Anda di halaman 1dari 63

I. ·. .

· ..
":-~
::us.........

,. ~~

t·:..·.

©1976 Penerbit Alumni

Hak Cipta pada Penerbit Alumni dan


dilindungi Undang-undang; tidak diper~
kenankan memperbanyak penerbitan
ini dalam bentuk stensil, foto copy atau
cara lain tanpa izin tertulis
r· Penerbit Alumni

10 9 8 7 6 5 4 3

I.B.M. setting, layout, cetak offset


oleh Percetakan OffMt Alumni
Kotak Pos 272, Bandung

Anggota IKAPI

2
."7
'.·!

....
..
_

. .-..
'
'

·~t,·~ · ASPEK- AS PEK.


~ ;:SJWKVM. P.ERIKATJN'
. ~·~ .. N ASI,ONA.L .

J
-. 1
t .
·'
.··!

-~ ~-<:'~; -·

'·..
IlI

·. r·
' . ' .j
-R. S U B E K T I · S. H. · ·
·~

?

·' .
.. ~),-,·~·· ... ,;J_~'i ...........~. • . ~ ·.. ·>·-~}~· .. ; .-

1!.'.-ilioli.•-·a.lt.al'f; ALUM N '/'f't_.84/ B A NJJU N G


•· .o~··. . ~; KOTAK POs· 272 . ! ·· ., .

..
\
....... ,.,,
{ '
'
f:,
KATA PENGANTAR PADA CETAKAN KEDUA
': .aJ;
.
\ Hukum perikatan termasuk dalam bidang yang ,netral",
artinya tidak akan menggoncangkan masyarakat kalau bidang
hukum tersebut diseragamkan dan diatur dalam satu undang-
undang. Lain halnya dengan hukum perkawinan atau hukum
waris, yang dikatakan tergolong dalam bidang-bidang hukum
yang ,sensitip".
Dalam rencana pengunifikasian dan pengkodif:Ikasian
Hukum Nasional, hukum perikatan itu menduduki skala
prioritas yang tertinggi dan karena itu memang Badan Pem-
binaan Hukum Nasional (BPHN) telah menyiapkan sebuah
naskah ilmiah RUU Hukum Perikatan.
Oleh karena itu maka saya sambut penerbitan cetakan
kedua dari buku ini dengan gembira, dengan harapan supaya
tentang Hukum Perikatan Nasional lebih dikenal o1eh ma-
syarakat 1uas.

Bandung, Oktober 1980. _


Penulis.

KATA PENGANTAR PADA CETAKAN KETIGA


Pada cetakan ini hanya diadakan perbaikan-perbaikan
dalam berbagai sa1ah-cetak saja.
Kami beranggapan bahwa isi buku ini masih relevan
dalam menyongsong datangnya Undang-undang Hukum
Perikatan nasional kita.
Badan Pembinaari Hukum Nasional (sekararig disingkat :
Babinkumnas) sudah menyelesaikan sebuah naskah R.U.U.
Hukum Perikatan, yang dimaksudkan akan menjadi "undang-
undang pokok" untuk bidang Hukum Perikatan atau sema-
cam apa yang dalam buku ini kami namakan "Hukum induk".

Bandung, Maret 1984.


Penulis.

: -
....

DAFTAR lSI

KATA PENGANTAR CETAKAN KE-1 • 5


KATA.PENGANTAR CETAKAN KE-2. 6
KATA PENGANTAR CETAKAN KE-!1 6
DAFTAR lSI .7
BAB I. ASAS-ASAS 9
1. Arti hukum nasion a! 9
2. Soal istilah • 10

3. Hukum perikatan yang modern 12

4. Azas konsensl!alisme 13

5. Sistem terbuka. Hukum induk 16

6. Prakt~k dan Yurisprudensi 18

7. Jlerbedaan sifat. Hal-hal yang dapat di-


.,
pertemukan 20
• 24
8. Syardt-syarat sahnya perjanjian .
9. Itikad baik. . 25
10. Pclaksanaan pcrikatan. Eksekusi riil 27
11. Jaminan-jaminan untu k suatu perikatan. 35
12. Daluwarsa . 36

BAB II. ANEKA PERJANJIAN 37

1,. Jual - beli . 37

2. Sewa-menyewa 38
40
3. Jual-bcli dengan hak membcli kern bali
·'11
4. Scwa - beli
44
5. Pcrjanjian kcrja/pcrburuhan
47
6. Pcrjanjian pcngangku tan
48
7. Pcrjanjian pinjam uang
8. Perjanjian pcrsckutuan. 50

9. Pcmberian kUasa . 51

~
..
7
BAB III. SUMBER -SUMBER PERIKATAN LAIN-
NYA . . . . . . ·. . . . . . • . 53
BAB IV. PERKEMBANGAN HUKUM PERJANJIAN
DI INDONESIA MENUJU HUKUM NA-
SIONAL . 56

KEPUSTAKAAN. . . • . . . . • • . . • 67

*HY*.

8
BAB I
ASAS-ASAS

1. ARTl HUKUM NASIONAL.

Dapat dikatakan bahwa tclah terbentuk Hukum Nasio-


nal mengenai sesuatu bidang hukum, apabila masa transisi
dimana kita sekarang berada (masa pcralihan dimana scmua
peraturan hukum peninggalan zaman Hindia-Bclanda masih
diberlakukan bcrdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-
undang Dasar 1945) telah dilarnpaui dengan tcrciptanya
suatu perangkat peraturan atau kaidah-kaidah (baik bcmpa
undang-undang maupun yurispmdcnsi), ·yang akan bcrlaku
untuk masa dcpan yang lama karcna dianggap tclah rncmcnu-
hi aspirasi nasional, scbagaimana tcrkandung dalarn Panca'iila
dan Undang-undang Dasar 194·5.
Keadaan scpcrti diatas -dapat dikatakan sudah tcrcipta
dalam bidang hukum tanah dcngan terbentuknya Undang-
- undang Pokok Agraria dalam bulan September tahurl 1960.
Dengan mcmbuang pcrangkat pcraturan-pcraturan rnengcnai
tanah yang· berasal dari zaman Hindia-Bclanda, Undang-un-
dang tcrsebut tclah rnembcrikan scbagai gantinya:- suatu
perangkat peraturan baru rnengenai tanah yang (mcnumt
considerans-nya)- mcmpakan "hukum agraria nasional yang
bcrdasar. atas Hukurn Adat ten tang tanah yang scdcrhana
dan menjarnin kcpastian hukum bagi scluruh rakyat Indo-
nesia".
Kiranya sckarang sudah tiba waktunya untuk mcrnbcn-
tuk scbuah Undang-undang Hukum Pailwtan, scbagai hukum
~ nasional, untuk rncnggantikan kctcntuan-kctcntuan yang
- ttTdapat dalam Buku III Kitab Undang-undang llukum
Pcrdata ( Burgcrlijk Wc:thock) dan dalam Hukum .\dat.

9
Kelahiran Undang-undang Hukum Pcrikatan yang nasio-
nal itu sudah pasti akan n1cningkatkan kcpastian hukum
pula bagi s,cluruh rakyat Indonesia, karena kita sudah tidak
akan berbicara lagi tentang Hukum B.W. maupun Hukum
Ada~ dalam bidang perikatan itq., tctapi hanya tentang
Hukum Perikatan mcnurut Undang-undang yang baru itu.
Bagaimana sebaiknya asas-asas yang mendasari huk.um
Perikatan kita itu nanti, akan kami utarakan dalam halaman-
halaman yang beriku t.

2. SOAL ISTILAH.

Perkataan ''perikatan" sudan tepat sckali untuk mclu-


kiskan suatu pengertian yang sama ,dengan apa yang dalam
bahasa Belanda dimaks{ldkan dengan "vcrbintenis", yaitu
suatu hubungan hukum antara dua. pihak, yang isinya adalah
hak dan kewajiban: suatu hqk untuk menuntut sesuatu
dan disebelah lain suatu kewajiban untuk mcmcnuhi tun-
tu tan tcrsebu t.

Perkataan Inggeris "obligation" yang dipakai untuk


melukiskan hal yang sama, sccara kurang Icngkap hanya
menunjuk pada satu sudut dari hubungan yang timbal-balik
itu, yaitu sudut kewajibannya, meskipun adanya suatu
kewajiban mengandung pengertian bahwa disudut lain ada
suatu hak.

Perikatan sebagaimana dimaksudkan diatas, mcrupakan


suatu pengertian abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat
dilihat tetapi hanya -dapat dibayangkan dalam pikiran kita.
Perikatan sepcrti dimaksudkan diatas paling banyak
dilahirkan dari suatu pcristiwa dimana dua orang atau pihak
saling mcnjanjikan scsuatu. Peristiwa ini paling tcpat dinama-

...
10
kan "perjanjian" yaitu suatu peristi*a yang berupa suatu
rangkaian janji-janji. Dapat dikonstatir bahwa perkataan
"pexjanjian" sudah sangat populer dikalangan rakyat.
Ada bebcrapa pcnulis yang memakai perkataan "pcrse-
tujuan", yang tentu . saja tidak salah, karena peristiwa
tcrmaksud juga berupa · suatu kesepakatan atau pertcmuan
kehendak antara dua orang atau pihak untuk mclaksanakm1
sesuatu dan perkataan "persetujuan" (kalau hanya dilihat
dari segi terjemahan saja) mcmang lehih sesuai dengan
perkataan Bclanda "overccnkomst" yang dipakai olch B.W.,
tetapi karen a perkataan "perjanjian" olch masyarakat. sudah
dirasakan scbagai suatu istilah yang mantap untuk meng-
gambarkan rangkaia"n janji-janji yang pemenuhannya dijamin
oiCh Hukum, kami condong pada pcmakaian istilah "pcijan-
jian".
Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah
demikian, bahwa pcrikatan itu dilahirkan dari suatu pcr-
janjian. Dcngan perkataan lain: pexjanjian adalah sumber ,
bahkan _sumber utama, dari perikatan. ~isamping itu masih
ada sumbcr-sumbcr lainnya yang juga bisa melahirkan per-
ikatan. Sccara tcpatnya dapat dirumuskan bahwa pcrikatan
itu dilahirkan dar!: pcrjanjian, undang-undang dan hu-
kum tak tcrtulis.
Kalau, scbagaimana sudah dikatakan diatas, suatu per-
ikatan adalah suatu pcngcrtian ahstrak ( dalam arti tidak
dapat dilihat dcngan mata), maka suatu pcrjanjian adalah
suatu pcristiwa atau kcjadian yang kongkrit. Kita memang
dapat melihat adanya dua orang atau pihak yang mcng-
ucapkan atau mcnulis janji-janji itu dan kcmudian, sebagai
"· tanda kcscpakatan, bcrjabatan tangan atau mcnancL tangani
"surat pcrjanj.ian" .

11
Adapun pcrkataan "lwntrak" lazimnya ditujukan pada
suatu pcijanjian yang diadakan secara tertul£s atau yang
diadakan dikalangan· bisnis (dunia usaha}.

3. HUKUM PERIKATAN YANG MODERN.

Dalam mcnyusun Undang-undang Hukum Pcrikatan


nasional, harus dipcrhatikan kemajuan zaman dan disadari
bahwa Ncgara dan Bangsa Indonesia sudah mcmasuki gc-
langgang intcrnasional, schingga rhengenai berbagai masalah
kita pcrlu mengindahkan ukuran-ukuran ("standards") yang
dipakai olch ncgara-r.egara dan bangsa-bangsa lain.
Kiranya tidak ada yang m~mbantah kalau dikatakan
bahwa Burgcrlijk Wctboek, sebagai · kitab und.ang-undang
pcninggalan Pemcrintah kolonial Belanda, sudah usang karena
ia dilahirkan lcbih dari satu abad yang lalu (tahun 1848,
di Ncgcri Bclanda tahun 1 838). Namun demikian, materi
yang diaturnya scbagai masalah-masalah kcperdataan yang
akan kita atur kembali dalam alam kcmerdekaan m~sional
sckarang, dapat bcrguna sebagai pcdoman didalam pckerjaan
pcnyusunan naskah rcncana undang-undang yang akan da-
tang itu.
Kita pcrlu mcncngok pada bcrbagai kitab undang-un-
dang ("codes") dari bcbcrapa ncgara yang lebih up to date,
sctidak-tidaknya lcbih muda usianya dari pada Burgcrlijk
Wctlwck kita, misalnya : ,

a. Biirgerliches Gesetzhbuch (BGB)Jerman Qerman


Barat) dari tahun 1896, yang mulai bcrlaku
pada tariggal 1 Januari 1900(setcngah abad lcbih
muda dari B.W. kita} ;


12
b. Code Civil atau Burgerlijk Wetboek Belgia dari
tahun 1973 {sangat baru) ;
c. Civil Code of Japan (sebuah negara Asia yang
san gat maju) dari tahun 1898, tcrakhir diper-
baiki dalam tahun 1964 ;
d. Civil Code of the Philippines dari tahun 1949,
scbuah kitab undang-undang dari suatu negara
Asean, jang, meskipun banyak mengandung
unsur-unsur hukum Anglo-Saxon, namun dalam
garis besamya, terutama mengcnai Hukum Per-
ikatan, mencontoh kodifikasi dari negara-negara
Eropali. Barat; dan lain-lain.

Dan dengan sendirinya tidak bolch dilupakan Hukum


Adat kita, yang sedapat mungkin juga harus diberikan tempat
dalam Undang-undang Hukum Perikatan nasional, sckedar
tidak menghambat kemajuan.
. .
4. ASAS KONSENSUALISME.

