Anda di halaman 1dari 145

PENGERTIAN

DAN MODEL
KOLABORASI
Sophie Yolanda & Diantha Soemantri

A. DEFINISI

Teamwork (kerja sama tim) adalah interaksi atau hubungan di antara dua
atau lebih profesi yang bekerja secara saling tergantung untuk mencapai
suatu tujuan bersama. Untuk mencapai suatu kerja sama tim dibutuhkan
suatu tim dan kolaborasi (Canadian Health Services Research Foundation,
2006). Terdapat beberapa definisi tim berdasarkan kepustakaan, salah
satunya adalah definisi tim menurut Salas, yaitu: "kelompok yang
terdiri dari dua ·orang atau lebih yang berinteraksi secara dinamis,
sating tergantung, dan adaptif menuju suatu tujuan/misi bersama,
di mana setiap anggota telah memiliki ... ·
peran/tugas dan fungsi spesifik, dengan
masa keanggotaan y~ng terbatas" (World
Health Organization, 2011 ). Deftnisi lain
dari tim adalah sejumlah kecil anggota dari
berbagai latar belakang keahlian untuk
menyelesaikan tugas tertentu, memiliki
komitmen yang kuat untuk mencapai
tujuan, serta adanya tanggung jawab
kolektif (Mickan dan Rodger, 2005).
--
b t tim pelayanan kesehatar
Be. rdasarkan definisi--definisi .terse u ' .
t'k sebagai benkut
(W ld H
or ealu
khususnya memiliki karaktens t
11
Organization, 20 ): .· _ . erannya dan peran anggota lain
1 setiap anggota t1m mengetahu1 p .
· , k ap· ai tujuan bersama;
saling berinteraksi untu menc ·
2. tim membuat keputusan; h d
3. tim memiliki peng~tahuan dan keterampilan k usus an serin;
bekerja dalam kondisi beban kerja yang berat; dan
4. tim bekerja sebagai unit yang kolektif, sebagai hasil satin;
ketergantungan (interdependensi) tugas antara anggota t im.

Kolaborasi dapat dideftnisikan s-ebagai proses interaksi dan hubungar


antarprofesi yang bekerja patja sebuah lingkungan kelompok (Mickan dar
Rodger, 2005). Pada sistem kesehatan., kolaborasi terbentuk saat dokte1
dan penyedia layanan lain menggunakan keterampilan , pengetahuan
da.n kompetensinya dalam bekerja sama untuk memberikan pelayanar
kepada pasien berdasarkan kepercaya~nr, rasa hormat, dan pemahamar
tentang kemampuan dan pengetahuan satu sama lain, termasuk adany,
pembagian peran dan tanggung Jawab yang telah disetujui bersama
Hubungan kolaboratif ini harus bermanfaat bagi pasien , dokter, dar
penyedia layanan lainnya (Canadian Medical Association , 2007).

B. MODEL KOLABORASI

Pada sistem kesehatan, kolaborasi merupakan sebuah spektrurn yang luas


tergantung pada tipe pelayanan kesehatan yang dibutuhkan (Mickan dar
Rodger, 2005). Spektrum tersebut dimulai dari praktik paralel rnandiri d
mana profesi kesehatan bek~rja berdampingan, kemudian dalam bentu~
konsultasj/rujukan di mana profesi kesehatan saling bertukar informa5i
sampai pada level di mana profesi kesehatan sating bergantung satl
sama lain dalam pemberian pelayanan kesehatan bersama-sama dan
pengambilan keputusan terkait.

0
0
0
8
Saling be.rgantung
Praktik Paralet (lnterdepencjence) dalam
Mandiri Konsultasi / Rujukan
pemberian perawatan

f
Gambar 1.1. Spektrum Kolaborasi Tim Kesehatan
Dikutip dan dimodifikasi dari Mickan dan Rodger (2005)

Selain berdasarkan spektrum, kolaborasi tim kesehatan juga dapat


diklasifikasikan berdasarkan tipenya, yaitu (Mickan dan Rodger, 2005):
0

1. Tim proyek (misalnya tim peningkatan kualitas)


2. Tim manajemen dan pemberi layanan kesehatan. Tim ini dapat
dikategorikan lagi berdasarkan:
• populasi pasien (misalnya tim geriatri),
• tipe penyakit (misalnya tim stroke), dan
• ling-kungan pelayanan kesehatan (misalnya pada pelayanan
kesehatan primer, rumah sakit, dan lain-lain).

Di Amerika Serikat, program STEPPS™ mengidentifikasi enam tipe tim


pelayanan kesehatan yang berbeda tetapi saling terkait, yaitu (World
Health Organization, 2011; Agency for Healthcar~ Research and Quality,
2008):
1. Tim Inti (Core Team)
Terdiri dari pemimpin dan anggota yang terlibat dalam pelayanan
. n, misalnya dokter, perawat, fisiotera_pl·s,
l ang5,ung kepa;da pas1e
dan apoteker.

2. Tim Koordinasi (·Coordinating Team)


Merupakan kelompokyang bertanggung jawab terhadap:
• manajemen operasiona-l harjan,.
• fungst koordinasi, dan
• manajemen sumber dpya untuk tim inti .

3. Tim lnsfdental (CQntingency Team)


Tim ini dibentuk untuk peristiwa khusus, dengan jangka waktu
yang terba½ 9s,, dan terdiri-dari berbagai variasi tim inti .(misatnya
tim tanggap bencana).

4. Pelay.anan Tambah~n (Ancillary Services)


Terdiri dari staf kebersih{:m (cleaning service) atau staf domestik
y&ng menyediakan layanan langsung kepada pasien dalam bentuk
pelayanan tambahan. Tujuan utama tim ini adalah mendukung
1.1, ~i~\
kerja tim inti.
~0and\m1

5. Pelayanan Pendukun,g (Support Services)


Terdiri dari staf yang menyedi-akan pelayanan tidak langsung
kepada pasien, misalnya per1yedia-an logistik.

6. Administrasi (Administration)
Merupakan pemimpin eksekutif dari' sebuah unit dan memiliki
tanggung jawab 24 j~m untuk keseluruhan fungsi dan manajemen
organisasi. Tugas tim ini adalah:
• menciptakan dan mensosialisasikan tujuan/visi,
• mengembangkan dan menegakkan kebijakan,
• menetapkan target kerja bagi staf,
-_·,. ·.<.,_..-~·;:-~:.:\ ',~v;~f'•\~::-..~r-:~ .
~ :H
1);
~-· '

• menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untl,lk


pelaksanaan yang efektif,
• memb1,.1at tim bertanggung jawab atas kinerjanya, dan
• mendefinisikan budaya organisasi .

stlk
1tuk
·Gambar 1.2. Sistem Tim Pelayanan Kesehatar, untuk Pasien menurut STEPPS™
:ung
Dikutip dan dimodifikasi dari Agency for Healthcare Research and Quality (2008)

Pada tingkat pelayanan kesehatan primer, terdapat. beberapa model tim


pelayanan kesehatan, antara lain (Virani, 2012):

1. Model Tim lnterprofesi (lnterprofessional Team)


Tim interprofesi adalah tirn yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu
kesehatan yang bekerja sama untuk tujuan bersama memenuhi
kebutuhan · pasien. Anggota ·tim membagi pekerjaan berdasarkan
pendidikan dan pengalaman anggota tim , mereka berbagi informasi
untuk mendukung kerja satu sama lain dan mengkoordinasikan
proses serta intervensi untuk menyediakan sejumlah layanan
b . pasien U-mumnya, pengambilan
dan program yang berbeda c>g1 .
keputusan tidak hierarkjs.

2. Moctel Tim yang Dipimpin Per~wat (Nur$.e-led Model)


Munculnya tim yang dipimpin peraw-at biasanya berkaitan dengan
kurangnya dokter dan akses ke layanan kesehatan primer. Model ini
secara formal memberikan peran utama kepada perawat, di mana
perawat secara independen dan kolaboratif memberikan perawatan
holistik termasuk asesmen, perencanaan, pengorganisasian,
koordinast, perawatan/pengobatan, edukasi, dan pemantauan
pasien dengan memerhatikan determi-nan- sosial kesehatan.

3. Model -Manajemen Kasus (Case Management)


Model manajemem kasus paling sering ditemukan pada model kasus
multidisiplin atqu interdisiplin, dan cenderung b~rfokus pada kasus
yang sangat komp_
leks atau memerlukan sumber daya yang tinggi ,
seperti pasien dengan kondisi kronis. Ciri utama dari model ini
. .

ada_
lah beberapa pasien di-tuga~kan untuk satu tenaga kesehatan/
.manajer kasus yang_ m(=mtmpin dQlc::1m kolaborasi dengan anggota
tim lain untuk merencanakan perawatan yang komprehensif,
mengkoordinasikan kegiatan untuk memenuhi tujuan, dan
pemantauan pencapaian tujuan.

4. Model Perawatan B~rsama (Shared Care)


Model perawatan bersama adalah model di mana dua penyedia
layanan kesehatan (misalnya, seorang perawat dan seorang dokter,
perawat dan apoteker, atau perawat dan petugas kesehatan
masyarakat) membagi atau memiliki tanggung jawab b.ersarna
. ·uga
untuk suatu pasien atau program. Tenaga kesehatan latn J
terlibat tetapi keterlibatannya tebih rendah. Berbagi perawatan
membutuhkan, diantaranya: pembagian peran dan tanggung
jawab yang jelas·' kornun 1-as1
·k . dan kolaborasi tingkat tinggi· tingkat
· ·
kepercayaan
. yang tinggi·' dan sa t·tng menghormati
· k ' t "b
. .•
rnasmg-rnasing untuk perawatan pasien. on n us,

11

1/

Gambar 1. _
3. Alur Pelayanan Pasi.en pada Model Praktik lnterprofesi
Dikutip dan dimodifikasi dari Scotten et al. (2015)

Gambar tersebut mengilustr(lsikan alur pelayanan pasien pada fasilitas


kesehatan dengan model interprofesi. Ketika pasien rnendaftar untuk
,
I I , rnasuk rurnah sakit (patient admission), tirn IP 5udah rnulai rnelakukan
pengkajian awal (begin discharge assessment). Selarna dirawat di
rumah sakit, setiap hari terdapat inforrnasi perkernbangan kesehatan
pasien (daily updates) melalui pengarahan pagi (morning briefing) dan
pertemuan dengan keluarga atau pelakl:,J rawat pasien. Pada hari pasie
pulang dari rumah sakit, s'etelah pasien dievaluasi oleh tim (discharg
day assessment) pasien dib~rikan penjelasao meng_enai kondisinya
paket perawatan di rurnah, dan waktu kontrol pertama dengan, tim. Bil
diperlukan, pada 24 Jam pertama setelah pasien dipulangkan tim dapa
melakukan kunjungan ,ke rumah pasien (post discharge IP collaborat;v
team visit). Komunikasi antara tim dan pihak pasien terus d_
ijaga sehingg
proses serah terima pasien kepada keluarga atau Relaku rawat pasie!
dapat dilakukan dengan baik . (post discharge IP collaborative hando;
l ~om
care delivery responsibility).
nm~
menyi
Pada model pelayana-n pasien seperti ini, teknologi dapat dimanfaatka1
!im,
untuk meningkatkan efisiensi komunikasi, misalnya melalui telehealth
Model komunikasi seperti ini penting bagi pasien dan t~naga kesehata1
terutama setelah pasien pulang kembali ke rumah. Model seperti in ! ~onesi

merupakan contoh kerja kolaboratif yang · dapat menurunkan angk; flmyan,


'
-masuk kembali pasien ke rumah sakit .-(.re-admission}. memiliKi

~luruh a,
----------

C. KOMPONEN DALAM KOL-ABORA-SI


Untuk ~ercapainya suatu kerja sama tim yang- efe.ktif, dibutuhka,
kornponen-kornponen·-berikut (World Health Or~anization, 2011 ).

1. Tujuan yang Sama


Sebuah tujuan yang baik memiliki
prinsip SMART (Registered Nurses'
Association of Ontario, 2013),
yaitu:
• Specific (spesifik)
• Measurable ,(t~rukur)
• Attainable (realistis)

• Relevant (relevan), dan


•..

• Time bound (berjangka waktv) .

2. Kepemimpinan Efektif
Pemimpin yang efektif akan- mencanangkan dan menjaga struktur
tim, menangani konflik, mendengarkan, mempercayai, dan
mendukung anggotanya.

3. Komunikasi Efektif
Tim yang baik membagi ide dan informasi secara cepat dan rutin,
menyimpan catatan tertulis, dan melua-ngkan waktu untuk retleksi
tim.

4. Kohesi yang Baik


Tim yang kohesif memiliki semangat dan komitmen pada tim serta
memiliki jangka waktu sebagai tim yang lebih panjang karena
seluruh anggotanya ingin bekerja sama.

5. Saling Menghormati
Anggota tim yang efektif menghormati talenta dan kepercayaan
anggota tim yang lain, selain kontribusi profesional anggota
tersebut.

Komponen-komponen yang dibutuhkan untuk mencapai suatu kolaborasi


tim kesehatan yang efektif pada dasarnya sama dengan komponen-
komponen kerja ~ama tirn yang efektif, dengan _kekhususan yang dapat
dilihat pada Gambar 1.4 (Agency for Healthcare Research and Quality,
2008).
Gambar 1.4. Komponen Kolaborasi Tim Kesehatan menurut STEPPS™
Dikutip dan dimodifikasi dari Agency for Healthcare Research and Quality (2008)

Menurut STEPPS, sebuah tim kesehatan yang efektif akan menghasilkan,


antara lain (Agency for Healthcare Research and Quality, 2008):
1. Pengetahuan (knowledge), berupa model- pemikiran yang sama
(shared mental model);
2. Perilaku (attitude), berupa k~percayaan dan orientasi tim;
3. Kinerja (performance), berupa .kemampuan beradaptasi,
ketepatan/akurasi, produktivitas, efisiensi dan keamanan· serta
. '
4. Kemampuan/keahlian (skills), berupa kepemimpinan, komunikasi,
pendukung, dan pengawasan.

Sargeant et al. (2008) menyebutkan bahwa terdapa~ lima karakteristik


kolaborasi tim kesehatan yang efektif pada tingkat pelayanan kesehatan
primer, yaitu (lihat Gambar 1.5): .
1-. Terdapat pemaharnan dan rasa salmg menghormati akan peran
setiap anggota tirn,
bahwa dibutuhkan usaha untuk mencapai
2. Terdapat pemahaman

kerja sama tim, _ layanan kesehatan primer,


h · tentang pe
3. Terdapat pema aman
...
\

4. Memiliki pengetahuan praktis meng~nai pelayanan pasien bers ama,


dan ·
5. Komunikasi.

Gambar 1.5. Karakteristik Kolaborasi Tim Kesehatan yang Efektif


pada Tingkat Pelayanan Kesehatan Primer
Dikutip dan dimodifikasi dari Sargeant et al. (2008)

Berdasarkan diskusi kelompok terarah oleh Sargeant et al. (2008) pada


anggota tim kesehatan primer, komunikasi dianggap sebagai perekat
yang rnenyatukan tim dan memungkinkan kerja kolaboratif. Peningkatan
kemampuan komunikasi akan meningkatkan pemahaman, kerja sama,
dan kolaborasi di antara anggota tim, sementara komunikasi interprofesi
yang buruk dapat menghambat fungsi dan produktivitas tim.

Kepustakaan menjabarkan beberapa cara untuk membangun sebuah


kolaborasi tim yang efektif, yaitu (Family Health,Teams, 2005):
1. Memastikan semua anggota tim baru telah terorientasi dengan
baik pada tempat kerjanya.
2. Merekrut staf, yang di samping memiliki keterampilan khusus
dal.a.m biclnngnyr1, juga nyaman dan efektif bila bekerjr1 her~nmn-
sa,ma atau dalam tim.•
a di bagian-bagian yang
terutam_
3. Me.mp.er1elas deskripsi peran'
berpoten~i terjadi tumpang tind,ih.
4. Memastikan anggota tim bertemu secara teratur dengan agenda

yang jelas.
5. Memastikan setiap an.ggota ~tm memiliki kesempatan untuk
mengutarakan masa.lahnya baik-.s~c?lra langsung dengan pimpinan
I I
dan/atau admin:istrasi serta datam pertemuan tim.
6. Memastikan semua anggota
' ,
tim terlibat sejak awal dalam
perencanaan, khususnya untuk kegiatan di mana mereka akan
terlibat.
7. Memberikan kesempatan bagi anggota tim untuk saling mengenal
satu sama lain.
8. Memastikan adanya vist bersama.
9. Memberikan ke~emp~tan bagi . anggota tim untuk melakukan
kegiatan bersama dt luar pekerjpan.
10. Mengakui kontribusi kolektif dan prestasi dari semua ang-gota tim.
I ~~
t 1. Mendiseminasikan informqsi secara rutin kepada -seluruh staf.
12. Mengidentifikasi dan mengatasi- potensi konfli-k antaranggota staf ~!

sedini mungkin. ~~
~Ui
I
Bila efektivitas sebuah kolaborasi tim telah tercapai, efektivitas ~et
terse9ut tetap perlu .dijaga dengan cara-cara sebagai berikut (Family ~Or
Health Teams, 2005):
llnt
1. Pemeliharaan fokus bersama '
2. Penilaian ulang tujuan tim secara rutin
3. Komunikasi rutin
4. Pemecahan masalah atau konflik bila muncul
5. Pertemuan rutin dimana -semua anggota terlibat
6. Pengakuan akan kontribusi semua anggota tim
7. Pengakuan akan dampak dari ada tidaknya seorang anggota tirn
a. Orientasi yang baik terhadap anggota tim baru
9. Kesempatan untuk anggota tim melakukan kegiatan bersama di
luar pekerjaan.

Secara khusus pad a tim kesehatan, faktor-f aktor berikut dibutuhkan


untuk membangun dan mempertahankan tim kesehatan yang efektif
(lihat Gambar 1. 6), antara lain (Registered Nurses' Association of
Ontario, 2013):
• Keahlian pada enam domain utama, meliputi:
• keahlian perawatan/penatalaksanaan (care expertise),
• pembagian wewenang (shared power),
• kepemimpinan yang kolaboratif (collaborative leadership),
• optimasi profesi, peran, dan lingkup tanggung jawab
(optimizing profession, role, and scope),
• pengambilan keputusan bersama (shared decision making) ,.
dan
• fungsi tim yang efektif (effective group functioning).

1
• Keenam domain tersebut dikelilingi oleh lingkaran luar yang
meriggambarkan manfaat yang diharapkan untuk tim pelayanan
kesehatan dan organisasi lingkungan kerja yang sehat, dengan
kualitas pelayanan dan keselamatan pasien yang meningkat.
• Seluruh domain didukung oleh komunikasi yang efektif dan
kompeten, serta tiga komponen dasar eksternal dari modet
lingkungan kerja yang sehat, meliputi:
• Kebijakan, lingkungan fisik, dan struktural (pollcy,
physic.a l, structural). Kebijakan yang dimaksud di sini
adalah kebijakan eksternal, baik di tingkat fasilitas kesehatan
maupun di tingkat yang lebih tinggi hingga ke kebijakan
nasional. Pendanaan dan model pelayanan kesehatan
(misalnya, alur pasien di fasilitas kesehatan) merupakan
komponen dari lingkungan fisik dan struktural.
~ ~-•~:
28 '~o/ ·'"

• I (professicm(Jf/occupational). Komponen
• Profes1ona t . d· t ·
. . k Pkebijakan dan pera uran 1 1ngkat Yan
profes1onc)l men ca u . . . g
lebih tinggi yang mempengaruh1 baga1mana organ1sasi dan
individu mengelola konflik di tempat kerj~, dan kompetensi
serta standar praktik yang mempengaruhi perilaku/budaya
anggota tim.
• Kognitif / psiko / sosi~l / budaya (~ognitive I psycho I social
I cultural). Faktor e:k~~ernal un~uk komponen kognitif /psiko/
sosial/buday~ adalah harapan klien, p~_r_ubahan peran dalam
keluarga, dan keberagaman paoa populasi maupun penyedia
layanan kesehatan.

Garnbar 1 6 .
• • Model K
onseptual unt
Dikutip d Tirr, K . Uk Membang .
an dimodifik esehatan y un dan Mempertahankan
asi dari R ang Efekt 'f
egistered N 1
urses' As .
soc 1ation of Ontario (2013)
D. PRINSIP KOLABORASI PELAYANAN KESEHATAN
. • · · kolaborasi pelayanan kesehatan adalah (Registered
Pnns1p-pnns1p ·
Nurses' Association of Ontario, 2013):
1. Pelayanan yang berpusat pada pasien (patient-centered care)
2. Terdapat hubungan dokter-pasien yang baik (recognition of
~0/ t~ patient-physician relationship)
ltlft~ 3. Terdapat pemimpin yang efektif (physician as the clinical leader)
·ran~ 4. Terdapat rasa sating rnenghormati (mutual respect and trust)

I~ 5. Terdapat komunikasi yang efektif (clear communication)


6. Terdapat kejelasan peran dan lingkup pelayanan kesehatan
(clarification of roles and scopes of practice)
7. Terdapat kejelasan tanggung jawab (clarification of accountability
and responsibility)
8. Terdapat perlindungan terhadap kerugian untuk seluruh anggota
tim (liability protection for all members of the team)
9. Terdapat sumber daya manusia dan fasilitas yang memadai
(sufficient human resources and infrastructure)
10. Terdapat pendanaan dan pengaturan pembayaran yang memadai
(sufficient funding and payment arrangements)
11. Terdapat sistem edukasi yang baik (supportive education system)
12. Terdapat-penelitian dan evaluasi (research and evaluation)

E. TUJUAN & MANFAAT KOLABORASI TIM KESEHATAN


Salah satu tujuan utama kolaborasi tim kesehatan adalah peningkatan
keselamatan pasien (patient safety), sebagaimana dijabarkan oleh
WHO (2011) bahwa salah satu faktor yang sangat penting dalam upaya
pencegahan kesalahan medis dan peningkatan keselamatan pasien
I
adalah kolaborasi tim kesehatan yang baik.

Sebuah kolaborasi tim, kesehatan yang efektif akan memiliki banyak


manfaat,, antara lain . (Uniive~sity
. .
6f Manitoba, 2011; World Health
Organization, 2011; Re$istered Nurses' Association of Ontario, 2013 ):
• meningkatkan kuaJit?S pe-layanqn kepada pasien (misalnya,
mempersingkat waktu menuriggu),
• meningkatkan keselamatan pasi-en (patient safety) dan menurunkan
kesalahan medis (medical error$),
• meming-katkan koordinasi dan efisiensi pelayanan, dan
• meningkatkan. moral dan, menurunkan tingkat kelelahan dan
kejenuhan staf. ··
REFER ENS I
Agency for Healthcare Research and Quality. 2008. Pocket Guide TeamSTEPPS™:
Strategies and Tools to Enhance Performance and Patient Safety.
Department of Health & Humas Services. USA.

c~rnadian Health Servic~s Research Foundation. 2006. Teamwork in Healthcare:


Promoting Effective Teamwork in Heqlthcare in Canada. Canadian Health
Services Research Foundation. Canada.

Canadian Medical Association. 2007. Putting Patients First: Patient-Centred


Coll9borative Care. Canadian Medical Association. Canada.

Family Health Teams. 2005. Guic;Je to Collaborative Team Practice.

Mickan, S. M. dan S. A. Rodger. 2005. Effective Health Care Teams: A Model


of Six Characteristics Developed from Shared Perceptions. Journal of
lnterprofessional Care 19(4 ): 358-370.

Registered Nurses' Association of Ontario. 2013. Developing and Sustaining


lnterprofessional Health Care: Optimizing Patients/ Clients,
Organizational, and System Outc9mes. Registered Nurses' Association of
Ontario. Ontario.

Royal College of Nursing. 2009. Developing and sustaining effective teams.

Sargeant, J., E. Loney, dan G. Murphy. 2008. Effective lnterprofessional Teams:


"Contact is Not Enough" to Build A Team. Journal of Continuing Educanon
in The Health Prqfessions 28(4): 228-234.

Scotten, M., E. L. Manos, A. Malicoat, dan A. M. Paolo. 2015. Minding The Gap:
lnterprofessional Cc>mmunic 9 tion During Inpatient and Post Discharge
Chasm Care. Patient Education and Counseling 98: 89.5-900.
University of Manitoba. 2011. Jnterprofessional Practice Education in Clinical
Settings: Immersion Learning Activities.
Virani, T. 2012. Jnterprofessional Collaborative Teams. Canadian Health Services
Research Foundation. Ottawa.
World Health Organization. 2011. Patient Safety Curriculum Guide: Muln-
Prbfessional Edition.
KOLABORASI DALAM
SISTEM KESEHATAN
NASIONAL (SKN)
INDONESIA
Diantha Soemantri & Sophie Yolanda

A. SISTEM PELAYANAN KESEHATAN

Berdasarkan Peraturan Presiden (PP) Nomor 72


Tahun 2012, definisi Sistem Kesehatan Nasional
(SKN) adalah pengelolaan kesehatan yang
diselenggarakail oleh semua komponen Bangsa
Indonesia se~ara terpadu dan sating mendukung,
guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginyp. Salah satu
komponen pengelolaan kesehatan yang disusun
dalam SKN adatah upaya kesehat~n.

Upaya kesehatan yang dimaksud dalam Perpres tersebut adalah


pengelolaan upaya kesehatan yang te;padu, berkesinambungan,
paripurna, dan berkualitas, meliputi upaya peningkatan, pencegahan,
pengobatan, dan pemulihan yang diselenggarakan guna menjamin
tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Upaya kesehatan yang dilakukan rnencakup kesehatan fisik, mental,
intelegensia, dan sosial yang dilaksanakan dalam tiga ·tingkatan sesuai
. . k tan upaya kesehatan, yaitu sebagai berikut
kebutuhan. T1ga t1ng a · ·

1. Upaya Kesehatan Tingkat Pertama/Primer


Upaya . kesehatan prirr,er terdiri · dari petayanan kesehatai
perorangan primer dan pelayanan kesehatan masyarakat prime,
Pelayan~p kesehatan pero~angan primer adalah pelayana,
kes~hatan di mana terjadi konta.k pertama secara perseoranga,
sebagai proses aw,al pelayanan kesehatan. Sedangkan pelayana,
kesehatan masyaraka~ prirner lebih berfokus pada keluarg,
atau kelompok m,qsyarakat derigan tujuan untuk meningkatka,
pengetahuan mengenaf kesehatan dan pencegahan penyakit, tanp;
mengabaikan layanan pengobatan dan pemulihan. Di Indonesia
salah satu ·upaya kesehatan tingkat pertama adalah Puskesmas.

2. Upaya, Kesehatan Tingkat Kedua/Sekunder


Upaya kesehatan sekunder adalah upaya lanjutan yang terdir
atas pelayanan keseha-tan perorangan sekunder dan pelayana1
kesehatan .masyarakat sekunder. Pelayanan kesehatan peroranga,
sekunder adc,1lah pelayanan spesialistik yang menerima rujukan dar
pelayanan tingkat primer dan dal)at merujuk kembali (rujuk balik
ke fasilitas kesehatan yang merujuk. Adapun pelayanan kesehata,
masyarakat sekunder menerima ruj ukan dari pelayanan tingka
primer dan memfasilitasi dalam bentuk infrastruktur, sumber day;
manusia, dan lain-lain.

3. Upaya Kesehatan Tingkat Ketig~/Tersier


Upaya kesehatan tersier yang menempati tingkat teratas padi
tingkatan upaya kesehatan ini merupak~n layanan rujuka 1
unggulan yang menerima rujukan subspesialistik dari layana1
kesehatan di bawahnya. Upaya kesehatan tersier juga terdiri dar
pelayanan kesehatan perorangan tersier dan pelayanan masyaraka
tersier. Pad a upaya perorangan tersier, f okusnya adalah perorangan
dan dilaksanakan oleh dokter subspesi~lis atau spesialis yang
telah mendapat pendidikan/pelatihan khusus. Sedangkan upaya
kesehatan masyarakat tersier memberikan fasilitas dalam bentuk
infrastruktur dan sumber daya manusia, termasuk pengembangan
bi dang kesehQtan masyarakat d~n penapisan teknologi.

B. MEMBANGUN DAN MEMPERTAHANKAN KOLABORASI


TIM KESEHATAN

Model Kolaborasi dalam Sistem Layanan Kesehatan Indonesia


Menurut PP Nomor 72 Tahun 2012, upaya
kesehatan diselenggarakan dengan mengacu
pada sejumlah prinsip, salah satunya adalah
bekerja dalam tim secara cepat ·dan tepat.
Pelayanan kesehatan diberikan dengan
melibatkan semua pihak yang kompeten, serta
dilakukan dengan kecep<;1tan dan ketepatan
yang tinggi. Selain itu, upaya · kesehatan
juga diselenggarakan sesuai prinsip terpadu,
berkesinambungan, dan paripurna meliputi upaya peningkatan,
pencegahan, pengobatan, pemulihan, serta rujukan di antara tingkatan
upaya. Upaya pelayanan kesehatan harus didukung oleh pengembangan
dan pemberdayaan sumber daya manusia kesehatannya. Sumber daya
manusia tersebut · dikelola dengan memerhatikan hierarki sumber daya
manusia kesehatan yang dirumuskan berdasarkan tanggung jawab,
wewenang, kompetensi, dan keterampilan masing-masing sumber daya
manusia kesehatan (PP No. 72 Tahun 2012 )·
ng dalam Peraturan Presiden tersebut
t ran yang tertua ,
Berdasarkan a u kesehatan harus diselenggarakan secar--
terlihat jelas bahwa pelayanan . o
ada setiap t1ngkat -pelayanan kesehatan
kolaboratif dan terpa du P · . . ·
. . _ k l borasi dan kerja sama t1m_kesehatan t1dak hanya
Dengan dem1 krnn, o a . .. . .
tela'h terbukti manfaatnya melalui berbaga1 penellt1an 1lm1ah, tetapj
juga telah dipayungi sec-ara hukum, sehingga setiap f asilitas pelayanan
kesehatan baik di tingkat primer, sekunder, maupun tersier harus dapat
memfasilitasi terjadinya kerja s9 ma yang efektif ~ntarprofesi kesehatan
aggr pelayanan dapat diselenggarakan sesuai den gan prinsip-prinsi~
yang berlaku dan mernberikan manfaat yang diharapkan.

