Anda di halaman 1dari 12

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA


13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

ANALISIS GEOLOGI TEKNIK PADA KEGAGALAN BENDUNG CIPAMINGKIS,


BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT

Kresno Wikan Sadono1*


Goji Pamungkas2
Rachdian Eko Suprapto2
Tommy Supratama2
1
Divisi Geoteknik, Depertemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
2
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
*corresponding author: sprtmtommy@gmail.com

ABSTRAK
Bendung Cipamingkis terletak pada Desa Jatinunggal, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat. Bendung ini dibangun pada tahun 1980 dan merupakan infrastruktur irigasi yang
vital karena mengairi sekitar 7805 Ha sawah yang terdapat pada Kabupaten Bogor dan Kabupaten
Bekasi. Inisiasi kegagalan bangunan tercatat pada Maret 2016 dimulai pada bagian mercu dan pintu
pengambilan hingga kegagalan total terjadi pada April 2017. Penelitian ini difokuskan pada
identifikasi parameter geologi teknik untuk memahami penyebab kegagalan Bendung Cipamingkis.
Metodologi penelitian ini terdiri dari studi lapangan dan uji laboratorium. Tahap studi lapangan berupa
pemetaan geologi dan pemboran geoteknik. Tahap uji laboratorium berupa penentuan parameter
keteknikan antara lain slake durabilityindex dan free swell index digunakan untuk mengkonfirmasi
ketahanan batuan dan pendugaan nilai pengembangannya (expansivity). Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa bendung ini berdiri di atas batuan dasar berupa dominan batulempung dan zona
sesar mendatar menganan. Hasil laboratorium menunjukan slake durability index 0 - 3.88 % dan free
swell index > 50 % dan LL yang berkisar antara 60% - 80%. Dengan adannya orientasi zona sesar
mendatar yang tegak lurus dengan as bendung, memungkinkan rekahan-rekahan menjadi jalur
termudah untuk air melalui bangun bendung hingga terjadinya erosi dan terbentuk saluran pembuluh.
Nilai LL yang tinggi (> 50%) membuat karakteristik mekanik batulempung bergeser pada fase
softening – residual strength walaupun dari data SPT menunjukkan nilai yang baik. Faktor lain yaitu
bahwa batulempung pada daerah tersebut memiliki tingkat ekspansifitas yang tinggi.
Kata Kunci: Bendung, Batulempung, Sesar, Kegagalan

1. Pendahuuan
Bendung merupakan bangunan air yang banyak dibangun sebagai salah satu solusi dalam
berbagai masalah yang berhubungan dengan sumber daya air, untuk pemanfaatan,
pengelolaan dan pelestarian. Resiko kegagalan bendung merupakan ancaman bahaya yang
tidak dapat dihindari oleh masyarakat di hilir bendung. Dengan bertambahnya usia, bendung
akan mengalami penurunan kualitas baik dari segi fisik, fungsi maupun keamanan bendung.
Bendung Cipamingkis terletak pada Desa Jatinunggal, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat. Bendung ini dibangun pada tahun 1980 dan merupakan infrastruktur
irigasi yang vital karena mengairi sekitar 7805 Ha sawah yang terdapat pada Kabupaten
Bogor dan Kabupaten Bekasi. Inisiasi kegagalan bangunan tercatat pada Maret 2016 dimulai
pada bagian mercu dan pintu pengambilan hingga kegagalan total terjadi pada April 2017.
Penelitian ini difokuskan pada identifikasi parameter geologi teknik untuk memahami
penyebab kegagalan Bendung Cipamingkis.

2. Kondisi Geologi Regional


Dearah penelitian terletak pada Zona Bogor yang membentang dari barat ke timur, yaitu dari
mulai Rangkasbitung, Bogor, Subang, Sumedang dan berakhir di Bumiayu. Zona Bogor
merupakan daerah antiklinorium dengan arah sumbu lipatan barat – timur (Van Bemmelem,
1949). Berdasarkan peta geologi regional yang disusun oleh Sudjatmiko (1971), stratigrafi

190
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

daerah penelitian disusun oleh Formasi Subang dan Aluvium Tua. Formasi Subang tersusun
atas batulempung, batupasir dan breksi berumur Miosen.

3. Metode Penelitian
Metodologi penelitian terdiri dari studi lapangan dan uji laboratorium. Tahap studi
lapangan berupa pemetaan geologi dan pemboran geoteknik. Melalui studi lapangan
didapatkan kondisi geologi permukaan seperti litologi dan struktur geologi daerah penelitian.
Kondisi geologi bawah permukaan diketahui melalui pemboran geoteknik. Tahap uji
laboratorium berupa slake durability index test, free swell index test dan atterberg test
bertujuan untuk mengetahui ketahanan batuan dan pendugaan nilai pengembangannya.

