan nalar yang diperoleh hasil membaca buku pelajaran sambil memperomosikan
mereka sendiri. Pemeranan dalam kuis dapat diukur dalam peringkat antara delapan sampai
sepuluh terbaik.

6.        Permainan. Beberapa materi yang dibaca dari buku dapat dikembangkan pada
pembelajaran yang lebih luas dalam bentuk permainan, menggunakan jigasaws, cardgames 
terutama materi yang berhubungan dengan karakter dan jauh lebih menarik.

7.        Promosi buku. Promosi buku dapat sangat berarti bagi pembaca maupun mereka yang
memiliki minat lebih, melalui ringkasan yang ada dalam buku,  promosi jenis dan harga buku,
jenis dan isi cerita atau dengan memperomosikan naskah-naskah lokal yang belum dicetak yang
dapat memberikan rangsangan pada minat baik pada mereka yang membutuhkan peluang
membaca maupun untuk ragam kepentingan lainnya

Semua usaha peningkatan minat baca, banyak menyangkut teknis akan tetapi yang lebih penting
dari itu adalah sifat dari peningkatan minat baca bukan hanya teknis akan tetapi kesatuan antara
pembelajaran, refleksi dan aplikasi. Semua itu amat tergantung pada hakikat pengembangan
minat baca sebagai sebuah layanan.

E. Keaksaraan Usaha Mandiri Tali Perekat Pendidikan Keaksaraan Keluarga

Bila dicermati secara seksama, pendidikan orang dewasa, pendidikan keaksaraan keluarga
dengan kewirausahaan memiliki hubungan yang saling berkaitan. Kenyataan ini relevan dengan
tinjauan ekonomi dari sistem pembelajaran yang oleh Manzoor Ahmed dibagi menjadi dua
bagian yaitu efisiensi internal, yang meliputi tercapainya penguasan kognisi, afeksi dan
psikomotorik, serta dicapai pula produktivitas ekternal, yang meliputi output pendidikan yang
mampu melampaui sumber-sumber yang dikeluarkan. Dengan demikian, hanya dengan
pendekatan wirausaha konsep Manzoor Ahmed dapat diwujudkan.

Penetapan aspek ekonomi sebagai motif utama dalam pendidikan keaksaraan keluarga adalah
sebagai upaya untuk memelihara keberlanjutan dari pendidikan itu sendiri. Hal ini tidak boleh
ditafsirkan melupakan asfek keaksaraan dan lebih mementingkan usaha seperti banyak terjadi
selama ini. Justru kehadiran usaha sebagai upaya untuk memelihara kemampuan membaca yang
dinilai masih sangat rentan untuk kembali pada posisi semula atau paling tidak fungsionalnya
keaksaraan dalam keperluan sehari-hari.

Bila kita kaji lebih jauh dari keaksaraan sebagai upaya untuk memelihara keberaksaraan dan
meningkatkannya, maka kewirausahaan merupakan salah satu jawaban kendati terdapat berbagai
pendapat yang melihat kewirausahaan untuk kelompok kurang beruntung dihadapkan pada
sejumlah permasalahan yang bertentangan dengan hakikat dari jiwa wirausaha sendiri. Sejumlah
hasil studi lapangan yang mengemuka yaitu:

1.        Kurangnya motivasi,


2.        Sangat sederhananya manajemen yang menyatu antara manajemen wirausaha  dengan
urusan rumah tangga, sehingga sering dana, tenaga dan materi yang diperuntukan wirausaha
dipakai bersamaan dengan kepentingan rumah tangga

3.        Rendahnya tingkat komitmen terutama untuk bekerja keras dan mencurahkan perhatian
khusus

4.        Pembatasan yang dipaksakan oleh kebiasaan dan tradisi, misalnya perempuan yang
dibatasi ruang gerak dan kemajuannya,

5.        Keterlibatan risiko tinggi sedangkan subjek lebih memilih untuk bermain pada resiko
rendah,

6.        Sosial-budaya  yang kaku, untuk tidak merubah sistem kerja dan memasukkan cara baru

7.        Kurangnya fasilitas infrastruktur terutama akses pada sumber finansial

8.        Kurangnya jaringan komunikasi, dimana orang begitu menikmati hubungan internal
dalam keluarga dan terbatas hubungan dengan dunia luar

9.        Ketidakhadiran dari bakat berwirausaha

10.    Rendah status pengusaha, perbedaan sebagai konsumen dengan produsen. Di lingkup desa
dimana ia tinggal, seseorang akan lebih mementingkan perasaan aman untuk diri dan tetangga
melalui kehidupan yang relatif stabil dan tidak menyakiti orang lain dibanding dengan perubahan
yang mencolok dan membuat tetangganya menjadi gerah karenanya

Hal ini sedikit berseberangan dengan ciri-ciri dari wirausahawan sendiri yang dapat dirinci atas
tampirlan sebagai berikut:

1.        Percaya diri dan optimis

2.        Mampu mengambil risiko yang sudah diperhitungkan

3.        Mampu menanggapi secara positif terhadap tantangan

4.        Fleksibel dan mampu beradaptasi

5.        Pengetahuan tentang pasar

6.        Mampu bergaul dengan orang lain

7.        Energik dan rajin

8.        orientasi yang strategis


9.        Responsif pada saran

10.    Inovatif

11.    Perseptif dengan pandangan ke depan

12.    Aksi bias

13.    Ketekunan

14.    Responsif terhadap kritik

Dengan tidak mengecilkan arti kelompok aksarawan baru, mereka yang tergabung pada
kelompok ini tergolong residu yang sejak awal kurang terbina dan tidak mampu memuncukan
potensi-potensi diatas, baik karena keengganan yang bersangkutan, ketiadaan lembaga pembina
maupun maupun gabungan keduanya\

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi maka upaya pengembangan dan pembinaan yang
dilakukan dapat dikelompokkan melalui tinjauan sistem pembinaan, induk semang, lingkup
usaha dan bentuk usaha, manajemen kelompok.

