A. Adhesi
Proses adhesi merupakan tahap awal infeksi bakteri yang berperan dalam
kolonisasinya pada permukaan sel inang. Adhesi bakteri pada permukaan sel
memperpendek jarak antara bakteri dengan permukaan tubuh sehingga
mempermudah toksin atau metabolit lain yang dihasilkan bakteri untuk melekat
pada reseptornya di permukaan sel inang. Dalam proses adhesi dikenal dua bentuk
yaitu adhesi yang bersifat nonspesifik dan adhesi yang bersifat spesifik. Pada adhesi
yang nonspesifik, perlekatan tidak melibatkan peran reseptor permukaan. Proses
adhesi disebabkan karena adanya sifat hidrofobisitas agen dan perbedaan muatan
listrik permukaan bakteri dengan permukaan sel inang sehingga perlekatan
umumnya tidak kuat dan bersifat ireversibel. Sedangkan pada adhesi spesifik,
perlekatan diperantarai oleh reseptor permukaan sel inang yang mampu berikatan
dengan antigen permukaan bakteri. (Lila CP. 2012)
Adhesi pathogen terutama tersusun dari protein structural (glikoprotein atau
lipoprotein) permukaanya seperti fili, fimbre, flagella, protein pada membrane luar,
atau glikokaliks. Reseptor pada permukaan sel hospes yang umumnya berupa residu
karbohidrat, misalnya manosa. Adhesi N. gonorrhoeae, E. coli dan salmonella sp.,
adalah protein fili, fimbrea pada beberapa streptococci yang meupakan protein non
fimbre pada permukaan. S. mutans dan melekat pada permukaan gigi menggunakan
glikokaliks. Actinomyces menggunakan fili untuk melekat pada S. mutans, sehingga
bersama-sama denga glikokaliks membentuk plak dental. Glikokaliks adalah
substansi kental yang tersusun dari polisakarida dekstran.
Perlekatan dapat dihambat oleh flora normal komensal dengan cara mengeblok
reseptornya, dan mengganggu kolonisasinya dengan mengekskresikan metabolit
toksik, bakteriosin dan mikrosi yang diperankan oleh antibody mukosa dan
substansi antibakteri lainnya (defensin, lisozim, laktoferin, asam).
1. Mekanisme adhesi bakteri ke sel inang
Adhesi bakteri ke permukaan inang merupakan aspek penting dari kolonisasi
inang karena mencegah pembersihan patogen secara mekanis dan memberikan
keuntungan selektif terhadap bakteri dari flora endogen. Oleh karena itu, bakteri
telah mengembangkan persenjataan besar dari strategi molekuler yang
memungkinkan mereka untuk menargetkan dan melekat pada sel inang.
Pada proses ini, perlekatan bakteri ke sel permukaan sel inang perlu protein
adhesin. Adhesin dibagi menjadi dua, yaitu fimbrial dan afimbrial. Adhesi
fimbrial bertindak sebagai ligan dan berikatan dengan reseptor yang ada di
permukaan sel inang. Pada bakteri terdapat flagela untuk alat pergerakannya, jika
tidak ada akan menggunakan pili. Flagela digunakan untuk bergerak di
permukaan dan memulai kolonisasi. (Cannon RD, et al. 2015)
B. Pengertian Kolonisasi
Kolonisasi merupakan keadaan ditemukannya koloni atau sekumpulan bakteri pada
diri seseorang. Kolonisasi tidak menimbulkan gejala klinis hingga infeksi dari
bakteri tersebut. Kolonisasi dapat terjadi baik pada bakteri yang bersifat patogen
maupun flora normal dalam tubuh. (Cannon RD, et al. 2015)
C. Mekanisme Kolonisasi
Patogenesis dari suatu infeksi bakteri meliputi proses infeksi dan mekanisme-
mekanisme yang menyebabkan timbulnya gejala penyakit. Bakteri dikatakan
bersifat patogen bila mempunyai kemampuan mengadakan transmisi, melekat pada
sel-sel inang dan mengadakan multiplikasi, menggunakan nutrien dari sel inang,
invasi dan timbulnya kerusakan pada sel-sel dan jaringan, serta toksigenisitas dan
kemampuan membangkitkan sistem imun inang. Hal ini dipengaruhi oleh struktur
serta produk-produk yang dihasilkan oleh bakteri dan sifat bakteri itu sendiri.
