Anda di halaman 1dari 5

PERAN FISIOTERAPI SEBAGAI TENAGA KESEHATAN DENGAN KAITANNYA

K3 DI RUMAH SAKIT

Kelompok 11
1. ANANG TRI HARYONO NIM. 208040AJ
2. AHMAD SYARWANI ARIFIYANTO NIM. 208050AJ
3. DESI SETYO TRI ANGGRAINI NIM. 208058AJ
4. KRISTIPI DWIRIANAWATI NIM. 208069AJ
5. UMI HANIK MARDIYANA NIM. 208086AJ
6. ZAIMATUL HAMDIYAH NIM. 208093AJ
7. MUCHLISH EFFENDY NIM. 208097AJ

PEMBAHASAN

Rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini sangat
pesat keberadaannya, baik dari sisi jumlah dan penggunaan teknologi alat kedokteran
yang beraneka ragam serta bidang pelayanan. Fisioterapi sebagai salah satu unit bidang
pelayanan di rumah sakit yang memiliki fungsi serta peranan penting terhadap
perkembangan rehabilitasi pasien. Bentuk pelayanan fisioterapis menurut Kepmenkes
(2013) adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau
kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi
tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual,
peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis) pelatihan fungsi,
komunikasi. Banyaknya bentuk pelayanan yang dilakukan oleh fisioterapis maka faktor
resiko kerja yang dihadapi oleh pelaksana fisioterapis juga banyak.
Peran besar fisioterapis dalam penanganan/pengobatan (treatmen) pasien sudahlah
dikenal luas. Akan tetapi, peran fisioterapis dalam keselamatan kerja industri (Occupational
Health) sesungguhnya lebih signifikan. Untuk sebagian besar, ide Fisioterapi Kesehatan
Kerja adalah konsep baru, akan tetapi fakta menunjukkan bahwa telah ada fisioterapis yang
bekerja dibidang industri sejak tahun 1923.
Angka fisioterapis industri meningkat perlahan hingga berdirilah Association of
Chartered Physiotherapist in Industry (ACPI) tahun 1947, yang berubah menjadi Association
of Chartered Physiotherapist in Occupational Health (ACPOH) pada tahun 1985.
Perusahaan pertama yang mempekerjakan fisioterapis industri adalah Arthur Guinnes,
pembuat bir di Dublin, tahun 1923 (Hayne, 1977). Lalu Mark & Spencer Departement Store,
Unilever, dan lain-lain. Fisioterapis dipekerjakan untuk menghemat waktu kerja, dengan cara
perusahan menyediakan fasilitas pengobatan.
Fisioterapis (Fisioterapi K3), sebagai sebuah profesi yang pro aktif dibidang
pencegahan pada gangguan muskuloskeletal, merupakan tempat yang tepat untuk melakukan
pemeriksaan dan analisa bahaya atau resiko dari cidera/kecelakaan kerja.
Melalui penelitian yang cermat dan deskripsi aktivitas kerja, ahli fisioterapi dapat
melakukan penaksiran untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang bisa meningkatkan
stress otot rangka pada tenaga kerja, sehingga dapat ditemukan indikasi
pendekatan/intervensi apa yang tepat untuk pencegahannya. Idealnya, sistem kerja
mempunyai resiko fisik yang rendah, seperti tidak memicu stress otot rangka. Tantangannya,
bagaimana menemukan faktor-faktor resiko utama, dan menghilangkan/menguranginya
melalui misal, manipulasi sistem, mengubah tempat kerja, dan sebagainya, agar tercapai
sebuah sistem kerja yang aman.
Secara umum, peran dari seorang fisioterapis K3 adalah untuk efisiensi produksi dari
suatu organisasi kerja. Bahkan, sangat mungkin, fisioterapis dapat memberikan opini/saran
dalam hal kebutuhan tenaga, menyangkut soal kebugaran calon pegawai. Sebagaimana
tempat kerja lainnya, lingkungan/tempat kerja fisioterapi membutuhkan manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja (K3), karena baik dari segi jenis pekerjaannya maupun
tempat kerjanya, memunculkan berbagai faktor resiko untuk terjadinya gangguan kesehatan
atau kecelakaan kerja. Umumnya, faktor resiko yang ada pada lingkungan kerja fisioterapi
adalah faktor fisika dan psiko-sosial, meskipun tidak tertutup kemungkinan faktor-faktor lain,
seperti kimia dan biologis.
1. Faktor Resiko Biologis
Fisioterapis dalam hal ini beresiko tekena penularan penyakit yang berada
