Anda di halaman 1dari 15

1.

Bakteri melekat pada permukaan suatu benda dan dapat diperantarai oleh fili
2. Bakteri melekat dengan bantuan EPS (eksopolisakarida)
3. Proses pematangan biofilm tahap awal
4. Proses pematangan biofilm tahap akhir dan bakteri siap untuk menyebar
5. Sebagian bakteri akan menyebar dan akan berkoloni ditempat lain

1. Penmpelan awal
2. Perlekatan irreversible
3. Pematangan 1, 4.Pematangan II, 5. penyebaran
4. SAINS: Mikroba pembentuk biofilm
5. BIOFILM: BERBAGAI ASPEK DARI BENTUK INTERAKSI MIKROBA
DENGAN PERMUKAAN SUBSTRAT
6.
PENDAHULUAN
7.
8. Mikroorganisme adalah organisme yang berukuran mikroskopik yang eksis sebagai
sel tunggal atau dalam bentuk cluster-cluster sel, meliputi virus yang terkecil (20
nanometer), bakteri, yeast, mold, alga, sampai protozoa terbesar berukuran 5
milimeter. Organisme yang pertama kali mengkolonisasi bumi ini mempunyai
peranan yang sangat beranekaragam, mulai dari penyebab penyakit sampai
peranan pentingnya dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan
manusia, serta penentu kelangsungan hidup dalam biosfer.
9. Terdapat tiga masalah utama yang dihadapi mikroba pada situasi
habitat alamiahnya (Neidhardt et al, 1990):
10. 1) Starvasi dan deplesi nutrien esensial yang berpengaruh langsung terhadap
aktivitas metabolismenya.
11. 2) Kompetisi untuk mendapatkan sisi permukaan substrat sebagai tempat melekat.
12. 3) Eksposur dari senyawa kimia berbahaya, baik dari lingkungan maupun yang
dihasilkan oleh mikroba itu sendiri.
13.
14. Pada habitat alamiahnya, mikroba eksis dalam dua bentuk kehidupan, yaitu
planktonis dan sesil. Kehidupan sesil terbentuk dengan cara melekat pada
permukaan substrat sebagai suatu struktur kompleks yang disebut
dengan biofilm. Daerah permukaan material/substrat merupakan habitat yang
penting bagi mikroba. Lingkungan mikro pada daerah permukaan biasanya
mempunyai jumlah nutrien yang melimpah dibandingkan bagian bawah substrat. Hal
ini berdampak langsung pada laju metabolisme. Misalnya pada ekosistem perairan,
jumlah dan aktivitas mikroba daerah permukaan substrat akan lebih
tinggi dibandingkan pada bagian bawah substrat dan pada bagian air yang
mengalir.
15. Biofilm dapat dibentuk oleh satu jenis spesies mikroba, dapat juga terbentuk oleh
lebih dari satu jenis mikroba. Selama dalam biofilm, populasi menjalani kehidupan
yang kompleks termasuk melakukan berbagai reaksi biokimia dan menghasilkan
substrat yang spesifik. Dari segi phisiologi, pada jenis mikroba yang sama, cluster
sel yang tumbuh membentuk biofilm berbeda dengan sel panktonik. Sel tunggal
bersifat floating dan berenang pada medium cair, sedangkan sel dalam biofilm
harus dapat merespon berbagai faktor termasuk mengenal sisi perlekatan spesifik
atau non spesifik yang ada pada substrat (Karatan and Watnick, 2009; Hoffman et
al, 2005). Mikroba yang terorganisasi dalam biofilm dapat menghasilkan substansi
yang sangat efektif yang tidak dapat dihasilkan secara individual (Matz dalam
www.InfoNIAC.com). Oleh sebab itu, dipercaya bahwa biofilm merupakan sumber
senyawa biokimia baru.
16. Biofilm telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari siklus hidup prokariot karena
telah menjadi strategi penting untuk dispersi membentuk niche yang baru, bertahan
hidup pada lingkungan ekstrim, serta bertahan terhadap antibiotik, desinfektan,
phagosit dan sistem imun.
17.
18. APAKAH BIOFILM ITU ?
19.
20. Biofilm merupakan suatu agregat mikroba sejenis maupun berbeda jenis yang
melekat pada permukaan substrat biologis maupun non biologis, dimana satu sel
dengan sel yang lainnya saling terikat dan melekat pada substrat dengan
perantaraan suatu matrik extracellular polymeric substance (EPS) atau disebut
juga exopolysaccharide (Hall-Stoodley, 2004;Madigan et al, 1997).
21. Biofilm adalah lapisan yang terbentuk oleh koloni sel-sel mikroba dan melekat pada
permukaan substrat, berada dalam keadaan diam, karakter berlendir, dan tidak
mudah terlepas (Madigan et al, 1997).
22.
23. DIMANAKAH BIOFILM DAPAT DITEMUKAN ?
24. Berbagai kajian tentang mikroba yang mengkolonisasi permukaan substrat
menunjukkan bahwa semua mikroba tumbuh pada permukaan dengan membentuk
biofilm.Biofilm terbentuk khususnya secara cepat dalam sistim yang mengalir yang
memungkinkan aliran nutrien yang kontinyu bagi koloni dalam biofilm. Karakter
lapisan berlendir pada biofilm dapat dirasakan dan dilihat dengan mata telanjang.
25. Biofilm dapat ditemukan pada permukaan substrat padat yang bersifat biotik
maupun abiotik yang terbenam air dan lembab. Substrat biotik misalnya daun dan
batang tumbuhan air, daerah perakaran, kulit dan gigi hewan air, serta usus
manusia. Substrat abiotik misalnyajaringan implant, peralatan medis, partikel
tanah, batu-batuan, pipa saluran air, bagian bawah galangan kapal, serta substrat
lain yang tergenang air.
26. Biofilm dapat tumbuh pada lingkungan ekstrim mulai dari lingkungan yang sangat
asam sampai alkalin, sumber air panas, air asin, sampai ke daerah yang sangat
dingin seperti di Antartika (http://en.wikipedia.org/wiki/Biofilm).
27.
28. PEMBENTUKAN BIOFILM
29. Satu komponen biofilm dapat terdiri dari berbagai jenis mikroba, seperti bakteri,
archaea, protozoa, fungi, dan alga. Setiap jenis mempunyai peranan matabolik yang
berbeda selama tahap pembentukan biofilm. Namun, kebanyakan biofilm terbentuk
oleh sel dari spesies yang sama dibawah kondisi tertentu
(http://en.wikipedia.org/wiki/Biofilm).