Secara lebih rinc;i, peqoman d~lam berkolaborasi dan bekerja sama dalam
tim . pelayanan
. kesehatan
• , kh ususnya pada level pelayanan di rumah
sak1t, d1atur dalam Standar Nasional Ak d.1 .
. . re tas1 Rumah Sakit (SNARS)
tahun 2017. Rmc1an yang lebih bersifat t k . . -
, . d. . e ms pada standar ini dapat
menJa 1 panduan bagi rumah sakit d l .
- a am meny1apkan t .
dan infrastruktur lain yang mend k a uran, sJstem,
. u ung penyele
kesehatan berbasis kolaborasi Ad . nggaraan pelayanan
, · , · anya s1stem d .
dilengkapi dengan pemahaman-menge . . an aturan yang jelas,
na1 peran set.
terbukti sebagai salah satu faktor lap Profesi kesehatan,
. . . . yang nriern .
pelayanan kesehatan (Setrndi et al., 2017 . Pengaruh1 kolaborasi
. ' Soernant .
- n et al. ' 2019).
Menurut SNARS tahun 2017, asuhan .
- Pas1en dib .k
kesehatan dalam hal ini disebut sebagai P en an oleh profes·
. . rof esionat
(PPA), yang bekerJa dalam t1m interd· . . Pernberi Asuhar
. is1plJn d
interprofesi, dan Dokter Penanggung Jawab p l engan kolaboras·
e ayana
sebagai ketu.a tim asuhan pasi~n (clinical leader) n (DPJP) b,e rperar
rumah •sakit diselenggarakan .dengan berpusat Pada · A~uhan Pasien d·
'b Pas1en d
terintegrasi, termasuk mell atkan dan memberd ayakan an bersifa t
keluarga. Ookter, PPA lain , dan case manager bekerJ· a sarn Pasien dar
kolaborasi interprofesi dengan· didukung adanya panduan a datan, tin-
. Praktik klinis
J
panduan asuhan PPA lainnya, clinical pathway terintegrasi, algoritme,
protokol, prosedur, standing order, dan Catatan Perkemb()ngan Pasien
Terintegrasi (CPPT).

Salah satu kebutuhan untuk berkolaborasi dalam pemberian pelayanan


di rumah sakit adalah dalam proses analisis masalah dan data pasien,
serta penyusunan rencana tindak lanjut bersama-sama. Data pasien
yang berasal dari berbagai pemeriksaan, tes, dan sumber lainnya perlu
diintegrasikan menjadi sebuah gambaran lengkap keadaan pasien.
Selanjutnya, informasi komprehensif tersebut menjadi dasar penentuan
keputusan jenis asuhan yang diberikan kepada pasien. Semakin kompleks
kondisi pasien, pertemuan / rapat rutin dan ronde klinik bersama untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang kolaboratif semakin diperlukan
"
(SNARS, 2017). Adanya asuhan pasien yang disusun dan disepakati
bersama oleh seluruh PPA yang terlibat akan mengurangi kebingungan
11
pasien, memastikan tidak adanya tum pang tindih pemeriksaan atau
~I~ terapi, dan memungkinkan pemberian pelayanan kesehatan yang lebih
la~ aman. Asuhan pasien terintegrasi juga perlu dilanjutkan dengan rencana
:i ~I pemulangan pasien (discharge planning) yang terintegrasi.
~,1
at/ Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kolaborasi dan
q),
Kerja Sama Tim Kesehatan
Untuk mewujudkan upaya pelayanan kesehatan yang berbasis kolaborasi,
faktor-faktor yang mempengaruhi proses kolaborasi dan kerjasama tim
kesehatan perlu dipahami. WHO (2010) dalam dokumennya yang berjudliJl
Framework for Action on lnterprofessional Education Et Collaborative
Practice, menguraikan sejumlah faktor yang mempengaruhi praktik

ko l a b oras1· 1·nterprofesi dalam bentuk diagram. di bawah ini.


Atl.l'8"yaos
ters~ur daYa l(ebljakan
sun,l>Qf'
operastonal kel)eiawalan
t,ers,atn8

(
.,-- . -----
.. . .,

, Pelayanan
. ...- -- -···--··--'\ ~Pi, ke~ehatan yang
i Tenaga kesehatan ! 1
optimal
· yang slap ..,__
berkolaborasl

Kebijakan Llngkungan
penyelesalan Proses · yang terbent~k
masalah pengambllan dalam tlm
keputusan
bersama

Gambar 2.1. Faktor yang Menentukan Efektivitas Praktik


Kolaborasi lnterprofesi
D·i kutip Etan dimodifikasi dari World Health Organization (2010)

Faktor-faktpr tersebut antarq l~in strategi komunikasi, kebijakan


manajemen konflik, .fasilitas, protokol y_ang jelas, dan kebijakan terkait
sumber daya manusia. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi 3
kategori, yaitu: dukun.gan institust, kultur kerja, dan lingkungan. Faktor
dukung-an institusi meliputi model pengelolaan tugas dan pekerjaan,
protokol kerja terstruktur, standar operasional -baku yang diketahui
persama, dan remunerasi. Faktor kultL:tr kerja meliputi strategi
komunikasi, kebijakan manajemen konflik, dialog rutin, dan sisten
informasi terstruktur. Faktor lingkungan meliputi fasilitas dan desain
area kerja yang memungkinkan tenaga kesehatan sering berternu,
berinteraksi-, dan berdiskusi.

Telaah literatur dari SaR Mar ttn-Rodriguez et al. (i00S)) memperlihatkaf1


faktor sistemik, organisasi, dan interaksi yang m h' kesuksesaf1
empengaru 1 ·
kolaborasi dalam pel~yanc;in kesehatan. Berdasarkan h9 sil telaahny~,
peneliti menjabarkan bahwa kolaborasi pada dasarnya adalah proses
interpersonal, sehingga setiap individll perlu memiliki kesadaran untuk
bekerja sama, kepercayaan, komunikasi, dan ~aling mcnghclrgui di
antara saLu sarna lain. N'1mun demikian, proses interpersonal tersebut
harus didukung olch organisasi yang kuat, khususnya terkait manajemen
sumber daya manusia dan kepemimpinan.

Seperti telah disebutkan di paragraf sebelumnya, kolaborasi adalah


proses interpersonal yang melibatkan individu dengan peran, kompetensi,
dan wewenangnya masing-masing. Oleh karena itu, dapat terjadi tarik
mcnarik di antara peran otonomi dan kolaborasi dala111 hal interaksi
interprofesi, juga dalam hal sating bertukar peran Unterchangeable roles)
dan diferensiasi peran terkait distribusi tanggung jawab (MacNaughton
et al., 2013). Penelitian•MacN:aughton -et al. (2013) menemukan bahwa
otonomi berperan penting dalam berfungsinya sebuah tim pelayanan
kesehatan. Seo rang profesi kesehatan dengan peran otonomi yang jelas
dan relevan akan dapat berkontribusi dalam tim dengan lebih baik.
Sebaliknya, sating bertukar peran antarprofesi kesehatan mungkin dapat
mengurangi beban kerja, namun dapat meningkatkan potensi adanya
kudeta 'perebutan kekuasaan' karena peran profesi menjadi kurang
terdiferensiasi. Faktor individu, interpersonal, dan struktural berdampak
pada distribusi tanggung jawab dan interaksi interprofesi seperti di atas.
Dengan demikian, kembali lagi bahwa faktor kepemimpinan berperan
penting datam memahami dan mengambil manfaat yang optimal dari
berbagai bentuk interaksi dan distribusi peran antarprofesi kesehatan di
· pe l ayana n· kesehatan , selain tentunya kesadaran dari masing •
suatu umt
masing profesi kesehatan yang terlibat.

. l·t· an telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor


SeJ um ah pene 1 1 . .
h dap kolaborasi dan kerJ a sama t1m kesehatan di
yang berpengaru h ter a
. . d. t: al. {2017) melakukan pen el itian untuk menelaah
/ndones-1a. ~t1a. 1 e . . .
. yang berpen·garuh terhadap kolaboras1 1nterprofesi d'
faktor-f~ ktor · 1
.. ·layanan kesehatan primer, yaitu puskesmas, di beberapa
fas1l1tas pe
O ah di Jawa Timur:. Peneliti menemukan bahwa kola,borasi interprofesi
d at;;.r .
di puskesmas dipengaruhi oteh berbagai f aktor pad a tingkatan yang
berbeda-beda, ant~ra lain pada ~evel si.stem kesehatan, level organisasi,
dan level personal. ·Level sistem kesehatan dalam hal ini adalah
kebijakan dan regulast p~merintah. AdaAy.a kebijakan pemerint ah yang
mengharuskan profesi k~sehatan bekerja sama akan mendorong praktik
kolaborasi .interprofesi. Paga .level organisasi, f aktor--faktor tersebut
mencakup mekanisme k~muni'ka-si, koordinasi, kultur organisasi, da
manajemen sumber daya manu~ia. Kultur kerja yang positif, budaya
tidak sating menya.lahkqn,
.
dan blJdaya
. '
belajar sepanjang hayat akan
mendukung terjadinya kolqb9r9 ~i . . S_edangk~n pada level personal,
p.emahaman yang · kurang terhadap peran masing-masing profesi serta
hierarki antarprofesi merupakan f aktor yang teridentifikasi menj adi
penghambat interaksi tnterprofesi (Setiadi et al., 2017).

Ts?muan dari penelitian oleh Fin.dyartini et al. (in press) , yang juga
dilakukan dalam konteks petayanan primer (pl:,lskesmas) di kota Depo
Jawa BaFat, mengkonfirmasi bahwa hierarki atau perbedaan kekuasaafl'
(power differentials) antarprof esi kesehatan merupakan faktor
yang mempengaruhi berjalannya kolabor.asi . Serna kin sempit po ,er
differentials antarprofesi, kolaborasi akan semakin mudah terwujud.
, et at.
Selain itu, di dalam konteks rumah sakit pendidikan , Soemantn
(2019) juga mengidentiftkasi kebutuhan adanya panduan yang j elas .da~
. . rnas1ng
tertul1s dalam proses kolaborasi, khususnya mengena1 peran si
. g profe
masing profesi. Panduan yang jelas akan membuat masing-masm tau
mengetahL!i tugasnya dan meminimalisir tumpang tindih pekerjaan, ~kan
lebih buruknya, adanya pekerjaan yang akhirnya tidak tersetesat
karena tidak ada yang menganggap b h . ·
a wa pekerJaan ters b t d l h
tanggung jawabnya. e u a aa

lnteraksi interpersonal dan interprofesit . k . .


ser a epemimpman Juga
merupakan f aktor yang secara signifikan berpenga.ru
. h da·lam kolaborasi.
Hubungan interpersonal yang baik antarindividu akan berkontribusi positif
terhadap kelancaran kerja sama. Kepemimpinan yang ega(fter akan
mendorong setiap anggota tim untuk bersikap terbuka dan menciptakan
rasa nyaman, dan hat ini selanjutnya akan mendorong kolaborasi
interprofesi. Penelitian Soemantri et al. (2019) juga memperlihatkan
bahwa rumah sakit perlu sedini mungkin menerapkan sistem kolaborasi
dan kerja sama tim kesehatan. Terlebih lagi untuk rum ah sakit yang baru
mulai beroperasi seperti paoa konteks penelitian di atas, pengenatan
akan ·p entingnya kerja sama dan penerapan sistem sedini mungkin akan
memudahkan proses kolaborasi.

Upaya pelayanan kesehatan pad a berbagai tingkat pelayanan , mulai dari


primer sampai tersier, baik terhadap perorangan maupun masyarakat
mernerlukan kerjasarna dan kolaborasi antarprofesi kesehatan
yang terlibat dalarn upaya tersebut. Dua rujukan penting dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia, yaitu peraturan
presiden mengenai Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dan Standar Nasiona
Akreditasi Rumah Sakit (SNARS), telah menguraikan pentingnya kerj a
sama tim interprofesi kesehatan . Dengan demikian , rum·ah saki,t dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya perlu memastikan adanya. sis.tern
yang menunjang proses kerja sama dan kolaborasi tim interprofesi
demi tercapainya upaya pelayanan kesehatan yang aman dan optimal.
Tentunya, f aktor-f aktor yang tel ah diketahui berpengaruh t erhadap
proses kolaborasi interprofesi perlu diperhatikan dalam penyusunan
dan pengelolaan sistem kolaborasi inteprofesi di set iap level pelayanan
kesehatan.
REFERENSI

Findyartini, A., Y. Y. Yusra, A. B. Timar, C. o_. Khairani, D. · Setyorini, dan D.


Soemantri. In press. lnterprofessional Collaborative. Practice ;n Primary
Healthcare Settings ;n Indonesia: A Mixed-Methods Study.

Komisi Akreditasi Rum ah Sa kit. 2017. Standar Nasional Akredftasi Rumah Sakit.

MacNaughton,. K., 5. Chreim, dan I. L. -Bourgeault. 2013. Role Construction and


.

Boundaries. in lnterprofession~l- Primary Health Care Teams: A Qualitative


_ Study. BMC Health Servic-es Research_ 13: 486.

k Indonesia Nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem


Peraturan Presiden Republi_
Kesehatan Nasional.

San Martin-Rodriguez, _L., M. Beaulieu, D. D' Amour, dan M. Ferrada-Videla. 2005.


The Determinants of Successful Collaboration: A Review of Theoretical
and Empirical .Studies. Journal of lnterprofess;onal 1: 132-147.

Setiadi, A. P., Y. Wibowo, F. Herawati, S. lrawati, E. Setiawan, a. Presley, M.A.


Zaidi, dan B. Sunderlanc;_
L 2017. F~ctor_
s Contributing to fnterprofessional
Collaboration in Indonesian Health Centres: A Focus Group Study. Journal
of /nterprofess;onal EducaUon Et Practice 8: 69-74.

Soemantri' D.' D. R. Karn bey, R. Y. Yusra, A. B. Tim or, C. D. Khairani , D. Setyorini,


dan A. Findyartini. 2019. The Supporting and Inhibiting Factors of
lnterprofessional Collaborative Practice in a Newly Established Teaching
Hospital. Journal of Jnterprofessional Education Et Practice 15 (2019 ):
149-156.
World Health Organization. 2010. Framework for Action on lnterprofessional
Educ~tion and Collaborative Practice. WHO Press. Geneva.
ti
,.-I"':'--'>'- .. •
.!_ ·:..., . .· . ·, '> --.....,
. _·

./ ,·- . .,
_·;. ·: ~ . . : . . , .· ·-'.. -,.·· _l
..
'

C

.•

• •
... -.
.-

-
.
., .


,,,.
,

l~
'
• I
'
.- , ~
I
'4...
-., ,
- SEJARAH DAN
FllOSOf\
PROFtSI DOKTER
' ,_,- ~ :-
Estivana Felaza & Diantha Soemantri

A. SEJARAH DAN FILO~OFI PROFESI DOKlER.

Sejarah mencatat bahwa prof esi dokter telah berkembang sejak


berabad-abad Latu, dimulai dari bentuk yang lebih dikenal dengan istilah
healer (penyembuh). Seorang healer berupaya rnenyernbuhkan sesama
manusia dengan bekal pemahaman ilmu yang ditur_unkan dari generasi
sebetumnya. Bentuk penyembuhan yang dilakukan bervariasi, di
antaranya pemanfaatan tumbuhan yang dipercaya memberikan khasiat
obat, penggunaan teknik pengobatan tertentu (misalnya cupping, blood-
letting, dan akupunktur), hingga praktik penyembuhan yang melibatkan
kekuatan supranatural (Jackson, 2014).

Serbagai bentuk pengobatan tersebut didasarkan pada pemahaman yang


)eragam mengenai sistem tubuh. Meskipun demikian, konsep utarna
nengenai tubuh sepertinya berfokus pada aliran darah yang dianggap
~aktor utama untuk menjamin kesehatan seseorang. Masyarakat Cina
ji rnasa tampau memahami Qi (aliran energi) dalarn tubuh yang harus
jip.astikan mengalir dengan ba;k. Penyakit terjadi karena aliran energi
tang terhambat dalam tubuh dan ketidakseimbangan antarelemen Yin
· Yang. Oleh karena itu, upaya diagnosis dilakukan dengan meraba
._--· -..· . ~ :\ : ~--·:·<i-'!.~ _-;~-. :i'.r> .· -,
.. ,-.,., . . ,..:~..-.:·i eseHa.tan._... \ .. ! _· ; :... - , .. •,· ••
• :• .• -.-~ ·•.·.'!S'arriQ •·l•lrrr.- .~'. ~,. . ~"- -
r . . ~ , 'Mar([(epa,. . .' - .:/ . -
46 ;. '~v 'i_
.::• \ -- ~-~r-- ·· • ~ • t buh rnengamati perubahan Wa
berapa tokas1 u ' rn
nadi pasien pada be .. si pasien (Jackson, 2014). Di lnd·--
kond1s1 emo lo
kulit, dan memantau . h t rdiri dari 7 komponen, yaitu: dara~
ham1 tubu e
masyarakat mema m tulang, dan semen. Gangguan Pad
k tulang sumsu
chyles, otot, lema ' . ' m onen tersebut menyebabkan seseoran
salah satu atau lebih dan ko p
sakit (Jackson, 2014) ·

. dokter di belahan bumi Eropa j uga terjadi


Perkembangan pro f es1 .
. y • yang kemudian melah1rkan tokoh bernam
salah satunya d1 unam,
Hippocrates dengan sumpahnya yang dikenal sebagai Sumpah Hipokrate
(Hippocratic oath) dan hingga kini masih digunakan sebagai sumpah ba~
.profesi dokter. Dalam teks sumpah tersebut, Hippocrates berjanji aka,
menjaga keluhuran profesi, di antaranya dengan menghormati para guru
mengajarkan ilmu kedokteran yang ia miliki pada generasi berikutnya
dan menghormati kehidupan sejak awal. masa konsepsi hingga akhi
hayat. Sumpah yang selanjutnya diturunkan dari generasi dokter yan·
satu ke yang lainnya ini menjadi pengingat bagi para pelaku profe~
tersebut akan pentingnya moral dan nilai humanistik dalam menuntu1
setiap dokter menjalankan praktik kedokteran (Jackson, 2014).

llmu kedokteran sendiri terus mengalam· k b ..


. 1 per em angan se1nng zaman
M1salnya, yang terjadi di wHa h A b
. ya ra pad a rnasa keemasan kekhalif ahan
para 1lmuwan mengolah konse .
P yang d1cetuskan oleh Hippocrates da 1
Galen, dan menghasilkan konse . .
t b h p P yang leb1h rnatang mengenai s1sten
u u . eran pertahanan tubuh man .
terhadap penyakit ct · k l . usia dalam memberikan perlawana 1
le sp oras1 lebih . .
pada bentuk pengobat Jauh. Hal tersebut juga berirnpl1ka~
an yang lebih .
pertahanan tubuh seb l mengupayakan peningkatan s1sten
e um meng .
Renaisans di Eropa perk b gunakan obat-obatan. Pada er,
.. ' em angan k
Berbaga1 movasi ditemuk edokteran menjadi semakin pesat
an' bukan han
dalam upaya promotif d ya dalam ranah kuratif tapi jU8i
an Pencegahan .
Penyak1t. lmunisasi merupak 31
salah satu bentuk inovasi, yang kemudian dibuktikan berhasil mencegah
menyebarnya penyakit yang mewabah pada masa tersebut (Jackson,
2014; Saad, 2014).

Gambar 3.1. Teks _Sumpah Hipokrates (Jackson, 2014)


· · . kedokteran modern berhllb
an ,tmu ling
1. . ntara, pe rkembang .
enjaJa ah n Belanda. Sehubungan · dengaiii
Di bum nusa . ah rnasa P nyakit cacar, pemerintah LI•
an seiar kibat pe " ndi·1
erat deng k kesakitan a d' 'kan sekolah untuk ITlenghas·lL 1 (
aknya ang a . 0 men m . . . 1~a,
bany
Be landa pada tahun 182 rnemben'kan imumsas1 Pada rnasya raka
juru cacar yang bertugas
.
(Rad1opoetro, 1976).

. Banyumas mere bak berbagai. peny.akit infeksi Ya n:


Pada tahun 1847, di hatan di masa itu untuk rnengusutka1
Jawatan Kese . . .
rnendorong Kepala . . 'k untuk menJad1 dokter prakt1k Yan,•
'bumi d1d1d1
agar pemuda
. pnh 5akit m1l1ter.
. . 5ebagai tindak lanjut dari gagasan tadi
bertugas di ruma
1851 dibuka kesempa tan bagi pemuda Jawa Yang bermina
masuk dalam program tersebut. Pendidikan berlangsung setama
pada tahun
untuk
tahun berfokus pada keterampilan vaksinasi dan pengetahuan
. mengena
penyakit yang sermg 1 e ·
• d't mukan Lulusan pertama berJumlah 11 oran
yang se lanJu nya
· t di'kenal dengan sebutan Dokter Jawa. Prograr
tersebut terus berkembang dan mulai menerima siswa dari luar Jaw.
(Radiopoetro, 1976).

Pada tahun 1875, pendidikan dibuat lebih terstruktur dengan membai


tahap pendidikan menjadi tahap persiapan selama 2 tahun dan taha1
kedokteran setama 5 tahun. Lulusan pun diharapkan dapat berpera
lebih dari sekadar juru vaksinasi. Setelah rnenjalani 7 tahun pendidikar
lulusan menjalani Praktik kedokteran setarna 2 tahun di bawa
pengawasan dokter Betanda, dan setelah jangka waktu tersebut merek
dapat berpraktik dalam bi dang internis dan bed ah.

Seiring berjalannya w k tan


. Materi ditamb
Penyesua1an. a tu, bentuk
. Pendidikan dokter terus menga 'h 1uai
durasi Pendidikan d'b1 ah hingga rnetingkupi ranah yang lebi . _
lebih selektif. Pad
uat lebih PanJang,
. .
dan syarat masuk Juga d1bu,n
a tahun 1903 19 a ya
" 04, dihasilkan lulusan pertat11
menempuh pendidikan tahap ked k
o teran 6 tahun. Mereka dikenal dengan
sebutan lnlandsch Arts dan k l .
· ' se o ahnya dmamakan School Tot Opleidf ng
Von lnlandsche Artsen atau STOVIA (Radiopoetro, ).
1976

Sementara di Surabaya didirikan juga sekolah kedokteran pada tahun


1912. Penerimaan siswa diperluas mencakup kandidat dari kalangan non-
pribumi, baik dengan pembiayaan dari pemerintah maupun biaya sendiri
(Radiopoetro, 1976). Tahun 1919, lokasi gedung pendidikan dipindahkan
ke Salemba, dan selanjutnya kerja sama dijalin dengan rumah sakit
Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ} yang sekarang dikenal dengan
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo sebagai lahan
pral<tik klinik. Pendidikan kedokteran yang diselenggarakan diupayakan
lebih menyeluruh. Proses pembelajaran tidak hanya memberikan
pemahaman dan keterampilan pada siswa, tapi juga membangun
sikap profesionalisme. Siswa perlu diberikan pengertian bahwa tujuan
pendidikan mereka bukan semata-mata untuk mendapatkan nilai tinggi
atau membuat dosen mereka senang, melainkan untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang layak bagi pasien (Radiopoetro, 1976 ).

. . pen d'd'k
lnst1tus1 1 1 an kemudian secara resmi menjadi Perguruan. Tinggi ..
Pada masa pendudukan Jepang, d1d1nkan
Kedokteran pada ta hun 1927 ·
. k S·swa dari sekolah l<edokteran yang telah
Djakarta lka Da1ga u. 1 · ·
. titusi tersebut. Setelah kemerdekaan
ada dimasukkan ke dalam ms
b h menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran
Indonesia, nama tersebut beru a kemerdekaan insitusi
. 1976). Dalam masa '
Djakarta (Rad1opoetro, . akin bertambah jumlahnya
di lndones1a sem
pendidikan kedokteran . . dibuat lebih terstruktur
B t k pengaJaran Juga
di berbagai daerah. en u . . d'd 'kan kedokteran dilaksanakan
. 1. Saat ,m' pen 1 1 .
dan terstandard1sas · b •an dari universitas. Melalu1
merupakan ag1
dalam suatu f akultas yang . . kembangan ilmu kedokteran
. kan terJad1 per .
wadah universitas d1harap • linnya kolaborasi yang leb1h
emungkinkan terJa
yang lebih pesat dan m
,. dokteran dengan mahasiswa f akultas lai
baik antarmahas1sw ke . . n. ~al
. k na dalam member1kan pelayanan keseh
1m menjadi pentmg are , . a~n
yang berkual 1.tas d'b t hkan kerja sama llntas b1dang dan keu rtlua
1 u u

Radiopoe ro , 1976) .

B PERA PROFESI DOKTER

Peran dok er di Indonesia tercermin pada kompetensi dokter Indonesia


yang tertuang dalam dokumen Standar Kompetensi Dokter Indonesia
(SKOi) tahun 2012 . Tujuh area kompetensi yang harus dikuasai ol
dokter Indonesia digambarkan dengan diagram berikut ini.

Gambar 3. 2 Pond . d
• s1 an p·l
1
Da tp dan l ar Kompetensi Dokter
n l dokt
ran Indonesia (2012)

mp n i Pada . ·adi
P dan g rnbar d1 atas dijabarkan menJ
mampuan Ya tul<
· ng harus dimiliki oleh dokter un
·. '.. · ; .... .·. . .. -
:~.~-.. . : .. J(olabbrasi,_
. . '
da. .

dapat menja{ankan fu •
ngs,nya, antara lain (KonsH Kedokt
2012): eran lndonesfa,

1. Profesionalitas yang luhur


Mampu melaksanakan praktik kedokteran yang profesional .
den ·t · d sesua1
gan n1 a, an prinsip ketuhanan, moral luhur, etika, disiplin
hukum, dan sosial budaya, yang meliputi: '
a) berkeTuhanan Yang Maha Esa/Yang Maha Kuasa,
b) bermoral, beretika, dan disiplin,
c) sadar dan taat hukum ,
d) berwawasan sosial budaya, dan
e) berperHaku profesional.

2. Mawas diri dan pengembangan diri


Mampu melakukan praktik kedokteran dengan menyadari
keterbatasan, mengatasi masa{ah personal, mengembangkan
diri, mengikuti penyegaran dan peningkatan pengetahuan secara
berkesinambungan, serta mengembangl<an pengetahuan demi
keselamatan pasien, melfputi:
a) menerapkan mawas diri,
b) memprattkkan belajar sepanjang hayat, dan
c) mengembangkan pengetahuan baru.

3. Komunikasi efektif
aU dan bertukar inforrnasi secara verbal dan
Mampu mengg
nonverbal dengan pasien pada semua usia, anggota keluarga ,
olega dan profesi lain, meliputi:
masyara ka t , k '
·kasi denaan pasien dan keluarganya,
a) berkomun l ~ . .
'k · dengan mitra kerja (sejawat dan profes1 lain),
b) berkomun1 as1
dan
·kasi dengan rnasyarakat.
c) berkomun 1
7 (

ge lolaan inforrna~i . informasi, komun~kasi, dan


4. Pen n teknotog1 . . c)
Mampu memanfaatl:<,a .k kedokteran, mel1put1:
dalarn pr~kti
informasi kesehatan · · .. f asi dan p.engetahuan, dan
d menila1 m orrn d)
a) mengakses . an . dan pengetahuan secara e_ fektif
. 1·kan informas1 . .
b) mendi,seminas · lain pasien, masyarakat, dan
d -fesi kesehatan '
kepa a pro . katan .mutu pelayanan kesehatan. e)
pihak terka.it untuk penmg .

5. Landasan ilmiah ilmu k~dokteran b d rkan l d


. f)
Mampu menyelesa1kan mas.alah kesehatan er asa .an asan
ilmiah flmu ke.dokteran dan kesehatan yang mutakh1r untuk
men dapa t has1·t yang. optimum
.. · Poin kelima ini mencakup
kemampuan menerapkan ilmu biomedik, ilmu humaniora, ilmu
kedokteran klinis, dan ilmu kesehatan masyarakat atau kedokteran Kornpete
pencegahan/kedokteran kom1.Jnitas yang terkini untuk mengelola
yang die
masalah kesehatan secara holistik/ komprehensif.
adalah:
• CQ
6. Ket~rampilan klinis
Mampu melakuk-an pr:osedur klinis yang berkaitan dengan masalah
Sc
kesehatan dengan menerapkan . prins,ip keselamatan pasien,
keselamatan diri sendiri, dan keselamatan orang lain, meliputi:
• d,
a) melakukan prosedur di~gnosis, dan rr
b) melakukan prosedur penatalaks.anaan masalah kesehatan
secara holistik dan komprehensif.

7. Pengelolaan masalah keseha-tan


'
Mampu mengelola masalah kesehatan individu, keluarga,
maupu~ masyar-akat secara komprehensif, holistik, terpaduJ dan
berkesmambungan dalam kontek l ·mer
. .
mellput1: s pe ayanan kesehatan pn ' '
a) melaksanakan p
romosi kesehatan pada individu, keluarga,
dan masyarakat;
b) melaksanakan pencegahan dan ·deteksi dini terjQdinya
masalah kesehatan pada i:ndividu, keluarga, dan masyarakat;
c) melakukan penatalaksanaan masalah kesehatan individu,
keluarga, dan masyarakat;
d) memberdayakan d.an berkolaborasi dengan masyarakat
dalam upaya meningkatkan derajqt kesehatan;
e) mengelola sumber daya secara ef ektif, efisien, dan
•berkesinambungan dalam penyelesaian masalah kesehatan;
dan
f) mengakses, menganalisis, serta menerapkan kebijakan
kesehatan spesifik yang merupakan prioritas daerah masing-
masing di Indonesia.

Kompetensi dokter Indonesia sejalan dengan profit five-star doctor


yang dicanangkan WHO (Boelen, 1994). Atribut seorang five-star doctor
adalah:
• care provider, memberikan pelayanan yang holistik pada pasien
(terkait aspek fisik, mental, dan sosial) mulai dari pencegahan
sampai rehabilitasi;
• decision maker, mengambil keputusan yang efektif dan eftsien dan
mempertfmbangkan pemanfaatan sumber day a untuk kepentingan
semua pihak;
• communicator, memberi edukasi kesehatan dan membina
kerjasama dengan pasien dalam berbagai upaya kesehatan;
• community leader, memahami faktor-yang berpengaruh terhadap
kesehatan dan berinisiatif dalam - p~nyelenggaraan upaya
peningkatan kesehatan masyarakat; dan
• manager, memiliki keterampilan manaje_rial, termasuk bekerja
dalam tim multidisiplin.
General Medical Co~ncil (GMC) United Kingdom dan The Royal ·college
of Physicians and Su;.geons of Canada juga menguraikan sejumlah peran
seorang dokter yan8 pada intinya memitiki kesamaan jika disandingkan
dengan peran dokt~r di lndpnesia. The Royal College of Physicians and
Surgeons of Canada memiliki sebuah kerangka (framework) yang diberi
nama C~nMEDS, yanij menguraik.an peran dokter sebagai communicator,
collqborator, leader, health advocate, scholar, professional, dan
semuanya terintegrasi-datam peran sebagai medical expert·. Sedangkan
GMC UK menjaba_rkan. empat 9qr.n,ain y_
ang menjadi peran dokter, yaitu:
knowledge, skills, and performance; ~fety.and quality; .c ommun;cation,
partnership, and teamwork; dan ma;ntaining trust (General Medical
Council UK, 1994).

