TUGAS CBR
Disusun Oleh:
Prodi/Kelas : PPKn / A
PENDIDIKAN PANCASILA
2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah dengan mengucapkan syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa, akhirnya tugas Critical Book Review ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang
sudah ditentukan.
Adapun isi secara umum Critical Book Review ini membahas mengenai Pancasila.
Materi-materi yang terdapat pada buku utama menyangkut: Bab 1 Pnedahuluan; Bab 2
Dinamika Perumusan dan Perjalanan Hidup Pancasila; Bab 3 Kedudukan dan Peran
Pancasila; Bab 4 Negara Berketuhanan Yang Maha Esa; Bab 5 Negara Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab; Bab 6 Negara Persatuan Indonesia; Bab 7 Negara Kerakyatan; Bab 8
Negara Kesejahteraan. Sedangkan pada buku pembanding, materi umumnya menyangkut:
Bab I Pendahuluan; Bab II Dinamika Sejarah Pancasila; Bab III Nilai Filosofi Sila I; Bab IV
Nilai Filosofis Sila II; Bab V Nilai Filosofi Sila III; Bab VI Nilai Filosofi Sila IV; Bab VII
Nilai Filosofi Sila V; Bab VIII Penutup.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs, Halking, M.Si
selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila yang telah memberi kesempatan
dan kepercayaannya kepada penulis untuk membuat dan menyelesaikan Crtitical Book
Review ini. Sehingga penulis memperoleh banyak ilmu, informasi dan pengetahuan selama
penulis membuat dan menyelesaikan tugas ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada seluruh rekan yang membantu penyelesaian tugas ini baik berupa bantuan moril
maupun materil.
Setelah itu penulis berharap semoga tugas ini berguna bagi pembaca meskipun
terdapat banyak kekurang sempurnaan di dalamnya. Akhir kata penulis meminta maaf
sebesar-besarnya kepada pihak pembaca maupun pengoreksi jika terdapat kesalahan dalam
penulisan, penyusunan maupun kesalahan lain yang tidak berkenan di hati pembaca mupun
pengoreksi, karena hingga saat ini penulis masih dalam proses belajar. Oleh karena itu
penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi kemajauan bersama.
Penulis
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .............................................................................................................
B. Saran .......................................................................................................................
PENDAHULUAN
Keterampilan dalam membuat CBR oleh penulis dapat menguji kemampuan dalam
meringkas dan mengenal sebuah buku, mengenal dan dan juga memberikan nilai serta
mengkritik sebuah karya tulis berupa buku yang akan di analisis.
Kerap kali kita bingung memilih buku referensi untuk kita baca dan kita pahami,
terkadang pula kita hanya memilih satu buku untuk kemudian dibaca tetapi hasilnya masih
belum memuaskan, misalnya dari segi analisis bahasa dan pembahasan. Oleh sebab itu,
penulis membuat CBR untuk mempermudah pembaca dalam memilih buku referensi
terkhusus pada pokok bahasan pembelajaran Pedidikan Pancasila.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengkritisi/membandingkan dua buku mengenai Pancasila yang berbeda
pembahasan materi.
2. Untuk memaparkan identitas buku yang akan dibandingkan.
3. Untuk memaparkan ringkasan buku utama dan buku pembanding.
4. Untuk mengetahui perbandingan, yaitu keunggulan dan kelemahan buku utama
dan buku pembanding dengan pembahasan materi yang berbeda.
C. Manfaat Penulisan
1. Mengetahui hasil kritikan/perbandingan dari dua buku mengenai Pancasila yang
berbeda pembahasan materi.
2. Mengetahui identitas buku yang dibandingkan.
3. Mengetahui ringkasan buku utama dan buku pembanding.
4. Mengetahui perbandingan, yaitu keunggulan dan dan kelemahan dari buku utama
dan buku pembanding dengan pembahasan materi yang berbeda.
D. Identitas Buku
a. Buku Utama
1. Judul Buku : Dasar Negara Pancasila
2. Penulis : Bambang Suteng Sulasmono
3. Penerbit : PT. Kanisius
4. Tahun Terbit : 2015
5. Kota Terbit : Yogyakarta
6. Jumlah Halaman : x + 217 hlm
7. ISBN (pdf) : 978-979-21-4622-6
8. ISBN (cetak) : 978-979-21-4347-8
b. Buku Pembanding
1. Judul Buku : Pancasila Kekuan Pembebas
2. Penulis : Bolo, Andreas Doweng, dkk
3. Penerbit : PT. Kanisius
4. Tahun Terbit : 2012
5. Kota Terbit : Yogyakarta
6. Jumlah Halaman : 272 hlm
7. ISBN (pdf) : 978-979-21-3842-9
8. ISBN (cetak) : 978-979-21-3360-8
BAB II
RINGKASAN BUKU
BAB 1 PENDAHULUAN
Sudah sejak lama O'Donnel, dan Schmitter (1993) Kemukakan bahwa walaupun
transisi-transisi dari beberapa rezim otoriter tertentu itu dipastikan mengatur suatu bangsa
menuju pada “sesuatu yang lain”.
Sementara itu praktis kehidupan selama masa transisi ini juga menunjukkan bahwa
kendala bagi terwujudnya masyarakat dan sistem politik yang lebih demokratis di negeri ini
masih cukup besar. Walaupun berbagai upaya pembaruan struktur politik telah berhasil
dilakukan, namun kultur yang mengisi struktur itu justru masih belum beranjak dari pola
lama yang berwatak dengan demokratis.
Salah satu gejala mencolok yang dirasakan akhir-akhir ini adalah meluas dan
meratanya praktik KKN ke seluruh jenis dan jenjang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika pada masa lalu KKN lebih menjangkiti birokrasi pemerintahan, maka pada kini KKN
justru menyebar ke lembaga perwakilan rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya. Jika
dahulu KKN lebih terjadi di pusat pemerintahan, kini merata sampai ke jenjang pemerintahan
di pelosok tanah air.
Di lain pihak masih rendahnya kinerja lembaga yudikatif juga mengisyaratkan bahwa
lembaga ini memang belum mampu menampung proses transformasi menuju demokrasi,
sebab melalui kinerja semacam itu secara tidak langsung mereka justru memperbesar peluang
kembalinya rezim totaliter dengan selubung baru.
Perilaku antidemokrasi itu tidak saja berlaku di kalangan elit politik melainkan juga di
kalangan masyarakat umum. Dari waktu ke waktu media massa memberitakan perilaku
anarkistis massa, baik dalam bentuk perkelahian antarwarga, perusakan fasilitas umum
maupun harta pribadi, atau bentuk-bentuk peradilan masa lainnya.
