Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH K3 DAN ERGONOMI

KESEHATAN KESELAMATAN KERJA (K3) DILINGKUNGAN KERJA


FISIOTERAPI

Disusun Oleh :
Fahnan Syafriakhwan
2210306089

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2023
HALAMAN PENGESAHAN

MAKALAH STASE K3 ERGONOMI

KESEHATAN KESELAMATAN KERJA (K3) DILINGKUNGAN


KERJA FISIOTERAPI

Disusun Oleh :
Fahnan Syafriakhwan
2210306089

Makalah Ini Dibuat Guna Menyelesaikan Tugas Stase K3 Ergonomi


Program Studi Profesi Fisioterapi
Fakultas Ilmu Kesehatan
di Universitas ‘Aisyiyah
Yogyakarta

Telah disetujui oleh :


Clinical Educator
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada
waktunya.

Melalui kesempatan yang sangat berharga ini kami menyampaikan ucapan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini, terutama kepada Ibu
dosen maupun penulis jurnal, orang tua, serta teman teman sekalian, semoga Allah SWT
memberikan imbalan yang setimpal atas segala bantuan yang telah diberikan.

Terlepas dari semua ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
penyusunan kalimat maupun tata bahasanya, oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis
menerima segala kritik dan saran. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ngawi, Agustus 2023

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMANJUDUL...............................................................................................i
HALAMANPERSETUJUAN................................................................................ii
KATAPENGANTAR.............................................................................................iii
DAFTARISI...........................................................................................................iv

BAB I TINJAUAN PUSTAKA


A. Pendahuluan.........................................................................................1
B. Pengertian Ergonomi...........................................................................2

BAB II PROSES FISIOTERAPI


A. Resiko Keselamatan Kerja (K3) dilingkungan Kerja Fisioterapi........1
B. Faktor Resiko Biologis pada Fisioterapis............................................3
C. Faktor Resiko Ergonomi pada Fisioterapis..........................................5
D. Faktor Resiko Fisik pada Fisioterapis..................................................8
E. Faktor Resiko Psikososial pada Fisioterapis......................................10

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan..........................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan
Dewasa ini, kesehatan keselamatan kerja bagi karyawan baik di sektor industri,

pelayanan, dan perkantoran merupakan kewajiban bagi perusahaan yang

menyelenggarakan. Kewajiban tersebut telah diatur dalam undang – undang

ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2013 yang berbunyi pemberi kerja dalam

mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup

kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja

(DEPNAKER, 2014). Dalam hal kesehatan keselamatan kerja juga telah diatur secara

internasional oleh Occupational Safety and Health Administration (OSHA, 2014) yang

merupakan agen federal dalam bidang kesehatan mengemukakan misinya untuk

merancang dan menjamin keselamatan dan kesehatan kerja dari pekerja dengan

menegakan sesuai standar, memberikan pelatihan , penyuluhan, dan pendidikan; serta

membangun kemitraan dan mendorong terus menerus peningkatan keselamatan dan

kesehatan kerja. Fisioterapi sebagaimana tenaga kerja lainnya dalam bidang kesehatan

juga memiliki resiko dalam pekerjaannya, resiko bekerja dirumah sakit mememiliki

beberapa faktor yakni antara lain ; faktor biologis, faktor kimia, faktor ergonomi, faktor

fisik, dan faktor psikososial, (Khoiriah, 2012). Begitupun sama halnya para fisioterapis

yang berkerja sebagai tenaga pendidik di perguruan tinggi, resiko kesehatan dan

keselamatan kerja hampir mencakup semua lini di sector manapun baik fisioterapi yang

bekerja di bidang pelayanan kesehatan dan di bidang pendidikan.