Seju_mlah wr:aian peran dan kompetensi dokter


di· . atas-·mem
. per t·h
1 at k an bahwa peran dokter

tidak hanya men· go bat 1. peny~kit individual


pasien secara opt·1ma l d, an· aman, tetapi ju_ga
mampu
. berpart · · · 1· dalam meningkatkan
· lSlpa,s
kualltas
·
kesehatan d'1 k eluarga dan masyarakat
.- -
melalU1 berbagai e .
lead . p rannya, m1salnya sebagai
er' manager t
Selain it d ' . a aupun communicator.
u, okter Jug h
sama dan b a arus mampu bekerja
erkolabora 51. d
dalam-upay engan profesi lain
amemecahk
Ranah pela · an masalah kesehatan .
yanan dokt .
kuratif ata er tldak hanya pada level
u pengobat .
promosi kes h an, tetapi mulai dan
- e atan
. . sampai pada ' preventif (pencegahan),
. . t1dak hanya pe-rtu berperan s b rehabilitasi
dokter . · Oengan dem1k1an,
. .
dan 1tu harus berpera e aga1 care ·
h1'd· h . n sebagai pendidik b . prov;der, tetapi lebih
up se at sehmgga· dapat mencegah ag1 masyarakat terkait pola
Penyakit
· Pada pasien dengan
tahap · akhir penyakit yang tidak dapat. disembuhkan, dokter berperan
..
untuk m·emastikan kualitas hidup yang sebaik-baiknya.
.

Untuk dapat memenuhi p~ran-peran di atas, dokter tidak hanya han,1s


menguasi pengetahvan dan keterampilan teknis kedokteran ( technical
skills and knowledge), tetapi perlu memiliki kemampuan komunikasi ,
kemampuan memilah informasi, sikap ma was diri, dan profesionalisme.
Hal tersebut sesl)ai dengan Harden et al. (1999) pada diagram "Three-
Circles Model" yang menggambarkan atribut seorang dokter.

What the doctor is able to do:


landasan imliah ilmu kedokteran
dan keterampilan klinis

- - How he/she approaches the practice:


pengelolaan masalah kesehatan,
pengelolaan informasi, dan komunikasi
efektif

The doctor as professional:


· mawas diri, pengembangan diri, .
dan profesionalitas yang luhur

Gambar 3.3. Penggabungan Three-Circles Model (Harden, et al., 1999)


dengan Area Kompetensi Dokter Indonesia

Gambar di atas terdiri dari 3 buah lingkaran. Lingkaran paling dalam


menggambarkan apa yang dapat dilakukan oleh dokter ( what the
doctor is able to do). Lingkaran tengah menggambarkan bagaimana
dokter menjalankan praktiknya (how he I she approaches the practice).
Sedangkan lingkaran terluar menggambarkan dokter sebagai profesional
(the doctor as professional).
· ( ) menyebutkan bahwa, walaupun hubun
Lindgren dan Gordon 2011 . iar
. egang peranan utama dalam prakt1k kedoktera
dokter pas1en tetap mem . n,
dokter tidak lagi bertanggung jawab secara eksklus1f terhadap perawatar
individual pasien. Ke'putusan yang diambil dalam rangka pembenar
perawatan terhadap seorang pasien dapat berdampak signifikan pad,
sistem pelayanan kesehatan. Dokter perlu mempertimbangkan sumbe,
daya yang tersedia dan kebutuhan kesehatan masyarakat. Oleh karen,
itu, seorang dokter harus dapat berperan sebagai community healtt
leader dan manajer pelayanan kesehatan (Lindgren dan Gordon, 2011 ).

Lindgren dan Gordon (2011) juga mengatakan bahwa dokter dapat


menjadi anggota dan ketua tim pelayanan kesehatan secara simultan.
Dokter tidak otomatis menjadi ketua tim dan fokus interaksi tidak hanya
pada hubungan dokter pasien, tetapi -interaksi antara pasien dan tirri
pelayanan kesehatan. Narnun demikian, pengambilan keputusan medi~
tetap berpulang pada dokter, terutama pada situasi yang komple~
(Lindgren dan Gordon, 20 11 ).
REFERENSI
Boelen, c. 1994. Frontline Doctors of Tomorrow. World Health 47: 4-5.

General Medical Council. The Duties of A Doctor Registered wf th The General


Medical Council. https: I /www.gmc-uk.org/ ethical-guidance/ ethical-
guidance-for-doct_orsl good-medical-practice/ duties-of-a-doctor. 19
April 2018.

Harden, R. M., J. R. Crosby, M. H. Davfs, dan M. Friedman. 1999. AMEE Guide No.
14: Outcome-Based Educatfon: From Competency to Meta-Competency:
A Model for The Specification of Learning Outcomes. Medical Teacher
21 (6): 546-552.

Jackson, M. 2014. The History of Medicine: A Beginner's Guide. Edisi pertama.


Oneworld Publication. London.
;-

Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.


Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta.

Lindgren, S. dan D. Gordon. 2011. The Doctor We Are Educating for A Future
Global Role in Health Care. Medical Teacher 33(7): 551-554.

Radiopoetro. 1976. Sejarah Pendidikan Dokter di Indonesia. Journal of The


Medical Science 4(7): 141-150.

Saad, B. 2014. Greco-Arab and Islamic Herbal Medicine: A Review. European


Journal of Medicinal Plants 4(3): 249-258.

The Royal College of Physicians and Surgeons of Canada. CanMEDS: Better


Sta_ndards, Better Physicians, Better Care. http: I lwww.royalcollege.ca/
rcs1telcanmedslcanmeds-framework-e. 19 April 2018.
FILOSOFI DAN
PERAN
DOKTER GIGI
Melissa Adiatman & Ariadna A. Djais

A. SEJARAH DAN FILOSOFI DOKTER GIGI

Sebetum tahun 1928, Indonesia tidak memiliki institusi pendidikan


dokter gigi dan tenaga dokter gigi profesional harus didatangkan dari
Eropa, misalnya Belanda. Akan tetapi, jumlah tenaga dokter gigi yang
bersedia bekerja di Dutch East Indies (Indonesia) sangat terbatas, dan
umumnya mereka hanya melayani orang-orang Eropa yang tinggal di
Indonesia. Apabila penduduk Indonesia menderita penyakit gigi dan
mulut, mereka mencari pengobatan tradisional ke dukun, tabib, atau
dibiarkan saja. Kebersihan gigi dan mulut belum dianggap sebagai
suatu prioritas. Untuk mengatasi keadaan tersebut, pada April 1928
Dr. Lonkhuizen, Kepala Departemen Kesehatan Masyarakat (Dienst den
Volkgenzonhefd), mengusulkan kepada Direktur sekolah kedokteran NIAS
(Nederlandsch lndische Artsen School) agar sekolah tersebut membuka
jurusan di bidang- Kedokteran Gigi. Sejak saat itu, institut pendidikan
dokter gigi didirikan dengan nama STOVIT (School Tot Opleiding Van
lndische Tandartsen) di Surabaya, dengan jumlah murid di tahun pertama
sebanyak 21 mahasiswa . Kurikulum pendidikan dokter gigi didesain untuk
dapat diselesaikan dalam kurun waktu 5 tahun (Rintoko, 2012).
· STOVIT sempat dibekukan selama satu
.. han Jepang
Pada masa penJaJa i t h Jepang membuka ulang beberapa
h 1943 pemer n a
tahun. Pada ta un . l h satunya lka Daigaku (Sekolah
. . d.1 Indones1a sa a
institusi pend 1d1kan . aku Senmebu Sika (Sekolah Dokter
Kedokteran) di Jakarta dan lka Oalg · .
. mencapai- kemerdekaan kedua rnstans\
Gigi) di Surabaya. Ketika l nciones,a . ..
. . h 946 pemerintah lndones1a mend1nkan
tersebut dilikuidas1. 01 ta un 1 · '
. . . G d · h Mada di Yogyakarta yang berubah menjadi
Bala1 Perguruan Tmgg1 a Ja
·
Umvers1 •t as
. GaJa
· h Mada pada· tahun - 1949.
. Perguruan Tinggi Kedokteran
Gigi kemudian berubah menjadi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Gadjah Mada (Rintoko, 2012).

Saat ini pendidikan kedokteran gigi di Indonesia telah berkembang


menjadi berbagai bidang spesialisasi. Bidang spesialisasi kedokteran gigi
di antaranya: konservasi gigi, ortodonsia, bedah mulut, periodonsia,
ilmu kedokteran gigi anak, ilmu penyakit mulut, prostodonsia , dan
radiologi ·-kedokteran gigi. Bidang kedokteran gigi estetika juga semakin
berkembang di Indonesia (Sulistyani dan Nakazawa, 2012).

B. PERAN PROFESI DOKTER GIGI

Dokter gigi adalah dokter yang bertanggung


jawab menangani kesehatan . gigi dan
mulut. Peran dokter gigi di antaranya:
me nd iagnosis masalah kesehatan gigi dan
mulut· · l k
' me a ukan upaya promotif dan
preventif · · b •
' men, uat rencana perawatan,
menginterpr t • · Cl
. · e as1 perneriksaan penunJan,
d1agnostik·
penggunaan anestesi yan ' memastikan prosedur
g aman• rnern .
rahang; dan melakukan tind ' on1tor turnbuh kembang gigi dan
akan Peraw
atan pada jaringan keras dan
jaringan lunak gigi (American Dental Association, 2018) .

Dokter gigi di tingkat keluarga dan masyarakat memiliki peran menjaga


dan memelihara kesehatan gigi dan mulut, sebagai ujung tornbak
pemberi pelayanan dan asuhan masyarakat, penapis rujukan upaya
kesehatan gigi dan mulut, sumber informasi, edukasi, dan advokasi dalam
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut, perlindungan risiko terjadinya
masalah kesehatan gigi dan mulut, serta meningkatkan kualitas hidup
anggota masyarakat sesuai siklus hid up (Kementerian Kesehatan, 2005 ).

Dokter gigi umumnya tidak bekerja sendiri dan memerlukan pendekatan


tim untuk dapat memberikan pelayanan yang komprehensif, nyaman,
efektif, dan efisien. Dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi dan
mulut, dokter gigi bekerja sama dengan perawat gigi, teknisi gigi, dan
tenaga kesehatan lainnya. Bekerja sama dalam tim adalah aspek yang
penting dalam memastikan tersampaikannya pelayanan kesehatan gigi
yang aman dan efektif, termasuk tindakan sederhana seperti pencabutan
gigi, penambalan, atau pemberian anestesi yang dapat menyebabkan
komplikasi infeksi, kerusakan saraf, perdarahan, hematoma, maupun
rasa sakit (American Dental Association, 2018).

Dokter gigi tidak hanya bertanggung jawab pada area gigi dan mulut,
tetapi juga memerhatikan area otot di daerah kepala, leher, rahang,
lid ah, kelenjar saliva, dan sis tern saraf di area kepala dan leher (Corcoran
et al., 2013). Dalam pemeriksaan lengkap dokter gigi juga meUhat
tanda-tanda adanya massa, pembengkakan, diskolorasi, ulserasi, atau
abnormalitas lainnya. Pada kasus-kasus tertentu, dokter gigi dapat
melakukan prosedur diagnosis seperti biopsi, uji diagnosis untuk penyakit
kronis atau penyakit menular, melihat fungsi kelenjar saliva, dan uji
penapisan kanker rongga mulut (American Dental Association, 2018).
. . . d'h k n mampu mengidentifikasi
Selain itu seorang dokter g1g1 Juga 1 arap a
. no merupakan manifestasi Pe
a rnulut ya ::> nyakit
tanda-tanda di rongg k kan rujukan yang diperlukan ke b'd
. dian rnela u 1 ang
sistemik lain, kemu lain (Corcoran et al., 2013).
. a kesehatan
spesialisas1 atau tenag
dokter gigi rnempunyai kompetensi di bida
Sebagai upaya agar lulusan . . . . ng
. l manajerial, komun1kas1, penel1t1an, da
pelayanan med1s denta , · n
. . fesional KonsH Kedokteran Indonesia (KKI)
kepem1mpman secara pro ' . . .
etensi Dokter G1g1 lndones1a (SKDGI) yang
mengesah kan Stan dar Komp •
menyatakan bahwa dokter gigi Indonesia harus memiliki kompetensi,
sebagai berikut (Konsil Kedokteran Indonesia, 2015):

Profesionalisme, yaitu melakukan praktik sesuai dengan keahlian,



tanggung jawab, kesejawatan, etika, dan hukum yang berlaku;

• Penguasaan llmu Pengetahuan Kedokteran dan Kedokteran Gigi,


yaitu memahami ilmu kedokteran dasar, ilmu kedokteran klinik yang
relevan, ilmu kedokteran gigi dasar, ilmu kedokteran gigi terapan,
dan ilmu kedokteran gigi klinik sebagai dasar profesionalisrne serta
pengembangan ilmu kedokteran gigi;

• Pemeriksaan fisik secara umum dan sistem stomatognatik, yaitu


melakukan pemeriksa an, men d.1agnos1s,
. dan menyusun rencana
perawatan untuk mencapa 1. kesehatan gigi dan mulut yang pnrna
.
melalui tindakan pro mo t'f . kuratif, dan rehab1l1tat
1 , prevent1f, . . 1.f,.

• Pemulihan fungsi sist . ·


pemuliha f . . em stomatognatik, yaitu melakukan tindakan
n ungs1 s1stem st . an
klinik; dan omatognat1k melalui penatalaksana

• Kesehatan gigi mulut


masyarak t • paY
0
kesehatan masya k a , ya1tu menyelenggarakan u
ra at menu ·u k arig
J esehatan gigi dan rnutut Y
prima.

eningkatnya j um lah penduduk lanjut usia, individu dengan kelainan


tumbuh kemba ng dan disabilitas, pasien dengan penyakit sistemik
yang kompleks , serta adanya disparitas dalam pelayanan kesehatan
menyebabkan pasien·pasien rn1 seringkali mengalami kesulftan
mengakses pe layanan kesehatan (Barone dan Eliav, 2018). Akibatnya,
dalam melakukan penanganan kasus pada populasi ini diperlukan kerja
sama dan kolaborasi interprofesi untuk mencapai hasil yang optimal.
Serdasarkan hasil studi, individu lanjut usia dengan masalah kognitif
men unjukkan hasil yan g lebih baik ketika menerima perawatan oleh tim
kolaborasi interprofesi ditunjang oleh pelaku \awat ( caregiver) yang
suportif (Kaufman et al., 2016) . Profesi dokter gigi saat ini menjadi bagian
dari kelompok prof esional yang berkomitmen kuat untuk mengatasi
k tfdakseta raa n dalam pemanf aatan pelayanan kesehatan (Watt et al. ,
201 4). Beberapa pene!itian menunjukkan bahwa perawatan kesehatan
8igi dan mulu t yang tepa t memiliki kontribusi dalam menurunkan biaya
p rawatan penyakit sistemik tertentu (Boynes, 2015).

Dalam tata nan pelayanan kesehatan gigi dan mulut, pelayanan kesehatan
rint grasi dalam bentuk tim kolaborasi interprofesi telah lama
dfusulkan unt uk mencapai beberapa hal, diantaranya: meningkatkan
f kti vitas inte~vensi pencegahan, mengatasi berbagai hambatan akses
k p l yanan . kese hatan
· :; dan
giai . mulut , dan meningkatkan efisiensi
d l m sist -m pelayanan keseh atan (Boynes, 2015 ).

. . _· l t berhubungan dengan kesehatan tubuh secara


K h t -n g1g1 dan mu u
. pasien ke dokter gigi adalah waktu yang
umum ( istemik) . KunJungan . .
isan (screening), memla1, dan memantau
p t untuk melakukan pena P · . .
· . . d I tau telah didiagnos1s dengan penyak1t
p n d ngan ns1ko an a .. .
· D kt r aigi harus mem1llk1 kemampuan untuk
rtent u. 0 e !>
rnern ben'kan informasi dan menjaga korruJn ·kas
tenaga kesehatan lain rnena I
dengan . . ~ena
k Penyakit g1g1 dan mutut tern,d
darnpa ~ i'lf
h ta n secara umum . dan bagain-.~
kese a '"~n,
pentmg. nya melakukan rujukan sedini rnungk·1n
(Mays dan Mays, 2016).

Peran dokter gigi di dalam tim interprofesi


diprediksi akan semakin meningkat, rnengingat
sernakin banyak kondisi medis Yang berkaitan
dengan kondisi kesehatan gigi dan rnutut.
Kesehatan gigi dan mulut dan berbagai
penyakit kronis sating berasosiasi melalui tiga mekanisme, Yaitu: (1 l
gangguan pada sistern pengunyahan yang akan mempengaruhi diet dan
nutrisi individu, (2) infeksi di dalarn rongga mulut akan menyebar dalarn
darah (bakterernia), dan (3) inflarnasi dan produk sampingannya akan
rnenyebabkan reaksi sistemik negati f (Boynes, 201 5).

Contoh Yang cukup jelas dari Peran dokter


gig; iuga dapat dilihat Pada kasus kornpteks
seperti kasus celah bibir dan langit-langit,
Temporomandibu/ar Joint Disorder (TMD), dan
gangguan tidur Yan
g umurnnya
Penanganan terpadu d . .rnernbutuhkan
interprof
· \;Sl.
o • · an t1rn kolab oras1·

Peran d k
o ter gigi dal
kesehatan d' arn kotaborasi tirn
. ' i antaranya ad l
d1uraikan di bawah lni:
. a ah sePerti Yang
menj ari n p n
e e a,, ru ·u an re 1pr
a.
' n
I n

er g· . i h. ru
,l ni
. Se a
e a , se a fa as ·la u . n c r
n.ro in ~ n f , S t u, do e g g u a di enag
ya i s d·a e es , m erdi nosis

d u s as· ad ' o· gga muu a s dan . a ,s,


20,

· d a b .... ,.,,.,,.,.,.. ran dal . m mernoni or beberapa tanda


pe in alam pe ayanan dasar.
bida g e ,1 · eran gigi adalah pasien
an ru i e o er gigi yang sama .
ea
s ·s pasien . e ga hipe e si kro is, do ter gigi memiliki
e• on· or eka an darah pasien pada setiap
pe · ·ode ertentu . Apabi· a pas'en menunjukkan
ya g a rma , dan pasien menyatakan sedang
.,o batan i er ensi maka dokter gigi berperan
p s'e ke b'da1ng spesialisasi sesuai dengan

se , ays da, ays, 2016 .

· ·, apa e rkolaborasi dengan tenaga kesehatan


e er a ,ka . efek samping obat-obatan tertentu
. s as nya d~ro gga mulut.
a a pas·en de ga , er a,,ai -atar bela ang
· . _ 'k Pa a , e er a ,a asien dengan pen .a it
....~IW'I••• 1t-.u~h~~tan s s e · ·
eberapa jenis
:<roni.s yang rne. i, rn . . Obat da
ilab' an xeros o, ·a (, u u ken g) yang dapat rnenin L Pat
menye . . . . . R"atka
. oingl a dan ns.1 o anes g1g1. Dokter 0 . • n
risiko ,nflamasi ::i • ::,lg1 da
, dengan enaga keseha an a1n, mendiskusik Pat
berkotaboras 1 . . . . an efek
entu yan o berdarnpak pada rongga rnul
oba -o batan tert ::, . ,. . · Ut dan
an perawatan yang d1-sesua1kan dengan kondisi .
rnerencan ak · Pas1en
Sebagai contoh pasien y ng meminum obat-obatan antihipertens;
dengan efek samping xeros tomi dapat di berikan terapi fluoride
topikal, atau produk ! ln yang da1pat memberikan efek lubrikasi
pada jaringan k r s d n j rin n tun 'k rongga mulut.

4. Dokter gfgi dapa berkof bor sf deng n tenaga kesehatan lain


untuk memberik n duk si k seh t n y ng erp,a du.
Contoh peran dok er g1g1 d t m kol borasi t m kesehatan dapat
dilihat dalam kerja sam di b g1 n Ob t tri dan Ginekologi. Para
ibu yang baru saja mel irk ,n umum nya d ··nstruksikan untuk
datang kontrol ke bag· n O s e ri d n G[nekologi. Di saat yang
bersamaan para ibu diberikan edukasi mengenai bagaimana
menjaga kesehatan gigi dan mulut anak usia di,ni dan diberikan
pengingat untuk mulai mengunjungi dokter gigi saat anak berusia
satu tahun. Para ibu juga dapat diberikan edukasi mengenai
bagaimana menjaga kesehatan gigi dan mutut pasca kehamilan
16
untuk meminirnalisasi penyakit periodontal (Mays dan Mays, 20 l•

·dang
5. ln~egrasi perawatan kesehatan gigi dan m.ulut dengan b1
latnnya dapat menmgkatkan
.
, t .-vensi
keberhasifan suatu 1n e, ~
pencegahan.
no
~
lnfeksi dan . fl
menyebabk m amasi adalah sa lah sat u f aktor risikO ya 1
an kelahiran ba . · srud
rnenyirnputk b Y1 prematur. Berbagai .i
an ahwa te d h ran gig
dan mulut d r apat hubungan antara kese a
engan kel h. . . antara
a iran prematur. Komunikas1 dt
dokter gigi dengan dokter obstetri dan ginekologi bermanfaat
untuk merencanakan perawatan kesehatan gigi dan mulut sebelum
dan selama kehamilan. Hal ini dapat mengurangi risiko terjadinya
kelahiran prematur, kelahiran BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah),
dan ibu akan memiliki kesehatan gigi dan mulut yang lebih baik
(Boynes, 2015). Contoh kasus lain adalah ·kondisi higiene mulut
yang buruk terbukti memiliki hubungan dengan berbagai penyakit
saluran pernapasan, termasuk pneumonia, penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK), dan asma. Dokter gigi dapat bekerja sama dengan
bidang spesialisasi paru untuk merencanakan perawatan terpadu
sesuai dengan kebutuhan pasien (Boynes, 2015).
REFERENSI
American Dental Association . 2018. Dentists: Doctors of Oral Heal th ' https: 11
www. ada. orgl en/ about-the-ado/ dentists-doctors-of-oral-health . , 2 M. i
,2018.
Barone, H. dan E. Eliav. 1985. Guest Editorial: Inter- and Multidisciplinary Oral
.Health Clinics Can Better Serve Patients with Special Needs and Cornple)(
o·seases. Quinte.ssence International 49(5): 347.

Boynes, S. •-G. 2015. Finding Meaning with lnterprofessional Practice Part 1.


Dental Economics 09: 18.
Corcoran, P., L. Depaola, K. Nern, dan J. Urquhart. 2013. Head and Neck Skin
Cancer: Dentists' Responsibility in Early Detection. Compend;um of
Continuing Education in Dentistry 34(3): 204.

International Diabetes Federation . 2018 . IDF Western Pacific Members


(Indonesia). https: I lwww. idf.orgl our-network/ regions-members/
western-pacific/ contact-us. html. 19 Mei 2018 .

Kaufman, L. B., M. M. Henshaw/ B. P. Brown dan J. M. Calabrese . 2016. Oral


Health and lnterprofessional Collaborative Practice: Examples of The
Team Approach to Geriatric Care. Dental clinics of North America 60(4):
879-890.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2005 . Keputusan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 1415/MENKESISKIX/2005 Tien tang KebtJakan
,.
Pelayanan Kedokteran Gigi Keluarga. Keputusan Menteri Kesehatan edn.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Konsil Kedokteran Indonesia · 2015 • St an d or Kompet · k


Peraturan Konsil K d k ens, 0 0 ter Gigi Indonesia.
e o teran Indonesia NO 40 Ti .
Kedokteran Indonesia. Jakarta. · ahun 2015 . Kons1l

Maruthappu' M.' A. Hasan dan T Z lt


' · e ner. 2015 E .
Implementing Integrated C · nablers and Barriers ,n
Mays G L da K are.- Health Systems Et Reform 1(4): 250-256.
' · ·, n · A· Mays. 2016. Achievin p ·
/nterprofessional Collab . g attent-centered Care through
orattve Practice. htt . 1
ps. / goo.g[! r3ia2V. 11 Mei
2018.

Rm. toko , B· 201 2. Sejarah Pendidikan Kedokteran Gigi di lndones1a.


. h· ttps:/ /
goo.gl!w1 L4DA. 12 Mei 2018.

Sulistyani, H., dan F. Nakazawa. 2012. A Description of Dental Health in


Indonesia. ~~~:wi~~*~li~it-ltt 31(2): 103-107.

watt, R. G. , D. M. Williams, dan A. Sheiham. 2014. The role of the dental tea
in promoting health equity. British Dental Journal 216(1 ): 11 ·14.
FILOSOFI DAN
PERAN APOTEKER
Santi Purna Sari & Maksum Radji

EJA AH DAN FILOSOFI PROFESI APOTEKER

f armasi di,m ulai sekitar 50.000 sebelum masehi (SM) dengan


,e · annya f osil yang memiliki khasiat obat oleh The Neanderthal .
.sep pertama yang merupakan catatan otentik tertanggal 3700 SM,
e angkan catatan histologis pertama untuk persiapan obat berasal
ari Babylonia sekitar 2600 SM. Pada era tersebut profesi apoteker dan
· ter masih menjadi satu kesatuan (Thamby dan Subramani, 2014).
Pemisahan antara f armasi dengan kedokteran dimulai sejak abad ke-8 di
rab dan abad ke-13 di Eropa seiring dengan adanya Deklarasi Frederick
H. Deklarasi ini menanamkan dasar-dasar profesi farmasi dan masih
b rlaku sampai sekarang di seluruh dunia. Hal penting pada Deklarasi
Fredrick 11 adalah pemisahan profesi f armasi dari profesi kedokteran
d n diakui sebagai profesi independen. Selain itu, praktik kefarmasian
ia asi oleh pemerintah dan terdapat keharusan mengucapkan sumpah
al m menyiapka n obat secara benar sesuai keahlian dan kualitas yang
memadai.

F rmasi berasal dari kata pharmacy (Bahasa lnggris) atau pharmacon


(Bah a Yunani) yang berarti obat. Farmasis, atau yang lebih dikenal
.•a adalah seseorang yang rnernf
r di 1ndone S1 , · orn,LJl
dengan apoteke . . a obat, dan memberikan inforn, . asi
kukan d1spens1n.) . as1 Ob
obat, meta. aga kesehatan lainnya. Apoteker rner at
ke ada pas1en atau ten . UPakan
P h tan yang berperan pent1ng dalam rnernb .
ba ian dari tenaga kese a . enkan
g dan pelayanan kef armas1an yang berk .
pelayanan kesehatan . . uahtas
Thamby dan Subraman1, 2014). Populas1 pasien
kepada masyara kat ( . . Yang
jumlahnya terus meningkat, khususnya penyak1t kroms, berkontribusi
pada meningkatnya kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan
fasHitas kesehatan yang semakin baik dan prima. Selain itu, pesatnya
pengembangan obat baru termasuk obat yang berbasis bioteknologi,
cakupan asuransi yang lebih luas, dan swamedikasi berimbas Pada
tuntutan peranan apoteker yang profesional dalam m~mberikan asuhan
kefarmasian di seluruh dunia (Radji, 2017).

FHosofi dan konsep pelayanan kefarmasian dalam praktik asuhan


kefarmasian telah dirumuskan dalam The Seven-Star Pharmacist yang
dirumuskan oleh WHO pada tahun 1997, yang terdiri dari:
1. leader
Seorang apoteker harus memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, baik
memimpin diri sendiri atau pun orang lain dan bertanggung jawab
dalam semua hal yang menyangkut peningkatan kesejahteraan
pasien dan masyarakat.
2. Decision Maker

Seorang apoteker harus mampu menentukan pilihan obat


berdasarkan efik 1· k
as , eamanan, dan harga yang efektif ser
ta
berperan aktif d l
a am penyusunan kebijaksanaan obat-obatan.
3 · Communicator

Seorang apoteke~ h . g
pe arus marnpu memberikan informasi tentan
nggunaan obat pad dan
percaya dir' k . a masyarakat, serta berpengetahuan
l et1ka berint k51. . nya.
era dengan tenaga kesehatan la 1n
- -~~~a-•,......, -~•..;:.:., .
'/Kolalf.ora;t-
- : :- .
itdn_i<erja ,sciin:a ..iUn-Ke.s'~hat;'n.;_
. . . . ' ~: =.· w- - ,~ . . - ~· . -_., . ~ . . :·~ .:, -... '
~ ~ >,

. Ljfef ong Learner


4
seorang apoteker harus belajar sepanjang hayat untuk menjaga
Hmu pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya dalam
memberikan pelayanan pada masyarakat.
5, Teacher
Seorang apoteker selain harus mampu membagi ilmu pengetahuan
pada yang lainnya , tapi juga memberi peluang pada praktisi lainnya
untuk memperoleh pengetahuan dan menyesuaikan keterampilan
yang telah dimilikinya.
6. Care Giver
Seorang apoteker mampu menjelaskan pola hidup sehat, gejala
penyakit, serta memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya pada
pasien dan masyarakat.
7. Manager
Seorang apoteker harus mampu mengelola dan mengawasi semua
aspek yang berhubungan dengan pekerjaannya meliputi sumber
dayc1 rnt1nusic1, infrc1strul<tu1·, kcuungnn, dc1n infor111c1si secarc1
efektif serta bertanggung jawab terhadap kualitas obat yang
diberikan kepada pasien .

Konsep The Seven-Star Pharmacist telah berkembang menjadi The


Eight-Star Pharmacist yaitu dengan ditambahkannya aspek researcher.
Seorang apoteker harus mampu menggunakan pengobatan berdasarkan
bukti ilmiah, serta mampu memberikan rekomendasi dalam pengunaan
obat secara rasional. Sebagai peneliti, apoteker dapat j uga berkontribusi
pada berbagai penelitian penemuan obat dan penelitian farmasi klinis
yang bertujuan untuk mengoptimalkan hasil pengobatan dan pelayanan
pasien {Thamby dan Subramani, 2014).
B. PERAN PROFESI APOTEKER

Peran apoteker semakin berkembang s~lama . 50 tahun terakhir seirin!


dengan kebutuhan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Ketika obat
obatan adalah bagian dari tindakan preventif atau kuratif, apoteke
harus mampu menyediakan pelayanan pada pasien dengan kualita
terbaik .

Peran apoteker yang dahulu berorientasi terhadai


produk (product 9riented) telah berubah menjac
berorientasi terhadap pelayanan pasien (paUen
oriented). Paradigma pendekatan yang lebil
berorientasi terhadap peningkatan kualitas hidu1
pasien ini dikenal dengan konsep pharmaceutkc
care (asuhan kefarmasian). Asuhan kefarmasia1
adalah suatu konsep dasar dalam pekerjaan kef armasian yang menjac
pedoman bagi apoteker sebagai tenaga kesehatan yang bertanggun·
jawab atas peningkatan kualitas hidup pasien, baik secara individ1
maupun secara terintegrasi dalam sistem pelayanan kesehatan. Apoteke
dituntut untuk menjadi tenaga kesehatan yang profesional dalan
membantu memaksimalkan efek obat, mengidentifikasi masalah terkai
obat, serta merekomendasikan penyelesaian masalah terkait obat.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentan~


Kesehatan Pasal 108 ayat (1) disebutkan bahwa:
renaga kesehatan yang dimaksud dalam ketentuan di atas adalah tenaga
kefarrnasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Berdasarkan
PP RI No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian , apoteker
adalah sarjana farmasi yang telah tu/us pendidikan profesi don tel ah
mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku, dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indones ia
sebagai apoteker. Adapun ruang lingkup pelaksanaan Pekerjaan
Kef armasian apoteker, meli puti (Kementerian Kesehatan RI, 2009) :
1. Pekerjaan Kef armasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi;
2. Pekerjaan Kef armasian dalam Produksi Sediaan Farmasi;
3. Pekerjaan Kef armasian dalam Distribusi atau Penya tu ran Sediaan
Farmasi; dan
4. Pekerjaan Kef armasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.