Kenyataan semacam itu dapat kita pahami apabila kita mengingat tahapan-tahapan
demokratisasi. Sebagaimana sudah sering dikemukakan banyak pihak, demokratisasi
sesungguhnya merupakan proses yang berkesinambungan. Ada empat tahapan proses
demokratisasi yang harus dilewati, sebagai berikut.
a. Tahap pembusukan rezim otoriter, ketika rezim yang lama mengalami kebangkrutan
akibat praktik penyimpangan (korupsi, kolusi, nepotisme, dan sebagainya) di tubuh
rezim itu sendiri.
b. Tahap transisi yang merupakan periode penuh ketidakpastian politik yang tinggi
dengan risiko pembelokan arah kembali ke pola rezim lama, walau disertai dengan
berkembangnya benih-benih rezim baru.
c. tahap konsolidasi, yaitu tahap mulai terbentuknya konsensus dasar diantara elit
politik mengenai aturan main dan lembaga-lembaga demokratis yang hendak
dijalankan di negara yang bersangkutan.
d. Tahap kematangan tatanan politik demokratis yang ditandai oleh revolusi budaya
politik demokratis.
Bangsa kita tampaknya masih dalam tahapan transisi dengan sedikit konsolidasi.
Amandemen UUD 1945 yang telah berlangsung empat kali mencerminkan terjadinya
“konsensus dasar diantara elite politik mengenai aturan main dan lembaga-lembaga
demokratis yang hendak dijalankan” di negara ini. Namun harus diakui pula bahwa tarik
menarik antara kekuatan lama dan kekuatan baru masih terus menggejala, sehingga
mengingatkan kita bahwa bangsa ini memang belum mampu melewati masa transisi
sepenuhnya.
Seruan berbagai pihak tentang pentingnya bangsa ini tetap berpegang teguh pada
common platform yang sudah disepakati bersama yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945 mengisyaratkan bahwa masa transisi ini juga diwarnai oleh berkembangnya tawaran
untuk menggunakan platform hidup bernegara yang lain diluar Pancasila. Tampak bahwa
Pancasila kini tidak saja harus berhadapan dengan ideologi lain yang berasal dari luar yaitu
kapitalisme, individualisme, maupun sosialisme, namun juga harus bersaing dengan ideologi
lain yang berasal dari khazanah kehidupan bangsa Indonesia itu sendiri.
Dalam situasi semacam itu maka kajian terhadap dasar negara, yaitu Pancasila,
menjadi amat relevan, sebab Pancasila sesungguhnya adalah common platform yang telah
disepakati bersama sebagai rule of the game dari masa transisi menuju demokrasi bangsa kita.
Jika kemudian memang dirasa perlu mengembangkan common platform hidup bernegara
yang lebih rinci, maka Pancasila dapat dijadikan sumber inspirasi bagi pengembangan aturan
main kehidupan politik yang kita inginkan bersama. Sebab memang itulah watak dasar
Pancasila sebagai ideologi terbuka, yaitu selalu membuka peluang untuk ditafsir ulang ide
dasarnya sesuai perkembangan zaman.
1. Pendahuluan
Walaupun Pancasila sudah ditetapkan sebagai dasar negara sejak tahun 1945, namun
dimensi kesejarahan Pancasila sendiri tetap relevan untuk diperbincangkan. Sudah tentu ada
banyak persoalan yang dapat dibahas bila kita membicarakan sejarah Pancasila. Sekadar
menyebut beberapa contoh, pembahasan dapat kita lakukan mulai dari persoalan asal-usul
nilai Pancasila, penggali Pancasila, bagaimana sila-sila Pancasila digali dan dirumuskan,
sampai ke persoalan bagaimana dinamika perjalanan hidup Pancasila selama ini.
Tentang asal-usul nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila cukup kiranya kalau
dikatakan bahwa Pancasila bersumber dari khazanah budaya Indonesia, yang diterangi oleh
ide-ide besar dunia. Pernyataan itu menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam
sila-sila ada yang bersumber dari kultur bangsa Indonesia sendiri, namun ada pula yang
berasal dari budaya luar Indonesia.
Menggali Pancasila dasar negara dapat dikatakan bahwa dalam proses penggalian dan
perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Ir. Soekarno mengemukakan pandangan-
pandangan yang cukup dominan pengaruhnya.
Proses perumusan dasar negara Pancasila berlangsung dalam sidang Dokuritu Zyunbi
Tyoosakai (Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, selanjutnya disebut
BPUPK) yang dilanjutkan dalam sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesi,
(selanjutnya PPKI).
Secara ideologis dan corak aspirasi politik (bukan atas dasar agama yang dipeluk
anggotanya), partai politik yang berkembang pada masa pergerakan dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu golongan Marsis/Komunis, golongan Nasionalis, dan golongan Islam.
Dari puluhan partai politik yang hidup, berkembang, dan bahkan mati pada masa pergerakan,
dapatlah kita sebut beberapa di antaranya sebagai ilustrasi tentang pengelompokan di atas
(Pringgodigdo, 1980; Morgono, 1971) sebagai berikut ini.
Cita-cita untuk mewujudkan negara Komunis secara formal padam pada tahun 1927
seiring diberangusnya PKI oleh pemerintah penjajah Belanda, setelah partai itu melakukan
pemberontakan. Oleh karena itu ketiga BPUPK dibentuk pada tahun 1945 hanya kaum
nasionalis dan Islam-lah yang menduduki kursi keanggotaan badan yang bertugas
menyelidiki persiapan bangsa Indonesia untuk merdeka itu.
Pranarka (1985) menyebutkan bahwa di dalam tubuh BPUPK terdapat tiga kelompok
ideologi, yaitu Islam, kebangsaan, dan Barat modern sekuler. Golongan kebangsaan berbeda
pandangan dengan golongan Islam dalam masalah hubungan antara negara dan agama,
sedangkan dalam hal jaminan hak-hak dasar manusia dan sistem pemerintahan golongan
kebangsaan berbeda pandang dengan golongan modern barat sekuler.
Dalam sidang pertama yang berlangsung pasa tangfal 29 Mei sampai tahun 1945,
BPUK membahas soal dasar negara, yaitu suatu"philosophisce grondslag atau dasar
falsafah, yaitu pikiran yang sedalam-dalamnya, untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia
Merdeka yang kekal dan abadi" (Bahar, 1995). Dasar seperti itu dipandang perlu karena
negara sebagai suatu organisasi hanya akan berfungsi dengan baik apabila terdapat suatu
gambaran tentang hakikat, dasar, dan tujuannya.
Hal tersebut berubah ketika pada masa pergerakan kaum terpelajar (kebanyakan
belajar di atau dari dunia Barat) mulai memikirkan rencana mendirikan negara merdeka lepas
dari penjajah Belanda. Hubungan antara negara dan agama pun kemudian menjadi persoalan
yang hangat untuk dibicarakan.
Hal itu dipicu oleh peristiwa Jawi Hisworo tahun 1916, ketika surat kabar milik Boedi
Oetomo itu memuat tulisan hang menyatakan antara lain bahwa "nabi Muhammad soeka
minum gin dan arak". Tulisan itu tentu menimbulkan kemarahan bagi kalangaj Islam. Sejak
itu polemik tentang hubungan negara/politik dengan agama berlangsung, baik antara
golongan Islam dengan golongan Komunis maupun antara golongan Islam dengan golongan
Nasionalis.
