Anda di halaman 1dari 121

MEMAHAMI DAN MEMAKNAI PANCASILA SEBAGAI

IDEOLOGI DAN DASAR NEGARA

TUGAS CBR

Disusun untuk Memenuhi salah satu Tugas dalam


Mata Kuliah Pendidikan Pancasila

Dosen Pengampu: Drs. Halking., M.Si

Disusun Oleh:

Nama : Desy Inkasari Sinaga (3193311017)

Sri Fadhilah (3193111021)

Prodi/Kelas : PPKn / A

Fakultas : Ilmu Sosial (FIS)

PENDIDIKAN PANCASILA

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah dengan mengucapkan syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa, akhirnya tugas Critical Book Review ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang
sudah ditentukan.

Adapun isi secara umum Critical Book Review ini membahas mengenai Pancasila.
Materi-materi yang terdapat pada buku utama menyangkut: Bab 1 Pnedahuluan; Bab 2
Dinamika Perumusan dan Perjalanan Hidup Pancasila; Bab 3 Kedudukan dan Peran
Pancasila; Bab 4 Negara Berketuhanan Yang Maha Esa; Bab 5 Negara Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab; Bab 6 Negara Persatuan Indonesia; Bab 7 Negara Kerakyatan; Bab 8
Negara Kesejahteraan. Sedangkan pada buku pembanding, materi umumnya menyangkut:
Bab I Pendahuluan; Bab II Dinamika Sejarah Pancasila; Bab III Nilai Filosofi Sila I; Bab IV
Nilai Filosofis Sila II; Bab V Nilai Filosofi Sila III; Bab VI Nilai Filosofi Sila IV; Bab VII
Nilai Filosofi Sila V; Bab VIII Penutup.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs, Halking, M.Si
selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila yang telah memberi kesempatan
dan kepercayaannya kepada penulis untuk membuat dan menyelesaikan Crtitical Book
Review ini. Sehingga penulis memperoleh banyak ilmu, informasi dan pengetahuan selama
penulis membuat dan menyelesaikan tugas ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada seluruh rekan yang membantu penyelesaian tugas ini baik berupa bantuan moril
maupun materil.

Setelah itu penulis berharap semoga tugas ini berguna bagi pembaca meskipun
terdapat banyak kekurang sempurnaan di dalamnya. Akhir kata penulis meminta maaf
sebesar-besarnya kepada pihak pembaca maupun pengoreksi jika terdapat kesalahan dalam
penulisan, penyusunan maupun kesalahan lain yang tidak berkenan di hati pembaca mupun
pengoreksi, karena hingga saat ini penulis masih dalam proses belajar. Oleh karena itu
penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi kemajauan bersama.

Medan, April 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................

DAFTAR ISI .....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................

A. Rasionalisasi Pentingnya CBR ...............................................................................


B. Tujuan Penulisan ....................................................................................................
C. Manfaat Penulisan ..................................................................................................
D. Identitas Buku .........................................................................................................

BAB II RINGKASAN BUKU ..........................................................................................

A. Ringkasan Buku Utama ..........................................................................................


B. Ringkasan Buku Pembanding .................................................................................

BAB III KEUNGGULAN BUKU ....................................................................................

BAB IV KELEMAHAN BUKU ......................................................................................

BAB V HASIL ANALISIS ...............................................................................................

BAB VI PENUTUP ...........................................................................................................

A. Kesimpulan .............................................................................................................
B. Saran .......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi Pentingnya CBR

Keterampilan dalam membuat CBR oleh penulis dapat menguji kemampuan dalam
meringkas dan mengenal sebuah buku, mengenal dan dan juga memberikan nilai serta
mengkritik sebuah karya tulis berupa buku yang akan di analisis.

Kerap kali kita bingung memilih buku referensi untuk kita baca dan kita pahami,
terkadang pula kita hanya memilih satu buku untuk kemudian dibaca tetapi hasilnya masih
belum memuaskan, misalnya dari segi analisis bahasa dan pembahasan. Oleh sebab itu,
penulis membuat CBR untuk mempermudah pembaca dalam memilih buku referensi
terkhusus pada pokok bahasan pembelajaran Pedidikan Pancasila.

B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengkritisi/membandingkan dua buku mengenai Pancasila yang berbeda
pembahasan materi.
2. Untuk memaparkan identitas buku yang akan dibandingkan.
3. Untuk memaparkan ringkasan buku utama dan buku pembanding.
4. Untuk mengetahui perbandingan, yaitu keunggulan dan kelemahan buku utama
dan buku pembanding dengan pembahasan materi yang berbeda.

C. Manfaat Penulisan
1. Mengetahui hasil kritikan/perbandingan dari dua buku mengenai Pancasila yang
berbeda pembahasan materi.
2. Mengetahui identitas buku yang dibandingkan.
3. Mengetahui ringkasan buku utama dan buku pembanding.
4. Mengetahui perbandingan, yaitu keunggulan dan dan kelemahan dari buku utama
dan buku pembanding dengan pembahasan materi yang berbeda.
D. Identitas Buku
a. Buku Utama
1. Judul Buku : Dasar Negara Pancasila
2. Penulis : Bambang Suteng Sulasmono
3. Penerbit : PT. Kanisius
4. Tahun Terbit : 2015
5. Kota Terbit : Yogyakarta
6. Jumlah Halaman : x + 217 hlm
7. ISBN (pdf) : 978-979-21-4622-6
8. ISBN (cetak) : 978-979-21-4347-8

b. Buku Pembanding
1. Judul Buku : Pancasila Kekuan Pembebas
2. Penulis : Bolo, Andreas Doweng, dkk
3. Penerbit : PT. Kanisius
4. Tahun Terbit : 2012
5. Kota Terbit : Yogyakarta
6. Jumlah Halaman : 272 hlm
7. ISBN (pdf) : 978-979-21-3842-9
8. ISBN (cetak) : 978-979-21-3360-8
BAB II

RINGKASAN BUKU

A. RINGKASAN BUKU UTAMA

BAB 1 PENDAHULUAN

Sudah sejak lama O'Donnel, dan Schmitter (1993) Kemukakan bahwa walaupun
transisi-transisi dari beberapa rezim otoriter tertentu itu dipastikan mengatur suatu bangsa
menuju pada “sesuatu yang lain”.

Sementara itu praktis kehidupan selama masa transisi ini juga menunjukkan bahwa
kendala bagi terwujudnya masyarakat dan sistem politik yang lebih demokratis di negeri ini
masih cukup besar. Walaupun berbagai upaya pembaruan struktur politik telah berhasil
dilakukan, namun kultur yang mengisi struktur itu justru masih belum beranjak dari pola
lama yang berwatak dengan demokratis.

Salah satu gejala mencolok yang dirasakan akhir-akhir ini adalah meluas dan
meratanya praktik KKN ke seluruh jenis dan jenjang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika pada masa lalu KKN lebih menjangkiti birokrasi pemerintahan, maka pada kini KKN
justru menyebar ke lembaga perwakilan rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya. Jika
dahulu KKN lebih terjadi di pusat pemerintahan, kini merata sampai ke jenjang pemerintahan
di pelosok tanah air.

Di lain pihak masih rendahnya kinerja lembaga yudikatif juga mengisyaratkan bahwa
lembaga ini memang belum mampu menampung proses transformasi menuju demokrasi,
sebab melalui kinerja semacam itu secara tidak langsung mereka justru memperbesar peluang
kembalinya rezim totaliter dengan selubung baru.

Perilaku antidemokrasi itu tidak saja berlaku di kalangan elit politik melainkan juga di
kalangan masyarakat umum. Dari waktu ke waktu media massa memberitakan perilaku
anarkistis massa, baik dalam bentuk perkelahian antarwarga, perusakan fasilitas umum
maupun harta pribadi, atau bentuk-bentuk peradilan masa lainnya.

Berbagai fakta di atas mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa perubahan-


perubahan struktural yang telah dilakukan di bidang politik tampaknya belum diimbangi
dengan perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak para pengambil kebijakan negara
serta warga masyarakat Walau waktu sudah berjalan cukup lama sejak kejatuhan Soeharto.

Kenyataan semacam itu dapat kita pahami apabila kita mengingat tahapan-tahapan
demokratisasi. Sebagaimana sudah sering dikemukakan banyak pihak, demokratisasi
sesungguhnya merupakan proses yang berkesinambungan. Ada empat tahapan proses
demokratisasi yang harus dilewati, sebagai berikut.

a. Tahap pembusukan rezim otoriter, ketika rezim yang lama mengalami kebangkrutan
akibat praktik penyimpangan (korupsi, kolusi, nepotisme, dan sebagainya) di tubuh
rezim itu sendiri.
b. Tahap transisi yang merupakan periode penuh ketidakpastian politik yang tinggi
dengan risiko pembelokan arah kembali ke pola rezim lama, walau disertai dengan
berkembangnya benih-benih rezim baru.
c. tahap konsolidasi, yaitu tahap mulai terbentuknya konsensus dasar diantara elit
politik mengenai aturan main dan lembaga-lembaga demokratis yang hendak
dijalankan di negara yang bersangkutan.
d. Tahap kematangan tatanan politik demokratis yang ditandai oleh revolusi budaya
politik demokratis.

Bangsa kita tampaknya masih dalam tahapan transisi dengan sedikit konsolidasi.
Amandemen UUD 1945 yang telah berlangsung empat kali mencerminkan terjadinya
“konsensus dasar diantara elite politik mengenai aturan main dan lembaga-lembaga
demokratis yang hendak dijalankan” di negara ini. Namun harus diakui pula bahwa tarik
menarik antara kekuatan lama dan kekuatan baru masih terus menggejala, sehingga
mengingatkan kita bahwa bangsa ini memang belum mampu melewati masa transisi
sepenuhnya.

Seruan berbagai pihak tentang pentingnya bangsa ini tetap berpegang teguh pada
common platform yang sudah disepakati bersama yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945 mengisyaratkan bahwa masa transisi ini juga diwarnai oleh berkembangnya tawaran
untuk menggunakan platform hidup bernegara yang lain diluar Pancasila. Tampak bahwa
Pancasila kini tidak saja harus berhadapan dengan ideologi lain yang berasal dari luar yaitu
kapitalisme, individualisme, maupun sosialisme, namun juga harus bersaing dengan ideologi
lain yang berasal dari khazanah kehidupan bangsa Indonesia itu sendiri.
Dalam situasi semacam itu maka kajian terhadap dasar negara, yaitu Pancasila,
menjadi amat relevan, sebab Pancasila sesungguhnya adalah common platform yang telah
disepakati bersama sebagai rule of the game dari masa transisi menuju demokrasi bangsa kita.
Jika kemudian memang dirasa perlu mengembangkan common platform hidup bernegara
yang lebih rinci, maka Pancasila dapat dijadikan sumber inspirasi bagi pengembangan aturan
main kehidupan politik yang kita inginkan bersama. Sebab memang itulah watak dasar
Pancasila sebagai ideologi terbuka, yaitu selalu membuka peluang untuk ditafsir ulang ide
dasarnya sesuai perkembangan zaman.

BAB 2 DINAMIKA PERUMUSAN DAN PERJALANAN HIDUP PANCASILA

1. Pendahuluan

Walaupun Pancasila sudah ditetapkan sebagai dasar negara sejak tahun 1945, namun
dimensi kesejarahan Pancasila sendiri tetap relevan untuk diperbincangkan. Sudah tentu ada
banyak persoalan yang dapat dibahas bila kita membicarakan sejarah Pancasila. Sekadar
menyebut beberapa contoh, pembahasan dapat kita lakukan mulai dari persoalan asal-usul
nilai Pancasila, penggali Pancasila, bagaimana sila-sila Pancasila digali dan dirumuskan,
sampai ke persoalan bagaimana dinamika perjalanan hidup Pancasila selama ini.

Tentang asal-usul nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila cukup kiranya kalau
dikatakan bahwa Pancasila bersumber dari khazanah budaya Indonesia, yang diterangi oleh
ide-ide besar dunia. Pernyataan itu menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam
sila-sila ada yang bersumber dari kultur bangsa Indonesia sendiri, namun ada pula yang
berasal dari budaya luar Indonesia.

Menggali Pancasila dasar negara dapat dikatakan bahwa dalam proses penggalian dan
perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Ir. Soekarno mengemukakan pandangan-
pandangan yang cukup dominan pengaruhnya.

2. Dinamika Perumusan Dasar Negara

Proses perumusan dasar negara Pancasila berlangsung dalam sidang Dokuritu Zyunbi
Tyoosakai (Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, selanjutnya disebut
BPUPK) yang dilanjutkan dalam sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesi,
(selanjutnya PPKI).

Walaupun BPUPK bukan lembaga perwakilan partai-partai politik, namun karena


pikiran-pikiran tentang persoalan dasar hidup bernegara yang kemudian dijawab melalui
Pancasila telah lama berkembang di kalangan partai politik yang ada pada masa penjajahan
Belanda. Maka dari itu, untuk memahami dinamika perumusan dasar negara Pancasila kita
perlu memperhatikan aliran aliran politik yang berkembang selama masa pergerakan
nasional, ketika persoalan prinsip-prinsip kehidupan bernegara di dalam Indonesia merdeka
mulai diperbincangkan.

Secara ideologis dan corak aspirasi politik (bukan atas dasar agama yang dipeluk
anggotanya), partai politik yang berkembang pada masa pergerakan dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu golongan Marsis/Komunis, golongan Nasionalis, dan golongan Islam.
Dari puluhan partai politik yang hidup, berkembang, dan bahkan mati pada masa pergerakan,
dapatlah kita sebut beberapa di antaranya sebagai ilustrasi tentang pengelompokan di atas
(Pringgodigdo, 1980; Morgono, 1971) sebagai berikut ini.

a. Partai-partai beraliran Marxis/Sosialis Kiri


Partai-partai yang termasuk dalam kategori ini adalah Indische Sociaal Democratische
Vereeniging (ISDV) yang lahir tahun 1914, Indische Sociaal Democratische Partij
(ISDP) yang lahir tahun 1917, dan Perserikatan Komunis di India (PKI) yang
merupakan perubahan bentuk dari ISDV pada tahun 1920.

b. Partai-partai beraliran Nasionalis/Kebangsaan


Partai yang termasuk dalam kelompok ini antara lain Indische Partij yang lahir tahun
1912, Perhimpoenan Indonesia (PI, 1924) yang merupakan hasil evolusi dari Indische
Vereeniging (1908) dan Indonesische Vereeniging (1922), Partai Nasional Indonesia
(semula perserikatan Nasional Indonesia) yang lahir tahun 1927, dan Perindra (1935)
yang merupakan hasil fusi dari Boedi Oetomo (1908) dan Persatuan Bangsa Indonesia
(1924).

c. Partai-partai beraliran Islam


Partai yang termasuk kelompok ini adalah Sarekat Islam 1912 yang semula adalah
Sarekat Dagang Islam (1911), Partai Sarikat Islam Indonesia (1930), dan Partai Islam
Indonesia (1931).
Golongan Marxis/Komunis memperjuangkan terwujudnya negara komunis, golongan
Islam ingin mewujudkan negara Islam, sedangkan golongan nasionalis/kebangsaan ingin
mewujudkan negara kebangsaan.

Dalam proses pergumulan persoalan-persoalan dasar kehidupan menegara, partai-


partai Islam cenderung menonjolkan dimensi vertikal berdasarkan agama Islam, sedangkan
kaum kebangsaan mengajukan gagasan persatuan kebangsaan, kekeluargaan, kolektivisme,
dan gotong royong. Di dalam tubuh golongan nasionalis ini terdapat pula para penganut
ideologi-ideologi modern yang mulai berkembang di dunia Barat tetapi menyebar luas
dengan cepat di seluruh Asia (Jepang, Tiongkok, dan India pada waktu itu), serta
mengembangkan gagasan kerakyatan, hak-hak dasar, dan sosialisme.

Cita-cita untuk mewujudkan negara Komunis secara formal padam pada tahun 1927
seiring diberangusnya PKI oleh pemerintah penjajah Belanda, setelah partai itu melakukan
pemberontakan. Oleh karena itu ketiga BPUPK dibentuk pada tahun 1945 hanya kaum
nasionalis dan Islam-lah yang menduduki kursi keanggotaan badan yang bertugas
menyelidiki persiapan bangsa Indonesia untuk merdeka itu.

Pranarka (1985) menyebutkan bahwa di dalam tubuh BPUPK terdapat tiga kelompok
ideologi, yaitu Islam, kebangsaan, dan Barat modern sekuler. Golongan kebangsaan berbeda
pandangan dengan golongan Islam dalam masalah hubungan antara negara dan agama,
sedangkan dalam hal jaminan hak-hak dasar manusia dan sistem pemerintahan golongan
kebangsaan berbeda pandang dengan golongan modern barat sekuler.

Dalam sidang pertama yang berlangsung pasa tangfal 29 Mei sampai tahun 1945,
BPUK membahas soal dasar negara, yaitu suatu"philosophisce grondslag atau dasar
falsafah, yaitu pikiran yang sedalam-dalamnya, untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia
Merdeka yang kekal dan abadi" (Bahar, 1995). Dasar seperti itu dipandang perlu karena
negara sebagai suatu organisasi hanya akan berfungsi dengan baik apabila terdapat suatu
gambaran tentang hakikat, dasar, dan tujuannya.

Berdasarkan agenda itu, beberapa anggota BPUPK mengemukakan pendapatnya


mengenai dasar negara. Ada tiga anggota yang mengemukakan pendapat, yaitu Muh. Yamin
(tanggal 29 Mei 1945), Soepomo (tanggal 31 Mei 1945), dan Soekarno yang berpidato pada
hari terakhir masa sidang pertama BPUPK, 1 Juni 1945.

2.1. Masalah Hubungan Negara dan Agama


Dalam sejarah kenegaraan Indonesia, hubungan antara negara dengan agama baru
dipersoalkan ketika bangsa kita memasuki masa pergerakan nasional. Sebelum itu,
baikbpadamasa Hindu maupun kerajaan-kerajaan Islam sesudahnga, persatuan antara negara-
agama bukan hal yang dipersoalkan.

Hal tersebut berubah ketika pada masa pergerakan kaum terpelajar (kebanyakan
belajar di atau dari dunia Barat) mulai memikirkan rencana mendirikan negara merdeka lepas
dari penjajah Belanda. Hubungan antara negara dan agama pun kemudian menjadi persoalan
yang hangat untuk dibicarakan.

Hal itu dipicu oleh peristiwa Jawi Hisworo tahun 1916, ketika surat kabar milik Boedi
Oetomo itu memuat tulisan hang menyatakan antara lain bahwa "nabi Muhammad soeka
minum gin dan arak". Tulisan itu tentu menimbulkan kemarahan bagi kalangaj Islam. Sejak
itu polemik tentang hubungan negara/politik dengan agama berlangsung, baik antara
golongan Islam dengan golongan Komunis maupun antara golongan Islam dengan golongan
Nasionalis.

Dari polemik itu tampak bahwa kelompok Islam menghendaki adanya persatuan
antara negara dan agama (Islam). Di lain pihak, golongan Komunis menghendaki adanya
pemisahan antara agama dan organisasi. Mereka menganjurkan agar jangan mencampurkan
agama dengan perserikatan, sedangkan kaum nasionalis menghendaki agar negara tidak
disatukan dengan agama tertentu (negara dipisahkan dari agama).

Polemik mengenai hal di atas menghangat lagi pada paruh kedua tahun 1930-an serta
awal 1940-an. Kala itu Natsir, tokoh Sarekat Islam, berupaya menghidupkan lagi gagasan
tentang keharusan memperjuangkan Islam sebagai dasar bagi Indonesia di masa depan.
Natsir menentang gagasan Soekarno mengenai pemisahan antara urusan agama dan urusan
negara.

Ada dua alasan Natsir dalam memperjuangkan Islam sebagai ideology negara.
Pertama, kerena Islam tidak saja mengatur hubungan manusia dengan Tuhan melainkan juga
mengatur kehidupan sosial, politik, atau bahkan ekonomi. Kedua, karena mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga ada kewajiban bagi mereka untuk menjadikan
Islam sebagai ideology negara.

Pada persidangan I BPUPK (29 Mei – 1 Juni) hanya gagasan kaum kebangsaanlah
yang muncul ke permukaan. Pada tanggal 31 Mei 1945 Prof. soepomo mengemukakan usulan
tentang dasar negara yang antara lain menegaskan bahwa urusan negara harus dipisahkan dari
urusan agama. Alasannya pertama secara geografis Indonesia tidak terletak di lingkungan
negara ke-Islam-an (corpus Islamicus); kedua, kita tidak perlu mewarisi pertikaian yang
masih timbul di kalangan negara-negara Islam sendiri; dan ketiga, jika kita mendirikan
negara Islam maka berarti kita tidak mendirikan negara persatuan (Bahar, 1995).

Pada tanggal 1 Juni Ir. Soekarno juga mengemukakan usulan dasar negara yang salah
satu silanya adalah Ketuhanan.

Dari usulan-usulan dasar negara di atas tampak bahwa aspirasi golongan Islam tidak
dikemukakan oleh para pendukungnya. Oleh karena itu sesuai persidangan I golongan Islam
(yang merupakan minoritas, hanya 15 orang dari 62 anggota BPUPK) berupaya
memperjuangkan aspirasi mereka di luar persidangan.

Dalam pertemuan itu diupayakan kompromi antara pihak kebangsaan dan Islam
mengenai rumusan dasar negara. Pada kesempatan itu panitia ini kemudian dikenal dengan
Panitia Sembilan dibentuk untuk merumuskan kesepakatan antara kedua belah pihak.

Panitia itu berhasil menetapkan Rancangan Pembukaan UUD yang kemudian dikenal
sebagai Piagam Jakarta. Di dalam rancangan itu termuat rumusan kompromi antara pihak
Islam dan agama.

Kompromi dalam Piagam Jakarta itu ternyata tidak dengan sendirinya mengakhiri
pertentangan ideologis antara golongan kebangsaan dan Islam. Ketika Piagam Jakarta dibawa
ke sidang II BPUPK tanggal 10-17 Juli 1945, persaingan itu justru tambah memuncak. Pada
waktu itu timbul usul-usul yang hakikatnya mementahkan kembali kompromi melalui Piagam
Jakarta.

Pada akhirnya Sidang BPUPK tanggal 16 Juli 1945 berkesepakat sebagai berikut: (a)
rumusan sila pertama dasar negara yang terdapat dalam Piagam Jakarta tetap dipertahankan,
(b) rumusan syarat Presiden menjadi berbunyi “Presiden Indonesia haruslah orang
Indonesia asli yang beragama Islam”, (c) rumusan pasal 28 ayat 1 (kini pasal 29 ayat 1) tetap
berbunyi “Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan berkewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

2.2. Masalah Hubungan Antarbangsa


Dalam hubungan ini Noer (1982) mencatat bahwa kebangsaan dalam pengertian
Soekarno tidak sama dengan kebangsaan yang terdapat di negeri-negeri Barat, melainkan
kebangsaan yang toleran, yang berperikemanusiaan, yang tidak membenci pada bangsa-
bangsa lain.

Hubungan antarbangsa yang dikehendaki oleh Soekarno adalah hubungan yang sama
derajat, tidak saling menyerang, dan tidak dialndasi oleh chauvanisme.

Dalam Sidang I BPUPK, tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, prinsip hubungan antarbangsa
juga dikemukakan sebagai salah satu unsur dasar negara. Seafroedin Bahar, dkk. (1995) tetap
mencantumkan naskah pidato M. Yamin, yang disebut-sebut diucapkan tanggal 29 Mei 1945
ke dalam buku karya mereka. Satu kalimat menarik dalam naskah pidato Yamin itu berbunyi
“Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia Merdeka adalah berdasar perikemanusiaan
yang universieel berisi humanism dan internasionalisme bagi segala bangsa” (Bahar, 1995).

Sementara itu dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, Soekarno antara lain menyatakan
prinsip hubungan antarbangsa. Tampak bahwa dalam konsepsi Soekarno, sila
internasionalisme ia kemukakan setelah dasar nasionalisme. Hal itu mengandung maksud
agar nasionalisme tidak jatuh ke paham chauvanisme dan internasionalisme, juga tidak jatuh
ke paham kosmopolitisme atau ajaran yang beranggapan bahwa seluruh kosmos (dunia)
adalah satu. Penganut kosmopolitisme cenderung mengabaikan batas-batas negara dan yang
ekstrem cenderung mengabaikan tanggung jawabnya sebagai warga negara.

Pola hubungan antarnegara yang dikehendaki oleh Soekarno adalah yang didasari
oleh sikap hormat-menghormati sesama bangsa, sehingga tidak ada kesombongan
antarbangsa di dunia ini. Secara lebih mendalam dapat kita pahami pula bahwa sikap hormat-
menghormati akan tumbuh bila ada keyakinan yang sama bahwa bangsa-bangsa yang ada di
dunia ini pada hakikatnya adalah sederajat, sama merdeka, dan hanya karena perkembangan
kebudayaan sajalah mereka terpisah ke dalam satuan-satuan kebangsaan tersebut.

2.3. Masalah Kebangsaan/Hakikat Negara Bangsa

Kesadaran tentang kebangsaan Indonesia sesungguhnya sudah tersirat dari lahirnya


organisasi pergerakan sejak tahun 1908. Organisasi-organisasi itu lahir atas kesadaran bahwa
perjuangan yang bersifat kedaerahan, kesukuan, atau golongan tidaklah mencukupi untuk
mengusir penjajah. Oleh karena itu muncul oraganisasi-organisasi yang berjuang secara
nasional dan mencakup berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia.
Di samping itu konsep bangsa dan kebangsaan itu memang juga masih digumuli oleh
barbagai pihak di tubuh kaum pergerakan. Noer (1982) mencatat bahwa polemic antara
kelompok kebangsaan dan kelompok Islam mengenai persoalan tersebut sudah berkembang
sejak tahun 1920-an dan bahkan berlangsung lagi menjelang akhir tahun 1930-an. Perbedaan
pandangan di antara kedua kelompok mengenai soal bangsa dan kebangsaan itu terkait erat
dengan masalah perbedaan paham mengenai hubungan antara negara agama.

Kesadaran kebangsaan, kesadaran bahwa suku-suku yang berbeda beda itu adalah
satu bangsa, kemudian terkristal dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Melalui Sumpah
Pemuda generasi muda di Indonesia mengakui bahwa mereka adalah bagian satu bangsa
bangsa yang satu yaitu bangsa Indonesia, yang menggunakan satu bahasa persatuan, bahasa
Indonesia, dan hidup di wilayah yang satu yaitu yanah air Indonesia.

Walaupun kesadaran sebagai kesatuan bangsa sudah diikrarkan, namun bukan berarti
kesatuan itu terwujud dengan sendirinya. Polemic antara dua kelompok di atas yang masih
berlangsung pada tahun-tahun menjelang kita merdeka menunjukkan bahwa masalah
kesatuan bangsa memang tetao menjadi tantangan yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia
secara tepat. Oleh kerena itulah persoalan tersebut juga mengemuka kembali ketika sidang
BPUPK berlangsung.

Di dalam sidang I BPUPK gagasan negara kebangsaan muncul lagi melalui usulan
dasar negara dari Ir. Soekarno. Dalam perkembangan kemudian ternyata di dalam Piagam
Jakarta sila kebangsaan itu berubah menjadi sila Persatuan Indonesia. Mengenai perubahan
rumusan itu Yayasan Idayu (1981) mencatat perubahan itu terjadi dalam rapat Panitia
Sembilan tanggal 22 Juni 1945, tepatnya ketika Piagam Jakarta disusun.

Penggunaan rumusan sila Persatuan Indonesia sebagai pengganti sila kebangsaan


dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Indonesia itu satu, tidak terbagi-bagi.

2.4. Masalah Kedaulatan dalam Negara

Cita-cita kehidupan bernegara di mana rakyat menjadi pemilik kedaulatan dalam


negara, atau cita-cita demokrasi, sudah mulai berkembang di kalangan pemimpin bangsa kita
ketika mereka berjuang mengusir penjajah melalui organisasi sosial politik. Dalam catatan
Haris (1995) perkembangan aspirasi mengenai kehidupan demokrasi pada masa pergerakan
ditandai oleh tiga nilai hal pokok, yaitu kebangkitan kesadaran akan hak kebebasan untuk
menyatakan pendapat, berkembangnya aspirasi mengenai sistem kepartaian, dan
berkembangnya aspirasi mengenai sistem pemerintahan.

Gejala kebangkitan kesadaran akan hak kebebasan menyatakan pendapat tampak dari
begitu banyaknya penerbitan pers pada masa pergerakan.

Dalam perkembangan aspirasi itu berkembang menjadi aspirasi tentang sistem


pemerintahan yang cocok bagi Indonesia Merdeka. Haris (1995) mencatat pula bahwa
aspirasi tentang sistem pemerintahan itu dapat digolongkan menjadi dua, yaitu yang
menginginkan sistem pemerintahan parlementer, dan yang menginginkan sistem
pemerintahan presidensial. Kecuali Soekarno, Soepomo dan Sutatmo yang menginginkan
sistem pemerintahan presidensial, mayoritas pemimpinan pergerakan waktu itu di dan
beberapa organisasi pergerakan (GAPI, misalnya) manginginkan sistem pemerintahan
parlementer.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa cita-cita atau keinginan untuk mendirikan negara
yang demokratis sudah cukup berkembang di kalangan kaum pergerakan.

Dalam persidangan I BPUPK, gagasan dasar tentang hidup bernegara secara


demokratis pertama kali disampikan oleh Soekarno dalam pidato tanggal 1 Juni 1945.
Sesudah itu masalah demokrasi dibicarakan pula dalam sidang-sidang BPUPK terutama saat
membicarakan isi/pasal-pasal Rancangan UUD yang disusun oleh Panitia Hukum Dasar.

Sila kerakyatan dalam usulan Soekarno dinyatakan sebagai mufakat, perwakilan,


permusyawaratan. Uraian Soekarno menunjukkan bahwa dalam negara Indonesia merdeka
semestinya menganut prinsip kedaulatan rakyat, meganut sistem perwakilan dalam
pelaksanaan kedaulatan rakyat, dan menganut prinsip musyawarah untuk mufakat dalam
lembaga perwakilan rakyat.

Pada saat Piagam Jakarta terbentuk ternyata sila mufakat atau demokrasi itu diberi
rumusan Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan-
Perwakilan.

Prinsip kedaulatan rakyat, permusyawaratan, dan perwakilan justru semakin mendapat


penjabaran melalui pembahasan pasal-pasal Rancangan Undang-undang dasar dalam sidang
II BPUPK. Salah satu masalah yang muncul adalah persoalan lama, yaitu apakah negara
Indonesia akan menganut sistem pemerintahan presidensial atau parlementer. Dalam sidang
II BPUPK persoalan tersebut muncul kembali, walau tidak menyita waktu panjang.
Pembahasan persoalan tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut ini.

a) Pada tanggal 15 Juli 1945, ketika menanggapi Rancangan UUD, Muh. Yamin
mengusulkan agar negara Indonesia menggunakan “sistem Menteri yang bertanggung
jawab”. Usulan semacam itu juga datang dari Moh. Hatta yang secara tegas
mengajukan pentingnya pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat/wakil
rakyat.
b) Atas usulan itu Prof. Soepomo menjelaskan bahwa:
(1) UUD yang disusun mempunyai sistem tersendiri yaitu Presiden bertanggung
jawab kepada MPR, bukan kepada DPR, dan para Menteri bertanggung jawab
kepada Presiden bukan kepada DPR;
(2) Jika Menteri bersalah apakah Menteri itu harus mundur ataukah tidak sangat
bergantung pada kebijaksanaan (political feeling) Kepala Negara dan juga
kebijaksanaan Menteri yang bersangkutan.
c) Akhirnya sidang menyetujui bahwa sistem pertanggungjawaban para menteri/sistem
parlementer tidak dianut dalam Rancangan UUD 1945.

Demikianlah aspirasi dalam sidang BPUPK yang menyangkut penyelenggaraan


demokrasi di negara Indonesia merdeka. Ketika prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan diajukan ke sidang PPKI, ternyata
prinsip ini langsung disetujui oleh para anggota sidang tanpa pembahasan terlebih dahulu.

2.5. Masalah Tujuan Negara

Masalah tujuan negara tidak menyita banyak perdebatan selama proses perumusan
dasar negara Pancasila. Hal itu dapat kita pahami karena cita-cita tentang kesejahteraan hidup
bersama sebenarnya merupakan hal yang selalu berkembang dalam kehidupan manusia di
segala zaman.

Banyak prasasti yang menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan Hindu, Budha maupun


Islam di Nusantara masa lampau juga mencita-citakan adanya kemakmuran hidup dalam
negara.

Lahirnya organisasi-organisasi yang ingin memerdekakan bangsa Indonesia pada


masa pergerakan nasional secara implisit sudah menyiratkan aspirasi tentang kesejateraan
rakyat.
Tak mengherankan jika aspirasi tentang kesejahteraan bersama waktu itu berkembang
seiring dengan aspirasi tentang pengelolaan kekuasaan sendiri dan sekaligus diwarnai kuat
oleh sentiment-sentimen terhadap segala sesuatu yang melekat pada diri penjajah
(kapitalisme, liberalism, demokrasi Barat, dan sebagainya). Soekarno dan Hatta, misalnya,
berbicara tentang kesejahteraan dalam bingkai demokrasi ekonomi yang merupakan pasangan
dari demokrasi politik.