Pekerjaan kef armasian dalam pengadaan sediaan f armasi dilakukan


pada fasilitas produksi, fasilitas distribusi atau penyaluran, dan fasilitas
pelayanan sediaan farmasi untuk menjamin keamanan, mutu, manf aat,
dan khasiat sediaan f armasi. Pekerjaan kef armasian dalam produksi
sediaan f armasi dilakukan oleh apoteker penanggung jawab di fasilitas
produksi sediaan farmasi, berupa industri farmasi obat, industri bahan
baku obat, industri obat tradisional, dan pabrik kosmetika .

Pekerjaan kefarmasian apoteker dalam distribusi atau penyaluran


sediaa,n f armasi berupa obat dilakukan melalui pedagang besar f armasi
penyalur alat kesehatan, instalasi sediaan farmasi dan alat kesehatan
milik pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten /kota. Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas
Pelayanan kefarmas1an, berupa: apotek, instalasi farmasi rumah sakit,
Pusk smas, klinik, atau praktik bersama. Apoteker harus menerapkan
t ndar pelayanan kef armasian dalam menjalankan praktik kefarmasian
P d f · Hit · pelayanan kefarmasian.
hatan profesional yang banyak
naga kese
Apoteker merupakan te rakat sebagai sumber informas;
dengan masya . .
berhubungan langsung . bat yang d1benkan pada Pasien
. . informas1 o
obat. Oleh karena 1tu, benar, lengkap, serta berorientasi
.1 ang tepat,
haruslah informas Y . d k Seorang apoteker harus mampu
d orientas1 pro u . .
pasien, bukan pa a . emahami dan yak1n bahwa obat
.. 1. hingga pas1en m . .
memben mformas , se bati penyakit yang d1dentanya
.
yang digunakan terse but dapat mengo
dan merasa aman saat menggunakannya.

Selain memiliki fungsi. sosla


. l sebagai tempat
pengabdian
. . dan
pengembangan jasa pe l ayanan Pendistribusian dan 1nformas1 obat
perbekalan kesehatan, apo t ek J·uga memiliki fungsi ekonomi yang
· engharuskan
m· . suatu apo t ek memperoleh laba untuk meningkatkan
mutu pelayanan dan menjaga kelangsungan usahanya. Oleh karena itu,
apoteker tidak hanya dituntut untuk mahir dari segi teknis kef armasian
tapi juga dari segi manajemen.

Peran dan Fungsi Apoteker di Apotek

Pelayanan Kefarmasian di apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan


yang bersifat manajerial, berupa: pengelolaan sediaan f armasi, alat
kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP); dan pelayanan farmasi
klinis. Pelayanan farmasi klinis, meliputi: pengkajian dan pelayanan
resep, d;spensing, Pelayanan lnformasi Obat (PIO), konseling, pelayanan
kefarmasian di rumah (home pharmacy care), Pemantauan Terapi
Obat (PTO); dan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) (Kernenteriar
Kesehatan RI, 2016a). Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumbeI
daya manusia, sarana, dan prasarana.

Peran dan Fungsi Apoteker d. R


1 umah Sakit
Pelayanan farmasi rumah k'
sa lt adalah bagian yang tidak terpisahkar
.i m pelayanan kesehatan rumah sakit
n u.uh dan berorientasi kepada pelayanan
. 1 n, p nyediaan obat yang bermutu,
rni suk pelayanan farmasi klinis yang
rj.. n · kau bagi semua lapisan masyarakat.
gi. n f armasi rum ah sakit bertanggung
· wab terhadap semua barang f armasi yang
r dar di rumah sakit tersebut. Peran
d n fungsi apoteker di rumah sakit penting
dal m mengatasi masalah terkait obat,
ntara lain berperan dalam memberikan
onseling, membantu pasien mencegah dan
mengendalikan komplikasi yang mungkin
timbul, mencegah dan mengendalikan efek samping obat, serta
merekomendasikan regimen dan dosis obat yang harus dikonsumsi oleh
pasien.

Standar petayanan kef arrnasian di rum ah sakit meliputi standar


pengelolaan sediaan f armasi, alat kesehatan, bah an med is ha bis
pakai, serta standar pelayanan farmasi klinis. Untuk pelayanan farmasi
klinis meliputi pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat
penggunaan obat, rekonsiliasi obat, Pelayanan lrif ormasi Obat (PIO),
konseling, visite, Pemantauan Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek
Samping Obat (MESO), Evaluasi Penggunaan Obat (EPO), dispensing
sediaan steril, dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
(Kementerian Kesehatan RI, 2016b).

Perencanaan pengadaan kebutuhan perbekalan f armasi memerlukan


kajta n yang cermat, tepat, dan teliti berdasarkan pada stok yang ada
rta pengkajian obat yang berbasis formularium. Apoteker harus
u y i kemampuan administrasi dan manajerial dalam mengelola
• •I I
••

..

I •

.. .

'· 1

>

'.

I
I

I ' '

,. • I
' .
'\ , I

,.
, . ·, :dan-,'i/0.\·is•·()hat:
• I
. '.
b t ' Y no~ I< mudi n ditu ngk n k _ dalam r · nc na
op r si n l d n -ngg r n.

P n~ s n ob t ol 1, pot ker dil kukan dan dikelola di' b Wah


e,
.

pengaw n d n t n gung jaw · b lnstalasi Farmasi Rumah Sakit (IFR ).


Mek nism · p n , w san obat , meliput1 dua bidang, yaitu:
·) Bid . ng pen . awasan kualitas obat; apoteker melakukan kontr l
kualitas obat secara analitik, biologis, rnikrobiologis, fisika , da
kimia.
b) Bidang KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) obat:
• Memberikan informasi mengenai obat bagi yang
memerlukannya.
• Mengevaluasi dan membandingkan obat-obatan yang
tergolong dalam satu kelompok f armakologis.
• Membantu para dokter dalam pemilihan obat yang rasional
dan efektif.
• Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang
farmasi.
• Membuat sistem informasi yang dapat diakses secara oniine
untuk lebih meningkatkan perolehan inf ormasi obat dengan
cepat .
• Mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang fa rm si .
• Memf asilitasi dan me d
n orang tersusunnya standar pengoba
dan formularium rumah sakit

Peran dan Fungsi Apoteker d'1 p k


us esmas
Apoteker juga dapat melak
d .. . . . sanakan pekerjaan kef armasian di puskesmas
engan meng1kut1 standar pel . . . . .
meningkatkan rnutu . l ayanan kef armasian' yang bertuj uan untuk
. pe ayanan kef ar ·. . .. . rn
bag1 tenaga kefarrna . · mas,an, men1am1n kepast1an huku
s1an, serta mel . . . .
mdung1 pasien dan masyarakat dan
f";, ..... . ,..: : ... ,• f • ; • .. . • • • # • • .·' •

• •• ✓- • ~ ' - ·:. ~,,; - .- • : . ; ··l e.iz··b.~


sama~-Y:im?Kesehcit~··.·
.:-- ~ ~:. ~- -__.'/ ~~ ~ ~/:'".-:·.~:,..j.;.:.:,-.~·~"'-!.,l,,.J

e gg naan obat yang tidak rasional dalam


a ga e jamin paUent safety. Standar
aya an kefarmasian di puskesmas, meliputi
sta dar pengelolaan sediaan f armasi dan Bahan
is Habis Pakai (BMHP), dan pelayanan
fa . as · ktinis. Pengelolaan sediaan farmasi
an BMHP, meliputi: perencanaan kebutuhan,
per ·ntaan , penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pengendalian, pencatatan,
pe aporan, pengarsipan, serta pemantauan
a eva{uasi pengelolaan. Pela ya nan farmasi
rn·s meliputi pengkajian resep, penyerahan obat, dan pemberian
i formasi obat, Pelayanan lnformasi Obat (PIO), konseling, ronde/visite
pasien (khusus puskesmas rawat inap), pemantauan dan pelaporan efek
samping obat, pernantauan terapi obat, dan eva[uasi penggunaan obat
Kementerian Kesehatan RI, 2016c).
,,
.. i~~ .,:i-'\ ,
f.-: ~/t 1,' -1 , ,

,,
1 t '; I I

REFERENSI
t'cal Federation (FIP) . 2015. lnt erprofessionat
text: Global Report 2015. https:! / Www_ ~
1
International Pharrnaceu
Education in a Pharmacy Con ; JP.
. Education //PE_report I Fl PEd_l PE_report_io 15
org!fi lesl fi p!Pharmacy -
web_v3.pdf. 20 Mei 2018.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun
2016 5t0 hdar Pelayanan
Kefarmasfan di Rumah Sa kit. 2016b. Kementerian Kesehatan Republi
Indonesia . Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 S,t andar Pelayanan


Kefarmas;an di Apotek . 2016a. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta .·

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2016 Standar Pelayanan


Kefarmasian di Puskesmas . 2016c. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Pekerjaan


Kefarmasian. 1 September 2009. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta .

Radji, M. 2017 • Arah Pendidikan Farmasi di Masa Depa·n . Medisina 27(7) : 46- 49 ·

Thamby, S. A. dan P. Subramani. 2014. Seven-Star Pharmacist Concept of wo rld


Health Organization J l
· ourna of Young Pharmac;sts 6(2): 1-3 .
World Health Organization. 1997. The Role of The Pharmacist in The Health
Care System: Preparfn Th nt.
w ld . g e Future Pharmacist: Currkular Developme
or Health Organization G
• eneva.
FILOSOFI DAN
PERAN PERAWAT
Hanny f-landiyani & Sigit Mulyono

A. SEJARAH DAN FILOSOFI PERAWAT

Keperawatan di dunia berkembangsejakzaman purba, zaman keagamaan


permulaan masehi, permulaan abad XVI, masa sebelum perang duni a
II, masa perang dunia II, masa pascaperang dunia II, dan sejak tahun
1950. Perkembangan keperawatan di zaman purba diawali dengan
kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang mempengaruhi kehidupan
manusia. Kala itu, ada kelompok wanita tua dan janda yang membantu
tabib dalam merawat orang sakit. Pada zaman keagamaan , kuil menjadi
pusat perawatan dan perawat dianggap sebagai budak dan mendapa
penghargaan yang rendah. Pada masa permulaan masehi , keperawa
mengalami kemajuan seiring dengan pesatnya perkembangan aga
Pada masa itu juga terbentuk organisasi wanita yang bertug
. g1· orang sakit (Budiono, 2016) .
mengunJun

berkembang dengan diterapka n.y . rj


r
Keperawatan
. rti kebersih an dirt , ma - nan, fr, , Li g un an
keperawatan sepe .. .
. 'k . tkanSittRufaidahd JJaz1r hAr -b P
0

-beturn
sepert1 yang di ena · · •
. . mlah tenaga pera t - - k . , np · P nd ·dikan
dun1a II, JU -
perang gang dan mencontoh "model p r ·n". Saat Perang
formal, dan hanya ma -
Krimea ( 185471856) munc;:ullah Florence Nightingale yang mengajarkan
pentingnya pendidikan untuk perawat, pengaturan jam kerja perawat,
dan m~mpertimbangkan pi;ndapatan perawat. Saat itu didirikan Sekolah
Perawatan dengan nama N;ghtingale Nurs;ng School (Hudiono, 2016).

Tantangan keperawatan berkembang saat memenuhi kebutuhan


masyarakat sela-ma perang dunia .II. Padq tahun 1948 perjuangan untuk
memperoleh pengakuan atas profesi perawat dim!,Jlai. Selanjutnya pada
-~ \n~
tahun 1955, Lidya Hall, mendeftnisikan keperawatan sebagai sebuah
:~ung,
proses yang meliputi pengkajian , perumusan diagnosis keperawatan,
... ·nan
peren~anaan, pelaksanaan; dan evaluasi. International Council of
Nurses (ICN) pada tahun 1973 menj.abarkan ftmgsi unik perawat dalam
memberikan perawatan kepada individu, baik y_
ang sehat maupun sakit,
dengan cara membantu individu melakukan berbagai aktivitas yang
berkontribusi terhadap kesehatan, pemulihan, maupun saat menghadapi
kematian. Perawat membantu individu melakukan upaya-upaya tersebut ·· .era11
sampai individu dapat melakukannya secara mandiri secepat mungkin
(Budiono, 2016). Sejak saat itu ilmu keperawatan semakin berkembang.

Keperawatan merupakan ilmu pengetahuan dan seni. llmu pengetahuan


keperawatan merupakan ilmu keperawat_
an yang terus berubah seiring
, nva sE
penemuan baru dan inovasi. Sedangkan seni dalam bi dang keperawatan . 1
tor 1,
berupa pemberian perawatan dengan kasih sayang, perhatian, dan 'I\I

rasa hormat terhadap harga diri klien. Hal-hal tersebut dilandasi oleh
asas perikemanusiaan, nilai ilmiah, etika dan profesionalitas , manfaat,
keadilan ' pel ind ungan, serta kesehatan dan keselamatan kl1en.
.

Perawat sebagai . . pada


L suatu profes1 d1 Indonesia baru dicanangkan
okakarya Keperaw t h . l anan
ke a an ta un 1983 d1 mana rumusan bentuk pe aY
Perawatan disepak . . d [arTl
Pasal 1 u d ati · Saat mi rumusan terse but telah tertuang a
n ang-Undang RI N0 3 tan,
• 8 tahun 2014 tentang Keperawa
l • • • ., t• . •. ~- ,

~....,-~=·~.· '. ·. .;'{~i,)~\.;;\)r;:i · ,.•,, c .

yaitu pelayanan keperawatan sebagai


suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan
kesehatan yang didasarkan pada ilmw
dan kiat keperawatan, yang ditujukan
kepada individu, keluarga, kelompok,
atau masyarakat, baik sehat maupun
sakit. Bentuk pelayanan yang diberikan
adalah asuhan keperawatan, yaitu
rangkaian interaksi perawat dengan klien
dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan
kemnndirinn klicn dolam mcrawat dirinya (Budiono, 2016).

B. PERAN PROFESI PERAWAT

Peran perawat merupakan representasi dari kemampuan berpikir dan


bertindak seorang perawat dalam menerapkan filosofi keperawatan.
Filosofi berhubungan kuat dengan . nilai dan kepercayaan seseorang,
sehingga menjadi acuan dalam berperilaku atau berpikir (Bruce et al.,
2014). Filosoft tersebut menjadi dasar bagi perawat dalam menjalankan
perannya secara profesional baik sebagai pemberi pelayanan, advokat.,
edukator, komunikator, dan manajer.

1 .. Peran Perawat sebagai Pemberi Pelayanan


Perawat memiliki peran untuk membantu individu men.capai
kesejahteraan maksimal. Kesejahteraan maksimal ditandai dengan
terpenuhinya kebutuhan dasar individu yang meliputi kebutuhan
. l · 'kologis , sosiologis
• , kultural, dan spiritual . secara
b10 og1s, ps1 . .
. . p tt dan Perry 2009). Perawat membantu md1v1du
mand1n ( o er '
. k · hteraan melalui asuhan keperawatan yang
mencapa1 eseJa
bersifat promotif, preventif' kuratif' dan rehabilitatif (Rosdaht
dan. Kowalski, 4008).

2. Peran Perawat sebagai Advokat


Peran advokat dari perawat.yang paling utama adalah melindungi
hak-hak klien. Perawat ha_rus memberikan bantuan dalam
m~negakkan hak klien (Pott~r dan Perry, 2009). Wujud nyata dari
advokasi adalah memberikan p~njelasan pada klien dan keluarga
agar mampu mem_
b!-:!at kep1.,Jtusan rnengenai suatu terapi (Potter
dan Perry, 2009). Prose~ advokasi harus disesuaikan dengan budaya
dan agama klien. Setain itu, perawat juga harus memastikan klien .•

mempero~eh perawat~n yang sesuai (Rosdahl dan Kowalski, 2008). -_i... ·:r~_.,:
. ·-:

3. Pe.ran Perawat -sebagai Edukator dan Komunikator


Peran edukator meliputi penjelasan konsep, fakta kesehatan,
demonstrasi prosedur, perbaikan tingkah laku, dan evaluasi (Rosdahl
dan Kowalski, 2008). Pembelajaran dapat bersifat formal dan
wata
informal. Pembelajaran informal terjadi saat perawat menjawab
rato
pertanyaan klien seputar kesehatan. Sedangkan pembelajaran
asa,
formal bersifat terencana da·n terjadwal dengan baik (Rosdahl
. da kli1
dan Kowalski, 2008). Perawat sebagai komunikator memiliki peran
untuk secara rutin berkomunikasi dengan pasien dan keluarga , ' kala~
profesional lain, narasumber, dan masyarakat (Potter dan
Perry, 2009). Salah satu bentuk komunikasi adalah dokumentasi
keperawatan dan laporan. Dokumentasi merupakan bentuk
komunikasi tertulis yang mencakup rencana perawatan, tindakan
yang telah dilakukan, dan respons klien (Rosdahl dan Kowalski,
200B). Kornunikasi dalam bentuk laporan dan dokumentasi yang
kontinu sangat penting untuk mencapai pelayanan kesehatan yang
maksimal (Rosdahl dan Kowalski, 2008).
4. Perawat sebagai Manajer

. manajer berperan untuk menciptaka n t·tng kungan


Perawat sebagai
yang kolaborattf untuk mencapai tujuan pelayanan yang berkl.lalitas
dan memiliki hasil yang baik. Manajer berperan dalam mengatur
kebijakan, unit, mengevaluasi performa unit dan standar praktik
keperawatan profesional, serta mengembangkan staf (Potter dan
Perry, 2009).

Potter dan Perry (2009) mendefinisikan bahwa


seorang perawat dalam tugasnya harus berperan
sebagai pemberi asuhan keperawatan langsung,
kolaborator, pendidik, konselor, advokator,
agent of change, dan peneliti. Keperawatan
langsung artinya perawat mempunyai peranan
dalam melaksanakan asuhan keperawatan
dimulai dari pengkajian, penetapan tujuan dan
kriteria hasil keperawatan, penetapan diagnosis
keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi keperawatan.
Kolaborator artinya berperan sebagai anggota tim yang harus dapat
bekerja sama dengan anggota tim kesehatan lainnya demi pelayanan
kepada klien (pasien dan keluarga). Pendidik merupakan peran yang
tidak kalah penting, di mana seorang perawat harus mampu menjadi
edukator kesehatan untuk klien. Konselor artinya sebagai tempat
bertanya dan tempat berkonsultasi; untuk menjadi peran konselor ini
seorang perawat perlu mempunyai ilmu dan pengetahuan . Advok,ator
artinya seorang p,e rawat han..1s menjadi pembela terkait kualitas dan
pelayanan kepada klien yang dapat dipertanggungjawabkan. Agent of
change diarahkan pada perubahan yang baik dimana seorang perawat
harus mampu menjadi leader dalam perubahan untuk meningkatkan
pelayanan keperawatan. Sedangkan sebagai peneliti seorang perawat
harus mampu mengembangkan ilrnu dan pengetahuan sesua'i bukti ilmiah
yang di.temukan melalui riset-riset keperawata-n.

Seorang perawat memil,iki 12 kompetensi dasar sebagaimana Yang


ditetapkan oleh Per,sptuan PeraWiat Nasional lndonesi~ (Asosiasi lnstitusi
Pendidikan Ners Indonesia, 2011 ), yaitu:
1. Kemam_puan dalam pemeriksaan fi-sis;
2. -Prosedur pemberia.n obat sec.ara 12 benar;
3. Pemberian oksigen, suction, nebulisasi,
fi_s ioterapi dada, dan postural drainage;
4. Prosedur pemasangan infus dan jalur enteral;
5. Prosedur pemasangan kat eter urin;
1

6. Prosedur pemasangan selang nasogastrik;


7. Prosedur pencegahan cedera;
8. Resusitasi jantung paru;
9. Perawata-n luka;
10. Pemberia-n transf usi dar?}h dan prodvknya;
11. Prosedur pencegahan infeksi; dan
12. Kemampuan pendokumentasian dan pelaporan.

Meruj,uk pada berbagai uraian di atas, jelas bahwa perawat dalam


pelayanannya mempunyai ciri khas tersendiri. Perawat bukan
pelaksa-na pengobatan ataupun pembantu medis dalam memberi
pengobatan, melainkan pemberi perawatan, melakukan kegiatan
promosi, pemeliharaan, pemulihan, pemenuhan kebutuhan manusia,
meningkatkan kemandirian, dan membantu mempertahankan kualitas
hidup baik di tatanan rumah sakit, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
REFER EN SI

Asosiasi lnstitusi Pendidikan Ners Indonesia. 2011. Standar Pend;d;kan Ners.


Kementerian Penqidikan Nasional. Jakarta.

Bruce, A., L. Rietze, dan A. Lim. 2014. Understanding Philosophy in a Nurse's


World: What, Where and Why?. Nurs;ng and Health 2(3): 65-71 .

Budiono. 2016. Konsep Dasar Keperawatan. Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia. Jakarta.

Potter, P. dan -A. Perry. 2009. Fundamental of Nursing. Edisi ke-7. Elsevier.
Singapore .

Rosdahl, C. B. dan· Kowalski. 2008. Textbook of Basic Nursing. Edisi ke-9 .


Lippincot William and Wilkins. Philadelphia.
.;.
rt.
89

FILOSOFI DAN PERAN


AHLI KESEHATAN
MASYARAKAT
Dian Ayubi & Evi Martha

A. SEJARAH DAN Fl LOSO Fl AHLI ·KESEHATAN


MASYARAKAT

Disiplin kesehatan masyarakat di Indonesia awalnya dikembangkan


oleh para dokter dan pemerhati kesehatan, baik yang bekerja di
pemerintahan maupun di masyarakat. Program "Bandung Plan" pada
tahun 1951 menetapkan asumsi dasar bahwa dalam pelayanan kesehatan,
aspek kuratif yang memusatkan pada pendekatan pelayanan kesehatan
perorangan harus digabungkan dengan aspek promotif preventif yang
mengandalkan pelayanan kesehatan masyarakat. Dengan demikian,
lingkungan fisik dan non fisik harus mendapat perhatian yang sama dan
menjadi satu kesatuan dalam program. Pada tahun 1965, berdirilah
Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia, yang pertama
· di Indonesia.

Kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni mencegah penyakit,


memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan dan efisiensi melalui
upaya-upaya ~asyarakat yang terorganisasi meliputi sanitasi lingkungan,
pengendalian penyakit infeksi, pendidikan kesehatan individu, serta
organisasi pelayanan kedokteran dan keperawatan untuk diagnosis dini,
bangan sosial yang menjamin standar
akit, dan pengem .
encegahan penY . t· p· individu datam masyarakat agar mampu
P..: n cukUP pag1 se 1a .
H,1dup YP g · . . katkan kesehatan (6ould1n, 2010).
meme {1·har::a
.•
dan menmg
· ·
.

lkatan Ahli Kesehatan


. . ·kesehatan rnasyarakat menurut
Defims1 , . . .
_t Indonesia (IAKMJ) dan_ Asos1as1 lnst1tut Perguruan Tinggi
Masyara ka · ,
Kesehatan Masyarakat Indonesia (AtPTKM·I) adalah kombinasi dari ilmu
an~ moral, dan etika yang diara_hkan pada upaya
pengetahuan, keteraropH_
pemelih_araan dan peningkatan kesehatan semua orang, ·memperpanjang
hidup melalui tindakan kolekti.f atau tindakan sosial untuk mencegah
penyakit, dan memenuhi kebutuhan m_er;iyeluruh dalam kesehatan
·deng_an menggunakan strategi pemberdayaan masyarakat untuk hidup
sehat se.cara. .mandiri.
~ '

Dua unsur inti kesehatan masyarakat yaitu:


(1) meryi_
usatkan perhatian pada kesehatan
.atas ma~yarakat sebagai sasaran tindakan ,
dan (2) rnelakukan berbagai bentuk intervensi
yang memerlukan tindakan dan partisipasi
banyak oran~ (umumnya dikoordinasikan oleh
pemerintah atau perwakilannya) (Dawson,
2009). Terdapat tiga fungsi kesehatan
masyarakat berdasarkan Institute of Medicine
pada 1988 (Chacko dan Chacko 2010) yaitu
pengkajian masalah ' pengem bangan kebijakan
· kesehatan ' masyaraka t '
dan pe · ·
11Jam1nan berlang~ungnya kegiatan/program.

Erin D. Bouldin (201 0) · l h


keadil . . . menJelaskan filasofi kesehatan masyarakat ada a
an s0s1al, fokus pad . sial
adalah b a populas 1, dan pencegahan. Keadilan so
se uah gagasan bahw 9 daP
program da semua orang harus memiliki akses terha
n pelayanan kes h tikan
e atan yang sama tanpa memerha
kondisi sosialnya. Kesehata
. n rnasyarakat
memoenkan manf aat bagi keb . rnenerapkan program yang
anyakan m ·
dan air bersih. Kebutuhan pop l . asyarakat seperti imunisasi
u as1 rnenj d'1 k
keputusan. · a unc; dalam pengambilan

Kesehatan masyarakat juga berperan dalarn


mengindentifikasi f aktor risiko lalu be ·
· rupaya
menghilangkan atau memimalisir f aktor risiko
tersebut, sehingga populasi tercegah dari
penyakit. Selain itu, kesehatan rnasyarakat
menekankan pada bagaimana rnemelihara
kesehatan. Kesehatan dipandang sebagai
p
keadaan yang dipengaruhi oleh oerbagai aspek
yaitu sosial, budaya, lingk,,.mgan, perilaku, serta
dikaji secara multidisiplin dan multisektoral.

.n Inti keilmuan kesehatan masyarakat menu rut Bouldin (2010) ada lima,
1,
yaitu: d
. 'l yang mempelajari determinan an
• Epidemiologi, ya,tu 1 mu

distribusi tingkat kesehatan. d' kan alat untuk memahami


Biostatistik, keilmuan yang menye ,a

t masyarakat.
0, data kese h a an · kan keilmuan yang fokus pada
. . kungan rnerupa
• Kesehatan Ung ' hadap kesehatan .
1. ajanan ter
dampak berbaga P kan keHmuan yang fokus pada
i laku' rnerupa
• llmu Sosial dan Per
. . dampak faktor e
ksternal terhadap kesehatan ,
faktor indwtdu dan · sosial
l ' gkungan .
terutama pengaruh rn ha tan' merupakan keilmuan yang
·emen Kese ..
• . • kan dan ManaJ ·
Ke b 11a k ehatan dan keb1Jakan pada
layanan es .
da isu akses pe emerintah dan baga1mana
f okus pa anisasi a tau P '
berbagai jenjang org k pada kesehatan.
t berdampa
kebijakan tersebu
...0
jelas bahwa
tidak hanya

metode pemberdayaan masyarakat untuk ikut


mengatasi faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap masalah kesehatan. Dengan demikian p~ran profesional
abli keseha.tan masyakarat dalam berbagai bidang lingkungan fi.sik,
lingkungan sosial, lingkungan kerja, sistem informasi dan perilaku, serta
gizi merupakan kebutuhan yang ti dak t erelakkan.

B. PERAN AHLI KESEHATAN MASYARAK.AT

Untuk dapat melaksanakan tiga fungsi kesehatan masyarakat di atas


maka pelayanan yang harus dapat dilakukan oleh ahli kesehatan
masyarakat, sebagaimana dirumuskan oleh Center for Disease Control
and Prevention (2014), adalah:
1. Memantau status kesehatan untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan atau kondisi lingkungan yang berbahaya;
2. Mendiagnosis dan menyelidiki masalah · k~sehatan dengan
mempelajari kondisi lingkungan atau perilaku di masyarakat yang
rnenjadi faktor risiko terjadinya suatu penyakit;
3 · Menginformasikan, rnendidik, dan memberdayakan pe nd uduk
,seputar
. persoalan kesehatan.,·
4. Menjalin kemjtraan dengan m~syarakat untuk mengidentifikasi
dan menyelesaikan masalah kesehatan.
'
·_ 93

· akkan hukum dan peraturan yang melindungi kesehatan dan


,e jam·n keselamatan·
'
6. enciptakan sistem rujukan yang dapat menjamin pemberian
tayanan kesehatan dalam kondisf ketidaktersediaan layanan;
7. Menjamin tenaga kesehatan yang bekerja di masyarakat memiliki
kompetensi yang tepat dan sesuai;
8. Mengevaluasi efektivitas, keterjangkauan, dan mutu layanan
kesehatan baik perorangan maupun masyarakat; dan
9. Melakukan penelit1an untuk mencari wawasan baru dan solusi yang
inovatif terhadap masalah kesehatan.
RUJUKAN
. d Development of Public Health. Dalam Pub['
B ldin E D 201 o.
H1story an · IC
ou ' · · d . . Concepts dnd Theories. Editor L D. B. E. Andresen
fleath Foµn atrons. .
Jossey-Bass. San Fransisco.
Center for Disease Control and Prevention. 2014. The 10 Essent;a[ Publk Health
Services: An overview. Center for Disease Control and Prevention.

Chacko, L. R. dan s. A. Chacko. 2010. Modern public health systems. Datam


Publfc Heath Foundations: Concepts and Theories. Editor E. D. B. E.
Andresen. Jossey-Bass. San Fransisco.

Dawson, A. 2009. Introduction : The Philosophy of Public He_


alth. Dalam The
Philosophy of Public Health . Editor A. Dawson. Asghate Publishing
Limited. Surrey, England.

lkatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) , Asosiasi lnstitusi Pendidika.n Tinggi


Kesehatan Masyaraka t Indonesia (AIPTKMI). 2012. Naskah Akademik
Pendidikan Kesehatan Masyarakat. IAKMI. Jakarta.
MANAJEMEN
KONFLIK DAN
KEMARAHAN
Rita Mustika & Dian Ayubi

~onflik merupakan sesuatu yang nyata


terjadi pada setiap organisasi. Potensi
<onflik semakin tinggi pada organisasi
pelayanan kesehatan karena organisasi
ini berurusan dengan isu kehidupan
:lan kematian seseorang. Pekerja pada
:>rganisasi pelayanan kesehatan dituntut
untuk memiliki keahlian baik teknis maupun
hubungan antarmanusia. Organisasi
pelayanan kesehatan sangat rentan terhadap efek negatif konflik.
0rganisasi pelayanan kesehatan merupakan sistem yang kompleks dan
memiliki pekerja dengan berbagai latar belakang keilmuan (Sportsman

dan Hamil ton, 2007) •

Ada dua pandangan dalam menyikapi konflik yang terjadi. Pertama,


flik sebagai sesuatu yang negatif di mana konfll'k k
meman d ang kon a an
menghamburkan tenaga, menurunkan semangat kerja, memecah
. rnerusak kerja sama, menimbull<an rasa saling cur1·ga d
belah t1rn, . , an
bersifat kontraprodukt1f. K~dua, memandang konflik sebagai sesuatu
yang pos;t;f d; rnana konf11k dapat membuat permasalahan menjadi
. . l't pemecahan masalah, meningkatkan
. memperba1k1 kua 1 a5
lebih Jel~s, b 'kan kesempatan berkomunikasi spontan
. ggota mem en ,
keterl1batan an ' . l 2012)
dan meningkatkan produkti-vitas (Greer et a . ' .