Dari polemik itu tampak bahwa kelompok Islam menghendaki adanya persatuan
antara negara dan agama (Islam). Di lain pihak, golongan Komunis menghendaki adanya
pemisahan antara agama dan organisasi. Mereka menganjurkan agar jangan mencampurkan
agama dengan perserikatan, sedangkan kaum nasionalis menghendaki agar negara tidak
disatukan dengan agama tertentu (negara dipisahkan dari agama).
Polemik mengenai hal di atas menghangat lagi pada paruh kedua tahun 1930-an serta
awal 1940-an. Kala itu Natsir, tokoh Sarekat Islam, berupaya menghidupkan lagi gagasan
tentang keharusan memperjuangkan Islam sebagai dasar bagi Indonesia di masa depan.
Natsir menentang gagasan Soekarno mengenai pemisahan antara urusan agama dan urusan
negara.
Ada dua alasan Natsir dalam memperjuangkan Islam sebagai ideology negara.
Pertama, kerena Islam tidak saja mengatur hubungan manusia dengan Tuhan melainkan juga
mengatur kehidupan sosial, politik, atau bahkan ekonomi. Kedua, karena mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga ada kewajiban bagi mereka untuk menjadikan
Islam sebagai ideology negara.
Pada persidangan I BPUPK (29 Mei – 1 Juni) hanya gagasan kaum kebangsaanlah
yang muncul ke permukaan. Pada tanggal 31 Mei 1945 Prof. soepomo mengemukakan usulan
tentang dasar negara yang antara lain menegaskan bahwa urusan negara harus dipisahkan dari
urusan agama. Alasannya pertama secara geografis Indonesia tidak terletak di lingkungan
negara ke-Islam-an (corpus Islamicus); kedua, kita tidak perlu mewarisi pertikaian yang
masih timbul di kalangan negara-negara Islam sendiri; dan ketiga, jika kita mendirikan
negara Islam maka berarti kita tidak mendirikan negara persatuan (Bahar, 1995).
Pada tanggal 1 Juni Ir. Soekarno juga mengemukakan usulan dasar negara yang salah
satu silanya adalah Ketuhanan.
Dari usulan-usulan dasar negara di atas tampak bahwa aspirasi golongan Islam tidak
dikemukakan oleh para pendukungnya. Oleh karena itu sesuai persidangan I golongan Islam
(yang merupakan minoritas, hanya 15 orang dari 62 anggota BPUPK) berupaya
memperjuangkan aspirasi mereka di luar persidangan.
Dalam pertemuan itu diupayakan kompromi antara pihak kebangsaan dan Islam
mengenai rumusan dasar negara. Pada kesempatan itu panitia ini kemudian dikenal dengan
Panitia Sembilan dibentuk untuk merumuskan kesepakatan antara kedua belah pihak.
Panitia itu berhasil menetapkan Rancangan Pembukaan UUD yang kemudian dikenal
sebagai Piagam Jakarta. Di dalam rancangan itu termuat rumusan kompromi antara pihak
Islam dan agama.
Kompromi dalam Piagam Jakarta itu ternyata tidak dengan sendirinya mengakhiri
pertentangan ideologis antara golongan kebangsaan dan Islam. Ketika Piagam Jakarta dibawa
ke sidang II BPUPK tanggal 10-17 Juli 1945, persaingan itu justru tambah memuncak. Pada
waktu itu timbul usul-usul yang hakikatnya mementahkan kembali kompromi melalui Piagam
Jakarta.
Pada akhirnya Sidang BPUPK tanggal 16 Juli 1945 berkesepakat sebagai berikut: (a)
rumusan sila pertama dasar negara yang terdapat dalam Piagam Jakarta tetap dipertahankan,
(b) rumusan syarat Presiden menjadi berbunyi “Presiden Indonesia haruslah orang
Indonesia asli yang beragama Islam”, (c) rumusan pasal 28 ayat 1 (kini pasal 29 ayat 1) tetap
berbunyi “Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan berkewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Hubungan antarbangsa yang dikehendaki oleh Soekarno adalah hubungan yang sama
derajat, tidak saling menyerang, dan tidak dialndasi oleh chauvanisme.
Dalam Sidang I BPUPK, tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, prinsip hubungan antarbangsa
juga dikemukakan sebagai salah satu unsur dasar negara. Seafroedin Bahar, dkk. (1995) tetap
mencantumkan naskah pidato M. Yamin, yang disebut-sebut diucapkan tanggal 29 Mei 1945
ke dalam buku karya mereka. Satu kalimat menarik dalam naskah pidato Yamin itu berbunyi
“Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia Merdeka adalah berdasar perikemanusiaan
yang universieel berisi humanism dan internasionalisme bagi segala bangsa” (Bahar, 1995).
Sementara itu dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, Soekarno antara lain menyatakan
prinsip hubungan antarbangsa. Tampak bahwa dalam konsepsi Soekarno, sila
internasionalisme ia kemukakan setelah dasar nasionalisme. Hal itu mengandung maksud
agar nasionalisme tidak jatuh ke paham chauvanisme dan internasionalisme, juga tidak jatuh
ke paham kosmopolitisme atau ajaran yang beranggapan bahwa seluruh kosmos (dunia)
adalah satu. Penganut kosmopolitisme cenderung mengabaikan batas-batas negara dan yang
ekstrem cenderung mengabaikan tanggung jawabnya sebagai warga negara.
Pola hubungan antarnegara yang dikehendaki oleh Soekarno adalah yang didasari
oleh sikap hormat-menghormati sesama bangsa, sehingga tidak ada kesombongan
antarbangsa di dunia ini. Secara lebih mendalam dapat kita pahami pula bahwa sikap hormat-
menghormati akan tumbuh bila ada keyakinan yang sama bahwa bangsa-bangsa yang ada di
dunia ini pada hakikatnya adalah sederajat, sama merdeka, dan hanya karena perkembangan
kebudayaan sajalah mereka terpisah ke dalam satuan-satuan kebangsaan tersebut.
Kesadaran kebangsaan, kesadaran bahwa suku-suku yang berbeda beda itu adalah
satu bangsa, kemudian terkristal dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Melalui Sumpah
Pemuda generasi muda di Indonesia mengakui bahwa mereka adalah bagian satu bangsa
bangsa yang satu yaitu bangsa Indonesia, yang menggunakan satu bahasa persatuan, bahasa
Indonesia, dan hidup di wilayah yang satu yaitu yanah air Indonesia.
Walaupun kesadaran sebagai kesatuan bangsa sudah diikrarkan, namun bukan berarti
kesatuan itu terwujud dengan sendirinya. Polemic antara dua kelompok di atas yang masih
berlangsung pada tahun-tahun menjelang kita merdeka menunjukkan bahwa masalah
kesatuan bangsa memang tetao menjadi tantangan yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia
secara tepat. Oleh kerena itulah persoalan tersebut juga mengemuka kembali ketika sidang
BPUPK berlangsung.