Dari kutipan pidato Soekarno dapat disimpulkan berikut.

a) Menurut Soekarno demokrasi yang dijalankan di negara-negara Eropadan Amerika


hanya demokrasi di bidang politik saja dan tidak mencakup demokrasi di bidang
ekonomi. Oleh karena itu di dalamnya tidak ada sociale rechtsvaardigheid, tidak ada
keadilan sosial.
b) Prinsip kesejahteraan sebagai prinsip dasar keempat dalam Indonesia merdeka yang
diusulkan Soekarno merupakan prinsip demokrasi di bidang ekonomi yang
menghendaki serta menuju tercapainya kesejahteraan bersama melalui persamaan di
bidang ekonomi.
c) Apabila prinsip demokrasi dikaitkan dengan prinsip keadilan sosial, maka selain
menghendaki persamaan politik demokrasi Indonesia juga menghendaki persamaan
ekonomi. Inilah ciri khas demokrasi di Indonesia yang diusulkan Soekarno.

Dalam Piagam Jakarta sila kesejahteraan dari Seokarno itu dirumuskan menjadi
“Keadilan sosial bagi sleuruh rakyat Indonesia.” Dalam sudang PPKI tidak terdapat
pembahasan secara khusus mengenai sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

2.6. Rumusan Definitif Dasar Negara Pancasila

Rumusan definitif dasar negara Pancasila baru terbentuk dalam sidang PPKI tanggal
18 Agustus 1945. Namun demikian proses pematangan Pancasila sesungguhnya sudah
dimulai sehari sebelumnya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 sore sususah Proklamasi
Kemerdekaaan Indonesia dikumandangkan.

Dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, ektika menyampaikan perubahan


rumusan sila pertama dari Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, Moh. Hatta antara lain
menyatakan sebuah kutipan yang dapat disimpulkan bahwa semua perubahan rumusan dalam
rancangan pembukaan maupun pasal-pasal UUD dilakukan demi menjaga persatuan kesatuan
bangsa Indonesia. Dengan demikian selain menyangkut soal sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
sesungguhnya perubahan itu juga menekankan pentingnya sila Persatuan Indonesia.

Sejauh menyangkut sila II Pancasila, sidang PPKI hanya membahas teknis perumusan
sila itu dalam kaitannya dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ketika prinsip Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan Perwakilan (sebagai bagian dari Pembukaan UUD 1945) diajukan ke
sidang PPKI, tanpa pembahasan lebih lanjut prinsip ini langsung disetujui oleh para anggota
sidang. Lebih dari itu ketika Rancangan UUD 1945 disahkan menjadi UUD 1945 melalui
sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, persoalan sistem pemerintahan juga tidak muncul
kembali.

Hal yang sama juga terjadi pada sila kelima Pancasila. Dalam sidang PPKI tidak
terdapat pembahasan secara khusus mengenai sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. pasal-pasal yang menyangkut kesejahteraan pun (pasal 33 dan 34) langsung
disetujui oleh anggota sidang tanpa adanya pembahasan.

Pada hari itu selain berhasil memilih Presiden dan Wakil Presiden, PPKI juga berhasil
menetapkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD
1945 dan menetapkan UUD 1945 itu sendiri. Rumusan Pancasila dasar negara yang termuat
dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut.

a) Ketuhanan Yang Maha Esa.


b) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
c) Persatuan Indonesia.
d) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
e) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

3. Dinamika Implementasi Pancasila

Setelah resmi ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945
Pancasila dicoba dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Upaya mengimplementasikan
Pancasila dalam kehidupan bernegara ternyata tidak mudah. Sejarah ketatanegaraan
Indonesia menunjukkan bahwa PAncasila selalu dihadapkan dengan tantangan-tantangan dari
ideology alternative.

3.1. Masa UUD 1945 I (18-8-1945 – 27-12-1949)

Impelemtasi Pancasila dalam kehidupan bernegara di awal kemerdekaan ternyata


tidak lancar. Gagasan dasar tentang hidup bernegara itu mendapat “tantangan” baik dari
penggagasnya sendiri maupun ideology pesaing.

Belum genap dua bulan usia Pancasila, Presiden Soekarno justru melontarkan gagasan
untuk membentuk satu partai tunggal (sistem mono party), yang notabene bertentangan
dengan prinsip sila keempat Pancasila. Kemudian lahir Maklumat Presiden tanggal 1
November 1945 yang berisi anjuran agar rakyat membentuk partai-partai politik.

Salah satu partai politik yang kemudian muncul adalah Partai Komunis Indonesia
(PKI). Kelahiran partai pendukung ideology komunisme ini menandai telah
terkonsolidasikannya kekuatan pendukung ideology pesaing Pancasila itu. Namun pada tahun
1948 PKI mengadakan pemberontakan yang dikenal dengan Pemberontakan PKI Madiun,
sehingga partai ini dibubarkan oleh pemerintah.

Selain harus bersaing dengan Komunisme, Pancasila ternyata juga masih harus
bersaing dengan ideology Islam. Walalupun pembatalan rumusan sila pertama dalam Piagam
Jakarta dilakukan persetujuan beberapa tokoh Islam, namun sejarah menunjukkan bahwa
upaya mendirikan negara Islam masih terus berlangsung. Effendi (1998) bahkan
menyebutkan bahwa pada tanggal 14 Agustus 1945 Kartosuwiryo telah memproklamasikan
berdirinya Negara Islam Indonesia.

Tampak bahwa tidak semua pihak dapat menerima perubahan Piagam Jakarta itu
sepenuhnya. Dengan kata lain cita-cita untuk mendirikan negara Islam tidak padam begitu
saja sesuai perumusan dasar negara Pancasila. Aggaran Dasar Partai MAsyumi yang
dikeluarkan pada bulan November 1945 misalnya, secara tegas menyatakan tujuan partai itu
sebagai “mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dan agama Islam dan
mewujudkan cita-cita Islam dalam urusan-urusan negara.” Selanjutnya salam program partai
Masyumi yang dikeluarkan tanggal 17 Desember 1945 dinyatakan program untuk
“menerapkan cita-cita Islam dalam urusan-urusan negara yang berdasar pada kedaulatan
rakyat, dan masyarakat yang adil sesuai ajaran Islam” (Karim, 1982). Di samping itu di
programkan pula untuk “memperkuat dan melengkapi aturan-aturan dasar dalam Undang-
undang Dasar sampai dapat membentuk negara dan masyarakat Islam.” Rumusan-rumusan
di atas menunjukkan bahwa sebagian dari bangsa Indonesia masih mencita-citakan
terbentuknya negara Islam.

Namun demikian Partai Masyumi bukanlah satu-satunya pihak yang memperjuangkan


cita-cita semacam itu. Tidak lama setelah Indonesia merdeka gerakan yang ingin mendirikan
negara Islam mulai aktif kembali.

Untuk meredam propaganda gerakan Darul Islam, dan untuk memperoleh dukungan
lebih luas dari pihak kaum Islam dapat menghadapi penjajah Belanda, maka pada tanggal 3
Janiari 1946 oemerintah membentuk Kementerian/Departemen Agama.

Dengan berdirinya Departemen Agama (Depag) maka kompromi antara golongan


nasionalis dan Islam tercapai. Bagi pihak-pihak kebangsaan hal itu merupakan konsesi
kepada pihak yang menginginkan negara Islam, sedang bagi kelompok Islam hal itu
merupakan hasil optimal yang dapat dicapai pada waktu itu.

Pada mulanya Depag hanya mengurusi agama Islam. Depag mengambil alih: (a)
urusan pengajaran agama dari Departemen Pendidikan; (b) urusan perkawinan, perceraian,
pengangkatan modin dan urusan haji dari Bupati; dan (c) pengadilan agama dari Mahkamah
Agung.

Untuk sementara tampaknya persaingan ideologis antara kelompok nasionalis dan


kelompok Islam merdeka. Alasan utamanya boleh jadi adalah adanya musuh bersama yang
mempersatukan bangsa Indonesia, yaitu Belanda. Namun berbagai persoalan yang timbul
baik dalam upaya mempertahankan kemerdekaan maupun dalam melaksanakan kegiatan
pemerintahan dalam negeri telah melahirkan gerakan-gerakan bersenjata yang semula tidak
bernuansa keagamaan menjadi gerakan yang kental nuasnsa agama keagamannya.

Gerakan-gerakan itu memperjuangkan cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia


melalui penggunaan kekuatan bersenjata. Kelompok-kelompok bersenjata itu antara lain.

Gerakan-gerakan itu memperjuangkan cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia


melalui penggunaan kekuatan bersenjata. Kelompok-kelompok bersenjata itu antara lain:

a) DI/TI S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat (1949-1962).


b) DI/TII Ibnu Hadjar di Kalimantan (1950-1959).
c) DI/TII Batalyon 426 dan gerombolan lain di Jawa Tengah (1951-1965).
d) DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan (1951-1954).
e) DI/TTI Daud Baureuh di Aceh (1953-1964).

Kartosuwiryo memperoklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tanggal 2


Agustus 1949 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam catatan Heuken, S.J., dkk., (1988), tujuan
gerakan DI/TII adalah sebagai berikut.

a) Negara Islam Indonesia berdiri dengan sentosa dengan tegak dan teguhnya, ke luar
dan ke dalam, 100% de facto dan de jure di seluruh Indonesia.
b) Lenyapnya segala macam penjajahan dan perbudakan.
c) Terusirnya segala musuh Allah, musuh Agama, dan musuh negara, dari Indonesia.
d) Hukum-hukum Islam berlaku dengan sempurna di seluruh Negara Islam Indonesia.

Dibutuhkan waktu lebih dari 14 tahun (1949-1963) untuk mematahkan gerakan Darul
Islam yang ingin mendirikan negara agama dengan jalan kekerasan.

3.2. Masa Konstitusi RIS (27-12-1949 – 17-8-1950)

Sejak tanggal 27 Desember 1949 negara Republik Indonesia yang berbentu Kesatuan
berubah menjadi negara Serikat. Negara Republik Indonesia Serikat terdiri atas beberapa
negara bagian, yaitu negara bagian Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara
Sumatra Timur, negara Pasudan, negara Jawa Timur, dan lain sebagainya.

Sebagaimana lazimnya sebuah negara bagian, maka setiap negara bagian dalam RIS
memiliki undang-undang dasarnya sendiri. UUD 1945 (yang di dalamnya terdapat Pancasila
sebagai dasar negara) dinyatakan hanya berlaku di negara bagian Republik Indonesia. sedang
untuk negara Republik Indonesia Serikat diberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat
1949. Di dalam alenia ketiga Mukadimah Kosntitusi RIS menunjukkan bahwa negara RIS
juga menganut lima dasar negara yang sama dengan Pancasila.

3.3. Masa UUD Sementara 1950 (17-8-1950 – 5-7-1959)

Melalui serangkaian proses politik dalam negeri bangsa Indonesia akhirnya kembali
ke bentuk negara kastuan. Namun mereka sepakat untuk menggunakan UUD 1945 dan
menggunakan UUD Sementara 1950 sebagai dasar penyelenggaraan negara. Hanya perlu
dicatat bahwa UUD 1950 itu sendiri sebenarnya menampung hal-hal yang baik dan atau
penting dari UUD 1945 maupun Konstitusi RIS 1949.
Walaupun UUD 1945 tidak berlaku lagi sejak UUDS 1950 dinyatakan berlaku di
negara Kesatuan RI, namun Pancasila tetap dipertahankan sebagai dasar negara. Tampak
bahwa dengan rumusan yang berbeda Pancasila tetap menjadi dasar negara RI walalu UUD
yang dipergunakan sudah berubah.

Seperti sudah disebut di atas gerakan-gerakan bersenjata yang bertujuan mendirikan


negara Islam Indonesia justru tengah berlangsung di beberapa wilayah negara Republik
Indonesia ketika UUDS 1950 dinyatakan berlaku. Dengan perkataan lain pada saat itu dasar
negara Pancasila juga tetap mendapat tantangan dari pendukung ideology melalui kekerasan
bersenjata.

3.4. Masa Demokrasi Terpimpin (5-7-1950 – 11-3-1966)

Selama masa pemerintahan terakhir Soekarno ini, kekuatan politik Islam menurun
drastis. Dua pilar kekuatan politik Islam mengambil langkah dan sikap yang berbeda terhadap
rezim yang ada. Dalam catatan Effendy (1998) NU mengambil sikap kompromis dengan
menata kembali orientasi politiknya serta menerima Manipol-Usdek Soekarno. Sementara itu
Masyumi justru terus mengambil sikap ooposisi sehingga banyak pemimpin mereka yang
dipenjarakan. Pada tahun 1960 Masyumi dibubarkan oleh pemerintah setelah para
pemimpinnya diduga terlibat dalam pemberontakan PRRI.

Dapat dikatakan bahwa posisi formal Pancasila sebagai dasar negara tak tergoyahkan
selama masa demokrasi terpimpin. Namun demikian implementasi dasar negara itu justru
tidak terwujud. Pelaksanaan pemerintahan waktu itu justru menyimpang dari UUD 1945 dan
dasar negara Pancasila.

3.5. Masa Orde Baru (11-3-1966 – 21-5-1998)

Masa Orde Baru tercatat sebagai masa ketika pancasila dimanpulasi secara over-
loaded oleh rezim, sementara di lain pihak berlangsung pula transformasi pemikiran dan
praktik politik Islam di Indonesia. Hasil akhir dari proses transformasi itu adalah meredanya
ketegangan antara kelompok kebangsaan dan Islam dalam percaturan politik di negeri ini.
Hal yang terjadi pada masa ini adalah

a) Manipulasi rezim terhadap Pancasila


b) Pembaharuan pemikiran dan praktik politik Islam
3.6. Masa Pemerintahan Transisi (21-5-1998 – sekarang)

Ketika reformasi kehidupan politik mulai bergulir dengan mundurnya Soeharto dari
jabatan presiden tanggal 20 Mei 1998, upaya kea rah “pemurnian” kedudukan dan peran
Pancasila juga dilaksanakan. Dalam sidang Istimewa tahun 1998 MPR mengeluarkan
ketetapan yang mencabut berkakunya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4, dan
mencabut ketentuan Pancasila sebagai azas tunggal.

Lebih lanjut dalam UU No. 1 Tahun 1999 tentang Partai Politik ditentukan pula
bahwa partai-partai politik boleh mempunyai azas lain di luar Pancasila, asal tidak
bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara.

Walaupun demikian sesudah pemilu tahun 1999 berlangsung, polarisasi aliran politik
Islam versus kebangsaan kembali mewarnai percaturan politik negeri ini.

Gejala diatas menunjukkan bahwa persoalan mengenai hubungan antara negara dan
agama dalam wadah negara Pancasila memang belum sepenuhnya terselesaikan.

Walaupun upaya untuk mengubah dasar negara Pancasila melalui pengubahan pasal
29 ayat 1 tidak berhasil selama empat kali amandemen UUD 1945, bukan berarti bahwa
aspirasi untuk mengganti Pancasila dengan ideology lain yang telah padam. Semua hal di atas
menunjukkan bahwa bahwa persaingan ideologis antara Pancasila dengan beragam ideology
lain masih terus akan berlangsung.

BAB 3 KEDUDUKAN DAN PERAN PANCASILA

1. Pendahuluan

Istiilah kedudukan dan peran (status and role) dipergunakan dalam sosiologi untuk
menjelaskan lapisan masyarakat (Soekanto, 1990). Kedudukan adalah tempat seseorang
dalam suatu pola tertentu.

Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan, yaitu berupa pelaksanaan dari hak dan
kewajiban seseorang sesuai kedudukannya. Seorang presiden misalnya harus memainkan
peran sebagai pemimpin/kepada negara. Selain itu presiden misalnya harus memainkan peran
sebagai kepala pemerintahan seperti memimpin sidang cabinet, memberikan arahan pada
menteri, dll. Kedudukan dan peran tidak dapat dipisah-pisahkan.
Bangsa Indonesia juga memberi kedudukan dan peran tertentu kepada ajaran filsafat
kenegaraan yang bernama Pancasila. Pemberian kedudukan dan peran kepada Pancasila itu
berkembang sesuai dinamika kehidupan bangsa Indonesia.

Misalnya pada masa Orde Baru, sesuai dengan tiga kedudukan Pancasila (sebagai
dasar negara, pandangan hidup, dan ideology nasioal) disebutkan sederetan peran (baik yang
nyata maupun yang diharapkan) dari Pancasila. Peran-peran itu mencakup antara lain: (a)
jiwa bangsa Indonesia, (b) kepribadian bangsa Indonesia, (c) sumber segaal sumber hukum di
Indonesia, (d) pandangan hidup bangsa, (e) cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia, (f) satu-
satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta (g) sebagai
moral pembangunan.

2. Kedudukan dan Peran Hakiki Pancasila

Dari sejarah pembentukannya kita mengetahui bahwa kedudukan Pancasila yang


pertama-tama dan terutama adalah sebagai dasar negara. Namun dalam perkembangannya,
terutama selama pemerintahan Orde Baru, Pancasila ditonjolkan kedudukannya sebagai
pandangan hidup bangsa dan ideology nasional (satu-satunya asas).

Pengukuhan kedudukan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dilakukan melalui


Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4). Sementara itu, pengukuhan Pancasila sebagai ideology nasional dilakukan melalui
Ketetapan MPR No. III/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang kemudian
ditindaklanjuti dengan Undang-Undang No. 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya. Melalui dua produk hukum ini Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya
asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi semua organisasi politik.

2.1. Pancasila sebagai Dasar Negara

Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dapat kita temukan landasan


kontitusionalnya di dalam Pembukaan atau Mukadimah UUD atau konstitusional yang
(pernah) berlaku di Indonesia.

Dari kata-kata “berdasar kepada” di dalam Pembukaan UUD 1945 dan kata-kata
“berdasarkan pengakuan” dalam Mukadimah Konstitusi Sementara RIS 1949 dan
Mukadimah UUD Sementara 1950, yang kemudian diikuti rumusan kelima sila Pancasila,
maka jelaslah bahwa Pancasila memang dinyatakan sebagai dasar negara Republik Indonesia.

Makna atau peran Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, adalah sebagai
berikut.

a) Dasar berdiri dan tegaknya negara.


Sejarah menunjukkan bahwa Pancasila sebagai dasar pembentukan negara Indonesia
merdeka. Pancasila diharapkan dapat menjadi landasan bagi pengelolaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
b) Dasar kegiatan penyelenggaraan negara.
Negara Indonesia didirikan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional bangsa
yang dirumuskan dalam Pembentukan UUD 1945. Para penyelenggara negara dituntut
untuk memimpin pencapaian tujuan itu. Agar penyelenggara negara benar-benar dapat
mewujudkan tujuan nasional, mereka harus mendasarkan semua kegiatan
pemerintahan negara kepada Pancasila.
c) Dasar partisipasi warga negara.
Semua warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk
mempertahankan negara dan berpartisipasi dalam upaya bersama mencapai tujuan
bangsa. Dalam menggunakan hak dan menunaikan kewajibannya itu seluruh warga
negara harus berpedoman kepada dasar negara Pancasila.
d) Dasar pergaulan antara warga negara.
Pancasila tidak hanya menjadi dasar perhubungan antara warga negara dengan negara,
melainkan juga dasar bagi perhubungan antarwarga negara.
e) Dasar dan sumber hukum nasional.
Seluruh aktivitas penyelenggara negara dan warga negara dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernagara haruslah didasarkan pada hukum yang
berlaku. Semua peraturan perundang-undangan atau hukum yang dibentuk untuk
penyelenggaraan negara harus berdasarkan pada Pancasila.

2.2. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa

Dalam pidato Soekarno sesungguhnya Pancasila sudah disebut-sebut sebagai


pandangan hidup bangsa (Bahar, 19950) Oleh karena itu pengesahan Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 sebenarnya merupakan
hal wajar.

Jika dalam pidato Soekarno Pancasila hanya merupakan pandangan hidup kenegaraan,
maka Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 justru memperluasnya ke bidang kemasyarakatan.
Dengan kata lain jika pada saat kelahirannya Pancasila ditegaskan sebagai pandangan hidup
dalam kehidupan bernegara, maka sejak tahun 1970-an wilayah berlakunya pandangan hidup
tersebut diperluas ke bidang kemasyarakatan. Dari sinilah kemudian lahir peran Pancasila
sebagai jiwa bangsa Indonesia dan kepribadian bangsa Indonesia.

Dengan dasar pertimbangan pengalaman sejarah, dan mengemban tugas ke masa


depan – yang menyangkut penanaman nilai kepribadian dalam pembangunan, pergantian
generasi, babak pembangunan, perkembangan dunia, dan perwujudan Pancasila sebagai
penggilan sejarah, rezim Orde baru berupaya memberi tafsiran waktu (walau tidak diakui)
terhadap Pancasila. Tafsiran itu berupa butir-butir nilai yang dimaksudkan sebagai pedoman
bagi siapa pun dalam memahami, menghayati, dan kemudian mengamalkan Pancasila.

Pengukuhan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa itu kemudian ditindaklanjuti


dengan upaya penanaman nilai-nilai Pancasila kepada seluruh warga negara Indonesia. Selain
melalui pelajaran PMP dan PSPB di sekolah-sekolah, dan mata kuliah Pendidikan Pancasila,
PSPB, dan Pendidikan Kewiraan di perguruan tinggi, upaya itu dilakukan juga melalui
Penataran P4.

2.3. Pancasila sebagai Ideologi Nasional

Istilah ideology pertama kali dipergunakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-
18, dan pengertiannya kemudian berkembang selama abad ke-19. Oleh de Tracy ideology
diartikan sebagai ilmu tentang gagasan/ide-ide.

Menurut Karl Marx, ideology adalah pandangan hidup (segala ajaran tentang
masyarakat dan negara) yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas
tertentu dalam bidang politik atau sosial. Ideology adalah “bangunan atas” yang didirikan
atas basis ekonomi yang menentukan coraknya, oleh karena itu ideology sesungguhnya
mencerminkan pola ekonomi tertentu. Dalam konteks cara pandang pertentangan antarkelas,
maka ideology dipahami sebagai pandangan hidup yang diciptakan kelas berkuasa untuk
merepresi kelas yang dikuasai. Bagi Althusser, ideology adalah pandangan hidup yang
menjadi pedoman manusia menjalankan hidupnya.
Sebagai ideology nasional bangsa Indonesia, Pancasila (Oesman, 1992) dapat
memainkan peran sebagai berikut.

a) Mempersatukan bangsa, memelihara, dan mengukuhkan persatuan serta kesatuan itu.


Peran ini amat penting bagi bangsa Indonesia karena sebagai masyarakat majemuk
Indonesia sering terancam perpecahan.
b) Membimbing dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya. Pancasila memberi
gambaran cita-cita (dimensi idealisme) bangsa, sekaligus menjadi sumber motivasi
dan tekad perjuangan mencapai cita-cita, menggerakkan bangsa melaksanakan
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
c) Memberikan tekad untuk memelihara dan mengembangkan identitas bangsa.
Pancasila memberikan gambaran identitas bangsa Indonesia, sekaligus memberi
dorongan untuk nation and character building berdasarkan Pancasila.
d) Menyoroti kenyataan yang ada dan kritis terhadap upaya perwujudan cita-cita yang
terkandung dalam Pancasila itu.

3. Pancasila dan Paham-Paham Kenegaraan Lain

Sejak awal perumusan Pancasila sesungguhnya sudah berhadap-hadapan atau


bersinggungan dengan paham kenegaraan lain. Dalam uraian terdahulu tampak bahwa pada
saat rumusannya sebagai paham kebangsaan Pancasila harus bersaing dengan paham
kenegaraan lain yaitu Islam. Dalam perjalanan hidupnya – paling tidak sampai akhir tahun
1980-an – boleh dikatakan Pancasila juga selalu bersaing dengan dua paham kenegaraan,
yaitu Islam dan Komunis, serta selama Orde baru ditambah dengan paham integralistik.

Jika secara internal Pancasila harus bersaing dengan ketika paham diatas maka secara
eksternal Pancasila juga sering dipertentangkan dengan paham liberalism yang berakar pada
individualism, dan paham sosialisme.

3.1. Pancasila dan Liberalisme

Sebagaimana lazimnya sebuah ideology, liberalism juga dibangun atas keyakinan


tertentu tentang hakikat manusia. Lazimnya manusia dipandang sebagai makhluk pribadi
sekaligus makhluk sosial.

Dalam liberalism manusia dipandang sebagai makhluk yang bebas, rasional, dan
mampu memperbaiki diri sendiri (Macridis, 1986; Goodwin, 1982). Manusia adalah makhluk
bebas dan bermartabat mulia yang kebebasan serta kemuliaan martabatnya tidak boleh
diganggu gugat oleh siapapun. Manusia berbeda satu dengan yang lain, karena secara alamiah
mereka bebas dan merdeka. Kebebasan manusia adalah nilai utama dalam ajaran liberalism.

a) Ajaran Moral Liberalisme

Prinsip moral liberalism adalah pengakuan atas hak-hak asasi manusia seperti hak
kebebasan, hak kemuliaan, dan hak hidup manusia. Dalam rangka menghormati kebebasan
manusia maka kekerasan terhadap manusia tidak dapat diterima kecuali dalam peperangan
yang dimaksudkan untuk mempertahankan kebebasan masyarakat itu sendiri. Di samping
mengutamakan kebebasan dan menghormati hak-hak dasar manusia, liberalism juga
menjunjung tinggi toleransi.

Liberalism juga memandang bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk


rasional. Manusia juga dilengkapi pengetahuan tentang kepentingan-kepentingan utamanya
serta kemampuan untuk mengejar kepentingan-kepentingan itu secara rasional. Upaya
mengejar kepentingan sendiri itu dapat menimbulkan kerja sama, atau persaingan dan
perilaku agresif.

Pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dan rasional melahirkan
keyakinan bahwa pemerintahan negara harus didasarkan kepada persetujuan dari rakyat.
Pandangan bahwa pemerintahan harus berdasarkan persetujuan rakyat merupakan landasan
yang menyatukan liberalism dengan demokrasi.

b) Ajaran Politik Liberalisme

Prinsip politik liberalism mencakup pengakuan atas hak-hak politik utama manusia,
seperti hak berserikat, hak berkumpul, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tertulis,
hak partisipasi, hak memutuskan bentuk kenegaraan yang akan dibangun, dan hak
menentukan kebijakan pemerintahan yang harus dijalankan. Demokrasi pluralis merupakan
konsekuensi logis politis dari gagasan liberal dalam kebebasan.

Prinsip mengutamakan hak dan kebebasan orang-perorangan itu merupakan wujud


perlawanan kaum liberal terhadap kekuasaan negara. Oleh kerena itu pada awal
perkembangannya liberalism mengajarkan bahwa negara seharusnya hanya diberi peran
sebagai penjaga tata tertib masyarakat.
Menurut Henry B. Mayo (dalam Budiardjo, 1980) demokrasi yang dikembangkan
berdasarkan liberalism di Barat dilandasi oleh sejumlah nilai. Nilai-nilai tersebut menjadi
landasan etis dalam pelaksanaan demokrasi di negara-negara Barat. Beberapa nilai tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:

(1) Menyelesaikan perselisihan secara damai dan melembaga;


(2) Menjamin terselenggaranya perubahan masyarakat secara damai;
(3) Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur;
(4) Membatasi penggunaan kekerasan sampai seminimal mungkun;
(5) Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat, seperti
keanekaragaman pendapat, keanekaragaman kepentingan dan sebagainya; dan
(6) Menjamin tegaknya keadilan.

c) Ajaran Ekonomi Liberalisme

Dalam bidang ekonomi kebebasan juga menjadi nilai utama liberalism. Kebebasan
terkait erat dengan prinsip leissesfair yang menginginkan pengaturan minimum dan
kebebasan maksimum bagi perjuangan kepentingan masing-masing individu. Prinsip
ekonomi liberalism meliputi pengakuan atas hak-hak ekonomi dan kesejahteraan masing-
masing orang. Liberalism mengutamakan perekonomian swasta, mekanisme pasar, sistem
perdagangan bebas, atau kapitalisme. Liberalism mengakui dan menjamin hak-hak dan
kebebasan-kebebasan perorangan dalam kegiatan ekonomi (produksi, transaksi, dan
distribusi). Liberalism juga menghargai hak seseorang untuk memuaskan keinginan-
keinginan menurut caranya sendiri dan untuk menggunakan kekayaannya sesuai dengan
keputusan pribadi.

Negara demokrasi liberal saat ini diharapkan dapat mewujudkan cita-cita negara
kesejahteraan (welfare state) atau negara yang memberi pelayanan kepada masyarakat (social
service state).

3.2. Pancasila dan Sosialisme

Sosialisme lahir sebagai reaksi atas krisis sosial akibat industrialisasi dan cara
produksi liberal-kapitalis pada abad ke-19.

a) Ajaran Moral Sosialisme


Sosialisme berpandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk kreatif dan
dapat memperoleh kebahagiaan serta kepuasan melalui kerja bersama. Manusia pada
dasarnya berwatak sosial dan memiliki rasa kesetiakawanan atau solidaritas. Sosialisme
berpendapat bahwa manusia tergantung satu sama lain tidak saja dalam hal materi namun
juga dalam hal budaya dan spiritual.

Dalam sosialisme persamaan merupakan konsekuensi logis dari keprihatinan terhadap


kemiskinan. Kemisikinan adalah masalah yang dapat diperbaiki dan bukan hal yang sudah
menjadi nasib atau hal yang pantas diterima oleh mereka yang tidak beruntung. Keadilan
sosial dalam sosialisme terutama dipandang sebagai persoalan distribusi.

b) Ajaran Politik Sosialisme

Menurut Heuken, S.J. (1988) pokok-pokok ajaran sosialisme di bidang politik sebagai
berikut.

(1) Perubahan struktur kekuasaan dengan memaksakan pengakuan terhadap kesamaan


kedudukan semua warga negara, atau dengan penyerahan kekuasaan kepada kelas
yang bekerja (diktatur proletariat) saja.
(2) Perjuangan melawan privilese-privelese pendidikan yang dimiliki oleh kelas
menengah dan kelas atas.

Baik sosialisme maupun liberalism sama-sama menyakini adanya persamaan


kemampuan manusia untuk memerintah dirinya sendiri serta menyatakan kepentingan-
kepentingan mereka, walau bentuk pelembagaan demokrasi perwakilannya berbeda.

Sejak akhir abad ke-19 partai-partai sosialis di negara-negara Eropa Barat dan
Skandinavia mulai menerima logika dan teknik-teknik demokrasi. Tujuan dari partai mereka
ubah menjadi ”melakukan perubahan sosial melalui sarana-saranan politik damai dan
prosedur-prosedur demokratis yang mapan.” Mereka mulai meningkatkan diri pada inti
ajaran moral liberalism dan penghormatan terhadap hak-hak sipil dan hak-hak pribadi
manusia. Mereka mulai melihat bahwa demokrasi menyediakan sarana-sarana bagi perubahan
dan oleh karenanya mereka dapat mengganti revolusi dan kekerasan dengan demokrasi.

c) Ajaran Ekonomi Sosialisme

Inti ajaran sosialisme di bidang ekonomi menurut Heuken, S.J., dkk. (1988) sebagai
berikut.
(1) Penghapusan atau pembatasan hak milik pribadi atas alat-alat produksi; pengambilan
alat-alat produksi (atau sebagiannya) oleh negara atau langsung oleh kaum buruh;
pembagian kembali milik pribadi.
(2) Perlindungan bagi kaum buruh terhadap pengisapan, kemiskinan, pengangguran
dalam bentuk jaminan kerja bagi semua; pembentukan koperasi produktif kaum
buruh; pemberian hak bagi kaum buruh untuk ikut dalam penentuan kebijakan
perusahaan melalui wakil-wakil buruh atau melalui serikat buruh; partisipasi dalam
laba perusahaan atau ikut memiliki perusahaan.
(3) Perubahan struktur kekuasaan ekonomi dengan jalan pengawasan negara terhadap
perusahaan-perusahaan monopoli, pengembangan perusahaan-perusahaan milik
negara, perencanaan produksi dan pembagian hasil produksi oleh negara.

Secara garis besar terdapat dua aliran sosialisme, yaitu sosialisme yang dipengaruhi
oleh Marxisme dan sosialisme non-Marxis (sosialisme demokratis). Salah satu aliran dalam
sosialisme demokrastis adalah sosisalisme religious, yaitu sosialisme yang dikembangkan
atas ajaran agama tertentu.

Dalam hubungannya dengan Pancasila, kita pernah mendengar istilah “sosialisme


Pancasila” yang sering diidentikkan dengan sosialisme religious. Pengertian yang terkandung
dalam kedua istilah tersebut adalah bahwa sosialisme di Indonesia merupakan “sosialisme
yang mengakui ketuhanan, bertindak secara berprikemanusiaan, dengan jalan musyawarah,
berusaha mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat” (Heuken, S.J., dkk. 1988).

