Anda di halaman 1dari 8

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA


11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
ANALISIS GEOLOGI TEKNIK PADA KEGAGALAN BENDUNG CIPAMINGKIS,
BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT

Kresno Wikan Sadono1*


Goji Pamungkas2
Rachdian Eko Suprapto2
Tommy Supratama2
1
Divisi Geoteknik, Depertemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
2
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
*corresponding author: sprtmtommy@gmail.com

ABSTRAK
Bendung Cipamingkis terletak pada Desa Jatinunggal, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat. Bendung ini dibangun pada tahun 1980 dan merupakan infrastruktur irigasi yang
vital karena mengairi sekitar 7805 Ha sawah yang terdapat pada Kabupaten Bogor dan Kabupaten
Bekasi. Inisiasi kegagalan bangunan tercatat pada Maret 2016 dimulai pada bagian mercu dan pintu
pengambilan hingga kegagalan total terjadi pada April 2017. Penelitian ini difokuskan pada
identifikasi parameter geologi teknik untuk memahami penyebab kegagalan Bendung Cipamingkis.
Metodologi penelitian ini terdiri dari studi lapangan dan uji laboratorium. Tahap studi lapangan berupa
pemetaan geologi dan pemboran geoteknik. Tahap uji laboratorium berupa penentuan parameter
keteknikan antara lain slake durability index dan free swell index digunakan untuk mengkonfirmasi
ketahanan batuan dan pendugaan nilai pengembangannya (expansivity). Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa bendung ini berdiri di atas batuan dasar berupa dominan batulempung dan zona
sesar mendatar menganan. Hasil laboratorium menunjukan slake durability index 0 % dan free swell
index > 50 % dan LL yang berkisar antara 70% - 100%. Dengan adannya orientasi zona sesar
mendatar yang tegak lurus dengan as bendung, memungkinkan rekahan-rekahan menjadi jalur
termudah untuk air melalui bangun bendung hingga terjadinya erosi dan terbentuk saluran pembuluh.
Nilai LL yang tinggi (>50%) membuat karakteristik mekanik batulempung bergeser pada fase
softening – residual strength walaupun dari data SPT menunjukkan nilai yang baik. Faktor lain yaitu
bahwa batulempung pada daerah tersebut memiliki tingkat ekspansifitas yang tinggi.
*Nb : Mas goj di hasil aku liat LLnya relatif +- 50 %, nah yg di abstrak aku stabilo ijo mendingan d
hapus aja kali yah.

1. Pendahuuan
Bendung merupakan bangunan air yang banyak dibangun sebagi salah satu solusi dalam
berbagai masalah yang berhubungan dengan sumber daya air, baik pemanfaatan, pengelolaan,
pelestarian. Resiko kegagalan bendung merupakan ancaman bahaya yang tidak dapat
dielakkan bagi masyarakat di hilir bendung. Dengan bertambahnya usia, bendung akan
mengalami penurunan kualitas baik dari segi fisik, fungsi maupun keamanan bendungan.
Bendung Cipamingkis terletak pada Desa Jatinunggal, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat. Bendung ini dibangun pada tahun 1980 dan merupakan infrastruktur
irigasi yang vital karena mengairi sekitar 7805 Ha sawah yang terdapat pada Kabupaten
Bogor dan Kabupaten Bekasi. Inisiasi kegagalan bangunan tercatat pada Maret 2016 dimulai
pada bagian mercu dan pintu pengambilan hingga kegagalan total terjadi pada April 2017.
Penelitian ini difokuskan pada identifikasi parameter geologi teknik untuk memahami
penyebab kegagalan Bendung Cipamingkis.