Dalam sektor perjanjian pertama-tama harus ditonjol-


kan bahwa kita berpegang pada asas konsensuali'sme, yang
menu rut pendapat kami meiupakan syarat mutlak bagi hukum
perjanjian yang modem dan bagi terciptanya kepastian hu-
kurri.
Asas konsensualisme mcmpunyai arti yang terpcnting,
yaitu bahwa untuk melahirkan pcrjanjian adalah cukup
dengan dicapainya sepakat yang mengenai hal-hal yang pokok
dari pcrjanjian tersebut dan bahwa pcrjanjian itu (dan
pcrikatan yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan
pada saat atau detik tercapainya konsensus. Pada detik
tcrscbu t pcrjanjian sudah sah dan mengikat, bukannya pada

13
dctik-dctik lain yang tcrkcmudian atau yang sebclumnya. ·
Dan sekaligus pcrlu ditcgaskan tcntang dctik lahimya sepakat
itu, scpcti dilakukan· olch Civil Code of japan *).
Diambilnya asas konscnsualismc tcrsehut, yang berarti
"perkataan mcngikat" adalah mcnurut Prof. Eggens suatu
tuntutan kcsusilaan ("zedelijke cis"). Dikatakan oleh .guru-
hcsar Bclanda tcrsebut, bahwa asas konsensualisme itu
merupakan suatu puncak peningkatan martabat manusia
yang tcrsimpul didalam pepatah: "een man een man, ccn
woord een woord". Yang dimaksudkan adalah bahwa, dengan
dilctakkannya kepercayaan pada perkataannya, orang itu
ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya sebagai Manusia.
Kita akan mcngatakannya: Melctakkan kcpercayaan pada ·
pcrkataan seorang hcrarti mcnganggap orang itu sehagai
ksatriya.
Mcmanglah bcnar apa yang dikatakan olch Prof.Eggens
itu, bahwa kctcntuan yang mengharuskan orang · dapat
dipcgang ucapannya, adalah suatu tuntutan kcsusilaan dan
mcmanglah bcnar bahwa kalau orang ingin dihormati sebagai
manusia, ia hams dapat dipegang pcrkataannya, namun
Hukum yang hams mcnyclcnggarakan kctcrtiban dan mcnc-
gakkan kcadilan dalam masyarakat, memcrlukan asas kon-
scnsualismc itu dcmi untuk tcrcapainya kepastian hulwm.
Bahwa orang yang hidup dalam suatu masyarakat yang
tcratur harus dapat "dipcgang mulutnya" itu mcmpakan
suatu tuntutan kcpastian hukum yang adalah suatu scndi
yang mutlak dari suatu tata-hukum yang baik.
Asas konscnsualismc tcrscbu t dapat dikatakan su~lah
mcrupakan asas univcrsil :

*) Civil Cod<" of japan, Buku I lt'ntang "(;eneml Provisions", Hal> tt·ntang


"Juristic Act's" pt·rihal "Declaration of Intention".
.
14
dalam B.W. kita Ia disimpulkan dari pasal 1320 jo
pasal 1338 (1);
., Dalam Code Civil Pcrancis sepakat kcdua belah pihak
tidak saj;t mclahirkan perjanjian-perjanjian sccara sah, teta-
pi dalam perjanjian jual-bcli bahkan ia sudah pula mem indah-
~an hak milik atas barang dari pihak penjual kepada
pembeli

Hal yang sama scpcrti dalam C.C. Perancis bcrlaku


dalam Civil Code of Japan dan dalam Civil and Commercial
Code of Thailand ;
Civil Code of the Philippines, dalam pasal ·1356,
mengatakan: "Contracts shall be oblig-dtory, in whatever
form they have been entered into".
Berpegang pada asas konsensualisme berarti melcpaskan
anggapan-anggapan dalam Hukum Adat kita,bahwa pc·rkataan
saja belum mengikat dan bahwa untuk mcnciptakan ikatan
itu perlu adanya "uang panjer" atau "uang pcngikat" atau
lain-lain sebagainya. Dan melcpaskan pula ~agasan, bahwa
seorang dapat membebaskan dirinya dari ikatan, dcngan
mengembalikan uang panjer terscbut atau, dari pihaknya
si pemberi panjcr, dengan mcmbiarkan uang panjcr itu
dimiliki oleh pihak Iainnya.
Sdr. Prof. Wirjono Prodjodikoro, dcngan mcmpcrkcnan-
kan dipergunakannya panjcr dipelosok-pclosok scbagai kc-
kccualian, dahi.m rancangannya Undang-undang Pcrjanjian,
juga telah mcngakt-ti pcrlunya asas konscnsualismc dalam
Hukum Pcrjanjian nasional yang akan datang *).

*) Wirjono Prodjodikoro: "Rancangan undang-undang !Iukum Pcrjanjian",


Kongres l'ersah i, Yogyakarta, 1963

15
tcrsebut semakin mcningkat scjak Pcrang Dunia kc II (scwa-

.. menyewa perumahan, pengangkutan, dan lain-Iain),scclang-kan


dimana-mana kita dapat mclihat scmakin banyaknya campur
tangan Pemerintah dalam masalah-masalah yang dahulu
diserahkan kepada kcbcbasan para pihak dalam pcrjanji~m:
Dalam Bagian Umum, pcncantuman syarat "ticlak bolch

.ti
berisikan sesuatu yang bcrtentangan dcngan kcsusiiaan scrta
perikemanusiaan" bagi sahnya suatu pcrjanjian, hcndaknya
I
merupakan suatu upaya pcnccgah tcrhadap pcnyalah-gunaan
kedudukan (ekonomis) yang lcbih kuat dari satu pihak
tcrhadap pihak-lawannya yang lcmah, disamping pcrlindung-
an yang dibcrikan olch Wockcr-orclonantic tahun 1938, yang,
dalam rangka pcmbuatan Undang-undang Hukum Pcrikatan
yang akan datang, scbaiknya sckaligus dim;isukkan schagai
kctcntuan-kctcntuan dalam .Bagian Umum itu_
Juga pcncantuman kctcntuan bahwa "scnnia pct:janjian
harus dilaksanakan dcngan itikad baik" mcmbcrikan kckuasa-
~ an kepada Hakim untuk mcngawasi agar tidak tcrjadi pcnya-
Iah-gunaan kckuasaan olch satu pihak tcrhadap lawannya
yang lcmah, scpanjang mcngcnai tahap pclaksanaan pcrjan-
JlaiL

Pcrkataan "lzulwm induk" mcmpunyai arti yang sama


dcngan pcrkataan "undang-undang pokok". l\laksudnya ialah,
bah\',;a lain-lain. pcraturan mcrup·akan "hukum khusus" atau
"hukum pclaksanaan". Huhungan scmacam itu lcrdapat
misalnya antara : B.W. dcngan W.v.K. (Iihat pasal I W.v.K.),
antara Undang-undang Pokok Agraria dcngan Pcrpu l\o. 5G
tahun 1960 atau P.P. No. I 0 tahun 19G I.
Karcna W.v.K. mcrupakan pcraluran khusus tcrhadap
· • B.W., maka kalau didalam W.v.K. mcngcnai scsualu pcrsoalan
tidak ada pcngaturannya, pcnyclcsaiannya harus dicarikan
dalam B. W. Suatu <:on toh : ;\kngcnai pcrs~·roan l'irma,dalam
i
•l 17
. W.v.K. tidak terdapat ketentuannya tentang bagaimanakah
kalau seorang pesero meninggal. Karena perseroan firma ada-
lah suatu bentuk khusus persekutuan (menurut B.W.), maka
penyelesaiannya harus dicari didalam· Bab tcntang Persekutu-
an dalam B.W. Disitu tcrdapat suatu ketentuan yang ber-
bunyi bahwa, kalau salah scorang sckutu meninggal, maka
persekutuan berakhir. Maka ketcntuan ini juga berlaku untuk
perscroan firma. Juga kita melihat bahwa utang-piutang
wesel (yang diatur dalam W.v.K.) adalah · suatu penerapan
dari pada perikatan tanggung-menanggung mcnurut B.W.
Dengan demikian maka "hukum induk" adalah bagai-
kan "cantelan" untuk berbagai masalah yang diatur. dalam
undang-undang lain ..

6. PRAIHEK DAN YURISPRUDENSI.

Dalam penyusunan Undang-undang Hukum Perikatan


yang akan datang, kita dapat mengambil manfa'at dari
pengalaman-pengalaman (praktek) dalam r-emakaian (pene-
. rapan) B.W. kita sekarang ini. Yang kami maksudkan adalah
misalnya : Meskipun sudah diakui adanya pasa]-pasal yang
keliru (karena dulu dikutip begitu saja dari Code Civil
Perancis), namun pasal-pasal itu tidak disingkirkan atau
diperbaiki, melainkan hanya diberikan tafsiran-tafsiran yang
mengurangi ketidak-adilan yang ditimbulkan oleh ketentuan-
ketentuan yang keliru itu. Demikianlah halnya dengan pasal-
pasal tentang risiko dalam jual-beli (pasal-pasal 1460, 1461
dan 1462) dan pasal 14 71 Uual-beli barang orang lain
adalah batal). Dalam undang-undang yang akan datang,
persoalan tentang risiko mengenai barang yang mcnjadi
obyek suatu perjanjian supaya ditautkan sccara kctat dengan
persoalan tentang pemindahan hak milik atas barang itu.

18

Surat edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 ten-
tang tidak berlakunya lagi beberapa pasal dari B.W., yang
menurut pendapat kami harus dianggap sebagai anjuran
kepada Pengadilan-pengadilan bawaHan untuk membentuk
yurisprudensi yang menyatakan pasal-pasal termaksud tidak
berlaku lagi, dan. maknanya dapat kita setujui, dapat pula
diambil manfa'atnya.
Scbuah pasal dalam Bagian Umum, yaitu P.asal 1266
tcntang pembatalan perjanjian yang bertimbal-balik sebagai
akibat terjadinya wanprestasi (kelalaian) dari siberutang,
pasal mana, sebagaimana kita ketahui,. dalam B.W. (dengan
mcncontoh C.C. Perancis) secara keliru (dan membingung-
kan) mcngkonstruksikan wanprestasi tersebut sebagai suatu
"syarat-batal", harus kita atur kembali secara scderhana
dan jelas, yaitu sebagai pengaturan salah satu akibat dari
wanprcstasi, disamping tuntutan ganti-rugi. Dcngan demikian
maka bukan lagi wanprestasi bcrakibat batalnya pcrjanjian
demi hukum (secara otomatis), tetapi hanya memberikan
kcmungkinan diajukannya tuntutan pembatalan pcrjanjian
kepada Pengadilan. Sckaligus perlu ditegaskan tcntang adanya
kekuasaan discrctionair dari Hakim dalam menghadapi gugat~
an pcmbatalan itu, sedangkan pcnemuan yurisprudensi dalam
hubungan tuntutan ganti-rugi dan pcmbatalan, yaitu kemung-
kinan diajukannya tangkisan atau pembelaan dari pihaknya _
siberutang dengan pengajuan "exceptio nori adimpleti con-
tractus" dan pclepasan hak dari pihaknya siberpiutang, pcrlu
juga dituangkan dalam suatu· kctentuan .

....

19
i. J>ERBEDAAN SII-'AT. HAL-HAL YANG l>APAT DIPERTEMU-
KAN.

. Pcrbcdaan an tara sifat "riil dan t.u nai" dari perjanjian


jual-bdi mcnurut IIukum Adat dan sifat "konscnsuil dan
obligatoir" dari pc1janjian jual-beli menu rut· B. W., ada sang-
kut-pautnya dcngan soal pcmindahan hak milik atas barang
yang dipeljual-bdikan.
Kita dapat mclihat dalam hubungan ini, bahwa sistem
hukum lnggeris yang tcrdapa~ dalam "Sale of Goods Act,
I 893" adalah sangal luwes dan mungkin Icbih mudah dapat
dimcngerti olch orang yang hidup dalam suasana Hukum
Adat kita.
Di Inggeris, pcrjanjian jual-beli ("contract of sale")
diperbcdakan dalam "sale" (atau "aetna! sale") dan "agree-
ment to sell". Perbedaan ini dapat dilihat dari ayat 3 pa<;a)
(section) 1· dari "Sale of Goods Act, 1893" terscbut diatas.
Apabila dalam suatu "contract of sale" pcmindahan hak
milik terjadi serta-merta, maka perjanjiannya dinamakan :
,.. "sale"; tctapi apabila pemiJ1dahan hak mili~ itu saatnya
tcrpisah dari saat terjadinya perjanjian ataupun digantungkan
pada suatu syarat (condition"), maka pcrjanjiannya dinama-
kan; "agreement to sell".
Suatu "sale" adalah suatu petjanjian jual-bcli sekaligus
dengan pcmindahan hak milik ("conveyance"), schingga
mirip dcngan jual-beii mcnurut Hukum Adat ("riil dan
tunai"), sedangkan suatu "agreement to sell" adalah tidak
Iebih dari pada suatu "koop-overeenkomst" biasa mcnurut
B.W. yang bcrsifat "obligatoir".
Apabila dalam SU<ttu "sale" si pcnjual mclakukan
wanprcstasi, maka si pembcli dapat menggunakan semua
upaya dari scorang pemilik, scdangkan dalam halnya suatu
"agreement to sell" ia hanya mempunya1 sualu "personal

20

remedy" terhadap si penjual, yang masih merupakan pemilik
dari barangnya dan bila penjual ini jatuh pailit, barang itu
juga masuk dalam budcl kepailitan.
Menurut' "Sale of Goods Act 1893" (disingkat: S.G.A.)
kedua, belah pihak menentukan sendiri saat pindahnya hak
milik (inilah keluwesannya) dan karena itv. :h maka S.G.A.
memuat beberapa pasal atau ketentuan-kc<.entuan sebag-cti
pedoman untuk menemukan kehendak (kemauan atau mak-
sud)para pihak yang bersangkutan.
Pasal (section) 17 S.G.A. dalam hal tersebut mcnentu-
kan:

"( 1) Where there is a contract for sale of specific or


ascertained goods, the property in them is transferred to the
buyer at such time as the parties to the contract intend it to
be transferred.
(2) For the purpose of ascertaining the intention of the
parties regard shall be had to the terms of the contract, the
conduct of the parties and the circumstances of the case".
Dan olch karena dalam praktek tentunya sukar untuk
menemukan maksud a tau kehendak para pihak }tu, lalu oleh
pasal (section) 18 diberikan pedoman-pedoman sebagai

I~
berikut : .

"Rule 1 : Where there is an unconditional contract for


sale of specific goods, in a deliverable state, the property in
the goods passes to the buyer when the contract is made, and
it is immaterial wether .the time of payment or the time of_
delivery, or both, be postponed.
Rule 2 : Where there is a contract for the sale of
specific goods and the seller is bound to do something to the
_ goods, for purpose of putting them 'into a deliverable state,
the property does not pass until such thing be done, and
the buyer has notice thereof.

21
• Rule 3 : Where there is a contract for the sale of
specific goods in a ~eliverablc state, but the seller is bound
to weigh, measure, test or do some other act or thing with
reference to the goods, for the purpose of ascertaining the
price, the property does not pass until such act or thing be
done, and the buyer has notice thereof.
Rule 4 : When goods arc delivered to the buyer on
approval or "on sale or return" or other similar terms, the
property therein passes to the buyer :
(a) when he signifies his approval or acceptance to the
seller, or does any other act adopting the transaction ;
(b) if he does not signify his approval or acceptance to the
seller but retains the goods without giving notice of rejection,
then, if a time has been fixed for the return of the goods, on
the expiration of such time, and if no time has been fixed,
on the expiration of a reasonable time. What is a reasonable
time, is a question of fact".

Kalau mengenai tanah di Indonesia, dimasa yang fampau


diadakan peraturan "antar-tatahukum" atau "intergentil",
yang menunjukkan banyaknya pcrbedaan yang dapat menim-
kan perselisihan, namun dalam lalu-lintas barang yang ber-
gcrak tidak pcmah didengar tentang kcsulitan-kesulitan yang
ditimbulkan oleh perbedaan sistem antara B.W. dan Hukum
Ad at.
Menurut pendapat kami, itu discbabkan karcna pen-
syaratan _ten tang pcnyerahan kckuasaan ("bczit") yang diada- ·
kan olch B.W. untuk peralihan hak milik atas barang bcr-
gcrak secani. kebetulan adalah sama dcngan apa yang dituntut
oleh Hukum Adat bcrdasarkan sifat tunainya jual-bcli dalam
Hukum Adat itu. Kalau barangnya sudah diserahkan secant
nyata (physik), maka dalam kedua-duanya sistem (Hukum
Adat maupun B.W.) hak milik itu tclah bcrpindah.