. t rdiri dari 5-1 O orang yang berkolaborasi untuk


5ebuah t1m, yang .. e .
. . t tuJ·uan tertentu seperti halnya t1m kesehatan, rentan
mencapa1 sua u , , '
tedibat konflik. K©nflik tidak dapat dihindari, namun demikian tidak
sernua konflik selalu memberi dampak negatif. Konflik yang dikelola
dengan t;,aik dapat memberi" dampak positif. Oleh karena itu, anggota tim
kesehatan yang ber~olaborasi perlu menguasai kemampuan mengelola
konflik {Sportsman dan Hamilton, 2007).

A. DEF INIS I DAN TI PE KO NFL I K-

Konfl'ik dalam tim yang berkolaborasi dapat didefinisikan sebagai


ekspr_esi perteotangan keb~tuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan
internal maupun eksternal dart. anggota yang berpda dalam tim (Greer
et al., 2012). Defini~i lain menggambarkan konflik sebagai perasaan
perlawanan di ahtara dua atau lebih individu yang sal ing ketergantungan
atas perbedaan keyakinan, nilai, dan tujuan, atau perbedaan atas
keinginan untuk mengendalikan, status, dan afeksi. Pengertian yang
lain, konflik adalah pertentangan antarindividu karena berbagai
penyebab perbedaan. Konflik merupakan hubungan antara dua pihak
atau le,qih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa
rnemiliki sasaran yang tidak sejalan. Konflik dapat disebabkan setiaP
-orang rnemiliki sejarah dan kar~kter yang unik setiap orang dilahirkan
dan d1besarkan d l . ' •[iki
. · a am lmgkungan yang berbeda, setiap orang memi
cara h1dup tertentu b . . . . . • · ang
yang ~rvanas1, dan setiap orang mem1l1k1 mlai Y
mem-andu p1'k•1ran dan ·:t ntar
manus· . . pen aku. Saat berinteraksi perbedaaan a
ta m1 dapat m b . '
' enye abkan konflik (Greer et al., 2012).
sumber konflik dapat berasal dari seluruh k
· spe trum kebutuhan manusia
Mulai dari kebutuhan untuk bertahan hid11p sa .k ·
.,. mpa1 epada pembentukan
identitas personal. Penelitian yang dilakukan Mayer f l 'k
• mem ormu as1 . an
bahwa terdapat 5 (lima) penyebab konflik terbanyak, yaitu komunikasi·,
emosi, nilai, struktur, dan sejarah. Kegagalan komunikasi seringkali
berupa kegagalan yang di:~ebabkan oleh pembawa pesan, pesan yang
disampaikan, maupun pe·nerima pesan. Emosi dapat menentukan
perilaku seseorang, dalam kondisi emosional sebuah konflik kecil dapat
saja tersulut menjadi besar. Emosi seakan-akan menjadi bahan bakar
konflik. Pengelolaan konflik sangat dipengaruhi oleh pengelolaan emosi.
Nilai merupakan sesuatu yang mendasari pengambilan keputusan, oleh
karena itu konflik dapat timbul karena adanya keputusan berbeda yang
didasari oleh nilai yang berbeda pula. Struktur ·atau sistem juga dapat
menyebabkan konflik, dan terkadang konflik baru dapat diselesaikan
dengan melakukan perubahan sistem. Sebab lain yang tersering adalah
sejarah yang mengacu pada latar belakang orang yang terlibat konflik
dan tempat terjadinya konflik (Harolds dan Wood, 2006).

Wall et al. (1992 ) menggolcmgkan terjadinya konflik berdasarkan


rosedur Area tujuan merupakan golongan
area tujuan, peran, d an P ·
k gagalan suatu organisasi atau kelompok
konflik yang mencakup e .
. . . ang jelas. lndividu membuat asums1
dalam menetapkan tuJ uan Y· . . . . .
. tuJ·uan yang mgm d1capa1. Perbedaan
·mana seharusnya
tentang b aga1 mbawa konflik. Area peran
. . d'1 1"du tersebut dapat me .
asums1 antann v l' ti kegagalan anggota tim dalam
konflik yang me ,pu
merupakan golongan . sedur mencakup kegagalan dalam
. . 151
. . eran. Area pro
menyepakat1 defir:t P . . diselesaikan.. Umumnya, prosedur
..1 na pekerJaan
menyepakati baga ma . . l h organisasi berupa prosedur formal
d'defims1kal'l
1 oe
sudah secara jelas . atas prosedur formal dan informal
. l Kebmgungan
dan prosedur 1nforma ·
k n konflik.
dapat memuncu l a
· · . d. l h berdasarkan tipe konflik (Greer et al
· n lam a a a. . · ·,
Pen~golo~gar, yq. ~ konf,lik relasi dan konflik proses. Ketiga tipe
201-2) ya1tu: kont11k tugas,
konfH~ ini dijelaskan sebagai berikut:
1 Konftfk Tuga~
· . dalah tipe konflik terkait muatan dan luaran dar,·
Konfl1k tugas a
·selesaikan oleh tim, misalnya pertentangan tentang
tugas yan g dl ..
strategi atau tujuan yang akan dicapai.
2. KonfJik Relasi
Konflik relasi adalah tipe konflik ter~ait pribadi anggota tim,
misalnya perbeqaan nilai atau cara masing-masing anggota tim
dalam menyel~saikan tugas tim.
3. Konflik Proses
Konflik proses_ adalah tipe konflik terkait isu logistik suatu
penugasan, misalnya pertentangan tentang cara mendelegasi
'
tanggung jawab atau penent.uan waktu koordinasi.

Un-tuk memp~rdalam pemahaman tentang penggol.ongan konflik, di


bawah ini terdapat ilustrasi -kasus yang dapat digl;Jnakan.
.
Pada kasus di atas, tipe konflik yang terjadi adalah konf\ik r e las1. dan
er esan
konflik proses. Konflik relasi muncul dan cara komunikasi yang t k
mater
seperti atasan dan bawahan di antara ketua panitia dan koord .
bidang perlengkapan. sedangkan konflik proses terjadi karena bidan
transportasi mengambil alih pekerjaan bidang perlengkapan secar:

terpaksa.
. bagi keberhasilan tujuan
d ak negat1f . . 'f . 'k
Konflik secara umum ber amp · . ikan dampak pos1t1 Jl . a
. . . at s.aJa member . .
kotaboras1 t1m. Kc:>nfl1k tugas dap . gota tim mend1skus1kan
. . . 'l 1'h membuat ang
pertentangan strateg1 yang d,p, ' · l bih mendalam. Namun
. tim secara e
fungsi masing-masmg anggota untuk meluas menjadi
'l 1'k'1 kecenderungan
demikian, konflik tugas meml b . dapat menjadi lebih
. . . p ses kola oras1 .
konfhk ret;is1 maupun proses. ro . . d peran anggota tim.
fk 'f d ft . d gan memast1kan f ungs1 - an
efe t1 . ?ln e s1en en . d l h konflik relasi
. .
Secara umum t1pe konfl1k yang tersu . . lit d1kelola a aa
(Greer et al., 2012).

B. TAHAPAN MANAJEMEN KONFLIK


Konflik dapat memberi dampak positif jika dapat
dikelola dengan · baik. Pengetahuan tentang
- tahaµan manajemen konflik dapat membantu ti'm
untuk mengatur strategi. penyelesaian konflik.
Secara umum terdapat 3 tahap manajemen
konflik, yaitu (Overton and Lowry, 2013 ):

1. Tahap 1: Kesepa~atan

Pada tahap ini kedua belah pihak yang berkonflik menyepakati


bahwa konflik yang terjadi perlu ditemukan penyelesaiannya pada
saat itu. Penentuan perlu tidaknya sebuah konflik diselesaikan
\

adalah dengan mempertirnbangkan keuntungan dan kerugian


proses penyelesaian konflik.

2 • Tahap 2: Persiapan
Pada tahap ini, pihak yang berkonflik perlu menentukan sebab
dan jenis konflik yang terjadi, memahami poslsl masing-
masing, mengumpulkan data terkait konflik yang terjadi,
I' . '

mempertimbangkan mot' . d
1vas1
an sasaran yang ingin d' .
menentukan intensitas konflik dan d . 1capa1,
. . .- , menya an respons emosi yan
terJad1 pada pihak-pihak yang berkonflik. g

3. Tahap 3: Melakukan Pembicaraan


Pembicaraan dimulai dengan mencoba menetapkan aturan
dasar (ground rules) lalu mencoba memahami apa yang terjadi,
dilanjutkan dengan . mendengarkan pandangan dan pendapat
dari pihak-pihak yang berkonflik. Setelah kedua belah pihak
menyampaikan pandangan dan pendapat mereka lalu masalah
dapat didefinisikan, pihak ynng berkonflik dapat melakukan
brainstormf ng untuk mencari alternatif pemecahan masalah dan
mendiskusikan pemecahan masalah yang dapat disepakati oleh
semua pihak. Dalam menentukan pemecahan masalah perlu dicari
ka~ kesamaan dan kompromi yang dapat diterima semua pihak, lalu
t~~/ ditutup dengan menentukan rencana tindakan yang akan dilakukan.
ban~~
n~~
Tahapan manajemen konflik yang dilakukan perlu memastikan terciptanya
lingkungan yang aman. Lingkungan yang aman adalah lingkungan yang
~;f membuat setiap orang yang berada didalamnya merasa dihormati
~3): dan diperlakukan dengan adil, terbangun rasa saling menghormati,
dan memiliki tujuan bersama. Selain itu, pihak-pihak yang berkonflik
Perlu saling berempati, tidak bersikap menghakimi, dan menggunt1kt1n
keterampilan mendengarkan semaksimal mungkin (Overton dan Lowry,
2.013).

5ecara umum konflik harus diselesaikan, jika tidak terselesaikan konflik


::lapat menimbulkan berbagai akibat dalam rentang yang ringan sampaf
:lerat. Cara terbaik menangani konflik dalam tim, adalah sebagai berikut
[Scholtes et al., 1996):
1. Antisjpasi dan cegah per_masalat)an sese_gera mungkin
Permasalahan dapat dicegah atau diantisipasi jik-a kelompok lebfh
banyak menghabiskan waktu untuk mengembangkan diri sebagai
sebuah tim. Kelompok saling m~r:igenal satu sama lain, menetapkan
aturan dasar, dan mendiskusikan n9rma untuk perilaku kelompok.

2. Pikirkan setiap masalah sebagai p.ermas~lahan kelompok


Secara alamiah; ketika terjadi permasalahan anggota kelompok
cenderung m~nyalahkan ~nggota lainnya, padahal sejatinya setiap
permasalahan terkait dengan sistem, bukan individu. Banyak
permasalahan muncul karena kelompok membiarkan hal tersebut
terjadi dan bahkan mendorongnya. Sebaiknya kelompok diarahkan
untuk rnengembangkan perilaku konstruktif untuk menangani
setiap permasalahan.

3. Tidak bereaksi berlebihan oan -tidak juga tanpa reaksi


Beberapa p,erilaku dapat membu.at gang_guan dalam waktu singkat
terhadap perkembangan kelomppk! Perilaku tersebut dapat
bersifat kronjs dan terjadi berulang-ulan~. Pemimpin kelompok
harus menanggapi- secara tepat keseriusan permasalahan.
Pemimp.in yang berpengalatnan mampu mengembangkan berbagar
respons sesuai dengan jenis permasalahan yang muncul.

C. GAYA MANAJEMEN KONFLl·,K


Konflik dalam tim harus dikelola dengan baik, jika tidak dikelola dengan
.
b a1k . . k rnbang
maka konfl1k yan,g awalnya t1dak terlalu fatal dapat ber e .
menjadi konflik yang berakibat buruk bagi tercapainya tujuan tirn•
1i . 5alah
erdapat beberapa gaya manajemen konflik dalam kolaborasi tirTl•
. . 8 dalarll
satu penggotongan yang d1lakukan oleh Thomas dan Killman 197 ·
tulisan Sportman dan Hamilton adalah, sebagai berikut (Sportsman dan
Hamilton, 2007):

1. Gaya Menghindar (Avoiding)


Gaya ini tidak mengusahakan penyelesaian konflik, melainkan
menghindar dari konflik sambil mencari waktu yang lebih
baik untuk menyelesaikannya. Gaya ini tidak asertif dan tidak
:elom~ kooperatif. lndividu cenderung pasif dan tidak mengakui adanya
lgijoi~~ konflik. Mereka lebih memilih mengabaikan konflik dan tidak ingin

l seJati~ konf rontasi secara langsung. Gaya ini bersifat kontraproduktif dan
sering membuat stres serta menimbulkan konflik lebih jauh.
indi~aij,~
rkann~I t~
2. Gaya Bersaing (Competing)
lom~OKij~ Gaya ini mengedepankQ.n keinginan untuk memenangkan diri sendiri
untuK ~ dengan menggunakan berbagai cara. Gaya ini mengedepankan
sikap asertif tetapi tidak kooperatif. Orang dengan gaya ini
dalam mendapatkan tujuannya berusaha mengendalikan atau
memengaruhi orang lain. Gaya persaingan merupakan strategi
menang kalah. Secara umum, gaya persaingan lebih banyak
menimbulkan efek negatif dalam penanganan konflik.

3. Gaya Akomodasi (Accomodating)


Gaya ini mengesampingkan keinginan pribadi dan memuaskan
keinginan pihak lain yang berkonflik. Gaya ini tidak asertif tetapi
kooperatif. Akomodasi dipilih untuk keluar dari rasa tidak nyaman
yang ditimbulkan akibat konflik. Gaya ini merupakan strategi
menang kalah. lndividu yang mengakomodasi orang lain akan
kehHangan kesempatan untuk mengekspresikan pendapat dan
perasaannya. Gaya ;ni dapat digunakan saat keharmonisan suatu
situasi menjadi tujuan.
•. (C·o·mpromising)
K mprom1 ·
4. Gaya o .
l ·
.. l n tengah atau so us1 yang dapat dite .
. . usahakan Ja a · nrna
Gaya m1 meng ., ~kipun t,dak sepenuhnya memua k
belah p1.hak, me . . . s an
kedua mi merup.akan t1t1k tengah d1 antara
k duanya. Gaya kompro . . . gaya
e . kornodasi. Gaya lnl menggunakan s1kap aserrt
persamgan dan a , 1
dan kooperatif secara ,parsial.

5. Gaya Kolaborasi (Collaborating)


Gaya ini mengusah.akan . kerja sama -dengan pihak lain untuk
mencapai penye.lesaian masalah yang dapat memuaskan kedua
belah pihak. Gaya i-ni mengedepankan sikap asertif dan kooperatif.
Gaya ini paling sulit dfraih, sehingga memerlukan waktu yang lama
untuk bekerja sama menemukan solusi yang memuaskan kedua
belah pihak.

Pemilihan gaya manajemen konflik yang sesuai kebutuhan dapat


meng~rangi dampak negatif konflik. Bahkan dengan gaya manajemen
konflik yang sesuai, kon.flik yang terjadi dapat memberikan dampak
positif. Misa-lnya, perbedaan pemahaman tentang peran profesi tim
kesehatan yang mengakibatkan konflik, jika dikelola dengan tepat dapat
membuat seluruh anggota tim mendapatkan pemahaman yang mendalam
tentang peran masing-masing dalam mencapai tujuan kolaborasi.

D. PENCEGAHAN KONFLIK
Konflik dalam tim k0 l b . cara,
a oras1 dapat picegah melalui beberapa
antara lain (Har ld . 01 )·
°
1 · Menyertakan l s dan Wood, 2006; Andrew, 1999; Ramsay, 2°
.
·
2. Memb se uruh anggota tim dalam tahap perencanaan, ·a
·· uat Panduan . . · n KerJ
anggota tim· yang bens1 kebijakan dan pembagia
'
3. Menyelesaikan setiap masalah . .. .
menginformasikan kepad yang muncul sekecil apapun dan
· a anggota tim· ·
4. Membuka akses komunika . '
s1 antar angg 0 t d . .
5. Menjadwalkan pertemuan t· . a an pimpman tim.
· ru in t1m·
6. Melakukan pelatihan keterampila~
. pengelolaan masalah, kerJ·a
sama t1m, dan komunikasi efektif·
7. Mempertimbangkan dengan sek
'
.. . . sama perubahan anggota tf m;
8. Mem1llh med1a mteraksi yang sesuai untuk seluruh tim·

.ain untt 9. Menyediakan kesempatan untuk mendapat um pan' balik dan


refleksi diri; dan
kan Ke~~
10. Menerapkan polake · ·
· pem1mprnan yang menimbulkan iklim
kooperatil,
optimisme dan kerja sama tim.
Jyang la~

skan Ke~~ Cara yang cukup efektif untuk mencegah terjadinya konflik adalah
dengan memahami mekanisme terjadinya konflik. Jika dipandang dari
sisi anggota tim, konflik banyak dipicu oleh kurangnya komunikasi,
perundungan verbal, perbedaan pilihan penatalaksanaan pasien, kritlk
yang bersifat destruktif, ekspektasi yang tidak mendasar, SARA (suku ,
agama, ras, antargolongan), dan kurang menghargai satu sama lain.
Sedangkan dari sisi pimpinan, pemicu konflik sebagai besar adalah
terlalu mengandalkan anggota tim sehingga pengawasan berkurang,
gagal memenuhi janji, gagal memenuhi tanggung jawab, dan tindakan
tidak sesuai dengan perkataan (Ramsay, 2001 ).

E. MANAJEMEN KEMARAHAN (ANGER MANAGEMENn


Kemarahan merupakan emosi dasar manusia, seperti juga takut, sedih ,
dan gembira. Seperti halnya emosi yang lain, kemarahan terjadi sebagai
respons terhadap stimulus baik dari luar maupun dari dalam, langsung
dan tidak langsung. Tempat kerja, termasuk didalamnya rumah sakit,
. . yang rentan menciptakan stimulus yanij, ~:lapat
merupakan s1tuas1 . d
. h Dalam suasana kerJa ter apat tekanan Yang
membangk1tkan kem?n~ an· .
rus relasi yang kompleks, dan berbaga1 hal Yang
berlangsung ten.1s n,ene ' · . · .
. . l bagai hal ini dapat menyebabkan konfllk yang pada
sullt d1kontro . 8er
. b . ng pada kemarahan (Gibson dan Tulgan, 2002).
akhtrnya eruJ4

Kemarahan sering kali terjadi juga dalam suatu kolaborasi tim kesehatan di 5
ternpat kerja. Meskipun budaya timur yang dianut Indonesia memandang ~
kemarahan sebagai suatu ekspresi yang perlu dihindari, tetapi tetap saja
kemarahan tidak dapat terelakkan . .Konflik antaranggota dapat den.gan p.

mudah rnenimbulkan k~marahan antarpihak yang berkonflik. Kemarahan st

yang tidak efektif dapat memengaruhi pencapaian hasil tim. Oleh karena st
itu, anggota tim yang akan berkolaborasi perlu memiliki keterampilan 5,
dalam mengeLola kemarah.an. d,
lir
Menurut teori Deutsch, reaksi seseorang terhadap stimulus yang dapat Tu
menimbulkan kemarahan sangat terganit ung pada pemikiran orang
tersebut mengenai kej,adian dan pengalaman terdahulu tentang cara
bereaksi terhadap stimulus . Timbulnya kemarahan ditentukan pula
oleh persepsi seseorang terhadap tujuan tindakannya . Jika seseorang
bertujuan kooperatif, maka ia akan lebih terbuka terhaqap perbedaan
2
pandangan orang lain, sehingga dapat menganalisis suatu perbedaan
yang memprovokasi. Sebaliknya, sese.orang yang bertujuan kompetitif
akan sulit menerima pendapat orang lain yang berbeda dengan
pa nd angannya. Kemarahan lebih dapat dikelola dengan bersikap terbuka
(Tjosvold, 2002).

Pada seseorang y · . . . · dan


ang marah, terJad1 akt1Vasi hormon adrenalm
noradrenalin yan . · di
penin g memmbulkan reaksi tubuh. Disamping itu terJa
· gkatan kontraksi dan
Pernaf asa s . otot, tekanan darah, detak jantung,
n. elam reak 51. han
yang terjadi pada tubuh manusia, kemara
juga berdampak terhadap persepsi, interpretasi, pemikiran, komunikasi,
dan perilaku. Oleh karena itu, orang yang marah terlihat menakt,Jtkan
dengan mata yang melotot, tangan terkepal, suara meninggi, tidak
dc;ipat menerima alasan yang dikemukakan ·orang lain, berbicara dengan
nada menoton, menyampaikan kata-kata yang bersifat mengintimidasi
dan perilaku lainnya. Sebagian orang menekan kemarahan, sehingga
1
rn kese~Q~ 1
tidak berdampak pada tampilan. Akan tetapi, kemarahan yang ditekan
' I

;iarnerna~:l selanjutnya dapat berimbas kepada terjadinya gangguan ftsik, misalnya


peny~kit psikosomatis (Gibson dan Tulgan, 2002) .
~tapi teta~~
~ dapatae,
Perlu dipahami bahwa kemarahan bukan sesuatu yang tidak normal dan
flik. Kemaro~· selalu negatif. Kemarahan dapat menjadi tanda bahwa ada hubungan ,
im. Olen Korrii sumber daya, situasi, atau prosedur y~ng memerlukan perbaikan . Jika
ki keteram~~ saja data yang ada dikenali, diproses, dan ditindaklanjuti, kemarahan
dapat menjadi produktif. Secara umum, kemarahan yang terjadi pada
lingkungan kerja dapat dikategorikan menjadi, antara lain (Gibson dan
Tulgan, 2002):
1 . Kemarahan terhadap si st em
• kerJ·
Da l am d uma · a terdapat · banyak faktor yang berada di luar
. gga dap·at menimbulkan kemarahan, di antaranya
kontrol se hm ·
erJ·aan dan peningkatan beban kerja .
masalah ketenaga k
2. Persepsi terhadap keadilan t k mb d. k d..
. . 1.k.1 kecenderungan un u me an mg an 1rmya
Manus1a mem 1t · . . . .
. 5 .at kondisi orang lam terl1hat leb1h ba1k,
d orang lain. a
engan i ketidakadilan yang pada akhirnya dapat
terkadang timbul perseps
menimbulkan kemarahan.
terhambat
3. Sasaran yang . ran pribadi, dan dalam dunia kerja
rnilik1 sasa
Setiap orang me . kerjaan. Sasaran yang terhambat
an terka1t pe
terdapat sasar Lain dapat memicu kemarahan.
beradaan orang
karena ke
4 • Perbedaan nilai-nilai
Di tempat kerja, sebagian besar orang mengan!Jt nilai kompetensi,
kerj.a keras, dan integritas. Orang yang menganut nilai yang
berkebqlikan dengan ketiga nilai tersebut dapat memicu timbulnya
kemarahan.
5. Hubungan dengao- at~san
Organisasi diatur berdasarkan hierarki dan kekuasaan (power) .
Kemarahan seorang atasan ·akan mudah terp_ic4 jika bawahan
memperta.nyakan kekuasa.annya. Sedangkan kemarahan bawahan
terhadap at_a.san akan timbul jika atasan _memegang kendali
terhadap _ketakutan bawahan. Kemarahan bawahan jarang
diekspresikan langsung kepada atasan, sebagai gantinya seorang
bawahan yang memendam -kemarahan kepada atasan akan
mengekspresikan kemarahan kepada teman sej_a wat atau pegawai
yang lebih Junior.

Manajemen keruarahan dapat dibagi menjadi 2, yaitu manajemen


kemarahan pribadi dan manajemen orang lain dan/atau menghadapi
orang lain yang sedang ma rah.

Mengelola Kemarahan Diri Sendiri


Mengelola kemarahan diri sendiri dapat dilakukan dengan beberapa
langkah, yaitu:

1. Hindari kemarahan
Salah satu cara rn~nghindari kemarahan adalah mengenali hal-
hal yang dapat rnenirnbulkan kemarahan dan mencari cara untuk
menghindari penyebab tersebut.
2. Redakan tanda-tanda fisik kema h •
. ra an yang terjadi
Mesk1pun telah berusaha dihindar'1 t k .
. . ' er adang kemarahan terjadi
' •. Jt,1ga. Pada saat terJadi kemarahan k
. . . ·

, ena 1 tanda-tanda fisik yang
I

terJad1, m1salnya detak jantung meningkat dan waJa


. h menghangat.
Setelah mengenali tanda-tanda tersebut , berusa hal ah untuk
menenangkan diri dan meredakan tanda-tanda fisik tersebut,
misalnya dengan menarik nafas panjang atau bermeditasi.

veq,
3. Berpikir logis
anan
Setelah meredakan tanda-tanda fisik berusahalah untuk
anan
berpikir logis. Sadarilah bahwa kemarahan dapat menyebabkan
ndal\
penyimpangan persepsi terhadap penyebab kemarahan itu sendiri.
iran~ Penyebab kemarahan perlu dianalisis secara lebih logis.
irani
akan 4. Ekspresikan perasaan secara efektif dan sesuai
1awa1 Untuk dapat mengekspresikan perasaan secara efektif, seseorang
harus mengetahui perasaan yang muncul, apa yang sebenarnya
terjadi, dan apa yang diinginkan. Oleh karena itu, untuk dapat
berekspresi secara efektif, seseorang harus dapat berptkir logis
dalam menganalisis penyebab kemarahan.

5. Temukan solusi dari masalah yang menyebabkan kemarahan


Solusi dap·a t ditentukan jika penyebabnya telah diketahui. Untuk
menemukan solusi yang tepat, tanyakan kepada diri sendiri apakah
penyebab kemarahan dapat diubah oleh diri sendiri, lalu buat
rencana tindakan untuk menyelesaikan masalah.

6. Let go
ebabkan kemarahan pergi dari pikiran.
Biarkan masalah yang me.ny .
akah masalah tersebut ada solusmya
Tidak menjadi rnasa l q1 h aP . .
ktu untuk dapat d1selesa1kan.
atau masih menunggu wa
. - · ji'~tx.;

,,/_.:.-::~_;~;:((\:/·~ :,/:<:.- :-_'J·~r\. ·,.;~--~.- .,.., "'v • .••!J ·,•

Mengelola Kemarahan Orang Lain


. . h d • orang lain yang sedang marah dapat dilakukan
ManaJemen meng a apl
melalui 5 langkah, yaitu:

1. Mulai c:tari diri ~~ndiri


Mengelola ataupun menghadapi orang lain yang sedang marah harus
dimulai dengan n:,engetahui perasaan kita $aat itu, dan bagairnana
perasaan tersebut berpengaruh te.rhadap interaksi dengan orang
lain. Perlu disadari bahwa . jika -kita sendiri juga merasa marah,
maka kita harus mengelola kemarahan kita terlebi·h dahulu sebelum
menghadapi orang lain yang sedang marah.

2. K~mpulkan informasi
Pada langkah ini perlu dicari tahu penyebab kemarahan yang
terjadi. Jika memungkihkan cari informasi mengenai penyebab
kemarahan dari. s,etidaknya 2 (dua) orang yang IDerbeda.

3. Jadwalk_
an pertemuan
Sebaiknya pertemuan tidak dilakukan pada saat kemarahan
baru timbul. Perlu jeda waktu beberapa jam setelah munculnya
kemarahan, tetapi jangan terlalu lama. Pilih tempat yang
menenangkan untuk bertemu. Kemudia-n siapkan diri untu~
berkomunikasi dengan orang yang sedang marah dan bila perlL
lakukan latihan sebelumnya.

4 · Engage with the person


Pe 1· k · · pulkar
rs ap an d1r1 untuk menJ·adi pendengar aktif, kurn
Jikc
informasi sebanyak mungkin, dan cobalah berempati .
diperlukan mintalah orang ketiga sebagai mediator.
\ 113

s. Evaluasi dan ambil sikap


Evaluasi perlu dilakukan terkait 2 (dua) hal, yaitu: cara
mengekspresikan kemarahan dan sumber/penyebab kemarahan.
Berikan umpan batik mengenai cara mengekspresikan kemarahan
lalu diskusikan solusi masalah yang mendasari kemarahan.

Dalam situasi kerja di pelayanan kesehatan, kolaborasi tim kesehatan


yang beranggotakan beberapa profesi kesehatan memiliki kecenderungan
untuk terjadi konflik. Kecenderungan tersebut terjadi karena orang
yang tergabung dalam tim kesehatan memiliki perbedaan latar belakang
profesi, nilai-nilai, budaya, oan berbagai perbedaan lainnya. Konflik
yang terjadi pada umumnya berdampak negatif terhadap hasil yang
ingin dicapai, dalam hal ini kepentingan pasien.

Meskipun jenis konflik tertentu dapat memberi dampak positif, misalnya


membuat anggota tim menjadi lebih memahami proses kolaborasi yang
berlangsung, namun tidak menutup kemungkinan bahwa konflik yang
terjadi dapat bertransformasi menjadi konflik jenis lain yang pada
akhirnya memberi dampak negatif. Oleh karena itu, anggota profesi
kesehatan perlu menguasai keterampilan mengelola konflik. Kunci
keberhasilan manajemen konflik terletak pada pencegahan, komunikasi
efektif, dan pengelolaan kemarahan.
REFER ENS I
. ment Prevention, and Resolution in Medical
.w L 999, conflict Manage ,
Andre ' . 8 . 1 .. . , . 38-42
Settings. Physician Execut1ve. 25(4). .
·l Managing Anger in the Workplace.
Gibson, D. dan B. Tu gan. 2002 · .
. · H Aaldering, dan C. K. de Dreu. 2012. Conflict in Medical
Greer, L. L., 0.. Saygi, · .
Teams: Opportunity or Danger?. Medical Education 46(10): 935-942.

Harolds, J. dan B. P. Wqoq. 2006. Conflict Mal'ilagement and Resolution . Journal


of the American Colleg~ of Radiology 3 ( 3): 200-206.

Overton, A. R. dan A. C. Lowry. 2013. Conflict Management: Difficult


Conversations with Difficult People. 1(212).

Ramsay, M.A. E. 2001. Conflict in The Healthcare Workplace. 138-139.

Scholtes, P. R., B. L. Joiner, dan B~ J. Streibel. 1996. The Team Handbook.


Joiner Associates Int. Madison.

Sportsman, S. dan P. Hamilton. 2007. Conflict Management Styles in the Health


Professions. Journal of Professiona.l Nursing 23(3): 157-166.

Tjosvold, D. 2002. Managing Anger -for Teamwork in Hong Kong: Goal


lnterc;fependence and Open-Mindedness. Asian Journal of Social
Psychology 5(2): 107-123.