1.        Peningkatan manajemen Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat sebagai wirausahawan.


Mungkin kesalahan terbesar terletak pada PKBM sendiri yang hanya tergantung pada satu-
satunya sumber yaitu pasokan dana dari pemerintah dan berjalan sebatas dana masih ada.
Perubahan  pola kegiatan dari PKBM harus berbasis pada kebutuhan akan pelatihan yang
memiliki nilai jual dalam masyarakat seperti halnya pelatihan keterampilan tepat guna dengan
kecepatan pemanfaatan yang tinggi. Melalui penyajian program yang berbasis wirausaha secara
tidak langsung telah memperomosikan lembaga dan lulusan yang bernilai guna dan tidak
semakin memperparah pandangan pada kinerja pendidikan yang hanya menghasilkan lulusan
yang tidak dapat memasarkan diri.

2.        Penijauan dan evaluasi kurikulum wirausaha. Seperti dimaklumi kurikulum keaksaraan
usaha mendiri dikembangkan untuk kelompok normal dengan 12 standar kompetensi, yang
terdiri dari: keinginan usaha berdasar potensi dan minat, praktek keterampilan yang memiliki
peluang usaha, identifikasi sumber daya alam dan manusia, identifikasi kebutuhan dan
permintaan pasar, penyusunan rancangan usaha, merancang dan mengola usaha, identifikasi
resiko usaha, interaksi dengan konsumen dan fasilitator, strategi pemasaran, penguasaan pesaing
usaha, kemitraan dan memelihara keberlangsungan usaha. Bila kita perhatikan pagu yang
dikeluarkan Direktorat Penmas sangat ideal dan sangat sulit dilakukan oleh perorangan warga
belajar dengan tingkat melek aksara dasar. Peninjauan kurikulum harus mengeksplisitkan sistem
pembelajaran, sistem pembinaan, pola inkubasi dan pembinaan keberlanjutan usaha. Sistem
pembelajaran belum menetapkan pertimbangan tutor dan nara sumber teknis yang bisa
menunjang pada keberlanjutan usaha, seperti hanya pemagangan yang mungkin dilakukan
dengan pola hubungan antara permagang dengan pemagang. Hal lain yang masih dianggap
kronis yaitu jenis usaha, strategi pemasaran, penguasaan pesaing usaha, kemitraan dan
memelihara keberlangsungan usaha.
3.        Sistem pembinaan. Selama usaha dianggap persaingan dan ketiadaan lembaga pembina
atau pembina yang merangkap sebagai pesaing yang bertindak aman untuk mengurangi jumlah
pesaing untuk dirinya, maka wirausahawan baru dari kelompok aksarawan baru akan tetap tidak
akan berkembang. Sehubungan dengan itu dibutuhkan pembina yang kompeten dan memiliki
dedikasi yang tinggi. Kompetensi pembina yaitu mampu mengarahkan para aksarawan baru
untuk melakukan usaha yang berkembang dari waktu ke waktu atas inisiatif dan
tanggungjawabnya dan mampu melepaskan ketergantungan pada pasokan dana non komersial.

Sehubungan itu pembina juga harus mampu melibatkan pengusaha baru dari kelompok ini
sebagai bagian dari usahanya yang dari waktu kewaktu menunjukkan kedewasaan dalam
berusaha dan bila mungkin melepaskan diri dari pembinaan dalam status yang jauh lebih
mandiri. Dari waktu kewaktu perlu memacu motivasi usaha, dan mengurangi tingkat
ketergantungan dengan memodifikasi jenis usaha dan cara dalam produksi yang lebih efisien.

Lain halnya pembina dari perguruan tinggi atau lembaga profesi sejenis, pembinaan lebih
diarahkan pada sumber daya manusia dan kemampuan manajemen perusahaan.

4.        Induk semang. Sesuai dengan kenyataan bahwa wirausahawan baru umumnya hanya
bergerak parsial pada bidang yang paling dikuasainya, maka dibutuhkan induk semang yang
akan menterjemahkan upaya selama ini menjadi sesuatu yang dapat ditingkatkan nilai
produksinya. Bila para usahawan baru hanya bergerak pada tingkat produksi, maka induk
semang harus mampu memasarkan hasil produksi itu dengan standar baku dan diminati oleh
pembeli melalui sentuhan pengepakan dan promosi.

5.        Perubahan minset dari warga belajar sebagai wirausahawan. Sejalan dengan usaha
pembinaan warga belajar juga harus berusaha untuk merubah mindset dari kedudukan yang
nyaris tidak diperitungkan dengan tingkat ketergantungan yang tinggi menjadi warga negara
yang bermakna dan memiliki sumbangan pada kemajuan ekonomi maupun peningkatan
produksi.

6.        Perubahan lingkup usaha. Bila selama ini sekala usaha yang dilakukan warga belajar
hanya terbatas pada sekala kecil, maka harus ada upaya baik dilakukan oleh warga belajar sendiri
maupun pembina untuk memindahkannya pada sekala medium. Dengan sekala kecil usaha yang
dilakukan hanya mungkin memenuhi kebutuhan sendiri atau bahkan lebih banyak tenaga yang
dicurahkan dibanding dengan produksi yang dihasilkan. Sejalan dengan lingkup usaha ini perlu
dikembangkan penganekaragaman usaha, sehingga tidak terjadi kongesti hasil usaha karena
produksi yang bersamaan sedangkan pasar yang tersedia terbatas.