3.3. Pancasila dan Marxisme/Komunisme

Marxisme/Komunisme adalah ajaran Karl Marx yang kemudian direvisi oleh Lenin,
Stalin, dan Mao Tze Dong. Seperti sudah disebut di atas Marxisme/Komunisme adalah salah
satu varian dari sosialisme.

a) Ajaran Moral Komunisme

Pandangan Komunisme terhadap mansuia sama dengan sosialisme, yaitu lebih


mengutamakan kebersamaan atau dimensi sosial manusia ketimbang kebebasan atau
individualitas manusia. Menurut Budiardjo (1980) nilai-nilai yang terkandung dalam
Komunisme antara lain:
(1) Monoisme, yaitu pandangan yang menolak adanya golongan-golongan atau
keanekaragaman dalam masyarakat;
(2) Kekerasan merupakan alat yang sah untuk mencapai tujuan negara, yaitu terwujudnya
masyarakat tanpa kelas;
(3) Negara merupakan alat untuk mencapai Komunisme sehingga semua alat negara
(polisi, tentara, kejaksaan, dan sebagainya), dipergunakan untuk mewujudkan
Komunisme.
Prinsip moral utama komunisme adalah bahwa segala jalan dianggap halal, asal
membantu mencapai tujuan, termasuk pemerintahan dictator oleh partai Komunis. Ini
terbukti dengan dilakukannya pembunuhan massal di Rusia, RRT, dan Kamboja, serta
peristiwa Madiun dan G30S/PKI.

b) Ajaran Politik Komunisme

Revolusi kaum proletar untuk merebut kekuasaan politik dan ekonomi dari kaum
borjuis merupakan jalan utama menuju terbentuknya masyarakat komunis. Marx sendiri tidak
memberi resep yang tegas tentang sifat dan revolusi kaum proletar atau sarana yang harus
digunakan untuk menyingkirkan kaum borjuis. Marx memang memperhitungkan kekerasan,
tetapi tidak dalam bentuk prtumpahan darah dan pembinasaan.

Kehidupan kenegaraan yang didasarkan pada Marxisme/Komunisme sering disebut


sebagai Demokrasi Timur atau demokrasi rakyat/demokrasi sosialis. Namun penggunaan kata
demokrasi sesungguhnya tidak tepat karena praktik politik dalam negara-negara Komunis
jurstru bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

c) Ajaran Ekonomi Komunisme

Langkah-langkah di bidang ekonomi yang harus dilakukan segera sesudah revolusi


kaum proletar, menuurt Marx (Goodwin, 1982) berikut.

(1) Penghapusan hak milik atas tanah dan penerapan sistem penyewaan tanah untuk
kepentingan umum.
(2) Peningkatan secara tajam atau gradual pajak pendapatan.
(3) Penghapusan semua hak waris.
(4) Pemusatan uang di tangan negara melalui bank nasional dengan modal negara dan
monopoli ekslusif.
(5) Pemusatan alat-alat komunikasi dan transportasi di tangan negara.
(6) Pemusatan pabrik-pabrik dan alat-alat produksi milik negara.
(7) Persamaan tanggung jawab bagi semua buruh.
(8) Kombinasi antara pertanian dengan industry pengelolaan.
(9) Pendidikan gratis untuk semua anak di sekolah-sekolah umum.

BAB 4 NEGARA BERKE-TUHANAN YANG MAHA ESA

1. Pendahuluan

Dari uraian tentang sejarah Pancasila kita memahami bahwa sila-sila Pancasila
dirumuskan untuk menjawab lima persoalan dasar dalam hidup bernegara. Kelima masalah
pokok itu adalah (a) bagaimana hubungan antara negara dan agama, (b) bagaimana hubungan
antarbangsa, (c) apakah hakikat negara yang hendak didirikan itu, (d) siapakah pemilik
kedaulatan dalam negara, dan (e) apakah tujuan dari negara yang hendak didirikan itu. Dari
sejarah pula kita memahami bahwa persoalan bagaimana sebaiknya hubungan antara negara
dengan agama/agama-agama di negara Indonesia Merdeka merupakan persoalan paling
dinamis dalam perumusannya. Uraian dalam bab ini tidak mengulang pembahasan tentang
dinamika perumusan sila pertama Pancasila tersebut, karena bagimanapun juga jawaban akhir
atas persoalan tersebut adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Sekilas Tentang Hubungan Negara dan Agama

Negara adalah organisasi yang dibentuk oleh manusia untuk mencapai tujuan
bersama. Untuk itu negara diberi kewenangan mengatur dan menegakkan aturan demi
ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Negara bahkan diberi monopoli untuk
menerapkan sanksi hidup atau mati terhadap pelanggar hukum. Penerapan sanksi itu sudah
tentu harus dilandaskan pada aturan hukum yang berlaku.

Agama adalah segala perwujudan dan bentuk hubungan-hubungan manusia dengan


Yang Suci. Dapat juga dikatakan bahwa agama adalah “respons manusia terhadap
kenyataan yang dianggap ilahi, yang diwujudkan dalam pembentukan perserikatan oleh
percaya, upacara-upacara, perumusan isi kepercayaan, pengembangan cara hidup pribadi
dan kegiatan sosial yang dianggap layak di hadapan yang ilahi itu.” Menurut Suyitno &
Gultom (1981) ada dua dimensi dalam agama, yaitu dimensi lahiriah dan dimensi batiniah.
Dimensi lahiriah agam mencakup lima hal, yaitu ikatan orang percaya, rumusan kepercayaan
dan ajaran, upacara-upacara, cara hidup, serta kegiatan-kegiatan agamawi, dengakan dimensi
batiniah agama adalah kesadaran religious yang ada di hati masing-masing individu manusia.

Jadi, pada satu sisi – baik negara maupun agama – keduanya merupakan lembaga
yang berwatak atau bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia. Walaupun wilayah
berlakunya atauran agama/agama-agama bersifat universal, menembus batas-batas wilayah
negara, sementara aturan negara hanya berlaku di wilayah negara yang bersangkutan, namun
dapat dipahami bahwa pada titik tertentu subjek dari kedua aturan tersebut sama yaitu warga
suatu negara tertentu.

Menurut Heuken, S.J., dkk. (1988) secara teoretis terdapat empat kemungkinan
hubungan antara negara dengan agama sebagai berikut.

a) Negara memperkuat agama demi kepentingan politik

Hal ini misalnya terdapat pada masa kekaisaran Romawi Kuno dan pemerintahan Tsar
Rusia sampai tahun 1917. Pada masa pemerintahan kaisar-kaisar Romawi Kuno, para kaisar
juga menjabat sebagai Ponifex Maximus (Imam Agung). Mereka membunuh ribuan orang
Kristen yang tidak mau menyembah dewa-dewa Romawi.

b) Agama menguasai masyarakat politik (negara)

Dalam negara ini pemerintahan dianggap dilakukan menurut kehendak Ilahi seperti
diwahyukan menurut kepercayaan agama tertentu. Pola pemerintahan teokrasi ini dapat
diwujudkan melalui tiga kemungkinan yaitu:

1) Lewat seorang raja keturunan “Ilahi” atau penjelmaan dewa.


2) Lewat kaum Imam, Ayatullah, Brahma, Biksu, atau pelaksana-pelaksana kultus
lainnya. Pemerintahannya disebut hierokrasi. Bentuk teokrasi ini disebut hierokrasi
karena dilaksanakan oleh golongan yang melaksanakan ibadah suci (hieros, hiereus =
imam, pendeta, dan lain sebagainya).
3) Melalui syariat agama tertentu yang ditafsirkan oleh ahli-ahli hukum suci.
Pemerintahannya disebut nomorkrasi, karena pemerintahan Tuhan dianggap terjamin
oleh hukum syari’at, hukum-hukum suci/nomos (Yunani).

c) Agama dan negara dipisahkan


Negara yang menganut pola hubungan negara-agama semacam ini sering disebut
negara sekuler. Istilah sekuler secara etimologis berasal dari kata Latin saecullum yang
berarti dunia. Dalam bahasa Inggris pun istilah secular dirtikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan masalah duniawi.

Di dalam dunia filasfat dikenal adanya aliran sekularisme, yang memandang satu-
satunya kenyataan adalah dunia yang dapat digarap oleh manusia dengan kemampuannya
atau dengan ilmu pengetahuan (Pokja UKSW, 1980). Istilah sekuler untuk ilmu kenegaraan
dipakai sebagai terminus-technicus untuk pemisahan antara kekuasaan negara dengan
kekuasaan agama, yang di Eropa berarti pemisahan antara gereja dan negara. Namun, negara
sekuler itu tidak perlu harus merupakan negara antiagama atau anti gereja.

Di Amerika Serikat misalnya, secara konstitusional dianut prinsip kebebasan


beragama di mana terjadi pemisahan antara agama dan negara sepepnuhnya sehingga tidak
ada satu gereja pun yang mendapat kedudukan istimewa. Walaupun demikian negara –
melalui lembaga peradilan – melindungi hak-hak konstitusional yang dimiliki berbagai
lembaga keagamaan maupun umat beragama.

Di lain pihak prinsip pemisahan antara agama dan negara dapat juga dilakukan secara
radikal dan dalam semangat antiagama, sehingga merugikan agama. Pola hubungan ini lazim
terjadi di negara-negara Komunis seperti yang terdapat di kebanyakan negara Komunis
maupun Prancis tahun 1905.

d) Pola pembedaan dan kerja sama di antara negara dan agama/agama-agama

Dalam model pembedaan dan kerja sama antara negara dan agama/agama-agama,
negara tidak menyatukan diri dengan satu agama tertentu. urusan agama maupun urusan
negara tidak dipersatukan apalagi dicampuradukkan. Negara melalui pemerintahan
mengembangkan hubungan saling menguntungkan dengan agama, melalui berbagai lembaga
keagamaan yang ada.

Studi tentang relasi antara negara dengan agama yang lebih muktahir antara lain
dilakukan oleh De Bartolo & Kadlec (2008), Driessen (2010), Jihad Nammour, dkk. (2011),
dan Mueller (2012).

Praksis hubungan antara negara dengan agama selama ini sebenarnya berada pada
satu garis kontinum, antara negara yang disatukan dengan agama (negara agama) pada satu
ujungnya dengan negara dipisahkan dari agama (negara antiagama) di ujung garis kontinum
yang lain. Di antara negara agama di satu ujung dengan negara antiagama di ujung yang lain
itu terserak beragam pola hubungan antara negara dengan agama, di mana salah satunya
adalah pola hubungan pemisahan fungsi dalam semangat kerja sama untuk bersama-sama
menyejahterakan warga negara. Dapat disimpulkan juga kiranya bahwa dalam praktik
kehidupan berbangsa dan bernegara selalu terdapat dinamika tarik-menarik aspirasi para
pelaku hidup bernegara tentang relasi antara negara dengan agama. Konsekuensi logis dari
fakta semacam itu adalah bahwa dalam penerjemahan prinsip dasar tentang bagaimana
sebaiknya hubungan antara negara dengan agama dalam kehidupan nyata selalu diperlukan
komitmen yang kuat terhadap prinsip dasar yang telah disepakati bersama sejak awal
berdirinya agama.

3. Pandangan Pancasila tentang Hubungan Negara dan Agama

Pancasila memberikan prinsip hubungan antara negara dan agama di negara Indonesia
melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna utama dari sila ini adalah bahwa negara
Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara atheis. Hubungan negara Indonesia
dan agama/agama-agama yang hidup di negeri ini adalah hubungan pembedaan fungsi dalam
semangat kerja sama.

3.1. Negara Indonesia Bukan Negara Agama

Menurut Suseno (1994) negara agama adalah negara yang diatur menurut dalil atau
hukum salah satu gama, sehingga mereka yang tidak memeluk agama yang satu itu akan
merasa menjadi warga negara kelas dua.

Negara Indonesia dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menolak konsepsi negara
agama. Penolakan itu bukan karena Indonesia menganut paham sekularisme atau acuh tak
acuh terhadap gama. Prinsip Ketuhanan yang Maha Esa mengakui keberadaan agama dan
fungsi pentingnya bagi masing-masing pemeluknya, namun menghendaki agar negara tidak
mencampuri hubungan masing-masing orang dalam kelompoknya sendiri, dengan Tuhan.
Tegasnya dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa negara Indonesia tidak berdasarkan agama
tertentu atau bukan negara agama.

3.2. Negara Indonesia Bukan Negara Atheis


Atheism adalah paham yang menyangkal adanya Tuhan atau dea-dewa. Dalam bahasa
Yunani, istilah a-theos berarti tiada Tuhan. Atheism dapat dianut oleh pribadi-pribadi
manusia, namun juga dapat menjadi pandangan resmi/ideology negara. Negara-negara
Komuni menganut atheisme sebagai ideology resmi negara.

Sejalan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esan, maka negara Indonesia menolak
paham atheisme. Sila pertama Pancasila itu menegaskan bahwa bangsa Indonesia percaya
adanya Tuhan Yang Maha ESa. Bahkan kemampuan bangsa Indonesia untuk mendirikan
negara Republik Indonesia juga diyakini sebagai berkat dan rahmat Tuhan Yang Mahakuasa
(Alenia III Pembukaan UUD 1945). Jelas bahwa keyakinan itu bertolak belakang dengan
paham yang tidak percaya adanya Tuhan.

3.3. Indonesia Menganut Pembedaan Fungsi dalam Semangat Kerja Sama antara
Negara dan Agama/Agama-agama

Pembedaan fungsi yang tegas dan kerja sama antara agama dan negara itu mempunyai
arti sebagai berikut ini.

a) Negara tidak memasukkan agama ke dalam dirinya, dan juga agama tidak mencaplok
negara menjadi wilayah bawahannya.
b) Negara menghormati agama dengan karakteristiknya sendiri sehingga tidak ada
campur tangan negara terhadap agama sebagai agama, dan sebaliknya agama
menghormati negara dengan karakteristiknya sendiri.
c) Hukum negara tidak diangkat dari atau dibuat berdasarkan hukum agama tertentu.
d) Tidak ada agama yang diangkat menjadi agam negara, yaitu agama satu-satunya yang
harus dianut oleh seluruh rakyat.
e) Negara membantu rakyatnya dalam kehidupan beragama, berdasarkan pandangan
bahwa kehidupan beragama adalah salah satu jalan bagi manusia untuk memperoleh
kebahagiaan religious, sedangkan kebahagiaan religious merupakan suatu segi
kesejahteraan yang menjadi tujuan negara.

Walaupun tidak didasarkan pada satu agama tertentu, tidak berarti negara Indonesia
tidak perduli terhadap ketuhanan dan agama. Sebagai negara yang memiliki filsafat
kenegaraan yang dibangun atas ide dasar kesamaderajatan dan kemerdekaan manusia, negara
Indonesia sangat memperhatikan soal-soal keagamaan.
Jadi di satu pihak memang ada pemisahan yang tegas antara negara dan agama
sehingga tidak ada pencampuradukan satu dengan lainnya dan tidak terdapat campur tangan
satu terhadap yang lain. Namun di lain pihak, karena agama menyangkut kesejahteraan warga
negara, negara sangat berkepentingan dengan keanekaragaman agama yang dianut warganya,
dan oleh karena itu sangat memperhatikan agama dan soal ketuhanan.

Dalam kaitannya dengan sila-sila Pancasila yang lain, penolakan terhadap negara
agama dan atheism serta pemilihan pola pembedaan dungsi dan kerja sama negara-agama itu
dapat dipahami sebagai berikut. Bila negara memaksakan dianutnya satu agama tertentu
kepada warga-negaranya atau melarang warga negaranya menganut agama tertentu, maka itu
bertentangan dengan kemanusiaan manusia. Dalam rangka menghormati kemanusiaan
manusia itulah negara memberi kebebasan bagi warganya untuk memeluk agama sesuai
dengan keyakinan masing-masing.

Pemihakan negara kepada salah satu agama saja juga bertentangan dengan semangat
persatuan bangsa yang hendak dipelihara melalui prinsip Persatuan Indonesia. perumusan
dasar negara yang mewajibkan pemeluk salah satu agama saja sudah bernuanda diskriminatif
dan merusak persatuan bangsa, apalagi bila negara menyatukan dirinya dengan salah satu
agama. Sebagaimana terungkap dalam pernyataan Hatta di hadapan sidang PPKI, rumusan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu justru dipilih guna memelihara persatuan bangsa
Indonesia.

Mendasarkan negara pada satu agama sama saja juga bertentangan dengan sila
keempat Pancasila. Dalam masyarakat majemuk yang tidak semjua warga menganut satu
jenis agama yang sama, maka penyatuan negara dengan agama tertentu juga bertentangan
dengan prinsip kedaulatan rakyat. Dengan penyatuan itu negara mengelompokkan warga-
negaranya menjadi warga negara kelas satu dan kelas dua. Masing-masing kelompom itu
berbeda hak dan kewajibannya di hadapan negara. Keadaan semacam itu tentu bertentangan
dengan prinsip persamaan hak dan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan yang
dikehendaki oleh paham demokrasi.

Kehidupan beragama adalah jalan bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan


religious, sedangkan kebahagiaan religious itu pada hakikatnya merupakan salah satu segi
kesejahteraan manusia. Kesejahteraan manusia warga negara adalah tujuan negara Indonesia.
dengan kata lain pilihan pola pembedaan dan fungsi kerja sama antara negara dengan agama
itu justru dilakukan demi mewujudkan kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia.
4. Instrumen Implementasi Sila I Pancasila

Sebagai pengaturan lebih lanjut prinsip Ketuhanan Yang Maha ESa, maka pasal 29
UUD 1945 menentukan: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Selanjutnya melalui amandemen kedua UUD 1945 ditentukan pula bahwa “setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamnya… dst.” (pasal 28 E ayat 1).
Dalam pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 dinyatakan pula bahwa hak beragama termasuk dalam
kategori hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non
derogerable). Ketentuan-ketentuan itu menunjukkan bahwa hakk kebebasan beragama
sebagaimana digariskan oleh sila pertama Pancasila, telah dicoba melalui kosntitusi oleh
bangsa ini.

Sehubungan dengan hak kebebasan beragama itu maka ada sejumlah tugas negara
dalam bidang hidup keagamaan. Negara antara lain bertugas untuk:

a) Memberikan jaminan perlindungan agar setiap penduduk, yang notabene adalah


pemeluk agama tertentu, dapat secara bebas melaksanakan ajaran agama atau
kepercayaannya.
b) Menjaga harmoni antara kebebasan menjalankan ibadah agama dengan upaya
mewujudkan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. tugas tersebut dijalankan
dengan cara menjamin kesempatan yang sama dan adil bagi setiap warga negara
untuk mengamalkan konsepsinya tentang Tuhan sesuai ajaran agama yang
diyakininya.

Secara lebih rinci Suyitno & Gultom (1981) menyebutkan adanya empat tugas negara
terhadap agama dan penganutnya, yaitu mengakui dan menghormati, serta menjamin hak
hidup agama-agama dan kepercayaan, menjamin tiap-tiap penduduk menjalankan ibadatnya,
memberikan perlindungan yang sama terhadap semua perkumpulan agama dan kepercayaan,
serta membina sikap positif warga negara terhadap agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.

Dalam kalimat lain dapat juga dikatakan negara wajib melalukan hal-hal berikut ini.
a) Menjamin kebebasan untuk beribadah, kebebasan menyatakan buah pikiran,
kebebasan mengungkapkan rasa keagamaan meupun kebebasan lembaga-lembaga
keagamaan dan umat beragama dalam menjalankan kegiatan mereka, sejauh mana
semua hal di atas tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral dan
keselamatan negara.
b) Melindungi harta milik maupun pemimpin dan pengurus lembaga-lembaga
keagamaan dalam menjalankan kegiatan-kegiatan yang tidak bertentangan dengan
aturan hukum yang berlaku.
c) Membentuk dan menegakkan aturan hukum yang mencerminkan sikap positif dan
konstruktif terhadap lembaga-lembaga keagamaan dalam menyetakan kepercayaan
mereka terhada Tuhan Yang Maha Esa.

Pada sisi lain lembaga-lembaga keagamaan dan umat Bergama mempunyai kewajiban
tertentu pada negara. Lembaga-lembaga keagamaan dan umat beragama (warga negara yang
beragama) wajib untuk melakukan hal-hal berikut ini.

a) Mendoakan negara, pemerintah, dan warganya agar mampu mewujudkan


kesejahteraan bersama.
b) Setia dan patuh kepada negara, dan hanya memilih ketidakpatuhan apabila kepatuhan
kepada negara itu jelas-jelas bertentangan dengan perintah Tuhan.
c) Menjalin kerja sama dengan negara dalam meningkatkan kesejahteraan warga negara,
serta memberikan dukungan moral terhadap usaha negara dalam menegakkan
keadilan sejalan dengan kehendak Tuhan.

Dengan demikian lembaga-lembaga keagamaan wajib mendidik warga negara agar


menjadi manusia, yang dalam terang rasa takutnya akan Tuhan, mendukung upaya negara
dalam mewujudkan kesejahteraan bersama dan menegakkan keadilan.

Di luar hal-hal di atas, dalam rangka menjamin terwujudnya kehidupan keagamaan


yang berlandaskan pada prinsip pengakuan atas kebebasan beragama dan pembedaan dungsi
antara negara dan agama, maka baik negara maupun lembaga-lembaga keagamaan antara lain
berkewajiban melaksanakan hal-hal berikut.

a) Mendorong pemahaman yang benar tentang sejarah Indonesia terutama menyangkut


pembentukan dasar negara Pancasila, UUD 1945, dan prinsip-prinsip pengelolaan
kehidupan beragama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b) Mendorong kerja sama antarlembaga keagamaan sehingga terjadi proses saling
memahami.
c) Mewaspadai dan menentang segala bentuk kegiatan yang bersifat antiroleransi.

5. Beberapa Persoalan Relevan dengan Implementasi Sila Ketuhanan Yang Maha


Esa
5.1. Wewenang Negara Atas Kehidupan Agama

Pada masa lalu pernah berlaku keyakinan umum bahwa hanya ada 5 agama yang
boleh hidup di Indonesia, yaitu Budha, Hindu, Islam, Katolik, dan Kristen. Kelima agama itu
sering disebut sebagai agama resmi atau agama yang diakui oleh negara. Kong Hu Cu,
Pangestu dan sejenisnya dikategorikan sebagai kepercayaan yang tidak sama kedudukannya
dengan agama.

Oleh karena itu pada waktu lalu penganut ajaran Kong Hu Cu di Indonesia sempat
resah karena keberadaan mereka dirasa kurang mendapat perlindungan dan pelayanan dari
pemerintah.

Rumusan GBHN mengisyaratkan pemahaman bahwa negara memang berhak


menentukan mati-hidupnya suatu agama. Agama bahkan hanya mungkin menjadi agama
apabila mendapat pengakuan dari negara.

Kini perkembangan kehidupan kenegaraan menunjukkan bahwa negara tidak


menopang kehidupan agama Kong Hu Cu, dan bahkan mengabaikannya dengan melarang
petugas catatan Sipil mencatat pernikahan pasangan Kong Hu Cu, kenyatannya agama Kong
Hu Cu tetap hidup.

Tepat kiranya pernyataan Presiden Gus Dur dalam acara Syukuran Tahun Baru Imlek
2551 tanggal 17 Februari 2000 lalu bahwa “tanpa pengakuan negara, agama akan tetap
hidup karena adanya dalam hati manusia. Hati manusia itulah yang menghidupkan agama,
bukan jaminan dari negara” (Kompas, 19-02-2000). Sebelumnya dalam kesempatan yang
sama, Presiden menyatakan bahwa negara atau pemerintah tidak berwenang menentukan
agama itu betul atau tidak, sebab hal itu amat bergantung pada keyakinan pemeluknya.
Agama adalah agama manakala ia hanya diyakini oleh pemeluknya sebagai agama.
Oleh karena itu tindakan negara mengakui beberapa agama dan tidak mengakui
agama yang lain merupakan kekeliruan. Setiap umat beragama memiliki hak yang sama
dengan warga negara lain. Hak-hak dasar, termasuk hak untuk menyakini agama tertentu,
harus dijamin dan dilindungi oleh negara bukan maha dibatasi atau diingkari.

5.2. Kewajiban Beragama atau Kewjiban Ber-Tuhan?

Berkaitan dengan pertanyaan itu bangsa/negara Indonesia melalui Ketetapan MPR


No. II/MPR/1978 tentang P4 pernah menyatakan pandangannya terhadap kehidupan
keagamaan yang antara lain berbunyi:

“… sebab agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu berdasarkan
keyakinan sehingga tidak dapat dipaksakan, dan memang agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk
memeluk dan menganutnya.” (Penjelasan Tap MPR No. II/MPR/1978).

Implikasi dari pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana dikandung
dalam sila pertama Pancasila adalah kewajiban etis suatu moral bahwa kehidupan akan
menjadi lebih baik apabila semua warga negara itu memeluk dan beribadah sesuai agama
masing-masing. Sebagai kewajiban moral maka tidak ada sanksi atau hukum yang diterapkan
apabila ada warga negara yang tidak beragama atau tidak ber-Tuhan.

5.3. Hak Berpindah Agama

Setiap komunitas agama melarang anggotanya pindah agama. Tindakan pindah agama
dianggap dosa besar oleh agama yang ditinggalkan, namun dianggap wajar oleh agama yang
dimasukinya.

Pasal 18 UDHR (Universal Declaration of Human Right) berbunyi: “Setiap orang


berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agama, dalam hal ini termasuk
kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun
yang tersendiri.”

Pasal Tap MPR No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayannya itu.”
Sedang pasal 22 ayat 1 UU No. 39/1999 juga berbunyi “Setiap orang bebas memeluk
agamnya masing-masing untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayannya itu.”

Tampak bahwa dimensi hak untuk berpindah agama tidak terungkat dalam berbagai
pengaturan di atas. Penjelasan pasal 22 ayat (1) UU No. 39/1999 pun hanya mengatakan
“yang dimaksud dengan hak untuk bebas memeluk agamanya dengan kepercayaannya
adalah hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri tanpa adanya
paksaan dari manapun juga.”

Walaupun demikian dapat dikemukakan bahwa sejalan dengan prinsip bahwa agama
merupakan urusan masing-masing pribadi manusia dengan Tuhan yang diyakininya, maka
tindakan pindah agama dapat dimengerti sejauh kepindahan itu dilakukan atas dasar pilihan
bebas pribadi dewasa, tanpa paksanaan atau bujuk rayu pihak mana pun.

5.4. Perlindungan Hukum Terhadap Kehidupan Beragama

Mengenai kaitan antara hukum dengan kehidupan beragama para warga negara dapat
dikemukakan bahwa hukum sebenarnya hanya kena-mengena dengan tingkah laku
menampak manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

Berkaitan dengan prilaku hidup beragama, maka hukum positif kita mengatur tentang
penyerangan terhadap nama baik suatu ajaran agama tertentu. pasal 156 KUH Pidana
menentukan, ancaman hukuman penjara atau denda bagi barang siapa di muka umum
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau
beberapa golongan rakyat Indonesia. istilah golongan itu diartikan sebagai tiap-tiap bagian
rakyat Indonesia yang berbeda dengan satu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri
asal, agama, tempat keturunan, kebangsaan, atau kedudukannya menurut hukum tata negara.

Pada tahun 1965 dikeluarkan UU No. 1/PnPs/1965 yang menambah pasal 156 KUHP
di atas dengan pasal 156 a. yang mengancam dengan pidana penjara selama-lamanya 5
tahun barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, (b) dengan maksud agar orang tidak
menganut agama apa pun juga yang tidak bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Ketentuan di atas selain menunjukkan adanya larangan (yang diancam pidana bagi
yang melarangnya) membujuk atau mengajak orang lain untuk tidak menganut agama apa
pun juga. Dengan demikian terkandung mekasud untuk mencegah atau menghalangi
penyebaran paham atheism, suatu paham yang tidak mengakui keberadaan Tuhan Yang
Maha Esa.

BAB 5 NEGARA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB

1. Pendahuluan

Persoalan dasar kedua dalam hidup bernegara yang hendak diberi prinsip dasarnya
oleh Pancasila adalah masalah hubungan antar manusia dan hubungan antarbangsa di alam
Indonesia merdeka. Pancasila dirumuskan pada saat bangsa Indonesia berada dalam
kungkungan penjajahan Jepang. Setelah ratusan tahun dijajah Belanda ternyata bangsa
Indonesia belum lepas dari penjajahan karena kepergian Belanda disusul dengan kedatangan
Jepang yang juga menjajah bangsa Indonesia. Kesengsaraan bangsa Indonesia yang
diakibatkan penjajahan lain mendorong para perumus dasar negara cara untuk menetapkan
prinsip perhubungan antar bangsa yang harus dianut atau dijalankan di Indonesia merdeka.
Prinsip itu dimuat dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab.

2. Sekilas Hubungan Antarmanusia

Secara historis terdapat tiga pola hubungan utama yang berkembang antar manusia
yaitu hubungan perbudakan, ketergantungan dan hubungan yang sama derajat. Walaupun
kecenderungan peradaban manusia dewasa ini telah mengarah pada dominannya hubungan
antar manusia yang sama derajat, namun pola hubungan perbudakan dan ketergantungan
antar manusia masih terdapat di muka bumi ini.

2.1. Pola Hubungan Perbudakan

Perbudakan adalah pola hubungan antar manusia yang dicirikan oleh adanya
ketidaksamaan yang paling ekstrem karena adanya manusia yang dimiliki oleh manusia lain
sebagai milik atau kekayaannya. Budak adalah milik dari tuannya, sehingga mereka
diperlakukan sebagai barang layaknya binatang piaraan ataupun peralatan rumah tangga yang
bisa diperjualbelikan antar para pedagang budak. Praktik perbudakan sesungguhnya
bermacam-macam. Di zaman Yunani kuno para budak adalah penduduk yang kalah perang
atau korban perampokan. Oleh karena itu kedudukan sebagai budak dapat berubah.
Kedudukan seseorang dapat berubah bergantung pada apakah negara kotanya mampu
memenangkan peperangan atau tidak. Setiap orang pada dasarnya potensial menjadi budak
atau menjadi merdeka tergantung perkembangan sejarah peperangan negaranya. Di kerajaan
Romawi di mana kelompok penguasa hanya sedikit pengetahuannya di bidang perdagangan
dan keuangan, para budak biasanya justru menjadi kaya melalui kegiatan bisnis dan beberapa
budak yang kaya mempunyai budak pula. Di Amerika serikat, Amerika Selatan dan India
barat abad 18 dan 19 para budak dipekerjakan sebagai pekerja perkebunan atau pelayan
rumah tangga. Jual beli budak yang terjadi di abad 19 tercatat sebagai penjualan yang paling
meluas.

Kebijakan penghapusan sistem perbudakan yang diberlakukan sejak awal abad 20


tidak serta merta mampu menghentikan praktik perbudakan dari muka bumi. International
human trafficking melaporkan bahwa praktik perbudakan masih terus terjadi di abad 21 ini.
Di tanah air ada peristiwa perbudakan di pabrik panci di Tangerang, dan yang paling akhir
perbudakan terhadap nelayan asal Bima di Maluku.

2.2. Pola Hubungan Ketergantungan

Hubungan ketergantungan antar manusia ditandai oleh adanya ketergantungan satu


atau beberapa orang terhadap satu atau beberapa orang lainnya. Hubungan semacam itu dapat
kita temukan dalam sistem feodal dimana terdapat tiga lapisan sosial yaitu raja, kaum
bangsawan dan para hamba. Dalam sistem feodal ini terdapat lembaga penghambaan pribadi
(personal bondage) yang bersifat tetap, dimana seorang hamba wajib hidup di dalam manor
atau kau tempat tinggal bangsawan atau tuan rumah dan membayar bermacam-macam sewa
karena para bangsawan memiliki hak yang sah atas tenaga kerja hamba-nya. Jika seorang
hamba pergi meninggalkan tempat tinggalnya maka ia dianggap mencuri yaitu mencuri
sebagian tenaga kerja yang menjadi milik tuannya. Jadi hamba lebih memiliki kebebasan
pribadi ketimbang budak, karena budak itu setara dengan benda-benda atau barang-barang
harta milik kekayaan tuannya yang lainnya, yang bisa diperdagangkan oleh pemiliknya.

Dalam kadar ketergantungan yang lebih ringan hubungan ketergantungan antar


manusia juga terhadap dalam pola hubungan praton klien di masyarakat. Hubungan patron
klien adalah hubungan personal antara seseorang yang berfungsi sebagai Praton dengan satu
atau beberapa orang yang berfungsi sebagai Klien. Hubungan ini diwarnai oleh prinsip
perlindungan dari praton bagi mereka yang memberi kesetiaan dari klien. Hubungan
semacam ini masih kuat hidup di masyarakat sehingga warga masyarakat mulai dari lapisan
yang terendah masuk ke dalam piramida jaringan praton klien.

2.3. Pola Hubungan Sama Derajat

Hubungan antara manusia yang sama derajat adalah hubungan antar manusia yang
dilandasi oleh penghargaan atas kodrat manusia sebagai makhluk yang memiliki
kemerdekaan dan kesamaan derajat asasi. Dengan demikian for hubungan antar manusia itu
diwarnai oleh suasana penghormatan atas kodrat manusia. Di bawah prinsip saling
menghormati itu maka semua manusia yang terpisah-pisah oleh ikatan kenegaraan maupun
kebangsaan itu dipandang sebagai suatu kesatuan umat manusia yang sama derajat. Dapat
disimpulkan bahwa pola hubungan antar manusia dalam sejarah peradaban manusia dapat
ditempatkan ke dalam suatu garis kontinum dari ujung yang sangat tidak ideal yaitu
perbudakan ke ujung bentuk idealnya yaitu hubungan sama derajat antarmanusia. Diantara
kedua ujung garis kontinum itulah terserak praksis relasi antar manusia dengan derajat
kesetaraan dan persamaan yang bervariasi.

