Anda di halaman 1dari 234

1

SAAT CINTA MENUNDUKKAN KEPALA

2
Oleh : Atim Mulyanto

Editor : Suheri
Setting : Atim Mulyanto
Desain Cover : Andika Sinaba

Diterbitkan oleh :

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan


ISBN : 978-602-74977-0-2

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak, mencetak ataupun menerbitkan sebagian
atau seluruh isi buku ini dengan tujuan komersil tanpa izin tertulis
dari Penerbit.

3
SAJAK SANG PEJUANG

Demi darah yang mengalir dalam tiap relung hati


Demi nafas yang menemani tiap detik hidup ini
Demi lemah yang menyelimuti langkah kami
Dan tiap senyuman yang berkembang
dalam tiap kesempatan

Tak terkira beribu langkah telah kujalani


Dengan mata terpejampun masih jelas terlihat
Saat bersama kita mengangkat insan yang lelah
Mengubah perih menjadi sesuatu yang harus dihadapi
Mengubah air mata menjadi sebuah langkah

Kami tahu
Terkadang ragamu meronta
Akan segala kelelahan yang nyata
Dan kami tahu apa yang harus kami perbuat
Dibalik hati berbaju putih ini
Kami serahkan segenap kemampuan kami

Namun kata ini terbatas usaha


Dan kami tak miliki kuasa
Hingga kadang perih ini tak terkira
Saat mengantar raga yang tak lagi berjiwa
Tapi yakinlah
Semangat ini takkan pernah berhenti
Akan harap yang akan terjadi
Teruslah berjuang teman
Bukan hanya untuk dirimu
Juga untuk orang yang terus menjagamu
Hingga saat senyum harus dikumandangkan
Dan syukur harus ditambatkan

4
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Rabb Semesta Alam. Shalawat dan salam
semoga tetap tercurah selalu kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad Sallallahu alaihi wassalam., keluarga dan sahabatnya.
Buku yang berada di hadapan pembaca merupakan sebuah
novel yang ditulis berdasarkan kisah nyata dari beberapa orang yang
dipadu dengan fiksi kehidupan yang dipandang dari sudut pandang
yang berbeda.
Beberapa kelebihan novel ini tak lepas dari kemurahan Allah
Subhanallah wa taala. Sedang tak sedikit kekurangan tak lain
bersumber pada kealpaan penulis sendiri. Oleh karena itu penting
kiranya penulis mengharapkan kelapangan dada akan permintaan
maaf jika beberapa bagian dalam novel ini kurang berkenan di hati
para pembaca.
Namun tak lupa kami ucapkan terima kasih pada beberapa
pihak yang sangat membantu dalam terselesaikannya novel ini yang
diantaranya ialah keluarga Ibu Riatin, bapak Rana Pradata dan Ibu
Endang Rana Pradata yang menjadi inspirasi hidupku. Rezky Ayu
Sunarty istri tercintaku dan juga Haura anakku tersayang. Kepada
Siti Arhama Onge, Restu Rezky Lasadam, dan Trisnawati Mabing
yang telah menjadi editor akan kisah ini. Dokter dan semua perawat
ruang Neurologi BRSD Luwuk tahun 2012-2015. Dan beberapa pihak
yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Atas bantuan dan
dukungannya, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
dan yakinlah Allah akan membalas melebihi apa yang bisa penulis
berikan.

5
Satu pesan yang ingin penulis ungkapkan pada diri penulis
pribadi adalah hendaknya kita jangan hanya mengejar dunia seolah
kita akan tinggal diatasnya selamanya. Padahal kita semua sadar dan
yakin, pasti akan menemui kematian.
Akhirnya kami menyerahkan penilaian terhadap buku ini
kepada pembaca yang budiman. Perlu kami sampaikan bahwa
tujuan penulisan buku ini tak lepas dari Firman Allah SWT. yang
artinya, “Sesungguhnya pada kisah mereka terdapat pelajaran bagi
orang yang mempunyai akal.” (Q.S. Yusuf (12) : 111).
Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kita semua.
Wabillahi taufiq wal hidayah.

Luwuk, Desember 2015


Atim Mulyanto

6
DAFTAR ISI

Masa lalu tanpa ilmu .......................................................................................8


Keberadaan Ari .............................................................................................. 23
Alasan diam ...................................................................................................29
Kehadiran Wahyu.......................................................................................... 36
Kisah kelam kematian Wahyu ...................................................................... 44
Beratnya hidup dengan tuduhan ................................................................. 52
Membaiknya keadaan dalam harapan......................................................... 59
Kembalinya Ari dan Putri ............................................................................. 66
Kenyataan pahit jawaban Putri ....................................................................72
Alasan yang harus segera diungkap ............................................................ 81
Cobaan yang menyatukan. Sisi lain kehidupan Agung,
Ari dan Wiro ..................................................................................................88
Kenyataan yang memilukan. Penolakan ayah Gita ....................................95
Keberanian mengucap maaf ....................................................................... 103
Tantangan demi tantangan. Jati diri seorang perawat ............................. 109
Kau tak sendiri. Aku, sahabatmu ............................................................... 117
Berita yang mengoyak dada ....................................................................... 129
Bahagia adalah ujung Dari perjalanan kebenaran .................................... 136
Pengakuan pembunuh Wahyu ................................................................... 142
Kisah pilu terbunuhnya Wahyu ................................................................. 150
Nafas terakhir Ibu ........................................................................................ 157
Kepergian Ari .............................................................................................. 168
Wiro menikah, Gita menghadapi masalah ............................................... 173
Perpisahan Gita ........................................................................................... 181
Kemunculan Ari, pertemuannya dengan Gita ......................................... 187
Saat berfikir kita pintar, saat itulah kita bodoh........................................ 195
Bagaimana keberadaan kita di mata Allah?? ........................................... 204
Kisah Rasulullah & Aisyah Vs Romeo & Juliet ........................................ 214
Sosok sebenarnya Aisyah. Hikmah dari duka ......................................... 219

7
ARI 1
Masa lalu, tanpa ilmu

Kamis pagi. Suasana kampus tampak tidak seperti biasa.


Mahasiswa tidak lagi berpakaian bebas. Namun baju yang mereka
kenakan terbalut jas almamater. Entah berapa banyak Polisi juga ikut
meramaikan keadaan pada hari itu.
Kampus terdapat dua pintu gerbang utama. Sebelah Barat pintu
masuk dan Timur untuk keluar. Polisi sudah berjajar rapi bak pagar
besi di gerbang barat. Sedang di baliknya mahasiswa mengangkat
tinggi-tinggi spanduk utama yang bertuliskan ”Pertahankan Kualitas
Profesi Untuk Masa Depan Negeri.”
Beranjak siang jumlah mahasiswa bertambah. Sorak sorai
semangat kian membahana tatkala sang orator mengangkat tangan
tinggi-tinggi dengan melemparkan kata-kata yang menginginkan
keseriusan kampus dalam menjaga standar pendidikan.
Beberapa orator sudah berganti, terik mentari kian jelas
menyinari. Hingga tampak jelas keringat menghiasi tiap insan yang
mengembangkan semangat untuk saling mengingatkan. Meskipun
kata ini hampir habis untuk diucapkan, namun tiada satupun pihak
kampus yang keluar untuk memberikan tanggapan.
Karena tiada yang memperhatikan, kekecewaan mahasiswa
kian tampak hingga sang orator meneriakkan kata yang diikuti oleh
seluruh mahasiswa yang ada. ”Keluar...”
Begitulah kata itu berkali-kali diteriakkan agar sang pemilik
kebijakan atau yang mewakili keluar untuk memberi keterangan.
Atau setidaknya memberikan sebuah jawaban dari apa yang
mahasiswa khawatirkan.
Mentari yang awalnya menyinari kini menjadi terik. Mahasiswa
yang berbekal semangat, kini berganti kekecewaan. Diamnya pihak
kampus membuat semuanya kian menambah suasana tidak
bersahabat. Dan entah bagaimana awalnya, tiba-tiba Polisi anti huru-
hara dengan rompi perlindungan diri dan senjata lengkap berlari
dari pintu gerbang Timur menuju kearah kerumunan mahasiswa.
Tiada yang mengira bahwa gas air mata sudah ada ditengah-
tengah mahasiswa yang kian membuat panik suasana. Semua berlari
menyelamatkan diri. Suasana kian tak terkendali. Beberapa
mahasiswa tampak jatuh bertubrukan antar sesama untuk
menghidar dari kejaran Polisi yang kian bergerak bukan hanya
dengan kaki, namun ayunan tangan dengan pentungan juga mulai
menghampiri.

8
Jeritan, teriakan dan tembakan menjadi satu. Beberapa
mahasiswa yang terjatuh atau tertangkap segera menjadi bahan baru
untuk sekedar kata melumpuhkan. Meski tangan sudah diangkat
tinggi-tinggi. Tapi ayunan kaki dan pentungan tetap terarah tepat
pada tubuh yang meronta. Rontaan ini bukan ingin kabur, namun
gerak tak terkendali akan sakit diterima tubuh ini.
Entah berapa mahasiswa yang tak berdaya. Truck Polisi yang
awalnya penuh dengan personil, kini sesak dengan mahasiswa
penuh luka dan darah layaknya seorang kriminal. Mereka semua
dibawa di kantor polisi.
Di tengah-tengah kediaman mahasiswa yang saling pandang
satu dengan yang lain, satu nama yang dicari hingga menimbulkan
tanda tanya besar. Dari awal demonstrasi hingga kini jadi tak
terkendali, dimana Ari?

Sabtu, dua hari pasca demonstrasi, atas jaminan pihak kampus,


akhirnya kepolisian membebaskan semua mahasiswa yang sempat
dimintai keterangan.
Banyak anggota BEM menyertai keluarga menyambut hari
pembebasan itu. Satu persatu mereka berpelukan diiringi air mata
yang terselip di balik sudut mata mereka. Meski bukan tujuan, tapi
mereka tak menyangka bahwa yang namanya perjuangan adalah hal
yang sangat pahit hingga mereka merasakan sesaknya ruang di balik
terali besi.
Beberapa keluarga tampak tak mau kalah memeluk putra-putra
kebanggan mereka. Eratnya pelukan bukan hanya menandakan
keengganan melepas secara fisik, namun sebuah nilai bahwa
keluarga ini menempatkan harapan yang begitu besar akan sebuah
insan.
Terkadang tangis mereka berubah tawa saat canda dilontarkan
untuk mencairkan suasana. Tapi suasana tersebut tidak lama. Arah
mata mereka seolah mencari-cari seseorang. Namun orang itu tiada
tampak diantara mereka yang menjemput, hingga salah seorang dari
mereka kembali bertanya, ”Mana Ari?”.
Suasana jadi hening. Tiada satupun yang berani menjawab
hingga Ratna berkata pelan. ”Entahlah.. handphonenya tidak aktif.
Kutelfon rumahnya juga nggak ada yang angkat.”
”Dasar... Setelah mengajak demo, ia menghilang,” kata Bayu
dengan ketus.
”Jangan asal bicara,” kata Wiro langsung menghadapi Bayu
dengan tatapan mata menantang.

9
”Butuh bukti apalagi?” jawab Bayu melangkah maju.
”Hentikan..,” kata Agung pelan berdiri diantara mereka berdua.
”Kita baru keluar. Tiada yang tahu apa yang terjadi pada Ari.”
Beberapa saat Wiro masih menatap Bayu dengan tajam. Tapi
tak lama kemudian Bayu berbalik dan diikuti Eko. Setelah beberapa
langkah Bayu berkata, ”Dulu dia pengecut. Sekarang beralih jadi
provokator.”
Wiro ingin menyusul Bayu, tapi dengan segera Agung
mencegah dengan kedua tangan di dada dan tatapan tajam yang
terarah jelas pada Wiro.

Rabu, satu hari sebelum demonstrasi. Depan ruang kuliah.


Tampak ada dua mahasiswa dan satu mahasiswi berdiri dengan
wajah penuh tanya. Seorang mahasiswi mengenakan celana kain
hitam dengan atasan kemeja warna merah tertutup jas almamater
berwarna biru tua. Rambutnya ikal panjang sebahu yang ia biarkan
tertata rapi. Ia memakai tas punggung warna hitam dengan emblem
di salah satu talinya tertulis jelas namanya, Ratna.
Salah seorang mahasiswa juga sama dengan pakaian rapi
berbalut almamater. Kulitnya putih dengan rambut agak kriting,
namun karena pendek jadi tampak ikal. Namanya Deni. Sedangkan
satu lagi mahasiswa dengan kulit warna sawo matang khas orang
jawa. Namanya Ari.
Beberapa kali mereka bergantian menempelkan telinga di pintu
ruang kuliah yang tertutup rapat. Tiada suara yang terdengar dari
dalam ruangan yang tertutup seolah tiada seorangpun yang berada
dalam ruangan tersebut. Mereka berusaha meyakinkan apakah di
dalam kuliah masih berlangsung atau ruangan bener-bener kosong.
Setelah menempelkan telinganya, Ratna mengangkat kedua
bahunya. Tak berbeda dengan rekannya, Deni juga menggelengkan
kepala.
Tampak tidak sabar dengan ketidakpastian, akhirnya Ari
mengarahkan tangannya mengetuk pintu dan kemudian
membukanya. Tapi seketika itu pula seorang dosen tampak keluar
dari pintu tersebut. Kontan saja ketiga mahasiswa tersebut langsung
memasang senyum lebar dan menundukkan kepala.
”Ada perlu dengan saya?” tanya dosen tersebut.
”Tidak Bu... Cuma ada perlu dengan mahasiswa kelas ini,”
jawab Ari sekenanya.

10
”Oh..” gumam dosen tersebut sambil berlalu meninggalkan
mereka bertiga.
Saat hendak masuk, tampak mahasiswa sudah siap berada di
belakang pintu untuk pulang. Mereka tampak sedikit kecewa dan
bertanya-tanya kenapa mereka disuruh kembali duduk.
”Mohon maaf sebelumnya kalau mengganggu kegiatan anda
sekalian,” kata Ari mengawali pembicaraan. ”Kami hanya minta
waktu sebentar untuk memberikan informasi, sekalian ajakan pada
anda semua.”
Mendengar itu sebagian besar mahasiswa kembali duduk.
Hanya beberapa masih berdiri, namun perhatian mereka tetap
tertuju pada Ari.
”Kami perwakilan BEM menginformasikan bahwa besok akan
melakukan demonstrasi dalam rangka rencana kampus menambah
kuota kelas khususnya untuk jurusan keperawatan”. Ari behenti
sejenak untuk menatap intelektual muda yang ada di hadapannya.
”Kami menganggap, penambahan kuota untuk tahun ajaran
yang akan datang bukanlah tindakan yang tepat. Kita semua bisa
melihat, angka kebutuhan sarjana keperawatan untuk PNS masih
sangat kecil untuk masing-masing daerah, ditambah dengan
banyaknya STIKES (Sekolah Tinggi ilmu Kesehatan) swasta yang
menyemarakkan profesi kita.
”Itu masih dari luar. Dari dalam kampus juga harus kita
perhatikan. Kita semua bisa menghitung. Apakah saat ini jumlah
dosen dengan mahasiswa sebanding...?” intonasi Ari kian meninggi.
”Dengan keadaan yang demikian. Apakah pantas untuk saat ini
kampus kita menambah kuota dengan menanggung resiko
berkurangnya kualitas..?”
”Mungkin kami yang satu tingkat di atas anda tidak akan
merasakan. Tapi ingatlah.. kami kuliah bukan untuk ilmu semata,
tapi untuk menjaga kualitas profesi kami yang akan datang.
”Hari ini, kami mengajak anda semua agar nanti malam anda
bisa merenungkan. Tiada paksaan. Kami mengajak bersikap bijak
dengan menghargai perbedaan pandangan. Esok, jika anda merasa
tindakan kampus benar, maka cukuplah anda tetap di kelas. Namun
jika sebaliknya, maka keluarlah bersama kami. Bersama kita jaga
standar pendidikan ini.”

Kantin kampus. Dua orang mahasiswa tampak asik menikmati


bakso di hadapannya. Mereka duduk di meja sebelah tembok tepat
di muka penjualnya. Seorang yang duduk di ujung meja namanya

11
Rani. Rambutnya pajang sebahu dan biasa ia uraikan begitu saja
hingga ia harus sering mengarahkan ke belakang usai ia menyantap
bakso di hadapannya. Seorang lagi namanya Gita. Rambutnya
pendek hanya sebatas leher dan ia ikat menjadi satu.
Bisa di bilang mereka berdua bertolak belakang. Rani selalu
menyimpan bedak ataupun kaca di dalam tasnya. Sepatu yang ia
pakai high heel dengan warna baju pink. Sedang Gita biasa
menyimpan permen karet di tas dan jarang memakai anting di
telinganya. Sepatu olah raga yang ia biasa kenakan juga bernuansa
sporty dengan baju kaus warna hitam atau merah, kesukaannya.
Terkadang mereka berdua menghentikan makan dan saling
bertatapan saat membahas sesuatu yang kiranya serius. Namun
tidak lama setelah itu canda tawa mereka yang menambah
keramaian kantin.
Beberapa saat berselang Ari berjalan pelan mendekat dan
duduk di sebelah Gita. Tampak ia baru datang bersama temannya
Agung dan Wiro. Tapi mereka berdua menuju meja yang agak jauh
sambil terus mengamati. Agung parasnya tampan dengan kulit yang
bersih dengan rambut dimodel berdiri nan rapi. Sebenarnya ia
memakai kacamata, akan tetapi hanya ia pakai waktu tertentu saja.
Sedang Wiro sosoknya tinggi besar dengan model rambut
pendek. Badannya sangat tegap dengan wajah yang menampakkan
seolah tanpa rasa takut. Semua yang ia tampakkan sebenarnya
adalah sebuah angan-angan dirinya untuk menjadi seorang Polisi.
Namun apa yang dia inginkan belum kesampaian dan entah
bagaimana ceritanya ia masuk jurusan keperawatan.
Mengetahui ada yang datang, Gita dan Rani tidak melanjutkan
percakapan. Mereka hanya melanjutkan menikmati bakso di
hadapan mereka.
”Ari....,” suara ibu penjual bakso memanggil.
”Siap Bu...,” jawab Ari sambil tersenyum dan tangan kanan di
dahi dalam posisi hormat.
”Jangan ganggu orang lagi...,” ibu penjual bakso itu
meneruskan kalimatnya.
”Nggak Bu... Maaf... Bentar aja...” kata Ari sambil tersenyum.
Sedangkan ibu penjual bakso tadi hanya tersenyum sambil
menggelengkan kepala.
Ari kembali duduk meletakkan kedua tangannya di atas meja.
Sambil memainkan botol kecap di tangannya ia berkata, ”Mbak Gita,
nanti malam ada acara?”
Mendengar itu Rani dan Gita menghentikan makannya. Tapi
itu tak berselang lama. Setelah sadar mereka malah mempercepat
12
makan mereka. Gita tidak mengindahakan sedikitput pertanyaan
Ari.
Ari melanjutkan pertanyaannya tanpa memandang mereka
berdua. ”Kalau nggak ada acara, ntar malam boleh ngajak keluar?”
Mendengar pertanyaan itu membuat nafsu makan mereka kini
tiada lagi hingga Gita berdiri dan memandang Rani untuk segera
pergi dari tempat itu. Rani pun segara membereskan tas dan
beranjak berdiri.
Tapi sebelum mereka melangkah, terdengar suara Ari, ”Kiranya
kurang sopan, aku minta maaf. Meski sebuah penolakan.
Katakanlah.. karena diri ini sudah terlatih akan yang demikian.”
Gita memandang Ari yang tetap duduk. Mereka berdua saling
bertatap mata seolah menyelami keseriusan Ari dan mencari
jawaban tersembunyi dalam hati Gita.
Sesaat Gita melihat tatapan harapan yang dalam dari mata Ari.
Akan tetapi tatapan harapan yang tidak terlalu berlebihan. Tatapan
itu menunjukkan penghargaan dan kebebasan dalam memilih.
Sehingga Gita menjawab dengan lugas, ”Maaf, saya nggak bisa...”
Gita segera melangkah menghampiri ibu kantin untuk
membayar makanan yang belum habis mereka nikmati. Sedangkan
Ari beranjak berdiri sambil mengangkat kedua tangan seraya berdoa.
Ia berkata dengan nada sedang tapi cukup bisa didengar semua
orang dalam kantin itu, ”Syukurlah... Uang sakuku juga tinggal
sedikit...”
Mendengar itu Rani kembali tersedak hingga ia batuk beberapa
kali karena mendengar kata-kata Ari. Rani melihat Ari berjalan
santai menuju kedua temannya yang juga beranjak berdiri dari
tempat mereka.
”Dasar bodoh...!!!” Kata Agung sambil mendorong kepala Ari
dengan telunjuknya. ”Emangnya kamu bisa merayu dengan cara
berterus terang uang sakumu habis...???”
Wiro tertawa. Ari heran melihat itu semua. ”Emang kenapa?
Toh emang beneran. Tadi kalau dia mau, aku harus pinjam uang
kalian juga.”
”Tapi jangan katakan itu di depan mereka. Kalau begini terus,
kamu nggak akan berhasil,” kata Agung
Mereka bertiga membahas sambil terus melangkah keluar
kantin seolah kejadian tadi bukanlah kejadian yang besar yang bisa
membuat mereka malu. Namun sebaliknya, karena kejadian
tersebut, sekarang Gita dan Rani telah menjadi pusat perhatian
semua mahasiswa yang ada dalam kantin tersebut.

13
Kini tinggal Gita dan Rani yang ganti memasang tampang
muka tebal untuk melewati beberapa mahasiswa yang masih saja
memandangi mereka berdua. Seolah belajar dari Ari dan teman-
temannya, Gita dan Rani berjalan seolah tidak pernah terjadi sesuatu,
namun langkah kaki mereka percepat dengan langkah yang
diperlebar.
Setelah keluar dan beberapa langkah dari pintu kantin, mereka
berdua langsung berlari sambil berteriak, ”Gilaaaaa..... Dasar
gilaaaaa....” Terkadang teriak, tapi juga diiringi tawa yang memecah.
Tapi tak dipungkiri wajah mereka memerah karena malu tiada tara.
Sampai di gazebo mereka duduk sambil terus tertawa. ”Emang
kenapa tiba-tiba Ari menanyakan hal itu padamu?” Rani bertanya
seolah tak percaya.
”Kok tanya aku...?” Gita balik bertanya heran. ”Tanya aja sama
dia”, sambil tak henti tertawa.
”Syukurlah... Uangku juga tinggal sedikit....” Rani mengulangi
kalimat yang diucapkan Ari. Sesaat kemudian mereka berdua tak
bisa menahan ketawa.
”Baru kali ini aku melihat cowok sebodoh ini,” kata Rani sambil
memegangi perutnya.
”Bukannya dia termasuk anak yang pintar di kelasnya?” kata
Gita menghentikan tawa Rani.
”Beneran...???” Rani tak percaya.
”Yang kudengar sih begitu.”
”Tapi... bukannya dia itu anak yang terlibat dalam kerusuhan di
kampus kita satu tahun silam..??” kata-kata Rani ganti membuat
heran Gita.
”Kerusuhan yang mana?”
”Kerusuhan satu tahun silam dengan warga sekitar kampus.
Saat itu banyak pemuda mengepung area kampus. Tapi entah
bagaimana tiba-tiba Ari keluar dari kerumunan pemuda itu sambil
membopong temannya yang sudah tidak berdaya. Tak lama setelah
itu, pemuda-pemuda yang mengepung kampus dibubarkan oleh
Polisi. Dua hari kemudian, temannya meninggal di Rumah Sakit.
Sampai sekarang kasus itu belum jelas apa penyebabnya.”
Gita tampak mendengarkan dengan seksama. Karena saat itu
dia dan beberapa teman yang lain ditunjuk dosen untuk membantu
kegiatan Palang Merah Indonesia sebagai relawan untuk bencana
alam di suatu daerah. Sehingga ia tidak tahu persis kejadiannya.
”Oh, jadi Ari yang itu...,” kata Gita polos.
”Ya iyalah... Memang Ari yang mana lagi...”
”Kukira Ari dari jurusan lain.”
14
”Masak kamu nggak lihat berita. Disana ada foto Ari sedang
membopong temannya yang terlihat babak belur. Tapi anehnya
wajah Ari tampak bersih. Tak ada luka sama sekali.”
”Maksudmu...???” Gita ragu.
”Ari dan temannya yang sudah meninggal, kalau nggak salah
namanya Wahyu. Mereka adalah sahabat akrab. Kalau memang Ari
bener-bener teman yang baik, saat melihat temannya diperlakukan
tidak baik, seharusnya ia membela dong. Tapi yang tampak adalah
Wahyu babak belur hingga meninggal, sedangkan Ari tanpa ada
luka sama sekali. Bagaimana menurutmu?” Rani bertanya.
Gita tak segera menjawab. Ia hanya memandang Rani dengan
tatapan menunggu kelanjutan cerita.
Rani menghembuskan nafas sebelum ia melanjutkan ceritanya.
”Entah apapun yang sebenarnya terjadi saat itu, seharusnya Ari
menceritakan semua yang terjadi agar siapapun pelaku yang
mengakibatkan meninggalnya Wahyu harus segera dihukum. Tapi
Ari hanya diam. Sehingga semua teman membencinya karena
dianggap menutupi siapa pelaku sebenarnya. Sempat beredar kabar
bahwa sebenarnya Arilah pelaku utamanya.”
”Ari...?” Tanya Gita tak percaya.
”Ya... Ari sendiri.. Biasa... masalah wanita. Karena beberapa
waktu sebelumnya ada cerita Ari menyukai kekasih Wahyu yang
satu kelas dengan mereka. Kalau nggak salah namanya Putri. Tapi
kabar itu lambat laun hilang. Karena setelah dikonfirmasi, Ari hanya
diam seolah mempersilahkan semua pendapat berkembang. Ia tetap
dengan kebungkamannya.”
Beberapa menit mereka terdiam. Rani menunggu respons
sahabatnya. Sedangkan Gita tampak termenung memikirkan apa
yang sebenarnya terjadi.
”Uda Git, ayo pulang. Mendung nih.” kata Rani memecah
lamunan Gita.
”Ah.. sory, kamu balik dulu aja ke kost, jangan lupa angkat
cucianku juga. Aku masih mau ke warnet cari tambahan materi
untuk tugas makalah kemaren.”
Rani beranjak dari duduknya dan bersiap pergi begitu juga
dengan Gita.
”Oke aku pulang dulu ya...” Rani bergegas meninggalkan Gita.
”Oke..,” jawab Gita melangkah berlawanan dengan sahabatnya.
Ia bergegas menuju warnet. Setelah sampai ia langsung membuka
halaman utama dan memasukkan kata kunci ’Ari’, tapi sebelum
menekan enter ia buru-buru menghapus dan mengganti dengan
mengetik ’kerusuhan di kampus’, kemudian ia tekan enter.
15
Tak lama muncul berbagai pilihan halaman. Ia membaca agak
acak. Beberapa kali ia membuka halaman yang ia temukan berita
tentang kerusuhan yang terjadi di kampus lain. Untuk yang kesekian
kalinya mencoba, akhirnya ia menemukan berita tentang kejadian
yang yang ia cari.
Ia membaca dengan teliti. Apa yang dituliskan tidak sedetail
yang diceritakan Rani. Namun ia mendapatkan data baru bahwa
ternyata dalam kejadian tersebut Ari sempat ditahan oleh pihak
kepolisian untuk diminta keterangan.
Dalam berita tersebut juga terdapat foto seperti yang
diceritakan oleh Rani. Dalam foto memang tampak jelas wajah Ari. Ia
sedang membopong seseorang dengan kedua tangannya. Wajah
Wahyu tidak jelas karena banyak lebam dan lumuran darah.
Gita memperbesar gambar tersebut. Kian tampak jelas wajah
Ari yang menunjukkan ekspresi seolah tanpa takut melangkah
diantara banyaknya kerumunan pemuda yang tampak beringas.
Namun anehnya mereka semua seolah memberi jalan pada Ari yang
berjalan menuju pintu gerbang kampus.
Gelegar guntur seolah memecah keseriusan Gita menatap foto
yang tampil dalam layar komputer tersebut. Kiranya kerasnya
guntur menandakan bahwa mendung kali ini akan menghasilkan
hujan yang tidak hanya menurunkan air, tapi juga menghasilkan
angin.
Gita bergegas menyudahi semua. Setelah ia keluar pintu
warnet, suasana berubah. Waktu dia masuk kiranya masih tampak
terang. Namun sekarang seolah mendung telah menutup semua
pintu cahaya matahari hingga membuat bumi seolah suram.
Keluar bangunan utama kampus tampak kian jelas hujan kali
ini akan lebat. Ia mempercepat langkah berharap sampai kost
sebelum hujan turun. Namun harapannya gugur, saat sampai pintu
gerbang tempat satpam bertugas yang jaraknya sekitar sepuluh
meter dari bangunan utama kampus, hujan sudah memulai
aktivitasnya membasahi bumi.
Gita bersandar pada dinding gerbang untuk berteduh. Sesaat ia
melihat langit dengan mendung yang begitu hitam dan angin yang
sedikit kencang. Sejenak ia berfikir lebih baik berteduh dalam
kampus dulu, karena meski dengan payung, namun angin yang
berhembus membuat jatuhnya air hujan kian tak beraturan.
Sedangkan tasnya sekarang penuh berisi buku yang baru saja dia
beli untuk mengerjakan tugas makalah.

16
Namun ketika ia akan melangkah balik menuju kampus, ia
melihat Ari di atas sepeda motornya seolah juga menunggu hujan
reda.
”Mau kuantar....?” Tanya Ari dengan raut muka sama seperti
tadi. Tenang, tanpa tekanan seolah menghargai apapun jawaban
yang akan ia terima. Sangat berbeda dengan wajah yang barusan
dilihat Gita di berita internet.
”Tidak, terima kasih...,” jawab Gita dengan wajah dan nada
datar. Sesaat ia melihat Ari menganggukkan kepala dan tersenyum.
Hal itu membuat Gita merasa sedikit bersalah karena anggukan
kepala dan senyuman itu seolah menunjukkan penerimaan yang
tulus.
Akhirnya Gita mengurungkan niatnya. Ia mengeluarkan
payung dari dalam tasnya. Sebelum melangkah ia menata baik-baik
buku dalam tasnya agar tidak terkena percikan air hujan.
Tanpa menengok ke belakang, Gita menetapkan hati
melangkah di tengah hujan dan angin yang mengacaukan arah
jatuhnya air.
Ari mengamati dengan seksama tiap gerakan Gita. Tampak
jelas dari pandangannya bahwa Gita kewalahan menghadapi hujan
kali ini. Ari sedikit merasa bersalah. Mungkin, jika dia tidak keluar,
maka Gita akan kembali ke dalam kampus untuk berteduh
sementara waktu.
Tapi sebenarnya keluarnya Ari memang bukanlah sesuatu yang
ia sengaja. Tadi dia juga berfikir untuk segera memacu motornya
agar bisa berteduh di kost Deni skalian untuk membantu persiapan
pembuatan spanduk untuk demo esok hari. Namun saat ia keluar ia
melihat Gita di pintu gerbang. Ari bisa saja beranjak pergi, karena di
motornya ada jas hujan. Akan tetapi karena melihat Gita, maka Ari
memasang sandaran motor dan duduk untuk menawarinya.
Renungan Ari mengalihkan pandangan matanya hingga sosok
Gita sudah tidak tampak dalam pandangan mata.
Gita mencoba berjalan pelan. Beberapa kali ia harus berhenti
untuk membenarkan letak tas agar tidak terkena percikan air hujan
yang kian tak terarah. Gita terus berjalan menyusuri trotoar jalan.
Saat di tikungan dimana ia harus belok kanan, tampak jelas empat
pemuda sedang berteduh di warung kosong yang terletak disamping
trotoar.
Gita sedikit ragu untuk melanjutkan langkahnya. Karena dari
tampang mereka tampak bukan orang yang sopan. Akhirnya Gita
mengambil langkah turun dari trotoar dan berjalan menyebrang

17
menjauh dari mereka. Namun gelagat tersebut justru menarik
perhatian keempat pemuda tersebut.
Bergantian mereka berteriak menggoda Gita. Mendengar hal
tersebut Gita mempercepat langkah. Ia sangat tidak nyaman dengan
keadaan tersebut. Apalagi hujan deras membuat jalan tersebut sepi.
Langkah Gita seolah kian dipacu hingga seolah berlari.
Ia berusaha untuk tidak terpengaruh dengan berbagai macam
godaan yang mereka teriakkan dan berusaha untuk mempercepat
langkah agar segera jauh dan mereka lelah berteriak akan suara
derasnya hujan. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti ketika ia
mendengar kata, “Tiga ratus ribu...”
Dengan emosi Gita berbalik arah dan menyebrang menuju
keempat pemuda tersebut. “Hei.. Kalau ngomong yang enak ya.”
Melihat Gita emosi, keempat pemuda itu bukannya takut.
Mereka malah tampak senang melihat Gita menanggapi godaan
mereka. Mereka malah merelakan diri diguyur hujan untuk
menggoda dan mengelilingi Gita.
“Kalau kurang ajar. Kuhajar kalian.” Gita merasa ia terjebak
diantara keempat pemuda tersebut. Ia bingung harus melangkah
kemana. Mau lari juga susah, karena mereka dengan jelas
menghalanginya.
Di tengah kekalutannya, ia mendengar beberapa kali deru
motor yang terdengar keras sehingga membuat keempat pemuda
tadi mengalihkan pandangannya.
Ari... Gita sangat lega ketika melihat Ari berhenti di samping
trotor beberapakali menarik gas motor hingga terdengar deru
knalpot yang mengaung. Tampak jelas di sela lampu depannya, ada
jas hujan. Tapi ia membiarkan tubuhnya diguyur air hujan yang
deras hingga membuat mata Ari memerah.
Ari tetap duduk di motornya. Dengan tajam ia memandang
keempat pemuda yang ada di hadapannya.
”Oh ini cowoknya,” kata salah seorang dari mereka dengan
nada menghina.
Dari gelagat mereka, Ari menganggap ini tidak akan selesai
dengan cara bicara. Ia mencoba tenang berdiri dan berjalan menuju
Gita. Saat melewati keempat pemuda, salah seorang yang bertubuh
besar mendorongnya ringan dengan gerakan menantang.
Ari menahan diri. Ia mencoba tidak menatap mata ketiga
pemuda yang kini seolah siap memangsanya. Pandangannya ia
fokuskan hanya pada Gita. ”Kamu tahu warung di seberang jalan?”
Dengan perlahan Gita menganggukkan kepala. Ia melihat
tatapan Ari sangat tajam hingga membuat Gita sedikit takut.
18
”Belikan nasi bungkus dua.” Ari megatakan dengan mimik
muka yang sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Hampir sama
dengan wajah yang dilihatnya di warnet.
”Eh.. Apa..?” Gita bingung.
”Pergilah...”
Gita masih diam dalam kebingungan. Namun, setelah melihat
kedipan mata Ari yang terarah, maka Gita mengerti apa maksudnya
karena beberapa kali ia mendapati Ari makan di warung tersebut.
Iapun sedikit gugup saat melangkahkan kakinya.
”Hei, mau kemana?” tanya seorang yang tampak masih muda
sambil berjalan menyusul Gita. Namun langkahnya terhenti ketika
dari belakang Ari merangkul sekalian meremas kaus Intermilan yang
dikenakannya.
Sesaat Gita berhenti dan memandang Ari. Tampak dengan jelas
Ari memberi kedipan mata isyarat untuk segera pergi. Maka Gitapun
membuang payung di tangan dan segera berlari secepatnya menuju
warung yang dimaksud Ari. Ia tak peduli lagi dengan derasnya
hujan dan terpaan angin yang seolah menghalangi. Satu yang ia
khawatirkan saat ini hanyalah, Ari.
Melihat Gita sudah jauh, kini pandangan keempat pemuda
tersebut hanya tertuju pada Ari. Tanpa basa basi, pemuda yang
masih dalam rangkulan Ari dengan keras mengarahkan kepalan
tangannya ke bagian perut.
Meski sudah menyadari dan mencoba menjauh, tapi kepalan itu
kiranya sudah cukup membuat Ari kesakitan dan mundur beberapa
langkah. Namun kiranya ketiga pemuda yang lain tak memberi
kesempatan. Dengan tenaga penuh, pemuda yang bertato
menendang dada Ari hingga membuatnya jatuh.
Ari bergegas kembali berdiri. Ia bersiap menghadapi serangan
pemuda berkaus Intermilan yang sudah mengarahkan kepalan
tangan kanannya ke wajahnya. Ari menggerakkan badan ke kiri
untuk menghindar, dengan begitu lawannya sulit melakukan
serangan kedua.
Menyadari serangannya dapat dihindari. Sesaat mata lawannya
terbelalak dan kemudian menutup secepatnya karena tampak jelas
lengan kanan Ari mengayun ke mata kanannya.
Pemuda berkaus Intermilan refleks menutup mata kuat-kuat
untuk melindungi organ penting ini. Matanya terkena tekanan yang
amat kuat hingga membuatnya terjatuh dengan keras. Punggungnya
membentur aspal dengan suara yang mantap. Namun dorongan itu
bukan dari tonjolan tulang kepalan tangan, hanya telapak tangan

19
menyentuh area mata hanya untuk mendorong kepala dan tubuh
agar terjatuh. Tidak melukainya.
Sambil tergeletak di aspal pemuda itu melihat sorot mata Ari
yang penuh kemarahan ia arahkan kepadanya. Tapi sesaat kemudian
Ari menggelengkan kepala cepat seolah memberi isyarat ’jangan
teruskan’. Hal ini membuat Ari lengah. Dan tiba-tiba...
”BAG....!!!”
Mata kiri Ari telak terkana pukulan tangan kanan pemuda
bertato. Kembali Ari harus jatuh. Dan kali ini pemuda yang agak
pendek berusaha menyerang dengan menundukkan kepala agar
pukulannya bisa mengenai kepala Ari.
Ari bergegas menubruk pemuda itu dengan sekuat tenaga.
Meski sangat berat, tapi lawan keduanya juga terjatuh. Ari berusaha
menekan erat kedua lengan lawan yang ada di bawahnya agar tidak
bisa memukulnya.
Melihat itu pemuda dengan lengan bertato segera berusaha
mengangkat Ari. Dengan postur tubuhnya yang lebih besar, maka
Ari dengan mudah bisa diangkat oleh pemuda itu. Kedua lengan Ari
dipegang erat dari belakang hingga membuatnya tidak berdaya. Saat
itu ia melihat pemuda berkaus Intermilan hanya berdiri
memandangnya tanpa berbuat sesuatu.
Berkali-kali pemuda bertato menyuruhnya agar memukul Ari.
Tapi apa yang diberikan oleh Ari seolah memberikan sebuah
pelajaran jiwa. hingga tidak bisa menggerakan raga. Beruntung satu
pemuda lainnya hanya diam. Ia hanya mengamati dan tak
bersemangat untuk ikut berkelahi.
Namun kini pemuda yang paling pendek dengan lengan kekar
sudah berdiri. Dengan muka beringas ia kerahkan seluruh tenaganya
memukul beberapa kali ke arah pelipis kanan dan kiri.
Tiba-tiba Ari merasa tubuhnya ditubruk seseorang. Sekilas Ari
melihat pemuda berkaus Intermilan itu berupaya menghalangi
pukulan sekaligus melepas tangan Ari yang dengan erat dipegang
pemuda bertato.
Meski terlepas, Ari terdorong hingga jatuh telungkup. Ia
berusaha mengangkat kepalanya karena genangan Air hujan masuk
ke dalam mulutnya. Belum sempat ia bergerak lebih, tendangan
keras mendarat di perut kanan hingga membuatnya berteriak keras.
Spontan Ari mengarahkan lengan kanan menutupi perutnya.
Tapi skali lagi tendangan itu telak menghampiri. Kembali Ari
mengerang. Kerasnya erangan sekuat mengatupnya kedua
rahangnya.

20
Melihat Ari sudah tak berdaya, keempat pemuda tersebut
saling pandang dan mengamati keadaan sekitar. Mereka melihat
seorang pria bertubuh besar berlari menghampiri. Tanpa ada kata-
kata, mereka berempat lari meninggalkan Ari tergeletak di tanah.
Tidak lama kemudian Ari mendengar suara kaki mereka berlari
kecil menjauh. Hampir bersamaan dengan kian hilangnya suara lari
mereka berempat, datang suara lari yang mendekat dari arah
berlawanan. Ari melihat ternyata Gita bersama dengan Pak Heri,
penjaga warung sebrang.
”Pak... Sudah, nggak usah dikejar..” kata Ari ketika melihat pak
Heri melewatinya sambil berlari.
Pak Heri berhenti. Tapi pandangannya tetap terarah pada
keempat pemuda yang kian jauh. Ia berusaha mengenali siapa
mereka, namun karena hujan deras dan usia yang tak lagi muda kian
menghalanginya.
”Kamu kenal mereka?” Tanya pak Heri dengan wajah yang
bengis sambil berusaha mengatur nafasnya. Usianya yang tampak
tua dari rambutnya yang diwarnai uban. Namun dari otot tangan
dan wajah masih tampak jelas kekuatan masih tersimpan di
dalamnya hingga seorang pemudapun akan berfikir ulang untuk
menantangnya.
”Tidak.” jawab Ari singkat sambil membalikkan badan dan
berusaha bersandar pada trotoar. Dari situ baru tampak beberapa
bagian terutama mata kiri dan pelipisnya lebam.
Bukan hanya lebam. Tampak ada darah yang masih mengalir,
namun selalu terhapus oleh air hujan. Wajahnya pun begitu pucat.
Begitulah yang tampak dari sudut pandang Gita yang hanya bisa
memperhatikan tanpa bisa bergerak. Ia tak menyangka kalau
kejadiannya akan sampai seperti ini.
”Kamu nggak apa-apa,” tanya pak Heri sambil membantu Ari
untuk berdiri.
Dengan susah payah akhirnya Ari bisa berdiri. Raut mukanya
masih menunjukkan sakit yang masih dirasakannya.
”Terimakasih Pak..,” kata Ari sambil berusaha tersenyum.
”Aduh...,” tiba-tiba Gita mengaduh sambil melihat tasnya. Ia
baru sadar kalau ia di tengah hujan deras tanpa payung melindungi.
”Bukuku...” Gita segera membuka tas dan melihat semua bukunya
telah basah kuyup.
”Dasar sial... sudah babak belur gini, yang difikirkan malah
buku...,” kata Ari sambil menggelengkan kepala ke pak Heri. Pak
heri hanya tertawa keras mendengar keluhan itu.

21
”Bukannya gitu,” kata Gita sambil menutup tasnya lagi. ”Ini
buku baru kubeli.”
”Ya. Dan aku orang yang uda dilahirkan dua puluh tiga tahun
yang lalu..,” kata Ari sambil beranjak menuju motornya. Setelah
menaiki, dia menstater motornya. ”Biar kuantar kamu,” katanya
pada Gita.
”Nggak usah. Biar aku pulang sendiri,” kata Gita karena nggak
mau merepotkan Ari.
”Kamu nggak lihat arah mereka lari sama dengan jalan yang
kamu tuju..? Kalau mereka bisa godain kamu lagi, terus apa gunanya
aku berkelahi tadi..? Cepet naik..” Ari kini bukan menawarkan tapi
memerintahkan.
”Uda, naik aja. Biar lebih aman,” kata pak Heri. ”Saya balik
dulu. Nanti kalau ada apa-apa cari aja saya.”
”Oke... Terimakasih Pak..,” kata Ari sambil mengangkat tangan
kanannya.
Gita mendekati motor Ari dan pelan-pelan naik di belakangnya.
Perlahan motor melaju pelan di tengah derasnya hujan. Dari
belakang Gita memandang Ari. Ia tak menyangka Ari akan berbuat
yang demikian mengingat apa yang baru ia lakukan padanya.

22
Ari 2
Keberadaan Ari

Jum’at, satu hari pasca demonstrasi. Koran-koran lokal dengan


lugas menampilkan foto bentrokan yang terjadi hari sebelumnya.
Dari berita yang ada, ada sekitar dua puluh enam mahasiswa yang
tercatat masuk rumah sakit karena luka-luka ringan dan tiga puluh
mahasiswa ditangkap polisi untuk dimintai keterangan.
Pihak kampus mengatakan bahwa kejadian ini amat sangat
disayangkan. Karena yang melakukan orang-orang yang kita anggap
profesional, maka seharusnya menyampaikan pendapat tanpa
emosional.
Sedang dari pihak mahasiswa mengatakan jika pihak kampus
menemui kami dan menjelaskan strategi apa yang akan diambil
untuk tetap mempertahankan standarisasi pendidikan, maka kami
mahasiswa akan merasa sedikit tenang. Tapi apa yang terjadi, dari
awal hingga entah siapa yang memulai, tiada satupun pihak kampus
yang menemui kami.
Polisi mengatakan dengan lugas bahwa apa yang mereka
lalukan sudah sesuai prosedur. Mereka mengatakan bahwa ada
sebagian mahasiswa yang mulai melakukan pelemparan. Semua hal
yang bertujuan untuk melakukan perusakan, maka harus kita tindak
dengan tegas.
Ari membaca berita tersebut dengan seksama. Wajahnya pucat.
Beberapa saat kemudian ia meletakkan koran dengan lemah dengan
tangan kanan yang berhiaskan selang infuse. Ia mengarahkan
pandangan ke jendela dimana tampak beberapa perawat hilir mudik.
Sesaat kemudian ia memejamkan mata itu kembali.
Tak lama kemudian terdengar pintu kamar dibuka dan perawat
masuk membawa makanan. Ibu Ari menerima dan meletakkan di
meja dekat dengan tempat tidur. ”Makanlah,” kata Ibu dengan
ramah.
Ari menggerakkan kaki, namun gerakkannya tertahan karena
menahan nyeri. Tangan ibu Ari spontan bergerak untuk
mengangkat, tapi dengan segera beliau alihkan gerakan tangannya
untuk membuka selimut yang menutupi sebagian tubuh Ari.
Dengan perlahan Ari menggeser badannya mendekati meja
dimana makanan telah tersedia supaya terjangkau tangannya. Dari
lambannya gerakan dan gerakan otot wajahnya, tampak sekali ia
berusaha menutupi rasa sakitnya. Ia memandang ibunya yang
tampak sangat khawatir padanya. ”Ibu tenang saja”, katanya sambil
tersenyum. ”Saya nggak minta disuap..”
23
Mendengar itu Ibu mendekat dan mengelus kepala Ari
beberapa kali. Beliau teringat ketika Ari terjatuh dari motor hingga
lengannya kananya retak beberapa tahun yang lalu. Melihat Ari
kesusahan saat mencoba makan dengan tangan kirinya. Dengan
segera Ibunya mengambil sendok dan menyuapinya.
Beberapa sendok berlalu hingga ayah Ari datang dengan muka
marah. ”Biarkan makan sendiri. Biar dia merasakan bagaimana
rasanya kalau nggak punya tangan”.
Kenangan itulah yang kembali teringat. Ibu memeluk Ari
dengan sangat haru. Beliau tampak menahan air mata dengan
mencoba tersenyum.

Minggu, tiga hari pasca demonstrasi. Rumor tentang Ari adalah


profokator kian santer terdengar. Berita tentang Ari mengajak
demonstrasi setelah itu ditinggal pergi sangat mengganggu fikiran
Gita. Gita tidak berani cerita tentang Ari dikeroyok beberapa
pemuda untuk membela dirinya satu hari sebelum demonstrasi. Ia
belum tahu bagaimana keadaan Ari, kini malah ada kabar tentang
julukan barunya sebagai seorang provokator.
Karena khawatir akan keadaan Ari, akhirnya ia memberanikan
diri untuk minta tolong pada Rani untuk mencarikan nomor
hanphone Ari. Meski diliputi berbagai pertanyaan, karena desakan
Gita, akhirnya Rani mencarikannya ke beberapa temannya.
Setelah mendapatkan, dengan segera Gita mengubungi. Namun
setelah beberapa kali mencoba, nomor itu tidak aktif. Akhirnya ia
mencari nomor Agung, temen Ari. Dengan berbagai alasan yang
terkadang hanya untuk membingungkan, akhirnya Agung
memberitahu alamat Ari.
Siang itu juga ia bergegas keluar menuju rumah Ari. Dua kali ia
harus naik turun angkutan umum sambil terus bertanya untuk
tidaknya arah yang akan ia lalui. Setelah satu jam berlalu, akhirnya
Gita berada pada jalan dimana seperti yang disebutkan Agung. Dari
situ ia bisa naik becak.
Gita bertanya tentang rumah pak Rudi atau Ibu Rahma, orang
tua Ari. Dengan segera salah seorang tukang becak barisan terdepan
mempersilahkan Gita untuk naik. Untuk meyakinkan, Gita kembali
bertanya pada tukang becak itu apakah itu bapak Rudi dan Ibu
Rahma yang anaknya namanya Ari dan kuliah di Keperawatan.
Sekali lagi tukang becak itu membenarkan perkataan Gita.
”Warga sekitar sudah sangat mengenal keluarga tersebut karena

24
mereka ramah dan mau bergaul dengan siapa saja. Tapi sayang pak
Rudi sudah meninggal”, tambah tukang becak tersebut.
Gita terkejut dengan apa yang ia dengar dan spontan ia
bertanya kapan ayah Ari meninggal dan karena sakit apa. Dengan
ringan tukang becak itu menjawab ”Pak Rudi meninggal sekitar satu
tahun lalu karena sakit strok. Katanya ia tertekan setelah tahu Ari
ditahan karena kasus pembunuhan temannya atau apa saya juga
kurang jelas. Beritanya ada di koran, tapi saya nggak bisa baca. Jadi
cuma bisa dengar omongan orang,” katanya sambil tersenyum jujur.
Tak lama kemudian becak itu berhenti di depan sebuah rumah
yang tampak rindang oleh banyaknya tanaman dan pohon jambu
dihalamannya. Tampak samping kanan rumah dijadikan counter
hanphonde dengan berbagai macam aksesoris tertata rampi. Sedang
bagian kiri ruang tamu dengan pintu rumah yang sederhana dengan
cat dinding warna biru muda.
Setelah turun dan membayar tukang becak, Gita melihat
seorang pemuda keluar dari balik tirai yang tampaknya
menghubungkan dengan bagian rumah sebelah kanan. Langsung
saja Gita bertanya, ”Maaf mas, bener ini rumahnya Ari?”
”Oh bener mbak. Mas Arinya barusan keluar, tapi mungkin
cuma sebentar. Mbak tunggu di ruang tamu saja,” kata pemuda itu
sambil mengarahkan kelima jarinya sopan untuk menuju ke ruang
tamu.
Gita berjalan pelan menuju ruang tamu yang masih tertutup. Ia
duduk di kursi kayu panjang yang terdapat di depan rumah
menghadap ke jalan yang tidak begitu ramai karena mungkin hari
Minggu.
Tak lama kemudian terdengar pintu dibuka. Gita segera berdiri
dan melihat ibu Ari tersenyum penuh di wajah yang berhiaskan
jilbab yang utuh.
”Silahkan masuk,” kata ibu Ari membuka pintu lebar-lebar dan
mengulurkan tangan untuk bersalaman yang disambut Gita sambil
menyebutkan namanya. Setelah mempersilahkan duduk, ibu Ari
melangkah ke dalam.
Gita duduk di kursi kayu sederhana dibalut busa dan lapisan
luar kain bercorak tanaman dengan warna dasar hijau. Ia
memandangi ruang tamu yang tidak terlalu luas namun cukup
menggambarkan penghuni di dalamnya. Tampak di tembok
terdapat foto keluarga dimana ayah dan ibu Ari berdiri diapit dua
putranya. Ari mengenakan jas hitam berdiri di samping ibunya yang
mengenakan batik warna biru. Sedangkan ayah Ari dan laki-laki di

25
sampingnya mengenakan seragam kebesaran angkatan laut dengan
pangkat di pundaknya.
”Itu kakak Ari,” tiba-tiba ibu Ari muncul sambil membawa
segelas es teh segar. ”Sekarang ia dinas di luar kota. Makanya rumah
jadi sepi.” Ibu Ari meletakkan es itu dekat Gita. ”Silahkan,
diminum.”
Gita minum beberapa teguk untuk mengobati dahaga akan
terik yang menerpanya di perjalanan. Dengan sedikit ragu Gita
kemudian bertanya, ”Ibu, Ari tidak apa-apa?”
Pertanyaan Gita seolah mengingatkan akan kejadian dimana
disaat hujan deras turun, Ari pulang dalam keadaan babak belur. Ibu
Ari menampakkan mimik wajah yang sedih. ”Entah kapan terakhir
kali Ari pulang dalam keadaan luka karena berantem hingga
ayahnya sering marah.
”Tapi semenjak ayahnya meninggal, ibu merasa Ari adalah
anak yang bisa ibu andalkan. Terkadang Ibu berfikir apa yang
dilakukan Ari lebih baik. Namun tetap saja ia minta nasihat Ibu. Ibu
bangga dengan apa yang ia lakukan untuk menghargai orang lain.”
Gita mendekat dan memegang tangan ibu Ari.
”Tapi hari itu ibu menahan Air mata waktu kembali melihat Ari
pulang dengan penuh luka. Saat ibu tanya ada apa, dia hanya diam
saja. Ia tak mau dibawa berobat hingga malam tubuhnya demam
tinggi dan wajahnya menahan nyeri. Ibu memanggil dokter kemari.
Dokter bilang ia harus diopname, tapi Ari menolak. Katanya hari ini
ia mengajak orang demonstrasi, apa jadinya jika ia tiada esok hari.”
”Saat subuh, ibu kaget dengan suara keras di depan rumah. ibu
keluar dan melihat Ari pingsan dengan mengenakan seragam di
samping motornya. Ibu teriak-teriak minta tolong pada tetangga dan
segera membawanya ke Rumah Sakit”. Perlahan, ibu Ari meneteskan
air mata karena kekhawatiran pada diri Ari mengingat kejadian pagi
itu.
”Setelah diUSG, dokter bilang hatinya memar cukup parah dan
harus dirawat minimal satu minggu. Tapi pagi ini ia memaksa
pulang dengan alasan ia sudah baikan.”
Ibu Ari coba menenangkan diri dan menghapus Air mata.
Beliau terdiam sebentar sebelum kembali bertanya, ”Oh ya, dek Gita
temenan juga sama Putri?”
Gita terdiam sebentar. Di kelasnya tidak ada yang nama itu.
Namun, ia teringat cerita Rani yang menyebutkan nama Putri
sebagai seorang yang diperebutkan Ari hingga menyebabkan
kematian temannya.

26
Belum sempat Gita menjawab, ibu Ari melanjutkan kalimatnya.
”Dulu Putri sering main kemari. Namun sejak beberapa bulan yang
lalu sudah tidak pernah lagi. Kata Ari sedang sibuk praktik profesi.
Nanti kalau ketemu sampaikan salam ibu ya,” wajah ibu Ari kembali
seperti sedia kala.
Tak lama kemudian terdengar suara motor menderu. Ari
datang dan langsung masuk ke rumah. Wajahnya terkejut ketika
melihat Gita bersama ibunya di ruang tamu. Ia terdiam sesaat lalu
segera beranjak masuk ke dalam.
Melihat itu, ibu Ari segera berdiri dan beranjak menyusul.
Namun belum sempat masuk, Ari sudah keluar lagi sambil
membawa buku di tangannya. ”Gita mau pinjam buku,” Ari
menyerahkan buku itu pada Gita.
Gita agak bingung dengan apa yang didengarnya. Namun
melihat raut muka Ari yang berbeda, Gita menerima buku itu
dengan ragu.
”Sudah sore. Biar aku antar kamu pulang,” kata Ari dengan
tergesa-gesa namun gerak tubuh yang tidak biasa karena menahan
sakit di tubuhnya. Ia ke dalam memakai jaket, mengambil dua helm
dan berjalan keluar menuju motornya.
Gita kian dibuat bingung dengan sikap Ari seolah tidak
nyaman dengan keberadaannya. Namun ia hanya bisa mengikuti.
Segera ia berpamitan dan naik di motor Ari.
Selama dalam perjalanan Gita hanya bisa diam. Ia tak berani
mengatakan suatu apapun apalagi menanyakan kondisi Ari. Sampai
saat Ari menghentikan motornya di sebuah kafe kecil di daerah
dekat kampus. Gita mengikuti arah mata Ari yang menyuruhnya
masuk.
Mereka memilih meja yang dekat dengan pemandangan luar.
Karena masih sore, kafe itu sepi pengunjung. Segera seorang pelayan
membawa buku menu. Ari menawarkan makan, tapi Gita hanya
memesan minuman.
Mereka masih terdiam hingga pelayan mengantarkan pesanan.
Ari langsung minum jus alpukat dihadapannya, sedang Gita hanya
mengaduk pelan jus jeruk pesanannya. Tak lama kemudian Ari
bertanya, ”Apa yang kau bicarakan pada ibu?”
”Tidak ada... Ibumu bilang bangga padamu. Tapi ia khawatir
karena kejadian waktu itu.” Gita memandang Ari. Masih tampak
jelas luka dalam yang kini sedikit menghitam di sekitar pelipis dan
matanya.
Mendengar itu Ari tak menunjukkan respon apapun..
Pandangan matanya ia arahkan ke luar. Entah memandang apa, tapi
27
yang pasti tatapan itu tajam dan terarah. Tak lama kemudian Ari
berkata, ”Ibuku punya penyakit jantung... Aku tak ingin ibu
mendengar berita buruk lagi tentangku...”
Mendengar itu Gita hanya terdiam. Kini ia tahu kenapa Ari
bersikap seperti itu waktu di rumah. Tampak kekhawatiran di wajah
Ari.
”Untuk waktu itu. Aku ucapin terima kasih. Untung ada kamu.
Kamu uda baikan?” Gita mencoba membicarakan hal lain. Tapi Ari
tak menjawab.
Tak lama kemudan Ari berkata pelan. ”Gita.. Boleh aku minta
tolong?”
”Tolong apa?” Gita balik tanya.
Ari diam sejenak. Ia menghirup nafas pelan sebelum
mengatakan, ”Jangan ceritakan kejadian tempo hari. Pada
siapapun...”

28
Ari 3
Alasan diam

Senin pagi. Meski aktifitas perkuliahan belum berjalan


semestinya, namun mahasiswa tetap menunjukkan kehadirannya.
Aturan absensi minimal sembilan puluh persen sedikit banyak telah
mendidik mahasiswa menjadi pribadi yang bertanggung jawab.
Mereka banyak berkumpul di ruang kuliah, gazebo atau
beberapa sudut dimana sinar matahari tidak menyapa mereka secara
langsung. Beberapa pembicaraan penting yang ada dalam tiap
tempat tak lepas dari rumor Ari sebagai provokator.
Tapi pembicaraan mereka terhenti ketika melihat Ari berjalan
pelan menyusuri koridor dan masuk dalam ruang kuliah. Semua
pasang mata memperhatikan hingga ia menghilang dibalik pintu.
Tak berapa lama kemudian beberapa orang berlari dan diikuti
yang lain. Karena diliputi keingintahuan yang besar, akhirnya semua
mahasiswa yang ada berlari menuju ruangan dimana Ari berada.
Tampak di dalam Ari masih berdiri di depan, sedang ruangan
itu kian penuh sesak. Meski ada bangku, tapi kebanyakan dari
mereka memilih untuk berdiri seolah menahan luapan emosi.
Ruangan itu bukan hanya padat akan massa, namun juga suara.
Namun suara itu perlahan memudar ketika Ratna berjalan menuju
Ari. ”Dari mana kamu? Hp tidak aktif, begitu juga nomor rumah
tiada yang mengangkat.”
Ari hanya diam memandangi semua mahasiswa yang
menatapnya dengan tatapan mata kebencian.
”Hoi, jawab..!!! Jangan diam saja..!!!” Bentak Bayu dengan sikap
badan menantang dan mata penuh kebencian.
”Diam kamu...!!! Beri waktu dia menjawabnya,” Wiro
menunjuk Bayu. Ia berdiri di dekat pintu karena ia datang agak
terakhir dibanding yang lain.
Bayu mengalihkan muka dengan sikap yang meremehkan.
Agung berjalan ke tengah menghampiri Ari. ”Katakan. Dimana
kamu saat itu?”
Ari menghembuskan nafas pelan. ”Dari berita aku membaca
tentang perjuangan dan ketidaknyamanan yang anda semua hadapi.
Siapapun pasti menginginkan berada dalam sejarah untuk tegaknya
standar pendidikan seperti yang anda lakukan. Tapi sayang,
keinginan tidak sejalan dengan dengan kondisi kesehatanku. Saat
berangkat, aku pingsan karena demam.”
”Alasan...!!!” Bayu berteriak.

29
Teriakan itu memicu serangkaian sindiran yang menyatakan
ketidakpercayaan. Hampir semua mahasiswa seolah tak percaya
dengan apa yang dikatakan Ari. Namun Ari hanya diam tak
bergeming.
Riuhnya kata-kata kian yang menyudutkan Ari kian
menggetarkan detak jantung Gita yang juga berada dalam ruangan
itu. Gita melihat wajah Ari dengan ikhlas menerima semua hujatan
yang telak hanya tertuju padanya. Kenapa ia tidak membela diri?
Padahal kamu benar-benar dalam keadaan sakit.
Agung dan Ratna tampak masih berusaha untuk membuat Ari
bicara. Namun di belakang mereka kata makian kian kejam
menghujam hingga membuat gemuruh jantung Gita tak terbendung.
Secepatnya ia bergerak memecah kerumunan dan berdiri di hadapan
semua.
”Dia tidak salah..” Gita berteriak sekuat tenaga hingga
membuat yang lain perlahan terdiam. ”Ini bukti kalau dia masuk
Rumah Sakit,” secepatnya Gita mengambil satu bendel fotocopyan
dan membantingnya di atas meja.
”Ini status Ari. Dari USG bisa dilihat hatinya memar. Jika
dipaksakan bisa terjadi perdarahan. Puas kalian..?” Tak terasa.
Meskipun coba menahan diri, tapi air mata ini tak jua kunjung henti.
Gita merasa bersalah, semua hujatan pada Ari, terjadi karena
menolong dirinya.
Semua mata kini terarah pada Gita. Tampak ia coba
menegarkan diri dengan menghapus air matanya beberapa kali. Tapi
percuma, karena air mata itu dengan derasnya mengalir akan beban
yang ia rasakan di hati hingga semua menjadi ragu. Apakah kata
makian masih pantas diucapkan, atau maaf harus dilepaskan.
”Kita semua tahu,” kata Bayu lantang hingga kini semua
pandangan terarah padanya. ”Sehari sebelumnya dengan gagah Ari
mengajak tuk bergabung dengannya. Kenapa tiba-tiba keadaannya
bisa separah itu? Apa ini sekenario untuk lepas dari masalah?”
”Tidak... Sore itu Ari..,” kalimat Gita terhenti karena tangan Ari
menyentuh pundaknya. Ari menatap tenang sambil menggelengkan
kepala pelan.
”Sore itu kenapa?” Bayu tak sabar.
Agung dan Ratna kembali menatap Ari dengan seksama.
”Katakan.. Apa yang sebenarnya terjadi?”
”Benar, katakan semua... Apa kamu masih pengecut seperti
satu tahun lalu..?” kata bayu dengan ketus.

30
Kata-kata Bayu seolah kembali menyulut ingatan dan
kebencian pada Ari akan peristiwa satu tahun yang lalu. Semua
mahasiswa berteriak mendesak Ari untuk menceritakan semua.
Desakan itu kian menyesakkan telinga hingga membuat Gita
kembali berteriak, ”Ari dikeroyok beberapa pemuda karena
menolongku...”
Kata-kata Gita seketika membuat suasana gaduh menjadi
ruangan mati seolah tak tersentuh.
Tak lama terdengar suara pintu ditutup dengan keras oleh Wiro
hingga semua pandangan tertuju padanya. ”Semua jangan ada yang
keluar.”
Gita melihat wajah kebencian yang ada di mahasiswa kini
berganti menjadi kekhawatiran. Ia tak mengerti kenapa semuanya
berubah. Ia melihat Ari diam menundukkan kepala dan menggeleng
pelan.
Tiba-tiba Ratna menarik lengan bajunya dengan sedikit kasar.
”Apa benar semua yang kamu katakan?”
Belum sempat Gita menjawab, kini pandangannya teralihkan
oleh suara Wiro yang begitu keras dan nada tegas, ”Jangan ada yang
membicarakan masalah ini pada siapapun. Mengerti...!!!”
Ratna kembali mengarahkan kepala Gita tak sabar menunggu
jawaban. Dengan bingung Gita menjawab, ” Ya, semua itu benar..”
Tak lama kemudian semua mahasiswa dikejutkan dengan suara
ketukan pintu. Ketegangan kian memuncak ketika seorang dosen
masuk. ”Ada apa ini?”
”Tidak pak. Cuma rapat kegiatan kemaren supaya tidak
terulang rusuh lagi,” jawab Wiro sekenanya.
Dosen itu acuh dengan jawaban yang ia dengar. Tampak
pandangannya terarah kesana kemari dan berhenti pada sosok Ari.
”Ari, kamu dipanggil dekan.” Dosen itu berlalu seolah hanya
menyampaikan apa yang ditugaskan padanya.
Tatapan Ari berganti. Ia tak lagi bersemangat menghadapi
semua. Agung mendekat dan menepukkan tangan di bahu
kanannya. ”Kami takkan tinggal diam jika pendidikan
mengeluarkanmu.”
Ari tak menjawab. Ia arahkan pandangannya ke seluruh teman-
temannya. Kemudian ia berkata, ”Penuhi cita-citamu. Jangan ikuti
aku”. Setelah berkata, ia melangkah seolah ia akan meninggalkan
semua.
Melihat itu Gita kian galau dengan keadaan yang ada. ”Ari.
Sebenarnya ada apa ini?”

31
”Apa kamu nggak tahu peristiwa satu tahun yang lalu?” Agung
menyela. ”Jika Ari melakukan perkelahian lagi, maka ia akan
dikeluarkan. Apalagi jika itu berhubungan dengan pemuda sekitar.
Maka mereka takkan tinggal diam.”
”Semuanya tenang,” kini Wiro berkata dengan suara lantang.
”Peristiwa itu terjadi beberapa hari yang lalu. Sampai sekarang
keadaan masih tenang. Kemungkinan ini tidak ada hubungan
dengan semua pemuda satu tahun yang lalu.”
”Sudah jelas..?” Tanya Ari pada Gita.
Gita diam. Ia tak menyangka masalahnya jadi serumit ini.
”Aku ucapkan terima kasih atas usahamu. Tapi jika kubilang
jangan katakan, maka cukup lakukan.” Ari menghembuskan nafas
pelan. ”Berdoalah agar keadaan tidak jadi mengkhawatirkan.”

Ari mengetuk pintu dengan ukiran sederhana namun dengan


tulisan yang menandakan tingginya kedudukan. Dekan. Tidak lama
kemudian Ari memberanikan diri membuka pintu. Ia melihat pak
Siswanto masih duduk di kursi kedudukannya dibalik meja besar
yang rapi akan beberapa dokumen diatasnya.
Pak Sis mempersilahkan Ari duduk di kursi tamu yang terletak
di sebelah kanan. Dengan sopan Ari berjalan pelan dan duduk di
salah satu kursi paling ujung. Tidak lama kemudian pak Sis berdiri
melangkah menuju kursi tamu. Sambil berjalan ia membenarkan
letak kacamatanya.
Setelah duduk di kursi yang bersebrangan dengan Ari, pak Sis
memperhatikan Ari dengan seksama. Setelah itu ia berkata, ”Setahun
yang lalu, saat ayahmu masuk ruangan ini dia langsung berkata.
Sis... Jika aturan memang menuliskan anakku harus dikeluarkan.
Jangan jadikan pertemanan kita sebagai penghalang.”
Pak Siswanto diam memandang Ari. Ia tidak melihat
sedikitpun respons. Ari masih terlihat diam. Pandangannya masih
penuh ke Arah pak Siswanto seolah siap mendengar kalimat apa
yang akan dikatakan selanjutnya.
”Ayahmu orang yang sangat konsisten. Ia memang setia
kawan. Tapi lebih menjunjung tinggi aturan. Saat orang tua lain
mendekati agar meluluskan anaknya. Ayahmu malah mengijinkanku
mengeluarkan putranya. Karena itu saya tidak percaya akan apa
yang bapak dengar tentangmu. Ceritakan apa yang sebenarnya
terjadi?” tanya pak Siswanto.

32
”Yang sebenarnya terjadi adalah kami ingin kampus ini tetap
konsisten akan standar pendidikan,” kata Ari tegas. Ia
memanfaatkan kesempatan ini bukan untuk membela diri, tapi
untuk menyampaikan aspirasi BEM.
Pak Siswanto tersenyum. ”Bukan itu yang saya tanyakan.”
”Pak... Saya sudah mengecewakan banyak orang.” Ari
menundukkan kepala. ”Saya hanya ingin menyampaikan aspirasi
teman-teman. Lebih dari itu, Bapak boleh melakukan apapun sesuai
aturan yang ada.”
Pak Siswanto menganggukkan kepala. Awalnya ia ingin
membicarakan apa yang sebenarnya terjadi akan rumor yang
beredar tentang Ari. Namun kesempatan justru Ari manfaatkan
untuk menyampaikan aspirasi. ”Baiklah.. Sebenarnya saya tidak
perlu membicarakan hal ini. Tapi mungkin dengan begini, kamu bisa
memberi pengertian pada temen-temenmu.”
Pak Siswanto melepaskan kacamatanya. ”Tiap tahun biaya
pendidikan kian bertambah. Kalau menaikkan SPP, maka orang akan
lebih tertarik pada banyak STIKES yang berani memasang biaya
yang lebih terjangkau. Karena itu kita memakai cara menambah
jumlah mahasiswa extensi untuk melakukan subsidi silang. Sekarang
kamu mengerti?”
”Tidak..,” jawab Ari pelan. ”Saya pernah belajar dari seorang
penjual nasi goreng. Penjual itu berani memasang harga sedikit lebih
tinggi dari penjual lainnya. Namun dengan harga tersebut pembeli
mendapatkan kepuasan lebih karena jumlah nasi dan campuran
ayam lumayan banyak dan rasanyapun enak. Hingga kemanapun
penjual itu pindah tempat, maka orang akan mencarinya.
”Silahkan Bapak melakukan apapun. Tapi, apapun yang terbaik
untuk mahasiswa adalah meningkatkan kualitas pendidikan. Maaf
jika kata-kata saya kurang berkenan.”
”Saya juga minta maaf telah mengajak teman-teman untuk
melakukan demonstrasi. In shaa Allah ini adalah yang terakhir bagi
saya. Bukan karena takut akan sanksi. Tapi semua karena kurangnya
ilmu yang saya miliki.
”Ternyata agama mengajarkan jika ada yang salah dengan
pemimpin kita, maka ingatkan dengan lisan secara sendiri. Bukan
ramai-ramai mengabarkan kekurangan. Karena jika kita sendiri yang
salah, menginginkan yang demikian. Jika itu tak merubah keadaan.
Maka Allah sendiri yang menyatakan untuk meminta hak kita
kepada Allah.
”Saya pribadi teringat tidak semua nilai kuliah saya A. Karena
saya manusia yang butuh diingatkan dan juga diberi kesempatan
33
untuk melakukan perbaikan. Begitu juga bapak dan juga seluruh
pengelola kampus ini. Kecuali jika yang mengelola adalah malaikat.”
Mendengar itu pak Siswanto tampak tersenyum. Kembali ia
menganggukkan kepalanya. ”Mendiang ayahmu pasti bangga
melihatmu saat ini.”
Ari terdiam. Tampak ia mengeratkan kedua gerahamnya
mengingat akan mendiang ayahnya. Tak lama ia menggelengkan
kepala saat berkata, ”Terakhir kali melihat ayah. Beliau sangat marah
pada saya.”
”Kenapa kamu selalu menghalangi orang untuk memujimu?”
Tanya pak Siswanto heran.
Ari diam tidak menjawab dengan lisan. Hanya tundukkan dan
gelengan kepala pelan yang ia lakukan seolah ingin menunjukkan
apa yang dilakukan sebelumnya, menyadarkan bahwa ia memang
tidak pantas mendapatkan pujian itu.
Akhirnya pak Siswanto mengijinkan Ari untuk meninggalkan
ruangan. Sebelum Ari pergi, pak Siswanto menjabat tangannya
sambil berkata, ”Terima kasih nasi gorengnya...”

