LAPORAN PENDAHULUAN
DENGUE SYOK SINDROM (DSS)
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus genus Flavivirus famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis
serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4 melalui perantara gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Keempat serotipe dengue terdapat di Indonesia, den-3 merupakan
serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. Penyakit ini
dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada
anak-anak.
Sampai sekarang penyakit DBD ini masih menimbulkan masalah
kesehatan di Indonesia, karena jumlah penderitanya semakin meningkat dan
wilayah yang terjangkit semakin luas. Jumlah kasus biasanya meningkat
bersamaaan dengan peningkatan curah hujan oleh karena itu puncak jumlah
kasus berbeda di tiap daerah. Pada umumnya di Indonesia meningkat pada
musim hujan sejak bulan Desember sampai dengan April-Mei tiap tahun.
DBD dapat berkembang menjadi demam berdarah dengue yang disertai
syok (dengue shock syndrome = DSS ) yang merupakan keadaan darurat
medik, dengan angka kematian cukup tinggi.
Penatalaksanaan DD adalah dengan memberikan terapi simptomatis dan
suportif, dan memonitor dengan ketat terhadap timbulnya DBD/DSS.
Timbulnya DBD/DSS harus dikenal dengan cepat dengan melakukan
pemeriksaan hematokrit dan trombosit secara teratur. Apabila terjadi DBD/DSS,
penatalaksanaannya diutamakan untuk mengganti kehilangan cairan dan
elektrolit karena terjadi “leakage” plasma.
2. Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk :
1. Mengenal apa yang dimaksud dengan dengue syok sindrom
2. Mengetahui etiologi, patofisiologi, manifestasi dengue syok sindrom
3. Mengetahui komplikasi dan penatalaksanaan dengue syok sindrom
4. Mengetahui diagnosa yang mungkin muncul pada dengue syok sindrom
5. Memahami rencana keperawatan pada dengue syok sindrom
B. TINJAUAN TEORI
1. Pengertian
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang terutama terdapat pada
anak, remaja atau orang dewasa dengan tanda klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi
yang di sertai leucopenia dengan atau tanpa ruam, sakit kepala hebat, nyeri pada
pergerakan bola mata, rasa yang mengecap yang terganggu, trombositopenia, dan
bintik-bintik perdarahan spontan (Syaefoellah,1999)
Dengue adalah suatu penyakit demam berat yang sering mematikan, di
sebabakan oleh virus di tandai dengan permeabilitas kapiler, kelainan hemostasis, dan
pada kasus berat sindrom syok kehilangan protein (Nelson, 1999).
Dengue adalah penyakit demam akut di sebabkan oleh virus dengan gejala
demam, nyeri kepala otot dan sendi, dapat terjadi erupsi kulit berupa rosela di tularkan
melalui nyamuk aedes aegypti dengan masa inkubasi 35 hari (Laksamana, 2003)
Dengue hemorogic fever adalah penyakit yang di sebabakan oleh virus dengue
sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui
gigitan nyamuk aedes aegypti yang terdapat pada anak, orang dewasa dengan gejala
utama demam, nyeri otot, dan nyeri sendi yang di sertai ruam atau tanpa ruam.
(Aristanaoka, 2008)
Jadi kesimpulannya DHF adalah penyakit yang di sebabkan oleh gigitan
nyamuk Aedes Aegypti yang terdapat pada anak, remaja, orang dewasa dengan gejala
demam, nyeri otot, atau nyeri sendi yang di sertai ruam atau tanpa ruam.
3. Etiologi
Menurut Syaefuolah (1999 ) Virus dengue tergolong dalam family/suku/grup
flaviviridae dan di kenal ada 4 serotipe atau tipe virus dengue yang saling tidak
mempunyai cross immunity dapat di isolasi pada darah pasien pada permulaan demam
sampai hari ke 3-4.
Isolasi virus dengue dengan menggunakan biakan jaringan nyamuk aegypti
albopictos disebut mosquito inoculation technique yang merupakan suatu tehnik baru,
sangat sensitife, sederhana dan murah.
Virus dengue berbentuk batang bersifat termologi, sensitife terhadap inaktifitas
oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70 C.