Di dalam sidang I BPUPK gagasan negara kebangsaan muncul lagi melalui usulan
dasar negara dari Ir. Soekarno. Dalam perkembangan kemudian ternyata di dalam Piagam
Jakarta sila kebangsaan itu berubah menjadi sila Persatuan Indonesia. Mengenai perubahan
rumusan itu Yayasan Idayu (1981) mencatat perubahan itu terjadi dalam rapat Panitia
Sembilan tanggal 22 Juni 1945, tepatnya ketika Piagam Jakarta disusun.
Gejala kebangkitan kesadaran akan hak kebebasan menyatakan pendapat tampak dari
begitu banyaknya penerbitan pers pada masa pergerakan.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa cita-cita atau keinginan untuk mendirikan negara
yang demokratis sudah cukup berkembang di kalangan kaum pergerakan.
Pada saat Piagam Jakarta terbentuk ternyata sila mufakat atau demokrasi itu diberi
rumusan Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan-
Perwakilan.
a) Pada tanggal 15 Juli 1945, ketika menanggapi Rancangan UUD, Muh. Yamin
mengusulkan agar negara Indonesia menggunakan “sistem Menteri yang bertanggung
jawab”. Usulan semacam itu juga datang dari Moh. Hatta yang secara tegas
mengajukan pentingnya pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat/wakil
rakyat.
b) Atas usulan itu Prof. Soepomo menjelaskan bahwa:
(1) UUD yang disusun mempunyai sistem tersendiri yaitu Presiden bertanggung
jawab kepada MPR, bukan kepada DPR, dan para Menteri bertanggung jawab
kepada Presiden bukan kepada DPR;
(2) Jika Menteri bersalah apakah Menteri itu harus mundur ataukah tidak sangat
bergantung pada kebijaksanaan (political feeling) Kepala Negara dan juga
kebijaksanaan Menteri yang bersangkutan.
c) Akhirnya sidang menyetujui bahwa sistem pertanggungjawaban para menteri/sistem
parlementer tidak dianut dalam Rancangan UUD 1945.
Masalah tujuan negara tidak menyita banyak perdebatan selama proses perumusan
dasar negara Pancasila. Hal itu dapat kita pahami karena cita-cita tentang kesejahteraan hidup
bersama sebenarnya merupakan hal yang selalu berkembang dalam kehidupan manusia di
segala zaman.
Dalam Piagam Jakarta sila kesejahteraan dari Seokarno itu dirumuskan menjadi
“Keadilan sosial bagi sleuruh rakyat Indonesia.” Dalam sudang PPKI tidak terdapat
pembahasan secara khusus mengenai sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Rumusan definitif dasar negara Pancasila baru terbentuk dalam sidang PPKI tanggal
18 Agustus 1945. Namun demikian proses pematangan Pancasila sesungguhnya sudah
dimulai sehari sebelumnya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 sore sususah Proklamasi
Kemerdekaaan Indonesia dikumandangkan.
Sejauh menyangkut sila II Pancasila, sidang PPKI hanya membahas teknis perumusan
sila itu dalam kaitannya dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hal yang sama juga terjadi pada sila kelima Pancasila. Dalam sidang PPKI tidak
terdapat pembahasan secara khusus mengenai sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. pasal-pasal yang menyangkut kesejahteraan pun (pasal 33 dan 34) langsung
disetujui oleh anggota sidang tanpa adanya pembahasan.
Pada hari itu selain berhasil memilih Presiden dan Wakil Presiden, PPKI juga berhasil
menetapkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD
1945 dan menetapkan UUD 1945 itu sendiri. Rumusan Pancasila dasar negara yang termuat
dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut.
Setelah resmi ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945
Pancasila dicoba dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Upaya mengimplementasikan
Pancasila dalam kehidupan bernegara ternyata tidak mudah. Sejarah ketatanegaraan
Indonesia menunjukkan bahwa PAncasila selalu dihadapkan dengan tantangan-tantangan dari
ideology alternative.
Belum genap dua bulan usia Pancasila, Presiden Soekarno justru melontarkan gagasan
untuk membentuk satu partai tunggal (sistem mono party), yang notabene bertentangan
dengan prinsip sila keempat Pancasila. Kemudian lahir Maklumat Presiden tanggal 1
November 1945 yang berisi anjuran agar rakyat membentuk partai-partai politik.
Salah satu partai politik yang kemudian muncul adalah Partai Komunis Indonesia
(PKI). Kelahiran partai pendukung ideology komunisme ini menandai telah
terkonsolidasikannya kekuatan pendukung ideology pesaing Pancasila itu. Namun pada tahun
1948 PKI mengadakan pemberontakan yang dikenal dengan Pemberontakan PKI Madiun,
sehingga partai ini dibubarkan oleh pemerintah.
Selain harus bersaing dengan Komunisme, Pancasila ternyata juga masih harus
bersaing dengan ideology Islam. Walalupun pembatalan rumusan sila pertama dalam Piagam
Jakarta dilakukan persetujuan beberapa tokoh Islam, namun sejarah menunjukkan bahwa
upaya mendirikan negara Islam masih terus berlangsung. Effendi (1998) bahkan
menyebutkan bahwa pada tanggal 14 Agustus 1945 Kartosuwiryo telah memproklamasikan
berdirinya Negara Islam Indonesia.
Tampak bahwa tidak semua pihak dapat menerima perubahan Piagam Jakarta itu
sepenuhnya. Dengan kata lain cita-cita untuk mendirikan negara Islam tidak padam begitu
saja sesuai perumusan dasar negara Pancasila. Aggaran Dasar Partai MAsyumi yang
dikeluarkan pada bulan November 1945 misalnya, secara tegas menyatakan tujuan partai itu
sebagai “mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dan agama Islam dan
mewujudkan cita-cita Islam dalam urusan-urusan negara.” Selanjutnya salam program partai
Masyumi yang dikeluarkan tanggal 17 Desember 1945 dinyatakan program untuk
“menerapkan cita-cita Islam dalam urusan-urusan negara yang berdasar pada kedaulatan
rakyat, dan masyarakat yang adil sesuai ajaran Islam” (Karim, 1982). Di samping itu di
programkan pula untuk “memperkuat dan melengkapi aturan-aturan dasar dalam Undang-
undang Dasar sampai dapat membentuk negara dan masyarakat Islam.” Rumusan-rumusan
di atas menunjukkan bahwa sebagian dari bangsa Indonesia masih mencita-citakan
terbentuknya negara Islam.
Untuk meredam propaganda gerakan Darul Islam, dan untuk memperoleh dukungan
lebih luas dari pihak kaum Islam dapat menghadapi penjajah Belanda, maka pada tanggal 3
Janiari 1946 oemerintah membentuk Kementerian/Departemen Agama.
