Anda di halaman 1dari 349

DO NOT REPOST. DO NOT PLAGIARIZE IN ANY WAY.

Bagi readers yang mengunduh PDF ini, silahkan disebarluaskan sendiri tanpa harus melakukan
repost dalam bentuk apa pun ke situs mana pun. Apabila readers menemukan repost FF ini di
internet, mohon wakili aku untuk report. Apabila readers menemukan FF ini diplagiat, mohon wakili
aku untuk report. Sebagai author, aku tidak meminta banyak kecuali untuk tidak melakukan repost
dan memplagiat. Selamat membaca dan terima kasih sudah menyukai “Return of the Dandelion”!
- kkumkkuja (Lizzie)

Title: Return of the Dandelion


Author: kkumkkuja
Language: Indonesian, Rated: M
Genre: Drama/Romance
Published: 09-25-15
Chapters: 19, Words: 128,050, Number of Pages: 349

Chapter 1: Stay Off My Line

Seorang siswa terkapar di lantai, kacamatanya terlempar jauh ke bawah wastafel—suara puing-
puing kaca yang berserakan membawa perasaan takut dan panik dalam dadanya. Ia mencoba untuk
bangkit, merangkak dengan tangan terulur guna mengambil, namun sebuah kaki tiba-tiba
menginjak pergelangan tangannya kasar. Siswa itu mengerang pelan, menggigit bibir demi
menahan suara yang hampir keluar. Sungguh, ia tidak ingin membuat mereka lebih puas.

Kaki tersebut kini lebih menekan injakannya, setengah menggerakkan kaki untuk menindih sadis
jari-jari siswa itu. Ia pun menggeleng lemas, menyicipi keringat dingin yang mengalir deras dari
dahi. "B-biarkan…" bisiknya lemas, suara siswa itu serak, "a-aku a-ambil…" ia kesulitan untuk
bernafas, "kacamataku..."

Pemilik kaki tadi, seorang siswa tampan dengan kulit agak kecokelatan, menoleh ke arah para
siswa di belakang—fokus hanya tertuju pada seorang lelaki paling tinggi dari antara yang lain,
rambut lurus kecokelatan bermodel masa kini dan wajah tidak kalah tampan. Siswa tinggi itu
tengah menikmati tontonan menghibur di hadapannya, masing-masing tangan bersembunyi dalam
saku. "Bagaimana, Chanyeol?" tanya lelaki tampan berkulit eksotis itu, nada meremehkan dengan
mata menatap jijik satu-satunya siswa yang terkapar di bawah mereka. "Kita izinkan anak ini ambil
kacamata mahalnya atau tidak?"

Chanyeol, sebutan siswa paling tinggi itu, melangkah dari posisinya di belakang—langsung
menendang pinggang Yifan hingga ia sedikit tergulung dengan punggung terbaring pada lantai.
"Halo, Yifan!" katanya, suara riang dibuat-buat—tak menghiraukan teman-temannya yang
serontak bersorak-sorai. Yifan merintih kesakitan, memiringkan tubuh guna semakin
membenamkan wajahnya pada lantai kotor toilet laki-laki. "Yifan," ia menendang pinggang Yifan
lagi, kali ini jauh lebih kasar. Yifan tidak melawan. "Kalau kusapa, harusnya kau jawab! Tsk, jahat
sekali!" Ekspresi Chanyeol tetap datar meskipun gelak tawa dalam toilet bertambah nyaring.
Tanpa meninggalkan tatapan dari siswa di bawahnya, ia lantas berkata: "Hey, Jongin."

Sang siswa berkulit eksotis mengangguk, bola mata hitam penuh kepuasan memandang wajah
setengah lebam Yifan. "Ada yang perlu kubantu?"

Chanyeol menyeringai tipis.

"Habisi pecundang ini."

Dua kata sederhana itu cukup bagi Jongin dan sejumlah siswa lain untuk benar-benar menghabisi
Yifan—seorang murid beasiswa dari Cina yang telah menjadi salah satu korban utama mereka
selama beberapa bulan ini. Mereka menarik paksa kerah kemeja seragam Yifan, memaksa lelaki
malang itu untuk berdiri sebelum menyeretnya ke pojok kamar mandi, sengaja membenturkan
kepala Yifan ke dinding sambil tertawa mengejek. Tiga dari mereka menahan masing-masing
lengan Yifan supaya ia tidak dapat bergerak (sekalipun dibiarkan, Yifan juga terlalu lemas untuk
melawan), sedangkan yang lain memukuli sekujur tubuhnya sampai babak belur. Yifan berkali-
kali terhempas tidak berdaya ke dinding ketika salah seorang siswa melayangkan sejumlah
tonjokan keras pada bagian perutnya.

Ia seharusnya bisa melawan. Secara psikis, Yifan jauh lebih tinggi dari para siswa ini (termasuk
Chanyeol—sang ketua—meski hanya beberapa senti). Akan tetapi, ia tergolong sangat lemah
untuk ukuran seorang laki-laki. Yifan tidak tahu cara berkelahi, justru cenderung terfokus pada
pendidikan—rajin mengerjakan tugas serta mencatat berbagai perkataan maupun tulisan yang guru
berikan selama pelajaran. Itu sebabnya siswa malang itu dipandang sebagai mangsa utama bagi
Chanyeol dan kawan-kawan.

Keringat darah mulai bercucuran dari wajah Yifan, dan Chanyeol malah menyeringai kecil. Ia
hendak menyuruh Jongin untuk sedikit lembut pada korban saat pintu toilet tiba-tiba terbuka.
Semua serentak menghentikan aktivitas mereka, otomatis menoleh pada arah pengganggu dengan
sedikit was-was jika itu mungkin adalah beberapa guru, staf, atau bahkan, kepala sekolah. Tensi
dalam toilet tiba-tiba menegang meski belum memasuki satu detik, dan masing-masing dari
mereka baru dapat bernafas lega ketika mengetahui bahwa sang pengusik hanyalah seorang siswa
berwajah bocah biasa—paras cantik dan feminin disertai kulit putih pucat.

"Hey, Minseok! Bisakah kau berjalan lebih cepat? Nanti kita bisa tertinggal—"
Siswa tersebut membeku saat ia mendongakkan kepala dan dihadapkan pada situasi yang tengah
terjadi dalam toilet—kedua mata melebar dan mulut menganga. Ia bolak-balik mengedipkan mata
mengamati wajah Yifan yang babak belur sebelum perlahan mengalihkan pandangan ke arah
Chanyeol—tak mengetahui bahwa lelaki itu telah terlebih dahulu menatapnya datar. Tepat pada
detik dua pasang mata kembar mereka bertemu, ekspresi tercengang yang sempat
menguasai hazel siswa itu langsung berubah menjadi dingin.

"Baekhyun! Tunggu aku!" seru Minseok, suara lengking yang menggema dari luar. Baekhyun
tidak menghiraukan. "Serius sekali—" lidahnya seperti terikat saat menyadari keadaan di sana, dan
ia otomatis membuka mulut, keceplosan mengambil nafas terkejut yang terdengar jelas bagi
telinga semua orang di sana. Yifan menatap mereka lemah lewat masing-masing mata lebam, dan
Minseok mengeratkan pegangan pada lengan Baekhyun. "M-maaf," ia langsung menunduk, bulu
kuduk berdiri oleh tatapan datar yang dilemparkan sang ketua padanya—atau secara teknis, pada
Baekhyun. "K-kami akan keluar. Silahkan selesaikan urusan kalian."

"Jangan sungkan," ujar Chanyeol singkat, menghalangi anak buahnya dari menyerukan berbagai
kata kotor untuk mengusir mereka. "Lagi pula, kami juga akan keluar dari sini," ia melangkah
maju guna menghampiri mereka, masih menyisakan jarak di antara ketiganya. "Kim… Minseok?"
Chanyeol menoleh ke direksi Baekhyun, mengabaikan bagaimana siswa itu cepat-cepat
membuang muka seolah tidak sudi memandangnya. "Temanmu terlihat ketakutan. Aku tidak tega
melihatnya."

Chanyeol menolehkan kepala pada Jongin dan beberapa siswa lain. "Bawa Yifan ke ruang ganti.
Kita habisi pecundang ini di sana."

Jongin menaikkan alis.

"Dan kalian," Chanyeol menatap tajam dua siswa berparas feminin di depannya. Tangan Minseok
bergetar hebat. "Jangan melapor pada guru jika kalian tidak ingin diperkosa ramai-ramai."

Chanyeol dan pengikut-pengikutnya lantas berjalan melewati mereka, tanpa lupa membawa Yifan
di belakang. Baekhyun dan Minseok lantas menyingkir, tidak mampu melakukan apa-apa kecuali
menatap figur tinggi dan lemah Yifan diseret bagai sampah tak berguna oleh mereka. Minseok
diam-diam mengintip ke luar lewat jendela mungil pada pintu kamar mandi—ingin memastikan
bahwa Chanyeol dan kawan-kawan sudah benar-benar menghilang dari pandangan—sebelum
menghela nafas lega. Baekhyun menggeleng-gelengkan kepala, menyalakan keran kemudian
membasuh masing-masing tangan di sana—wajah sama pucat pasinya dengan Minseok.
Pemandangan berdarah barusan memang cukup mengerikan untuk disaksikan secara langsung.

"Kita hampir mati," kata Minseok, suaranya gemetaran hebat, "Aku ulangi, Baekhyun. Kita hampir
mati."

Baekhyun mengangkat bahu santai. "Ia tidak akan benar-benar membunuh kita, percayalah."

"Apa?"
"Lupakan," Baekhyun cepat-cepat mengganti topik, "Ayo kembali ke kelas."

Title: Return of the Dandelion

Author: kkumkkuja

Pairing: Chanyeol/Baekhyun

Genre: Family, Drama, Romance, Comedy, Friendship

Rating: M

Length: Chaptered

Warnings: yaoi (boys' love), incest, kekerasan dan bully parah, bahasa kasar, konten dewasa, klise
ala drama Korea yang sangat disengaja

Disclaimer: Apa pun yang tertulis di sini merupakan fiksi belaka, tidak nyata, dan murni berasal
dari imajinasi penulis. Apabila terdapat kesamaan dengan kejadian nyata, maka itu murni
ketidaksengajaan dan penulis tidak akan bertanggung jawab atas hal tersebut. Penulis tidak
bermaksud untuk mencemarkan karakter asli anggota EXO dan idola lain dalam fanfiksi ini—
hanya mencantumkan nama mereka baik sebagai tokoh utama maupun pendamping. Harap untuk
tidak mengambil serius fanfiksi ini. Mohon diingat bahwa ini adalah fiksi, dan segala apa pun yang
tertulis hanya bertujuan sebagai hiburan semata.

Summary: Mengerjakan ratusan soal matematika rumit, setumpuk pekerjaan rumah, serta
berbagai PPT untuk dipresentasikan—Baekhyun sudah terbiasa dengan itu semua. Tetapi seorang
adik yang sangat membangkang, sulit diatur, tidak sopan, dan… apa? Pemimpin preman sekolah?
Maaf, Baekhyun angkat tangan.

CHAPTER 1

STAY OFF MY LINE

Kehidupan damai dan tentram yang semua orang pikir terjadi di Caspian High School, SMA
swasta terbaik sekaligus termahal di Seoul, bisa dikatakan hanya fiktif belaka.

Atau setidaknya, itulah kesimpulan Byun Baekhyun—murid pindahan kelas dua belas dari
Daejeon—yang baru empat bulan lamanya mencicipi dunia SMA Caspian.
Memang, boleh diakui bahwa gedung SMA ini tidak menyerupai sebuah gedung sekolah pada
umumnya—malah cenderung menyamai mall penyedia barang mewah. Murid-murid mereka juga
bisa dibilang sangat berprestasi. Son Seungwan, tahun ketiga, misalnya. Terhitung lebih dari empat
kali wajah siswa perempuan itu terpampang di media massa, berbagai olimpiade matematika
tingkat nasional maupun internasional ditaklukkan begitu mudah oleh otak jeniusnya. Ini belum
termasuk tim basket dan sepak bola SMA Caspian yang bolak-balik menjuarai pertandingan-
pertandingan lokal, membuat nama sekolah mereka semakin melambung di depan masyarakat
luas.

Tapi...

Tak ada yang tahu bahwa banyak hal yang sehari-hari terjadi di dalam merupakan mimpi buruk
bagi para pelajar. Mulai dari bully, kekerasan, sampai preman sekolah—segala macam unsur klise
yang kau lihat di drama-drama dapat ditemukan di sini. Tidak kurang, tidak lebih. Caspian High
School ekuivalen dengan neraka.

Baekhyun termasuk sangat beruntung (terlalu beruntung, bahkan) untuk menjadi salah satu dari
enam puluh persen murid yang bebas bully. Ini karena tiga puluh persen lainnya harus bermental
sangat kuat untuk menghadapi keroyokan dan tingkah jahil maupun perbudakan yang bisa terjadi
kapan saja.

Lalu di kategori apakah sisa populasi murid sepuluh persen yang lain?

Ya, mereka adalah pengikut-pengikut setia dari siswa menyeramkan yang Baekhyun temui tadi di
toilet.

Park Chanyeol.

Keparat itu adalah sumber dari segala sumber kekacauan yang terselubung dalam SMA Caspian.
Ia sendiri adalah ketua dari gang tanpa nama yang ia miliki. Aktivitas yang ia lakukan di sekolah:
mem-bully siswa tidak bersalah, memaki mereka, memperbudak mereka setiap harinya, terkadang
juga menyiksa dan mengeroyok mereka. Pada dasarnya, hal yang Park Chanyeol suka lakukan
adalah menghancurkan hidup orang lain.

Meskipun ia sangat membangkang, Chanyeol anehnya lumayan berprestasi di sekolah. Ia jarang


mengulang ujian, nilainya memang tidak pernah tertinggi tetapi selalu di atas delapan puluh. Ia
aktif di ekstrakulikuler basket dan malah menjadi ketua tim selama dua tahun berturut-turut. Harus
Baekhyun akui bahwa hanya Chanyeol yang menaikkan derajat The Caspians (julukan tim basket
mereka); jika bukan karena kerja keras keparat itu, The Caspians belum tentu dapat menduduki
posisi mereka sekarang. Tidak berhenti di situ saja, si keparat juga cukup beruntung untuk
memiliki wajah tergolong tampan, dan aura "jantan" (baca: gelap, menurut Baekhyun) yang
menguar dari tubuhnya sukses memikat banyak siswa dari berbagai sekolah. Baekhyun tidak
terkejut pada fakta bahwa mereka rela mengenyampingkan harga diri untuk berkali-kali
mengemis follow back di Instagram maupun Twitter sang kapten basket.
Sayang sekali, tidak banyak yang tahu seperti apa watak asli Prince Charming Chanyeol. Dalam
satu detik pesona si keparat memang membuatmu meleleh, namun sedetik kemudian kau akan
menangis ketakutan oleh cengkeraman tangannya di lehermu.

Tidak ada seorang pun yang berani menyukai Chanyeol di sekolah. Dua puluh persen dari
korban bully-nya adalah para murid tolol yang mengungkapkan perasaan mereka pada Chanyeol—
atau memberinya cokelat murahan saat Valentine's Day. Chanyeol tidak hanya menolak mereka
mentah-mentah; ia juga akan menambahkan nama mereka dalam daftar korban bully selanjutnya.
Itulah mengapa tidak ada yang mau menyukai Chanyeol. Selain karena takut oleh konsekuensi
seram tersebut, mereka juga masih sangat waras untuk menyukai seseorang yang bukan keparat
itu.

Oh, berbicara tentang Chanyeol, keparat itu tengah berjalan untuk menghampirinya—satu tangan
di saku, sementara yang lain memegang segenggam kunci. Baekhyun mengernyitkan alis. Ekspresi
Chanyeol tidak berubah, selalu datar dan bosan—selamanya akan seperti itu. Rambutnya tambah
berantakan, dan kausnya basah oleh keringat. Seingat Baekhyun, sekitar jam beginilah Chanyeol
akan sibuk-sibuknya berlatih basket.

Lalu atas alasan apakah ia mengirimi Baekhyun sebuah pesan teks untuk segera menemuinya di
atap sekolah?

"Ini," Chanyeol menyerahkan kunci-kunci tersebut pada Baekhyun, yang ragu-ragu menerimanya.
"Aku akan pulang larut malam nanti, dan ini adalah kunci ekstra yang bisa kau gunakan untuk
mengunci pintu belakang. Cepatlah pulang supaya Ayah tidak panik. Kau tahu ia sedang pergi ke
Jepang, bukan? Ayah akan sering menelepon. Tugasmu adalah—"

"—mengangkat teleponnya untuk mengatakan bahwa kau juga berada di rumah," Baekhyun
melanjutkan, intonasi tidak kalah datar dan bosan. Ia sudah sangat terbiasa dengan ini, meskipun
ayah jarang sekali menelepon mereka pada malam hari.

"…ya," jawab Chanyeol agak terlambat. Tanpa basa-basi atau pun mengucapkan salam, ia
memutar tubuh ke belakang lalu pergi. Baekhyun dapat mendengar bunyi lantang kedua kaki
panjangnya menuruni tangga cukup terburu-buru.

Dahi Baekhyun mengerut saat ia memperhatikan segenggam kunci tadi.

Siapa sangka Park Chanyeol sepuluh tahun lalu nyaris 180° berbeda dengan sekarang?

Ya, benar. Byun Baekhyun adalah kakak kandung dari Park Chanyeol. Lantas, kenapa mereka
memiliki nama marga yang berbeda? Ceritanya cukup panjang, dan mari kita mulai dari sangat
awal. Di mana hanya ada tawa dan kebahagiaan di keluarga mereka, bukan tangis dan kesedihan.

.
.

Sewaktu muda, orang tua mereka—Park dan Byun—bertemu di sebuah universitas ternama di
Korea. Mereka berpacaran selama beberapa tahun sebelum membawa hubungan mereka lebih
serius ke jenjang pernikahan. Setelah dua tahun menikah, ibu Park akhirnya mengandung seorang
bayi laki-laki manis bernama Baekhyun—Park Baekhyun. Berselang satu tahun kemudian,
lahirlah juga adik dari Baekhyun yakni Chanyeol—Park Chanyeol.

Baekhyun sangat menyayangi Chanyeol. Sedari kecil, ia adalah satu-satunya orang yang paling
sering mengurus Chanyeol, seperti membenahi sabuk sang adik kala ia memasuki TK maupun
menyiapkan roti kala Chanyeol menginjak tahap pertama Sekolah Dasar. Baekhyun mengambil
serius tanggung jawab sebagai kakak dari usia belia. Kedua orang tua mereka sangat bangga
menyaksikan perhatian besar Baekhyun terhadap putra bungsu mereka.

Waktu berlalu, dikarenakan oleh ayah yang semakin gila kerja, keluarga mereka hampir tidak
pernah berkumpul bersama—nyaris sebulan sekali, itu pun hanya sekadar makan pagi biasa.
Mereka hampir jarang berinteraksi; ibu sering pulang malam karena terbebani tugas kantor, dan
ayah sering menghilang selama berminggu-minggu. Ayah juga berubah menjadi seseorang yang
gila harta, semaunya sendiri, dan tidak memedulikan keluarga—terkecuali Chanyeol, putra
kesayangannya. Ibu, yang selama bertahun-tahun mencoba untuk bersabar menghadapi tingkah
laku sang suami, akhirnya memutuskan untuk bercerai.

Di sinilah malapetaka keluarga mereka terjadi.

Baekhyun ingat seberapa sering ibunya pergi ke pengadilan untuk mengurus hak asuh atas kedua
putranya. Ibu ingin mengurus Baekhyun dan Chanyeol sekaligus, tetapi ayah menginginkan
Chanyeol seorang dan merelakan (lebih tepatnya, tidak memedulikan) Baekhyun di sisi ibu.
Sayangnya, takdir harus berkata lain. Setelah beberapa sidang dilaksanakan, ayah memenangkan
gugatan dan memperoleh hak asuh penuh atas Chanyeol. Baekhyun kadang malas mengingat
betapa kecewa dan sakit hatinya ia untuk melihat ekspresi bahagia ayah kala memeluk Chanyeol—
tak memedulikan Baekhyun yang mengamati mereka dari jauh sambil menangis.

Hari itu adalah hari terakhir Baekhyun bertemu Chanyeol. Ia masih berumur delapan tahun, tapi
keluarganya sudah berantakan. Tanpa mengutarakan salam terakhir atau apa pun, mereka segera
berpisah jalan. Ibu dan Baekhyun mengemasi barang mereka untuk pindah ke sebuah apartemen
cukup luas di Daejeon—meski secara finansial, ibu memang tidak sekaya ayah, penghasilan ibu
tetap lebih dari cukup untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari. Kendati melalui proses
hukum yang agak rumit, Baekhyun juga mengubah marganya menjadi marga ibu—menganggap
bahwa Byun Baekhyun terdengar lebih baik daripada Park Baekhyun. Ia pikir ini adalah keputusan
terbaik yang pernah ia ambil seumur hidupnya.

Tahun-tahun berlalu tanpa kabar dari ayah maupun Chanyeol, ibu dan Baekhyun perlahan menitih
kehidupan mereka sendiri di Daejeon—perjuangan keras yang harus dijalani hanya melalui
dukungan satu sama lain. Ibu bekerja di suatu perusahaan surat kabar lokal, sedangkan Baekhyun
selalu masuk dalam deretan siswa berprestasi di sekolah. Hidup terasa lebih baik hari demi hari
sampai suatu malam, ketika jarum jam menunjuk angka sebelas dan lima, Baekhyun tiba-tiba
menerima panggilan dari nomor tidak dikenal. Ia tidak mampu berkata apa-apa saat mendengar
bahwa ibunya telah terlibat kecelakaan beruntun, baru saja meninggal dalam perjalanan ke rumah
sakit empat menit yang lalu.

Baekhyun menangis. Ia menangis sangat histeris hingga ia pingsan ketika dihadapkan oleh mayat
ibunya yang tertidur damai di atas tempat tidur. Pada hari pemakaman, ia duduk di lantai, tatapan
kosong dan wajah merah sembab karena kebanyakan menangis. Ia ikut membungkuk saat para
pendatang membungkuk untuk memberi salam, tidak menjawab apa-apa dan memaksakan sebuah
senyum duka. Telinga Baekhyun buntu terhadap seluruh sapaan dan kata-kata hiburan yang orang-
orang tersebut lontarkan, termenung dalam lamunan kosong akan bagaimana hidupnya dapat
berlanjut tanpa kehadiran ibu di sana.

Selama enam jam lebih, Baekhyun terus membisu dan menolak untuk makan ataupun minum—
mengabaikan suara kecil yang ditimbulkan oleh perut dan tenggorokan yang semakin mengering.

Menjelang tengah malam, ketika Baekhyun telah tertinggal sendiri dalam ruangan, ia masih belum
berhenti menatap kosong pada tembok sampai sebuah suara bass paling rendah yang pernah ia
dengar membuyarkan konsentrasinya.

"Kau bisa kerasukan kalau melamun seperti itu."

Adalah kalimat pertama yang Chanyeol katakan setelah sepuluh tahun tidak bertemu—pada hari
pemakaman ibu pula. Baekhyun sempat tidak mengenalinya; ia hendak mengusir pemuda tampan
dan tinggi tersebut kalau saja ayah tidak masuk dan meminta maaf akan sikap kasar Chanyeol.
Baekhyun sekilas mengangguk sebelum mengalihkan perhatian pada tembok lagi, berharap bahwa
ayah dan Chanyeol akan pulang karena tidak tahan meladeni sikap dingin sang kakak. Lagi pula,
ia pikir tidak ada gunanya memperbaiki relasi dengan seorang anggota keluarga yang dahulu
mereka buang sia-sia.

Perkiraan Baekhyun salah besar.

Singkat cerita, ayah menawarkan Baekhyun untuk tinggal bersama mereka di Seoul. Ia tentu ingin
menolak atas nama harga diri, tetapi ayah terus bersikukuh hingga Baekhyun terpaksa menerima.
Dilihat dari sisi positif, ia tidak perlu kesulitan memikirkan biaya sekolah—toh ayah juga tidak
memaksanya untuk mengganti nama marga seperti semula. Baekhyun pun pindah ke Seoul,
menempati rumah ayah yang jauh, jauh lebih besar dan mewah dari apartemen mereka di Daejeon.

Ayah terlihat masih sibuk dengan pekerjaannya, kerap berpergian ke luar kota maupun negeri—
hampir tidak mempunyai waktu untuk sekadar menyantap makan pagi di rumah. Tetapi, di tengah
jadwal padat yang ia jalani, setidaknya Baekhyun melihat perubahan drastis dari sikap beliau: ia
menjadi lebih perhatian, halus, dan tidak "masa bodoh" total seperti dahulu. Berbeda dengan
Chanyeol. Adik kecilnya bertransformasi menjadi seorang remaja yang nakal dan berantakan.
Meski baru beberapa hari tinggal di rumah ayah, Baekhyun langsung mengetahui bagaimana watak
keparat itu. Ia bersikap seenaknya sendiri, tidak tahu aturan—Chanyeol enggan memanggil
Baekhyun secara formal. Ia sering keluar malam lalu kembali dengan baju penuh bercak darah
atau muka lebam. Di sekolah pun Baekhyun tahu sendiri ia bertingkah seperti apa. Parahnya lagi,
Chanyeol menyuruh Baekhyun untuk berpura-pura tidak mengenalnya.

Ah, baiklah. Mungkin Chanyeol perlu membeli sebuah kaca untuk melakukan refleksi diri.
Memangnya siapa yang sudi diakui sebagai kakak kandung (kandung! Sekali lagi, kandung!) dari
keparat satu itu? Tidak, tidak ada. Setidaknya, tidak untuk Baekhyun. Ia adalah mantan siswa
berprestasi selama di Daejeon; Baekhyun juga berhasil merebut salah satu posisi peringkat atas
sejak dua bulan pertama memasuki SMA Caspian. Tentu saja ia tidak mengharapkan nama baiknya
rusak gara-gara gelar saudara kandung yang terikat di antara mereka.

Sudahlah.

Baekhyun tidak ingin membahas masa lalu; ia sedang tidak dalam suasana hati untuk terpancing
amarah.

Mari kita kembali pada masa sekarang.

Baekhyun tidak tahu kenapa ia terbangun tepat pada pukul dua pagi.

Akan tetapi begitu ia keluar dari kamar dan tidak sengaja terlibat kontak mata dengan seseorang
yang tidak disukai (bukan benci, hanya sangat tidak suka), ia menyadari seberapa besar kekuatan
si makhluk gaib hingga mampu membangunkan siapa pun dari tidur lelap.

Baekhyun tidak tercengang untuk melihat muka keparat itu lebam parah. Pemandangan ini bahkan
bisa dibilang sebagai sesuatu yang sangat biasa, terlebih jika ia telanjur terbiasa memandang
Chanyeol dengan kondisi jauh lebih tragis—pernah satu kali Baekhyun mendapati sebuah sayatan
lebar di tangan kanan lelaki itu, tapi raut wajah sang keparat tetap datar meski darah terlihat
menetes ke mana-mana. Lagi pula, bukankah keadaan seperti ini yang preman-preman sukai?
Apabila mereka mempunyai muka yang sangat lebam, hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk
menaikkan status sosial mereka sebagai seseorang yang manly di tengah para preman. Mungkin
kurang lebih demikian mindset otak gila mereka.

Suasana terasa hening dan mencekat seraya Baekhyun meneguk kasar segelas air putih. Ia
memperhatikan gerak-gerik Chanyeol dari belakang, yang tentu saja tidak memedulikan eksistensi
Baekhyun sebagai orang tertua di rumah ini setelah ayah—malas mengalihkan pandangan datar
dari pemutaran film horor midnight di layar televisi. Baekhyun meletakkan gelas ke atas meja agak
berlebihan, menimbulkan bunyi lantang yang memecah keheningan sepenuhnya. Chanyeol masih
mengabaikan sang kakak.

Wajah membersut, Baekhyun hendak kembali ke kamarnya ketika Chanyeol berbicara.

"Sudah berapa kali aku memberitahumu untuk tidak ke toilet setiap jam dua siang?"

Baekhyun menoleh. Sekarang Chanyeol ikut berdiri, satu tangan menggenggam remote dan yang
satunya mengacak-acak rambut frustrasi.

"Apa?"

"Kau tuli?" intonasi Chanyeol selalu datar, hal itu membuat Baekhyun ingin menampar pipinya
keras supaya semakin lebam. "Aku memberitahumu untuk tidak ke toilet setiap jam dua siang, tapi
kau terus melanggar."

Baekhyun memutar mata. "Jadi?" tanyanya balik, meninggikan suara dalam intonasi yang
menantang, "Apakah itu salahku?"

"Byun," Chanyeol mempunyai kebiasaan sarkasme untuk memanggilnya dengan nama marga di
tengah adu mulut mereka. "Bersikaplah sedikit sopan. Aku bisa menyuruh Jongin untuk
memperkosamu di depan umum kalau aku mau."

Baekhyun membuka mulut kemudian menutupnya lagi, berulang-ulang seperti itu layaknya
seorang bodoh. Sungguh, ia sangat tercengang dan heran sekaligus tidak percaya mendengar apa
yang keparat ini barusan katakan. "Park," Baekhyun ganti menimpali, "Aku adalah kakakmu. Aku
setahun lebih tua darimu. Apakah kau terlalu bodoh untuk tidak mengerti cara menjaga sikap?"

Chanyeol mengangkat bahu. "Aku tidak peduli," ia menghempaskan tubuh ke kursi, fokus
dipusatkan pada televisi sembari melanjutkan: "Kau belajar dan bersikap manis saja di sekolah.
Jangan datang ke toilet setiap jam dua siang. Takutnya aku nanti akan mengingkari perjanjian
kita."

Baekhyun mengepalkan jari-jarinya, berusaha untuk menahan amarah yang mulai meluap-luap di
dada. Tentu saja keparat itu akan menggunakan perjanjian keduanya sebagai ancaman, suatu
perjanjian yang dahulu sang kakak lontarkan supaya Chanyeol tidak seenaknya "menyeret"
Baekhyun dalam aktivitas premannya di sekolah. "Brengsek kau, Park," geram sang kakak
tertahan, "Kau seharusnya senang aku tidak mengadukan perilakumu pada Ayah. Setidaknya aku
adalah seorang siswa berprestasi. Tidak seperti kau yang selalu kelayapan dan meniduri banyak
wanita—"

Ia terpaksa berhenti karena Chanyeol tiba-tiba memutar tubuh untuk berjalan mendekatinya. Meski
jantung Baekhyun berdebar cepat akan kekhawatiran—karena ada kemungkinan besar Chanyeol
akan sungguh-sungguh "menghabisinya", sang kakak tetap berpura-pura santai kala Chanyeol
berlagak membersihkan debu di bahunya. "Jaga bicaramu, hyung," bisik keparat itu, nafas panas
menggelitik daun telinga sang kakak. Baekhyun menelan liur, terlalu takut untuk menepis tangan
sang adik. "Kau sudah terperangkap di kandang singa, tapi masih berani berbuat macam-macam."
Chanyeol menggelengkan kepala seolah tidak percaya. "Kau mau apa, hm?"

Baekhyun memberanikan diri untuk akhirnya mendorong tangan Chanyeol kasar. "Jauhkan tangan
kotormu dariku," katanya dingin, "Dan dari hidupku juga. Kau bisa melakukan apa pun yang kau
mau, dan aku tidak akan mengganggumu. Vice versa."

Chanyeol tidak menjawab, dan Baekhyun berputar membelakanginya kemudian menaiki tangga
sedikit terburu-buru. "Selamat pagi dan cepat sembuh, Park."

Atau mati, terserah.

Baekhyun sengaja membanting pintu sangat keras.

Kenapa ia harus mempunyai adik seperti Park Chanyeol?

Chapter 2: Déjà vu

Baekhyun tidak begitu terkejut melihat kemunculan ayah pada Sabtu pagi—usai beberapa hari
lamanya pergi entah ke mana. Beliau memang begitu, menghilang untuk waktu yang cukup lama
lalu poof! Tiba-tiba saja ia berkeliaran di ruang makan dengan secangkir kopi hitam dan setumpuk
koran harian sebagai sarapan pagi. Hebatnya, ia tidak pernah terlihat lelah bekerja, seakan-akan
jiwanya senantiasa dipenuhi oleh semangat para pejuang dahulu kala. Memang benar kata
orang: once a workaholic, forever a workaholic.

Seperti biasa, Chanyeol telah terlebih dahulu hadir di ruang makan—menduduki kursi seberang
ayah sambil mengunyah roti bakar berselai cokelat, wajah menunjukkan ekspresi kosong khas
seorang keparat menjengkelkan. Ada sebuah case gitar hitam tersandar hati-hati pada kursi makan,
dan sang kakak berjalan menghampiri mereka sembari menatap Chanyeol penasaran. Keparat itu
lagi-lagi mengenakan kaus abu-abu polos dengan simbol unggas mencurigakan di tengahnya.
Setelah berbulan-bulan melakukan observasi secara tidak langsung—atas kebiasaan Chanyeol
untuk mengenakan baju yang sama tiap minggunya, Baekhyun berkesimpulan bahwa kaus tersebut
adalah seragam yang wajib keparat itu pakai pada setiap sesi latihan band.

Ha, tepat sekali, kawan-kawan. Selain pemain basket handal sekaligus tukang bully harian, Park
Chanyeol merupakan seorang gitaris—dan pemain drum—part-time dari band sekolah.

Baekhyun menempati kursi sebelah ayah. "Selamat pagi," sapanya menggunakan suara serak.
Ayah mengangguk ala kadarnya, terlalu fokus untuk mengalihkan perhatian dari artikel politik
terbaru dalam koran harian. Chanyeol mengangkat kepala guna melirik sang kakak, keduanya
sempat terlibat kontak mata datar sebelum sang keparat kembali menatap piring. Baekhyun
mengernyitkan alis ke arah lelaki itu, mengambil poci kuno dari tengah meja lalu menuangkan teh
ke dalam gelas. Si sulung lantas berdeham canggung. "Kapan Ayah pulang?"
Ayah membenahi kacamatanya kemudian melipat lembaran koran—meletakkan mereka rapi pada
pinggir meja makan. "Baru satu jam yang lalu," ujarnya tenang, "Bagaimana sekolah kalian?"

Chanyeol dan Baekhyun saling bersitatap, masing-masing menunggu salah satu untuk menjawab.
"Biasa saja," Baekhyun terpaksa menjawab apa adanya karena Chanyeol sedang bermain bisu,
"Banyak tugas… ulangan… tidak ada yang baru."

Keadaan menjadi hening dan agak canggung sebab respons ayah hanyalah sebuah anggukan kecil.
Baekhyun nyaris akan melahap roti bakar ketika ayah mendadak mengawali percakapan baru,
"Chanyeol, apa kau baru berkelahi? Wajahmu lebam parah begitu."

Lelaki itu memasukkan sepotong kecil roti bakar ke mulut, mengunyahnya santai sembari berkata:
"Ya."

Ayah menggelengkan kepala. "Bukankah Ayah pernah memberitahumu untuk berhenti


berkelahi?" Chanyeol tampak kurang terbebani, justru menggerakkan cangkir pada mulut guna
meneguk isinya. Baekhyun serontak mengernyitkan alis atas reaksi cuek keparat itu. "Kau bisa
terkena banyak masalah."

Chanyeol bahkan tidak menatap ayah saat ia menjawab, "Ayah tidak perlu khawatir," lelaki itu
membasahi bibir. "Aku tidak akan membuat masalah lagi di sekolah."

Ayah menghela nafas pasrah. "Kau ini," ia meminum kopinya sedikit-sedikit lalu melanjutkan,
"Selalu tidak menghiraukan nasihat orang tua dan menganggap diri sendiri paling benar. Contoh
Baekhyun," nama yang disebut langsung menoleh ke direksi ayah, dua mata sipit melebar dengan
gigitan kecil roti bakar menggantung di mulut. "Ia berprestasi di Daejeon maupun di sini."

Chanyeol mengambil tissue untuk menghapus sisa makanan di sekitar mulutnya. "Byun adalah
anak perempuan, wajar jika ia berperilaku begitu," ujarnya kemudian, intonasi tenang yang jelas
terdengar merendahkan. Baekhyun menggenggam garpu lebih erat. "Tidak bisa bela diri,
mengendarai mobil, ataupun sepeda motor. Setiap hari belajar. Apa yang bisa dicontoh? Kecuali
kalau Ayah ingin aku menjadi sama tidak mandirinya dengan Byun."

Ayah seketika membanting garpu pada piring, bentakan nyaring yang hampir membuat Baekhyun
melonjak dari kursi. "Chanyeol," ia setengah menggeram, suara jauh lebih mengerikan saat dilanda
amarah, "Perhatikan kata-katamu."

Chanyeol langsung berdiri, bunyi kursi yang terseret adalah musik yang menambah kecanggungan
di antara mereka bertiga. Tanpa mengucapkan "maaf" ataupun "sampai jumpa" seperti biasanya,
Chanyeol meraih gitar dari atas kursi dan mengalungkannya ke punggung. Ia sekilas membungkuk
pada ayah, mengabaikan keberadaan Baekhyun untuk sebaliknya berjalan menuju pintu keluar.
Suara gas sepeda motor terdengar setelahnya, meninggalkan sang kakak dengan amarah tertahan
sejak sepuluh menit yang lalu.

Kalau saja ayah tidak ada di sini, Baekhyun pasti sudah beradu mulut dengan keparat itu sekarang.
Ayah, untuk kedua kalinya pagi ini, menghela nafas pasrah melihat sang putra kesayangan
bersikap kasar dan tidak tahu diri. "Mungkin ini salahku karena memanjakan Chanyeol," ia
menggumam pada diri sendiri, tapi Baekhyun dapat mendengarnya jelas. Beliau kemudian
menoleh ke arah Baekhyun, memandang sang putra iba. "Kau tidak apa-apa, kan? Jangan ambil
pusing perkataan adikmu."

Baekhyun sebenarnya ingin menjawab, "Oh, tentu saja aku tidak apa-apa. Asal izinkan aku untuk
menusuk mata Chanyeol menggunakan garpu!" Akan tetapi itu sangat berpotensi untuk merusak
citra yang telah ia pertahankan sebagai seorang laki-laki angelic dan manis. Maka, Baekhyun pun
terpaksa untuk memiih opsi kedua, yakni melaksanakan suatu sandiwara dramatis. "Tidak apa-
apa, Baekhyun sudah terbiasa," jawab sang kakak lemas, seketika meringis pelan dalam satu detik
berikutnya—menyadari bahwa kalimat tadi berbunyi cukup miris. Seakan-akan Baekhyun adalah
pemeran utama drama tragis yang selalu tersakiti dan mengalah dalam segala situasi—padahal
tidak, tentu tidak sama sekali. "Maksud Baekhyun, uh," Baekhyun kesusahan untuk mencari kata-
kata yang pas supaya terdengar kuat, "Setiap orang berubah. Chanyeol menjadi agak kasar...
Baekhyun bisa memaklumi, haha. Lagi pula, ia benar perihal Baekhyun yang tidak mandiri dan
sebagainya."

Ayah menggeleng tidak setuju, memegang longgar tangan kiri Baekhyun yang tengah
menggenggam pisau. Ugh, canggung sekali. "Kau mandiri, Baekhyun," hibur ayah; ia seperti
berkata jujur, namun Baekhyun tidak seberapa yakin—karena perkataan Chanyeol… ada
benarnya. "Kau baru pindah ke Seoul dan menolak untuk diberi supir pribadi. Itu mandiri,
Baekhyun."

Ayah melepas genggaman tangannya, masih tersenyum ke direksi Baekhyun seraya mengambil
sebuah sendok kecil guna mengaduk kopi. "Nah, sekarang habiskan makananmu. Apa kau tidak
mau jalan-jalan?"

CHAPTER 2

DÉJÀ VU

"Tidak bisa bela diri, mengendarai mobil, ataupun sepeda motor. Setiap hari belajar. Apa yang
bisa dicontoh?"

Baekhyun mengeraskan volume lagu yang ia tengah putar, wajah semakin kusut mendengar suara
Chanyeol imajiner yang berdering keras di masing-masing telinga. Ia melihat ke luar jendela bus,
ingin mengalihkan pikiran dari segala tutur kata yang keluar dari mulut menjijikkan keparat itu.
Baekhyun mengepalkan tangan erat. Hari ini derajatnya harus turun dua persen karena ia tidak
sempat meluncurkan comeback yang tepat guna menutup mulut kotor makhluk gaib tersebut.

Baekhyun menggembung-gembungkan pipi.


Persetan dengan Chanyeol.

Hari ini ia akan bersenang-senang, berdansa ria hingga ia melupakan kekesalan tadi—bukan dalam
arti clubbing, asal tahu saja.

Dengan ponsel canggih pada genggaman, Baekhyun turun dari bus, berjalan pelan di antara
kerumunan orang di Seodaemun-gu. Google Maps tengah menuntun dirinya menuju sebuah Game
Center yang—menurut suara operator otomatis GPS—cukup memakan waktu lima menit berjalan
kaki. Bagai seorang bocah Sekolah Dasar yang tersesat dan tidak tahu harus ke mana, Baekhyun
melangkah ragu-ragu menyusuri jalanan yang sekilas tampak seperti lautan manusia. Ia sudah
beberapa kali tidak sengaja menabrak orang, salahkan kedua matanya yang terlalu fokus pada layar
ponsel.

Tujuh menit dan dua belas detik kemudian, Baekhyun akhirnya sampai di tujuan. "Enter" adalah
nama Game Center tersebut; tempatnya sangat ramai oleh pengunjung, tetapi mesin permainan di
paling depan—yang paling mengkilap, indah, menarik, dan tentunya, keren—tampak belum
tersentuh sedikit pun. Baekhyun tidak bisa menahan seringai puas yang tercetak di wajahnya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Baekhyun tidak perlu mengantre demi memainkan permainan
tersebut.

Terlalu semangat, Baekhyun cepat-cepat menghampiri kasir dan langsung membeli nilai kredit
cukup tinggi. Ia mengetuk-ketukkan kaki di lantai, kurang sabar menunggu si ibu kasir
mengetikkan namanya sebagai identitas kartu pemain. Baekhyun akan sesekali menoleh ke
belakang untuk memantau mesin permainan sembari menunggu proses pembuatan kartu. Jika ia
tidak berdosa untuk membandingkan dua makhluk berbeda, ibu kasir ini jelas lebih lambat dari
cara kerja seekor siput.

Mungkin keberuntungan bukan lagi di pihak Baekhyun, karena begitu ia kembali untuk mengambil
hak paten atas mesin permainan tersebut, seseorang telah terlebih dahulu menguasainya.

Seseorang yang tinggi dengan rambut kecokelatan terang, tepatnya. Baekhyun perlu akui bahwa
ia memiliki selera fashion yang bagus: kaus putih polos dibalut blazer biru berpasangkan celana
hitam pensil dengan converse berbeda warna—satu hitam-putih dan satu biru-putih. Ada sebuah
gelang rantai di tangan kanannya, dan ia bolak-balik memutar gelang itu sembari memilih lagu.
Baekhyun terus meneliti figurnya yang menarik dari jauh.

Pria itu lantas menginjak tombol tengah.

Ia mengeratkan pegangan pada tiang belakang begitu video klip Big Bang "Fantastic
Baby" muncul di layar, masing-masing kaki bergerak mengikuti banyak panah tanpa melakukan
kesalahan. Semua orang mulai berkumpul mengelilinginya, takjub dengan kemampuan pria itu
dalam menaklukkan mesin permainan terkenal berjuluk Pump It Up tersebut. Baekhyun agak
menganga, memandangi kaki jenjang sang pria yang nyaris melompat ke sana kemari dalam
kecepatan tinggi—dahi bercucuran oleh keringat. Raut mukanya yang dipenuhi konsentrasi
mencuri perhatian Baekhyun.
Well, pada dasarnya, Byun Baekhyun mudah terpesona oleh pria-pria tampan yang fashionable dan
mahir bermain Pump It Up.

Terdengar tepukan tangan otomatis dari mesin, dan Baekhyun melihat ekspresi kepuasan di paras
tampan pria itu atas score A yang ia peroleh.

Omong-omong, kenapa Baekhyun malah berakhir mengobservasi pemain?

Dengan percaya diri kurang maksimal, Baekhyun menghampiri mesin permainan Pump It Up—
mengabaikan tatapan datar pria tampan itu padanya—lalu menggesekkan kartu sekali. Ia
mengambil ruang kosong pada bangku kecil terdekat sambil menatap layar canggung. Baekhyun
mempertahankan ekspresi bosan meski ia tahu bahwa Pria Tampan tengah mengamatinya
hingga—

"Halo?" Pria Tampan tiba-tiba menepuk tangan di depan Baekhyun. Ia pun menengadah,
memasang air muka bosan—sesuatu yang jelas bertolak belakang dengan fakta bahwa jantungnya
nyaris copot. "Kau bisa bermain Pumptris?" Baekhyun menoleh ke belakang, tidak terlalu yakin
bahwa pria itu memang berbicara padanya. Akan tetapi, karena tidak ada orang di sana—hanya
beberapa anak-anak kecil yang tengah berebut bola basket—ia otomatis mengembalikan tatapan
bingung pada Pria Tampan. Laki-laki tinggi itu justru tertawa. "Ya, aku berbicara denganmu."

"Uh," canggung, "ya?"

Hening.

Baekhyun menutupi kecanggungan dengan berdeham kaku. "Maksudku, aku bisa


bermain Pumptris. Kiri atau kanan."

Pria Tampan tersenyum. "Bagus, ayo bermain bersamaku."

Tiba-tiba saja Pria Tampan menginjak tombol tengah, dan video klip Pumptris muncul di layar.
"Kau memainkan bagian yang sebelah kiri, deal?"

Butuh dua detik bagi Baekhyun untuk menyadari bahwa permainan hampir dimulai. Ia segera
melompat ke dance floor kala satu nada beserta sejumlah panah muncul, dan begitu mahirnya
menginjak tombol-tombol yang telah menjadi hafalan sejak lama. Pria Tampan mendapat bagian
selanjutnya, berkemampuan tak kalah mahir dari Baekhyun—mata melekat pada layar dan
masing-masing kaki tampak lihai menekan panah-panah yang harus ia injak. Mereka bergantian
bermain, gagal merasakan bahwa orang-orang mulai berkerumun demi menonton "penampilan"
keduanya. Pria Tampan membuat kesalahan kecil di tengah permainan, mengumpat pelan sembari
mengeratkan pegangan pada tiang. Baekhyun hanya tersenyum.

Score A terpampang di layar beberapa saat kemudian, dan mereka kompak bersorak penuh
kemenangan.
"Kau bisa sampai level berapa?" Pria Tampan bertanya ketika mereka selesai memainkan tiga lagu
bersama. Baekhyun terengah-engah, lidah menjulur keluar layaknya seekor anjing kelelahan. Pria
Tampan tertawa kecil. "Hey, kau tidak apa-apa? Mau kubelikan jus jeruk?"

Baekhyun menggeleng. "Tidak apa-apa," ia berkata, nafas masih berantakan. Jantungnya berdegup
kencang di dada. Itu pun mungkin karena efek kelelahan dan tangan mereka yang kadang
bersentuhan. "Aku bisa beberapa level dangerous. Kau?"

Pria Tampan tersenyum. "Kurang lebih seperti kau," ia mengambil sebotol air mineral dari dalam
tas selempang mini yang ia bawa dan meneguk sebotol penuh. Baekhyun terus mengamati
bagaimana jakun Pria Tampan bergerak ke atas lalu bawah. Wow, bahkan jakun itu terlihat menarik
dalam tenggorokan Pria Tampan.

"Kau bersekolah di SMA Caspian?"

Tersadar dari hamburan pikiran agak melenceng tentang Pria Tampan, Baekhyun mengedip-
kedipkan mata linglung sebelum mengangguk lambat. "Hm," ia kemudian menatap Pria Tampan
bingung. "Kau... tahu dari mana?"

Pria Tampan menggaruk lehernya malu-malu. "Aku, uh, sering melihatmu di kantin…" Baekhyun
menganga. Tunggu, apa ia juga bersekolah di— "Aku kelas 10-2. Kau… kelas sebelas? Karena
aku mengenal semua murid kelas sepuluh, tapi kau bukan salah satunya."

"Oh," Baekhyun heran kenapa ia tidak pernah melihat Pria Tampan sebelumnya. Ia tampan sekali.
"Aku—aku kelas dua belas."

"Wah," Pria Tampan bertepuk tangan tanpa suara. "Kau tidak terlihat seperti siswa kelas dua belas.
Aku bahkan awalnya berpikir kau kelas sepuluh..." haha, Baekhyun sudah terbiasa disangka
menjadi siswa kelas sepuluh atau bahkan SMP. "Namaku Oh Sehun, kau?"

Baekhyun tersenyum manis, menjabat tangan Sehun yang hangat dan sedikit kasar—berbeda
dengan tangannya yang lembut dan dingin. "Byun Baekhyun."

Untuk pertama kalinya dalam delapan belas tahun, Baekhyun tidak pulang dengan tangan kosong
dari Game Center.

Sebaliknya, ia membawa pergi sebuah nama baru, teman KakaoTalk baru, dan mungkin... calon
kekasih baru.

.
Baekhyun baru turun dari bus sekitar pukul delapan malam. Salahkan saja pembawaan hangat
Sehun sehingga Baekhyun tidak mengetahui bahwa mereka asyik bercengkerama selama berjam-
jam; ia bahkan gagal menyadari bahwa waktu telanjur menunjuk pukul setengah delapan jika
Sehun tidak memberitahunya. Ayah bolak-balik mengirimkan pesan teks sejak satu jam yang lalu,
dan Baekhyun menggerutu kesal dalam hati karena ini pasti ulah Park. Siapa lagi yang melapor
kalau bukan keparat itu? Lihat saja, Baekhyun akan membakar Chanyeol hidup-hidup nanti
malam.

Jalan menuju perumahan terlihat agak sepi dari biasanya; sesekali akan ada beberapa sepeda motor
yang muncul, tapi itu hanya satu atau dua kemudian tidak sama sekali. Bersyukurlah bahwa
Baekhyun sudah terbiasa menghadapi suasana serupa. Ia pernah melewati jalanan ini sebelumnya,
bahkan agak lebih malam—sekitar pukul sembilan—dan bisa dibilang keadaan di sini aman tanpa
gangguan. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi Baekhyun untuk merasa khawatir; laki-laki
berparas cantik itu justru mendengarkan musik lewat earphones sambil bersenandung lantang.

Ponselnya bergetar, dan Baekhyun mengerutkan bibir kecewa ketika mengetahui bahwa satu pesan
baru yang masuk bukanlah dari Sehun, melainkan ayah.

Dari: Ayah

Untuk: Baekhyun

Baekhyun, aku baru menelepon rumah. Chanyeol memberitahuku bahwa kau tidak ada di
sana. Pulanglah sekarang! Tidak baik pulang larut malam.

Baekhyun benar-benar akan membakar Park hidup-hidup.

Kesal bukan main, ia segera mengetik balasan bahwa ia akan tiba di rumah dalam sepuluh menit.
Namun, belum sempat Baekhyun menekan tombol "send", seseorang tiba-tiba menarik ponselnya
dari genggaman. Ia otomatis melongo heran pada tangan kosong. "Hey—"

Muka Baekhyun memucat; ia menelan ludah tegang begitu mendapati penampilan awut-awutan
tiga preman seram di depannya. Rambut mereka berantakan seperti tidak pernah disisir atau
bahkan dirawat. Seragam SMA mereka kumel oleh banyak noda kuning tidak jelas. Baekhyun
menatap jijik penampilan mereka selama beberapa detik sebelum berbicara lantang, berharap
bahwa tiga preman itu gagal mendeteksi intonasinya yang ragu-ragu: "Kembalikan ponselku."

Mereka tertawa gemas. Baekhyun mengernyitkan dua alis tidak terkesan. "Berani sekali anak kecil
ini," seorang preman berparas paling jelek di tengah berkata, matanya semakin sipit saat ia tertawa,
"Hati-hati, nanti kami laporkan eomma."

Mereka kembali tertawa pada candaan preman tadi yang sama sekali tidak lucu, dan Baekhyun
memanfaatkan kesempatan ini untuk meraih dua botol mini parfum dari saku. Beginilah
rencananya: ia akan melawan (sesekali beradu mulut dengan seorang preman selain Park Chanyeol
terdengar menantang), kelak saat para preman ini mendekat, ia akan segera menyemprotkan
parfum ke mata mereka sebelum mendorong ketiganya ke jalan, dan tada! Punah sudah nyawa
mereka.

Baekhyun menatap mereka datar. "Kalian tidak usah berlagak seperti penguasa."

Mereka berhenti tertawa untuk balik menatap Baekhyun tercengang.

"Kenapa?" Baekhyun menyilangkan masing-masing lengan di dada. "Kaget?" ia


membaca badge yang terjahit pada lengan kanan seragam mereka sambil menyeringai. Para
preman agak melongo menyaksikan cara Baekhyun memandang mereka remeh. "Masih kelas
sepuluh saja sebut-sebut aku 'anak kecil'. Aku lebih tua dua tahun darimu, bodoh."

Salah satu dari mereka menggeram tidak terima. "Siapa kau? Beraninya bicara tidak tahu aturan
pada kami."

"Kenapa?" Baekhyun bertanya lagi, nada angkuh yang akan membuat siapa pun ikut merasa kesal
atau terkesima—tidak ada bedanya. "Kau jatuh cinta pandangan pertama denganku?" sang ketua
preman mengepalkan tangan. "Maaf, aku tidak menerima cinta makhluk sembarangan."

Preman itu hendak menghempaskan satu pukulan pada wajah Baekhyun, tapi ia cepat-cepat
membungkukkan tubuh ke kanan sehingga pukulan itu meleset. Sang preman menggertakkan gigi
marah, sementara Baekhyun mengambil satu langkah jauh ke belakang, berusaha untuk terlihat
santai meski sesungguhnya merasa terancam. Untung saja berakting berani dan percaya diri adalah
salah satu talenta yang ia kuasai.

Dua asisten dari ketua preman itu menahan lengannya. "Tahan amarahmu," mereka mengingatkan,
beberapa kaleng Sprite di sebelah kiri semakin berserakan karena tertendang kaki mereka. "Ia
cuma anak kecil biasa. Mangsa tidak menarik. Kita bawa ponselnya saja."

Baekhyun mendelik tidak terima. "Hey, keparat!" ia bahkan mengangkat jari tengah pada ketiga
preman itu. "Tidak akan kubiarkan kalian mengambil ponselku! Kembalikan atau…"

Si "bos" menoleh lalu menatap Baekhyun remeh, disusul oleh dua preman lain yang ikut
menyeringai jijik. "Atau apa, bocah?" ia menaikkan alis agak tinggi, dan Baekhyun mengangkat
tangan di sekitar dahi untuk mengekspresikan kelelahan.

"Ew, bisakah kau tidak berlagak keren seperti itu? Menggelikan," ujarnya terang-terangan,
merangsang mata Bos untuk membulat tidak percaya. "Oh ya, akan kubutakan matamu jika kau
berani mengambil ponselku."

Bos membuang liur kesal. "Membutakan mataku?" ia asal-asalan menendang salah satu
kaleng Sprite di tanah, menaikkan kepala guna menatap Baekhyun dari bawah ke atas—ekspresi
sang preman terlihat meremehkan. Ia lagi-lagi meludah. Baekhyun melirik air ludah Bos jijik.
"Apa yang tubuh mungil itu bisa lakukan?"
"Untuk apa kau membuang ludah?" Baekhyun malah mengembalikan pertanyaan yang sama sekali
tidak berhubungan, "Kau tampak menggelikan seperti itu—"

"Banyak bicara," potong Bos, dan kedua pengikutnya lantas menyerubungi Baekhyun,
mencengkeram masing-masing pergelangan tangan sang kakak kelas. Baekhyun bolak-balik
mencoba untuk melepaskan diri, tetapi genggaman mereka semakin mengerat pada setiap
perlawanan, dan Baekhyun benci melihat bekas cengkeraman merah pada pergelangannya. Bos
menyeringai puas, mengambil dua mini parfum dari genggaman sang kakak kelas. "Ah, aku
mengerti. Apakah benda ini yang hendak kau gunakan untuk 'membutakan' kami?"

Baekhyun masih berjuang untuk terbebas dari cengkeraman mereka. "Tutup mulutmu, keparat."

Bos membuang parfum-parfum itu ke selokan, dan Baekhyun menganga tidak terima. "Yah! Apa
yang kau lakukan, bodoh?!"

Bos hendak mendatangi Baekhyun untuk memberi pelajaran, tapi kedua pengikutnya malah
melepas jeratan mereka pada pergelangan tangan sang kakak kelas. "Apa yang kalian lakukan?!"
ia membentak dalam protes, mengamati bagaimana pengikut-pengikutnya berlari ketakutan seperti
baru melihat hantu tanpa kepala. Baekhyun agak terjatuh ke tanah, memegangi pergelangan tangan
sambil mendesis kesakitan.

"Aneh…" Bos sejenak menonton kepergian para pengikutnya dari mana ia berdiri sebelum
kembali memandang Baekhyun. "Kalau begitu, akan kuhabisi anak ini sendiri."

Baekhyun menggertakkan gigi kesal. "I hope you get hit by a train, you fucking asshole!" ia
berseru, suara lengking yang hampir merusak gendang telinga Bos. Sang adik kelas memang tidak
mengerti apa yang Baekhyun bicarakan, namun ia tetap mengangguk kecil—melambai-lambaikan
jemari berbentuk "OK" guna meledek Baekhyun. "Brengsek!"

Bos hampir mendaratkan pukulan keras pada pipi kanan Baekhyun jika sebuah tangan tidak
terlebih dahulu menahannya dari belakang. "Jaga bahasamu, bocah—" ia berhenti berbicara sebab
genggaman tangan tadi malah mengerat. Bos sejenak terhenti untuk memandang wajah tercengang
Baekhyun, hazel sang kakak kelas melotot takjub. Ia pun memutar mata. "Lepaskan tanganmu
dariku!" serunya, tapi tangan tersebut melawan perintahnya dengan menekan cengkeraman. Bos
mendesis pelan, menyeringai kecil untuk menyembunyikan rasa sakit—kepala perlahan menoleh
seraya menantang santai, "Kau mau mati—"

Tidak butuh satu detik bagi ekspresi Bos untuk menjadi sama tercengangnya.

Meski begitu, tetap saja ditemukan perbedaan antara air muka keduanya. Baekhyun terlihat lebih
tenang (atau lega, bahkan?), sementara Bos langsung memucat pasi oleh ketakutan.

"Ada apa ini?" suara bass yang Baekhyun selalu benci itu anehnya tidak berbunyi begitu
menjengkelkan pada situasi sekarang. Baekhyun justru merasa bersyukur atas kesempatan untuk
mendengar langsung. "Kau tidak benar-benar akan mengeroyok seorang bocah playgroup, kan?"
Okay.

Baekhyun akan menarik ucapannya barusan.

"Ch-Ch-Chanyeol hyung," tubuh Bos serontak menciut oleh tatapan kosong yang ditancapkan
Chanyeol padanya. Baekhyun pikir ia tidak pantas disebut sebagai "bos" jika ia menakuti preman
macam sang adik. "A-a-aku..."

Sekilas Park Chanyeol memang terlihat menyeramkan dengan tinggi yang abnormal dan pakaian
serba hitam, sukses mengintimidasi siapa saja yang berani menatap hazel tajam tersebut. Bukan
fakta yang mengherankan apabila segala macam preman, baik mereka yang berasal dari desa atau
kota, tunduk di bawah perintah Chanyeol. Keparat itu mungkin
menguasai taekwondo dan karate sekaligus. Menakjubkan.

"Minsoo," Chanyeol mengulurkan tangan untuk membelai kemeja si ketua preman gadungan.
Minsoo terlihat menelan ludah gugup. "Serahkan ponselnya sekarang."

Bagai terhipnotis, Minsoo langsung takut-takut mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya—
kepala tertunduk ketakutan demi menghindari tatapan garang Chanyeol. Keparat itu memandang
Baekhyun kosong seraya menarik kerah baju Minsoo ke depan, menutup telinga dari ratapan
memohon si bocah. "Jangan pukul aku, hyung. Aku berjanji untuk tidak mengulangi ini lagi."

Chanyeol melepas cengkeramannya, sejenak menoleh ke direksi Baekhyun untuk melempar


sekaleng Sprite pada sang kakak. "Byun," ujarnya datar, dan ketika Baekhyun berhasil menangkap
kaleng tersebut, ia melayangkan pandangan bingung pada lelaki itu. "Biar kuberi pelajaran bocah
ini."

Mata sipit Minsoo seketika membelalak ketakutan. "Hyung!"

Suara tonjokan keras lantas membuat Baekhyun terpaku di tempat, tubuh setengah melonjak oleh
bunyi yang ditimbulkan.

Minsoo nyaris terpental ke tanah, darah kental mengalir dari hidung bersama pipi yang mendadak
bengkak. Chanyeol mungkin berhasil mematahkan hidungnya dengan satu pukulan singkat
barusan. Seolah kurang puas, lelaki itu menarik kerah baju Minsoo ke atas, memaksakan bocah
malang tersebut untuk berdiri—sengaja membuat ia kesusahan mengais nafas—lalu membuang
ludah pada kemejanya. "Titipkan salamku untuk bosmu," Chanyeol menggeram, sedikit
mendekatkan jarak wajah mereka supaya Minsoo dapat melihat api yang kini mengkilat dalam
masing-masing hazel lelaki itu. "Katakan bahwa aku tidak suka anak buahnya berkeliaran di
teritoriku."

Chanyeol membebaskan Minsoo dari cekikan, menatap datar sang bocah yang terburu-buru
melarikan diri—bolak-balik menoleh ke belakang guna memastikan bahwa lelaki itu tidak sedang
mengikutinya.
Alis Baekhyun bertaut menyaksikan kepergian Minsoo. "Ia takut padamu," ujarnya datar, dan
dalam hitungan detik, Chanyeol langsung merampas kaleng Sprite tadi dari genggaman sang
kakak. Kendati apa yang sang adik lakukan tergolong kurang ajar, Baekhyun tidak sedang dalam
suasana hati untuk mempermasalahkan tindakan Chanyeol—anggap saja sebagai bentuk terima
kasih atas aksi heroik keparat itu.

Chanyeol meneguk isi kaleng tersebut. "Semua orang takut padaku."

"Kecuali aku, tentu saja."

Chanyeol mengangkat bahu tenang. "Ayo pulang."

Baekhyun meniru gerakan kecil sang keparat untuk mengedikkan bahu. Chanyeol tidak
menghiraukan, justru berjalan terlebih dahulu—meninggalkan Baekhyun yang kesulitan menyusul
dari belakang, sang kakak gagal menyaingi langkah kaki lelaki itu. "Keparat!" Baekhyun berseru,
setengah mendorong bahu Chanyeol. "Kenapa kau hobi sekali melapor akhir-akhir ini?"

Chanyeol terlihat sengaja mempercepat gerakan kakinya. Ha, tidak salah lagi. Keparat itu pasti
sengaja. "Melapor apa?" ia malah membalikkan pertanyaan, berlagak layaknya seorang idiot.

Baekhyun harus sedikit jogging demi menyamai langkah kaki keparat itu. Sebagai orang tertua
sekaligus paling terpelajar di antara mereka, Chanyeol seharusnya membiarkan sang kakak
berjalan mendahuluinya. "Melapor pada Ayah bahwa aku pulang malam hari ini."

"Kau ingin aku berbohong?" Chanyeol menantang, tatapan hampa ke depan. Ia bahkan tidak
menoleh sedikit pun ke arah Baekhyun setiap kali sedang berbicara. Dasar keparat tidak sopan.
Baekhyun mengerutkan alis ke arah Chanyeol, meniup poni sekali tanpa ada keinginan untuk
melanjutkan percakapan.

Mereka berhenti di depan pagar rumah, dan Chanyeol mengeluarkan segenggam kunci dari saku
untuk membuka gembok, membisu saat sang kakak terdahulu masuk layaknya seorang raja—
menyerahkan tugas bagi lelaki itu untuk menutup pagar sekaligus mengunci. Chanyeol tidak
protes, tampaknya telah terbiasa dengan sikap sewenang-wenang Baekhyun, dan menyusul masuk
tak lama kemudian. Lelaki itu mengamati figur Baekhyun yang telanjur bersandar pada sofa, kaki
lurus ke depan sambil menekan tombol remote guna bolak-balik mengganti channel. Ia pun
menghela nafas panjang.

"Kau berani sekali," Chanyeol memulai, membuka lemari untuk mengambil gelas lalu
menuangkan air putih ke dalamnya. "Bocah itu bukan sungguh-sungguh seorang preman. Tapi ia
jauh lebih kuat apabila dibandingkan denganmu. Kau terlalu lemah gemulai."

Kata-kata lelaki itu membuat Baekhyun sedikit bangkit dari sandaran. "Apa katamu?" alis sang
kakak menekuk saat ia memandang Chanyeol, bibir terukir untuk menyeringai pahit. "Lemah…
gemulai?" ia mengulangi, sempat kehilangan pendapat harus menjawab apa. "Aku tidak lemah,
Park. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Kau memang baru 'menyelamatkanku', tapi itu tidak
berarti kau boleh sebebasnya menghakimiku."
"Apa kau masih beranggapan bahwa aku harus menjaga sikap karena kau lebih tua dariku?"
Chanyeol meletakkan gelasnya ke meja, tersenyum seolah-olah ini adalah candaan terkonyol yang
pernah ia ketahui. "Dengar, hyung. Menjadi lebih tua atau lebih dewasa tidak memberikanmu
kekuatan untuk mengalahkan bocah ingusan seperti Minsoo."

Baekhyun mengepalkan tangan. "Apa kau sedang menasehati kakakmu sendiri, Park Chanyeol?"

Chanyeol mengangkat bahunya enteng—salah satu bentuk respons yang Baekhyun paling benci.
"Aku menyarankanmu untuk kenali musuh baik-baik sebelum melakukan perlawanan," sang
kakak tidak mengerti kenapa Chanyeol begitu cuek terhadap sekitarnya, mengatakan segala hal
apa adanya tanpa mempertimbangkan bagaimana perkataan itu akan memengaruhi lawan bicara.
"Bukankah lucu jika kita pikir-pikir lagi? Kau lebih tua dariku, tapi pola pikirmu tidak jauh lebih
dewasa dariku."

"Manja," Chanyeol terus mencela, "Kau terlalu mementingkan egomu hingga ingin menang
sendiri." Lelaki itu menatap Baekhyun datar, dan sang kakak merasa harga dirinya semakin
terinjak-injak ketika Chanyeol melanjutkan, "Dan kau bilang kau ingin membuat Ibu bangga? Kau
yakin, Byun?"

Cukup.

Baekhyun menghampiri Chanyeol guna merebut gelas itu dari genggaman sang adik—
menghempaskannya ke lantai supaya hancur menjadi puing-puing kecil. Bunyi nyaring akan
pecahan kaca tidak mampu membawa perubahan dalam ekspresi lelaki itu. Air mukanya tetap
datar: ia tidak terkejut, dan ia tidak terlihat seperti memedulikan tensi tegang di antara keduanya.
Bahkan ketika Baekhyun mulai melukai dirinya sendiri dengan menusukkan potongan kaca pada
telapak kaki, ekspresi Chanyeol sama sekali kosong. Ia enggan mengutarakan apa-apa, menatap
dalam bisu beberapa jejak darah yang Baekhyun tidak sengaja tinggalkan di lantai.

"Kau lihat darah itu?" Baekhyun berkata, suara gemetaran yang menggema dalam ruangan—
kepala menunduk guna menyembunyikan air mata. "Itulah yang aku rasakan sekarang, Park."

Air mata Baekhyun tidak berjatuhan karena ia semata-semata sakit hati; ia menangis karena itu
adalah satu-satunya cara tubuhnya bereaksi pada amarah yang berlebihan. Ia marah pada caci maki
menyakitkan yang lelaki itu katakan untuk menghancurkannya. Pada Chanyeol yang terbiasa
memandang sang kakak sebelah mata. Pada Chanyeol, adik kandungnya, yang terlihat tidak sudi
menghormatinya sebagai seorang kakak.

"Kau tidak pantas meremehkanku," air mata bercucuran hebat, dan Baekhyun cepat-cepat
mengusapnya. "Jika kau memang lebih dewasa dariku, kau seharusnya tahu bagaimana mengatur
sikap di hadapan kakakmu sendiri."

Chanyeol terus menatapnya datar.


"Tenang saja," ada banyak emosi yang meledak dalam dada Baekhyun. Lelaki itu sudah benar-
benar keterlaluan dengan kata-katanya. "Aku akan melakukan segala cara untuk cepat-cepat
angkat kaki dari rumah kalian."

Baekhyun kemudian mendorong Chanyeol ke kursi, memutar tubuh untuk terburu-buru menaiki
tangga—bercak-bercak darah mengikuti setiap langkah yang ia ambil. Berlari tiba-tiba
mengakibatkan pernafasan sang kakak untuk menjadi tidak teratur; ia pun terengah-engah, terhenti
di depan pintu kamar guna memandang telapak kaki yang telanjur dipenuhi oleh banyak goresan—
mendesis pelan saat ia menghapus sedikit bekas darah. Baekhyun menoleh ke belakang, segera
melibatkan dua pasang hazel kembar untuk bertemu selama beberapa detik: masing-masing
mengungkapkan perasaan yang bertolak belakang. Terselip sedikit pergolakan dalam bola mata
Chanyeol—sesuatu yang bahkan menyamai ekspresi sendu—namun perubahan itu terjadi begitu
cepat sehingga sang kakak berpikir bahwa semua adalah imajinasinya saja. Chanyeol tentu telah
mempertahankan tatapan datar yang sama sejak awal perdebatan mereka.

Baekhyun bergerak memunggungi Chanyeol, membanting pintu secara lantang untuk


melampiaskan amarah—wajah basah oleh air mata dengan tangan yang semakin mengepal.

Ini terasa seperti déjà vu.

Bermula dari adu mulut hingga Baekhyun yang membanting pintu kamar keras-keras. Rentetan
peristiwa ini terjadi hari demi hari, dan Baekhyun berharap bahwa ia akan cepat-cepat lulus SMA
untuk mencari beasiswa dan mengawali lembaran baru.

Tanpa Chanyeol, tanpa ayah, tanpa siapa pun untuk ikut campur dalam hidupnya.

"Lima bulan lagi," lirihnya lemas, menatap sebuah foto polaroid akan ia dan ibu yang terpajang di
meja belajar. "Bertahanlah untuk lima bulan lagi."

Chapter 3: This is Puzzling!

CHAPTER 3

THIS IS PUZZLING!

Barang pertama yang Baekhyun tidak harap lihat saat ia membuka tas adalah sebuah kantung
plastik hitam berisikan satu setel seragam olahraga ukuran XL—nametag Park Chanyeol tertempel
pada bagian dada kanan.

Baekhyun seketika menganga, memegang atasan olahraga sang adik sambil menatap pakaian itu
linglung. Bau deterjen mahal keluarga Park masih tercium segar melalui pori-pori seragam, dan
hal tersebut membuat Baekhyun semakin linglung dan well, jijik. Bagaimanapun juga—tidak bisa
dipungkiri—ini adalah seragam yang telanjur menyimpan rangkaian sejarah atas penyerapan
keringat maupun bau badan keparat itu sendiri. Ugh, menggelikan! Malas melipatnya rapi,
Baekhyun langsung mendesak paksa seragam sang keparat ke dalam kantung plastik guna ditali
mati. Aksi barusan pasti menjamin seragam Chanyeol untuk menjadi kusut tidak karuan.

Baekhyun membaringkan kepala ke atas meja, helai rambut tersebar berantakan pada buku latihan
matematika. Sial, sial, sial! Kalau sampai hari ini terdapat kelas olahraga dalam jadwal pelajaran
si keparat, itu berarti ia akan membutuhkan seragam ini. Dan kalau ia membutuhkan seragam ini,
itu berarti Baekhyun—tentu saja—harus mengembalikan seragam ini padanya. Dan kalau
Baekhyun harus mengembalikan seragam ini padanya, itu berarti Baekhyun akan dipaksa untuk
menemuinya.

Sedangkan…

Baekhyun menoleh ke depan untuk membenamkan wajah pada buku sambil mengerang frustrasi.

…Sang kakak masih belum seratus persen siap untuk menemui Chanyeol—semua disebabkan oleh
Peristiwa Berdarah beberapa hari lalu. Ya, Peristiwa Berdarah yang dimaksud adalah peristiwa di
mana Baekhyun memecahkan sebuah gelas lalu menginjakkan kakinya di atas pecahan kecil gelas
itu sembari menangis lemah. Oh, dan jangan lupakan deretan kalimat dramatis yang keluar begitu
saja dari mulutnya. Peristiwa bersejarah itu—tak dapat disangkal—otomatis menurunkan derajat
Baekhyun di angka 97% sampai sang kakak tidak mempunyai pilihan selain menghindari
Chanyeol selama seminggu—termasuk tidak keluar kamar pada jam-jam tertentu, dan membuang
muka tiap kali berpapasan dengan sang keparat di kantin.

Baekhyun mulai membentur-benturkan kepala ke atas meja, mulut komat-kamit


membisikkan "Memalukan! Kau memalukan, Byun Baekhyun!"—kilas balik tentang Peristiwa
Berdarah berputar untuk yang seratus ribu kalinya dalam otak. Raut waja datar sang keparat ketika
Baekhyun menunjukkan darahnya di lantai. Ia yang tidak berhenti menangis, sementara Chanyeol
berdiri di sana, ekspresi kosong yang menunjukkan bahwa lelaki itu tidak terbawa suasana
dramatis sama sekali. Memikirkan Peristiwa Berdarah selalu membawa migrain ke kepala
Baekhyun.

"Hey, kau kenapa?"

Suara lembut Minseok mengganggu kabut pikiran Baekhyun. Ia menoleh untuk menyaksikan sang
teman menduduki kursi sebelah, membungkuk ke samping guna mengeluarkan buku latihan
matematika dari tas. "Kau sudah menyelesaikan tugas?"

"Sudah," jawab Baekhyun loyo, masih terpengaruh ingatan mengenai Peristiwa Berdarah.

"Bagus," Minseok mengulurkan tangan sambil menggerakkan jemari. "Berikan bukumu." Terlalu
lemas untuk menegakkan tubuh, Baekhyun berhenti menggunakan buku latihan matematika
sebagai alas tidur, dan melemparnya ke meja Minseok. Siswa berparas imut itu serontak berseri-
seri. "Love you, Baekhyun-nim."
Baekhyun mengambil buku paket matematika Minseok sebagai pengganti bantal. Mengalihkan
pandangan ke luar jendela, ia tengah memikirkan cara untuk mengembalikan seragam pada
Chanyeol tanpa harus menemui sang adik secara langsung. Pikiran tambah berkecamuk, Baekhyun
menoleh ke samping, mengamati sekilas Minseok yang terlihat sibuk menyalin jawaban dari
bukunya, menghela nafas lesu sebelum akhirnya menoleh lagi ke luar jendela. Ia bisa saja
seenaknya masuk ke kelas Chanyeol (Baekhyun adalah seorang senior, after all; bukan hal yang
mengejutkan apabila ia mendapat kebebasan khusus untuk masuk ke ruang kelas junior) guna
menaruh kantung plastik tersebut di atas meja. Namun, seperti ada pepatah berbunyi "melakukan
tidak semudah berbicara", jika Baekhyun memberanikan diri untuk tetap melakukan hal di atas,
ia takut akan konsekuensi terjadinya kegemparan luar biasa. Keempat pertanyaan di bawah ini
mungkin akan terlontar dari seisi penghuni sekolah:

1. Siapakah senior ini?

2. Dari kalangan manakah senior ini sehingga ia tidak sengaja membawa baju olahraga Pangeran
Chanyeol?

3. Hubungan macam apa yang senior ini miliki dengan Chanyeol?

4. Apakah ia adalah kekasih Chanyeol?

Baiklah. Pertanyaan nomor empat sungguh tidak masuk akal dan menggelikan.

Skip.

Seperti sengaja memperkeruh suasana hati, ponsel Baekhyun tiba-tiba saja bergetar—nomor
familier yang belum tersimpan terpampang di layar.

Baekhyun menjauhkan diri dari Minseok demi mengangkat panggilan itu, "Halo?"

"Aku tahu seragam olahragaku ada padamu," serbu Chanyeol langsung ke titik permasalahan,
suara bass ala psikopat membuat Baekhyun agak ngeri. Ia cepat-cepat menekan tombol di samping
kiri ponsel untuk mengurangi volume beberapa tingkat. Chanyeol kemudian melanjutkan, "Temui
aku di tempat biasa."

Baekhyun hendak menjawab "ya" pendek untuk lekas menutup panggilan ini, tapi Chanyeol
terburu-buru menambahkan: "Sekarang."

Baekhyun menganga tidak percaya pada nomor Chanyeol yang tercantum di layar—menganggap
bahwa nomor itu adalah wajah Chanyeol—lalu menempelkan ponsel pada telinga lagi. "Nanti
saja!" ia berbisik dari balik telapak tangan, memberikan tekanan pada setiap suku kata supaya
terdengar jelas dan tegas bagi keparat itu.

"Tidak. Aku mau sekarang."


Baekhyun menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengambil nafas dalam-dalam. "Dengar,
belatung," ia memulai dengan nada cukup mengancam begitu ponsel sudah kembali ditempelkan
pada telinga. "Aku sedang sibuk," sang kakak memandang Minseok sembari bergumam, "Patuhi
perintahku saat kubilang aku akan menemuimu nanti."

Belum ada sahutan dari seberang, dan Baekhyun menyeringai puas oleh kemenangan… atau
kekalahan.

"Terserah. Jika dalam lima menit kau tidak ke sini… akan kubakar seluruh poster SNSD-mu."

Tidak meluangkan waktu untuk seruan protes Baekhyun, Chanyeol justru memperjelas
ancamannya: "Khusus yang bertanda tangan."

Panggilan diakhiri.

Pertengkaran pertama mereka terjadi pada pertengahan periode awal Baekhyun pindah ke
kediaman Park, ketika sang kakak tidak sengaja menumpahkan teh panas di lengan Chanyeol.
Keparat itu marah besar, memancing kekesalan Baekhyun yang seharusnya tidak boleh meluap—
mengakibatkan sebuah adu mulut seru di antara keduanya. Pada dasarnya, Baekhyun memang
tidak pernah takut pada Chanyeol serta auranya yang penuh intimidasi; ia menganggap masa bodoh
saat sang adik mengancam dalam nada datar, "Kau tumpahkan teh lagi, akan kubakar
majalah SNSD-mu."

Pertengkaran kedua mereka disebabkan oleh hal yang sama: Baekhyun (sengaja, kali ini)
menumpahkan teh di jemari Chanyeol, membuat tangan pucat keparat itu agak melepuh karena
panas. Sekilas informasi saja, sang kakak melakukan hal keji tersebut bukan atas balas dendam
belaka, melainkan karena si keparat telah menghabiskan jatah keripik kentang yang bibi Eunji
sediakan bagi Baekhyun. Cukup aneh serta mencurigakan, Chanyeol tidak bereaksi apa-apa
mengenai kondisi mengenaskan tangannya—ekspresi cuek seolah-olah itu adalah hal yang sepele.
Ia tidak menyuarakan protes layaknya kemarin, justru mengambil sumpit guna menyelesaikan
makan malam dalam kebisuan total.

Baekhyun seharusnya merasa menang. Ya, tidak ditemukan sesuatu yang janggal dalam sikap
apatis lelaki itu. Akan tetapi, entah kenapa Baekhyun merasa terancam, hati seperti dipenuhi oleh
berbagai perasaan campur aduk yang kurang menyenangkan. Perasaan-perasaan itu lantas
mengonfirmasi kejanggalan sikap Chanyeol pada keesokan hari, saat Baekhyun tidak sengaja
mencium bau gosong dari luar, dan astaga! Alangkah terkejut dan panik sang kakak untuk
menemukan serpihan abu dari majalah SNSD kesayangan tergeletak tragis di depan kamar.
Terdapat sisa-sisa halaman yang belum terbakar, dan ancaman lelaki itu muncul layaknya alarm
nyaring di telinga.

"Kau tumpahkan teh lagi, akan kubakar majalah SNSD-mu."

Ancaman keparat itu memang terdengar kekanak-kanakkan, tapi ia benar-benar tidak bercanda.

Tentu saja Baekhyun tidak rela membiarkan hal serupa terjadi pada beberapa
poster SNSD bertanda tangan asli miliknya—barang berharga yang dahulu ia dapatkan secara
susah payah saat masih tinggal di Daejeon: perjuangan bolak-balik ke Seoul mengendarai bus,
empat jam perjalanan pulang pergi ditambah mengantre untuk fanmeet. Ia mungkin akan menangis
darah dan tanpa pikir panjang mencekik Chanyeol dengan tali pramuka apabila keparat itu berani
menyentuh atau bahkan, membakar poster-posternya. Itulah kenapa ia segera berlari keluar dari
kelas, tidak menghiraukan Minseok yang menyahut "hey, kau mau ke mana? Sebentar lagi kelas
akan dimulai!" dengan tangan menggenggam erat kantung plastik hitam.

Baekhyun melihat kepuasan di wajah Chanyeol atas kondisinya sekarang: wajah merah yang basah
oleh keringat "lari pagi" barusan. "Akhirnya, Byun," kata Chanyeol, intonasi datar bersirat
sarkasme. Ia berjalan untuk menghampiri sang kakak, tetap menyisakan jarak cukup jauh di antara
keduanya. "Serahkan seragam olahragaku."

Menunggu pernafasannya untuk pulih, Baekhyun lantas melempar kantung plastik hitam itu ke
wajah Chanyeol, berharap bahwa barang tersebut akan benar-benar mengenai salah satu sisi muka
sang keparat—tetapi lelaki itu berhasil menggagalkan keinginan Baekhyun dengan menangkapnya
tepat waktu. "Lain kali taruh buku pelajaranmu dalam tasku," balas Baekhyun, sarkasme tidak
kalah menjengkelkan.

Chanyeol menjatuhkan kantung plastik tersebut ke tanah. "Bukan salahku," ujarnya tidak terima.
Ha, tentu saja Chanyeol tidak mau disalahkan—walaupun ini memang murni kesalahan bibi Eunji.

Baekhyun hendak balik membantah, tetapi ia tidak sengaja melihat perban tipis yang melilit ketiga
jari tengah Chanyeol—alis otomatis mengernyit karena heran. Menyadari ekspresi Baekhyun,
keparat itu langsung menyembunyikan tangannya ke belakang—memicu sang kakak untuk
memutar mata. "Kenapa?" ejeknya, mengangkat satu alis. "Kau pikir aku akan khawatir hingga
menghujanimu pertanyaan seperti 'hey, dongsaeng, kau tidak apa-apa? Mau hyung rawat?'?"

Chanyeol tidak menjawab, ekspresi tidak berubah sedari tadi, dan Baekhyun mengambil
kesempatan ini untuk mendatangi lelaki itu. "Yah, aku tidak tahu sudah berapa kali aku
mengatakan ini padamu," ia berujar tenang sebelum intonasinya mendadak turun tiga oktaf,
"Ingatlah untuk tidak menyentuh poster-posterku."

Sang kakak kemudian mengarahkan dua jari dari matanya ke mata Chanyeol sebagai tanda
peringatan. "Aku akan terus mengawasimu."

Memberikan satu tatapan killer terakhir, Baekhyun menuruni tangga ke kelas—meninggalkan


Chanyeol untuk berdiri seorang diri di atap sekolah.
.

Tidak sengaja terbawa seragam olahraga Chanyeol (seratus persen salah bibi Eunji), mendapat
ancaman pembakaran poster bertanda tangan dari bajingan Park Chanyeol, dan sekarang apa?
Disuruh mencari inspirasi "bermakna" dari barang-barang sederhana di sekolah lalu melukis salah
satu dari mereka menggunakan teknik pencahayaan atau apa pun itu. Baekhyun sungguh tidak ahli
dalam hal melukis—ia sudah muak dengan semua ini: pelajaran seni, guru seni, apa saja yang
berbau seni—terutama seni rupa. Hell, membuat tabel untuk tugas sejarah dengan penggaris saja
ia tidak becus apalagi melukis dengan "teknik".

Ini sudah hampir lima belas menit, akan tetapi Minseok dan Baekhyun belum juga menemukan
inspirasi yang tepat. Jujur saja, tidak satu objek pun dalam sekolah ini yang cukup menarik untuk
dijadikan topik lukisan bermakna. Ya, pepohonan cemara di sini sangatlah indah, tapi Choi-
seonsaeng berkali-kali memperingatkan bahwa ia tidak akan menerima lukisan bertema
pepohonan ("Ingat, kalian sudah SMA!" seru guru kesenian itu menggebu-gebu, "Cari suatu objek
yang lebih bermakna!"). Terkecuali jika level melukismu setara dengan Leonardo da Vinci, maka
mau menggambar rumput liar pun hasilnya akan tetap terlihat estetik.

Minseok dan Baekhyun berhenti di belakang lapangan utama sekolah, mengobservasi asal-asalan
lingkungan sekitar untuk mencari inspirasi—masing-masing membawa buku sketsa dan kotak
pensil pada genggaman. Sebuah kelompok siswa berseragam olahraga sedang melaksanakan
senam di tengah lapangan, dan Chanyeol adalah salah satu dari mereka—satu-satunya makhluk
paling tinggi dari seluruh siswa di sana. Setelah beberapa kali melakukan push-up, Kim-
seonsaeng (guru olahraga khusus kelas X dan XI) menggerakkan tangannya sebagai sinyal bagi
para siswa bahwa pelajaran olahraga telah selesai. Mereka semua bersorak senang: kebanyakan
siswa kemudian beristirahat di pinggir lapangan, sementara golongan Chanyeol memilih untuk
bermain basket.

Menyadari bahwa mereka telanjur menghabiskan lima menit produktif untuk melamun, Minseok
pun menyarankan sebuah ide yang bagus: "Ayo kembali ke kelas."

Baekhyun mengangguk lemah, tatapan mata kosong pada ring basket karena silaunya cahaya
matahari. Ketika ia hendak menoleh, suatu benda keras dan berat tiba-tiba mendarat sempurna
pada wajahnya, mengakibatkan hidung anak itu untuk terpencet sangat keras—darah kental
serontak mengalir dari dalam. Hal barusan otomatis menyentak Baekhyun dari lamunan, dan ia
pun mendongak ke depan, memandangi bola basket yang memantul-mantul menuju semak-semak.
Mengernyitkan dahi bingung, ia mengarahkan pandangan ke lapangan untuk menyaksikan tawa
terbahak-bahak para pengikut Chanyeol—terkecuali sang adik, lelaki itu hanya menatapnya datar
dengan lengan menyilang.
"Baekhyun, kau mimisan!" seru Minseok berulang-ulang, tapi Baekhyun terlalu fokus pada
Chanyeol untuk menghiraukan—membiarkan sang teman menarik-narik lengannya. "Baekhyun!"
Minseok mengikuti ke mana tatapan Baekhyun tertuju, salah mengira bahwa ia tengah mengamati
siswa yang tadi sengaja melempar bola basket padanya. "Sudahlah, kau harus terlebih dahulu
mengobati hidungmu!" Minseok kemudian bergumam di telinga Baekhyun, "Kita bisa balas
dendam kapan-kapan."

"Hyung cantik, dengarkan temanmu!" sahut sang tersangka main-main, dan para siswa mulai
tertawa lagi, lebih keras dan kurang ajar sembari memandangnya remeh—meski Chanyeol sendiri
masih tidak berekspresi. Kim Namjoon, Baekhyun membaca nametag bajingan itu dalam hati.
Tidak ada hal lain yang Baekhyun ingin lakukan kecuali membenturkan wajah bodoh itu ke
tembok karena ia tidak suka dipermainkan seperti ini.

"Baekhyun, ayo," mohon Minseok lagi, dan pada detik itu juga, Baekhyun tidak sengaja mencicipi
rasa asin dari darah kental di bibirnya. Ia pun cepat-cepat menyeka darah tersebut, sekilas melirik
Chanyeol lewat dua hazel tajam sebelum berlari meninggalkan lapangan. Pengikut-pengikut
Chanyeol belum menyerah untuk menghujaninya ejekan dari jauh, dan ia memblokir itu semua
dengan mempercepat langkah menuju toilet.

Menyalakan keran di wastafel, Baekhyun perlahan mengelap darah kental yang telanjur menyebar
ke sekitar bibir. Ia memandang refleksinya melalui kaca, tangan bergerak untuk mengeluarkan
darah dari masing-masing lubang hidung sampai tidak ada cairan merah yang tersisa. Baekhyun
mengambil sabun cair secukupnya, menggesekkan telapak tangan untuk membentuk busa lalu
membasuh mereka bersih. Ia menghela nafas panjang setelahnya.

Baekhyun merasa… kecewa. Sangat, sangat kecewa.

Keparat tolol itu tidak seharusnya tinggal diam. Apakah ia buta untuk tidak melihat betapa
memalukan kejadian tadi? Baekhyun baru saja dihina. Kejadian barusan bahkan bisa tergolong
dalam kategori bullying, dan Chanyeol sama sekali tidak melakukan apa-apa. Sang kakak lupa
berapa lama ia melemparkan delikan tajam ke direksi Chanyeol, sebuah isyarat tersembunyi bagi
keparat itu untuk berhenti bermain bisu dan membelanya. Tapi, lihat? Apa pun yang terjadi: masa
bodoh apabila Baekhyun terlempar bola basket, terlindas mobil, atau bahkan, tertimpa pesawat
luar angkasa—keparat itu tidak akan pernah peduli. Ekspresinya akan selalu sama, kombinasi khas
antara datar dan bosan.

Terdengar sejumlah ketukan pintu, dan Baekhyun menatap ke kaca untuk melihat Minseok
melambaikan sekaleng kopi padanya.

"Kau baik-baik saja? Aku membawa minuman kesukaanmu."

.
.

Kekesalan Baekhyun belum mereda sampai jam sekolah berakhir. Di sela-sela pelajaran, ia
memikirkan setiap keburukan yang Chanyeol lakukan padanya: mulai dari sikap tidak sopan,
sewenang-wenang, selalu menghina, sering mengancam, dan satu inilah yang paling
menjengkelkan: berlagak dewasa. Kemarahan Baekhyun semakin memuncak ketika ia tidak
sengaja bertatap muka dengan Chanyeol di halaman depan sekolah. Keparat itu memang sedang
tidak membuat onar atau kericuhan, cukup menatapnya bisu seperti biasa—namun, entah kenapa
ekspresi poker face Chanyeol tambah menaikkan tekanan darah sang kakak.

Air muka Baekhyun tampak masam saat ia terlebih dahulu membuang muka. Sang kakak diam-
diam melirik ke samping, dan pada saat yang bersamaan, Oh Sehun mendadak muncul di
sebelahnya.

"Hyung!" Sehun setengah membungkuk. Baekhyun ikut membungkuk, seketika agak salah
tingkah karena rambut Sehun berkibar sempurna oleh angin sepoi-sepoi. "Aku rindu padamu!
Lama tidak mengobrol!"

Aku rindu padamu.

Baekhyun tidak tahu harus bereaksi seperti apa menanggapi kalimat barusan.

"Uh," ia kehabisan kata-kata, menoleh ke direksi berlawanan sebelum cepat-cepat mengganti


topik: "Kau mengganti ID Katalk-mu, ya?"

Sehun menatapnya kaget. "Kau tahu dari mana?" kau tidak mengajakku chat terlebih
dahulu, Baekhyun berteriak dalam hati. Sang adik kelas kemudian bertepuk tangan tanpa suara—
suatu kebiasaan yang anak ini mungkin lakukan kalau sedang terkesan. "Aku baru saja ingin
memberimu ID baruku. Aku tidak membawa ponsel hari ini, bisakah kau yang menambahkan
aku?"

Sehun menyerahkan secarik kertas kecil, dan Baekhyun mengangkat alis bingung saat membaca
isinya. "Uh," ia melambaikan kertas tersebut di depan wajah sang adik kelas. "Ini nomer...
bukan ID?"

"Ya," Sehun mengangkat bahu sambil tersenyum main-main. "Aku memberimu nomerku untuk
sekalian menambahkan Whatsapp dan Line, kalau kau punya."

"Oh," Baekhyun mengangguk, kembali merasa salah tingkah karena bocah ini sangat terang-
terangan melakukan aksi pendekatan terselubung. "Aku—"

Sebuah gang sepeda motor menerobos gerombolan siswa dengan kecepatan tinggi, menciptakan
kegaduhan total di sore hari karena bunyi gas kendaraan mereka yang menyakiti telinga semua
orang. Bersama tatapan kelewat muak, Baekhyun mengamati pergerakan sepeda motor Chanyeol
di paling depan, menyalip sejumlah mobil orang tua siswa begitu mudah serta tanpa aturan. Dalam
hitungan detik, sang keparat dan pengikut-pengikutnya sudah musnah dari pandangan. Baekhyun
kembali menoleh ke arah Sehun, berniat untuk melanjutkan kalimatnya yang terpotong—tetapi
mata Sehun malah melekat serius pada jalan raya yang tadinya menjadi arena lintas gang sepeda
motor Chanyeol. Ia mengerutkan alis kala mendengar sang adik kelas berbisik pelan, "Ya Tuhan,
aku benci orang itu."

Maka tidak salah jika Baekhyun mencoba untuk bertanya, "Benci siapa?" Siapa tahu saja mereka
bisa bahu-membahu membangun anti club bagi Chanyeol?

Sehun menoleh, dan tatapan serius beberapa detik lalu tiba-tiba menghilang, tergantikan oleh
ekspresi berseri-seri. "Tidak apa-apa," ia melambaikan tangan. "Aku tunggu chat-mu, hyung!
Sampai jumpa!"

Tidak apa-apa kalau kau membenci Chanyeol. Bukankah semua orang membencinya?

Baekhyun terdiam di tempat, memperhatikan Sehun yang setengah berlari ke sebuah mobil sedan
hitam lawas—menduduki kursi belakang lalu membuka jendela untuk melambai lagi ke
direksinya. "Hati-hati!" seru sang kakak kelas, dan Sehun kembali menutup jendelanya.

Baekhyun menghela nafas selagi mengecek kantung blazer seragamnya. Hari ini ia tidak
membawa uang cukup untuk mengisi ulang kartu T-Money, jadi sudah dipastikan ia harus berjalan
kaki penuh dari sekolah ke rumah. Perjalanan bus saja kurang lebih dua puluh menit, apalagi kalau
jalan kaki. Baekhyun sejujurnya juga tidak terlalu hafal jalan pulang.

Ah, matilah dia.

Memasang earphones di telinga, ia memberanikan diri untuk memulai petualangan ini.

Pertama-tama, tentu saja ia harus melewati jalan raya tadi—jalan yang dilewati Chanyeol
dan gang motor gelapnya itu. Bagai anak hilang, ia berjalan di atas trotoar, kadang berlari kencang,
kadang jogging biasa, sembari memaksakan diri untuk tenang—tidak tahu kenapa, ia terus merasa
khawatir. Sedikit menganggukkan kepala pada ketukan lagu SNSD favorit, Baekhyun ikut
menyeberangi zebra cross bersama banyak orang. Sesampainya di trotoar seberang, ia langsung
berhenti di bawah sebuah pohon sambil memperhatikan sekitar—banyak gedung tinggi serta
pepohonan lebat pada pinggir masing-masing jalan—dan objek-objek itu sekilas membuat
Baekhyun linglung.

Dahulu sekali, ayah pernah menunjukkan satu jalan pintas menuju rumah mereka, dan kalau tidak
salah…

Baekhyun berjalan lurus, melewati sebuah jalan cukup lebar di antara gedung-gedung tinggi. Ada
banyak murid berseragam kuning melewatinya, dan tidak butuh sedetik bagi Baekhyun untuk
mengenali bahwa mereka adalah murid SOPA. Wow, menakjubkan. Daripada membuang banyak
uang untuk bersekolah di SMA Caspian, akan lebih baik jika Baekhyun memilih—

Tunggu.
SOPA?

Wajah Baekhyun memucat.

Bukankah jarak SOPA dan SMA Caspian berjauhan? Lantas, atas trik apa ia bisa terjebak di sini?

Baekhyun memutar balik dan berlari menjauhi gerombolan murid SOPA, mengambil jalan asal ke
kanan, dan malah dibingungkan oleh sebuah taman—yang tiba-tiba saja muncul—dan tentu saja,
dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi yang memiliki model nyaris kembar. Seoul tidak jauh
berbeda dengan Daejeon—sama-sama membingungkan! Tapi setidaknya Baekhyun sudah tinggal
bertahun-tahun di sana, sedangkan di Seoul… argh. Butuh sekurang-kurangnya satu tahun bagi
anak itu untuk beradaptasi dengan seluruh petunjuk ini.

Karena sudah benar-benar terdesak, ia pun mengambil ponsel untuk menggunakan aplikasi Google
Maps. Mengetikkan "Gangnam" dalam kotak cari, Baekhyun bodohnya juga tidak hafal alamat
rumah Park—hanya mampu menghela nafas pasrah ketika di situ tertulis bahwa ia membutuhkan
waktu kurang lebih 115 menit untuk berjalan. Baekhyun sejenak meretakkan sendi sebelum
melanjutkan perjalanan, mengikuti setiap rute dan direksi yang diinstruksikan dengan tenang dan
santai—terkadang mengambil sedikit istirahat pada bangku halte bus.

Lima puluh menit lagi.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Informasi Google Maps tidak seberapa
akurat karena sekarang sudah nyaris 120 menit terlewati, dan Baekhyun belum juga tiba di
Gangnam—terlalu banyak istirahat dan bersandar pada dinding. Agak menyerah, ia memutuskan
untuk menyantap makan malam darurat di 7-eleven. Menggunakan uang pas-pasan, ia cukup
membeli ramen instan dan sebuah botol air putih ukuran jumbo.

Butuh waktu singkat bagi Baekhyun untuk menyelesaikan santapan sekaligus menghabiskan
setengah dari botol air putih tersebut. Ia lantas bangkit dari kursi, lebih berenergi untuk
melanjutkan perjalanan—mengambil ponsel dari saku dan menekan tombol tengah namun tidak
kunjung aktif. Level panik meningkat, ia mencoba untuk menekan tombol "power" berulang-
ulang, tapi layar tetap saja gelap. "Shit," ia bolak-balik mencabut dan memasang baterai, dan
hasilnya juga nol. Pada satu titik, Baekhyun menyerah, merenung selama bermenit-menit hingga
matanya pun berkedip pada sebuah telepon umum tepat di depan 7-eleven.

Mengambil secarik kertas dari saku, ia menatap lega telepon umum tersebut.

Sehun!

Memakai satu-satunya koin yang ia miliki, Baekhyun memasukkan benda logam tersebut ke dalam
lubang koin kemudian memencet digit nomor ponsel Sehun. Telepon tersambung. Baekhyun
menunggu, hati berdebar-debar, berharap bahwa Sehun akan mengangkat telepon ini secepatnya
sebab tak ada lagi yang bisa menyelamatkannya. Ia tidak hafal nomor ponsel siapa pun kecuali
nomor ibunya.
Ada sedikit bising kecil. "Halo?"

"Sehun!" Baekhyun ingin berteriak, "Sehun, tolong aku!"

"Hyung?" Sehun terdengar seperti baru bangun tidur. "Ada apa?"

"Aku tersesat!"

"Apa?" intonasi Sehun berubah drastis menjadi panik. "Kau tersesat di mana? Lho, memangnya
kau tidak pulang dengan bus seperti biasa?"

"Tidak, T-Money-ku habis—"

"Baiklah," potong Sehun tergesa-gesa, "Di mana kau sekarang? Aku akan langsung
menjemputmu. Ini sudah jam delapan, hyung!"

"Aku di 7-eleven!"

Terselubung hening beberapa detik sebelum Sehun berbicara lagi, "Hyung, tolong. Ada ratusan 7-
eleven di Seoul. Kau harus memberi alamat yang jelas!"

Baekhyun bertambah panik. "Mana aku tahu, aku saja menggunakan GPS!"

"Kau menggunakan telepon umum? Kenapa aneh begini—"

"Yup, aku memakai telepon umum, dan aku tidak mempunyai waktu banyak untuk meneleponmu!"
Baekhyun langsung menjawab; ia menoleh ke kiri dan kanan sangat panik, berusaha keras untuk
menemukan suatu petunjuk alamat. "Namchang-dong!" ia asal membaca sebuah papan jalan di
seberang kedai kopi 24 jam.

"Di mana?"

"Namchang-dong!"

"Chang-dong?"

"Nam!" Baekhyun nyaris berteriak, "Aku di Nam—"

Panggilan berakhir.

Baekhyun menganga pada ganggang telepon. Tidak! Ia mendelikkan mata tidak terima ke arah
mesin telepon umum, berdoa bahwa mesin tersebut akan memberinya kesempatan cuma-cuma
untuk melakukan panggilan ulang. Itu barusan adalah koin pertama dan terakhir yang ia miliki.
Badan seketika lemas, Baekhyun melangkah keluar dari ruangan telepon umum untuk kembali
duduk di kursi tadi.
Sekarang bagaimana ia akan pulang? Ponsel mati, uang pun tidak ada. Hanya ada dua pilihan:
meneruskan perjalanan dengan denah jalan pulang apa adanya (berkemungkinan besar akan
tersesat), atau tidur di sini sementara sampai polisi mendadak datang untuk mencarinya—karena
datanya cocok dalam profil anak hilang. Tetapi kalau sampai ayah tidak melapor… ah, tidak
mungkin. Ayah pasti melapor, bukan? Berbeda cerita dengan Chanyeol. Baekhyun tebak keparat
itu bahkan tidak sadar bahwa ia sedang berada di luar rumah sekarang.

Baiklah, pilihan kedua tampaknya lebih aman—konsekuensi yang ia hadapi mungkin juga akan
lebih ringan. Lagi pula, sekarang sudah jam delapan lebih, tidak baik kalau ia memaksa untuk
pulang sendirian. Pengalaman dihadang preman abal-abal minggu kemarin—siapa nama "bos" itu?
Minsa? Minsoo?—bisa dijadikan sebagai pelajaran berharga untuk menghindari kelayapan
malam-malam—terkecuali jika ia berwujud seintimidasi Park Chanyeol. Baekhyun meletakkan tas
di meja lalu menyandarkan kepalanya di sana.

Banyak tugas hari ini. Kepalanya pusing. Ia perlu belajar untuk tes matematika minggu depan. Ini
melelahkan.

Baekhyun perlahan memejamkan mata, menghirup oksigen segar yang akan mengantarkannya
pada tidur lelap. Rasanya tidak apa-apa jika ia beristirahat sebentar. Toh hawa di luar terasa
nyaman sekali, udara sepoi-sepoi malam hari menjelang musim dingin yang mampu membuat
Baekhyun sedikit menggigil. Ia menghela nafas lesu.

Semoga ia akan baik-baik saja sampai besok.

Saat Baekhyun membuka mata, ia secara ajaib telah berada di atas kasur: tangan dan kaki
terbentang bebas dengan liur yang membasahi leher. Ia menguap, menggerakkan tubuh ke samping
sembari mengeratkan selimut, mengelap saliva di sana. Butuh beberapa menit bagi anak itu untuk
menyadari sesuatu, dan ia pun cepat-cepat terbangun, kepala menoleh ke arah jam dinding dengan
mata mendelik. Baekhyun menganga.

Lima belas menit lagi adalah jam tujuh.

Sial, ia akan terlambat.

Mandi, sikat gigi, ganti baju, atur buku, termasuk makan—semua Baekhyun lakukan dalam waktu
lima belas menit. Ia bahkan tidak sempat bertanya pada bibi Eunji siapa yang menjemput sekaligus
menggotongnya dari 7-eleven kemarin. Semua masih agak buram, tetapi satu hal yang Baekhyun
ketahui: ketika ia terbangun, ia masih mengenakan seragam sekolah lengkap bersama ponselnya
yang masih dalam keadaan mati. Ia sungguh tidak ada waktu untuk merenung di depan kaca dan
menyusun teori atas peristiwa 7-eleven kemarin.

Barulah di dalam bus—seusai mengantre lima menit demi mengisi ulang T-Money—Baekhyun
bersedia untuk meluangkan sedikit menit guna memikirkan kejadian tadi malam.

Ia merenung sebentar.

Sehun? Meski panggilan mereka telanjur putus di tengah jalan, sang adik kelas sempat mendengar
potongan alamat 7-eleven yang Baekhyun berikan. Ada kemungkinan besar ia mencari di internet
dan mencocokkan potongan alamat tersebut dengan yang asli. Akan tetapi, di sisi lain, Sehun tidak
mungkin tahu di mana kediaman Baekhyun—hell, ia bahkan tidak bahwa Chanyeol adalah
adiknya—sehingga teori ini pun perlu diragukan.

Ayah?

Ya, mungkin saja. Namun suasana tadi pagi sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kehadiran
ayah. Tidak ada mobil sedan hitam di garasi; tidak ditemukan pula bekas cangkir kopi di meja.

Chanyeol?

Nama iblis itu muncul dalam otak Baekhyun begitu saja, dan ia otomatis mengerutkan dahi.
Keparat itu… Baekhyun belum melihatnya di rumah tadi. Berani sekali ia berangkat mendahului
sang kakak.

"SMA Caspian!"

Supir bus mengumumkan, dan Baekhyun langsung berdiri—satu-satunya murid Caspian di bus
itu, membungkuk sebagai ucapan terima kasih lalu turun dari kendaraan. Ia terus berkelut dengan
pikiran saat tiba-tiba sepasang lengan memeluknya dari depan.

"Baekhyun!"

Bocah yang terpeluk hanya menganga kebingungan, sementara Sehun memegang pundaknya
khawatir. Siswa kelas sepuluh itu tidak membuang waktu lagi untuk segera menyembur:
"Bagaimana keadaanmu kemarin, hyung? Dengan siapa kau pulang? Senang bisa melihatmu di
sekolah sekarang! Aku mencari ke beberapa 7-eleven, tapi kau tidak ada di sana! Orang tuaku
menelepon untuk menyuruhku pulang... maaf karena aku akhirnya belum sempat menemukanmu."

Baekhyun mengerjapkan mata linglung, gagal menyerap segala informasi yang berbunyi seperti
sebuah rap.

"Sehun bilang kau tersesat!" sekarang adalah giliran Minseok untuk bercuap-cuap, sang teman
mulai melepaskan pelukan sepihaknya, "Ia mendatangi kelas demi mencarimu. Aku bilang kau
belum datang—ampun,Tuan Baekhyun. Aku pikir kau benar-benar tersesat hingga kau tidak
datang ke sekolah hari ini. Apalagi kau datang cukup telat dari biasanya!"
Baekhyun tidak tahu harus berkata apa. "Um," ia spontan menoleh ke samping, tidak sengaja
menangkap basah tatapan Chanyeol padanya. Keparat itu tengah bersandar pada dinding; kemeja
tidak sepenuhnya terkancing, dan rambut berantakan—suatu gaya preman menjijikkan ala Park
Chanyeol yang Baekhyun sangat benci. Namun, entah atas alasan apa, Baekhyun tidak berniat
untuk memutus kontak mata mereka seperti apa yang selalu ia lakukan. Baekhyun malah terus
menatap Chanyeol penuh tanda tanya, berkebalikan dengan sang adik yang justru memandangnya
datar.

Mungkin Chanyeol adalah si penyelamat yang membawanya pulang dari 7-eleven.

Baekhyun tidak tahu harus merespons apa mengenai teori barusan.

"Baekhyun?" Sehun memanggil, dan Baekhyun terpaksa membuang muka dari figur Chanyeol
untuk menatap Sehun. "Kau…" sang adik kelas menelusuri direksi yang tadi menyita fokus
Baekhyun—untung saja bukan ke arah Chanyeol. "...tidak apa-apa?"

Baekhyun tersenyum simpul. "Tidak apa-apa."

Ia menoleh lagi untuk menatap Chanyeol, namun lelaki itu sudah terdahulu menghilang beserta
pengikut-pengikutnya—lenyap bagai suatu misteri yang tidak terjamin eksistensinya.

Ya, semua petunjuk telah mengatakan bahwa Chanyeol adalah satu-satunya orang yang dapat
menyelamatkan Baekhyun. Sepintas, ini memang tidak mendekati masuk akal, tapi Baekhyun
telanjur kehabisan akal akan siapa yang berbaik hati untuk menolongnya. Mengingat bahwa ponsel
sang kakak sempat terjebak dalam keadaan mati sehingga GPS pun akan gagal dilacak, Baekhyun
penasaran akan teknologi tinggi apa yang lelaki itu pakai untuk mencari keberadaannya. Sungguh,
ia masih tidak percaya bahwa keparat itu akan rela menggotongnya dari 7-eleven.

Entahlah.

Baekhyun tidak mau terlalu memikirkan ini.

Chapter 4: Better?

Seorang lelaki jangkung beranjak keluar dari mobil. Seragamnya kusut tidak karuan; sepatu
olahraga yang ia pakai tidak ditali rapi. Lelaki itu tetap terlihat sangat tampan, meski beanie hitam
polos sepenuhnya membungkus rambut bersama ekspresi cenderung datar. Dahinya berkeringat
deras, sungguh kondisi yang bertolak belakang dengan cuaca dingin malam ini, dan ia
menggunakan sapu tangan untuk langsung mengusap bersih keringatnya.

Lelaki itu menghampiri seorang pangeran tidur berseragam identik di depan 7-eleven, wajah
tersembunyi di balik lengan beralaskan tas punggung biru doker. Ia mengamati bocah itu sebentar
sebelum mengeluarkan ponsel layar sentuh dari saku. Sembari menunggu panggilan untuk
diangkat, ia mengetuk-ketukkan sepatu di lantai. Tidak mencapai tiga detik kemudian, suara bas
tegas dari seberang segera menyapa.

"Chanyeol!" intonasi suara itu terburu-buru, "Aku belum menemukan hyung—"

"Tenang, Jongin," Chanyeol menjawab tanpa melepaskan tatapan dari kepala bocah di
hadapannya. "Aku baru saja menemukan Baekhyun."

"Syukurlah," respons Jongin, mengeluarkan nafas lega. "Di mana?"

"7-eleven di Namchang-dong," Chanyeol berlutut untuk mengintip wajah Baekhyun dari bawah.
Ia lantas mengerutkan dahi, memandangi mata bocah itu yang tertutup rapat dengan mulut
setengah menganga. "Dasar bodoh."

"Apa?" Jongin berteriak, membuat Chanyeol harus menjauhkan ponsel dari telinga selama
beberapa detik. Terselip bising ricuh akan ambulans dan klakson mobil dari latar panggilan anak
itu. "Siapa yang bodoh?"

"Kau," jawab Chanyeol singkat dan datar, "Ramai sekali di sana. Berhati-hatilah. Terima kasih
sudah mau menolongku."

"Hey!" Jongin menjerit protes, tapi ia tertawa. "Tidak masalah! Kau berhati-hatilah juga, Yeol."

Panggilan terputus, dan Chanyeol memasukkan ponselnya dalam saku. Bergerak hati-hati, ia
perlahan menarik tas dari genggaman Baekhyun, memastikan bahwa sang kakak tidak terbangun
di sela-sela pengambilan. Seraya mencangklongkan tas ke punggung, ia terus memusatkan atensi
pada Baekhyun—mengamati ekspresi terganggu yang sempat hingga di wajah sang kakak.
Chanyeol menekan tombol "unlock"dari kunci mobil.

Memutarkan kursi Baekhyun ke kanan, ia—sekali lagi, dengan sangat berhati-hati—membenahi


posisi tidur Baekhyun supaya memudahkan lelaki itu untuk mengangkatnya secara bridal style.
Satu lengan menampa kaki sang kakak, tidak butuh waktu lama bagi Chanyeol untuk mengangkat
Baekhyun dari kursi. Ia cepat-cepat merapatkan genggaman pada bahu Baekhyun, membiarkan
kepala si mungil tersandar nyaman pada dadanya. Baekhyun mendesah protes ketika Chanyeol
sedikit mengangkat tubuhnya untuk menyamankan posisi.

"Ada yang bisa saya bantu?" seorang pegawai laki-laki berseragam 7-eleven menawarkan,
kemunculan mendadak pegawai itu agak mengejutkan Chanyeol.

"Tentu, terima kasih. Bisakah kau membuka pintu belakang?"

Pegawai tersebut mengangguk, langsung berlari ke mobil sedan hitam depan untuk melaksanakan
perintah. Chanyeol meletakkan tubuh Baekhyun ke kursi dalam posisi duduk tegak, namun ini
tidak menghentikan kepala sang kakak untuk terus bergerak ke kanan hingga tubuhnya pun ikut
terhempas ke sisi tersebut. Alis lelaki itu masih terangkat saat ia menutup pintu mobil. Chanyeol
kemudian membungkuk singkat pada pegawai tadi, bibir terangkat untuk menampilkan sebuah
senyum tipis.

"Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya."

"Sama-sama," pegawai itu balik membungkuk. "Hati-hati di jalan."

Chanyeol membuka pintu depan untuk memasuki mobil, dua tangan menggenggam setir sembari
menengadah ke kaca spion—tatapan pada Baekhyun bertahan selama beberapa detik. Menghela
nafas, sang adik cepat-cepat menstater mobil untuk menekan kopling.

CHAPTER 4

BETTER?

Seorang gadis cantik duduk termenung di bangku kantin, keringat dingin mengalir deras dari dahi
dan jantung berdegup terlalu kencang. Ia merapatkan genggaman pada sekotak kue cokelat,
mencoba untuk mengontrol detak jantung agar lebih tenang. Exhale, inhale. Siswi itu mengambil
tiga lembar tissue sekaligus untuk mengelap keringat, dan cepat-cepat menaburkan bedak tipis di
wajah. Tanpa lupa untuk melapis ulang bibir dengan lip gloss merah muda, ia mengambil nafas
dalam-dalam.

Pada saat bersamaan, seorang siswa tampan—diikuti oleh beberapa siswa lain di belakang—yang
ditunggu-tunggu muncul dari pintu masuk kantin. Rambut berantakan dan seragam tidak karuan
mungkin adalah style orisinil dari siswa itu sendiri, namun hal tersebut tidak dapat mengurangi
kemenarikan dirinya. Banyak pasang mata memandang ke arah siswa itu—ada yang ketakutan,
ada yang biasa saja, dan ada yang mati terpesona. Seperti biasa, ia tidak menghiraukan pandangan
mereka, dan menempati salah satu kursi kantin langganan.

Gadis cantik tadi menelan ludah tegang. Ia mengamati siswa itu dari kejauhan sambil berkali-kali
menarik dan membuang nafas. Menatap sekilas pada jam biru muda di pergelangan tangan, ia
mengangguk mantap pada diri sendiri. Perlahan tapi pasti, gadis itu berdiri dari bangku kantin yang
ia duduki dan melangkah cepat menghampiri sang siswa. Jantung berdebar-debar, ia berdeham
keras, menarik perhatian seluruh murid di kantin—serontak menghentikan aktivitas masing-
masing guna menonton langsung pertunjukan menarikini.

Sang siswa menoleh untuk memandang gadis itu dari atas ke bawah, tersenyum kecil. "Soojung,"
ia menyapa, memindahkan tubuh ke kanan dan menepuk-nepukkan ruang kosong di sebelahnya.
"Duduklah."

Soojung menggelengkan kepala. "Aku ingin mengatakan sesuatu."


Suasana kantin nyaris hening selagi Soojung berbicara, "Aku menyukaimu, Chanyeol-ah,"
wajahnya bertambah merah seiring detik berlalu. "Sudah dua bulan ini kita dekat, dan aku semakin
menyukaimu. Perhatianmu, kebaikanmu, aku tahu kau tidak seburuk yang mereka kira."

"Aku membuat ini," Soojung meletakkan sebuah kotak kue cokelat di meja. "Jika kau menerima
cintaku, makanlah satu dari kue itu," ia terhenti di tengah jalan untuk mengambil nafas, "J-jika
tidak… a-aku—aku minta maaf—"

Tindakan Chanyeol yang membuka kotak kotak kue tersebut ampuh membekukan sekujur tubuh
Soojung. Lelaki itu mengambil salah satu kue dan memasukkannya ke mulut untuk dikunyah
perlahan. Kantin yang tadinya hening seketika ramai kembali oleh banyak bisikan heboh antara
murid juga beberapa siswa lain yang bersuit dari jauh. Di sisi lain, Soojung menganga tidak
percaya, jantung berdegup kencang akan campuran perasaan lega dan bahagia tidak karuan. Gadis
cantik itu terlalu senang hingga ia gagal menangkap seringaian licik yang Chanyeol dan Jongin
diam-diam saling berikan.

Chanyeol bangkit dari bangku, mulut tidak kunjung selesai mengunyah kue—tubuh tercondong
untuk mendekati Soojung. "Bagaimana?" bisiknya ke telinga siswi itu, "Apakah ini yang kau
mau?"

Soojung menatapnya bingung, alis berkerut, dan belum sempat ia merespons, Chanyeol telah
terlebih dahulu meraih tangannya untuk dicium cukup lama. Senyuman manis di wajah sang
pujaan hati, sorakan keras para murid, berserta tepuk tangan yang heboh sukses membuat wajah
Soojung semerah buah apel. Ia menggigit bibir, berusaha sekeras mungkin untuk tidak tersenyum
lebar, dan terus memandang Chanyeol dengan ekspresi memuja. Lelaki tampan itu masih mencium
tangan Soojung, kepala setengah mendongak untuk mengunci pandangan mereka berdua.

Sayang, suasana romantis barusan tidak bertahan lama.

Karena apa yang keparat itu lakukan selanjutnya benar-benar di luar akal sehat manusia.

Membalikkan tangan Soojung, Chanyeol meludahkan kunyahan kue cokelat itu ke telapak sang
korban, meludahkan sisa-sisa cokelat bercampur liur ke atas kulit lembut Soojung. Serasa tidak
cukup, ia kemudian menuntun tangan Soojung untuk mengusapkan gumpalan cokelat kental tadi
pada kerah baju dan rambut gadis itu sendiri—meratakan semuanya sampai ke belakang telinga
Soojung. Jongin, yang kebetulan berposisi cukup dekat dengan lokasi kejadian, mengalihkan
pandangan sambil mengernyitkan hidung jijik. Soojung memandang lelaki itu gemetaran.

Tak ada yang berani bersuara seraya Chanyeol mengembalikan kotak kue itu pada Soojung.
"Pergi," katanya, suara datar dan bosan, "Aku tidak perlu memberitahu jawabanku untuk yang
kedua kali, bukan?"

Mata berkaca-kaca karena sakit hati dan malu yang luar biasa, Soojung lantas melempar kotak kue
itu ke tong sampah lalu berlari ke luar—membanting pintu kantin cukup keras untuk seketika
menyentak lamunan semua orang.
.

Agak sulit bagi Baekhyun, Minseok, dan Joohyun untuk menutup mulut mereka dari menganga
lebar-lebar setelah menyaksikan kejadian barusan. Samar-samar tangisan Soojung menggema di
lorong sekolah hingga ke kantin, memenuhi kesunyian kaku dalam ruangan. Chanyeol tampak
tidak terpengaruh, malah mengambil ponsel layar sentuh berukuran besar dari saku untuk
bermain game online. Butuh beberapa menit bagi suasana kantin untuk kembali seperti semula,
keheningan segera terpecah oleh kicauan para murid yang tidak lain menggosipi tragedi Soojung.

Salah satunya adalah Minseok dan Joohyun—minus Baekhyun, yang cukup sibuk pada dunianya
sendiri.

"Okay, aku suka tontonan barusan," kata Joohyun sembari mengunyah keras roti tawar berselai
stroberi. Ia mengambil jeda sebentar untuk menelan lalu melanjutkan: "Bitch deserves it."

Minseok mengangguk semangat. "Betul sekali, Joohyun-ssi," ia menyetujui, satu jempol diangkat
ke udara. "Semoga setelah penolakan besar-besaran dan memalukan ini, Soojung bisa sadar bahwa
ia bukan benar-benar sebuah 'krystal' seperti nama panggilannya yang bodoh itu."

Joohyun menahan tawa sampai hampir tersedak. "Minseok, astaga!" ia meneguk air putih untuk
menetralkan tenggorokan guna meredakam batuk yang cukup dashyat. Minseok ikut tertawa
melihat ini. Ketika dirasa agak baikan, Joohyun kembali bicara, "God, sampai detik ini aku tidak
mengerti kenapa jalang itu menyebut dirinya 'Krystal'?"

Minseok mengangkat bahu. "Mungkin karena ia menganggap dirinya sebagai sebuah 'kristal'," ia
mengarang meski cukup masuk akal, "Sesuatu yang indah, mahal, langka, tidak ternilai, dan
dikejar oleh banyak orang."

Joohyun berlagak mau pingsan. "Oh, cukup," ia menutup kedua telinga dramatis. "Aku tidak kuasa
mendengar bullshit tentang jalang itu dari mulutmu, Minseok-ssi."

Mereka berdua cekikikan sebelum Baekhyun mendadak angkat bicara, "Sudahlah, jangan
membicarakan hal yang tidak penting. Kalian terdengar seperti kelompok anti fans Soojung."

"Anti fans," ulang Minseok dan Joohyun dengan ekspresi jijik.

"Dan kau sendiri terdengar seperti gadis lemah di drama-drama yang selalu membela tokoh
antagonis," timpal Joohyun tidak mau kalah, "Ingat, Soojung pernah menjadi partner tugas
penelitianmu dahulu dan ia sama sekali tak mau kerja."
Minseok menyeringai. "Ha, rasakan itu."

Baekhyun terdiam sebentar. Ya, apa yang dikatakan Joohyun adalah benar. Jika ia boleh jujur,
Jung Soojung adalah satu dari deretan jalang di sekolah yang Baekhyun benci. Mereka berdua
menjadi partner untuk tugas penelitian kimia beberapa bulan lalu. Akan tetapi, mulai dari praktik,
pengambilan kesimpulan, sampai pengetikan karya ilmiah, Baekhyun-lah yang mengerjakan itu
semua. Soojung tidak mau ikut campur. Saat diminta pun (dengan cara baik-baik pula), ia justru
memaki Baekhyun di depan kelas.

Mengaku kalah, Baekhyun menjawab, "Baiklah. Ampun, Joohyun-nim."

Joohyun tersenyum penuh kemenangan lalu menggosip lagi, "Wow! Kalau dipikir-pikir lagi,
akting Chanyeol hebat juga, ya! Ia bisa membuat Soojung sepenuhnya percaya…"

Baekhyun tidak lagi menangkap kelanjutan ocehan Joohyun, memilih untuk fokus pada satu topik
yang sedari tadi membuntu pikiran.

Sepanjang jam belajar (termasuk sekarang, jam istirahat), ia telah berusaha mengingat-ingat
kejadian tadi malam, dan satu-satunya memori yang berhasil ia gapai adalah samar-samar dirinya
yang dibaringkan hati-hati di atas kasur. Selain itu… tidak ada. Ugh! Ingin rasanya Baekhyun
mengacak-acak rambut—suatu kebiasaan yang Chanyeol sering lakukan—untuk
mengekspresikan frustrasi. Namun sayangnya tindakan itu terpaksa ditunda, menyadari betapa rapi
dan bersahabat rambutnya hari ini. Jarang-jarang Baekhyun bisa bebas Bad Hair Day.

Ia menghela nafas, memainkan kelima jari di atas meja sambil diam-diam mengamati Chanyeol.
Rasanya tidak masuk akal kalau keparat itulah yang mencari, menjemput, sekaligus
menggontongnya pulang. Dari skala satu sampai sepuluh, Chanyeol adalah bajingan yang tingkat
sikap "malaikat"-nya berskala dua belas. Sangat tidak mungkin bagi Chanyeol untuk berkeliling
Seoul hanya untuk mencari Baekhyun. Apalagi selama ini Baekhyun selalu bersikap kejam
padanya.

Mungkin ia disuruh ayah?

Ya, bisa jadi. Tapi tetap saja timbul satu pertanyaan yang sama: dari mana ia tahu keberadaan
Baekhyun? Dalam keadaan ponsel yang mati (Chanyeol tidak akan bisa melacak nomornya lewat
aplikasi Android), dan Baekhyun juga sama sekali tidak mengabari Chanyeol bahwa ia
tersesat. Hell. Ini semakin membingungkan.

Ia menoleh, hendak melanjutkan pengamatan cuma-cuma pada Chanyeol, namun sialnya si keparat
sudah terlebih dahulu menatapnya. Jantung tiba-tiba berdetak kencang, Baekhyun mengerutkan
kedua alis sambil otomatis menoleh ke belakang, menolak untuk yakin bahwa Chanyeol memang
sedang memperhatikannya. Cukup mengejutkan, di belakangnya nyaris tidak ada siapa-siapa
kecuali seorang ibu kantin tua yang tengah tertidur pulas di atas meja. Alis semakin berkerut,
Baekhyun mengembalikan tatapan pada Chanyeol, tetapi keparat itu sudah terlebih dahulu fokus
pada ponsel lagi.
Minseok menepuk bahu Baekhyun santai, membuyarkan atensi bocah itu pada sang adik.
"Baekhyun," ia menggerakkan kepala ke kiri seperti memberi sinyal. Baekhyun mengikuti gerakan
kepala Minseok, dan berakhir bersitatap dengan Oh Sehun yang langsung melambai antusias
padanya.

Meskipun kondisi pikiran masih tergolong linglung, Baekhyun balik melambai—seratus persen
mengabaikan dehaman khas Joohyun dan Minseok.

Ia harap senyuman manis Sehun adalah penyebab dari detak jantungnya yang berpacu lebih cepat.

Baekhyun melempar tas ke sofa. "Aku pulang!" serunya, melepas sepatu dan kaos kaki kemudian
meletakkan mereka rapi di rak sepatu depan. Terdapat bibi Eunji yang sedang sibuk memasak di
dapur untuk persediaan makan malam, dan Baekhyun pikir ini adalah saat yang pas untuk
interogasi perihal misteri kemarin malam. Tidak ada Chanyeol maupun ayah yang akan ikut
campur.

"Baekhyun!" bibi Eunji menaruh secangkir teh hangat dan setoples biskuit stroberi di atas meja.
"Kemari sebentar. Jajan ini dahulu, sambil menunggu saengseon-gui selesai dipanggang."

Menyangkut biskuit stroberi, Baekhyun tidak akan basa-basi lagi dan langsung menyambar tiga
biskuit sekaligus untuk dikunyah bersamaan. "Wiwi (bibi)," katanya, malas memberi jeda khusus
untuk mengunyah. "Awowowowowo (apa Ayah sudah pulang)?"

Bibi menatap Baekhyun sebentar dengan tatapan geli. "Makan dahulu, baru bicara," katanya
sambil menggosokkan spons pada beberapa piring kotor.

Baekhyun tersenyum jahil, meminum sedikit dari cangkir teh hangat guna memperjelas
kalimatnya, "Apakah Ayah sudah pulang?"

"Belum."

Baekhyun berhenti mengunyah biskuit stroberi lalu perlahan menatap ke arah bibi Eunji. "Hari
Sabtu kemarin, Ayahmu berpesan pada bibi kalau ia akan dinas ke Amerika untuk beberapa
minggu. Takutnya ia tidak akan sempat mengecek anak-anak, jadi ia menitipkan kau dan Chanyeol
ke bibi. Sejak tiga hari lalu, Ayahmu tidak pernah menelepon. Ia pasti sangat sibuk."

Penjelasan bibi membuat Baekhyun semakin galau. Dua jam ia habiskan tidur-tiduran di bathtub,
mendengarkan tiga full album SNSD dalam konsentrasi tinggi. Semua petunjuk jelas sekali
mengarah pada Park Chanyeol, keparat busuk yang diam saja saat ia dilempar bola
basket. Argh. Mengerucutkan bibir jengkel (setiap kali mengingat kejadian itu), Baekhyun keluar
dari bathtub, mengeringkan badan dengan handuk sebelum berganti ke pakaian yang lebih santai.
Ia mengecek ponsel, dan di sana tertera satu notifikasi menarik: "One new missed call from Oh
Sehun".

Baekhyun meraih buku latihan kimia dari rak buku beserta beberapa alat tulis, dan turun ke bawah
untuk mengerjakan tugas di ruang makan. Jam kerja bibi Eunji sudah selesai sekarang sehingga ia
bisa bergerak bebas di rumah ini tanpa harus menjaga image. Tak sabar mengecek ponsel,
Baekhyun segera membaca beberapa pesan baru dari Sehun di KakaoTalk.

Oh Sehun: hyung! [20.00]

Oh Sehun: angkat telponku! [20.00]

Oh Sehun: hey, kau disana? [20.01]

Baekhyun menekan tombol voice call.

"Hyung!" tidak butuh waktu lama untuk Sehun menjawab panggilan Baekhyun, "Kau tertidur?"

"Ah, tidak," Baekhyun menjawab, tertawa canggung. "Aku sedang mandi tadi… ada apa, Sehun?"

"Apakah kau besok ada acara?" astaga, akankah ini… "Kau mau minum kopi denganku?"

…ajakan untuk berkencan?

Baekhyun membisu sejenak untuk berpura-pura berpikir, meski jawaban yang akan ia berikan
pastilah: "Ya, baiklah."

"Yehet!" seru Sehun, membuat Baekhyun mengangkat alis bingung. "Kutunggu besok
di Starbucks Seodaemun-gu jam sebelas pagi. Bagaimana?"

"Deal," dan Baekhyun menutup panggilan begitu Sehun mengucapkan "selamat malam".

Sambil meletakkan ponsel di meja, Baekhyun merasa sedikit aneh pada perasaannya yang
cenderung biasa-biasa saja—tidak gembira maupun heboh sendiri. Padahal Sehun barusan
mengajaknya berkencan. Ia seharusnya melompat bahagia dan berdansa ria, tetapi yang ada kini
ia malah duduk termenung linglung di kursi makan dengan tugas kimia yang merengek untuk
dikerjakan. Mungkin ia memang tidak benar-benar suka pada Sehun—hanya sebatas kagum akan
ketampanan sang adik kelas.

Entahlah.

Baekhyun mengambil pulpen dari kotak pensil lalu memusatkan atensi pada buku.
.

Seseorang menepuk-nepuk bahunya.

Baekhyun mengerjapkan mata beberapa kali, memaksakan diri untuk membuka mereka (walaupun
rasanya berat sekali) sebelum mendongak ke atas. Chanyeol tengah menatap ke arahnya, wajah
keringatan yang cukup lebam. "Dalam rangka apa kau tidur di meja makan?" tanya keparat itu,
suara agak serak. Ia mengambil sebotol bir dari kulkas untuk dituangkan ke dalam gelas kecil.

Baekhyun mengerutkan bibir kesal, membenarkan posisi untuk duduk lebih tegap. "Kau masih
enam belas tahun dan sudah minum bir," ceplosnya tanpa pikir panjang.

Chanyeol tidak menghiraukan Baekhyun, meletakkan gelas tersebut di atas kulkas lalu berjalan
menuju sofa sebelum menghempaskan tubuhnya di sana. Ia menggunakan satu lengan sebagai
bantal sembari menutup mata. Baekhyun menatap Chanyeol heran. Keparat itu masih mengenakan
seragam lengkap (hanya saja terlihat lebih kumel dan tidak karuan), dan bahkan belum sempat
melepas sepatu serta kaos kaki. Lantas bagaimana mungkin ia akan tidur nyenyak dengan keadaan
seperti itu? Tolol sekali, batin Baekhyun.

Entah inisiatif dari siapa, Baekhyun mengambil satu cup ramen di meja makan (yang tadinya
hendak ia makan sebelum tertidur), menumpahkan isi bumbu ke dalam, lalu menuangkan air
panas. Selagi menunggu ramen instan untuk jadi, Baekhyun mengambil kantung plastik seadanya
dan menghampiri Chanyeol. Ia meletakkan cup ramen di meja kemudian memasangkan kantung
plastik di masing-masing jemari sebagai pengganti sarung tangan. Duduk bersila di hadapan
Chanyeol, Baekhyun lalu melepas salah satu sepatu Chanyeol dengan cara yang cukup ekstrem:
ditarik begitu kasar hingga sang adik ikut terseret ke depan, kepala otomatis membentur keras
dinding sofa.

Mata Chanyeol serontak terbuka, sedikit mendelik karena terkejut bukan main. "Baekhyun!" yang
disahut tidak merespons, justru mempercepat daya kerjanya: melepaskan sepatu Chanyeol yang
satunya beserta masing-masing kaos kaki. Chanyeol tidak berkata apa-apa lagi setelah itu, selain
terus menatap Baekhyun dalam diam—kali ini menggunakan ekspresi khasnya yang datar dan
bosan itu lagi.

Baekhyun menunjuk pada sebuah cup ramen di atas meja. "Makan itu."

Chanyeol menatap datar cup ramen tersebut.

Baekhyun mengulangi komando barusan dengan intonasi lebih mengancam: "Makan itu sebelum
dingin, Park."
Karena keparat itu bersikeras untuk membisu, Baekhyun pun memutar mata. Ia menaruh terlebih
dahulu sepatu Chanyeol di rak sepatu kemudian mendatangi keparat itu, memilih untuk duduk di
pinggir sofa. "Aku tidak akan meracunimu, jadi makanlah. Sebelum dingin."

Chanyeol menoleh untuk menatap lurus ke mata Baekhyun, ekspresinya masih datar. Entah kenapa
tatapan Chanyeol semakin membuat Baekhyun merasa gugup dan terintimidasi, jadi ia berusaha
untuk menutupi perasaan-perasaan aneh itu dengan berseru, "Lupakan!" serangnya mendadak,
"Kalau kau tidak mau makan, buang saja ramen itu! Bye!"

Kesal, Baekhyun langsung meninggalkan Chanyeol di ruang keluarga dan masuk ke kamar, agak
lupa untuk menutup pintu. Ia lantas menujukan tatapan kosong pada tembok sambil mengerutkan
dahi. Kenapa ia bisa sebodoh ini? Baekhyun ingin mengubur diri hidup-hidup. Sekarang harga
dirinya sudah jatuh seratus persen—bahkan lebih! Park mungkin menganggapnya tengah
bersandiwara layaknya seorang kakak yang peduli, dan sungguh, tiada hal lain yang lebih buruk
selain dianggap "berlagak peduli" oleh keparat satu itu.

Tambah kesal, Baekhyun hendak menutup pintu sepenuhnya ketika ia tidak sengaja menangkap
pandangan mencengangkan dari ruang keluarga.

Chanyeol sedang memakan ramennya.

Untuk beberapa detik, Baekhyun sempat terpaku di tempat, menganga tidak percaya akan apa yang
ia kini tonton. Namun karena Chanyeol mendadak berdiri dari sofa, sang kakak terpaksa
menghentikan aksi mengintip dengan terburu-buru menutup pintu, jantung anehnya berdebar-
debar gila—memastikan bahwa tidak ada bunyi yang ditimbulkan sebelum menatap tembok lagi
bersama ekspresi yang jauh lebih kosong. Biar ia ulangi: Chanyeol sedang memakan ramennya.
Baekhyun tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia melompat ke tempat tidur dan membaringkan
tubuh di atasnya, mengamati langit-langit kamar yang baru-baru ini ia dekorasikan
dengan wallpaper benda-benda luar angkasa.

Pelan-pelan, Baekhyun memejamkan mata.

Mungkin Chanyeol tidak seburuk yang ia kira.

Chapter 5: Way Better

CHAPTER 5
WAY BETTER

Untuk seorang pemuda SMA berwajah setampan artis, selera fashion tinggi, dan postur tubuh
model, Oh Sehun tergolong agak sassy.

Baekhyun baru menyadari fakta mengenaskan ini setelah beberapa kali menyetujui ajakan
"kencan" dari Sehun—walau ia tidak seberapa yakin apakah mereka benar-benar sedang
"berkencan". Mereka selalu bertemu di Starbucks, dan Sehun sering membelikan segelas Iced
Coffee cuma-cuma, membuat Baekhyun lumayan berbunga-bunga karena tingkah
laku gentleman si adik kelas. Mereka akan berbincang-bincang tentang sekolah, segala macam hal
membosankan dari mata pelajaran fisika sampai ulangan harian matematika, hingga akhirnya
Baekhyun mencoba mencari topik yang lebih seru—hanya berusaha menghindari situasi canggung
yakni membicarakan isu-isu panas para murid populer di sekolah. Jujur saja, Baekhyun tidak suka
bergosip ("Kau membosankan, Baek!" kata Joohyun). Akan tetapi kalau kau mempunyai teman-
teman dekat seperti Minseok dan Joohyun, kau dijamin tidak pernah ketinggalan gosip terbaru.

Sehun, rupanya, jauh lebih up-to-date dari Minseok dan Joohyun. Begitu Baekhyun mengajaknya
bergosip, anak itu mendadak jadi semangat dan penuh energi. Hilang sudah seorang Oh Sehun
yang tenang, keren, dan gagah, tergantikan oleh sosok baru yang sedikit berlebihan, banyak bicara,
serta cukup sassy. Sesi "kencan" mereka tidak lagi canggung dan hening, tapi ramai dan kisruh
oleh cekikikan Baekhyun. Meskipun ia bisa dibilang agak terkejut dengan transformasi 360° sang
adik kelas, tidak bisa dipungkiri bahwa tingkah laku Sehun membuat Baekhyun sangat terhibur.

"God, Baekhyun, aku benci Song Minho!" ujar Sehun, di sela "kencan" keempat mereka,
mengangkat secangkir cokelat panas ke mulut untuk dicicipi, dan meninggalkan jejak krim putih
di sana. "Ia selalu berlagak keren dan cuek padahal di Instagram… Hell! Kau lihat selca-selca yang
ia unggah? Menjijikkan! Ia tidak mahir aegyo!"

Baekhyun mengamati Sehun yang secara tidak elit mengelap sisa krim di bibir dengan telapak
tangan. "Aku tidak tahu…" jawab sang kakak kelas apa adanya sembari meneguk sedikit dari Iced
Coffee pemberian gratis Sehun. "Aku tidak pernah online di Instagram."

Sehun memutar mata dramatis. "Yah," ia memulai, meletakkan cangkir cokelat panas ke atas meja
agak kasar lalu menatap Baekhyun serius. "Ini 2015, kau harus aktif di Instagram," ia mengambil
ponsel dari saku, berkutat dengan barang itu sebentar sebelum mendekatkan layar ponsel ke muka
Baekhyun. "Lihat! Kau membuat Instagram 156 minggu yang lalu, dan kau hanya mengunggah
satu foto! Mengenaskan!"

Baekhyun sungguh tidak mengerti apa yang "mengenaskan" dari fakta tersebut. "Yah," ia
memplagiat cara bicara Sehun, "Jangan menasehatiku, hoobae. Tidak sepertimu, aku punya
kesibukan."

"Jangan alasan! Chanyeol juga punya kesibukan dan ia—"


Baekhyun hampir tersedak. "A-apa maksudmu?!" ia langsung memotong, mata mendelik ke arah
Sehun. "Bagaimana bisa kau menghubung-hubungkan ini dengan—uh, Chanyeol?!"