7.        Manajemen kelompok. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, volume usaha
yang dilakukan saat ini hanya berjalan dalam sekala sangat kecil dan tidak memungkinkan untuk
self suffisient. Berdasarkan pertimbangan ini perlu diperkenalkan manajemen kelompok dalam
membagi jenis usaha dan meningkatkan aset usaha seperti permodalan yang sulit untuk
dilakukan secara perorangan. Melalui manajemen kelompok ini ditingkatkan pola kolaborasi
baik di tingkat perencanaan dengan melibatkan konsultan untuk meningkatkan usaha, pada
tingkat operasional dengan mengatur hubungan vertikal dengan pengusaha yang lebih besar
maupun pembagian produksi sehingga terjadi tingkat efisiensi yang tinggi dan pada tingkat
tindak lanjut kegiatan untuk menjamin keberlangsungan usaha.

8.        Pengembangan kebutuhan. Bila selama ini aksarawan baru hidup dalam memenuhi
kebutuhan dasar untuk makan, minum, pakaian dan tempat tinggal; kemudian diperkenalkan
pada dunia baru yaitu dunia ilmu pengetahuan dan informasi. Perubahan ini membutuhkan
penyesuaian dari pemenuhan kebutuhan tingkat dasar pada kebutuhan yang lebih jauh yang
membutuhkan kemampuan berpikir dan bertindak.

9.        Pengembangan jejaring. Sebenarnya warga belajar dengan tingkat intelektual sebagai
aksarawan baru kemampaun jejaringnya juga sangat terbatas. Mereka umumnya sangat
disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan hubungan afiliasi sangat terbatas pula.
Sehubungan itu pengembangan kemampuan jejaring membutuhkan pembinaan yang
berkelanjutan untuk menghubungkan dengan jejaring baru, melakukan impelementasi dan
memelihara keberlanjutan jejaring yang dikembangkan agar memiliki makna positif bagi
aksarawan baru dan berdampak sebaliknya.

Pengembangan kewirausahaan bagi aksarawan baru melalui skim keaksaraan usaha mandiri
merupakan pilar baru yang menyatukan kemampuan pribadi, kemampuan usaha dan
pengembangan ekonomi. Kendati banyak pihak yang meragukan kelompok miskin akan
memiliki dampak pada perubahan dan peningkatan ekonomi macro, usaha optimis telah
dilakukan dengan mempertimbangkan kekurangan yang dimiliki kelompok ini. Hasil akhir dari
kegiatan ini tetap tergantung pada nilai residual yang masih bisa dikembangkan atau karena
perkembangannya tertunda, sehingga tidak mungkin untuk berharap terlalu tinggi semua anggota
kelompok dapat mencapai prestasi maksimal dalam pengembangan kewirausaan.

F. Menuju Aksara untuk Berdaya

Pemberdayaan merupakan isu sentral dalam pendidikan keaksaraan. Karenanya Unesco


menerbitkan program Literacy Initiative for Empowerment (LIFE), yang dikhususkan pada pada
kelompok negara berkembang yang memiliki jumlah buta aksaran cukup tinggi yang juga
ditandai dengan karakteristik:

1.        Terdiri dari komunitas kelompok miskin,

2.        Memiliki kemampuan keaksaraan yang rendah,

3.        Memiliki ketergantungan yang tinggi pada sumber daya alam,

4.        Walaupun tergantung pada sumber daya alam akan tetapi aksibilitas dan penguasaan akan
tanah sangat terbatas,

5.        Dilingkupi oleh sumber daya alam yang semakin lama semakin menurun kualitasnya,

Sekaitan dengan itu untuk meningkatkan keberdayaan kelompok ini masih dirasakan sangat
pesimis dan perlu dikembangkan pendekatan baru, karenanya langkah yang ditempuh meliputi:
1.        Advokasi dan Komunikasi, melalui kampanye dan kemitraan untuk advokasi yang
diarahkan dalam upaya meningkatkan komitmen baik lokal maupun nasional.

2.        Kebijakan keaksaraan yang berkelanjutan melalui Kebijakan Keaksaraan, keaksaraan


untuk pembangunan, keaksaraan dan pengembangan individu. Kebijakan ini diarahkan untuk
akses tentang kemampuan keaksaraan yang akan berpengaruh pada peningkatan peradaban,
mengurangi angka pengulangan, penggunaan keterampilan keaksaraan dalam kerangka belajar
sepanjang hayat serta mendorong sistem desentralisasi pemerintahan untuk memberikan lebih
relevan dan program keaksaraan yang sensitif kontek dengan memperhatikan keragaman yang
ada pada komunitas setempat.

3.        Penguatan Kapasitas Nasional terdiri dari Desain Program dan pelaksanaannya,
peningkatan kualifikasi sumber daya manusia serta peningkatan monitoring dan evaluasi.
Memperkuat kelembagaan   dan operasional infrastruktur, yang bertanggung jawab untuk desain
dan pendekatan dalam keaksaraan, profesionalisasi pendekatan belajar sambil bekerja dan
memperkuat pemantauan dengan menggunakan pendekatan yang terukur.