30. Secara umum, faktor yang mempengaruhi pembentukan dan

pertumbuhan biofilm antara lain laju penetrasi nutrient, kelembaban lingkungan

terutama daerah permukaan substrat, pH, aerobisitas area dalam biofilm,

tegangan permukaan, serta keheterogenan dan homogenan populasi (Beech et

al, 2005; http://xnet.rrc.mb.ca/davidb/biofilms.htm). Mikroba mengembangkan

berbagai mekanisme untuk melekat pada substrat. Menurut Aparna dan Yadav

(2008), perlekatan mikroba pada substrat tampaknya diinduksi oleh sinyal

lingkungan seperti perubahan nutrien, konsentrasi nutrien, pH, temperatur,

konsentrasi oksigen, osmolaritas, dan besi (Gambar 1). Namun jenis sinyal yang

dibutuhkan berbeda pada setiap jenis mikroba.


31. Adapun jenis material substrat sangat kecil bahkan tidak mempunyai efek terhadap
pembentukan biofilm. Menurut Mayette (1992)
dalam http://www.esdstrom.com, belum ditemukan mikroba yang tidak mampu
membentuk biofilm pada material pipa apapun jenisnya. Mikroba mempunyai
kemampuan adhesi yang sama pada semua jenis substrat, seperti stainless steel,
Teflon, PVC dan PVDF (Kynar). Oleh sebab itu, kemampuan bakteri dalam
menghasilkan berbagai jenis enzim, dalam hal ini ektoenzim dan ekternal
enzim, merupakan faktor utama yang sangat penting dalam menginisiasi
terbentuknya interaksi antara sel dan substrat (Beech et al, 2005).
Gambar 1. Karakteristik lingkungan dan kultur yang
berpengaruh terhadap seleksi biofilm multispesies.
32.

33. Banyak jenis bakteri mempunyai adhesin yaitu makromolekul khusus

yang berfungsi untuk mengikatkan diri pada reseptor permukaan. Pili adalah

salah satunya. Hidrofobisitas dinding sel juga penting dalam meningkatkan

afinitas sel terhadap permukaan substrat. Dengan mengubah komposisi lipid

dan protein pada outer membran, maka akan terjadi perubahan muatan dan

hidrofobisitas sehingga dinding sel menjadi lebih hidrofobik (Mayette, 1992

dalam http://www. esdstrom.com). Namun, selain pili dan hidrofobisitas dinding

sel, adhesi bakteri pada permukaan dimediasi oleh struktur lain berupa

matriksmucopolysaccharide yang diekskresikan oleh koloni (Neidhardt et

al, 1990) atauextracellular polymeric substances (EPS).

