Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PROSES PEMBENTUKAN KARAKTER

Oleh :

Redmy Lasmana

1915301025

KELAS REGULER SEMESTER 3

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS FORT DE KOCK BUKITTINGGI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat
tersusun sampai dengan selesai.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara, oleh sebab itu
hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa. Karakter juga
memiliki fungsi sebagai penggerak dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing.
Di sisi lain, karakter tidak datang dengan sendirinya, namun harus dibangun dan dibentuk untuk
menjadikan suatu bangsa bermartabat (Pemerintah Republik Indonesia, 2010: 3). Uraian tersebut
meninggalkan pesan bahwa karakter harus diwujudkan secara nyata melalui tahapan-tahapan
tertentu. Salah satu tahapan yang dapat dilakukan yaitu membangun karakter melalui pendidikan
guna membuat bangsa ini memiliki karakter yang kuat, bermartabat, dan memiliki great
civilitation. Pendidikan memiliki dua tujuan besar yaitu membantu anak-anak menjadi pintar dan
membantu mereka menjadi baik (Lickona, 2013: 6).

Hal tersebut menunjukan bahwa pendidikan merupakan sarana strategis dalam pembentukan
karakter karena mempunyai tujuan melahirkan insan yang cerdas dan berkarakter. Hal tersebut
pernah dikatakan oleh Martin Luther King, yaitu; intelligence plus character that is the goal of
true education (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang 2 sebenarnya)
(Muslich, 2011: 75). Paparan tersebut mengingatkan bangsa Indonesia dalam mewujudkan
pendidikan yang sesungguhnya. Bukan hanya terpaku pada kepintaran, namun membantu anak-
anak menjadi baik harus menjadi prioritas.

Upaya mendidik anak-anak menjadi pribadi yang baik, perlu diwujudkan bersama sebagai
prioritas dalam hubungan kerjasama antara keluarga, masyarakat maupun pemerintah khususnya
melalui bidang pendidikan. Sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh negara Indonesia dalam
Pasal 3, Undang‐Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa:
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sebagaimana dijelaskan dan diamanatkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan


Nasional tersebut, sangat jelas bahwa pendidikan di Indonesia diharapkan tidak hanya
menitikberatkan pada kecerdasan intelektual saja namun penting memperhatikan penanaman
nilai-nilai karakter pada siswa dan pengembangan kultur (budaya) sekolah sebagai aspek
pembentukan karakter. Namun, dalam kenyataan di lapangan fungsi pembentukan karakter yang
diharapkan dalam pendidikan nasional belum terwujud secara optimal. Pendidikan karakter
bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Setidaknya, terdapat dua mata
pelajaran yang diberikan 3 untuk membina akhlak dan budi pekerti peserta didik, yaitu
Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

Namun demikian, pembinaan watak melalui kedua mata pelajaran tersebut belum
membuahkan hasil yang memuaskan karena beberapa hal diantaranya: pertama, kedua mata
pelajaran tersebut cenderung baru membekali pengetahuan mengenai nilai-nilai melalui
materi/substansi mata pelajaran. Kedua, kegiatan pembelajaran pada kedua mata pelajaran
tersebut pada umumnya belum secara memadai mendorong terinternalisasinya nilai-nilai oleh
masingmasing siswa.

Ketiga, pembentukan watak siswa melalui kedua mata pelajaran itu saja tidak cukup karena
sesungguhnya seluruh mata pelajaran mampu berperan secara bersama-sama mewujudkan tujuan
tersebut (Kemdiknas, 2010: 3). PKn mengemban misi menjadikan siswa sebagai warga negara
Indonesia yang cerdas, demokratis dan religius. Hal tersebut perlu dilakukan secara konsisten
agar mampu melestarikan dan mengembangkan cita-cita demokrasi serta bertanggung jawab
berupaya membangun kehidupan bangsa (Zuriah, 2007: 150). Dengan demikian, PKn memiliki
posisi strategis dalam mengembangkan karakter siswa serta memiliki dimensi-dimensi yang
tidak bisa dilepaskan dari aspek pembentukan karakter dan moralitas warga negara (Samsuri,
2011: 20).

PKn merupakan mata pelajaran yang mempunyai fokus pengembangan utama dalam
pembentukan karakter siswa selain pendidikan agama yang juga memiliki prioritas. Hal tersebut
dapat dilihat dalam 4 lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi bahwa
pengertian PKn memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas,
trampil, dan berkarakter sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, dinyatakan
bahwa tujuan PKn ialah agar peserta didik memiliki kemampuan:

1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.

2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam
kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.

3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-
karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.