22
Namun sckarang bagaimanakah kalau harg-a sudah di-
bayar olch pembcli tctapi barangnya bclum diserahkan ?
• Menurut B.W. sudah tcrang bahwa hak milik bclum
bcrpindah, sebab dalam B.W. pcmbayaran adalah "irrelevant".
Tetapi apakah itu juga dcmikian menurut Hukum Adat atau
menurut rasa keadilan orang Indonesia ?
Apakah jawaban yang dibcrikan olch B.W. itu tidak tcrlalu
bcrtentangan dengan sifat riil dan tunai dari jual-bcli mcnurut
Hukum Adat? Disini mungkin tcrdapat suatu pertentangan,
yang dalam Undang-undang yang akan datang perlu dibcrikan
pcnyclcsaian yang memuaskan. Kami usulkan supaya, kalau
barangnya adalah barang yang tertcntu dan terscdia (yang
dalam S.G.A. di lnggeris dimaksudkan dcngan : "specific and
in a deliverable state"), untuk memenuhi rasa keadilan orang
Indonesia, hak milik dianggap tclah berpindah kcpada si
pembeli yang sudah melakukan perbuatan tunai membayar
itu. Perbedaan yang dapat menimbulkan konflik antara dua
sistem dan alam pikiran (B.W. dan Hukum Adat) tcrsebut
~ dapat diatasi deng-an jalan mengkonstruksikan hahwa indivi-
vidualisasi barangnya (menycndirikan dan menycdiakan un-
tuk diambil) dibarcngi dcngan pcmbayaran harganya adalah
cukup untuk memindahkan . hak milik atas harang yang
diperjual-bclikan. Sesuai dcngan pola hukum Inggcris yang
kami katakan lu~es itu, dapat didalilkan bahwa "individuali-
sasi plus pembayaran" mcrupakan "petunjuk" bagi pcnentu-
an kchendak kcdua bclah pihak bahwa mcrcka mcnghcndaki
pemindahan hak milik pada saat dilakukannya pcmba-
yaran.
Apa yang diu tarakan diatas sudah barangtcn tu hanya
mengenai harang bergcrak, karcna tcntang tanah suclah dia-
• tur dalam Undang-undang Pukok Agratia dan pcraturan-pcr-
raturan pclaksanaannya. ·

23
........ . . _ - ···.-. ·--·.........
....-. •·.- ~ .. --~- ·~-- ---·~·· .. -·---- - _
... .. ___ -· ..-~---~

. Perlu sekali l~gi dikcmukakan, bahwa apa yang diuta-


rakan diatas sebaiknya diatur didalam Bab tentang Jua.I-beli~
Juga tentang cara pemindahan piutang sebaiknya diatur
disini pu Ia.

8. SYARAT-SYARAT·SAHNYA PERJANJIAN.

Syarat-syarat terscbut ada dua macam, yaitu pertama


yang mengenai subyeknya (yang membuat peijanjian) dan
kedua yang mengenai obyeknya yaitu apa yang dijanjikan
olch masing-masing, yang merupakan isinya peijanjian atau
apa yang dituju oleh para pihak dengan membuat peijan-
jian tersebut.
Yang mengenai subyeknya peijanjian ialah : a) orang
yang membuat peijanjian hams cakap atau mampu mclaku·-
kan perbuatan hukum tersebut dan b) ada sepakat (konsen-
sus) yang menjadi dasar-peijanjian, yang hams dicapai atas
dasar kebebasan menentukan kehendaknya (tidak ada pak-
saan, kekhilapan atau penipuan).
Kecakapan oleh B. W. dikaitkan pada usia 'dewasa yang
·adalah 21 tahun dan dalam Hukum Adat sekitar 15 tahun
(akil baliq). Sekarang oleh UU Perkawinan (UU No.'I tahun
1974) usia dcwasa itu ditetapkan 18 tahun.
Paksaan diartikan sebagai tekanan bathin yang mcmbuat
salah satu pihak tidak bcbas menentukan kchendaknya,
sepertipun ia tidak bebas menentukan kehendaknya dalam
hal ia khilap atau ditipu mengenai obycknya pcijanjian.
Mcngenai obycknya pcijanjian ini ditcntukan bahwa apa
yang dijanjikan olch masing-masing hams cukup jclas, hal
mana·adalah perlu untuk menctapkan masing-masing kewa-
jib~. Selanjutnya apa yang dijanjikan olch masing-masing
itu' harus sesuatu yang halal dalam arti tidak. bcrtcntangan
dengan undang-undang, ketertiban umum atau kcsusilaan.

24
I

r
Sistem bahwa tidak dipcnuhinya syarat subycktip hanya
bcrakibat bahwa perjanjiannya dapat dimintakan · pcm batal-
• annya kepada Hakim, tctapi hal tidak dipcnuhinya syarat
obycktip diancam dengan kebatalan pcrjanjiannya dcmi hu-
kum (taripa diajukan atau diminta kcpada Hakim), mcmpa-
kan suatu sistem yang dianut dimana-mana. Sistem terscbut
adalah Iogis karena tidak dipenuhinya syarat subyektip tidak
dapat dilihat oleh Hakim dan karcnanya hams diajukan
kepadanya oleh pihak yang berkcpcntingan, scdangkan hal
tidak dipenuhinya syarat obyektip sekctika dapat dilihat
olch Hakim.

9. ITIKAD BAlK.

Itikad baik diwaktu mcmbuat suatu' r)erjanjian bcrarti


kejujuran. Orang yang beritikad baik mcnamh kepcrcayaan
sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur
dan tidak menyembunyikan sesuatu yang bumk yang di-
kemudian hari dapat mcnimbulkan kcsulitan-kcsulitan.
Adagium "bczit geldt als volkomcn titcl''yang tcrdapat
dalam pasal 1977 (I) B.W. pada hakckatnya bcrtujuan
melindungi seorang pembcli. barang bcrgcrak, yang jujur
atau "bcritikad baik". Pasal tersebut perlu diatur kcmbali
dcngan mcnempatkannya dalam Bab_ tentang Jual-bcli.
Oleh karena adagium "si pembeli yang bcritikad baik
hams diperlindungi" dalam Hukum Adat bcrlaku tidak
hanya dalam Ialu-lintas barang yang bergerak saja, tctapi
berlaku untuk scmua macam barang, baik bcrgcrak maupun
tidak bergcrak, maka scbaiknya ketcntuan tcrscbut diberla-
kukan untuk semua macam barang. Kcmudian dalam hal
ini juga praktek dan yurispmdcnsi perlu dipcrhatikan, antara
lain yurispmdensi pcrihal kehadliran scorang pcjabat(kcpa-
.. Ja dcsa) dalam transaksi-transaksi, tcm tam a yang mcngcnai

25 I
I
-··' ~ -·· ---:.·~~··

tanah, yang membuat transaksi-transaksi itu "terang" dalam


arti bahwa tidak ada hal-hal yang disembunyikan oleh suatu
pihak. Karenanya perlu dicantumkan suatu ketentuan yang
menyatakan bahwa, apabila suatit peijanjian dilakukan di-
muka seorang pejabat, maka para pihak dapat dianggap
beritikad baik.
Kalau. itikad baik pada waktu mem buat suatu peijanjian
berarti kejujuran, maka itikad baik dalam tahap pelaksanaan
peijanjian adalah kepatutan, yaitu suatu penilaian baik
terhadap tindak-tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan
apa yang telah dijanjikan. Sebagaimana diketahui maka pasal
1338 (3) B.W. memerintahkan supaya semua perjanjian
dilaksanakan dengan itikad baik. Kalau undang-undang mene-
tapkan bahwa barangsiapa berdasarkan suatu perikatan diwa~
jibkan menyerahkan suatu barang, cfiwajibkan merawatnya
sebaik-baiknya, dengan minat seperii terhadap barang mi-
liknya sendiri, sampai saat terlaksananya· penyerahan ter-
sebut, maka itu adalah suatu ketentuan yang ditujukan
kepada itikad baik didalam melaksanakan suatu kewajiban
hukum. Begitu pula kalau undang-uhdangmenetapkan bahwa
barangsiapa diwajibkan menyerahkan suatu bara.ng yang ha-
nya ditetapkan jenisnya, tidak diwajibkan menyerahkan
barang dari mutu yang paling tinggi, tctapi juga tidak boleh
menyerahkan barang dari mutu yang paling rendah.
Kalau pasal1338 {1) dengan menyatakan bahwa suatu
perjanjian "mengikat sebagai undang-undang" bertujuan me-
ningkatkan kepastian hukum, maka pasal 1338 (3) dengan
memerintahkan supaya peijanjian dilaksanakan dengan itikad
baik, bertujuan mencegah kclakuan yang tidak patut atau
sewenang-wenang dalam hal pclaksanaan tersebut.

. 26
10. PELAKSANAAN PERIKATAN. EKSEKUSI RilL

a. Kalau dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka


tujuan mereka masing-masing adalah untuk memperoleh
prestasi dari pihak lawannya. Prestasi terscbut dapat bcrupa
memberi sesuatu, berbuat scsuatu ataupun untuk tidak
melakukan scsuatu.
Apabila, karena kesalahan pihak yang wajib melakukan
atau mcmbcrikan prcstasi tersebut (siberutang), prestasi itu
tidak datang, dikatakan bahwa pihak tersebut melakukan
wanprestasi. Wanprcstasi ini selalu diancam dengan hukuman
mcmbayar ganti-rugi.
Meskipun ganti-rugi yang diterima, dilihat dari nilainya
(materiil) mungkin sudah mcmadai kerugian yang diderita ·
siberu tang_ akibat tidak dipenuhinya perjanjian olch siber-
utang, namun rasa kecewa mungkin tidak bisa ditebus.
· Rasa kecewa karena tidak mendapat apa yang dikchendaki
dengan mengadakan pcrjanjian dengan siberutang, mungkin
,. t'idak dapat dihilangkan dcngan pemberian ganti-rugi tersebut.
Mcrnang ganti-rugi itu sedikit banyak hanyalah rncrupakan
s:~e~ar "o~at" ~tas derita yang dia~ami · ka~en~ apa yang
dungmkan 1tu t1dak datang a:tau t1dak d1bcnkan oleh
i pihak lawan (sccara sukarela).
t~ Apabila prestasi yang menjadi hak sibcrpiutang itu,
biarpun telah terjadi wanprestasi (karena sibcrutang enggan
rnclakukannya atau karena ia tclah berbuat scsuatu yang
tidak boleh diperbuatnya menurut perjanjian), masih juga
dapat diujudkan (dircalisasikan) dengan pcrantaraan Hakim,
sehingga sibcrpiu tang akhirnya mendapat juga apa yang
telah dijanjikan kcpadanya, maka ~ikatakan bahwa telah
• dilakukan stiatu "eksckusi riil" terhadap perjanjian itu.
Eksekusi riil harus dibedakan dari apa yang dinamakan
"parate cksckusi" yaitu menjalankan sendiri atau "mengam-

27
' I

bil scndiri" apa yang menjadi haknya (dalam arti : tanpa


perantaraan Hakim), yang ditujukan misalnya kepada pelak-
sanaan yang dilakukan olch seorang pemegang hipotik
pcrtama dcngan hak menjual sendiri barang yang diberikan
• dalam hipotik atau seorang pemegang gadai (pandnemer).
b. Sctelah pasal 1239 B.W. mengatakan bahwa tiap
pcrikatan untuk . berbuat sesuatu atau untuk. tidak berbuat
scsuatu, apabila siberutang tidak memenuhi kcwajibannya,
"mcndapatkan penyclcsaiannya dalam kewajiban memberikan
br;mti-rugi (penggantian biaya, ru1,ri dan bunga)", maka oleh
. pasal 1240 dikatakan : "Dalam pada itu siberpiutang adalah
bcrhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang
tclah dibuat berlawanan dengan perikatan (baca: perjanjian),
dan bolchlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk
mcnyuruh menghapuskan scgala sesu~tu yang telah dibuat
tadi atas biaya sibcrutang; dengan tak mcngurangi hak
mcnuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan
untuk itu" dan, sesudah itu oleh pasal 1241 (mengenai
perjanjian untuk bcrbuat sesuatu) dikatakan: "Apabila
pcrikatan (baca: perjanjian) tidak dilaksanakan, maka siber-
piutang boleh juga dikuasakan (baca: oleh Hakim) supaya
dia scndirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya
siberpiu tang".
Ketcntuan scbagaimana terdapat dalam pasal-pasal 1240
dan 1241 itulah yang dinamakan "cksekusi riil", kctentuan
mana hanya kita dapatkan dalam bagian kctiga dari Bab I
Buku ketiga, yaitu bagian yang mengenai: "perikatan untuk
bcrbuat scsuatu a tau untuk tidak berbuat scsuatu ".
Dalam bagian kedua dari Bab tersebut, yaitu bagian yang
mcngenai perikatan "untuk membcrikan scsuatu" tidak
tcrdapat ketcntuan scpcrti itu, sedangkan scbagai akibat
dari wanprcstasi hanya disebutkan: "Sibcrutang wajib mem~
bcrikan ganti-rugi (biaya, mgi dan bunga) apahila ia tclah
. 28
membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk nwnye·
rahkan barang yang · harus diserahkannya atau tdah ti-
dak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya .. (pa-
sal 1236).
Dari satu dan lain yang kami uraikan diatas, dapat
disimpulkan suatu pola atau gagasan: pada umumnya {yang
normal) wanprestasi itu dihukum dengan ganti-rugi, n:unun
dalam halnya perikatan untuk berbuat sesuatu a~au untuk
tidak berbuat sesuatu diberikan kemungkinan (apabib di-
kehendaki) t.intuk menuntut pelaksanaan atau pemjudan
dari apa yang telah dijanjikan (eksekusi riil).
Sebagai perjanjian pertama dimana terbuka kemungkinan
eksekusi riil itu disebu tkan : perikatan <baca : pctjan-
jian) untuk tidak berbuat sesuatu (pasal 1240). Sesudah
itu disebutkan· sebagai perjanjian yang kedua: pcrikatan
(baca: perjanjian) untuk berbuat sesuatu (pasal 1~41 ).
Mengenai jenis yang kedua ini (berbuat sesuatu) dengan sen·
dz:rinya sudah haiu.s dikurangi dengan perjanjian-perjanjian
0.
dim ana . apa yang harus diperbuat itu merupakan scsuatu
yang bersifat sangat pribadi sehingga tidak .daP.at dilakukan
oleh ·orang lain, seperti halnya membuat lukisan oleh
seorang pelukis yang terkenal atau menyanyi oleh seorang
penyanyi yang terkenal pula. Perujudan prestasi tanpa
bantu an sibcru tang hanya dapat dilakukan apabila yang
hams dibuat atau diperbuat itu adalah sesuatu yang dcngan
mudah dapat dibuat atau diperbuat oleh orang lain.
c. Prcstasi yang bcrupa membayar uang, dalam ru-
brikasi tcrsebu t diatas, termasuk dalam golongan "membcri-
kan sesuatu", namun merupakan suatu prestasi yang pada
hakekatnya selalu dapat diujudkan y.aitu dengan jalan me-
- nyita harta-bcnda siberutang, melelangnya dan mengambil
dari hasil pclclangan itu suatu jumlah yang menjadi hak
siberpiutang Galan eksekusi yang paling normal). Dengan