Vektor utama dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti, di samping
pula Aedes albopictus. Vektor ini mepunyai ciri-ciri:
- Badannya kecil, badannya mendatar saat hinggap
- Warnanya hitam dan belang-belang
- Menggigit pada siang hari
- Gemar hidup di tempat – tempat yang gelap
- Jarak terbang <100 meter dan senang mengigit manusia
- Bersarang di bejana-bejana berisi air jernih dan tawar seperti bak mandi, drum
penampung air, kaleng bekas atau tempat-tempat yang berisi air yang tidak
bersentuhan dengan tanah.
- Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk sekitar 10 hari.
4. Patofisiologi
Virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan
kemudian bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus-antibody, dalam
asirkulasi akan mengaktivasi sistem komplemen (Suriadi & Yuliani, 2001).Akibat
aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a,dua peptida yang berdaya untuk
melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai factor meningkatnya
permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel
dinding itu. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus.
Reaksi yang amat berbeda akan tampak, bila seseorang mendapat infeksi berulang
dengan tipe virus dengue yang berlainan. Dan DHF dapat terjadi bila seseorang setelah
terinfeksi pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya. Re-infeksi ini
akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan
konsentrasi kompleks antigen-antibodi (kompleks virus-antibodi) yang tinggi .
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia
yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-
pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia
tenggoroka dan kelainan yang mungkin muncul pada system retikuloendotelial seperti
pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DHF
disebabkan karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit pembesaran hati
(Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).Peningkatan permeabilitas
dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi,
hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau
menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit
menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena. .Adanya kebocoran plasma
ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi
ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian cairan
intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi,
sehingga pemberian cairan intravena harus
dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal
jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan
mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan
bisa mengalami renjatan. Renjatan yang terjadi akut dan perbaikan klinis yang drastis
setelah pemberian plasma/ekspander plasma yang efektif, sedangkan pada autopsi tidak
ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang destruktif atau akibat radang,
menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah mungkin
disebabkan mediator farmakolgis yang bekerja singkat. Jika renjatan atau hipovolemik
berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian
apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut
3 faktor yaitu
: perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi. Fenomena patofisiologi
utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dan DHF ialah
meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin
dan serotonin serta aktivasi system kalikreain yang berakibat ekstravasasi cairan
intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plamsa, terjadinya hipotensi,
hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. perdarahan umumnya
dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi
trombosit. Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis
terbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah.
Kelainan system koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang
fungsinya memang tebukti terganggu oleh aktifasi system koagulasi. Masalah terjadi
tidaknya DIC pada DHF/ DSS, terutama pada pasien dengan perdarahan hebat.
Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor
koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan
hebat, terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya mega karoisit muda dalam sumsum tulang dan
pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan meningkatnya destruksi
trombosit. Penyidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit
terjadinya dalam sistem retikuloendotelial. Yang menentukan beratnya penyakit
adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume
plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diathesis hemoragik, renjatan terjadi
secara akut. Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui
endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami
hipovolemik.
5. Klasifikasi
WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan,
yaitu :
- Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji
tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
- Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti
petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi. Ditemukan pula
perdarahan kulit.
- Derajat III
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt)
tekanan nadi sempit , tekanan darah menurun.
- Derajat IV
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teratur,anggota gerak teraba dingin,
berkeringat dan kulit tampak biru.
7. Pemeriksaan penunjang
Menurut Syaefullah ( 1999 )
a. Darah pada DHF dijumpai leukopenia,pada DHF umumnya dijumpai
trombositopenia dan hemokonsetrasi.
- Uji tourniquet yang positif merupakan pemeriksaan yanng penting.
b. Urine,mungkin ditemukan albuminuria ringan karena di dalam albumin banyak
mengandung urine.
c. Sum-sum tulang pada awal sakit,biasanya hiposeluler kemudian menjadi
hiperseluler pada hari ke-5 sedang pada hari ke-10 biasanya kembali normal.
d. Serolugi,mengukur titer antibody pasien dengan cara haemoglutination inhibition
tes ( HI Test ) atau dengan uji peningkatan komplemen.
e. Isolasi virus,pasien jaring-jaringan baik pasien hidup ( melalui biopsy ) atau dari
pasien yang meninggal ( melalui autoplay )
Pemeriksaan laboratorium rutin untuk penderita DBD adalah jumlah trombosit
dan kadar hematokrit. Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat menjadi pertanda
penyakit demam berdarah adalah:
- Ig G dengue positif.