3. Sekilas tentang Hubungan Antarbangsa


3.1. Pola Penjajahan

Dalam pola hubungan ini bangsa yang satu atau penjajah menghisap bangsa lain.
Kalau bangsa penjajah membangun prasarana di daerah jajahan dan mewariskan alat-alat
serta administrasi modern kepada bangsa jajahan, semua itu sesungguhnya lebih
dimaksudkan untuk mendukung kepentingan penjajah. Keuntungan yang diperoleh bangsa
terjajah hanyalah kebetulan saja. Lazimnya bangsa penjajah tidak memperhatikan
kepentingan bangsa terjajah, kepentingan mereka sengaja diabaikan agar mereka tetap bodoh
dan tidak memberontak memberontak.

Pola hubungan kolonialistis ini timbul sebagai akibat dari perkembangan kapitalisme.
Sistem kapitalisme membutuhkan bahan mentah bagi industri dalam negeri dan pasar hasil
industri yang kian banyaknya. Oleh karena bahan mentah itu ada di luar negeri maka timbul
kehendak dan praktik untuk menguasai wilayah bangsa lain guna menghisap kekayaan
bangsa tersebut.

3.2. Pola Hubungan Ketergantungan


Seusai perang dunia kedua banyak negara jajahan memerdekakan diri titik negara
yang baru merdeka tidak secara politis memang bebas dari penjajah, namun kebanyakan dari
mereka ternyata jatuh pada ketergantungan terhadap negara maju. Pola hubungan
ketergantungan dalam hubungan antarbangsa terjadi antara negara-negara di dunia ketiga
dengan negara maju. Walaupun negara-negara di dunia ketiga menyatakan dirinya merdeka
dan berdaulat, namun karena ketinggalan mereka dalam berbagai bidang dibanding negara
maju maka mereka menjadi ketergantungan pada negara maju.

Evans (Budiman, 1998) menjelaskan bahwa di negara-negara dunia ketiga umumnya


terjadi persekutuan 3 unsur, yaitu antara modal asing, pemerintah dan borjuasi lokal.
Persekutuan itu diwujudkan dalam bentuk modal atau pengusaha asing melakukan investasi
di negara-negara dunia ketiga. bersamaan dengan masuknya modal asing, masuk juga akses
kepada teknologi dan pasar internasional. Dengan demikian terjadilah apa yang disebut Evans
sebagai Triple Alliance atau persekutuan segitiga dimana pemerintah di negara-negara dunia
ke-3 bekerjasama dengan modal asing dan untuk kepentingan pembangunan ekonomi
sementara demi alasan politis dan ekonomis pemerintah juga harus bekerja sama dengan
borjuasi lokal.

3.3. Pola Hubungan Sama Derajat Antarbangsa

Dalam pola ini hubungan antarbangsa dilakukan bukan dalam rangka eksploitasi
bangsa yang satu terhadap lainnya atau dalam rangka menguasai secara diam-diam berbagai
aspek kehidupan bangsa lain kecuali bidang politik. Hubungan antar bangsa justru dilakukan
dalam rangka kerjasama untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Memang dalam kerja
sama terkandung aspek saling ketergantungan namun hal itu tidak harus dilandasi semangat
untuk mengeksploitasi salah satu pihak. Pola hubungan semacam ini memang merupakan
pola yang ideal namun sulit diwujudkan atau minimal harus diperjuangkan terutama oleh
negara negara atau bangsa bangsa yang serba ketinggalan dalam berbagai kehidupannya.
Keterbatasan kualitas sumber daya suatu bangsa atau negara umumnya juga mempengaruhi
kapasitas negara atau bangsa itu dalam menjalin hubungan yang setara dan sejajar dengan
negara atau bangsa lain.

4. Pandangan Pancasila tentang Hubungan Antarbangsa/Manusia


Sila kemanusiaan yang adil dan beradab memberikan prinsip tentang bagaimana
seharusnya hubungan ideal antarbangsa atau antarnegara di dunia ini. Pada intinya prinsip itu
menggarisbawahi bahwa perhubungan antar bangsa harus dilandaskan pada harga bangsa itu
sebagai manusia, harga yang sama pada semua dan tiap-tiap manusia yang hidup bangsa itu.
Hubungan antarbangsa pada hakekatnya adalah hubungan antar manusia karena hakikat
bangsa adalah manusia. Pihak yang mengadakan hubungan antarbangsa atau antarnegara
adalah juga manusia warga bangsa tersebut. Manusia dalam Pancasila diyakini sebagai
makhluk ciptaan tuhan yang memiliki kemerdekaan dan kesamaan derajat dan asasi.
Dibanding dengan ciptaan tuhan lainnya, manusia adalah makhluk yang luhur kedudukannya
karena mempunyai akal l budi dan hati nurani.

Kemanusiaan adalah tentang manusia atau keadaan sifat manusia. Sifat manusia bisa
baik dan bisa buruk, tetapi sifat manusia yang harus menjadi dasar perhubungan antar
manusia anggota bangsa itu adalah sifat yang adil dan beradab, yaitu tidak berat sebelah dan
patut, sejalan dengan kebaikan Budi yang mencerminkan kemajuan peradaban manusia.
Berdasarkan pemahaman tentang manusia dan kemanusiaan nya itu maka perhubungan antar
bangsa harus dilandasi penghargaan atas kodrat manusia sebagai makhluk yang memiliki
kemerdekaan dan kesamaan derajat dan asasi. Dengan demikian perhubungan antar manusia
tersebut harus diwarnai suasana penghormatan atas kodrat manusia. Di bawah prinsip saling
menghormati itu maka semua manusia yang terpisah-pisah oleh ikatan kenegaraan maupun
kebangsaan itu dipandang sebagai kesatuan umat manusia yang sama derajat. Dengan
demikian negara Indonesia dapat di Candra sebagai negara kemanusiaan, negara yang
bersikap terhadap bangsa atau negara lain berdasarkan martabatnya sebagai manusia.

Hak asasi liberal adalah hak asasi yang bersumber pada kebebasan manusia. Hak-hak
ini didasarkan pada keyakinan atas kebebasan manusia serta hak individu untuk mengurus
diri sendiri. Hari ini diperjuangkan oleh kaum liberal dengan tujuan untuk melindungi
kehidupan manusia dari campur tangan negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya demi
keutuhan manusia. Hak yang termasuk dalam hak ini adalah hak hidup, hak atas kebutuhan
jasmani, hak kebebasan bergerak, kebebasan memilih jodoh, hak perlindungan atas hak milik
dan sebagainya.

Hak asasi demokratis adalah hak untuk berperan serta dalam menentukan arah
perkembangan masyarakat dan atau negaranya. Hak ini didasarkan pada keyakinan atas
kedaulatan rakyat atau hak rakyat untuk mencintai diri sendiri. Hak-hak ini diperjuangkan
oleh kaum liberal dan kaum republiken berdasar pada prinsip bahwa semua orang sama
derajatnya.

Hak asasi positif adalah hak atas prestasi-prestasi tertentu dari negara. Dasar
anggapan nya adalah bahwa negara merupakan lembaga yang diciptakan dan dipelihara oleh
masyarakat untuk memberikan pelayanan pelayanan tertentu. Oleh karena itu warga negara
berhak atas layanan tertentu dari negara.

5. Instrument Implementasi Sila Kadua Pancasila


5.1. Instrument Implementasi dalam Hubungan Antarbangsa

Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya dilandasi oleh sikap saling
menghormati. Penghormatan itu berupa penghormatan terhadap keberadaannya maupun hak
untuk mempertahankan keberadaan bangsa itu, penghormatan yang tidak mempedulikan apa
filsafat kenegaraan, bentuk, serta sistem pemerintahan negara lain tersebut. Politik luar negeri
Indonesia harus bersifat bebas dalam arti bangsa Indonesia tidak boleh melakukan campur
tangan terhadap urusan dalam luar negeri negara lain. Campur tangan bangsa atau negara
Indonesia terhadap masalah dalam negeri negara lain masih dimungkinkan dalam hal-hal
khusus, yaitu dalam hal negara yang bersangkutan terancam keberadaannya oleh pihak lain.
Oleh karena itu selain bersifat bebas, politik luar negeri Indonesia juga bersifat aktif, yang
berarti aktif membela setiap negara yang terancam oleh tindakan yang bertentangan dengan
prinsip kemerdekaan dan kesamaderajatan manusia atau bangsa.

Penghormatan atas kemerdekaan negara atau bangsa lainnya itu dimaksudkan untuk
menopang usaha menciptakan perdamaian dan keadilan sosial dalam hubungan antarnegara.
Dengan demikian politik luar negeri yang dianut bangsa Indonesia adalah politik damai atau
politik perdamaian. Dalam politik perdamaian, peran sebagai sesuatu yang bertentangan
dengan damai merupakan yang harus dihindari. Akan tetapi bila terdapat bahaya yang
mengancam keberadaan bangsa atau negara Indonesia maka perang pun dapat dilakukan
untuk menyelesaikan masalah tersebut.

5.2. Instrument Implementasi dalam Perhubungan Antarmanusia

Konsekuensi yang timbul dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab di bidang
penyelenggaraan negara adalah bahwa negara pemerintahan berkewajiban pula untuk
menjamin dan melindungi hak-hak asasi warga negara Indonesia. Oleh karena itu diperlukan
instrumen implementasi prinsip yang terkandung dalam sila kedua Pancasila itu dalam bentuk
perlindungan hak-hak asasi warga negara atau bahkan penduduk Indonesia. Memang hak
asasi manusia bukanlah pemberian masyarakat, negara, atau hukum. Dengan demikian ada
atau tidak adanya hak asasi manusia tidak bergantung pada ada atau tidaknya aturan hukum
yang menyebutnya. Hanya saja sesuai dengan sifat dan fungsi hukum itu sendiri, hak-hak
asasi akan menjadi lebih terjamin perwujudannya jika dimasukkan kedalam hukum positif. Di
lain pihak hukum positif akan menjadi fungsional menjamin keadilan kebenaran dan
perdamaian apabila membuat sebanyak mungkin prinsip-prinsip hak asasi manusia. Jika hak-
hak asasi manusia dimasukkan ke dalam hukum positif, maka akan semakin terjamin bahwa
hukum itu memang adil dan sesuai dengan martabat manusia. Tak mengherankan jika sejarah
kenegaraan bangsa-bangsa di dunia diwarnai oleh episode-episode perjuangan manusia untuk
memasukkan hak-hak asasi manusia ke dalam dokumen dokumen kenegaraan, baik dalam
bentuk piagam atau bahkan konstitusi atau undang-undang dasar.

6. Beberapa Persoalan Relevan


6.1. Universalitas Versus Kontekstualitas Hak Asasi Manusia

Persoalan yang sering muncul seiring dengan perkembangan konsepsi dasar dan
penerapan hak asasi manusia adalah masalah universalitas versus kontekstualitas atau
partikularitas hak asasi manusia. Persoalannya adalah apakah ide hak asasi manusia yang
muncul di dunia barat yang cenderung individualistik itu sesuai dengan jiwa bangsa
Indonesia yang bercirikan kekeluargaan. Pihak penguasa orde baru misalnya selalu
menyatakan bahwa hak asasi manusia di Indonesia adalah kas dan tidak dapat disamakan
begitu saja dengan hak-hak asasi di negara barat, sedangkan para aktivis pembela hak asasi
manusia cenderung mengutamakan dimensi universalitas hak asasi manusia itu sendiri. Tarik
menarik antara kedua tuntutan tersebut seringkali juga mencerminkan tarik-menarik antara
penguasa dengan rakyat. Sebagaimana umumnya penguasa di negara totaliter, penguasa orde
Baru juga mengklaim kontekstualitas dan hak asasi manusia, yang oleh masyarakat dicurigai
sebagai cara melemahkan hak asasi manusia warga negara. Atas dasar alasan itulah kemudian
lahir tuntutan masyarakat akan universalitas hak asasi manusia.

Pertentangan ini mendorong dirumuskannya sejumlah hak-hak yang bersifat minimal


yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun. Hak-hak yang tidak boleh
dilanggar itu mencakup hak untuk hidup hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani hak beragama dan hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut.

6.2. Ketergantungan pada Negara Donor

Realitas yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah bahwa pinjaman luar negeri
negara ini baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta telah begitu besar.
Utang yang dilakukan semasa pemerintahan orde baru itu kini menjerat siapapun yang
memerintah dan seluruh rakyat di negeri ini untuk membayarnya. Situasi semacam itu telah
menempatkan bangsa dan negara ini pada posisi harus selalu berhubungan dengan pihak-
pihak donor atau pemberi pinjaman. Hal itu merupakan tak terhindarkan nya. Hanya saja
yang kemudian sering menimbulkan kontroversi adalah bagaimana menjaga martabat bangsa
ini di hadapan para negara atau lembaga donor tersebut.

6.3. Anarki Massa

Paradoks yang tiba-tiba saja mengakibatkan semua pihak di masa transisi saat ini
adalah realitas bahwa orang Indonesia yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang cukup
beradab ternyata dapat menjadi begitu sadis dan gampang berkelahi sebagaimana
ditampakkan oleh perilaku kerusuhan massal, pembakaran atau penganiayaan orang yang
disangka melakukan kejahatan. Tentu ada banyak faktor yang menghasilkan fenomena
seperti tersebut, namun salah satu penjelasannya tampak dalam konstatasi mulder yang
menyatakan bahwa rezim orde baru telah menyebabkan memudarnya potensi-potensi etis dan
munculnya lingkungan hidup yang mengasingkan sehingga bahkan kebudayaan sekalipun
sebagai proses produksi makna-makna telah surut ke belakang. Kehidupan modern di dunia
ketiga termasuk Indonesia di dominasi pertimbangan-pertimbangan bangsa ekonomis yang
melahirkan masyarakat yang terbelah dan semrawut.

Kesenjangan ekonomi dan keterpecahan budaya itulah tampaknya yang menyebabkan


lemahnya perkembangan masyarakat yang beradab di Indonesia. Hikam (1996) menyatakan
bahwa kehidupan civil society di Indonesia selama masa orde Baru ditandai oleh beberapa
paradoks seperti tumbuhnya kelas menengah yang tidak disertai kemandirian mereka
terhadap bangsa, kelas menengah yang ada bukannya memudarkan batasan-batasan
primordial, namun justru memperkuat kotak-kotak primordial, menjamurnya lembaga
swadaya masyarakat namun justru dibarengi dengan semakin terkooptasi nya kebanyakan
dari mereka oleh penguasa atau negara, para cendekiawan yang mestinya kritis terhadap
kekuasaan justru berlomba-lomba bergabung dengan penguasa, merebaknya penertiban pers
namun tidak disertai peningkatan fungsi kontrol dari pilar demokrasi kelima ini.

BAB 6 NEGARA PERSATUAN INDONESIA

1. Pendahuluan

Rumusan sila Persatuan Indonesia secara sadar dipilih oleh para pendiri negara untuk
menjawab kekhawatiran terhadap niat beberapa aliran di kalangan pemerintah Jepang yang
hendak memecah Indonesia menjadi tiga atau empat negara merdeka.

Bangsa menurut Benedict Anderson (1991) adalah komunitas politik yang


terbayangkan (imagined communities) dengan wilayah hidup yang terbatas. Disebut “yang
terbayangkan” karena walaupun masing-masing anggota suatu bangsa – yang paling sedikit
anggotanya tidak pernah bertemu, berbicara, dan saling mengenal.

Dengan pengertian seperti itu dapat kita pahami bahwa tumbuh, berkembang, atau
hancurnya sebuah bangsa sangat bergantung pada kuat atau lemahnya kesadaran kolektif
bangsa tersebut, yaitu kesadaran warga satu komunitas bahwa mereka adalah satu bangsa.

Kesadaran semacam itu bisa dipelihara agar tetap kuat melalui dua jalur, yaitu jalur
mental/spiritual dan jalur structural. Secara spiritual/mental kesadaran sebagai suatu bangsa
akan terpeliharanya apabila selalu dipupuk melalui proses pendidikan. Namun pendidikan
semacam itu akan kurang berpengaruh bila realitas kehidupan yang dialami warga bangsa
bertolak belakang dengan kesadaran yang ditanamkan. Oleh karena itu struktur kehidupan
masyarakat harus ditata sedemikian rupa agar menopang kesadaran berbangsa tersebut.

Dapat dipahami pula bahwa heterogenitas anggota dan wilayah tempat tinggal sangat
berpengaruh pada berat-ringannya tantangan yang dihadapi dalam upaya memelihara
persatuan bangsa. Semakin heterogen suatu bangsa semakin berat pula tantangan yang
dihadapi dalam upaya menjaga keutuhan bangsa.

Sila Persatuan Indonesia ditetapkan sebagai sila ketiga Pancasila untuk menjawab
berbagai persoalan negara yang dibangun atas dasar kemajemukan masyarakat.
2. Sekilas tentang Negara dengan Masyarakat Majemuk

Masyarakat mejemuk menurut Furnival (2010) dapat didefinisikan sebagai suatu


masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih tertib sosial, kemunitas atau kelompok yang
secara kulural dan ekonomis terpisah dari yang lain. Sementara itu Smith (1974) menyatakan
bahwa dalam masyarakat majemuk masing-masing komunitas atau kelompok sosial itu
memiliki struktur kelembagaan yang berbeda satu sama lain. Jika dikaitkan dengan
kehidupan politik maka masyarakat majemuk menurut Rabushka dan Shepsle (2008) adalah
masyarakat yang memiliki keragaman kultural, namun terorganisasi (dipersatukan) secara
politik, yang mengatasi satuan-satuan etnik yang ada.

Berdasarkan ukuran kondisi sosial-kultural masing-masing, masyarakat majemuk


yang terwadahi dalam sebuah negara dapat dibedakan ke dalam empat macam. Keempat jenis
tersebut adalah sebagai berikut.

a) Masyarakat majemuk dengan kompetensi seimbang adalah masyarakat majemuk yang


terdiri atas sejumlah etnik yang kurang-lebih seimbang sehingga koalisi lintas etnik
sangat diperlukan bagi pembentukan pemerintahan yang stabil.
b) Masyarakat majemuk dengan mayoritas deminan adalah masyarakat majemuk yang
memiliki konfigurasi etnik yang tidak seimbang. Salah satu kelompok etnik tertentu,
yaitu etnik mayoritas, memiliki competitive advantages yang strategis di hadapan
kelompok-kelompok lain. Dalam masyarakat ini kelompok etnik mayoritas
mendominasi kompetensi politik, sehingga kelompok-kelompok politik lain tidak
memiliki posisi politik yang berarti. Posisi politik kelompok-kelompok lain hanya
berarti pada situasi terjadinya perpecahan serius di dalam kelompok mayoritas.
c) Masyarakat majemuk dengan minoritas dominan adalah masyarakat majemuk yang
memiliki konfigurasi etnik yang tidak seimbang, di mana salah satu kelompok etnik
tertentu, yaitu etnik minoritas, memiliki competitive advantages yang strategis di
hadapan kelompok-kelompok yang lain. Dalam masyarakat ini suatu kelompok etnik
minoritas mendominasi kompetensi politik berkat sejumlah keunggulan yang sangat
kuat yang dimiliki, sehingga kelompok-kelompok politik lain tidak memiliki posisi
politik yang berarti.
d) Masyarakat majemuk terfragmentasi adalah masyarakat yang terdiri atas sejumlah
besar kelompok etnik dengan jumlah anggota yang kecil dan tidak ada di antara
mereka yang memiliki posisi politik yang dominan. Kehidupan politik masyarakat ini
umumnya labil, karena rendahnya kemampuan untuk membangun kerja sama yang
diperlukan untuk mengakomodasi konflik.

Walaupun berbeda-beda derajatnya, semua masyarakat mejemuk mempunyai tiga


kecenderungan pokok berikut ini: pertama, berkembangnya konflik di dalam hubungan-
hubungan antarkelompok; kedua, pelaku konflik melihat konflik sebagai all-out war, dan
ketiga, berkembangnya proses integrasi sosial melalui suatu dominasi suatu kelompok atas
kelompok lain.

3. Pandangan Pancasila tentang Pengelolaan Kemajemukan Bangsa dalam Wadah


Negara Indonesia

Kesadaran akan realitas sosial sebagai masyarakat mejemuk. Pengalaman kesejarahan


bersama sebagai sesame manusi/bangsa terjajah, serta sulit dan kerasnya perjuangan
mempersatukan diri melawan penjajah, mendorong para pendiri negara merumuskan sila
Persatuan Indonesia sebagai salah satu dasar negara.

Negara diyakini sebagai persekutuan hidup yang terdiri dari manusia-manusia


merdeka yang berkendak untuk bersama-sama merealisasikan diri, yang sebagai keseluruhan
kesatuan kebersamaan yang merupakan satu bangsa. Negara Indonesia adalah negara
kesatuan yaitu kesatuan bangsa Indonesia.

Makna terdalam dari sila Persatuan Indonesia adalah poengakuan bahwa negara
Indonesia terbentuk melalui proses penyatuan berbagai unsur (suku bangsa dengan kondisi
eksistential/keberadaan masing-masing) menjadi satu kesatuan bangsa yang sepakat hidup
dalam wadah satu negara. Petunjuk kuat bahwa negara Indonesia terbentuk melalui proses
penyatuan bangsa adalah kejadian-kejadian segera sesudah kemerdekaan diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945.

Seperti telah disebut terdahulu, segera sesudah kemerdekaan diproklamasikan


terdapat keberatan dari rakyat Indonesia bagian timur terhadap rancangan dasar negara
sebagaimana terdapat dalam Piagam Jakarta. Ada dua pilihan bagi para pemimpin bangsa kita
waktu itu, yaitu mempertahankan rumusan sila pertama Piagam Jakarta yang bebarti
mengabaikan aspirasi sebagian warga negara bangsa Indonesia, atau memperhatikan aspirasi
tersebut yang berarti mengubah rumusan sila pertama Piagam Jakarta. Pada akhirnya dicapai
kesepakatan bahwa aspirasi rakyat Indonesia bagian timur itu diterima dan oleh karena itu
rumusan sila pertama dasar negara dirumuskan sebagai “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Peristiwa di atas menggambarkan bahwa negara Indonesia yang didirikan tanggal 17


Agustus 1945 merupakan negara yang mempersatukan seluruh wilayah yang didiami suku-
suku bangsa di Nusantara ini. Negara Indonesia adalah negara yang mempersatukan suku-
suku bangsa yang hidup di atas wilayah bekas jajahan Belanda di bawah satu pemerintah
berdaulat. Terdapat proses penyatuan dan penggabungan dari unsur-unsur yang ada di
wilayah nusantara itu sehingga terbentuk satu negara kesatuan Indonesia.

Peristiwa bersejarah di atas juga menunjukkan betapa tingginya semangat persatuan


dan kesatuan yang ada di hati para pemimpin bangsa kita. Bagian bangsa Indonesia yang
tinggal di wilayah Indonesia timur nyaris tidak menjadi bagian integral bangsa/negara
Indonesia, kalau saja semangat persatuan kesatuan bangsa tidak menjiwai tindakan para
pemimpin bangsa. Hanya dengan semangat persatuan kesatuan bangsa itulah negara
Indonesia terbentuk sebagai negara mencakup seluruh suku bangsa di wilayah Nusantara ini.

4. Instrumen Implementasi Sila Ketiga Pancasila

Pembentukan negara Indonesia melalui proses penyatuan suku-suku bangsa di atas


merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dihapuskan diingkari maupun diabaikan dalam
perjalanan bangsa Indonesia mengisi kemerdekaan. Fakta historis tersebut membawa
konsekuensi tanggung jawab atau kewajiban bangsa Indonesia untuk selalu memelihara
persatuan kesatuan bangsa atau keutuhan bangsa. Oleh karena itu perlu terus dikembangkan
sikap kesetiaan kepada persatuan bangsa, sikap cinta bangsa, dan sikap cinta tanah air.
Kesetiaan pada bangsa dan kebangsaan Indonesia itu hendaknya mengatasi kesetiaan
kesetiaan primordial atau kesetiaan pada suku daerah asal, agama sehingga dapat menopang
tegak berdirinya negara kesatuan republik Indonesia.

Persatuan bukan berarti penyeragaman. dengan prinsip persatuan, keanekaragaman


yang ada tidak hendak dihilangkan atau diserahkan melainkan tetap dibiarkan hidup dan
berkembang. Dengan kata lain keanekaragaman bangsa dihormati dalam wadah kesatuan
bangsa Indonesia. Semboyan yang menggambarkan secara jelas prinsip penghormatan
keanekaragaman dalam wadah persatuan adalah bhinneka tunggal Ika.
Bentuk negara kesatuan dengan sistem desentralisasi dan pemberian otonomi kepada
pemerintah daerah merupakan instrumen implementasi struktural yang menopang gagasan
negara persatuan sedangkan lambang negara, lagu kebangsaan, bendera, dan bahasa adalah
instrumen implementasi simbolis yang menggugah semangat persatuan bangsa Indonesia.

5. Beberapa Persoalan Relevan


a. Masalah Bentuk Negara

Perbedaan antara negara kesatuan dan negara serikat terletak pada susunan negara
tersebut. Negara kesatuan adalah negara yang bersusun tunggal yang tidak memiliki negara
dalam negara. Dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintah yang berdaulat, yaitu
pemerintahan pusat yang berkuasa mengatur seluruh daerah di wilayahnya. Dalam
menjalankan kegiatan pemerintahan negara negara kesatuan dapat menganut sistem
sentralisasi atau desentralisasi. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah negara
yang diatur dan diurus langsung oleh pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tinggal
melaksanakan kebijakan dari pusat. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi adalah
negara yang sebagian urusan pemerintah pusat nya diberikan kepada pemerintah daerah
untuk diatur dan diurus sebagai rumah tangganya sendiri.

Negara serikat adalah negara yang bersusun jamak, karena terdiri dari negara-negara
bagian. Dalam negara serikat urusan negara dibagi menjadi dua yaitu yang secara terperinci
disebut limitatif diberikan kepada pemerintah pusat federal sebagai delegated power, dan
sisanya menjadi urusan negara bagian. Baik pemerintah pusat serikat maupun pemerintahan
negara bagian sama-sama berdaulat untuk urusan masing-masing.

b. Masalah Integrasi Bangsa

Usaha untuk mewujudkan integrasi nasional di negeri ini masih menghadapi banyak
kendala titik secara umum kendala itu dapat dipilah ke dalam dua jenis yaitu kendala yang
bersifat kultural dan struktural. Pada sisi kultural Sukarni menyebut beberapa kendala
integrasi nasional yang kita hadapi yaitu kuatnya in group feeling di kalangan suku-suku
bangsa, etnosentrisme dan eksklusivisme. Etnosentrisme adalah paham yang memandang
kebudayaan suku bangsa sebagai yang terbaik sementara kebudayaan suku bangsa lain
dianggap rendah titik sikap semacam ini jelas tidak mendukung upaya integrasi nasional yang
masyarakatnya adanya kesediaan dari setiap pihak untuk saling menghargai dan menghormati
kekhasan atau ciri khas pihak lain.

c. Masalah Pengelolaan Pluralitas Bangsa

Pluralitas bangsa Indonesia selama orde baru sering disebut suku, agama, ras, dan
antar golongan telah menjadi hal yang amat sensitif dan sering dijadikan kambing hitam
dalam kehidupan bangsa kita. Padahal sesungguhnya keberadaan sara dalam kehidupan
bangsa Indonesia yang majemuk adalah hal yang wajar, dan bahkan dapat dijadikan energi
penggerak dinamika kehidupan bangsa.

BAB 7 NEGARA KERAKYATAN

1. Pendahuluan

Sila keempat Pancasila ditetapkan untuk menjawab persoalan pengelolaan kekuasaan


negara dalam negara Indonesia.

2. Sekilas tentang Model-Model Pemerintahan


2.1. Otokrasi/Kediktatoran

Diktator ini diberi kekuasaan mutlak dalam waktu yang telah ditentukan untuk
menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki negara guna menyelamatkan negara. Jika
bahaya telah reda kekuasaan diktator harus dikembalikan kepada senat dan rakyat, dan sang
diktator pun kembali ke kedudukan semula yaitu sebagai warga negara biasa. Dalam
perkembangan selanjutnya menurut Raney (1982) terdapat orang-orang yang mencari
kedudukan dan kekuasaan sebagai diktator melalui pemberontakan atau dengan
mengintimidasi senator. Para diktator ini kemudian pemerintahan dengan kekuasaan mutlak
dan tidak bersedia mengembalikan kekuasaan kepada rakyat. Oleh karena itu sesuatu
beberapa abad kemudian istilah ditaktor berubah pengertiannya menjadi seseorang yang
memperoleh dan memegang kekuasaan mutlak secara tidak legal atau sah. Para ahli kini
menggunakan istilah kredit aturan untuk menunjuk suatu bentuk pemerintahan dimana
kekuasaan pemerintah tertinggi dipegang dan dijalankan oleh satu orang atau sekelompok
kecil elit sehingga sama artinya dengan otokrasi.
2.2. Demokrasi

Definisi sederhana tentang demokrasi datang dari Abraham Lincoln yang menyatakan
bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Definisi
tersebut menunjukkan tiga hal pokok berikut ini yaitu yang pertama demokrasi adalah sebuah
bentuk pemerintahan. Dalam pemerintahan itu rakyat mempunyai kedudukan utama karena
mereka pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara yang bersangkutan. Rakyat pulalah yang
sebenarnya berkehendak untuk mengorganisasikan diri dalam sebuah organisasi yang
bernama negara itu guna mewujudkan cita-cita pribadi maupun cita-cita bersama. Rakyat
pula yang kemudian menjalani proses menegara baik dalam pembentukan, pelaksanaan,
maupun dalam pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintahan. Pada gilirannya rakyat
pulalah yang akan menikmati hasil pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan
pemerintahan itu.

Pendek kata, istilah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat menunjukkan bahwa
dalam negara demokrasi rakyat adalah asal mula atau titik berangkat, pemeran, dan sasaran
dari proses kehidupan bernegara. Kedua, apabila pemerintahan langsung oleh rakyat tak
dimungkinkan maka perwakilan rakyat menjadi penting. Dalam kondisi semacam itu maka
dimensi oleh rakyat dimodifikasi cara operasionalisasinya melalui prinsip perwakilan.
Dengan prinsip perwakilan ini maka atas persetujuan warga, sekelompok kecil warga
dibenarkan bertindak atas nama keseluruhan warga atau rakyat. Dengan perkataan lain
dengan seizin masing-masing warga, sekelompok orang dipercayai untuk menjadi wakil
warga dalam memerintah atau mengelola kehidupan bernegara dengan demikian posisi wakil
rakyat itu sangatlah penting.

Ketiga, pembentukan lembaga perwakilan rakyat itu sendiri harus pula dilakukan oleh
rakyat sendiri. Dengan kata ini proses pembentukan lembaga perwakilan rakyat tetap harus
mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat, sehingga harus dilakukan dengan cara-cara
demokratis pula. Sarana yang hingga kini masih dipandang efektif untuk membentuk
lembaga perwakilan rakyat yang mampu mencerminkan kehendak rakyat adalah pemilihan
umum. Dengan demikian pemilu mempunyai nilai strategis bagi rakyat negara yang
menganut paham kedaulatan. Demokrasi politik pada hakekatnya adalah satu sistem
pemerintahan dimana rakyat menjadi pemeran inti dalam kegiatan negara, baik di saat
perumusan, pelaksanaan, maupun dalam penikmatan hasil kebijakan pemerintahan.
Kedudukan utama rakyat ini tidak berubah meski mereka tidak memutuskan sendiri berbagai
kebijakan pemerintahan dan mewakilkannya kepada para wakil yang mereka pilih sendiri.
Para wakil rakyat harus mempertanggungjawabkan perilaku kekuasaan mereka kepada rakyat
yang mereka wakili.

Demokrasi dilandasi oleh tiga asas atau nilai dasar yaitu kemerdekaan, persamaan,
dan solidaritas manusia.

2.3. Anokrasi

Anokrasi adalah bentuk pemerintahan yang terletak diantara dua titik ujung garis
kontiniuum bentuk pemerintahan yaitu antara otokrasi/kediktatoran dan demokrasi. Menurut
Schipani (2010) anokrasi merupakan rezim campuran, yang memiliki atribut baik rezim
demokratik maupun rezim otokratik. Dalam rezim campuran ini para pemimpin rezim
bertanggung jawab kepada faksi-faksi atau kelompok-kelompok di luar elit penguasa.

3. Pandangan Pancasila tentang Pemerintahan Negara

Dengan prinsip kedaulatan rakyat berarti diakui bahwa pemegang kekuasaan tertinggi
di negara Indonesia adalah rakyat Indonesia. Oleh karena itu segala peraturan perundangan
yang akan ada harus merupakan aspirasi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip perwakilan adalah
prinsip di mana sekelompok kecil orang dipandang sah mewakili kelompok orang yang lebih
besar jumlahnya. Dipergunakannya kata perwakilan sebagai kualifikasi atau sifat kerakyatan
atau kedaulatan rakyat dalam rumusan sila keempat menunjukkan bahwa rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tidak terlibat langsung dalam proses bermusyawarah
menyelenggarakan kedaulatan. Rakyat melakukan hal itu melalui perwakilan titik rakyat
menggunakan kedaulatannya untuk mengatur kehidupan bernegara melalui wakil-wakil
negara. Oleh karena itu diperlukannya lembaga atau lembaga-lembaga yang berfungsi
sebagai wadah wakil rakyat pelaksanaan kedaulatan atas nama rakyat. Atau arti tegasnya
diperlukan lembaga-lembaga perwakilan rakyat.