29
. - - - - - - · · .-..-- ·.•. .. ~r···- . .-.-- •...
' .....-... ·,

perkataan lain, perjanjian yang berisikan kewajiban mem-


bayar (mcmbcrikan) uang, adalah suatu perjanjian yang·
sclalu dapat direalis~sikan asal siberutang mcmp~myai cukup
• harta-bcnda untuk jaminan kewajibannya. Tetapi tidak lazim .
untuk menamakan ini · suatu eksekusi riil dan memang itu
scbcnamya suatu cksekusi biasa.
Prestasi yang berupa memberikan barang yang bukan ·
uang, sekalipun itu barang yang dapat diganti atau ditukar
(vervangbaar), dalam prinsipnya ti_dak dapat diujudkan tanpa
bantuan sib'erutang.
Apa yang kami u tarakan diatas, adalah yang dapat kami
simpulkan dari ketentuan-ketentuan dalam B.W. yang meng-
gambarkan gagasan para pembuatnya.
Sebagaimana diketahui, dalam sistem B.W. pcmindahan
hak milik atas barang tak bergerak (tanah) dilakukan dengan
"balik-nama" yang terjadi dengan pembukuan sebuiili "akte
van transport" kedalam register tanah yang dilakukan oleh
Pegawai balik-nama (Overschrijvings-ambtenaar). Permih di- ·
• persoalkan, apakah, jika ·pihak penjual enggan membuat
aktc van transport tersebut, akte ini dapat diganti dengan
suatu putusan Hakim. Persoalan ini telah dijawab oleh Hoge
Raad di Nederland, bahwa itu tidak mungkin, karena ak-
te van transport tersebu t adalah suatu pemyataan bertimhal- .
balik dari kedua belah pihak yang hanya dapat dibuat
dengan bantuan sipenjual dan tidak dapat diganti dengan
suatu putusan ·Hakim. Lagi pula, kata Hoge Raad, ada suatu
ketentuan undang-undang yang memberikan petunjuk bahwa
itu tidak mungkin. Yaitu ketentuan yang dalam hal pemberi-
an hipotik membolehkan digantinya akte pemberian hipotik
dengan suatu putusan Hakim (pasal 1171 ayat 3 B.W.),
sehingga secara a contrario harus disimpulkan bahwa dalam
halnya aktc van transport sebagai follow-up dari suatu pcr-
janjian jual-beli, itu tidak diperbolehllan.

30
:I

Dengan demikian maka penyerahan barang tak bergerak,


yang, kalau sipenjual tidak mau memberikan bantuannya,
• sebenamya (secara yuridis) lebihmudah cara pelaksanaannya
dari pada penycra.han barang bcrgerak (yang mcmerlukan
penyerahan kekuasaan physik), sudah dinyatakan tidak bisa
dilakukan tanpa bantuannya sipcnjual.
Penyerahan barang bergerak, yang (secara yuridis) hams
dilakukan dengan penyerahan kekuasaan physik, jika hcndak ·
dilaks~akart taJt>a bantuan sipenjual, sudah barangtcntu
memerlukan pak$aan physik, misalnya pcnyitaan barangnya
untuk diserahkan kepada sipcmbcli, atau sipembcli dibcri
kekuasaan ti~tuk mcngambilnya sendiri (tcntunya dcngan
paksaan pula) dari tangannya sipcnjual.
Serima itu dalam sistem B.W. tidak dipcrkcnankan.
Dcngan perkataan lain, prcstasi yang bcrupa mcnyerahkan·
barang tidak mungkin dilaksanakan tanpa bantuan sibcrutang
yaitu pihak yang wajib mcnyerahkan .
• d. Pola B.W. yaitu pada prinsipnya tidak mcmbolehkan
e~sekusi riiJ schingga pada umumnya sib~mtang hams mcne-
rima · suatu ·ganti-rugi saja dianut juga dalam Hukum Anglo
Saxon dan dalam Civil Code of the Philippines. Tctapi
disebclah lain, yaitu di Jepang dan di Thailand, tcrdapat
suatu pola yang mcnganut prinsip: pada asasnya bisa
dilakukan eksekusi riil dan baru kalau itu tidak bisa, si
bcrpiutang tcrpaksa mcncrima ganti-mgi saja.
Dalam Civil Code of Japan, pasal414 ayat 2, disebutkan
bahwa, apabila prcstasi itu bempa suatu perbuatan hukum
("juristic act"), maka putusan Hakim dapat mcnggantikan .
pemyataan {"declaration of intention") dari scsu@!.!u pihak
yang cnggan mclakukan pcrnyataan tcrscbut. Jadi, scpcrti
dalam halnya akte V<!n transport yang kami uraikan diatas,

31
pasti dalam hal ke-engganan sipenjual untuk membantu
pembuatannya, akte itu dapat diganti dengan suatu p·utusan
• Pengadilan sehingga penyerahan barang yang dijual dapat
terlaksana. Namun dalam Civil Code of Japan itu mengenai
hal pemindahan hak milik dalam jual-beli, dianut sistem
Code Civil Perancis yang sudah memindahkan hak milik
(secara yuridis} pada saat terjadinya pexjanjian jual-belinya,
,I
sehingga tidak diperlukan procedure sept~rti diatas.
I
Pasal 414 Civil Code of Japan itu berbunyi seleng-
kapnya :
(1) I ( an obligor does not voluntarily perform his
obligation, the obligee may apply to the Court for specific;
performance thereof; however this shall not apply to cases
where the nature of an obligation does not so admit.
(2} If, where the nature of an obligation does not
admit of specific performance, the subject of the obligation
is an act, the obligee may apply to the Court to cause it
• to be done by a third person at the expense of the obligor; ·
however, with regard to an obligation having a juristic
act for its subject, a decission of the Court may b; substituted
for a declaration of intention by the obligor.
(3) With regard to an obligation having forbearance
for its subject, the obligee may deman<:l that what has been
done by the obligor be removed at the latter's expense and
that reasonable precautionary steps be taken against future
repetition.
(4) The provisions of the preceding three paragraphs
shall not prejudice a demand of compensation for damages.
Juga Civil and Commercial Code of Thailand, mengenai
soal pemindahan hak milik (transfer of ownership} menganut
sistem Code Civil Perancis, dengan mcnyatakan dalam pasal
.
32
(section) 458: "The ownership of the property sold is
transferred to the buyer from the moment when the
• contract of sale is entered into".
e. Jika sipersoalkan manakah yang lebih baik dari
dua pola yang digambarkan diatas, maka pertanyaan · itu
dapat dijawab bahwa dari sudut penjaminan hak-hak seorang
berpiutang yang telah mengadakan suatu perjanjian dengan
mengharapkan prestasi yang di-inginkan, mengingat telah
ditonjolkannya postulat: "semua perjanjian bcrlaku schagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya", maka sistem
J epang dan Thailand adalah lebih baik dari pada yang
dipakai oleh B.W. kita. Hendaknya kepercayaan kcpada
postulat tersebut jangan begitu Iekas dihilangkan dengan
suatu pernyataan· bahwa hila diberutang melakukan wan-
prestasi, maka siberpiutang hanya dapat menuntut ganti-rugi
dan hanya dalam hal-hal tertentu ia dapat menuntut diujud-
kannya prestasi. Namun, dalam halnya jual-beli, eksekusi
• riil itu sebaiknya hanya diberikan apabila harga barang
sudah dibayar oleh p·embeli dan diterima oleh penjual.
Dalam hal yang demikian, malahan kami ingin mcngusulkan
supaya dalam Undang-undang Hukum Perikatan kita yang
akan datang nanti, hak milik atas barang yang dijual itu
sudah dianggap beralih pula kepada pcmbeli. Ini memang
menyimpang dari B.W. yang mengcnai barang bergerak
menghendaki penyerahan physik untuk pcralihan hak milik,
tetapi pasti akan mcmenuhi rasa kcadilan orang Indonesia.
Tentunya ini hanya mengenai barang tertentu yang sudah
disediakan (dalam istilah Sale of Goods Act di Inggcris:
specific and in a deliverable state).
Dalam halny~ barang tctap (tanah) pcmindahan hak-
milik sudah diatur, dalam P.P. No. 10 tahun 1961 yang me-
~ nyatakan bahwa scmua pcrjanjian yang bertujuan mcmm-

33
dahkan hak-milik ata~ tanah, hams dilakukan dimuka Pc-
jabat Pembuat Akte Tanah (P.P.A.T). Pembuatan akte
I I

• tersebut lazimnya sekarang dianggap sebagai moment beralih-


nya hak milik pula, yang adalah sesuai dengan sifat tunai
jual-beli menurut Hukum Adat.
· Apabila usul kami tersebut diatas dapat diterima, maka
baik mengenai barang bergerak yang tertentu dan disediakan
maupun mengenai barang tetap (tanah), apabila harga barang
sudah dibayar oleh pembeli dan diterima olch penjual,
maka dalam kedua-dnanya dapat dimintakan eksekusi riil,
hal mana dalam j -beli tanah berarti bahwa pu tusan
.!.
• Pengadilan dapat m< . "antikan persetujuan dari pihak yang .\
enggan menghadap { uka P.P.A.T. Dengan demikian maka
suatu peijanjian untu.K menjual tanah, apabila harga tanah
sudah dibayar dan diterima oleh penjual, biarpun itu. baru
bemama "peijanjian untuk mengadakan jual-beli", dapat
direalisasikan.
''
f. Mungkin ada yang bertanya: Apakah soal eksekusi
riil yang kita:. bicarakan ini ada hubungannya dengan lembaga
uang paksa ?
Pertanyaan tersebut harus kita jawab: Ada, dalam arti
bahwa jika suatu perjanjian dapat di-eksckusi secara riil,
maka tidaklah pada tcmpatnya, bahkan salah, l!ntuk mene-
tapkan uang paksa. Dcngan demikian adalah salah untuk
menetapkan uang paksa dalam suatu putusan yang meng-
hukum untuk membayar uang, karcna putusan untuk mem-
bayar uang itu langsung dapat dijalankan ( di-eksckusi) de-
ngan menyita harta-benda sibemtang, melelangnya dan meng- ,,',
ambil jumlah yang temtang itu dari pcndapatan lclangan. t
I
I

Uang paksa diperlukan dalam suatu penghukuman untuk ~. I


,,
melakukan sesuatu yang tidak bisa dijalankan tanpa bantu- ,I
an siterhukum, misalnya: membuat perhitungan tanggung-

34
J. J ........ ,___..,.""""'·--....
- -.....____
..,iil'lf'·-_...~,,.~

jawab, menyerahkan sebuah dokumen, membuat. scbuah


lukisan (contoh yang terkenal), menghentikan suatu gang-
guan, dan lain-lain. I
I

Dengan demikian adalah salah untuk menetapkan uang- •


paksa terhadap suatu kewajiban bcrdasarkan pe~anjian, yang
"
dapat di-eksekusikan secara riil. Sebaliknya suatu penghu-
kuman untuk mclakukan atau bcrbuat scsuatu yang tidak
'dise'rtai penetapan uang paksa, secara praktis tidak banyak
gunanya dan samasekali tcrganturig pada kesediaan tergugat
untuk memcnuhinya sccara sukarela.

11. JAMINAN-JAMINAN UNTUK SUATU PERIKATAN.

Kalau penanggungan utang ("borgtocht", "guaranty")


sebagai suatu -perjanjian lcrtentu, diatur dalam Undang-un-
dang Hukum Perikatan, adalah :sudah scmcstinya.
Tctapi dalam Civil Code of the Philippines, juga so-
a! jaminan kebendaan, yaitu: pledge ( gadai ), mortgage
·• (~cmaca111 hipotik) dan antichresis (semacam oogstverband)
diatur dalam satu buku dengan hukum pcrikatan, yaitu
dalam Buku IV yang bcrjudul: "Obligations and Contracts';.
Juga Code Civil (Burgerlijk Wetback) Belgia mengatur
soal jaminan kebendaan te.rsebut dalam satu buku dengan
hukum perikatan, tetapi itu disebabkan karena C.C. (B.W.)
Bclgia menganut seluruhnya sistematik Code Civil Perancis
yang dibawah judul yang sangat luas yaitu: "Ten tang bcr-
berbagai cara untuk mempcroleh kekayaan" bahkan juga
memasukkan hukum waris kedalam Buku III-nya.
Memang ada alasan untuk memasukkan soal jaminan
("securities") itu dalam satu buku dengan hukum perikatan
karena soal jaminan mempunyai hubungan yang sangat erat
dcngan pcrikatan atau utang-piutang, teiapi mcnurut pcnda-

35
pat kami soal jaminan kebendaan itu lcbih baik diatur dalam
undang-undang yang_ mengatur tcritang hak-hak atas benda.
Suatu alasan yan)!; kunt untuk pendapat tersebut adalah
bahwa bcbcrapa kctentuan mengcnai hipotik, yang merupa-
kan jaminan . kebcndaan atas barang tak -bergerdk, telah
dicantumkan dalam Undang-undang Pokok Agraria, sebuah
undang-undang yang akan merupakan sebagian dari perang-
kat perundangan nasional tcntang hak-hak atas bcnda, yang
kami maksudkan diatas.

12. DALUWARSA.

Scbaliknya ada suatu masalah, yang didalam sistcmatik


B.W. diatur dalam Buku IV, tctapi mcnurut_pendapat kan~i
sebaiknya diatur dalam Undang-undang Hukum Pcrikatan.
Yang kam i maksu dkan adalah · masalah "dalu wars a pcm be-
basan" atau yang dinamakan "extinctieve vcrjaring". Alasan
untuk mengaturnya dalam Undang-undang tentang Hukum
Pcrikatan adalah karena daluwarsa pcmbebasan (cxtinctic:e ·
verjaring) itu merupakan s:. !ah satu · cara hapusnya suatu
perikatan (lihat pasal 1381 W.).Daluwarsa untuk mempcr-
oleh hak-hak atas suatu bclida (acquisiticvc ve1jaring) harus
diatur dalam undang-undang_yang mengatur ten tang hak-hak
atas bcnda.
Juga apa yang lazim dikcnal dcngan nama "daluwarsa
pendck" atau "kortc vctjaring" sebaiknya diatur dalam un-
dang-undang tcntang Hukum Pcrikatan yang akan datang,
karcna sebagaimaua dikctahui, apa yang dinamakan "dalu-
warsa pcndck" itu pada hakekatnya adalah suatu pcrsangka-
an pcmbayaran, sedangkan pembayaran ini mcrupakan c.ara
(yang tcrpcnting) tcntang hapusnya sualu pcrikalan.

