OLEH :
DIKI ARISKI
NIM
Agar mencapai pemanfaatan aset yang optimal, maka rumah sakit perlu
melakukan pengelolaan terhadap aset yang dimiliki. Hal ini bertujuan untuk menjaga dan
memonitor nilai aset yang diharapkan dapat memberikan hasil yang sesuai dengan tujuan
perusahaan yang juga dapat mengurangi risiko kehilangan. Selain itu, pengelolaan ini juga
dapat mempermudah pembuatan anggaran dan menghindari pembelian berlebih dalam
memenuhi penyediaan barang. Dengan adanya pengelolaan aset, perusahaan juga dapat
menciptakan manajemen risiko dimana manajemen risiko adalah pengelolaan
ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman, yang menciptakan kesadaran perusahaan
akan bahaya dan risiko yang dimiliki asetnya. Dengan begitu, rumah sakit pun dapat
menciptakan langkah pencegahan.
1
pengawasan, dan pengendalian (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah). Pemerintah Kabupaten
Lumajang sendiri memiliki Peraturan Daerah dalam mengatur penilaian Barang Milik
Daerah beserta tata cara penghapusannya, yang diterapkan oleh RSUD dr. Haryoto
Lumajang, yaitu Peraturan Bupati Lumajang Nomor 72 Tahun 2014 tentang Kebijakan
Akuntansi di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Lumajang dan Peraturan Bupati
Lumajang Nomor 78 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penghapusan Barang
Milik Daerah.
Penelitian yang berkaitan dengan pengelolaan aset tetap rumah sakit, salah
satunya adalah Hidayati (2016), yang menyimpulkan bahwa optimalisasi aset RSUD
Pandan Arang Kabupaten Boyolali dipengaruhi oleh kegiatan manajemen aset, yaitu
inventarisasi aset, identifikasi aset, legal audit dan penilaian aset. Sedangkan Nasution
2
(2014) meneliti Pengaruh Manajemen Aset terhadap Optimalisasi Aset Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan secara serentak dari variabel independen (inventarisasi aset, legal
audit, dan penilaian aset) terhadap variabel dependent (optimalisasi aset). Variabel yang
paling dominan mempengaruhi optimalisasi aset Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Sumatera Utara adalah variabel penilaian aset.
Dalam penelitian Nasution (2015), menyatakan bahwa Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Sumatera Utara masih menggunakan alat berupa Drug Monitoring yang
seharusnya sudah dihapuskan, mengingat tahun perolehan alat tersebut adalah 1993 dan
masa manfaatnya adalah 15 tahun. Namun, pada tahun 2014, alat tersebut masih
digunakan. Hal ini dikarenakan pengajuan penghapusan kepada gubernur Sumatera Utara
belum disetujui mengingat alat ini tidak memungkinkan untuk diadakan lagi dengan
anggaran daerah karena mengalami modernisasi dan izin tidak ada. Untuk kasus yang
seperti ini, Erlini Nasution menyarankan kepada pihak rumah sakit untuk mengajukan
proposal kembali kepada gubernur untuk mengganti Drug Monitoring tersebut dengan alat
yang lebih modern agar hasil yang didapatkan maksimal.
Pada tahun 2017, BPK menyimpulkan dalam IHPS II 2017 bahwa pengendalian
internal aset belum dapat menjamin kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Permasalahan utama pengendalian intern atas pengelolaan aset pemerintah pusat yaitu
pencatatan belum dilakukan atau tidak akurat dan proses penyusunan laporan tidak sesuai
kebutuhan. Simpulan tersebut berdasarkan hasil dari pemeriksaan atas pengelolaan aset
pada pemerintah pusat yang dilakukan terhadap Kementerian Luar Negeri dan
Kementerian Sekretariat Negara tahun 2016 dan 2017 (Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester
3
II, 2017).
Dalam prakteknya, terdapat beberapa kendala yang dihadapi rumah sakit dalam
mengelola asetnya, khususnya dalam hal pemeliharaan alat kesehatan karena
membutuhkan biaya yang besar. Untuk alat yang mengalami kerusakan yang kompleks,
rumah sakit harus memanggil pihak ketiga untuk memperbaiki alat kesehatan tersebut.