- Trombositopenia, yaitu menurunnya jumlah trombosit darah hingga kurang dari
100.000/mm3.
- Hemokonsentrasi; peningkatan jumlah hematokrit sebanyak 20% atau lebih. Dua
kriteria klinis pertama, ditambah dengan trombositopenia dan hemokonsentrasi
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura (tampak
melalui rontgen dada) dan atau hipoalbuminemia menjadi bukti penunjang adanya
kebocoran plasma. Bukti ini sangat berguna terutama pada pasien yang anemia dan
atau mengalami perdarahan berat. Pada kasus syok, jumlah hematokrit yang tinggi
dan trombositopenia memperkuat diagnosis terjadinya Dengue Shock Syndrom
(WHO, 2004).
- Leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan
basofilyang akan terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat
peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena berkurangnya limfosit
pada saat peningkatan suhu pertama kali.
- Isolasi virus
- Serologi ( Uji H ): respon antibody sekunder
- Pada renjatan yang berat, periksa : Hb, PCV berulang kali ( setiap jam atau 4-6 jam
apabila sudah menunjukkan tanda perbaikan ), Faal hemostasis, FDP, EKG, Foto
dada, BUN, creatinin serum.
- Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia,
hipokloremia.
1) SGOT/SGPT mungkin meningkat.
2) Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
3) Waktu perdarahan memanjang.
4) Asidosis metabolik.
5) Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.
- Foto toraks lateral dekubitus kanan. Terdapat
efusi pleura dan bendungan vaskuler
8. Pemeriksaan fisik
a. Sistem Pernapasan
Sesak, perdarahan melalui hidung, pernapasan dangkal, epistaksis, pergerakan dada
simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar ronchi, krakles.
b. Sistem Persyarafan
Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta pada grade IV
dapat trjadi DSS
c. Sistem Cardiovaskuler
Pada grade I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif, trombositipeni,
pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi cepat, lemah, hipotensi,
cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari, pada grade IV nadi tidak teraba dan
tekanan darah tak dapat diukur.
d. Sistem Pencernaan
Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastrik, pembesarn
limpa, pembesaran hati, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual, muntah,
nyeri saat menelan, dapat hematemesis, melena.
e. Sistem perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan mengungkapkan nyeri
sat kencing, kencing berwarna merah.
f. Sistem Integumen.
Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat positif pada uji
tourniquet, terjadi pethike, pada grade III dapat terjadi perdarahan spontan pada
kulit.
9. Terapi
Belum atau tanpa renjatan:
a. Grade I dan II :
1. Oral ad libitum atau
2. Infus cairan Ringer Laktat dengan dosis 75 ml/Kg BB/hari untuk anak dengan
BB < 10 kg atau 50 ml/Kg BB/hari untuk anak dengan BB < 10 kg bersama-
sama diberikan minuman oralit, air buah atau susu secukupnya.
Untuk kasus yang menunjukkan gejala dehidrasi disarankan minum sebanyak-
banyaknya dan sesering mungkin.
Apabila anak tidak suka minum sama sekali sebaiknya jumlah cairan infus yang
harus diberikan sesuai dengan kebutuhan cairan penderita dalam kurun waktu 24 jam
yang diestimasikan sebagai berikut :
- 100 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB < 25 Kg
- 75 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 26-30 kg
- 60 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 31-40 kg
- 50 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 41-50 kg
- Obat-obatan lain : antibiotika apabila ada infeksi lain, antipiretik untuk anti panas,
darah 15 cc/kgBB/hari perdarahan hebat.