36
BAB II
ANEKA PERJANJIAN

1. JUAL-BELI.

Bcrpedoman pada asas yang· tclah dikcmukakan dalam ·


Bah tcntang Asas-asas., pezjanjian jual-beli ini harus diatur
sebagai perjanjian konsensuil dan.. juga jual-beli itu belum
mcmindahkan hak milik atas barang. Yang memindahkan
hak milik ini adalah suatu perbuatan hukum yang dinamakan
"penyerahan". Adapun penyerahan ini berbeda-beda menurut
macamnya barang yang diserahkan: tanah, barang bergerak
ataupun piutang (yang terakhir ini adalah yang dalam B.W.
dinamal.<.an "barang takbertubuh").
Oleh karena sudah ada Undang-undang Pokok Agraria,
maka penycrahan mcngenai tanah harus diatur tersendiri
dalam peraturan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-
• undang Pokok Agraria itu, tctapi cara-cara penye!dhan menge
nai baning -yang bukan tanah perlu sckaligus diberikan
pcngaturannya dalam Undang-undang Hukum Perikatan yang
akan datang.
Kalau dalam sistem B.W. pembayaran adalah suatu
faktor yang "irrelevant" (tidak penting) untuk peralihan
hak milik atas barang yang dijual, tetapi karena dalam
alam pikiran orang yang hidup dalam suasana Hukum Adat
pcinbayaran itu (sebagai perbuatan "tunai") adalah pcnting,
maka sebaiknya, apabila yang dijual itu bcrupa suatu
barang yang tcrtentu dan sudah tcrsedia (sesuai dengan apa
_yang dalam Sale of Goods Act di Inggeris dinamakan
"specific and in a deliverable state") pembayaran itu juga
I'IH'ng~lihkan hak · milik. Juga dalam hal scpcrti itu harus
•dimungkinkan bahwa si pcmbcli yang sudah membayar itu

37
bisa mcnuntut pcnycrahan barangnya (eksckusi riil) dan
tidak diwajibkan hanya mencrima ganti-rugi saja.
Soal risiko harus ditautkan secara ketat dcngan moment
peralihan hak milik. Sebagaimana telah kita ketahui, pasal-
pasal tentang risiko dalam Jual-beli yang terdapat dalam B.W.
adalah tidak tepat, disebabkan pasal-pasal itu telah diku tip
bcgitu saja dari Code Civil Perancis, padahal sistem peralihan
hak milik dalam B.W. adalah berlain.an dari sistem C.C.
Perancis itu (C.C. Pcrancis memindahkan hak milik sudah
pada saat terjadinya pczjanjian konsensuil, sehingga apa yang
dinamakan "delivrancc"hanya bersifat "feitelijk" saja).
Sudah dikemukakan dalam Bab tcntang Asas-asas·,
bahwa peraturan "si pembeli yang bcritikad baik harus
diperlindungi" yang dalam B..W. hanya berlaku untuk barang
bergcrak saja dan diatur dalam pasal 19 77 ( 1) tetapi
dalam Hukum Adat berlaku untuk semua. macam barang,
harus dicantumkan sebagai suatu ketentuan dalam Bab yang
mengatur tentang Pcrjanjian Jual-beli dan diberlakukan un-
tuk semua macam barang.
Hak reklame dari si penjual barang bergerak Qual-beli ·
tunai dan harus dilakukan dalam jangka waktu tigapuluh hari
selama barang masih bcrada ditangan si pem beli) yang dalam
B.W. diatur dalam pasal 1145 dari Buku II dan yang pa-
da hakekatnya merupakan ~uatu hak dari si penjual untuk
mcmbatalkan perjanjian jual-belinya tanpa perantaraan Ha-
kim, harus pula dicantumkan sebagai suatu pasal dalam Bah
tentang jual-beli.

2. SF. WA-M ENYE WA'.

Juga ini adalah suatti perjanjian konsensuil. Perjanjian


' scwa-mcnyewa dapat mengcnai barang dari macam apa saja

38
· - l- I
~ .__..----_..-~---
--·------------......--~

dan dapat diadakan dengan tenggang waktu tertentu maupun


tanpa waktu tertentu.
Ketentuan-kctentuan dari B.W. dapat dipakai dengan
mengadakan perobahan terhadap beberapa pasal.
Bahwa pihak yang menyewakan hanya menanggung.
t(!rhadap gangguan-gangguan yang disertai tuntutan hukum
dan tidak menanggung terhadap gangguan-gangguan physik
(pasal 1556 dan pasal 1557) sudah sewajarnya.
Sekcdar mcngcnai scwa tanah, harus discrahkan kepada
pcraturan pcrundangan yang mempakan pelaksanaan dari
Undang-undang Pokok Agraria, tctapi pcraturan tcrscb~t ha-
rus mengindahkan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Un-
dang-undang Hukum Pcrikatan mcngenai pcrjanjian scwa
menycwa pada umumnya (hukum kl1usus terhadap hukum
~induk).
Pcrbcdaan antara scwa tcrtulis dan tidak tertulis yang
piadakan oleh pasal 1570 dan pasal 1571 B.W. (yang tertulis
~ bcrakhir secara otomatis apabila diadakan dcngan jangka-
waktu, setclah lewatnya waktu itu, scd~ngkan yang tidak tcr-
tulis memerlukan pemberitahuan pcnghentian) tidak perlu
dipcrtahankan. Cukuplah diadakan pcrbedaan antara scwa
yang diadakan dengan tcnggang waktu dari yang tanpa
waktu tertcntu.
Bunyi pasal 1576 B.W. ('jual-bcli tidak mcmutuskan
scwa") harus dipcrbaiki mcnjadi : "pcmindahan milik tidak
memutuskan scwa", dcngan disertai kctcntuan Icbih lanjut
bahwa yang dipcrlindungi (dipcrtahankan) terhadap si pc-
. milik bam itu hanya hak scwa mclulu dan tidak mcliputi
hak-hak atau kctcntuan-kctcntuan Jain yang mungkin di-
E-antumkan dalam pcrjanjian scwanya, misalnya suatu hak
opsi bagi si pcnycwa atau tanggungan-tanggungan yang di-
adakan bagi kcpcntingan pihak yang mcnycwakan barang.
' I

39
Privilege dari pihak yang menyewakan rumah atau ba-

. rang-barang prabot rumah sebagai jaminan untuk tunggakan


uang sewa, yang dikenal dengan nama "pandbeslag", yang
dalam B.W. diatur dalam pasal 1140 dan 1142 dari Buku II,
hams dipindahkan ke dalam Bah tentang Scwa-menyewa.

3. JUAL BELl DENGAN HAK MEMBELI KEMBALI.

Perjanjian ini menimbulkan kesan yang kurang haik


herhubung dengan pengalaman didalam praktek bahwa lem-
baga ini b~nyak disalah-gunakan untuk menghisa~ pihak
yang lemah dalam hal perjanjian tersebut dipakai untuk
menyelubungi suatu pemberian jaminan bagi suatu perjanjian
pinjam uang. Sampai timbul suara-suara untuk menghapus-
kan saja lembaga ini (Lihat a.l. karangan Prof. Tahir Tu-
ngadi S.H. dalam majalah HUKUM terbitan LAW CENTER,
No. 2 tahun 1975, halaman 17 dsl.).
Karena jual-beli dengan hak mcmbeli kcmbali ini su-
dah populer dalam masya~at dan mclarangnyapun kiranya
sulit dalam rangka kebebasan kontrak, maka j~lan yang da-
pat kita tempuh adalah mengadakan pasal-pasal untuk me-
Iindungi pihak yang lemah, yang dalam hal ini adalah si
penjual barang. Ini sangat perlu, karena, kalau kita pclajari
putusan-putusan Pengadilan, belum dapat kita lihat suatu
kriterium (patokan) yang tetap yang dipakai olch Hakim
dalam menentukan apakah in casu pcxjanjian itu benar-benar
suatu jual-beli ataukah suatu perjanjian pinjam uang dengan
jaminan. Undang•undang dapat memberikan beberapa petun-
juk kepada Hakim untuk mempersangkakan bahwa apa yang
diajukan sebagai "jual-bcli dengan hak mcmbeli kembali"
itu sebenamya tidak lain dari pada suatu peJjanjian pinjam

40
-'-p
- ··-j
'

uang dengan jaminan. Petunjuk-petunjuk terscbut adalah


misalnya :

a. apabila harga tidak seirnbang dengan nilai bamng
yang . sebenamya, umpamanya tidak sampai separoh dari
nilai tersebut ;
b. apabila si penjual tetap menguasai barangnya scbagai
penyewa atau lain sebaginya;
c. apabila, setclah lewatnyajangka-waktu untuk mcmbe-
li kembali, dibuat suatu pcrjanjian lagi untuk memperpan-
jang waktu atau membcrikan jangka-waktu baru ;
d.. apabila si pembeli menahan
.
sebagian dari harga
barang untuk dirinya scndiri ;
e. apabila si penjual mengikatkan diri t~ntuk mcmbayar
~ pajak-pajak mengenai barang yang telah dijualnya itu.

4. SEWA-BELI.
...
Dalam undang-undang yang akan clatang juga pcr-
lu diadakan peraturan tentang perjanjian ':scwa-beli". Pcrjan-
jian· sewa-beli ini {dalam bahasa Belanda: "himrkoop",
dalam bahasa Inggeris: "hire-purchase") di Indonesia mcrupa-
kan suatu ciptaan dari praktck {kebiasaan) yang sudah
diakui sah oleh yurisprudensi, malahan di Nederland sejak
tahun 1936 sudah pula dimasukkan dalam B.W. dan di
Inggeris telah diatur dalam suatu undang-undang terscndiri
yang bcmama : "Hire-purchase Act 1965" yang diadakan
disamping "Sale of Goods Act 1893". Ciptaan scndiri olch
praktek itu mcmang diperbolehkan dalam rangka kcbcbasan
~ bcrkontrak.
Sewa-beli ini sebenamya adalah suatu macam jual-bcli,
• sctidak-tidaknya ia lcbih mendckati jual-beli dari pada

41
• sewa-menyewa, meskipun ia mcrupakan campuran dari kcdua-
duanya dan kontraknya dibcrikan judul: "scwa-menyewa".
.. Dalarn "Hire-purchase Act 1965" tersebut diatas ia dikon-
struksikan sebagai suatu "petjanjian sewa-menyewa dcngan
hak opsi dari si pcnyewa untuk, membeli barang yang
discwanya". Maksud dari kedua belah pihak adalah ditujukan
pada perolehan hak milik atas suatu. barang disatu pihak
dan perolehan sejumlah uang sebagai imbalannya (harga)
dilain pihak.
Scwa-bcli itu mula-mula ditimbulkan dalam praktek
untuk menampung persoalan bagaimanakah caranya mem-
berikan jalan-keluar apabila pihak penjual mcnghadapi ba-
nyak pcrmintaan untuk membeli barangnya tetapi calon-ca-
lon pcmbeli itu tidak marnpu Ill:embayar harga barang
secara tunai. Pihak penjual bcrsedia mcnerima bahwa harga
barang itu dicicil atau diangsur, tetapi ia memcrlukan
jaminan bahwa barangnya, sebelum harganya dibayar lunas, .
tidak akan dijual Iagi oleh si pembeli.
. Sebagai jalan-keluar lalu diketemukan suatu macarn
petjanjian dimana selama harga belum dibayar lunas itu,
si pembcli menjadi penyewa dahulu dari barang yang ingin
dibelinya. Harga sewa yang dibayar sehenarnya adalah ang-
suran atas harga barang. Th·ngan dijadikamL'a "pcnycwa"
(dengan kontrak yang juga beijudul "sewa-menyewa"), si
pembeli itu terancarn olch Hukum Pidana apabila ia bcrani
menjual barangnya, karena ia akan bersalah mclakukan
tindak-pidana "penggelapan". Dengan perjanjian scpcrti itu
kedua belah pihak tcrtolong, artinya si pcmbcli dapat
mengangsur harga yang ia tidak mampu mcmbayar sckaligus
dan sekctika dapat mcnikmati barangnya, scdangkan disebe·
lah lain si penjual merasa arnan karcna barangnya tidak akan
dihilangkan olch si pcmbdi sclama harga bclum dibayar

42
.. ---- --------·-- ---

...
lunas. Adapun pcnyerahan hak milik (sccara yuridis) bam
akan dilakukan pada waktu sudah dibayamya angsuran yan!!
.. tcrakhir, pcnyerc1han mana dapat dilakukim dcngan suatu
,,"
pcrriyataan · saja · karena barc1ngnya sudah bcrada dalam 1.\
·,_1
kckuasaan si pembcli dalani kedudukannya sebagai penycwa. ',i
I
'!· Dalam mcngatur pcrjanjian Scwa-beli ini, kita dapat ,,
I'
f]
mcncontoh "Hire-purchase Act 1965", yang banyak memuat
ketentuan:ketentuan untuk mclind~ngi pihak yang·ekonomis
~~
~!
~
lemah, dalan:t hal ini si penyewa-beli (atau "pcnyewa"), !'
;'
tcrhadap penyalah-gunaan kekuasaan si pemilik. barang, j
~.
antarc1 lain dcngan menetapkan bcntuknya perjanjian (hams i
berupa satu pcrjanjian, dengan memakai judul "sewa-bcli"
dan diadakan tcrtufis) dengan mengadakan larangan kcpada
si pemilik _(pe~jual) barang untuk mcngambil kembal~ ba-
rangnya bcgitu saja kalau si peny_ewa-bcli menungga~ pcm-
bayaran apabila sudah lebih dari sepertiga harga diangsur,
scdang pcnuntutan kembali barc1ng itu harus lcwat Hakim?
• dengan menctapkan kcwajiban ·untuk menegas.kan berapa
jumlah tiang .i>cmbayaran pertama" sebclum perjanjiannya
ditandatangani, penanda-tanganan maria hanis di'lakukan oleh
si pcnyewa-beli sendiri (artinya tidak boleh diw~kili), scdang
si penyewa-bcli selalu bolch mengakhiri scwa-bcli itu tanpa
dikenakan denda atau ganti-rugi, dan lain-lain lagi.
Akhimya, kalau di Inggcris diadakan pembatasan me-
ngcnai harg-c1 barang yang boleh discwa-belikan (£ 2000.-)
dan di Nederland diadakan kctentuan bahwa barang tak-
bcrgcrak dan kapal (yang terdaftar) tidak bisa disewa-bclikan,
di Indonesia pcmbatasan-pcmbatasan sepcrti itu tidak rerlu
diadakan.

43
.. 5. PERJANJIAN KERJA/PERBURUHAN.