dilingkungan rumah sakit, seperti misalnya Infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial
merupakan infeksi yang diakibatkan adanya interaksi antara pasien dengan petugas
medis, pasien satu dengan pasien lainnya, atau pasien dengan orang yang menjenguk.
Infeksi nosokomial bisa menyebar melalui udara saat berbicara, batuk, atau bersin
dan kontak langsung. Penularan akan dengan cepat terjadi jika terjadi interaksi
dalam jarak antara 60 cm sampai 1 meter. Fisioterapi yang memberikan
pelayanan secara kontak langsung dengan tiap pasien, memiliki resiko terkena
penularan penyakit lebih besar, apalagi penanganan pasien yang berada di ruang
Intensive Care Unit (ICU) dan ruang isolasi.
Pencegahan adalah suatu upaya agar yang petugas fisioterapis tidak tertular
infeksi nosokomial. Upaya pencegahan agar tidak tertular dari penyakit tersebut yakni :
1) Cuci tangan
a. Cuci Tangan Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan
bahan terkontaminasi.
b. Cuci Tangan Segera setelah melepas sarung tangan. Cuci Tangan Di antara
sentuhan dengan pasien.
2) Menggunakan Sarung Tangan
a. Menggunakan Sarung Tangan Bila kontak dengan darah, cairan tubuh,
sekresi, dan bahan yang terkontaminasi.
b. Menggunakan Sarung Tangan Bila kontak dengan selaput lendir dan kulit
terluka
3) Menggunakan Masker, Kaca Mata atau Masker Muka.
Menggunakan Masker, Kaca Mata atau Masker Muka. Mengantisipasi bila
terkena, melindungi selaput lendir mata, hidung, dan mulut saat kontak dengan
darah dan cairan tubuh.
4) Menggunakan Baju Pelindung.
a. Lindungi kulit dari kontak dengan darah dan cairan tubuh.
b. Cegah pakaian tercemar selama tindakan klinik yang dapat berkontak
langsung dengan darah atau cairan tubuh
2. Faktor Resiko Ergonomi
Menjadi fisioterapis selain penyesuian tugas pekerjaan dengan kondisi
tubuh tiap individu petugas, seorang fisioterapis harus mengerti dan memiliki
kemampuan menganalisa, membentuk serta menjalankan konsepnya. Maksudnya
fisioterapis dalam pekerjaannya mampu menganalisa apa yang harus ia lakukan
dengan kondisi pasien butuhkan, kondisi lingkungan untuk membantu proses tindakan
fisioterapis, serta kondisi fisioterapis itu sendiri. Selain itu fisioterapis juga harus mampu
membentuk suatu rancangan atau konsep tindakan ke pasien berdasarkan analisa
sebelumnya, misalnya pasien dengan kondisi post stroke, pasien tersebut sudah
mampu mengontrol badannya untuk berdiri tegak maka fisioterapis ingin
mengembangkan tindakan terapinya untuk pasien agar dapat berdiri dan berjalan
sendiri. Resiko cidera kerja pada fisioterapis akibat faktor ergonomi adalah karena
kurangnya penanganan secara safety, sehingga menimbulkan cidera berupa, low back
pain, cidera otot, dan resiko terbesar yakni pasien jatuh dan menimpah
fisioterapisnya. Cidera tersebut adalah karena ketidak mampuan atau keteledoran dari
fisioterapis untuk menentukan sikap tubuh yang baik, Sehingga merugikan dirinya
sendiri. Misalnya untuk mengangkat pasien, memindahkan pasien dari kursi
roda/kursi ke bed, maka fisioterapis harus mengetahui teknik yang tepat yang
disesuaikan dengan kondisi tubuhnya, pasien serta lingkungan sekitar, sehingga
fisioterapis terhindar dari kerugian kerja (cidera) pasienpun menjadi lebih aman.
Pencegahan atau solusi agar tidak mengalami kecelakaan kerja berupa
cidera akibat faktor ergonomi terhadap fisioterapis sebagai tenaga kesehatan yakni :
a. Pengetahuan tentang teknik manual handling ergonomic, maksudnya fisioterapis
mampu mengetahui cara menjaga tubuhnya dalam kondisi yang aman dan nyaman
saat melakukan tindakan terhadap pasien.
b. Saat akan melakukan tindakan terapi pada pasien, jelaskan terlebih dahulu
rencana yang akan fisioterapis lakukan. Hal tersebut berguna agar adanya
feedback dari pasien untuk berkerjasama sehingga mengurangi resiko yang tidak