B. PengertianErgonomi

Istilah ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu Ergos (kerja) dan Nomos
(hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia
dalam lingkungan kerja nya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi,
engineering, manajemen dan perancangan dan desain (Nurmianto, 1996). Untuk
menghindari sikap dan posisi kerja yang kurang baik ini pertimbangan-pertimbangan
ergonomi antara lain menyarankan hal-hal seperti.
1. Mengurangi keharusan operator untuk bekerja dengan sikap dan posisi
membungkuk dengan frekuensi kegiatan yang sering atau jangka waktulama.
2. Operator tidak seharusnya menggunakan jarak jangkauan maksimum yang bisa
dilakukan
3. Operator tidak seharusnya duduk atau berdiri pada saat bekerja untuk waktu yang
lama dengan kepala, leher, dada atau kaki berada dalam sikap atau posisimiring.
4. Penetapan sikap dan posisi kerja sesuai dengan pertimbanganpertimbangan
tersebut diatas pada dasarnya bertujuan memberikan kenyamanan pada pekerja
dengan memperhatikan sikap dan posisi kerja yang merekasenangi.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Resiko Kesehatan Keselamatan Kerja (K3) dilingkungan Kerja Fisioterapis.

Rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini sangat pesat

keberadaannya, baik dari sisi jumlah dan penggunaan teknologi alat kedokteran yang beraneka

ragam serta bidang pelayanan. Fisioterapi sebagai salah satu unit bidang pelayanan di rumah

sakit yang memiliki fungsi serta peranan penting terhadap perkembangan rehabilitasi pasien.

Bentuk pelayanan fisioterapis menurut Kepmenkes (2013) adalah pelayanan kesehatan yang

ditujukan kepada individu dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan

memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan

penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis)

pelatihan fungsi, komunikasi. Banyaknya bentuk pelayanan yang dilakukan oleh fisioterapis

maka faktor resiko kerja yang dihadapi oleh pelaksana fisioterapis juga banyak. Faktor resiko

yang terjadi seperti yang dijelaskan oleh Khoiriah (2013) pada pendahuluan diatas, fisioterapi

akan beresiko di faktor biologis, ergonomi, fisik dan psikosial saja, untuk faktor resiko kimia

sangat kecil kemungkinannya, karena bidang kerja fisioterapi tidak menyentuh di ranah

tersebut. Berikut tabel yang menjelaskan faktor resiko yang potensial berdasarkan lokasi

pekerjaan di Rumah Sakit menurut Kepmenkes (2007) :


Tabel.1 Bahaya Potensial berdasarkan lokasi dan pekerjaan di Rumah Sakit

(KEPMENKES, 2007)
a. Faktor Resiko Biologis pada Fisioterapis.

Fisioterapis dalam hal ini beresiko tekena penularan penyakit yang berada dilingkungan

rumah sakit, seperti misalnya Infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial merupakan

infeksi yang diakibatkan adanya interaksi antara pasien dengan petugas medis, pasien

satu dengan pasien lainnya, atau pasien dengan orang yang menjenguk. Infeksi

nosokomial bisa menyebar melalui udara saat berbicara, batuk, atau bersin dan kontak

langsung. Penularan akan dengan cepat terjadi jika terjadi interaksi dalam jarak antara

60 cm sampai 1 meter. Fisioterapi yang memberikan pelayanan secara kontak langsung

dengan tiap pasien, memiliki resiko terkena penularan penyakit lebih besar, apalagi

penanganan pasien yang berada di ruang Intensive Care Unit (ICU) dan ruang isolasi.

Fisioterapi melakukan terapi latihan yang terdiri dari Passive, Active exercise

(gambar.1), Chest Physiotherapy (gambar.2), Mobilisasi bertahap seperti duduk, berdiri

dan berjalan (gambar.3).


Pencegahan adalah suatu upaya agar yang petugas fisioterapis tidak tertular

infeksi nosokomial. Upaya pencegahan agar tidak tertular dari penyakit tersebut yakni :

1) Cuci tangan

a) Cuci Tangan Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan

bahan terkontaminasi.
b) Cuci Tangan Segera setelah melepas sarung tangan.

c) Cuci Tangan Di antara sentuhan dengan pasien.

2) Menggunakan Sarung Tangan

a) Menggunakan Sarung Tangan Bila kontak dengan darah, cairan tubuh,

sekresi, dan bahan yang terkontaminasi.

b) Menggunakan Sarung Tangan Bila kontak dengan selaput lendir dan kulit

terluka

3) Menggunakan Masker, Kaca Mata atau Masker Muka. a) Menggunakan Masker,

Kaca Mata atau Masker Muka. Mengantisipasi bila terkena, melindungi selaput lendir

mata, hidung, dan mulut saat kontak dengan darah dan cairan tubuh.

