Anda di halaman 1dari 34

Nama : Gema Karina Putri

NPM : 160112160060

PEMERIKSAAN EKSTRAORAL

1. Indeks Kepala
Cara Memeriksa:
- Dilakukan dengan menggunakan face bow transfer untuk mengukur lebar dan
panjang kepala maksimalnya.
- Posisi pasien duduk tegak melihat ke depan, posisi operator dari arah atas pasien.
Rumus:
𝑳𝒆𝒃𝒂𝒓 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒍𝒂 𝒎𝒂𝒌𝒔𝒊𝒎𝒖𝒎
Indeks Kepala (Cephalic Index) = 𝑻𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒍𝒂 𝒎𝒂𝒌𝒔𝒊𝒎𝒖𝒎 𝒙 𝟏𝟎𝟎%

Gambar 1 Lebar dan Panjang kepala maksimum (Rakosi et al., 1993)

Klasifikasi:
Dolichocephalic (kepala panjang) : x – 75,9
Mesosephalic (normal) : 76,0 – 80,9
Brachicephalic (kepala pendek) : 81,0 – 85,4
Hiperbrachicephalic : 85,5 – x

Pasien dengan tipe kepala yang panjang biasanya memiliki basis apikal yang sempit,
sehingga pada kasus crowding lebih dipertimbangkan untuk dilakukan ekstraksi daripada
ekspansi. Sedangkan pasien dengan kepala yang lebar, memiliki basis apikal yang lebar
pula sehingga pada kasus crowding dapat dilakukan ekspansi.

1
Referensi:
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. p. 108.

2. Indeks Wajah
Cara Memeriksa:
1. Pasien duduk tegak, melihat ke depan. Operator dari arah depan pasien.
2. Indeks wajah diukur dengan menggunakan rumus Morphologic Facial Index (MFI)
567896:6;<= >?=<?: @A<;9B
MFI = C<DE;6F?B<= G<HB9
𝑥 100%

Morphologic Facial Height: jarak vertikal dari titik Nasion ke titik Gnation
Bizygomatic Width: jarak horizontal tulang zygomatic kanan ke tulang zygomatic kiri.

Gambar 2 Morphologic Facial Height dan Bizygomatic Width (Rakosi et al., 1993)

3. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan jangka sorong atau jangka yang kedua
ujungnya jarum lalu diproyeksikan pada penggaris.

Klasifikasi:
Hypereuriprosop (sangat lebar) : x – 78,9
Euriprosop (lebar) : 79,0 – 83,9
Mesoprosop (sedang) : 84,0 – 87,9
Leptoprosop (sempit) : 88,0 – 92,9
Hyperleptoprosop (sangat sempit) : 93,0 – x

2
Gambar 3 Tipe wajah lebar (kiri) dan wajah sempit (kanan)
(Rakosi et al., 1993)

Pasien dengan tipe wajah lebar memiliki basis apikal yang lebar pula, sehingga pada kasus
crowding, ekspansi dapat dilakukan dengan aman. Sedangkan pasien dengan tipe wajah sempit
cenderung memiliki basis apikal yang sempit sehingga pada kasus crowding lebih
dipertimbangkan untuk dilakukan ekstraksi.

Referensi:
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. p. 109.

3. Simetrisasi Wajah
Cara Memeriksa:
1) Pasien duduk tegak dan melihat ke depan, operator dari arah depan.
2) Pengukuran dilakukan dengan menggunakan tiga garis khayal, yang terdiri dari:
(1) Garis khayal vertikal: garis midsagital wajah (Titik Nasion-Titik Subnasal)
(2) Garis khayal horizontal atas: garis bipupillary
(3) Garis khayal horizontal bawah: garis yang melalui stomion, sejajar garis bipupillary
3) Membandingkan ketiga garis tersebut. Pada pasien dengan wajah simetris, sudut antara
garis khayal vertikal dan horizontal relatif tegak lurus dan kedua garis khayal horizontal
relatif sejajar.

3
Gambar 4 Wajah relatif simetris (Garis horizontal relatif tegak lurus terhadap
garis vertikal, kedua garis horizontal relatif sejajar) (Rakosi et al., 1993)

Gambar 5 Wajah asimetri (Garis horizontal tidak tegak lurus terhadap garis vertikal, kedua garis
horizontal tidak sejajar) (Rakosi et al., 1993)

Hasil dari perawatan ortodonti diharapkan wajah dan rahang pasien menjadi simetris. Namun,
apabila ditemukan asimetri wajah, sebaiknya dikomunikasikan (informed consent) ke pasien,
asimetri tersebut apakah akan terkoreksi dengan perawatan orto saja atau diperlukan bedah.

Referensi:
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. p. 177.