• Dibidang hukum pcrburuhan telah tercipta suatu pe-


rangkat pcraturan-peraturan lcngkap yang bersifat nas£onal,
yang banyak mcngandung pcrlindungan kepada buruh dalam
apa yang dinamakan "pcljanjian perburuhan". Menurut
pcngertian dari perundangan nasional kita sebagaimana dapat
disimpulkan dari Undang-undang tahun. 1954 tentang Per-
janjian Pcrburuhan, maka yang dinamakan perjanjian perbu-
ruhan itu adalah pcrjanjian antara majikan dcngan serikat
buruh atau yang dulu (dalam B.W.) dinamakan "collecticve
arbeidsovcrccnkomst", sedangkan istilah "pcrjanjian kerja"
ditujukan kepada pe:rjanjian yang diadakan olch seorang
bu rub sccara pcrscorangan.
Dikabarkan bahwa di Departcmen Perburuhan dahulu
(sckarang Dircktorat Jcnderal Tenaga Kerja dari Dcpartemen
Transmigrasi, Koperasi dan Tenaga Kerja) pernah ada cita-
cita dan kcgiatan untuk mcmbentuk sebuah "Labour Code';
scperti yang dimiliki oleh Republik Federasijerman Qerman
Barat) dJn sckarang juga Philipina ( ditanda-tangani olch
Prcsidcn Marcos pada hari buruh tanggal 1 Mci 1974).
Labour Code yang dimaksudkan itu akan meliputi:
pcrangkat pcrundangan pcrburuhan yang sudah bersifat
nasional yang discbutkan diatas, Titcl 7 A dari B.W. dan
dan Titel 4 dari W.v.K. ten tang. Pcljanjian Kerja-lau t.
M~1gcnai Titel 7 A dari B.W. terscbut dikatakan oleh
Prof. Iman Socpomo scbagai bcrikut :
"Scbagai kcsimpulan dapat sccara kasar dikatakan bah-
Titcl 7 A itu berlaku bagi :
l. scmua bumh Erupa, baik bumh rcndahan maupun
buruh atasan, baik yang bckerja pada majikan Eropa maupun
yang bckcrja pada majikan Indonesia ;

44
------~··- ,,.,....c, .•.• --~-- ----- _ _ _ _ _ ., - - - - - _ _ _ .....,...,..,~P•-··"---- ~.

2. buruh Indonesia atasan yang bekeija pada majikan


Eropa dan nv-nv (naamloze vennootschap) atau p.t.-p.t.
(perseroan terbatas) ;
3. semua majikan Eropa dan majikan Indonesia yang
mempckerjakan buruh Eropa ;
4. majikan Eropa dan nv-nv atau p.t.-p.t. yang mempe-
.
keijakan buruh Indonesia atasan ;
5. buruh Indonesia atasan dan majikan Indonesia di-
perusahaan perkebunan yang terikat oleh Pcraturan Perburu·
han diperusahaan Perkcbunan (Aanvullende Plantersregel-
ing).

Melihat telah sedemikian luas lingkungan berlakunya


Titel 7 A B.W. itu dan mengingat pula bahwa Titel 7 A
dalam praktek dari instansi yang berwenang telah dipakai
sebagai pedoman terhadap hubungan-kerja yang menurut
" p'eraturan (legistis) tidak dikuasai olehnya, maka timbul
suatu gagasan untuk memberlakukan Titel 7 A itu sebagai
peraturan umum terhadap semua hubungan-keija di semua
perusahaan di Indonesia, seperti halnya dahulu dengan pasal-
pasal 1601 lama · 1603 lama yang pada tahun 1879
dibcrlakukan terhadap golongan warganegara bukan-Eropa.
Dipandang dari sudut lengkapnya, yaitu Titel 7 A adalah
lebih lengkap dari hukum adat dibidang perburuhan dan
pasal-pasall601 lama- 1603 lama, dan dipandang puladari
sudut belum adanya peraturan nasional yang satu dan mc-
nycluruh, gagasan tadi dapat dipcrtimbangkan.
" Tetapi sebaliknya Titel 7 A itu adal<.th jiplakan atau tiruan
dari suatu peraturan yang dibuat dan berlaku di Nederland,
yang dengan sendirinya masih berlatar-beLkang liberalisme

45
• dan sckcdar mcndudukkan bumh Se.JaJar dcngan majikan
dalam hukum" *)

.. Dcngan menyampaikan pcnghargaan yang setinggi-tmg-


ginya kepada pihak Departcmcn Perburuhan dahulu dan
pihak Dircktorat Jendcral Tcnaga Kcrja Dcpartcmen Trans-
migrdsi, Koperdsi dan Tenaga Kcija, untuk usaha mcreka
mcnghadiahkan scbuah Labour Code kcpadaBangsa Indonesia,
sudah barang tcntu dalam usaha kita untuk menyusun
Undang-undang llukum Pcrikatan nasional, kita ·tidak bolch
mcnyandarkan diri kcpada basil kcgiatan untuk mcmbcntuk
Labour Code tcrsebut dan pcrlulah dalam Undang-undang
Hukum Pcrikatan yang akan kita susun itu diatur pula
matcri yang sekarang diatur oleh Titcl 7 A B. W. itu de-
mi untuk menjaga jangan sampai timbul suatu kekosonga!l
hukum.
Dan olch karcna, · sebagaimana diutarakan olch Prof.
Iman Suepomo diatas,· kctentuan-kctcntuan Titcl 7 A B.W.
itu didalam praktck sudah berlaku sccara ~erata, maka
" kiranya ketentuan-ketentuai1 terscbu t dapat kita pakai de-
ngan menghapuskan unsur-unsur atau hal-hal yang menurut
penilaian kita tidak scsuai dengan asas-asas Hukum nasional
kita. Apabila nanti tiba saatnya untuk mewujudkan gagasan
tcntang Labour Code tersebut diatas, maka dengan mudah
apa yang sudah kita atur kembali scbagai hukum keija
/perbumhan nasional itu {scperti juga hukum nasional)'ang
mcnggantikan Titcl dari 4 W.v.K.) sccara "en bloc" dapat
clipindahkan kedalam Labour Code atau diatur kcmbali cia-
lam- Labour Code kita itu.

*) Iman Soepomo: Hukum Pcrburuhan, bagian pertama,


Hubungan kcrja, halaman 43.

46
- __,....,...-_...-_...- -~··........- -:-----·-·~·-"' ·''·
.. -.... -~-·--...------ ,_, ____ _

6. PER.JANJIAN PENGANGKUTAN.

Perjanjian pengangkutan juga perlu mcndapat pcngatur-


an yang memadai dalam Undang-undang Hukum Pcrikatan
yang akan datang itu.
..
Scbagaimana diketahui,. dalam B.W. kita tidak tenia-
pat pengaturannya ten tang perjanjian ini yang dapat dianggap
scbagai pcraturan-induknya. Materi pengangkutan atau trans-
portasi ini dalam kcadaan sckarang mcndapat pcngaturan
dibcrbagai tempat secara bcrccrai-berai, misalnya: untuk
pcngangkutan didaratan ada Wcbrvcrkecrs-ordonnantic dalam
Staatsblad 1933 No. 86 (sekarang sudah dicabut) clan
Peraturan Pcngangkutan dengan Kercta Api; pcngangkutan
melalui !aut diatur dalam W.v.K. dan pcngangkutan melalui
udara diatur dalam Ordonansi Pcngangkutan di Udara
(Luchtvervocr-ordonnantie, Staatsblad 1939 No.1 00 jo I 0 I,
yang merupakan pclaksanaan perjanjian intcrnasional War-
sawa tahun 1933 ), tetapi suatu pcraturan umum mcngcnai
" pcnhrangkutan tidak kita punyai. Olch karcn;i matcri ini
sang-at pcnting, terutama untuk pembangunan nasional yang
scdang kita lakukan, ia pcrlu dibcrikan peraturan ummnnya
("hukum induk") dalam Undang-undang yang akan datang.
Scbagian dari hukum pcngangku tan tcrscl>u t, yaitu
sekcdar mcngcnai pcngangkuta'n. yang mclalui jalan raya
umum, sudah bcrbcntuk suatu pcrundangan nasional, yaitu:
'·'Undang-undang tcntang lalu-lintas dan Angkutan eli Jalan
Raya (Undang-undang No.3 tahun 1965) yang tclah mcnca-
but "W C!-,rvcrkccrs-orclonnantic" dari tahun 1933 terscbu t
diatas .. Kcmudian . telah ,clilahirkan pula suatu Pcraturan
Pcmcrintah tcntang kcfcntuan-kctcntuan pclaksanaan "Dana
Pcrtanggungan Wajib Kccclakaan Pcnumpang" yang mcngcnai
semua macam pengangkutan (P.P. No. 17 tahun 1965).

47
Justeru karen:1 dalam bidang pengangkutan ini kita su-

. dah memiliki seperangkat peraturan khusus yang sudah


bersifat nasional, maka· semakin perlunya dalam waktu
singkat dibentuk "peraturan induknya" · yang sebaiknya
dimuat .dalam Undang-undang Hukum Perikatan. Dengan
sendirinya dalam peraturan induk tersebut harus diberikan
perlindungan yang kuat kepada penumpang dan pengirim
barang yang diangku t, · yaitu dengan jalan secara tegas
melarang dimuatnya berbagai i:nacam klausula didalam per-
janjian pengangkutan, atas ancaman batalnya perjanjiannya.
Terutama harus dicegah adanya usaha-usaha dari pihak
juru-pengangkut untuk membebaskan diri dari tanggung-ja-
wabnya atas kesclamatan penumpang dan barang.

7 PERJANJIAN PINJAM UANG.

Mengenai utang-piutang/pinjam uang, dapat dilihat da-


"' ri yurisprudensi kita, bahwa setiap kali dalam perkara-perka-
ra gugatan mengenai pinjam uang itu selalu masih saja
dipersoalkan tentang suku-suku bunga pinjaman uang, baik
suku-bunga yang telah dipeijanjikan maupun yang mcnurut
undang-undang, yaitu yang dinamakan "bunga moratoir".
Apabila tidak terdapat alasan untuk menerapkan "Woe-
ker-ordonnantie" (Staatsblad tahun 1938 No. 524), maka
menurut yurisprudensi Mahkamah Agung: bunga yang harus
dibayar adalah bunga yang diperjanjikan ( tidak kurang dan
tidak lebih).
Namun adalah menarik perhatian bahwa, kendati sudah
ada yurisprudensi dari Pcngadilan tertinggi kita itu, masih
juga ada putusan dari Pengadilan bawahan yang menyatakan
bahwa suku-bunga (mcskipun dipcrjanjikan) sebesar sepuluh

48
------······--. ·-- ._...______ , ____ . ·--...---... - · - - - ---~- . ~~,.-~-· .......--·~·- -:, ..... ...,-.,---'1

persen scbulan adalah "bertcntangan dengan pcrikcmanusia-


... an"•
Karena hukum kita memang harus bcrdasarkan Pat1Ca·
sila, maka hal tcrsebut mcnimbulkan pcrtanyaan apakah
tidak sebaiknya soal suku-bunga yang sctinggi-tingginya itu
diberikan suatu ketcntuan dalam undang-undang. Umpama-
nya dapat ditetapkan bahwa suku-bunga ( dipeijanjikan) yang
lcbih tinggi dari lima kali suku-bunga yang lazimnya ditc-
tapkan oleh Bank-bank Pemerintah untuk pinjaman, adalah
bertentangan dengan perikemanusiaan dan karcnanya dila-
rang. Tentu saja kalau bunga yang melebihi batas itu dipcnu-
hi secara · sukarela, adalah sukar untuk mclarangnya, tctapi
kalau pembayarannya dituntut lewat Pcngadilan, maka Ha-
kim harus mcnguranginya sampai batas yang dipcrbolchkan.·
Berapa tingginya bunga moratoir (yang sekarang adalah
enam pcrsen setahun dan dihitung scjak dituntutnya kcmuka
Pcngadilan), ada baiknya ditetapkan pula dalam Undang-
.. undang yang akan datang. Dcmi untuk mcndorong kearah
pelunasan yang lebih ccpat tcrhadap utang yang jurnlahnya
sudah ditetapkan oleh Pengadilan, bunga terscbu t m isalnya
dapat ditingkatkan mcnjadi duabelas pcrscn sctahun (yang
bcrarti satu pcrsen scbulan} dcngan tctap adanya pcmbatas"
an bahwa bunga itu dihitung scjak dimasukkannya surat 1-,'l.lgat.
Akhimya dalam soal utang·piutang itu perlu diada,;:an
suatu kctentuan mcngenai hak dan kewajiban yang ditctap-
kan _dalam mata uang asing, dalam kctcntuan mana pcrlu
ditcgaskan bahwa utang-utang scpcrti itu sclalu bolch dipt:·
nuhi dalam mata uang rupiah mcnurut nilai (kurs} ya~1g
• bcrlaku pada saat pcmcnuhan, karen a, st:bagaimana clikctahui,
kctcntuan tcrschut tidak terdapat dalam B.W.

49
,.,... ...._._,..__ -------:- -......----·--· ---
,

8. PERJANJIAN PERSEKUTUAN.

... Sistem yang dipakai dalam perundangan yang sekarang


berlaku, yaitu dimana didalam B.W. (yang mcrupakan hukum
induk) diatur bcntuk kcija-sama yang paling . scderhana
untuk bersama-sama mencari keuntungan, sedangkan dalam
undang-undang lain (W.v.K.) diatur bcntuk-bentuk kcijasama
yang Icbih komolcks atau yang berbentuk badan hukum,
dapat clipcrtahankan.
Persekutuan hanya mempunyai daya hukum intern
(kcdalam) dan tidak mcmpunyai daya-hukum keluar. Yang
bcrtindak keluar dan bertanggung-jawab kepada pihak ·ketiga,
adalah para sckutu itu sendiri sccara pribadi. Pembagian
untung dan pcmikulan rugi dian tara para scku tu diatur da-
lam perjanjiannya pcrsckutuan, yan·g tidak usah diketahui
.. oleh urnum .
Scbagaimana diketahui, bentuk-bentuk kerja-sama yang
bcrupa persekutuan (perscroan) firma; persekutuan (perse-
roan} komanditer dan perseroan terbatas (p.L) diatur dalam
Kitab Undang -. undang Hukum Dagang ·(K.U.H.D. atau
W.v.K.).
Perkumpulan tidak perlu diatur dalam Undang-undang
Hukum Perikatan, karena mcndirikan perkumpulan itu bu-
kan lagi perjanjian· dalam arti yang sebenarnya. B.W. secara
salah mengaturnya dalam Hukum Perjanjian, scbagai suatu
peiJanJian ter!_cntu. Dalam B.W. yang baru di Nederland
kesalahan tersebut tclah diperbaiki dan masalah perkum-
pulan itu sekarang diatur dalam Buku II yang bcrjudul:
"Ten tang Badan-badan hukum" (Van Rechtspersonen).
Kalau mendirikan suatu perseku tuan rn asih dapaf di-
narnakan suatu perjanjian, tetani perbuatan bcberapa orang
yang bersama-sama mendirikan suatu pcrseroan yang bcr-

50
badan hukum atau suatu pcrkumpulan, sudah bukan lagi
suatu pexjanjian. Mcrcka itu mcndirikan suatu oadan yang
akan mcmpunyai suatu kehidupan sendiri terlepas dari para
pendiri atau pcsero itu. Karcnanya pcrbuatan semacam itu
di Jerman dinamakan "Gesamt Akt", bukan "Vertrag" (pcr-
janjian).
Atas dasar pertimbangan diatas maka dalam Undang-
undang Hukum Perikatan nanti sebaiknya ha.I1ya diatur
perihal "Pcrsekutuan" saja, sedangkan bcntuk-bcntuk lainnya
diatur tcrsendiri di temp~t lain.
Anggapan bahwa persekutuan firma dan persekutuan
(pcrseroan) komanditcr adalah bcntuk-bcntuk khusus dari
perscku tuan, masili dapat dibcnarkan, tetapi hal tcrsebu t
tidak dapat diterapkan terhadap perseroan terbatas (p.t.)
yang sifatnya sudah sangat lain, karcna unsur kepribadian
sudah hilang sama sckali.