Sehun menatapnya lama bersama bibir yang perlaham melengkung sedikit ke kanan,
mempertunjukkan seringai licik yang ternyata bisa muncul di muka seorang Oh Sehun. "Kau…"
ia mencondongkan tubuh agar wajah mereka berdekatan. "…kakaknya Park Chanyeol, bukan?"

Baekhyun mendorong Sehun menjauh, nyaris membuat si adik kelas terlempar ke belakang jika
saja ia tidak berpegangan pada meja. "Jangan mengarang!" ekspresi Baekhyun jelas terbaca panik
dan khawatir, tapi ia berusaha untuk tetap menyangkal. "Tidakkah kau lihat kami berbeda marga
begini?!"

Sehun merapikan poni sejenak, menyandarkan punggung ke belakang sambil menyilangkan


tangan di dada. "Mana kutahu," ia menunjukkan jari pada wajah Baekhyun. "Itu adalah tugasmu
untuk memberitahuku."

"Jangan gila!" seru Baekhyun, masih menyangkal. "Cerpenmu bagus sekali, Sehun-ssi.
Memasangkan seseorang seperti diriku dan Chanyeol sebagai kakak adik."

Sehun malah tersenyum, setengah bangkit untuk meluruskan punggung. "Kalau begitu jelaskan
padaku kenapa Ayah Chanyeol yang mengurus dokumen sekolahmu dan kenapa ia berkata bahwa
kau adalah 'putranya'."

Baekhyun menatap Sehun tidak percaya. "Kau…" sang kakak kelas tahu ia sudah kalah telak, jadi
tidak ada gunanya bersikeras untuk menyangkal. "…keparat 2.0," ia menghela nafas kemudian
memandang Sehun dingin. "Sekarang aku ragu apakah kau sungguhan menyukaiku atau tidak."

Mendengar ini, mata Sehun melebar tercengang. "Apa kau bilang?" ia bolak-balik menutup dan
membuka mulut seperti kehilangan kata-kata sebelum mukanya mendadak pucat, seolah-olah ia
baru menyadari sesuatu dan cepat-cepat menatap Baekhyun dengan ekspresi panik
total. "Hyung," ia berbisik, "Kau… k-kau tidak berpikir aku menyukaimu, kan?"

Baekhyun tidak menjawab, dan unsur muak yang terpancar di air muka si kakak kelas lebih dari
cukup untuk membuktikan bahwa apa yang ia katakan adalah benar.

"Hyung, ya ampun!" Sehun meletakkan tangan di dahi frustrasi, suatu tindakan facepalm terlucu
yang Baekhyun pernah lihat seumur hidupnya. "Aku bersumpah aku tidak pernah menyukaimu,"
ia berterus terang, menghindari tatapan menghakimi yang Baekhyun tembakkan padanya.
"Hell! Aku tidak tahu, hyung, kenapa semua orang yang aku dekati mengira aku menyukai mereka.
Pertama, Lu Han! Dan sekarang kau!"

Baekhyun mengangkat alis, tidak tahu harus tertawa—karena ekspresi Sehun yang berlebihan—
atau merengek—karena kehilangan satu-satunya kandidat kekasih. Memang jauh sebelum sikap
Sehun berubah total, Baekhyun untungnya sudah tidak seberapa tergila-gila dengan Sehun—hanya
sebatas penggemar biasa wajah tampan anak itu. "Mungkin kau berbakat menjadi tukang PHP," ia
menyeringai ke direksi Sehun. "Pemberi Harapan Palsu."
"Aku tidak pernah memberi harapan palsu!" Sehun menggeram, memberi penekanan tegas pada
setiap kata. Baekhyun tertawa. "Biar kujelaskan padamu, hyung. Aku tidak pernah menyukaimu
dan setiap acara hang out kita bukanlah 'kencan'. Okay. Harap ingat baik-baik."

Baekhyun memutar mata. "Cerewet. Dasar bajingan PHP."

"Aku bukan bajingan dan aku tidak memberi harapan palsu!" Sehun berseru cukup lantang hingga
beberapa orang menoleh dan memberinya tatapan aneh. Sehun mengabaikan pandangan mereka
sembari melanjutkan dalam volume suara yang lebih kecil, "Baiklah," ia menepuk kedua tangan.
"Kau tidak terlihat marah, dan aku anggap kita damai. Pertanyaannya adalah… apakah kita masih
bisa berteman sekarang?"

"Mungkin," Baekhyun mengangkat bahu. "Asal kau berjanji untuk tidak menyebarkan ke semua
orang bahwa aku adalah kakak Chanyeol."

Sehun mengulurkan tangan, dan Baekhyun agak ragu-ragu menjabat tangannya.

"Tenang saja, aku tidak pernah berniat untuk membocorkan itu ke siapa-siapa."

Jongdae tidak berhenti tertawa. Ia justru cekikikan gila sambil menepuk-nepukkan tangan, suatu
kebiasaan yang ia selalu lakukan tiap mendengar atau melihat sesuatu yang lucu. Ia sekarang
mengguling-gulingkan diri di lantai, sementara Baekhyun cuma menatapnya datar lewat layar
ponsel. Jongdae tidak kunjung berhenti meski tawanya mulai mereda.

"Biar kuulangi," ujar sahabatnya di seberang sana, agak terbatuk-batuk, "Satu, Oh Sehun tahu
status persaudaraanmu—"

"Status persaudaraan," Baekhyun mengulangi, mengerutkan hidung geli. "Bahasamu tinggi


sekali, Kim Jongdae."

"Jangan potong aku!" protes Jongdae, mengangkat kepalan tangan ke arah kamera seakan hendak
mengeroyok Baekhyun. "Dua, Sehun tidak pernah menyukaimu," ia menahan tawa, "B-nim, kau
sudah di-PHP olehnya selama seminggu lebih!"

"Aku tahu!" Baekhyun menyandarkan ponsel ke toples kue sampai berdiri tegak sempurna lalu
mengaca sebentar lewat kamera untuk merapikan poni. "Ia mempunyai bakat alami untuk menjadi
tukang PHP."
Jongdae mengerucutkan bibir. "Tapi… bagaimana Sehun tahu bahwa kau adalah kakak Park
Chanyeol?"

"Ia adalah anak kepala sekolah kami," jawab Baekhyun, mencoba mengulang semua yang Sehun
jelaskan tadi. "Oh-seonsaeng memberitahunya soal aku—kakak Park Chanyeol. Ia jadi penasaran
dan berusaha mencari tahu. Alhasil, ia kaget."

"Kaget kenapa?" Jongdae menyeringai, "Apa karena kau terlalu cantik untuk menjadi kakak
kandung Park Chanyeol?"

Baekhyun menghembuskan nafas kesal. "Itu adalah salah satunya," ia lalu balik menyeringai. "Ia
juga kaget begitu menyadari bahwa aku adalah mantan master-
nim dari fansite YOOAREMYDESTINY."

"Fansite bodoh itu," Jongdae menggeleng-gelengkan kepala selagi Baekhyun berteriak "jaga
omonganmu, Jongdick!". "Jadi… bias-nya Yoona?"

"Sooyoung," Baekhyun mengingat-ingat, "Tapi kau tahu betapa terkenalnya fansite-ku, bukan?
Semua SONE pasti mengenal YOOAREMYDESTINY."

"Ya, ya, ya," Jongdae terlihat muak. Ia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi
Baekhyun tidak dapat mendengar apa-apa lagi, terganggu oleh suara nyaring familiar akan sepeda
motor yang terparkir di halaman depan.

"Chanyeol datang!" bisik Baekhyun, tidak peduli apakah Jongdae bisa mendengar suaranya atau
tidak dan segera memutus panggilan Skype. Ia meletakkan ponsel di kursi, terburu-buru
memasang earphones dan memasang raut wajah konsentrasi sambil mencoret-coret asal pada
pojokan kertas buku latihan ekonomi. Suara langkah kaki tegas mendekat dan pintu kemudian
terbuka cukup lantang. Baekhyun tambah memaku di tempat, pura-pura mengangguk-anggukkan
kepala seakan menikmati "musik" dan tidak menyadari kehadiran Chanyeol.

Baekhyun dapat merasakan tatapan datar Chanyeol pada dirinya, dan tak lama kemudian keparat
itu mendadak berkata: "Imajinasimu pasti tinggi sekali, Byun."

Yang lebih tua mau tidak mau menoleh untuk melihat Chanyeol terduduk santai membelakanginya
di depan televisi. "Maksudmu?" tanyanya, sebab ia memang tidak mengerti apa yang keparat itu
maksud. Chanyeol menoleh ke Baekhyun sekilas untuk mengarahkan pandangan kosong pada
ujung kabel earphones yang tergeletak di atas meja—belum terpasang dalam ponsel atau alat
elektronik apa pun—sebelum mengembalikan atensi ke layar televisi.

Wajah Baekhyun memerah, dan ia langsung melepas kedua earphones, mendelik pada punggung
Chanyeol dari belakang. 1-0. Baekhyun lagi-lagi berhasil mempermalukan dirinya di depan
keparat idiot macam Park Chanyeol. Ia menatap sebuah pensil runcing di meja, bertanya-tanya
apakah ia harus menusukkan pensil tersebut ke mata Chanyeol.
Pemikiran balas dendam itu, sayangnya, harus ditunda karena suatu bunyi lucu akan perut
keroncongan yang tiba-tiba menggema keras di ruangan.

Baekhyun otomatis menoleh ke arah Chanyeol, mengedipkan mata bingung karena keparat itu
sudah telanjur menatapnya datar dengan telinga goblin lebar yang memerah. Mereka terus menatap
satu sama lain, suasana begitu hening dan canggung, sebelum salah satu dari mereka angkat
bicara—seuntas seringai main-main menghiasi wajahnya.

Baekhyun menahan tawa. "Kau lapar?"

Chanyeol bermain bisu, mengabaikan kakaknya dengan pura-pura terfokus menonton drama
komedi yang tengah diputar ulang di televisi. Padahal jelas sekali kedua telinga lebar keparat itu
sangat merah, menandakan bahwa ia sangat malu oleh kejadian barusan. Baekhyun tidak terlalu
mempersalahkan; ia tahu mereka berdua sama-sama berharga diri tinggi. Wajar bila Chanyeol
kadang berlagak layaknya seorang laki-laki berdarah biru.

Merasa agak déjà vu, Baekhyun mengambil sepanci kecil sup ayam yang dimasak bibi Eunji untuk
makan malam. Menyalakan api paling kecil, ia meletakkan panci tersebut di atas kompor untuk
dihangatkan. Ia kemudian menyandarkan punggung di lemari es dan menyahut, "Yah, kemari kau."

Chanyeol masih mengabaikan.

"Tidak usah berlagak jual mahal dan kemarilah."

Chanyeol lebih melekatkan pandangan pada layar televisi.

"Wah," seru Baekhyun, suara dibuat sedatar mungkin—memplagiat cara bicara si keparat, selagi
ia ikut menyaksikan pengulangan drama Boys Over Flowers dari jauh. "Aku tidak tahu kau suka
drama macam ini, Park. Mengagetkan."

Chanyeol tiba-tiba mematikan televisi dan menoleh ke arah yang lebih tua bersama tatapan yang
datar dan bosan. "Apa kau tidak pernah diajarkan cara untuk diam, Byun?" ia kemudian berdiri,
dan memutar tubuh ke belakang, berjalan menghampiri Baekhyun—yang otomatis menelan ludah
ketakutan. Shit, aura keparat itu benar-benar mirip dengan seorang psikopat menyeramkan di film
layar lebar Amerika, dan Baekhyun, di bawah alam sadar, mengambil satu langkah mundur ke
belakang. "Kalau tidak," kini Chanyeol sudah berdiri di hadapan Baekhyun—keduanya terpisah
oleh meja bar—satu tatapan sama datarnya dilemparkan ke direksi sang kakak. "Aku bisa
mengajarimu."

Suasana terasa mencekam, dan syukur kepada para dewa-dewi di angkasa, Baekhyun
terselamatkan oleh suara khas masakan yang sudah mendidih. Ia segera memasangkan sarung
tangan untuk mengangkat panci tersebut guna diletakkan ke atas meja bar, tepat di depan figur
tinggi Chanyeol. Melempar sarung tangan tadi ke dalam laci, Baekhyun menunjuk pada tempat
duduk kecil di hadapan bar. "Mungkin kau bisa mengajariku setelah kau makan."

"Bagaimana kalau aku tidak mau?" balas Chanyeol, intonasi nada datar tapi menantang.
Baekhyun tersenyum. "Bisa kupastikan kau akan operasi plastik malam ini juga," senyuman manis
itu seketika musnah tergantikan oleh ekspresi mematikan. "Kau tentu tidak keberatan, bukan, jika
aku menyiramkan seluruh kuah sup mendidih ini ke wajahmu?"

Chanyeol tidak menjawab, dan Baekhyun mengambil kesempatan yang ada untuk meletakkan
sebuah mangkuk kecil di sebelah panci. "Aku sudah makan, jadi kau habiskan saja semuanya,"
Baekhyun memberanikan diri untuk keluar dari ruangan bar dan mengambil buku latihan fisika di
meja beserta alat tulis. Sang kakak tidak menatap Chanyeol saat ia berkata, "Selamat makan."

RETURN OF THE DANDELION

Dari sekali, dua kali, tiga kali, angkanya terus meningkat hingga apa yang Baekhyun awalnya
sekadar asal lakukan menjadi suatu kebiasaan.

Ia kini selalu menunggu Chanyeol di ruang makan, menghangatkan makanan yang sudah ada, atau
kalau sungguh terdesak, sang kakak akan menggoreng telur dadar sederhana atau merebus ramen
instan. Baekhyun tidak tahu sejak kapan ia mulai berlagak peduli dengan si keparat, namun sejauh
ini lelaki itu anehnya tidak protes. Ia pun tidak pernah berterima kasih atau berkomentar selagi ia
melahap makan malam yang disiapkan sang kakak.

Baekhyun sendiri juga tidak terlalu mempermasalahkan. Tiga minggu lebih terlewati sejak ia mulai
benar-benar "merawat" Chanyeol, dan hubungan mereka sudah cukup membaik—setidaknya
begitulah menurut Baekhyun. Mereka tidak adu mulut sama sekali. Chanyeol bahkan selalu diam,
tidak menanggapi Baekhyun yang sering mengoceh, mengomentari betapa kotor kemeja seragam
sang adik.

Baekhyun sering-kali menanyakan beberapa hal bodoh seperti: "apa rahasiamu untuk bisa tahan
banting begini?", "kalau aku memukul kepalamu dengan wajan, apa kau akan merasa kesakitan?",
atau "apa kau pernah bertemu seorang mafia?". Chanyeol lebih banyak diam, enggan menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut dan malah memutar mata bosan sebagai respons singkat. Akan
tetapi, ada kalanya keparat itu menjawab "hm" atau kalau ia sedang dalam suasana hati baik (yang
mana jarang sekali terjadi), ia akan bercerita sedikit tentang lawan keroyokannya.

"Ini," Baekhyun meletakkan sebuah cup ramen instan di meja. "Bibi Eunji ada acara jadi ia tidak
sempat membuatkan kita makan malam. Aku tadi juga makan ramen karena bahan makanan di
lemari es habis semua. Tidak ada yang bisa dimasak."

Chanyeol mengangkat bahu. Ia memecah sumpit jadi dua lalu mulai makan. Baekhyun mengamati
sejenak dari depan sebelum membuka buku paket biologi untuk membaca sekilas materi bab yang
akan dibahas minggu depan. Sekalipun terfokus pada bacaan, ia tetap merasakan tatapan datar
yang diarahkan Chanyeol terhadapnya. Menghela nafas lelah, ia menengadah sambil menutup
bukunya kasar. "Apa?"

"Byun," Chanyeol memulai, meletakkan kedua sumpit di meja untuk memusatkan perhatian penuh
pada sang kakak. "Apa kau merencanakan sesuatu?"

Baekhyun mengangkat alis. "Apa maksudmu?"

"Kau tiba-tiba menjadi malaikat begini," Chanyeol meneruskan, ikut-ikutan mengangkat alis.
"Kau menyiapkanku makanan setiap hari. Aku tidak tahu apa kau sedang bersikap tulus atau
merencanakan sesuatu di belakangku."

Baekhyun terdiam sebentar, balik menatap Chanyeol tanpa ekspresi. Sebenarnya, beberapa
minggu lalu, di tengah sesi curahan hati dengan sahabatnya di Daejeon—Jongdae telah
menyadarkannya beberapa hal. Adiknya itu... ia tidak sepenuhnya brengsek. Chanyeol memang
tidak sopan. Ia tidak tahu tata krama, dan suka membantah saat dinasehati—semua hal itu cukup
membangkitkan amarah yang jarang muncul dalam seorang Byun Baekhyun. Namun Baekhyun
sadar betul bahwa sedari awal ia menginjakkan kaki di rumah ini hingga sekarang, Chanyeol tidak
pernah sekalipun melayangkan satu tonjokan kepadanya. Padahal, kalau dipikir-pikir, Baekhyun
sering menghinanya, mengatainya segala panggilan yang sangat kasar. Sementara di setiap adu
mulut mereka, Chanyeol tidak pernah mengatainya apa pun kecuali "Byun"—separah-parahnya
kata-kata Chanyeol (yang sejujurnya tidak parah, justru sering ada benarnya, namun si keparat
selalu menggunakan bahasa yang kejam berbumbu sarkasme), ia tidak pernah memanggil
Baekhyun dengan sebutan-sebutan menyakitkan.

"Kalau aku jadi Chanyeol, aku pasti sudah menghabisimu, Baek. Tidak peduli siapa pun
dirimu," Baekhyun masih ingat jelas kata-kata Jongdae sore itu, "Tapi, lihat. Chanyeol tidak
pernah memukulmu. Ia tidak mau memukulmu, Baek. Kurasa ia cukup peduli denganmu."

Ya, dan Baekhyun rasa perkataan Jongdae ada sedikit benarnya.

Chanyeol adalah seseorang yang "menyelamatkan" Baekhyun saat tragedi 7-eleven.

"Kau benar," Baekhyun menjawab pada akhirnya, memasang wajah ala psikopat kejam, "Aku
memang merencanakan sesuatu di belakangmu, Park Chanyeol," ia mencondongkan tubuh untuk
mengecilkan jarak di antara mereka dan tersenyum licik. "Berhati-hatilah."
Wajah Chanyeol seketika memerah. Entah itu karena asap panas yang ditimbulkan kuah ramen
atau emosi yang meluap-luap sebab baru saja dipermainkan si kakak. Yang jelas Baekhyun tertawa
terbahak-bahak sambil menunjuk lagi cup ramen tersebut. "Sudahlah! Jangan banyak bicara dan
habiskan."

RETURN OF THE DANDELION

Dua minggu sebelum suneung (ujian masuk perguruan tinggi) membuat Baekhyun 100% muak.

Ia mengurangi hang out bersama Sehun di Starbucks, dan mengurung diri di rumah setiap hari,
mencicil materi berbagai mata pelajaran yang diujiankan. Baekhyun mengetik ulang bahan di
komputer, menjadikan mereka format PDF supaya bisa dipelajari lewat iPad di waktu luang. Ia
tidak bisa streaming konser dunia Girls' Generation atau menonton nonton Netflix. Baekhyun
bahkan rela bangun subuh untuk menambah waktu belajar. Ambisi untuk menjadi mahasiswa
kedokteran Seoul National University begitu tinggi, dan ia akan belajar sekeras mungkin.

Dibanding murid-murid lain, Baekhyun tergolong jauh lebih siap dari mereka. Ia sudah belajar
terlebih dahulu, bahkan sebelum tahun ketiga dimulai, jadi waktu yang ia miliki agak longgar—
berbeda dengan teman-teman sekelasnya. Ia tidak ikut kelas tambahan—hanya kelas bahasa
Jepang, dan lebih banyak belajar sendiri. Ya, beginilah nilai plus dari seorang anak pintar dan
terlalu rajin seperti Byun Baekhyun.

"Fuck this!"

Baekhyun mendadak berseru. Kali ini ia terlalu malas untuk mengambil buku paket bahasa Jepang
yang ia lempar di lantai agar dipelajari lagi, justru bangkit dari tempat duduk—mengernyit sejenak
akan rasa sakit yang muncul dari pantatnya karena berjam-jam duduk untuk belajar—sebelum
berganti ke pakaian yang lebih wajar: sweater biru doker dan celana jeans. Ah, pakaian yang cocok
dipakai di pra-musim dingin begini. Tanpa merapikan rambut, Baekhyun keluar dari kamar
bersama ponsel di genggaman, hendak menelepon Sehun untuk mengajaknya makan bersama.
Hampir saja ia menekan tombol "call", suara bass seseorang tiba-tiba muncul mengisi keheningan.

"Mau jalan-jalan, Byun?"

Baekhyun seketika menoleh, mulut menganga tidak percaya melihat sosok Park Chanyeol yang
terduduk di sofa, membawa gitar hitam di dada. "Chanyeol?!" ia menunjuk bingung ke arah
keparat itu, dan malah balik bertanya: "Kenapa kau di sini? Kupikir kau sibuk keroyokan di luar
sana."

Chanyeol meletakkan gitarnya di sofa. "Kenapa?" ia memasukkan gitar tersebut hati-hati ke


dalam case. "Apa aku salah duduk di sofa rumahku sendiri?"

Baekhyun mengerucutkan bibir. "Kau PMS? Sensitif sekali," Chanyeol mengangkat bahu bosan.
"Aku ingin makan piza."

Chanyeol melirik ke jam dinding kuno pemberian nenek pada dinding. "Sudah jam sembilan, dam
kau mau makan piza," ia mengembalikan tatapan kosong pada Baekhyun. "Seminggu lalu kau
bilang kau ingin 'diet'."

"Persetan dengan diet," Baekhyun segera menyahut, "Oh ya!" serunya, "Sekarang terserah padamu
mau ganti baju atau tidak, kau harus antarkan aku ke Pizza Hut."

Chanyeol menatap Baekhyun datar. "Malas."

"Harus!" Baekhyun, bernotabene lebih pendek dan tiga persen lemah dari yang lebih muda,
menyeret tubuh Chanyeol menuju pintu. Bukannya melawan, Chanyeol justru membiarkan
tubuhnya terseret begitu mudahnya oleh sang kakak. "Kau antarkan aku sampai tujuan lalu kita
makan bersama. Rencana yang bagus, bukan?"

"Tunggu," Chanyeol melepas paksa cengkeraman sang kakak pada lengan kirinya. "Aku akan
ambil kunci sepeda motorku dahulu."

Seharusnya mereka naik mobil.

Tidak, Baekhyun berubah pikiran. Seharusnya mereka naik kendaraan umum saja. Ia suka naik
bus di malam hari, suasana aman dan tenang karena tidak banyak orang berdesakan seperti di pagi
dan siang hari. Lagi pula, bus tidak suka mengebut. Bus berjalan pelan dan hati-hati seolah
menenangkan Baekhyun.

Berbeda cerita dengan menaiki sepeda motor yang disetir Park Chanyeol.

Neraka.

Benar, hanya kata "neraka" yang bisa mengekspresikan rasa duka dari pengalaman digonceng Park
Chanyeol.

"Yah! Brengsek!" teriak Baekhyun kala mereka sampai di depan restoran Pizza Hut dekat rumah.
Ia cepat-cepat turun dari sepeda motor balap milik Chanyeol, melepas helm dan melemparnya
kasar ke perut Chanyeol.

"Baek—"

"Yah!" ulang Baekhyun, berteriak lebih keras untuk menyela Chanyeol. "Tolong jelaskan padaku
apa-apaan tadi?! Aku hampir mati, brengsek!"

Ekspresi Chanyeol datar. "Tapi kau tidak mati."

"Hampir," Baekhyun menekankan kata lebih keras, "Hampir mati, Park!" ia melambaikan tangan
di udara frustrasi. "Posisi sepeda motormu terjebak di antara dua truk! Kita bisa saja terbunuh,
bodoh!"

Baekhyun menggumam pelan—agak kurang pelan karena Chanyeol masih bisa mendengarnya,
"Ugh, aku kapok mempercayai anak kecil untuk menyetir kendaraan."

Chanyeol memasukkan tangan ke dalam saku. "Kau mau makan atau tidak?"

Mereka—atau lebih tepatnya, Baekhyun; Chanyeol diam saja—memesan satu piza Whole Shrimp
Cheese Bite ukuran medium dan dua gelas jus jeruk, tak memberi kesempatan pada sang adik untuk
menyuarakan minuman apa yang ia ingin pesan. "Kau yakin tidak mau pesan apa-apa?" tanya
Baekhyun, beberapa saat seusai pelayan Pizza Hut yang tadi mencatat pesanan mereka pergi.

Chanyeol menatap Baekhyun bosan. "Kau baru menanyaiku sekarang."

Baekhyun mengedikkan bahu tidak bersalah. "Karena tadi aku kesal denganmu."

"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Chanyeol, intonasi nada malas layaknya suara
otomatis Google Translate versi laki-laki, "Kau mau aku mengejar pelayan tadi untuk
memberitahunya pesananku?"

"Jangan berlebihan, Park."

"Aku tidak berlebihan, Byun."


"Kalau begitu," Baekhyun memberi isyarat menggunakan tangan, mempersilahkan Chanyeol
untuk berdiri. "Kejarlah dia, Park," bisiknya main-main, memberi jeda sebentar lalu membuka
mulut guna bernyanyi cempreng dibuat-buat, "Lari, lari, lari!"

"Aku tidak kemari untuk mendengarmu bernyanyi soundtrack Tsubasa."

"Kenapa? Bukankah itu serial kesukaanmu?"

Tatapan Chanyeol selalu datar. "Teruslah mengarang."

"Aw," Baekhyun mengerucutkan bibir. "Bagaimana mungkin kau tidak menyukai Tsubasa? Kau
adalah pemain sepak bola."

"Basket," koreksi Chanyeol singkat.

"Whatever, kalian sama-sama memperebutkan bola."

"Berbeda."

Pesanan mereka datang, dan Baekhyun otomatis lupa akan apa pun yang hendak ia katakan pada
Chanyeol. Memotong pizamenggunakan pisau kecil yang disediakan, ia meletakkan potongan-
potongan tersebut di piring sebelum dimakan satu per satu. Jika kebanyakan orang akan memakan
sepotong piza sedikit demi sedikit, Baekhyun, sebaliknya, justru memaksakan
sepotong pizza sekaligus ke dalam mulut. Ia bahkan menjilat sisa-sisa bumbu yang ada pada jemari
lentiknya, mengurangi nafsu makan seseorang di ujung meja.

"Rakus sekali."

Baekhyun tersentak oleh suara bass itu sehingga menengok ke depan. Ekspresi Chanyeol tidak ada
bedanya dari kemarom: datar dan bosan, tetapi ada sesuatu lain yang menyala dari kedua mata
lebarnya—seperti ia tengah diam-diam menertawakan yang lebih tua. Baekhyun ingin sekali
berteriak "brengsek!", hanya saja ia lupa bahwa ia sedang dalam proses mengunyah. Maka jangan
terkejut ketika sang kakak membuka mulut untuk benar-benar berseru, kunyahan makanan di
mulut pun mengambil kesempatan emas itu untuk langsung menyusup masuk ke dalam
tenggorokan—mengakibatkan Baekhyun untuk tersedak hebat.

"Argh!"

Baekhyun terbatuk-batuk, air mata bercucuran sambil menepuk-nepuk dada berulang-kali. Ia


menelan sisa-sisa makanan lalu cepat-cepat meminum setengah gelas jus jeruk untuk menetralisir
tenggorokan. Chanyeol tidak menertawakannya, tetapi tatapan datar yang ia berikan cukup
memberi sinyal bagi Baekhyun bahwa ia mungkin menikmati acara barusan—menyaksikan
Baekhyun menderita, tentu saja. Ia berdeham sebentar, lagi-lagi meneguk jus jeruk sebelum
akhirnya bicara, "Keparat."
Chanyeol tidak merespons. Ia melanjutkan santapan tanpa menatap Baekhyun, terlihat sengaja tak
menghiraukan sang kakak. Baekhyun menepuk-nepuk meja pelan. "Yah."

Chanyeol menatapnya beberapa detik kemudian kembali memakan sepotong kecil piza.

Baekhyun menelan kunyahan. "Apa kau yang membawaku pulang dari 7-eleven?"

"Hng," gumam Chanyeol datar, tidak memindahkan pandangan dari piza.

Baekhyun mengangguk lambat. Ia masih penasaran. "Bagaimana caramu menemukanku?


Bagaimana kau membawaku pulang?"

Butuh empat detik bagi Chanyeol untuk menjawab dua pertanyaan tersebut, dan ia mengambil
selembar tissue untuk mengelap tangannya. "Menyeretmu."

Baekhyun hampir tersedak yang kedua kalinya hari itu. "A-apa?"

"Menyeretmu," ulang Chanyeol lebih keras, dan ia melempar santai gumpalan tissue kotor tadi ke
tong sampah sebelah meja mereka. "Aku mengikatkan tali rafia di lehermu lalu menyeretmu ke
mobil seperti anjing."

Jika Chanyeol memiliki jiwa seperti Sehun, mungkin Baekhyun akan tertawa dan menonjok
lengannya main-main. Akan tetapi ini Chanyeol, seratus persen Park Chanyeol yang sudah
terkonfirmasi sebagai preman tingkat dewa. Jika Park Chanyeol mengancam sesuatu, ada 98%
kemungkinan ia akan sungguh-sungguh mewujudkan sesuatu itu. Apalagi ekspresi datar yang ada
di muka keparat itu tidak ada bercandanya sama sekali.

Baekhyun menutup mulut dengan telapak tangan. "Tega sekali!" dan bukannya merasa bersalah,
Chanyeol justru menyeringai kecil padanya. Sebuah seringai tipis serta tampan milik Park
Chanyeol yang jarang sekali ditunjukkan—sejauh ini baru sekitar tiga kali, kalau Baekhyun tidak
salah hitung—mampu menyihir sang kakak untuk mendadak melupakan seluruh kata-kata yang
mau ia luncurkan. Ia terdiam, mulut setengah menganga bersama detak jantung yang berangsur-
angsur meningkat.

Menyadari bahwa ia menatap Chanyeol agak lama—seringaianitu terlihat agak aneh, omong-
omong—Baekhyun pun membuang muka dan langsung berdiri, menuai sebuah tatapan datar dari
Chanyeol. "Kau," ia menunjuk piring piza yang kini sudah kosong. "Bayar."

Baekhyun tidak mau menoleh ketika Chanyeol memanggil namanya berkali-kali.

Chapter 6: Nice Devil

Oh Sehun adalah ensiklopedia gosip berjalan.


Ia tahu segala macam isu panas yang terjadi di dalam dan luar sekolah. Ia hampir mengenal seluruh
murid populer dari berbagai sekolah, mengetahui masalah apa yang melanda mereka sekarang
sekaligus berita terbaru tentang mereka. Baekhyun tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat Sehun
secara bangga menunjukkan sebuah akun Instagram rahasia yang ia gunakan untuk tujuan
"investagasi". Entah berapa kali Baekhyun menyebutnya "stalker", Sehun selalu mengelak dan
malah memilih "detektif" sebagai julukan yang cocok ia sandangi.

Tidak lama bagi Sehun, Minseok, dan Joohyun untuk menjadi sahabat sejati begitu Baekhyun
memperkenalkan mereka semua. Sekali gossipers, selamanya gossipers. Makan siang yang dahulu
agak sepi dan membosankan—mengingat betapa Minseok dan Joohyun kadang ketinggalan gosip
terbaru, kini sering-kali kisruh dan ramai oleh canda tawa dan bisik-bisik keras mengenai siswa
populer. Kim Joonmyun, teman sekelas Sehun yang dewasa sebelum waktunya, adalah satu-
satunya orang yang Baekhyun ajak bicara kala Trio Gossipers sibuk mengobrol sendiri—walau
Joonmyun sendiri kadang jarang makan siang bersama mereka.

Sejauh ini, Baekhyun bisa pastikan bahwa ia tidak seberapa menyesal berteman dengan Sehun. Ia
adalah seorang remaja yang lucu, periang, meski terkadang mudah moody dan galau tanpa alasan.
Ia masih sering membelikan Baekhyun segelas Iced Coffee ("Jangan berpikir macam-macam!"
Sehun selalu mengingatkan) tiap kali mereka hang out bersama di Starbucks. Mungkin Sehun bisa
menjadi kandidat sahabat Baekhyun suatu hari nanti.

Hanya saja, ada satu hal yang Baekhyun benci dari Oh Sehun.

Satu hal yang tak pernah gagal menghipnotis Baekhyun untuk ingin melingkarkan jemari di sekitar
leher sang adik kelas dan mencekiknya sampai mati.

"Baekhyun-hyung, jangan diam saja!" seru Sehun tiba-tiba, meletakkan sebuah Tupperware biru
tua di atas meja sembari menyeringai main-main ke arah Baekhyun—yang tak diragukan lagi
mengangkat alis bingung begitu menyadari seluruh atensi padanya. "Aku tahu kau galau karena
aku menolakmu beberapa minggu lalu, tapi…"

Untuk yang kesejuta kali, Baekhyun memutar mata kesal dan tidak menghiraukan perkataan Sehun
selanjutnya.

Ya, sang adik kelas punya kebiasaan buruk untuk membahas masa lalu yang sekiranya amat sangat
tidak penting untuk diperbicangkan—terutama menyangkut berita lama mengenai perasaan
Baekhyun padanya di awal mereka bertemu. Nah, di saat-saat inilah, Baekhyun meruntuki diri
sendiri akan sikap asal ceplos yang ia miliki sampai tidak sengaja memberitahu Sehun bahwa ia
sempat menyukai sang adik kelas dahulu sekali. Sejak terlontarnya fakta mengerikan tersebut,
Sehun tidak henti-hentinya menyambung-nyambungkan segala topik gosip yang ada dengan
Baekhyun. Apalagi kalau topik-topik gosip itu bercuap seputar "cinta tak terbalas", pasti ada saja
kalimat sarkasme yang terlontar dari bibirnya.

"Ah… ini mengingatkanku padamu, Baekhyun-hyung. Maafkan aku, ya."

"Hyung, kuharap kau tidak dendam padaku setelah aku menolakmu, ya."
"Yah, jangan menatapku seperti itu. Nanti kau jatuh cinta lagi padaku—eh, tunggu. Apa kau
bahkan sudah melupakanku?"

Sungguh, Baekhyun lelah berasalan bahwa "yah, aku tidak menyukaimu sejauh itu!" karena
respons Sehun justru agresif dan cenderung memalukan tiap ia mengelak. Bocah itu tidak segan-
segan berpura-pura menggandeng tangan Baekhyun, lekas melepasnya nyaris sedetik kemudian,
lalu berkata dengan nada mengganggu, "Eh, maaf! Aku tidak bermaksud membuatmu salah
tingkah!". Di sisi lain, Baekhyun tidak segan-segan pula mendorong tubuh Sehun cukup keras
hingga terjatuh ke lantai jika sang adik kelas dinilai bersikap kelewat batas—ada kalanya seorang
remaja labil itu harus dikerasi agar cepat sadar.

Baekhyun mengelap beberapa lembar tissue di sisi kiri bibir. "Aku ingin ke kamar kecil." Ia
menggulung tissue tadi dan melemparnya ke tong sampah hijau terdekat. "Ada yang mau ikut?"

Rupanya Sehun masih belum puas mengejek. "Modus apa ini?" ia menyeringai licik itu lagi,
menggoda Baekhyun untuk menyiram segelas Fanta milik Minseok kepadanya. "Aku—"

"Sampai ketemu di kelas." Baekhyun menyela Sehun dengan berdiri dari kursi yang ia duduki
sepanjang jam istirahat, mengangguk pada Minseok, Joohyun, dan Joonmyun—tanpa meladeni
setiap rengekan manja dari Sehun ("Yah! Jangan cueki aku!" serunya)—dan segera meninggalkan
kantin. Ia ingin berteriak frustrasi ketika melihat seberapa penuh antrean di toilet laki-laki dan
setengah berlari ke luar dari sana guna menaiki tangga menuju lantai tiga. Aneh, semua orang
memadati toilet lantai dua seakan-akan itu adalah satu-satunya toilet di sekolah. Padahal, secara
teknis, kapasitas pengguna di toilet lantai tiga jauh lebih besar.

Seharusnya Baekhyun merasa curiga, namun sekarang ia terlalu malas untuk berlagak Sherlock
Holmes dan mencari teka-teki yang tidak sekiranya penting.

Well, tanpa Baekhyun harus mencoba berlagak Sherlock Holmes pun, suatu jawaban tidak
ditunggu atas teka-teki barusan pasti akan terjawab pada waktunya—cepat atau lambat.

Baekhyun mendapat jawaban itu tepat setelah ia menginjak anak tangga terakhir, melangkah
malas-malasan ke lorong lantai tiga yang (anehnya) sepi, sebelum memutar tubuh dan mendadak
berhadapan dengan sekelompok gang "preman sekolah" yang ditakuti seluruh murid SMA
Caspian.

Jangan datang ke lantai tiga setiap hari Rabu, kau mengerti?"

Baekhyun ingin tersenyum masam. Chanyeol baru saja memperingatinya soal tradisi "Eksekusi
Mingguan" beberapa hari lalu, dan seperti pengidap amnesia, Baekhyun benar-benar tidak
mengingat apa pun.

Bagus. Bagus sekali, ia lupa bahwa hari ini adalah hari Rabu.

Baekhyun menelan ludah, mengamati seorang siswa korban "Eksekusi Mingguan" tengah
bersandar terlentang di lantai: wajah babak belur dan ada sedikit bercak darah di kemeja putih
yang ia kenakan. Blazeralmamater biru tua yang seharusnya memperlengkap seragam telah
terkoyak tidak terpakai di lantai—sobek dan tergunting berantakan seolah sengaja dirusak. Mata
lebam, bibir berdarah, serta hidung mimisan—Baekhyun merasa iba melihat kondisi siswa itu yang
tergolong sekarat. Dadanya naik-turun tidak teratur seperti kesulitan bernafas, dan kedua siswa
bertampang seram di belakang korban masing-masing menggenggam rambutnya—dijambak keras
hingga ia terpaksa bangun dari posisi terlentang, mulut setengah terbuka untuk merintih kesakitan.

Sebuah nametag jatuh dari pangkuan siswa itu, dan Baekhyun harus sedikit membelalakkan mata
guna memperjelas tulisan yang tertera di sana.

Kim Namjoon.

Baekhyun mengangkat alis. Kim Namjoon, ia mengulang dalam hati. Nama yang familier. Ia terus
mengangkat alis, berpikir keras untuk mengingat-ingat lagi apa yang familier dari siswa itu, hingga
sebuah memori masa lalu mendadak muncul di kepalanya dan ia tambah membelalakkan mata,
memandang tercengang Namjoon sambil mengambil beberapa langkah ke belakang—mencoba
untuk perlahan melarikan diri.

"Mau ke mana?"

Baekhyun menoleh untuk mendapati Chanyeol berada di tengah kelompok itu—paling tinggi dari
antara mereka semua, menatapnya datar dengan kedua tangan terlipat. Baekhyun menganga,
mengamati Namjoon dan Chanyeol bergantian, kemudian sesekali menengok ke arah Jongin—
yang menyeringai tipis padanya. Ia tidak tahu harus merespons apa, jadi ia
menjawab: "Uh," okay, ini jelas bukanlah sesuatu yang tepat untuk mengawali sebuah
pembicaraan. Baekhyun pun mencoba lagi, "A-aku akan pergi?" Ia ingin bunuh diri mendengar
betapa canggung intonasi bicaranya. Seluruh pengikut Chanyeol menatapnya geli seolah menahan
tawa. "Aku tidak berniat menganggu kalian?"

Salah seorang pengikut berjalan mendekati Baekhyun, dan Baekhyun tidak mempunyai pilihan
lagi selain mengalah (ia kini berada di situasi satu lawan sepuluh) dan membiarkan siswa itu
setengah menginjakkan sepatunya pada sepatu Baekhyun. Sang siswa menoleh ke belakang untuk
menatap Chanyeol sejenak, tak melepaskan injakannya dari sepatu Baekhyun, sambil berkata:
"Kurasa ketua tidak akan keberatan untuk mendapat korban tambahan."

Sebagai respons, Chanyeol melangkahkan kaki melewati yang lain dan menarik kerah baju siswa
itu, menyeretnya kasar menjauhi Baekhyun. "Sungjae-yah." Ia menatap datar siswa itu, yang
sekarang terlihat ketakutan bukan main: mata melebar dan sekujur tubuh bergetar. "Tidak usah
berlagak preman, teman."

Sungjae tidak berani membela diri maupun melawan saat Chanyeol menghempaskan tubuhnya
membentur tembok, masa bodoh mendengar erangan pelan yang Sungjae usahakan pendam saat
ia bertumpu pada dinding untuk berdiri. "Turunlah ke bawah," perintah Chanyeol, memperbaiki
beberapa lipatan kecil di kemeja putihnya. "Pastikan tidak ada guru atau staf sekolah siapa pun
yang kemari."
Chanyeol mengambil sebuah pemukul baseball berat dari lantai, memutar-mutarnya santai seperti
seorang pemain sirkus profesional, sebelum ia menyandarkan pemukul itu di sekitar bahunya dan
perlahan menghampiri Baekhyun dengan sebuah tatapan pembunuh berantai. Nafas tercekat, sang
kakak mengerjapkan mata, mengirim telepati pada Chanyeol untuk "berhentilah berakting seperti
psikopat dan biarkan aku pergi!" namun keparat itu tampaknya malah menikmati momen ini
sampai akhirnya mengulurkan tangan guna menyerahkan pemukul tersebut pada Baekhyun.

"Ambil."

Baekhyun menaikkan alis. "Apa?"

"Ambil."

Seringaian aneh Jongin masih terlihat, dan Baekhyun justru semakin bingung. Dengan sangat ragu-
ragu, ia ikut mengulurkan tangan untuk perlahan mengambil pemukul tersebut dari genggaman
Chanyeol—anggap saja alat itu bisa ia gunakan untuk memukul kepala Chanyeol jika keparat itu
berani macam-macam. Chanyeol tersenyum kecil lalu memutar tubuh membelakanginya, kedua
tangan dikembalikan dalam saku. Menengokkan kepala sedikit, ia menggerakkan tangan, memberi
kode bagi Baekhyun untuk mengikutinya. Ya Tuhan, ingin sekali Baekhyun menggampar wajah
keparat itu karena berani-berani main perintah seenaknya (Baekhyun adalah hyung di sini!), namun
ia menahan diri dan melaksanakan apa yang Chanyeol perintahkan.

Mereka berhenti di depan Namjoon, yang pelan-pelan menengadah untuk memandang Chanyeol
tidak berdaya lewat kedua mata bengkak. Chanyeol menyilangkan lengan di dada.

"Pukul orang ini."

Baekhyun mendelik, langsung menoleh pada Chanyeol—mulut menganga tidak percaya. "Apa
kau bilang?!"

Chanyeol membalikkan tubuh agar bisa berhadapan dengan Baekhyun dari samping. "Pukul orang
ini," ulangnya tanpa ekspresi—seakan apa yang ia suruh bukanlah suatu tindakan
kriminal, hazel turun untuk melirik nametag sang senior. "Byun Baekhyun."

CHAPTER 6

NICE DEVIL
48 jam lagi, suneung akan dimulai.

Ditemani tiga bungkus keripik kentang jumbo dan segelas Pepsi dingin, Baekhyun menghabiskan
sisa waktu H-1 untuk menonton drama sekaligus menghafalkan ulang sejumlah kosakata bahasa
Jepang yang ia lupa. Sial, berbulan-bulan belajar bahasa Jepang sekeras baja tidak seberapa
membawa hasil memuaskan. Entah mengapa susah baginya untuk mengingat kosakata tertentu,
dan sering-kali bingung menyusun kalimat yang baik dan benar. Ia takut skor suneung-nya akan
berkurang gara-gara mata pelajaran tersebut. Ugh, kenapa pula suneung menambahkan ujian
bahasa asing yang non Inggris? Dari sederet pilihan bahasa yang disuguhi, hanya bahasa Jepang
yang Baekhyun rasa tergolong paling mudah—demi apa, ia pasti akan stresnya bukan main bila
memilih bahasa Jerman.

Membawa selembar kertas HVS kosong, ia mematikan televisi sebelum bergerak malas-malasan
menuju dapur untuk menduduki salah satu tempat duduk meja makan. Kepalanya pusing; mungkin
terlambat makan malam dan malah menyantap tiga bungkus keripik kentang adalah penyebab
utama dari migrain berat yang ia rasakan. Menuliskan ulang berpuluh-puluh kosakata Jepang di
kertas, ia berusaha untuk menghafal mereka satu per satu, mengabaikan kepalanya yang
berdenyut-denyut tiap berpikir keras. Peluh dingin melekat di dahi, Baekhyun menghapus mereka
dengan tangan, tidak sengaja menempelkan tangan bekas keringat tersebut di kertas belajarnya dan
menghela nafas sabar melihat keadaan kertas yang kini basah. "Uh!" Baekhyun membuang kertas
itu ke lantai dan menyandarkan kepala ke atas meja, bernafas pelan.

Pusing.

Kepalanya pusing bukan main.

Ia menyamankan sandaran di atas meja, menumpuk kedua lengan sebagai alas dan membaringkan
kepala di sana—membiarkan beberapa kertas kosong berserakan. Menutup mata, Baekhyun
hampir saja terlelap jika seseorang tidak tiba-tiba muncul dan menepuk-nepuk bahunya berulang-
kali—belum lagi suara berat Chanyeol yang bolak-balik memanggil, menyebabkan bising parah
dalam telinga. Ia mengerjapkan mata kesal, setengah menengok untuk mengintip wajah datar
Chanyeol dari balik lengan sebelum kembali menutup manik.

"Pergi," usir Baekhyun lemah. Denyutan keras di kepala tidak kunjung hilang dari tadi, dan ia
kehilangan tenaga untuk bicara.

Chanyeol tidak menghiraukan, justru mengulurkan tangan untuk menyisir asal poni Baekhyun ke
belakang, menempelkan telapak pada dahi yang lebih tua. "Kau sakit?" tanyanya, tak
mempedulikan erangan Baekhyun ("Jangan ganggu aku, keparat!") dan justru mencondongkan
tubuh untuk mengumpulkan semua kertas di meja, menumpuk mereka menjadi satu tumpukan
agak rapi—diletakkan di atas toples biskuit. Baekhyun malas menjawab, menghindari tatapan
Chanyeol dengan menolehkan kepala ke arah berlawanan. Chanyeol menepuk bahunya pelan.
"Hey," katanya, "Kalau kau mau tidur, tidurlah di kamar. Jangan di dapur."

Baekhyun menggeleng, menenggelamkan wajah lebih dalam. "Kepalaku pusing sekali," ia


menggumam, bernafas tenang lewat celah udara di antara tumpukan lengan. Baekhyun
mengangkat salah satu tangan untuk memijat sedikit kulit kepalanya, terutama pada bagian
tengah—di mana akar dari migrain berat yang ia rasakan berasal. Mendesah kesakitan, ia akhirnya
menoleh lagi untuk menatap Chanyeol, yang ternyata masih belum berpindah dari posisi awal tadi.
Baekhyun menghembuskan nafas berlebihan. "Ya ampun, aku seperti mau mati."

Chanyeol membalas tatapan malas Baekhyun dengan pandangan datar. Ia tampak agak berpikir
keras sebelum memutar tubuh membelakangi sang kakak dan setengah membungkuk, menepuk-
nepuk punggungnya sendiri.

Apa yang keparat itu katakan (atau lebih tepatnya, perintahkan) selanjutnya mengagetkan
Baekhyun.

"Naiklah."

Baekhyun menatap kosong punggung Chanyeol. "Apa?"

Chanyeol menengok ke belakang, agak berlutut supaya tinggi mereka sepadan, kemudian
mengulangi pernyataan mencengangkan barusan lebih jelas: "Naiklah ke punggungku," ia
mengembalikan pandangan ke depan. "Aku akan menggendongmu sampai kamar."

Baekhyun tidak menjawab, memicingkan mata curiga pada punggung Chanyeol, dan yang lebih
muda segera menambahkan, "Kesempatan hanya datang sekali, Byun. Cepat ambil sebelum
hangus."

Masih memicingkan mata, Baekhyun menendang kaki Chanyeol lemah. "Yah!" ia berseru cukup
kencang, hendak mengomeli Chanyeol panjang lebar; namun saat itu juga denyutan-denyutan
brengsek di kepalanya beraksi lagi. Sambil menjambak rambut keras, ia meringis pelan: "Shit,
shit—kepalaku!"

Chanyeol menepuk-nepuk punggungnya. "Sudah, naik saja," tawar keparat itu, intonasi nada
cukup mengejek. Baekhyun mendelikkan mata, dan Chanyeol menawarkan lagi, kali ini lebih
seperti sebuah ancaman menyeramkan: "Kalau kau tidak mau, aku yang akan menggendongmu
paksa."

Baekhyun ingin berteriak frustrasi, akan tetapi ia tahu kepalanya akan lebih sakit jika ia meronta
jadi ia tidak punya pilihan lain kecuali menuruti perintah keparat itu—lagi pula, ia juga tidak perlu
susah-susah berjalan ke kamar. Ia pun berdiri dari kursi, melingkarkan kedua lengan di leher
Chanyeol, dan memanjat ke atas punggung Chanyeol. Sang adik segera berdiri, merangkul kaki
Baekhyun di sekitar pinggang, seraya menggerakkan tubuh membenahi posisi Baekhyun sampai
terasa nyaman. Bau badan sang adik sama sekali tidak membantu kondisi Baekhyun; aroma
parfum mahal yang bercampur dengan keringat kecut di mana-mana membuat ia tambah pusing—
maklum, keparat itu belum mandi dari pagi, ia tampaknya baru pulang beberapa menit lalu. "Kau
bau sekali," komentar Baekhyun pada akhirnya, saat Chanyeol menaiki tangga hati-hati, sang
kakak bergelantung pada punggungnya seperti binatang koala imut.

Ada bisikan "tsk" pelan. "Cerewet."


Chanyeol membuka pintu kamar Baekhyun, cepat-cepat melangkah masuk sebelum menghadap
ke samping, membelakangi tempat tidur dan perlahan membungkuk, membiarkan Baekhyun turun
dari punggungnya dan langsung melompat ke atas tempat tidur—bersembunyi di balik selimut
biru doker. Ada suara lampu dimatikan, dan beberapa langkah kaki hati-hati yang semakin lama
semakin kabur dari pendengaran. Baekhyun hampir terlelap ketika ia tidak sengaja mendengar
Chanyeol berkata: "Kau berhutang tiga piggyback denganku, Byun."

Entah antara alam mimpi atau realita, Baekhyun sempat bertanya-tanya apakah ini bukan pertama
kalinya Chanyeol memberikan piggyback padanya cuma-cuma.

RETURN OF THE DANDELION

Chanyeol adalah keparat brengsek tidak tahu diri.

Ah, tidak. Pernyataan barusan kurang lengkap.

Chanyeol adalah keparat brengsek tidak tahu diri yang juga tidak bertanggung jawab, seenaknya
sendiri, dan suka bermalas-malasan.

"Tenang, Baekhyun. Suneung baru dimulai satu jam lagi, bukan?"

Baekhyun meletakkan ponsel di atas meja makan, mendadak melupakan


pesan KakaoTalk Jongdae, dan menengadah untuk menatap ayah, yang sedari tadi terfokus pada
lembaran koran pagi—membaca isu-isu politik terbaru yang tidak menarik bagi Baekhyun. Ia
menghela nafas panjang. "Ayah," Baekhyun memulai agak dramatis, "Lebih awal, lebih baik.
Ini suneung, bukan Ujian Tengah Semester."

Ayah bahkan tidak melepaskan mata dari sebuah artikel koran sembari menjawab, "Ayah tahu," ia
membalikkan lembaran koran, mata mengerut lucu hingga terlihat lebih sipit saat ia mencoba
untuk membaca tulisan-tulisan mungil yang tertulis pada salah satu berita. "Kalau Ayah tidak agak
flu sekarang, pasti Ayah yang akan mengantarmu sendiri."

Mengerucutkan bibir, Baekhyun memilih untuk tidak berkomentar sambil memasukkan beberapa
biskuit cokelat ke mulut.

Suneung akan dimulai 55 menit lagi, dan Baekhyun tidak mau terlambat. Ia harus tiba di tujuan
secepatnya; ia tidak mau menjadi siswa macam Park Chanyeol yang datang tiga menit sebelum
ujian dimulai. Ia butuh ketenangan; well, ia ingin bercakap-cakap dengan siswa lain yang duduk
di sekitar tempat duduknya nanti. Ia suka memberi semangat dan disemangati, jadi datang lebih
awal adalah opsi yang sungguh tepat bagi Baekhyun agar dapat benar-benar memiliki jiwa dan
raga yang siap saat mengerjakan suneung.

Namun opsi cemerlang tersebut terpaksa hancur ketika ayah tiba-tiba mengumumkan bahwa
Chanyeol-lah yang akan menyetir mobil—usai semalaman memaksa Baekhyun untuk tidak naik
bus karena ia ingin mengantar Baekhyun sendiri (tanpa campur tangan Park Chanyeol) ke tempat
pelaksanaan suneung. Baekhyun hampir menyemburkan api menyeramkan layaknya
naga 3D ganas setelah mengetahui bahwa keparat itu masih belum bangun di kala dirinya sudah
siap sedia—seragam, rambut, serta sepatu terlihat rapi dan sedap dipandang—sejak tiga-puluh
menit lalu. Memang, perjalanan ke tempat pelaksanaan suneungjauh lebih dekat dari sekolah
(sekitar sepuluh menit—kalau mengebut) tapi tetap saja, kau harus datang setidaknya satu jam
lebih awal. Tiga puluh menit sebelum ujian sudah tergolong "terlambat" bagi Byun Baekhyun.

Ayah meletakkan koran di meja begitu ia melihat Chanyeol terburu-buru menuruni tangga. Sang
tersangka mengenakan sebuah kaos hitam bergambar tengkorak (oh, tipikal bocah punk rock) dan
celana pendek selutut yang bermodel sobek-sobek. Berantakan, Chanyeol terlihat sangat
berantakan. Tidak ada yang bisa menggambarkan keadaan Chanyeol pagi itu selain kata
"berantakan": rambut tidak tersisir, mata agak lebam entah karena kurang tidur atau keroyokan
(atau dua-duanya), dan ada sedikit pasta gigi di pojok bibir. Baekhyun mengamati keparat itu
mengambil satu roti, mengolesinya dengan selai cokelat tidak merata lalu cepat-cepat digigit
secara kurang anggun.

Chanyeol mengangkat kunci mobil, melambaikan itu di depan ayah dan Baekhyun sambil
mengangguk sekali. "Ayo berangkat."

Sang kakak tersenyum sinis. "Akhirnya."

Chanyeol berpura-pura tidak mendengarkan.

Mereka sampai di tempat tujuan lima belas menit kemudian, banyak orang tua murid di luar,
berkumpul dan berdoa bersama untuk anak-anak mereka yang akan bertempur di dalam sana.
Baekhyun menelan ludah; bagaimanapun juga, ia adalah salah satu dari beribu-ribu siswa yang
ikut pertempuran menyeramkan ini—pendidikan SMA yang telah ia lalui tiga tahun ditentukan di
sini. Terkadang ia pikir sungguh lucu rasanya bahwa masa depan seorang murid ditentukan oleh
beberapa kertas berisi pertanyaan yang harus diisi. Ya, masa depan Baekhyun tergantung pada
skor ujian yang ia dapatkan nanti.
Ayah menepuk lengannya. "Semangat, Baekhyun!" katanya untuk yang keseratus kali, "Kau
adalah seorang anak yang pintar. Ayah yakin tidak susah bagimu untuk mendapat nilai bagus."

Baekhyun mengangguk semangat, jantung berdebar tidak menentu karena gugup. "Terima kasih,
Ayah!" ia kemudian menatap kaca spion, melambai canggung ke arah pantulan Chanyeol yang
balik memandangnya bosan. "Sampai jumpa nanti!"

Membuka pintu mobil, Baekhyun beranjak keluar dan menutupnya lagi. Ia hendak berlari
memasuki gedung ketika ia mendengar kaca mobil dibuka beserta Chanyeol yang memanggilnya
ragu-ragu.

Menengok ke belakang, Baekhyun mengangkat alis.

Sang adik meneguk ludah, mengangkat kepalan tangan kaku di udara sembari berseru
serak: "Fighting."

Cara pengucapan serta ekspresi Chanyeol sangatlah lucu—campuran antara datar, bosan, terpaksa,
dan malu berat, menyebabkan Baekhyun ingin cekikikan gila. Namun sebelum ia dapat
mengekspresikan kegelian yang ia rasakan, Chanyeol terlebih dahulu menutup jendela dan dalam
hitungan detik, mobil sedan ayah melesat hilang dari pandangan.

Baekhyun berusaha untuk tidak tersenyum—ketimbang disangka gangguan mental.

Dasar bocah.

RETURN OF THE DANDELION

Suneung tidak sesulit yang ia kira.


Memang soal-soal yang diberikan termasuk susah, akan tetapi Baekhyun mampu mengatasi
mereka cukup baik. Bahkan ujian bahasa Jepang yang Baekhyun takuti saja dapat ia kerjakan tanpa
masalah. Ia senang bisa keluar dari ruang ujian begitu lega, merasa berhasil mengerjakan seluruh
soal sesuai dengan ekspetasi yang diharapkan. Untuk pertama kali dalam beberapa bulan,
Baekhyun mengunggah sebuah selca ke Instagram setelah ujian selesai—menuai berbagai
sambutan hangat (baca: spam) dari Sehun.

Jongdae juga terlihat puas dengan hasil pengerjaan suneung kemarin.

"Aku yakin bisa menembus angka minimal 85%!" serunya terlalu semangat, tersenyum lebar
hingga membentuk garis-garis di sekitar wajah, terlihat seperti seekor kucing yang
menggemaskan. Baekhyun dan ia sedang bercakap-cakap lewat Skype, dan terhitung sudah tiga
hari terlewati sejak suneung. Waktu berjalan cepat sekali.

"Itu bagus!" jawab Baekhyun, ikut-ikutan tersenyum karena ia mudah tertular virus bahagia yang
terbawa dalam senyuman dan tawa Jongdae. "Kau harus kuliah di Seoul!"

Jongdae tetap tersenyum. "Aku harap begitu!" ia menggoyang-goyangkan ponsel gembira,


membuat tampilan video call jadi bergerak ke sana-sini, memusingkan kepala Baekhyun. "Kita
harus bersatu, Baek!"

"Harus!" Baekhyun mengambil sebuah apel di atas meja dan menggigitnya. "Aku ingin
mengenalkanmu pada Sehun—kau tahu, mantan crush."

"Mantan crush," Jongdae memberi penekanan di setiap kata sambil tertawa kecil. Ia meluruskan
punggung, membenahi posisi ponsel lalu bertanya santai: "Bagaimana relasimu dengan adik
tersayang?"

Baekhyun menggembung-gembungkan pipi, lelah meladeni sebutan sarkasme Jongdae pada


Chanyeol, dan menjawab: "Ada sesuatu mengejutkan terjadi minggu lalu."

Jongdae mengangkat kedua alis penasaran. "Apa ini ada hubungannya dengan Chanyeol?"

Baekhyun mengangguk dua kali. "Yep," ia mengkonfirmasi, sebelum menggigit apelnya lagi.
"Omong-omong," ia tidak sabar memulai, "Chanyeol dan kawan-kawan punya tradisi aneh yang
mereka sebut 'Eksekusi Mingguan'."

Jongdae mengerutkan hidung. "O-okay… klise sekali," ia mengernyitkan alis kemudian


melambaikan tangan. "Lanjutkan ceritamu."

"Minggu kemarin aku tidak sengaja menginterupsi proses 'eksekusi' mereka," Baekhyun
mengacungkan dua jari berbentuk "peace!" ketika Jongdae mengangkat satu alis sambil
berseru "lagi?". "Dan tebak siapa yang mereka tengah eksekusi?"

Jongdae memandang kosong layar. Butuh tiga detik baginya untuk mengeluarkan tebakan kurang
yakin: "Sehun?"
Baekhyun memberikan tatapan "please" pada Jongdae. "Bukan," ia langsung mengelak, "Tapi
seorang siswa bernama Kim Namjoon."

"Kim Namjoon? Siapa?"

"Kurasa aku belum menceritakanmu soal keparat itu," Baekhyun meletakkan sisa apel yang belum
habis di atas meja. "Ia adalah hoobae bajingan yang melempariku bola basket beberapa waktu lalu
sampai-sampai aku mimisan."

"Itu parah," Jongdae mengerutkan dahi. "Apa Chanyeol tidak menghajarnya?"

"Tidak," Baekhyun selalu merasa kesal kalau teringat oleh kejadian itu. "Ia sama sekali tidak
melakukan apa-apa. Hanya menatapku datar seperti ini." Jongdae tertawa saat Baekhyun
menirukan ekspresi datar khas Park Chanyeol.

"Lalu apa yang terjadi?"

Baekhyun mengambil apel yang ia makan, melemparinya ke atas dan ke bawah—tampak seperti
seorang pemain sirkus gagal. "Chanyeol tiba-tiba menyuruhku memukul Namjoon dengan
pemukul baseball."

Mata Jongdae melebar, dan ia menganga ke layar sebelum menutup mulut sambil menggeleng-
gelengkan kepala. "Tunggu, tunggu," ia mengangkat tangan seolah memberi sinyal untuk
"berhenti". "Chanyeol—apa?! Maksudmu… Chanyeol memberimu kesempatan untuk balas
dendam?"

Baekhyun menggigit bibir, bingung harus merespons apa. "Kurasa begitu?" ujarnya seusai
beberapa detik berlalu, "Aku tidak tahu, Jongdae."

"Lalu..." Jongdae menatap layar agak serius. "Apa kau memukul Namjoon?"

"Tentu saja tidak!" Baekhyun menggeleng berkali-kali, tampak ketakutan. "Mana berani aku
melakukan itu!" sahutnya lagi, mulut sempat berkomat-kamit cepat akan bagaimana ia takut jika
golok itu dapat memotong tangan Namjoon saat dipukul ke arahnya. "Aku melarikan diri, kau
tahu."

Jongdae kembali mengangkat satu alis. "Hm. Cara aneh yang Chanyeol lakukan untuk
menunjukkan betapa pedulinya dia denganmu, Baek."

Jantung Baekhyun anehnya berdebar mendengar pernyataan asal Jongdae, dan ia berdeham sedikit
panik. "Jongdae," ia menghela nafas untuk menenangkan perasaan-perasaan aneh di dada. "Kau
terlalu berlebihan."

Jongdae menggeleng. "Tidak, tidak, Baek," sang teman bersikeras mengelak, "Buat apa Chanyeol
mengeksekusi siswa Namjoon itu kalau bukan karena kau? Ia mungkin—"
Sekarang giliran Baekhyun yang mengangkat tangan sebagai pertanda bagi Jongdae untuk berhenti
bicara. "Aku mau beli piza" ia beralasan, satu jari sudah siap menekan tombol merah "End
Call". "Tunggu teleponku besok pagi."

"Baek—"

Panggilan diputus.

Melepas earphones, Baekhyun mengecek sisa uang di saku sebelum beranjak dari kursi dan
berjalan menuju pintu. Ia tidak sengaja melihat keluar jendela, di mana sepeda motor balap andalan
Chanyeol telah terparkir asal di depan: agak miring dan kurang pas serta pagar rumah yang belum
sepenuhnya tertutup. Mengangkat satu alis heran, Baekhyun menyadari bahwa awak tinggi
Chanyeol tidak terlihat dalam pandangan, dan ia agak menjinjit untuk mengamati lebih dekat—
tapi tetap tidak ada tanda-tanda kehidupan. Mengangkat bahu masa bodoh, Baekhyun menekan
knop pintu, mendorongnya ke depan, dan seketika menjatuhkan ponsel yang tengah ia genggam
ke lantai.

Pantas Chanyeol tidak ada di halaman rumah, keparat itu saja sekarang terkapar tepat di depan
pintu.

Mengambil ponsel dari lantai, Baekhyun meletakkan barang tersebut di meja makan sebelum
cepat-cepat berlari menghampiri Chanyeol. "Yah," serunya, menepuk-nepuk lengan, pipi, bahu,
dan rambut Chanyeol. Keparat itu tidak kunjung bangun. "Yah, Park. Kau tidak mati, kan?" ia
menggoncangkan bahu Chanyeol, dan barulah keparat itu menendang pelan tumit kaki Baekhyun,
mendengungkan sesuatu yang terdengar seperti "diamlah, Byun."

Baekhyun menghembuskan nafas lega. "Syukurlah, kau hidup!" Wajah Chanyeol tidak biasanya
pucat: bibir sangat kering dan kulit wajah lebih putih kurang wajar. Maka tidak salah bila
Baekhyun meletakkan telapak tangan pada dahi Chanyeol, langsung mendelikkan mata menyentuh
kulit panas keparat itu. "Park, kau demam!"

Chanyeol tampak kelelahan; ia tidak mungkin mampu berjalan ke kamar dengan keadaan seperti
ini. Frustrasi, Baekhyun meletakkan kepala Chanyeol hati-hati di atas tas punggung yang sang adik
taruh sembarangan. "Apa hobimu adalah menyusahkan orang lain?" ia bertanya penuh sarkasme
sebelum bangkit dari posisi berlutut untuk menutup sekaligus mengunci pagar. Setelah selesai, ia
menghampiri Chanyeol dan perlahan mengangkatnya, membantu keparat itu untuk berdiri.
Menaruh lengan sang adik di sekitar bahunya, Baekhyun susah payah merangkul pinggang lelaki
itu dan pelan-pelan menuntun Chanyeol memasuki rumah.

"Aku tidak kuat memberimu piggyback," ujar Baekhyun selagi mereka menaiki satu per satu
tangga, lambat tapi pasti karena sang adik berulang-kali nyaris ambruk di tengah jalan. Chanyeol
mengubur dalam-dalam wajahnya di rambut Baekhyun, dan sang kakak bersumpah jika keparat
itu tidak sedang sakit, pasti Baekhyun tak sudi membiarkan Chanyeol mendekat seinci pun—sang
kakak baru saja keramas dan kini rambutnya kembali tercemar oleh peluh Chanyeol.
"Muse?" tanya Baekhyun saat mereka berhasil sampai di lokasi tujuan—mengamati tiga poster
besar Muse yang tertempel pada dinding cat abu-abu kamar Chanyeol. Secara keseluruhan, kamar
sang adik sedikit lebih luas dari Baekhyun, namun dengan desain yang sederhana. Sebuah tempat
tidur warna putih minimalis untuk maksimal dua orang terletak di pojok kanan depan—
mempunyai akses spesial dekat jendela. Ada meja dan kursi belajar, karpet kecil di tengah ruangan,
dan sebuah televisi LCD lengkap beserta pemutar DVD—dua speaker besar pada masing-masing
sisi depan karpet tersebut. Sebuah rak mini khusus koleksi album terpaku di dinding, berjajaran
dengan lemari pakaian model 1800-an dan dua rak lain yang berisi buku pelajaran, komik, maupun
novel. Chanyeol juga memiliki sebuah lampu berdiri cantik berbentuk pohon yang ditempatkan
tepat di sebelah tempat tidur.

Baekhyun menuntun Chanyeol ke tempat tidur, membungkus tubuh sang adik dengan selimut
besar yang tersedia di sana. Duduk di pinggir, ia mengamati Chanyeol yang meletakkan satu
tangan di bawah kepala sebagai alas tambahan sembari bertanya, "Apa kau sudah makan?"

Mata masih terpejam, Chanyeol berusaha keras untuk menggeleng pelan. Baekhyun mengangguk
mengerti. "Baiklah," ia berdiri dari tempat tidur. "Aku akan membuatkanmu bubur ayam. Jangan
protes kalau tidak enak."

Baekhyun bukanlah seorang koki hebat, tetapi ia mampu memasak beberapa macam makanan.
Dahulu ibu selalu berangkat pagi sekali dan pulang malam, jadi—mau tidak mau—Baekhyun
harus memasak sendiri. Butuh berbulan-bulan bagi Baekhyun untuk terbiasa memasak tanpa
melihat daftar bumbu maupun tutorial yang ia tulis di buku khusus memasak. Meskipun terkadang
hasil karyanya tidak terlalu memuaskan, ia bersyukur kemampuan masaknya masih berguna di
waktu-waktu mendesak tertentu seperti sekarang, contohnya.

Meletakkan nampan berisi semangkuk bubur, segelas teh hangat, dan obat penurun panas di atas
pangkuan, Baekhyun menyerahkan gelasnya pada Chanyeol—yang ternyata sudah terbangun.
"Apa terlalu panas?" ia bertanya, memandangi Chanyeol yang meneguk lambat minuman itu,
melarikan lidah di bibir saat air teh di mulut tidak sengaja tumpah. Sang adik menggeleng, dan
Baekhyun pun mengambil segelas teh itu dari genggaman Chanyeol guna digantikan dengan
semangkuk bubur ayam. "Kau bisa makan sendiri?" Chanyeol mengangguk lagi, satu tangan
bergetar ia gunakan untuk menyuapi diri sendiri.

Baekhyun tersenyum, mengalihkan pandangan ke sekitar kamar Chanyeol dan melihat sebuah
pigura foto dua bocah SMP lucu tersenyum ke kamera. Belum sempat Baekhyun bertanya siapa
salah satu bocah itu, Chanyeol terlebih dahulu menjawab: "Itu Jongin."

Mulut Baekhyun membentuk sebuah "O" mungil. "Kau mengenalnya dari SMP?"

"SD kelas lima," Chanyeol membenarkan, "Ia adalah pindahan dari Jerman."

"Keren…" Baekhyun berjalan menuju meja belajar Chanyeol, mengamati sejumlah foto sang adik
serta ayah yang mengenakan pakaian musim dingin. Mungkin usia Chanyeol berkisar antara
delapan sampai sepuluh tahun di sana. "Kau sering ke luar negeri?"
"Tidak seberapa," Chanyeol mengkonfirmasi, "Ayah mengajakku keliling Eropa, Amerika, dan
beberapa negara Asia lainnya."

Tentu saja, kalian kan kaya dan kau adalah anak kesayangan, batin Baekhyun meraung dalam
hati—seumur-umur, ia dan Ibu hanya pergi ke Jeju saat liburan. Tersenyum dibuat-buat, Baekhyun
melanjutkan pengamatan pada koleksi album Chanyeol. "Keren," ujarnya datar, sama sekali tidak
terdengar tulus.

Ada kesunyian canggung setelah itu: Chanyeol melanjutkan makan malam, bunyi pertikaian kaku
antara sendok dan mangkuk mengisi ruangan, sedangkan Baekhyun terlalu bad mood untuk ingin
membicarakan sesuatu. Tidak ada satu pun yang bicara sebelum Chanyeol berdeham. "Apa kau
ingin pergi ke suatu tempat?"

"Hm?" Baekhyun akhirnya menoleh linglung ke arah Chanyeol sesudah menghabiskan waktu
mengenang masa lalu yang pahit. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat pertanyaan lelaki
itu. Ia kemudian menjawab ala kadarnya, "Uh—ya, lumayan."

Chanyeol bertanya lagi, "Ke mana?"

Baekhyun memainkan jemari di sekitar meja belajar Chanyeol. "Inggris?" ia mengerucutkan bibir,
mengangkat bahu tidak tahu. "Aku suka Harry Potter… jadi aku ingin ke London."

Chanyeol menelan bubur lambat. "Baiklah. Ayo kita ke London."

Baekhyun dibuat menganga kaget mendengar itu. "Apa?"

"Ayo kita ke London," Chanyeol mengulangi lebih jelas: datar dan santai ala intonasi bicara
khasnya, "Kalau kau mau, kita bisa ke Universal Studios di Florida. Di sana ada wilayah khusus
hal berbau Harry Potter bagi seorang penggemar berat sepertimu."

Wajah Baekhyun langsung menjadi cerah. Ia tertawa kecil. "Kau serius?" Chanyeol hanya
menatapnya datar kemudian melanjutkan sesi makan malam tanpa berkata apa-apa. "Kau gila,
Park…" Baekhyun menggeleng-gelengkan kepala, kembali mendudukkan diri di pinggir tempat
tidur—suasana hati tiba-tiba membaik dan tidak lagi buruk. Ia menatap salah satu poster Muse.
"Aku baru tahu ada sebuah band bernama Muse."

Chanyeol bisa-bisanya memutar mata di tengah kondisi sakit. "Itu karena kau terlalu sibuk
mengurusi SNSD," ujar keparat itu, masih belum selesai menghabiskan semangkuk bubur ayam.
"Kau harus lebih…" ia terdiam sejenak untuk mencari kata yang tepat sebelum meneruskan
kalimat barusan, "…open-minded?"

"Oh, menurutmu aku kurang open-minded, begitu?" Baekhyun mengatakan itu sambil
menggertakkan gigi, tersenyum mematikan. Chanyeol menyeringai kecil. "Baiklah, Park. Kau
harus menunjukkan padaku beberapa lagu terbaik Muse kapan-kapan."
"Mungkin," Chanyeol balik mengangkat bahu. Ia memasukkan satu sendok terakhir berisi bubur
ayam ke mulut, menelannya, lalu menyerahkan mangkuk yang kini kosong pada Baekhyun.

Sang kakak menerima mangkuk tersebut dengan hati gembira, perasaan bangga memenuhi dada.
"Kutebak buburku enak," candanya, menatap betapa bersih mangkuk tersebut—nyaris tidak
ditemukan sisa-sisa bubur sedikit pun di situ.

"Biasa saja," Chanyeol meraih gelas teh tadi untuk menelan satu butir pil penurun panas, meneguk
isinya dalam waktu singkat. Mengambil dan menghembuskan nafas, ia meneruskan: "Aku malas
mendengar omelanmu kalau aku tidak menghabiskan makanan."

Baekhyun memutar mata. "Ya, ya, whatever," ia akhirnya berdiri dari tempat tidur. "Istirahatlah."

Baekhyun meletakkan peralatan makan ke atas nampan lalu membenahi mereka hingga seimbang.
Sang kakak tidak membalas tatapan Chanyeol saat ia hendak keluar dari kamar, menekan tombol
lampu untuk dimatikan. Hampir saja Baekhyun menutup pintu, ia kemudian mendengar Chanyeol
memanggilnya lembut dari dalam. "Baekhyun?"

Heran karena keparat itu tidak memanggilnya menggunakan panggilan sarkasme, Baekhyun
mendongakkan kepala dari luar, memandang penasaran Chanyeol yang kini terlentang di atas
tempat tidur: mata terpejam dan dada naik-turun dalam tempo yang tenang. "Hm?"

Ada sedikit hening ketika Chanyeol membuka mata untuk menatap Baekhyun sejenak. Sang kakak
pikir Chanyeol akan mengatakan "terima kasih"—karena sejujurnya lelaki itu tak pernah sekali
pun mengucapkan ungkapan sederhana itu padanya—namun tentu saja harapan tersebut akan
hancur lebur ketika ia mendengar si keparat melanjutkan, nada tetap dan selalu datar:

"Kau berisik."

Baekhyun sengaja membanting pintu keras-keras.

Baekhyun tidak seberapa suka bangun pagi.

Ia lebih tidak suka kalau di pagi hari ia langsung disuguhi oleh sebuah artikel panas tentang berita
hubungan rahasia Seunggi dan Yoona selama setahun.

"Tidak mungkin!" teriak Baekhyun, menggetarkan seisi rumah—membuat bibi Eunji nyaris
menumpahkan kuah sup di tangan. Punah sudah suasana hati gembira yang tadi ia rasakan,
tergantikan oleh perasaan terkhianati dan kecewa bercampur jadi satu. Baekhyun ingin sekali
menangis, tapi ia tidak bisa. Well, Baekhyun tidak boleh menangis karena ia lupa
menggunakan eye-liner edisi waterproof hari ini—bayangkan saja kalau ia benar-benar
menangis, eye-liner karyanya mungkin akan hancur sia-sia. Maka ia putuskan untuk menunda
tangisan sampai nanti malam, atau setidaknya sampai acara jalan-jalan ke Lotte World bersama
Sehun selesai.

Ketika ia menengadah, Baekhyun baru menyadari kehadiran Chanyeol di hadapannya. Ia sedang


mengunyah dua tumpuk roti bakar selai nanas selagi menatap Baekhyun datar. "Kau kenapa,
Byun?"

Baekhyun meletakkan koran diatas meja, memandang sebentar sebuah case gitar hitam yang
ditaruh rapi di kursi. "Kau mau latihan band?" Saat Chanyeol mengangguk santai, Baekhyun
malah memicingkan mata tidak terima. "Apa kau—gila?! Kau baru sakit kemarin. Harusnya kau
istirahat!"

"Kami akan tampil seminggu lagi," Chanyeol beralasan, tapi Baekhyun sejujurnya sangat tidak
peduli dengan semua bullshit itu. "Aku harus latihan."

"Okay, kau gila," Baekhyun menyilangkan kedua lengan. "Kau sakit, tapi kau rela bangun pagi
untuk latihan band yang mengharuskanmu memakai kaos bergambar unggas tidak jelas—"

"Phoenix," Chanyeol mengoreksi, menatap Baekhyun dengan satu alis terangkat. "'Unggas' yang
kau sebut adalah Phoenix."

Masih memicingkan mata, Baekhyun menyamai ekspresi Chanyeol. "Kau pikir aku peduli, Park?"

"Terserah padamu," Chanyeol tampak menyerah, menggigit potongan roti terakhir lalu
menghabiskan segelas susu hangat di meja. Ia berdiri dari tempat duduk, mengambil case gitar di
kursi untuk dicangklongkan pada bahu—menyambar kunci sepeda motor dari atas lemari es
setelahnya. Baekhyun diam-diam memandangi keparat itu setengah berlari menuju pintu utama,
terburu-buru membuang muka kala Chanyeol tiba-tiba memutar tubuh ke belakang—berlagak
menatap kosong hidangan di depannya karena takut tertangkap basah sedang melakukan
pengamatan rahasia.

Ada suara batuk canggung.

"Aku pergi. Sampai jumpa nanti."

Saat Baekhyun menoleh, Chanyeol telanjur menghilang di balik pintu, disusul oleh bunyi gas
sepeda motor yang kencang. Masih menganga ke jendela, Baekhyun lantas mengerutkan dahi
heran. Sang adik tidak pernah berpamitan sesopan itu—tunggu. Selama ini keparat itu bahkan
tidak pernah sekali pun berpamitan pada Baekhyun.
Seolah sengaja membingungkan kepala, bibi Eunji mendadak muncul di seberang meja makan,
menyuarakan sesuatu yang Baekhyun tengah pikirkan: "Wah, aneh sekali. Ini mungkin pertama
kalinya Chanyeol berpamitan seperti itu."

Dahi tambah berkerut, Baekhyun menggembungkan salah satu pipinya.

Ya, aneh sekali.

Chapter 7: Good Luck Charm

CHAPTER 7

GOOD LUCK CHARM

Baekhyun tidak seberapa membenci musik rock.

Meski bisa dikatakan bahwa ia tidak dapat menikmati aliran punk rock atau apa pun itu ("Sampah!"
seru Jongdae tiap ia mendengar lagu rock kurang berseni diputar di radio), anak itu masih memiliki
rasa hormat pada setiap keanekaragaman musik dunia.

Akan tetapi tampaknya segala hormat dan apresiasi terhadap musik rock yang sedari dahulu
Baekhyun tumbuhkan kini layu begitu dihadapkan pada situasi di mana Park Chanyeol—seorang
keparat brengsek bertalenta segunung—tidak kunjung puas membanting drum di ruang bawah
tanah dari pagi sampai siang. Suara berisik yang ditimbulkan dari permainan Chanyeol sesekali
terdengar mengesankan, bertempo cepat dan lancar, layaknya seorang drummer profesional yang
tahu seluk-beluk instrumen bass tersebut. Saking "menakjubkan"-nya permainan sang keparat,
Baekhyun terpaksa mengeraskan volume televisi ke level maksimal demi kenyamanan menonton
drama romansa favorit. Hell, Baekhyun tidak sanggup lagi.

Andai saja tombol mute yang ada pada remote televisi bisa berfungsi di dunia nyata, pasti punah
sudah semua kegaduhan tidak karuan ini.

Menggedor pintu ruang latihan band Chanyeol layaknya seorang tipikal penagih utang, Baekhyun
berteriak histeris: "Hentikan! Aku bilang, hentikan!"

Chanyeol, yang sang kakak tebak sedang berpura-pura tuli, tidak menghiraukan dan terus
memukuli drum dalam kecepatan tinggi, mengikuti tempo lagu punk rock yang diputar tidak kalah
keras. Baekhyun menutup telinga dan melanjutkan, suara lengking mengalahkan kebisingan yang
datang dari dalam ruang latihan, "Yah, bajingan! Hentikan! Kau berisik!"

Nafas berantakan, mata mendelik berapi-api, Baekhyun tidak mengerti harus berapa ratus kali lagi
ia akan menjerit agar Chanyeol mau mengakhiri sesi penampilan drum "fantastis"-nya tersebut.
"Keparat!" Baekhyun bersumpah untuk tidak patah semangat meneruskan aksi protes besar-
besaran. "Keluar kau, yah—"

Chanyeol lalu menghentikan permainan drumnya, otomatis membungkam mulut Baekhyun yang
langsung menyeringai puas—menganggap diri sebagai pemenang atas pertempuran barusan.
Lagu punk rock yang tadi diputar telah dihentikan, dan Baekhyun dapat mendengar beberapa
langkah tegas mendekat, si keparat berkutat dengan lubang pintu sebentar untuk memutar kunci,
sebelum ia akhirnya muncul di depan mata. Kaus kusut belum disetrika, rambut menyerupai sarang
burung, serta sebuah lollipop di mulut, Baekhyun tidak punya waktu untuk mengomentari seburuk
apa penampilan Chanyeol siang itu dan langsung berseru, "Park, kau—"

Sayang, sebelum ia berhasil mengekspresikan emosi—meneriakkan kata-kata kotor tepat di muka


sang keparat, sang kakak cepat-cepat menyumpal mulut Baekhyun dengan lollipop yang tadi
dihisapnya.

Sang kakak otomatis membatu di tempat: mata mendelik tercengang dan semburat merah
menyebar ke seluruh wajah, telinga, hingga leher.

"Argh!"

Baekhyun meludahkan lollipop bekas Chanyeol ke bawah lantai, dan menengok ke atas untuk
melihat Chanyeol tersenyum puas penuh kemenangan. Keparat itu kemudian berujar santai:
"Cerewet."

Mengacuhkan Chanyeol, Baekhyun tidak berhenti meludah—setidaknya sampai sisa-sisa rasa


cokelat di lidah menghilang. "Shit, shit," ia meringis, mendelikkan mata ke arah Chanyeol—yang
sebaliknya tampak terhibur menonton penderitaan Baekhyun. "Aku terkontaminasi." Menoleh
untuk menatap beberapa ludah sembarangan di sana-sini, ia mengerutkan hidung jijik. "Ugh! Kotor
sekali!"

Chanyeol ikut menatap ludahan Baekhyun di lantai, kedua tangan setengah terangkat ke atas.
"Jangan suruh aku bersihkan."

Alis bertaut, Baekhyun menunjuk dada Chanyeol dengan satu jari. "Kau," ia kemudian menunjuk
lantai. "Bersihkan."

Tatapan Chanyeol masih tanpa ekspresi. "Atas petunjuk siapa kau pikir aku bisa disuruh
seenaknya, Byun?"

Sebuah gedoran lantang dan gaduh dari pintu utama menggagalkan Baekhyun untuk merespons
pertanyaan Chanyeol dengan jawaban pendek dan pintar—sekaligus penuh sarkasme. Mereka
berdua menengokkan kepala ke atas, alis terangkat, sebelum kembali menatap satu sama lain
seolah berbagi telepati akan siapa yang sekiranya bertamu di siang bolong begini. "Ayah?"
Baekhyun bertanya, lebih kepada diri sendiri.
Chanyeol menengok ke atas beberapa detik kemudian memandang Baekhyun lagi. "Bukan,"
balasnya, "Coba kau bukakan pintu, biar aku yang bersihkan sampahmu."

Tanpa menghiraukan sarkasme yang terselip di kalimat terakhir Chanyeol, Baekhyun mengangguk
dan segera menaiki tangga, terburu-buru berlari menuju pintu utama sambil berulang-kali
menyerukan, "Sebentar—"

Baekhyun mendadak tidak mampu berbicara, mulut melongo dan lidah tertali mati. Ia menelan
ludah tegang; sejumlah detik ia habiskan untuk mengamati seorang pemuda menarik berkulit
kecokelatan yang berdiri di hadapan pintu. Si pemuda kemudian mengangkat kepala guna menatap
Baekhyun, sebuah senyum (seringai?) tampan makin mengembang saat ia melambaikan tangan.

"Halo, Baekhyun-hyung. Apa Chanyeol ada di rumah?"

Tunggu.

Bagaimana Kim Jongin bisa tahu namanya?

Baekhyun mengerjapkan mata, bingung harus merespons apa—berbagai pikiran panik mulai
dari "dari mana ia tahu namaku?!" hingga "sial, terbuka sudah rahasiaku!"—dan membalas
tatapan Jongin datar. Seringaian si adik kelas berangsur-angsur menghilang (sebab beberapa detik
berlalu dan Baekhyun tidak pula mengatakan sesuatu), tergantikan oleh seuntas senyum tipis agak
canggung. Alis berkerut main-main, ia kemudian menundukkan kepala—menyamai level tinggi
mereka. "Hyung?" ia melambaikan tangan lagi. "Kau di sana?"

Baekhyun mengambil satu langkah ke belakang, menjauhkan posisi wajah mereka yang bisa
dibilang lumayan dekat dan meniru ekspresi Jongin—hanya saja terlalu serius. Jongin meluruskan
punggung, menggerakkan kepala ke kiri dan kanan untuk membunyikan sendi-sendi di sana,
sebelum membungkukkan tubuh untuk menggoda Baekhyun makin ekstrem. Seringai lebih lebar,
Jongin kemudian berbisik: "Wah, Baekhyun-hyung cantik ya kalau dilihat dari dekat—" ia tiba-
tiba berhenti, tak sengaja menoleh ke samping untuk mendapati Chanyeol tersandar di dinding—
tatapan yang sang ketua tujukan pada mereka datar dan agak terganggu. Jongin melambaikan
tangan semangat. "—Hey, ketua! Aku punya kabar baik untukmu!"

Menjadi "orang ketiga" dalam sebuah percakapan sangatlah tidak menyenangkan. Setengah jam
lebih Baekhyun habiskan untuk berkutat dengan ponsel, menggerakkan jemari di sekitar layar
seperti seorang remaja sibuk. Dari jauh, orang-orang berpikir Baekhyun mungkin tengah
bermain game atau malah asyik bergosip dengan teman-teman sekolah dalam sebuah group chat,
namun percayalah, sesungguhnya Baekhyun tidak melakukan apa-apa kecuali berulang-kali
masuk-keluar menu dan membuka folder foto. Ini sudah jam dua siang, dan pesan yang ia kirimkan
di group chat Kakaotalk langganan (terdiri dari Baekhyun, Sehun, Minseok, dan Joohyun) masih
berstatus "belum terbaca".

"Kenapa diam saja, hyung?" Jongin tiba-tiba berkicau, dan Baekhyun mendongak dari layar ponsel
(bagus, Jongin menyapanya saat ia terlanjur menemukan kesibukan—yakni menyaring aplikasi
mana yang harus dihapus dan mana yang dipertahankan) untuk menatap sang adik kelas linglung.
"Minggu depan tim kami akan bertanding, lho."

Baekhyun tidak peduli, tapi ada kalanya ia harus berakting seperti seorang malaikat yang suportif.
"Semangat!" ia mengangkat satu kepalan tangan ke udara, tersenyum setengah hati. "Ini
pertandingan semifinal atau sudah final?"

"Final," jawab Jongin mantap, mengacungkan dua jempol sekaligus. "Lawan kami cukup
mengerikan."

Sekali lagi, Baekhyun tidak peduli, tapi tetap saja ia bertanya: "Siapa?"

"Winner," sesekali Jongin melirik ponselnya di meja, sekadar menggeser jari telunjuk di layar lalu
melanjutkan pembicaraan: "Tim basket Seoul International High School." Menumpuk kedua
lengan di atas meja seperti seorang bocah Sekolah Dasar yang siap memulai pelajaran, ia
tersenyum riang. "Kau datang, kan? Hyung?"

"Baekhyun tidak menyukai hal-hal berbau olahraga," Chanyeol mendadak berkomentar,


suara bass mengganggu gendang telinga Baekhyun. Menatap sang kakak kelewat datar, ia
menggerakkan jemari di atas meja santai. "Yang ada dalam otak anak itu cuma K-pop saja."

Di balik poni yang agak panjang, Baekhyun mendelikkan mata ke arah si keparat sebagai suatu
peringatan tajam sebelum melakukan hair flip keren, tangan diangkat untuk menyingkirkan poni
dari dahi. "Akan kuusahakan, Jongin-ssi," Baekhyun mengangguk ramah. "Kalau tidak salah, aku
mempunyai jadwal kelas tambahan untuk persiapan lomba pidato bahasa Inggris."

"Alasan," cemooh Chanyeol, sekilas menyeringai pada sang kakak. Baekhyun ingin mencabuti
rambut keparat itu sampai habis.

"Hebat!" Mulut Jongin membentuk huruf "O" mungil dan ia menggeleng-gelengkan kepala seolah
takjub luar biasa. "Kakak jago pelajaran," ia menepuk bahu Chanyeol. "Adik jago olahraga dan
berkelahi."

Chanyeol cepat-cepat menyingkirkan tangan Jongin dari bahunya. "Itu sarkasme?"

Jongin menyatukan kedua telapak tangannya dan menggerak-gerakkan tubuh serta kepala ke depan
seperti tengah menyembah Chanyeol. "Hamba tidak bermaksud," ujarnya, dan Baekhyun ikut
tertawa. Ekspresi Jongin begitu lucu tapi entah kenapa Chanyeol sama sekali tidak terefek—justru
mengembalikan atensi pada ponsel lagi. Merasa tak dihiraukan, Jongin berdeham. "Oh ya, hyung,"
ia menggaruk-garuk leher yang tampaknya tidak gatal. "Kau… pacar Oh Sehun?"

Untung Baekhyun sedang tidak minum atau makan. Kalau ya, ia pasti sudah tersedak tidak karuan
sekarang.

"Ah, tidak," Baekhyun tersenyum masam. Ia jadi teringat beberapa bulan lalu, di mana "benih-
benih crush" dengan Sehun masih segar, dan astaga, mungkin ia akan salah tingkah jika seseorang
menanyakan hal barusan padanya di masa-masa itu—oh, Baekhyun kepingin muntah memikirkan
semua ini. "Sehun sudah punya kekasih. Namanya Zitao."

Kurang penting juga bagi Baekhyun untuk menyebutkan nama kekasih Sehun—Huang Zitao,
seorang lelaki Cina tinggi dan cukup tampan yang memiliki aura seratus kali lebih gelap dari
Chanyeol—tetapi mata Jongin membulat terkejut dan ia menggeleng tidak percaya. "Wow," ia
melirik ponselnya sekilas. "Tidakkah ia tahu siapa Zitao?" setengah menundukkan kepala, Jongin
bergumam pelan: "Pengkhianat!" meski agak terlalu keras hingga gagal luput dari pendengaran
Chanyeol dan Baekhyun.

"Bilang saja cemburu," Chanyeol berkomentar untuk yang keempat kalinya, tanpa mengalihkan
atensi dari layar ponsel, "Sehun adalah mantan kekasih Jongin."

Baekhyun mengangkat alis. "Mantan kekasih?" ia mengulangi, "Kau?" memasang muka jahil
dengan senyuman jahil pula, Baekhyun terus merecoki—mendapat kepuasan tersendiri dari wajah
merah Jongin dan betapa salah tingkah dirinya terlihat, "Kau mantan kekasih Sehun?"

Jongin memberi Chanyeol sebuah tatapan kesal (mata agak mendelik dan mulut mengerucut)
untuk waktu yang cukup lama. Karena keparat itu tidak menghiraukan (lagi), ia kembali menatap
Baekhyun sambil menghela nafas panjang. "Ayo ganti topik, hyung."

RETURN OF THE DANDELION

.
Baekhyun adalah pendengar yang baik. Tetapi ia rasa ia bukan seratus persen good listener jika
curahan hati yang didengar menyangkut hal-hal tertentu. Dalam tanda kutip, hal-hal tertentu yang
sungguh asing bagi seorang murid terpelajar bernama Byun Baekhyun.

"Kurasa level ciuman Zitao jauh di bawah pemula," Sehun blak-blakan bicara sembari menyedot
segelas ukuran sedang cappuccino. "Boro-boro memainkan lidah, cara melumat bibir yang baik
dan benar saja ia tidak lihai!" sang adik kelas lalu meletakkan telapak tangan pada dahi dramatis,
mengambil jeda beberapa detik untuk menggelengkan kepala lagi. "Kau tahu, Baek! Ludahnya
sampai menyebar ke pipiku! Aku bersumpah akan mengakhiri hubungan kami tiga minggu lagi!
Aku benci pria yang tidak jago ciuman."

Hal-hal seperti inilah yang Baekhyun kategorikan "asing" dan "terlalu personal" untuk dijadikan
topik gosip mingguan.

"Terserah," jawab Baekhyun santai, karena tidak ada lagi jawaban lain yang bisa ia berikan. Ia
kemudian meneguk Iced Coffee pembelian Sehun—ah, ya, si adik kelas masih setia
membelikannya minuman gratis. "Kau cari yang baru saja," lanjutnya, dan sebelum Sehun dapat
menyahut "siapa?!", Baekhyun segera menyela secepat mungkin, tidak lupa melebarkan
seringaian agar tampak selicik pemain antagonis drama lokal: "Kim Jongin, misalnya."

Sehun langsung tersedak.

Ia benar-benar tersedak hingga matanya berair dan Baekhyun tidak tahu apakah ia termasuk
berdosa jika ia justru menertawai penderitaan Sehun.

"Ke—kenapa Kim Jongin?!" Sehun terbatuk-batuk, menatap Baekhyun lewat kedua mata agak
merah. "Tidakkah kau punya kandidat lain yang lebih—uh, pantas?!"

Baekhyun menyilangkan kedua lengan di dada. "Apa salahnya berbalikan dengan mantan, Sehun-
ssi?"

Wajah Sehun memucat dan ia menganga tercengang, masing-masing tangan mengepal di atas
meja. "K-kau?!" ia menelan ludah sejenak. "Dari mana kau tahu?!"

Baekhyun menyeringai. "Ia ke rumahku beberapa hari yang lalu dan membagikan beberapa 'info
penting.'" Tertawa kecil, ia sengaja bertepuk tangan tanpa suara—suatu kebiasaan ala Oh Sehun
yang kadang Baekhyun tiru dalam waktu-waktu tertentu. "Ternyata Sehun suka bad boy."

Pipi Sehun merona dan ia meraih sebuah sedotan putih dari dalam tas untuk dilempar ke arah
Baekhyun. Yang lebih tua kini tertawa semakin keras saat lemparan Sehun (sialnya) meleset.
"Jalang," ujarnya, mengambil sedotan tadi untuk dilempar ke tempat lain—yakni tempat sampah.
"Berarti ia tahu bahwa kau adalah kakak Chanyeol?"

Baekhyun mengangkat alis dua kali. "Kurasa Chanyeol memberitahunya?" ia setengah


mengedikkan bahu. "Aku tidak pernah bertanya."
Sehun mengangguk-angguk malas. "Apa kau akan datang ke pertandingan basket minggu depan?"

"Jongin mengajakku," Baekhyun mengetuk-ketukkan gelas minumannya di sebelah ponsel Sehun.


"Kau datang?"

"Mungkin…" ekspresi yang Sehun tunjukkan sedikit lesu dan khawatir; ia sesekali menggigit-gigit
bibir seolah berdebat pada diri sendiri untuk tidak membicarakan sesuatu. "Apa kau juga diajak ke
pesta ulang tahun Chanyeol?"

Mendengar pertanyaan barusan, Baekhyun serontak berhenti meneguk isi Iced Coffee miliknya
dan melempar tatapan terkejut pada Sehun—mulut terbuka layaknya seorang bodoh. Si adik kelas
memutar mata muak melihat betapa berlebihan ekspresi Baekhyun. "Apa?"

Cairan Iced Coffee terasa manis dan menyejukkan di lidah, namun untuk pertama kalinya selama
dua tahun, Baekhyun tidak seberapa menghiraukan itu semua. "Chanyeol…" ada jeda satu atau
dua detik seraya ia menganga, "…ulang tahun? Minggu depan?"

Sehun menatap Baekhyun datar. "Tentu saja, kau—eh," ia memotong kalimatnya sendiri untuk
mengarahkan jari telunjuk tepat di wajah Baekhyun—well, lebih tepatnya, menunjuk dramatis
yang lebih tua seolah-olah Baekhyun adalah seorang tersangka dalam suatu pembunuhan. "Jangan
bilang kau tidak tahu?!"

Ya, Baekhyun memang tidak tahu.

Ia tahu, tapi ia tidak sekali pun kepikiran. Tentu saja ia ingat bahwa ulang tahun Chanyeol adalah
27 November; setiap tahun, ibu selalu memaksa Baekhyun untuk ke gereja bersama di tanggal
tersebut guna mendoakan Chanyeol agar selalu sehat dan bahagia—tsk, keparat itu lebih "sehat
dan bahagia" daripada yang disangka. Meski dalam lubuk hati terdalam ia sadar bahwa Chanyeol
jelas tidak peduli, tetap saja, melupakan tanggal lahir saudara sendiri adalah suatu hal yang kelewat
batas. Baekhyun jadi merasa seperti seorang kakak yang buruk.

Mengeratkan mantel pada tubuh, Baekhyun menoleh ke arah sebuah toko buku kecil yang tengah
beroperasi di tengah keramaian. Mata mungilnya tertuju pada satu barang menarik di antara
beberapa rak dan layaknya pohon natal, bola mata kecokelatan Baekhyun menyala oleh semangat
dan ide cemerlang.

Ia tahu hadiah macam apa yang bisa ia berikan pada Chanyeol.


Hadiah yang bagus, berarti, berkualitas, dan… murah—karena Baekhyun hendak memborong
banyak album di akhir bulan.

RETURN OF THE DANDELION

Chanyeol pulang cukup "sore"—yaitu jam 11:40 malam.

Kondisi keparat itu agak memperihatinkan: wajah cukup babak belur, seragam terlalu kusut—
dengan bercak-bercak darah dan tanah di mana-mana, belum termasuk beberapa plester cokelat
yang tertempel hampir di sekujur lengan kiri. Baekhyun tidak kaget, tentu saja, tetapi yang ia tidak
habis pikir adalah mengapa Chanyeol masih bersikeras berkelahi jika besok adalah final
pertandingan basket yang rumornya akan menjadi persaingan ketat dan menggemparkan antara
kedua belah pihak. Menurut sumber terpercaya nomor dua tertentu (baca: Minseok), tahun
kemarin The Caspians hampir dikalahkan oleh Winners—jika saja mereka tidak mendapat satu
poin tambahan di detik-detik terakhir. Ia tidak paham apa yang ada di otak Chanyeol; seharusnya
sepulang sekolah ia langsung tidur sampai pagi—bukan malah kelayapan dan main keroyokan.

Baekhyun jadi malas mengucapkan "selamat ulang tahun". Padahal lima menit lagi jam dua belas
malam, dan kado Chanyeol telah terbungkus rapi dalam sebuah kotak lingkaran berwarna biru
muda—yang kini tengah ia sembunyikan di bawah kolong meja makan.

Chanyeol mengelap tangan yang basah pada kain seusai mencuci piring. "Mau begadang, Byun?"
tanyanya tiba-tiba, suara lumayan serak—sukses membuat Baekhyun terkena serangan
jantung. Hell, keparat itu bipolar sekali. Tadi ia diam saja, ekspresi datar dan bosan seperti
tengah bad mood atau apa, dan barusan ia mendadak mengajak Baekhyun bicara.

Baekhyun menatap Chanyeol sejenak, memikirkan comeback pintar apa yang pantas ia suguhi,
namun di saat yang sama, ponselnya berkelap-kelip—tanpa bergetar atau berbunyi, sebuah
notifikasi warna-warni "ULANG TAHUN KEPARAT! YEHET!" muncul di depan layar. Cepat-
cepat mematikan ponsel, ia melirik Chanyeol yang kini sudah tidak balik menatapnya dan berjalan
menuju tangga, mungkin malas menunggu jawaban dari sang kakak—tatapan tertuju ke kamar dan
punggung agak bungkuk. Tinggal beberapa langkah lagi ia akan menaiki tangga dan argh, akan
sedikit canggung jika Baekhyun mengejar Chanyeol di tangga hanya untuk berkata "selamat ulang
tahun". Demi apa, ini realita bukan panggung teater.

Membungkukkan tubuh, Baekhyun meraih kotak hadiah Chanyeol di bawah meja makan dan
meletakannya di kursi sebelah. Ia berdiri dan melangkahkan kaki secepat yang ia bisa untuk
menggenggam lengan Chanyeol—memaksa yang lebih muda untuk menoleh menghadapnya.

Kata-kata itu kemudian keluar begitu saja dengan sangat cepat, datar, dan tidak terkontrol.

Fuck yes, sungguh tidak sesuai rencana.

"Selamat ulang tahun, Park."

Chanyeol tampak terkejut. Sangat, sangat terkejut. Ia menatap Baekhyun dengan sebuah tatapan
yang lumayan tidak terbaca namun sang kakak dapat mengambil kesimpulan bahwa sang adik
sangatlah terkejut—dinilai dari kedua pupil lelaki itu yang membesar sempurna. Lama-kelamaan
ekspresi terkejut itu melembut, tergantikan oleh sebuah senyum kecil yang menunjukkan lesung
pipi mungilnya. "Kau ingat."

Baekhyun melepas genggamannya untuk balik tersenyum—meski lumayan canggung. "Aku


punya hadiah untukmu." Membalikkan tubuh, ia setengah berlari ke meja makan untuk segera
mengambil sebuah kotak biru dan kembali menghampiri Chanyeol, mengulurkan kotak tersebut
untuk sang adik ambil. Ekspresi keparat itu lagi-lagi tidak terbaca, entah bahagia atau biasa saja
atau bahkan tidak peduli, Baekhyun khawatir jika kelak Chanyeol akan membenci hadiahnya.

Chanyeol menerima kotak tersebut dari tangan Baekhyun dan membukanya, meletakkan penutup
kotak di pinggir sofa. Senyuman kecil tadi muncul lagi saat ia melihat isinya. "Tidak ada kartu
ucapan?" Baekhyun ikut menjinjit untuk melihat ke dalam kotak selagi Chanyeol menggeser
hadiah utama ke sana-sini hanya untuk mencari kartu ucapan. Sejujurnya, Baekhyun juga lupa
apakah ia sudah menulis kartu ucapan atau tidak. "Ah," Chanyeol setengah menggeleng ketika ia
gagal menemukan apa pun. "Tidak seru."

Baekhyun melambaikan lambang "peace". "Ugh. Aku tidak kepikiran, Park."

Chanyeol mengangkat bahu santai lalu meraih hadiah utama dari dalam kotak dan
mengobservasinya. "Kau hobi memberi tempat pensil?"

Merasa tersinggung atas pertanyaan Chanyeol, Baekhyun mengerucutkan bibir. "Apa


maksudmu?" Menyempitkan alis, ia lanjut menyerang, "Sini, berikan. Kalau tidak mau, buatku
saja—"

Chanyeol menjinjit dan mengangkat tangannya keatas, menghalangi Baekhyun untuk menyambar
tepak pemberiannya. Sang kakak langsung bersungut-sungut. "Kata Ayah, jangan meminta sesuatu
yang kau berikan." Chanyeol mendongak ke atas, mengamati barang tersebut dari bawah—sebuah
tempat pensil kayu kecokelatan sederhana ala vintage berbentuk persegi panjang yang kini sedang
menjadi trend di kalangan murid SMA Caspian. "Ya, lumayan," ulasnya.

Memutar mata, Baekhyun menyilangkan kedua lengan. "Brengsek, harusnya kau bersyukur aku
memberimu tempat pensil baru."

Chanyeol menatap Baekhyun dengan kedua alis terangkat. "Memangnya kenapa?"

"Lihat tempat pensilmu!" serunya, membuang muka ke direksi lain karena tatapan Chanyeol agak
terlalu intens (atau Baekhyun saja yang berpikir terlalu jauh) hingga ia agak salah tingkah. "Sudah
jelek tidak berbentuk masih saja kau pakai."

Dikatai begitu, Chanyeol malah menyeringai. "Tentu saja, itu adalah tempat pensilku dari jaman
SD."

Baekhyun melongo. "Huh, kau serius—"

Chanyeol menyela di tengah-tengah, "Saat aku baru masuk kelas dua."

Baekhyun tambah melongo berlebihan. "—kelas dua?!"

Masih menyeringai, Chanyeol meneruskan: "Kau lupa?" ia memberikan Baekhyun sebuah tatapan
lucu. "Kau yang menghadiahiku tempat pensil itu sewaktu aku naik ke kelas dua."

Baekhyun mengerutkan dahi sambil menunjuk diri sendiri. "…aku?" Ia lalu mengamati dinding
sebentar untuk mengingat-ingat, tapi karena otaknya tidak seberapa bisa bekerja normal di malam
hari, sang kakak menyerah dan mengangkat dua tangan tidak peduli. "Whatever, aku lupa."
Chanyeol hanya menyeringai khas psikopat, dan ketimbang membuang waktu lebih banyak, ia
cepat-cepat mengambil hadiah tambahan dari dalam saku. "Tada!" Baekhyun melambaikan
sesuatu di depan wajah Chanyeol. "Ini shooting-sleeve."

Chanyeol menatap Baekhyun datar. "Aku tahu, Byun…"

Baekhyun menelan ludah. "Jadi, dahulu saat aku SMP, aku pernah ditunjuk untuk mengikuti
pertandingan basket—"

Chanyeol tersenyum jahil. "Kau?" ia mengamati Baekhyun dari bawah ke atas bersama pandangan
remeh dibuat-buat. "Mencengangkan."

Baekhyun tidak meladeni sarkasme Chanyeol dan meneruskan, "Ibu memberikanku ini
sebagai 'good luck'…" ia terhenti sejenak, mengingat masa-masa lampau yang menyenangkan.
Seorang ibu suportif yang mendukung segala kegiatan positif Baekhyun di sekolah. "Ini adalah
salah satu pemberian Ibu yang sangat aku jaga," ia menatap shooting-sleeve itu dalam-dalam.
"Tapi setelah kupikir-pikir, kau lebih membutuhkan ini daripada aku, Park."
Ia mendongak untuk menatap Chanyeol lagi, ekspresi serius dan tulus, selagi ia berkata, "Karena
hari ini kau berulang tahun, aku akan memberikanmu ini sebagai hadiah kedua," ia kemudian
memasangkan shooting-sleeve itu di lengan Chanyeol, sentuhan singkat antara kulit mereka yang
bergesekan sedikit membuat Baekhyun merinding—tetapi ia tetap tersenyum tulus. "Jadi
berjanjilah padaku kau akan memenangkan pertandingan besok dengan skor yang jauh lebih tinggi
dari Winners."

Baekhyun tidak bermaksud mengada-ada tapi ada sedikit kelembutan di balik tatapan Chanyeol
saat ia tersenyum.

Hanya saja apa yang keparat itu katakan selanjutnya sungguh menghancurkan suasana.

"Baru kali ini aku lihat seseorang memberikan hadiah bekas."

Senyum tulus dan cantik yang tadi terplester di wajah Baekhyun langsung ludes bertransformasi
menjadi delikan tajam pembunuh berantai. Ia nyaris meraung, dan hampir menarik paksa shooting-
sleeve dari lengan Chanyeol jika keparat itu tidak (sekali lagi) menjinjit dan mengangkat tangan
tinggi-tinggi. "Ingat apa yang kubilang, Byun," katanya, mengangkat tangan lebih dan lebih tinggi
sampai Baekhyun menyerah sepenuhnya. "Jangan ambil sesuatu yang kau beri."

Lelah dan agak mengantuk, Baekhyun menyerah untuk menjinjit. "Terserah," ujarnya pasrah,
"Besok aku akan datang ke pertandingan kalian. Awas saja kalau kau tidak memakai ini."

"Kau mengancamku?" tantang Chanyeol, menahan tawa. "Berani sekali, Tuan Byun."

Baekhyun tidak mau kalah. "Ya. Aku mengancammu, keparat."

"Well, apa sekolahmu menang saat kau memakai ini?"

"Tidak."

Chanyeol memicingkan mata. "Bagus. Apa itu berarti sekolah kami akan kalah juga?"

"Tentu saja tidak!" Baekhyun meletakkan tangan pada dahi, stres menghadapi bocah macam Park
Chanyeol. "Kalau kau tidak mau pakai, ya sudah!"

Sang adik menggenggam shooting-sleeve tersebut di lengan kirinya sembari tersenyum kecil. "Kita
lihat saja apa ini bisa membawa keberuntungan untukku."

.
Arena permainan terlihat begitu ramai dan padat oleh pengunjung. Bangku-bangku sebelah kanan
dipenuhi oleh murid-murid ber-blazer hijau tua (Seoul International High School), sedangkan di
bagian kiri, murid-murid ber-blazer biru tua (SMA Caspian) telah memadati seluruh tempat. Posisi
kedua sisi saling berhadapan, jadi mereka dapat saling menyimak apa yang para pendukung
lakukan untuk menyemangati tim sekolah masing-masing. Siapa yang paling heboh di antara
keduanya, sebentar lagi pertanyaan itu akan terjawab.

Baekhyun, Sehun, dan Minseok duduk berjajaran di bangku tengah. Mereka membawa
beberapa snack dan minuman soda sebagai camilan sepanjang pertandingan nanti. Minseok ikut
berpartisipasi dalam mendukung tim basket sekolah. Ia membawa sebuah banner kecil yang akan
dilambai-lambaikan sambil kompak menyanyikan yel-yel The Caspians.

Chanyeol benar-benar mengenakan shooting-sleeve yang ia berikan tadi malam, dan Baekhyun
merasa sangat bangga barang itu bisa kenakan oleh seorang pemain basket handal seperti Park
Chanyeol. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Baekhyun melihat beberapa pesan Snapchat baru
dari Jongdae—salah satunya adalah foto si sahabat berpose gila (lidah menjulur, mata agak
tertutup seperti orang mabuk) disertai caption bertuliskan: "Kau sekarang di mana?". Ia berniat
menjawab, mengarahkan kamera secara acak di sekitar stadium, mencari objek yang sesuai, tapi
tidak sengaja menghentikannya tepat di depan wajah Chanyeol yang agak di-zoom.

Jantung Baekhyun nyaris berhenti berdetak.

Ia tidak menyangka bahwa lelaki itu juga tengah menatapnya.

(Menatap kamera Baekhyun, maksudnya).

Otomatis menekan tombol "home" karena takut disangka paparazzi, Baekhyun mendongak untuk
mengkonfirmasi tatapan Chanyeol—namun keparat itu (tentu saja) terlebih dahulu mengalihkan
pandangan ke direksi lain. Jantung berdebar encang tanpa alasan, ia menggelengkan kepala lambat
sebelum membuka aplikasi Snapchat untuk mengambil foto tasnya sendiri dan mengetik
balasan: "Arena olahraga! Menonton pertandingan Chanyeol."

Seseorang menyenggol-nyenggol lengan Baekhyun.

"Lihat," Minseok berbisik pelan di telinganya, mengarahkan kepala pada Sehun yang tengah
berlambaian tangan dengan Huang Zitao—pacar si adik kelas sekaligus anggota dari Winners yang
merupakan lawan main The Caspians hari ini. "Pengkhianat."

Baekhyun merangkul bahu Minseok untuk balas membisik, "Hush, itu pacarnya."

Ada suara sorakan heboh dari penonton, dan Baekhyun serta Minseok sama-sama menoleh ke
depan untuk melihat bahwa pertandingan telah dimulai.

"GAME ON, BITCH!" Minseok langsung berteriak histeris, berdiri dari bangku untuk melambai-
lambaikan banner—sukses berat mempermalukan Baekhyun yang sedari tadi duduk tenang di
sebelahnya.
Menghela nafas pasrah, Baekhyun memandang ke depan untuk mengikuti arah lari Chanyeol,
mengamati tangan profesional sang adik kala melakukan dribble—berlari menghindari seorang
lawan yang hendak merebut bola basket dari genggaman.

"Kita lihat saja apa ini bisa membawa keberuntungan untukku."

Baekhyun diam-diam tersenyum.

Ia percaya bahwa hari ini adalah hari kemenangan Chanyeol.

Chapter 8: Surprise!

Baekhyun pikir jabatan pemain basket cadangan yang ia sandang beberapa tahun lalu sungguh sia-
sia sekarang.

Pasalnya sepanjang pertandingan berlangsung, ia sama sekali tidak mengerti apa yang tengah
terjadi di lapangan. Kala semua murid berseru senang maupun kecewa, Baekhyun hanya menatap
mereka aneh: mulut menganga serta dua alis tertaut bingung, berulang-kali mengganggu
konsentrasi orang terdekat—ahem, Minseok—untuk memberi penjelasan ulang secara detail
("Yah! Ada apa? Kenapa mereka berteriak histeris begitu?" Baekhyun terus-terusan bertanya, dan
Sehun memutar mata). Minseok sering tidak menghiraukan, memilih untuk ikut meneriakkan
lantang yel-yel tim basket The Caspians bersama ratusan murid lain daripada meladeni Baekhyun.
Akhir cerita, Baekhyun mungkin menjadi satu-satunya manusia di sana yang ketinggalan jauh.

Meringis, ia lantas mengembalikan tatapan ke depan—memandang tanpa ekspresi selagi Chanyeol


berlari cepat menyusuri beberapa lawan pemain, satu tangan sibuk melakukan dribble bola cukup
mengesankan. Jeritan murid-murid sekolah yang memenuhi arena olahraga tidak mengacaukan
konsentrasi sang keparat sebab nyaris beberapa detik kemudian, ia berhasil menghindar dari
serangan lawan dan melompat tinggi, begitu mudahnya memasukkan bola ke dalam ring.
Lengkingan para murid seketika terdengar, dan di saat yang sama, Baekhyun mengeraskan pijatan
pada pelipis—stres menghadapi sekelompok siswa di sekitarnya yang bersikap terlalu berlebihan.
Demi dewa, ini pertandingan basket, bukan konser Big Bang.

Salah seorang adik kelas perempuan, yang Baekhyun ketahui namanya sebagai Yoo Jiae,
menghampiri mereka dari belakang—membagikan beberapa banner mungil untuk mereka pegang.
"Harap berdiri dan lambaikan ya, sunbae-nim," ujarnya pelan dan lembut—beruntung Minseok,
Joohyun, dan Baekhyun bisa menangkap apa yang ia katakan. "Terima kasih." Jiae lalu
membungkuk sopan, secara tidak langsung menuai apresiasi tersendiri dari Baekhyun (ia sangat
menghargai adik kelas yang hormat pada kakak kelas), dan kembali ke tempat duduknya.

Sungguh, Baekhyun tidak keberatan melambaikan banner seperti seorang maniak gila—after
all, reputasinya dahulu di sekolah adalah seorang mood-booster. Namun dengan apa yang tertulis
di banner tersebut, alangkah baiknya apabila ia harus berpikir dua kali.
#ChanyeolPastiMenang.

Baekhyun memandang banner tersebut jijik. Apa kau bercanda? Yang ada Chanyeol pasti akan
menghinanya habis-habisan sepulang pertandingan—jika ia benar-benar melakukan apa
yang hoobae itu minta. Diam-diam menggelengkan kepala, ia melempar banner tersebut ke
pangkuan Sehun, yang tidak seberapa menghiraukan karena asyik bermain Clash Royale di
ponsel iPhone tersayang. "Untukmu," kata Baekhyun datar, dan Sehun, masih terpaku dalam
permainan, hanya melirik wajah Baekhyun dan banner itu sejenak, sebelum mengangguk pelan—
tatapan mata tidak fokus.

Tiga menit lagi pertandingan akan berakhir, dan The Caspians telah unggul dua belas poin di
atas Winner. Meski begitu, Chanyeol tidak lelah-lelahnya menyumbangkan banyak goal demi
keharuman nama sekolah mereka. Barusan, ia sukses mencetak satu goal tambahan dengan
memasukkan bola dari kejauhan. Bola tersebut terlempar sempurna, terbang lurus melewati
banyak pemain di bawahnya—yang tampak terpukau—lalu masuk ke dalam ring. Baekhyun harus
akui atraksi barusan sangat hebat hingga ia terus menepukkan tangan terpesona.

"Tak diragukan lagi!" Joohyun berseru kencang, melambaikan banner ke sana-sini—melompat-


lompat seperti seorang cheerleader. "Park Chanyeol, Master of Three-Point Shoots!"

Seorang MC (atau wasit? Baekhyun tidak peduli) dari pertandingan kemudian membunyikan peluit
sebagai tanda bahwa permainan telah berakhir. The Caspians memeluk satu sama lain erat, seruan
kemenangan tenggelam di antara jeritan para supporters mereka. Jongin dan beberapa pemain lain
tiba-tiba menggotong Chanyeol menggunakan tangan mereka, otomatis mengagetkan sang kapten
yang terlihat sangat berbahagia. Baekhyun tersenyum melihat mereka, perasaan bangga memenuhi
dada. Ternyata keparat itu bisa berprestasi juga—well, sejak dahulu kala, namun Baekhyun terlalu
gengsi untuk mengakuinya.

Chanyeol menendang kaki Jongin main-main setelah ia diturunkan—memberikan high-


five singkat pada setiap pemain yang tadi menggotongnya sambil bertukar satu atau dua kata. Tak
lama kemudian, ia menoleh, tepat ke direksi Baekhyun, lalu melambaikan tangan kanan padanya—
di mana shooting-sleeve yang sang kakak hadiahkan tadi malam terbalut. Senyum Chanyeol tidak
biasanya cerah dan ceria, mulut terbuka lebar—menunjukkan barisan gigi yang putih, rata, serta
sempurna, dan Baekhyun tidak tahu harus merespons seperti apa—hell, ia bahkan tidak yakin
Chanyeol melambaikan tangan padanya. Namun sepasang mata lebar itu seolah mengirim
pesan "Hey, Byun! Aku menang! Kurasa shooting-sleeve-mu ada gunanya". Yang jelas,
sekelompok penggemar keparat itu serentak fangirl (atau fanboy, khusus bagi mereka kaum adam)
kompak.

Termasuk Minseok.

"Wah, Chanyeol melambaikan tangan pada kita!" sahutnya, terlalu percaya diri untuk ikut
melambaikan tangan ke arah sang kapten basket, yang sekarang berjalan menuju panggung kecil
di tengah lapangan untuk menerima piala dan sertifikat.
Joohyun menatapnya lucu. "Melambaikan tangan apa?" ia mendorong bahu Minseok kasar.
"Jangan mengkhayal!" serunya balik, selalu pesimistis—meski apa yang dikatakan adalah benar.
"Memangnya ia mengenal kita, hah?"

Baekhyun merasakan Sehun mendekat ke telinganya untuk berbisik—nada sengaja dibuat


seduktif: "Fuck yeah…" udara yang keluar dari mulut Sehun menggelitik rambut Baekhyun.
"Sayangnya ia mengenal Byun Baekhyun…" intonasi dilambat-lambatkan yang sang adik kelas
coba terapkan sungguh mengganggu pendengaran, "Ung, maksudku Park Baek—"

Baekhyun tidak sungkan-sungkan menampar wajah tampan Sehun—yang beberapa bulan lalu
sempat ia puja, astaga—dengan banner Chanyeol. Rintihan pelan ("Ow! Mataku!") yang lebih
muda lontarkan untungnya teredam oleh banner tersebut. "Banyak bicara," komentar Baekhyun,
setengah tersenyum sadis melihat penderitaan sementara Sehun.

"Sekali lagi, selamat kepada The Caspians!" suara MC itu menggema keras di dalam arena,
mencuri atensi Baekhyun dan Sehun sekaligus. Seluruh pemain The Caspians menggenggam piala
bergilir raksasa itu bersamaan, semua menunjukkan senyum terbaik mereka ketika seorang bapak
fotografer hendak mengambil gambar. Chanyeol berdiri di tengah, mengacungkan jempol sambil
tersenyum lebar—tetap terlihat tampan meski poni rambut berantakan, melekat pada dahi karena
keringat.

"Ayo."

Suara Minseok membawa Baekhyun kembali dari lamunan, dan ia pun menoleh, mengangkat alis
terkejut saat menyadari betapa tenang keadaan arena—setengah dari penonton sudah
meninggalkan bangku. Ia terlalu fokus melamun sampai tidak menyadari bahwa sesi foto masing-
masing tim basket telah selesai dari tadi. Minseok kemudian menggerakkan kepalanya ke kiri—
atau lebih tepatnya kepada pintu utama, mengisyaratkan mereka untuk segera keluar dari sana.
"Ada McDonald's di seberang jalan," tawarnya selagi mereka berjalan santai menaiki beberapa
anak tangga. "Kalau kalian mau."

"Mau!" seru Sehun dan Joohyun bersamaan.

Minseok melirik Baekhyun dari samping. "Kau bagaimana, Baek?"

Baekhyun hendak membuka mulut untuk menjawab, namun seseorang tiba-tiba menginterupsinya.

"Baekhyun!"

Seseorang bersuara bass psikopat yang tinggal seatap dengannya.

"Baekhyun! Tunggu!"

Seseorang, yang tidak salah lagi, memiliki nama Park Chanyeol.

Jantung Baekhyun mendadak berdetak lebih cepat.


Seluruh kepala di dalam arena seketika menoleh ke asal suara tersebut. Tak terkecuali Minseok
dan Joohyun. Ekspresi yang terplester di wajah mereka tidak jauh berbeda: mata terlalu mendelik
hingga hampir copot dan mulut menganga cukup lebar. Agak dramatis, memang, tapi itu
sebenarnya terbilang normal bilamana kau melihat seorang siswa kelewat populer di sekolah—
tiada angin, tiada hujan—menyapa salah satu temanmu yang, well, tergolong "rakyat biasa"?

Sehun mengangkat alis terkesan, sementara Baekhyun menatap Chanyeol linglung.

Apa yang terjadi?

Chanyeol lantas menembus pagar pembatas lapangan dan bangku penonton untuk menyusul
Baekhyun di tangga. "Ikut aku," ujarnya, setengah ngos-ngosan—terdengar jelas oleh Sehun,
Joohyun, dan Minseok. Ia kemudian menyeret Baekhyun menuruni tangga, menggenggam
pergelangan tangan sang kakak cukup erat.

"P-Park!" wajah Baekhyun memerah karena semua penonton yang tadi sudah keluar dari arena
kini kembali hadir untuk menyaksikan dirinya dan Chanyeol. Mereka saling berbisik-bisik,
melemparkan tatapan menghakimi (atau mungkin Baekhyun saja yang berpikiran negatif)—
berspekulasi akan siapakah siswa cantik yang Chanyeol sedang genggam tangannya itu. Fuck, ini
bukan ide yang bagus. "Park, hentikan!" Baekhyun mengeraskan bisikannya, meski Chanyeol
tidak kunjung menghiraukan. "Park—Park Chanyeol!" Baekhyun ingin melepas paksa genggaman
Chanyeol, namun di sisi lain ia takut bila keparat itu justru sengaja mengeratkan genggamannya—
sesuatu yang seorang Park Chanyeol pasti lakukan. Jika itu terjadi, Baekhyun hanya akan
memperburuk keadaan—membuat mereka terlihat sangat dramatis.

Para anggota The Caspians menatap Baekhyun penasaran ketika Chanyeol meletakkan masing-
masing tangan pada bahu yang lebih pendek. "Semuanya," sang kapten memulai, suara cukup
keras untuk didengar seluruh orang, "Perkenalkan. Ini kakakku, Byun—" sebuah jeda beberapa
detik seraya ia menatap Baekhyun, yang balik menatapnya dengan ekspresi antara tak percaya dan
terkejut. Chanyeol tersenyum kecil lalu melanjutkan dalam nada yang lantang dan tegas:

"Park Baekhyun."

CHAPTER 8

SURPRISE!

Sulit bagi Minseok dan Joohyun untuk mempercayai sebuah fakta bahwa Byun Baekhyun adalah
kakak kandung dari si ketua tukang bully sekolah: Park Chanyeol.

Alhasil, bak artis yang baru naik daun, Baekhyun dihujani bermacam-macam pertanyaan dari
kedua teman baiknya tersebut. Sembari menunggu Chanyeol untuk selesai mandi sekaligus
berganti baju, Baekhyun menunggu di taman depan arena—ditemani oleh Minseok dan Joohyun,
yang bicara bertele-tele mengenai betapa jauh perbedaan sikap Chanyeol dan Baekhyun serta
wajah mereka yang tidak seberapa mirip. "Coba tes DNA dan pastikan sekali lagi!" adalah apa
yang Joohyun bolak-balik katakan (perintahkan), dan Sehun menertawakan kakak kelasnya itu
keras-keras. Baekhyun, yang menjadi korban dari serangan dua wartawan itu, cuma menghela
nafas.

"B-Baek, jelaskan padaku kenapa kau bisa bersaudara kandung dengan bajing—maksudku, Park
Chanyeol!"

"Kenapa kau tidak pernah memberitahu kami?!"

"Ya Tuhan, kurasa aku akan terkena serangan jantung."

Ketidaksukaan terpendam mereka—kecuali Sehun—terhadap Chanyeol tampak jelas saat mereka


terang-terangan menolak ajakan lelaki itu ke pesta perayaan kemenangan The Caspians. Minseok
berkata bahwa ia ada acara (bohong!), Joohyun menjadikan "tugas sekolah" sebagai alasan yang
dikiranya tepat (padahal Baekhyun tahu betul mereka bebas tugas minggu ini), sedangkan Sehun,
yang sempat terlibat perang tatapan dingin dengan Jongin, hanya tersenyum paksa dan menjawab
canggung "tidak, terima kasih" sebelum meninggalkan arena—ya, kunyuk itu pasti tidak sudi
makan malam bersama mantan. Walau begitu, Chanyeol sepertinya sama sekali tidak tersinggung;
ia menanggapi mereka biasa saja—ekspresi datar dan bosan khas yang secara tidak langsung
berkata bahwa ia tidak peduli dengan kehadiran mereka. Ujung-ujungnya, siswa cantik bertubuh
agak pendek di sebelahnyalah (baca: Baekhyun) yang dipaksa ke pesta itu.

Itulah mengapa Baekhyun bisa di sini sekarang—di rumah salah seorang pemain The Caspians:
Kim Seokjin.

Jujur, ia merasa kurang nyaman menghadiri pesta perayaan mereka. Selain karena tidak mengenal
keseluruhan tim, Baekhyun menyadari bahwa candaan para pemain (minus Chanyeol, keparat itu
kebanyakan membisu) sungguh jauh berbeda. Baekhyun dan kawan-kawan telah terbiasa berkata-
kata kotor, tentu saja, tetapi mereka agak geli dengan topik menyangkut "seks". Tidak, mereka
bukannya bersikap seperti manusia suci maupun polos—hanya saja, topik itu tidak seberapa
penting untuk dibicarakan. "Terlalu mainstream," kata Sehun, dan Baekhyun sangat setuju. Asal
tahu saja, ia bukan tipe remaja yang gampang terangsang seperti para lelaki horny murahan
di Omegle yang dahulu sering menjadi korban troll-nya dan Jongdae.

Baekhyun menoleh ke samping, mengamati Chanyeol yang tengah menuangkan sedikit soju ke
sebuah gelas kecil. Ia bertanya-tanya jika adiknya itu sepenuhnya anak nakal—jika Chanyeol
sudah benar-benar terjerumus ke dalam dunia yang berbeda. Beberapa bulan ini, ia dan Chanyeol
menjadi cukup dekat, dan Baekhyun agak mengkhawatiri pergaulan anak itu. Seberapa jauh
perilaku buruk yang telah ia lakukan? Merampok? Seks bebas? Sebentar lagi Baekhyun harus tahu
semuanya.

"Oh!" seorang anggota, Park Jimin, tiba-tiba berseru—jari telunjuk ia arahkan kepada Baekhyun.
Anak itu sudah mabuk: matanya agak terbuka dan gerak tubuhnya sempoyongan. Baekhyun
mengerjapkan mata penuh pertanyaan. "Kau adalah sunbae cantik yang sering tidak sengaja ke
kamar mandi saat kita—"

"Kenapa baru menyadari?" Jongin menyeringai, menuangkan soju ke gelas Jimin hingga penuh.
"Kemari," ia menuntun tangan Jimin untuk mengambil gelas itu. "Minum saja lagi."

Jimin melakukan persis apa yang diinstruksikan Jongin dan tersenyum mabuk. Baekhyun
menatapnya ngeri. Beberapa anggota lain di sebelah Jimin malah tertawa, dan salah satu dari
mereka, Kim Taehyung, menepuk-nepuk bahunya. "Minum lagi, Jimin-ah," ia membungkukkan
badan untuk menuangkan soju ke gelas Jimin lagi, kali ini sangat penuh hingga tumpah sedikit.

"Omo, omo," Lee Changhyun agak berseru; ia menatap Taehyung dan Baekhyun bergantian.
"Kalian kembar."

Go Minsoo, yang sejujurnya sibuk bermain Clash of Clans, mengangkat kepala untuk menatap
Changhyun. "Siapa?" tanyanya sekilas lalu balik memainkan dua jempol pada layar ponsel.

Changhyun menunjuk dua manusia kembar yang duduk sedikit berjauhan. "Baekhyun-sunbae dan
Taehyung."

Seokjin mengamati mereka berdua, pandangan seolah bersinar-sinar oleh takjub. Baekhyun dan
Taehyung sama-sama menatap diri mereka masing-masing—ekspresi keduanya datar. "Aigoo," ia
menganga sambil bertepuk tangan. "Pantas saja aku merasa agak familiar saat melihat Baekhyun-
sunbae."

Taehyung menyentuh pipinya. "Sunbae," ia memanggil Baekhyun, "Apa kita benar-benar mirip?"

Sebelum Baekhyun bisa merespon, Jongin langsung menimpali, "Mari kita tanya pendapat
Chanyeol." Ia mengangkat satu sumpit sebagai mic palsu dan berpura-pura menjadi seorang
wartawan. "Chanyeol-ssi," ia mengulurkan sumpit tersebut ke direksi Chanyeol, yang duduk di
paling pojok. "Siapakah yang paling cantik di antara mereka? Taehyung-ssi atau
Baekhyun sunbae-nim?"

Beberapa sorakan kecil yang terdiri atas "Taehyung!" dan "Baekhyun sunbae-nim!" membanjiri
ruangan, dan Chanyeol memutar mata. Ia melirik Baekhyun selama beberapa detik, raut wajah
datar seperti biasa, sebelum menjawab dengan intonasi nada tidak kalah datar: "Baekhyun-hyung."

Baekhyun mengangkat satu alis.

Hyung? What the hell?

Semua pendukung Baekhyun bersorak kemenangan. Jongin bertepuk tangan sendiri,


mengembalikan posisi sumpit tersebut ke arah semula, lalu melanjutkan peran wartawan abal-
abalnya: "Yay! Selamat kepada Baekhyun hyung-nim karena telah memenangkan The Caspians'
Beauty Contest 2015!"
"Ah, tidak seru!" protes No Sooil dari kejauhan, mengangkat gelas minumnya ke mulut. "Tak
heran Chanyeol memilih Baekhyun! Ia adalah kakaknya!"

"Okay," Min Yoongi memulai, mengambil sebuah botol soju baru dari kardus di sebelah meja
makan. "Kalian mau sesuatu yang seru?" teriaknya, dan beberapa anggota The Caspians membalas
teriakan tersebut lewat seruan "yeah!" lantang. Baekhyun memberikan mereka tatapan aneh—
yang berarti menghakimi dan geli. Alis tertaut, ia asal-asalan menoleh ke arah Chanyeol dan
seketika membuang muka saat mendapati keparat itu telah mengamatinya terlebih dahulu.

Jantungnya berdetak sangat cepat lagi.

Shit, bisakah Chanyeol sesekali berhenti bersikap menyeramkan seperti itu?

Yoongi membuka tutup botol soju tersebut dan mengambil satu gelas kecil tambahan.
Menuangkan isi soju di sana, ia menutup botol itu rapat kemudian meletakkannya di tengah meja
makan. "Sunbae-nim,"katanya, menggeser gelas itu ke depan Baekhyun. "Coba minum ini."

Semua orang berteriak, kegaduhan pun dapat terdengar. "Minum! Minum!"

Baekhyun menatap gelas itu tidak yakin, menelan ludah tegang. "Ah…" ia mendorong gelas itu
menjauh, "Aku tidak minum—"

"Ayolah," Yoongi mendorong gelas itu ke arah Baekhyun lagi. "Sedikit saja, hm?" ia mengetuk-
ketukkan gelas itu berkali-kali. "Sunbae, ayolah."

Meski diliputi rasa khawatir, Baekhyun perlahan meraih gelas soju tersebut dan mengangkatnya
ke mulut. Semua orang berseru tidak sabar, meneriak-neriakkan satu kata yang sama "Minum!
Minum!". Ia berulang-kali menelan ludah, menatap gelas itu takut-takut. Jika Baekhyun terus
menolak, maka ia akan dikira cupu karena tidak mau mencoba soju. Argh, ia tidak punya pilihan
lain.

Memiringkan gelas itu sedikit, Baekhyun hampir mencicipi setitik air soju jika saja seseorang tidak
tiba-tiba merebutnya dari genggaman.

Yoongi menganga.

Terkejut, Baekhyun otomatis menoleh ke arah si perebut gelas yang kini sedang menghabiskan
keseluruhan soju dengan satu tegukan lancar.

Chanyeol menghapus setetes air soju dari sekitar bibirnya. Meletakkan gelas tadi di meja, ia
menatap Yoongi tajam. "Baekhyun tidak pernah minum soju," ujarnya, menggeser gelas itu di
depan Yoongi, yang tampak kaget dengan perubahan ekspresi Chanyeol—sangat mengintimidasi.
"Jangan memaksa."

Merasakan atmosfer yang mendadak lumayan mencekat, Seokjin pun angkat bicara: "Chanyeol,"
ia terdengar agak tegang, "Kurasa Yoongi hanya bercanda."
Chanyeol mengacuhkannya, justru melirik sebentar sebuah jam Rolex mahal pada pergelangan
tangan kirinya. "Hyung, sudah malam," ia berdiri dari tempat duduk, menatap Baekhyun datar.
"Ayo pulang."

Chanyeol segera menggeletakkan diri di atas sofa sesampainya mereka di rumah. Kaki kelewat
panjang lelaki itu bergelantungan melebihi ujung sofa, dan converse lumayan kumel yang ia
kenakan belum dilepas. Bahkan shooting-sleeve pemberian Baekhyun juga masih terpakai di
lengannya. Baekhyun, yang biasanya setia menggurui Chanyeol agar selalu rapi dan teratur, jadi
agak tidak tega membangunkannya. Beberapa detik ia habiskan untuk berdiri di depan Chanyeol,
mencari cara guna menyuruh sang adik untuk bangun sebentar—cuci muka, kaki, dan tangan,
minum susu (Baekhyun yang akan buatkan susu hangat), supaya dengan begitu ia bisa tidur lelap.

Pelan-pelan Chanyeol membuka mata. "Baek," katanya, mata sedikit merah karena rasa kantuk,
dan ia menguap agak lebar sebelum membenarkan posisi dari terlentang menjadi duduk.

Baekhyun menatapnya khawatir—percayalah, ia sedang tidak mengkhawatirkan kesehatan


Chanyeol, melainkan penampilan sang keparat yang tidak jauh berbeda dengan pengemis kolong
jembatan—dari sofa seberang. "Kau sakit?"

"Hm?" Chanyeol memandang Baekhyun bingung, mata setengah terbuka serta poni berantakan.
Butuh beberapa detik baginya untuk meresapi pertanyaan Baekhyun, dan ia pun menjawab dengan
sebuah anggukan kecil. "Ah…" ia sedikit memijat-mijat kepala. "Sepertinya aku kebanyakan
minum tadi."

Baekhyun mengerutkan bibir. "Ung, itu salahmu."

Chanyeol mengangkat alis. "Dan itu disebabkan oleh?"

"Dirimu."

"Katakan padaku siapa yang memaksakan diri untuk minum soju demi ego padahal ia tahu ia tidak
pernah minum?"

Baekhyun tidak bisa menjawab kali ini, dan Chanyeol menghempaskan tubuhnya ke sofa untuk
bersandar malas-malasan. Memejamkan mata mengantuk, ia meneruskan, "Gara-gara kau, besok
mungkin aku akan hangover dan malas ke sekolah."
Baekhyun sedikit mendelikkan mata ke Chanyeol. "Tidak ada yang menyuruhmu untuk
meminumnya, okay!"

Chanyeol membuka matanya lagi, bangun dari sandaran nyaman di sofa untuk menatap Baekhyun
dengan ekspresi menantang. "Lalu apa?" katanya, "Kau akan mabuk dan aku harus
menggendongmu lagi?" ia mengangkat satu alis. "Atau aku harus mendengar keluhanmu
itu? 'Astaga, aku seperti mau mati'?"

Baekhyun menggerakkan jemari di sekitar dagu seakan berpikir keras. "Aha!" ia menyeringai.
"Kalau aku benar meminum soju, dan salah satu opsi yang kau sebutkan terjadi," ia menunjukkan
jari telunjuk ke arah Chanyeol. "Anggap saja itu adalah tanda terima kasihmu. Ingat,
berkat shooting-sleeve-ku kalian bisa memenangkan pertandingan hari ini."

Chanyeol tersenyum. "Kau bicara seakan-akan shooting-sleeve ini masih milikmu."

"Bekas milikku," Baekhyun langsung meralat, "Kupikir kau benci barang bekas."

Chanyeol tidak kalah cepat untuk menjawab, "Kupikir kau tidak perlu membahas masa lalu."

Baekhyun memicingkan mata. "Kupikir jam segini anak di bawah umur sepertimu harus tidur."

Chanyeol mengangkat tangan. "Batu, gunting, kertas," ujarnya, bibir setengah melingkar ke atas—
mempertunjukkan lesung pipi yang tampan. Ekspresi Chanyeol berubah menjadi ceria lagi meski
wajahnya masih sedikit pucat. "Yang menang harus tidur pertama."

What the. Kekanak-kanakan sekali. "Umur berapa kau? Tujuh?" Baekhyun langsung angkat
tangan. "Call."

Chanyeol sama sekali tidak tersinggung dihina seperti itu. "Tiga kali kesempatan dan yang punya
skor terbanyak boleh tidur kapan pun ia mau."

"Kenapa?" Baekhyun tak dapat menahan rasa penasarannya. "Kau mau kelayapan lagi?"

Chanyeol menggeleng. "Buat apa aku keluar rumah kalau season terbaru The Walking Dead akan
tayang malam ini?"