34. EPS dapat berupa kapsul sebagai bagian integral dari matriks biofilm,

yang kemudian dapat dilepaskan ke lingkungan (media cair) sebagai suatu

planktonik atau free EPS. Pada umumnya, EPS yang dihasilkan oleh mikroba

merupakan campuran makromolekul kompleks seperti protein, polisakarida, lipid,


dan asam nukleat, dimana komposisinya berbeda pada masing-masing jenis

mikroba, status phisiologi sel, dan berbagai faktor lingkungan lain (Wingender et

al, 1999 and references therein).

35. Terdapat lima tahap pembentukan biofilm pada substrat.

36. Tahap pertama. Terbentuknya biofilm dimulai dengan perlekatan sel

mikroba planktonik pada permukaan substrat. Meskipun mikroba mempunyai

kemampuan adhesi yang sama pada semua jenis substrat, namun sifat

permukaan yang kasar lebih disenangi, dan lebih cepat terbentuk pada material

hidrofobik seperti teflon dan plastik dibandingkan pada gelas dan logam

(Aparna and Yadav, 2008). Sel-sel pada tahap perlekatan awal tidak melekat

dengan kuat karena hanya mengandalkan kekuatan ikatan van der

Waals. Setelah itu, koloni akan mengikatkan diri lebih kuat pada permukaan

dengan menggunakan pili. Selama tahap ini, sel bakteri mengalami pertumbuhan

logaritmik.
37. Koloni awal berperan sebagai fasilitator bagi sel lainnya untuk mencari sisi
perlekatan selanjutnya sebagai tempat pembuatan matriks biofilm. Bagi sel-sel yang
tidak mampu melekat pada permukaan, melalui suatu quorum sensing (QS), sel
tersebut berperan memacu sel-sel dalam koloni untuk pembentuk matriks.
Pada Pseudomonas aeruginosa, N-Acyl homoserine lactones (AHL) diketahui
merupakan molekul sinyal yang berperan penting dalam pensinyalan sel (cell
signaling) (http://en.wikipedia.org/wiki/Biofilm; Aparna and Yadav, 2008).
38. Perlu diketahui bahwa perkembangan dan integritas struktur biofilm sangat
tergantung pada QS yaitu molekul ekstraseluler, pheromon, yang dapat
meningkatkan komunikasi diantara bakteri. Viabilitas atau kelangsungan hidup
komunitas biofilm tergantung pada respon gen terhadap stres dan penghantaran
sinyal yang diterima melalui QS yang didifusikan (Aparna and Yadav, 2008).
39.
Gambar 2. A) Perkembangan biofilm pada substrat. B) Photomicrograph
perkembangan biofilm. Terdapat 5 tahap pembentukan biofilm yaitu 1)
perlekatan awal pada substrat, 2) perlekatan irreversibel, 3) maturasi I, 4)
maturasi II, dan 5) dispersi. Matrik biofilm tersusun dari EPS, protein, dan DNA,
dimana EPS tersusun dari 50-90% karbon organik. Pada masing-masing tahap
diperlukan komponen dan molekul yang berbeda dalam peranannya membentuk
biofilm, misalnya flagellae, pili type IV, DNA, dan eksopolisakarida. (Image:
http://xnet.rrc.mb.ca/davidb/biofilms.htm)
40.
41. Tahap kedua, bakteri mengalami multiflikasi sambil mengeluarkan sinyal kimia
untuk berkomunikasi secara internal. Substansi EPS mulai dihasilkan berdasarkan
mekanisme genetik. EPS kemudian akan mentrap nutrien dan bakteri planktonik.
Agregat sel terbentuk sementara motilitas sel menjadi semakin menurun sejalan
dengan semakin progresifnya lapisan agregat (Aparna and Yadav, 2008).
42. Tahap ketiga. Selama tahap maturasi, biofilm terus tumbuh sejalan dengan
pertumbuhan koloni. Semakin lama biofilm semakin berkembang dengan
pertambahan ukuran dan perubahan bentuk (Gambar 1)
(http://en.wikipedia.org/wiki/Biofilm). Pada tahap ini, ketebalan biofilm lebih dari 10
µm (Aparna and Yadav, 2008).
43. Tahap keempat. Ketebalan lapisan biofilm pada tahap ini mencapai lebih dari
100mm (Aparna and Yadav, 2008) dan dapat mencapi 300-400 mm seperti yang
dibentuk oleh algal mats (Characklis, 1990 dalam http://www. esdstrom.com). Pada
tahap dispersi, sel-sel dalam koloni akan terlepas sendiri atau bersama sebagian
komponen matriks. Pada tahap ini, matriks ekstraseluler biofilm akan didegradasi
oleh enzim dispersin B dan deoxyribonuclease(Kaplan et al, 2003; Izano et al,