4. Profil Wajah
Cara Memeriksa:
1) Pasien duduk tegak, melihat ke depan. Operator dari arah samping pasien.
2) Profil wajah dinilai menggunakan tiga titik referensi:
(1) Glabella adalah titik paling anterior tulang frontalis yang melewati garis median
wajah
4
(2) Ujung anterior bibir atas
(3) Pogonion adalah titik paling anterior dari dagu

Klasifikasi:
1) Profil wajah datar: glabella, ujung anterior bibir atas dan pogonion membentuk garis
lurus

Gambar 6 Profil wajah datar (Rakosi et al., 1993)

2) Profil wajah cembung: ujung anterior bibir atas posisinya lebih anterior dibandingkan dengan
titik glabella dan pogonion

Gambar 7 Profil Wajah Cembung (Rakosi et al., 1993)

3) Profil wajah cekung: ujung anterior bibir atas posisinya lebih posterior dibandingkan
dengan titik glabella dan pogonion

Gambar 8 Profil Wajah Cekung (Rakosi et al., 1993)

5
Profil wajah normal adalah datar atau sedikit cembung. Pasien dengan profil wajah cembung
biasanya memiliki maloklusi kelas II, sedangkan profil cekung dimiliki pasien maloklusi kelas
III. Dokter gigi perlu mengkomunikasikan keadaan profil wajah pasien sebelum perawatan,
saat perawatan, dan setelah perawatan, serta apa yang akan terkoreksi dana pa yang tidak akan
terkoreksi melalui perawatan ortodonti.

Referensi:
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. p. 176.

5. Tonus Bibir
Cara Memeriksa:
1) Pasien diintruksikan untuk dalam keadaan rileks, kemudia dilihat dalam keadaan
istirahat bibir atas dan bawahnya berkontak atau tidak (visual).
2) Dalam keadaan bibir menutup/berkontak, dilihat juga filtrum bibir tetap ada atau
menghilang.
3) Bibir dipalpasi dengan menggunakan jari tangan

Klasifikasi:
1) Tonus bibir normal: pada keadaan istirahat, bibir atas dan bawah berkontak

Gambar 9 Tonus bibir normal (Rakosi et al., 1993)

6
2) Hipertonus: pada saat bibir menutup/berkontak, otot bibir terasa kencang (kontraksi)
dan secara visual ukuran bibir juga lebih panjang dari normal

Gambar 10 Bibir hipertonus (Rakosi et al., 1993)

3) Hipotonus: pada saat istirahat, relasi bibir terbuka, bibir terasa lembek saat dipalpasi,
panjang bibir biasanya lebih pendek dari normal

Gambar 11 Bibir hypotonus (Rakosi et al., 1993)

Tonus bibir yang abnormal dapat memberikan gaya pada gigi sehingga mengakibatkan
maloklusi.

Referensi:
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. p. 112.

6. Relasi Bibir
Cara Memeriksa:
1) Pasien diinstruksikan untuk oklusi sentrik dan bibir dalam keadaan istirahat.
2) Secara visual, dilihat relasi bibirnya dalam keadaan istirahat terbuka atau tertutup dan
pada saat menutup mulut filtrum bibir ada atau menghilang.
7
Klasifikasi:
1) Normal/kompeten: bibir atas dan bawah berkontak ketika otot dalam keadaan relaks

Gambar 12 Bibir kompeten, relasi bibir tertutup, filtrum bibir tetap ada (Rakosi et al., 1993)

2) Inkompeten: secara anatomi bibir pendek, sehingga bibir atas dan bawah tidak dapat
berkontak dalam keadaan istirahat. Lip seal hanya dapat diperoleh jika otot orbikularis
oris dan mentalis berkontraksi.

Gambar 13 Bibir inkompeten, relasi bibir terbuka (kiri). Lip seal hanya dapat diperoleh jika otot
orbikularis oris dan mentalis berkontraksi, filtrum bibir menghilang (kanan) (Rakosi et al., 1993)

Relasi bibir yang abnormal/terbuka perlu diketahui penyebabnya apakah keadaan tersebut
merupakan potentially incompetent lip karena gigi insisif yang protrusif atau karena bibir yang
pendek sehingga inkompeten. Dengan dikomunikasikannya hal ini, pasien diharapkan paham
apa yang akan terkoreksi dan tidak terkoreksi dengan perawatan ortodonti.

Referensi:
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. p. 155.

8
7. TMJ
Cara Memeriksa:
1. Pasien duduk tegak dan melihat ke depan, operator dari arah depan.
2. Pemeriksaan dilakukan secara auskultasi dan palpasi pada TMJ.
Auskultasi: menggunakan stetoskop yang diletakan pada TMJ, dengan cara ini dapat
diketahui adanya suara abnormal seperti krepitasi dan kliking.

Gambar 14 Auskultasi TMJ (Rakosi et al., 1993)

Palpasi: dilakukan pada bagian lateral dan posterior. Palpasi bagian lateral dilakukan
dengan memberikan tekanan ringan dengan menggunakan jari telunjuk pada prosesus
kondilus. Palpasi bagian posterior dilakukan dengan meletakan jari kelingking ke
dalam meatus akustikus eksternal. Pasien diinstruksikan untuk membuka mulut lebar-
lebar dan menutupnya perlahan.