4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak
langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Lampiran Permendiknas
No. 22 Tahun 2006).

Implikasi PKn yang identik dengan pendidikan budi pekerti ialah cakupan kajian dan
kompetensi kewarganegaraan yang diharapkan mampu mewujudkan upaya pembentukan warga
negara yang baik (good citizen) (Samsuri, 2011: 56). Good citizen dapat diwujudkan dengan
memperhatikan 3 aspek penting yakni pengetahuan, skill dan karakter kewarganegaraan. Dalam
PKn paradigma baru terdapat pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) yang berbasis
pada keilmuan yang jelas dan relevan bagi masyarakat demokratis, ketrampilan
kewarganegaraan (civic skills), serta karakter kewarganegaraan (civic dispositions) yang mampu
mengembangkan pembangunan karakter bangsa, pemberdayaan warga negara dan masyarakat
kewargaan (Cholisin, 2005: 2-3).

Dari paradigma tersebut, pengembangan 5 komponen pengetahuan (civic knowledge) dan


ketrampilan kewarganegaraan (civic skill) sesungguhnya menjadi basis bagi terbentuknya
karakter (Cholisin, 2005: 4). Pengembangan pembelajaran PKn di sekolah seharusnya tidak
memperhatikan kualitas intelektual semata namun perlu memperhatikan kualitas moral yang
mengarah pada pembentukan watak dan kepribadian. Hal itu sesuai dengan pengembangan PKn
yang sesungguhnya mempunyai substansi pokok yakni civic knowledge, civic skill dan civic
disposition.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian

Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi,
karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang
individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka
dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.

Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang
signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran
lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan
kebiasaan.

Hakekat karakater ialah Menurut Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang
menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
Sedangkan Doni Koesoema, memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian
dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang
bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan. Sementara Winnie,
memahami bahwa istilah karakter memiliki dua pengertian.

Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang


berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku
buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut
memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan “personality”.
Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila tingkah
lakunya sesuai kaidah moral.

Dalam hal ini akar dari semua tindakan yang jahat dan buruk, tindakan kejahatan, terletak
pada hilangnya karakter. Karakter yang kuat adalah sandangan fundamental yang memberikan
kemampuan kepada populasi manusia untuk hidup bersama dalam kedamaian serta membentuk
dunia yang dipenuhi dengan kebaikan dan kebajikan, yang bebas dari kekerasan dan tindakan-
tindakan tidak bermoral.

Karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi
hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan. Karakter
dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja
sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Untuk memahami makna pembangunan karakter dan mengapa hal itu penting, ada suatu
kisah yang menarik yang akan penulis sampaikan.

2.2 Posisi Pendidikan Karakter di Indonesia

Dalam kebijakan nasional ditegaskan, antara lain bahwa pembangunan karakter bangsa
merupakan kebutuhan asasi dalam proses berbangsa dan bernegara. Sejak awal kemerdekaan,
bangsa Indonesia sudah bertekad untuk menjadikan pembangunan karakter bangsa sebagai bahan
penting dan tidak dipisahkan dari pembangunan nasional.

Secara ekplisit pendidikan karakter (watak) adalah amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang pada pasal 3 menegaskan bahwa “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Potensi peserta didik yang akan dikembangkan seperti beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa,berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab pada hakikatnya dekat dengan makna karakter.
Senada dengan sembilan pilar pendidikan karakter yang telah dilansir oleh Kementrian
Pendidikan Nasional antara lain:

a) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya,


b) Kemandirian dan Tanggung jawab,
c) Kejujuran dan Diplomatis,
d) Hormat dan Santun,
e) Dermawan, Suka tolong menolong, dan Gotong royong,
f) Percaya diri dan Kerja keras,
g) Kepemimpinan dan Keadilan,
h) Baik dan Rendah hati, dan
i) Toleransi, Perdamaian, dan Kesatuan.

Disamping itu pelaksanaanya juga harus tetap memperhatikan K4 (kesehatan, kebersihan,


kerapian, dan keamanan). Dengan demikian pengembangan potensi tersebut juga harus menjadi
landasan implementasi pendidikan karakter di Indonesia.
.3. Proses Pembentukan Karakter

Karakter terbentuk setelah mengikuti proses sebagai berikut :

a) Adanya nilai yang diserap seseorang dari berbagai sumber, mungkin agama, ideology,
pendidikan, temuan sendiri atau lainnya.
b) Nilai membentuk pola fikir seseorang yang secara keseluruhan keluar dalam bentuk
rumusan visinya.
c) Visi turun ke wilayah hati membentuk suasana jiwa yang  secara keseluruhan membentuk
mentalitas.
d) Mentalitas mengalir memasuki wilayah fisik dan melahirkan tindakan yang secara
keseluruhan disebut sikap.
e) Sikap-sikap yang dominan dalam diri seseorang yang secara keseluruhan mencitrai
dirinya adalah apa yang disebut sebagai kepribadian atau karakter.