Permusyawaratan berarti perundingan. Permusyawaratan menunjuk pada keadaan di


mana berlangsung proses bermusyawarah atau berunding. Musyawarah sendiri dapat kita
lihat sebagai kegiatan pembicaraan bersama dalam rangka mencapai kesepakatan bersama.
Dalam permusyawaratan terjadi proses pemaduan kepentingan-kepentingan dari berbagai
kelompok masyarakat Indonesia yang beragam aspirasinya. Pentingnya mufakat mencapai
kata sepakat secara berulang kali ditegaskan Soekarno dalam pidatonya, namun itu tidak
berarti bahwa didalam masyarakat tidak akan terdapat perbedaan paham, perjuangan
kepentingan sebab Soekarno sendiri menyatakan bahwa di dalam perwakilan nanti ada
perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup jikalau di
dalam perwakilan tidak seakan-akan bergejolak mendidih kawah kalau tidak ada perjuangan
paham di dalamnya. Dari pernyataan Soekarno tersebut tampak bahwa akhir dari suatu
permusyawaratan boleh jadi memang mufakat bulat antara sesama anggota permusyawaratan.
Namun tidak tertutup kemungkinan diadakannya pengambilan keputusan berdasarkan suara
terbanyak karena adanya perbedaan pandangan yang tidak dapat di pertemukan.

Demokrasi berdasarkan Pancasila adalah kerakyatan berketuhanan yang maha esa


yang berkemanusiaan yang adil dan beradab yang menjunjung tinggi persatuan Indonesia dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip kerakyatan atau kedaulatan dalam sila
ke-4 Pancasila dilandasi oleh 4 sila Pancasila lainnya.

4. Instrument Implementasi Sila Keempat Pancasila

Salah satu instrumen terpenting bagi perwujudan prinsip pemerintahan demokrasi


adalah pemilihan umum. Pemilihan umum adalah proses atau kegiatan dimana rakyat dalam
suatu negara secara langsung atau tidak langsung memilih orang-orang yang akan menduduki
jabatan publik. Di samping pemilu ada kegiatan memilih lain yang dilakukan oleh rakyat
yaitu ferendum. Referendum adalah proses atau kegiatan dimana rakyat dalam suatu negara
secara langsung menentukan sikap terhadap alternatif kebijakan yang diajukan penguasa.

4.1. Fungsi Pemilihan Umum

Secara umum pemilihan umum mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai sarana
memilih pejabat public (pembentukan pemerintahan), sebagai sarana pertanggungjawaban
pejabat public, dan sebagai saranan pendidikan politik rakyat.

4.2. Sistem Pemilihan Umum

Terdapat banyak variasi sistem pemilu namun secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi dua jenis, yaitu:

a) Sistem Distrik
Sistem ini dikenal dengan istilah single member constituency yang artinya pada suatu
daerah pemilihan dipilih satu orang wakil, sehingga jumlah wakil rakyat di parlemen
terhantung jumlah distrik yang ada.
b) Sistem Proporsional (Sistem Perwakilan Berimbang)
Dalam sistem ini wilayah negara dipandang sebagai satu wilayah pemilihan, namun
untuk mempermudah administrasi, wilayah negara itu dibagi menjadi beberapa daerah
pemilihan.

4.3. Ciri-ciri Pemilu Demokratis

Menurut Ranney (1982) ada delapan kriteria pokok bagi pemilu demokratis, yaitu hak
pilih umum, kesetaraan bobot suara, pilihan yang signifikan, kebebasan nominasi, persamaan
hak kampanye, kebebasan dalam memberikan suara, kejujuran dalam perhitungan suara, dan
penyelenggaraan secara periodic.

5. Beberapa Persoalan Relevan

Persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita demokrasi


adalah bagaimana mengubah praktik keanekaragaman totalitarian otoritarian selama masa
orde baru ke pemerintahan upaya mewujudkan masyarakat demokratis saat ini menghadapi
tiga persoalan dasar yaitu fenomena demokrasi oligarki-kleptokrasi, pengembangan kultur
demokrasi dan kecenderungan fragmentasi politik.

5.1. Fenomena Demokrasi Oligarkis-Kleptokratis

Hasil penelitian muktahir dari Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi yang
disajikan oleh Priyono, (Tempo, 2005) menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia saat ini
hakikatnya merupakan demokrasi oligarkis. Oligarki adalah pemerintahan yang
kekuasaannya dikendalikan oleh sedikit orang tetapi memiliki pengaruh dominan. Rezim
oligarkis kita sekarang ini adalah rezim kleptokrasi, bersifat parasitis – seperti benalu.

5.2. Pengembangan Civil Society

Civil society hakikatnya adalah organisasi masyarakat. Organisasi itu mempunyai


ciri-ciri:
a) Lahir secara mandiri, bukan dibentuk oleh penguasa negara melainkan oleh warga
masyarakat;
b) Keanggotaannya bersifat sukarela, atas kesadaran masing-masing anggota;
c) Mencukupi kebutuhannya sendiri (swadaya), paling tidak untuk sebagaian, sehingga
tidak menggantungkan diri pada bantuan pemerintah/negara.
d) Bebas atau mandiri dari kekuasaan negara;
e) Tunduk pada aturan hukum yang berlaku atau seperangkat nilai/norma yang diyakini
bersama.

5.3. Kecenderungan Fragmentasi Politik

Kecenderungan partai politik di Indonesia mempunyai karakteristik cenderung


bersifat multipartai. Kecenderungan munculnya banyak partai di tengah bangsa ini dapat kita
pahami dari beberapa perspektif. Pertama, dari sisi karakteristik masyarakat Indonesia itu
sendiri. Kedua, di samping terfragmentasi masyarakat kita juga terstruktur ke dalam beragam
jaringan patron klien. Ketiga, secara historis kecenderungan fragmentaris dalam kehidupan
politik memang sudah mengakar dalam kehidupan politik di negeri ini. Keempat, semua itu
tentu tidak lepas dari sistem pemilu yang selama ini dipakai bangsa kita. kelima, kalau
kemudian menjelasng pemilu 2004 jumlah partai berkembang hingga lebih dari 200 buah
tentu hal itu merupakan akumulasi dari berbagai factor di atas, plus reaksi terhadap kondisi
politik selama era reformasi 4 tahun belakangan ini.

BAB 8 NEGARA KESEJAHTERAAN

1. Pendahuluan

Cita-cita tentang kesejahteraan rakyat selalu berkembang dalam kehidupan bangsa


Indonesia. Lahirnya organisasi pergerakan di kalangan bangsa Indonesia pada masa
pergerakan nasional secara implisit juga menyiratkan aspirasi tentang kesejahteraan rakyat.

Cita-cita kemerdekaan sebagai antithesis penjajahan menyiratkan aspirasi


kesejahteraan sebagai antithesis kemiskinan yang diciptakan kaum penjajah. Wajar apabila
kemudian persoalan mendasar mengenai apa tujuan mendirikan negara Indonesia merdeka
dijawab dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Sekilas tentang Teori Tujuan Negara
2.1. Teori Kekuasaan Negara

Menurut Shang yang tujuan negara adalah pembentukan kekuasaan negara. Tujuan itu
hanya dapat dicapai dengan adanya tentara yang kuat, teratur, tidak mewah, dan selalu siap
sedia menghadapi bahaya. Bagi Shang yang kesusilaan, kejujuran, kebaikan adat, dan musik
dan semua hal yang kita anggap baik, justru dipandang sebagai kejahatan atau parasit yang
justru akan melemahkan negara. Kesejahteraan, kesenangan hidup, perkembangan
kebudayaan rakyat harus dikorbankan demi kekuasaan negara titik oleh karena itu dalam
dunia kepegawaian dan militer dikembangkan pula sistem pemberian tanda tanda
kehormatan, hadiah-hadiah bagi mereka yang berjasa. Namun hadiah itu tidak boleh terlalu
banyak sebab hal itu akan menyebabkan kemalasan. Pertanian juga dimajukan tetapi harus
dibatasi jangan sampai petani merasakan kemakmuran yang berlebihan sebab hal ini juga
dapat melemahkan kekuasaan negara.

2.2. Teori Kesejahteraan Rakyat

Kesejahteraan seluruh dan tiap-tiap warga negara umumnya memang menjadi tujuan
sebagai negara di dunia. Pandangan bahwa tujuan negara adalah mewujudkan kesejahteraan
warganya sudah diterima secara luas dan umum di kalangan ahli kenegaraan titik pada
umumnya disepakati bahwa oleh karena tugas negara adalah mendukung dan melengkapkan
usaha masyarakat dalam membangun kehidupan yang sejahtera maka tujuan negara adalah
penyelenggaraan kesejahteraan umum.

Perasaan sejahtera itu dapat dideskripsikan secara negatif maupun positif. Secara
negatif manusia disebut sejahtera apabila ia bebas dari perasaan lapar dan dari kemiskinan,
dari kecemasan akan hari esok, dari perasaan takut, dari penindasan, dan dari perasaan
diperlakukannya dengan tidak adil. Secara positif manusia dapat disebut sejahtera apabila ia
merasa aman, tenteram, selamat, dapat hidup sesuai cita-cita dan nilai-nilai nya sendiri dan
bebas mewujudkan kehidupan individual dan sosial nya sesuai dengan aspirasi aspirasi serta
kemungkinan-kemungkinan yang tersedia bagi Nya serta mengembangkan kreativitas dan
kemampuannya.
3. Pandangan Pancasila tentang Tujuan Negara

Masalah pokok keanekaragaman yang hendak dijawab melalui sila kelima Pancasila
adalah untuk para sesungguhnya negara Indonesia didirikan. Dengan kata lain sila kelima
menggariskan prinsip tentang apa tujuan pembentukan negara merdeka. Tujuan tersebut
adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia atau yang dalam usulan
Soekarno disebut sebagai mewujudkan kesejahteraan sosial. Penggunaan istilah keadilan
sosial untuk mengungkap gagasan tentang kesejahteraan sosial menunjukkan penekanan
bahwa di dalam hal kesejahteraan maka tiap-tiap orang diperlakukan sebagai manusia dengan
harkat yang sama. Dengan demikian harus dihindari keadaan adanya kesejahteraan seseorang
atas pengorbanan orang lain. Oleh karena itu di dalam rumusan sila kelima Pancasila terdapat
penegasan bahwa keadilan sosial harus berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia.

Secara normatif negara Indonesia dapat kita sebut sebagai negara kesejahteraan.
Dalam negara seperti ini maka kegiatan negara harus bermanfaat bagi kesejahteraan warga
negara. Jika ada tindakan pemerintah yang bertentangan dengan kesejahteraan warga negara
maka tindakan itu tidak dapat dibenarkan karena ukuran benar salahnya tindakan negara
adalah kesejahteraan warganya. Kesejahteraan sosial sebagai tujuan negara dapat kita pahami
sebagai keadaan yang didalamnya tiap-tiap orang dapat menikmati kemanusiaannya
keadaannya dimana tiap-tiap orang dapat hidup layak sebagai manusia dengan demikian
dapat dikatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kesejahteraan yaitu negara yang
bertujuan untuk membuat semua dan tiap-tiap orang dapat hidup layak sebagai manusia.

4. Instrument Implementasi Sila Kelima Pancasila

Prinsip keadilan sosial juga mewajibkan negara melindungi warganya yang lemah.
Perlindungan diberikan untuk mencegah kesewenang-wenangan dari yang kuat terhadap yang
lemah sehingga keadilan dapat diwujudkan. Dengan prinsip keadilan sosial negara
berkewajiban untuk mengatur tatanan masyarakat supaya semakin seimbang dan teratur
dengan baik. Tatanan itu harus mampu memberi kesempatan kepada semua anggota dan
lapisan masyarakat untuk membangun kehidupan yang layak. Negara dalam hal ini
berkewajiban untuk menciptakan prasarana prasarana yang memungkinkan setiap warga
negara dapat menikmati kesempatan untuk memperoleh kesejahteraan dengan seadil-adilnya.
Kesempatan yang diberikan oleh negara tentu saja bukan hanya kesempatan formal
melainkan harus benar-benar nyata dalam arti harus benar-benar dapat dinikmati oleh seluruh
anggota masyarakat.

5. Beberapa Persoalan Relevan

Ada dua persoalan menonjol yang muncul dari pelaksanaan sila kelima Pancasila,
yaitu:

5.1. Pilihan Jalan Pembangunan

Persoalan laten yang selalu dihadapi dalam mengimplementasikan sila kelima


Pancasila adalah pilihan “jalan” mana yang akan diambil dalam mewujudkan kesejahtaeraan
sosial. Adakah kita akan menganut jalan kapitalisme/liberalism, jalan sosialisme, atau jalan
Pancasila.

5.2. Ketergantungan Masyarakat

Fenomena sosial baru yang kian menggejala akhir-akhir ini adalah semakin
meningkatnya kecenderungan masyarakat untuk bergantung pada “belas kasihan”
pemerintahan/negara dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kebijakan pemerintah untuk
memberi dana subsidi melalui berbagai program PKPS-BBm baik untuk bidang kesejahteraan
sosial, kesehatan, maupun pendidikan ternyata menimbulkan dampak iringan berupa sikap
semakin tergantungnya sebagian warga masyarakat pada pemerintahan/negara.

B. RINGKASAN BUKU PEMBANDING

BAB I PENDAHULUAN

A. Pengantar

Sejak tahun 1945, Pancasila telah menjadi dasar berbangsa dan bernegara Indonesia.
Ir. Soekarno menyebut Pancasila sebagai Philosofische Grondslag atau fundamen, filsafat,
pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, dan hasrat yang sedalam-dalamnya dari Indonesia
merdeka yang akan berdiri kekal abadi. Selain itu, Ir. Soekarno juga menyebut Pancasila
sebagai weltanschauung bangsa dan negara Indonesia. Di dalam Pancasila terkandung cita-
cita, harapan, tujuan terbentuk dan berdirinya Indonesia bersatu. Melalui nilai-nilai pancasila
terciptalah sebuah masyarakat Indonesia yang kokoh dan harmonis. Panacasila, karena itu,
menjadi pandangan dan keyakinan dasar bersama seluruh masyarakat Indonesia. sejarah
perumusan dan pemikiran tentang Pancasila sejatinya merupakan sejarah penciptaan dan
penentuan identitas dan roh kebangsaan Indonesia.

Proses pemikiran dan perumusan Pancasila dipengaruhi pula oleh interkasi dengan
sistem berpikir dan nilai-nilai budaya lain, baik lokal maupun global. Dalam panggilan
Pancasila para founding fathers selain diperkaya oleh berbagai ideology asing macam
Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme, Nazisme, Fascisme, Konfusianisme,
Taoisme, dsb. cara berpikir global tersebut selain memperkaya dan mempertajam cara
berpikir mereka, juga semakin memperteguh keyakinan akan kekuatan dan kekayaan nilai-
nilai yang bersumber dari kekayaan dan budaya sendiri.

Tedapat cukup banyak masyarakat yang menyatakan bahwa Pancasila haruslah


dipertahankan sebagai dasar negara. Bahkan sebagian besar memandang bahwa Pancasila
adalah landasan terbaik untuk bangsa ini. Meskipun demikian, terdapat sekelompok
masyarakat yang meragukan penerapan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat sehingga
muncul juga wacana untuk menggantikannya dengan ideology lain yang salah satu ideology
yang berdasarkan agama. Ini dipicu oleh keprihatinan atas kondisi sosial dan ekonomi yang
makin terpuruk yang melanda Indonesia saat ini.

B. Justifikasi atas Pancasila

Justifikasi Pancasila mengartikan bahwa adanya Pancasila dapat dibenarkan dan


memiliki pendasaran yang kokoh, baik secara yuridis, filosofis, sosio-historis, dan kultural.
Pada bagian ini akan dibahas empat justifikasi yang menjelaskan objektivitas dan validitas
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, yaitu:

1. Justifikasi Yuridis

Secara yuridis, pancasila memiliki pembenaran secara konstitusional, yaitu dalam


UUD yang dihasilkan berdasarkan bentuk negara yang pernah ada daam sejarah Indonesia
juga dalam berbagai produk ketetapan MPR (Tap MPR) RI.

a. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945


Pada alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa:

… Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Udang-


Undang dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan yang Maha
Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sekalipun tidak secara eksplisit menyebut nama Pancasila, nilai-nilai yang dimaksud
jelas menunjuk pada Pancasila. Dalam sidang BPUPK, kelima nilai itulah yang menjadi
meteri dan substansi diskusi dan pergulatan sehingga tepat kelima nilai dasar atau prinsip
dasar atau kaidah dasariah itu disebut Pancasila.

b. Ketetapan MPR RI
1) Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap MPR RI No.
II/MPR/1978 tentang P4 (Ekaprasetia Pancakarsa) dan penetapan tentang Pancasila
sebagai Dasar Negara. Dalam Tap MPR tersebut, pasal 1 menyebutkan bahwa,
“Pancasila sebagaimana dimaksudkan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar
negara dari negara kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten
dalamkehidupan bernegara”.
2) TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun
1999 – 2004. Pada bagian landasan TAP MPR ini menyebutkan bahwa Garis-Garis
Besar Haluan Negara disusun berdasarkan landasan idiil Pancasila dan landasan
konstitusional UUD 1945.
3) Tap MPR RI No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan nasional.
Pada bagian arah kebijakan ayat 2 disebutkan bahwa Pancasila dijadikan sebagai
ideology negara yang terbuka dengan membuka wacana dan dialog terbuka di dalam
masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan sesuai dengan visi Indonesia masa
depan.

Dari penjelasan di atas, secara yuridis Pancasila mendapat pendasaran yang sangat
kuat sehingga eksistensi Pancasila tidak dapat diabaikan dengan alasan apa pun.

2. Justifikasi Filosofis
Justifikasi ini merupakan upaya untuk mencari pembenaran Pancasila berdasarkan
konstruksi nalar secara logis. Kebenaran Pancasila akan ditemukan melalui sebuah
rasionalisasi yang didasarkan pada refeleksi mendalam terhadap aspek formal, yaitu tanggung
jawab procedural penalaran atas Pancasila maupun aspek material, yaitu menyangkut isi
substansi Pancasila itu sendiri. Justifikasi filosofis atas Pancasila mesti dimulai dengan
memahami alasan mendasar dirumuskannya Pancasila sebagai nilai dasar bersama.

Penalaran justifikasi filosofis secara umum hendak menegaskan bahwa sebuah


kebenaran asali tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut karena dipandang sebagai
kebenaran yang hakiki. Pancasila mengandung kebenaran hakiki yang pada dirinya sendiri
dipandang sebagai nilai luhur yang tidak perlu dipertentangkan dan diperdebatkan.
Kebenaran mengenai nilai-nilai Pancasila dapat ditentukan dengan menemukan arti dan
makna penting dalam setiap nilai Pancasila bagi kehidupan manusia. Arti dan makna penting
itu secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Ketuhanan yang Maha Esan menegaskan tentang keyakinan dan pengakuan manusia
Indonesia akan Tuhan.
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab menandakan perlunya menghormati dan
menghargai manusia sebagai manusia dan sesama ciptaan Tuhan.
c. Persatuan Indonesia membenarkan perlunya membangun dan memiliki sentiment
kebangsaan dalam diri setiap warga negara terhadap komunitas bangsanya, yang
ditunjukkan dengan sikap membela dan mencintai bangsa, baik dalam pengertian
wilayah maupun dalam pengertian sesama anggota bangsa.
d. Kerakyatan atau demokrasi yang mengandung nilai sovereinitas atau kedaulatan yang
menjadi dasar partisipasi masyarakat dalam kegiatan berbangsa dan bernegara.
e. Keadilan sosial yang mengandung makna demi tercapainya kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia yang dilandasi oleh rasa kebersamaan, persaudaraan, dan
solidaritas.

3. Justifikasi Historis

Nilai-nilai Pancasila bila direnungkan secara mendalam merupakan tatanan nilai yang
sejak dahulu kala (masa sebelum lahirnya Indonesia) telah menjadi dasar keyakinan dan dasar
perilaku masyarakat Nusantara.
Secara historis dapat dikatakan bahwa Pancasila berasal dari kompleks nilai yang
telah mengakar dan menjadi spirit kehidupan mansia-manusia yang berasal dari suku bangsa
yang berbeda du Nusantara ratusan tahun yang lampau. Nilai-nilai itu kemudian digali dan
dirumuskan secara padat menjadi dasar keyakinan bersama masyarakat Indonesia.

4. Justifikasi Kultural

Justifikasi kultural mengandung pengertian pembenaran Pancasila didasarkan pada


dimensi kultural masyarakat Indonesia. Pancasila disebut sebagai inti terdalam budaya
Indonesia. Menjamin istilah Leo Kleden, Pancasila disebut sebagai ethico mhytical nucleus
‘kebudayaan Indonesia atau lapisan terdalam budaya yang mengandung kompleks nilai-nilai
luhur yang menjadi dasar keyakinan maupun perilaku sebuah masyarakat. Pembuktian atas
hal ini dapat dilakukan dengan mengkaji dan menyelami gagasan kultural yang ada dalam
Pancasila.

C. Pancasila sebuah Konsensus Politik

Dalam pidato pada rapat BPUPK tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengungkapkan
sebuah pandangan yang menegaskan bahwa bangsa Indonesia mencari sesuatu yang
disebutnya Pancasila.

Pancasila merupakan sebuah consensus atau kesepakatan luhur di antara semua


bangsa berasal dari berbagai latar belakang historis dan kulural yang berbeda menegaskan
cita-cita dan keinginan untuk hidup bersama dan mencapai kesejahteraan dan kemakmuran
bersama pula. Harapan akan masa depan bersama tersebut terangkum secara padat dalam
Pancasila.

D. Beberapa Sistem Berpikir tentang Pancasila

Pada bagian ini akan dibahas beberapa refleksi atau pandangan tentang Pancasila
yang menguat dalam konteks kehidupan dan perkembangan bangsa dan negara Indonesia. di
sini hanya akan dicatat beberapa yang secara umum diketahui sebagai fungsi atau peranan
pancasila dalam menyambung kesatuan dan keutuhan negara Republik Indonesia. beberapa
sistem berpikir tentang Pancasila yaitu sebagai berikut.
1. Pancasila sebagai dasar negara.
2. Pancasila sebagai pandangan atau falsafah hidup bangsa.
3. Pancasila sebagai substansi perekat bangsa.
4. Pancasila sebagai ideology.

E. Tujuan Mempelajari Pancasila

Setidaknya ada tiga tujuan pokok mempelajari Pancasila di Perguruan Tinggi, yaitu:

1. Mengajak mahasiswa mempelajari secara kritis Pancasila, sebagai sebagai wacana


moral-yuridis maupun sebagai wacana humanistic.
2. Mengajak mahasiswa untuk memahami dimensi pengetahuan dalam Pancasila.
3. Mengajak mahasiswa untuk merefleksikan secara kritis Pancasila dalam kaitannya
dengan kehidupan bersama sebagai bangsa.

BAB II DINAMIKA SEJARAH PANCASILA

A. Pancasila sebuah Penemuan

Pancasila merupakan nilai-nilai yang sudah hidup di tengah masyarakat. Pola-pola


yang ada dalam masyarakat dengan berbagai cara memancarkan falsafah Pancasila. Sukarno
mengakui bahwa dia bukan pencipta Pancasila, ia hanya sekadar perumus. Pancasila
merupakan karya bersama bangsa ini, ia tidak hanya memiliki satu golongan atau partai.

Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan yang menjalin kontak selama
berates tahun melalui perdagangan. Selain itu Indonesia juga merupakan negara agraris yang
menata komunitas dalam sistem nilai yang arif bijaksana. Nilai-nilai kekeluargaan, gotong
royong, dan menghargai perbedaan menjadi dasar kehidupan di Nusantara.

B. Pemaparan Pancasila

Pada bagian ini Pancasila memasuki babak baru kehidupan Indonesia modern dalam
artian Indonesia sejak 1945. Para pendiri bangsa Indonesia (founding fathers/mothers)
merumuskan kemerdekaan Indonesia.
1. Periode 1945 (29 Mei 1945 – 17 Juli 1945

Periode ini merupakan periode Sidang Umum Pertama Badam Penyidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Chosakai) setelah dibentuk
Pemerintahan Penjajah Jepang tanggal 29 April 1945 (bulan 1 Maret 1945). Pembentukan
badan ini merupakan upaya Jepang mengulur waktu dan enggan mendukung kemerdekaan
Indonesia. Hal ini dapat terlihat pada pembentukan BPUPKI yang sudah diumumkan pada
tanggal 1 Maret 1945, tetapi baru dua bulan kemudian, yakni 29 April 1945, panitia ini benar-
benar terbentuk. Pihak Jepang masing mengulur waktu empat minggu lagi sebelum akhirnya
diadakan sidang pertama 29 Mei 1945. Sidang pertama diadakan di Gedung Pejambon
(Gedung tyuunoo Sangi-In Jakarta) dengan ketua sidang Dr. KRT. Radjiman
Wedyodiningrat. Badan ini bertugas menyelidiki hal-hal penting berkaitan dengan
kemerdekaan seperti politik, ekonomi, tata pemerintahan, dll. Pada pertemuan pertama ini
dibahas antara lain tentang syarat-syarat hukum suatu negara, bentuk negara, pemerintahan
negara, dan dasar negara.

2. Periode 1945 – 1949 (18 Agustus 1945 – 26 Desember 1949)


a) Sejarah perumusan dan konsensus

Pada bulan Agustus terjadi ketegangan antara para pemuda dan tokoh pergerakan.
Sukarno mengatakan bahwa kemerdekaan tidak bisa diraih dengan serta-merta dan tergesa-
gesa. Ia mengatakan bahwa kemerdekaan tidak bisa diraih hanya dengan menyanyikan lagu-
lagu kebangsaan, melainkan harus dengan perjuangan dan pengorbanan. Karena Sukarno dan
Hatta dipandang lamban maka para pemuda berniat memproklamirkan kemerdekaan sendiri
tanpa kedua tokoh itu. Para pemuda mengancam Sukarno, diwakili Wikana yang mengatakan
bahwa kalau Bung Karno tidak mengumumkan kemerdekaan mala mini, besok terjadi
pembunuhan dan pertumpahan darah di mana-mana. Ketegangan ini memuncak dengan
penculikan Sukarno dan Hatta oleh para pemuda (Chairul Saleh, Sukarni, Wikana, dan Adam
Malik) dan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Rupanya kesepakatan tanggal 16 Juli 1945 tentang pengesahan dasar negara belum
sungguh-sungguh menyelesaikan perbedaan di antara para anggota. Menurut pengukan Hatta
sore hari (19 Agustus 1945) sebelumnya dia kedatangan seorang perwira Angkatan Laut
Jepang (kaigun) atas permohonan Nashijama, asisten Laksamana Maeda. Perwira itu
memberitahukan bahwa orang-orang Katolik dan Protestan di Indonesia bagian Timur sangat
keberatan dengan klausul Islam (tujuh kata) dalam pembukaan karena dianggap sebagai
diskriminasi.

Maka pada tanggal 18 Agustus 1945: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan


syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang dalam sidang BPUPKI menimbulkan
perdebatan cukup alot akhirnya deganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan
demikian pasal 6 ayat 1 juga diganti menjadi: Presiden adalah orang Indonesia asli (tidak ada
tambahan “yang beragama Islam”). Demikian juga pasal 29 ayat 1 menjadi: Negara berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa”, tanpa disertai dengan 7 kata di belakangnya.

Di awal pertemuan, tanggal 18 Agustus 1945 Moh. Hatta memberikan keterangan


tentang perubahan-perubahan pokok dan penting atas apa yang sudah disiapkan BPUPKI.
Ada 3 perubahan itu:

1) Pernyataan kemerdekaan yang telah dirancang dan disepakati oleh Badan Pekerja
yang tidak ada arti dan manfaatnya lagi, sebab kemerdekaan Indonesia telah
diprokamasikan.
2) Pembukaan UUD, sebagaimana telah disiapkan dan disetujui oleh Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengalami perubahan, berupa
dihilangkannya kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”.
3) Atas dasar itu perubahan terjadi pula pada beberapa bagian dari Batang Tubuh UUD.

Setalah beberapa perubahan yang sifatnya penegasan, maka Pembukaan UUD 1945
disetujui. Ir. Sukarno sebagai ketua sidang kemudian membacakan Pembukaan UUD 1945
dan mensahkan. Setelah pembukaan disahkan, maka pembahasan selanjutnya adalah Batang
Tubuh UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita kenegaraan (staadsidee) dan
cita-cita hukum (rechtsidee) yang selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal UU 1945. Lima
dasar negara dalam Pembukaan UUD 1945, namun nama Pancasila tidak disebut secara
eksplisit. Ada semacam kesepakatan seluruhnya bahwa dasar negara yang lima itu adalah
Pancasila. Dengan demikian pertemuan PPKI menghasilkan 4 keputusan penting:

1. Mengesahkan Pembukaan UUD;


2. Mengesahkan UUD;
3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden;
4. Menetapkan bahwa untuk sementara waktu Presiden akan dibantu oleh sebuah
Komite Nasional.

Baru hari berikutnya, 19 Agustus 1945, PPKI bersidang lagi untuk menentukan
pemerintah daerah dan menyusun departemen-departemen.

b) Tantangan yang dihadapi

Dinamika kemerdekaan Indonesia, termasuk Pancasila, mengalami tantangan dari dua


sisi sekaligus. Pertama, eksternal dari pihak sekutu (AFNEI: Allied Forces Netherlands east
Indies) memasuki sebuah wilayah merdeka/berdaulat. Apalagi Belanda (NICA: Netherlands
Indies Civil Administration) yadalah bagian dari pasukan sekutu ingin menguasai lagi
Indonesia. Maka ada periode ini diadakan perundingan Linggarjati, Renville, dan Konferensi
Meja Bundar. Selain itu ada dua kali perang terbuka agresi Belanda I 1947 dan agresi
Belanda II 1948-1949. Kedua, internal pertentangan kekuatan-kekuatan politik di Indonesia.
pertentangan ini juga mengakibatkan silih berganti cabinet parlementer. Cabinet Sjahrir
sampai tiga kali jatuh diganti oleh Kabinet Amir Sjarifuddin dan kemudian cabinet Hatta.

3. Periode 1949 – 1950 (Desember 1949 – 17 Agustus 1950): Periode Republik


Indonesia Serikat

Periode Republik Indonesia Serikat (RIS) sangat pendek (Sembilan Bulan) dan
hampir tidak ada banyak perkembangan pemikiran tentang Pancasila. Dalam Pembukaan
Konstitusi RIS disebut tentang dasar Megara, yaitu “Pengakuan ke-Tuhanan yang Maha Esa,
peri kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial…”. Sebagaimana dalam
Pembukaan UUD 1945 tidak disebut nama Pancasila, tetapi tetap saja ada kesepakatan
bersama bahwa dasar negara adalah Pancasila.

4. Periode 1950 – 1959: Undang-Undang dasar Sementara 1950

UUDS ditetapkan dengan UU No. 7 tanggal 15 Januari 1950 dan berlaku selama
sembilan tahun. Dalam UUD 1950 ditegaskan kembali bahwa bentuk susunan negara
republic kesatuan adalah kehendak rakyat di seluruh Indonesia. negara yang dimaksud adalah
negara yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 yang semula berbentuk Republik
Kesatuan dan kemudian Federasi dan kemudian kembali lagi ke negara kesatuan.

Dalam Mukaddimah UUD 1950, rumusan sila-sila PAncasila itu disebutkan di alenia
keempat. Sebagaimana juga dalam Pembukaan UUD 1945 dan dalam konstitusi RIS nama
Pancasila tidak disebutkan, tetapi ada kesepahaman bersama bahwa nilai azas itu adalah
Pancasila. Pranarka menyebutnya sebagai communis opinion bahwa Pancasila merupakan
dasar negara dan ideology nasional. Perkembangan ini semakin jelas ketika diterima lambang
Garuda Pancasila sebagai lambang negara Republik Indonesia berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 66 tanggal 17 Oktober 1951 yang dinyatakan berlaku surut sejak tanggal 17
Agustus 1950. Di dalam lambang itu ada lima perisai yang masing-masing mengungkapkan
lima sila Pancasila.

a. Dasar ketuhanan yang Maha Esa dilukiskan dengan nur cahaya di ruangan tengah
berbentuk bintang bersudut lima.
b. Dasar perikemanusiaan dilukiskan dengan tali rantai bermata bulan dan persegi.
c. Dasar kebangsaan dilukiskan dengan pohon beringin tempat berlindung.
d. Dasar kerakyatan dilukiskan dengan kepala banteng sebagai lambang tenaga rakyat.
e. Dasar keadilan sosial dilukiskan dengan kapas dan padi sebagai tanda tujuan
kemakmuran.

Pada era ini terjadi tujuh kali pergantian pemerintahan (cabinet) yang juga tidak
terlepas dari dinamika ideology kepartaian.

Antara tahun 1959 sampai pertengahan tahun 1959 adalah masa puncak konflik antara
pro dan kontra Pancasila. Ketegangan ideologis ini tidak terlepas dari sidang Konstituante
yang bertugas membuat konstitusi negara Republik Indonesia. sebenarnya Mohammad Natsir
(Masyumi) yang dalam sidang berbicara dengan kritis terhadap Pancasila masih menerima
nilai-nilai yang ada di dalamnya. Pertentangan yang tajam ini kemudian menjadi alasan Bung
karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

5. Periode 1959 – 1965: Periode Sukarno/Demokrasi Terpimpin

Peran militer di balik dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 cukup besar. Dekrit ini
kemudian dinyatakan sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia diuraikan 5
kebijaksanaan, yaitu kembali ke UUD 1945; sosialisme Indonesia; Demokrasi Terpimpim;
Ekonomi Terpimpin; dan kepribadian Indonesia. Dengan Dekrit ini kedudukan Pancasila
sebagai sumber hukum dikukuhkan, namun pernyataan bahwa Pancasila adalah ideology
nasional tidak dinyatakan secara eksplisit.