Ari melangkah keluar. Tidak disangka, kedua temannya sudah


ada di depan pintu menunggunya dengan raut muka yang tidak
nyaman. Ari tetap melangkah agak tertatih karena masih menahan
nyeri di perutnya.
Melihat Ari melewati mereka, Agung dan Wiro mengikuti dan
berjalan di samping kanan kiri. ”Gimana?” Tanya Wiro.
Ari tersenyum. ”Jangan dekat aku kalau nggak mau ada
masalah.”
Mendengar itu Wiro juga tersenyum. ”Jangan mengambil kata-
kataku... Lagipula dunia takkan maju tanpa adanya masalah,”
katanya sambil terus berjalan disamping Ari.
”Hei.. aku jangan dihitung ya,” kata Agung.
”Ya.. Dunia juga tidak lengkap tanpa orang bodoh,” kata Wiro.
”Emang siapa yang bodoh?” Agung tidak terima.
”Lalu kenapa kamu masih berjalan disamping kami?” Jawab
Wiro tenang.
”Dasar.. Aku hanya ingin menjaga kalian.” Agung menjitak
kepala Wiro.

34
Wiro membalas dengan memeluk kepala agung di lengannya
yang besar. ”Ya.. Besok belikan kami pampers biar bebas kencing di
celana.”
”Aku menjaga. Bukan pengasuh..” Jawab Agung sambil
meronta
Mereka bertiga kembali tertawa keras. Namun tawa mereka
perlahan terhenti ketika melihat semua mahasiswa sedang
menunggu kabar dengan penuh kekhawatiran. Beberapa mereka
menggelengkan kepala dan berkata, ”Apa mereka pernah serius
menghadapi masalah...?”

35
Ari 4
Kehadiran Wahyu

Kost jalan Kemuning. Begitulah kebanyakan mahasiswa


menyebutnya karena bertempat di tikungan jalan tepat dimana
tulisan nama jalan ditancapkan. Tempat kost itu tidak begitu luas,
namun suasana rumah yang dipenuhi oleh bunga seolah menjadi
daya tarik sendiri bagi mahasiswa yang akan menghuninya. Belum
lagi ibu kost, yang biasa mereka panggil bu Ayu, orangnya sangat
ramah. Bukan hanya tetangga, namun semua orang yang ada dalam
naungannya merasa sangat nyaman.
Nyaman bukan karena membebaskan semua mahasiswa yang
sewa tempat di rumahnya, namun karena bu Ayu bisa bersikap
seperti ibu mereka sendiri. Hal ini tampak dari cara beliau bergaul.
Meski ada ruang tersendiri untuk keluarga di lantai dasar, namun
beliau lebih sering nonton televisi bersama di lantai dua khusus
penghuni kost. Dengan demikian kedekatan terjalin dan tak jarang
mereka minta nasihat pada bu Ayu.
Malam itu Gita dan Rani sudah berada dalam kamarnya.
Mereka duduk di lantai beranda yang menghadap jalan. Mereka
sedang mengamati bintang yang tidak begitu jelas dari tempat
mereka.
Gita sedang menceritakan tentang kejadian dimana saat dia
digoda beberapa pemuda dan Ari menolongnya. Gita juga
menceritakan saat ia ke rumah Ari dan bicara dengan ibunya.
Namun tiba-tiba cerita Gita berhenti.
”Ran... kalau nggak salah bukannya kamu menyebut nama
Putri. Orang yang diperebutkan Ari sebelum kejadian satu tahun
yang lalu?” Gita bertanya karena teringat sesuatu.
”Ya.. emangnya kenapa?” Rani heran.
”Kalau nggak salah, ibu Ari pernah bilang kalau Putri dulu
sering main ke rumah Ari.”
”Bukannya aku sudah bilang kalau sebelumnya Ari memang
dekat dengan dia?”
”Bukan.. Ibu Ari menyebutkan bahwa sejak beberapa bulan
yang lalu Putri sudah jarang main ke rumah. Itu berarti Putri dekat
dengan Ari setelah kejadian satu tahun yang lalu.”
”Berarti cerita tentang cinta segitiga itu benar?” Rani antusias.
”Entahlah... Ari orangnya aneh. Sulit ditebak. Kadang sangat
ramah, tapi kadang seolah menahan amarah.”

36
Rani memperhatikan Gita yang seolah sedang memikirkan Ari
begitu dalam. ”Kamu mulai jatuh hati ya?” goda Rani sambil tertawa
kecil.
”Enak aja..,” jawab Gita mengelak.
”Hati-hati lho ya.. yang kudengar Ari itu playboy.”
”Playboy?” Gita heran mendengar kata itu.
”Ya..” jawab Rani. “Mungkin Putri merasa dibohongi, akhirnya
ia meninggalkan Ari. Karena kudengar mereka pernah mendapati
Ari keluar dengan perempuan yang berbeda-beda.”
”Dan aku salah satunya?” kata Gita karena merasa pernah
dibonceng Ari dua kali.
Rani tertawa. ”Kejadian di kantin menunjukkan bahwa ia suka
kamu. Jadi hati-hati aja.”
Percakapan mereka terhenti ketika terdengar suara pintu kamar
diketuk dan suara bu Ayu memanggil. Segera mereka berdiri dan
membuka pintu. Ternyata bu Ayu ingin memperkenalkan penghuni
kost baru yang tepat di samping kamar mereka. “Kalian pasti sudah
kenal.”
Gita tersenyum ramah dan bersalaman dengan penghuni baru
tersebut. Wajahnya yang menarik dibalut rambut pendek dengan
model segi dan bola mata jernih. Mendadak wajah Rani terpaku
melihat orang di samping bu Ayu itu. Tidak salah lagi, fikir Rani
dalam hati. Dialah orang yang barusan mereka bicarakan. Putri.

Satu setengah tahun yang lalu. Jam perkuliahan sudah hampir


habis. Begitu banyak penjelasan yang dosen paparkan. Meski
ballpoint sudah terselip di jemari, namun tidak sedikitpun tulisan
tertera dalam catatan Putri. Padahal biasanya semua kata yang tidak
tertera dalam handout mampu ia tangkap dan didokumentasikan
dalam sebuah referensi kuliah harian.
Putri tampak tidak lagi bersemangat. Meski arah pandangan ke
depan. Namun entah kemana hati dan fikiran pergi. Dengan keadaan
yang demikian, meski tanpa bertanya ada apa. Semua tahu Putri
sedang ada masalah.
Beberapa menit kemudian, ketika dosen mengucapkan kata-
kata penutup. Semua mahasiswa bergegas membereskan alat
tulisnya agar segera bisa pulang karena saat itu beberapa kali
mendung bergemuruh tanda akan hujan.

37
Namun meski keadaan demikian. Putri masih saja bergerak
pelan. Tampak sekali ia tiada semangat. Putri melihat di kelas hanya
tinggal beberapa orang mahasiswa yang masih merapikan kelas.
Diantaranya ialah Ari yang sedang membereskan LCD dan laptop.
Rupanya hari ini ia yang kebagian tugas merapikan laptop.
Entah kenapa tiba-tiba Putri sedikit tersenyum dan melangkah
menuju Ari. ”Ar, ditempatmu ada HP bagus?”
”Lagi kosong,” jawab Ari sambil terus membereskan alat.
”Emang Hpmu kenapa?”
”Rusak..”
”Emang rusak apanya? Sini biar aku benerin.”
”Tapi aku butuh cepet...”
”Klo butuh cepet, kamu bisa pake Hpku dulu. Daripada beli.”
Putri agak tersentak dengan penawaran Ari. ”Terus kamu?”
”Di rumah ada Hp yang biasa pake isi pulsa. Atau sementara
pake punya ibu. Toh cuma sebentar. Paling besok uda selesai. Emang
Hpmu kenapa?”
”Habis jatuh dan nggak bisa hidup lagi,” Putri mengeluarkan
HP dari tas dan menyerahkan ke Ari.
Karena keburu hujan, Ari menerima tanpa memeriksa terlebih
dahulu. Ia juga memberikan Hpnya pada Putri. ”Ntar malam aku
hubungi,” kata Ari beranjak meninggalkan Putri.

Malam harinya, Putri masih tampak murung di kamar kostnya


seorang diri. Tampak ia menahan sedih. Beberapa kali ia
memandangi Hp milik Ari berharap ada SMS atau telfon yang
masuk. Tak tahan dengan keadaan, akhirnya Putri mengambil foto
dirinya dengan seorang cowok, setelah itu ia membantingnya di
lantai. Merasa kurang puas, ia mengambil foto itu, dirobek-robek
dan membuangnya di tempat sampah.
Tak lama, terdengar HP berbunyi. Tapi karena terlanjur marah,
Putri malas melihatnya. Tapi seolah tak kenal menyerah, HP itu
kembali memanggilnya. Karena merasa terganggu, dengan ekspresi
marah Putri mengangkat Hp itu.
”Ada apa? Kenapa baru sekarang hubungi aku?” bentak Putri.
”Sory... Barusan selesai,” jawab orang di telfon itu terbata.
”Selesai apanya? Emangnya kamu ngapain aja?”
”Sory, tadi ibuku masih suruh belanja keperluan rumah.”
”Ibumu? Jadi kamu sudah pulang? Kenapa nggak bilang?”
”Bilang kamu? Emangnya kenapa?”
Mendengar jawaban itu emosi Putri kian tak terkendali. ”Jadi
begitu. Selama dua minggu nomor kamu nggak aktif dan nggak ada
38
sama skali inisiatif menghubungiku. Emangnya kamu anggap apa
aku ini?”
”Boleh aku minta maaf..?” Tanya orang di telfon dengan nada
datar.
”Maaf? Maaf karena tidak menghubungi. Atau, maaf karena
kamu uda punya cewek lain?” Sindir Putri. ”Nggak usah mengelak.
Aku sering denger kamu jalan sama cewek lain.”
”Tidak keduanya,” kali ini suaranya terdengar tenang dan
tegas.
”Sudah kuperkirakan.. kamu memang cowok yang nggak bisa
dipercaya.”
”Mungkin benar saya tidak bisa dipercaya.” Suara orang
ditelfon terdengar tenang. ”Kamu boleh putusin aku karena masalah
itu. Tapi, sebelumnya kamu harus menerimaku sebagai cowokmu.
Karena namaku, Ari.”
Sesaat Putri terdiam tak percaya dengan apa yang barusan
didengar. Setelah itu langsung memeriksa nomor yang memanggil.
Karena ia memakai HP Ari, jadi yang tampil di layar hanya nomor,
bukan nama. Kebetulan nomor Ari berakhiran tujuh delapan, hampir
sama dengan nomor cowok Putri tujuh delapan delapan. Bukan
hanya itu, suara Ari juga mirip suara cowoknya.
Saat Putri menyadari hal itu, terdengar suara Ari sedang
tertawa. ”Ar, maaf ya...” kata Putri dengan nada bersalah.
”Maaf kenapa nih? Karena salah orang, atau karena mau
menolakku?” kata Ari sambil tertawa.
”Sory ya Ar,” kata Putri sambil tertawa malu.
”Ngapain sory.. Justru aku beruntung karena mungkin jadi
cowok pertama yang tahu kalau kamu mau putus. Kesempatan
langka nih,” katanya sambil tertawa.
”Kamu ini bisa aja,” kata Putri malu.
”Sekarang aku tahu kenapa HP bisa sampai separah ini. Pasti
kamu banting dengan sekuat tenaga,” Ari tak berhenti tertawa.
Pembicaraan mereka berlanjut. Pembahasan masalah kerusakan
Hp hanya sebentar. Selebihnya Putri memanfaatkan kesempatan itu
untuk menceritakan masalahnya, sedang Ari selalu menanggapinya
dengan nasihat yang mengarah pada tawa. Dengan keadaan yang
demikian, setelah dua minggu terbelenggu, Putri seolah bisa terlepas
dari masa lalu yang mengganggu.
Sejak saat itu, hampir tiap malam mereka selalu berhubungan.
Tiap permasalahan yang ditanyakan Putri, ditanggapi dengan
jawaban ringan dan canda tapi tanpa mengurangi makna yang
dalam. Hingga Putri merasa semua masalah telah terobati. Ia merasa
39
nyaman. Hingga terkadang Putri ingin kembali mendengar
pernyataan ’Kamu boleh putusin aku karena masalah itu. Tapi,
sebelumnya kamu harus menerimaku sebagai cowokmu’ yang
pernah dikatakan Ari.
Tak berbeda dengan Putri, Ari juga berharap kata-kata tersebut
sudah menjadi sebuah pertanda bahwa ia menunggu sebuah
jawaban. Namun dalam diri Ari terdapat perselisihan. Terkadang ia
ingin mengutarakan keinginannnya. Namun seolah ada sesuatu
yang kuat menghalanginya.
Ketahanan hatinya seolah kian diuji karena tiap bertemu Putri
di kelas, keinginan itu seolah menyerangnya bertubi-tubi. Beruntung
Ari masih bisa menutupinya dengan canda. Meski tiap ada
kesempatan mereka berhubungan lewat Hp. Namun dalam
kenyataan di perkuliahan mereka bersikap seperti biasa.
Kemanapun, Ari masih selalu bersama Wahyu dan Agung.
Kenehan terjadi dua bulan kemudian. Tiap kali jam istirahat
tiba, Wahyu memisahkan diri. Padahal biasanya mereka bertiga
bersama makan di kantin kampus. Waktu Ari bertanya pada Agung,
ia juga menyatakan ketidaktahuannya. Begitu juga saat Ari
menanyakan langsung pada Wahyu, ia hanya menjawab, ”Ada
bisnis.”
Ari sering melihat Wahyu kini lebih banyak meluangkan
waktunya bersama Bayu dan Wiro. Seringkali Ari berfikir dan
mencari tahu apakah ada perbuatannya yang menyakiti
perasaannya. Namun seiring waktu berjalan, Ari hanya berfikir
mungkin dengan Bayu dan Wiro, Wahyu lebih bisa memperoleh
banyak manfaat. Karena Bayu memang terkenal sebagai anak pejabat
setempat. Tentu saja hal itu membuatnya mempunyai lebih banyak
koneksi.
Di sisi lain, Putri masih berusaha untuk mengetahui perasaan
Ari padanya. Kian lama perasaan itu juga kian bertambah seiring
jawaban yang diberikan Ari akan pertanyaannya. Putri menganggap
hampir semua jawaban yang Ari kemukakan sangat sederhana,
namun kenapa jawaban yang sederhana tersebut tidak terlintas dan
terlebih lagu sulit untuk dijalankan.
Seperti saat pertama Putri cerita tentang cowoknya yang sudah
tidak bisa dihubungi dan tidak pernah menghubungi lagi. Saat itu
Ari hanya berkata dengan nada canda, ”Wah kalau gitu mending
siapkan hati untuk kecewa.”
Meski sering bercanda, tapi dalam hal tertentu Putri sangat
kagum akan kedewasaannya. Seperti saat ia berkata ”Daripada
diputus, mending aku yang mutusin dia.” Ari langsung
40
menjawabnya. ”Saya tidak setuju. Dengan memutus, bukan berarti
kamu menang. Karena yang saya pahami Dia membenci orang yang
memutuskan tali silaturahmi.”
Mekipun saat Putri mendesaknya dengan kata-kata, ”Walau ia
menyakiti kita?” Dengan tegas Ari menjawab, ”Yup... Balaslah
mereka dengan sesuatu yang lebih baik. Niscaya tiada kata lawan.
Karena yang ada hanyalah teman.”
Namun kekaguman akan diri Ari sedikit terganggu dengan
kehadiran Wahyu. Berbeda dengan Ari yang hanya berhubungan
lewat Hp. Wahyu melakukannya dengan kejelasan sikap bahwa ia
sedang mendekati Putri.
Kalau Ari bergerak hanya dari kata. Wahyu berusaha dengan
langkah. Ia bukan hanya memperhatikan Putri dengan
mengingatkannya untuk makan, namun secara tiba-tiba ia sudah ada
di pintu kost dengan membawakan makanan. Dengan cara demikian
sudah jelas banyak teman yang tahu kalau Wahyu menyukai Putri.
Bukan hanya itu, perhatian Wahyu juga tampak seringnya ia
memberikan surprise pada Putri. Pernah sekali ia membawakan
bunga, boneka, atau hanya sekedar coklat. Dengan perhatian yang
demikian, tak salah kalau Putri juga merasa nyaman berkomunikasi
dengan Wahyu.
Namun demikan sama halnya dengan Ari. Saat di kelas mereka
juga bersikap biasa. Hal inilah yang menyebabkan hati Putri
bimbang. Di satu sisi, meski nyaman dengan Ari, namun sampai saat
ini ia belum menunjukkan perasaanya. Sedang di sisi lain, Wahyu
sudah berusaha keras untuk selalu memperhatikannya.
Teman-temannya tidak tahu bagaimana kedekatan Putri
dengan Ari. Mereka hanya melihat seringnya Wahyu
menghampirinya. Dengan demikian semua teman-teman
mempelopori untuk menjodohkan Putri dengan Wahyu. Ditengah
kebingungannya, Putri melihat Ari membonceng seorang wanita
yang ia kenal adik kelasnya. Dengan kenyataan yang demikian, Putri
merasa dipermainkan oleh Ari. Akhirnya ia memenuhi ajakan
Wahyu untuk jalan-jalan.
Wahyu merasa seolah mendapat durian runtuh. Karena setelah
beberapa kali ia menerima penolakan, kini dengan kesabaran
akhirnya ia mendapatkan kesempatan. Ia memanfaatkan kesempatan
ini sebaik-baiknya, terutama untuk menyatakan perasaannya.
Malam yang ditentukan tiba. Mereka berdua jalan di area Mall.
Beberapa menit mereka jalan tanpa arah. Ketika Wahyu menawarkan
makan malam, Putri menolak karena alasan masih kenyang. Kembali
mereka hanya berjalan menikmati ramainya suasana.
41
Wahyu punya ide, ia menawarkan untuk nonton film. Dengan
sedikit ragu akhirnya Putri setuju. Begitu sampai di tempat tujuan
mereka kembali diajukan empat pilihan film yang sedang diputar.
Wahyu menyarankan nonton film drama percintaan, namun dengan
segera Putri menolaknya. Akhirnya Putri menunjuk sebuah film
kisah nyata dari seorang tokoh dunia. Meskipun pintu theater film
itu sudah dibuka beberapa menit yang lalu, akhirnya mereka
bergegas memasukinya.
Ketika masuk, ruangan itu sudah gelap gulita karena film
sudah mulai diputar. Mereka diantar petugas dengan penerangan
untuk sampai ke tempat duduk mereka. Setelah menikmati film
sekitar setengah jam, Wahyu mulai mengajak Putri bicara. Dari arah
pembicaraan tersebut, Putri bisa menangkap kalau Wahyu akan
menyatakan perasaannya.
Ketika Wahyu menyentuh jemari, Putri tidak tahu apa yang
harus ia lakukan. Wahyu menatap mata Putri dengan sendu, tak
lama kemudian ia mengatakan, ”Put.. Aku sayang kamu.”
Mendengar itu Putri hanya diam dan menatap Sambil tersenyum.
Akhirnya selama waktu berlangsung Wahyu menggenggam jemari
Putri.
Dua jam berlalu. Ketika lampu ruangan kembali dinyalakan,
Wahyu berdiri terlebih dahulu. Dengan penuh perhatian ia
membantu Putri berdiri. Setelah berdiri, Putri merapikan diri.
Namun gerakannya terhenti saat ia melihat ke belakang. Ia melihat
Agung duduk tepat di belakang tempatnya sedang tersenyum ke
arahnya. Dan yang lebih membuat jantungnya berhenti, ia melihat
Ari masih duduk tenang di kursi sambil memandang tanpa ekspresi.
Wahyu memperhatikan sikap yang aneh antara Putri dan Ari.
Tanpa berkatapun ia tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi antara
mereka berdua.
”Oh.. jadi begini...,” kata Agung tersenyum dengan nada
bercanda. Ia coba mencairkan suasana. ”Bilang tak mau pergi karena
ada urusan. Kenapa tak bilang kalau takut ada gangguan. Bener
nggak Ar?”
”Yupz..” jawab Ari singkat sambil tersenyum. Kemudian ia
berdiri. ”Tenang saja, kita tadi diam agar tidak mengganggu. Dan
sekarang kita pergi untuk hal yang sama.” Ari menepuk lengan
Wahyu, kemudian ia dan Agung beranjak pergi.
Putri diam terpaku memandang Ari pergi. Wajahnya
menampakkan sebuah rasa bersalah yang teramat sangat. Namun
tiada yang bisa dikatakan akan segala sesuatu yang tampak jelas di
depan mata.
42
Seketika itu pula Wahyu merasakan perbedaan sikap Putri. Ia
langsung ingin diantarkan pulang. Dan selama perjalanan Putri
bersikap dingin. Sampai di depan kost Putri hanya mengucapkan
terima kasih, setelah itu ia langsung masuk dalam rumah. Di dalam
kamar Putri langsung mengambil Hp dan menghubungi Agung.
Putri menceritakan semuanya dari awal bagaimana kedekatan
mereka bisa terjalin. Agung tidak heran dengan cerita tersebut.
Karena sejak melihat kedatangan Putri dan Wahyu, sikap Ari
tampak aneh. ”Hal itu uda cukup untuk mengatakan Ari juga
memendam perasaan,” terang Agung.
”Lalu kenapa selama ini dia diem aja? Aku kan nggak tahu
gimana perasaannya..” bela Putri.
”Ari pernah bilang padaku kalau dia ingin menolong orang
yang lagi bersedih. Namun hal tersebut tidak boleh dimanfaatkan
sebagai kesempatan untuk diri sendiri. Mungkin karena hal itulah
Ari memilih untuk menahan diri.”
”Tapi tadi aku lihat diem-diem Ari bonceng adik kelas..,” Putri
coba membela diri.
Agung diam sebentar. Tak lama ia mengatakan, ”Ya.. tadi kamu
denger ada mahasiswa yang Hpnya hilang saat di mushala? Ari
mengantarnya untuk beli HP baru.”
Sesaat mata Putri terpejam mendengar penuturan Agung.
”Kenapa kamu tadi tidak menyapa kami?” tanya Putri lemah.
”Sudah. Tapi Ari keburu mencegahku. Namun demikian sejak
saat itu, pandangan Ari tidak lagi ke layar... Percayalah, Ari melihat
dengan jelas,” tegas Agung. ”Tapi yakinlah, Ari ikhlas.”
Mendengar itu air mata Putri tak tertahankan. Namun yang
lebih menyiksa, ia harus menahan suara akan derasnya air mata.

43
Ari 5
Kisah kelam kematian Wahyu

Sejak kejadian di bioskop, hubungan Ari dengan Wahyu kian


renggang. Wahyu dengan jelas menunjukkan bahwa ia selalu berada
di samping Putri. Dengan demikian jelas sudah hubungan mereka
didepan semua mahasiswa.
Ari mencoba bersikap sewajarnya, namun sikap itu justru
ditanggapi sebagai cara halus untuk mencari simpati Putri. Fikiran
itu bukan hanya mempengaruhi Bayu dan Wiro yang kini jadi
sahabat baru Wahyu. Namun hampir seluruh kelas juga punya
pemikiran yang sama.
Hitungan bulan Ari dikucilkan dari kelasnya sendiri. Hanya
Agung dan beberapa teman yang selalu setia menemani. Agung
pernah mengutarakan keinginannya untuk menceritakan kejadian
sebenarnya. Namun dengan pelan Ari menolaknya. ”Wahyu berbuat
demikian karena ia takut kehilangan Putri. Jika aku tidak dalam
posisi yang salah, ia takkan berbuat demikian.”
Ketika Agung bertanya apakah ia tahan dengan semua ini? Ari
menjawab. ”Kebenaran itu hakiki. Meski dunia berusaha
merubahnya. Tapi suatu saat ia akan lelah karenanya. Bersabarlah..
Karena sampai kapanpun, Wahyu tetap teman kita,” jawabnya
sambil tersenyum seolah tanpa beban.
Namun satu minggu kemudian saat yang dinanti seolah kian
menjauh. Kejadian diawali saat Wahyu jalan berdua dengan Putri,
beberapa pemuda menghampiri dengan nada mengancam. ”Jika
kamu tidak jelaskan semua pada cewekmu hari ini. Maka kamu
sendiri yang akan menerima akibatnya.” kata salah seorang pemuda
itu sebelum pergi dengan muka marah.
Putri merasa ketakutan karena secara tidak langsung ia disebut-
sebut. Wajah Wahyu juga tiba-tiba berubah menjadi penuh
kekhawatiran. Namun ketika Putri bertanya ada apa, Wahyu hanya
menjawabnya, ”Tidak ada apa-apa. Mungkin mereka salah orang.
Kamu tenang saja. Biar nanti saya cari tahu siapa yang punya
masalah dengan mereka.”
Meski diberikan penjelasan demikian. Namun tetap saja wajah
Wahyu tidak bisa menyembunyikan bahwa ia sedang dalam suatu
masalah. Dan dalam keadaan sekarang, tiada nama lain selain Ari.
Malam itu Putri berusaha menenangkan diri. Namun tetap saja
matanya tidak bisa diajak tenang. Baru tengah malam ia terlelap
hingga keesokan harinya ia harus tergesa-gesa agar tidak terlambat.

44
Sesaat Putri lupa apa yang terjadi tadi malam. Fikirannya
tenggelam dalam penjelasan dosen dalam perkuliahan. Putri kembali
gelisah ketika ia tidak melihat Wahyu dalam kelas. Kegelisahan kian
menjadi ketika tanpa sadar Putri mencari Ari. Ternyata sama, Ari
juga tidak ada dalam kelas.
Ditengah-tengah perkuliahan, tiba-tiba terdengar suara kaca
jendela pecah. Saat semua mahasiswa keluar, mereka melihat banyak
batu melayang ke udara dan merusak apa saja yang
menghalanginya.
Teriakan dan kerusakan kian membahana. Di pintu gerbang
entah berapa ratus pemuda dengan muka garang membawa kayu
dan batu berteriak penuh amarah. Beberapa dari mereka tampak
jelas membawa senjata tajam. Beruntung satpam masih sempat
menutup pintu gerbang sebelum mereka menyelamatkan diri.
Sehingga pemuda dan mahasiswa memiliki pembatas yang jelas.
Hampir tiga puluh menit keadaan kian memanas. Mahasiswa
berupaya membela diri dengan melemparkan apa saja yang bisa
mereka temui. Keadaan yang demikian justru menyulut
keberingasan pemuda. Namun keadaan yang panas secara tiba-tiba
mereda. Mahasiswa melihat Ari berdiri tepat di pintu gerbang
sedang membopong seseorang yang berlumuran darah.
Awalnya satpam kampus hanya melihat. Mereka tak tahu
apakah harus membuka pintu gerbang atau tidak. Namun, serentak
gerakan pemuda seolah berhenti dan mundur beberapa langkah.
Seolah memberikan isyarat bahwa mereka takkan maju menyerang.
Tak mau menyia-siakan kesempatan. Spontan salah seorang satpam
membuka gerbang dan membantu Ari membawa tubuh yang
kemudian dikenal sebagai Wahyu.
Melihat hal tersebut Putri berteriak histeris. Ia memeluk kepala
Wahyu dengan erat sambil berteriak memanggil namanya agar ia
bangun. Namun kiranya saat itu Wahyu tidak bergerak sama sekali.
Putri menangis sekuat tenaga. Tak lama teman-teman yang lain
berupaya mengambil Wahyu dari tangan Putri agar segera
mendapatkan pertolongan.
Ari masih diam berdiri. Kemejanya penuh akan merah noda
darah. Wajahnya tampak penuh kebencian memandang Wahyu yang
sudah tak berdaya. Tapi pandangan itu mendadak berubah ketika
melihat Putri berjalan ke arahnya dengan pipi penuh linangan air
mata.
”Kamu apakan dia?” teriak Putri.
Ari diam. Tatapan matanya ia arahkan penuh pada Putri.
Namun sikap itu justru membuat Putri kian marah padanya. ”Kamu
45
apakan Wahyu? KAMU APAKAAAN...!!! Kenapa kamu tega
melakukan ini semua,” Putri berteriak histeris. Tangannya berupaya
meraih wajah Ari dengan niat untuk menyakiti.
Ari berusaha memegang kedua tangan Putri. Namun tenaga
amarah Putri seolah kian tak terkendali. Beberapa kali jemari Putri
berhasil meraih wajah Ari hingga menimbulkan luka cakaran yang
memerah di atas alis kanan. Tak berapa lama Agung bergegas
menarik tubuh Putri menjauh. Beberapa kali Putri meronta. Namun
akhirnya Agung bisa membuatnya berhenti.
”Kenapa jadi begini...” kata Putri tak henti menangis dan
memukul pelan tubuh Agung.
Agung melihat Ari masih berdiri terpaku menatap Putri.
Tampak sekali wajahnya memendam sebuah beban yang teramat
berat. Meski tubuhnya penuh noda darah, tapi tiada satupun teman
yang menanyakan keadaannya. Di tengah keributan itu, Ari seolah
berdiri seorang diri.
Tak lama berselang terdengar suara tembakan dan suara sirine.
Rupanya Polisi datang dan berusaha membubarkan kerumunan
masa.
Tiada seorangpun yang mereka tangkap, kecuali Ari yang
mereka amankan untuk diminta keterangan. Namun keadaan
tersebut menimbulkan sebuah isu bahwa Ari adalah pelakunya. Dan
motif utamanya jelas masalah cinta segitiga.
Keesokan harinya, isu yang berkembang tercetak jelas di salah
satu media masa setempat. Apalagi salah seorang wartawan sempat
mengabadikan dengan kamera, moment saat Ari berjalan tenang
membopong temannya dengan wajah penuh luka di tengah
kerumunan masa yang emosi.
Ari melihat berita itu dari seorang petugas yang semalaman
menginterogasinya. Petugas itu tampak jengkel ketika membaca
berita dalam koran. ”Semalaman kami tidak mendapatkan info
apapun darimu. Tapi mereka lebih banyak mendapatkan sumber
ulasan berita itu.”
Sejenak petugas itu menatap Ari yang masih diam
menundukkan kepala. ”Tiap orang pernah berbuat salah. Percayalah,
dengan mengaku, beban yang ada akan sedikit terkurangi.”
Ari masih saja diam. Kata-kata petugas tersebut sama sekali
tidak berpengaruh. Kepalanya tetap tertunduk lemah menatap meja
dihadapannya. Tiada lagi yang bisa dipandang selain meja kecil
yang menghiasi ruangan pengap tersebut.
Ari baru dijemput oleh kakaknya dan pak Siswanto sore hari.
Polisi tidak bisa menahan seseorang lebih dari dua puluh empat jam
46
tanpa alasan yang jelas. Alasan itulah yang dikemukakan untuk
meredam emosi Ari. Namun di balik itu semua, ada alasan yang
sangat menyedihkan. Karena sesungguhnya, Ayah Ari meninggal
akibat stroke karena melihat putranya masuk koran dengan berita
yang sangat memalukan. Sebuah beban jiwa yang harus ditanggung
seorang ayah akan semua perilaku anaknya.
Begitu mengetahui Ayahnya meninggal, wajah Ari tampak
menahan sesuatu yang teramat sangat. Kedua geraham ia katupkan
kuat-kuat, sedang mata mendadak berwarna merah berurai air mata.
Beberapa kali tubuhnya bergetar menahan tangis, tapi kesedihan itu
seolah tak kuasa dipendamnya. Ari duduk dengan kepala tertunduk
di hadapan jasad ayahnya yang telah terbungkus kain kafan.
Tubuhnya bergetar hebat mencoba menahan pedih di dada. Berkali-
kali ia berteriak minta maaf. Tapi tubuh itu tiada daya untuk
menjawab. Ari melihat ibunya berdiri dengan menangis tersedu-
sedu. Beliau menutup kedua mata dengan saputangan tak kuasa
menahan kesedihan.
Ari berjalan menuju ibunya dengan kedua lututnya dan mata
tertunduk. Ia tak kuasa melihat ibu yang selama ini menyayanginya
harus berurai air mata karena perbuatannya. Akhirnya Ari
menundukkan kepala di kaki ibunya dan menangis tiada henti.
”Maafkan aku Ibu... Maafkan aku....”
Ibu Ari berkali-kali menggelengkan kepala tak henti berurai air
mata. Kepedihan ini begitu nyata. Namun beliau merasakan butiran
air mata Ari mengalir di kakinya. Akhirnya beliau mengarahkan
tangannya untuk menyentuh kepala Ari dan menyuruhnya bangun.
Namun Ari masih tak kuasa menahan dosa dan memeluk erat kaki
ibunya.
Kakak Ari mendekat dan meletakkan tangan kanan di pundak
Ari. Meski kelopak matanya memerah, namun masih tampak
ketegaran di wajah tuk menahan semua. ”Berhentilah bersikap
lemah.. Karena ayah tak pernah mendidik dengan cara yang
demikian..”
Mendengar kata-kata tersebut, Ari berusaha menegarkan hati.
Akhirnya mereka bertiga berdiri dan berjalan beriringan untuk
mengantar jasad ayahnya di rumah sederhana dan menjulang ke
bawah.
Selama dalam perjalanan hingga kembali ke rumah Ari
berusaha menutup kuat kedua kelopak matanya. Namun badai air
mata itu seolah mudah untuk menerjangnya. Tiada lagi alasan untuk
membendung air mata ini, hingga dalam shalatnya, Ari berlama-

47
lama meletakkan kepala setara dengan kakinya, dengan air mata
tiada henti membasahi pipi.
Derita Ari belum berhenti. Keesokan harinya, ia melihat Agung
berdiri di depan pintunya. Wajah Agung tampak bingung. Di awal
kedatangannya, ia memasang muka yang penuh kebencian. Namun,
ketika melihat halaman depan rumah yang masih ramai oleh
karangan bunga dengan nama ayah Ari tertulis jelas di tengahnya,
sikap Agung berubah. Apalagi ketika ia melihat Ari yang tanpa daya
dengan kelopak mata sedikit bengkak dan berair mata. Agung tak
tahu harus bersikap apa.
”Sebenarnya aku masih membencimu karena kejadian ini. Tapi
bukan karena itu aku tidak datang ke pemakaman ayahmu. Maaf..
aku benar-benar tidak mengetahuinya.”
Agung melihat Ari menggelengkan kepala pelan.
”Aku tahu saat ini kurang tepat. Tapi, aku harus
menyampaikan hal ini.” Sesaat Agung menundukkan kepala. Setelah
itu ia kembali berkata, ”Wahyu meninggal..”

Agung melangkah di belakang Ari. Mereka berdua berjalan


pelan menyusuri jalan menuju ke pemakaman yang sudah tampak
ramai oleh para pelayat. Dari kejauhan tampak beberapa teman
kuliah juga telah hadir di tempat itu. Dari belakang Agung
memandang wajah Ari. Agung khawatir berita yang berkembang
tentang Ari, ditambah belum jelasnya tersangka yang harus
bertanggung jawab akan kematian Wahyu, memicu sebuah keadaan
yang tidak diinginkan.
Namun kekhawatiran yang dirasakan Agung tidak tampak
pada diri Ari. Ia masih tampak berjalan dengan raut muka dingin
seolah tidak ada sedikitpun rasa takut yang menghampiri. Sesaat
Agung sedikit ragu apakah ini Ari yang selama ini ia kenal. Namun
dengan melihat ekspresi wajahnya, Agung seolah tidak mengenal
orang yang berjalan di depannya.
Sampai di gerbang Agung melihat semua orang hanya berdiri
memandang ke satu arah dimana beberapa orang tengah sibuk
menimbun lubang dengan tanah. Rupanya mereka agak terlambat.
Di tengah kerumunan orang yang masih diam, Ari bergerak
perlahan coba mendekat tempat dimana temannya dimakamkan.
Gerakan Ari sedikit banyak menarik perhatian semua yang
hadir tak terkecuali semua teman kuliah. Mereka semua terkejut

48
ketika melihat sosok Ari. Karena berita terakhir yang berkembang
Ari masih ditahan polisi untuk dimintai keterangan.
Putri juga hadir diantara mereka. Meski masih berlinang air
mata, namun ketika melihat Ari, sorot mata itu berubah menjadi
penuh dengan kebencian. Kembali ia teringat akan saat terakhir
Wahyu masih sadar. Beberapa kali ia menyebut nama Ari. Hanya itu
yang ia ucapkan.
”Rupanya ia masih berani menampakkan diri,” kata Bayu. Wiro
tak begitu mendengarkan perkataan Bayu. Tatapan matanya tajam
mengikuti pergerakan Ari.
Tidak lama kemudian banyak dari mereka bergumam
mempertanyakan apakah itu Ari, orang yang diberitakan dalam
koran. Keadaan yang tadinya begitu tenang tiba-tiba berubah
menjadi tak terkendali. Ayah Wahyu dengan mata melotot langsung
menghampiri. ”Mau apa lagi kamu? Apa kamu sudah puas?” Ayah
Wahyu mencoba mendekati Ari, namun beberapa orang
menahannya. ”Kalau kamu memang jagoan, ayo lawan aku.”
Ari diam membisu. Ia menatap ayah Wahyu dengan
pandangan dingin. Agung berusaha menarik tangan Ari agak keluar
dari keramaian. Namun kaki Ari seolah membatu. Ia seolah siap
menghadapi semuanya.
”Jika itu bisa mengobati kesedihan Bapak, maka lakukanlah..”
Kata-kata Ari seolah kian membakar kemarahan ayah Wahyu hingga
beberapa orang yang menahannya kian kewalahan.
”Pergilah... Pergi...” beberapa orang berteriak agar Ari segera
pergi. Namun, justru sebaliknya. Perlahan Ari justru mendekati ayah
Wahyu, sehingga tak bisa dicegah beberapa pukulan mendarat di
wajah Ari.
Ari memejamkan mata seolah menikmati pukulan yang
menderanya. Namun, Ari merasa heran ketika tiba-tiba pukulan itu
terhenti. Perlahan ia membuka mata dan ia melihat Wiro memegang
lengan ayah Wahyu. ”Ari sudah menderita.. Ijinkan saya
mengantikannya...”
Mata Agung terbelalak melihat itu semua. Bagaimana mungkin
Wiro yang selama ini dekat dengan Bayu, tiba-tiba memasang badan
untuk melindungi Ari. Sebuah tanda tanya besar berada di benak
Agung mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
Perlahan Wiro melepaskan lengan ayah Wahyu, dan seketika iu
pula ia menerima satu pukulan di pelipis kanannya. Namun meski
demikian, dengan postur tubuhnya yang besar, Wiro menampakkan
wajah ketegaran seolah tidak sedikitpun sakit yang ia rasakan.

49
”Baiklah aku akan pergi..” kata Ari untuk menghentikan
semua. ”Sampaikan salam maaf saya... Karena hanya itu yang bisa
saya ucapkan.” Setelah mengatakan hal tersebut, Ari membalikkan
badan dan berjalan pelan. Tiap langkah yang dijalankan seolah
semua mata mengantarkan dengan tatap mata kebencian. Agung
menyusulnya di belakang.
Sebuah keberanian besar menghadiri pemakaman dimana
engkau dibenci oleh semua yang datang. Namun itulah
penghormatan terakhir yang bisa diberikan. Demi mengantar teman
ke tempat peristirahatan, Ari melupakan semua resiko yang
mungkin menghampiri. Tiada apapun yang bisa menghalangi,
karena sesungguhnya persahabatan ini tiada akan pernah diakhiri.

Sore hari. Tempat pemakaman dimana Wahyu dikuburkan


sudah tampak sepi. Tampak sepasang langkah kaki memasuki pintu
gerbang makam yang masih terbuka. Sesaat langkah itu terhenti. Tak
lama kemudian langkah itu berbelok ke kiri dan melangkah diantara
banyaknya batu nisan yang kian sesak. Langkah kaki itu terarah
menuju ke sebuah tempat dimana tanahnya masih basah
menggunung dan diatasnya dipenuhi oleh bunga beraneka warna.
Langkah kaki itu berhenti di samping batu nisan yang masih
bersih dengan warna putih jelas bertuliskan sebuah nama, Wahyu
Laksana. Cukup lama langkah kaki itu terhenti dan berdiam diri.
Tatapan matanya mengisyaratkan bahwa ia sangat menyesal akan
semua kejadian ini. Setelah itu ia merendahkan tubuhnya dengan
duduk jongkok. Kedua jemari tangan ia satukan. Beberapa saat
bibirnya bergerak untuk membacakan doa.
”Maafkan aku atas semua kekacauan yang pagi tadi. Aku tidak
membenci ayahmu. Beliau berbuat itu karena sangat kehilanganmu.
Percayalah.. Kejadian itu takkan mengurangi tanggung jawabku..
Aku berharap dengan mengucapkan langsung, kamu bisa lebih
tenang.
Sesaat Ari menundukkan kepala dan erat memejamkan mata
seolah menahan kesedihan di dada. Beberapa kali ia menggelengkan
kepala seolah tak kuasa merasakan semua. “Wahyu.. Jika bertemu
ayahku...” Perlahan mata Ari memerah seolah menahan perih di
dada. ”Jelaskan semua... Mungkin dengan demikian beliau bisa
sedikit tenang...”
”Biar aku yang melakukannya...”

50
Ari tersentak dengan suara yang ia dengar. Ya, tidak salah lagi
suara ini adalah suara... Belum sempat Ari menolehkan kepala,
terdengar suara lain yang menyela.
”Maafkan aku karena sempat membencimu... Seharusnya aku
tidak meragukan temanku..”
Ari menundukkan kepala. Sekarang ia yakin. Suara barusan
ialah suara Agung. Sedang yang pertama adalah Wiro. Mereka
berdua berdiri di belakang Ari. Sekarang Agung telah tahu apa yang
terjadi berdasarkan cerita dari Wiro.
Perlahan Ari berdiri. Ia memasukkan kepalan tangannya di
saku jaket. ”Aku tahu kalian bisa dipercaya.. Karena itu tutup mulut
kalian agar tidak merusak semuanya..”

51
Ari 6
Beratnya hidup dengan tuduhan

Sepekan setelah kejadian. Ketika perkuliahan dimulai,


kemanapun Ari berjalan, seolah semua mata penuh kebencian
mengikutinya. Sepanjang hari, selama dalam perkuliahan, Ari selalu
dikucilkan. Hanya Agung yang selalu duduk di sebelah yang selalu
menemani. Meski hanya menemani, namun Agung juga merasa
pahitnya hukuman yang diberikan teman-teman kampus terhadap
Ari.
Karena satu kelas, pertemuan dengan Putri juga tidak bisa
dihindari. Saat pertama kali bersisipan, Putri menghentikan langkah
dan memandang Ari dengan raut wajah penuh emosi. Putri melihat
buku-buku jari Ari penuh dengan luka memar. Kembali ia teringat
malam terakhir bersama Wahyu, dimana ia teringat kata-kata
pemuda yang mengancamnya. ’Jika kamu tidak jelaskan semua pada
cewekmu hari ini. Maka kamu sendiri yang akan menerima
akibatnya’
Mendadak emosi Putri kian memuncak, dan tanpa disadarinya,
telapak tangan kanannya dengan keras mengayun ke arah wajah Ari.
suara tamparan itu cukup keras untuk menarik pehatian semua
mahasiswa yang ada di sekitarnya.
Ari hanya diam menerima perlakuan tersebut. Pandangan
matanya tak pernah ia lepaskan dari mata Putri. Namun tatapan
mata Ari justru membuat Putri ingin menamparnya sekali lagi.
”Bajingan..!” Kata Putri dengan penuh amarah.
”Aku minta maaf..” Jawab Ari dengan nada datar.
Permintaan maaf Ari dirasa Putri sebagai pengakuan akan
kesalahannya. ”Bukannya kamu pernah bilang tiada kata lawan,
yang ada hanya teman. Kenapa kamu jadi pengecut?”
Mendengar itu Ari hanya terdiam. Ia menundukkan kepala.
Kini tinggal Ari yang dikelilingi mahasiswa yang penuh kemarahan.
Karena mereka merasa tidak suka dengan keberadaan seorang
pengecut di kelas mereka. Apalagi tindakan pengecut tersebut
menjadikan nama kampus mereka menjadi bahan gunjingan. Semua
mahasiswa juga ketakutan, dan lebih dari itu, mereka juga
kehilangan seorang teman.
Tak lama kemudan Putri pergi dengan menahan Air mata.
Melihat hal tersebut membuat semua mahasiswa kian berani
mencibir Ari. Berbagai kata sindiran telak menghujam. Agung
berusaha menenangkan dengan cara menjelaskan bahwa Ari masih
berduka karena ayahnya telah meninggal. Namun penjelasan itu
52
hanya meredakan keadaan untuk sesaat. Selanjutnya, mereka justru
menilai itu semua adalah hukuman buat Ari. Hanya sedikit dari
mereka yang bersimpati, namun selebihnya lebih mengedepankan
emosi.
Suasana yang riuh terhenti seketika saat melihat Wiro masuk
dan berdiri di belakang Ari. Tiada seorangpun yang berani
melempar kata-kata sindiran karena takut akan Wiro. Meski ia hanya
terdiam, namun dengan postur tubuhnya yang tinggi besar siapapun
harus menyiapkan mental untuk berkata tidak baik di depannya.
Keadaan berhenti beberapa saat. Ari memandang semua teman
yang selama ini belajar bersama dirinya, kini seolah tak pernah
mengenal dirinya. Dalam kelas yang selama ini Ari tempati, ia
merasa asing dan tidak dikehendaki keberadaannya. Akhirnya hari
itu Ari beranjak pergi.
Agung ganti memandang seluruh penghuni kelas. Tampak
sekali kekecewaan terpancar dari wajahnya. Ia menggelengkan
kepala pelan sebelum ikut beranjak di belakang Ari. Tak lama
kemudian, dengan muka yang tenang tapi sudah cukup membuat
orang gentar, Wiro juga berjalan di belakang Agung.
Sejak kejadian tersebut Wiro selalu tampak bersama Agung dan
Ari. Semua mahasiswa bertanya-tanya, kenapa Wiro yang dulu
dekat dengan Bayu, tiba-tiba jauh dan kini berteman dengan Ari.

Ari mendapatkan Surat Peringatan 3. Sebuah surat peringatan


yang mengindikasikan pelanggaran cukup berat karena sebelumnya
Ari belum pernah menerima SP 1. Dengan demikian jika Ari
melakukan satu pelanggaran lagi, maka konsekuensinya adalah ia
harus keluar dari kampus.
Hari itu selepas kuliah, Ari tampak bersegera meninggalkan
kelas. Wiro tampak bingung, setelah menerima SP dari kampus,
apakah ia begitu sedihnya hingga ingin sendiri. Wiro menanyakan
hal tersebut pada Agung.
“Daripada SP, ia lebih siap untuk dikeluarkan. Karena itu ia
begitu bahagia masih punya kesempatan.” Jawab Agung. “Oh ya,
nanti sore kamu berangkat duluan saja. Aku masih ada urusan
sedikit.”
“Oke.” Jawab Wiro singkat. Setelah itu mereka pulang.
Sore hari Wiro datang di rumah Ari. Ia membantu
mempersiapkan rumah untuk acara syukuran kakak Ari. Saat
menggelar tikar untuk di luar, Wiro dikagetkan dengan kedatangan

53
Putri yang turun dari motor. Wiro menghentikan aktifitasnya. Ia
memandangi Putri yang berjalan pelan menuju pintu rumah.
Belum sempat Wiro memanggil, Ari berjalan keluar dengan
membawa beberapa tikar. Saat melihat Putri di halaman rumanya
dengan menggunakan jilbab, Ari bingung harus berbuat apa. Karena
sekarang yang dihadapi bukanlah Putri dengan wajah penuh
kebencian. Ia datang menunjukkan raut wajah penyesalan. Beberapa
saat Ari dan putri hanya diam dan saling pandang.
“Maaf,” kata Putri pelan. “Aku baru tahu kalau ayahmu
meninggal.”
Ari tak langsung menjawab. Ia masih memandangi Putri
dengan penuh kebingungan. Namun dari jilbab yang dikenakan
Putri, Ari merasa tiada yang salah dengan apa yang ia lakukan.
“Masuklah... Acaranya nanti habis Maghrib.”
“Seperti Wiro, aku datang lebih awal bukan hanya ikut berdoa,
tapi juga membantu apa yang aku bisa,” kata Putri tersenyum karena
Ari bisa menerima kedatangannya.
Mendengar hal tersebut membuat Ari menjadi bingung. Ia
menatap Wiro yang memberi isyarat dengan matanya untuk
mengarahkan Putri membantu ibunya di dalam. Akhirnya Ari
menyetujui usul tersebut. Ari mempersilahkan Putri masuk,
memperkenalkannya pada Ibu dan istri kakaknya.
Ibu Ari tersenyum melihat seorang teman wanita Ari main ke
rumah. Sudah lama Ari tidak memperkenalkan temannya yang
wanita. Karena itulah beliau menganggap Putri adalah seseorang
yang mempunyai tempat khusus di hati putranya. Setelah
mengucapkan rasa duka cita, selanjutnya Putri tampak akrab dengan
semua yang ada di rumah. Putri ikut membantu memasukkan
makanan dalam kardus.
Di luar Ari dan Wiro saling pandang. Mereka bingung dengan
perubahan sikap Putri. Bukannya kemaren ia membentak Ari
dengan penuh emosi. Tapi sekarang tiba-tiba datang dengan penuh
kearaban. Saat segala bentuk pertanyaan dan kemungkinan jawaban
beradu dalam kepala, Agung datang dengan motornya. Kontan saja
kedatangan Agung seolah memberikan jawaban atas semua yang
terjadi. Diantara mereka, hanya Agung yang dekat dengan Putri.
Sebelum Agung beranjak dari motornya, ia dihampiri oleh
kedua sahabatnya yang menatap dengan sorot mata dingin.
“Apa yang kamu lakukan pada Putri?” Tanya Ari dengan nada
menekan. Tampak sekali Ari tidak sedang bermain.
Agung menyadari hal ini. Namun dengan tenang ia
menjelaskan. Agung bercerita bahwa tadi pagi Putri sms dan ingin
54
bicara. Selepas kuliah, Agung menemuinya. Awalnya Putri hanya
bertanya apakah benar ayah Ari meninggal, kapan dan karena apa.
Ia juga menanyakan ada cara apa kita mau kerumah Ari.
Saat itu Agung membenarkan berita kematian ayah Ari dan
menceritakan bahwa ia dan Wiro hari Kamis ke rumah Ari untuk
ikut acara syukuran atas keberhasilan kakaknya naik pangkat.
Mendengar jawaban Agung, Putri seolah menyesal telah membentak
Ari di depan semua teman di saat ia lagi bersedih. Agung
menyarankan Putri datang ke rumah Ari untuk bantu-bantu besama
Wiro supaya keadaan sedikit mencair. Namun setelah perbincangan
tersebut Putri beratanya, “Gung, kamu tahu apa yang terjadi hari
itu?
Mendengar pertanyaan tersebut Agung tidak langsung
menjawab. Ia memandangi Putri dengan seksama. Agung sadar
bahwa Putri sebenarnya masih penasaran apakah benar Ari telah
melakukan sesuatu yang menyebabkan meninggalnya Wahyu.
Tak lama kemudian Agung menjawab. “Jika kamu masih
berfikir Ari yang melakukannya, maka berfikirlah. Jangankan satu
angkatan. Satu kampus berfikir demikianpun, ia takkan terpengaruh.
Itu karena ia memang bukan seperti yang mereka bicarakan. Hanya
itu yang bisa kukatakan.”
Mendengar jawaban tersebut Putri langsung menundukkan
kepala. Tampak sekali penyesalan di wajahnya. Beberapa saat Agung
memandangnya. Karena tidak tega akhirnya ia berkata. “Kita sudah
lama kenal Ari. Ia tak ingin melihat temannya bersedih.”
Putri menganggukkan kepala pelan. Ia mencoba menegarkan
hatinya dengan merapikan rambutnya ke belakang. Setelah itu
Agung berdiri dari duduknya bersiap pergi. “Jika sempat, minta
maaflah pada Ari...”
“Karena aku membentaknya?” Tanya Putri.
“Bukan..” jawab Agung pelan. “Tapi karena apa yang kau
perkirakan padanya..”
“Setelah itu aku pergi,” kata Agung mengakhiri ceritanya.
Beberapa saat Ari dan Wiro saling pandang. Setelah itu mereka
arahkan pandangan mereka kembali pada Agung.
“Emang apa yang terjadi?” Agung bertanya bingung. “Apa dia
di sini?”
“Tidak.. Dia di dalam.”Jawab Ari singkat.
Agung menganggukkan kepala. Setelah itu ia memandang Ari
tanpa canda dan berkata, “Tiap orang pernah berbuat salah.
Mungkin karena itulah kata maaf dan kesempatan diciptakan.”

55
Ari membalasnya dengan senyuman dan anggukan kepala.
Tidak lama kemudian mereka bertiga masuk dan ngobrol di teras
depan sambil memandang jalanan. Saat sedang asik bicara, tiba-tiba
keponakan Ari berlari dari dalam sambil tertawa.
Tampak sekali ia berusaha menghidari seseorang tapi dengan
penuh kebahagiaan. Karena meskipun ia sudah sampai halaman
depan, ia membalikkan badan dan kembali menatap ke dalam seolah
menanti seseorang sambil terus tertawa.
Dari kaca mereka bertiga bisa melihat ternyata Putri keluar dari
selambu dan tersenyum memandang ponakan Ari. “Niken, ayo
sini...” Putri memanggil dengan senyuman. “Ayo, biar kakak
bantu..”
Niken hanya membalas dengan tertawa. Waktu Putri beranjak
mendekat, ia malah menjauh sambil terus tertawa. Tidak lama
kemudian ibunya keluar, “Niken.. Ayo cepat...”
Karena melihat ibunya dengan wajah tanpa senyum, perlahan
Niken mendekat sambil membuka bajunya. “Eh.. Jangan buka di
luar... Ayo masuk, biar kakak bantu,” Putri menggandeng Niken
masuk.
Melihat kejadian tersebut, Agung terus mengarahkan
pandangannya ke arah Ari. Meski Ari membalas tatapan tersebut
dengan dingin, namun Agung terus menyambutnya dengan
senyuman. Melihat tingkah mereka berdua, Wiro menggelengkan
kepala sambil berkata, “Kurasa kita harus mencari kata lain. Karena
kata teman tidak cocok untuk kalian...”

Perlahan hubungan Ari dengan Putri kembali membaik. Meski


hanya di luar kampus, Agung merasa ini merupakan langkah awal
yang baik untuk membawa Ari kembali ke dunia yang
meninggalkannya. Sejak kejadian sore sebelumnya Putri tidak
canggung untuk ke main ke rumah Ari. Namun saat di dalam kelas
ia hanya bisa memandangi Ari dari kejauhan. Agung tahu bahwa
untuk saat ini, siapapun yang dekat dengan Ari, harus siap untuk
dijauhi.
Meski kata pahit menghimpit, kata hidup harus tetap
dijalankan dan disandingkan dengan kata bersahaja. tetap pada jalan
yang ditunjukkan, dan berpegang pada pendirian jika tidak bisa
membantu, setidaknya tidak mengganggu.
Ari menjalani hidupnya yang sedang dalam posisi sulit namun
dengan ketenangan. Meski sebagian teman di kampus tidak

56
memandangnya lagi, namun ia menanggapi dengan rasa hormat di
hati.
Tiap perkuliahan dimulai, Ari mengambil tempat duduk di
belakang. Tiap dosen memberi kesempatan bertanya, ia hanya
memberi tanda pada catatannya akan sesuatu yang belum
dipahaminya. Dan saat dosen memancingnya bicara dengan
memberi pertanyaan, Ari hanya tersenyum kemudian
menggelengkan kepala.
Saat perkuliahan berakhir, Ari memperlambat pergerakannya.
Saat sebagian besar teman meninggalkan kelas, ia berdiri kemudian
melangkah menuju pintu keluar. Selain Agung dan Wiro, tiada
satupun teman lain yang mengajaknya bicara. Begitu juga saat
istirahat tiba, Ari hanya mau makan di warung pak Heri. Sebuah
warung emperan jalan, dengan demikian tiada teman yang makan di
tempat itu. Karena rata-rata pelanggan pak Heri adalah tukang becak
sekitar.
Meski demikian, Wiro masih mengikuti kemanapun Ari
bergerak dengan wajah tenang seolah tanpa beban. Berbeda dengan
Agung, ia merasa kasihan karena Ari tidak diterima lagi. Agung
coba mencari cara agar Ari bisa kembali bergaul dengan semua.
Kesempatan terbuka ketika dalam rangka menyambut bulan
kemerdekaan, BEM menggelar acara lomba. Saat rapat Agung
ditunjuk sebagai koordinator perlengkapan. Atas dasar beratnya
tugas ini, ia minta Wiro dan Ari diijinkan sebagai anggota.
Mendengar permintaan Agung, semua perangkat BEM sejenak
terdiam. Mereka semua memandang Agung dengan tatapan ragu.
Namun Agung balik memandang mereka dengan tatapan penuh
keyakinan hingga satu persatu diantara mereka hanya bisa terdian
dan merendahkan pandangan mereka.
“Oke..” Kata Ratna memecah keheningan. “Karena tiada yang
mempermasalahkan, asal semua bisa berjalan, kurasa itu bukan
permintaan...”
“Terima kasih...” jawab Agung berseri.
Setelah rapat usai, Agung segera bergegas mencari Wiro dan
mengatakan rencananya. Meskipun tahu bahwa ini semua agar Ari
bisa kembali ke peradaban, Wiro menolak. “Aku nggak mau ikut
urusan BEM,” kilahnya.
Agung mengerti. Selama ini Wiro memang tidak mau tahu
dengan yang namanya kegiatan kampus, apalagi semua yang berbau
formal. “Kamu nggak perlu ikut rapat atau urusan pelaporan. Cukup
temani Ari. kamu tahu sendiri bagaimana sikap mereka padanya.”
Agung berusaha meyakinkan Wiro.
57
Setelah diam beberapa saat, akhirnya Wiro berkata, “Jangan
pernah menyesal karena memasukkan namaku.”
“Tenang saja,” kata Agung tersenyum lebar. “Aku tak punya
waktu untuk hal itu. Karena setelah tahu salah, aku hanya berfikir
bagaimana memperbaikinya.”

“Terimakasih.. Tidak usah pakai alasan butuh tenaga.” Jawab


Ari sambil meneruskan makannya.
“Tuh, apa kubilang,” tambah Wiro. “Kamu emang nggak
pandai buat alasan.”
“Baiklah..” Akhirnya Agung berhenti membujuk. “Aku hanya
ingin kamu bisa berkomunikasi dengan semua. Karena itulah aku
lakukan.” Agung memandang Ari yang tak juga menghentikan
makannya.
Setelah menghabiskan makanan di piring dan minus es teh, Ari
balik memandang Agung. “Mereka tidak suka aku dekat dengan
mereka. Bukannya marah atau menghindar. Aku hanya
menghormati keinginan mereka. Karena bagaimanapun juga, mereka
temanku.”
“Tapi kalau tidak ada yang memulai, maka tiada yang akan
selesai,” desak Agung.
“Aku sudah mulai dengan menghormati mereka,” jawab Ari.
“Sampai kapanpun, akan kulakukan.”
“Beberapa dari mereka menghormatimu. Karena itulah mereka
mengijinkanmu masuk dalam kepanitiaan.” Agung menatap Ari
dalam-dalam. “Bagaimana caramu menghormati keputusan
mereka?”
Mendengar hal tersebut, perlahan Ari meneduhkan pandangan
dan kepalanya. Beberapa jari kanannya ia gerakkan satu persatu
mengetuk meja dihadapannya. Wiro memandang dan
menganggukkan kepala pelan pada Agung dan dibalas dengan
anggukan kepala.

58
Ari 7
Membaiknya keadaan dalam harapan

“Wiro, yang kamu potong mana sih? Kok pendek-pendek?”


Agung berteriak ke arah Wiro yang sedang duduk dekat makanan
kecil. Mereka di halaman rumah Ari untuk mempersiapkan semua
alat untuk perlombaan.
Wiro menyelesaikan minum es tehnya. setelah itu dia berkata,
“Itu kan ukuran yang kamu buat.”
Agung melihat Ari sedang mengecat papan yang akan
dijadikan lomba jalan beregu. Hampir semua potongan papan
panjangnya tidak sampai satu meter. Kemudian ia mengambil tali
rafia yang tergeletak di tanah dan menunjukkan pada Wiro. “Kamu
pake ukuran ini?”
“Ya,” jawab Wiro singkat.
“Kamu nggak denger...” Nada Agung meninggi. “Tadi aku
bilang ukurannya kutaruh di kursi. Ini sisanya.”
Wiro segera beranjak dari duduknya. Setelah melihat tali rafia
berwarna hitam di kursinya, ia tersenyum kecut ke arah Agung.
“Mau bilang apa?” Agung geram. “ Datang-datang yang dicari
langsung makanan. Orang bicara nggak didengerin baik-baik.”
Mendengar itu Ari tertawa terbahak-bahak. Namun tawanya
segera ia tahan karena Agung balik menyerangnya. “Kamu juga.
Ngapain terus ngecat?
“Lho, tadi tugasku kan cuma ngecat?” kilah Ari sambil
menahan ketawa melihat Wiro.
“Apa kamu nggak berfikir papan segini cukup nggak untuk
empat orang?”
“Sempet juga sih. Tapi karena kulihat Wiro tetep ngukur pake
rafia yang kamu buat, jadi aku diem aja.”
Mengamati semua papan telah terpotong, Agung hanya bisa
menggelengkan kepala. Ari menahan ketawa sambil menunjuk Wiro
yang hanya bisa diam tak tahu harus berbuat apa.
Tak lama kemudian, Putri keluar dari dalam rumah. “Wah, uda
mau kelar... Ayo semua makan dulu.”
“Kelar apanya?” kata Agung dengan emosi. “Rusak semua.
Sebelum ini selesai. Jangan sampai kulihat kalian makan.”
Putri yang baru keluar karena membantu ibu Ari menyiapkan
makanan, bingung melihat Agung yang emosi dikelilingi Ari dan
Wiro yang tertawa cengengesan.

59
“Priiit...” Bunyi peluit hampir tak derdengar oleh riuhnya sorak
sorai mahasiswa. Masing-masing memberi tiap perwakilan kelas
yang ikut serta meramaikan lomba jalan beregu. Tiap kelompok
terdiri dari empat orang. Akan tetapi ada yang lain. Empat orang
tidak berjalan secara berbanjar, namun layaknya orang berbaris dua
kali dua. Dengan demikian kaki kanan peserta menjadi satu dengan
kaki kiri teman satu timnya.
Seting ini sangat menyulitkan peserta. Terbukti saat peluit
berbunyi empat orang dalam satu tim sulit bergerak. Karena saat
mereka sepakat melangkahkan kaki kanan lebih dahulu, kaki kanan
mereka bersatu dengan kaki kiri dua orang di sebelah kanannya.
Namun tentu saja kesulitan ini kian menambah ramai suasana.
Dari kejauhan tim perlengkapan mengamati kedaan. Mereka
duduk bersila di lantai kelas atas dan melihat diantara pagar
pengaman yang terbuat dari besi. Agung dan Wiro tersenyum
melihat Agung yang tampak masih suntuk.
“Sudahlah. Kan masalahnya uda selesai..” kata Ari.
“Terbukti meskipun ada kesalahan, tapi kita bisa membuatnya
jadi lebih meriah dari sebelumnya,” tambah Wiro tersenyum
kompak dengan Ari.
“Diam. Ini masih awal. Aku harus mempersiapkan ketabahan
hati memiliki anggota seperti kalian,” jawab Agung dingin. Namun
tetap saja Ari dan Wiro tertawa cengengesan.
Namun, perlahan tawa Ari berhenti. Diantara kerumunan
mahasiswa, ia melihat Putri terus mengarahkan pandangannya ke
arah Ari. Ari membalas dengan tersenyum dan anggukkan kepala
pelan. Setelah itu ia mengajak kedua temannya untuk pergi makan.
Agung tidak beranjak berdiri. Pandangan matanya terarah pada
Putri yang tetap mengamati Ari. “Kenapa kau menghindarinya?”
Tanya Agung tanpa mengalihkan pandangan matanya. “Bukankah
ia sudah memberi tanda?”
Ari membersihkan bagian belakang celananya. Setelah itu ia
berdiri mengamati ramainya mahasiswa. Sebelum melangkah
meninggalkan Agung, ia berkata. “Bukan itu tugasku..”
Mendengar hal tersebut, Agung menundukkan kepalanya.
Akhirnya ia bergegas berdiri dan berjalan di belakang Wiro. “Hei..
Sudah dapat penyewaan alat band dan sound sistemnya?” Tanya
Agung untuk mencairkan suasana.
“Carikan saja pick up. Barangkali anggota BEM ada yang
punya.” Jawab Wiro.
Saat hendak turun di tangga, mereka bertiga berpapasan
dengan Bayu. Ari tersenyum saat melewatinya. Bayu diam dingin
60
tak merespon. Namun ketika ia berpapasan dengan Wiro, ia berkata
dengan nada sinis. “Tak kusangka kau mau jadi anjing penjaga.”
Mendengar hal tersebut Agung bergegas menghampiri Bayu.
Namun dengan sigap Wiro merentangankan tangan kanan untuk
menghalangi Agung untuk maju ke depan. Ari menghentikan
langkah, membalikkan badan dan melihat dengan tenang.
Mata Wiro penuh dengan kemarahan. Ia menatap Bayu tanpa
berkedip. Namun sesaat kemudian ia mendengar Ari memanggilnya.
“Wir, masing-masing orang akan dimintai pertanggungjawaban.
Jadi, tentukan sendiri.”
Wiro menatap Ari dan menganggukkan kepala sekali. Setelah
itu ia coba menenangkan diri dan kemudian melanjutkan langkah
tanpa memandang Bayu. Ari tersenyum kecil melihat langkah yang
diambil Wiro. Namun baru beberapa saat, langkah Wiro kembali
terhenti ketika mendengar Bayu berkata, “Ternyata kamu anjing
yang patuh.”
Agung tampak khawatir tentang apa yang akan dilakukan
Wiro. Namun ia tampak lega ketika melihat wajah Wiro saat berbalik
menghadap Bayu dan berkata, “Biarpun anjing, tapi disini aku bisa
menjadi majikan kapanpun aku mau.”
Setelah mengatakan hal tersebut, Wiro kembali melangkah.
Dari raut wajahnya tampak sekali ia menahan amarah. Beruntung
akal masih bisa membendungnya. Ia mempercepat langkah berjalan
melewati Ari seolah tak ingin terpancing lagi. Tak lama kemudian
Ari menyusul dan diikuti Agung di belakangnya. Mereka bertiga
meninggalkan Bayu yang hanya bisa memandang dari jauh seolah
tak berdaya.
Takkan ada yang bisa menghancurkan dinding kebaikan ini.
Jika ada beberapa dari mereka mengatakan bisa. Kata
menghancurkan tidaklah pantas, karena mereka hanya mampu
menggores. Dan kami menganggap goresan itu hanyalah sekedar
warna yang membuat kami lebih menghargai hati ini.

Rapat BEM. Sore itu semua anggota BEM dan seluruh panitia
peringatan hari kemerdekaan telah berkumpul. Ini adalah rapat
terakhir untuk acara puncak sehingga semua panitia harus hadir.
Bagi Ari, ini adalah saat pertama dimana ia harus berkomunikasi
dan bersosialisasi kembali.
Beberapa mahasiswa yang hadir tampak hanya melirikkan
mata ketika melihat Ari juga hadir di ruangan tersebut. Hanya

61
beberapa dari mereka yang tersenyum hangat seolah menantikan
kebersamaan yang dulu mereka rasakan ketika ada kegiatan.
Rapat dimulai. Masing-masing dari koordinator menyampaikan
kesiapannya atau beberapa kendala yang dihadapi. Namun dengan
banyaknya pemikir, tiap-tiap kendala seolah bukanlah hal yang
perlu dikhawatirkan.
Saat Deni, ketua panitia, menanyakan bagaimana persiapan alat
band dan sound sistem. Agung melaporkan bahwa tim
perlengkapan mendapatkan pinjaman secara cuma-cuma. “Kalau
ada diantara kita yang punya mobil pick up, maka kita akan bisa
menghemat banyak dana,” kata Agung mengakhiri penjelasannya.
Namun demikian Deni tidak serta merta merasa senang.
Bagaimanapun, sesuatu harus bisa dipertanggung jawabkan. Dengan
hal tersebut ia menanyakan milik siapa alat tersebut.
Sebelum menjawab, Agung memandang Ari. Setelah melihat
Ari menganggukkan kepala, maka Agung menjelaskan bahwa itu
adalah alat temen Ari yang sudah jarang dipakai. Karena itulah ia
meminjamkan tanpa minta uang sewa.
Namun ketika ketua panitia bertanya bagaimana jika ada yang
rusak dan siapa yang tanggung jawab? “Kan lebih aman kalau kita
sewa. Kalau ada apa-apa saat kita pakai, pihak rental yang akan
mengganti,” tutur Deni.
Dengan pertanyaan demikian Agung diam karena ini bukan
barang milik temannya secara langsung. Jadi ia memandang Ari
yang lebih berhak menjawab. Kembali Ari menganggukkan kepala
menanggapi tatapan Agung.
Sesaat kemudian Ari berdiri dan berkata, “Temen saya hanya
ingin membantu. Tidak memaksa. Jadi jika menurut panitia, sewa
lebih aman, maka akan kita carikan. Tapi jika pake punya temen
saya, asal tidak digunakan untuk memukul orang, biar saya yang
tanggung jawab.
“Atau serahkan dana tersebut padaku dan anggap saja uang
sewa. Dengan demikian akan kutanggung jika ada kerusakan.
Namun, sampai kapanpun, hal tersebut bukanlah tindakan yang
bertanggung jawab.”
Deni hanya diam memandang Ari. Jika Ari mau, ia bisa saja
mengambil dana tersebut tanpa diketahui orang lain. Namun ia lebih
memilih tidak melakukannya. Kini bukan hanya Deni, semua orang
dalam ruangan memandang Ari.
Melihat itu, Agung tersenyum. Kini mereka yang awalnya
hanya melirikkan mata, seolah tak sadar bahwa kelopak matanya

62
tertahan sejenak untuk benar-benar mengenal orang yang
dihadapinya.