4.        Inovasi yang diarahkan pada membangun best practice dan aplikasinya, dilakukan dengan
penelitian tindakan-partisipatif untuk mengembangkan program inovatif dan praktik terbaik
mendokumentasikan tentang masyarakat belajar alternatif dan melanjutkan pendidikan serta
pengaturan jaringan, pertukaran praktik terbaik, penelitian tematik dan kebijakan forum.
Kegiatan ini dilakukan dalam upaya penilaian sarana, dan pedoman untuk menentukan
kebutuhan belajar, aset masyarakat, dan peluang untuk meningkatkan dan mempertahankan mata
pencaharian.

5.        Pelaksanaan pemberdayaan. Dilakukan menggunakan prinsip:

a.    Kepemilikan pada unit masyarakat dan diterimanya berbagai keanekaragaman. Kepemilikan
akan program keaksaraan harus diperkuat dengan menerima keragaman lokal maupun nasional
dan semakin meningkat pengertian dan pendekatan untuk keaksaraan. Dengan demikian
penyelenggara dan peserta belajar akan menerima dukungan untuk memperluas pendekatan
mereka, dengan maksud untuk mempromosikan lebih komprehensif pengertian dan dukungan
akan keaksaraan. Sangat penting untuk memiliki tim pelaksana di lapangan dalam bentuk komite
nasional yang diikuiti komite kabupaten/kota yang terdiri dari  wakil dari sektor pemerintah,
mitra pembangunan lokal dan sektor swasta termasuk LSM, Ormas, universitas dan lembaga
penelitian lainnya.

b.   Linkage dengan kebijakan nasional maupun lokal. Strategi dan tindakan untuk menerapkan
Akrab harus diintegrasikan ke dalam kerangka pembangunan nasional dan lokal, seperti agenda
kebijakan pendidikan untuk semua, rencana pendidikan  tiap sektor,   pengembangan dan
kerangka pendidikan berbasis pada produk.

c.    Progresif dalam pentahapan. Dilakukan untuk kegiatan  sampai 2005-2015, dimulai dengan
memperhatikan kegiatan pada lingkup negara, penilaian tengah kegiatan pada tahun 2011  dan
periode 2012-2015 masa uji keberlanjutan dan perluasan.
6.        Pembiayaan. Pembiayaan lebih ditekankan pada dana lokal baik yang berasal dari negara
maupun swasta. Untuk negara yang memiliki masalah pendanaan akan diusahakan dana bantuan.

7.        Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi diarahkan pada pencapaian tujuan
pendidikan untuk semua, dengan penekanan pada:

a.    Menggunakan metode yang memungkinkan untuk penilaian keaksaraan,

b.   Manajemen sistem manajemen untuk keaksaraan

c.    Mengumpulkan sampel jangka panjang untuk menilai dampak keaksaraan.

Dengan mempelajari prinsip keaksaraan untuk berdaya, maka upaya perbaikan pemberdayaan
untuk keaksaraan perlu memperhatikan aspek sosiologis, ekonomi, peningkatan kemampuan
individu, dan pendekatan terpadu. Gambaran perbaikan untuk pemberdayaan keaksaraan sebagai
berikut:

1.        Dari aspek ekonomi yang perlu diperhatikan adalah pemenuhan kebutuhan dari kelompok
kurang beruntung, sesuai kondisinya mereka lebih banyak berkutat pada pemenuhan kebutuhan
dasar, walaupun keaksaraan sendiri dapat dikategorikan sebagai kebutuhan dasar, prioritas akan
lebih banyak diberikan pada pemenuhan kebutuhan pokok tersebut.

2.        Dari aspek sosiologis, kelompok aksarawan baru termasuk mayoritas yang kurang
memiliki kekuatan, sehingga tidak memiliki kemampuan bargaining dalam masyarakat.

3.        Aspek psikologis, berkaitan dengan cara pandang aksarawan baru pada diri dan
lingkungan sama halnya dengan cara pandang lingkungan terutama orang yang melek huruf pada
orang yang yang nir aksara. Dalam hal ini perlu adanya perhatian khusus pada aspek motivasi
internal sering diabaikan.

4.        Aspek politik, orang nir aksara maupun aksarawan baru relatif memiliki akses yang
terbatas dalam hubungan diri dengan lingkungannya terutama dalam menempatkan diri sesuai
dengan hak dan kewajibannya.

Pendidikan keaksaraan keluarga merupakan bagian dari inisiatif keaksaraan untuk berdaya
(Akrab). PKK adalah wahana belajar dalam keluarga, yang secara struktural hanya mungkin
terpelihara melalui peningkatan minat baca pada keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Peningkatan minat baca adalah perubahan struktural dari pola komunikasi tutur menjadi
menggunakan tulisan, bagian dari era informasi yang akan berdampak pada peningkatan ilmu
pengetahuan dan peradaban hasil dari penggunaan dan pengembangan informasi dalam
keseharian. Hasil kajian menunjukkan PKK perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh
sehubungan dengan fungsinya dalam meningkatkan fungsi keluarga sebagai unit pembelajaran
dalam koordinasi lembaga belajar dalam masyarakat. Untuk meningkatkannya perlu dukungan
pusat, otonomi daerah, perguruan tinggi, peningkatan lembaga belajar masyarakat dan
pemberdayaan keluarga dan warga belajar.
Berdasarkan kajian di bawah ini dapat diajukan pola pengembangan struktur sebagai berikut:

Bagan 4.1.