Pada mulanya Depag hanya mengurusi agama Islam. Depag mengambil alih: (a)
urusan pengajaran agama dari Departemen Pendidikan; (b) urusan perkawinan, perceraian,
pengangkatan modin dan urusan haji dari Bupati; dan (c) pengadilan agama dari Mahkamah
Agung.
a) Negara Islam Indonesia berdiri dengan sentosa dengan tegak dan teguhnya, ke luar
dan ke dalam, 100% de facto dan de jure di seluruh Indonesia.
b) Lenyapnya segala macam penjajahan dan perbudakan.
c) Terusirnya segala musuh Allah, musuh Agama, dan musuh negara, dari Indonesia.
d) Hukum-hukum Islam berlaku dengan sempurna di seluruh Negara Islam Indonesia.
Dibutuhkan waktu lebih dari 14 tahun (1949-1963) untuk mematahkan gerakan Darul
Islam yang ingin mendirikan negara agama dengan jalan kekerasan.
Sejak tanggal 27 Desember 1949 negara Republik Indonesia yang berbentu Kesatuan
berubah menjadi negara Serikat. Negara Republik Indonesia Serikat terdiri atas beberapa
negara bagian, yaitu negara bagian Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara
Sumatra Timur, negara Pasudan, negara Jawa Timur, dan lain sebagainya.
Sebagaimana lazimnya sebuah negara bagian, maka setiap negara bagian dalam RIS
memiliki undang-undang dasarnya sendiri. UUD 1945 (yang di dalamnya terdapat Pancasila
sebagai dasar negara) dinyatakan hanya berlaku di negara bagian Republik Indonesia. sedang
untuk negara Republik Indonesia Serikat diberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat
1949. Di dalam alenia ketiga Mukadimah Kosntitusi RIS menunjukkan bahwa negara RIS
juga menganut lima dasar negara yang sama dengan Pancasila.
Melalui serangkaian proses politik dalam negeri bangsa Indonesia akhirnya kembali
ke bentuk negara kastuan. Namun mereka sepakat untuk menggunakan UUD 1945 dan
menggunakan UUD Sementara 1950 sebagai dasar penyelenggaraan negara. Hanya perlu
dicatat bahwa UUD 1950 itu sendiri sebenarnya menampung hal-hal yang baik dan atau
penting dari UUD 1945 maupun Konstitusi RIS 1949.
Walaupun UUD 1945 tidak berlaku lagi sejak UUDS 1950 dinyatakan berlaku di
negara Kesatuan RI, namun Pancasila tetap dipertahankan sebagai dasar negara. Tampak
bahwa dengan rumusan yang berbeda Pancasila tetap menjadi dasar negara RI walalu UUD
yang dipergunakan sudah berubah.
Selama masa pemerintahan terakhir Soekarno ini, kekuatan politik Islam menurun
drastis. Dua pilar kekuatan politik Islam mengambil langkah dan sikap yang berbeda terhadap
rezim yang ada. Dalam catatan Effendy (1998) NU mengambil sikap kompromis dengan
menata kembali orientasi politiknya serta menerima Manipol-Usdek Soekarno. Sementara itu
Masyumi justru terus mengambil sikap ooposisi sehingga banyak pemimpin mereka yang
dipenjarakan. Pada tahun 1960 Masyumi dibubarkan oleh pemerintah setelah para
pemimpinnya diduga terlibat dalam pemberontakan PRRI.
Dapat dikatakan bahwa posisi formal Pancasila sebagai dasar negara tak tergoyahkan
selama masa demokrasi terpimpin. Namun demikian implementasi dasar negara itu justru
tidak terwujud. Pelaksanaan pemerintahan waktu itu justru menyimpang dari UUD 1945 dan
dasar negara Pancasila.
Masa Orde Baru tercatat sebagai masa ketika pancasila dimanpulasi secara over-
loaded oleh rezim, sementara di lain pihak berlangsung pula transformasi pemikiran dan
praktik politik Islam di Indonesia. Hasil akhir dari proses transformasi itu adalah meredanya
ketegangan antara kelompok kebangsaan dan Islam dalam percaturan politik di negeri ini.
Hal yang terjadi pada masa ini adalah
Ketika reformasi kehidupan politik mulai bergulir dengan mundurnya Soeharto dari
jabatan presiden tanggal 20 Mei 1998, upaya kea rah “pemurnian” kedudukan dan peran
Pancasila juga dilaksanakan. Dalam sidang Istimewa tahun 1998 MPR mengeluarkan
ketetapan yang mencabut berkakunya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4, dan
mencabut ketentuan Pancasila sebagai azas tunggal.
Lebih lanjut dalam UU No. 1 Tahun 1999 tentang Partai Politik ditentukan pula
bahwa partai-partai politik boleh mempunyai azas lain di luar Pancasila, asal tidak
bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara.
Walaupun demikian sesudah pemilu tahun 1999 berlangsung, polarisasi aliran politik
Islam versus kebangsaan kembali mewarnai percaturan politik negeri ini.
Gejala diatas menunjukkan bahwa persoalan mengenai hubungan antara negara dan
agama dalam wadah negara Pancasila memang belum sepenuhnya terselesaikan.
Walaupun upaya untuk mengubah dasar negara Pancasila melalui pengubahan pasal
29 ayat 1 tidak berhasil selama empat kali amandemen UUD 1945, bukan berarti bahwa
aspirasi untuk mengganti Pancasila dengan ideology lain yang telah padam. Semua hal di atas
menunjukkan bahwa bahwa persaingan ideologis antara Pancasila dengan beragam ideology
lain masih terus akan berlangsung.
1. Pendahuluan
Istiilah kedudukan dan peran (status and role) dipergunakan dalam sosiologi untuk
menjelaskan lapisan masyarakat (Soekanto, 1990). Kedudukan adalah tempat seseorang
dalam suatu pola tertentu.
Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan, yaitu berupa pelaksanaan dari hak dan
kewajiban seseorang sesuai kedudukannya. Seorang presiden misalnya harus memainkan
peran sebagai pemimpin/kepada negara. Selain itu presiden misalnya harus memainkan peran
sebagai kepala pemerintahan seperti memimpin sidang cabinet, memberikan arahan pada
menteri, dll. Kedudukan dan peran tidak dapat dipisah-pisahkan.
Bangsa Indonesia juga memberi kedudukan dan peran tertentu kepada ajaran filsafat
kenegaraan yang bernama Pancasila. Pemberian kedudukan dan peran kepada Pancasila itu
berkembang sesuai dinamika kehidupan bangsa Indonesia.
Misalnya pada masa Orde Baru, sesuai dengan tiga kedudukan Pancasila (sebagai
dasar negara, pandangan hidup, dan ideology nasioal) disebutkan sederetan peran (baik yang
nyata maupun yang diharapkan) dari Pancasila. Peran-peran itu mencakup antara lain: (a)
jiwa bangsa Indonesia, (b) kepribadian bangsa Indonesia, (c) sumber segaal sumber hukum di
Indonesia, (d) pandangan hidup bangsa, (e) cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia, (f) satu-
satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta (g) sebagai
moral pembangunan.