2. Kondisi Geologi Regional


Berdasarkan peta geologi regional yang disusun oleh Sudjatmiko (1971), stratigrafi daerah
penelitian disusun oleh Formasi Subang dan Aluvium Tua. Formasi Subang tersusun atas
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
batulempung, batupasir dan breksi berumur Miosen. Menurut Sukendar (1986) pola umum
struktur Jawa Barat berdasarkan data gaya berat dan data seismik di bagi menjadi tiga pola
arah umum(gambar 1-5)* menyusul gambarnya:
1)Pola struktur Barat Laut-Tenggara, secaraumum sesar ini membatasi daerah Bogor,
Purwakarta, Bandung, Sumedang, Tasikmalaya, Banjar dan menerus ke
sebagian Jawa Tengah. Sebagian besardaerah ini termasuk ke dalam Zona
Fisiografi Bogor.
2) Pola struktur Barat-Timur, memotong sepanjang jalur Pegunungan Selatan,
merupakan sesar normal dengan bagian Utara yang relatif turun terhadap bagian
Selatannya.
3) Pola struktur Timurlaut-Baratdaya, sepertiyang terlihat di lembah Cimandiri dekat
Pelabuhan Ratu.

3. Metode Penelitian
Metodologi penelitian terdiri dari studi lapangan dan uji laboratorium. Tahap studi
lapangan berupa pemetaan geologi dan pemboran geoteknik. Melalui studi lapangan
didapatkan kondisi geologi permukaan seperti litologi dan struktur geologi area penelitian.
Kondisi geologi bawah permukaan diketahui melalui pemboran geoteknik. Tahap uji
laboratorium berupa slake durability index test, free swell index test dan LL test/Atterberg test
bertujuan untuk mengetahui ketahanan batuan dan pendugaan nilai pengembangannya
(expansvity).
4. Data
Daerah Bendung Cipamingkis secara regional merupakan bagian lereng utara dari rangkaian
perbukitan di Jawa Barat. Sungai Cipamingkis mengalir dari selatan ke utara. Batuan
penyusun daerah ini , secara keseluruhan terdiri dari 2 satuan litologi, dari tua ke muda yaitu
satuan litologi batulempung dan satuan endapan alluvium. Permukaan daerah kajian memiliki
distribusi satuan litologi batulempung dominan sebagai batuan dasar dengan persebaran
dominan di badan sungai, sementara satuan endapan alluvium merupakan batuan termuda
dengan persebaran di permukaan menutupi batuan dasar, dapat dilihat stratigrafi daerah kajian
pada Gambar 3.
1.Satuan batulempung, berukuran butir lempung/clay (<1/256 mm), warna abu-abu gelap
kehitaman, non struktur sedimen, komposisi non karbonatan, sifat pecahan/lapukan
conchoidal, memiliki persebaran nodule sangat tipis, jarang dengan orientasi yang
teratur serta sisipan batulempung karbonatan di beberapa lokasi dan terdapat sisipan
batupasir laminasi, batupasir nodul, batupasir masif, batulanau laminasi dan
batulempung nodul.
2.Endapan Alluvium, merupakan endapan non consolidated tersusun atas material ex situ
berupa boulder (>256 mm) batuan beku, lepasan nodul hingga material lumpur hasil
proses sedimentasi sistem fluvial, membentuk morfologi sungai seperti channel bar
dan point bar (10-30 meter), memiliki kontak erosif dengan batuan dasar.
Struktur ? nanti saya lanjutkan yg geologi

Hasil Pemboran yang dilakukan disekitar bendung sebanyak 10 titik dengan kedalaman
masing-masing ± 20 meter dapat dilihat pada Gambar 1-10. Penyelidikan dilaboratorium
terhadap tanah/batuan untuk mengetahui sifat fisik, antara lain kadar air, berat jenis, batas-
batas atterberg, slake durability dan free swell test. Rangkuman hasil uji dapat dilihat pada
Tabel 1.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

