Anda di halaman 1dari 21

Tidak hanya orang dewasa yang perlu mewaspadai TBC, penyakit TBC pada

anak pun harus menjadi kewaspadaan orang tua. Penyakit ini bisa timbul oleh
anak yang mengisap udara yang mengadung kuman TBC. Tuberkulosis (TB atau
TBC) pada anak memang berbeda dengan TB pada orang dewasa. Tuberkulosis pada
anak menginfeksi primer di parenkim paru yang tidak menyebabkan refleks batuk,
sehingga jarang ditemukan gejala khas TB seperti batuk berdahak . Beberapa gejala
awalnya adalah si kecil gampang jatuh sakit, atau berat badan turun tanpa
sebab.Berbeda dengan TBC pada orang dewasa, penyakit TBC pada anak tidak
menular. Pada TBC anak, kuman berkembang biak di kelenjar paru-paru. Jadi,
kuman ada di dalam kelenjar, tidak terbuka. Sementara pada TBC dewasa, kuman
berada di paru-paru dan membuat lubang untuk keluar melalui jalan napas. Nah,
pada saat batuk, percikan ludahnya mengandung kuman. Ini yang biasanya terisap
oleh anak-anak, lalu masuk ke paru-paru.

Pada parenkim paru ini juga kuman cenderung lebih sedikit, maka TB tidak menular
antara sesama anak. Tuberkulosis sangat mudah menular dari orangtua ke anak, tapi
TB tidak menular dari anak ke anak.Tuberkulosis adalah penyakit serius yang gampang
menular secara langsung melalui udara. Anak-anak dengan kekebalan tubuh buruk
paling rentan tertular TB dari orang dewasa yang positif TB. Tapi TB tidak menular antara
sesama anak. Gejala TB pada anak lebih susah didiagnosis karena bukan merupakan
gejala khas TB. Pada anak jarang ditemukan gejala batuk berdahak seperti yang diderita
pada orang dewasa. Dan seringkali terjadi salah diagnosa, karena gejala yang dialami
bisa juga merupakan gejala penyakit lain.

Tuberculosis pada anak bisa ditandai dengan gejala-gejala ;Demam lama atau berulang,
tapi tidak terlalu tinggi, Tidak ada nafsu makan (anoreksia), Berat badan tidak naik-naik,
Malnutrisi atau gangguan gizi, Multi L (lemah, letih, lesu, lelah, lemas letoy, loyo, lambat),
Batuk lama atau berulang, tetapi tidak berdahak (tapi seringkali ini merupakan gejala
asma), Diare berulang. Diagnosis TB pada anak tidak bisa dilakukan dengan uji dahak
(sputum test), karena memang jarang pasien TB anak mengalami batuk berdahak. Selain
itu, foto roentgen pada anak juga tidak bisa memberikan diagnosa yang tepat. Maka
diperlukan uji Tuberkulin atau uji Mantoux. Uji Tuberkulin dilakukan dengan menyuntikkan
tuberkulin PPD intrakutan di volar lengan bawah. Reaksi obat dapat dilihat 48 sampai 72
jam setelah penyuntikan. Uji Tuberkulin positif menunjukkan adanya infeksi TB.

Untuk pengobatan TB pada anak menggunakan tiga macam obat, yaitu INH, Rifampicin
dan Pirazinamide. Pemberian obat INH dan Rifampicin selama dua bulan, dan
Pirazinamide selama empat bulan, sehingga minimal pemberian obat sama dengan
orang dewasa, yaitu enam bulan. Ketika seorang anak sudah menderita TB aktif, maka
seluruh anggota keluarga dan orang dewasa lain yang kontak dekat dengan si anak
harus diperiksa untuk mencari sumber penularan dan segera diobati, agar rantai
penularan dapat dihentikan.
Gejala TBC sendiri tidak serta-merta muncul. Pada saat-saat awal, 4-8 minggu
setelah infeksi, bisa jadi anak hanya demam sedikit. Beberapa bulan kemudian,
gejalanya mulai muncul di paru-paru. Anak batuk-batuk sedikit. Tahap berikutnya
(3-9 bulan setelah infeksi), anak tidak napsu makan, kurang gairah, dan berat
badan turun tanpa sebab. Juga ada pembesaran kelenjar di leher, sementara di
paru-paru muncul gambaran vlek.

Pada saat itu, kemungkinannya ada dua, apakah akan muncul gejala TBC yang
benar-benar atau sama sekali tidak muncul. Ini tergantung kekebalan anak. Kalau
anak kebal (daya tahan tubuhnya bagus), TBC-nya tidak muncul. Tapi bukan
berarti sembuh. Setelah bertahun-tahun, bisa saja muncul, bukan di paru-paru lagi,
melainkan di tulang, ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang berbahaya dan butuh
waktu lama untuk penyembuhannya.

Riwayat Penyakit TBC


Penyebab TBC adalah kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebetulnya,
untuk mendeteksi bakteri TBC (dewasa) tidak begitu sulit. Pada orang dewasa
bisa dideteksi dengan pemeriksaan dahak langsung dengan mikroskop atau
dibiakkan dulu di media. Yang sulit adalah mendeteksi penyakit TBC pada anak,
karena tidak mengeluarkan kuman pada dahaknya dan gejalanya sedikit, sehingga
harus dibuat diagnosis baku untuk mendiagnosis anak TBC sedini mungkin.

Yang harus dicermati pada saat diagnosis penyakit TBC pada anak adalah riwayat
penyakitnya. Apakah ada riwayat kontak anak dengan pasien TBC dewasa. Kalau
ini ada, dapat dipastikan anak positif TBC. Gejala-gejala lain untuk diagnosa
penyakit TBC pada anak antara lain:
◦Apakah anak sudah mendapat imunisasi BCG semasa kecil. Atau reaksi BCG
sangat cepat. Misalnya, bengkak hanya seminggu setelah diimunisasi BCG. Ini
juga harus dicurigai TBC, meskipun jarang.
◦Berat badan anak turun tanpa sebab yang jelas, atau kenaikan berat badan setiap
bulan berkurang.
◦Demam lama atau berulang tanpa sebab. Gejala ini sebenarnya jarang terjadi.
Kalaupun ada, setelah diperiksa, ternyata tipus atau demam berdarah.
◦Batuk lama, lebih dari 3 minggu. Ini terkadang tersamar dengan alergi. Kalau
tidak ada alergi dan tidak ada penyebab lain, baru dokter boleh curiga
kemungkinan anak terkena TBC.
◦Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa ditengarai
sebagai kemungkinan gejala TBC. Yang sekarang sudah jarang adalah adanya
pembesaran kelenjar di seluruh tubuh, misalnya di selangkangan, ketiak, dan
sebagainya.
◦Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada kemerahan yang
khas.

Pemeriksaan lain juga dibutuhkan diantaranya pemeriksaan tuberkulin (Mantoux


Test, MT) dan foto. Pada anak normal, Mantoux Test positif jika hasilnya lebih
dari 10 mm. Tetapi, pada anak yang gizinya kurang, meskipun ada TBC, hasilnya
biasanya negatif, karena tidak memberikan reaksi terhadap MT.
Jika minimal tiga dari gejala di atas positif, dokter biasanya mencurigai anak kena
penyakit TBC, meski belum tentu TBC, karena bukti lain tidak ada. Anak
biasanya akan diberi obat anti-TBC selama 2-3 bulan dan dilihat
perkembangannya. Kalau membaik, misalnya berat badannya bertambah, napsu
makan bertambah, atau jadi jarang sakit, dokter biasanya yakin bahwa anak positif
TBC. Setelah itu, diteruskan dengan pengobatan untuk mencegah jangan sampai
TBC kambuh lagi atau berkembang menjadi penyakit TBC yang lebih parah.

Akan tetapi, seandainya kondisi anak masih buruk setelah 3 bulan diberi obat anti-
TBC, kemungkinannya ada dua, yaitu anak negatif TBC atau adanya multi-drugs
resistance TBC (MDR TBC/kebal terhadap obat-obatan). MDR ini yang sekarang
menjadi masalah. Penyebabnya biasanya karena penderita TBC dewasa tidak
teratur minum obat. Begitu agak enakan, lalu menghentikan minum obat, dan
sebagainya. Akibatnya, kuman jadi kebal terhadap obat. Nah, jika ini menular ke
anak-anak, juga akan membuat anak-anak tersebut mengidap MDR TBC.

Jika ini yang terjadi, si kecil sebaiknya dirujuk ke RS atau dokter spesialis untuk
melakukan pengamatan yang lebih intensif. Dalam beberapa tahun terakhir, sudah
mulai tampak tendensi peningkatan MDR berbarengan dengan banyaknya kasus
TBC dewasa. Ditambah lagi maraknya kasus HIV-AIDS, yang membuat daya
tahan tubuh turun, sehingga TBC mudah menyerang. Belum lagi faktor sosial dan
gizi yang menambah kendala penanganan penyakit TBC pada anak.

Pengobatan TBC Pada Anak Harus Sabar


Prosedur pengobatan penyakit TBC pada anak yang pertama adalah dengan
memberikan obat pembunuh kuman TBC. Ini disebut pengobatan masa I (3 bulan
pertama). Di masa I ini diharapkan sebagian besar kuman akan mati, jadi dipakai
obat anti-TBC yang fungsinya membunuh kuman.

Tahap berikutnya adalah masa dimana kuman sudah masuk ke dalam kelenjar,
sehingga obat pembunuh kuman tidak mempan lagi, bahkan kalau diberikan
malah berbahaya karena bisa mengganggu fungsi liver. Pada masa ini, diberikan
obat-obatan yang fungsinya mengepung kuman yang ada di dalam kelenjar. Kalau
kuman keluar, bisa langsung mati kumannya.

Proses pengobatan berlangsung sekitar 6 bulan, dan terkadang ditambah 3 bulan


pengobatan untuk mencegah kekambuhan. Pengobatan harus teratur, tidak boleh
berhenti. Kalau distop, bisa jadi kumannya akan muncul lagi dan resisten terhadap
obat. Pengobatan penyakit TBC pada anak memang berbeda dengan TBC dewasa.
Pada orang dewasa, pengobatan 3 bulan bisa bersih kuman TBC-nya. Pada anak
tidak bisa, karena tidak bisa memberikan obat sekaligus banyak dalam jangka
waktu pendek. Akibatnya, pengobatan jadi agak lama. Orang tua harus sabar dan
tidak bosan.

Yang juga harus dihindari adalah pemberian obat anti-TBC tanpa diagnosis yang
benar. Anak gampang sakit, batuk, tidak napsu makan, langsung diberi obat TBC.
Ini sangat berbahaya, karena bisa berakibat resistensi kuman terhadap obat. Nah,
sekarang para orangtua mempunyai kecenderungan seperti itu, mungkin karena
mereka tidak sabar menangani penyakit TBC pada anak mereka. Padahal jika
terlalu terburu-buru bukan sembuh, malah bisa mengakibatkan komplikasi
lainnya.

Penanganan Terkini Tuberkulosis atau TB


(TBC) Pada Anak
Widodo Judarwanto, Children Grow Up Clinic Jakarta Indonesia

Tuberkulosis atau TB
(TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini paling sering
menyerang paru-paru walaupun pada sepertiga kasus
menyerang organ tubuh lain dan ditularkan orang ke orang. Ini
juga salah satu penyakit tertua yang diketahui menyerang
manusia. Jika diterapi dengan benar tuberkulosis yang
disebabkan oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis, yang
peka terhadap obat, praktis dapat disembuhkan. Tanpa terapi
tuberkulosa akan mengakibatkan kematian dalam lima tahun
pertama pada lebih dari setengah kasus. Namun dibalik bahaya
TB tersebut, seringkali banyak kasus pada anak dan dewasa
sering terjadi underdiagnosis dan paling sering adalah
overdiagnosis karena dalam menegakkan diagnosis tidak
mudah. Overdiagnosis artinya tidak mengalami infeksi TB
tetapi didiagniosis dan diobati sebagai TB. Bila diagnosis
meragukan sebaiknya lakukan second opinion ke dokter anak
lainnya atau ke dokter ahli paru anak.

Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mikobakterium


tuberkulosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir
semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya
merupakan lokasi infeksi primer. Pada tahun 1992 WHO telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO
tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis
pada tahun 2002, sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus ini terjadi
di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus di dunia.

Indonesia berada dalam peringkat ketiga terburuk di dunia untuk jumlah


penderita TB. Setiap tahun muncul 500 ribu kasus baru dan lebih dari 140
ribu lainnya meninggal. Seratus tahun yang lalu, satu dari lima kematian
di Amerika Serikat disebabkan oleh tuberkulosis.

Tuberkulosis masih merupakan penyakit infeksi saluran napas yang


tersering di Indonesia. Keterlambatan dalam menegakkan diagnosa dan
ketidakpatuhan dalam menjalani pengobatan mempunyai dampak yang
besar karena pasien Tuberkulosis akan menularkan penyakitnya pada
lingkungan,sehingga jumlah penderita semakin bertambah.

Pengobatan Tuberkulosis berlangsung cukup lama yaitu setidaknya 6


bulan pengobatan dan selanjutnya dievaluasi oleh dokter apakah perlu
dilanjutkan atau berhenti, karena pengobatan yang cukup lama seringkali
membuat pasien putus berobat atau menjalankan pengobatan secara tidak
teratur, kedua hal ini ini fatal akibatnya yaitu pengobatan tidak berhasil
dan kuman menjadi kebal disebut MDR ( multi drugs resistance ), kasus
ini memerlukan biaya berlipat dan lebih sulit dalam pengobatannya
sehingga diharapkan pasien disiplin dalam berobat setiap waktu demi
pengentasan tuberkulosis di Indonesia

Tanggal 24 Maret diperingati dunia sebagai “Hari TBC” oleh sebab pada
24 Maret 1882 di Berlin, Jerman, Robert Koch mempresentasikan hasil
studi mengenai penyebab tuberkulosis yang ditemukannya.
Klasifikasi

 Tuberkulosis paru terkonfirmasi secara bakteriologis dan histologis


 Tuberkulosis paru tidak terkonfirmasi secara bakteriologis dan
histologis
 Tuberkulosis pada sistem saraf
 Tuberkulosis pada organ-organ lainnya
 Tuberkulosis millier

Patofisiologi

Penyebab penyakit ini adalah bakteri kompleks Mycobacterium


tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan
termasuk dalam ordo Actinomycetales. kompleks Mycobacterium
tuberculosis meliputi M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. microti,
dan M. canettii. Dari beberapa kompleks tersebut, M. tuberculosis
merupakan jenis yang terpenting dan paling sering dijumpai.

M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5µ dan lebar 3µ,


tidak membentuk spora, dan termasuk bakteri aerob. Mycobacteria dapat
diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya, misalnya dengan Pewarnaan
Gram. Namun, sekali mycobacteria diberi warna oleh pewarnaan gram,
maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena
itu, maka mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam atau BTA.
Beberapa mikroorganisme lain yang juga memiliki sifat tahan asam, yaitu
spesies Nocardia, Rhodococcus, Legionella micdadei, dan protozoa
Isospora dan Cryptosporidium. Pada dinding sel mycobacteria, lemak
berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya.
Struktur ini menurunkan permeabilitas dinding sel, sehingga mengurangi
efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, suatu molekul lain dalam
dinding sel mycobacteria, berperan dalam interaksi antara inang dan
patogen, menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam
makrofaga.

Penularan TBC terjadi karena menghirup udara yang mengandung


Mikobakterium tuberkulosis (M.Tb), di alveolus M.Tb akan difagositosis
oleh makrofag alveolus dan dibunuh. Tetapi bila M.Tb yang dihirup
virulen dan makrofag alveolus lemah maka M.Tb akan berkembang biak
dan menghancurkan makrofag. Monosit dan makrofag dari darah akan
ditarik secara kemotaksis ke arah  M.Tb berada, kemudian memfagositosis
M.Tb tetapi tidak dapat membunuhnya. Makrofag dan M.Tb membentuk
tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, makrofag yang menyatu (sel
raksasa Langhans) dan limfosit. Tuberkel akan menjadi tuberkuloma
dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan mungkin juga terjadi
kalsifikasi. Lesi pertama di alveolus (fokus primer) menjalar ke kelenjar
limfe hilus dan terjadi infeksi kelenjar limfe, yang bersama-sama dengan
limfangitis akan membentuk kompleks primer. Dari kelenjar limfe M.Tb
dapat langsung menyebabkan penyakit di organ-organ tersebut atau hidup
dorman dalam makrofag jaringan dan dapat aktif kembali bertahun-tahun
kemudian. Tuberkel dapat hilang dengan  resolusi atau terjadi kalsifikasi
atau terjadi nekrosis dengan masa keju yang dibentuk oleh makrofag.
Masa keju dapat mencair dan M.Tb dapat berkembang biak ekstra selular
sehingga dapat meluas di jaringan paru dan terjadi pneumonia, lesi
endobronkial, pleuritis atau Tb milier. Juga dapat menyebar secara
bertahap menyebabkan lesi di organ-organ lainnya .

Penularan

Penularan penyakit ini karena kontak dengan dahak atau menghirup titik-
titik air dari bersin atau batuk dari orang yang terinfeksi kuman
tuberkulosis, anak anak sering mendapatkan penularan dari orang dewasa
di sekitar rumah maupun saat berada di fasilitas umum seperti kendaraan
umum, rumah sakit dan dari lingkungan sekitar rumah. Oleh sebab ini
masyarakat di Indonesia perlu sadar bila dirinya terdiagnosis tuberkulosis
maka hati hati saat berinteraksi dengan orang lain agar tidak batuk
sembarangan , tidak membuang ludah sembarangan dan sangat
dianjurkan untuk bersedia memakai masker atau setidaknya sapu tangan
atau tissue.

Dalam memerangi penyebaran Tuberkulosis terutama pada anak anak


yang masih rentan daya tahan tubuhnya maka pemerintah Indonesia telah
memasukkan Imunisasi Tuberkulosis pada anak anak yang disebut sebagai
Imunisasi BCG sebagai salah satu program prioritas imunisasi wajib
nasonal beserta dengan 4 jenis imunisasi wajib lainnya yaitu hepatitis B,
Polio, DPT dan campak, jadwalnya ada di Jadwal imunisasi

Diagnosis

Manifestasi klinis

 Diagnosa tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,


pemeriksaan jasmani, pemeriksaan bakteriologi , radiologi dan
pemeriksaan penunjang lainnya
 Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru
maka gejala lokal ialah gejala respiratori atau gejala gejala yang erat
hubungannya dengan organ pernapasan ( sedang gejala lokal lain
sesuai akan sesuai dengan organ yang terlibat )
 Gejala respiratori ialah batuk lebih dari 2 minggu, batuk bercampur
darah. Bisa juga nyeri dada dan sesak napas. Selanjutnya ada gejala
yang disebut sebagai Gejala sistemis antara lain Demam , badan
lemah yang disebut sebagai malaise, keringat malam, anoreksia dan
berat badan menurun menjadi semakin kurus. Gejala respiratori
sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi, sehingga pada kondisi yang
gejalanya tidak jelas sehingga terkadang pasien baru mengetahui
dirinya terdiagnosis Tuberkulosis saat medical check up

DIAGNOSIS

Diagnosis paling tepat adalah ditemukannya basil Tb dari bahan yang


diambil dari pasien misalnya sputum, bilasan lambung, biopsi dll. Tetapi
pada anak hal ini sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar
diagnosis Tb anak didasarkan gambaran klinis, gambaran radiologis, dan
uji tuberkulin.

Untuk itu penting memikirkan adanya Tb pada anak kalau terdapat


keadaan atau tanda-tanda yang mencurigakan seperti dibawah ini :

Pada anak harus dicurigai menderita Tb kalau :


 Kontak erat (serumah) dengan penderita Tb dengan sputum BTA
(+)
 Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG dalam
3-7 hari.
 Terdapat gejala umum

Gejala-gejala yang harus dicurigai Tb

Gejala umum/tidak spesifik

 Berat badan turun atau malnutrisi tanpa sebab yang jelas atau tidak
naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi.
 Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat
badan tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.
 Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria
atau infeksi saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam.
 Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya
multiple, paling sering di daerah leher, axilla dan inguinal.

Gejala-gejala respiratorik :

 batuk lama lebih dari 3 minggu


 tanda cairan di dada, nyeri dada

Gejala gastrointestinal

 diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare


 benjolan/massa di abdomen
 tanda-tanda cairan dalam abdomen

Gejala Spesifik

1. Tb kulit/skrofuloderma
2. Tb tulang dan sendi

 Tulang punggung (spondilitis)     : gibbus


 Tulang panggul (koksitis)           : pincang
 Tulang lutut                               : pincang dan/atau bengkak
 Tulang kaki dan tangan

3. Tb Otak dan Saraf

 Meningitis dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah-muntah dan


kesadaran menurun

4. Gejala mata : Conjungtivitis phlyctenularis, Tuberkel koroid (hanya


terlihat dengan funduskopi)

 Uji tuberculin (Mantoux) Uji tuberkulin dilakukan dengan cara


Mantoux (penyuntikan intrakutan). Tuberkulin yang dipakai adalah
tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU atau PPD-S kekuatan 5 TU.
Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur
diameter tranversal dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan
dalam mm, dikatakan positif bila indurasi : > 10 mm.
 Reaksi cepat BCG Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi
cepat berupa kemerahan dan indurasi > 5  mm (dalam 3-7 hari)
maka dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
 Foto Rontgen Paru : seringkali tidak khas Pembacaan sulit,
hati-hati kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling
mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar
hilus atau kelenjar paratrakeal.
 Gambaran rontgen paru pada Tb dapat berupa : Milier,
Atelektasis, Infiltrat , pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal,
konsolidasi (lobus), reaksi pleura dan/atau efusi pleura, kalsifikasi,
bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. Diskongkruensi antara
gambaran klinis dan gambaran radiologis, harus dicurigai Tb. Foto
Rontgen paru sebaiknya dilakukan PA dan lateral serta dibaca oleh
ahlinya.
 Pemeriksaan mikrobiologi : pemeriksaan langsung BTA
(mikroskopis)  dan kultur dari sputum (pada anak bilasan lambung
karena sputum sulit didapat ).
 Pemeriksaan serologi (ELISA, PAP, Mycodot, dll) masih
memerlukan penelitian  lebih lanjut.
 Pemeriksaan patologi anatomi.
 Respon terhadap pengobatan OAT. Kalau dalam 2 bulan terdapat
perbaikan klinis nyata, akan menunjang atau memperkuat diagnosis
TBC.

OVERDIAGNOSIS TBC
Penyakit TBC sering dianggap biang keladi penyebab utama batuk
berkepanjangan, kesulitan makan dan gangguan kenaikkan Berat Badan
pada anak. Padahal justru penyebab utama batuk berkepanjangan,
kesulitan makan dan gangguan kenaikkan Berat Badan pada anak yang
utama bukan karena infeksi Tuberkulosis. .Diagnosis pasti TBC anak sulit
oleh karena penemuan kuman Micobacterium TBC (M.TBC) pada anak
tidak mudah. Cara-cara lain untuk pemeriksaan laboratorium darah secara
bakteriologis atau serologis masih memerlukan penelitian lebih lanjut
untuk dapat dipakai secara praktis – klinis.

Karena kesulitan diagnosis tersebut sering terjadi overdiagnosis atau


underdiagnosis. Overdiagnosis artinya diagnosis TBC yang diberikan pada
anak oleh dokter terlalu berlebihan atau terlalu cepat mendiagnosis
dengan data yang minimal walaupun anak belum tentu menderita TBC.
Apabila terjadi overdiagnosis TBC pada anak terdapat konsekuensi yang
tidak ringan dihadapi oleh si anak, karena anak harus mengkonsumsi 2
atau 3 obat sekaligus minimal 6 bulan. Bahkan kadangkala diberikan lebih
lama apabila dokter menemukan tidak ada perbaikan klinis. Padahal obat
TBC dalam jangka waktu lama beresiko mengganggu fungsi
hati,persyarafan telinga dan organ tubuh lainnya.

Sering terjadi anak dengan keluhan alergi pernapasan atau gangguan


pencernaan kronis (seperti coeliac dsbnya) yang disertai berat badan yang
kurang dan sulit makan diobati sebagai penyakit Tuberkulosis (TBC) paru
yang harus minum obat selama 6 bulan hingga 1 tahun. Padahal belum
tentu anak tersebut mengidap penyakit tuberculosis. Bahkan orang tua
heran saat anaknya divonis dokter mengidap penyakit TBC padahal tidak
ada seorangpun di rumah yang mengalami penyakit TBC. Overdiagnosis
dan overtreatment pada anak dengan gejala alergi tersebut sering terjadi
karena keluhan alergi dan TBC hampir sama, sementara mendiagnosis
penyakit TBC tidaklah mudah.

Diagnosis Tuberkulosis anak menurut Pertemuan Dokter Anak


pulmunologi tahun 2000 harus dengan pengamatan seksama tentang
adanya : Gejala klinis, kontak erat serumah penderita TBC (dipastikan
dengan dengan pemeriksaan dahak positif), pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah Foto polos dada (roentgen), tes mantouxt (positif : >
15mm bila sudah BCG, Positif > 10 mm bila belum BCG). Sering terjadi
hanya dengan melakukan pemeriksaan satu jenis pemeriksaan saja, anak
sudah divonis dengan penyakit TBC. Seharusnya pemeriksaan harus
dilakukan secara lengkap dan teliti seperti di atas. Karena sulitnya
mendiagnosis TBC pada anak dan kosekuensi lamanya pengobatan maka
bila meragukan lebih baik dikonsultasikan atau dikonfirmasikan ke Dokter
Spesialis Paru Anak (Pulmonologi Anak). Ciri lain yang menunjukkan
kemungkinan anak sudah mengalami gangguan saluran cerna secara
genetik atau sejak lahir dan bhuka penyakit TBC adalah anak sejak lahir
beratnya tidak pernah optimal dan biasanya salah satu orangtuanya
mempunyai berat badan yang kurus saat usia anak.

Dengan penanganan kesulitan makan dan gagal tumbuh pada anak yang
optimal diharapkan dapat mencegah komplikasi yang ditimbulkan,
sehingga dapat meningkatkan kualitas anak Indonesia dalam menghadapi
persaingan di era globalisasi mendatang khususnya. Tumbuh kembang
dalam usia anak sangat menentukan kualitas seseorang bila sudah dewasa
nantinya.

Diagnosis pasti TB anak sulit oleh karena penemuan Micobacterium TBC


(M.TBC) sebagai penyebab TB pada anak tidak mudah. Sehingga sering
terjadi kesalahan diagnosis baik berupa underdiagnosis dan overdiagnosis
dalam penegakkan diagnosis TB pada anak. Overdiagnosis atau diagnosis
TB yang diberikan terlalu berlebihan padahal anak belum tentu
mengalami infeksi TB. Konsekuensi yang harus dihadapi adalah
pemberian multidrug (2 atau 3 jenis antibiotika) dalam jangka waktu 6
bulan. Pemberian obat anti TB pada anak yang tidak menderita TB selain
mengakibatkan pengeluaran biaya yang tidak diperlukan, juga resiko efek
samping pemberian obat tersebut seperti gangguan hati, persarafan
telinga, gangguan darah dan sebagainya. Di lingkungan Puskesmas
khususnya daerah pedesaan juga membuat berkurangnya persediaan obat
untuk penderita TB yang benar-benar memerlukannya. Di kalangan
masyarakat bahkan sebagian klinisi terdapat kecenderungan tanda dan
gejala TB yang tidak spesifik pada anak sering dipakai dasar untuk
memberikan pengobatan TB pada anak. Padahal banyak penyakit lainnya
yang mempunyai gejala tersebut. Gagal tumbuh atau berat badan tidak
naik, kesulitan makan, demam berulang, sering batuk atau pembesaran
kelenjar di sekitar leher dan belakang kepala merupakan gejala yang tidak
spesifik pada anak. Tetapi tampaknya dalam praktek sehari-hari gangguan
ini sering langsung dicurigai sebagai gejala TB. Seharusnya gejala tersebut
dapat disebabkan oleh beberapa penyakit lainnya. Gangguan-gangguan
tersebut juga sering dialami oleh penderita alergi, asma, gangguan saluran
cerna dan gangguan lainnya pada anak.

OVERDIAGNOSIS PADA GANGGUAN


LAIN
Tanda dan gejala TB yang tidak spesifik sangat mirip dengan penyakit
lainnya. Gangguan gagal tumbuh dan gangguan saluran napas non spesifik
sering mengalami overdiagnosis tuberkulosis. Penyakit alergi atau asma
dan penderita gagal tumbuh yang disertai kesulitan makan paling sering
dianggap penyakit TB karena gejalanya sama. Penelitian yang dilakukan
penulis didapatkan fakta yang patut disimak. Sebanyak 34(12%) anak
mengalami overdiagnosis di anatara 226 anak dengan gangguan napas
nonspesifik seperti alergi atau asma yang berobat jalan di Klinik Alergi
Anak Rumah Sakit Bunda Jakarta. Penelitian lain didapatkan hasil yang
mengejutkan, overdiagnosis ditemukan lebih besar lagi, yaitu 42 (22%)
anak pada 210 anak dengan gangguan kesulitan makan disertai gagal
tumbuh yang berobat jalan di Picky Eaters Clinic Jakarta. Overdiagnosis
tersebut sering terjadi karena tidak sesuai dengan panduan diagnosis yang
ada atau kesalahan dalam menginterpretasikan gejala klinis, kontak dan
pemeriksaan penunjang khususnya tes mantoux dan foto polos paru.

PERMASALAHAN DIAGNOSIS TB
 Gejala khas TB biasanya muncul tergantung dari bagian tubuh
mana yang terserang, misalnya: TB kulit atau skrofuloderma, TB
tulang dan sendi: tulang punggung (spondilitis): gibbus tulang
panggul (koksitis): pincang, pembengkakan di pinggul, tulang lutut
pincang atau bengkak, tulang kaki dan tangan, TB otak dan saraf :
meningitis: dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah-muntah dan
kesadaran menurun. Gejala mata berupa konjungtifitis
phlyctenularis, tuberkel koroid , kelainan ini hanya terlihat dengan
alat funduskopi.
 Pada pertemuan para ahli pulmonologi anak di Jakarta 26 Agustus
2000 telah dibuat suatu kesepakatan bersama yang berupa
Konsensus Nasional TB anak. Diagnosis paling tepat adalah
ditemukannya basil TB dari bahan yang diambil dari pasien
misalnya sputum, bilasan lambung, biopsi dll. Tetapi pada anak hal
ini sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis TB
anak didasarkan gambaran klinis, kontak, gambaran radiologis, dan
uji tuberculin.
 Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya
dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat.
Pemeriksaan BTA secara biakan (kultur) memerlukan waktu yang
lama. Cara baru untuk mendeteksi kuman TB dengan PCR
(Polymery Chain Reaction) atau Bactec masih belum banyak dipakai
dalam klinis praktis. Demikian juga pemeriksaan darah serologis
seperti ELISA, PAP, Mycodot dan lain-lain, masih memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis.
Beberapa pemeriksaan tersebut spesifitas dan sensitifitasnya tidak
lebih baik dari uji tuberkulin atau tes mantoux.

KESALAHAN DIAGNOSIS
 Overdiagnosis sering terjadi karena karena tidak sesuai dengan
panduan diagnosis yang ada atau kesalahan dalam
menginterpretasikan gejala klinis, kontak dan pemeriksaan
penunjang khususnya tes mantoux dan foto polos paru. Pada kasus
di atas sebagian besar overdiagnosis TB ditegakkan hanya karena
hasil foto rontgen. Tanpa pengamatan adanya kontak dan uji
tuberkulin (test mantouxt) sudah terlalu cepat diberikan
pengobatan TB. Sering terjadi hasil rontgen adalah infiltrat (flek) di
paru sudah dianggap sebagai TB. Padahal gambaran ini bukan
gambaran TB dan ternyata bisa didapatkan pada penyakit alergi,
asma dan penyakit coeliac (gangguan saluran cerna dan berat badan
kurus).
 Sedangkan gambaran röntgen TB paru pada anak tidak khas.
Gambaran TB yang ditemukan adalah pembesaran kelenjar hilus
atau kelenjar paratrakeal, milier,atelektasis, kolaps, konsolidasi,
infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal,
konsolidasi (lobus), cairan paru. kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas
dan destroyed lung (paru rusak). Sering kali terjadi interpretasi
dokter radiologi hanya karena ditemukan infiltrat (flek) tanpa
pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal sudah dicurigai
atau dianggap TB. Sedangkan dokter yang merawat penderita
langsung memberikan pengobatan TB tanpa konfirmasi data
lainnya.
 Menentukan sumber penularan atau kontak TB adalah adanya
kontak erat dan lama dengan penderita TB yang dipastikan dengan
pemeriksaan dahak yang positif. Kesalahan yang sering terjadi
bahwa kontak TB itu adalah saudara yang hanya pernah bertemu
sesekali. Kesalahan lainnya kontak TB sering dianggap bahwa orang
yang sering batuk atau kurus padahal belum tentu bila belum
terbukti pemeriksaan dahak atau sputum positif. Anak yang
mengalami gagal tumbuh dengan kesulitan makan ternyata sekitar
75% salah satu orang tuanya juga mengalami gangguan kenaikkan
berat badan. Penderita alergi atau asma juga sebagian besar salah
satu orang tuanya juga mengalami batuk lama yang terlalu cepat
dianggap sebagai kontak TB.
 Di dalam masyarakat batuk lama atau Batuk Kronis Berulang (BKB)
tampaknya lebih sering dikawatirkan sebagai TB. Padahal batuk
adalah bukan merupakan keluhan utama penyakit TB pada anak.
BKB adalah batuk yang berlangsung lebih dari 2 minggu atau
berulang 3 kali atau lebih dalam 3 bulan. Diagnosis banding
pertama pada BKB adalah asma atau alergi. Menurut pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak bila ditemui keluhan BKB harus
disingkirkan dulu diagnosis banding lain seperti alergi atau asma
sebelum diagnosis TBC dicari. Kesalahan membaca tes mantouxt
sering terjadi dalam overdiagnosis TB. Hasil tes Mantoux yang besar
langsung dicurigai sebagai TB. Padahal tes Mantoux dikatakan
positif bila indurasi harus lebih 10 mm bila bekas luka imunisasi
BCG negatif (imunisasi tidak jadi). Bila bekas luka imunisasi BCG
ada (imunisasi BCG jadi) harus lebih 15 mm. Kesalahan lain yang
sering terjadi adalah penilaian tes mantoux adalah lebar peninggian
kemerahan kulit bukan kemerahan pada kulit.
 TB adalah penyakit yang harus diwaspadai tetapi jangan terlalu
kawatir berlebihan. Dalam menegakkan diagnosis harus dilakukan
secara cermat dan lengkap melalui anamnesa kontak TB, tanda dan
gejala TB, pemeriksaan foto polos paru dan uji tuberkulin.
Sebaiknya tidak terlalu cepat memvonis diagnosis TB bila data yang
didapat belum optimal. Bila meragukan sebaiknya dilakukan
penanganan multidisiplin ilmu kesehatan anak seperti dokter
pulmonologi anak, gastroenterologi anak, endokrinologi anak atau
alergi anak. Karena bila sudah didiagnosis TB maka konsekuensi
penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu lama dan resiko efek
samping yang ditimbulkan.

TATALAKSANA

 Obat harus diminum teratur, setiap hari, dan dalam waktu yang
cukup lama. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan.
 Secara garis besar dapat dibagi menjadi tata laksana untuk :

1. TBC paru tidak berat   Pada TBC paru yang tidak berat cukup
diberikan 3 jenis obat anti tuberkulosis (OAT) dengan jangka waktu
terapi 6 bulan. Tahap intensif terdiri dari isoniazid (H), Rifampisin
(R) dan Pyraninamid (Z) selama 2 bulan diberikan setiap hari
(2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R)  selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR).
2. TBC paru berat atau TBC ekstrapulmonal   Pada TBC berat
(TBC milier, meningitis, dan TBC tulang) maka juga diberikan
Streptomisin atau Etambutol pada permulaan pengobatan. Jadi
pada TBC berat biasanya pengobatan dimulai dengan kombinasi 4-5
obat selama 2 bulan, kemudian dilanjutkan dengan Isoniazid dan
Rifampisin selama 10 bulan lagi atau lebih, sesuai dengan
perkembangan klinisnya. Kalau ada kegagalan karena resistensi
obat, maka obat diganti sesuai dengan hasil uji resistensi, atau
tambah dan ubah kombinasi OAT.

Obat anti tuberkulosis yang digunakan adalah :

 Isoniazid (INH) : selama 6-12 bulan

1. Dosis terapi                  : 5-10 mg/kgBB/hari diberikan sekali sehari


2. Dosis profilaksis           : 5-10 mg/kgBB/hari diberikan sekali sehari
3. Dosis maksimum           : 300 mg/hari

 Rifampisin ( R ) : selama 6-12 bulan


1. Dosis                            : 10-20 mg/kgBB/hari sekali sehari
2. Dosis maksimum           : 600 mg/hari
 Pirazinamid (Z) : selama 2-3 bulan pertama
1. Dosis                            : 25-35 mg/kgBB/hari diberikan 2 kali
sehari
2. Dosis maksimum           : 2 gram/hari
 Etambutol (E) : selama 2-3 bulan pertama
1. Dosis                            : 15-20 mg/kgBB/hari  diberikan sekali
atau 2 kali sehari
2. Dosis maksimum           : 1250 mg/hari
 Streptomisin (S) : selama 1-2 bulan pertama
1. Dosis                            :  15-40 mg/kg/hari diberikan sekali
sehari intra muskular
2. Dosis maksimum           : 1 gram/hari
 Kortikosteroid diberikan pada keadaan khusus seperti : Tb milier,
meningitis Tb, endobronkial Tb, pleuritis Tb,  perikarditis Tb,
peritonitis Tb.
 Boleh diberikan prednison 1-2 mg/kg BB/hari selama 1-2 bulan

PENGHENTIAN PENGOBATAN

 Bila setelah 6 bulan evaluasi membaik : batuk menghilang, klinis


membaik, anak menjadi lebih aktif, berat badan meningkat, foto
thorax membaik, penurunan LED
 Bila setelah 6 bulan tidak ada perbaikan, kemungkinan :

1. Kepatuhan minum obat yang kurang


2. MDR (Multi Drug Resisten)
3. Diagnosis bukan TBC

OBAT PENCEGAHAN DENGAN INH : 5-10 mg/kg BB/hari


diberikan pada :

 Profilaksis primer : anak yang kontak erat dengan penderita TB


menular (BTA positip, tetapi belum terinfeksi).
 Profilaksis sekunder : anak dengan infeksi TB yaitu tuberkulin
positip dan klinis baik, dengan faktor resiko yang memungkinkan
menjadi TB aktif.

1.  umur dibawah 5 tahun


2. menderita penyakit infeksi (morbili, varicella)
3. mendapat obat imunosupresif (sitostatik, steroid, dll)
4. umur akil balik
5. \kalau ada infeksi HIV

KOMPLIKASI

Pada anak komplikasi biasanya terjadi pada 5 tahun pertama setelah


infeksi terutama 1 tahun pertama. Penyebaran limfohematogen menjadi
Tb milier atau meningitis Tb atau efusi pleura biasanya terjadi 3-6 bulan
setelah infeksi primer. Tb tulang dan sendi terbanyak terjadi dalam 3
tahun pertama, dan Tb ginjal dan kulit terbanyak setelah 5 tahun dari
infeksi primer.

SISTEM SKORING DIAGNOSIS TUBERKULOSIS ANAK

Paramet
0 1 2 3
er

Kavit
as
Laporan keluarga,
Tidak (+),
Kontak Tb BTA (-) atau tidak BTA (+)
jelas BTA
tahu
tidak
jelas

Positif ( ≥
10 mm
Uji atau ≥ 5
Tuberkuli Negatif mm pada
n keadaan
imunosup
resi)

Klini
s gizi
buru
k
atau
Berat
BB/TB < 90% BB/T
badan/kea
atau BB/U < 80% B<
daan gizi
70%a
tau
BB/
U<
60%

Demam ≥ 2 minggu
tanpa
sebab
jelas

Batuk ≥ 3 minggu

Pembesar
an
kelenjar ≥ 1cm, jumlah >1,
limfe kolli, tidak nyeri
aksila,
inguinal

Pembengk
akan
tulang/se
Ada
ndi
pembengkakan
panggul,
lutut,
falang

 Infiltrat
 Pembesa
ran kelenjar
 Konsolid
asi
segmental/

lobar

Foto Normal/  atelektas


Rontgen tidak is
toraks jelas  k
alsifikasi
+
infiltrat
 p
embesar
an
kelenjar
+
infiltrat

Catatan :
 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
 Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis
 Berat badan dinilai saat datang (moment opname)
 Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku
 Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada Tb anak
 Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan
sistem skoring Tb anak
 Didiagnosis Tb jika skor ≥ 6 (skor maksimal 14). Cut off point ini
masih bersifat tentatif/sementara, nilai definitif menunggu hasil
penelitian yang sedang dilaksanakan

Anda mungkin juga menyukai