4) Menggunakan Baju Pelindung.

a) Lindungi kulit dari kontak dengan darah dan cairan tubuh

b) Cegah pakaian tercemar selama tindakan klinik yang dapat berkontak

langsung dengan darah atau cairan tubuh

b. Faktor Resiko Ergonomi pada Fisioterapis.

Permasalahan yang berkaitan dengan faktor ergonomi umumnya disebabkan oleh

adanya ketidaksesuaian antara pekerja dan lingkungan kerja secara menyeluruh

termasuk peran tenaga kesahatan dibidang pelayanan, salah satunya adalah fisioterapis.

Ergonomi, secara definisi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam

kaitannya dengan pekerjaan mereka. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ergonomi

ialah penyesuaian tugas pekerjaan dengan kondisi tubuh manusia ialah untuk

menurunkan stress yang akan dihadapi. Menjadi fisioterapis selain penyesuian tugas

pekerjaan dengan kondisi tubuh tiap individu petugas, seorang fisioterapis harus
mengerti dan memiliki kemampuan menganalisa, membentuk serta menjalankan

konsepnya. Maksudnya fisioterapis dalam pekerjaannya mampu menganalisa apa yang

harus ia lakukan dengan kondisi pasien butuhkan, kondisi lingkungan untuk membantu

proses tindakan fisioterapis, serta kondisi fisioterapis itu sendiri. Selain itu fisioterapis

juga harus mampu membentuk suatu rancangan atau konsep tindakan ke pasien

berdasarkan analisa sebelumnya, misalnya pasien dengan kondisi post stroke, pasien

tersebut sudah mampu mengontrol badannya untuk berdiri tegak maka fisioterapis ingin

mengembangkan tindakan terapinya untuk pasien agar dapat berdiri dan berjalan

sendiri. Hal tersebut tidaklah mungkin langsung dilakukan oleh fisioterapis atas tanpa

dasar, pastinya harus memiliki teknik-teknik yang baik bagi fisioterapis dan pasien,

karena dengan teknik-teknik yang sudah di analisa dan di konsepkan maka timbul

pencegahan resiko cidera kerja pada fisioterapis dan resiko jatuh pada pasien. Maka

harus saling menguntungkan. Resiko cidera kerja pada fisioterapis akibat faktor

ergonomi adalah karena kurangnya penanganan secara safety, sehingga menimbulkan

cidera berupa, low back pain, cidera otot, dan resiko terbesar yakni pasien jatuh dan

menimpah fisioterapisnya. Cidera tersebut adalah karena ketidak mampuan atau

keteledoran dari fisioterapis untuk menentukan sikap tubuh yang baik, Sehingga

merugikan dirinya sendiri. Misalnya untuk mengangkat pasien, memindahkan pasien

dari kursi roda/kursi ke bed (gambar.4) maka fisioterapis harus mengetahui teknik yang

tepat yang disesuaikan dengan kondisi tubuhnya, pasien serta lingkungan sekitar,

sehingga fisioterapis terhindar dari kerugian kerja (cidera) pasienpun menjadi lebih

aman.
Pencegahan atau solusi agar tidak mengalami kecelakaan kerja berupa cidera

akibat faktor ergonomi terhadap fisioterapis sebagai tenaga kesehatan yakni :

1) Pengetahuan tentang teknik manual handling ergonomic, maksudnya fisioterapis

mampu mengetahui cara menjaga tubuhnya dalam kondisi yang aman dan nyaman saat

melakukan tindakan terhadap pasien.

2) Saat akan melakukan tindakan terapi pada pasien, jelaskan terlebih dahulu rencana

yang akan fisioterapis lakukan. Hal tersebut berguna agar adanya feedback dari pasien

untuk berkerjasama sehingga mengurangi resiko yang tidak diinginkan.

3) Gunakan alat bantu, maksudnya penggunaan alat bantu disini bisa berupa alat dan

patner, alat yang dapat membantu misalnya belt (gambar.5) untuk pasien agar pegangan

terapis menjadi lebih nyaman. Lumbar corset (gambar.5) untuk membantu postur terapis

dalam kondisi yang aman sehingga tidak berakibat terkena LBP (low back pain).