Dari kata-kata “berdasar kepada” di dalam Pembukaan UUD 1945 dan kata-kata
“berdasarkan pengakuan” dalam Mukadimah Konstitusi Sementara RIS 1949 dan
Mukadimah UUD Sementara 1950, yang kemudian diikuti rumusan kelima sila Pancasila,
maka jelaslah bahwa Pancasila memang dinyatakan sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Makna atau peran Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, adalah sebagai
berikut.
Jika dalam pidato Soekarno Pancasila hanya merupakan pandangan hidup kenegaraan,
maka Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 justru memperluasnya ke bidang kemasyarakatan.
Dengan kata lain jika pada saat kelahirannya Pancasila ditegaskan sebagai pandangan hidup
dalam kehidupan bernegara, maka sejak tahun 1970-an wilayah berlakunya pandangan hidup
tersebut diperluas ke bidang kemasyarakatan. Dari sinilah kemudian lahir peran Pancasila
sebagai jiwa bangsa Indonesia dan kepribadian bangsa Indonesia.
Istilah ideology pertama kali dipergunakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-
18, dan pengertiannya kemudian berkembang selama abad ke-19. Oleh de Tracy ideology
diartikan sebagai ilmu tentang gagasan/ide-ide.
Menurut Karl Marx, ideology adalah pandangan hidup (segala ajaran tentang
masyarakat dan negara) yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas
tertentu dalam bidang politik atau sosial. Ideology adalah “bangunan atas” yang didirikan
atas basis ekonomi yang menentukan coraknya, oleh karena itu ideology sesungguhnya
mencerminkan pola ekonomi tertentu. Dalam konteks cara pandang pertentangan antarkelas,
maka ideology dipahami sebagai pandangan hidup yang diciptakan kelas berkuasa untuk
merepresi kelas yang dikuasai. Bagi Althusser, ideology adalah pandangan hidup yang
menjadi pedoman manusia menjalankan hidupnya.
Sebagai ideology nasional bangsa Indonesia, Pancasila (Oesman, 1992) dapat
memainkan peran sebagai berikut.
Jika secara internal Pancasila harus bersaing dengan ketika paham diatas maka secara
eksternal Pancasila juga sering dipertentangkan dengan paham liberalism yang berakar pada
individualism, dan paham sosialisme.
Dalam liberalism manusia dipandang sebagai makhluk yang bebas, rasional, dan
mampu memperbaiki diri sendiri (Macridis, 1986; Goodwin, 1982). Manusia adalah makhluk
bebas dan bermartabat mulia yang kebebasan serta kemuliaan martabatnya tidak boleh
diganggu gugat oleh siapapun. Manusia berbeda satu dengan yang lain, karena secara alamiah
mereka bebas dan merdeka. Kebebasan manusia adalah nilai utama dalam ajaran liberalism.
Prinsip moral liberalism adalah pengakuan atas hak-hak asasi manusia seperti hak
kebebasan, hak kemuliaan, dan hak hidup manusia. Dalam rangka menghormati kebebasan
manusia maka kekerasan terhadap manusia tidak dapat diterima kecuali dalam peperangan
yang dimaksudkan untuk mempertahankan kebebasan masyarakat itu sendiri. Di samping
mengutamakan kebebasan dan menghormati hak-hak dasar manusia, liberalism juga
menjunjung tinggi toleransi.
Pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dan rasional melahirkan
keyakinan bahwa pemerintahan negara harus didasarkan kepada persetujuan dari rakyat.
Pandangan bahwa pemerintahan harus berdasarkan persetujuan rakyat merupakan landasan
yang menyatukan liberalism dengan demokrasi.
Prinsip politik liberalism mencakup pengakuan atas hak-hak politik utama manusia,
seperti hak berserikat, hak berkumpul, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tertulis,
hak partisipasi, hak memutuskan bentuk kenegaraan yang akan dibangun, dan hak
menentukan kebijakan pemerintahan yang harus dijalankan. Demokrasi pluralis merupakan
konsekuensi logis politis dari gagasan liberal dalam kebebasan.
Dalam bidang ekonomi kebebasan juga menjadi nilai utama liberalism. Kebebasan
terkait erat dengan prinsip leissesfair yang menginginkan pengaturan minimum dan
kebebasan maksimum bagi perjuangan kepentingan masing-masing individu. Prinsip
ekonomi liberalism meliputi pengakuan atas hak-hak ekonomi dan kesejahteraan masing-
masing orang. Liberalism mengutamakan perekonomian swasta, mekanisme pasar, sistem
perdagangan bebas, atau kapitalisme. Liberalism mengakui dan menjamin hak-hak dan
kebebasan-kebebasan perorangan dalam kegiatan ekonomi (produksi, transaksi, dan
distribusi). Liberalism juga menghargai hak seseorang untuk memuaskan keinginan-
keinginan menurut caranya sendiri dan untuk menggunakan kekayaannya sesuai dengan
keputusan pribadi.
Negara demokrasi liberal saat ini diharapkan dapat mewujudkan cita-cita negara
kesejahteraan (welfare state) atau negara yang memberi pelayanan kepada masyarakat (social
service state).
Sosialisme lahir sebagai reaksi atas krisis sosial akibat industrialisasi dan cara
produksi liberal-kapitalis pada abad ke-19.
Menurut Heuken, S.J. (1988) pokok-pokok ajaran sosialisme di bidang politik sebagai
berikut.
Sejak akhir abad ke-19 partai-partai sosialis di negara-negara Eropa Barat dan
Skandinavia mulai menerima logika dan teknik-teknik demokrasi. Tujuan dari partai mereka
ubah menjadi ”melakukan perubahan sosial melalui sarana-saranan politik damai dan
prosedur-prosedur demokratis yang mapan.” Mereka mulai meningkatkan diri pada inti
ajaran moral liberalism dan penghormatan terhadap hak-hak sipil dan hak-hak pribadi
manusia. Mereka mulai melihat bahwa demokrasi menyediakan sarana-sarana bagi perubahan
dan oleh karenanya mereka dapat mengganti revolusi dan kekerasan dengan demokrasi.
Inti ajaran sosialisme di bidang ekonomi menurut Heuken, S.J., dkk. (1988) sebagai
berikut.
(1) Penghapusan atau pembatasan hak milik pribadi atas alat-alat produksi; pengambilan
alat-alat produksi (atau sebagiannya) oleh negara atau langsung oleh kaum buruh;
pembagian kembali milik pribadi.
(2) Perlindungan bagi kaum buruh terhadap pengisapan, kemiskinan, pengangguran
dalam bentuk jaminan kerja bagi semua; pembentukan koperasi produktif kaum
buruh; pemberian hak bagi kaum buruh untuk ikut dalam penentuan kebijakan
perusahaan melalui wakil-wakil buruh atau melalui serikat buruh; partisipasi dalam
laba perusahaan atau ikut memiliki perusahaan.