diinginkan.
c. Gunakan alat bantu, maksudnya penggunaan alat bantu disini bisa berupa alat dan
patner, alat yang dapat membantu misalnya belt untuk pasien agar pegangan
terapis menjadi lebih nyaman. Lumbar corset untuk membantu postur terapis
dalam kondisi yang aman sehingga tidak berakibat terkena LBP (low back pain).
Selanjutnya adalah patner, hal ini dilakukan apabila kemungkinan kondisi anda
tidak mampu menangani pasien tersebut secara sendiri, maka ajaklah patner atau
rekan fisioterapis anda.
3. Faktor Resiko Fisik
Faktor resiko atau bahaya potensial fisik yang didapatkan karena alat-alat
yang digunakan menggunakan gelombang elegtromagnetik secara definisi radiasi
gelombang elegtromagnetik adalah kombinasi medan listrik & medan magnet yang
berisolasi merambat lewat ruang dan membawa energi dari satu tempat ke tempat
yang lain. Alat yang sering digunakan fisioterapi sebagai media pengobatan yakni :
Shortwave Diathermy (SWD) , Microwave Diathermy (MWD), dan Ultrasound (US).
Shortwave Diathermy (SWD) merupakan merupakan gelombang pendek
dengan frekuensi radio yang ultra tinggi. Gelombangnya sepanjang 3-30 m, frekuensi
10-100 megacycle/ detik, dengan dalam penetrasi 1-2 cm kedalam jaringan. manfaat
SWD antara lain : Memperlancar peredaran darah dalam local, Menurunkan spasme
otot, Membantu meningkatkan kelenturan jaringan lunak, Mempercepat penyembuhan
Inflamasi jaringan. Namun terdapat indikasi dan kontraindikasi untuk penggunaan
SWD, Indikasinya yakni : Kondisi peradangan dan kondisi sehabis trauma,tahap
akut,subakut, dan kronik, Trauma pada system musculoskeletal, Kondisi
ketegangan, pemendekan, perlengketan otot jaringan lunak. Dan kontraindikasinya
yakni : Adanya perdarahan atau kecenderungan perdarahan, pasien penderita CA dan
pengguna Peacemaker (alat pacu jantung), Adanya logam didalam tubuh atau menempel
pada kulit (Penggunaan Plat, Screw pasca operasi ortophedi), Gangguan sensorik pada
kulit dan yang wanita mengandung khusus daerah pelvic.
Sedangkan Microwave Diathermy (MWD) merupakan konversi energi
radiasi elektromagnetik (gelombang radar) menjadi panas. Untuk pemakaian klinik,
frekuensinya 2.456 dan 915 MHz. Penetrasi berbeda antara 2.456 MHz (kurang dari
SWD) dengan frekuensi 915 MHz (lebih dari SWD). Untuk manfaat serta indikasi dan
kontraindikasinya hampir sama dengan SWD.
Ultrasound (US) merupakan konversi energi suara frekuensi tinggi (Vibrasi
mekanik 0,7 – 1 megacycle perdetik) panas dengan penetrasi dalam (3-5 cm).
Manfaatnya yakni : Untuk mengurangi ketegangan otot Untuk mengurangi rasa nyeri,
Untuk memacu proses penyembuhan pada soft tissue. Sedangkan indikasinya yakni :
Kondisi peradangan sub akut dan kronik Kondisi traumatic sub akut dan kronik Adanya
jaringan parut pada kulit sehabis luka operasi / luka bakar Kondisi
ketegangan,pemendekan,dan perlengketan jaringan lunak (otot,tendon, dan ligament )
Kondisi inflamasi kronik. Untuk kontraindikasinya adalah Jaringan lembut seperti
mata, ovarium, testis, otak, Jaringan yang baru sembuh, jaringan/ granulasi baru
Kehamilan,khusus pada daerah uterus Pada daerah yang sirkulasi darahnya tidak
adekuat ( tidak mencukupi ) dan Tanda-tanda keganasan Infeksi bakteri.
Resiko pada pengguanaan alat-alat tersebut berpotensi terjadinya radiasi
yang mengakibatkan gangguan secara fisiologis pada jaringan tubuh manusia, namun
dampak tersebut dapat di hindari dan dicegah apabila fisioterapis mengetahui indikasi
dan kontraindikasi serta dosis terapi dari alat terapi yang menggunakan gelombang
elegtromagnetik.
4. Faktor Resiko Psikososial
Faktor Resiko Psikososial terjadi karena pressure kerja yang tinggi, tuntutan
pelayanan dari pasien, kerja sift, rutinitas yang hampir sama tiap harinya, serta
bayangan resiko tertular penyakit dari pasien.

Anda mungkin juga menyukai