Baekhyun langsung melirik kalender dan menepuk dahinya sendiri. "Fuck yeah, aku lupa,"
katanya, mengembalikan tatapan pada Chanyeol. Mau tidak mau, ia harus memenangkan "kontes"
ini demi menonton episode perdana TWD Season 7. Layanan televisi kabel hanya tersedia di
televisi ruang tengah dan kamar ayah—sengaja tidak dipasang di kamar Chanyeol dan Baekhyun
karena takut mengganggu konsentrasi belajar mereka. "Ayo mulai."

"Batu, gunting, kertas!"

Mereka berseru kompak, dan Baekhyun langsung tersenyum saat tangannya terlipat membentuk
batu, sedangkan tangan Chanyeol terlipat membentuk gunting.
1:0.

"Status sunbae memang tidak ke mana," ujar Baekhyun congkak, dan di kedua kalinya mereka
bermain, Chanyeol memenangkan kesempatan itu dengan tangan membentuk kertas—otomatis
sukses melawan kepalan tangan Baekhyun.

1:1.

Chanyeol menyeringai. "Status hoobae memang tidak ke mana," katanya, sengaja meniru persis
kalimat sang kakak. Baekhyun menggertakkan gigi kesal, dan mempersiapkan diri untuk babak
terakhir dari persaingan mereka.

"Batu… gunting… kertas!"

Chanyeol tersenyum lebar penuh kemenangan.

Baekhyun bergetar melihat lipatan tangannya yang berbentuk gunting, sementara tangan Chanyeol
yang lebih besar terkepal membentuk batu.

1:2.

Chanyeol melambaikan tangan sambil tersenyum sarkasme. Baekhyun ingin mengupas bibirnya.
"Selamat tidur."

Argh.

Keparat brengsek!

RETURN OF THE DANDELION

.
Berkat kualitas internet yang canggih, gosip panas tentang Baekhyun mudah untuk disebarluaskan.
Setiap murid yang sempat menjadi saksi mata langsung pengenalan Byun Baekhyun di depan
umum segera memberitakan kejadian itu ke semua orang—termasuk para murid di luar sekolah
yang selalu haus akan gosip baru. Mereka berakting semi-paparazzi, mengambil gambar momen
Chanyeol-Baekhyun di lapangan untuk dibagikan ke Snapchat maupun grup chat masing-masing.
Berbagai komentar dukungan mencuat dari mana-mana, dan tiba-tiba saja, Baekhyun menjadi
sangat populer—bahkan cocok disebut sebagai artis pendatang baru di kalangan anak-anak SMA
elit Seoul.

Followers Baekhyun di Instagram meledak dari 120 menjadi 228. Satu-satunya selca yang
Baekhyun unggah di situ memperoleh lebih dari dua ratus likes, dan lumayan banyak
ditemui username asing menuliskan komentar bahwa Baekhyun mempunyai wajah
seorang ulzzang—cantik, putih, dan mulus. Baekhyun sama sekali tidak tersanjung membaca
komentar-komentar itu, malahan tersinggung karena salah satu dari mereka menyama-nyamakan
wajahnya dengan seorang artis wanita terkenal. Ia resmi mengunci Instagram-nya sekitar beberapa
hari kemudian.

Di sekolah, sosok Byun Baekhyun mendadak sangat dikenal. Jung Soojung mengejutkannya
dengan membungkuk sopan kemarin siang, melambaikan tangan ramah sambil menanyakan
materi Trigonometri untuk Baekhyun jelaskan—Minseok dan Joohyun yang kebetulan duduk
persis di belakang cuma mendengus muak. Adik-adik kelas selalu menyapanya, sering-kali muncul
layaknya hantu gentayangan di mana pun Baekhyun berada—kelas, tangga, kantin, atau pagar
depan sekolah. Mereka akan bersikap cukup mengesalkan, membuat candaan tidak lucu yang
justru ketinggalan jaman serta memaksa Baekhyun untuk menerima follow request mereka
di Instagram.

Baekhyun tidak kuasa.

Tingkah laku Chanyeol di sekolah pun tambah memperburuk keadaan. Jika di rumah ia terbiasa
menghina Baekhyun—memplagiat setiap kata maupun ekspresi yang menjadi trademark sang
kakak demi mengejeknya, di sekolah sikapnya berubah drastis menjadi seorang adik yang baik,
sopan, dan manis. Ia memanggil Baekhyun "hyung" dan berkali-kali membelikan makanan gratis
untuk Joohyun, Minseok, dan Sehun. Selain itu, Chanyeol sering pula muncul di sela-sela pelajaran
olahraga guna berakting "suportif" tiap Baekhyun ditunjuk guru olahraga untuk melaksanakan
praktik. Hal-hal sederhana tersebut menyebabkan semua orang salah sangka dan mengira mereka
adalah saudara yang akur.

"Baekhyun-hyung!"

Yang namanya dipanggil hanya meletakkan telapak tangan pada dahi—memutuskan untuk
mengabaikan panggilan keras barusan dan memesan makanan. "Baekhyun-hyung, jangan abaikan
aku!" suara bass manja dibuat-buat itu membuat Baekhyun kelewat geli hingga berkeinginan untuk
memukul kepala sang adik dengan panci. Akan tetapi, realitanya ia tetap bersikeras untuk tidak
menoleh dan meladeni. Baekhyun sudah cukup malu menghadapi sikap manis Chanyeol yang
palsu di hadapan orang banyak.
"Spaghetti," Baekhyun akhirnya memberitahukan pesanannya kepada bibi Ahn, berpura-pura
tidak menyadari bahwa Chanyeol kini menarik lengannya—memaksa yang lebih tua untuk
menoleh dan balik menyapa.

Baekhyun sedikit menjinjit untuk berbisik pelan—intonasi nada marah dan malu bercampur
menjadi satu: "Berhenti mempermalukanku, Park!"

Chanyeol menarik lengan Baekhyun lebih dekat agar ia bisa membalas bisikan Baekhyun: "Baek,
jangan datang ke lantai tiga."

Entah kenapa beberapa hari terakhir mereka mendadak sering melakukan ini: berkomunikasi
rahasia lewat bisikan. Semua berawal dari Chanyeol yang, seperti biasa, selalu mengingatkan
Baekhyun untuk mengangkat telepon ayah dan berbohong bahwa ia sedang di rumah—ya, keparat
itu masih sering ke luar larut malam untuk mengeroyok orang. Kali pertama mereka melakukan
"komunikasi rahasia" sesungguhnya membuat Baekhyun agak kurang nyaman—kedekatan wajah
Chanyeol dengan telinganya yang menggeletik seketika mengangkat bulu kuduknya. Namun
lama-kelamaan—karena terlalu seringnya Chanyeol membisikkan segala hal—Baekhyun pun
menjadi terbiasa. Kini mau penting atau tidak pentingnya percakapan mereka—selama itu terjadi
di publik—mereka akan menyampaikan percakapan itu lewat bisikan.

Dan well, kebiasaan itu meracuni pikiran semua orang untuk tambah yakin bahwa Chanyeol dan
Baekhyun lebih akrab dari yang diperkirakan. Mungkin saja mereka dianggap sebagai "brother
goals" sekarang.

Baekhyun menoleh sejenak ke sekitar ruangan, mengetahui benar bahwa mereka adalah pusat
perhatian seluruh insan di dalam kantin, dan menatap Chanyeol dengan tatapan killer andalannya.
Ia menjinjit untuk berbisik lagi, terdengar risih sekaligus kesal, "Whatever, pergi sana."

Chanyeol tertawa kecil, tepat di depan telinga Baekhyun, menimbulkan vibrasi yang disebabkan
oleh suara bass miliknya—menaikkan bulu kuduk leher Baekhyun. "Aku tidak mau
makan ramen hari ini," pintanya, masih dalam bentuk bisikan cukup seduktif, "Masakkan aku
bubur. Bubur buatanmu lumayan enak."

"Hng," Baekhyun mengacuhkan Chanyeol, tangan siap meraih sepiring spaghetti yang sudah
jadi—namun Chanyeol cepat-cepat mengambilnya. "Serahkan," perintah Baekhyun, dan keparat
itu tidak menghiraukan, mengambil beberapa lembar uang dari saku untuk
membayar spaghetti tersebut. Tanpa ada keinginan untuk protes (karena ia menyukai makanan
gratis), Baekhyun merebut piring itu dari tangan Chanyeol guna membawanya ke meja di mana
Joohyun, Minseok, dan Sehun telah terduduk.

Ketiga kawannya itu kemudian mengangguk sambil tersenyum canggung pada Chanyeol sebelum
berproses untuk melanjutkan santapan mereka masing-masing secara lambat. Chanyeol memegang
bahu Baekhyun, menyempatkan waktu guna berbisik, "Baek, jangan lupa pesananku. Bubur."
Dengan begitu, ia melesat pergi dari kantin, menaiki tangga sembari setengah berlari—mungkin
tidak sabar untuk melakukan pekerjaan favorit hariannya: mengeroyok siswa yang dianggap
"berdosa".
Sehun kemudian memukulkan salah satu sumpit di piring spaghetti Baekhyun. "Hyung," ia
memulai, ekspresi wajah semangat dan bahagia, "Ada kabar beredar kalau Kang Seolguk—murid
SMA St. Agnes—menyukaimu!"

Minseok memutar mata. "Bisakah kau mengganti topik?" ujarnya malas, "Kau sudah membahas
itu berulang-ulang."

Baekhyun mengangkat sedikit spaghetti ke mulut menggunakan sumpit dan menariknya masuk
dengan sekali slurp. "Kang Seolguk?" tanyanya, "Siapa itu?"

"Kau tidak tahu siapa Kang Seolguk?" Sehun justru membalikkan pertanyaan, mata melebar
dramatis untuk mengekspresikan betapa tercengang dirinya.

Sekarang giliran Joohyun yang memutar mata melihat tingkah Sehun. "Anak populer," jelasnya,
"Tidak penting," ia mengedikkan bahu. "Adikmu lebih populer."

"Kang Seolguk bukan anak populer biasa!" protes Sehun, menunjuk wajah Joohyun dengan
sumpit. "Tubuhnya atletis dan ia maskulin. Cocok bagi Baekhyun-hyung."

Minseok menatap Baekhyun datar. "Intinya, Sehun pikir kau butuh kehadiran seorang pacar."

Baekhyun mengeluarkan sedikit tawa mengejek sembari menjilati bumbu spaghetti di bibirnya. Ia
tidak pernah memikirkan tentang itu. Terakhir kali ia pacaran adalah di awal SMP kelas tujuh, itu
pun bersama Jongdae—selama kurun waktu dua tahun. Kini mereka malah bersahabatan,
sepenuhnya melupakan perasaan cinta yang dahulu mereka rasakan—cekikikan setiap mengingat
masa lalu yang (cukup) kelam dan memalukan. Baekhyun kapok untuk pacaran, sakit hati yang
dialaminya dalam beberapa bulan pertama paska berakhirnya hubungan dengan Jongdae begitu
membekas di otak hingga ia dahulu kehilangan nafsu makan.

Lagi pula, untuk apa ia mencari pacar kalau ia memiliki Chanyeol?

Segera setelah pertanyaan itu muncul di pikiran, Baekhyun tidak sengaja tersedak spaghetti.
Sehun, Joohyun, dan Minseok dikagetkan oleh wajah Baekhyun yang tampak seperti tengah
tercekik: kulit kemerahan, dahi keringatan, mata berair, serta batuk berdahak yang berulang-ulang.
Sehun cepat-cepat menyerahkan segelas air putih kepadanya, dan secepat kilat Baekhyun meraih
gelas itu dari Sehun untuk diteguk seluruhnya. Batuknya agak mereda tak lama kemudian, dan
perlu beberapa detik bagi anak untuk kembali bernafas normal. "The hell," gumamnya, nafas
terengah-engah.

Ia menelan ludah, mengedipkan mata berkali-kali sambil mengingat-ingat satu pertanyaan bodoh
yang tadi muncul begitu saja dalam otaknya. Penyebab utama di balik peristiwa tersedaknya
barusan.

Untuk apa aku mencari pacar kalau aku punya Chanyeol?

Baekhyun mengeratkan genggaman pada sumpit.


Gila. Ya Tuhan, sepertinya ia sudah gila.

Joohyun menatapnya khawatir. "Hati-hati," ia menasehati, mengunyah nasi sebentar, sebelum


menepuk-nepukkan tangan—raut wajah mencerah seketika. "Oh ya! Semangat untuk Ulangan
Akhir minggu depan. Persiapkan diri baik-baik dan jaga kesehatan."

Sehun membuat suara-suara aneh tertentu (mirip desahan anjing) yang menandakan bahwa ia lelah
dan sangat malas. "Semangat," ucapnya, setengah hati, "Kuharap pekan Ulangan Akhir cepat
selesai dan kita bisa menikmati liburan bersama di acara trip dua minggu lagi."

Kala Sehun, Joohyun, dan Minseok asyik membicarakan acara trip tahunan sekolah, Baekhyun
adalah satu-satunya yang telah kehilangan fokus. Ia melamun dan tenggelam dalam pikirannya
sendiri, memikirkan satu pertanyaan yang seharusnya tidak diambil pusing. Perasaan-perasaan
aneh tiba-tiba memenuhi dadanya.

Apakah ia bergantung pada kehadiran Chanyeol?

RETURN OF THE DANDELION

Baekhyun harus akui ia merasa lega sebab tanda-tanda figur Chanyeol tidak terlihat selama
setengah jam pelajaran olahraga. Ia bolak-balik menoleh ke segala arah—memastikan bahwa
keparat itu tidak duduk pada salah satu bangku yang tersedia. Hari ini Jo-seonsaeng menyuruh
mereka untuk praktik teknik dasar bola basket: sekadar dribbling dan memasukkan bola ke
dalam ring. Chanyeol, tak usah ditanya, tentu sudah merajai teknik-teknik dasar tersebut, dan bila
ia menyaksikan usaha gagal Baekhyun dalam memasukkan bola, sang adik mungkin akan
merekamnya dan menjadikan video itu sebagai bahan baru untuk mengejeknya di rumah.

"Byun Baekhyun. Kang Seulgi."


Panggil Jo-seonsaeng keras sambil memegang buku nilai. Ia mempersilahkan Baekhyun untuk
berjalan menuju satu ring di sebelah kanan, sedangkan teman sekelasnya—Seulgi—di ring sebelah
kiri—terletak berhadapan dan terpisah jauh ujung-ke-ujung. Baekhyun, dengan sedikit kaku,
mengambil salah satu bola basket di tengah lapangan lalu mempraktikkan sebuah gerakan
sederhana yang Jo-seonsaeng terangkan: berlari sambil melakukan dribbling.

"Woohoo! Go, go, Baekhyun-hyung!"

Teriakan itu menghancurkan konsentrasi Baekhyun, dan ia menoleh, wajah merah padam saat
memandang Jongin dan Chanyeol terduduk di salah satu bangku, melambai-lambaikan tangan
mereka antusias—Jongin adalah pengisi suara dari teriakan tersebut. What the hell?! Kehilangan
fokus, ia menatap mereka tercengang sambil mempraktikkan dribble tak menentu hingga bola itu
terpantul sangat keras dan melarikan diri dari tangannya.

Okay, ini canggung.

Baekhyun harus berlari layaknya seorang idiot guna mengambil bola itu di balik semak-semak,
memantulkannya kembali ke lapangan. Jo-seonsaeng cukup marah menyaksikan kesalahan
barusan. "Chanyeol, Jongin!" ia mendelikkan mata ke arah dua murid kelas sebelas itu. "Berhenti
mengganggu pelajaran saya!" serunya lalu menoleh untuk ikut membagi delikan mata
menyeramkan itu pada Baekhyun. "Baekhyun-hakseng, jangan kehilangan fokus!"

Baekhyun membungkuk sebagai tanda permintaan maaf, menatap takut-takut Jo-seonsaeng,


sebelum memutar tubuh guna sejenak melotot menyalahkan pada Jongin dan Chanyeol. Yang
paling tinggi dari keduanya malah tersenyum. Sekali lagi, what the hell?! Berdeham sekaligus
mencoba meningkatkan kepercayaan diri, Baekhyun kemudian mengulang praktik dribble bola.
Kali ini ia tidak gagal, bahkan bisa dibilang cukup berhasil mengontrol bola untuk stabil saat di-
dribble—meskipun kecepatan larinya melambat. Memantul-mantulkan bola itu beberapa kali, ia
menatap ke ring dan melemparkan bola ke atas.

Bola itu meleset.

Jongin menepuk tangan sekali. "Ah! Sayang sekali!"

"Jangan patah semangat!" seru Chanyeol, mengangkat satu kepalan tangan untuk dilambai-
lambaikan lucu seakan Baekhyun adalah seorang anak kecil yang baru pertama kali masuk Sekolah
Dasar dan butuh semangat dari orang tua. "Hyung, semangat!"

Baekhyun mendengus, dan Jo-seonsaeng, sekali lagi, mendelikkan mata ke direksi Chanyeol dan
Jongin.

"Satu kali lagi," Jo-seonsaeng memperingatkan sembari mengecek jam tangannya.

Baekhyun menghirup dan mengeluarkan nafas lesu. Ia melakukan dribble sebentar sebelum
memfokuskan pandangan pada ring untuk melempar bola ke sana.
Bola itu berputar dua kali di sekitar ring hingga akhirnya masuk.

Jo-seonsaeng kemudian mencatat sesuatu di buku nilainya, sedangkan Chanyeol dan Jongin
bersorak kegirangan.

"Hebat!" sahut Chanyeol, menemani Jongin untuk bertepuk tangan. "Baekhyun-hyung memang
profesional!"

Jo-seonsaeng, yang tampaknya tidak bisa lagi memberi toleransi atas keributan Chanyeol dan
Jongin, segera bangkit dari kursi untuk melemparkan satu bola basket ke arah mereka berdua.
Baekhyun akan sangat senang bila setidaknya salah satu dari mereka terkena serangan tersebut—
supaya mereka kapok mengganggu pelajaran olahraga sang kakak kelas, namun sayang keduanya
sukses melarikan diri dan meninggalkan lapangan, menjauhi bola itu yang kini memantul ke dalam
semak-semak.

"Pergi!" bentak Jo-seonsaeng berapi-api, memegang dahi untuk dipijat-pijat kasar. "Temui aku di
ruang piket!" ia menatap penuh amarah figur Chanyeol dan Jongin yang mulai kabur dari
pandangan, menggumam keras, "Dua puluh poin untuk kalian."

RETURN OF THE DANDELION

H-2 Ulangan Akhir Semester, dan Baekhyun belum siap menghadapi ujian sejarah.

Sungguh, ia tidak pernah tertarik dengan pelajaran tersebut—selalu mengantuk dan tidak
memperhatikan saat pelajaran berlangsung, sebab guru sejarahnya tidak terdengar seperti
menerangkan, melainkan mendongeng. Baekhyun jarang mendapatkan nilai bagus di pelajaran
sejarah—maksimal 87—dan nilai itu, yang menurutnya agak di bawah rata-rata, sudah tergolong
tinggi. Ahn-seonsaeng selalu pelit dalam memberi nilai; kau harus menulis deskripsi lengkap,
detail, juga akurat jika ingin memperoleh skor penuh di satu soal. Jika tidak, maka bersiaplah untuk
gagal.
Terkadang Baekhyun ingin meminjam otak Jongdae. Sahabat garis miring cinta monyetnya itu
memiliki level pengetahuan sejarah setara dengan mahasiswa. Mungkin karena dipacu oleh cita-
citanya menjadi seorang sejarawan hebat (ia berencana untuk masuk ke jurusan yang sama), ia rela
belajar (baca: membaca dan menikmati) beratus-ratus buku sejarah. Demi apa, Jongdae hafal di
luar kepala ratusan nama tokoh yang Baekhyun tak pernah dengar semasa hidupnya.

Baekhyun menggenggam sebuah pulpen agak erat, tanpa sadar mengetuk-ketukkan barang itu di
atas meja sambil mengamati layar notebook serius. "Jongdick-nim," panggilnya, dan ada jawaban
pendek "apa?"lewat earphones yang ia kenakan. Baekhyun menggigit bibir. "Bisakah kau
memberiku penjelasan singkat-tapi-lengkap tentang penyebab Perang Dingin?"

Jongdae terdiam. Terselip suara barang jatuh dan gumaman pelan "fuck, tidak, pensilku!" sebelum
ia menjawab, "Akan kusebutkan lengkap tapi penjelasannya carilah sendiri, okay." Baekhyun
mengangguk—lupa bahwa mereka sekarang sedang melakukan voice call, bukan video-call, jadi
Jongdae tidak akan mungkin dapat melihatnya. "Konflik ideologi, Marshall Plan, Doktrin Truman,
politik mencari kawan, lomba senjata, pembentukan NATO, dan politik containment Amerika
Serikat."

Baekhyun langsung mencatat semua itu pada selembar kertas buram kemudian membuka
banyak tab di web browser, mengetikkan satu per satu jawaban yang Jongdae sebutkan di
kotak Google. "Thanks, Jongdick."

Jongdae membalasnya dengan sebuah "hm" sederhana, dan ia pun segera memulai topik baru: "Eh,
B-nim. Apa oohsehun di Instagram adalah Oh Sehun mantan crush-mu?"

Baekhyun mengangkat alis. "Huh?" ia membuka satu web berisi penjelasan tentang Marshall
Plan dan membacanya sebentar. "Ya, kenapa memangnya?"

Hening sejenak. "B-nim…" Baekhyun bisa membayangkan Jongdae memberinya


tatapan "please". "Ia tidak tampan."

Baekhyun meletakkan pulpennya di meja, entah kenapa merasa tidak terima ketampanan Sehun
diragukan. "Hey!" serunya, menatap layar ponselnya—di sana tertulis nama Kim Jongdae
dan voice call Skypeberdurasi 03:32:15. "Kau tidak bisa bergantung pada foto-foto Instagram-
nya!"

"Baiklah. Apakah ia tidak fotogenik?"

"Tidak, tidak," Baekhyun menggeleng. "Ia sebenarnya fotogenik; cuma ia tidak mengerti
perbedaan foto yang baik dan benar."

Jongdae mungkin berusaha untuk menyerapi kalimat Baekhyun yang membingungkan, namun ia
gagal. "Apa maksudmu?"
Baekhyun mengambil beberapa detik untuk merancang penjelasan yang singkat dan padat. Anak
itu mengangguk bangga pada diri sendiri saat ia berhasil menemukannya. "Sehun adalah tipe orang
yang cukup foto sekali dan langsung puas dengan hasil fotonya."

"Kau serius?"

"Apa aku pernah berbohong?" sahut Baekhyun, meletakkan telapak tangan pada dahi. "Bocah itu
pernah meminta tolong padaku untuk mengambil gambar dirinya dengan sebuah
produk snack terbaru dan—"

"—hahaha, B-nim, aku melihat foto itu di Instagram," Jongdae memotong, mulai cekikikan tidak
karuan, "Senyumnya seperti ahjussi tukang mabuk!"

"Aku tahu!" Baekhyun hampir berteriak, ikut-ikutan depresi setiap mengingat foto itu. Ia tidak
bisa menahan tawa pula. "Aku menyuruhnya foto ulang tapi ia menolak…" ia menggeleng-
gelengkan kepala. "Ternyata sudah terunggah di Instagram."

Mereka berdua terus saja tertawa hingga akhirnya Baekhyun harus melonjak kaget di atas kursi
saat pintu tiba-tiba terbuka.

Chanyeol memasuki rumah sembari membawa bungkus plastik putih kecil. Ia memberi tatapan
terkesan pada Baekhyun, yang tampak sibuk total dengan sepasang earphones terpasang di telinga,
sebuah notebook, serta sejumlah kertas buram. "Belum selesai belajar?"

Di saat yang sama, Jongdae juga bertanya, "Apa itu Chanyeol?"

Baekhyun, terlanda kebingungan harus menjawab yang mana dahulu, memilih untuk mengangguk.
"Sebentar lagi." Ia menoleh ke layar notebook dan berbisik pelan, "Yah, Jongdick. Akan kutelepon
besok pagi."

Sebelum Baekhyun menekan tombol merah, Jongdae cepat-cepat berkata, "Buka Snapchat-mu!"

Chanyeol berjalan santai mendekati Baekhyun, berdiri di sebelahnya untuk mengecek


layar notebook. "Marshall Plan…" ia mengerutkan alis. "Apa kau sedang belajar sejarah?"

Baekhyun menoleh, mengangkat satu alis heran. "Kau tahu dari mana?"

Chanyeol mengangkat bahu santai. "Aku pernah membaca buku sejarahmu, dan ada penjelasan
tentang Marshall Plan di sana."

"Wow, ingatanmu pasti kuat sekali," komentar Baekhyun, mem-bookmark beberapa tab lalu
menutup web browser. Ia kemudian menekan tombol "shut down" di bagian menu.

"Apa Jongdae barusan meneleponmu?" Chanyeol membuka percakapan baru, menyalakan air
wastafel untuk membasuh tangan serta wajah sambil memandangi refleksi diri sendiri di kaca.
Baekhyun membuka satu pesan Snapchat baru dari Jongdae—anak itu mengambil foto asal
sebuah mug merah-muda Hello Kitty disertai caption singkat "hi". Baekhyun menyeringai,
mengambil gambar asal televisi di ruang tengah lalu mengetikkan balasan "what". Setelah itu, ia
baru menjawab pertanyaan Chanyeol sangat singkat: "Ya." Baekhyun kemudian mengamati
Chanyeol dari jauh sembari menggigiti bibir gugup. "Hey Chanyeol?"

Chanyeol masih mengamati refleksi di kaca. "Hng."

"Apa kau mau kukenalkan dengan Jongdae?"

Chanyeol menatap Baekhyun datar lewat kaca. "Tidak." Baekhyun serontak merengut, dan
Chanyeol berkata lagi, "Aku tidak terlalu suka berkenalan dengan orang baru," ia menjelaskan,
"Terasa canggung."

Baekhyun, mau tidak mau, mengangguk setuju—karena memang ada benarnya. "Ah, ya… aku
mengerti maksudmu." Chanyeol mengelapkan tangannya yang basah pada handuk lalu berjalan
melewati sang kakak untuk mengambil beberapa makanan kecil di kulkas. Baekhyun memutar
tubuh ke belakang untuk bertatap muka dengan lelaki itu, terus meyakinkan sang adik, "Tapi
Jongdae berbeda!"

Chanyeol malas merespons, membuka satu bungkus keripik kentang dan memakan satu demi satu
keripik sambil menatap Baekhyun datar. Yang ditatap tambah merengut; ia sudah hafal betul apa
arti dari tatapan itu yakni: "aku tidak peduli, pergi sana". Kesal karena dicueki, Baekhyun
mengaktifkan ponsel guna membuka aplikasi Snapchat. Wajah derp-nya muncul di layar selama
beberapa detik, dan ia pun segera mengatur posisi kamera—sekalian menatap wajah sendiri—
hingga sempurna. Setelah merasa yakin dengan bagaimana ia terlihat, Baekhyun lantas menekan
tombol lingkaran di tengah cukup lama untuk mulai merekam.

Ia melambai manis ke kamera. "Halo!" Sedikit menggeser tubuh ke samping, ia membiarkan diri
Chanyeol terekam di sana seperti seorang cameo. Sang adik langsung menutupi wajahnya dengan
beberapa lembar tissue. Baekhyun tertawa. "Aigoo. Yeollie-nim, si pemalu," ujarnya berlagak imut
lalu mengirim video tersebut ke Jongdae bersamaan dengan caption: "LOL".

Chanyeol menatap Baekhyun bosan. "Jangan tersinggung, tapi kau terlihat bodoh."

Baekhyun mengecek beberapa Snapchat story milik teman-teman lamanya di Daejeon selagi
menjawab datar: "Aku tersinggung."

Chanyeol memutar mata ala Baekhyun. "Whatever." Dan sang kakak, yang sungguhan tersinggung
karena diplagiat, tertawa keras-keras. Peniruan Chanyeol terhadapnya sangatlah akurat. Keparat
itu mempunyai bakat alami untuk menjadi tukang plagiat.

Chanyeol mengambil ponsel dari sakunya. "Hey, Baekhyun?" ada keraguan di suaranya.

Baekhyun membalas pesan KakaoTalk Sehun sejenak. "Hng."


"Ayo…" ada jeda beberapa detik seolah Chanyeol ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu, dan
sesuatu itu adalah… "…kita selca?" ia mengakhiri pertanyaan itu dengan sebuah tatapan
canggung.

Baekhyun mengangkat bahu santai. "Okay, leggo—" ia berhenti, dan menatap ponsel Chanyeol
terkejut. "—wah, kau ganti ponsel?"

Chanyeol adalah pengguna setia iPhone—ponsel yang sering ia pakai adalah iPhone 6s, tapi kali
ini ia malah membawa ponsel lokal: Samsung S5. Untuk beberapa detik, sang adik sempat terlihat
kebingungan, seolah-olah ia baru tertangkap basah mencuri empat televisi di toko elektronik.
Namun perubahan ekspresinya terjadi begitu cepat—dari panik menjadi datar—hingga Baekhyun
gagal menyadarinya. "Ah, tidak..." ia tersenyum tipis, mengangguk lambat seperti kurang yakin.
"Aku mempunyai dua ponsel."

Baekhyun menatap Chanyeol aneh. "Kenapa kau tidak pakai iPhone 6s saja? Bukankah lebih
bagus?"

"Tidak penting," Chanyeol menyerahkan ponselnya kepada Baekhyun. "Ayo selca."

"Agresif sekali," canda Baekhyun, mengambil ponsel tersebut dari tangan Chanyeol. Agar cepat,
Chanyeol mengulurkan jari telunjuk dari belakang untuk menggeserkannya di menu dan
menekan icon kamera yang tersedia. Setengah merapikan poni, Baekhyun memposisikan ponsel
di depan mereka, dan Chanyeol mendekatkan diri pada sang kakak hingga wajah mereka nyaris
bersentuhan. "Satu, dua, tiga," ucap Baekhyun, menekan tombol di tengah sambil tersenyum
cantik—kedua mata membentuk eye-smile indah, sementara pria yang lebih tinggi di sebelahnya
tersenyum lebar—lesung pipi menonjol jelas.

Mereka mengecek foto itu bersama, dan Baekhyun mengangguk puas. Chanyeol juga tampak
senang dengan hasil barusan.

"Okay, satu lagi."

Sekarang Baekhyun tersenyum lebar unjuk gigi, dan Chanyeol meniru ekspresinya. Sekali lagi,
mereka mengecek foto kedua untuk merasa puas dengan hasilnya.

"Satu lagi."

Kalimat itu kemudian berulang-ulang keluar dari mulut Baekhyun; setiap mereka selesai
mengambil foto dengan ekspresi berbeda, dan mengecek hasil foto—yang anehnya selalu bagus—
Baekhyun akan meminta ekspresi baru agar mereka bisa selca lagi. Pada awalnya, Chanyeol
terlihat semangat, memplagiat ekspresi-ekspresi kakaknya, namun lama-kelamaan ia menjadi
bosan dan meninggalkan sang kakak yang, secara tidak tahu malu, menggunakan ponselnya untuk
mengambil selca sebanyak-banyaknya—memenuhi galeri dengan berjuta selfie Byun Baekhyun.

"Kirimkan semuanya ke Kakao-ku," ujarnya, mengembalikan ponsel ke pemiliknya, langsung


mengklaim ruang kosong sebelah sang adik di sofa depan televisi. Chanyeol tertawa kecil saat ia
melihat puluhan foto sang kakak memenuhi galerinya. Baekhyun pun mendelikkan mata. "Tidak
usah tertawa."

Chanyeol mengirim total 38 foto tersebut ke KakaoTalk Baekhyun, dan sang kakak segera memilih
salah satu foto terbagus—dirinya dan Chanyeol yang tengah tersenyum lebar unjuk gigi—untuk
dijadikan sebagai Display Picture. "Yah," ia menyenggol keras lengan Chanyeol beberapa kali.
"Cek Display Picture-ku."

Chanyeol melakukan apa yang Baekhyun suruh lalu tersenyum kecil. Ia menekan-nekan tombol
ponselnya sebentar sebelum mengembalikan senggolan lengan—hanya saja lebih lembut daripada
senggolan Baekhyun yang kasar. "Coba kau cek foto Kakao-ku."

Baekhyun ke luar dari ruangan chat-nya bersama Minseok untuk mengecek foto profil Chanyeol,
dan dalam hitungan detik, ia mengerutkan dahi kesal—bibir cemberut. "What the," ia
menatapi Display Picture Chanyeol yang seratus persen kembar dengan miliknya—kini mereka
terlihat seolah-olah sengaja memasang foto KakaoTalk yang sama. Fuck, lagi-lagi Chanyeol
memplagiatnya. "Berhenti memplagiatku!" seru Baekhyun, dan yang menjadi korban seruan tidak
menghiraukan—malah fokus menonton televisi. Baekhyun menyerang lagi, "Yah, kau santai
sekali. Sudah siap Ulangan Akhir?"

"Tidak," kata Chanyeol datar, memegang remote untuk bolak-balik mengganti channel televisi.
"Kau pasti sudah siap."

"Oh, tentu saja," Baekhyun memutar mata congkak. Ia tidak perlu berlagak murah hati untuk tidak
memamerkan kemampuan di hadapan sang adik. "Apa kau lupa bahwa aku pintar?"

Chanyeol mengangguk pasrah, ekspresinya datar tidak peduli, dan Baekhyun menimpali, "Belajar
dari sekarang, Chanyeol! Jangan sering berkeluyuran!"

"Aku jarang berkeluyuran."

Baekhyun menyenggol kaki Chanyeol. "Belajar!"

"Kau saja."

"Tidak, aku sudah pintar."

Chanyeol memutar kepala untuk tersenyum ke arah Baekhyun. "Kau ceria sekali," ia berujar,
mengembalikan pandangan ke televisi, "Apakah mood-mu sedang baik?"

Baekhyun menguap cukup lebar. "Ya, begitulah." Tanpa sengaja ia mulai menyandarkan kepala
di bahu Chanyeol, mendadak dilanda rasa kantuk. "Kurasa aku agak kelelahan."

Tubuh Chanyeol menjadi kaku selama beberapa detik, dan saat itulah Baekhyun menyadari bahwa
ia tidak seharusnya menyandarkan kepala di bahu Chanyeol. Heck, mereka tidak pernah
melakukan skinship atau apa pun—cukup canggung bagi mereka untuk melakukan itu—dan
Baekhyun malah mencoba keluar garis dengan menjadikan bahu Chanyeol sebagai bantal
tambahan. Wajar bila sang kakak mendadak kaku dan canggung begini. Ugh, Baekhyun
seharusnya menyandarkan kepala di sofa saja—

Chanyeol tiba-tiba ikut menyandarkan kepalanya di puncak kepala Baekhyun, dan sang kakak
menelan ludah tegang. Tubuh Chanyeol sekarang tampak jauh lebih tenang dari sejumlah detik
yang lalu, dan ia berkata lembut, "Sama…" Chanyeol mengeluarkan dan menghebuskan nafas
lega, udara hangat itu menggelitik kulit kepala Baekhyun hingga sang kakak merinding oleh
perasaan-perasaan asing yang menenangkan. "Harus menghadapi beberapa bocah ingusan di gang-
gang kecil."

Chanyeol tidak pernah gagal memicu Baekhyun untuk memutar mata bosan. "Aku meragukan
definisi 'bocah ingusan' bagimu."

Chanyeol tertawa. "Mau kuceritakan sesuatu menarik?"

"Tidak."

Hening.

“Oke, ceritakan."

Tawa kecil Chanyeol menggetarkan sekujur tubuh Baekhyun. "Kau tahu bahwa aku sering
mengeroyok banyak orang, kan?" Baekhyun mengangguk lemah. "Kemarin aku bertemu salah
satu anak yang pernah kupukuli sewaktu kelas sepuluh…"

Baekhyun tidak sempat mendengar keseluruhan cerita Chanyeol. Ia tidak dapat mendengar
maupun merasakan tawa geli yang lelaki itu keluarkan di sela-sela ceritanya. Pelan-pelan, kepala
Baekhyun tambah menunduk dan susah baginya untuk membuka mata. Suara bass Chanyeol lebih
pas terdengar sebagai lullaby yang mengantarkannya kepada tidur yang nyenyak.

Dan, tak menunggu waktu lama lagi, ia pun segera jatuh tertidur.

Ketika Baekhyun bangun, televisi masih menyala dan ada pemutaran episode terbaru dari The
Walking Dead Season 7. Konten sadis akan para zombie memakan manusia serta darah di mana-
mana setengah membangunkannya, dan ia mengerjapkan mata antara mengantuk berat dan
ketakutan, perlahan mengangkat kepala untuk meluruskan punggung—namun seseorang cepat-
cepat melingkarkan tangannya di sekitar leher Baekhyun—pada bagian yang paling sensitif—dan
menyandarkan kepalanya lagi di bahu.

"Tidur, Baek. Besok kita harus bangun pagi."

Baekhyun tahu itu suara Chanyeol, tapi ia tidak mampu menyuarakan protes karena matanya tidak
dapat dibuka dan mulutnya kaku—rasa kantuk yang berlebihan telah mematikan kelima
indranya. "Walking… dead…" ia menggumam serak, dan Chanyeol mengelus-elus rambutnya
lembut.

"Tidur."

Sepatah kata dari Chanyeol berhasil menyihir Baekhyun untuk kembali tidur. Ia memejamkan
mata dan merapatkan diri pada Chanyeol, tangan memeluk perutnya dan kepala disandarkan di
dadanya. Entah ini nyata atau mimpi, Baekhyun tidak tahu. Mungkin ia akan sepenuhnya lupa
besok pagi.

Namun satu hal yang ia ketahui dan rasakan adalah tubuh Chanyeol seperti memberinya suatu
kehangatan berlebih—kehangatan yang selama ini Baekhyun pikir hanya ia dapat dari ibu seorang.

Chapter 9: Strange Feeling

CHAPTER 9

STRANGE FEELING

Semangkuk cereal Millo adalah camilan yang sempurna bagi Baekhyun kala ia
menonton episode terakhir dari drama lokal terkenal: Descendants of the Sun.

Baekhyun sedikit menguap, menyandarkan punggung malas-malasan pada dinding sofa sambil
membenahi posisi kaki yang agak terbentang tidak karuan di atas meja. Tatapan tak beralih dari
layar kaca, ia mengambil satu sendok cereal guna melahapnya ketika ia tiba-tiba merasakan satu
tangan lain—yang berukuran dua kali lebih besar—dari belakang menggenggam pergelangan
tangannya, justru menuntun tangan anak itu untuk menyuapi mulut selain mulutnya. Baekhyun
tidak marah, membiarkan tangan mungilnya diperalat sebelum bertanya datar, "Enak, kan?"

Chanyeol menanggapi pertanyaan Baekhyun lewat senandung "hm" pelan—menandakan bahwa


ia lumayan setuju—lalu meletakkan sebuah buku paket matematika di atas paha Baekhyun.
"Baek," katanya, mengetuk-ketukkan pulpen pada salah satu soal, "Bisakah kau jelaskan padaku
cara mengerjakan soal ini?"
Baekhyun mengikuti arah ketukan pulpen Chanyeol dan menggembung-gembungkan pipi,
mengamati soal tersebut seksama sambil memikirkan rumus yang tepat. "Ah," ia langsung
mengambil pulpen Chanyeol dan hendak menerangkan, namun nyaris sedetik berikutnya ia
berhenti—mencoretkan satu titik kecil pada kertas buram yang Chanyeol sediakan. "Tunggu,"
ujarnya, agak memutar tubuh ke belakang guna menatap sang adik serius. "Tidakkah menurutmu
soal ini terlalu rumit? Bagaimana kalau kita mulai dari dasar saja?"

Chanyeol mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Bagaimana kalau kau cepat selesaikan saja? Aku
tidak punya waktu lagi."

Baekhyun masih memandang Chanyeol dalam keseriusan tingkat tinggi. "Apa kau yakin?"
Chanyeol mengangguk malas. Baekhyun menyipitkan mata karena ekspresi datar sang adik
sungguh tidak meyakinkan. "Akan banyak rumus-rumus lama yang diterapkan di soal ini, kau
harus mengingat mereka baik-baik…" bujuknya lagi, dan Chanyeol, yang berwatak keras kepala,
mengangguk mantap. Baekhyun menghela nafas. "Okay then, kapan ujian matematikanya?"

Chanyeol tidak berkedip. "Besok."

Baekhyun mengeluarkan dan membuang nafas sabar. "Besok ujian dan kau baru belajar sekarang,"
komplainnya, menunjuk pada karpet dan Chanyeol segera menangkap apa maksud isyarat barusan,
berjalan menuju meja ruang tengah untuk duduk di karpet selagi Baekhyun menaruh buku paket
miliknya di atas meja dan mulai menerangkan.

Entah Chanyeol mengerti atau tidak (ekspresi bosan lelaki itu sangatlah meragukan), Baekhyun
tak peduli. Ia kembali memusatkan atensi pada layar kaca—sepenuhnya mengacuhkan sang adik
yang serius mengerjakan soal—dan merasakan dirinya meleleh menyaksikan adegan-adegan
romantis Song Joongki dan Song Hyekyo. Menghela nafas, ia menyandarkan punggung lagi,
setengah melamun sambil memulai sebuah topik baru, "Menurutmu akankah ada seseorang yang
bisa menatapku seperti Joongki menatap Hyekyo?"

Chanyeol mendongak dari kertas buram guna memandang sekilas layar televisi tanpa ekspresi.
Barulah saat ia menoleh untuk menatap Baekhyun, sebuah senyum jahil main-main perlahan
muncul di wajah tampannya. "Aku?" ia mengangkat bahu, tertawa terbahak-bahak, lesung pipi
yang digilai banyak gadis itu semakin tertekan ke dalam, seraya ia menggeleng-gelengkan kepala.

Baekhyun menatap Chanyeol ngeri, meski jantung berdebar tidak karuan.

"Fuck off."

.
RETURN OF THE DANDELION

Pekan ujian resmi selesai. Baekhyun mengumpulkan satu setengah lembar jawaban sejarah ke
depan kelas dengan sedikit lesu, berjalan lambat sambil menggigiti bibir. Sorakan-sorakan nyaring
dari lantai satu—di mana deretan ruang kelas sepuluh hingga sebelas berada—sama sekali tidak
mempengaruhi ekspresi letih dan pasrah dari mayoritas murid kelas dua belas. Mereka hanya dapat
menggelengkan kepala sembari mengingat lima soal semi-advanced yang Ahn-seonsaeng berikan.
Benar-benar di luar dugaan dari kisi-kisi yang ia beritahukan seminggu lalu.

Baekhyun membanting Tupperware oranye miliknya ke atas meja kafetaria langganan sebelum
menempatkan diri pada bangku tua sebelah Sehun. Adik kelas menawan di sampingnya menoleh
sekali untuk menatap Baekhyun aneh kemudian membuka mulut, "Kau kenapa?"

Joohyun dan Minseok sama-sama menggunakan kedua lengan mereka untuk menyandarkan
kepala di atas meja. Sehun mengangkat alis, menyadari bahwa seluruh murid kelas dua belas di
kafetaria memiliki raut wajah yang tidak jauh berbeda. "Apa soal ujian kalian susah?" Saat salah
satu dari kakak kelasnya tidak menjawab, Sehun menganggap keheningan tragis itu sebagai "ya".
Ia mendengus. "Dasar dramatis."

Baekhyun menatap Sehun tidak terima. "Dramatis, kau bilang?" serunya, hampir mengeroyok air
muka datar Sehun saat ini juga. Kunyuk itu tidak pernah gagal membangkitkan sisi psikopatnya.
"Aku akan mengulang!"

Joohyun mengangkat kepala dari persembunyian di balik lengan guna memandang Baekhyun
menuduh. "Penipu!" sahutnya, mengarahkan jari telunjuk pada wajah Baekhyun. "Kau adalah satu-
satunya anak di kelas yang mengumpulkan satu setengah lembar jawaban! Omong kosong kalau
kau tidak bisa mengerjakan!"

Minseok langsung mendelik. "Benar!" ia mengompori, mendadak teringat akan coretan tangan
asal-asalan yang ia tulis di lembar jawaban. "Aku bahkan hanya bisa mengerjakan satu soal!"

Joohyun memiringkan kepala ke arah Minseok dengan mata berbinar. "Nomor empat?" Minseok
mengangguk imut dan Joohyun cepat-cepat memeluk temannya erat. Mereka lalu memeluk satu
sama lain agak berlebihan, sengaja mengeluarkan suara tangisan manja ala anjing kecil—menuai
masing-masing tatapan jijik dan menghakimi dari Baekhyun dan Sehun.

"Itu yang paling mudah!" tangis mereka kompak.


Sehun memutar mata, sementara Baekhyun mengacuhkan mereka untuk meladeni
pesan KakaoTalk Chanyeol. Tubuh tercondong ke depan, Sehun menepuk-nepuk permukaan meja
sambil menyeringai lebar khas tokoh kucing ungu di film Alice in Wonderland. "Lupakan soal
sejarah," ujarnya, dan Joohyun serta Minseok lama-kelamaan melepas pelukan mereka guna balik
menatap Sehun penasaran. Selalu ada arti di balik seringaian khas itu. "Aku punya satu not-for-
sale item yang harus kubahas dengan kalian."

"Not-for-sale item" adalah sebutan khusus para Gossipers untuk gosip-gosip panas tertentu yang
masih tergolong eksklusif dan tidak banyak diketahui. Tak heran bila Sehun selalu menjadi
terdepan di antara yang lain dalam grosir not-for-sale item; secara teknis, ia bisa dibilang lumayan
terkenal—tampan, asyik, dan ramah (walau cuma akting belaka). Di samping itu, ia mengenal
sejumlah narasumber terpercaya dari berbagai sekolah demi keakuratan gosip yang hendak ia
perbincangkan. Kendati begitu, Sehun tidak pernah menjual gosip ke sembarang orang. Ia
mengenal arti "privasi" dan hanya menyebar not-for-sale item ke orang-orang tertentu yang tidak
bermulut besar dan bisa dipercaya yakni Minseok, Joohyun, Baekhyun, dan (kadang) Joonmyun.

"Choi Jinri," kata Sehun singkat, membuka penutup botol Coca Cola untukmeneguk soda
favoritnya tersebut sejenak. "Kalian tahu?"

Joohyun dan Minseok mengangguk. "Sulli, maksudmu?" Joohyun mengangkat dua alis tertarik.
"Ia adalah anggota permanen One Million, bukan?"

Kali ini Baekhyun tidak mengabaikan mereka. "One Million?!" semburnya agak keras, terkagum-
kagum hingga mulut menganga lebar. "Kelompok dancer terkenal di YouTube itu?"

Sehun menggunakan dua jari untuk mendorong rahang Baekhyun ke atas—efektif menutup mulut
si kakak kelas. "Tutup mulutmu, sayang," ujar Sehun, tersenyum ala ahjussi ketika Baekhyun
mendelik ke direksinya. "Atau seseorang akan memasukkan penis ke dalamnya."

Joohyun mencubit hidungnya jijik, dan Minseok memberikan Sehun sebuah tatapan "apa-kau-
bercanda". Baekhyun nyaris muntah membayangkan visualisasi tidak menyenangkan yang Sehun
baru katakan. What the hell. Sejak kapan Sehun suka bercanda murahan seperti itu? Meletakkan
kedua tangan rapi di atas meja, si adik kelas kemudian memulai lagi dari awal: "Omong-omong,"
ia menoleh sekilas ke Baekhyun untuk mengangguk. "Ya, Jinri adalah anggota permanen grup One
Million di YouTube."

"Namun bukan di situ letak gosipnya," ia melanjutkan, dan Baekhyun harus menahan diri untuk
tidak memutar mata karena cara bicara Sehun yang dilambat-lambatkan terdengar seperti ia tengah
menerangkan lorong-lorong rahasia guna menyerang musuh di Perang Dunia Ketiga. "Kudengar…
ia sekarang dekat dengan salah satu siswa di sini."

Pada detik yang sama, dua orang siswa melangkahkan kaki mereka menuju kafetaria.
Mencondongkan tubuh sedikit ke depan, ia memandang Joohyun dan Minseok sambil berbisik,
"Jam tiga," ia lalu setengah melirik kepada Baekhyun. "Jam sembilan."
Mereka semua diam-diam menatap ke arah jarum jam yang ditunjukkan Sehun. Si pembagi gosip
pun kemudian mengambil sedikit jeda untuk berpura-pura tak memperhatikan, meminum
seteguk Coca Cola, sebelum meneruskan: "Yang paling tinggi."

Mata Baekhyun melebar dan ia menggenggam bahu Sehun guna memaksa sang adik kelas untuk
menatapnya. "Chanyeol?!"

Joohyun mengedikkan bahu. "Tidak kaget."

"Teman Jinri memberitahuku bahwa—" Sehun terhenti, mendelikkan mata ke arah Baekhyun
karena temannya itu terus menatap Chanyeol dengan tatapan serius yang jelas terbaca "hey, kami
sedang menggosip tentangmu". Ia pun menepuk paha Baekhyun keras, mata masih dalam kondisi
bulat mengancam. "Bodoh! Jangan menatapnya! Ia pasti tahu kita sedang membicarakannya."

Baekhyun mengangguk pelan lalu mengalihkan tatapan pada Tupperware biru tua milik Sehun.
Kesepuluh jarinya mengepal keras di bawah kursi seraya beribu pertanyaan membanjiri otaknya.
Baekhyun tidak tahu kenapa ia mendadak merasa begitu gelisah, seakan-akan seseorang
menumpahkan seratus ton beban untuk dirinya angkat. Ada perasaan takut, khawatir, serta marah
tercampur sempurna dalam tubuhnya untuk memaksa pacuan jantungnya terus bergerak lebih dan
lebih cepat. Baekhyun mengeratkan kepalan masing-masing tangan. Campuran perasaan itu
menyebabkan mood anak itu bertambah jelek.

"Kurasa mereka akan berpacaran," ujar Sehun, mengangkat bahu santai. "Mereka sudah dekat
sejak SMP."

"Kau yakin?" Minseok mengerucutkan bibir. "Bagaimana kalau Chanyeol hanya


mempermainkannya? Ia adalah seorang bajingan—" laki-laki imut itu menangkap tatapan datar
Baekhyun, dan langsung tersenyum manis. "—haha," ia terbatuk-batuk, "Maksudku, kau tahu... ia
terkenal suka mempermainkan perasaan orang."

Baekhyun anehnya merasa lega dengan pernyataan Minseok. "Mungkin," Sehun merespons, tak
sengaja menatap Chanyeol dan serontak membeku ketika tertangkap basah oleh pihak yang
ditatap—oh Tuhan, cabutlah nyawa Oh Sehun sekarang karena ia bersumpah tatapan Chanyeol
seratus persen lebih tajam dari pisau daging. Ia langsung memalingkan wajah, berpura-pura
membaca bahan pembuatan yang tertera pada stiker di tengah botol Coca
Cola. "Fuck!" gumamnya, diikuti erangan pelan Joohyun dan Minseok yang untungnya
menggenggam ponsel masing-masing—masih berkesempatan untuk membuka acak
aplikasi game dan menyibukkan diri di situ.

Chanyeol menghampiri Baekhyun sambil menggenggam dua botol yoghurt berbeda rasa: satu rasa
stroberi, dan yang lainnya rasa anggur. Baekhyun sempat melihat ekspresi risih terlintas di wajah
lelaki itu saat ia menatap Sehun, namun raut wajahnya kembali cerah nyaris sedetik kemudian—
membuat Baekhyun agak ragu apakah ia sedang mengada-ada atau tidak. Chanyeol meletakkan
botol yoghurt rasa stroberi itu di atas meja kemudian sedikit membungkuk untuk berbisik,
"Kesukaanmu." Baekhyun mengangguk setengah hati sebagai ucapan terima kasih. Chanyeol
mengerutkan dahi. "Kau kenapa?"
Baekhyun memaksakan sebuah senyum. Ia sedang tidak dalam mood untuk berbicara. "Tidak apa-
apa."

Chanyeol masih mengerutkan dahi, tapi ia akhirnya mengangkat bahu. "Baiklah," ia menepuk bahu
Baekhyun sekali. "Kau akan pulang bersamaku, kan?" sang kakak mengangguk lagi, senyum palsu
itu masih belum terhapuskan. Chanyeol tampaknya tidak menyadari karena senyum sang adik
justru melebar. “Oke. Sampai jumpa nanti."

Ketiga insan di sekitarnya baru dapat menghirup nafas lega ketika Chanyeol telah meninggalkan
kafetaria bersama Jongin—yang sedari tadi berdiri canggung di depan salah satu kios kantin karena
(mungkin) tidak mau berhadapan dengan Sehun. "What the fuck," Sehun mengelap keringat dingin
di dahi. "Adikmu menyeramkan."

Mengabaikan komentar-komentar negatif tentang Chanyeol yang teman-temannya blak-blakan


lontarkan, Baekhyun kembali merenung, berusaha memikirkan cara untuk menguak sesuatu
perihal Chanyeol dan Jinri. Ia tidak seberapa yakin Chanyeol mau mengungkapkan privasinya
pada Baekhyun; sejak kemenangan pertandingan itu, mereka memang jauh lebih dekat, tapi
Baekhyun tahu tidak akan mudah baginya untuk mengorek informasi dari lelaki itu. Ia begitu
tertutup, enggan membicarakan sesuatu yang menyangkut rahasia-rahasia pribadi. Sampai saat ini
pun, Baekhyun belum berhasil memancing Chanyeol untuk melaporkan segala macam perbuatan
melenceng yang telah ia perbuat.

Memandang kosong botol yoghurt pemberian Chanyeol, Baekhyun menggertakkan gigi.

Ia harus mencari tahu.

RETURN OF THE DANDELION

"Kau mau mengungsi?"


Tanya Chanyeol begitu Baekhyun selesai menghempaskan sebuah koper hitam berukuran extra-
large ke lantai. Ada satu tas persegi lucu berwarna cokelat terletak rapi di sebelah koper tersebut
serta dua plastik hitam besar berisi snack dan minuman pada atasnya. Baekhyun tidak
menghiraukan Chanyeol, setengah berjongkok untuk menghitung persediaan makanan sebelum
mengangguk puas ke diri sendiri. "Baek," Chanyeol menendang pelan tumit Baekhyun. "Kau yakin
mau membawa ini semua?"

Besok sekolah mereka akan mengadakan acara trip tahunan, dan tujuan perjalanan kali ini adalah
pulau Jeju. Dikarenakan oleh musim dingin yang agak akut, Baekhyun harus membawa
banyak sweater dan kaos serta beberapa mantel tebal untuk berjaga-jaga—belum lagi ditambah
beberapa pasang kaos kaki dan sepatu boots keren yang ia sukai. Mumpung mereka diijinkan untuk
berpakaian bebas, Baekhyun berniat memanfaat kesempatan itu untuk memamerkan
kemampuan high fashion-nya pada semua orang ("High fashion apa? Kau terlihat seperti seorang
pemain antagonis yang berwatak sombong," ejek Chanyeol). Itu sebabnya ia sengaja membawa
banyak baju untuk berkreasi mencampur warna yang tampak klasik dan elegan.

Baekhyun berdiri lalu mengarahkan jari telunjuk pada sebuah backpack sekolah yang sehari-hari
Chanyeol pakai. "Dan kau yakin kau akan membawa itu?" ia mengerutkan alis. "Apa kau hanya
membawa satu baju dan memakainya berulang-ulang?"

Chanyeol memutar mata. "Tentu saja tidak," ia berjongkok kemudian membuka ritsleting
dari backpack tersebut—memperlihatkan sejumlah sweater dan celana jeans yang berdesakan
tidak karuan. "Aku hanya membawa baju seperlunya."

Mendeteksi penekanan kata sarkasme di akhir kalimat Chanyeol, hazel sang kakak otomatis
merotasi dan tidak menghiraukan—malah melambaikan tangan malas, bersiap-siap untuk tidur.
"Selamat malam, Park."

Sebelum Baekhyun bisa menaiki tangga, Chanyeol langsung menarik bahu sang kakak untuk
didorong ke dalam dekapan lelaki itu—kepala yang lebih pendek sedikit terbentur pada dadanya.
Baekhyun menelan ludah tegang; padahal baru-baru ini mereka sudah sering berpelukan, tapi ia
tetap saja salah tingkah setiap anak itu merangkulnya erat. Masing-masing lengan Chanyeol kini
berada di sekitar perpotongan leher Baekhyun, dan ia mencondongkan tubuh ke depan untuk
menghirup aroma lembut rambut sang kakak. Menghela nafas lemah, ia berbisik pelan, "Kenapa
terburu-buru?"

Baekhyun mengambil nafas selagi ia sedikit menjinjit untuk melirik jam dinding—yang
menunjukkan pukul sebelas malam, lalu mendongak guna menatap sang adik. "Kau ingin
begadang?" Chanyeol mengedikkan bahu, dan Baekhyun mengangkat alis, mengamati Chanyeol
beberapa detik sebelum otaknya mengacau lagi. Mungkin ini adalah waktu yang tepat baginya
untuk melancarkan aksi investigasi mengenai Chanyeol dan Jinri. Tapi bagaimana caranya?
Baekhyun memalingkan wajah ke direksi lain, berpikir agak keras, sebelum sebuah ide tiba-tiba
muncul—bagaikan lampu kuning terang yang menyala di atas kepalanya. Ia langsung menatap
Chanyeol dengan ekspresi bersinar, melepas pelukan mereka untuk menggenggam pergelangan
tangan sang adik. "Mau bermain game?"
Mata Chanyeol agak melebar tertarik. "Game apa?"

Baekhyun mengisyaratkan mereka ke lantai dan mereka pun duduk bersila saling menghadap satu
sama lain pada karpet. "Sepuluh pertanyaan," ujar Baekhyun, merobek kertas mungil dari salah
satu tumpukan koran dan mengambil sebuah pulpen yang tersedia dalam laci meja ruang tengah.
"Setiap pemain bebas menanyakan sepuluh pertanyaan tentang apa pun."

Tatapan Chanyeol tidak terbaca, dan Baekhyun dibuat gugup olehnya. Meski begitu, sang kakak
berusaha untuk menutupi kegugupannya dengan melanjutkan, "Bagaimana? Are you in or not?"

"I'm in," jawab Chanyeol mudah, menyeringai kecil. Baekhyun setengah merinding melihatnya—
seringai yang seperti memberi sang kakak sinyal bahwa Chanyeol tahu ia tengah merencanakan
sesuatu. "Meskipun ini adalah permainan anak SD."

Sekali lagi mengabaikan sarkasme Chanyeol, Baekhyun melanjutkan: "Karena aku yang lebih tua
di sini, aku akan mulai dahulu."

Chanyeol hanya tersenyum sembari mengangkat kedua tangan. "Terserah."

"Siapa—" Baekhyun menghentikan dirinya sebelum pertanyaan itu ("Siapa orang yang sekarang
dekat denganmu?") benar-benar keluar dari mulutnya. Jika ia langsung menanyakan pertanyaan
itu, Chanyeol pasti akan curiga. Ia bisa segera mengetahui bahwa alasan Baekhyun di balik
"permainan anak SD" ini adalah untuk menguras informasi lengkap mengenai dirinya dan Jinri.

Chanyeol mengerutkan alis tak sabaran. "Siapa?"

Ah, ya. Baekhyun ingin merutuki diri sendiri; ia sempat lupa bahwa di hadapannya ada Chanyeol
yang sedari tadi menunggu kelanjutan pertanyaannya. Tersenyum canggung, Baekhyun
melontarkan sebuah pertanyaan random yang ia lihat di Facebook Sehun beberapa waktu lalu:
"Siapa nama presenter favoritmu?"

Chanyeol tampak tengah menahan tawa, tapi ia tetap menjawab: "Eric Nam." Baekhyun lalu
mencoretkan satu garis di sebelah nama Chanyeol pada kertas, dan Chanyeol terlihat berpikir
sejenak sebelum bertanya, "Siapa saja nama mantan kekasihmu?"

Baekhyun menghela nafas, sangat malu untuk menjawab pertanyaan ini. "Jongdae."

Chanyeol sedikit menganga. "J-Jongdae?!" serunya terbata-bata, dan Baekhyun mengangkat alis
karena ini adalah pertama kalinya ia melihat Chanyeol begitu terkejut hingga berbicara gagap
seperti itu. Sang adik terus menatap Baekhyun horor. "Jongdae yang kau telepon setiap hari adalah
mantan kekasihmu?"

Baekhyun tidak menjawab, mencoretkan satu garis kecil di sebelah namanya. "Kapan kau pertama
kali mengeroyok orang?"

Chanyeol terdiam sejenak. "Kelas… tujuh?"


Sekarang giliran Baekhyun yang menatap Chanyeol horor. "What the?!" serunya heboh; sewaktu
kelas tujuh, Baekhyun tidak pernah keluar rumah karena terobsesi bermain Facebook. Teman-
teman di sekolahnya juga malas bermacam-macam karena mereka menyibukkan diri membaca
dan mengomentari status orang-orang. Namun di sisi lain, pada usia yang sama, adik tersayang
lebih suka bermain keroyokan daripada Facebook. Mengenaskan.

"Jangan berlebihan," ujar Chanyeol, tersenyum geli sambil mencubit salah satu pipi Baekhyun—
menuai satu tamparan kasar di lengan oleh korban yang dicubiti. Ia menatap Baekhyun sebentar
sebelum bertanya, "Kenapa kau dan Jongdae bersahabat?"

Baekhyun memutar mata ke kiri dan kanan. "Entahlah," ia mendadak kebingungan sendiri.
"Setelah putus, kami mengabaikan satu sama lain setahun penuh. Kami tiba-tiba sekelas lagi saat
memasuki SMA. Kami duduk sebangku dan karena sering bertemu, kurasa itulah kenapa kami
dekat lagi," sebuah jeda selagi Baekhyun mengerutkan bibir, "Jongdae memang sempat bilang
bahwa ia masih menyukaiku, tapi aku menolaknya dan menganggapnya teman biasa," ia
bernostalgia, "Setelah itu kami tidak pernah membahas romansa bodoh ini lagi dan sekarang kami
bersahabat."

Chanyeol mengernyitkan dahi. "Jangan-jangan Jongdae masih menyukaimu."

Baekhyun memutar mata. "Tentu saja tidak," ia mencoretkan satu garis di sebelah namanya.
Mendongak, ia kemudian bertanya asal, "Siapa cinta pertamamu?"

Keadaan menjadi hening.

Baekhyun menatap Chanyeol. Chanyeol menatap Baekhyun. Mereka saling bertatapan, ekspresi
keduanya datar, sebelum Baekhyun mulai merasa canggung oleh tatapan intens Chanyeol yang
seolah menelanjanginya, dan memutus kontak mata mereka terlebih dahulu—berpura-pura
menonton sekilas iklan Lotte World edisi Big Bang di televisi. Chanyeol tersenyum simpul
kemudian menjawab singkat: "Seorang anak di SD-ku."

Baekhyun mengangguk, masih menunggu untuk penjelasan lebih rinci, namun Chanyeol tidak
kunjung mengatakan apa pun—malah terus-terusan menatapnya bersama tatapan intens
menyeramkan itu lagi. Alhasil, sang kakak pun menyerah. "Okay, sekarang giliranmu," ujarnya,
memecah suasana yang menjadi sangat canggung.

Chanyeol mengamati Baekhyun cukup lama, ekspresi kosong dan menerka-nerka sambil bolak-
balik membasahi bibir. Baekhyun agak merinding. Kenapa tatapan lelaki itu selalu mengerikan?
"Kau…" ia menegakkan punggung sedikit. "…pernah menyukai Jongin, kan?"

Titik, titik, titik.

Baekhyun menelan ludah tegang.

"Ya."
Chanyeol menyeringai jahil, dan Baekhyun mencoba menjelaskan, wajah semerah tomat sambil
menggerakkan tangan ke sana kemari: "M-menurutku Jongin itu tampan, oke?! Sekarang aku
sudah bosan! Itu adalah zaman awal-awal aku masuk SMA Caspian!"

Baekhyun kemudian berdeham, cepat-cepat mengganti topik. “Oke, giliranku," ia terdiam,


menggembung-gembungkan pipi sebentar lalu memulai pertanyaannya: "Siapa…" sebuah jeda
tiga detik, "…siapa orang terdekatmu sekarang?"

Chanyeol menghembuskan nafas. "Orang terdekat ya…" ia menatap Baekhyun sekilas kemudian
mengangkat bahu. "Apa aku harus menyebut orang lain? Karena sejujurnya orang terdekatku
sekarang adalah kau."

Tatapan Chanyeol yang serius itu benar-benar membuktikan bahwa ia berkata jujur dan tulus—
namun itu tetaplah tidak cukup bagi Baekhyun. Ia membutuhkan penjelasan konkret—penjelasan
yang terinci dan lengkap mengenai dirinya dan Choi Jinri. "Ya," jawab Baekhyun, berusaha untuk
terdengar santai, selagi diam-diam meyakinkan diri sendiri bahwa tidak, ia sama sekali bukan
kakak yang posesif—ia hanya penasaran, sangat penasaran. Itu sebabnya ia ingin tahu tentang
Jinri. "Harus orang lain."

Tidak butuh setengah detik bagi Chanyeol untuk langsung menjawab, "Jongin."

Damn! Baekhyun ingin menggulung-gulungkan diri di lantai. "Tidak, tidak!" serunya,


menggelengkan kepala, intonasi nada tidak sabaran, "Maksudku, lawan—"

Sebelum ia dapat melanjutkan, pintu utama tiba-tiba terbuka dan ayah memasuki ruangan,
mengenakan pakaian musim dingin ala orang jaman dahulu: sebuah topi hitam bundar di kepala,
mantel hitam tebal yang panjang selutut, serta celana berwarna senada yang agak longgar. Kedua
alisnya terangkat kaget ketika melihat Baekhyun dan Chanyeol masih bersantai di depan televisi—
padahal jam sudah menunjukkan pukul 11:20 malam. "Kenapa belum tidur?" tanyanya, melepas
topi dari kepalanya untuk digantungkan pada sebuah gantungan khusus.

"Kami…" Baekhyun melirik Chanyeol sejenak, dan ia mendengus pelan ketika melihat lelaki itu
berpura-pura memandangi langit-langit ruangan. "…sedang berbincang-bincang."

Ayah mengambil remote televisi dan menekan tombol merah untuk mematikannya. "Bukankah
besok kalian akan ke Jeju?" ia menyilangkan lengan di dada. "Sekarang sudah malam, cepat
kembali ke kamar kalian masing-masing dan tidur."

Chanyeol malah mengerang. "Ayah…" ia mengacak-acak rambutnya frustrasi, "Kami bukan anak
kecil lagi."

Ayah menatap Chanyeol tajam. "Benar. Tapi sekarang sudah malam, dan kalian harus tidur!"

Dan di tengah perseteruan ringan antara Chanyeol dan ayah ("Ayah, kami belum mengantuk!"
protes Chanyeol, yang langsung dibalas oleh teriakan: "Tidak! Kalian harus tidur sekarang!"),
Baekhyun berulang-kali menggigiti bibir—merasa frustrasi tingkat tinggi.
Lagi-lagi ia gagal memperoleh informasi tentang Jinri.

Lima belas bus khusus bergerak cepat menyusuri jalanan tentram pulau Jeju—sebuah banner besar
bertuliskan "JEJU TRIP 2015 – CASPIAN HIGH SCHOOL" tertempel pada kaca belakang
masing-masing. Pemandangan yang Jeju suguhi sepanjang perjalanan dijamin menyegarkan hati
siapa pun yang melihatnya. Terdapat sebuah pagar kayu kecil mengitari perbatasan antara jalan
raya dan laut di belakangnya—terbentang luas berwarna biru jernih. Berbagai tenda kecil
penjual seafood bolak-balik terlihat, menghiasi jalanan dengan dekorasi tenda mereka yang
sederhana dan rapi.

Sayang, kebanyakan penumpang dari lima belas bus itu malah tak sadarkan diri—kepala tersandar
nyaman pada kursi atau pundak teman mereka, otomatis melewatkan semua keindahan yang Jeju
pamerkan. Terkecuali untuk satu orang.

Baekhyun menggeserkan jari di atas layar Samsung miliknya, membuat sebuah list untuk lagu-
lagu tertentu yang sekiranya pas dengan suasana kali itu: tenang dan santai. I Am Love oleh Yojo
terputar pelan di telinganya, dan Baekhyun menyingkirkan kepala Minseok yang lama-kelamaan
merambat ke dadanya untuk ditempatkan perlahan di bahu, sebelum menyandarkan kepalanya
sendiri ke kursi. Ada titik-titik kecil salju di jendela; ia setengah membenahi posisi duduk untuk
mencondongkan tubuh ke sana dan sengaja menguap guna membuat embun kecil—
menuliskan "bosan T^T" dengan jari telunjuk. Sebuah suara gemerisik aneh kemudian terdengar
lewat speaker, mengagetkan beberapa murid hingga mereka agak terjaga, dan Baekhyun segera
menggesekkan sikutnya pada embun tadi.

"Lima belas menit lagi kita akan sampai di villa," ujar Kim-seonsaeng, salah satu perwakilan kelas
mereka—suara bosan dan kelelahan seakan ia baru bangun tidur. "Kunci kamar akan dibagikan
nanti. Kalian harap cepat-cepat merapikan barang lalu mengikuti pengarahan di ruang yang telah
disediakan. Terima kasih."

Bus mereka berhenti di depan lampu lalu lintas, bersebelahan dengan bus kelas lain yang berjajar
agak dekat. Baekhyun sedikit memiringkan kepala untuk melihat alat hitung digital yang tertera di
atas lampu tersebut—masih 86 detik lagi sebelum lampu berubah menjadi hijau. Membenahi
posisi earphones, ia menekan tombol "shuffle" dan mengangguk-angguk kecil begitu lagu VIXX
berjudul Dynamite memenuhi pendengaran. Ia tengah asyik bersenandung pelan ketika ia tidak
sengaja menoleh dan langsung bertatapan mata dengan Chanyeol dari bus seberang.

What the hell.


Pantas saja sedari tadi ia dipenuhi perasaan tidak enak.

Baekhyun hanya menatap datar selagi Chanyeol tersenyum jahil kemudian melambaikan jari
tengah andalannya. Baekhyun mendelik seram. Sekali lagi, what the hell, dan ia segera menutup
tirai jendela kasar, tak sengaja menggerakkan bahu emosi sehingga Minseok terdorong ke
belakang dan terbentur pembatas kursi—menggumam keras "Ow, Baek!".

Tak menunggu lama lagi, belasan bus tadi pun akhirnya sampai di tujuan—sebuah villa sangat
luas dan asri yang memiliki area taman penuh pepohonan tua di sebelahnya. Para penumpang
terpaksa dibangunkan dari tidur lelap mereka untuk menuruni bus guna mengambil barang-barang
mereka di garasi—diwajibkan antre mengabsen pada guru perwakilan demi mendapat kunci
kamar. Baekhyun dan Minseok mendapat porsi kamar paling pojok di lantai dua—terletak cukup
jauh dari ruang makan ataupun pertemuan, sehingga mereka mungkin harus berangkat lima menit
lebih awal dari yang lain apabila ada pengarahan mendadak. Meski begitu, kamar mereka sangat
memuaskan: area luas, dua tempat tidur ukuran semi-medium, dekorasi cantik,
televisi LCD berukuran besar, dan kamar mandi lumayan mewah.

Minseok segera melompat ke tempat tidur dan memejamkan mata selagi Baekhyun mengecek
ponsel untuk membaca lima pesan baru dari grup KakaoTalk "SURPRISE".

K. Jongin mengundang Yerim, baekhyun byun, Nam JOOHYUK, dan sepuluh orang lain
ke grup chat SURPRISE.

KATALK!

K. Jongin: Hai semua. Langsung ke topik utama ya, aku dan tim basket akan mengadakan
semacam surprise party untuk Chanyeol [14:49]

KATALK!

K. Jongin: mengingat bahwa tahun ini adalah tahun terakhirnya menjadi kapten
basket. Surprise party akan dilaksanakan besok malam. Jam dua belas malam sehabis
acara Campfire. Jadi siangnya kita harus bersiap-siap membuat banner dan lain-lain
[14:51]

KATALK! KATALK!

K. Jongin: Informasi selanjutnya akan aku beritahu di sini. Yang punya pertanyaan,
langsung tanyakan saja [14:52]

K. Jongin: Baekhyun-hyung, berapa nomor kamarmu? [14:56]

Baekhyun mengetikkan jawaban "nomor 325" kemudian mematikan ponsel. Ia tersenyum


sendiri. Surprise party, ya? Chanyeol pasti akan sangat terkejut. Ia menatap jam dinding sejenak,
mata langsung melebar begitu menyadari bahwa sekarang sudah jam tiga lewat lima—
menandakan bahwa acara pengarahan akan segera dimulai, dan hendak membangunkan Minseok
dari tidur ketika seseorang tiba-tiba mengetuk-ketuk pintu—agak pelan dan tidak terburu-buru.
Mengangkat alis, Baekhyun pun ragu-ragu berseru, "Sebentar!"

Alangkah terkejut dirinya saat mendapati Chanyeol berdiri di depan pintu, tersenyum agak
canggung sambil memiringkan kepala sedikit—poni berantakan karena keringat.

"Baek," katanya, "Mau makan bersama?"

Seharusnya Baekhyun belajar dari pengalaman. Seharusnya Baekhyun tidak mudah


terpengaruh. Seharusnya Baekhyun menolak ajakan Chanyeol untuk membolos acara pengarahan
dan makan bersamanya. Karena, dari semua restoran yang Baekhyun pikir mereka akan kunjungi,
Chanyeol memilih "Pizza House"—sebuah restoran piza kecil-kecilan dekat padang rumput,
daripada mencicipi seafood pinggir jalan, yang pastinya seratus kali lebih enak, orisinil, dan tidak
ditemui di Seoul.

Namun, seperti kata orang: nasi telah menjadi bubur. Baekhyun telah menerima tawaran lelaki itu,
berjalan kaki selama lima belas menit lamanya (sambil menggerutu nonstop), dan kini mereka
telanjur berada di dalam restoran—sebuah piring besar berisikan satu piza favorit
ukuran medium di tengah meja, ditemani dua gelas jus jeruk. Ia dan Chanyeol duduk bersebelahan,
siku tangan sesekali bergesekan, dan Baekhyun berusaha untuk memberi sedikit jarak di antara
mereka, berulang-ulang menjauhkan diri ke kanan hingga terbentur dinding—namun entah kenapa
di saat yang sama Chanyeol malah berbuat sebaliknya: terus menggeserkan tubuh mendekat
sampai nyaris berdempetan dengan sang kakak. Jika boleh jujur, Baekhyun sebenarnya merasa
terperangkap di sana.

"Baek." Baekhyun menoleh dan detik itu juga Chanyeol mengulurkan tangan untuk mengelap
bumbu piza di pojok bibirnya dan menjilatnya di mulut, ekspresi datar biasa saja. Wajah sang
kakak seketika memerah melihat itu dan ia cepat-cepat membuang muka—jantung berdebar-debar
gila seakan mau copot. Chanyeol menatapnya aneh dari samping, mengamati Baekhyun yang
menundukkan kepala terlalu dalam hingga wajahnya tak kelihatan. Mengangkat bahu santai, sang
adik kemudian menjilat bibir lagi sebelum berujar, "Kau berantakan sekali kalau makan, Baek."

Baekhyun memegang bibirnya, jantung masih berdetak begitu cepat, dan ia menelan ludah.
"Banyak bicara," gumamnya, mengambil tissue untuk mengelap kasar keseluruhan bibir—
bayangan akan Chanyeol menjilat bumbu piza bekasnya melayang-layang di pikiran, dan ia
keceplosan berteriak frustrasi, "Argh!"
Chanyeol tertawa menyaksikan sang kakak, hampir tersedak karena ia sedang mengunyah
sepotong piza kala itu. Lelaki itu terbatuk-batuk lalu menoleh ke arah Baekhyun. "Kau kenapa?"
Baekhyun mengabaikan sang adik, meneguk sedikit sisa dari jus jeruk miliknya, dan Chanyeol
tersenyum kecil seraya menepuk-nepuk bahu sang kakak. "Tunggu di sini. Aku akan ke kasir
sebentar."

Jam sudah menunjukkan pukul 15:40 ketika mereka keluar dari restoran, menyusuri sebuah jalan
kecil melewati hamparan rumput luas di mana beberapa sapi dan domba bergerak bebas ke sana
kemari. Baekhyun mengeratkan mantel ke tubuhnya, mengamati kumpulan binatang tersebut
setengah tertarik—terus berjalan lambat bersama Chanyeol di sampingnya. Nyaris tidak ada orang
di sini; keadaan sepi dan hening—mungkin karena berada di pedesaan—dan Baekhyun mengambil
dan menarik nafas tenang, menikmati betapa segarnya udara sekitar.

"Baekhyun, awas!"

Chanyeol cepat-cepat menarik lengannya sebelum salah satu kaki Baekhyun dapat memasuki
sebuah lubang cukup besar di pinggir jalan. Mata Baekhyun membulat dan tiba-tiba saja ia sudah
berada di dalam pelukan Chanyeol lagi, hidung terbentur cukup keras pada dada lelaki itu dan
telinga dapat mendengar jelas seberapa menderu degupan jantung sang adik. "Hati-hati," ujar
Chanyeol, meraba-raba punggungnya seolah menenangkan, dan Baekhyun otomatis meletakkan
kedua tangannya di sekitar pinggang yang lebih muda.

Chanyeol melirik ke kanan dan kiri, memastikan bahwa tidak ada orang lain di sana kecuali
mereka, sebelum merangkul Baekhyun erat—wajah ia tenggelamkan dalam rambut Baekhyun,
menghirupnya lembut, sementara masing-masing dilingkarkan pada bahu sang kakak. Baekhyun
terdiam, menikmati suara detak jantung Chanyeol yang berdebar sama cepatnya dengan detak
jantungnya sekarang, sambil perlahan menutup mata. Baekhyun menyukai pelukan-pelukan
Chanyeol. Ia menyukai kebiasaan Chanyeol yang sering memeluknya tiba-tiba saat mereka tengah
menonton televisi atau berbincang-bincang di ruang tengah. Tubuh Chanyeol terasa begitu hangat
dan nyaman, membuat Baekhyun menginginkan lebih dan lebih—meski akhirnya harus ia pendam
sendiri (karena ia tidak mau menjadi orang pertama yang memulai pelukan mereka).

Baekhyun bisa merasakan senyum Chanyeol di lehernya. "Tidakkah kau suka


berpelukan, Baekhyunee?" ujarnya lembut seraya tertawa kecil, mengeratkan pelukan mereka yang
sudah erat sampai hidung Baekhyun (lagi-lagi) terdesak cukup keras. Chanyeol menyentuh
lehernya. "Kenapa tubuhmu dingin sekali?"

"Mana kutahu," jawab Baekhyun datar; jantungnya tidak bisa berhenti berdegup cepat hingga
kedua tangannya—yang kini terbalut sempurna di pinggang lelaki itu—gemetaran hebat. Sang
kakak menggigit bibir, merapatkan diri pada tubuh Chanyeol—mata masih terpejam selagi aroma
parfum lelaki itu merasuki hidungnya.

Mereka terus berpelukan erat seperti itu hingga akhirnya Baekhyun menjadi orang pertama yang
melepaskan diri terdahulu, membuat Chanyeol sempat menatapnya bingung. "Kenapa?" tanya
yang lebih muda, mengerutkan dahi seakan terganggu oleh aksi Baekhyun barusan.
"Kita harus kembali ke villa, bodoh," ujar Baekhyun sambil memutar mata, meraih pergelangan
tangan Chanyeol—menariknya kasar agar mereka segera berlari menuju villa.

Seperti yang Baekhyun duga, dua guru paling menyeramkan di sekolah—Jo-seonsaeng, guru
olahraga, dan Kawamaru-sensei, guru bahasa Jepang—telah menunggu di depan villa dengan
kedua lengan terlipat di dada. Tatapan tajam mereka nyaris membunuh Baekhyun hidup-hidup dan
ia setengah memperlambat kecepatan jalan kakinya guna sedikit bersembunyi di belakang
Chanyeol. Sang adik, sebaliknya, malah terlihat santai seolah tidak berdosa—membungkuk
hormat ketika dua guru tersebut mendelikkan mata padanya. Baekhyun menciut seketika.

"Dari mana saja kalian?!" bentak Jo-seonsaeng, menghampiri mereka dengan pandangan seorang
pembantai. "Kalian telah melewatkan pengarahan penting!"

Baekhyun dan Chanyeol membungkuk bersamaan. "Maafkan kami, seonsaeng-nim."

Kawamaru-sensei menatap mereka dingin. "Sudah, masuk sana! Kembali ke kamar kalian masing-
masing!"

Dua guru killer tersebut kemudian membalikkan tubuh, meninggalkan mereka di sana, dan
menggerakkan kaki malas-malasan menuju ruang pertemuan sembari berkomplain nonstop
mengenai suhu udara Jeju. Baekhyun dan Chanyeol berdiri kaku di tempat, menyaksikan
kepergian mereka sampai benar-benar hilang dari pandangan. Lelaki itu lantas meletakkan salah
satu lengannya pada bahu Baekhyun lagi. "Lihat? Kita tidak seberapa dimarahi, bukan?" ujarnya,
tersenyum gaya "aku-tahu-semuanya" yang Baekhyun paling benci. Sang kakak memutar mata,
dan Chanyeol tersenyum sebelum ia dikejutkan oleh getaran ponsel dalam saku.

"Tunggu sebentar." Chanyeol mengakhiri rangkulan sepihaknya untuk mengambil ponsel dan
sebuah kerutan di dahi perlahan terbentuk begitu ia melihat sesuatu di layar ponselnya.

Sebuah nomor tidak dikenal dengan angka akhir 391 tengah tertera di sana, dan Baekhyun
menyenggol lengan Chanyeol. "Angkat saja."

Chanyeol justru menggeleng, lekas mematikan ponsel tersebut dan merangkul Baekhyun lagi.
"Ayo pergi."

Baekhyun langsung melepas rangkulan Chanyeol agak kasar, sekilas mengejutkan sang adik. "Apa
itu Jinri?"

Mata Chanyeol setengah melebar terkejut. Ia mengangguk tidak yakin. "Ya..." suaranya pelan
seperti sebuah bisikan, "Kau tahu dari mana?"

Baekhyun tertawa sinis. "Tidak sulit mendengar gosip tentangmu," ujarnya dingin, dan Chanyeol
tampak gelisah. Baekhyun kemudian memalingkan wajah ke direksi lain—berharap bahwa yang
lebih muda tidak menyadari betapa kacau perasaannya. Ia menelan ludah, sedikit menenangkan
diri. "Apa kalian bertengkar?" tanyanya, masih tidak menatap sang adik. Sesuatu dalam diri
Baekhyun seperti ingin meledak, dan ia serontak tahu bahwa apa yang dikatakan Sehun
benar. Jinri pasti ada apa-apa dengan Chanyeol. Butuh beberapa detik bagi Baekhyun untuk
memandang Chanyeol lagi, intonasi nada ia usahakan sesantai mungkin: "Jika ya, maka lekaslah
berbaikan. Tidak baik bertengkar lama-lama."

Keadaan tiba-tiba menjadi canggung, dan Baekhyun mengangkat bahu, mengabaikan kontak mata
Chanyeol. "Ayo pergi."

Chanyeol cepat-cepat menggenggam pergelangan tangan Baekhyun sebelum ia pergi. "Kami tidak
menjalin hubungan," ia menjelaskan, suaranya terdengar terburu-buru. Perlahan ia melepaskan
genggamannya itu untuk memegang lengan mantel sang kakak "Kami tidak mempunyai hubungan
apa-apa, Baek," ulangnya lebih tegas dan yakin, nafas naik-turun tidak menentu, "Jinri—aku—"
ia menelan ludah. "—aku tidak menyukainya, asal tahu saja."

Baekhyun menoleh, menyadari ekspresi ketakutan yang kini terpancar di mata


Chanyeol. Kenapa? Ia ingin bertanya, namun menahan diri. Mereka bertatapan mata sejenak
sebelum Baekhyun memecah keheningan mencekat itu dengan menendang kaki Chanyeol main-
main. "Yah," serunya, tersenyum canggung. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" lelaki itu terus
memberinya pandangan penuh rasa khawatir. "Aku tidak akan membunuhmu jika kau
berpacaran, okay! Aku adalah kakak yang suportif."

Wajah Chanyeol sedikit melembut; ia pun tersenyum, meski terkesan kaku serta canggung.
"Berhati-hatilah dalam bicara, Baek." Menepuk pundak Baekhyun, lelaki itu lantas menempatkan
lengan pada bahunya, berbisik seraya menahan tawa: "Hey, mau kentang goreng?"

Baekhyun menganga, tidak tahu harus merespons bagaimana mendengar pengalihan topik
Chanyeol yang sungguh tidak berhubungan. Meski begitu, ia berpura-pura semangat dan menatap
Chanyeol aneh. "Park, kau baru makan!"

Chanyeol malah tertawa terbahak-bahak, lengan bergerak untuk menarik Baekhyun dalam
dekapan—suara lelaki itu menggema di sekitar taman, membawa yang lebih pendek ke ruang
makan di ujung villa.

Seharusnya suasana hati Baekhyun membaik, gelak tawa Chanyeol yang berlebihan biasanya
ampuh untuk mengukir sebuah senyum lebar di wajahnya. Tetapi entah kenapa melihat keceriaan
sang adik yang tiba-tiba itu justru membuat Baekhyun semakin kesal. Jauh lebih kesal dari apa
yang ia perkirakan. Nyaris menghancurkan suasana hati sang kakak hingga ia menjadi malas untuk
meladeni segala candaan lucu yang Chanyeol lontarkan.

Aneh.

Chapter 10: Too Sudden

Baekhyun tidak menyangka ia akan mendapat kejutan mencengangkan di pagi hari.


Setengah melompat, ia hampir melemparkan ponsel Samsung tersayang dari genggaman—agak
berteriak lumayan dramatis selagi ia cepat-cepat menampa ponsel tersebut menggunakan dua
lengan sebelum benar-benar jatuh tragis ke lantai. Baekhyun menghembuskan nafas lega lewat
mulut, asap putih mengepul sekilas kemudian menghilang di antara udara yang dingin. Ia
menggelengkan kepala, mencengkram dada seraya memandang galak sebuah objek bertinggi
abnormal di hadapannya dari bawah ke atas. "What the hell," adalah apa yang Baekhyun mampu
katakan setelah ia dan objek tersebut menghabiskan waktu sekurang-kurangnya empat detik untuk
menatap satu sama lain tanpa ekspresi.

Chanyeol menyeringai. Ia mendekatkan wajah sambil menggerak-gerakkan alis jahil. Baekhyun


mengerutkan hidung jijik. "Kau kaget, Baekhyunee?"

Sang kakak memutar mata. Oh, bagaimana bisa ia tidak kaget? Hari ini ia bangun satu jam lebih
awal dari yang lain untuk menghindari antrean panjang pengambilan jatah makan pagi—tak peduli
jika itu berarti ia harus makan sendirian bak seorang bocah anti-sosial di ruang makan. Berpakaian
seadanya (t-shirt kuning terang kumel belum disetrika, celana jeans, serta mantel hitam tebal),
Baekhyun membuka pintu kamar dan demi Tuhan, ia bersumpah jantungnya sungguhan copot saat
mendapati seorang Park Chanyeol berdiri di depan pintu—rambut kecokelatan yang biasa ia
biarkan berantakan terbungkus rapi oleh beanie hitam polos, menyisakan poni depan sealis
menyamping yang membuatnya terlihat tiga kali lebih muda.

Menutup pintu kamar agak pelan—karena Minseok masih tertidur damai di atas tempat tidur,
Baekhyun menyilangkan kedua lengan di dada. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Menemanimu makan pagi," jawab Chanyeol, tersenyum lebar main-main dan percaya diri,
seakan-akan itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Baekhyun harus menahan diri untuk tidak
merontokkan gigi-gigi sempurna sang adik dengan palu. Chanyeol lalu meraih pergelangan tangan
Baekhyun, menarik yang lebih tua mendekat agar ia dapat berbisik dalam suara agak serak: "Ayo
ke ruang makan."

Mereka berjalan bersama—dengan Chanyeol menggenggam erat kelingking Baekhyun, sedikit


perlahan dan bermalas-malasan, karena keduanya sibuk mengamati berbagai lukisan indah yang
terpajang memenuhi dinding-dinding villa. Baekhyun diam-diam menoleh ke samping untuk
memandang seluruh jemari tangan kanan Chanyeol yang sesekali mengusap-usap jari kelingking
kirinya pelan—tak sekalipun melepasnya dari genggaman. Ia menyipitkan mata bingung. Kenapa
Chanyeol hanya memegang kelingkingnya jika ia bisa memegang seluruh jemarinya?
Menggelengkan kepala atas pertanyaan kekanak-kanakkan itu, Baekhyun mendongak untuk
menatap Chanyeol was-was. "Apa agendamu hari ini?" tanyanya basa-basi.

Chanyeol menoleh, menundukkan kepala sedikit agar ia dapat membalas tatapan Baekhyun—
argh, perbedaan tinggi mereka terkadang memang menyusahkan. "Hari ini?" ia mengulangi,
mengembalikan pandangan ke depan lalu menatap Baekhyun lagi sambil tersenyum kecil.
"Joohyuk mengajakku jalan-jalan ke pantai. Kami akan bersepeda—" Ia terhenti sejenak, ekspresi
serius seperti menimang-nimang sebelum membelalakkan mata seolah menyadari sesuatu.
Baekhyun merasa iri akan kedua mata lebar milik ibu yang diwariskan pada sang adik. "—ah,
Baek! Kau harus ikut!" Chanyeol sedikit berseru, "Akan ada banyak seafood di sana! Tidakkah
kau suka seafood?"

Mendengar kata kunci seafood, Baekhyun pun tidak kalah semangat untuk
mendadak fanboy. "Seafood?!" ia hampir teriak, suara lengkingnya menggema di ruangan,
membuat Chanyeol harus menempelkan telapak tangan di sekitar mulut sang kakak. Baekhyun
menggelengkan kepala sekali sambil menyingkirkan tangan Chanyeol kasar. "Aku ikut!" ia lantas
berseru lagi, tersenyum gembira, sebelum flashback akan pesan group chat KakaoTalk buatan
Jongin tiba-tiba muncul di kepala dan menghancurkan semuanya.

Surprise party.

Kedua bahu serontak turun dramatis, Baekhyun mengerutkan bibir. Chanyeol menahan tawa
menyaksikan perubahan drastis ekspresi Baekhyun. "Ada apa?"

Baekhyun menghentikan langkah mereka di salah satu tangga. "Ah… sepertinya aku tidak bisa,"
ujarnya, lekuk bibir mungil kemerahan melengkung agak miring ke bawah.

Chanyeol membasahi bibir. "Kenapa?" ia mendekatkan wajahnya pada wajah Baekhyun sembari
mengangkat kedua alis. "Kau bosan seafood?"

Baekhyun menjauhkan wajahnya sedikit, memalingkannya ke direksi lain—pipi agak kemerahan


karena ia nyaris bisa merasakan hembusan nafas Chanyeol di hidungnya. "T-tidak," ia terbatuk-
batuk untuk menutupi suaranya yang terbata-bata, "Aku hanya ada janji dengan Sehun untuk
menemaninya ke hutan sebelah villa."

Ekspresi Chanyeol berteriak tidak terima, dan Baekhyun mengangkat bahu kaku. "Kau tahu…
Sehun dan obsesi fotografi Tumblr-nya."

Masih setia menggenggam kelingking Baekhyun, Chanyeol menggunakan tangan kirinya untuk
merapikan poni Baekhyun yang agak berantakan. "Kau tidak akan bersenang-senang di sana,"
ujarnya santai sambil membersihkan sedikit debu di rambut Baekhyun. "Jalan-jalan denganku
saja."

Baekhyun memutar mata. Chanyeol memang selalu menginginkan segala hal untuk berjalan sesuai
kemauannya—dan untuk mewujudkan semua itu, ia akan memaksa. "Tidak bisa, Chanyeollie," ia
menekan pelafalan pada nama manja Chanyeol, sukses menyihir yang lebih muda untuk bergelak
tawa. "Aku sudah janji."

Chanyeol tampak kecewa. "Apa kau yakin?" tanyanya memastikan, mata disipitkan, dan mendapat
anggukan kecil dari Baekhyun sebagai jawaban. Ia mengangkat bahu terserah lalu mengusuk-usuk
rambut Baekhyun gemas—sengaja memberantakan rambut halus kecokelatan yang lebih tua.
"Baiklah, aku tidak akan memaksa," ia menepuk-nepuk pelan pipi Baekhyun. "Bersenang-
senanglah, Baekhyunee!"
Baekhyun justru mendelikkan mata kesal. "Yah!" ia menjinjit setinggi mungkin untuk
melepas beanie Chanyeol dan mengacak-acak hebat rambut sang adik yang sudah berantakan.
Chanyeol hanya tertawa terbahak-bahak, membiarkan Baekhyun menghancurkan kondisi
rambutnya selagi memegangi kedua bahu Baekhyun. "Aku adalah kakakmu! Harusnya aku yang
melakukan ini!"

Terlalu fokus pada kegiatan bodoh mereka untuk saling memberantakan rambut satu sama lain,
Chanyeol dan Baekhyun gagal menyadari bahwa ada dua orang lain di balik tembok yang sedari
tadi menyaksikan mereka.

"Chanyeol-hyung terlihat sangat berbeda ya," bisik Dooyoung, seorang murid kelas sepuluh—
menyembunyikan tawa fanboying sembari menonton pemandangan lucu kakak-beradik tersebut.
Chanyeol menyudahi kontes kekanak-kanakan mereka dengan menggandeng lengan Baekhyun,
menuntun yang lebih tua menuruni tangga—perlahan menghilang dari pandangan kedua orang di
kejauhan. "Aku menginginkan seorang adik seperti Chanyeol-hyung…"

Jongin cuma tersenyum kecil. Ia mengambil dan mengeluarkan nafas. "Kurasa itu mustahil," ia
berkomentar, menoleh sebentar untuk menepuk bahu Dooyoung sekali. "Chanyeol adalah adik
terbaik yang tak akan bisa kau temukan di mana pun."

CHAPTER 10

TOO SUDDEN

Persiapan surprise party telah dimulai. Jumlah panitia yang terjun langsung mengurusi kebutuhan
pesta tersebut berjumlah lima belas orang—dipimpin oleh Jongin, dengan Baekhyun menjabat
sebagai wakil ketua. Beberapa murid tertentu—yang Baekhyun kenali menjadi pengikut-pengikut
setia Chanyeol—juga ikut membantu di lokasi: memanjat kursi dan tangga lipat untuk
memasang banner besar bertuliskan "THANK YOU PCY!" di atas dinding. Balon berwarna-warni
memalukan disebarkan ke segala sisi, memberikan kesan bahwa ini bukanlah surprise party murid
SMA—melainkan balita (Baekhyun telah bolak-balik menyatakan protes pada Jongin perihal
balon-balon itu, tetapi sang ketua bersikeras bahwa suatu acara tak akan lengkap tanpa kehadiran
balon.)

Melalui persiapan surprise party ini, Baekhyun bisa mengenal banyak adik kelas populer yang
sering menjadi topik gosip harian Oh Sehun. Pertama, Yoo Seungwoo, murid kelas sepuluh yang
memiliki sepasang mata sipit namun wajah yang imut—ia suka merecoki anak lain (termasuk
Baekhyun, kecuali Jongin). Lalu Park Sooyoung ("Panggil aku Joy!" paksa anak itu), seorang siswi
kelas sebelas yang cantik dan pintar bernyanyi—meski mereka secara teknis baru berkenalan,
Baekhyun sudah mendengar banyak gosip mengenai Sooyoung (terutama rumor tentang dirinya
di tolak Chanyeol beberapa tahun lalu). Terdapat banyak nama yang harus ia simpan di memorinya
hari itu, dan Baekhyun mendadak merindukan sosok lamanya—di mana ia adalah seorang siswa
populer, berjulukan "The School's Moodbooster", yang jago bersosialisasi.

Yuju, siswi penyabar (karena ia tidak marah sekalipun Yoo Seungwoo telah bolak-balik
menjahilinya) kelas sebelas, menepuk lengan Baekhyun. "Sunbae," ujarnya,
melambaikan sweater hitam mahal yang nantinya akan menjadi hadiah untuk Chanyeol. "Bisakah
kau membantuku membungkus kado?"

Baekhyun mengangguk, mendudukkan diri bersebelahan dengan Yuju pada sofa putih panjang
terdekat. Yuju membentangkan kertas kado polos berwarna biru laut di atas meja, dan Baekhyun
membenahi posisi duduk untuk membungkuk sedikit, meletakkan sweater itu di tengah-tengah.
Mereka melipat kertas kado tersebut hati-hati, berulang-kali memastikan bahwa lipatan-lipatan
yang mereka buat sudah rapi, sebelum memasang plester putih pekat di sepanjang garisnya.
"Sunbae sering memberi kado ya," ganggu Yuju, mengamati cara Baekhyun melipat kertas kado
hingga membentuk sebuah kemeja lucu. "Rapi sekali."

Baekhyun tertawa. "Ah, tidak juga. Asal kau hati-hati saja."

Bagai arwah tak di undang, Jongin muncul tiba-tiba di hadapan mereka sambil memegang ponsel.
Ia memasukkan ponsel itu ke saku lalu menepuk kedua tangan keras-keras untuk mengumpulkan
atensi semua orang di dalam ruangan. "Hentikan aktivitas kalian dan berkumpul di sini sekarang
untuk diskusi penting!"

Dooyoung mengembalikan pensil 2B yang tadi ia pakai untuk menggambar sketsa wajah Chanyeol
ke kotak alat tulis kemudian berjalan menghampiri Jongin—diikuti oleh keseluruhan siswa-siswi
lain yang mulai duduk menyebar di lantai mengelilingi sang ketua. Jongin mengetukkan kaki ke
lantai tidak sabaran seraya menunggu para panitia untuk berhenti mengobrol sebelum berdeham.
"Siapa yang nanti malam akan tampil di acara Campfire?" Beberapa anak mengangkat tangan, dan
Jongin menunjuk asal salah satu dari mereka yang tadi tidak mengangkat tangan—seorang murid
tampan berkulit sangat putih. "Jaehyun-hoobae, kau akan bertugas menjaga di sini agar tidak ada
yang mengacau selama Campfire," Jongin lalu menggerakkan jari telunjuknya sebagai peringatan.
Jaehyun mengangguk. "Pastikan tidak ada murid Caspian yang kesini."

Setelah itu, Jongin menatap ke sekeliling dan menunjuk dua orang sekaligus. "Jonghyun, Jinki!"
ujarnya, "Kalian bertugas di luar villa untuk memastikan kehadiran Chanyeol saat ia hendak
masuk!" Kedua orang itu mengangguk mengerti. "Aktifkan terus ponsel kalian agar kami bisa
menghubungi kalian."

Baekhyun mengangkat tangan, mengajukan pertanyaan, "Apa kau sudah merencanakan


bagaimana jalannya surprise party?"

Jongin tersenyum kemudian menatap semua orang. "Pestanya akan dilaksanakan tepat jam dua
belas malam," ia menjelaskan mantap, "Pastikan ponsel kalian terus aktif karena kita akan saling
membutuhkan bantuan satu sama lain."
Sekarang giliran Dooyoung yang mengangkat tangan. "Bagaimana cara kita membawa Chanyeol-
hyung kemari?"

Yerim menepuk tangan sekali. "Bagaimana kalau beberapa dari kalian berpura-pura menjadi
penculik lalu menutup mulut Chanyeol-sunbae dan mengikat tangannya?"

Jaehyun menggelengkan kepala geli. "Dasar bodoh," ia menyenggol lengan Yerim. "Sebelum
mereka bisa menutup mulut Chanyeol-hyung, ia sudah terlebih dahulu menghabisi mereka."

Dooyoung mengerutkan dahi. "Lagi pula," sahutnya, "Itu terlalu ekstrem. Kasihan Chanyeol-
hyung."

Baekhyun memutar mata mendengar pernyataan Dooyoung. "Kasihan" bukanlah sesuatu yang
pantas dikatakan pada seorang Park Chanyeol. Sekalipun kau memukulkan tiga panci di atas
kepalanya, Chanyeol tidak akan merasa kesakitan. Beberapa minggu lalu, saat Chanyeol tidak
sengaja menggores telapak tangannya dengan pisau guna membantu Baekhyun memasak sup,
ekspresinya bahkan datar dan biasa saja melihat darahnya bertetesan deras di atas meja.

Jongin menggebrak meja tidak biasa guna mengembalikan atensi semua orang padanya.
"Dengarkan rencanaku baik-baik!" Ia mengambil nafas sejenak lalu memulai: "Pertama-tama,
kalian tidak perlu terlalu khawatir. Aku sudah mengurus semuanya."

"Joohyuk telah mengajak Chanyeol jalan-jalan ke pantai cukup jauh dari sini," ujarnya, dan
Baekhyun teringat kembali akan ajakan Chanyeol tadi pagi. Oh, jadi semua itu termasuk dalam
rencana Jongin. Joohyuk telah berhasil membujuk Chanyeol untuk berwisata dengannya. "Ia akan
mengolor-olor waktu jalan-jalan mereka sampai malam, sekitar jam sembilan atau sepuluh.
Setidaknya sampai acara Campfire selesai."

"Setelah itu," penjelasan Jongin masih panjang, dan ia meneguk sedikit air mineral dari botol
minum yang ia bawa. "Baekhyun-hyung akan menjadi umpan sementara."

Baekhyun mengerutkan alis. "Apa maksudmu?" Tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak.

"Sudahlah," ia menyilangkan kedua lengan di sekitar dada, menyeringai seram yang menambah
kekhawatiran dalam diri Baekhyun. "Aku yakin sesampainya Chanyeol di sini, dia akan langsung
mencarimu."

Alis Baekhyun semakin mengerut. "Lalu?"

"Acara di mulai jam dua-belas, dan Chanyeol mungkin sudah terlebih dahulu hadir di sini satu jam
sebelumnya," ia menerangkan, "Kuharap hyung mau mengolor-olor waktunya untuk berada di luar
villa sampai surprise party dilaksanakan."

Okay, itu gampang. Baekhyun hendak bernafas lega, namun tiba-tiba Jongin melanjutkan—nada
suara turun tiga oktaf dan terdengar licik, "Kalian harus menunggu di hutan sebelah sampai kau
mendapatkan pesan KakaoTalk dariku untuk masuk ke ruangan ini."
Baekhyun menganga. "A-apa maksudmu?!"

Jongin mengangkat kedua alis lelah melihat sikap berlebihan Baekhyun. "Okay," ia menggerakkan
tangan seperti seseorang yang tengah memberi pidato di depan umum. "Singkatnya, kau menunggu
saja di hutan sebelah—nikmati kegelapan yang ada—dan aku akan memberitahu Chanyeol bahwa
kau sedang mencari udara segar di sana. Tunggu sampai ia menghampirimu lalu ajaklah dia bicara,
bermain Clash of Clans, atau apa. Terserah."

Baekhyun masih menganga. "Okay—aku—" ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Jongin. "—
kenapa harus di hutan?!"

Jongin tampak malas menjelaskan rencananya. "Karena hutan itu terletak sangat dekat dengan
lokasi surprise party kita, hyung. Asal kalian tidak berjalan-jalan terlalu jauh saja."

Dooyoung mengangkat tangan, tersenyum ramah. "Itu bukan hutan, hyung!" koreksinya sungguh
tidak membantu, karena demi Dewa, mau tempat itu "hutan" atau "taman"—tempat itu tetaplah
sangat gelap di malam hari, dan Baekhyun lumayan benci kegelapan. "Hanya taman luas yang
ditanami banyak macam pohon langka! Kalau kau bosan, kau bisa membaca pengetahuan tentang
pohon-pohon langka tersebut di pigura kecil yang tersedia!"

"Intinya!" Jongin segera memotong sebelum anak-anak lain dapat berbicara, "Kau tunggu di sana
sampai Chanyeol menghampirimu, olor-olorlah waktu kalian sampai jam 11:58, lalu ajak dia
kemari." Melambaikan tangan malas-malasan, ia kemudian mengusir anak-anak di sekitar sambil
berseru lagi lebih keras, "Sekarang kembalilah bekerja!"

Semua orang melaksanakan persis apa yang Jongin perintahkan. Baekhyun masih menatap Jongin
kesal, sebelum memutar mata dan mengambil ponsel miliknya di atas meja untuk membuka
beberapa pesan Snapchat dari Chanyeol. Ia tersenyum kecil melihat sejumlah foto pemandangan
indah serta makanan seafood lezat yang sang adik sengaja ambil guna mengiming-imingnya. Di
saat yang sama Jongin menepuk-nepuk bahunya, dan Baekhyun serontak menengadah. "Aku harap
rencana kita bisa berjalan lancar, hyung," ujarnya, tersenyum tampan—sebuah senyuman tulus
yang dulu sempat mencuri hati Baekhyun.

"Terima kasih, Jongin," ia balik tersenyum, mencondongkan tubuh untuk menyenggol lengan
Jongin main-main. "Chanyeol pasti akan sangat terkejut."

"Semoga," Jongin mengangguk semangat. "Kau akan mendapat full quality time dengan adikmu!"
ia menggerak-gerakkan alisnya aneh persis seperti apa yang Chanyeol lakukan jika ia sedang
meledek Baekhyun. "Mungkin kau bisa tanyakan siapa kekasih pertamanya."

Mulut Baekhyun membulat jadi "O" kecil. "Kekasih pertama, kau bilang?" ia bertanya penuh
penasaran, "Siapa?"

Mengedikkan bahu, Jongin berkata, "Aku tidak tahu," ada sedikit jeda selagi ia memandangi
langit-langit ruangan, "Mungkin aku kelas enam saat itu dan aku melihat sebuah pigura foto dirinya
dan seorang bocah lucu tersembunyi di dalam laci. Saat kutanya siapa bocah itu, dia menjawab
bahwa itu adalah pacarnya."

Jongin menyeringai kecil sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Hyung, kurasa ia berbohong,"


ujarnya, "Aku memang tidak seberapa ingat seperti apa foto itu, tapi mereka terlihat sangat kecil—
mungkin sekitar tujuh sampai delapan tahun."

Baekhyun tertawa terbahak-bahak. Ha, tentu saja keparat itu berbohong. Mana mungkin ia bisa
memacari seseorang di usia terlalu belia? Itu tidak masuk akal! Baekhyun bahkan baru merasakan
jatuh cinta saat ia memasuki bangku SMP. Dasar bodoh. Ia lalu menggosok-gosokkan kedua
tangan, mencari kehangatan, selagi menyusun rencana untuk membongkar paksa laci Chanyeol
dan merenggut pigura foto itu dari tangan Chanyeol. Sekarang ia jadi penasaran akan seperti apa
wujud dari bocah lucu yang Jongin informasikan.

"Omong-omong," Jongin menunjukkan jari telunjuknya pada ponsel Baekhyun. "Kenapa tadi kau
tersenyum sendiri? Apa kekasihmu mengirimkan pesan romantis?"

Baekhyun menatap ponselnya sedetik, ekspresi ling-lung, sebelum ia menyadari apa maksud
Jongin dan kembali tersenyum. "Oh," ia menggelengkan kepala. "Bukan siapa-siapa. Hanya
Chanyeol. Ia mengirimiku banyak pesan Snapchat."

Jongin mengangkat alis terkejut. "Snapchat?" ia mengulang, intonasi nada tidak percaya, dan
Baekhyun menjauhkan diri dari Jongin karena air liur sang adik kelas bertebaran di udara.
"Chanyeol menggunakan Snapchat?!"

"Ya," jawab Baekhyun singkat. Well, semua orang tahu Chanyeol tidak tertarik pada aplikasi-
aplikasi chatting kecuali KakaoTalk. Tetapi karena Baekhyun sering mengabaikan
pesan KakaoTalk Chanyeol (sebenarnya Baekhyun bukan mengabaikan, ia cuma membalas lima
kali lebih lama), lelaki itu mendadak setuju untuk mengunduh aplikasi Snapchat ("Hm, aku sering
melihatmu aktif di Snapchat daripada KakaoTalk," jawab Chanyeol ketika Baekhyun bertanya
alasan atas kesetujuannya untuk menggunakan aplikasi tersebut.) Baekhyun pikir Chanyeol terlalu
protektif, memaksa yang lebih tua untuk segera membalas pesannya dan mengabarinya bila
sesuatu "buruk" terjadi—padahal, demi Dewa, ia jarang pergi kecuali hang out tanpa tujuan
di Starbucks dekat rumah bersama Sehun.

"Itu aneh," Jongin berhenti menganga, memandang ke depan dengan ekspresi


kosong. "Hyung!" secepat angin, ia menoleh lagi untuk menatap Baekhyun dengan kedua mata
lebar dramatis. "Mantra apa yang telah kau beri pada Chanyeol? Kenapa dia menjadi aneh begitu?"

Baekhyun menendang dengkul Jongin keras hingga si adik kelas meringis kesakitan. Fuck yes,
Baekhyun memang jago dalam hal tendang-menendang.

"Jangan berlebihan."

.
.

Chanyeol meluruskan kedua kaki panjangnya di atas rerumputan hijau seraya menikmati
pemandangan indah air terjun di depan mata. Ia menguap, meletakkan tas selempang kecil sebagai
bantal kemudian membaringkan tubuh di sana—tak mempedulikan kemungkinan bahwa mantel
biru tua mahal yang ia kenakan akan menjadi kotor nantinya. Chanyeol mengerjapkan mata,
mengamati bentuk abstrak awan di langit senja dengan ekspresi kosong—sepenuhnya
mengabaikan sekelompok turis asing wanita yang kerap mencuri pandang padanya. Ia bisa
berkomunikasi lancar menggunakan bahasa Inggris; maka ia tahu benar bahwa dirinya tengah
menjadi objek pembicaraan mereka—turis-turis wanita itu bahkan mencoba taruhan akan siapa
dari antara mereka yang terlebih dahulu berhasil memperoleh nomor ponselnya.

Berbicara tentang ponsel, Chanyeol pun tergerak untuk mengambil barang itu dari saku—
menggeserkan jari telunjuk pada layar untuk membuka kunci, dan serontak bangkit dari posisi
terlentang begitu melihat satu pesan Snapchat baru dari Baekhyun. Ia tersenyum kecil
saat selca Baekhyun memakan kentang goreng muncul di layar—sebuah caption singkat tertulis
di tengahnya: "memang kau saja yang bisa pamer?". Chanyeol mengirimkan video singkat
pemandangan air terjun sebagai balasan, menyeringai tanpa alasan, sembari menunggu lingkaran
kecil di sebelah pesan Baekhyun untuk berhenti loading.

Pesan tidak terkirim.

Chanyeol mengerang keras. Joohyuk memutar tubuh untuk menatapnya bingung—kedua tangan
menggenggam sebuah kamera SLR terbaru. "Ada apa?"

Chanyeol mendongak kemudian menekan tombol di bagian samping untuk mengunci ponsel. Ia
menggeleng canggung. "Tidak ada sinyal di sini."

Joohyuk mengangguk, mengangkat kamera SLR ke dekat mata untuk mengambil banyak gambar
akan pepohonan sekeliling. "Tentu saja," ujarnya santai. Ia menjauhkan kamera dari wajahnya
untuk mengecek beberapa hasil foto yang barusan ia potret. "Kenapa?" ia membenahi kalung
kameranya di sekitar leher. "Apa Jinri menelepon?"

Chanyeol tidak menanggapi ejekan Joohyuk. "Pesan Snapchat-ku tidak terkirim."

Joohyuk menganga. "Whoa," ia mulai menertawai Chanyeol. "Kau memakai Snapchat?"

Chanyeol berdiri, menyingkirkan debu pada mantel dan celananya, sebelum berjalan menghampiri
Joohyuk—merebut kamera SLR anak itu hingga gantungan yang ada di lehernya terasa sedikit
mencekik. "Baekhyun menyuruhku," ujar Chanyeol, menekan sebuah tombol untuk
mempertunjukkan sejumlah jepretan karya Joohyuk. Ia mengangkat kedua alis. "Aku tidak tahu
kau berbakat dalam fotografi."
Joohyuk menarik kamera SLR-nya dari tangan Chanyeol. "Baekhyun ini, Baekhyun itu," katanya,
tersenyum lebar dengan maksud menggoda Chanyeol. Ekspresi lelaki tinggi itu tetap datar. "Aku
tidak menyangka kalian adalah kakak-adik."

Chanyeol memasukkan kedua tangan di dalam saku mantel, dan Joohyuk berkata lagi, "Kau kenal
Kang Seolguk? Kudengar ia menyukai kakakmu."

Tatapan Chanyeol berubah dingin selama beberapa detik. Ia menggertakkan gigi sekali, dan
ekspresi datar kembali melanda wajah tampannya. "Pecundang itu tidak pantas disandingkan
dengan Baekhyun."

Joohyuk serontak menoleh; ia bersumpah bulu kuduknya berdiri saat mendengar kalimat barusan
terlontar lantang dari mulut Chanyeol—intonasi nada yang Chanyeol pakai ketika mengatakannya
akan menakuti siapa saja yang mendengarnya. "Whoa," ia menyenggol lengan Chanyeol beberapa
kali, berusaha memperbaiki keadaan karena ekspresi Chanyeol yang datar justru membuatnya
sedikit ngeri. "Chill, brother. Mereka tidak mungkin benar-benar berpacaran."

Chanyeol mengangkat bahu. "Ayo kembali ke villa."

Joohyuk menatap air terjun untuk terakhir kali sebelum membalikkan tubuh, mengeratkan tas
selempang di bahunya dan cepat-cepat berjalan mendahului Chanyeol. "Shit," gumamnya,
setengah menggelengkan kepala, "Chanyeol seperti mengidap brother complex saja."

Gumaman pelan Joohyuk berhasil ditangkap oleh pendengaran lelaki tinggi di belakangnya, dan
Chanyeol hanya tersenyum miring.

Baekhyun ingin menangis. Pesta kejutan Chanyeol akan dimulai kurang-lebih satu jam lagi, dan
kini ia terpaksa menanggung beban sebagai seorang "umpan sementara" demi kelancaran pesta
tersebut. Sekitar lima menit telah berlalu sejak ia mendudukkan diri pada salah satu bangku tua
kosong di "hutan" sebelah villa dan Jongin tidak kunjung memberi kabar apapun di KakaoTalk.
Baekhyun sudah merana di sini, tubuhnya kedinginan dan ia terlalu takut untuk menoleh ke kanan
maupun kiri—khawatir ia akan bertatap-mata dengan makhluk-makhluk tertentu.

Mengambil ponsel dari saku untuk yang ke seratus kali, Baekhyun menekan tombol gagang
telepon hijau pada pojok layar sebelah nama kontak "Jongin". Telepon tersambung, dan Baekhyun
langsung menyahut—tak membiarkan Jongin mengatakan sepatah kata sambutan: "Yah! Di mana
Chanyeol?" ia memainkan jemarinya di atas bangku untuk mengungkapkan stress. "Aku tidak
tahan di sini!"
Ada suara bising aneh. "Baru datang!" Jongin berbisik ceria, "Ia akan ke sana sebentar lagi!"

"Okay!" dan sebelum Jongin bisa menyerukan "hwaiting!", Baekhyun telah terlebih dahulu
memutus sambungan telepon mereka. Fuck Jongin, bentak Baekhyun dalam hati. Ia
mengaktifkan airplane mode lalu mengambil earphones dari saku sebelah kiri. Memasangkan
kabel pada lubang di atas ponsel, ia kemudian berdiri dari bangku dan menekan tombol "shuffle",
berharap bahwa lagu yang akan terputar adalah—

"AYO GG!"

Jantung Baekhyun harus copot lagi untuk kedua kalinya hari itu, dan ia serontak melepas
kedua earphones, membiarkan kabel tersebut bergelantungan ke tanah. What the fuck! Baekhyun
memegang dadanya sekilas. Suara sang idola, Sooyoung, tiba-tiba terdengar mengagetkan di
malam hari—apalagi karena kondisi volume ponsel yang berada di atas maksimal, serta fakta
bahwa ia sekarang berada di dalam taman sendirian. Ia menatap jengkel pada layar ponsel—sebuah
gambar SNSD terpampang di situ dengan judul lagu masterpiece mereka: "I Got a Boy." Baekhyun
bahkan bisa mendengar samar-samar lagu itu terputar lewat earphones yang masih
bergelantungan.

Membungkukkan tubuh, Baekhyun berusaha meraih earphones tersebut ketika seseorang


mendadak memeluk bahunya dari belakang.

Baekhyun berteriak.

Ia sungguh-sungguh berteriak, menggerakkan tangan ke sana kemari untuk menyingkirkan lengan-


lengan misterius itu sambil merengek berlebihan, hingga ia menoleh, dan langsung berhenti
menjerit—teriakan "AH!"-nya berakhir agak canggung—guna mendelikkan mata pada seseorang
di hadapannya yang mulai cekikikan gila.

Suara bass Chanyeol yang sangat rendah terdengar janggal bila ia tertawa—Baekhyun menyadari
fakta itu baru-baru ini, karena keseringan mendengar yang lebih muda tertawa. Chanyeol lalu
menarik pergelangan tangan Baekhyun, mendadak memeluknya, dan sang kakak, yang awalnya
mengerucutkan bibir kesal, mulai sedikit tersenyum. "Maafkan aku," ia berusaha berkata di sela-
sela tawanya yang menggila. "Jangan marah."

Baekhyun mendorong tubuh Chanyeol pelan, otomatis melepas pelukan mereka. "Brengsek!"

Tawa Chanyeol belum sepenuhnya mati, dan ia mengusuk-usuk rambut Baekhyun. "Aku tidak
bermaksud mengagetkanmu, Baekhyunee," ia menjongkok sedikit untuk
mengambil earphones yang tergeletak di atas tanah dan menyerahkannya kepada Baekhyun. "Oh
ya, sedang apa kau di sini?" ia bertanya, dan Baekhyun memandang Chanyeol sedikit terpesona—
bahkan di bawah tiang lampu yang terangnya agak redup, ia masih terlihat sangat tampan.
Chanyeol menyeringai jahil. "Kata Jongin kau ingin uji nyali."

Dusta Jongin menuai satu rotasi bola mata dari Baekhyun. "Aku hanya ingin mencari udara segar."
Chanyeol memandangi keadaan sekitar. "Di sini terlalu sepi," ujarnya, ekspresi wajah
menunjukkan rasa kurang nyaman. "Bagaimana kalau kita ke dalam saja?"

Baekhyun cepat-cepat menahan pergelangan Chanyeol, memaksa sang adik untuk membalikkan
tubuh. "Jangan!" ia berseru, terlihat jelas bahwa ia tengah menyembunyikan sesuatu. Chanyeol
mengangkat alis curiga. "Maksudku—aku—" ia melirik sebentar ke arah pintu menuju
ruangan surprise party Chanyeol lalu mengembalikan tatapan pada Chanyeol sambil tersenyum
kaku. "Aku ingin menghabiskan waktu di sini sebentar. Denganmu." Chanyeol masih mengangkat
alis, dan Baekhyun memegang lengan sang adik erat. "Apa kau tidak mau menemaniku?"

Chanyeol menatap Baekhyun sejenak. "Baiklah," ujarnya, melepas pegangan Baekhyun pada
lengannya guna menyatukan jemari mereka perlahan—memasukkan tautan tangan mereka ke
dalam saku mantel Chanyeol. Baekhyun menelan ludah. "Kau mau berkeliling?"

Baekhyun mengabaikan tatapan Chanyeol. "Kalau kau tidak lelah."

Chanyeol bersenandung pelan, meremas tangan Baekhyun gemas—menyalurkan getaran ke dalam


pembulu darah Baekhyun. "Aku tidak pernah merasa lelah denganmu, Baekhyunee," ujarnya,
pandangan mata ke depan selagi mereka melangkahkan kaki lambat menyusuri jalan setapak
terbuat dari batuan besar di tengah taman. Semakin mereka memasuki ujung taman, semakin redup
pula pencahayaan tiang lampu di situ. Pada satu titik, beberapa lampu bahkan tidak berfungsi lagi,
menjadikan keadaan taman justru gelap gulita. Mereka berdua pun memutuskan untuk beristirahat
sebentar di tengah jalan.

Baekhyun menyalakan senter ponsel guna membaca asal keterangan salah satu pohon. "Sebastiano
Mar—what the, nama macam apa ini?" ia terus membaca, "Pohon ini dipercaya dapat
mengabulkan—" suaranya tercekat di tenggorokan ketika merasakan sepasang lengan berukuran
dua kali lebih besar merangkul bahunya dari belakang. Chanyeol menyandarkan kepalanya pada
kepala Baekhyun. "—p-permintaan apa pun, selama—"

Chanyeol menghela nafas. "Selama?"

"Selama…" Baekhyun mendekatkan cahaya pada pigura, gagal membaca terusan penjelasan sebab
kondisi kertas ketikan yang telah mengabur. "…tidak diketahui." Baekhyun mematikan senter
ponsel dan memasukkan benda itu ke dalam saku. "Ugh, kutebak kertas ini diketik ratusan tahun
lalu."

Chanyeol menguap, mengeratkan pelukan sepihaknya dan membenamkan wajah di antara helai
rambut Baekhyun. "Whatever…" bisiknya, terdengar mengantuk berat.

Baekhyun tersenyum; ia kemudian memegang tangan Chanyeol yang bergelantung di sekitar


dadanya. "Apa kau mengantuk?" Chanyeol mengangguk lambat, dan Baekhyun melepaskan
rangkulan Chanyeol guna memutar tubuh ke arah Chanyeol dan gantian menggerakkan kedua
lengan di sekitar pinggang Chanyeol. Sang adik otomatis membalas pelukan Baekhyun,
menggosokkan telapak tangan di punggung yang lebih tua. Baekhyun menghirup aroma parfum
Chanyeol lega, menempelkan pipi pada dada Chanyeol—merasakan detak jantung Chanyeol yang
berjalan semakin cepat. Suara itu adalah musik yang dapat mengantar Baekhyun kepada tidur
nyenyak.

"Kau ingat," Baekhyun serontak membuka mata agak terkejut—diakibatkan oleh vibrasi singkat
dari suara rendah Chanyeol yang menggelitik pipi Baekhyun setiap ia berbicara. "Dahulu kaulah
yang memelukku jika aku kedinginan," ujar Chanyeol, mengelus-elus rambut Baekhyun pelan.
Sang kakak diam-diam tersenyum kecil mengingat masa lalu mereka. "Dahulu kau lebih tinggi
dan besar dariku," ia mengambil sedikit jeda untuk menggerakkan bibirnya di sekitar rambut
Baekhyun. "Lihat siapa yang menang sekarang?"

Baekhyun menendang kaki Chanyeol dan yang lebih tinggi segera menjerat kaki Baekhyun di
antara kakinya. Baekhyun mengerang, suara teredam oleh mantel tebal Chanyeol—karena
semakin ia mencoba melepaskan diri dari rangkulan kaki Chanyeol, ia hanya akan memeluk
Chanyeol jauh lebih erat—hidung terpencet keras pada dada anak itu. Alhasil, Baekhyun menyerah
total. "Park, jangan sombong!" serunya, masih menyangkut topik sebelumnya, dan Chanyeol
tertawa penuh kemenangan.

"Baek, kau ingat?" Chanyeol ternyata belum selesai bernostalgia, dan Baekhyun bertanya-tanya
sejak kapan suara Chanyeol bisa menjadi selembut dan semenenangkan itu. "Sejak dahulu kaulah
yang menyiapkanku sarapan—"

"—sampai sekarang, Chanyeol, sampai sekarang," Baekhyun langsung menginterupsi; ia memutar


mata tapi tersenyum lebar. Chanyeol tertawa lagi, nafasnya menggelitik kulit kepala Baekhyun.
"Aku menyiapkan sarapanmu, bajumu, bak mandimu. Semuanya aku yang siapkan."

"Kau membelikanku baju, membujukku makan sayur," ada jeda beberapa detik seraya Chanyeol
meletakkan salah satu tangannya di sekitar leher Baekhyun—pada bagian yang paling sensitif—
dan mengusapnya perlahan, sedikit menggelikan Baekhyun hingga ia sedikit menjauhkan diri dari
sentuhan Chanyeol. Namun sang adik terus melanjutkan usapannya, dan Baekhyun lebih
membenamkan wajah pada mantel Chanyeol—mencoba bersikap biasa saja meski jantungnya
berdebar tidak karuan. "Kau—aku—" Chanyeol terhenti, mengambil dan mengeluarkan nafas
tegang. Ia kemudian mengembalikan posisi tangannya pada punggung Baekhyun. "Aku selalu
merasa kesepian sejak kau dan Ibu pergi."

Baekhyun setengah menengadah, dan Chanyeol menelan ludah, satu tangan ia gunakan untuk
menundukkan kepala Baekhyun—disandarkan kembali ke dadanya. "Ayah bilang kalian tidak
mempedulikanku lagi," lanjutnya, sedikit meremas mantel Baekhyun saat ia menciumi rambut
Baekhyun. "Aku terus menunggu surat dari kalian…" suaranya menjadi lebih pelan, hampir seperti
sebuah bisikan lemah seolah Chanyeol tengah berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Dada
Baekhyun tiba-tiba terasa agak sesak. "Baekhyun, apa dahulu kau benar-benar tidak
mempedulikanku?"

Baekhyun hendak menjawab, namun Chanyeol terburu-buru meneruskan, "Aku merindukanmu,"


ujarnya, serak dan sedikit bergetar, "Kau mungkin tidak tahu betapa senangnya diriku bisa
melihatmu." Ia mengeratkan pelukan mereka, mencium puncak kepala Baekhyun lembut.
Baekhyun memejamkan mata, kedua tangannya meraba-raba punggung Chanyeol lembut. "Jangan
pergi…" bisik Chanyeol lemah, detakan jantungnya berdetak lebih dan lebih cepat seiring detik
berjalan. Ia membenamkan wajah pada rambut Baekhyun. "Jangan tinggalkan aku lagi."

Baekhyun perlahan melepaskan pelukan mereka, meletakkan kedua tangan pada masing-masing
bahu Chanyeol. Sang adik memandangnya lewat kedua mata sedikit berkaca-kaca. "Kau bilang
kau merindukanku dan kau senang bisa melihatku lagi," ujar Baekhyun, suaranya pecah oleh
gugup di bawah tatapan intens Chanyeol. "Lantas, kenapa dahulu kau begitu membenciku?"

"Bukankah kau yang membenciku?" Chanyeol malah balik bertanya. Baekhyun menganga
mendengar pertanyaan sang adik. Chanyeol kemudian mengulurkan tangan untuk merapikan poni
Baekhyun. "Aku tidak pernah membencimu, Baek."

"Aku—" Baekhyun membuka dan menutup mulut, berkali-kali melakukan itu layaknya orang
bodoh, sebelum membasahi bibir. "Aku memang membencimu karena kau menjengkelkan—
tapi—" Baekhyun mulai kehabisan kata-kata, dan ia ingin menangis frustasi karena Chanyeol
justru terlihat menahan tawa. "T-tapi—itu—itu karena kau—"

Chanyeol menutup mulut Baekhyun dengan telapak tangannya—menghalangi sang kakak untuk
berbicara lebih banyak. "Jadi dahulu kau benar-benar membenciku, huh?" ia tersenyum, menarik
telapak tangannya dari mulut Baekhyun dan meletakkannya di sekitar pinggang sang kakak. "Lalu
bagaimana dengan sekarang? Apa kau masih membenciku?" ia mengangkat salah satu alis. "Apa
aku sudah lebih baik?"

Baekhyun menatap Chanyeol sejenak, dan perlahan ekspresi bercanda di wajah Chanyeol mulai
menghilang—tergantikan oleh rasa penasaran dan bingung. Entah apa yang meracuni pikiran
Baekhyun karena ia tiba-tiba menjinjit dan langsung meletakkan satu ciuman polos di pipi kanan
Chanyeol. Selama beberapa detik, tubuh Chanyeol membeku dan Baekhyun menelan ludah,
jantung tambah berdebar-debar telah menyebabkan sekujur tubuhnya gemetaran. Pipi Chanyeol
terasa lembut ketika bibir Baekhyun menyentuhnya, dan sesingkat ia menempatkan ciuman itu,
Baekhyun segera berhenti menjinjit, memalingkan wajah ke direksi lain—kedua tangan masih
menggenggam bahu sang adik.

Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara, dan saat Baekhyun memberanikan diri untuk
menengadah guna menatap Chanyeol, wajah masih bersemu—kedua mata anak itu tengah melebar
terkejut. Baekhyun sedikit menjinjit lagi untuk mengusap poni Chanyeol. "Aku tidak bisa
membencimu," ungkapnya, tersenyum tipis sambil menyingkirkan beberapa daun mungil yang
hinggap di sekitar rambut adiknya. Ia tahu Chanyeol tengah menatapnya intens—sebuah tatapan
yang sering-kali membuat Baekhyun lupa akan apa yang harus ia lakukan dan katakan, maka ia
berusaha keras untuk menghindari tatapan Chanyeol itu dengan memainkan jemarinya pada
rambut sang adik.

"Kau suka mengeroyok orang," Baekhyun menghela nafas setiap merasakan kelembutan rambut
Chanyeol. "Kau melakukan semua hal yang aku benci," ia menurunkan tangannya pada bahu
Chanyeol sebelum benar-benar menatap mata Chanyeol. Untuk sesaat, ia sempat tenggelam pada
bola mata kecokelatan sang adik yang tengah memandangnya dalam-dalam, dan Baekhyun
menelan ludah—bibirnya mendadak kaku untuk berbicara.
"T-tapi—aku sangat menyayangimu," ujar Baekhyun begitu saja; ia tiba-tiba merasa kesulitan
untuk bernafas karena jantungnya tak dapat berfungsi dengan baik—berdetak kelewat cepat hingga
dadanya naik-turun tidak menentu. "Hanya kau yang bisa membuatku tertawa dan
menjadikan mood-ku lebih baik," ia menggigit bibir gugup, menjinjit untuk mengalungkan kedua
lengan pada leher Chanyeol. "Aku juga senang bisa melihatmu lagi."

"Kita telah melewati banyak waktu yang berat," Baekhyun mendesakkan wajahnya pada bahu
Chanyeol, sementara sang adik segera membalas pelukan Baekhyun, kedua lengan di sekitar
pinggang Baekhyun—merengkuh tubuh yang lebih kecil sangat erat sembari menciumi
rambutnya. "Aku harap kita tidak akan berpisah," ujar Baekhyun, sedikit ragu-ragu untuk mencium
rambut Chanyeol. "Aku membutuhkanmu."

Chanyeol mengeratkan pelukan mereka. "Kalau begitu jangan berpisah," bisiknya tepat di telinga
Baekhyun, melarikan sengatan di sekujur tubuh sang kakak. Mereka terus berpelukan, dengan
Chanyeol yang tak pernah berhenti menempatkan ciuman-ciuman kecil di rambut Baekhyun,
membisikkan namanya berulang-ulang seperti sebuah mantra. "Baekhyun…" ia akan berbisik lalu
merengkuh Baekhyun lebih dekat, hingga mereka bisa merasakan detak jantung masing-masing
yang sama-sama berdebar kencang.

Setiap bisikan Chanyeol akan namanya membuat darah Baekhyun mendidih oleh hasrat. Setiap
ciuman yang Chanyeol berikan membuat Baekhyun menginginkan lebih. Kedua tangan Baekhyun
tambah bergetar seraya ia mengusap-usap rambut Chanyeol. Ini salah, sebuah suara di dalam
otaknya memperingatkan, kau tahu ini salah. Tetapi Baekhyun tidak bisa berhenti. Ia memejamkan
mata, menikmati setiap ciuman dan sentuhan polos Chanyeol pada rambut dan punggungnya—
meski ia tahu bahwa sesungguhnya ini tidak benar. Pelukan ini tidak benar.

Semua ini tidak benar.

Baekhyun membuka mata, menyadari bahwa semuanya terlalu berlebihan untuk sepasang kakak
adik lakukan dan tanpa sadar segera melepas pelukan mereka agak kasar—mendorong bahu
Chanyeol menjauh. Chanyeol kemudian membuka mulut untuk bicara, dahinya sedikit berkerut—
ekspresi lelaki itu bingung, namun Baekhyun cepat-cepat memotong, "Kurasa—" ia asal-asalan
melirik jam tangan dan seketika mendelikkan mata. 12:03. Baekhyun menggigiti bibir. Sial,
pestanya terlambat. "—oh," ia kembali menatap Chanyeol dan langsung memalingkan wajah
ketika mengetahui bahwa lelaki tu sedang mengamatinya intens lagi. "K-kurasa—" ia memandang
Chanyeol sekilas lalu memberikan jarak di antara mereka, kedua tangannya bergetar hebat. "—
kurasa kita harus kembali ke villa."

Tak berbasa-basi lagi, Baekhyun memutar tubuh dan cepat-cepat menjauhkan diri dari Chanyeol,
mempercepat langkahnya detik demi detik—tanpa memiliki keberanian untuk menoleh ke
belakang. Chanyeol pasti menyadari tingkah anehnya barusan, namun Baekhyun berusaha untuk
tidak peduli. Ia hanya ingin kembali ke kamar, mandi air panas sampai pagi guna menenangkan
diri—melupakan kebingungan yang tiba-tiba ia rasakan. Pelukannya dengan Chanyeol tadi…
Baekhyun menggeleng-gelengkan kepala. Ada perasaan-perasaan lain tak diharapkan yang
terselip di sana. Perasaan-perasaan itu bahkan jauh lebih kuat dari perasaan-perasaannya dulu
terhadap Jongdae. Memikirkan ini semua membuat Baekhyun jijik pada dirinya sendiri.
Beberapa langkah kaki menyusulnya dari belakang, dan Baekhyun tahu itu adalah Chanyeol—
tetapi ia terus memandang ke depan, pura-pura tak mendengar dan sedikit mempercepat langkah
kakinya.

"Baekhyun, tunggu—"

Sebuah tangan mencengkram pergelangan tangan Baekhyun, memutar paksa yang lebih tua untuk
menghadap ke belakang, dan sebelum Baekhyun bisa protes, ia telah didorong sedikit kasar ke
tembok—dengan sepasang bibir lain yang langsung mengunci bibirnya.

Baekhyun mengerjapkan mata berkali-kali, sekujur tubuhnya menjadi kaku dan lemas—
membiarkan dirinya ditarik terlalu dekat oleh Chanyeol untuk memperdalam tautan bibir yang
lelaki itu awali. Satu tangan Chanyeol telah merangkul pinggang Baekhyun, mengusapnya
sesekali, sementara yang lain meraba-raba pipinya. Kedua mata Chanyeol terpejam rapat,
berbanding terbalik dengan Baekhyun yang masih mempertahankan mereka untuk terbuka—
memandangi wajah Chanyeol dari dekat; mengamati ekspresi damai yang tergambar di sana,
seolah ia telah menunggu momen ini sejak lama. Baekhyun mengepalkan tangannya; hidung
mereka yang bergesekan, bulu mata mereka yang menggelitik wajah satu sama lain, dan nafas
Chanyeol yang membelai kulitnya—setiap gerakan-gerakan kecil itu meluluhlantakkan tembok
pertahanan Baekhyun untuk melawan, menghentikan sesuatu yang tidak sepantasnya mereka
perbuat. Chanyeol tidak hanya mengecup bibirnya sekali, melainkan beberapa kali—meraup bibir
Baekhyun dengan sangat hati-hati dan semakin menuntut, menghirup udara yang Baekhyun
hembuskan sebagai oksigennya. Ada putus asa serta frustasi dalam ciuman Chanyeol, dan
Baekhyun bisa merasakannya dengan jelas lewat setiap kecupan, desahan sangat pelan yang diam-
diam keluar dari mulut Chanyeol, dan rangkulannya yang bertambah erat—menarik Baekhyun
mendekat hingga dada mereka sedikit berbenturan, menyatukan jantung mereka yang sama-sama
berdebar dalam tempo yang cepat.

Baekhyun ingin mendorongnya, meneriakkan bahwa semua ini salah, namun ia tidak bisa. Ciuman
Chanyeol telah melemahkan setiap titik pada tubuhnya, mematikan semua sendinya, sehingga ia
tidak mampu menggerakkan tangan untuk mendorong Chanyeol menjauh. Kelembutan bibir
Chanyeol yang terasa sempurna menyatu dengan bibirnya, usapan Chanyeol yang pelan pada
pipinya seolah Baekhyun adalah harta paling berharga yang ia miliki, serta bagaimana Chanyeol
menggerakkan bibirnya pada mulut Baekhyun—sengaja meninggalkan saliva di sekitarnya.

Ciuman itu berjalan begitu cepat, dan sebelum Baekhyun bisa benar-benar melakukan sesuatu,
Chanyeol terlebih dahulu memutus kontak bibir mereka, menciptakan bunyi pelan akan saliva dari
bibir mereka yang terpisah, dan ia segera menghapus sisa-sisa liur yang sedikit menuruni dagunya.
Mata Chanyeol ikut melebar; kedua tangan mengepalnya yang gemetaran tidak luput dari
penglihatan Baekhyun. Chanyeol membuka mulut, mencoba mengatakan sesuatu—sesuatu yang
logis untuk menjelaskan alasan atas tindakannya barusan—tetapi tidak ada satu kata pun yang
berhasil keluar. Ia hanya akan berakhir menutup mulutnya kembali, membiarkan kata-kata yang
seharusnya ia ungkapkan terpendam dalam hati.

Baekhyun menelan ludah. Bibirnya terasa basah, tetapi ia tidak sudi mengecapnya—tak ingin
mencicipi saliva Chanyeol yang telah melekat di situ. Mereka hanya berdiri mematung di hadapan
satu sama lain, mempertahankan tatapan mereka yang dipenuhi oleh berbagai emosi—terlalu takut
untuk memecah kesunyian dengan sepatah kata yang mungkin malah akan membingungkan
keduanya. Baekhyun berharap ia mampu memutar waktu dan menggagalkan kejadian barusan
untuk terjadi.

Karena ia tahu, semuanya tidak akan dapat sama lagi setelah ini.

"B-Baekhyun," Chanyeol memulai dahulu, bibirnya bergetar, "Aku—aku tidak—"

Baekhyun membuang muka. Sulit baginya untuk berbicara; ia tidak ingin merasakan saliva
Chanyeol di bibirnya, tidak ingin mengingat lagi kelembutan bibir Chanyeol di bibirnya—caranya
menciumi bibir Baekhyun dengan lembut dan hati-hati. "A-aku—aku akan ke kamar."

Ia membalikkan tubuh lagi, dan melangkahkan kaki secepat mungkin menjauhi bayang-bayang
Chanyeol. Baekhyun merasa takut; banyak pertanyaan memenuhi otaknya, menghantui pikirannya
dengan perasaan khawatir dan bersalah. Bagaimana kalau ayah dan ibu melihat ini? Apa yang akan
mereka katakan? Apa yang akan mereka lakukan? Baekhyun tidak kuat untuk berlari; kakinya
terlalu gemetaran untuk bahkan bergerak, tetapi ia harus menghindari Chanyeol. Kehadiran
Chanyeol di dekatnya hanya akan mengacaukan pikiran.