4. Data
Daerah penelitian secara regional merupakan bagian lereng utara dari rangkaian perbukitan di
Jawa Barat. Sungai Cipamingkis mengalir dari selatan ke utara. Batuan penyusun daerah ini,
secara keseluruhan terdiri dari dua satuan litologi, dari tua ke muda yaitu satuan litologi
batulempung dan satuan endapan alluvium. Permukaan daerah penelitian memiliki distribusi
satuan litologi batulempung sebagai batuan dasar dengan persebaran dominan di badan sungai,
sementara satuan endapan alluvium merupakan batuan termuda dengan persebaran di
permukaan menutupi batuan dasar, dapat dilihat stratigrafi daerah kajian pada Gambar 1.
Satuan batulempung, berukuran butir lempung/clay (<1/256 mm), warna abu-abu gelap
kehitaman, non struktur sedimen, komposisi sedikit karbonatan, sifat pecahan/lapukan
conchoidal, memiliki persebaran nodule sangat tipis, jarang dengan orientasi yang teratur
serta sisipan batulempung karbonatan di beberapa lokasi dan terdapat sisipan batupasir
laminasi, batupasir nodul, batupasir masif, batulanau laminasi dan batulempung nodul.
Endapan Alluvium, merupakan endapan non consolidated tersusun atas material ex situ
berupa boulder (>256 mm) batuan beku, lepasan nodul hingga material lumpur hasil proses
sedimentasi sistem fluvial, membentuk morfologi sungai seperti channel bar dan point bar
(10-30 meter), memiliki kontak erosif dengan batuan dasar.
Struktur geologi yang berkembang terdiri atas kedudukan batuan, stuktur sesar, struktur
lipatan dan stuktur kekar (Gambar 11). Kedudukan batuan berupa perlapisan miring N 254 –
328o E dengan kemiringan antara 18 -52o pada sisi utara bendung, perlapisan miring N 42 –
45 o E dengan kemiringan antara 23 -51 o. Struktur lipatan hasil rekontruski kedudukan
perlapisan berarah relatif barat – timur. Struktur sesar berupa sesar mendatar menganan
(Gambar 10) dan sesar normal (Gambar 9).
Hasil Pemboran yang dilakukan disekitar bendung sebanyak 5 titik dengan kedalaman
masing-masing ± 20 meter dapat dilihat pada Gambar 2 - 6. Penyelidikan dilaboratorium
terhadap batuan untuk mengetahui sifat fisik, antara lain kadar air, berat jenis, batas-batas
atterberg, slake durability dan free swell test. Rangkuman hasil uji dapat dilihat pada Tabel 1.

5. Hasil dan Pembahasan


Dari hasil pemetaan geologi dan analisis tegasan (Gambar 7) memperlihatkan bawah
sesar/patahan dan lipatan terbentuk oleh tegasan berarah relatif utara – selatan, ini masuk ke
dalam kejadian tektonik yang terakhir dialami oleh Pulau Jawa yaitu pada umur Pliosen –
Pleistosen (5.3 – 0.01 juta tahun lalu) (Martodjojo, 2003). Berdasarkan pengetian sesar aktif
adalah sesar yang pernah bergerak pada kurun waktu kurang dari 10.000 tahun terakhir, maka
sesar/patahan ini bisa dikatakan tidak aktif. Namun keterdapaan sesar/patahan ini mempunyai
arti amat penting dalam hubungannya dengan rembesan di bawah bangun bendung.
Faktor lain adalah bendung ini berada di atas batulempung yang masuk kedalam Formasi
Subang, ditinjau dari aspek geoteknik, batuan dasar dari bendung merupakan over-

191
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

consolidated fissured clay. Karakteristik dari lempung kaku over-consolidated mempunyai