2008), sekaligus enzim tersebut dapat dimanfaatkan sebagai agen anti-
biofilm (Kaplan et al, 2004; Xavier et al, 2005). Pada Pseudomonas
aeruginosa danCandida albicans, asam lemak cis-2-decenoic acid diketahui mampu
menginduksi dispersi dan menghambat pertumbuhan koloni biofilm (Davies et al,
2009). Beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa biofilm memiliki struktur
yang kompleks dan dinamis.
44. Tahap kelima. Biofilm akan memasuki tahap kelima beberapa hari setelah tahap
keempat. Pada tahap ini .terjadi disperse sel sehingga memungkinkan beberapa
bakteri meninggalkan biofilm untuk berkembang kembali menjadi sel planktonik.
45.
46. ESENSI BIOFILM BAGI MIKROBA
47. DAN PENGARUHNYA BAGI LINGKUNGAN
48.
49. Biofilm sangat penting artinya bagi mikroba itu sendiri yaitu sebagai sistem proteksi
terhadap lingkungan fisik yang ekstrim misalnya kekurangan nutrien, perubahan pH,
suhu, dan kekeringan juga terhadap senyawa kimia yang merugikan seperti
antibiotik, deterjen, desinfektan, dan agen anti biofouling . Bila lingkungan berubah
menjadi ekstrim, pertumbuhan sel-sel dalam biofilm akan bertahan pada fase
stationer. Matriks biofilm berfungsi sebagai 1) protektan bagi populasi, 2)
memfasilitasi komunikasi antar sel melalui sinyal biokimia, serta 3) membantu
distribusi nutrien dan sinyal kimia seperti yang ditemukan pada beberapa biofilm
pada saluran air. Begitu kuatnya matriks tersebut dalam memproteksi
mikroba, sehingga tidak jarang biofilm juga dapat memfosil
(http://en.wikipedia.org/wiki/Biofilm;http://xnet.rrc.mb.ca/davidb /biofilms.htm).
50. Terdapat perbedaan signifikan pada spesies mikroba yang sama, antara yang hidup
dalam biofilm dengan yang hidup planktonik. Biofilm membantu mikroba dalam
meningkatkan daya resistensinya. Sel-sel mikroba sesil tersebut melepaskan
antigen yang dapat menstimulasi antibodi host, namun antibodi tersebut tidak
efektif membunuh biofilm meskipun pada host yang memiliki reaksi imunseluler dan
humoral yang berkembang dengan baik (Aparna and Yadav, 2008). Sejalan dengan
itu, populasi dalam biofilm dapat mengembangkan kemampuan resistensinya
bahkan dapat meningkat 1000 kali lipat (Stewart and Costerton, 2001). Dengan
kata lain bahwa matriks biofilm melindunginya dari pengaruh senyawa kimia
merugikan sehingga mereka lebih kooperatif dan dapat berinteraksi dengan
lingkungan. Namun tidak semua jenis mikroba biofilm mempunyai resistensi yang
kuat terhadap senyawa antimikroba. Contohnya, Pseudomonas aeruginosa, bentuk
biofilmnya tidak lebih resisten bila dibandingkan dengan bentuk sel planktoniknya
pada phase stasioner, meskipun biofilm lebih resisten dibandingkan dengan sel
planktonik pada phase logaritmik. Kemampuan sesistensi pada phase stasioner dan
biofilm kemungkinan karena adanya sel-sel yang memang menjadi lebih resisten
saat memasuki phase tersebut atau bahkan sel tersebut memang bersifat resisten
(Spoering and Lewis, 2001).
51. Tingkat ketahanan mikroba dalam biofilm terhadap berbagai antibiotik yang diujikan
dapat dilihat dari hasil penelitian Merle et al, (2002) sebagai berikut:
52. - Arcanobacterium (Actinomyces) pyogenes, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus hyicus, Streptococcus agalactiae, Corynebacterium
renale, atau Corynebacterium pseudotuberculosis yang terorganisasi dalam biofilm,
tidak dapat terbunuh oleh antibiotik yang diujikan, namun bentuk
planktoniknya sensitif antibiotik pada konsentrasi rendah.
53. - Streptococcus dysgalactiae dan Streptococcus suis, baik dalam bentuk biofilm
maupun panktonik tetap sensitif terhadap penicillin, ceftiofur, cloxacillin,
ampicillin, danoxytetracycline.
54. - Escherichia coli planktonik sensitif terhadap enrofloxacin, gentamicin,
oxytetracycline dan trimethoprim/ sulfadoxine. Enrofloxacin dan gentamicin masih
efektif terhadap E. coli dalam bentuk biofilm.
