Anda di halaman 1dari 19

MATA KULIAH

TEORI EKONOMI 2
MACROECONOMICS No.3
(NO.3 :BAB 19)
VER:1.0

BENNY PRABOWOSUNU, DRS.

Materi mata kuliah ini dirangkum (dikutip) dari berbagai sumber yang tercantum dalam Daftar Pustaka
dan disesuaikan dengan pedoman Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) serta Satuan Acara
Perkulihan (SAP), Fakultas Ekonomi –Universitas Gunadarma:
DAFTAR PUSTAKA :
1. N. Gregory Mankiw: MACROECONOMICS, 8th edition (2013), Worth Publishers.
2. Prathama Rahardja & Mandala Manurung: PENGANTAR ILMU EKONOMI (Mikroekonomi
& Makroekonomi), Edisi Ketiga (2008), LP-FEUI
3. Alpha C. Chiang & Kevin Wainwright: Fundamental Methods of MATHEMATICAL
ECONOMICS, 4th Edition (2005) MacGraw Hill
4. Sumber-sumber lain melalui INTERNET.

INFLASI & PENGANGGURAN

1. INFLASI:
a) Definisi & Pengertian Inflasi:
Inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yg bersifat umum dan terus-menerus .
Dari definisi ini, ada tiga komponen yg harus dipenuhi agar dpt dikatakan telah terjadi inflasi:
1) Kenaikan Harga
2) Bersifat Umum
3) Berlangsung Terus-Menerus

1) Kenaikan Harga:
Harga suatu komoditas dikatakan naik, jika menjadi lebih tinggi dari pada harga periode
sebelumnya. Misalnya, harga sabun mandi 80 gram per unit kemarin adalah Rp.1,000,-.
Hari ini harganya Rp.1,100,-. Berarti harga sabun per unit hari ini Rp.100,- lebih mahal
dibanding harga kemarin. Jadi dpt dikatakan telah terjadi kenaikan harga sabun.
Perbandingan tingkat harga bisa dilakukan dgn jangka waktu yg lebih panjang:
seminggu, sebulan, triwulan, dan setahun.
Perbandingan harga juga dpt dilakukan berdasarkan patokan musim. Misalnya, pada
musim paceklik harga beras biisa mencapai Rp.3,000,- per kilogram. Sebab harga gabah
telah naik. Tetapi di musim panen, harganya dpt lebih murah, krn harga gabah biasanya
juga lebih murah. Dengan demikian dpt dikatakan pd musim paceklik selalu terjadi
kenaikan harga beras.

2) Bersifat Umum:
Kenaikan harga suatu komoditas belum dpt dikatakan inflasi jika kenaikan harga tsb tidak
menyebabkan harga-harga secara umum naik.
Harga buah mangga Harum Manis di Jakarta, jika belum musimnya dpt mencapai
Rp.10,000,- per kg. Tetapi jika sudah musimnya, sekitar akhir tahun, dpt dibeli hanya dgn
harga Rp.4,000,- - Rp.5,000,- per kg. Jadi harga mangga pd periode-periode tertentu
akan mengalami kenaikan harga dua sampai tiga kali lipat. Tetapi kenaikan harga

Page 1 of 19
mangga yg sangat tajam tsb tidak menimbulkan inflasi, krn harga-harga komoditas lain
tidak naik. Mangga Harum Manis bukanlah komoditas pokok, shg tidak memiliki dampak
besar thd stabilitas harga.
Lain halnya, jika yg naik adalah harga bahan bakar minyak (BBM). Pengalaman
Indonesia menunjukkan setiap pemerintah menaikkan harga BBM, harga-harga
komoditas lain turut naik. Karena BBM merupakan komoditas strategis, maka
kenaikan harga BBM akan berdampak (merambat) kpd kenaikan harga komoditas yg
lain. Jika harga Harum Manis naik, harga BBM blm tentu naik. Tapi jika harga BBM naik,
harga mangga Harum Manis di Jakarta pasti naik. Sebab, biaya transportasi akan naik.
Mengapa biaya transportasi naik? Krn BBM adalah komponen input paling penting utk
transportasi/ angkutan umum (bus, truk dan mobil pribadi).

3) Berlangsung Terus-Menerus:
Kenaikan harga yg bersifat umum juga belum akan memunculkan inflasi, jika
terjadinya hanya sesaat. Karena itu perhitungan inflasi dilakukan dlm rentang waktu
minimal bulanan sebab dalam sebulan akan terlihat apakah kenaikan harga bersifat
umum dan terus-menerus. Rentang waktu yg lebih panjang adalah triwulan dan
tahunan.
Bila pemerintah mengumumkan bahwa inflasi tahun ini adalah 10%, angka tsb
merupakan akumulasi inflasi dlm satu tahun yaitu 10%. Sehingga Inflasi triwulan rata-
rata 2,5% (10%/4), sedangkan inflasi bulanan sekitar 0,83% (10%/12).

b) Inflasi: Analisis Permintaan Agregat & Penawaran Agregat:


Harga jual suatu komoditas ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni interaksi antara kekuatan
permintaan dan penawaran. Kenaikan harga barang adalah proses penyesuaian dari gejala
terjadinya peningkatan permintaan. Begitu juga sebaliknya, dgn penurunan harga barang.
Analogi ini dpt dipakai dlm analisis inflasi. Karena merupakan permintaan dan penawaran
agregat, maka dpt dianggap merupakan permintaan dan penawaran perekonomian. Shg
jumlah produksi barang dan jasa yg dihasilkan pd kondisi keseimbangan merupakan output
keseimbangan atau PDB, umumnya dinotasikan Y. Karena inflasi adalah gejala di tingkat
makro, maka permintaan dan penawaran yg dianalisis adalah bersifat agregat
(menyeluruh).

1) Permintaan Agregat (aggregate demand / AD):


Permintaan agregat (aggregate demand /AD) adalah total permintaan barang & jasa
dlm suatu perekonomian selama satu periode tertentu.
Bentuk kurva AD adalah sama seperti kurva permintaan thd satu komoditas tertentu.
Bedanya adalah tingkat harga merupakan tingkat harga umum yg biasanya dlm angka
index. Angka index diperoleh melalui perhitungan dgn menggunakan metode
pembobotan tertentu.
Jika yg berubah hanya tingkat harga umum, maka permintaan (demand) bergerak di
sepanjang kurva (movement along curve). Tetapi jika yg berubah adalah faktor-faktor yg
dianggap tetap (ceteris paribus), kurva permintaan agregat (AD) bergeser (shifting).
Faktor-faktor ceteris paribus dlm analisis mikro seperti membaiknya pendapatan per
kapita dan bertambahnya jumlah penduduk, tetap relevan sbg faktor yg
mempengaruhi pergeseran kurva AD. Namun dlm analisis makro harus ditambah dua
faktor ceteris paribus yg sangat berpengaruh thd permintaan agregat . Kedua faktor tsb
adalah kebijakan ekonomi yg diambil pemerintah yaitu: Kebijakan Moneter dan
Kebijakan Fiskal.

a) Pengaruh Kebijakan Moneter thd Permintaan Agregat :