tiga tinjauan shear strength, yaitu peak strength, fully softened strength, dan residual strength.
Ketiga karakteristik kekuatan geser tersebut bergantung pada kondisi internal dan eksternal.
Dari sisi internal, mineral dan index properties dari lempung mempengaruhi kekuatan geser,
sedangkan dari sisi eksternal adalah pengaruh dari perubahan lingkungan (suhu dan kadar air).
Hasil laboratorium berupa free swell index yang dipadukan dengan uji batas kecairannya
menunjukkan bahwa batuan dasar dari bendung merupakan material yang cenderung
berpotensi mengembang. FSI atau tingkat pengembangan bebas dari batuan dasar masuk ke
dalam kategori tinggi – sangat tinggi (LL = 68 – 89% dan FSI = 160 – 390%). Jika ditinjau
dari durabilitas atau ketahanan batuan dasar dengan uji slake durability, nilai SDI berada pada
kisaran 0 – 3.88% atau pada kategori sangat rendah. Kedua parameter kunci tersebut
mengindikasikan bahwa dalam penentuan nilai kuat geser harus berhati-hati dan cermat.
Besarnya nilai FSI juga mengindikasikan adanya mineral montmorilonite (Prakash dan
Sidharan, 2004).
Sesar/patahan sering menjadi rembesan utama karena tedapat banyak rekahan. Jalur ini akan
menyalurkan air rembesan dari hulu sungai lewat pondasi bendung dan selanjutnya muncul di
hilir bendungan. Arah sesar yang hampir tegak lurus poros memanjang bendungan di bawah
sungai, merupakan lintasan rembesan terpendek dengan tekanan air yang besar. Rembesan tak
terkendali melalui jalur sesar, selain dapat menimbulkan rembesan di luar perhitungan, juga
dapat menimbulkan erosi internal yang dapat berkembang menjadi pembuluh (piping) yang
sangat berbahaya bagi stabilitas bendung.
Dalam proses yang berulang dan jangka yang lama, pembuluh pada dasar bendung makin
membesar karena karakteristik batuan yang mempunyai durabilitas sangat rendah.
Kemampuan pengembangan atau swelling mempercepat perlemahan batuan sehingga
memperbanyak jumlah pembuluh. Pada kondisi kritis, batuan dasar telah tergerus sehingga
membentuk rongga yang cukup besar (Gambar 12). Tekanan banjir yang terus berulang
menyebabkan hydraulic fracturing pada batulempung. Sturktur bendung patah karena tidak
didesain untuk bertahan pada kondisi tergantung.
Proses terjadinya rembesan dan hydraulic fracturing menginduksi terjadinya reduksi kekuatan
geser dari batuan. Sebelum terjadinya kegagalan total struktur bendung, bebarapa kerusakan
telah terjadi pada struktur pintu pengambilan dan lereng hilir sebelah barat. Beberapa
kerusakan tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi penurunan daya dukung batuan dasar
atau material pondasi bendung.
Hasil investigasi berupa uji N-SPT menunjukkan nilai terendah 12 pukulan dan tertinggi pada
nilai 40 pukulan. Apabila menggunakan peak strength parameter, tentu daya dukung batuan
dasar atau pondasi memiliki angka yang sangat tinggi. Dengan nilai N-SPT pada kisaran
tersebut, kuat geser parameter peak berada pada c’ = 50 – 100 kPa, dan phi’ = 25 – 30 (Look,
2007). Bahkan pada N-SPT di atas 60, overconsolidated clay dapat mempunyai nilai phi’ di
atas 40 derajat.
Dengan menggunakan korelasi Stark (2004), maka dapat diprediksi kekuatan pada fase fully
softened dan residual-nya. Berdasarkan data laboratorium pada kedalaman 4.50 – 5.00 meter,
nilai Liquid Limit = 68.40% dan Clay Fraction = 50%, maka didapatkan hubungan tegangan
geser dan tegangan normal yang dapat dilihat pada Gambar 8. Maka parameter tanah adalah
sebagai berikut:
Kohesi = 1.00 kPa,
Berdasarkan hasil korelasi pada Gambar 8. maka
dapat diketahui bahwa telah terjadi penurunan daya dukung. Ketika kegagalan total terjadi,

192
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

maka parameter kuat geser berada pada fase residual strength dengan nilai c’ = 1.00 kPa dan
phi’ = 9.21 derajat. Sedangkan pada saat inisiasi kegagalan yang ditandai dengan kerusakan
pada pintu pengambilan dan lereng hilir, kuat geser telah bergeser pada fase fully softened
dengan c’ = 1.00 kPa dan phi’ = 19.88 derajat.
Dalam upaya rehabilitasi atau membangun bendung baru untuk pemenuhan kebutuhan irigasi,
sebaiknya mempertimbangkan aspek-aspek geologi teknik. Lokasi bendung baru harus
diletakkan pada daerah sedikit struktur. Batuan dasar atau pondasi bendung diperbaiki daya
dukungnya sehingga menjadi lokasi yang lebih stabil. Untuk keperluan keamanan jangka
panjang, disarankan untk memperhitungkan daya dukung berdasarkan peak strength, fully
softened strength, dan residual strength. Selain itu, struktur bendung dibuat sebagai
konstruksi menggantung apabila terjadi gerusan pada dasar pondasinya.
6. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Lokasi Bendung Cipamingkis terletak pada zona struktur berupa sesar mendatar menganan,
sehingga banyak rekahan pada batulempung (batuan dasar). Selain karena zona struktur,
Material pondasi atau batulempung pada lokasi bendung termasuk pada material sangat
expansive dengan durabilitas yang sangat rendah. Dengan demikian, kontak dengan
lingkungan yang terlalu lama (perubahan suhu dan kandungan air) dapat menyebabkan
penurunan daya dukung hingga 75% dari kekuatan intact-nya.
Dalam proses yang berulang dan jangka yang lama, pembuluh pada dasar bendung makin
membesar karena karakteristik batuan yang mempunyai durabilitas sangat rendah. Pada
kondisi kritis, batuan dasar telah tergerus sehingga membentuk rongga yang cukup besar.
Tekanan banjir yang terus berulang menyebabkan hydraulic fracturing pada batulempung.
Sturktur bendung patah karena tidak didesain untuk bertahan pada kondisi tergantung.