9·. PEMBERIAN KUASA.

Pemberian kuasa merupakan salah satu sttmber perwa·


kilan, disampingnya sumbcr-sumbcr lain (kckuasaan orang-
tua, perwalian, anggaran dasar pcrkumpulan, pcrseroan tcr-
batas, perjanjian kerja, dan lain-lain).
Definisi tentang pcmberian kuasa ini yang diberikan
oleh B.W. mcnunjukkan pcrcampur-adukkan antara pcngcr-
tian pembcrian kuasa dan pcngcrtian pcrwakilan tcrscbut.
"Mclakukan pcrbuatan atas nama orang lain" (rumusan B.W:
ten tang pcm bcrian kuasa) adalah "pcrwakilan ", tctapi kita
harus ingat bahwa ada juga pembc.rian kuasa yang tz"dak
mcnimbulkan pcrwakilan, scpcrti halnya dengan scorang
.. yang membcrikan "amanat" kcpada scorang komisioncr.
Orang ini (kom isioncr) adalah jclas scorang yang mencrima

51
,.-.. . - ~-1-~-·------ ,. . . y -------- -·

kuasa, tetaoi terhadap pihak ketiga ia tidak mewakili si-


pemberi kuasa, karena ia bertindak atas namanya sendi-
ri dan tidak atas nama si pemberi amanat (pemberi kuasa).
Oleh karena itu maka definisi tersebut diatas perlu
dirobah, yaitu menjadi: "melakukan perbuatan-perbuatan
hukum atas tanggungan orang lain". Juga Hukum Anglo,
Saxon memakai kriterium: "to act on behalf or on account
of another'' bagi apa yang mereka· namakan: "agency"..
Dengan demikian maka ''agency" boleh dikatakan mencakup
baik pcrwakilan maupun pemberian kuasa yang tidak mcnim-
bulkan perwakilan, scpcrti yang kita lihat diatas .

52
BAB Ill
SUMBER-SUMBER PERIKATAN LAINNYA

Sumber perikatan yang terpenting sesudahnya perjan-


jian, adalah apa yang dinamakan ''perbuatan melanggar
hukum ". Kcmudian masih ada sumbcr-sumber lainnya, yaitu:
pcngurusan orang lain tanpa kuasa dan "pembayaran tak-
wajib".
Mcngingat pada pengalaman diwaktu yang lampau
berhubung dengan penafsiran tcntang apa yang dimaksudkan
dcngan "melanggar hukum", maka scbaiknya dalam Undang-
undang Hukum Perikatan nanti diberikan uraian yang jelas
tentang arti perkataan tersebut, sebagaimana sekarang B.W.
Nederland yang baru juga mclakukannya (Buku VI, Titel 3,
pasal 6.3.1. ayat 2).
B.W. Nederland tersebut memberikan uraian tentang
".onrcchtmatig" scbagai: · "melanggar hak hukum atau her~
tentangan dengan kcwajiban hukum atau menun!lt ·hukum
tak tertulis tidak patut dilakukan dalam pergaulan masyara-
kat".
Pada hakekatnya kctentuan tentang perbuatan melang-
gar hukum itu bcrtujuan memberikan sanksi pcrdata ter-
hadap pcrbuatan-perbuatan asosial man usia, yang kebanyakan
diantaranya juga mcrupakan su"atu tindak pidana.
Dalam kodifikasi dari bebcrapa negara lain, sekarang
juga ada disebutkan pcristiwa yang dinamakan: "menjadi
kaya tanpa alasan atas kcrugian orang lain" atau yang
dikcnal dcngan "unjust enrichment" atau "ungcrechtfcrtigte
Bereichenmg" Qepang, Jerman Barat). Juga B.W. Nederland
yang baru sekarang mcnycbutkan "ongcrechtvaardigde ver-
rijking" sebagai sumbcr perikatan pula yang melctakkan

53
kcwajiban kcpada orang yang mcnjadi kaya tanpa alasan
alas kcrugian omng lain, mcmberikan kerugian kcpada
pihak yang mcndcri.ta kcrugian itu.
Hcndaknya kita pcrhatikan, bahwa "mcnjadi kaya"
adalah lain dari "mcmperkaya diri", karena ~'menjadi kaya"
mengandung arti bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai
kescngajaan ataupun bersalah melakukan perbuatan-pcrhuat-
an yang bertujuan mempcrkaya diri. Dalam hal ia senga-
ja melakukan perbuatan-pcrbuatan terscbut, itu sudah ter-
masuk "pcrbuatan mclanggar hnkum" hal mana tclah terjadi
dalam kasus Cohen - Lindenbaum yang terkcnal itu, yang
telah dibcrikan putusan oleh Hoge Raad Nederland yang
bcrscjarah itu (putusan 31 Januari 1919).
Mcnurut pendapat kami, "unjust enrichment" atau
"ungcrcchtfcrtigtc Bcreicherung" atau "ongerechtvaardigdc
vcrrijking" .tcrscbut adalah tcrlalu kabur untuk dijadikan
sumbcr pcrikatan hukum juga dalam Undang-undang Hukum
Pcrikatan kita, sclainnya bahwa pcmbuktiannyapun sangat
sukar. Dalam hubungan ini perlu kita catat, bahwa Code
Civil (Burgcrlijk Wetback} dari Bclgia, yang adalah sangat
barn ( 1973) juga tidak mcnyebu tkan pcristiwa terscbu t
scbagai sumbcr pcrikatan. Sclain dari itu tcmyata bahwa
Civil Code dari Korea (Selatan) mcmasukkan pembayamn
takwajib kcdalam pcngcrtian "unjust· enrichmcn t" juga.*)
Tcntang pcrsoalan dimana sebaiknya bcrhagai sumbcr
non-pcrjanjian itu harus diatur, kami condong untuk mcncm-
patkan dan mcngatur klompoka1; pcrikatan- pcrikatan terse-
but dibagian scsudahnya bab-bab tcnt;i.ng bcrancka macam
perjanjian. Sistcmatik yang dcmikian kami anggap lcbih

*) Civil Code ur tht- Ro:public- or Kun·a, Chaptn IV, artidl' 743.

54
.
_

baik dari pada yang dipakai olch B.W. kita sckarang, yang
mcncmpatkan pcrikatan-perikatan yang "lahir dari undang-
.. undang" icrscbu l dalam bagian scbelumnya bab-bab ten tang
"pcijanjian-peijanjian tcrtcntu". Sistcmatik yang kami usul-
kan itu dipakai antara lain olch Civil Code of Japan.
Juga sebaiknya sckaligus bcberapa kaidah yang telah
diCiptakan olch yu risprudensi, seperti: tanggung-jawab sccara
tanggung-menangJ.,rttng dalam halnya bebcrapa orang bcrsama-
sama mclakukan p<:rhuatan mclanggar hukum, kompcnsasi
kesalahan dalam halnya pihak yang mendcrita kcrugian
scndiri juga mclakukan kesalahan, dan lain sebagainya,
dituangkan dalam kctcntuari-ketcntuan.

55
, ··. - -- - • •••••'" •T -· • •- --·· --

. . BAB IV

PERKEMBANGAN HUKUM PERJAN.JIAN


.. DI INDONESIA MENUJU HUKUM
NASIONAL

Dalam zaman sebelum pcrang dunia II hukum petjan-


jian yang berlaku di Indonesia adalah: bagi golongan Eropa
dan· golongan Tionghoa hukum pctjanjian yang terdapat
dalam B.W. dan W.v.K. dan bagi golongan Indonesia asli
hukum petjanjian menurut Hukum Adat.
Bagi golongan Indonesia asli ( pribumi ) diberikan
kemungkinan untuk menundukkan diri pada hukum Barat,
scdangkan untuk hubungan-hubungan antar golongan atau
intergentil dimana _pihak 'Indonesia asli tidak telah menun-
dukkan dari pada hukum Barat, terdapat ketentuan-ketentuan
intergcntil (baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam
bentuk peraturan-peraturan yang diciptakan oleh yurispru-
. .
densi).
Penundukan diri pada hukum Barat paling banyak
tcrjadi dikota-kota besar. Juga, berdasarkan al~san bahwa
pihak Indonesia asli dikota-kota itu telah memasuki ling-
kungan orang Eropa, . erhadap orang Indonesia asli banyak
diperlakukan hukum Barat.
Asas kebebasan bcrkontrak yang dianut oleh B.W.
(pasal 1338 ayat 1) mcmungkinkan pcrkcmbangan dalam
hukum pezjanjian, karena masyarakat mcnurut kebutuhan-
nya dapat menciptakan sendiri bermacam-macam pczjanjian
disamping "pczjanjian-pczjanjian khusus" yang diatur dalam
B.W., asal perjanjian itu tidak bertcntangan dengan undang-
undan~. kctcrtiban umuni atau kcsusilaan (mcmpunyai causa

. yang "halal" menumt pasal 1320). Adapun yang mencntukan

56
. ------ ... - ---- .. -~----- . --_ --~ ..
-"'"il I

.I. I
r

apakah suatu peljanjian mcmpunyai causa yang halal atau
tidak, adalah Hakim .
.....
Kita teJah melihat misalnya diciptakannya olch praktck
dan kemudian disahkannya oleh Hakim, suatu pctjanjian
yang dikenal dengan "fiduciair" scjak arrest Hooggrcchtshof
dahulu dalam perkara B. P.M. - Clignet ( 1933), dcngan
mencontoh pcrkcmbangan di Negeri Bclanda, dimana pcr-
janjian tersebut juga telah diakui olch yurisprudcnsi ("Bicr-
brouwerij-arrest" 1925 ). Peljanjian fiduciair itu mcmang
sangat dibutuhkan olch masyarakat.
Juga dapat disebutkan scbagai suatu pcrkcmbangan
penting ialah lahimya pcrjanjian "scwa-beli" dalam praktck,
yang juga sudah diakui sah olch Pengadilan-pcngadilan kita,
bahkan di Ncgeri BC!anda pcljanjian scwa-bcli itu sudah
... dimasukkan dalam B.W. (scjak tahun 1936). Segala macam
barang dapat discwa-belikan, seperti mesin jahit, sepeda,
mobil, bahkan mmah (Di Nederland, pasal-pasal dari B.W. ~ I
....
yang mcngatur scwa-bcli tidak berlaku untuk bcnda tetap,
sedang di lnggeris berlakunya Hire-purchase Act 1965, ' I

II

dibatasi sampai kontrak-kuntrak yang mcngenai barang-ba- jJ I

!i I

rang seharga £ 2000.-).


Suatu pcrkcmbangan pcnting adalah lahirnya undang-
undang yang bam mcngenai pcrjanjian kcrja/pcrbumhan
dalam tahun 1926, yang bcrtujuan mcmberikan pcrlindungan
yang luas kcpada pihak yang lcmah (si buruh) tcrhaclap
majikan, dcngan mcnctapkan berbagai larangan, yaitu hal-hal
yang tidak buleh dipcrjanjikan, atas ancaman batalnya
pcrjanjian. Dengan dcmikian dalam pcrjanjian kerja/pcrbu-
f'. ruhan asas kcbebasan bcrkontrak tclah sangat dibatasi.
Asas kcbcbasan bcrkontrak, yang beq>angkal pada
kcdudukan (ckonomis) kedua bdah pihak yang sama kuat-

57
• nya, sedangkan menurut kenyataan kcadaannya sering tidak

. begitu, telah dibatasi lagi dengan Wockerordonnaritic ta-


hun 1938•
Hukum kontrak sesudah pcrang dunia II ditandai dengan
semakin meningkatnya pembatasan terhadap asas kebebasan
bcrkontrak.
Dalam bidang sewa-menyewa perumahan misalnya dapat
kita lihat adanya campur-tangan dari instansi pemcrintahan
(KU.P.) dalam hal pemutusan · hubungan sewa-nienyewa,
bahkan hubungan sewa-menyewa dapat diciptakan oleh
instansi tcrsebut diluar kemauan si pemilik rumah. Peraturan
tentang sewa-menyewa perumahan itu diperlukan karena
kurangnya peru mahan dibandingkan dengan kebu tuhan ma-
syarakat, sehingga masalah sosial yang sangat penting itu
perlu diatur dan ditangani oleh Pemerintah.
Juga petjanjian ketja/perburuhan semakin ketat diawasi .
oleh Pemerintah dengan dikeluarkannya berbagai peraturan
,.
untuk memberikan lebih banyak lagi perlindungan kepada
buruh terhadap majikannya. Mcnurut peristilahan Undang- .
undang tahun 1954 tentang Petjanjian Perburuhan, istilah
"perjanjian perburuhan" ditujukan pada perjanjian antara
suatu serikat buruh dengan seorang majikan, yaitu apa yang
dulu dinamakan "collectieve arbeidsovcreenkomst"sedangkan
"petjanjian kcrja" adalah yang diadakan oleh scorang buruh
secara pcrscorangan dcngan seorang majikan. Dengan demi-
'kian maka "hukum perburuhan"' tcrscbut merupakan sepc-
rangkat hukum nasional dalam bidang perlindungan si-buruh.
Scbagian dari hukum pengangku tan, yaitu yang menge-
. nai pengangkutan (transportasi) melalui jalan raya umum,
sudah pula berbcntuk suatu pcrundangan nasional. Yang
kami maksudkan adalah "Undang-undang tentang lalu-lintas

58
--~--~ ~·----

·---- ·---...
.· ~~----~-- .. .,.... ......