55. - Salmonella spp. dan Pseudomonas aeruginosa planktonik diketahui sensitif
dengan enrofloxacin, gentamicin, ampicillin, oxytetracycline, dan trimethoprim/
sulfadoxine, namun dalam bentuk biofilm, bakteri tersebut hanya sensitif
terhadap enrofloxacin.
56.
57. Biofilm juga merupakan bentuk pertahanan mikroba terhadap phagosit dan sistem
imun. Contoh mekanisme kimia yang dikembangkan untuk bertahan dapat dilihat
pada bakteri yang hidup di laut. Beberapa jenis bakteri laut menghasilkan
pigmen violacein yang dapat mengubah warna biofilm menjadi ungu muda (soft
purple). Violacein merupakan antibiotik yang mempunyai banyak kemampuan
termasuk bersifat bactericidal (Rettori and Duran, 1998; and references therein) .
Bila biofilm diinvasi oleh organisme lain, maka invader akan memakan sel-sel
biofilm bersama dengan pigmen violacein. Oleh karena itu, violacein menjadi salah
satu mekanisme membunuh dengan dampak paralisis pada invader
(www.InfoNIAC.com).
58. Biofilm juga telah dijadikan strategi penting untuk dispersi membentuk niche yang
baru. Mikroba dalam bentuk biofilm sangat cepat mendominasi lingkungan yang
baru dengan adanya sinergi antara spesies dan metabolisme yang dihasilkan. Bila
biofilm telah mencapai tahap maturitas tertentu, maka sel akan menghasilkan enzim
seperti dispersin B,deoxyribonuclease, dan asam lemak cis-2-decenoic acid yang
berperan dalam menghambat terbentuknya biofilm sehingga sel dapat terlepas ke
lingkungan sebagai planktonik maupun membentuk biofilm yang baru.
59. Substansi biofilm sangat mungkin untuk dijadikan sebagai sumber agen bioaktif baru
karena pada saat terorganisasi dalam biofilm, mikroba menghasilkan substansi yang
sangat efektif yang tidak dapat diproduksi sendiri secara individu (Carsten Matz
dalamwww.infoniac.com). Oleh sebab itu, banyak peneliti yang mengatakan bahwa
biofilm dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan obat parasiticidal baru
(www.infoNIAC.com).
60. Di bidang pencemaran lingkungan, biofilm memegang peranan yang sangat
penting. Misalnya, membantu mengeliminasi petroleum oil yang mengkontaminasi
laut, khususnya berkat kemampuan hydrocarbonoclastic bacteria (HCB) melalui
mekanisme aktivitas degradasi hidrokarbon ( hydrocarbon-degrading) (Martins et al,
2008).
61. Kemampuan kolonisasi mikroba pembentuk biofilm telah memberikan dampak buruk
juga diberbagai bidang. Beberapa masalah yang ditimbulkan oleh pembentukan
biofilm antara lain:
62. 1) Kerusakan pada peralatan.
63. 2) Kontaminasi pangan, produk farmasi, dan medis.
64. 3) Kehilangan energi dan tidak efisiennya transfer energi.
65. 4) Infeksi medis dan penyakit pada tumbuhan.
66. 5) Resistensi antibiotik.
67.
68. Kerusakan pada peralatan.
69. Di lingkungan laut, suksesi kerusakan secara ekologi pada permukaan
benda/substrat misalnya karet, pastik, kayu, dan besi, diinisiasi oleh perlekatan
secara permanen mikroba laut yang bersifat heterotrofik (Disalvo dan
Daniels, dalam Atlas1975). Selanjutnya, akan diperparah oleh inveretebrata
seperti cacing teredo, molusca, bernacle, polycaheta, brachopoda,
sponges, dan bryozoa. Dibawah kondisi euphotik, mikroalga dan makroalga juga
berperan dalam kerusakan tersebut (Sieburth dalam Atlas, 1993).
70. Biofilm dapat tumbuh dengan baik pada shower karena didukung oleh lingkungan
yang berubah lembab dan hangat dari air yang mengalir. Biofilm juga dapat
terbentuk pada bagian dalam pipa sehingga mengakibatkan penyumbatan dan
korosi (http://en.wikipedia.org/wiki/Biofilm).
71. Pada sistem pembuangan atau pengolahan limbah, terdapat berbagai macam
organisme termasuk bakteri, protozoa, dan rotifera. Biasanya sistem
tersebut dilengkapai oleh penyaring. Penyaring tersebut seringkali ditutupi oleh
biofilm. Bakteri yang terdapat dalam biofilm berperan dalam menangkap
materi organik dan menguraikannya, sedangkan protozoa dan rotifera berperan