Wall, B., R. S. Solum, dan M. R. Sobol. 1992. The Visionary Leader: From Mission
Statement to a Thriving Organization, Here's Your Blueprint for Building
and Inspired, Cohesive, Customer-Oriented Team. Prima Publishing.
California.
KOMUNIKASI
INTERPROFESI
Rita D~mayanti & Hanny Handiyani

al

Komunikasi interprofesi penting untuk dilakukan dalam sistem


ult i kesehatan di Indonesia, baik dalam Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)
maupun Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Kedua upaya tersebut
membutuhkan komunikasi interprofesi karena masalah kesehatan tidak
dapat diselesaikan oleh hanya satu profesi saja. Kegagalan komunikasi
interprofesi dalam UKM akan berakhir pada program yang tidak efektif
dan efisien, sementara kegagalan komunikasi interprofesi yang terjadi
ealt~
pada UKP dapat berakhir pada kecacatan atau bahkan kematian pasien.

Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan pelayanan yang sangat


kompleks karena untuk melayani seorang pasien dibutuhkan keahlian
khusus. Dengan demikian, dibutuhkan berbagai 'j5rofesi yang sating
bekerja sama ~ntuk menangani satu orang pasien. Di sanalah letak
Pentingnya pemahaman mengenai kolaborasi tim. Tujuan kolaborasi tim,
Yaitu untuk memberikan pel~yanan yang ber~utu, tidak akan tercapai
Hka komunikasi antarprofesi tidak berjalan dengan baik. Ada pun
Yang dimaksud dengan pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan
kesehatan yang efisien dan efektif dengan mengutamakan keselamatan
Pa5ien (patient safety).
-. k n elemen penting dalam kolaborasi
. . . t rofes1 merupa a
Komun,kas1 m erp kesehatan pasien. Kegagalan komunikasi
- berdampak pada layanan . .
ya9g · b . dalam pelayanan. Sebuah t1m pelayanan
·berarti k.egagalan kola oras1 . .
. _ k d. t berkomunikasi dengan ba1k akan berdampak
kesehijtan yang t1da apa .
· _ l anan pasien. Keterlambatan perawatan akibat
luas tert)adap pe ay · ·
'kas1· dapat mengancam keselamatan pasien dan
.k~galan komt,Jm
berdampak pada hasil yang tidak "sesuai harapan.

Sej~rah mengenai pentingnya melatih para pr<?fe~ional untuk metakukan


komunikasi efekti-f bermula dari bidang penerbangan, di mana 70%
dari kecela:ka_
an pesawat komersial berasal dari kegagalan komunikasi'
antarkru. Data ini membuat suatu usaha untuk menstandardisast pola
komunikasi dan kerja sama tim.

Belajar dari dunia penerbangan, dunia kesehatan juga mempelajari


kerugian biaya dan kematian pasien yang diseba.bkan oleh komunikasi
antarprofesi yang tidak efektif. Pada tahun 1999, Institute of Medicine
(IOM) mempl!blikasikan -hasil laporannya yang perjudul "To Err is Human:
Building A Safer Health System". Dalam laporan Institute of Medicine
pada tahun 2005, ter.d apat 44.000-98.000 pasien yang meninggal setiap
tahunnya di rumah sakit di Amerika Serikat akibat kesalahan medis.
Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata keterlambatan pemberian
tindakan medis, kesalahan posisi dalam operasi (kiri atau kanan), dan
perawatan pascaoperasi yang tidak tepat adalah beberapa hal yang
menjadi penyebab kematian tersebut. The Joint Commission kemudian
membuat panduan untuk meningkatkan keterampilan komunikasi bagi
para petugas kesehatan (Joint Commission Resources, 2009). AgencY
for Healthcare Research a.nd Quality (AHRQ) juga menyusun teKnik
komunikasi dal l
am Pe.ayanan kesehatan dengan rn_eluncurkan
ream
Strategies and Ti00 l 5 (Tearll
. ·
STEPPS®) pad t h
to Enhance Performance and Patient Safety
. a a un 2006 (King et al.' 2008).
pelayanan kesehatan merupakan sal h -
- a satu setting
karena terdiri dari berbagai P f . Yang sangat kompleks
- ro es1 kesehatan D . - .
patient-centered care yang optimal d' _ l · em, tercapamya
. . . 1.per ukan adanya komunikasi an
efekt1f. Kegagalan komun1kas1 antarprof . d - . Y g
' esl an pas1en dapat berakibat
pada gagalnya perawatan pasien (Mitchell et al 20-1O -. .
·, ) . Kolaboras1 t1m
kesehatan hanya akan terjadi apabila antarprofe . k h ·
. . . - s1 ese atan melakukan
komurnkas1 yang efekt1f (Hamid et al., 20 16 ).

Pelaksanaan pelayanan kesehatan selalu melibatkan berbagai profesi


IKUKan
kesehatan yang memiliki kompetensi dan tugas yang berbeda-beda,
1a ,~
namun hanya memiliki satu tujuan yaitu memberikan pelayanan
uniKa1!
kesehatan yang optimal pada pasien. Untuk mendapatkan pelayanan
1s1 ~ola kesehatan yang efektif dibutuhkan komunikasi yang baik di mana
informasi atau pesan yang penting harus disampaikan secara akurat,
sehingga tidak terjadi interpr:etasi yang keliru -dari instruksi atau pesan
yang diberikan. Komunikasi p~tugas kesehatan yang tidak efektif, dapat
berpotensi pada kekeliruan perlakukan medis yang akan merugikan
pasien baik secara medis maupun psikologis (Foronda et al., 2016).

Pendidikan kedokteran dan keperawatan menekankan pentingnya


tindakan medis yang akurat dengan tidak menoleransi kesalahan .
Kesalahan dalam tindakan medis dianggap sebagai suatu bencana yang
harus dipertanggungjawabkan melalui audit. Namun demikian , sumber
kegagalan ini bukan hanya dari kurangnya kompetensi,. tetapi bany~k
disebabkan oleh komunikasi yang kurang efektif. Sftuasi seperti ini
rnembuat antarprofesi kesehatan cenderung saling menyalahkan dan
tidak membuka -peluang pernbelajaran bagi i~stitusi penyelenggara
Pelayanan kesehatan (O'Oaniel dan Rosenstein, 2008).
118 ..

A. KOMUNIKASI INTERPROFESI
. . d· l h proses mengirimkan atau menerima pesan baik secara
Komun1kas1 a a a
. l melalui percakapan, pidato, maupun secara nonverbal
verbal, m1sa nya ,
. t· n· tanda (sf·gn) atau perilaku. Dalam komunikasi terJ'adi
m1salnya tu 1sa , '
11 r n pesan-pesan tertentu . Proses komu nikasi dimutai ·dan
pert u"a a
pengirim pesan yang menyampaikan pesan melalui saluran tert entu da
kemudian diterima oleh penerfma pesan dengan menginterpretasi .
pesan yang diberikan. lnterpretasi dapat keliru jika dalam penyampaia
pe.san terjadi noise atau gangguan (Potter dan Perry, 2009) . Agar pesa
yang diterima sama dengan pesan · yang sampaikan, maka penerima
pesan dapat menyampaikan unipan batik kepada pemberi pesan t entang
interpret~si pesan yang diterimanya. Komunikasi yang efekti f bertujuan
untuk menyamakan persepsi dan cara pikir, serta mendukung t erjadinya
pertukaran pesan (Uliweri, 2007). Gambar di bawah ini mer upakan
proses yang terjadi dalam komunikasi.

-·-
ro
.c
C
ro
C.
E
:::,

Gambar 9. 1. Proses Komunikasi


Dikutip dan dimodifikas1 dari Robbins dan Judge (2013)
Penelitian menunjukkan bahwa komunikasi dipengaruhi oleh bahasa
tubuh sebanyak 55%, nada suara pengirim pesan sebanyak 38%, dan
pesan yang disampaikan sebanyak 7%. Otak hanya memproses sebagian
. nDai~
~ r:1 !tt. kecil dari komunikasi verbal. Hal tersebut terjadi karena sejak bayi
q no ~
)rfl nv\ kita belajar berkomunikasi dengan menangkap sinyal-sinyal emosional,
un1~a11 t .\
di mana raut muka menjadi saluran komunikasi dibandingkan dengan
ISi di ~!
~u1~1 I., suara. Seiring dengan bertambahnya usia kemampuan berkomunikasi
ran ~,
tertenti~ secara verbal juga bertambah, namun secara tidak sadar kita tetap
gjnt~r~re~~ menginterpretasikan sinyal-sinyal emosi seperti ekspresi raut muka ,
1 nada suara, dan gerak tubuh lainnya (Phutela, 2015). Pesan yang
mPen~am~
l09), A~ar~ disampaikan melalui catatan, surat elektronik (e-maH), atau melal ui
layanan pesan singkat (short message service) dapat berakibat fatal j ika
maka ~ene~
terjadi kekeliruan penerimaan pesao dan tidak dilakukan proses umpan
•i pesan tent~ balik pada pemberi pes~rn (O'Daniel dan Rosenstein, 2008).
:ektlf bertijjli
~ung terjam~ Definisi komunikasi interprofesi mengacu pada definisi komunikasi

ini mero~~ pada umumnya, yaitu komunikasi yang terjadi baik antarprofesi
maupun antara prof esi dengan pasi.en atau masyarakat, yang dilakukan
secara terbuka, kolaboratif, cjan responsif (O'Daniel dan Rosenstein,
2008). Walaupun sejak lahir kita sudah melakukan komunikasi, tetapi
'k • tarprofesi tidaklah mudah. Hal tersebut terjadi karena
komum as1 an .
. . - ofesi memiliki budaya tersendiri. Sebagai contoh
masmg-masmg pr . . ,
dokter dididik secara mandiri, ringkas, dan beronentas1 pada solusi ,
. bih fokus pada detail, dan petugas administrasi
sementara perawat l e
. nya kerja kolaboratif dan hal-hal lain yang
lebih menekankan pen t mg .
. . . p bedaan tersebut berpotens1 menyebabkan
bersifat admm1strat1f · er
kegagalan komuni.kasi (Williams, 2016).

. akan komunikasi yang terjadi antarprofesi


Komunikasi interprofest merup k l borasf. Komunikasi interprofesi
rangka .o a
kesehatan dalam . t antarpetugas profesional dan klien
. . . · situas1 saa
d1deftms1kan sebagal
·b k kolaboratif dan responsif (Hamid et
unikasi secara ter u a,
berkom 'k .. terprofesi merupakan salah satu kompetensi
l 2016). Komum as1 m . .
a ·' ) d " ri kolaborasi interprofes1 yang harus dimiliki
inti (core competency - a. . .
. h t · (Foronda et' al., 2016). Komun1kas1 yang efektif
oleh profes1 kese a an . .
h satu karakteristik dan t1m k.esehatan yang efektif
juga merupakan sa l a ,
(O'Daniel dan Rosenstein, 2015).

Tim yang efektif memiliki kara.k teristik salin~ percaya, saling mengharg~i,
dan berkolaborast Dengan demikian, pendekatan yang digunakan bukan
multidisiplin, m~lainkan interdisiplin. Berbeda dengan multidisiplin yang
mengandalkan keahlian masing-masing profesi untuk mengerjakan tugas
masing-masing, pendekatan interdisiplin bertujuan untuk menyatukan
upaya bersama atas nama pasien dengan tujuan bersama, dengan
melibatkan semua disiplin dalam rencana pengobatan dan perawatan
pasien.

Penyatuan layanan dari berbagai bi dang secara interdisiplin membutuhkan


intervensi terintegrasi. Tim yang solid membuat pasien lebih mudah untuk
berkomunikasi daripada berbicara dengan banyak profesi yan~ bekerja
sendiri. Komunikasi interprofesi yang efektif ditandai dengan beberapa
karakteristik, antara lain komunikasi yang pr~sisi, tidak ambigu, dan
mengandung unsur penyelesaian masalah secara kolaboratif (Robinson et
al., 2010). Komunikasi yang efektifjuga membutuhkan ketenangan yaitu
menggunakan intonasi dan volume yang normal. Selain itu, komunikasi
harus menunjukkan duku.ngan saling menghargai antarprofesi dan
pemahaman yang baik ten tang peran setiap profesi dalam perawatan
pasien (Robinson et al., -201_0).

Berbagai studi menunjukkan bahwa kurangnya komunikasi menyebabl<an


ekspekta 51· · d nya
paslen terhadap perawatannya tidak tercapai akibat a a
saran kesehata b . .wart,
n yang erbeda dan berbagai profesi kesehatan (S t e
~• ~· •'-:<., ' • ' \ ..
. ·. , -' 9.!.t': ,\a·1,~;ii,.._a.;1,;n
r.~_
:t . ·,, . . .,. •;.
'~ . ·/0. ~ ·••Jl.,;
---~-l~1M
!Jrif . 121
tc:ff,f1f:'
;

2017). Pasien di rumah sakit be t · ·'


. r emu dengan pul h .
kesehatan, m1salnya dokter u an penyed1a layanan
. , perawat ahli ..
Setiap kali pasien bertemu deng ' . glzi, dan ftsioterapis.
· · an profes1 yang b b d
menanyakan hal yang sama dan memb 'k er e a mereka akan
en · an saran ya t k
bertentangan, sehingga pasien meras b' . ng er adang saling
· a mgung. TuJuan kolab · · d
mencapai penyelesaian masalah secara b . oras1 a _alijh
. . ersama dan saling mendukun
· · Pas 1.en (S tewart, 2017).
tuJuan perawatan yang diberikan pada g
n~oar!,(
an~~
pl!n~~~ B. JENIS-JENIS KOMUNIKASI INTERPROFESI
:an tu!~
Komunikasi interprofesi menurut waktu keberlangsungannya dibagi
watu~
menjadi 2 (dua), yaitu komunikasi synchronous don asynchronous
oen~~
(Conn et al., 2009).
·awat~
• Komunikasi synchronous merupakan komunikasi yang terjadi
secara langsung. Komunikasi synchronous merujuk pada tindakan
kcmunikasi antarindividu pada waktu yang bersamaan. Komunikasi
1tU~~ ini dapat berwujud dalam bentuk rapat, ronde, dan percakapan
,unwi spontan face to f oce.
1eKe~
1
• Komunikasi asynchronqus merupakan komunikasi yang terjadi

,era~ secara tidak langsung, merujuk pada tindakan komunikasi yang


aal terjadi di waktu yang berbeda. Komunikasi ini dapat berwujud
J,
dokumentasi di catatan perkembangan, voice record, email,
1~00 tt
dan resep obat, menulis di papan. Bentuk ini banyak dilakukan
vait~
1J •
,11311
dalam kolaborasi inteprofesi dan seringkali menjadi sumber dari
1~1~
· kesalahan in_terpretasi .
. oa'
I
~~ Menurut bentuknya, komunikasi dibagi menjadi komunikasi verbal dan
nonverbal (Foronda et al., 2016).
• Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menekankan pada
penggunaan bahasa atau kata secara lisan maupun tertulis.
-·k .. verbal dipengaruhi oleh beberapa aspek Yaitu
Komum as1 \ . . . .
- k t makna konotat1f dan denotat1f, kecepat.an
perbendaharaan a a,. . '
. . . t nasi serta waktu dan kesesua1an (Potter & Perry
efekt1v1t~s, m o , '
2009)
Komunikas1. nonver ba l a d a lah komunikasi
• yangmel·
· 1puti

•tan gaya -1-..erJ'alan gerak-gerik tubuh, ekspresi waJ·ah
penan,p1 , u ' ,
kontak rnata, dan visual cues seperti bahasa tubuh (body language!
kinetics), jara-k proxemics .dan tingkungan fii~ik, penampilan, suara d,
(paralanguage), serta ,sentuh,an (haptfcs). Komunikasi nonverbal
juga termasuk penggunaan waktu dan kontak mata, tatapan mata (F
ketika berbicara atau mendengar, jumlah lirikan, . pembesaran p,
pupil mata, dan j.umlah kedipan mata (Potter dan Perry, 2009). ri:

Baik komunikasi verbal maupun nornverbal memiliki peranan penting D,


dalam komunikasi, tetapi k~,duanya serinR di_terjemahk~n secara subjektif Ja
bergantung pada latar belakang sosial budaya seseorang. Misalnya jika ur
seseorang mengacungk,an jempol, maka berdasark~n pengetahuan yang
kita miliki, akan dijnterpretasikan sebagai- 'hebat' atau puas dengan
Ya
hasil kerja kita.
rn1
sa1
ke
C. KEGAGALAN KOMU,N·IKASI INTERPROFESI n,E
an!
Pada topik sebelumnya telah dibahas bahwa kolaborasi interprofesi
inf,
dengan masalah komunikasi akan berdampak pada keselamatan pasien.
Kegagalan komunikasi dapat berdarnpak pada terganggunya pelayana~
Grc
~esehatan. Te rd apat dua jenis akibat dari kegagalan komunikasi
mterprofes·1 · ·kan P~r
. ' yaltu terjadinya kejadian atau insiden yang merugl
pas1en baik secar b'1 · ,iu,Y P~,
a aya maupun psikologis, dan kecelakaan atau m;
yang berdampak pad d k~l,
ace era atau bahkan kematian pasien.
hiril
~
OQ\y1

im~11~
I

:ai1 ~
tat~~.
·~ :
ir~,l~l

ana~ ii. Dalam mempelajari pengambilan keputusan dq.lam suatu kelompok, Irving
cara~W Janis (1972) memunculkan istilah "groupth}nk;'. lstilah tersebut muncul

Mi~al~ ~ untuk m,enjawab pertanyaan mengapa banyak anggota kelompok yang


memiliki informasi dan kemampuan, tetapi tetap mengambil keputusan
,eta~~~
I
yang keliru. Groupthink didefinisikan sebagai sebuah fenomena yang
~U!! i
muncul dalam kelompok di mana kelompok mengambil keputusan yang
salah atau tidak efektif hanya demi terjadinya konsensus. Anggota
kelompok sebenarnya memiliki kemampuan dan informasi yang dapat
mencegah terjadinya kekeliruan dalam mengambil keputusan, namun
anggota kelompok menghindari terjadinya konflik sehingga data atau
informasi tersebut tidak dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan .

Groupthjnk dapat dicegah dengan adanya aturan dan proses dalam


Pengambilan keputusan, serta mendorong anggota untuk berpartipasi
Penuh dengan mendukung adanya perdebatan dan konflik dalam
kelompok. Pemimpin kelompok harus menahan pendapat atau idenya
hingga semua ide kelompok telah disampaikan. Dalam kelompok
kolaborasi bidqng kesehatan hal tersebut penting karena pada umumnya
hi~rarki tertinggi qalam pengambilan keputusan adalah dokter. Seorang
dokter yang dominan akan rnenghambat anggota kelompoknya untuk
tidak berpikir, tetapi hanya bert1ndak mekanistik.

Dalam melaksanakan upaya keseh.atan masyarakat di tingka t puskesmas,

· fenomena _groupth;nk
,._ sering terjadi.
· 1;3erikut adalah sebuah 1
·tustras 1· yan g
menggambarkan f~Qomena groupth;nk. ·
' '
~.~:. ~
:-.,;; ...
afa .
~:~-~~ :~\.7'·.
0 ka.;'~
,~~~ ~--,:~. 'i
:an-.... ·
...
. ·b-:
]9.
i":,:

, . , ,'/jj
, -~..,,,.,
.~·
. _· -::· . ~
~ 1- • t
I •';• . .

.9.f :.
~;: -~,_,. l
·::,oj.;:/
. ,
·
·r,. ~>. ..
-~tj' t <

.-fi
•·l..:· ' '•

··,·tin·
-.·'.
-,~-- d . --.::
.r -
,\ ./-
...-:~, ~ .
.. / j'-\..-
\ • ' ,.
'.

'
9,b.,
..: '~ , , ~ .
·p'zi-f~an·~
' . "'-
, - , ,

(O ,"yang _
;···: \ja'k~,
llustrasi kasus di atas memberikan contoh bagaiman9 groupthink
menyebabkan pembuatan keputusan yang tidak efektif karena tidak
menggunakan semua data yang ada. Keputusan hanya diambil berdasarkan
common sense seseorang yang kernudian disetujui oleh semua anggota
kelompok. Pelatihan pemasangan IUD dan lrnplan yang akan dilaksanakan
pada kasus tersebut tidak akan menyelesaikan masalah k.arena yang
dilatih hanya dokter puskesmas, bukan bidan. Bahkan pelatihan tidak
melibatkan sektor swasta lain yang juga memberikan pelayanan KB.

Untuk mengatasi masalah groupthink, teknik brainstorming dapat


digunakan. Brainstorming adalah salah satu cara yang efektif
untuk menghindari groupthink. Dalam proses brainstorming, setiap
anggota diminta untuk memberikan pendapatnya tanpa mendapatkan
celaan atau argumen dari anggota lainnya . Semua pendapat dicatat ,
dipertimbangkan, kemudian disusun berdasarkan prioritas. Pend9pat
ahli di luar kelompok juga dapQt menjadi alternatif.

Berbagai jenis kegagalan komunikasi yang mengurangi mutu pelayanan


kesehatan, antara lain (Lingard et al., io0 4 ):

1. Komunikasi yang terlambat


Pelayanan yang cep at merupakan salah satu f aktor kepuasan pasien
ang diberikan. Keterlambatan tindakan dapat
terhadap pe l ayana n· Y . . .
. . ambilan keputusan yang Juga lambat atau t1dak
terJad1 karena peng
. .
d1tenmanya . t ru ksi atau pesan yang diberikan.
1ns .
kter meminta sampel darah melalu1
Contoh: Seo rang dO .
·. "'erbicara langsu11g dengan perawat.
dokumentas1, tan pa "" .
t telah membaca dokumentas1, namun
Asumsinya adalah perawa .. •
.d k membaca dengan tel1t1 permtntaan
t ernya ta perawat tt a. l d rah pasien belum diambil. Hal tersebut
h'n
1 ga sampe a .
tersebut se g d' keterlambatan dalam memberikan
mengakibatkan terja rnya .
demikian dapat dikatakan bahwa selain
engobatan. 0engan . . . .
P 'k 1. melalui catatan, komumkas1 akan leb1h baik
berkomum as · .
.. . k ·k ecara face to face (Robms,on et al., 2010).
Jlkad1la u ans . ,,

omunikasi yang ga.gat 111elakukan rujukan dengan tepat


2. K
Dalam in~eraksi yang ~omp~eks antarprofesi, sering terjadi
pengambilari keputusan yang tidak dikonsultasikan pada profesi
yang tepat, sehing_~a kualitas keputusan kurang optimal atau
bah'kan merugikan pasien. Ke.ga8,alan .ini umumnya bersumber
dari persaingan antarprofesi -Y,ang berakiba.t pada keengganan
antarprof~si untuk mendiskusikan kasus pasiennya. Masalah ini
dapat diatasi dengan menywsun sistem penanganan pasien yang
tepat, di mana kas.us_pasien harus ditangani bersama-sama.
Contoh: Seorar1g pasien diabetes datang ke dokter spesialis
penyakit dalatn dengan keluhan vertigo. Dokter spesialis
penyakit dalam yang sud~h beberapa tahun menangani pasien
ini merujuknya ke rumah sakit. Perawat yang menangani pasien
ini berpikir bahwa sebaikn¥a pasien ini dikonsulkan ke dokter
spesialis penyakit saraf karena usia pasien yang sudah lebih
dari 70 tahun,. tetapi perawat tidak berani mengemukakan
pendapatnya. Pasien mendapat obat-obatan untuk mengatasi
vertigonya tetapi tidak mendapat pemeriksaan lebih lanjut.

3 • Komunikasi yang tidak lengkap dan tidak akurat

Dalam dunia medis, ketepatan dalam mengambil keputusan


merupakan standar utama. Oleh karena itu, informasi yang
leng,kap dan akurat sangat penting dalam pengambilan keputusan.
Selanjutnya, diagnosis membutuhkan tatalaksana yang harus
dijalankan dengan berbagai prosedur pelayanan standar yang
telah ditetapkan.
4. Komunikasi yang tujuanny t·
. a ldak tercapai
Dalam set1ap komunikasi d ·
a a pesan yang k
Pesan tersebut mengacu pad . a an disampaikan.
· a tuJuan tertentu N .
penerima p.esan gagat me . · amun senngkali
ngmterpretasikan
tidak tercapai. ·. · pesan sehingga tujuan
~Pat
i
n~ terj~
lada ~ro1~ D. HAMBATAN DALAM KOMUNIKASI INTERPROFESI
Ptirnat a~,
• berium~ Hambatan utama dalam komunikasi interprofesi adalah adanya
keen~~a~1, perbedaan latar belakang dan budaya profesi. Setiap profesi dididik

Masalan iii dengan nilai, ·norma, dan budaya masing-masing. Sebagai contoh ,
perawat dididik untuk lebih deskriptif dalam berkomunikasi, sedangkan
pasien ~a~
. dokter dididik untuk berkomunik9si dengan lebih ringkas. Perbedaan
•sama.
struktur dan gaya komunikasi dapat menyebabkan kesalahan interpretasi
ter s~e~ia\\1
dan kesatahpahaman antarprofesi (Stewart, 2017). Sejarah persaingan
:er s~esia\ 1 antarprofesi juga memberikan andil dalam pembenttJkan budaya dari
nganl ~a1i~ masing-masing profesi.
'nali~ I

1ngan1 r
ao~tf[ Gender bias juga berpotensi mengganggu efektivitas komunikasi
n ke
~ le~\~ interprofesi. Perempuan cenderung lebih kritis dalam menghadapi
sudah
lle111uKa~a'. konflik, sementara laki-laki cenderung menghindar jika terjadi konfli k.
ien, data11 Narnun demikian, jika masing-masing menyadari perbedaan ini maka pola
r,,en,
uK komunikasi dapat diperbaiki dengan mempelajari manajemen konflik.
, tanj~t•
Hierarki menjadi salah satu faktor penghambat komunikasi interprofesi.
Hierarki mendistorsi aktivitas kolaborasi sehingga orang yang berada
di ht' k' . d h memiliki kecenderungan untuk tidak berani
erar 1 leb1h ren a ·
rnen . tal,J pendapat yang mungkin saja tidak
Yampa1kan temuan a ·
bot h b daan hierarki ini menyebabkan perbedaan
e terlewatkan. Per e .
aku .. dan pada akhirnya akan berdarnpak pada
ntab1l1tas, penghargaan, ,
. . ang diterima. Mereka yang ber?lda di hierarki
adanya perbedaan gaJ 1 Y . .. . . .
· . . . d . _ g memberi kesan sebaga1 1nd1v1du yang t1dak dapat
lebih tmgg1 cen eFun .
. K •n 1· mengintimidasi mereka yang berada d1bawahnya
didekat1. esan 1 . , · · •
._ . . ·arak (O'Daniel dan Rosenste1n, 2015).
untuk rnenJaga J .

Budaya rnernegang peranan penting dalam komupikasi, apalagi di


lndonesiadi-mana terdapat tebih dari ·600 suku dan budaya. Latar belakang
sLiku dan budaya menyebaQkan ~dan~a perbedaan dalam bahasa verbal
dan nonverbal, mi~alnya int6nasi, gaya bicara, serta preferensi dalam
menginterpretqsi pesan (O'Daniel dan Rosenstein, 2015).

Perbedaan ba\hgsa dan jar~~:>n seringkali menjadi pengham.bat komunikasi


di layanan kesehatan. _Hal tersebut terjqdi akibat perbedaan asal atau
sekolah terd.ahulu .yang m.enggunakan jargon yang berbeda (Stewart,
2017). Kondisi seperti ini berpotensi mengancam keselamatan pasien,
terutama jika anggota kelompok yang tidak mengerti merasa malu untuk
meminta penjelasan (O'Daniel da.n Ro~en~tein, 2015;).

Kepribadian individu memiliki peranan penting dalam keberhasilan


komunikasi interprofesi. lndividu yang memiliki keraguan untuk
mengungkapkan pendapat atau individu yang terlalu dominan membuat
komunikasi tidak berjalan efektif. Perawat yang memiliki tingkat
kepercaya~n diri rendah dan ragu-ragu cenderung tidak berkomunikasi
baik dengan dokter, dan hal ini akan menyebabkan ketertambatan
penanganan pasien (O'Daniel dan Rosenstein, 2015). Seseorang dengan
kepribadian kurang percaya diri dapat menunjukan dua jenis persepsi
terhadap orang lain. Pertama, merek~ melihat orang lain lebih hebat
dari dirinya sehingga menimbulkan perasaan ragu-ragu dan kurang
memiliki
·
motivas·1 dal arn. mengerJakan
. . .
pekerJaannya. Ke dua, mereka ,
melihat orang lain lebih rendah. atau lebih bodoh dari dirinya. Mereka
akan menjadi s· •d k rnau
eseorang yang selalu merasa dirinya benar dan tl a
rnendengarkan pendapat oran l .
g am. Hal ters b
dilakukan untuk menutl,Jpi rasa t' d k · e ut secara tidak sadar
1 a percaya dirinya.

Hambatan fisik yang dimiliki oleh ..


peng1nm atau p · .
berpotensi menimbulkan k . . enenma benta akan
. omumkas1 yang kuran f 1.
pendengaran a tau penglihatan yan k . g e ekt f, misalny~
'd k . g urang balk, dan kondisi kesehatan
yang t 1 a opt1mal. Hamb t . ·
.. - a an Juga dapat bersumber dari luar diri
peng1nm dan penerima berita, misalnya sarana dan prasarana yang
kurang memadai, kemajuan teknologi, serta struktur organisasi yang
kurang mendukung.

pen~namoan~. Kemajuan teknologi yang tcrjadf dalam dasawarsa terakhir ini


menimbulkan ketergantungan terhadap sistem elektronik. Komunikasi
·a l perbeoaai I!
menjadi singkat dalam bentuk e-mail, pesan teks, dc;m sosial media.
,an~ beroeoo i' Rumah sakit atau klinik laya·nan kesehatan mengubah pola komunikasi
.mke~elam~toi , konvensional dengan sis tern elektronik yang terintergrasi . Hal ini
I
membutuhkan perubahan pola perilaku penyedia layanan kesehatan.
,1 t? rt i niera1a mij
:,
Komunikasi interprofesi melalui sistem elektronik sering membuat
para profesional kesehatan berkomunikasi tanpa adanya klarifikasi
secara langsung sehingga sering menimbulkan interpretasi yang keliru.
Pertemuan tatap muka dalam membahas pasien tetap diperlukan untuk
mengurangi kesalahan d(llam menginterpretasi pesan.