Dengan Renjatan ;
b. Grade III
1. Berikan infus Ringer Laktat 20 mL/KgBB/1 jam
Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih dari 80 mmHg dan nadi
teraba dengan frekuensi kurang dari 120/mnt dan akral hangat) lanjutkan
dengan Ringer Laktat 10 mL/KgBB/1jam. Jika nadi dan tensi stabil lanjutkan
infus tersebut dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan kebutuhan cairan
dalam kurun waktu 24 jam dikurangi cairan yang sudah
masuk dibagi dengan sisa waktu ( 24 jam dikurangi waktu yang dipakai untuk
mengatasi renjatan ). Perhitungan kebutuhan cairan dalam 24 jm diperhitungkan
sebagai berikut :
- 100 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB < 25 Kg
- 75 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dng berat badan 26-30 Kg.
- 60 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 31-40 Kg.
- 50 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 41-50 Kg.
2. Apabila satu jam setelah pemakaian cairan RL 20 mL/Kg BB/1 jam keadaan
tensi masih terukur kurang dari 80 mmHg dan andi cepat lemah, akral dingin
maka penderita tersebut memperoleh plasma atau plasma ekspander ( dextran L
atau yang lainnya ) sebanyak 10 mL/ Kg BB/ 1 jam dan dapat diulang maksimal
30 mL/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam. Jika keadaan umum membai
dilanjutkan cairan RL sebanyk kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi
cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan.
3. Apabila satu jam setelah pemberian cairan Ringer Laktat 10 mL/Kg BB/ 1 jam
keadaan tensi menurun lagi, tetapi masih terukur kurang 80 mmHg dan nadi
cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut harus memperoleh plasma
atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 Ml/Kg BB/ 1 jam.
Dan dapat diulang maksimal 30 mg/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam.
10. Penatalaksanaan
a. Tirah baring atau istirahat baring.
Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue :
- Panas 1-2 hari disertai dehidrasi ( karena panas, muntah, masukan kurang
) atau kejang-kejang.
- Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati, uji tourniquet positif
/ negatif, kesan sakit keras ( tidak mau bermain ), Hb dan PCV meningkat.
- Panas disertai perdarahan
- Panas disertai renjatan.
b. Diet makan lunak.
c. Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri
penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi
penderita DHF.
d. Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan
yang paling sering digunakan.
e. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi
pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
f. Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
g. Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
h. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
i. Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
j. Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda- tanda
vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
k. Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.
l. Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang
hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan
yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb
yang mencolok.
11. Pathway
Hipertermi
Kekurangan volume
cairan
:
:
Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Kesadaran : Composmentis, samnolen, koma (tergantung derajat DHF)
TTV : Biasanya terjadinya penurunan
b. Kepala
- Wajah : Kemerahan (flushig), pada hidung terjadi epistaksis
- Mulut : Perdarahan gusi, muosa bibir kering dan kadang-kadang lidah kotor dan
hiperemia pada tenggorokan
- Leher : Tidak ada masalah
- Thorak
c. Paru : Pernafasan dangkal, pada perkusi dapat ditemukan bunyi redup karena efusi
fleura
- Jantung : Dapat terjadi anemia karena ekurangan cairan
- Abdomen : Nyeri ulu hati, pada palpasi dapat ditemukan pembesaran hepar dan
limpa
d. Ekstremitas : Nyeri sendi
e. Kulit : Ditemukan ptekie, ekimosis, purpura, hematoma, hyperemia
Analisa data
1. Data Subjektif
Pada pasien DHF data subjektif yang sering ditemukan timbul antara lain :
Breath: sesak napas
Blood: penurunan trombosit, perdarahan
Brain: sakit kepala
Blandder: urine menurun
Bowel: konstipasi
Bone: nyeri pada otot dan sendi, pegal-pegal pada seluruh tubuh, lemah Anoreksia