Pola Pengembangan Struktur Penyelenggaraan PKK

5. Dukungan Pusat dalam Pengembangan PKK.

Inisiatif keaksaraan untuk berdaya merupakan kegiatan relatif baru, dan diawali dalam bentuk
program pengurangan tingkat illiteracy pada tahun 2006. Hasil studi juga menunjukkan para
pelaksana di lapangan selalu berpikir hierarkhis, dimana kegiatan perlu berjenjang dan
dilaksanakan melalui proses penyesuaian yang panjang. Sebenarnya bisa saja dari pihak
Direktorat telah lebih dahulu menyampaikan program baru seperti halnya PKK, akan tetapi
karena perlunya penyesuaian dan sifat umumnya sering menyederhanakan pemikiran seperti
halnya PKK, maka kadang apapun perubahan yang seharusnya dilakukan akan senantiasa
ditafsirkan seperti yang telah terjadi selama ini yaitu keaksaraan klasik, yang sebenuhnya
tergantung pada inisiatif yang datangnya dari pihak pemerintah dan sistem penunjang seperti
dana dan berbagai kebutuhan teknis lainnya seperti halnya tenaga. Nampaknya pola ini harus
sudah berubah, dari ketergantungan pada salah sumber pada komitmen bersama untuk
memberikan layanan pada masyarakat temasuk inisiatif internal yang datangnya dari lingkungan
masyarakat sendiri. Berkaitan dengan itu tugas mendesak yang harus dilakukan oleh pemerintah
yaitu:

a.    Memberikan layanan advokasi dan sosialisasi kegiatan sehingga terdapat pemahaman yang
diharapkan mengenai keaksaraan keluarga, hubungan dengan peningkatan kesejahteraan dan
keberlanjutan pembelajaran PKK.

b.   Mengembangkan jejaring kegiatan PKK dengan lembaga terkait lainnya baik dengan
pemerintah daerah yang memiliki hubungan lebih dekat dengan warga belajar, lembaga pembina
dan pengembang kegiatan seperti P2PNFI, BPPNFI, BPKB, SKB dan perguruan tinggi yang ada
pada lingkup wilayah kerja PKK. Upaya ini harus segera dilakukan untuk mengatasi
kecenderungan selama ini dimana fasilitasi untuk kelompok yang kurang beruntung terlalu
banyak dilakuakan sacara segmentasi dan hanya tergantung pada satu-satunya lembaga pembina.

6. Dukungan Otonomi Daerah dalam Pengembangan PKK

Pengembangan otonomi daerah dilakukan dalam upaya memberikan layanan lebih dekat pada
rakyat, sehingga lahir istilah ramping-kaya fungsi, terutama dalam memberikan kemudahan pada
masyarakat. Tuntutan yang paling mendesak yang segera dilakukan oleh pemerintah otonom
yaitu:

a.    Menjamin ketersediaan layanan yang adil untuk semua anggota masyarakat yang
membutuhkan bantuan sehingga tidak terkonsentrasi pada sekelompok dan wilayah tertentu.

b.   Menjamin keberlanjutan sumber yang diperlukan sehingga  kegiatan bisa berjalan secara
berkelanjutan
c.    Mengembangkan jejaring pada lingkup daerah sehingga sumber yang ada pada wilayah kerja
dapat dimanfaatkan secara maksimal efektif dan efisien

7. Dukungan Perguruan Tinggi dan Ketenagaan dalam Pengembangan PKK

Perguruan tinggi berfungsi mencari solusi baru dalam mengatasi permasalahan yang
berhubungan dengan pendidikan keaksaraan keluarga terutama dilihat dari keberlanjutan,
pemanfaatan anggota keluarga dalam meningkatkan keaksaraan dan minat baca serta
mengarahkan aksarawan baru pada dunia informasi sebagai tuntutan baru pada era global.
Dukungan spesifik yang bisa dilakukan perguruan tinggi, yaitu:

a.    Mencari inovasi baru yang berhubungan dengan PKK, minat baca dan pemberdayaan
aksarawan baru

b.   Mengembangkan model motivasi yang bersumber dari motivasi internal, sebagai tumpuan
akhir dari pembelajaran yang tidak lagi menggantungkan diri pada dukunagn dari luar sebagai
upaya memelihara keberlanjutan belajar bagi aksarawan baru.

c.    Menghubungkan kebutuhan aksarawan baru dengan pemangku kepentingan yang


berhubungan dengan layanan pada aksarwan baru

8. Dukungan Lembaga Belajar Masyarakat dan Tutor dalam Pengembangan PKK

Kesulitan utama yang dihadapi oleh aksarawan baru pada PKK yaitu kesulitan untuk mencari
model penggunaan aksara dalam lingkungan terdekat, berupa ketersediaan sarana baca dan
wahana ekspresi hasil pembelajaran sehingga tidak cepat terlupakan karena tertimbun oleh
kesibukan keseharian warga belajar dalam memenuhi kebutuhan bagi kelompok kurang
beruntung. Beberapa tugas mendesak yang dilakukan oleh kelompok belajar tempat warga
belajar aksarawan baru PKK yaitu:

a.    Menyediakan sarana baca dan menyediakan buku yang menarik untuk aksarawan baru PKK

b.   Mengembangkan metode dan kegiatan paska pembelajaran formal, agar kegiatan bisa
berlanjut dengan mementingkan kemampuan baca tulis dan mengekpresikan diri melalui tulisan
dalam kehidupan sehari-hari, seperti menulis untuk koran ibu dan lain-lain.

c.    Mengembangkan kegiatan lain yang berfungsi memelihara kebiasaan membaca melalui
kewirausahaan yang memungkinkan aksarawan baru tetap menembangkan kemampuan baca
tulis dan mengembangkan infromasi.