Kebijakan moneter (monetary policy) adalah kebijakan yg bertujuan mengarahkan
ekonomi makro ke kondisi yg diinginkan (yang lebih baik), dengan mengatur jumlah
uang yg beredar. Kebijakan uang ketat (kebijakan moneter kontraktif) akan

Page 2 of 19
mengurangi jumlah uang beredar dlm masyarakat. Kebalikannya, kebijakan
moneter ekspansif akan menambah jumlah uang beredar.
Jika pemerintah mengambil kebijakan uang ketat, jumlah uang beredar akan
berkurang. Kemungkinan besar hal ini dapat mengurangi daya beli secara agregat.
Akibatnya kurva AD bergeser ke kiri. Hal sebaliknya yg terjadi dgn kebijakan moneter
ekspansif, yg menyebabkan uang beredar bertambah. Pengaruh kebijakan moneter
thd permintaan agregat digambarkan dalam Diagram 19.2.a.

b) Pengaruh Kebijakan Fiskal thd Permintaan Agregat :


Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yg bertujuan mengarahkan ekonomi
makro ke kondisi yg diinginkan (yg lebih baik) dgn mengatur anggaran pemerintah,
terutama sisi penerimaan dan pengeluaran. Alat utama kebijakan fiskal
pemerintah adalah pajak dan subsidi.
Jika pemerintah menempuh anggaran defisit (pengeluaran > penerimaan ), maka
permintaan agregat akan meningkat, sebab utk menempuh kebijakan anggaran
defisit, pemerintah harus mengurangi pendapatannya dgn mengurangi pajak dan
atau menambah pengeluaran. Keduanya akan meningkatkan daya beli masyarakat,
shg kurva AD bergeser ke kanan. Sebaliknya yg terjadi, jika pemerintah menempuh
kebijakan fiskal surplus. Dampak kebijakan pemerintah thd permintaan agregat dpt
dilihat dalam Diagram 19.2.b.

Diagram 19.2
Pengaruh Kebijakan Ekonomi Pemerintah
Terhadap Permintaan Agregat

P P

Kebijakan Kebijakan
moneter anggaran
ekspansif defisit

AD_0 AD_0
‫ۯ‬۲૚ ‫ۯ‬۲૚
Kebijakan Kebijakan
moneter ‫ۯ‬۲૙ anggaran ‫ۯ‬۲૙
kontraktif surplus
‫ۯ‬۲૛ ‫ۯ‬۲૛
Y Y
0 0
(a) (b)
Kebijakan Moneter Kebijakan Fiskal

2) Penawaran Agregat (Aggregate Supply /AS):


Kebijakan pemerintah juga sangat berpengaruh thd penawaran agregat. Kebijakan
moneter ekspansif, misalnya dgn memberikan bantuan kredit, dapat meningkatkan
penawaran agregat, shg kurva AS bergeser ke kanan (Diagram 19.3.a.). Demikian
halnya dgn kebijakan fiskal, seperti telah dijelaskan di atas. Kebijakan fiskal
ekspansif akan meningkatkan penawaran agregat, shg kurva AS bergeser ke kanan
(Diagram 19.3.b.)

Page 3 of 19
Diagram 19.3
Pengaruh Kebijakan Ekonomi Pemerintah
Terhadap Penawaran Agregat

P P

‫܁ۯ‬ ૛ ‫܁ۯ‬ ૛
Kebijakan
Kebijakan ‫܁ۯ‬ ૙ anggaran ‫܁ۯ‬ ૙
moneter ࡭ࡿ૚ kontraktif
‫܁ۯ‬ ૚
kontraktif

Kebijakan
moneter Kebijakan
ekspansif anggaran
ekspansif
Y Y
0 0
(a) (b)
Kebijakan Moneter Kebijakan Fiskal

3) Inflasi & Keseimbangan Ekonomi:


Secara grafis (Diagram 19.4), keeimbangan ekonomi tercapai di titik E, pada saat kurva
AD dan AS berpotongan. Pada Diagram tingkat output (PDB) adalah Y 0, tingkat harga
umum adalah P0. Terjadinya inflasi terlihat jika (dalam grafis) tingkat harga umum dalam
keseimbangan baru menjadi lebih tinggi. Dalam Diagram 19.4 terlihat, misalnya, ketika
P1 ¿ P0.
Perhatikan dgn seksama bahwa pada tingkat P1 ada tiga kemungkinan titik
keseimbangan, yaitu A, B, dan C.

Diagram 19.4
Inflasi dan Keseimbangan Ekonomi

AS
A B C

଴ E

AD

0 ‫܇‬૙ Y

Page 4 of 19
Di titik A inflasi disertai penurunan output (kontraksi ekonomi). Hal ini sering disebut
sebagai resesi.

Di titik B inflasi disertai kemandekan output (pertumbuhan ekonomi 0%). Kondisi ini
disebut stagflasi, kombinasi dari keadaan kemandekan output (stagnasi) dan inflasi.

Di titik C inflasi disertai pertumbuhan ekonomi, umumnya terjadi pada saat ekonomi
sedang membaik (ekspansi).

Tiga gejala di atas menunjukkan gejala inflasi berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu
inflasi tekanan permintaan (demand-pull inflation), inflasi dorongan biaya (cost-
push inflation), dan kombinasi keduanya.

4) Inflasi Tekanan Permintaan (Demand-Pull Inflation):


Inflasi tekanan permintaan (demand-pull inflation) adalah inflasi yg terjadi karena
dominannya tekanan permintaan agregat. Pada Diagram 19.5 tekanan permintaan
digambarkan dgn bergesernya kurva AD 0 ke AD 1. Tekanan permintaan menyebabkan
output perekonomian bertambah, tetapi disertai inflasi, dilihat dari makin tingginya tingkat
harga umum. dlm inflasi tekanan permintaan, tidak selalu berarti penawaran agregat (AS)
tidak bertambah. Yang pasti, kalaupun terjadi pertambahan penawaran agregat,
jumlahnya lebih kecil dibanding peningkatan permintaan agregat.

Diagram 19.5
Inflasi Tekanan Permintaan (Demand-Pull Inflation)

AS

‫۾‬૚

‫۾‬૙

‫ۯ‬۲૙ ‫ۯ‬۲૚

0 ‫܇‬૙ ‫܇‬૚ Y

5) Inflasi Dorongan Biaya (Cost-Push Inflation):


Inflasi dorongan biaya (cost-push inflation) terjadi karena kenaikan biaya produksi.
Biasanya menyebabkan penawaran agregat berkurang.
Dalam Diagram 19.6 ditunjukkan dgn bergesernya kurva AS0 ke AS1. Naiknya biaya
produksi disebabkan oleh naiknya harga input pokok.

Misalnya, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan BBM akan menyebabkan biaya
produksi barang-barang output sektor industri menjadi lebih mahal, yang mengurangi
penawaran agregat.

Page 5 of 19
Jika yang berkurang adalah penawaran agregat , inflasi akan disertai kontraksi ekonomi ,
sehingga jumlah output (PDB) menjadi lebih kecil (Y 1 ¿ Y 0 ).