Proses pembentukan mental tersebut menunjukan keterkaitan antara fikiran, perasaan dan
tindakan. Dari akal terbentuk pola fikir, dari fisik terbentuk menjadi perilaku. Cara berfikir
menjadi visi, cara merasa menjadi mental dan cara berprilaku menjadi karakter. Apabila hal ini
terjadi terus menerus akan menjadi sebuah kebiasaan.

“Akhlak atau karakter adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui
proses pemikiran”. (Imam al-Ghozali)

Jadi, proses pembentukan karakter itu menunjukkan keterkaitan yang erat antara fikiran,
perasaan dan tindakan. Dari wilayah akal terbentuk cara berfikir dan dari wilayah fisik terbentuk
cara berperilaku. Cara berfikir menjadi visi, cara merasa menjadi mental dan cara berperilaku
menjadi karakter. Apabila hal ini terjadi pengulangan yang terus-menerus menjadi kebiasaan,
maka sesuai dengan pendapat Imam al-Ghozali yang mengatakan : Akhlak atau karakter adalah
suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui proses pemikiran.
.4 Langkah Mengubah Karkter
Dengan mengetahui tahapan, metoda dan proses pembentukan karakter, maka bisa diketahui
bahwa akar dari perilaku atau karakter itu adalah cara berfikir dan cara merasa seseorang.
Sehingga untuk mengubah karakter seseorang, kita bisa melakukan tiga langkah berikut :

a) Langkah pertama adalah melakukan perbaikan dan pengembangan cara berfikir yang
kemudian disebut terapi kognitif, dimana fikiran menjadi akar dari karakter seseorang.
b) Langkah kedua adalah melakukan perbaikan dan pengembangan cara merasa yang
disebut dengan terapi mental, karena mental adalah batang karakter yang menjadi sumber
tenaga jiwa seseorang.
c) Langkah ketiga adalah melakukan perbaikan dan pengembangan pada cara bertindak
yang disebut dengan terapi fisik, yang mendorong fisik menjadi pelaksana dari arahan
akal dan jiwa.
d) Hidup di zaman modern ini semua serba ada, baik dan buruk, halal haram, benar salah
nyaris campur menjadi satu, sulit untuk dibedakan. Maka sebaik-baik orang yang dapat
memilah dan memilih suatu perbuatan yang baik, karena perbuatan baik ini akan
berdampak pada perilaku manusia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
membentuk karakter yaitu :

1) Pembiasaan tingkah laku sopan.


Sopan santun atau etiket adalah akhlak yang bersifat lahir. Ukuran sopan santun
terletak pada cara pandang suatu masyarakat. Oleh karena itu cara pandang sopan-
santun dan sikap suatu daerah mungkin berbeda dengan cara pandang masyarakat yang
lain. Sopan santun diperlukan ketika sesorang berkomunikasi dengan orang lain,
dengan penekanan utama pertama kepada orang yang lebih tua atau guru atau
atasan, kedua kepada orang yang lebih muda, anah buah, anak, murid, bawahan dan
sebagainya, ketiga kepada orang yang setingkat atau sebaya, seusia atau setingkat
status sosial.
Disamping itu sopan santun juga berlaku ketika berkomunikasi dengan kawan
atau lawan. Komunikasi dengan lawan memerlukan kekuatan diplomatis yang lebih
kuat dibandingkan dengan perilaku kasar. Kesopanan bisa menambat hati lawan,
sebaliknya kekerasan akan menimbulkan dendam.
Sopan santun pada anak tertanam melalui kebiasaan sehari-hari di rumah. Apa
yang diajarkan orang tua di rumah akan melekat pada diri anak. Sopan santun pada
remaja tertanam disamping melalui kebisaan dalam rumah juga melalui proses
pergaulan teman sebaya, di sekolah atau melalui suatu tontonan. Sedangkan sopan
santun pada remaja disamping karena perbekalan pada masa anak-anak dan remaja
terbentuk melalui perilalu para tokoh masyarakat, terutama tokoh yang dihormati dan
diidolakan.