Sebagai tindakan lebih lanjut, maka pada tanggal 31 Desember 1959 dikeluarkan
dikeluarkan penetapan kepartaian yaitu:
a. Harus menerima dan membela Konstitusi dan Pancasila,
b. Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya,
c. Menerima bantuan dari luar negeri hanya seizin pemerintah,
d. Presiden berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai, dan
e. Presiden berhak membubarkan partai politik.

Pada bulan Agustus 1960, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan dan
dinyatakan sebagai partai terlarang.

Sukarno ingin menyatukan semua kekuatan di negeri ini sehingga dia kemudian
membentuk Front Nasional untuk mengembangkan Nasakom (Nasionalis, Agama, dan
Komunisme). Di bidang kenegaraan juga Presiden membentuk berbagai dean dan perangkat
kenegaraan. Pada masa ini pun perjuangan membebaskan Irian Barat dikumandangkan.
Komando yang kemudian dikenal sebagai Trikora 19 Desember 1961. Dinamika politik
Indonesia itu juga akhirnya membawa Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB pada
tanggal 1 Januarai 1965. Ketegangan ideologis memuncak dengan peristiwa pembunuhan 7
Jendral dan rangkaian pembunuhan lain membuat Sukarno turun dari kursi kepresidenan.
TAP III/MPRS/1963 yang mengangkat Sukarno sebagai Presiden seumur hidup ditinjau
kembali dengan TAP XVII/MPRS/1966.

6. Periode 1966 – 1998: Periode Suharto/Orde Baru

Orde Baru menampilkan diri sebagai era yang menjalankan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 Jendral Suharto
mengambil langkah pemulihan keamanan. Sidang Umum MPRS 1966 menghasilkan 25
ketatapan, 1 Resolusi, 1 Keputusan dan 1 Nota. Dari berbagai TAP tersebut TAP
XX/MPRS/1966 mempunyai arti penting. TAP MPRS ini menerima memorandum DPR-GR
tanggal 9 Juni 1966 khususnya mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia.

Pada era ini Pancasila diberi ruang terbuka untuk berkembang dan kemudian menjadi
azas tunggal. Pranaka menyebut 2 corak yang ditempuh Orde Baru untuk menegaskan prinsip
tersebut yaitu jalur kenegaraan dan jalur kemasyarakatan, khususnya masyarakat akademis.

Pertama, jalur kenegaraan Pancasila dan UUD 1945 dijalankan secara murni dan
konsekuen itu dinyatakan dalam Sidang Umum MPRS 1966, Sidang Istimewa MPRS 1967,
Sidang MPRS 1968, Sidang Umum MPR-RI 1973, Sidang Umum MPR-RI 1978, dan Sidang
Umum MPR-RI 1983.
Kedua, pada jalur akademis tema pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen dimulai dengan Simposium Universitas Indonesia 1966.

7. Periode 1998 – Sekarang

Berakhirnya orde Suharto menjadi awal bagi masa yang disebut sebagai Era
Reformasi. Era ini diawali oleh Presiden B.J. Habibie yang meneruskan masa kepemimpinan
Suharto sesuai dengan amanat konstitusi pasal 8 UUD 1945.

Era reformasi mengawali diri dengan sikap yang tidak begitu mempromosikan
Pancasila. TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalam
Pancasila (P4), yang pada zaman Orde Baru merupakan sebuah kewajiban, dihapuskan pada
sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Oktober 1998. TAP MPR No. XVII/MPR/1998
tentang pencabutan TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalam Pancasila (Eka Prasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila
sebagai Dasar Negara.

Dalam era reformasi, 4 pilar kehidupan bernegara yaitu: Pancasila, UUD NRI 1945,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika dicanangkan secara bersama oleh lembaga negara dan
terus didengungkan di tengah masyarakat. pada tanggal 24 Mei 2011, para pemimpin
lembaga negara: Presiden, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua MK, Ketua BPK, dan Ketua KY
mengadakan pertemuan konsultasi tentang implementasi 4 pilar kehidupan bernegara. Pada
pertemuan ini forum bersepakat bulat bahwa Pancasila perlu direvitalisasi. Presiden ke-4 RI,
Megawati Soekarnoputeri, pada pidato 1 Juni 2011 menegaskan bahwa 4 pilar kenegaraan
harus menjadi tanggung jawab bersama. Maka dapat disimpulkan bahwa di era reformasi pun
Pancasila tetap menjadi falsafah bangsa ini, ideology bangsa ini, dan dasar negara Republik
Indonesia.

BAB III NILAI FILOSOFI SILA I: KETUHANAN YANG MAHA ESA

A. Pengantar

Ketuhanan yang Maha Esa adalah dasar terdalam dan penting dari bangunan
Indonesia merdeka. Artinya ketuhanan merupakan wujud dari keyakinan dasar manusia
Indonesia yang di dalamnya terkandung penyerahan dan harapan akan kehidupan bangsa
Indonesia yang lebih baik, adil, dan makmur. Masyarakat Indonesia meyakini bahwa
perjuangan untuk mencapai kemerdekaan tidak diraih karena usaha manusia semata tetapi
juga dan terutama karena keterlibatan Tuhan yang memampukan bangsa Indonesia
mengakhiri perjungan panjang melawan kolonialisme dan memulai membangun kehidupan
baru dalam alam kemerdekaan. Secara hidtoris keyakinan ini juga hendak menegaskan bahwa
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang membangun dirinya dalam sebuah tanggung
jawab moral-religius luhur, sebuah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kemajuan
dan perkembangan hidup tidak saja di hadapan sesamanya, tetapi terutama di hadapan Tuhan
yang Mahakuasa.

B. Pengertian Ketuhanan yang Maha Esa

Ketuhanan yang Maha Esa menjadi dasar refleksi mendalam para tokoh kemerdekaan
yang menyadari kenyataan religious yang ada dalam masyarakat Indonesia sejak awal:
bahkan sejak zaman sejarah pra-Hindu.

1. Pengertian Umum

Setidak-tidaknya terdapat empat pengertian dasar yang dapat disimpulkan secra


implisit dari perspektif Ketuhanan yang Maha Esa. Gagasan Ketuhanan yang Maha Esa pada
tempat pertama hendak menegaskan keyakinan mendasar bahwa Tuhan adalah sesuatu yang
secara hakiki diakui keberadan-Nya oleh seluruh manusia Indonesia. adanya Tuhan diterima
dan mendapat legitimasi berdasarkan keyakinan-keyakinan religious yang ada.

Pengertian kedua bahwa Tuhan merupakan entitas yang bersifat rohani karena Tuhan
berlainan sama sekali dengan hal-hal dunia. Apa yang termasuk ke dalam dunia adalah apa
yang bersifat materiil, yang mempunyai sebuah keluasan tertentu, sehingga merupakan
sebagian dari dunia yang materiil tersebut. Sebagai pribadi yang transenden, Tuhan tidak
mempunyai keluasan tertentu dan tidak juga merupakan bagian dari dunia yang materiil.
Tuhan yang diwartakan dan diajarkan oleh agama-agama adalah suatu Zat pribadi yang
bersifat rohani, yang transenden terhadap manusia dan semesta alam, tetapi sekaligus imamen
terhadap manusia dan alam itu juga. Dengan demikian, untuk memahami dan mengerti Tuhan
manusia harus bertitik tolak dari pengertian tentang alam dan diri sendiri.

Ketuhanan yang Maha Esa juga mengindikasikan bahwa Tuhan yang dianut adalah
satu. Plotinos, salah satu filsuf yang hidup pada abad ketiga Masehi menegaskan bahwa
Tuhan adalah Realitas Tertinggi yang merupakan kesatuan primal (utama) yang disebutnya
yang Esa. Karena yang Esa adalah kesederhanaan itu sendiri, taka da yang dapat diceritakan
mengenai-Nya; taka da pada-Nya suatu kualitas yang berbeda dari esensi-Nya, yang dapat
memungkinkan deskripsi dalam cara yang biasa. Ketuhanan yang Maha Esa dengan demikian
hendak menegaskan bahwa Tuhan yang dianut adalah Tuhan yang tidak dapat dibatasi dan
dipahami lewat kemampuan nalar manusia yang terbatas.

2. Ketuhanan dalam Pandangan Agama


a. Pandangan Kristen

Dalam ajaran Kristen pandangan tentang Tuhan yang cukup popular terdapat dalam
tulisan Injil Yohanes yang menyebut Allah sebagai logos.

Secara lebih mendasar pengakuan Kristen akan Allah yang Esa terumuskan dalam
Credo (pengakuan iman Kristen). Secara prinsipiil iman Kristen mengakui akan Tuhan yang
satu. Tetapi Tuhan yang satu sebagai substansi ini dapat memanifestasikan diri-Nya sebagai
pribadi-pribadi (persona) dengan fungsi yang berbeda-beda, yang dalam pandangan Kristen
disebut Trinitarianisme. Dalam pandangan Kapadokian dapat dijelaskan bahwa Tuhan adalah
satu ousia (esensi/hakikat) yang tidak dapat dipahami dan tiga hypostasis (ekspresi/cara
berada/eksistensi) yang membuatnya dapat dikenal dan diketahui. Yang dimaksudkan adalah
Tuhan pada dirinya sendiri adalah satu, hanya ada satu kesadaran diri Ilahi. Akan tetapi,
ketika Dia membiarkan bagian dari diri-Nya diketahui makhluknya, dia adalah tiga prosopoi
(wujud/adaan).

b. Pandangan Islam

Dalam Islam terkandung keyakinan dan kepercayaan bahwa Allah adalah Realitas
Tertinggi dan unik. Bahkan persepsi tentang keunikan Tuhan menjadi dasar moralitas
terdalam kaum muslim. Al-Qur’an menegaskan dengan sungguh gagasan ketunggalan yang
Ilahi dan menolak membayangkan gagasan bahwa Tuhan dapat idipersekutukan dengan
manusia. Dalam Islam keimanan sangat jelas bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah pencipta
langit dan bumi. Hanya dengan mengakuinya sebagai Al-Shamad (penyebab yang Tidak
Disebabkan atas segala sesuatu) kaum muslim dapat mencapai sebuah dimensi realitas yang
melampaui waktu dan sejarah, yang akan menghindarkan mereka dari perselisihan kesukuan
yang dapat memecah belah masyarakat.
Lebih lanjut dalam pernyataan iman Islam, kaum Muslim diwajibkan untuk
menyatakan kesaksian terdalam tentang Tuhan dengan menegaskan bahwa. “Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya.” Seorang Muslim
yang mengucapkan syahadat itu diwajibkan menjadi saksi dalam hidupnya dan dalam setiap
tindakannya bahwa proiritas utama adalah Allah dan bahwa tidak ada tempat bagi “allah-
allah” lain, termasuk di dalamnyapolitik, materi, ekonomi, dan ambisi pribasi yang dapat
lebih diutamakan daripada komitmennya kepada Allah semata.

c. Pandangan Hindu

Hindunisme memandang Tuhan sebagai sebuah Subjek yang Mahatinggi. Yang Ilahi
dalam transedensi yang absolut disebut Brahman, tetapi dalam imanensi dengan semua orang
Ia adalah Atman. Brahman-Atman dinyatakan bukan saja sebagai Tuhan dan raja dari semua,
sang “pengontrol dari dalam”yang menetap dalam kosmos, namun berbeda darinya.

Hindunisme memandang yang Ilahi sebagai yang tak terhingga. Adanya kyakinan
akan banyaknya Dewa-Dewi, yang dipuja dalam peribadatan Hindu, tidaklah
menggambarkan banyaknya Tuhan, melainkan hanya merupakan sebutan-sebutan rangkap
untuk menggambarkan kenyataan terakhir yang satu dan sama, yaitu Brahman. Tuhan adalah
sesuatu yang tidak dapat diukur kebesaran dan kekuasan-Nya. Secara mendasar hindunisme
meyakini bahwa kenyataan tertinggi itu adalah esa.

d. Pandangan Buddha

Budhisme tidak mengakui allah, tetapi tidak juga menyangkal Allah. Budhisme
negakui adanya realitas tertinggi, tetapi mereka tidak menyebut realitas tersebut sebagai
“Tuhan”. Budhisme lebih menekankan ajarannya pada persoalan penderitaan dan bagaimana
jalan atau cara untuk mengatasinya sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Buddha (Yang
Tercerahkan) merupakan sebuah status yang amat tinggi (biasa disebut Ilahi), yang sekaligus
merupakan ungkapan dari tujuan kebahagiaan semua manusia. Karena itu Budhisme lebih
cenderung untuk membicarakan tentang “filsafat hidup” daripada berbicara tentang agama.

3. Ketuhanan dalam Pandangan Filsafat

Eksistensi Tuhan memang merupakan salah satu persoalan pelik dalam Filsafat dan
menjadi salah satu tema penting terutama dalam Filsafat Modern. Diksusi tentang ketuhanan
telah membawa dunia filsafat ke dalam dua kubu yang berseberangan, di mana yang satu
menegasi Tuhan sementara yang lainnya mengafirmasi Tuhan, yang lebih dikenal dengan
sebutan ateisme dan teisme.

a. Pandangan yang Menegasi Tuhan

Pandangan yang menyangkal atau menegasi gagasan tentang Tuhan, agama, dsb.
sering disebut ateisme. Ateisme lahir sebagai tandingan terhadap agama yang cendrung
menempatkan dirinya sebagai yang paling superior dan objektif dalam memahami Tuhan. Di
bawah ini akan coba diuraikan secara ringkas pandangan tentang Tuhan dan agama dari
beberapa filsuf ateis terkemuka.

Yang pertama adalah Ludwig Feurbach. Feurbach melancarkan krtiknya terhadap


agama dan Tuhan berkritik tolak dari serangannya terhadap gagasan Hegel yang memberi
kesan seakan-akan yang nyata adalah Tuhan (yang tidak kelihatan), sedangkan manusia (yang
kelihatan) hanyalah wayang-Nya. Menurutnya sebetulnya yang eksistensinya nyata dan tak
terbantahkan adalah manusia bukan sebaliknya. Karena itu, bukan manusia yang menjadi
pikiran Allah, melainkan Allah adalah objek pikiran manusia.

Karl Marx juga tidak kalah pedasnya melancarkan serangan terhadap agama. Bagi
Marx agama adalah “candu rakyat.” Kalimat ini sering sekali diartikan sebagai sebuah
tuduhan bahwa agama, dengan menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kehidupan,
membuat orang miskin dan tertindas menerima saja nasib mereka daripada memberontak
terhadapnya.

Salah satu yang cukup keras berupaya mengerdilkan peran agama dan Tuhan adalah
Friedrich Nietzsche. Dalampemahaman Nietzsche, Allah yang dibunuh adalah Allah yang
diciptakan oleh manusia. Karena bagi dia Allah sebetulnya tidak pernah ada. Allah ada
karena manusia yang menciptakannya. Agama baginya berkaitan erat dengan moralitas
budak.

b. Pandangan yang Mengafirmasi Tuhan

Secara filosofis dijelaskan bahwa eksistensi atau adanya Tuhan berbeda dengan
eksistensi atau adanya dunia dan manusia. Dunia; semesta, kosmos, alam, dan manusia
bergantung kepada Tuhan (Unoriginated Creative Ground) karena asalnya, karakter
dasarnya, keberlangsungannya, keberadaannya yang mengagumkan, dan
keterdiministikannya. Tuhan ada karena sifat hakiki-Nya sebagai yang Ada, dunia ada karena
tuhan memilih atau memutuskan untuk meng-ada-kannya atau menciptakannya. Ini sekaligus
mengartikan bahwa Tuhan transenden terhadap dunia. Secara ontologis yang Ilahi
independen terhadap dunia, secara kualitatif berbeda dari dunia, dan secara aktif merupakan
awal dan asal dari dunia. Pada saat yang sama Tuhan adalah imanen. Tuhan pada saat yang
sama hadir di dunia dalam ciptaan-Nya, berpartisipasi dalam aktivitas dunia, dan peduli
dengan nasibnya. Terdapat lima argumn yang sangat terkenal untuk menjelaskan tentang
keber-ada-an tuhan, yaitu argument ontologis, argument kosmologis, argument teologis,
argument pengalaman (experiensial), dan argument moral.

Argument ontologis terutama diperkenalkan oleh Anselmus (1903), Abbas, uskup


Agung Cantebury. Anselmus mendefiniskan Allah sebagai “hal yang disbanding dengan-Nya
tidak ada yang dapat dianggap lebih sempurna”. Artinya sesuatu yang hendak dibandingkan
dengan Allah tidak bisa mengatasi kesempurnaan dan kebesaran Allah itu sendiri.

Selain argument ontologis, berikut ini coba diuraikan penjelasan tentang eksistensi
Tuhan yang didasarkan pada argument kosmologis yang bertitik tolak dari pengamatan dan
pendalaman terhadap kosmos. Dengan mengamati perubahan dalam alam semesta, para ahli
sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat mengubah dirinya sendiri.
Ada sebuah sebab yang menyebabkan terjadi perubahan pada sesuatu. Tentu ada sebuah
pengubah yang ada pada awal dari proses. Penyebab pertama perubahan adalah sesuatu yang
tidak diubah oleh apa pun itu dan pastilah Tuhan. Oleh karena itu, argument kosmologis
bergantung pada gagasan sebab-akibat, setiap akibat pasti memiliki sebab.

Argument teologis menjelaskan Tuhan dari perspektif tujuan, akhir, dan rancangan
dari sesuatu. Posisi teologis juga dikenal sebagai argument rancangan. Ada tatanan atau
rancangan yang teratur di alam semesta. Segala sesuatu yang ada di dalam ini tampak bekerja
sesuai dengan tujuan atau rancangan yang telah dibuat. Jika telelusuri terus, akan
mendapatkan keismpulan bahwa tatanan atau rancangan yang teratur mestilah bersumber
pada sesuatu yang membuatnya atau merancangnya menjadi demikian.

Argument pengalaman (eksperiensial) menjelaskan bahwa manusia bisa mengalami


dahaga dan lapar secara fisik, maka manusia juga dapat mengalami lapar dan dahaga secara
rohani. Sebagaimana dahaga menunjukkan keberadaan makanan, maka kelaparan rohani
menunjukkan keberadaan Tuhan.
Argument moral dikemukakan oleh Immanuel Kant yang menagatakan bahwa setiap
manusia memiliki dorongan moral bawaan. Seluruh manusia memiliki perasaan tentang apa
yang harus atau boleh dan apa yang tidak harus atau tidak boleh dilakukan. Asal dari
kemampuan atau kesadaran akan yang harus atau dan yang tidak harus atau yang boleh dan
yang tidak boleh dilakukan itu adalah pengada tertinggi yang menyangga tatanan moral jagat
raya dan yang pada akhirnya akan mengganjar semua perbuatan manusia selama hidupnya.
Pengada Tertinggi dari mana semua sumber moral itu berasal itulah disebut Tuhan.

C. Dinamika Gagasan Ketuhanan

Bagian ini mencoba menjelaskan dinamika perumusan gagasan ketuhanan dari sua
aspek, yaitu konseptualisasi prinsip ketuhanan dan gagasan hubungan negara dan agama.
Konseptualisasi ketuhanan berkaitan dengan upaya merumuskan ketuhanan sebagai salah
satu prinsip dasar dalam Pancasila karena itu berorientasi vertical, sementara gagasan
hubungan negara dan agama lebih berhubungan dengan usaha untuk memformulasikan
prinsip ketuhanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sehingga lebih
bersifat horizontal.

1. Konseptualisasi Prinsip Ketuhanan

Dalam pidato lahirnya Pancasila, Soekarno mengemukakan bahwa prinsip ketuhanan


menjadi landasan kelima bangunan Indonesia merdeka, sebagaimana dikemukakannya,
“Prinsip yang kelima hendaknya menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada
Tuhan yang Maha Esa.

Ada dua hal hal yang dapat disimpulkan dan di jelaskan dari pidato Soeakarno.
Pertama, bahwa ada sebuah anjuran yang didasarkan pada kenyataan agar semua orang
Indonesia ber-Tuhan. Kedua, ber-tuhan tidak saja menjadi ciri atau karakter dasar individu
manusia Indonesia, tetapi lebih luad adalah ciri masyarakat Indonesia atau bangsa Indonesia.

Selain hal di atas, Soekarno juga menegaskan pentingnya sikap hormat-menghormati


di antara pemeluk agama yang berbeda-beda kerena sikap yang demikian menunjukkan cara
hidup yang beradab.

Lebih jauh Soekarno menjelaskan bahwa gagasan ketuhanan secara historis tidak
digali atau ditemukan di luar, tetapi di dalam Rahim ibu pertiwi, di dalam kehidupan
masyarakat Indonesia sendiri. Gagasan ketuhanan bahkan digali sejak zaman Indonesia
purba, sejak zaman pra-Hindu, di mana kehidupan masyarakat Nusantara masih sangat
dikuasai oleh keyakinan primordial-arkhaik akan kekuatan alam semesta yang kelihatan.

Dari semua penelusurannya tersebut, Soekarno berkesimpulan bahwa bangsa


Indonesia adalah sebuah bangsa yang percaya kepada suatu Zat yang baik, yaitu Tuhan.
Karena itu, sangat dipentingkan bagi bangsa Indonesia untuk mempunyai satu kepercayaan.
Bagi Soekarno satu kepercayaan itu terumuskan dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa.

Gagasan ketuhanan juga disebutkan M.Yamin yang menempatkannya sebagai dasar


ketiga, yaitu peri ketuhanan. Yang dimaksudkan dengan peri ketuhanan adalah peradaban
luhur di mana ber-Tuhan adalah dasar negara yang berasal dari peradaban dan agama.

Ada dua hal yang dapat kita cermati dari pernyataan Yamin. Pertama, bahwa bangsa
Indonesia adalah sebuah bangsa yang memiliki peradaban yang luhur di mana salah satu
keyakinan mendalam dari peradaban yang luhur tersebut adalah Tuhan yang Maha Esa.
Secara logis dapat dikatakan bahwa Tuhan memberikan pendasaran bagi terbentuknya
peradaban yang luhur tersebut. Berdasarkan pandangan itu maka hal kedua yang dapat
disimpulkan adalah bahwa Tuhan adalah dasar dari bangunan Indonesia merdeka. Itu berarti
ada keyakinan mendalam bahwa Indonesia tidak dapat berdiri tanpa keterlibatan dan campur
tangan Tuhan.

Sementara itu, Soepomo meski tidak sampai kepada pembahasan mendalam tentang
paham ketuhanan, tetapi sekilas menyinggung tentang perlunya bangsa Indonesia bersandar
pada Tuhan. Bagi Soepomo Tuhan merupakan salah satu prinsip atau dasar moral yang
penting dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia, selain nasionalisme dan
kesetiaan kepada pemimpin.

Muhammad Hatta berpandangan bahwa gagasan Ketuhanan yang Maha Esa adalah
gagasan yang mempersatukan seluruh masyarakat Indonesia yang berbeda agama dan
keyakinannya. Meskipun berbeda-beda diakui Hatta bahwa tujuan dari setiap agama adalah
sama, yaitu berjuang mencapai kebenaran, keadilan, kebaikan, dan kejujuran dan dalam nama
Tuhan menyelamatkan negara dan rakyat Indonesia.

2. Konseptualisasi Hubungan Negara dan Agama


Bagian ini akan membahas gagasan hubungan negara dan agama dari dua perspektif,
yaitu perspektif sejarah dan perspektif akademik.

a. Perspektif Historis-Politis

Salah satu persoalan mendasar dan pelik prinsip ketuhanan adalah bagimana
menerapkan dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia. Persoalan bermuara
terutama pada gagasan tentang hubungan negara dan agama. Perdebatan hebat di antara para
pendiri bangsa berkisar si seputar prinsip dasar yang akan menjadi landasan kehidupan sosial-
politik seluruh masyarakat Indonesia, yaitu menyangkut dasar dan bentuk Negara Indonesia.
Kekuatan-kekuatan politik dalam BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) terpecah ke dalam dua kelompok besar, yaitu “golongan
kebangsaan” yang mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan landasan negara Indonesia
dan “golongan Islam” yang menghendaki Islam sebagai dasar atau landasan negara
Indonesia.

Di bawah ini dapat diuraikan substansi dasar yang menjadi sumber perdebatan dan
silang pendapat antara kedua kelompok dalam masa persidangan BPUPK. Padangan-
pandangan atau usulan-usulan yang dikemukakan oleh kelompok yang menganut ideology
Islam dapat disebutkan di bawah ini:

1) Berpandangan bahwa negara tidak dapat dipisahkan dari agama.


2) Menghendaki agar agama Islam menjadi dasar negara.
3) Berpendapat bahwa agama negara adalah agama Islam.
4) Mengusulkan agar presiden beragama Islam.
5) Mengusulkan agar negara mempunyai kewajiban untuk menghapus kata-kata “bagi
pemeluk-pemeluknya” dalam kalimat “Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, sehingga menjadi “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam.
6) Menolak rumusan pasal 28 ayat 2 yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain” dan mengusulkan rumusan pengganti
yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang memeluk
agama lain untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya”.

Sementara itu kelompok yang menganut ideology kebangsaan mengusulkan beberapa


substansi penting, yaitu:
1) Muhammad Hatta dan Soepomo berpandangan bahwa negara dipisahkan dari agama.
Asalannya bahwa dengan mendirikan negara Islam di Indonesia berarti tidak akan
mendirikan negara persatuan.
2) Berkeberatan terhadap kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
3) Menyarankan agar pasal 29 dibagi ke dalam dua ayat, yaitu ayat 1 berbunyi
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
dan pasal 2 berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaantia-tiap penduduk untuk
memeluk agama apa pun dana untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayannya
masing-masing.
4) M. Hatta berpandangan bahwa tidak akan membuat pemisahan antara “agama” dan
“negara”, tetapi akan mendirikan negara dengan pemisahan antara “urusan Negara”.
Alasannya agar agama tidak dapat dijadikan sebagai alat negara.
5) Latuharhary menolak usulan perubahan terhadap pasal 28 ayat 2, sementara Dahler
berupaya mempertajam dan menjernihkan perumusannya sehingga berbunyi: “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
6) Berhubungan dengan usulan bahwa Kepala Negara harus beragama Islam, Soekarno
Wirjopranoto menegaskan pentingnya mewujudkan pasal 27 yang menjamin bahwa
setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Itu
berarti tidak boleh terdapat pebedaan kelas-kelas dalam negara Indonesia merdeka.
b. Perspektif Akademik

Refeleksi tentang hubungan Religi dan Negara (Pancasila) tidak hanya dibicarakan di
tataran politik saja, tetapi juga masuk ke dalam wilayah akademis. Pancasila tetap menjadi
pilihan, namun seperti digambarkan di atas dinamika seputar Pancasila kian hidup. Untuk itu,
tanggal 21-16 Februari 1959, du Universitas Gadjah Mada di tengah pertikaian pendapat
mengenai dasar negara itu diselenggarakan Seminar Pancasila Pertama. Seminar ini adalah
sebuah upaya pendekatan akademis terhadap masalah-masalah nasional. Presiden Soekarno
didaulat memberikan sambutan pembukaan dan setelah itu terdapat 5 tokoh nasional yang
membahas Pancasila dari berbagai aspek.

1) Muh. Yamin berbicara tentang Trias Sosialistika: Pancasila, Golongan Fungsional.


Dan Demokrasi Terpimpin.
2) Roeslan Abdulgani memberikan uraian tentang Pancasila sebagai landasan Demokrasi
Terpimpin,
3) Prijono berbicara tentang Moral Pancasila dan Pancasila.
4) Motonagoro memberikan prasaran mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara RI.
5) N. Drijarkara berbicara mengenai Pancasila dan Religi.

D. Ketuhanan yang Maha Esa dalam Praksis


1. Beberapa Persoalan Mendasar

Ada beberapa persoalan mendasar yang dapat diuraikan di sini.

a. Pluralisme Religius

Salah satu fakta penting adalah pluralism religious yang dalam konteks Indonesia
sering menghadirkan benturan, konflik, permusuhan, kekerasan, dan bahkan perang yang
berakar dalam sentiment keagamaan. Pluralism religious tidak saja berpotensi menciptakan
konflik inter-religi, tetapi juga intra-religi yang terjadi antarkelompok yang berbeda paham
dan keyakinan dalam agama yang bersangkutan. Dapat disebutkan beberapa fakta domestic
yang menjadi gambaran suram hubungan antaragama di Indonesia, misalnya konflik Maluku;
konflik Poso; perusakan dan pelemparan terhadap beberapa rumah ibadah, sekolah, umat
beragama yang sedang beribadah; penyerangan terhadap beberapa kelompok keagamaan;
penyerangan dan teror terhadap kelompok Ahmadiyah yang dianggap telah sesat dari ajaran
Islam; dsb. ini semua menggambarkan betapa rapuhnya hubungan antarpemeluk agama di
Indonesia. pluralism agama maupun keyakinan akan Tuhan di satu sisi di pandang sebagai
anugerah yang tak terbantahkan, tetapi di sisi lain selalu saja disikapi secara negative sebagai
bahaya dan ancaman yang harus dilawan dengan cara-cara destruktif.

b. Fundamentalisme dan Radikalisme Agama

Menurut Amstrong, fundamentalisme dapat juga dilihat sebagai bentuk penolakan


terhadap modernitas atau pascamodernitas. Mereka bukanlah kelompok ortodoks atau
konsevatif; bahkan banyak yang sebeyulnya antriortodoks dan menagnggap iman yang
konvensional sebagai bagian dari masalah.

Fundamentalisme dalam bentuknya yang konkret memandang tradisi mereka sebagai


satu-satunya iman yang benar. Dalam segala bentuk fundamentalisme sering mengabaikan
pluralism yang dianjurkan dalam kitab suci agamanya dan yang lebih ekstrem adalah
mengutip ayat-ayat dalam kitab suci yang lebih agresif untuk melegitimasi kekerasan, terang-
terangan mengabaikan ajaran dalam kitab suci yang menyerukan perdamaian, toleransi, dan
sikap memaafkan. Kaum fundamentalis yakin bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan,
tetapi sebenarnya religiositas jenis ini mempresentasikan kemunduran Tuhan.

Di Indonesia aliran-aliran fundamentalisme mewujud dalam bentuk kelompok-


kelompok keagamaan yang cenderung menggunakan kekerasan dalam usaha untuk
meanggapi dan mengatasi situasi sosial yang ada. Sementara itu, radikalisme lebih sering
mewujud dalam bentuk aksi terorisme yang tanpa pandang bulu menghandurkan kehidupan
orang lain yang berbeda ideology keagamaan dengan yang mereka yakini, baik intern
maupun ekstern. Baik kaum fundamentalis maupun radikal cenderung meremehkan
kemanusiaan dengan berbagai cara karena terdorong oleh keyakinan untuk memurnikan
agama dari unsur-unsur kejahatan dan dosa.

c. Ateisme di Indonesia

Ada beberapa alasan praktis yang dapat dicatat berkaitan dengan munculnya Ateisme
di Indonesia. Pertama, yang paling umum adalah adanya kesadaran baru, terutama di
kalangan kaum intelektual, yang secara kritis menguji dan mendekonstruksi objektivitas dan
validitas agama dan penjelasannya tentang Tuhan. Barangkali ini adalah resiko perjumpaan
juga dengan filsafat.

Kedua, pengaruh modernisasi dan globalisasi yanh semakin ekstrem menyergap


kesadaran manusia dalam segala aspek kehidupan. Perjumpaan antarbudaya dan tradisi ini
yang memungkinkan rekonstruksi pola pikir maupun pola perilaku manusia Indonesia.

Ketiga, alasan lain yang dapat disebutkan adalah kesewenang-wenangan agama yang
cukup arogam mempermainkan agamanya. Ateisme menyadari bahwa gama dan Tuhan
sering digunakan sebagai alat legitimasi kekerasan dan kejahatan yang merusak dan
menghancurkan kemanusiaan.

2. Implikasi Nilai Ketuhanan yang Maha Esa

Tuhan adalah lebih besar dan sumber semua kualitas positif yang ada dan kita jumpai
di alam semesta. Semesta, dunia, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya menjadi ada
karena Dia ada dan Dia adalah “yang kaya” dan tak terbatas, yang memberi kehidupan,
mengetahui segala sesuatu, dan mengendalikan segala yang ada. Karenanya, tidak aka nada
kehidupan, pengetahuan, dan pengalaman bila tidak ada Tuhan. Ada beberapa hal pokok
yang dapat diuraikan berhubungan dengan prinsip Ke-Tuhanan yang Maha Esa bagi praksis
hidup masyarakat Indonesia.

Pertama, penegasan akan Tuhan yang esa bukan sekadar penyangkalan atas
“kebanyakan” Allah atau Tuhan, melainkan sebagai sebuah bentuk keniscayaan yang harus
dijalani. Kedua, Ketuhanan yang Maha Esa dapat terpantau dan terselami dalam diri yang
benar-benar terintegrasi. Karena itu, menuntut semua manusia untuk menghargai aspirasi
dan ekspresi kegamaan yang berbeda-beda.