Namun Chanyeol masih mengejarnya, memegang sekilas pergelangan tangan Baekhyun, membuat
Baekhyun tersentak hingga ia menoleh dan refleks menarik tangannya kasar—menjauhkannya dari
gapaian Chanyeol.

Jemari Chanyeol yang tadinya menyentuh Baekhyun kini mengepal erat dengan sendirinya setelah
menerima penolakan dari Baekhyun. Matanya terlihat sendu ketika ia menatap Baekhyun.
"Baekhyun," Chanyeol terlihat ketakutan; ia sangat ketakutan hingga keringat dingin mengalir dari
dahinya dan wajahnya pucat. "Tolong dengarkan aku—" ia berusaha mendekat, tapi Baekhyun
terus menjauh.

"J-jangan mendekat," Baekhyun mengambil beberapa langkah ke belakang, menyisakan jarak


cukup lebar di antara mereka. Ekspresi ketakutan yang terlintas di wajah Baekhyun cukup untuk
membungkam mulut Chanyeol, dan lelaki itu serontak berhenti, kedua kakinya menempel kaku
pada lantai—seolah menahan diri untuk tidak terus berjalan menghampiri seseorang di
hadapannya. Baekhyun memandang jarak di antara mereka. Terlalu jauh, batinnya berteriak. Jarak
ini terlalu jauh bagi mereka, dan Baekhyun merindukan kembali dekapan Chanyeol. Cepat-cepat
menggeleng pelan, ia menyingkirkan semua pikiran-pikiran itu dari otaknya sebelum menengadah
guna menatap Chanyeol dingin—mengabaikan kedua mata Chanyeol yang tampak sedikit basah
di bawah cahaya lampu koridor villa yang remang.

Baekhyun membuka mulut.

"Hentikan."

Satu kata sederhana itu tiba-tiba terucap begitu saja lewat bisikan yang pelan, disertai dengan
tatapan dingin yang perlahan berganti menjadi pilu. Baekhyun meremas saku mantelnya,
mengalihkan pandangan ke lantai—menghalangi Chanyeol untuk membaca emosi Baekhyun yang
kalang kabut melalui kedua iris matanya. Menghalangi Chanyeol untuk mengerti maksud dari
ucapan yang Baekhyun baru bisikkan.

Hentikan semua omong kosong ini. Hentikan semua perasaan yang terlanjur menjalar di tubuhnya.
Baekhyun tidak ingin semuanya menjadi lebih rumit. Hentikan.

Chanyeol tidak berkata apa-apa lagi, dan Baekhyun mengambil keheningan lelaki itu untuk
melarikan diri.

Ia berlari dari perasaan-perasaan mengerikan itu. Berlari dari tatapan Chanyeol yang seolah
menelanjanginya. Berlari dari pelukan Chanyeol yang menghangatkan. Berlari dari setiap kecupan
lembut bibir Chanyeol yang salah namun melemahkannya.

Baekhyun tergesa-gesa menaiki tangga villa menuju kamar, memasukkan kunci ke dalam lubang
pintu dengan tangan yang masih gemetaran. Ia terlalu takut untuk menoleh ke belakang—takut
mendapati Chanyeol berdiri di sana dengan sepasang mata lebar yang tengah memohon padanya
untuk berhenti menjauh. Baekhyun cepat-cepat menutup pintu kembali, menguncinya kemudian
berlari memasuki kamar mandi—refleksi akan wajahnya yang pucat, bibirnya yang merah, serta
rambutnya yang agak berantakan langsung menyambutnya di kaca. Ia mengernyit, kepalan tangan
semakin mengerat seraya ia memandangi refleksinya, sampai pada akhirnya Baekhyun
mengulurkan tangan untuk menyalakan keran dan mulai membasuh wajah.

Memori akan ciuman Chanyeol menghantui pikirannya, dan Baekhyun mengeraskan gosokannya
di sekitar bibir, menghilangkan setiap jejak Chanyeol yang terlanjur mengecap di sana. Baekhyun
mengeringkan tangannya yang basah pada handuk—mengamati kondisi wajahnya yang terpantul
di kaca. Bibirnya tidak lagi kemerahan—sedikit memudar menjadi merah muda pucat seperti
biasanya, dan ia mengangkat salah satu tangan untuk menyentuhi bagian bawah bibir yang tadi
telah bersentuhan dengan bibir Chanyeol. Kenapa? Ia bertanya pada seseorang yang tidak
mungkin mendengarnya. Apa maksudmu?

Baekhyun keluar dari kamar mandi dengan ekspresi kosong, berjalan lambat mendekati tempat
tidur, kemudian membaringkan tubuh di atasnya. Ia memandangi langit-langit kamar, memegang
dada di mana jantungnya masih berdebar terlalu cepat, sebelum menggelengkan kepala. Untuk
sekali saja, ia tidak mau memikirkan Chanyeol. Menutup mata, Baekhyun mengambil selimut dan
menutupi dirinya dengan itu—membiarkan rasa kantuk langsung menguasai dan merebut
kesadarannya.

Baekhyun terlanjur terlelap ketika jeritan "surprise!" lantang dari lantai utama villa tiba-tiba
memecah kesunyian.

Chapter 11: Drifting Away

CHAPTER 11
DRIFTING AWAY

Baekhyun berada dalam sebuah ruangan yang gelap—tubuh terduduk nyaman di atas sofa kecil
depan jendela luas yang mempertunjukkan kesibukan kota Seoul pada malam hari. Ia
memperhatikan sejumlah mobil yang melintas di jalan-jalan besar: mungil dan tak seberapa jelas
bentuknya dari kejauhan—mirip seperti mainan mobil-mobilan lucu yang dulu pernah ibunya
belikan. Baekhyun membenahi posisinya, menghadap lebih fokus ke arah jendela—dua kaki sama-
sama ia luruskan ke depan sebelum menyandarkan kepala pada dinding sofa. Menghela nafas
lega, ia setengah menengadah, memandang angkasa di atasnya yang tampak begitu dekat
dijangkau dari mana ia berada. Gelap dan kosong; tidak ada satu bintang pun di sana, namun
entah kenapa Baekhyun tetap menyukai kegelapan yang menguasai angkasa. Kontras yang
ditimbulkan antara kegelapan itu dan sinar yang gemerlapan dari gedung-gedung tinggi di
bawahnya terlihat begitu indah.

Baekhyun hampir terseret dalam alam mimpi ketika seseorang tiba-tiba menyentuh rambutnya
dari belakang.

"Jangan melamun, Baekhyunee."

Ia tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pemilik suara rendah tersebut. Seseorang itu lalu
mengelus-elus rambutnya lembut, dari atas ke bawah—melarikan sengatan yang hebat di kulit
kepalanya. Terkadang Baekhyun benci betapa sedikit sentuhan dari seseorang itu mampu
membuatnya gila seperti ini. Meski begitu, ia tetap mendekatkan tubuhnya kepada kehangatan
itu—tersenyum lebih lebar ketika seseorang itu memeluknya dari belakang: menciumi rambutnya,
memijat-mijat pinggangnya.

Seseorang itu membawa mulutnya di sekitar telinga Baekhyun: melahapnya, kemudian


menghisapnya beberapa kali—sukses membebaskan satu desahan kecil dari bibir tipis Baekhyun.
"Aku mencintaimu," bisik seseorang itu, suaranya menggoda Baekhyun untuk menoleh dan
menciuminya hingga mereka kehabisan nafas.

Dan itulah yang Baekhyun akan lakukan.

Dalam kegelapan, ia dapat langsung menemukan bibir tebal yang ia gilai itu. Mereka bercumbu
panas, dua tangan menggerayangi tubuh masing-masing—mulut beradu hebat sampai-sampai liur
menuruni dagu mereka. Baekhyun terengah-engah, melepas ciuman mereka untuk sekadar
menatap seseorang itu—mengamati setiap bagian pada wajahnya yang terpahat sempurna.
Seseorang itu sangatlah tampan; mata yang lebar dan tegas—memandangi Baekhyun sedikit sayu,
hidung yang mancung, bibir yang tebal serta agak kemerahan seusai bercumbu, juga rahang yang
lancip. Baekhyun meraba-raba dagu seseorang itu lambat, sebelum menarik wajahnya
mendekat—tanpa menyatukan bibir mereka yang tinggal sesenti lagi dapat bertemu.

Seseorang itu bernafas pelan, menghembuskan udara yang menerpa kulit Baekhyun hangat.
"Baekhyun," seseorang itu sedikit memajukan bibir untuk menyapa bibir Baekhyun lembut. Lelaki
manis di hadapannya hanya tertawa. Seseorang itu kembali mencuri satu kecupan lagi—mata
masih terpejam selagi ia berbisik mesra: "Baekhyun-ku."

Baekhyun tertawa lebih keras, mendorong bahu seseorang itu pelan.

"Berhenti menggodaku, Chanyeol-ah."

Baekhyun terbangun dari tidur dengan sedikit hentakan—mata terbuka lebar dan jantung berdetak
terlalu cepat hingga ia agak kesulitan bernafas. Dadanya kembang-kempis tidak teratur, memberi
gambaran seolah-olah ia baru menyelesaikan rutinitas lari pagi selama dua jam penuh. Baekhyun
menggeleng sekali, pandangan kosong ia pusatkan pada langit-langit kamar yang berwarna putih-
kecokelatan selagi ia menunggu pernafasannya untuk kembali stabil. Ia mengambil dan
mengeluarkan nafas, berulang-kali seperti itu, sebelum perlahan membangkitkan tubuh dari posisi
terlentang guna mengistirahatkan punggung pada dinding tempat tidur.

Mimpi yang mengerikan.

Baekhyun mengangkat salah satu tangan yang gemetar untuk menyentuh bibirnya—meraba-raba
teksturnya yang kering, bahkan sedikit kasar oleh kulit-kulit yang akan mengelupas. Ia bergidik
ngeri, poni setengah basah oleh keringat dingin akan ketakutan. Bahkan seluruh tubuhnya masih
mengingat sebagaimana tangan Chanyeol menyentuhnya di bagian-bagian tertentu—membelai
mereka lambat dalam cara yang terlalu sensual. Baekhyun berhenti menyentuh bibirnya dan
melampiaskan perasaan jijiknya pada kain selimut yang kini melapisi tubuhnya dari udara
dingin—meremasnya seerat mungkin karena serpihan mimpi buruk itu semakin menghantui
pikirannya. Mimpi yang biasanya ia lupakan di pagi hari anehnya meninggalkan jejak sangat jelas
di otaknya.

Pelukan Chanyeol. Ciuman Chanyeol. Sentuhan Chanyeol. Bisikan Chanyeol.

Chanyeol, Chanyeol, Chanyeol.

Hanya nama itu yang memenuhi semua lorong kosong di otak Baekhyun. Nama adik kandungnya
yang tidak seharusnya ia pikirkan.

"Aku mencintaimu."

Semuanya terasa terlalu nyata untuk disebut sebuah mimpi.


"Baekhyun-ku."

Baekhyun menggelengkan kepala berkali-kali. Memikirkan mimpi itu justru membuat Baekhyun
semakin merasa bersalah dan jijik pada dirinya sendiri. Mereka tidak seharusnya berciuman.
Mereka tidak seharusnya menyentuh satu sama lain dengan sensual. Chanyeol tidak seharusnya
membisikkan sesuatu yang tak pantas bagi sepasang kakak-adik saling ungkapkan. Baekhyun
meluruskan poninya ke belakang, menyebabkan poni itu jauh lebih berantakan dari awalnya—
berdiri ke sana kemari tidak karuan. Bagaimana bisa ia memimpikan sesuatu yang tidak pantas
tentang Chanyeol?

Baekhyun meremas rambutnya pelan.

Untuk beberapa detik, ia terdiam—tak melamunkan apa-apa, hanya memandangi kosong refleksi
diri yang tampak berantakan lewat sebuah kaca besar yang tersedia di depan tempat tidur.
Baekhyun menutup mata, berharap bahwa ia dapat menghilangkan jejak akan mimpi buruk itu dari
otaknya, namun yang ada ia justru mengingat sesuatu yang ia harap tidak pernah terjadi. Perlahan,
satu demi satu potongan kejadian yang ia alami tadi malam membukakan memorinya di dalam
pikiran Baekhyun—menambah pompaan jantungnya menjadi lebih cepat, menaikkan bulu
kuduknya oleh takut. Baekhyun serontak menggigit bibir.

Ia mengingat semuanya—begitu detail dan jelas. Tatapan Chanyeol yang sendu. Ciuman Chanyeol
yang menuntut. Rangkulan Chanyeol yang sangat erat hingga ia bisa mendengar suara detak
jantung mereka yang bersatu. Semuanya menyesakkan hati Baekhyun. Rasa sesal, pilu, bingung,
dan jijik yang bercampur menjadi satu.

Baekhyun menoleh ke samping, dan sekilas ia melupakan seluruh memori itu—malahan agak
menganga karena baru menyadari kehadiran Oh Sehun yang tengah tertidur pulas di sebelahnya:
tubuh dibalut kaos putih tipis dan celana hitam pendek selutut. Ia mengerutkan dahi, mulai
bertanya-tanya jika ia memasuki kamar yang salah kemarin, ketika Sehun pelan-pelan membuka
mata—mengedip-kedipkan mereka sebentar sebelum mendelikkan mereka saat ia disambut oleh
pandangan akan Baekhyun yang sedang menatapnya ling-lung.

"Argh!" teriaknya, menggulungkan tubuh ke kanan—sengaja menjatuhkan diri dari atas tempat
tidur. Tak mempedulikan pantatnya yang bertegur sapa langsung dengan lantai, ia mendongakkan
kepala—menunjuk jari telunjuk pada wajah Baekhyun. "A-Apa yang kau lakukan di sana?"
Baekhyun cuma memiringkan kepala, ekspresi penuh pertanyaan, karena jujur, ia semakin bingung
sekarang. Sehun menggertakkan gigi. "Jangan-jangan kau masih menyukaiku, ya?" Baekhyun
mengangkat satu alis. "Makanya kau coba mencuri kesempatan—"

Ia berhenti mengoceh ketika mendapat serangan handuk basah dadakan dari belakang. Minseok
muncul di balik pintu kamar mandi, tak mengenakan apa-apa kecuali bathrobe biru muda
bergambar Snoopy dengan kondisi rambut yang lumayan basah. "Berterima kasihlah padaku,
bodoh," ujar yang lebih tua, menarik paksa handuk tadi dari tangan Sehun untuk mengeringkan
rambutnya, menggerakkannya di rambut hingga air bercipratan ke segala penjuru—termasuk
wajah Sehun dan itu kelihatannya disengaja. Sehun mengerucutkan bibir manja. "Kemarin kau
kebanyakan minum soju dan lupa arah jalan pulang."
Sang adik kelas memegang lehernya, menggosoknya pelan sambil tertawa canggung. "Ah,
benar…" ia kemudian menoleh ke arah Baekhyun sambil mengangkat dua jari "peace". Baekhyun
memutar mata muak. "Abaikan perkataanku tadi, hyung." Sehun lalu menggunakan dua tangan
sekaligus sebagai penompang dirinya untuk berdiri dari lantai. Ia memegang kepala dramatis
sambil mendesah pelan, "Ya Tuhan, kepalaku serasa dipukul palu."

Seolah belum cukup akan serangan handuk basah tadi, Baekhyun melemparkan salah satu bantal
ke direksi Sehun—menghantam tepat di mata kanan sang adik kelas. Sehun mengeraskan volume
erangannya. "Salah sendiri kau minum soju," ujarnya, menyibak selimut putih tebal yang
membungkus tubuhnya, kemudian memiringkan kedua kaki ke samping tempat tidur—menghadap
kepada Sehun remeh. "Dasar anak jaman sekarang."

Sehun menekan wajahnya di bantal, melambaikan jari tengah kepada Baekhyun. "Berhenti
menyiksaku!"

Minseok menghela nafas di sudut ruangan; ia telah selesai berganti pakaian seadanya
menjadi sweater abu-abu dan jeans sobek-sobek. Mengambil sisir dari tas selempang hitam
kepunyaannya, Minseok mulai menyisir rambutnya yang masih basah sambil mengawali
percakapan, "Apa kau sakit, Baek?"

Baekhyun berdiri dari tempat tidur, merentangkan kedua lengan ke atas sambil menguap lebar.
"Tidak," jawabnya malas-malasan, "Kenapa?"

"Jongin mencarimu kemarin," Minseok menjelaskan, suara tak terelakkan diliputi penasaran,
sementara Baekhyun membeku di tempat, wajah sedikit memucat karena ia secara tidak langsung
kembali teringat apa yang terjadi di antaranya dan Chanyeol tadi malam. "Kau tidak menghadiri
pesta kejutan Chanyeol."

Mendengar namanya saja Baekhyun sedikit bergidik. Ia menghindari tatapan Minseok yang
memburu lewat kaca, berpura-pura santai sembari mengambil ponselnya di atas meja. Sehun
mengernyitkan alis menyadari perubahan ekspresi Baekhyun yang tegang. "Aku sedang tidak enak
badan kemarin," ia berbohong, membuka kunci layar ponsel dan memandang kosong 373
notifikasi baru di KakaoTalk. Ia menekan tombol di samping ponsel untuk menguncinya kembali
sebelum memaksakan sebuah senyum canggung. "Mungkin kedinginan atau apa."

Sehun memegang pergelangan tangan Baekhyun, raut wajahnya berkata bahwa ia tidak
mempercayai apa yang sang kakak kelas katakan. "Kau yakin, hyung?" ia memastikan, "Apa kau
tidak bertengkar dengan Chanyeol?"

Baekhyun melepaskan genggaman Sehun sedikit gugup. "Tidak," ia memberanikan diri membalas
tatapan Sehun, berusaha untuk terlihat meyakinkan. "Aku hanya tidak enak badan, itu saja."

Sehun melipat kedua lengan di dada. "Kupikir kalian habis bertengkar hebat," ujarnya,
mengangkat bahu santai. "Aku mengintip surprise party-nya dari lantai dua dan ekspresi
Chanyeol-sunbae datar sekali. Ia bahkan tidak terkejut."
"Itu benar," Minseok menyahut, menoleh ke belakang untuk menatap Baekhyun dan Sehun dengan
mata melebar tertarik. "Joohyun bilang Chanyeol tidak mengucapkan apapun dan langsung masuk
kamar."

Sehun lalu melakukan tarian kecil aneh—menggerak-gerakkan tangan ke kiri lalu kanan seperti
ombak gagal. "Gosip baru, gosip baru!" ia bernyanyi gembira, mata sengaja disipitkan layaknya
seorang idiot. Minseok tertawa terpingkal-pingkal, memegangi perutnya tak kuasa. "Pesta kejutan
yang gagal!"

Baekhyun hanya mampu menghela nafas menyaksikan tingkah tidak jelas kedua teman baiknya
tersebut. "Terserah kalian," ucapnya, nada kesal dibuat-buat, "Aku mau mandi dulu."

Mereka bertiga baru selesai bersiap-siap saat jarum jam telah menunjuk pukul 08:35. Udara pagi
yang dingin membuat Baekhyun lebih menggigil hingga ia menggosok-gosokkan tangan berulang-
kali demi mendapat kehangatan. Sehun mengaitkan lengannya di lengan Baekhyun, menyeret
paksa sang kakak kelas untuk mempercepat langkah kakinya—tanpa menyadari betapa wajah
Baekhyun yang sekarang menjadi tambah pucat seiring mereka berlari mendekati ruang makan.
Baekhyun terus menundukkan kepala, enggan mengangkat dagunya dengan percaya diri seperti
biasanya—tubuh semakin gemetaran seraya ia sedikit menggigil.

Keramaian para murid terdengar membisingkan di telinga, namun Baekhyun tetap menunduk—
membiarkan Sehun menuntunnya menuju meja luas di mana segala macam makanan tersedia
untuk mereka ambil sepuas-puasnya. Baekhyun meletakkan satu roti bakar selai stroberi di piring
kemudian cepat-cepat mengikuti arah jalan Sehun ke meja kosong yang berada di pojok ruangan.
Ia hampir mencapai destinasi ketika seseorang tiba-tiba menarik tangannya ke belakang—tidak
terlalu kasar, malah tergolong santai, namun cukup untuk membuat Baekhyun merasakan déjà
vu dan merebut tangannya kasar dari genggaman orang itu.

Baekhyun menggigit bibir melihat Jongin yang mengerutkan alis. Ia memegang tangannya sendiri
malu. "O-Oh, m-maaf," ucapnya pelan, "Aku hanya… kaget."

Bohong jika Baekhyun tidak mengakui bahwa untuk beberapa detik lalu ia sempat mengira
seseorang yang menarik tangannya tadi adalah Chanyeol. Sungguh, ia tidak tahu sampai kapan ia
harus menjadi paranoid seperti ini. Baekhyun tidak berani mengamati sekitarnya, takut setengah
mati kalau-kalau ia tidak sengaja menangkap tatapan Chanyeol padanya. Ia hanya tidak mau terus-
terusan dihantui oleh kejadian kemarin malam.

Jongin mengedikkan bahu sambil tersenyum kecil. "Santai saja, hyung," ia melirik sekilas roti
bakar Baekhyun. "Maaf mengagetkanmu."

Baekhyun mengangguk kaku, menatap Jongin sedetik lalu memutar tubuh, berniat menghindari
sang adik kelas, tetapi Jongin menahan lengannya. "Hyung?" tanyanya, ia terdengar khawatir,
"Kau mau ke mana?"

Baekhyun menunjuk meja yang Sehun dan Minseok sudah duduki. "Ke sana."
Jongin mengangkat alis. "Kenapa kau tidak bergabung dengan Chanyeol?" ia menggerakkan
kepala ke samping; Baekhyun sengaja tidak mengikuti ke mana arah kepala adik kelasnya
menunjuk—berjaga-jaga jika Chanyeol mungkin di sana dan tengah menatapnya sekarang. "Apa
kalian bertengkar?"

"Tidak!" Baekhyun langsung menjawab tegas; terhitung sudah tiga orang menanyainya pertanyaan
yang sama beberapa jam terakhir. Frustasi, di bawah pengaruh alam bawah sadarnya, Baekhyun
menoleh ke kiri, bertepatan dengan dirinya yang berseru: "Kami tidak—" ia serontak berhenti
berbicara, kata-kata yang seharusnya ia ucapkan tiba-tiba menghilang entah ke mana saat
pandangannya tidak sengaja bertabrakan dengan hazel lebar milik Chanyeol. Baekhyun tertegun,
menelan ludah kala Chanyeol memandangnya sendu lagi—sebuah ekspresi yang terakhir kali
Baekhyun lihat di wajahnya sebelum ia meninggalkan adiknya sendirian di lorong villa.

Baekhyun adalah orang pertama yang membuang muka di detik ketiga mata mereka bertemu. Ia
kemudian memandang Jongin datar. "Maaf aku melewatkan surprise party Chanyeol," genggaman
pada piringnya mengerat, "Aku agak sakit kemarin." Melambaikan tangan setengah hati,
Baekhyun segera berbalik dari hadapan Jongin—tak ingin berlama-lama bercakap-cakap dengan
sang adik kelas sekaligus menghindari tatapan Chanyeol. "Sampai jumpa nanti."

Sehun memandangnya penasaran, menepuk-nepuk meja Baekhyun untuk mendapatkan atensi


yang lebih tua. Baekhyun mengambil tempat duduk di depan Sehun, tangan sedikit gemetar untuk
bahkan memotong roti bakar menjadi dua bagian. "Apa yang dia katakan?" tanyanya, menarik-
narik jari Baekhyun. "Jangan simpan gosip ke dirimu sendiri."

"Yah, hoobae!" Minseok menyentil dahi Sehun. "Itu bukan tergolong gosip menarik, okay."

Bibir Sehun mengerucut aneh, dan Baekhyun memutar mata. Ia menoleh ke sekitar meja mereka
setelahnya. "Di mana Joohyun?"

"Tentu saja tidur," jawab Sehun yakin, sembari menyumpal mulut dengan spaghetti—bumbu
bertebaran hampir ke pipi. Baekhyun dan Minseok sama-sama mengerutkan hidung jijik.
"Perempuan macam apa dia, hah!"

Minseok mengangkat jempol setuju. "Perempuan jadi-jadian."

Seluruh murid wajib check-out dari villa setidaknya pukul sebelas pagi. Mereka berbondong-
bondong keluar dari kamar masing-masing, menyeret koper persegi-panjang
berukuran super besar ke dalam bagasi bus. Kebanyakan dari mereka terlihat loyo: beberapa terlalu
lelah karena keasyikan berkeliling sampai pagi buta, sementara sisanya tidak rela meninggalkan
keindahan pulau Jeju juga villa nyaman yang mereka sempat tempati. Perjalanan cukup panjang
yang ditempuh bus memakan waktu sekitar satu setengah jam; para murid memilih untuk
meramaikan detik-detik terakhir mereka di sana dengan berkaraoke ria—menggilir mic ke setiap
siswa dan siswi untuk menyanyikan satu lagu, baik duet maupun solo.

Mereka sampai di Bandara Internasional Jeju sepuluh menit lebih awal dari jadwal yang telah
guru-guru rencanakan. Kali ini bandara tidak seberapa ramai oleh penumpang—mengingat bahwa
sekarang adalah hari Selasa dan termasuk hari kerja. Sekelompuk turis asing berkulit putih pucat
berjalan di depan mereka—tubuh tegap, aura yang menguar sungguh mempesona. Beberapa siswa
nyaris meneteskan liur memandangi seorang gadis ras Kaukasian yang merupakan bagian dari
kelompok turis asing tersebut—berwajah sedikit mirip dengan Kristen Steward: fisik sempurna
dan rambut panjang setengah punggung. Apalagi ia memakai sebuah dress selutut tanpa lengan
bermotif bunga-bunga.

Sehun mengangkat alis mengamati para murid yang masih betah memusatkan fokus mereka
terhadap figur gadis Kaukasian itu. "Berlebihan," cibirnya, intonasi menjengkelkan mirip tokoh
antagonis di drama-drama Korea yang bersikap menyebalkan dan manja. "Mereka seperti tidak
pernah melihat gadis Kaukasian saja! Bukankah kebanyakan dari ras Kaukasian memang cantik-
cantik?"

Minseok menggeleng. "Tidak semua, hoobae."

Dalam hati Baekhyun tahu alasan terbesar yang mendominasi kekesalan Sehun adalah ekspresi
memuja yang terplester di wajah Jongin saat si turis mancanegara berjalan di depannya. Diam-
diam menggelengkan kepala sembari menahan tawa, ia menendang kaki adik kelasnya main-main.
"Yah, Oh Sehun!" yang dipanggil justru cemberut, balas mendorong bahu Baekhyun pelan.
"Temani aku ke toilet."

Toilet bandara terletak lumayan jauh dari mana mereka duduk. Nyaris di ujung mendekati wilayah
perbelanjaan kecil-kecilan. Baekhyun cuma mencuci tangan, membersihkan noda minyak di
sekitar jari lentiknya akibat mencicipi ayam goreng yang Joohyun barusan beli. Sehun memasuki
salah satu bilik, menghabiskan waktu cukup lama di situ; entah apa yang anak itu tengah lakukan—
mungkin buang air besar sambil bermain Clash Royale. Baekhyun berusaha bersabar untuk tidak
mendobrak pintu bilik dan menyeret kunyuk itu dari dalam. Sebaliknya, ia menunggu di luar
sambil sesekali mengecek layar ponsel guna membunuh kebosanan total.

"Brengsek," desis Baekhyun kesal, mengunci layar ponsel untuk yang kesekian kali. Mulut
menggerutu nonstop, ia pun berlari emosi menuju toilet—bergelut bersama pikirannya sendiri
akan rencana pembunuhan Oh Sehun, tanpa menyadari bahwa ada seseorang di depan yang baru
keluar dari toilet—berjalan berlawanan arah dengannya.

"Ow!"

Gumam Baekhyun pelan, wajah terbentur cukup ekstrem pada dada orang asing itu sampai-sampai
ia bisa mencium aroma parfum familiar dari mantel hitam yang orang tersebut kenakan. Nafas
Baekhyun seketika tersendat, jantungnya meletup-letup hebat hingga ia gemetaran. Ia hafal betul
pemakai rutin parfum ini; ia ingat betul kenyamanan yang ia rasakan saat ia menenggelamkan diri
di sana.

Baekhyun terpaksa mendongak, antara takut dan gugup untuk bertatap-mata dengan Chanyeol
yang memandangnya terkejut. Lelaki tinggi itu mengerjapkan mata selama beberapa detik lalu
ragu-ragu membuka mulut, "Baekhyun—"

Baekhyun tidak mendengar sisa perkataan yang Chanyeol akan sampaikan, karena ia cepat-cepat
berjalan melewati Chanyeol—tak sengaja mendorong bahu lelaki itu agar menyingkir dari tengah
jalan. Chanyeol sedikit terhempas ke samping, namun Baekhyun tidak menghiraukannya—
memilih untuk mempercepat langkahnya ke toilet tanpa ingin menoleh ke belakang. Baekhyun
membuka pintu toilet, bersamaan dengan Sehun yang hendak keluar dari dalam—membuat
pintunya tertahan di tengah. Mereka saling bertatapan sejenak, mata sama-sama membulat karena
terkejut, sebelum Sehun terlebih dahulu bertanya:

"Kau baik-baik saja, hyung?" ia mengerutkan alis, menutup pintu toilet di belakangnya. "Wajahmu
pucat sekali…"

Baekhyun menoleh ke kiri untuk mengecek keberadaan Chanyeol dan menghela nafas lega ketika
mendapati bahwa lelaki itu sudah hilang. "Aku tidak apa-apa," ia menggandeng lengan Sehun.
"Ayo kembali."

Lima belas bus membawa mereka kembali ke halaman luas SMA Caspian saat jam menunjuk tepat
pukul 15:32. Rambut agak berantakan akibat tertidur pulas di dua alat transportasi berbeda
(pesawat juga bus), Baekhyun asal-asalan mengambil beanie dari tas selempang dan membungkus
rambutnya dengan itu, mendesakkan poni-poni kecil ke dalam—tak mempedulikan konsekuensi
apa yang rambutnya akan hadapi nantinya. Fuck it, ia punya banyak hal yang harus dikhawatirkan
selain penampilan.

Baekhyun nyaris tersedak ludahnya sendiri saat melihat Jongin dan Chanyeol telah menunggu di
depan bus yang ia naiki. Chanyeol meliriknya datar sekilas lalu membuang muka, sedangkan
Jongin melambaikan tangan antusias. "Hyung!" seru Jongin, tanpa permisi menarik satu plastik
hitam berisi oleh-oleh yang Baekhyun genggam. "Biar aku saja yang bawa."

Ia kemudian berlalu meninggalkan Baekhyun dan Chanyeol berdiri canggung di posisi tak jauh
berbeda, diiringi oleh suasana ramai akan para murid yang berlalu-lalang menunggu jemputan
mereka. Memandang lurus ke depan, Chanyeol berjalan mendahului Baekhyun. Ia kemudian
menunjuk pada sebuah Hyundai kecil berwarna hitam yang tengah terparkir pararel di antara
mobil-mobil lain. "Mobilnya di sana," ujarnya datar.

Baekhyun mengikuti Chanyeol dari belakang, tak berniat mengatakan apapun, selagi adiknya
menekan tombol "unlock" dari kunci mobil guna membuka bagasi di belakang. Chanyeol segera
mengangkat koper Baekhyun untuk diletakkan di dalam, menyusun koper itu lumayan rapi dengan
tas miliknya dan Jongin. Baekhyun hanya menatap mereka kaku dari belakang, sedikit merasa
tidak enak karena ia sama sekali tidak membantu—namun di sisi lain, ia merasa luar biasa
canggung. Chanyeol mengamati barang-barang itu sekali lagi sebelum menoleh ke direksi
Baekhyun tiba-tiba.

Baekhyun menahan diri untuk tidak melepas kontak mata mereka.

"Baekhyun," ujar Chanyeol datar, dan Baekhyun tidak bisa mendeteksi apa yang lelaki itu tengah
pikirkan oleh karena ekspresinya yang sangat kosong. "Apa hanya ini barang-barangmu?"

Baekhyun menatap kosong barang-barang yang ada di bagasi. "Y-Ya," jawabnya pelan, "Kurasa
begitu."

Kecanggungan total memenuhi dua puluh menit perjalanan dari gedung sekolah ke rumah mereka.
Jongin berusaha meramaikan suasana dengan berkicau nonstop tentang rumor-rumor mistik,
namun baik Chanyeol atau Baekhyun tidak tertarik untuk menanggapinya. Baekhyun
menyandarkan kepala ke kursi, menyumpal telinganya dengan earphones untuk menghindari
percakapan yang Jongin coba awali—memilih mendengarkan lagu-lagu klasik ketimbang omong
kosong sang adik kelas. Sama halnya dengan Chanyeol, ia juga lebih memperhatikan jalan,
mengebut di antara segerombol mobil, daripada merespon kicauan lelaki berkulit kecokelatan
tersebut.

Jongin membuka pintu mobil sambil merengut; ia segera mengambil tasnya dari bagasi sebelum
memasuki kediaman Park seperti rumahnya sendiri—langkah sengaja dihentak-hentakkan agar
Baekhyun dan Chanyeol tahu betapa kesalnya dia. Baekhyun menggeleng, tersenyum kecil; ia
hendak mengambil kopernya ketika Chanyeol sudah terdahulu mengambilkannya. Menghindari
tatapan Chanyeol, Baekhyun mengangguk canggung. "Terima kasih," ucap Baekhyun dingin
sebelum pergi meninggalkan adiknya seorang diri di garasi—tergesa-gesa menyeret koper ke
kamar.

Ia mengacuhkan pandangan tidak terbaca yang Chanyeol berikan pada punggungnya dari
belakang.

RETURN OF THE DANDELION

.
.

Baekhyun tidak pernah berinteraksi dengan Chanyeol lagi. Ia tidak tersenyum pada Chanyeol. Ia
tidak menggandeng lengan Chanyeol. Ia tidak tiba-tiba menghampiri Chanyeol dan menceritakan
hari-harinya secara detail. Ia tidak menunggu Chanyeol di dapur sampai larut malam untuk
menyiapkan makanan.

Chanyeol juga melakukan hal yang sama. Rutinitas yang biasa mereka lakukan berdua dahulu
seolah terlupakan begitu saja—mereka kembali menjadi Baekhyun dan Chanyeol yang lama, di
bulan-bulan pertama Baekhyun menginjakkan kaki di kediaman ayah. Chanyeol tidak menunggu
Baekhyun untuk pergi ke sekolah bersama. Chanyeol tidak membawa permen kesukaan Baekhyun.
Chanyeol tidak memeluk Baekhyun tiba-tiba. Chanyeol tidak menghampiri Baekhyun di kantin.
Chanyeol tidak meledek Baekhyun. Chanyeol tidak bermain gitar di hadapan Baekhyun.

Baekhyun pikir mereka seperti orang asing sekarang. Mereka hampir tidak pernah berpapasan di
rumah, karena Baekhyun yang selalu menghindar dan Chanyeol yang sering-kali pulang sangat
larut. Ada kalanya mereka tidak sengaja bertemu di dapur saat tengah malam, namun tak satupun
dari keduanya yang berani memulai percakapan. Mereka sama-sama membuang muka, enggan
bertatap-mata meski hanya untuk sedetik.

Baekhyun seharusnya senang; bukankah sikap acuh Chanyeol adalah hal yang paling ia butuhkan
setelah kejadian itu? Ia tidak mau merasakan kehadiran Chanyeol lagi; kadang-kadang Baekhyun
ingin kabur dari rumah agar ia tidak perlu repot-repot menahan takut dan khawatir setiap mereka
bertatap-muka. Namun, di balik semua keinginan itu, ia tahu banyak kerinduan yang terpendam
jauh di lubuk hatinya. Dada Baekhyun terasa sangat sesak setiap malam; ia berusaha membuang
jauh-jauh keinginan untuk berada di dekapan Chanyeol yang semakin memuncak. Segala usaha
yang ia lakukan untuk melupakan Chanyeol selalu berakhir sia-sia; Baekhyun kehilangan banyak
waktu belajar dengan merenung sambil mendengar musik guna menenangkan diri. Beberapa
malam tanpa tidur pun ia lalui hingga kantung hitam yang semula tidak ada mulai menampakkan
jejak mereka di bawah matanya.

Terkadang Baekhyun berpikir bisakah hubungan mereka kembali seperti dahulu jika Baekhyun
menghampiri Chanyeol dan langsung memeluknya, membisikkan padanya betapa ia sangat
merindukan Chanyeol. Mungkin Chanyeol akan mendorongnya menjauh. Mungkin juga Chanyeol
malah akan menariknya mendekat, menciumi rambutnya lembut seperti apa yang ia selalu lakukan
kepada Baekhyun selama ini. Baekhyun tidak tahu pasti.

Tetapi khayalan Baekhyun hanya akan berhenti sampai di situ. Sebab ia akan kembali merasa lebih
bersalah setelahnya, menyesali semua perasaan-perasaan aneh yang hinggap di tubuhnya saat bibir
Chanyeol menyentuh bibirnya. Baekhyun lalu akan mengulang kejadian itu terus-menerus di
kepalanya, meracuni diri sendiri dengan sisa-sisa kenangan buruk yang membekas di bibir hingga
membuatnya jauh, jauh lebih jijik terhadap dirinya sendiri. Pada akhirnya, Baekhyun akan tetap
memilih untuk memberi jarak pada hubungan mereka. Entah sampai kapan mereka terus menjauhi
satu sama lain, Baekhyun tak mau peduli.
Hari ini Baekhyun tidak sengaja berpapasan dengan Chanyeol lagi. Mata mereka tiba-tiba bertemu
selama beberapa detik di sela-sela kesibukan kantin, dan Chanyeol adalah yang pertama memutus
kontak mata—ia langsung membuang muka, mengalihkan atensi kepada seorang siswi yang
tengah menjadi bulan-bulanannya beberapa hari lalu. Mengepalkan tangan, Baekhyun kemudian
membawa nampan makan siang ke salah satu meja dan mengambil kursi kosong di sebelah
Joohyun. Ia berusaha mengabaikan sesak yang kembali menyerang dadanya.

Sehun memasukkan sepotong kecil daging panggang ke mulut. "Kenapa sih mereka tidak kapok-
kapoknya menyukai Chanyeol-sunbae?" tanyanya sambil mengunyah, menghancurkan nafsu
makan ketiga kakak kelas di sekitarnya. "Apa mereka lupa bahwa saingan mereka adalah gadis
populer macam Choi Jinri?! Anggota One Million?!" ia pura-pura menghela nafas
terkejut, "Omo?!"

Joohyun mengerucutkan bibir, berakting (gagal) seperti tengah berpikir keras. "Apa kau yakin Jinri
benar-benar kekasih Chanyeol?"

Rotasi mata menjengkelkan andalan Sehun pun dipertunjukkan. "Noona, kau pasti bercanda,"
sindir sang adik kelas, menatap remeh yang namanya baru disebut. "Bukankah aku pernah
memberitahu kalian kalau mereka sudah dekat sejak SMP?"

Minseok menggelengkan kepala, melambai-lambaikan jari telunjuk ke kanan-kiri.


"Narasumbermu tidak terpercaya, Sehun-ssi," katanya, menoleh kepada Baekhyun. "Bagaimana
kalau kita tanyakan pada kakaknya saja?"

Pandangan ketiga orang langsung diarahkan sepenuhnya pada figur Baekhyun yang sedari tadi
menyantap makan siangnya—dua telinga sengaja dibuntukan untuk mendengar percakapan
mereka. Merasa diamati, Baekhyun pun balik menatap mereka datar—mengedikkan bahu tak
peduli. "Aku tidak tahu."

"Dasar tidak berguna," canda Sehun, pura-pura memasang ekspresi serius. Minseok tertawa kecil.
"Kau benar-benar bertengkar dengan Chanyeol-sunbae, ya?"

Menelan kunyahan makanan, Baekhyun cepat-cepat menggeleng. "Kami tidak—"

"Jangan berbohong," Joohyun segera menyahut, mengangkat alis curiga. "Dia bahkan tidak ke
meja kita untuk membawakanmu makanan."

Minseok melipat tangan di dada. "Chanyeol tidak menghampirimu di kelas."

"Kalian juga tidak pulang bersama lagi," Sehun menambahkan; ia kemudian menatap Baekhyun
agak khawatir. "Apa kau masih ingin mengelak?" Baekhyun setengah menggigit bibir, meremas
garpu sedikit keras hingga tangannya sakit. "Hyung, kalau kau tidak keberatan…" sedikit jeda
seraya Sehun memandang Baekhyun serius, "Kau bisa menceritakan masalahmu ke kami."

"Kau tahu kami tidak mungkin menyebarkannya," Joohyun memastikan, memegang lengan
Baekhyun lembut. Baekhyun menelan ludah. "Kami akan berusaha membantu."
"Hyung, kau terlihat stress," Sehun tampak canggung saat mengatakan itu semua—mungkin
karena ia tidak terbiasa mengkhawatirkan sekaligus menasihati; Baekhyun terus menatapnya datar.
"Aku tahu kau suka menyimpan semuanya sendiri, tapi—" ia terbatuk, "kalau kau butuh kami…"
Sehun mengangkat bahu, agak canggung untuk melanjutkan kalimat tersebut namun Baekhyun
mengerti apa yang ia maksud.

Sungguh, Baekhyun harap ia bisa menumpahkan semua perasaannya kepada mereka—


memberitahu detail tentang apa yang terjadi, perasaan-perasaan tak diinginkan yang sering
menghantuinya. Tetapi ia tidak bisa, Baekhyun tahu ia tidak mungkin bisa. Apa yang terjadi di
antara ia dan Chanyeol bukanlah masalah yang dapat dengan mudah ia ceritakan kepada orang
lain—masalah yang hanya bisa ia selesaikan dengan Chanyeol seorang. Baekhyun takut akan
konsekuensi bahwa orang-orang itu malah akan menjauhinya dan sekali lagi, sungguh, Baekhyun
tidak mau itu terjadi. Ia tidak mau merasa lebih kesepian.

Baekhyun tersenyum setengah hati. "Terima kasih," ucapnya, memberikan mereka sebuah tatapan
kosong. "Akan…" ia mengangguk tidak yakin. "…akan kupertimbangkan."

RETURN OF THE DANDELION

Baekhyun tersesat di antara banyak orang; ia terdorong ke sana kemari, berusaha menahan nyeri
di kedua kakinya akibat tak sengaja terinjak. Ia rasa ia benar-benar tersesat sekarang, berada di
tengah-tengah ratusan bahkan ribuan orang—menoleh panik ke mana-mana untuk mencari
seseorang yang ia kenal untuk membawanya pulang. Cuaca siang itu sedikit lebih dingin dari
biasanya, dan Baekhyun mulai menggigil—gigi digertakkan berkali-kali sambil meremas mantel
guna memperoleh kehangatan. Ia harus menemukan seseorang itu, namun masalahnya Baekhyun
bahkan tidak dapat mengingat siapa yang seharusnya ia cari.

Ia melihat roller-coaster bergerak secepat angin ke sekeliling arena, membawa sekelompok orang
yang berteriak sangat keras—mengangkat tangan mereka ke atas untuk menikmati permainan. Ia
melihat beberapa stan-stan kecil penjual berbagai rasa ice cream bertebaran—tersenyum palsu
demi menarik perhatian pembeli. Ia melihat seorang anak kecil yang menangis karena tidak
dibelikan balon. Ia melihat—

Nafas Baekhyun serontak berhenti.

"Chanyeol," ujarnya pelan, sebuah nama yang tidak asing di lidahnya. Seseorang itu memiliki
postur tubuh sangat tinggi; ia mengenakan mantel hitam tebal dan jeans berwarna senada,
disertai sepasang converse hitam-putih usang yang selalu ia pakai. "Chanyeol!" Baekhyun
berteriak lagi, melambai-lambaikan tangan, namun Chanyeol tidak menghiraukannya—ia hanya
berdiri tenang di hadapan pagar pembatas arena roller-coaster dan memandang tertarik kala
permainan itu berlangsung.

"Chanyeol! Chanyeol!" Baekhyun berteriak lebih keras; ia berusaha menembus kerumunan orang
dengan mendesakkan tubuh di antara mereka, tetapi Chanyeol malah terus berjalan—posisinya
semakin menjauhi Baekhyun, memasuki arena roller-coaster tersebut.

"Chanyeol, tunggu aku! Chanyeol—"

Chanyeol tiba-tiba memutar tubuh. Ia menoleh ke arah Baekhyun, mengejutkan seseorang di


kejauhan oleh kekosongan yang menguasai kedua hazel miliknya. Chanyeol membiarkan tatapan
mereka melonggar selama beberapa detik sebelum ia berbalik, melanjutkan langkahnya menuju
arena tanpa menoleh ke belakang sekalipun.

Baekhyun tidak tahu mengapa ia menangis; ia bingung kenapa satu per satu tetes air mata yang
tidak ia harapkan mulai menuruni wajahnya. "Ch-Chanyeol!" ia berteriak sekeras mungkin, tetapi
Chanyeol tidak pernah menoleh. Chanyeol tidak mau menoleh. "Chanyeol!" Baekhyun menjerit,
mendorong semua orang di sekitarnya untuk berlari menghentikan figur tinggi itu.

"Chanyeol!"

Sebuah ponsel Samsung bolak-balik bergetar di atas meja, menambah


kebisingan ringtone komposisi klasik karya Chopin yang otomatis berdering sebagai efek utama
dari alarm tersebut. Baekhyun perlahan mulai memperoleh kesadarannya, mata berkedip-kedip
lemah dan mulut agak menganga. Mendesah kesal, ia menutup wajahnya dengan bantal, bersiap-
siap untuk terjun ke dunia mimpi, tetapi si ponsel brengsek tampaknya tidak berniat mengizinkan
Baekhyun kembali tidur—sebab benda tersebut justru meningkatkan volume suaranya jauh lebih
keras, terus-menerus bergetar hingga Baekhyun nyaris turut serta merasakan getaran itu di
kasurnya. What the.
Mengalah, Baekhyun pun menegakkan tubuh—mengangkat kedua lengan ke atas sambil
menguap, kemudian meraih ponselnya dari atas meja. Ia mengerutkan dahi, mengerjapkan mata
bingung setelahnya—melihat tulisan "STUDY TIME!" berkelap-kelip di bawah jadwal jam alarm.
Menguap lagi untuk yang ketiga kali, Baekhyun melirik sebuah jam dinding bulat sebelah lemari
dan setengah terkejut saat mengetahui bahwa jarum jam malah menunjuk pada angka delapan.
Dengan keadaan di luar rumah yang sangat gelap dan lampu tidur adalah satu-satunya yang
menyala di kamarnya, ia sempat berpikir bahwa sekarang adalah pagi buta. Ia pasti sangat
kelelahan hari ini hingga tak sengaja menambah jam tidur siang.

Membawa ponsel di tangan, Baekhyun keluar dari kamar sedikit malas-malasan—menuruni


tangga sambil menghitung jumlah anak tangganya lalu mengakhiri perjalanan pendek tersebut di
dapur. Ia yakin Chanyeol pasti sempat pulang tadi sore, karena semua lampu telah dinyalakan dan
televisi yang rencananya Baekhyun biarkan menyala guna mengisi keheningan kini dalam keadaan
mati. Ia mengangkat bahu, memutuskan untuk tidak peduli dan mengambil segelas coke di lemari
es. Air yang membasahi tenggorokan sedikit membangunkan Baekhyun dari rasa kantuk; ia
menghela nafas lega, menjilati bibir sebentar, lalu mendudukkan diri pada salah satu kursi—
memandang meja makan dengan ekspresi kosong.

Baekhyun menggigiti bibir. Ia bermimpi tentang Chanyeol lagi barusan—seorang Chanyeol yang
menatapnya tanpa ekspresi dan tak memedulikan Baekhyun. Terhitung sudah seminggu berturut-
turut Chanyeol hampir selalu muncul di setiap mimpinya—hingga Baekhyun sering memaksakan
diri untuk terjaga demi menghindari mimpi-mimpi itu. Terkadang Chanyeol menciumnya,
mengucapkan kata-kata tidak wajar yang membuat darah Baekhyun mendidih. Terkadang
Chanyeol juga malah mencampakkannya—menatap Baekhyun dingin seolah ia membencinya lalu
meninggalkan Baekhyun sendirian begitu saja. Semua mimpi itu menyebabkan Baekhyun
terbangun dengan rasa bersalah dan ketakutan.

Mungkin Baekhyun terlalu memikirkan Chanyeol. Mungkin Baekhyun terlalu merindukan


Chanyeol. Karena perasaan-perasaan aneh yang tidak ia inginkan itu masih sering berkunjung jika
ia bertatap-mata dengan hazel lebar Chanyeol. Perasaan-perasaan itu masih meletup-letup di
dadanya jika ia teringat ciuman Chanyeol beberapa waktu lalu. Perasaan-perasaan itu justru
menjadi-jadi seiring ia memendam semua kerinduannya dalam-dalam.

Suara pelan akan beberapa langkah kaki menghancurkan lamunan Baekhyun. Ia mendongak,
sedikit mendorong kursi ke belakang oleh terkejut saat mengetahui kehadiran Chanyeol di
depannya. Baekhyun pun segera berdiri, mengembalikan kursi ke tempat semula—mengabaikan
kontak mata Chanyeol yang seolah memaksanya untuk balik menatapnya, lalu berjalan sedikit
panik ke tangga. Ia hampir menaikkan satu kaki ke anak tangga pertama ketika seseorang menjegal
pergelangan tangannya dari belakang.

Jemari Chanyeol terasa hangat saat mereka menyentuh kulit Baekhyun.

"Sampai kapan kau akan menjauhiku?"

Suara lembut Chanyeol seketika meruntuhkan keinginan Baekhyun untuk melarikan diri dari lelaki
itu. Keduanya perlahan membalikkan tubuh untuk akhirnya saling bertatap-mata—tak menyadari
bahwa mereka mencuri beberapa detik hanya demi memandangi satu sama lain. Chanyeol
mengeratkan genggamannya di sekitar pergelangan tangan Baekhyun. "Sampai kapan aku harus
mengacuhkanmu?" tatapan Chanyeol sedikit bergetar saat ia mengatakannya, "Apa kita akan terus
bersikap seperti ini selamanya?"

Baekhyun menggerakkan tangannya—ingin melonggarkan cengkraman Chanyeol di sana, namun


Chanyeol segera menahannya—menekan jemarinya lebih kuat. Baekhyun menengadah.
"Tidakkah kau pikir ini sudah terlalu lama?" kata Chanyeol lembut, mengusap kulit Baekhyun
lambat—melemahkan tubuh Baekhyun hingga ia tidak mampu melepaskan tangannya dari
genggaman Chanyeol. "Baekhyun, aku—" ia terhenti, mengerjapkan matanya yang sendu
beberapa kali seakan-akan ia menahan air mata untuk keluar. "—aku tidak—" suara Chanyeol
terdengar semakin pelan; ia tampak kesulitan mengungkapkan kata-katanya, "—tidak dapat
menjauh darimu..."

Baekhyun tertegun. Ia memandang Chanyeol dalam keheningan, sebelum perlahan menyingkirkan


jemari Chanyeol dari pergelangan tangannya. Kulit mereka yang bersentuhan membuat kepala
Baekhyun pening. "Maaf," sebuah kata sederhana itu Baekhyun ucapkan begitu ragu-ragu,
memandangi kontras warna kulit antara jemarinya yang agak pucat dan jemari Chanyeol yang
sedikit memerah karena terik matahari. "Aku tidak bisa."

Chanyeol menatap kosong lantai, kepalanya sedikit menunduk. "Kenapa?" ia bertanya, suara tiba-
tiba menjadi serak. Kepiluan menyelimuti mata Chanyeol saat ia kembali menatap Baekhyun.
"Berapa lama lagi aku harus menunggu?" bibir Chanyeol terlihat sangat kering sehingga ia
berulang-kali membasahinya. "Aku hanya menjauhimu jika aku tahu bahwa kau memang tidak
ingin berbicara denganku…" ia mengangkat tangan untuk menyentuh lengan baju Baekhyun,
meremasnya pelan—berharap bahwa tindakan kecil itu dapat membuat Baekhyun mengerti akan
apa yang tengah ia rasakan. "Apakah itu tidak cukup?"

Baekhyun menggeleng lemah. Ia hendak membuka mulut untuk menyangkal pertanyaan


Chanyeol, namun lelaki itu terlebih dahulu bersuara dengan sebuah pertanyaan yang Baekhyun
coba hindari: "Apa ini gara-gara ciuman itu?" Baekhyun serontak membuang muka, dan Chanyeol
sedikit mencengkram lengan Baekhyun, memandang Baekhyun putus asa. "Apa sekarang kita
akan terus berjauhan hanya gara-gara—" ia tidak melanjutkan perkataannya, justru
menggelengkan kepala tidak percaya—menarik tangannya menjauh dari Baekhyun.

Chanyeol meletakkan satu telapak tangan menutupi seluruh wajahnya, membiarkan keadaan
menjadi terlalu hening hingga hanya terdengar nafasnya yang sedikit memburu. "Kau kekanak-
kanakkan," ujarnya, akhirnya menyingkirkan telapak tangannya dari wajah guna menatap
Baekhyun dengan pandangan menyalahkan—menyulut api yang selama ini selalu mereka hindari.
Baekhyun telah terpancing emosi oleh kata-kata Chanyeol sehingga ia tidak menyadari ketakutan
yang sebenarnya tersirat di balik ekspresi palsu Chanyeol. "Kau membesar-besarkan sesuatu yang
bahkan tidak pantas kau sebut masalah!"

Baekhyun mengernyitkan alis, berusaha menahan emosi yang hendak meledak-ledak dengan
mengepalkan kedua tangannya erat seraya menenangkan pernafasannya kembali stabil. "Kekanak-
kanakkan?" desisnya tidak habis pikir, mengulang pernyataan Chanyeol menjadi sebuah
pertanyaan. Dada Baekhyun naik-turun tidak karuan selagi ia berteriak tertahan, "Apa kau sadar
akan apa yang kau lakukan?!"

Chanyeol menatap Baekhyun dingin, memicingkan matanya tajam. "Itu adalah kesalahan yang
tidak kusengaja!"

Baekhyun harus menengadah untuk membalas tatapan Chanyeol sama dinginnya. Ia mengambil
satu langkah ke belakang, aroma parfum Chanyeol yang dahulu menenangkannya kini justru
menakutkannya. Ia harus menjauh dari Chanyeol. "Sengaja atau tidak, kau tahu itu salah," ia
sedikit tidak berdaya untuk bahkan mengatakan apapun, suaranya menjadi pelan lagi seraya ia
berkali-kali menggelengkan kepala—berusaha untuk menghentikan otaknya dari memutar memori
akan bibir Chanyeol yang meraup bibirnya hati-hati. "Kau adalah adikku…" ia menatap Chanyeol
dengan ekspresi ketakutan itu lagi, ekspresi yang berteriak depresi bahwa ia menginginkan
Chanyeol untuk pergi dari hadapannya. "B-Bagaimana bisa kau—" ia berbisik, menelan apa yang
ia hendak katakan karena ia tidak mau mengingatnya lagi. Baekhyun terus menggelengkan kepala
perlahan. "Chanyeol, apa yang kau pikirkan?!"

Bibir Chanyeol agak bergetar. "Lalu kenapa?" suaranya pecah saat ia berbicara; Chanyeol
melempar tatapannya ke tempat lain. "Kenapa jika aku adalah adikmu?" ia bertanya,
mengembalikan tatapan kepada Baekhyun untuk memaksa yang lebih tua membaca ekspresi lain
yang tersembunyi dalam matanya. "Apa aku dilarang mengungkapkan kasih sayangku
kepadamu?!" serunya tiba-tiba, memerangahkan Baekhyun hingga ia tidak sadar telah mengambil
beberapa langkah ke belakang—bergerak menjauhi Chanyeol. "Baekhyun, aku harus menunggu
bertahun-tahun untuk bisa bertemu denganmu!" ia sebaliknya berjalan mendekati Baekhyun—
meski masih menyisakan sedikit jarak di antara mereka. "A-Apa—apa kau pikir aku akan
membiarkan kita berjauhan hanya karena masalah se-kecil ini?!"

"Ini bukan masalah kecil!" Baekhyun berteriak, tidak sanggup lagi membendung depresi yang ia
alami. Sudah cukup ia menyimpan semuanya sendiri. "Bagaimana jika Ayah tahu?!" suaranya
menggema di ruangan, mengisi keheningan yang mencekik. "Alasan apa yang kau akan jelaskan
padanya?!"

Tatapan sepele yang Chanyeol berikan padanya memercik amarah Baekhyun. "Ayah?" ia berdecih,
mengacak-acak rambutnya seakan ia menganggap bodoh apa yang Baekhyun khawatirkan.
"Kenapa kau menghubung-hubungkan ini dengannya?" Chanyeol menyeringai kecut. "Apa kau
benar-benar berpikir ia akan mengetahui semuanya?!"

Baekhyun membisu seraya ia menatapi Chanyeol. Ia membuka dan menutup mulutnya, perasaan
kocar-kacir tak menentu hingga ia tidak yakin harus berkata apa. Pada akhirnya, Baekhyun tetap
bergumam pelan, mempertahankan kontak mata mereka yang mulai kurang fokus: "Kau gila…"
ia memegang railing tangga, berniat untuk meninggalkan percakapan ini dan kembali ke kamar.
Yang ia inginkan sekarang hanyalah berbaring di atas tempat tidur dan melupakan setiap
masalahnya. "Kau benar-benar menganggap enteng semuanya."

Pandangan Chanyeol agak melembut akan rasa bersalah. "Baekhyun…"


"Apa yang kau lakukan adalah salah besar, Chanyeol," Baekhyun kemudian berkata sangat
pelan—menyamai sebuah bisikan yang pilu; sekujur tubuhnya menegang oleh ketakutan yang
berlebihan. Ia benci betapa ia selalu merasa khawatir setiap saat. "Seorang adik tak seharusnya—
" Baekhyun tidak sanggup menuntaskan kalimatnya karena lehernya serasa dicekik. Ia kehilangan
nafas. "Itu tidak normal…" Baekhyun menoleh untuk menatap Chanyeol takut-takut, dan
Chanyeol menunduk, ekspresinya kosong selagi ia memandang lantai. "Itu salah," Baekhyun
mengeraskan suaranya, "Itu sangat salah."

Ketika Chanyeol sedikit mendongak untuk mengikat kontak mata mereka—tatapan lelaki itu
lemah. "Sudah kubilang, aku tidak sengaja—"

Baekhyun mengangkat tangannya, menghentikan Chanyeol untuk berbicara lebih banyak.


Chanyeol menelan ludah. "Maafkan aku," ia mengucapkannya seolah ini adalah terakhir kalinya
ia akan bertemu Chanyeol. "Aku tidak bisa," Baekhyun meneruskan, menggelengkan kepalanya
perlahan—bersiap untuk berbalik meninggalkan Chanyeol di sana sendirian. "Aku—a-aku
sungguh tidak bisa," ia terus-menerus mengulangi kalimat itu seperti sebuah mantra permanen.
Chanyeol hanya menatap Baekhyun bisu. "Semua ini terlalu berat untukku—" ia menggigit bibir.
"Aku butuh waktu."

Chanyeol langsung menahan pergelangan tangan Baekhyun ketika ia akan berbalik, memutar
tubuh Baekhyun untuk menghadapnya lagi. Ia tertawa pilu. "Waktu untuk apa?" tanyanya,
mencengkram tangan Baekhyun sedikit lebih kuat. Baekhyun tidak menjawab, malah membuang
muka—membiarkan Chanyeol menariknya mendekat kepadanya. "Waktu untuk apa, Baekhyun?"
Chanyeol bertanya sekali lagi, suaranya dikeraskan hingga ia nyaris berteriak, "Jawab aku!"

Jarak yang cukup dekat antara wajah Chanyeol dan wajahnya mencekat nafas Baekhyun,
mempengaruhi jantungnya untuk berdetak semakin kencang—mengacaukan perasaan-perasaan
yang bertengger di dadanya. Ia masih mengacuhkan tatapan Chanyeol, tak berniat melawan
sedikitpun meski genggaman Chanyeol pada pergelangan tangannya tambah mengerat—menjebak
tubuhnya agar patuh di bawah perintah Chanyeol. "Lepaskan aku," Baekhyun berkata, enggan
menatap mata Chanyeol. Ia butuh sendiri sekarang; ia tidak mau berada di dekat Chanyeol lama-
lama, khawatir jika ia akan berakhir menenggelamkan diri di dada lelaki itu oleh rasa rindu yang
memuncak. "Aku ingin tidur."

"Baekhyun!" Chanyeol meremas pergelangan tangan Baekhyun. Ini adalah pertama kalinya lelaki
itu tidak memedulikan permintaan Baekhyun. "Jawab aku dan berhenti mempermainkanku!" ia
berteriak depresi, dadanya naik-turun tidak stabil, dan Baekhyun melihat salah satu tangannya
terkepal begitu erat hingga memutih.

Baekhyun menengadah, menatap Chanyeol tidak percaya. "Aku tidak pernah


mempermainkanmu!" serunya putus-asa, sebab apa yang ia katakan adalah benar. Apa yang
membuat Chanyeol berpikiran seperti itu? Baekhyun mendelikkan matanya tajam. "Apa kau tahu
bahwa aku terus-terusan dihantui rasa bersalah setiap hari?!" ia menjerit, dan tiba-tiba setetes air
mata telah jatuh dari matanya—memaksa Baekhyun untuk mengangkat tangan dan cepat-cepat
menghapusnya. Ia merasa sedikit puas telah mengungkapkan sesuatu yang telah lama ia kubur
jauh-jauh. "Aku sudah cukup depresi memikirkan ini semua!"
Ekspresi Chanyeol tidak berubah. Dengan nafas terburu-buru, ia berteriak, "Rasa bersalah? Omong
kosong!" kata-kata Chanyeol menampar Baekhyun telak—mencengangkan Baekhyun akan betapa
dingin dan mengerikannya mereka terdengar. Mata Chanyeol sedikit memerah sekarang; ia terlihat
seperti berusaha keras menahan emosi dan air mata sekaligus. "Lalu bagaimana denganku?!"
suaranya kembali stabil, namun masih terkandung frustasi di dalamnya. "Apa kau pikir aku tidak
depresi?!" ia terengah-engah, mengambil dan mengeluarkan nafas berkali-kali lalu berseru
lantang, "Aku ingin menjelaskan semuanya, tapi kau selalu menghindar!"

Baekhyun meneguk ludah, membasahi kerongkongannya yang kering akibat kebanyakan


berteriak. Ia kemudian menatap Chanyeol kosong. "Lantas sikap apa yang kau inginkan dariku?"
tanyanya, mengeluarkan tawa mengejek. "Apa kau mengharapkanku untuk bersikap normal
kepada adik kandungku sendiri setelah ia menciumku layaknya seseorang mencium kekasihnya?"
Baekhyun pelan-pelan menggelengkan kepala, mulai berjalan menjauhi Chanyeol. "Tentu saja
tidak mungkin."

Chanyeol tidak bisa berkata apa-apa lagi, tatapan yang tadinya menantang kini berubah menjadi
kepedihan. Baekhyun mengacuhkan pandangan memohon Chanyeol dan menatapnya dingin.
"Aku ingin tidur. Selamat malam."

Tetapi Chanyeol menahannya lagi, melarikan sengatan tiba-tiba di pembulu darah Baekhyun oleh
karena kulit mereka yang kembali bergesekan. Baekhyun bergidik saat Chanyeol melingkarkan
jemarinya di sekitar pergelangan tangan Baekhyun.

"Kita belum selesai bicara."

Baekhyun tetap diam.

Chanyeol menaikkan dagu Baekhyun dengan tangan satunya, mengangkat pandangan Baekhyun
dari lantai untuk menatap matanya. Baekhyun terenyuh ke dalam sepasang hazel tajam Chanyeol
yang bergetar hebat. "Katakan padaku," ia berkata, udara yang ia hembuskan menerpa bulu mata
Baekhyun. "A-Apa—" matanya mengerjap tidak fokus, "—apa yang kau rasakan saat ciuman itu?"
Baekhyun mengalihkan pandangannya ke lantai sebab perasaan-perasaan itu bergejolak
mengacaukan konsentrasinya dan ia harus menyembunyikan mereka dari tatapan menusuk
Chanyeol.

"Baekhyun!" Chanyeol menarik dagu Baekhyun untuk mendongak dan mempertemukan mata
mereka yang sama-sama tegang. Rasa rindu kembali mendominasi saat Baekhyun melihat wajah
Chanyeol dari dekat. "Tatap aku!"

Baekhyun sedikit mendelikkan mata, mencoba melepaskan cengkraman Chanyeol pada


pergelangan tangannya namun tidak berhasil. Chanyeol semakin mengeratkan pegangannya, tak
sadar bahwa ia sedikit menyakiti tangan Baekhyun. "Hentikan pertanyaan bodohmu, Chanyeol!"

Chanyeol tampak lebih dan lebih depresi; ia menatap Baekhyun dengan ekspresi memohon meski
ia tengah berteriak keras, "Jawab aku!"
Baekhyun menatap Chanyeol frustasi. "Kubilang, hentikan!"

Nafas Chanyeol menjadi agak terengah-engah, dan di tengah usahanya untuk mencoba bernafas
lebih tenang, ia masih berseru, "Aku tidak akan berhenti sampai kau—"

"Jijik!" teriak Baekhyun, langsung membungkam mulut Chanyeol sepenuhnya—membekukan


sekujur tubuh lelaki itu. Emosinya meledak-ledak sekarang—seiring dengan terungkapnya semua
yang selama ini selalu ia pendam, merasakan bulir-bulir sesuatu yang panas membasahi wajahnya.
Chanyeol perlahan melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Baekhyun, rahang
mengeras seolah ia tengah ditikam sadis oleh beberapa pisau di perutnya dan ia berusaha keras
untuk menahan rasa sakit dan perih yang ditimbulkan. "Aku jijik, Chanyeol," ia mengulang
kalimatnya lebih jelas, memperhatikan betapa kedua tangan Chanyeol kini mengepal begitu erat.
"Aku jijik dengan diriku sendiri…" Baekhyun terisak pelan melihat tatapan Chanyeol yang
semakin bergetar. "…denganmu."

Chanyeol membuang muka.

"Rasanya aku ingin memutar waktu untuk menggagalkan semuanya," Baekhyun melanjutkan,
tangisannya agak mereda. Ia lantas menatap kosong ke lantai, mengambil jeda untuk menikmati
keheningan selama beberapa detik. "Ciuman itu menghantuiku oleh rasa ketakutan dan
khawatir…" Baekhyun meremas sisi sweater-nya. "Apa yang akan Ayah dan Ibu katakan jika
mereka mengetahuinya? Apa yang harus aku lakukan?"

Chanyeol mengulurkan tangannya untuk menyentuh lengan Baekhyun. "Kumohon, berhenti—"

"Apa yang kau lakukan sudah keterlaluan, Chanyeol!" Baekhyun tiba-tiba berseru, menepis tangan
Chanyeol jijik—pandangan ketakutan ia tancapkan pada wajah Chanyeol, seolah ia tidak sudi
melihat Chanyeol lagi. Lelaki itu perlahan melangkah mundur ke belakang, memberi jarak lebih
lebar di antara mereka. "Kau tahu benar apa maksudku!"

Baekhyun melirik poni Chanyeol yang sedikit basah oleh keringat, menyadari betapa jakun lelaki
itu bergerak terlalu sering di kerongkongannya. Ia tidak dapat membaca arti dari tatapan yang
Chanyeol layangkan kepadanya dalam diam: mungkin kebingungan, frustasi, penyesalan,
ketakutan, kekhawatiran, atau kerinduan, atau bahkan semuanya—Baekhyun tidak mengerti.
Chanyeol terus merenung untuk waktu yang cukup lama, meninggalkan percakapan mereka mati
di tengah jalan, sebelum memulai kembali: "K-Kau—" sebuah jeda ia ambil saat tatapan datarnya
menyambut Baekhyun, "—kau memperpanjang masalah."

Baekhyun sedikit menyandarkan tubuhnya kepada railing tangga, perdebatan ini telah membuat
kepala Baekhyun pusing. "Tidak, Chanyeol," ujarnya, mengelak lembut pernyataan Chanyeol,
"Aku hanya—" ia menggelengkan kepala lambat, memandang Chanyeol tidak percaya. "Kenapa
kau melakukannya?" tanya Baekhyun, memberanikan diri untuk menatap mata tajam Chanyeol—
mencari jawaban yang mungkin tertulis di sana. Namun Chanyeol terlalu lihai menyembunyikan
perasaan yang ia pendam dengan menatap Baekhyun datar. "Apa—a-apa yang ada di pikiranmu—
"
"Aku tidak tahu!" teriak Chanyeol frustasi, begitu tiba-tiba hingga Baekhyun terperanjat. Chanyeol
menggunakan satu tangannya untuk meremas poninya keras, seolah ia ingin merontokkan seluruh
helai rambut tersebut. Baekhyun tertegun ketika Chanyeol mendelikkan mata kepadanya, ekspresi
lelaki itu diliputi emosi yang terlihat persis seperti sebuah penyesalan teramat dalam. "Aku tidak
tahu—kenapa—" Chanyeol tampak kesulitan untuk bernafas. "Harus berapa kali aku bilang bahwa
aku tidak tahu?!" ia membentak Baekhyun sangat lantang, membuat Baekhyun mengeratkan
pengangannya pada railing tangga oleh ketakutan. Hanya deru nafas buru-buru Chanyeol yang
terdengar di tengah-tengah keheningan setelahnya. "Baekhyun, kumohon—untuk sekali saja,
berhentilah bersikap kekanak-kanakkan dan coba pahami aku."

"Apa lagi yang harus aku pahami?" bisik Baekhyun lemah; ia sudah lelah menghadapi argumen
dengan Chanyeol. Ia ingin menyerah. "Selama ini aku telah berusaha untuk menjadi kakak yang
baik bagimu, tapi—t-tapi—kau—" Baekhyun terhenti, sebab ia tidak punya kekuatan untuk
meneruskan perkataannya. Baekhyun lelah menjadi depresi hanya karena satu kenangan itu.

"Kau tidak berhak menyebutku kekanak-kanakkan," lontar Baekhyun, memandang Chanyeol


tanpa gentar meski air mata diam-diam mengancam untuk berjatuhan. "Jika ada seseorang di sini
yang harus disalahkan, ia adalah kau." Baekhyun mengambil nafas, mengalihkan pandangan ke
tempat lain guna menahan air matanya yang hampir merembes. "Kaulah yang menghancurkan
hubungan kita," ujarnya tegas, merasakan sesak yang tambah menjadi-jadi. "Kaulah yang memulai
semua ini dengan satu kesalahan yang kau anggap sepele itu."

"Kaulah yang mempermainkanku," Baekhyun mengakhiri dengan intonasi yang semakin


melembut, pernafasannya menjadi lebih teratur—setidaknya banyak hal yang mengganjal di dada
telah ia keluarkan sekarang. Ia kemudian mengembalikan tatapan dingin kepada Chanyeol,
menunggu lelaki itu untuk mengatakan apapun—menyela Baekhyun dengan argumen baru yang
pintar. Namun yang ada Chanyeol justru terdiam. Ia terlarut dalam keheningan, memberikan waktu
bagi ketegangan di antara mereka untuk berangsur-angsur menyusut.

Puluhan detik kemudian berlalu sangat cepat, tak ada seorang pun yang bersuara, dan Chanyeol
tiba-tiba tersenyum miring—sebuah seringai pahit yang menunjukkan kekecewaan dan sakit hati.

"Apa begini caramu memperlakukan orang-orang di sekitarmu?" suara Chanyeol terdengar parau,
seringaian pahit yang ada pada wajahnya belum terhapuskan. "Kau mendekati seseorang, membuat
ia tergantung padamu sepenuhnya, lalu membuang ia begitu saja saat ia tidak sengaja melakukan
kesalahan kecil?"

Mata Baekhyun melebar atas pernyataan Chanyeol, ia hendak membuka mulut untuk menjawab—
akan tetapi Chanyeol cepat-cepat mendahuluinya, "Baiklah," ia mengangguk singkat, tampak
menyerah untuk melanjutkan pertengkaran mereka. "Jika itu yang kau mau, aku akan
menurutinya."

Chanyeol menyingkir dari hadapan Baekhyun, berjalan lurus menaiki tangga tanpa mengatakan
apapun. Baekhyun segera memutar tubuh ke belakang, memandangi punggung Chanyeol seraya
air matanya tiba-tiba mulai berjatuhan—merasa sangat familiar oleh pandangan akan Chanyeol
yang pergi menjauhi dirinya, tanpa memberikan satu tatapan terakhir dan meninggalkan Baekhyun
sendirian begitu saja. Chanyeol yang sekarang mengingatkan Baekhyun pada Chanyeol yang
sering menghantui mimpi-mimpinya. Lelaki itu kemudian membuka pintu kamarnya,
membantingnya keras, sebelum suasana kembali sunyi seperti semula.

Baekhyun telah memenangkan argumen mereka, namun entah kenapa ia merasa jauh lebih
bersalah.

Chapter 12: Realization

Udara dingin menusuk celah-celah kulit Baekhyun saat ia menempati salah satu spot kosong
langganan di bangku halte bus. Ia kemudian merentangkan kaki ke depan, mengusir rasa pegal
akibat aksi jogging yang baru ia lakukan. Menggosok-gosokkan kedua tangan pada kain tebal
mantel, ia setengah mengerucutkan bibir—memandangi asap tipis yang mengepul dari mulut saat
ia mengeluarkan nafas pelan: hembusan tersebut menyebar lalu menghilang di antara angin sepoi
musim dingin. Baekhyun menggembung-gembungkan pipi, kaki diketuk-ketukkan ke lantai
sambil mengamati sekitar—terlalu canggung dan bingung untuk melakukan apa-apa.

Sampai pada akhirnya rentetan klakson mobil yang terus bersahutan menyadarkan Baekhyun dari
lamunan.

Ia serontak mendelikkan mata, kepala terangkat untuk menoleh ke asal kericuhan barusan—
menatap heran sejumlah mobil yang nyaris mengalami tabrakan beruntun. Beberapa bunyi klakson
lantang diiringi teriakan amarah semakin menjadikan pagi itu lebih ramai dari biasanya; Baekhyun
memindahkan tatapan kepada lampu lalu lintas dengan salah satu alis terangkat. Apakah para
pekerja belum berniat memperbaiki lampu tersebut? Sebab hal yang sama terjadi beberapa waktu
lalu—lampu lalu lintas sedang dalam kondisi rusak sehingga malah mengacaukan jalan, dan ia
pikir semuanya sudah baik-baik saja sekarang, mengingat betapa aman dan tentram keadaan di
sini seminggu terakhir. Meski begitu, seluruh tebakan Baekhyun meleset jauh ketika ia tidak
sengaja menguping pendengaran sepasang kekasih di sebelahnya.

"Dasar bocah tidak tahu malu. Dilihat dari sepeda motornya, kutebak dia adalah orang kaya!"

Diliputi rasa penasaran, Baekhyun lalu mengikuti tatapan menghakimi mereka—diam-diam


melirikkan mata mungilnya kepada sebuah sepeda motor besar familiar yang sering-kali terlihat
bertengger di dalam garasi kediaman Park. Mata membulat oleh terkejut, Baekhyun pun segera
membuang muka pada detik yang sama agar Chanyeol tidak terpancing untuk menatap ke arahnya.
Ia menundukkan kepala, berharap supaya poni agak panjang yang kini mulai menutup mata dapat
menyembunyikan wajahnya dari penglihatan sang adik. Baekhyun memaksakan pandangan untuk
terus terpaku pada converse yang ia pakai, jantung berdegup sangat kencang sepenuhnya
merenggut konsentrasi.

Sebuah klakson lain lalu berbunyi lebih keras, begitu mendadak dan tambah mengejutkan—
otomatis menghancurkan atensi Baekhyun untuk melakukan apa yang seharusnya ia lakukan
hingga ia segera memindahkan tatapan kepada sumber suara barusan.
Bibir Baekhyun terasa agak kaku untuk bergerak ketika ia tak sengaja terperangkap dalam kontak
mata Chanyeol.

Helm hitam yang lelaki itu pakai memang menyembunyikan sekujur kepalanya—membungkus
rambut lembutnya yang selalu Baekhyun kagumi; akan tetapi, tatapan hazel dingin yang terselip
di baliknya sama sekali tidak dapat dihindari—mereka menghadang Baekhyun untuk balik
memandangnya. Sebelum Baekhyun dapat terlebih dahulu membuang muka, Chanyeol telah
terlebih dahulu melakukannya—tiba-tiba menoleh ke arah berlawanan sambil menggerakkan gas
guna melesatkan sepeda motornya secepat mungkin, menuai banyak protes dari orang-orang
sekitar. Baekhyun menghempaskan tubuhnya ke belakang, punggung tersandar lemah pada
bangku selagi ia mengingat-ingat tatapan dingin yang Chanyeol berikan padanya. Ia pun
menyerangai kecil, menahan diri untuk tidak mengeluarkan setetes airmata akibat tusukan tajam
yang seolah-olah menghantam dadanya.

"Baiklah. Jika itu yang kau mau, aku akan menurutinya."

Baekhyun mengepalkan tangan.

Ia semakin muak dengan Chanyeol.

CHAPTER 12

REALIZATION

Liburan musim dingin akhirnya dimulai. Meski pihak sekolah telah diserang sejuta protes dari
kebanyakan siswa akibat aksi pengurangan jatah liburan tahun ini, seluruh staf sama sekali tidak
menghiraukan suara mayoritas dan tetap menjalankan ketentuan tersebut. Sangat tidak adil,
memang; tragedi itu harus terjadi pada tahun pertama (sekaligus terakhir) Baekhyun memasuki
SMA Caspian. Dibanding liburan musim dingin para murid di Amerika yang mungkin mencapai
sebulan lebih, liburan yang SMA Caspian berikan sungguh tidak ada apa-apanya.

Maka tidak heran jika kebanyakan murid segera memanfaatkan liburan pendek mereka dengan
berlibur keluar negeri. Contoh saja, Minseok. Ia senang melakukan travelling sendirian dan
sekarang sedang mengunjungi tiga negara sekaligus di Eropa: Jerman, Swiss, dan Prancis. Di balik
janji-janji palsu bahwa ia akan sering mengabari ketiga kawan terdekat selama trip dua minggu
itu, nyatanya batang hidung si baozi tak sekalipun muncul di group chat sejak seminggu terakhir—
padahal ia sering-kali mengunggah banyak foto pemandangan ke Instagram. Pada liburan kali ini
Joohyun pun juga menghabiskannya di luar negeri. Ia dan keluarga memutuskan untuk
mengunjungi saudara mereka di Amerika—Baekhyun ingat betul gadis agak tomboy itu
memperkenalkan salah satu sepupu lumayan menariknya yang bernama Lee Jongsuk lewat Skype:
seorang Korea-Amerika berusia 23 tahun dari kota Seattle.
Baekhyun dan Sehun mungkin cuma sejumlah kecil dari para murid yang memilih rumah sendiri
(atau Starbucks) sebagai lokasi ideal mereka semasa liburan. Orang tua Sehun harus pergi ke
Busan untuk memantau bisnis depot makanan Cina mereka yang bertambah maju sehingga bocah
malang itu terpaksa ditinggal seorang diri di rumah. Berbeda cerita dengan Baekhyun. Kesibukan
ayah yang memaksanya tinggal sementara di Thailand menyebabkan anak itu kehilangan semangat
untuk berlibur. Waktu 24 jam pun ia hamburkan di dalam rumah untuk praktik memasak, bersih-
bersih, dan menghafalkan naskah—berlatih keras demi kompetisi pidato bahasa Inggris tingkat
nasional bulan depan.

Oleh karena itu, tidak heran jika akhir-akhir ini Sehun sering ditemukan berkeliaran di kediaman
Park—tertidur santai di atas tempat tidur Baekhyun, maupun mengotak-atik lemari es guna
mencari jajanan yang bisa dimakan. "Ketimbang hidup merana dalam kesendirian!" adalah apa
yang ia bersiteguh serukan ketika Baekhyun menilai sikapnya agak sedikit modus untuk dianggap
iseng-iseng belaka. Sehun membawa satu koper besar berisi pakaian pergi sekaligus piyama karena
ia berencana menginap seminggu penuh di rumah sang kakak kelas. Baekhyun tidak begitu
keberatan—justru ia kegirangan mempunyai seorang teman yang bisa ia ejek 24/7. Singkat cerita,
Sehun tidak terlalu menggubris olokan Baekhyun dan malah bersikap lumayan sewenang-wenang
di sana—kecuali jika ada Chanyeol yang mengawasi dari dekat maka tentunya ia tak akan berani
macam-macam.

"Aku kenyang."

Ujar Sehun singkat, menggeser kotak pizza ke arah Baekhyun. Malam itu, ia dan Baekhyun terlalu
malas untuk membeli bahan makanan di supermarket—mereka pun sepakat untuk
menelepon Pizza Hut guna memesan dua kotak pizza berbeda topping sebagai snack tengah
malam. Terduduk di kursi bar dapur sambil menonton Finding Dory dari kejauhan, mereka dapat
melahap semua potongan pizza dalam sekejap. Sehun adalah yang paling rakus di antara
keduanya—memaksakan tiga pizza sekaligus ke mulut dalam sekali makan, dan Baekhyun hanya
menghela nafas terserah ketika Sehun berakting seperti seorang anak kecil yang memasang raut
wajah melas setelah dipaksa makan setengah piring sayur bayam.

Baekhyun menjilat sisa-sisa bumbu di bibir, dahi agak berkerut karena ia menyadari keseringannya
memakan pizza beberapa minggu terakhir. "Lain kali kita harus memesan makanan khusus
vegetarian," saran Baekhyun, lebih mengacu kepada diri sendiri ketimbang si lawan bicara—
mengingat betapa disiplin orang tua Sehun bila itu menyangkut soal makanan sehat. Ibu juga tidak
akan suka jika ia tahu Baekhyun keseringan mengkonsumsi junk
food macam pizza dan McDonald's. "Aku mulai tidak terbiasa makan masakan rumah sejak bibi
Eunji cuti."

Sehun menganggukkan kepala setuju; tampaknya ia lumayan sadar akan kesehatan. "Kalau begitu
kita perlu mengunjungi restoran masakan Jepang milik sepupuku," ia balik menyarankan, modus
promosi terselubung. Terdiam sejenak untuk meneguk setengah gelas air putih, ia kemudian
meneruskan: "Aku bisa meminta diskon lima puluh persen."

Baekhyun hanya menjawab dengan sebuah gedikan bahu.


"Omong-omong," kata Sehun, sesekali menoleh ke belakang untuk menyimak Finding Dory.
Baekhyun tidak merespon apapun terhadap lawan bicara (maklum, ia kelewat fokus pada film),
menarik yang lebih muda untuk akhirnya ikut-ikutan menonton sampai-sampai percakapan mereka
menggantung begitu saja selama beberapa menit. Barulah seusai iklan mengusai layar televisi,
Sehun kembali menatap Baekhyun untuk berbicara lagi, "Kau jadi datang ke pesta tahun baru
bersama Jongin, bukan?"

Baekhyun mengerucutkan bibir. "Asal kau datang saja."

"Bagus," Sehun mengulurkan tangan untuk menepuk jemari Baekhyun berkali-kali. "Aku tidak
ingin merana sendirian di tempat itu."

"Apalagi aku?" Baekhyun membalikkan pertanyaan Sehun dramatis sambil menopang dagu di
telapak tangan. "Sebegitu pentingkah pesta ini sampai semua anak merasa terhormat untuk
diundang?"

Sehun mengambil nafas dalam-dalam. "Kau bisa bilang ini adalah pesta temu-kenal khusus murid-
murid sekolah elit," ia menjelaskan, berekspresi layaknya seorang pro dalam segala hal
menyangkut fakta kehidupan sehari-hari. "Setiap tahun akan selalu diadakan pesta ini agar kita
bisa mengenal satu sama lain lebih dekat," ia lalu menatap Baekhyun agak serius. "'Kita' dalam
arti murid-murid sekolah tertentu saja."

Baekhyun ingin tertawa melihat keseriusan Sehun bila ia tengah menerangkan sesuatu. "Kira-kira
ada berapa sekolah yang diundang?"

Sehun terdiam beberapa detik. "Hanya lima, mungkin."

Baekhyun menganga takjub. "Dan SMA Caspian termasuk dalam list tersebut?" ia mengangkat
dua jempol ke arah Sehun. "Tak kusangka…"

Sehun mengeluarkan tawa mengejek menyadari ekspresi Baekhyun yang lumayan mengandung
sarkasme. "SMA Caspian adalah sekolah terelit di Korea Selatan, okay?" serangnya langsung to
the point, mengerutkan dahi kesal karena Baekhyun malah tertawa. "Jangan samakan kami dengan
sekolah pinggiran seperti SOPA!"

Sebuah bantingan pintu mendadak serontak mengangetkan mereka, lagi-lagi menyebabkan


percakapan mereka untuk menggantung di tengah jalan. Baekhyun langsung membuang muka,
sementara Sehun menoleh ke sumber suara, mulut otomatis terbungkam saat ia melihat Chanyeol
tengah menuruni tangga sembari memainkan kunci sepeda motor di tangan. Wajah lelaki itu sangat
datar; ia menatap lurus ke depan seolah-olah tidak ada satu orang pun di dalam ruangan kecuali
dirinya. Beanie yang lelaki itu kenakan membuat ia tampak lebih muda, namun hal tersebut tidak
dapat mengurangi betapa dingin hazel-nya memandang.

Sehun cepat-cepat berdiri untuk membungkuk sebelum Chanyeol bisa menghilang dari
pandangan, sedangkan Baekhyun terus menundukkan kepala, enggan menangkap satu bayangan
pun akan Chanyeol. "Malam, sunbae," ujar Sehun agak canggung. Lelaki itu bahkan tidak menoleh
kepadanya saat ia membalas sapaan yang lebih muda dengan sebuah anggukan kecil.

Percakapan mereka hanya baru dilanjutkan ketika Sehun mengecek lewat jendela dan
mengkonfirmasi bahwa Chanyeol sudah meninggalkan rumah. "Hebat!" serunya, memutar tubuh
untuk menghadap Baekhyun sambil menggelengkan kepala tak percaya. "Apa sunbae sering ke
luar rumah pagi-pagi begini?"

Baekhyun melirik ke arah jam digital di atas lemari es, ekspresi datar saat ia disambut oleh angka
12:17AM. "Begitulah."

Sehun lalu menghampiri Baekhyun yang masih terduduk di kursi bar dapur. "Berbicara tentang
adikmu," ia berujar, intonasi nada menggebu-gebu, "Aku dengar ia akan ke pesta tahun baru
dengan Jinri-sunbae."

Baekhyun setengah mengepalkan tangan, menyembunyikan kepalan tersebut di bawah meja agar
yang lebih muda tak dapat melihatnya. "Begitu?" ia tidak menatap Sehun saat ia mengangguk
santai, suara terdengar agak serak. "Baguslah."

Sehun mengerutkan alis. Ia kemudian berjalan perlahan mendekati Baekhyun, menepuk-nepuk


bahu yang lebih tua lembut. "Kalian pasti bertengkar hebat," katanya pelan, membuat Baekhyun
mengangkat kepala untuk menatapnya sejenak. Sehun membasahi bibir. "Apapun masalah kalian,
cepatlah berbaikan."

Baekhyun mengamati Sehun yang kini berlalu menuju sofa ruang tengah untuk membaringkan
tubuh di sana—mata langsung terpejam karena kelelahan. Ia terus mengulangi perkataan Sehun
barusan dalam pikiran, ingin menertawai diri sendiri sebab ia tahu itu adalah hal yang tidak
mungkin. Apa yang terjadi di antara ia dan Chanyeol tidak bisa diselesaikan hanya dengan
permintaan maaf semata. Baekhyun tidak akan lengah segampang itu untuk melupakan semuanya.

Ia tahu hubungan mereka tidak mungkin kembali seperti dahulu.

RETURN OF THE DANDELION

.
.

Tinggal seatap tak berarti mereka akan sering menjumpai satu sama lain. Karena sekarang bukan
hanya Baekhyun yang menghindar, Chanyeol juga sengaja ke luar rumah di jam-jam tertentu untuk
menghindari tatap muka dengan Baekhyun. Jarak di antara mereka semakin melebar sejak liburan
musim dingin dimulai. Terkadang Chanyeol tidak pulang selama berhari-hari, seolah hilang ditelan
bumi, lalu ketika Baekhyun tengah menyantap makan pagi, lelaki itu sudah menduduki sofa di
ruang tengah dengan secangkir cappuccino pada genggaman.

Pertengkaran mereka berminggu-minggu lalu adalah terakhir kalinya Baekhyun berbicara dengan
Chanyeol. Bahkan di depan ayah pun, Chanyeol masih menolak untuk menanggapinya. Ia benar-
benar melakukan persis apa yang Baekhyun katakan padanya: menjauhi, memberi jarak di antara
mereka, juga tidak menganggap satu sama lain. Baekhyun harus menahan sesak yang selalu saja
merasuki dadanya ketika Chanyeol terang-terangan membuang muka pada detik mata mereka
bertemu.

"Good morning everyone. My name is Byun Baekhyun and I'm—"

Baekhyun memotong kalimatnya sendiri, melempar kasar dua lembar naskah pidato bahasa Inggris
ke atas tempat tidur. Ia menaruh kedua telapak tangan pada muka, menggunakan salah satu tangan
tersebut untuk menyisir poni di sekitar dahi ke belakang. Memijat hidungnya sekali, Baekhyun
berdiri dari kursi belajar kemudian berjalan keluar kamar sembari menghela nafas frustasi—tak
lupa membawa ponsel dalam saku celana pendek. Siang-siang begini ia yakin Chanyeol tidak
mungkin berada di rumah sehingga Baekhyun bisa leluasa melakukan apa yang ia inginkan tanpa
harus berhadapan canggung dengan lelaki itu.

Namun ternyata anggapan Baekhyun salah besar.

Ia cepat-cepat bersembunyi di balik tembok ketika pemandangan akan Chanyeol berdiri di dapur
menyambut penglihatan. Baekhyun mengerutkan alis, sedikit mendongak untuk mencari tahu—
membungkam mulut serapat mungkin agar ia tidak mengeluarkan suara mencurigakan. Dari
belakang, Baekhyun bisa melihat jelas Chanyeol yang membungkukkan tubuh sebagai usaha untuk
menyalakan kompor gas—menekan-nekan sebuah tombol berulang-ulang. Lelaki itu lalu kembali
menegakkan punggung—menggerakkan kepala ke kanan-kiri guna meretakkan sendi—sembari
berdecak kesal sebab ia tak kunjung berhasil menyalakannya. Baekhyun menahan diri untuk
tersenyum mengamati Chanyeol yang terlihat frustasi.

"Biar aku saja."

Baekhyun tidak tahu dari mana keberanian itu berasal, namun Chanyeol seketika menoleh ke
belakang—ekspresi lelaki itu sangat terkejut. Ia lantas menyingkir saat Baekhyun berjalan
menghampirinya; yang lebih tua secara begitu mudah menekan sebuah tombol pada kompor gas,
menggerakkannya ke samping guna menyalakan api. Baekhyun membasahi bibir gugup,
menghindari tatapan Chanyeol yang benar-benar mengganggu konsentrasi dengan berpura-pura
mengamati peralatan serta bahan-bahan makanan yang tergeletak tak karuan di atas meja.

"Omelette?" ia bertanya, sebab hanya itu hidangan yang Baekhyun sempat ajarkan ke Chanyeol
dahulu. Sesuatu yang sederhana dan sangat gampang dibuat jika sekali-kali Baekhyun sedang
keluar rumah dan tidak ada makanan di lemari.

Yang lebih tua menganggap keheningan Chanyeol sebagai jawaban "ya" atas pertanyaan barusan.
Meletakkan wajan di atas kompor gas, Baekhyun segera mengoleskan mentega pada wajan
tersebut—menunggu beberapa detik hingga mentega tadi meletup-letup. Chanyeol masih belum
menyerah memberikan sebuah tatapan datar di sampingnya sehingga Baekhyun pun sengaja
menoleh tiba-tiba, memandang Chanyeol tidak kalah datar—membuat lelaki itu cukup tercengang
dan cepat-cepat membuang muka. Baekhyun terus terdiam.

Karena semua bahan telah Chanyeol campurkan (meski potongan sayur, tomat, juga kejunya
dalam bentuk tidak teratur), Baekhyun hanya tinggal menuangkan campuran telur itu ke atas
wajan, menunggu bagian belakang omelette agak matang lalu membaliknya ke depan. Ia diam-
diam mencuri pandang ke samping, mengamati Chanyeol yang perlahan menyeduh teh dalam
sebuah mug agak besar. Lelaki itu menambahkan dua sendok gula di sana, cepat-cepat
mengaduknya lalu meletakkan sendok tadi di atas mug. Baekhyun langsung mengalihkan tatapan
ke wajan saat Chanyeol mendadak menoleh ke arahnya.

Yang lebih tua kemudian meraih spatula guna membalik-balikkan omelette sampai kedua sisi
matang sebelum mengangkatnya dari wajan dan meletakkannya ke atas piring. Tanpa mengatakan
apapun, Baekhyun hendak berbalik memunggungi Chanyeol ketika lelaki itu segera menahan
pergelangan tangannya.

"T-tunggu."

Kulit mereka yang bergesekan mengacaukan kesadaran Baekhyun, tetapi ia tetap menoleh—
memperhatikan jemari Chanyeol yang masih menggenggam tangannya, berusaha menutupi
ekspresi gugup yang merusak konsentrasi. Chanyeol mengikuti arah pandang Baekhyun, menelan
ludah seraya ia cepat-cepat menyingkirkan jari-jarinya dari pergelangan tangan yang lebih tua. Ia
terdiam sebentar lalu perlahan mengangkat kepala untuk memandang Baekhyun. Bahkan dengan
sekali menatap, Baekhyun bisa tahu bahwa Chanyeol sedang gugup sekali sekarang.

"Bisakah kau temani aku makan?" ia bertanya, suara begitu serak dari biasanya. Ia setengah melirik
kaku kepada mug tadi. "Aku sudah membuatkanmu teh."

Baekhyun pikir dengan suara seserak itu, Chanyeol akan lebih membutuhkan teh tadi ketimbang
dirinya. Namun karena ia sedang tidak berniat merusak suasana demi keinginan untuk menolak
tawaran itu, Baekhyun akhirnya terpaksa menempati satu tempat duduk di depan Chanyeol—tak
melakukan apa-apa selain menyeduh teh panas kurang manis buatan lelaki itu. Baekhyun tahu
Chanyeol sering-kali memandanginya sekilas di sela-sela makan—mungkin menunggu penjelasan
atau apa, tapi Baekhyun tidak sanggup menatap Chanyeol lebih lama dari beberapa detik. Ia takut
Chanyeol akan mengajaknya berdebat lagi, mengungkit masa lalu yang sama sekali Baekhyun tak
ingin bahas.

"Kapan hasil suneung-mu akan diumumkan?"

Baekhyun harus akui ia sangat bersyukur Chanyeol tidak dalam niatan untuk mengajaknya
berdebat. Meski begitu, ia tetap harus berhati-hati. Lampu kuning wajib terus dinyalakan.

Baekhyun memberanikan diri untuk melirik Chanyeol sebentar. "Bulan depan."

Chanyeol mengangkat kedua alis, memotong omelette menjadi sejumlah bagian kecil. Ia tidak
menatap Baekhyun saat ia menjawab, "Kuharap nilaimu bagus."

"Semoga," Baekhyun langsung menjawab, berharap percakapan ini bisa selesai secepatnya. Segala
pembicaraan bersama Chanyeol biasanya akan berakhir dengan pertengkaran hebat, dan Baekhyun
terlalu malas untuk berdebat. "Terima kasih."

Keheningan total.

Tidak ada yang berani bicara; masing-masing saling mencegah kontak mata—memandang ke
segala arah kecuali satu sama lain. Baekhyun menundukkan kepala, poni sengaja diturunkan untuk
menutupi setengah mata selagi ia berusaha menghabiskan semua isi teh di mug—diam-diam
meruntuki Chanyeol yang tampaknya sengaja menuangkan air panas ketimbang air hangat. Di sisi
lain, Chanyeol terus menyantap makanan dalam diam, mata melekat pada hidangan seraya ia
mengunyahnya pelan—tak sekali pun mencoba untuk melirik ke depan. Satu hal yang Baekhyun
inginkan sekarang hanyalah melarikan diri dari kecanggungan yang semakin membuatnya merasa
tidak nyaman.

"Apa kau sering ke sekolah untuk berlatih pidato bahasa Inggris?"

Baekhyun mendongak, selama dua detik menatap Chanyeol datar atas pertanyaan membosankan
yang lelaki itu lontarkan. Ia hanya setengah mengangguk sebagai jawaban.

"Oh…" Chanyeol memindahkan pandangan ke piring lagi. "Semoga kau menang."

Baekhyun menempelkan bibirnya pada mug, meneguk teh sedikit demi sedikit. "Terima kasih."

Chanyeol memandangi Baekhyun dengan tatapan intens itu lagi sebelum kembali membuang
muka, menjadikan keadaan lebih canggung dari sebelumnya. Baekhyun mengepalkan tangan,
mencari-cari akal untuk mencairkan suasana sambil meneguk setengah gelas teh—menyisakan
sedikit di dalamnya. Ia tidak boleh terlalu cepat menghabiskan teh tersebut sampai setidaknya
mengajak Chanyeol bicara dahulu. Tentu saja ini bukan berarti mereka akan sepenuhnya
berbaikan; Baekhyun cuma ingin memperbaiki hubungan mereka tanpa harus berdebat dan
menunggu salah satu dari keduanya mau menyerah lebih dahulu.
"Kau tahu," Baekhyun mengawali begitu tiba-tiba hingga Chanyeol langsung menatap ke arahnya.
"Akan ada pesta tahun baru besok lusa."

Chanyeol menelan kunyahan kemudian merespon, "Oh, pesta itu…" sebuah tatapan curiga lalu
ditujukan kepada Baekhyun. "Kenapa memangnya?"

Baekhyun harap intonasi nadanya terdengar tenang. "Apa kau datang?"

Chanyeol memasukkan satu potongan kecil omelette ke dalam mulut. Ia mencuri beberapa detik
untuk mengunyah sebelum menjawab, "Mungkin," Chanyeol lantas kembali menatap Baekhyun.
"Kau?"

Baekhyun mengangkat bahu. "Jongin mengajakku."

"Aku tahu," Chanyeol tersenyum tipis setelahnya. "Ia memberitahuku." Chanyeol kembali
menyantap tiga potongan omelette lain, mengunyah mereka lambat—raut wajah menjadi agak
serius. "Apa kau mau datang?"

Baekhyun menggembungkan salah satu pipi. "Entahlah, aku malas."

"Sama," Chanyeol mengeluarkan tawa kecil, memperparah kecanggungan di antara mereka karena
Baekhyun sama sekali tidak tertawa—wajah terpasang oleh ekspresi datar yang agak kaku.
Chanyeol menggigit bagian dalam dari pipinya, menoleh ke direksi lain, sebelum melanjutkan:
"Kau tidak perlu datang kalau kau tidak mau," ia terhenti sejenak, mengembalikan tatapan kepada
Baekhyun lewat kedua hazel yang melembut. "Kau mungkin tidak akan menyukai suasana di
sana."

Baekhyun meremas kain sweater-nya, bibir membentuk sebuah garis lurus tegang. Ia segera
mengakhiri kontak mata, menghindari pandangan mata Chanyeol yang mulai menaikkan detak
jantungnya menjadi tidak teratur. Baekhyun membasahi bibir, mendengarkan bunyi pelan akan
garpu dan sendok yang Chanyeol letakkan dalam bentuk silang di atas piring. Lelaki itu kemudian
membungkuk guna meraih mug teh bekas Baekhyun dan meletakkannya di samping piring kotor
miliknya.

"Biar aku yang cuci."

Baekhyun mengerjapkan mata ke arah mug dan piring yang tengah Chanyeol pegang—menyadari
kehadiran sebuah gelang hitam yang melingkar di salah satu pergelangan tangan lelaki itu.
Membisu, Baekhyun meletakkan kedua telapak tangan pada meja—menjadikannya tumpuan
untuk bangkit dari kursi. Chanyeol masih menduduki tempat yang sama, menumpukkan mug ke
atas piring—menimbulkan bunyi agak gaduh akan bahan kaca yang bertabrakan. Ia hanya baru
berdiri ketika Baekhyun sudah mulai menaiki anak tangga.

"Selamat natal."
Baekhyun langsung menghentikan langkahnya. Mengerutkan alis, ia menoleh ke belakang—mulut
sedikit menganga mendapati Chanyeol yang ternyata telah terlebih dahulu menghadap ke arahnya.
Seutas senyuman yang ia berikan pada Baekhyun terlihat begitu tulus hingga Baekhyun tidak
mampu berkata apapun dan malah mengeratkan pegangan pada railing tangga. Kenapa rasanya
sudah lama sekali sejak ia melihat Chanyeol tersenyum selebar itu?

Chanyeol masih tersenyum meski Baekhyun tidak merespon apa-apa. Ia kemudian memutar tubuh
membelakangi Baekhyun, mengangkat tumpukan peralatan makan kotor dari atas meja menuju
wastafel tempat mencuci piring. Baekhyun terus berdiri di situ, tangan masih menempel
pada railing tangga, selagi ia mengamati Chanyeol dari kejauhan. Lelaki itu menyalakan keran,
menggerakkan spons di sekitar gelas dan piring, dan membasuh mereka dengan air. Rahang
Baekhyun sedikit mengeras.

Lantas kenapa jika hari ini adalah hari Natal? Baekhyun tidak peduli. Apakah Chanyeol berniat
untuk berbuat baik dengannya? Tidakkah Chanyeol tahu bahwa hubungan mereka sudah berada
dalam ujung tanduk? Kenapa ia harus datang dan mengobrak-abrik perasaan Baekhyun, membuat
Baekhyun bingung akan sikap apa yang harus ia tunjukkan kepada Chanyeol? Kenapa ia sepertinya
menganggap perlakuan kecil Baekhyun sebagai sesuatu yang spesial? Kenapa ia harus membuat
Baekhyun terus dihantui oleh rasa bersalah?

Baekhyun takut Chanyeol menjadi salah paham.

Ia benar-benar takut Chanyeol mulai beranggapan bahwa hubungan mereka telah baik-baik saja
sekarang.

Baekhyun tersadar dari lamunan bertepatan dengan Chanyeol yang membalikkan tubuh untuk
menaruh piring ke dalam lemari. Mata lelaki itu kemudian sedikit melebar melihat kehadiran
Baekhyun disana. "Baekhyun?" ia mengerutkan dahi. "Kenapa kau masih berdiri di situ dari tadi?"

Katakan, Baekhyun. Katakan padanya agar ia tidak salah paham.

Baekhyun menggigit bibir.

Chanyeol mulai berjalan menghampiri Baekhyun, tatapan menunjukkan sedikit rasa gugup dan
salah satu tangan mengepal erat pada kain celana. Suaranya agak pecah saat ia berkata, "Apa kau
baik-baik saja?"

Jelaskan padanya bahwa apa yang kau lakukan tadi bukan apa-apa.

Baekhyun menelan ludah. Chanyeol hendak membuka mulut untuk bertanya lagi ketika Baekhyun
cepat-cepat memotong, "S-selamat natal."

Chanyeol mengangkat kedua alis bingung.

Aku tidak bisa.


Baekhyun menekankan pegangan pada railing tangga semakin erat.

Aku tidak bisa mengatakan apa yang seharusnya aku katakan.

Baekhyun kembali menelan ludah, mengambil satu langkah ke belakang guna menjauhi Chanyeol
karena aroma parfum lelaki itu mulai menghipnotisnya untuk mendekat. "Selamat natal," ia
mengulang kalimat tadi lebih jelas, berusaha mati-matian untuk mempertahankan tatapan mata
dengan Chanyeol meski jantungnya melompat-lompat tidak karuan di dalam dada. "K-Kau—kau
harus mengajak teman-temanmu makan malam hari ini."

Chanyeol tersenyum lagi, kali ini lebih lebar dari sebelumnya. Dengan sangat ragu-ragu, ia
mengulurkan tangan untuk mengacak-acak rambut Baekhyun lembut. Sentuhan itu menyalurkan
getaran ke pembulu darah Baekhyun, meninggalkan kepala Baekhyun pening dan tubuh Baekhyun
hangat. "Terima kasih," ia membiarkan tangannya menyentuh rambut Baekhyun selama beberapa
detik, menunggu Baekhyun untuk menepis tangannya—namun ketika Baekhyun hanya diam saja,
Chanyeol pun memberanikan diri untuk menggerakkan jemarinya di sekitar rambut Baekhyun,
mengelusnya sebentar. Ia menatap Baekhyun dengan sebuah senyuman yang sama lebarnya. "Kau
juga."

Baekhyun masih terdiam kaku di posisi yang sama bahkan setelah Chanyeol telah memasuki
kamar—pintu ditutup lebih pelan dan lembut dari biasanya. Ia ingin tersenyum. Ia ingin berteriak
sekeras mungkin oleh senang. Ia ingin menarik Chanyeol ke dalam pelukannya, memaksa yang
lebih muda untuk terus memainkan rambutnya karena cara Chanyeol memperlakukan dirinya
selalulah lembut dan menenangkan. Ia tidak pernah merasa sesenang ini selama berminggu-
minggu terakhir.

Ini salah, sebuah suara dalam otaknya memperingatkan—akan tetapi Baekhyun tidak mau
mendengarkannya. Ia terlanjur tersenyum sangat lebar. Ia terlanjur menyerah kepada perasaan-
perasaan aneh yang selama ini ia paksa untuk hindari. Mungkin kelak saat ia mengetahui apa arti
sesungguhnya dari perasaan-perasaan aneh tersebut, Baekhyun akan menyesali keputusannya.
Namun untuk sekarang, ia sungguh tidak peduli.

Seperti yang ia bilang tadi, Baekhyun tahu hubungan mereka tidak akan bisa seperti dahulu.

Namun salahkah ia jika ia mengharapkan yang sebaliknya?

RETURN OF THE DANDELION


.

Gedung acara pesta tahun baru ternyata bukan benar-benar sebuah "gedung."

Nyatanya, panita acara tersebut menyewa khusus sebuah klub jazz terkenal di Seoul sebagai tempat
pelaksanaan acara. Hilton's adalah sebutan asli dari klub itu, huruf tercetak dalam
model Blackladder ITC yang bersinar terang di puncak atap. Sebuah
kertas HVS bertuliskan "INVITATIONS ONLY – 2016 MOST GLAMOUR NEW YEAR'S
PARTY" tertempel pada pintu masuk—wilayah itu dikelilingi oleh sejumlah penjaga keamanan
berpakaian serba hitam yang Baekhyun biasanya lihat di film-film action. Arsitektur klub itu
tampak elegan dari luar, gedung tiga lantai dengan pewarnaan kekinian: hitam-keemasan disertai
sebuah papan iklan besar yang mempromosikan bir Guinness.

Baekhyun menggunakan jendela mobil Jongin sebagai media untuk mengaca. Ia menggeser
poninya ke samping, mengeluarkan sebotol mini hair spray dari saku lalu menyemprotkannya ke
rambut—menata poni tersebut sampai rapi. Setelah dirasa sempurna, Baekhyun mengangguk puas
dan memasukkan botol itu kembali ke saku. Membungkuk, Baekhyun kemudian mengecek
keadaan eyeliner yang tadi ia lukiskan disekitar mata sekaligus memastikan make-up tipis yang ia
aplikasikan masih layak dilihat. Jongin menahan tawa mengamati si sunbae.

Baekhyun melirik Jongin sinis, mendelikkan mata bercanda. "Jangan tertawa!" serunya, menunjuk
jari telunjuk pada wajah sang adik kelas.

Jongin memegang telunjuk Baekhyun, menarik Baekhyun mendekat lewat jari lentiknya itu
kemudian meletakkan kedua tangan pada bahu yang lebih tua. Baekhyun harus mendongak untuk
menatap Jongin. "Hyung, masuklah lebih dahulu," ujarnya, tersenyum unjuk gigi. "Aku mau
merapikan rambut sebentar."

Suasana di dalam tidak jauh dari ekspektasi Baekhyun: banyak lampu berkelap-kelip di mana-
mana, seorang DJ terkenal (Zhang Yixing atau siapapun namanya, ia tidak peduli) memutar remix-
remix lagu masa kini, ditambah sekumpulan murid tak dikenal berpakaian elegan berkelas. Mata
berlapis eye-liner Baekhyun perlahan menyusuri ruangan, mencari-cari spot yang pas untuknya
bermain anti-sosial—alias menjauhkan diri dari ancaman para pemabuk di bawah umur yang
membahayakan. Ia mengetuk-ketukkan sepatu ke lantai tidak sabaran, setengah menjinjit untuk
mempermudah akses baginya menjelajahi keseluruhan tempat—namun tampaknya ia sudah cukup
terlambat untuk melakukan reservasi. The fuck.

Tiada angin tiada hujan, pria bertubuh tinggi mendadak muncul di hadapan Baekhyun,
menghalangi observasi lanjutan yang Baekhyun hendak laksanakan. Aroma terlalu maskulin
parfum yang menguar dari tuxedomahal pria itu mengganggu penciuman Baekhyun, memberi efek
migrain tambahan ke kepala. Ia membungkuk kecil sambil tersenyum tampan, dan jika mereka
tidak bertemu di tempat ini, Baekhyun mungkin akan terjerat ke dalam pesonanya. Sayang,
Baekhyun sekarang tidak berada dalam suasana hati untuk berkenalan dengan siapapun.

Pria itu belum menyerah sampai ia mendapat perhatian Baekhyun. "Baekhyun-sunbae?"

Oh, orang ini tahu namanya. Whatever, Baekhyun tidak peduli. "Halo," sapanya, memaksakan
sebuah senyum ramah. Pria itu menyeringai lebih lebar—sekilas terlihat tampan, namun entah
kenapa Baekhyun menganggap seringaiannya agak janggal. Baekhyun lalu menggerakkan tangan
ke samping, memberi sinyal pria itu untuk menyingkir. "Maaf, aku ingin lewat."

Pria itu tidak menghiraukan permintaan Baekhyun, justru merecoki: "Sunbae baru datang?" ia
bertanya, masih menghalangi Baekhyun untuk pergi. "Kenapa terburu-buru?" ia mengulurkan
tangan ke kiri, mempersilahkan Baekhyun untuk duduk pada sebuah meja khusus sekumpulan
lelaki asing yang ternyata sudah menontoni mereka sejak tadi sambil tertawa mengejek. Baekhyun
merasa terancam. "Bergabunglah dengan kami sebentar. Namaku Kang—"

Seseorang merangkul bahu Baekhyun dari belakang, menarik Baekhyun menjauhi pria itu.
Baekhyun menoleh untuk melihat Jongin yang menyeringai jahil ke arah pria itu. "Halo, Kang!"
sahutnya riang; pria itu cuma menatapnya gusar—mendelikkan mata mematikan kepada sang adik
kelas. Jongin lalu mengangkat tangan Baekhyun untuk melambaikannya tepat di depan lelaki itu.
"Selamat tinggal!"

Menerobos ratusan orang di tengah klub, Baekhyun dapat mendengar ejekan yang dilemparkan
teman-teman pria itu dari kejauhan. Ia sempat menoleh ke belakang, memandang takut-takut pria
itu yang masih mengamati mereka dengan ekspresi kesal. Jongin menggenggam lengan Baekhyun
erat, menuntun yang lebih tua berjalan melewati desakan tubuh banyak orang—mendorongi
sekelompok orang itu santai agar mereka tidak berani berlaku macam-macam pada Baekhyun.
Mereka baru bisa bernafas lega saat lautan orang itu membawa mereka kepada sebuah bar lumayan
jauh dari lantai dansa—satu-satunya tempat yang sekiranya nyaman untuk Baekhyun: sepi dan
jarang menjadi tongkrongan orang-orang.

Baekhyun memandangi Jongin yang sedang menyalakan ponsel. "Kau kenal anak tadi?"

"Kang Seolguk?" Jongin menekan suatu tombol dalam ponsel. "Ya, lumayan."

Kang Seolguk? Baekhyun bersumpah ada sesuatu yang familier dari nama itu. Tak tahu di mana
ia pernah mendengar nama tersebut; ada kemungkinan besar Sehun sempat menggosipkan pria itu
dahulu. Pastinya seorang anak populer, dinilai dari betapa tampan wajahnya.

Jongin menepuk bahu Baekhyun sekali. "Apa kau keberatan jika aku pergi sebentar?"

Baekhyun mengerutkan dahi, mengamati Jongin yang sudah terlanjur berdiri dan bersiap-siap—
buru-buru meluruskan lipatan tak merata pada jas yang ia kenakan. "Ke mana?"
"Menjemput temanku," Jongin menjawab sambil menggerakkan jemari di atas layar ponsel seperti
tengah mengetik sesuatu. "Kau kenal Joohyuk, bukan?"

Baekhyun cuma menatap Jongin. "Baiklah, hati-hati."

Jongin melambaikan tangan. "Kaulah yang hati-hati, hyung. Aku tidak akan lama-lama."

Baekhyun menghela nafas, menontoni Jongin yang secara tidak manusiawi menerobos segerombol
orang di lantai dansa—mendorong mereka kasar jika mereka tak kunjung menyingkir. Orang-
orang itu kebanyakan terhempas ke lantai, menumpahkan minuman ke baju mereka dan tidak bisa
berbuat apa-apa untuk melawan—karena seseorang yang menyebabkan kekacauan itu adalah si
seram Kim Jongin. Menggeleng kecil, Baekhyun memperbaiki posisi duduknya di atas kursi tinggi
depan bar, menyilangkan kedua kaki santai sambil menekan tombol di samping ponsel untuk
membuka kunci. Sebuah cuplikan pesan KakaoTalk Sehun muncul di layar, melakukan spam di
ruang chat mereka—berulang-ulang menanyakan jika Baekhyun sudah sampai di klub atau belum.
Baekhyun sengaja tidak membalas.

Meski mata sedang ditujukan pada layar ponsel, keempat indra Baekhyun yang lain masih
berfungsi sangat baik untuk bisa merasakan seseorang yang diam-diam menghampirinya dari
belakang—auranya tak tahu kenapa membuat Baekhyun merinding. Ia menelan ludah,
menyiapkan mental kali-kali seseorang itu adalah Kang Seolguk dan mengeratkan genggaman
pada ponsel—bersiap-siap melemparkan bekas gelas wine terdekat ke wajah pria mengerikan itu.
Baekhyun memang bukan seorang petinju atau atlet taekwondo handal, tapi soal lempar-melempar
barang… ia adalah jagonya. Teman-teman di sekolah lamanya saja mengenal betul sikap aneh
Baekhyun satu itu.

"Rambutmu bagus."

Baekhyun mengerjapkan mata ke layar ponsel, mendongak dari sana untuk mendapati seorang
lelaki tinggi terlalu familiar dengan rambut keperakan: poni depan disisir ke belakang menjadikan
penampilan lelaki itu terlihat sangat tampan. Baekhyun setengah menganga, menujukan
pandangan dari bawah ke atas—berulang-ulang seperti itu, memandangi tidak percaya
dalaman collar hitam pekat dibalut oleh jas biru gelap yang lelaki itu pakai. Telinganya yang
menyerupai kuping makhluk fiksi goblin memang agak mengganggu penglihatan, namun
Baekhyun anggap itu sebagai salah satu feature spesialnya. Lelaki itu hanya tersenyum kaku
melihat reaksi si lawan bicara.

Baekhyun menatap lelaki itu curiga, satu alis terangkat. "Chanyeol?"

Chanyeol menepis sedikit debu di sekitar jasnya. "Apa aku terlihat aneh?"

Baekhyun otomatis menggeleng. "Rambutmu bagus sekali," ia tersenyum kecil. Mereka belum
dalam tahap cukup akrab untuk bisa bercanda dan memuji satu sama lain seluwes dahulu, jadi rasa
canggung itu tetap ada ketika Baekhyun keceplosan memuji Chanyeol. "Apa cat rambutmu
permanen?"
Chanyeol menggeleng. "Memalukan jika aku membiarkan cat rambut ini permanen," jawabnya
sambil memainkan jari di atas bar—menempati tempat duduk yang dibatasi oleh dua kursi di
antara mereka. Baekhyun tidak heran jika Chanyeol memilih untuk menjaga jarak; meski
hubungan mereka sudah agak membaik sejak percakapan siang itu, mereka belum cukup terbiasa
untuk bisa menjadi dekat seperti dahulu. Baekhyun-lah yang masih membatasi hubungan mereka
sampai pada tahap tertentu—bahkan sehari setelah mereka "berbaikan", Baekhyun tidak
menghiraukan Chanyeol dan hanya mau mengobrol jika Chanyeol yang terlebih dahulu
mengajaknya bicara. Chanyeol, di sisi lain, kelihatannya masih merasa terlalu canggung untuk
mengobrol jadi mereka cuma sekadar bertegur sapa biasa saja.

Sang adik menatap sekitar sejenak. "Di mana Jongin?"

Baekhyun menggembungkan salah satu pipi. "Dia pergi menjemput Joohyuk."

Mengangguk-angguk santai, Chanyeol meneruskan: "Sehun?"

"Sepertinya ia dalam perjalanan," jawab Baekhyun sembari pura-pura memainkan ponsel sebab
suasana di antara mereka menjadi lumayan canggung. Chanyeol tidak merespon apa-apa.

Mereka lantas terdiam, mengabaikan tatapan satu sama lain lagi dan mengamati sekitar sembari
memegang ponsel masing-masing. Baekhyun mendengar samar-samar teriakan lengking seorang
gadis, memanggili Chanyeol dari kejauhan, dan Baekhyun sempat berpikir itu adalah seorang
penggemar jika bukan Chanyeol yang menghela nafas frustasi sambil membisikkan kata-kata kotor
untuk gadis itu. Baekhyun mengikuti arah pandang Chanyeol, menatap sedikit aneh seorang gadis
berpakaian dress hitam ketat di atas lutut. Baekhyun harus akui ia sangatlah cantik layaknya tipikal
gadis berkelas pada umumnya: rambut panjang kriting se-lengan dan kulit putih pucat yang
terawat. Ada sesuatu yang familiar mengenai gadis ini.

"Chanyeol!" ia berteriak lagi begitu ia menghampiri Chanyeol, "Apa yang kau lakukan—" ia
berhenti bicara setelah ia tak sengaja menoleh ke arah Baekhyun—mulut menganga berlebihan
sembari mengamati Baekhyun dari atas ke bawah. Baekhyun sedikit menganga, langsung
menyadari bahwa gadis cantik di hadapannya adalah seorang Choi Jinri yang sering-kali muncul
dalam anggota kelompok tari terkenal One Million di YouTube. "—astaga!" ia tiba-tiba tidak
menghiraukan Chanyeol dan mendekati Baekhyun, ekspresi berbunga-bunga. "Kau Baekhyun-
sunbae, benar?" ia setengah menjerit, "Aku sudah banyak mendengar tentangmu."

Chanyeol menatap gadis itu dingin. "Jinri, pelankan suaramu."

Baekhyun mengerjapkan mata selagi gadis itu membungkuk sopan—benar-benar tak menganggap
eksistensi Chanyeol. "Namaku Jinri," ujarnya, "Choi Jinri. Kelas sebelas bersekolah di SMA St.
Clara."

Baekhyun terpaksa tersenyum, antara tercengang dan agak malas untuk berkenalan. "Halo, aku
Baekhyun."
Jinri memandang ke kursi kosong sebelah Baekhyun. "Kenapa sunbae sendirian?" ia bertanya,
menaikkan kedua alis heran. "Kau bisa bergabung dengan kami, kalau kau mau."

Chanyeol menatap Baekhyun sedikit intens hingga Baekhyun merasa tidak nyaman. "Tidak usah,"
tolak Baekhyun sopan, menggelengkan kepala pelan sembari menghindari kontak mata Chanyeol.
"Aku sedang menunggu adik kelasku."

"Adik kelas?" Jinri bertanya lagi, menggerakkan alis ke atas-bawah jahil. "Kang Seolguk, ya?"

Chanyeol menghela nafas mendengar ini, sementara Baekhyun melambaikan satu tangan. "Bukan,
bukan," ia langsung menepis rumor itu. "Aku tidak mengenal Kang Seolguk."

Jinri mengerucutkan bibir; ia menyingkirkan rambutnya ke belakang. "Kalau begitu,


apa sunbae mau kukenalkan? Aku bisa—"

Chanyeol menarik lengan Jinri menjauhi Baekhyun, memberi jarak lebar di antara keduanya. Ia
mengarahkan kepala ke kanan, di mana sekelompok orang telah melambai kepada mereka.
"Teman-temanmu sudah menunggu," ujar Chanyeol datar, mendorong-dorong Jinri untuk lekas
menyingkir.

Jinri tertawa, memukul Chanyeol main-main. Baekhyun menyadari betapa akrab mereka berdua
ketika Chanyeol balik menendang sepatu Jinri pelan. "Kau menyeramkan sekali kalau marah," ia
memberitahu Chanyeol, bibir mengerucut yang agak membuat Baekhyun risih. Jinri kemudian
menatap Baekhyun sekilas. "Kami pergi lebih dahulu."

Chanyeol membiarkan dirinya diseret meninggalkan bar oleh Jinri, gadis itu menggenggam
pergelangan tangannya erat. Chanyeol lalu menoleh ke belakang, menatap Baekhyun dengan
sebuah ekspresi yang menunjukkan rasa tidak nyaman selagi ia berbisik, "Sehun ada di
belakangmu."

Chanyeol sama sekali tidak berbohong sebab bertepatan pada detik-detik menghilangnya ia dan
Jinri ke lantai dansa, Sehun mendadak muncul di hadapan Baekhyun—sang adik kelas
mengenakan sweater biru muda bermotif salju dengan dalaman kemeja berkerah warna merah
muda. Baekhyun mengamati penampilan anak itu aneh, mengerutkan dahi atas pilihan pakaian
yang Sehun pilih untuk pesta formal seperti ini. Ia lebih banyak mengaplikasikan make-up dari
Baekhyun, menjadikan mata anak itu tampak indah dan besar dari ukuran normalnya. Baekhyun
harus akui kemampuan eyeliner Sehun tidak kalah dengan para gadis disini.

Si adik kelas lalu menduduki sebuah kursi sebelah Baekhyun. "Kau baru berkenalan dengan Jinri-
sunbae?!" ia meletakkan telapak tangan pada mulut seakan menahan diri untuk tidak fanboying.
"Keren!"

Baekhyun tidak menghiraukan Sehun, memandangi Jinri dan Chanyeol yang masih berdiri di
tengah lantai dansa. Chanyeol sesekali mengangguk pada apa yang Jinri katakan, sedangkan gadis
itu terus merangkul Chanyeol sedikit mesra. Baekhyun pikir mereka cocok menjadi sepasang
kekasih: yang satu tampan dan yang satu cantik. Setidaknya Jinri tidak semanja dan
menjengkelkan yang Baekhyun sempat duga.

Ia menoleh kepada Sehun. "Di mana Zitao?" ia berbasa-basi, tak sengaja menghentikan percakapan
singkat antara Sehun dan seorang bartender tampan bernama Mark Lee. Membungkuk
kecil, bartender itu lantas undur diri sebentar untuk membuat minuman. Baekhyun berbicara lagi,
"Bukankah kalian berangkat bersama?"

"Memperbaiki mobil atau apalah," Sehun mengedikkan bahu. "Bukan urusanku."

Baekhyun menganga sejenak, takjub akan sikap tidak tahu diri sang adik kelas. "Wow," ia akhirnya
berkomentar, menirukan kebiasaan Sehun untuk bertepuk tangan tanpa suara. "Jadi kalian benar-
benar berangkat bersama…" Baekhyun memperpanjang pengataan kalimat terakhir. "Kupikir
kalian sudah putus."

"Memang," Sehun mengiyakan santai, lalu mengangkat tangan untuk memanggil bartender tadi.
"Permisi, bisa kau buatkan aku segelas jus jeruk? Terima kasih."

Baekhyun menunggu bartender itu berlalu baru ia melanjutkan interogasi, "Kurasa Zitao masih
menyukaimu."

Sehun mengerucutkan bibir, ekspresi mengatakan bahwa ia tengah berpikir keras sambil
mengangkat bahu malas. "Lalu?" ia balik bertanya dengan intonasi nada menjengkelkan. "Bukan
urusanku." Bartender tadi kemudian menghampiri Sehun, membawa segelas jus jeruk pesanan
anak itu di atas nampan dan meletakkannya pada meja. Sehun tersenyum tipis kepadanya dan
melanjutkan, "Lagipula dia akan pindah ke Beijing semester depan. Aku tidak berniat menjalin
hubungan dengan orang yang tidak bisa kumanfaatkan."

Baekhyun melempar tatapan sangat menghakimi kepada Sehun. "Yah, kau jahat sekali."

Sehun menunduk untuk meminum setengah gelas jus jeruk tersebut sekaligus. "Jahat apanya?" ia
berkata enteng, "Ada kalanya kau harus mengakhiri suatu hubungan yang sekiranya akan
mengalami stagnasi simbiosis komensalisme."

Baekhyun memutar mata dan Sehun segera mendelik tajam. "Aku bersumpah akan mencongkel
matamu suatu hari nanti."

"Chanyeol tidak akan senang jika ia mendengar pernyataanmu, hoobae."

Sehun tersedak. Baekhyun menahan tawa menyaksikan kegagalan Sehun dalam


mempertahankan image keren yang berusaha ia pajang permanen setiap ia bertemu Jongin. Sehun
kemudian membuang muka, mengambil tissue dari saku untuk mengelap air jus yang menyebar
ke hidung—mulut komat-kamit dan wajah semerah tomat. Jongin juga tampak agak salah tingkah,
tapi ia berhasil menutupinya dengan cukup baik.
Baekhyun tertawa datar untuk memecah suasana yang menjadi canggung setengah mati. Ia
bagaikan sebuah tembok pemisah antara Jongin dan Sehun. "Di mana Joohyuk?"

Jongin mengangkat bahu. "Entahlah," ia melirik ke sekitar. "Ia menghilang." Lelaki jangkung itu
terdiam sejenak sebelum ia menatap Baekhyun semangat. "Hyung, mau berdansa?"

Baekhyun memandang lautan manusia di lantai dansa itu jijik. "Tidak, terima kasih."

Jongin mengerutkan bibir, menarik-narik lengan Baekhyun layaknya seorang anak kecil.
"Ayolah, hyung! Kau tidak seru!"

Baekhyun memukuli pelan tangan Jongin yang masih betah menarik-narik lengannya. "Memang
tidak seru."

Tatapan kesal Jongin hanya ditanggapi senyuman jahil oleh Baekhyun. "Hyung!" ia mengacak-
acak rambut frustasi, memandangi lantai dansa yang semakin ramai akan banyak orang, sebelum
akhirnya menoleh kepada sang mantan. "Sehun, bagaimana denganmu?"

Yang namanya mendadak disebut hampir tersedak lagi. "Huh?" ia memandang Jongin sekilas.
"Bagaimana apanya?"

Jongin tidak berani menatap Sehun saat ia berujar canggung, "Apa kau mau berdansa denganku?"

Sehun membisu. Ia melirik Baekhyun beberapa detik, meminta isyarat pertolongan, namun
Baekhyun sengaja mengalihkan pandangan ke tempat lain. Sehun pun menggertakkan gigi gusar,
wajah tambah memerah, lalu menatap Jongin kaku sambil menggumam: "B-Baiklah."

DJ internasional Zhang Yixing memutarkan remix lebih heboh: sebuah mashup asyik
antara Boombayah dan Fantastic Baby—suara bergema begitu keras lewat puluhan speaker di
sekitar ruangan; memancing semua orang untuk pergi ke lantai dansa dan menggoyang-goyangkan
tubuh mereka di sana. Jongin dan Sehun telah menghilang dari pandangan Baekhyun,
menggabungkan diri bersama semua orang di lantai dansa utama. Sama halnya dengan Chanyeol
dan Jinri; kedua orang itu sudah tidak terlihat lagi sejak Sehun mengajaknya bicara setengah jam
lalu. Di mana mereka? Baekhyun tidak dapat mengontrol diri untuk menangkal rasa penasaran.

Bartender laki-laki berpasangkan name-tag Cha Hakyeon sedang mengelapi meja bar ketika
Baekhyun menoleh kepadanya. "Permisi," kata Baekhyun pelan, setengah menunduk. Hakyeon
segera berhenti bersih-bersih untuk menanggapi Baekhyun. "Bisa kau tunjukkan padaku di mana
toiletnya?"

Jeritan keras dari orang-orang di lantai dansa memaksakan Hakyeon untuk menambah volume
ekstra dalam berbicara, "Di sana." Ia lalu menunjuk pada sebuah ruangan dekat panggung DJ yang
terdapat papan "TOILET" di atasnya.

Baekhyun langsung mengerutkan dahi. "Uh," ia terlalu malas untuk menyeberangi segerombolan
orang hanya demi pergi ke toilet.
Tertawa hambar melihat ekspresi sang pelanggan, Hakyeon pun memberi solusi lain: "Kalau kau
mau, ada toilet lain di luar," ia kemudian mengintruksikan peta toilet itu lewat gerakan tangan,
"Kau berjalan lurus saja memasuki pintu keluar lalu belok kanan. Toiletnya berhadapan persis
dengan pos satpam."

Baekhyun beranjak dari tempat duduk. "Terima kasih."

Bahkan tanah di luar gedung pun masih tertular getaran musik menggelegar yang dihasilkan oleh
puluhan speaker dari klub, pikir Baekhyun saat ia telah menginjakkan kaki di halaman luar. Ia
menggelengkan kepala, bibir berkerut selagi ia memandang ke sekeliling. Ada sebuah taman kecil
di halaman samping gedung itu, banyaknya pepohonan tinggi mengitari menjadikan taman
tersebut terlihat segar. Baekhyun membunyikan sendi-sendi di jari sembari mencari-cari lokasi
toilet yang bartender itu jelaskan.

"Nah, itu dia," ia berbicara pada diri sendiri saat ia berhasil menangkap papan
bertuliskan "TOILET" yang terletak sangat dekat darimana ia berdiri. Keadaan di sini memang
sangat sepi, nyaris tidak ada orang, kecuali tiga satpam berumur tiga puluhan yang sedang fokus
menonton televisi di pos jaga. Baekhyun mengangkat bahu. Setidaknya ia tidak perlu khawatir
akan bahaya, karena ia bisa terselamatkan sewaktu-waktu pria Seolguk itu menghadangnya di
depan toilet.

Namun sebuah suara aneh seketika menghentikan langkah Baekhyun menuju toilet.

Ia menoleh, alis mengerut seraya ia mulai membalikkan tubuh, mengendapkan kaki sangat hati-
hati guna mendengar baik-baik suara apa itu. Jantung Baekhyun berdebar penasaran karena
semakin ia mendekatkan diri pada sumber suara itu, semakin jelas pula seperti apa suara itu
sebenarnya. Ia menganga tertarik, menutup mulut dengan telapak tangan untuk menyembunyikan
helaan nafas tak percaya saat telinganya menangkap desahan pelan juga bunyi percikan air liur
yang terjadi bila kedua orang tengah berciuman begitu panas. Baekhyun menyeringai kecil,
mengeluarkan ponsel dari saku—menjadikan suara-suara kecil tadi sebagai petunjuk baginya
untuk mencari tahu di mana pasangan mesum itu bersembunyi.

Sehun akan sangat menyukai video Snapchat yang Baekhyun nanti kirimkan.

Ia masih menyeringai saat ia bersembunyi dari balik tembok, desahan wanita di sana terdengar
lebih jelas—menghembuskan nafas lega selagi suara pertukaran saliva terus dilakukan. Baekhyun
membuka aplikasi Snapchat, tangan berkeringat karena semangat, sembari bersiap-siap
melakukan rekaman. Ia yakin pasangan mesum itu bersembunyi di lorong gelap belakang tembok
yang Baekhyun kini jadikan sebagai tempat persembunyian. Mengambil nafas dalam-dalam, ia
menegakkan punggung, cepat-cepat menghadap ke samping sambil mengangkat ponsel—kamera
diarahkan persis ke balik tembok lalu menekan keras-keras tombol merah di tengah ponsel.

Seringai jahil Baekhyun barulah lambat-laun menghilang saat ia melihat siapa pasangan di dalam
lorong tersebut.
Baekhyun memandang tercengang layar ponselnya yang kini merekam tak lain dari Chanyeol yang
tengah meraup bibir Jinri ganas; lelaki itu mendesakkan tubuhnya pada Jinri, kedua tangan
menjebak Jinri dalam dekapan. Remang-remang cahaya lampu taman memperjelas pandangan
Baekhyun akan Chanyeol yang merangkul Jinri erat di sekitar pinggang, bibir mereka bergerak
panas antara satu sama lain seolah mereka menginginkan lebih. Mata Baekhyun tiba-tiba terasa
sangat panas sekarang, dan ia mencoba untuk tidak mengerjapkan mereka, menahan paksa air mata
yang hendak tumpah. Dada Baekhyun nyeri oleh suatu tekanan yang seperti mencengkram, namun
itu tidak menghentikan dirinya untuk terus menatap layar ponsel. Ia melihat bagaimana salah satu
tangan Jinri meremas rambut Chanyeol sensual, sedangkan yang satunya memegang pipi lelaki itu
untuk memperdalam ciuman mereka yang sudah panas—suara pertukaran saliva dan perang lidah
terekam jelas di otak Baekhyun.

Video Snapchat-nya baru berhenti merekam pada detik ke sepuluh, menjadikan video itu untuk
otomatis terus-menerus mengulang dengan sendirinya. Akan tetapi Baekhyun tidak peduli—
tubuhnya terdiam kaku pada posisi yang sama, membiarkan ponsel di tangan menghalangi dirinya
dari pandangan akan Chanyeol dan Jinri yang masih berciuman sangat mesra di tengah lorong.
Baekhyun perlahan menurunkan ponselnya, mengeratkan genggaman pada barang itu, lalu
menundukkan kepala—cepat-cepat memutar tubuh ke belakang karena ia tidak ingin melihat
mereka bercumbu lagi. Desahan Jinri menambah air mata untuk terus mengalir dari mata
Baekhyun, menghancurkan make-up tipis yang Baekhyun berusaha jaga sedari tadi.

Ia kemudian berjalan lambat menjauhi lorong itu, pandangan kosong ke depan selagi bahunya
mulai bergetar oleh tangisan yang ia berusaha tahan. Nafas terengah-engah, Baekhyun memukul-
mukul dadanya untuk mengurangi kesesakan di sana—membiarkan air matanya merembes begitu
saja hingga menuruni leher. Sehun akan mengolok-oloknya nanti kalau ia tahu betapa
hancur make-up Baekhyun sekarang, dan Baekhyun tidak mau itu terjadi. Ia menggelengkan
kepala; nafasnya tersendat-sendat ketika ia berusaha untuk menenangkan diri dari tangisan hebat
yang tiba-tiba mengganggunya. Baekhyun sungguh-sungguh tidak mau menangis.

Tetapi ia tidak bisa. Semakin ia membendung tangisan itu untuk keluar, semakin keras pula
tangisan itu menjadi-jadi. Baekhyun membungkam mulutnya dengan telapak tangan, menghalangi
isakan-isakan yang keluar dari mulutnya untuk mengganggu kesunyian. Ia menundukkan kepala
dan menghapus paksa air matanya, tak mempedulikan eyeliner yang mungkin sudah berlepotan ke
mana-mana—menyatu dengan keringat yang membasahi wajah Baekhyun akibat kebanyakan
menangis.

Ia mengepalkan tangan ketika memori akan Chanyeol dan Jinri berciuman terputar di kepala.

"Kami tidak memiliki hubungan apa-apa, Baek."

Pembohong.

"Aku tidak menyukainya, asal kau tahu saja."

Dada Baekhyun naik-turun berantakan seraya ia merasakan banyak air mata mulai bercucuran lagi.
Ia tidak tahu mengapa ia menangis. Ia tidak tahu mengapa dadanya serasa ditikam oleh berpuluh-
puluh pisau. Ia tidak tahu mengapa ia harus merasakan sakit sedalam itu hanya karena Chanyeol
menciumi Jinri.

Baekhyun meremas kain jasnya erat, menggerakkan kaki lebih cepat menyusuri taman—tak
menghiraukan beberapa satpam yang berulang-kali memanggilnya. Tempat parkir kini sudah
penuh oleh mobil, dan itu semakin memudahkan Baekhyun untuk berjalan tanpa khawatir dilihat
orang. Ia tidak ingin seorang pun melihatnya dalam kondisi seperti ini. Apalagi Sehun dan Jongin.

Hanya tinggal sejumlah langkah lagi, Baekhyun akan mencapai pagar pembatas gedung—namun
seseorang tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dari belakang.

"Siapa—"

Baekhyun harus mengambil sebuah langkah ke belakang saat ia mencium bau alkohol dari mulut
Kang Seolguk. Pria itu masih menggenggam pergelangan tangan Baekhyun, sementara tangan
satunya meraih pinggang Baekhyun untuk mendekatkan Baekhyun padanya. Seolguk tersenyum
mabuk. "Baekhyun mau ke mana?" ia berusaha mendekatkan wajahnya pada Baekhyun, meski
Baekhyun terus menghindar. "Jangan tinggalkan aku."

Baekhyun hendak melawan. Ia ingin menendang pria itu menjauh, menginjak-injak kakinya seperti
apa yang dilakukan Jongin ketika ia menghabisi beberapa siswa di sekolah. Namun entah kemana
energi itu pergi, Baekhyun tidak tahu. Keberanian dan kepercayaan diri yang biasanya ia
banggakan ke mana-mana tiba-tiba menghilang, sehingga ia hanya bisa terdiam pasrah saat
Seolguk memeluknya erat—mengendus-endus rambutnya kasar.

Baekhyun berusaha keras mendorong Seolguk, tapi aksi pria itu semakin keterlaluan. "Tolong
lepaskan," ia menggumam lemah, matanya kembali panas karena apa yang Seolguk lakukan
padanya sekarang mengingatkan Baekhyun pada Chanyeol dan Jinri. Baekhyun meronta-ronta
dalam dekapan erat Seolguk; ia menendang-nendang kaki Seolguk tapi pria itu justru
menyilangkan kakinya di antara kaki Baekhyun sehingga Baekhyun terjebak untuk memeluknya.
"Tolong lepaskan!" ia berseru, tangisannya tidak terbendung. Ia teringat akan bagaimana Chanyeol
mencumbu Jinri mesra hingga ia terus menggelengkan kepala, berharap otaknya akan berhenti
mengingatkannya akan kejadian itu. "Hentikan!" ia meraung, akan tetapi Seolguk tak mau berhenti
mengendusi lehernya. "Hentikan, kumohon!" Baekhyun berteriak lebih keras.