2) Kebersihan, kerapian dan ketertiban

Pengetahuan tentang hubungan kebersihan dengan lingkungan dibentuk melalui


proses pendidikan, tetapi kepekaan terhadap kebersihan dibangun melalui proses
pembiasaan sejak kecil. Konsisitensi orang tua terhadap keharusan anak untuk cuci
tangan sebelum makan, cuci kaki sebelum tidur, mandi dan gosok gigi secara tertur,
menyapu lantai dan halaman rumah, buang sampah di tempat sampah, menempatkan
sepatu ditempatnya, merapikan baju dan buku dikamarnya. Merapikan tempat tidur setiap
bangun tidur, adalah merupakan pekerjaan membiasakan anak pada hidup bersih hingga
kedasaran akan kebersihan itu menjadi bagian dari kepribadiannya.

Pada usia remaja kebersihan harus didukung oleh pengetahuan empirik, misalnya
melihat benda dan air kotor, tangan kotor dan sebagainya dengan mikroskup sehingga
bisa menyaksikan sendiri kuman-kuman penyakit pada sesuatu yang kotor tersebut.
Adapun perilaku bersih pada masyarakat diwujudkan dengan pengaturan yang bersistem,
misalnya sistem pemeliharaan kebersihan umum lengkap dengan sarana yang tesedia,
sistem sanitasi, sistem pembuangan limbah ditempat umum kemusian didukung dengan
peraturan yang menjamin kelangsungan hidup bersih dan tertib. Singapura misalnya
mengenakan denda sekitar lima ratus ribu rupiah bagi orang yang hanya membuang
puntung rokok secara sembarangan.

3) Kejujuran
Kejujuran merupakan sifat terpuji. Dalam bahasa arab disebut dengan istiah siddq
dan amanah. Siddiq artinya benar, amanah artinya dapat dipercaya, ciri orang jujur adalah
tidak suka bohong, meski demikian jujur yang berkonotasi positif berbeda dengan jujur
dalam arti lugu dan polos. Dalam sifat amanah mengandung arti cerdas, yakni kejujuran
yang disampaikan dengan bertanggung jawab. Jujur bukan berarti mengatakan semua
yang diketahui apa adanya, tetapi mengatakan apa yang diketahui sepanjang mengandung
kebaikan dan tidak menyebutnya jika diperkirakan memabawa akibat buruk bagi dirinya
dan orang lain.

4) Disiplin.
Tingkah laku disiplin dilakukan karena mengikuti suatu komitmen. Disiplin bisa
berhubungan dengan kejujuran, bisa juga tidak. Kejujuran juga diwariskan oleh genetika
orang tuannya, terutama ketika anak masih dalam kandungan, secara psikologis dapat
menetas pada anaknya. Keharmonisan orang tua didalam rumah akan sangat berpengaruh
dalam membentuk watak dan kepribadian anak-anak pada umur perkembangannya.
Ketika anak masih kecil, pantang orang tua bebohong kepada anaknya, karena
kebohongan yang diarasakan oleh anak akan menimbulkan kegelisahan serta merusak
tatanan psikologi seorang anak.
Pada anak usia kelas IV SD hingga SLTP, kejujuran sebaiknya dibiasakan sejalan
dengan kedisplinan hidup, disiplin belajar, disiplin ibadah, displin bekerja membantu
orang tua di rumah, disiplin keuangan dan dan disiplin agenda harian anak. Pada anak
usia SMA kejujuran dan kedisiplinan yang ditanamkan harus sudah disertai alasan yang
rasional, baik dalam kehidupan dalam rumah tangga, sekolah maupun dilingkungan
masyarakat. Sistem punishment dan reward sudah bisa diterapkan secara rasional.
Pada usia mahasiswa, kejujuran dan kedisiplinan dinisyakan melalui pemberian
kepercayaan dalam berbagai tanggungjawab.kepada mereka sudah ditekankan komitmen
dan substansi, sementara prosedur dan teknik mungkin harus sudah diserahkan kepada
seni dan kreatifitas mereka.
Pada orang dewasa yang sudah bekerja, kejujuran dan kedisiplinan diterapkan melalui
pelaksanaan sistem dimana peluang untuk berbuat tidak jujur dipersempit. Misalnya
dengan pengawasan yang transparan. Betapapun orang jujur dapat berubah menjadi tidak
jujur menakala peluang tidak jujur dan tidak disiplin terbuka tanpa pengawasan .
BAB III

PENUTUP

.1 Kesimpulan
Konsep pembentukan sangatlah diperlukan guna untuk membentuk karakter yang
berakhlak baik . Menurut William Kilpatrick, pendidikan karakter terdiri dari tiga
komponen karakter baik yang harus dikembangkan dalam pendidikan karakter, yaitu: moral
knowing, Moral feeling,  dan  moral Action.

Anda mungkin juga menyukai