Ketiga, keyakinan kepada Tuhan yang esa sekaligus memperkenalkan dan


menegaskan etos kasih sayang, persaudaraan, dan keadilan sosial yang merupakan ciri
actual semua agama dan menjadi landasan kehidupan manusia yang rill. Ketuhanan yang
Maha Esa menunjukkan sebuah kebijakan yang dalam yang menegaskan equilitas dan
egalitarianism yang kuat di antara seluruh manusia yang senantiasa menjadi cita-cita
keindonesiaan yang kokoh.

Keempat, penting untuk dikemukakan bahwa pemahaman akan nilai ketuhanan secara
tepat dapat membuka ruang perjumpaan dan dialog di mana setiap individu beragama dapat
saling memahami dan menerima.

Singkatnya, prinsip Ketuhanan yang Maha Esa menandakan bahwa ekspresi beragama
atau keagamaan setiap individu manusia Indonesia hendaknya diletakkan dalam kerangka
membangun peradaban manusia yang luhur. Dengan perkataan lain, setiap individu manusia
Indonesia dianjurkan untuk menekankan kemanusiaan sebagai orientasi keberagamaannya.

BAB IV NILAI FILOSOFIS SILA II: KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB

A. Pengantar

Kepercayaan dan bakti kita kepada Tuhan yang Maha Esa justru tidak ada artinya jika
kita tidak mengabaikan kemanusiaan. Hubungan yang baik dengan sesama manusia dalam
komunitas yang digambarkan dengan poros horizontal itu harus mendasarkan diri pada
hubungan yang berbakti kepada Allah yang digambarkan dengan poros vertikal. Kedua poros
relasi itu menegaskan kedua poros relasi tersebut saling terkait, bukannya saling meniadakan.
Untuk membahas topik tentang “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, dalam bagian
pertama bab ini, kita akan memulai dengan penafsiran terhadap nilai kemanusiaan. Penafsiran
ini mengemukakan implikasi nilai kemanusiaan, yakni kesetaraan dan kebebasan. Pada
bagain kedua kita akan mengaitkan kedua implikasi dengan identitas diri kita. Dalam konteks
interaksi global, diskursus tentang identitas diri yang tak bisa dilepaskan dari pemahaman
tentang kesetaraan dan kebebasan. Pada bagain terakhir kita akan mendiskusikan bersama
bagaimana upaya menghormati dan membela kesetaraan dan kebebasan kita. melalui
identitas diri masing-masing.

B. Pengertian Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab


1. Sepuluh Kemampuan Manusiawi Mendasar dan Fungsi-fungsi Alamiah

Memahami kemanusiaan secara alamiah berkaitan dengan analisis terhadap manusia.


Analisis itu menyodorkan bahwa manusia tidak hanya terdiri atas badan dan jiwa, atau
makhluk biologis-psikis belaka. Aristoteles, filsuf Yunani kuno, menggagas bahwa gabungan
tubuh dan jiwa menjadi lengkap bila menyebut aspek batiniah atau rohaniah dalam
kemanusiaan kita. Gabungan tubuh dan jiwa mewujudkan kehidupan atau menjadi prinsip
kehidupan. Gabungan tersebut menjadi lengkap jika kita memasukkan kemampuan batiniah,
yang di antaranya mencakup berpikir dan berkehendak.

Dengan kata lain, gabungan tubuh, juwa, dan roh dalam diri manusia mempunyai
kemampuan manusiawi yang mendasar. Lebih lanjut, 10 kemampuan manusiawi dasar ini
menunjukkan bahwa kemanusiaan kita bernilai bukan karena kita makhluk berakal budai atau
rasional. Kita justru berharga karena memiliki baik pikiran, perasaan, maupun kehendak.
Kemanusiaan kita bermakna justru karena tubuh, jiwa, dan aspek kerohanian kita. Secara
alamiah dan pengalaman sehati-hari, ketiga ‘unsur’ pembentuk ini tidak dapat dipisah-
pisahkan. Secara sinergis, tubuh, jiwa, dan aspek kerohanian membuat kita memiliki 10
fungsi. Kesepuluh kemampuan dasar dan fungsi dapat dilihat dalam tabel berikut:

Kemampuan manusiawi Fungsi kemampuan manusiawi tersebut


mendasar
1. Hidup. Kemampuan untuk hidup sampai akhir hayat. Kematian usia
dini (sejak dalam kandungan), kematian karena penyakit,
konflik, dan perang harus dicegah sedemikian rupa sehingga
orang tidak meninggal pada usia muda.
2. Kesehatan fisik. Kemampuan untuk mengalami tubuh yang sehat, menerima
asupan gizi yang memadai, dan tempat hidup yang layak.
3. Keutuhan tubuh. Kemampuan untuk mencegah rasa sakit dan penderitaan yang
tak diinginkan atau mengancam hidup.
4. Pancainra, Kemampuan untuk menggunakan pancaindra sehingga kita
imajinasi, dan mampu berpikir, berimajinasi, dan menalar.
pikiran
5. Afeksi yang sehat Kemampuan untuk berbela rasa bersama orang lain yang
(kesehatan membutuhkan. Mampu mengekspresiden keprihatinan sosial
emosional) dalam berinteraksi bersama orang lain di masyarakat.
6. Nalar praktis Kemampuan untuk memiliki gagasan tentang kebaikan untuk
melibatkan diri dalam pemikiran kritits dan merencanakan masa
depan.
7. Afiliasi: hidup Kemampuan untuk memiliki barang pribadi, dan kemampuan
bersama dan berelasi dengan orang-orang di sekitar.
kepedulian
terhadap sesame,
pengakuan, dan
penghargaan
sebagai pribadi
dalam
masyarakat.
8. Berelasi harmonis Kemampuan untuk hidup secara aman dan nyaman dengan
dengan makhluk binatang, tanaman, dan alam.
hidup.
9. Bermain. Kemampuan untuk tertawa, bermain, dan melakukan kegiatan
rekreatif.
10. Penataan Mempu menata atau mengatur hidup sebagai pribadi dan juga
lingkungan orang lain di sekitarnya.
sekitar melalui
keterlibatan
politis dan hak
milik pribadi.
Dalam konteks kemampuan manusiawi mendasar dan fungsi alamiahnya inilah kita
dapat memahami dua kata: ‘adil’ dan ‘beradab’.

2. Kesetaraan dan Kemerdekaan sebagai implikasi Nilai Kemanusiaan

Pemahaman kita tentang kemanusiaan ternyata mengandaikan pengakuan bahwa


manusia apa pun latar belakangnya setara dan bebas. Dalam bentuk gagasan, para bapak
bangsa kita sudah merumuskan pentingnya nilai kemanusiaan dan implikasinya dalam alinea
pertama pembukaan UUD negara RI tahun 1945.

Pada alinea tersebut dengan sangat jelas menyuratkan kebebasan untuk menentukan
nasib sendiri sebagai bangsa yang berdaulat. Penentuan nasib sendiri ini tidak hanya berlaku
secara kolektif, tetapi juga kebebasan menentukan jalan hidup berlaku bagi setiap orang.
Dengan kata lain, kemerdekaan atau kebebasan menentukan nasib sendiri menggunakan
‘logika keseluruhan untuk bagian-bagian’ atau “totem pro parte”.

Selain itu, kemerdekaan yang dinyatakan sebagai hak segala bangsa menyiratkan
pengakuan bahwa baik setiap bangsa maupun setiap orang tanpa terkecuali adalah setara.
Kesetaraan bukan hanya hak tetapi juga sebuah kenyataan berdasarkan 10 kemampuan
manusiawi yang mendasar dan fungsi kemampuan dasar tersebut di atas.

Pengakuan kesetaraan dan kebebasan juga diakui secara internasional. Kita dapat
mengetahuinya dari pasal 1 dan 2 Piagam HAM PBB yang dideklarasikan pada tanggal 10
Desember 1948. Kedua pasal ini masing-masing berisi tentang 2 nilai penting dalam
kemanusiaan kita yaitu kesetaraan dan kemerdekaan.

Rumusan pasal 1 dan 2 piagam HAM PBB adalah:

Pasal 1

Semua orang yang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani yang hendaknya bergaul satu sama lain
dalam semangat persaudaraan.

Pasal 2

Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di
dalam pernyataan ini tanpa perkecualian apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik, pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.

Disamping itu, tidak diperbolehkan melakukan perbedaan atas dasar kedudukan


politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana
seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah wilayah
perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

Jika kita membaca teks Piagam HAM PBB 1948 ini, kita akan menemukan bahwa
dua pasal ini mendahului rumusan hak yang dicantumkan dalam pasal-pasal berikutnya.
Tertutama kedua pasal ini menjadi pernyataan filosofis bagi hak azasi manusia. Pernyataan
filosofis tersebut adalah sebagai berikut.

a. Manusia dilahirkan dalam kemerdekaan atau kebebasan.


b. Manusia dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang’sama’.
c. Akal budi dan hati nurani adalah kemampuan alamiah manusia.

Berdasarkan ketiga pernyataan mendasar ini kita dapat memahami alasan mengapa
hak-hak azasi yang disebut di pasal 3 wajib dihormati dan dibela, hak-hak azasi tersebut
adalah:

Pasal 3

Setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan, dan keselamatan individu.

C. Kesetaraan, Kebebasan, dan Diskursus Identitas Diri

Keunikan dan ketaktergantikan itu dikenali melalui identitas diri kita. Amin Maalouf,
pemikir kelahiran Lebanon berkewarganegaraan Prancis, menyatakan bahwa pembentukan
identitas diri kita mengikuti garis vertical dan garis horizontal. Orang tua dan leluhur kita
menurunkan pencirian untuk identitas kita melalui berbagai unsur budaya, agama, dan strata
sosial. Tata karma, kebiasaan (mores), perayaan ritual dalam lingkungan hidup, peralatan dan
senjata, kesenian, dan hirarki adat adalah beberapa contoh unsur budaya, agama, dan strata
sosial yang dirunkan atau diwariskan oleh orang tua dan generasi sebelum kita. inilah yang
disebut pembentukan vertical identitas kita. Pembentukan horizontal atas identitas kita terjadi
saat kita menginternalisasi, menyeleksi berbagai unsur budaya, afiliasi politik; ekonomi; dan
sosial sezaman. Unsur-unsur tersebut dapat diikuti secara dasar atau ‘sekadar ikut arus’.

Pencirian vertikal identitas diri berkaitan dengan isu ‘keaslian’, atau ‘kemurnian’ jati
diri kita. Kedua isu ini sering menjadi alasan tersirat munculnya asosiasi antara seseorang dan
sekelompok orang dengan identitas etnik, budaya, bahasa, agama, dan politik. Asosiasi
tersebut berpeluang menghasilkan stereotype atau label. Ciri-ciri stereotype atau label ini
adalah generalisasi yang mengesampingkan kenyataan bahwa setiap orang dalam kategori
stereotype atau label tersebut unik dan dapat berbeda dengan kelompoknya. Selain itu,
generalisasi ini juga mengabaikan kenyataan bahwa pada dasarnya setiap kelompok manusia
yang disebut suku atau etnik memiliki baik pencirian ‘yang sama’ sekaligus juga ‘yang
berbeda’.

Karena itu, Amartya Sen dalam bukunya Identy and Violence (2005) menolak asosiasi
yang mengaitkan suku bangsa dan agama atau tingkat perkembangan peradabannya.

Lebih dari itu, pandangan reduktif seperti itu seolah-olah menyatakan bahwa suatu
identitas suku bangsa dilengkapi dengan pencirian yang ‘berlaku umum’ dan tidak
dimungkinkan ada variasi ciri-ciri identitas tersebut. Asosiasi linear ini tentu saja
mengabaikan kenyataan bahwa sebagai orang dengan identitas diri tertentu dapat memilih
pencirian apa yang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan kita. Artinya, identitas diri kita
tidak hanya ditentukan berdasarkan garis keturunan (pencirian vertical). Kita tidak hanya
menerima ‘ciri-ciri fisik’ dan adat istiadat (mores) sampai cara berpakaian tertentu dari orang
tua atau generasi sebelum kita.

Konflik internal tentang identitas diri merujuk kepada konflik eksternal tentang
identitas diri sebagai sebuah kelompok. Seringkali pencirian dentitas diri berkaitan dengan
idealisasi kesatuan pencirian yang melekat pada identitas diri seseorang. Kesatuan pencirian
ini tidak dipandang berasal dari luar tetapi dari dalam dirinya sendiri. Kesatuan yang utuh ini
mengandaikan setiap identitas diri kultural hanya mengandung ‘satu pencirian yang esensial
dan secara fundamenta benar dan tak mungkin berubah atau diganti’. Inilah pengendalian atas
identitas diri yang disebut Armartya Sen sebagai “afiliasi singular” (singular affiliation).

Afiliasi singular ini sering digunakan sebagai upaya membuat klasifikasi atau
kategorisasi orang atau sekelompok orang yang menegaskan seseorang atau sekelompok
orang dengan latar belakang identitas yang berbeda dianggap sungguh-sungguh berbeda.
Perbedaan itu dianggap semakin tajam ketika orang-orang dengan latar belakang berbeda
‘bersaing’ untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konflik antaridentitas diri itu dapat semakin
tajam jika kepentingan politik turut menentukan siapa yang layak menang atau dinyatakan
kalah dalam persaingan tersebut.

D. Gagasan Kesetaraan dan Kebasan Beridentitas Diri di Indonesia

Pengakuan identitas diri, yang setara dan merdeka tidak hanya terjadi dalam kancah
internasional. Di dalam negeri sendiri, terkait pengakuan atas identitas diri berbeda-beda
bukan hal baru. Pernyataan “Bhineka Tunggal Ika” sudah mengekspresikan pengakuan
tersebut. Penghargaan atas identitas diri yang beragam itu yang beranjak dari keyakinan
bahwa kesetaraan dan kebebasan adalah implikasi penting dari gagasan kemanusiaan.
Penghargaan itu tampil dalam refleksi para pendiri bangsa terhadap sila Kemanusiaan.

1. Ir Soekarno: Kemanusiaan dan Identitas Dirinya

Ir Soekarno memulai pembahasannya mengenai kemanusiaan dalam buku Tjamkan


Pantjasila dalam konteks yang konkret, yakni identitas diri. Soekarno mulai dari pemaparan
bahwa identitas diri asali kita beranjak dari wujud alamiah kita, yakni gender, lelaki dan
perempuan. Presiden pertama RI ini menjelaskan bahwa masyarakat yang berawal dari
pembagian peran pria dan wanita berkembang sampai ke pembentukan ‘bangsa’, dalam
kategori sosiologi, anthropologi, atau politik modern bisa merujuk pada etnisitas atau
‘nation’.

Perikemusiaan tidak bisa dilepaskan dari identitas diri kita sebagai suku, atau bangsa,
atau kebudayaan tertentu. hanya saja, Soekarno pun mengingatkan agar identitas diri sebagai
bangsa tidak bersifat tertutup, atau chauvinistic dan realistic.

Perikemanusiaan juga diangkat oleh ajaran-ajaran agama. Ini menunjukkan bahwa


identitas agama yang kita anut mengandaikan sikap menghormati dan membela kemanusiaan.
Soekarno dalam buku ini menjelaskan bahwa dalam setiap kepercayaan dan agama,
kemanusiaan menjadi gagasan mendasar yang tak bisa dilepaskan dari gagasan ‘Ketuhanan’,
yaitu percaya kepada Tuhan berarti juga persatuan antar manusia dan antara manusia dengan
alam semesta.

2. Moh. Hatta: Pengakuan Jati Diri, Kemanusiaan Kita, dan Perdamaian (Dunia)
Bung Hatta mengungkap sisi lain dari kemerdekaan yang berarti pengakuan atas
identitas diri sebagai bangsa dan terlebih lagi sebagai manusia.

Berbicara tentang nasionalisme saja tetapi juga implikasi dasar bagi semangat
kebangsaan adalah penghormatan kepada kemanusiaan yang terwujud dalam bentuk identitas
diri sebagai ‘bangsa Indonesia’. Tanpa identitas yang diakui, kemanusiaan tidak memiliki
arti.

Dengan kata lain, kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa justru menguak sebuah
tanggung jawab baru, penghormatan, dan pembelaan kemanusiaan melalui setiap bentuk
identitas diri. Penghargaan tersebut juga menyiratkan pengakuan pada kebebasan setiap
warga negara dengan identitas dirinya masing-masing dalam negara demokratis.

Hubungan antarbangsa yang didasari pada pengakuan pada kemerdekaan tiap


identitas diri bermuara pada usaha aktif untuk memperjuangkan perdamaian di bumi ini.
Perwujudan perdamaian ini adalah bentuk tanggung jawab dan partisipasi aktif setiap orang
sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.

3. Refleksi Penghormatan dan Pembelaan Kemanusiaan di Indonesia

Gagasan filosofis Soekarno dan Hatta tentang kemanusiaan di atas menggiring kita
pada pertanyaan: bagaimana realisasi penghormatan dan pembelaan kemanusiaan di
Indonesia, termasuk juga dalam skala global? Penghormatan dan pembelaan kemanusiaan di
Indonesia bukan tanpa masalah.

Masalah tersebut dapat diketahui dalam beberapa bentuk: mulai dari segregasi sosial
dan budaya atau pengotak-kotakan masyarakat berdasarkan identitas dirinya, karena
kepentingan politik dan ekonomi, entah penguasa antar kelompok-kelompok dominan
pengendali kekuasaan; dominasi bahkan eksploitasi atau sekelompok orang dengan identitas
diri tertentu; marginalisasi bahkan diskriminasi identitas seseorang atau sekelompok orang
karena perbedaan gender atau perbedaan identitas diri (budaya, ideologi atau agama); sampai
peristiwa kekerasan massa yang menciderai bahkan yang berniat mengeliminasi sekelompok
orang dengan identitas diri yang berbeda dari tengah-tengah masyarakat. .

Berkaitan dengan masalah tersebut, tanggapan untuk pertanyaan bentuk


penghormatan dan pembelaan kemanusiaan di atas dapat meliputi beberapa poin di bawah
ini.
a. Interaksi antarbangsa bukanlah hal baru untuk berbagai komunitas di Nusantara.
Pertemuan antar suku bangsa untuk urusan ekonomi dan politik bahkan penyebaran
agama sudah menjadi hal yang biasa.
b. Interaksi tersebut tidak selalu berjalan mulus dan damai. Konflik kepentingan
ekonomi dan kekuasaan bahkan perang berulang kali terjadi. Walaupun begitu tetap
saja jaringan perdagangan Asia Tenggara memelihara kontak antarkebudayaan dan
antarkepercayaan terjadi.
c. Oleh karena catatan sejarah kebudayaan seperti itu, identitas diri komunitas kesukuan
di Nusantara ini di satu pihak dapat dinyatakan ‘asli’ karena mendiami sebuah daerah
sekian lama dan menumbuhkan peradabannya sendiri.
d. Oleh karena itu, pandangan diskriminatif yang membeda-bedakan identitas yang ‘asli
dan murni’ dari yang palsu dan menyeleweng (atau bisah) sesungguhnya tidak lagi
relevan.
e. Kita bisa menambahkan bentuk pengenalan diri yang reaktif ke dalam fenomena
perbedaan ‘asli dan murni’. Identifikasi jati diri yang reaktif muncul sebagai bentuk
perlawanan terhadap praktik dominasi dan hegemoni identitas yang dianggap
superior.
f. Bukannya tidak ada pandangan diskriminatif apalagi opresif terhadap keragaman
identitas diri yang beragam di Nusantara. Dalam sejarah Indonesia merdeka telah
dicatat berbagai peristiwa kekerasan yang kental bernuansa etnik dan agama.
Walaupun kerap disangkal oleh para pemikir bahwa etnik dan agama menjadi alasan
utama kekerasan terjadi, kita tidak bisa menutup mata bahwa perbedaan identitas diri
dipakai sebagai legitimasi kekerasan untuk menekan bahkan menghilangkan
perbedaan identitas tersebut.
g. Bagaimana pun sejarah kekerasan yang bertujuan menindas atau menghilangkan
identitas diri sekelompok orang karena perbedaan kepercayaan, ideology, atau gaya
hidup perlu dihentikan.
h. Masih berkaitan dengan ekspresi identitas diri dan penghargaan terhadap
kemanusiaan, Sen dan Maalouf menegaskan bahwa setiap orang atau sebuah
komunitas beri kesempatan untuk menentukan afiliasi atau aliansi dengan identitas
diri, orientasi kultural, dan gaya hidup perlu dihentikan.
i. Karena itulah, isu sosial budaya tentang perbedaan ‘pribumi’ dan ‘nonpribumi’ tidak
lagi relevan jika kita menghargai seseorang sesuai dengan martabat kesetaraan dan
kebebasannya.
j. Tanggapan tentang tuntutan penghormatan dan pembelaan martabat manusia
menyentuh juga kerangka pikir yang afirmatif terhadap berbagai bentuk keunikan
identitas diri di Nusantara.

BAB V NILAI FILOSOFI SILA III: PERSATUAN INDONESIA

A. Pengantar

Kesadaran persatuan itu tumbuh kuat karena kolonialisme dan imperialism. Titik
berangkat menelaah dan merenungkan sila ketiga adalah hakikat manusia sebagai makhluk
sosial dan realitas ruang public kehidupan manusia. Manusia di satu sisi adalah makhluk
personal dan di sisi lain juga makhluk sosial.

B. Pengertian
1. Persatuan

Persatuan menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti gabungan atau ikatan
kumpulan beberapa bagian yang bersatu. Perserikatan atau serikat. Dalam konteks pemikiran
timur persatuan itu menunjukkan harmonisasi. Persatuan bukan hanya urusan horizontal antar
manusia semata tetapi juga merupakan relasi vertikal. Bagi pemikiran timur tidak ada
pembedaan antara yang duniawi dan yang surgawi yang ilahi dan yang duniawi maka cara
meng ada dalam pemikiran timur klasik adalah pengetahuan spiritual keagamaan.

Persatuan merupakan tema penting perjuangan mencapai kemerdekaan. Tema


persatuan ini dalam sejarah Indonesia tidak lepas dari dua peristiwa yaitu manifesto politik
para pemuda pelajar di negeri Belanda dan sumpah pemuda di Indonesia. Kesadaran akan
persatuan memperkuat nasionalisme, demikian juga sebaliknya rasa nasionalisme
menguatkan persatuan. Pada saat kita membicarakan persatuan berarti membicarakan
nasionalisme dan pada saat membicarakan nasionalisme berarti juga mengangkat tema
persatuan. Nasionalisme dikelola secara konkret oleh negara sehingga dikatakan bahwa dasar
dari suatu negara terutama bersifat psikologis dinamakan nasionalisme. Harus diakui bahwa
pertandingan antara bangsa dan negara mempunyai kepemilikan yang luar biasa besar.

2. Nasionalisme
Soekarno mengatakan bahwa nasionalisme merupakan persatuan dari berbagai
golongan. Nasionalisme bukan sebuah kopian atau tiruan dari nasionalisme barat, akan tetapi
timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalisme yang menerima rasa
nasionalismenya sebagai suatu Wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bukti, adalah
terhindar dari segala paham kekecilan dan kesempitan. Baginya membangun kebangsaan
adalah membangun kemanusiaan. Sjahrir dalam karyanya yang dipublikasikan di Belanda
dan dalam bahasa Belanda berjudul Indonesische overpeinzingen, cukup kritis memahami
nasionalisme yang dipandangnya sebagai proyeksi kejiwaan dari semangat rendah diri dalam
sikap kolonial antara penjajah dan kaum terjajah. Dari berbagai pandangan ini bisa
digarisbawahi bahwa bangsa adalah suatu kelompok masyarakat bila anggota-anggotanya
secara tegas saling mengakui hak dan kewajiban masing-masing karena keanggotaan mereka
yang sama.

3. Negara

Harold J. Laski mendefinisikan negara sebagai masyarakat yang diintegrasikan karena


mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada
individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat. Bagi max Weber, negara
adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik
secara sah dalam suatu wilayah. Robert M mendefinisikan negara adalah asosiasi yang
menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan
berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud
tersebut diberi kekuasaan memaksa.

Negara merupakan hasil perkembangan abad ke-16 di Eropa barat dan ditiru di
seluruh dunia. Sebuah negara mempunyai kedaulatan baik kedalam maupun keluar yang
dijamin oleh perjanjian Wesphalia 1648. Perjanjian ini dipandang sebagai basis kedaulatan
negara sampai kini. Negara adalah gejala modern yang diperlukan manusia modern untuk
mengorganisasikan kehidupan bersama secara modern.

4. Indonesia

Konsep berikut yang akan dijelaskan adalah nama Indonesia. Sejak tahun 1918 nama
Indonesia sudah dipakai untuk menyebut tanah air kita karena nama adalah pertanda
kepribadian kita. Pagi Muhammad Hatta nama Indonesia ini sudah cukup populer bahkan
bagi Muhammad Hatta, max Weber dalam karyanya wirtshaft und gesselschaft yang terbit
sebagai jilid III dari grundriss der sosialekonomik. Yang dimaksudkan dengan Indonesia
adalah kepulauan nusantara. Pandangan ini kemudian mendapat revisi karena ternyata nama
Indonesia telah dipakai sebelumnya. Nama Indonesia dengan demikian menyatakan suatu
tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan
dan untuk mewujudkan tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan
kemampuannya.

C. Dinamika Persatuan Indonesia

Bila melihat proses terbentuknya kesadaran nasional, kebangsaan, persatuan maka


tidak bisa dipungkiri nasionalisme Indonesia lahir karena imperialisme, koloni kolonialisme,
atau penjajahan titik situasi penjajahan ini melahirkan perlawanan yang awalnya masih
terkotak dalam wilayah dan kelompok tertentu. Walaupun dalam sejarah perjuangan bangsa
ini kelompok tani seringkali tidak begitu ditonjolkan dalam kesadaran akan nasionalisme,
namun bagi seseorang indonesianis kenamaan, George MC Turnan kahin, protes petani
kepada Belanda tahun 1890 merupakan hal penting yang tidak bisa diabaikan dalam sejarah
kesadaran terhadap nasionalisme. Bagi kahin, kesadaran ini telah ada dan hanya menunggu
timbulnya golongan terpelajar untuk semakin mengembangkan semangat ini. Kahin
menyimpulkan bahwa tanpa sokongan kelompok tani gerakan nasionalisme Indonesia tidak
mempunyai harapan besar untuk bisa melawan pemerintahan Belanda. Kemenangan
kelompok liberal yang didukung oleh pengusaha di Belanda sejak tahun 1848 membawa
perubahan penting bagi kolonial di negeri jajahan. Dalam rangka perluasan layanan birokrasi
kantor pemerintahan sipil untuk orang Eropa dan pribumi dibutuhkan tenaga terampil.
Kebutuhan ini mendorong pemerintah kolonial memberikan perhatian terhadap pendidikan
titik pendidikan mengandung dilema bagi Belanda karena mengandung ancaman potensial
bagi kepercayaan mistis mengenai superioritas kolonial.

D. Menuju Negara-Bangsa (Nation-State)


1. Beberapa Perspektif

Negara bangsa merupakan sebuah praktik yang baru beberapa abad yang lalu
dikembangkan. Di Indonesia pada khususnya dan negara-negara berkembang pada umumnya
konsep ini dipraktikkan lebih kurang seabad. Bila kita melihat sejarah dinamika persatuan
Indonesia tampak bahwa hakikatnya Indonesia adalah persatuan masa lampau dan inovasi
inovasi ke depan baik di bidang budaya, agama, etnis, maupun kelas sosial. Dalam konteks
Indonesia, kesadaran sebagai bangsa merupakan reaksi terhadap keberadaan negara yang
asing. Perlawanan terhadap penjajah memunculkan semangat persatuan. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki konsepsi kebangsaan yang khas yaitu perpaduan
antara modernisasi dengan perspektif primordialis dan perenialis. Perspektif modernisme
memandang bangsa merupakan buah dari modernisasi atau rasionalisasi dengan munculnya
birokrasi, ekonomi industri, sekularisasi. Sebagai tandingan perspektif modern muncul
perspektif primordialis seperti ditunjukkan oleh Clifford Geertz (1963) yang memandang
bangsa sebagai sebuah pemberian historis yang terus hadir dalam sejarah manusia dan
memperlihatkan kekuatan inheren pada masa lalu dan generasi masa kini. Sedang perspektif
perenialis, seperti yang dikemukakan Adrian memandang bahwa bangsa bisa ditemukan
dalam berbagai jaman sebelum periode modern. Bagi kelompok ini bangsa merupakan
sebuah keberlanjutan dari anasir lama. Dengan memperhatikan dimensi keberlanjutan
perspektif ini mengabaikan dimensi perubahan dari formasi bangsa.

2. Tantangan Global

Globalisasi merupakan unsur dan praksis kehidupan yang tidak bisa dilakukan dalam
berbagai diskursus kehidupan dewasa ini. Thomas membuat periode periodisasi globalisasi
dalam tiga kurun masa. Pertama, berlangsung sejak tahun 1492 sejak pelayaran Christopher
Columbus. Globalisasi tahap pertama ini menyusutkan dunia dari ukuran besar menjadi
sedang. Kedua, kurun 1800-2000. Pada globalisasi kurun kedua ini pelaku utama perubahan
adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam gelombang ke-3 sekitar tahun 2000 di
mana dunia memasuki globalisasi tahap ketiga. Pada tahap ini pelaku utama adalah individu
dan kelompok kecil yang menjadi global dengan sebutan tatanan dunia datar. Walaupun
bukan merupakan sebuah paham yang sangat baru, harus diakui bahwa gelombang globalisasi
ini mengingat hidup dengan dahsyat pada sekitar tahun 1970. Pada tahun ini lahir tata
ekonomi baru dengan filsafat ekonomi yang disebut neoliberalisme dan manusia dipandang
terutama sebagai homo economicus. Relasi manusia akhirnya hanya sekedar kalkulasi untung
rugi individual.

Arus globalisasi membawa dampak besar bagi pola ekonomi, politik, sosial, agama,
termasuk juga pemahaman terhadap kebangsaan dan nasionalisme. Tantangan terbesar dari
globalisasi terhadap nasionalisme ada pada penghilangan satu konsep penting dalam negara
bangsa yaitu teritori.

BAB VI NILAI FILOSOFIS SILA IV: KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH


HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN

A. Pengantar

Persatuan Indonesia yang berlandaskan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa
dan berorientasi penegakan kemanusiaan yang adil dan beradab membutuhkan ruang atau
tempat konkret. Maksudnya, gagasan tersebut mengawang-ngawang tanpa tempat konkret
mengusahakan dan mencapai idealitas tersebut. Tempat konkret yang dimaksud ialah bentuk
masyarakat dan negara Indonesia modern. Inilah kaitan antara ketiga sila pertama dengan sila
ke-4. Jika masyarakat dan negara Indonesia merdeka sudah dibentuk, orang-orang yang
tinggal di dalamnya dapat secara pribadi dan bersama berupaya mencapai cita-cita
kesejahteraan. Cita-cita itu ditempuh dengan rencana dan langkah konkret dengan
menjadikan keadilan sosial sebagai ukuran kesejahteraan. Inilah alasan betapa pentingnya sila
ke-4 menjadi titik berangkat bagi perwujudan sila ke-5, Keadilan Sosial.

Buku ajar edisi ini mengajukan penafsiran yang lain dari kata ‘kerakyatann’,
‘permusyawaratan’, dan’perwakilan’. Kata-kata tersebut tidak hanya mengacu kepada sistem
politik demokrasi, tetapi juga mengacu kepada bentuk masyarakat sipil atau ‘civil society’,
atau masyarakat madani, masyarakat warga di Indonesia yang hendak diwujudkan. Bentuk
masyarakat ini menjadi patokan dan ukuran untuk mengevaluasi perkembangan masyarakat
kita sebagai bangsa dan negara demokrasi. Dengan kata lain, tanpa ‘civil society’, sebuah
sistem demokrasi bisa menjadi alat bagi penguasa untuk semakin bertindak sewenang-
wenang.

Karena itu, kita perlu memahami konsep ‘civil society’ sebagai prasyarat dibangunnya
sistem demokrasi di negara kita.

B. Pengertian Nilai Kerakyatan atau ‘Civil Society’


Pengertian nilai kerakyatan mengacu ke gagasan Bung Hatta. Dalam pidatonya di
India tahun 1955, ia menyatakan bahwa ‘demokrasi bukanlah berupa sistem parlementer,
pelaksanaan pemilu dalam jangka waktu tertentu, dan membangun sistem pemerintahan
yang demokratis’. Demokrasi itu juga ditandai dengan megahnya ‘gedung perwakilan rakyat,
istana presiden atau kantor perdana menteri’.

Prinsip masyarakat demokrasi berpijak pada nilai yang terkandung dalam konsep
masyarakat sipil. Nilai-nilai itu, menurut Bung Hatta adalah:

1. Kemandirian dan Tanggung Jawab Individu

Konsep ‘civil society’ tak dapat dipahami tanpa nilai ‘kemandirian dan tanggung
jawab individu’. Kemandirian dan tanggung jawab individu dalam hal ini tidak sama dengan
‘individualisme’. Nilai inilah yang menyebabkan konsep civil society berbeda dari konsep
masyarakat lainnya (misalnya masyarakat monarki).