Gambar 15 Palpasi TMJ (Rakosi et al., 1993)

TMJ yang normal tidak menunjukan adanya nyeri saat dipalpasi, tidak ada kliking,
tidak ada krepitasi.
Pemeriksaan penunjang TMJ : radiografi tomogram

9
- Pemeriksaan TMJ bertujuan untuk mengetahui adanya kliking, nyeri, atau disfungsi
TMJ. Kelainan TMJ dapat diakibatkan oleh maloklusi, sehingga dengan
dilakukannya perawatan ortodonti diharapkan kelainan TMJ dapat diatasi.
- Pasien dengan kelainan TMJ yang berat dapat diindikasikan untuk terapi TMJ
sebelum perawatan ortodonti dimulai.
- Jenis kelainan TMJ yang dialami pasien perlu diidentifikasi agar dapat diterapi dan
tidak semakin berat seiring dengan perawatan ortodonti.
Referensi:
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. p. 136-137.

10
PEMERIKSAAN INTRAORAL

1. Frenulum Labii
Memeriksa adakah kelainan anatomi perlekatan frenulum labii yang menyebabkan
diastema sentral.
Cara Memeriksa:
Blanch test à menarik bibir atas ke arah depan dan atas, lalu amati perlekatan apakah
terlihat pucat dan mendekati daerah papila interdental.
Pelekatan frenulum normal : blanch test (-) à tidak ada area yang memucat di sekitar
frenulum labii dan tidak ada pelekatan yang mendekati daerah papilla interdental
Pelekatan frenulum rendah : blanch test (+) à area di sekitar frenulum labii memucat

Gambar 16 Pelekatan frenulum rendah pada gigi sulung (Rakosi et al., 1993)

Gambar 17 Pelekatan frenulum rendah pada gigi permanen (Rakosi et al., 1993)

Pelekatam frenulum labii yang rendah dapat mengakibatkan diastema sental. Namun,
tidak semua kasus ini diindikasikan frenektomi. Jika ditemukan pada gigi sulung,
frenektomi tidak diindiksikan karena diharapkan akan terjadi koreksi spontan setelah
gigi permanen tumbuh. Frenektomi diindikasikan pada kasus diastema sentral karena
pelekatan frenulum rendah pada periode gigi permanen.

11
Referensi:
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine:
Orthodontic Diagnosis. New York. Thieme. p. 117.

2. Lidah
Cara Memeriksa:
1) Pasien diinstruksikan untuk membuka mulut.
2) Secara visual, amati warna, bentuk, ukuran lidah, serta pelekatan frenulum lingualis.
Pada pasien dengan lidah besar, ketika membuka mulut sebagian permukaan oklusal
tertutup oleh lidah. Selain itu dapat pula ditemukan teraan gigitan pada bagian lateral
lidah dan diastema pada gigi-gigi rahang bawah. Pasien dengan lidah yang besar
sebaiknya tidak dilakukan perawatan yang mengurangi Panjang lengkung gigi, missal
ekstraksi.
Pelekatan frenulum lingualis yang abnormal dapat meningkatkan risiko thongue thrust
sehingga risiko terjadinya open bite anterior meningkat.

Gambar 18 Lidah besar (Rakosi et al., 1993)

Gambar 19 Pelekatan frenulum lingualis yang abnormal (Rakosi et al., 1993)

12
Referensi:
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. p. 116.

3. Tonsil
Cara Memeriksa:
1) Pasien diinstruksikan untuk membuka mulut, operator menahan lidah pasien dengan
menggunakan kaca mulut.
2) Pasien diinstruksikan untuk mengucapkan “Aaaa..”
3) Amati ukuran tonsil pasien

Klasifikasi:
1) T0 : post tonsilektomi
2) T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai 1⁄4 jarak pilar anterior – uvula
3) T2 : batas medial tonsil melewati 1⁄4 jarak pilar anterior uvula sampai 1⁄2 jarak
anterior – uvula
4) T3 : batas medial tonsil melewati 1⁄2 jarak pilar anterior – uvula sampai 3⁄4 jarak pilar
anterior – uvula
5) T4 : batas medial tonsil melewati 3⁄4 jarak anterior – uvula sampai uvula atau lebih

Gambar 20 Klasifikasi tonsil


(https://www.slideshare.net/ArderTsai/pediatricsoral-cavity-examination)

Pasien dengan tonsil besar kemungkinan memiliki gangguan respirasi nasal sehingga
cenderung bernafas melalui mulut. Bernafas melalui mulut merupakan salah satu kebiasaan
13
buruk yang dapat mengakibatkan penyempitan lengkung rahang, palatum dalam dan
sempit. Gambaran khas pasien yang bernafas melalui mulut, yaitu adenoid facies.

Referensi
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/32582/Chapter%20II.pdf?sequenc
e=4&isAllowed=y

4. Garis Median
Cara Memeriksa:
1) Pasien dalam keadaan oklusi sentrik
2) Membandingkan garis median ekstraoral (Nasion-Subnasal) dengan garis pertemuan
insisif sentral rahang atas dan rahang bawah.
Pada keadaan normal, garis median ekstraoral akan berhimpit dengan garis pertemuan
insisif sentral rahang atas dan rahang bawah.