Semenjak kejadian di ruang rapat, perlahan semua panitia


membuka diri dan mengawali komunikasi dengan Ari. tentu saja, hal
tersebut disambut hangat oleh Ari. Ia benar-benar tidak mau
mengingat apa yang pernah mereka katakan atau lakukan untuk
menuduh Ari sebagai penyebab kematian Wahyu.
Meski tampak sedikit kaku, namun setelah berjalan malah kian
akrab seolah mendapat teman baru. Dengan keadaan yang demikian,
Putri juga kian berani menunjukkan kedekatannya dengan Ari. Saat
Ari masih sibuk mendirikan panggung dengan sebagian mahasiswa
yang menunda waktu makannya, Putri datang menghampiri.
“Apa nggak makan dulu?” Tanya Putri penuh perhatian.
“Tanggung. Kamu makan aja dulu,” Jawab Ari sambil
mengamati posisi panggung dari bawah.
Putri tak segera menjawab. Melihat wajah Ari penuh dengan
butiran keringat, ia membuka botol air mineral dan memberikan
pada Ari. “Nih, minum dulu.”
Ari mengambil botol itu tanpa melihat dengan seksama. Karena
merasa kehausan, ia langsung mengangkat botol minuman itu ke
atas mulutnya. Namun tiba-tiba saja ari tersedak dan batuk-batuk
hingga semua mahasiswa mengalihkan pandangannya ke Ari.
Ternyata ia tersedak oleh sedotan yang ikut masuk ke
tenggorokannya.
“Kenapa pake sedotan? Emangnya aku perempuan?” katanya
setelah batuknya sedikit mereda.
“Itu tadi minumku,” jawab Putri tersenyum melihat muka dan
mata Ari yang memerah karena manahan muntah.
“Kelihatannya kamu bahagia sekali melihatku menderita,” kata
Ari melihat Putri yang terus tersenyum.
“Bukan hanya aku,” jawab Putri. “Kelihatannya semua juga
bahagia.”
Ari kemudian mengalihkan pandangannya ke semua temen
yang tersenyum dan menahan tawa. Tak terkecuali Agung dan Wiro
yang kini sudah berani mengeluarkan suara tawa. Melihat itu semua
Ari hanya menggelengkan kepala, “Sebagai temen, emang sudah
seharusnya aku membuat mereka berdua bahagia...”

63
Hari perayaan kemerdekaan. Semua mahasiswa berkumpul di
halaman untuk menikmati pertunjukan yang ditampilkan oleh
beberapa mahasiswa untuk menunjukkan kemampuannya. Sie acara
benar-benar bekerja keras untuk mengatur semua agar bisa serasi
antara band, tarian dan juga puisi.
Mereka semua berkumpul di belakang panggung yang
terhubung dengan ruang rapat dosen yang disulap menjadi tempat
rias. Tim perlengkapan mengamati acara dari samping panggung.
Tampak diantara mereka Putri duduk di samping Ari. Tidak sampai
tiga puluh menit setelah acara dimulai, Agung beranjak dan
menghampiri Sie acara. Setelah kembali ia memandang Ari dan
Wiro. tanpa berkata mereka berdiri.
“Mau kemana?” Tanya Putri.
“Cari udara segar,” jawab Ari.
“Masak setelah apa yang kalian kerjakan dan berdiri, kalian
malah pergi. Emang kalian nggak mau menikmati apa yang kalian
usahakan?”
“Dibanding menikmati, kami lebih suka berkeringat untuk
mendirikannya,” jawab Ari
“Gimana kalau ada apa-apa dan Deni mencari kalian?” Putri
berusaha menahan mereka.
“Uda kutitipkan ke Sie acara,” jawab Agung. “Kami pergi. Tapi
takkan jauh dari sini. Telingaku tak terbiasa dengan suasana seperti
ini.
Putri ingin ikut, namun ia harus mengurungkan niatnya karena
tugasnya sebagai sie konsumsi belum selesai. Konsumsi untuk dosen
dan panitia harus belum datang dan nanti harus dibagikan.
Akhirnya mereka bertiga pergi ke lantai teratas gedung
kampus. mereka duduk di tangga dan menikmati hembusan angin
yang menerpa mereka. Dari sana tampak jelas taman kampus yang
hijau berhiaskan tanaman yang dibentuk klasik oleh tukang kebun.
“Bagaimana hubunganmu dengan Putri?” Tanya Agung.
Ari tak menjawab. Ia merebahkan tubuhnya penuh ke lantai
dan menatap langit-langit bangunan.
“Apalagi yang kamu fikirkan? Kamu jangan beralasan nggak
sayang padanya,” tambah Agung. “Jangan pungkiri perasaan
sendiri.”
Ari masih diam tak merespon.
“Bagaimana menurutmu Wir?” Agung coba mencari dukungan.
Wiro tersenyum dan menggelengkan kepala, “Terserah. Bukan
aku yang menjalaninya.”

64
“Kamu ini gimana sih Wir. Emang kamu alergi kalau dukung
aku,” kata Agung dengan sedikit jengkel.
Wiro menanggapi dengan tersenyum. “Aku lebih takut kamu
jadi terbiasa dan tidak bisa bertindak tanpanya.”
“Apa kalian nggak mikir gimana kalau ada cowok lain yang
deketin Putri,” desak Agung.
Mendengar itu Wiro perlahan terdiam. Tampak ketiga sahabat
itu sedang berfikir.
Namun tak lama kemudian Ari berkata, “Andai diri ini benar
orang baik. Maka tiada yang perlu dikhawatirkan.”
Agung dan Wiro terdiam. Sesaat mereka saling pandang.
Agung masih ingin mencari kata bantahan, sedang Wiro perlahan
menundukkan kepala coba merenungi semua.
“Kata baik saja tidak cukup,” kata Agung. “Kita perlu berusaha
untuk mendapatkan yang kita inginkan.”
Agung melihat Ari masih diam menempatkan pandanganya ke
awan putih. Tidak lama kemudian ia berkata, “Aku tidak
membicarakan cukup atau tidak. Mereka yang baik akan
dipasangkan dengan yang sepadan.”
“Lalu. Kenapa ada perceraian?” Tanya Agung.
“Jangan salahkan Tuhan. Dia malu jika tanganmu menengadah
dan pulang tanpa membawa apa-apa. Karena itu, tatalah kata
sebelum mengumandangkan doa.”
Agung melihat Wiro yang sedang menatapnya dengan tenang
seolah menunggu apa lagi yang akan ia katakan. Tak lama kemudian
Agung menatap Ari yang masih dengan tenang menyandarkan
punggungnya di lantai. Sungguh sikapnya tak sebanding dengan
apa yang dikatakannya.
“Apa Putri belum pantas untuk doamu?”
Ari menghembuskan nafas pelan. Setelah itu ia berkata,
“Belum. Entah sampai kapan. Tapi untuk sekarang, aku belum
pantas untuknya.”

65
Ari 8
Kembalinya Ari dan Putri

Gagal mendekati Ari bukanlah suatu akhir dari usaha. Kini


Agung coba mendekati Putri. Saat Agung mengatakan bahwa
minggu depan ibu Ari berulang tahun, seketika itu pula Putri minta
tolong untuk diantarkan mencari hadiah ulang tahun. Namun
Agung menolaknya dengan berbagai alasan agar Putri bisa pergi
bersama Ari.
Namun sebelum itu Agung mengingatkan jangan sampai Ari
tahu. “Untuk kejutan, lebih baik kamu pake alasan cari kado buat
ibumu.”
Dengan alasan demikian, Putri berhasil mengajak Ari. Mereka
berdua berjalan di mall. Putri jalan lebih dulu sedang Ari di
belakang. Terkadang Putri harus menarik tangan Ari untuk
memaksanya masuk ke gerai pakaian muslim.
“Aku tunggu di luar saja,” kata Ari
“Ayo masuk,” Putri berupaya keras menarik Ari. “Aku butuh
pendapatmu.”
“Percuma. Aku nggak paham masalah pakaian. Apalagi untuk
wanita,” kilah Ari.
“Udah, pokoknya masuk.” Gita mendorong sekuat tenaga
tubuh Ari masuk hingga sebagian penjaga toko melihatnya dengan
tersenyum.
“Suruh masuk gini aja kok susah banget.” Gerutu Putri sambil
mengatur nafasnya lelah.
Ari tak menjawab. Saat Putri sedang sibuk mencari baju, ia
malah tersenyum dan menganggukkan kepala pada beberapa
pramuniaga.
“Cari baju yang bener..” Kata Putri sambil memukul kepala Ari
dengan hanger.
Melihat itu malah membuat pramuniaga tersebut sulit menahan
tawa. Namun ia berusaha bersikap sesopan mungkin dengan
berkata, “Mau cari pakaian model gimana mbak?”
“Untuk orang hamil ada?” sela Ari.
Mendengar itu, kontan Putri kembali memukul Ari dengan
hanger. “Kamu kalau ngomong pake mikir nggak sih..? Gimana
kalau mereka berfikiran kalau aku hamil?”
Ari hanya tersenyum melihat akibat pertanyaannya tadi. Ia lalu
melihat pramuniaga disampingnya perlahan menjauh dan memberi
tanda temen untuk menggantikannya sambil berusaha menahan
tawa.
66
“Tenang mbak,” kata Ari pada pramuniaga tersebut. “Dia
belum hamil kok...”
“Bag..bag..bag...” kini pukulan hanger itu mendarat lebih keras
hingga Ari harus bergerak menjauh. Ketika ia mau menjelaskan,
Putri menyela.
“Diem.. Jangan bicara kalau nggak kutanya,” kata Putri sambil
berkacak pinggang dengan tatapan tajam.
“Iya..iya..” Ari ketakutan melihat hanger yang seolah berubah
menjadi trisula.
Ari bergerak menuju susunan baju yang tertata rapi. Beberapa
kali ia membolak-balik baju. Sesekali pandangan matanya
mengamati Putri yang masih berkacak pinggang. “Aku bantu cari
baju. Ibumu suka warna apa?” Ari coba membujuk.
Putri tidak segera menjawab. Ia hanya mengamati gerak-gerik
Ari. Lambat laun kemarahannya sedikit mereda. “Biru laut,”
jawabnya sesuai dengan saran Agung karena itulah warna kesukaan
Ibu Ari.
Saat mendengar jawaban Putri, gerakan tangan Ari terhenti.
Tampak sekali raut wajah Ari berubah. Dimana pandangan matanya
tertuju pada satu tempat namun sesungguhnya bukanlah itu yang
sedang ia amati. Dimana kedua bibirnya ia tutup ringan namun
punya kesan takkan mengatakan sesuatu yang tak dibutuhkan.
Sebuah raut dimana ia sedang dalam dunia yang takkan ada
seorangpun bisa mengubahnya.
Melihat wajah itu, dalam hati Putri bertanya kenapa dia tiba-
tiba berubah. Ia melihat Ari melepaskan tangannya dari deretan baju
dan menggelengkan kepala pelan.
“Lebih baik kita belikan dompet..” Kata Ari tanpa memandang
Putri. Ari mengalihkan pandangan ke pramuniaga. “Di sini jualan
dompet?”
Sesaat pramuniaga tersebut diam karena melihat perubahan
yang sangat dari orang yang dihadapinya. Dimana sebelumnya ia
seorang yang mudah menimbulkan tawa, kini tiba-tiba dengan
diamnya menjadi sosok yang menjadikan orang menundukkan
kepala.
“Di sebelah sana,” kata pramuniaga tersebut sedikit gugup
menunjukkan arah di belakangnya.
Ari berjalan pelan menghampiri Putri mengambil hanger di
tangannya dan merapikan baju sebelum dikembalikan ke tempatnya.
“Percayalah... Dengan mengingatnya saja sudah membuat
ibuku bahagia. Namun dengan memberi hadiah yang berlebihan, hal

67
itu bisa menguranginya,” kata Ari pada Putri dengan pandangan
yang teduh.
Putri diam memandangi Ari yang dengan anggukan kepala
pelan berusaha untuk meyakinkannya untuk berjalan ke etalase
dompet.
“Bagaimana kamu itu hadiah untuk Ibumu?” Putri tak bergerak
dari tempatnya berdiri.
“Kau yang mengingatkanku tentang ulang tahun ibu, begitu
juga dengan warna biru laut yang sebenarnya adalah warna
kesukaan ayahku.”
Sesaat mereka berdua saling pandang. Dalam pandangan Putri,
tatapan Ari saat ini adalah tatapan mata seorang yang takkan bisa
dibelokkan. Ia melihat sosok lain dari seorang Ari. Dengan keadaan
Ari yang saat ini, siapapun akan menaruh kepercayaan penuh untuk
mengikuti langkahnya. Dan akhirnya perlahan Putri melangkahkan
kaki pelan menuju etalase dompet.
“Lalu apa warna kesukaan ibumu..?” Tanya Putri sambil
berjalan.
“Biru laut...” Jawab Ari pelan. “Itu yang selalu beliau katakan.
Tapi beliau pernah berkata, sayang beliau pada ayah membuat ibu
menyukai apa yang ayah suka. Sampai sekarang ibu tak pernah
menyebut warna lain selain biru laut..”
Biru menggambarkan sebuah warna dimana langit menjadi
naungan dan laut menjadi hamparan. Dimana luas keduanya
merupakan sebuah tanda. Tanda dimana Maha Luas kuasaNya dan
Maha Tinggi singgasanaNya. Dengan mengingat keduanya, maka
kesadaran akan mengikuti bahwa diri ini adalah apa dan tiada guna
membusungkan dada. Apalagi tertawa seolah dirinya berbeda dan
bukan terbuat dari tanah.

Malam itu tidak begitu meriah, namun cukuplah


menggambarkan kata inilah keluarga. Ari, Putri, Agung dan Wiro
duduk di sisi kiri meja, sedang keluarga kakak Ari duduk di sisi
kanan meja. Niken yang sebelumnya duduk di samping ibunya
meronta turun dan menuju kursi disamping Putri. Dengan sedikit
memaksa ia menarik tangan Agung agar berdiri dari kursinya. Ibu
dan ayahnya memanggil untuk mengingatkan dan mehyuruhnya
kembali, namun Niken tidak mengindahkan. Akhirnya Agung
mengalah dan pindah di sisi kanan meja.
Di hadapan mereka sudah tersedia sajian sederhana khas
Indonesia. Nasi putih, sayur lodeh, ayam panggang, tahu, tempe,

68
sambal terasi dan kerupuk puli. Tanpa kue atau lilin yang harus
dipadamkan apinya. Kebiasaan keluarga memang sangat sederhana,
cukuplah hari ulang tahun sebagai pertanda kumpulnya keluarga,
karena itu lebih berharga daripada pesta.
Setelah doa dikumandangkan, tanpa menunggu masing-masing
mereka bergantian mengambil sajian makanan. Ibu Ari berusaha
melayani masing-masing piring dengan membagi lauk yang ada.
Tampak sekali kebahagiaan di wajah beliau. Saat memberi lauk di
piring Niken, beliau ingin menyuapinya. Namun dengan senyum
cerianya Niken menolak dan menyatakan keinginannya untuk
makan bareng Putri.
Akhirnya Ibu Ari memeluk dan mencium kening Niken sambil
berkata, “Makan sendiri. Jangan ganggu mbak Putri.” Setelah itu
beliau kembali ke tempat duduknya.
Beberapa saat mereka melanjutkan makan sambil bicara ringan
tentang sedikit kenakalan Niken. Namun yang sedang dibicarakan
tak mau tahu dan tetap fokus pada makanan dihadapannya hingga
saat Niken bertanya dengan polosnya, “mbwak Pwutli
mwenwikwah smwa mwas Arwi ya?” katanya dengan mulut penuh
makanan.
Kontan saja semua terdiam hingga ruang tersebut hening untuk
sementara waktu. Semua mata memandang Putri. Wiro dan Wawan
mengarahkan pandangan ke Ari yang tampak menghentikan gerak
tangannya di atas piring namun pandangan matanya kosong
menatap meja.
Niken tetap melanjutkan makanan sambil terus memandang
Putri seolah menanti jawaban. Putri bingung harus bilang apa, ia
hanya menjawabnya dengan senyuman. Beruntung ibu Niken
langsung menyela, “Ken, jangam makan sambil bicara..”
Akhirnya Putri merasa sedikit lega ketika ibu Niken
mengalihkan pembicaraan tentang tetangganya yang barusan
mengalami kecopetan saat sedang belanja di pasar.
Makan malampun berlanjut dengan ngobrol tentang
pembicaraan ringan. Ari, Wawan dan Wiro sedang bercengkrama di
teras rumah. Sedang Putri bersama dengan Ibu dan juga Niken di
ruang tengah sambil nonton acara televisi.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang
lima belas menit. Tiba saatnya Putri dan yang lainnya untuk
berpamitan. Niken bersikeras untuk menahan Putri, namun Ibu Ari
membujuk dengan mengatakan bahwa besok mbak putri akan main
lagi. Dan akhirnya dengan berat hati Melepas pelukkannya di kaki
Putri.
69
Ari mengantarkan Putri pulang. Selama perjalanan Ari hanya
terdiam hingga Putri tak berani untuk mengajaknya bicara. Ketika
sampai di kost, Ari berhenti dan berdiri di depan pintu pagar. Ia
mengamati halaman depan kost dimana terdapat dua kursi panjang
menyiku membentuk huruf ‘L’ menyesuaikan dengan tembok
rumah.
Melihat Ari hanya diam, Putri juga menghentikan langkah. Ia
coba membaca apa yang sedang difikirkan Ari. Tidak lama
kemudian ia berkata, “Mau duduk dulu..?”
Sesaat Ari terdiam. Namun tak lama ia melangkahkan kaki dan
membuka pintu pagar. Setelah mereka berdua masuk ia langsung
duduk di tempat tepat sebelah pintu masuk dimana tepat
menghadap jalanan. Sedang Putri mengambil tempat agak jauh dari
Ari agar ia bisa mengamati.
Beberapa saat Ari hanya mengamati rauangan sekitar.
Didepannya ada meja kaca berbentuk persegi dengan hiasan bunga
mungil di atasnya.
“Ada masalah?” tanya Putri untuk mencairkan suasana.
“Tidak..” Jawab Ari singkat. Setelah itu ia menundukkan
pandangannya. Tak lama kemudian ia berkata, “Ada hal yang ingin
kusampaikan..”
“Apa..?” Tanya Putri lembut sambil mengamati gerak-gerik Ari
yang tak seperti biasanya. Putri meletakkan kedua telapak tangan di
atas tepi kursi dan meluruskan lengan untuk menopang tubuhnya.
“Ibu bilang ia sayang kamu,” sesaat Ari terdiam sebelum
melanjutkan kalimatnya. “Ibu juga ingin aku bisa menyayangimu..”
Ari berkata tanpa memandang Putri. Setelah itu ia kembali terdiam.
“Jadi...?” tanya Putri coba mencari kata lanjutan.
“Ibu ingin kita tak hanya sebagai teman..” kata Ari masih
menundukkan kepala. Namun perlahan ia mengangkat
pandangannya dan menatap Putri yang terus menatapnya.
“Jika karena ibumu, tak perlu kau melakukan sampai sejauh
itu..” jawab Putri tenang.
“Bukan..” jawab Ari pelan. “Aku tak pandai mengungkapkan
perasaan. Karena itu kupinjam nama ibu untuk bisa
menyampaikan.”
Sejenak Putri terdiam melihat Ari yang kembali menundukkan
kepalanya.
“Berapa persen peluangku..?” tanya Ari.
Putri tak segera menjawab. Ia sandarkan punggungnya ke kursi
dan meletakkan tangan lemas di samping tubuhnya. Tampak ia
sedang berfikir apa yang harus dikatakan.
70
“Kenapa..?” tanya Ari. “Jangan takut aku sakit hati. Karena aku
sudah terlatih akan hal itu.”
“Tidak... Aku hanya masih belum percaya. Kenapa kau
memilihku..?”
Ari menghela nafas panjang. Setelah itu ia berkata, “Karena aku
nggak mau memilih yang lain...”
Mendengar hal itu Putri sedikit tersenyum.
“Apa kau butuh waktu untuk berfikir..??” tanya Ari.
“Tidak..” kata Putri. “Aku jawab sekarang. Tapi sebelumnya
aku ingin bilang bahwa kamu orang yang sangat baik. Pertama kali
kutemui seorang pria yang..”
“Cukup..” sela Ari memandangnya sambil menggelengkan
kepala pelan. “Apapun itu, akan kuhormati. Aku hanya butuh
jawaban, bukan alasan.”
“Baiklah... Kesempatanmu...” sebelum melanjutkan kalimatnya,
Putri menatap mata Ari yang juga terus mengamatinya.
“Kesempatanmu dua puluh persen..”
Sesaat Ari tetap memandang Putri. Namun tak lama kemudian
ia mengarahkan pandangannya ke jalanan. “Kesempatan baik dua
puluh persen... Berarti delapan puluh persennya kemungkinan
buruk..” Ari menghembuskan nafas pelan sebelum ia berkata,
“Artinya aku ditolak...”
Ari menganggukkan kepala beberapa kali. Setelah itu entah
kenapa ia tersenyum. “Yah.. Yang penting sudah mencoba...”
Putri hanya diam mengamati wajah dan gerak tubuh Ari yang
mulai beranjak dari duduknya dan hendak melangkah menuju pintu
pagar. Perlahan Putri juga berdiri dan mengikuti dari belakang. Ia
tetap berada di belakang dan mengamati Ari hingga ia naik dan
menstarter motornya. Setelah motor menyala, tampak sekali wajah
kekecewaan mengusai diri Ari. Meski ia berusaha untuk menutupi,
tapi kesedihan hati bukanlah hal yang mudah untuk ditutupi.
Sebelum Ari berpamitan, Putri berkata, “Ar, kamu tahu.
Kemungkinan buruk itu bisa berbalik menjadi kemungkinan baik.”
Mendengar itu Ari langsung menatap mata Putri dengan penuh
senyuman. “Trimakasih...” katanya sambil tersenyum lebar. Setelah
itu ia segera memacu motornya dengan hati yang bahagia..

71
Ari 9
Kenyataan pahit jawaban Putri

Sejak kejadian malam itu mereka tak ragu lagi menunjukkan


kebersamaan di depan semua teman. Ari juga tampak lebih
memperhatikan Putri. Kemanapun Putri akan pergi, saat ia
menghubungi, Ari akan berusaha untuk menemani. Tiap malam
sebelum tidur juga Putri selalu menyempatkan diri untuk menelfon
Ari. Meski tidak selalu berbincang, Ari menemani hingga Putri
terlelap, baru kemudian telefon dimatikan.
Pernah pada satu malam Putri sedang lelah, jadi ia hanya ingin
mendengar cerita dari Ari. Kalau tidak ada ide cerita, seperti biasa
Ari membaca buku agama yang biasa ia baca sebelum tidur. Dengan
demikian sambil menambah ilmu, ia juga bisa berbagi dan
menemani Putri.
Saat itu buku yang ia ambil adalah kumpulan cerita. Kebetulan
halaman yang ia buka kisah tentang seorang pemuda yang jatuh hati
pada seorang wanita. Ia mengamati wanita tersebut dan mengikuti
saat ia melakukan perjalanan ke desa seberang yang melewati
padang pasir. Saat di jalan yang sepi, pemuda tersebut menyapa dan
menyatakan perasaanya. Namun sang wanita justru menjawab
dengan mengingatkan bahwa jalan yang ia tempuh adalah untuk
nafsu.
Dari kalimat wanita tersebut akhirnya pemuda itu sadar dan
kembali pulang. Di tengah perjalanan, karena terik mentari akhirnya
ia pingsan dan ia dibangunkan oleh seorang pemuka agama. Ia
menyarankan pada pemuda untuk berdoa agar dikirim awan untuk
menaungi perjalanan. Namun pemuda tersebut menjawab bahwa ia
bukan ahli ibadah, jadi ia ragu doanya diterima.
Akhirnya pemuka agama yang berdoa dan pemuda yang
mengamini. Tak lama muncul awan yang menaungi dan perjalanan
dimulai hingga mereka berpisah di persimpangan. Setelah beberapa
langkah pemuka agama heran ternyata awan tidak diatasnya
melainkan mengikuti sang pemuda. Pemuka agama tersebut
bergegas kembali dan bertanya amalan apa yang pemuda itu
kerjakan sehingga awan terus mengikutinya.
Akhirnya pemuda tersebut menceritakan awal dari
perjalanannya untuk memenuhi keinginan mendapatkan wanita
yang diidamkan. Namun justru wanita tersebutlah yang
menggerakkanku untuk menahan nafsuku karena-Nya. Mungkin
karena itulah Dia menahan teriknya untukku.

72
Ari terdiam sejenak. Ia berusaha mendengarkan suara nafas
Putri untuk mengetahui apa ia sudah tertidur atau belum.
Tampaknya tiada suara lagi dari Putri. Ari meletakkan buku dan
kemudian menutup mata sambil berkata pelan. “Kau tahu, kenapa
aku tidak bisa menahan diri.. Itu karena imanku masih lemah. Dan
lagi.. Aku takut kehilanganmu...”

Pagi harinya saat usai kuliah, seperti biasa Putri sering ikut ke
rumah Ari. Sebelum berangkat Ari mengingatkan Agung dan Wiro
untuk nanti malam datang ke rumah. Karena hari itu Putri akan
belajar masak. Wiro menganggapi dengan mengangkat jempolnya
sambil tersenyum. Sedang Agung mengatakan, “Bawa anaknya
orang hati-hati..”
“Oke jambe..” Jawab Ari sambil mengangkat jempol kanannya.
Setelah itu mereka berpisah di pintu gerbang kampus.
Saat sampai tampak ibu sudah mulai memotong bahan. “Lho,
ibu kok uda mulai duluan?” kata Putri.
Ibu Ari tersenyum, “Nggak apa-apa, kalau gini kan tinggal
bagaimana cara masaknya.”
Mendengar itu Putri langsung meletakkan tasnya dan bergegas
cuci tangan dan langsung mencari pisau untuk membantu. Sedang
Ari langsung menuju ke kios menemui Iwan.
Tak lama setelah menyampaikan bahwa ada HP yang perlu
diservice, Iwan langsung keluar dan berpamitan, “Bu, mbak Putri,
saya pulang dulu.”
“Iwan, jangan lupa nanti habis magrib makan di sini,” kata Ibu
sambil menganggukkan kepala.
“Iya Wan, ini saya yang masak lho..” tambah Putri.
Mendengar itu Ari langsung menyahut, “Justru karena ini
masakan Putri, kamu harus berfikir berulang kali untuk
memakannya.”
Ibu dan Iwan langsung tersenyum lebar. Sedang Putri berkacak
pinggang. “Emangnya kamu bisa masak..??”
“Tanya aja sama ibu,” jawab Ari dengan penuh percaya diri.
“Sudah..” kata ibu menghentikan. “Jangan lupa nanti datang.”
Kata Ibu pada Iwan.
“Maaf bu, kelihatannya nanti kuliahnya sampai malam. Jadi
mungkin nggak bisa,” jawab Iwan sopan.

73
“Ya sudah, ntar ibu sendirikan skalian untuk keluargamu.
Pulang kuliah kamu mampir kesini,” kata ibu ramah sehingga tidak
memberikan kesempatan Iwan untuk menolak.
“Baik Bu.. Terima kasih.. Maaf, saya pergi dulu,” kata Iwan
sambil beranjak pergi.
Setelah itu Ari kembali sibuk dengan peralatan untuk
memperbaiki HP dan Putri melanjutkan memasaknya. Tak terasa
satu jam lebih sudah berlalu dan masakanpun sudah tercium dari
kios dimana Ari berada. Merasa penasaran akhirnya ia membuka
tirai dan melihat Putri tersenyum padanya.
“Kenapa? Kalau aroma masakannya saja bisa mengganggu,
apalagi rasanya,” kata Putri tersenyum puas.
Ari tersenyum dan langsung melangkah menuju panci dimana
makanan itu masih tampak mengepul. Ia mengintip dalamnya,
setelah itu dia mengangguk-anggukkan kepala. “Padahal punya
bakat, kenapa masuk perawat...”
“Hei.. Kalau kalah ngaku aja... Nggak usah pakai nyindir
segala..” jawab Putri berada di atas angin.
“Bagaimana mau ngaku kalah, kamu juga belum rasain gimana
masakanku...” bantah Ari.
Melihat pemandangan demikian ibu menggelengkan kepala,
“Apa di kampus kalian juga seperti ini...?”
“Iya itu Bu.. Ari sulit sekali memuji. Sampai sekarang hanya
sindiran yang dia berikan...”
“Pujian itu diberikan pada orang yang patut mendapatkan..”
Bantah Ari.
“Emang selama ini tidak ada satupun tindakanku yang patut
dibanggakan..?” desak Putri.
“Belum...” jawab Ari singkat.
“Belum dan hentikan...” sela Ibu menengahi dengan menatap
tajam Ari dan Putri. “Sekarang cepat mandi dan Putri segera
bersihkan diri dan shalat bareng ibu.”
“Siap Komandan...” kata Ari sambil tersenyum dan hormat.
“Tuh, dengerin kata ibu..” katanya beralih pada Putri.
“Kamu yang harus dengerin..” Balas Putri.
“Ari...!!” kata ibu menatap dengan diamnya. Saat tiada lagi
yang ingin ibu katakan, saat itulah yang Ari takutkan.
Melihat itu, Ari segera masuk kamar mandi.

74
Malam hari Wiro datang terlebih dulu sedang tak lama
kemudian Agung datang bersama pasangannya yang tampak cantik,
putih, tinggi, rambut panjang dan lemah lembut dengan senyuman
yang selalu menyambut. Agung memperkenalkan namanya Dewi.
Saat semua sudah berkumpul, mereka langsung menuju meja
makan. Ketika tutup makanan dibuka, semua mata bersemangat
akan sajian yang ada. Ada ayam panggang, tahu dan tempe bacam,
tumis kangkung.
Melihat ekspresi Agung dan Wiro yang terperangah, Putri
merasa puas dan tersenyum lepas. Apalagi ketika melihat
mendengar senandung pujian tak terhentikan dari mereka berdua.
Namun lain halnya dengan Ari, meski dari sikap ia tampak sangat
menikmati, ia hanya menanggapi dengan santai. Tapi hal tersebut
sama sekali tidak mengurangi kebahagiaan Putri, karena baru kali ini
ia memasak sendiri.
Usai santap bersama mereka berkumpul di beranda depan.
Mereka sedang membicarakan kehidupan. Wiro bercerita tentang
bagaimana mendapati banyaknya anak yang mengemis di jalanan.
Dari bahasan tersebut banyak pendapat yang mereka kemukakan.
Putri mengemukakan pendapat bahwa sebenarnya mereka
diperalat oleh orang dewasa. “Rasa belas kasihan telah dijadikan
jalan bagi mereka untuk meraup keuntungan.”
“Bukan hanya anak. Beberapa orang dewasa juga kurang tepat
dalam menetapkan sebuah tujuan. Jika sejak kecil tertanam bahwa
uang adalah tujuan. Maka tiap langkah mereka hanya dinilai dari
uang. Sedang agama mengajarkan bahwa jadikan tiap langkah
adalah amal ibadah. Jika belum mampu melangkah, maka cukup
niatkanlah..”
“Maksudnya?” tanya Agung penasaran.
“Ada empat golongan manusia. Yang pertama ialah mereka
yang diberikan banyak rizki dan dan ilmu sehingga mereka
menyalurkannya pada jalan kebaikan. Golongan kedua adalah
mereka yang tidak banyak rizki, namun diberikan ilmu sehingga
mereka berniat jika diberikan maka ia akan melakukan hal yang
sama seperti golongan pertama. Dan mereka mendapatkan tempat
yang baik disisi-Nya.
“Golongan ketiga adalah mereka yang diberikan banyak rizki
tapi tidak memiliki ilmu, sehingga mereka menyalurkannya pada
jalan maksiat dan kenikmatan dunia semata. Golongan keempat
adalah mereka yang tidak banyak rizki dan juga ilmu, sehingga
mereka berniat jika diberikan rizki maka ia akan melakukan hal yang

75
sama. Tentu mereka mendapatkan tempat yang tidak diinginkan
semua golongan.
“Jadi perbanyaklah ilmu. Karena apapun tanpa ilmu bisa jadi
salah jalan. Dan lagi, jika belum mampu berbuat, maka banyaklah
belajar untuk berniat. Karena sesungguhnya niat itu lebih cepat
sampai pada-Nya dibanding amalan yang dikerjakan.”
Mendengar penuturan Ibu Ari mereka semua diam termenung
dan diakhir mereka menganggukkan kepala pelan. Sungguh waktu
akan lebih berarti jika kita bisa berbagi. Apalagi yang kita bagi
adalah ilmu. Karena ilmu adalah infestasi tiada tara.
Tak lama kemudian Agung mohon ijin karena harus mengantar
Sari ke suatu tempat untuk belanja sesuatu. Seiring dengan itu Wiro
juga sekalian minta ijin pulang. Setelah mereka pulang, Ibu langsung
masuk ke dalam sedang Ari dan Putri tetap duduk di luar.
Sesaat mereka berdua diam menikmati pemandangan lalu
lalang kendaraan yang melintas. Namun tak lama Putri bertanya,
“Ari, boleh tanya sesuatu?”
Ari menatap Putri. kiranya saat ini ada yang ia fikirkan. “Boleh..
Tanya apa..?”
“Tentang bentrokan di kampus..” kata Putri pelan sambil
melihat reaksi Ari.
Mendengar itu Ari langsung terdiam. Meski berusaha tenang,
namun tampak sekali ia menahan beban yang sulit diungkapkan. Ari
hanya menganggukkan kepalanya pelan tanda pada Putri untuk
silahkan melanjutkan.
Putri menarik nafas pelan sebelum ia berkata, “Sampai
sekarang ada beberapa teman yang belum bisa menerimamu seperti
dulu. Mereka ingin, namun keinginan bertentangan dengan kata
hati. Karena mereka masih ragu tentang apa yang terjadi. Karena itu,
bukankah lebih baik jika kamu menceritakan semua?”
Ari diam. Tubuhnya tak bergerak sedikitpun dengan tatapan
mata menatap tanah. Tampak sekali ia sedang berfikir dengan
keteraturan nafasnya. “Jangan menyederhanakan banyak dengan
menyebut beberapa.. dan lagi... Apa kamu masih ragu padaku?”
Putri memegang tangan Ari untuk meyakinkan. “Ini bukan
masalah ragu atau tidak. Aku hanya ingin bisa menjelaskan pada
mereka.” Putri menatap Ari dengan penuh harap.
Sesaat Ari diam. Ia menunduk dan menggelengkan kepala
pelan sebelum berkata, “Jelaskan pada mereka. Yang sebenarnya
terjadi adalah tidak jauh dari apa yang mereka fikirkan...”

76
Sabtu. Malam itu Ari tengah siap-siap untuk mengantar Putri
nonton konser salah satu band ibukota yang akan tampil di sebuah
acara di salah satu mall di kota tersebut. Sebenarnya Putri berusaha
untuk mengajak Ari untuk ikut nonton. Namun karena Ari tidak
suka dengan acara yang demikian, maka Ari hanya bersedia
mengantarnya. Rencananya ditempat itu Putri akan bertemu dengan
beberapa temen yang lain.
Saat tiba di kost, Ari terkesima dengan pemandangan
dihadapannya. Ia baru tahu kalau dari tempat kost Putri bulan
purnama tampak sangat indah dengan menunjukkan cahya dan
kebesarannya. Tak lama terdengar pintu dibuka dan Putri keluar
dengan pakaian berwarna hitam dengan jeans biru. Meski rambut
dikuncir jadi satu dan hanya berhiaskan kacamata di wajah, wajah
itu tetap mempesona.
Sejenak kecantikan Putri seolah bersaing dengan bulan
purnama. Namun untuk mengalihkan pandangannya, Ari
mengarahkan telunjuknya untuk menatap bulan di hadapannya.
Sejenak pandangan Putri terarah pada bulan, namun karena ia sudah
biasa melihatnya, hal tersebut menjadi hal yang biasa.
Akhirnya Putri segera mengambil helm yang tergantung di
belakang motor, naik di boncengan dan motorpun berjalan pelan
hingga jalan utama di depan mata. Selama di perjalanan Ari
berusaha mengajak bicara, namun kiranya Putri tengah sibuk bicara
dengan orang yang tengah menelfonnya. Ya, sepanjang perjalanan.
Bahkan mungkin sebelum Putri naik motor, Hp tersebut mungkin
tetap terhubung dengan seseorang.
Ari mulai merasakan perasaan tidak nyaman. Namun tiada
yang bisa dilakukan selain tetap mengarahkan motor pada tempat
tujuan. Dua puluh menit berlalu, ketika sudah sampai tujuan putri
baru menutup telfonnya.
Ari mengarahkan motornya ke trotoar. Putri segera turun,
melepas helm dan menyerahkannya pada Ari. sejenak ia menata
rambutnya dengan berkaca pada kaca spion. Disana banyak sekali
pemuda-pemudi yang berlalu lalang.
Namun tak lama diantara kerumunan orang, muncul seorang
cowok yang berjalan tegas ke arah Ari dan Putri. tiada sedikitpun
keraguan dalam tujuan langkahnya. Hal itulah yang kian membuat
tanda tanya. Karena Ari sama sekali tidak mengenal siapa pemuda
tersebut.
Tak lama ketika Putri membalikkan badan, ia langsung
tersenyum lebar dan menyambutnya dengan sangat bahagia. Melihat
77
hal tersebut membuat jantung Ari kian berdegub dengan kencang.
Tak terasa gerak tubuhnya spontan berdiri dan menarik tangan
kanan Putri.
Putri membalikkan badan, namun yang lebih tidak dimengerti,
kini cowok tersebut yang berbalik menunjukkan sikap tidak senang
dengan perilaku Ari. Dengan sigap cowok tersebut ganti menarik
tangan kiri Ari. “Siapa dia..?” tanya cowok tersebut dengan nada
tinggi.
Detak jantung Ari kian terasa berdetak keras. Apalagi ketika ia
merasa Ari berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan Ari.
“Ar dengerin...” kata Putri menghadap Ari dengan tangan kiri
masih dipegang cowok di belakangnya. “Ini Hendra. Dia cowokku..”
Sesaat kata tersebut seolah menghentikan dunia, suara lalu
lalang orang seolah menghilang. Ari berusaha menenangkan diri. Ia
menarik nafas sedalam mungkin untuk mengendalikan emosi.
Namun dengan jelas ia merasa bahwa tangannya terasa sangat
dingin. Sebuah gambaran ketika akal mengendalikan diri, namun
belum bisa mengatasi fisik diri.
“Aku merasa selama ini kamu salah persepsi dengan kata-
kataku,” kata Putri tenang. “Aku tidak pernah mengatakan
menerimamu. Aku hanya bilang kesempatan bisa berbalik. Namun
sebelum itu terjadi, ternyata Hendra cowokku yang dulu tidak
pernah telfon, kembali menghubungi. Dan kita balik lagi...”
Mendengar penjelasan Putri, ia berupaya untuk bisa menapaki
kedewasaan diri. Dimana kedewasaan adalah sebuah pilihan. Maka
dengan tegas Ari berupaya memaksa diri untuk tetap
menganggukkan kepala.
“Oke.. Aku minta maaf..” Kata Ari pelan mengarahkan
pandangannya ke arah Hendra.
Hendra membalas dengan tatapan mata tidak bersahabat. Ia
malah menarik tubuh Putri untuk semakin dekat dengannya. Sebuah
sikap dimana ia sangat takut kehilangan.
Beberapa saat mereka saling pandang. Suasana tidak nyaman
sangat terasa pekat diantara mereka bertiga. Namun seolah mereka
saling menunggu langkah apa yang selanjutnya ditempuh.
“Bukankan kamu harus segera pulang..?” tanya Putri pada Ari.
Ari menganggukkan kepala pelan. Ia menatap mata Putri lekat-
lekat. Dari gerak dada, tampak sekali ia berusaha mengatur
nafasnya. Setelah merasa tenang ia berkata, “Pergilah... Karena aku
tak biasa meninggalkan wanita...”

78
Perlahan Hendra berjalan dengan memegang erat tangan Putri
seolah ingin segera menghindari tempat yang menyesakkan dada.
Mereka berdua berjalan membelakangi Ari yang berdiri seorang diri.
Dibalik punggung Putri berdiri seorang pria yang akan
melakukan apapun juga untuk menjaga orang yang disayanginya.
Meski ia takkan membalikkan kepala, cukuplah mengatakan pada
diri bahwa tugas menjaga telah usai.

Keesokan harinya, Agung mendatangi kost Putri. Datang


dengan wajah menahan diri menandakan sudah tahu apa yang
terjadi. Namun Putri menemui seolah dengan wajah seperti biasa.
Melihat Putri keluar dengan keadaan tanpa merasa bersalah
sedikitpun membuat emosi Agung memuncak. Ia seolah bisa
merasakan darahnya naik ke kepalanya dengan begitu cepat. Namun
beruntung Putri adalah wanita, jadi Agung bisa menahan dinginnya
emosi.
“Aku berharap tidak semua orang berparas cantik punya
pemikiran sama sepertimu..” kata Agung geram.
“Apa maksudmu..? Dengar, aku tak pernah mengatakan aku
menerimanya.” Kata Putri membalik keadaan.
“Jangan pernah berfikir karena kau punya kelebihan untuk
dicintai banyak orang, kemudian kau melupakan bagaimana
perasaan mereka...
“Coba rasakan dan berdirilah di dua tempat. Dengan begitu
kamu bisa menjadi manusia yang lebih bermartabat....”
Sikap, kata dan tingkah adalah tanda. Jika mengarah ke kata
tidak, maka lakukanlah. Jangan membuat perasaan orang terobang-
ambing akan jawaban ketidakpastian. Berdiri dalam satu kaki akan
sangat menyiksa bagi siapapun. Maka segerakanlah untuk
melengkapi atau jelaskan bahwa tiada harapan. Karena
bagaimanapun, pahit adalah kata yang indah dibandingkan
khayalan.

79
Ari 10
Alasan yang harus segera diungkap

Kembali saat sekarang. Karena satu kost, saat senggang, Putri


sering ngobrol di ruang tamu atau bahkan di kamar hingga larut dan
lelah menjemput. Di awal pembicaraan Gita dan Rani masih agak
segan untuk bicara terbuka, karena mereka juga baru kenal. Namun
karena melihat Putri tampak terbuka dan sering bercerita tentang
pasangannya dan kehidupannya, akhirnya mereka berdua juga
merasa nyaman dan terkadang sharing tentang masalah pribadi
mereka.
Dari banyak cerita Putri, bisa ditangkap bahwa ia adalah teman
dekat Ari, Agung dan Wiro. Putri sering menceritakan bagaimana
ketiga orang tersebut yang masing-masing punya karakter yang
berbeda, namun dengan persabahatan semua itu bisa disatukan. Dari
semua cerita, dapat digambarkan bahwa Putri sangat senang punya
teman seperti mereka.
Namun karena Gita dan Rani tidak satu kelas dengan Putri,
mereka tidak tahu seberapa dekat mereka di kelas. Yang ada
hanyalah kepercayaan akan semua kalimat yang terucap. Karena
Putri menceritrakan semua dengan penuh semangat.
Pada satu kesempatan, setelah tiada lagi yang diceritakan, tiba-
tiba Putri bertanya tentang hubungannya dengan Ari. Karena merasa
tidak enak, akhirnya Gita menjawab bahwa selama ini hanya
hubungan biasa. Namun melihat gerak tubuh dan tatapan mata Gita
semua tahu bahwa ia menyimpan rasa kagum akan orang yang
sedang dibicarakan.
Melihat hal itu Putri tidak terlalu memaksakan diri untuk
bertanya lebih lanjut, ia hanya menceritakan bagaimana sifat Ari
selama ini. Walaupun Gita menolak untuk mendengar, namun dari
diamnya tampak ia menyimak tiap kata yang terdengar.
Dengan keadaan tersebut Rani hanya tersenyum. Kini ia yakin
bahwa sahabatnya bener-bener sedang mendalami orang yang akan
ia beri kesempatan untuk menjadi seorang yang bisa dipercaya selain
saudara.
Adanya kesempatan tersebut juga dimanfaatkan Rani untuk
bertanya apakah Ari seorang playboy karena terdengar rumor
bahwa ia sering bonceng beberapa wanita yang berbeda-beda.
Mendengar pertanyaan tersebut, sesaat Putri meneduhkan
pandangannya. Ia teringat pengalaman dimana ia pernah salah
sangka karena melihat ari membonceng orang lain.

80
“Tidak... Itu sama sekali tidak benar.” Jawab Putri pelan.
“Meski tak terlalu dekat, saat ada yang minta tolong, ia tak pernah
menolak...
“Namanya seolah ada saat semua menggelengkan kepala.
Namun setelah mereka merasa nyaman dengan Ari, ia meginginkan
lebih. Sedang Ari hanya menyediakan kata bantuan. Lebih dari itu, ia
tidak peduli tentang apa kata orang.”
“Jadi rumor itu salah..?” kata Rani untuk meyakinkan Gita.
“Tidak ada yang salah,” kata Putri. “Benar Ari sering keluar
dengan orang yang berbeda. Namun, mereka hanya mengandalkan
mata, tidak bertanya untuk melengkapinya. Jika kurang
meyakinkan, tanyalah masing-masing dari mereka yang pernah
keluar bersamanya. Bisa dipastikan kepentingan ada di sisi mereka.
Karena selain menyukai, Ari tidak punya motivasi untuk mengajak
pergi.”
Sesaat Rani dan Gita terdiam. Rani tampak seperti orang yang
ditampar akan keyakinan yang hanya bersumber dari apa yang ia
dengar hingga yang ia lakukan hanya menundukkan kepala.
Dari pandangan, hanya tampak satu sisi. Terkadang kita lupa
akan keterbatasan mata dan mudah menilai sesuai kehendak diri.
Sungguh lebih mudah pribadi ini menjadikan diri sebagai acuan
akan kebenaran, sedang diri ini masih lemah akan kata keilmuan.
Mendengar penuturan Putri, seolah Gita tersadarkan. Saat Ari
menyatakan niat untuk mengajaknya pergi, itu adalah tanda, bahwa
ialah wanita yang ia pilih. Meski masih ada tanda tanya kenapa,
namun ia kian yakin akan pemuda pilihannya. Bukan. Sesaat ia
merasa lebih beruntung karena menjadi orang yang dipilih Ari.
Karena senangnya, setelah mereka bubar karena sudah larut malam,
Gita bergegas mengirim sms ke Ari sekedar bertanya sudah tidur
apa belum.
Tidak lama kemudian bukan balasan sms yang masuk, namun
panggilan telefon yang ia terima. Bergegas Gita mengangkatnya.
Dalam percakapan singkat Gita menanyakan apakah esok Ari
sibuk, jika tidak ia ingin mengajaknya keluar jalan-jalan. Namun Ari
menolak, karena ia tidak suka pergi tanpa tujuan. Akhirnya Gita
memakai alasan untuk cari buku. Dengan alasan itu, Aripun setuju.
Meski malam kian larut, namun bagi Gita seolah pagi hari
masih lama. Ia berusaha untuk memejamkan mata agar waktu tak
terasa dan pagi akan menyapa.

81
Keesokan hari, di waktu yang telah ditentukan, berjalan di
sebuah mall untuk menuju toko buku. Beberapa kali Gita
menanyakan sesuatu pada Ari, namun ia hanya mendapatkan
jawaban ringan. Sampai tiba di toko buku Ari langsung berjalan
tenang ke bagian buku agama, sedang Gita berjalan di bagian buku
kedokteran.
Beberapa kali Gita mengamati Ari dan berharap bisa berdiskusi
tentang buku apa yang bagus untuk bahan bacaan. Namun
tampaknya Ari lebih nyaman berada di bagian agama.
Sedikit banyak Gita mulai bosan karena ditinggal sendirian, tak
lama tiba-tiba ada seorang pria menghampiri dan langsung
mengajaknya bersalaman. Gita tampak bingung, ia berusaha
mengingat tentang siapa orang di hadapannya.
“Rio..” kata pria dengan perawakan sedang dan berwajah
tampan mengingatkan.
Namun karena Gita masih samar akan ingatannya, pria tersebut
berkata, “Dulu yang pernah ikut seminar tentang perawatan luka.”
Mendengar hal tersebut seolah membuka lebar-lebar pintu
ingatan Gita. Mereka pernah bertemu saat ikut seminar bersama
sekitar enam bulan yang lalu. “Maaf, tadi bener-bener lupa. Gimana
kabarmu? Sudah lulus kan..?” kata Gita sambil tersenyum lepas.
“Baik..” jawab Rio sambil tersenyum. “Alhamdulillah sudah
kerja.”
Dari percakapan Gita tahu bahwa sekarang Rio bekerja sebagai
dosen di salah satu Sekolah tinggi Ilmu Kesehatan di kota tersebut.
Gita memberi pujian akan keberhasilannya menjadi salah satu staf
pengajar. Namun Rio tetap merendahkan hati dengan mengatakan
karena saingannya cewek semua, sedang yang dibutuhkan adalah
cowok.
Akhirnya Gita berdiskusi dengan Rio tentang buku yang bagus
untuk referensi pustaka. Beberapa kali terdengar tawa dari mereka
hingga saat Ari berdiri di depan Gita dan berkata, “Sudah ketemu..?”
Gita melihat wajah Ari yang tadinya tenang kini berubah
menjadi sedikit tegang dan menunjukkan tanda kurang senang.
“U.. Uda..” jawab Gita sedikit gugup, karena baru pertama ia
melihat wajah Ari yang demikian. “Rio, kenalkan ini Ari.” kata Gita.
Ari mengulurkan tangan dan tersenyum ringan. Tampak sekali
kalau senyumnya kali ini sangat dipaksa dan tidak dari nurani. Rio
membalas dengan kembali menyebutkan namanya.
Melihat situasi tersebut, Gita langsung berpamitan pada Rio
seraya menggandeng tangan Ari untuk menuju casier. Sejak saat itu
82
sikap Ari selama perjalanan menjadi dingin. Gita tahu saat itu Ari
sedang cemburu. Bukan ketakutan yang ia rasakan, namun justru
kebahagiaan karena cemburu itulah tanda bahwa ia menyimpan
rasa.
Gita berjalan di belakang Ari sambil senyum-senyum.
“Kenapa tersenyum?” tanya Ari dengan nada yang jelas
menggambarkan kegalauannya.
“Nggak apa-apa,” kata Gita tak menghentikan senyumnya.
“Aneh..” kata Ari singkat sambil terus melangkah.
“Kamu juga...” balas Gita. “Kenapa tiba-tiba marah?”
Ari tak menjawab. Matanya terus tajam menatap ke depan dan
dengan tegap menuju tempat parkir motor.
“Ar, berhenti dulu. Aku lapar. Ayo makan dulu..” Gita
meghentikan langkah Ari dengan menarik tangan kirinya dan
mengarahkan ke stand makanan cepat saji.
Ari melihat stand itu ramai oleh para pemuda. Hanya ada tiga
meja yang masih kosong. Namun Ari dengan nada tegas berkata,
“Silahkan, tapi jangan makan di sini.”
Melihat wajah Ari yang seperti ini seolah membuat Gita tidak
lagi punya pilihan. Akhirnya ia masuk ke antrian dan membeli dua
hamberger untuk dibungkus. Setelah mendapat apa yang
diinginkan, kembali ia harus berjalan di belakang Ari menuju parkir
motor.
Ari mengarahkan motornya menuju kampus yang saat itu
sudah sepi akan mahasiswa. Hanya beberapa yang masih ada
berjalan melalui gazebo dimana ia dan Gita duduk untuk menikmati
makanan yang ia beli.
Karena lapar Gita segera melahap makanan di tangan
kanannya, sedang tangan kiri sibuk membuka buku yang baru
dibelinya. Beberapa saat Gita terus melahap hamburger di
tangannya. Namun ia melihat Ari hanya menggenggam
makanannya yang masih terbungkus rapi.
“Kamu kenapa...?” tanya Gita menghentikan aktifitas dan
menutup bukunya. “Sejak tadi kamu diem terus?”
Ari menggelengkan kepala pelan. “Nggak apa-apa..” Wajahnya
masih menunjukkan ekspresi ketidaknyamanan.
Gita menatap Ari dengan pandangan harapan agar ia mau
bicara. Namun cara itu seolah tidak kunjung membuat bibir ini
terbuka.
“Ar.. Kalau aku buat salah. Aku minta maaf..”
Ari mengedipkan mata pelan. “Aku yang seharusnya minta
maaf.. Aku sama sekali nggak punya hak untuk marah.”
83
“Boleh tahu kamu marah kenapa..?”
“Nggak... Bukan hal yang penting.” Ari meletakkan makanan di
tepat dihadapan Gita. “Maaf bukan bermaksud tidak menghargai.
Tapi aku sedang tidak lapar..”
“Ar.. Kamu kenapa..?”
“Nggak apa-apa..” kata Ari mencoba tenang dengan
memberikan sedikit senyuman. Setelah itu ia merapikan resleting
jaketnya. “Sudah sore.. “ katanya sambil berdiri.
“Gita masih diam dengan tatapan bergerak mengikuti
pergerakan Ari. “Ar.. Kamu cemburu sama Rio...? Jujur...”
Mendengar itu mendadak pergerakan Ari terhenti.
Pandangannya ia arahkan ke bawah, dan tak berani menatap mata
Gita.
“Entah apakah aku pantas memiliki rasa ini... Tapi aku hanya
mau bilang, entah kenapa aku tak ingin kamu dimiliki orang lain..”
Gita seolah menahan nafas mendengar penuturan Ari. Ia
menatap penuh sosok dihadapannya sekedar meyakinkan diri akan
kata yang bahkan hatipun bisa mendengarkan.
“Lalu...?” Tanya Gita ingin mendengar kalimat selanjutnya.
“Cuma itu..” jawab Ari singkat.
“Biasanya, setelah mengatakan, dilanjutkan dengan
pertanyaan..”
“Tidak.. Aku hanya mau bilang. Bukan menanyakan..”
Mendengar itu wajah Gita berubah. Tadinya ia tampak
bersemangat, kini seolah tiada minat. Ia langsung memasukkan buku
dan mengambil makanan yang diletakkan Ari ke dalam tasnya. Ia
merapikan diri dan melangkah meninggalkan Ari.
Baru beberapa langkah Gita berjalan, ia mendengar Ari berkata,
“Saat aku ingin marah sedang tiada hak untuk itu.. Apakah itu
pantas kulakukan..???”
Mendengar pertanyaan itu Gita menghentikan langkah.
Perlahan ia membalikkan badan dan menatap Ari dengan mata
tajam. “Saat kau punya kesempatan mendapatkan hak itu, lalu tiba-
tiba berhenti ditengah jalan, apakah itu hal yang sopan..??”
Ari diam menatap mata Gita yang terbalut amarah. Sesaat
kemudian ia menggelengkan kepala pelan saat berkata, “Terlalu
cepat.. Terlalu mudah jatuh hati.. Itu yang selalu mereka katakan jika
aku menyukai seseorang.”
Ari menghembuskan nafas pelan. Sejenak ia menata diri untuk
kembali duduk sekedar untuk menenangkan hati. Tak lama ia
melanjutkan kalimatnya, “Hanya ada satu sifat yang kucari pada
wanita. Tegar dalam hadapi cobaan. Saat menemukannya, seolah
84
aku tak peduli pada yang lainnya. Karena bagiku, ilmu, iman,
kebaikan, hal itu bisa ditambah.
“Namun bagi orang lain, menyayangi orang dalam waktu
singkat adalah hal yang tidak mungkin, bahkan kadang dianggap
main-main. Tapi apakah salah jika aku merasakan hal yang lain...?
karena yang kurasakan adalah ketakutan....
“Aku takut orang lain lebih dulu memintamu....”
Saat Ari menghentikan kalimatnya, perlahan ia melihat Gita
sudah kembali duduk di sampingnya.
“Apakah aku orang yang tegar..?”
“Entahlah.. Kamu sendiri yang bisa menjawabnya..” kata Ari
mendekapkan kedua tangan di dada karena merasa dingin. “Tapi
bagiku, saat kudengar cerita dari Agung bahwa kamu rela
menerjang hujan demi janji rapat dengan BEM. Meski datang dengan
baju basah, kau tetap tertawa. Bagiku itu adalah tanda, bahwa kau
tak mudah menyerah..”
Gita memandangi pria dihadapannya. Dalam tingkah
terkadang ia bagai anak TK, tapi dalam kata ia seolah bisa
menghentikan langkah.
“Apa kamu serius dengan hal ini..?” tanya Gita untuk
meyakinkan diri.
Ari tidak langsung menjawab. Tatapan matanya tetap ia
arahkan ke bawah. “Aku memang suka bercanda... tapi dalam hal
perasaan, aku tak suka melakukannya..”
Ari beranjak dari duduknya. Kini ia berani menatap mata Gita
yang sedari tadi juga terus mengamati gerak tubuhnya. “Percaya
atau tidak, rasa sayang ini sudah besar di hati..”
Mendengar hal tersebut jantung Gita berdegub kencang. Entah
apa yang dilakukan, namun kata itu seolah kalimat yang menunggu
jawaban.
“Jika percaya, ijinkan kuperkenalkanmu pada ibuku. Karena
aku ingin membagi kebahagiaan ini.” Kata Ari sambil membuka
telapak tangannya didepan Gita untuk membantunya berdiri.
“Namun jika tidak, percayalah, aku tetap menghormati..”
Kembali Gita coba menyelami jati diri Ari. Setelah itu ia
bertanya, “Apa kau melakukan hal ini pada orang lain..?”
Sesaat Ari tersenyum kecil, setelah itu ia berkata. “Ya.. Tapi
sayang... Banyak yang menolak...”
Gita tersenyum mendengar kepolosan jawaban Ari. “Ar, ibumu
suka hamberger..?”
“Tidak...” jawab Ari singkat. “Dalam hal ini aku nggak mau
tanda karena takut salah mengartikan. Aku ingin mendengar kalimat
85
langsung.” Wajah Ari seolah kembali menampakkan keseriusan
hingga Gita tak berani mengucapkan kata perumpamaan selain
pernyataan bahwa ia menerima Ari sebagai kekasihnya. Sore itu
meski hanya mendapat jawaban menunggu, tapi bagi Ari itu adalah
kesempatan. Karena bagaimanapun, tiap langkah harus difikirkan.
Bukankah untuk itu akal diciptakan...
Pernyataan bukan hanya dari kata, tapi juga hati dan juga
langkah. Namun yang tampak di awal hanya dua, sedang niat sangat
samar dan terbungkus rapi hingga hanya diri dan Sang Pencipta
yang mengetahui.
Jika kesepakatan sudah terucap, maka bukan lagi perasaan
yang didahulukan, namun tanggung jawab yang harus kita berikan.

Malam harinya, Gita menceritakan kejadian yang ia alami pada


Rani. Mendengar Ari sudah menyatakan perasaannya, Rani terkejut.
“Masak secepat itu?”
Mendengar pernyataan Rani, Gita jadi teringat akan alasan Ari,
kenapa ia berusaha menahan diri. Kini Gita tahu bahwa untuk hal ini
Ari berusaha mendengarkan dan mengikuti kebiasaan orang pada
umumnya, namun kiranya kemarin ia telah kembali menjadi dirinya
sendiri.
Sebelum Gita menjawab, Rani melanjutkan pertanyaannya
dengan wajah penuh antusias. “Kamu terima?”
“Belum.” Jawab Gita dengan wajah sedikit bingung.
“Jangan bilang kamu nggak ada perasaan sama dia,” desak
Rani.
“Iya aku emang ada rasa kagum, tapi aku juga belum banyak
tahu tentang dia. Keluar jalan aja baru sekali, malah langsung
ditembak.”
Rani diam sambil menganggukkan kepala beberapa kali. Tak
lama ia berkata dengan semangat, “Gimana kalau kita tanya Mbak
Putri?”
Gita menghembuskan nafas saat memandang mata Rani,
keraguan lain seolah menyelimuti. “Apa kamu yakin nggak apa-apa?
Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau mereka dulu pernah
dekat?”
“Itu emang dulu. Tapi sekarang kan dia uda punya cowok. Ari
juga deketin kamu. Jadi nggak masalah. Buktinya waktu kita tanya

86
apa Ari playboy atau tidak, Mbak Putri justru malah membelanya.
Itu tandanya ia ingin meyakinkanmu.”
Mendengar penjelasan Rani, seolah membuka fikiran Gita.
Akhirnya ia memberanikan diri untuk menceritakan keadaan dan
bertanya tentang Ari.

87
Ari 11
Cobaan yang menyatukan
Sisi lain kehidupan Agung, Ari dan Wiro

“Hmm... Akhirnya ia mengatakan juga...” kata Putri diiringi


senyum ketika mendengar cerita Gita.
“Lebih baik kau terima dia. Kau lihat sendiri kan, dari tatapan
matanya. Tajam dan terarah. Meskipun dia diam, tapi cukup
membuat orang meyakininya. Percayalah, kau takkan
menyesalinya.”
“Tapi aku sama sekali nggak tahu bagaimana keseharian atau
sifat-sifatnya.” Kata Putri agak bingung.
“Siapapun takkan tahu bagaimana dia kalau tidak bersamanya.
Tapi yakinlah, ia orang yang selalu menjaga diri dalam jalan
kebaikan.”
Penjelasan Putri kiranya masih belum cukup untuk menjawab
kegundahan akan diri Ari. Wajah Gita masih menampakkan
kebimbangan.
“Semua terserah kamu,” kata Rani. “Jika kamu ragu tolak aja
dulu. Kalau dia serius dia pasti akan tetap mendekatimu.”
“Jangan..” Sela Putri. “Dengan demikian justru kamulah yang
tidak serius akan jawabanmu. Sedang dalam hal ini, ia selalu
menanggapi tiap jawaban dengan keseriusan. Sekali mendapatkan
kata tidak, ia akan menghargainya. Tentu dengan cara tidak lagi
mendekatimu.”
Mendengar hal tersebut sesaat mereka bertiga terdiam.
“Kalau kau ragu, mending tanya langsung pada Agung.” Kata
Putri, “Karena diantara semua, ialah yang paling lama dekat dengan
Ari.”
Mendengar hal tersebut, Gita dan Rani menganggukkan kepala.
Kiranya saran terakhir lebih bisa diterima semua pihak. Karena
bagaimanapun, gambaran dari teman dekat adalah sesuatu yang
tidak bisa kita pandang sebelah mata.
Malam itu juga Gita menelfon Agung. Gita menceritakan
tentang kejadian yang baru ia alami dan maksud ia menghubungi.
“Dasar tak tahu aturan..” kata Agung setelah mendengar cerita
Gita. “Ia sama sekali tidak pernah mendengar nasihatku. Padahal
uda kubilang mending pdkt dulu. Tapi tetep aja langsung tembak.
Akhirnya orang yang deket tanyanya sama aku.”
“Jadi dia orangnya keras kepala..?” komentar Gita.
“Sangat..” kata Agung dengan nada kesal.
“Terus aku harus gimana...?”
88
Sesaat Agung diam. Yang terdengar hanyalah hembusan nafas
yang ia atur untuk menenangkan diri. setelah itu ia berkata, “Kau
hanya perlu keberanian. Karena selain ibu, hanya pasangannya yang
bisa mengendalikan.”
“Emang dia sekeras apa sih..?” tanya Gita penasaran.
“Entahlah, saya agak bingung ngomongnya. Tapi yang pasti,
kamu beruntung mendapatkannya. Karena begitu ia kamu terima, ia
bahkan tak berfikir untuk menyerahkan nyawanya sekalipun.”
Gita teringat beberapa saat yang lalu. Saat itu ia masih belum
sedekat ini, namun ia tetap saja tiada ragu untuk melangkah
menghadapi keempat pemuda di hadapannya. Apalagi saat ia punya
tempat penting di hati Ari.
Satu sisi Gita merasa senang karena dengan demikian ia merasa
terjaga. Namun di sisi lain ia merasa kurang nyaman akan sikap
nekat yang Ari miliki. “Aku jadi merasa takut..”
“Sama..” jawab Agung. “Sampai sekarang, aku juga takut
dengan kebaikannya..”
“Maksudmu..?”
Agung kembali diam. Entah berapa lama hingga membuat Gita
bertanya, “Agung.. Emang kenapa?”
“Kamu bisa dipercaya?” suara Agung kembali terdengar
dengan nada berat.
“Maksudmu..?”
“Entah berapa kali Ari dikecewakan. Padahal ia rela
memberikan hidupnya, tapi seolah mereka hanya memikirkan
kebahagiaannya. Ia selalu dikhianati.”
“Aku bukan orang seperti itu...” kata Gita pelan.
“Baiklah.. Aku bisa terima kata itu.” Sesaat terdengar Agung
menarik nafas dalam. “Kalau kau ingin tahu bagaimana Ari, akan
kuceritakan pengalamanku sendiri.
“Dahulu aku pernah mengalami masa paling sulit. Dimana
ayahku yang hanya pekerja swasta harus menjalani operasi karena
kecelakaan yang mengakibatkan patah di kaki. Beliau yang selama
ini menjadi tumpuan keluarga harus sejenak berhenti melangkahkan
kaki.
“Dengan demikian, sudah pasti ekonomi keluarga tak
terkendali. Jangankan untuk biaya bulananku, untuk makan
keluarga saja mereka harus berbagi. Saat itu sudah tiada yang
kufikirkan lagi selain menggantikan tugas ayah.
“Namun sore itu Ari tiba-tiba datang ke kost. ‘Bisa minta tolong
jagakan Counter Hpku?’ Itulah kata pertama yang kudengar darinya,
padahal selama ini aku tak begitu mengenalnya.
89
“Kata itu juga seolah pintu harapan akan pecahnya masalahku.
Sore itu juga aku ke rumahnya. Sebelum counter dibuka, ia
mengajakku makan terlebih dahulu. Meski belum pernah bertemu,
tapi senyum ibu dan ayahnya seolah menentramkan hatiku hingga
aku lupa bahwa itu bukan rumahku.
“Aku bertugas menjaga conter dari pulang kuliah hingga
malam hari. Namun demikian ibu Ari selalu menyediakan makan
sore dan malam. Bahkan tidak hanya itu, beliau juga memberiku
bekal makan untuk kubawa pulang dengan alasan daripada
dibuang. Dengan demikian aku bisa banyak menghemat uang
terutama dalam hal makan.
“Di akhir bulan mataku seolah tak bisa terpejam saat kulihat
gaji yang diberikan Ari padaku. Lebih dari perkiraan dan melebihi
uang bulananku. Padahal saat itu counter baru dibuka, jadi belum
banyak pembeli yang datang. Bisa diperkirakan mungkin ia tidak
hanya memberikan semua keuntungan, tapi juga menambahkan
uang pribadinya.
“Saat itu aku menolak dan mengembalikan sebagian, namun
dengan ringan ia mengatakan ‘tak baik menolak rejeki dari Tuhan’.
“Dengan uang yang kudapat dan minimnya biaya makan, aku
bisa mengirim sebagian untuk keluarga. Keadaan seperti itu
berlangsung hingga tiga bulan. Setelah itu ayahku kembali bekerja
dan Aku mengundurkan diri.
“Saat kutanya bagaimana ia tahu kalau aku sedang kesusahan.
Ia menjawab dari wajahku, karena ia pernah mengalami hal itu.
Bahkan ketika aku berniat mengganti gaji yang kuterima, ia malah
balik mengatakan, ‘aku bukan menanam uang, tapi kebaikan. Karena
itu bagilah pada mereka yang membutuhkan’.”
Sejenak Agung terdiam. Ia coba menapaki lembar pahit yang
dulu pernah alami. Namun itulah jalan terbaik yang diberikan
Tuhan. Karena dengan merasakan, semua terasa mengesankan.
“Gita..” Kini nada suara Agung terdengar bergetar tanda ia
berusaha mengasai diri. “Terserah bagaimana kau menanggapi. Tapi
bagiku, Ari takkan terganti.”

Keesokan harinya Gita bertemu Ari diparkiran kampus. Setelah


menata motor, Gita berjalan menghampiri Ari yang memang berniat
menunggunya. “Gimana, uda ada jawaban..?”
Gita tak langsung menjawab, ia hanya mengamati Ari dengan
sedikit tersenyum. “Emang kamu selalu begini?”

90
“Begini bagaimana?” tanya Ari heran.
“Nggak sabaran...” jawab Gita singkat.
“Nggak juga. Aku cuma ingin dengar berita buruk secepatnya.
Dengan begitu aku punya banyak waktu untuk memperbaikinya.”
“Mmmm... jadi kamu pengen ditolak..?” Tanya Gita sambil
mengajak Ari berjalan menuju ruang kuliah.
“Emang ada orang berjuang untuk gagal..?” jawab Ari tenang.
“Untuk bahagia, tiap orang pasti bisa menerimanya. Tapi tidak
untuk sebaliknya. Karena itu aku mempersiapkan yang terburuk
untuk menghadapi yang terbaik.”
Gita mengangguk-anggukan kepala beberapa kali. Kemudian ia
kembali berkata, “Terus mau kamu gimana..??”
“Terserah.. ditolak atau diterima, aku hanya ingin jika kau
punya waktu mainlah ke rumah. Karena ibu emang ingin bertemu.”
“Baiklah. Kalau gitu entar sore aku ke rumahmu.” Kata Gita
belok kanan menuju kelasnya.
Buru-buru Ari menarik tas ransel yang dikenakan Gita hingga
membuatnya hampir terjengkal ke belakang. “Hei-hei.. Jawabannya
apa..?”
“Kami bisa halus nggak sih..” Gita membenarkan bajunya yang
tertarik tas ransel. “Bukannya tadi kamu bilang terserah, yang
penting aku ke rumah..?”
“Iya, tapi jawaban intinya belum...”
“Nggak..” jawab Gita ketus kembali berjalan meninggalkan Ari.
tapi kembali Ari menarik tangan kirinya.
“Nggak apa ini..?” Ari terus memegang tangan Gita yang terus
meronta. “Nggak sekarang atau enggak diterima..?”
“Pokoknya nggak, enggak...!!” kini suara Gita meninggi dan
membuat Ari hanya bisa diam berdiri.
Dari jauh Agung dan Wiro mengamati pemandangan tersebut
dengan terheran-heran.
“Bukankah tugasmu untuk mengasuhnya..” kata Wiro dengan
tatapan tak percaya.
Agung menggelengkan kepala. “Entah dari mana ia selalu
mendapatkan ide untuk buat orang marah...”
Setelah Gita pergi dan meninggalkan Ari sendiri, Agung dan
Wiro menghampiri. “Kau apakan dia..?” tanya Agung sambil
melihat Gita berjalan cepat dengan penuh kemarahan.
“Aku uda menembaknya..” jawab Ari tenang.
Wiro tersentak mendengarnya, dan spontan ia tertawa
terbahak-bahak. Setelah itu ia bertanya, “Secepat itu...? Apa kau
gila..?”
91
“Gila atau tidak bukan urusanku, yang penting aku sudah
menyampaikan...” jawab Ari tenang membalikkan badan dan
kembali berjalan.
“Tapi bukan begitu cara memperlakukan mereka.” Wiro
berjalan disamping Ari dan diikuti Agung. “Jika kau ingin
mendapatkan hatinya, maka gunakan juga hatimu.. karena itulah
bagian terhalus dari diri ini..”
“Tenanglah... Dari hati, Gita sudah bisa menerimamu.” Kata
Agung tenang.
“Bagaimana kau tahu...?” tanya Ari tak bersemangat.
Sejenak Agung memandang Ari, setelah itu ia mengangguk
pelan, “Kemaren ia sudah bicara denganku..”
“Beneran…?” tanya Ari pada Agung.
Saat Agung menganggukkan kepala pelan, Ari langsung
berbalik arah kembali menuju kelas Gita. Tampak dari jauh Ari
memanggil-mangil nama Gita hingga membuatnya tak betah dan
terpaksa keluar untuk menemuinya. Ari memaksanya mengatakan
jawaban yang sebenarnya. Meski menolak, namun Gita seolah tak
sanggup melawan kegigihan Ari. Setelah mendapatkan jawaban, ia
langsung teriak dan meloncat-loncat kegirangan.
“Apa ia pernah berfikir sebelum melakukan sesuatu..?” Tanya
Wiro dengan nada datar.
“Terkadang aku berfikir tidak...”Jawab Agung. “Ia hanya
menghadapi apa yang di depan mata. Selebihnya, ia fikirkan nanti..”
Ari kembali menghampiri Agung dengan wajah bak mentari.
“Agung... Trimakasih... Ntar aku pinjam uangmu ya...?” setelah itu ia
pergi menuju kelasnya.
Agung menoleh pada Wiro, “Tuh kan..”
“Perlu tidak kita buat benjolan di kepala supaya otaknya bisa
berkembang?” tanya Wiro dengan nada serius.
“Bagaimana denganmu..?” tanya Agung. “Dari awal hingga
sekarang aku belum pernah dengar kamu dekat dengan perempuan.
Jangan bilang tak ada yang menarik perhatianmu.”
“Tidak..” jawab Wiro tenang. “Ada hal lain yang lebih menarik
bagiku...”