Sejumlah hentakan kaki memasuki pendengaran Baekhyun, dan di balik penglihatan matanya yang
semakin kabur oleh air mata, Baekhyun melihat Jongin dan beberapa siswa lain di belakangnya
berlari kencang menghampiri mereka sambil meneriaki Seolguk. Seseorang kemudian menarik
Baekhyun kasar dari belakang—menyeretnya menjauhi gapaian Seolguk, dan Baekhyun
mendongak untuk tiba-tiba menemukan dirinya dalam pelukan Sehun. Jongin menggertakkan gigi,
wajahnya memerah akan amarah yang hebat saat ia menarik kerah kemeja Seolguk—melempar
tubuh pria itu kasar ke tanah. Kepala Seolguk yang membentur paving terdengar jelas oleh semua
orang, dan mereka berangsur-angsur berkumpul mengelilingi tempat parkir untuk menonton
pertikaian tersebut.
Sehun merangkul Baekhyun erat. Ia memandang iba kondisi wajah Baekhyun yang basah oleh air
mata. "Hyung," ia menyingkirkan poni yang melekat pada dahi Baekhyun. "Kau tidak apa-apa?"

Baekhyun merangkul pinggang Sehun, mengeraskan tangisan di dada anak itu. "S-Sehun," ia
terisak-isak, nafasnya lagi-lagi tersendat-sendat sehingga ia tidak bisa berbicara jelas. "Aku ingin
pulang."

Sehun menatap Seolguk dingin—mendelikkan mata kepada pria itu, menyaksikan dengan puas
saat Jongin dan Joohyuk melayangkan pukulan sangat keras di setiap sisi tubuhnya. "Brengsek,"
ia berbisik lewat gertakkan gigi. Sehun kemudian merangkul Baekhyun lebih erat, membalikkan
tubuh Baekhyun dari pandangan akan Seolguk. "Ayo kita pulang."

Baekhyun terus melamun saat Sehun menuntunnya ke luar—membawa mereka kepada


sekumpulan taksi yang berpangkal di depan klub tersebut. Memasuki salah satu unit, Sehun
membiarkan Baekhyun menjadikan bahunya sebagai sandaran kepala seraya ia menginstruksikan
alamat ke seorang supir taksi: "Bisakah kau mengantar kami ke Yonghwa-daero?" ia bertanya,
yang mana dibalas dua kali anggukan singkat oleh supir tersebut. Sehun menatap Baekhyun
sekilas. "Nanti akan kuberi petunjuk lanjut kalau sudah dekat."

Supir itu kemudian menggerakkan kunci guna menstater taksi, menekan kopling untuk mengatur
gigi, dan memencet gas—menarik mereka menjauhi klub itu. Sehun menghela nafas, memandangi
Baekhyun dengan ekspresi kasihan selagi ia menepuk-nepuk lengan yang lebih tua. "Hyung," ia
memanggil Baekhyun lembut, tetapi Baekhyun mengabaikannya—memandang lurus ke depan,
raut wajahnya yang kosong menakuti Sehun. "Jangan diam saja..."

Tangan Baekhyun bergetar hebat saat ia perlahan menoleh ke arah Sehun—matanya berkaca-kaca
oleh ngeri dan bibirnya menggigil. Sehun memandang Baekhyun iba. "S-Sehun…" ia berbisik,
suaranya parau karena terlalu banyak menangis dan matanya kembali panas. Setetes air mata lantas
jatuh lagi. "Bagaimana ini?" Baekhyun menatap Sehun panik, jantungnya memacu begitu cepat
oleh sesuatu yang baru ia sadari. Baekhyun menelan ludah—merasakan kerongkongannya
mengering saat ia meremas sweater Sehun. "Aku telah melakukan kesalahan yang fatal."

Sehun mengerutkan kedua alis, hendak menanyakan apakah kesalahan itu ketika Baekhyun tiba-
tiba membenamkan wajah di bahunya—mengeluarkan isakan yang tak kunjung berhenti, gigi anak
itu gemeretak karena ia tak sanggup menahan semuanya lagi. "Jika ini membuatmu merasa lebih
baik," Sehun berbisik sambil mengusap-usap punggung Baekhyun pelan. "Menangislah sampai
kau tidak bisa menangis lagi."

Maka Baekhyun menuruti apa kata Sehun. Ia menangis, begitu tersedu-sedu dan menyakitkan
seraya ia memukuli dadanya sendiri. Baekhyun teringat akan Chanyeol dan Jinri yang diam-diam
bercumbu di tengah lorong. Ia teringat akan ciuman di malam sebelum pesta kejutan lelaki itu. Ia
teringat akan semua perhatian Chanyeol kepadanya: setiap pelukan, sikap perhatian, serta kata-
kata manis yang menggetarkan hati Baekhyun. Ia teringat akan perasaan-perasaan aneh yang
selama ini menghantuinya; teringat betapa perasaan-perasaan itu membuat Baekhyun tidak
nyaman dan depresi.
Sekarang Baekhyun mengerti kenapa ia terus-terusan merasa bersalah.

Ia mengerti kenapa ia merasa nyaman di dekat Chanyeol. Kenapa dadanya begitu sesak melihat
Chanyeol menciumi Jinri. Kenapa ia terus memikirkan Chanyeol.

Ia tahu apa arti perasaan-perasaan asing yang selama ini mengusiknya.

"Ini salah," Baekhyun menggumam sangat pelan, dan Sehun menunduk untuk menatap Baekhyun
dengan salah satu alis terangkat. "I-Ini salah…" ia berbisik di sela-sela isakan.

Sehun memegang bahu Baekhyun. "Hyung, kau tidak apa-apa?"

Baekhyun menyandarkan kepalanya pada bahu Sehun dengan tangisan yang mengeras—air mata
membasahi kain sweater anak itu. Ia memandang sekilas refleksi wajahnya yang berantakan lewat
kaca, mengabaikan Sehun yang berulang-kali menanyakan keadaannya.

Menjijikkan, ia menatap refleksinya di kaca, tinta hitam eyeliner bercampur air mata menyebar ke
seluruh wajah. Kau menjijikkan. Ia kemudian membuang muka dari kaca, merasakan sekujur
tubuhnya tergoncang oleh satu kenyataan yang sulit ia terima.

Baekhyun telah jatuh cinta kepada Chanyeol.

Adik kandungnya sendiri.

Chapter 13: The Barrier Between Us

CHAPTER 13

THE BARRIER BETWEEN US

Tak mengejutkan bila Baekhyun terbangun dalam kondisi mata yang cukup bengkak, kantung
hitam masing-masing bertengger di bawah sepasang bulan sabit mungil tersebut. Baekhyun
mengernyit saat ia dihadapkan oleh refleksi dirinya yang terlihat pucat: bibir sangat kering hingga
mengelupas dan wajah yang murung. Ia pun kembali menyalakan keran untuk menampung air
pada telapak tangan dan berulang-ulang membasuh bagian mata—memijat sekaligus menggosoki
bagian itu agar kebengkakan di sana berkurang. Baekhyun menghela nafas, dinginnya air yang
mengalir dari dahi menuju ke dagu lambat-laun menyegarkan pikiran, mengakibatkan otot-otot
pada wajahnya sedikit lebih rileks.

Arah jarum jam dinding tengah menunjuk pada angka delapan ketika Baekhyun meninggalkan
kamar untuk makan pagi; wajah terlihat jauh lebih segar dan aroma wangi menguar kemana-mana.
Menghabiskan waktu berjam-jam guna berendam air panas di bathtub adalah apa yang tadi ia
lakukan untuk menenangkan diri. Bagaimanapun juga, Baekhyun telah terjaga semalaman guna
meladeni setumpuk beban pikiran yang seolah menyebabkan punggungnya terasa lebih berat—
merampas rasa kantuk yang awalnya sempat singgah. Kebanyakan beban pikiran itu masih
tersembunyi di balik kepalanya, memutar ulang memori yang Baekhyun tidak harapkan ingat dan
memperjelas sebuah pernyataan tidak masuk akal yang merupakan alasan utama dari insomnianya
semalam.

Langkah Baekhyun lalu terhenti di depan meja makan; ia cepat-cepat menoleh ke direksi
berlawanan, mengabaikan jantung yang tiba-tiba bekerja tidak stabil oleh pandangan sejenak akan
punggung Chanyeol di ruang makan. Baekhyun menggigit bibir, menghembuskan nafas pelan
berkali-kali guna memaksa jantungnya untuk berdegup seperti semula. Ia benci perasaan ini—
sebuah perasaan menjijikkan yang membuat Baekhyun tidak sudi untuk bahkan memandang
bayangannya sendiri. Jika ia tidak berhati-hati, butiran kristal bening itu bisa tumpah kapan saja
dan ia tidak mau dianggap cengeng oleh Chanyeol.

"Baekhyun?" panggil Chanyeol, suara berat yang serak menyeret Baekhyun dari lamunan sehingga
ia perlahan menengadah untuk menatap lelaki itu sekilas—menggerakkan bola mata ke arah lain
begitu mata mereka bertemu. Chanyeol tetap memandang Baekhyun datar, tangan menyentuh meja
makan kaku. "Ayo makan. Aku membuatkan kita roti bakar."

Baekhyun menarik kursi di hadapan Chanyeol, mendudukkan tubuh di atas permukaan tempat
duduk—kepala kini setengah tertunduk untuk menghindari tatapan menusuk lelaki itu. Lengan
tertopang pada meja makan, ia kemudian mengangkat salah satu tangan untuk menyentuhi kulit
mati di bibir, sesekali mengelupasnya paksa sampai berdarah—lidah tak sengaja mengecap rasa
asin dari cairan tipis kemerahan tersebut. Baekhyun baru menghentikan kebiasaan buruk itu ketika
ia melihat tangan Chanyeol terulur untuk meletakkan sebuah ponsel Samsung familiar di tengah
meja. Ia spontan menggumam, alis tertekuk oleh bingung. "Ini…"

Chanyeol memotongi roti bakar tenang. "Kau menjatuhkan ponselmu di parkiran kemarin,"
terselip jeda selama tiga detik sebab ia meletakkan pisau dan garpu di meja terlebih dahulu. Ia
kemudian menatap Baekhyun lagi, kali ini sedikit lebih tajam. "Kau tidak ingat?"

Baekhyun menelan ludah, bulu kuduk berdiri oleh ingatan buruk akan ciuman basah yang Seolguk
sebarkan di leher dan rambutnya. Ia diam-diam mengernyit, tanpa menyadari bahwa Chanyeol
tengah mengawasi gerak-geriknya dari dekat. "Terima kasih," jawab Baekhyun pelan, bertolak-
belakang dengan apa yang Chanyeol tanyakan.

Keduanya lantas sama-sama terdiam, menjadikan santapan roti bakar sederhana di depan mereka
sebagai alasan untuk saling mengacuhkan satu sama lain. Baekhyun hendak menancapkan garpu
pada sepotong kecil roti bakar ketika Chanyeol mendadak memulai percakapan baru, "Kau baik-
baik saja?"

Memasukkan potongan kecil tersebut ke mulut, Baekhyun mengangguk canggung. "Hm."

Tangan Chanyeol terbaring kaku di atas meja makan, jemari setengah mengepal dan merentang
seperti menahan emosi. "Bagaimana pestanya kemarin?"
Baekhyun mengabaikan tatapan Chanyeol. "Menyenangkan," bualnya, yang mana ia pikir akan
berakhir sia-sia sebab lelaki itu mungkin sudah terlebih dahulu mengetahui kejadian kemarin dari
Jongin.

"Apa kau bersenang-senang?"

Meskipun raut wajah Chanyeol masih mempertahankan ekspresi tenang, ada suatu keotoriteran di
intonasi nada lelaki itu yang mengindikasikan bahwa ia sama sekali tidak dalam suasana hati untuk
beramah-tamah. Baekhyun tidak tahu ke mana arah pembicaraan ini berlabuh, namun ia enggan
berkata jujur. "Tentu saja."

Chanyeol memutar mata singkat, tatapan muak menetap pada langit-langit ruangan seraya
pegangan pada pisau di tangan kanannya mengerat. Semua tindakan kecil itu tak lolos dari
jangkauan mata Baekhyun. "Tidak ada masalah?"

Baekhyun menunduk, melekatkan pandangan kosong pada roti bakar. "Hm."

"Kau tahu," Chanyeol mengawali, suaranya yang turun dua oktaf lebih rendah membuat Baekhyun
sedikit bergerak gelisah di atas kursi. Terpampang amarah ngeri di balik hazel Chanyeol; satu
tatapan tajam dari lelaki itu mampu mengoyak kulit Baekhyun habis. "Kau tampak terlalu santai
untuk seseorang yang kemarin hampir diperkosa, hyung," sambungnya kemudian, menekankan
pelafalan pada panggilan formal terakhir.

Baekhyun membalas tatapan Chanyeol dingin. "Apa maksudmu?" ia balik bertanya,


mempertahankan kontak mata mereka yang berangsur-angsur memanas karena emosi masing-
masing. Baekhyun mengabaikan betapa cepat jantungnya berdetak akibat tatapan Chanyeol yang
seakan menelanjanginya. "Orang itu tidak mungkin memperkosaku."

Lelaki itu mengangkat dagu tinggi, mengulaskan sebuah senyum remeh—mengobar amarah yang
lebih besar di antara mereka. "Jika Joohyuk tidak melihat kalian, Seolguk pasti sudah
memperkosamu."

Baekhyun menegakkan punggung; ia memutus tatapan mereka untuk kembali memandangi lantai.
"Kau berlebihan."

Chanyeol tiba-tiba menggebrak meja, membanting garpu di atasnya begitu kuat hingga bunyi
bantingan itu bergema di seluruh ruangan selama beberapa detik—mengisi keheningan pekat yang
sempat mengelumuni keduanya. Baekhyun terperanjat di posisinya, sekujur tubuh agak gemetaran
karena terkejut sehingga tatapan mata menjadi tidak fokus. Rahang lelaki itu mengeras saat ia
melihat ekspresi tegang Baekhyun. Ia mengambil garpu tadi untuk dilempar kasar ke lantai,
menimbulkan dengungan lain yang semakin lantang.

"Kenapa kau tidak melawan?" Chanyeol mendesis pelan, setengah mendelikkan mata pada
Baekhyun—memaksa yang lebih tua untuk segera menjawab pertanyaannya. Akan tetapi
Baekhyun memilih untuk bungkam. "Kenapa kau tidak melakukan apa-apa?!" teriakan Chanyeol
mendengung dalam ruangan. "Kenapa kau hanya diam saja?!"
Baekhyun menatap lantai kosong. "Hentikan."

"Kau benar-benar lemah, Baekhyun," Chanyeol malah berkata enteng, tersenyum remeh lagi—
tanpa menghiraukan balutan kristal tipis yang lambat-laun terbentuk di belakang mata Baekhyun
akibat kata-katanya. "Terkadang aku tidak mengerti mengapa ayah sering memperingatiku untuk
menjaga diri," intonasi nada Chanyeol begitu percaya diri dan menggampangkan; Baekhyun ingin
tahu atas didikan siapa lelaki ini bisa bersikap se-kurangajar itu pada kakaknya sendiri. "Padahal
seseorang yang lebih cocok mendapat peringatan itu adalah kau."

Baekhyun setengah membanting garpu, menanamkan satu tatapan dingin pada Chanyeol. Sebuah
peringatan lain kemudian terucap dari mulut Baekhyun melalui gertakan gigi, "Tutup mulutmu."

"Bukankah aku yang seharusnya mengatakan itu padamu?" tantang Chanyeol, bibir membentuk
sebuah garis lurus kaku—tatapan lelaki itu memojokkan Baekhyun. "Jangan menyuruhku diam
saat kau tahu kau tidak lebih baik dariku."

Perkataan Chanyeol serontak melumpuhkan lidah Baekhyun untuk bersuara. "K-Kau…"


Baekhyun berbisik lambat, pandangan pada Chanyeol melemah karena setetes air mata yang sudah
menunggu untuk tumpah di baliknya. "Kau bersikap lancang dengan kakakmu."

"Oh," Chanyeol tertawa mencela, menyeringai kecil ke arah Baekhyun. "Kau adalah kakakku?" ia
mencibir, dua alis terangkat seakan ia tidak peduli dengan apa yang Baekhyun baru katakan.
"Menarik sekali," ia melanjutkan, kukuh mempertahankan ekspresi mengejek yang sama. "Aku
mempunyai kakak yang tidak layak kusebut sebagai kakak. Menjaga dirinya sendiri saja tidak
becus, apalagi adiknya."

Baekhyun segera membuang muka, kepala sedikit ditundukkan sebab air mata itu terlanjur tumpah
sebelum ia bisa menahannya. Ia meremas ujung kain sweater, melampiaskan perasaan kecewa dan
sakit hati yang bercampur-aduk menjadi satu—menyadari bahwa semua yang dilontarkan
Chanyeol adalah benar. Selama ini kesalahan memang tidak pernah terletak pada Chanyeol,
melainkan dirinya. Baekhyun telah melakukan sebuah kesalahan terbesar di hidupnya, dan ia tak
akan mungkin dimaafkan atas kesalahan itu.

Chanyeol benar.

Bukankah seseorang yang jatuh cinta kepada adiknya sendiri sungguh tidak layak disebut sebagai
kakak?

"Katakan padaku," Chanyeol menggeram, melemparkan sebuah tatapan sengit seakan-akan ia


hendak berdiri dan mencekik Baekhyun detik itu juga. "Bagian mana dari peringatanku yang
kurang jelas saat aku memberitahumu untuk tidak pergi kesana?"

Baekhyun memandang Chanyeol lemas. "Apa kau mengharapkanku untuk mengikuti seluruh
perintahmu?!" ia berseru dengan suara serak, tak menghiraukan air mata yang mulai mengalir
deras. Dadanya terasa nyeri sekarang, dan jantungnya berdetak cepat dalam tempo yang
memedihkan.
Tangisan Baekhyun tidak mengurangi kemarahan Chanyeol. "Setidaknya jika kau mengikuti
peringatanku, kau tidak akan bertemu bajingan itu dan hampir diperkosa olehnya!"

Baekhyun tersenyum kecut. "Tampaknya kau sungguh-sungguh berpikir kau berhak mengaturku."

Salah satu kepalan tangan Chanyeol menggebrak meja lagi, menciptakan bunyi mengejutkan akan
piring dan gelas yang bertabrakan dengan permukaan meja. "Baekhyun!" bentaknya, dahi
mengerut oleh emosi yang tidak terkontrol. "Dengarkan aku—"

"Tidak, kau yang dengarkan aku!" teriak Baekhyun, berdiri dari atas meja untuk memandang
Chanyeol. "Berhenti mengaturku seenakmu!"

Baekhyun tidak menghiraukan Chanyeol saat ia mempercepat jalannya meninggalkan ruang


makan, menggenggam sebuah ponsel di tangan kiri. Lelaki itu cepat-cepat berlari mengejar
Baekhyun, menghadang Baekhyun sebelum ia bisa menaiki tangga—menempatkan tangan pada
masing-masing lengannya—memaksa Baekhyun untuk mendongak dan menatap Chanyeol. "Aku
peduli denganmu, Baek!" seru Chanyeol frustasi, sedikit membungkuk untuk memperdalam
kontak mata mereka. Baekhyun membuang muka. "Kau pikir alasan apalagi yang ada di balik
sikapku ini?!" ujarnya keras, mata melebar depresi. "Bajingan itu bertindak senonoh denganmu!
Kau pikir aku akan diam saja?!"

Baekhyun menyingkirkan genggaman Chanyeol pada kedua lengannya. "Cukup!" ia berteriak,


nafas berantakan oleh tangisan yang terpendam. "Jangan bicara seperti kau adalah seorang
pahlawan," ia menelan ludah, air mata kini berjatuhan bebas di pipi—menyisakan jejak bagi
Baekhyun untuk cicipi di bibir. "Apa kau yakin kau benar-benar peduli denganku?"

Chanyeol terdiam kaku.

"Kau bahkan tidak di sana saat Seolguk—" Baekhyun menghentikan pembicaraan untuk setengah
tertawa, suaranya terdengar parau dan menyedihkan—seperti seseorang yang menyadari bahwa
cintanya telah bertepuk sebelah tangan. Chanyeol membuka mulut untuk mengatakan sesuatu,
tetapi Baekhyun cepat-cepat menyela: "Ah, tentu saja kau tidak di sana…" ia mengambil jeda
sejenak untuk menertawai dirinya sendiri lagi—menertawai kebodohan yang harus ia alami. "Kau
sedang berciuman dengan Jinri waktu itu, benar?" Baekhyun menoleh ke arah Chanyeol untuk
melihat ekspresi lelaki itu yang berubah menjadi tidak terbaca. Mungkin rasa bersalah atau sebuah
penyesalan—Baekhyun tidak peduli dan ia tidak mau tahu. "Kalaupun aku berteriak minta tolong
sampai suaraku habis, kau tidak akan mendengarku."

Chanyeol langsung meraih pergelangan tangan Baekhyun. "Tunggu."

Baekhyun melepas pegangan Chanyeol pada pergelangan tangannya kasar. "Baiklah," ia berkata,
"Anggap saja bajingan itu benar-benar memperkosaku—"

Chanyeol mengerutkan alis. "Baekhyun!"


"—lantas apa yang akan kau lakukan?" ia melirikkan mata kepada Chanyeol dingin. Chanyeol
menatapnya gusar. "Mengeroyoknya sampai mati? Melaporkannya ke polisi?" Baekhyun
menggeleng. "Semua tindakan pahlawanmu itu tetap tidak ada gunanya untuk menebus apa yang
telah ia lakukan padaku."

Nafas Chanyeol acak-acakan oleh emosi yang tidak terkontrol. "Jaga kata-katamu," ia
memperingatkan, berisyarat seolah ia akan membunuh Baekhyun jika Baekhyun berani
melanjutkan perkataannya tadi. "Kau mulai berbicara sembarangan."

Baekhyun menyeringai sedih. "Kenapa?" ia mencemooh, "Kau merasa kalah? Tidak bisa mengelak
karena semua yang kukatakan adalah benar?"

Chanyeol tampak kehilangan kata-kata; ia menghela nafas kasar, dan Baekhyun menggunakan
kebisuan lelaki itu untuk meneruskan, "Simpan amarahmu itu, Chanyeol," ia menoleh
membelakangi Chanyeol setelahnya. "Kau terpancing emosi oleh sesuatu yang sebenarnya tidak
perlu kau ambil pusing."

Baekhyun lalu menghampiri pengait mantel di seberang sofa, meraih salah satu mantel tebal
berwarna cokelat tua untuk ia kenakan. Sejumlah derap langkah mendekati Baekhyun, dan ia
memutar tubuh ke belakang untuk mendapati Chanyeol menarik mantelnya—menggenggam kain
tebal itu erat seakan ia melarang Baekhyun untuk pergi. "Kau mau ke mana?"

Tangan lelaki itu yang melekat pada pergelangan tangannya tidak menghentikan Baekhyun untuk
mengambil langkah menuju pintu utama kediaman Park. "Bukan urusanmu."

Chanyeol melepaskan pegangannya guna menghadang Baekhyun lagi sebelum ia bisa


menggerakkan gagang pintu. "Kau belum menghabiskan sarapanmu."

"Aku tidak peduli," Baekhyun langsung menjawab, mengangkat kepala untuk menatap Chanyeol
dingin. "Menyingkir dari hadapanku."

Chanyeol terdiam, melebarkan mata sebelum akhirnya benar-benar menyingkir dari jalan
Baekhyun. Ia menunggu hingga Baekhyun menginjakkan kakinya di luar rumah lalu membanting
pintu sangat keras—memisahkan keduanya dari pandangan akan satu sama lain. Baekhyun berdiri
di depan pintu selama beberapa detik, menyeringai getir merenungi perdebatan mereka hari ini
yang semakin memburuk. Sudah cukup ia menyimpan seluruh perasaan menjijikkan itu sendiri,
tak memiliki keberanian untuk menumpahkan isi hatinya kepada siapa pun karena dihantui oleh
rasa takut akan dihakimi—kini ia harus menghadapi banyak perdebatan dengan Chanyeol yang
selalu saja menguras air mata. Baekhyun telanjur berada pada posisi di mana ia sudah kalah telak
sehingga ia tidak berdaya untuk melawan.

Mengeluarkan ponsel dari saku mantel, Baekhyun menekan asal kontak paling atas di daftar
panggilannya dan menempelkan ponsel tersebut pada telinga. Tidak butuh sepuluh detik
kemudian, sebuah suara khas agak berat memberi salam sederhana penuh tanda tanya di seberang.

"Hyung?"
Baekhyun mengambil nafas. "Sehun?" ia menyapa singkat, "Kau di rumah?"

RETURN OF THE DANDELION

Liburan sekolah akan berakhir dalam empat hari.

Baekhyun menghabiskan dua minggu terakhir untuk gantian menginap ke rumah Sehun,
membantu anak itu mengurus pekerjaan rumah seperti memasak, membersihkan taman dan lain
sebagainya—ini semua karena keluarga Oh memang tidak pernah menyewa pengurus sebagai
ajaran kepada Sehun untuk bersikap mandiri. Dibandingkan dengan kediaman Park yang mewah
dan luas, rumah Sehun justru tergolong biasa-biasa. Sebuah halaman depan cukup luas yang terdiri
dari garasi serta taman kecil berhiaskan koleksi tanaman Oh-seonsaeng, satu ruang tamu berukuran
kecil, satu ruang keluarga, satu dapur, tiga kamar mandi, dan empat kamar kosong (dua diantaranya
menjadi yang paling luas dan masing-masing adalah kamar Sehun dan orang tuanya.) Baekhyun
ketagihan menempati rumah sang adik kelas.

Aktivitas sehari-hari mereka sejujurnya tidak seberapa mengalami perubahan. Ketika Sehun
bermain League of Legends lewat PC selama lima jam penuh, Baekhyun menggunakan waktu
luang tersebut untuk berkali-kali melakukan gladi kotor pidato bahasa Inggris—memori ponsel
terpenuhi oleh ratusan video "percobaan". Di tengah malam menuju pagi buta, mereka kadang-
kadang keluar untuk mengobrol tidak jelas di McDonald's atau melaksanakan marathon berbagai
horror Jepang yang sering-kali membuat mereka ketakutan setengah mati. Meski begitu—di antara
semua aktivitas yang Baekhyun pernah jalani bersama Sehun—satu-satunya kegiatan yang ia
paling senangi adalah melakukan eksperimen memasak.

Seperti sekarang.

Mereka baru saja menyelesaikan percobaan membuat omu-rice—masakan Jepang yang terdiri dari
bungkusan omelette berisi nasi goreng dengan kecap atau sedikit saus es dan gula. Hasil yang
mereka peroleh cukup memuaskan: Sehun menyikat habis satu porsi untuknya dalam sejumlah
lahap, sementara Baekhyun jadi terinspirasi untuk memasukkan masakan ini dalam daftar menu
bekal sekolah. Tidak hanya itu, sejoli teman itu menghidangkan segelas jus stroberi segar sebagai
minuman penutup. Baekhyun sampai kewalahan mencuci piring akibat eksperimen mereka.

"Kau masih bertengkar dengan Chanyeol-sunbae?"

Sehun tiba-tiba bertanya, muncul di sebelah Baekhyun layaknya hantu gentayangan yang suka
menampakkan diri di waktu-waktu tidak terduga. Baekhyun ingin mengacuhkan Sehun—ia benci
dihadapkan oleh bahasan tentang Chanyeol, namun menyimak anak itu mengerucutkan bibir
memaksa Baekhyun untuk menjawab juga. "Biasa saja," katanya; ia bahkan tidak yakin bahwa
jawaban itu adalah akurat. "Kenapa?"

"Yah," Sehun menyenggol bahu mereka bersamaan. "Jangan lama-lama kalau bertengkar. Itu tidak
baik."

Baekhyun cuma tersenyum kecil menanggapi anak itu.

Andai saja Sehun tahu bahwa ia sekarang menyimpan perasaan tidak pantas kepada Chanyeol—
mungkin Sehun justru tambah senang melihat mereka bertengkar. Setidaknya Baekhyun bisa
memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk melupakan Chanyeol. Apabila mereka masih sedekat
dahulu, perasaan Baekhyun hanya akan bertambah parah dan bisa-bisa akan susah baginya untuk
melupakan Chanyeol. Sampai detik ini pun, Baekhyun masih tidak percaya bahwa dirinya telah
jatuh cinta kepada Chanyeol.

Harus menghadapi argumen demi argumen setiap mereka bertemu bukanlah hal yang mudah—ia
tidak sanggup menatap Chanyeol dalam pandangan yang sama; jantungnya selalu berdegup tak
karuan tiap lelaki itu berada di sekitarnya dan ia gampang terhanyut dalam kata-kata Chanyeol
yang menyakitkan. Namun Baekhyun menganggapnya sebagai langkah awal untuk melupakan
Chanyeol. Ia telah bersumpah kepada diri sendiri untuk menambah jarak lebih lebar di antara
mereka demi kebaikan Chanyeol dan ayah. Baekhyun akan meninggalkan kediaman Park dan
memutus semua kontak agar mereka tidak perlu menemuinya lagi.

Bagaimanapun juga, ia adalah aib bagi keluarga. Baekhyun sadar bahwa kelak ia harus
mempertanggungjawabkan kesalahannya dengan meninggalkan mereka.

"Yah, hyung," Sehun berseru, melambai-lambaikan tangan di muka Baekhyun—serontak


menyadarkan yang lebih tua dari lamunan singkat. "Hyung!"

Baekhyun menatapnya sekilas. "Apa?"

Sehun menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Tidakkah ini terlalu lama untukmu memusuhi
Chanyeol-sunbae?" ia memandang Baekhyun hati-hati, tampaknya tidak enak hati untuk
membahas masalah pribadi mereka. "Maksudku, setelah semua yang telah ia lakukan…"
Baekhyun menyalakan keran, membasuh sebuah gelas untuk menyingkirkan sabun di sana. "Apa
yang kau bicarakan?" tanya Baekhyun santai, mengabaikan rasa nyeri di dadanya yang menekan
setiap Sehun menyebut nama adiknya.

"Jangan pura-pura tidak tahu," ujar Sehun kesal, mengangkat salah satu alis. "Tak lama setelah
aku mengantarmu pulang dari pesta tahun baru, sunbae mengeroyoki Seolguk habis-habisan."

Baekhyun mematikan keran. Ia menoleh kepada Sehun sambil mengerutkan dahi. "Chanyeol—
apa?"

Yang lebih muda cuma mengerjapkan mata ling-lung menyaksikan reaksi tercengang Baekhyun.
Ia sempat terdiam untuk mengobservasi Baekhyun lewat tatapan curiga. "Jangan bilang kau
memang tidak tahu?"

Baekhyun memandang Sehun serius. "Apa yang Chanyeol lakukan?" ia bertanya lagi, menuntut
Sehun untuk memberi jawaban. Sehun mengerutkan alis. "Oh Sehun!"

Sang adik kelas mengambil satu langkah ke belakang, memegang dada seakan mengekspresikan
rasa kaget lalu memulai: "Sunbae tidak berhenti memukuli Seolguk bahkan setelah seorang satpam
mencoba melerainya," ia menghela nafas pelan. "Chanyeol-sunbae terlihat sangat marah.
Ekspresinya mengerikan dan semua anak terpaksa membiarkan dia mengeroyok Seolguk seorang
diri…" Sehun lantas menatap Baekhyun cemas. "Takutnya sunbae akan terkena masalah besar
nanti. Kau tahu betapa seram sekolah kita bila itu menyangkut pelanggaran."

Migrain berat serontak menyerang kepala Baekhyun. Keparat itu. Ia hobi sekali membuat masalah.
"Seolguk—anak itu—" Baekhyun bahkan tidak tahu ia mesti mengkhawatirkan yang mana dahulu.
Bila sesuatu yang buruk menimpa Seolguk… matilah mereka. "Bagaimana keadaannya? Apakah
dia baik-baik saja?"

Sehun mengangguk. "Setahuku Seolguk dirawat di rumah sakit selama dua hari."

Baekhyun menghembuskan nafas lega. "Itu bagus."

Bibir Sehun sedikit terangkat ke atas. "Untungnya," ia ikut setuju, sambil memberikan tatapan
tidak yakin itu kembali. "Hyung… apa sunbae tidak memberitahumu soal Seolguk?"

Baekhyun memandang Sehun sejenak kemudian menggeleng lambat.

Sehun pun mengerutkan bibir. "Kapan terakhir kalinya kau bertemu Chanyeol-sunbae?"

Baekhyun seketika dibuat membisu oleh pertanyaan barusan.

Terakhir kalinya ia bertemu Chanyeol adalah di pagi hari seusai pesta tahun baru—yang berarti
sekitar dua minggu lalu. Mereka bertengkar cukup hebat kala itu, dan Baekhyun sengaja menginap
di rumah Sehun berminggu-minggu untuk menghindari lelaki itu. Ia akui rasanya sudah lama
sekali sejak ia bertatap muka dengan Chanyeol. Tetapi Baekhyun tidak mau terlalu ambil pusing.
Mengabaikan ekspresi penasaran Sehun, Baekhyun segera mengganti topik. "Apakah orang tua
Seolguk sudah melapor pihak sekolah?"

Sehun mengedikkan bahu. "Mungkin."

Baekhyun menggigit bibir, membayangkan hal buruk apa yang akan terjadi gara-gara Chanyeol.
Ayah sekarang berada di Thailand; ia tidak pernah menelepon dan kalaupun ia kali-kali
menelepon, Baekhyun bingung apakah ia perlu berpura-pura tidak tahu demi melindungi Chanyeol
atau berkata jujur mengenai Seolguk. Mereka tidak mungkin menyimpan masalah ini selamanya—
pihak sekolah pasti mencoba menghubungi ayah untuk mendiskusikan sanksi bagi Chanyeol. Akan
tetapi bukan di situ letak permasalahannya. Ini bukan pertama kalinya Chanyeol mengeroyok
orang; jika korban bully lelaki itu memanfaatkan masalah yang ada untuk menjatuhkan Chanyeol,
maka itu tidak menutup kemungkinan bahwa Chanyeol bisa-bisa dikeluarkan dari sekolah.

Seakan membaca pikiran Baekhyun yang berkecamuk, Sehun lalu memijati lengan sang kakak
kelas sebentar. "Tenang, hyung," ia menenangkan, mengamati Baekhyun yang masih melamun—
ekspresi anak itu yang sangat kosong menakuti Sehun. "Chanyeol-sunbae tidak salah. Aku akan
membantu sebisaku untuk meringankan hukumannya."

Baekhyun mengangguk pasrah.

Meski dalam hati ia tahu bahwa Chanyeol tidak mungkin lolos dari sanksi yang terlanjur
menunggunya.

RETURN OF THE DANDELION

Masalah tentang Seolguk dan Chanyeol telah tersebar ke seluruh penjuru sekolah.

Baekhyun memperoleh banyak tatapan "bela sungkawa" dari semua murid yang ia lewati di hari
pertama sekolah dimulai—beratus-ratus bisikan akan "kasihan sekali dia" hampir membuat
Baekhyun muak sampai ke tulang-tulang. Sejumlah teman sekelas Baekhyun yang tidak seberapa
ia kenal sering menghampirinya untuk menanyakan kabar Chanyeol, menjadikan Baekhyun
sebagai perantara bagi mereka untuk menyampaikan dukungan. Sang kakak cuma membungkuk,
mengapresiasi dukungan siswa-siswi tersebut—meski sebenarnya itu semua tidak terlalu berguna
untuk meringankan sanksi Chanyeol nantinya. Menurut apa yang ia dengar dari Sehun, keputusan
tetap berada di tangan masing-masing pihak sekolah—dalam hal ini adalah SMA St. Agnes dan
SMA Caspian.

Semenjak Chanyeol terlibat masalah itu, ia jarang sekali menunjukkan batang hidungnya di kantin
maupun kamar mandi laki-laki. Sehun bilang lelaki itu bolak-balik dipanggil menghadap guru BP
selama istirahat untuk pendidikan konseling—situasi yang sama juga terjadi pada Jongin dan
beberapa siswa yang termasuk dalam pengeroyokan Seolguk kemarin. Kadang-kadang Baekhyun
memang melihat Chanyeol berjalan dari kelas menuju ruang BP—seragam lelaki itu tampak lebih
rapi dari biasanya—tetapi ada kalanya lelaki itu menampakkan diri di kamar mandi lantai dua
untuk sekadar mencuci tangan. Setidaknya Chanyeol sadar untuk sementara menghentikan
aksi bullying yang sudah banyak merugikan para murid.

Hubungan Baekhyun dan Chanyeol tetap sama seperti dahulu—keduanya masih bersikap layaknya
orang asing dan mereka jarang bertemu. Pada pagi hari sebelum berangkat sekolah, Baekhyun
sesekali bertatap muka dengan Chanyeol—itu pun kurang dari satu menit sebab lelaki itu akan
berangkat dahulu ke sekolah. Mereka tidak pernah berbicara; cuma menatap satu sama lain sekilas
sebelum kembali saling mengacuhkan. Baekhyun tidak menanyai tentang Seolguk, dan Chanyeol
selalu terlihat dalam suasana hati yang buruk. Baekhyun sudah tertidur lelap pada pukul sebelas
malam, sedangkan Chanyeol akan baru pulang sekitar jam dua subuh.

Tujuh hari berlalu menjadi satu minggu, dua minggu, dan kebisuan mereka terhadap satu sama
lain kini adalah kebiasaan baru. Lama-kelamaan Baekhyun mulai mengembalikan fokusnya pada
sekolah.

Minggu kemarin seluruh murid senior memperoleh hasil suneung mereka; para wali kelas
memanggil satu per satu murid ke depan untuk mengambil amplop berisikan kertas nilai masing-
masing. Baekhyun harus menelan kekecewaan yang teramat besar saat dihadapkan pada
angka 97%. Itu berarti kesempatannya untuk menjadi bagian dari mahasiswa kedokteran
di SNU tidak seberapa memungkinkan, mengingat banyaknya siswa lain di Korea Selatan yang
dapat mencetak nilai lebih tinggi atau bahkan sempurna. Son Seungwan, di sisi lain, seorang siswi
paling berprestasi di SMA Caspian, mengantongi nilai 99%—memilih untuk putus sekolah demi
menekuni bidang musik.

Baekhyun kehilangan semangat untuk sekolah sejak cita-citanya menjadi dokter pupus di tengah
jalan. Ekspresinya berubah lesu, dan ia heran sendiri mengapa ia masih bisa-bisanya menempati
posisi kedua—di antara dua ratus peserta—dalam kompetisi pidato bahasa Inggris nasional.
Penghargaan ini mampu menghibur Baekhyun untuk bangkit dari keterpurukan dan memanfaatkan
nilai hasil kerja kerasnya kemarin demi memasuki jurusan idaman lain—yang sekiranya memiliki
masa depan tidak kalah cemerlang. Ia tidak akan menyerah segampang itu.
Perayaan kemenangan Baekhyun dirayakan sederhana oleh dua guru perwakilan sekolah—Lee-
seonsaeng, guru bahasa Inggris, dan Kawamaru-sensei, guru bahasa Jepang—di salah satu tenda
makanan pinggir jalan. Menggunakan mobil Hyundai biru milik sekolah, kedua guru tersebut baru
mau mengantar Baekhyun pulang saat mengetahui bahwa jam telah menunjuk angka delapan
malam. Selain takut akan konsekuensi leher dipotong oleh kepala sekolah, mereka juga menjadi
tidak enak sendiri untuk mengajak seorang murid pulang malam-malam. Meski sejujurnya
Baekhyun sama sekali tidak keberatan.

"Selamat, Nak," ujar Kawamaru-sensei sambil menggerakkan setir mobil, mengikuti belokan-
belokan menuju perumahan kediaman Park. "Jangan sedih karena kau tidak memenangkan juara
satu. Meskipun aku tidak bisa bahasa Inggris, menurutku pidatomu adalah yang terbaik."

Lee-seonsaeng, yang duduk di sebelah kursi pengemudi, tertawa terbahak-bahak. "Ada-ada


saja sensei ini," katanya, menggelengkan kepala geli. Tidak sampai dua detik kemudian, ia tiba-
tiba menepuk dahi—menggerutu kecil yang Baekhyun tidak sengaja dengar berbunyi "wah, aku
hampir lupa!". "Oh ya, Baekhyun-hakseng. Saya ada kejutan tambahan untukmu."

Baekhyun mengangkat alis penasaran, sementara Kawamaru-sensei dan Lee-seonsaeng saling


berbagi pandang lalu mengangguk kecil. "Oh, aku mengerti!" sahut Kawamaru-sensei semangat,
"Kejutan ini langsung diserahkan oleh kepala sekolah tadi pagi."

Lee-seonsaeng kemudian mengeluarkan secarik amplop dari tas, sedikit memutar tubuh ke
belakang guna menyerahkannya kepada Baekhyun—senyum sumringah itu belum hilang dari
wajahnya. Sang siswa mengambil amplop tersebut ragu-ragu sebelum menyalakan senter ponsel
untuk membaca label yang tertulis di bagian depan. Ia seketika menganga, mata melebar
tercengang setengah mati untuk memastikan bahwa tulisan yang ia baca adalah benar. Kawamaru-
sensei menatap Baekhyun ceria lewat rearview mobil.

To: Byun Baekhyun

Caspian High School

399-18 Kijeong-dong, Jongguk-gu, Seongnam-si, Hanyang-do, South Korea

Full Scholarship Offer

Jantung Baekhyun berdegup semakin kencang. "A-astaga… ini…" ia berbisik terputus-putus,


meletakkan telapak tangan pada mulut untuk menghalangi teriakan yang hendak keluar. Baekhyun
sungguh tidak percaya apa yang ia lihat.

"Penawaran beasiswa seratus persen dari Universitas Tokyo di Jepang," Lee-


seonsaeng memperjelas, menyuarakan apa yang Baekhyun tidak mampu katakan karena kelewat
bahagia. "Sekali lagi, selamat. Kau dan Seungwan-hakseng adalah satu-satunya murid Caspian
yang menerima kesempatan cuma-cuma ini."
"Tidak semua orang bisa mendapat penawaran ini, lho," Kawamaru-sensei menambahkan, intonasi
nada menggebu-gebu meski aksennya tidak pernah gagal mengundang Baekhyun untuk cekikikan.
"Tahun kemarin saja mereka tidak menyediakan kuota satu pun bagi kita."

"Namanya juga universitas paling bergengsi di Jepang," umbar guru bahasa Inggris itu, menoleh
ke belakang untuk menatap Baekhyun santai. "Mereka pasti melakukan penyaringan besar-besaran
bagi pelajar asing."

Kawamaru-sensei mengangkat salah satu jempol sembari tersenyum. "Kau beruntung, Nak."

Baekhyun setengah membungkuk. "Terima kasih," ujarnya pelan, memandang keluar jendela
sambil menggigit bibir untuk menahan senyum.

Universitas Tokyo adalah universitas idaman semua orang. Baekhyun tidak pernah menyangka
bahwa permohonan beasiswanya akan lolos di antara jutaan pelamar lain. Ia mengirimkan sebuah
esai yang sederhana sebagai salah satu bahan persyaratan: isinya tidak bermuluk-muluk, pendek,
namun menggunakan bahasa Jepang yang benar dan rapi. Baekhyun pikir ia tidak mungkin
diterima karena ia hanya asal-asalan ikut sewaktu Wu Yifan, ketua kelas XII-B, menawarkan
formulir pendaftaran itu kepada murid-murid sekelas. Memang selama pengisian formulir tersebut,
ia sempat berkhayal tentang bagaimana rasanya bila ia sungguhan diterima dan wajib
meninggalkan Korea. Kala itu Baekhyun tengah sering-seringnya bertengkar dengan Chanyeol
sehingga ia tidak sabar untuk segera angkat kaki dari kediaman Park.

"Kau yakin, Baekhyun?" tanya Kawamaru-sensei, terpaksa menghentikan mobil di depan sebuah
kafe kecil dekat kediaman Park—semua atas permintaan sang siswa. Lee-seonsaeng mengamati
sekitar waspada. "Kenapa tidak sekalian diturunkan di depan rumah saja?"

Baekhyun menggeleng. Kedua guru itu pun sekilas bertukar pandang kepada satu sama lain lalu
mengangkat bahu kompak. Mereka saling mengucapkan "selamat tinggal" sebelum Baekhyun
meneruskan perjalanan seorang diri memasuki jalanan kompleks perumahan—salah satu tangan
menggenggam erat surat beasiswa. Sebuah sedan hitam mengkilap telah terparkir di halaman luar,
dan Baekhyun spontan mengenali mobil tersebut sebagai tanda akan kepulangan ayah. Ia
tersenyum, membuka gembok dengan kunci lalu menutup pagar hati-hati agar tidak menimbulkan
bunyi yang berisik.

Senyuman itu perlahan memudar segera setelah ia mendengar teriakan-teriakan keras dari dalam.

"Berapa kali harus Ayah katakan padamu untuk berhenti berkelahi?!" itu adalah suara ayah.
Baekhyun mengendap-endap menuju pintu untuk memperjelas pendengaran, sedikit meremas
kertas amplop oleh rasa tegang. "Lihat apa yang terjadi pada anak itu! Di mana otakmu saat kau
mau mengeroyoknya?! Orang tua Seolguk tidak mungkin puas dengan hanya kita menebus semua
biaya rumah sakit! Mereka pasti akan meminta lebih! Bagaimana kalau mereka menuntut pihak
sekolah untuk mengeluarkanmu?!"

Baekhyun menelan ludah.


"Kau harus meminta maaf," ayah terdengar mengerikan saat ia sedang emosi, "Tidak ada jalan
lain. Sambangi dia di rumah sakit dan minta maaf. Setidaknya dengan itu orang tua Seolguk
mungkin akan meringankan tuntutan mereka."

"Tidak," dahi Baekhyun mengerut saat ia mendengar penolakan Chanyeol. "Lebih baik aku
dikeluarkan daripada aku meminta maaf pada pecundang itu."

Baekhyun menganga, kepala tertunduk seraya ia memandangi lantai—mata melebar tercengang.

"Chanyeol!"

"Ayah tahu apa yang ia lakukan ke Baekhyun!"

"Kau pikir memukulinya sampai babak belur dapat membuat anak itu kapok?!" Baekhyun
menggeratkan gigi, mengangkat tangan untuk memegang gagang pintu. "Jika kau pintar, kau tidak
perlu memukulinya dan cukup memberitahu pihak sekolah untuk menindaklanjuti tindakannya!"
pegangan Baekhyun pada gagang pintu semakin mengerat. "Tipe anak seperti dia tidak akan kapok
hanya dengan keroyokan biasa!"

Baekhyun menekan gagang tersebut sebelum salah satu dari mereka dapat berbicara, mendorong
pintu ke depan untuk segera disambut oleh pandangan akan ayah dan Chanyeol yang berdiri di
ruang tamu—keduanya serontak menutup mulut ketika mengetahui kehadiran Baekhyun.
Chanyeol meliriknya sejenak lalu membuang muka, dan ayah memasang sebuah tatapan canggung
akan amarah yang terpaksa ditahan. Baekhyun membungkuk kaku, yang mana dibalas oleh
anggukan kecil dari ayah. Chanyeol tampak bosan melihatnya.

"Baekhyun, kau sudah pulang…" ayah berdeham, mengamati seragam Baekhyun yang agak lusuh
karena seharian di luar rumah.

Ia kemudian memutar tubuh ke samping menghadap Chanyeol, tatapan canggung tergantikan oleh
beliak mata tajam. Baekhyun cepat-cepat menunduk. "Mulai besok kau akan menghadiri
bimbingan belajar yang sudah Ayah daftarkan. Ayah mengenal pemiliknya, jadi Ayah bisa
memantaumu sewaktu-waktu," ujar ayah, pandangan marah tetap ditujukan ke arah Chanyeol.
"Ayah akan memberimu jadwalnya besok pagi. Jangan pikir kau bisa berkelahi bebas setelah ini."

Baekhyun tambah menundukkan kepala ketika ayah berjalan melewatinya—derap kaki yang ia
ambil pada setiap langkah begitu lambat seolah terdapat banyak beban pikiran menumpuk di
punggungnya sehingga ia agak membungkuk.

"Baekhyun," panggil ayah, dan Baekhyun seketika mendongak—menunggu waswas akan apa
yang hendak ayah katakan. "Bisakah kau menggantikan ayah untuk menghadiri rapat Jum'at ini?"
tanyanya, suara serak yang rapuh karena faktor usia. Terkadang Baekhyun lupa bahwa ayahnya
akan memasuki masa pensiun sebentar lagi. "Ini mengenai masalah Seolguk dan Chanyeol," ia
menjelaskan, "Ayah akan ke Montreal besok."

Baekhyun terpaksa menyetujui. "B-baiklah, Ayah."


Membalas jawaban Baekhyun dengan satu anggukan lesu, ayah pun menutup pintu kamar—
menyisakan Baekhyun dan Chanyeol berdua di ruangan, terperangkap dalam keheningan yang
familiar. Baekhyun menghela nafas singkat. Ia kemudian membasahi bibir, menolehkan tubuh
untuk menaiki tangga ketika ia tidak sengaja menangkap basah pandangan Chanyeol pada amplop
penawaran beasiswanya di genggaman. Alis lelaki itu sedikit mengerut seraya ia mengamati
amplop tersebut serius—tatapan menelaah akan apa yang tersembunyi di sana, dan Baekhyun
cepat-cepat meremas kertas itu kuat untuk menyembunyikan tulisan maupun logo universitas yang
mungkin bisa terbaca dari kejauhan.

Chanyeol langsung mendongak, pandangannya pada Baekhyun menajam, dan ia menggerakkan


bola mata untuk menatap remasan amplop itu sekilas sebelum mendahuluinya menaiki tangga.
Baekhyun memandangi punggung Chanyeol gugup, tergesa-gesa mendesakkan remasan amplop
tadi ke dalam saku.

Entah kenapa ia tidak menginginkan lelaki itu untuk tahu.

RETURN OF THE DANDELION

"Baekhyun, silahkan ke ruang rapat sekarang."

Seluruh murid di ruang kelas XII-B serempak menatap Baekhyun, mulut melongo akan rasa ingin
tahu sembari mengamati anak itu maju ke depan untuk menandatangani surat izin keluar kelas
yang disediakan oleh Song-seonsaeng—guru bahasa Korea. Mereka tahu Baekhyun terpaksa
membolos dua jam pelajaran guna menghadiri rapat penyelesaian masalah Seolguk dan Chanyeol
di ruang rapat SMA Caspian. Berita ini sempat menjadi topik panas yang diperbincangkan para
murid selama berhari-hari. Tidak ada yang tak penasaran akan sanksi macam apa yang nantinya
masing-masing kubu dapatkan.

Mengetuk pintu sebentar, Baekhyun memasuki ruang rapat untuk dihadapkan pada puluhan orang
di dalam—setengah dari mereka yang tampak asing di matanya otomatis meningkatkan pacuan
jantung Baekhyun oleh rasa gelisah berlebihan. Chanyeol menempati tempat duduk di pojok paling
kiri, mendekati kepala sekolah SMA Caspian dan bertatap-muka langsung dengan Seolguk.
Jongin, disusul sejumlah siswa berseragam almamater SMA Caspian, memenuhi spot berjajar di
samping Baekhyun. Sehun dan Kim Jisoo—siswi populer kelas sebelas—hadir di sana sebagai
saksi mata kejadian Seolguk dan Chanyeol. Begitu pula staff bagian kedisiplinan dan tata tertib—
Do-seonsaeng dan Jang-seonsaeng—yang terduduk cukup jauh di dekat pintu keluar.

"Selamat pagi bapak-ibu orang tua murid, guru-guru serta anak-anak sekalian yang saya hormati,"
Oh-seonsaeng—kepala sekolah SMA Caspian—memulai salam pembuka. Semua orang
menyimaknya baik-baik. "Pagi ini akan dilaksanakan rapat berkenaan…"

Baekhyun tidak menghiraukan keseluruhan salam tersebut, melamun di dunianya sendiri sampai
Oh-seonsaeng kemudian mengeluarkan sebuah kertas A4 dari kotak berkas. "Saya akan
menyebutkan nama kalian satu per satu. Harap mengangkat tangan."

Para murid mengikuti perintah Oh-seonsaeng. Diawali dari Kang Seolguk—kelas dua belas; SMA
St. Agnes—dan Park Chanyeol—kelas sebelas; SMA Caspian—yang langsung mengangkat
tangan begitu nama mereka dipanggil. Lalu sederet murid SMA Caspian yang terlibat: Nam
Joohyuk, kelas sebelas; Kim Jongin, kelas sebelas; Lee Taemin, kelas sebelas; Park Minho, kelas
sebelas; dan Lee Jinki, kelas sebelas. Itu pun belum termasuk para saksi mata dari masing-masing
sekolah.

Oh-seonsaeng mengangguk. "Perlu saya informasikan bahwa orang tua murid Park Chanyeol
sedang di luar negeri untuk bekerja sehingga ia berhalangan menghadiri rapat ini," ujarnya tenang,
menunjuk pada Baekhyun di sebelah Chanyeol. "Sebaliknya, ia secara personal meminta kepada
kami untuk diwakilkan oleh kakak dari Chanyeol, yaitu Baekhyun—murid kelas dua belas SMA
Caspian."

Baekhyun berdiri sejenak untuk membungkuk sopan. "Selamat pagi."

"Tidak adil!" protes tiba-tiba seorang pria berpakaian rapi di tempat duduk seberang; ia merupakan
ayah dari Kang Seolguk. "Maafkan saya atas kelancangannya memotong pembicaraan bapak,
namun saya rasa ini tidak adil," ia mengarahkan tatapan rendah kepada Baekhyun, menggoda
emosi dalam anak itu untuk meletus. "Saya mengharapkan orang tua Chanyeol sendiri untuk
datang dan ikut bermusyawarah. Saya pikir ini bukan masalah yang sepele untuk dipandang
sebelah mata. Mewakilkan seorang anak kecil untuk ikut berdiskusi sama saja dengan menunda
penyelesaian masalah."

Baekhyun membungkuk kecil dari tempat duduk. "Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan bapak,
tetapi kehadiran saya pun terlaksana atas keinginan ayah kami," ia menggunakan intonasi nada
yang tenang dan sopan demi menjawab komplain pria cerewet itu—
membuahkan applause imajiner dari Jongin dan Sehun yang memandangnya kagum. "Saya
meminta pengertian bapak. Sebagai seorang wali murid, saya akan bersikap adil untuk menyetujui
apapun sanksi yang kelak adik saya terima. Usia bukan menjadi penghalang bagi saya dalam
memahami konsekuensi atas tindakan salah yang adik saya lakukan." Baekhyun menegakkan
punggung, mengangkat dagu agak tinggi akan percaya diri sebelum melanjutkan, "Kendati bapak
merasa tidak nyaman dengan pendapat saya, harus saya ingatkan bahwa segala keputusan berada
di pihak sekolah dan tidak bergantung pada suara saya. Terima kasih."

Mulut ayah Seolguk membentuk "O" kecil terkejut; ia mengerutkan alis jengkel.

"Baiklah," Oh-seonsaeng cepat-cepat memotong percakapan mereka sebelum terjadi perdebatan


serius. "Tanpa berlama-lama lagi, berikut adalah dua saksi yang mewakili masing-masing pihak,"
ia menggerakkan tangan pada Sehun dan Jisoo. "Oh Sehun dan Kim Jisoo dari SMA Caspian yang
mewakili Park Chanyeol," ia lalu menolehkan kepala pada dua siswi berseragam lain yang
terduduk di sebelah kanan ujung meja. "Lee Jinah dan Shin Hayoung dari SMA St. Agnes yang
mewakili Kang Seolguk."

"Perwakilan Park Chanyeol harap memulai kesaksian kalian," sang kepala sekolah
mempersilahkan, menyandarkan punggung pada kursi seraya menunggu kedua murid untuk
berbicara.

Sehun pun menjelaskan tiap kejadian secara detail dan jelas; tidak ada fakta yang sengaja dikurangi
maupun ditambah-tambahi. Jisoo menyusul setelah anak itu untuk mengkonfirmasi kebenaran
peristiwa tersebut sekaligus menyampaikan pendapatnya: "Tentu saja saya tidak mendukung apa
yang ia lakukan. Hanya saja saya pikir Chanyeol-ssi melakukan itu atas dasar emosi karena
kakaknya yang telah diperlakukan sedemikian tidak senonoh oleh Seolguk."

"Api tidak akan muncul bila tidak ada yang coba-coba memerciknya," Sehun mengompori,
melemparkan tatapan galak pada Seolguk. Orang tua Seolguk balik memandang Sehun garang.
"Saya dapat pastikan bahwa Chanyeol bukan satu-satunya yang bersalah."

Ibu Seolguk, seorang wanita congkak berhiaskan baju dan cincin berlian mahal, melotot ke arah
Sehun—mulut siap berbusa untuk menceramahi siswa itu. Tetapi sebelum ia bahkan angkat bicara
guna meluapkan amarah, Oh-seonsaeng terlebih dahulu mencegah keributan tak diharapkan
tersebut dengan menyela tiba-tiba: "Lee Jinah dan Shin Hayoung, sekarang adalah giliran kalian."

Ibu Seolguk terpaksa mengunci mulut, ekspresi berubah canggung total, ketika Jinah memulai
kesaksiannya: "Kami tidak tahu pasti apa yang terjadi sebelum pengeroyokan Seolguk terjadi," ia
membasahi bibir sebentar sebelum meneruskan, "Saat kami keluar dari klub untuk mengambil
ponsel di mobil, kami melihat Jongin, Joohyuk—semua siswa-siswa itu—memukuli Seolguk di
bagian wajah." Jinah lalu melirik Baekhyun sekilas. "Sunbae ini juga ada di sana. Ia terus
menangis."

Kedua siswi itu saling bertukar tatapan sampai Hayoung ikut angkat bicara, "Jongin dan
sekumpulan siswa itu sempat berhenti memukuli Seolguk karena wajahnya agak babak belur.
Mereka hanya mengatai Seolguk banyak hal kasar dan tiba-tiba saja Chanyeol menghampiri
Seolguk lalu mengeroyoknya tanpa peringatan."

"Karena tidak ada anak yang berani melerai Chanyeol, kami semua memilih diam dan
menyaksikannya memukuli Seolguk seorang diri," sambung Jinah, memperlengkap detail
kesaksian Hayoung.
"Chanyeol memukul serta menendangi Seolguk di bagian wajah, perut, dada, dan… maaf,
selangkangan…" tutur Hayoung, mencuri pandang takut-takut ke direksi Chanyeol untuk
mengecek ekspresi lelaki itu—yang sebenarnya tidak jauh dari kata "datar". Baekhyun menghela
nafas stress, menggunakan telapak tangan untuk menutupi sekujur wajahnya. Membayangkan
perlakuan Chanyeol terhadap Seolguk mengundang rasa mual ke perutnya. "Seingat saya
Chanyeol membenturkan kepala Seolguk ke tanah berkali-kali, menjambak rambutnya keras untuk
disuruh berdiri lalu kembali menghantamkan tubuh Seolguk ke mobil dan tanah."

Hayoung menatap Oh-seonsaeng tegas. "Chanyeol tidak memberi kesempatan bagi Seolguk untuk
melawan."

"Jangan mengarang!" serang Jongin mendadak, mencengangkan semua orang dalam ruangan akan
sikap lancang siswa tersebut. Hayoung langsung menghindari tatapan Jongin. "Chanyeol sempat
menyisihkan sejumlah jeda bagi Seolguk karena wajah anak itu sudah babak belur," ia
menerangkan, membungkukkan tubuh ke depan untuk menunjuk Chanyeol dengan satu jari
telunjuk. "Jika kau perhatikan baik-baik, kau akan menemukan bekas luka membiru pada dagu
Chanyeol. Seolguk memukulnya di sana."

Joohyuk menyeringai. "Kau mendramatisir, Hayoung-ssi."

Oh-seonsaeng cuma memijat pelipis pasrah menontoni murid-murid ternakal di sekolah yang
mulai beraksi mempermalukan almamater SMA Caspian.

Do-seonsaeng menoleh ke samping untuk membelalakkan mata seram. "Joohyuk-hakseng,


Jongin-hakseng!" serunya, hampir membantingkan dua tinju sekaligus ke meja. "Berhenti menyela
pembicaraan!"

Ibu Seolguk merealisasikan keinginan Do-seonsaeng barusan. Ia menggebrak meja sekeras


mungkin untuk mencuri atensi semua orang. "Sungguh tidak tahu malu!" bentaknya, memandangi
satu per satu murid SMA Caspian di kursi seberang—tak terkecuali Baekhyun. "Tidakkah bapak-
ibu sekalian melihat bagaimana keadaan putra kami?!" ia menunjuk wajah Seolguk dramatis. "Tiga
minggu berlalu dan memar pada wajahnya belum benar-benar hilang!"

Cuap-cuap ibu Seolguk tidak berhenti sampai di situ sebab ia kembali melanjutkan, "Bengkak
parah pada mata Seolguk menyebabkannya untuk tidak bisa melihat jelas selama tiga hari," satu
jari telunjuk tertuju pada bibir Seolguk. "Bagian yang saya tunjuk ini mengalami sobek cukup
parah sehingga harus dijahit dua kali." Kepala Baekhyun berdenyut-denyut tidak nyaman
mendengarkan semua fakta mengerikan yang tersodor cuma-cuma kepadanya.

"Buku mulutmu," ujar ibu Seolguk pelan, dan Seolguk melakukan persis apa yang dimintanya.
Wanita itu kemudian menunjuk pada salah satu gigi. "Akibat benturan yang sangat keras, Anda
bisa lihat bahwa sebuah gigi disini menjadi agak maju dan karenanya kami sedang mendiskusikan
rencana pemasangan kawat gigi dengan seorang orthodontist." Baekhyun menyimak jari telunjuk
ibu Seolguk yang kini menunjuk pada gigi di sebelahnya. "Selain itu, perhatikan gigi ini," ia
menginstruksi, "Setengah dari gigi ini patah dan sekalipun telah ditambal, itu tetap tidak
menghentikan putusnya pembulu darah di dalam yang mana menjadikan warna gigi ini sedikit
lebih gelap dari yang lain."

"Juga jangan lupakan benturan keras yang Seolguk alami di kepala dapat mempengaruhi cara kerja
otaknya," ayah Seolguk menambah-nambahi, memperburuk situasi yang telanjur rumit.
"Beruntung dokter menyatakan pada kami bahwa ia tidak apa-apa."

Penjelasan mendetail yang mereka terangkan mampu membungkam penuh mulut semua orang.
Ibu Seolguk tampak puas melihat kebisuan para murid SMA Caspian, mengawali pembicaraan
baru guna memanas-manasi mereka, "Saya tidak tahu apakah Anda sekalian menyadarinya atau
tidak, tetapi ini termasuk tindakan kriminal…" Seolguk menyeringai kecil selagi ia menunggu
ibunya untuk menyatakan sesuatu yang cepat-cepat ingin ia dengar. Ibu Seolguk menatap
Chanyeol berang. "Kami bisa menuntut Chanyeol sewaktu-waktu."

Jongin serontak melotot tidak terima. "Anda tidak bisa melakukan itu—"

Dua guru perwakilan SMA Caspian menoleh kepada Jongin bersamaan. "Jongin-hakseng!"

Chaos pun berlangsung—mentransformasi ketenangan jadi kericuhan massal. Kedua kubu terjerat
dalam adu mulut hebat demi membela pihak masing-masing. Chanyeol sesekali menguap, terus-
terusan melirik jam dinding dan kepala sekolah bergantian—mata lelaki itu setengah terpejam oleh
rasa kantuk. Sementara Baekhyun hanya mengamati tanpa minat perdebatan bodoh antara Joohyuk
dan seorang saksi mata bernama Jinah.

Kepala sekolah SMA St. Agnes, Yoon-seonsaeng, menyikapi keributan itu dengan satu gebrakan
meja lantang. "Saya minta ketenangannya!" ia berteriak, otomatis menghentikan perseteruan panas
mereka. "Kami mengumpulkan Anda di sini untuk bermusyawarah—bukan membuat keributan
demi membela pihak masing-masing."

Ia mengangguk pada Oh-seonsaeng, meminta izin sang kepala sekolah untuk mengambil alih
pembicaraan. "Permasalahan ini memang berat. Kedua siswa kami anggap sama-sama melakukan
kesalahan. Akan tetapi, ada baiknya bila kita bisa menyelesaikan semuanya lewat jalan damai.
Menyeret salah satu dari mereka ke jalur hukum hanya akan menghancurkan masa depan mereka.
Sebagai pihak sekolah, kami akan berusaha sebaik mungkin untuk memperketat pantauan kami
pada murid-murid. Dalam hal ini, saya harapkan bantuan orang tua dan wali murid supaya apa
yang kita inginkan bersama dapat terlaksana."

Oh-seonsaeng kemudian berdiri, salah satu tangan memegang beberapa lembar kertas penting.
Ketimbang melanjutkan musyawarah yang malah berubah menjadi keributan, ada baiknya bila
mereka mengakhiri permasalahan itu secepatnya. "Keputusan yang kami ambil berikut adalah
berdasar dari ketentuan sekolah masing-masing dan tidak bisa diganggu gugat."

Baekhyun mengerutkan alis tidak setuju pada sang kepala sekolah, berpikiran bahwa ini agak
terlalu cepat bagi mereka untuk menamatkan rapat. Oh-seonsaeng membuka lipatan pada halaman
pertama lalu membacakannya, "Park Chanyeol—kelas sebelas—melanggar peraturan nomor
11/03/82, yang mana tertulis bahwa siswa dilarang keras untuk terlibat dalam perkelahian
apapun—baik itu di lingkungan sekolah maupun antar sekolah—selama ia adalah bagian dari
SMA Caspian."

Baekhyun menggigit bibir, memandang Oh-seonsaeng waswas seraya sang kepala sekolah
berbicara, "Hukuman yang diterima adalah pengurangan seratus poin, pemberian satu surat
peringatan penting dari sekolah, dan diskors sebanyak tujuh hari. Siswa Park Chanyeol akan
diberikan tugas individu selama masa diskors untuk merenungi kesalahannya. Sisa poin peraturan
yang sekarang tersisa adalah sembilan puluh. Harap diingat baik-baik apabila poin peraturan
menginjak angka lima puluh maka siswa otomatis dikeluarkan."

Masing-masing kepala sekolah lantas membacakan sanksi semua siswa yang terlibat, menyisakan
pembela Chanyeol untuk memendam kekesalan luar biasa sebab Seolguk cuma mendapat
hukuman berupa diskors dua hari. Sebuah seringai menjijikkan terlintas di wajah pecundang itu
saat Baekhyun menatapnya. Seolguk tidak memutus kontak mereka bahkan setelah ibunya
memberikan sebuah bolpen untuk menandatangani berkas bermaterai menyangkut persetujuan
sanksi. Baekhyun memutar mata.

"Satu hal lagi," ayah Seolguk mendadak mengawali topik lain, "Kami mengharapkan
pertanggungjawaban Park Chanyeol atas kondisi kami. Sebuah ganti rugi total dari semua biaya
yang kami keluarkan akan sangat dihargai."

Baekhyun mengepalkan tangan. Ia sudah menebak ini akan terjadi. Sehun pernah memberitahunya
sesuatu tentang keluarga Seolguk yang mulai jatuh miskin—usaha ayahnya mengalami
kebangkrutan mendadak akibat kalah saing dan utang besar-besaran. Mereka bisa-bisa
memanfaatkan kesempatan ini untuk menyedot uang ayah.

"Tentu saja," ujar Chanyeol, menyeringai main-main ke arah mereka. Mata Baekhyun melebar
seraya ia memandang Chanyeol. "Bukankah kami sudah membayar penuh biaya rumah sakit
Seolguk? Silahkan hubungi saya kalau Anda membutuhkan uang. Anda hanya perlu menyertakan
bukti pembayaran lengkap agar kami tidak salah paham bahwa Anda sedang memeras kami."

Baekhyun menutup mata pasrah. Mulut orang tua Seolguk sudah siap menyembur api, meskipun
Seolguk sendiri hanya tersenyum miring. Jongin dan Sehun menyeringai puas dari kejauhan,
menikmati petir yang seakan-akan menyambar satu keluarga menjengkelkan tersebut. Semua
orang menganga heran melihat Chanyeol.

Namun, sebelum chaos lain kembali terulang, Oh-seonsaeng lagi-lagi harus menyela mereka lewat
imbauan keras: "Siswa Park Chanyeol dan Kang Seolguk!" ia menepuk meja berkali-kali untuk
mengambil atensi hadirin. "Harap berdiri dan ucapkan permintaan maaf pada satu sama lain. Rapat
ini tidak akan berakhir sampai kalian sungguh-sungguh berdamai."

Seolguk langsung melaksanakan perintah Oh-seonsaeng, menatap datar Chanyeol yang masih
terduduk santai di kursi—tatapan lelaki itu mengartikan bahwa ia tidak sudi melaksanakan
perintah sang kepala sekolah.
Oh-seonsaeng melotot marah. "Park Chanyeol-hakseng!" serunya, yang segera diikuti oleh
beberapa guru lain—memanggili lelaki itu berulang-ulang untuk menyuruhnya minta maaf.
Chanyeol tetap tidak mempedulikan, bersikukuh menolak untuk bangkit dari kursi bersama
pandangan mata melekat ke dinding.

Baekhyun memegang pergelangan tangan lelaki itu, meremasnya kuat. "Chanyeol," ia memanggil
untuk yang kelima kali, memohon sang adik untuk menuruti perintah kepala sekolah. "Apa lagi
yang kau tunggu?!" Baekhyun berbisik pelan, menarik-narik tangan lelaki itu. "Cepatlah berdiri!"
ketika Baekhyun menyalurkan sebuah tatapan pada Jongin, mengharapkan bantuan sang adik kelas
untuk membujuk Chanyeol—lelaki itu cuma menggeleng lemas.

Mengambil nafas, Baekhyun menoleh ke arah Chanyeol satu kali lagi untuk menatap ekspresi datar
lelaki itu sebelum beranjak dari kursi. Sehun menganga. "Saya akan mewakili Park Chanyeol,"
katanya tegas, membungkukkan tubuh di hadapan Seolguk dan orang tuanya. Baekhyun menelan
ludah. "Permohonan maaf sebesar-besarnya—"

Chanyeol tiba-tiba berdiri dan menarik bahu Baekhyun ke belakang, mendesak anak itu untuk
berhenti membungkuk. Baekhyun mengerutkan dahi, bersiap-siap membuka mulut untuk protes—
tetapi kata-katanya terjebak di lidah selagi ia menyaksikan Chanyeol mengulangi persis apa yang
baru ia lakukan. "Saya mohon maaf," ujar lelaki itu datar, tubuh membungkuk dan tangan
mengepal. "Saya tidak akan mengulangi perbuatan saya dan saya mengharapkan Anda untuk
memaafkan saya."

Tidak ada yang menyangka bahwa selepas permohonan maaf itu diucapkan, Chanyeol akan
meninggalkan ruangan begitu saja—langsung membanting pintu agak keras tanpa mengucapkan
salam.

Seolguk menyeringai kecil.

Baekhyun mencoba untuk tidak menggeram frustasi. Ia membungkuk sopan pada semua orang di
ruangan—terutama kepala sekolah dan para guru perwakilan. "Izinkan saya keluar sebentar."

Baekhyun mempercepat larinya saat ia melihat Chanyeol melintas di depan perpustakaan—


menarik tangan lelaki itu sebelum ia bisa lepas dari jangkauan Baekhyun. Sang kakak terdiam
sejenak untuk mengatur nafas, dada naik-turun melelahkan selagi ia mengeratkan pegangan pada
pergelangan tangan Chanyeol. "Chanyeol, kau mau ke mana?!" bentaknya, memanfaatkan suasana
sepi lantai tiga untuk mengeraskan volume suaranya. "Kembali ke ruangan sekarang!"

Chanyeol langsung menyingkirkan genggaman tangan Baekhyun.

Baekhyun membelalak, menganga heran ke arah lelaki itu. "Chanyeol!" ia memperingatkan;


Chanyeol terus menatapnya datar. "Kau baru boleh pergi setelah rapat selesai!" dua tangan
Baekhyun menggenggam lengan Chanyeol bersamaan. "Berhenti mementingkan egomu dan ikut
aku ke ruangan sekarang," ia memperlembut suaranya, mengerutkan alis untuk meyakinkan
Chanyeol sambil mengangguk sesekali. Tatapan marah Chanyeol sedikit demi sedikit berkurang
dan Baekhyun tersenyum kecil. "Untuk sekali saja, kontrol emosimu sampai keadaan
membaik, hm?"

Baekhyun pikir ia sudah berhasil membujuk Chanyeol untuk kembali ke ruang rapat,
menggandeng lelaki itu di belakangnya—langkah sepatu dipercepat sebab semua orang masih
menunggu kehadiran Chanyeol. Akan tetapi, seraya mereka mendekati pintu ruangan, lelaki itu
mendadak melepas kasar pegangan Baekhyun pada tangannya.

Sang kakak serontak menoleh karena terkejut.

"Jika kau tidak ingin membuatku berpikir bahwa kau peduli denganku," lirih Chanyeol, memutar
tubuh untuk memunggungi Baekhyun. "Jangan hentikan aku."

Mulut Baekhyun mendadak jadi kaku untuk mengatakan apapun. Ia menggigit bibir, mengamati
figur Chanyeol yang lama-kelamaan menjauhi pandangan. Lelaki itu bahkan tidak menoleh ke
belakang saat ia menuruni tangga—melingkupi sang kakak dalam rasa bersalah yang memuncak.
Baekhyun menghela nafas, menundukkan kepala untuk menatap kosong lantai—mencengkram
kuat kain celana.

Mengapa ia harus dilahirkan untuk menjadi seorang pengecut?

RETURN OF THE DANDELION

Agak jarang bagi Baekhyun untuk terbangun pada pukul setengah empat pagi.

Ia menekan knob pintu—perlahan didorong ke depan agar tidak menimbulkan suara apapun,
sebelum menutupnya kembali. Selama beberapa detik, ia hanya berdiri di depan kamar,
memandangi bisu sebuah pintu lain di seberang yang masih tertutup rapat—tangan meremas kain
celana piyama yang membungkus kaki jenjangnya. Baekhyun menghabiskan banyak detik di situ
untuk merenung, tatapan tak seberapa fokus diarahkan pada objek yang sama, hingga akhirnya ia
menghela nafas—menghadapkan tubuh ke samping lalu berjalan agak lambat menuruni tangga.
Samar-samar gesekan sepatu pada lantai terdengar dari lantai satu, dan ia seketika tahu bahwa
adiknya sudah pulang.

Chanyeol sedang dalam masa diskors tujuh hari. Ia ditugaskan untuk ikut membantu pengurusan
anak-anak kecil di sebuah panti asuhan. Chanyeol akan berangkat pagi-pagi sekali jam enam,
kemudian meneruskan aktivitasnya di akademi belajar yang ayah daftarkan sampai tengah malam.
Baekhyun sesekali mengintip dari atas sebagaimana lelaki itu menghabiskan waktu berjam-jam di
ruang tengah untuk mengerjakan tugas laporan kegiatan sosial sembari menonton televisi.

Chanyeol menatap Baekhyun sebentar, menuangkan sebotol bir ke dalam gelas. Baekhyun
mengawasi lelaki itu lewat samping matanya, menggelengkan kepala kecil sebelum berlalu
melewati Chanyeol untuk mengambil sejumlah buku catatan bahasa Jepang yang tertinggal dekat
meja bar. Berduaan dengan Chanyeol dalam diam telah menjadi kebiasaan permanen di antara
mereka; itulah sebabnya Baekhyun bisa lebih bersikap tenang sekarang.

"Aku mabuk."

Baekhyun spontan menggerakkan kepala ke asal suara, menaikkan alis bingung akan raut muka
melamun Chanyeol. Lelaki itu tidak memandang Baekhyun selagi ia berdeham, meletakkan gelas
kecil yang belum terminum ke atas meja. "Aku agak mabuk saat aku mencium Jinri," dada
Baekhyun menjadi nyeri tiap ia teringat oleh memori menyakitkan itu. "Aku tidak bermaksud
untuk meninggalkanmu sendiri—"

"Chanyeol…" Baekhyun memanggil namanya halus, menyela perkataan lelaki itu sebelum ia bisa
menceritakan kebohongan yang Baekhyun tidak harap dengar. "Itu sudah lama berlalu. Jangan
terlalu dipikirkan."

Chanyeol mendongak untuk menatap Baekhyun serius, mata lelaki itu yang melebar terlihat
ketakutan tanpa alasan. "Aku mengatakannya agar kau tidak salah paham," ujarnya dalam intonasi
nada yang sedikit tergesa-gesa. Baekhyun merasa terperangkap dalam bola mata kecokelatannya.
"Aku belum sempat menjelaskan semuanya padamu. Aku tidak mau kau beranggapan bahwa aku
sengaja membiarkan Seolguk menyakitimu."

Bohong.

Baekhyun tidak mau terbuai bualan Chanyeol lagi.

"Terserah," jawabnya acuh tak acuh, mengalihkan pandangan ke direksi lain. "Berhenti membuat
masalah. Aku tidak ingin berurusan dengan pihak sekolah."

Rahang Chanyeol mengeras melihat reaksi Baekhyun. "Kau tahu aku tidak akan membuat masalah
jika mereka tidak terlebih dahulu memulai."
"Jadi?" Baekhyun mengembalikan tatapan tenang pada Chanyeol, mengangkat alis untuk meminta
penjelasan. "Apa kau pikir mengeroyok orang sebagai ganjaran karena mereka telah bermacam-
macam denganku adalah sesuatu yang tepat?"

Ekspresi datar merujuk ke wajah Chanyeol. "Ya," ia langsung menjawab, mata tidak berkedip.
"Mereka pantas mendapatkannya."

Baekhyun memandang Chanyeol dingin. "Ayah tidak mendidikmu untuk menjadi seorang
berandalan."

"Aku hanya melakukan apa yang kupikir harus kulakukan."

Baekhyun tertawa mencemooh, mengarahkan tatapan lucu dibuat-buat pada lelaki itu. "Inilah
alasan mengapa kau sangat kekanak-kenakkan," sesudah ia mengatakan itu, ekspresi Baekhyun
sebelumnya memudar—tergantikan oleh delikan mata jenuh. "Kau melakukan hal-hal yang kau
pikir benar, namun yang ada itu justru merepotkan ayah dan aku."

Chanyeol menyeringai kecil, mengeluarkan tawa pahit yang terdengar parau di telinga Baekhyun.
"Lalu bagaimana denganmu?" ia menatap Baekhyun sendu. "Apa kau tidak menganggap dirimu
merepotkan?"

Baekhyun membuka mulut untuk menyangkal, "Aku—"

"Saat kau pulang larut malam tanpa kabar, apa kau anggap itu tidak merepotkan?" sela Chanyeol
terburu-buru, pandangan mata melembut seraya ia menatap kakaknya intens. Baekhyun serontak
menutup mulut, menelan ludah untuk membasahi kerongkongan yang tiba-tiba mengering. "Saat
kau tertidur di 7eleven dan aku harus mencarimu ke mana-mana selama berjam-jam, apa kau
anggap itu tidak merepotkan?" Chanyeol perlahan melangkah mendekati Baekhyun—meski ia
masih menyisakan jarak agak lebar di antara mereka. "Saat kau mendekatiku lalu
menyingkirkanku begitu saja oleh masalah yang sepele, apa kau anggap itu juga tidak
merepotkan?"

Baekhyun terdiam, mata terlarut dalam tatapan intens Chanyeol—suara detak jantungnya yang
berdegup pada kecepatan tinggi sepenuhnya membuntu pendengaran. Sesuatu dalam dada
Baekhyun ingin meledak, perasaan-perasaan salah yang selama ini membelenggunya memaksa
untuk dibebaskan. Ia memalingkan wajah, darah berdesir hebat oleh kegugupan tidak masuk akal
yang adik kandungnya sendiri sebabkan.

Baekhyun membenci kenyataan bahwa ia benar-benar jatuh cinta pada Chanyeol.

"Apa kau sudah selesai?" ia akhirnya berbicara, mendongak untuk menatap Chanyeol gemetaran.
Mata lelaki itu melebar. "Masih banyak materi yang harus kupelajari dan mendengar ocehanmu
hanya akan membuang-buang waktuku. Aku akan kembali ke kamar. Selamat tidur."

Baekhyun tergopoh-gopoh meringkasi buku, menumpuk mereka asal menjadi satu, lalu
menyisihkan satu tatapan terakhir kepada Chanyeol. Tetapi sebelum ia bisa berjalan melampaui
Chanyeol, lelaki itu terlebih dahulu menghadang tubuhnya—menjebak Baekhyun di
antara bar dan setumpuk buku yang tengah ia rangkul. Kepala Baekhyun sedikit terbentur pada
bahu Chanyeol, tanpa sengaja mengundang aroma parfum familiar itu untuk merasuki
penciumannya sehingga ia langsung mendorong lelaki itu menjauh. Baekhyun takut kehilangan
kontrol atas perasaannya apabila ia berlama-lama menghirup aroma itu.

Ia menengadah, menunggu banyak perkataan ketus yang kelak akan terlontar dari mulut Chanyeol.
Namun lelaki itu sebaliknya tersenyum sedih. "Ada apa?" ia justru bertanya, suaranya yang lembut
mengingatkan Baekhyun pada kenangan menyenangkan masa lalu mereka sebelum ciuman itu
terjadi. "Kesalahan lain apa yang aku lakukan sampai kau menjauhiku?" Mata Chanyeol yang agak
berkaca-kaca menyayat hati Baekhyun, dan ia memalingkan muka—menahan air mata untuk tiba-
tiba bertumpahan. "Setidaknya katakan padaku apa kesalahanku supaya aku bisa
memperbaikinya."

Baekhyun bergeming, meskipun Chanyeol terus menunggu jawabannya—masing-masing tangan


mengepal erat pada dua sisi.

"Baekhyun, kau membingungkanku."

Chanyeol sedang memandang kosong lantai saat Baekhyun balik menatapnya. "Kau bilang kau
membenciku; kau tidak mau melihatku," ia menelan ludah sejenak kemudian mengalihkan tatapan
pada Baekhyun lagi—pandangannya yang sendu setengah melunak. "Tetapi kau lalu
memasakkanku omelette, membuatku berpikir bahwa kita bisa seperti dahulu lagi."

"Aku tidak tahu harus mengartikan seperti apa seluruh isyarat yang kau berikan padaku," kata
Chanyeol halus, suaranya lebih serak dari biasanya. "Semuanya tampak begitu jelas tapi terlalu
buram untukku pahami…"

Terselubung keheningan di antara mereka selama beberapa detik.

"Baekhyun-ah," panggil Chanyeol dalam nada ceria yang justru terdengar menyakitkan. Baekhyun
mengepalkan tangan. "Jangan mengacaukan perasaanku."

Baekhyun mengangkat kepala untuk menemukan dirinya terperangkap dalam kesenduan di mata
Chanyeol lagi. Ia memalingkan pandangan sejenak sebelum kembali menatap lelaki itu dingin.
"Omong kosong apa yang kau bicarakan?" ucapnya lemas, mengacuhkan ekspresi tidak terbaca
Chanyeol. "Kau membuang-buang waktuku, Chanyeol."

Lalu pada detik itu juga, Baekhyun tiba-tiba terdorong ke meja bar—buku-buku catatan bahasa
Jepang yang ia rangkul terjatuh berantakan ke lantai—bersama kedua tangan Chanyeol
menangkup wajahnya erat, memaksa bibir mereka untuk menyatu dalam ciuman yang kasar. Mata
Baekhyun melebar; ketika ia membuka mulut untuk berteriak, Chanyeol justru memiringkan
kepala guna memperdalam ciumannya, mata tertutup rapat menikmati sensasi akan penyatuan
bibir mereka—melakukan hal yang sama berulang-ulang hingga lumatan bibirnya mampu
meredam suara Baekhyun. Air mata sama-sama merembes dari kelopak mata mereka; Chanyeol
menangis dalam ciumannya seraya ia mendesakkan tubuh mereka lebih dekat untuk mengambil
alih bibir Baekhyun. Lelaki itu terus memiringkan kepala mengikuti ke mana arah Baekhyun
memalingkan wajahnya, tak mempedulikan penolakannya dengan mengulum bibir Baekhyun
lebih kasar pada setiap kecupan.

Baekhyun tidak bisa bernafas; Chanyeol merampas semua udara yang ia hembuskan, menyisakan
Baekhyun untuk hanya bergantung pada jeda tipis yang sesekali lelaki itu ambil di tengah
ciumannya. Segala usaha Baekhyun untuk menjauhkan jarak mereka berakhir sia-sia sebab
Chanyeol merangkulnya erat, membenamkan bibir mereka tambah dalam setiap detiknya. Ia
menangis, dada berdenyut-denyut menyesakkan seraya ia menggeliat lemah di bawah cengkraman
Chanyeol—berulang-kali bergerak untuk melepaskan salah satu jeratan kuat jemari Chanyeol pada
pergelangan tangannya. Baekhyun membenturkan bahunya pada dada Chanyeol keras,
mendorongi Chanyeol berkali-kali sampai kontak bibir mereka akhirnya terputus.

Baekhyun lantas melayangkan satu tamparan keras pada pipi Chanyeol. Ia menghapus air mata
dan campuran saliva mereka di bibirnya—mendelikkan mata pada adiknya tidak percaya. "Apa
yang kau lakukan?!" bentaknya, deru nafas memburu oleh air mata yang bertumpahan tidak
karuan.

Chanyeol menggertakkan gigi; dada naik-turun dalam keadaan tidak stabil dan sebuah senyum
perih terulas di wajah. "Menunjukkan padamu bagaimana perasaanku," desisnya, bahu lelaki itu
bergetar karena ia berusaha untuk menahan tangis. "Kau perlu tahu seberapa besar rasa sakit yang
terpaksa kutahan untuk setiap perlakuan dan kata-katamu padaku," lapisan kristal putih di
balik hazel Chanyeol akan hambur sebentar lagi. "Kau terus-terusan menghancurkanku, tapi aku
tidak bisa membencimu," pandangan Chanyeol agak sayu. "Itulah yang aku rasakan sekarang."

Tatapan Baekhyun berubah dingin. "Tutup mulutmu."

Poni Chanyeol basah akan keringat dingin di dahinya. "Kalau begitu," ia mengepalkan tangan erat
tanpa melepas kontak mata mereka. "Karena kau tidak mau mendengarku bicara," Chanyeol
menyeringai kecut. "Haruskah aku menciummu lagi supaya kau tahu bagaimana perasaanku?"

Sebuah tamparan keras lain mendarat pada sisi pipi Chanyeol yang sama. "Chanyeol!" Baekhyun
berteriak, menggeleng-gelengkan kepala seraya ia melangkahkan kaki ke belakang untuk
bertumpu pada meja bar—menghindari kedekatan tubuh mereka. "Kontrol kata-katamu!" ia
berseru lagi, suaranya semakin keras karena emosi yang meletup-letup. "Bisa-bisanya kau
mengatakan itu pada kakakmu sendiri?!"

Chanyeol perlahan mengangkat tangan untuk memegang pipinya, mengalihkan sebuah pandangan
kosong ke lantai—mengabaikan tatapan Baekhyun yang begitu menghakiminya. "Kakak…" ia
tertawa kecil dalam kepiluan. "Kau adalah kakakku."

Setetes air mata menjatuhi pipi Baekhyun. "Keterlaluan…" lirihnya, "Jika ini yang kau sebut
dengan ingin memperbaiki semuanya, maka kau salah," Baekhyun tidak menghiraukan beberapa
buku catatannya yang tersebar berantakan di lantai dan berlalu melewati Chanyeol. "Aku hanya
semakin jijik denganmu."
Begitu ia membelakangi Chanyeol, Baekhyun kembali bercucuran air mata—satu telapak tangan
ia desakkan pada bibir untuk menyembunyikan isakannya. "Menjauhlah dariku," ujarnya terbata-
bata, mengambil nafas di sela-sela tangisan untuk meneruskan: "Aku jijik melihatmu."

Langkah kaki Baekhyun yang lambat mengisi keheningan di dalam ruangan, mengiringi pelan
suara lembut tangisan tertahan mereka. Baekhyun hendak menaiki tangga ketika Chanyeol tiba-
tiba berbicara.

"Sebegitu bencikah kau kepadaku?" Baekhyun berhenti berjalan, merasakan alas kakinya yang
melekat pada lantai oleh pertanyaan Chanyeol barusan. "Kenapa sulit sekali untuk mengembalikan
kita seperti dahulu?"

Baekhyun terus terdiam sebab ia menunggu Chanyeol untuk meneruskan, "Seharusnya aku sadar
bahwa semua usaha yang kulakukan tidak mungkin mengubah apa-apa. Kenapa aku begitu bodoh
untuk berpikir bahwa aku bisa memperbaiki hubungan kita?"

Terdapat sebuah jeda selama beberapa detik, dan Baekhyun mendengarkan seksama isakan
Chanyeol yang mengeras—memperdalam rasa bersalah yang selama ini mengurungnya. "Untuk
apa aku berusaha kalau kau terus-terusan menepisku?"

Baekhyun tahu kemana arah pembicaraan ini pergi, dan ia menggigit bibir bawahnya keras,
menembus permukaannya yang kering hingga berdarah.

"B-Baekhyun…" suara Chanyeol terdengar begitu rapuh; Baekhyun ingin memeluknya—


memberitahu lelaki itu bahwa semua ini bukan salahnya. Chanyeol sesenggukan. "A-aku—aku
menyerah."

Baekhyun menekan telapak tangan di sekitar mulutnya, menahan suara apapun yang memaksa
untuk keluar—penglihatan sepenuhnya kabur oleh setumpuk air mata yang tumpah begitu saja.

"M-maafkan aku," bunyi gagang pintu yang ditekan menyambut pendengaran Baekhyun.
Chanyeol terhenti sebentar untuk mengambil nafas lembut. "Aku tidak akan memaksamu lagi."

Lelaki itu kemudian menutup pintu lantang, menyentak Baekhyun dalam posisinya—meruntuhkan
kesunyian oleh bunyi gas sepeda motor yang sengaja dikeraskan. Baekhyun tidak bergerak selama
beberapa menit, membebaskan ratapan yang sedari tadi ia pendam di hadapan Chanyeol—
memegang railing tangga sebagai topangan baginya untuk tidak terjatuh. Ia menangis tersedu-
sedu, kepalan tangan ia gunakan untuk menyumpal mulutnya sendiri dari mengeluarkan isakan
yang pilu.

Baekhyun membenci kenyataan bahwa ia akan terus bersikap layaknya seorang pengecut.

Chapter 14: Complicated


Masa-masa SMA akan berakhir dalam hitungan minggu.

Selepas pengumuman suneung, para siswa kelas dua belas tidak lagi disibukkan oleh setumpuk
tugas dan jadwal pembelajaran yang padat—melainkan ujian sekolah wajib berturut-turut tiap
minggunya serta persiapan menuju hari kelulusan. Berbeda dengan tahun-tahun kemarin,
penyusunan panitia utama graduation party pada masa angkatan ini bisa dibilang berantakan dan
hampir mendekati deadline. Kesialan tersebut menyebabkan sejumlah murid tertentu untuk pulang
lebih sore dibanding yang lain, menghabiskan dua sampai tiga jam di ruang rapat guna membahas
tuntas kebutuhan pesta. Tak mengejutkan bila kebanyakan dari para panitia memperoleh nilai
buruk untuk ujian sekolah mereka.

Beruntung Baekhyun tidak mengalami hal yang sama. Bertubi-tubi tugas berat sekretaris yang ia
wajib selesaikan dalam waktu pendek tidak menggagalkan Baekhyun untuk tetap meraih nilai
ujian terbaik. Ia hanya mengantongi nilai rata-rata 97 sampai seratus dalam semua mata pelajaran,
mengantarkan Baekhyun sebagai penguasa skor keseluruhan sementara—mengalahkan Son
Seungwan yang memperoleh peringkat kedua. Sekilas prestasinya memang terlihat menggiurkan,
namun tak ada yang tahu bahwa Baekhyun adalah pelupa cukup akut sehingga ia rela tidur dua
jam sehari demi mempelajari ulang seluruh bahan-bahan ujian.

Itulah mengapa Baekhyun dapat bernafas lega ketika ia menyadari bahwa hari ini adalah hari
terakhir ujian sekolah.

Dua puluh menit sebelum ujian terlaksana, Baekhyun sengaja meninggalkan kelas untuk
mengurung diri di kamar mandi laki-laki lantai dua—terduduk santai di atas toilet sambil
membaca PDF menyangkut kisi-kisi ujian Biologi. Gosip palsu yang berbunyi bahwa sering
ditemukannya hal berbau mistis di sekitar sini mengakibatkan kamar mandi tersebut jadi sepi
pengunjung. Nyaris tidak ada siswa yang berani ke sana, apalagi setelah mereka tahu bahwa
Chanyeol dan kawan-kawan terkadang menjadikan tempat itu sebagai sarang "pembantaian"
korban bully mereka. Mungkin cuma Baekhyun yang tidak takut akan dua hal di atas dan malah
memanfaatkan kesepian kamar mandi untuk belajar di pagi hari—pada jam-jam yang sekiranya
tidak mengganggu aktivitas para preman sekolah, tentu saja.

Baekhyun menganggukkan kepala berulang-ulang, kecanduan dalam beat yang adiktif dari
lagu Bermuda Triangle. Mulut komat-kamit gagal untuk menyamai kecepatan rap Zico, ia hampir
menjatuhkan ponsel oleh kaget ketika telinganya menangkap sebuah bantingan pintu kamar mandi
yang mendadak muncul. Baekhyun menggenggam ponselnya erat, berusaha untuk tidak bersuara
selagi ia menekan tombol "stop" tanpa melepas kedua earphones—mendengarkan begitu seksama
langkah kaki yang tegas memasuki ruangan diiringi bunyi pintu yang terkunci serta keran yang
baru dinyalakan. Sial, ia terjebak.

"Chanyeol."

Jantung Baekhyun berhenti berdetak. Ia tahu siapa pemilik suara ini.

Jongin.
"Mereka menantang kita lagi."

Baekhyun serontak menoleh. "Mereka siapa?" kali ini suara Chanyeol yang terdengar, bersamaan
dengan bunyi keran yang diputar untuk mengeraskan aliran air. "Teman-teman Seolguk,
maksudmu?"

Dahi Baekhyun mengerut. "Yep," kata Jongin singkat, "Memangnya siapa yang berlagak berani
menantang kita setiap saat?"

Chanyeol mendecih, intonasinya jelas meremehkan. "Kutebak ia sengaja memprovokasi kita untuk
memerasku."

"Bukankah keluarganya jatuh miskin?" ujar Jongin emosi; Baekhyun dapat membayangkan
bagaimana ekspresi lelaki itu sekarang. "Pecundang itu menggunakan cara kotor untuk mencari
uang. Murahan sekali."

Chanyeol tidak merespon, dan selama beberapa menit, keadaan kamar mandi menjadi sepi sebab
keduanya memilih untuk diam. Baekhyun mengigiti bibir, satu tangan sengaja ditekan pada mulut
guna meredam suara pernafasannya yang mungkin bisa terdengar dari jauh sembari memaksakan
kakinya untuk tidak bergerak. Ia terjebak di antara rasa penasaran dan kesal karena satu, ia ingin
tahu pembicaraan mereka; lalu dua, sepuluh menit lagi ujian akan dimulai dan ia harus kembali ke
kelas. Baekhyun berusaha untuk tidak membuang nafas frustasi.

"Anyway," Jongin tiba-tiba memulai pembicaraan, "Mereka mengajak kita bertemu minggu depan.
Mungkin hari Selasa atau Kamis… kau bisa datang?"

Baekhyun menunggu, berharap bahwa Chanyeol akan menolak tawaran tersebut mentah-
mentah—namun yang ada ia justru dikejutkan oleh jawaban santai lelaki itu empat detik
selanjutnya.

"Hm."

Sang kakak menggertakkan gigi pelan.

"Baiklah, aku akan meneleponmu nanti," seseorang dari mereka kemudian membuka kunci pintu
kamar mandi. "Oh ya, Yeol. Mereka tidak menantang kita untuk perkelahian biasa, tapi—"

Sebuah gerakan refleks tak disengaja akan kaki yang digeser mengakibatkan ponsel Baekhyun di
pangkuan otomatis terbanting ke lantai—menghentikan Jongin untuk berbicara lebih lanjut dan
membawa keheningan ke dalam ruangan. Baekhyun tergopoh-gopoh mengambil ponselnya,
sempat lupa bahwa tindakan barusan justru akan memperkeruh kebisingan yang telanjur ia
ciptakan. Ia membeku di tempat, mengangkat kedua kakinya untuk dibaringkan di atas tempat
sampah. Baekhyun diam-diam merutuki diri sendiri.

"Ah!" Jongin pura-pura tercengang meski Baekhyun tahu ia tengah menyeringai lebar sekarang.
"Mengagetkan saja!"
"Siapa di sana?" suara berat Chanyeol terdengar mengerikan pada saat-saat seperti ini, "Apa yang
kau lakukan? Keluar."

Seseorang membanting pintu bilik paling pojok dari sebelah kiri, langkah kaki diperlambat seraya
ia melanjutkan untuk membuka satu per satu pintu berurutan. Baekhyun berada dalam bilik paling
pojok di sebelah kanan, dan cepat atau lambat mereka akan menemukannya. "Hey, pengecut," kata
Jongin, diiringi dorongan keras-keras akan sebuah pintu mendekati bilik Baekhyun. "Tunjukkan
dirimu kalau berani," ia bersenandung main-main, "Jangan sampai kami yang terlebih dahulu
menemukanmu."

Baekhyun mengambil nafas pelan, mengangkat kakinya dari atas tong sampah kemudian berdiri—
tangan gemetaran ia gunakan untuk membuka kunci bilik. Ia menelan ludah seraya ia mendorong
pintunya ke depan secara lamban dan agak waswas.

"Ini dia."

Cemooh Jongin sedikit mempengaruhi keberanian Baekhyun, tetapi ia setengah menggeleng,


mendorong pintu tersebut lebih ke depan guna berjalan dari baliknya—sebuah bayangan hitam
akan figurnya memantul di dinding putih kamar mandi, sebelum perlahan-lahan menampakkan
diri kepada pandangan mereka.

Jongin seketika menganga.

Chanyeol langsung memalingkan wajah, dan tindakan itu cukup untuk membuat Baekhyun
mengepalkan tangan, emosi segera mengambil alih ketegangannya tadi sehingga ia pun tidak
merasa ragu-ragu untuk menghampiri lelaki itu—mencampakkan Jongin yang kini mematung di
belakang mereka.

"Uh," Jongin gelagapan, memandangi gugup bergantian antara Chanyeol dan Baekhyun. Ia
merapatkan gigi, takut-takut berjalan mendekati Baekhyun. "B-Baekhyun-hyung…"

Baekhyun tidak menghiraukan siswa berkulit agak kecokelatan di sampingnya, tatapan tetap
melekat pada Chanyeol. "Bukankah kau ada kelas tambahan setiap hari?!" seruan Baekhyun
membelah keheningan di kamar mandi. Ia mendelikkan mata ke arah Chanyeol. "Siapa yang
mengizinkanmu untuk seenaknya membolos bimbingan belajar demi menuruti kemauan
Seolguk?!"

Jongin membasahi bibir, ekspresi menunjukkan rasa ketidaknyamanan yang luar biasa.
"Baekhyun-hyung…" ia menggumam, sungguh tak memiliki keberanian untuk ikut campur.

"Mau kau apakan anak itu?!" tanya Baekhyun tegas, melemparkan tatapan sinis lewat kaca. "Apa
kau ingin mendapat sanksi yang lebih berat dari sekolah?!" suaranya semakin keras seiring
hitungan detik berlalu, "Masa diskorsmu baru selesai dan kau mau membuat masalah lain?!"
Jongin mengedipkan mata canggung, memindahkan pandangan dari lantai ke kaca kamar mandi
berulang-ulang—bertanya-tanya mengapa bentakan Baekhyun sama sekali tidak berefek pada
Chanyeol.

"Kenapa susah sekali mengaturmu?!" Baekhyun menggeram frustasi melihat raut datar yang sedari
tadi tidak luput dari wajah Chanyeol. "Kami hanya menginginkanmu untuk belajar, mendapat nilai
baik, dan masuk ke universitas yang bagus!" ia meneruskan, mengharapkan Chanyeol untuk
sesekali menuruti perintah ayah dan berhenti mengkhawatirkan mereka. "Perlukah aku
memantaumu setiap saat dan melaporkannya pada Ayah?!"

Ekspresi tidak peduli yang Chanyeol sengaja berikan pada Baekhyun lewat kaca hanya
memperparah api yang telanjur menjalar ke mana-mana. Dahi Baekhyun mengerut ketika ia
membentak lebih keras, "Park Chanyeol!" ia mengeratkan pegangan pada kain celana untuk
menahan emosi. "Harus berapa kali Ayah dan aku memberitahumu untuk menjaga sikap?! Apa
kau tidak malu karena terus-terusan membuat onar?!"

Jongin sedikit tersentak mendengar bentakan Baekhyun, menganga menyaksikan pertengkaran


sepihak kakak beradik tersebut. Air muka yang tertulis di wajah lelaki itu memohon untuk segera
meninggalkan kamar mandi ini.

Baekhyun mengeluarkan nafas kasar, emosi meledak-ledak oleh sikap acuh tak acuh yang
Chanyeol terang-terangan tunjukkan. "Kau tidak akan ke mana-mana nanti, besok, atau minggu
depan," ia memperingati dengan nada yang mengancam, "Kau akan menghabiskan waktumu di
akademi belajar sampai pukul delapan malam dan jangan harap aku akan memberimu kesempatan
untuk keluyuran," Baekhyun menegakkan punggungnya. "Kau harus di rumah untuk belajar dan
mengerjakan tugas."

Rahang Chanyeol mengeras, kepala ditolehkan ke arah berlawanan—tak berencana untuk


menanggapi Baekhyun sedikit pun.

Bibir Baekhyun membentuk garis lurus kaku; ia memandang Jongin dari sudut matanya,
menyadari bahwa amukannya barusan telah mempercanggung keadaan. Ia kembali menatap
Chanyeol. "Kau boleh protes, tapi aku tidak peduli," ujarnya, mengontrol volume suaranya agar
agak lebih pelan—meski sisa-sisa amarah masih terdengar. "Kau dengar aku?!"

Chanyeol tidak menjawab, guratan yang semakin dalam di dahinya menandakan bahwa ia tidak
dapat menahan emosi. Ia lantas menoleh, membalas tatapan dingin Baekhyun lewat kaca dengan
sebuah seringai main-main. "Ada lagi yang ingin kau katakan?" ia mengangkat kedua alis
meremehkan. "Kalau tidak ada, bisakah kau pergi dari sini? Aku muak mendengarmu."

Jongin tidak dapat berkedip memandangi mereka, mata membulat tidak percaya oleh intonasi datar
Chanyeol. Sejenak ia ingin angkat bicara untuk menegur Chanyeol atas sikapnya yang kurang ajar,
namun tindakan tersebut cepat-cepat ia urungkan setelah melihat balutan air mata tipis di balik
masing-masing hazel Baekhyun. Jongin mengamati iba bagaimana Baekhyun membuang muka
untuk menyembunyikan air matanya, tangan memeras kemeja seragam sebagai pelampiasan
kemarahannya. Jongin benci menyaksikan mereka bertengkar.
Baekhyun menatap Chanyeol tajam.

"Kau akan menyesal."

Baekhyun langsung memutar tubuh memunggungi Chanyeol, berjalan menuju pintu guna
membukanya ketika Chanyeol berbicara lagi, "Simpan amarahmu itu, hyung," pegangan Baekhyun
pada gagang pintu mengerat seraya lelaki itu tertawa mengejek. "Kau terpancing emosi oleh
sesuatu yang sebenarnya tidak perlu kau ambil pusing."

Baekhyun ingin menyeringai masam. Ironis. Kata-kata yang dahulu ia ucapkan pada Chanyeol
telah berbalik menyerangnya. Menekan gagang kuat, Baekhyun menarik pintu dan
membantingnya keras—berlari menuju kelas tanpa menghiraukan beberapa tetes air mata yang
mengalir ke pipi.

Ia lelah menghadapi Chanyeol.

CHAPTER 14

COMPLICATED

Baekhyun mematah sumpit menjadi dua, menggerakkan alat makan tersebut guna mencampur mi
bersama bumbu yang lama-kelamaan menyatu dalam mangkuk Shin Ramyeon Black. Asap panas
beserta aroma melezatkan yang mengepul dari sana menggoda Baekhyun untuk cepat-cepat
mencicipinya, menundukkan kepala guna mengangkat sedikit mi lalu memasukkannya ke mulut—
mengeluarkan bunyi slurp yang pelan. Ia mengunyah lambat, mata memandang kosong pada meja
selagi tangannya menggerakkan sumpit untuk mengangkat lebih banyak mi. Baekhyun
menghabiskan seisi mangkuk sambil melamun, pikiran masih melayang ke mana-mana saat ia
beranjak untuk melempar mangkuk ramen ke tempat sampah.

Ia tengah meneguk segelas air putih ketika seseorang tiba-tiba meletakkan sesuatu di hadapannya,
setengah membanting sebuah amplop putih panjang yang bercapkan logo "University of Tokyo".

Baekhyun mendongak untuk mendapati Chanyeol berdiri kaku di depan meja makan, satu tangan
menggenggam secangkir teh panas. Lelaki itu tidak menatap Baekhyun selagi ia berkata, "Tiket
emasmu menuju kebebasan," suara Chanyeol terdengar agak lemas meskipun ekspresinya tak
terbaca. "Kau tidak bohong saat kau bilang kau ingin angkat kaki dari rumah ini."

Baekhyun menatap amplop tersebut sekilas sebelum mengarahkan pandangan tegang pada
Chanyeol. "B-bagaimana—" ia bingung kenapa ia tiba-tiba menjadi gugup hingga berbicara
terbata-bata, "—kau…"
Chanyeol setengah menoleh untuk menatap Baekhyun datar, sudut bibir sebelah kiri agak
terangkat guna memaksakan sebuah senyuman kecil. "Oh-seonsaeng menitipkannya padaku," ujar
lelaki itu, mengangkat bahu tenang. Baekhyun tidak tahu alasan pasti di balik rasa bersalah yang
sekarang mulai mengusiknya. "Selamat telah menjadi salah satu siswa yang mendapat beasiswa
ini cuma-cuma," Chanyeol melanjutkan, tak ada tanda-tanda kesenangan dalam senyuman
palsunya yang mengembang. "Pasti mudah bagimu untuk lolos."

Baekhyun tidak menjawab, dan Chanyeol memalingkan wajah ke depan, memandang lurus ke
dinding dengan ekspresi kosong. Baekhyun membiarkan lelaki itu tenggelam dalam pikirannya
sendiri sampai Chanyeol kembali berbicara, "Hanya saja…" Baekhyun menatapi dalam diam
Chanyeol yang berulang-kali menelan ludah, tampaknya kehilangan kata-kata. "Kupikir selama
ini…" ia lalu berhenti untuk menggelengkan kepala kecil sambil menyeringai sedih. "Lupakan."

Baekhyun terus membisu meski matanya tidak meninggalkan figur Chanyeol yang lambat-laun
pergi menjauhinya—tak mempedulikan amplop putih yang sedari-tadi belum ia sentuh di atas
meja. Chanyeol hendak menginjakkan kakinya pada anak tangga pertama ketika ia tiba-tiba
memutar tubuh ke belakang untuk menatap Baekhyun tajam, kekecewaan dan pilu terpampang di
wajahnya. "Pada malam sebelum pesta kejutan di Jeju," ia berujar lambat, "Semua yang kau
katakan padaku…" Chanyeol tampak putus asa, salah satu tangan mengepal. "Apa kau hanya
membual?"

Baekhyun ingin membuka mulut, menjelaskan bahwa tidak, ia tak mungkin berbohong—akan
tetapi rasa takut dan bersalah menghalangi Baekhyun untuk bahkan menjawab apapun sehingga ia
hanya bisa terdiam, mengamati Chanyeol yang langsung berbalik membelakanginya ketika
mengetahui bahwa Baekhyun tidak akan menjawab pertanyaan itu. "Tidak usah kau jawab," ucap
lelaki itu pelan, seolah-olah kesulitan untuk menemukan suaranya, "Kurasa aku tahu jawabanmu
sekarang."

Derap cepat kaki Chanyeol menuju kamar menyembunyikan teriakan Baekhyun dalam hati.

Ia pun menunduk, menyeret amplop putih tersebut dari atas meja untuk diletakkan pada
pangkuannya—memandangi perangko kecil bergambar bunga sakura yang tertempel di sana.

Maafkan aku.

RETURN OF THE DANDELION

.
.

Salah satu keuntungan Baekhyun untuk memiliki teman seperti Oh Sehun adalah mereka sama-
sama seorang potterhead yang cukup fanatik.

Sebuah marathon film Harry Potter semalaman merupakan aktivitas yang wajib mereka adakan
minimal dua bulan sekali. Tak peduli seberapa hafal mereka pada semua kejadian—sekaligus
percakapan—yang muncul di layar kaca televisi LCD kediaman Park, Baekhyun dan Sehun tetap
menikmati keseluruhan tayangan seolah-olah ini adalah pertama kalinya mereka menonton seri
tersebut. Reaksi keduanya terhadap adegan-adegan tertentu masih sama seperti dahulu: mereka
akan menangis haru dan berteriak histeris bila perlu—terutama Sehun, yang tak dapat berhenti
mengoceh tiap mereka dihadapkan pada beberapa bagian yang sangat menegangkan. Baekhyun
sampai muak menahan diri untuk tidak menyumbat mulut anak itu dengan kaleng permen.

Berjam-jam terlewati semenjak mereka memulai ritual ini, dan Baekhyun menggeser bantal ke
bahu Sehun untuk menyandarkan punggung dekat leher sang adik kelas—kaki diluruskan bebas
menguasai sofa hitam yang berdesain memanjang. Sekarang adalah giliran seri ketiga, Harry
Potter and the Prisoner of Azkaban, untuk diputar dan tak ada bunyi lain yang terdengar di ruang
keluarga kecuali percakapan asing beraksen British diiringi background music bervolume cukup
keras lewat dua speaker hitam di sisi kanan dan kiri. Semua lampu sengaja dimatikan untuk
menambah kesan suasana bioskop, dan gambar bergerak dari televisi-lah yang menjadi satu-
satunya pusat cahaya di sana. Jarum jam boleh menunjuk pada angka sebelas dan enam; akan tetapi
perjalanan mereka untuk menyelesaikan marathon sampai akhir masih tergolong jauh.

Sehun menguap kecil. Ia menarik bantal yang Baekhyun gunakan untuk bersandar dan
meletakkannya di belakang punggung sendiri—mengabaikan kepala sang kakak kelas yang
otomatis ambruk di atas dadanya. Baekhyun langsung menengadah untuk melayangkan sejuta
sumpah-serapah yang tentunya tidak digubris oleh Sehun. "Kau lebih suka yang mana, hyung?" ia
malah mengganti topik, tak mengambil pusing omelan Baekhyun. "Ron Weasley versi anak-anak
atau dewasa?"

Baekhyun mendelik dari bawah, menaikkan kepala ke atas bahu Sehun sebelum memandang
televisi lagi. "Anak-anak," jawabnya santai, mengabaikan suara muntah yang Sehun sengaja buat-
buat.

"Ew, pedofil."

Baekhyun mengambil mangkuk besar berisikan popcorn di meja, memasukkan sejumlah biji ke
mulut bersamaan. Ia menatap Sehun sejenak untuk menyalurkan ekspresi "apa-kau-
bercanda" sebelum sungguhan menyahut, "Apa kau bercanda? Dahulu ia lumayan imut!"
Sehun menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak seimut Tom Felton," ia mengelak, salah satu tangan
terulur untuk mengambil segenggam penuh popcorn. "Ia adalah kombinasi sempurna dari imut
dan tampan semasa kecil."

Baekhyun menoleh ke atas untuk menyeringai oleh kemenangan. "Ew, pedofil," tirunya, puas akan
kesempatan balas dendam yang muncul secara instan.

Sehun memutar mata, menyesali keteledoran berbicaranya tadi—mencatat baik-baik di otak untuk
lebih berhati-hati lain kali. "Maksudku," ia segera mengalihkan pembicaraan agar sang kakak kelas
berhenti mengejeknya, "Coba kau lihat foto-foto Tom yang terbaru. Ia terlihat menua… argh!"

Draco Malfoy kemudian muncul di layar, rambut blonde agak panjang yang berantakan
mendukung wajahnya yang kala itu agak boyish tapi sangat tampan. Baekhyun mengunyah
beberapa biji popcorn di mulut sambil berkomentar, "Aku paling suka Malfoy pada era
ini. Prisoner of Azkaban."

Sehun mengangkat tangan untuk dilambaikan di depan muka Baekhyun, dan sang kakak kelas
menuruti high-five Sehun dengan menepukkan telapak tangan mereka keras-keras. Sehun tidak
komplain. "Aku juga!" serunya, ekspresi cerah seketika. "Aku bersumpah ia terlihat sangat, sangat
tampan di jaman itu. Aku sempat menyukainya selama beberapa bulan."

Baekhyun memasang ekspresi datar. "Bukankah kau mudah menyukai seseorang?" ia


mengeraskan suara kunyahan popcorn untuk menggoda Sehun. "Dasar laki-laki gampangan."

Sehun mengerutkan bibir jengkel, menggerakkan tubuh kasar agar kepala Baekhyun terjatuh sadis
ke sofa tanpa peringatan—berbenturan kasar dengan setumpuk novel seri Percy Jackson yang
tadinya dijadikan penyangga lengan bagi Baekhyun. Sang kakak kelas serontak merintih kesakitan,
dan di saat itu juga, ponsel Sehun mendadak berdering keras oleh chorus lagu Bolbbalgan4.
Baekhyun mengangkat kepala paksa untuk mengintip layar ponsel Sehun, menyeringai licik ketika
tulisan "Jongin is calling" berkelap-kelip di sana dalam font ekstra besar. Sehun tampak salah
tingkah sendiri sebelum akhirnya mendorong Baekhyun menjauh dan menggeser tombol gagang
telepon hijau.

"Halo?" jawab Sehun ragu-ragu, tangan terangkat untuk menempelkan benda persegi tersebut pada
telinga. Baekhyun tertawa jahil selagi ia bangkit dari sofa untuk mengamati sang adik kelas sambil
mengatur poni yang awut-awutan. "Ya, dia tengah asyik merapikan rambut di depanku. Ada apa?"
Baekhyun tidak bisa menguping jelas apa yang Jongin katakan, namun ekspresi Sehun lambat-
laun berubah menjadi panik. "Kau serius?! Apakah ia baik-baik saja?! Di mana kalian sekarang?!"
Sehun nyaris berteriak kepada ponsel, matanya melebar saat ia membalas pandangan Baekhyun
yang kebingungan. "Baiklah, tolong kirimkan nomor kamarnya lewat KakaoTalk. Terima kasih."

Baekhyun mengangkat alis. "Kenapa?"

Sehun menatap Baekhyun serius. "Chanyeol-sunbae sedang dirawat di rumah sakit," nafas
Baekhyun serontak tercekat, konsentrasi anak itu buyar hingga ia tidak menyadari musik orkestra
keras yang menyentak-nyentak dari speaker. Sehun lalu berdiri untuk mengambil jaketnya di
seberang sofa. "Ia terlibat kecelakaan tunggal yang cukup serius."

Mereka memesan satu unit taksi menuju rumah sakit—berpakaian ala kadarnya sambil membawa
satu kantong plastik putih berisikan mi hitam kesukaan Chanyeol yang Baekhyun paksakan beli
dalam perjalanan. Waktu menunjukkan pukul dua belas lewat sepuluh pagi ketika mereka sampai
di depan kamar VIP nomor 288, gigi gemetaran akibat udara dini hari yang agak dingin. Jendela
kotak mungil pada pintu mengizinkan mereka untuk mengintip ke kamar, menyaksikan Chanyeol
yang kini terbaring lemah di atas tempat tidur—salah satu kaki dan tangan terlilit perban tebal.
Bahkan dari luar pun, Baekhyun dapat melihat luka-luka kecil maupun goresan tipis yang telah
menyebar di sekitar wajah Chanyeol.

Tak mengetuk terlebih dahulu, Sehun cepat-cepat membuka pintu—mengagetkan Jongin sekaligus
Chanyeol untuk berhenti menonton televisi dan menoleh ke sumber suara. Dua
pasang hazel identik bertemu dalam pandangan mata yang singkat; wajah pucat serta bibir lebam
keunguan Chanyeol menyulut amarah Baekhyun hingga ia tidak menghiraukan Jongin yang
mengucapkan salam padanya. Gelak tawa terbahak-bahak yang berasal dari televisi pun tidak
mampu memecah suasana canggung yang tiba-tiba memadati ruangan. Sehun dan Jongin hanya
bisa melirik satu sama lain dalam diam.

Baekhyun mencoba untuk tidak menggeram mendapati Chanyeol yang langsung membuang
muka. "Melihat kondisimu sekarang, agak mengejutkan untuk tahu bahwa kau tidak dalam
keadaan koma."

Mata Sehun dan Jongin membelalak mendengar pernyataan Baekhyun. Sehun langsung menoleh,
memandangi Baekhyun tidak habis pikir. "Hyung!" ia berseru dalam arti memperingati.

Baekhyun tidak menggubris teguran Sehun. "Apa kau lumpuh?" suara Baekhyun melemah, air
mata tampak mengancam untuk turun. Sehun dan Jongin tercengang bukan main oleh pertanyaan
Baekhyun yang sembarangan. "Setidaknya kami tidak perlu khawatir kau bisa berulah kalau
kakimu tidak berfungsi lagi."

Sehun menggenggam lengan Baekhyun kaku. "Hyung…" ia berbisik, mengamati Chanyeol yang
sedari tadi sengaja melekatkan tatapan pada lantai. "Kata-katamu…"

"Chanyeol mengalami patah tulang di bagian fibula," Jongin takut-takut angkat bicara, berniat
menghindarkan Chanyeol dari amarah Baekhyun. Ia tidak tahan mendengar Baekhyun
melanjutkan omong kosongnya yang macam-macam. "Kata dokter penyembuhannya akan
memakan waktu kira-kira sepuluh minggu… untuk sementara Chanyeol akan menggunakan alat
bantu jalan."

Ekspresi Baekhyun melembut; ia memperhatikan iba salah satu kaki Chanyeol yang tengah
diperban. "Ada lagi?"

Jongin menggeleng. "Nanti dokter yang akan memberitahumu lebih lanjut—" ia menghentikan
pembicaraan sebab Sehun berkali-kali menyenggol sikutnya sembari berbisik ekstra pelan "ayo,
keluar". Jongin mengerutkan alis. "Tidak," ia menolak mentah-mentah perintah Sehun, menarik
yang lebih muda mendekat untuk berbisik langsung ke telinganya. "Aku tidak mau Chanyeol
dimarahi lagi!"

Sehun mendorong Jongin jauh-jauh, menggandeng pergelangan tangan lelaki itu kemudian
menariknya mendekati pintu. "Kami akan membelikan sunbae teh hangat," ia beralasan, masa
bodoh dengan ekspresi Jongin yang jelas-jelas menunjukkan penolakan. "Silahkan berbincang-
bincang!" sahut Sehun canggung lalu menutup pintu agak keras. Baekhyun tidak dalam suasana
hati untuk menertawai teriakan Jongin yang kekanak-kanakan dari luar.

Chanyeol kembali menatap Baekhyun datar. "Kalau kau tidak mau melihatku, keluar saja."

Baekhyun terdiam, memindahkan tatapan dari kaki ke wajah Chanyeol. "Jongin bohong," ia
menghela nafas, mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang Chanyeol baru
katakan. "Sepeda motormu tidak sepenuhnya terpeleset karena jalan yang licin, melainkan karena
kau yang berusaha untuk menyaingi kecepatan Seolguk."

Kebisuan Chanyeol adalah jawaban dari pertanyaan Baekhyun.

Sikap lelaki itu yang menampakkan bahwa ia tidak peduli membangkitkan amarah untuk segera
mendominasi emosi Baekhyun. "Jadi ini yang Jongin kemarin maksud dengan 'bukan perkelahian
biasa'?" tanyanya, menggelengkan kepala tidak percaya. "Sebuah balap liar tidak penting yang kau
turuti demi harga diri tinggimu itu?!"

Chanyeol setengah menoleh untuk menghindari pandangan Baekhyun.

"Ayah akan marah besar bila ia mengetahui hal ini," Baekhyun pikir ia akan kehabisan nafas
sebentar lagi. Memaki-maki Chanyeol telah merenggut banyak energi dari tubuhnya. "Apa kau
lupa bahwa ia akan tiba dari Montreal minggu depan?!" mata Baekhyun agak memerah oleh rasa
kantuk dan emosi yang berlebihan. Ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang
mengering. "Alasan lain apa yang harus kukatakan untuk menutupi onarmu?!"

Bentakan Baekhyun meninggalkan gema dalam kamar yang sunyi. Ia tahu benar bahwa sebentar
lagi seorang suster akan datang untuk mengusirnya ke luar jika ia bersikeras membuat
kegaduhan—namun ia tidak peduli. Sebaliknya, ia menunggu. Baekhyun menunggu Chanyeol
untuk mengatakan apapun, sebuah penjelasan akan apa yang terjadi atau sederet kata-kata
menenangkan yang mampu meredakan amarahnnya. Kepasifan Chanyeol telah melebihi batas, dan
Baekhyun menginginkan lelaki itu untuk menjawab.

Ia menunggu; ia sungguh-sungguh menunggu dan ketika apa yang pertama kali terlontar dari mulut
Chanyeol bukanlah kata-kata—melainkan sebuah tawa pahit yang dipaksakan, Baekhyun hanya
mampu terdiam.

"Sebenarnya aku heran kenapa kau kemari," Chanyeol berbicara dingin, menyisakan sedikit tawa
itu untuk perlahan mereda. Baekhyun benci melihat seringaian masam lelaki itu. "Tidakkah kau
pikir akan lebih baik kalau kau mulai mengemasi barang-barangmu ke Jepang daripada
mengunjungiku di rumah sakit?" tatapan Chanyeol yang tajam mencegah Baekhyun untuk
bernafas teratur; Baekhyun mengharapkan seseorang untuk membuntu telinganya dari hujaman
perkataan lelaki itu. "Kau tidak seharusnya di sini, hyung. Segeralah keluar dari kamarku sebelum
aku sendiri yang memanggil suster untuk menyuruhmu pergi."

Sebelum setetes air mata bisa lolos dari manik Baekhyun, Chanyeol telah memiringkan tubuh
membelakanginya—salah satu tangan meremas selimut putih di sekitar dada. "Aku kenyang," ia
berkata dalam suara yang serak, "Kau bawa pulang saja mi hitamnya."

Pandangan Baekhyun kabur; ia tidak memiliki kekuatan untuk bersuara saat ia melempar kantung
plastik tersebut ke tempat sampah. Air matanya telanjur meluap ke pipi lalu leher, dan Baekhyun
menggigit bibir untuk tidak terisak di hadapan Chanyeol—sesak di dadanya memburuk karena ia
tidak bisa bernafas. Kepala ditundukkan, Baekhyun kemudian menarik topi hoodie untuk
menyelimuti kepala sekaligus wajahnya—berjalan terburu-buru menjauhi Chanyeol sebelum
isakannya mengeras. Ia tidak ingin Chanyeol tahu bahwa ia tengah menangisinya.

Terkejut oleh Baekhyun yang tiba-tiba keluar dari kamar, Sehun lantas berdiri untuk
menghampirinya. "Hyung—"

Baekhyun melakukan sebuah kesalahan dengan menengadah, memperlihatkan wajahnya yang


basah oleh air mata kepada Sehun dan Jongin. Mereka seketika bungkam, mulut menganga
menyaksikan mata Baekhyun yang memerah dan sedikit membengkak. Baekhyun segera
menundukkan kepala lagi, mengangkat tangan sekilas untuk menurunkan poni sampai menutupi
matanya kemudian berlari meninggalkan mereka tanpa berkata apa-apa. Sehun berniat untuk
mengejar Baekhyun, namun Jongin bergerak cepat untuk menghalanginya—menarik lengan yang
lebih muda untuk mundur.

Lelaki itu menggelengkan kepala lambat. "Biarkan ia sendiri."

RETURN OF THE DANDELION

.
Rumah sakit tidak mengulur-ulur waktu perawatan Chanyeol di rumah sakit. Setelah menjalani
rawat-inap selama satu hari, dokter memperbolehkan Chanyeol untuk pulang. Ia hanya perlu
melakukan checkupsesuai jadwal yang ditentukan guna memulihkan bagian kakinya yang patah.
Meski sementara ia akan dibantu oleh kruk (alat bantu jalan berupa tongkat dengan pegangan di
tengahnya), dokter tetap melarang Chanyeol untuk banyak berjalan—mengingat bahwa patah
tulang yang ia alami masih baru dan takutnya akan terjadi pembengkakan. Dokter juga
mengharuskan Chanyeol untuk menggunakan salep serta mengganti perban secara rutin pada luka
di lengannya guna menghindari infeksi yang parah.

Chanyeol beruntung mempunyai sahabat seperti Jongin. Semenjak pertikaian kecil mereka di
rumah sakit, Baekhyun menolak untuk bertatap-muka dengan Chanyeol—yang mana
mengakibatkan semua urusan menyangkut Chanyeol jatuh ke tangan Jongin. Sang adik kelas
menemani Chanyeol di rumah sakit, mengantar-jemput Chanyeol dari rumah ke sekolah, dan
sesekali menginap berhari-hari untuk sekadar membantu bibi Eunji mengurus Chanyeol. Pada
hari-hari pertama Chanyeol belum terbiasa menggunakan alat bantu jalan, ia terpaksa membolos
sekolah dan Jongin kemudian datang untuk memberitahukan tugas akhir yang perlu diselesaikan.

Sebagai kakak, terus terang Baekhyun malu karena ia cuma berani mengurus Chanyeol dari balik
layar. Ia mengikuti semua perkembangan Chanyeol lewat Jongin, diam-diam mengingat setiap hari
apa dan pada minggu ke berapa Chanyeol akan pergi ke rumah sakit untuk checkup bersama lelaki
berkulit kecokelatan tersebut. Ia hafal salep mana yang Chanyeol usapkan pada luka di
lengannya, painkiller mana yang Chanyeol kadang minum kala kakinya terasa nyeri, dan minuman
apa yang Chanyeol butuhkan saat ia terbaring di tempat tidur sambil memainkan ponsel. Baekhyun
memperhatikan Chanyeol setiap saat, memastikan bahwa ia akan baik-baik saja di rumah maupun
di sekolah.

Namun segala yang Baekhyun lakukan cukup terlaksana dari kejauhan.

Realitanya Baekhyun tetap menghindari Chanyeol, mengisi jadwal kosong di rumah dengan acara-
acara tidak penting bersama Sehun agar ia dapat kabur dari tanggung jawab. Ia akan berangkat
pagi dan pulang malam, cepat-cepat bersembunyi di kamar dan berpura-pura tidur jika Jongin atau
bibi Eunji berkali-kali mengetuk pintu untuk meminta bantuannya. Baekhyun mengabaikan
eksistensi Chanyeol saat mereka berkumpul di ruang makan untuk menyambut kedatangan ayah.
Ia melakukan apapun demi memperkecil kesempatan berinteraksi mereka.

Pengecualian untuk hari ini.

Baekhyun terjebak dalam rumah dengan sebuah beban yang berat. Karena bibi Eunji dan Jongin
sedang keluar guna menyelesaikan urusan masing-masing, Baekhyun pun—mau tidak mau—
dipaksa untuk menggantikan pekerjaan mereka sementara. Mengantar makanan ke kamar
sekaligus mengobati luka Chanyeol bukanlah sesuatu yang susah; hanya saja Baekhyun merasa
sangat canggung untuk tiba-tiba merawat lelaki itu seusai blak-blakan mengabaikannya
berminggu-minggu. Baekhyun takut akan penolakan seperti malam itu di rumah sakit.

Mengambil nafas dalam-dalam, Baekhyun mengetuk pintu kamar Chanyeol dua kali—agak gugup
membuka pintu sambil membawa sebuah nampan berisikan semangkuk sup rumput laut beserta
nasi dan segelas susu cokelat panas. Mendengar bunyi pintu yang terbuka, Chanyeol langsung
mendongak dari ponsel, ekspresi datar terpilin menjadi terkejut oleh kehadiran Baekhyun. Mata
mereka yang bertemu dalam tatapan kelewat canggung membuat Baekhyun tambah menyesali
keputusannya untuk menerima permintaan Jongin. Chanyeol membuang muka, bibir lelaki itu
mengetat karena berusaha membendung amarah.

Baekhyun berdeham tegang. "Jongin pergi untuk mengurus masa berlaku paspornya," ia
memberitahu, berjalan lambat menghampiri Chanyeol. "Untuk sekarang, tolong habiskan makan
siangmu dahulu. Aku akan mengobati lukamu nanti."

Baekhyun lantas berhenti di sebelah tempat tidur Chanyeol, meletakkan nampan tersebut pada laci
kecil. Walaupun ia tahu Chanyeol tidak mungkin merespon, ia tetap mengajak lelaki itu bicara:
"Sekilas informasi saja, aku tidak akan keluar sampai kau menghabiskan makan siangmu,"
Baekhyun sengaja menyelipkan sedikit intonasi main-main untuk menghangatkan tensi dingin di
antara mereka, "Kalau kau ingin aku cepat pergi, maka kau harus mulai menyantap makananmu
dari sekarang."

Chanyeol mengacuhkannya, pandangan gusar ditempatkan pada selimut dan tangan meremas
ponsel. Baekhyun mengambil segelas susu panas dari nampan—mengulurkan gelas tersebut dekat
Chanyeol untuk memudahkan lelaki itu mengambilnya. Chanyeol tidak menghiraukan. "Apa kau
mau teh saja?" Baekhyun menawarkan, mengerutkan dahi karena lelaki itu justru menggeram
pelan. "Kalau kau mau—"

Chanyeol tiba-tiba menggerakkan tangan untuk mendorong gelas itu kasar, menumpahkan isinya
yang sangat panas ke sekujur tangan Baekhyun hingga ia merintih kesakitan dan tanpa sengaja
menjatuhkan gelas tersebut ke lantai—serontak tercengang oleh bunyi pecahan kaca nyaring yang
mendengung di telinga. Susu cokelat telah menyebar kemana-mana, membasahi
ujung jeans Baekhyun serta membentuk aliran kecil bersama puing-puing putih yang menyamai
warna lantai. Tangan Baekhyun tampak memerah, dan ia otomatis mengusap kulitnya perlahan—
rasa perih akibat sentuhan ringan tersebut memaksanya untuk mendesis pelan. Baekhyun memang
bukanlah seseorang yang bisa menahan sakit.

"Keluar," suara rendah Chanyeol langsung menarik Baekhyun untuk menengadah, terperangah
oleh air muka lelaki itu yang datar. Chanyeol lantas menoleh, menatap Baekhyun tajam sambil
menyerukan hal yang sama untuk kedua kali: "Keluar!"

Baekhyun tidak menuruti perintah Chanyeol. Ia menekuk alis, mengembalikan sebuah pandangan
marah kepada Chanyeol. "Tidak," ia menolak, meski ia tahu bahwa harga dirinya sekarang benar-
benar terinjak. "Aku bilang aku akan di sini sampai kau menyelesaikan makan siangmu,"
Baekhyun kemudian melutut guna mengambili sejumlah pecahan kaca yang berserakan—tak
memedulikan darah yang mengucur akibat tusukan beling-beling kecil. "Terserah berapa kali kau
mau mengusirku," ia berusaha berbicara sambil meredam perih, "Aku tidak peduli."

Chanyeol mendelikkan mata pada tangan Baekhyun yang berdarah. "Apa kau gila?!" ia berteriak,
yang mana tidak digubris oleh Baekhyun. Lelaki itu membuka mulut dan menutupnya lagi,
memandangi Baekhyun yang mengambil asal kertas bekas dari laci kamarnya sebagai tempat
untuk mengumpulkan pecahan kaca. Merintih frustrasi, Chanyeol lalu mencondongkan tubuh ke
samping guna mengambil nampan dan melakukan apa yang Baekhyun tadi minta—yakni mulai
menyantap makan siangnya.

Baekhyun tersenyum tipis menyaksikan sang adik yang memasukkan sesendok nasi ke mulut dan
mengunyahnya. Ia kemudian meluruskan kaki, meremas kertas berisi pecahan kaca yang terlihat
dipenuhi bercak-bercak merah—mengelapkan sedikit darah di sana sampai mengering. "Kalau kau
mau ke kamar mandi, pakailah sandalmu terlebih dahulu," Baekhyun memperingatinya, menunjuk
pada lantai yang basah akan susu cokelat. "Berjaga-jaga jika ada pecahan kecil yang tersisa."

Baekhyun menyalakan keran wastafel, menggigit bibir begitu tangannya terbasuh oleh air
dingin—sekilas mendesis untuk menahan perih. Ia termenung di depan kaca, membayangkan
ulang apa yang barusan terjadi sambil memegangi salah satu tangan. Menggelengkan kepala untuk
menghilangkan memori itu dari pikiran, Baekhyun lantas mengambil perban dan obat merah dari
sebuah kotak—menuangkan cairan obat agak berantakan ke seluruh telapak dan bagian belakang
tangan lalu asal-asalan menggulung perban mengitarinya. Efek perih yang ditimbulkan
mengakibatkan Baekhyun untuk berkali-kali merintih pelan.

Ketika ia memasuki kamar Chanyeol dengan membawa segelas teh panas dan kain setengah basah
untuk mengelap lantai, lelaki itu sudah menghabiskan makan siangnya—dua mangkuk kosong
beserta sendok tersusun rapi di atas nampan. Baekhyun meletakkan kain tadi pada lantai—
membiarkannya menyerap sisa susu cokelat sampai bersih—lalu meraih kotak obat dari atas meja
belajar Chanyeol. Mendorong perasaan canggung dan takut yang membelenggu saat ia
menghampiri lelaki itu, Baekhyun tetap menyisakan jarak di antara mereka saat ia mendudukkan
diri di sebelah Chanyeol.

Ia tidak tahu harus merasa lega atau berhati-hati sebab sang adik hanya terdiam selagi Baekhyun
menarik lengannya lembut guna melepaskan perban yang lama.

"Aku membencimu."

Baekhyun seketika berhenti mengusapkan alkohol di sekitar luka Chanyeol, sehelai kapas tipis
basah menempel kaku pada kulit lelaki itu. Ia tidak mendongak meski ia tahu bahwa Chanyeol
kini menatapnya. "Aku benar-benar membencimu," ujar lelaki itu kemudian, suaranya yang pelan
menyebabkan Baekhyun berpikir bahwa ia tengah berbohong.

Itu bukan berarti Baekhyun tidak terpengaruh oleh ucapan Chanyeol. Ia menghela nafas, mencoba
meringankan beban yang tiba-tiba merangkak menuju dadanya. "Aku tahu," bisik Baekhyun
lembut, mengambil sebuah jeda untuk menutuli luka Chanyeol dengan cotton bud yang telah
dilapisi salep. "Kau pasti senang saat mendengar bahwa aku akan pergi ke Jepang sebentar lagi,"
Baekhyun menambahkan.

"Aku?" nada Chanyeol tidak terdengar ramah; ia mengeluarkan tawa getir. "Inikah alasan mengapa
kau bersikap baik padaku?" suara Chanyeol meninggi, "Cara halus untuk mengucapkan 'selamat
tinggal' sebelum kau meninggalkan kami?!"
Baekhyun menghindari pandangan marah Chanyeol. Ia melilitkan perban pada luka Chanyeol
secara hati-hati, menggenggam lengan Chanyeol erat agar lilitan tersebut bisa terlihat rapi. "Hanya
beberapa tahun, Chanyeol," ia menjawab tenang, mengambil perekat dengan tangan yang lain
kemudian menempelkannya pada perban. "Setelah itu aku akan kembali—"

Chanyeol menyingkirkan genggaman Baekhyun pada lengannya, memaksakan Baekhyun untuk


mendongak dan bertatap-mata dengan hazel Chanyeol yang menyala akan emosi. "Penipu!" teriak
lelaki itu, mencengkram pergelangan tangan Baekhyun kuat. "Kau kira aku tidak tahu apa yang
kau rencanakan?!" Baekhyun menutup mulut, membiarkan Chanyeol menuangkan apa yang ia
pikirkan. "Aku sangat mengenalmu, Baek…" sang adik perlahan melonggarkan pegangannya pada
pergelangan tangan Baekhyun, suara yang tadinya keras mulai mengecil. "Aku bisa menebak apa
yang akan kau lakukan setelah kau lulus."

Mereka saling bertatapan selama beberapa detik sebelum Baekhyun akhirnya berdiri dari tempat
tidur, melepaskan tangan mereka yang bersentuhan untuk mengambil nampan di atas laci.
Mengabaikan tatapan Chanyeol yang sayu, ia menunjuk perban di lengan kiri lelaki itu. "Akan
lebih baik kalau kau menambahkan perekat agar tidak mudah lepas," Baekhyun menyarankan,
menjongkok sedikit guna mengambil kain pada lantai dan menaruhnya di atas nampan. Chanyeol
menatapnya kosong. "Pelan-pelan saat kau minum karena tehnya masih panas," ia tersenyum tipis
kemudian memutar tubuh membelakangi Chanyeol. "Beristirahatlah yang banyak."

Baekhyun hendak menutup pintu kamar ketika Chanyeol tiba-tiba berbicara.

"Ini bukan perpisahan," ia menengadah untuk bertemu mata tajam Chanyeol—masing-masing


tangan lelaki itu mengepal. "Jangan pernah berpikir bahwa aku akan membiarkanmu lepas begitu
saja setelah kau ke Jepang."

RETURN OF THE DANDELION

.
Baekhyun menekan knob pintu—perlahan didorong ke depan agar tidak menimbulkan suara
apapun, lalu menutupnya kembali. Selama beberapa detik, ia hanya berdiri di depan kamar,
memandangi bisu sebuah pintu lain di seberang yang masih tertutup rapat—tangan meremas kain
celana hitam tebal yang membungkus kaki jenjangnya. Baekhyun menghabiskan banyak detik di
situ untuk merenung, tatapan tak seberapa fokus diarahkan pada objek yang sama, hingga akhirnya
ia menggeleng pelan—menghadapkan tubuh ke samping lalu berjalan agak lambat menuju tangga.
Samar-samar suara suara Ayah dan bibi Eunji terdengar dari ruang makan, ditambah oleh bunyi-
bunyi tegas akan garpu dan pisau yang bertabrakan di atas piring.

Chanyeol sudah terlebih dahulu hadir di ruang makan, bertempat duduk di sebelah Ayah—
mengabaikan sarapan yang tersedia di depan mata. Ia tidak menghiraukan kedatangan Baekhyun,
pandangan sengaja dipusatkan pada layar ponsel dengan earphones menyumpal kedua telinga.
Baekhyun membasahi bibir, mengalihkan pandangan ke arah lain sebelum mempercepat langkah
menghampiri meja makan untuk mengambil dua buah roti sekaligus. Mengetahui kehadiran
Baekhyun, ayah pun mengibaskan koran dan melipatnya berantakan.