dalam menguraikan dan membuang suspensi padat, termasuk patogen dan
mikroba (http://en.wikipedia. org/wiki/Biofilm).
72.
73. Kontaminasi pangan, produk farmasi, dan medis.
74. Biofilm yang terbentuk di lantai dan permukaan meja kerap menjadi
penyebab terjadinya kontaminasi pada makanan selama proses preservasi dan
preparasi (Characklis et al, 1981). Selain itu, biofilm juga dapat terbentuk pada
permukaan luar alat-alat implant seperti catheters, cardiac valves, dan intrauterine
(Auler et al, 2009).
75.
76. Kehilangan energi dan tidak efisiennya transfer energi.
77. Biofilm yang terdapat pada sistem pendingin air diketahui dapat mereduksi transfer
panas (Characklis et al, 1981).
78. Infeksi medis dan penyakit pada tumbuhan.
79. Sekitar 80% dari semua penyakit infeksi mikrobial pada manusia diketahui
berhubungan dengan biofilm (http://grants.nih.gov.html). Misalnya, infeksi saluran
urin, infeksi catheter, infeksi telinga tengah, pembentukan dental
plaque dan gingivitis (Karatan and Watnick, 2009), terbentuknya lapisan
pada lensa kontak (Imamura et al, 2008), endocarditis, infeksi cystic fibrosis, dan
infeksi permanen pada sambungan prostheses dan heart valves(Lewis, 2001;
Parsek and Singh, 2003). Pada hampir 80% dari seluruh pasien pengidap sinusitis
kronis, ditemukan biofilm pada jaringan sampel operasinya yang ditandai dengan
cilia dan sel goblet yang tidak normal (cenderung seperti hilang/lebih
pendek) (Sanclement et al, 2005).
80. Contoh yang paling sering mengemuka mengenai hubungan biofilm dengan
penyakit gigi adalah dental caries. Polimer air ludah dan produk ekstraseluler
bakteri biofilm akan membentuk dental plaque pada gigi semua jenis hewan. Gigi
yang terkena dental plaque dan tidak segera dibersihkan, akan cepat
mengalami tooth decay/ dental caries/ cavity yaitu penyakit yang disebabkan oleh
bakteri dengan cara merusak bagian gigi yang keras sepertienamel,
dentin, dan cementum sehingga terbentuk lubang pada gigi. Streptococcus
mutansdan Lactobacillus merupakan dua kelompok bakteri yang berperan dalam
inisiasi caries. Selain itu dental plaque akan berakibat pada gum
disease yaitu gingivitis atau inflamasi pada gusi, dan periodontitis atau sakit pada
jaringan periodontium yang mengelilingi dan memperkuat gigi.
81. Neisseria gonorrhoeae merupakan patogen manusia yg sangat spesifik, dapat
membentuk biofilm pada permukaan gelas dan sel manusia. Bakteri ini. diketahui
sebagai penyebab dermatitis-arthritis syndrome,
penyakit conjunctivitis, pharyngitis, proctitis atauurethritis, prostatitis dan orchitis sert
a infeksi genital seperti pelvic inflammatory. Gejala infeksinya berbeda-beda
tergantung dari bagian tubuh yang terinfeksi (Apicella et al, 2010).
82. Legionellosis adalah penyakit yg disebabkan oleh Legionella, biasa menginfeksi
pekerja pada tower pendingin, orang yang beraktivitas di ruangan ber-AC,
dan penggunashower yang tidak didesain, dikonstruksi, dan dipelihara dengan baik
sehingga tercemar olehLegionella (Murga et al, 2001).
83. Biofilm juga dapat terbentuk pada permukaan dan dalam jaringan tumbuhan dan
mengakibatkan penyakit tumbuhan (http://www.cs.montana. edu.htm). Contoh
penyakit tumbuhan yang berhubungan dengan biofilm antara lain Citrus
Canker pada jeruk, Pierce's Disease pada anggur, dan Bacterial Spot pada banyak
tumbuhan termasuk tomat dan cabai (http://grants.nih.gov.html).
84. Tingginya persentase keterlibatan biofilm dalam berbagai penyakit infeksi
disebabkan karena adanya berbagai mekanisme patogenik yang dikembangkan
oleh biofilm, antara lain 1) melekat pada permukaan substrat, 2) membelah dengan
intensitas tinggi untuk meningkatkan efisiensi metabolik komunitasnya, 3)
menghindar dari mekanisme defens inang (phagositosis), 4) meningkatkan jumlah
sel, 5) mengubah gennya sehingga menjadi strain yang lebih virulen, 6)