5. Hasil dan Pembahasan


Dari hasil pemetaan dan analisis tegasan (Gambar 11 ) memperlihatkan bawah patahan/sesar
dan lipatan terbentuk oleh tegasan berarah relatif Utara – Selatan, ini masuk ke dalam
kejadian tektonik yang terkahir dialami oleh Pulau Jawa yaitu pada umur Pliosen – Pleistosen
(5.3 – 0.01 juta tahun lalu). Berdasarkan pengetian sesar aktif adalah sesar yang pernah
bergerak pada kurun waktu kuang dari 10.000 tahun terakhir, maka sesar/patahan ini bisa
dikatakan tidak aktif. Namun keterdapaan sesar/patahan ini mempunyai arti amat penting
dalam hubungannya dengan rembesan di bawah bangun bendung.
Faktor lain adalah bendung ini berada di atas batulempung yang masuk kedalam Formasi
Subang, berdasarkan penelitian yang dilakukan, menyatakan bahwa batulempung Formasi
Subang memiliki potensi kembang susut tinggi - sangat tinggi (> 50 %) yang akan
berpengaruh terhadap ketahanan dari batuan itu sendiri, sehingga tidak stabil.
Ditinjau dari aspek geoteknik, batuan atau pondasi dari bendung merupakan over-
consolidated fissured clay. Karakteristik dari lempung kaku over-consolidated mempunyai
tiga tinjauan shear strength, yaitu peak strength, fully softened strength, dan residual strength.
Ketiga karakteristik kekuatan geser tersebut bergantung pada kondisi internal dan eksternal.
Dari sisi internal, mineral dan index properties dari lempung mempengaruhi kekuatan geser,
sedangkan dari sisi eksternal adalah pengaruh dari perubahan lingkungan (suhu dan kadar air).
Hasil laboratorium berupa uji free swell index yang dipadukan dengan uji batas
kecairannya menunjukkan bahwa pondasi dari bendung merupakan material yang cenderung
berpotensi mengembang. FSI atau tingkat pengembangan bebas dari material pondasi masuk
ke dalam kategori tinggi – sangat tinggi (LL = 68 – 89% dan FSI = 160 – 390%). Jika ditinjau
dari durabilitas atau ketahanan material pondasi dengan uji Slake Durability, nilai SDI berada
pada kisaran 0 – 3.88% atau pada kategori sangat rendah. Kedua parameter kunci tersebut
mengindikasikan bahwa dalam penentuan nilai kuat geser harus berhati-hati dan cermat.
Besarnya nilai FSI juga mengindikasikan adanya mineral montmorilonite (karakteristik
formasi Subang).
Sesar/patahan sering menjadi rembesan utama karena tedapat banyak rekahan. Jalur ini
akan menyalurkan air rembesan dari hulu sungai lewat pondasi bendung dan selanjutnya
muncul di hilir bendungan. Arah sesar yang hampir tegak lurus poros memanjang bendungan
di bawah sungai, merupakan lintasan rembesan terpendek dengan tekanan air yang besar.
Rembesan tak terkendali melalui jalur sesar, selain dapat menimbulkan rembesan di luar
perhitungan, juga dapat menimbulkan erosi internal yang dapat berkembang menjadi
pembuluh (piping) yang sangat berbahaya bagi stabilitas bendung.
Dalam proses yang berulang dan jangka yang lama, pembuluh pada dasar bendung makin
membesar karena karakteristik batuan yang mempunyai durabilitas sangat rendah.
Kemampuan pengembangan atau swelling mempercepat perlemahan batuan sehingga
memperbanyak jumlah pembuluh. Pada kondisi kritis, batuan dasar telah tergerus sehingga
membentuk rongga yang cukup besar. Tekanan banjir yang terus berulang menyebabkan
hydraulic fracturing pada batulempung. Sturktur bendung patah karena tidak didesain untuk
bertahan pada kondisi tergantung.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar. Dokumentasi Kronologi terjadinya Kegagalan Bendung Cipamingkis (waktunya gw


lupa)
Proses terjadinya rembesan dan hydraulic fracturing menginduksi terjadinya reduksi
kekuatan geser dari batuan. Sebelum terjadinya kegagalan total struktur bendung, bebarapa
kerusakan telah terjadi pada struktur pintu pengambilan dan lereng hilir sebelah barat.
Beberapa kerusakan tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi penurunan daya dukung
batuan atau material pondasi bendung.
Hasil investigasi berupa uji N-SPT menunjukkan nilai terendah 12 pukulan dan tertinggi
pada nilai 40 pukulan. Apabila menggunakan peak strength parameter, tentu daya dukung
pondasi memiliki angka yang sangat tinggi. Dengan nilai N-SPT pada kisaran tersebut, kuat
geser parameter peak berada pada c’ = 50 – 100 kPa, dan phi’ = 25 – 30 (Look, 2007). Bahkan
pada N-SPT di atas 60, overconsolidated clay dapat mempunyai nilai phi’ di atas 40 derajat.
Dengan menggunakan korelasi Stark, maka dapat diprediksi kekuatan pada fase fully
softened dan residual-nya. Berdasarkan data laboratorium pada kedalaman 4.50 – 5.00 meter,
nilai Liquid Limit = 68.40% dan Clay fraction = 50%, maka didapatkan hubungan tegangan
geser dan tegangan normal sebagai berikut:

Gambar. Grafik Hubungan Tegangan Geser dan Tegangan Normal Efektif berdasarkan
korelasi LL dan CF pada kedalaman 4.50 – 5.00 meter. (Stark et al, 2014)

Maka parameter tanah adalah sebagai berikut:


PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Kohesi = 1.00 kPa, ϕ fully −softened =19.88o , ϕresidual =9.21o
Berdasarkan hasil korelasi pada gambar di atas, maka dapat diketahui bahwa telah terjadi
penurunan daya dukung. Ketika kegagalan total terjadi, maka parameter kuat geser berada
pada fase residual strength dengan nilai c’ = 1.00 kPa dan phi’ = 9.21 derajat. Sedangkan pada
saat inisiasi kegagalan yang ditandai dengan kerusakan pada pintu pengambilan dan lereng
hilir, kuat geser telah bergeser pada fase fully softened dengan c’ = 1.00 kPa dan phi’ = 19.88
derajat.
Dalam upaya rehabilitasi atau membangun bendung baru untuk pemenuhan kebutuhan
irigasi, sebaiknya mempertimbangkan aspek-aspek geologi teknik. Lokasi bendung baru harus
diletakkan pada daerah sedikit struktur. Batuan dasar atau pondasi bendung diperbaiki daya
dukungnya sehingga menjadi lokasi yang lebih stabil. Untuk keperluan keamanan jangka
panjang, disarankan untk memperhitungkan daya dukung berdasarkan peak strength, fully
softened strength, dan residual strength. Selain itu, struktur bendung dibuat sebagai konstruksi
menggantung apabila terjadi gerusan pada dasar pondasinya.

6. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Material pondasi pada lokasi bendung terletak pada zona struktur berupa sesar geser. Pada
sungai tersebut banyak dijumpai singkapan yang berupa kekar sehingga banyak retakan pada
batulempung. Selain karena zona struktur, rekahan-rekahan diduga disebabkan oleh
kandungan mineral lempung yang memicu gejala expansivitas.
Material pondasi atau batulempung pada lokasi bendung termasuk pada material sangat
expansive dengan durabilitas yang sangat rendah. Dengan demikian, kontak dengan
lingkungan yang terlalu lama (perubahan suhu dan kandungan air) dapat menyebabkan
penurunan daya dukung hingga 75% dari kekuatan intact-nya.
Dalam proses yang berulang dan jangka yang lama, pembuluh pada dasar bendung makin
membesar karena karakteristik batuan yang mempunyai durabilitas sangat rendah. . Pada
kondisi kritis, batuan dasar telah tergerus sehingga membentuk rongga yang cukup besar.
Tekanan banjir yang terus berulang menyebabkan hydraulic fracturing pada batulempung.
Sturktur bendung patah karena tidak didesain untuk bertahan pada kondisi tergantung.

Acknowledgements
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada PT Inakko Internasional Konsulindo dan
Universitas Diponegoro serta masyarakat sekitar Bendung Cipamingkis
Daftar Pustaka
Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia: The Hague, Nijhoff, Government Printing
Office, 732 p.
De Genevraye, P., and Samuel, L., 1972, The geology of Kendeng Zone (East Java): Proceedings of
Indonesian Petroleum Association 1st Annual Convention, Jakarta, p. 17–30.

Gambar 1. Hasil pemboran Inti dan uji SPT pada BH-1


Gambar 1. Hasil pemboran Inti dan uji SPT pada BH-2
Dst….hingga titik bor ke-10

Tabel 1. Rangkuman Hasil Analisis

Ini tabel rangkuman Cuma isi 3 aja mas ? ga buat 10 datanya ngarang gt?
Gambar 11. Peta Geologi
Nanti mau d tambahin foto2 kronologikayaknya mas.

Anda mungkin juga menyukai