"Baekhyun," ia mengangguk kecil. Baekhyun membalas sapaan canggung ayah lewat senyuman
tipis. "Rapi sekali penampilanmu; kau mau ke mana?"

Baekhyun menempati kursi di depan ayah, mengambil pisau dan garpu untuk memotong setumpuk
roti berselai stroberi menjadi dua. "Kursus bahasa Jepang," jawabnya singkat, dan detik itu juga ia
merasakan tatapan Chanyeol mulai teralihkan padanya. Baekhyun mencoba untuk
mempertahankan ekspresi tenang.

Ayah mengangkat alis bercanda. "Wah… akhir-akhir ini kau rajin menekuni bahasa Jepang,"
tatapan pura-pura curiganya menuai tawa kecil dari Baekhyun. "Apa kau berencana untuk
mengambil Sastra Jepang di universitas?"

Baekhyun menggeleng; ia telah membuka mulut untuk menjawab ketika Chanyeol tiba-tiba buka
suara, "Apakah Ayah tidak tahu bahwa Baekhyun mendapat full scholarship dari Universitas
Tokyo?" intonasi gembira lelaki itu menarik atensi ayah dan Baekhyun untuk memandang ke
arahnya. Senyuman lebar Chanyeol seketika membingungkan Baekhyun. "Ia adalah salah satu dari
dua murid di sekolah kami yang memperoleh penawaran itu."

Mata ayah kemudian membelalak oleh rasa terkejut setengah mati. "Universitas Tokyo yang
terkenal itu?" ia nyaris berseru, mulut menganga ke direksi Baekhyun. "Benarkah?"

Baekhyun dan Chanyeol saling bertatapan; akan tetapi masing-masing dari keduanya
memperlihatkan ekspresi yang jauh berbeda. Chanyeol terlihat ceria, sedangkan Baekhyun hanya
memandang Chanyeol dingin—menerka-nerka tujuan Chanyeol untuk membahas perihal
beasiswanya. Mereka nyaris tidak pernah berinteraksi, namun kenapa lelaki itu bersandiwara
seakan-akan hubungan mereka tetap baik-baik saja? Baekhyun tidak mengerti.

"Baekhyun," Chanyeol mengangkat satu alis main-main, wajah ditekuk guna berpura-pura sedih.
"Apa kau belum memberitahu Ayah tentang ini?" ia lantas menggelengkan kepala,
menggumamkan "tch" keras-keras. "Sesibuk itukah kau mempersiapkan kehidupan barumu di
Jepang sampai kau lupa mengabari Ayah?"

Tidak butuh satu detik bagi Baekhyun untuk menyadari sindiran yang tersembunyi di belakang
ekspresi riang Chanyeol. Ia menelan ludah, memberikan tatapan kecewa pada lelaki itu—
menunggu Chanyeol untuk balik menatapnya, namun Chanyeol sengaja membuang muka. Ayah
malah tersenyum lebar di kala raut muka kedua putranya sama-sama kaku. "Menakjubkan!" ia
tidak bisa mengontrol seruannya, "Ini adalah pertama kalinya seseorang di keluarga kita akan
melanjutkan pendidikan di Universitas Tokyo. Baekhyun, Ayah bangga padamu. Kau pasti senang
sekali!"

Terjebak dalam permainan Chanyeol membuat Baekhyun sulit untuk tersenyum, tapi ia
mengangguk sekali—memaksakan bibirnya untuk sedikit melengkung guna mengekspresikan
ucapan terima kasih.

"Baekhyun, Ayah bangga padamu."

Ia tidak bisa mengelak bahwa ia sangat merindukan sebuah pujian langsung dari ayah.

"Tentu saja," intonasi sarkasme Chanyeol yang tiba-tiba langsung merusak suasana hati Baekhyun,
"Hyung terlihat senang untuk bersekolah di Jepang," tatapan lelaki itu yang ramah menakuti
Baekhyun. "Kutebak ia sudah mengemasi barang-barangnya dari sekarang."

Baekhyun memilih untuk diam ketika Chanyeol meneruskan dalam intonasi yang tenang, "Lagi
pula…" ia lalu meletakkan garpu dan pisau di masing-masing sisi piring guna memindahkan atensi
pada Baekhyun. "Siapa lagi yang tidak senang saat tahu bahwa ia mendapat peluang untuk
meninggalkan rumah keluarga yang ia benci?"

Senyuman sumringah ayah perlahan sirna dari wajahnya, tergantikan oleh raut muka yang
tercengang tidak karuan. Keheningan kaku lantas menyelimuti mereka bertiga, menyisakan bunyi
tegukan air yang Chanyeol minum sebagai penutup sarapan. "Apa aku salah bicara?" ia
menolehkan kepala pada Baekhyun, tatapan yang tadinya ramah seketika menajam saat melihat
delikan tertahan Baekhyun. Lelaki itu pun menggertakkan gigi. "Bukankah itu yang selama ini kau
mau?" Chanyeol nyaris berseru, "Segera membebaskan diri dari kami?"

Ayah tampak kehilangan kata-kata. Ia berkali-kali membuka mulut kemudian menutupnya,


kebingungan untuk bereaksi menghadapi Chanyeol yang tiba-tiba naik pitam. Baru semenit yang
lalu mereka sedang berbahagia membahas prestasi Baekhyun, dan Chanyeol kini menjadi emosi
tanpa alasan. Padahal seseorang yang terlebih dahulu membahas tentang beasiswa Baekhyun
adalah Chanyeol sendiri.

"Apa Ayah tidak sadar?" Chanyeol menatap ayah sekilas untuk memicingkan mata ke arah
Baekhyun lagi. "Pasti memuakkan bagi Baekhyun untuk tinggal bersama orang-orang yang ia
anggap sudah membuangnya sepuluh tahun lalu," hembusan nafas Chanyeol berangsur-angsur
menjadi cepat, "Jika bukan karena masalah biaya, mana mungkin Baekhyun mau tinggal bersama
kita?" Baekhyun tidak memutus kontak mata mereka meski tatapannya sedikit bergetar. "Dahulu
ia tidak pernah berusaha untuk menghubungi kita. Bukankah itu berarti ia membenci kita?"

Baekhyun melihat kekecewaan dan kesedihan dalam delikan Chanyeol. "Aku berkata begini
karena sampai sekarang pun aku tidak percaya bahwa kakakku yang bertahun-tahun 'menghilang'
tiba-tiba kembali," Chanyeol menghentikan bicaranya untuk memandang kosong meja makan.
"Dahulu aku malah berpikir bahwa aku memang tidak punya kakak karena 'kakakku' tak sekali
pun sudi menengok keadaanku," terselip sebuah jeda lagi seraya ia menelan ludah. "Ia seperti
sudah memiliki kehidupannya sendiri sampai tidak mempedulikan adiknya…" Chanyeol
menggerakkan bola matanya untuk menatap Baekhyun sendu. "Itu pun kalau ia masih
menganggapku adiknya."

Baekhyun menggelengkan kepala lambat, memohon kepada Chanyeol lewat tatapan mata mereka
untuk berhenti bicara agar ayah tidak perlu menyaksikan mereka bertengkar, namun lelaki itu salah
mengartikan permintaan Baekhyun. Rahang mengeras, ia tidak mempedulikan ekspresi pilu
Baekhyun dan melanjutkan: "Katakan, tidakkah kau bosan untuk tinggal bersama kami?"
pertanyaan tersebut terlontar dalam nada yang menikam. Baekhyun tidak kuat menahan air
matanya. "Kau sering mengatakan padaku bahwa kau tidak sabar untuk angkat kaki dari rumah
kami. Apa kau sudah menunggu kesempatan ini sejak lama?"

Mengetahui bahwa Baekhyun tidak akan menjawab, Chanyeol terus berbicara, "Kau tahu betul
kau akan lolos; itu sebabnya kau tidak ragu-ragu memanfaatkan kejeniusanmu yang luar biasa itu
untuk mencoba beasiswa di Jepang," setetes air mata tiba-tiba turun tanpa peringatan, dan
Baekhyun hanya membisu di atas kursi—tak mencoba untuk menyekanya. "Kau tidak sabar untuk
menghilang," suara Chanyeol semakin mengeras; tatapan penuh kebencian yang ditujukan
kepadanya membuat Baekhyun lantas terisak. "Kau tidak sabar untuk tak perlu berhadapan dengan
kami lagi."

Kali ini ayah tidak mau diam saja. Air mata Baekhyun telah mengundang amarahnya untuk segera
menyela kelancangan bicara Chanyeol. "Diam!" ia kemudian menggebrak meja keras untuk
mengalihkan atensi Chanyeol.

Akan tetapi teriakan ayah tidak sedikitpun mempengaruhi lelaki itu. Chanyeol justru memandang
Baekhyun bengis. "Kau pikir aku bodoh?" wajah Baekhyun yang sedikit basah oleh keringat serta
tangisan membuat Chanyeol semakin marah. "Aku tahu bahwa kau masih menyimpan kepahitan
yang sama dari sepuluh tahun lalu," ia tidak menghiraukan Baekhyun yang tampak kehilangan
nafas karena meredam tangisannya, dan mencurahkan semua yang selama ini ia pendam saat itu
juga. "Kau benci pada kenyataan bahwa kami mempunyai hidup yang lebih baik dari kalian. Kau
benci pada Ayah karena ia telah menyia-nyiakanmu—"

Ayah mendelikkan mata tidak percaya. "Chanyeol!"

Kebenaran yang Chanyeol ucapkan menghancurkan pertahanan Baekhyun untuk membendung air
matanya. Ia membuka mulut, ingin meneriaki Chanyeol untuk berhenti, meneriakkan pada lelaki
itu bahwa apa yang ia katakan sudah keterlaluan—namun apa yang keluar dari mulut Baekhyun
hanyalah suara nafasnya yang tersendat oleh tangisan. Tentu saja, Baekhyun menggigit bibir
hingga berdarah, tentu saja Chanyeol tahu. Satu hal yang ia inginkan sekarang adalah pergi sejauh
mungkin dari sini—melindungi dirinya dari perkataan Chanyeol yang terasa menikamnya dari
belakang.

"Haruskah aku menyebutkan satu hal lain yang lebih konyol tentangmu?" Chanyeol menyeringai
remeh. "Kau iri padaku," ia menekankan suaranya pada kata tersebut kemudian tertawa pahit.
"Bohong jika aku bilang bahwa aku tidak merasakan kecemburuanmu padaku," Chanyeol
menggeleng-gelengkan kepala, tawanya seakan mendengung di telinga Baekhyun—menertawai
kepahitan yang Baekhyun tengah ratapi. "Tatapanmu saat kau melihat foto-foto masa kecilku
dengan Ayah… itu hanyalah satu dari sekian banyak hal yang aku sadari."

Chanyeol menatap Baekhyun sayu. "Aku tahu, Baekhyun," ia mendesis marah, "Jangan anggap
aku sebodoh itu."

Ayah memandang Baekhyun bersalah, terenyuh oleh isakan Baekhyun yang terpatah-patah.
"Baekhyun…" lirihnya sangat pelan hingga tidak ada seorang pun yang mendengarnya.

Chanyeol menggeram menyaksikan Baekhyun menangis. "Kenapa kau menangis?" Chanyeol


bertanya dalam intonasi yang mencemooh, "Kukira di saat-saat seperti ini harusnya kau
memberitahu kami tentang cara licik macam apa yang akan kau pakai untuk menyingkirkan kami
dari hidupmu."

Ayah memegang lengan Chanyeol, memaksakan lelaki itu untuk menoleh menghadapnya.
"Chanyeol, hentikan!"

Tetapi lelaki itu tidak mempedulikan ayah, meruncingkan kata-katanya agar mereka dapat
menembus dada Baekhyun—mematikan Baekhyun sebelum ia bisa mengungkapkan sesuatu yang
Chanyeol takuti akan berbalik melukainya. "Setidaknya itu jauh lebih baik ketimbang menipu
kami dengan bualan manis seperti 'aku akan kembali' karena aku tahu benar bahwa yang kau
maksud adalah 'selamat tinggal'."

Baekhyun menundukkan kepala, mengambil masker dari saku untuk dikenakan—menyingkirkan


poninya yang basah ke samping. Pandangan Chanyeol tambah menajam saat Baekhyun tiba-tiba
beranjak dari kursi. "Ayah, maaf," ia akhirnya berbicara setelah terdiam untuk waktu yang cukup
lama, suara sengau agak terbata-bata, "Aku harus pergi. Kelas akan dimulai sebentar lagi."

Ayah mengedipkan mata, mengamati setumpuk roti selai yang belum tersentuh di atas piring
sambil menegakkan punggung. "Baekhyun," ia mendongak untuk menatap Baekhyun panik.
"Sarapanmu—"

Chanyeol menggertakkan gigi berang; ia mengeratkan pegangan kedua tangan pada meja makan
sebagai tumpu untuknya bangkit dari kursi tanpa melepas pandangan dari figur Baekhyun yang
menjauh. Kaki Chanyeol gemetaran tidak karuan saat ia memaksakan diri untuk berdiri,
membuatnya hampir terjatuh ke depan—menyadarkan ayah dari lamunan sehingga ia cepat-cepat
memegang lengan lelaki itu erat. "Chanyeol!" ia berteriak, memaksakan lelaki itu untuk duduk.
Namun Chanyeol mengerang, melepas paksa genggaman ayah di lengannya sambil mendelikkan
mata ke arah Baekhyun. Tindakan kecil itu menyebabkan salah satu telapak tangan Chanyeol di
atas meja untuk sedikit bergeser dan tak sengaja tergores oleh pisau makan—menyobek kulit lelaki
itu sampai darah pun mulai mengalir ke sekitar piring.

Baekhyun tetap tidak mau menoleh bahkan ketika ayah menyerukan pada bibi Eunji untuk
membawa kotak obat.

"Pembohong!" teriak Chanyeol lantang, menghancurkan keheningan yang mencekik dengan


gemaan suaranya dalam ruangan. Ia menggunakan tangannya yang berdarah untuk membanting
kruk di sebelah kursi, nafas tidak terkontrol oleh emosi hingga ia nyaris terjatuh jika ayah dan bibi
Eunji tidak memegangi bahunya dari belakang. "Terus saja menghindari kami!" Chanyeol menjerit
lebih keras meski suaranya hampir habis, mata mulai berair karena Baekhyun sama sekali tidak
menoleh—sebaliknya mempercepat jalan menuju pintu. Lelaki itu tidak menghiraukan ayah yang
berusaha menenangkannya. "Bukankah itu yang akan kau lakukan untuk menghilang dari
kehidupan kami?!"

Pintu ditutup, dan bentakan Chanyeol menyentak telinga Baekhyun—mengirimkan tikaman yang
tajam ke sekujur tubuhnya. Selama beberapa detik ia pun terpaku di hadapan pintu, tangan masih
memegang gagang gemetaran seraya matanya memanas oleh air mata yang ia coba tahan.
Baekhyun menundukkan kepala, ucapan Chanyeol terngiang-ngiang di kepalanya hingga ia
mendapati air mata untuk kembali bercucuran. Rasa familiar akan darah telah terasa di lidahnya,
namun ia tetap menggigiti bibir demi menghentikan isakannya yang mengeras.

Baekhyun memang menolak untuk menatap Chanyeol; ia tidak mempunyai keberanian untuk
mendengar Chanyeol menjatuhkannya lagi.

Tetapi yang Baekhyun tidak ketahui adalah jika untuk sekali saja ia mau menoleh ke belakang, ia
akan melihat bahwa bukan ia yang satu-satunya menangis di sana. Butiran-butiran kristal bening
juga telah berjatuhan dari hazel Chanyeol, nafas terpaksa didesakkan untuk menelan isaknya—
berharap agar seseorang yang kini tersedu di depan pintu tidak mendengar bahwa lelaki itu tengah
meratapinya.

RETURN OF THE DANDELION

.
.

Hush now, my angel

I will always be with you,

In your pretty smile,

In a glow of tears,

Out across the frosty night,

I'll be there with you

Baekhyun menekan tombol "pause" pada layar—melepaskan earphones lalu memasukkannya ke


bagian depan tas. Ia melamun untuk beberapa saat, menggerakkan jemari di sekitar ponsel sembari
menikmati kesunyian ruang kelas 12-1. Hari ini adalah hari Jum'at; para murid kebanyakan
langsung pulang sesudah bel dibunyikan, menyisihkan Baekhyun menjadi satu dari secuil siswa
yang masih berada di sekolah dengan segala urusan mereka yang mesti diselesaikan. Tidak,
Baekhyun bukan tengah mengerjakan tugas proposal atau apa—karena sesungguhnya ia
resmi assignment-free sejak berminggu-minggu lalu dan sekadar berniat menganggur di kelas
sampai seorang petugas kebersihan sekolah datang untuk mengusirnya.

Baekhyun hanya tidak ingin pulang untuk sementara.

Menguap kecil, ia lalu mengulurkan jari untuk membuka kunci ponsel saat seseorang mendadak
mengetuk pintu kelas.

"Hyung!" Jongin melambai ceria, langsung memasuki ruangan untuk mendatangi Baekhyun—
sebuah iPod seri lama di genggaman. Baekhyun melirik gugup ke belakang sang adik kelas, tak
mengharapkan kehadiran Chanyeol. "Ternyata kau masih di kelas," ia tersenyum ramah. "Ayo
pulang bersama kami!"

Bernafas lega karena Chanyeol ternyata tidak ada di sini, Baekhyun menggeleng. "Tidak usah,"
tolaknya sopan. Ia tidak mau menjadi pengacau suasana hati Chanyeol. "Aku harus ke
perpustakaan untuk mengembalikan beberapa buku." Membohong tidak pernah termasuk dalam
keahlian Baekhyun, tetapi ia terpaksa melakukan itu demi menghindari Chanyeol. Sejak
konfrontasi lelaki itu di depan ayah minggu lalu, Baekhyun tidak mempunyai pilihan lain kecuali
menyerah. "Terima kasih atas tawarannya."

Jongin mengangguk, bersiap-siap untuk keluar kelas—tangan diangkat guna melambai-lambai


lucu ke arah Baekhyun. "Baiklah kalau begitu," ia memberi Baekhyun satu kali tatapan terakhir
sebelum berlalu. "Hati-hati dan cepatlah pulang!"
Tetapi Baekhyun tidak meladeni nasihat Jongin.

Ia tetap duduk ketika bus yang ia kendarai berhenti di depan halte dekat rumah—membiarkan
kendaraan tersebut membawanya ke terminal agar ia bisa membeli satu tiket perjalanan ke
Daejeon. Segala peringatan hati-hati yang Chanyeol dahulu sering katakan sudah tidak berarti apa-
apa bagi Baekhyun. Ia mengaktifkan airplane mode, menyumpal telinga dengan lagu-
lagu EDM masa kini yang tidak biasa ia dengarkan sambil memandangi jalan lewat jendela bus.
Baekhyun ingin melarikan diri untuk sebentar saja.

Tidak ada yang berubah dari Daejeon: gedung-gedung tinggi familiar yang berkeliaran, dan
sekerumunan orang yang bergerombol untuk menyeberang jalan. Baekhyun setengah berlari
bersama mereka saat lampu pejalan kaki menunjukkan warna hijau—mata menjelajahi sekitar
sembari mengingat-ingat memori masa lampau dengan ibu. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah
Baekhyun, menarik poninya ke belakang terus-menerus hingga tampak berantakan, namun anak
itu tidak terlalu mempermasalahkannya. Ia berseri-seri begitu bus berwarna hijau langganannya
berhenti di depan halte.

Ayo bersenang-senang.

Dan Baekhyun sungguh-sungguh melakukan itu, nyaris berjalan ke sana kemari untuk
menghambur-hamburkan uang yang diberikan ayah. Ia mengunjungi tempat perbelajaan terbesar
di Daejeon, membeli sejumlah baju yang sekiranya cukup untuk didesakkan ke dalam tas. Ia
memasuki sebuah café terkenal yang baru-baru ini dibicarakan Jongdae, memesan dua gelas
cokelat panas yang harganya mahal bukan main. Ia pergi ke convenience store terdekat untuk
menyantap tiga cup ramen kemudian mencoba salah satu menu populer sebuah restoran masakan
Italia.

Baekhyun terlalu bersenang-senang sampai ia tidak sadar bahwa langit yang tadinya terang sudah
menjadi gelap, dan terdapat angka 22:40 pada jam tangan digitalnya.

"Shit," adalah apa yang Baekhyun mampu katakan selagi ia mengantri untuk membeli tiket bus ke
Seoul—cepat-cepat memasuki kendaraan tersebut sebelum ia tertinggal. Anak itu mendadak
merasa was-was, mengetuk-ketukkan kaki berulang-ulang selama perjalanan sembari memandang
tidak sabaran ke luar jendela bus. Jangan salah mengerti; Baekhyun baik-baik saja dengan
berpergian ke luar kota sendiri—yang ia (sangat) tidak biasa adalah berpergian ke luar kota sendiri
sampai larut malam. Dibesarkan oleh ibu yang tergolong disiplin, Baekhyun selalu dipaksa pulang
sebelum jam menunjuk angka delapan malam. Mungkin kebiasaan itulah yang mengakibatkannya
jadi ketakutan tanpa alasan.

01:48.

Baekhyun turun sendirian dari bus, memegang pilar halte distrik Gangnam sambil mengamati
jalanan yang sesekali dilewati oleh beberapa mobil. Tidak ada satu orang pun di sini; Baekhyun
terjebak antara bersyukur dan ketakutan karena ia membenci tempat yang sepi—meskipun lampu-
lampu di sepanjang jalanan Seoul jelas terang-benderang. Untuk mencegah
peristiwa 7eleven kemarin terulang, ia sengaja menonaktifkan airplane mode di posisi yang
mendekati rumah—sebuah aksi berjaga-jaga menghemat baterai kali-kali ia tersesat lagi dan
memerlukan bantuan Jongin atau Sehun. Ponsel Baekhyun bergetar berulang-ulang,
nyaris hang selama beberapa detik karena notifikasi yang membeludak—menyebabkan bagian
dalam ponsel untuk sedikit memanas hingga menguras banyak baterai. Baekhyun menganga
takjub.

129 panggilan tidak terjawab dari Sehun, 72 panggilan tidak terjawab dari Minseok, 94 panggilan
tidak terjawab dari Joohyun, 61 panggilan tidak terjawab dari Chanyeol, dan 48 panggilan tidak
terjawab dari Jongin. 342 pesan suara. 1000 lebih pesan dari grup maupun chat pribadi KakaoTalk.

Terlalu malas untuk merespon mereka satu per satu, ia pun membuka group chat dan mengirim
sebuah pesan singkat—tak lupa mengaktifkan kembali airplane mode setelahnya untuk
menghindari panggilan beruntun mereka.

[GOSSIPERZ – oohsehun, Joohyun, minseok kim]

Byun Baekhyun: hai, maaf baru mengabari n_n sekarang aku sedang jalan kaki ke rumah
dari halte bus yang sepi dan mengerikan~ o_O terima kasih sudah mengkhawatirkanku!
T^T (terharu melihat spam kalian!) CEPATLAH TIDUR. BYE. [01:52]

Berhenti di depan rumah, Baekhyun melepas tas untuk mengambil sebongkah kunci di bagian
depan—mengulurkan salah satunya ke dalam guna membuka gembok besar yang terkait pada
pagar kediaman Park. Mendorong pagar tersebut ke luar, pegangan Baekhyun sejenak mengerat
ketika ia disambut oleh Chanyeol yang bersandar di sebelah mobil—ekspresi lelaki itu dingin
sehingga Baekhyun segera memutus kontak mata mereka. Ia menelan ludah, sejenak
memunggungi Chanyeol untuk kembali mengaitkan gembok pada pagar—menekan bagian
tengahnya agar terkunci. Baekhyun tidak tahu harus bersikap seperti apa.

"Kau terbangun?" sapa Baekhyun canggung, mengabaikan pandangan Chanyeol yang menajam
dan berjalan melewati lelaki itu.

Baekhyun tahu bahwa Chanyeol kini mencoba untuk mengejarnya, bunyi kruk yang mengikuti
setiap langkahnya terdengar lebih keras sebab lelaki itu memaksakan diri untuk berjalan cepat. Ia
membuang nafas, terduduk di kursi tamu sambil melepas masing-masing kaos kaki dan sepatu—
meletakkan mereka rapi pada rak sepatu kemudian berbalik mengenakan sandal kain yang biasa
ia pakai di rumah. Chanyeol perlahan mengikutinya ke dapur, mengawasi gerak-gerik Baekhyun
yang jelas-jelas menunjukkan bahwa ia tengah menghindarinya. Lelaki itu menatapi bagian
belakang kepala Baekhyun.

"Kupikir kau berniat kabur dari rumah."

Suara Chanyeol tidak seberapa mengejutkan Baekhyun. Ia sudah menebak bahwa lelaki itu akan
memojokkannya lagi. "Aku tidak pernah melihatmu keluyuran sampai dini hari," ujar Chanyeol
ragu-ragu—seakan-akan ia tidak tahu harus berbicara apa, "Rasanya agak janggal."

Baekhyun meneguk segelas air putih lambat—tak memiliki niat untuk menghiraukan Chanyeol.
"Ke mana saja kau seharian ini?" tanya Chanyeol dalam nada yang tenang tapi agak bergetar,
"Jongin menanyakanmu pada seorang petugas perpustakaan dan ia bilang kau sama sekali tidak
ke sana." Baekhyun meletakkan gelas di atas meja, berjalan lurus memutari meja makan agar ia
tidak perlu berhadapan dengan Chanyeol. "Apa kau tidak akan menjawab?" lelaki itu mengeraskan
suaranya, menggerakkan kruk agak cepat untuk menyamai langkah Baekhyun.

Baekhyun tidak menoleh. "Selamat malam."

Terpancing emosi oleh sikap apatis Baekhyun, Chanyeol langsung berteriak dalam intonasi yang
kasar: "Baekhyun!" ia mendelikkan mata pada punggung Baekhyun, mengharapkan Baekhyun
untuk menoleh dan berhenti mengabaikannya. "Apa kau mau bersikap sewenang-wenang karena
kau akan meninggalkan rumah ini nantinya?!"

Kali ini Baekhyun menuruti keinginan Chanyeol, menoleh ke belakang untuk memandang lelaki
itu frustrasi—masing-masing tangan mengepal erat. "Aku hanya mencari udara segar—"

Chanyeol menggeram tidak peduli; genggaman yang sangat erat pada kruk membuat Baekhyun
takut lelaki itu akan membantingnya ke lantai. "Haruskah kau pulang pagi buta hanya untuk
mencari 'udara segar'?!" potongnya sebelum Baekhyun bisa menyebutkan kebohongan lain yang
ia tidak ingin dengar. Seruan Chanyeol serontak memerangahkan Baekhyun, membekukan mulut
Baekhyun untuk mengatakan apapun. "Apa kau tak sadar betapa bahayanya di luar sana?!" barulah
setelah ia meneriakkan itu, suaranya mulai melemah—ekspresi yang berang sedikit demi sedikit
melembut menjadi depresi. "Aku tidak bisa menolong jika ada sesuatu terjadi padamu!" nadanya
terdengar seperti memohon, dan Baekhyun bisa melihat air mata tipis yang perlahan menampakkan
diri di balik hazel Chanyeol. "Tak bisakah kau memahamiku sedikit dengan keadaan kakiku yang
seperti ini?!"

Baekhyun terdiam; ia mengalihkan padangannya ke lantai selama beberapa detik, terjebak dalam
keheningan kaku yang melingkupi mereka, sebelum mengangkat kepala untuk menatap Chanyeol
dingin. "Aku tidak membutuhkan bantuanmu," ujarnya lewat gertakan gigi, tak melewatkan bahu
Chanyeol yang terjatuh karena kecewa mendengar ucapannya.

Lelaki itu hanya memandang Baekhyun sayu, tersenyum lebar meski itu terlihat menyedihkan di
mata Baekhyun. "Aku bergantung padamu, bodoh…" jantung Baekhyun berdetak menyakitkan
ketika ia menyaksikan Chanyeol menggerakkan kruknya pelan untuk mendekatkan jarak mereka.
"Apa kau tahu bahwa aku bisa gila jika sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi padamu?" suara
Chanyeol yang lembut membuat Baekhyun tertegun. "Bahkan sampai sekarang pun, jantungku
masih berdetak sangat kencang karena ketakutan."

Darah Baekhyun berdesir akan rindu, dan ia menatap Chanyeol takut selagi kakinya mulai berjalan
mundur lambat—menjauhkan jarak mereka lagi karena keinginan untuk memeluk lelaki itu begitu
besar hingga Baekhyun takut ia akan benar-benar melakukan itu. Chanyeol kembali tersenyum
kecil, menyayat hati Baekhyun oleh ekspresi lelaki itu yang pasrah. "Setidaknya buat aku yakin
kalau kau dapat menjaga dirimu dengan baik saat di Jepang nanti," ia berujar pelan, mengerjapkan
mata yang sedikit berair. "Aku tidak akan bisa melepaskanmu ke Jepang kalau kau terus-terusan
mengkhawatirkanku."
Tidak ada yang berbicara seraya mereka bertatapan sendu, terdiam kaku mendengar bunyi jarum
jam yang menggelitik. Baekhyun tahu ia telah melakukan kesalahan besar dengan membiarkan
dirinya tenggelam dalam hazel Chanyeol yang intens, menyelami pikiran lelaki itu yang selama
ini tidak dapat ia pahami.

Seluruh memori-memori mereka dahulu pun tiba-tiba berputar cepat di kepala Baekhyun—
menggetarkan sekujur tubuhnya oleh sesuatu yang baru ia sadari. Baekhyun teringat akan setiap
perlakuan dan perkataan Chanyeol kepadanya—diam-diam menghangatkannya hingga ia terjebak
dalam perasaan-perasaan asing yang salah. Ia teringat akan setiap rangkulan, setiap ciuman
menggetarkan yang Chanyeol hanya berikan padanya. Ia teringat akan tawa dan senyum yang
dahulu selalu mengelilingi mereka.

Tetapi Baekhyun juga teringat akan setiap tetes air mata yang Chanyeol jatuhkan untuk setiap
bualan yang Baekhyun lontarkan padanya. Ia teringat akan berapa kali ia menepis Chanyeol untuk
setiap usaha lelaki itu memperbaiki hubungan mereka, membentakkan kata-kata yang tidak pernah
ia ingin katakan. Ia teringat bahwa Chanyeol memendam semua kepedihan itu sendiri—berpura-
pura tenang setiap saat meski Baekhyun tahu ia telah menghancurkannya berkali-kali. Ia teringat
akan segala hal buruk yang terlanjur ia lakukan kepada Chanyeol demi kepentingannya sendiri.

Baekhyun mengingat semuanya, dan ia menyesal—merasakan sesak yang menggerogoti dadanya


sampai ia tidak menyadari bahwa ia sedang terisak. Baekhyun sungguh-sungguh menyesal telah
menyakiti seseorang yang selama ini hanya berusaha untuk memberikan yang terbaik untuknya.
Seseorang dengan senyuman bodoh yang selama ini hanya ditunjukkan kepadanya. Seseorang
dengan kata-katanya yang kasar karena ia tidak tahu cara mengungkapkan perasaannya dengan
benar.

Baekhyun menyesal telah jatuh cinta kepada seseorang yang sama sekali tidak berhak atas
perasaan salah itu.

Chanyeol terperangah menyaksikan butiran air mata yang berjatuhan dari kelopak mata Baekhyun
meski kepalanya menunduk. Ia menggerakkan kruk untuk mendekati Baekhyun, mengangkat
tangan ragu-ragu untuk menyentuh lengannya. "Baekhyun?" ia bertanya lambat, dan Baekhyun
menggeleng-gelengkan kepala—isakan mengeras seraya matanya sedikit membengkak.

"Maafkan aku," ia melirih, meletakkan telapak tangan pada mulut untuk meredam tangisan yang
mengeras. Chanyeol mengerutkan kedua alis khawatir, mendengarkan Baekhyun yang berulang-
kali mengucapkan maaf sambil terisak. Tangisan tersedu-sedunya yang tiba-tiba membingungkan
Chanyeol. "M-maafkan aku."

Chanyeol kehilangan kata-kata. "Baekhyun, a-aku—" ia membuka dan menutup mulutnya ragu-
ragu, mengerjapkan matanya berulang-ulang. "Aku tidak bermaksud—"

"Ini adalah salahku," Baekhyun berkata histeris di sela-sela tangisan, isakannya tidak tertahankan
hingga nafasnya berkali-kali tersendat. Chanyeol tidak mengerti apa yang ia bicarakan. "Aku
merusak semuanya, tapi aku selalu menyalahkanmu karena aku tidak lebih dari seorang pengecut."
Chanyeol mengerutkan dahi, memandangi wajah Baekhyun yang terlanjur basah akan air mata.
"Kau bicara apa? Aku—"

"Kau melakukan hal yang benar dengan membenciku," ujar Baekhyun lemah, memotong
pembicaraan Chanyeol dengan nafasnya tersengal-sengal—pandangan pilu yang Baekhyun
berikan padanya semakin menanarkan lelaki itu. "Aku tidak pantas menjadi kakakmu," Baekhyun
bertele-tele, "Aku tidak pantas berada di keluarga ini. Aku—"

Chanyeol menyandarkan tubuhnya hati-hati pada laci, memastikan benar-benar bahwa ia tidak
akan terjatuh sebelum mengulurkan tangan waswas untuk menyingkirkan poni Baekhyun yang
agak basah dari dahinya. "Kau kenapa?" tanya lelaki itu halus, mengusap air mata Baekhyun pada
pipi. "Apa yang kau bicarakan?"

Baekhyun menjauhkan wajahnya dari sentuhan Chanyeol, memandangi Chanyeol pilu sambil
terisak keras—menggelengkan kepala pada perasaan hangat yang telah menjalar melewati
pembuluh darahnya akibat kontak kulit mereka. Tangan Chanyeol mengepal menerima penolakan
Baekhyun. "Menjauhlah dariku!" dada Baekhyun terasa lebih sesak sebab ia yang memaksakan
diri untuk berteriak. Tangisannya yang tiada henti membuat keributan di rumah mereka.
"Kumohon… jangan membuat semuanya lebih berat bagiku."

Chanyeol kemudian menatap Baekhyun tajam, amarah sejenak mengusik karena ia berpikiran
yang macam-macam. "Siapa yang membuatmu seperti ini?" ia mengerutkan alis. "Apa yang
terjadi?"

Baekhyun tersedak tangisannya sendiri. "K-kau tidak akan mengerti," ujarnya di tengah tangisan,
mengabaikan pandangan Chanyeol yang seolah memaksa Baekhyun untuk balik menatapnya.
"Kau tidak boleh mengerti," ia menambahkan, lirihannya tidak luput dari pendengaran Chanyeol.

Lelaki itu membuka mulut, menekukkan alis cemas. "Baek—"

"Kumohon jangan bicara lagi," Baekhyun menyela Chanyeol, menghadap ke samping untuk
memutar tubuh membelakangi Chanyeol. "Biarkan aku ke kamar. Aku ingin istirahat."

Bunyi lantang akan kruk Chanyeol yang menyentuh lantai mengisi keheningan ruangan; lelaki itu
mengerang pelan karena kesusahan menarik Baekhyun untuk tidak berbalik tubuh. "Tidak," ia
bersandar pada dinding seraya tangan yang lain menggenggam lengan Baekhyun. "Kau perlu
memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi padamu."

Baekhyun tidak menepis tangan Chanyeol pada lengannya, mengawasi khawatir pergerakan lelaki
itu yang jika tidak hati-hati dapat menyebabkannya terjatuh. "Lupakan," ia berusaha untuk melepas
cengkraman Chanyeol secara lembut, tapi lelaki itu justru mengeratkannya hingga kulit Baekhyun
sedikit memerah. "Aku tidak ingin membicarakan ini denganmu."

Chanyeol menggeram depresi. "Baekhyun!"


"Kembalilah ke kamar," Baekhyun menyentuh pergelangan tangan Chanyeol sekilas. "Kau juga
membutuhkan istirahat," ia tidak menghapus air matanya yang kembali mengalir. "J-jangan—
jangan terlalu lelah."

Chanyeol mendelikkan mata mengancam; ia berseru tertahan: "Tidak!" Baekhyun menundukkan


kepala untuk menyembunyikan tangisannya. "Kau harus memberitahuku apa yang—"

"Ciuman itu!" Baekhyun tiba-tiba menjerit, nafas terputus-putus hebat setelahnya, dan Chanyeol
pun berhenti berbicara—tubuh melemas sehingga ia perlahan melepaskan cengkramannya pada
pergelangan tangan Baekhyun. "Chanyeol…" bisiknya, menengadah untuk menatap Chanyeol
dengan mata yang memerah akibat kebanyakan menangis. Lelaki itu seketika bungkam. "Ciuman
itu membingungkanku."

Baekhyun lantas terisak pelan, dada naik-turun berantakan karena kesusahan mengambil nafas.
Rasa nyeri yang luar biasa menyebabkan bicara Baekhyun jadi terbata-bata. "A-aku—aku tidak
tahu apa yang kurasakan setelah ciuman itu," ia mengawali, tak sanggup memandang Chanyeol
karena raut muka terkejut lelaki itu membuat Baekhyun semakin merasa bersalah. "Aku harap aku
tidak tahu."

Bahu Baekhyun bergetar, air mata terus-menerus mengalir membanjiri pipi dan lehernya—
menetes pada kerah kemeja putih yang ia kenakan. "Perasaanku berantakan… aku merasa jijik
terhadap diriku sendiri," Baekhyun tetap memaksa untuk berbicara walau nafasnya tersengal-
sengal karena tangisan yang berlebihan, "Aku bersikeras menolak kenyataan dengan
menyalahkanmu, mengucapkan semua kata-kata yang aku tahu adalah bualan untuk menutupi
kesalahanku…" ia meremas kain celana. "Setiap hari aku tertekan oleh rasa bersalah dan ketakutan
yang sering membayang-bayangiku."

"Aku benci memikirkanmu…" Baekhyun meneruskan, suaranya makin lama makin sengau dan
serak sehingga ia terbatuk-batuk untuk beberapa kali, "N-namun aku—aku tidak bisa
menghilangkan namamu dari kepalaku," ia menatap lantai kosong, ingin menertawai realita yang
menyakitkan. "Kau seperti mencuri seluruh ruang kosong dalam otakku, memenuhi pikiranku
dengan perilaku dan perkataanmu…" Baekhyun kemudian mengangkat kepala untuk memandang
Chanyeol sendu—gigi menggeretak karena ia menggigil oleh isakannya sendiri. "Mengapa sulit
sekali untuk membencimu setelah apa yang kau lakukan?"

Mata Chanyeol mulai berkaca-kaca seraya Baekhyun berkata terpatah-patah: "Setiap hari aku
menangis untuk sesuatu yang awalnya tak ingin kuakui," air mata menghalangi pandangan
Baekhyun akan Chanyeol, tapi Baekhyun tidak mau mengusapnya—membiarkan figur Chanyeol
memburam karena ia takut untuk bertatap-mata dengan lelaki itu. "Aku tidak seberani yang kau
pikir…" sebuah jeda selagi Baekhyun menggelengkan kepala kecil. "Aku terlalu takut untuk
menghadapi yang sebenarnya."

Hembuskan nafas Baekhyun gemetaran. "Maka aku pun menyangkal," ia melantangkan suaranya,
mengangkat tangan untuk menghapus paksa air matanya agar ia bisa melihat Chanyeol dengan
jelas—memandangi lelaki itu yang kini memandang Baekhyun sendu, seribu pertanyaan tersorot
dari sepasang hazel lebar tersebut. Warna mata mereka yang kembar mengingatkan Baekhyun
pada ibu dan tanpa sadar ia pun kembali terisak-isak, menangisi kenyataan yang sampai sekarang
tidak bisa ia terima. "A-aku menyangkal bahwa aku sangat merindukanmu," Baekhyun menelan
ludah, membasahi tenggorokannya yang mengering. "Aku menyangkal bahwa kau adalah alasan
dari tangisanku setiap malam…" suara Baekhyun berangsur-angsur melembut menjadi bisikan,
"Aku memutar-balikkan perasaanku yang sesungguhnya, meski semua itu sudah tertulis jelas
dalam kepalaku."

"Aku menjauhimu…" air matanya berjatuhan deras mengingat seluruh tindakan bodoh yang
dahulu ia lakukan. "Mencampakkanmu… memojokkanmu sebagai pembelaan terhadap diriku
sendiri..." Baekhyun menggigit bibir, menahan sesak yang merangkak ke dadanya karena
penyesalan. "Tetapi segala usahaku berakhir sia-sia setelah aku melihatmu berciuman dengan
Jinri."

Tangisan Baekhyun pecah. Memori pahit yang ia coba lupakan tidak berhenti berputar di
kepalanya, mengoyak Baekhyun berulang-ulang sampai ia kehilangan kekuatan untuk melawan—
nafas tercekat seperti seluruh udara telah meninggalkan paru-parunya. "Sebagai seorang kakak,
seharusnya aku senang," ia tersengut-sengut tidak berdaya, mengeluarkan tawa kecil untuk
menertawai kebodohannya. "Ya, seharusnya aku senang melihat adikku mendapatkan seorang
kekasih yang terlihat sempurna baginya."

Baekhyun menggelengkan kepala; ia masih tidak percaya dengan kenyataan yang harus ia alami.
"Namun entah kenapa…" ia lantas termenung beberapa detik untuk mengecap air mata yang
terkumpul di bibir—tatapan hampa pada lantai. "Entah kenapa aku malah menangis," mengingat
ulang semua ini membuat Baekhyun lantas terisak-isak hebat—memandang Chanyeol sayu lewat
mata yang lebam oleh air mata. "A-aku menangis begitu keras sampai aku—" ia menutup mulut
dengan telapak tangan kemudian menggigitnya pelan, menghentikan suara tangisannya yang
mengeras. "—aku kesulitan bernafas."

Setetes air mata tiba-tiba meluncur begitu saja dari hazel Chanyeol. "Baekhyun…" ia melirihkan
nama itu pelan, kaki menempel kaku pada lantai—menahan untuk tidak bergerak mendekati sang
kakak.

"Sesuatu yang asing dalam diriku menolak untuk melihat kalian bersama," Baekhyun menelan
ludah. "Aku tidak sanggup menyaksikan kalian berciuman karena aku membenci tekanan yang
terus saja menyiksa dadaku…" ia lalu menatap Chanyeol depresi, mengharapkan lelaki itu untuk
mengetahui apa yang ia rasakan. "Katakan," Baekhyun menegakkan punggung, pandangannya
pada Chanyeol hampir mengabur karena air mata yang hendak berjatuhan lagi. "Apakah normal
untukku merasakan semua ini kepada adikku sendiri?"

Pertanyaan itu serontak membungkam mulut Chanyeol.

"Apa kau masih ingat pertanyaanmu beberapa minggu lalu?" Baekhyun mengalihkan tatapan ke
direksi lain, mengenang apa yang Chanyeol katakan padanya. "Kau bertanya jika semua
perkataanku di malam sebelum pesta kejutan adalah bualan…" Baekhyun kembali berlinang air
mata saat ia menengadah untuk mempertemukan lensa cokelat mereka. "Saat itu aku tak
mempunyai keberanian untuk menjawabmu… bolehkah aku menjawabnya sekarang?" Baekhyun
mengambil nafas, menenangkan dadanya yang berdenyut menyakitkan. "Tidak, itu bukan sekadar
bualan yang kubuat-buat," ia meneteskan sedikit air mata. "Aku sama sekali tidak berbohong. Aku
tidak bisa berbohong dan bisa kupastikan padamu bahwa aku sungguh membenci sikapku ini…"

"K-karena—karena—" Baekhyun tersendat oleh isakannya yang tertahan. "—sekeras apapun


usahaku untuk berbohong, pada akhirnya aku akan tetap mengakui yang sebenarnya…" ia
kemudian tertawa dalam tangisannya, menatapi Chanyeol dengan berderai air mata.
"Aku bodohnya akan tetap mengakui kebenaran meskipun aku tahu bahwa itu akan menjadi
penyesalan terbesarku..."

Lelaki itu hanya terdiam, pegangan pada kruk mengerat seraya ia mengamati Baekhyun yang
tersedan lambat.

"Aku jatuh cinta padamu, Chanyeol!" Baekhyun tiba-tiba menjerit, menggunakan sisa-sisa
suaranya yang sengau untuk mengakui suatu kebenaran yang selama ini ia pendam jauh-jauh.
Jeritan Baekhyun menyentak Chanyeol, membuat lelaki itu membeku di tempat—tangannya
terlihat gemetaran. "Aku jatuh cinta pada adik kandungku sendiri!" Baekhyun berteriak lagi, kali
ini lebih pelan karena ia mulai kehabisan suara—bertubi-tubi air mata merembes dari kelopak
matanya. "Tidakkah aku terlihat menjijikkan dan menyedihkan di matamu sekarang?!"

Mata Chanyeol melebar; ia perlahan menggerakkan kruknya untuk berjalan mundur, memberi
jarak yang lebih jauh di antara mereka—setiap langkah yang lelaki itu ambil menikam Baekhyun
sedikit demi sedikit. "Itu benar," secarik senyuman masam lambat laun terlukis di wajah
Baekhyun. "Menjauhlah dariku…" lirihnya lemah, "…demi kebaikanmu sendiri."

Chanyeol tidak mengatakan apa-apa, dan saat itu juga keheningan mencekam di antara mereka
pun hancur oleh raungan Baekhyun yang rapuh.

Ia akan kehilangan Chanyeol untuk selamanya.

Dosa yang ia perbuat telah mencuri kehadiran lelaki itu dari sisinya.

Baekhyun sesegukan, menengadah untuk memandang Chanyeol sekilas. "C-Chanyeol-ah, d-


dengar—" ia terhenti sejenak untuk menghirup udara, denyutan jantung yang menyesakkan telah
mengganggu pernafasannya. "—dengarkan aku," Baekhyun meneguk ludah, menundukkan kepala
karena ia terlalu takut untuk menatap lelaki itu. "Kau tidak boleh bergantung padaku lagi," ia
berbisik dalam suara serak yang hampir habis, "Jangan membelaku lagi…" Baekhyun terdengar
seperti memohon, "Jangan melindungiku lagi. Jangan menangis karena aku lagi," ia menangis
terlalu keras hingga bunyi lantang kruk Chanyeol yang lambat laun mendekatinya pun luput dari
pendengaran. "Jangan terlibat masalah gara-gara aku lagi. Jangan anggap aku kakakmu…"
Baekhyun menangis terlalu keras hingga ia tidak menyadari bayangan tinggi di lantai yang mulai
bergerak menghampirinya. "Berhenti membuang-buang waktumu untuk memperlakukanku
layaknya seorang kakak. Aku tidak—"

Sepasang bibir tebal yang menyentuh bibirnya seketika menghentikan Baekhyun untuk bicara.
Chapter 15: Chapter 15: Confessions

Pikiran Baekhyun serontak kalang kabut, kepala pening oleh perasaan familier akan bibir mereka
yang saling meraba lewat sebuah kecupan lembut. Ia mengedipkan matanya yang basah berkali-
kali, sisa-sisa air mata itu berjatuhan melalui kelopak mereka yang menggelitik wajah satu sama
lain—terselip menuruni pipi Baekhyun untuk menetes pada persatuan hangat bibir mereka. Salah
satu tangan Chanyeol ragu-ragu meraba jemari Baekhyun, punggung sedikit membungkuk untuk
menekan bibir mereka lagi meskipun Baekhyun hanya mampu berdiri membeku di sana—tangan
mengepal erat di masing-masing sisi. Baekhyun memandangi wajah Chanyeol dari dekat,
menyaksikan mata terpejam lelaki itu yang bercucuran oleh air mata sebelum ia pun memiringkan
kepala untuk mencium bibir Baekhyun sekali—suara tangisan yang Chanyeol coba redam
terdengar menyakitkan di telinga sang kakak.

Baekhyun mengangkat tangan untuk mendorong bahu Chanyeol lambat, memisahkan bibir mereka
dan berjalan ke belakang untuk mengembalikan ruang di tengah-tengah mereka. Chanyeol masih
menutup mata. "K-kau…" Baekhyun menengadah untuk mencari kebenaran di mata Chanyeol
yang gemetaran, mengecap air mata mereka di bibirnya. "Apa yang kau lakukan?"

Chanyeol setengah menunduk, menghembuskan nafas berantakan dengan air mata yang terus
mengaliri dagunya. "Aku mencintaimu," ia berkata dalam suara yang serak, mengamati kosong
jarak cukup lebar di antara mereka. Baekhyun seketika terpaku oleh kata-kata yang terlontar dari
mulut Chanyeol, tubuh melemas karena beban yang tiba-tiba menindih punggungnya. "Lebih dari
seorang kakak," bisik lelaki itu kemudian, kepala perlahan diangkat untuk tersenyum tipis
menyedihkan ke arah Baekhyun. "Mungkin selalu lebih dari seorang kakak."

Sepasang hazel mungil itu perlahan melebar; Baekhyun mengedipkan mereka beberapa kali
kemudian menggerakkan bola matanya menghindari pandangan sayu Chanyeol. "Tidak," ia
menggunakan salah satu tangan untuk memegang railing tangga, kaki mengambil sejumlah
langkah menjauhi Chanyeol. Baekhyun menatap lelaki itu lagi, butiran kristal kembali bertetesan
deras setiap ia menutup dan membuka matanya. "Berhenti membohongiku," Baekhyun lalu
menahan tangis untuk tertawa pahit, "Kau—"

"Sebelas tahun lalu sampai detik ini juga," Chanyeol mencoba berkata meski nafasnya mulai
tersengal-sengal, menyela pembicaraan Baekhyun demi mengungkapkan sesuatu yang telah ia
sembunyikan sejak lama. Pandangan penuh rasa bersalah sama-sama tersorot dari bola mata
identik mereka. "Bukankah itu waktu yang cukup lama untuk menyadari semuanya?"

Baekhyun menggelengkan kepala. "Tidak mungkin," gigi Baekhyun gemeretak karena ia


menggigil oleh isakan yang berlebihan. "I-ini salah," Baekhyun lantas meneguk ludah berkali-kali,
membasahi tenggorokan yang terus mengering sebelum berbicara terbata-bata: "Aku tidak mau
kita menanggung dosa yang sama—"

"Tuhan membenciku, Baekhyun," ujar Chanyeol pada akhirnya, mengejutkan Baekhyun dengan
tatapan lelaki itu yang hampa saat mata mereka sekilas bertemu. Chanyeol kemudian
menundukkan kepala, air mata tampak jelas berhamburan dari pelupuk dan menumpuk pada
bibirnya—mulut dipaksa tertutup rapat guna menghalangi isakan yang hendak keluar. Chanyeol
mengingatkan Baekhyun akan bagaimana ibu dahulu melakukan hal yang sama tatkala ayah
memisahkan mereka. "Ia terlanjur membenciku sejak aku menyadari perasaanku dan tidak ingin
menghilangkannya."

Lelaki itu membasahi bibirnya, sesekali meneguk liur yang telah bercampur dengan air mata.
"Tuhan mungkin memberiku kesempatan untuk melupakanmu dengan memisahkan kita selama
sepuluh tahun," terdapat suatu jeda panjang saat ia perlahan menengadah, tertawa hambar
meskipun air mata belum berhenti berjatuhan. "Tetapi apa yang Tuhan tidak sadari adalah tak
peduli berapa lama Ia berusaha mengambilmu dariku… perasaan kotor ini hanya akan tetap tinggal
dan mengurungku selamanya."

Bahu Chanyeol bergetar hebat setelahnya; ia terisak-isak keras selama beberapa detik,
memandangi Baekhyun rapuh melalui dua bola mata cokelat yang membengkak oleh banyaknya
air mata. Baekhyun menyandarkan punggung pada railing tangga, detak jantung berangsur-angsur
menderu mendengar pengakuan Chanyeol—terguncang oleh kenyataan yang tidak pernah ia
sangka. Lelaki itu meletakkan kruk di dinding sebelum berjalan setengah tertatih-tatih
menghampiri Baekhyun, mengulurkan tangan untuk memegang pergelangan sang kakak—setiap
usapan yang Chanyeol berikan mampu mengirim getaran ke mana-mana. "Jangan menyalahkan
dirimu lagi," ia membentangkan tangan guna merangkul seluruh jari mungil Baekhyun,
menyalurkan kehangatan pada kulit Baekhyun yang dingin. "Segala yang terjadi di keluarga kita
adalah salahku," Chanyeol meremas lembut tangan mereka. "Biar aku yang menanggungnya."

Baekhyun tidak melakukan perlawanan ketika Chanyeol meletakkan tangannya yang lain untuk
menangkup genggaman tangan mereka, cengkeraman agak mengerat karena air mata yang
berhamburan begitu saja. "Maafkan aku," ia berbisik pelan, suara nyaris tak terdengar karena
terlalu serak, "Kumohon maafkan aku, Baekhyun."

Chanyeol mengambil satu tatapan terakhir pada Baekhyun, rasa bersalah menguasai hazel lelaki
itu yang berkaca-kaca sebelum ia melepas genggaman tangan mereka untuk tiba-tiba tersungkur
ke lantai—berlutut di hadapan sang kakak dengan kepala yang tertunduk dan tangan gemetaran
pada pangkuan. Baekhyun seketika terperangah, air mata masih menetes ke pipi saat ia merunduk
untuk menatap Chanyeol tercengang—jemari kaki mengepal karena kebingungan harus berbuat
apa. "Kesalahanku telah merusak keluarga kita," ujar Chanyeol pelan, kepala terangkat agar ia bisa
memandang Baekhyun secara jelas dari bawah. "Maaf karena aku gagal menahan perasaanku,"
lelaki itu membuka mulut untuk sekadar mengambil udara sebanyak-banyaknya, dada naik-turun
sebab ia semakin terisak. "Aku tetap jatuh cinta padamu tanpa mengetahui hukuman apa yang
nantinya menimpa keluarga kita."

Baekhyun sedikit membungkuk, agak waswas meletakkan kedua tangan pada masing-masing bahu
Chanyeol—mulut terbuka dan tertutup berkali-kali meskipun ia tidak mengatakan apa-apa. Ia
mengambil dan membuang nafas, membiarkan sejumlah detik akan keheningan berlalu sebelum
ia mampu berucap: "Ch-Chanyeol," Baekhyun memanggil nama sang adik terbata-bata, menahan
diri untuk tidak menghapus air mata lelaki itu. "Hentikan."
Chanyeol mengangkat tangan guna menggenggam longgar pergelangan Baekhyun. "Maafkan
aku… untuk semuanya."

Baekhyun mengedipkan mata, memandang refleksi dirinya pada masing-masing bola mata
Chanyeol yang menyorotkan ketulusan—tangan sang kakak pada bahu lelaki itu terkepal. Mereka
kemudian menatapi satu sama lain dalam kebisuan total, terperangkap antara rindu dan rasa
bersalah yang memuncak dan saling menyiksa hingga Chanyeol berbicara lagi, "Maaf karena aku
merasa bahagia," sebuah lesung pipi muncul di sebelah bibir lelaki itu ketika ia tersenyum. "Aku
bahagia untuk melihatmu setiap hari," setetes air mata jatuh ke bibirnya saat ia berujar lembut,
"Aku bahagia untuk setiap detik dan menit yang kita habiskan bersama… aku bahagia untuk
mendengar bahwa kau mencintaiku."

Chanyeol memutus kontak mata mereka untuk menoleh ke direksi lain, menatap kosong dinding
selama waktu yang cukup lama. "Maaf karena aku tidak sempat menjagamu dan Ibu," ia berkata
pelan, bibir bergerak lambat seperti tidak yakin harus berkata apa, "Karena aku tidak mempunyai
keberanian untuk menemui kalian," Chanyeol mengembalikan pandangan pada Baekhyun, air
mata bersembunyi di balik manik lebar lelaki itu lagi—menunggu untuk turun dan membanjiri
pipinya yang terlanjur basah. "Karena aku menyerah untuk mencari kalian."

Baekhyun tetap terdiam, mengamati genggaman jemari Chanyeol pada pergelangannya yang
menguat.

"Maaf karena aku terkadang menyesal untuk dilahirkan sebagai adikmu," lelaki itu
mengungkapkan, menegakkan tubuh agar jarak mereka menjadi dekat—kepala agak terangkat
untuk terus memandangi Baekhyun dari bawah, berharap bahwa sang kakak dapat membaca emosi
yang sekarang kalang kabut dalam mata lelaki itu. Baekhyun membeku mendengar perkataan
Chanyeol, kekecewaan hampir menyerang dadanya ketika sang adik berkata lagi, "Aku takut
membayangkanmu pergi dariku," Baekhyun setengah melebarkan mata. "Kau akan—" Chanyeol
berhenti sejenak untuk mengambil nafas, mengerjapkan mata berulang-ulang saking banyaknya
butiran bening yang bercucuran—nafas tersengal-sengal seperti udara telah dicuri dari paru-
parunya, "—akan menemui orang lain yang kau cintai dan menikahinya…" lelaki itu nyaris
mencicit, mengangkat tangan yang lain ke mulutnya untuk menyumpal suara tangisan yang tiba-
tiba mengeras. Baekhyun terperanjat menyaksikan Chanyeol menangis begitu tersedu-sedu; jemari
lelaki itu pada pergelangan tangannya bergetar hebat seiring ia terisak—hembusan nafas tidak
teratur Chanyeol yang sesekali menerpa dagu Baekhyun adalah alasan mengapa sesuatu
kemerahan terlukis di seluruh wajah hingga leher sang kakak. "Kau akan meninggalkanku untuk
bersamanya."

Kesunyian balik mendera mereka selama beberapa detik, memaksakan keduanya untuk saling
memandang satu sama lain dalam diam—air mata mengalir tenang ke pipi mereka. Chanyeol
membasahi bibir, suara yang sengau mendengung di telinga sang kakak saat ia berbisik: "Kurasa
aku tidak mungkin bisa menerima itu, Baekhyun."

Penderitaan terlingkup di hazel kembar lelaki itu, dan Baekhyun bertanya-tanya kenapa begitu
sulit baginya dahulu untuk membaca ekspresi Chanyeol jika ia sekarang dapat mengetahui semua
emosi lelaki itu dengan mudah. "Maaf karena aku mengharapkan akhir yang berbeda bagi kita,"
lirih Chanyeol, bisikan sangat lembut hampir lolos dari telinga Baekhyun. "Aku ingin membangun
keluarga bersamamu… bukan sebagai adik, tapi sebagai pasangan berbahagia seperti semua orang
di luar sana." Baekhyun tidak dapat menahan isakan yang mendadak keluar ketika ia mendengar
pengakuan Chanyeol. "Aku ingin kita beranjak tua bersama," lelaki itu sedikit menekan
pergelangan tangan Baekhyun. "Aku ingin menyerahkan hidupku untuk melindungimu."

Chanyeol menegakkan tubuh, melepas pegangan pada pergelangan tangan Baekhyun untuk
menyentuh pipi sang kakak yang telah basah oleh air mata. "Apa yang kau lakukan selama ini
sudah benar," lelaki itu meyakinkan, tersenyum tulus seperti apa yang ia lakukan setiap ia melihat
Baekhyun meraih nilai ujian tertinggi di sekolah atau memenangkan suatu lomba. "Aku
memahami keputusanmu sekarang," Chanyeol menggunakan satu jari untuk menyeka keringat
maupun air mata di sekitar dagu Baekhyun. "Kau hanya menginginkan yang terbaik untukku…
aku mengerti."

"Jangan menyebut dirimu kakak yang buruk," ia memperingatkan, suara serak namun
menghanyutkan. Bulu kuduk Baekhyun berdiri oleh sentuhan-sentuhan kecil Chanyeol pada
wajahnya—semburat merah telah menyebar ke pipi dan leher. "Kau akan selalu menjadi kakak
terbaik yang pernah kumiliki, dan aku… aku juga menginginkan yang terbaik bagimu."

Terselip jeda singkat ketika Chanyeol menyingkirkan poni Baekhyun yang basah dari dahinya.
"Aku tidak mau kau mengalami kehancuran yang sama," ia memandang Baekhyun sendu, kata-
kata yang nantinya terluncur dari mulutnya terucap begitu lemah: "Terkadang… terkadang apa
yang kita inginkan tidak harus menjadi milik kita," Chanyeol mencoba untuk tidak mengedipkan
mata, dan Baekhyun serontak tahu bahwa lelaki itu hendak menangis lagi. "Hanya mendengarmu
mengatakan bahwa kau mencintaiku sudah lebih dari cukup."

Tangan Chanyeol turun dari pipi Baekhyun untuk menyatukan jari mereka. "Baekhyun," nama itu
terpanggil halus oleh sang adik, "Aku akan menunggumu." Baekhyun mengamati kilat tipis yang
ada di belakang hazel lelaki itu, air mata siap berjatuhan meski matanya sudah cukup bengkak.
"Sebelas tahun barulah permulaan," ia mengelus kulit di antara jemari Baekhyun secara hati-hati.
"Aku bisa menunggu lebih lama."

Chanyeol membungkuk untuk mencium tangan Baekhyun, bibir mengecup telapak sang kakak
lambat—menempel di sana selama beberapa detik seolah-olah enggan untuk berpisah. "Pegang
janjiku," ia lantas menatap Baekhyun pilu. "Akan ada waktu di mana kita bersama," setitik air
mata kemudian merembes dari kelopak menuju mulutnya, sempat menghalangi Chanyeol untuk
berbicara. Lelaki itu meneguk ludah, tersedak oleh nafasnya sendiri. "Tanpa ada apapun yang
berusaha memisahkan kita… tanpa ada rasa takut oleh kebencian Tuhan kepada kita."

"Aku akan setia menunggu sampai waktu itu datang," Chanyeol menjanjikan, memaksa untuk
tersenyum di kala air mata tengah meninggalkan jejak mereka menuruni dagu lelaki itu. "Di
kehidupan selanjutnya atau bahkan setelah kita mati… aku akan menunggu sampai aku benar-
benar bisa mencintai dan memilikimu sepenuhnya."

Tangisan tersedu-sedu Chanyeol lantas mendengung lantang di ruangan, menyisakan Baekhyun


untuk terdiam di hadapan lelaki itu—berdiri kaku dengan pikiran kosong karena menolak untuk
mempercayai kenyataan yang sesungguhnya. Chanyeol tidak menatap Baekhyun saat ia setengah
berteriak lemas, "T-tunggu aku," setiap kata terujar agak patah-patah, dan Baekhyun melihat
kepala lelaki itu kian tertunduk demi menyembunyikan wajahnya yang dipenuhi air mata—
genggaman tangan mereka mulai terlepas. "Baekhyun, berjanjilah kau akan menungguku."

Baekhyun tetap membisu. Ia tidak melakukan apa-apa selain memandangi Chanyeol menangis,
mendengarkan ratapan lelaki itu yang berangsur-angsur melemah hingga tersisa deruan nafas
terburu-burunya. Chanyeol terus menunduk, salah satu mata tertutup oleh poni yang basah, dan
Baekhyun membiarkan berpuluh-puluh detik untuk terbuang sia-sia sampai ia akhirnya perlahan
membungkuk, tangan meremas blazerkaku yang ia kenakan sebelum ikut berlutut tepat di hadapan
sang adik. Chanyeol seketika menengadah, mengerjapkan mata berair yang tiba-tiba bertemu
dengan tatapan sendu sang kakak.

Baekhyun tersenyum tipis.

"Aku tidak peduli…" ucapnya lemas, suara sangat parau hingga Chanyeol mungkin tak dapat
menangkap apa yang ia baru katakan. Baekhyun menelan ludah, tetap mencoba untuk
mempertahankan kontak mata mereka yang gemetaran. "Aku tidak peduli jika Tuhan sekarang
membenciku juga."

Waktu seperti berhenti ketika Baekhyun tiba-tiba mendekatkan kepala untuk mengikis jarak di
tengah mereka—pelan-pelan menggapai bibir Chanyeol sambil setengah mencengkeram salah
satu bahu lelaki itu.

Hentikan. Kau tahu ini salah.

Baekhyun mengabaikan seluruh bisikan yang berlarian panik di otaknya, menutup mata erat untuk
ragu-ragu menyerahkan satu kecupan pada bibir bawah Chanyeol—wajah memerah oleh
hembusan hangat yang menerpa hidungnya. Chanyeol mematung kaku di bawah ciuman polos
Baekhyun, dan sang kakak mengangkat tangan untuk memegang pipi Chanyeol, menempelkan
bibir tanpa menggerakkannya seraya merasakan setitik air mata jatuh memburamkan pandangan.
Apa yang Baekhyun lakukan sekarang adalah dosa yang tak mungkin dimaafkan, namun entah
kenapa ketakutan yang dahulu menghantuinya tiba-tiba saja menghilang. Ia tidak peduli; bahkan
jika kelak orang tua mereka akan membencinya dan Tuhan akan menghancurkannya, Baekhyun
sudah tidak peduli.

"Baekhyun," Chanyeol tersedan, tubuh perlahan melemas karena sang kakak mengelus lembut
pipinya—membungkukkan punggung untuk mulai membalas ciuman Baekhyun, menggerakkan
bibir mereka lambat dengan satu tangan yang beristirahat pada pinggang sang kakak. Sesuatu
dalam dada Baekhyun meletup-letup tidak karuan, detak jantung yang sangat berantakan terlanjur
mengambil alih pendengaran—menghalangi Baekhyun untuk mendengar bahwa Chanyeol selalu
membisikkan namanya di sela jeda pendek ciuman mereka.

Sebuah perasaan asing familier akan bibir mereka yang akhirnya dapat bersatu demi menyingkap
kebenaran yang sudah mereka tutupi sejak lama.
Sebuah ciuman tidak sempurna dengan irama berantakan dan penuh keraguan.

Baekhyun tidak sanggup menahan perasaannya.

Kehangatan yang selama ini ia rindukan lambat laun merangkak merasuki tubuhnya, dan
Baekhyun pun kian mendekat, menyatukan dada mereka untuk melepas kerinduan yang keduanya
telah tahan selama waktu yang lama—nafas semakin memburu dan tangan merengkuh satu sama
lain erat. Chanyeol sedikit mendorong Baekhyun ke dinding, merapatkan tubuh mereka untuk
memperdalam persatuan bibir yang bertambah cepat dan agak tergesa-gesa. Nafas tersengal-
sengal, mereka menghirup kasar sisa-sisa udara yang terselip di antara bibir tanpa harus melepas
ciuman. Baekhyun berlutut patuh di bawah Chanyeol, sepenuhnya menyerahkan diri kepada lelaki
itu, dan di antara gerakan mulut mereka yang kini melambat, ia pikir semua ini terlalu gila serta
memabukkan untuk dilakukan. Sesuatu yang seseorang dengan akal sehat tidak sepantasnya
perbuat. Sebuah dosa menjijikkan yang kelak akan membunuh dirinya sendiri.

Tetapi Baekhyun tahu ia tidak mau berhenti.

CHAPTER 15

CONFESSIONS

Saat ia terbangun, sebias cahaya matahari pagi tampak menembus memasuki jendela—
menyilaukan pandangan Baekhyun dari sekitar sehingga ia berulang-kali mengedip-kedipkan mata
kesal.

Baekhyun mengerang pelan, menggerakkan kepala ke arah berlawanan untuk mendesakkan wajah
pada bantal sambil menarik selimut menutupi leher—membiarkan liur setengah basah menempel
di pojok mulut. Samar-samar ia melihat dua poster "Muse" berukuran lebar terpaku secara bebas
di dinding, sejajar bersama suatu rak koleksi album yang beberapa waktu lalu sempat Baekhyun
kotori dengan beberapa tempelan sticker LINE pemberian gratis dari Lotte Mart. Ia mengerutkan
dahi, mulut menganga oleh rasa kantuk berlebihan dan sekilas perasaan bahwa ada sesuatu yang
janggal di sini. Baekhyun menatap kosong rak tersebut, tenggelam dalam lautan pikiran yang
belum berfungsi sempurna sambil menguap agak lebar.

Tunggu.

Ia berhenti menguap.

Baekhyun seketika menyibak selimut ke samping, menoleh ke kanan dan kiri layaknya seseorang
linglung karena ia baru menyadari bahwa tidak ada jendela, rak album, maupun poster "Muse" di
kamarnya. Ia menyipitkan mata, menghindari sinar matahari yang sedikit membutakan penglihatan
untuk menatap ke arah jam dinding. 08:55 A.M. "Sial," ia menggumam, mengangkat tangan ke
kepala untuk meremas rambut dramatis—tak menghiraukan fakta bahwa helai-helai kecokelatan
itu sedang berdiri ke mana-mana tidak karuan. "Aku terlambat."

Baekhyun hendak turun dari tempat tidur ketika ia refleks memandang ke depan dan melihat figur
Chanyeol terduduk tegang di kursi belajar—tangan memegang tab dan tatapan terlebih dahulu
terpusat pada Baekhyun, kecanggungan otomatis mewarnai wajah mereka.

Hening.

Chanyeol tersenyum kecil, dan Baekhyun diam-diam meneliti penampilan lelaki itu: t-shirt putih
bertuliskan Thailand yang tampak cukup stylish dipasangkan dengan celana olahraga SMA selutut
biru doker. Dari kejauhan mata Chanyeol masih terlihat bengkak dan masing-masing dengkul sang
adik membiru. "Kau kelelahan; aku tidak tega membangunkanmu," Chanyeol segera beralasan
sebelum Baekhyun dapat bertanya dan menyalahkan lelaki itu. Walau kenyataannya sang kakak
mendadak tidak mengerti cara berbicara sehingga ia mungkin hanya akan membisu sambil
mengangguk kaku menanggapi omongan Chanyeol. "Aku sudah menelepon sekolah untuk
meminta izin. Mereka bilang tidak ada masalah karena sebentar lagi kau akan lulus."

Baekhyun berpura-pura menghela nafas lega meski sebenarnya ia sudah tahu bahwa sekolah tidak
mempermasalahkan kehadiran panitia utama di latihan persiapan upacara kelulusan. Menatap
Chanyeol tambah canggung, Baekhyun mengangguk-anggukkan kepala tidak yakin. "Terima
kasih."

Chanyeol mengambil kruk yang disandarkan pada meja belajar lalu berdiri, masih setia
menggunakan tangan yang lain untuk menggenggam tab selagi ia berjalan ke luar kamar."Aku…"
ia sempat berhenti di depan pintu untuk memandang Baekhyun. Sang kakak membalas tatapan
Chanyeol datar. "…akan menyiapkan sarapan."

Pintu ditutup, dan Baekhyun menunggu sampai bunyi keras akan kaki Chanyeol dan kruk mulai
lenyap dari jangkauan telinga sebelum ia pun tergesa-gesa bangkit dari atas kasur—merapikan
selimut dan bantal kemudian berlari mengendap-endap ke kamar lain di seberang, menutup pintu
kamar Chanyeol sangat hati-hati agar tidak bersuara sama sekali. Jantung Baekhyun masih
menggila bahkan setelah ia masuk ke kamar mandi, t-shirt putih polos lengan panjang dan celana
pendek menggantung di bahu sembari menatap refleksinya sendiri lewat kaca: rambut berantakan
mirip seorang gelandangan, mata sembap akibat menangis terlampau lama, juga kemeja putih
seragam SMA yang sudah kotor karena dipakai sejak kemarin. Ia menghembuskan nafas frustrasi,
memutar keran untuk mencipratkan air ke wajah berulang-ulang—mengabaikan bulu kuduknya
yang sekarang berdiri gara-gara memikirkan memori tadi pagi.

Baekhyun tidak tahu sampai berapa lama ciuman mereka berlangsung. Akan tetapi ia ingat bibir
mereka yang sama-sama bengkak seusai bercumbu serta Chanyeol yang menyelipkan wajahnya di
leher Baekhyun untuk sekadar bernafas tenang sambil menikmati kesunyian di sekeliling mereka.
Baekhyun membantu Chanyeol menaiki tangga, dan ekspresi sayu lelaki itu menolak untuk
melepaskan pergelangan tangan Baekhyun—menarik sang kakak memasuki kamarnya kemudian
menuntun mereka ke tempat tidur. Mereka tidak melakukan apa-apa; sebentar berbagi pandang
melalui hazel kembar yang sedikit demi sedikit mengatup sebelum Chanyeol menggerakkan tubuh
untuk membawa Baekhyun ke dalam pelukan, lengan membungkus sempurna pinggang yang lebih
tua—tangan lebar menarik selimut ke atas hingga mencapai dagu sang kakak. Bahkan setelah
Baekhyun tertidur pun, jantungnya tetap berdetak sangat kencang akibat ciuman-ciuman singkat
yang Chanyeol kecupkan di puncak kepalanya.

Semburat merah muda menyebar ke masing-masing pipi, dan Baekhyun menghela nafas panjang,
sekilas menggelengkan kepala untuk mengusir berbagai pertanyaan yang bertebaran dalam
otaknya sembari bergegas menyalakan shower.

Aroma sedap familier menelusuk hidung Baekhyun ketika ia berjalan ke ruang makan, tubuh segar
sehabis mandi dan rambut agak basah yang masih dikeringkan menggunakan handuk sambil
menggenggam sebuah ponsel. Chanyeol telah mempersiapkan sarapan sederhana mereka:
dua cup ramen instan favorit beserta dua cangkir besar berisi teh yang terletak rapi di atas meja—
masing-masing sumpit siap pakai ditaruh teratur tanpa perlu dipatahkan. Baekhyun mengerutkan
bibir terkesan, mengabaikan pandangan Chanyeol yang selalu mempercanggung keadaan dan
menempati kursi di samping lelaki itu—menghindari matanya untuk melirik ke arah sang adik
sambil mempertahankan kebisuan sebab bibi Eunji sedang mengambil cuti beberapa hari dan kini
tidak ada siapapun di rumah kecuali mereka. Kulit lengan keduanya yang kadang-kadang
bersentuhan membuyarkan konsentrasi Baekhyun untuk bersikap tenang; ia menaruh asal ponsel
di kursi sebelah, berusaha mengingat kali-kali dalam beberapa menit ke depan ia akan lupa
keberadaan benda tersebut di sana.

Jarak mereka yang sangat dekat mengizinkan Baekhyun untuk mendengar tegukan ludah
Chanyeol.

"Ayo makan."

Ketimbang berdiam diri, Baekhyun langsung saja melaksanakan ajakan kikuk Chanyeol. Ia
mengambil sumpit, membuka kertas penutup ramen untuk memasukkan alat makan ke
dalamnya—menaikkan sedikit mi ke atas guna disantap. Ia sedang mengunyah ramen ketika
Chanyeol mendadak bicara, "Baekhyun."

Sang kakak tidak berhenti menggerakkan gigi; ia rasa ia tahu ke mana arah pembicaraan mereka
dan ia bingung harus bereaksi seperti apa. "Hm."

"Maukah kau menjadi kekasihku?"

Tercengang mungkin bukanlah kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaan Baekhyun
sekarang. Ia hampir tersedak, menahan agar tidak terbatuk-batuk cukup keras karena kunyahan
ramen yang tiba-tiba meluncur cepat ke tenggorokannya. Sebuah pertanyaan sederhana yang
benar-benar di luar dugaan. Baekhyun menggunakan pojok matanya untuk mengamati Chanyeol
dari samping.

"Aku membutuhkan kepastianmu," ujar lelaki itu bimbang, tatapan melekat kosong pada
permukaan meja. "Semalam aku tidak bisa tidur karena terpikir oleh ucapanmu kemarin."
Chanyeol kemudian menoleh, menyatukan kontak mata mereka intens—lelaki itu berhasil
menyihir sang kakak untuk melebur bersama hazel-nya. Baekhyun mengerjapkan mata tegang.
"Sesuatu yang kau katakan sebelum kau menciumku… salahkah jika aku menganggap bahwa kau
memberikan kita kesempatan untuk bersama?" mulut Baekhyun mendadak kaku untuk bergerak,
dan Chanyeol kembali memperjelas, raut wajah mempertunjukkan ekspresi penuh harap: "Kau…
kau mengerti maksudku, bukan?" Lelaki itu menyentuh telapak tangan Baekhyun setelahnya. "Aku
tidak akan memaksamu."

Mereka menatap satu sama lain sesaat, dan Baekhyun merunduk untuk memandang tangan
Chanyeol. "Aku tidak tahu."

Kehangatan lalu meninggalkan Baekhyun; Chanyeol mengembalikan posisi tangan di atas meja,
bola mata cokelat menyorot hampa tertuju lurus ke depan—mulut membentuk garis yang sangat
kaku. Tindakan kecil barusan menakuti Baekhyun, khawatir bahwa ia telah salah bicara, dan sang
kakak memegang lengan Chanyeol guna menenangkan lelaki itu. "Kupikir kita harus memikirkan
ini matang-matang," Baekhyun segera menjelaskan supaya Chanyeol tidak salah paham. "Jangan
sampai terburu-buru mengambil keputusan yang akan berakhir buruk bagi kita sendiri."

Karena Chanyeol tidak menjawab, Baekhyun pun memutuskan untuk diam: gigi sering-kali
menggigiti bibir dan tangan mengepal tersembunyi di bawah meja. Ia tidak tahu mana yang lebih
baik: menggapai tangan Chanyeol dan mengabaikan akal sehat, atau mengelak dan meninggalkan
sang adik—untuk kembali dihadapkan pada depresi serta penyesalan yang berputar tiada henti
sampai ia mati. Baekhyun selalu bijak dalam memikirkan suatu keputusan, tetapi berkutat
mengenai mereka otaknya mendadak jadi kosong tidak berfungsi layaknya mesin yang rusak total.
Penyesalan sejenak terbersit, merutuk diri sendiri atas tindakan teledornya tadi malam—
menanamkan harapan kepada Chanyeol walau Baekhyun belum yakin bahwa ia mau mewujudkan
keinginan mereka.

Jawaban memang sudah terpampang nyata dalam benak masing-masing, tetapi untuk
membawanya kepada kenyataan bukanlah hal yang semudah membalikkan tangan. Baekhyun
tidak mengharapkan mereka untuk tersesat dalam hubungan yang mengambang tanpa kejelasan—
bersikap canggung seperti sekarang sampai selamanya.

Di tengah pikiran mereka yang saling berkecamuk, Chanyeol tiba-tiba membuka suara.

"Baekhyun, aku mencintaimu."

Kupu-kupu dalam perutnya langsung mengepakkan sayap mereka, menggelitiki Baekhyun sampai
mengacau balau pikiran—menyebabkan sang kakak lupa bagaimana cara untuk bernafas.
Chanyeol belum menatap Baekhyun saat ia berkata, "Sebagai satu-satunya kakak yang aku punya,"
lelaki itu diam-diam tersenyum, tak mengetahui bahwa setiap kata yang terucap dari mulutnya
akan mempercepat denyut jantung Baekhyun. "Sebagai seseorang yang selalu aku inginkan untuk
menjadi pendamping hidupku."

Baekhyun menoleh untuk mendapati tatapan Chanyeol padanya, tegas dan lembut dalam waktu
yang bersamaan. "Mungkin aku tidak seperti apa yang kau harapkan dari seorang pria," suara lelaki
itu menaikkan bulu kuduk Baekhyun, menggoda Baekhyun untuk membenamkan wajah di
perpotongan lehernya seperti dahulu. "Tapi aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu."

"Aku bisa menjagamu lebih baik dari siapapun di luar sana," sambungnya kemudian, keyakinan
yang berkobar di balik manik Chanyeol adalah janji yang Baekhyun tahu akan lelaki itu tepati.

"Meskipun ini aneh untuk dikatakan ketika seseorang sedang menyatakan perasaannya, aku adalah
adikmu," Chanyeol mengulum sebuah senyum samar, "Kita terlahir dari Ibu yang sama,
mempunyai darah yang sama mengalir di tubuh kita," dada lelaki itu bergerak kembang-kempis
tenang; ia mengambil dan membuang nafas tanpa memutus kontak mata mereka—terperangkap
untuk terus memandangi wajah Baekhyun. "Aku memahamimu lebih dari apa yang orang lain
dapat pahami," intonasi nada Chanyeol diliputi kasih sayang, mirip suatu melodi indah yang ia
dengar sebelum tidur—sebuah cara bicara yang sang kakak pikir seorang Park Chanyeol tidak
dapat lakukan. Baekhyun tidak tahu bahwa hanya kepada ialah Chanyeol akan berbicara seperti
ini. "Aku menerima kekuranganmu, dan sebagai satu-satunya adik yang kau miliki, mungkinkah
aku menyakitimu?"

Pandangan Chanyeol tampak menerawang, seolah menyelinap untuk mencari tahu pikiran apa
yang kini berkabut di sekitar Baekhyun; hazel kembar mereka beradu semakin intens. "Aku tidak
membutuhkan pengakuan," lelaki itu menjeda, mengerjapkan mata pelan, "Aku tidak peduli jika
dunia melihatku sebagai adik kandungmu; mereka bisa menganggapku apa saja, aku tidak peduli."
Nafas Baekhyun tercekat di tenggorokan ketika Chanyeol melanjutkan, "Asalkan aku tahu bahwa
kau mencintaiku dan kita akan terus bersama… aku tetap bahagia dengan menyembunyikan
hubungan kita selamanya."

"Bukan masalah jika ini harus menjadi rahasia," pernyataan Chanyeol menyayat Baekhyun pelan-
pelan, hati mencelos karena takdir yang memaksakan mereka untuk begini. Memaksakan
Chanyeol untuk berkorban sebegitu banyaknya supaya mereka dapat bersatu. Menyadarkan
Baekhyun betapa polos dan tulus perasaan yang lelaki itu simpan untuknya. "Toh hidup kita tak
mungkin bergantung pada orang lain," Chanyeol membasahi bibir, binar pilu menelusuk
pandangan Baekhyun. "Raga, jiwa, dan hatiku—aku akan menyerahkan segala yang kupunya
kepadamu."

Ia lantas memegang tangan Baekhyun, mengirimkan sengat untuk mengalir melalui pembuluh
darah sang kakak. "Baekhyun," sebut lelaki itu hangat, selalu hangat sampai Baekhyun sering
terenyuh. "Di dunia ini aku tidak mempunyai siapa-siapa selain kau dan Ayah," ia mengelus kulit
Baekhyun, menggesekkan lambat ibu jarinya ke permukaan telapak tangan sang kakak. "Aku
kesulitan untuk mempercayai orang lain. Aku tidak tahu bagaimana hidupku nanti bila kalian
meninggalkanku…" Chanyeol terhenti sejenak untuk menelan liur. "Mungkin aku akan baik-baik
saja di luar, tapi aku tidak bisa mengelak bahwa aku sebenarnya menderita."

"Ingatlah bahwa aku tidak memaksamu," Chanyeol lalu mengatakan, meremas tangan Baekhyun
untuk meyakinkan sang kakak. "Jika kau menginginkan kita untuk kembali seperti semula dan
melupakan semua yang telah terjadi, aku akan menerima pilihanmu," lelaki itu tidak sedang
berbohong; Baekhyun dapat mengetahui kebenaran yang terpendam di balik manik sendu tersebut.
Chanyeol tidak mau melepaskan Baekhyun, namun di saat yang sama ia rela melakukannya
apabila itu adalah keputusan Baekhyun. Untuk sekali saja, sang kakak berharap lelaki itu akan
berhenti menyakiti dirinya sendiri. "Aku berbicara sebagai adikmu, dan tidak ada lagi yang seorang
adik harapkan selain melihat kakaknya bahagia."

Mata Baekhyun berkaca-kaca, menggenang air mata yang akan berderai, dan genggaman sepihak
Chanyeol hilang dari tangan sang kakak. "Tapi ada satu hal yang kau harus tahu," lelaki itu berujar,
sesaat membuang nafas panjang, "aku tidak ingin bersama yang lain," ia mengulurkan tangan
untuk menyentuh rambut Baekhyun. "Hanya Park Baekhyun atau tidak sama sekali."

"Hanya Park Baekhyun yang kucintai dan hanya kepada Park Baekhyun aku akan menyerahkan
hidupku," Chanyeol mengakhiri, meletakkan tangan di atas meja kemudian menolehkan kepala ke
depan—mengambil sumpit untuk mengaduk-aduk ramen setengah hati. Ia tidak menatap
Baekhyun saat ia berbisik lemas, "Jangan pernah lupakan itu."

Seberkas cahaya yang menembus jendela dapur memperlihatkan keindahan bola mata Chanyeol—
sebuah campuran warna cantik antara hijau dan cokelat, dan dada Baekhyun tertohok oleh balutan
tipis berbekas luka yang membenam di belakang hazel lelaki itu. Bahkan ketika gemuruh
menguasai wajah sang adik sampai sinar yang selalu ada di sana memudar, Chanyeol tetap terlihat
sempurna. Baekhyun menyukai betapa kembar mata mereka tampak; betapa sama sekaligus
berbeda mereka dalam segala hal, saling bertolak belakang namun melengkapi. Ia mencintai
Chanyeol dan seluruh kekurangan yang lelaki itu telah tunjukkan. Baekhyun mencintai Chanyeol,
seorang pembuat masalah dengan rambut berantakan dan seragam kumel yang ditakuti serta
dikagumi semua orang. Ia juga mencintai Chanyeol, seorang adik kandung satu-satunya yang
pandai menyimpan perasaan dan menahan kesakitan. Seorang adik yang kaku dan tidak pandai
membuat lelucon—terlalu lama hidup dalam kesepian yang dipendam sendiri.

Baekhyun mencintai Chanyeol. Sebagai seorang adik kandung yang paling ia kasihi, dan sebagai
seorang lelaki yang ia inginkan untuk bersamanya sampai kematian menjemput mereka.

Ia benar-benar mencintai Chanyeol, dan sekarang ia mau berhenti bersikap layaknya seorang
pecundang dan mengelak lagi.

Bibir Baekhyun bergetar hebat saat ia merangkul Chanyeol dari samping, lengan terulur pada bahu
lelaki itu—air mata menghujani t-shirt sang adik. Berpelukan dengan posisi seperti ini
memegalkan leher Baekhyun dan mempercanggung situasi mereka, tetapi ia tidak peduli.
Baekhyun malah mengencangkan tangisan, mencengkeram kain baju Chanyeol sambil mengubur
wajah di leher lelaki itu—rambutnya menggelitik rahang sang adik. "Yah," suara sengau Baekhyun
teredam oleh kulit Chanyeol. "Aku tidak tahu kau jago menciptakan puisi."

Chanyeol mengangkat dagu Baekhyun untuk membenturkan manik mereka dalam tatapan yang
intens, binar-binar jahil sedikit bermain di pupil lelaki itu. "Puisi?" Baekhyun menyukai cahaya
yang kembali mencerahkan wajah Chanyeol. Perubahan air muka sang adik menghilangkan sesak
yang tadi menyiksa dadanya. "Aku mencurahkan perasaanku padamu, dan kau menganggapku
sedang membaca puisi?"
Intonasi pura-pura marah Chanyeol membangkitkan tawa untuk keluar, akhirnya melepas
ketakutan dan rasa bersalah yang dahulu membelenggu Baekhyun dalam depresi. Sang kakak
melepaskan pelukannya untuk sekadar tertawa agak terbahak-bahak, memandangi Chanyeol
sambil tersenyum begitu lebar—menikmati perasaan hangat yang kemarin lenyap entah ke mana.
Baekhyun bukan berlebihan jika ia pikir sekarang adalah pertama kalinya dari berbulan-bulan ia
dapat tertawa seluwes ini. Ia tidak menyangka bahwa ternyata sebesar itulah pengaruh Chanyeol
dalam hidupnya. Terlalu besar hingga sekecil apapun sesuatu yang menimpa mereka mampu
membunuh dan menyembuhkannya sekaligus.

"Baiklah," Baekhyun lekas berkata, mengulurkan telapak tangan ke pipi untuk cepat-cepat
menyingkirkan air mata. Chanyeol terdiam meski sudut bibirnya ikut terangkat. "Inilah akhir yang
aku inginkan," Baekhyun mengawali, tiba-tiba merasa canggung karena ia hendak mengutarakan
kata-kata yang mungkin terdengar menggelikan bagi kebanyakan orang. Bagi mereka yang
beranggapan bahwa segala kalimat mengenai perasaan yang dilontarkan oleh seorang anak remaja
adalah hal terkonyol di dunia. "Mari bersama-sama sampai kita mati dengan perasaan yang mereka
bilang terlarang," wajah Baekhyun sudah semerah tomat dan ia semakin gugup di bawah
pandangan Chanyeol—tatapan mata tidak fokus yang bergerak ke setiap arah demi
menghindari hazel lelaki itu. "Baik di saat kita sedih maupun senang, atau di saat dunia tiba-tiba
berbalik untuk menghancurkan kita."

Baekhyun menggenggam tangan Chanyeol gemetaran, menggigit bibir karena lelaki itu pasti
menyadari betapa tegang ia terlihat. "Aku akan menyerahkan seluruh hidupku padamu," ia
berjanji, mengeratkan pegangan pada jemari lelaki itu—membiarkan mata mereka bersitatap
supaya Chanyeol dapat melihat kesungguhan yang terpancar nyata di situ. Baekhyun tidak sedang
berbohong; apa yang ia katakan bukanlah sekadar omong kosong manis, melainkan ungkapan
sumpah yang butuh waktu lama baginya untuk terima. "Aku tidak akan meninggalkanmu lagi."

Sang kakak kemudian terkekeh kecil, merusak suasana yang sebenarnya cukup mengharukan.
"Asal kau tidak menyesali pilihanmu saja karena aku tergolong kekasih yang buruk dan sering
mengomel."

Chanyeol pun terkikik pelan, pandangan yang dalam mulai melembut saat ia membungkukkan
tubuh untuk memeluk Baekhyun—lengan membungkus erat pinggang sang kakak. "Terima
kasih," ia berbisik pada rambut Baekhyun, mengecupnya sekali. "Terima kasih telah memberiku
kesempatan."

Baekhyun menaruh masing-masing tangan pada bahu Chanyeol dan menengadah untuk menatap
lelaki itu berseri-seri. "Aku yang berterima kasih," ia membebaskan lengan Chanyeol di pinggang
guna menggenggam masing-masing tangan lelaki itu—meremas mereka pelan. "Chanyeol,"
intonasi Baekhyun berganti menjadi serius, "Mulai sekarang aku akan belajar untuk
memahamimu. Katakan padaku kalau ada sesuatu yang tidak kau sukai dari sikapku. Jangan
memendam kekesalanmu sendiri, mengerti?"

Chanyeol mengangguk-angguk santai, sederet gigi rapi muncul di hadapan Baekhyun karena ia
tengah tersenyum lebar—lesung pipi terpajang tampan di sebelah pipi. "Kau berbicara seperti aku
tidak mengerti tentangmu saja," ia malah mencibir, mengerutkan kening tidak terima. "Kita
mempunyai watak yang tidak jauh berbeda. Kurasa aku sudah cukup ahli dalam mengenali
situasi."

Jawaban Chanyeol menciptakan sebuah senyum untuk tercetak di wajah Baekhyun. Namun setelah
itu ia termenung sebentar, mulut setengah mengerut sebelum memberanikan diri untuk bertanya:
"Apakah kau memaafkanku sekarang?"

Chanyeol menaikkan alis. "Aku baru akan menanyakanmu hal yang sama."

"Jangan bercanda," Baekhyun menyipitkan mata kesal. "Kau tahu aku sering menyakitimu."

Chanyeol bersiap-siap membuka mulut untuk protes, tetapi Baekhyun terlebih dahulu
mengulurkan tangan di antara mereka. "Ayo berdamai?" tanya sang kakak waswas. Chanyeol
memutar mata sekali, berlagak membuang nafas muak sambil mengarahkan tatapan menimang-
nimang pada tangan sang kakak. Apa yang Baekhyun tidak kira adalah lelaki itu kemudian
menggenggam jemarinya, kepala terus menunduk sampai bibir mencapai kulit tangannya—
menekan mulut di sana selama beberapa detik. Baekhyun seketika menganga, mata berkedip-kedip
tercengang dan pikiran mengosong.

Saat Chanyeol balik menatap Baekhyun, ia tambah mengencangkan pegangan pada tangan sang
kakak. "Kuharap ini bukan mimpi," ibu jari Chanyeol mengusap masing-masing jari Baekhyun
hati-hati, memanjakan mereka melalui sentuhan yang menyebar sengatan ke mana-mana.
"Kalaupun aku memang sedang bermimpi, tolong jangan bangunkan aku."

Chanyeol tiba-tiba menarik pergelangan tangan Baekhyun ke depan, tanpa aba-aba memotong
ruang kecil di tengah keduanya demi menggiring bibir mereka kepada ciuman yang manis—mata
keduanya segera terpejam untuk bersama-sama tenggelam menyelami perasaan masing-masing.

Baekhyun sudah kalah, dan ia memilih untuk menyerah.

RETURN OF THE DANDELION

.
.

Tidak banyak hal yang berubah.

Hubungan mereka kembali seperti dahulu; hanya saja Baekhyun bolak-balik menekankan kepada
Chanyeol untuk berhenti mempertunjukkan sikap janggal ke depan publik. Skinship berlebihan
adalah hal yang kurang normal bagi kakak adik, dan Baekhyun menganjurkan mereka untuk saling
berjauhan di sekolah agar tidak memancing kecurigaan. Jongin, Sehun, Minseok, dan Joohyun
tentu masih berpikir bahwa mereka sedang terlibat "perang dingin" hingga ada baiknya bagi
keduanya untuk memanfaatkan anggapan tersebut demi memulihkan "image" yang diinginkan.
Dicap sebagai saudara yang kelewat akur justru akan menuaikan mereka perhatian khusus
nantinya.

Berpacaran dengan Chanyeol membuat lelaki itu semakin membuka diri kepada Baekhyun,
menceritakan berbagai pengalaman hidup yang memancing rasa penasaran sang kakak—termasuk
kisah cinta bertepuk sebelah tangan Jinri sewaktu mereka menduduki kelas delapan. Chanyeol
menjelaskan sejarah kapan ia mulai belajar taekwondo dan siapakah orang pertama yang mencicipi
kemampuan bela diri handalnya. Sebagai pengganti, Baekhyun semacam
mengadakan workshop bagi Chanyeol untuk mempromosikan keuntungan
mendirikan fansite sekaligus berniat pamer bahwa ia adalah pemilik asli dari fansite Yoona
ternama di Korea: YOOAREMYDESTINY. Chanyeol cuma mengangguk acuh tak acuh saat
Baekhyun berkoar-koar heboh mengenai mantan fansite-nya yang kini bertambah tenar—bahkan
sudah mendunia sejak diambil alih oleh Youngho, seorang teman SONE kaya yang Baekhyun
kenal dari kerumunan penonton M!Countdown empat tahun lalu.

Chanyeol tidak berubah. Ia sering menjahili Baekhyun, menyembunyikan earphones di bawah


tempat tidur maupun mengacak-acak urutan album Girls' Generation yang sudah Baekhyun taruh
sesuai abjad. Chanyeol mengajak Baekhyun menonton horror demi melihat sang kakak berteriak
sumpah serapah ketakutan—sengaja mendokumentasikan momen-momen tersebut sebagai
koleksi pribadi. Ia tetap menjadi seorang adik yang protektif: mengantar-jemput Baekhyun ke
sekolah, juga menunggu di halte bus setiap Baekhyun tak sengaja pulang malam karena keasyikan
mengobrol dengan para gossipers (baca: Sehun, Minseok, dan Joohyun).

Apa yang membedakan bagaimana mereka sekarang dari dahulu adalah kontak fisik yang
keduanya lakukan secara sembunyi-sembunyi—pada waktu tertentu kala tak ada orang selain
mereka di rumah. Mereka tidur bergantian di kamar satu sama lain, berpelukan semalam suntuk
dan berciuman saat pagi menjelang sebelum menjalankan rutinitas harian mereka untuk
bersandiwara di hadapan bibi Eunji: memasang ekspresi datar dan saling mengabaikan selama
makan pagi. Chanyeol suka membaui rambut Baekhyun, berulang-kali mengatakan bahwa sang
kakak mengingatkannya akan aroma bedak bayi, dan sebaliknya, Baekhyun akan menciumi telinga
Chanyeol sambil mengejek sang adik untuk mengikuti casting karakter goblin kali-kali Harry
Potter seri ke delapan dibuat. Terkadang mereka akan bercumbu lama di depan televisi, bibir
bergelut cukup dalam sampai mereka tidak menghiraukan tayangan The Walking Dead di layar—
atensi berpindah kepada sentuhan polos yang masing-masing berikan. Chanyeol sering mencium
Baekhyun tiba-tiba: saat ia tengah mencuci piring, mengerjakan latihan grammar bahasa Inggris
sambil mengenakan kacamata bundar ala Harry Potter, atau di tengah pemutaran
film action rekomendasi Jongin di kamar lelaki itu.

"Sebuah hubungan yang hanya kita ketahui," Chanyeol pernah berkata ketika mereka sedang
terbaring santai di atas tempat tidur Baekhyun, kepala sang kakak berada pada perpotongan
lehernya—menghirup aroma lelaki itu sebagai oksigen untuk bernafas tenang. "Bukankah itu
terdengar romantis?"

Lebih tepatnya berbahaya, jika Baekhyun boleh menimpali. Walau ia berakhir tidak mengatakan
apa-apa, bersenandung pelan yang teredam oleh vibrasi suara Chanyeol.

Sang kakak menikmati bagaimana hubungan mereka berjalan, setiap tujuh hari dalam seminggu
dilalui penuh ciuman dan pelukan serta tawa terbahak-bahak—melupakan bahwa waktu tidak
sekali pun membeku dan tibalah mereka pada H-9 upacara kelulusan SMA.

Siang ini Sehun mengajak para gossipers untuk mengisi jadwal kosong sepulang sekolah dengan
berkumpul bersama dalam keheningan di sebuah kedai kopi vintage dekat gedung SMA Caspian.
Setiap dari mereka memesan satu mug besar iced coffee ditemani sepiring waffle rasa stroberi yang
tampak belum tersentuh di tengah meja. Ekspresi mereka murung; mulut menyeruput sedotan
malas-malasan dan tangan berkutat pada ponsel masing-masing. Keadaan kedai kopi yang sepi
pun mendukung sekelompok murid tersebut untuk bertindak seperti mayat hidup, terdiam
membosankan karena terhanyut dalam musik akustik santai yang berasal dari speaker.

"Aku tidak percaya bahwa dalam sembilan hari ke depan kalian akan lulus," Sehun terlebih dahulu
menghancurkan kesunyian mereka, meneguk iced coffee dengan mata hampir berkaca-kaca.
Joohyun, Minseok, dan Baekhyun serentak mengerutkan bibir sedih. "Aku malas mencari teman
baru."

Sehun langsung membalas rangkulan Joohyun ketika sang kakak kelas memeluknya romantis dari
samping. Mereka membuat suara tangisan manja secara kompak. "Oh Sehun, terimalah
cinta noona," Joohyun berujar dramatis sambil terisak palsu, alis menekuk untuk mendukung
sandiwara cukup naturalnya. Baekhyun dan Minseok yang duduk berjajaran pun saling menoleh
untuk berbagi satu rotasi bola mata. "Kau akan selalu menjadi adik kesukaan noona."

Sehun mengusuk-usuk rambut Joohyun; mereka berdua sekilas terlihat serasi untuk menjadi
sepasang kekasih. "Terima kasih, noona kesayangan," ucap sang adik kelas dalam nada lembut
yang berpotensi merangsang ketiga murid di sekitarnya muntah. "Meskipun kau tidak ahli
teknologi dan mempunyai hobi aneh seperti menyetrika, kau akan selalu menjadi sahabat tukang
gosip terbaikku yang ahli dalam mengatur fashion."

Omongan tidak berfaedah Sehun menyadarkan Baekhyun akan satu hal penting. "Ah," ia memulai,
melepas sedotan dari mulut untuk menatap Joohyun serius. "Apa kau jadi mengambil jurusan
fashion di Prancis?"

Joohyun menyingkirkan lengan Sehun di bahu guna menanggapi pertanyaan Baekhyun. "Yup!" ia
setengah memekik, tersenyum berseri-seri sampai mata melengkung seperti bulan sabit cantik.
"Bukan hanya di Prancis, omong-omong," Joohyun mengklarifikasi, mencondongkan tubuh
kepada Baekhyun dan Minseok. Sehun menoleh penasaran ke direksi gadis tersebut. "Aku
mencoba sejumlah perguruan tinggi fashionternama di Prancis, Inggris, dan Amerika. Semoga saja
aku diterima di salah satu universitas yang kupilih."

Minseok mengangkat kepalan tangan agak tinggi. "Semangat!" serunya; aksi barusan cepat-cepat
ditiru oleh Baekhyun dan Sehun. "Selamat bersenang-senang di bidang fashion," Minseok
menggerak-gerakkan alis seperti hendak menginformasikan suatu topik panas. "Sekarang aku
resmi menjadi mahasiswa jurusan International Business Management."

Sehun nyaris terhenyak. "Temple University di Jepang?" ia menyerukan, mulut melongo kaget.
Minseok memang pergi ke Jepang tiga minggu lalu untuk mengikuti tes di sana. "Kau lulus
tes, hyung?"

Minseok sengaja mengangkat kedua alis misterius. Ia tidak menjawab pertanyaan Sehun, malah
mengulurkan tangan untuk merangkul santai bahu Baekhyun. "Sampai ketemu lagi! Universitas
kita sama-sama di Tokyo."

"Argh!" Sehun berteriak frustrasi, bisa-bisa menggetarkan seisi ruangan karena dua pegawai kedai
kopi di bagian kasir sejenak menoleh untuk melayangkan pandangan bingung. "Aku jadi ingin
cepat lulus sekarang!" ia mengacak-acak rambut sendiri sebelum lekas mengaca di ponsel guna
menatanya kembali. Baekhyun, Minseok, dan Joohyun cuma menatap anak itu tidak terkesan.
"Aku tidak sabar diterima di KAIST kemudian mendapatkan beasiswa gratis ke universitas sains
ternama di Amerika."

"KAIST?" Minseok mengulangi dalam nada yang meremehkan, mencubit ujung hidung jijik. "Aku
tidak tahu kau menyukai sains."

Sehun melotot ke arah Minseok. "Sains adalah suamiku!" ia mengumumkan, membuat tanda hati
dengan jempol dan jari telunjuk. "Aku berniat mengabdikan hidupku untuk kimia, matematika,
atau astronomi."

Minseok menggeleng tidak percaya, sedangkan Joohyun langsung memasang raut muka cemberut,
sikut menyenggol lengan Sehun kasar hingga sang adik kelas hampir menjatuhkan mug ke lantai.
"Kupikir aku adalah suamimu, Oh Sehun!"

Baekhyun menghela nafas berat. "Joohyun… bisakah kau bersikap sedikit feminin?" ia agak
mencondongkan tubuh untuk mengelap bekas cokelat di bawah hidung Joohyun menggunakan
tisu, mengundang gelak tawa berlebihan dari Minseok dan Sehun. "Kau sangat cantik dan punya
bakat di fashion, tapi kau bertingkah seperti seorang hyung."

"Dilarang menghakimi noona-ku!" bela Sehun, memicingkan mata tajam kepada Baekhyun.
Joohyun menatap Sehun datar. "Biarkan ia cantik apa adanya; kalau ia jelek, mana mungkin laki-
laki populer seperti Minho menyukainya?"
Mencampakkan ocehan kosong Sehun, Minseok justru memandang Joohyun menantang.
"Kutunggu transformasimu saat kau berhasil lulus tes di universitas dambaan."

Terhibur mendengar dukungan positif Minseok, Joohyun pun terkekeh lucu. "Terima kasih,"
jawabnya, bertepatan dengan denting bunyi lonceng yang saling bertabrakan di pintu masuk kedai
kopi—memberi tanda bahwa mereka kedapatan pengunjung baru. "Aku akan belajar make up dan
merapikan rambut supaya kalian terpesona..." ia meneruskan meski atensi keempatnya terlanjur
tertuju pada dua pelanggan yang sudah berjalan memasuki ruangan.

Sehun melirik ke Baekhyun sejenak sambil berpura-pura mengadukkan sedotan ke iced coffee.
"Hyung, adikmu."

Seorang siswa bernama Min Yoongi berdiri di sebelah Chanyeol, kacamata hitam tebal tak
berlensa yang ia pakai menambah kesan imut pada wajah bosannya. Baekhyun memang jarang
menyapa Yoongi, tetapi ia tahu bahwa mereka pernah berkenalan lewat pesta perayaan
kemenangan tim basket Caspians berbulan-bulan yang lalu. Seperti tipikal pembuat onar pada
umumnya, mereka berdua mengenakan seragam yang sama-sama kusut: kancing atas sengaja
dibiarkan terbuka beserta sneakers tanpa kaos kaki. Pelanggaran terdeteksi dalam penampilan
mereka dari ujung kaki sampai ke akar rambut, dan Baekhyun terang-terangan menyirami dua
siswa tersebut dengan tatapan menghakimi. Chanyeol melirik Baekhyun sejenak, dan mereka pun
terlibat kontak mata datar sebelum bersamaan membuang muka.

Minseok menganga, mata bulat menyalang ke sepasang kakak adik tersebut bergiliran. "Jangan
bilang perang dingin kalian masih berlangsung sampai sekarang?"

Joohyun mengerutkan kening, mengamati cara jalan Yoongi yang gagah sembari bergumam ke
telinga Sehun: "Kenapa semua lelaki idaman di sekolah kita harus mempunyai aura yang
mengerikan?"

"Jadi, bagaimana?" Baekhyun buru-buru mengganti topik, mengalihkan atensi ketiga murid dari
Chanyeol dan Yoongi—memandang Minseok dan Joohyun bergantian. "Apa kalian siap
menghadapi dunia universitas?" ia terdengar seperti seorang pejuang yang memberikan pidato
untuk merebut kemerdekaan, "Beradaptasi dengan negara asing, suasana asing, dan ribuan orang
yang tidak kalah asing?"

Sehun memutar mata ketika Minseok memamerkan senyumnya yang paling tampan. "Aku
berencana melakukan makeover besar-besaran! Targetku adalah menjadi populer di Temple
University!"

Joohyun sebaliknya menatap Baekhyun murung. "Kalau aku malah takut tidak punya teman."

Sehun berlagak cemberut terharu menyaksikan Baekhyun memegang tangan Joohyun. "Tenang
saja," ia menyemangati, "Aku yakin semua orang akan menyukaimu. Kau bisa menghadapi ini,
Joohyun-ah."
Joohyun menepuk-nepuk tangan Baekhyun, wajah menjadi lebih terang, sampai kemudian suara
aneh Sehun muncul untuk merusuh suasana: "Asal kau mulai belajar menggunakan teknologi,"
sang adik kelas mengangkat bahu menjengkelkan. "tidak akan ada masalah."

Minseok dan Sehun menertawai Joohyun kompak, ejekan mereka semakin menjadi-jadi karena
Joohyun mencoba mencekik Sehun—sedotan bekas iced coffee diikat ke leher sang adik kelas.
Baekhyun tidak menemukan suatu hal lucu dari pertikaian kekanak-kanakkan mereka, memilih
untuk menoleh ke sembarang arah dan menangkap basah tatapan intens Chanyeol padanya. Sudut
bibir lelaki itu lalu terangkat ke atas, menunjukkan senyum yang menyirat rahasia, dan Baekhyun
memandang sang adik datar—mata diam-diam berbinar oleh sesuatu yang hanya Chanyeol ketahui
maksudnya. Dengan Minseok, Sehun, dan Joohyun yang masih betah beradu mulut, serta Yoongi
yang tampak fokus bermain Clash Royale—Baekhyun pikir tak ada salahnya jika mereka bertukar
pandang satu atau dua detik.

Ya, Joohyun bukanlah satu-satunya orang yang mempunyai ketakutan serupa.

Baekhyun juga takut; ia belum siap dihadapkan pada ribuan orang baru dan kehidupan keras
universitas, tetapi ia rasa ketakutan tersebut akan teratasi bila Chanyeol selalu berada di
sampingnya.

RETURN OF THE DANDELION

Sebuah ringtone notifikasi singkat akan e-mail baru menghancurkan konsentrasi Baekhyun dari
menonton ulang video klip Girls' Generation di ponsel.

Ia melepas earphones, meletakkan mereka sekaligus ponsel sembarang lalu merangkak


menghampiri laptop yang terletak di pojok tempat tidur—tersandar nyaman pada dinding supaya
tidak terjatuh. Baekhyun menekan salah satu tombol keyboard, memasukkan kode pengaman dan
cepat-cepat membuka Google Chrome. Sebuah e-mail bersubyek "Medicine Scholarship
Information for International Applicants" terpajang di urutan paling atas kotak masuk, diikuti
beberapa pesan belum terbaca lain yang rata-rata adalah tawaran beasiswa oleh sejumlah
universitas swasta mahal di Korea. Baekhyun mengernyitkan alis tatkala menyadari dari siapa e-
mail barusan berasal: University of Tokyo.

Mengerutkan kening, ia menggerakkan kursor untuk membuka pesan tersebut, tatapan bosan
menelusuri setiap kata berbahasa Inggris yang terlampir—menutup browser hampir satu menit
kemudian walau ia benar-benar belum selesai membaca. Iming-iming bayangan sebagai
mahasiswa kedokteran sebuah universitas terkenal di dunia menghantui kepala Baekhyun; ia
mematikan laptop, mencabut kabel charger dari stop kontak—menggeletakkan mereka asal
setelahnya—sebelum menjatuhkan kepala ke atas bantal: mata memandang kosong langit-langit
kamar. Menghabiskan banyak waktu bersama Chanyeol telah menghapus seluruh koleksi memori
Baekhyun mengenai beasiswa Universitas Tokyo. Ia lupa bahwa akan ada interview dalam dua
bahasa (Inggris dan Jepang) serta tes tambahan apabila ia tertarik untuk mendaftar jurusan
kedokteran.

Benar, secara teknis Baekhyun memang memperoleh beasiswa untuk hampir semua jurusan di
Universitas Tokyo; ia diberi kebebasan untuk memilih satu yang diingikan—tetapi itu tidak
berlaku bagi kedokteran, mengingat jurusan tersebut selalu ramai oleh peminat (baik domestik dan
internasional) sehingga Universitas Tokyo pun semakin memperketat perekrutan calon mahasiswa
mereka. Terlebih kepada segelintir murid negara tetangga yang hanya bergantung pada beasiswa.
Demi mendapatkan beasiswa saja para pelamar wajib melalui berbagai persyaratan berat: nilai
akademis tinggi yang harus selalu mengalami peningkatan, aktif memenangi lomba maupun
olimpiade minimal tingkat nasional, penyerahan esai yang dianggap sesuai kriteria, dan
penyaringan besar-besaran yang dilakukan pihak Universitas Tokyo kepada siswa internasional.
Kawamaru-sensei pernah memberitahu bahwa tahun ini ada 59 murid di Korea Selatan yang
kebagian kuota beasiswa, dengan peminat jurusan kedokteran yang tambah mendominasi—
otomatis memperkecil kesempatan untuk diterima karena tahun kemarin Universitas Tokyo
terang-terangan hanya meloloskan enam pelamar beasiswa.

Baekhyun tidak akan mengelak bahwa ia telah belajar mati-matian. Menjadi bagian dari
mahasiswa kedokteran di salah satu universitas ternama dunia adalah impian terbesarnya yang
bahkan Jongdae ketahui sejak dahulu. Nilai suneung yang kurang sempurna terlanjur merebut
harapan Baekhyun untuk mewujudkan cita-cita di Seoul National University, jadi ia berpikir untuk
mencoba satu kali lagi di Universitas Tokyo selagi diberi kesempatan cuma-cuma. Mau gagal atau
berhasil, ia tidak peduli asalkan ia sudah bekerja keras sampai ke titik darah penghabisan demi
memberikan hasil yang terbaik.

Akan tetapi semangat Baekhyun perlahan memudar semenjak ia dan Chanyeol memulai hubungan
baru mereka—sebuah alasan yang kelak mengantar sang kakak untuk berubah pikiran dan segera
mengambil keputusan yang mungkin dianggap konyol bagi semua orang.

Baekhyun menatap datar setumpuk rapi berkas penting beasiswa Universitas Tokyo di atas meja
belajar, berjalan sebentar untuk mengambil sekumpulan kertas tersebut—memasukkan mereka ke
satu plastik hitam besar sembari tergesa-gesa menambahkan sejumlah kertas buram bekas coretan
soal matematika guna menutupi tumpukan berkas tadi. Ia menginjak sebuah tombol di bagian
bawah tempat sampah untuk membukanya lalu meletakkan plastik hitam tersebut di dalam—
menata beberapa bekas botol minuman dan kertas di sekeliling sampai membentuk gundukan
kecil. Tempat sampah otomatis tertutup saat Baekhyun melepas injakan, dan ia mengambil nafas
panjang, menghempaskan tubuh lagi ke tempat tidur sambil melamun mengamati tempat sampah.
Mengangkat bahu masa bodoh, Baekhyun lantas mengambil ponsel untuk membaca satu per satu
pesan baru di KakaoTalk—jantung nyaris copot karena Chanyeol langsung memasuki kamarnya
secara mendadak.

Lelaki itu melirik ke segala direksi seperti mencari sesuatu. "Kau punya permen mint?"

"Di laci belajar," Baekhyun mengangguk, pandangan masih pada layar ponsel—menggeserkan jari
telunjuk dari bawah ke atas. "Apa permainan gitarmu sudah lancar?"

Band SMA Caspian akan tampil selama graduation party minggu depan, dan sang adik sedari tadi
melangsungkan latihan solo gitar selama berjam-jam di ruang bawah tanah. "Lumayan," jawab
Chanyeol agak ngos-ngosan, meraih sebuah plastik putih yang cuma tersisa dua permen dan
mengeluarkan isinya ke atas meja belajar. Lelaki itu hendak membuang plastik tadi ke tempat
sampah ketika ia tidak sengaja melihat sesuatu yang tersembunyi di balik gundukan botol plastik
mineral. Chanyeol terhenti untuk beberapa detik, alis mengerut sebelum menyandarkan kruk ke
dinding lalu pelan-pelan berlutut guna menyingkirkan kertas-kertas dalam tempat sampah dan
mengambil sebuah plastik hitam yang terkubur di paling dasar. Baekhyun mendelikkan mata
menyadari apa yang terjadi, cepat-cepat membuang muka dan berpura-pura fokus pada ponsel
sebelum sang adik dapat menoleh dan mempertanyakan tentang ini.

Ia tahu Chanyeol tengah menatapnya; lelaki itu beranjak begitu ia selesai mengembalikan sampah-
sampah ke tempatnya dan melangkah tenang bersama kruk menuju wastafel untuk mencuci
tangan—dokumen penting Baekhyun ditaruh rapi di atas meja belajar. "Baekhyun," suara air yang
mengalir dari keran mengganggu pendengaran sang kakak. "Kenapa kau membuang dokumen
beasiswamu?"

"Huh?" Baekhyun menengadah, mati-matian menghindari tatapan Chanyeol dengan mengalihkan


bola mata antara ke ponsel dan dinding. "Uh—benarkah?" Chanyeol mengamati gerak-gerik
kebingungan Baekhyun dari kaca. "Berkas-berkas beasiswaku selalu kubiarkan di atas meja
belajar."

"Kau membuangnya," ujar Chanyeol singkat, mengelap tangan pada kain yang tersedia kemudian
berjalan mendatangi Baekhyun ke tempat tidur untuk duduk di hadapan sang kakak—kruk
dibiarkan berdiri dekat laci. Baekhyun menelan ludah. "Kenapa?"

"M-mungkin aku tidak sengaja," Baekhyun berbohong agak terbata-bata, "Barusan aku merapikan
laci belajar dan membuangi kertas-kertas yang sekiranya kurang dibutuhkan… aku pasti teledor
dan menyertakan dokumen beasiswa ke tempat sampah." Chanyeol menatap Baekhyun serius,
sebuah isyarat bahwa lelaki itu tidak mempercayai perkataan Baekhyun dan sang kakak
menghembuskan nafas frustrasi. "Aku tidak tahu, Chanyeol! Kembali saja ke kamarmu; aku mau
tidur."

Baekhyun menarik bantal mendekat, dan Chanyeol menahan pergelangan tangannya. "Kenapa?"
Sang kakak melotot. "Aku tidak tahu!" ia agak membentak, menarik tangan dari cengkeraman
Chanyeol. "Bisakah kau menanyakan pertanyaan yang lain?!"

Mereka saling bertatapan selama beberapa detik, sama-sama sangat keras kepala dengan keinginan
masing-masing, sampai akhirnya Baekhyun adalah yang pertama untuk menyerah. "Ya, kau
benar!" sang kakak nyaris berteriak, mata mendadak berkaca-kaca. "Aku membuangnya!" ia
membuang muka, suara tambah melemah selagi ia bergumam, "Beruntung kau punya mata yang
jeli."

Pandangan Chanyeol melembut melihat Baekhyun yang tampak seperti hendak menangis.
"Kenapa?" ia bertanya pelan, bersikukuh menanyakan satu pertanyaan yang sama seraya ikut
merunduk sebab sang kakak terus mengabaikan tatapannya.

Baekhyun merapatkan bibir supaya ia tidak jadi terisak, air mata jatuh begitu saja menuruni
pipinya. "Karena aku ingin tetap di Korea," sang kakak mengangkat kepala untuk membalas
pandangan Chanyeol, kesedihan tersorot dalam di sana. Lelaki itu mengerjapkan mata, ekspresi
tidak terbaca. "Aku tidak mau kita berpisah lagi."

Baekhyun setengah bangkit untuk memeluk Chanyeol tiba-tiba, lengan mengitari pinggang lelaki
itu dan wajah terdesak pada perpotongan leher sang adik. Ia menangis tersedu-sedu begitu
tubuhnya menemukan kehangatan, menuangkan bertubi-tubi air mata yang akan
membasahi sweater Chanyeol—nafas tersengal-sengal berantakan. "Bagaimana bisa aku
meninggalkanmu setelah semua permasalahan kita selesai?" Baekhyun memaksa berbicara,
tersedan-sedan lambat. "Kita baru saja memulai sesuatu yang baru; aku tidak mau mengorbankan
semuanya demi beasiswa yang tidak terlalu aku butuhkan!"

Baekhyun tersedak ludahnya karena tangisan yang mengeras, terbatuk-batuk kasar sebelum
berseru, "Tak menjadi dokter bukan berarti hidupku akan hancur," ia menjelaskan, suara terputus-
putus, "Kenapa aku harus ke Jepang kalau aku punya kesempatan untuk melanjutkan studiku di
Korea? Nilaiku sangat bagus untuk memenuhi persyaratan masuk universitas-universitas terbaik
di sini," Baekhyun berbicara nonstop, terdengar seperti ia sedang menghibur diri sendiri. "Memang
jurusan yang kuambil bukan kedokteran. Tetapi aku akan mengambil jurusan lain yang kusukai
seperti manajemen atau sastra."

"Kau yakin?" Chanyeol mendekap Baekhyun lebih dekat, mengelus punggungnya untuk
menenangkan pernafasan sang kakak yang tergesa-gesa. "Kupikir cita-cita terbesarmu adalah
bersekolah di luar negeri untuk menekuni kedokteran. Kenapa kau mudah sekali menyerah?"

"Aku bukan menyerah," Baekhyun serontak mengelak, "Aku menyesuaikan kemampuanku untuk
cita-cita yang baru. Lagi pula aku belum tentu lulus tes tambahan… aku perlu bersaing dengan 59
peserta lain dari seluruh Korea Selatan." Ia menghirup aroma Chanyeol sambil melanjutkan,
"Mereka adalah murid-murid terpilih yang mungkin benar-benar seorang genius."

Chanyeol merenggangkan pelukan mereka untuk mengerutkan alis di depan Baekhyun. "Sejak
kapan kau bersikap pesimis?"
Mata Baekhyun lembab saat ia menatap Chanyeol. "Apa kau tidak mengharapkanku di sini?"
Chanyeol terdiam, menunggu hingga sang kakak selesai berbicara, "Bukankah kau dahulu yang
mencelaku karena menerima beasiswa itu? Kenapa kau terlihat kecewa?"

Chanyeol malah tergelak kecil, menghapus jejak air mata di kedua pipi dan mulut Baekhyun—
tidak berniat menjawab pertanyaan Baekhyun.

"Chanyeol, aku tidak sedang bercanda," Baekhyun memegang pergelangan tangan Chanyeol,
memiringkan kepala untuk memandang sang adik serius. "Jika suatu hari aku diberi kesempatan
untuk mengejar cita-citaku sampai ke luar negeri, maka aku hanya akan pergi denganmu."
Tangisan Baekhyun mulai berhenti sekarang; pernafasan kembali pulih menjadi stabil, dan ia pun
meneruskan: "Ada jutaan profesi yang bisa kujalani di dunia ini; aku tidak ingin meninggalkanmu
demi memenuhi ambisiku…" sebuah jeda, "aku tidak mau mementingkan diri sendiri lagi,"
Baekhyun menambahkan dalam suara yang nyaris luput dari pendengaran Chanyeol.

"Kalau kau mau, aku ingin ke Jepang denganmu," sang kakak berkata lemas, hazel sendu menusuk
tatapan Chanyeol. "Kita akan bekerja keras bersama… mendukung satu sama lain sampai cita-cita
kita tercapai," Baekhyun menggigit bibir tidak yakin. "Bukankah kau menginginkan hal yang
sama?"

"Tentu saja," Chanyeol menyingkirkan poni basah Baekhyun dari dahi. "Tetapi hanya karena kau
bersekolah ke Jepang bukan berarti kau mementingkan ambisimu dan meninggalkanku."

Baekhyun membuka mulut, "Chanyeol—"

"Kuakui bahwa aku sempat merasa kecewa saat tahu kau telah menerima beasiswa itu," lelaki itu
cepat-cepat menyela sebelum Baekhyun dapat menyuarakan protes; sang kakak dibuat bungkam
seketika oleh pengakuan Chanyeol. "Aku sadar akan rencanamu untuk meninggalkan kami,"
terselip suatu hening menenangkan di antara mereka seraya keduanya saling memandang intens
satu sama lain. "Namun itu sudah lama berlalu… sekarang aku tidak perlu merasa takut," Chanyeol
mengulum sebuah senyum simpul. "Lagi pula mana mungkin aku membiarkanmu pergi begitu
saja?" ia menekuk alis untuk berpura-pura marah, mengusuk-usuk rambut Baekhyun. "Aku cukup
posesif dengan kekasihku. Jangan harap kau bisa bebas dari cengkeramanku."

Baekhyun terkekeh lucu, menutup mulut dengan telapak tangan supaya tidak tertawa berlebihan.

"Terima kasih telah memikirkanku," Chanyeol menyentuh pergelangan tangan Baekhyun.


"Seandainya aku boleh bersikap mementingkan diri sendiri, aku tidak akan keberatan menyetujui
pilihanmu," ia menyipitkan mata. "Dengan sangat senang hati," sambungnya kemudian.

"Tapi kau tahu aku bukan orang yang seperti itu," Chanyeol menghela nafas panjang,
menggelengkan kepala tidak terima. "Aku sungguh-sungguh tidak mau merusak mimpimu,"
ekspresi kecewa sejenak melanda wajah lelaki itu. "Aku benci menjadi alasan di balik
keputusanmu untuk menyerah."
"Lalu kenapa kalau kita terpaksa berjauhan sementara?" tantang Chanyeol, dua alis terangkat. "Ini
bukan perpisahan. Teknologi sekarang sudah canggih dan kita masih bisa berkomunikasi layaknya
bertemu di dunia nyata."

"Tetap saja tidak sama…" Baekhyun mengerang protes, menuai tawa kecil dari Chanyeol sebelum
ia pun memegang bahu Baekhyun, menggabungkan hazel mereka dalam pandangan yang serius.

"Kumohon jangan menyia-nyiakan kesempatan yang jutaan orang perebutkan," ujar lelaki itu,
tatapan menelusuk hazel Baekhyun agar sang kakak tahu bahwa ia tengah bersungguh-sungguh.
"Jika kau ingin menjadi dokter dan bersekolah ke luar negeri, pergilah. Aku tidak akan
menghalangimu."

"Percayalah padaku saat kubilang kau akan lolos," Chanyeol mengelus rambut Baekhyun.
"Menghadapi 59 murid genius bukanlah masalah jika kau adalah Park Baekhyun," ia tersenyum
lebar, bibir melengkung sempurna menyisakan satu lesung pipi di sebelah kiri. "Aku yakin dalam
dua bulan ke depan kau akan menjadi mahasiswa kedokteran Universitas Tokyo."

Kata-kata sederhana Chanyeol mampu menumbuhkan senyum di wajah Baekhyun, mata bulan
sabit agak berkaca-kaca yang tampak semakin mungil. Chanyeol mengusap sisa air mata di hidung
sang kakak. "Jangan khawatir, aku akan melakukan apa saja agar kita bisa bersama," ia
meyakinkan, "Karena masih ada satu tahun lagi sebelum aku lulus SMA, bisakah kau menungguku
sebentar? Berikan aku waktu satu tahun untuk menyusulmu ke Jepang."

Mata Baekhyun setengah melebar tidak percaya. "Benarkah?" ia menganga sebentar lalu menutup
mulutnya menggemaskan. "Apa kau akan belajar keras untuk mendapat beasiswa ke Jepang?"

Chanyeol menggerak-gerakkan alis aneh. "We'll see," ia lantas mengulurkan jari kelingking di
tengah-tengah mereka. "Sekarang berjanjilah padaku kau akan belajar keras untuk ujian
tambahan."

Baekhyun memutar mata atas sikap kekanak-kanakkan Chanyeol, mengambil nafas dramatis
sembari mengaitkan kelingking mereka bersama. "Hm," ia tidak bisa berhenti tersenyum. "Terima
kasih."

Chanyeol membelai pipi Baekhyun lambat, mendekatkan wajah mereka dengan nafas hangat yang
menggelitiki dagu Baekhyun. "Aku mencintaimu," lelaki itu berbisik, mencondongkan tubuh
untuk menempelkan bibir mereka lembut. Baekhyun menutup mata, menyambut mulut Chanyeol
dengan melumat bagian bawah bibir lelaki itu—terbawa oleh arus yang segera mengantarkan
mereka kepada ciuman yang lebih berani tiap detiknya. Baekhyun meremas rambut Chanyeol
pelan, nafas tersengal-sengal karena cumbuan mereka yang bertambah cepat—mencoba untuk
mengambil oksigen di sela ciuman panas mereka meski Chanyeol tengah menjilati bibirnya, lidah
memasuki mulut Baekhyun untuk menyicipi dalamnya.

Baekhyun kesulitan bernafas ketika Chanyeol mulai menggerakkan bibirnya ke pipi, perlahan naik
menuju masing-masing mata mungil itu lalu ke dahi dan berakhir di hidung—mengecupi kulit
wajah Baekhyun begitu lambat layaknya sesuatu yang paling ia jaga. Baekhyun mencengkeram
lengan Chanyeol, mata semakin sayu karena Chanyeol meneruskan ciumannya menuruni dagu
hingga leher sang kakak, menyebarkan lumatan-lumatan pelan ke seluruh tempat, berulang-ulang
dan sesekali menggigit pelan—menaikkan bulu kuduk Baekhyun akan sensasi asing yang belum
pernah ia rasakan. Salah satu tangan Chanyeol yang kini berada pada pinggang Baekhyun
terangkat untuk menyelipkan diri ke dalam kemeja piyama sang kakak, jemari hangat lelaki itu
yang bersentuhan langsung dengan kulit punggung Baekhyun seketika mempercepat detak
jantungnya. Baekhyun sedikit mengangkat kepala, memberi akses lebih besar kepada Chanyeol
untuk memanjakan lehernya bertepatan pada detik di mana lelaki itu tiba-tiba menghentikan semua
tindakannya—segera menarik tangan dari balik kemeja Baekhyun dan menegakkan tubuh untuk
memandang sang kakak bersama percikan sesuatu yang membara di masing-masing mata
lebarnya.

Pikiran Baekhyun kosong; ia seketika merindukan segala kehangatan akan tangan kasar Chanyeol
yang menjamah punggungnya sebelum perlahan membuka mata—mengerjapkan hazel lemas
dengan bayang-bayang sentuhan Chanyeol membekas pada kulitnya.

Mereka sama-sama terengah-engah, dan Chanyeol menelan ludah tegang. "Maaf," ia justru
tersenyum kikuk. "Kurasa…" sebuah jeda ragu-ragu, tatapan lelaki itu terletak pada bibir
Baekhyun. "Kurasa menunggu terlalu lama telah menghilangkan kontrol hasratku padamu."

Chanyeol hendak beranjak dari tempat tidur, dan Baekhyun cepat-cepat mengeratkan pegangan
pada lengan lelaki itu. "J-jangan berhenti," suara Baekhyun pecah dan sangat terbata-bata; ia
mendongak untuk menatap Chanyeol kaku—pipi bersemu kemerahan dan tangan gemetaran.
Chanyeol mengerjapkan mata. "Lakukan apa saja yang kau inginkan. Aku… tidak akan
melarangmu."

Beban tubuh Chanyeol agak menggoncang tempat tidur ketika ia kembali menyatukan bibir
mereka dalam ciuman yang haus, lengan lelaki itu menemukan rumah mereka pada pinggang
Baekhyun. Dua bibir bergulat sangat tergesa-gesa dan berantakan, semakin cepat serta tidak teratur
dengan lidah yang meraba satu sama lain—menghilangkan seluruh udara yang sempat memenuhi
paru-paru Baekhyun. Chanyeol tidak memutus ciuman mereka meski ia perlahan bangkit untuk
naik ke atas Baekhyun, bayangan lelaki itu sepenuhnya menutupi tubuh sang kakak sebelum ia
mengarahkan cumbuan menuruni leher Baekhyun: digigit, dihisap kemudian dijilat berkali-kali
untuk meninggalkan bekas. Baekhyun merintih pelan, pipi memerah karena suara janggal yang ia
buat sendiri, dan Chanyeol menggenggam pinggang sang kakak lebih erat, membenamkan wajah
semakin jauh agar ia bisa merasakan langsung kulit lembut di bagian belakang leher Baekhyun—
menjulurkan lidah untuk menjilatinya sejenak. Nafas Baekhyun hampir berhenti; Chanyeol terus
mengulangi perlakuan mesranya pada leher Baekhyun, hidung mengendus-endus lembut guna
membaui aroma sang kakak—hembusan nafas lelaki itu mengalirkan getaran ke sekujur tubuhnya.
Sebuah tangan kemudian menyusup ke dalam kemeja piyama Baekhyun, kulit kasar bersentuhan
sekilas dengan perutnya, dan sang kakak serontak membuka mata, ikut memasukkan tangan untuk
memegang pergelangan Chanyeol.

Jemari menempel pada kulit di bawah dada Baekhyun, Chanyeol menengadah untuk menatap sang
kakak waswas. "Kenapa?"
Baekhyun menghindari pandangan Chanyeol, menggerakkan bola mata ke direksi selain wajah
lelaki itu. Ia mengangkat satu tangan gemetaran yang tadinya bersarang pada bahu Chanyeol untuk
memegang kancing paling atas kemeja piyamanya. "A-aku," Baekhyun mendadak kesulitan untuk
bicara, "aku akan melepas bajuku."

Telinga Chanyeol memerah; lelaki itu berdeham malu-malu—suatu pemandangan yang sangat
langka dan menggemaskan. "Biar aku saja," Chanyeol mengeluarkan tangan dari dalam kemeja
Baekhyun, membawa jemari sang kakak untuk menyentuh dadanya. "Bantu aku
melepas sweater ini."

Kegugupan luar biasa terlihat dari bagaimana Chanyeol membuka satu per satu kancing agak
lambat, jari lelaki itu terkadang meraba kulit pucat Baekhyun yang mengintip dari balik kemeja
piyama. Baekhyun sebaliknya mengangkat sweater Chanyeol ke atas, mengekspos perut sang adik
yang kurus dan pucat—kontras antara kulit di sana dengan tangan maupun kaki sangatlah kentara.
Tangan Baekhyun berhenti begitu ia sampai pada dada Chanyeol, mendongak untuk menatap
lelaki itu ragu-ragu. "Ch-Chanyeol," ucapnya, setengah menarik sweater sebagai isyarat bagi lelaki
itu untuk mengangkat tangan. Sang adik mengangguk, melaksanakan apa yang Baekhyun minta
sambil membantu sang kakak menanggalkan sweater dari tubuhnya—seketika memperlihatkan
bentuk sempurna akan sepasang lengan yang agak berotot dan rambut lelaki itu yang berdiri tak
karuan. Baekhyun meneguk ludah, kehilangan percaya diri sekaligus terpana oleh bagaimana
Chanyeol tetap terlihat sangat tampan dengan penampilan yang berantakan seperti ini. Sang kakak
kemudian sedikit bangkit untuk mengulurkan tangan guna meluruskan helai-helai kecokelatan
tersebut, jemari mengelus pelan kepala lelaki itu sampai rambutnya kembali seperti semula—
wajah bersemu karena tatapan intens lelaki itu padanya.

Udara dingin menerpa kulit Baekhyun saat Chanyeol menyingkirkan kemeja piyamanya,
menyisakan mereka berdua untuk sama-sama bertelanjang dada—pakaian berserakan di lantai.
Chanyeol mengamati tubuh Baekhyun, pandangan terjerat akan keindahan tubuh sang kakak
sebelum menundukkan kepala untuk mengecupi perpotongan leher Baekhyun, mendorong yang
lebih tua ke tempat tidur sambil membawa mulutnya berjelajah ke mana-mana—melakukan
tindakan yang sama dan berulang-ulang akan mencium, menggigit, serta menghisap. Ia meraup
masing-masing puting Baekhyun, menjilati mereka lambat—meraih desahan-desahan tertahan
dari sang kakak yang serontak memancing gairah Chanyeol. Lelaki itu mengizinkan bibirnya untuk
turun kemudian naik di area dada serta perut Baekhyun, bekas-bekas merah tampak mewarnai kulit
pucat sang kakak—tangan Chanyeol terus bergerak menelusuri lengan dan kakinya.

Sesuatu menonjol yang bergesekan dengan pahanya mengacaukan pikiran Baekhyun hingga ia
semakin terangsang, dan Chanyeol mengencangkan genggaman pada pinggang sang kakak,
menariknya untuk bangkit dari posisi terlentang. Mereka bertatapan sejenak, mata sayu bergetar
saling beradu kaku sebelum Baekhyun memejamkan mata, insting terlatih yang serontak tahu
bahwa Chanyeol hendak mendekatkan diri untuk mempersatukan mulut mereka lagi—melumat
cepat bagian atas bibir Baekhyun seraya mengelus punggungnya lambat dari atas ke bawah, jemari
lelaki itu menghafalkan bagaimana rasa kulit Baekhyun jika dijamah. Chanyeol lalu melepas
ciuman mereka, mengantarkan bibir untuk menghisap masing-masing telinga sebelum
dipindahkan ke punggung Baekhyun—kedua lengan merengkuh sang kakak agar ia tetap berada
pada posisi yang sama. "Ch-Chan," lirih Baekhyun di rambut lelaki itu, jantung berdenyut-denyut
gila saat tangan sang adik menyelinap untuk sekilas meraba pinggulnya yang masih tertutup oleh
celana dalam.

Chanyeol berhenti menciumi punggung Baekhyun untuk menatap sang kakak sayu. "Baek."

Baekhyun mengerti apa maksud Chanyeol dan mengangguk sekali, darah berdesir akan antipasti
seraya ia ragu-ragu membuka kancing lalu menurunkan zipper celana pendek Chanyeol—
memandangi tonjolan yang bersembunyi di baliknya, semburat merah menyebar ke wajah begitu
menyadari bahwa gairah mereka sama-sama memuncak. "Bisakah kau—" Chanyeol terhenti di
situ sebab Baekhyun segera membenahi posisi yang dikira akan memudahkan lelaki itu untuk
melepas celananya—tangan pada bahu sang adik sambil agak berdiri. Mereka kemudian membisu,
keduanya mendadak jadi kaku dan tidak berani untuk melakukan apapun—pandangan saling
menghindari satu sama lain—hingga Chanyeol mulai menurunkan celana piyama Baekhyun,
menampakkan kulit putih susu yang serontak mencuri atensi lelaki itu, underwearhitam sang
kakak menyusul setelahnya—semua terlempar asal ke bawah tempat tidur. Sisa kain pada tubuh
Chanyeol ikut ditanggalkan oleh Baekhyun; sang kakak mengalihkan pandangan ke arah lain
begitu dihadapkan pada kejantanan besar lelaki itu, berdiri tegak dengan sedikit pre-cum menetes.

Tangan Chanyeol terasa hangat saat ia perlahan mendorong bahu Baekhyun ke belakang,
membaringkan tubuh sang kakak ke tempat tidur—kepala tersandar nyaman pada bantal.

Lelaki itu lantas melarikan tangan dari paha menuju dada Baekhyun, sengatan mengikuti ke mana
saja sentuhan itu berlabuh dan membuat nafas Baekhyun tercekat di tenggorokan—palpitasi
merenggut konsentrasi sang kakak sehingga ia hanya mampu mengepalkan tangan sambil
menggigit bibir. Chanyeol memandangi tubuh telanjang Baekhyun, meraba lalu mengusap kulit
pucat itu hati-hati seakan-akan ia terbuat dari kaca yang mudah pecah dan harus dipegang
lembut—mengubur wajah ke leher sang kakak untuk sekadar menghirup aroma Baekhyun, bibir
digerakkan perlahan ke segala tempat yang sudah ia capai. Chanyeol kembali menatap Baekhyun,
tangan mengusap pipi sang kakak. "Cantik," lelaki itu berbisik, binar-binar mata yang berkata
bahwa ia seperti mengagungkan Baekhyun. Sang kakak mengerjapkan manik mungil pelan, kagum
oleh betapa menawan hazel Chanyeol tampak dari bawah cahaya lampu kamarnya. "Kenapa kau
sangat cantik?" Chanyeol mengusap bibir Baekhyun. "Aku ingin memuja setiap inci dari
tubuhmu," ia berujar, jemari menjamah kaki jenjang sang kakak. "Aku ingin mencium matamu,
lehermu, bahumu, seluruh tubuhmu—" sebuah jeda sebentar seraya lelaki itu meneguk liur. "—
kurasa aku kehilangan kontrol akan tangan dan bibirku."

Pandangan terpana Chanyeol mematikan sendi Baekhyun dari melakukan apapun. "Baekhyun,"
lelaki itu belum berhenti menatapi tubuh sang kakak dari ujung kaki sampai ke rambut. Baekhyun
menyukai bagaimana suara Chanyeol terdengar setiap ia memanggil namanya. "apakah berlebihan
jika kubilang aku tergila-gila denganmu?"

Baekhyun membalas pernyataan Chanyeol dengan memegang pipi lelaki itu, ibu jari menghapus
titik-titik keringat yang jatuh dari dahi—sang adik memejamkan mata untuk menikmati belaian
Baekhyun. "Jangan diam saja," Chanyeol menggenggam longgar pergelangan tangan sang kakak
untuk dituntun menuju dadanya. "Aku juga membutuhkan sentuhanmu."
Jemari cantik Baekhyun merangkak turun ke perut Chanyeol, meraba permukaan kulit pucat lelaki
itu yang datar dan agak kasar bila dipegang. Chanyeol tidak memiliki tubuh yang kebanyakan
orang kagumi, tapi ia tetap sempurna di mata Baekhyun. Lelaki itu kemudian terkekeh canggung.
"Andai aku tahu ini akan terjadi, aku pasti sudah menyiapkan six pack sempurna untukmu,"
candanya, intonasi terdengar seperti menyembunyikan rasa kurang percaya diri.