Diagram 19.6
Inflasi Dorongan Biaya (Cost-Push Inflation)

‫܁ۯ‬ ૚

‫܁ۯ‬ ૙

‫۾‬૚

‫۾‬૙

AD

0 ‫܇‬૚ ‫܇‬૙ Y

6) Stagflasi:
Stagflasi menerangkan kombinasi dari dua keadaan buruk, yaitu stagnasi dan inflasi.
Stagnasi adalah kondisi dimana tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar nol persen per
tahun. Jumlah output relatif tidak bertambah. Sayangnya, kondisi ini disertai inflasi.
Secara grafis dalam Diagram 19.7 terlihat stagflasi akan terjadi jika permintaan agregat
(AD) bertambah, sedangkan peawaran agregat (AS) berkurang.

Diagram 19.7
Stagflasi (Stagflation)

‫܁ۯ‬ ૚

‫܁ۯ‬ ૙

‫۾‬૚

‫۾‬૙

‫ۯ‬۲૚

‫ۯ‬۲૙

0 ‫܇‬૙ Y

c) Beberapa Indikator Inflasi:


Ada beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan utk mengetahui laju inflasi selama
satu periode tertentu. Tiga diantaranya akan dibahas dalam uraian berikut ini:

1) Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index: CPI):

Page 6 of 19
Indeks harga konsumen (IHK) adalah angka indeks yg menunjukkan tingkat harga
barang dan jasa yg harus dibeli konsumen dalam satu periode tertentu.
Angka IHK diperoleh dgn menghitung harga-harga barang dan jasa utama yg
dikonsumsi masyarakat dalam satu periode tertentu . Masing-masing harga barang dan
jasa tsb diberi bobot (weighted) berdasarkan tingkat keutamaannya.
Barang dan jasa yg dianggap paling penting diberi bobot yg paling besar.

Di indonesia, perhitungan IHK dilakukan dgn memperhitungkan sekitar beberapa


ratus komoditas pokok. Untuk lebih mencerminkan keadaan yg sebenarnya,
perhitungan IHK dilakukan dgn melihat perkembangan regional, yaitu dgn
mempertimbangkan tingkat inflasi kota-kota besar, terutama ibukota provinsi-provinsi di
Indonesia, seperti tampak dalam Tabel 19.1 berikut ini.

Tabel 19.1
Index Harga Konsumen (IHK) Gabungan 27 Kota Di Indonesia,
Tahun 1994 - 1998 (April 1988 - Maret 1989 = 100)

Akhir Periode IHK Perubahan IHK (%)

1994 163.17 9.60


1995 177.83 8.98
1996 189.62 6.63
1997 211.62 11.60
1998 375.89 77.63

Sumber: Diolah dari Statistik Ekonomi & Keuangan Indonesia (Bank Indonesia)

Tabel 19.1 menyatakan bhw titik awal perhitungan angka IHK adalah April 1988 Maret
1989, dgn angka 100. Jika angka IHK makin besar, maka telah terjadi inflasi. Misalnya,
angka IHK akhir periode 1994 adalah 163,17 menunjukkan selama 1989-1994 telah
terjadi inflasi. Angka perubahan IHK (kolom 3) adalah angka inflasi per tahun. Misalnya,
IHK 1995 adalah 177,83, angka perubahan IHK-nya 8,98%. Berarti selama periode 1994-
1995 telah terjadi inflasi sebesar 8,98%. Angka 8,98% diperoleh dgn menggunakan
rumus perhitungan dibawah ini:

(IHK −IHK −1 )
Inflasi = x 100%
IHK −1

(IHK 1995 −IHK 1994 )


Inflasi1995 = x 100%
IHK 1994

(177,83−163,17)
= x 100%
163,17
= 8,98%

Dilihat dari cakupan komoditas yang dihitung IHK kurang mencerminkan tingkat inflasi
yang sebenarnya. Tetapi IHK sangat berguna karena menggambarkan besarnya
kenaikan biaya hidup bagi konsumen, sebab IHK memasukkan komoditas-komoditas
yang relevan (pokok) yang biasanya dikonsumsi masyarakat.

Page 7 of 19
2) Indeks Harga Pedagang Besar (Wholesale Price Index):
Jika IHK melihat inflasi dari sisi konsumen, maka Indeks Harga Pedagang Besar (IHPB)
melihat inflasi dari sisi produsen. Oleh karena itu IHPB sering juga disebut sbg
indeks harga produsen (producer price index). IHPB menunjukkan tingkat harga yg
diterima produsen pada berbagai tingkat produksi.

Prinsip menghitung inflasi berdasarkan data IHPB adalah sama dengan cara menghitung
berdasarkan IHK:

(IHPB−IHPB−1 )
Inflasi = x 100%
IHPB−1

Silahkan mencoba, & cocokan hasilnya dgn kolom 3, Tabel 19.2 berikut ini:

Tabel 19.2
Index Harga Pedagang Besar (IHPB), Tahun 1995 - 1998
(Tahun 1983 = 100)

Akhir Periode IHPB Perubahan IHPB (%)

1995 240.00 11.62


1996 259.00 7.92
1997 282.00 8.88
1998 568.00 101.42

Sumber: Diolah dari Statistik Ekonomi & Keuangan Indonesia (Bank Indonesia)

3) Indeks Harga Implisit (GDP Deflator):


Walaupun sangat bermanfaat, IHK dan IHPB memberikan gambaran laju inflasi yg
sangat terbatas. Sebab, dilihat dari methode penghitungannya, kedua indikator tsb hanya
melingkupi beberapa puluh atau mungkin ratus jenis barang jasa, di beberapa puluh
kota saja. Padahal dlm kenyataan, jenis barang barang dan jasa yg diproduksi atau
dikonsumsi dlm sebuah perekonomian dpt mencapai ribuan, puluhan ribu, bahkan
mungkin ratusan ribu jenis.
Kegiatan ekonomi juga terjadi tidak hanya di beberapa kota saja, melainkan seluruh
pelosok wilayah.
Untuk mendapatkan gambaran inflasi yang paling mewakili keadaan sebenarnya ,
ekonom menggunakan indeks harga implisit (GDP Deflator), disingkat IHI.
Angka deflator ini telah diperkenalkan dlm pembahasan Produk Dometik Bruto (PDB)
berdasarkan harga berlaku dan harga konstan (Bab 13). Sama halnya dgn dua indikator
sebelumnya, perhitungan inflasi berdasarkan IHI dilakukan dgn menghitung perubahan
angka indeks.