(3) Perubahan struktur kekuasaan ekonomi dengan jalan pengawasan negara terhadap
perusahaan-perusahaan monopoli, pengembangan perusahaan-perusahaan milik
negara, perencanaan produksi dan pembagian hasil produksi oleh negara.
Secara garis besar terdapat dua aliran sosialisme, yaitu sosialisme yang dipengaruhi
oleh Marxisme dan sosialisme non-Marxis (sosialisme demokratis). Salah satu aliran dalam
sosialisme demokrastis adalah sosisalisme religious, yaitu sosialisme yang dikembangkan
atas ajaran agama tertentu.
Marxisme/Komunisme adalah ajaran Karl Marx yang kemudian direvisi oleh Lenin,
Stalin, dan Mao Tze Dong. Seperti sudah disebut di atas Marxisme/Komunisme adalah salah
satu varian dari sosialisme.
Revolusi kaum proletar untuk merebut kekuasaan politik dan ekonomi dari kaum
borjuis merupakan jalan utama menuju terbentuknya masyarakat komunis. Marx sendiri tidak
memberi resep yang tegas tentang sifat dan revolusi kaum proletar atau sarana yang harus
digunakan untuk menyingkirkan kaum borjuis. Marx memang memperhitungkan kekerasan,
tetapi tidak dalam bentuk prtumpahan darah dan pembinasaan.
(1) Penghapusan hak milik atas tanah dan penerapan sistem penyewaan tanah untuk
kepentingan umum.
(2) Peningkatan secara tajam atau gradual pajak pendapatan.
(3) Penghapusan semua hak waris.
(4) Pemusatan uang di tangan negara melalui bank nasional dengan modal negara dan
monopoli ekslusif.
(5) Pemusatan alat-alat komunikasi dan transportasi di tangan negara.
(6) Pemusatan pabrik-pabrik dan alat-alat produksi milik negara.
(7) Persamaan tanggung jawab bagi semua buruh.
(8) Kombinasi antara pertanian dengan industry pengelolaan.
(9) Pendidikan gratis untuk semua anak di sekolah-sekolah umum.
1. Pendahuluan
Dari uraian tentang sejarah Pancasila kita memahami bahwa sila-sila Pancasila
dirumuskan untuk menjawab lima persoalan dasar dalam hidup bernegara. Kelima masalah
pokok itu adalah (a) bagaimana hubungan antara negara dan agama, (b) bagaimana hubungan
antarbangsa, (c) apakah hakikat negara yang hendak didirikan itu, (d) siapakah pemilik
kedaulatan dalam negara, dan (e) apakah tujuan dari negara yang hendak didirikan itu. Dari
sejarah pula kita memahami bahwa persoalan bagaimana sebaiknya hubungan antara negara
dengan agama/agama-agama di negara Indonesia Merdeka merupakan persoalan paling
dinamis dalam perumusannya. Uraian dalam bab ini tidak mengulang pembahasan tentang
dinamika perumusan sila pertama Pancasila tersebut, karena bagimanapun juga jawaban akhir
atas persoalan tersebut adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Negara adalah organisasi yang dibentuk oleh manusia untuk mencapai tujuan
bersama. Untuk itu negara diberi kewenangan mengatur dan menegakkan aturan demi
ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Negara bahkan diberi monopoli untuk
menerapkan sanksi hidup atau mati terhadap pelanggar hukum. Penerapan sanksi itu sudah
tentu harus dilandaskan pada aturan hukum yang berlaku.
Jadi, pada satu sisi – baik negara maupun agama – keduanya merupakan lembaga
yang berwatak atau bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia. Walaupun wilayah
berlakunya atauran agama/agama-agama bersifat universal, menembus batas-batas wilayah
negara, sementara aturan negara hanya berlaku di wilayah negara yang bersangkutan, namun
dapat dipahami bahwa pada titik tertentu subjek dari kedua aturan tersebut sama yaitu warga
suatu negara tertentu.
Menurut Heuken, S.J., dkk. (1988) secara teoretis terdapat empat kemungkinan
hubungan antara negara dengan agama sebagai berikut.
Hal ini misalnya terdapat pada masa kekaisaran Romawi Kuno dan pemerintahan Tsar
Rusia sampai tahun 1917. Pada masa pemerintahan kaisar-kaisar Romawi Kuno, para kaisar
juga menjabat sebagai Ponifex Maximus (Imam Agung). Mereka membunuh ribuan orang
Kristen yang tidak mau menyembah dewa-dewa Romawi.
Dalam negara ini pemerintahan dianggap dilakukan menurut kehendak Ilahi seperti
diwahyukan menurut kepercayaan agama tertentu. Pola pemerintahan teokrasi ini dapat
diwujudkan melalui tiga kemungkinan yaitu:
Di dalam dunia filasfat dikenal adanya aliran sekularisme, yang memandang satu-
satunya kenyataan adalah dunia yang dapat digarap oleh manusia dengan kemampuannya
atau dengan ilmu pengetahuan (Pokja UKSW, 1980). Istilah sekuler untuk ilmu kenegaraan
dipakai sebagai terminus-technicus untuk pemisahan antara kekuasaan negara dengan
kekuasaan agama, yang di Eropa berarti pemisahan antara gereja dan negara. Namun, negara
sekuler itu tidak perlu harus merupakan negara antiagama atau anti gereja.
Di lain pihak prinsip pemisahan antara agama dan negara dapat juga dilakukan secara
radikal dan dalam semangat antiagama, sehingga merugikan agama. Pola hubungan ini lazim
terjadi di negara-negara Komunis seperti yang terdapat di kebanyakan negara Komunis
maupun Prancis tahun 1905.
Dalam model pembedaan dan kerja sama antara negara dan agama/agama-agama,
negara tidak menyatukan diri dengan satu agama tertentu. urusan agama maupun urusan
negara tidak dipersatukan apalagi dicampuradukkan. Negara melalui pemerintahan
mengembangkan hubungan saling menguntungkan dengan agama, melalui berbagai lembaga
keagamaan yang ada.
Studi tentang relasi antara negara dengan agama yang lebih muktahir antara lain
dilakukan oleh De Bartolo & Kadlec (2008), Driessen (2010), Jihad Nammour, dkk. (2011),
dan Mueller (2012).
Praksis hubungan antara negara dengan agama selama ini sebenarnya berada pada
satu garis kontinum, antara negara yang disatukan dengan agama (negara agama) pada satu
ujungnya dengan negara dipisahkan dari agama (negara antiagama) di ujung garis kontinum
yang lain. Di antara negara agama di satu ujung dengan negara antiagama di ujung yang lain
itu terserak beragam pola hubungan antara negara dengan agama, di mana salah satunya
adalah pola hubungan pemisahan fungsi dalam semangat kerja sama untuk bersama-sama
menyejahterakan warga negara. Dapat disimpulkan juga kiranya bahwa dalam praktik
kehidupan berbangsa dan bernegara selalu terdapat dinamika tarik-menarik aspirasi para
pelaku hidup bernegara tentang relasi antara negara dengan agama. Konsekuensi logis dari
fakta semacam itu adalah bahwa dalam penerjemahan prinsip dasar tentang bagaimana
sebaiknya hubungan antara negara dengan agama dalam kehidupan nyata selalu diperlukan
komitmen yang kuat terhadap prinsip dasar yang telah disepakati bersama sejak awal
berdirinya agama.