Gambar 21 Garis pertemuan insisif sentral rahang atas sesuai dengan garis median
ekstra oral, garis pertemuan insisif sentral rahang bawah bergeser kanan
0.5 mm terhadap garis median ekstra oral

- Pergeseran garis median dapat bersifat dental atau skeletal


- Pergeseran garis median dapat diakibatkan oleh maloklusi, jumlah gigi yang tidak
seimbang.
- Hasil perawatan ortodonti diharapkan garis median menjadi sesuai.

5. Overbite
Overbite adalah jarak vertikal perbandingan antara jarak insisial insisif rahang bawah ke
proyeksi insisif rahang atas pada permukaan labial insisif rahang bawah dengan tinggi
insisioservikal insisif rahang bawah

14
Cara Memeriksa:
1) Pasien/model studi dalam keadaan oklusi sentrik.
2) Tandai posisi insisal rahang atas pada permukaan labial insisif rahang bawah.
3) Pasien/model studi diinstrusikan untuk membuka mulut.
4) Dengan menggunakan penggaris/jangka sorong. Ukur jarak vertikal antara insisal
rahang bawah dengan proyeksi insisal rahang atas.
5) Dengan menggunakan penggaris/jangka sorong. Ukur jarak vertikal antara insisal ke
servikal insisif rahang bawah.
6) Tuliskan nilai over bitenya berdasarkan rumus:
jarak vertikal antara insisal rahang bawah dengan proyeksi insisal rahang atas
𝑂𝑣𝑒𝑟𝑏𝑖𝑡𝑒 = 𝑥 100%
jarak vertikal antara insisal ke servikal insisif rahang bawah

Klasifikasi:
1) Normal: Laki-laki 45%+20%; Perempuan 36%+13%
2) Deep bite: >50%
3) Edge to edge: 0

Gambar 22 Overbite (Rakosi et al., 1993)

- Perawatan ortodonti dapat mengubah hubungan oklusi, termasuk overbite. Overbite


setelah perawatan ortodonti dapat diprediksi melalui analisis Bolton.
- Deepbite biasanya ditemukan pada pasien maloklusi kelas II divisi 2.
- Edge to edge biasanya ditemukan pada pasien maloklusi kelas III.

Referensi:
1. Bishara, S.E. 2001. Textbook of Orthodontics. W.B. Saunders company. Philadelphia. p.
110.

15
2. Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. p. 223.

6. Overjet
Overjet adalah jarak horizontal antara permukaan labial insisif rahang bawah dengan insisal
insisif rahang atas.
Cara Memeriksa:
1) Pasien/model studi dalam keadaan oklusi sentrik.
2) Dengan menggunakan penggaris/jangka sorong. Ukur jarak horizontal antara
permukaan labial rahang bawah dengan permukaan labial rahang atas.
3) Tuliskan nilai overjet. Apabila cross bite, nilai overjet-nya negatif.

Gambar 23 Overjet (Rakosi et al., 1993)

Klasifikasi:
1) Normal: Laki-laki 2,2 mm + 0,8 mm; Perempuan 2,5 mm + 1,1 mm
2) Overjet besar: ³ 4 mm
3) Cross bite: overjet negatif
4) Edge to edge: 0

- Overjet besar biasanya ditemukan pada kasus maloklusi kelas 2 divisi 1.


- Overjet besar à profil pasien sangat cembung
- Perawatan ortodonti dapat mengubah overjet pasien. Overjet setelah perawatan
ortodonti dapat diprediksi dengan analisis Bolton.

16
Referensi:
1. Bishara, S.E. 2001. Textbook of Orthodontics. W.B. Saunders company. Philadelphia. p.
109.
2. Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. p. 232.

7. Crossbite
Cara Memeriksa:
1) Posisikan pasien/model studi pada keadaan oklusi sentrik.
2) Periksa pada bidang sagital untuk mencari cross bite anterior.
3) Periksa pada bidang transversal untuk mencari cross bite posterior.
4) Tuliskan hasil pemeriksaan

Gambar 24 Cross bite anterior (kiri). Cross bite posterior bilateral (kanan).
(Rakosi et al., 1993)

Gambar 25 Oklusi normal dan tidak normal dalam bidang transversal (Rakosi etal., 1993)

17
Gambar 26 Buccal nonocclusion (Rakosi et al., 1993)

Cross bite dapat diakibatkan oleh posisi gigi yang abnormal atau ketidaksesuaian ukuran
rahang atas dengan rahang bawah. Perawatan ortodonti sebaiknya mengoreksi crossbite.

Referensi:
1. Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine:
Orthodontic Diagnosis. New York. Thieme. p. 46, 49.