memproduksi toksin dalam jumlah yang banyak, 7) memproteksi diri dari agen
antimikroba, dan 8) menyebarkan dan mentransmisi agregat ke tempat yang baru
(Aparna and Yadav, 2008).
85.
86. Resistensi antibiotik.
87. Biofilm sendiri merupakan bentuk mekanisme pertahanan mikroba. Misalnya, sel
fagosit sulit menelan bakteri dalam bentuk biofilm. Selain itu, biofilm lebih
resisten terhadap senyawa antimikroba dibandingkan dengan sel
planktonik. Contohnya, chlorinasi terhadap biofilm seringkali gagal karena hanya
dapat membunuh bakteri pada lapisan bagian luar biofilm.Resikonya bahwa, bila
agen antibakteri diaplikasikan berulang-ulang dapat meningkatkan
resistensi biofilm.
88.
89. RISET TENTANG BIOFILM
90.
91. Banyak manfaat dan kerugian yang ditimbulkan oleh biofilm sehingga, berbagai
aspek mengenai biofilm mikroba terus mendapatkan perhatian yang tinggi untuk
diteliti. Penelitian biofilm sangat berkembang sejak satu dekade terakhir yang
mencakup penelitian dasar seperti genetika molekuler, fisiologi, morfologi dan
anatomi, ekologi maupun terapan seperti dampak biofilm diberbagai industri seperti
makanan, kesehatan, teknik perairan, perkapalan, dan lain lain. Tujuannya
bervariasi, mulai dari mempelajari proses pembentukan dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, keanekaragaman spesies, pewarisan secara genetik sampai
kepada dampak yang ditimbulkan diberbagai bidang seperti lingkungan, industri
kesehatan, maupun tentang pemanfaatannya serta bagaimana usaha
pengendaliannya sehingga akibat yang merugikan dapat diminimalkan. Bahkan
berbagai pusat pengkajian biofilm sudah didirikan seperti The Center for Biofilms
Engginering USA, dan di banyak negara seperti Australia, Canada, dan Inggris.
92.
93. Ditulis oleh Ernin Hidayati
(Terbuka untuk di edit, kritikan, dan saran)
94.
95.
REFERENSI
96. Aparna, M.S. and S. Yadav, 2008, Biofilm: microbes and disease, Brazilian Journal
of Infectious Diseases, 12:6. (Review Article). doi: 10.1590/S1413-
86702008000600016. Print version ISSN 1413-8670.
97. Apicella, M. et al., 2010, Gonococcal Biofilms Neisseria: Molecular mechanisms of
pathogenesis, Caister Academic Press. ISBN 978-1-904455-51-6.
98. Auler, M. E., D. Morreira, F.F. Rodrigues, M.S. Abrao, P.F. Margarido, F.E.
Matsumoto, E.G.Silva, B.C. Silva, R.P. Schneider, and C.R. Paula, 2009, Biofilm
formation on intrauterine devices in patients with recurrent vulvovaginal
candidiasis, Med Mycol., Apr 7, pp:1-6. (Abstract). (http://www. ncbi.
nlm.nih.gov/pubmed/19353374).
99. Carsten Matz, Biofilm Bacteria Protect Themselves With Chemical
Weapons, InfoNIAC.com2007 – 2009, Powered by www.infoniac.com.
100. Characklis, 1990, Size, Proportions, and Watering Systems. (http://www.
esdstrom.com).
101. Characklis, W.G., M.J. Nimmons, and B.F. Picologlou, 1981, Influence of
fouling biofilms on Heat transfer, Heat Trans. Eng., 3, pp: 23–37.
102. Davies, D.G., and C.N.H. Marques, 2009, A fatty acid messenger is
responsible for inducing dispersion in biofilms, Journal of Bacteriology, 191:5, pp:.
1393-1403.
103. Hall-Stoodley, L, J.W. Costerton, P. Stoodley, 2004, Bacterial biofilms: from
the natural world to infectious disease, Nat. Rev. Microbiol., 2:2, 95–
108. doi:10.1038/nrmicro821. PMID15040259. (http://www.nature.com/ nrmicro/
journal/v2/n2/abs/nrmicro821.html).
104. Hoffman, L.R., D.A. D'Argenio, M.J. MacCoss, Z. Zhang, R.A. Jones, S.I.
Miller, 2005,Aminoglycoside antibiotics induce bacterial biofilm
formation, Nature 436:7054, 1171–5. doi:10.1038/nature03912. PMID 16121184.
(http://www.nature.com/nature/journal/v436/n7054/full/nature03912.html).
105. Imamura, Y., J. Chandra, P.K. Mukherjee, A.A. Lattif, L.B. Szczotka-Flynn, E.
Pearlman, J.H. Lass, K. O'Donnell, M.A. Ghannoum, 2008, Fusarium and Candida
albicans Biofilms on Soft Contact Lenses: Model Development, Influence of Lens