“Anak pertama dan satu-satunya pria. Aku adalah orang yang


paling diharapkan keluarga untuk bisa menjadi seperti ayah. Polisi.”
Kata Wiro pada Agung.

92
“Pada awalnya aku memang tertantang dengan kegagahannya.
Namun namanya nikmat itu membuatku terlena. Dengan
kebanggaan pada postur tubuhku, aku memanfaatkannya untuk
menarik perhatian banyak teman sekolahku.”
“Tak peduli gelar playboy yang kusandang. Dengan menjadi
idaman, itu adalah kebahagiaan.”
“Namun semua berubah saat aku menjenguk temanku di
rumah sakit. Aku melihat pria muda ditemani istrinya yang sangat
mempesona. Cantik.
“Tapi sayang kecantikannya seolah tenggelam dalam sikap
jijiknya dalam merawat suaminya yang tengah sakit.
“Dari sana aku sadar bahwa kecantikan bukanlah jaminan. Dan
aku salah mengartikan kata bahagia.
“Kebahagiaan bukanlah saat kita dikagumi banyak orang. Tapi
cukuplah dikagumi oleh orang yang kita sayang.
“Bahwa kata setia bukanlah didapati saat bahagia. Tapi semua
akan tampak saat kita sedang dalam kekurangan.
“Hal itu aku dapati dari seorang perawat yang merawat dengan
senyuman dan tanpa kerutan sedikitpun di wajah. Meski tanpa
ikatan darah dan marga, mereka memperlakukan pasien bagaikan
keluarga.
“Dari sana aku ingin menjadi seorang perawat. Namun, bisa
dibayangkan. Ayah menolak keras. Beliau bahkan sering
mengatakan dengan nada tinggi bahwa perawat hanyalah pembantu
dokter. Tapi yang kulihat, bukanlah yang demikian. Dari situ
hubungan kami mulai renggang.
“Hingga saat kelulusan SMA, pacarku tiba-tiba datang ke
rumah. Ia mengaku telah hamil dan minta pertanggungjawabanku.
Tanpa bertanya ayah marah dan karena tak bisa mengendalikan
emosi, beliau memukulku.
“Aku menolak bertanggung jawab, karena aku memang tak
melakukannya. Saat kutantang dia bersumpah atas nama Tuhan, dia
mengucapkannya dengan sangat ringan.
“Mataku terbuka lebar tak percaya. Bagaimana mungkin
dengan mudah dia bersumpah. Dengan emosi yang memuncak
akhirnya aku berkata, ‘Bukakan pintu penjara, biar aku masuk ke
dalamnya’.
“Aku melakukan supaya dia tidak malu. Masalah sumpah,
biarlah jadi urusannya dengan Tuhan.
“Setelah itu aku diusir dari rumah.”
Wiro menarik nafas pelan seolah ia sangat menikmati semua.
Bahwa hari ini ia masih bisa bicara. Sedang Agung memandang
93
seolah lupa untuk mengedipkan mata. Ia tak mengira bahwa
temannya selama ini memiliki kisah yang menyesakkan dada.
“Lalu, selama ini kamu tinggal dimana?” tanya Agung.
“Aku harus pindah-pindah kost. Karena Ibu masih menyuruh
adik untuk mencariku hanya untuk memberi uang. Aku menolak,
tapi mereka kadang menyelipkannya disela pintu waktu aku tidak
ada. Hingga esok hari aku berikan pada adikku di sekolahnya. Tentu
dengan ancaman. Karena kalau tidak, ia takkan mau
menerimannya.”
“Jadi, selama ini kamu biayai kuliah dan hidupmu sendiri?”
tanya Agung tak percaya.
“Ya. Apapun aku kerjakan untuk mendapatkan uang. Karena
itulah dulu aku jatuh ke tempat hitam.”
Agung menganggukkan kepala pelan. Setelah itu ia kembali
menatap Wiro dan bertanya, “Apa Ari tahu hal ini?”
Sejenak Wiro terdiam seolah sedang berfikir tentang sesuatu
yang sulit ia pahami. “Ia pernah berkata, ayahku memang tiada, tapi
jika kau rindu sosok ibu, datanglah ke rumahku.” Wiro
menggelengkan kepala, setelah itu berkata, “Aku tidak pernah cerita,
tapi seolah ia tahu apa yang tidak kupunya.”
“Sama,” kata Agung ikut menggelengkan kepala. “Entah dia itu
calon perawat atau peramal..”
Mendengar itu mereka berdua tersenyum.
“Jadi karena itu kamu nggak mau deketin wanita..?” tanya
Agung dengan pandangan ringan.
“Ya” jawab Wiro mantap. “Ada yang lebih menarik bagiku.”
“Apa itu?” tanya Agung penasaran
Wiro terdiam sejenak. Setelah menghirup nafas pelan, ia
berkata, “Membuktikan bahwa jalan sebagai perawat adalah
bukanlah hal yang salah. Dan lagi, aku takkan mendekati wanita,
sebelum bener-bener siap menikahinya.”

94
ARI 12
Kenyataan yang memilukan
Penolakan ayah Gita

Malam itu Gita mengajak Ari jalan di mall. Sekitar tiga puluh
menit mereka berjalan, langkah kaki diarahkan ke stand makanan
yang terletak tepat di samping jalan raya. Mereka menikmati
hidangan dengan pemandangan lalu lalang kendaraan kota yang tak
terhingga jumlahnya.
Tepat saat makanan mereka habis Hp Gita berbunyi. Sesaat
setelah mendengar pembicaraan di telfon tiba-tiba raut wajahnya
berubah. Kakaknya menelfon dan mengabarkan bahwa Mamanya
terpeleset di kamar mandi.
Meski kakaknya sudah menjelaskan bahwa kesadaran tetap
baik, hanya kaki kanan yang sulit digerakkan, Gita panik. Ia ingin
melihat langsung bagaimana kondisi mamanya. Meski jarak ke
kotanya sekitar satu jam perjalanan, Ia menyatakan akan pulang
malam itu juga.
Segera Ari mengantarnya ke kost untuk siap-siap. Namun
perdebatan terjadi ketika Gita hanya ingin diantar ke terminal bus,
sedang Ari ingin mengantarnya sampai ke rumahnya.
“Aku uda telfon ibu.” Kata Ari meyakinkan bahwa ibunya
mengijinkan untuk mengantar Gita.
Namun Gita masih saja bersikeras, “Nggak usah, aku uda biasa
naik bus sendiri.”
“Non, ini uda malam.” Ari menarik tangan kiri Gita untuk
menunjukkan bahwa sekarang sudah pukul sebelas malam.
“Karena itu juga aku nggak mau. Ntar kamu pulangnya larut
banget. Aku nggak mau jadi beban orang lain..” Gita mulai
menunjukkan sikap tidak sukanya.
“Beban itu pandangan negatif. Sedang sebaliknya, yang ada
adalah tanggung jawab.” Kata Ari dengan tatapan penuh. “Dalam
keadaan sekarang, jika terjadi sesuatu padamu, maka akulah orang
pertama yang akan menjadi sorotan.”
Sesaat Gita memandang Ari dengan kesungguhannya. Setelah
berfikir beberapa saat, akhirnya ia naik juga ke motor dan Ari
memacunya di tengah lalu lalang jalan yang berselimutkan malam
lengkap dengan hembusan dingin angin yang ditiupkan. Tak ada
fikiran apakah nanti akan menginap atau langsung kembali. Karena
dalam tatapan mata yang ada saat ini adalah, bagaimana
menghantarkan Gita selamat hingga bertemu Ibunya.

95
Satu jam perjalanan yang biasa ditempuh bus kota dihemat Ari
hingga hanya butuh empat puluh lima menit mereka sudah gerbang
kota tempat tinggal Gita. Sebelum sampai ke rumah, Gita mendapat
telfon lagi dari kakaknya yang mengabarkan bahwa ibunya sudah
dibawa ke RS. Akhirnya perjalanan diteruskan menuju Rumah Sakit
daerah tersebut.
Sampai di RS, saat turun dari motor, Ari baru tahu bahwa
wajah Gita penuh lelehan air mata. Tanpa menunggu Ari, ia segera
berlari menuju ke UGD. Ari mengikutinya berjalan di belakang
sampai pada sudut dimana dengan jelas Gita menangis memeluk
mamanya. Sedang mamanya hanya bisa membelai kepala Gita yang
masih tertutup helm untuk menenangkan.
Ari menghentikan langkahnya. Ia tak ingin kehadirannya
mengganggu Gita meluapkan emosinya. Ia hanya memandang dari
kejauhan.
Saat melihat Gita sudah mengendalikan diri dan berbincang
dengan ibunya, Ari coba melangkah mencari tempat duduk di depan
pintu UGD. Ari merapatkan kedua tangannya untuk mengurangi
dingin akibat hembusan angin malam saat naik motor dengan
kencangnya. Apalagi malam itu angin lebih kencang seolah akan
datang hujan. Beberapa kali ia tampak gemetar akan dingin yang
dirasakan.
Entah berapa lama Ari di luar seorang diri, tiba-tiba Gita
menghampiri dan menyuruhnya masuk. “Ibu ingin bertemu,”
katanya singkat sambil mencoba menghapus sisa air mata yang
menghiasi wajah.
Ari gugup. Ia baru pertama kali bertemu dengan orang tua
orang yang disayanginya. Namun tak ada jalan lain selain menemui.
Ari berjalan pelan di belakang Gita. Ia melihat Ibu Gita tengah
terbaring ditemani kakaknya yang berdiri tegak dengan pakaian rapi
orang kantoran lengkap dengan dasi. Ibu Gita melemparkan
senyuman hangat dan langsung dibalas Ari.
Ari mengulurkan tangan untuk bersalaman sambil meyebut
nama dan ibu Gita menyambut dengan ramah. Namun saat Ari coba
mengarahkan tangan ke kakak Gita, ia menerima dengan tatapan
mata dingin.
Kakak Gita mengamati tanpa lepas seolah menanyakan akan
pakaian yang Ari kenakan. Jika dibandingkan, memang takkan
setara. Saat itu Ari hanya mengenakan jaket jeans gelap dengan
tangan kiri masih terbalut sarung tangan kulit untuk melindungi
tangan saat naik motor.

96
Ari coba bertanya tentang keadaan Ibu Gita dan bicara
bagaimana keadaan tersebut bisa terjadi. Ibu Gita menceritakan
dengan terbuka. Dengan demikian Ari tak lagi peduli dengan
pandangan kakak Gita yang terus mengamati.
Kaki kiri ibu Gita mengalami dislokasi di persendian. Oleh
karena itu malam itu beliau harus rawat inap untuk dilakukan
tindakan keesokan hari oleh dokter ahli. Ari membantu mendorong
tempat tidur ibu Gita menuju ruang VIP yang dipesan kakaknya.
Sampai di kamar, ia melihat ada sofa, tempat tidur penjaga dan
juga karpet persegi untuk keluarga. Namun Ari memilih untuk
keluar sementara dengan alasan masih merasa dingin karena di
dalam ruang ber-AC.
Tidak lama kemudian Gita menyusul Ari keluar menikmati
pemandangan dari teras. “Kamu mau tidur sini?” tanya Gita.
Ari menggelengkan kepala. “Kalau tidak ada yang bisa
kulakukan, bentar lagi aku pulang.”
Gita mengamati langit gelap. Tak satupun bintang tampak.
Dengan hembusan angin yang sering menyapa, malam itu hanya
menunggu hujan datang menerpa, fikir Gita dalam hati.
“Besok pagi saja kamu pulang. Di dalam juga ada sofa. Karena
kakak bentar lagi juga pulang untuk mengambil pakaian mama.
Besok pagi ia baru balik.” Gita coba memberi pengertian agar bisa
menahan Ari.
Ari tersenyum dan memandang Gita untuk menenangkan.
“Baiklah.. kalau gitu aku pulang sekarang agar tidak kehujanan.”
“Ari.. Tidur sini saja..” Gita coba menahan.
“Non..” kata Ari pelan. “Aku nggak ingin ada masalah baru.”
Gita memandang Ari dengan penuh kekhawatiran. Tak lama
kemudian ia berkata dengan penuh harap, “Ar... Maafin sikap
kakakku ya...”
Ari mengedipkan mata, tersenyum tulus dan menganggukan
kepala. “Nggak apa-apa.. Itu bukti kakakmu orang baik. Kakak mana
yang tenang adik perempuannya dekat dengan orang berpakaian
preman. Apalagi adiknya cantik,” kata Ari dengan tersenyum.
“Gombal..!” jawab Gita sambil tersenyum. “Kalau gitu uda
pulang sana.”
Ari tersenyum melangkah untuk berpamitan pada Ibu Gita dan
juga kakaknya. Meski ibu Gita berusaha menahan tapi Ari beralasan
ada kuliah pagi-pagi. Dengan alasan tersebut, ibu Gita hanya bisa
menganggukkan kepala dan mengucapkan terimakasih karena telah
mengantar Gita malam-malam.

97
Ari menganggukkan kepala dan permisi keluar diantar Gita.
“Ada yang mau kubawakan? Besok selepas kuliah aku bisa kesini
lagi.”
“Oke kalau gitu ntar aku sms Rani biar besok kamu ambil aja ke
dia.”
“Oke jambe..” jawab Ari dengan tersenyum dan kemudian
berbalik arah untuk melangkah. Tapi tak lama kemudian ia
mendengar Gita memanggilnya.
“Ar... makasih... Aku sayang kamu...”
“Gombal..!” jawab Ari membalas dengan bibir tetap tersenyum
dan kaki terus melangkah.
Gita memandang Ari dengan penuh hati hingga tak tampak
lagi akan jalan tikungan yang Ari lalui. Setelah itu ia memandang
langit yang tampak kian tak bersahabat. Dalam hati Gita berdoa, ‘Ya
Rabb.. Tahanlah hujan hingga akhir perjalanan.”
Namun tak lama setelah itu guntur terdengar menderu keras
dan kilat tampak jelas seolah memecah langit. Seiring dengan itu
hujanpun turun dengan derasnya.
Dengan hujan sederas itu, Ari harus pasrah menambatkan
motornya di parkiran halaman masjid dan semalaman ia tidur
kedinginan. Meski demikian, tiada kegelisahan di hati. Asal Gita
sudah ditempat yang tepat, ia tak peduli akan diri sendiri.

Keesokan harinya. Beruntung jadwal kuliah terakhir dosen


sedang tidak ada di tempat sehingga semua bisa pulang lebih awal.
Hal tersebut juga dimanfaatkan Ari untuk segera mengantarkan
pesanan Gita yang diberikan Rani tadi pagi sebelum kuliah.
Ari hanya menelfon rumah untuk mengabarkan ia langsung ke
rumah sakit untuk menjenguk ibu Gita. Setelah itu ia langsung
mengarahkan motornya ke arah jalan tembusan agar lebih cepat.
Karena jalan siang yang padat, Ari baru sampai pukul dua
siang hari. Sampai di depan ruangan, Ari mengetuk pintu dan tak
lama Gita membuka dan menyuruhnya masuk. Saat masuk ia agak
tersentak ketika di dalam ditemuinya ada sekitar empat orang
termasuk kakak Ari.
Semua memandang ke arah Ari. Ayah Gita duduk di kursi
paling ujung dengan menggunakan kaus biru dan celana hitam
memandang dengan tatapan menyelidik dan tanpa senyuman.

98
Dua orang lainnya seperti pasangan suami istri yang masih
muda. Mereka tersenyum ramah. Ari membalas tersenyum kepada
semua sembari menundukkan kepala sopan.
Ari mengulurkan tangan kepada masing-masing untuk
bersalaman dan memperkenalkan diri. pasangan muda tersebut
memperkenalkan diri. Yana adalah sepupu Gita, dan suaminya
bernama Rendra. Setelah berkenalan ia menganggukkan kepala ke
arah ibu Gita yang masih terbaring. “Bagaimana keadaannya Ibu..?”
“Alhamdulillah uda agak baikan. Tapi baru besok bisa
dilakukan pengembalian tulang atau...?” Ibu Gita berfikir.
“Reposisi,” kata Ari. “Ya itu..” Ibu Gita tersenyum.
Setelah itu ia duduk di sebelah kakak Gita.
“Ari teman satu kelas dengan Gita?” tanya Yana.
“Bukan.” Jawab Ari dengan tersenyum. “Saya kakak kelasnya.”
“Emang Gita disana gimana? Apa dia playgirl?”
“Hei kak, jangan tanya macam-macam,” sela Gita sambil
tertawa.
Yana juga ikut tertawa melihat reaksi Gita. “Soalnya dulu
waktu SMA ada dua cowok yang bertengkar perebutkan dia,” jelas
Yana sambil terus tertawa.
“Udah deh kak... Kan uda kubilang mereka itu bukan siapa-
siapa.. masih deket aja ribut. Masak aku yang disalahin.” Jawab Gita
santai.
Ari hanya tersenyum mendengarnya. Tapi suasana dingin
muncul ketika ayah Gita dengan suaranya yang berat bertanya
tentang apa pekerjaan ayah Ari.
Ari menjelaskan bahwa ayahnya adalah seorang Angkatan Laut
dan sudah meninggal. Saat Ayah Gita bertanya kapan meninggal
dan karena apa, Ari tak langsung menjawab. Ia mencoba menguasai
diri dengan menundukkan kepala.
Melihat itu wajah Gita juga ikut tegang, jika Ari menceritakan
yang sebenarnya, maka ayahnya pasti tidak akan menyukai, karena
beliau sangat benci berandalan apalagi kalau pernah melakukan
pertengkaran.
“Tahun lalu..” jawab Ari masih dengan menundukkan kepala.
“Beliau terkena serangan stroke setelah mendengar saya masuk
koran dengan tuduhan pembunuhan.”
Mendengar itu Gita hanya bisa menutup mata. Terbalik dengan
keadaan ayah Gita. Karena sejak awal melihat ia seperti mengenali
wajah Ari. kini beliau sadar bahwa ia melihat wajah itu satu tahun
silam di berita surat kabar.

99
“Ehm.. Jadi kamu pembunuhnya..” kata Ayah Gita dengan
nada menyudutkan.
Ari hanya bisa diam mendapat sorotan tiap pasang mata yang
ada di ruangan tersebut.
Tiada yang berani berkata. Keadaan bener-bener sudah
berubah. Selain Ayah dan kakak Gita yang terus menatap Ari
dengan kebencian, tiada yang berani mengangkat kepala.
“Terus apa keperluanmu kemari?” tanya Ayah Gita.
Ari menghembuskan nafas pelan sebelum menjawab,
“Mengantar barang Gita.”
“Nah, sekarang sudah kamu berikan. Mau apa lagi?”
“Papa..” kata Gita dengan nada sedikit meninggi. “Tadi malam
Ari mengantarku kemari. Dan sekarang aku minta tolong untuk
membawakan beberapa buku supaya aku bisa kerjakan tugas di sini.
Papa jangan berkata seperti itu.”
Ayah Gita tersenyum dan memandang ibu Gita yang hanya
bisa diam. “Lihat Ma, apa kamu pernah lihat putrimu jadi seperti
ini..?”
Melihat keadaan yang kurang baik, akhirnya Ari mohon ijin
untuk pulang. mendengar itu Gita malah beranjak dari tempatnya
untuk ikut Ari kembali ke kampus. Ayahnya berdiri mencegah agar
pulang nanti biar diantar kakaknya naik mobil. Tapi dengan mata
memerah Gita tetap melangkah dengan menarik tangan Ari keluar
ruangan.
Tapi dengan sigap kakak Gita segera menghentikan mereka
berdua. Keadaan kian tak terkendali hingga Ari berkata, “Baiklah...
Saya akan pulang sendiri..”
Perlahan, Ari melepaskan genggaman tangan Gita yang kian
erat menggenggam. Ari menatapnya sejenak dengan pandangan
meminta, namun hal itu dibalas dengan gelengan kepala Gita dan
gerak air mata. Gita sudah tidak mampu berkata, nafasnya mulai tak
teratur dengan semua kegalauan hatinya melihat Ari diperlakukan
demikian.
Ari menggelengkan kepala, setelah itu ia berkata pelan.
“Bersikaplah bijak...”
Mendengar hal tersebut, pandangan mata Gita kian kabur akan
kian penuhnya kelopak dengan air mata, gerak dadapun kian tak
teratur. Perlahan genggaman Gita mulai terlepas, namun setelah itu
ia berbalik menuju tempat tidur ibunya dan menangis sesenggukan.
Ari hanya bisa memandang Gita tanpa bisa melakukan sesuatu
untuk membuatnya tenang. Perlahan, tanpa memandang semua

100
orang di ruangan yang terus menatapnya, Ari berbalik arah dan
melangkah menuju pintu keluar.
Maafkan diri ini jika tak diharapkan. Apakah dosa harus terus
melekat dan dibawa hingga seolah tiada satu halpun dari pribadi
yang patut dihargai. Bagaimana orang bisa begitu angkuh ketika
menemui orang yang dianggap bersalah. Bagaimana seorang atau
segolongan orang beranggapan sebagai pribadi mulia sedang yang
lain adalah hina. Sungguh diri ini merindukan akhirat dimana orang
sombong akan direndahkan dan yang rendah punya posisi sama
dengan siapapun juga. Hanya takwa yang teringat dan iman yang
terangkat.

Ari menunggu kios Hp dengan wajah penuh beban akan


kejadian yang baru dialami. Meski tiada pembeli, ia tak masuk ke
dalam untuk menyembunyikan kegalauan hati agar ibu tidak
mengetahui.
Namun tanpa berkatapun seorang ibu juga paham bahwa
putranya sedang menghadapi masalah. Ibu Ari juga tidak bertanya
untuk memberi kesempatan putranya untuk menjadi pria yang
mandiri. Beliau hanya mendoakan dalam hati agar Ari tetap diberi
kekuatan.
Namun tak lama tiba-tiba Ari menutup pintu kiosnya. Biasanya
Ari tutup pukul sepuluh malam. Namun sekarang baru pukul
sembilan malam lebih lima menit.
Belum sempat ibu bertanya, Ari meminta ijin keluar untuk
menemui Gita. “Tumben malam-malam?” tanya Ibu Ari basa-basi.
“Iya, barusan Gita sms katanya ada keperluan, makanya ia
minta tolong untuk diantar.” Jawab Ari sambil mempersiapkan diri.
Tak berapa lama Ari sudah siap dan melaju dengan motornya.
Sekitar duapuluh lima menit kemudian Ari sudah sampai di kost
Gita. Tanpa memanggil Gita langsung keluar dengan membawa
helm dan naik di belakang motor Ari. Sekilas Ari melihat mata Gita
masih sedikit bengkak karena meningis.
Tanpa bertanya Ari langsung menjalankan motornya ke
jalanan. “Mau kemana..?”
“Kemana saja,” jawab Gita dengan suara sedikit serak. “Aku
cuma ingin jalan.”
Ari menganggukkan kepala. Ia menjalankan motornya tidak
terlalu cepat agar sambil memikirkan jalan mana yang selanjutnya ia
tuju. Tak lama ia teringat sebuat taman di tengah kota dimana

101
banyak pengunjung pada malam hari untuk menikmati keindahan
air mancur yang kian indah diterpa lampu warna.
Setelah sampai Ari mengajak Gita duduk di tempat yang tepat
menghadap kolam. Karena sudah malam beberapa pengunjung yang
mengajak anaknya tampak sudah siap-siap akan pulang.
Beberapa menit mereka hanya duduk tanpa berkata apapun.
Gita terus menundukkan kepala coba menyembunyikan mata yang
memerah karena sesaknya dada akan masalah.
Melihat itu Ari bingung harus berbuat apa. “Sudah jangan
difikirkan..” katanya pelan. “Kalau aku jadi ayahmu, mungkin akan
berbuat hal yang sama. Karena bagaimanapun juga, ia hanya ingin
kamu bahagia.”
Gita tak segera menjawab, hanya terdengar suara isak tangis
yang coba untuk dihentikan. Tak lama kemudian ia berkata, “Apa
tangis ini tanda bahagia...?”
Mendengar hal tersebut Ari menarik nafas pelan coba
merasakan derita Gita. Setelah itu ia berkata, “Anak kecil yang
dimanja akan sulit dikehidupan dewasa. Sedang mereka yang
dengan menangispun malah mendapat amarah, saat usia beranjak,
bisa jadi mereka kian tertata menjadi pribadi mandiri.”
Sebelum melanjutkan kalimatnya, Ari memandang langit yang
tertutup awan. Setelah itu ia berkata, “Kadang Tuhan membuat kita
menangis agar kita lebih mensyukuri apa yang kita punya.”
Tidak sedikit orang mengartikan air mata adalah derita sedang
tawa adalah bahagia. Sedang agama mengajarkan bahwa derita
dunia adalah manis di akhirat, begitu juga sebaliknya. Sungguh
neraka dikelilingi tawa, sedang surga dikelilingi derita. Jadi
bersabarlah akan air mata, karena itu melembutkan jiwa dan
menjadikan akhir yang bahagia.

102
ARI 13
Keberanian mengucap maaf

Semenjak kembali, sekitar dua hari Gita badannya demam.


Namun dengan kondisi demikian ia tetap memaksakan diri untuk
mengikuti perkuliahan. Karena semakin ia sendiri, fikirannya akan
kian fokus akan bayangan ayahnya yang dengan keras melarangnya
bertemu Ari. Bahkan pernah kakak Gita tiba-tiba datang hanya
untuk sekedar melihat apakah Gita benar-benar di kost.
Tiap waktu istirahat atau sedang tidak ada kuliah, Ari selalu
menyempatkan diri untuk bertemu Gita dan mengajaknya makan.
Meski menolak Ari tetap menarik tangan Gita menuju kantin
kampus.
Bukan hanya di kampus, tiap malam usai menutup kios, Ari
langsung menuju kost Gita sekedar untuk membawakan makanan.
Gita keluar dengan sikap malas dan wajah yang tak bersemangat.
Saat melihat Ari membawa bungkusan makanan ia langsung
menolak dengan mengatakan sudah kenyang. Tapi tetap saja Ari
tidak bergeming untuk menyuruhnya makan.
“Kenyang dari mana.. terakhir kamu makan tadi siang, itupun
Cuma sedikit. Sekarang makan biar baikan.”
Dengan sikap malas Gita hanya duduk di kursi tamu. “Iya,
nanti biar kumakan.”
“Nggak..” jawab Ari. “Kamu masih sakit dan butuh makan.
Makan sekarang. Aku tunggu.”
Mendengar jawaban seperti itu sikap Gita kian menunjukkan
tidak suka. “Ar.. Aku nggak suka diatur seperti ini. Ntar pasti aku
makan. Sekarang aku kenyang.”
Ari tidak menjawab. Ia hanya memandang Gita seolah tetap
akan menunggu untuk melihat ia memakan makanan yang ia bawa.
Melihat reaksi tersebut Gita memasang muka masam dan berdiri
untuk mengambil sendok. Setelah itu ia buka bungkusan dan
memakannya didepan Ari dengan wajah penuh amarah.
Setelah selesai menghabiskan makanan ia berkata, “Kalau
begini caramu, aku akan turuti perkataan ayahku..”
Ari tak segera menjawab. Pandangan matanya tetap tenang
menatap Gita. Setelah itu ia membereskan alat makan dan
memasukkan bungkusan makanan ke dalam tas plastik warna hitam
kemudian berdiri dan memandang Gita. “Aku tak peduli jalan mana
yang akan kau ambil. Tapi, selama disampingku, kau adalah
tanggungjawabku.”

103
Setelah itu Ari beranjak pergi tanpa sedikitpun berbalik untuk
memandang Gita. Dalam pandangannya asal perut Gita malam ini
terisi, ia tak peduli apa yang akan terjadi pada dirinya nanti.

Keesokan harinya, meski saat istirahat tiba, Ari tidak beranjak


untuk menemui Gita. Ia hanya berdiam diri di kelas sambil membaca
buku yang ia bawa. Melihat hal tersebut Agung dan Wawan saling
pandang.
“Kenapa lagi dia?” tanya Agung yang dijawab Wiro hanya
dengan gelengan kepala.
Saat dalam keadaan demikian, baik Agung maupun Wiro tak
ada yang berani mengajaknya bercanda. Mereka berdua hanya
membiarkan temannya seorang diri, sedang mereka keluar untuk
mengisi perut di warung pak Heri.
Saat menikmati makanan yang hampir habis, tiba-tiba Ari
muncul dan memesan makanan. Setelah makanan di tangan, Ari
langsung melahapnya seperti orang kelaparan.
“Pelan-pelan,” kata Agung sambil meraih es teh. “Masih
banyak waktu.”
“Aku kelaparan,” jawab Ari sambil tetap mengunyah makanan.
“Dari tadi malam belum makan.”
Agung tak melanjutkan pertanyaan untuk memberi kesempatan
Ari menghabiskan makanan. Namun, setelah makanan habis ia
langsung bayar dan beranjak kembali ke kelas. Saat Wiro bertanya
kenapa buru-buru? Ari hanya menjawab dengan ringan bahwa ia
ingin jadi mahasiswa kesayangan.
Melihat Ari beranjak, akhirnya Agung dan Wiropun ikut
berjalan di samping. Ketika melewati kelas Gita yang saat itu masih
ada kuliah, Ari tidak memalingkan muka sama sekali. Padahal
mereka tahu bahwa Gita selalu duduk di depan dan akan kelihatan
dari luar.
Kembali Agung dan Wiro saling pandang, apalagi ketika
melihat Gita dan Rani memandang Ari tapi tatapan tersebut tidak
ditanggapi. Ari terus berjalan seolah jalan benar-benar sepi tanpa ada
satu halpun yang perlu ditanggapi.
Sampai di kelas Ari langsung duduk dan membuka buku yang
ia bawa seolah mengatakan bahwa ia tak ingin diganggu. Melihat hal
tersebut, Wiro memberi tanda pada Agung untuk menjauh. Tanda
diterima dan mereka berdua melangkah.

104
Namun, belum lama mereka melangkah, Ari memanggil. Saat
memalingkan kepala, mereka melihat Ari mengacungkan jempol
kanannya sambil berkata, “Trimakasih... Buka masalah besar. Jadi
bisa kuhadapi sendiri.”
“Siapa juga yang mau repot-repot bantu kamu. Bener nggak
Gung..?” tanya Wiro.
Agung menggerakkan jempol kanannya, namun tak lama ia
membalik jempol itu ke bawah. “Kalau masalah pasangan, kamu
harus banyak belajar padaku.”
Melihat hal tersebut membuat Ari tersenyum. “Dasar..!!!”
“Ya.. Dasar negara kita Pancasila,” jawab Agung sambil
tersenyum, berbalik dan kembali melangkah diikuti Wiro di
belakangnya.
Masalah. Sebagian orang menghindari untuk berlari dari yang
sudah ada. Sedang bagi pribadi, masalah adalah pelajaran yang
harus diikuti. Berusaha menjadi yang terbaik pada setiap jalan
adalah pilihan. Tiada yang perlu ditakuti. Jika berhasil, maka benar
jalan. Namun jika gagal, itu adalah pelajaran. Sungguh dunia ini
indah bagi hati mulia yang selalu mengambil sari dan membuang
sepah.

Malam itu Gita memandangi Hpnya yang seolah tak berdaya.


Sudah dua hari Ari tak menghubungi ataupun menemui. Raut wajah
Gita menampakkan penyesalan karena telah mengucapkan suatu
ancaman, padahal yang dilakukan Ari demi kebaikannya juga.
“Sudah, hubungi saja Ari dan minta maaf. Dia pasti mengerti.”
Rani memberi saran melihat kondisi sahabatnya.
Gita masih menimbang-nimbang Hp di tangannya. Namun tak
lama kemudian ia coba mengetik sebuah pesan berisi permintaan
maaf jika malam itu perkataannya kurang menyenangkan. Gita
sedikit menjelaskan tentang kegalauannya dan di akhir pesan ia
tuliskan bahwa ia sayang Ari.
Belum lama pesan dikirim, pintu kamar diketuk oleh ibu Ayu
yang memberitahukan bahwa Ari ada di depan. Mendengar hal
tersebut membuat hati Rani dan Gita tersentak. Masak belum lama
sms dikirim, sekarang ia sudah ada di depan. Apa tadi ia masih ada
di kampus sehingga bisa cepat kemari?
Gita dan Rani saling bertanya. Namun sebelum terjawab, Rani
menyuruhnya untuk segera menemui. Gita pun berdiri di depan

105
kaca untuk sedikit menata rambutnya. Setelah siap ia melangkah dan
membuka pintu depan.
Saat pintu terbuka dan melihat Gita, Ari beranjak dari
duduknya. Sesaat Ari mengamati kondisi Gita. Dari wajah, tidak
tampak lagi pucat di wajah Gita. Namun Ari masih berkata denga
nada hati-hati saat menanyakan, “Uda baikan..?”
Gita menganggukkan kepala. Sungguh melihat Ari di
hadapannya ia sangat rindu. Namun ia tak mau menunjukkan
perasaan itu.
“Boleh ajak keluar..?” tanya Ari lagi.
“Kemana?” tanya Gita agak kaku.
“Ke Alun-alun kota,” kata Ari terbata. “Atau terserah kamu
mau kemana.”
Gita melihat sikap gugup Ari. Itu adalah bukti bahwa ia takut
menyakiti hati Gita. Akhirnya Gitapun menganggukkan kepala dan
masuk lagi untuk ganti pakaian dan mengambil helm.
Saat di perjalanan mereka berdua masih tampak kaku dengan
tiadanya pembicaraan. Meski lampu merah memberi kesempatan
untuk berbincang, namun tiada pertanyaan yang diutarakan.
Saat sampai di tempat tujuan mereka berjalan di tempat yang
tenang. Karena saat itu masih terhitung hari aktif, maka tak banyak
pengunjung yang menikmati suasana. Ari mengarahkan ke tempat
duduk yang luas dimana tiada pohon yang menghalangi. Dengan
demikian bintang tampak jelas dalam pandangan. Ari tahu karena
Gita sangat suka melihat bintang.
Setelah duduk dan diam beberapa saat, Ari coba memulai
pembicaraan. “Tentang kejadian malam itu, aku minta maaf.. Aku
khawatir tentang keadaanmu.”
Gita tak langsung menjawab, ia menikmati suasana malam
penuh bintang di atasnya. Tapi itu semua hanya untuk pengalihan
rasa gugupnya. Setelah merasa tenang ia berkata, “Iya, aku tahu.
Tapi aku belum terbiasa, karena aku biasa mandiri.”
Ari menganggukkan kepala beberapa kali. Setelah itu ia
bertanya bagaimana kabar ibu Gita. Gita menjelaskan bahwa ibunya
baru pulang hari ini dan keadaannya sudah banyak perbaikan, asal
cukup istirahat paling tidak satu minggu pasti sudah baikan.
Dengan membicarakan keadaan ibu Gita, keadaan jadi mencair.
“Kamu tadi dari mana?” tanya Gita.
Mendengar pertanyaan tersebut Ari mengerutkan dahinya.
“Dari rumah.. Emang dari mana lagi..?”
“Nggak.. kufikir dari kampus terus mampir ke kost.”

106
Ari kian tak mengerti dengan perkataan Gita. Ngapain malam-
malam ke kampus. Namun tak lama kemudian Hpnya berbunyi.
Setelah mengangkat telfon dan berbicara sebentar, ia kemudian
melihat ada sms yang belum terbaca. Setelah dibuka ternyata sms
dari Gita yang berisi permintaan maaf.
Dilihat dari waktu pengiriman sudah sekitar tiga puluh menit
yang lalu, berarti itu saat Ari masih di perjalanan menuju kost Gita.
Sekarang ia paham kenapa Gita bertanya demikian.
Ari tersenyum lama hingga membuat Gita bertanya, “Kenapa
senyum-senyum...?”
Ari tak segera menjawab. Ia tak bisa menahan senyumnya.
Setelah ia bisa mengendalikan diri, ia berkata sambil menatap mata
Gita dengan tatapan menyindir, “Kufikir aku duluan yang minta
maaf.. Apalagi diakhiri dengan kalimat ‘Aku...”
Sebelum Ari melanjutkan kalimatnya, Gita langsung
mendorong dan mencubit tubuh Ari sambil tersipu malu. Melihat
hal tersebut membuat Ari kian leluasa tertawa.
Karena merasa malu akhirnya Gita berdiam diri. “Ntar aku
marah lagi nih...”
Hal tersebut tak membuat Ari menghentikan tawanya.
“Ah malas.. malas...” kata Gita berdiri dan beranjak pergi.
Melihat hal tersebut Ari langsung memegang tangan Gita dan
menyuruhnya duduk kembali. “Iya-iya... Aku berhenti..” katanya
masih dengan senyuman yang membuat Gita hendak berdiri lagi.
Ari berusaha mengendalikan diri agar tidak membuat Gita
marah. Saat ia bisa menenangkan diri kemudian ia mengajak Gita
cari makan. Karena memang saat ada masalah pola makan Ari
sangat terganggu. Sekarang, saat sudah bahagia rasa lapar justru
muncul dengan sendirinya.
Mereka berjalan menuju tenda dengan menu bakso. Dihadapan
mereka ada dua tenda yang merah banyak pengunjungnya dengan
sajian dari balik kaca tampak menggiurkan. Sedangkan sebelahnya
tampak tiada satupun orang yang membeli.
Gita melangkahkan kaki ke arah tempat yang ramai, tapi Ari
menarik tangan Gita ke arah tenda yang sepi. “Aku mau yang di
situ. Kelihatannya enak.” Kata Gita.
“Ke sebelahnya saja..” jawab Ari singkat.
Namun Gita tetap ingin makan bakso yang ramai
pengunjungnya. Akhirnya Ari berkata tegas. “Baik. Kamu beli di
sana, biar aku beli di sebelahnya ntar aku bawa ke tempatmu.”

107
Mendengar nada suara Ari yang meninggi membuat Gita
mengurungkan niatnya dan menuju tenda bakso yang tiada
pengunjungnya.
Saat mencicipi bakso dihadapannya, tampak wajah Gita
menunjukkan ketidakpuasan akan rasa yang dikecapnya. Namun
karena takut Ari marah, ia tetap memakannya dengan perlahan.
Namun ia tak menghabiskan makanan dengan alasan kenyang.
Setelah selesai membayar, Ari berjalan dengan tenang diikuti
Gita disampingnya. “Enak..?” tanya Gita dengan nada sindiran akan
tempat yang dipilihnya.
“Tidak..” jawab Ari singkat.
“Tuh... Apa kubilang, mending kita tadi makan di sebelahnya.”
“Aku tahu rasanya tidak disuka sehingga tidak ada yang
membeli di tempat itu. Aku hanya membagi rizki agar penjual
tersebut pulang membawa uang untuk esok hari....” kata Ari sambil
terus melanjutkan jalannya dengan tenang.
Apa guna membeli barang berharga jika hanya untuk
kebanggaan diri. Tidak sedikit orang lantang berkata ketika membeli
dengan merk dan dari mall ternama. Dimana bangunan toko
menjulang seolah menginjak mereka yang lemah.
Hanya mereka, sesama rakyat jelata yang saling membutuhkan
yang melakukan perbuatan saling menguntungkan. Lakukan hal
yang berguna dengan berjalan dua arah. Niatan baik, dan juga beri
kesempatan orang untuk bahagia. Sungguh, dengan demikian
persaudaraan akan kian terjalin.

108
ARI 14
Tantangan demi tantangan
Jati diri seorang perawat

Sejak kejadian malam itu Gita merasa yakin dengan orang


disampingnya. Meski ayahnya menolak, ia tidak membantah, tapi
juga tidak menuruti. Ia tetap menjalani kebersamaannya dengan Ari
seolah tiada beban. Karena dengan Ari, Gita merasa semua masalah
seolah memberi arti yang patut disyukuri.
Saat Ari sedang menyusun skripsi, meski tidak diminta, namun
jika ada waktu Gita berusaha untuk menemani. Baik di kampus, kost
atau di rumah Ari, Gita menyempatkan diri sekalian belajar untuk
dirinya saat nanti dihadapkan pada tugas yang sama.
Melihat kebersamaan mereka berdua membuat Agung iri dan
hanya memandang Wiro yang tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Memperhatikan Wiro justru membuat hati Agung menjadi miris
hingga membuatnya menggelengkan kepala.
“Meski nggak mau pacaran. Tapi apa nggak ada sedikitpun
rasa ingin seperti Ari,” tanya Agung untuk menggugah hati Wiro.
Tapi Wiro hanya menanggapi dengan tatapan mata dingin. Ia
tetap duduk tenang dan memandang kebersamaan Ari dan Gita.
Melihat reaksi Wiro, Agung hanya bisa menarik nafas pelan.
“Bagaimana aku bisa terjerumus diantara dua teman yang bertolak
belakang...” katanya sambil mengelus dada kemudian ia
melanjutkan skripsinya.
Sekitar satu bulan setengah mereka harus memeras otak dan
tenaga untuk memenuhi kata sempurna dari dua pembimbing yang
terus mengarahkan mereka akan tugas yang bermakna. Namun
dengan demikian, kata puas menjadi sesuatu yang kian berarti
hingga saat ujian berhasil dilalui dan tanda tangan berhasil
dikumpulkan, hanya teriakan yang mampu menggambarkan betapa
diri ini telah melalui satu fase yang akan mengangkat diri ke jenjang
lebih tinggi.
Saat wisuda untuk gelar S.Kep, mereka tersenyum selebar-
lebarnya akan kata bahagia yang mereka rasakan. Sungguh,
kesukaran merupakan hal yang patut diceritakan saat kita telah
melalui. Ketika mereka bertiga telah lepas dari beban, mata mereka
bertiga seolah memancarkan suatu semangat baru. Semangat untuk
hadapi jalan profesi, praktik di Rumah Sakit selama satu tahun yang
harus mereka lalui.
Namun dengan cobaan sebelumnya, mereka lebih percaya diri,
bahwa semua langkah pasti memberi arti. Keyakinan tersebutlah
109
yang membuat langkah mereka kian mantap untuk menyongsong
masa depan yang pastinya lebih menantang dan cobaan yang lebih
garang. Namun, untuk itulah mereka hidup, untuk itulah akal
diciptakan, yaitu untuk memecahkan masalah di depan mata.

Minggu-minggu awal praktik profesi dimulai. Berbeda dengan


Ari dan Wiro, Agung tampak tidak terlalu bersemangat karena
namanya selalu satu kelompok dengan kedua sahabatnya.
“Apa waktu aku bicara tentang menjaga kalian, pak Siswanto
dengar ya..?” gumam Agung sambil berjalan bersama Ari dan Wiro
menuju ruangan Bedah.
“Bukan pak Sis yang dengar. Tapi Tuhan Yang Maha
Mendengar perkataan sebagai doa.” Jawab Ari tersenyum melihat
Agung.
“Emangnya apa ruginya kalau sekelompok dengan kita?” tanya
Wiro.
“Apa ruginya..??” jawab Agung dengan nada tinggi. “Baru dua
minggu kita lalui, tapi sudah tiga termometer ruangan yang kalian
rusak. Masih berani kau mengatakan apa ruginya?”
Waktu itu di ruangan pertama. Saat habis mengukur suhu salah
satu pasien, Wiro berusaha menurunkan air raksa dalam termometer
dengan mengibaskannya ke bawah. Namun karena terlalu kuat,
termometer itu lepas dari genggaman dan pecah. Sedangkan Ari
mengibaskannya tidak terkontrol dan membentur tempat tidur
pasien sehingga pecah juga.
“Sudahlah..” kata Ari menepuk bahu Agung untuk
menenangkan. Kan kita sendiri yang mengganti.”
“Ya... Sejak saat itu, kemanapun kita datang, uda jadi bahan
pembicaraan perawat ruangan. Apa itu bisa kau ganti?” sindir
Agung.
“Dikatakan ahli karena sudah melakukan berkali-kali,” kata
Wiro tenang. “Jadi biasa kalau kita salah karena baru melakukan
pertama. Percayalah.. dengan terus berusaha dan mencoba, kita akan
punya nama. Meski bukan itu yang kita cari. Mungkin, itulah yang
akan Tuhan beri..” Wiro melangkah tegap tanpa memandang
Agung.
Mendengar hal tersebut, Ari tersenyum merangkul lengan
Agung. “Saling mengingatkan. Bukankah untuk itu Tuhan
menciptakan perbedaan?”

110
Mendengar itu Agung menganggukkan kepala dan mulai
bersemangat membuka pintu ruangan yang dalam satu minggu ke
depan akan banyak gejala penyakit dan bagaimana cara
menanganinya.
Namun belum lama semangatnya menyala, entah berapa kali ia
menggelengkan kepala saat melihat ada seorang perempuan
menghampiri Ners Station (Ruang Perawat).
“Mas, Infus ibu saya habis.” Kata perempuan itu melaporkan.
“Habis..?? Siapa yang menghabiskan..??” jawab Ari dengan raut
muka kaget.
Meski perempuan itu tersenyum. Ari tak menghentikan
pertanyaannya. “Siapa yang habiskan? Padahal saya belom
kebagian.”
“Uda cepet ganti sana..” Kata Agung sambil mendorong kepala
Ari agar menunduk sebagai tanda minta maaf.
Melihat hal tersebut perempuan itu tak bisa manahan tawa dan
segera kembali dan diikuti Ari untuk mengganti cairan infusnya.
Belum lama setelah Ari mengganti ada lagi seorang ibu datang
menghampiri. “Mas, infusnya nggak jalan.”
“Dibuat jalan-jalan bu...” kata Ari dengan tersenyum. Namun ia
segera menolehkan wajah dan melihat Agung sedang menatap
dingin.
“Siap bu.. Saya akan ke sana segera.” Kata Ari hormat seraya
tersenyum pada ibu tersebut dan disambut dengan senyuman.
“Apa kamu nggak lihat perawat lain sedang
memperhatikanmu?” bisik Agung.
Ari segera membalikkan badan dan melihat perawat lain
senyum-senyum sambil menggelengkan kepala. Ari merespon
dengan tersenyum, menundukkan kepala dan hormat pada semua.
Setelah itu ia pergi untuk memperbaiki kelancaran infus.
Hilang Ari, datang Wiro dengan wajah penuh keringat
mendorong pasien seorang wanita paruh baya. “Ibu, katanya
petugas Radiologi tidak ada instruksi foto (Roentgen) di status.”
Kata Wiro pada perawat ruangan.
Segera salah seorang diantara mereka berdiri dan memeriksa
status pasien yang dibawa Wiro.
“Memang bukan ini. Yang diperiksa nyonya Jannah. Dia di
kelas dua bed tiga.”
“Wah.. tadi saya dengarnya cuma bed dua. Waktu saya tanya
sama Ari, ia jawab kelas tiga.” Kata Wiro sambil menggaruk kepala.
“Maaf ya bu Diah. Yang penting ibu sudah jalan-jalan kan? Nanti

111
kalau ibu sehat, gantian ibu yang dorong saya jalan-jalan ya..,” kata
Wiro mendorong bu Diah kembali ke tempatnya.
Mendengar hal tersebut membuat para perawat tak bisa
menahan tawa mereka. Entah mereka menganggap bodoh atau lucu,
namun tiada kepastian sampai kapan Agung akan menahan malu
akan tingkah kedua sahabatnya itu.

Dua bulan berlalu. Meski tingkah “aneh” Ari dan Wiro tidak
berkurang. Namun kemampuan mereka kian bertambah. Saat itu di
ruang Tropik Wanita mereka ditugaskan dinas malam. Ketika
operan dinas sore dan malam sedang berlangsung, tampak tidak
banyak pasien yang perlu dikhawatirkan keadaannya. Sehingga
Agung menyangka malam itu mereka bisa sedikit tenang. Jadwal
injeksi obat pukul sebelas malam, setelah itu tidak ada tindakan
sampai pukul lima pagi dimana mereka harus melakukan
pengukuran tanda-tanda vital (Tensi, Suhu, Nadi dan Pernafasan).
Namun saat mereka tengah memeriksa status di Ners Station,
ada salah seorang ibu-ibu yang melaporkan bahwa Nyonya Riatin
tubuhnya menggigil. Segera Ari berdiri, mengambil termometer dan
beranjak menuju ruang perawatan.
Hampir tiga puluh menit berlalu, Ari tak jua kembali. Karena
penasaran akhirnya Agung beranjak dari duduknya dan menuju
ruang tempat Nyonya Riatin dirawat. Saat sampai ia melihat Ari
dengan sabar mengelap wajah, leher dan juga tangan pasien. Setelah
itu kain yang telah dibasahi ditempatkan di leher.
Tak lama ia mengambil kain basah yang terlebih dahulu ia
tempatkan di lipatan ketiak. Untuk dibasuh di air dalam waskom
dan mengulangi tindakannya dari awal. Meski bertindak dengan
lembut, namun dari raut wajah Ari menunjukkan muka serius
melakukan penanganan.
Wajahnya baru berubah setelah ia melihat senyuman dari wajah
Nyonya Riatin dan ia mengucapkan terima kasih karena sudah
merasa baikan.
Ari menjawabnya dengan penuh pancaran kebahagiaan karena
ia selama hampir tiga puluh menit ia berkali-kali mengkompres
untuk menurunkan suhu tubuh. Dan, usahanya telah membuahkan
senyuman.
“Sekarang ibu pasti merasa lelah. Jadi keluarga yang lain jangan
ajak bicara dulu, biar bisa istirahat.” Kata Ari dengan lembut. “Kalau

112
ada apa-apa lagi segera lapor ke kita ya bu..” katanya pada keluarga
Ny. Riatin.
Saat membalikkan badan ia melihat Agung sedang
mengamatinya.
“Tadi suhunya 39 oC. Sudah kusuruh minum paracetamol dan
kulakukan kompres. Sekarang uda dingin.” Kata Ari melangkah
meninggalkan Agung yang terus mengamati gerak sahabatnya.
Sebelum melangkah, ia mengamati ibu Riatin dan tersenyum
karena melihat beliau lebih tenang. Setelah itu ia kembali ke Ners
Station. Namun, belum sempat masuk ia tidak melihat Ari dan Wiro.
Karena penasaran, akhirnya Agung memutuskan untuk mencari
mereka di ruang bangsal kelas tiga. Dan benar mereka sedang bicara
pada seorang nenek di kelas tiga bed empat.
“Nenek coba pejamkan mata dan bayangkan di taman yang
tenang, nanti perlahan pasti ngantuk dan bisa tidur.” Kata Ari
dengan tenang.
Nenek tersebut tersenyum, “Kalian ini kayak apa saja.”
“Bener nek...” kata Ari dengan nada meyakinkan. “Kalau susah
tidur saya juga bayangin hal yang sama.”
“Terus bisa tidur?” tanya nenek itu penasaran.
“Tidak sih..” kata Ari sambil tertawa kecil. “Barangkali cara itu
bisa cocok buat nenek.”
“Kasih saran yang bener.” Kata Wiro sambil menjitak kepala
Ari. “Gini saja nek. Nenek pejamkan mata biar kita nyanyikan lagu
nina bobok sampai nenek tidur. Gimana?”
Mendengar itu, nenek tersebut malah tertawa. Tapi hal itu tidak
menyurutkan niat Wiro. Ia mulai menyanyikan pelan lagu ‘nina
bobok’ dan memberi tanda pada Ari untuk mengikutinya. Dengan
wajah agak bingung, Ari akhirnya ikut menyanyi juga.
Agung yang berniat mendekat, malah secepatnya membalikkan
badan dan mempercepat langkah menjauh agar tidak disuruh ikut
ide bodoh mereka.

Dua hari kemudian, saat mereka dinas pagi. Agung kembali


dikejutkan oleh pemandangan yang menyentuh. Saat vicite pagi,
beberapa perawat ikut dokter untuk memberi masukan akan
gambaran pasien selama enam belas jam terakhir.
Pasien pertama Nyonya Windy usia 25 tahun masuk dengan
keluhan diare dan muntah. Keluhan yang masih dirasakan adalah
mual dan nafsu makan turun.

113
Melihat keadaannya, dokter menulis di status untuk pemberian
obat anti muntah. Setelah itu dokter beranjak ke pasien di ruang
sebelah. Saat itu Wiro gunakan untuk menyampaikan sesuatu.
“Dokter maaf,” kata Wiro mendekati dokter. “Kemaren malam,
waktu saya tanya, Nyonya Windy tidak menjawab. Ia hanya
senyum-senyum agak aneh. Setelah saya lihat hasil laboratoriumnya
ternyata di awal elektrolitnya sangat rendah. Mungkin saja hal
tersebut bisa mengakibatkan gangguan dalam sistem syarafnya.”
Mendengar informasi dari Wiro, dokter kembali melihat status
dan mendapatkan nilai elektrolitnya yang sempat rendah. “Oke,
nanti biar saya periksa lagi. Kalau perlu akan saya konsultasikan
sama dokter ahli syaraf. Trimakasih ya.”
Wiro hanya menganggukkan kepala. Namun semua perawat
sudah cukup terkesima akan perhatian dan kejelian Wiro. Akhirnya
mereka melanjutkan vicite ke pasien lain.
Saat di pasien nenek yang pernah dinyanyikan nina bobo oleh
Wiro, Dokter memberi kabar bahwa nenek tersebut diijinkan pulang
karena sudah sembuh. Mendengar kabar tersebut Ari dan Wiro
tersenyum bahagia.
Namun mereka semua heran ketika nenek tersebut tersenyum
aneh dan diikuti dengan mata yang berkaca-kaca. Karena kelopak
sudah tidak bisa menampung lagi, akhirnya nenek tersebut coba
menghapusnya dengan kain kebaya yang dipegangnya.
Para perawat jadi bingung. Akhirnya dokter bertanya, “Ibu
kenapa? Bukanya kemaren pengen cepat pulang?”
Nenek tersebut tak segera menjawab. Ia masih sibuk untuk
menghapus air matanya. Setelah agak tenang ia baru berkata, “Iya..
tapi saya tidak bisa bertemu dan bercanda lagi dengan perawat-
perawat di sini...”
Mendengar jawaban nenek itu membuat mata Ari dan Wiro
juga berkaca-kaca. Akhirnya mereka yang melihat kejadian tersebut
mengarahkan pandangannya ke Ari dan Wiro. Bukan hanya
perawat, tapi dokter juga tampak tersenyum bangga.
Dalam hati, semua perawat berkata. Sungguh senyuman yang
tampak dari pasien adalah sebuah kepuasan tersendiri. Hingga tak
tahu kata apa yang harus kami pilih untuk menggambarkan
perasaan ini. Apalagi ketika melihat pasien meneteskan air mata
kebahagiaan.
Dalam dada para mahasiswa berkata. Bagi kami seorang
pemula. Terimakasih kami haturkan pada semua dosen yang
mengajarkan bahwa anggaplah semua pasienmu adalah keluarga.
Dengan demikian kau bukan hanya menggerakkan raga, lebih dari
114
itu, jiwa yang kan menjadi raja. Karena keperawatan bukan hanya
ilmu, tapi juga seni untuk membuat semua bahagia dalam berbagai
kondisi.
Meski mengobati bukan tugas kami, tapi kami bangga,
setidaknya kami bisa menemani saat siapapun menderita. Tak peduli
beberapa orang yang menganggap kami rendah karena dibawah
bayang medis. Karena kami kan tetap bekerja dengan sepenuh jiwa.

Dengan pengalaman mereka di ruang Tropik Wanita membuat


kelompok mereka lebih di mata semua perawat ruangan di Rumah
Sakit tersebut. Dimanapun mereka praktik, semua perawat merasa
senang. Karena mereka seolah tak kenal lelah dalam melakukan
semua tindakan keperawatan.
Mereka melakukan semua dengan ramah dan terkadang
berusaha membuat semua pasien yang sedang mengalami kesakitan
sejenak meluangkan waktu untuk tersenyum.
Bahkan ketika mereka praktik di ruang neonatus, dengan
semangat mereka belajar untuk memandikan, mengganti pakaian
dan juga menenangkan semua bayi yang sedang menangis.
Meski dengan semangat, namun karena belum terbiasa, cara
mereka menggendong bayi tampak kaku dan kadang membuat para
perawat mengelus dada karena khawatir. Namun ketika sudah
sedikit mahir, mereka seolah tak mau meletakkan bayi yang mereka
sayangi di tempat tidurnya. Dengan bangga mereka terus
menggendong dan menciumi bayi jagoan masing-masing.
Melihat hal tersebut, ibu-ibu yang melihat tersenyum bahagia
karena merasa janin yang mereka kandung selama selama ini, saat
pertama lahir saja ada orang lain yang merawatnya dengan penuh
kasih sayang.
Keadaan sedikit santai kian tegang ketika mereka harus masuk
ke ruang Unit Gawat Darurat. Ditempat itu, ketepatan dan kecepatan
tindakan sangatlah dibutuhkan. Hingga selama berdinas wajah
mereka tampak tak tersenyum sama sekali ketika harus berhadapan
dengan pasien yang gawat dan beberapa kali harus dilakukan
resusitasi jantung paru.
Keringat mereka tampak jelas akan banyaknya hal yang mereka
lakukan. Meski terkadang mereka harus menemui jalan buntu ketika
pasien yang datang tak bisa diselamatkan. Namun inilah profesi
yang kami pilih.

115
Sungguh kami punya ilmu untuk meringankan penderitaan,
tapi tidak akan kuasa untuk menetapkan nyawa dimana hanya
Tuhan yang memiliki kuasa terhadapnya.
Kami tak menangis bukan karena tak punya hati, tapi kami
harus menempanya sekuat mungkin agar bisa tetap bekerja dan tak
kenal menyerah dalam berusaha tuk pertahankan jiwa yang lainnya.
Sungguh tiap perawat di dunia tak terlalu ingat akan siapa saja
yang keluar dengan kesembuhan. Tapi masing-masing dari mereka
tersimpan ingatan akan tiap raga yang mereka temani hingga
lepasnya jiwa. Meski berusaha sekuat tenaga, entah berapa banyak
lagi mereka kan mendapati hal yang bukan kuasanya. Sungguh, jika
mereka mahluk lemah, niscaya mereka gila.

116
Ari 15
Kau tak sendiri
Aku, sahabatmu

Tujuh bulan sudah mereka praktik di Rumah Sakit. Kini


saatnya mereka praktik gerontik di panti wreda untuk merawat
mereka yang sudah renta. Praktik akan diadakan di kota Magetan,
sekitar 4 jam dari kota mereka.
Karena jarak jauh, Ari, Wiro dan Agung dipercaya teman-
teman untuk mengurus semua yang mereka perlukan selama di
Madiun. Semula mereka harus berkeliling dari satu pangkalan bus,
ke pangkalan yang lain untuk mencari bus yang sesuai dengan
kebutuhan dan keuangan tentunya.
Setelah mendapatkan bus, mereka harus membeli dan
mengumpulkan berbagai perlengkapan untuk praktik disana.
Karena persiapan hanya empat hari sebelum waktu keberangkatan,
mereka sangat kewalahan.
Di hari terakhir sebelum keberangkatan, Wiro dan Agung tak
bisa menemani Ari untuk persiapkan pelengkapan karena mereka
harus mengepak kebutuhan pribadi mereka. Sedang Ari, karena ia
minta tolong ibunya, dia punya waktu lebih.
Dengan percaya diri, supaya cepat selesai, hari itu Ari bergegas
keluar rumah pagi-pagi berharap agar segera selesai dan bisa
istirahat di malam harinya. Pertama ia arahkan motornya ke toko
untuk membeli kertas dan tinta. Setelah itu ia taruh di kost Deni
yang paling dekat dengan kampus. Karena Deni juga harus
mempersiapkan keperluan pribadinya, ia minta maaf karena tidak
bisa menemani Ari.
Ari tak mempermasalahkan hal itu. Beberapa kali ia ke rumah
atau kost teman lain untuk mengambil baik printer atau CPU yang
bersedia mereka pinjamkan untuk digunakan membuat laporan di
sana.
Setelah itu ia mencari minyak kayu putih sebagai oleh-oleh
untuk para lansia saat penutupan nanti. Ari harus keluar masuk
beberapa apotik karena ia beli dalam jumlah banyak. Dan, untuk
entah keberapa kali, dengan panas mentari yang menyengat, ia harus
mengumpulkannya di kost Deni.
Tak terasa, waktu sudah gelap. Ari merasa punggungnya
sangat lelah karena seharian berada di atas motor. Setelah sampai
rumah, ia sedikit lega ketika melihat semua bajunya telah tertata rapi
di atas tempat tidur.

117
Ari memasukkan bajunya ke dalam tas koper. Setelah itu ia
merebahkan diri. karena lelah yang teramat sangat, ia baru bangun
pukul dua puluh lebih lima belas menit. Ia langsung bergegas mandi,
shalat, makan dan membawa barang barangnya ke kost Deni agar
esok ia tak repot lagi.
Setelah sampai, ia mengangkat tas kopernya masuk dan
langsung merapikan barang-barang yang dari tadi pagi ia siapkan.
Dibantu Deni, mereka memasukkan beberapa barang ke dalam
kardus agar mudah dibawa. Ketika tengah asik merapikan, Hp Ari
berbunyi dan nama Gita memanggil.
“Sekarang dimana?” tanya Gita.
“Di kost Deni,” jawab Ari ringan. “Ada apa?”
“Ada apa?” nada Gita meninggi. “Kamu nggak tahu hari ini
ada apa?”
Ari memandang Deni dan bertanya, “Hari ini ada apa?”
Deni menghentikan kerjanya. “Bukankah ini hari ulang tahu
Gita? Tadi Waktu cari makan aku lihat di kostnya ramai” Deni
memandang Ari dengan heran. “Masak kamu nggak tahu?”
Ari langsung memukulkan telapak tangannya ke kepala. “Gita..
Aku minta maaf...” Ari bingung harus berkata apa. “Maaf, seharian
tadi aku hanya di jalan untuk persiapkan semua karena besok kita
berangkat.”
“Aku tunggu dari pagi, siang dan sampai malam. Sms ucapan
selamat saja nggak ada.” Nada Gita terdengar pasrah.
“Sekarang aku di kost Deni untuk packing. Aku ke kostmu
sekarang ya..”
“Nggak usah. Aku uda capek karena habis jalan-jalan sama
teman. Selesaikan saja packingnya...” setelah itu suara telfon
terputus.
Ari langsung duduk di lantai diantara semua barang yang sejak
tadi pagi ia kumpulkan. Tampak sekali ia bingung dan tak tahu apa
yang harus dilakukan. Ia menengok jam dinding sudah
menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Kufikir tadi pagi kamu uda ketemuan,” kata Deni. “Mending
sekarang kamu ke kostnya aja. Ceritakan sebenarnya.”
Sejenak Ari masih duduk lemas. Tapi tak lama kemudian ia
berdiri dan beranjak menuju ke kost Gita. Sampai di sana pintu
gerbang sudah terutup rapat dan lampu ruang tamu juga sudah
dimatikan. Ari hanya bisa memandang ruang lantai atas untuk
beberapa saat. Karena tak ada tanda-tanda pergerakan, akhirnya
dengan lemas Ari kembali ke kost Deni dan menyelesaikan
pekerjaannya dengan tanpa semangat.
118
Pukul sebelas malam pekerjaan mereka baru selesai dan Ari
pamit pulang. Sampai di rumah, ia segera membuka lemari dan
mengambil sebuah kotak terbungkus rapi. Dalam bayangannya, Ari
ingin membuat kejutan, tapi kini sesungguhnya ia telah
mengecewakan orang yang ia sayang.
Ia meletakkan kado tersebut di meja supaya tidak lupa untuk
dibawa esok. Sebelum memejamkan mata, Ari mengirim sms pada
Gita.
“Maaf.. sbnrny ud kusiapkn kado btmu sejak mggu llu. Meski
dmikian,sbnyak appun yg qkerjakan hari ini,bgmnpun, aku salah...
Jk bkenan, tlg maafkn.. Lv u..”

Keesokan paginya, hari minggu. Semua teman sudah banyak


berkumpul di halaman kampus beserta banyak sekali koper yang
tertata rapi. Ari dan beberapa teman lain harus menyewa dua becak
untuk mengangkut semua barang yang kemarin sudah dipersiapkan.
Setelah terkumpul, tak lama bus yang ditunggu datang
sehingga kesibukan bertambah untuk mengatur bagasi. Karena
banyak teman, Ari menyempatkan diri untuk ke kost Gita untuk
minta maaf dan menyerahkan kado. Tapi sayang, pagi itu Gita tidak
mau ditemui. Akhirnya dengan lemas Ari menitipkan kado tersebut
ke Rani.
“Ran.. Tolong sampaikan...” Ari tampak bingung apa yang
harus ia sampaikan. “Aku tahu... Aku salah...”
Rani memandang Ari dengan wajah sedikit kasihan. Ia
sebenarnya sudah tahu apa yang terjadi hingga ia tak tega melihat
raut muka Ari yang seolah tak berdaya.
“Aku sudah tahu...” kata Rani sedikit menenangkan. “Biar Gita
tenang dulu, nanti pelan-pelan akan kujelaskan.” Sejenak Rani
mengamati wajah Ari yang tampak sangat menyesal. “Masih banyak
tugas yang harus kamu selesaikan.”
Mendengar itu, Ari mengangguk pelan. Ia mengucapkan terima
kasih setelah itu berpamitan untuk kembali ke kampus dan mulai
perjalanan bersama semua teman yang tampak senang karena bisa
berkendara bersama satu angkatan.
Namun ketika mereka melihat wajah Ari dan tahu apa yang
terjadi dari Deny, beberapa teman berupaya untuk menghibur
dengan menanyakan berapa nomor hp Gita, biar mereka yang
menjelaskan bahwa seharian kemaren Ari berjuang sendiri untuk
mereka.

119
Namun Ari menolak usulan itu. Karena baginya, dalam hal ini,
cukuplah mengaku salah. Karena bagaimanapun, ia telah membuat
Gita kecewa.
Agung dan Wiro hanya bisa diam. Sedikit atau banyak, karena
kesibukan, mereka juga merasa bersalah karena tidak bisa membantu
atau setidaknya juga terlupa akan ulang tahu Gita. Padahal satu
minggu kemaren mereka masih sempat pergi ke mall untuk mencari
kado ulang tahun buatnya.
Entah apa yang terjadi pada garis tangan Ari. Tapi apapun yang
ia kerjakan untuk orang lain, seolah punya sisi kesalahan. Pada
akhirnya ia sendiri yang harus menghadapinya. Namun, meski tahu
demikian, ia tak pernah mengeluh.
Dari bangku pertengahan samping kanan, disela-sela
pembicaraan ringan, tampak seseorang diam-diam mengamati Ari
yang sedang duduk di bawah dengan beralaskan tikar dan bersandar
lemas. Mengamati keadaan Ari yang demikian, sesaat kemudian ia
tersenyum.

Dua minggu praktik gerontik yang seharusnya dijalani dengan


penuh semangat seolah membuat fikiran Ari tak terikat akan tugas
sudah tercatat. Ari hanya tampak bersemangat ketika sedang
merawat bu Sumi, lansia pasiennya. Entah berapa kali Ari membuat
bu Sumi kewalahan menjawab semua pertanyaan Ari yang
terkadang dikomentari Ari untuk membuat bu Sumi bukan hanya
tersenyum, tapi tertawa hingga lupa akan derita.
Namun, setelah keluar dari ruangan, Ari lebih memilih untuk
diam di kamar dan tidak banyak bicara. Beberapa kali Agung
melihat Ari coba menghubungi Gita. Namun melihat tatapan
kekecewaan yang terpancar, kiranya di seberang Gita sama sekali
tidak menghiraukan panggilan Ari.
Sikap Ari sedikit berubah ketika menginjak minggu kedua dan
juga terakhir. Ia mulai bisa bercanda dengan yang lain. Saat teman-
teman menanyakan apakah hubungannya dengan Gita sudah
baikan, ia hanya menjawab dengan mengangkat jempol yang
berlatar belakang wajah dibalut senyuman.
Ketika mendapati Ari seorang diri sedang menutup jendela
aula, Agung mendekat dan memberanikan diri menanyakan hal
yang sama. Saat mendapati jawaban yang sama seperti yang lain,
Agung berkata dengan nada tersinggung, “Baiklah.. Kalau kau

120
menganggapku teman biasa. Aku akan menganggap semua baik-
baik saja..” setelah itu Agung pergi meninggalkan Ari sendiri.
Setelah kepergian Agung, perlahan Ari menghentikan
aktivitasnya. Setelah itu perlahan ia duduk di salah satu bangku.
Kepalanya tertunduk dengan tatapan mata kosong. Meski kesedihan
menguasai, tapi tampak sekali ia berusaha untuk mengendalikan
diri.
Tak lama kemudian terdengar suara sepatu berjalan menuju
pintu masuk aula. Sesaat Ari melihat Wiro berdiri dengan tenang
dengan membawa laptop di tangannya. Setelah melihat Ari, ia
berjalan dan duduk disebelahnya dan membuka laptop tanpa
sedikitpun memandang Ari.
Wiro asik menonton film dari laptop milik Agung dengan
volume suara yang dikeraskan. Sesaat kemudian ia bicara tanpa
memandang Ari. “Merenunglah sepuasmu.. Aku hanya menutupi.
Karena tak baik menampakkan kesedihan pada orang lain...” Setelah
itu Wiro kembali duduk tenang dengan mata mengarah pada
monitor. Sedang Ari perlahan menundukkan kepala dan
memejamkan mata.
Ya Rabb.. Tahanlah air mata ini dan hancurkan dindingnya
hanya saatku sendiri denganMu. Sungguh, beban di dada seolah
membuat tubuh ini tak berdaya. Di balik tubuh Wiro, perlahan
tampak tubuh Ari tergoncang, dan air matapun tak tertahankan.
Entah berapa lama Ari berusaha mengendalikan diri, namun
dengan perihnya rasa di dada, ia seolah tak lagi berdaya. Namun ia
terpaksa menghentikan kesedihannya ketika ada tangan yang
menyentuh pundak kanannya.
Saat menolehkan kepala ke belakang, dengan kelopak memerah
dan penuh air mata, ia melihat sosok Agung tengah berdiri dengan
tegap di belakangnya dengan tatapan mata tenang yang
menggambarkan bahwa ia tahu apa yang Ari rasakan.
Bagaimana hati ini bisa tenang, tatkala tubuh ini lelah akan
sesuatu yang kita kerjakan dengan segenap peluh dan tanpa
mengeluh. Namun di akhir ia melupakan sesuatu yang sebenarnya
ia persiapkan. Kenapa orang hanya menilai kekhilafan tanpa
mengingat apa yang sudah Ari lakukan. Sungguh Ari ingin Gita
mengerti. Namun ketika ia dan Rani sudah menjelaskan untuk yang
kedua kali, maka ia tak tahu lagi apa yang bisa ia katakan.
Namun dengan melihat Agung di belakang dan teringat Wiro
duduk di sampingnya. Membuat Ari sedikit tenang untuk menjalani
tugas yang masih menanti di hadapan. Sungguh, kehadiran sahabat

121
tanpa berkatapun adalah sebuah manfaat lebih di hati. Karena itu
seolah mengabarkan bahwa, ‘kau, tak sendiri’.

Hari sabtu. Akhir perjalanan praktik gerontik yang Ari tunggu


telah usai. Karena lelah, selama perjalanan, semua teman-teman
tertidur dalam bus. Namun mata Ari tak bisa terpejam. Ia hanya bisa
terdiam memandang ke luar melalui jendela hingga empat jam
lamanya. Dan mereka baru sampai di kampus pukul delapan malam.
Setelah membantu menurunkan semua barang, Ari
menyempatkan diri untuk ke kost Gita. Namun sayang, hari itu baik
Gita maupun Rani tengah pulang ke rumah. Ari coba menghubungi
nomor Gita, namun tak jua kunjung diangkat. Akhirnya ia hanya
kirim sms untuk mengabarkan kedatangannya sekaligus keinginan
untuk bertemu di hari minggu.
Selama dalam perjalanan menuju rumah, di dalam taksi Ari
terus menggenggam Hpnya berharap adanya balasan. Namun
hingga sampai di halaman rumahnya, kiranya ia harus menyimpan
harapan itu. Ibu Ari tampak keluar Rumah dan menyambut dengan
senyuman.
Tak lama ternyata Niken dengan wajah lucunya, muncul di
balik Ibu Ari. Karena kangen Ari langsung mengejar Niken yang
coba berlari sambil tertawa. Setelah dapat, Ari mencium pipi dan
memeluknya erat. Semakin Niken meronta, maka semakin kuat juga
Ari memeluk dengan penuh kasih sayang.
Kemudian ibu Niken keluar. Setelah mengamati, ia
mengomentari kondisi Ari, “Kok tambah kurus?”
“Emangnya liburan?” jawab Ari sambil bercanda sambil terus
menggendong Niken. “Namanya praktik, pasti capek..” kilah Ari
menutupi kondisinya yang memang tidak nafsu makan karen
banyak yang difikirkan.
Selama dua minggu, karena Ari keluar kota, Niken dan Ibunya
tinggal di rumah sekedar untuk menemani Ibu Ari. dengan
kehadiran Niken, rasa lelah dan sedih di hati seolah sirna.
Senyum dan tingkah anak kecil sungguh salah satu keajaiban
yang diciptakan Tuhan. Bagaimana mungkin lelah di tubuh seolah
terbasuh hanya dengan mengetahui tatapan dan senyum
kebahagiaan anak. Meski pakaian kerja belum terlepas. Meski tenaga
sudah terkuras. Namun ketika mendengar suara kecil memanggil
dengan ceria, seolah semuanya terlupa dan hanya memegang kata
bahagia.

122
Sungguh sebuah kerugian manusia tatkala dihadapan seorang
anak kita tidak bisa menyayanginya. Bagaimana kita berharap akan
mendapatkan kasih sayang Tuhan sedang kita tidak memperlakukan
anak kecil dengan penuh kasih sayang.

Hari minggu. Hari yang ditunggu Ari akan datangnya Gita.


Dengan penuh harap ia bisa menemuinya malam itu. Ari sudah
duduk di kursi tamu depan kostnya, setelah itu ia sms Gita untuk
memberitahu bahwa ia sudah di ruang tamu. Kian lama jawaban
maupun pintu tak kunjung terbuka akan tanda persetujuan Gita
untuk bertemu. Dengan keresahan yang sedikit memuncak, akhirnya
Ari langsung telfon.
Panggilan pertama tak mendapat jawaban. Baru pada
panggilan kedua ia bisa mendengar suara Gita. “Ari, maaf bentar
lagi saya mau keluar ke rumah teman. Kemaren sudah janjian.”
Mendengar suara tersebut Ari langsung mengiyakan dan
menutup telfonnya. Ia merasa sangat tidak berharga. Kenapa Gita
tak turun dan langsung mengatakannya. Namun, malam itu ia hanya
bisa menerima sikap Gita dengan ketenangan karena bagaimanapun
Arilah yang pertama mengecewakan Gita.
Dari jendela kamar atas, Rani melihat langkah Ari yang gontai.
Melihatnya dalam kondisi demikian membuat Rani berusaha
mengingatkan Gita.
“Apa kamu malaikat..?” tanya Rani dengan nada dan wajah
serius agar Gita tidak menanggapi pertanyaan tersebut dengan
main-main.
Tapi tentu saja mendapat pertanyaan yang demikian membuat
Gita bertanya apa maksud pertanyaan itu.
“Bukankan sudah kujelaskan bahwa Ari sebenarnya sudah
persiapkan kado untukmu seminggu sebelum tanggal 21. Struk
pembelian juga menunjukkan hal yang sama. Itu bukti sebenarnya
Ari ingat. Namun karena banyaknya hal yang ia kerjakan ia jadi
lupa. Lagipula apa yang ia kerjakan bukan untuk dirinya sendiri,
tapi buat temen satu angkatan. Ia sudah lelah melakukannya
seharian dan hanya karena lupa memberikan ucapan lalu kau
perlakukan seperti ini?” Kata Rani dengan nada tinggi.
“Setahuku, struk pembelian bisa dimanipulasi,” jawab Gita
dengan ringan.
“Kau tahu. Ari bilang padaku sejak membaca artikel mengenai
‘bagaimana orang mengucapkan selamat akan kian berkurangnya

123
waktu’, ia tak pernah mengucapkannya pada orang lain. Hanya
padamu ia ingin mengucapkan sekaligus ingin bicara mengenai
pandangannya. Itu bukti bahwa ia ingin berbuat yang terbaik
buatmu.”
“Ya.. Tapi ia tak berhasil.” Kata Gita tenang dengan senyuman.
Rani menggelengkan kepala dengan sikap dan jawaban
temannya yang kini bagai orang asing yang baru dikenalnya.
“Kenapa kau bisa seegois ini?” tanya Rani tak percaya.
“Egois?” kata Gita dengan nada berupaya membela. “Selama
praktik profesi, Ari sama sekali tak pernah memperhatikanku.
Jangankan keluar. Untuk telfon malam seperti yang ia biasa lakukan
saja tak pernah ia lakukan. Lalu siapa yang egois?”
“Jangan mengatakan mudah untuk hal yang belum pernah kau
lakukan. Sedang kau belum tahu tentangnya. Sekali-kali bicaralah
pada kakak kelas dan tanyakan bagaimana sibuknya Praktik
Profesi.”
“Sudah..” jawab Gita. “Sampai sekarang kita bisa lihat sendiri
bagaimana kak Putri menjalani Praktik, namun ia masih bisa
membagi waktu dengan cowoknya.”
“Apa kau lupa? Ari punya usaha yang harus ia jalankan. Apa
kau tidak bangga memiliki orang yang bisa mandiri di usia dini?”
“Jika itu tak membuatku bahagia, apakah aku harus bangga
karenanya?” jawab Gita membalik keadaan.
“Tidak.. Kau tidak perlu melakukan itu...” kata Rani pelan.
“Kebahagiaan bukan hanya terletak pada keberhasilan. Tapi
kebahagiaan berserakan di tiap langkah dan keringat yang menetes
untuk menegakkan kata berusaha. Karena itu Tuhan tidak
meletakkan pahala pada hasil akhir. Tapi akan tiap sesuatu yang kita
kerjakan untuk kebaikan.”
Jika benar kita merasa tidak bahagia, bijak kiranya jika kita
belajar arti kata syukur sebelum mengeluh karena apa yang kita rasa.
Apakah pantas mengatakan ketidakbahagiaan dengan berbagai
nikmat yang Dia berikan. Sedang hampir tiap hari dosa kita
bertambah tapi seolah kita lupakan. Sungguh. Selama nyawa masih
di badan, mari gunakan untuk kebaikan.

Rani berpamitan pada Gita. Mulai bulan itu juga Rani


memutuskan untuk pindah ke kost lain karena ia sama sekali tidak
mengenal Gita yang selama ini menjadi sahabatnya. Dengan

124
kepindahan itu, maka Putri menggantikan tempat Rani untuk satu
kamar dengan Gita.
Sebelum pergi. Pesan sekaligus harapan Rani pada Gita seolah
menjadi hutang yang harus Gita bayar.
“Kita bertengkar hingga aku memutuskan untuk pindah karena
masalah Ari lupa mengucapkan selamat ulang tahun padamu. Jika
bisa, aku harap kau memaafkannya? Jika bukan untuk Ari,
setidaknya untukku. Temanmu selama ini..” kata Rani memandang
penuh harap.
“Iya..” jawab Gita ringan. “Tapi jangan katakan kalau aku tidak
menahanmu untuk tetap di sini.”
“Tentu saja.” Kata Rani tersenyum berat. “Kita hanya punya
pandangan yang berbeda. Tapi hal itu tak cukup buat alasan kita
saling membenci. Karena masing-masing dari kita juga
menginginkan yang terbaik buat sahabat.”
Gita memandang lekat-lekat wajah Rani. Mendengar kalimat
tersebut membuat Gita sedikit bermasalah dengan hatinya. Karena
bagaimanapun, dalam masalah ini dan juga Ari, Gita sadar bahwa
sikapnya sedikit berlebihan. Bukankah manusia itu tempatnya salah
dan lupa. Lalu apa makna menahan kata maaf hanya untuk
kemenangan diri, sedang kita diciptakan untuk hidup bersama.
Namun karena semua barang sudah diangkat dan begitu juga
Putri sudah siap menempati tempat Rani, maka Gita tak bisa berbuat
banyak.
“Baiklah.. Hari ini aku akan sms untuk bertemu Ari sekaligus
minta maaf padanya,” kata Gita dengan mata menunjukkan
kesungguhannya.
Mendengar hal tersebut membuat Rani bisa tersenyum puas.
Meskipun ia harus meninggalkan tempat dan sahabat yang selama
ini baik siang maupun malam menemani, setidaknya di akhir ia bisa
perjuangkan orang yang dia anggap benar.
Malam itu, karena sms Gita, Ari datang ke kost. Gita melihat
wajah Ari antara tenang dan tegang. Ari tahu konsekwensi dari
kesalahan dan kemarahan Gita. Karena ia merasa salah, maka ia siap
sedia untuk kemungkinan terburuk. Putus.
Beberapa saat mereka hanya diam duduk tanpa ada yang mulai
pembicaraan. Hingga Ari coba meminta maaf. “Aku tahu kamu
marah, kecewa. Tapi aku sudah mengatakan alasanku dengan
sebenar-benarnya. Jika kamu masih marah, aku akan terima. Aku tak
pandai merayu terlebih membela diri. Maaf.. Hanya itu yang bisa
kuucapkan.”

125
“Aku juga minta maaf,”kata Gita dengan penyesalan. “Aku tak
mau jawab sms ataupun telfon supaya kami ngerti. Sebelum kejadian
inipun, sejak kamu praktik profesi, kau jarang hubungi aku.”
Ari menundukkan kepala. Ia paham akan kesalahannya.
Beberapa saat ia diam untuk mencari solusi pemecahannya. Setelah
dapat, dengan sedikit keraguan ia berkata, “Bagaimana kalau
sepulang praktik, aku ajak kamu ke rumah. Maaf. Bukan untuk apa-
apa. Agar kita bisa tetap ketemu, aku juga bisa kerjakan tugas dan
pekerjaanku.”
“Tapi kalau ke rumahmu terus aku juga bosan,” jawab Gita.
Mendengar jawaban itu, ia coba memahami posisi Gita.
“Baiklah. Akan kucoba seperti dulu lagi,” kata Ari menatap Gita
dengan penuh kesungguhan. “Jadi, aku dimaafkan..?”
Gita tak langsung menjawab. Ia mengamati wajah Ari seolah
menatap penuh harap. Sesaat kemudian ia tersenyum dan berkata,
“Dengan satu syarat. Bawakan aku mawar satu truck.” Kata Gita
sambil tertawa bercanda untuk mencairkan suasana karena
sesungguhnya ia juga merasa kangen pada Ari. kemarahannya salah
satu bukti bahwa ia masih membutuhkan Ari.
Namun candaan Gita tidak dianggap bercanda oleh Ari.
Dengan tegas ia langsung menyanggupi permintaan itu. “Baiklah...
Besok pagi akan kamu lihat.” Setelah itu ia segera beranjak berdiri.
Melihat reaksi Ari, Gita agak tersentak, ia segera meraih tangan
Ari dan mencegahnya pergi. “Jangan. Tadi cuma bercanda.”
“Nggak apa-apa. Kemaren aku kecewakanmu. Jadi sekarang
aku coba tuk penuhi keinginanmu.”
Berkali-kali Gita coba menjelaskan bahwa ia tak serius. Namun
dengan percaya diri Ari meyakinkan bahwa ia sanggup melakukan
semua.

Di dalam kamar Gita menceritakan kejadian yang barusan


terjadi pada Putri. mendengar hal tersebut membuat Putri tertawa.
Tapi tawa Putri justru membuat Gita kian khawatir. Kalau Ari bener-
bener bawa mawar satu truck. Semua orang pasti lihat dan ia pasti
malu sekali.
Berkali-kali ia coba telfon Ari untuk mencegahnya. Namun
panggilannya tak kunjung mendapat jawaban. “Di kota Gini, mau
cari dimana mawar sebanyak satu truck.” Kata Gita untuk menutupi
kegelisahannya.

126
“Jangan salah. Barangkali penjual bunga di jalan Kayun punya
stok yang banyak,” kata Putri menjawab keraguan yang membuat
Gita kian bingung.
Di tempat lain, sepulang dari kost Gita, Ari langsung
menjemput Wiro di kostnya. Disana Ari langsung minta Wiro siap-
siap karena ia butuh teman mau beli mawar di jalan Kayun.
Wiro yang tak tahu kenapa Ari tiba-tiba mau beli bunga, hanya
menuruti permintaannya. Segera ia ganti baju dan naik di belakang
motor Ari. Selama perjalanan, setelah Ari menceritakan semua, Wiro
hanya menganggukkan kepala.
Setelah selesai berkeliling ke beberapa tempat, akhirnya Wiro
membawa sesuatu yang terbungkus kardus mie instan. Mereka
menuju kost Gita. Saat sampai, waktu sudah menunjukkan pukul
21.45. Pada jam segitu gerbang depan sudah ditutup.
Ari coba menghubungi nomor Rani. Tapi ia kaget karena baru
tahu kalau ia sudah pindah kost. Rani menyarankan untuk
menghubungi Putri. Setelah menutup telfon, Ari menceritakan
keadaan tersebut pada Wiro. Sesaat mereka saling pandang. Mereka
bingung apa yang harus dilakukan.
“Sudahlah.. Lupakan masalah itu,” kata Wiro berusaha
menenangkan. “Lagipula, bukankah hadiah ini harus diberikan?”
Perlahan Ari menganggukkan kepala. Setelah itu ia menelfon
Putri. Ari menyuruhnya diam-diam pergi ke bawah karena ada
hadiah yang harus diberikan pada Gita secara rahasia.
Tak lama Putri tampak membuka pintu dan menghampiri
mereka. “Ada apa?” katanya sambil merapikan rambutnya.
“Bisa minta tolong berikan ini?” Ari menyerahkan kardus itu
melalui atas pagar dan diterima Putri.
Sesaat Putri membuka kardus itu. Saat melihat isinya, tampak
ia tersenyum lebar coba menahan diri untuk tidak sampai tertawa.
“Tolong taruh ini di atas lemari Gita saat dia lagi tidur. Agar
besok pagi dia bisa melihatnya.”
Putri menganggukkan kepala tanda mengerti. Ia seolah tak bisa
berkata karena terus menahan senyumnya. Setelah itu ia kembali
masuk.

Keesokan harinya di kamar Gita. Saat bangun pagi, dengan


menahan kantuk Gita keluar kamar untuk ke kamar mandi. Saat
kembali, mukanya tampak lebih segar. Ketika pertama kali
membuka pintu kamar, tanpa sadar ia memperhatikan bungan
mawar merah di atas lemarinya.

127
“Aduh cantiknya.. Mawar siapa itu?” tanya Gita pada Putri.
Putri tak segera menjawab. Ia hanya senyum-senyum yang
membuat Gita kian penasaran dan memfokuskan matanya pada
benda tempat dimana mawar itu diletakkan.
Gita melangkahkan kaki untuk mendekat, setelah sadar bahwa
mawar itu diletakkan di atas sebuah truck mainan ia langsung
berteriak “Astagaaaaa... Dia itu serius atau gilaaaa.”
Mendengar hal itu Putri tak bisa menahan tawa hingga ia
menahan sakit di perutnya. Kejadian pagi itu kian membesar karena
bu Ayu, ibu kost, datang karena penasaran.
Dan tak bisa dicegah. Semua teman satu kost yang melihat juga
ikut tertawa sembari menggelengkan kepala. Setelah semua pergi
Gita mengambil truck mainan itu dan meletakkannya di lantai dan
mengamatinya dengan seksama. “Dari mana ia dapat ide gila
semacam ini?”
Dengan tersenyum Putri duduk di samping Gita dan berkata.
“Antara serius dan gila. Dua hal itulah yang membuat kita tertarik
pada pria.”
Di Rumah Sakit pada waktu yang sama, seperti biasa mereka
kumpul di parkiran untuk jalan bersama di ruangan yang baru. Saat
Agung bertanya tentang hasil pertemuanya dengan Gita, Ari
menceritakan semuanya termasuk masalah ‘mawar satu truck’.
Mendengar itu membuat Agung kembali marah.
“Kamu ini serius nggak sih..? Gita uda beri kesempatan, tapi
kamu buat candaan.” kata Agung dengan emosi. “Kamu juga Wir,”
kini Agung menatap Wiro. “Tahu Ari punya ide nggak bener,
bukannya diingetin, malah dibantuin.”
“Tapi menurutku itu kreatif juga,” kata Wiro tersenyum pada
Ari yang berjalan disampingnya.
“Kreatif apanya? Kalau Gita tambah marah karena
menganggap Ari cuma bercanda, terus bagaimana?”
Mendengar itu mereka mereka cuma diam dan terus
melangkah seolah percaya apa yang akan terjadi pasti kan memiliki
arti.

128
ARI 16
Berita yang mengoyak dada

Berita tentang mawar satu truck sedikit banyak telah


mempengaruhi hubungan Ari dan Gita. Karena setelah kejadian itu
banyak yang mendengar, tak terkecuali dosen pembimbing,
sehingga nama Ari kian mudah di kenal baik di Rumah Sakit terlebih
lagi di kampus.
Meski awalnya menganggap Ari tidak serius, namun dengan
banyaknya orang yang tersenyum pada Gita seolah membuat ia
bersukur karena memiliki orang yang dipandang oleh teman
maupun dosen pengajar.
Bukan hanya Gita, Ari juga sudah mulai berubah dengan
meluangkan waktu untuk bertemu atau setidaknya menelfon Gita.
Beberapa kali Gita kembali datang ke rumah Ari untuk sekedar
bertemu dengan ibu atau sekali-sekali ikut memasak.
Kebahagiaan Ibu Ari kian tampak ketika Gita datang di rumah.
Hal tersebut wajar karena semua anaknya adalah seorang putra.
Kalaupun sekarang ibu punya menantu, namun sejak menikah
mereka tinggal di kota yang berbeda.
Ketika malam menjelang dan Ari harus mengantar Gita pulang,
pelukan ibu seolah menggambarkan bahwa beliau sangat
menyayanginya. Dari mata, ibu tak pernah mendahului masuk
rumah sebelum hilangnya Gita dalam pandangan.
Setelah mengantar, terkadang malamnya Ari juga menelfon
hingga Putri tertidur. Semua ia lakukan dengan penuh kesadaran.
Meski ia bukan mahluk sempurna, tapi setidaknya, ia ingin menjadi
yang terbaik buat Gita.
Namun dengan demikian tiap hari ia tidur larut karena banyak
laporan Asuhan Keperawatan yang harus ia kerjakan. Bedanya ialah
jika ia dulu mengerjakan dengan penuh pemahaman. Namun
sekarang, karena lelah dan waktu yang banyak berkurang, ia hanya
mengerjakan untuk memenuhi kata ‘selesai’.
Hingga akhirnya, Ari yang biasa bersemangat saat responsi
dengan Clinical Instructor, sekarang lebih banyak mendengar. Dan
ketika ditanya pemahamannya tentang penyakit pasien
kelolaaannya, tampak sekali ia kurang menguasai.
Keadaan kian kurang baik ketika Ari masuk praktik
keperawatan komunitas. Dimana mereka ditugaskan di daerah
pinggiran untuk mengidentifikasi masalah kesehatan yang mungkin
bisa terjadi berdasarkan keadaan dan juga kebiasaan masyarakat
tersebut.
129
Bukan hanya itu, mereka juga harus bisa mengidentifikasi
sumber potensi yang ada di masyarakat untuk merubah menjadi
lebih baik. Mereka harus jeli melihat apa yang sebenarnya bisa
dilakukan namun belum dilaksanakan. Semua bertujuan agar
masyarakat bisa mandiri dalam hal pencegahan dan juga pengenalan
tindakan kesehatan yang tepat.
Dalam praktik tersebut Ari dipilih oleh teman-teman sebagai
ketua kelompok untuk RW IV atau yang biasa dikenal dengan dusun
Sumberan. Minggu-minggu pertama adalah hari yang akan
melelahkan, karena mereka harus mengkaji tiap rumah yang dalam
catatan ketua RW setempat, terdapat sekitar lima ratus lebih kepala
keluarga. Sedang mereka satu kelompok hanya sembilan mahasiswa.
Harapan besar ketua RW, serta tuntutan kesempurnaan dari
dosen pembimbing membuat Ari mau tidak mau harus
memfokuskan semua untuk keberhasilan praktik yang tentunya juga
akan membawa nama baik kampus. Untuk efektifitas dan efisiensi
waktu, Ari memilih tidur di Balai RW yang dengan seijin warga, kini
ia ubah menjadi posko mahasiswa.
Ari coba menjelaskan tentang besarnya tanggung jawab yang ia
emban pada Gita agar peristiwa sebelumnya tidak terjadi lagi.
Awalnya Gita menerima dengan kebanggan karena orang yang ia
sayangi mendapat kepercayaan akan sebuah satu gerbong praktik
yang cukup panjang dan melelahkan.
Hal tersebut terbukti dari beberapa kali Gita datang ke tempat
praktik dan membantu beberapa hal. Hal tersebut mereka lakukan
karena memang tidak ada kesempatan keluar. Karena kebanyakan
kegiatan dengan warga dilakukan pada malam hari dimana mereka
sudah pulang kerja.
Masuk minggu ketiga, Gita tak mau lagi di ajak ke tempat
praktik. Ia mulai sering marah karena merasa tidak diperhatikan.
Mengetahui keadaan ini, saat acara dengan warga berakhir, Agung
dan beberapa teman mengingatkan untuk segera menelfon Gita.
Mereka tidak mengijinkan Ari untuk ikut membantu merapikan
kursi dan beberapa peralatan yang digunakan.
Namun Ari menolak diperlakukan demikian. Ia menceritakan
sebuah cerita yang ia baca di salah satu buku. “Pada tengah malam
di sebuah pondok pesantren, salah seorang santri terbangun. Suara
gerakanya membuat salah satu ustad yang belum tidur langsung
menghampirinya.
“Saat ditanya mau kemana, santri itu menjawab mau ke dapur
karena haus. Namun ustad tersebut menyuruhnya diam di tempat

130
dan ia pergi. Tak lama ia kembali dengan membawa segelas air dan
menyuruhnya minum.
“Saya bisa mengambilnya sendiri, kata santri tersebut karena
merasa tidak enak. Namun ustad tersebut menjawab, ‘tugas
pemimpin adalah melayani’. Setelah selesai, ustad tersebut pergi
dengan membawa gelas yang kosong.”
Sejenak Ari diam memandang teman-temannya. Setelah itu ia
berkata, “Aku cerita bukan untuk menggurui. Tapi cukuplah
membagi pandangan. Karena bagaimanapun, cepat atau lambat kita
semua akan menjadi pemimpin. Percayalah. Dengan memegang
prinsip yang tepat, kita bisa menjadikan sesuatu lebih hebat. Jadi,
mari kita selesaikan tugas akhir ini dengan sebaik mungkin.”
Sejenak mereka tatapan mata mereka berubah. bukan hanya
Ari, tiap pribadi pasti memiliki lebih dari satu peran. Terkadang,
dalam satu waktu kita akan dituntut untuk melakukan hal yang
sama. Bagi Ari, jika ia sudah dipilih, maka tiada jalan selain
memenuhi tanggung jawab untuk melayani. Ia bekerja lebih keras
agar yang lain ringan untuk menyelesaikan.

Keputusan Ari bulat. Setelah coba menjelaskan keadaan pada


Gita dan tak mendapatkan persamaan pandangan, akhirnya Gita
mulai tak mau membalas sms ataupun menjawab panggilan Ari. Ari
tak ingin kesedihan saat praktik gerontik terulang lagi. Ia berupaya
menyelesaikan semua tugas yang ada dan juga membantu kerja tim
lainnya. Dengan harapan cepatnya selesai tugas, maka semakin cepat
Ari bisa menemui Gita kembali dan takkan ada lagi tugas yang kan
menghalangi.
Dengan semangat yang menggebu, semua anggota kelompok
RW IV dusun sumberan menjadi kelompok yang solid dalam
menjalani tugas. Dengan semangat Ari sebagai ketua yang tak kenal
lelah, seolah membuat yang lain malu untuk mengeluh.
Dengan melihat semangat mahasiswa untuk memikirkan dan
juga membagikan ilmu kesehatan, masyarakat pun ikut tergerak
dalam membantu atau berpartisipasi dalam setiap acara yang
diselenggarakan. Entah berapa kali posko mahasiswa mendapatkan
kiriman makanan ringan, es kacang hijau atau apapun yang bisa
warga berikan. Sungguh, mereka memperlakukan kami seolah kami
adalah saudara.
Mereka tertawa, bekerja dan berbagi makanan bersama ketika
mengadakan kerja bhakti untuk membersihkan lingkungan. Dengan

131
keadaan seperti ini, sungguh telah terbukti bahwa kata saudara tidak
terikat akan pertautan darah yang melekat.
Dua bulan berlalu. Apa yang mereka bayangkan sebagai tugas,
setelah dijalani, seolah hanya sebagai rutinitas yang mereka lakukan
dengan senang hati. Hingga saat malam penutupan, tak sedikit dari
warga meneteskan air mata. Semua mahasiswa berusaha untuk
menahan dengan mempererat pelukan dan juga menutup kelopak
mata seerat mungkin.
Namun sungguh bodoh diri ini ketika harus menolak hati yang
seolah ingin meledak. Sungguh apa yang kita lakukan dan juga ilmu
yang kita bagikan tak sebanding dengan ikatan persaudaraan yang
warga berikan. Dalam kesempatan ini, ucapan terima kasih yang
mendalam kami ucapkan untuk Karang Taruna tahun 2007 dan
seluruh warga RW IV Dusun Sumberan.

Kebersamaan di Tengah Komunitas

Warga yang terhormat


Kini kita tahu
Bahwa kata saudara tidak mengikat
Akan pertautan darah yang melekat

Dan kita telah buktikan


Bahwa kebersamaan bukanlah impian
Atau hanya cita-cita dalam bayangan

Waktu ini kuhaturkan


Dalam hati penuh ucapan terima kasih
Akan penerimaan diri ini

Tidak banyak kata yang kuberi


Dalam sedikit ilmu yang kami warisi
Tidak banyak yang kami tinggalkan
Akan jiwa yang terbalut kelemahan

Namun cerita ini akan jadi prasasti


Yang terukir dalam tiap langkah ini

Dengan berakhirnya tugas, maka selesai sudah perjalanan


panjang praktik profesi. Satu langkah yang bisa memindahkan
mereka dari dunia pendidikan ke dunia kerja adalah, wisuda.
132
Dengan tidak ada lagi tugas, maka Ari langsung memanfaatkan
waktu untuk bertemu dengan Gita.
Namun kejadian sebelumnya terulang lagi dan kini seolah lebih
parah. Gita sama sekali tidak mau ditemui. Sms ataupun panggilan
Ari sama sekali tak mendapatkan tanggapan sedikitpun. Bahkan
ketika Ari ke kampus, dihadapan banyak mahasiswa, Gita bener-
bener berusaha untuk menghindarinya.
Karena tak ingin menjadi sorotan pandangan banyak orang Ari
berusaha untuk menunggu di warung makan jalan dimana Gita
pulang ke kostnya. Namun aneh, hingga sore menjelang, Gita tak jua
pulang.
Karena khawatir, Ari coba kembali ke kampus. namun di sana
suasana juga sudah mulai sepi. Bahkan ketika Ari coba mengelilingi
semua kelas, ia hanya mendapati seorang cleaning service tengah
membersihkan ruangan.
Ari bingung, kemana Gita? Ari sms menanyakan keberadaanya
sekaligus menceritakan kalau ia sedang menunggunya. Tak lama
sms mendapat balasan yang mengabarkan bahwa Gita sedang keluar
ke toko buku.
Ketika Ari kembali menanyakan di toko buku mana karena ia
berniat untuk menyusulnya, Gita menolak dengan alasan setelah ini
ia mau ke rumah teman untuk membuat proposal.
Sekali lagi Ari bertanya di rumah siapa dan dimana karena ia
akan menemuinya disana. Gita menolak memberitahu. Bahkan
ketika Ari mengabarkan bahwa ia akan menunggu di kost sampai ia
pulang. Gita menjawab ia pulang malam. Dan ia mengatakan kalau
ia tak ingin ketemu, maka ia tak suka jika dipaksa.
Hari itu, Ari pulang dengan hati yang tak tenang. Satu hal yang
ingin ia katakan ialah, saat ia ada waktu, tentu ia akan memberikan
pada Gita. Namun, Ari sadar, bahwa selama ini ia sudah cukup
membuat Gita marah. Jadi ia takkan memaksa.
Namun, kian hari yang tanpa kegiatan membuat Ari hanya
memikirkan Gita. Setelah dua minggu coba mengajak ketemu tanpa
ada kejelasan dengan alasan kesibukan. Fikiran Ari kian tak
menentu. Siang itu ia bertekad untuk bertemu. Ari tak peduli lagi
apakah hubungan ini akan terus atau putus, yang penting kejelasan
harus ditetapkan.
Namun ketika ia datang ke kampus, saat ia berjalan menuju
kerumunan mahasiswa, mereka seolah menghentikan aktivitasnya
dan memandang Ari. Tak lama Agung dan Wiro berjalan
menghapirinya. “Boleh kita cari tempat? Aku ingin bicara,” kata
Agung berupaya untuk setenang mungkin.
133
Dari tatapan mereka berdua seolah akan mengatakan sesuatu
yang serius. Melihat keadaan itu membuat jantung Ari berdebar.
Setelah itu ia membalikkan badan dan berjalan di ruang faal di lantai
tiga. Ari duduk diantara kedua sahabatnya yang masih saja tampak
diam.
“Ada apa?” kata Ari dengan debaran yang kian menyiksa.
Sejenak Agung memandang Ari dalam. Setelah menarik nafas
dalam, Agung berkata pelan. “Aku tahu ini berita buruk. Tapi kami
berfikir alangkah lebih baik jika kamu mendengarnya dari kami,
bukan orang lain.”
“Memangnya ada apa?” tanya Ari tak sabaran.
Sebelum berkata, Agung memandang Wiro yang tetap diam
seolah menolak untuk mengatakan. Akhirnya, Agung berkata, “Ada
berita, Gita akan menikah.”
Mendengar penuturan Agung, wajah Ari langsung berubah
seolah ia menahan emosi yang teramat sangat. Eratnya genggaman
tangan dan juga kedua geraham seolah mengabarkan bahwa ia
menahan amarah.
“Darimana kau dengar?” kata Ari dengan tatapan mata
memerah.
Agung tak langsung menjawab. Ia mengamati sahabatnya yang
tengah menahan kegalauan hati yang teramat sangat. Setelah itu ia
berkata, “Dari mana kami tak tahu. Tapi, semua teman satu kelasnya
sudah tahu.”
Ari diam. Ia menundukkan kepala dan menutup wajah dengan
kedua telapak tangannya. Sedang Agung dan Wiro hanya bisa saling
pandang tak tahu harus berbuat apa.
“Tolong..” kata Ari pelan. “Tinggalkan aku sendiri..”
Mendengar itu, Agung memberi isyarat tatapan mata dan
dijawab anggukan kepala oleh Wiro. Perlahan mereka berdiri.
Sebelum melangkah pergi, Wiro menepuk bahu Ari sembari
berkata, “Kau boleh bersedih. Tapi sisakan waktu untuk mensyukuri
apa yang masih kamu miliki..”
Setelah kedua sahabatnya pergi, Ari berusaha mengendalikan
diri. Kuatnya genggaman dan debaran jantung seolah menunjukkan
sulitnya diri mengatasi emosi. Dengan mengingat apa yang Gita
lakukan padanya akan menambah perih di hati.
Beberapa kali ia coba mengatur nafas untuk menghentikan deru
jantung yang kian tak beraturan. Ari baru sedikit tenang ketika ia
berfikir bahwa selama ini ia memang tak bisa membahagiakan Gita.
Dengan mengingat berbagai kesalahan membuat Ari semakin sadar

134
bahwa ia tak pantas mendapatkan Gita. Dengan demikian, perlahan,
Ari menjadi tenang.
Ia menghapus sisa air mata di kelopaknya, menarik nafas dalam
dan setelah itu ia berdiri. Perlahan ia melangkahkan kaki menuruni
tangga. Saat di lantai dasar, ia melihat kedua sahabatnya sedang
duduk tenang menunggunya dengan duduk di lantai.
Ketika melihat Ari, mereka berdua berdiri dan menganggukkan
kepala. Ari membalas dengan anggukan kepala pelan namun tetap
dengan kesedihan yang sangat sulit disembunyikan.

135
ARI 17
Bahagia adalah ujung
Dari perjalanan kebenaran

Malam hari, Gita bermain di kost Rani. Mereka berdua tampak


serius membicarakan sesuatu. “Bagaimana ini, kenapa semua sudah
tahu?” keluh Gita yang tampak menahan masalah di dada.
“Siapa tahu Ferdi, calon suamimu, juga punya teman di kelas
kita. Atau mungkin Ayahmu kan juga punya banyak teman” kata
Rani coba menerka.
“Tidak mungkin. Tiada satupun keluarga yang punya
hubungan dengan teman-teman.” Kata Gita dengan penuh
keyakinan.
“Lalu siapa lagi yang tahu?” tanya Rani bingung.
“Itulah..” kata Gita Ragu mengatakannya. “Karena Ferdi teman
kak Putri. karena dia juga yang mengenalkannya padaku, jadi mana
mungkin aku tidak memberitahunya. Lagipula, kalau tidak dari aku,
Ferdi pasti menceritakan padanya juga.”
Mendengar itu Rani menghembuskan nafas pelan.
“Sebelumnya aku minta maaf. Sejak kak Putri berupaya
memperkenalkanmu dengan Ferdi dengan alasan hanya kenalan,
aku sudah tidak percaya lagi dengannya. Mana mungkin ia yang
awalnya coba meyakinkanmu pada Ari, tapi di tengah jalan ia malah
mengenalkan kamu pada cowok lain.”
Gita tak bisa menjawab. Ia hanya diam mendengar penuturan
temannya sambil menundukkan kepala tak berani menatap mata
Rani.
“Aku coba mengingatkan. Tapi, kamu lebih percaya dengan
kata-kata kak Putri. Sedang kata-kataku, tak pernah kau hiraukan...
Ingatlah, sahabat bukanlah orang yang selalu mendukungmu dalam
tiap kesempatan. Tapi, mereka adalah orang yang berani
mengatakan salah saat kau melakukan kekhilafan. Saat aku
melakukan itu, kau malah menganggapku musuh...
“Kau hanya bangga bersama Ari saat namanya dikagumi.
Sedang Ari, selalu berupaya ada, terutama saat kau sedih.
“Masih ingatkah kamu saat Ari memaksamu makan karena
kamu sakit? Bahkan di bawah ancaman putus, ia tetap berani
melakukan. Itu bukti Ari bertanggungjawab akan dirimu. Apa itu
salah? Tapi ketika kamu menuntut sesuatu yang tak bisa ia lakukan,
kau gunakan kesempatan untuk mengumpulkan kesalahan sebagai
cara membenarkan diri.

136
“Padahal, sedikitpun ia tak pernah mengungkit kekecewaannya
padamu. Tapi, kau terlena dan menganggap hanya Arilah yang salah
dan kau tak pernah melakukannya.
“Apa kamu mahluk sempurna?” tanya Rani dengan tajam.
Gita diam. Perlahan dari tundukkan matanya tampak air
matanya berlinang dan jatuh di pangkuannya.
“Kamu tahu kenapa Ari tak pernah mengungkit kesalahanmu?
Karena ia tidak mau kamu merasa bersalah. ....Ia, hanya ingin kamu
bahagia...”
“Jika kau mengatasnamakan bosan untuk membenarkan
tindakanmu dengan yang lain. Ingatlah, apa kata itu pantas
diungkapkan saat pernikahan sudah terjadi?
“Mulai sekarang, belajarlah. Dalam sebuah hubungan, kata
bosan itu untuk disikapi, bukan diikuti...” kata Rani pelan karena tak
tega akan Gita yang sudah menangis terisak-isak.
Melihat Gita dalam keadaan demikian membuat Rani juga
merasa sedih. Karena bagaimanapun, Gita sudah seperti saudara.
Rani duduk di samping Gita dan meyerahkan selembar tisue.
Beberapa saat Gita coba menenangkan diri. wajahnya masih
tertutup rambut yang jatuh menutupi raut yang penuh penyesalan.
“Apa kau sudah bicara dengan Ari?” tanya Rani.
“Itulah yang kufikirkan..... Aku bingung bagaimana
menyampaikan..”
“Tidak usah. Ia pasti sudah tahu... Karena sebelumnya
kuberitahu bahwa kau selingkuh.” kata Rani tegas.
Mendengar itu Gita memandang Rani dengan tatapan tidak
percaya.
“Maaf.. Sepulang dari praktik gerontik, aku sudah menjelaskan
semua. Namun yang membuatku kagum, ia menyikapi semua
dengan cukup bijak.
“Saat aku coba menjauhkannya darimu dengan alasan ayahmu
yang kurang setuju, ia menjawab ‘saat aku menyayanginya. aku tahu
bahwa ayahnya adalah saingan terberatku. Meski tahu akan kalah,
tapi aku takkan mudah menyerah’.
“Selama ini, dengan prinsip itulah ia bertahan sekaligus tetap
berharap akan ijin ayahmu untuk tetap bisa bersamamu.
“Segala alasan yang kuberikan seolah tak menjadi masalah
baginya untuk terus menyayangimu. Akhirnya, ketika ia akan pergi,
aku memberanikan diri mengatakan bahwa kamu sudah menjalin
hubungan dengan laki-laki lain.
“Sejenak ia menghentikan langkah. Aku tahu, kata itu seolah
membuat mati seluruh tubuh. Namun, meski demikian, aku
137
mengaku kalah ketika ia berkata ‘aku dengar Mario Teguh berkata
‘cintailah seolah kamu tak pernah tersakiti’. Dengan demikian,
ketulusan akan terus kau pegang. Kalau aku salah mengartikan kata
itu, aku hanya ingin menjadi yang terbaik. Jika bukan karena dia,
setidaknya untuk diriku sendiri. Jadi bantu aku untuk lebih
mengenalnya. Karena aku sayang dia.”
Mendengar hal tersebut membuat Gita kembali berurai Air
mata. Ia bener-bener tak menyangka bahwa orang yang
ditinggalkannya sangat mencintainya.
Jadilah pribadi yang tak hanya melihat apa yang ada sekarang
adalah jaminan kebahagiaan dan masa depan. Tapi sempatkanlah
melihat apa yang belum ada dan apa yang ia usahakan untuk
memenuhinya. Karena modal dari semua adalah pengetahuan diri
dan tanggung jawab akan kehidupan. Sungguh dunia tampak
nikmat didepan mata, sedang ia adalah pasti musnah. Lalu apa yang
akan kita banggakan. Sungguh, kekayaan, keturunan dan
ketampanan itu memikat. Sedang kepribadian lebih mengikat.

Sudah beberapa hari Rani coba membujuk Ari untuk mau


bertemu Gita. Namun segala alasan yang diberikan seolah tak bisa
mengubah keputusan Ari. Hingga pada Jum’at malam, Ari
mendapat telfon dari Rani.
“Ar, bisa ke kostku sekarang? Gita tahu kamu uda nggak mau
ketemu. Jadi ia titip surat ke aku.”
“Senin saja serahkan saat di kampus.” jawab Ari ringan.
“Ya, uda terserah. Gita ingin kamu segera terima surat ini.
Sedang besok pagi-pagi aku mau pulang. Lebih baik kutitipkan surat
ini sama temen kostku. Jadi entah besok atau minggu kalau kamu
ada waktu segera ambil surat ini.”
Mendengar penuturan Rani membuat Ari berfikir ulang.
“Baiklah. Biar kuambil sekarang.”
Sekitar tiga puluh menit kemudian Ari tampak didepan kost.
Rani mempersilahkan masuk dan menyuruhnya duduk sementara ia
kembali ke kamar.
Tak lama ia keluar dengan membawa sebuah kertas berwarna
biru yang dilipat rapi. Setelah Ari menerima kertas tersebut, ia
bersiap beranjak pergi. Namun, kembali Rani coba membujuk Ari
untuk bertemu Gita.
“Ayolah Ar... Sekali saja. Gita ingin minta maaf.”

138
Ari yang saat itu kondisinya sudah tenang menjawab dengan
ringan. “Sampaikan, aku sudah memaafkannya.”
“Kalau gitu, kenapa masih nggak mau ketemu?” Desak Rani.
“Tidak..” Ari menggelengkan kepala. “Tidakkah kamu fikirkan
bagaimana perasaan calon suaminya apalagi keluarganya kalau tahu
Gita bertemu denganku? Jika di posisi mereka, tentu aku akan
marah.”
“Apa kau tahu kondisi Gita saat ini? Ia juga menyesal dengan
semua yang ia lakukan. Ia ingin bertemu dan minta maaf secara
langsung. Dan kiranya.. Kau juga harus mengucapkan maaf
padanya..
“Kau tak pernah menjelaskan kesalahannya dengan alasan
ingin dia bahagia. Itu bukanlah sayang. Tapi, secara tidak langsung,
kau menjerumuskannya ke jurang.”
Ari diam tak menjawab. Kepala dan pandangan matanya ia
tundukkan. Dari hati, Ari ingin bertemu. Tapi dari norma, ia ingin
menghindar. Namun sesungguhnya ia lebih takut akan rasa sedih
yang akan dihadapi ketika melihat orang yang sangat ia sayangi
akan lepas di depan mata.
“Sampaikan maafku padanya..” kata Ari pelan sambil berdiri.
“Sampaikan langsung padanya...” kata Rani tenang diikuti
dengan terbukanya pintu dari dalam.
Ari tersentak ketika melihat Gita keluar dari balik pintu. Raut
wajahnya menampakkan kesedihan yang mendalam, namun hal itu
tak jua mengurangi kesan rasa sayang yang Ari rasakan.
Mata Ari seolah tak bisa berkedip akan apa yang ada di
hadapannya. Orang yang sangat ia sayangi, dari hati, ia ingin
membawanya lari. Namun perlahan kesadaran diri yang menguasai
dan ia menggelengkan kepala pelan.
Mereka berdua hanya saling pandang dengan menyimpan
perasaan masing-masing yang seolah bertarung dengan keinginan
dan juga kenyataan. Sesaat kemudian Ari melangkah maju
menghampiri Gita.
Beberapa saat mata mereka saling menatap. Ya. Mata adalah
jendela hati. Tanpa berkata, Gita tahu, Ari masih menyimpan rasa
itu. Namun, dalam waktu dekat ia akan menjadi istri orang lain.
Kenyataan pedih akan apa yang ia lakukan pada orang yang begitu
teguh percaya dan menempatkan hati pada dirinya membuat air
mata jatuh perlahan.
“Kenapa kau tampak bersedih..?” kata Ari mencoba tenang
dengan menampakkan sedikit senyuman. “Jika karenaku. Kau tak
perlu takut. Karena kau tahu, aku punya banyak cara tuk bahagia.”
139
“Aku yang takut..” jawab Gita dengan penuh kesedihan. “Aku
baru sadar… Meski sering marah. Tapi aku tak pernah bisa
membencimu.” Perlahan mata Gita memerah.
Ari menundukkan kepala. “Selama ini aku berusaha untuk
membuatmu bahagia...” kata Ari pelan. “Jika bisa. Cobalah untuk
tersenyum. Agar aku tidak merasa gagal hingga akhir...”
Gita berusaha menghentikan tangisan. Beberapa kali ia
menahan nafas dan terisak akan rasa sayang yang kian mendobrak.
Namun, ketika Ari kembali menatapnya dengan mata penuh kasih
sayang bercampur kesedihan, Gita tak lagi bisa menahan perasaan.
Ia meletakkan kepalanya di dada Ari dan menangis sesenggukan.
Seketika itu juga mata Ari memerah. Dengan linangan
kesedihan, ia memeluk kepala Gita dengan penuh kasih sayang.
“Saat janji sudah diucapkan.... Jangan lagi gunakan perasaan....
Karena yang ada hanyalah pertanggungjawaban.... Jadilah istri yang
baik...” kata Ari dengan lelehan air mata karena ia mengucapkannya
pada orang yang sangat ingin dimilikinya.
Mendengar kalimat itu kian mengingatkan Gita akan
pernikahan yang akan dihadapinya. Hal itu malah membuat Gita
menangis tak tertahankan. “Bawalah aku... Bawalah aku...”
“Jika aku membawamu....” kata Ari perlahan sambil merusaha
mengendalikan diri. “Aku akan memintanya langsung dari
ayahmu... Tapi sekarang.. Itu tak mungkin kulakukan...”
Gita menangis tersedu-sedu seraya mempererat pelukannya di
tubuh Ari. Beberapa kali Ari membelai rambut Gita dengan penuh
kasih sayang dan juga air mata yang terus berlinang.
Melihat mereka berdua berpelukan dengan linangan air mata,
membuat Rani tak kuasa menahan dada. meski berkali-kali berusaha
untuk tegar, namun hatinya menolak dengan telak. Hingga tak bisa
tertahan lagi, air mata menghiasi pipi.
Segala penyesalan telah terjadi. Karena tahu tidak baik
menggunakan kata ‘seandainya’, maka dalam hati Rani
mengucapkan doa agar diberi kekuatan dan petunjuk dalam
menjalani hidup. Dalam keadaan sekarang, hanya itu yang bisa ia
lakukan.

Sore itu Ari tak tahu lagi mau mengarahkan motornya kemana.
Sepanjang pagi dan juga siang hari ia berkelana di jalan untuk
mengalihkan fikiran yang selalu teringat akan pernikahan Gita.
Selama di jalan ia coba memikirkan bagaimana cara menyampaikan
ke ibunya.

140
Namun, meski sudah beberapa hari berlalu, jawaban itu juga
belum ketemu. Karena lelah, Ari mengarahkan motornya pulang ke
rumah. Setelah sampai dan memarkir motornya, Ibu Ari keluar
menyambut dengan wajah yang sedih namun tertahan di hati.
Perlahan, Ari melangkah ragu. “Ibu kenapa?”
Ibu Ari tak langsung menjawab. Beliau menyuruh Ari masuk
dan duduk seolah untuk menenangkan diri dan juga Ari. “Tadi ada
pemuda mengantarkan undangan...” kata Ibu hati-hati.
Setelah itu Ibu Ari mengeluarkan sebuah undangan berwarna
kombinasi putih dengan kuning emas. Tampak sangat mewah.
Namun hati Ari tersentak ketika ia melihat nama Ferdi dan Gita
tercetak besar dan jelas di undangan tersebut.
Saat itu, Ari hanya bisa menutup mata untuk menyembunyikan
kesedihannya. Ari bingung harus berkata apa. Dadanya bergemuruh
seolah disiram dengan bara.
Kesedihan kian bertambah ketika ia melihat mata ibunya
berkaca-kaca. Selama ini, Ari berjuang untuk membuang air mata
ibunya agar bisa mengganti dengan senyuman. Tapi kiranya
undangan ini telah banyak membuat senyum itu hilang dalam banjir
kesedihan yang kian tumpah akan air mata.
Ibu tak bisa lagi menyembunyikan sedih. Beliau langsung
memeluk kepala Ari untuk menguatkan hati.
“Kamu laki-laki...” kata ibunya dengan mata terus berair mata.
“Bahagia atau tidak. Kamu yang harus memutuskan sendiri.
Mendengar penuturan ibunya, Ari hanya bisa menganggukkan
kepala, menahan air mata dan tiada lagi bisa berkata.
Apa air mata ini cukup untuk menggambarkan kata sedih. Atau
cukup dengan tatapan mata kosong dan fikiran yang terhenti.
Tidak... Kesedihan bukanlah penghinaan. Tapi ini adalah ujian. Asal
tetap pada jalan kebenaran, yakinlah, bahagia adalah ujung dari
perjalanan.

141
ARI 18
Pengakuan pembunuh Wahyu

Malam itu Ari sudah bersiap untuk menghadiri pesta


pernikahan Gita. Ia mengenakan setelan jas warna hitam, kemeja
biru laut milik almarhum ayahnya. Dengan dasi pengikat leher
sudah terpasang rapi, Ari memantapkan hati untuk keluar dari
kamar.
Saat ia membuka pintu, ia melihat Ibunya tengah menunggu
dengan tatapan dalam penuh arti yang hanya beliau yang
mengetahui. Perlahan, beliau mendekat dan mengamati Ari dengan
seksama.
Dalam semua sudut, dibandingkan kakaknya, Ari lebih serupa
dengan ayahnya. Melihat pakaian tersebut dikenakan Ari, seolah ia
kembali melihat sosok suaminya. Namun perasaan tersebut segera
beliau redam untuk tidak menambah beban di dada Ari. Karena
setelah ini, ia akan pergi melihat sosok orang yang ia cintai
bersanding dengan orang lain.
“Berhati-hatilah..” kata Ibu seolah bingung harus mengatakan
apa untuk bisa membuat putranya menjadi keras bak baja.
Sejenak ari coba tersenyum. Namun, karena sulit, akhirnya ia
memeluk tubuh ibundanya untuk menyembunyikan kesedihan yang
ia hadapi. “Ibu tenang saja..” kata Ari sambil terus memeluk ibunya.
“Siapapun. Takkan bisa mengalahkan cinta Ari pada Ibu..”
Perlahan, setelah mengatakan hal tersebut, mata Ari memerah.
Ia memeluk tubuh ibunya dan juga menutup matanya dengan sangat
erat. Namun demikian, air itu tetap mudah menyelinap di balik
kelopak mata yang takkan bisa menutupi semua.
Sesaat setelah Ari melepas pelukannya, ia melihat ibunya juga
menitikkan air mata. “Ibu jangan menangis...” kata Ari mengiba dan
coba menghapus air mata di pipi ibu dengan kedua tangannya
lembut.
Namun, semakin dihapus, perih itu seakan kian terkoyak,
hingga ibunda tak lagi bisa menyangkal akan sedih yang melanda.
“Kamu yang jangan menangis...” Ibu Ari balik menghapus air mata
di pipi Ari. “Apa ayahmu pernah mengajari hal ini?” kata Ibu mulai
terbata. “Apa kamu mau ibu dimarahi ayah karena
memanjakanmu...”
Mendengar hal tersebut Ari tak kuasa menahan kesedihannya
dan kembali memeluk ibunya sembari terus menggelengkan kepala
dengan mata terus meneteskan kesedihannya. Sesaat, kenangan

142
bersama ayah dan ibunya semasa kecil hingga dewasa tergambar
jelas dari mata yang tertutup dengan rapat.
“Maafkan Ari....” kata Ari penuh penyesalan. “Selama ini... Ari
selalu merepotkan ibu dengan terus membelaku...”
“Bicara apa kamu...” kata ibu Ari mengelus punggung putranya
untuk menenangkan. “Bukankah sudah tugas ibu untuk
mendidikmu...”
“Sekali lagi maaf... Karena Ari tidak pernah memeluk ibu dalam
keadaan bahagia...” tangisan Ari kembali pecah akan bayangan
bahwa selama ini ibu telah menyayanginya sepenuh hati. Kasih
sayang beliaulah yang selama ini menjadi acuan dunia untuk sayang
abadi.
Ari berharap, pelukannya kali ini bisa menggambarkan bahwa
ia sangat menyayangi ibu. Terimalah pelukan ini sebagai ganti
penyesalanku karena tak pernah mengucapkan terima kasih. Meski
kutahu engkau takkan menanti kata itu. Terimalah sebagai
penghormatan dan juga gambaran bahwa engkau punya andil akan
semua kebaikan yang terjadi pada diri ini.
“Sudah... Segeralah pergi...” kata Ibu Ari dengan terus berair
mata.
Beberapa saat Ari tak mau melepas pelukannya. Hingga setelah
ia sedikit tenang dan menghentikan tangisanya. Segera ia mengambil
saputangan di saku. Sambil coba tersenyum, Ari menghapus air
mata di wajah ibunya.
Melihat hal tersebut, ibu Ari juga berupaya tersenyum.
“Tunjukkan bagaimana ayah mendidikmu...”
Kata tersebut seolah membuat Ari kembali semangat untuk
menghadapi semua. “Bukan hanya ayah,” kata Ari tersenyum. “Tapi
juga bagaimana ibu membimbingku...”
Setelah itu Ari melangkah mantap menuju motor yang juga
warisan ayahnya. Beberapa kali knalpot terdengar menderu untuk
sekedar menandakan bahwa hati ini bergemuruh sedemikian
kuatnya.
Tanpa memandang ke belakang, Ari langsung memacu motor
tersebut ditengah jalan yang tak pernah sepi akan para pejuang
dalam menggapai impian. Namun bagi Ari, perjalanan kali ini cukup
untuk menunjukkan bahwa hati ini tegar dalam menghadapi cobaan.
Empat puluh menit berlalu dan dihadapan Ari sudah tampak
gedung tempat pernikahan telah ramai akan mobil yang terparkir.
Tidak sedikit orang juga baru datang bersamaan dengan Ari.
Kebanyakan dari mereka memakai pakaian kelas atas dengan
kemewahan yang melekat.
143
Ari mengarahkan motornya pelan masuk pintu gerbang. Dari
kejauhan tampak seorang petugas parkir mengarahkan untuk ke
arah samping kiri gedung. Disana tempat parkir kendaraan roda
dua.
Setelah memarkir motor, Ari merapikan rambut yang sedikit
kusut karena helm. Setelah itu ia memandang orang-orang yang
masih berdatangan. Dari pandangan, tak satupun dari mereka yang
Ari kenal.
Dengan sedikit keraguan namun dibalut dengan tekad untuk
memasuki ruangan yang ia tahu akan merobek hatinya, ia
mengindahkan kata hati untuk berhenti. Ari memaksakan kaki
untuk melangkah, bahkan kalau bisa, Ari ingin berlari dan segera
menyudahi acara yang baginya bagai pesta kematiannya.
Tak terasa, ari sudah berada di depan pintu masuk dengan
delapan orang pagar ayu yang menyambut dengan senyuman. Ari
kemudian menuliskan nama di buku tamu. Setelah itu,
dihadapannya, meskipun jauh, ia bisa melihat sosok Gita tengah
bersanding dengan suaminya. Ia mengenakan gaun putih dengan
mahkota di kepala yang menambah kesan cantik dalam keanggunan
wajahnya.
Kembali Ari menegarkan hati untuk terus melangkah. Beberapa
keluarga mempelai menyambutnya dengan mengulurkan tangan
dan senyuman. Perhatian Ari teralihkan sejenak untuk menjabat
salam berserta senyuman yang kian sulit untuk dikembangkan.
Setelah semua penyambut sudah ia salami, dihadapannya kini
lebih jelas akan sosok Gita tengah bersanding dengan pria yang kini
menjadi suami sahnya. Pandangan dan langkah Ari terhenti akan
beban yang begitu berat untuk diangkat.
Dari balkon utama, Gita tersentak akan kehadiran Ari. Kenapa
ia datang? Ia tak mengundang Ari karena ia tahu itu hanya akan
menambah perih di hati. Tapi kini ia sudah ada di hadapannya dan
hanya bisa berdiri menyaksikan dirinya, orang yang sangat ia
sayangi, tengah bersanding dengan gaun yang seolah akan
mengikatnya seumur hidup dan juga menutup keinginan untuk
kembali memiliki.
Melihat sosok Ari yang tak bergerak, Gita tak kuasa ikut
merasakan apa yang Ari hadapi. Senyum yang sedari tadi ia
kembangkan seolah hilang tak tahan membayangkan apa yang Ari
rasakan.
Tatapan kedua mata mereka seolah merubah suasana pesta
yang tadinya penuh akan keceriaan, sekarang seolah tegang
menunggu apa yang akan terjadi kemudian. Musik yang tadinya
144
terus mengalunkan lagu bahagia, perlahan berhenti tenang seolah
menyanyikan nestapa.
Kini semua tatapan mengarah pada Ari dan juga Gita yang
tengah menahan isak tangis dengan sekuat hati. Perlahan tatapan
mereka beranjak mengikuti arah langkah Ari menuju balkon
pelaminan. Suasana hening ketika ia menyalami keluarga mempelai
pria. Karena mereka tidak mengenal Ari, mereka hanya bisa
menyambut uluran tangan Ari namun dengan wajah penuh tanya.
Ketegangan kian memuncak ketika Ari melangkah menuju
mempelai pria. Ari menatap wajah Ferdi, suami Gita. Tampan, tegap
dan menunjukkan orang yang sigap. Ari tersenyum ringan ketika
mengulurkan tangannya. Tangan Ari langsung disambut ditambah
dengan senyuman yang bercampur dengan keterpaksaan.
“Selamat..” kata Ari singkat.
“Terima kasih..” jawab Ferdi menatap ketegaran Ari dalam
meghadapi langsung pernikahan orang yang sangat ia harapkan.
Seberapa besar keberanianmu dalam menghadapi masalah, hingga
dalam keadaan seperti inipun kau tetap tegap melangkah.
Setelah itu, Ari menggeser posisinya menghadap Gita secara
langsung. Dihadapannya, Gita tampak tak bisa menahan kesedihan
akan semua. Sedang Ari terus menatap tenang untuk memberi
keyakinan bahwa semua sudah terjadi. Maka tak ada jalan selain
menjalani dengan sebaik mungkin.
“Bahagialah... Karena pernikahan akan menyempurnakan
agamamu.”
Gita tak bisa menjawab. ia terisak menahan tangis di dada.
namun, tak lama matanya memerah dan perlahan air mata menetes
dengan jelas.
Karena tak ingin menambah kesedihan Ari segera
melangkahkan kaki dan menuju keluarga Putri. Disana ia mendapati
ayah Gita dengan muka marah sedang tangan Kirinya dipegang erat
oleh ibu Gita seolah ingin meredam kemarahan. Namun tak bisa
dicegah, tangan kanan bebas bergerak dan langsung menampar pipi
Ari.
“Kenapa datang kemari? Siapa yang mengundangmu?” tanya
ayah gita dengan muka sangat geram.
Melihat itu Gita ingin bergerak menghampiri. Namun sayang,
tangan kanannya dipegang erat suaminya. Gita menatap mata
suaminya dengan harap, namun gelengan kepala yang ia dapat.
Keadaan tersebut kian membuat air mata Gita jatuh tak beraturan.
“Sudah, pergilah..” kata ibu Gita sambil terus menahan tubuh
suaminya.
145
Melihat keadaan yang tak terkendali, perlahan Ari kembali
harus melangkahkan kaki. Namun, tak jauh dari balkon utama, tiba-
tiba kakak Gita memukul wajah Ari dengan sangat emosi. Tidak,
bukan hanya kakak Gita, tapi juga beberapa keluarga dan teman dari
suami Gita.
Mendapat serangan dari entah berapa orang, emosi Ari
langsung memuncak. Bukannya mundur, tapi ia malah maju menuju
orang paling dekat yang bisa ia raih dengan tangan kirinya dan
langsung memukul dengan sekuat tenaga.
Namun tak bisa dicegah, beberapa pukulan mendarat di wajah
hampir bersamaan. Meski kepalanya terhuyung ke belakang sesaat,
tapi tak menyurutkan luapan emosinya untuk terus maju menyerang
siapa saja yang terdekat.
Ia tak lagi memperdulikan berapa pukulan yang ia terima dan
sakit yang ia rasakan, tapi ia lebih fokus pada siapa terdekat yang
bisa ia balas pukulannya.
Meski tak sedikit orang berkumpul menyerang bersamaan, tapi
tak jua bisa menjatuhkan tubuh yang penuh dengan emosi. Mata Ari
memerah dengan bibir tertutup kejam seolah haus darah. Saat ini
wajahnya sama seperti setan yang tak memiliki hati manusia. Hingga
beberapa orang ragu untuk melangkahkan kaki menyerang sendiri.
Namun, ketika semua saling menatap mata dan memberi tanda,
akhirnya mereka maju secara bersama. Mendapat serangan dari
berbagai arah jelas membuat wajah Ari penuh dengan luka dan juga
darah. Meski mendapat serangan brutal, namun tekadnya seolah tak
mengijinkan tubuhnya untuk jatuh ke tanah.
Ditengah situasi yang tak terkendali, Ari mendengar suara
kegaduhan dan ia merasa serangan yang mengarah pada tubuhnya
berkurang. Dengan mata yang bengkak, samar-samar ia melihat
Agung dan Wiro berdiri mengelilinginya dan menghajar siapa saja
yang mendekat.
Melihat kedatangan kedua sahabatnya dengan sikap siap
waspada, beberapa dari mereka perlahan menjaga jarak. Ari kembali
menguatkan diri. Meski tubuh dan wajah penuh darah, namun
matanya tetap menyala bagaikan bara.
“Kau masih kuat?” tanya Agung yang langsung dijawab
dengan anggukan kepala dengan nafas yang terengah-engah.
“Kami berpakaian rapi... Ini bukti kami ingin menghadiri
resepsi...” Kata Wiro berdiri tegap dan kedua tangan terkepal. “Tapi
jika ada yang mau lebih dari ini... SILAHKAN.. AKAN KAMI
HADAPI...”

146
Mereka yang tadinya menyerang, kini saling pandang. Dengan
melihat keberanian mereka meski di kandang musuh, membuat
mereka menjadi ragu. Tatapan mata dan sikap ketiga orang
dihadapan mereka seolah mengabarkan, bahwa dengan keyakinan
akan kebenaran, kematian bukanlah hal yang menakutkan.
Akhirnya, keraguan tampak di wajah mereka untuk
melanjutkan ‘peperangan’. Meski tegang, setidaknya suasana sedikit
tenang dengan tiadanya niatan untuk menyerang.
“KENAPA DATANG...!!!” kata kakak Gita dengan emosi.
“KAMI TIDAK MENGUNDANG KALIAN...!!!”
“Ya.. Kami tahu itulah yang akan kalian permasalahkan.” Kata
Agung tenang namun dengan sikap siaga. “Siapapun diantara kalian
disini yang merasa mengundang Ari, BERSIKAPLAH
KESATRIA..!!!”
Mendengar perkataan Agung membuat kakak Ari melihat
kesana kemari dengan mata penuh emosi. Namun, tak lama suara
yang dicari muncul.
“Akulah yang mengundangnya...”
Mendengar suara tersebut mereka semua saling pandang.
Namun perlahan mereka hampir tak percaya ketika semua mata
menatap sang mempelai pria.
“Ya... Akulah yang memberikan undangan ke rumahnya...”
Mendengar itu membuat Gita menatap orang disebelahnya
dengan penuh tanya dan juga kekecewaan yang mendalam.
“Kenapa kau lakukan ini...!!!” teriak Gita dengan penuh air
mata. “Kenapaaaa...!!!” Gita berusaha memukul pria yang baru
menikahinya.
Ferdi coba menahan dengan memegang kedua tangan Gita
yang terus meronta dan berurai air mata. Sedang kakak Gita berdiri
terpaku tak tahu harus berbuat apa. Ia seolah tak percaya dengan
apa yang terjadi.
Dengan menyadari bahwa Ari memang mendapat undangan,
maka semua melunak. Ari, Agung dan Wiro menurunkan sikap
siaganya dan berdiri dengan tegap.
“Jangan salahkan dia...” kata Agung tenang. “Dia hanya
menuruti kata teman. Mungkin baru sekarang ia sadar bahwa ia
dimanfaatkan...”
Mendengar pembelaan Agung membuat Ferdi menundukkan
kepala dengan wajah menunjukkan penyesalan. Perlahan, ia
melepaskan kedua tangan Gita seolah mengijinkan untuk
memukulnya.

147
“Berikan langsung padanya. Dengan begitu Ari akan
memastikan diri datang dan memberi restu.” Kata Ferdi pelan.
“Itulah kata yang mengantarkanku untuk berkunjung ke
rumahnya…. Aku tak percaya... Ternyata aku hanya boneka. Karena
itu.. Maafkan aku...”
Beberapa saat suasana menjadi hening. Ruangan pesta yang
penuh dengan gemerlap dan juga orkestra, seolah mati akan suara.
Tiap pergerakan tubuh, akan menjadi pusat tatapan mata.
“Semua sudah jelas...” kata Agung pelan. “Sekarang.. Ijinkan
kami pergi..”
Perlahan mereka bertiga bergerak diantara kerumunan orang
yang kian mundur untuk memberi kesempatan jalan. Namun,
ditengah perjalanan, Putri muncul dengan wajah penuh kebencian
bercampur kepuasan.
“Bersyukurlah... Kau hanya pulang dengan tubuh penuh darah,
tapi setidaknya tetap bernyawa.” Kata Putri dengan sinis. “Sekarang,
kau merasakan bagaimana rasanya jadi Wahyu. Tapi kau...!!! KAU
BELUM MERASAKAN BAGAIMANA DITINGGAL MATI
KEKASIHMU...!!!!” Kata Putri dengan mata menyala penuh
kebencian.
Mendadak Wiro langsung beranjak. Dengan wajah marah, ia
memegang kerah baju Putri dan mengangkatnya seolah Putri
seorang laki-laki. “Kau tahu apa yang terjadi dengan Wahyu...??
Selama ini... ARILAH YANG MELINDU....” belum sempat Wiro
melanjutkan kalimat, Ari berteriak.
“WIROOOOOO....!!!!” Ari langsung bergerak maju menekan
leher Wiro dengan tangan kirinya hingga terjatuh di lantai. Ari
berjongkok dengan bertumpu pada lutut kirinya, sedang tangan
kanannya langsung mengarahkan pukulan ke wajah Wiro.
Sesaat, gerakan tangan kanan Ari ditahan oleh Agung. Namun
Wiro masih bisa melihat wajah dan tatapan mata Ari bak iblis
dengan aura darah dan api yang menyala.
Melihat pemandangan itu, Putri yang juga sempat terjatuh,
perlahan berdiri dan tak tahu apa yang terjadi. Ia bingung. Apa yang
akan dikatakan oleh Wiro hingga membuat Ari begitu marah pada
sahabatnya sendiri?
“Tenanglah...” Kata Agung coba menurunkan emosi Ari.
“Anggaplah masalah itu sudah usai...” Tapi Ari tak juga
melemahkan niatannya. Tangan kiri masih kuat menekan leher. Dan
tangan kanan, jika Agung tak menahan, maka pukulan keras akan
dilepaskan.

148
Perlahan terdengar suara langkah sepatu mendekat dan berdiri
didepan Ari. Seseorang dengan tubuh kekar memakai jeans hitam
dan kaus lengan pendek. Besarnya tubuh dengan kedua lengan
penuh dengan tato dan beberapa bekas luka jahit membuat Ari
teringat akan seseorang.
“Ya... Anggaplah tugasmu telah usai...” kata orang dengan
wajah hitam dan rambut ikal yang berada di hadapan Ari.
Mendengar perkataan tersebut. Perlahan Ari melepaskan
tangannya dari leher Wiro. Sedang Agung yang sedari tadi menahan
tangan kanannya, sekarang seolah membantu Ari untuk kembali
berdiri.
“Kau ingin tahu apa yang terjadi pada Wahyu...?” kata pria
garang itu menatap Putri yang kian membuatnya bingung tentang
apa yang sebenarnya terjadi.
“Jangan...” kata Ari menatap pria itu. “Aku sudah terbiasa
dengan hal ini...”
Pria itu tersenyum. “Karena itu aku juga ingin merasakannya...”
katanya tak menghiraukan Ari dan tetap memandang Putri.
“Akulah yang membunuh Wahyu...” kata Pria tersebut sambil
menatap Putri dalam-dalam untuk meyakinkan bahwa dialah yang
melakukan semua itu. “Kau ingin tahu ceritanya....?”

149
ARI 19
Kisah pilu
Terbunuhnya Wahyu

Kembali di kampus sekitar dua setengah tahun yang lalu.


Setiap kali ditanya oleh Agung dan Ari kemana, Wahyu dengan
tenang dan senyuman menjawab kalau ada bisnis. Setelah itu ia
menemui Bayu dan Wiro. Diam-diam Bayu menyelipkan selembar
amplop ke saku baju Wahyu. Setelah itu Wahyu meraba baju,
tersenyum dan kemudian pergi.
Wahyu kemudian bergerak mendatangi beberapa teman
dengan menyapa ringan. Setelah itu mereka berjalan menjauhi
kerumunan. Saat merasa aman Wahyu mengeluarkan sesuatu dari
kantung baju dan secara sembunyi. Sesaat tersingkap jelas dibalik
tangannya ada dua butir pil yang terbungkus plastik putih yang
Wahyu serahkan pada temannya. Tak lama temannya balik
menyerahkan beberapa lembar uang pecahan limapuluh ribuan.
Setelah tersenyum, mereka berpisah mencari jalan masing-masing.
Minggu berganti bulan, kesibukan Wahyu kian bertambah. Ia
harus menemui beberapa orang dalam hari yang sama. Namun, ada
yang berbeda. Kali ini kebanyakan dari mereka seolah menghindar
saat Wahyu menyapa. Atau kalau tidak bisa mengelak untuk
bertemu, mereka hanya bisa memasang muka tak berdaya sambil
menggelengkan kepala.
Wahyu menyambut itu semua dengan wajah yang serba salah.
Beberapa kali ia mengusap kedua tangannya di kepala tanda risau di
dada. Kerisauan kian memuncak ketika ia dan Putri sedang jalan-
jalan, beberapa pemuda menghampiri dengan nada mengancam.
”Jika kamu tidak jelaskan semua pada cewekmu hari ini. Maka kamu
sendiri yang akan menerima akibatnya.” kata salah seorang pemuda
itu sebelum pergi dengan muka marah.
Putri merasa ketakutan karena secara tidak langsung ia disebut-
sebut. Wajah Wahyu juga tiba-tiba berubah menjadi penuh
kekhawatiran. Namun ketika Putri bertanya ada apa, Wahyu hanya
menjawab, ”Tidak ada apa-apa. Mungkin mereka salah orang. Kamu
tenang saja. Biar nanti saya cari tahu siapa yang punya masalah
dengan mereka.”
Setelah itu Wahyu bergegas mengantar Putri balik ke kostnya.
Kemudian ia pergi ke rumah Bayu. Disana ia juga bertemu dengan
Wiro.
“Tolong saya...” kata Wahyu dengan nada mengiba pada Bayu.
“Maaf... Aku nggak bisa.” Kata Bayu dingin.
150
“Setidaknya bicaralah pada Bos Alex.. Aku minta keringanan
waktu...”
“Justru karena ini sudah berhubungan langsung dengan Bos
Alex. Jika aku pernah membelamu, ke depan jika ada apa-apa,
akulah yang harus bertanggung jawab. Aku tidak mau..” jawab Bayu
dingin.
“Wiro...” kini Wahyu menatap Wiro dengan penuh harap.
Namun Wiro hanya diam tak bereaksi apapun.
“Bukankah kau mau minta tolong Putri...?” kata Bayu coba
memberi solusi.
Mendengar itu Wahyu hanya bisa menundukkan kepala. “Aku
hanya memberi alasan untuk sekedar mengulur waktu. Aku tak
mungkin minta tolong padanya. Karena itu sama saja akan membuat
dia membenciku.”
Tak lama kemudian masuk dua orang tegap berpakaian preman
dengan tampang garang. Dengan memaksa mereka berdua
membawa Wahyu keluar dari rumah. Sedang Bayu dan Wiro tak
bisa berbuat apa-apa selain menatap dengan pandangan tak berdaya.
Tak lama setelah suasana kembali hening, Hp Bayu berdering.
Setelah mengangkat, beberapa saat ia hanya mendengar perkataan,
setelah itu ia menjawab, “Baik. Saya ke sana.”