8. Curve of Spee
Curve of Spee adalah kurva yang dibentuk dari cusp bukal molar paling distal ke insisal
insisif paling anterior.
Cara Memeriksa:
1) Posisikan pasien/model studi pada keadaan mulut terbuka.
2) Pilih salah satu alat yang akan digunakan: tangkai instrumen sonde/kaca mulut;
penggaris besi
3) Letakan instrumen tersebut dari cusp bukal molar paling posterior ke insisal insisif
paling anterior
4) Ukur jarak dari dasar cekungan terdalam (di puncak cusp P2) ke instrumen tersebut.

Gambar 27 Pengukuran curve of Spee (Rakosi et al., 1993)


18
Klasifikasi:
1) Normal: £ 1,5 mm
2) Dalam: > 1,5 mm

Gambar 28 Klasifikasi curve of Spee. a. Excessive curve of spee;


b. Normal curve of spee (menurut Andrew tidak lebih dari 1,5 mm); c. reverse curve of spee
(Rakosi et al., 1993)

Curve of Spee yang abnormal mengindikasikankeadaan maloklusi yang berat, bahkan


melibatkan skeletal, sehingga perawatan yang dibutuhkan lebih kompleks.

Referensi:
1. Bishara, S.E. 2001. Textbook of Orthodontics. W.B. Saunders company. Philadelphia.
pp. 143, 278, 279.
2. Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine:
Orthodontic Diagnosis. New York. Thieme. p. 227.
19
9. Penutupan Mandibula
Cara Memeriksa:
1) Pasien duduk tegak, melihat ke depan. Operator dari arah depan pasien.
2) Pasien diintruksikan untuk membuka mulut lebar-lebar, kemudian menutup mulut
dengan perlahan.
3) Perhatikan gerakan mandibula pasien.

Klasifikasi:
1) Normal: mandibula membuka danmenutup dalam 1 garis lurus. Tidak ada deviasi atau defleksi.
2) Deviasi mandibula: penyimpangan pergerakan mandibula saat pembukaan rahang,
ditandai dengan pergeseran midline arah gerak mandibula pada saat pembukaan awal.
Namun pada akhir bukaan mulut, gerak mandibula kembali ke arah midline. Deviasi
mandibula dapat dilihat dengan adanya ketidakharmonisan garis tengah saat membuka
dan menutup mulut. Gejala ini dapat disebabkan oleh maloklusi, trauma, mengunyah
satu sisi, dan kebiasaan parafungsional.
3) Defleksi ditandai dengan pergeseran midline gerak mandibula dari awal sampai dengan
akhir bukaan mulut. s

Referensi:
1. Achmad, H.; Handayani, H.; dan Singgih, M. F. 2013. Beberapa gejala disfungsi sendi
temporomandibula pada anak: Penelitian pada murid SDN 2 Sengkang-Wajo Provinsi
Sulawesi Selatan pada tahun 2011-2012. Dentofasial. 12(1). Pp. 11-15.
2. Okeson, J.P. Management of Temporomandibular Disorder and Occlusion. 6th Ed. 2008.
Saint Louis: Mosby. p. 3-6, 30-3, 302-7.

20
ANALISIS MODEL STUDI

1. Arch Length Discrepancy (ALD)


Analisis Arch Length Discrepancy membandingkan panjang lengkung gigi dengan
lengkung rahang sehingga diketahui indikasi perawatannya.
Cara melakukan:
1) Mengukur panjang lengkung gigi, yaitu mengukur mesiodistal terbesar gigi dari gigi
16 sampai 26 untuk rahang atas dan 36 sampai 46 untuk rahang bawah. Jumlah total
lebar mesiodistal menunjukkan ruangan yang dibutuhkan untuk susunan gigi dalam
lengkung yang ideal.

Gambar 29 Pengukuran mesiodistal gigi dilakukan pada bagian kontur terbesar (aproksimal)
dengan menggunakan jangka yang kedua ujungnya jarum (Rakosi et al., 1993)
2) Mengukur panjang lengkung rahang. Ada dua cara:
(1) Menurut Nance: pengukuran panjang lengkung rahang menggunakan brass wire
atau kawat kuningan melewati setiap gigi, pada regio gigi posterior melalui
permukaan oklusal dan pada gigi anterior melalui tepi insisal. Jarak diukur dari
bagian titik kontak mesial gigi molar pertama kanan sampai molar pertama kiri.

Gambar 30 Pengukuran panjang lengkung rahang menurut Nance (Rakosi et al, 1993)

21
(2) Pengukuran panjang lengkung rahang dengan menggunakan teknik segmental
yang diperkenalkan oleh Lundstrom, yaitu pengukuran dibagi menjadi menjadi
enam segmen, kemudian dijumlahkan.

Gambar 31 Pengukuran Panjang lengkung rahang dengan teknik segmental (Lundstrom)


(Rakosi et al., 1993)

3) Setelah mendapatkan ukuran panjang lengkung gigi dan panjang lengkung rahang,
penilaian dilakukan dengan cara membandingkan ukuran panjang lengkung gigi
dengan panjang lengkung rahang. Jika hasilnya negatif berarti kekurangan ruangan,
Jika hasilnya positif berarti kelebihan ruangan.

Referensi:
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. pp. 208, 222-223.

2. Analisis Bolton/Tooth Size Discrepancy (TSD)


Analisis Bolton atau Tooth Size Discrepancy merupakan analisis yang dipakai untuk
menentukan rasio lebar mesiodistal gigi-gigi maksila dengan mandibula. Terdapat dua
rasio, yaitu rasio total dan anterior. Pada rasio total diukur dua belas gigi mandibula dan
dua belas gigi maksila. Rasio total yang normal adalah 91,3% . Hubungan overbite dan
overjet serta dan oklusi gigi-gigi posterior yang baik akan tercapai pada rasio total yang
normal. Jika rasio lebih besar dari 91,3% maka gigi-gigi mandibula lebih besar daripada

22
yang seharusnya. Jika rasio total lebih kecil dari 91.3% maka gigi-gigi maksila lebih besar
daripada seharusnya.
Indeks rasio anterior menentukan kesesuaian ukuran mesiodistal keenam gigi-gigi
anterior maksila dan mandibula. Rasio anterior normal adalah 77,2%. Jika rasio anterior
lebih besar daripada 77,2% maka gigi-gigi anterior mandibula lebih besar daripada yang
seharusnya, sebaliknya jika rasio anterior lebih kecil daripada 77,2% maka gigi-gigi
anterior maksila yang terlalu besar daripada yang seharusnya. Rasio anterior juga
digunakan untuk kepentingan relasi kaninus, hubungan overbite dan overjet.
Cara melakukan:
1) Menghitung rasio anterior

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑠𝑖𝑜𝑑𝑖𝑠𝑡𝑎𝑙 6 𝑔𝑖𝑔𝑖 𝑎𝑛𝑡𝑒𝑟𝑖𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑛𝑑𝑖𝑏𝑢𝑙𝑎


𝑥 100 = ⋯
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑠𝑖𝑜𝑑𝑖𝑠𝑡𝑎𝑙 6 𝑔𝑖𝑔𝑖 𝑎𝑛𝑡𝑒𝑟𝑖𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑙𝑎

Gambar 32 Rasio anterior pada analisis Bolton (Rakosi et al., 1993)

2) Menghitung rasio total

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑠𝑖𝑜𝑑𝑖𝑠𝑡𝑎𝑙 12 𝑔𝑖𝑔𝑖 𝑚𝑎𝑛𝑑𝑖𝑏𝑢𝑙𝑎


𝑥 100 = ⋯
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑠𝑖𝑜𝑑𝑖𝑠𝑡𝑎𝑙 12 𝑔𝑖𝑔𝑖 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑙𝑎

23
Gambar 33 Rasio total pada analisis Bolton (Rakosi et al., 1993)

3) Melihat tabel Bolton untuk mengetahui ukuran gigi yang seharusnya, kemudian
dihitung berapa selisih kesalahannya.

Gambar 34 Tabel Bolton (Rakosi et al., 1993)

24
Referensi:
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. pp. 228, 230.

3. Analisis Howes
Analisis Howes bertujuan untuk mencari perbandingan antara basis apikal dengan
panjang lengkung gigi. Susunan gigi berjejal tidak hanya disebabkan ukuran gigi yang
terlalu besar tetapi juga dapat disebabkan lengkung basal tulang yang terlalu kecil.
Ukuran yang digunakan sebagai patokan pada Analisis Howes adalah:
1) Panjang lengkung gigi yaitu jumlah ukuran mesiodistal gigi 16 sampai dengan gigi 26.
Cara pengukuran mesiodistal gigi sama dengan cara pengukuran gigi pada teknik
pengukuran gigi pada ALD.
2) Lebar lengkung rahang / lebar basis apikal yaitu jarak antara titik terdalam fossa kanina,
diukur dari titik pada ujung apeks gigi premolar pertama rahang atas kiri dan kanan
dengan menggunakan jangka berujung runcing atau jangka sorong
3) Indeks Howes didapat dengan membagi lebar basis apikal dengan panjang lengkung
gigi dikali 100. Apabila dari analisis Howes didapatkan hasil 44%, maka menunjukkan
bahwa basis apikal cukup lebar untuk semua gigi 16 sampai dengan 26.

Indeks Howes Interpretasi


>44 % Lebar lengkung basal > lebar lengkung gigi antara 14 dan 24,
sehingga ekspansi dapat dilakukan dengan aman
37-44% Meragukan antara pencabutan gigi atau ekspansi lengkung gigi
<37% Lengkung basal yang sempit sehingga perlu pencabutan gigi

4) Selain itu dilakukan pengukuran lebar lengkung gigi dari puncak bonjol premolar
pertama rahang atas kiri dan kanan. Kemudian lebar lengkung gigi dibandingkan
dengan lebar lengkung rahang. Apabila hasilnya panjang lengkung gigi lebih besar dari
pada lengkung rahang berarti lebar lengkung gigi tidak bisa diekspansi. Jika hasilnya
panjang lengkung gigi lebih kecil dari pada lengkung rahang berarti masih dapat
diekspansi.

25
4. Analisis Pont
Analisis Pont merupakan sebuah metode untuk menentukan lebar lengkung ideal
berdasarkan lebar mesio distal keempat gigi insisif rahang atas. Berdasarkan analisis Pont
jumlah diameter mesiodistal gigi insisif rahang atas mempunyai hubungan terhadap lebar
lengkung gigi. Ukuran gigi –gigi insisif sentral dan lateral yang lebar membutuhkan
lengkung yang besar pula untuk membentuk susunan gigi yang normal.
Cara melakukan:
1) Mengukur lebar mesiodistal 12, 11, 21, 22
2) Pada model studi, ukur jarak interpremolar (distal pit 14-24) dan intermolar (sentral
fossa 16-26)

Gambar 35 Jarak interpremolar dan intermolar pada analisis Pont (Rakosi et al., 1993)

3) Menghitung indeks Pont dengan rumus:


(1) Indeks premolar

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑠𝑖𝑜𝑑𝑖𝑠𝑡𝑎𝑙 12 11 21 22
𝑥 100 = ⋯ 𝑚𝑚
80

(2) Indeks molar

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑠𝑖𝑜𝑑𝑖𝑠𝑡𝑎𝑙 12 11 21 22
𝑥 100 = ⋯ 𝑚𝑚
64

4) Tentukan selisih antara hasil yang didapat

26
- Angka penderita < Angka perhitungan Pont à pasien mengalami penyempitan
lengkung gigi/konstriksi à ekspansi
- Angka penderita > Angka perhitungan Pont à pasien mengalami pelebaran
lengkung gigi/distraksi à ekstraksi jika ALD = -9 mm

Referensi:
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. p. 209.

27
Klasifikasi Maloklusi menurut Angle
1. Kelas I Angle
Puncak bonjol mesiobukal molar 1 tetap rahang atas berada pada buccal groove molar 1
tetap rahang bawah.

Gambar 36 Kelas I Angle (Rakosi et al., 1993)

Lima tipe Maloklusi kelas I Angle (Dewey)


- Tipe 1: Gigi anterior berjejal (crowding) dengan kaninus terletak lebih ke labial
(ektopik)
- Tipe 2: Gigi anterior terutama pada gigi rahang atas terlihat labioversi atau protrusif.
- Tipe 3: Terdapat gigitan bersilang anterior (crossbite anterior) karena inklinasi gigi atas
ke palatal
- Tipe 4: Terdapat gigitan bersilang posterior
- Tipe 5: Gigi posterior mengalami pergeseran ke mesial (mesial drifting)

2. Kelas II Angle
Puncak bonjol mesiobukal molar 1 tetap rahang atas berada lebih ke anterior dari buccal
groove molar 1 tetap rahang bawah. Pada Kelas II Angle penuh puncak bonjol distobukal
molar 1 tetap rahang atas berada pada buccal groove molar 1 tetap rahang bawah.

28
Gambar 37 Kelas II Angle divisi 1 (Rakosi et al., 1993)

Gambar 38 Kelas II Angle divisi 2 (Rakosi et al., 1993)


Kelas II Angle, Subdivisi [sebutkan sisi kelas II]

3. Kelas III Angle


Puncak bonjol mesiobukal molar 1 tetap rahang atas berada lebih ke posterior dari buccal
groove molar 1 tetap rahang bawah. Pada kelas III Angle penuh puncak bonjol bukal
premolar 2 rahang atas berada pada buccal groove molar 1 tetap rahang bawah.

Gambar 39 Kelas III Angle (Rakosi et al., 1993)

- Tipe 1: Gigitan anterior edge to edge. Pada rahang bawah edge to edge ini disebabkan
oleh adanya gigi-gigi yang berjejal dan inklinasi rahang bawah condong ke lingual.
29
- Tipe 2: Hubungan gigi-gigi insisif rahang atas dengan rahang bawah tampak normal.
Hubungan gigi insisif bawah lebih condong ke lingual dibandingkan tipe 1 disertai gigi-
gigi insisif dan kaninus rahang bawah yang berjejal.
- Tipe 3: Tipe ini merupakan gambaran khas mandibula yang besar. Bentuk profil
muka cekung, dagu menonjol ke depan dan gigitan bersilang gigi anterior (cross bite
anterior).

Referensi:
Bishara, S.E. 2001. Textbook of Orthodontics. W.B. Saunders company. Philadelphia. p. 103.
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme. p. 46.