(Siegel SJ, et al. 2015)
Secara umum patogenesis bakteri diawali dengan masuknya bakteri ke dalam
tubuh inang melalui bermacam-macam cara, antara lain saluran pernafasan, saluran
pencernaan, rongga mulut, kuku, dan lain-lain. Setelah itu terjadi proses adhesi-
kolonisasi. Pada proses ini bakteri menempel pada permukaan sel inang, perlekatan
bakteri terjadi pada sel epitel. (Rina HP. 2017)
Langkah awal pembentukan biofilm adalah kolonisasi permukaan. Bergeraknya
bakteri di permukaan dan mulai kolonisasi menggunakan flagella. Beberapa bakteri
menggunakan pili untuk menyatukan diri menjadi rumpun sementara untuk yang
lain mengandalkan dari pembelahan sel untuk memulai pembentukan koloni.
Bakteri akan terus menerus mengeluarkan molkeul tingkat rendah yang disebut
dengan sinyal penginderaan kourum (contohnya sinyal lakton acylhomoserine)
sebagai sinyal komunikasi bakteri. Ketika ambang batasnya tercapai, bakteri
merespons dan mengubah perilaku mereka dengan mengubah aktivasu gen. gen
dapat diaktifkan dan mempengaruhi jalur metabolism dan produksi factor virulensi,
semakin cepat metabolism dan produksi factor virulensi dan mempercepat proses
kolonisasi. (Siegel SJ, et al. 2015)
Menempelnya bakteri pada permukaan sel inang tidak cukup untuk
menyebabkan infeksi. Mikroba juga harus mampu menjajah permukaan sel atau
menembusnya. Kolonisasi mengacu pada pertumbuhan mikroorganisme di epitel
permukaan, seperti kulit atau selaput lendir atau lainnya di jaringan inang. Agar
kolonisasi terjadi, patogen harus bertahan hidup dan berkembang biak meskipun
terdapat inangnya sebagai mekanisme pertahanan. Misalnya bakteri patogen di
permukaan kulit harus tahan terhadap kondisi lingkungan, dan sekresi kulit
bakteriostatik. Bakteri harus menghindari aksi lendir dan silia. Bakteri yang berada
di selaput pencernaan saluran harus menahan gerakan peristaltik, lendir, enzim
pencernaan, dan asam. N. gonorrhoeae dan E. coli menggunakan protein adhesin
pada pili untuk mengikat reseptor karbohidrat di permukaan epitel saluran kemih.
Bakteri kariogenik Streptococcus mutans menggunakan polisakarida ekstraseluler
seperti mutan dan glukan untuk memediasi keterikatannya pada pelikel saliva pada
permukaan gigi dan bakteri lain. (Siegel SJ, et al. 2015)
1. Kolonisasi permukaan inang
Mukosa saluran pernafasan, pencernaan dan urogenital mewakili luas
permukaan sekitar 300-400 meter persegi ( yaitu 200 kali lipat lebih besar dari
pada kulit) dan dengan demikian merupakan tempat utama kontak dengan
bakteri. Mukosa ini terdiri dari tiga lapisan epitel, lapisan jaringan ikat longgar
yang disebut lamina propria , dan lapisan tipis otot polos. Permukaan ini
merupakan penghalang garis depan yang membatasi invasi oleh bakteri
komensal dan patogen. Meskipun mekanisme pertahanan yang berbeda terjadi
pada tingkat penghalang ini, bakteri patogen telah mengembangkan berbagai
strategi molekuler untuk melekat pada epitel ini dan berkembang biak di
permukaannya. (Richard D, et al. 2011)
Bakteri kolonisasi harus menghindari berbagai tantangan inang, dari menembus
penghalang mukosa hingga menghindari fagosit profesional dan mendapatkan
sumber nutrisi pada permukaan mukosa yang keras. Aktivitas penting ini
diringkas dalam tahapan kolonisasi, akuisisi bakteri dan keterikatan pada lapisan
epitel, memperoleh nutrisi, replikasi, ketekunan dalam menghadapi respons
imun inang, dan transmisi ke inang baru. (Richard D, et al. 2011)
2. Faktor yang mempengaruhi kolonisasi bakteri
a) Suhu dan pH
Suhu optimum untuk tumbuh dan berkembangnya bakteri dengan
baik yaitu sekitar suhu 37,5º C, sedangkan rata- rata suhu di
lingkungan tempat menurut penelitian adalah 32,26º C atau
dengan kata lain rata-rata suhu rumah responden dalam penelitian
ini di bawah suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri pathogen.
Selain itu untuk pH, telah diketahui bahwa bakteri dalam plak
gigi mampu mengahsilkan asam laktat dan asam organik lainnya
dari metabolisme dalam jumlah yang berlebihan dari gula
makanan sederhana. (Richard D, et al. 2011)
b) Oksigen
Kebutuhan oksigen pada bakteri tertentu mencerminkan mekanisme yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan energinya. Berdasarkan kebutuhan
oksigen tersebut, bakteri dapat dipisahkan menjadi lima kelompok:
1) Anaerob obligat yang tumbuh hanya dalam keadaan tekanan oksigen
sangat rendah dan oksigen bersifat toksik.