Baekhyun tidak menjawab; ia berusaha untuk tidak menahan diri dengan membiarkan tangannya
pergi ke semua ruang yang bisa ia raih untuk melampiaskan rasa penasaran. Sang kakak setengah
memijat lengan agak berotot Chanyeol ketika ia berkata, "Jangan," Baekhyun mengarahkan
pandangan untuk menemui tatapan waswas Chanyeol. "Tubuhmu sudah lebih dari sempurna
bagiku."

Baekhyun menyadari bahwa wajah Chanyeol tampak semakin memerah sekarang, telinga lebar
sama-sama menyamai warna tomat dengan hazel berkedip beberapa kali. Lelaki itu segera
membuyarkan kontak mata mereka untuk kembali bercumbu, meraup bibir Baekhyun pelan dan
tenang layaknya ciuman pertama mereka—liur bertukar di tengah jeda serta lidah saling mengait
untuk mengambil rasa akan satu sama lain. Baekhyun sedikit menegakkan tubuh untuk menarik
Chanyeol lebih dekat, lengan terkalung pada leher lelaki itu sambil mengulurkan mereka guna
mengusap punggung sang adik—mempercepat lumatan Chanyeol pada bibir atas Baekhyun.
Masing-masing tangan lelaki itu yang awalnya menetap di pinggang Baekhyun kini bergerayangan
ke mana-mana, memijat dan meremas pinggul Baekhyun berulang-ulang hingga sang kakak terus
mengerang di sela ciuman menggila mereka.

Tidak ada keraguan, hanya gairah cinta dan nafsu yang mulai merasuki mereka—mengambil alih
tindakan untuk berhenti menahan diri dan terus menjamah satu sama lain. Posisi keduanya yang
terlalu dekat menyebabkan kejantanan mereka untuk sesekali bergesekan, dan cumbuan mereka
berangsur-angsur ganas, lidah menjilati rongga mulut dan gigi menggigiti bibir. Baekhyun
memindahkan mulutnya ke leher Chanyeol, menghisapi jakun lelaki itu seraya menuruti keinginan
birahi untuk perlahan menurunkan tangan dari dada ke perut hingga akhirnya hinggap pada
kejantanan Chanyeol, mengelusnya perlahan—erangan serak lelaki itu adalah musik bagi telinga
sang kakak. "Baek," Chanyeol tampak kehabisan nafas, mengeratkan pegangan pada jemari
Baekhyun sambil mengembalikan posisi sang kakak untuk kembali terbaring. Nafsu tidak
terkontrol menguasai maniknya. "a-aku—"

Baekhyun tahu tahap apa yang akan mereka lakukan setelah ini, dan ia memberikan satu anggukan
kecil kepada lelaki itu sebelum Chanyeol pun meletakkan tangan pada masing-masing paha sang
kakak dan membentangkan mereka sampai menunjukkan lubang anusnya. Telinga Chanyeol
terlihat sangat merah; Baekhyun ingin menggapai salah satunya untuk diusap, namun ia terlalu
malu untuk bahkan melakukan apapun—lengan terdiam kaku pada masing-masing sisi karena
Chanyeol tidak berkedip mengamati tubuhnya. Lelaki itu lalu mengelus lengan Baekhyun.
"Akankah kau baik-baik saja?" ia menatap Baekhyun khawatir. "Aku tidak tahu apa-apa…
bagaimana kalau aku menyakitimu?"

Mata Baekhyun setengah melebar, tiba-tiba teringat akan rumor mengenai Chanyeol yang terlanjur
tersebar ke seluruh penjuru sekolah. Seorang playboy tampan; lelaki iblis yang meniduri banyak
wanita dan meninggalkan mereka keesokan harinya. Baekhyun menyesal telah sempat
mempercayai omong kosong tersebut karena ia menyadari bahwa mereka berdua sama-sama baru
dalam hal ini—semua terlihat dari betapa kaku dan canggung mereka dalam melakukan foreplay.
Baekhyun lalu menggelengkan kepala, mengabaikan pikiran yang berkecamuk sekaligus sebagai
jawaban kepada Chanyeol. "A-aku akan baik-baik saja," sang kakak balik meremas jemari lelaki
itu. "Tenanglah."

Chanyeol menghela nafas, malu-malu menyebarkan pre-cum dari penisnya di salah satu jari sebab
mereka tidak mempunyai pelumas. "Katakan padaku kalau kau kesakitan…" ia memperingatkan
sebelum perlahan memasukkan jari tadi ke liang Baekhyun. Kening sang kakak serontak mengerut,
alis menekuk seraya ia menggerakkan paha—mulut agak menganga yang mengeluarkan lirihan
tak bersuara. Jemari Baekhyun yang mengepal pada pergelangan Chanyeol membuat lelaki itu
berpikir yang tidak-tidak. "Bagaimana?" tanyanya, masih dalam nada penuh khawatir yang sama.

Baekhyun mengatur nafas supaya lebih tenang. "S-sedikit sakit," ia memberitahu sejujurnya, "dan
aneh."

Chanyeol tersenyum tipis, waswas menggerakkan jari di dalam karena takut menyakiti Baekhyun.
Proses ini berlangsung cukup lama dan bertahap: lelaki itu menunggu sampai Baekhyun
menunjukkan ekspresi nyaman sebelum menambahkan jari kedua lalu ketiga. Baekhyun bolak-
balik menelan ludah; ia sedari tadi menahan nafas atas perasaan penuh itu, tanpa sadar merintih
sekali karena jari Chanyeol sekilas menyentuh prostatnya. Baekhyun langsung memegang tangan
Chanyeol, sejenak memandang penisnya sendiri yang sudah membengkak dan mendongak untuk
menatap sang adik. "Ch-Chanyeol," suara Baekhyun pecah karena tubuh yang tiba-tiba terasa
panas, membutuhkan kehadiran Chanyeol untuk menyulut api ke dalamnya. "A-aku
menginginkanmu."

Chanyeol mengeluarkan ketiga jarinya, memperbaiki posisi sampai kejantanan tegaknya berada di
luar pintu masuk Baekhyun—kepala menyentuh kulit pinggul sang kakak yang telah berpiluh.
Baekhyun pikir ia sudah sangat tidak tahan, hampir menggenggam penis lelaki itu dan langsung
memasukannya jika ia terus dibiarkan berbaring seperti ini. "Aku akan berhenti jika kau
kesakitan," ujar Chanyeol, dan Baekhyun mengangguk, tak seberapa menyimak apa yang sang
adik katakan sebab ia benar-benar membutuhkan pelepasan. Lelaki itu mengelus kejantannya
beberapa kali, menggunakan pre-cum sebagai pelumas, lalu pelan-pelan mengarahkan kepalanya
menuju lubang Baekhyun—dinding sang kakak yang langsung melahap penisnya melemahkan
setiap titik dari tubuh Chanyeol.

Baekhyun berteriak, mencengkeram lengan Chanyeol hingga agak memerah. "Ch-Chanyeol," ia


memanggili nama lelaki itu berkali-kali sebagai pelampiasan untuk meredakan rasa sakit yang luar
biasa. Kejantanan Chanyeol baru setengah masuk, dan sang adik seketika kesulitan bernafas oleh
sensasi yang menakjubkan—kepala jatuh ke sebelah kepala Baekhyun, udara panas berhembus di
daun telinganya.

Lelaki itu terpaksa mengangkat bahu untuk menatap Baekhyun, mata sayu antara sadar dan
linglung. "M-maaf," ia menata poni Baekhyun yang basah oleh keringat ke belakang, menghapus
peluh di sekitar dahi sang kakak. Baekhyun tidak sanggup membuka mata dan hanya menggigiti
bibir yang kering, mengabaikan segala perlakuan lelaki itu untuk menenangkannya. Mengamati
ketidaknyamanan di wajah pucat sang kakak, Chanyeol mengesampingkan dirinya sendiri dan
bertanya, "Bagaimana kalau kita tunda dahulu saja?"

Dari bagaimana dada lelaki itu naik-turun tidak teratur, Baekhyun tahu bahwa menghentikan
penetrasi mereka malah akan menyiksa lelaki itu, jadi ia menggeleng. "A-aku tidak apa-apa," sang
kakak berbohong, "J-jangan berhenti."

Chanyeol menundukkan kepala untuk mencium Baekhyun sejenak. "B-baiklah," ia kemudian


bergerak untuk memasukkan kejantanan sepenuhnya—sang kakak mengerang agak pelan
sekarang, kukunya menekan kulit bahu Chanyeol, dan meninggalkan goresan merah. Baekhyun
berusaha mati-matian untuk menahan rasa sakit sambil mengetatkan lubangnya, berdampak
kepada Chanyeol yang seketika merintih, menanamkan wajah pada bantal lalu menghisap agak
kasar telinga Baekhyun. "Aku tidak akan bergerak sampai sakitmu hilang," bisik lelaki itu, hidung
membaui leher Baekhyun sambil menciuminya cepat.

Mereka bersitatap, nafas sama-sama terengah dan pikiran mengosong karena sensasi yang bertolak
belakang. Chanyeol membenamkan kepala di dada Baekhyun guna melumati putingnya,
menghisap kemudian menggigitnya—terhipnotis oleh kelembutan kulit sang kakak. Baekhyun
memegang rambut Chanyeol, usaha lelaki itu untuk mengurangi rasa sakitnya bekerja sebab ia
mulai mendesah pelan, sisa-sisa rasa sakit dari kejantanan Chanyeol yang berada di dalamnya
perlahan menghilang tergantikan oleh sesuatu yang hampir nikmat. "B-bergeraklah," Baekhyun
baru berbicara setelah ia menemukan suaranya, dan Chanyeol agak menegakkan bahu supaya ia
dapat memandang Baekhyun—kejantanan dikeluarkan lalu dimasukkan lagi lambat.

Baekhyun meneguk ludah, mengerjap-kerjapkan mata mengamati dada Chanyeol, dan mengikuti
nalurinya untuk menemui setiap dorongan yang dilakukan lelaki itu. Sebuah desahan lepas dari
bibir tipis Baekhyun saat kejantanan Chanyeol menggesek bagian yang membangkitkan
gairahnya, dan Chanyeol mendekap Baekhyun sangat erat, salah satu lengan pada pinggang dan
yang satu pada paha sang kakak. Mereka saling berbagi pandang intens, mata mengatup lalu
membuka seraya merintih-rintih cukup keras—kejantanan Chanyeol keluar-masuk lubang
Baekhyun dalam tempo yang berangsur-angsur cepat. Nafas Chanyeol tersengal-sengal hebat,
erangan-erangan bass yang lelaki itu hasilkan setiap ia mendorong kejantanannya terdengar seksi
di telinga Baekhyun. "Ch-Chanyeol," sang kakak nyaris mencicit lemah saking kehabisan kata-
kata untuk mengungkapkan kenikmatan yang ia rasakan dari hujaman Chanyeol pada prostatnya.
Ia mengembalikan hentakan Chanyeol sama cepatnya, menarik kepala lelaki itu untuk menyatukan
bibir mereka dalam cumbuan yang terburu-buru—lidah bertaut untuk mengecap rasa masing-
masing.

Tempat tidur Baekhyun gemeretak karena aktivitas mereka yang semakin mengganas. Chanyeol
tiba-tiba menaikkan kaki Baekhyun ke atas bahunya untuk mempermudah penetrasi,
membenamkan kejantanan ke dalam tubuh Baekhyun untuk mendapatkan remasan-remasan yang
tambah erat—ingin cepat-cepat mencapai pelepasan. Chanyeol menyukai desahan-desahan yang
jatuh dari sepasang bibir lembut itu, membungkukkan kepala untuk meraih kening Baekhyun,
menciuminya sambil menyingkirkan beberapa helai kecokelatan yang melekat di sana. Lelaki itu
melaksanakan semua komando Baekhyun untuk mendorong lebih cepat, menggerakkan pinggul
dalam tempo tidak masuk akal hingga ia kehabisan nafas—wajah sangat merah dan basah oleh
keringat.

Chanyeol memandang ke tengah-tengah mereka, menggenggam kejantanan Baekhyun yang sudah


tegak dan berlumuran pre-cum untuk dipompa cepat. Baekhyun memejamkan mata erat,
kecanggungan itu sudah hilang saat ia memegang tangan Chanyeol untuk ikut memijat penisnya
sendiri. "Ah," ia berseru, membuka mata untuk menemukan bahwa Chanyeol tengah menatapnya
lemas, bola mata cokelat seakan merekam secara detail setiap perubahan ekspresi di wajah
Baekhyun seiring tubuh mereka bersatu mesra—kejantanannya berulang-kali menumbuk titik
kepuasan sang kakak di dalam, suara kulit telanjang mereka yang saling bertemu mengisi
keheningan. Nafas Baekhyun tambah tersengal-sengal karena ia hendak orgasme, mata berkaca-
kaca oleh nikmat yang luar biasa—bunyi yang disebabkan oleh kontak kelamin mereka
berdengung di telinga. "S-sedikit lagi, Chanyeol."

"F-fuck," Chanyeol mengutuk lantang; ia menatap Baekhyun sambil tersenyum sebelum


ekspresinya kembali serius, alis menekuk dan mata lebar yang menatap intens wajah Baekhyun.
"Sepertinya aku akan meledak," lelaki itu mencoba berujar, atensi berpindah untuk terus
mendorong nonstop sampai ia tak sengaja melonggarkan genggaman pada penis Baekhyun.

Sang kakak memompa dirinya sendiri, tangan mengepal di sekitar miliknya sambil mendesah-
desah keras mengetahui bahwa ia hanya butuh sedikit sentuhan menuju orgasme. Chanyeol
menghentak-hentakkan pinggulnya, kejantanan belum puas menghujani prostat Baekhyun—
menambah kenikmatan berlebih kepada sang kakak sehingga ia menganga bersama nafas yang
tercekat di tenggorokan. "Ch-Chanyeol, a-aku," Baekhyun bahkan tidak tahu bagaimana cara
menyelesaikan kata-katanya, "A-aku akan—"

Chanyeol kemudian berbisik di bibirnya, hembusan panas menerpa hidung Baekhyun, tangan
merambat ke belakang untuk memijati pinggul Baekhyun—mengusap-usapnya lembut. "Aku
ingin mendengarmu."

Pikiran Baekhyun mengosong, orgasme menghampirinya begitu tiba-tiba hingga ia tidak tahu
apakah ia baru meneriakkan nama Chanyeol atau menyerukan perkataan acak yang terpikir asal
oleh otaknya—cairan putih keluar membasahi perut mereka dengan tangannya sendiri yang masih
menggenggam penis. Chanyeol melakukan satu dorongan ke depan sebelum ia pun juga
menggapai puncaknya, menuangkan pelepasan memenuhi dinding Baekhyun, tubuh terjatuh ke
atas lelaki mungil di bawahnya seraya mengerang keras nama Baekhyun berkali-kali—perlahan
menurunkan kaki sang kakak dari bahu lalu menggerakkan pinggul untuk menghabiskan seluruh
sisa cairan dari kejantanan. Keduanya membisu selama beberapa saat, menunggu nafas yang sama-
sama tersengal menjadi stabil dan menikmati getaran dari dentuman jantung masing-masing.

Bibir Chanyeol menciumi leher Baekhyun malas-malasan, dan Baekhyun sesekali menundukkan
kepala untuk membaui rambut berkeringat lelaki itu.

"Chanyeol."
Pernafasan lelaki itu mulai stabil, dadanya yang menempel pada dada Baekhyun kini bergerak
kembang-kempis tenang. "Hm."

Mata Baekhyun sangat sayu, tubuh lengket karena peluh di sana-sini dan tangan serta kaki susah
digerakkan gara-gara kelelahan. Ia ingin tidur, tapi cahaya lampu yang terang menggagalkannya
untuk berlayar ke alam mimpi. "Tolong matikan lampu," ujarnya datar, suara serak yang
mengindikasikan bahwa ia benar-benar mengantuk.

Chanyeol tertawa, memberi satu kecupan pada leher Baekhyun sebelum menggulungkan tubuh ke
samping—terlebih dahulu membersihkan cairan Baekhyun dengan tisu sembari memandangi mata
sang kakak yang sudah terpejam. Baekhyun merasakan bagaimana tempat tidur sedikit bergoncang
saat lelaki itu sejenak beranjak untuk menekan tombol dari remote guna mematikan lampu kamar
hingga gelap total. Sebuah lengan kemudian melingkar sempurna di pinggang Baekhyun,
membawa sang kakak ke dalam dekapan familier bersama aroma Chanyeol merasuki hidungnya—
lelaki itu menarik sebuah selimut untuk membungkus mereka berdua. Baekhyun mendesakkan
wajah ke leher Chanyeol, menghirup udara di sana sambil meletakkan kedua tangan pada dada
lelaki itu—menghembuskan dan mengeluarkan nafas tenang.

"Aku mencintaimu."

Baekhyun mengatakan itu terlebih dahulu di luar kesadaran, dan sebelum ia sungguh-sungguh
terlelap, Chanyeol mencium lembut puncak kepalanya seraya mengatakan sesuatu yang akan
selalu menjadi kalimat favorit sang kakak.

"Aku juga mencintaimu, Baekhyunee."

Interlude: Chanyeol

INTERLUDE

CHANYEOL

Jika ada satu hal yang Chanyeol anggap paling berharga di dunia, maka itu adalah keluarga.

Di usia yang baru saja menginjak enam tahun, ia mengungkapkan perasaannya terhadap mereka
lewat puluhan kertas A4 kosong—mencoretkan berbagai krayon warna-warni pada media tersebut
guna membentuk gambar sederhana akan empat orang yang saling bergandengan tangan. Ayah
akan ia deskripsikan dalam sebuah figur yang tinggi, berdiri di sebelah kiri paling pojok sambil
mengenakan seragam kerja berwarna biru yang sering ia pakai setiap hari. Chanyeol kemudian
akan menggambar ibu di pojok sebelah kanan, tubuh agak lebih pendek dari ayah—rambut
panjang kecokelatan berada di sekitar bahu. Di tengah-tengah pasangan tersebut, barulah akan ia
gambar dua anak laki-laki bertinggi badan hampir sejajar. Yang satu berdiri di sebelah ayah,
rambut kecokelatan jiprak—yakni Chanyeol sendiri, dan yang lain berwarna rambut persis dengan
poni depan sealis. Chanyeol tersenyum saat ia menggoreskan sejumlah krayon guna mewarnai
gambar anak laki-laki itu.

Baekhyun-hyung.

Ia adalah kakak semata wayang Chanyeol. Lahir setahun lebih awal dan mempunyai ciri-ciri yang
berbanding terbalik dengan sang adik. Jika Chanyeol memiliki fisik yang agak gemuk—bermata
besar, bertelinga lebar, dan jarang bergaul, maka Baekhyun adalah sebaliknya. Ia dilahirkan
dengan tubuh yang kurus, mata mungil yang akan membentuk bulan sabit tiap ia tersenyum, serta
sepuluh jari kecil yang lentik dan indah. Baekhyun adalah seorang anak populer; ia mempunyai
banyak teman dan disenangi semua guru karena perilakunya yang ceria. Kecantikan ibu yang
diwariskan pada wajah Baekhyun semakin membuat kakaknya itu terlihat sempurna. Chanyeol
sampai lupa seberapa sering Baekhyun menerima pujian dari teman-teman, sanak-saudara,
maupun para tetangga karena parasnya yang elok.

Meski begitu, Chanyeol tidak pernah merasa iri terhadap seluruh perhatian yang orang-orang
berikan pada Baekhyun. Asalkan orang-orang itu tidak menyihir Baekhyun untuk mengurangi
perhatiannya pada Chanyeol, tentu saja.

Chanyeol bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ibu mengurusnya karena selama ini Baekhyun-
lah yang melakukan semua tugas itu. Ia menyediakan air panas untuk Chanyeol, menggosokkan
sabun pada punggung Chanyeol saat ia bermain busa di bathtub sekaligus mengeramasi rambut
sang adik. Baekhyun menyiapkan bekal makan siang; ia memaksa Chanyeol untuk makan sayur,
membangunkan sang adik pagi-pagi agar mereka bisa olahraga bersama, juga membantu Chanyeol
mengerjakan pekerjaan rumah. Kesibukan total orang tua mereka yang tidak terbendung memaksa
Baekhyun untuk menjadi pengganti sementara dalam mengurus Chanyeol.

Keseringan mereka menghabiskan waktu bersama membuat Chanyeol tidak bisa terlepas dari
Baekhyun. Ke mana pun Baekhyun pergi, Chanyeol harus mengikutinya—jika itu tidak terlaksana,
maka Chanyeol akan sengaja menangis sekeras mungkin supaya Baekhyun meladeninya. Hal itu
sering-kali merepotkan, sebab teman-teman Baekhyun terang-terangan mengomel bila sang adik
membuntuti Baekhyun di sela-sela permainan petak umpet mereka—kehadiran tidak diinginkan
anak gemuk tersebut jelas mengacaukan semuanya. Mereka diam-diam akan mendelik ke arah
Chanyeol, berbisik kepadanya untuk berhenti mengganggu mereka—tetapi itu justru mengeratkan
pegangan Chanyeol pada lengan Baekhyun. Chanyeol cuma tidak ingin anak-anak itu merebut
Baekhyun darinya.

"Chanyeol juga ingin bermain," adalah alasan klasik yang Baekhyun katakan kepada teman-
temannya; ia tidak menghiraukan komplain mereka dan membiarkan sang adik merekat di
sebelahnya seperti lem. Tak tahu kenapa ada suatu perasaan puas di benak Chanyeol setiap
Baekhyun memilihnya ketimbang mereka. Sebuah pikiran akan Baekhyun yang merasa lebih
nyaman di dekatnya membuat Chanyeol bahagia; mungkin itulah sebabnya Chanyeol sengaja
merecoki Baekhyun kali-kali ia melihat kakaknya bermain dengan anak selain dirinya.
Terkadang Chanyeol bertanya-tanya kenapa ia begitu tergantung pada Baekhyun—mengagumi
sang kakak setengah mati hingga ia enggan berjauhan dengan Baekhyun. Kenapa ia merasa sangat
nyaman bila Baekhyun berada di dekatnya—mendekapnya dalam kehangatan yang menenangkan
saat ia tidak bisa tidur karena mimpi buruk. Kenapa suasana hatinya memburuk jika ia memikirkan
Baekhyun yang menghabiskan terlalu banyak waktu dengan anak-anak lain. Kenapa ia suka
melihat Baekhyun tersenyum dan tertawa—merasakan darahnya berdesir saat mata kakaknya
berubah menjadi bulan sabit mungil yang indah.

"Kenapa Baekhyun-hyung sangat cantik?"

Chanyeol pernah menanyakan itu sekali; sebuah pertanyaan blak-blakan yang tiba-tiba meluncur
begitu saja dari mulut—tak terkontrol dan terdengar sedikit bodoh. Baekhyun cuma menatap
Chanyeol datar sekilas, mengabaikan telinga sang adik yang memerah, dan meneriakkan kepada
ibu bahwa Chanyeol tengah bertingkah aneh lagi. Sampai sekarang Chanyeol bahkan tidak
mengerti apa yang "aneh" dari pertanyaan tersebut.

Bukankah aneh jika Chanyeol pikir ia "menyukai" Baekhyun? Baru-baru ini seluruh anak di kelas
senang membicarakan "cinta pertama" mereka, terus terang menyebarkan rahasia tersebut kepada
teman maupun guru—hal ini menjadikan Chanyeol sebagai satu-satunya anak yang sama sekali
belum membuka mulut soal topik barusan. Sejujurnya ia merasa aneh—karena tak ada satu pun
anak di kelas yang menyukai kakak mereka; tetapi Chanyeol benar-benar kehilangan akal akan
siapa yang ia sukai jika itu bukan Baekhyun. Hanya Baekhyun yang bisa membuat Chanyeol
merasakan hal-hal tertentu yang anak-anak itu beritahukan padanya.

Chanyeol ingat ekspresi tidak nyaman pada wajah Park Hyungsik—teman sekelas yang bertubuh
kurus dengan kulit putih pucat—ketika ia memberitahunya tentang ini; mata bocah itu melebar
bersama dahi yang seketika mengerut. "Dasar aneh! Tidak ada anak yang pernah menyukai
kakaknya!" ia telah memperingatkan dalam nada terkejut, tangan memeras bahu si laki-laki mungil
bertubuh gemuk. Chanyeol langsung membenci pernyataan tersebut. "Anna saja membenci semua
kakaknya."

Maka Chanyeol mencoba untuk memikirkan semua baik-baik, seperti apa yang Hyungsikkatakan.
Di sekolah, di rumah, di sela-sela sesi les gitar, dan beberapa menit sebelum ia tertidur. Ia ingin
menyukai anak lain, tetapi semua usaha itu selalu berakhir sia-sia setiap ia melihat Baekhyun
tersenyum. Semua usaha itu menjadi tidak berguna setiap Baekhyun menghampirinya ke kelas
untuk mengajak sang adik makan bersama di kafetaria—menggenggam tangan Chanyeol selagi ia
menuntun yang lebih muda menuju meja favorit mereka.

Semua usaha itu tidak membuahkan apa-apa hingga akhirnya Chanyeol memutuskan untuk tidak
mempedulikan apa kata Hyungsik.

"Kau sedang apa?"

Chanyeol meletakkan krayon hitam di atas meja, cepat-cepat membalikkan kertas gambar ke
belakang—yang mana telah terdapat gambar pepohonan warna-warni agak acak-acakan. "M-
menggambar pohon," ia berkata sedikit terbata-bata, enggan menatap mata Hyungsik.
Hyungsik kemudian mengambil tempat duduk di sebelah Chanyeol. "Bagaimana?" ia berbisik,
merangkul bahu sang teman santai. "Apa kau sudah tahu siapa yang kau sukai?" Chanyeol
mengepalkan tangan pada celana seragam sembari mengangguk pelan. Hyungsik tengah
tersenyum geli saat ia bertanya lagi, "Kau pasti tidak menyukai Baekhyun-hyung… itu sangat
aneh."

Chanyeol menelan ludah.

"Aku menyukai Jieun," ia berbohong—meski jawaban yang sebenarnya bertolak belakang dengan
apa yang ia beritahukan, tatapan bergetar ia arahkan pada Hyungsik. Sejujurnya Chanyeol sendiri
tidak mengerti kenapa ia harus berbohong. Hyungsik tertawa puas mendengar "pengakuan" sang
teman, salah mengartikan ekspresi gugup yang terdapat pada wajah Chanyeol, dan memanggili
Jieun berkali-kali untuk mengganggu anak gemuk itu.

Sepeninggal Hyungsik barulah Chanyeol berani untuk membalik halaman buku tersebut ke
depan—menampakkan sebuah gambar tersembunyi akan wajah anak laki-laki yang tengah
tersenyum lebar. Gambar itu memang tidak terlalu bagus—bahkan tergolong berantakan—namun
itu mampu membuat Chanyeol terpana hingga ia terus-terusan memandanginya, perasaan asing
meracuni jantungnya untuk berdetak lebih kencang tak menentu. Chanyeol tersenyum tipis,
merobek kertas gambar itu kemudian meremasnya menjadi sebuah gumpalan kecil—mendesakkan
gumpalan tersebut ke dalam tas setelahnya. Ia lantas kembali mewarnai gambar pepohonan yang
tadi ia tunjukkan pada Hyungsik.

Tidak perlu ada yang tahu bahwa cinta pertama Chanyeol adalah Baekhyun.

Toh ia tidak keberatan menyimpan rahasia itu selamanya.

Chanyeol membenci hujan.

Tetapi satu hal lain yang paling ia benci adalah melihat Baekhyun menangis, menyimak dalam
diam tetesan air mata tumpah dari mata mungil kakaknya.

Chanyeol tidak bodoh untuk tak menyadari bahwa alasan dari tangisan itu adalah teriakan-teriakan
kasar orang tua mereka yang sering sekali terdengar di pagi buta. Ia tahu Baekhyun tidak benar-
benar tertidur saat mereka mematikan lampu pada pukul sembilan malam dan
mengucapkan "selamat tidur" ke satu sama lain. Chanyeol akan terjaga jika Baekhyun terjaga. Ia
akan mengamati dari kejauhan, bersembunyi di balik selimut sambil diam-diam mendengarkan
isakan tertahan yang Baekhyun coba tutupi dengan menekan wajah pada bantal.
Mengapa orang dewasa sangat lihai berbohong? Ayah dan ibu tampak baik-baik saja saat mereka
berkumpul bersama untuk makan pagi—berbincang-bincang tenang pada satu sama lain seperti
menganggap permasalahan mereka semalam angin lalu. Setidaknya jika keduanya benar-benar
melupakan masalah mereka kemarin, teriakan-teriakan itu akan berhenti dan Baekhyun tidak perlu
menangis lagi—namun perkiraan Chanyeol salah telak. Pertengkaran mereka tak pernah berakhir;
bentakan ibu semakin mengeras tiap malamnya dan bantingan lantang akan sejumlah barang
membayang-bayangi Chanyeol dalam ketakutan. Baekhyun menangis setiap hari dan Chanyeol
menjadi terbiasa dengan kebisingan kecil yang menyebabkan dirinya terbangun sampai pagi buta.
Ayah dan ibu jarang bertemu; tetapi sekalinya mereka bertemu, mereka akan menggunakan semua
waktu luang itu untuk bertengkar.

Pertikaian itu berangsur-angsur memburuk sampai tiga bulan berturut-turut, ibu terus membahas
tentang keinginannya untuk bercerai—mengatakan permintaan itu berulang-ulang sambil terisak
meskipun ayah bersikeras menolak. Chanyeol tidak mengerti apa maksud perkataan ibu; ia hanya
benci mendengar kedua orang tuanya beradu mulut tiada henti, meluapkan amarah mereka
semalam suntuk. Hingga pada suatu waktu menjelang fajar, Chanyeol sudah tidak tahan lagi untuk
sekadar diam saja. Ia melempar selimut ke bawah, membiarkan kain tebal tersebut bersentuhan
dengan lantai yang dingin akibat udara di pagi buta kemudian meringkuk di atas tempat tidur
seraya ia menangis—menjatuhkan beberapa butir kristal menuruni pipi dan dagu.

"Chanyeol-ah."

Tubuh Chanyeol membeku merasakan tangan Baekhyun yang merangkul pundaknya. Ia perlahan
menoleh, memandangi wajah kakaknya yang tampak agak basah di kegelapan—mengangkat
tangan untuk menyeka keringat di dahi yang lebih tua. Baekhyun tersenyum sedih. "Tidak apa-
apa," ia menarik Chanyeol dalam pelukan ringan, membenamkan kepala sang adik di lehernya
selagi ia mengelus-elus rambutnya. "Chanyeol tidak boleh menangis."

Chanyeol terisak lambat, meredamkan suara tangisan pada kain piyama Baekhyun. "Chanyeol
tidak bisa tidur," ia berkata terbata-bata, mengecap air mata di bibirnya. "B-bagaimana kalau besok
Chanyeol tidak bisa bangun pagi?"

Baekhyun tertawa kecil; ia melepaskan pelukan mereka untuk membaringkan tubuh Chanyeol ke
tempat tidur lalu merebahkan diri di sebelah sang adik. Mereka menatap satu sama lain sejenak
sambil saling berhadapan. Baekhyun lantas tersenyum tipis. "Kalau begitu sekarang Chanyeol
harus tidur," ujarnya, sedikit membungkukkan badan guna mengambil selimut di lantai dan
menyibakkannya kepada Chanyeol. Sang adik mengerutkan dahi. "Hyung akan di sini untuk
melindungi Chanyeol sampai tertidur."

Telinga sang adik memerah tanpa alasan mendengar pernyataan Baekhyun. Ia segera membuang
muka, ekspresi congkak terplester di wajah. "T-tidak mau," ia menolak dengan tegas, bibir
setengah mengerucut. "Chanyeol harus tidur sendiri."

Baekhyun seketika murka menerima penolakan besar-besaran dari Chanyeol. Ia menggeram lucu.
"Terserah!" sang kakak nyaris membentak lalu cepat-cepat berlari menuju sebuah tempat tidur lain
berwarna senada yang terletak di seberang kamar. Chanyeol mengintip dari balik selimut
sebagaimana kakaknya langsung menghadap ke tembok—sepenuhnya membelakangi Chanyeol
bersama selimut yang membungkus tubuh. Sang adik mengambil dan mengeluarkan nafas,
menikmati keheningan yang berlalu selama beberapa menit, sebelum ia membuka mulut.

"Jangan lindungi Chanyeol."

Baekhyun sedikit bergerak di atas tempat tidurnya; ia mengeratkan genggaman pada kain selimut.
Chanyeol terus memandangi kepala Baekhyun dari belakang, agak menggigil oleh udara yang
menerpa kulit lengannya. "Karena Chanyeol ingin melindungi Baekhyun-hyung," ucapnya sangat
pelan seperti sebuah bisikan tak terdengar, "Chanyeol akan melindungi Baekhyun-hyung."

Baekhyun tidak menjawab, dan Chanyeol melihat perut anak itu bergerak pelan ke atas dan
bawah—mengikuti suara pernafasannya yang tenang. Baekhyun telah tertidur lebih dahulu.
Menghela nafas, ia menghadapkan tubuh ke depan—memandangi langit-langit kamar sampai
kedua matanya perlahan mau terpejam. Ia menguap lebar, mengizinkan rasa kantuk yang ditunggu-
tunggu untuk mengantarnya menjemput mimpi—membisikkan sebuah janji di pikiran.

Chanyeol akan melindungi Baekhyun-hyung.

Selalu diam bukan berarti Chanyeol tidak tahu apa-apa.

Orang tua mereka semakin jarang bertemu; ayah nyaris pulang dua hari sekali dan ibu menghilang
entah ke mana selama berminggu-minggu. Baekhyun terpaksa melakukan semua pekerjaan rumah
sendiri sebab ayah tiba-tiba memecat pembantu mereka, seenaknya menyerahkan seluruh beban
tanggung jawab atas Chanyeol ke tangan Baekhyun. Tugas sekolah sang kakak kececeran; ia
hampir jarang belajar karena terlebih dahulu mengutamakan kebutuhan Chanyeol—termasuk
merencanakan menu makan tiga kali sehari dengan uang yang ayah rutin berikan padanya. Mereka
seperti dicampakkan: ayah yang tampaknya sengaja menyibukkan diri di kantor dan ibu yang
bahkan tidak pernah menelepon untuk sekadar menanyakan kabar. Chanyeol telah berada pada
titik di mana ia enggan mempedulikan siapapun lagi kecuali Baekhyun.

Perceraian.

Chanyeol kini sering mendengar istilah asing itu terlontar dari mulut ayah dan ibu, menanyakan
kepada sang kakak apakah maksud mereka meski Baekhyun tidak pernah mau menjawab. Ia pikir
ada sebuah alasan mengapa ibu mendadak membawa mereka ke kantor kejaksaan tinggi, meminta
keduanya untuk menunggu di luar gedung sampai segala urusan yang ia tidak ketahui selesai. Rasa
penasaran tambah memuncak dalam benak Chanyeol kala ibu mengajak Baekhyun untuk masuk—
namun sebaliknya meninggalkan sang adik bersama ayah di taman, mengabaikan mentah-mentah
rengekan manja Chanyeol supaya ia bisa terus membuntuti Baekhyun. Ayah mengelus-elus
rambutnya lembut, dan apa yang ia lakukan hanyalah mengamati pintu masuk gedung—menunggu
tidak sabaran sambil mengetuk-ketukkan kaki ke tanah.

"Hyung!" sang adik segera menjerit saat figur sang kakak tampak dari kejauhan, melambaikan
tangan ceria sebagai isyarat bagi Baekhyun untuk menghampiri mereka. Lelaki mungil itu
mengangguk, berlari-lari kecil ke arah keduanya bersama suatu ekspresi familier yang
menyorotkan kesedihan. Chanyeol serontak menekuk kedua alis, merenungi amukan macam apa
yang ibu berikan pada sang kakak sehingga suasana hatinya hancur.

Ayah menatap Baekhyun dingin. "Jaga adikmu," ujarnya datar sebelum berlalu begitu saja.

Chanyeol mengerutkan bibir, pandangan sejenak mengikuti ayah yang terlihat berjalan memasuki
gedung. "Hyung kenapa?"

Baekhyun menelan liur, mata dipaksa tidak berkedip seperti mencoba untuk tidak menangis. Ia
lalu menggeleng lambat. "Tidak apa-apa," bahkan suaranya pun terdengar serak, "Chanyeol mau
es krim?"

Tidak, Chanyeol ingin berkata. Tetapi jawaban yang ia berikan pada Baekhyun bertolak belakang
dengan apa yang ia pikirkan. "Tentu saja," Chanyeol justru mengangguk, tersenyum lebar karena
ia pikir Baekhyun-lah yang mungkin membutuhkan es krim ketimbang dirinya. Bukankah es krim
mampu menghibur seseorang yang sedang bersedih?

"Chanyeol-ah."

Mereka duduk bersebelahan di sebuah bangku usang dekat taman, satu cone es krim rasa stroberi
pada genggaman. "Ya?" Chanyeol menoleh ke direksi sang kakak, menyadari betapa murung raut
muka Baekhyun sekarang.

"Mulai besok Chanyeol harus bangun pagi sendiri," sang adik sekilas berhenti menjilati es krim
seraya Baekhyun meneruskan, "Belajar yang rajin."

Chanyeol memandang Baekhyun bingung. "Kenapa?"

"Karena Chanyeol malas," Baekhyun lekas menjawab, berpura-pura mendelikkan mata tajam
kepada sang adik. "Chanyeol suka tidur."

Chanyeol membisu; ia memandangi Baekhyun dari samping, melihat bagaimana anak itu
berulang-kali melirik jam digital raksasa pada gedung di hadapan mereka. Ia mengerjapkan manik
kosong saat Baekhyun tiba-tiba berdiri. "Chanyeol… tunggulah di sini sebentar," sang kakak
memberitahu, menoleh ke belakang untuk tersenyum tipis padanya. "Ayah nanti akan menjemput
Chanyeol."
"Hyung mau ke mana?" Chanyeol cepat-cepat menahan tangan Baekhyun, hazel lebar bocah itu
setengah mendelik. "Chanyeol ikut."

Baekhyun menggeleng. "Chanyeol tidak boleh ikut," ia sedikit membungkuk untuk meletakkan
masing-masing tangan pada bahu yang lebih muda. Air muka Chanyeol seketika menggelap karena
penolakan Baekhyun, dahi mengerut serta mulut mengerucut; ia paling benci jika apa yang ia
inginkan tidak dituruti. Baekhyun menghela nafas panjang. "Tunggu di sini sebentar… hyung akan
cepat kembali."

Chanyeol hendak membuka mulut untuk protes sekaligus berpura-pura menangis ketika Baekhyun
memeluk sang adik erat—tangan mungil terlingkar di sekitar bahunya. Aroma bedak bayi
Baekhyun menghangatkan Chanyeol, dan ia serontak menjadi linglung. "Hyung tidak akan
berlama-lama," nafas Baekhyun berhembus nyaman di daun telinga sang adik. "bisakah Chanyeol
menunggu hyung?"

Chanyeol mengangguk, dagu bertabrakan lembut dengan bahu Baekhyun—rambut cokelat


menggelitik leher sang kakak. Baekhyun lantas melepas pelukan mereka, sekilas menatap sang
adik tanpa mengatakan apa-apa sebelum berbalik membelakanginya. Chanyeol memandangi figur
Baekhyun yang bergerak menjauhinya, merasa sedikit aneh sebab sang kakak terus-menerus
menoleh untuk melambaikan tangan—bahkan sampai kaki mungilnya telah menginjak lantai putih
di ambang pintu masuk gedung. Dahi sang adik serontak mengerut saat mereka saling berbagi
pandang untuk yang terakhir kalinya dari kejauhan.

Kenapa Baekhyun-hyung terlihat seperti sedang menangis?

Pembohong.

Chanyeol menunggu, tapi Baekhyun tidak pernah datang.

Dua tahun kemudian ia baru benar-benar mengerti apakah arti dari perceraian dan alasan mengapa
Baekhyun menangis sebelum ia meninggalkan Chanyeol di taman. Mereka seperti menghilang
ditelan bumi: tanpa kabar maupun jejak yang dapat ia ikuti, lenyap bahkan sebelum Chanyeol
mencoba untuk mengejar mereka. Tidak ada surat, tidak ada panggilan telepon—Chanyeol mulai
putus asa untuk tetap menunggu. Ayah memutus segala kontak di antara mereka dan keluarga
besar ibu, mengabaikan permohonan Chanyeol untuk menemui Baekhyun dan memindahkan
mereka ke sebuah rumah cukup mewah di kawasan elit tengah kota—mengganti nomor telepon
rumah dua kali sampai beberapa saudara dari sisi ibu menyerah untuk mengganggu kehidupan
mereka.
Foto-foto keluarga mereka segera dibuang; Chanyeol cukup beruntung untuk diam-diam
menyimpan salah satu foto masa kecil bersama Baekhyun di meja belajar. Ayah tidak memberitahu
ke mana Baekhyun pergi, mengatakan kebohongan pada Chanyeol bahwa ibu tidak mau menemui
mereka lagi. Ia selalu terpancing emosi jika Chanyeol membicarakan tentang Baekhyun maupun
ibu, nyaris meneriakkan bahwa kedua orang itu bukanlah bagian dari keluarga mereka dan
memaksa Chanyeol untuk melupakan semuanya. Ayah tidak bercanda saat ia menjanjikan
Chanyeol sebuah hidup baru dari sangat awal.

Di sisi lain, ayah semakin menuruti setiap kemauan Chanyeol. Ia mengajak putranya mengunjungi
sejumlah negara selama masa liburan, membiarkan Chanyeol mendesain kamar sesuai selera juga
membebaskan anak itu membeli berbagai mainan baru yang harganya tergolong tinggi. Chanyeol
dipindahkan ke sebuah sekolah swasta terbaik di Seoul; ia sering diajak ke mall untuk membeli
baju dan sepatu baru, mengambil les tambahan drum serta gitar sampai menghadiri
konser band populer dengan tiket VIP termahal. Ayah tidak melarang Chanyeol untuk berhemat
layaknya bagaimana ibu mengajari mereka, justru memberi uang jajan berlebih yang sering-kali
berakhir dikembalikan karena tidak terpakai.

Tetapi Chanyeol tahu bahwa ia tidak sungguh-sungguh bahagia dengan "kehidupan baru" mereka.

Ia kehilangan nafsu makan. Tak jarang bagi Chanyeol untuk makan nyaris satu kali sehari, cukup
menggantungkan diri pada banyak botol air putih meski ia selalu mengikuti pelatihan basket di
sekolah. Berat badan Chanyeol menurun drastis dalam kurun waktu dua tahun: pipinya yang
dahulu tembam kini tirus, dan keseluruhan tubuhnya tampak jauh lebih kurus. Kalaupun ayah
menyadari bahwa perpisahan mereka telah berdampak pada nafsu makan Chanyeol, ia akan
berpura-pura tidak tahu dan bertindak seakan semua tengah baik-baik saja.

"Ayah."

Chanyeol meletakkan telepon ke meja, menoleh ke direksi ayah sambil menekuk kedua alis. "Apa
ada yang salah dengan telepon kita?" ia setengah mengerucutkan bibir. "Teman Chanyeol tidak
bisa menelepon dari kemarin."

Ayah mendongak untuk menatap Chanyeol sejenak sebelum kembali melekatkan pandangan pada
koran. "Ayah baru mengganti nomor telepon rumah kita sejak dua hari yang lalu."

Hazel Chanyeol serontak mendelik tajam, air mata lantas berhamburan hebat melewati
kelopaknya. Dua bulan terakhir ini Chanyeol telah mengirimkan sejumlah surat ke alamat baru
Baekhyun di Busan, menanyakan kabar sekaligus mencantumkan nomor telepon mereka di sana—
semua atas bantuan dari adik perempuan ayah, bibi Hyesun. Walau ia memang belum menerima
satu balasan pun sampai sekarang, Chanyeol tetap yakin bahwa sebentar lagi Baekhyun akan
menghubunginya. Namun tentu saja rencana mereka akan berakhir sia-sia jika begini akhirnya.

Chanyeol menggeram pelan, mengepalkan tangan seraya mendatangi ayah di dapur dengan
langkah yang tergesa-gesa. "Kenapa?!" bentaknya sangat lantang, suara seketika pecah karena ia
tengah terisak—nafas tersengal-sengal berlebihan yang mengacaukan keheningan. Ayah
menengadah untuk menatap Chanyeol tercengang. "Kakak dan ibu akan sulit menelepon
Chanyeol."

Ayah mengernyitkan alis. "Apa?"

Chanyeol mengalihkan pandangan ke arah lain selama beberapa saat. "K-kakak—kakak akan
menelepon Chanyeol," ia ragu-ragu berkata, mengerjapkan hazel yang banjir oleh air mata.
"Chanyeol sudah mengirimkan mereka surat. Kalau kakak tidak menelepon Chanyeol… ini semua
adalah salah Ayah!"

Ayah meletakkan koran sekaligus kacamata ke atas meja makan, menatapi Chanyeol dalam diam
sebelum bangkit dari kursi—berjalan menuju laci dekat lemari es guna mengambil satu kantong
plastik hitam. "Ayah dengar mereka sudah pindah dari Busan sejak lama," ia membuka kantong
tersebut lalu melemparkan isinya ke lantai sehingga berserakan tidak karuan. Mata Chanyeol
melebar begitu melihat beberapa surat yang ia kirimkan ke ibu tercecer di mana-mana—air mata
semakin deras mengaliri dagunya. "Seorang petugas pos sebenarnya sering ke rumah untuk
mengembalikan surat-suratmu beberapa bulan terakhir."

Ayah memandang Chanyeol frustrasi. "Chanyeol-ah," ia menghela nafas, sementara Chanyeol


mengamati surat-surat tersebut dengan manik yang tambah berkaca-kaca. "Mereka bukanlah
bagian dari keluarga kita. Kau tidak boleh mengingat-ingat mereka lagi…"

Chanyeol tidak mendengar perkataan menyakitkan apa yang ayah hendak ucapkan sebab ia
terlebih dahulu membalikkan tubuh dan berlari memasuki kamar mandi—wajah berderai air mata
bersama dada yang kembang-kempis menyesakkan.

"Kenapa kau masih menangisi Baekhyun jika ia bahkan sudah melupakanmu?"

Apakah salah bila ia mulai mempercayai omong kosong ayah?

Chanyeol menyerah.

Ia berhenti mencari tahu di mana keberadaan Baekhyun, menumpuk surat-surat yang dahulu
dikembalikan dan membuang mereka ke tempat sampah. Chanyeol menimbun pigura foto mereka
dalam laci paling bawah, mengubur barang tersebut di antara buku pelajaran tidak terpakai supaya
ia bisa melupakan Baekhyun. Chanyeol mengisi seluruh waktu kosong dengan kesibukan
ekstrakulikuler di sekolah; ia menjadi sangat aktif dalam kelas taekwondo, bahkan sempat
memenangkan juara tiga dalam suatu kompetisi bela diri tingkat kota. Chanyeol melakukan apa
saja yang mampu mengalihkan perhatiannya dari pikiran tentang Baekhyun: ia berlatih gitar
selama berjam-jam, mengerjakan banyak tugas berlebihan sampai terkadang pulang agak malam
karena keasyikan bermain basket.

Ada kalanya Chanyeol terbaring di atas tempat tidur sambil melamun tentang Baekhyun.

Ia membayangkan bagaimana Baekhyun akan terlihat di usianya yang hendak menginjak sebelas
tahun; bagaimana sinar itu tampak saat manik mungilnya tersenyum. Chanyeol ingin tahu apakah
Baekhyun masih mempunyai kebiasaan yang sama seperti dahulu: tetap memakai selimut di
tengah hawa yang panas sekalipun. Ia bertanya-tanya jika tinggi mereka telah sama sekarang; jika
berlatih basket sejak lama memang membantunya untuk bertubuh lebih menjulang dari sang
kakak. Selalu ada saja sesuatu tentang Baekhyun yang terselip dalam pikiran Chanyeol,
sepenuhnya mengerubungi otak sang adik sampai pagi buta.

Mungkin taekwondo tidak sungguh-sungguh berhasil menghentikan Baekhyun untuk terus


berkecamuk di kepala Chanyeol.

"Yo, aku pinjam pensil."

Chanyeol enggan menoleh dari suatu objek yang sedang ia kerjakan: sebuah lukisan tidak jelas
dengan pewarnaan berantakan—tangan menggenggam kuas yang bergerak asal di sekitar kanvas
beralas kertas koran. "Di atas meja belajar," jawabnya singkat, mengumpat frustrasi setelahnya
karena (lagi-lagi) salah menyatukan warna.

Kim Jongin, seorang anak laki-laki berkulit kecokelatan yang kini terduduk di hadapan Chanyeol,
pun mengangguk malas—agak berdiri dari lantai untuk merangkak menuju meja belajar, tumit
kaki dibiarkan menendang beberapa peralatan melukis. Chanyeol seketika mendongak,
menyipitkan mata akan bagaimana awut-awutan keadaan kamarnya sebelum menggelengkan
kepala kecil. Ini adalah pertama kalinya ia menyetujui ajakan anak lain untuk mengerjakan tugas
bersama, dan anehnya ia tidak seberapa menyesal. Sekilas informasi, Chanyeol adalah tipe murid
individual; ia lebih suka menyelesaikan semuanya sendiri atau sekalipun terpaksa, ia akan mencari
cara licik untuk ikut menuntaskan tugas tanpa terlibat kerja kelompok langsung.

Namun melukis bukanlah pekerjaan kelompok yang wajib diselesaikan ramai-ramai. Ini terbatas
bagi masing-masing individu, dan Jongin hanya menawari Chanyeol untuk kerja tugas bersama
karena mengutip dari seorang guru: "segala hal yang dikerjakan bersama cenderung akan cepat
selesai". Mereka berdua sama-sama benci melukis, dan Jongin adalah seorang murid baru dari
Jerman yang sifatnya bisa ditoleransi, jadi Chanyeol tidak mempunyai alasan untuk menolak. Lagi
pula mereka sudah menjadi teman sebangku selama empat bulan; Chanyeol pikir pertemanan
mereka seharusnya lebih dekat karena banyaknya hal yang saling mereka ceritakan.

Jongin lantas melirik ke belakang, memastikan sekali lagi bahwa Chanyeol tengah serius mewarnai
lukisannya sembari perlahan membuka laci paling bawah—seringai main-main tambah melebar.
Sebuah pigura cokelat yang tertimbun buku-buku lama menarik perhatian Jongin; ia segera
mengulurkan tangan untuk meraihnya secara hati-hati, jemari memegang kuat barang tersebut
sebelum mengeluarkannya dari antara tumpukan buku. Anak itu mengerutkan alis, menganga
memandangi foto dua laki-laki mungil yang saling berangkulan—satu bertubuh gemuk dan yang
lain berparas menggemaskan. Jongin hampir membuka mulut untuk bertanya siapa anak laki-laki
lucu itu ketika sebuah tangan lain tiba-tiba merebut pigura tersebut.

"Jangan menyentuh barangku!" teriak Chanyeol, sempat menakuti Jongin karena ekspresinya yang
mengerikan—namun dalam waktu singkat anak berkulit kecokelatan itu kembali menyeringai,
tatapan mengikuti gerak-gerik Chanyeol yang tampak panik setengah mati.

"Yeol! Yeol!" seru Jongin tambah keras, merasa puas melihat Chanyeol yang cepat-cepat
melarikan diri—pigura aman pada genggaman. Jongin merangkak menghampiri sang teman,
kepala menunduk agar mereka dapat saling bertatapan meski Chanyeol sengaja membuang muka.
"Itu siapa?" tanya Jongin dalam nada yang menjengkelkan, "Kakakmu Baekhyun?" raut wajah
Chanyeol tetap datar, dan Jongin sejenak terdiam. "Teman masa kecil? Tetangga?" ia mencoba
lagi, walau tidak digubris sama sekali oleh yang lebih tinggi. "Atau…" sebuah dehaman
mengganggu, "…pacarmu?"

Chanyeol tidak merespons, justru menuangkan cat air ke palette.

"Meskipun dahulu kau jelek dan gemuk… sepupuku bilang cinta tidak selalu memandang
penampilan!"

Chanyeol perlahan menggerakkan kuas di sekitar objek lukisannya, masih bersikeras mengabaikan
eksistensi Jongin.

Anak itu belum menyerah. "Dasar penakut, apakah ia memang pacar pertamamu?" ejeknya
berlagak paling tahu, memutar-mutar jari telunjuk tepat di depan wajah Chanyeol. "Kau tidak mau
memberitahuku karena kau malu, bukan?" Jongin terus menyebut-nyebut Baekhyun sebagai
kekasihnya, dan pipi serta telinga Chanyeol perlahan memerah—jantung bangkit untuk berdegup
semakin cepat gara-gara membayangkan hal yang tidak wajar. "Telingamu!" Jongin menunjuk
salah satu indra Chanyeol sambil tertawa terbahak-bahak. "Tebakanku benar, ya?"

Chanyeol terbatuk-batuk, pandangan pada kanvas agak tegang seraya ia mendorong bahu Jongin
ke belakang. Mungkin tak ada salahnya bagi Chanyeol untuk sedikit berbohong, toh mereka tidak
akan pernah bertemu Baekhyun. "Ya…" jika Jongin mau mendengar lebih teliti, ia akan menyadari
nada tidak yakin yang kental dalam jawaban Chanyeol. Anak berkulit pucat itu kemudian
mengambil jeda sebentar untuk sekadar merapikan warna dalam lukisan, sebuah senyum tipis yang
lambat laun terbentuk di wajahnya mampu membuat Jongin cukup tercengang. "Bisa kau bilang
begitu."

Ia bersyukur telah terlebih dahulu berbohong pada Jongin bahwa ia kehilangan semua foto-foto
kakaknya.

.
.

Chanyeol mungkin harus menyetujui anggapan konyol Jongin bahwa dua belas adalah angka
pembawa sial.

Ia memasuki semester dua kelas tujuh sekarang, dan (sialnya) hampir seluruh murid laki-laki di
kelas 1-E bertingkah laku menyebalkan. Selain mempunyai otak dungu, mereka juga selalu
bermalas-malasan dan rajin melanggar peraturan. Rambut jarang disisir, seragam kumel berbau
kecut—Chanyeol risih melihat penampilan mereka yang jelas menandakan ciri-ciri pembuat
masalah. Sungguh, ia tidak percaya guru-guru tega menempatkan seorang murid cukup pintar
seperti Park Chanyeol di kelas bejat macam 1-E—sebaliknya menaruh seorang murid
berkemampuan sederhana (baca: Kim Jongin) di kelas 1-A, alias wadah para siswa pintar
berkumpul.

Chanyeol bukan keberatan; tetapi sebagai ketua kelas, ia tidak tahu cara apa lagi yang dapat ia
siasati untuk mengatur kelompok pembangkang tersebut. Selama ini Chanyeol telah cukup berbaik
hati dengan mengalah, sering menahan diri untuk tidak terlibat adu mulut daripada terseret ke
ruang guru. Bagi para pembuat masalah, Chanyeol hanyalah si murid setengah culun yang aktif
berorganisasi dan gemar belajar—ketua kelas tampan yang dikagumi banyak orang karena sikap
tegasnya. Salah satu alasan bodoh mengapa Chanyeol disebut "culun" adalah penolakan sang ketua
terhadap ajakan kakak kelas untuk merokok di taman belakang sekolah.

Kembali pada argumen bahwa dua belas adalah angka pembawa sial, hari ini, tepat pada jam dua
belas siang, Chanyeol menerima pemberitahuan mendadak bahwa guru bahasa Inggris sedang ijin
menghadiri seminar dan sang ketua diminta untuk mengambil alih kelas sementara sampai ia
datang. Mereka diserahkan tugas kelompok beranggotakan enam orang untuk membuat drama
pendek yang wajib ditampilkan di jam pelajaran kedua. Berhubung Chanyeol selalu menemukan
kesialan dalam angka dua belas, ia cuma bernafas pasrah melihat namanya tertulis di antara para
pembangkang paling menjengkelkan di sekolah.

"Beruntung kita satu kelompok dengan anak pintar, kita jadi tidak perlu mengerjakan lagi."

Salah seorang dari mereka mengejek saat Chanyeol membuat data nama anggota satu per satu di
kertas kosong. Wajah sang ketua kelas tetap datar meski mulut mereka berkicau oleh cibiran,
jemari tenang menggerakkan bolpoin untuk menulis naskah drama dengan kosakata Inggris yang
agak sulit dicerna bagi anak-anak seusia mereka. Sesekali mereka akan mendorong tangan sang
ketua agar ia sedikit membuat coretan kecil, dan interupsi main-main itu perlahan membangkitkan
amarah Chanyeol dalam cara yang sedikit berbahaya. Ia pun mendongak, memandang tajam manik
siapa saja yang hazel-nya langsung singgahi.

"Jangan ganggu aku."

Seorang siswa kurus bernama Youngseok tersenyum. "Kami tidak mengganggumu," ia lantas
mengambil highlighter Chanyeol untuk mencoret-coretkan warna kuning berantakan ke seluruh
kertas—menghancurkan naskah drama yang tadinya sudah ditulis begitu rapi. Lima pembangkang
lain tertawa puas, malah menambah goresan lain di kertas tersebut dengan bolpoin warna-warni,
dan Chanyeol diam-diam mengepalkan tangan, raut muka masih mempertahankan ekspresi datar
sebelum ia ikut tersenyum kecil.

"Sudah kubilang jangan ganggu aku."

Tidak ada yang menyangka bahwa sang ketua kelas handal akan tiba-tiba berdiri untuk menarik
kasar rambut Youngseok sampai ia bangkit dari kursi—melempar satu pukulan keras di satu pipi
sebelum menendang perutnya sampai terjatuh ke lantai. Suasana kelas yang awalnya ricuh menjadi
hening total, sirna sudah celotehan mereka—tergantikan oleh suara ngeri tinju lawan tinju antara
Chanyeol dan empat pembangkang lain. Sang ketua bukan menonjok mereka biasa layaknya
amatur; ia nyaris mengeroyoki masing-masing menggunakan cara yang tergolong sadis untuk
seorang murid kelas tujuh lakukan. Para murid tidak mampu berkata apa-apa menyaksikan betapa
mudah Chanyeol menghabisi kelompok pecundang tersebut, wajah kuyup akan keringat bersama
sedikit darah menetes di sekitar bibir.

Meski wajah sudah agak babak belur, Chanyeol tetap akan mengeraskan tonjokan jika mereka
berani menghinanya—tangkas menahan setiap pukulan yang hendak diluncurkan, membalas
setiap tendangan dua kali lipat lebih parah. Air mata berjatuhan deras di pipi mereka; bahkan dalam
keadaan lemah sekalipun, mereka masih berusaha menutupi kekalahan dengan berlagak mencibir
Chanyeol takut-takut. Sang ketua lalu menyandarkan punggung pada bangku di belakang,
menunggu sampai pernafasan kembali teratur bersama tatapan datar yang terpaku pada segerombol
biang masalah tersebut. Hanya beberapa bunyi lantang akan langkah sepatu tinggilah yang nanti
mengalihkan perhatian mereka dari sang ketua.

Chanyeol bahkan tidak kaget mendengar kalimat berikut terlontar dari seorang guru.

"Park Chanyeol dan kalian berlima harap ke ruang guru sekarang."

Mereka menyebut ini "masa pubertas", tapi Chanyeol menganggapnya sebagai sesuatu
menyenangkan yang harus dinikmati selagi bisa.

Sisa dua setengah tahun di SMP dilalui dengan berbagai kontroversi yang semakin menjatuhkan
nama Park Chanyeol. Amukan guru dan kepala sekolah hanya akan masuk ke telinga kanan lalu
keluar di telinga kiri. Dihukum membersihkan kamar mandi dan lari keliling lapangan dua ratus
kali sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Ayah kewalahan menanggapi berturut-turut surat
panggilan sekolah sekaligus protes wali murid yang anak-anaknya menjadi korban keroyokan
Chanyeol. Mendatangi ruang BP untuk diberi "nasihat tambahan" adalah kewajiban mingguan
yang patut ia abaikan. Chanyeol bertransformasi dari seorang ketua kelas pintar menjadi pembuat
onar paling ditakuti di sekolah.

Para pembangkang yang dahulu memandang sebelah mata kini memuja. Seluruh kakak kelas
terpaksa tunduk demi menghindari perkelahian yang ngeri. Anak-anak perempuan kian menggilai
ketampanan Chanyeol yang menjadi-jadi. Namanya terkenal di mana-mana karena sering terlibat
keroyokan dengan banyak siswa dari sekolah lain.

Maka tidak mengherankan jika Chanyeol memulai masa SMA-nya sebagai seseorang populer yang
ditakuti semua murid.

Mudah bagi lelaki itu untuk menguasai SMA dalam waktu singkat: merekrut banyak pengikut
supaya memudahkan aksi bullying, serta menghidupkan kembali tim basket dan band sekolah yang
sempat padam beberapa tahun. Chanyeol dinobatkan menjadi kapten tim basket beberapa bulan
setelah berlatih; ia kemudian terpilih sebagai pemain drum tetap dari band sekolah. Seluruh sektor
berhasil lelaki itu genggam sempurna, termasuk mengencani kakak kelas mantan ketua OSIS demi
mewujudkan kegiatan busuknya. Didukung Jongin, sahabat lama yang ikut terpengaruh, mereka
bekerja sama melancarkan bullying secara kasat mata—berusaha untuk selalu jauh dari
sepengetahuan guru, mengambil jam-jam tertentu guna menghindari razia mendadak kepala
sekolah.

Setiap hari Chanyeol akan pulang pagi karena terlibat keroyokan. Alih-alih menyerah akibat
bengkak parah yang kadang ia peroleh, lelaki itu justru tertantang untuk bergabung dalam banyak
perkelahian sebagai "praktik langsung dari latihan taekwondo dahulu", setidaknya begitulah
kalimat motivasional Jongin berbunyi.

Mereka menyebut ini "kenakalan remaja", tapi Chanyeol terkadang menganggapnya sebagai
sesuatu yang dapat mengalihkan pikiran dari perasaan familier itu.

Perasaan hampa yang sudah menggerogoti tubuhnya sejak bertahun-tahun lalu.

Kesepian yang harus ia hadapi sendiri di waktu-waktu seperti sekarang.

Chanyeol menguap, punggung tersandar tenang pada kursi taman sekolah—hazel kosong tertuju
pada pepohonan rimbun sekeliling sambil menghirup udara segar. Ia lalu menundukkan kepala,
memandang sejumlah bunga dandelion yang tersebar ke mana-mana sebelum mencabut asal salah
satunya untuk diamati. Perkataan konyol seorang idiot sekilas bermain di telinga, dan ia pun
meniupnya keras, nafas langsung menyerbu seluruh benih-benih bunga untuk terbang menyatu
bersama angin sepoi-sepoi. Lelaki itu mengangkat alis, menggelengkan kepala kecil kemudian
membuang tangkainya ke tanah—menghapus bayangan seseorang yang sempat terlintas di kepala
saat meniup bunga dandelion.

"Yeol-ah."
Bertemu bibi Hyesun di rumah sepulang sekolah adalah hal yang cukup mengejutkan; terhitung
sudah dua tahun semenjak bibi pindah ke Selandia Baru dan mereka semakin jarang
berkomunikasi. Membungkuk singkat sebagai salam sopan, Chanyeol menutup pintu utama lalu
berjalan melewati bibi Hyesun ketika wanita berkulit pucat itu tiba-tiba menyentuh punggungnya,
menyerahkan sebuah potongan kertas berisi nomor telepon untuk lelaki itu pegang. "Ini adalah
nomor ponsel kakakmu," bibi Hyesun tersenyum saat menyadari pandangan Chanyeol agak
bergetar. "Tidakkah kau ingin bertemu lagi dengan Baekhyun?"

Chanyeol terdiam selama beberapa detik, mata memandang datar kertas tersebut sebelum
meremasnya jadi gumpalan kecil—mengabaikan tatapan tercengang bibi Hyesun yang tampak
kehilangan kata-kata saat ia membuang gumpalan itu ke tempat sampah.

"Chanyeol…"

Lelaki itu terlebih dahulu menaiki tangga, menolak untuk membalas pandangan bibi Hyesun
sembari menggumam: "Aku akan ke kamar."

Chanyeol menjatuhkan diri ke atas tempat tidur setelahnya, menelan liur muak akan bagaimana
jantungnya bereaksi setiap ia mengingat Baekhyun. "Pembohong," ia berbisik kepada seseorang
yang tidak mungkin mendengarnya; tatapan pada langit-langit kamar agak goyah saat ia
menyeringai sedih. "Jangan beri aku harapan untuk menunggumu lagi."

Suara pintu mobil ditutup menyadarkan Chanyeol dari lamunan, dan ia langsung berdiri, mengintip
dari balik jendela untuk memastikan bahwa taksi yang bibi Hyesun tumpangi telah pergi sebelum
cepat-cepat berlari keluar kamar. Lelaki itu membasahi bibir kala melihat gumpalan kertas tadi
masih bertengger di puncak tumpukan sampah, ragu-ragu mengulurkan tangan untuk meraihnya—
detakan jantung bertambah gila detik demi detik. Jalan kaki menuju telepon umum terdekat pun ia
lalui dengan pikiran kosong, dahi berkeringat, dan dada yang bergemuruh tidak menentu.
Chanyeol menjadi terlalu gugup sampai kebingungan harus berbuat apa saat ia dihadapkan pada
telepon umum.

Butuh beberapa menit bagi Chanyeol untuk akhirnya mengangkat gagang ke telinga, tangan
gemetaran membuka gumpalan kertas tersebut lalu menekan satu per satu angka—menunggu
dalam waswas luar biasa begitu panggilan mulai dihubungkan.

"Halo?"

Chanyeol mengedipkan mata, darah serontak berdesir oleh rindu kala mendengar suara lembut itu
menyapa—genggaman pada gagang telepon menguat. Baekhyun? Ia ingin memanggil, tapi
mulutnya berubah kaku untuk digerakkan—tidak percaya bahwa ia bisa mendengar suara
Baekhyun lagi setelah sepuluh tahun kehilangan kabar. Chanyeol bukan seseorang yang cengeng,
namun air mata tiba-tiba merembes deras dari kelopak matanya, dan lelaki itu segera menyumpal
mulut dengan telapak sebelum ia dapat terisak.

"Halo? Ini siapa?" Baekhyun berkata lebih keras, dan itu hanya membuat Chanyeol kesulitan
mengendalikan nafas—memilih untuk diam dan merekam bagaimana suara sang kakak terdengar
di kepalanya. Baekhyun sudah bukan anak kecil lagi, tetapi suaranya masih mengingatkan
Chanyeol akan lullaby yang menenangkan. Masih melarikan sengatan familier yang menggetarkan
sekujur tubuhnya.

"Baekhyun, siapa yang menelepon? Ibumu?"

Sebuah suara asing kemudian menyahut, dan Baekhyun sekilas membalas, "Aku juga tidak tahu,
Jongdick," sekilas jeda, "Halo? Apa ada orang di sana? Aku—"

Chanyeol langsung meletakkan kembali gagang telepon, menyandarkan kepala di sana seraya
mengeluarkan isakan tertahan yang tak sanggup ia pendam—air mata berkumpul pada bibir untuk
lelaki itu kecap.

Chanyeol merindukan Baekhyun.

Ayah terus menangis.

Ia meletakkan kacamata ke meja makan, berkali-kali mengusap air mata di pipi dengan sapu
tangan—terisak-isak keras karena kesusahan bernafas. Ini adalah pertama kalinya Chanyeol
melihat ayah menangis, dan ia tidak tahu harus berbuat apa: memilih untuk menyantap makan pagi
dalam diam seraya menunggu ayah sampai agak tenang. Sedikit terbersit dalam pikiran bahwa ia
ingin mengatakan sesuatu untuk menenangkan ayah, tapi Chanyeol segera menggigit bibir. Tidak,
hubungan mereka belum cukup dekat untuk saling menghibur satu sama lain—ia tidak mau
mempercanggung keadaan.

"Chanyeol."

Lelaki itu menengadah.

"Tadi malam Ibumu mengalami kecelakaan beruntun yang sangat parah," ujar ayah lemas, mata
bengkak akibat telanjur kebanyakan menangis. Mata Chanyeol serontak melebar. "Ia meninggal
dalam perjalanan ke rumah sakit."

Chanyeol cepat-cepat membuka mulut, hampir membanting garpu ke piring. "Hyung," cicit lelaki
itu pelan, tubuh mendadak lemas setelah mendengar berita itu. "Bagaimana dengan hyung?" air
mata mulai mengancam untuk berjatuhan, dan Chanyeol mengepalkan tangan, menahan agar ia
tidak menangis di hadapan ayah. Perasaan sedih itu tentu ada saat ia mendengar bahwa ibu sudah
meninggal, tapi entah kenapa ketakutan yang sebenarnya hanya ia rasakan terhadap Baekhyun.
Bagaimanapun juga Baekhyun adalah kakak sekaligus orang tua yang menjaganya dari kecil;
mereka menghabiskan waktu terberat bersama, dan Chanyeol mengetahui ketulusan sang kakak
saat ia mengurusnya—wajar jika lelaki itu pikir ia akan lebih menyayangi Baekhyun.

"Kakakmu berada di rumah selama kecelakaan terjadi," Chanyeol menunduk, memejamkan mata
sejenak untuk sekadar bernafas lega. Ayah berkata lagi, suara sengau yang sedikit meresahkan
lelaki itu: "Kita akan ke Daejeon nanti malam."

Chanyeol mengernyitkan alis. "Daejeon?"

"Menemui Ibu dan Baekhyun," ayah meneruskan, terlingkup dalam kesedihan untuk menyadari
bahwa tubuh Chanyeol tiba-tiba menegang—ekspresi lelaki itu kacau karena gugup.

Bertemu Baekhyun? Chanyeol tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Ia akan melihat Baekhyun
nanti malam—untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun. Tangan Chanyeol bahkan menjadi
gemetaran mendengar ini; bahagia, gugup, takut, dan khawatir bercampur jadi satu hingga
merangsang jantungnya untuk berdebar berlebihan.

"Chanyeol," perlu beberapa detik bagi lelaki itu untuk mengetahui bahwa ayah sedang
memanggilnya, dan ia pun mendongak, raut muka datar saat melihat ayah membasahi bibir
waswas: "Apa kau keberatan jika Ayah mengajak Baekhyun untuk tinggal bersama kita?"

Pergi ke Daejeon ditempuh dalam kurang lebih dua jam mengendarai mobil. Berbeda dengan ayah
yang langsung terlelap di tengah jalan, Chanyeol tetap terjaga sepanjang perjalanan—dahi agak
berkeringat meski supir mereka menurunkan suhu air conditioning menjadi dua puluh. Lelaki itu
bolak-balik menatap refleksi di kaca, mendadak kehilangan percaya diri akan bagaimana
penampilannya sekarang: wajah tanpa ekspresi, rambut berantakan, kemeja hitam kusut serta
celana berwarna senada. Demi Tuhan, bisakah ia terlihat sedikit bagus sebelum bertemu
Baekhyun?

Chanyeol melirik ke samping, memandangi ayah yang tertidur pulas kemudian menatap ke luar
jendela lagi—menghela nafas agak panjang. Setelah mengetahui banyak hal, Chanyeol kini
menyadari bahwa ayah tidak pernah seburuk yang ia pikirkan. Satu-satunya alasan mengapa ayah
enggan mengambil hak asuh Baekhyun adalah karena wajah sang kakak yang sangat
mengingatkan beliau pada ibu—wanita yang diam-diam menjalin hubungan dengan bosnya
sendiri. Ayah memergoki mereka saling menghubungi satu sama lain, bahkan sering bertemu di
hotel untuk menginap bersama. Ibu tidak sekadar mengkhianati ayah; ia juga menjadi orang
pertama yang meminta perceraian—menginginkan perpisahan meski ayah tetap menolak.

Tidak mengejutkan jika Baekhyun yang terkena akibatnya; ia terpaksa merawat Chanyeol sendiri
karena orang tua mereka disibukkan dengan urusan masing-masing: ayah bekerja mati-matian,
sedangkan ibu rutin menemui kekasih gelapnya. Tragis, Chanyeol sulit untuk mempercayai ini jika
bukan karena duka yang terlintas di mata berkaca-kaca ayah saat ia menceritakan semuanya. Ayah
terlihat menyesali perbuatannya, terutama untuk memisahkan mereka selama bertahun-tahun gara-
gara dendam yang memuncak—meski kalau dipikir-pikir lagi, ia tidak sepenuhnya bersalah karena
siapapun mungkin akan bertindak sama jika dikhianati seperti itu. Hal lain yang membuat
Chanyeol iba adalah bahkan setelah perceraian mereka, ayah masih begitu mencintai ibu—terlihat
dari bagaimana ia menolak untuk menjalin hubungan lagi, sebaliknya membanting tulang demi
memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Bahkan tadi pagi pun Chanyeol dapat melihat seberapa
besar perasaan ayah terhadap ibu dari air matanya yang berhamburan. Ayah bukan seseorang yang
mudah menangis; maka bila ia sampai menangisi seseorang, ia pasti benar-benar mencintai
seseorang itu.

"Tuan, kita sudah sampai."

Tertera "11:07PM" pada jam tangan Chanyeol kala ia dan ayah memasuki rumah duka, mengamati
sejumlah orang asing berpakaian serba hitam lalu lalang dari masing-masing ruangan. Lelaki itu
mempertahankan ekspresi kosong, meremas kain saku untuk melampiaskan rasa gugup yang susah
dibendung—dahi meneteskan piluh di tengah dinginnya angin malam. Ia merapikan poni berkali-
kali, mengangguk lemah saat ayah menyuruhnya pergi untuk terlebih dahulu menemui
Baekhyun—jari menunjuk sebuah ruangan paling pojok yang tampak sepi dari kejauhan. "Sial,"
ia menggumam seraya takut-takut mendatangi ruangan tersebut, sejenak terpikir untuk melarikan
diri daripada bertingkah seperti orang bodoh di depan Baekhyun.

Jantung Chanyeol semakin berdebar tidak normal, berdentum dalam kecepatan yang kurang masuk
akal—sengaja menyiksa anggota tubuh lelaki itu agar tidak berfungsi sempurna. Alih-alih
sungguhan melarikan diri, ia sebaliknya terus berjalan, perlahan dan ragu-ragu, kepala agak
menunduk karena terlalu tegang berhadapan dengan Baekhyun. Begitu ia tahu bahwa ia sedang
berdiri di depan ruangan ibu, Chanyeol perlahan menengadah—nafas nyaris tercekat di
tenggorokan saat pandangan akan seorang remaja laki-laki berpakaian hitam tergapai oleh kedua
matanya.

Lelaki itu seketika berhenti.

Cantik.

Cukup satu kata tersebut yang muncul di kepala Chanyeol ketika ia melihat sang kakak.

Baekhyun, dengan wajah sembab yang tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Baekhyun, dengan
mata mungil bengkak yang menyorotkan hampa. Baekhyun, dengan hidung kemerahan karena
kebanyakan menangis. Baekhyun, dengan bibir tipis yang tampak mengelupas karena digigiti.
Baekhyun, dengan segala fisik dan kebiasaan yang Chanyeol pikir belum berubah.

Baekhyun terlihat depresi, sepasang manik menatap kosong pada dinding—tangan mencengkeram
kemeja dan kaki berlutut kaku di lantai. Chanyeol tidak tahu harus berkata apa, memilih untuk
menunggu di ambang pintu sampai Baekhyun akan menoleh dan mengetahui kehadirannya. Lelaki
itu menelan liur, mengambil satu langkah pelan ke depan ragu-ragu—mengulang hafalan beberapa
patah kata yang sudah ia persiapkan dalam otak. Chanyeol lantas mengepalkan tangan,
mengangkat kepalan tersebut guna mengetuk pintu kaca hati-hati.

Baekhyun tidak bergerak.


Sang adik mengernyitkan dahi, termenung sebentar untuk mengetuk lagi lebih keras—tangan
nyaris menggedor pintu selama beberapa detik.

Baekhyun tetap tidak menggubris, ekspresi masih kosong seperti tadi.

Lelaki itu kemudian menghela nafas, memandangi sang kakak sejenak sebelum perkataan
mengandung sarkasme—yang tentu tidak termasuk hafalan tadi pagi—meluncur dari bibirnya.

"Kau bisa kerasukan kalau melamun seperti itu."

Chanyeol hanya bisa membeku ketika Baekhyun akhirnya mengangkat kepala untuk
mempertemukan hazel kembar mereka—tatapan datar sang kakak setengah menakuti lelaki itu.

Ini jelas bukan kesan pertama yang Chanyeol ingin tunjukkan pada Baekhyun.

Hubungan mereka tidak berjalan sesuai harapan. Salahkan saja mulut lelaki itu yang keceplosan
berkata kurang pantas di hari kematian ibu—pada pertemuan pertama mereka pula. Meminta maaf
pun rasanya akan mempercanggung suasana, jadi Chanyeol memutuskan untuk diam—raut wajah
kaku yang mungkin terlihat datar karena ekspresi sang kakak justru bertambah dingin. Bohong
jika lelaki itu tidak mengaku bahwa matamenilik Baekhyun sempat agak menakutinya.

Bisa dikatakan bahwa Chanyeol sudah gagal sejak tragedi tersebut.

Terbukti dari sikap acuh tak acuh Baekhyun terhadapnya; sang kakak terang-terangan
mengabaikan eksistensi lelaki itu: melirik Chanyeol sesekali lalu memalingkan wajah ke direksi
lain—memojokkan posisi sang adik sehingga ia tidak berani berbuat apa-apa. Kebiasaan untuk tak
menghiraukan satu sama lain ini pun mulai mendarah daging, bahkan sampai beberapa hari setelah
Baekhyun tinggal bersama mereka. Usaha Chanyeol untuk mengajak Baekhyun bicara tidak
pernah berhasil; mereka hanya bertemu di ruang makan dengan sang kakak yang selalu
memberinya tatapan menghakimi: hazel tajam mengawasi penampilan Chanyeol dari bawah ke
atas. Interaksi mereka yang minim tentu membawa lelaki itu pada kebosanan luar biasa, dan sekali
lagi, Chanyeol kembali menghancurkan citranya sendiri saat Baekhyun tidak sengaja memergoki
sang adik pulang pagi dari kegiatan mengeroyok mingguan—wajah cukup lebam dengan bekas
goresan pisau di tangan.

Relasi mereka tidak memburuk sampai di situ saja. Berbagai perdebatan kecil sering terjadi di
antara keduanya; Chanyeol mempelajari bahwa Baekhyun suka berlagak menjadi seseorang paling
dewasa di dunia. Usaha lelaki itu untuk mengalah—demi menghindari permusuhan
berkepanjangan—pun berakhir sia-sia akibat ulah Baekhyun yang hobi merumitkan hal-hal sepele.
Chanyeol menyerah: ia ikut membalas perkataan Baekhyun sama sarkastis, malahan menyindir
sang kakak dengan menyebutnya "Byun".

Menyuruh Baekhyun untuk berpura-pura tidak kenal di sekolah bukan terjadi tanpa alasan. "Aku
malu mempunyai adik berandalan sepertimu," sang kakak pernah berujar di tengah pertikaian
mereka, kata-kata tajam yang seketika menusuk Chanyeol—membekukan mulut sang adik dari
berbicara lagi. Ungkapan itu lantas menghantui Chanyeol setiap hari, merebut beberapa jam tidur
efektif untuk sekadar merenung—berlama-lama melamun di bawah shower sambil mendengarkan
musik. Entah dari mana ide kekanak-kanakkan tersebut berasal; kekecewaan telanjur
menyelubungi Chanyeol sampai ia mulai terpancing untuk berbalik menyikapi Baekhyun
sebagaimana sang kakak memperlakukannya.

Berakting cuek di luar tidak berarti Chanyeol benar-benar angkat tangan dari hidup Baekhyun.

"Overprotective" adalah kosakata asing yang pantas untuk mendeskripsikan tingkah laku
Chanyeol terhadap sang kakak. Lelaki itu memantau Baekhyun dari jauh, mengetahui beberapa
tempat yang sering ia datangi dan siapa teman-teman yang selalu bersamanya. Chanyeol akan
membalas siapapun yang berani bersikap sewenang-wenang pada Baekhyun, seperti si murid
beasiswa Wu Yifan dan jalang congkak Jung Soojung (masih dalam proses; ia mesti terlebih
dahulu mendekati gadis ini supaya meninggalkan kesan cukup kejam). Bayangkan saja, Yifan
pernah menuduh Baekhyun untuk suatu kesalahan yang merupakan tanggung jawabnya sebagai
ketua kelas; parahnya lagi, si culun tetap merasa benar meski bukti menyatakan bahwa Baekhyun
tidak bersalah. Well, Chanyeol tidak tahu pasti "kesalahan" apa yang Yifan lakukan, namun ia
mengetahui garis besar cerita lewat aksi menguping pembicaraan Baekhyun dan Jongdae di
telepon.

Lelaki itu juga melancarkan rencana lain, membeli ponsel lokal terbaru demi menyamar sebagai
"ayah"—menyelinap ke kamar Baekhyun saat sang kakak tertidur guna merubah nomor ayah yang
sesungguhnya. Chanyeol berani melakukan ini karena ia tahu betul bahwa ayah tidak memiliki
waktu luang untuk sekadar bertukar pesan maupun menelepon mereka secara pribadi, hanya sangat
jarang menitip salam lewat bibi Eunji—menelepon rumah pada jam-jam sekolah berlangsung.
Rencana tersebut berhasil; Chanyeol bisa mengatur kapan Baekhyun harus pulang jika ia melewati
batas yang ditentukan, menanyakan di mana sang kakak jika Chanyeol kesulitan melacak
keberadaannya. Baekhyun melaksanakan persis apa yang "ayah" perintahkan, dan lelaki itu dibuat
terkejut akan betapa mudahnya menipu sang kakak.

Chanyeol tidak pernah berniat untuk menyakiti Baekhyun; berkata cukup kasar pada sang kakak
adalah suatu hal yang lelaki itu sulit kontrol apabila dilanda stres berat. Sang adik tidak ingat
berapa banyak kaleng Sprite yang ia beli untuk meringankan rasa takut, berjalan mengitari rute
sepi yang Baekhyun lewati dari halte bus ke rumah sambil bolak-balik melirik jam tangan—
membuang kaleng-kaleng tersebut sembarangan hampir sepanjang jalan. Mengetahui Baekhyun
belum pulang di larut malam telah membawa migrain ke kepala lelaki itu, apalagi setelah ia melihat
sang kakak dihadang tiga preman sekaligus. Chanyeol tak bisa membayangkan apa yang akan
terjadi jika ia tidak menunggu Baekhyun di sekitar perumahan; berbagai pikiran buruk akan hal
lain yang dapat menimpanya menakuti sang adik. Oleh sebab itu Chanyeol bingung kenapa
Baekhyun justru terpancing amarah mendengar tegurannya, sengaja memecahkan gelas untuk
menusukkan pecahan-pecahan kaca pada telapak kaki—memperangah lelaki itu sampai ia
kehilangan kata-kata. Chanyeol menjadi sangat bersalah sehingga ia menggunakan beberapa
pecahan itu untuk menggores jari-jarinya sendiri lebih parah—sebuah permintaan maaf rahasia
yang Baekhyun tidak akan ketahui.

"Yeol, bangun. Kita sudah sampai di rumahmu."

Chanyeol mengedip-kedipkan mata lambat, perlahan menggapai kesadaran sebelum ia


mengangguk—mengucapkan sedikit basa-basi pada Jongin (yang mana ditanggapi dengan
candaan khas "titip salam untuk kakakmu") lalu beranjak keluar dari mobil. Bukan hal baru jika ia
disambut oleh kesunyian kala memasuki rumah: televisi dalam keadaan mati, dan beberapa lampu
yang sengaja dimatikan supaya menghemat daya listrik—hanya suara jarum jam berjalan yang
terdengar, masing-masing menunjuk pada angka sembilan dan dua. Chanyeol meletakkan tas di
sofa sekaligus mengistirahatkan tubuh di sana, menghirup udara tenang bersama manik yang
terpejam—lambat laun menyadari sedikit kejanggalan dalam rumah. Lelaki itu nyaris terhenyak
beberapa detik kemudian, terburu-buru bangkit untuk berlari menaiki tangga dan mengetuk pintu
kamar sang kakak berkali-kali.

"Baekhyun?" jantung Chanyeol mulai berdebar di luar kontrol; ia menelan liur untuk memanggil
lebih keras, menggedor pintu secara kasar. "Baekhyun, apa kau di dalam?"

Tidak ada jawaban, dan lelaki itu segera menekan knop pintu, mata melebar begitu melihat
keadaan kamar yang gelap gulita, cepat-cepat menutupnya kembali sebelum menuruni tangga
untuk mengecek ruangan lain. "Bodoh!" ia menggeram, mengetahui bahwa Baekhyun memang
tidak berada di rumah—pantas saja tak ada suara apa-apa sekarang; sang kakak biasanya masih
belajar sambil memutar lagu di kamar pada jam-jam begini. Chanyeol menggertakkan gigi
frustrasi, hampir membanting ponsel karena panggilannya ke Baekhyun terus berakhir di voice
mail—berbalik menggerakkan jari pada layar untuk mencari kontak Jongin. "Aku membutuhkan
bantuanmu," ia langsung berkata dalam nada panik saat Jongin menerima panggilan, "Baekhyun
belum pulang. Ia tidak bisa dihubungi," lelaki itu bertele-tele, sama sekali tidak memberi ruang
bagi Jongin untuk merespons, "Tolong kelilingi perumahanku. Minggu lalu Minsoo sempat
menghadang Baekhyun di situ. Kabari aku secepatnya."

Chanyeol mengemudikan mobil menuju wilayah perumahan, tenda-tenda makanan pinggir jalan,
hingga sejumlah kedai kopi dekat sekolah—tangan gemetaran karena batang hidung sang kakak
tidak kunjung terlihat. Belum ada panggilan dari Jongin; hasil masih tetap nihil padahal lelaki itu
telah melewati jalan raya maupun gang yang sama selama berjam-jam. Malam semakin larut, dan
Chanyeol memarkir mobil di depan supermarket untuk sekadar membaringkan kepala pada setir—
menatap kosong ke luar jendela sambil membasahi bibir. Tiga menit lagi adalah pukul sebelas;
takutnya akan terlambat jika ia meneruskan pencarian tanpa terlebih dahulu melapor ke polisi.
Bagaimanapun juga Chanyeol harus bergerak cepat sebelum sesuatu terjadi pada Baekhyun.

Ponsel lelaki itu kemudian berbunyi nyaring, menampilkan nomor tidak dikenal dengan tiga angka
belakang yang lagi-lagi 691. Ia menghela nafas, memandangi layar untuk berpikir apa yang
membuat nomor tersebut bolak-balik meneleponnya—malas-malasan menggeser tombol hijau.
"Halo?" ia berkata lesu, akhirnya menjawab setelah mengabaikan panggilan sejak dua jam lalu.

Hening sebentar. "Chanyeol-sunbae?"

Lelaki itu mengerutkan dahi. Tunggu, suara aneh ini tidak asing didengar. "Oh Sehun?"

Sehun berdeham canggung. "Ya, ini aku," Chanyeol pun memutar mata; anak ini jelas mengetahui
nomornya dari Jongin—si bodoh sering meminjam ponselnya untuk menelepon Sehun semasa
SMP. "Maaf mengganggu, bisakah aku berbicara denganmu?"

Chanyeol otomatis mematikan panggilan; ia hendak memblokir nomor Sehun ketika anak itu
kembali menelepon, menggetarkan ponsel di tangan sehingga Chanyeol pun terpaksa
mengangkatnya. "Ini tentang kakakmu," Sehun menyerang ke titik masalah sebelum lelaki itu
dapat mengancamnya.

Chanyeol mengernyitkan alis, sejenak berpikir bahwa Oh-seonsaeng pasti pernah membicarakan
Baekhyun di depan Sehun sehingga anak itu jadi tahu tentang rahasia mereka. Namun sang kakak
kelas tidak dalam suasana hati untuk mempersoalkan itu dan balik bertanya, "Apa kau bilang?"
Mungkin ia bisa memercayai Sehun, mengingat betapa seringnya Chanyeol melihat ia dan sang
kakak bercengkerama di sekolah.

"Baekhyun-hyung…" terselip sebuah jeda, "ia tersesat." Lelaki itu refleks menegakkan punggung,
menunggu sampai Sehun berbicara lagi, "Ia tadi meneleponku untuk menjemputnya di 7-eleven—
"

Chanyeol segera memotong, "7-eleven di mana?"

"Aku tidak tahu pasti," Sehun melanjutkan ragu-ragu, "Suaranya gemerisik lewat telepon… aku
hanya mendengar Chengnam-dong? Changnam-dong?"

Chanyeol mengeratkan pegangan pada ponsel. "Changnam-dong, maksudmu?" ia justru bertanya,


"Seingatku ada 7-eleven di sana."

"Aku tidak tahu," Sehun memberitahu, terdengar khawatir bukan main. "Bisakah kau menjemput
Baekhyun-hyung? Orang tuaku tidak memperbolehkanku pergi."

"Terima kasih," Chanyeol tergesa-gesa berkata, mungkin akan mencengangkan anak itu karena
sang kakak kelas hampir tidak pernah seformal ini pada seseorang. Ia lantas menekan tombol
merah, asal-asalan melempar ponsel ke kursi sebelah untuk menyalakan mesin—mengebut di
antara banyak mobil supaya cepat sampai tujuan.

Lelaki itu harap Baekhyun belum pergi dari 7-eleven.

.
.

Ada sesuatu yang janggal dengan Baekhyun. Ia tiba-tiba memperlakukan Chanyeol berbeda: rutin
menyiapkan santapan bagi sang adik dan menungguinya makan setiap malam. Berawal dari
sebuah cup ramen instan sampai terkadang memasakkan lelaki itu omelette sederhana, Chanyeol
dibuat heran (sekaligus senang) oleh sikap "malaikat" sang kakak. Melihat Baekhyun yang
terdahulu memulai obrolan memicu perasaan aneh untuk muncul karena selama ini mereka nyaris
tidak pernah berbicang-bincang secara normal selain berdebat. Beberapa minggu lalu Baekhyun
bahkan sempat menghindarinya mati-matian, dan Chanyeol harus menukar seragam olahraga
mereka demi mencuri kesempatan untuk berbicara dengan sang kakak.

Pernah sekali lelaki itu iseng-iseng bertanya alasan dari perubahan sikap drastis sang kakak, tapi
Baekhyun malah memanfaatkan pertanyaan Chanyeol untuk balik menggodanya—mendekatkan
wajah mereka hingga menyebar semburat merah ke masing-masing pipi sang adik. Tidak masalah,
pikir Chanyeol kemudian, asal mereka bisa terus akrab seperti ini, lelaki itu tak mau mencari tahu
alasan yang sebenarnya. Mendapat perhatian Baekhyun adalah sesuatu yang sudah Chanyeol
sangat butuhkan sejak mereka terpisah dahulu; ia rindu disiapkan makanan oleh sang kakak,
mengobrol sampai larut malam mengenai berbagai hal yang kurang penting bagi kebanyakan
orang. Chanyeol merindukan semuanya, dan ia berjanji untuk berhenti melakukan hal bodoh yang
kelak akan menjauhkan Baekhyun darinya—meski itu berarti ia harus mengontrol porsi bicara
dengan mendiami sang kakak.

"Kau berhutang tiga piggyback denganku, Byun."

Chanyeol mengatakan ini untuk menggoda Baekhyun, menahan tawa mengamati si pangeran tidur
dari ambang pintu. Lelaki itu tidak berbohong; secara teknis, ini adalah ketiga kalinya ia
memberikan piggybackpada Baekhyun—pertama, saat mereka masih kecil dan Chanyeol seketika
menjatuhkan sang kakak ke tanah; kedua, saat ia harus membawa Baekhyun ke kamar sepulang
dari 7-eleven; ketiga, sekarang. Meskipun punggungnya agak sakit karena harus mengangkat
Baekhyun, ia pikir itu lebih baik ketimbang melihat sang kakak tidur di dapur—merengek manja
nonstop karena kepala pusing. Chanyeol antara merasa kasihan dan ingin memutar mata
menyaksikan Baekhyun yang masih saja bereaksi berlebihan gara-gara penyakit sepele. Beberapa
kebiasaan memang tidak pernah berubah.

Keesokan harinya Chanyeol agak terkejut untuk melihat sang kakak terlebih dahulu hadir di ruang
makan—tubuh membungkuk guna menyandarkan kepala pada meja, wajah tampak lebih cerah
daripada kemarin. Lelaki itu tersenyum tipis, membuka lemari es untuk mengambil satu
kaleng Sprite lalu menempelkannya ke pipi Baekhyun, otomatis membangunkan sang kakak dari
tidur pendek. "Jangan bermalas-malasan, Byun," Chanyeol tidak perlu menoleh untuk mengetahui
bahwa Baekhyun pasti mendelik ke arahnya, berpura-pura cuek dengan meraih dua roti bakar lalu
mengoleskan selai cokelat ke permukaan mereka. Baekhyun mengusap-usap pipinya yang agak
basah, hazel menilik mengikuti pergerakan figur Chanyeol. "Bagaimana keadaanmu?" sang adik
bertanya santai, "Apa sudah membaik?"

"Wajah pucat begini apa bisa dibilang membaik?" Baekhyun menyahut ketus; Chanyeol
mengangkat bahu. "Sudahlah, jangan bicara lagi. Aku stres."

Chanyeol menggigit ujung roti. "Karena suneung?" sang adik menebak, mengingat curahan hati
Baekhyun dua malam lalu mengenai sulitnya mempelajari bahasa Jepang. "Bukankah kau murid
terpintar di sekolah?"

"Rajin," sang kakak mengoreksi, suara cempreng karena ia setengah berseru, "Aku tidak pintar.
Aku rajin," Baekhyun menekankan, menyeret sebuah gelas berisi susu mendekat untuk
meneguknya sedikit. Ia terhenti sebentar untuk menjilat sisa cairan di pojok bibir kemudian
meneruskan, "Butuh waktu lama bagiku untuk memahami suatu materi. Aku selalu belajar lebih
awal agar tidak ketinggalan."

Chanyeol mengangguk lambat, bingung harus berkomentar apa.

Baekhyun lalu menatap Chanyeol garang. "Berapa nilai rata-rata UTS yang kau dapat kemarin?"

Lelaki itu membalas pandangan Baekhyun datar. "84."

"Keparat tolol," Baekhyun memutus kontak mata mereka untuk menggeleng-gelengkan kepala.
Chanyeol tidak tersinggung karena ia sudah terbiasa menghadapi mulut singa sang kakak—
terlebih kalau ia sedang sakit. "Kau pasti kurang belajar kemarin. Seseorang dengan kemampuan
otak sepertimu harusnya berpotensi untuk menjadi juara kelas."

Bukan fakta asing bagi mereka bahwa Chanyeol adalah satu-satunya anak yang mewarisi
kepintaran ayah—dilimpahi dengan kemampuan menangkap sekaligus menguasai materi secara
cepat. Salah satu kunci utama mengapa Chanyeol berhasil memperoleh nilai-nilai bagus di tengah
kesibukan berkelahi adalah karena ia selalu memperhatikan ajaran guru di kelas. Chanyeol hanya
perlu menyimak baik-baik penjelasan mereka selama dua jam pelajaran, dan boom, tiba-tiba saja
ia mengerti seluruh materi lebih baik dari para murid yang sudah belajar. Khusus pelajaran berbasis
hafalan, lelaki itu biasanya membaca ulang bahan dari petunjuk kisi-kisi tiga jam sebelum ujian—
walau ia akui cara ini sering kurang efektif karena beberapa mata pelajaran memerlukan
pengetahuan luas yang tentunya membutuhkan banyak bacaan.

Ya, moral dari pengalaman ini adalah seandainya Chanyeol dilahirkan dengan watak serajin
Baekhyun, lelaki itu pasti langsung menguasai ranking pertama paralel SMA mereka.

Bibir Chanyeol sedikit terangkat ke atas; ia berdiri sembari mencangklongkan tas kecil pada bahu.
"Aku tidak mau dibilang culun."

Respons singkat sang adik jelas berbunyi seperti penghinaan bagi Baekhyun; ia pun menganga
tidak percaya—kepala ikut menoleh ke direksi mana lelaki itu pergi. "Wow!" ia sengaja berteriak,
intonasi kental oleh sarkasme. "Menurutmu aku culun, begitu?"
Chanyeol lantas berhenti di belakang Baekhyun untuk menepuk bahu sang kakak dua kali,
membungkukkan tubuh guna berbisik main-main di telinga yang lebih tua: "Kau masih agak cantik
jadi kurang cocok disebut culun."

Lelaki itu tertawa puas melihat ekspresi tercengang Baekhyun: alis mengeryit serta mulut terbuka,
cepat-cepat meninggalkan ruangan sebelum sang kakak dapat bangkit untuk memukulkan piring
ke kepalanya. Chanyeol semakin terbahak mendengar jeritan Baekhyun yang menggema dari
dalam rumah—sejenak terduduk di atas sepeda motor demi menunggu tawanya untuk mereda.

"Keparat! Itu sarkasme?"

Tidak, tapi sang adik harap ia sungguh berpikiran begitu.

Baekhyun mengingat ulang tahunnya, mengucapkan selamat tepat pada pukul dua belas malam.
Ini sungguh di luar perkiraan; sang kakak bahkan menyiapkan beberapa hadiah bagi lelaki itu—
sebuah tempat pensil kayu vintage yang kini tengah populer di kalangan siswa dan shooting-
sleeve merk Nike berwarna hitam. Chanyeol hampir mati kegirangan jika Baekhyun tidak ada di
sana untuk mempelajari ekspresinya, mungkin menerka-nerka apakah lelaki itu menyukai
hadiahnya atau tidak. Sang adik berusaha keras untuk mempertahankan ekspresi datar,
mengalihkan pikiran dari perasaan senang berlebihan dengan menggoda Baekhyun tentang masa
lalunya sebagai mantan pemain basket.

"Terima kasih."

Chanyeol berujar ragu-ragu sebelum mereka masuk ke kamar masing-masing, seketika


menghentikan Baekhyun dari membuka pintu—justru memutar tubuh untuk menatap Chanyeol
heran. Lelaki itu tersenyum kaku, mengeratkan genggaman pada kotak kado pemberian sang
kakak. "Aku merinding," komentar Baekhyun, berlagak menyentuhi sekujur lengan guna berakting
takut—menuai gelak tawa yang sengaja dipaksa dari Chanyeol. Suatu hening menenangkan lantas
mengelumuni keduanya; mereka saling menatap satu sama lain sejenak untuk sama-sama
tersenyum sebelum Baekhyun akhirnya melambai agak malu-malu. "Sampai jumpa besok,
Chanyeol."

Chanyeol.

Suara lembut Baekhyun terekam sempurna dalam pikiran lelaki itu, memacu jantungnya untuk
berdebar hebat mendengar bahwa sang kakak tidak memanggilnya menggunakan sebutan
sarkasme mereka.
Sebuah perasaan familier itu bahkan masih menjalar menghangatkan tubuh Chanyeol lima jam
selanjutnya; ia terbangun untuk memandangi tumpukan hadiah pemberian Baekhyun pada meja
belajar, menggelengkan kepala kecil kala jantungnya mendadak berdenyut cepat mengingat apa
yang terjadi tadi pagi. Enggan membuang waktu lama di bawah shower, lelaki itu tergesa-gesa
membersihkan tubuh lalu memakai seragam sekolah—mendesakkan paksa kostum basket sekolah
ke tas. Jika normalnya Chanyeol menganggap masa bodoh tentang kondisi rambut, pagi ini ia
memutuskan untuk sebaliknya merapikan rambut: menggerakkan sisir pada helai-helai yang
berdiri berantakan sampai lurus merata. Sang adik kemudian mencoba lagi shooting-
sleeve pemberian Baekhyun di lengan, melepas barang tersebut setelahnya untuk disimpan hati-
hati dalam plastik.

KATALK!

Chanyeol mengambil ponsel dari atas meja belajar, langsung mengabaikan sejumlah chat dari
gadis-gadis sekolah lain—yang eksistensi mereka telanjur dilupakan—dan membuka pesan Jongin
saja.

K. Jongin: Selamat ulang tahun, Chanyeol. Semua yang terbaik bagimu, teman masa kecil.
Jangan lupa siapkan uang untuk pesta nanti. AKU PERCAYA HARI INI KITA PASTI
MEMENANGKAN PERTANDINGAN! [06:28]

K. Jongin: HIDUP THE CASPIANS! HIDUP SMA TERCINTA! [06:28]

K. Jongin: (Pretty cat throwing confetti sticker) [06:29]

Chanyeol setengah membungkuk untuk mengintip lewat lubang pintu, mengecek kali-kali
Baekhyun sudah keluar dari kamar sebelum menatap layar ponsel lagi—terlalu malas untuk
mengetik dan asal memilih salah satu stiker yang tersedia. Ia harus bersiap-siap supaya bisa
berjalan ke ruang makan bersama sang kakak.

Park Chanyeol: (Cute puppy holding a "thank you" sign sticker) [06:33]

KATALK!

K. Jongin: WTF [06:33]

KATALK!

K. Jongin: Kau memakai stiker [06:34]

KATALK!

K. Jongin: WTF [06:34]

KATALK!
K. Jongin: Aku akan screenshot ini untuk dibagikan ke grup! RASAKAN! [06:34]

Spam Jongin memperoleh rotasi mata dari Chanyeol. Lelaki itu secara tidak sadar mematikan
ponsel, memasukkan barang tersebut ke saku sambil membuka pintu perlahan, serontak membatu
di tempat begitu terlibat kontak mata tak disengaja dengan Baekhyun, yang tepatnya juga baru
keluar dari kamar. Mereka kompak berbagi pandang kaku, dan seluruh percakapan basa-basi yang
Chanyeol rencanakan selama mandi melayang entah ke mana—meninggalkan lelaki itu untuk
membisu bersama ekspresi datar di luar. Baekhyun mengalihkan pandangan ke arah lain, hendak
berjalan melewati sang adik ketika Chanyeol memaksa dirinya untuk membuka mulut.

"Kau datang, kan?"

Baekhyun menoleh ke belakang, raut muka diliputi rasa kantuk. "Entahlah," ia mengedikkan bahu.
"Lihat saja kalau aku tidak malas."

Sekilas ekspresi lelaki itu memang biasa saja, tapi ia sebenarnya kesal bukan main—diam-diam
menghela nafas supaya tidak keceplosan berkata-kata sarkasme lagi. "Terserah," ia meringis,
berpura-pura santai seolah tidak mempermasalahkan ketidakhadiran sang kakak di final
pertandingan basket nanti siang. "Jangan datang kalau kau tidak mau."

Baekhyun tiba-tiba menjinjit untuk mengacak-acak rambut Chanyeol, otomatis menahan lelaki itu
supaya tidak pergi—sentuhan tangan sang kakak menghentikan anggota tubuhnya dari bergerak
normal. "Woo, jangan marah!" Baekhyun berseru seraya mengelapkan tangan pada kaus lelaki itu,
ekspresi sengaja dibuat jijik. Chanyeol menanggapi datar aksi jahil Baekhyun barusan. "Bukankah
kemarin aku sudah janji bahwa aku akan datang? Sampai jumpa di sana!"

Chanyeol memutar mata menyaksikan sang kakak berlari-lari kecil menuruni tangga, sebuah
seringai akibat menahan tawa terus melekat pada wajah lelaki itu.

Salahkan Baekhyun jika ia tidak bisa berhenti tersenyum hari ini.

Hubungan mereka menjadi lebih dekat dari apa yang Chanyeol perkirakan.

Sejak lelaki itu terus terang memperkenalkan Baekhyun ke seluruh anggota tim basket (sekaligus
sekolah), keduanya segera menghentikan sandiwara mereka untuk berpura-pura tidak kenal di
sekolah—justru rutin pulang dan berangkat bersama, sering mengunjungi kelas masing-masing
selama istirahat. Chanyeol mengurangi aktivitas keroyokan tengah malam demi menemani
Baekhyun: mendengarkan sang kakak berkicau nonstop tentang kelompok penyanyi favorit
maupun menonton film horor di kamar sang adik. Masing-masing dari mereka mulai berani untuk
membuka diri, membeberkan berbagai kisah pribadi yang tidak pernah diceritakan pada orang
lain—meski kadang Chanyeol masih merasakan sebuah pembatas tipis di antara mereka; sesuatu
yang menahan lelaki itu untuk tidak bersikap jujur dan sedikit membual. Berbohong guna
mempertahankan bagaimana hubungan mereka sekarang.

Melakukan skinship adalah sesuatu yang Chanyeol tidak sangka akan terselip di antara mereka.
Semua dimulai dari sang kakak yang menyandarkan kepala di bahunya, sentuhan kulit mereka
yang sama-sama terekspos mengganggu konsentrasi Chanyeol—memunculkan satu keinginan
berbahaya untuk merangkak menghampiri kehangatan itu. Berbeda dengan sang adik yang
seketika membeku di tempat, Baekhyun malah terlihat biasa saja: menggerakkan tubuh untuk
memperbaiki posisi supaya lebih nyaman, raut muka tenang tanpa ada tanda-tanda gugup. Sang
adik pun menelan ludah, berpura-pura santai seraya ikut menyatukan kepala mereka, cepat-cepat
memulai percakapan membosankan untuk menghindari situasi canggung.

Chanyeol tidak tahu bagaimana skinship sederhana itu perlahan tumbuh menjadi sedikit
berlebihan.

Lelaki itu terbiasa untuk memeluk Baekhyun dari belakang, menciumi rambutnya untuk
mengomentari aroma harum sampo sang kakak. Baekhyun suka memainkan jemari mereka
bersama, memijat-mijati tangan Chanyeol sambil mengejek betapa jelek kulitnya akibat berkelahi.
Sang adik dibuat kecanduan oleh usapan lembut tangan Baekhyun pada kepalanya, sering-kali
menyeret Chanyeol untuk tertidur dahulu di sela sesi nonton film mereka. Keduanya hanya
menunjukkan afeksi ini di rumah: saling menyentuh satu sama lain secara polos namun sungguh
tidak wajar untuk dilakukan sepasang kakak-adik.

Terkadang Chanyeol takut kalau Baekhyun akan menyadari sesuatu lain dari afeksinya: sebuah
perasaan salah yang selama ini telah lelaki itu sembunyikan dari semua orang. Sang adik sering
memandang wajah Baekhyun guna membaca reaksinya, sekadar menebak-nebak apa yang
sesungguhnya terpikir di balik ekspresi tenang itu—meski pada akhirnya Chanyeol tidak bisa
menahan kedua tangan untuk menyentuh Baekhyun lagi. Ini salah; lelaki itu tahu bahwa
membiasakan diri terhadap kebiasaan ini akan berakibat buruk bagi mereka, tapi ia telanjur
ketagihan dengan Baekhyun hingga tidak mampu berhenti. Rasa rindu luar biasa yang memuncak
telah menghilangkan kontrol dari tubuh sang adik.

Apakah ini normal?

Apakah aku melebihi batas?

Chanyeol melakukan kesalahan besar dengan menghapus segala pikiran negatif itu dari kepalanya;
mengetahui bahwa ia sudah terjatuh sangat dalam sehingga tidak bisa diselamatkan.

"Kau takut?"

Lelaki itu tidak menoleh dari layar televisi, mengeratkan pegangan sekitar pinggang Baekhyun—
salah satu pipi menempel pada rambut sang kakak. Jam sudah menunjuk pukul satu pagi, tapi
mereka masih terjaga untuk menonton film horor Jepang terseram tahun 2011—tubuh melekat di
atas tempat tidur Chanyeol, tangan saling merengkuh satu sama lain dalam selimut—menikmati
kehangatan masing-masing di tengah gelapnya kamar. Baekhyun membenamkan wajah di leher
lelaki itu, kepala mengintip guna sesekali menonton layar kaca seraya menghirup aroma sang adik,
manik mengerjap karena kantuk. Chanyeol meremas lengan Baekhyun dari luar selimut. "Tidak,"
ia menjawab jujur, menguap sedikit sebelum memiringkan tubuh untuk memeluk sang kakak lebih
erat.

Suara Baekhyun terdengar serak saat ia tertawa. "Jangan bohong," ia mengangkat kepala untuk
menatap Chanyeol dengan mata sayu, poni pada dahi terangkat ke mana-mana. Chanyeol membisu
melihat wajahnya, sekilas berpikir kenapa sang kakak tetap terlihat sempurna dalam keadaan
berantakan di bawah cahaya layar televisi. "Jantungmu berdetak cepat sekali," Baekhyun
menyentuh dada Chanyeol, menggerakkan tangan untuk selanjutnya meraba-raba lengan lelaki
itu—terkikik kecil memandangi sang adik. "Kau merinding."

Bukan disebabkan oleh film horor, Chanyeol tahu, tapi ia berpura-pura saja mengangguk—
langsung menundukkan kepala Baekhyun dalam selimut begitu wajah menyeramkan seorang
hantu anak kecil tiba-tiba menampakkan diri di layar. Baekhyun berteriak meski ia sama sekali
tidak melihat apa-apa, cukup mendengar musik lantang yang keluar dari dua speaker depan. Lelaki
itu memutar bola mata, tidak bisa menahan senyum merasakan pergolakan Baekhyun di balik
selimut—mengaitkan kaki mereka semakin erat sebelum menyembunyikan wajah pada dada sang
adik. Mereka kemudian terdiam sampai satu jam mendatang; rasa kantuk sudah menguasai
keduanya hingga Chanyeol terlambat menyadari bahwa film sudah selesai, layar hitam
menampilkan credits berjalan yang berisi daftar nama pemain.

Lelaki itu malas-malasan mengambil remote dari atas meja sebelah tempat tidur, menekan
tombol "off" untuk sekalian mematikan televisi. Ia menghela nafas, memperbaiki posisi agar tegak
lalu menoleh ke bawah—sekadar memandangi sang kakak yang masih tertidur pulas: mata mungil
terpejam dan mulut sedikit terbuka. Lelaki itu ragu-ragu mengulurkan tangan untuk menutup bibir
Baekhyun, mengusap pelan bagian lembut itu sebelum akhirnya ikut menundukkan kepala,
menempatkan satu kecupan pada kulit mendekati bibir sang kakak. Chanyeol bertahan di sana
selama beberapa detik sebelum ia perlahan menyadari apa yang ia lakukan, tergesa-gesa memutus
ciuman polos itu untuk menatap Baekhyun penuh rasa bersalah—kedua tangan sebagai tumpu
guna bergerak menjauhi sang kakak.

Chanyeol mengerjapkan mata yang mulai berair, nafas menjadi tidak teratur seolah oksigen telah
dicuri dari dalam paru-parunya. Ia kemudian menoleh ke mana ponselnya berada, mengambil
barang tersebut untuk membuka salah satu pesan yang sedari tadi ia abaikan—jemari bermain
tidak yakin di sekitar ponsel.

Choi Jinri: (Hand wave sticker) [15:47]

Choi Jinri: apa kau sibuk sabtu depan? mau mencoba restoran sepupuku di hongdae? they
have the best steak ever! c: [15:47]

Chanyeol menutup mata, kembali meletakkan ponsel ke atas meja seusai mengetik jawaban.
Park Chanyeol: Kabari aku. [02:29]

Mungkin ini akan sedikit membantunya melupakan perasaan itu.

"Bagaimana?" Jinri bertanya dari seberang meja, menggenggam garpu dan pisau sembari
tersenyum mengamati Chanyeol. Mereka duduk berhadapan dalam sebuah restoran cukup mewah,
dan lelaki itu terus menyantap steak tanpa menghiraukan Jinri. "Apa enak?"

Chanyeol mengangguk seadanya, tidak dalam suasana hati untuk bersuara.

Jinri membasahi bibir berulang-ulang; ia terlihat kebingungan harus berkata apa sebelum akhirnya
memulai pembicaraan baru, "Kau tahu Kang Seolguk, kan?" Chanyeol mengunyah daging, hampir
memutar mata karena harus dihadapkan dengan topik membosankan lagi, tapi lelaki itu seketika
berubah pikiran begitu mendengar berita lain keluar dari mulut Jinri: "Ia bilang ia menyukai
Baekhyun-oppa."

Chanyeol berhenti memotong steak, menengadah untuk menatap Jinri datar. "Apa?"

Jinri malah terkikik, sejenak menaruh garpu dan pisau ke piring sambil menggerakkan
tangan. "Silly, isn't he?" ia berujar menggunakan bahasa Inggris yang fasih, "Seolguk berniat
mengajak kakakmu ke pesta tahun baru."

Chanyeol kemudian terdiam untuk mengingat-ingat siapa lelaki ini. Kang Seolguk. Seseorang
tinggi dengan wajah sangat tampan yang digemari banyak gadis; Seolguk tidak termasuk jajaran
preman sekolah, tapi Chanyeol mengenalnya karena mereka pernah berbincang-bincang di pesta
tahun baru kemarin. Tidak diragukan lagi ia adalah seorang playboy, dilihat dari betapa mudahnya
ia mengencani kakak kelas dan sering berganti pacar.

"Hyung akan pergi dengan Jongin," Chanyeol tidak tahu dari mana kebohongan itu berasal, namun
ia dapat membayangkan omelan sang sahabat ketika lelaki itu kelak memaksanya untuk menemani
Baekhyun ke pesta tahun baru. Bagaimanapun juga Jongin telah menyewa satu komputer
di internet café untuk bermain game online di hari yang sama. "Mereka… baru memberitahuku
minggu lalu."

Jinri mengangguk lambat. "Oh… sayang sekali," gadis cantik itu lalu menatap Chanyeol malu-
malu. "Um, kalau kau sendiri? Apa sudah punya pasangan?"
Chanyeol mengetahui apa maksud tatapan tersebut, dan ia pun memandang Jinri datar sebelum
bertanya santai, "Apa kau mau menjadi pasanganku?"

Mata Jinri sempat melebar mendengar ketegasan Chanyeol; ia pun mengangguk berkali-kali
sambil tertawa lepas. "Kau jujur sekali," ia tersenyum ke direksi lelaki itu. "Tentu saja, Chanyeol-
ah. Pergilah denganku."

Jinri mungkin tidak termasuk seorang gadis yang menjengkelkan, tapi perasaan muak tetap saja
menyelubungi lelaki itu tiap ia dihadapkan dengan lawan jenis—teringat akan beberapa hal bodoh
yang ingin ia tertawakan.

Chanyeol bukan tuli untuk tidak mendengar segala gosip miring tentangnya di sekolah. Ada yang
bilang bahwa ia sering meniduri gadis-gadis lebih tua di universitas, bahkan menyewa pelacur
untuk "dipakai" ramai-ramai bersama Jongin. Ada yang bilang bahwa ia pernah berhubungan
seksual dengan ketua OSIS tahun kemarin (alias mantan kekasih lelaki itu) di ruang kelas X-1.
Ada juga yang beranggapan bahwa Chanyeol adalah pengguna aktif narkoba, sering kelayapan di
klub-klub malam untuk mabuk-mabukan sampai pagi.

(Lucunya tak ada yang berani membuat isu tentang aktivitas merokok lelaki itu; itu pun karena
semua orang tahu bahwa Chanyeol memang tidak merokok—terbukti dari bau nafasnya yang
normal dan bibirnya yang tidak hitam.)

Apa yang membuat Chanyeol tertawa adalah mereka benar-benar memercayai gosip-gosip palsu
tersebut.

Bukankah konyol kalau mereka menyebut Jongin "bajingan" meski si bodoh hanyalah seorang
remaja biasa yang benci bau rokok dan terobsesi bermain game online? Bukankah tolol kalau
mereka memandang Chanyeol sebelah mata gara-gara berita-berita miring tadi? Sering keluar
malam untuk terlibat tawuran bukan berarti mereka sudah "rusak" seperti anggapan banyak orang.
Chanyeol dan Jongin tahu pada batas mana mereka harus berhenti, dan mereka tidak berniat untuk
membunuh diri sendiri dengan terus bertindak di luar aturan.

Itulah mengapa Chanyeol sejujurnya kurang suka melihat Baekhyun bergaul dengan Sehun.

Ia sudah cukup mengenal sang adik kelas untuk mengetahui bahwa Sehun termasuk dalam
beberapa siswa yang hobi menyebarkan berita-berita palsu. Chanyeol tidak mau pikiran Baekhyun
teracuni oleh omong kosong Sehun, terlebih jika sang adik kelas mungkin telanjur mendengar
tentang ia dan Jinri. Bagaimana kalau Baekhyun menganggap bahwa ia sering meniduri Jinri?
Chanyeol tidak mau namanya semakin hancur di hadapan sang kakak—meski Baekhyun sendiri
selalu tampak biasa-biasa saja.

Terkadang lelaki itu bertanya-tanya jika Baekhyun peduli. Adakah alasan yang menahan sang
kakak hingga ia tidak pernah bertanya. Hal apa yang menyebabkan Baekhyun untuk terus berpura-
pura tuli mendengar semua berita miring tentangnya. Chanyeol menginginkan Baekhyun untuk
jujur; setidaknya dengan begitu ia dapat meluruskan banyak hal yang sekiranya negatif bagi sang
kakak.
Tetapi Baekhyun tetap menanggapi segalanya santai, justru terlihat seperti malas untuk ambil
pusing. Ia tidak bertanya; ia tidak mencari tahu. Bahkan setelah sang kakak terang-terangan
memberitahu lelaki itu bahwa ia sudah mengetahui hubungannya dengan Jinri.

"Aku tidak akan membunuhmu jika kau berpacaran, okay! Aku adalah kakak suportif."

Chanyeol memaksakan sebuah senyum kecut; ini bukanlah respons yang ia harap dengar dari
Baekhyun—apa lagi seusai mereka menghabiskan waktu manis bersama di luar villa. Alih-alih
menolak, sang kakak justru mendukung "hubungan" mereka—tampak antusias dari cara ia
menendang kaki Chanyeol seraya tersenyum main-main. Padahal sang adik sebelumnya tidak
pernah membahas tentang Jinri, bahkan menjelaskan padanya bahwa mereka tidak berpacaran;
bahwa ia tidak menyimpan perasaan untuk gadis itu. Lalu kenapa Baekhyun malah merestui
mereka seperti ini?

Lelaki itu lantas merangkul bahu Baekhyun erat, menutupi kekecewaan dengan menyeret sang
kakak menuju kafetaria villa—berniat menghilangkan tensi kaku di antara mereka beberapa menit
lalu.

Bodoh, Chanyeol menertawai dirinya sendiri dalam hati. Tentu saja Baekhyun tidak peduli apa
hubungan ia dan Jinri yang sebenarnya. Chanyeol bisa saja mengencani sepuluh model cantik
sekaligus, dan sang kakak tetap akan mendukung apapun pilihannya.

Karena berbeda dengan lelaki itu, Baekhyun tidak mungkin jatuh cinta pada saudara kandungnya
sendiri untuk mengetahui seperti apakah perasaan cemburu.

Chanyeol melakukan kesalahan lagi. Kesalahan yang akan membawa keduanya pada awal mereka
dahulu.

Lelaki itu telah melebur dalam perasaan hingga ia menjadi panik saat Baekhyun melepas dekapan
mereka, secara tiba-tiba melenyapkan kehangatan yang tadi melingkupi sang adik. Tak ada hal
lain yang menyelubungi kepala Chanyeol kecuali menginginkan Baekhyun kembali di sana, tanpa
sadar menarik sang kakak untuk menyatukan bibir mereka—meluapkan kata-kata tidak terucap
yang ia pendam sejak lama. Ini terjadi di luar kontrol; Chanyeol sama sekali tidak berpikir untuk
melewati batas yang ada. Sang adik tahu benar hubungan apa yang mereka miliki, dan ia tidak
pernah berencana untuk meminta lebih.

Namun semua sudah terlambat, dan sekarang Baekhyun berlari menjauhinya.


Tentu saja suatu saat ia akan melarikan diri dari seorang monster seperti Chanyeol.

Baekhyun tidak menoleh ke belakang, dan terdapat sebuah ekspresi jijik di wajahnya
ketika hazel mereka bertemu. Ia menepis tangan Chanyeol saat lelaki itu berusaha menggapainya,
mengabaikan mata berkaca-kaca sang adik untuk mengambil langkah lebih jauh. Chanyeol hanya
terdiam, tak mampu berkata-kata lagi karena ia benci melihat bagaimana Baekhyun mulai bergerak
meninggalkannya—membawa lelaki itu pada masa lalu pahit yang ingin ia hapus dari kepalanya.
Chanyeol teringat akan bagaimana hampa perasaannya ketika ia kembali ke kamar, menatap datar
persiapan pesta kejutan yang semua orang (termasuk Baekhyun) sediakan baginya—menutup
pintu tanpa mengucapkan apa-apa.

"Jika itu yang kau mau, aku akan menurutinya."

Chanyeol mengatakan itu untuk melindungi dirinya sendiri dari ungkapan tajam sang kakak;
menutup telinga dari kenyataan bahwa Baekhyun menganggapnya menjijikkan. Sesuatu dalam
dada lelaki itu terasa ditekan, meremas jantungnya secara kejam hingga membekukan mulutnya
untuk berbicara. Lelaki itu membenci betapa lemah dirinya di hadapan Baekhyun; membenci
kenapa ia tidak mempunyai keberanian untuk membalas kata-kata sang kakak sama menyakitkan.
Ia lelah menghadapi perdebatan mereka yang tak pernah menemui titik akhir, berdoa bahwa ia bisa
memutar waktu untuk memperbaiki masa lalu dan kembali pada hubungan mereka yang semula.

Apabila ini adalah mimpi buruk, lelaki itu harap seseorang akan segera membangunkannya.

"Kalian masih bertengkar?"

Pertanyaan Jongin menyeret Chanyeol kepada realita; lelaki itu pun menengadah seraya
menggeleng kecil. "Biasa saja," bualnya, memandangi Jongin yang melakukan dribble lama lalu
melempar sempurna bola ke dalam ring. Ia tersenyum tipis, bangkit dari tanah untuk menemani
sang sahabat bermain basket—mencuri bola dari tangan Jongin untuk dilempar ke semak-semak.
"Lemparan yang bagus."

Jongin menyipitkan mata ke arah Chanyeol. "Liar liar pants on fire," ia berkata, menggerak-
gerakkan jari di depan wajah lelaki itu. Chanyeol memegang jari tersebut dan sengaja memutarnya
ke samping untuk menyakiti sang teman. "Aw!" protes Jongin, bergantian mengangkat kaki guna
menendang selangkangan Chanyeol—meskipun lelaki itu cepat menghindar. Ia mendengus kesal,
berlari untuk merangkul bahu Chanyeol sekaligus mencekik. "Ayolah, kawan!" serunya,
menggoyang tubuh mereka bersama. "Brother goals dilarang bertengkar lama-lama. Kurang baik
bagi media massa."

Chanyeol tertawa karena kata-kata Jongin persis seperti apa yang Baekhyun katakan tiap keduanya
melihat hasil selca mereka. "Brother goals apa?" ia bolak-balik menggelengkan kepala,
membungkuk untuk meraih tas yang terletak di pinggir lapangan. "Sudahlah, ayo pulang."

Lelaki itu hendak berjalan untuk mengambil bola ketika Jongin memegang lengannya.

"Bisakah kau berhenti mengalah?"


Chanyeol menoleh ke belakang, alis mengernyit karena bingung mendengar pernyataan tiba-tiba
tersebut. Jongin menghela nafas panjang. "Yeol," sang teman menatap Chanyeol serius. "Sampai
berapa lama kau akan mengalah dengan Baekhyun-hyung?" bibir Jongin sedikit melengkung ke
bawah saat ia meneruskan, "Ia sudah menginjak-injakmu seperti ini—" belum sempat Chanyeol
membuka mulut untuk menyangkal, Jongin langsung memotong kasar: "—jangan membelanya.
Aku bahkan tidak yakin ia pantas disebut kakakmu melihat dari bagaimana ia memperlakukanmu."

Chanyeol mengepalkan tangan. "Jongin, kami baik-baik saja."

"Oh ya?" Jongin ikut terpancing amarah menyaksikan Chanyeol yang memberinya tatapan geram
tertahan. "Lantas jelaskan padaku kenapa kalian dahulu saling berpura-pura tidak kenal?" lelaki
itu tidak menjawab, dan Jongin menyeringai masam. "Aku yakin ada alasan kenapa kau
menyuruh hyung untuk melakukan itu. Aku tidak bercanda, Yeol. Aku benci melihatmu
diperlakukan sewenang-wenang oleh kakakmu… masa bodoh jika ia adalah 'precious
brother' yang baru kembali setelah bertahun-tahun menghilang!"

Tensi di antara mereka semakin panas, dan Chanyeol menelan ludah, berusaha untuk tak terbawa
suasana. Jongin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka; wajar jika ia menyambung-
nyambungkan pertengkaran mereka sekarang dengan masa lalu yang jelas tidak mempunyai
hubungan apa-apa. Ekspresi lelaki itu melembut; ia membiarkan bola tadi bersembunyi di balik
semak-semak dan membalikkan tubuh membelakangi Jongin. "Aku tidak mau kita bertengkar
gara-gara ini," ia berbicara lantang tanpa menatap Jongin. "Sampai jumpa besok."

KATALK!

Chanyeol baru memasuki mobil saat ponselnya berdering berkali-kali, menampilkan


beberapa preview pesan dari Jongin.

K. Jongin: Maaf kalau aku terkesan kasar [18:10]

K. Jongin: Tapi aku serius mengenai apa yang kukatakan tadi [18:10]

K. Jongin: Bukankah aneh jika seorang adik mengalah dengan kakaknya? [18:11]

Lelaki itu tersenyum miring.

Jongin tidak tahu bahwa mengalah adalah satu-satunya hal yang Chanyeol dapat lakukan untuk
menebus akibat dari perbuatannya sendiri.

.
Pesta tahun baru akan dimulai dalam tiga jam ke depan.

Chanyeol memandang refleksi diri sendiri di kamar mandi, tidak seberapa terkesan oleh cat perak
mencolok yang kini menguasai rambutnya. Beruntung ini bukan permanen; lelaki itu pasti harus
menanggung malu karena ditatap aneh semua murid, belum lagi mendapat ejekan khas dari Jongin.
Ia lalu menyalakan keran, membasuhi tangan dengan air selama beberapa detik sembari
melamun—penasaran jikalau Baekhyun masih tertidur. Mereka belum bertemu sama sekali
seharian, dan Chanyeol tidak makan pagi bersama sang kakak karena terpaksa menemani Jinri
(sekaligus mengecat rambut) di salon.

Mengumpulkan keberanian untuk menghampiri Baekhyun, lelaki itu pun berjalan keluar dari
ruangan guna ragu-ragu mengetuk pintu kamar sang kakak. "Baekhyun?" ia memanggil canggung,
"Kau di sana?"

Terdapat bunyi asing akan lagu ballad berbahasa Inggris dari dalam. "Ada apa, Chanyeol?"

Chanyeol berdeham. "Tidak," ia setengah meringis akan betapa sengau suaranya terdengar,
"Aku—ah, maksudku, apa kau sudah tahu akan berangkat dengan siapa? Kalau kau mau, kita bisa
berangkat bersama."

Ini canggung; semua ini terlalu canggung. Baekhyun bahkan tidak membuka pintu untuk berbicara
langsung, dan Chanyeol membenci pembatas yang sekarang memisahkan mereka. Sebulan yang
lalu Chanyeol tidak perlu mengetuk untuk memasuki kamar Baekhyun. Sebulan yang lalu ia tidak
harus kesulitan mencari kata-kata formal demi berbincang-bincang dengan sang kakak. Sebulan
yang lalu mereka tidak bersikap kaku seperti ini ke satu sama lain.

"Jongin akan menjemputku," sebuah jeda agak lama, dan Chanyeol tetap menunggu di depan
kamar Baekhyun. "Terima kasih atas tawaranmu."

Ia ditolak. Tentu saja ia akan ditolak. Kenapa Chanyeol begitu bodoh untuk bertanya?

Lelaki itu membasahi bibir, mengangguk-angguk sendiri meski ia tahu Baekhyun tidak mungkin
melihatnya. "Baiklah. Sampai jumpa di sana."

Sejumlah anggota tim The Caspians bersiul menggoda menyaksikan Chanyeol dan Jinri memasuki
klub, tangan gadis itu memegang erat lengan sang kapten basket sekolah. Benar saja dugaan
Chanyeol: semua orang seketika menoleh untuk memandang pangling lelaki itu akibat rambut
barunya, beberapa bahkan menghampiri guna sekadar memuji (rata-rata respons positif,
berbanding terbalik dengan apa yang lelaki itu bayangkan—meskipun ia pribadi tidak menyukai
betapa mencolok warna perak terlihat). Chanyeol memasang wajah datar begitu murid-murid
sekolah tetangga mulai mendatangi keduanya untuk menanyakan kabar "hubungan" mereka,
menyeringai canggung kala melihat Jinri tertawa malu-malu menanggapi mereka. Lelaki itu
sejujurnya tidak mengerti dari sisi mana relasi biasa mereka bisa disebut sebuah "hubungan".

Jika dipikir-pikir, Chanyeol tidak mengerti kenapa Jinri tertarik padanya. Ia tahu bahwa Jinri
menyukainya sejak masa SMP; mereka ditempatkan dalam kelas yang sama, dan lelaki itu duduk
di belakangnya selama satu tahun. Meskipun ia terkenal cantik dan populer karena kemampuan
tari modern yang luar biasa, Chanyeol tahu gadis itu memperlakukan semua orang sama saja:
sangat ramah hingga kadang dianggap over-excited. Ia bukan tipe gadis yang Chanyeol benci
sehingga lelaki itu tidak keberatan untuk sesekali bertegur sapa dengan Jinri. Ia sering meminjam
peralatan tulis dari gadis itu, dan kadang mereka tergabung dalam satu kelompok untuk
mengerjakan tugas bahasa Inggris. Memang Chanyeol memperlakukan Jinri berbeda dari gadis
lain; hal itu pun disebabkan karena ia menganggap Jinri sebagai teman yang baik.

Namun tampaknya sikap ramah Chanyeol ditangkap sebagai sinyal lain oleh gadis itu. Jinri terus
mengirim pesan setiap hari, memulai percakapan meskipun tidak ada hal yang dapat mereka
perbincangkan setelah berpisah sekolah. Ia sering menelepon Chanyeol, mengajaknya makan
bersama di suatu restoran, dan lelaki itu akan menolak secara halus, memberi seribu alasan palsu
yang sering terdengar konyol. Chanyeol bisa saja langsung menyuruh Jinri untuk tidak
menghubunginya lagi, tapi mereka sudah cukup berteman baik sejak tiga tahun lalu. Chanyeol
tidak tega menyakiti gadis itu, walaupun sebenarnya ia heran kenapa Jinri masih tetap
menyukainya di tengah ketidakpastian "hubungan" mereka.

"Chanyeol, tidakkah kau pikir Baekhyun-oppa dan Seolguk akan menjadi pasangan yang serasi?"

Mereka baru saja bertegur sapa dengan Baekhyun beberapa menit lalu, dan kini keduanya terduduk
di sofa dekat lantai dansa—mata sama-sama ditujukan pada figur sang kakak yang tampak mungil
dari jauh. Baekhyun terlihat sangat menarik malam ini; Chanyeol bahkan kesulitan mengatur nafas
saat tadi mengajaknya bicara. Lelaki itu menoleh datar ke arah Jinri. "Mungkin," ia merespons
tenang; dalam hati pun ia tahu ia tidak sudi membayangkan Seolguk dan Baekhyun sebagai
pasangan yang serasi.

Wajah Jinri menyala akan semangat, mata gadis itu mendelik ketika ia menatap Chanyeol.
"Haruskah kita mengenalkan mereka?" Pandangan lelaki itu sekilas agak buram, dan Chanyeol
menggelengkan kepala, mengerjapkan mata berkali-kali sambil sekali lagi meneguk setengah
gelas vodka—menuai protes keras dari Jinri. "Hey, berhenti minum! Kau akan mabuk nanti."

Air muka lelaki itu datar. "Aku sudah agak mabuk," Chanyeol segera menepis tangan Jinri saat
gadis itu hendak mengusap rambutnya, menimbulkan suasana canggung di tengah mereka—suara
teriak serta putaran lagu remix tidak membantu apa-apa untuk meringankan. "Jangan sentuh
rambutku. Aku tidak suka." Karena kau bukan Baekhyun, Chanyeol menambahkan dalam kepala,
agak merasa bersalah melihat ekspresi Jinri yang meredup drastis. Lelaki itu pun terbatuk-batuk,
menggerakkan bola mata ke sekitar lantai dansa sambil berkata, "Bukankah kau mau ke toilet?"

Chanyeol tidak tahu pasti apa yang merasuki keduanya untuk bercumbu di lorong sepi nantinya;
mungkin Jinri yang mengambil kesempatan atau ia yang agak mabuk sampai mudah terbuai. Gadis
itu tidak benar-benar ke toilet, sebaliknya menjinjit guna melibatkan bibir mereka dalam ciuman
yang panas. Chanyeol sejenak termenung, sama sekali tidak terpengaruh oleh kecapan bibir Jinri,
meski ia lalu mendorongnya ke dinding dan membalas lumatan Jinri sama kasar—masing-masing
tangan menahan gadis itu dari bergerak. Tidak ada sesuatu spesial; jantung lelaki itu berdebar
normal, dan darahnya tidak berdesir sebagaimana ia bersama Baekhyun. Lelaki itu hanya
menciumi Jinri untuk melampiaskan perasaan hampa biasa, menghilangkan kekosongan yang
akhir-akhir ini memerangkap lelaki itu dalam kesepian.

Suara langkah kaki tergesa-gesa yang serentak serta kicauan ramai lantas menyadarkan Chanyeol
dari kesibukan mereka. Ia langsung menghentikan kontak bibir keduanya, masing-masing menatap
satu sama lain sayu—pandangan lelaki itu semakin buram karena migrain yang menyerang. Wajah
Jinri memerah di tengah udara dingin, dan mereka sama-sama terdiam untuk menunggu pernafasan
kembali teratur. Detik itulah pembicaraan beberapa murid di balik dinding memasuki pendengaran
keduanya.

"Yah, ada apa? Aku malas ke tempat parkir."

"Kau tahu, Seolguk. Ia mabuk berat dan berulah."

Chanyeol menelan liur, tatapan kosong pada lantai dengan pergelangan tangan yang dipegang oleh
Jinri—terlalu lelah untuk memperhatikan.

"Jangan bilang ia mencium Jaelim lagi?"

"Bukan! Ini bahkan lebih buruk. Ia mencium kakaknya Park Chanyeol! Aku lupa siapa namanya—
"

Chanyeol seketika menengadah, menangkap delikan tercengang Jinri padanya di waktu


bersamaan. Ia segera melepas genggaman Jinri, terburu-buru berlari meninggalkan gadis itu—
mengabaikan sejumlah panggilan yang Jinri serukan untuk menyuruhnya tenang. Jantung lelaki
itu berdebar penuh ketakutan; ia menggertakkan gigi, menyalah-nyalahi diri sendiri atas
keteledorannya untuk membiarkan Baekhyun bersama Sehun—mengizinkan sang kakak hadir
dalam pesta seperti ini. Iblis telah menguasai pikiran lelaki itu ketika ia melihat Seolguk terkapar
di tanah, wajah telanjur babak belur oleh pukulan Jongin dan Joohyuk—api seperti menyulut
amarah lelaki itu untuk semakin berkobar kala ia memandang Seolguk tersenyum menahan sakit.
Chanyeol menutup telinga dari seruan Jongin untuk berhenti, menendang dan memukuli kasar
sekujur tubuh Seolguk, mengeroyokinya secara sadis hingga orang-orang tidak berani berbuat apa-
apa.

Lelaki itu ingin menghancurkan siapa saja yang menyakiti Baekhyun.

"Aku menyerah."
Tapi Chanyeol tahu ia tidak akan benar-benar menyerah.

Lelaki itu masih memantau Baekhyun dari jauh, kadang berbagi pesan dengan Sehun untuk
sekadar menanyakan keberadaan sang kakak—ingin memastikan apakah ia baik-baik saja dan ke
mana ia menginap. Mereka semakin jarang bertemu; Baekhyun bersiap-siap pagi-pagi sekali untuk
pergi ke sekolah, sengaja membawa bekal sarapan pagi agar tidak perlu bertatap muka dengan
Chanyeol di meja makan. Hubungan mereka yang awalnya sempat membaik telah memburuk lagi
sejak malam pesta tahun baru, bahkan sulit untuk diperbaiki karena tindakan depresi lelaki itu yang
mencium paksa Baekhyun. Sang adik mulai dihadapkan pada keputusasaan yang sama, perlahan
memperlakukan Baekhyun secara dingin karena tidak tahu lagi bagaimana harus membenahi
semuanya.

"Chanyeol-hakseng!"

Lelaki itu serontak menoleh ke sumber suara, mata datar mengikuti cara jalan Kawamaru-
sensei yang menghampirinya—punggung agak bungkuk dan mata agak sayu. "Tolong temui Oh-
seonsaeng di ruang kepala sekolah."

Chanyeol mengangguk, bertanya-tanya pelanggaran apa yang kali ini ia perbuat sampai seorang
kepala sekolah memanggilnya di siang bolong begini. Padahal baru dua minggu yang lalu ia
menyelesaikan masa diskors di sebuah panti asuhan; persyaratan apa lagi yang perlu ia lakukan
untuk keluar dari masalah kemarin? Mungkinkah Seolguk tiba-tiba menuntutnya karena
kekurangan uang? Kalau sampai itu terjadi, Chanyeol tidak keberatan untuk menjalani masa
diskors lagi gara-gara mengeroyoki Seolguk lebih parah. Lagi pula ia menyukai suasana panti
asuhan kemarin; setidaknya anak-anak kecil di sana bisa menghiburnya ketimbang berada di
sekolah.

Belum sempat lelaki itu mengetuk pintu, Oh-seonsaeng telah terlebih dahulu mendongak—
menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa lelaki itu diperbolehkan masuk. Menegakkan tubuh,
Chanyeol berjalan tenang memasuki ruangan sebelum mendudukkan diri pada kursi di depan
bapak tua tersebut. Oh-seonsaeng tidak menatap Chanyeol saat ia menyerahkan sebuah amplop
putih panjang. "Serahkan ini pada kakakmu. Sangat penting, jangan sampai hilang."

Apa Baekhyun terkena masalah? Chanyeol hendak menyuarakan protes sampai akhirnya ia
melihat logo besar "University of Tokyo" pada tengah-tengah surat, tulisan "Byun
Baekhyun" tercetak tebal sempurna di bawahnya. Ia mengedipkan mata bingung, tangan sedikit
gemetaran memegang surat tersebut—jantung berdebar-debar yang menyebabkan dadanya seperti
ditindih. Lelaki itu tidak mempunyai firasat baik mengenai ini, terperangkap dalam lamunan
hingga tidak mendengar instruksi Oh-seonsaeng untuk kembali ke kelas. "Hyung…" ia memulai,
masih memandangi surat tersebut. "…mendapat beasiswa di Universitas Tokyo?"

