Anda di halaman 1dari 2

Menjadi seorang dokter adalah cita-cita kebanyakan anak saat kecil, tetapi tidak

dengan saya. Saat kecil saya tak pernah memikirkan ingin jadi apa saat besar nanti. Saat itu
yang ada dipikiran saya hanyalah bermain dan bermain. Yes! ,bermain. Masa kecil saya
dihabiskan dengan bermain layangan di sawah, berenang di sungai, bermain bola di lapangan,
dan menunggangi kerbau bersama pengembala kerbau di sore hari. Lantas, kenapa saya bisa
sampai di titik ini?

Beberapa hari pertama sekolah di SMA Negeri 1 Bukittinggi digunakan untuk


pekenalan diri di depan kelas. Saat itu kebanyakan teman-teman saya bercita-cita ingin
menjadi dokter. Sementara itu, saya tidak tau profesi apa yang paling tepat untuk mengisi
baris cita-cita. Maklum saja, saya dibesarkan di keluarga yang biasa-biasa saja dan
lingkungan pedesaan yang biasa-biasa saja. Jadi perihal visi dan goals bukanlah hal yang
lazim bagi saya kala itu.

Tibalah giliran saya untuk presentasi di depan kelas. Saya menyebutkan bahwa saya
ingin menjadi dokter yang bermanfaat bagi banyak orang terutama orang yang memiliki
kesulitan keuangan. Apakah perkataan saya itu tulus? Tidak. Saya berkata seperti itu karena
saya tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi, itulah momen pertama saya menyebutkan
bahwa saya ingin menjadi seorang dokter.

Masa awal sekolah sangat berat saya lalui. Berhubung saya masuk di kelas unggul di
SMA unggul pula. Kelas dipenuhi dengan banyak anak-anak pintar dengan background SMP
unggul, juara umum saat SMP dan/atau sudah memiliki prestasi luar biasa baik tingkat kota,
provinsi maupun nasional. Tentu saja itu membuat saya kehilangan kepercayaan diri karena
saya hanyalah anak madrasah dari kampung yang beruntung bisa masuk sekolah itu.

Sekolah pun saya jalani dengan bermalas-malasan karena saya pikir saya tak akan
bisa memahami pelajaran. Pembelajaran sangatlah cepat dan mudah dipahami teman-teman
saya. Oleh karena itu, saya memasang target menjadi guru sekolah dasar saja saat besar nanti
karena keketatan masuk sekolah guru relatif lebih rendah. Itulah kali pertama saya
memikirkan cita-cita. Saya ingin menjadi guru sekolah dasar.

Singkat cerita sampailah saya di kelas 11 SMA. Saat itu saya masih bermalas-malasan
belajar di kelas. Saya duduk di pojok kiri belakang kelas. Tempat yang paling nyaman untuk
tidur dan main handphone saat pelajaran fisika, kimia, PKN, Bahasa Indonesia dan banyak
lagi. Saat itu pula, saya dipertemukan dengan seorang guru yang luar biasa, nama beliau ibu
Harnalita.
Ibu Harnalita mengajar mata pelajaran biologi dengan bahasa yang mudah dipahami
sangat santai. Jika kebanyakan guru membawa buku cetak sebagai referensi mengajar di
kelas, tetapi tidak dengan ibu Harnalita. Beliau hanya membawa 3 hal ; spidol, botol air
minum Tupperware, dan pemahaman konsep yang luar biasa. Beliau sering berpesan kepada
murid-muridnya di kelas, “Biologi itu jangan dihafal, tetapi dipahami konsepnya. Kalau
dihafal bisa botak kepala kita nanti.” Itulah pesan yang sangat membekas dipikiran saya.
Saya pun mengikuti pesan beliau dan menikmati pembelajaran yang beliau bawakan. And it
works! Saya menjadi paham dengan materi system organ yang diajarkan ibu Harnalita.
Bahkan, saat teman-teman saya berebut duduk di bangku bagian belakang kelas ketika
ulangan harian, saya dengan percaya diri duduk di bangku paling depan dihadapan ibu
Harnalita.

Sejak saat itu saya menjadi percaya diri dan menikmati belajar biologi terutama
system organ. Kemudian saya berpikir, kita akan lebih enjoy dalam menjalani hidup di
bidang yang kita sukai. Nah, karena saya suka materi system organ saya berasumsi bahwa
saya akan cocok sekolah kedokteran. Itulah motivasi terbesar saya jadi dokter, karena saya
suka ilmunya. Walaupun baru sekadar asumsi, tetapi biasanya asumsi saya terhadap diri saya
benar.

Kedepannya saya ingin menyelesaikan sekolah kedokteran secepat mungkin,


melanjutkan studi pascasarjana bidang kesehatan masyarakat di luar negeri, dan sekolah
spesialis penyakit dalam. Untuk mewujudkannya saya akan bekerja cerdas dengan keras dan
ikhlas. Bismillah, dr. Ahmad Fadli, Sp.PD-KGEH, MPH, FINASIM

“Whether you think you can, or you think you can't—you're right.”

― Henry Ford

Anda mungkin juga menyukai