Pagi, keesokan hari. Sebelum berangkat, Ari mengambil Hp


yang sejak semalam ia matikan untuk dicharge. Sesaat kemudian ia
hidupkan sambil bersiap untuk berangkat ke kampus. Setelah siap,
ia berpamitan pada ibunya dan kemudian berjalan menuju motornya
yang sudah siap di halaman depan.
Sesaat kemudian perhatiannya teralihkan oleh Hp di sakunya
yang bergetar. Ari mengambil Hp itu dan membuka ternyata ada
sms masuk. Setelah membaca sms, tiba-tiba wajahnya berubah
menjadi tegang, segera ia menghidupkan motor dan memacunya
dengan kencang.
Setiba di kampus, suasana masih sepi. Ketika masuk parkir
motor, ia tengah mendapati Bayu dan Wiro tengah menunggunya.
Sesaat setelah memarkir motor, mereka menuju ke sebuah mobil
yang di dalamnya sudah ada dua pemuda di depan dan dua di kursi
belakang.
Tampak dari wajah mereka bukanlah orang yang ramah. Ari
masuk di kursi tengah diapit oleh Bayu dan Wiro. Tanpa banyak
bicara mobil melaju dengan cepat hampir sama dengan detak
jantung Ari yang kian meningkat.

151
Beberapa menit berlalu dan mobil berhenti disebuah rumah
beberapa blok dari kampus. Rumah yang cukup besar dengan pintu
gerbang menjulang. Ari keluar dan berjalan menuju ruang tamu.
Disana ia mendapatu puluhan orang dengan wajah yang siap
menerkam. Ari terus dituntun untuk terus berjalan dan akhirnya
berhenti di sebuah ruangan.
Ruangan itu penuh dengan para pria dengan tampang yang
menunjukkan kegarangannya. Sebuah ruang kosong yang cukup
luas dan hanya sebuah kursi dan meja di sudut sebagai penghias.
Semua orang berdiri kecuali seorang dengan perawakan tinggi besar,
berambut ikal dengan kedua lengan penuh dengan tato. Bos Alex.
Begitulah semua memanggil orang tersebut.
“Akhirnya kau datang juga..” kata Bos Alex menatap Ari sambil
menata duduknya yang tampak kian garang.
Sesaat kemudan Ari melihat Wahyu tergeletak di lantai dengan
beberapa lebam di wajah terutama mata. Melihat hal itu, Ari
mengepalkan kedua tangan untuk menahan emosinya.
“Kau pasti sudah membaca sms dari temenmu ini.” Kata Bos
Alex dengan senyum merendahkan. “Selama ini ia mengedarkan
narkoba. Karena kebodohannya, ia meminjamkan barangnya ke
beberapa teman. Ia tak mau menyebutkan siapa saja yang berhutang.
Dan akhirnya ia yang harus membayar padaku sebesar lima belas
juta.
“Apa kamu sanggup melunasinya? Karena jika tidak, maka
tamat riwayatnya.”
Sesaat Ari melihat puluhan orang yang memenuhi ruangan
tersebut. Sekarang ia berada disarang para pengedar narkoba yang
bisa melakukan apa saja.
“Tak lama lagi, kami akan menyerang kampusmu. Kami tak
tahu siapa, tapi mereka jugalah yang harus bertanggung jawab
karena memakai barangku,” kata Bos Alex sambil menyulut rokok di
bibirnya.
“Jangan...” kata Wahyu dengan lemah.
Tapi kata itu justru membuat dua orang yang berdiri di
dekatnya langsung menendang muka dan tubuh Wahyu beberapa
kali sambil menyuruhnya diam.
Melihat itu Ari langsung bergerak maju. Tapi sayang
gerakkannya langsung ditahan oleh lima orang yang dengan sigap
memegang tubuh dan tangan Ari yang terus meronta.
Mereka baru mengendurkan tahanan mereka akan tubuh Ari
ketika melihat Bos Alex memberi tanda untuk menghentikan semua,
termasuk memukul Wahyu.
152
“Ar...” Kata Wahyu dengan lemah. “Tolong aku...”
Ari melihat Wahyu dengan tatapan kebencian. Kenapa kau
begitu bodoh melakukan ini semua. Padahal kau tahu itu akan
menghancurkan masa depanmu. Kata hati Ari berkecamuk.
“Aku tak bisa..” kata Ari tegas. “Aku tak punya uang sebanyak
itu.”
Mendengar hal tersebut membuat Bos Alex tersenyum dan
mengarahkan pandangan ke Wahyu, “Orang yang kauanggap bisa
menolong ternyata tidak bisa diharapkan. Jadi... Nikmati tiap tarikan
nafasmu di detik terakhir kehidupanmu...”
Setelah mendengar kata itu, beberapa orang langsung
mengangkat tubuh Wahyu. Sedang yang lain langsung menjadikan
tubuh itu menjadi sasaran pengerusakan yang tak lagi berniat
melukai, tapi untuk membunuh dan membuatnya mati.
Melihat temannya dipukuli habis-habisan, Ari langsung
bergerak maju. Ia memukul dan menendang siapa saja yang berani
menghalangi. Gerakan tubuh yang dikendalikan mata penuh amarah
membuat wajahnya bukan lagi seperti manusia.
“TAHAN DIA...!!!” Teriak Bos Alex. “JANGAN PUKUL
WAJAHNYA. KARENA IA AKAN KUJADIKAN KAMBING
HITAM AKAN KEMATIAN TEMANNYA...”
Empat, lima, tujuh bahkan sepuluh orang kini berusaha
menahan tubuh Ari dengan sekuat tenaga. Ari tetap berupaya
mengayunkan kepalan tangannya ke arah semua yang menahannya.
Entah berapa kali dan kepala yang telak menjadi sasaran
pukulannya hingga kepalan itu penuh luka.
Sedang di seberang tubuh Wahyu yang sudah penuh dengan
darah tetap menjadi sasaran pukulan yang kian menyiksa.
Kepalanya terobang-ambing ke kiri dan kanan akan kepalan mereka
yang diarahkan tanpa belas kasihan.
Ari terus meronta dengan beberapa orang yang terus
menghalangi. Dua orang di tangan kiri, tiga orang di tangan kanan.
Masing-masing dua orang menahan kaki dan satu orang menahan
tubuh Ari. Merasa tak bisa bergerak lagi, akhirnya Ari berteriak..
“HENTIKAAAAAN......!!!” Air mata Ari berurai melihat tubuh
temannya yang tersiksa dan penuh akan darah.
“HENTIKAAAAAAAAAAAAAN.....!!!!” teriak Ari
menghentikan semua. Ia tak lagi bisa menahan tangisnya karena
melihat wajah sahabat yang sekarang seolah tak bisa ia kenali.
“AKU HANYA PUNYA ENAM JUTA... Sisanya... BERIKAN
WAKTU UNTUK MELUNASINYA...” Teriak Ari sambil menangis
tersedu-sedu.
153
Melihat pemandangan yang memilukan tersebut, membuat
jantung Bos Alex sesaat bergetar hebat. Sedang Bayu dan Wiro yang
juga ada dalam ruangan tersebut hanya bisa memandang tegang tak
bisa berbuat apa-apa. Mereka menatap sikap Ari dengan tertegun
seolah tak percaya akan luapan amarah yang harus ditahan sepuluh
orang.
Namun tahanan mereka semua satu persatu melepaskan tangan
ketika Bos Alex memberi tanda untuk membiarkan Ari dan juga
Wahyu.
Dengan jelas Ari melihat tubuh Wahyu digeletakkan di lantai
tanpa daya. Melihat hal tersebut, perlahan Ari berjalan menuju
tubuh sahabatnya. Sambil terus menangis, Ari menghapus darah
yang terus mengalir di wajah Wahyu.
“Wahyu... Maafkan aku...” kata Ari memeluk kepala
sahabatnya hingga bajunya penuh dengan noda darah.
“Ari... Ari..” hanya itu kata yang bisa Wahyu ucapkan seolah
tak bisa lagi membuka mata.
Ari memeluk dengan segala penderitaan melihat sabatnya.
Tubuhnya bergetar akan pedih yang bergemuruh di dada. Ia
memejamkan mata erat untuk sekedar menguatkan hati dan
menghalangi air mata yang terus mengalir.
Beberapa saat Ari terus memeluk tubuh yang penuh dengan
luka. Ketika Ari mampu mengendalikan diri dan menghentikan
tangis, ia berupaya mengangkat tubuh sahabatnya seorang diri. Ari
tampak kesulitan ketika mengangkat tubuh Wahyu yang tanpa daya
seorang diri.
Tak lama, Wiro bergerak maju membantu Ari untuk
mengangkat tubuh Wahyu. Ketika tubuh itu sudah terangkat dengan
kedua tangan Ari, sesaat Wiro tetap menatap untuk menyelami jati
diri Ari. Dalam pandangan Wiro, ia hanya melihat kesedihan yang
dalam. Meskipun Ari melihat Wiro dan Agung dalam ruangan dan
tidak berbuat apa-apa, tapi tak sedikitpun tatapan kebencian
ataupun menyalahkan mengarah pada teman satu kelasnya.
Sebelum Ari melangkah pergi, Bos Alex berkata, “Ingat janjimu.
Dan lagi,” sesaat Bos Alex membuka dompet Wahyu yang ada di
meja dan membukanya. Setelah itu ia mengambil dan menunjukkan
foto Putri. “Kalau sampai kau membuka mulut tentang kami.
Berikutnya... Wanita ini yang akan kucari.”
Ari menatap tajam mata Bos Alex sambil berkata, “Jika ada satu
saja anak buahmu yang berani menyentuh. Kau. Yang akan
kubunuh...”

154
Bos Alex tertawa dengan ancaman yang ia terima.
“Membunuhku...?? Apa kau tak tahu kekuasaan dan
kekuatanku...??”
“Kekuatan...??” tanya Ari dengan tatapan menakutkan. “Jika
kau tak berniat menjebakku, niscaya aku lebih memilih untuk mati
di sini... Usaha untuk melindungi yang lemah... Itulah kekuatan...
Bagaimana kau bisa bangga dan percaya diri dengan kata-kata yang
kau sendiri tak mengerti...”
Bos Alex terdiam. Kata-kata itu seolah menampar dirinya yang
selama ini memang merasa bangga akan kekuatan dan kekuasaan
yang ia miliki. Hingga orang yang bertemunya akan menundukkan
kepala untuk menunjukkan bahwa mereka takut akan dirinya.
Ketakuan tentang apa yang bisa kita lakukan, akan lebih
bermanfaat jika untuk menentramkan. Bahwa selemah dan sekurang
apapun, kau dalam perlindungan. Karena kelebihan yang Tuhan
beri, adalah adalah tugas kita untuk membagi.
Tak terasa beberapa saat Bos Alex termenung. Ketika
pandangannya kembali, ia hanya bisa menatap punggung Ari yang
tetap tegap melangkah dengan mengangkat tubuh Wahyu di
tanggannya.
“Lindungi dia..” kata Bos Alex pada salah seorang diantara
mereka. “Jangan ada yang mengganggu jalannya. Setelah itu,
bubarkan yang lain.”
Salah seorang diantara mereka langsung menganggukkan
kepala dan melangkah mengikuti Ari. dari wajahnya, ia adalah salah
seorang dari empat pemuda yang menggoda Gita. Namun ia tak ikut
mengeroyok karena tahu bagaimana Ari saat marah.
Pemuda itu terus berjalan di belakang Ari sambil terus memberi
tanda untuk tidak menganggunya. Hingga tiap langkah yang Ari
kembangkan adalah sebuah tanda bagi mereka untuk menyingkir
dari hadapannya.
Sedangkan dalam hati, Ari tahu. Bahwa tiap langkahnya adalah
menuju gerbang neraka. Karena ia akan jadi tersangka. Ditambah
lagi, ia harus melindungi Putri...

Satu jam sebelum keberangkatan Ari ke pesta pernikahan Gita.


Setelah tahu dalang semua adalah Putri yang masih menyimpan
dendam pada Ari, Wiro bertekad untuk kembali menemui Bos Alex.
Dibantu Agung, mereka menceritakan semua yang Ari alami
selama ini. Dari kehilangan ayah, difitnah, hingga dendam Putri
untuk terus mengganggu hubungan Ari. Dan kini, Ari harus

155
menghadapi pernikahan orang yang ia cintai. Mereka tahu Ari akan
sendiri. Karena dari teman satu angkatan, hanya Ari dan Putri yang
memperoleh undangan.
Mendengar cerita Wiro dan Agung, Bos Alex terdiam sesaat.
Jari-jemarinya perlahan bergantian mengetuk meja dihadapannya.
Setelah itu ia berkata.
“Di dunia sekarang ini... Masih adakah orang sebaik itu?”
Sejenak Wiro memandang Bos Alex dengan seksama, setelah itu
ia berkata, “Ada..” jawab Wiro pelan. “Akan bertambah satu, jika Bos
mau....”
Jawaban Wiro membuat Bos Alex kembali terdiam. Sejak
peristiwa lalu, tiba-tiba Wiro berhenti dari bisnis ini. Bukan hanya
Wiro. Karena ketakutan akan terkait dengan kasus Wahyu, mereka
semua seolah menyerang Ari dengan maksud menekan agar tidak
memberitahu akan kejadian yang sebenarnya.
Namun dibalik itu semua, mereka juga memutuskan untuk
tidak lagi mengkonsumsi narkoba. Semua anak buahnya melaporkan
tidak ada satupun dari mahasiswa kampus itu yang memesan.
Jika satu orang biasa tapi bisa membuat perubahan besar, maka
derita bukan lagi sebuah masalah. Akhirnya, perlahan Bos Alex
menganggukkan kepala. “Pergilah.. Aku tahu daerah itu.. Aku akan
menyusulmu... Kalau kau bertemu Ari, katakan padanya, tak perlu
lagi menutupi...”
Mendengar jawaban tersebut membuat hati Wiro dan Agung
tersenyum lega. Sesaat kemudian mereka langsung pulang, berganti
pakaian dan menuju rumah Ari untuk memberitahu dan juga
menemani ke pesta.
Namun sayang, ketika mereka sampai di rumah, hanya ibu Ari
yang menyambutnya. Ari sudah pergi. Karena itu mereka segera
bergegas menyusul.

156
ARI 20
Nafas terakhir Ibu

Kembali saat sekarang. Mendengar cerita tersebut, membuat


Gita kian menangis tak tertahankan. Ia tak meyangka bahwa selama
ini ia adalah korban dendam Putri. Dan yang lebih membuat hati ini
perih, selama ini, Ari yang harus menanggung semuanya.
Gita tak kuasa menahan berat tubuhnya. Ia duduk di kursi
pelaminan sambil terus menangis tersedu. Sedang Ferdi hanya bisa
menutup kelopak coba menahan air mata akan kebodohannya
mengikuti saran Putri.
Tidak hanya mereka berdua, Rani dan juga semua teman satu
angkatannya seolah menahan nafas untuk orang yang begitu tegar di
hadapan mereka.
Sedang Putri seolah berdiri terpaku. Matanya terus terbuka
seolah lupa untuk menutupnya. Perlahan, Wiro berjalan mendekat
dan berkata,
“Kau bilang Ari belum merasakan ditinggal mati kekasih… Apa
kehilangan ayah sebanding dengan kekasih? Asal kau tahu, didepan
mata ia melihat sahabatnya disiksa. Dibanding kamu. Arilah yang
lebih menderita... Kau sudah puas..?”
Putri tak bisa menjawab, perlahan nafasnya mulai tak teratur
dengan mata mulai memerah dan berair mata. Bibirnya kian bergetar
dengan semua yang ia dengar.
“Selama ini, ia mengumpulkan uang untuk melunasi.” kata
Wiro dengan mata tajam. “Saat kau ingin membunuh... Ia berusaha
melindungimu...”
Perlahan Putri melangkah di hadapan Ari yang masih penuh
dengan noda darah. Bibirnya bergetar hebat saat berkata, “Ari...
Katakan itu tidak benar..” kata Putri mulai menangis sesenggukan.
“KATAKAAAAAN...!!!” teriak Putri diiringi dengan pecahnya air
mata yang kian deras mengalir.
“KATAKAAAAAAAAN.....!!! Katakan itu tidak benar...
Katakan tidak benar....” Putri memukul dada Ari sambil terus
menangis. Ari tak merespon. Ia membiarkan Putri meluapkan
seluruh emosinya.
Perlahan mata Ari memerah penuh air mata akan ingatan
sahabatnya. Bayangan akan masa lalu kembali terlintas dalam
bayangan. Betapa pedihnya menghadapi semua tuduhan dan juga
hinaan akan sesuatu yang tidak ia lakukan. Tapi hari ini ia
bersyukur, bukan karena cerita ini sudah terungkap. Namun karena
satu tanggung jawab sudah terselesaikan.
157
Setelah Putri berhenti memukul, Ari berkata pelan.
“Ya... Itu tidak benar....”
Mendengar jawaban Ari malah membuat Putri kian bersalah.
Ia menjatuhkan diri, menundukkan kepala dan menangis tersedu-
sedu di hadapan Ari. Ia yang berusaha mendekati Ari dengan
maksud mengungkap kejadian sebenarnya. Lalu dengan sengaja
kembali pada kekasih lamanya untuk menyakiti hati Ari.
Setelah tahu Ari mendekati Gita, Putri juga berpura-pura
membantu mereka bersatu. Namun setelah mereka menjalin
hubungan, Putri berusaha merusaknya. Semua bayangan akan
kehinaan tindakannya masa lalu, seolah menenggelamkan dirinya
pada sesuatu yang ia sendiri sulit untuk memaafkannya.
Mengingat itu semua kian membuat kepala Putri kian
menunduk di hadapan kaki Ari. Selama ini ia merasa
mengangungkan Cinta. Kini, ia sadar. Bahwa kata Cinta yang begitu
disanjung, menundukkan kepala pada sesuatu yang Ari miliki.
Ikhlas...
Tanpa keikhlasan cinta adalah perhitungan. Tanpa keikhlasan
cinta yang seharusnya mulia bisa jadi pemaksaan. Bukan seperti itu
kata cinta diciptakan.
Perlahan Ari melangkah meninggalkan semua. Namun
langkahnya kembali terhenti ketika Bos Alex berkata, “Dari dulu aku
ingin bertanya. Bagaimana kau bisa menghadapi ini semua?”
Ari terdiam dan menundukkan kepala sejenak, setelah itu ia
menolehkan wajah sekaligus badannya menghadap pada Bos Alex.
Setelah itu ia berkata, “Keyakinan... Bahwa Tuhan tak pernah tidur
akan semua hamba. Terlebih mereka yang di jalan-Nya. Dan
kesadaran... Bahwa kebaikan hidup. Hanya itulah yang bisa kubawa
saat nanti mataku tertutup....”
Setelah itu Ari kembali melanjutkan langkah dan diikuti kedua
sahabatnya. Dalam tiap langkah yang diayunkan, kelak, akan
menanti sebuah peradilan akhirat. Itulah hidup. Setelah dijalankan,
harus dipertanggungjawabkan. Karena itu, selama nyawa di badan,
mari gunakan untuk kebaikan...

Sebelum pulang ke rumah, Ari menyempatkan diri ke kost


Agung untuk sekedar membersihkan wajah dan tubuh yang penuh
noda darah. Ia melakukannya di depan kaca lemari dengan bibir
tertutup rapat seolah tak ingin mengatakan apapun.
Agung dan Wiro hanya bisa duduk menundukkan kepala
dengan apa yang barusan mereka alami. Setahun lebih mereka

158
menjaga rahasia. Kehilangan beban yang harus disimpan setidaknya
membuat suasana hati menjadi lain saat masalah ini berakhir.
Setelah selesai membersihkan wajah yang masih tersisa lebam
dan juga luka yang masih memerah, Ari duduk bersama dua
sahabatnya. Mata Ari masih tampak terus berkaca seolah
menggambarkan sedih ini belum berlalu dari hati.
“Wiro... Maaf atas yang kulakukan tadi...” kata Ari menatap
sahabatnya. “Trimakasih atas semua yang kalian lakukan..”
Wiro hanya menatap Ari tenang dengan anggukan kepala
pelan. Sedang Agung hanya menatap Ari dengan penuh tanya.
“Kenapa kau begitu nekad datang?” tanya Agung tak henti
mengamati kondisi Ari yang babak belur.
Sejenak Ari menundukkan kepala. Setelah itu ia pelan berkata,
“Ibuku.. Ketika kerabat mengirim sekeranjang mangga, beliau
menyuruh kami memilah yang jelek untuk dimakan. Sedang yang
baik untuk dibagikan. Saat itu aku masih kecil, hingga polos
bertanya kenapa yang bagus malah untuk tetangga?
“Malu... Begitu jawab ibu.. Tapi kian besar, aku sadar. Pada
siapapun, berikan hal terbaik yang kita punya. Itulah yang ingin ibu
katakan... Tak peduli apa yang mereka lakukan... Untuk Gita... Doa
restu dan kehadiran... Saat ini... Itulah hal terbaik yang bisa
kuberikan...”
Setelah itu Ari perlahan berdiri. Kembali ia kenakan jas dan
bersiap untuk pergi. Kedua sahabatnya berdiri di belakangnya
seolah berkata mereka siap mengantarnya hingga ke rumah.
Namun Ari menolaknya dengan berkata, “Sampai di sini.. Biar
kuhadapi sendiri...”
Setelah itu Ari kembali melangkah menuju motornya dan
segera pergi di balik gelap malam yang takkan bisa membuat mata
ini terpejam.
Agung dan Wiro hanya bisa menatap semua. Beberapa menit
setelah Ari hilang dari pandanganpun, mereka berdua masih tetap
berdiri tagap di muka seolah mereka siap melakukan apa saja demi
kebaikan sahabatnya.

Ari menjalankan motornya pelan di tengah malam yang kian


mencengkeram. Entah untuk keberapa kali ia pulang dengan wajah
penuh luka. Ia tahu, hal itu akan kian membuat ibunya sedih.
Perlahan kelopak matanya penuh akan air mata membayangkan
kesedihan ibunya.

159
Tak terasa, entah berapa menit berlalu, namun Ari sudah
berada di jalan utama dekat dengan rumahnya. Sejenak Ari
menghentikan motor. Dalam kesunyian, Ari coba menengkan hati.
Setelah merasa cukup, ia kembali melajukan motornya.
Saat sampai, Ari tak menyangka ibunya duduk di teras rumah
dengan wajah cemas. Begitu melihat Ari datang, Ibu langsung
berdiri. Namun beliau merasa heran ketika melihat Ari tak segera
beranjak dari motornya.
Ketika Ibu akan melangkah untuk menghampiri, perlahan Ari
berdiri. Setelah Ari membuka helm, perlahan mata Ibu mulai
mengerucut untuk memperjelas pandangannya dalam gelap malam.
Ari berjalan pelan mendekati ibu yang pandangannya tak lagi
jernih akan rona merah dimata. Beberapa saat tangan Ibu bergetar
saat coba meraba wajah putranya yang tak lagi bersih.
“Kau kenapa...” tanya Ibu mulai meneteskan Air mata. Apa
yang terjadi...?”
Ari tak segera menjawab. Ia hanya bisa diam menahan
kesedihan dengan mata penuh air mata melihat ibunya kembali
menangis karenanya.
“Saya tidak apa-apa...’ kata Ari sambil memegang kedua lengan
ibu untuk meyakinkan. “Ibu tenang saja...” kata Ari sambil
menuntun ibu masuk rumah.
Namun kaki ibu tak bergeming dari tempatnya. “Jelaskan pada
Ibu... Apa yang sudah kau lakukan...? Kenapa bisa sampai luka
seperti ini...?”
Ari tersenyum kecil, kemudian ia berkata, “Akan Ari jelaskan...
Tapi di dalam, bukan diluar. Nanti ibu sakit..” kata ari sambil
menatap mata ibunya untuk meyakinkan.
Beberapa saat ibu diam. Setelah itu beliau berjalan sesuai
keinginan Ari. Namun belum sempat mereka di muka pintu, ibu
mendengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah. Jantung ibu
kian berdetak kencang ketika yang terlihat adalah mobil polisi
lengkap dengan anggota yang beberapa diantara mereka berpakaian
preman.
Wajah ibu kian pucat ketika mereka keluar dan perlahan
menanyakan Ari. Ketika Ari mengatakan bahwa dirinya yang
mereka cari, seketika mereka mengatakan bahwa akan menahan Ari
karena telah membuat kerusuhan disebuah acara pernikahan.
“Siapa yang membuat laporan?” tanya Ari dengan keras.
“Nanti akan kami jelaskan di kantor,” jawab salah seorang dari
mereka. “Sekarang mari ikut kami.”

160
Sejenak Ari menundukkan kepala. Saat Polisi sudah ada di sini,
ia akan melakukan tugasnya apapun yang terjadi. Lari bukanlah
jalan. Karena hadapi adalah penyelesaian.
“Baiklah...” Jawab Ari tenang. “Saya akan ikut. Tapi ijinkan
saya menjelaskan semua pada ibu terlebih dahulu...”
Sejenak ari langsung mengalihkan pandangannya pada ibu
yang sudah tampak pucat. Tangan beliau erat menggenggam lengan
kanan Ari. “Apa yang telah kamu lakukan?” tanya Ibu dengan
penuh kekhawatiran.
Sejenak Ari mengalihkan pandangannya ke sekitar yang sudah
mulai ramai oleh para tetangga yang bangun oleh keramaian para
petugas. Melihat itu semua membuat Ari kian bingung.
“Ibu... Ibu harus percaya pada Ari...” sesaat kata Ari terhenti
ketika tangan kirinya dipegang oleh polisi untuk dipasang borgol.
“Ibu... Ari tidak bersalah...” kata Ari berair mata untuk
meyakinkan ibunya. “Percayalah...” Ari ingin memeluk tubuh
ibunya dengan lengan kanannya, tapi petugas keburu mengamankan
tangan itu dan diborgol dengan tangan kirinya.
“Mari ikut kami..” kata petugas itu sambil menyeret ringan
tubuh Ari.
Karena tak ingin membuat keributan. Akhirnya di tengah
pandangan semua tetangga yang melihat, Ari berjalan menuju mobil
Polisi sambil terus memandang ibunya yang diliputi kesedihan yang
teramat dalam.
Belum sempat Ari masuk dalam mobil patroli, tiba-tiba Ari
mendengar suara. saat Ari menolehkan kepala, Ari melihat ibunya
jatuh pingsan.
“Ibuuuuuu....!!!” seketika Ari langsung berlari menuju ibunya
yang sudah tergeletak didepan pintu. Tetangga sebelah segera
berlari untuk menghampiri dan mengangkat kepala ibu Ari. Ari
melihat bibir ibunya tampak pucat.
“IBUUUUUU.....!!!” teriak Ari sambil menangis sesenggukan.
Dengan kedua tangan diborgol, Ari tak bisa melakukan Apa-apa.
“CEPAT LEPASKAN BORGOL INI....!!!!”
Melihat hal tersebut, salah seorang Polisi langsung mengambil
kunci dan melepaskan borgol itu.
Segera setelah lepas Ari memeriksa nafas dan denyut nadi
ibunya yang terasa begitu lemah. “Tolong... tolong antar saya ke
Rumah Sakit...” kata Ari sambil berurai air mata.
Namun belum sempat tubuh ibunya terangkat, ia melihat
tanda-tanda kehidupan kian hilang. Segera Ari menengadahkan
kepala ibunya. Jantungnya berdetak kian kencang saat Ari tidak lagi
161
merasakan aliran nafas dan denyut nadi di leher ibunya. Ditambah
lagi kini bibir ibunya tampak membiru.
Segera ia memukul jantung ibunya untuk melakukan tindakan
pertolongan. Setelah itu ia periksa lagi. Namun karena belum
muncul tanda perbaikan, maka Ari segera melakukan resusitasi
jantung dan paru. Tapi berkali-kali melakukanpun, tanda kehidupan
seolah telah benar-benar menjauh.
“IBUUUUUUUUUUU......!!!!” teriak Ari sambil memeluk erat
tubuh ibunya yang tak lagi bergerak..
“IBU Bangun.... Ari mau menjelaskan semuanya... Tolong
dengarkan Ari...” kata Ari tak berhenti menguraikan air mata.
“Mari segera bawa ke Rumah Sakit. Siapa tahu masih bisa
tertolong,” kata seorang Polisi yang langsung dibantu beberapa
tetangga membawa tubuh Ibu Ari ke mobil Polisi.
Selama perjalanan Ari terus memeluk tubuh Ibunya dengan
uraian Air mata. Ia mengatupkan kedua gerahamnya kuat-kuat
menahan perihnya dada melihat Ibunya tak lagi bisa membuka
mata...
Saat sampai di Rumah Sakit, segera perawat membawanya ke
dalam dengan sebuah brankart. Beberapa kali mereka coba mencari
tanda kehidupan. Tapi kiranya tubuh itu tiada lagi berarwah.
Perlahan dokter dan perawat yang memeriksa hanya bisa saling
pandang dan menggelengkan kepala pelan.
Melihat itu, tangisan Ari kian pecah. Ia hanya bisa memeluk
tubuh ibunya yang kian terasa dingin.
“Ibu..... Maafkan Ari..... Marahi Ari...... Ari salah....” Ari terus
menciumi kening dan pipi ibunya sambil terus berhiaskan air mata.
“Ibu.... Jangan tinggalkan Ari.... Apa yang bisa kulakukan tanpa ibu
yang melahirkanku...”
Berapa kalipun Ari bicara dan mengusap wajah ibunya, namun
tubuh itu tak lagi bisa menjawab.
Beberapa tetangga berusaha menenangkan dengan menepuk
pundak Ari. Namun tepukan itu kian membuat tangisan air kian
menjadi. Karena tepukan dan pelukan mengingatkan bahwa selama
ini, hanya ibu yang melakukannya.
Sungguh hina diri ini, saat tak berdaya kami bersembunyi
dipelukannya dan tenang dalam belaiannya. Amarahnya adalah
kasih sayang perlindungannya, sedang sanjungannya hanya terpusat
pada putranya semata. Namun saat kaki mampu berjalan dengan
gagah, kita seolah berlari tanpa menghiraukan beliau yang terus
mengamati.

162
Ya Rabb... berikan Kasih Sayang-Mu pada Ibu, karena seumur
hidup, beliau memberikannya padaku.

Waktu beranjak subuh, Ari shalat di masjid dengan air mata


terus bercucuran. Terlebih saat sujud, ia merasa tak berdaya sama
sekali. Ia ingin berlama-lama mencium sajadah dengan terus berurai
air mata, karena ia tahu setelah bangkit dan mengucap salam, tiada
lagi ibu di belakangnya yang menyertai tiap subuhnya selama ini.
Hingga saat salam ia hanya membuka sedikit matanya karena
kesedihannya kan kembali terkoyak.
Saat imam mengumandangkan doa, ia mengangkat kedua
tangan dan menutup rapat kedua matanya. Namun air mata tetap
menyelinap dan merayap di kedua pipinya. Hingga saat doa selesai,
ia menutupkan kedua tangan untuk menutupi wajah sambil terus
menangis sesenggukan.
Saat ia membuka kedua tangannya, tampak sang imam masjid
tengah duduk di hadapannya dengan wajah tenang namun tetap
menunjukkan perhatian.
“Ibumu orang baik?” tanya imam itu pelan sambil menepuk
kaki Ari. Ari tak bisa menjawab. Ia hanya bisa menganggukkan
kepala dan menahan air mata.
“Kalau begitu tenanglah dan segerakan penguburannya.
Karena Ibumu ingin segera menemui Tuhannya...”
Mendengar penuturan imam tersebut membuat Ari sedikit
tenang. Sesaat kemudian ia kembali berdiri dan berjalan keluar
menuju ruang jenazah. Namun langkah kaki Ari mendadak berhenti
ketika ia melihat kakak beserta istrinya berdiri terpaku dengan mata
kemerahan.
Dada Ari bergemuruh menahan kesedihan di dada, tak terasa
air mata kembali berlinang. Sesaat kemudian ia berjalan menuju
kakaknya. Saat cahaya kian jelas menerangi wajah Ari, kakak Ari
tiba-tiba emosi ketika melihat wajah Ari penuh lebam dan luka.
Dengan emosi kakak Ari memegang kerah baju Ari dan
mengangkatnya. “KAU BERTENGKAR LAGI....??? BEGINI
CARAMU MEMBUAT IBU MENINGGAL....???
“Tidak kak.... Maafin Ari.....” Ari coba menjelaskan pada
kakaknya. Namun kakaknya terus mendorong dadanya seolah
menantangnya.

163
“SAMA SEPERTI AYAH DULU.... APA KAU BELUM
PUAS......!!!!!????” kakak Ari memukul kepala Ari dengan keras
hingga Ari terjatuh.
“MAAAAAS.....!!!!” teriak istrinya sambil berusaha melerai
perkelahian.
“DIAM KAMU.....!!!!” Teriak kakak Ari pada istrinya hingga
membuatnya mundur tak berani mendekat.
Ari tak bangun dari jatuhnya. Ia menangis sesenggukan
merasakan luka di wajah dan perih di jiwa. Ia tak menyangka,
kenapa kisah ini menjadi begitu nestapa bagi dirinya.
Namun meski melihat Ari menangis, hal itu tak menyurutkan
emosi kakaknya yang terus memukulinya dengan penuh tenaga.
Sedang Ari hanya bisa menutupi wajahnya sambil meringkuk di
tanah terus menerus mendapat pukulan dan tendangan. Ari hanya
bisa menahan dan terus menangis tak berdaya.
“Maaf........ Maaf....... Maafin Ari....” hanya itu yang bisa Ari
katakan hingga beberapa orang menahan tubuh kakaknya yang terus
berupaya kembali memukulnya.
Saat kakaknya berhasil dijauhkan. Dalam kegelapan Ari
berusaha bangun sendiri. Saat ia berdiri, ia melihat istri kakaknya
mengamati sambil berair mata dan memandang Ari penuh kecewa.
“Kenapa bisa jadi begini....?” tanya kakak iparnya dengan
penuh kesedihan.
Perlahan Ari melangkah menuju kaki kakak iparnya sambil
terus menangis.
“Maafkan aku kakak....” hanya itu kata yang bisa Ari ucapkan.
Sedang kakaknya tak tahu apa yang harus dilakukan untuk
menghadapi kehilangan ini.
Perlahan sinar mentari kian menampakkan cahyanya. Jenazah
ibu diantar ambulans ke rumah. Kakak Ari yang mengurusi semua.
Saat sampai di rumah kakak Ari tak ingin melihat wajah Ari, karena
itu ia dikunci dan tidak boleh keluar dari kamarnya.
Namun ditempat manapun Ari berada, bayangan ibunya jelas
melekat dalam bayangannya. Apalagi ketika ia melihat secangkir teh
yang ia lihat di meja kamarnya. Tangis Ari kian menjadi. Teh itu
pasti ibu yang membuatnya semalam setelah Ari pergi. Di cangkir
itu masih ada sidik jari dan jiwa kasih sayang ibunya.
Ari meletakkan kedua lututnya di lantai. Dengan kepala
tertunduk penuh, kembali tangisannya pecah dengan menahan
suara.

164
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima menit.
Saat itu ia mendengar kunci pintu terbuka. Tak lama, ia melihat
kakaknya perlahan masuk.
Beberapa saat kakak Ari mengamati Ari yang masih duduk
bersimpuh di depan meja dimana ada secangkir teh. Tak lama
kemudian kakak Ari mengulurkan tangan padanya. Sesaat Ari tak
percaya dengan apa yang ia lihat, namun ketika melihat ketulusan di
wajah kakaknya, akhirnya ia menggapai tangan itu sambil berkata,
“Kakak.... maafin aku....”
Kakak Ari tak segera menjawab. Hanya kelopak matanya yang
berkaca-kaca. “Polisi, dan kedua temanmu, telah menjelaskan
semua.. Kakak yang harus minta maaf...”
Sesaat Ari melihat Agung dan Wiro berdiri di belakang
kakaknya memandang dengan mengangguk kepala pelan. Ari balas
menganggukkan kepala pelan dengan mata berkaca-kaca.
Ari berjalan keluar kamar menghampiri Agung dan langsung
memeluknya erat dengan linangan air mata. Hal tersebut tampak
juga pada Agung dan Wiro. “Terimakasih... trimakasih....,” hanya itu
yang bisa Ari ucapkan ditengah kesedihan dan kebanggaan memiliki
teman seperti mereka.
Lalu mereka melangkah menuju ruang tamu dimana ibunya
sudah terbalut kain kafan dengan beberapa orang kerabat yang
berkumpul untuk takziah dan mendoakan ibunya.
Kembali Ari bersimpuh berlinang air mata tak kuasa melihat
wajah ibunya yang tak bisa lagi menyapanya. Beberapa saat
kemudian kakaknya mendekat, “Keluarlah sejenak... temui teman-
temanmu dulu...”
Mendengar itu Ari menegarkan diri untuk berdiri dan mencium
kedua pipi ibunya. Tampak sekali ia tak kuasa menahan kesedihan.
Setelah merasa cukup kuat, ia didampingi Agung dan Wiro berjalan
keluar dimana banyak sekali orang menunggu.
Saat melihat Ari keluar, kebanyakan mereka yang sedang
duduk langsung berdiri. Ari menyalami beberapa teman kuliahnya.
Ia melihat Bayu dengan tulus mengucapkan belasungkawa dan Ari
membalas dengan segera memeluknya.
“Maafkan semua kesalahanku selama ini...” bisik Bayu dengan
mata berkaca-kaca. Ari memandangnya, mencoba tersenyum dan
menganggukkan kepala sambil menyalaminya dengan erat
menandakan bagaimanapun, kita adalah sahabat.
Setelah itu ia menyalami tetangga sekitar. Namun Ari sedikit
tercengang ketika ia melihat sosok ayah Wahyu. Segera saja Ari
memeluk ayah Wahyu dengan erat.
165
Setelah melepas pelukannya ayah Wahyu berkata. “Saya telah
mendengar semuanya. Seharusnya kami mengucapkan terimakasih...
tapi malah membenci... Maafkan kami...” mata ayah Wahyu tampak
berkaca mengamati Ari
Kembali Ari tak bisa berkata apa-apa. hanya air mata yang bisa
menjadi tanda bahwa semua adalah ikhlas. Sekali lagi Ari memeluk
ayah Wahyu untuk sekedar meyakinkan bahwa ayah Wahyu, juga
ayah bagi Ari.
Ari memeluk ayah Wahyu lama seolah ia sedang memeluk
ayah yang selama ini telah meninggal. Pelukan Ari kian erat ketika
tubuhnya bergetar diiringi dengan derasnya air mata yang
mengelilingi.
Dari kejauhan, dibalik para teman-teman Ari, tampak Putri
tengah menangis sesenggukan dengan wajah tertutupi jilbab warna
hitam. Kepalanya hanya bisa tertunduk dengan segala akibat
perbuatan yang ia lakukan.
Hari itu, semua orang yang pernah membenci Ari, mereka
datang meski hanya sekedar untuk mengamati. Hanya beberapa dari
mereka yang berani mendekat untuk mengucapkan maaf. Selebihnya
mereka hanya bisa menundukkan kepala akan apa yang pernah
mereka perbuat.
Di hari pemakaman Ibunda Ari, seolah menguburkan semua
kebencian dan menggantikannya dengan penghormatan. Sungguh,
tangisan bukanlah kelemahan. Karena air mata, adalah bukti
kelembutan hati. Ari...

Ibu

Entah berapa perih kau simpan


Berapa duka kau pendam
Hingga yang kau tampakkan
Hanya senyuman
Dan ketegaran hati
Agar kami tidak bersedih

Saat tanganmu terangkat


Tujuh lapis langit mendekat
Saat engkau terdiam
Beribu daun berguguran
Hingga tak berani kami bayangkan
Apa jadinya bumi saat,
Air mata jatuh dari peraduan
166
Tegar ini tak lepas darimu ibu
Begitu juga kelembutan yang kau wariskan
Hingga saat kami melihat Engkau merintih
Akan derita jalan kami

Terima kasih ibu


Pelukanmu membalut luka
Belaianmu menyingkirkan resah
Dan senyumanmu membuatku bahagia

Jika hidup ini bisa kuberikan


Ku tahu engkau akan menolaknya
Akan kukabarkan cintamu ini
Pada penerusku nanti

167
ARI 21
Kepergian Ari

Sebulan setelah meninggalnya ibu Ari. Ari tampak mengemasi


bajunya dan ia masukkan ke dalam tas carier. Tampak sekali
wajahnya masih memendam kesedihan. Beberapa kali ia mengamati
kamarnya. Ia teringat saat ibunya yang menyiapkan baju jika ia akan
bepergian.
Setelah semua sudah siap, ia menoleh dan berkata pada Iwan,
penjaga kios yang sudah dianggap saudara sendiri. “Tolong rawat
rumah ini baik-baik”.
Iwan hanya bisa menganggukkan kepala berat sambil terus
mengamati pergerakan Ari.
Saat keluar dari pintu, Ari sedikit tersentak ketika ia melihat
sosok Putri tengah berdiri dengan wajah sedih. Ari menghentikan
langkah dan balik mengamati Putri.
“Ada perlu?” tanya Ari pelan.
Sesaat Putri diam tak menjawab. Melihat Ari tengah menenteng
tas besar dengan pakaian berbalut jaket kian membuat Putri
bersedih. “Mau kemana kamu..?”
“Hanya pergi sejenak...” jawab Ari pelan. Tak lama kemudian ia
kembali melangkah menuju motornya dan mengikat tasnya di
bagian belakang motornya.
Melihat Ari tak menghiraukannya membuat Putri kian
menyesal akan semua yang terjadi. “Ar...” kata Putri pelan sambil
mata berkaca. “Maafkan aku...”
Perlahan Ari bangkit dan berbalik menghadap Putri. ia
memandangnya dengan tenang. “Aku sudah memafkanmu..”
“Aku sudah berusaha untuk membawa Gita keluar. Namun
suami dan keluarganya tak mengijinkan..”
Ari menundukkan kepala. “Masalah itu... Tak usah kamu
fikirkan lagi.” Kembali Ari memandang Putri untuk sekedar
menunjukkan bahwa ia sudah tak terbebani apapun. “Tetaplah
melangkah... Dengan begitu hidup akan lebih bermakna..” kata Ari
untuk kembali membuat tenang Putri.
Namun kata itu justru menampar hati Putri yang selama ini
ingin menyakiti Ari. Hingga tak terasa, air mata kembali
menghampiri.
Ari membalikkan badan menuju motor dan mengenakan helm
dan juga sarung tangannya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku... Kau mau kemana...?”

168
Ari tak menjawab. Ia terus melakukan aktivitasnya untuk
mempersipkan diri pergi.
Karena tak mendapat jawaban, kembali Putri bertanya, “Apa
Agung dan Wiro tahu kemana kamu pergi..?”
Sejenak Ari menghentikan aktivitasnya. Setelah itu ia berkata,
“Bisa minta tolong... Sampaikan salamku ke mereka... Katakan..
Bahwa mereka adalah sahabat terbaikku. Karena itu. Terima kasih...”
Mendengar hal tersebut membuat Putri kian gelisah. Ia sudah
mendengar suara motor sudah menderu. Ia sangat ingin memegang
dan menahan Ari. Namun kesalahannya selama ini menjadikan
dirinya sendiri merasa hina dihadapan Ari.
Putri hanya bisa menahan tangis yang kian sulit untuk
dikendalikan. Saat melihat Ari sudah siap pergi, Putri berkata sedikit
berteriak.
“Takkan meninggalkan wanita... Bukankah dulu itu yang kau
katakan padaku...? Apa kau ingin meninggalkan Gita yang ingin
kembali padamu....???”
Sejenak Ari menolehkan kepala ringan, setelah itu ia berkata,
“Ya... Tapi aku belum mengatakan padamu. Bahwa aku harus
menghormati istri orang...”
Setelah mengatakan hal tersebut Ari meninggalkan Putri yang
menangis terisak. Sungguh penyesalan terasa berat didada. Segera ia
menghubungi Agung dan Wiro untuk memberitahukan kepergian
Ari.
Mendapat berita tersebut Agung dan Wiro segera ke rumah Ari.
Namun disana ia hanya menemui Putri yang masih terisak menangis
ditemani Iwan dengan wajah yang tak tahu harus berbuat apa.
“Apa Ari tak bilang mau kemana?” tanya Agung sedikit gelisah
pada Iwan.
“Tidak...” jawab Iwan bingung. “Ari hanya pesan untuk
menjaga rumah. Waktu saya tanya ia mau kemana ia hanya bilang
cari kerja.”
Sementara Wiro terus saja menggenggam telfonnya
menghubungi nomor Ari yang tak lagi bisa dihubungi. Karena tak
ada hasil, akhirnya untuk sementara mereka hanya bisa
menenangkan Putri dengan berkata mereka akan segera mencari
kemana Ari pergi.

Kantor Polisi. Ari duduk di sebuah ruangan dimana hanya ada


satu meja. Sedang tempat duduk yang ada adalah dua buah bangku

169
panjang yang terbuat dari kayu dicat warna coklat. Ari sedang
duduk di salah satu sudut.
Tak lama muncul seorang anggota Polisi membawa seseorang.
Bos Alex. Dengan badannya yang tegap dan rambutnya yang agak
panjang, dia berjalan ringan dengan pakaian tahanan.
Ari berdiri dan mengulurkan tangan untuk bersalaman dan
tersenyum untuk menyambutnya. Bos Alex menyambut dengan
ramah. Wajahnya yang tenang penuh dengan senyuman, ditambah
badannya yang kekar penuh dengan kekuatan sungguh kini
membuat Ari kian kagum akan sosok yang dulu seolah musuhnya.
“Apa kabar?” tanya bos Alex sambil duduk tepat berhadapan
dengan Ari.
Sesaat Ari tersenyum mengamati Bos Alex yang dulu kalau
dipandang orang akan ketakutan, sekarang berganti dengan segan.
“Bos...”
“Jangan panggil itu lagi. Panggil Abang saja,” sela Bos Alex
sambil tersenyum. “Saat keluar nanti. Saya hanya ingin jadi orang
biasa.”
Ari menganggukkan kepala. “Tapi bagaimanapun, orang yang
pernah bersama Abang, akan tetap menganggap Abang adalah
orang yang layak untuk diikuti.”
“Aku turut bersedih atas meninggalnya ibumu..” kata Bos Alex
mengamati Ari yang langsung menundukkan pandangannya. “Maaf
saya terlambat mendengarnya. Jika saya cepat dapat info, tentu saya
akan mencegah Polisi datang kerumahmu.”
Ari menganggukkan kepala pelan. Kembali ia menatap Bos
Alex. “Trimakasih... Seharusnya saat ini saya yang ditahan karena
mengacaukan pesta itu. Tapi kini Abang yang harus menggantikan
posisiku.”
“Tidak juga.. Seharusnya sejak dulu aku ditahan. Lagipula aku
menikmati keadaan ini. Selalu diatas dan bisa berbuat apa saja tak
membuatku menjadi pria dewasa. Malahan, keberanianmu dan
kedua sahabatmu yang membuat saya bisa berfikir hidup yang
sebenarnya.
“Kemarin ayah Wahyu kemari menemuiku. Mungkin ia
dikabari Polisi bahwa pembunuh anaknya telah ditangkap. Kufikir ia
akan marah. Tapi ia hanya menjenguk dan bahkan mendoakan
supaya aku tetap sehat. Ia berkata, kemarahan hanya akan membuat
setan dalam diri tertawa.
“Baru sekarang saya sadar. Bahwa hidup bukan hanya uang
dan kekuasaan, tapi sebuah perjalanan kebaikan yang harus kita
pertanggungjawabkan. Bahwa di dunia ini masih banyak orang baik.
170
Ketidakpercayaan pada hal yang demikianlah yang justru
memperburuk keadaan....”
Ari menganggukkan kepala sambil mengamati perubahan besar
yang dialami Bos Alex. “Saya senang bisa mengenal Abang. Saya
kesini sebenarnya juga untuk berpamitan. Karena saya akan pergi ke
kota lain. Jadi saya harap Abang tetap sehat. Dan saya percaya,
bahwa Abang bisa menjalani hidup ini dengan cukup bijak.”
Tak lama kemudian mereka berdiri. Ari segera memeluk Bos
Alex dengan segenap perasaan bangga. Begitu juga dengan Bos alex
penuh dengan perasaan bahagia. Karena orang yang seharusnya
marah padanya, kini malah memperlakukan dirinya bak sahabat.

Satu minggu setelah kepergian Ari. Agung, Wiro, Putri dan


Bayu bersama menuju rumah kakak Ari di kota lain. Dari semua
harapan, hanya beliaulah yang sudah bisa dipastikan mengetahui
keberadaan Ari. mereka berharap Ari menginap di rumah kakaknya.
Namun ketika mereka sampai, kekecewaan kembali
menghampiri mereka. Ari tidak ada di rumah itu. Kakak Ari juga
tidak mau memberitahu dimana Ari.
“Ari hanya ingin melakukan sesuatu untuk memperbaiki
kesalahannya terdahulu,” kata kakak Ari.
“Kesalahan apa?” tanya Agung.
“Kematian Ayah dan Ibu,” kata kakak Ari. “Ia merasa sangat
bersalah. Karena itu, untuk sementara, biarkan ia dengan
keinginannya.”
“Kak tolong beritahu dimana Ari,” kata Putri dengan mata
berkaca-kaca. “Saya juga ingin perbaiki kesalahan saya.”
Kakak Ari menatap Putri dengan seksama. Setelah itu ia
memandangi Agung, Wiro dan Bayu bergantian. Setelah itu ia
berkata, “Ini juga salah satu alasan kenapa ia tak ingin kalian tahu
dimana Ari berada.”
Mereka berempat ganti memandang kakak Ari dengan penuh
tanya. “Maksudnya?” tanya Agung memberanikan diri.
“Putri...” kata kakak Ari. “Dari awal, Ari sudah
memaafkanmu... Jadi.. Ari ingin kau melanjutkan hidup sebaik
mungkin tanpa beban masa lalu.
“Selama ini Ari terbiasa dibenci sebagian besar dari kalian.
Namun setelah cerita sebenarnya terbuka, penghormatan lebih yang
ia terima. Ari tidak suka menghadapi yang demikian. Karena itu,
untuk sementara ini, ia pergi..”

171
Setelah mendengar penuturan kakak Ari, mereka berempat
hanya bisa terdiam dan menundukkan kepala memikirkan semua.
Sedang Putri masih terisak menahan tangisnya.
“Sudahlah...” kata Agung menenangkan. “Setidaknya kita tahu
kenapa Ari pergi. Dan yang terbaik dari itu semua adalah, ia masih
teman kita.”
Beberapa saat setelah tenang, akhirnya mereka berpamitan. Saat
itu Niken dan ibunya baru pulang. Saat itu Niken segera berlari dan
memeluk Putri.
Putri menundukkan badan untuk memeluk tubuh mungil
Niken. Kedekatan mereka saat ini seolah mengingatkan Putri akan
masa lalu dimana ia sangat dekat dengan Ari. Namun ingatan itu
kini malah membuatnya kian berair mata akan kesalahannya.
Putri memeluk Niken penuh dengan linangan air mata dan tak
menghiraukan sekitar yang terus memandangnya dengan penuh
ironi. Ia hanya ingin waktu bisa kembali dan ia bisa memperbaiki
kesalahannya.
Sungguh penyesalan adalah hal yang memilukan. Cara terbaik
menghindari adalah sepahit apapun, tetaplah menempatkan diri
pada jalan kebenaran dan kebaikan. Dan jika sudah terjadi, maka
cepatlah lakukan perbaikan.

172
ARI 22
Wiro menikah
Gita menghadapi masalah

Waktu berjalan. Agung dan Wiro mencari pekerjaan sesuai


dengan keinginan mereka. Dengan segenap usaha dan kemampuan
yang dimiliki, akhirnya Agung dan Putri diterima di satu tempat
kerja menjadi staf pengajar di salah satu Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan. Sedang Wiro diterima di ruang Unit Gawat Darurat
Rumah Sakit Daerah.
Meski satu kantor, tapi tiap hari libur, diam-diam Putri masih
berusaha mencari keberadaan Ari dengan mendatangi tiap Rumah
Sakit di kota-kota lain. Putri juga sering menelfon beberapa klinik
atau RS yang ia dapat dari internet untuk mengecek tenaga dengan
nama Ari.
Namun beberapa bulan berlalu, Putri tak jua menemukan
keberadaan Ari. Ia hanya bisa menjalani hidup dengan sebaik
mungkin seperti pesan Ari. Sesekali ia coba lewat depan rumah Ari
untuk memastikan jikalau Ari datang dengan tiba-tiba. Namun hal
tersebut tak jua menghasilkan senyuman.
Sedang Agung, dengan menjadi salah satu penanggung jawab
mata kuliah, ia memodifikasi cara mengajar dan juga menerapkan
sebuah metode pada mahasiswa.
Tempat ‘bermain’ mahasiswa adalah laboratorium. Dengan
demikian ia membuka seluas-luasnya jika ada mahasiswa yang
sedang tidak ada jam kuliah untuk belajar berbagai macam tindakan
keperawatan.
Awalnya hanya beberapa mahasiswa yang memanfaatkan
sistem tersebut. Namun seiring waktu, mereka kini lebih suka
menambah ilmu ketimbang hanya bicara tanpa arah. Laboratorium
yang biasanya ramai hanya pada saat tertentu, kini hampir
kewalahan akan semangat para mahasiswa untuk menempa ilmu.
Kebiasaan praktik yang menakutkan, kini berubah menjadi
sebuah kesadaran akan pentingnya pengetahuan dan pengalaman.
Dengan keadaan demikian, semangat belajar mahasiswa kian tinggi
akan pentingnya ilmu dalam menjalani kehidupan profesi.
Begitu juga dengan Wiro, ditempat yang tepat, kemampuannya
kian berkembang pesat. Ia kini dipercaya menangani pasien-pasien
yang gawat. Terkadang ia juga dikirim untuk menjemput kasus
kecelakaan atau dikirim ke lokasi bencana. Sungguh dengan tenaga
yang seolah tiada habisnya dengan bicara hanya seperlunya, semua
pekerjaan seolah hanya ringan di tangannya.
173
Dengan keadaannya yang sekarang, ia memberanikan diri
untuk mengunjungi rumah. Sore itu, dengan berpakaian putih-putih
ia berdiri di depan pagar rumah. Sekali ia memencet bel rumahnya.
Tak lama kemudian pintu rumah terbuka dan adiknya keluar. Saat
melihat Wiro didepan pagar adiknya segera berteriak memanggil
ibu.
“IBUU... KAK WIRO...!!!” Teriaknya sambil berlari menuju
pagar dan segera membuka. Setelah itu ia segera memeluk Wiro
dengan erat. Ia membenamkan kepalanya di dada Wiro dengan air
mata berlinang.
Wiro hanya bisa memeluk tubuh adiknya yang sudah beranjak
remaja. Setelah itu ia melihat ibunya yang sudah sekian lama tak
pernah ia lihat sedekat ini. Kini dihadapannya ibunya kian tampak
renta hanya bisa diam berdiri seolah tak percaya kini putranya ada
dihadapannya.
Perlahan Wiro coba melepaskan pelukan adiknya. Setelah itu ia
berjalan menuju ibunya. Wiro sedikit membungkukkan badan dan
memeluknya dengan segenap rasa rindu.
Mendapat pelukan dari putranya sang Ibu hanya bisa
menggelengkan kepala pelan. Tangannya terus membelai rambut
Wiro dengan Air mata bercucuran.
“Kamu baik-baik saja kan...?” tanya ibu sambil memegang
wajah Wiro untuk ia amati.
Mata Wiro berkaca-kaca. Ia hanya bisa menganggukkan kepala
menjawab pertanyaan ibunya.
“Masuklah...” kata Ibu mengajak Wiro memasuki rumah. Saat
masuk Wiro mengamati keadaan sekitar yang masih sama seperti
saat ia pergi. Dimana masa kecil dan kenakalannya telah menjadi
sebuah sejarah pengisi ramainya rumah itu.
“Sekarang kamu tinggal dimana?” tanya ibunya. “Sudah...
pulang saja ke rumah,” kata ibu sambil mengajak Wiro duduk.
Ruangan yang dulu menjadi tempat idamannya, sekarang
seolah asing untuk dirinya. Wiro tak langsung menjawab. Ia masih
memuaskan dirinya untuk mengamati dimana ia dulu
menghabiskan masa remajanya.
Namun tak lama mereka berbincang, terdengar suara gerbang
dibuka diikuti dengan suara langkah spatu yang kian mantap
terdengar mendekat.
Ayah Wiro muncul di pintu yang masih terbuka lebar. Keadaan
yang tadinya haru, kini menjadi lengang tanpa suara. Ayah Wiro
memandang Wiro dengan tatapan mata sedikit terkejut. Namun tak

174
lama kemudian ia melangkah masuk seolah tak ada orang diruangan
itu.
Melihat hal tersebut, Wiro hanya bisa menundukkan kepala.
Rupanya ayahnya belum bisa memaafkan kesalahannya. Akhirnya
dengan berat hati Wiro berpamitan. Ibu dan juga adiknya berusaha
menahan, namun Wiro berusaha meyakinkan bahwa ia akan
berusaha lebih keras lagi agar bisa diterima ayahnya.
Saat berpamitan, ibu Wiro dan juga adiknya kembali
meneteskan Air mata. Meski hanya beberapa menit, namun bisa
mencium tangan ibu dengan penuh rindu dan juga memeluk
adiknya adalah suatu yang sangat berharga bagi Wiro. Karena
selama beberapa tahun terakhir, ia seolah hidup sendiri. Karenanya
Wiro sangat bersyukur atas jalan hidupnya. Karena kini, ia lebih
mengerti arti dan cara menghargai keluarga.
Wiro berusaha memeluk dengan beribu kerinduan. Selama
perjalanan hidupnya, baru kali ini matanya berkaca-kaca. Ia tak
menyangka, tangisan sebegitu nikmatnya hingga jika ia seorang diri,
ia akan melakukan sepuasnya akan syukur, rindu, khilaf dan juga
kebahagian yang ia rasakan.

Kamar itu hanya berisi satu lemari, sepasang meja dan kursi
plastik, dan satu tempat tidur yang tergeletak di lantai. Tiga botol
besar minuman mineral tampak tergeletak di sudut ruangan. Tiada
satupun hiburan dalam kamar itu. Wiro merenung di kamarnya
yang sederhana. Namun ia sangat mensyukurinya. Setidaknya
setelah bekerja di Rumah Sakit ia bisa kost ditempat yang lebih
layak.
Beberapa tahun merasakan susahnya hidup karena harus
membiayai kuliah dan hidupnya, telah mendidiknya menjadi pribadi
yang sangat tabah. Namun, masih belum bisa diterima ayahnya
seolah membuat diri Wiro kurang. Dalam relung hati Wiro sangat
merindukan sesuatu yang sangat ia idamkan. Keluarga.
Tak bisa dihindari, saat itu kesedihan menyelimuti hati Wiro
hingga ia harus menutup matanya untuk menikmati ujian yang ia
hadapi. Namun sejenak ketika ia teringat Ari, kembali ia bersyukur.
Karena setidaknya ia masih bisa melihat ibu dan ayahnya.
Ari. Dimana ia sekarang... Wiro merebahkan tubuh memikirkan
keberadaan sahabatnya itu. Wiro tak menyangka, kehilangan
sahabat juga begitu menyakitkan. Kini Agung juga sibuk dengan
pekerjaannya. Hanya hari sabtu atau minggu saja ia bertemu Agung

175
untuk bermain sepak bola. Itupun kalau jadwal dinas Wiro lagi libur.
Kalau tidak, bisa jadi satu bulan baru ketemu.
Wiro benar-benar merasa kesepian. Dahulu saat kuliah, meski
tanpa keluarga, ia masih memiliki Agung dan Ari. Namun sekarang?
Wiro tengah sibuk dengan bayangan masa lalunya. Kebersamaan
dengan teman, hingga keluarga.
Namun, tiba-tiba ia teringat akan seseorang di masa lalunya.
Riska. Setelah mengaku hamil dan meminta pertanggungjawaban,
sampai sekarang ia tidak pernah bertemu. Karena Wiro lebih
memilih untuk dipenjara, akhirnya Riska dinikahkan dengan laki-
laki lain yang belum pernah dikenalnya. Karena kehamilannya
sudah membesar, Riska hanya bisa pasrah menikahi pria tersebut.
Saat Wiro masih kuliah ia sempat mendengar bahwa Riska
bercerai. Itu kabar terakhir yang ia dengar. Dan entah kenapa, tiba-
tiba Wiro ingin menemuinya. Tanpa berfikir panjang ia segera
mengambil jaket dan helmnya.
Beberapa menit berlalu dan ia berada di sebuah perumahan
yang sudah lama ia tidak kunjungi. Padahal saat masih sekolah,
hampir tiap hari ia mengantar Riska pulang. Wiro berhenti sejenak
saat ia mendekati rumah yang tak tampak lebih rindang dengan
banyaknya tanaman yang menghiasi halaman.
Dari kejauhan, dibalik helemnya ia mengamati seorang anak
tengah bermain di teras depan. Tak lama seorang wanita keluar
membawa makanan di tangan dan menyuapi anak itu. Riska. Tidak
salah lagi. Sesaat hati Wiro bergetar. Kini ia ragu apa ia berani
menemui tidak. Wiro ragu apakah Riska sudah punya suami apa
belum. Karena ia tak mau kedatangannya malah mengganggu
rumah tangga orang.
Setelah beberapa menit menimbang, akhirnya ia memberanikan
diri dengan niatan ingin minta maaf akan kejadian lalu. Saat
motornya berhenti tepat didepan pagar, Riska dan anaknya
memperhatikan dengan penuh tanya. Ketika Wiro membuka
helmnya, Riska sedikit tersentak melihatnya.
Wiro tersenyum, namun Riska masih menunjukkan raut muka
bingung. Hingga Wiro membuka gerbang dan berakata, “Boleh saya
masuk?”
Riska seolah baru tersadar dan sedikit tergagap waktu
menjawab, “Iya... Iya silahkan masuk...” Riska mempersilahkan Wiro
duduk di kursi di teras depan. Mereka duduk sambil mengawasi
anak Riska yang tengah bermain robot-robotan. Sesekali Riska
memanggil anaknya untuk kembali menyuapinya untuk menutupi
kegugupannya.
176
Wiro memperhatikan Riska sambil tersenyum. Dahulu ia
terkenal sebagai anak yang ceria. Wiro sungguh tak menyangka kini
ia sangat menikmati menjadi ibu rumah tangga. “Bagaimana
kabarmu?”
“Baik...” jawab Riska bingung harus bersikap apa. Sesaat
kemudian, Riska menundukkan kepala. Ia teringat akan betapa
naifnya dia meminta pertanggungjawaban pada Wiro, padahal ia
melakukannya dengan orang lain. Sungguh kecantikannya bukan ia
syukuri sebagaimana mestinya. Mudahnya mendapatkan laki-laki
tampan malah menjerumuskannya pada seorang pria yang tak
bertanggung jawab.
Riska merasa sangat bersalah terlebih saat melihat Wiro rela
dipenjara. Meski ia sudah mengaku dan berusaha mengeluarkan
Wiro, tapi ia malah membuat ia diusir dari rumahnya.
“Wiro...” kata Riska dengan suara berat. “Maafkan aku..” Riska
memandang Wiro dengan mata penuh harap.
Wiro tak langsung menjawab. Sejenak ia hanya memandang
Riska, kemudian ia tersenyum dan berkata. “Cobaan yang Allah
berikan, justru malah membuat kita semakin matang. Karena itu...
Sebenarnya aku sangat ingin berterima kasih padamu...” Wiro
berkata sambil menganggukkan kepala untuk meyakinkan Riska,
bahwa Wiro sudah tidak mempermasalahkan itu semua.
Mendengar itu membuat dada Riska sesaat berdetak lebih
cepat.
“Maaf... Boleh aku bertanya masalah pribadi?” tanya Wiro
tanpa senyuman tanda ia sedang serius bertanya. “Apa kamu masih
bersuami? Maaf jika pertanyaanku kurang sopan.”
“Kenapa kau bertanya hal itu?” tatap Riska dengan wajah
dingin.
“Jika sudah tidak, aku kemari berniat untuk melamarmu...”
Riska tak segera menjawab. ia hanya menundukkan kepalanya.
Kemudian ia berkata, “Aku melakukan hal terlarang, kemudian
ditinggalkan. Sebelum kelahiran putraku, aku menikah dengan
seorang pria yang kufikir bisa mencintaiku. Namun... Ia hanya
berniat menemaniku sampai anakku lahir.
“Ia menganggapku seperti orang asing. Bahkan. Mungkin ia
jijik akan dosa yang pernah kulakukan. Setelah anakku lahir, ia buru-
buru pergi dan menceraikanku.
“Setelah itu aku bertekad akan membesarkan anakku seorang
diri. Meski ada beberapa lelaki mendekat, dari pandangan mereka,
aku tahu mereka hanya tertarik pada kecantikan wajahku. Karena itu
aku tak lagi percaya akan pria..”
177
Mendengar itu Wiro hanya menghela nafas panjang. Riska
mengamati wajah Wiro yang tetap tenang seolah tak pernah
terpengaruh apapun. Setelah itu Riska berkata, “Maaf... Bukan
bermaksud menolak atau tidak percaya padamu. Tapi....”
“Tidak apa-apa,” sela Wiro sambil tersenyum. “Baiklah... kalau
begitu aku akan pergi...” Wiro beranjak tenang dari duduknya.
Riska mengamati setiap gerak Wiro dengan seksama. Sebelum
Wiro beranjak pergi, Riska berkata, “Apa kamu tidak ingin
mengatakan sesuatu?”
Wiro menghentikan langkah dan membalikkan tubuhnya
menatap Riska. “Mengatakan apa?” tanya Wiro tak tahu maksud
Riska.
“Pria lain yang kutolak selalu meluangkan waktu untuk
meyakinkan diriku bahwa dia tidak sama dengan laki-laki lainnya
dan berjanji membuatku bahagia..” tutur Riska.
Wiro menggelengkan kepala. “Tidak... dari ceritamu aku
paham kekecewaanmu akan sosok pria.. Aku mungkin tak lebih baik
dari mereka. Dan lagi... Aku tak bisa menjanjikan kata bahagia.
Karena sampai sekarang, aku sendiri masih mengusahakannya...”
Wiro menundukkan kepala, karena tanpa sadar baru kali ini ia
berkeluh kesah pada orang lain. Selama ini ia memendam dan
mengusahakannya seorang diri.
“Trimakasih....” kata Wiro saat kembali membalikkan tubuhnya
dan melangkah menuju pintu gerbang.
“Terima kasih...?” tanya Riska. “Apa tiada sedikitpun rasa
kecewa akan penolakanku...?”
“Tidak...” jawab Wiro tenang. “Aku akan kecewa jika kau
menerimaku sedang aku tak bisa membahagiakanmu..”
Mendengar kata-kata itu tanpa sadar ia membuang makanan
yang ada di tangannya dan beranjak menuju Wiro untuk segera
menahannya pergi. “Maafkan aku....” tatap Riska penuh penyesalan.
Wiro memandang Riska penuh keheranan. “Apa aku
menjanjikan kebahagiaan...??”
“Tidak... Bukan kamu... Tapi ijinkan aku untuk berusaha
membahagiakanmu...” Riska memejamkan mata karena baru kali ini
ada orang yang jujur tanpa ada kata rayuan sedikitpun. Dan terlebih
lagi, orang itu adalah Wiro, orang yang dulu pernah difitnahnya.
Pandangan Wiro masih menunjukkan keraguan. Tapi bukan
pada diri Riska, melainkan dirinya sendiri. Dengan seidikit ragu
Wiro berkata, “Aku masih perawat junior.. Gajiku tidak seberapa...
Aku takut tak bisa membuatmu bahagia...”

178
Riska kembali memandang Wiro dengan sungguh-sungguh.
Setelah itu ia berkata, “Kebahagiaan bukan terletak di harta, tapi di
jiwa.”
Wiro memandang ketulusan sikap yang ditunjukkan Riska.
Setelah itu ia mengalihkan pandangannya ke dalam rumah dan
berkata, “Ayahmu ada...? Aku ingin bertemu beliau...”
Sungguh pernikahan adalah hal yang mulia. Jangan kotori hal
tersebut dengan perbandingan harta ataupun dunia. Karena jika dua
jiwa menyatu karena kasih sayang Allah semata, maka kebahagiaan
adalah jaminannya.

Rencana pernikahan sudah ditetapkan. Meski beberapa kali


Wiro berusaha mendekati ayahnya dan meminta restu. Tapi ayahnya
hanya menanggapi dengan sikap diam tak menentu. Begitu juga saat
ditanya apakah ayah bersedia menghadiri pernikahan, Beliau hanya
diam seolah tiada seorangpun mengatakan sesuatu.
Dengan sikap demikian, ibu Wiro hanya menyatakan restunya.
Tapi untuk menghargai ayah Wiro, Ibu dan adik-adik Wiro dengan
berat hati tidak bisa datang. Wiro hanya dilepas Ibunda dan adik-
adiknya dengan kata restu, doa dan juga air mata.
Di hari pernikahan, keluarga Agunglah yang datang sebagai
peerwakilan orang tua Wiro. Wiro sangat bersyukur dengan
kedatangan sahabatnya. Baru kali ini Wiro menitikkan air mata
tatkala memandang kedua orang tua Agung dan memeluknya seerat
mungkin.
Namun, yang membuat sedih salah satunya adalah Ari. Wiro
sudah menjelaskan pada kakak Ari dan menyampaikan undangan.
Namun hingga hari pernikahan, salah satu sahabat terdekat, belum
datang jua.
Setelah ijab qabul diucapkan, hanya acara makan-makan
sederhana di depan rumah Riska sebagai pengabar bahwa mereka
sudah resmi pasangan suami istri. Tiada tenda besar, ataupun
hiburan mewah. Ya, karena itu bukanlah syarat yang tertulis dalam
agama. Karena yang terpenting dalam pernikahan adalah, niatan
penuh untuk ibadah dan memuliakan Allah semata.
Selepas para tamu undangan pulang, Agung, Putri, dan Bayu
berkumpul. Saat berkumpul seperti sekarang, beberapa saat mereka
selalu termenung. Baru sekarang mereka merasa, kehilangan satu
teman adalah hal yang lain di hati.