Oh-seonsaeng menatap Chanyeol tanpa ekspresi. "Apakah ia tidak memberitahumu?" sang kepala
sekolah menghela nafas panjang ketika lelaki itu tidak menjawab, mengalihkan pandangan ke layar
komputer untuk mengetik cepat lagi. "Ia sudah diterima, tapi akan mengambil tes tambahan untuk
mengambil jurusan kedokteran."
Sejenak Chanyeol teringat akan malam di mana ayah menyuruh Baekhyun untuk menggantikan
beliau ke rapat masalah Seolguk. Kala itu sang kakak menggenggam sebuah surat dengan bentuk
persis seperti ini, dan ia terlihat panik saat Chanyeol tidak sengaja menatapnya. Lelaki itu diam-
diam menyeringai pahit, membayangkan betapa bahagia sang kakak menerima surat itu—mungkin
ia sudah tidak sabar untuk meninggalkan mereka semua. Mungkin ia sudah muak untuk
menghindari Chanyeol dan ingin cepat pergi ke luar negeri guna memulai hidup baru—
menganggap mereka seperti angin lalu yang tidak layak diingat.

Meski begitu, lelaki itu terus menyakiti dirinya sendiri dengan berkata lagi: "Ah, tidak," suaranya
tiba-tiba menjadi sengau, air mata sedikit mengintip dari balik hazel yang menampakkan ekspresi
datar. "Apa Baekhyun-hyung sudah memberikan data-datanya?" tanyanya pelan, terbatuk untuk
meringankan serak di tenggorokan, "Maksud saya, sebagai konfirmasi bahwa ia menerima
beasiswa Universitas Tokyo."

Oh-seonsaeng tidak menoleh dari layar komputer. "Kalau belum, mana mungkin saya akan
memberikanmu amplop itu?" jawabnya ketus, melirik tegas ke arah lelaki itu. "Kembalilah ke
kelas sekarang sebelum saya menyuruhmu lari keliling lapangan seratus kali."

Chanyeol berdiri lalu membungkuk kecil, segera meninggalkan ruangan seperti apa yang Oh-
seonsaeng perintahkan. Wajah lelaki itu tidak menampilkan ekspresi apa-apa, namun setitik air
mata tiba-tiba jatuh mengenai bibirnya—menyadarkan lelaki itu bahwa ia sedang menangis.
Chanyeol menyeringai kecut, setengah meremas surat tersebut seraya mengambil langkah lambat
menuju kamar mandi lantai tiga, mengunci pintu begitu ia berada di dalam dan sejenak melamun
untuk bersatu dengan keheningan. Lelaki itu lantas menundukkan kepala, bahu mulai bergetar
karena menahan nyeri yang berlebihan pada dadanya—banyaknya air mata yang hambur dalam
sekali kerjap menyebabkan sang adik untuk kesulitan meraih oksigen.

"Aku harap kita tidak akan berpisah."

Pembohong.

"Aku membutuhkanmu."

Chanyeol menggigit bibir, nafas tersengal-sengal hebat hingga ia meremas celananya untuk
melampiaskan sesak yang menyakitkan itu.

Baekhyun akan meninggalkannya lagi untuk yang kedua kali.

Chapter 16: Return of the Dandelion

Angin kencang tampak menyerang sebagian kota Daejeon, berhembus kasar pada pepohonan di
pinggir jalan untuk menjatuhkan banyak helai daun ke mana-mana. Baekhyun mengamati keadaan
luar dari balik jendela bus, kepala tersandar di sana bersama earphones yang menyumpal masing-
masing telinga—sesekali menggerakkan jemari mengikuti ketukan Lim Kim lewat komposisi No
More. Sebuah pemberitahuan otomatis dari speaker kemudian berbunyi, mengumumkan bahwa
lima menit lagi mereka akan melakukan pemberhentian di terminal Daejeon, dan ia pun
melepas earphones, menaruh mereka rapi dalam saku sebelum bersiap-siap berdiri seperti
sejumlah penumpang lain. Baekhyun tidak menyangka bahwa ia akan segera dihadapkan oleh
sosok baru Kim Jongdae begitu ia keluar dari bus.

"B-nim!"

Baekhyun menganga lebar, mata mendelik kagum pada rambut blonde mencolok sang sahabat dari
jauh—melambai-lambaikan tangan tidak kalah antusias. "Jongdae-ya!" ia tidak memedulikan
posisi syal yang nyaris lepas, justru berlari menembus lautan manusia untuk merangkul Jongdae—
keduanya langsung melompat-lompat di tengah keramaian layaknya sepasang anak kecil. Kompak
melepas pelukan, Baekhyun lantas mengangkat tangan guna menjambak rambut si kepala blonde.
"Ini apa? Kupikir kau adalah seorang bintang K-pop."

Jongdae malah tersenyum bangga. "Hush," ia mengarahkan pandangan ke arah pintu keluar,
menepuk bahu Baekhyun dua kali. "Ayo pergi dari sini sebelum kita ketinggalan bus."

Rasanya lama sekali sejak mereka berbincang-bincang langsung tanpa terpisah oleh jarak dan
koneksi internet. Baekhyun pikir ia sungguh merindukan suasana familier ini: kepala tersandar
pada jendela sembari mendengarkan seksama berita tentang kawan lama melalui mulut besar
Jongdae. Mereka selalu pulang bersama dahulu, sang sahabat akan mengajak keduanya makan
ramen lalu belajar di apartemen Baekhyun sampai tengah malam. Jongdae sering menginap untuk
menemani Baekhyun; si bintang hallyu palsu itu mungkin hafal betul di mana letak panci maupun
bumbu dapur akibat terbiasa membantunya memasak.

Percaya atau tidak, empat bulan sudah berlalu sejak kepindahan Baekhyun ke Seoul. Janji
keduanya untuk berkuliah di kota yang sama hancur karena Baekhyun akan berkuliah ke Jepang,
sedangkan Jongdae telanjur diterima di jurusan Sejarah Universitas Yonsei. Padahal mereka
dahulu tidak sabar menantikan ini: cepat-cepat lulus SMA demi bersama-sama menghadapi
kehidupan universitas—melakukan segalanya berdua sebagai bentuk persahabatan yang hakiki
("Baekhyun, what the fuck?" komentar Jongdae sambil memutar mata angkuh). Si
kepala blonde itu sempat berpura-pura marah, sengaja mengabaikan spamBaekhyun
di KakaoTalk guna mengungkapkan "kekesalan" gara-gara ditinggal sang sahabat ke luar negeri.
Meskipun Jongdae tidak benar-benar marah, Baekhyun tetap saja merasa bersalah karena gagal
menepati janji mereka.

"Menginaplah di rumah kami," Baekhyun menyarankan, sedikit menyenggol lengan Jongdae


santai. Sang sahabat baru saja menceritakan petualangannya di Seoul minggu lalu: mengunjungi
berbagai persewaan apartemen guna mencari tempat tinggal dalam beberapa tahun ke depan—
uang semakin tergerus karena bolak-balik menginap di hotel. "Mengurus berkas-berkas universitas
terkadang memakan waktu cukup lama. Simpan uangmu untuk sesuatu yang lebih berguna
ketimbang berlangganan kamar hotel."
Jongdae mendelikkan mata untuk berlagak ketakutan, setengah menggigiti jari dalam rangka
mendalami akting gagalnya. "Bagaimana dengan Chanyeol?" tantang si bintang hallyu gadungan,
menggerak-gerakkan alis menjijikkan. Baekhyun mengerutkan wajah seperti ingin muntah. "Aku
tidak siap mengorbankan nyawaku demi menginap di rumah kalian."

Baekhyun terkikik mendengar respons konyol Jongdae, menggeleng-gelengkan kepala singkat.


"Apa maksudmu?" ia mengangkat tangan untuk menyentil dahi sang sahabat. "Chanyeol tidak
sekejam yang kau pikirkan. Mana mungkin ia akan 'menerkam' teman-temanku?"

Jongdae seketika menyeringai jahil; ia melirik Baekhyun curiga selama beberapa detik sebelum
berujar, "Berminggu-minggu jarang mengobrol, dan aku langsung tertinggal berita bahwa kalian
sudah dekat."

Baekhyun tertawa lagi, kali ini lebih pelan dan apa adanya. "Hm," ia menaikkan masing-masing
alis, tersenyum rahasia dalam cara janggal yang Jongdae tidak sadari. "Ia adalah adikku, tentu saja
kami menjadi dekat."

Jongdae menghembuskan nafas panjang, menampilkan sebuah tatapan lega yang tulus—si
bintang hallyu gadungan tampak senang untuk mengetahui perkembangan pesat hubungan
mereka. "Syukurlah," sang sahabat lantas tersenyum kecil. "Ia adalah satu-satunya saudara yang
kau miliki," seringai Baekhyun perlahan sirna dari wajahnya karena pandangan serius Jongdae.
"Kalian harus saling membantu satu sama lain. Apa pun yang terjadi, jangan pernah sia-siakan
Chanyeol lagi."

Peringatan Jongdae terdengar seperti teguran yang menyakitkan, sesuatu yang membawa
Baekhyun pada ingatan akan masa lalu pahit mereka. Sang kakak tidak bisa membayangkan
bagaimana rasanya berada di posisi Chanyeol: lelaki itu mengharapkan perhatian, namun
Baekhyun terlalu bodoh untuk tidak menyadarinya. Sebagai satu-satunya kakak yang Chanyeol
miliki, Baekhyun malah mengusahakan segala cara demi menyia-nyiakan lelaki itu. Sang kakak
terjebak dalam dendam masa lalu; ia terbuai oleh anggapan bahwa Chanyeol adalah seseorang
yang telah merebut kasih sayang ayah mereka. Baekhyun memang tidak pernah secara blak-blakan
memberitahu Jongdae tentang ini, tetapi sang sahabat mungkin terlebih dahulu mengetahui bahwa
rasa cemburu adalah alasan di balik kebencian Baekhyun terhadap Chanyeol.

"Asal kau tahu saja," Jongdae meneruskan, sekilas menoleh untuk menatap ke luar jendela.
"Dilahirkan sebagai anak tunggal bukanlah sesuatu yang menyenangkan," ia mengambil sedikit
jeda untuk bernafas tenang, bola mata tiba-tiba memancarkan sendu. "Kau selalu takut pada masa
depan karena kau tidak punya siapa-siapa selain orang tuamu." Baekhyun lantas mengulurkan
tangan guna menepuk-nepuk lengan Jongdae, dan ia kembali berbicara, "Sedangkan kau? Aku
yakin kau tidak perlu khawatir karena kau masih mempunyai Chanyeol."

Jongdae menghadap ke direksi Baekhyun untuk berlagak menatapnya garang. "Percayalah, dahulu
aku sering memendam kesal karena kau tidak menghargai adik seperti Chanyeol," laki-laki itu
kemudian meletakkan masing-masing tangan pada bahu Baekhyun. "Begini, B-nim," Jongdae
memulai, "Tolong berhenti memberitahuku tentang segala kebiasaan buruk adikmu. Meskipun kita
berteman dekat, aku tidak mengharapkanmu untuk bebas membeberkan rahasia saudaramu
kepadaku." Baekhyun tersenyum melihat pandangan sungguh-sungguh sang sahabat. "Ingat,
hanya beritahu yang positif dan sembunyikan yang negatif."

Mengangguk-angguk patuh, Baekhyun lantas menghela nafas pendek. "Yep," ia membungkuk


kecil di depan Jongdae. "Aku mengerti, senpai."

Lokasi pemakaman terletak cukup dekat dari pemberhentian bus mereka, sebuah area sangat luas
dengan banyak pepohonan dan rumput-rumput hijau. Nisan-nisan berbentuk salib tampak
menjulang, beberapa bahkan sudah berlumut dan tertutupi oleh sekelebat tanaman liar. Abu-abu
gelap mengambil alih warna langit, menyembunyikan matahari dari bersinar—menyisakan angin
sepoi-sepoi untuk malah bergerak mengacaukan daun-daun di tanah. Walau cuaca tidak bisa
dikatakan sempurna, masih ditemui sedikit pengunjung di sini, masing-masing mengunjungi
makam untuk sekadar menyebarkan bunga ataupun berdoa singkat.

Mereka sama-sama berhenti di tengah jalan ketika Jongdae berkata, "B-nim, aku harus
mengunjungi makam temanku. Mari bertemu di gapura depan."

Baekhyun mengerutkan dahi. "Temanmu siapa?"

"Choi Minhee, temanku sewaktu SD," jawab Jongdae, perlahan mencondongkan tubuh untuk
berbisik, "Ia meninggal karena mengidap leukimia."

Baekhyun tambah mendelikkan mata. "Aku turut berduka cita," ia menoleh untuk menganga ke
arah Jongdae sebelum menganggukkan kepala kecil. "Baiklah kalau begitu. Aku akan menemuimu
nanti."

Makam ibu terlihat jauh lebih baik dibanding terakhir kali Baekhyun mengunjunginya: kondisi
terawat seperti rutin dibersihkan, rumput hijau tumbuh rapi pada tanah, serta nisan salib besar yang
berhiaskan bunga gantung. Ia tersenyum tipis, mengetahui bahwa ini adalah pekerjaan ayah—
tangan terulur untuk menyentuh tulisan bercetak tebal yang terbaca sebagai "Byun Eunkyung".
Foto lama ibu terpampang pada nisan: ia tengah tersenyum, rambut lurus sebahu bersama mata
lebar menyerupai milik Chanyeol yang tampak cerah sekalipun gambar berwarna hitam-putih. Air
mata perlahan berkumpul dari balik hazel Baekhyun; sang putra pun segera menunduk, pegangan
pada nisan mengerat seraya ia menatap hampa keranjang berisikan bunga.

"Ibu," Baekhyun mengawali, mengambil sejumlah bunga lalu menaburkan mereka ke sekitar
makam—bibir bergetar yang menyebabkan dirinya untuk tidak mampu berbicara, "Jangan
maafkan aku."

Air mata kemudian merembes melalui kelopak, tiba-tiba berjatuhan menuruni pipi guna bertengger
pada leher. Baekhyun semakin menundukkan kepala, melarikan diri dari pandangan akan foto ibu
yang lambat laun memburam oleh air mata. Ia menangis tersedu-sedu, isakan keras telah
menghancurkan usahanya untuk mengais nafas—dada naik turun dalam kecepatan yang tidak
stabil. Suara ratapan atas rasa bersalah mendengung di telinga Baekhyun; ia mengecap air mata
pada bibir, menelan mereka seperti pil pahit yang ia peroleh karena dosanya.
Bayangan akan ibu yang tidak sudi menatapnya menyesakkan dada Baekhyun; ia berlutut untuk
menangis lebih kencang, melampiaskan kesedihan sebab ia tahu bahwa ia telah mengecewakan
ibu. Baekhyun bahkan mengerti bahwa ia tidak sepantasnya berada di sini, mengunjungi ibu dalam
keadaan tubuh yang telah dipenuhi oleh jejak hubungan terlarang mereka. Ia telanjur memikul
banyak dosa, bertumpuk-tumpuk layaknya suatu beban untuk ditanggung seumur hidupnya.
Menangis meminta ampun di hadapan makam ibu pun tidak berguna apabila ia tidak bisa
menghancurkan perasaannya terhadap Chanyeol.

Semua sudah terlambat. Baekhyun tidak merasa durhaka untuk menemui ibu demi mengaku bahwa
ia bahagia dengan dosa yang mereka perbuat. Ia tidak merasa bersalah untuk mengatakan bahwa
ia tidak membutuhkan permintaan maaf ibu; ia tidak peduli jika ibu mungkin akan
memunggunginya sampai mereka kembali dipertemukan. Mencintai adik kandungnya sendiri
adalah dosa paling kotor yang seseorang akan perbuat, dan Baekhyun ingin memberitahu ibu
bahwa ia tidak menyesal untuk tenggelam dalam kesalahan tersebut.

Dosa tidak akan menjadi alasan bagi Baekhyun untuk meninggalkan kebahagiannya sendiri.

Sebuah tangan tiba-tiba menyentuh bahu Baekhyun dari belakang. Ia segera menengadah, mata
berarir yang mengamati bagaimana Jongdae ikut berlutut untuk menaburkan bunga—
menyebarkan mereka di sekitar makam ibu. Tangan sang sahabat turun guna memijat lengan
Baekhyun, dan mereka sejenak bersitatap demi berbagi sebuah senyum simpul. Jongdae lantas
menghembuskan nafas tenang, membalikkan pandangan pada nisan ibu. "Eomeoni," ia berkata
lembut, intonasi agak manja yang dahulu ia praktikkan pada ibu. "Baekhyun akan melanjutkan
studi ke salah satu universitas terbaik di dunia, bukankah ia sangat hebat?"

Baekhyun tertawa di sela isakan yang hendak mereda, menggeleng-gelengkan kepala sambil
memutar mata singkat.

Ia cukup sial untuk memiliki sahabat konyol seperti Jongdae.

CHAPTER 16

RETURN OF THE DANDELION

Ekspresi Chanyeol datar saat ia memasuki kamar mandi; lelaki itu terang-terangan memandangi
Baekhyun lewat kaca lebar di hadapan mereka, bersandar pada pintu dengan lengan saling
menyilang.

Sang kakak otomatis menaikkan alis terganggu. "Apa?"


Chanyeol masih menatap Baekhyun serius. "Kau pergi ke Daejeon dua hari yang lalu?" Ketika ia
malah mengangguk santai sambil menyalakan keran, lelaki itu mengerutkan kening. "Kenapa kau
tidak bilang apa-apa? Aku bisa menemanimu."

Baekhyun sekilas melirik Chanyeol untuk menampilkan rotasi mata yang menjadi trademark sang
kakak. "Jangan berlebihan," ia mencondongkan tubuh guna mengambil sikat gigi, mengoleskan
pasta putih ke atasnya. "Aku terbiasa berpergian sendiri."

Chanyeol menegakkan punggung, berjalan untuk mengisi spot kosong di sebelah Baekhyun—
atensi terpusat pada refleksi mereka masing-masing. Lelaki itu memandang wajah keduanya
seksama, mengamati fitur wajah mereka yang sejenak tampak berbeda namun sesungguhnya
identik. Baekhyun memiliki mata mungil warisan ayah, berbanding terbalik dengan manik lebar
Chanyeol yang merupakan ciri khas ibu. Hidung lelaki itu berukuran agak besar dari Baekhyun;
ia diberkati oleh sepasang bibir sedikit lebih tebal dari sang kakak—masing-masing terlihat
familier dalam cara mereka sendiri. Keduanya mempunyai bola mata hazel, suatu fitur yang
merancang wajah mereka untuk menyerupai satu sama lain—kepala berpayungkan rambut lurus
kecokelatan gelap.

Chanyeol mengedipkan mata kosong. "Kita... mirip."

Baekhyun mendengus main-main, membuang busa bekas kegiatan sikat gigi ke wastafel. Ia
kemudian menampa air pada telapak tangan untuk berkumur. "Tentu saja," sang kakak serontak
menyetujui, tersenyum hingga masing-masing matanya berubah menjadi bulan sabit. "Kau adalah
adikku."

Cahaya yang sempat hinggap pada wajah lelaki itu tiba-tiba sirna, dan Baekhyun seketika
terdiam—senyum perlahan retak untuk menunjukkan ekspresi bingung, mempertanyakan apa
yang salah dari perkataannya barusan. Sang adik memainkan jemari pada pegangan wastafel,
menghela nafas kasar sebelum berujar pelan, "Terkadang aku harap kita bukan saudara kandung."

Baekhyun berhenti membasuh tangan; ia menengadah untuk melihat hazel sendu lelaki itu kala
mereka bersitatap melalui kaca. "Kenapa?" sang kakak memasang air muka ceria, mencoba untuk
mencairkan suasana yang tiba-tiba kaku. "Aku justru senang mempunyai adik sepertimu." Ketika
Chanyeol mengernyitkan alis penuh tanda tanya, Baekhyun menjawab lelaki itu dengan berkata:
"Tidakkah kau pikir ada alasan kenapa kita dilahirkan sebagai saudara kandung?"

Mengetahui bahwa Chanyeol telanjur diliputi kebingungan untuk tidak merespons apa-apa, sang
kakak lantas melanjutkan, "Mungkin saja di kehidupan sebelumnya kita adalah kekasih yang tidak
direstui," sebuah jeda, dan Baekhyun menangkap tatapan intens lelaki itu padanya. "Karena kita
memperoleh akhir yang tragis, kita pun memohon untuk dilahirkan kembali menjadi saudara
kandung supaya tidak ada yang dapat memisahkan kita."

Terselip suatu kilat jahil mencurigakan dalam bola mata Chanyeol; ia mengarahkan pandangan ke
bawah untuk sekadar terkekeh lalu menatap Baekhyun lagi. "Jika teorimu benar, aku penasaran
bagaimana kisah kita dahulu," ia menyeringai licik, gigi mengintip di balik bibir seolah-olah
sedang menahan tawa. Baekhyun mendadak tidak mempunyai perasaan bagus tentang apa yang
sang adik hendak katakan. "Apakah aku adalah sang pangeran tampan kerajaan Joseon dan kau
adalah si pengemis yang tidak sengaja kutemui saat kabur dari istana?"

Baekhyun melayangkan tatapan bosan pada lelaki itu. "Lupakan," Chanyeol justru terkikik hebat,
mengangkat tangan untuk mengacak-acak rambut sang kakak—menuai penolakan berupa
tamparan di sikut oleh si korban. "Aku menyesal memberitahumu tentang ini." Baekhyun
menggembung-gembungkan pipi, segera mengganti topik demi menghentikan cekikikan nonstop
lelaki itu: "Omong-omong, kau belum menunjukkan foto pacar pertamamu padaku."

Chanyeol masih setengah tertawa saat ia balik bertanya, "Pacar pertama?" sang adik
menggerakkan bola mata untuk berpikir. "Sohyun, maksudmu? Aku bahkan tidak ingat bagaimana
wajahnya."

"Mana kutahu?" Baekhyun menoleh untuk mengangkat bahu sekaligus mengerucutkan bibir ke
direksi lelaki itu. "Jongin hanya memberitahuku bahwa dahulu kau pernah menunjukkan sebuah
foto bersama pacar pertama."

Chanyeol mengernyitkan alis penasaran. "Siapa..." ia terhenti, manik perlahan mendelik karena
menyadari sesuatu yang janggal—perubahan ekspresi dari panik ke datar terjadi begitu cepat
sehingga Baekhyun gagal menyadarinya. Lelaki itu cepat-cepat menatap sang kakak. "S-sudahlah!
Tidak usah dengarkan Jongin, ia sering mengarang cerita."

Baekhyun tahu bahwa Jongin bukanlah seorang penipu. Lelaki berkulit agak kecokelatan itu terlalu
polos untuk mengarang suatu hal yang kurang penting, terlebih mengenai pacar pertama sang adik.
Salah menebak bahwa Chanyeol enggan mengakui masa lalu kelamnya, sang kakak malah
menyerang ke titik berbahaya: "Jangan bilang foto yang Jongin maksud adalah foto kita!"
Baekhyun mengatakan ini untuk menggoda sang adik, tetapi ia tidak tahu bahwa Chanyeol
sesungguhnya menjadi panik bukan main. Lelaki itu hanya terlalu lihai memasang air muka datar.
"Mengakulah! Kau menipu Jongin bahwa aku adalah pacar pertamamu, benar?"

Chanyeol tidak menanggapi ejekan sang kakak, memilih untuk melarikan diri dari kamar mandi
dengan berjalan tenang—bolak-balik melepas pegangan si laki-laki pendek pada lengannya.
"Santai," Baekhyun mengikuti Chanyeol di belakang sembari terus menunjuk wajah sang adik
main-main, mata disipitkan demi mendukung aksi menjahili lelaki itu. "Sikap panikmu tambah
memancing kecurigaan."

Chanyeol akhirnya memutar tubuh untuk menatap Baekhyun, sekilas melirik jemari cantik sang
kakak yang berdansa aneh di atas meja belajar—menggunakan segala cara terkecil demi menggoda
lelaki itu. "Baek," ia nyaris mengerang frustrasi, mengangkat tangan guna menunjuk wajahnya
sendiri. "Lihat aku. Kau pikir wajah ini tidak menarik? Mana mungkin aku membual tentang
sesuatu yang konyol?"

Baekhyun berlagak memandang Chanyeol jijik, membuka mulut seperti hampir muntah.
"Tampaknya kau melupakan primadona terkenal yang dahulu menjadi buah bibir para tetangga
kita," sang kakak kemudian melambaikan jari "peace!" di depan mata Chanyeol, bibir tipis
membentuk sebuah senyum menggemaskan. "Park Baekhyun."
Lelaki itu tertawa lagi, melingkarkan lengan pada pinggang Baekhyun untuk tiba-tiba mengangkat
sang kakak ke atas meja belajar—menundukkan kepala guna mengendus-endus lehernya, sesekali
meletakkan kecupan singkat di kulit pucat si mungil. Sekarang adalah giliran Baekhyun untuk
terkikik, menyingkirkan dagu dari belaian rambut halus Chanyeol sembari memegang bahu lelaki
itu. "Geli," suara tawa Baekhyun yang nyaring mewarnai keheningan, "Kenapa kau selalu
menciumku tiba-tiba?"

Chanyeol menegakkan tubuh guna memandang Baekhyun lagi, tatapan lelaki itu intens. "Karena,"
ia berkata, dan Baekhyun mengerjapkan mata datar, menunggu kelanjutan dari ucapan sang adik—
tetapi Chanyeol justru mendekatkan wajah mereka untuk menyatukan bibir keduanya, hazel lelaki
itu serontak terpejam ketika ia menemui kehangatan sang kakak, bulu mata seperti menggelitik
pipi satu sama lain. Baekhyun sempat terdiam, mengerutkan alis bingung atas tindakan Chanyeol
sebelum tubuhnya mulai luluh oleh gerakan mulut sang adik pada bibirnya, mata menutup untuk
ikut terjatuh dalam perasaan menggebu-gebu tersebut—emosi lelaki itu meluap lewat kecupan-
kecupan lembut yang lambat laun menjadi agak cepat. Tangan Baekhyun berada pada puncak
kepala sang adik, meremas rambutnya agak kasar karena cumbuan yang semakin memanas—
Chanyeol terus mendorong tubuh Baekhyun ke belakang untuk bersandar pada laci di atas meja
belajar.

Bunyi kecipak akan liur mereka adalah alunan yang mengiringi kesunyian; Baekhyun menarik
wajah Chanyeol lebih dekat, masing-masing lengan mengitari leher sang adik, jemari cantik
bergerak di sana untuk sekadar menyentuhi kulitnya. Mereka mencuri oksigen satu sama lain, bibir
terbuka demi menghirup udara keduanya: pernafasan bertambah tidak teratur, dada naik turun yang
terlihat mengais sesuatu untuk mengisi paru-parunya. Ciuman mereka kemudian melambat, dan
Baekhyun terlebih dahulu memisahkan pautan bibir keduanya, masih menyatukan dahi untuk
menggesekkan hidung mereka. Chanyeol tidak membuka mata, menikmati bagaimana udara
hangat yang dihembuskan Baekhyun menerpa pipinya—genggaman pada pinggang sang kakak
mengerat.

"Karena?" Baekhyun kembali bertanya, suara terengah-engah menuntut sebuah jawaban yang
belum selesai. Posisi mereka tidak mengalami perubahan: Baekhyun berada di atas meja belajar,
lengan mengelilingi leher lelaki itu, sementara Chanyeol tetap berdiri—satu tangan pada punggung
sang kakak, dan yang lain memegang kaki Baekhyun di sekitar pinggangnya. Tidak ada seorang
pun yang berbicara selama beberapa detik; Chanyeol malah menunda jawabannya untuk membaui
leher sang kakak, tangan merambat ke bawah guna memijat tenang pinggang Baekhyun. Lelaki itu
baru memandangnya setelah ia puas melampiaskan afeksi pada tubuh si mungil.

"Karena," Chanyeol menyelipkan sedikit jarak di antara mereka guna memandang Baekhyun
lembut. Sang kakak pun mulai bosan atas tindakan lelaki itu, tatapan berangsung-angsur menjadi
datar karena ia tahu bahwa Chanyeol telah mengolor-olor waktu demi menuntaskan satu
pertanyaan sederhana. "Entahlah," pada akhirnya, jawaban yang keluar dari bibir lelaki itu adalah
suatu pengakuan sia-sia bahwa ia tidak tahu. Chanyeol malah menyeringai saat dihadapkan oleh
rotasi mata Baekhyun. "Aku hanya suka menciummu saja."

Lelaki itu mencoba untuk mengangkat Baekhyun dari meja belajar, namun ia mendadak berhenti—
nyaris membanting tubuh sang kakak ke sana jika Baekhyun tidak bersitumpu pada bahunya.
Wajah Chanyeol meringis oleh kesakitan, gigi gemeretak demi menahan nyeri yang menyerang
salah satu kaki. "Aw," ia mengeluh, ekspresi manja yang mengingatkan sang kakak dengan masa
kanak-kanak lelaki itu. Baekhyun mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk pahanya. "Kakiku
sakit."

Sang kakak tertawa lucu, menaikkan dagu Chanyeol supaya ia berhenti merintih—sungguh,
terkadang lelaki itu sengaja melebih-lebihkan ekspresi rasa sakit. "Hati-hati," Baekhyun
memperingatkan; ia mengerucutkan bibir karena sang adik tengah bersandiwara sebagai anak
patuh: kepala diangguk-anggukan sembari memasang ekspresi serius. "Kakimu hampir sembuh.
Jangan sampai kau mengenakan kruk lagi."

Baekhyun kemudian meletakkan tangan pada dahi Chanyeol, menggenggam lembut seluruh helai
rambut yang menjadi bagian dari poni sang adik—menggerakkan jemari di situ untuk mengacak-
acaknya hingga berantakan. Helai-helai tersebut kini berdiri tidak karuan, menyebar ke sana
kemari kurang teratur, menyajikan sebuah pemandangan yang malah mendebarkan jantung sang
kakak. Mereka sejenak terdiam guna menatap satu sama lain. "Park Chanyeol," Baekhyun
memanggil namanya pelan, salah satu tangan perlahan merambat dari bahu untuk meraba hidung
lelaki itu. "Sejak kapan kau mulai terlihat sangat tampan?" kekehan Chanyeol mengisi ruangan
seraya jari-jari lentik itu menyusuri seluruh fitur wajah sang adik, menyentuh mereka secara
perlahan dan hati-hati layaknya suatu permata yang paling berharga. Baekhyun memandang lelaki
itu penuh puja, telapak tangan berhenti pada pipi untuk mengusapnya lambat. "Aku takut menjadi
posesif kalau ketampananmu melebihi batas."

Chanyeol tertawa semakin keras, mencondongkan tubuh untuk berbisik seduktif di telinga sang
kakak: "Ah," nafas panas yang dihembuskan lelaki itu menaikkan bulu kuduk leher Baekhyun.
"Aku paling suka kekasih yang posesif."

Sang kakak lantas menoleh, segera menjangkau tombol lampu pada dinding guna mematikan
cahaya—tangan menarik kaus Chanyeol untuk menggabungkan bibir mereka dalam ciuman yang
diselingi tawa. Mereka saling tersenyum, mulut bergerak mengikuti irama yang tidak bertempo:
sesekali akan tergesa-gesa, sesekali akan melambat. Baekhyun berdiri dari atas meja belajar,
menjinjit supaya pautan bibir mereka tidak terputus dan Chanyeol mengeratkan genggaman pada
pinggang sang kakak, tangan menyelusup masuk untuk meraba kulit punggungnya. Satu per satu
kancing piyama Baekhyun lepas; kaus Chanyeol terlempar asal ke lantai dengan lelaki itu yang
berbalik mendorong sang kakak menuju tempat tidur—berjalan pelan tanpa menghentikan bibir
mereka dari bersatu.

Segala helai benang telah meninggalkan tubuh keduanya, pakaian terlucut oleh tangan satu sama
lain yang haus untuk menjamah; Chanyeol menuntun mereka agar terduduk di atas tempat tidur,
tangan secara sensual meremas pinggul Baekhyun—bibir bergerak menuruni leher demi
menghujani kecupan pada setiap inci kulit sang kakak. Chanyeol memosisikan Baekhyun pada
pangkuan, mengalungkan masing-masing kaki si mungil di sekitar pinggang dan mengembalikan
sesi bercumbu mereka seperti awal, bibir bergelut semakin cepat bersama lidah yang saling
menyicipi. Kejantanan mereka bergesekan selama beberapa kali; Chanyeol menghisap bahu
Baekhyun, menggerakkan paha untuk kembali mempertemukan penis mereka—serontak
menciptakan sengatan yang nikmat bagi keduanya.
"Y-yah," suara serak Baekhyun menginterupsi aktivitas foreplay mereka, jemari menggenggam
rambut Chanyeol karena ia tidak sanggup menahan perlakuan lelaki itu: mencium, menggigit, serta
menghisap puting sang kakak berulang-ulang. Baekhyun melepaskan mulut Chanyeol dari
kulitnya, mengangkat dagu lelaki itu supaya mereka dapat bersitatap. "Apa kau tidak apa-apa?"
Sang kakak sempat terlena oleh sentuhan Chanyeol, tidak menyadari bahwa posisi mereka
sekarang akan menyakiti sang adik. "Kakimu tidak sakit?"

Chanyeol mencium telapak tangan Baekhyun, menggenggam jari-jari lentik itu kemudian
meletakkan mereka pada bahu. "Biasa saja," ia menjawab tenang, memegang pinggul sang kakak
sebagai isyarat baginya untuk berdiri. Baekhyun melaksanakan aba-aba Chanyeol, sedikit berlutut
seraya sang adik mempersiapkan kejantanannya—memandu tangan si mungil untuk memompa
penis lelaki itu beberapa kali. Sebuah jari panjang memasuki liang Baekhyun secara tiba-tiba, dan
sang kakak merintih, tubuh nyaris ambruk bersama gigi yang menggigit telinga Chanyeol—
erangan indah yang terdengar semakin berani karena lelaki itu menambahkan dua jari lagi.

Baekhyun pikir mereka mulai memahami bagaimana memuaskan satu sama lain: lelaki itu tahu
bahwa bagian sensitifnya adalah leher, dan sang kakak menyukai posisi berhubungan intim seperti
sekarang—sekalipun pada percobaan pertama, kaki lelaki itu harus menderita kram selama
setengah hari. Di sisi lain, Chanyeol senang apabila Baekhyun menjamah tubuhnya, melarikan
kecupan ke semua area yang bisa ia jangkau—lelaki itu sebaliknya akan meremas pinggul sang
kakak sebagai pelampiasan. Kegiatan ini telah menjadi aktivitas mereka setiap malam,
mengekspresikan perasaan menggebu-gebu itu lewat sentuhan dan ciuman yang panas—bercinta
diiringi dengan lagu-lagu akustik kesukaan lelaki itu.

Mereka sama-sama menahan nafas saat Baekhyun perlahan menurunkan tubuh, membenamkan
kejantanan Chanyeol dalam dubur sang kakak—puncak penisnya mengenai dinding panas di sana.
"Ah," Baekhyun mengeluarkan rintihan yang putus-putus, menggenggam lengan sang adik
sembari memperbaiki posisi menjadi lebih nyaman. Lelaki itu memandangi Baekhyun dari bawah,
menegakkan punggung demi mencapai leher sang kakak, bibir menanamkan ciuman-ciuman basah
menuruni dada. Keduanya bergerak pelan, mengambil sedikit waktu untuk merasakan persatuan
tubuh mereka: bibir menelusuri masing-masing, menyebarkan tanda-tanda kepemilikan di segala
tempat yang mampu mereka raih.

"Baek," Chanyeol tiba-tiba mengawali, sedikit menyentak sang kakak dari membalas pergerakan
tubuh sang adik yang berlawanan—mengangkat paha untuk memperdalam posisi kejantanannya.
Mereka sejenak membisu untuk melakukan penetrasi lebih cepat; Baekhyun sedikit melompat
pada pangkuan lelaki itu, nafas terengah-engah ketika penis Chanyeol menekan prostatnya. Sang
adik harus mencium bulu mata si mungil untuk mengalihkan perhatiannya. "Lain kali," Chanyeol
terpaksa berhenti berbicara karena sensasi remasan dinding Baekhyun pada penisnya, suara bas
mengerang seksi di telinga Baekhyun. "Lain kali berendamlah di bathtub bersamaku. Aku—ah,"
ia berusaha untuk mengikuti tempo berantakan sang kakak, mendorong kejantanannya semakin
dalam. "Aku sudah membuatkan playlist lagu slow R&B untuk kita."

Baekhyun menatap Chanyeol melalui mata yang sayu, mengarahkan tangan untuk mengusap
rambut sang adik. Lelaki itu langsung melarikan kecupan pada pergelangan si mungil, jemari
memijat pinggul Baekhyun—membantu pergerakan sang kakak yang bertambah gila. "Apa kau
akan memandikanku dengan ciuman?"

Chanyeol terkekeh lagi, dada naik turun akibat aktivitas panas mereka—segala oksigen di antara
keduanya seolah musnah gara-gara cumbuan yang tidak kunjung berhenti. "Tentu saja," ia
menjawab, suara sedikit goyah karena Baekhyun nyaris melambungkan tubuh di atas pangkuan
lelaki itu. "Apa kau akan mengeramasi rambutku seperti dahulu?"

Posisi intim keduanya menyebabkan kulit mereka untuk saling bertepuk; Baekhyun segera
menaikkan lalu menurunkan tubuh, mengejar pelepasan yang kini mereka cari—bibir menemukan
satu sama lain demi berkumpul dalam ciuman yang tergesa-gesa. Pernafasan mereka tidak teratur,
jantung berdebar hebat seperti hendak meledak, dan keringat deras yang melekat pada tubuh.
"Kenapa tidak?" Baekhyun merespons pertanyaan Chanyeol sambil agak berteriak,
mencengkeram biseps sang adik karena ia tahu bahwa orgasmenya sudah dekat. Lelaki itu
mengerang pelan, dorongan yang menggila mengguncang tempat tidur—bunyi kayu yang retak
menyelingi hela nafas dan rintihan mereka. "Bisakah kita memutar semua lagu SNSD saja?"

Chanyeol tertawa, namun tawa itu lambat laun berubah menjadi desahan, keduanya semakin
bergerak di luar ķendali demi mencari puncak kenikmatan masing-masing. Lelaki itu
mencondongkan tubuh untuk menyambungkan bibir mereka, berciuman terburu-buru dengan
kejantanan Chanyeol yang terus menghujam prostat Baekhyun—jemari mengepal pada penis sang
kakak, mengajak mereka menuju surga yang ditunggu-tunggu. Teriakan akan nama satu sama lain
lantas terdengar; sang adik meninggalkan jejak lebih banyak pada leher Baekhyun,
menghentakkan tubuh ke atas untuk menemui setiap dorongan si mungil—bibir saling menghisap
saat mereka meraih pelepasan bersama. Baekhyun berilusi bahwa ia melihat bintang, terengkuh
dalam pelukan erat Chanyeol, mulut meraba-raba bahu telanjang sang adik.

Suasana sesaat hening: mereka terus melekat pada satu sama lain, cairan putih Chanyeol mulai
mengalir dari dubur Baekhyun. Lelaki itu menghela nafas lega, mengeratkan rangkulan pada
pinggang sang kakak seraya mengulurkan tangan untuk mengambil tisu—membersihkan hasil
bercinta mereka pada kasur serta perut sang adik. Baekhyun menunggu dalam diam, perlahan
terbangun dari kelelahan ketika Chanyeol tiba-tiba mencumbui lehernya, dua bola tisu terlempar
tidak karuan ke lantai. Lelaki itu menghisap bagian paling sensitif dekat telinga sang kakak, dan
Baekhyun serontak menaikkan kepala, mengizinkan bibir terampilnya untuk menjelajahi kulit di
sana—tangan cantik menancapkan kuku pada lengan Chanyeol.

Sang kakak merintih, memberikan akses lebih besar kepada Chanyeol untuk memanjakan
lehernya, namun lelaki itu justru menegakkan tubuh—bibir terukir menjadi sebuah seringai jahil.
Mata sayu Baekhyun mengerjap bingung, kesadaran belum pulih saat ia mendengar Chanyeol
berkata: "Kenapa?" sang adik menaikkan satu alis main-main. "Apa kau mengharapkan hal yang
lain dariku?"

Butuh sejumlah detik bagi Baekhyun untuk menyadari bahwa ia telanjur terperangkap dalam
jebakan Chanyeol. Sang kakak pun kehilangan kata-kata, pipi memerah layaknya tomat
dan hazel menghindari pandangan licik Chanyeol. Baekhyun tahu bahwa harga dirinya telah
terinjak-injak, menyalahkan otak dan tubuhnya yang gagal bekerja sama untuk mengontrol
nafsu—selalu saja mudah terbuai oleh sentuhan maupun cumbuan lelaki itu. Ini adalah situasi
memalukan yang Baekhyun ingin hindari, tetapi jarak terlalu dekat di antara mereka sedikit
mengganggu konsentrasi sang kakak untuk berpikir. Terlebih jika wajah Chanyeol mendadak
tampak sangat tampan dalam kondisi rambut acak-acakan.

Baekhyun akhirnya mengembalikan tatapan pada sang adik, meletakkan masing-masing tangan
pada kepala Chanyeol untuk asal membenturkan dahi mereka—suatu cara bodoh yang terlihat
efektif untuk mengakhiri sesi penjatuhan martabat sang kakak. "Yah!" lelaki itu setengah berseru
kesakitan, tidak sempat melakukan perlawanan sebab Baekhyun terlebih dahulu beranjak dari
pangkuan—menyembunyikan tubuh di balik selimut sambil memunggunginya.

Chanyeol tertawa, merangkak untuk menghampiri sang kekasih dan mencium puncak kepalanya.
Lelaki itu lantas memasuki zona hangat dalam selimut, lengan dilingkarkan pada pinggang
Baekhyun. "Jangan gila," sang kakak menyela kekehan Chanyeol, suara serak oleh kantuk, "Besok
pagi aku dan Sehun akan pergi ke Lotte World."

Chanyeol mengusap-usap perut Baekhyun, bibir mengecup lembut bagian belakang pundak si
mungil. "Selamat bersenang-senang," ia berbicara sambil menguap, sesekali meremas pinggang
sang kakak. "Jangan lupa kabari aku kalau sesuatu terjadi."

Baekhyun tersenyum lebar sebelum ia memejamkan mata.

"Malas."

RETURN OF THE DANDELION

Upacara wisuda dilaksanakan pada hari Sabtu, bertempat di Auditorium SMA Caspian: sebuah
gedung pertemuan megah yang terbuka untuk umum dengan kapasitas sekitar empat ribu orang.
Berbagai lampu warna-warni mengitari ruangan, dua buah proyektor melekat pada dua sisi dekat
panggung—menunjukkan rekaman langsung dalam kualitas HD dari acara pelepasan. Para siswa
berpakaian seragam menempati kursi-kursi yang tersedia, sejumlah murid berprestasi diberi
kehormatan untuk mengisi deretan paling depan. Kelompok paduan suara sekolah menduduki
bangku di sebelah kiri panggung, tergabung bersama beberapa anggota orkestra SMA Caspian.
Orang tua maupun sanak saudara para wisudawan tampak mengelilingi ruangan,
menggenggam bucket bunga indah dan berteriak ketika video kenang-kenangan masing-masing
kelas diputar di layar.

Lee Chanhyuk adalah perwakilan siswa yang menyampaikan kesan dan pesan selama SMA,
menuai jeritan heboh dari para wisudawan—kericuhan sejenak mewarnai acara karena respons
berlebihan mereka. Baekhyun bolak-balik dipanggil ke atas panggung: berdiri di antara Son
Seungwan dan Wu Yifan sebagai seorang murid berprestasi. Ia juga memperoleh piagam
penghargaan atas juara dua lomba pidato bahasa Inggris tingkat nasional, beberapa kali bersalaman
dengan kepala sekolah, termasuk selama penyerahan medali sebagai tanda kelulusan. Sehun dan
Jongin meneriakinya dari kejauhan, nyaris memancing sang kakak kelas untuk tertawa di tengah
sesi pengambilan foto bersama para siswa berprestasi.

Minseok, Joohyun, dan Baekhyun saling berpelukan setelah upacara wisuda dinyatakan selesai.
Mereka sempat melepas rangkulan untuk menanggapi rekan lain, tersenyum ramah sembari
mengucapkan salam singkat. "Kita lulus!" Minseok melompat kegirangan, nyaris berlinang air
mata haru. Joohyun menggenggam masing-masing lengan mereka. "Teman-teman, kita lulus!"

Sehun mendadak muncul di belakang ketiganya, menyela momen mengharukan para kakak kelas
demi membagikan setangkai bunga mawar merah. Sekilas, pemandangan ini terlihat seperti
gambaran seorang idola remaja yang menyerahkan bantuan sembako kepada anak jalanan.
Joohyun menatap bosan pemberian sang adik kelas, menoleh ke sekeliling untuk mendapati bahwa
kebanyakan murid di sini mungkin menerima dua puluh tangkai bunga dalam satu bucket. "Kenapa
cuma satu?"

Pertanyaan sang wisudawan memperoleh sebuah rotasi mata dari Sehun. "Noona pikir aku punya
uang untuk membeli tiga bucket bunga mawar?" ia membalas penuh sarkasme, menoleh untuk
mengangkat kepalan tangan "hwaiting!" ke direksi Baekhyun. "Hai, hyung. Semoga kau akan
diterima di jurusan Kedokteran Universitas Tokyo."

Sang kakak kelas mengacak-acak rambut Sehun gemas. "Terima kasih."

Sehun menyentuh poninya secara protektif, berjalan menjauhi Baekhyun dengan mata mendelik
tercengang. "Jangan sentuh rambutku."

Minseok dan Joohyun bersitatap sebelum kompak menarik Sehun dalam pelukan, sang adik kelas
meronta-ronta karena jeratan keduanya yang semakin erat. Baekhyun tertawa menyaksikan
interaksi kekanak-kanakkan mereka, agak melonjak terkejut ketika seseorang menepuk
pundaknya.

"Baekhyun."
Ia memutar tubuh ke belakang, menganga kala dihadapkan pada ayah dan Chanyeol sekaligus—
sang adik membungkuk untuk menyerahkan sebuah bucket berisi banyak bunga mawar merah.
Senyum manis berlesung pipi lelaki itu membuat Baekhyun sedikit tersipu. Ia pun menelan liur,
kehilangan ide harus berbicara apa. "Terima kasih," sang kakak mengangguk kaku,
menggabungkan bunga pemberian Sehun ke dalam bucket.

Ayah menatap Baekhyun melalui kacamata besar, obsidian mungil yang tersenyum membentuk
bulan sabit. "Sudah berapa kali kau maju ke panggung? Chanyeol bilang ia bosan mendengar
namamu dipanggil terus-menerus."

Lelaki itu menyeringai tipis. Ia menundukkan kepala saat ayah melanjutkan, "Kapan kau bisa
berprestasi seperti Baekhyun? Sejak dahulu adikmu ini selalu merepotkan Ayah."

Chanyeol melirik ayah sebentar. "Jangan berharap banyak," sang adik lantas memandang
Baekhyun, mata berkedip main-main. "Level kami berbeda. Hyung terlalu pintar."

Ayah menggelengkan kepala, terbahak oleh jawaban pasrah Chanyeol. Kecanggungan sempat
melingkupi mereka, membekukan masing-masing putra dari berbicara, hingga beliau pun
melanjutkan: "Ayah menyuruh supir untuk membawa piagammu ke mobil. Ia akan terlebih dahulu
mengantar Ayah ke bandara lalu menyerahkan piagammu pada bibi Eunji."

Baekhyun mengangguk sekali, menatap bucket bunga demi menghindari tensi kaku mereka.
"Terima kasih."

Seseorang kemudian merangkul pundak Baekhyun, sedikit mendesak bucket bunga mawar di
tengah mereka. Ia menengadah untuk melihat ekspresi Chanyeol yang tidak terbaca, aroma parfum
kuno ayah perlahan memasuki indera penciuman sang kakak. Baekhyun meletakkan satu tangan
pada lengan ayah, terlalu canggung untuk bergerak ataupun berkata sesuatu. Ayah menepuk-nepuk
punggungnya lemas. "Terima kasih," ia berbisik, suara sengau seperti hampir menangis. Mata
Baekhyun dan Chanyeol berkaca-kaca saat mereka saling menatap. "Ibu mendidikmu dengan
sangat baik. Kau adalah kebanggaan bagi keluarga kita. Terima kasih."

Ayah akhirnya mengakhiri pelukan mereka; ia sejenak membenahi kacamata, menahan titik air
mata yang hampir turun kemudian melambaikan tangan. "Ayah akan pergi. Kalian berhati-
hatilah."

Baekhyun dan Chanyeol mengangguk, pandangan mengikuti arah pergerakan ayah menuju tempat
parkir, diikuti oleh Youngseok-ahjussi yang gesit mengangkut dua piagam ke sana. Mereka
menghela nafas, menoleh untuk menatap satu sama lain kosong sebelum jeritan mendadak
Joohyun memasuki pendengaran. Keduanya tergesa-gesa mencari sumber suara, mengamati gadis
tomboy tersebut melambai-lambaikan ponsel antusias ke direksi Baekhyun. "Ayo foto bersama!"
Joohyun berteriak di tengah keramaian, dan sebelum sang kawan dapat merespons, seseorang lain
telah terlebih dahulu merenggut atensinya.

"Selamat, hyung!" kemunculan Jongin yang tergolong tiba-tiba mengejutkan Baekhyun; lelaki
berkulit kecokelatan itu kini berdiri di sebelah sang kakak kelas, lengan tersebar santai pada
bahunya—kamera DSLRbergelantung di sekitar leher. Minseok dan Joohyun mengernyitkan dahi,
tidak terkesan oleh penginterupsian si preman sekolah, terlebih karena Jongin menyerahkan
sebuah kotak persegi panjang pada Baekhyun. "Ini adalah hadiah kelulusan yang tidak ternilai
harganya dibanding puluhan cincin berlian."

Chanyeol merebut kotak tersebut dari genggaman Baekhyun, mengalihkan perhatian Jongin dari
tanggapan positif sang kakak kelas: tersenyum kecil sembari mengucapkan "terima kasih". Lelaki
itu lantas membuka isinya tanpa izin, otomatis mengesalkan si pemberi hadiah.
"Setumpuk voucher makan gratis di KFC?" Chanyeol bertanya, mengangkat satu alis dalam
maksud menghakimi. "Inikah cara licikmu untuk merusak sel otak kakakku?"

Jongin otomatis merengut. "Tentu saja tidak!" ia terburu-buru membela diri, menekukkan alis
marah pada Chanyeol. Lelaki berkulit agak eksotis itu kemudian termenung, cepat-cepat menatap
Baekhyun setelahnya demi berujar, "Ah, hyung! Aku ingin menanyakanmu sesuatu!" sebuah jeda
akan Jongin yang terbatuk-batuk, "Bisakah kau menuliskan alamat penjual mi hitam langganan
kalian?" ia melipat tangan untuk meniru ekspresi stiker memohon. "Lebih tepatnya, mi hitam yang
dahulu kau bawakan ke rumah sa—"

Chanyeol tiba-tiba mengarahkan posisi Jongin untuk menghadap Joohyun, Minseok, dan Sehun,
mengabaikan bagaimana canggung ketiga orang tersebut menanti kehadiran Baekhyun. Sang
kakak melongo begitu menyadari bahwa para gossipers telah mengajaknya berfoto sejak tadi.
"Mereka memintamu untuk mengambil gambar."

Wajah Jongin seketika cerah melihat Sehun. "Benarkah? Untung saja aku membawa kamera," ia
mengangkat dua alis sekaligus, mengejar langkah tergesa-gesa Chanyeol untuk mendatangi
mereka—Baekhyun harus agak jogging demi menyamai kecepatan jalan keduanya. "Mi hitamnya
sangat enak!" Jongin belum selesai berbicara, dan Chanyeol menggertakkan gigi geram ketika si
sahabat meneruskan, "Aku ikut mencicipi sedikit karena dokter tidak memperbolehkan Chanyeol
untuk makan—" sang adik lalu menyumpal mulut Jongin dengan telapak tangan, menginterupsi
lelaki berkulit eksotis itu dari mempromosikan produk mi hitam yang sangat ia banggakan. Jongin
bolak-balik menyingkirkan tangan Chanyeol, tetapi semua usaha itu kebanyakan berakhir gagal.
"—the fuck! Singkirkan tanganmu, aku belum selesai bicara!"

Sang adik malah mendorong Jongin ke samping, mengalungkan lengan pada lehernya selagi
menatap Baekhyun tegang—tidak memedulikan sang kawan yang jelas menderita di bawah
siksaan lelaki itu, terutama atas aksi penyeretan yang dilakukan Chanyeol. "Apa kau mengerti apa
yang anak ini bicarakan?" ia tersenyum lega atas gelengan bingung sang kakak, meringankan
cekikan supaya Jongin dapat bernafas normal. "Sama."

Dilihat dari kebencian yang sekarang menguasai raut muka Joohyun dan Minseok, dua siswa
tersebut tampaknya keberatan untuk menerima kehadiran para preman. Mereka pun mempercepat
langkah guna menghampiri Baekhyun, sejenak melirik Jongin yang berjalan berlawanan—mencari
keberadaan Joohyuk, sang fotografer andalan sekolah. Chanyeol mengangguk saat Joohyun dan
Minseok tersenyum canggung ke arahnya, tangan memaksa Baekhyun untuk mengikuti sebuah
diskusi rahasia. Sehun memutar mata atas tindakan aneh si kakak kelas.
Minseok mendelik tajam pada Baekhyun. "Chanyeol dan Jongin bukanlah bagian dari 'kita'!
Kenapa kau justru mengajak mereka dalam foto bersama?"

Joohyun melayangkan tatapan horor ke direksi Minseok, tercengang oleh keberanian sang kawan
untuk terang-terangan mengungkapkan rasa benci terhadap adik kandung temannya sendiri. Sehun
menggelengkan kepala pasrah. "Jangan berlebihan," ia memperingatkan, sedikit kesal oleh sikap
kurang dewasa para kakak kelas. "Mereka tidak seburuk yang kalian pikirkan."

Minseok membungkuk sebagai permintaan maaf, segera melemparkan pandangan frustrasi pada
Sehun. "Mereka adalah preman sekolah! Aku tidak mau—"

"Semuanya," Jongin memotong komplain sang kakak kelas secara tidak sengaja, mendatangi para
penggosip untuk menampilkan aba-aba singkat: salah satu jari menunjuk sebuah tempat kosong
strategis dengan pencahayaan yang bagus. "silahkan bersiap-siap. Kita akan berfoto di sini."

Minseok merotasi mata muak, dan Joohyun terlihat seperti akan meledak. Keduanya tidak ingin
tinggal diam, tapi mereka sama-sama menghindari aksi perlawanan supaya tidak terseret dalam
perang dunia ketiga. Joohyun segera menyiapkan posisi menjauhi para preman, menarik Sehun
untuk tergabung bersama mereka. Tindakan tersebut menciptakan sebuah format baru: Chanyeol
dan Jongin kedapatan tempat paling ujung pada masing-masing sisi, diikuti oleh para wisudawan
(Joohyun sebagai penengah kaum lelaki; Baekhyun dipaksa untuk berdiri di sebelah sang adik),
beserta Sehun yang terselip di antara Minseok dan Jongin.

Jongin memberikan sinyal bagi Joohyuk untuk mengambil gambar, mengamati format berfoto
mereka satu kali lagi. Sang teman mengangguk, memandang satu per satu dari mereka secara
seksama lalu menunjuk pada Joohyun dan Minseok sekaligus—ekspresi para kakak kelas itu
terlalu datar untuk diabadikan. "Aw, para sunbae manis di tengah, ada apa dengan raut muka
kalian?" ia meledek, menyeringai tampan ala kucing Cheshire di film "Alice in Wonderland".
"Dilarang cemberut."

Joohyuk mengangkat DSLR ke wajah, sebentar mengutak-atik kamera guna mengatur fokus dan
pencahayaan. "Smile, everyone," ia menginstruksi, menggerakkan lensa sebagai isyarat bahwa ia
hendak mengambil gambar. Mereka seketika berpose, menampilkan
kemampuan modelling masing-masing, sukses memengaruhi Joohyuk untuk terbahak.

Joohyun mengerucutkan bibir, menggandeng lengan dua wisudawan lain sambil menggenggam
bunga pemberian Sehun. Minseok berlagak terkejut, menganga lebar dengan bunga mawar yang
ditujukan pada sang gadis tomboy. Sehun dan Jongin kompak membentuk jari "peace!", keduanya
tertawa ke arah kamera—sang adik kelas berkulit pucat agak membungkuk demi menyandarkan
kepala di bahu Minseok. Baekhyun mempertontonkan pose unjuk gigi andalannya, satu lengan
menampa bucket bunga mawar, tubuh tercondong supaya berdempetan dengan Joohyun. Hanya
Chanyeol yang tampak kaku berekspresi; sang adik sekadar tersenyum tipis, salah satu tangan
dimasukkan dalam saku mantel.

Joohyuk mengangguk untuk yang terakhir kali.


"Satu... dua..."

Klik.

Baekhyun harap momen ini akan bertahan selamanya.

RETURN OF THE DANDELION

Baekhyun berhasil. Ia adalah satu dari tiga murid Korea beruntung yang mendapat tiket masuk
jurusan kedokteran Universitas Tokyo. Pengumuman peraih beasiswa diunggah ke website mereka
dua minggu setelah pelaksanaan tes tambahan, dan ia mampu mengalahkan ratusan pelamar lain
dengan latar belakang prestasi yang mungkin lebih hebat. Ini adalah hal yang membahagiakan bagi
keluarga Park; bertubi-tubi panggilan maupun pesan teks dari sanak saudara bermunculan dalam
ponsel Baekhyun, memusingkan sang kakak dengan tugas ekstra selain mengurus visa. Baekhyun
lelah menanggapi antusias mereka, memilih untuk menonaktifkan ponsel selama waktu yang
ditentukan demi terlebih dahulu menuntaskan berkas daftar ulang.

Sehun, Joohyun, dan Minseok mencengangkan Baekhyun dengan kemunculan tiba-tiba mereka di
pagi hari, sang gadis membawa sebuah kue stroberi bertuliskan "Congratulations, Byun
Baekhyun!". Jongdae melakukan spam gila di KakaoTalk, mengutarakan rasa bangga melalui
beberapa paragraf panjang menyerupai novel komedi—menambahkan banyak stiker GIF yang
membuat siapa pun terkikik. Jongin mengirimkan sekotak piza kesukaan Baekhyun sebagai hadiah
atas keberhasilan sang sunbae, menyertakan dua lembar post-it ucapan selamat yang ditulis
menggunakan bahasa kekanak-kanakkan. Pada akhirnya, Baekhyun harus mentraktir mereka
beberapa sesi makan malam, ramai-ramai mengunjungi tenda pedagang pinggir jalan.

Chanyeol membelikan Baekhyun sejumlah perlengkapan kuliah seperti alat tulis, tas berbentuk
kotak lucu, dan jam tangan Rolex—mencuri ciuman singkat di pojok bibir sang kakak saat ia
menyerahkan hadiahnya. Lelaki itu terlihat sangat senang; ia bolak-balik menyebarkan kabar baik
ini melalui InstaStory, memamerkan ke semua orang bahwa kakaknya telah diterima di salah satu
universitas terbaik dunia. Chanyeol membantu Baekhyun dalam segala hal: mencetak formulir
menyangkut daftar ulang, mengurus paspor secara online, hingga memesan satu tiket tambahan
untuk menemani sang kakak ke Jepang. Sang adik rupanya belum siap melepaskan Baekhyun,
beralasan bahwa ia ingin melihat tingkat kelayakan kondisi asrama.

Berita bagus ini disambut begitu meriah oleh ayah. Beliau seketika mengambil cuti selama tiga
hari guna berlibur bersama putra-putranya ke Jinhae, menyusun rencana untuk menikmati festival
bunga sakura sekaligus merayakan ulang tahun ayah di sana. Ia terlebih dahulu memesan kamar
di hotel termahal, mempersiapkan mobil beserta supir demi kenyamanan bersama—meskipun
mereka berakhir menuruti permintaan Baekhyun untuk menaiki transportasi umum. Chanyeol dan
ayah asyik membicarakan masalah politik sepanjang perjalanan, bahkan berdebat serius gara-gara
perbedaan ideologi: masing-masing nyaris mengungkapkan pendapat secara menggebu-gebu.
Interaksi mereka yang mendadak akrab tentu membahagiakan Baekhyun, tapi ia tidak bisa
mengelak bahwa obrolan berat keduanya kerap membawa migrain ke kepala.

Merayakan ulang tahun ayah melalui pesta kejutan adalah murni ide sang kakak. Beliau
mengatakan bahwa mereka wajib menyantap makan malam di restoran favoritnya, dan Baekhyun
segera terpikir untuk mengadakan kejutan kecil-kecilan baginya—mengingat bahwa ayah sengaja
merayakan ulang tahunnya di situ. Sang kakak ingin sesekali menyenangkan beliau, memberikan
pesan tersembunyi bahwa ia sungguh-sungguh menyayanginya sebagai ayah, bukan sebagai
seorang tua penghasil harta. Ide ini menerima respons positif dari Chanyeol; lelaki itu menyetujui
rencana Baekhyun untuk diam-diam meninggalkan hotel demi berbelanja kebutuhan pesta kejutan.
Sekalipun itu berarti mereka harus terlebih dahulu menunggu ayah tertidur dan hanya memiliki
waktu persiapan selama kurang dari dua jam.

Itulah alasan kenapa mereka berpontang-panting ke sana kemari sejak tiga puluh menit yang lalu.
Mereka perlu membeli kue ulang tahun, lilin umur 57, serta pernak-pernik yang dibutuhkan dalam
pesta kejutan. Baekhyun juga telah mengontak pihak restoran, memberitahu rundown selama acara
dan meminta pemusik di sana untuk mempersiapkan beberapa lagu kesukaan ayah (sekaligus
komposisi bertema ulang tahun). Ini akan menjadi momen paling mengharukan bagi keluarga
mereka, dan sang kakak akan melakukan apa pun guna melancarkan aksi tersebut, termasuk
mondar-mandir di supermarket demi berbelanja kebutuhan penting.

"Aku tidak yakin pesta kejutan ini adalah ide yang bagus."

Chanyeol terlihat semakin panik mendekati acara; lelaki itu bolak-balik mencoba untuk mencuci
otak Baekhyun supaya ia beralih membatalkan rencana ini. Padahal baru kemarin sang adik justru
membantu penyusunan acara, memaparkan ide-ide kreatif yang sebelumnya belum terpikir.
"Chanyeol," Baekhyun menghembuskan nafas panjang, meletakkan sekaleng permen kopi ke
keranjang. "Kau telah mengatakan hal yang sama selama ribuan juta kali."

Chanyeol pun mengacak-acak rambut frustrasi, hazel melirik sang kakak kesal. "Jangan salahkan
aku kalau semua akan berakhir canggung."

Baekhyun hanya tertawa, mengetahui bahwa lelaki itu jelas tidak terbiasa melakukan sesuatu yang
spesial bagi ayah. Sang kakak pikir ini agak aneh, sebab sikap beliau sudah banyak berubah, tetapi
hubungan keduanya justru terlihat berjauhan—saling mengabaikan eksistensi satu sama lain;
Chanyeol bahkan terang-terangan menentang ayah. Ia tentu tidak tahu pasti apa yang
mengakibatkan hubungan mereka untuk renggang, apakah itu karena ayah yang jarang
meluangkan waktunya atau sang adik yang terlalu fokus pada kegiatan preman tidak mendidik.
Mungkin ia akan mencari tahu alasannya suatu hari nanti; bagaimanapun juga, beliau adalah ayah
mereka, dan sang kakak menginginkan mereka untuk menjadi seperti dahulu.

Baekhyun mengerucutkan bibir ke direksi Chanyeol. "Berhenti overthinking."

Sang adik menghela nafas dramatis, membungkuk guna meraih beberapa wortel segar dari rak
sayur-sayuran. "Minggu depan kau akan berangkat ke Jepang."

Baekhyun tidak menatap lelaki itu saat ia merespons datar, "Lalu?"

"Siapa yang nanti memasakkanku makan malam?" Chanyeol berlagak memasang raut muka galau,
menaruh wortel-wortel tadi ke asalnya. "Apakah ini adalah panggilan bagiku untuk memasak?"

Baekhyun langsung mengarahkan tatapan remeh pada Chanyeol. "Aye," sang kakak menggeleng-
gelengkan kepala, terbahak cukup keras. "Menyalakan kompor saja kau tidak mampu apalagi
memasak."

Sebuah lengan tiba-tiba melingkarkan diri di bahu Baekhyun. "Berjanjilah," Chanyeol berbisik
lantang, mencengangkan sang kakak dengan suara menghipnotis lelaki itu. "Kalau kemampuan
memasakku mengalahkanmu, kau akan pindah dari asrama untuk tinggal bersamaku di Tokyo."

Baekhyun menganggukkan kepala setengah hati, malas menghiraukan omong kosong lelaki
itu. "Hng."

Chanyeol belum selesai berbicara, mengencangkan pegangan pada pundak sang kakak. "Kau akan
membawa bekal makanan yang kumasakkan setiap hari."

"Hng," Baekhyun menjawab pendek, melemparkan pandangan menghakimi ke arah sang adik.
"Teruslah bermimpi. Hidup di Jepang tidak semudah yang kau pikirkan."

Chanyeol melepaskan pelukan sepihaknya guna menatap Baekhyun serius. "Ayah berencana untuk
membelikan kita apartemen di Tokyo," ia menjelaskan, seketika menarik perhatian sang kakak.
"Mungkin jauh lebih kecil dari apartemen Ibu, tapi itu bukan masalah. Asalkan kita bisa tinggal
bersama, aku tidak peduli."

Baekhyun mengernyitkan alis, sejenak berhenti memasukkan barang ke trolley. "Kau benar-benar
akan berkuliah di Tokyo? Tidak bergantung pada beasiswa?"

Chanyeol mengangguk yakin. "Ayah mendukung keputusanku," ujarnya tegas, tangan merangkak
demi meraih salah satu jari Baekhyun. "Ia mempunyai tabungan khusus untuk menyekolahkan
kita. Berhubung kau memperoleh beasiswa penuh, Ayah dapat menggunakan tabungan itu untuk
membiayai kuliahku dan mengangsur apartemen kita."
"Kalau perlu aku akan bekerja part-time," lelaki itu berjanji, sesuatu dalam matanya mengatakan
bahwa ia tidak mungkin berbohong. "Aku akan menanggung kebutuhan sehari-hari kita."

Baekhyun tahu ini konyol. Untuk tinggal bersama di negeri tetangga yang tentu memerlukan
banyak biaya adalah sesuatu yang cukup konyol. Terlebih karena ini dijanjikan oleh seorang
preman sekolah malas belajar seperti Chanyeol, namun entah kenapa ia tetap mengangguk—
mengumpulkan sedikit kepercayaan bahwa janji lelaki itu akan terkabul. "Satu tahun," sang kakak
memulai dalam nada pasrah, "Jika dalam satu tahun kemampuan memasakmu tidak sesuai dengan
standarku, aku akan menolak untuk tinggal bersama," Baekhyun lantas cepat-cepat menambahkan,
"Aku tidak mau makan ramen instan tiap hari."

Chanyeol terkekeh, mengangkat tangan untuk menepuk-nepuk kepala sang kakak. "Deal."

Jalanan terlihat sepi kala keduanya keluar dari supermarket, masing-masing membawa tas belanja
berisikan perlengkapan pesta kejutan. Langit sore hari yang terdiri atas warna kombinasi oranye
dan merah menyejukkan penglihatan mereka; udara sepoi-sepoi yang berhembus pada wajah, serta
banyaknya daun yang berguguran di sekitar. Pemandangan indah barusan menyadarkan Baekhyun
atas anggapan bahwa musim semi adalah musim favorit semua orang. Dengan suguhan warna-
warni bunga yang cantik seperti ini, siapa pun akan mendambakan musim semi untuk bertahan
selamanya.

"Lihat!" Baekhyun tiba-tiba menunjuk kumpulan bunga dandelion di bawah pohon. "Dahulu kita
sering meniupi bunga dandelion, kau ingat?"

Chanyeol tertawa menyaksikan Baekhyun yang terburu-buru meletakkan tas belanja ke tanah
hanya demi berlutut di sana, langsung mencabuti beberapa dandelion sekaligus. Ia meniup masing-
masing dari mereka secara perlahan, mengamati benih-benih bunga yang kini berterbangan
bersama udara. "Whoa," sang kakak memandang takjub ke arah mana benih-benih tersebut pergi,
melayang terbawa angin dan menjauh dari jangkauan. Baekhyun meraih satu dandelion lagi, dan
ketika ia menoleh untuk menatap Chanyeol, si mungil dikejutkan oleh tindakan kurang ajar lelaki
itu: menggunakan ponsel guna merekam seluruh kejadian tadi tanpa izin dari sang objek.

Rotasi mata Baekhyun malah menuai kekehan kecil dari sang adik. "Tiup lebih banyak!" Chanyeol
memprovokasi, memandangi Baekhyun lewat rekaman ponsel—tersenyum tipis mengamati sang
kakak yang semakin bersemangat mencabuti bunga dandelion. "Woohoo!" mereka nyaris berseru
layaknya para orang gila, terbahak oleh sesuatu yang tidak seberapa lucu untuk ditertawakan.

Aksi meniup-niup bunga dandelion tidak bertahan lama, sebab mereka sekarang terduduk pada
bangku taman—masing-masing membisu demi menikmati ketenangan. Baekhyun berdiri untuk
mengambil gambar akan pemandangan sekitar, mengabadikan suasana menjelang malam yang
justru bertambah cantik. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan, dan Chanyeol menyandarkan
tubuh pada pohon di belakang mereka, sesekali menoleh untuk mengamati Baekhyun. Lelaki itu
memiliki ponsel dalam genggaman, tetapi ia sedang tidak dalam suasana hati untuk mengecek
pesan yang masuk.

"Baek."
Suara Chanyeol menginterupsi kegiatan fotografi sang kakak. Baekhyun pun mengerutkan bibir,
sejenak menatap kesal lelaki itu karena telah menghancurkan hasil fotonya. "Hng."

Pertanyaan yang keluar dari mulut Chanyeol serontak menggelikan Baekhyun: "Kenapa kau cantik
sekali?"

Sang kakak memandang Chanyeol jijik, masing-masing alis otomatis menekuk tidak terima. "Coba
katakan sekali lagi dan aku akan menampar wajahmu dengan sepatu."

Chanyeol tertawa; sungguh, ia tidak tahu sejak kapan ia mendadak sering tertawa seperti ini.
Dahulu, ia bahkan kehilangan semangat untuk hidup, sering menghabiskan banyak jam untuk tidur
lalu bermain game online. Lelaki itu membasahi bibir, menunduk guna menyimak serangga kecil
yang hinggap pada salah satu bunga dandelion—tiba-tiba mengawali percakapan baru: "Apakah
kau pernah mendengar legenda lama tentang bunga dandelion?"

Jari telunjuk Baekhyun bergerak pada layar untuk mengecek hasil jepretan tadi; sang kakak tidak
balik menatap Chanyeol ketika ia bertanya, "Legenda apa?"

"Jongin bilang jika kau meniup seluruh kelopaknya dalam sekali hembusan," lelaki itu belum
berhenti memandangi bagaimana serangga tadi melompat dari satu bunga ke bunga yang lain.
"Seseorang yang kau cinta akan membalas perasaanmu."

Baekhyun seketika terkikik mendengar legenda bodoh tersebut. Ia tidak menyangka Jongin akan
memercayai kekonyolan ini. "Apa kau percaya?"

"Tidak," Chanyeol segera menyangkal, setengah tertawa karena terpengaruh oleh cekikikan sang
kakak. Ia mencuri jeda selama beberapa detik, menghirup udara tenang sebelum berkata dalam
nada yang tiba-tiba serius, "Tapi setelah apa yang terjadi padaku sekarang, kurasa legenda itu ada
benarnya."

Jawaban Chanyeol menyebabkan Baekhyun untuk akhirnya mengalihkan pandangan dari ponsel.
"Maksudmu?" ia mengerjapkan mata bingung, tidak lagi tertawa karena gagal mencerna perkataan
lelaki itu.

"Maksudku," Chanyeol sekilas melirik jam tangan pada pergelangan. "Kita harus berhenti
mengobrol untuk mengurus keperluan pesta kejutan."

Baekhyun menganga, mencondongkan tubuh guna tergesa-gesa menarik tangan sang adik—
membaca angka 05:12 P.M. pada layar jam digital. "Shit," ia mengabaikan tangan Chanyeol begitu
saja, berdiri dari bangku untuk segera mengangkut beberapa tas belanja. Sang kakak telanjur
berjalan mendahului Chanyeol saat ia menyadari bahwa tidak ada siapa-siapa di sampingnya.
Memutar tubuh ke belakang, Baekhyun serontak menganga kala mendapati lelaki itu masih
terduduk di sana, ekspresi intens tidak terbaca melekat pada wajahnya. "Apa lagi yang kau
tunggu?" ia mengerang frustrasi, cepat-cepat menghampiri sang adik untuk memaksanya bangkit.
"Jangan pikir kau bisa melarikan diri dari rencana ini!"
Chanyeol tersenyum lebar, lesung pipi tampan yang timbul sedikit menggoyahkan amarah
Baekhyun. Lelaki itu tiba-tiba merangkul bahu sang kakak, menyeret keduanya untuk berlari
menyusuri jalanan yang sepi—kaki mereka menginjak sejumlah dedaunan kering di bawah pohon.

"Berisik."

Epilogue: Home

EPILOGUE

HOME

Menempelkan kartu pada scanner, Baekhyun menunggu sampai bunyi "ting!" muncul dan lampu
di sekitar knop berubah menjadi hijau—menyeret kaki malas-malasan memasuki apartemen begitu
pintu berhasil dibuka.

"Aku pulang."

Chanyeol menoleh untuk sekadar melambaikan tangan, sekilas mengamati sang kakak yang
tampak kelelahan melepas sepatu juga kaus kaki: melempar mereka asal-asalan ke atas rak kecil
dekat kamar mandi sebelum berlalu menghampiri lelaki itu. Chanyeol semakin menyandarkan
tubuh ke belakang untuk menggesekkan rambut pada leher Baekhyun, menghela nafas lega kala
sang kakak menempatkan sebuah ciuman singkat di pojok bibirnya. Salah satu tangan Baekhyun
terulur guna mengusap-usap dagu sang adik, menjamah kulitnya lambat—menimbulkan darah
lelaki itu untuk berdesir menenangkan. Baekhyun masih membaui rambut Chanyeol saat ia
berkata, "Tidak bekerja?"

"Sudah resign," jawab sang adik datar, atensi kembali tercuri oleh siaran langsung
pertandingan NBA di layar televisi—jemari otomatis bergerak untuk perlahan memijati lengan
Baekhyun. "Mulai besok aku akan bekerja di Starbucks dekat gedung fakultasmu."

Baekhyun mencoba untuk tidak memutar mata. Ini mungkin adalah kesebelas kalinya lelaki itu
berganti pekerjaan separuh waktu guna memantau (sinonim: memata-matai) sang kakak. Praktik
tersebut dilakukan secara bertahap: berawal dari sebuah toko buku tua yang berjarak empat
kilometer dari lokasi kampus Universitas Tokyo hingga restoran cepat saji Amerika yang cukup
ditempuh paling lama sepuluh menit. Chanyeol telah mengincar pekerjaan di Starbucks sejak lama,
namun entah kenapa selalu ada orang lain yang terlebih dahulu merebut peluangnya—
memaksakan lelaki itu untuk menunggu nyaris satu tahun demi bekerja di sana. Jangan heran
kenapa Chanyeol melakukan ini; sikap protektif berlebihan sang adik tambah memburuk begitu ia
mengetahui bagaimana para bajingan di sini memandang Baekhyun, beberapa dari mereka bahkan
terang-terangan menghampiri sang kakak untuk meminta nomor ponselnya.
Baekhyun mengernyitkan alis melihat kondisi hambar meja makan, kepala bergerak ke kanan lalu
kiri guna mematahkan sendi. "Kau belum memasak?"

"Kita makan di luar saja," ujar Chanyeol santai, menggunakan lengan sendiri sebagai bantal
tambahan. "Aku ingin makan sushi langganan kita."

Baekhyun mengedikkan bahu pasrah, langsung memanjat ke atas sofa layaknya seseorang kurang
tata krama—sejenak berjongkok di situ dengan tubuh bungkuk guna mengambil laptop dari tas.
Meletakkan barang penting itu pada pangkuan, sang kakak memanfaatkan waktu "loading" untuk
menyiapkan berbagai catatan bahan tugas di meja, otak terlebih dahulu dibuat frustrasi padahal ia
belum memulai pengerjaan. Baekhyun menghembuskan nafas panjang, satu jari secara terbiasa
menggerakkan kursor lewat touchpad—telanjur bersiap-siap untuk menekan dua kali
aplikasi Microsoft PowerPoint—ketika hazel mungil sang kakak menangkap sesuatu menarik
dari wallpaper. Ia seketika terhenti, sebuah senyum penuh nostalgia perlahan tercetak tipis di
wajah, sekilas bertanya-tanya kenapa ia tidak pernah merasa bosan
memandangi wallpaper tersebut.

Ini adalah salah satu foto full team dari acara makan malam bersama, diambil pada bulan Desember
kemarin (alias tujuh bulan lalu) di Seoul.

Baekhyun menatap kelima wajah di sana secara seksama, melakukan pembayangan "before-
after" dalam kepala sambil menggigit bibir untuk tidak keceplosan tertawa. Tiga tahun telah
berlalu sejak ia lulus SMA, dan Baekhyun masih menganggap berbagai perubahan dalam hidup
mereka tergolong signifikan. Ia tidak percaya bahwa masing-masing dari mereka mulai beranjak
dewasa, beberapa bahkan mengalami peningkatan drastis dalam pembawaan sikap maupun
penampilan. Terlepas dari fakta bahwa ini adalah sesuatu yang positif, Baekhyun tetap saja belum
siap melepas masa lalu kocak mereka.

Bae Joohyun. Siapa sangka gadis tomboy ini akan tumbuh menjadi seorang wanita luar biasa
cantik yang mendadak anggun? Sehun nyaris terhenyak melihat penampilan memukau sang kakak
kelas: wajah berlapis makeup natural, pakaian musim dingin serba branded dari bawah ke atas,
dan rambut cat perak yang jatuh sempurna di sekitar lengan. Joohyun berhasil mewujudkan cita-
cita untuk menekuni bidang fashion, mengambil jurusan serupa di Central Saint Martins, Inggris.
Menggunakan nama panggung "Irene", ia sering menjadi model untuk beberapa merk pakaian
terkenal, bahkan mampu menaklukkan hati seorang Yamazaki Kento—si aktor tampan (sekaligus
sangat populer) dari Jepang yang kebetulan menuntut ilmu di sana. Cara makan Joohyun tidak
berantakan seperti dahulu; gadis itu memahami teknologi lebih dari orang lain, dan ia memiliki
pembawaan yang (anehnya) tenang.

Kim Jongin. Sejak memasuki kelas dua belas, ia mulai berhenti terlibat keroyokan untuk rajin
belajar—justru menghadiri kelas-kelas malam di akademi demi mempersiapkan suneung. Meski
sempat putus asa karena pernyataan tidak diterima oleh seluruh universitas idaman, Jongin berhasil
lolos seleksi mahasiswa asing Carleton University di Kanada. Kini ia adalah mahasiswa Ilmu
Ekonomi, dan sebut saja Baekhyun aneh, tapi ia ingin tertawa menyimak lelaki itu berceloteh
nonstop tentang segala hal menyangkut Revolusi Industri Keempat—terlebih karena Jongin
sekarang memakai kacamata, mungkin Baekhyun tidak terbiasa melihat penampilan kurang
preman sang adik kelas.

Oh Sehun. Ia secara resmi mendeklarasikan kebencian pada sains sejak ditolak oleh KAIST,
berbalik haluan dengan mengambil jurusan Sastra Rusia di Universitas Yonsei. Baekhyun tidak
terkejut untuk melihat nol persen perubahan dari sang adik kelas, terkecuali bahwa ia bertambah
tinggi dan menawan layaknya seorang bintang hallyu. Hell, Sehun masih gemar menggosipi orang;
ia telah membentuk squad baru di universitas—parahnya lagi merekruit Jongdae dalam aksi kotor
tersebut. Berada dalam satu lokasi kampus serta relasi teman yang sama mendukung keduanya
untuk berkawan baik, bahkan telanjur dikenal sebagai duo pangeran pemasok gosip Universitas
Yonsei—sebutan unik yang mampu merangsang Baekhyun untuk muntah. Sehun berhasil mencuci
otak Jongdae, mengubah pola pikir sang sahabat menjadi sama rusaknya: mereka bahkan bekerja
sama untuk mengolah ulang banyak gosip demi menciptakan perpecahan dalam struktur sosial
mahasiswa.

Kim Minseok bertransformasi menjadi seorang extrovert: tergabung dalam sejumlah organisasi
penting, dikenal sebagai sang mahasiswa tampan yang suka bersosialisasi dan aktif mengurus
kaderisasi universitas. Ia bolak-balik dikirim ke luar negeri untuk mewakili Temple
University dalam pertukaran pelajar, kadang mengikuti konferensi sosial dan budaya di beberapa
negara wilayah Asia Tenggara. Bersama dua mahasiswa lain asal Korea, Minseok memanfaatkan
kemampuan bisnis mereka untuk membangun online shop, sukses menjual beratus-ratus pakaian
ekspor asal Korea ke pasaran. Ia termasuk salah satu pemegang GPA tertinggi satu angkatan,
berbanding terbalik dengan masa SMA di mana sang teman sering mendapat nilai menengah—
mengulang setidaknya empat dari dua belas mata pelajaran yang diujikan.

Lalu bagaimana dengan nasib Park Chanyeol?

Sejak Son Seungwan menolak penawaran beasiswa mereka, Universitas Tokyo telah
melakukan blacklist pada SMA Caspian selama dua tahun berturut-turut—otomatis
menghancurkan kesempatan lelaki itu untuk melanjutkan studi di sana secara cuma-cuma. Segala
les tambahan bahasa Jepang yang ia tekuni pun berakhir sia-sia; Chanyeol memilih untuk
sebaliknya mendaftar ujian masuk universitas di mana Minseok menuntut ilmu: Temple
University. Mengingat bahwa mereka adalah cabang dari universitas bernama serupa di
Amerika, Temple University cukup mengharuskan mahasiswanya untuk fasih berbahasa Inggris—
sebuah keuntungan besar bagi sang adik yang selalu kurang antusias mempelajari bahasa Jepang.
Chanyeol memilih jurusan Psychological Studies entah atas alasan apa ("Inikah yang kusebut…
mimpi buruk?" komentar singkat Sehun kala mendengar berita barusan), dan percayalah, bahkan
ayah saja sempat meragukan kemampuan lelaki itu untuk mengambil jurusan tersebut. Coba
bayangkan, bukankah janggal jika seorang (mantan) preman tukang keroyok dengan wajah
mengintimidasi 24/7 berkuliah di jurusan Psikologi?

Meski begitu, sang adik berhasil membuktikan pada Baekhyun bahwa ia sudah pensiun dari segala
aktivitas aneh di luar perkuliahan. Chanyeol memulai lembaran baru sebagai seorang mahasiswa
biasa yang aktif dalam kegiatan olahraga, bahkan diangkat menjadi pemain
tetap team basket Temple University. Minseok pernah memberitahunya bahwa Chanyeol adalah
seseorang yang luar biasa populer di kalangan mahasiswa; selain karena wajah tampan berlebihan,
para gadis tampaknya juga menyegani tipe lelaki dengan ekspresi datar sepanjang hari ("Mereka
menganggap itu 'keren'," jelas Minseok, dan Sehun hanya menganga heran). Sang kakak tidak
terkejut; sekilas, lelaki itu memang terlihat sempurna untuk seorang laki-laki berusia awal dua
puluhan: tubuh kurus tapi kekar di bagian lengan, paras menarik, serta kemampuan otak maupun
fisik yang jelas di atas rata-rata. Baekhyun pikir wajar jika semua orang tiba-tiba menyukainya.
Lagi pula, Chanyeol juga terlalu malas untuk menanggapi mereka, malah membiarkan sang kakak
membaca satu per satu chat sebagai media hiburan—hanya ikut tertawa melihat Baekhyun
menyamar sebagai dirinya untuk mengerjai mereka.

Dua bulan sebelum sang adik memulai perkuliahan, ayah membelikan mereka sebuah apartemen
yang terletak di kawasan elit tengah kota Tokyo—mempunyai luas paling kecil namun lebih dari
cukup bagi keduanya. Sang adik tidak sekadar beromong kosong mengenai janji konyol tiga tahun
lalu; ia tiba-tiba diberkahi kemampuan hebat dalam memasak, mencoba berbagai macam masakan
yang menyihir Baekhyun untuk menjadi ketagihan. Chanyeol adalah petugas dapur sejak hari
pertama mereka tinggal bersama, dan Baekhyun kebagian jatah menjadi tukang bersih-bersih yang
merangkap sebagai pengatur apartemen. Chanyeol akan menyerahkan sekotak bekal pada sang
kakak setiap pagi, dan sebaliknya, Baekhyun akan mengurus barang-barang lelaki itu yang tersebar
berantakan ke mana-mana.

Ia pikir tidak akan ada hal yang lebih membahagiakan dari ini.

Untuk tinggal bersama seseorang yang ia paling cintai, berada dalam dekapan Chanyeol saat ia
tertidur, dan melihat wajahnya saat ia terbangun. Untuk mendapat dukungan lelaki itu dalam saat-
saat terberat, sejumlah pijatan menenangkan pada bahu dan ciuman singkat di dahi. Untuk
merasakan seberapa besar cinta Chanyeol lewat hal-hal yang paling sederhana, dada terenyuh
menyadari perhatian terkecil sang adik padanya. Untuk bebas mengungkapkan perasaan melalui
ciuman serta sentuhan mesra kapan pun mereka inginkan, bercinta hingga pagi menjelang dan
berendam dalam bathtub keesokan harinya dengan Chanyeol yang menciumi telinganya.

Mereka adalah rumah bagi satu sama lain, dan ia tidak menyesal untuk menerima ajakan Chanyeol
lebih dari tiga tahun lalu.

Sebuah tangan tiba-tiba menepuk bahu Baekhyun, menyadarkan sang kakak bahwa ia telah
memandang kosong layar laptop selama kurang lebih lima menit—mata berkedip-kedip linglung.

"Jangan melamun," suara Chanyeol berujar lembut di telinga, tangan lelaki itu terangkat untuk
mengusap-usap wajah Baekhyun. "Apa kau mengantuk?"

Sang kakak langsung melipat laptop tanpa mematikannya terlebih dahulu, meletakkan barang
tersebut di meja sembari menguap agak lebar. "Sedikit," ia menyandarkan kepala pada dada
Chanyeol, setengah merangkul pinggang sang adik. "Kau tidak bermain bowling hari ini?"

Lelaki itu menundukkan kepala untuk sekilas mencium rambut Baekhyun. "Changmin mengajak
Minseok ke Osaka, jadi... kami putuskan untuk pergi minggu depan."
Satu hal yang masih mencengangkan bagi sang kakak adalah Chanyeol dan Minseok tiba-tiba
berteman cukup akrab (itu pun karena keduanya sama-sama terobsesi pada musik indie). Lelaki
itu akan mengajak Minseok dan kekasihnya, Changmin, untuk rutin bermain bowling bersama
mereka—tidak lupa menyantap makan malam di restoran sushi langganan setelahnya. Minseok
kadang mengunjungi kedai kopi di mana Chanyeol bekerja untuk sekadar mengobrol,
menunjukkan banyak lagu indie terbaru dengan nama band tidak terkenal—mengacuhkan
Baekhyun yang, well, hanya tertarik pada K-pop. Mereka—termasuk Changmin—bahkan sempat
bekerja sama untuk mengadakan kejutan spesial bagi sang kakak, beramai-ramai
meneriakkan "selamat ulang tahun!" tepat jam dua belas malam dengan kue stroberi dan tiga
hadiah berbungkus poster SNSD.

Baekhyun menguap lagi, mendadak beranjak dari sofa untuk duduk di pangkuan Chanyeol, tangan
mengalungi leher dan kaki merangkul pinggang—wajah menempel pada bahu sang adik.
"Chanyeol," panggilnya lesu, mengulurkan tangan di tengah-tengah mereka untuk menyentuhi
leher lelaki itu. Chanyeol memeluk Baekhyun semakin erat, menepuk-nepuk lambat punggung
sang kakak. "Bisakah kita makan masakanmu saja? Aku malas keluar rumah."

Chanyeol hanya tertawa, memilih untuk tidak menjawab dan malah memulai pembicaraan baru:
"Aku mempunyai sesuatu untukmu."

Baekhyun langsung berpegangan erat ketika lelaki itu mengangkat tubuhnya secara tiba-tiba,
sebentar memperbaiki posisi sang kakak supaya lebih nyaman. Baekhyun melekat pada pundak
Chanyeol seperti seekor koala, lengan memeluk bahu sang adik seraya membaui rambutnya. Ia
ingin menoleh, tapi Chanyeol segera meraba bagian sensitif belakang telinganya, serontak
menyentak Baekhyun untuk menjauh dari sentuhan tersebut. "Tetap di sana," ia memperingatkan,
menggerakkan jemari guna mengelus leher sang kakak. "Jangan bergerak."

Baekhyun mengikuti instruksi lelaki itu, menggembungkan pipi penasaran karena mendengar
bunyi rak yang dibuka lalu ditutup. Chanyeol lantas mengantar keduanya kembali menuju sofa,
mengizinkan saang kakak untuk menatapnya demi menunjukkan beberapa kertas cetak berwarna.
Baekhyun pun menaikkan alis, meraih kertas tersebut dari genggaman sang adik, dan menganga
tercengang begitu membaca isinya. Di sana tercetak tanggal dan waktu tiket penerbangan ke
London beserta keterangan lain seperti hotel dan daftar tempat wisata.

"Meskipun kita sudah mengunjungi arena Harry Potter di Universal Studios Japan, kupikir tidak
ada salahnya jika kita pergi ke London," Chanyeol beralasan, hazel tampak menimang-nimang
bagaimana tanggapan sang kakak. "Pemandangan di sana tidak kalah menarik dari Hogwarts," ia
sejenak terdiam lalu mengangkat satu alis meledek. "Lagi pula, bukankah kau ingin menemui
kekasih artis Joohyun-noona?"

Baekhyun tidak tahu harus berkata apa. "Ini… ini menakjubkan," ucap sang kakak pelan,
memandang bisu beberapa kertas itu. "Terima kasih."

"Sama-sama," Chanyeol tersenyum berseri-seri, mengulurkan tangan untuk mencubit pipi


Baekhyun. "Ini adalah hadiahku untuk third anniversary kita kemarin."
Baekhyun menggenggam jemari sang adik, mengusap-usapnya lembut. "Late present," ia
mengoreksi, sengaja menampilkan ekspresi sarkastis guna menggoda lelaki itu.

Chanyeol memiringkan kepala, menyeringai tampan yang dapat menghipnotis siapa pun untuk
pingsan. "Aku harus terlebih dahulu menunggu gaji part-time."

Baekhyun melongo tidak percaya, menggenggam masing-masing bahu sang adik sembari
mendelikkan mata. "Kau membiayai trip ini sendiri?"

Raut muka Baekhyun membuat Chanyeol tertawa, dan ia pun menggelengkan kepala. "Hanya
setengah," ia menjawab santai, membungkukkan tubuh untuk mengecup dagu sang kakak. "Aku
menggunakan seluruh uang tabunganku dari kerja part-time, DJ, dan sisa uang jajan untuk
menyewa hotel dan biaya makan," sebuah jeda selagi bibirnya agak terangkat ke atas. "Khusus
tiket pesawat dan sangu tambahan adalah sponsor dari Ayah."

"Wow," ujar sang kakak dalam intonasi datar, menatap kertas-kertas itu kagum. "Aku tidak
percaya."

Baekhyun tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi ayah jika beliau tahu apa yang akan putra-
putranya lakukan selama di London. Kegiatan mereka jelas tidak mendekati acara "quality
time bersama saudara kandung" biasa. Apabila ini terjadi tiga tahun yang lalu, ada kemungkinan
besar Baekhyun akan menolak karena rasa bersalah yang memuncak. Tetapi sekarang ia sudah
tidak peduli, terlalu lihai berbohong kepada dunia tentang hubungan terlarang mereka:
bersandiwara layaknya saudara kandung di depan umum, dan menunjukkan afeksi berlebihan
ketika hanya berdua.

Chanyeol terkekeh lagi, mengumpulkan beberapa kertas penting dari genggaman Baekhyun untuk
diletakkan ke atas meja. Ia tiba-tiba mengangkat Baekhyun dari sofa, mengeratkan kaki sang kakak
di sekitar pinggang seraya berjalan menghampiri laci sepatu—mengabaikan protes si mungil yang
berada dalam posisi hampir terjatuh. "Aku lapar," lelaki itu berkata tenang, mengambil jaket dari
pengait guna sengaja dilemparkan pada Baekhyun, diarahkan untuk mengenai kepala sang kakak.
"Pakai jaketmu. Kita akan tetap makan di restoran sushi kesukaanku."

Baekhyun tertawa; ia menunggu hingga Chanyeol selesai mengenakan converse sebelum


menurunkan sang kakak dari gendongan.

THE END
Extra Chapter: Stop!

EXTRA CHAPTER

STOP!

Baekhyun mendorong pintu ke depan, otomatis membunyikan dering bel yang berada pada puncak
pintu kafe—ekspresi seketika cerah melihat kehadiran seorang lelaki tinggi di dekat jendela.

Sudut bibir Chanyeol bergerak ke atas begitu ia memandang Baekhyun; sang adik berhenti
menyesap mochaccino panas untuk menampilkan sebuah senyum lebar. Sang kakak melambaikan
tangan penuh antusias, berlari menghampiri Chanyeol layaknya seorang anak kecil yang
merindukan ibunya. "Yah," Chanyeol tertawa, mengalungkan lengan di sekitar pinggang
Baekhyun untuk membalas rengkuhan beruang sang kakak, menepuk-nepuk punggungnya
menenangkan. Ketika Baekhyun malah mengeratkan pegangan pada bahu Chanyeol, lelaki itu
terpaksa melepas pelukan—perlahan mendorong Baekhyun untuk menjauh secara lembut.
"Baiklah, kita lanjutkan di hotel saja," ia berkata halus, diam-diam memegang tangan Baekhyun
di bawah meja. "Duduklah di sana dan minum susu cokelatmu."

Sang kakak menghembuskan nafas frustrasi, merutuki perjanjian bahwa mereka harus mengontrol
afeksi di depan umum. Setelah tujuh bulan menahan rindu, keduanya bahkan tidak bisa berpelukan
selama lebih dari lima detik tanpa terlihat mencurigakan. Chanyeol baru datang dari Korea tiga
jam yang lalu; ia berencana untuk menghabiskan liburan musim dingin di Tokyo, dan karena
jadwal kedatangan lelaki itu berbenturan dengan kelas mata kuliah utama, Baekhyun jelas tidak
bisa menjemputnya. Inilah alasan di balik keputusan mereka untuk bertemu di kafe dekat kampus
sang kakak. "Seharusnya aku langsung menemuimu di hotel saja," Baekhyun mengoceh kesal,
mengambil tempat duduk di seberang Chanyeol. "Kau tetap menginap di Keisei Ueno-Ekimae,
kan? Letaknya dekat sekali dari sini."

Chanyeol mengamati setiap gerak-gerik terkecil Baekhyun: bagaimana jemari cantik itu
menggenggam sendok untuk mengaduk susu cokelat, bagaimana kulit pucat sang kakak bersinar
di bawah cahaya matahari. "Tidak apa-apa," lelaki itu berkata; ia sempat memandang Baekhyun
ragu-ragu sebelum bertanya, "Apa kau akan menginap bersamaku selama aku di Tokyo?"

"Tentu saja," Baekhyun segera menimpali, merotasi bola mata seolah-olah itu adalah pertanyaan
terbodoh yang pernah ia dengar. "Kita harus menunggu setengah tahun untuk bertemu. Mana
mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan ini?"

Jawaban pedas Baekhyun membawa senyum untuk bertengger di wajah sang adik. Chanyeol
sangat rindu untuk melihat Baekhyun secara langsung, mendengar serangan kata-kata sarkastis
sang kakak tanpa melalui speaker laptop maupun ponsel seperti biasanya. Meskipun mereka selalu
melakukan video call setiap hari, Chanyeol tetap saja merindukan Baekhyun. Aroma memabukkan
sang kakak, bagaimana lembut tangan Baekhyun ketika ia menggenggamnya, dan
betapa nyata suara Baekhyun di telinga lelaki itu sekarang.

Baekhyun menjilat sisa cokelat panas di pojok bibir. "Jadi," ia memulai percakapan baru,
menengadah untuk menatap Chanyeol. "Bagaimana rencanamu ke depan? Kau tahu, setelah
Universitas Tokyo melakukan blacklist pada sekolah kita."

Sejak Son Seungwan—teman satu angkatan Baekhyun—menolak beasiswa cuma-cuma yang


ditawarkan Universitas Tokyo, SMA Caspian harus menerima blacklist selama dua tahun berturut-
turut. Hal ini tentunya menggagalkan rencana lelaki itu untuk melanjutkan studi ke sana, kendati
telanjur mengikuti kelas rutin bahasa Jepang setiap minggu. "Antara Temple
University atau Takushoku University," Chanyeol memberitahu, menaikkan bahu santai.
"Bagaimana menurutmu?"

"Dua-duanya bagus," Baekhyun mengangguk, menyetujui pilihan sang adik. "Kalau kau berkuliah
di Temple University, kau akan bertemu Minseok."

Chanyeol memandang Baekhyun tidak tertarik. "Terima kasih atas informasimu yang sangat
berguna."

"Kau ingin mengambil Ilmu Politik, kan?" Baekhyun tiba-tiba mengalihkan topik, mengingat sesi
curahan hati Chanyeol dua minggu yang lalu. Ia ditimpa kebimbangan antara memilih Ilmu Politik
atau Ilmu Komunikasi. "Takushoku University terkenal untuk jurusan tersebut."

Chanyeol meringis. "Entahlah," ia menghela nafas, mengangkat cangkir ke mulut untuk meneguk
sedikit mochaccino panas. "Akhir-akhir ini aku tertarik dengan Psikologi..."

Manik mungil Baekhyun melebar tercengang, hazel tampak indah oleh serpihan sinar matahari.
"Tidak," ia menggeleng panik, tangan nyaris membanting meja dramatis. "Tidak,
Chanyeol. Tidak. Psikologi jelas bukan bidangmu. Percayalah."

Pendapat terang-terangan sang kakak membungkam mulut Chanyeol untuk melawan. "Hm," ia
melirik ke luar jendela, memandang kosong sejumlah orang yang berlalu-lalang. Meskipun
Chanyeol tidak menampilkan ekspresi apa-apa, Baekhyun tahu bahwa pernyataannya telah
mengecewakan lelaki itu. Ia terlalu mengenal Chanyeol untuk mudah membaca raut muka sang
adik; Chanyeol sering sekali mengalah demi menghindari adu mulut. "Aku akan mengambil Ilmu
Politik, kalau begitu."

"Maksudku," Baekhyun terburu-buru menambahkan, ingin mematikan tensi canggung ini.


Chanyeol akhirnya menoleh untuk mengembalikan kontak mata mereka. "Kalau kau memang
tertarik dengan Psikologi, kau bisa mencoba Temple University..." ia berujar tidak yakin,
"Mungkin kau cocok di sana."

Chanyeol tersenyum tipis. "Akan kupertimbangkan lagi."


Mereka sekilas terdiam, menikmati lagu akustik berbahasa Inggris yang terputar lewat speaker di
sekeliling ruangan. Baekhyun kemudian berdeham. "Bagaimana keadaan Jongin?" ia mengganti
tema pembicaraan lagi, "Masih belajar keras untuk SNU?"

Chanyeol mengangguk. "Ia jarang keluar rumah sekarang," ia bercerita, gigi mengintip dari balik
bibir saat ia menyeringai kecil. "Tiada hari tanpa belajar."

"Berbeda denganmu, hm?" Baekhyun berbalik menyerang, mempertahankan raut muka kosong
ketika Chanyeol justru tertawa. "Tiada hari tanpa bermain game online."

"Cuma dua jam sehari, oke?" sisa-sisa tawa masih berhamburan dari mulut lelaki itu. Chanyeol
mencondongkan tubuh untuk mencubit dagu sang kakak. "Kau selalu meneleponku setiap aku
sedang bermain game."

Sang kakak hendak menangkas elakan Chanyeol dengan ledekan lain, namun sebuah suara tiba-
tiba menginterupsi perbincangan mereka.

"Baekhyun?"

Keduanya sama-sama menoleh ke sumber suara tersebut, hazel kembar memandang seorang
pemuda tinggi di samping Baekhyun. Ia memiliki kulit pucat; rahang tegas yang terpahat sempurna
untuk wajah yang tampan. Baekhyun mendelikkan mata, berdiri untuk setengah membungkuk.
Chanyeol menatap keduanya datar. "Bogum-sunbae," ia menyapa sopan, "Senang
bertemu sunbae di sini."

Pemuda itu adalah Park Bogum, seorang mahasiswa Fakultas Hukum semester enam asal Korea
Selatan. Mereka saling mengenal karena Bogum pernah menempati kamar seberang Baekhyun di
asrama Universitas Tokyo. "Halo," ia memaparkan senyum memikatnya pada Baekhyun; akan
tetapi, senyum itu langsung luntur saat ia melihat Chanyeol. "Oh," bahkan nada bicara pemuda itu
pun berubah, "Ini siapa?"

Baekhyun mengabaikan tatapan terganggu Chanyeol untuk memperkenalkan lelaki itu, "Ini adalah
adikku," ujarnya riang, memandang sang adik sebagai isyarat supaya ia ikut memberi salam.
Chanyeol melaksanakan persis perintah Baekhyun, bangkit dari kursi untuk membungkuk di
hadapan Bogum. "Namanya Chanyeol. Ia baru tiba di Tokyo tadi siang."

"Ah," ekspresi cerah merujuk ke wajah sang kakak tingkat. Chanyeol tidak tersenyum sama sekali.
"Salam kenal." Kurangnya reaksi lelaki itu membuat Bogum terpaksa mencari obrolan baru,
mengangkat alis main-main ke arah Baekhyun. "Kakakmu bilang kau adalah seorang adik yang
menggemaskan."

Baekhyun terkikik puas; ia mengulurkan tangan untuk mengacak-acak rambut Chanyeol. "Lihat
saja matanya," ujar Baekhyun bersemangat, meniru bentuk manik lelaki itu. Bogum tertular virus
ceria sang adik tingkat untuk terbahak. "Lebar dan cantik. Aku pikir Chanyeol sangatlah
menggemaskan."
Chanyeol biasanya akan menggeram protes setiap Baekhyun menyebutnya "menggemaskan",
menarik sang kakak mendekat untuk menggigit telinganya (ia akan melakukan ini saat mereka
sendirian), atau sekadar menyalurkan kekesalan lewat tatapan datar. Tetapi kali ini Baekhyun tidak
bisa menelaah bagaimana air muka lelaki itu, membisu di sana tanpa berkomentar apa-apa.
Ekspresi lelaki itu hampa; ia mengabaikan Baekhyun dan Bogum untuk menyesap minuman,
mengaduk sendok dalam cangkir guna melarutkan bubuk kopi. Sang kakak lama-kelamaan
berhenti tertawa.

Bogum menggelengkan kepala. "Lucu sekali," ia bilang, sekilas menyentuh puncak kepala
Baekhyun. Tindakan mencurigakan itu tidak lolos dari pengamatan Chanyeol. "Sekeren apa pun
seorang adik akan selalu terlihat menggemaskan bagi kakaknya. Kau setuju?"

Baekhyun masih melirik Chanyeol. "Huh?" ia menggumam linglung, perlahan menyadari


perkataan sang kakak tingkat lalu asal mengangguk saja. "Hm."

"Aku akan pergi dahulu," Bogum berpamitan ramah, mengangguk ke direksi Chanyeol kemudian
melambaikan tangan pada Baekhyun. Sang adik tingkat memaksakan sebuah senyum. "Silahkan
bersenang-senang."

Baekhyun tidak perlu berpikir panjang untuk menebak apa yang Chanyeol akan lakukan.

Lelaki itu tiba-tiba bangkit sembari mengeratkan mantel.

"Aku akan kembali ke hotel."

Jalan kaki selama sepuluh menit ditempuh dalam keheningan. Keduanya sama-sama tidak
berbicara: Chanyeol tampak marah, dan Baekhyun kebingungan harus bersikap bagaimana. Sang
kakak akan sesekali mencuri pandang ke direksi Chanyeol, tetapi lelaki itu tidak menampilkan
ekspresi sama sekali. Ia termenung selagi mereka menunggu lift untuk naik ke lantai tujuh, keluar
dari sana tanpa memulai percakapan apa pun. Baekhyun tidak tahu kesalahan apa yang ia telah
lakukan.

Barulah ketika mereka memasuki kamar, Chanyeol tiba-tiba membalikkan tubuh untuk menatap
Baekhyun.

"Aku bukan anak-anak lagi, Baekhyun."

Baekhyun menganga. "Tapi," ia berhenti, sejenak kehilangan kata-kata untuk berbicara apa. Sang
kakak bahkan tidak mengerti apa maksud lelaki itu. "Tapi... kau memang bukan anak-anak?"
Chanyeol menghela nafas. "Berhenti menyebutku menggemaskan," ia akhirnya membahas titik
permasalahan, memandang Baekhyun serius. "Terutama di hadapan seseorang yang
menyukaimu."

Baekhyun semakin melongo, masing-masing alis mengernyit heran. "Sunbae tidak menyukaiku—
"

"Ia menyukaimu," Chanyeol cepat-cepat memotong, menduduki tempat tidur


dengan hazel menatap ke jendela, mengamati seperempat kota Tokyo dari atas hotel. "Ia bahkan
menyentuh kepalamu tadi. Bagaimana mungkin kau tidak menyadarinya?"

Baekhyun sempat mematung di sana layaknya orang bodoh, menimang-nimang tindakan apa yang
harus ia ambil sekarang. Sang kakak pun memutuskan untuk menghampiri Chanyeol, meletakkan
lengan pada bahu lelaki itu dan membaringkan kepalanya di dada—tangan mengusap-usap rambut
sang adik. "Maafkan aku," ia ragu-ragu berkata, karena ia memang tidak mempunyai kalimat lain
untuk diucapkan. Chanyeol membungkukkan tubuh guna menenggelamkan wajah
di sweater beraroma stroberi sang kakak. "Jangan marah?"

Chanyeol merengkuh Baekhyun lebih dekat, lengan menemukan rumah mereka di sekitar
pinggang sang kakak. "Berhenti memperlakukanku seperti anak kecil," ia mengulangi
peringatannya, suara tertelan oleh kain tebal sweater Baekhyun. "Aku sudah cukup kesal dengan
diperkenalkan sebagai adikmu."

Baekhyun mengerucutkan bibir, sedikit kesal kenapa Chanyeol terlalu mempermasalahkan status
mereka. "Tapi kau memang adikku."

"Aku tahu," Chanyeol menggeram lemas, menaikkan kepala untuk mulai menciumi leher
Baekhyun, menghirup tenang parfum sang kakak. "Hm," ia menengadah guna menatap Baekhyun,
mempertemukan hazel identik mereka dalam kontak mata yang intens. "Aku merindukanmu."

Baekhyun malah tertawa. "Kau tahu," ia memulai, menggunakan satu tangan untuk menutup
bibirnya. "Kau bilang kau tidak ingin diperlakukan seperti anak kecil, tapi kau terus bertindak
menggemaskan seperti ini. Dasar aneh."

Chanyeol merotasi bola mata, namun ia terkekeh. "Yah," ia agak bangkit untuk menggigit telinga
Baekhyun, suatu kebiasaan yang akan ia lakukan setiap ia dianggap "menggemaskan" oleh sang
kakak. "Berhenti."

"Kenapa kau begitu benci dipanggil menggemaskan?" Baekhyun merenggangkan pelukan mereka
untuk menatap Chanyeol penuh protes. Ia meletakkan masing-masing tangan di pipi lelaki itu
untuk menggerak-gerakkan wajahnya—menyentuhi kulit sang adik agak kasar. "Kau
menggemaskan, oke?" Baekhyun berseru, mendelikkan mata seolah-olah ia tengah menggoda
seekor anjing kecil. Kalaupun Chanyeol kesal diperlakukan seperti ini, ia tidak melawan. "Super
menggemaskan."
Lelaki itu lantas mencengkeram kedua tangan Baekhyun, menarik tubuh sang kakak untuk terjatuh
ke atas tempat tidur—mengaitkan kaki mereka hingga Baekhyun tidak bisa bergerak, mengabaikan
teriakan protes sang kakak untuk dilepaskan. Kini mereka sama-sama terlentang, lengan saling
merangkul dan tubuh melekat pada satu sama lain—mendengarkan samar bunyi kendaraan yang
berlalu-lalang di luar. Chanyeol membenamkan wajahnya pada leher Baekhyun, bibir bergerak di
sana untuk menanamkan ciuman-ciuman kecil. Sang kakak menghembuskan nafas lega.

"Ayo tidur."

Chanyeol tiba-tiba berujar, menguap lebar bersama mata yang lambat laun terpejam. Lelaki itu
membaringkan kepala di dekat dada Baekhyun, menjadikan bunyi detak jantung sang kakak
sebagai lagu pengantar tidur.

Baekhyun seketika tertawa, entah atas alasan apa, suara menyebabkan vibrasi yang menggetarkan
tubuh lelaki itu. Chanyeol semakin merapatkan posisi tubuh mereka. "Tidur atau tidur?" goda
Baekhyun, yang mana memperoleh dengusan dari Chanyeol.

Sang adik cuma mengerang protes. "Baekhyun."

Baekhyun belum berhenti terkikik. "Oke, aku akan diam."

EXPLANATION

Berikut adalah penjelasan lengkap dari "misteri-misteri" kurang penting yang terselip dalam FF
ini. Entah kalian sadar atau tidak.

Selamat merasakan sensasi klise akut ala K-drama yang disengaja.ヽ(ヅ)ノ

1. Tentang Chanyeol membalas dendam ke beberapa orang yang berani mengganggu hidup
Baekhyun: Yifan (chapter 1), Krystal (chapter 4), dan Namjoon (chapter 6). Mungkin fakta ini
sudah bisa diketahui sejak kejadian Namjoon di chapter 6.

2. Kalau kalian ingat di chapter 2 saat Baekhyun pulang malam dari game center (setelah
pertemuan pertama dengan Sehun), ia mendapat SMS dari "ayah"-nya. Yep, seperti penjelasan
yang sudah aku ditulis dalam interlude ini… yang pengirim pesan tersebut adalah Chanyeol.
Sebagai pengingat, berikut cuplikan SMS-nya:

Dari: Ayah
Untuk: Baekhyun

Baekhyun, aku baru menelepon rumah. Chanyeol memberitahuku bahwa kau tidak ada di sana.
Pulanglah sekarang! Tidak baik pulang larut malam.

Chanyeol kurang ahli menyamar sebagai ayah, tapi Baekhyun gagal menyadari kejanggalan SMS-
nya. FYI: kalau ngobrol sama anak-anaknya, si ayah tidak pernah memakai "aku"—melainkan
"ayah" biasa. Kalau gagal paham maksudku, coba kalian baca ulang percakapan mereka sama
ayah. Aku sengaja tulis begini SMS-nya biar sedikit menunjukkan bahwa yang kirim adalah
Chanyeol. Adakah yang menyadari? Soalnya clue sudah lumayan bertebaran khusus yang ini.
Kalau tidak sama sekali berarti aku yang gagal membuat FF ini sok misterius. Memang gagal sih,
LOL.

3. Ini gaje as hell, tapi kalau kalian flashback ke chapter 2: ada bagian si "bos" menendang kaleng
Sprite… ya, itu sebenernya adalah salah satu kaleng Sprite-nya Chanyeol. Aku tidak yakin kalian
akan sadar atau tidak, however, cek cuplikan berikut ini:

| "Tahan amarahmu," mereka mengingatkan, beberapa kaleng Sprite di sebelah kiri semakin
berserakan karena tertendang kaki mereka. "Ia cuma anak kecil biasa. Mangsa tidak menarik. Kita
bawa ponselnya saja." ||

Ya, ada alasan tersembunyi kenapa aku tulis detail soal merk kalengnya, LOL. Aku cuma ingin
menggambarkan—lewat hal yang alay, tidak penting, dan sederhana—bahwa Chanyeol itu
sungguhan stres keliling kompleks ditemani sekaleng Sprite. Nah, saking banyaknya minum Sprite
(plus dibuang sembarangan pula), di situ aku tulis kalau ada kaleng tersebar di mana-mana. Ini
cuplikan yang lain:

|| Bos membuang liur kesal. "Membutakan mataku?" ia asal-asalan menendang salah satu
kaleng Sprite di tanah, menaikkan kepala guna menatap Baekhyun dari bawah ke atas—ekspresi
sang preman terlihat meremehkan. ||

Demi mendukung sekaligus memperjelas fakta bahwa kaleng-kaleng itu memang bekas Chanyeol,
aku sengaja menyertakan satu clue tambahan dengan nulis bagian ini:

|| Chanyeol melepas cengkeramannya, sejenak menoleh ke direksi Baekhyun untuk melempar


sekaleng Sprite pada sang kakak. "Byun," ujarnya datar, dan ketika Baekhyun berhasil menangkap
kaleng tersebut, ia melayangkan pandangan bingung pada lelaki itu. "Biar kuberi pelajaran bocah
ini." ||

Bahkan saat Chanyeol akhirnya ketemu sama Baekhyun, dia masih tetap minum Sprite.

Sebenarnya aku buat begini untuk menekankan bahwa tidak ada kejadian yang "bukan disengaja".
Kurang masuk akal kalau Chanyeol tiba-tiba di sana untuk menolong Baekhyun kalau bukan
karena dia yang memang rela keliling-keliling kompleks demi nungguin Baekhyun dari halte?
4. Ini juga tidak kalah gaje dan klise, tapi… kalau kalian coba flashback ke chapter 3, ada bagian
Chanyeol yang menyuruh Baekhyun untuk ketemuan di atas atap demi mengembalikan baju
olahraga (yang setelah kalian ketahui di sini ternyata SENGAJA dituker oleh Chanyeol—cuman
dia pinter merekayasa seperti seakan-akan itu salahnya bibi Eunji). Nah, tapi bukan di situ poin
pentingnya. Coba cek cuplikan berikut:

|| Baekhyun hendak balik membantah, tetapi ia tidak sengaja melihat perban tipis yang melilit
ketiga jari tengah Chanyeol—alis otomatis mengernyit karena heran. Menyadari ekspresi
Baekhyun, keparat itu langsung menyembunyikan tangannya ke belakang—memicu sang kakak
untuk memutar mata. "Kenapa?" ejeknya, mengangkat satu alis. "Kau pikir aku akan khawatir
hingga menghujanimu pertanyaan seperti 'hey, dongsaeng, kau tidak apa-apa? Mau hyung
rawat?'?" ||

Menemukan sesuatu yang janggal? Hell yeah! Di interlude sudah aku tulis bahwa Chanyeol merasa
bersalah saat Baekhyun menusuk kakinya sendiri dengan bekas pecahan gelas (chapter 2 – adegan
paling terakhir) dan supaya impas, dia sengaja menggores jari-jarinya sendiri lebih parah. Ketika
Baekhyun melihat perban itu, tentunya Baekhyun tidak mungkin berpikir sejauh itu, kan? Tapi
berbeda sama Chanyeol. Dia tetap khawatir kali-kali Baekhyun curiga kalau Chanyeol sengaja
melakukan itu atas perasaan bersalah—apalagi anak itu tidak jago berbohong. Chanyeol harga
dirinya tidak jauh beda dengan Baek (LOL) jadi sangat gengsi kalau sampai ketahuan.

5. Flashback ke chapter 8. Bagian ChanBaek hendak selca.

|| Baekhyun mengendikkan bahu santai. "Okay, leggo—" ia berhenti, dan menatap ponsel Chanyeol
terkejut. "—wah, kau ganti ponsel?"

Chanyeol adalah pengguna setia iPhone—ponsel yang sering ia pakai adalah iPhone 6s, tapi kali
ini ia malah membawa ponsel lokal: Samsung S5. Untuk beberapa detik, sang adik sempat terlihat
kebingungan, seolah-olah ia baru tertangkap basah mencuri empat televisi di toko elektronik.
Namun perubahan ekspresinya terjadi begitu cepat—dari panik menjadi datar—hingga Baekhyun
gagal menyadarinya. "Ah, tidak..." ia tersenyum tipis, mengangguk lambat seperti kurang yakin.
"Aku mempunyai dua ponsel."

Baekhyun menatap Chanyeol aneh. "Kenapa kau tidak pakai iPhone 6s saja? Bukankah lebih
bagus?"

"Tidak penting," Chanyeol menyerahkan ponselnya kepada Baekhyun. "Ayo selca." ||

Ini bukan sekadar untuk menambah-nambahkan percakapan atau promosi terselubung ya, OTL.
Setelah kalian baca interlude tadi, kalian pasti nyambung kenapa Chanyeol langsung panik
mendengar pertanyaan Baekhyun. Seperti yang aku bilang barusan, dia bukan pembohong
handal—meskipun wajahnya datar 24/7, tetap saja di depan Baek, Chanyeol menjadi rada kurang
percaya diri. Dia takut ketahuan, walau Baekhyun sendiri pun pasti tidak mungkin berpikir sejauh
itu.
[!] Kalau kalian lupa apa yang buat Chanyeol panik, itu karena Chanyeol punya dua ponsel
berbeda: yang satu buat dia pake sendiri (alias iPhone terbaru yang dia bawa ke mana-mana dan
Baekhyun juga taunya Chanyeol cuma punya ponsel ini), sedangkan yang satunya (alias Samsung)
dia pake buat mantau Baekhyun dengan nyamar jadi ayah—karena tentunya Chanyeol yang dulu
terlalu gengsi buat bilang kalau dia khawatir sama Baek 24/7.

6. 1) yang ingat di chapter 10 Jongin pernah memberitahu Baekhyun soal foto "pacar pertama"
Chanyeol, orangnya sudah terjawab di sini. 2) yang penasaran kenapa Chanyeol bisa menemukan
Baekhyun di 7-eleven, itu juga sudah terjawab di sini. 3) alasan kenapa Chanyeol mencium Jinri
di chapter 12. 4) siapa cinta pertama Chanyeol yang sekilas dibahas di chapter 9. 5) keroyakan
pertama Chanyeol kelas 7 yang sekilas dibahas di chapter 9.

7. Interlude ini terbagi jadi 16 "bagian" dengan latar waktu sebagai berikut:

(×) 1 – 8: masa lalu; tidak tertulis dalam cerita, tapi ada salah satu bagian yang termasuk dalam
sekilas flashback di chapter 1

(×) 9: pembahasan masa lalu, langsung loncat ke chapter 2 – 3

(×) 10: chapter 4 – 5 (pertengahan)

(×) 11: chapter 7 (menjelang akhir)

(×) 12 – 13: chapter 9

(×) 14: chapter 10 – 11

(×) 15: chapter 12

(×) 16: chapter 13 – 14 (awal)

P.S: Silahkan cari satu per satu bagian secara mandiri.

8. Sebelum kalian membaca chapter 16, aku menyarankan kalian untuk terlebih dahulu membaca
teliti interlude ini. Akan ada satu bagian di ending yang akan berhubungan dengan satu bagian di
sini yang sekilas terlihat kurang penting.

Sedangkan untuk arti judul sendiri, "Return of the Dandelion" diambil dari perspektif Chanyeol,
yang mana ia selalu melihat Baekhyun sebagai kebahagiaannya—menurut beberapa artikel yang
aku baca, bunga dandelion mempunyai arti long lasting happiness. Judul "Return of the
Dandelion" sendiri adalah sinonim dari "Return of (Chanyeol's) Happiness". Ya, singkatnya:
dandelion adalah Baekhyun, alias Chanyeol's one and only happiness. Judulnya pun berhubungan
dengan jalan cerita RotD, yakni berfokus pada Baekhyun yang tiba-tiba kembali ke kehidupan
Chanyeol. Hence the title, "Return of the Dandelion". Their story only starts when Baekhyun
returns to Chanyeol… itulah kenapa dari chapter satu kisah mereka langsung dimulai dari
Baekhyun yang sudah tinggal sama Chanyeol dan ayahnya—tanpa mengambil fokus ke flashback-
flashback masa lalu. Karena kisah mereka di sini memang hanya berfokus dari awal kembalinya
Baekhyun saja.

Lantas kenapa harus bunga dandelion?

1) Dengan mengadaptasi filosofi bunga dandelion, aku mikirnya seperti ini: perasaan Chanyeol
pada Baekhyun itu sekilas terlihat rapuh (oleh kekecewaan masa lalu dan anggapan bahwa
Baekhyun telah meninggalkannya), namun di sisi lain, cinta itu terus bertumbuh semakin besar
dan kuat sampai Chanyeol terjebak dalam perasaannya sendiri selama bertahun-tahun. Sama
layaknya bunga dandelion yang walau terlihat rapuh tetap mampu bertahan melawan angin dan
benihnya yang jatuh pun akan tetap tumbuh di mana saja—gambaran perasaan Chanyeol ke
Baekhyun sama persis seperti itu. Mau seburuk apa perlakuan Baekhyun pada Chanyeol, ia tidak
bisa melupakan Baekhyun. Perasaan itu tetap bertahan dan tumbuh meskipun sudah banyak hal
yang seharusnya bisa membuat Chanyeol cepat move on dari Baekhyun. Aku yakin kalian mudah
relate hubungan filosofi bunga dandelion barusan dengan perasaan Chanyeol.

2) Selain kebahagiaan, bunga dandelion juga mempunyai arti lain seperti kesetiaan (layaknya
perasaan Chanyeol ke Baekhyun) dan kehangatan (gambaran Baekhyun bagi Chanyeol, begitu pun
sebaliknya).

3) Menurutku bunga dandelion sendiri bisa mewakilkan perasaan Chanyeol ke Baekhyun: sekilas
tampak polos dan sederhana, tapi berefek besar ke Chanyeol. Seperti bunga dandelion yang terlihat
sederhana tapi sebenarnya berguna untuk kesehatan atau bunga dandelion yang malah jadi perusak
bagi tanaman, efek perasaan terlarang Chanyeol ke Baekhyun itu bisa menyembuhkan dan
membunuh Chanyeol sekaligus. Chanyeol paling bahagia saat dia bersama Baekhyun. Tapi kalau
dia sudah berpisah dan terlibat konflik dengan Baekhyun, terlebih kalau dia merenungi rasa
bersalah tentang "semuanya" (kalian mengerti maksudku, kan?), perasaan itu akan membuat dia
menderita bukan main—apalagi Chanyeol sering berpikir bahwa semua adalah salahnya.
Perumpamaan ini juga cocok untuk menggambarkan perasaan Baekhyun ke Chanyeol, tapi aku
akan lebih menekankan ke Chanyeol karena yang sudah benar-benar menderita di sini adalah
Chanyeol. Dia sudah memendam perasaan selama bertahun-tahun, sementara Baekhyun baru-baru
saja.

4) Bunga dandelion juga bisa mewakilkan ChanBaek dalam hal ini. Fakta bahwa bunga itu sering
dipandang sebelah mata karena dianggap hama juga cocok untuk mendeskripsikan hubungan
Chanyeol dan Baekhyun. Saudara kandung saling jatuh cinta adalah sesuatu yang tentu tdianggap
"perusak" bagi masyarakat umum. Layaknya bunga dandelion yang harus dihilangkan supaya
tidak merusak tanaman, hubungan incest (apalagi antar saudara kandung) juga dianggap tidak jauh
beda dari perumpamaan itu. Meskipun ini terdengar kasar, kita tahu sendiri bahwa realitanya,
incest dianggap sebagai tabu yang menjijikkan dan masyarakat—termasuk kita sendiri—tidak
akan tinggal diam melihat hubungan incest berkeliaran begitu saja.

5) Kenapa harus bunga dandelion di antara bunga yang lain? Well, itu karena aku terinspirasi
dengan post di IG Chanyeol dulu. Kurang yakin kalian ingat atau tidak, tapi zaman dulu sekali dia
pernah post foto tangannya lagi pegang dandelion. Sewaktu itu aku iseng cari arti bunganya dan
kepincut sama filosofi sekaligus arti super meaningful di balik dandelion—sekalian berdelusi
kalau bunga itu adalah kodenya Chanyeol ke Baekhyun, haha. Setelah aku selesai nulis kerangka
RotD, aku mendadak teringat bunga dandelion dan sadar kalau segala tentang bunganya (baik
filosofi dan fisiknya yang menyimbolkan kesederhanaan) sangat cocok dengan ChanBaek di AU
ini.

Ya, ya, aku paham judulnya memang terdengar gaje dan aneh sekilas; aku sendiri ya sempat
ngerasa aneh dulu pas awal-awal kepikiran judul ini. Tapi entah mau berapa kali aku berusaha
maksa untuk memakai judul selain "RotD", aku akhirnya tetap balik sama judul ini juga. It just fits
this story perfectly… as long as you understand the deep (lebay) meanings behind it. Itulah kenapa
aku sengaja jelaskan arti judul setelah RotD tamat. Aku pengen kalian merasakan dulu semua
manis-pahit yang terjadi di antara ChanBaek dan sungguh-sungguh memahami kisah mereka. Biar
nanti pas aku buat penjelasan tentang judulnya, kalian akan otomatis nyambung sekaligus
mendalami (ehe).

Berikut adalah beberapa informasi tambahan untuk melengkapi penjelasan.

1) Bunga dandelion di FF ini sebenarnya cuma aku anggap sebagai simbol penting yang
mengandung banyak arti dan tidak terlalu wajib untuk dimunculkan dalam cerita. Tapi aku mutusin
untuk tetap rekrut dia jadi cameo di ending karena dari awal aku sudah membayangkan gimana
imutnya Chanyeol merekam Baekhyun lagi niupin bunga dandelion. Juga sekalian sebagai bentuk
apresiasiku karena, after all, aku sudah pinjem ini-itu bunganya untuk mereka.

2) Meskipun POV kebanyakan berpusat pada Baekhyun, tokoh paling utama FF ini adalah
Chanyeol. Itulah kenapa aku memakai perspektif Chanyeol sebagai judul dan menuliskan interlude
untuk memberi gambaran jelas tentang karakternya. Kalian wajib paham bagaimana kisah dan
karakteristik si tokoh utama.

3) Ini adalah penjelasan bagi kalian yang masih bingung sama maksud ending kemarin. Bagi kalian
yang sudah ngerti, silahkan tetap membaca karena mungkin saja interpretasi kalian kurang tepat.
Waks.

Jawaban sebenarnya terselip dalam satu paragraf di interlude Chanyeol kemarin. Coba resapi baik-
baik terus tinggal sambungin. Berikut adalah cuplikan dari satu paragraf itu.

|| Ia lalu menundukkan kepala, memandang sejumlah bunga dandelion yang tersebar ke mana-
mana sebelum mencabut asal salah satunya untuk diamati. Perkataan konyol seorang idiot sekilas
bermain di telinga, dan ia pun meniupnya keras, nafas langsung menyerbu seluruh benih-benih
bunga untuk terbang menyatu bersama angin sepoi-sepoi. Lelaki itu mengangkat alis,
menggelengkan kepala kecil kemudian membuang tangkainya ke tanah—menghapus bayangan
seseorang yang sempat terlintas di kepala saat meniup bunga dandelion. ||

Berikut adalah cuplikan dari ending kemarin.

|| "Apakah kau pernah mendengar legenda lama tentang bunga dandelion?"


Jari telunjuk Baekhyun bergerak pada layar untuk mengecek hasil jepretan tadi; sang kakak tidak
balik menatap Chanyeol ketika ia bertanya, "Legenda apa?"

"Jongin bilang jika kau meniup seluruh kelopaknya dalam sekali hembusan," lelaki itu belum
berhenti memandangi bagaimana serangga tadi melompat dari satu bunga ke bunga yang lain.
"Seseorang yang kau cinta akan membalas perasaanmu."

Baekhyun seketika terkikik mendengar legenda bodoh tersebut. Ia tidak menyangka Jongin akan
memercayai kekonyolan ini. "Apa kau percaya?"

"Tidak," Chanyeol segera menyangkal, setengah tertawa karena terpengaruh oleh cekikikan sang
kakak. Ia mencuri jeda selama beberapa detik, menghirup udara tenang sebelum berkata dalam
nada yang tiba-tiba serius, "Tapi setelah apa yang terjadi padaku sekarang, kurasa legenda itu ada
benarnya."

Jawaban Chanyeol menyebabkan Baekhyun untuk akhirnya mengalihkan pandangan dari ponsel.
"Maksudmu?" ia mengerjapkan mata bingung, tidak lagi tertawa karena gagal mencerna perkataan
lelaki itu.

"Maksudku," Chanyeol sekilas melirik jam tangan pada pergelangan. "Kita harus berhenti
mengobrol untuk mengurus keperluan pesta kejutan." ||

Oke. Jadi, melalui tulisan yang digaris bawahi, kalian bisa tahu bahwa "seorang idiot" yang
dimaksud dalam narasi paragraf interlude Chanyeol adalah Jongin. Di paragraf itu, kalian belum
tau tentang apa "perkataan konyol" si Jongin, tapi isi perkataan itu terbongkar juga dalam ending
chapter 16.

Kembali pada satu paragraf sekilas di interlude Chanyeol. Saat dia ambil bunga dandelion, dia
tentunya teringat sama legenda konyol yang diomongin si Jongin ("Jongin bilang jika kau meniup
seluruh kelopak bunga Dandelion dalam sekali hembusan, seseorang yang kau cintai akan
membalas perasaanmu.") Dia asal coba niup bunganya sambil memikirkan Baekhyun, agak
berkhayal semoga suatu saat Baekhyun bisa balas perasaannya (meskipun itu sebenarnya kurang
pantas dan tidak masuk akal untuk dipikirkan). Setelah itu, entah gimana Chanyeol beneran bisa
niup seluruh benih bunganya dalam sekali hembusan.

|| Lelaki itu mengangkat alis, menggelengkan kepala kecil kemudian membuang tangkainya ke
tanah—menghapus bayangan seseorang yang sempat terlintas di kepala saat meniup
bunga dandelion. ||

Alasan kenapa Chanyeol langsung bereaksi begitu setelahnya jelas karena dia mikir sangat
mustahil bagi Baekhyun untuk beneran suka sama dia layaknya apa yang legenda itu bilang
(sekalipun Chanyeol memang berhasil niup benih bunganya dalam sekali hembusan). Lagi pula,
saat itu pun mereka juga sudah terpisah bertahun-tahun, jadi Chanyeol otomatis anggap itu
sangat, sangat mustahil untuk tercapai—terlepas dari fakta bahwa mereka adalah saudara kandung
dan tidak mungkin bersatu. Tapi—mengutip dari apa yang Chanyeol katakan dalam ending chapter
16—setelah semua yang terjadi di antara mereka, dia jadi mikir kalau legenda itu mungkin tidak
sekonyol anggapannya dulu. Buktinya, entah kebetulan atau gimana, tidak lama setelah dia
berhasil asal niup bunga itu, dia dipertemukan lagi sama Baekhyun hingga mereka berdua akhirnya
pacaran (meskipun secara diam-diam). Quite deep, huh?

4. Entah kalian sadar atau tidak, aku mau sekalian jelasin tentang percakapan mencurigakan yang
terselip di chapter 16. Yep, hal-hal sok misterius tampaknya belum berhenti sampai di chapter-
chapter kemarin saja.

Jelas tersembunyi suatu kejanggalan di sana.

|| "Ah, hyung! Aku ingin menanyakanmu sesuatu!" sebuah jeda akan Jongin yang terbatuk-batuk,
"Bisakah kau menuliskan alamat penjual mi hitam langganan kalian?" ia melipat tangan untuk
meniru ekspresi stiker memohon. "Lebih tepatnya, mi hitam yang dahulu kau bawakan ke rumah
sa—"

Chanyeol tiba-tiba mengarahkan posisi Jongin untuk menghadap Joohyun, Minseok, dan Sehun,
mengabaikan bagaimana canggung ketiga orang tersebut menanti kehadiran Baekhyun. Sang
kakak melongo begitu menyadari bahwa para gossipers telah mengajaknya berfoto sejak tadi.
"Mereka memintamu untuk mengambil gambar."

Wajah Jongin seketika cerah melihat Sehun. "Benarkah? Untung saja aku membawa kamera," ia
mengangkat dua alis sekaligus, mengejar langkah tergesa-gesa Chanyeol untuk mendatangi
mereka—Baekhyun harus agak jogging demi menyamai kecepatan jalan keduanya. "Mi hitamnya
sangat enak!" Jongin belum selesai berbicara, dan Chanyeol menggertakkan gigi geram ketika si
sahabat meneruskan, "Aku ikut mencicipi sedikit karena dokter tidak memperbolehkan Chanyeol
untuk makan—" sang adik lalu menyumpal mulut Jongin dengan telapak tangan, menginterupsi
lelaki berkulit eksotis itu dari mempromosikan produk mi hitam yang sangat ia banggakan. Jongin
bolak-balik menyingkirkan tangan Chanyeol, tetapi semua usaha itu kebanyakan berakhir gagal.
"—the fuck!Singkirkan tanganmu, aku belum selesai bicara!"

Sang adik malah mendorong Jongin ke samping, mengalungkan lengan pada lehernya selagi
menatap Baekhyun tegang—tidak memedulikan sang kawan yang jelas menderita di bawah
siksaan lelaki itu, terutama atas aksi penyeretan yang dilakukan Chanyeol. "Apa kau mengerti apa
yang anak ini bicarakan?" ia tersenyum lega atas gelengan bingung sang kakak, meringankan
cekikan supaya Jongin dapat bernafas normal. "Sama." ||

Entah kalian ingat atau tidak, tapi aku akan mencantumkan flashback dari chapter 14 dan mungkin
setelah ini kalian bisa langsung tahu apa yang terjadi.

|| "Aku kenyang," ia berkata dalam suara yang serak, "Kau bawa pulang saja mi hitamnya."

Pandangan Baekhyun kabur; ia tidak memiliki kekuatan untuk bersuara saat ia melempar kantung
plastik tersebut ke tempat sampah. ||

Faktanya, tidak lama setelah Baekhyun pergi karena si adik yang sok ngusir, Chanyeol langsung
"menyelamatkan" bungkus itu dari tempat sampah dan memakannya. Emang sengaja tidak aku
cantumin ke interlude karena aku mutusin untuk convert adegannya dalam bentuk percakapan
singkat saja. Lagi pula, ini juga kurang penting untuk digabung ke interlude.

5. (24/03/18) IYA, IYA. SETELAH SEKIAN LAMA RASANYA TELAT UNTUK NAMBAHIN
POIN TERAKHIR dan aku sangat tidak yakin akan ada yang baca. Tapi... setelah baca review-
review kalian, kok kayaknya pada gagal sadar soal ini, jadi aku putuskan untuk cantumkan di sini
sekalian.

Di chapter 16, di adegan paling terakhir.

|| Pertanyaan yang keluar dari mulut Chanyeol serontak menggelikan Baekhyun: "Kenapa kau
cantik sekali?"

Sang kakak memandang Chanyeol jijik, masing-masing alis otomatis menekuk tidak terima. "Coba
katakan sekali lagi dan aku akan menampar wajahmu dengan sepatu." ||

Saat aku nulis ini, aku bukan cuma asal nambah-nambahin words saja. Aku sama sekali bukan
berniat untuk nulis sesuatu random yang kata-katanya so sweet fluffy gitu. Aku sebenarnya mau
mengetes ingatan kalian (eah) tentang masa lalu ChanBaek yang aku bahas di interlude Chanyeol.
FYI, Chanyeol pernah menanyakan hal yang sama waktu mereka masih kecil. Aku penasaran apa
kalian mungkin merasa familiar, semacam de javu dengan pertanyaan ini.

Berikut adalah cuplikan dari interlude Chanyeol.

|| "Kenapa Baekhyun-hyung sangat cantik?"

Chanyeol pernah menanyakan itu sekali; sebuah pertanyaan blak-blakan yang tiba-tiba meluncur
begitu saja dari mulut—tak terkontrol dan terdengar sedikit bodoh. Baekhyun cuma menatap
Chanyeol datar sekilas, mengabaikan telinga sang adik yang memerah, dan meneriakkan kepada
ibu bahwa Chanyeol tengah bertingkah aneh lagi. Sampai sekarang Chanyeol bahkan tidak
mengerti apa yang "aneh" dari pertanyaan tersebut. ||

Intinya, aku cuma pengen menekankan bahwa bahkan setelah belasan tahun berlalu, tidak pernah
ada hari di mana Chanyeol tidak terpesona (eah) dengan Baekhyun. Makanya dia menanyakan
pertanyaan yang sama meskipun pada waktu yang berbeda.

Author's Note: Dan saat yang kita tunggu-tunggu pun akhirnya datang, RotD is finally finished!

Jangan heran kenapa endingnya cuman gini doang. Ada alasan kenapa aku buat endingnya kurang
klimaks, dan jawabannya bisa kalian temukan dengan mudah dalam epep ini. Kuncinya ada pada
kata "sederhana".

Jangan sedih juga kenapa NC-nya cuman ada di dua chapter terakhir dan kurang hot. Niatku dari
awal emang menggambarkan suatu percintaan kakak adik yang tulus tanpa embel-embel nafsu di
belakangnya. Aku pengen kalian ngerasain suatu hubungan kakak adik yang lebih dari kakak adik
tapi juga masih punya feel brotherhood dan polos-polos romantis.

Makasih udah cantumin RotD dalam daftar baca kalian, dan betah nungguin RotD selama dua
tahun+. Ini adalah FF ChanBaek berchapter pertamaku, dan aku seneng baca respon positif kalian.
Makasih juga karena mau pengertian, malah nyemangatin aku buat ngurusin RL dulu padahal aku
sering update super lama. Semoga double update langsung ending tadi memuaskan ya. Maaf kalau
semisal kalian kecewa karena momen ChanBaek-nya kurang, aku pengen sekalian nulis ending
buat genre friendship dan family dalam FF ini.

Udah sih, gitu aja. Ga nyangka ya bakal dikit banget A/N kali ini.

Oh iya, jangan lupa ketik sayonara terakhir kalian ke Park siblings. Apa pun sih... share your
thoughts, everyone!

Anda mungkin juga menyukai