Tentunya, menggunakan pihak ketiga menambah beban pengeluaran rumah sakit. Padahal,
alat kesehatan memberikan peran penting bagi rumah sakit dalam pemberian pelayanan
kesehatan kepada masyarakat. Karena itu, penganggaran rumah sakit untuk pemeliharaan
aset berupa alat kesehatan sangatlah besar.
Penganggaran aset rumah sakit, khususnya untuk alat kesehatan, sangat rentan
dengan penyelewengan karena setiap tahun akan ada aset yang dianggarkan untuk
memenuhi kebutuhan setiap unit dalam rumah sakit. Seperti ketidakjelasan aset sejumlah
milyaran rupiah di RSUD Sayang, Cianjur, Jawa Barat. Hasil laporan BPK RI
menyebutkan bahwa pada tahun 2015 terdapat setara kas deposito BJB lebih dari Rp31
miliar. Namun semua anggaran tersebut hilang atau habis di tahun 2016. Dalam laporan
BPK RI tersebut, pada 2015 lalu RSUD merealisasikan belanja modal pengadaan alat
kedokteran umum berupa bed patient manual, bed side cabinet, overbed table dan matras
bed patient. Masing- masing sebanyak 100 unit senilai Rp1.736.236. Pengadaan tersebut
telah tercatat pada Kartu Inventaris Barang (KIB) RSUD. Namun hasil pemeriksaan yang
dilakukan BPK dengan pengurus barang RSUD menunjukkan, bed patient manual, bed
side cabinet, overbed table dan matras bed patient masing-masing sebanyak 98 unit, tidak
ditemukan keberadaannya di RSUD (beritacianjur.com).
Dapat disimpulkan bahwa pengelolaan aset apabila tidak dalam pengawasan dan
pengendalian yang baik, maka dapat menimbulkan ketidakjelasan aset. Hal ini dapat
memengaruhi kinerja rumah sakit apabila alat yang telah dipesan tersebut memang benar-
benar alat-alat vital yang sangat diperlukan rumah sakit. Selain itu, akibat dana yang
digunakan untuk alat kesehatan tersebut terlampau besar, dapat menyebabkan rumah sakit
tidak dapat menangani pengeluaran lainnya seperti beban gaji pegawai, atau membayar
asuransi kesehatan, misalnya BPJS.
6
tetap RSUD Dr. Haryoto Lumajang.
6. Bagi Pemerintah Daerah
Sebagai pertimbangan dalam memberikan perhatian terhadap pengelolaan aset tetap
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
2. Tinjauan Teori
2.1 Pengertian Kolaborasi
Defenisi kolaborasi secara umum dapat dibedakan ke dalam dua pengertian
pertama kolaborasi dalam arti proses mengatur atau mengelola secara institusional dengan
melibatkan non-pemerintah.
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan
suatu pola hubungan kerja sama yang dilakukan oleh lebih dari satu pihak. Ada sekian
banyak pengertian tentang kolaborasi yang dikemukakan oleh berbagai ahli dengan sudut
pandang yang beragam. Beragamnya pengertian tersebut didasari oleh prinsip yang sama
yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan
tanggung gugat. Namun demikian, untuk mendefinisikan secara utuh dan menyeluruh
konsep kolaborasi tidaklah mudah.
Secara umum kolaborasi adalah hubungan antar organisasi yang saling
berpartisipasi dan saling menyetujui untuk bersama mencapai tujuan, berbagi informasi,
berbagi sumberdaya, berbagi manfaat, dan bertanggungjawab dalam pengambilan
keputusan bersama untuk menyelesaikan berbagai masalah.
7
Definisi lain pada sektor administrasi publik dikemukakan oleh Ansell dan Gash
(2007) yang mengembangkan kerangka konsep kolaborasi dengan pendekatan berbasis
sistem yang kemudian menemukan konsep “collaboration governance” (kolaborasi
pemerintahan) yang didefinisikan sebagai berikut:
Dalam temuan penelitian yang telah dilakukan oleh Roberts et al. (2016: 4-6) yang
berjudul “Exploring Practices for Effective Collaboration” terdapat lima kunci kolaborasi,
yakni sebagai berikut:
1) Tujuan Umum (common purpose) Visi bersama adalah faktor kunci kolaborasi
yang akan membawa para aktor tetap bersama-sama mencapai tujuan tersebut.
