Anda di halaman 1dari 2

Tugas Praktikum Biodeteriorasi

Nama : Ardinta Panjer Palupi


NIM : 26040118140093

Biofouling merupakan penempelan dan pertumbuhan organisme yang bersifat merusak pada
permukaan suatu objek baik sementara atau permanen. Terdapat dua jenis biofouling yaitu
mikrofouling dan makrofouling.
- Mikrofouling merupakan pembentukan biofilm yang melibatkan kolonisasi bakteri dan
mikroalga
- Makrofouling merupakan penempelan makroorganisme yang melibatkan kolonisasi
avertebrata dan makroalga. Makrofouling dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
o soft macrofoulers contohnya seperti makroalga
o hard macrofoulers contohnya seperti kerang, cacing, teritip, dan bryozoa.

Larva dan spora dari makrofouler dapat menempel pada permukaan objek setelah terjadinya
pembentukan dan perkembangan biofilm. Umumnya larva dan spora tersebut berasal dari
organisme yang bersifat sesil atau hidup menempel pada substrat. Beberapa biofouler seperti
polychaetes dan larva bryozoa dapat menempel sebelum pembentukan biofilm terjadi.
Perkembangan larva dan spora menjadi komunitas biologis yang kompleks dapat terjadi dalam
waktu dua hingga tiga minggu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi biofouling antara lain primary film formation yaitu awal
pembentukan biofilm dengan adanya proses adsorpsi molekul organik seperti polisakarida,
protein, asam nukleat, dan sebagainya; biofilm formation yaitu penempelan bakteri pada primary
biofilm dan ekskresi polisakarida sehingga terbentuk lapisan biofilm pada permukaan substrat;
microfouling colonization yaitu penempelan mikroorganisme yang bersifat eukariotik seperti
diatom, protozoa, dan fungi pada permukaan biofilm untuk kemudian mengorientasikan diri; dan
settlement of macrofouling larvae yaitu proses penempelan larva makroorganisme seperti
polychaeta, tunicata, dan mollusca hingga membentuk suatu lapisan.
Selain itu, terdapat faktor fisik, kimia, dan biologi serta beberapa hal lain yang menentukan
biofouling pada substrat, faktor faktor yang berperan dalam biofouling tersebut seperti:
1) Permukaan benda, termasuk di dalamnya faktor fisikokimia permukaan seperti tekstur,
temperatur, hidrophobisitas, dan kandungan nutrisi. Permukaan benda yang halus, licin,
dan terdapat kehadiran zat beracun cenderung memiliki jumlah biofouling yang lebih
sedikit.
2) Biofilm berperan penting sebagai media penempelan dalam proses biofouling. Biofilm
dibentuk oleh adanya interaksi antara bakteri dan substrat. Interaksi tersebut disebabkan
faktor seperti kelembaban permukaan, nutrisi yang tersedia, serta pembentukan matrik
ekstraseluler (exopolimer). Bakteri dan mikroorganisme pembentuk biofilm dapat
menghasilkan Extracelluer Polymeric Substace (EPS), yaitu lapisan yang berguna untuk
melindungi koloni bakteri sehingga dapat terus hidup dan berkembang biak.
3) Temperatur dapat mempengaruhi biofouling karena organisme laut memiliki sifat
poikilotermik sehingga penyebarannya mengikuti perbedaan suhu laut secara geografik.
4) Salinitas, yaitu jumlah garam terlarut dalam satu liter air, berpengaruh terhadap
biofouling karena biofoulers pada umumnya dapat hidup dalam kisaran salinitas 10-30%.
5) Gelombang dan arus kuat dapat menyebabkan kegagalan penempelan larva invertebrarta
sehingga tidak terjadi perkembangan hingga stadium dewasa, sementara arus air yang
lemah memungkinkan larva untuk menempel pada substrat.
6) Cahaya dan kecerahan pada permukaan laut akan diserap dan diseleksi oleh air laut.
Larva invertebrata lebih banyak ditemukan pada permukaan dibandingkan dengan lapisan
dekat dasar karena larva lebih menyukai daerah yang terang.
7) Warna permukaan benda yang lebih gelap mampu menstimulasi penempelan larva karena
mampu mengabsorbsi panas lebih besar daripada warna terang.
8) Pasang surut, yaitu proses naik turunnya air laut secara periodik, yang mempengaruhi
seluruh massa air sehingga dapat berpengaruh terhadap penyebaran biofoulers.
Contoh-contoh makrofoulers antara lain:
1. Crustaceae, contohnya seperti teritip atau barnacle yang perkembangannya dipengaruhi
oleh kondisi oseanografis, sifat fisik dan kimia substrat, serta tersedianya makan dan
ruang.
2. Gastropoda, yaitu salah satu kelas dari filum moluska, contohnya seperti Conus sp.,
Natica sp., Cypraea annulus, Morula nodicostata, dan lain-lain.
3. Bivalvia, yaitu salah satu kelas dari filum moluska yang memiliki alat perekat (bisus)
yang sangat kuat untuk melekatkan diri pada substrat, contohnya seperti Saccostrea sp.,
Spondylus sp., Hyotissa sp., Chama sp., Isognomon sp., Pinctada sp., dan lain-lain.
4. Tunicata, yaitu hewan yang hidup secara sesil atau melekat pada substrat dan
memperoleh makanan melalui aliran air yang masuk melalui mulut ke celah-celah insang,
tubuhnya diselubungi oleh cangkang dari tunika yang tersusun dari selulosa.
5. Sponge, yaitu salah satu bagian dari filum Porifera, merupakan invertebrata filter feeders
bersifat sesil yang tubuhnya terdiri dari pori-pori dan saluran.
6. Sea anemones dan sea pen, yaitu organisme dari kelas Anthozoa yang bersifat sesil dan
menempel pada substrat, terdiri dari sebuah polip yang memiliki cnidocytes atau sel
penyengat sebagai pertahanan diri.
7. Bryozoa, yaitu salah satu filum organisme invertabrata yang pada umumnya hidup secara
berkoloni dan sesil di perairan yang jernih dan dangkal.
8. Polychaeta, yaitu kelas cacing annelida yang sering ditemukan hidup di laut dengan
seluruh permukaan tubuh yang mengandung rambut-rambut kaku atau setae yang dilapisi
kutikula sehingga licin dan kaku.

Anda mungkin juga menyukai