Selanjutnya adalah patner, hal ini dilakukan apabila kemungkinan kondisi anda tidak

mampu menangani pasien tersebut secara sendiri, maka ajaklah patner atau rekan

fisioterapis anda.
c. Faktor Resiko Fisik pada Fisioterapis

Faktor resiko atau bahaya potensial fisik pada petugas fisioterapis disini adalah

radiasi dan panas. pada fisioterapi resiko radiasi yang didapatkan karena alat-alat yang

digunakan menggunakan gelombang elegtromagnetik (gambar.6), secara definisi radiasi

gelombang elegtromagnetik adalah kombinasi medan listrik dan medan magnet yang

berosilasi dan merambat lewat ruang dan membawa energi dari satu tempat ke tempat

yang lain. Alat yang sering digunakan fisioterapi sebagai media pengobatan yakni :

Shortwave Diathermy (SWD) , Microwave Diathermy (MWD), dan Ultrasound (US).

Shortwave Diathermy (SWD) (gambar.6) merupakan merupakan gelombang

pendek dengan frekuensi radio yang ultra tinggi. Gelombangnya sepanjang 3-30 m,

frekuensi 10-100 megacycle/ detik, dengan dalam penetrasi 1-2 cm kedalam jaringan.

manfaat SWD antara lain : Memperlancar peredaran darah dalam local, Menurunkan
spasme otot, Membantu meningkatkan kelenturan jaringan lunak, Mempercepat

penyembuhan Inflamasi jaringan. Namun terdapat indikasi dan kontraindikasi untuk

penggunaan SWD, Indikasinya yakni : Kondisi peradangan dan kondisi sehabis

trauma,tahap akut,subakut, dan kronik, Trauma pada system musculoskeletal, Kondisi

ketegangan, pemendekan, perlengketan otot jaringan lunak. Dan kontraindikasinya

yakni : Adanya perdarahan atau kecenderungan perdarahan, pasien penderita

CA dan pengguna Peacemaker (alat pacu jantung), Adanya logam didalam tubuh atau

menempel pada kulit (Penggunaan Plat, Screw pasca operasi ortophedi), Gangguan

sensorik pada kulit dan yang wanita mengandung khusus daerah pelvic.

Sedangkan Microwave Diathermy (MWD) merupakan konversi energi radiasi

elektromagnetik (gelombang radar) menjadi panas. Untuk pemakaian klinik,

frekuensinya 2.456 dan 915 MHz. Penetrasi berbeda antara 2.456 MHz (kurang dari

SWD) dengan frekuensi 915 MHz (lebih dari SWD). Untuk manfaat serta indikasi dan

kontraindikasinya hampir sama dengan SWD.

Ultrasound (US) merupakan konversi energi suara frekuensi tinggi (Vibrasi

mekanik 0,7 – 1 megacycle perdetik) panas dengan penetrasi dalam (3-5 cm).

Manfaatnya yakni : Untuk mengurangi ketegangan otot Untuk mengurangi rasa nyeri,

Untuk memacu proses penyembuhan pada soft tissue. Sedangkan indikasinya yakni :

Kondisi peradangan sub akut dan kronik Kondisi traumatic sub akut dan kronik Adanya

jaringan parut pada kulit sehabis luka operasi / luka bakar Kondisi

ketegangan,pemendekan,dan perlengketan jaringan lunak (otot,tendon, dan ligament )

Kondisi inflamasi kronik. Untuk kontraindikasinya adalah Jaringan lembut seperti mata,

ovarium, testis, otak, Jaringan yang baru sembuh, jaringan/ granulasi baru

Kehamilan,khusus pada daerah uterus Pada daerah yang sirkulasi darahnya tidak

adekuat ( tidak mencukupi ) dan Tanda-tanda keganasan Infeksi bakteri.