2) Anaerob aerotoleran yang tidak mati denga adanya paparan oksigen.
3) Anaerob fakultatif, dapat tumbuh dalam keadaan aero dan anaerob
4) Aerob obligat membutuhkan oksigen untuk pertumbuhanya.
5) Mikroaerofilik yang tumbuh baik pada tekanan oksigen rendah,
tekanan tinggi dapat menghambat pertumbuhannya (Richard D, et al.
2011)
c) Konsentrasi ion hydrogen (pH)
Konsentrasi pH pembenihan juga mempengaruhi kuman, kebanyakan
kuma pathogen mempunyai pH optimum 7,2 – 7,6. Meskipun suatu
pembenihan pada mulanya baik bagi suatu kuman, tetapi pertumbuhan
kuman selanjutnya juga akan terbatas Karena produk metabolism kuman
itu sendiri. Hal ini terutama dijumpai pada kuman yang bersifat
fermentatif yang menghasilkan sejumlah besar asam-asam organik yang
bersifat menghambat. (Richard D, et al. 2011)
d) Tekanan Osmotik
Suatu tekanan osmotic akan sangat mempengaruhi bakteri jika tekanan
osmotik lingkungan lebih besar (hipertonis) sel aka mengalami
plasmolysis. Sebaliknya jika tekanan osmotic lingkungan yang hipotonis
akan menyebabkan sel membengkak dan juga akan megakibatkankan
rusaknya sel. Oleh karena itu dalam mempertahankan hidupnya, sel
bakteri harus berada pada tingkat tekanan osmotic yang sesuai, walaupun
sel bakteri memiliki daya adaptasi, perbedaan tekanan osmotic dengan
lingkungannya tidak boleh terlalu besar. (Richard D, et al. 2011)
e) Usia inang
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mulut rentan terhadap
penyakit nasionalisasi oleh spesies bakteri yang berbeda pada
waktu yang berbeda selama proses rentang hidup manusia.
Misalnya, studi awal menunjukkan bahwa anaerobik bakteri
seperti Porphyromonas gingivalis tidak berkoloni di mulut anak-
anak dalam jumlah yang cukup besar. (Richard D, et al .2011)
3. Bakteri Fusobacterium nucleatum
Bakteri penyebab periodontitis umumnya adalah spesies bakteri
gram negatif yang berkolonisasi pada plak sub gingival, antara lain
bakteri Porphyromynas gingivalis, Prevotella intermedia,
Actinobacillus (agregibacter) actinomycetemcomitans dan
Fusobacterium nucleatum. Salah satu bakteri yang paling dominan
dalam penyakit periodontal adalah Fusobacterium nucleatum
dibandingkan dengan bakteri gram negatif lain. Fusobacterium
nucleatum merupakan bakteri anaerob gram negatif yang memiliki
peran dalam menjembatani koloni awal dan akhir selama pembentukan
plak. Peningkatan jumlah Fusobacterium nucleatum dapat
menyebabkan inflamasi gingiva, pendalaman poket dan kerusakan
jaringan periodontal. (Michael Otto . 2014).
D. Kolonisasi pada Rongga Mulut
Koloni bakteri pada rongga mulut dipermudah dengan buruknya kondisi kebersihan
rongga mulut yang memicu terbentuknya biofilm atau melalui infeksi periodontal.
Bakteri ini sering ditemukan pada biofilm rongga mulut yang terbentuk di
permukaan gigi supragingival, subgingival, mukosa oral, dan dorsum lidah. (Souto
R, et al. 2014) Rongga mulut memberikan proteksi melalui komposisi
mikroorganisme yang seimbang, oleh karena itu adanya kondisi imunokompromis
pada hospes yang dipicu oleh berbagai faktor sangat berpotensi mempermudah
kolonisasi dan menimbulkan infeksi terhadap kesehatan rongga mulut dan sistemik.
(Colombo APV et al. 2016) Ditemukannya koloni bakteri ini di rongga mulut
dengan target infeksi di paru-paru memunculkan kemungkinan peranan rongga
mulut sebagai reservoir yang potensial untuk infeksi P. aeruginosa. (Rina HP. 2017)
E. Rongga Mulut sebagai Reservoir Koloni P. aeruginosa
Berbagai permukaan anatomis di rongga mulut, diantaranya gigi, mukosa oral,
dan dorsum lidah merupakan lingkungan inisial bakteri P. aeruginosa untuk
berkoloni dalam plak. Pseudomonas aeruginosa telah lama diketahui sebagai bakteri
yang berkoloni secara persisten dengan prevalensi tertinggi pada rongga mulut.