179
“Aku tak menyangka kau yang akan duluan,” kata Agung pada
Wiro untuk kembali mencairkan suasana. “Kau yang dulu tak mau
pacaran, kini malah lebih dulu melangsungkan pernikahan..”
Wiro tersenyum. Tak lama istrinya datang dan ikut duduk
bersama mereka. “Ya.. Aku ingin persahabatan terus berlanjut
hingga masing-masing dari kita berkeluarga..” Wiro memegang
tangan istrinya dengan penuh kasih sayang hingga mereka hanya
bisa menahan iri di hati.
Namun senyum itu hanya berkembang sesaat. Ketika Agung
menanyakan kabar Gita, raut wajah Putri langsung berubah. Mereka
semua penasaran apa yang terjadi dengan Gita.
“Sebenernya keadaannya sekarang sedang tidak baik. Makanya
ia tak bisa datang kemari,” kata Putri dengan menundukkan kepala.
“Apa ada masalah?” tanya Agung antusias.
Sejenak Putri terdiam. Selanjutnya ia berakata, “Rumah tangga
Gita sedang ada masalah. Mertuanya ingin segera menimang cucu.
Namun beberapa bulan pernikahan tak jua menunjukkan tanda
kehamilan. Hingga mertuanya mendorong untuk dilakukan terapi.
Namun sebelum diberi obat, dokter melakukan pemeriksaan. Dan
hasilnya...
“Gita dinyatakan sulit memiliki keturunan. Sejak saat itu, sikap
mertuanya acuh padanya. Suaminya cerita kalau Gita sering
menangis. Bagaimanapun ia dilema. Disatu sisi suaminya ingin
ikhlas menerima semua. Namun, ia juga paham perasaan orang
tuanya karena ia adalah anak tunggal.”
Mendengar cerita itu semua menundukkan kepala tak tahu apa
yang harus mereka perbuat. Dahulu, saat masih kuliah, bersama
mereka bisa memikirkan bagaimana cara memecahkan masalah.
Namun saat sudah berkeluarga, ada batas tak jelas namun begitu
tegas yang tak bisa mereka lampaui. Dalam hati, mereka hanya bisa
berdoa akan datangnya kebaikan untuk masalah Gita.

180
ARI 23
Perpisahan Gita

Sore itu itu di sebuah kamar yang tampak cukup mewah,


dibalik jendela yang masih terbuka, sinar mentari jelas masih terang
menyinari. Gita menyembunyikan dirinya dibalik selimut. Namun
dibalik selimut putihnya, air mata jelas mengalir tetes demi tetes
hingga membuat kedua mata Gita tampak sedikit membengkak.
Saat suaminya datang dan membuka pintu, segera Gita coba
memejamkan mata sealami mungkin agar suaminya menyangka ia
sedang istirahat.
Setelah masuk kamar dan melihat Gita sedang berselimutkan
diri, suaminya hanya bisa menatapnya dengan penuh kesedihan
karena teringat akan hasil pemeriksaan dokter. Tak lama kemudian
ia coba menutup pintu kamar dengan sepelan mungkin agar tidak
membangunkan tidur Gita.
Setelah itu ia melangkah menuju meja rias dan mengambil kursi
kecil. Ia mengangkat dan membawanya dengan sangat perlahan ke
samping termpat tidur. Kursi itu diletakkan dekat dengan tembok
sehingga ia bisa duduk dan menyandarkan punggungnya dengan
tetap dekat tempat tidur.
Ia ingin tetap di dekat Gita tanpa harus mengganggu tidurnya.
Dalam duduk dan lelahnya, ia memperhatikan istri yang sangat
dicintainya. Namun masalah sulitnya mempunyai keturunan seolah
merupakan ujian terbesar dalam rumah tangganya.
Ia ingin membawa Gita keluar dari rumah dan tinggal di
tempat lain untuk menjaga perasaannya. Karena sejak diketahui sulit
memiliki keturunan, sikap ibunya seolah tak menganggap Gita ada
di rumah. Itulah mengapa ia lebih banyak menghabiskan waktunya
di kamar.
Namun hal tersebut justru menambah rumit masalah karena
ibunya menganggap Gita tidak bisa membaur dan mengambil
bagian dengan keluarga.
Dalam keadaan demikian Ferdi dilema akan kata dan tindakan
yang akan ia ambil. Namun, rencana ia untuk tinggal di rumah
sendiri justru membuat ibunya menilai bahwa ia sudah tidak lagi
peduli pada orang tua. Ferdi sudah berusaha memberi pemahaman
pada orang tuanya agar bisa bersabar karena mereka masih
mengusahakan dengan berbagai pengobatan.
Namun ibunya justru menanggapi dengan nada datar bahwa
beliau sudah tua dan sampai kapan ia harus menunggu untuk bisa
menimang cucu. Ibu ingin memastikan diri melihat garis
181
keturunannya saat ia masih hidup. Kalau perlu, ibu akan minta ijin
Gita agar mengijinkan Ferdi menikah lagi.
Saat Ferdi membantah perkataan ibunya, justru ia yang terkena
dampaknya dengan pendapat bahwa ia lebih memikirkan istri yang
baru dinikahinya dibanding dengan ibu yang melahirkan dan
membesarkannya. Namun saat Ferdi diam, ibunya justru
menganggapnya sebuah persetujuan. Hingga terkadang ibunya
telfon dengan seseorang dengan suara yang dinyaringkan. Dengan
demikian Gita mendengar apa yang sedang dibicarakan. Bahwa ibu
sedang mencari calon istri lain untuk Ferdi.
Ferdi tahu Gita tidak nyaman, terlebih ketika Ferdy tidak ada di
rumah atau sedang keluar kota. Namun ia juga harus mengerti
keinginan orang tua. Karena itu, dalam hal ini untuk sementara ia
hanya bisa diam dan saling meredam keadaan. Tiap Jumat malam
hingga hari minggu, ia mengajak Gita pulang kerumahnya.
Tak terasa, lamunan Ferdi cukup lama hingga saat ia melihat
jam dinding sudah menunjukkan pukul lima sore. Perlahan ia
menggerakkan tubuh Gita dengan lembut untuk membangunkan
agar ia bisa bersiap dan selepas magrib bisa berangkat ke rumah
Gita.
Sesaat Gita pura-pura menggeliat seolah ia baru bangun dari
tidur yang nyenyak. Namun ketika Ferdi melihat bengkak di mata
Gita, ia tahu bahwa Gita habis menangis lagi.
Setelah bangun, untuk menutupi kesedihannya, Gita langsung
menuju kamar mandi. Melihat hal tersebut, kembali Ferdi hanya bisa
menundukkan kepala.
Apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu bahagia. Sungguh
jikalaupun kamu mengijinkanku menikah lagi, aku sungguh akan
menolaknya. Entah engkau mengerti atau tidak, aku tak peduli.
Karena aku hanya menginginkanmu menjadi satu-satunya istri.

Di dalam mobil saat dalam perjalanan menuju rumah Gita


sangat lengang. Sekitar lima belas menit perjalanan, tiada satupun
pembicaraan yang terlontar. Gita hanya mengamati keadaan jalanan,
sedang Ferdi sebenarnya ingin mengajaknya bicara. Namun ketika
melihat raut wajah Gita yang menunjukkan keengganan bicara, Ferdi
masih berfikir apa yang harus ia katakan untuk setidaknya
mencairkan keadaan.
Akhirnya dilajalanan yang sepi, Ferdi menepikan mobilnya.
Meski mobil sudah terhenti, namun pandangan Gita masih tetap
menatap depan dan enggan mengomentari tindakan Ferdi.

182
“Mas minta maaf...” kata Ferdi dengan suara berat. “Apa yang
Gita inginkan...?”
Gita diam. Pandangan matanya tetap terarah ke depan sama
saat ketika mobil berjalan.
“Mas ingin kita hadapi masalah ini bersama. Bukan hanya
diam. Mas minta maaf kalau mas nggak bisa buat bahagia..” kata
Ferdi pelan.
Gita menundukkan kepala. “Sayalah yang harus minta maaf..
Mas sudah melakukan apa yang mas bisa lakukan untuk memahami.
Tapi saya yang tak jua mengerti...”
Hari itu masalah seolah selesai, akan tetapi dalam hati mereka
tahu, ini hanyalah sementara. Berusaha terus berbaik sangka dan
menampilkan yang terbaik meski hati menderita terkadang bagi
sebagian orang terasa menjemukan. Akan tetapi jika diiringi dengan
niatan untuk terus menjaga keutuhan keluarga dengan cara
menjalankan masing-masing tugas sesuai dengan tuntunan agama,
maka semua yang dilakukan akan bernilai ibadah.
Beberapa bulan berlalu semua sikap sinis orang tua Ferdi terus
dibalas Gita dengan senyuman dan berbaik sangka bahwa mereka
memperlakukan demikian karena tidak tahu. Maka Gita terus saja
coba mengajak berkomunikasi dan diskusi. Terkadang Gita
mengajak ibu mertuanya mengaji bersama atau mengikuti kegiatan
pengajian untuk menambah ilmu agama.
Sejak mengetahui dirinya sulit mempunyai keturunan, Gita
merasa lebih mudah dekat dengan Tuhan. ia sekarang lebih sering
shalat malam dan merubah penampilannya dengan terus memakai
jilbab.
Terkadang ada syukur di hati akan keadaan yang menimpa
dirinya. Karena dengan mengetahui sulitnya mempunyai keturunan,
Gita selalu mendekatkan diri dan sibuk belajar agama. Kini ia lebih
mengerti ada hal lain yang lebih berarti dari mempunyai keturunan,
yaitu “mempunyai” Tuhan.
Selama ini, hingga saat usianya saat ini, kehidupannya hanya
diisi dengan mencari sesuatu yang duniawi, padahal dunia
hanya sementara, sedang akhirat selamanya. Selama ini jika ada
masalah, ia selalu menengadahkan tangan jika ada masalah, tapi jika
sedang bahagia, kita lupa menundukkan kepala di tanah. Tiada satu
haripun memikirkan dan mencari dunia, sedang masalah agama dan
mengenal Tuhan, seolah menjadi sesuatu yang bukan menjadi
kewajiban.
Mengingat itu semua membuat Gita tiap malam menangis
dalam shalatnya. Sedang apa yang ia minta dalam doanya tidak
183
hanya keturunan, tapi juga ampunan akan usia lalu yang dilalui jauh
dari Allah. Ia juga memohon agar diberikan istiqomah dalam
menjalani hidup sesuai tuntunan agama.
Dengan demikian, masalah sulitnya punya keturunan yang
dahulu dianggap masalah besar, kini bukanlah sebuah alasan yang
bisa dijadikan sandaran untuk kata bersedih. Karena Allah telah
memberi yang lebih penting daripada itu, yaitu kenikmatan iman.
Namun segala perubahan dan segala upaya Gita untuk tetap
berbuat baik pada keluarga Ferdi masih saja menjadi tudingan
bahwa Gita hanya ingin mengambil hati. Gita menanggapi tudingan
tersebut sebagai bahan untuk introspeksi dan memperbaiki diri lebih
baik lagi.
Bulan berganti bulan tidak jua menunjukkan adanya
kehamilan. Usaha dan doa terus mereka panjatkan dengan penuh
kesabaran. Hingga pada suatu malam, Gita menyarankan pada Ferdi
supaya menikah lagi.
Mendengar saran Gita, Ferdi tampak tersentak dengan apa
yang ia dengar. Tapi Gita tetap tersenyum sambil berkata,
“Luangkan waktu untuk belajar agama. Supaya Mas bisa adil
nantinya...”
Ferdi masih tak merespon dengan sikap Gita. Meski berkali-kali
Gita meyakinkan bahwa ia tak apa-apa, namun Ferdi tetap
menolaknya. Ferdi tahu, meski Gita mengatakannya dengan
tersenyum, namun hatinya pasti terasa perih yang terus mengalun.
Tak berhasil membujuk suaminya tak membuat Gita menyerah.
Kini ia berusaha mendekati ibu Ferdi untuk mencarikan calon istri
lagi. Namun bukan sambutan baik yang Gita dapat. Ibu Ferdi malah
marah dengan mengatakan banyak yang mau dengan anaknya.tapi
mereka semua tidak mau jika jadi istri kedua.
“Jika kamu memang memikirkan kebahagiaan Ferdi, maka
tahulah diri…” kata ibu Ferdi ketus sambil meninggalkan Gita
seorang diri.
Mendengar penuturan mertuanya, kembali Gita merasa hatinya
sangat perih. Segera ia masuk ke dalam kamar dan menahan suara
tangisnya sebisa mungkin. Dibalik selimut dan bantal yang tebal, air
mata itu kembali mengalir dengan tiada bendungan.
Namun dibalik kesedihan yang teramat sangat, kembali hatinya
rindu akan ibadah. Akhirnya ia segera mengambil wudhu dan
menggelar sajadah. Gita memejamkan mata dan menikmati tiap ayat
yang ia ucapkan. Hingga saat sujud, ia tak lagi bisa menahan akan
kedekatan diri yang hina dengan penciptanya.

184
Gita merasa sangat malu karena selama bahagia, ia lupa akan
waktunya dan lebih banyak akan dunianya. Namun saat ditimpa
musibah, ia hanya bisa bersandar pada-Nya. Diatas sajadah itu
tangisan Gita kembali tak tertahankan. Bukan lagi karena masalah,
tapi lebih pada malu akan diri yang seolah lupa pada Tuhannya.
Saat Ferdi pulang kerja, ia mendapati mata Gita sedikit bengkak
dan masih tersisa sedikit air mata. Ketika Ferdi bertanya ada apa,
Gita hanya menjawab, “Tidak ada apa-apa… Saya hanya sedih
belum bisa memberikan keturunan…”
Selang satu bulan kemudian, setelah banyak beridiskusi dengan
keluarganya dengan penuh ketenangan ia minta Ferdi untuk
menceraikannya. “Saya takut durhaka pada suami dan mertuaku…
Tolong ceraikan saya…” kata Gita memegang kedua tangan
suaminya dengan tatapan mata tulus.
Kembali Ferdi terkejut dengan pandangan dimata Gita yang
seolah menjadi keteguhan hati dan tiada seorangpun yang bisa
membelokkan keputusannya. Ferdi tidak mampu berkata-kata
dengan segala beban yang selama ini ia rasakan. Ferdi hanya bisa
menangis mengungkapkan apa yang selama ini ia sembunyikan.
“Maafkan aku dan keluargaku yang selama ini berlaku kurang
baik padamu. Padahal… Kau selalu berupaya berbuat sebaik yang
engkau bisa…” Sejenak Ferdi menghentikan kalimatnya karena tak
takan menahan beban di dada dan lajunya air mata.
Sesaat kemudian Ferdi berkata, “Sungguh… Kalaupun aku
menyetujui hal ini… Karena aku tak mau melihat kau tersiksa
lagi…”
Ferdi memeluk erat istrinya dengan sepenuh jiwa seolah tak
mau melepasnya. Ia tak lagi bisa menahan tangisnya. Ia buang kata
“kuat” pria yang seolah tak bisa menangis. Ia tak peduli dikatakan
apa akan tangisnya. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia sangat
menyayangi Gita.
Mendapat perlakuan demikian membuat Gita seolah ingin
menarik kata-katanya. Sungguh ia tak mampu menahan laju air
mata. Ia berkata sambil terbata, “Maaf jika selama ini belum bisa
memenuhi harapan mas dan keluarga…”
Sungguh perceraian adalah satu-satunya hal yang dihalalkan
tapi paling dibenci Tuhan. Jikalaupun harus berpisah, jangan ada
satu katapun yang menjatuhkan satu dengan yang lain. Karena
bagaimanapun, mereka dulu disatukan oleh cinta dan suka cita.
Kenanglah kebaikan dan hilangkan keburukan. Maka tiada jalan
baik selain mencari ridha Tuhan…

185
Satu bulan setelah itu, akhirnya mereka resmi bercerai. Namun
kabar itu baru terdengar Wiro dan Agung bulan selanjutnya melalui
Putri. Saat mengetahui perceraian Gita, mereka hanya bisa
menundukkan kepala tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun.
Raut kesedihan tampak begitu dalam pada tiap-tiap wajah, tapi
tak seorangpun bisa mengungkapkan. Karena bagaimanapun,
pernikahan bukanlah hal yang main-main, maka demikian juga
masalah sebaliknya. Hanya Bayu yang tampak sedikit tenang karena
ia tahu informasi tersebut lebih dulu. Namun ia pun hanya bisa
diam, karena saat awal ia mengetahui, ia juga merasakan
kehampaan.
Entah berapa lama mereka hanya terdiam termenung masing-
masing. Namun pandangan mata tertuju pada Wiro yang segera
berdiri dan mengambil jaketnya seolah segera ia ingin pergi. Saat
Agung bertanya mau kemana, Wiro menjawab, “Mencari Ari…”
Mendengar nama itu membuat semua seolah tercengang.
Bingung apa ini kabar baik atau buruk. Tapi bukankah jika kabar
buruk sekalipun itu baik bagi siapa saja yang berbaik sangka pada
penciptanya.
“Dimana..?” tanya Agung.
Tanpa menghentikan aktifitasnya memakai sarung tangan,
Wiro berkata, “Di rumah kakaknya… Meskipun tak ketemu,
setidaknya kita harus beritahu bahwa ia punya kesempatan…”
Mendengar hal tersebut, Agung, Putri dan juga Bayu segera
bergegas mempersiapkan diri mereka untuk perjalanan menuju
rumah kakak Ari. Meski mereka tahu ini berita tidak baik,
setidaknya mereka tidak hanya tinggal diam dalam menyikapinya.
Entah bagaimanapun hasilnya nanti bukanlah mereka yang
menentukan. Tapi apa yang bisa dilakukan, pasti akan mereka
kerjakan.
Demikianlah perjuangan sahabat. Saat wanita yang diinginkan
sudah dimiliki laki-laki lain, maka mereka menghormati dengan
tidak mengganggu hubungan itu. Akan tetapi jika ada sedikit saja
kesempatan, maka tiada akan mereka sia-siakan.
Mereka tahu batas kata “usaha”. Mereka juga tahu mana
langkah yang “membantu” atau “mengganggu”. Meski pesan
disampaikan tidak secara langsung, tapi mereka percaya, jika Ari
masih mencintai, ia akan berusaha sampai mati…

186
ARI 24
Kemunculan Ari
Pertemuannya dengan Gita

Satu bulan berselang hingga dua dan terhitung tiga bulan.


Semua yang awalnya bersemangat menanti berita kembalinya Ari,
dengan berjalannya waktu, semangat yang berkobar perlahan redup
dan padam.
Namun pada awal bulan berikutnya, saat siang menjelang sore,
Agung tersentak saat mendapat sms dari Iwan, penjaga counter di
rumah Ari, yang mengabarkan bahwa Ari sekarang di rumah. Segera
Agung bangkit dari tidurnya dan menelfon Wiro untuk
memberitahu ia akan segera menjemputnya untuk ke rumah Ari.
Dengan tergesa sambil bersiap-siap berangkat, Agung menelfon
Putri untuk mengabarkan kedatangan Ari. Tak berbeda dengan
Agung, Putri langsung segera berganti pakaian dan beranjak ke
tempat Gita.
Saat melihat Putri datang dengan tergesa, Gita bertanya ada
apa? Sambil coba mengatur nafas Putri menjawab, “Ikutlah
denganku, Ari sudah pulang…”
Mendengar nama Ari dan kini sudah pulang sesaat membuat
hati Gita gembira dan ingin berjumpa. Namun tak lama kemudian
saat ia teringat apa yang pernah ia lakukan, Gita hanya bisa
menundukkan kepala sambil berkata, “Maaf… Aku malu bertemu…
Sikapku yang dulu, tidak baik untuk dirinya..”
“Sudahlah… Itu masa lalu…” Kata Putri membujuk. “Sekarang
mari perbaiki semua. Kini kalian punya kesempatan…”
Gita hanya diam. Masih jelas terbayang dalam ingatannya
bagaimana ia dahulu saat mengkhianati Ari. Dan kini ia telah gagal
dengan orang yang dahulu ia nomorsatukan diatas kebahagiaan dan
mengesampingkan kesetiaan.
Melihat hal tersebut, Putri melembutkan upayanya. Ia duduk
mendekat dan memegang tangan Gita sambil berkata, “Maafkan
aku… Akulah yang seharusnya dipersalahkan.. Tolong beri
kesempatan padaku untuk memperbaiki kehinaan yang pernah
kulakukan dulu…”
Gita memandang mata Putri dengan tulus dan tersenyum,
“Aku tak menyalahkan orang lain atas dosa yang kulakukan…. Jadi
mbak Putri jangan merasa bersalah lagi… Karena itu adalah murni
kekhilafanku..”

187
“Tapi bagaimanapun akulah yang merusak semua…” Mata
Putri mulai berkaca-kaca karena kini kesempatan untuk
memperbaiki apa yang dulu ia lakukan seolah ada di depan mata.
“Ari telah kembali.. Dan sekarang kau telah sendiri…” kata
Putri pelan, “Jangan bilang kau tak mencintainya lagi….”
Mendengar kata-kata itu hanya bisa membuat mata Gita
menerawang kosong. Setelah itu ia berkata, “Dari ahlaknya, wanita
mana yang rela menolaknya…
“Tapi.. Dengan apa yang pernah kulakukan, bukankah dia lebih
pantas dengan orang lain…??” tatap Gita penuh tanya pada Putri..
Sejenak Putri bediri dengan wajah dan tatapan keyakinan. Ia
menyodorkan tangannya untuk mengajak Gita berdiri sambil
berkata, “Masalah pantas apa tidak, biar Ari yang tentukan sendiri…

Saat sampai di rumah Ari, Agung dan Wiro melihat ada mobil
parkir didepan rumahnya. Belum sempat mereka masuk, Iwan
langsung keluar dan memberitahu bahwa Ari keluar ke pemakanam
orang tuanya. Karena tahu letak pemakaman dekat, mereka
meninggalkan motor dan segera berlari. Saat sampai, nafas mereka
terengah-engah. Dari kejauhan mereka melihat seseorang tengah
duduk di dekat makam yang letaknya agak ke tengah.
Agung dan Wiro mengatur nafas dan berjalan supaya tidak
mengganggu. Saat mendengar dua pasang langkah kaki mendekat,
Ari menolehkan kepala ke belakang. Setelah melihat itu kedua
sahabatnya, perlahan ia berdiri dan membalikkan badan dan
menghadap kedua sahabat yang sudah sekian lama tidak ia temui.
Padahal dulu, hampir tiap hari mereka bersama.
Sangat terasa detak jantung Ari berdebar akan kerinduan yang
terasa. Bersama merekalah ia menjalani kehidupan bahagia dan
nestapa. Saat melihat Agung dan Wiro berdiri tegap dengan wajah
yang lebih dewasa, perlahan mata Ari berkaca-kaca..
Tak berbeda dengan Ari, Agung dan Wiro juga tampak sangat
rindu dengan sosok Ari. Melihat Ari dengan pakaian koko lengan
pendek juga celana di atas mata kaki. Bukan hanya itu, kini Ari
memelihara jenggot lebat dan rapi. Dengan bibir yang tampak selalu
tersenyum, kini kedua sahabatnya serasa tak mengenal namun
dibalut dengan kebanggaan akan perubahan Ari.
“Assalammu’alaykum warahmatullahi wabarakaatuh,” kata Ari
dengan nafas yang tak teratur diiringi dengan linangan air mata
kerinduan.

188
Agung dan Wiro tidak bisa menjawab salam itu karena bibir
mereka mereka katupkan kuat-kuat untuk menahan diri dari
tangisan.
Tanpa dikomando mereka berdua langsung menghampiri dan
memeluk Ari dengan erat. Tiada sedikitpun suara tangisan. Namun
jelas air mata telah penuh ditumpahkan.
Bertiga mereka saling berpelukan. Ari memejamkan mata erat-
erat untuk menghalangi keluarnya air mata. Wajahnya ia
tengadahkan untuk merasakan syukur pada Illahi karena masih
diberi usia berjumpa dengan kedua sahabatnya.
Dengan debaran dada yang bercampur antara rindu dan
syukur, Ari berusaha menenangkan diri dan tersenyum pada kedua
sahabatnya, “Jawablah dulu salamku. Karena itu wajib hukumnya..”
Agung dan Wiro melepaskan pelukannya. Sejenak mereka
menundukkan kepala untuk menghapus air mata. Setelah sedikit
tenang, mereka mengangkat kepala dan memandang Ari sambil
berkata, “Waalaykumsalam warahmatullahi wabarakaatuh…”
Sejenak Agung mengamati lagi penampilan Ari. Setelah itu,
sambil tersenyum ia berkata, “Selama ini kami mencarimu di hampir
seluruh rumah sakit dan klinik kota-kota.” Agung menggelengkan
kepala, setelah itu ia melanjutkan kalimatnya, “Ternyata kau di
pesantren untuk belajar… Jadi pantas kami tak pernah
menemukanmu…”
Ari menggelengkan kepala pelan. “Tidak… Aku tidak di
pesantren… Aku bekerja di panti wreda merawat lansia…”
Tatapan Wiro menerawang coba mengingat kata yang pernah
dilontarkan kakak Ari, “Ingin melakukan sesuatu untuk
memperbaiki kesalahannya terdahulu…”
“Jadi itu yang kau lakukan selama ini..?” Tanya Agung dengan
tersenyum bangga melihat Ari.
Sejenak Ari menengok ke belakang melihat makam kedua
orang tuanya. Setelah itu ia kembali menghadap dua sahabatnya
dengan menganggukkan kepala pelan.
“Ya.. Aku tak punya kesempatan membahagiakan kedua orang
tuaku. Padahal, sejak di kandungan, mereka rela melakukan apa saja
untuk kebaikanku…” kata Ari dengan tatapan dalam seolah
menatap kedua orang tuanya.
“Karena itu, aku bahagia sekali bisa bermanfaat untuk para
lansia…”
Sejenak Agung dan Wiro menatap Ari penuh dengan
kebahagiaan dengan apa yang bisa ia lakukan. Tidak banyak lulusan
kami yang skalipun berfikir untuk bekerja di panti jompo. Sungguh
189
takdir Ari kehilangan orang tua bukanlah sebuah akhir cerita
nestapa, tapi kejadian itu malah membuatnya menjadi pria dewasa.
“Masalah membahagiakan orang tua,” kata Agung pelan.
“Boleh aku mengulas masa lalu..?”
Ari menganggukkan kepala. “Silahkan… Aku juga punya
banyak cerita untuk kalian,” kata Ari sambil tersenyum.
“Malam saat pernikahan Gita… Saat aku dan Wiro ke rumah
untuk menemanimu. Hanya ibumu yang kami temui. Dan saat kami
permisi menyusulmu…,” sejenak Agung menghentikan kalimatnya
dan memandang Wiro yang tetap tenang memandang Ari yang
tampak menyimak kalimat yang akan dikatakan Agung.
“Ibumu bertanya pada kami, “kata Agung memandang Ari.
“Apakah Ari teman yang baik…?”
“Kami sudah duduk di motor. Tapi saat melihat ibumu sedih,
perlahan kami berdiri.
“Saat kami perlahan mendekat, beliau mencegah langkah kami
dengan berkata ‘Pergilah… Segera susul Ari.. Dibanding ibu, Arilah
sekarang yang lebih membutuhkan kalian..
“Kami melihat mata ibumu berkaca-kaca saat berkata, ‘Sejak
kecil, meski ayahnya mendidik atau memarahinya sekeras apapun.
Sekalipun, Ari tak pernah mengucapkan kata “ah” pada kami…”
Mendengar itu perlahan kepala Ari tertunduk pelan dan ia
mengatupkan kedua geraham. Kembali air matanya menetes dari
kelopak matanya mengingat masa kecilnya dengan kasih sayang
kedua orang tuanya.
“Entah firasat atau apa..” kata Agung melanjutkan, “Sebelum
kami pergi, ibumu berkata, ‘Tolong sampaikan, bahwa ibu
bersyukur Allah menitipkan Ari dalam rahim ibu…’”
Mendengar itu Ari tak kuasa menahan tangisannya. Perlahan ia
membalikkan tubuh, tertunduk dan menangis didepan batu nisan
ibunya.
Melihat itu semua, Agung dan Wiro hanya bisa menahan nafas
dengan air mata yang semakin lama juga tampak jelas terlihat.
Sungguh satu kata saja kita buang, bisa membuat perbedaan besar
dalam hati seorang ibu. “Ah..”
Wiro dan Agung teringat akan jalan hidupnya selama ini.
Sungguh, jika waktu bisa mereka ulang dari awal, akan mereka
buang kata itu jauh-jauh. Namun semua belum terlambat. Tiba-tiba
bayangan dan kerinduan akan orang tua begitu kuat tertancap di
hati. Mereka ingin segera pulang dan meminta maaf pada orang tua
mereka dan memeluk seerat mungkin.

190
Setelah bisa menenangkan diri, mereka berjalan pelan menuju
rumah Ari sambil bercerita tentang pengalamannya selama ini. Wiro
begitu tertarik menanyakan tentang jenggot dan celana yang Ari
kenakan.
“Ari… Aku tahu memelihara jenggot itu sunah… tapi bisa
kamu ceritakan tentang celanamu yang tidak biasa itu?” Tanya Wiro.
“Ya..” tambah Agung. “Bukankah dulu kau juga pernah
mengatai orang yang pakai celana seperti itu kayak orang
kebanjiran…? Bagiku kurang rapi dilihat apalagi saat kita memakai
sepatu. Terlihat aneh..”
Sejenak Ari tersenyum. “Pertama… Tentang jenggot ini lebih
tepatnya adalah perintah. Karena Haditsnya berbunyi ‘Pendekkan
kumis dan peliharalah jenggot’. Apakah itu kalimat pilihan?
Rasulullah berjenggot… dan aku memanjangkan jenggotku karena
kecintaanku pada Rasulullah. Aku ingin sekali seperti beliau…
“Kedua, mengenai celana. Dalam hadist dijelaskan yang intinya
bagian kain yang melebihi mata kaki tempatnya adalah di neraka.
Tentunya bukan hanya kainnya yang masuk didalamnya…
“Adapun orang yang membolehkan dengan dalih asal tidak
sombong, sesungguhnya hadist tersebut meriwayatkan tentang
sahabat Abu Bakar yang karena beliau kurus, maka celananya sering
melorot hingga melebihi mata kaki. Saat Rasulullah melihat Abu
Bakar sering menaikkan celananya, beliau berkata yang intinya
‘Sesungguhnya kamu tidak sombong’, karena lebihnya kain Abu
Bakar hingga melebihi mata kaki karena tidak disengaja.
“Inilah dalil yang digunakan orang untuk tetap memanjangkan
kainnya. Sedangkan pada zaman para sahabat, khalifah Umar
pernah melihat seorang pemuda yang memanjangkan kainnya,
beliau langsung menegur. Tidak lagi bertanya apakah kamu
sombong.
“Bahkan ada satu kisah seseorang yang memanjangkan kainnya
untuk menutupi cacat di kakinya. Dia malu. Bukan sombong.
Namun Beliau tetap menyuruh untuk memotong kain. Dalih mana
lagi yang akan kita gunakan. Baik dalih sombong ataupun malu,
semua sudah terjawab. Dan yang perlu kita tekankan pada diri kita,
itu semua untuk keselamatan pribadi.
“Alangkah lebih baik jika kita bisa mendekatkan diri untuk
mengikuti apa yang Rasulullah dan para sahabat contohkan. Dan
hindari yang selebihnya.

191
“Mengenai celana yang ‘terlihat aneh’. Ada hadist yang
menyatakan bahwa Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan
kembali menjadi asing. Karena itulah jika orang menganggap kami
asing atau aneh, tentulah kami bahagia. Moga Allah memasukkan
kami dalam golongan Islam.
“Sungguh terlihat aneh karena tidak banyak orang yang
mengamalkan. Dan sungguh orang yang selamat itu jumlahnya lebih
sedikit, maka aku memilih keselamatan daripada mengikuti
kebanyakan orang. Sungguh banyaknya orang yang melakukan
sesuatu, tidak akan menjadikan sesuatu yang salah jadi benar. Atau
sedikitnya orang yang melakukan sesuatu, menjadikan sesuatu yang
benar jadi salah.
“Agama ini berdiri diatas dalil. Bukan perkataan nenek
moyang, ustad atau terlebih hanya berdasarkan akal. Coba kalian
tanya pendapat orang tentang sesuatu hal, contohnya merokok.
Maka sebagian akan mengatakan itu boleh dan sebagian tidak.
Kenapa berbeda? Karena mereka menjawab berdasarkan akal.
Namun jika berpendapat berdasar dalil, maka jawabannya hanya
satu.
“Karena banyak perokok yang menyatakan beberapa manfaat
dari merokok. Tapi jika kita lihat buku manapun. Maka tiada
satupun buku yang menuliskan manfaat dari merokok. Itulah dalil
untuk dunia. Sedang dalil agama kita kembalikan pada Alquran dan
Hadist
“Semua urusan agama sudah dijelaskan oleh Rasulullah. Semua
jalan yang menuju neraka dan juga surga sudah Beliau kabarkan.
Dan dalil yang sesuai pemahaman para sahabatlah yang patut kita
yakini kebenarannya. Bukan pemahaman banyaknya orang yang
melakukan di jaman sekarang. Karena Alquran dan Hadist turun di
tengah-tengah mereka. Maka merekalah yang paling paham
maksudnya.
“Rasulullah pernah bersabda yang intinya ialah ‘Urusan dunia
kalian lebih tahu, sedang urusan agama kembalikan kepadaku
(sebagai contoh)’. Maka untuk urusan agama dan ibadah, jika tidak
pernah Beliau contohkan, jangan lakukan. Meskipun itu dilakukan
banyak orang dan secara akal itu baik.
“Contohnya shalat Subuh Rasulullah melakukan dua rakaat.
Saat seseorang melakukan empat rakaat yang secara akal lebih baik
(karena lebih banyak ibadah), maka ibadah itu tidak diterima.
Karena syarat diterimanya ibadah itu dua. Yang pertama ikhlas
hanya mengharap wajah Allah, yang kedua sesuai yang dicontohkan
Rasulullah.
192
“jika ibadah itu baik, tentu Rasulullah dan para sahabatnya juga
akan melakukan. Kerena merekalah golongan orang yang paling
semangat beribadah.
“Namun jika anda berpendapat hal itu tetap baik meski
Rasulullah tidak pernah mencontohkan. Maka seolah-olah anda
mengabarkan bahwa anda lebih baik dari Rasulullah. Karena anda
melakukan sedang Rasulullah tidak melakukan.
“Atau yang lebih ditakutkan lagi, seolah-olah kita menuduh
bahwa Rasulullah telah khianat. Karena ada amalan baik yang
mendekatkan pada surga, disembunyikan oleh Beliau dan tidak
disampaikan pada umatnya.
“Jika ada yang berkata dahulu yang ada unta, bukan motor.
Apakah itu juga hal yang baru dan tidak boleh dilakukan? Maka
jawabannya kembali ke Hadist Rasulullah tadi. Apakah motor itu
urusan ibadah, atau dunia?
“Karena tiada satu riwayatpun tentang ibadah yang
mengharuskan memakai unta. Jangan campuradukkan. Urusan
dunia boleh kita tambah, tapi tidak dengan ibadah.
“Namun demikian kita tidak diajarkan untuk menghukumi
orang yang berbeda. Karena dulu kamipun demikian karena
kurangnya pengetahuan ataupun karena memang adanya perbedaan
pandangan di kalangan para ulama.
“Karena itu kami dianjurkan untuk terus belajar dalam rangka
memperbaiki diri, bukan menyalahkan orang lain.”
Mendengar penuturan Ari hanya bisa membuat Agung dan
Wiro berjalan sambil termenung memikirkan bahwa selama ini
ternyata banyak yang ia tak ketahui, hingga tak merasakan bahwa
perjalanan mereka sudah sampai didepan pintu rumah Ari.
Tiba-tiba perlahan langkah Ari terhenti. Ia melihat Gita dan
juga Putri baru datang. Mereka berdiri dan membatu seolah melihat
untuk pertama kalinya. Ari mengamati dengan seksama perubahan
yang terjadi pada diri Gita.
Wanita yang dulu ia kenal dengan pakaiannya yang sporty, kini
tampak dengan gaun islami. Sebuah jilbab panjang menjulur
menutupi seluruh tubuhnya. Warna kain juga bukan pilihan untuk
dijadikan perhiasan. Warna gelap dan tidak menarik perhatian mata.
Begitulah seharusnya seorang wanita.
Saat keluar ia tak mengenakan sedikitpun perhiasan kecuali
yang sudah tampak dari mereka, karena sesungguhnya wanita
sendiri adalah perhiasan. Saat kau keluar dan menambah hiasan,
maka akan menarik pandangan laki-laki dan itu malah akan
membahayakan pihak wanita. Karena itulah hijab diciptakan untuk
193
melindungi wanita. Sedang masalah kencantikan, itu hanyalah hak
suami untuk memandangnya. Bukan orang lain…
Bukan hanya Ari, Gita juga sedikit tersentak saat melihat Ari
sudah memelihara jenggot dan juga memotong celananya hingga tak
melebihi mata kaki seperti syariat islam. Namun ketika mereka
sadar, mereka segera menundukkan kepala masing-masing.
Putri tersenyum melihat perubahan pada diri Ari. Ia merasa
puas dan bisa tersenyum lebar akan kemungkinan menyatukan
kembali Ari dan Gita. Namun belum lama senyum Putri
mengembang, tiba-tiba pintu rumah Ari terbuka dan keluar seorang
perempuan yang juga mengenakan jilbab panjang dengan wajah
yang cukup menawan dan menggendong seorang anak yang tampak
menggemaskan. Dari besarnya, bayi itu masih berusia hitungan
bulan
Melihat itu, mata Putri, Wiro dan juga Agung saling pandang
dengan tatapan penuh tanya. Sesaat kemudian dada mereka
berdebar kencang seolah takut akan kata yang keluar dari Ari.
Sesaat kemudian Ari tesenyum dan berjalan pelan menuju
perempuan tadi lalu mencium keningnya dan juga pipi anak tersebut
dengan penuh kasih sayang. Setelah itu ia membalikkan tubuh dan
menghadap sahabat-sahabatnya sambil berkata, “Kenalkan… Ini
Dian, istri dan ini anakku…”
Mendengar hal tersebut seolah tak membuat mereka percaya.
Tatapan mata mereka semua kosong seolah ini hanyalah candaan.
Namun melihat sikap Ari mendekati dan memperlakukan wanita
itu, mereka harus memaksa diri mempercayai kata-kata Ari…
Gita hanya bisa menundukkan kepala dan memejamkan mata.
Sedang Putri, Agung dan Wiro hanya bisa saling pandang tanpa
tahu apa yang harus mereka lakukan…
Mereka semua seolah mematung tak tahu harus bergerak atau
berkata apa hingga saat Ari mempersilahkan mereka masuk ke
dalam rumah, baru perlahan mereka bisa menggerakkan tubuh
mereka..

194
ARI 25
Saat berfikir kita pintar
Saat itulah kita bodoh

Perlahan mereka berusaha menggerakkan kaki mereka untuk


masuk ke rumah, belum sampai pintu keluar seorang ibu-ibu yang
juga mengenakan jilbab sambil tersenyum. Ari mencium tangan ibu
setelah itu memperkenalkan sahabat-sahabatnya selama kuliah.
Ternyata beliau adalah mertua Ari. Beliau mengulurkan tangan
pada Gita dan Putri dan hanya mendekapkan kedua tangannya di
dada sambil tersenyum pada Agung dan Wiro.
Agung dan Wiro membalas salam itu dengan tersenyum dan
menyatukan dua tangan mereka didepan dada. Putri dan Gita
dipersilahkan masuk ke ruang tengah sedang Agung dan Wiro
duduk di ruang tamu.
Saat Putri dan Gita memasuki ruang tamu yang juga ruang
makan, masing-masing dari mereka punya kenangan tersendiri akan
kedekatan mereka dengan Ari dan juga Rahimahullah ibunya.
“Bagaimana kabar kalian?” Tanya Ari sambil duduk di ruang
tamu. “Maaf kalau aku tidak datang di acara walimah
pernikahanmu,” Ari memandang Wiro sambil tersenyum.
“Apa kau tak datang karena juga sedang menggelar acara
pernikahan?” Tanya Wiro penasaran tentang Ari yang tiba-tiba
muncul bersama istri dan juga anak.
Ari mengerti. Kedua sahabatnya itu pasti penasaran dan
sekaligus kecewa kenapa mereka tak diundang pada acara
pernikahannya dan tiba-tiba datang saat sudah ada anak.
“Maafkan aku…” kata Ari tersenyum kecil. “Saat itu istriku lagi
hamil, jadi aku tak bisa meninggalkannya.
“Kapan kau menikah?” Tanya Agung. “Apakah istrimu
perawat juga?”
Kembali Ari tersenyum. Namun belum sempat ia menjawab,
Iwan masuk dan memberitahu bahwa pak RT sudah ada di
rumahnya.
“Kalau mas Ari mau ketemu katanya lebih baik sekarang,
karena sebentar lagi beliau mau keluar lagi ada acara katanya”, kata
Iwan pada Ari.
Tampak Ari sedikit bimbang karena sekarang ia sedang
bersama sahabat-sahabatnya. Namun Wiro segera menyarankan Ari
untuk segera menemui ketua RT kalau itu memang penting.
“Kalau kita bisa tunggu sampai kapan aja,” kata Wiro
menenangkan Ari.
195
“Iya maaf ya…” kata Ari. “Saya mau urus surat pindah
sekaligus ngurus kartu keluarga baru.” Tak lama Ari dan Iwan
keluar bersama.
Setelah Ari keluar, beberapa saat mereka terdiam. Baik Agung
dan Wiro dan juga Putri dan juga Gita yang duduk di meja makan,
mereka bingung mau bicara apa terlebih dihadapan mereka adalah
istri Ari yang belum mereka kenali sama sekali.
“Apa mbak yang bernama Gita?” Tanya istri Ari menatap Putri.
Gita langsung tersentak namanya disebut dan ia saling
pandang dengan Putri. Sedang putri menggelengkan kepala pelan
mengarahkan jari telunjuk pada Gita sambil berkata “Dia yang
benama Gita.”
Tampak sekali Istri Ari agak kaget melihat Gita adalah seorang
yang berjilbab panjang. Lalu ia berkata, “Maaf… saya fikir mbak
yang bernama Gita…”
Istri Ari mengulurkan tangan dan bersalaman pada mereka
berdua sambil memperkenalkan diri, “Saya Dian.. Kalian pasti kaget
melihat mas Ari sudah beristri dan juga mempunyai momongan?”
Mendengar penuturan itu membuat Putri penasaran. Kata-kata
tersebut juga terdengar oleh Wiro dan Agung yang berada di ruang
tamu yang hanya dipisahkan oleh kain kordin.
“Apa mereka yang bernama Agung dan Wiro?” tanya Dian lagi
yang langsung dijawab Putri dengan anggukan kepala. Tak lama
kemudian Dian mulai berkata, “Karena kalian sahabat Ari, pasti
kalian penasaran dengan pernikahan kami. Karena saat pernikahan
tidak ada satupun teman kuliahnya yang datang. Ataupun
dihubungi Ari. Akan aku ceritakan bagaimana pertama kali aku
bertemu dengan Ari. Cerita ini kudapat dari ibu Ida…
“Ibu Ida adalah perawat yang bekerja satu ruangan dengan Ari
di panti Wreda. Saat istirahat makan, ibu Ida menceritakan tentang
seorang perempuan yang diperkosa pacarnya dan hamil. Namun
orang tua perempuan itu tidak mengijinkan pacarnya untuk
menikahi anaknya dengan alasan dia sudah mengecewakan
kepercayaan yang ayah perempuan itu berikan padanya.
“Namun hingga bertambah usia kehamilannya belum jua
ayahnya menemukan laki-laki yang mau menikahi putrinya yang
hamil. Perempuan itu adalah aku.”
Sejenak Dian diam merenungi kisah kelamnya diwaktu lalu
akibat salah pergaulan. Tak lama kemudian ia mengangkat
kepalanya pelan dan melanjutkan ceritanya.

196
“Siang hari ketika bu Ida hendak pulang, tiba-tiba Ari
menghampiri dan mengatakan ‘jika tidak ada yang mau menikahi,
hubungi saya. Biar saya yang menikahi...
“Antara percaya dan tidak, bu Ida tidak sedikitpun melihat
canda di wajah Ari yang biasanya mudah membuat orang tertawa.
“Singkat cerita akhirnya bu Ida membawa Ari untuk
menemuiku. Namun, kata bu Ida, Ari ingin membatalkan niatannya
saat melihat rumahku yang besar. Karena menurutnya dengan
rumah sebesar ini takkan sulit mencari laki-laki yang mau menikahi.
“Beruntung bu Ida berhasil membalikkan keadaan dengan
mengatakan, ‘Justru dengan rumah sebesar ini, semakin sulit
mencari laki-laki yang datang hanya dengan niat menikahi…
Bahkan bu Ida sempat menantang Ari dengan berkata ‘Jika kau
ingin pulang karena melihat rumah yang megah, silahkan… Tapi
ingatlah, niatan baikmu untuk membantu dan menikah, telah
dikalahkan oleh mata…
“Mendengar itu, Ari hanya bisa terdiam malu. Tak berapa lama
kemudian ia bertanya apakah dia dan orang tuanya tahu bahwa aku
hanyalah seorang perawat honorer?
“Melihat itu bu Ida kembali tersenyum dan menjelaskan bahwa
semua yang bu Ida tahu tentang Ari, sudah beliau ceritakkan dan
keluargaku menerimanya.
“Akhirnya Ari masuk ke rumah dan disuruh menunggu di
ruang tamu sendiri karena bu Ida langsung masuk ke ruang
keluarga. Tak lama kemudian keluar seorang wanita dengan
membawa baki mengantar minuman.
“Sejenak Ari melihat wanita itu, namun ia segera
menundukkan pandangannya. Saat perempuan itu meletakkan
minuman di meja dan mempersilahkan Ari untuk minum, Ari hanya
mengucapkan terimakasih dengan tatapan tetap tertunduk ringan
hingga perempuan itu pergi meninggalkan Ari kembali seorang diri.
“Tak lama kemudian baru Ayah, Ibu dan bu Ida keluar
bersamaan. Saat itu ayahku langsung bertanya apakah Ari bersedia
menikahinya.
“Saat itu Ari tidak langsung menjawab, ia justru balik bertanya
sudah berapa pemuda yang datang dan apa yang terjadi dengan
mereka…
“Ayahku menjelaskan sudah ada empat pemuda yang datang
dan diperlakukan sama dengan Ari yaitu disambut dengan
perempuan pembawa minuman dengan paras cantik sebagai ujian.
Namun keempat pemuda tersebut tidak bisa menjaga pandangan.

197
Jika menjaga pandangan saja sulit, bagaimana ia akan menjaga
hati akan fitnah dan cobaan. Karena itulah ayahku menolaknya.
Disana juga ayahku sempat menasihati Ari untuk jangan
menundukkan kepala saat berjalan berjalan dengan tujuan menjaga
pandangan. Karena Rasulullah saat berjalan Beliau tegak.
Tundukkan sebagian pandangan seperti engkau berkendara. Engkau
melihat, tapi tidak lama dan bukan untuk menikmati, cukup
melewati.
“Mendengar penjelasan Ayahku, Ari tampak mengamati
Ayahku dengan seksama. Setelah itu ia berkata ‘Maaf saya menolak
permintaan bapak… Tapi jika boleh, saya ingin meminta putri bapak
untuk saya nikahi.. Karena sayalah yang datang untuk meminta,
bukan sebaliknya…
Dan akhirnya kami menikah.
“Maaf…” kata Putri sangat berhati-hati. “Jadi..... ini bukan.....
anak Ari.....?”
Sejanak Dian tersenyum. “Tidak.. Ini adalah anak Ari.
Qadarullah (takdir Allah), sebelum Ari datang ke rumah, anak yang
sebelumnya kukandung keguguran karena aku sempat mengalami
tekanan batin dan kondisi fisikku tidak memungkinkan.”
“Ayahku memberitahu bahwa dilarang menikahkan orang
yang sedang hamil. Jika hamil diluar pernikahan, maka mereka
harus menunggu sampai melahirkan baru boleh menikah. Begitulah
syariat islam agar jelas siapa bapak dalam kandungan janin tersebut.
Namun jika anak yang dilahirkan itu perempuan. Dan meskipun
telah jelas siapa bapak biologisnya. Selama ibunya hamil sebelum
pernikahan, maka ia bukan mahram dari bapak biologisnya” Jelas
Dian.
Sejenak Dian diam seolah mengenang pertemuannya dengan
Ari. Tak lama kemudian dengan nada sedikit hati-hati ia berkata,
“Sebenarnya aku ingin cukupkan cerita ini. Namun… Aku ingin
menambahkan sedikit semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita
semua nanti saat menikah.
“Pada awal pernikahan, kita masih kaku karena belum
mengenal pribadi masing-masing. Sikap kaku itu pernah kusalah
artikan kalau ia tidak mencintai aku.
“Terlebih saat hamil dan mengidam dan ia merawatku saat
muntah, atau saat ingin memakan sesuatu, ia mencarikannya.
Namun sikapnya lebih banyak diam. Ia juga jarang memintaku di
ranjang kecuali jika aku yang meminta.
“Hingga aku coba menanyakan masa lalunya. Awalnya ia
menolak karena menganggap menceritakan sesuatu yang kurang
198
bermanfaat. Namun setelah kupaksa, saat iu ia sedikit sekali
bercerita dan menyebut nama Gita. Karena itulah aku berfikir kalau
ia masih mencintai Gita dan kecewa menikah denganku. Saat itu aku
keluarkan semua isi hatiku sambil menangis dan menawarkan
setelah melahirkan, ia boleh mencerikanku supaya balik dengan
mantannya.
“Ia diam sampai aku puas mengeluarkan semua. Setelah itu ia
minta maaf dengan wajah yang sedih. Ia menjelaskan ia banyak diam
karena ia sedih melihatku lemah dan mual karena hamil. Karena itu
pula ia tak berani meminta kecuali aku yang bener-bener siap
melakukannya.
“Aku tak tahu apa yang kau rasakan, karena itu aku tak mau
mendahulukan keinginanku…
“Kata-kata itulah yang menamparku akan pikiran burukku
tentangnya. Mengenai tawaranku untuk menceraikanku setelah aku
melahirkan agar bisa balik bersama Gita, ia menjawab dengan penuh
ketegasan.
“Kelak, bukan Gita… Tapi kamulah yang aku
pertanggungjawabkan di hadapan Allah…
“Mendengar itu aku langsung menangis memeluknya dan
meminta maaf. Namun ia membelai rambutku sambil berkata bahwa
ialah yang salah dan ia yang harus minta maaf.
“Dengan kelembutan sikapnya, ternyata bisa menenangkan
emosiku yang masih labil. Sejak saat itu aku tak membiarkan syetan
menyusupi fikiranku. Itu juga yang aku doakan pada kita semua.
Sungguh syetan akan berjuang menghalangi orang dengan berbagai
macam ketakutan dan ketidaksiapan untuk menikah.
“Namun Jika kita sudah didalamnya. Syetan takkan berhenti
hingga perceraian terjadi..
“Saat aku bertanya apakah kau selalu setenang ini menghadapi
sesuatu? Ia menggelengkan kepala dan menjawab tidak… Agamalah
yang mengajariku… Dalam satu hadist dikabarkan bahwa akan
rusak suatu urusan jika kelembutan diangkat darinya..
“Jika hanya mengamalkan satu hadist saja bisa merasakan
manfaat sebaik ini. Bagaimana dengan ribuan amalan yang lain. Pasti
semua akan berujung kebahagiaan yang lebih lagi. Sejak saat itulah
aku sadar bahwa agama adalah pedoman akan berbagai macam
urusan. Dan aku ikut majelis ilmu agama dan berusaha terus
mengamalkan..
“Namun dalam beberapa kesempatan terkadang ada tingkah
Ari yang kuanggap aneh. Seperti saat buat minuman ia hanya ingin
dibuatkan satu gelas. Namun minuman itu tidak ia habiskan. Sisanya
199
ia berikan padaku untuk kuminum. Tapi setelah kutanyakan,
ternyata hal itu telah dicontohkan oleh Rasulullah. Semooga Allah
terus meluruskan niat kami untuk mengikuti kebiasaan Nabi..”
Dian menghentikan ceritanya.
Semua yang mendengar kini hanya bisa menundukkan kepala.
Kini mereka paham tentang semua yang terjadi dan perubahan pada
diri Ari. Beberapa saat tiada yang mengeluarkan suara.
Tak lama Agung berkata, “Mengenai tingkah aneh Ari… Kami
semua pernah merasakannya.. Tapi apapun itu, tetaplah berfikir baik
padanya… Karena selama ini, ia memperlakukan kami lebih dari
perlakuannya pada dirinya sendiri…”
Mendengar itu, Putri dan Gita hanya bisa menundukkan
kepala. Sedang Dian hanya diam mendengarkan dengan penuh
tanya maksud perkataan Agung.
“Mungkin Dian bingung…” kata Agung melanjutkan. “Nanti
setelah Ari datang, Dian diam saja. Dengan begitu Dian akan tahu
bagaimana suamimu memperlakukan kami…”
Tak lama kemudian yang ditunggu telah datang dengan
membawa selembar kertas yang ia gulung. “Maaf lama.. kata Ari
sambil langsung duduk di kursi.
Agung membuka perbincangan dengan pertanyaan ringan
mengenai pengurusan kartu keluarga dan nama anaknya. Ari
menamainya Sofia. Pertanyaan nama berlanjut ke pertnyaan
bagaimana ia bisa bertemu Dian dan sampai bisa menikah.
Dengan ringan Ari menceritakan, “Aku dikenalkan oleh temen
perawat yang juga bekerja di panti. Setelah ketemu, kami saling
suka, ya akhirnya kami memutuskan menikah…”
Beberapa saat semua yang mendengar terdiam.
“Masak sesingkat itu? Apa kalian tidak pacaran dulu?” lanjut
Agung.
“Alhamdulillah tidak..” jawab Ari. “Orang yang pacaran
kebanyakan menunjukkan kebaikan supaya menarik perhatian
pasangan. Dan setelah belajar agama aku jadi tahu bahwa pacaran
hanya mengajak kepada dosa, sedang menikah mengajak pada
ibadah. Karena itulah setelah bertemu aku langsung mengajaknya
menikah…”
Agung menganggukkan kepala sambil berfikir apa lagi yang
akan ditanyakan. Tak lama kemudian ia kembali bertanya. “Apa dia
langsung mau menikah denganmu?”
Sejenak sambil tersenyum ringan Ari menengok ke dalam
ruang makan karena ia tahu Dian akan mendengar jawabannya. Tapi
percuma karena ruangan itu dibatasi oleh kelambu.
200
“Aku tidak tahu awalnya ia mau denganku apa tidak.” Sejenak
Ari diam dan tampak berfikir. Tak lama kemudian ia berkata, “Tapi
yang pasti, keinginan menikahlah yang menyatukan kami…”
Agung tersenyum puas sambil memandangi Ari. Sedang Wiro
tersenyum sambil menunduk dan menggelengkan kepalanya untuk
menutupi karena ia tidak pandai bersandiwara bahwa sebenarnya
mereka tahu cerita sebenarnya.
“Sekarang Dian tahu apa maksud kalimatku..” kata Agung
sambil terus tersenyum. “Mengatakan kebenaran dengan penuh
kebijaksanaan. Inilah teman kami Ari. Berupaya menjaga
kehormatan siapapun yang ia temui..”
Mendengar penuturan Agung dan melihat sikap Wiro yang
terus menundukkan wajahnya membuat Ari tahu bahwa mereka
tahu cerita yang sebenarnya. Menyadari hal itu membuat Ari
tersenyum dan berkata dalam hati ‘Ya.. bagaimanapun juga, mereka
adalah sahabat yang sudah sangat mengenalnya. Jadi wajar jika
mereka berhasil menjebak…’
Setelah mereka semua terdiam, Ari berkata, “Untuk menjadi
orang beriman yang sejati, tidak didapatkan dengan mimpi… Tetapi
dengan usaha yang nyata… Makin besar amalan seseorang, makin
besar pula balasan dari Allah… Dan jihad adalah puncaknya amal
kebaikan… Tetapi jihad di jalan Allah yang sesungguhnya, adalah
menjauhkan diri dari dosa… Itulah perkataan mulia Umar bin
Khatab yang patut kita kerjakan….”
Mendengar itu semua terdiam memikirkan kebenaran apa yang
dikatakan khalifah kedua tersebut. Tak berapa lama kemudian
terdengar suara dari dalam..
“Inilah suamiku… Selalu mencari dasar tentang apa yang harus
dikerjakan…. Dan sebaik-baik dasar baginya adalah Alquran, Hadist
dan juga riwayat para sahabat….”
Sejenak Ari terdiam dan menundukkan kepala, setelah itu ia
berkata. “Tidak… Aku hanyalah seorang penuntut ilmu…”
“Siapapun takkan bisa memujinya…” kata Agung sambil
tersenyum. “Disamping bertambah, kau tetap seperti yang dulu..”
“Pujian langsung akan mematikan hati dan membuat bangga
terhadap diri,” kata Ari menatap Agung dan Wiro dengan penuh
hikmah. “Sedang tiap bertambah ilmuku tentang sesuatu, semakin
aku tahu bahwa aku masih bodoh. Karena semakin aku sadari masih
banyak yang belum kuketahui. Jika ada yang berfikir ia sudah
pandai. Maka saat itulah dia bodoh…
“Kalau tidak salah itu pendapat Imam Syafi’i. Beliau, dan masih
banyak ulama yang mereka menghafal Alquran dan juga ribuan
201
hadist. Namun masih menyebut diri dengan penuntut ilmu. Lalu apa
bandinganku dengan mereka. Seujung kukunya saja aku mungkin
belum pantas disandingkan…
Mendengar penjelasan Ari seolah membuat mereka yang
mendengar seolah lupa untuk bernafas akan diri mereka yang lalai
akan menuntut ilmu agama. Padahal itulah yang kelak akan
ditanyakan. Bukan ilmu dunia.
Dengan semangat hari itu penuh mereka gunakan untuk
banyak bertanya dan Ari menjawab dengan semampunya dan terus
mengarahkan mereka untuk mencari majelis taklim yang
berdasarkan sunah Rasulullah dan pemahaman para sahabat.

Sebelum berpamitan pulang, Agung mendapat nasihat dari Ari


untuk segera menikah. Saat Agung mengatakan dirinya masih belum
siap, Ari menambahkan untuk segera mempelajari dan memenuhi
apa yang menurutnya belum siap. Karena saat tidak tahu dan dia
diam tidak mau belajar, maka itu bukan tidak tahu, tapi tidak mau
tahu.
Jika masalah kemampuan yakinlah Allah sendiri yang
mengatur semua. Ari menambahkan bahwa mobil yang ada di
depan rumah itu adalah Rizky dari Allah. Terlepas dari mobil bekas,
Ari sendiri tidak menyangka bisa ia membeli mobil sendiri. Padahal
sampai sekarang ia masih pegawai honorer. Tapi syukurlah dengan
terus menjaga diri dengan tidak melakukan hal yang diluar aturan,
Allah sendiri yang memberi jalan. Usaha kios pulsa dan perbaikan
handphone bisa berjalan dan sekarang aku juga punya kios menjual
makanan kecil.
Mengenai hal tersebut Wiro membenarkan bahwa ia sendiri
juga merasakan bahwa sejak ia menikah, rezki juga mengalir dengan
tidak disangka. Diluar jam kerja ia sering menerima panggilan orang
sakit atau khitan. Meski dengan obat terbatas yang sesuai hak
perawat, namun mereka lebih suka mencari saya.
Namun Ari mendambahkan. Biar kita merasakan sendiri, tapi
tidak bisa kita bergerak hanya dengan keyakinan akan dicukupkan.
Karena Allah memberi bagi mereka yang mau merubah dirinya
sendiri. Ikhtiar dan terus berusaha adalah jalan Allah memberikan
rezki dari langit. Karena beberapa kali kami gagal menjual makanan.
Tapi dengan terus mencoba makanan apa yang pas dan diridhai,
Alhamdulillah akhirnya usaha makanan kecil bisa maju secara
perlahan.

202
Sore itu mereka pulang dari rumah Ari dengan berbagai macam
perasaan. Agung dan Wirolah yang paling merasakan perbedaan
dari Ari. Jika dulu tindakannya berdasarkan rasional akal, sekarang
berganti dengan dalil agama yang kian kokoh akan kebenarannya.
Putri merasa di satu sisi ia ikut bahagia karena melihat Ari
sudah menikah dan bahagia dengan bertambahnya anak
diantaranya. Namun di satu sisi ia kembali merasa bersalah karena
mengajak Gita dengan memberi harapan besar namun pulang
dengan kenyataan yang bertentangan dengan harapan.
Namun yang difikirkan Putri sebenarnya tidak
dipermasalahkan oleh Gita. Terlepas Ari sudah menikah, yang
terpenting bagi Gita ialah ia merasa bersyukur akan perubahan besar
yang terjadi pada Ari. Karena ia sendiri merasakan, mendapatkan
hidayah dan kekuatan untuk terus mempelajari ilmu agama, itulah
hadiah terindah dari Tuhan selama nyawa masih di raga.
Karena di jaman sekarang ini, terus mempelajari dan
mengamalkan agama adalah perahu penyelamat dunia yang hanya
sementara. Jika kita keluar dari majelis ilmu agama, maka akan
mudah diobang-ambingkan oleh godaan dunia yang terus menyita
waktu kita yang tidak seberapa.
Sedang agama memberi petunjuk bahwa barang siapa yang
akhirat menjadi harapannya, Allah akan menjadikan rasa cukup
didalam hatinya serta mempersatukan (mempermudah) urusannya,
dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan patuh dan hina.
Tetapi siapa yang dunia menjadi harapannya, Allah akan
menjadikan kefakiran berada didepan matanya serta mencerai
beraikan urusannya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali
sekedar apa yang telah ditetapkan baginya.

203
ARI 26
Bagaimana keberadaan kita
Dimata Allah?

Hari Jumat sore keesokan harinya Ari dan keluarga kecilnya


beserta ibu mertuanya bersiap-siap keluar ke mall untuk membeli
susu buat Sofia anak mereka. Tampak Namun belum sempat
mereka keluar Ari mendapat telfon dari pak RT yang mengabarkan
bahwa ada surat yang perlu ditandatangani.
Ari memandang Dian untuk menunggu sejenak. Namun Dian
tersenyum sambil berkata, “Sudah biar Aku keluar sama ibu dan
Sofia…”
Sebenarnya Ari tahu mall yang akan mereka tuju tidak begitu
jauh dari rumah. Terlebih Dian juga sudah tahu daerah itu karena
Ari sempat mengajaknya berkeliling sekitar rumah. Namun entah
kenapa saat itu hati Ari seolah tidak mengijinkan Dian untuk pergi
tanpanya.
“Sudah pergi sana..” kata Dian lagi sambil mendorong Ari
dengan lembut. “Kan Ibu juga ikut…”
Sejenak Ari memandang ibunya yang sedang menggendong
Sofia. Lalu ibunya berkata, “Iya Ari pergi saja. Biar Ibu yang temani.”
Mendengar penjelasan ibu mertuanya tak jua membuat hati Ari
lega. “Tunggu saya kembali saja. Kan tinggal tanda tangan. Paling
cuma sebentar.”
“Mana mungkin cuma tanda tangan,” kata Dia dengan
tersenyum cantik. “Paling-paling seperti sebelumnya. Pak RT
menyuguhkan minuman dan bertanya tentang agama dan Abi juga
selalu suka membagi ilmu. Lagipula ini sudah sore..”
Mendengar penjelasan istrinya, Ari tak bisa berkata apa-apa.
Ari melihat Dian menghampirinya dan menyalaminya seraya
berpamitan ia mencium tangan Ari. Setelah itu Dian dan ibu
mertuanya naik mobil. Sambil berkata “Hati-hati..” Ari juga
melangkahkan kakinya menuju rumah pak RT.
Saat sampai rumah pak RT, seperti yang istrinya perkirakan, ia
disugihi minuman dan makanan kecil. Sambil mempersiapkan surat
yang mau ditandatangani, pak RT menawarkan untuk mengisi
taklim di masjid sekitar karena mumpung Ari masih di sini.
Namun dengan sopan Ari menolaknya dengan alasan dirinya
masih belum pantas mengisi taklim karena masih baru belajar. Tapi
kalau ada warga yang mau bertanya dan saya juga sudah
mendapatkan ilmunya, In shaa Allah Ari akan menjelaskannya. Jadi
bukan taklim, tapi sharing antar warga saja.
204
Mendengar penjelasan Ari pak RT hanya bisa menganggukkan
kepala dan menyetujui usul Ari. Namun belum sempat mereka
melanjutkan pembicaraan, pak RT melihat banyak orang berlari
menuju jalan raya.
Segera saja pak RT dan Ari berdiri dan keluar rumah dengan
muka penuh tanya. Saat ada seseorang yang dikenalnya, ia langsung
bertanya ada apa?
Orang tersebut menjelaskan bahwa ada kecelakaan di jalan raya
sana, sambil menunjuk kearah jalan besar.
Mendengar penjelasan itu dada Ari langsung bergemuruh. Ia
teringat Dian juga baru saja keluar dengan mobil. Langsung saja Ari
minta ijin dan segera berjalan secepat mungkin ke arah jalan besar.
Ari tidak hanya sendiri. Banyak orang juga dengan motornya
menuju ke jalan besar yang dari kejauhan sudah tampak banyaknya
kerumunan orang.
Sambil berjalan cepat ia mengangkat HP menelfon Dian.
Namun telfon itu tiada yang mengangkat. Dada Ari kian berdebar-
debar. Ia segera berlari sekuat mungkin, secepat mungkin hingga
alas kakinya lepas ia tidak menghiraukan.
Saat sampai di tempat kejadian, ia melihat ada beberapa mobil
yang mengalami tabrakan beruntun. Saat Ari mencari dengan segera
ia mengenali mobilnya juga tengah berhenti diantara beberapa mobil
yang tampak penyok.
“Diaaaaaan…..!!!” teriak Ari dengan mata mulai berkaca-kaca
dan memerah, ia menerobos banyaknya orang yang berkerumun. Ari
melompati beberapa mobil hingga sampai ke mobilnya. Saat itulah ia
melihat ibu mertuanya sedang menenangkan Sofia yang menangis
kuat.
Dengan mata yang kian memerah ia segera memeriksa Sofia
dan bertanya apa ibunya baik-baik saja dan mana Dian. Ibunya juga
menangis sambil menjawab ia tidak apa-apa. Tapi dian masih di
dalam mobil.
Langsung saja Ari memecah beberapa orang yang berkerumun
di depan mobilnya yang penyok dan terhimpit mobil di depannya.
“Dian…” Ari melihat wajah dian mengeluarkan darah di dahi
kirinya. “Dian tidak apa-apa? Tanya Ari langsung masuk dan
memeluk Dian sambil terus menangis.
“Dian tidak apa-apa..” jawab Dian pelan dengan suara lemah.
“Bagaimana ibu dan Sofia?”
“Alhamdulillah mereka baik-baik saja,” kata Ari sambil
mengamati wajah dan memeriksa luka di dahi Dian. “Dian bisa
keluar?” tanya Ari sambil memeriksa kaki Dian apakah terjepit.
205
Namun, saat memeriksa telapak kaki Dian, Ari merasakan telapak
kaki itu dingin.
Kembali ia memandang wajah Dian. “Kamu tidak apa-apa?
Ada yang sakit?”
Dian memejamkan mata dan menundukkan kepala menahan
sakit. “perut Dian terasa sakit.. Dian tidak kuat berdiri, karena itu
Dian menunggu Abi… Karena Dian tak mau disentuh orang lain…”
Sejenak Dian tersenyum lega diantara sakit yang ia tahan. “Tadi
Dian berdoa supaya Abi segera datang. Alhamdulillah Allah
mengabulkan doa Dian…”
Ari tak bisa membendung air matanya. Ia kini memegang
kedua telapak tangan Dian serayamemeluknya erat-erat. Dada ari
kian berdetak kencang ketika ia merasakan dingin di kedua telapak
itu. Saat Ari memeriksa nadi, denyutan yang terasa sangat kecil dan
cepat.
Ia tahu kondisi Dian tidak baik. Segera saja ia coba mengangkat
tubuh Dian. Dian berteriak kesakitan saat Ari berhasil
membopongnya. Dengan lemah Dian melingkarkan lengannya ke
leher Ari. Sambil terengah-engah Ari berkata sedikit keras agar
orang-orang segera menyingkir.
Dengan pakaian Dian yang sempurna tertutup, orang-orang
tahu dan memberi jalan bagi Ari tanpa menyentuh Dian. Ari
membawa istrinya berjalan menyusuri jalan sampai di salah satu
rumah warga disamping jalan yang terasnya terbuka.
Seorang ibu paruh baya pemilik rumah mempersilahkan Ari
untuk masuk ke ruang tamu. Ari mengucapkan terimakasih sambil
terus membopong Dian dan menidurkannya di sofa berwarna
merah.
Saat diletakkan Dian mengerang hebat. Ari langsung
memandang sekeliling ruang tamu. Dengan segera Ari minta
bertanya pada ibu pemilik rumah apakah ada laki-laki di dalam? Ibu
itu menjawab hanya dia sendiri, semua anaknya belum pulang.
Dengan segera Ari minta ijin untuk menutup gordin agar bisa
memeriksa istrinya dengan seksama. Ibu pemilik rumah langsung
menyetujui. Dibantu Ari, mereka segera menarik gordin dan
menutup pintu. Saat pintu hendak ditutup, ibu mertuanya datang
sambil menggendong Sofia yang masih terisak tangisnya.
Saat melihat ibunya masuk bersama Sofia, Dian langsung
menangis dan ingin memeluk Sofia. Ibunya segera menghampiri
Dian dan mendekatkan Sofia.