d.   Mengembangkan kegiatan bersama dengan tutor sebagai model dalam memelihara
kemampuan membaca, menulis dan mengembangkan informasi

e.    Menjaga ritme belajar terutama pada masa transisi yang dianggap paling rentan untuk
kembali pada kebiasaan semula dan melupakan kemampuan keaksaraan sebagai bagian dari
kehidupan pada era informasi.
9. Peningkatan Pemberdayaan Keluarga dan warga belajar

Tujuan dari PKK dikaitkan dengan LIFE yaitu menjadikan anggota keluarga aksarawan baru
menjadi pembelajar dengan memanfaatkan sumber belajar yang ada pada lingkungan keluarga,
dan menjadikan anggota keluarga sebagai aset untuk meningkatkan anggota keluarga lainnya.
Secara normatif tanggungjawab dalam keaksaraan berbah dari pihak luar kepada anggota
keluarga sendiri. Keberdayaan anggota keluarga banyak dikaitkan dengan keberadaban
(civilization), berupa keterlibatan pada proses ekonomi yang diukur dengan produktivitas, sosial
dalam bentuk aktif dalam belajar dan politik dalam bentuk pemenuhan hak dan kewajiban
sebagai warga negara dalam memberikan sumbangan terbaik pada kebijakan negara termasuk
pengurangan angka buta aksara.

Pemberdayaan yang harus terlihat dari tampilan aksarawan baru dapat dilihat dari hakikat
belajar, ciri perorangan maupun dan pengembangan kelompok sebagai upaya memelihara
keberlanjutan belajar.

a.    Dari aspek hakikat belajar bagi aksarawan baru sebagai orang orang dewasa harus
ditempatkan motivasi intrinsik sebagai cara untuk tetap memelihara keberlanjutan kemampuan
keaksaraan. Dengan menggunakan semua karakteristik orang dewasa yang didalamnya
pengalaman, pencitraan konsep diri, kejelasan arah, motivasi, kesisapan belajar dan kebutuhan
pembelajaran diarahkan pada pembelajaran berbasis mengarahkan diri (self directed learning).

b.   Dari aspek keberdayaan individu yang harus dimiliki oleh warga belajar yaitu perubahan dari
kondisi selama ini yang tidak memiliki kekuatan menjadi orang yang kuat melalui kemampuan
keaksaraan, yang ditunjukkan melalui ciri-ciri:

1)        Akses (acces), memiliki peluang yang cukup besar untuk mendapatkan sumber-sumber
daya melalui kemampuan mengakses informasi.

2)        Daya pengungkit (leverage), meningkat dalam hal daya tawar kolektifnya sehingga tidak
lagi hanya memberikan layanan akan tetapi secara proporsional harus pula mendapatkan layanan
karena kemampuan yang dimilikinya

3)        Pilihan-pilihan (choices), mampu dan memiliki peluang memilih berbagai pilihan
terutama dalam menentukan nasib dirinya yang tidak lagi sepenuhnya diatur oleh nasib.

4)        Status (status), meningkat citra diri, kepuasan diri, dan memiliki perasaan yang positif
atas identitas budayanya sebagai penghulu dan bukan hanya pengikut

5)        Kemampuan refleksi kritis (critical reflection capability), menggunakan pengalaman


untuk mengukur potensi keunggulannya atas berbagai peluang pilihan-pilihan dalam pemecahan
masalah, dengan berbasis pada keragaman sumber yang ia peroleh

6)        Legitimasi (legitimation), didasarkan pada alasan-alasan rasional atas kebutuhan-


kebutuhan masyarakat, dan adanya pertimbangan ahli yang menjadi jastifikasi atau dasar
pembenaran. Tidak lagi menerima keberadaan karena alasan irasional akan tetapi lebih banyak
menggunakan pendekatan yang rasional

7)        Disiplin (discipline), menetapkan sendiri standard mutu pekerjaan yang dilakukannya
dalam hubungan dengan orang lain, berubah dari disiplin karena faktor yang datangnya dari luar
dengan kesadaran diri untuk diri dan keluarga dan sumbangan pada lingkungan

8)        Persepsi kreatif (creative perceptions), sebuah pandangan yang lebih positif dan inovatif
terhadap antar hubungan dirinya dengan lingkungannya. Berdasarkan hasil belajar kemudian
dikembangkan kemampuan kreatif sebagai bukti hasil belajar dengan memanfaatkan kemampuan
diri, lingkungan kelurga dan sumber daya sosial dan alam.

c.    Keberdayaan individu juga dapat dilihat dari kemajuan dalam ekonomi dalam bentuk
produktivitas dengan menghasilkan produk kasat mata untuk diri dan lingkungannya, serta
kemampuan untuk mengorganisir diri dalam bentuk badan komunitas, untuk tujuan
pembelajaran. Lembaga yang dikembangkan hendaknya memiliki karakteristik:

d.   Struktur kelompok kecil berkisar 10 orang. Proses pemberdayaan menekankan aktivitas dan
otonomi kelompok kecil. Batasan kelompok ini didasarkan pada  kesamaan kebutuhan dan
minat.

e.    Transfer tanggungjawab. Pada proses pembelajaran yang semula sangat tergantung pada
tutor dan tutor keluarga secara bertahap harus dipindahkan pada kelompok dan warga belajar
sendiri. Selama pelaksanaan pembelajaran, partisipan mungkin enggan atau ragu dilibatkan tetapi
lama kelamaan setelah berpengalaman hal ini dapat di atasi.

f.     Kepemimpinan berasas partisipatif. Partisipan diberikan kesempatan melakukan latihan


mengambil keputusan pada seluruh aspek aktivitas organisasi. Pimpinan hanya bersiap-siap
membantu kalau mereka menemui kesulitan.