Hambatan sarana dan prasarana adalah hambatan yang terjadi karena


keterbatasan yang bersumber dari lingkungan. Gedung yang sating
terpisah, sarana komunikasi yang kurang memadai, atau jumlah staf yang
terbatas akan menghambat kelancaran komunikasi. Sela in itu struktur
organisasi yang tidak jelas atau terlalu banyak birokrasi, sistem informasi
Yang tidak efisien, serta kurangnya pelatihan dan ketidakjelasan peran
dan tanggung jawab merupakan hambatan yang juga perlu diperhatikan.
NGUN KO MU NIKASI INTEPRO FESI YANG
E. MEMBA
EFEKTIF
. komunikasi interprofesi yang efektif, setiap anggota
Untuk mencapa1 · ,. .
. •t'k' beberapa kemampuan, ya1tu (lnterprofess1onat
tim seba1knya mem 1 1 1
Education Collaborative Expert Panel, 2011 ):
1_ Menyampaikan pendapat secara asertif namun tetap terbuka
terhpdap pandangan indi-vidu lain;
2. Mendengar dengan aktif (active Ustening), yaitu teknik komunikasi
untuk
.
memahami ' menafsirkan ,,. dan mengevaluasi apa y~ng ia
.

dengar dengan memerhatikan dan mendengarkan setiap perkataan


atau pendapat orang lain;
3. Mampu percaya dan menghargai orang lain dari berbagai profesi;
. I

4. Memberi dan menerfma umpan batik;


5. Mengambil keputusan deng.an proses yang tepat dengan
memerhat-ikan pandangan dari setiap anggota tim u-ntuk
memperkaya keputu~an tim; dan
6. Menerapkan manajemen konflik yang sesuai, bukan untuk semata·
mata menghindari konflik namun untuk mengelola konflik dengan
tepat melalui pemaharnan peran, kompetensi, dan fungsi masing·
masing, klarifikasi persepsi -dan harapan, serta negosiasi peran dan
tanggung jawab.

Komponen penting dal~m kolaborasi dan kerjasama tim untuk dapat


m~lakukan komunikasi interprofesi yang baik dibagi menjadi tiga bagian,
yaltu a) tujuan, peran, dan prosedur yang jelas; b) model kepemimpinan
dan proses peng b'1l 'k i
a,m an keputusan yang tepat; dan c) nuansa komum as
dan hubungan a t . ·e
n aranggota (lnterprofessional Education CollaboratJV
Expert Panel, 201 ).
1
a) T1,Jjuan, Peran, d~n Prosedur yang Jelas
Tujuan kelompok didiskusikan dan disepakati bersama-sama
sehingga semua tindakan dan perilaku akan mengarah kepada
tujuan tersebut. Tim kemudian berbagi peran dan tugas melalui
pendekatan interdisiplin, di mana semua melakukan peran dan
tugas dengan memperhitungkan tujuan bersama, dalam hal ini
keselamatan pasien .

b) Model Kepemimpinan dan Proses Pengambilan Keputusan yang


Tepat
Setiap anggota kelompok diberi kesempatan untuk berpartisipasi
sesuai kompetensi dan tugasnya masing-masing serta berbagi
tanggung jawab dalam mencapai tujuan kelompok. Pemimpin harus
mengikuti prosedur yang jelas dalam mengambil keputusan. Jika
terjadi konflik, pemimpin kelornpok diharapkan mampu mengelola
konflik dengan tepat.

lepal a~!'
c) Hubungan Antaranggota
Jtil tim ~ .
Untuk mencapai komunikasi interprofesi yang efektif diperlukan
hubungan antaranggota yang terbuka di mana hal ini hanya dapat
terjadi jika sesama anggota tidak saling menghakimi dan memiliki
perasaan saling percaya. Untuk menjaga rasa sating percaya,
komunikasi rutin dan kebersamaan harus dipertahankan.

Membangun komunikasi efektif dalam tim harus dilandasi dengan


tujuan, peran, dan prosedur yang jelas antaranggota tim. Oleh karena
itu, pemahaman tentang masing-masing profesi s~ngat penting. _set~lah
·
t UJuan, dur J. elas maka diperlukan gaya kepem1mpman
peran, dan prose ,
. k tusan yang tepat. Keterbukaan dan hubungan
dan pengamb1lan epu . . .
. d" rtahankan di datam tim agar komun1kas1 dapat
sahng percaya harus 1pe . ·
berjalan secara efektif •
Gambar di bawah m1 merupakan ringkasan dari komponen . utama
untuk mencapai komunikasi interprofesi yang efektif (lnterprofessfona{
Education Collaborative Expert Panel, 2011 ).

,.
.(-
#
, .~ ~

,: _. :;~!./ -:~;~·.· '.'. ::

Gambar 9.2. Komponen Ut d l .. . -


ama a am Komumkas1 lnterprofesi yang Efekti f
REFER EN SI
Conn, L. G., L. Lingard , · R s
· eeves K .
Zwarenstein. 2009 C . ' · L. M1ller, A. Russell dan M.
. . . ommun1cation Chan . '
Med1erne: A Descript' nels m General Internal
10 n of Baseli
lnterprofessional Coll b . ne Patterns for Improved
a oration Q t· .
19(7): 943-953. · · ua itat,ve Health Research

Foronda, C., B. MacWilliams d E


, Communication . . H ' an . McArthur. 2016. lnterprofessional
. . in . ealthcare: An Integrative Review. Nurse
Education in Practice 19 : 36 _40 .

Hamid, N. Z. A., S. Z. A. Rasid, S. Maon, N. M. Hassan, dan L. S. Suddin.


2016 · lnterprofessional Communication and lnterprofessional
Collaboration (IPC} among Health Care Professionals. The Eu,uµt.•un
Proceedings of Social & Behavioral Sciences: 21-23.

lnterprofessional Education Collaborative Expert Panel. 2011. Core


Competencies for lnterprofessional Collaborative Practice.
lnterprofessional Education Collaborative Expert Panel.
Washington, DC.
Janis, I. L. 1972. Victims of Groupthink: A Psychological Study of Foreign-
Policy Decisions and Fiascoes. Houghton Mifflin. Oxford.

Joint Commission Resources. 2009. The Joint Commission Guide to


Improving Staff Communication. ·Edisi ke-2. Joint Commission
on Accreditation of Healthcare Organizations. Oakbrook Terrace ,

Illinois.
King, H. B., J. Battles, o. P. Baker, A. Alonso, E. Salas , J. Webster, L,
Toomey, dan M. Salisbury. 2008. TeamSTEPPS™ : Team Strategies
and Tools to Enhance Performance and Patient Safety. Volume 3.
Agency for Healthcare Research arid Quality (US). Rockville .
liliw • ar-Dasar Komunikasi Kesehatan. Pustaka Pelajar.
en, A. 2007 . 0 as .
Yogyakarta.
Lin . . S Whyte G Regehr, G. R. Bake"r, R. Reznick, J.
gard, L., S. Esplll, • ' ·
Doran dan E. Grober. 2004. Communication
Sonnen B Orser, 0 . ' l Cl
· ' .· ting Room: An 0-bservationa assification
Failures tn Tt-le Opera
. -r. . and Effects. Qual Safety Health Care 13(5)·
of Recurrent ,ypes - ·
330-334.
. ll M M . Groves C. Mitchell, dan J~ Batkin. 2010. Innovation
M1tche , . , · ' ·
in Learning - An Inter-Professti(?n Approach to Improving
commu~ication. Nurse Education in Practice: 10-12.

o, Daniel, M. dan A. H. Rosenstein. 20Q8 ~ Prof essionat _Communication


and Team Collaboration. Dalam Patient Safety and Quality: An
Evidence-Based Handboqk for Nurses. Editor R. G. Hughes. Volume
2. Agency for Healt~care Research and Quality (US). Rockville.

Phutela; p. 2015. The l.:m portanGe of Non-Verbal Communication. The /UP


Jo.ur✓nal of Soft Skills 9 (4): 43 (" 49.

Potter, P. dan A. Perry. 2009. Fundamental of Nursing. Edisi ke-7. Elsevier.


Singapore.

Robbins, S. P. dan T. A. Judge . 2013. Organizational Behaviour. Edisi ke-


15. PeaFson Education, Inc. Boston.

Robinson, F. P., G. Gorman, L. W 7


Slimmer, dan R. Yudkowsky. 201 O.
Per.~eptions of Effective and Ineffective Nurse-Physician
Communication in Hospitals. Nursing Forum 45(3 ): 206-216 .

Stewart, M. A. 2017. Stuc,k in The Middle: The Impact of Collaborative


lnterprofessional Communic:ation on Patient Expectations. Shoulder
6: El-bow: 1-7.
W1'll iarns, · A Healthca-re
D. 2016. lnterprof essional Collaboration:
Professional 's Duty. Capella University.
KEPEMIMPINAN
Ardi Findyartini & Rr. Tutik Sri Hariyati
:100
An
Jrne

A. DEFINISI KEPEMIMPINAN
IUP

Kepernimpinan (leadership) dalarn kolaborasi interprofesi kesehatan


11ier. sangat penting. Teori kepemimpinan fungsional yang dikernukakan oleh
McGrath (1962) menggambQrkan bahwa kepemimpinan perlu memenuhi

1ke· kebutuhan anggota tim, sehingga tim dapat menyelesaikan tugasnya


dengan baik dan setiap anggota tim dapat berkontribusi dalam mencapai
tujuan tim secara keseluruhan (Zaccaro et al., 2001 ). Kedudukan
kepernimpinan dalam organisasi dapat dinilai melebihi kedudukan
manajemen. Manajemen lebih fokus pada pencapaian tujuan organisasi
sedangkan kepemimpinan juga bertujuan untuk mempengaruhi'
anggotanya dari segala sisi (Whitehead et al., 2009). Secara tradisional,
kepemimpinan merupakan perilaku dari individu yang ada dalam posisi
tertinggi. lndividu ini dianggap bertanggung jawab untuk menyediakan
are struktur, sumber daya, dan motivasi untuk seluruh anggota . t im dan
:hC
l'l'lengarahkan tim . untuk merumuskan tujuan tim yang sesua1 dengan

kebutuhan (Bass dan Bass, 2008).

S . t kepemimpinan di tatanan
ecara spesifik, clinical teadersh 7P a au .
kli . . yeluruh di mana profes1 kesehatan
n1s merupakan suatu konsep men .
m.engambil peran kepen;limpinan: mempersiapkan, menginspirasi dan
mempromosikan visi dan nilai yang harus dijaga, serta menggunakan
p~ngalaman klinis dan keterampilannya untuk memastikan tercapainy-a
pemenuhan kebutuhan pasien dan pelayanan kesehatan. Peran
kepemimpinan ini terjadi d.i b,erbag-ai sistem, level organisasi dan
tatanan klinisJ serta_dilakukan oleh berbagai profesi kesehatan sesuai
kemampuan dan kebutuhan (Jonas et al., 2011 ).

Memimpin (leading) dan mengelola (managing) merupakan dua konsep


yang -berbeda namun saling mengisi dal9 m proses kepemimpinan dt
berbagai tatanan, termasuk _dalam tatangn pelayanan kesehatan. Suat
organisasi yang dikelola dengan sang-a t baik dapat kehilangan semangat
dan visi bersama bila tidak dipimpin d.engan baik. Sebaliknya, organisasi
yang dipimpin den.gan pimp,inao yang karismatik tanpa kemampuan
pengelolaan yang baik, tetap tidak dapat dijalankan dengan bai
dan berkelanjutan (Long, 2011 ). Perbedaan detH di antara keduanya
dijelaskan dalam T.abel 10. 1.

Kepemimpinan pada dasarnya adalah proses dari pengaruh yang


berhubungan erat deng9n suatu tujuan yang telah ditetapkan secara
umum atau khusus, misalnya mengurangi kejadian tidak diinginkan di
rumah sakit, dan hal tersebut terjadi dalam konteks suatu kelompok
sosial tertentu. Seorang pemimpin memerlukan sekelompok orang yang
menjadi pengikut (Swanwick, 2011 ).
Tabel 1O. L Perbedaan Ant ·· ··· · ~-· ·-
. . ara Manajem
D1kut1p dan dimodiftk . . en dan Kepemimpin~m
as1 dan Long (2011)

Aspek Manajemen
Kepemimpinan
Transaksional
Landasan kekuatan Transformasional
Otoriter
Karismatik
perspektif Jangka pendek·
Jangka panjang
Respons Reaktif
Proaktif
Lingkungan Stabilitas
Perubahan
0bjektif Mengelola ·beban kerja Mernimpin orang
Hal yang dibutuhkan Subordinat · Pengikut
Kon~~ Motivasi melalui
.,
-
Menawarkan in.sentif lnspirasi
nan ~i Kebutuhan 0bjektif Visi
. .

, ~Uat~ Administrasi Membuat renc;:ana detail Menetapkan arahan


Pengambilan keputusan Membui\t keput1Jsan Memfasilitasi perubnhan
nan~at
Keinginan Hasil Pencapaian/ excellence
iani~a1i Manajemen risiko Menghindari risiko Mengambil risiko

~m~ua~ Kontrol Membuat peraturan Melanggar peraturan


·Manajemen konflik Menghindari konflik Memanfaatkan konflik
..
jO oalK
Opportunism Arah yang sama Arah yang baru
~auaM1 Luaran Memperoleh penghargaan
. .
Memberi penghargaan
Menghindari Menghadapi
PengeloJaan 'blame'
Menjadi yang benar Menentukan yang benar
Fokus pada ..

Excellence
Motivasi Finansial
Menetapkan target baru
Pencapaian Memenuhi target

. . mpunyai minimal 3 kompetensi agar menjadi


Seorang pem1mp1n perlu me . · . .
ruhi anggota dalam mencapa1 tuJuan
Pemimpin yang dapat mernpenga
9
org · · · (Wh 1·tehead et al.'
amsas1, ya1tu •
): ioo
. emahami situasi yang ingin
diagnos1s atau m
1. Kemampuan untuk men
dipengaruhi; . dan sumber daya pendukung; dan
lingkungan
2. Beradaptasi dengan 'kasi yang menjadi bekal dalam
k berkomum
3. Kemarnpuan untu
memoengaruhi anggota.
Seorang pemimpin juga diper_caya perlu memiliki beherapa atribut
penting y_ang te.rk-ait dengan intelegensia emosional dan kepemimpinan,
yang meliputi (Swanwick, 20·11 ):
1. Mawas diri (mawas diri secara emos-ional, evaluasf diri yang akurat,
dan keperc&yaan diri);
2._.. Pengelolaan oiri (kontrol diri, dapat djpercaya, kesadaran diri,
kem_
ampuan adapta~i ,. orientasi pad a pencapaian, kesiapan
mengambH inisiatif),;
3,. Kesadaran sos~al (empati, kesadaran secara organis_
asi, orientasi
kepada pelayan~n); dan
4. Keterampilan · sosial (visi, pengaruh, komunikasi, kemampuan
mempercepat perubahan, manajemen konflik, membangun
hubungan, kolabofasi dan kerja sama tim).

Sisi lain dari kepemimpinan yang perlu diketahui adalah followership.


Tanpa adany~ follower maka _tidak akan pernah ada pemimpin.
Follower bukan ·berarti berperan pasif, . justru yang paling berharga
ada(ah kemandirian, keterampilan, dan peran aktif follower dalam
tim (Grossman dan Valiga, 2000). Dalam tatqnan pelayanan kesehatan ,
follower dapat dicontohkan dalam kolaborasi tim, yaitu adanya pemimpin
tim dan ang.gota tim yang akan bekerja sama qalam mewujudkan tujuan
I .

organisasL Contoh l~in adalah ·anggota tim kesehatan- sebagai pemimpin


yang member,i asuhan kepada pasien, dan follower-nya adalah pasien dan
keluarga pasien. Pasien dan keluarga akan mengikuti arahan, dilibatkan,
dan berpartisipasi aktif dalam pengobatan agar mampu memenuhi
kebut~han dasar di rumah sakit maupun setelah pulang dari rumah
sakit. Kemampuan dalam kepemimpinan ini harus dimiliki oleh seruruh
anggota tim pelayanan kesehatan sehingga masing-masing profesi dapat
menjalankan tugas sesuai peran dan fungsinya.
.·.' ' .

B. GAYA KEPEMIMPINAN

Kepemimpinan di masa sekarang tidak tergantung kepada siapa yang


menjadi pemimpin, tetapi lebih kepada apa yang dilakukan oleh
pemimpin. Oleh - karena itu, berbagai gaya kepemimpinan mulai
an Oi~ diperkenalkan. Konsep gaya kepemimpinan ini dilandasi oleh proses
I

:e~ia~~ pengambilan keputusan seorang pemimpjn dan fokus perhatian


kepemimpinan (Swc;lnwick, 2011 ). Gaya kepemimpinan bukan merupakan
suatu atribut yang melekat, melainkan perlu disesuaikan dengan
individu pemimpin, karakteristik tim, dan bentuk tugas yang perlu
diselesaikan. Selain itu, setiap pemimpin perlu senantiasa menyesuaikan
g?iya kepemimpinannya dengan komitmen staf atau anggota timnya.
Berdasarkan hal tersebut, terdapat empat gaya kepemimpinan yang
dikenat sebagai kepemimpinan situasional, -yaitu direct;ng, coaching,
supporting, dan delegating (Swanwick, 2011; Herseydan Blanchard, 1988).

Pertlaku mensarahkan

. pinan sesuai dengan Situasi


a Kepern1m
Garn bar 10. 1. Gay . d'fikasi dari -Swanwick (2011)
. Dikutip dan d1mo 1
Kepemimpinan yang ef:ektif tentunya sangat diperlukan dalam
kepemimpinan yang ~olaboratif. Penekanan pad a kolaborasi tidak
berarti seorang pemimpin tidak dapat menggunakan kekuatannya
1

secara efektif. Justru kernatangan seorang pemimpin sangat diperlukan


dalam ke.pemimpinan kolaboratif yang melibatkan banyak pihak dengan
berbagqi latar belakang. Adanya kekuatan yang berasal dari inisiatif
pemimpin, ~rekarn jejak individu dan organisasi; keahlian, dan
akuntabilitas dalam organisasi perlu senantiasa dimanf aatkan oleh
seorang _pemimpin sebaik r11urigkin (McKimm, 2011 ). Kekuatan dapat
di<::c)pai dengan cara 'gained through giving' kepada anggota tim
kolaboratif, termasuk memberi hat p.enting untuk diselesaikan, diskresi
dan otonomi, rekognisi yang tepat,. dan hubungan serta interaksi yang
sehat (Kanter, 1982).

C. KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
Kel:)emimpinan transformasional makin diperlukan saat ini mengingat
lingkungan yang sangat dinamis dan adanya kebutuhan organisasi
terhadap perubahan. Konseg kep~mimpinan transformasional ters.ebut
dapat diringkas menjadi 4 'I' (Bass dan Avolio, 1994), yang terdi ri
atas ide.a lised i~fluen<::e (pengaruh yang ideal atau dicita-citakan),
inspirational motivation (motivasi yang inspiratif) , intelectual
stimulation (stimulasi intelektual), dan individual consideration
(pertimbangan individual).

Melalui p~ndekatan kepemimpinan transformatif, pemimpin membangun


dan menguatkan kemampuan anggota timnya, sehingga mereka dap~t
membantu organisasi untuk mencapai tujuan dan mendeskripsikan
gambaran umum masa depan (Swanwick , 2011) . Kepem1mpman
· ·
transformatif memungkinkan adaptasi dalam lingkungan yang kompleks,
,,~,t{:: ;;,,,;/,ifoi;ti jj('<• ,,, ',.,
seperti halnya lingkungan ~
. . . . pelayanan ke
pada md1v1du
. yang mem 1·t·k·
1 1 posisi
sehatan.
. Tujua·n utamanya bukan
upaya pemngkatan kema pengamb1lan keputus . · .
. mpuan seluruh an . an, tetap1 pada
ggotQ tim (Day et al., 2004).

Garn bar 10. 2. The NHS Leadership Qualities Framework


Dikutip dan dimodifikasi dari NHS Institute for Innovation and Improvement (200 6)

Kebalikan dari ·kepemimpinan trQnsformasional adalah kepemimpinan


tipe transaksional. Kepemimpinan tipe transaksional umumnya berfokus
Pada perencanaan dan target pimpinan, dan lebih mengutamakan
apa yang akan didapatkan dan apa yang harus dkapai oleh staf (Bass
dan Avolio, ). Pemimpin akan sangat fokus pada perencanaan,
1994
,f
Pencapaian tujuan dan tenggang waktu, serta memfasilitasi sumber
daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Bila diperlukan, pimpinan
akan melak~kan campur tangan atau rnengoreksi tim sehingga mereka
d ka (Berger et al., 2012).
apat mencapai tujuan mere
D. KEPEMIMPINAN DAt-AM KOLABORASI INTERPROFESI
KESEHATAN
Kepemimpinan dalqm kolaborasi interprofes•i keseha.tan merupakan
kepemimp.inan kolaboratif den.g~rJ kar~kteristik peningkatan kerja
sama dalam kep·emimpinan .di tatanan .pelayanan, yang membutuhkan
pemahaman mendasar mengenai stste-m, org~ni~asi,_ indivi-du dan
-komunitas ya-ng dilayani, ser:t.;a .keinginan untl!.k bekerja dan memimpin
dengan cara yang inovatif tMcKfm.m, 2011 _
). Berbagai capaian dalam
kolaborasi tersebut mela{ui proses .berikut ini (Liedtka dan Whitten,
1-998):
• Pengambilqn keputusan bersama .di antQra berbagai pihak;
• Kepemilikan bersa-ma terhadap keputusan yaAg diambil;
• Tanggung. jawab ber~~ma terhadap keputusan yang dihasilkan;
• · Bekerja meliFi:tasi ~atasan profesional dan fung~ional; dan
• Mernantapkan f~ktor pendukung yang meliputi sumber daya,
sistem, dan -proses.

Kepemimpinan kolaboratif merupakan kepemimpinan yang


transformatif, situasional, terdistribusi, dan berlandaskan atas nilai-
nilai. Dalam kepemimpinan kolaboratif, kepentingan untuk melayani,
yaitu m_
elayani organisasi, profesi, atau sektor tertentu, merupakan
rnotivasi yang lebih kuat dibandingkan dengan dorongan individu
tersebut untu·k rnemimpin (McKimrn, 2011 ). Kepemimpinan seperti ini
sangat diperlukan untuk menggerakkan kolaborasi interprofesi kesehatan
dalarn tatanan pelayanan kesehatan yang sangat dinamis dan terus
berubah. Pemimpin yang hierarkis dapat memiliki posisi yang kuat dan
terlegitimasi, sedangkan assume leadership melandaskan keputusannya
pada kebutuhan dan keahliannya (Dow et al., 2015).
>emimpin kolaboratif m . · · ·.
. emast1kan bah .
<epent1ngan yang terdampak t h wa se~ua pihak atau pemangku
. er adap k
:erl1bat dalam proses P . eputusan yang diambil •
engamb1lan k . . ' Juga
;eluruh tahap yang terd1·r· d . . eput~sannya. Oleh karena itu
1 ·gn 1dentifik · '
Jelaksanaan, dan evaluasi d'l k a.s1 masalah, perencc;1naan,
. .1 a ukan metal . .
intens1f, res pons aktif dan b Ul serangka1an komunikasi
. ' peru ·. ~han konst k · . .
kom1tmen tinggi dari pemim . ru tlf · Hal m1 memerlukan
· Pln terhadap kolabo 1· .
yang sedemikian rupa memb t hk . · • ras , mengmgat proses
I ,,
I mudah (McKimm, 2011 · D u u . an waktu dan proses yang tidak selalu
, ow et al.' 2015). Gambaran ini juga ter'adi
lian ~k•i
dalam kolaborasi interprofesi kesehatan di berbagai tatanan pelayalnan
n%i~ ,
l! kesehatan.

na~; Anggota tim dalam pelayanan kesehatan dapat memiliki harapan


yang berbeda terhadap peran dan perilaku kepemimpinan. Dalam
II;
banyak aspek kepemimpinan dalam kolaborasi interprofesi kesehatan
~a~il~!i; '
kepemimpinan medis dengan pendekatan command and control atau
aan 'perintah dan kontrol' masih memegang peran penting. Pelayanan
Jrn~r ~ kesehatan yang makin kompleks saat ini membutuhkan pendekatan
kepemimpinan yang memungkinkan pembagian peran dalam kolaborasi
pelayanan kesehatan. Meskipun dokter memiliki tanggung jawab klinis
terhadap pasien dan pengelolaan sumber daya di berbagai tahapan
pelayanan, profesi kesehatc;in lain pun dapat berperan dalam suatu proses
yang tebih kolaboratif (McKimrn, 2011 ). Pendekatan ini disebut shared
leadership yaitu kepemimpinan yang mendistribusikan tanggung jawab
. . . bertuJ·uan untuk mengoptimalkan kolaborasi dalam
keperrnmp1nan, yang
. h t n yang adaptif terhadap perubahan kebutuhan
t1m pelayanan kese a a rbedaan anggota t1m . yang menJad1
. . pem1mpm
. .
dan lingkungan, dengan
. pe ktU · berdasarkan sumber daya, keahl1an,
. . dan
dan pengikut sepanJang wa
w et al., 2015).
kebutuhan pelayanan
(D
°
Sebagai contob dalam tatanan pelayanan kesehatan terhadap seorang
pasien dengan diabetes metlitus, seoran~ dokter menetapkan diagnosis
dan tatajaksana sec;ar~ komprehensif dengan tetap meltbatkan pasien dan
kel.uarganya, m_e monitor kemajuan tata laksana, dan . memodifikasinya
bila diperlukan. Perawat dapat 11Jernerhatikan konsistensi aktivitas fisik
yang dilakukan pasien, sementara apo.teker berperan -dalam memonitor
kepatuhan minum obat serta masalah terka.it o_b at, dan memberikan
asupan kepada dokter tentang hal tersebut. Diet pasien juga dapat
dievaluasi qan didiskusik_an secara detail ot~h ahli gizi. Dalam contoh ini,
tampak bahwa masing-masing profe~i berperan sesuai kompetensinya
dan berkontripusi aktif. Tf ndak lanjut terhadap tata laksana pasien
tetap me-merlukan koordinasi, yang dalam hal~ ini dapat dilakukan
oleh profesj tertentu tergantung pad a. situasi dan kondisi. Bila pasien
memillki kepatuhao yang -bails., dan kondisinya terkontrol, perawat
dapat memegang peranan sebagai. case manager (profesi baru di rum ah
sakit di lndonesi 9 ). Namun SE;?baliknya, bila kondisi gula darah pasien
masi,h belum st.abil ataw terd~pc;1t manifestasi penyakit penyerta, dokter
bahkan dokter spesialis perlu memegang peran sebagai case manager.
Proses ini terjadi secara dinamis dalam tatanan pelayanan kesehatan
baik promotif, prevent if, kuratif, dan rehabilitatif, dan didasari dengan
komitmen untuk memberikan pelayanan terbaik serta pemanfaatan
bukti terbaik dalam pelayanan kesehatan.

Conteh lain adalah saat seorang perawat mengaktifkan code blue


(kode isyarat bahwa pasien mengalami henti jantung) di suatu bangsal
perawatan dan memanggil tim resusitasi. Sebelum tim resusitasi hadir,
perawat yang telah dibekali kemampuan bantuan hidup dasar dapat
memulai kompresi d,ada. Saat anggota tim pelayanan kesehatan di bangsal
yang sama masuk ke ruangan tersebut, sang perawat mengumumkan
status henti jantung pada pasien dan mengarahkan anggota tim untuk
membantu kompresi dada dan mengambil alat defibrilator. Perawat
,rsebut menjadi pemimpin dala ., _
. t· . m tata laksan .
tmpa1 1m resus1tasi akut m . a pas.1en henti jantung
. engamb1l alih d _ .
dVP lanJut yang diperlukan O l an membenkan bantuan
· a am kondisi di t
~layanan kesehatan yang kom t . a as, tampak bahwa tim
pe en bersifat re . 'f
mg ada (Dow et al., 20 1s). spons1 terhadap kondisi

mtutan mutu dan keselamatan . .


. . _ - pas 1en sesua1 Standar Nasional
kred1tas1 Rum ah Sa kit (SNARS) tahun 2018 . _ __ .
. . . - - Juga menuntut kemampuan
?adersh 7p dan mas1ng-masing Profesional Pemberi Asuhan (PPA), yaitu
okter, perawat, apoteker, dan ahli gizi. Dalam irnplementasi kolaborasf
lterprofesi di rumah sakit sesuai standar Pelayanan Asuhan Pasien maka
suhan diintegrasikan dalam Alur Klinis Terintegrasi (Integrated Clirrical
athway) (Komisi Akreditasi Rumah Sakit Indonesia, 2018). Sebagai
ontoh dalam tata laksana pasien dengan Dengue Hemorrhagic Fever
)HF), maka masing-masing profesi yaitu dokter, perawat, ahli gizi dan
poteker masing-masing ·mempunyai alur pemberian pelayanan sesuai
rof esi, tetapi tetap sali ng terintegrasi. Dalam pelaksanaan integrasi
· · d'perlukan
,e l ayanan 1n1 1 .
kepemimpinan
·
yang saling
-
menghargai peran
_ f . ·ng masing profesi. Pada tim keperawatan, pemimpin
Ian ungs1 mas1 - · - · . . .
dinasikan dan mem1mpm t1m keperawatan
,erawat perlu meng koor
h. alur pemberian pelayanan, keperawatan
lalam siklus 3 shift, se mgga · · _ hl' •: dan juga dokter
- - - , mikian juga apoteker, a i g1z1,
lapat terlaksana. De . h da!am suatu integrated cUnfcql
dinas1kan asu an - -
'ang turut meng koor - t kemudian dikoordinasi.kan dal.am
thway tersebu -
>athway. Seluruh pa . dan dijamin mutuoya dalam
. dievaluas1
.atu tim multidisipltn yang
\esetamatan pasien •
. _ kolaborasi interprofesi juga
. . dalam t1m . -
~entuk kepemimp1nan Praktik Klims (PPK), Panduan
panduan •
j1'wu. dk dengan adanya - G1'zi dan Panduan Asuhan Farmas1
Ju . an Asuhan , . . .
~ tan Panduan . . terintegrasi/ Ch meal Pathway
-\SUhan Keperawa ' _ tu Atur Kl1n 1s
datarn sa - ·
tang dHntegrasikan
(Persatuan Rumah Sakft Seluruh Indonesia, 2015). Dokumentasi evaluasi
asuhan pasien juga diintegrasikan dqlam satu Ca,t9tan Perkembangan
Pasien Terintegrasi (CPPT). Bentuk kolaborasi juga ditunjukkan dalam
Per~nc9naan Pemulangan Pasien (dischar$e planning) terintegrasi dan
edukasi terintegrasi. Masing-mc;\sing profesi akan dipimpin oleh pimpinan
yang akan mengintegrasikan asuhannya, dan untuk keseluruhan asuhan
akan dilaksanak.an melalui koordinasi oleh dokter penanggung jawab
dalam hal pelayanan, dan juga dikoordinasikan oleh pimpinan perawat
penanggung jawab untuk asuhan keperawatan (Komisi Akre.ditasi Rumah
Sakit Indonesia, 2018).