2) Mutualitas (mutuality) Mutualitas terjadi ketika masingmasing pihak
memberikan kontribusi sumber daya sehingga pihak lain memperoleh manfaat,
misalnya saling bertukar informasi. Kesamaan misi, budaya, dan komitmen
terhadap tujuan kolaborasi membantu memfasilitasi pertukaran sumber daya.
3) Lingkungan yang memungkinkan (enabling environment) Lingkungan
kolaboratif terdiri dari lingkungan kerja dan gaya kepemimpinan pemimpin
kolaborasi. Lingkungan kerja dan gaya kepimpinan memiliki pengaruh yang
kuat terhadap kinerja para aktor dalam menjalankan kolaborasi.
Kepemimpinan memiliki peran penting dalam menciptakan dan
mempertahankan sebuah lingkungan kolaboratif dengan cara menghubungkan
keahlian dan pengetahuan para aktor.
8
4) Kepercayaan (trust) Kepercayaan adalah salah satu faktor yang paling
mendasari keberhasilan kolaborasi. Kepercayaan didasarkan pada keyakinan
bahwa para aktor akan jujur dalam perjanjian dan mematuhi komitmen mereka
dan tidak mengeksploitasi pihak lain. Adanya kontrol formal yang berlebihan
dapat mengurangi kepercayaan antar aktor karena kontrol dianggap sebagai
tanda ketidakpercayaan mengenai kemampuan dan karakter para aktor.
5) Karakteristik pribadi tertentu (spesific personal characteristics) Dalam sebuah
kolaborasi, para aktor harus terbuka dan mampu memahami motif dan
kepentingan aktor lain. Pemahaman karakteristik aktor yang berkolaborasi
dapat menumbuhkan kompromi sebagai konsekuensi dari pembuatan
keputusan bersama dimana terdapat kepentingan aktor yang tidak terjawab
dalam keputusan tersebut.
3. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dengan
menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut sugiyono (2014: 9) metode penelitian
kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai intrumen kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil
9
penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.
1
0
4. Daftar Pustaka
Buku:
Djumara, Noorsyamsa. 2008. Negosiasi, Kolaborasi dan Jejaring Kerja. Jakarta: Lembaga
Administrasi Negara-RI.
Linden, Russel M. 2002. Making Across Boundaries : Making Collaboration Work in Government
and Nonprofit Organizationz. San Fransisco: Jossey Bass
Kurniawati, W., dan Rachmayanti, R.D. 2018. Identifikasi Penyebab Rendahnya Kepesertaan JKN
pada Pekerja Sektor Informal di Kawasan Pedesaan, Jurnal Administrasi Kesehatan
Indonesia, 8(1), 33-39.
Nelisma, et al. 2019. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Minat Masyarakat dalam
Kepesertaan BPJS Kesehatan di Kelurahan Talise Valangguni, Jurnal Unismuh Palu, 3(2),
1-9.
Batara dkk. 2018. Pentingnya Kolaborasi Stakeholder dalam mewujudkan Terminal Sehat di
Sulawesi Selatan. Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia. Vol. 1, issue 1.
Roberts, Debbie et al. 2016. Exploring Practices for Effective Collaboration. Proceedings of the
28th Annual Conference of the Southem African Institute of Management Science.
ISBN:978-0- 620-71797-7.
https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/24542/Sinergi-Dan-Kolaborasi-Antara-BPJS
Ketenagakerjaan-Sumbagut-Dengan-BNI-46-Akan-Semakin-Di-Tingkatkan.(Diakses 28
Februari 2021)
1
1
https://www.suara.com/foto/2017/10/11/123408/angka-kecelakaan-kerja-masih-cukup-tinggi.
(Diakses 1 Maret 2021)
https://www.antarafoto.com/bisnis/v1562936705/angka-kecelakaan-kerja-di-indonesia-meningkat.
(Diakses 1 Maret 2021)
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181215141546-78-353891/75-persen-pekerja-sumut
belum-terdaftar-bpjs-ketenagakerjaan. (Diakses 1 Maret 2021)
1
2