Type, and Susceptibility to Lens Care Solutions, Antimicrob. Agents
Chemother, 52:1, pp: 171–182.doi:10.1128/AAC. 00387-07. PMID 17999966
106. Izano, E.A., M.A. Amarante, W.B. Kher, and J.B. Kaplan, 2008, Differential
roles of Poly-N-Acetylglucosamine Surface Polysaccharide and Extracellular DNA
in Staphylococcus aureus and Staphylococcus epidermidis Biofilms, Applied and
Environmental Microbiology, 74:2, pp:. 470-476.
107. Kaplan, J.B., C. Ragunath, N. Ramasubbu, and D.H. Fine, 2003, Detachment
of actinobacillus actinomycetemcomitans biofilm cells by an Endogenous ß-
Hexosaminidase Activity, Journal of Bacteriology, 185:16, pp: 4693-4698.
108. Kaplan, J.B., C. Ragunath, K. Velliyagounder, D.H. Fine, and N. Ramasubbu,
2004, Enzymatic Detachment of Staphylococcus epidermidis Biofilms, Antimicrobial
Agents and Chemotherapy, 48:7, pp:2633-2636.
109. Karatan, E. and P. Watnick, 2009, Signals, regulatory networks and
materials that build and break bacterial biofilms, Microbiol. Mol. Biol. Rev., 73:2,
310–47.doi:10.1128/MMBR.00041-08. PMID 19487730 (http://mmbr.
asm.org/cgi/content/abstract/73/2/310).
110. Lewis, K., 2001, Riddle of biofilm resistance, Antimicrob. Agents
Chemother. 45:4, 999–1007.doi:10.1128/AAC.45.4.999-
1007.2001. PMID 11257008.
(http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=90417).
111. Madigan, M.T., Martinko, J.M. and J. Parker, 1997, Brock: Biology of
Microorganisms, 8th ed., Prentice-Hall, Inc., USA.
112. Martins, V.A.P. et al., 2008, Genomic Insights into Oil Biodegradation in
Marine Systems,Microbial Biodegradation: Genomics and Molecular Biology, Caister
Academic Press.ISBN 978-1-904455-17-2. (http://www. horizonpress.com/biod).
113. Merle, E. O., H. Ceri, W. Douglas, Morck, A.G. Buret, and R. R. Read,
2002, Biofilm bacteria: formation and comparative susceptibility to
antibiotics, Canadian J Veterinary Res.,66:2, pp:86–92.
114. Murga, et al., 2001, Microbiology 147: Role of biofilms in the survival of
Legionella pneumophila in a model potable-water system, pp: 3121–3126.
115. Neidhardt, F.C., J.L. Ingraham, and M. Schaechter, 1990, Physiology of the
bacterial cell: A Molecular Approach, Sinauer Associates, Inc., Massachusetts.
116. Parsek, M. and P. Singh, 2003, Bacterial biofilms: an emerging link to
disease pathogenesis, Annu. Rev. Microbiol., 57, 677–701. doi:10.1146/annurev.
micro.57.030502.090720.PMID 14527295.
117. Rettori, D. and N. Durán, 1998, Production, extraction and purificationof
violacein: an antibiotic pigment producedby Chromobacterium violaceum, Journal of
Microbiology and Biotechnology, 4:5, pp: 685-688. (Abstract). doi:
10.1023/A:1008809504504, ISSN: 0959-3993 (Print) 1573-0972 (Online).
118. Sanclement, J., P. Webster, J. Thomas, H. Ramadan, 2005, Bacterial biofilms
in surgical specimens of patients with chronic rhinosinusitis, Laryngoscope 115:4,
pp: 578–82.PMID 15805862.
119. Spoering, A. And K. Lewis, 2001, Biofilms and Planktonic Cells
of Pseudomonas aeruginosahave Similar Resistance to Killing by
Antimicrobials, Journal of Bacteriology, 183:123, pp: 6746–
6751. doi:10.1128/JB.183.23.6746-6751.2001.
120. Stewart, P. and J. Costerton, 2001, Antibiotic resistance of bacteria in
biofilms, Lancet,358:9276, pp: 135–8. doi:10.1016/S0140-6736(01)05321-
1. PMID 11463434.
121. Xavier, J.B., C. Picioreanu, S.A. Rani, M.C.M.V. Loosdrecht, and P.S.
Stewart, 2005, Biofilm-control strategies based on enzymic disruption of the
extracellular polymeric substance matrix – a modelling study, Microbiology, No.151,
pp. 3817-3832.
122. BIOFILM (http://xnet.rrc.mb.ca/davidb/biofilms.htm)
123. INTRODUCTION TO BIOFILMS, Section 3: How do biofilms impact our
world?(http://www.cs.montana.edu/ross/personal/intro-biofilms-s3.htm).
124. RESEARCH ON MICROBIAL BIOFILMS (http://grants.nih.gov/grants/guide/
125. pa-files/PA-03-047.html).

Anda mungkin juga menyukai