(IHI −IHI −1)


▶ Inflasi = IHI −1 x 100%

Page 8 of 19
Tabel 19.3
Index Harga Implisit (IHI), Tahun 1990 - 1996
(Tahun 1990 = 100)

Akhir Periode IHI Perubahan IHI (%)

1990 100.00 9.05


1991 108.70 8.70
1992 116.70 7.36
1993 139.00 19.10
1994 149.90 7.84
1995 163.90 9.34
1996 177.80 8.48

Sumber: Diolah dari International Financial Statistics, 1997 (IMF)

4) Alternatif dari Indeks Harga Implisit (GDP Deflator):


Mungkin saja terjadi, pada saat ingin menghitung inflasi dgn menggunakan IHI tidak dpt dilakukan
karena tidak memiliki data IHI. Hal ini bisa diatasi. Sebab prinsip dasar penghitungan inflasi
berdasarkan deflator PDB (GDP Deflator) adalah membandingkan tingkat pertumbuhan ekonomi
nominal dgn pertumbuhan riil. Selisih keduanya merupakan tingkat inflasi. Pernyataan di atas
dapat dibuktikan dgn persamaan mathematika sederhana dibawah ini:

Jika PDB menurut harga berlaku dinotasikan PDBN, PDB berdasarkan harga konstan
adalah PDBR dan deflator PDB adalah D, maka seperti telah disinggung pada Bab 2:

PDBN = PDBR x D ............................................................... (19.1)

Karena angka PDB sangat besar, kita ubah dlm bentuk logaritma,
dimana X = log PDBN, Q = log PDBR, dan P = log Deflator (D). Shg persamaan (19.1)
menjadi:

X = Q + P ............................................................... (19.2)

Perubahan ketiga variabel di atas dari waktu ke waktu (berdasarkan fungsi waktu)
adalah:

∂X ∂Q ∂P
= + ................................................. (19.3)
∂t ∂t ∂t

∂X
Arti ekonomi dari persamaan (19.3) adalah pertumbuhan ekonomi nominal ( ) sama
∂t
∂Q
dgn pertumbuhan riil ( ) ditambah dgn tingkat inflasi,
∂t
Atau dapat dikatakan:

Inflasi = Pertumbuhan nominal - Pertumbuhan riil

Page 9 of 19
Karena itu, angka inflasi dpt dihitung jika memiliki data PDB menurut harga berlaku
(PDB nominal) dan PDB berdasarkan harga konstan (PDB riil). Tabel 19.4 memberikan
contoh perhitungannya.

Tabel 19.4
Cara Perhitungan Inflasi, Tahun 1990 - 1996

PDB PDB Real Pertumbuhan Pertumbuhan Inflasi


Tahun Nominal (Thn. Dasar 1990) Nominal (RN) Real (RR) (RN - RR)

1990 195,597.00 195,597.00 17.00 7.24 9.76


1991 227,450.00 209,192.00 16.29 6.95 9.34
1992 259,884.00 222,705.00 14.26 6.46 7.80
1993 329,776.00 237,172.00 26.89 6.50 20.39
1994 382,220.00 255,055.00 15.90 7.54 8.36
1995 425,381.00 276,003.00 18.36 8.20 10.14
1996 528,956.00 297,579.00 16.93 7.82 9.11

Sumber: Diolah dari International Financial Statistics, 1997 (IMF).

d) Biaya Sosial Dari Inflasi:


Harus diakui, sampai tingkat tertentu, inflasi dibutuhkan utk memicu pertumbuhan
penawaran agregat. Sebab kenaikan harga akan memacu produsen utk meningkatkan
output-nya. Kendatipun blm dpt dibuktikan secara mathematis, umumnya ekonom sepakat
bhw inflasi yg aman adalah sekitar 5% per tahun. Jika terpaksa, maksimal 10% per
tahun.
Bagaimana jika inflasi melebihi angka 10%? Umumnya sudah mulai sangat mengganggu
stabilitas ekonomi. Apalagi bila yg terjadi adalah hiperinflasi (hyper-inflation), yaitu yang
≥ 100% per tahun.

Ada beberapa masalah sosial (biaya sosial) yg muncul dari inflasi yang tinggi (≥ 10% per
tahun). Yang akan dibahas dalam bagian ini adalah:
1) Menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat,
2) Memburuknya distribusi pendapatan,
3) Terganggunya stabilitas ekonomi.

1) Menurunnya Tingkat Kesejahteraan Rakyat:


Tingkat kesejahteraan masyarakat sederhananya diukur dgn tingkat daya beli
pendapatan yg diperoleh. Inflasi menyebabkan daya beli pendapatan makin rendah,
khususnya bagi masyarakat yg berpenghasilan kecil dan tetap (kecil). Misalnya, pak
Sudar adalah pegawai negeri sipil (PNS) golongan rendah dgn total penghasilan
Rp.300,000.00,- per bulan. Tahun lalu harga beras Rp.1.500,- per kilogram. Karena itu
gaji pak Sudar tahun lalu setara dgn 200 kilogram beras per bulan. Jika terjadi inflasi
20% per tahun, maka tahun ini gaji pak Sudar setara dgn 166 kilogram beras.
Kesejahteraan pak Sudar menurun. Jika inflasi tetap 20% per tahun, maka dlm tempo
3,5 thn, kesejahteraan pak Sudar tinggal separuhnya. Makin tinggi tingkat inflasi, makin
cepat penurunan tingkat kesejahteraan.

2) Makin Buruknya Distribusi Pendapatan :


Dampak buruk inflasi thd tingkat kesejahteraan dpt dihindari jika pertumbuhan tingkat
pendapatan lebih tinggi dari tingkat inflsai. Jika inflasi 20% per tahun, pertumbuhan
tingkat pendapatan harus lebih besar dari 20% per tahun. Persoalannya adalah jika
inflasi mencapai angka 20% per tahun dlm masyarakat hanya segelitir orang yg

Page 10 of 19
mempunyai kemampuan meningkatkan pendapatan ≥ 20% per tahun. Akibatnya ada
sekelompok yg mampu meningkatkan pendapatan riil (pertumbuhan pendapatan nominal
dikurangi laju inflasi lebih besar dari 0% per tahun). Tetapi sebagian besar masyarakat
mengalami penurunan pendapatan riil.
Distribusi pendapatan, dilihat dari pendapatan riil, makin memburuk.

3) Terganggunya Stabilitas Ekonomi:


Pengertian yg paling sederhana dari stabilitas ekonomi adalah sangat kecilnya
tindakan spekulasi dalam perekonomian. Produsen berproduksi pada kapasitas penuh
(optimal). Konsumen juga memakai barang dan jasa optimal dgn kebutuhan mereka.
Kondisi nyaman ini mulai terganggu bila inflasi yg relatif tinggi telah menjadi kronis.

Inflasi mengganggu stabilitas ekonomi dgn merusak perkiraan tentang masa depan
(ekspektasi) para pelaku ekonomi. Inflasi yg kronis menumbuhkan perkiraan bhw harga-
harga barang dan jasa akan terus naik.
Bagi konsumen perkiraan ini mendorong pembelian barang dan jasa lebih banyak dari
yg seharusnya / biasanya. Tujuannya utk lebih menghemat pengeluaran konsumsi.
Akibatnya, permintaan barang dan jasa justru dpt meningkat.

Bagi produsen perkiraan akan naiknya harga barang dan jasa mendorong mereka
menunda penjualan, utk mendapatkan keuntungan yg lebih besar. Penawaran barang
dan jasa berkurang. Akibatnya, kelebihan permintaan memperbesar dan mempercepat
laju inflasi. Tentu saja, kondisi ekonomi akan menjadi semakin buruk.

Dapatkah Inflasi di Indonesia Dijinakkan?


Perlunya inflasi dikendalikan rasanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Inflasi menggerogoti
nilai riil pendapatan, menjadikan semua orang, terutama orang miskin bertambah miskin.
Di sisi supply, banyak proyek terancam tidak feasible gara-gara asumsi inflasinya terlalu
tinggi, shg investasi tidak jadi dilakukan dan lampangan pekerjaan tidak jadi bertambah.
Bahkan saat ini tingkat inflasi di Indonesia yg masih lebih tinggi dibanding dgn tingkat
inflasi di negara tetangga (lihat Tabel 19.5) menjadikan tingkat bunga riil terancam
negatif (lihat Tabel 19.6) yg akan memberikan tekanan pada nilai rupiah thd uang asing.
Khususnya ditengah kabar akan meningkatnya suku bunga Fed Fund di Amerika.

Faktor-faktor Dominan:
Inflasi sebenarnya dpt dikendalikan walaupun tidak mudah . Untuk itu perlu dikendalikan
faktor-faktor dominan penyebab inflasi yg di tiap-tiap negara bisa tidak sama. Untuk
Indonesia ada beberapa faktor dominan yg menonjol:
Faktor dominan yg pertama dan yg paling besar pengaruhnya adalah faktor moneter
(core inflation). Ini konsisten dgn pendapat begawan ilmu ekonomi moneter Milton
Friedman yang menyatakan “Inflation is always a monetery phenomenon”. Maka
tidak salah bila dlm UU No.3 tahun 2004, Bank Indonesia (BI) adalah pihak yg diberi
tanggung jawab oleh negara utk memelihara nilai rupiah, karena BI yg mengendalikan
instrumen-instrumen moneter termasuk jumlah uang beredar. Walaupun faktor moneter
paling dominan pengaruhnya, core inflation selama ini adalah bagian inflasi yg paling
mudah dikendalikan.
Dari data tahun 2003, deviasi realisasi dari perkiraan core inflation hanya 1,07% dari
perkiraan 8% di awal tahun tsb (lihat Tabel 19.7). yang masih menjadi persoalan di
Indonesia dlm hal ini adalah terjadinya efek tunda (lag) dari suatu kebijakan moneter yg
lumayan lama, kabarnya masih sekitar 4-6 bulan.
Faktor dominan yg kedua adalah perubahan atas administered prices, yaitu harga
barang-barang dan jasa tertentu yg tingkat harganya ditentukan secara sepihak oleh
pemerintah, BUMN atau oleh kartel, seperti BBM, listrik, telpon, air, SPP sekolah, dan
sebagainya. Dari data BI, tingkat kemelencengan realisasi dari perkiraan utk tahun 2003
cukup besar, yaitu 7,59%, sekaligus menunjukkan tipisnya kesadaran, kesepakatan
maupun koordinasi para pengambil kebijakan terkait (baik swasta maupun pemerintah)

Page 11 of 19
dlm pengendalian administered prices ini. Saat ini wacana inflasi dlm sidang kabinet
belum terjabarkan ke dalam tindak pengendalian inflasi yg lebih terkoordinasi dan
berkesinambungan, apalagi dlm kalangan BUMN maupun pengusaha swasta.
Faktor dominan yg ketiga adalah fenomena supply-shock yg sangat mempengaruhi
perekonomian kita, baik dari sisi domestik (seperti kekeringan, gagal panen, dan
wabah ternak) maupun internasional (seperti naiknya harga crude oil, perubahan
exchange rate, dan suku bunga internasional). Data BI tahun 2003 deviasi realisasi
dari perkiraan food volatile inflation cukup besar, yaitu 7,69% menunjukan sulitnya
mengendalikan inflasi di bidang ini. Departemen Perdagangan dan Perindustrian
belum dapat mewujudkan kebijakan distribusi yg efektif utk menghindari tingginya inflasi
bila terjadi krisis pangan. Ketergantungan atas import minyak bumi juga memperparah
inflasi apabila terjadi kenaikan haarga minyak dunia. Setiap satu dollar AS kenaikan
harga minyak bumi, akan berdampak 0,05% pada tingkat inflasi, dan tiap satu persen
Rupiah melemah thd dollar Amerika akan membawa dampak 0,23% pada tingkat inflasi.

Inflation Targeting:
Mengingat pentingnya pengendalian inflasi bagi ekonomi suatu negara, maka sejak
tahun 1990-an berbagai negara mulai menerapkan kebijakan Inflation Targeting yg
bertujuan utk membentuk dan mengarahkan ekspektasi masyarakat (inflation
expectation) kpd tingkat inflasi yg rendah sbg target, dan memberikan pedoman kpd
para pelaku (baik konsumen maupun produsen) dan para pembuat kebijakan utk ikut
mewujudkan target inflasi ini. Di Malaysia bahkan program ini disertai sosialisasi dan
edukasi masyarakat yg sangat rigorous yg disebut Inflation Sifar (Zero Inflation) di awal
tahun 1990-an melalui berbagai media massa. Program ini intinya menyadarkan
masyarakat bhw inflasi itu merugikan dan harus diperangi. Di sana masyarakat
disadarkan bhw mencari untung sesaat dgn menaikan harga dan upah pada akhirnya
akan membuat perekonomian Malaysia itu tidak kompetitif dan akhirnya merugikan diri
mereka sendiri. Salah satu contohnya dalam minggu ke tiga setiap bulan atau waktu-
waktu tertentu diadakan pesta diskon serentak secara nasional. Tidak heran kini
Malaysia merupakan salah satu negara dgn inflasi terendah dan dgn harga produk
paling kompetitif di Asia.

Tabel 19.5
Inflasi ASEAN, (Year -on- Year)

Tahun Indonesia Malaysia Thailand Filipina Singapura

Des.-2000 9.40 1.40 1.30 6.60 2.10


Des.-2001 12.90 1.20 0.80 3.90 -0.60
Des.-2002 10.00 1.70 1.60 2.60 0.40
Des.-2003 5.10 1.20 1.80 3.10 0.70
Des.-2004 5.90 1.00 2.50 4.10 1.30

Sumber: Asian Development Bank.

Page 12 of 19
Tabel 19.6
Inflasi, SBI Rate, dan Suku Bunga Real

Tahun Inflasi y-o-y SBI Rate (1 bln) Suku Bunga Real

Des.-2000 9.30 14.50 5.10


Des.-2001 12.50 17.60 5.10
Des.-2002 12.50 17.60 5.10
Des.-2003 5.10 8.30 3.30
Des.-2004 6.80 7.30 0.50

Sumber: BPS dan Bank Indonesia.

Tabel 19.7
Perkiraan dan Realisasi Inflasi Tahun 2003

Perkiraan
Tahun Awal Tahun Realisasi Deviasi

Core Inflation 8.00 6.93 1.07


Administered Price Inflation 16.70 9.08 7.59
Food Volatile Inflation 5.30 -2.36 7.69
Inflasi IHK 9.00 5.03 3.97

Sumber: BPS dan Bank Indonesia.

Diambil dari artikel: Bambang Kusmanto, “Dapatkah Inflasi di Indonesia Dijinakkan?” , Bisnis Indonesia, 2 Juli 2004.

2. PENGANGGURAN (UNEMPLOYMENT):
Menganggur tidak sama dgn tidak bekerja atau tidak mau bekerja. Orang yg tidak mau
bekerja, tidak dpt dikatakan sbg pengangguran . Sebab jika dia mencari pekerjaan (ingin bekerja),
mungkin dgn segera mendapatkannya. Kalau begitu mengapa dia tidak mau bekerja? Mungkin
karena dia sudah kaya ! Misalnya, tabungannya sudah mencapai Rp.3 milyar. Jika tingkat bunga
deposito bersih (setelah dipotong pajak) 1% per bulan (12% per tahun), maka tanpa bekerja
penghasilannya mencapai Rp.30juta per bulan. Itu sudah lebih dari cukup. Alasan-alasan lain yg
membuat orang tidak mau bekerja antara lain adalah ibu-ibu yg harus mengasuh anak, kawula
muda yg harus sekolah dahulu.

a. Definisi dan Pengertian Pengangguran:


Definisi ekonomi tentang pengangguran (unemployment) tidak identik dgn tida mau
bekerja, karena seseorang dikatakan menganggur bila dia ingin bekerja dan telah berusaha
mencari kerja, namun tidak mendapatkannya.
Dalam ilmu kependudukan (demografi), orang yg mencari kerja masuk dalam kelompok
penduduk yg disebut angkatan kerja.
Tingkat pengangguran adalah persentase angkatan kerja yang tidak/ belum mendapatkan
pekerjaan. Lebih jelas dengan melihat Diagram 19.8 berikut ini.

Page 13 of 19
Diagram 19.8
Struktur Penduduk Berdasarkan Usia Kerja

Total Penduduk

Penduduk Usia Kerja Bukan Usia Kerja


15 - 64 tahun 0-14 tahun + ൒ 65 tahun

Bukan Angkatan Kerja Angkatan Kerja


(Bukan Pengangguran)

Usia kerja dan mencari kerja


Penduduk usia kerja, tetapi
tidak mencari kerja dengan
berbagai alasan, misalnya
sekolah/ kuliah, ibu-ibu Bekerja Tidak Bekerja
mengurus rumah tangga.

1. ൒ 35 jam / minggu. Pengangguran


2. < 35 jam / minggu. (Underemployed)

Pada Diagram 19.8 terlihat bhw jumlah penduduk suatu negara dpt dibedakan menjadi penduduk
usia kerja (15-64 tahun) dan penduduk bukan usia kerja. Yang masuk kelompok bukan usia kerja
(usia nonproduktif) adalah anak-anak (0-14 tahun) dan manusia lanjut usia (manula) yang berusia
≥ 65 tahun. Dari penduduk usia kerja, yg masuk angkatan kerja adalah mereka yg mencari kerja
atau bekerja. Sebagian yg tidak bekerja (dgn berbagai alasan) tidak masuk angkatan kerja (bukan
angkatan kerja). Lebih lanjut lagi terlihat, ternyata tidak semua angkatan kerja memperoleh lapangan
kerja. Mereka inilah yang disebut penganggur (unemployment).

Tabel 19.8 di bawah ini memberikan data-data komposisi penduduk Indonesia hasil sensus penduduk
tahun 1971, 1980, dan 1990 dgn menggunakan klasifikasi spt pada Diagram 19.8.

Tabel 19.8
Jumlah Penduduk Indonesia Hasil Sensus Peduduk
Tahun 1971, 1980, 1990 Berdasarkan Usia
( Dalam Juta Jiwa )

Tahun
Struktur Penduduk 1971 1980 1990

Penduduk: 119.20 147.50 179.30


A. Bukan Usia Kerja 55.40 65.10 72.40
A.1. 0-14 Tahun 52.40 60.30 65.40
A.2. ൒ 65 Tahun 3.00 4.80 7.00
B. Usia Kerja : (15-64 Tahun) 63.80 82.40 106.90
B.1. Bukan Angkatan Kerja 22.60 30.00 29.10
B.2. Angkatan Kerja 41.20 52.40 77.80
B.2.1. Bekerja 37.60 51.60 75.90
B.2.2. Menganggur 3.60 0.80 1.90

Tingkat Pengangguran (% / Tahun) 8.74% 1.53% 2.44%

Sumber: Diolah dari data BPS berbagai tahun.

Page 14 of 19
Angkatan / tingkat pengangguran dlm Tabel diatas menunjukkan bhw jumlah angkatan kerja
yang tidak bekerja atau belum mendapatkan pekerjaan dlm periode 1971, 1980, 1990
masing-masing adalah 8.7%, 1.5% dan 2.4% dari angkatan kerja. Angka-angka tsb didapat
dgn cara membagi jumlah orang yg menganggur dgn jumlah angkatan kerja (bukan
penduduk usia kerja) dikalikan 100%.

Jumlah Yang Menganggur


Tingkat Pengangguran = x 100%
Jumlah Angkatan Kerja

Angka pengangguran yg tertera dlm Tabel 19.8, khususnya tahun 1980 dan 1990, mungkin
mengejutkan anda. Betapa rendahnya tingkat pengangguran di Indonesia ! Selanjutnya data
ini membingungkan ! . Memunculkan pertanyaan “Mengapa banyak orang mengeluh
tentang sulitnya mendapat pekerjaan ?”. Angka pengangguran dlm Tabel 19.8 adalah
berdasarkan definisi Badan Pusat Statistik (BPS) pada saat melakukan sensus penduduk.
Menurut BPS, yg dimaksud dgn bekerja adalah orang yg selama dua minggu sebelum
Sensus Penduduk dilakukan telah bekerja minimal 2 jam. Tentu saja definisi ini dapat
mengundang perdebatan.

Besar kecilnya angka pengangguran sangat tergantung dari definisi atau


pengklasifikasian pengangguran. Setidak-tidaknya ada dua dasar utama klasifikasi
pengangguran, yaitu pendekatan angkat kerja (labour force approach) dan pendekatan
pemanfaatan tenaga kerja (labour utilization approach)

1) Pendekatan Angkatan Kerja (Labour Force Approach):


Pendekatan ini mendefinisikan penganggur sbg angkatan kerja yg tidak bekeja.
Perhitungan tingkat pengangguran dlm Tabel 19.8 menggunakan definisi ini.
2) Pendekatan Pemanfaatan Tenaga Kerja (Labour Utilization Approach):
Dalam pendekatan ini, angkatan kerja di bedakan menjadi tiga kelompok:

a) Menganggur (Unemployed), yaitu mereka yg sama sekali tidak bekerja atau


sedang mencari pekerjaan. Kelompok ini sering disebut juga pengangguran
terbuka (open unemployment). Berdasarkan definisi ini, tingkat pengangguran di
Indonesia umumnya relatif rendah, yaitu 3% - 5% per tahun.
b) Setengah Menganggur (Underemployment), yaitu mereka yg bekerja, tapi blm
dimanfaatkan secara penuh. Artinya jam kerja mereka dalam seminggu kurang
dari 35 jam. Berdasarkan definisi ini tingkat pengangguran di Indonesia relatif
tinggi, karena angkanya berkisar 35% per tahun.
c) Bekerja Penuh (Employed), yaitu orang-orang yg bekerja penuh atau jam
kerjanya mencapai 35 jam per minggu.

b. Jenis-jenis Pengangguran:
Dalam studi ekonomi makro yg lebih lanjut, pembahasan masalah pengangguran akan
dilakukan lebih spesifik dan cermat. Misalnya, akan dibahas apakah yg terjadi
merupakan pengangguran sukarela (voluntary unemployment) atau pengangguran
dukalara (involuntary unemployment).
Pengangguran sukarela (voluntarary unemployment) adalah pengangguran yg
bersifat sementara, karena seseorang ingin mencari pekerjaan yg lebih baik atau lebih
cocok.
Pengangguran dukalara (involuntary unemployment) adalah pengangguran yg
terpaksa diterima oleh seseorang, walaupun sebenarnya dia masih ingin bekerja.

Pengangguran sukarela dan dukalara erat kaitannya dgn jenis-jenis pengangguran


berikut ini:

1) Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment):


Apabila dlm suatu periode tertentu perekonomian terus-menerus mengalami
perkembangan yg pesat, jumlah dan tingkat pengangguran akan menjadi semakin
rendah. Pada akhirnya perekonomian dpt mencapai tingkat penggunaan tenaga

Page 15 of 19
kerja penuh (full employment), yaitu apabila pengangguran tidak melebihi 4%.
Pengangguran ini dinamakan pengangguran friksional (frictional unemployment).
Segolongan ahli ekonomi menggunakan istilah pengangguran normal atau
pengangguran mencari (search unemployment).
Pengangguran jenis ini bersifat sementara dan terjadi karena adanya kesenjangan
antara pencari kerja dgn lowongan kerja. Kesenjangan ini dapat berupa kesenjangan
waktu, informasi, ataupun karena kondisi geografis/ jarak. Dst...

2) Penganguran Struktural (Structural Unemployment):


Dikatakan pengangguran struktural karena sifatnya yg mendasar.
Pencari kerja tidak mampu memenuhi persyaratan yg dibutuhkan utk lowongan
pekerjaan yg tersedia. Hal ini terjadi dlm perekonomian yg berkembang pesat. Makin
tinggi dan rumitnya proses produksi dan atau teknologi produksi yg digunakan,
menuntut persyaratan tenaga kerja yg juga makin tinggi. Misalnya, tenaga kerja yg
dibutuhkan utk industri kimia menuntut persyaratan yg relatif berat, yaitu
pendidikan minimal sarjana muda (program D3), mampu menggunakan
komputer dan menguasai minimal bahasa Inggris.
Dengan makin besarnya peran mekanisme pasar yg semakin mengglobal, maka
toleransi thd kekurangan persyaratan tidak ada lagi . Sekarang terjadi kelebihan
tenaga kerja berkualitas. Jika tetap terjadi kekurangan, dapat diatasi dgn
mendatangkan tenaga kerja asing.
Dilihat dari sifatnya, pengangguran struktural lebih sulit diatasi dibanding
pengangguran friksional. Selain membutuhkan pendanaan yg besar, juga waktu yg
lama. Bahkan untuk Indonesia, pengangguran struktural merupakan masalah besar
dimasa mendatang, jika tidak ada perbaikan kualitas SDM.

3) Pengangguran Siklis (Cyclical Unemployment):


Pengangguran siklis (cyclical unemployment) atau pengangguran konjungtur
adalah pengangguran yg diakibatkan oleh perubahan-perubahan dlm tingkat
kegiatan perekonomian. Pada waktu kegiatan ekonomi mengalami kemunduran
perusahaan-perusahaan harus mengurangi kegiatan produksi. Hal tsb berarti
pengurangan jam kerja, sebagian mesin produksi tidak digunakan, dan sebagian
tenaga kerja diberhentikan. Dengan demikian, kemunduran ekonomi akan
menaikkan jumlah dan tingkat pnegangguran.
Pengangguran konjungtur hanya dapat dikurangi atau diatasi masalahnya apabila
pertumbuhan ekonomi yg terjadi, setelah kemunduran ekonomi, juga dapat
menyediakan kesempatan kerja baru yg lebih besar dari pertambahan tenaga kerja
yg terjadi.

4) Pengangguran Musiman (Seasonal Unemployment):


Pengangguran ini berkaitan erat dgn fluktuasi kegiatan ekonomi jangka pendek,
terutama terjadi di sektor pertanian. Misalnya, diluar musim tanam dan panen, petani
umumnya menganggur, sampai menunggu musim tanam dan panen berikutnya .

c. Biaya Sosial dari Pengangguran:


Seperti halnya inflasi, pengangguran juga akan menimbulkan dampak negatif jika sifat
pengangguran sudah sangat struktural dan atau kronis.

1) Terganggunya Stabilitas Perekonomian:


Pengangguran struktural & atau kronis akan mengganggu stabilitas perekonomian
dilihat dari sisi permintaan dan penawaran agregat.

a) Melemahnya Permintaan Agregat:


Untuk dapat bertahan hidup, manusia harus bekerja. Sebab dgn bekerja dia akan
memperoleh penghasilan, yg digunakan utk belanja barang dan jasa. Jika tingkat
pengangguran tinggi dan bersifat struktural, maka daya beli akan menurun, yg
pada gilirannya menimbulkan penurunan permintaan agregat.

Page 16 of 19
b) Melemahnya Penawaran Agregat:
Tingginya tingkat pengangguran akan menurunkan penawaran agregat, bila
dilihat dari peranan tenaga kerja sebagai faktor produksi utama. Makin sedikit
tenaga kerja yg digunakan, makin kecil penawaran agregat. Dampak
pengangguran thd penawaran agregat makin terasa dlm jangka panjang. Makin
lama seseorang menganggur, keterampilan, produktivitas maupun etika kerjanya
akan mengalami penurunan.

Mungkin argumen tsb dpt dibantah dgn mengatakan bhw dlm perekonomian
modern, tenaga kerja dpt digantikan dgn barang modal. Bahkan penggunaan
barang modal yg makin intensif akan meningkatkan efisiensi, diukur dari biaya
produksi per unit yg makin rendah.
Dengan harga jual yg semakin rendah, tentu permintaan akan meningkat.

Logika di atas adalah benar sampai batas tertentu. Tapi harus di ingat, yg
dimaksud dgn mekanisme pasar adalah interaksi permintaan dan penawaran.
Sekalipun produksi bisa berjalan efisien, tapi jika permintaan agregat sangat
lemah, maka keseimbangan ekonomi terjadi di tingkat yg sangat rendah.
Akibatnya, tingkat produksi harus diturunkan drastis. Penurunan tingkat / skala
produksi ini akan menaikkan biaya produksi per unit. Hal ini tentunya
melemahkan penawaran agregat.

Melemahnya permintaan & penawaran agregat jelas akan mengancam


stabilitas perekonomian. Hal ini berkali-kali terbukti dlm sejarah perekonomian
dunia. Misalnya, Depresi Besar (1929-1933), oleh para ekonom diakui
disebabkan oleh melemahnya permintaan agregat. Krisis Ekonomi Asia
Timur (1998), termasuk yg dialami Indonesia, menurut Bank Dunia (World
Bank, 1999) maupun IMF (1998), dapat dijelaskan dlm konteks interaksi
melemahnya permintaan & penawaran agregat.

2) Terganggunya Stabilitas Sosial Politik:


Sekarang pengangguran bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga masalah
sosial politik. Sebab dampak sosial dari pengangguran yang tinggi akan
meningkatkan kriminalitas, baik berupa kejahatan pencurian, perampokan,
penyalahgunaan obat-obatan terlarang maupun kegiatan-kegiatan ekonomi ilegal
lainnya.
Biaya ekonomi yg dikeluarkan untuk mengatasi masalah-masalah sosial ini sangat
besar dan susah diukur tingkat efisiensi dan efektifitas nya.

Masalah Pengangguran
(lihat Case dlm Box : Artikel Prof.DR. Payaman J. Simanjuntak, “Pemerintahan Baru: Isu Ketenagakerjaan
yg Mendesak”.; Media Indonesia Online, 20 Oktober 2004)

3. INFLASI & PENGANGGURAN: KURVA PHILIPS (PHILIPS CURVE):


Sejak dibahas oleh Profesor A.W. Phillips (1958), hubungan antara inflasi & pengangguran
menjadi thema sentral ekonomi makro.
Hasil penelitian Profesor Phillips tentang perekonomian Inggris periode 1861–1957
menunjukkan adanya hubungan negatif & non linier antara kenaikan tingkat upah / inflasi
tingkat upah (wage inflation) dgn pengangguran (unemployment) seperti dlm Diagram 19.9:

Dari diagram tsb terlihat biaya dari pengurangan tingkat pengangguran adalah inflasi (naiknya
tingkat upah). Misalnya, kondisi awal yg dihadapi adalah titik B, dimana tingkat upah W 2 dan
tingkat pengangguran U 2. Jika tingkat pengangguran ingin dikurangi menjadi U 1, tingkat upah
naik menjadi W 1 . Berarti terjadi inflasi. Seandainya yg ditargetkan adalah penurunan inflasi,

Page 17 of 19
secara grafis yg harus dilakukan adalah mengubah titik B ke titik C, karena W 3 ¿ W 2 . Namun
harga yg hrs dibayar adalah meningkatnya pengangguran, krn U 3 ¿ U 2.

Diagram 19.9
Hubungan Antara Tingkat Upah & Pengangguran
a. Adopsi Kaum
Keynesian:
Upah/ Wage
Kurva Phillips Jangka
Pendek (Short Run
Phillips Curve): SPC
Hasil ‫܅‬ଵ A temuan Profesor
Phillips diadopsi oleh
ekonom ‫܅‬ଶ
B Keynesian utk
menjelaskan adanya
trade off ‫܅‬૜ C (imbang korban atau
harga yg hrs dibayar) antara
tingkat inflasi dan
0 ‫܃‬૚ ‫܃‬૛ ‫܃‬૜
pengangguran.
Pengangguran
Jika ingin mengurangi
tingkat pengangguran,
harga yg harus dibayar (Trade
Off) adalah meningginya inflasi.
Hubungan inflasi pengangguran spt yg diungkapkan Phillips dan diadopsi kaum Keynesian,
sebenarnya juga dpt dijelaskan dgn menggunakan analsis kurva AD-AS seperti ditunjukkan
pd Diagram 19.10.

Diagram 19.10
Kurva Phillips Berdasarkan Analisis Kurva AD-AS

Inflasi (% / Thn)
P P
‫܁ۯ‬ ૙

‫܁ۯ‬ ૚
‫܁ۯ‬ ૛
Kurva Phillips

‫۾‬૛ C

‫۾‬૛
‫۾‬૚ B
‫ۯ‬۲ ૛
‫۾‬૙ A
‫۾‬૚

‫ۯ‬۲૚
‫۾‬૙
‫ۯ‬۲૙

0 ‫܇‬૙ ‫܇‬૚ ‫܇‬૛ Y 0 ‫܃‬ ૛ ‫܃‬ ૚ ‫܃‬ ૙ Pengangguran

( a ) ( b )

Asumsi dari analisis kurva AD-AS dalam diagram diatas adalah analisis jangka pendek.
Faktor produksi umumnya bersifat tetap (fixed input). Karena itu, pertumbuhan penawaran
agregat (kurva AS) tidak bisa secepat pertumbuhan permintaan agregat (kurva AD). Tenaga
kerja juga merupakan input tetap. Dalam jangka pendek, jumlahnya tidak mudah ditambah.
Diagram 19.10.(a) menunjukkan apa yg terjadi jika perekonomian terus bertumbuh. Karena
penawaran agregat (kurva AS) tidak bisa bertumbuh lebih cepat dari permintaan agregat

Page 18 of 19
(kurva AD), maka pertumbuhan ekonomi jangka pendek diikuti oleh inflasi. Dalam Diagram
19.10.(a) titik-titik keseimbangan A, B, C, menunjukkan bhw output menjadi lebih besar (Y 2
¿ Y 1 ¿ Y 0 ), tetapi harga-harga umum juga menjadi lebih tinggi ( P2 ¿ P1 ¿ P0 ).

Jika dianggap ada hubungan yg tetap antara kesempatan kerja (N) dgn tingkat output (Y).
Misalnya, N = ∝.Y, dimana ∝ ¿ 0, maka bertambahnya output akan menambah
kesempatan kerja ( N 2 ¿ N 1 ¿ N 0 ).
Karena jumlah tenaga kerja juga dianggap tetap, maka penambahan kesempatan kerja
akan mengurangi pengangguran (U), sehingga U 2 ¿ U 1 ¿ U 0 . Untuk menderivasi kurva
Phillips, yg perlu dilihat adalah hubungan antara P dan U. Jika P naik maka U berkurang.
Hasilnya adalah seperti pada Diagram 19.10.b. Kurva Phillips dlm Diagram 19.10.(b)
diturunkan berdasarkan analisis jangka pendek, shg disebut kurva Phillips Jangka Pendek
(Short Run Phillips Curve, disingkat SPC).

b. Adopsi Kaum Klasik: Kurva Phillips Jangka Panjang (Long Run Phillips
Curve): LPC.
Analisis kaum Keynesian seperti diuraikan di atas mengundang keberatan kaum Klasik.
Menurut mereka, kelemahan analisis diatas adalah dimensi waktu yg berjangka pendek.
Hasil analisis jangka pendek akan berbeda bila dgn menggunakan analisis jangka
panjang.
Menurut kaum Klasik, dlm jangka panjang perekonomian berada dlm keadaan kesempatan
kerja penuh (full employment). Bentuk kurva AS menjadi tegak lurus, shg seperti
ditunjukkan oleh Diagram 19.11. peningkatan permintaan agregat hanya akan menyebabkan
inflasi ( P2 ¿ P1 ¿ P0); Sementara output tidak bertambah. Karena itu pula, kurva Phillips
Jangka Panjang (Long Run Phillips Curve, disingkat LPC) , berbentuk tegak lurus. Jadi
menurut kaum Klasik, dalam jangka panjang tidak ada trade off (imbang korban/ harga yg
hrs dibayar) antara inflasi dan pengangguran.

Diagram 19.11
Kurva Phillips Jangka Panjang (LPC)

P
AS

LPC

‫۾‬૛

‫۾‬૚

۲ ‫ۯ‬૛ ‫ۯ‬
‫۾‬૙

۲ ‫ۯ‬૚ ‫ۯ‬

۲ ‫ۯ‬૙ ‫ۯ‬

0 ‫܇‬૚ Y

Page 19 of 19

Anda mungkin juga menyukai