.
dan angku tan di jalan raya" (Undang-undang No. 3 tahun
1965) yang telah mencabut "Wegverkeersordonnantie" dari
i I
1'ahun 1933 dan dilengkapi oleh Perattiran Pemerintah I
'
tentang ketentuan-ketentuan pelaksanaan "Dana Pertanggu-
ngan Wajib Kecelakaan Penumpang" yang mengenai semua
macam pengangkutan (P.P. No. 17 tahun 1965). Peraturan-
peraturan tersebut merupakan perkembangan terhadap per- ·
janjian pengangkutan (didarat), karena disitu diatur tentang
tanggung-jawab pihak juru-pengangkut terhadap penumpang/
barang yang diangkut.
Suatu perobahan penting dalam hukum adat mengenai
gadai tanah telah terjadi dcngan dikeluarkannya Perpu ·56
tahun 1960 sebagai pelaksanaan UUPA, Perpu mana dalam
pasal 7 menetapkan bahwa gadai tanah pertanian yang
,. ~ telah berlangsung 7 tahun lebih, ham~ dikcmbalikan kepa-
da -pemiliknya tanpa uang tebusan. Dalam putusannya
tanggal 6 Maret 1971 No. 810 K/Sip/1970 MahkamahAgung
f .. m·cmutuskan bahwa ketentuan tersebut bersifat memaksa
dan tidak dapat dilunakkan hanya karena telah diperjanjikan
antara kedua pihak yang bersangkutan.
Dalam pada itu telah dikonstatir bahwa disekitar
kota-kota, gadai tanah menurut hukum adat mulai banyak
diselubungi dalam bentuk jual-beli · dcngan hak membeli
kembali menurut B.W. dengan akte notaris, untuk mcng-
hindarkan ketentuan yang berlaku dalam hukum adat ten- ~
'• '
tang gadai bahwa, meskipun diperjanjikan bahwa apabila
setclah lcwatnya suatu waktu terten tu tanah tidak ditcbus
ia akan mcnjadi miliknya si pcnerima gadai, janji tcrsebut
tidak bolch dilaksanakan, tetapi selalu dipcrlukan suatu
transaksi lagi dengan penambahan uang gadai. Penyelubungan
itu tentunya terjadi atas desakan pihak penerima gadai (yang
, I
.. memberikan uang) yang adalah pihak yang ekonomis lebih

59
-----·-~

kuat. Kcwaspadaan Hakim disini sangat diperlukan untuk


mcnccgah penyalah-gunaan bcntuk kontrak ini.
P.P. No. 10 tahun 1961 sebagai peraturan pelaksanaan
UUPA tahun 1960 tclah mcnetapkan {dalam pasall9) scmua
pcrjanjian yang bertujuan mcmindahtangankan tanah, men-
jadi suatu peijanjian formil yang harus dilakukan dimuka
PPAT. Menurut tafsiran yang paling banyak dianut, hak
milik atas tanah berpindah pada saat dibuatnya aktc dimuka
PPAT tcrsebut.
Pcmakaian lcmbaga-Icmbaga dari hukum Barat oleh
orang Indonesia asli semakin banyak terjadi, misalnya pcn-
dirian p.t./n.v. scdangkan bcntuk pcrseroan yang diperuntuk-
kan omng Indonesia {I.M.A.) hampir tidak pemah dipakai.
Juga lain-lain bentuk petjanjian berasal dari hukum Barat,
yang crat hubungannya dengan dunia perusahaan/perdagang-
' "' an, scmakin banyak dipcrgunakan oleh golongan Pribumi.
Surat edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 ten-
tang berlakunya B.W. juga mcrupakan suatu perkembangan,
yang didorong olch kcinginan Lembaga Pcradilan tertinggi
kita untuk menghilangbn keganjilan-keganjilan dari beberapa
pasal dalam B.W. dan untuk mcnghilangkan diskriminasi
antara golongan yang tunduk pada B.W. dan golongan yang
tunduk pada hukum Adat yang ditimbulkan olch pasal-pasal
tcrsebut.
Pcnting dari sudut pcrkcmbangan hukum pcrjanjian
adalah pula putusan Mahkamah Agung tanggal 1 September
1971 No. 372 K/Sip/1970 mcngcnai lcmbaga fiduciair,
karcna dalam pu tusan tcrsebu t Mahkamah Agung sudah
menyatakan batal pcrjanjian fiduciair mcngcnai tanah atau
hcnda tctap. Dcngan putusan Mahkamah Agung ini pcrjan-
jian fiduciair telah dikcn1balikan pada proporsinya semula,

60
--- ·--~-··-------- ~··, I

t.
j
tf
..
yaitu suatu pciJanJian pemberian jaminan barang yang ber-
... gerak .
Dapat dikonstatir bahwa peJjanjian sewa-beli, yang
dalam zaman pendudukanjepang dan pada permulaan zaman
kemerdekaan telah mati disebabkan tidak stabilnya alat
pembayaran (inflasi), sekarang sudah mulai hidup kembali.
Akhimya dapat disebutkan berkembangnya kontrak-
kontrak joint ventures antara pengusaha-pengusaha bangsa
kita dengan pihak bangsa asing sesudah tahun 1965, yang
merupakan suatu bidang yang baru dan asing bagi pengusa-

~
ha-pengusaha Indonesia.
Sebagaimana telah disebutkan diatas, hukum perjanjian
Indonesia sudah dapat menunjukkan bagian-bagian yang I'
sudah bers~fat- nasional, misalnya: hukum perburuhan, se-
bagian dari hukum pengangkutan, transaksi pemindahtangan
an tanah, perihal gadai tanah, dan lain-lain.
t· Kiranya sudah tiba waktunya untuk memikirkan pcm-
bentukan hukum petjanjian nasional dalam kesduruhannya.
Semenjak kemerdekaan, berbagai usaha telah dilakukan
oleh berbagai pihak untuk merumuskan ketentuan-ketentuan
hukum petjanjian yang bersifat nasional itu. Putusan-putusan
Pengadilan, yang dulu dengan panjang-lebar mempertimbang-
,. kan hukum mana (hukum Barat atau hukum Adat) yang
,, harus dipakai dalam perkara-perkara yang mengandung hu-
·'
i bungan-hubungan intergentil, sudah sejak lama tidak lagi
mcmuat pcrtimbangan-pcrtimbangan seperti itu, tetapi de- _
I
,.
ngan . singkat menunjuk kepada "hukum yang berlaku"
tanpa menyebutkan apakah itu hukum Barat ataukah hu-
kum Adat.
t
f Karcna bangsa Indonesia sudah memasuki gelanggang
,.
intcrnasional, maka hukum pcrjanjian nasional Indonesia
1--
t 61
~ . -- ;-- ·-·--
. ··~ ·~. ··:.·· __ ...: .
... .-- i

perlu mcmperhatikan ukuran-ukuran yang dipakai oleh bang-


sa-bangsa lain dalam hukum kontrak mereka. Hukum per-
janjian nasional harus dapat memadai kemajuan zaman;
namun ·harus luwes. dan mudah dapat dimengerti.
Suatu hal yang teramat penting adalah. bahwa hukum
perjanjian ~asi.onal kita, demi kep~ntingan kepastian hukum, ·
berpegang pada asas konsensualisme. Ini merupakan suatu
syarat mutlak. Berpegang pada asas tersebut berarti mdepasl.
kan anggapan yang berlaku dalam hukum Adat bahwa
pcrkataan saja belum mengikat dan bahwa untuk mencip-
takan · suatu perikatan diperlukan adanya panjer a tau .uang
pengikat, Juga perlu dilepaskan gagasan bahwa orang dapat
mcmbebaskan. diri dari suatu perikatan dengan mengemba-
likan uang panjer terscbut atau, dari pihaknya si pemberi
panjer, dengan membiarkan uang panjer itu dimiliki oleh
pihak lainnya.

I
i
..
\ ...
I

\ 62
tt
'
MAHKAMAH AGUNG
Djl. Lapangan Banteng Timur No.I
!>
Telp. O.P. 64609
Tromol Pos N o.20

Djakarta, 5 September 1963.

No. : 1115/3292/M/1963. Kepadajth.:


Lamp iran
I; Kepala Pengadilan Negeri
Perihal : Gagasan menganggap
II. Ketua Pcng-.tdilaq Tinggi·
Burgerlijk Wetboek ti-
Seluruh Indonesia.
dak sebapi Undang2.

SURAT EDARAN No.3/1963.


Sedjak semula pada umumnja sudah clirasakan scbagai
~atu
kegandjilan, bahwa di Indonesia, mcskipun tclah
merupakan suatu Negara merdeka, masih sadja bedaku ba-
njak undang-undang jarig sifat dan tudjnannja sedikit ba-
njak tidak dapat dilepaskan dari djalan-pikiran kaum pen- _
djadjah, jang <lalam tindakannja pcrtama-tama .dan mungkin-
juga dalam keseluruhannja, hanja mcngedjar pemcnuhan
kcpentingan-kcpcntingan Negara Bclanda dan orang-orang
Belanda.
Maka hanja dengan rasa tcrpaksa pcn1turan-pcraturan
~ (\_ undang-undang jang berasal dari ~am an pendjadjahan Belanda
· _ itu, dilaksanakan oleh para }ang bcrwadjib.

j Dalam kcadaan jang demikian ini. dapat dimcngcrti


bahwa scring ditjari <ljalan, tcrutama sctjara suatu pcnafsir,m
~ "" jang istimewa, untuk menghindarkan, bahwa masjarakat
dirugikan.
I Mcngingat kenjataan, bahwa Burgcrlijk Wctbock olch .
pcndjadjah Bclanda dcngan scngadja disusun scbagai tiruan

t
t
63
belaka dari Burgerlijk Wetboek di Ncgeri Belarid3 dan l'agi
untuk pertama-tama dipcrlakukan bagi orang-orang BCianda
jang ada di Indonesia, maka timbul pertanjaan, apakah
dalam suasana Indonesia Merdeka jang melepaskan diri dari
belengu pendjadjahan Belanda itu~ masih pada tempatnja
untuk memandang Burgerlijk Wetboek ini sedjadjar dengan
suatu undang-undang jang setjara resmi berlaku di Indonesia. . .
Dengan lain perkataan: apakah Burgerlijk Wetboek jang
bersifat kolonial ini, masih pantas harus setjara resmi ditjabut
dulu untuk menghentikan berlakunja di Indonesia sebagai
undang-undang.
Berhubung dengan ini timbul suatu gagasan jang me-
nganggap Burgerlijk Wethoek tidak sebagai suatu undang-
undang, melainkan sebagai suatu dokumen jang hanja meng-
gambarkan suatu kelompok hukum tak-tertulis.
Gagasan baru ini diadjukan oleh Menteri Kehakiman
SAHARDJO SH. pada. suatu sidang Badan Perantjang dari
Lembaga Pembina Hukum Nasional pada bulan Mei 1962.
Gagasan ini sangat menarik hati, oleh karena dengan
demikian para Penguasa, terutama para Hakim, lebih leluasa
- untuk menjampingkan beberapa pasal dari Burgerlijk Wet-
hoek jang tidak sesuai dengan zaman kcmerdekaan Indonesia.
Gagasan ini oleh Ketua Mahkamah Agung dalam bulan
Oktober 1962 ditawarkan kepada chalajak ramai dalam
seksi Hukum dari Kongres Madjelis Ilmu Pcngetahuan Indo-
nesia atau M.I.P.I. dan disitu mendapat persctudjuan bulat
dari para peserta.
Kemudian terdengar banjak sckali suara-suara dari para
sardjana-hukum di Indonesia, jang menjetudjui djuga ga-
gasan mi.
... Sebagai konsekwcnsi dari gagasan ini, maka Mahkamah
Agung menganggap tidak berlaku lagi antara lain pasal-pasal
berikut dari Burgerlijk Wedlock :

64
. . -...-----
-----------------....--.... ~-~·,_,_00(~
~- '·, .~ t·

1. Pasal-pasal 108 dan 11 0 B. W. ten tang wewcnang scorang


isteri untuk melakukan perbuatan-hukum dan untuk
menghadap dimuka Pengadilan tanpa idzin atau bantuan
dari suami.
, , , Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi pcrbc-
daan diantara semua warga-negara Indonesia.
2. · Pasal 284 ajat 3 B.W. mengenai peng-akuan anak, jang
lahir diluar perkawinan, oleh seorang perempuan Indo-
nesia-asli.
Dengan demikian, peng-akuan-anak tidak lagi bcrakibat
te:rputusnja perhubungan-hukum antara ibu dan anak,
sehingga djuga tcntang hal ini tidak ;;da Iagi perbcdaan
diantara semua warga-negara Indonesia.
3. Pasal 1682 B.W. jang mengharuskan dilakukannja suatu
pcnghibahan dcngan akta notaris .
... 4. Pasal 1579 B.W. jang mcncntukan, bahwa dalam hal
•&
sewa-menjewa barang si-pcmilik barang . tidak dapat
i<;l menghentikan persewaan dcngan mengatakan, bahwa
' ia akan memakai sendiri barangnja ketjuali apabila pada
waktu membcntuk persctudjuan scwa-menjcwa ini di-
'
~ djandjikan diperbolehkan.
~
5. Pasal 1238 B.W. jang menjimpulkan, bahwa pclaksanaan
r suatu pcrdjandjian hanja dapat diminta dimuka Hakim,
,~
r
apabila !:,'Ug'atan ini didahului dengan suatu pcnagihan
tcrtulis.
i
~
Mahkamah Agung sudah pcrnah mcmutuskan, dianta-
ra dua orang Tionghoa, bahwa pcngiriman turunan
surat-gugat kcpada tcrgugat dapat dianggap scbagai
penagihan; oleh karena si-tergugat masih dapat mcng-

,...
'
6.
hindarkan terkabulnja ~:,JUgatan dengan membajar hu-
tanhrnja sebclum hari sidang-pcngadilan.
Pasal 1460 B.W. tcntang risiko seorang pcmbcli harang,
pasal mana mcnentukan, bahwa suatu barang tcrtcntu,
r jang sudah didjandjikan didjual, scdjak saat itu adalah
t 65 ~l I
atas tanggungal,l si-pcmbeli, mcskipun pcnjcrahan ba- J!ll.
rang itu belum dilakukan.. {1li
. I
Dcngan tidak Iagi berlakunja pasal ini, maka harus i
ditindjau dari tiap-tiap keadaan, apakah tid~k sepan- 1
tasnja pertanggungan-djawab atau risiko atas musnah- .j i
nja barang jang sudah didjandjikan didjual tetapi belum '
disera~kan,. ha~s ~ibagi an tara kedua belah pihak, dan 4, I

kalau Ja, sampa1 dtmana. · ·· ' · .· :J


7. Pasal 1603 x ajat 1 dan ajat 2 B.W. jang menga-
dakan diskriminasi antara orang Eropah disa_tu. pihak .: 1
1

dan orang-bukan-Eropa dilain pihak mengenai per- 1


I
1

janjian pcrburuhan.

\
DJAKARTA, tanggal4 AGUSTUS 1963.
ATAS PERINTAH MADJELIS: MAHKAMAH
.
AGUNG~I 1

Panitera, .. K e .t u a,
ttd.. ttd. .

. )
! . . . . . •• ;;;·j··.

.· ... ·,

66
KEPUSTAKAAN

J. Eggens 'Trarispositie en conversie~'. P.idato pc-


ngukuhan, Utrecht 19i6.

R. Lowe "Sale of goods and hire-purchase'~

Iman Soepomo "Hukum perburuhan ", penerbit Bayang-


kara, 1968.

Subckti "Azas konsensualisme dalam Hukum Per-


janjian ", karangan untuk ·buku peringat-
an "Limapuluh tahun pcndidikan hu-
• kum", 1974.

"Perjanjian jual-beli dengan hak membe-


li kerribali", karangan dalam majalah
HUKUM No. 2, penerbit LAW CENTER,
1975.

Wirjono Prodjo- "Rancangan Undang-undang Hukum Per·


dikoro JanJzan ", Kongres Persahi, Y ogyakarta,
1963.

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963.

*TC*

67

Anda mungkin juga menyukai