Resiko pada pengguanaan alat-alat tersebut berpotensi terjadinya radiasi yang

mengakibatkan gangguan secara fisiologis pada jaringan tubuh manusia, namun dampak

tersebut dapat di hindari dan dicegah apabila fisioterapis mengetahui indikasi dan

kontraindikasi serta dosis terapi dari alat terapi yang menggunakan gelombang

elegtromagnetik.

d. Faktor Resiko Psikososial pada Fisioterapis Faktor Resiko Psikososial pada pekerja

dibidang pelayanan terutama fisioterapis, sepertinya hampir sama dengan tenaga

kesehatan lainnya, karena pressure kerja yang tinggi, tuntutan pelayanan dari pasien,

kerja sift, rutinitas yang hampir sama tiap harinya, serta bayangan resiko tertular

penyakit dari pasien. Hal tersebut yang menjadi kebanyakan resiko gangguan

psikososial pada fisioterapis. Solusi untuk mengurangi dampak psikososial tersebut

maka diperlukan keterlibatan perusahaan untuk memberikan suatu kebijakan misalnya :

memberikan Gaji yang sesuai dengan pekerjaan, Reward terhadap pekerja yang

berprestasi, mengikutkan pekerja dalam acara atau kegiatan seperti seminar, dan

workshop, alat perlindungan diri saat bekerja, ansuransi serta menjamin layanan

kesehatan bagi pekerja tersebut, dan lain-lain. Hal demikian bila diterapkan pada

perusahaan maka dampak psikososial pada pekerja akan berkurang bahkan terhindar.
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Beberapa faktor kesehatan keselamatan kerja (K3) seperti faktor Fisik, Ergonomi,

Psikososial, dan faktor Biologis merupakan hal yang sering terjadi dilingkungan kerja

fisioterapis, dan menjadi sebuah gambaran bagi semua pihak yang membutuhkan, sehingga

tercipta keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam bekerja.


DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 2014. Chest Physiotherapy and Cardiopulmonary. Physiotherapy Department of

Queen Elizabeth Hospital. Hongkong Diakses pada 05 Juni 2014.

http://www3.ha.org.hk/qeh/department/phys/scope.htm#Chest_physiotherapy_&_cardiop

ulmonary_care:_

2. David, TW Yu. 2010. Early Rehabilitation in Intensive Care Unit . Queen Elizabeth

Hospital. Hongkong. Diakses pada 05 Juni 2014. http://www.hkresp.com/index.php/useful-

resources/128-critical-care/666-2010-mayearly-rehabilitation-in-intensive-care-unit

3. Departemen Ketenagakerjaan. 2014. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

2013. Hukum Online. Diakses pada 02 Juni 2014.

http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/fl51927/parent/13146

4. Kementrian Kesehatan. 2007. Keputusan Menteri Republik Indonesia Nomor 432 tentang

Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Departemen Kesehatan.

Jakarta. Diakses 03 Juni 2014. http://www.depkes.go.id

5. Kementrian Kesehatan. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 80

Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pekerjaan dan praktik Fisioterapis. Departemen

Kesehatan. Jakarta. Diakses Pada 03 Juni 2014.

http://ifi.or.id/upload/file/PERMENKES_No.80_Tahun_2

6. Khoiriah, Irma Nur. 2012. Administrasi Rumah Sakit :Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Laboratorium Rumah Sakit. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Airlangga.

Surabaya

7. Lisa. 2011. Early Mobilization “How one multidisciplinary team initiated an activity

protocol to decrease ICU lengths of stay”. Advance Health Care Network. Diakses pada 05

Juni 2014.
http://physical-therapy.advanceweb.com/Archives/Article-Archives/EarlyMobilization.aspx

8. Occupational Safety and Health Administration. 2007. Guidelines for Nursing Homes –

Ergonomic for the prevention of Musculoskeletal Problem. Department of Labor. United

State of America. Diakses pada 01 Juni 2014.

http://www.osha.gov/ergonomics/guidelines/nursinghome/index.html

9. Occupational Safety and Health Administration.2014. About Mission Occupational Safety

and Health Administration. Department of Labor. United State of America. Diakses pada 01

Juni 2014. https://www.osha.gov/about.html

10. Tan Tock Seng Hospital. 2012. Result of Starting Physiotherapy Early “TTSH”

Encouraging. Diakses pada 05 Juni 2014.

http://www.ttsh.com.sg/aboutus/newsroom/news/articl

Anda mungkin juga menyukai