Acknowledgements
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada PT Inakko Internasional Konsulindo, Divisi
Geoteknik, Depertemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro dan
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro serta masyarakat
sekitar Bendung Cipamingkis.
Daftar Pustaka
Look, B. (2007). Handbook of Geotechnical Investigation and Design Tables. Taylor &
Francis Group. London
Martodjojo, S. (2003). Evolusi Cekungan Bogor. ITB. ITB Press, 238p
Prakash, K., Sridharan, A. (2004). Free Swell Ratio and ClayMineralogy of Fine-Grained
Soils. Geotechnical Testing Jurnal, Vol. 27 No.2 Paper ID GTJ10860
Sudjatmiko. (1972). Peta Geologi Lembar Cianjur, Jawa Barat, Skala 1 : 100.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung
Strak, T.D. (2014). Emperical Correlation-Drained Shear Strength For Slope Stability
Analysis. University of Illinois at Urbana-Champaign.
Van Bemmelen, R.W. (1949). The Geology of Indonesia: The Hague. Nijhoff, Government
Printing Office, 732 p.

193
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Stratigrafi Daerah Penelitian

194
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2. Hasil pemboran Inti dan uji SPT pada BH-1

Gambar 3. Hasil pemboran Inti dan uji SPT pada BH-2

195
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 4. Hasil pemboran Inti dan uji SPT pada BH-3

Gambar 5. Hasil pemboran Inti dan uji SPT pada BH-4

196
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 6. Hasil pemboran Inti dan uji SPT pada BH-5

197
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 7. Peta Geologi Daerah Penelitian

198
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 8. Grafik Hubungan Tegangan Geser dan Tegangan Normal Efektif berdasarkan korelasi LL
dan CF pada kedalaman 4.50 – 5.00 meter. (Stark dkk., 2014)

Gambar 9. Sesar Normal pada Stasiun Pengamatan 1

Gambar 10. Sesar Menganan pada Stasiun Pengamatan 2

199
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 11. Kekar Gerus pada Stasiun Pengamatan 3

Gambar 12. Dokumentasi kronologi terjadinya kegagalan Bendung Cipamingkis (foto diambil
mengahadap selatan). A. Rabu,19 April 2017 Pukul 17.26 Terjadi peningkatan debit karena hujan
sekitar pukul 15.00. B. Kamis, 20 April 2017 Pukul 5.30 Terjadinya kegagalan pada tubuh bendung.
C. Kamis, 20 April 2017 Pukul 14.02 Setelah piping pada bagian bawah tubuh bendung, kemudian
patah.

200
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Tabel 1.Rangkuman Hasil Analisis Laboratorium
Depth Water Spesific Porosity Liquid Plastic Plastisity Slake Slake Free
(-m) Content Gravity (n %) Limit Limit Index Durability (I) Durability (II) Swell
Test Point (w %) (Gs) LL(%) PL(%) (%)
BH-1 4.5 - 5.0 42.69 2.6445 55.16 64.6 32.48 2.12 9.447 0 68.4
9.5-10.0 26.16 2.6675 48.92 69.5 27.31 12.19
14.5-15.0 40.46 2.6568 54.23 65.2 32.1 23.1
BH-2 4.5 - 5.0 32.06 2.671 51.56 72.2 45.51 6.59 45.977 3.888 74.6
9.5-10.0 35.94 2.6639 53.1 71.5 40.13 11.37
14.5-15.0 25.92 2.6854 49.39 66 28.4 7.6
BH-3 4.5 - 5.0 25.17 2.7037 49.27 72.3 26.09 16.21 10.261 0 89.9
9.5-10.0 28.36 2.6963 50.79 62.3 34.14 18.16
14.5-15.0 30.93 2.6854 51.97 63.7 34.52 19.18

201

Anda mungkin juga menyukai