Diagnosis Ortodonti
Diagnosis ortodonti disusun berdasarkan: Ackerman-Proffit
1. Langkah-langkah diagnosis berdasarkan Ackerman-Proffit:
1) Evaluasi proporsi wajah dan estetik, meliputi:
- Asimetri wajah
- Profil wajah: cembung, datar, cekung
- Lip prominence, dihubungkan dengan insisif protrusif
2) Evaluasi kesejajaran dan simetrisasi lengkung gigi (evaluasi dilakukan dari arah
oklusal), meliputi:
- Simetrisasi lengkung gigi
- Crowding atau diastema
- Protrusi insisif
3) Evaluasi hubungan dental dan skeletal dalam bidang transversal, meliputi:
- Crossbite posterior
- Pergeseran midline
4) Evaluasi hubungan dental dan skeletal dalam bidang anteroposterior, meliputi:
- Overjet besar
- Crossbite anterior
- Hubungan molar

30
5) Evaluasi hubungan dental dan skeletal dalam bidang vertikal, meliputi:
- Open bite anterior
- Open bite posterior
- Deep bite

2. Tuliskan diagnosis ortodonti berdasarkan kasus yang ditemukan:


Maloklusi dentoalveolar/dentoskeletal kelas ___ , (wajah asimetris *disebutkan jika ada
asimetri wajah) dengan profil wajah ________, disertai (kelainan pada langkah 2, 3, 4, 5).

Referensi:
Proffit, W., Fields, H. and Sarver, D. 2013. Contemporary Orthodontics 5th Edition.
St. Louis, Mo.: Elsevier/Mosby. pp. 211-214.

31
SEFALOMETRI LATERAL

Bidang S-N

Bidang
Frankfort

Bidang Palatal

Bidang Oklusal

Bidang Mandibula

Gambar 40 Landmark sefalometri lateral yang digunakan pada analisis Steiner


(Sumber: https://cephx.com/Cephalometric-Analysis/)
LANDMARK SEFALOMETRI LATERAL

Glabella (G) Titik terdepan os frontalis


Nasion (N) Titik paling anterior dari sutura frontonasalis
ANS (Anterior Prosesus spinosus maksila yang membentuk projeksi paling anterior dari
Nasal Spine) dasar kavum nasalis
Prostion (Pr) Titik terdepan dari prosesus alveolaris maksila
Infradental (Id) Titik paling anterior dan superior dari tulang lamella yang menutupi
insisif bawah
Titik B Titik terdalam dan paling posterior dari kontur antara infradental (Id) dan
pogonion (Pog)
Pogonion (Pog) Titik paling anterior dari simfisis mandibula
Gnation (Gn) Titik tengah antara menton (Me) dan pogonion (Pog)
Menton (Me) Titik paling inferior dari simfisis mandibula
Gonion (Go) Titik paling anterior dan superior dari tulang lamella yang menutupi
insisif bawah
PNS (Posterior Titik paling posterior dari palatum durum
Nasal Spine)
Sella tursika (S) Titik tengah fossa pituitari dan tulang sphenoidalis/titik tengah sella
tursika
Orbital (Or) Titik paling bawah dari margin orbital
Porion (Po) Titik paling superior dari outline meatus akustikus eksternal

ANALISIS STEINER

Kegunaan:
1. Perhitungan posisi dan inklinasi gigi terhadap rahang
2. Perhitungan posisi rahang terhadap basis kranium

Ukuran yang digunakan:


1. Sudut SNA
2. Sudut SNB
3. Sudut ANB
4. I RA ke NA
5. I RB ke NB
6. Sudut interinsisal
Nilai Normal/ >Rata-rata
No. Sudut <Rata-rata
Rata-rata
1. SNA 82 ± 2o >84o <80 o
Posisi anteroposterior
maksila terhadap Maksila lebih Maksila lebih
basis kranium anterior dari basis posterior dari basis
kranium kranium (maksila
(maksila prognatik) retrognatik)
2. SNB 80 ± 2o >82o <78 o
Posisi
anterioposterior Mandibula lebih Mandibula lebih
mandibula terhadap anterior dari basis posterior dari basis
basis kranium kranium kranium (mandibula
(mandibula retrognatik)
prognatik)
3. ANB (selisih sudut 2 ± 2o >4o <0 o
SNA dan SNB)
Posisi anteroposterior Mandibula relatif Mandibula lebih
maksila dan lebih posterior dari anterior dari maksila
mandibula satu sama maksila
lain (hubungan
antara maksila dan
mandibula dalam Skeletal kelas I Skeletal kelas II Skeletal kelas III
bidang sagital)
4. I ke NA 22o >32o <15 o
Sudut inklinasi aksial
insisif rahang atas Jarak: 4 ± 2 mm Insisif RA protrusi Insisif RA retrusi
terhadap posisi
anteroposterior
maksila
5. I ke NB 25o >32 <15
Sudut inklinasi aksial
insisif rahang bawah Jarak: 4 ± 2 mm Insisif RB protrusi Insisif RB retrusi
terhadap posisi
anteroposterior
mandibula
6. Sudut interinsisal 131o >150o <120o
Sudut inklinasi aksial
insisif atas dan bawah Insisif atas dan Insisif atas dan bawah
bawah retrusi, protrusi
posisi insisif atas
dan bawah lebih
merupakan garis
lurus
Referensi:
Proffit, W., Fields, H. and Sarver, D. 2013. Contemporary Orthodontics 5th Edition.
St. Louis, Mo.: Elsevier/Mosby.
Rakosi, T.; Jonas, I.; and Graber, T. M. 1993. Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic
Diagnosis. New York. Thieme.

Anda mungkin juga menyukai