Transmisi P. aeruginosa melalui aspirasi dari saliva yang mengandung bakteri atau
terfasilitasi oleh protesa gigi, DUWLs, dan alat-alat medis seperti bronkoskopi, pipa
endotrakeal, dan ventilator mekanis. Bakteri P. aeruginosa dapat berkoloni pada
plak protesa gigi pasien lanjut usia walaupun dengan kebersihan rongga mulut yang
baik. Hal ini menunjukkan kemungkinan sifat resistensi bakteri terhadap
pembersihan mekanis dan atau kimiawi protesa. (Caldas RR et al. 2015)
Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter spp. ditemukan lebih banyak
berkoloni pada biofilm subgingiva dan saliva pasien periodontitis kronis dan/atau
agresif dibandingkan pasien tanpa periodontitis. (Souto R et al. 2014 dan Colombo
APV et al. 2016)
1. Faktor Virulensi Bakteri Patogen
Beberapa bakteri mengeluarkan bahan atau senyawa yang mendukung
virulensinya, yang memiliki struktur khusus. Namun, pada beberapa
mikroorganisme, komponen yang membuat virulensi tidak jelas dan tidak
diketahui. Beberapa faktor virulensi bakteri patogen yang sudah diketahui
adalah sebagai berikut :
a. Pergerakan Bakteri
Adanya flagela pada permukaan bakteri patogen dan oportunis dianggap
dapat memudahkan kolonisasi dan penyebaran dari tempat awal. Proteus
merupakan bakteri dimorfik. Ketika tumbuh dalam medium cair, sel
bertingkah laku sebagai perenang, dan memiliki morfologi yang berbeda.
Bakteri ini mempunyai kesamaan dalam beberapa aspek fisiologi dengan
anggota lain dari famili Enterobacteriaceae. (Gaetti-jardim EC et al. 2010)
b. Perlekatan Bakteri
1) Fimbria
Perlekatan bakteri terhadap permukaan epitel menjadi satu hal
terpenting sebagai faktor virulensi. Proses ini memainkan peranan
penting sebagi proses awal infeksi saluran urin. Kemampuan
melekatnya suatu bakteri seringkali dihubungkan dengan adanya
fimbria pada sel bakteri. Penelitian secara in vitro memperlihatkan
bahwa fimbria mempertinggi perlekatan sel bakteri terhadap sel
uroepitel tetapi menyebabkan patogen lebih rentan terhadap
fagositosis. Bakteri dengan lebih banyak fimbria lebih mudah dicerna
oleh sel polimorfonuclea selapis. (Gaetti jardim EC et al. 2010)
2) Adhesin
Bakteri melakukan sejumlah mekanisme, sehingga mereka dapat
menempel atau menembus jaringan inang. Bakteri melekat hanya
kepada permukaan yang komplemen, dan perlekatan melibatkan
suatu interaksi di antara struktur pada permukaan bakteri yang
dikenal sebagai adhesin dan reseptor pada substrat. Biasanya, “ligan”
ganda pada permukaan patogen tersedia untuk meningkatkan
kekuatan dan spesifisitas perlekatan ketika “ligan” tersebut digunakan
bersama-sama. Dengan target struktur yang mengandung matriks
glikoprotein. Glikoprotein membran integral atau glikolipid adhesin
itu merupakan protein yang digunakan dalam interaksi protein
karbohidrat atau protein-protein. Umumnya adhesin ini merupakan
karbohidrat yang digunakan oleh karbohidrat yang sama, yang mana
terjadi dalam sejumlah interaksi eukariot. Adanya suatu reseptor yang
komplemen pada substrat tidak selalu sama dengan kemampuan suatu
bakteri untuk kolonisasi pada jaringan tersebut. Sebagai contoh, pada
bakteri E. coli yang menghasilkan adhesin spesifik-manosa, tidak
berkolonisasi pada semua substrat yang mengandung manosa. Dari
fakta ini dianggap bahwa proses perlekatan dapat melibatkan
beberapa factor seperti orientasi yang mudah dicapai oleh adhesin
bakteri dan reseptor jaringan inang. (Gaetti-jardim EC et al. 2010).
Beberapa adhesin yang dimiliki oleh bakteri patogen antara lain:
1. Tahap Akuisisi
Tahap akuisisi merupakan proses masuknya sel jamur ke dalam rongga mulut.
Umumnya terjadi melalui minuman dan makanan yang terkontaminasi oleh
Candida. Dalam rongga mulut dengan kolonisasi, Candida dapat ditemukan
dalam saliva dengan konsentrasi 300 – 500 sel/ml. Candida dalam saliva
menjadikan saliva dapat berperan sebagai media transmisi. (Richard D, et al.
2011)