Kemandirian dalam hal ini bisa dijabarkan sebagai ‘mengenali pilihan yang mau
diambil dan mampu memilih hal yang diinginkan’. Kemampuan memilih menunjukkan kita
bisa bertanggung jawab. Kita bertanggung jawab karena kita sadar akan pilihan dan
mempunyai rencana yang akan diwujudkan. Tanggung jawab adalah ungkapan dari dalam
diri kita yang keluar dalam bentuk tindakan.

2. Keterlibatan atau Partisipasi dalam Masyarakat

Implikasi kedua yang terkandung dalam konsep ‘kerakyatan’ ialah kemampuan untuk
terlibat atau berpartisipasi dalam masyarakat. bung hatta membedakan dua macam partisipasi,
partisipasi pasif dan aktif. Partisipasi pasif adalah tanda persetujuan dan ketaatan warga
negara kepada pemerintah, misalnya membuat SIM, KTP, Paspor, surat ijin usaha, membayar
pajak, dsb. Partisipasi aktif ialah kemampuan warga negara untuk melibatkan diri dalam hal-
hal yang berkaitan dengan urusan public, misalnya memberikan masukan kepada Undang-
Undang, atau peraturan pemerintah, dsb.

3. Hubungan Kooperatif Antarindividu yang Mandiri dalam Masyarakat

Nilai kemadirian dan tanggung jawab, serta partisipasi dalam masyarakat demokratis
sudah dirumuskan oleh banyak pemikir demokrasi. Bung Hatta menyebut hal itu sebagai
hubungan kooperatif atau seringkali dikaitkan dengan tindakan ‘gotong royong yang kerap
kali dilakukan masyarakat desa’. Hatta inging mengungkap makna ‘saling membantu’,
‘tanggung jawab sosial’ dan ‘solidaritas’ di balik ‘hubungan kooperatif’. Makna salaing
membantu dan solidaritas ini menurut Hatta diutamakan untuk menyokong hidup mereka
yang secara ekonomi dan fisik lemah (miskin dan sakit/cacat).

Penekanan makna saling membantu, tanggung jawab sosial, dan solidaritas dalam
hubungan kooperatif menegaskan kemandirian dan tanggung jawab pribadi dalam
berpartisipasi aktif. Dengan kata lain, nilai yang ketiga ini tidak bisa dilepaskan dari kedua
nilai sebelumnya. ketiga nilai ini akan berpengaruh pada pilihan kita untuk membentuk
sistem politik demokratis.

C. Pendekatan Teoritis tentang Kerakyatan atau ‘Civil Society’

Kita akan melangkah lebih jauh dengan membahas pendekatan atau penjelasan teoritis
tentang gagasan ‘civil society’ atau masyarakat sipil. Pendekatan teoritis ini diperlukan
supaya kita memahami bagaimana membangun dan mengembangkan masyarakat demokratis
berdasarkan nilai dan makna kerakyatan.

1. Gagasan Filsuf dan Pemikir Sosial Politik tentang Civil Society

Istilah ‘masyarakat sipil’ atau ‘civil society’ berasal dari khazanah Latin yaitu
‘societas civilis’. Istilah civil society berdasarkan akar katanya berarti sebuah komunitas
warga negara yang dipersatukan dalam sebuah pemerintahan atau negara yang sah.

Beberapa filsuf dan pemikiran sosial politik sejak abad ke-17 sampai sekarang telah
mengembangkan gagasan civil society ini menjadi sebuah konsep penting dalam ilmu sosial
dan politik. Konsep ini sejalan dengan perkembangan pemikiran mengenai bentuk gerakan
masyarakat yang otonom dan mandiri dalam menentukan arah dan perkembangan tanpa
campur tangan total dari pemerintah.

a. Gagasan John Locke tentang Masyarakat-Beradab (Civilized Society) sebagai


Masyarakat Sipil

John Locke menagnggap masyarakat alamiha perlu ditata dengan perancangan


struktur sistem sosial sedemikian rupa sehingga menghasilkan masyarakat sipil.

Dalam hal ini John Locke berpendapat kepercayaan (trust) yang di delegasikan
anggota masyarakat kepada pemerintah tidak bisa diabaikan. Kepercayaan ini menjadi alasan
kenapa tiap individu menjalin kontrak dengan individu lain dan membentuk sebuah unit
politik. John Locke menegaskan bahwa kontrak sosial antaranggota berangkat dari keyakinan
religious (belief) bahwa manusia secara alamiah setara sebagai ciptaan Allah. Oleh karena itu,
masyarakat sipil dibentuk atas dasar kepercayaan dan keyakinan akan kesetaraan.

Dengan kata lain, masyarakat sipil membentuk sistem hukum, sistem peradilan, dan
sistem keamanan sosial berdasarkan konsensus yang dapat dilakukan melalui institusi
perwakilan: parlemen, lembaga peradilan, dan lembaga kepolisian.

Pemikiran John Locke ini menegaskan bahwa masyarakat sipil sekaligus juga menjadi
cermin masyarakat yang beradab (civilized society). Tanda peradaban ialah masyarakat sioil
mampu mengendalikan diri (self-discipline) sedemikian rupa demi mengembangkan dan
melindungi tida unsur pembangunan masyarakat sipil:

1) Menjamin perwujudan kemandirian pribadi,


2) Menyediakan akses untuk mempunyai barang-barang pribadi (atau hak milik pribadi),
dan
3) Melindungi dan menghormati perbedaan keyakinan kepada tuhan YME yang
diungkapkan oleh tiap-tiap anggota masyarakat sipil (atau toleransi).

Kata kunci dari pandangan John Locke tentang masyarakat sipil adalah:

- Kepercayaan antaranggota masyarakat sipil, yang mendapat inspirasi dari keyakinan


bahwa Tuhan menciptakan manusia setara,
- Kontrak atau consensus sosial antaranggota masyarakat dan antara masyarakat dengan
lembaga yang mengelola ketertiban dan keamanan masyarakat sipil, dan
- Masyarakat sipil juga berarti masyarakat beradab karena melindungi kemandirian
individu, kepemilikan harta pribadi, dan toleransi terhadap keragaman kepercayaan.

b. Gagasan Pemikir Skotlandia Abad ke-18 tentang masyarakat Perdagangan (the


Commercial Siciety) sebagai Masyarakat Sipil

Salah satu tokoh dari para pemikir Skotlandia abad ke-18 ialah Adam Smith. Adam
Smith menganggap para pelaku ekonomi, yakni para pedagang dan pengusaha nonpemerintah
membentuk sebuah kelompok berdasarkan kepentingan ekonomi. Kelompok pengusaha ini
berupaya mandiri dari campur tangan pemerintah, yang pada masa itu adalah raja, kelompok
bangsawan, dan pemimpin militer. Kelompok inila cikal bakal masyarakat sipil atau disebut
juga sebagai masyarakat perniagaan (the commercial society).

Kata kunci dari teori pemikir Skotlandia tentang masyarakat sipil atau perniagaan
adalah:

- Kebutuhan hidup yang dipenuhi dengan cara pertukaran ekonomi;


- Hubungan interdepedensi para anggota masyarakat perniagaan untuk memenuhi
kebutuhan hidup;
- Hubungan interdepedensi ini melahirkan solidaritas antarwarga masyarakat;
- Kontrak sosial atau consensus dalam bentuk koalisi untuk menjaga agar dinamika
transaksi tidak sangat merugikan kepentingan yang satu pihak dan sangat
menguntungkan pihak lain;
- Pentingnya moral sosial demi menjaga kondisi perniagaan yang terbuka, fair,
transparan, dan akuntabel; dan
- Masyarakat perniagaan adalah masyarakat terbuka dan inklutif karena kepentingan
perniagaan lebih berguna dan dinamik.

c. Gagasan Friedrich Hegel tentang Asosiasi Masyarakat-Kota sebagai Masyarakat


Sipil

Friedrich Hegel, filsuf idealisme Jerman terutama dari abad ke-19, juga menegaskan
bentuk masyarakat sipil. Hegel meneruskan dan mengembangkan ide masyarakat sipil dari
para pemikir Skotlandia (misalnya Adam Smith) tentang masyarakat perniagaan, dan ide
tentang masyarakat alamiah versi Jean Jacques Rousseeau dan Immanuel Kant. Bagi Hegel,
ide masyarakat sipil merupakan asosiasi yang dibentuk warga kota. Asosiasi ini melampaui
batas-batas ikatan keluarga dan satu tahap sebelum consensus membentuk negara.

Asosiasi masyarakat kota ini bertujuan politis yakni mengatur kemandirian kota untuk
menata warganya dengan kepemimpinan dan serangkaian aturan.

Kata kunci dalam teori Hegel tentang masyarakat sipil sebagai asosiasi warga kota
ialah:

- Asosiasi warga kota atau masyarakat-sipil mengatasi bentuk komunitas keluarga besar
dan menjadi komunitas yang nantinya membentuk sebuah negara.
- Asosiasi tersebut dibentuk guna menjamin kebebasan pribadi dan pemenuhan
kebutuhan hidup.
- Ciri universal egoism atau sikap terbuka dan inklusif warga kota demi pemenuhan
kebutuhan pribadi merupakan titik awal pembentukan asosiasi warga kota.
- Ciri tersebut akan berkembang menjadi universal interdependence atau sikap inklusif
yang mengutamakan hubungan saling bergantung dalam pemenuhan kebutuhan hidup
warga kota.
- Ciri kedua menjadi penting karena asosiasi warga kota merupakan kumpulan individu
yang rasional, bebas, dan bermartabat.
- Karena itulah norma moral individu dan hidup berkomunitas yang bernuansa etis
menjadi prasyarat bagi asosiasi warga kota.
- Dalam konteks prasyarat tersebut, masyarakat kota melaksanakan penataan dan
pengawasan internal dari inisiatif warga kota yang rasional dan eksternal yang
dilaksanakan penguasa kota.
- Pengawasan eksternal dilakukan dengan sistem aturan dan hukum yang menjamin
kebebasan, keadilan, dan kesempatan warga kota untuk memenuhi kebutuhan layak
dengan cara bekerja.

d. Gagasan Jurgen Habermas tentang ‘Wilayah Publik’ (Public Sphere) sebagai


Masyarakat Sipil

Jurgen Habermas, pemikir sosial-politik Jerman abd ke-10 mengaitkan masyarakat


sipil dengan gagasan tentang ‘wilayah public’ (public sphere). Kata kunci gagasan
masyarakat sipil menurut Habermas adalah:

- Akal budi komunikatif, pemikiran yang kita gagas mengandaikan kemampuan dapat
dibagikan kepada orang lain.
- Akal komunikatif, pertukaran itu tidak terbatas pada bahas lisan atau tulisan. Aksi
komunikatif juga berkaitan dengan segala hal yang digunakan untuk menyampaikan
aspirasi dan partisipasi kita.
- Wilayah public atau public sphere adalah medan mediasi aspirasi dan pertisipasi yang
dimungkinkan karena kemampuan akal budi komunikatif dan aksi komunikatif.
- Habermas mengembangkan model ‘bourgeois public sphere’ atau ajang pertemuan
kelas menegah eropa sejak masa Renaissance sampai modern.
- Wilayah public berkaitan dengan ajang pertemuan warga masyarakat berkumpul
secara fisik entah di tempat-tempat yang disediakan, baik itu milik kota, tempat
ibadah, maupun sarana pribadi yang digunakan secara terbuka, seperti sanggar
kesenian, galeri seni, dll.
- Seturut perkembangan teknologi informasi dna komunikasi, ajang pertemuan public
berkembang dalam ruang virtual melalui media cetak, elektronik, dan digital.

e. Karakteristik Masyarakat Sipil menurut Filsuf dan Pemikir Ilmu Sosial dan
Politik

Beberapa karakteristik bisa diajukan sebagai berikut:

1) Masyarakat sipil atau civil society adalah sebuah benukan rasional untuk memenuhi
kebutuhan sekelompok warga masyarakat dalam menyalurkan aspirasi dan
partisipasinya.
2) Masyarakat sipil merupakan upaya lepas dari bentuk masyarakat kekerabatan, atau
masyarakat tradisional yang dapat kita jumpai di desa dan kota.
3) Para pemikir sosial-politik pada awal masa modern, Jon Locke, Adam Smith, dan
para pakar pemikir sosial politik Skotlandia lainnya menggagas masyarakat sipil
sebagai bentukan yang melepaskan diri dari intervensi dan control ketat penguasa:
raja, kelas bangsawan, dan Gereja.
4) Dengan demikian, ide masyarakat sipil tidak bisa dilepaskan dari kepentingan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan melalui negoisasi dengan institusi politik dan
ekonomi.
5) Habermas menegaskan bahwa masyarakat sipil tidak hanya bbentukan permanen atau
asosiasi warga negara yan bersifat tetap.
6) Gagasan masyarakat sipil tidak bisa dilepaskan dari orientasi nilai dan norma moral.

2. Gagasan Para Pendiri Bangsa tentang Masyarakat Sipil


a. Bung Hatta tentang Masyarakat Kooperatif sebagai Masyarakat Sipil

Gagasan masyarakat kooperatif dikembangkan dari tradisi masyarakat desa untuk


memenuhi kebutuhan sendiri (swasembada). Bung Hatta mengangkat kembali pola
masyarakat desa yang saling mendukung dan bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Karena itu, Hatta menyegarkan konsep tradisional masyarakat desa itu dengan istilah
‘masyarakat kooperatif’. Masyarakat kooperatif menjadi tempat berkembangnya kegiatan
ekonomi koperasi. Karena itu, masyarakat kooperatif ini harus dibentuk sebagai prasyarat
untuk sistem politik yang demokratis dan perekonomian yang berkeadilan sosial.

Kata kunci visi Bung Hatta tentang masyarakat kooperatif sebagai masyarakat sipil:

- Tradisi masyarakat desa merupakan aspek lokal dalam pemahaman masyarakat


kooperatif.
- Masyarakat desa mengedepankan aspek solidaritas dan saling memabntu melalui
kegiatan gotong royong.
- Kedua aspek tersebut sekaligus mencerminkan sikap suka rela berdasarkan
kemandirian individu dan rasa tanggung jawab sisal atas kehidupan bersama dalam
desa tersebut.
- Masyarakat kooperatif membutuhkan sistem pemerintahan desentralistik.
- Pendidikan masyarakat kooperatif tak bisa diabaikan karena realisasi masyarakat
kooperatif adalah prasyarat bagi demokrasi Indonesia.

b. Bung Karno tentang Sistem Kekeluargaan sebagai Masyarakat Sipil

Seperti Bung Hatta, Soekarno juga berpendapat bahwa pengembangan sistem sosial
dan ekonomi Indonesia menjadi prasyarat menuju negara demokrasi modern. Pengembangan
tersebut merupakan langkah lanjutan dari kehendak masyarakat Indonesia untuk bersatu
sebagai bangsa. Soekarno juga mengacu pola hidup masyarakat desa tradisional sebagai
prinsip dasar pengembangan masyarakat. Soekarno mengangkat sistem kekeluargaan dalam
pola masyarakat desa untuk menegaskan prinsip dasar pengembangan masyarakat sipil
Indonesia.

Kata kunci gagasan Ir. Soekarno tentang “sistem kekeluargaan masayrakat desa”
sebagai masyarakat sipil:

- Masayrakat borjuis sipil model masyarakat perniagaan Barat berpusat pada


kepentingan individu (dalam hal iniuntuk akumulasi modal dan kekuasaan) dalam
mencapai tujuannya, entah secara pribadi entah dalam ikatan kontrak sosial dalam
kelompok. Kepentingan individu ini menyebabkan kohesi sosial dan kepedulian sosial
masyarakat Indonesia menjadi rapuh.
- Sistem kekeluargaan desa berpusat pada kohesi sosial dan kepedulian sosial untuk
mencapai tujuan dengan jalan slaing membantu dan mendukung.
- Ikatan kekeluargaan ini dipimpin oleh beberapa (atau dewan) orang-orang tua atau
sesepun yang menggunakan musyawarah sebagai cara untuk konsultasi dan negoisasi
untuk mengambil keputusan.
- Kebebasan dan otonomi adalah jalan yang mengarahkan kesadaran sosial dan
kepedulian sosial individu agar individu berpartisipasi aktif melalui kegiatan saling
mendukung (gotong royong).

c. Mr. Soepomo tentang Sistem Masyarakat Integralistik sebagai Perwujudan


Masyarakat Sipil

Sebagai ahli hukum adat, Mr Soepomo berpendapat bahwa struktur negara Indonesia
merdeka perlu mempertimbangkan unsur lokal. Konser lokal tersebut adalah pandangan
hidup masyarakat setempat. Sistem sosial, budaya dan ekonomi masyarakat lokal hendaknya
menjadi prasyarat bagi membangun sebuah negara yang merdeka. Pandangan hidup
masyarakat tradisional tidak dapat diabaikan untuk membangun sistem masyarakat Indonesia.

Kata kunci gagasan Mr. Soepomo tentang sistem masyarakat/negara integralistk


sebagai masyarakat sipil:

- Konsep kosmologi Jawa, menunggaling kuwalo-Gusti, menajdi dasar bagi gagasan


sistem masyarakat/negara integralistik. Konsep ini menekankan persatupaduan antara
dua unsur pemimpin – yang dipimpin, diperintah – masyarakat.
- Tia pribadi adalah bagian tak terpisahkan dari kelompoknya.
- Negara bukanlah ancaman terhadap kebebasan dan otonomi individu. Negara justru
menyediakan jalan untuk mencapai kesejahteraan.
- Gotong royong adalah wujud dari sikap dan tindakan saling mendukung antara
masyarakat dengan negara, pribadi dengan kelompoknya.
- Masyarakat/negara integralistik berarti persatupaduan yang diwujudkan oleh
pemerintah dan warganya karena keduanya menjadi bagian tak terpisahkan satu sama
lain.

3. Karakteristik Masyarakat Sipil menurut Para Pendiri Bangsa


Kita dapat menyimpulkan beberpaa karakteristik masyarakat sipil dan gagasan para
pendiri bangsa mengenai konsepsi model masyarakat yang hendak diwujudkan dalam
masyarakat Indonesia modern.

a. Para pendiri bangsa menyadari bahwa model sosial dan ekonomi masyarakat perlu
menjadi prasyarat bagi bentuk negara Indonesia merdeka.
b. Bentuk masyarakat yang ingin dibangun harus berakar pada pola masyarakat
tradisional.
c. Ketiga penditi bangsa yang kita pelajari diatas menolak gagasan pentingnya individu
yang mandiri dan otonom dalam masyarakat sipil.
d. Gagasan yang ditolak oleh para pendiri bangsa ini ialah pemutlakan kepentingan
pribadi sebagai konsekuensi dari tuntutan untuk menghargai dan menjamin kebebasan
dan otonomi pribadi.
e. Katiga pendiri bangsa tidak menghendaki pemutlakan kepentingan ekonomi pribasi
akan akumulasi modal pribasi/swasta sebagai landasan bagi masyarakat sipil.
f. Musyawarah adalah sebuah mekanisme dan saranan negoisasi, konsultasi dan dialog
dalam masyarakat sipil.

BAB VII NILAI FILOSOFIS SILA V: KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH


RAKYAT INDONESIA

A. Pengantar

Hidup dalam persaudaraan universal merupakan kandungan nilai sila kedua. Di atas
nilai itu fondasi komunitas yang majemukditegakkan dalam semangat persatuan seperti yang
ditegaskan dalamsila ketiga. Persatuan dalam keragaman atas dasar semangat persaudaraan
itu (Persatuan Indonesia), selain melahirkan manusia-manusia bijaksana juga memungkinkan
semua pihak (secara bijaksana) untuk duduk bersama, berdialaog, bermusyawarah, dan
menyepakati dengan hikmat kebijaksanaan hal-hal mendasar untuk kepentingan hidup
bersama. Prinsip itulah yang kemudian diharapkan bermuara pada kandungan makna sila
kelima, yang akan di bahas dalam bab ini, yakni: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
B. Peengertian Umum Keadilan Sosial

Kebutuhan mendasar manusia baik secara personal maupun komunal adalah


diperlakukan secara adil. Konsep keadilan sebetulnya berakar pada tuntutan hidup bersama
yang harus manusiawi. Dalam konteks itu keadilan adalah suatu tindakan yang berdasarkan
prinsip hormat terhadap pihak lain. Tindakan adalah adil ketika dimaksudkan untuk
memenuhi hak seseorang dan menghormati hak hak orang lain. Dalam perspektif itu keadilan
menyiratkan dimensi kebebasan dan pembebasan seseorang sebagai manusia. Plato
memahami keadilan sebagai kebijakan utama yang dalam perspektif tertentu, implementasi
idealnya membebaskan manusia dari kondisi-kondisi yang tidak manusiawi dalam realitas
sosial nya. Oleh karena itu muatan pengertian keadilan musti kita pahami sebagai yang selalu
terpaut erat dengan kondisi real sebuah komunitas sosial, berkaitan dengan sejarah dan dalam
pengertian itu pula pembahasan selanjutnya berupaya mematahkan pengertian keadilan sosial
menurut tokoh-tokoh Indonesia dan tokoh tokoh kontemporer.

C. Pengertian Keadilan Sosial menurut Tokoh Indonesia


1. Ir. Soekarno

Konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sila kelima Pancasila
sesungguhnya dikembangkan dari gagasan ratu adil dan kesejahteraan sosial yang
dirancangkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Istilah ratu adil
mengandung makna sociale rechtvaardigheid, rakyat ingin sejahtera, makmur. Dimensi
konsep ratu adil ini bukan semata-mata materiil tetapi juga dimensi spiritual atau nilai dan
semangat yang memungkinkan konsep itu terlaksana dalam praksis kehidupan.

Dalam buku Tjamkan Pantjasila, Soekarno melaporkan secara pragmatis tiga makna
keadilan sosial dalam kaitannya dengan ratu adil yang tampak berdimensi material dan
spiritual yakni:

a) Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi tidak ada kemiskinan di Indonesia merdeka
b) Keadilan sosial sebagai suatu kondisi masyarakat atau sifat suatu masyarakat yang
ditandai keadilan dan kemakmuran, situasi bahagia buat semua orang tidak ada
penghinaan, tidak ada penindasan, dan tidak ada penghisapan. Semua cukup sandang,
cukup pangan. Iya menggambarkan situasi semacam sosialisme Indonesia. Dalam
pemikiran Soekarno, keadilan sosial identik dengan sosialisme dalam arti bahwa
tujuan mutlak sosialisme adalah mewujudkan keadilan sosial yang ditandai oleh
keberadaan masyarakat tanpa kelas kelas sosial sebagai prasyarat keadilan sosial.
Dengan masyarakat tanpa kelas sosial diandaikan bahwa dengan sendirinya epos
besar penindasan dan penghisapan manusia atas manusia lainnya berakhir dan
sekaligus kerajaan kebebasan hadir di dunia.
c) Marhaenisme yang dimaknai sebagai konsep rakyat kebanyakan artinya konsep yang
berpihak kepada rakyat kebanyakan yang memiliki alat-alat produksi tradisional.
Perwujudan kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai cita-cita dan impian bersama
bermula dan bertolak dari pendayagunaan potensi-potensi yang tersebar di tengah
rakyat kebanyakan atau rakyat jelata. Kesejahteraan dan keadilan sosial harus
dipikirkan, dikonsepkan, den dibangun dari rakyat kebanyakan dan demi rakyat
kebanyakan pula. Soekarno yakin bahwa bermula dari konsep itulah kita di Indonesia
berbicara tentang perekonomian rakyat, kesejahteraan rakyat, dan sosialisme
Indonesia.

Dalam praksis pembangunan perekonomian Indonesia, idealisme ratu adil Allah


Soekarno di atas bukan tanpa persoalan. Keyakinan awal bahwa bangsa Indonesia dapat
meneruskan dan melestarikan sistem ekonomi yang ditinggalkan Belanda dengan hanya
menggantikan pelakunya saja asalkan dari Indonesia ternyata menjadi akar persoalan yang
serius sebab menurut Mubyarto, pembangunan ekonomi Indonesia selama rentang
kepemimpinan Soekarno ditandai oleh aneka rupa sistem coba-coba. Itulah akar persoalan
yang membawa pengembangan dan pembangunan ekonomi Indonesia sejak 1945 hingga
1959 mengalami kebobrokan, kerugian, dan pemborosan.

2. Drs. Mohammad Hatta

Ia mengkritisi banyak hal berkaitan dengan politik demokrasi dan politik ekonomi.
Bagi hatta, demokrasi parlementer harus berakar dalam politik demokrasi dan secara sama
juga dalam politik ekonomi. Ringkasan nya iya tidak setuju bila warga negara hanya dijamin
hak politiknya. Negara juga harus mampu menjamin kesejahteraan warganya melalui
demokrasi ekonomi. Bagi Hatta, cita-cita sosialisme bisa dirumuskan dengan sederhana,
bagaimana memurahkan ongkos hidup rakyat. Salah satu prinsip untuk mencapai negara
kesejahteraan adalah bentuk perekonomian yang berlandaskan koperasi yang kemudian
dirumuskan secara umum dalam pasal 33 UUD 45. Koperasi berasaskan kekeluargaan dan
menekankan prinsip kepemilikan bersama.
3. Sultan Sjahrir

Sebagai tokoh sosialisme Indonesia, Sjahrir melihat bahwa sosialisme yang relevan
untuk konteks Indonesia sejatinya bukan menyangkut urusan kemakmuran dalam materi
semata tetapi yang menyangkut keutuhan eksistensial manusia di Indonesia. Sjahrir
menegaskan bahwa sosialisme kerakyatan adalah bentuk sosialisme yang tepat untuk
Indonesia.

D. Keadilan Sosial dalam Perspektif Kontemporer


1. Gagasan John Rawis tentang Keadilan sebagai Fairness

John Rawis merupakan salah satu tokoh kontemporer yang menganggap konsep
bernas seputar keadilan. Perlu kesadaran reflektif dan kajian mendalam untuk memahami
teori Rawis tentang keadilan sebagai Fairness. John Rawis mengkritik utilitarianisme bukan
karena apa yang dikatakannya melainkan melainkan karena ajarannya bahwa kesejahteraan
sosial sudah dengan sendirinya meliputi juga kesejahteraan artinya jika masyarakat sebagai
keseluruhan sudah mencapai tingkat kesejahteraan tertentu maka individu sebagai anggota
masyarakat juga dengan sendirinya dianggap mendapat manfaat yang sama. Sementara itu
intuisionisme dikritik Rawis karena tidak memberikan tempat memadai bagi asas rasionalitas.
Menurut teori intuisi onisme kemampuan intuitif dapat membantu kita mengatasi masalah-
masalah atau rintangan-rintangan untuk mencapai keadilan.

2. Gagasan Keadilan Sosial menurut Armatya Sen

Menalar gagasan sen tentang keadilan dalam karyanya The Idea of Justice sungguh
terasa tidak ringan titik ketajaman analisisnya terhadap teori-teori para pendahulunya
membuat teorinya sungguh istimewa dan terasa berat untuk dituangkan secara maksimal
dalam tulisan ini. Pertama, dalam hal peranan rasionalitas sebagai instrumen menuju
keadilan. Perbedaan antara rawls dan sen terletak pada metode evaluasi untuk menakar
keadilan yang masuk akal. Metode evaluasi yang diikuti rawls secara konsisten adalah
metode yang transendental, yang tampak pada keyakinan rawls melalui hipotesisnya bahwa
keadaan awal manusia yang disebutnya posisi asali itu berorientasi pada keadilan. Manusia
dalam posisi asali itu dipandang rawls sebagai person moral. Sementara itu menurut sen
metode penelitian itu tidak memadai sebagai proses untuk mencapai keadilan.

Kedua, kritik sen terhadap kontrak rawls serta posisi awal. Send menganalisis sejauh
mana gagasan posisi asali Rawls itu bisa di diterapkan dalam kondisi real.

Ketiga, terkait dengan social choice. Argumen Sen tentang pilihan sosial merupakan
sanggahan pokoknya terhadap teori transendental justice dari Rawis. Sen melihat prinsip ini
selain tidak lagi memadai juga kurang mendarat untuk menjawab problematika kehidupan
modern sehingga tidak dapat diandalkan untuk mengatasi fenomena ketidakadilan seperti
kemiskinan atau disparitas ekonomi.

Keempat, terkait dengan opportunity dan kebebasan. Sen mengkaji ulang pengertian
kita tentang opportunity, bagaimana hubungan kita dengan adanya kesempatan tersebut.
Kebebasan menurut Sen bisa dipahami melalui dua cara, yakni: pertama, semakin luas
cakupan kebebasan semakin banyak memberikan kesempatan untuk mengejar tujuan-tujuan
kita. Kedua, kita boleh mengaitkan pentingnya proses dari pilihan itu sendiri.

E. Dimensi-dimenasi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Tujuan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah untuk
menciptakan suatu struktur yang harmonis dan teratur dalam masyarakat dengan
menyediakan kesempatan bagi rakyat agar bisa membangun komunitas yang adil, di mana
yang lemah dan miskin dapat memperoleh bantuan yang sah dari pemerintah. Ini berarti
bahwa paling kurang ada 2 kewajiban pemerintah yakni pemerintah wajib memajukan
kemakmuran sosial bagi seluruh rakyat dan pemerintah wajib menjamin tingkat kemakmuran
dasar atau standar minimum kehidupan manusia bagi setiap orang. Prasyarat dasar bagi
perolehan hak-hak adalah adanya jaminan atas kebebasan yang menyangga kehidupan. Kita
tidak mungkin berbicara tentang penegakan keadilan dan pemenuhan hak-hak seseorang
manakala kebebasannya dibelenggu. Itu berarti bahwa makna konsep keadilan hanya dapat
dipahami justru ketika kebebasan manusia sebagai subjek dalam realitas sosial dilindungi.
Dalam tekanan yang terakhir itu sistem demokrasi justru terasa memfasilitasi keadilan sebab
hormat terhadap kebebasan individual merupakan akar mendasar dari demokrasi. Dalam
praksis demokrasi, itu diwarnai dengan relasi intersubjektif yang setara. Secara sosiologis hal
itu pada umumnya dikaitkan dengan kebutuhan masing-masing individu, antara lain
menyangkut kebutuhan akan rasa aman, damai, identitas diri, kelangsungan hidup.
Singkatnya prinsip keadilan berkaitan dengan kecenderungan manusia untuk hidup bersama
dalam rangka mempertahankan eksistensi diri dan kontinuitas kelompok.

F. Implikasi Sila ke-5 dalam Praksis


1. Hormat terhadap “Kebebasan” Manusia

Pengertian keadilan sosial sejatinya berangkat dari pemahaman atas kebebasan


sebagai ciri hakiki hidup manusia. Kebebasan adalah ruang dimana manusia menciptakan.
Secara sosiologis, kebebasan seseorang menentukan orientasi dan relasi-relasi eksistensial
nya dalam komunitasnya. Kebebasan adalah prasyarat bagi keadilan sosial. Kebebasan adalah
jalan menuju keadilan sosial dalam arti mendasarnya sebagai kebijakan utama seperti yang
diyakini Plato dan ditegaskan oleh Aristoteles. Supaya kebebasan tidak destruktif, batas
kebebasan setiap orang adalah kebebasan pihak lain. Kebebasan seseorang berhenti ketika ia
mengancam kebebasan orang lain atau yang dengan sendirinya merupakan awal dari
ketidakadilan.

Prinsip dan tuntutan ke arah keadilan sosial sebetulnya muncul ketika konsep hidup
bersama atau berkomunitas yang ideal menjadi problematis, misalnya ketika relasi
interpersonal timpang dan cenderung subordinatif, terjadinya diskriminasi sosial dengan
alasan yang tidak masuk akal sehingga bercorak dehumanistik. Ringkasan nya kondisi-
kondisi anti kemanusiaan seperti perbudakan adalah awal dari permenungan gagasan serta
tuntutan ke arah keadilan sosial.

2. Demi “Pembebasan” Manusia

Pembebasan selalu terkait dengan keadaan konkret manusia misalnya penjajahan,


perbudakan, penghisapan manusia, eksploitasi manusia, diskriminasi berdasarkan suku,
agama dan ras dan golongan dan kemiskinan. Terkait dengan keadilan sosial yang bercorak
demi pembebasan manusia dari situasi-situasi d humanistik, praksis keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia mestinya berdimensi materiil dan spiritual. Pembebasan yang
berdimensi materiil memperkarakan tanggung jawab pemerintah Indonesia untuk mengisi
kemerdekaan dengan pembangunan yang memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia. Negara bertanggung jawab dalam memfasilitasi pemenuhan kebutuhan hidup yang
real dan layak. Sementara cara pembebasan yang berdimensi spiritual memperkarakan nilai-
nilai impersonal yang mesti diusung dan diperjuangkan pemerintah Indonesia dalam praksis
kehidupan bersama misalnya orang kaya mesti memiliki solidarita sosial berupa kemurahan
hati kepada mereka yang lemah. Artinya kekayaan haruslah memiliki nilai sosial. Tuntutan
keadilan sosial dalam dimensi spiritual ini mengisyaratkan bahwa harta kekayaan itu harus
bernilai sosial. Golongan yang kaya hendaknya mempunyai niat, perkataan dan tindakan
tulus untuk berbagi dengan golongan miskin.
BAB III

KELEBIHAN
BAB IV

KELEMAHAN
BAB V

HASIL ANALISIS
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Bolo, Andreas Doweng, dkk. 2012. Pancasila Kekuatan Pembebas. Yogyakarta: PT.
Kanisius.

Sulasmono, Bambang Suteng. 2015. Dasar Negara Pancasila. Yogyakarta: PT. Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai