Anda di halaman 1dari 3

Format naskah: Judul, Nama Penulis, Isi Cerita, dan Biodata maksimal 500 kata yang ditulis

pada halaman terpisah dari naskah cerita

 Naskah diketik di Ms.Word dan disimpan dalam bentuk word (Doc./Docx)

 Ukuran kertas: A4

 Jenis font: Times New Roman 12, Spasi 1.5, Margin Normal

 Panjang naskah 1-5 halaman. Jumlah kata tidak dibatasi.

 Naskah orisinal, baru dan milik sendiri

 Naskah cerita yang ditulis dapat berupa fiksi maupun nonfiksi

 Naskah menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan PUEBI

 Tidak mengandung unsur SARA dan provokasi

 Naskah bukan merupakan saduran, terjemahan dan plagiasi

 Gizipedia Indonesia berhak memperbanyak dan mempublikasikan 50 karya terbaik dalam

buku Antologi ber-ISBN dengan tetap mencantumkan nama penulis

Pandemi awalnya membuat saya pesimis, apakah masih ada pekerjaan untuk saya? Namun pada
akhirnya saya merangkai cerita ini selepas jam pelayanan berakhir.

...

Panggil saja saya As kecil, tentunya karena waktu itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Saya
sangat ingat pada jam pelajaran bahasa Indonesia. Guru saya mengabsen cita-cita semua murid
favoritnya. Mulai dari bangku terdepan hingga bangku pojok sebelah kanan. Saya kebingungan, jelas
kosakata yang saya miliki terkait dengan profesi masih mini. Tidak tahu penjabarannya bagaimana
dan tidak tahu namanya apa. Yang saya tahu, saya sangat ingin berada pada sebuah titik yang
bermanfaat bagi kesehatan masyarakat sekitar saya. Saya ingat betul saat nama saya disebut,
dengan spontan saya berujar, “Apoteker!” karena ternyata saya tergoda dengan rekan sebangku
yang sejak tadi menjelaskan tentang dunia pengobatan dengan suara pelan.

As remaja, tentunya lebih banyak menangkap kosakata dari sebelumnya. Sekolah menengah
pertama yang dibayar oleh pemerintah melalui dana BOS. Saya sangat beruntung dapat menimba
ilmu di sana tanpa membayar dana bulanan dan sebagainya. Saya sesekali membantu ibu dalam
kegiatan posyandu yang diadakan setiap bulan secara terpadu. Saya melihat ternyata peran
posyandu sangat besar untuk anak Indonesia. Saya melihat seorang petugas kesehatan yang
membina kegiatan posyandu tersebut. Saya sempat berbincang, dan mengetahui bahwa beliau
adalah seorang bidan. Ketika saya menjelaskan bahwa saya tertarik dengan inovasi PMT dan
makanan untuk peningkatan status gizi balita, beliau merekomendasikan saya untuk menjadi
seorang ahli gizi saja. Sejak saat itu, saya akhirnya mengetahui apa yang saya mau.
Ada satu hal yang awalnya saya sesali, yaitu dengan masuk ke sekolah kejuruan tata boga.
Sebelumnya, lulusan tata boga sangat linear dengan ahli gizi. Namun setelah saya masuk sekolah
tersebut, saya mendapati kabar bahwa gizi dan tata boga sudah tidak linear lagi. Walaupun sangat
sedih, saya lanjutkan dan tuntaskan sekolah saya yang masih dibayar oleh pemerintah sebagai
bentuk rasa syukur saya melihat banyak anak sepantaran saya yang tidak seberuntung itu untuk
dapat bersekolah dengan tenang tanpa biaya.

Meskipun saya telah mendengar kabarnya, saya tetap pada akhirnya mendaftar jalur SNMPTN untuk
jurusan gizi. Ya, memang belum rejeki karena pada akhirnya saya tidak masuk menjadi mahasiswi.
Sedih dan bingung, As remaja selalu merasa sedih dan menyesal. As akhirnya bekerja penuh waktu
di sebuah restoran sambil merenungkan untuk melepas atau berbalik arah. Seorang teman akhirnya
memberi kabar bahwa ada yang masih bersedia menerima calon mahasiswi lulusan tata boga untuk
berkuliah gizi. Namun, langkah As terhenti ketika mengetahui jenjang yang dicapai bukan seperti
yang As mau. Berulang kali berpikir dan menimbang restu orang-orang terkasih. Ada yang
mengatakan jika pada akhirnya, tenaga kesehatan dibayar di bawah standar dengan peraturan yang
mengikat lembar demi lembar. Tapi saya sadar, keinginan saya tidak bisa hilang atau mundur
sebentar. Saya terus maju dan melaju menempuh perkuliahan gizi yang saya idamkan.

Menjadi mahasiswi gizi secara resmi, saya siap mengabdikan diri apapun yang terjadi. Sebagai satu-
satunya lulusan tata boga, kesulitan kerap saya hadapi di tahun pertama. Mata kuliah ilmu gizi dasar
yang sampai saat ini saya ingat karena dosen yang biasa mengajar dengan terang, tiba-tiba
melanjutkan studi dan meninggalkan saya dengan segudang ilmu yang tidak pernah saya tahu.
Dosen lain selalu menjelaskan dan di tengah sesi beliau mengatakan bahwa semua materi ini sudah
dipelajari saat sekolah menengah atas. Bagaimana dengan saya? Saya tidak mendapatkan mata
pelajaran biologi, fisika, dan kimia saat di sekolah tata boga. Saya ingat, dengan kapasitas materi
yang terbatas saya akhirnya meminjam buku perpustakaan setiap dua minggu dan konsultasi dengan
teman-teman saya yang pandai tiada tara. Mereka sangat baik dan mampu mengulang setiap
pelajaran yang sulit saya pahami dalam sekali penjelasan.

Patofisologi adalah mata kuliah penting yang sampai sekarang ilmunya masih sangat terasa.
Bagaimana ahli gizi dapat menentukan bagaimana jenis makanan dan jadwal makan untuk
mendukung kerja obat dan treatment kesehatan.

Sedangkan statistik adalah mata kuliah yang paling saya ingin ulangi. Saya tidak fokus saat itu, saya
memilih untuk fokus dalam organisasi dan pekerjaan sampingan yang menguras tenaga dan
perhatian saya. Statistik adalah ritme angka yang sangat membantu ahli gizi untuk mengukur dan
melaporkan kondisi terkini sebuah koloni. Ya, dengan laporan itu, pihak terkait dapat segera
mengambil tindakan dan keputusan besar untuk menanggulangi permasalahan yang dirangking
dengan angka. Perumusan itu, dikenal dalam mata kuliah manajemen sebagai POA.

Pak Joko, adalah pasien kasus harian saya yang paling berkesan. Beliau dirawat di ruang ICU tempat
saya melakukan magang. Tugas saya adalah mengedukasi dan mencatat diit beliau. Setiap hari saya
datang untuk menanyakan kondisi dan berbincang pada akhirnya. Pak Joko dan istrinya merupakan
petani. Pak Joko selama sehat sangat menyukai rokok dan kopi. Beliau tidak memiliki anak
perempuan, sehingga pada akhirnya saya dianggap sebagai anak sendiri. Seminggu beliau dirawat,
akhirnya beliau pulang dengan sehat. Sekali saya datang menjenguk beliau di rumah, waktu yang
ingin saya ulang namun masih hanya dapat saya rindukan.
Setelah lulus dan menjadi enumerator beberapa penelitian, saya diberi kesempatan untuk menjadi
nutrisionis homecare. Bagaimana itu? Waktu itu, saya juga tidak tahu bagaimana rupa pekerjaan
yang sama dengan nama mata kuliah di semester lima. Saya menjalani profesi itu dan bertanggung
jawab untuk menurunkan berat badan klien yang sudah manula. Mula nya, saya sangat senang pada
akhirnya saya tidak berkutat pada data dan kertas-kertas pertanggungjawaban yang semu. Saya
senang ilmu saya dapat saya praktikkan untuk orang lain. Namun, lambat waktu berjalan saya
merasa beberapa jobdesk di luar kompetensi saya sebagai nutrisionis. Jobdesk-jobdesk tersebut
tidak memberatkan saya, namun pada akhirnya saya kehilangan label nutrisionis di mata klien
pertama tersebut. Karena pekerjaan itu, pada akhirnya saya ijin untuk mengundurkan diri dan
mencari kembali apa yang saya mau.

Kesempatan ini saya dapat dengan sangat tidak sengaja. Tapi pada akhirnya saya bangga karena saya
mendapatkan apa yang saya mau. Saya bergabung dengan puskesmas desa sebagai tenaga honorer
dan jauh dari kota asal saya. Namun akhirnya saya dapat menikmati apa yang telah saya pelajari dan
mendapatkan ruang untuk berinovasi dengan pengembangan dan tujuan yang pasti. Pada akhirnya
memang bukan materi, namun melihat satu per satu pasien mengerti dan memahami kondisinya,
mendengarkan, dan bertekad untuk menjalankan nasehat saya, itu adalah point yang tiada taranya.
Saya tidak akan mendapatkan rasa ini jika bukan di gizi.

Alasan ingin menjadi seorang Ahli Gizi

 Keseharian kegiatan belajar perkuliahan jurusan gizi

 Deskripsi jasa seorang Ahli Gizi menurut pandangan

personal

 Alasan ingin mulai hidup sehat

 Perjuangan seorang Ahli Gizi

Anda mungkin juga menyukai