g.    Pihak penggagas yang berubah menjadi fasilitator. Diluar tugas agent juga sebagai pelayan
didalam menagarahkan proses, sebagai manusia sumber, mengajukan masalah dan lain-lain.
Seorang fasilitator sepakat terhadap sasaran pemberdayaan dan memperlihatkan dukungannya
dalam melakukan upaya untuk diri peserta belajar sendiri.

h.   Proses yang demokratis dan tidak hierakhis. Semua pendapat  dihargai sama dan keputusan
diambil berdasarkan konsensus. Peran dan tanggung jawab didistribusikan secara merata.
Didalam beberapa hal, partisipan mungkin tidak memahami cara kerja sama dan demokrasi.
Karena itu, dibutuhkan proses latihan. Pengurangan tingkat birokratis menjadi lebh fleksibel

i.     Refleksi. Pengalaman partisipan dan perbaikan masalah dijadikan fokus. Analisa kerjasama
untuk meningkatkan perubahan yang dapat melibatkan personal, adalah pemecahan masalah,
perencanaan, pengembangan keterampilan, dan/atau perselisihan. Warga negara yang baik
ditunjukkan dengan kemampuan untuk memperoleh sejumlah informasi, melakukan refleksi dan
memanfaatkan untuk kehidupan keseharian
j.     Metode yang mengutamakan kepercayaan diri. Teknik yang digunakan untuk meningkatkan
keterlibatan aktif warga belajar adalah dialog, dan aktivitas kelompok mandiri seperti belajar
sesama teman, jaringan kerja, workshop, menyediakan alat yang dapat digunakan oleh partisipan
scara mandiri, latihan mengekspresikan diri sendiri dan permainan.

k.   Peningkatan ekonomi, sosial dan kedudukan secara politik. Sebagai hasil empowering
process, partisipan dapat meningkatkan kemampuan di bidang ekonomi, sosial dan politik di
dalam masyarakat.

Pendidikan keaksaraan termasuk pendidikan keaksaraan keluarga dapat diukur dari peningkatan
minat baca yang ada dalam masyarakat, dan ini merupakan sumber daya manusia yang selama
ini kurang mendapat perhatian. Pentingnya minat baca demikian mendesak terutama dalam
mengantisipasi loncatan konsep dalam pembangunan, dimana untuk mencapai tingkatan tertentu
dalam peradaban, pendidikan dan kebudayaan kunci utamanya sangat tergantung pada
penguasaan informasi yang hanya bisa diperoleh melalui keaksaraan, peningkatan minat baca
dan berujung pada keberdayaan.

Knowles membuka paradigma baru hubungan sistemik antara penciptaan iklim dalam
pendidikan orang dewasa termasuk keaksaraan yang hakikatnya penjalinan motivasi dari sisi
penanggungjawab maupun peserta didik, penciptaan struktur kerjasama, pemenuhan kebutuhan
dan minat, penetapan tujuan, pembuatan perencanaan, implementasi dan evaluasi. Perbedaan
prinsip terletak pada setiap tahapan dimana keterlibatan peserta didik merupakan jaminan dalam
penyelenggaraan pendidikan orang dewasa berbasis pada psikologi dan humanisme. Demikian
pula evaluasi diukur dari sejauhmana keberhasilan minat dan tujuan yang dimiliki oleh peserta
belajar berbasis pada kompetensi yang telah dicapai oleh mereka. Ukuran ini nampaknya yang
belum lazim, dimana sebelumnya keberhasilan hanya dilihat dari pihak luar dan bukan oleh
peserta belajar sendiri. Melalui konsep aktulisasi diri buah pikiran dari Maslow, komitmen PKK 
harus bermula dari peserta didik untuk memulai perubahan dalam hidup melalui kemampuan
membuka cakrawala melalui melek huruf yang diikuti dengan kemajuan dalam keberdayaan
politik, sosial dan terutama ketercukupan ekonomi.

bab v

penutup dan rekomendasi

A. Penutup

Berdasarkan hasil temuan dan kajian dalam bab terdahulu tentang Pendidikan Keaksaraan
Keluarga, ada beberapa hal pokok yang dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut sebagai
penutup sebagai berikut:

1.        Pendidikan Keaksaraan Keluarga merupakan transfer tanggung jawab negara terhadap
keluarga tentang pentingnya penyelenggaraan pendidikan keaksaraan. Perbedaan dari sisi
konsep, bila semula pendidikan keaksaraan keluarga merupakan pendidikan antar generasi
dimana orang tua memberikan sumbangan yang lebih besar, sedang dalam pelaksanaan PKK
orang tua menjadi penerima pembelajaran.
2.        Keluarga sebagai wahana penyelenggaraan pendidikan keaksaraan mempunyai
keunggulan, yaitu melepaskan aspek komersial menuju aspek moral. Pendidikan keaksaraan
selama ini lebih dilihat sebagai bentuk komersialisasi kekurangan keaksaraan sehingga
menumbuhkan pengulangan yang tidak perlu. Dalam perkembangannya PKK lebih menekankan
pada tanggungjawab dari generasi muda yang telah melek huruf untuk membantu orang tua
mereka yang masih membutuhkan dukungan semangat dan kemampuan membaca

3.        Penyelenggaraan Program Pendidikan Keaksaraan Keluarga merupakan strategi baru


perubahan dari bahasa tutur menjadi bahasa tulis. Kesulitan pertama dan utama dalam
memberikan kemampuan keaksaraan untuk generasi tua, karena mereka lebih berbudaya dalam
bahasa tutur dan tidak melihat sisi yang lebih unggul dari bahasa tulis. Dengan bahasa tutur
semua gagasan menjadi lebih cepat hilang karena ketidakadaan dokumentasi serta sedikit sekali
kemungkinan adanya input baru untuk meningkatkan dan memperbaharui pemikiran.