206
Dian memeluk Sofia dan menciuminya dengan penuh kasih
sayang seolah lama tak bertemu hingga air mata Dian keluar saat
melihat Sofia dalam-dalam.
Namun tak lama Ari segera mengambil Sofia. Dian tak segera
menyerahkan Sofia, kembali ia memeluk anaknya dengan erat.
“Biarkan aku memeriksamu…” kata Ari sambil memandang
Dian.
Perlahan Dian menyerahkan Sofia pada Ari. Namun saat Sofia
sudah di tangan Ari, Dian berkata, “Yaa Abu Sofia.. Tolong jaga anak
kita..”
“Bicara apa kamu..” kata Ari sambil menyerahkan Sofia pada
ibu mertuanya dan segera membuka jilbab istrinya.
Saat jilbab dan baju gamisnya terbuka tampak dada Dian
membiru begitu juga dengan perutnya yang terus ia pegang.
“Tidak apa-apa kan…?” Tanya Dian dengan wajah datar
memandang Ari.
“Apa disini sakit sekali?” Tanya Ari sambil meraba bagian dada
dan perut Dian yang membiru.
“Tadi sakit sekali… tapi sekarang sudah tidak..” belum sempat
Dian melanjutkan kalimatnya, ia batuk beberapa kali dan semakin
lama semakin keras. Bahkan batuk terakhir Dian sampai
memuntahkan darah.
Melihat itu ibu dian langsung menangis melihat kondisi
putrinya. Ari semakin panik. Beberapa kali dia memanggil nama
Dian. Begitu Dian sedikit tenang, Ari langsung memakaikan kembali
jilbabnya dan mengangkat tubuh Dian dan membawanya keluar
diikuti oleh ibu mertua yang menggendong Sofia dengan terus
menangis.
Dalam pelukan Ari, Dian berkata,“Yaa Abu Sofia.. Hendak
dibawa kemana aku nanti..”
Ari tak kuasa menahan tangisnya.. Sambil terus berjalan
menjauhi keramaian, wajahnya penuh dengan air mata…
“Tolong telfon ambulans… Tolong…” kata Ari sambil terus
terisak… Banyak orang berkerumun yang mengarahkan Ari menuju
jalan sebrang yang arusnya tidak mengalami kecelakaan.
Saat mereka sampai di jalanan yang juga macet karena
banyaknya orang yang menghentikan laju kendaraan mereka untuk
sekedar menonton. Sejenak Ari berhenti untuk melihat kondisi Dian.
“Dian…” kata Ari sambil terus menangis dan kian tampak oleh
dian wajah suaminya penuh dengan air mata. “Kamu harus
bertahan…”

207
Seketika ada mobil yang berhenti di dekat Ari. Seorang bapak
paruh baya yang berpakaian Polisi dengan pangkat perwira.
“Masuklah. Biar kuantar ke Rumah Sakit.”
Segera saja Ari dan ibu mertuanya langsung beranjak. Dibantu
warga yang membukakan pintu mobil, Ari segera masuk.
Segera warga langsung memecah jalanan dan meneriaki yang
lain untuk segera menyingkir agar mobil bisa segera melaju. Mobil
itu berjalan pelan dengan terus-menerus membunyikan klakson.
Semakin lama, jalan mobil kian cepat karena sudah melewati
kerumunan. Namun Polisi yang mengemudikan mobil tersebut terus
menekan klakson supaya mobil di depannya segera minggir.
Dalam perjalanan itu Ari memeluk dian dengan sangat erat.
“Abi… Hendak dibawa kemana aku nanti..” Tanya Dian dengan
suara lemah.
“Bertahanlah…” Jawab Ari tak kuasa menahan tangisnya. “Kita
akan ke Rumah Sakit…”
Mata Dian terlihat sayu mengamati Ari. “Abu Sofia tenang saja..
Allah sudah mengurangi sakit ini.. Tapi Dian tetap khawatir tentang
masa lalu Dian saat belum belajar agama… Karena itu Dian bertanya
akan dibawa kemana aku nanti..”
Mendengar itu, Ari hanya bisa menggelengkan kepala tanpa
bisa menahan derasnya aliran air mata. “Dian jangan bicara macam-
macam… Abi mohon… Bertahanlah… Demi Sofia…” Ari menangis
sesenggukan, begitu juga dengan ibu mertuanya yang tak lagi bisa
berkata-kata. Sedang Sofia entah kenapa dia hanya diam tak lagi
menangis.
Dian kembali mengamati Ari dengan dalam-dalam. “Belum
pernah Dian dapati abi menangis seperti ini…” perlahan tangan
Dian terangkat meraba wajah Ari.
“Entah kenapa.. Dian merasa bahagia melihat Abi menangis…”
Tak berapa lama kemudian tampak mata dian berkaca-kaca dan
perlahan air mata begitu beningnya berlinang melewati pipinya.
“Tangisan Abi pertanda.. bahwa Dian begitu berharga di mata
Abi…” tangis Dian mulai pecah dan ia ingin memeluk suaminya.
Segera Ari memeluk Dian dengan erat. Dalam pelukan masih
terdengar Dian berkata, “Trimakasih telah mencintai Dian dan
Sofia… trimakasih mengajari Dian agama…
“Bertahanlah.. Rumah Sakit sudah dekat” hanya itu yang bisa
Ari katakan. Dia dan ibunya tak kuasa menangis dan menyatukan
geraham sekuat mungkin guna menahan kesedihan ini. Namun
beberapa saat kemudian tak lagi terdengar suara tangisan Dian.

208
Segera Ari melepaskan pelukannya. Saat itu dada Ari tersentak
kuat saat melihat wajah Dian sudah sangat pucat. Meski pucat dan
dihiasi air mata, namun wajah Dian tampak begitu tenang dan
bahagia. Bibirnya tampak ia gerakkan pelan..
“Mengingat-Nya…. Adalah kenikmatan… Apalagi
perjumpaan….” Kata Dian dengan sangat pelan sambil memandang
Ari dan menganggukkan kepala..
Ari mendekatkan telinganya ke Dian untuk mendengarkan apa
yang akan dikatakan. “Allah… Allah.. Allah…” kata Dian dengan
suara yang sangat lirih. Setelah itu Ari tidak lagi mendengar suara
apapun. Bahkan tidak suara nafas istrinya.
Saat Ari mengangkat kepala dan melihat mata Dian menatap ke
atas tanpa ada gerakan mengedip sedikitpun, Ari langsung
berteriak…
“DIAAAAAAAAAAAN……..!!!!!!!” Tangisan Ari pecah. Dan
ketika Ari berteriak. Sofia dengan serta merta menangis sekuat-
kuatnya seolah tahu ibunya telah tiada.
“Bangunlah..Bangun…BANGUUUUN…..!!!!” Perlahan Ari
mengangkat dan memeluk tubuh Dian yang telah lemas dengan
penuh harap dan kasih sayang. Setelah itu Ari memandang ibunya,
“Ibu… MAAFIN ARI…!!!”
Ibunya hanya bisa menutup mata dengan tangan kanannya tak
kuasa melihat putrinya telah mendahuluinya. Sedang Sofia terus-
terusan menangis dengan kerasnya.
“Istriku… Bangunlah…” kata Ari bicara pada tubuh Dian.
“Lihatlah… Sofia menangis….” Kembali Ari dan ibunya tak kuasa
menahan tangis mendengar tangisan Sofia disamping tubuh ibunya
yang sudah lagi tak berdaya.
Sedangkan polisi yang membawa mobil tersebut kian
mempercepat laju mobilnya dengan menekan pedal gas dan klakson
keras-keras. Namun pandangan polisi tersebut perlahan sedikit
kabur akan air mata yang juga terhias dalam bola matanya.
Di tengah jalanan kota sore yang padat, sekitar lima menit
kemudian mereka baru sampai di pelataran Unit Gawat Darurat
salah satu Rumah Sakit pemerintah. Saat mobil berhenti, dengan
cekatan dua orang petugas medis datang menghampiri dengan
membawa brankart.
Saat pintu terbuka, Ari melihat Wiro membuka pintu. Saat itu
Wiro yang sedang dinas juga tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Sahabatnya dengan mata dan wajah penuh dengan air
mata tengah memeluk tubuh terbalut hijab dengan wajah tak lagi
menunjukkan kehidupan.
209
“Wiro.. Istriku…” Kata Ari dengan terisak. Tak lama kemudian
Ari berjalan pelan keluar dari mobil dengan terus memeluk tubuh
Dian dan meletakkan di brankart.
Sedang polisi yang mengemudikan mobil saat keluar dan
menuju samping mobil tersentak saat melihat Wiro. Tak hanya polisi
itu yang tersentak, begitu juga dengan Wiro. Polisi itu adalah ayah
Wiro.
Wiro memperhatikan ayahnya. Meski ia tahan, tapi tampak
jelas kedua mata ayahnya dikelilingi oleh air mata. “Trimakasih
ayah… yang ayah tolong adalah sahabatku.”
Ayah Wiro menganggukkan kepala. Ia juga mengamati
penampilan Wiro yang kini berbeda dengan saat terakhir datang ke
rumah untuk minta ijin menikah. Sekarang, meski belum panjang,
tapi sudah tampak jelas dagunya telah dihiasi dengan jenggot. Saat
ayah Wiro memperhatikan bagian bawah, ternyata celana Wiro juga
telah dipendekkan tidak melebihi mata kaki.
“Segera lakukan sesuatu..” kata ayah Wiro sambil menepuk
bahu putranya dan langsung dijawab dengan anggukan mantap.
“Sudah beberapa menit yang lalu..” Kata Ari sambil terus
menangis dan memandangi wajah Dian yang sudah sangat pucat.
“Tolong.. Lakukan yang terbaik..”
Sesaat Wiro memandang Ari dan tahu maksudnya. “Mari…”
kata Wiro sambil segera mendorong brankard masuk ke ruang IGD.
saat di dalam Wiro memanggi beberapa perawat perempuan.
Mereka paham karena pasien yang ada di atas brankart
menggunakan hijab penuh. Tangan mereka bergerak cepat
mamasukkan brankard ke dalam satu ruangan bertuliskan Resusitasi
(ruangan untuk kedaruratan medis akibat berhentinya fungsi
jantung dan paru).
Saat Ari hendak masuk ke ruangan itu, Wiro mencegahnya.
“Percayakan pada kami..” Ari hanya bisa memandang tubuh istrinya
hingga pintu itu tertutup dengan sendirinya. Ari paham, kondisi
emosi keluarga kadang akan mempengaruhi jalannnya tindakan.
“Duduklah disana…” kata Wiro mempersilahkan Ari dan Ibu
Ari ke tempat duduk yang tak jauh dari ruang Resusitasi. Ari
menundukkan kepala ke tembok. Kembali punggungnya terguncang
dan air matanya mengucur deras dengan suara tangis ia tahan kuat-
kuat.
Wiro tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya memegang bahu Ari
seperti dahulu yang dilakukan Agung saat melihat Ari menangis.
Sedang Ari hanya bisa menggelengkan kepala tak bisa menahan
pedih di dada.
210
“Berdoalah…” Kata Wiro, “Karena kita hanya bisa berusaha..”
setelah itu Wiro pergi meninggalkan Ari.
Semua perawat yang masuk langsung memposisikan diri. Ada
yang memposisikan di kepala sebagai ketua tim memeriksa
kesadaran dan nadi serta pernafasan. Dua perawat lain di sisi kanan
dan kiri. Dan yang satu lagi di kaki memegang alas papan untuk
mendokumentasikan waktu dan tindakan apa yang dilakukan.
Saat perawat yang memeriksa nadi mengatakan nadi tidak
teraba, perawat di sisi kanan langsung memposisikan diri naik di
atas bangku yang memang sudah disediakan bersiap melakukan RJP
(Resusitasi Jantung Paru). Ada yang bersiap memasang ambu bag,
sedang perawat yang lain segera mempersiapkan obat yang akan
disuntikkan.
Detik yang biasanya berjalan cepat mengitari menit, saat itu
terasa melambat. Sungguh Ari ingin segera mengetahui keadaan
istrinya. Entah berapa menit sudah berlalu, saat dokter keluar dari
ruangan tersebut, Ari langsung bergegas menghampiri dengan
wajah penuh harap. Namun cukuplah wajah dokter tersebut
menggambarkan bahwa semua usaha telah dilakukan.
Kembali air mata membanjiri wajah Ari. Ia menundukkan
kepalanya di tembok dan menangis sesenggukan sambil terbata
mengatakan, Inalillahi wainailaihi rajiun…
“Dian… “ kata Ari pelan masih tak percaya bahwa istrinya
benar-benar sudah tiada. Ari menggenggam kedua tangannya erat-
erat. Tak berapa lama kemudian ia merasa ada tangan yang
menyentuh punggungnya untuk menenangkan. Ari tak
menghiraukan siapa itu.
Namun karena tangan itu masih saja berupaya
menenangkannya, perlahan ia menolehkan wajahnya. Saat melihat
sosok Agung dan Wiro berdiri dengan wajah tak tahu harus berkata
apa. Perlahan Ari berbalik dan memeluk Agung sambil berupaya
menahan tangis sebisa mungkin.
Agung balik memeluk erat sahabatnya itu. Dari gerak bibir,
tampak Agung juga menahan diri supaya tidak menambah
kepedihan.
“Kau sudah berhasil…” kata Agung sambil memeluk Ari.
Sejenak ia memejamkan mata dan perlahan air mata berlinang pelan
dari kelopak matanya.
“Sungguh aku tak ingin mengatakannya saat ini,” kata Agung
mempererat pelukannya ikut merasakan kepedihan yang Ari
rasakan. Masih setara usianya, tapi sahabatnya lebih banyak
menghadapi kematian di depan matanya.
211
“Tapi kau telah berhasil dengan istrimu…” kata Agung kian
terisak. “Kau juga telah berhasil akan diri kami sendiri… Lihatlah
kami… kami mengikuti nasihat yang kau sampaikan…”
Dengan kedua tangannya kini Agung agak menjauhkan tubuh
Ari. “Lihatlah kami,” kata Agung sambil mengguncang pelan tubuh
Ari sekedar untuk menguatkan. “Lihatlah Wiro…”
Perlahan Ari mengangkat kepalanya dan dengan pandangan
yang buram akan air mata yang memenuhi, ia memperhatikan
bahwa jenggot tipis telah tampak di dagu Agung. Perlahan ia
menatap ke bawah dan melihat celana Agung telah dipotong tidak
melebihi mata kaki. Kembali Ari melihat Wiro yang hanya diam tak
bisa berkata.
‘Jika kami saja bahagia denganmu.. Apalagi istrimu…” kata
Agung menguatkan.
Wiro perlahan mendekat dan menepuk punggung Ari. Matanya
berkaca-kaca dan perlahan meneteskan air mata saat ia berkata,
“Trimakasih… Banyak dari kami yang ingin mengucapkan kata itu..
Aku yakin.. Jika ia diberi kesempatan menemuimu… Ia akan
mengatakan itu…” Wiro yang selama ini dikenal akan ketegarannya
tak kuasa menangis dan memeluk tubuh sahabatnya.
“Trimakasih…” kata Wiro menambah erat pelukannya. “Kau
telah menunjukkan kami ke jalan yang sebenar-benar jalan… Kami
bersyukur bisa dipertemukan denganmu…”
“Allahlah yang punya kuasa memberi hidayah. Jika kalian
benar-benar berusaha di jalannya, tentu kalian akan
mendapatkannya... Akulah yang bersyukur punya sahabat seperti
kalian…” kata Ari membalas pelukan Wiro.
Melihat itu Agung juga ikut memeluk mereka berdua dengan
kesedihan dan syukur dengan usia yang masih di badan, mereka
masih diberi kesempatan untuk saling mengingatkan dalam
kekuatan dan ketaatan.
Sore itu juga, setelah ayah Dian datang, mereka segera
menguburkan jenazah Dian di pemakaman. Tidak hanya Putri dan
Bayu yang datang, tapi teman-teman dan semua kenalan Ari kembali
berkumpul di kediaman Ari. Mereka tak menyangka, setelah lama
nama Ari tak lagi terdengar, namun tiba-tiba beredar kabar istrinya
meninggal.
Jenazah Dian diletakkan disamping makam ibu Ari. Karena
begitulah wasiat Dian yang sesuai tuntunan agama. ‘Kuburkanku di
kota dimana aku meninggal. Dan, segerakanlah. Karena In shaa
Allah jika jasadku termasuk golongan yang baik, maka tentu aku

212
ingin segera menemui Rabbku’. Itulah kata yang pernah Dian
ucapkan.
Meskipun kesedihan tampak menyelimuti wajah ayah Dian,
tapi beliau tampak begitu tegar menatap jenazah putrinya perlahan
ditutupi dengan tanah.
Saat beliau melihat Ari masih saja berair mata, beliau segera
mendekatinya dan mengatakan sesuatu di telinga Ari. Tak lama
kemudian Ari memandang wajah mertuanya. Tampak pak Abbas
hanya menganggukkan kepala seolah untuk meyakinkan. Tapi hal
itu seolah membuat Ari menjadi lebih tegar dan perlahan
menghentikan tangisan.
Saat pemakaman berakhir dan keadaan tenang, Agung dan
Wiro yang tak sengaja memperhatikan kejadian tersebut
memberanikan diri untuk bertanya apa yang dikatakan ayah
mertuanya hingga membuat Ari berhenti menangis.
Perlahan Ari menceritakan bahwa beberapa hari sebelumnya
Dian pernah berkata pada ayahnya bahwa ia ingin sekali bertemu
dengan Allah. Saat ayahnya bertanya kenapa ia ingin bertemu
dengan Allah, Dian menjawab entah kenapa rasa rindu di hati
muncul dengan kuat ingin bertemu dengan Allah.
Saat itulah ayah Dian menawarkan untuk pergi umrah bersama.
Dan tawaran itu kembali membuat Dian tampak kian bahagia karena
bisa menginjak daerah yang dimana Rasulullah dan para sahabat
beribadah.
Padahal sebelumnya Dian menolak tawaran rumah dan mobil
untuk mereka gunakan. Tapi saat tawaran umrah dan ke Madinah
membuat Dian ceria seolah ia lupa bukan lagi anak-anak.
Keadaan itulah yang membuat ayah Dian tegar menatap
pemakaman putrinya. Bahwa Dian lebih memilih Allah dan
Rasulnya daripada dunia. Dan kerinduan Dian pada Allah
menandakan, bahwa ada kemungkinan Allah juga rindu kepada
Dian.
Karena dalam satu riwayat dijelaskan, jika kamu ingin tahu
bagaimana keberadaanmu di mata Allah, maka cukup lihat
bagaimana keberadaan Allah di matamu…

213
Ari 27
Kisah Rasulullah & Aisyah Vs
Romeo & Yuliet

Beberapa hari setelah pemakaman, Ari memutuskan untuk


segera kembali ke kota dimana selama ini ia tinggal. Bapak dan ibu
mertuanya setuju dan mereka kembali. Namun begutu Ari sampai di
pintu gerbang rumah pak Abas, kembali Ari meneteskan air mata
karena teringat saat pertama kali ibu Ida membawanya bertemu
dengan Dian.
Tak terasa kenangan itu begitu kuat menghentak hingga Ari
kembali menanahan tangis dan sesenggukan. Saat pak Abas
menghentikan mobilnya. Beliau dan istrinya yang sedang
menggendong Sofia hanya bisa menatap sedih.
“Maafkan Ari pak..” katanya sambil sesenggukan. “Seharusnya
Ari tak mengajak Dian…”
Pak Abas sejenak menarik dan menghembuskan nafas dalam.
Setelah itu ia berkata, “Qadarullah wama sya’a fa’ala… Semua ini
takdir Allah, Allah mengerjakan apa yang Dia kehendaki… Apa kau
mau menentang kehendak Allah..?”
Ari menundukkan kepala dan menahan isak tangisnya sambil
menggelengkan kepala pelan.“Ari ingin segera pulang untuk
melupakan… Tapi..,” sejenak Ari tak bisa menahan air matanya dan
kembali terisak. “Ari sampai lupa.. Disinilah semua kenangan itu
tercipta..”
“Apa kau ingin pergi sejenak menenangkan diri?” Tanya pak
Abas sambil menepuk bahu Ari untuk menguatkan.
Ari menggelengkan kepala. “Kenangan bukan hanya di
tempat… Tapi di dalam diri Ari sendiri, juga ada Dian.. Kemanapun
Ari pergi, seolah Dian selalu menemani…”
Dengan tangan berat Ari membuka pintu mobil dan berjalan
pelan menuju dalam rumah. Tiap langkah yang ari ayunkan seolah
kian menginjak hati Ari akan kenangannya bersama Dian. Hingga
langkah berat itu mencapai kamar Dian.
Saat membuka pintu kamar, spontan seluruh kenangan
bersama Dian kian tampak nyata. Dan kenangan itu kian jelas dari
banyaknya air mata yang mengalir dari kedua kelopak matanya.
Ari tak lagi bisa menahan diri, ia segera berjalan dan menunduk
di tempat tidur tempat ia, Sofia dan Dian terakhir bercengkrama. Ari
mengambil bantal peluk yang biasa Dian gunakan dan menangis

214
sejadinya. Dari depan pintu pak Abas dan istrinya hanya bisa
memandang Ari dengan lelehan air mata tanpa suara.

Tiga bulan berselang. Selama itu Ari tinggal bersama Pak Abbas
karena saat ia kerja, Sofia akan dirawat oleh ibu dan juga kakak Dian.
Hingga pada malam hari yang tampak tenang. Ketika semua
anggota tengah bercengkarama makan malam, ibu mertuanya
bertanya apakah Ari tiada niatan untuk menikah lagi?
Ari tak langsung menjawab. Ia mengunyah makanan makanan
pelan sampai habis seraya sambil berfikir. Setelah itu ia menjawab
sambil melihat semua yang ada di meja makan, “Ari sudah cukup
bahagia…”
“Apa kamu tidak memikirkan Sofia?” Tanya ibu mertuanya.
“Ari yakin Sofia juga bahagia bersama ibu dan kakak yang
begitu menyayangi Sofia…”
“Ibu tahu Ari sangat menyayangi Dian. Tapi bukan begitu cara
menyayangi Sofia. Karena bagaimanapun, Ibu dengan seorang nenek
sangatlah berbeda…” lanjut ibu mertuanya yang langsung disambut
gelengan pelan kepala pak Abbas tanda untuk tidak melanjutkan.
Tapi tetap saja istri pak Abbas itu melanjutkan pembicaraan
tersebut karena ia tak tega saat melihat Ari di rumah, ia berusaha
merawat Sofia dengan sepenuh hati. Saat pagi haripun sebelum Ari
pergi kerja ia sudah memandikan Sofia. Begitu juga saat pulang
kerja, tanpa kenal lelah Arilah yang memandikan sofia dan mengajak
bercerita. Tampak sekali ia ingin membahagiakan Sofia, karena itu,
ibunya juga ingin Ari mencari pengganti Dian supaya ia juga
bahagia.
“Nak Ari hanya mengingat Dian, tapi tidak memikirkannya…”
Lanjut ibu Abbas. “Ari tahu anak adalah salah satu sumber amal
yang tidak terputus, sedang kau, sepertiga waktumu kau habiskan
untuk bekerja dan sepertiganya lagi untuk istirahatmu. Bukankah
Sofia juga jadi tanggung jawabmu. Bagaimana caramu
mempertanggungjawabkan dunia dan akhiratnya? Sedang Sofia
adalah salah satu harapan amalan Dian yang tak terputus…”
Mendengar penuturan ibu mertuanya Ari menghentikan
makannya. Perlahan ia menganggukkan kepalanya. “Ibu benar..
Trimakasih telah mengingatkan Ari.. Ari akan meluangkan waktu
lebih banyak untuk mengajari Sofia…”
“Bukan itu maksud Ibu… Seberapa banyakpun waktu kamu
luangkan, dari hati dan waktu, itu tidak akan sama dengan jika

215
seorang ibu yang mengajarkan. Karena Allah menciptakan seorang
suami dan istri dengan kelebihan dan tanggung jawabnya masing-
masing..”
Mendengar penjelasan itu Ari bertanya dengan nada serius,
“Apakah Bapak dan Ibu menyuruh Ari menikah lagi?”
Dengan suara bijak pak Abbas berkata, “Demi Sofia, dan tidak
terputusnya amalan Dian disana… karena Sofia adalah satu-satunya
anak bagi Dian. Satu doa yang Sofia panjatkan kelak untuk ibunya,
akan semakin mendekatkan ibunya ke surga dan menjauhkannya
dari neraka …”
Beberapa saat Ari tampak diam berfikir. Hingga pada satu titik
Ari berkata, “Bapak juga benar… Baiklah… jika bapak dan ibu
mengijinkan, saya akan mencari istri…”
“Apa kau tidak mau mempercayakan hal sebesar ini pada
ibumu dan juga nenek bagi Sofia?” Tanya pak Abbas.
Ari segera menganggukkan kepala. “Ari percayakan pada ibu.
Karena ibu tentu tahu bahwa agama adalah lebih utama..”
Mendengar itu bapak, ibu dan kakak Dian tersenyum bahagia.
“Tentu…” Jawab ibu mantap. “Ibu tentu memilih karena Agama. Ibu
sudah ada calon untukmu. Namun ia hanya mau dilihat setelah sah.
Supaya meluruskan niat hanya untuk ibadah.”
Ari memandang ibu mertuanya dengan seksama, “Wanita
sebaik itu, apakah mau menikah dengan seorang duda…?
“Bukannya yang dicari dari seorang laki-laki ialah agama dan
akhlaknya?” Tanya ibu untuk mengingatkan Ari akan tuntunan
Islam dalam mencari pinangan.
“Ibu benar. Ari hanya menjaga jangan sampai ia kecewa akan
diri Ari,” jawab Ari. “Dimana Rumahnya dan siapa namanya?
“Kebetulan ada keluarganya yang tinggal di kota ini. Karena
itulah ibumu mengenalnya,” terang pak Abbas.
“Namanya.. Aisya… dia biasa dipanggil Ummu Aisya..”

Sejak hari itu perlahan kesibukan di rumah mulai bertambah


untuk mempersiapkan pernikahan Ari. Dari proses lamaran dan
pertemuan dengan keluarga, semua dipercayakan pada pak Abbas
yang kini jadi bapaknya. Rencana pernikahan yang akan digelar
hanya sederhana dan hanya mengundang tetangga sekitar. Bukan
hanya itu, undanganpun dilakukan bukan melalui undangan
pernikahan tapi melalui undangan lisan.

216
Karena bagi Ari semakin mudah pernikahan, semakin berkah
jadinya. Itulah yang ia pelajari saat ikut kajian. Karena agama tidak
mempersulit seseorang untuk melakukan peribadatan dalam rangka
mendekatkan diri pada ketakwaan.
Kali ini Ari juga memberi kabar sahabat-sahabatnya di kota
kelahirannya. Dan tentu undangan itu membuat Wiro dan Agung
bahagia. Mereka memastikan diri akan hadir dalam pernikahan.
Bahkan Ari kaget saat satu hari menjelang hari pernikahan
mereka sudah berkumpul di rumah pak Abbas. Bahkan yang
membuat kekagetan itu menjadi sesuatu yang membahagiakan
adalah ketika melihat Agung dan Wiro sudah berjenggot dan celana
tidak melewati mata kaki.
Mereka bercengkrama di halaman rumah yang lumayan luas.
Agung datang dengan Dewi calon istrinya sekalian mengabarkan
bahwa tiga minggu lagi mereka yang akan ganti melangsungkan
pernikahan.
Jadi Agung mengancam Ari untuk meluangkan waktu datang
di hari besarnya nanti. Ari tersenyum bahagia sambil mengucapkan
In shaa Allah. Setelah itu Ari menanyakan dimana Putri?
Sejenak Agung kebingungan menjawab. Ia hanya menjelaskan
ia sedang sibuk menyiapkan sesuatu. Serelah itu ia menceritakan
bahwa kini Putri juga sudah ikut majelis ilmu yang membahas
tantang Alquran, hadist, riwayat sahabat dan pendapat jumhur
ulama. Putri juga sudah mengenakan jilbab yang menutupi seluruh
tubuhnya.
Setelah itu Agung segera menceritakan tentang Wiro yang
datang sendiri karena istrinya sedang mengandung tujuh bulan.
Dalam kesempatan itu Wiro menanyakan nama yang baik untuk
anaknya yang dalam USG diperkirakan berjenis kelamin perempuan.
Sejenak Ari berfikir. Kemudian ia berkata sambil senyum-
senyum, “Bukannya ingat-ingat calon istri. Tapi nama Aisya adalah
yang kukagumi... Kalian tentu sudah tahu siapa pemilik nama itu? Ia
adalah Istri yang paling dicintai Rasulullah setelah Khadijah.Ummul
mukminin Ibu kaum mukminin….
“Sebagaimana beberapa dari mereka yang menilai Rasulullah
itu manusia yang bodoh hanya karena tidak bisa membaca. Padahal
dibalik itu semua terkandung hikmah. Bahwa karena Rasulullah
tidak bisa membaca maka menghindarkan tudingan bahwa Alquran
bukan dari ilmu atau buku di masa itu, melainkan turun langsung
dari Allah dan dibacakan oleh malaikat Jibril kepada Beliau.
“Begitupula tentang pernikahan Rasulullah yang kala itu
berusia sekitar limapuluh tahunan dengan Aisyah yang masih
217
berusia sekitar sepuluh tahunan. Mereka menuding bahwa
Rasulullah penyuka anak-anak atau berbagai fitnah kejam yang tidak
berdasar lainnya.
“Padahal jika dilihat dari sejarah zaman dahulu, kaum kafir
Quraiys mencari-cari kekurangan Rasulullah untuk menjatuhkan.
Namun saat itu tiada satupun dari mereka yang mempermasalahkan
pernikahan usia yang terpaut jauh. Karena pernikahan bukan ditakar
dengan usia, namun lebih pada kedewasaan.
“Tidak bisa kita pungkiri, di zaman sekarang berapa banyak
orang yang berusia tapi belum memegang kata dewasa. Dan justru
merekalah yang banyak mengungkapkan kekurangan tanpa dasar
alasan yang kuat.
Justru Allah menakdirkan Rasulullah menikah dengan Aisyah
mengandung banyak hikmah. Salah satunya ialah karena Aisyah
wanita yang cerdas, karena kecerdasannya, begitu banyak hadist
yang beliau ingat dan beliau sampaikan hingga jadi penuntun kita
baik dalam beribadah maupun berumah tangga hingga zaman
sekarang.”
“Kalaupun ada yang menilai kecintaan Rasulullah pada anak
kecil dan membandingkan dengan keromantisan kisah percintaan
Romeo dan Yuliet. Maka bandingkan kisah cinta mereka.
“Saat Rasulullah meninggal, Aisyah masih muda. Namun
karena kecintaan beliau pada Rasulullah menjadikan dirinya tak
menikah hingga kematian menjemputnya. Sedang Romeo dan Yuliet
mereka bunuh diri demi cinta mereka.
“Agama mana yang mengajarkan cinta hingga bunuh diri
karenanya. Sedang Aisyah, setelah ditinggal Rasulullah meninggal,
yang keluar dari lisan beliau adalah kenangan indah dan pujian
akhlak suaminya. Tiada keluar satu katapun yang sebaliknya, hingga
Aisyah meninggal dunia. Bandingkan dengan orang zaman sekarang
yang mengaku lebih maju dan modern. Belum lagi suami atau
istrinya meninggal, entah berapa banyak kekurangan yang
pasangannya sampaikan.
“Lalu mana kisah cinta yang kita kagumi? Romeo Yuliet yang
demi cinta bunuh diri? Atau Rasulullah dan Aisyah yang demi cinta
tidak menikah lagi karena besarnya cinta yang dirasakan?
“Mendengar penjelasan Ari, Wiro perlahan menganggukkan
kepala sambil tersenyum melihat Agung. “Ya… Aisyah…” kata Wiro
memandang Ari sambil terus tersenyum. “Kini kau akan mendapati
istri yang kau inginkan… Aisyah..”
Dengan tidak direncanakan Agung juga mengatakan nama itu
sambil tersenyum, “Aisyah…”
218
ARI 28
Sosok sebenarnya Aisyah
Hikmah dari duka

Malam harinya Ari bermimpi bertemu dengan Dian. Ari


melihat Dian tampak bahagia dan terus melihat pada Ari. Saat Ari
ingin mendekatinya, Dian hanya tersenyum dan Ari terbangun
karena Sofia menangis minta susu.
Sambil memberi Sofia susu dalam botol, di tengah malam
tersebut Ari termenung akan rasa rindunya pada sosok Dian. Ari
juga ragu kenapa sosok Dian muncul dalam mimpi saat esok pagi
Ari akan menikah lagi.
Maka setelah shalat subuh, Ari menyempatkan diri
menceritakan hal ini pada Ayahanda pak Abbas. Namun setelah
mendengar dengan seksama, pak Abbas hanya tersenyum dan
mengatakan, “Bukankah kau melihat Dian tersenyum? Bukankah
senyuman tanda bahagia?”
Mendengar itu Ari hanya bisa diam dan menganggukkan
kepala pelan. Tidak lama kemudian, pak Abbas menepuk pundak
Ari sambil berkata, “Ibumu yang melahirkan Dianlah yang
mencarikan istri buatmu. Seorang ibu takkan ingin anaknya
menderita. Maka siap-siaplah…”
Mendengar itu menjadikan Ari bergegas mempersiapkan diri
dan juga Sofia. Karena bagaimanapun juga, selama ini Ari berusaha
menyempatkan diri untuk mengurus Sofia dan meminimalkan
menyerahkan urusan Sofia kepada orang lain. Karena itulah Sofia
begitu dekat dengan Ari.
Sambil memakaikan bedak dan pakaian, Ari bicara pelan pada
Sofia. “Sofia… Doain abi ya.. Supaya acaranya diberkahi Allah dan
Sofia bisa ditemani Umi…”
Saat mengucapkan kata ‘Umi’, Ari kembali teringat pada sosok
Dian dan kembali ia berurai air mata. Apalagi ketika Ari meneteskan
Air mata, tangan Sofia coba meraba Ari sambil bersuara seolah
berusaha menenangkan Ari. Tapi tindakan itu malah
membangkitkan kebersamaannya pada sosok Dian.
Beberapa saat Ari memeluk Sofia sambil menutupkan matanya
kuat-kuat sambil terisak berusaha mengontrol diri. Betapa
kurangnya diri ini tanpa ibu. “Ibu… Bapak… Dian…” Ari menahan
tangisan akan orang-orang paling berarti yang terlebih mendahului.
Dan tangisan itu ia paksa berhenti saat pintu kamar diketuk.
“Ari..” terdengar suara pak Abbas di luar. “Kemarikan Sofia,
kamu siap-siap saja. Kakakmu sudah didepan.”
219
Segera Ari mengusap air matanya dan menjawab, “Iya Pak…
Sebentar lagi Ari juga selesai. Setelah itu terdengar suara kakaknya
bicara di depan pintu kamarnya, “Ari.. Boleh kakak masuk?”
Ari kembali berkaca sambil mengusap matanya supaya tidak
tampak bahwa ia habis meneteskan air mata. Setelah itu ia berkata,
“Masuk saja kak. Tidak dikunci.” Kata Ari sambil kembali
memakaikan baju ke Sofia.
Saat kakak Ari masuk, Ari tinggal merapikan pakaian yang
dikenakan Sofia dan memakaikan kaus kaki. Namun belum selesai
itu, pak Abbas mendekat dan menepuk bahu Ari sambil berkata,
“Siapkan dirimu. Biar neneknya yang mengurus Sofia.”
Setelah itu pak Abbas menggendong sofia dengan lembut dan
meningalkan ruangan itu. Ari segera bergegas berganti pakaian dan
merapikan diri. Sedang kakaknya hanya bisa memandingi apapun
yang dilakukan Ari sambil menyimpan kata-kata bahagia yang sulit
disembunyikan dari matanya.
“Kakak kenapa diam saja?” Tanya Ari sambil terus merapikan
diri didepan cermin.
Beberapa saat kakak Ari hanya diam. Tak lama kemudian dia
tersenyum sambil berkata, “Saya salut.”
Sambil memandang heran, Ari kembali bertanya, “Salut
kenapa?”
Kakak Ari kembali tersenyum dan berkata pelan, “kakak nggak
menyangka kalian bakal menikah?”
“Kalian? Siapa maksud kakak dengan kalian?”
“Ya kalian…” jawab kakak Ari singkat seolah bingung dengan
sikap Ari. “Bukannya kalian sudah kenal?”
“Tidak kakak,” jawab Ari. “Maaf kalau Ari tidak memberitahu
kakak. Kita tidak pernah bertemu, karena untuk meluruskan niat
menikah hanya untuk ibadah, makanya cuma ibu dan bapak yang
bertemu.”
Sebelum kakak Ari melanjutkan pembicaraan, masuklah Niken
dengan polosnya berjalan di samping ibunya. Entah karena melihat
Ari memakai jas yang rapi hingga membuat Niken agak canggung
untuk mendekati Ari seperti biasanya.
“Maaf Ari tidak bisa banyak membantu karena kamu tahu
sendiri kakakmu banyak tugas,” kata kakak iparnya dengan hangat
dan penuh senyuman melihat Ari yang tampak lain dari penampilan
biasanya.
Ari hanya mengganggukkan kepala tanda mengerti. Setelah itu
ia merendahkan badannya mendekati Niken untuk memeluknya

220
seperti biasanya. Namun Niken tidak membalas pelukan itu, ia
malah lebih mendekati ibunya.
“Jadi kamu belum tahu siapa calon istrimu?” Tanya kakaknya
sekali lagi untuk meyakinkan.
Saat Ari hendak berdiri, sesaat ia melihat kakak iparnya
mencubit kakaknya dan cubitan itu dibalas kakaknya dengan
tatapan penuh tanya.
“Sudah ceritanya nanti saja,” kata kakak iparnya. “Kamu sudah
ditungu semua orang didepan.”
Mendengar itu Ari segera bergegas memakai sepatu dan
mereka keluar bersamaan. Sebelum sampai pintu kamar, Ari
menghentikan langkah sejenak sambil memanggil kakaknya hingga
membuat kakak dan kakak iparnya menghentikan langkah menatap
Ari.
“Kak…” kata Ari pelan. “Apa kakak sudah memaafkanku akan
wafatnya ibu dan bapak…”
Mendengar itu kakak Ari mendekat dan menatap mata Ari
yang sedikit memerah karena kembali merindukan sosok ibu dan
ayah.
“Air matamulah yang memberitahu kakak, bahwa kamulah
yang lebih menyayangi ibu dan bapak.
Mendengar itu Ari hanya menundukkan kepala menahan
kesedihannya. Melihat itu kakaknya memegang pundaknya sambil
berkata, “Kini kita sudah menjadi orang tua. Maka jadikanlah apa
yang baik selama kita masih bersama mereka sebagai pelajaran.”
Mendengar itu Ari hanya bisa menganggukkan kepala, setelah
itu ia terdengar menahan isak tangisnya sambil berkata, “Ari ingin
ibu dan bapak mendampingiku saat menikah…”
Melihat itu kakak Ari memeluk kepalanya. “Itu hal yang
wajar..” kata kakak Ari mengerti perasaan adiknya. “Kakakpun
takkan bisa menggantikan mereka…”
“Tapi… Bukankah seharusnya Ari harus lebih bersyukur
daripada kakak.. Karena disini ada bapak dan ibu Abbas yang sudah
seperti orang tua sendiri. Sedang kakak… hanya bertiga dengan istri
dan niken.”
Mendengar itu Ari semakin terisak dan memeluk badan
kakaknya erat-erat. Karena itulah Ari minta maaf sama kakak…”
Beberapa kali kakak Ari menepuk pundak adiknya untuk
menenangkan. “Semua sudah takdir. Allah melakukan semua yang
Allah kehendaki. Jadi sekarang kuatkanlah diri.”
Beberapa saat Ari tampak berusaha mengendalikan diri. Setelah
mengusap air mata dan merapikan semua, mereka kembali
221
melangkahkan kaki menuju beberapa mobil yang menunggu
mereka.
Sekitar empat puluh lima menit perjalanan, akhirnya mobil
berjalan perlahan menuju rumah yang tampak megah namun
dengan tenda yang sederhana untuk menampung kursi tamu yang
tampaknya sudah menunggu kedatangan mereka.
Saat mobil rombongan Ari berhenti, semua tamu yang tadinya
duduk, kini tampak berdiri. Dan saat Ari dan rombongan sudah
keluar dari mobil dan membentuk barisan untuk berjalan, beberapa
tamu memberi ruang untuk berjaan.
Saat melewati tamu-tamu, Ari sedikit heran. Karena Ari melihat
banyak dari mereka orang yang Ari kenal. Ya, beberapa dari mereka
adalah adik kelas Ari sewaktu kuliah. Ari menyalami tamu yang
laki-laki yang memang dipisah duduknya dengan perempuan. Di
barisan akhir tamu Ari melihat Agung, Wiro dan…
“Bayu… MasyaAllah…” kata Ari menyalami Bayu dengan
bahagia karena lama tidak bertemu. “Bagaimana kabarmu?”
“Baik..” jawab bayu singkat dengan senyum tulus terus
memegang tangan Ari. “Kamu sungguh luar biasa,” kata Bayu
sambil mendekatkan diri untuk memeluknya.
Meskipun tak tahu makna luar biasa yang diucapkan Bayu, Ari
membalas pelukan itu dengan erat sambil berkata, “Trimakasih
sudah menyempatkan hadir.”
Sesaat kemudian Ari kaget melihat sosok ayah Wahyu yang
sudah hampir dua tahun tidak ketemu. Ari langsung memeluknya
sambil bertanya, “Bagaimana kabar Bapak? Sehat?”
Ayah Wahyu membalas pelukan itu seraya tersenyum sambil
menjawab, “Alhamdulillah baik…”
“Bagaimana bapak bisa tahu acara ini?” tanya Ari heras saat
melepas pelukannya.
“Bapak sudah pesan sama nak Agung dan Wiro. Kalau nak Ari
menikah, saya minta tolong dikabari.”
Mendengar itu Ari menganggukkan kepalanya, kemudian ia
meminta ijin sama orang-orang disana untuk membawa ayah Wahyu
ke dalam rumah. Saat diijinkan, ayah Wahyu sempat menolak.
Namun karena bujukan Ari, akhirnya ayah Wahyu ikut juga.
Saat akan masuk ke rumah tempat ijab qabul, Ari kembali
memperhatikan tamu yang ada. Kiranya ada seseorang yang
dikenalnya. Saat Ari memperhatikan dengan seksama, perlahan
ingatannya kian menguat saat ia melihat sosok Bang Alex yang
sudah berubah penampilan dengan jenggot dan pakaian gamis
sehingga membuat Ari hampir tidak mengenalnya.
222
Langsung saja Ari beranjak dari tempatnya berdiri dan berjalan
melewati Agung dan Wiro di barisan belakang tamu dimana bang
Alex berdiri menyambut rombongannya.
Ari langsung memeluknya dengan penuh syukur akan
penampilan baru yang seirama dengan ilmu dan kerinduan yang
dalam. Ari memeluk dengan erat seolah Bang Alex sudah seperti
kakaknya sendiri.
Dalam pelukan itu Ari memejamkan mata tak kuasa menahan
syukur di hati. Ia benar-benar tak menyangka, Allah telah
memberinya hidayah hingga sedemikian rupa.
“Bang…” kata Ari tak melepaskan pelukannya. “Trimakasih
telah datang… Tadi ana (‘saya’ dalam bahasa arab) menangis karena
rindu orang tua. Tapi sekarang ana jadi bahagia karena melihat
abang sudah dapat hidayah..” kata Ari sesenggukan tidak kuasa
menahan bahagia akan hidayah pemahaman agama yang Allah
berikan. Karena sebanyak apapun kenikmatan dunia, tanpa hidayah
agama, maka hidup hanya sia-sia.
Bang Alex menepuk pelan punggung Ari untuk menenangkan.
Namun meski dibalik wajah yang tampak tegar, mata Bang Alex
mulai memerah saat berkata, “Aku bersyukur pada Allah yang telah
memberi Abang hidayah dan juga bisa bertemu dengan orang
sepertimu…”
Perlahan Ari melepaskan pelukannya. Sembari mengusap air
mata, kembali Ari memperhatikan bang Alex. Setelah itu ia berkata,
“Allah memberi hidayah pada siapa saja yang bersungguh-sungguh
berjalan dijalan agama…”
“Mari masuk ke dalam,” kata Wiro sambil mempersilahkan.
“Abang dan ayah Wahyu adalah tamu spesialku.
Sejenak Ari melihat Bang Alex tak bergeming dari tempat
duduknya hingga Ari melanjutkan kalimatnya, “Bukankah Abang
sudah paham hukum dari undangan yang syar’I itu wajib
dipenuhi?”
Mendengar itu bang Alex hanya bisa tersenyum dan
mengayunkan kaki pelan berjalan bersama Ari. Saat melewati Agung
dan Wiro, Ari langsung memeluk mereka berdua sambil berkata,
“Terimakasih…. Kalian memang sahabat terbaikku..”
“Sudah waktunya kau bahagia,” Kata Wiro menepuk bahu
sahabatnya.
Beberapa saat Ari kembali menengok ke kiri dan kanan mencari
seseorang. “Dimana Putri?” tanya Ari sambil terus mencari.
“Dia ada di dalam,” jawab Wiro spontan yang langsung
dijawab Ari dengan tatapan tanya.
223
“Sudah masuk saja ke dalam,” sela Agung . “Kamu sudah
terlalu lama menunda acara. Tuh lihat. Mereka menunggumu.”
Mendengar itu akhirnya Ari dan bang Alex melangkahkan kaki
menuju tempat ijab qabul. Saat bertemu dengan keluarga Ari, Bang
Alex langsung menyalami mereka dan mengatur diri untuk masuk
ke tempat ijab qabul dan berjalan perlahan.
Namun untuk yang ke sekian kalinya Ari terheran-heran saat
melihat seorang pria dan istrinya tengah berdiri menyambutnya
sambil tersenyum. Ari menyalami pria ini dengan penuh keheranan
yang luar biasa, “Kakak? Bukannya kakak Gita?”
“Ya…” jawab kakak itu dengan senyum lebar. Sedang istrinya
tampak bahagia sekali saat melihat Ari.
“Apakah Agung atau Wiro yang memberitahu kakak?” Tanya
Ari tak puas dengan jawaban yang ia dengar.
“Masuklah dulu,” jawab kakak Gita dengan senyum dan
mengarahkan ke dalam.
Saat Ari melihat ke dalam, Ari serasa tak bisa menutup
matanya. Dadanya berdegub dengan kencang dan tangannya mulai
terasa dingin. Tidak salah lagi. Di tempat ijab qabul. Disana berdiri
ayah dan ibu Gita seolah menunggu dirinya.
Langsung saja Ari menoleh ke ibu dan pak Abbas. “Ibu..
Siapakah Aisya ini?”
Dengan senyum yang menenangkan ibu Abbas menjawab
pelan seraya meyakinkan. “Ia adalah putri bapak Adi… Ummu
Aisya adalah nama kunyahnya (nama panggilan yang disunahkan
yang disandarkan pada anak. Ummu Aisya berarti Ibu dari Aisya.
Sebagai doa jika diberi anak perempuan akan dinamakan Aisyah).
Nama aslinya adalah Gita…”
Mendengar itu Ari langsung menundukkan kepala. Matanya
memerah meski ia berusaha menutupinya. Inilah jawaban semua
keanehan selama ini. Beberapa saat Ari tampak menahan isak tangis.
Tapi tiada yang tahu apa yang ia rasakan.
Saat ia mengangkat kepalanya, kian tampak jelas air mata telah
memenuhi seluruh rongga matanya hingga beberapa tetes meleleh
dipipinya. Setelah itu ia berbalik ke kakak Ari sambil menggenggam
tangannya.
“Apakah kakak… memaafkan… kesalahanku yang lalu..?” kata
Ari dengan terbata.
Menatap mata Ari yang penuh dengan ketulusan menjadikan
kakak Gita tak bisa berkata. Matanya mulai memerah. Jika mulutnya
terbuka, maka air mata akan pecah pula. Dengan mengatur nafas

224
dan dada yang kian berdetak keras, kakak Gita hanya bisa
menganggukkan kepala.
Melihat itu Ari ikut menganggukkan kepala pelan. Setelah itu ia
bertanya dengan mata yang kian meyakinkan. “Apakah kakak
ridha… Saya menikahi Gita..” kata Ari sambil terisak akan beratnya
pertanyaan itu.
Mendengar pertanyaan itu, kakak Gita tak lagi kuat
menampung air matanya. Betapa orang yang pernah ia benci,
ternyata begitu lembut. Meski acara sudah di depan mata, ia masih
meminta restu darinya.
“Tentu…” kata kakak Gita sambil berair mata.
Mendengar jawaban, Ari langsung memeluknya erat-erat.
Suasana haru itupun dilihat oleh banyak orang yang tak jua bisa
menahan dirinya. Entah berapa banyak dari mereka yang berani
mengangkat wajah dengan air mata sebagai hiasannya. Dan
beberapa dari mereka hanya bisa menundukkan kepala
menyembunyikan kelemahannya.
Dan hanya sedikit dari mereka yang tetap mengangkat wajah
sambil terus menegarkan jiwa dan mengambil hikmah. Diantara
mereka ialah Wiro, kakak Ari dan Ayah Gita.
Beberapa saat Ari coba menarik nafas dalam untuk
menenangkan diri. Setelah cukup kuat, meski dengan wajah yang
masih berair mata, ia melangkahkan kakinya menuju ayah Gita.
Saat sampai di hadapan ayah Gita. Sebelum Ari mengatakan
sesuatu, ayah Gita berkata, “Hentikan tangismu.. Kami ingin kamu
dan Gita bahagia…”
Setelah itu ayah Gita melihat Ari menganggukkan kepala dan
perlahan menghapus air mata. Setelah siap, ayah Gita kembali
bertanya, “Apa kau sudah tahu keadaan kandungan Gita (yang
didiagnosis mandul)? Apa kau menerima keadaan anakku?”
Mendengar itu Ari dengan tegas Ari mengenggukkan kepala.
“Dari awal saya sudah diingatkan ibu. Bahwa tujuan menikah adalah
ibadah. Dan saya yakin, doalah yang bisa mengubah keadaan.
Bukankah demikian juga keadaan Nabi Ibrahim.”
Ayah Gita menganggukkan kepala dengan yakin. “Karena
keridhaanmulah maka saya juga ridha kepadamu. Dan karena
doamu juga, Alhamdulillah… Setelah menjalani terapi, dokter
berkata ada perbaikan yang memungkinkan Gita mengandung.
Semoga Allah meridhai pernikahan kalian?”
“Alhamdulillah….” Mendengar penjelasan ayah Gita membuat
Ari sangat bahagia. Sungguh ayah Gita telah menguji niatan dalam

225
pernikahan. Namun Allah memberi balasan kabar baik dari yang Ari
fikirkan.
“Bisa kita mulai ijab qabul sekarang?” tanya ayah Gita
menghentikan kebahagiaan.
“In shaa Allah…” kata Ari menganggukkan kepala dan duduk
di meja dimana penghulu dan kedua saksi juga mulai merapat. Saksi
dari pihak Ari adalah pak Abbas. Namun tanpa disangka pak Abbas
juga meminta ayah Wahyu untuk menggantikan dirinya untuk
menjadi saksi pernikahan Ari.
“Bapak sudah jauh-jauh datang kemari. Dan bukankah Ari anak
bapak juga?” kata pak Abbas membujuk ayah Wahyu. Dengan
demikian ayah Wahyu tidak bisa menolak permintaan itu. Dan tanpa
diduga tiba-tiba kakak Gita mendekati bang Alex untuk menjadi
saksi dari pihak mempelai wanita.
Dengan sedikit terkejut bang Alex menolak. Namun karena
kakak Ari berusaha meyakinkan bahwa ini adalah acara agama dan
perlu saksi yang paham akan syarat pernikahan menurut agama,
akhirnya dengan kerendahan hati bang Alex menyetujui.
Tidak lama kemudian ayah Wahyu dan Bang Alex duduk di
kursi saksi. Sedang Ari, sebelum ia duduk ia sempatkan memeluk
kakak Gita dan pak Abbas atas kebesaran hatinya.
Ayah Wahyu dan bang Alex, dua orang dimasa lalu yang
membenci Ari. Kini menjadi saksi langkah menuju sunah Nabi, yang
merupakan sebagian dari kesempurnaan agama.
Setelah semua duduk di tempatnya masing-masing, maka ayah
Gita dan Ari berjabat tangan. Sebelumnya ayah Gita menanyakan
apakah tahu nama lengkapnya?
“Adi Sutrisno?” tanya Ari untuk kebenarannya.
Setelah itu ayah Gita menganggukkan kepala dan mulai
mengucapkan Basmalah. Setelah itu ia mengucapkan, “Ananda Ari.
Apakah ananda bersedia untuk saya nikahkan dengan putri saya?”
“Bersedia…” kata Ari sembari menganggukkan kepala.
“Ananda Ari bin Rudi, saya nikahkan dan kawinkan engkau
dengan putri saya yang bernama Gita Wulandari dengan maskawin
berupa cincin emas, Alquran dan seperangkat alat shalat, tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Gita Wulandari binti Adi
Sutrisno dengan maskawinnya tersebut tunai.”
Setelah Ari mengucapkan qabul, penghulu pernikahan
langsung memandang kedua saksi untuk mempertanyakan ijab dan
qabul yang baru saja terjadi. Ketika ayah Wahyu dan bang Alex
menyatakan sah, maka penghulu langsung mengangkat tangan
untuk mendoakan ridha Allah akan pernikahan ini.
226
Setelah penghulu menutup doanya, Ari langsung berdiri dan
memeluk ayah Gita dengan bercucuran Air mata. Sedang ayah Gita
balas memeluknya dengan menepuk punggung Ari untuk
menenangkan.
“Bukankah kau mencintainya?” kata ayah Gita “Mulai sekarang
kaulah yang akan menjaganya. Ayah percaya kau bisa…”
Ari tak kuasa menjawab. Ia hanya menganggukkan kepala
sambil terus menutup air mata seraya menangis sesenggukan.
Setelah ia berhasil menguasai diri, ia melepaskan pelukannya sambil
berkata, “In shaa Allah… Terima kasih ayah…”
Setelah itu ia berjalan menuju ibu Gita yang matanya sudah
tampak sedikit bengkak akan air mata. Dengan tisu di tangan, beliau
tak henti-henti menghapus air mata yang terus memaksa keluar.
Ari menyalami ibu Gita. Namun karena tak kuasa menahan
bahagia, Ibu Gita langsung memeluk Ari sambil berakata, “Ibu
bersyukur kau menjadi anak ibu… Bahagiakanlah dia…”
“In shaa Allah….” Jawab Ari sambil menenangkan ibu mertua
dan dirinya sendiri.
Setelah ibu Gita melepas pelukannya Ari berkata, “Doakan kita
agar selalu diatas jalan agama dan sunah…”
Ibunya hanya bisa menjawab dengan anggukkan kepala sambil
terus menghapus air mata melihat Ari bergeser ke ibu Abbas yang
berdiri di samping ibu Gita.
Ari memeluk ibu Abbas dengan terus bercucuran Air mata
sambil berkata, “Terima kasih Ibu…”
“Tidak…” kata ibu Abbas yang juga tak kuasa berkata sambil
menahan Air mata. “Ibulah yang berterima kasih… karena Dian dan
Sofia….” Ibu Abbas tak lagi bisa melanjutkan kata-kata.
Ari berusaha menenangkan ibu Abbas dengan tatapan mata
meyakinkan bahwa keluarga Abbas takkan bisa dilepaskan dari diri
Ari. Setelah itu Ari bergeser pada pak Abbas dan memeluk beliau.
Meski tak meneteskan Air mata, tapi tampak sekali mata beliau
memerah dan berkaca-kaca. Pak Abbas tidak mengatakan satu
katapun, hingga Ari mengucapkan terima kasih. Setelah itu pak
Abbas mengatakan, “Kau adalah anak laki-laki bapak…”
Ari menganggukkan kepala setelah itu ia bergeser ke kakaknya
dan kembali memeluknya. Mereka saling berpelukan tanpa adanya
orang tua diantara mereka. Tapi merekalah yang menjadi gambaran
bagaimana sifat dari Rahimahullah bapak Rudi dan Ibu Rahma.
Setelah itu Ari bergeser ke Niken dengan menunduk dan
berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum. Namun karena tak kuasa

227
mengingat bagaimana ibunya menyayangi Niken, Ari langsung
memeluknya.
Setelah itu Ari berdiri dan menyatukkan kedua tangannya di
depan dadanya untuk menghormati kakak iparnya. Setelah itu
disamping kakak ipar Ari tampaklah Putri yang tengah tersenyum
bahagia. Ia kini telah mengenakan gamis dan jilbab panjang yang
menutupi hampir separuh tubuhnya.
“Apa kau yang mengatur semua ini?” tanya Ari melihat
senyuman Putri yang begitu lepas.
“Allah yang mengatur semua…” jawab Putri singkat. “Gita
sudah menunggu di dalam…” kata Putri mengarahkan untuk
menuju kamar mempelai wanita.
“Jazakillah (Semoga Allah membalasmu)…” kata Ari sambil
menundukkan kepala.
“Waiyyakum (untukmu juga)…” jawab Putri dengan fasih yang
membuat Ari tersenyum karena Putri juga sudah mulai menuntut
ilmu. Tak lama kemudian Ari berjalan pelan menuju ruangan dalam.
Disana sudah ada kamar yang pintunya sudah dihias dengan bunga
sederhana.
Sesaat Ari mengetuk pintu itu sambil mengucapkan salam. Tak
lama salam itu dijawab dan pintu terbuka pelan. Di dalam sudah ada
beberapa keluarga Gita yang menunggu. Saat Ari melangkah,
perlahan tampaklah Gita yang sudah dirias sedemikan alamiahnya
namun tetap memancarkan cahaya keteduhan hatinya hingga
membuat Ari sedikit gugup.
Tidak lama Ari diserahi segelas susu. Setelah itu ia meminum
sedikit dan memberikannya pada Gita. Gita pun menerimanya
dengan malu dan meminumnya sedikit di tempat dimana Ari
minum.
Setelah itu Ari membelai kepala Gita seraya mendoakannya.
Arti doanya ialah “ Ya Allah, aku memohon kepadaMu kebaikannya
dan kebaikan yang Engkau ciptakan padanya. Dan aku berlindung
kepadaMu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau ciptakan
padanya…”
Setelah itu Ari memeluk Gita dengan lembut. Dalam pelukkan
itu tak terasa air mata kembali mengalir dengan pelan akan rasa
syukur kepada Allah yang kian dalam.
Tidak hanya Ari, Gita juga tak kuasa menahan derai tangis
bahagiannya. Beberapa kali ia harus menghapus air mata yang terus
meleleh dipipinya.
“Putri..” kata Gita dengan terisak. “Dialah yang berusaha…
Apakah kau bisa memaafkannya…”
228
“Tidak…” kata Ari. “Kita harus bisa membalas kebaikannya…”
Mendengar itu Gita memeluk Ari yang kini telah menjadi
suaminya dengan penuh kebahagiaan. Bagaikan mimpi. Kini mereka
bisa disatukan dalam ikatan pernikahan resmi.
Beberapa saat mereka terdiam dalam waktu yang seolah
terhenti akan kebahagiaan. Setelah itu perlahan Ari melapaskan
pelukannya. “Mari kita shalat sunah..” kata Ari sambil menghapus
air mata istrinya.
Melihat hal ini membuat beberapa keluarga yang ada dalam
kamar tak bisa menghentikan senyum yang berkembang dari
bibirnya. Lalu mereka menyediakan tempat untuk mereka berdua
melaksanakan shalat sunah seperti yang dicontohkan sahabat-
sahabat Nabi.
Beberapa menit mereka di dalam. Semua keluarga menunggu
di luar kamar dengan penuh kebahagiaan. Tak berapa lama
kemudian pintu kamar terbuka dan Ari keluar ditemani Gita.
Namun ada yang lain. Awalnya Gita tidak memakai cadar,
namun sekarang ia sudah mengenakan cadar di wajahnya. Saat ia
keluar dan menemui saudaranya, Gita langsung memeluk mereka
satu persatu hingga giliran Putri. Saat itu Gita langsung memeluknya
sambil mengucapkan terima kasih.
“Sama-sama ukhti(saudariku)..” jawab Putri ikut merasakan
kegembiraan yang luar biasa karena bisa melihat dua orang yang
dahulu ia pisahkan, kini dalam ikatan pernikahan.
“Baarokallaahu laka wa baaroka’alaika wa jama’a bainakumaa
fill khoirin..” doa Putri pada pengantin yang artinya semoga Allah
memberi berkah kepadamu dan keberkahan atas pernikahan kamu
dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.
“Kau sudah punya calon Putri?” tanya Ari. “Kalau belum, In
shaa Allah ada ikhwa (laki-laki) yang baik agama dan akhlaknya.”
“In shaa Allah…” jawab Putri singkat.
Setelah itu Ari dan Gita berjalan beriringan menuju ruang
depan dimana semua keluarga berkumpul. Dalam perjalanan itu Ari
menggenggam erat tangan Gita seolah tak mau ia lepas.
Setelah sampai di ruang tamu, semua yang awalnya duduk,
perlahan berdiri untuk memberi selamat kepada kedua mempelai.
Kebahagiaan tampak pada kedua keluarga Gita dan pak Abas.
Terlebih saat Gita melihat Sofia yang saat itu digendong kakak ipar
Ari, kebahagiaan kian terpancar dari mata Gita.
Dengan sopan Gita minta ijin untuk menggendong Sofia. Gaat
pertama kali digendong Gita, Sofia merengek kecil. Namun setelah
Gita membuka cadarnya, perlahan Sofia diam. Bahkan dari tatapan
229
polos mata Sofia seolah bertanya siapa yang menggendongnya kali
ini.
Dengan lembut Gita mencium pipi Sofia yang tampak
menggemaskan. Saat itulah senyum Sofia sedikit terkembang.
Melihat itu malam membuat Gita ingin menciumnya lagi seraya
memeluknya. Apa yang ia inginkan selama ini, sudah ada
dihadapannya. Tampak sekali kebahagiaan terpancar di wajah Gita
Melihat itu, pak Abas dan istrinya tampak lega. Kini Sofia telah
mendapatkan ibu yang sangat menyayanginya. Dan yang lebih
penting lagi, bisa mengajarinya masalah agama.
Tapi tak lama kemudian kakak Gita mendekat dan
menyampaikan supaya Ari dan Gita keluar sejenak untuk menyapa
para tamu undangan. Ari menganggukkan kepala seraya melihat
kepada Gita. Melihat itu Gita mengangguk dan memakai lagi cadar
di wajahnya.
Sedang Ari terlihat sedang membicarakan kenapa Ari
menyuruh Gita untuk memakai cadar kepada ayah Gita dan
disambut dengan senyuman dan anggukan kepala. Tak lama kedua
mempelai dan kedua keluarga berjalan menuju ruang depan dimana
semua tamu menunggu. Saat itulah ia Ari meminta mike untuk
mengatakan sesuatu.
“Assalammu’alaykum warahmatullahi wabarakaatuh…” ucap
Ari sebagai salam pembuka yang disambut dengan jawaban
serempak para tamu.
“Alhamdulillah.. Trimakasih kami ucapkan kepada bapak dan
ibu serta rekan-rekan semua yang telah menyempatkan waktu
menghadiri acara akad nikah kami yang sederhana ini.
Sejenak Ari memandangi beberapa tamu yang pada masa lalu
bersama-sama berjuang untuk mendapatkan ilmu keperawatan.
Agung, Wiro, Bayu dan beberapa adik kelas yang merupakan satu
angkatan dari Gita.
“Sungguh.. Saya ingin mengucapkan syukur kepada Allah
Shubhanallah wa taala…” sejenak Ari menghentikan kalimatnya dan
menata nafas akan dalamnya rasa syukur di hati.
“Saya ingin menceritakan sesuatu dimasa lalu…. Dimana saya
bersyukur bisa dipertemukan dengan...” kali ini Ari tak bisa
menahan Air matanya hingga ia diam sejenak.
“Saya punya sahabat yang bernama Wahyu Rahimahullah
(semoga Allah merahmatinya), bang Alex, Agung, Wiro dan….
Putri…”

230
“Putri ialah orang yang berusaha menyatukan kami. Mencariku
kesana kemari, dan entah apa saja yang ia usahakan hingga terjadi
pernikahan di hari ini.”
“Saya ingin kisah pernikahan kami menjadi satu pembelajaran
bagi anda semua yang masih belum menikah. Bahwa kami dulu
pernah bersama, namun terpisah karena ada laki-laki yang lebih baik
dari saya. Dan saya terpaksa melihat orang yang saya cintai, berdiri
di pelaminan.
“Saat itu saya sendiri merasa dunia seolah menghimpit dan
tiada memberi ruang bagi saya. Namun sekarang saya bersyukur.
Dengan sempitnya ruang dan dunia yang saya rasakan, malah
menunjukkan pada satu jalan. Yaitu jalan agama. Allah tiada akan
menguji hingga sampai tiada jalan keluar selain jalan-Nya.
“Dan sesungguhnya, pahitnya cobaan itu bukanlah hinaan.
Namun justru sebuah kesempatan untuk menjadi manusia yang
lebih baik. Karena ujian dan rasa pahit yang kita rasakan bisa
menjadi penghapusan dosa kita. Dan saya juga menganggap ujian
itu adalah ‘panggilan Allah’ terhadap saya untuk lebih mendekat.
“Dan Alhamdulillah. Di saat saya terus berusaha mendekatkan
diri kepada Allah. Saya dipertemukan kembali dengan Gita, orang
yang dulu saya cintai,” sejenak Ari mengambil tangan kiri Gita dan
ia cium tangan itu dengan lembutnya.
“Ada beberapa kemungkinan kenapa dahulu kami dipisahkan
oleh Allah. Dahulu kami belum mengenal agama. Dan
Alhamdulillah saat ini Allah mempertemukan kita saat kita menjadi
penuntut ilmu agama.
“Dahulu kami belum punya kedewasaan dan kini
Alhamdulillah kami diberi waktu untuk menambah pengalaman.
“Dahulu Allah menakdirkan Gita susah mendapat keturunan,
dan Alhamdulillah. Kita dipertemukan saat saya sudah memiliki
Sofia. Anak dari istri saya yang pertama. Dan saya memohon doa
dari bapak ibu semua, semoga kita segera diberi keturunan yang
soleh dan soleha. Karena tadi saya mendapat kabar bahwa istri saya
sudah memungkinkan untuk mengandung.”
Mendengar berita itu membuat kebanyakan dari tamu
mengucapkan Amien dan Alhamdulillah. Mereka tampak ikut
bahagia akan kabar yang besar bagi manusia, namun itu adalah hal
yang mudah bagi Allah.
“Begitulah kemungkinan beberapa rahasia kenapa Allah
dahulu memisahkan kita. Dan pasti masih banyak hikmah kenapa
kita dahulu dipisahkan.

231
“Barang siapa berbaik sangka kepada takdir Allah, maka itu
baik baginya. Dan barang siapa berburuk sangka kepada Allah.
Maka itu buruk baginya.
“Jangan jadikan keinginan dan pemikiran kita adalah yang
terbaik. Karena itu seolah menjadikan takdir Allah itu buruk.
Seburuk apapun keadaan, teruslah berdoa, dan jangan berhenti
untuk belajar dan mengamalkan ilmu agama.
“Inshaa Allah. Apapun keinginan anda, seperti keinginan saya
waktu lampau untuk menikahi orang yang saya cintai, kini Allah
mengabulkan dengan keadaan yang lebih baik.
“Lihatlah pernikahan ini. Apa yang ingin saya tampakkan
bukanlah sebuah kesombongan, semoga Allah melindungi kita dari
sifat tersebut. Namun saya ingin tampakkan pernikahan kami adalah
bentuk betapa rasa syukur kami kepada Allah.
“Dan saya minta pengertiannya kalau mempelai wanita
memakai cadar dan tidak berjabat tangan dengan laki-laki. Itulah
bentuk kecemburuan saya. Karena saya tidak rela istri yang sangat
saya cintai, dipandang dan disentuh oleh lelaki lain meskipun itu
hanya tangannya.
“Begitu pula saya tidak akan menyentuh perempuan lain
sebagai bentuk penghormatan saya terhadap wanita itu atau
suaminya. Saya yakin jika benar-benar cinta, tiada satupun suami
yang rela istrinya disentuh laki-laki lain. Meskipun itu hanya tangan.
Dan bagi mereka yang belum menikah, ia akan sangat bahagia jika
orang ia nikahi, terjaga dari lawan jenisnya.
“Itulah salah satu pertimbangan bagi kami yang bercadar dan
tidak berkenan jabat tangan. Bukanlah kami yang demikian ini
adalah orang yang keras. Kami hanya ingin mengikuti petunjuk
yang ada dalam agama kami.
“Secara logika, justru aliran keras ialah yang dimana saat sudah
ada petunjuk yang jelas dari agama, ia malah menentang dengan
berbagai macam dalih dari akalnya. Karena itu sama halnya dengan
kita menentang Allah dan seolah mengatakan aturan agama tidak
sempurna dan akal kitalah yang lebih sempurna.
“Dan satu hal lagi pengalaman saya pribadi yang begitu pedih.
Yaitu kehilangan kedua orang tua. Bersyukurlah bagi anda yang
masih bisa melihat orangtuanya. Dan hindarilah bagi kita
meninggalkan keduanya, seperti yang saya lihat sehari-hari dipanti
jompo.
“Bagaimana seorang anak dengan alasan kesibukannya
memilih untuk menitipkan orang tuanya yang sudah renta. Dengan
alasan supaya mereka bahagia karena ada teman sesama lansia.
232
Sungguh, dengan ini saya sampaikan sebagai penyambung lidah
mereka. Bahwa mereka akan lebih bahagia jika bisa bersama anak
yang mereka kandung, mereka susui dan mereka rawat saat anaknya
sakit. Namun sekarang saat mereka renta, malah ditinggalkan oleh
putra dan putrinya.
“Salah seorang dari mereka pernah menasihati saya agar
berwasiat. Wasiat bukan saat kita mau meninggal. Berwasiatlah
selagi sempat. Karena pernah ada kisah seorang yang beribadah
puluhan tahun namun diadzab oleh Allah karena tidak berwasiat.
Karena jika seseorang tidak berwasiat, seolah-olah ia berfikir tidak
pernah mati. Hal inilah yang tidak dikehendaki oleh Allah. Karena
kita hanya berfikir tentang dunia, tidak akhirat.
“Demikianlah apa yang ingin saya sampaikan sebagai bahan
pembelajaran bagi saya pribadi khususnya dan kita semua pada
umumnya. Agar kita lebih berbhakti kepada orang tua, dan agar kita
tetap dalam jalan kebenaran. Karena salah satu hikmah ujian dari
Allah yaitu untuk membuktikan. Apakah kita beribadah karena
cinta, atau dusta…”
“Saat seseorang murni cinta, apapun cobaan yang dihadapinya,
ia akan tetap memegang teguh agama. Semoga Allah memberikan
kita pemahaman akan ilmu agama. Agar kita bisa menjalani hidup
ini dengan baik. Baik itu di dunia, terlebih di akhirat nanti.
“Wassalammu’alaykum warahmatullahi wabarakaatuh…”
Serentak para tamu undangan menjawab salam itu. Dan setelah
itu mereka semua menikmati hidangan sederhana yang telah
tersedia. Kebahagiaan tampak terpancar dari kedua mempelai,
seolah menyebar ke seluruh keluarga dan tamu undangan.
Beberapa dari tamu undangan ada yang langsung
menyempatkan diri untuk bersalaman dan berfoto bersama. Dan
diantara mereka tiba-tiba muncul sosok Rani. Sontak saja Gita segera
memeluk sahabatnya yang sudah lama tidak ia jumpainya. Tampak
sekali Rani begitu bahagia melihat Gita sudah resmi menjadi istri Ari
Demikianlah perjuangan orang-orang yang tidak kenal lelah
untuk terus mencari ilmu dan berusaha mengamalkannya. Hanya
kematian yang bisa menghentikan mereka. Maka sebelum itu terjadi,
teruslah memperbaiki diri. Meskipun susah. Ingatlah, Ridha Allah
menanti.

233
Sajak Dari Redaksi

September 2005. Tak banyak yang teringat saat awal kami melangkah. Namun
siapapun takkan pernah lupa, bahwa kita pernah bersama. Sedikit dari yang kami
ingat hanyalah beberapa. Kami melangkah dari arah yang berbeda, dengan bekal setitik
ilmu yang kian rapu akan usia yang makin senja.

Saat bersama. Kami tak kagum dengan indahnya bunga, apalagi tertegun
dengan baunya. Saat kami bersama. Perjalanan kepompong menjadi kupu-kupupun tak
membuat hati ini terkesima. Dan ketahuilah. Bahwa saat kami bersama, kawah
candradimukapun tak cukup membuat hati ini bergemuruh.

Bukan kesombongan yang kami haturkan. Tapi ketegaran dan kebersamaan


kami. telah menjadi sosok yang kami kagumi. Bahwa syukur dan ikhlas yang melekat
dalam hati, mampu menghilangkan segala perih, dan menggantinya dengan imbalan
yang takkan cukup untuk kami simpan dalam diri ini.
Kini. Hal yang kubenci harus kuucapkan. Selamat jalan teman. Sungguh engkau
telah berhasil dengan langkahmu. Kau penuh akan niat dan juga tekadmu. Yakinlah
masa depan dalam genggaman. Dan yakinlah teman. Tiada jarak ataupun zaman.
Kebersamaan ini akan kukenang

Alhamdulillah…

234

Anda mungkin juga menyukai