(tak nafsu makan), mual, haus, sakit saat menelan Demam atau panas
2. Data Objektif
Data objektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain :
- Suhu tubuh tinggi: menggigil; wajah tampak kemerahan (flushimg)
- Mukosa mulut kering; perdarahan gusi; lidah kotor (kadang-kadang)
- Tampak bintik merah pada kulit (petekie)
- kulit, bibir dan lidah menjadi kering; tampak kehausan, sudah lama tidak buang
air kecil dan kelenturan kulit menurun
Analgesic Administration
Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri
sebelum pemberian
obat
Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
Cek riwayat alergi
Pilih analgesik yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesik ketika
pemberian lebih dari
satu
Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya
nyeri
Tentukan analgesik
pilihan, rute
pemberian, dan dosis
optimal
Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
Monitor vital sign
sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik pertama
kali
Berikan analgesik
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek
samping)
4 Hipertermia NOC : Thermoregulation NIC :
Kriteria Hasil : Fever treatment
Definisi : suhu tubuh naik diatas rentang
normal Suhu tubuh dalam Monitor suhu
rentang normal sesering mungkin
Batasan Karakteristik: Nadi dan RR dalam Monitor IWL
kenaikan suhu tubuh diatas rentang rentang normal Monitor warna dan
normal Tidak ada perubahan suhu kulit
serangan atau konvulsi (kejang) warna kulit dan tidak Monitor tekanan
kulit kemerahan ada pusing darah, nadi dan RR
pertambahan RR Monitor penurunan
takikardi tingkat kesadaran
saat disentuh tangan terasa hangat Monitor WBC, Hb,
dan Hct
Faktor faktor yang berhubungan : Monitor intake dan
- penyakit/ trauma output
- peningkatan metabolisme Berikan anti piretik
- aktivitas yang berlebih Berikan pengobatan
- pengaruh medikasi/anastesi untuk mengatasi
- ketidakmampuan/penurunan penyebab demam
kemampuan untuk berkeringat Selimuti pasien
- terpapar dilingkungan panas Lakukan tapid
- dehidrasi sponge
- pakaian yang tidak tepat Kolaborasipemberia n
cairan intravena
Kompres pasien pada
lipat paha dan aksila
Tingkatkan sirkulasi
udara
Berikan pengobatan
untuk mencegah
terjadinya menggigil
Temperature
regulation
Monitor suhu
minimal tiap 2 jam
Rencanakan
monitoring suhu
secara kontinyu
Monitor TD, nadi,
dan RR
Monitor warna dan
suhu kulit
Monitor tanda-tanda
hipertermi dan
hipotermi
Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi
Selimuti pasien
untuk mencegah
hilangnya
kehangatan tubuh
Ajarkan pada pasien
cara mencegah
keletihan akibat
panas
Diskusikan tentang
pentingnya
pengaturan suhu
dan kemungkinan
efek negatif dari
kedinginan
Beritahukan tentang
indikasi terjadinya
keletihan dan
penanganan
emergency yang
diperlukan
Ajarkan indikasi dari
hipotermi dan
penanganan yang
diperlukan
Berikan anti piretik
jika perlu
Vital sign
Monitoring
Monitor TD, nadi,
suhu, dan RR
Catat adanya
fluktuasi tekanan
darah
Monitor VS saat
pasien berbaring,
duduk, atau berdiri
Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
Monitor TD, nadi,
RR, sebelum,
selama, dan setelah
aktivitas
Monitor kualitas dari
nadi
Monitor frekuensi
dan irama
pernapasan
Monitor suara paru
Monitor pola
pernapasan abnormal
Monitor suhu, warna,
dan kelembaban kulit
Monitor sianosis
perifer
Monitor adanya
cushing triad
(tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
Identifikasi penyebab
dari perubahan vital
sign
Infection Protection
(proteksi terhadap
infeksi)
Monitor tanda dan
gejala infeksi
sistemik dan lokal
Monitor hitung
granulosit, WBC
Monitor kerentanan
terhadap infeksi
Batasi pengunjung
Saring pengunjung
terhadap penyakit
menular
Partahankan teknik
aspesis pada pasien
yang beresiko
Pertahankan teknik
isolasi k/p
Berikan perawatan
kuliat pada area
epidema
Inspeksi kulit dan
membran mukosa
terhadap kemerahan,
panas, drainase
Ispeksi kondisi luka /
insisi bedah
Dorong masukkan
nutrisi yang cukup
Dorong masukan
cairan
Dorong istirahat
Instruksikan pasien
untuk minum
antibiotik sesuai
resep
Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi
Ajarkan cara
menghindari infeksi
Laporkan kecurigaan
infeksi
Laporkan kultur
positif
Laksamana,T.Hendra.(2003).Kamus Kedokteran.Jakarta:FKUI