Datarn kondis.i lain di tatanan pelayanan kesehatan berbasis komunitas,


seorang apoteker- dapat mengjdentifikasi kebutuhan konseling obat pada
seorang pasien usia lanjut dengan polifarmasi. Apoteker melakukan
pengkaji'an resep, rekonsiliasi obat, mengidentifi.kasi dan men~egah
terjadinya m.asalah terkait obat, serta memberikan kons~ling obat pada
pasien_tersebut. Apoteker memutuskan_unt1:-1k menjadi pemimpin dalam
hal, ini d,qn bertindak untuk mencegah pengguna~n obat yang tidak
tepat oleh pasien.· Apabila diperlukan, apoteker dapat berkoordinasi
den~an dokter yang merawat pasien tersebut untuk merekomendasikan
penggunaan obat atau memberikan ~onsultasi khusus terkait obat dalam
tata laksana penyakit pasien secara keseluruhan (Dow et al, 2015).

Berbagai . contoh kasus c;ii atas mengg~risbawahi pentingnya konsep


leadership dan followership, mengingat tenaga profesional termasuk
profesional kesehatan jarang sekali akan menjadi pengikut yang pasif.
Oleh karena itu, active followership, yang berarti bahwa setiap orang
dap_
a t rnernimpin dalarn hal-hal kecil di lingkup pekerjaannya dan di
sernua l~vel secara sinergis untuk mencapai tujuan akhir, sangat penting
dalarn kepern;mpinan kolaboratif (McKirnm, 2011; Dow, et al, 2015).
Beberapa karakteristik kepernimpinan kolaboratif dan perbedaannya
engan kepemimpinan t rad1s·
. ·· ,.
1onal
·· d'1ura·k -
· 1. an dat
10 1
Tabel 1O. 2. Perb edaan Kep am Tabel •.
.k em·
D1 utip dan di mod1fikasi
. 1mpinan lirad1s1onat
dari Lee-Davis.. d
an Kolaboratif
. Q~ et al. (2007)
t~~-
~\~~ arakteristik
Kepemimpinan Tradisional Kepemimpinan Kolaboratif
I a~~~ • •
• I
Puncak organisas1·
Di . . Di. semu a 1evel organisasi
~ lawd~ Keputusan puncak organ 1sas
. ·.1
Kader pe m1mpm
· . yang d -
dan strategi mem1-. apat
~erawdt . yantu memecahkan
ditentukan
masalah
.~j ~Umij~ dengan:
Dampak: Mempertahankan k~k-uatan Membantu anggota tim
menc~pai potensi optima.lnya
Memotivasi Karisma, mites , .ke kuatan Ketenkatan kolaboratif -
omunltdlI anggota tim berdasarkan posisi
didasari atas:
obat ~aoa
Trust diteniukan Proses Hubungan, nilai
me\aKuKa~ pada:
Perubahan Diinisiasi dari puncak Diinisiasi melalui
men~~a~
adalah: organisasi dan sulit diterima di pengembangan dan inovasi
6obat ~aoa level di bawahny~- berkelanjutan
Seluruh anggota tim yang
rn~1naalarn Rewards akan Pemegang kekuasaan,
berperan dalam pencapaian
diberikan pada: pirnpinan
yan~ tioa~ tujuan organisasi
· 311
,erkoor0io
oa~i~a~
o111en lengan diterapkannya kepernirnpinan kolaboratif, kepemimpinan dapat
. t oatam
't oba er~istribusi ke seluruh anggota tim dan tidak dibebankan pada seorang
,1 201~)· nd1vidu pern1rnp,n.
· · anggota t·11n mem1mpm
· Set1ap · · pea
l ksanaan tugasnya
,1,
lengan tetap mengikuti dan berkoordinasi dengan anggota tim lain.
~de[ kepemimpinan seperti ini dinilai Lebih efektif, terutama dalam
ingkungan yang kornpleks, sepertl halnya dalam pelayanan kesehatan
Wang et al., ). Berbagai ketidakpastian dalam tatanan yang
·o 2014 . . yang memenuhi
· tnpleks tidak mungkin dihadapi oleh seorang pem1mprn
eluruh k . . an di semua level (Dow et al., 2015).
peran epem1mptn
E. DINAMIKA DALAM KEPEMIMPINAN KOLABORATIF

Bagian sebelumnya dalam bab ini menggambarka_n kepemimpinan


kolaboratif_yang din~.mts.dan adaptif. Meskipun setiap individu dalam tim
memi.liki kesempatan menjadi pemimpin dan pengi,kut, posisi individu
ter-sebut d,alam hat kepeniimpinan tim dapat ditinjau dari 2 (dua) aksis,
yaitu (Margeson et al., 201q):

1. ~ksis Formal dan Informal


Pemimpin form~l adalah individ,u yang. memiliki posisi atau hierarki
tertentu dalam tim yang biasanya rnerniliki akses terhadap sumber
daya yang ad~. Sedangk~n pemimpin informal adalah individu dalam
tim yang tidak memiliki posis·i khusus, tetapi da_pat membantu
pemimpin formal dal~m mengakses sumber daya eksternal.

Pemimpin dalam tim kolaborasi yang dapat timbul sesuai kondisi
pelayanan yang gibutuhkan umumnya adalah pemimpin informal.

2. Aksis Internal dan Eksternal


Pemimpin internal adalah pemimpin yang sangat terintegrasi
dalam tirn dalarn rnenjala.nkan fungsinya sehari-hari. Dengan
kata lain, pernimpin internal ini adalah juga anggota tirn terkait.
Pemimpin internal sangat memahami proses penyelesaian tugas
dan masalah yang ada dalam tirn,. Sedangkan pemimpin eksternal
adalah pem 1.mpm· .yang t1'd ak 1kut
· serta dalam pelaksanaan fungsi
tim secara reguler. Pemimpin eksternal memiliki kapasitas yang
sangat baik datam melakukan evaluasi terhadap performa tim dan
memberikan umpan balik.

Pemimpin dalam t· k
secara d" . 1m olaborasi pelayanan kesehatan dapat berada
mam,s di di antar k d
a e ua aksis di atas (Tabel 1 O.l).
• - ..: • ' • I • '. "'.: •/::-t:, ;: '.' }~l
. . . ·· ., ... I

149 r
rabel 10.3. Contoh Peran Sesuai Aksis K . .
Dikutip dan dimodifik . d .epemtmpman oalam Tim Kolaborasi
. as1 an Morgesc;,n et at. (2010)

~ti~ ·ormal
Manajer 1,1nit
li~ou Eksekutif
rlformal Perawat, petL,Jgas sosial (sering) Champion peningkatan kualitas
a~~h I

~tiap peran kepemimpinan dalam Tabel 1O. 2 memiliki sumber kekuatan


~bagaimana yang tertera pada Gambar 1O. 3 berikut.

ierarKi
,umber

1dalam
nbantu
;ternal.
kona1)1

forrnal.

. ch dan Raven, 1959)


. pemimpin (Fren
ber kekuatan
Gambar 10.3. Sum -
. dikelompokkan sebaga1
t s dapat ..
sebut di a a . . ikaitkan dengan pos1s1
Surnber kekuatan ter . nal power. J 1ka d biasanya dimiliki
d perso ;ve power
Positional power an · · l di atas, coerc . . al power. Dalam
3
1·nforrn pos1t1on
Pernimpin formal dan rnasuk dalarn
0 leh pemimpin forrna l dan ter
model kepemimpinan tradi-sional pe'layanan kesehatan, coercive power
menjadJ kekuatan seorang dokter: Namun, dalam keadaan di mana
masing .. masing anggota tim memiliki peran penting dalam pelayanan
kesehatan, distribusi kepemimpirtan diharapkan dapat lebih baik. Pada
era teknologi informasi dan revolusi indl)stri saat ini, setiap anggota
tim dapat mem-iliki kompet~nsi spesifik yang dapat menunjang performa
tim. Dengan demikian, dalam kepemimpinan kolaboratif di pelayanan
kesehatan, personal power seperti expert power, information power,
dan referent power menjadi penting (Dow et al., 2015). Seluruh anggota
tim perlu memahami seluruh kekuatan yang dimiliki anggotanya dan
memanfaatkannya melalui proses diskusi, komunikasi efektif, dan
interaksi di dalam ti'm (0ow et al., 2013 ).

F. KEGAGALAN DALAM· KEPEMIMPINAN


Pembahasan leadership-tidak tedepas dari esensi kolaborasi interprofesi
kesehatan itu sendiri. Dalam kolaborasi" interprofesi kesehatan, setiap
anggota tim/profesi mempunyai peran dan tugas yang spesifik, tetapi
tetap beririteraksi .untuk mencapai tujuan bersama. Tim kolaborasi
interprofesi kesehatan yang efektif perlu memiliki beberapa karakteristik
tertentu, yaitu (Bosch dan Mansell, 2015):
• Tim memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus serta dasar
kqmpetensi kolaborasi yang sama di antara sesama profesi dan
sesuai peraturan perundangan yang berlaku;
• Tim mempunyai rasa percaya terhadap peran dan tanggung jawab
masing-masing anggota tim;
• Tim kolaborasi membuat keputusan secara mandiri dengan tujuan
yang sama, dan juga keputusan bersama dalam pelaksanaan asuhan
pada pasien;
• Tim memp.unyai ketergantungan satu dengan yang lainnya dalam
melaksan~kan asuhan; dan
• Adanya kepemimpinan kolekt'f .
. 1 , d1 mana p .
profes1 untuk suatu keutuh "' · eran dan masing-pasing
an "'an tujuan t·1m.

olaborasi interprofesi membutuhka l .


.. · . n eadersh,p yang handal karena
!)rd1r1 dan anggota dan berbagai di 51.. t· .
.. · P m 1lmu berbeda yan h
3ling tergantung satu sama lain wataupun mem·t·k· - g arus
• 1 1 1 peran dan f ungsi
,asing-mas1ng. Kegagatan leadership dalam . l. • •

1mp ementas1 kolaboras1


,terprofesi kesehatan sering dipicu oleh ma l h. b l d
- sa a ~ e um a anya
epercayaan antaranggota dan kendala komunikasi. Suatu riset yang
,elibatkan 28 dokter junior dan 8 perawat yang menggunakan 33 skenari.o
erja sama tim menunjl,Jkkan adanya kegagalan kolaborasi interprofesi
esehatan dan kepemimpinan kolaboratif. Penyebab kegagalan tersebut
i antaranya adalah kolaborasi yang buruk 42,4% (14/33) dan kolaborasi
ang kurang akibat kepemimpinan yang buruk 48,5% (16/33). Kedua hal
ii mengakibatkan kurangnya koordinasi dan kerja sama tim. Secara
igniftkan, penyebab kegagalan dikaitkan dengan kurangnya model kerja
·profe~i ama (62,5%; 10/16) dan komunikasi yang buruk antartim (50,0%; 8/16)
I
~etia~ :on nor et al., 2016).
teta~1
. k . di Indonesia untuk mengeksplorasi
:abo~11 uatu riset juga d1laksana •an .
: . d l m kolaborasi interprofes1 kesehatan.
lted~ti~ 1
oordinasi dan kolaboras aa . d' b bkan oleh adanva
. - . . .. n dan kolaboras1 1se a. -
1
.egagalan kepem1mp na . t· tang unulitil< ynng rnclibc2tkt1n
· · st
tcreotyping antarprofe 51. u -
di potong m ·
i di sebuah rumah sakit di
. . dan ahl1 g z1 . .
okter, perawat, apoteker, t"pes Rating Quest1onna1re
Student Stereo ,.
akarta yang meng_gunakan . A . t r r;m lnterprofesi (AITCS)
K l boras1 n a .
SSRQ) dan Penilaian Skala o a . cara signifikan berkorelas1
in terbukt1 se
1enunjukkan bahwa stereotYP g . kesehatan. Stereotyping yang
·,, . terprofes1 .d
iengan praktik kolaborasi m 'knya imptementasi kolaboras1 an
kurang bal 017)
urang baik menyebabkan hatan (Sari et al.' 2 .
l anan kese
epemimpinan datam pe aY
&lr,,l'
~t8Y .
erltJ
~ert1
Beberapa bentuk kegagalan lain dari kepemirnpinan kqlaboratif d3n
j~
disebabkaA karena (Grigsby, 20f0.): h3ta
,se
• Tidak ,;nengenal at:qy mengabaikan budaya organisasi. Budaya
nt?r,ga
organisasi dalam konteks kolaborasi 1nterprof~si mengharuskan 1
~ren~ b
pemimpin- mengenal dan rnernpelajari budaya masing-masing
~nkUt i
prof~si, peran dan fungsi, serta kekuatan profesi dalam mendukung
tujuan organisasi. 1, Gl<
• Terlalu cepat ingi-n meraih keberhasilan dan tuj!,Jan organisasi. pe
Berfokus pada tujuan tanpa memerha,tikan proses dan sumber daya pe
yang mendukur;ig organisasi dapat mengakibatkan masalah dalam glc
kolaborasi. Perhatian terhadap proses dan pelibatan semu-a profesi ke
adalah kunci dalam keberhasilan kepemimpinan, kolaboratif. mE
• Menghindari komunikasi, mengeluh, da,n mengomel terkait
2. Fr
kondisi tanpa berusaha untuk mendengar dan memperbaiki secara
ch
bersama.
• Menghindari konflik karena -konflik dipandang sebagai sesuatu -pe
yang dapat menghambat implementasi kolaborasi. Pemimpin yang pil
menghindari konfli~ berisiko mengalami kegagalan pelaksanaan l. M•
kolaborasi i nterpr0fesi. te
• Adanya perenc~naan strategis tetapi tid~k disertai perencanaan da
operasional, di mana pemimpin terpaku pada perencanaan
da
strategis tan pa memerhatikan operasional -pencapaian dan target 4
· Pe
yang harus dilaksanakan.
ke
t Pe
6. MANAJEMEN PERUBAHAN Pe
te
6,
KepemimpinaD kolaboratif memerlµk~n adaptasi berkelanjutan dari p~
pemimpin dan anggota tim terhadap berbagai perubahan yang terjadi.
Salah satu contohnya adalah perubahan pola komunikasi interprofesi
untuk menunjang pelaporan kejadian tidak diinginkan dalam suatu
,elayanan kesehatan. Perubah
an tersebut
nernerlukan adaptasi dari set.
. . lQp anggota
·im dan pem1mp1n tim kolaboras·1
• . · pelayanan
cesehatan yq.ng terka1t. Perubah::in
',A merupakan
·ant~ngan
· yang konstan, dan dapat · · t erJa
. d'1
<aren~ berbagai aspek termasuk beberapa hal
Jerikut ini (De Meyer, 2011 ):
' 1. Globalisasi. Berbagai
. aspek
· dalam keh'd .
· 1 upan, termasuk standar
·~ oan1 ·
ijm~i~. pelayanan kesehatan dan perlunya kolaborasi interprofesi dala.m
an 111 '111
lll~~l~~~~ pelayanan kesehatan, merupakan fenomena global. Tantangan

lata~ ~emij~ ir,1~ globalisasi ini mengharuskan suatu organisasi menilai juga
kekuatan dan kelemahan organisasinya serta daya dorongnya dat.am
nKOl~~~r~til,
menggerakkan perubahan l,mtuk mencapai visi yang diharapkan.
men~omel t~I
2. Fragmentasi terhadap proses pemberian manfaat (i.e 'val'ue
nem~er~ai~i ~ chain'). Penghasilan suatu barang dan jasa, termas.uk dalam
pelayanan kesehatan, sering memerlukan kontribusi berbagai·
pihak, dan tidak didominasi oleh pihak atau profesi tertentu.
3. Meningkatnya keahli.an anggota tim. Setiap anggota tim,
termasuk datam tim pelayanan kesehatan, memiliki kompetensi
· . · · m::is ·ng yang qapat meningkatkan kreativitas
dan keahl1an mas1ng- .,. 1 .
. . dalam kolaborasi pelayanan kesehatan.
dan 1novas1 · · · · .
asyarakat terhadap kuahtas pelayanan
4. Peningkatan kebutu han m · ·
kesehatan. d l m memenuhi kebutuhan
5 . . . serta masyerakat a a .
. Pemngkatan peran . arakat memiliki akses tuas
mengmgat masy
pelayanan kesehatan · d' . teknologi informasi.
.1 kesehatan . 1 era
terhadap informas . l nan kesehatan dalam bentuk
anisas1 pe aya
6. Perubahan struktur org kesehatan.
. . . k pelayanan . ..
JeJanng atau networ . hadap manaJemen ns1ko,
erhat1an ter .
7. Makin meningkatnya p I tan dan upaya menmgkatkan
nan kese1a
termasuk datarn pelaya l yanan kesehatan.
· dalarn pea
keselamatan pa.s,en
Peningkatan peran teknologi dan informasi dalam pelayanan kesehatan.
Berbagai perubahan yang diperlukan dalam suatu tim pelayanan
kesehatan, didasa.rkan at_
s3s visi yang disepakati dalam tim. Manajemen
peruba-han adalah pendekatan t~r,struktur yang mengubah individu,
tim, dan organisasi dari keadaan saat ini ke keadaan masa depan yang
diinginkan,. untuk m~menuhi visi dan strategi. Proses ini berjalan dalam-
·suatu organisasi dan b~rtuJL!an untuk meningkatkan kemampuaA anggota
tim untuk_ menerima dan mengh<3rgai perubahan yang terjadi dalam
organisa~i. Lebih j_auh. lagi, manajemen perubahan ditekankan sebagai
suatu proses sistemati-k yang eerarU mendefinisikan dan mengadopsi
strategi organisasi, struktur, prosedur, dan teknologi untuk mengelola
perubahan sesu_ai dengan kondisi internal dan eksternal (Benedict,
2007).

Menurut Kotter (2002), terdapat 8 . (delapan) langkah inti dalam


manajemen perubahan yang menggarisbawahi pentingnya adaptasi
dan kontribusi semua pibak dalam proses perubahan yang dilakukan.
Kedelapan langkah tersebut digambarkan dalam Garn bar 10.4.
Selanjutnya akan diuraikan langkah dalam manajemen perubahan
mengguna.kan ilustrasi kasus dalam kolaborasi interprofesi kesehatan .
·-.. - ~.
. .

155 ,;

,·;J ,[ J:• I ·,
}tl-~•iJ!.f.-.•'j,J-1 h:it;. {1
S(i_,qj', '1 f-1 't);f.1•

Gambar 10.4. Langkah-Langk h d l .


a a am ManaJemen Perubahan (Kotter, 2002)

angkah manajemen perubahan untuk kasus di atas, adalah sebagai


erikut (Kotter, 2002):
1\ ~I.&> •

I • •

1. Langkah 1. Meningkatkan Urgensi terhadap Perubahan


Tim kolaborasi interprof~si kesehatan mengumpulkan data cakupan
imunisasi di wilayah tersebut untuk satu tahun terakhir. Selain
itu, tim dari puskesmas tersebut juga mendiskusikan berbagai
taporan kasus kematian anak dan balita akibat penyakit yang
seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi, misalnya difteri. Tim
mendiskusikan data terakhir ini dengan dinas kesehatan, kepala
•t h uka agama dan pemuka masyarakat di wilayah
w1 aya , pem · , ·
tersebut.

tuk Tim· Pengarah (Guiding Team)


2. Langkah 2. Mem b en . .. .
• ta masukan dari t1m kolaboras1 mterprofes1
Kepala puskesmas memm · .
h dan strategi yang harus d1lakukan.
k
kese hatan tentang Lang a minta ·
arahan dari dinas kesehatan dan
mas juga me
Kepala pus kes k dari kepala wilayah, pemuka agama,
. kan masu an
mempert1mbang t ntang strategi peningkatan cakupan
arakat e
dan pemuka masY ·
. . . ah tersebut.
imunisas1 d1 w 1laY
3. Lan-gkah 3. Menetapkan Visi se:car~ Tepat
·Tim kolaborasi interprofesi kesehatan rnendiskusikan visi -untLtk
meningkatkan, cakupan imunisasi. Visi ditentukan secara spesifik
untuk peningkatan cakupan imunisasi untuk kaslJs infeksj menular
d.engan peningkatan ju,n,lah kasus yang tajam, yaitu imunisasi
I

untuk
'
difteri (DPT) rlengan menjangkau perumahan penduduk
. .

dan sekolah-se:kolah di wilayah tersebut, termasuk melakukan


imunisasi bagj orang dewasa.

4. Langkah 4. Mengomunikastkan Visj dan Perubahan (Buy In)


Kepal.~ puskesmas dafl tim kolaborasi interprofesi kesehatan
mengomunikasikan visi yang telah dirumuskan kepada dinas·
kesehatan dan kepala wilayah yang bersedia untuk mendukung
gerakan tim dari pu~kesmas, serta meminta pemuka agama
dan pemuka masyarakat untuk berperan. Dinas Kesehatan juga
rnenjamin pasokan vaksin ya~~ memadai, s_
er~a mengajak institusi
pelayanan kesehatan swasta untuk b-erkontribusi dalam upaya
peningkatan cakupan irnu-nisasi terseb.ut.

5. Langkah 5. Memperkuat .Langkah un,tuk Perubahan


Upgya peningkatan cakupan imunisasi dilakukan dengan
memperluas kerja sama dengan pihak dinas pendidikan sehingga
diperoleh peningkatan cakupan imunisasi ke sekolah-sekolah di
wilayah tersebut. Selain it_
u, upaya petaksanaan imunisasi dimulai
dari wilayah dengan insidens difteri paling tinggi terlebih dahulu,
baru diperluas ke wilayah lain .

.6. Langkah 6. Menciptakan Kemenangan/Hasil Jangka Pendek


Tata laksana kasus difteri dilakukc;m dengan segera dan komprehensif
oleh tim pelayanan kesehatan di puskesmas serta rujukan ke
rumah sakit bila di_perlukan. Cakupan imunisasi DPT difokuskan ke
wilayah dengan insiden t·
1
.
·· ngg1 terlebih d h
dilakukan terhadap Wila h a ulu. Evaluasi cakupan
baik dapat menJ· adi p
· Ya tersebut
·
o1'h arapkan Cijkupan yang
enyemangat b · ·
untuk melak1,1kan upaya lebih lanjiJt. agi tim Pelayanan kesehatan

7. Langkah 7. Melakukan Perbaikan B k .


. er e 1anJutan
Berbaga1 upaya untuk meningkatk k . .
an ca upan 1mumsasi DPT di
. wilayah dengan insiden difteri yang tinggi dievaluasi oleh seluruh
anggota tim pelayanan kesehatan. Komunikasi dengan berbagai
pihak, termasuk dinas kesehatan, dinas pendidikan, kepala
wilayah, pemuka agama dan pemuka masyarakat terus dilakukan.
Tim juga melakukan pendekatan kepada masyarakat yang anti
terhadap vaks1nasf, dengan memfnta bantuan pemuka masyarakat
• t
• :
,.
j 1
(·n.l ·1·r11,ui r,r\p ~
r,~i
I ,
dan pemuka a~a111a. Strategi yang efektif diterapkc;in kc wilayah
lain, dengan perbaikan dan penyesuaian.

8. Langkah 8. Mengintegrasikan Perubahan dalam Organisasi


Setelah fase kejadian luar biasa dapat diatasi, tim kolaboras1
· interprofesi kesehatan mendiskusikan berbagai langkah yang
dilakukan dalam peningkat_
an cakupan imunisasi. Langkah-
elibatan berbagai pihak dan masyarakat serta
langkah termasu k P • . . . .
~11
,~JII• . d t ak1,Jpan imunisas1, data ms1den dan prevalens1
r
rJ t pemutakh1ran a a c . . . . . .
I \ ' · . dapat dicegah dengan 1mumsas1 d1terapkan
\ f \,, I
penyakit menular yang · . .
. ~
.,.' . .l engelolaan program lam d1 puskesmas
. \, secara konsisten da am P
tersebut.
, I

'f inisiatif perubahan tidak harus


D . . . kolaborat1 ' .
alam kepem1mp1nan . t berasal dari anggota t1m. Oalam
tetap1 dapa
:' berasal dari pemimpin, l'(j mendukung, anggota tim dapat
•' I I
. dan sa m:, .
I •
suasana. yang demokrat,s . dalam organisasi dan mengguhrkan
. perba1kan . . "h k ..
rnenyampaikan _usulan "f oengan dem1k1an, d1 arap an v1s1
kolaborat1 . .
Proses perubahan secara
perubaban dan proses perubahan yang kon-s truktif tidak mendapatkan
resistens-i, karena perub,ahan tersebut merupakan cita-cita bersama
dalam -kol,aborasi interprofesi kesehatan.
lEFERENSI
Jass, B. dan B. Avolio. 199
. 4. lmprov·
Transformat10,nat Leadersh; .. ,n9 Organizational E . .
p. Sage Publish ' ffect,veness through
~ass, B. dan R. Bass. 2008. Th e 8ass
. Handb ing. Thousand. Oaks, NJ.
00
and Managerial Jmplic a t.1ons. Free
· Pre k of Leadersh; p.. Theory,
. _
ResE'arch
lenedict, A. 2007. 200 7 Chan ss. New York. '
ge Management· S
Resource Management
. · Al exandria. . vrvey Report . Societ· Yf or Human
.

3erger, R., M. Romeo · J . -G .


·' · . uard1a M Ye
Psychometric Properties of Th ' . . pes, dan M. A. Sorta. 2012.
e Spamsh Human s t . .
of Transformational Le d h' ys em Aud1t Shortscale
. a ers lp The S . h
367·376. · pams Journal of Psychology, 15:

3osch, B. dan H. Mansell H . 2015


. . . . Interprofess1onal
. Collaboration in Health Care:
Lessons to be Learned from Competitive Sports. Canadian Pharmacists
Journal 148(4): 176-179.
... onnor, 0. P., A. O'dea, S. Lydon, G. Offiah, J. Scott, A. Flannery, B. Lang,
~

A. Hoban, C. Armstrong, dan D. Byrne. 2016. A Mixed-Methods Study of


The Caused and Impact of Poor Teamwork Between Junior Doc,tors and
Nurses. International Joµrnal of QLJality in Health Care 28(3) : 339- 345.

Day, D., P. Gronn, dan E. Salas. 2004. Leadership Capacity in Teams. Leadership

Quarterly 15: 857-880.


De Meyer, A. • Collaborative t.eadership: New Perspectives in Leadership
2011
Development. The Evropean Business Review: 35.40,
Dow A . M manian dan S. Retchin. 2013 . Applying
, . , D. DiazGranados,
. . P. az ·
Healthcare:' A Framework. for C0Uaborat1ve .
Organizational Sc1ence to 95. 7
88 7 952
Practice • Academic Medfcini . (. ): dos . zo1 · 5. Leaders.hip framework
Do
W, A., N. Appelbaum, an
d o. o1azGrana
l
· - . . .
Leadership and Coltaborat,ons.
. L rnfng.
for lnterprofess1onal ea
oa
am
f iortal Education. Editor D. Forman,
for Jnterpro ess
Further Developments . patgrave Macmillan. London.
.15 ttethwa1te.
M. Jones, dan J. T h
FFench, J. dan. Bi R~ven. 1959. Th~ aases of Social Power. Datam Group
Dynamics. Editor D. Cartwright dan A. Zander. Harper Et Row. New York.

Grigsby, K. 2010. Five Ways to Fail as A New Leader in Academic Medicine.


Academic Physician ft Scientist: 4-5.

Grossman, s. dan T. yatiga. 2000. The New Leadership Challenge: Creating The
Future of Nursing, Edisi pertama. F. A. Davis Company. Philadelphia.
Hersey, P. dan K. H. Blanchard. 19'8'8. Management of Organizational Behavior.
Edisi ke-5. NJ: -Prentice Hall. Englewood Cliffs.
ari
Jonas, S;, L. McCp.y, dan s. B. Keogh. 2011. The Importance of Clinical
Lea~ership. Dalam ABC of Clinical Leadership~ Editor T. Swanwick dan J.
McKimm. Edisi pertam-a. John Wiley 8: Sons ltd. West Sussex, UK.

Kanter, R. M. 1982. The Middle Manager as Innovator. -Harvard Business Review


60(4): 95-105.

Komisi Akreditasi Rumah . Sakit Indonesia.


- ·,
2018.
.-
Standar Nasional Rumah Sak;t
(SNARS). Edisi pertama. Komisi Akreditasi RS Indonesia. Jakarta.

Kotter, J. dan D. Cohen. 2002. The Heart qf Change: Real-l-ife Stories of How
People Change Their Organizations. Harvard Business School Press.
Boston.

Lee-Davies, L, N. K. Kakabadse, dan A. Kakabadse. 2007. Shared Leadership:


leading Through Polylogue. Business Strategy Sedes 8(4): 246-253.

Liedtka, J. M. dan E. Whitten E. 1998. Enhancing Care Delivery Through


CrQss-Disciplinary Collaboration: A Case Study. Journal of Healthcare
Management 43(2): 185.,203.

Long, A. 2011. Leadership and Manag.ement. Dalam ABC of Clinical Leadership.


Editor T. Swanwick dan J. McKimm. Edisi pertama. John Wiley & Sons Ltd.
West Sussex, UK.

McKimm, J. 2011. Leading for Collaboration and Partnership Working. Dalam


ABC of Clinical Leadership. Editor T. Swanwick dan J. McKimm. Edisi
pertama. John Wiley 8: Sons Ltd. West Sussex, UK.
Morgeson, F.: D. DeRue, ~an E. Karam. 2010. Leadership in Teams: A Functional
,;.

Approach to Understandin · , ; •'j _, ~. .


g Leadersh·1
of Management 36(1 ): 5_39 · P Structures
. . . and Processes. Journal
!HS Institute for Innovation
. . and lmpro
Qual1t1es Framework. NHvement. 2006. NHS
· S
Leade h. Leadership
1
nhsleadershipquQlities.nhs uk/ . rs P Qualities. http·/ 1
. . ass~ts/ xi 50131 27 A . . www.
lting ~e
ersatuan Rumah Sakit Seluruh d
1 . · pnl 2018.
)~lt . . . In ones1a. 2015. Buk
Panduan Prakt1k Kllnis dan Cl' . u Pedoman Penyvsunan
1mcal Pathway d I
len/)\,i
.,,o,, sesuai Standar Akreditasi Ru h . a am Asuhan Terfntegrasi
Jakarta. ma Sak1t Tahl!n 2012. Edisi pertam~. PERSI.

,ari, V. R., R. T. S. Hariyati S A y H ·


Lli~kat . ' · · · amlQ. 20 17, The Association Between
tK aa~ J, Stereotyp1ng and lnterprofessional Collaborative Practice. Enferm Clin
(. 27(1 ): 134-138.

;wanwick, T. 2011. Leadership Theories and Concepts. Dalam ABC of Clinical


~ Re0ew
Leadership. Editor T. Swanwick dan J. McKimm. Edisi pertama. John
Wiley 8: Sons Ltd. West Sussex, UK.

Nang, D., D. Waldman, dan Z. Zhang. 2014. AMeta-Analysis of Shared Leadership


and Team Effectiveness. Journal of AppUed Psychology 99(2): 181-198.

Nhitehead, o. K., s. A. Weiss, dan R. M. Tappen. 2009. Essential Nursing


Leadership and Management. Edisi ke-6. F. A. Davis Company. Philadelphia.

laccaro, s., A. Rittman, dan M. Marks. 2001. Team Leadership. Leadership

Quarterly 12(4): 451-483.

Anda mungkin juga menyukai