4.        Melalui Program Pendidikan Keaksaraan Keluarga diharapkan dapat menuju


pemberdayaan dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan, ketercukupan ekonomi, masyarakat yang
berbudaya. Hal yang paling mendesak untuk menuju dunia ilmu pengetahuan yaitu lebih
terakselerasinya informasi baik dari pengirim maupun penerima dan hubungan timbal balik
keduanya. Kondisi  saat ini masih sangat tidak seimbang antara pengirim dengan penerima dan
tidak ada interaksi keduanya. Wahana yang hilang yaitu pemanfaatan kemampuan kebahasaan.
Dari kemampuan kebahasaan itu diharapkan berkembangnya inovasi baru untuk meningkatkan
kesejahteraan yang selama ini dinikmati oleh negara yang sudah sangat maju dalam penggunaan
teknologi dan ilmu pengetahuan termasuk sumbangan dari para pemikir (dunia pendidikan tinggi
dan ilmu pengetahuan) dan koreksi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Dalam satu dan lain hal kemampuan itu akan menuju kepada masyarakat berbudaya.

B. Rekomendasi

Pendidikan Keaksaraan Keluarga adalah wahana untuk saling membelajarkan dalam keluarga
atau transgenerasi dalam keaksaraan. Untuk menjamin keberlangsungan PKK perlu rekomendasi
sebagai berikut:

1.        Adalah kenyataan bahwa motivasi pendidikan keaksaraan keluarga masih sangat terbatas
pada motivasi ekstrinsik. Sehubungan dengan itu perlu dicarikan pendorong yang lebih inovatif
misalnya dengan menekankan mengenai kemampuan belajar untuk mengarahkan diri, untuk
memberikan ruang yang lebih bermakna pada warga belajar dalam melakukan pembelajaran
keaksaraan melalui pemberian reward yang lebih manusiawi sebagai wujud kepeloporan
kemanusiaan warga belajar dalam memanfaatkan kemampuan keaksaraan yang tidak dapat
dipisahkan dengan target internasional pengurangan angka nir aksara dan peningkatan indek
mutu manusia yang secara eksplisit menjadi bagian dari kemajuan suatu bangsa. Untuk itu
dibutuhkan bentuk penghargaan atas partisipasi kelompok nir-aksara dan sejumlah fasilitator.

2.        Bahwa untuk berlangsungnya pendidikan keaksaraan keluarga sangat tergantung pada
dukungan keluarga yang notabene masih berada pada cakupan kebutuhan tingkat dasar terutama
dalam memenuhi kebutuhan dasar. Jumlah nir aksara dan pemanfaat aksara yang terbatas adalah
beban bagi kelompok aksarawan, atau bahkan kelompok aksarawan akan terbawa  kelompok nir
aksara tersebut. Memang tidak ada jalan lain kecuali dibutuhkan loncatan dari kebutuhan dasar
seperti yang diteorikan Maslow pada kebutuhan self esteem dan aktualisasi diri. Untuk itu
dibutuhkan dukungan keluarga batih maupun keluarga besar untuk memberikan fasilitasi sudut
baca pada tiap satuan terkecil, untuk memungkinkan agar setiap aksarawan baru bisa
mempertahankan dan meningkatkan kemampuan keaksaraan dan pemanfaatan untuk memasuki
era informasi dan ilmu pengetahuan

3.        Bahwa selama ini otonomi daerah dengan seluruh jajarannya terkesan minor dalam
melihat pendidikan keaksaraan umumnya dan pendidikan keaksaraan keluarga pada khususnya.
Bila kita hubungkan otonomi daerah adalah sebuah fungsi dalam memenuhi kesejahteraan
masyarakat, maka kemampuan keaksaraan adalah upaya yang sangat berbasis pada penyadaran
diri dalam memenuhi kesejahteraan dimaksud. Atas dasar itu sewajarnyalah upaya pendidikan
keaksaraan bukan hanya dilihat dari pencapaian target yang kadang banyak ditunggangi asfek
politis, akan tetapi benar-benar sebagai wujud pemberian kesejahteraan bagi masyarakat.

4.        Kita selangkah tertinggal dalam menggunakan kemampuan keaksaraan sebagai bagian
dari memajukan bangsa, terbukti ketiadaan lembaga akademis yang secara khusus
mengembangkan kemampuan keaksaraan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. 
Sudah selayaknya semua pihak mulai mewujudkan profesi tenaga pendidikan masyarakat yang
salah satu tugasnya memberikan layanan keaksaraan dan menjadikan kemampuan keaksaraan
sebagai bagian integral dari pengembangan kemanusiaan, informasi, teknologi, ilmu
pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat.

5.        Terdapat sejumlah potensi lingkungan yang selama ini belum dimanfaatkan secara
maksimal baik pada lingkungan Kementerian Pendidikan maupun pada lintas kementerian. Pada
lingkup Kementerian saja masih terdapat pengkotakan, semisal sumber daya yang ada pada
pendidikan dasar hampir tidak dapat disentuh untuk penyelenggaraan pendidikan keaksaraan,
padahal sumber daya itu sedang tidak dipergunakan pada saat-saat tertentu. Untuk itu
kementerian hendaknya lebih meningkatkan fasilitasi penggunaan sumber-sumber itu sehingga
dapat lebih bernilai guna terutama untuk kelompok yang kurang beruntung.

Anda mungkin juga menyukai