Pancasila memberikan prinsip hubungan antara negara dan agama di negara Indonesia
melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna utama dari sila ini adalah bahwa negara
Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara atheis. Hubungan negara Indonesia
dan agama/agama-agama yang hidup di negeri ini adalah hubungan pembedaan fungsi dalam
semangat kerja sama.
Menurut Suseno (1994) negara agama adalah negara yang diatur menurut dalil atau
hukum salah satu gama, sehingga mereka yang tidak memeluk agama yang satu itu akan
merasa menjadi warga negara kelas dua.
Negara Indonesia dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menolak konsepsi negara
agama. Penolakan itu bukan karena Indonesia menganut paham sekularisme atau acuh tak
acuh terhadap gama. Prinsip Ketuhanan yang Maha Esa mengakui keberadaan agama dan
fungsi pentingnya bagi masing-masing pemeluknya, namun menghendaki agar negara tidak
mencampuri hubungan masing-masing orang dalam kelompoknya sendiri, dengan Tuhan.
Tegasnya dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa negara Indonesia tidak berdasarkan agama
tertentu atau bukan negara agama.
Sejalan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esan, maka negara Indonesia menolak
paham atheisme. Sila pertama Pancasila itu menegaskan bahwa bangsa Indonesia percaya
adanya Tuhan Yang Maha ESa. Bahkan kemampuan bangsa Indonesia untuk mendirikan
negara Republik Indonesia juga diyakini sebagai berkat dan rahmat Tuhan Yang Mahakuasa
(Alenia III Pembukaan UUD 1945). Jelas bahwa keyakinan itu bertolak belakang dengan
paham yang tidak percaya adanya Tuhan.
3.3. Indonesia Menganut Pembedaan Fungsi dalam Semangat Kerja Sama antara
Negara dan Agama/Agama-agama
Pembedaan fungsi yang tegas dan kerja sama antara agama dan negara itu mempunyai
arti sebagai berikut ini.
a) Negara tidak memasukkan agama ke dalam dirinya, dan juga agama tidak mencaplok
negara menjadi wilayah bawahannya.
b) Negara menghormati agama dengan karakteristiknya sendiri sehingga tidak ada
campur tangan negara terhadap agama sebagai agama, dan sebaliknya agama
menghormati negara dengan karakteristiknya sendiri.
c) Hukum negara tidak diangkat dari atau dibuat berdasarkan hukum agama tertentu.
d) Tidak ada agama yang diangkat menjadi agam negara, yaitu agama satu-satunya yang
harus dianut oleh seluruh rakyat.
e) Negara membantu rakyatnya dalam kehidupan beragama, berdasarkan pandangan
bahwa kehidupan beragama adalah salah satu jalan bagi manusia untuk memperoleh
kebahagiaan religious, sedangkan kebahagiaan religious merupakan suatu segi
kesejahteraan yang menjadi tujuan negara.
Walaupun tidak didasarkan pada satu agama tertentu, tidak berarti negara Indonesia
tidak perduli terhadap ketuhanan dan agama. Sebagai negara yang memiliki filsafat
kenegaraan yang dibangun atas ide dasar kesamaderajatan dan kemerdekaan manusia, negara
Indonesia sangat memperhatikan soal-soal keagamaan.
Jadi di satu pihak memang ada pemisahan yang tegas antara negara dan agama
sehingga tidak ada pencampuradukan satu dengan lainnya dan tidak terdapat campur tangan
satu terhadap yang lain. Namun di lain pihak, karena agama menyangkut kesejahteraan warga
negara, negara sangat berkepentingan dengan keanekaragaman agama yang dianut warganya,
dan oleh karena itu sangat memperhatikan agama dan soal ketuhanan.
Dalam kaitannya dengan sila-sila Pancasila yang lain, penolakan terhadap negara
agama dan atheism serta pemilihan pola pembedaan dungsi dan kerja sama negara-agama itu
dapat dipahami sebagai berikut. Bila negara memaksakan dianutnya satu agama tertentu
kepada warga-negaranya atau melarang warga negaranya menganut agama tertentu, maka itu
bertentangan dengan kemanusiaan manusia. Dalam rangka menghormati kemanusiaan
manusia itulah negara memberi kebebasan bagi warganya untuk memeluk agama sesuai
dengan keyakinan masing-masing.
Pemihakan negara kepada salah satu agama saja juga bertentangan dengan semangat
persatuan bangsa yang hendak dipelihara melalui prinsip Persatuan Indonesia. perumusan
dasar negara yang mewajibkan pemeluk salah satu agama saja sudah bernuanda diskriminatif
dan merusak persatuan bangsa, apalagi bila negara menyatukan dirinya dengan salah satu
agama. Sebagaimana terungkap dalam pernyataan Hatta di hadapan sidang PPKI, rumusan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu justru dipilih guna memelihara persatuan bangsa
Indonesia.
Mendasarkan negara pada satu agama sama saja juga bertentangan dengan sila
keempat Pancasila. Dalam masyarakat majemuk yang tidak semjua warga menganut satu
jenis agama yang sama, maka penyatuan negara dengan agama tertentu juga bertentangan
dengan prinsip kedaulatan rakyat. Dengan penyatuan itu negara mengelompokkan warga-
negaranya menjadi warga negara kelas satu dan kelas dua. Masing-masing kelompom itu
berbeda hak dan kewajibannya di hadapan negara. Keadaan semacam itu tentu bertentangan
dengan prinsip persamaan hak dan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan yang
dikehendaki oleh paham demokrasi.
Sebagai pengaturan lebih lanjut prinsip Ketuhanan Yang Maha ESa, maka pasal 29
UUD 1945 menentukan: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Selanjutnya melalui amandemen kedua UUD 1945 ditentukan pula bahwa “setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamnya… dst.” (pasal 28 E ayat 1).
Dalam pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 dinyatakan pula bahwa hak beragama termasuk dalam
kategori hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non
derogerable). Ketentuan-ketentuan itu menunjukkan bahwa hakk kebebasan beragama
sebagaimana digariskan oleh sila pertama Pancasila, telah dicoba melalui kosntitusi oleh
bangsa ini.
Sehubungan dengan hak kebebasan beragama itu maka ada sejumlah tugas negara
dalam bidang hidup keagamaan. Negara antara lain bertugas untuk:
Secara lebih rinci Suyitno & Gultom (1981) menyebutkan adanya empat tugas negara
terhadap agama dan penganutnya, yaitu mengakui dan menghormati, serta menjamin hak
hidup agama-agama dan kepercayaan, menjamin tiap-tiap penduduk menjalankan ibadatnya,
memberikan perlindungan yang sama terhadap semua perkumpulan agama dan kepercayaan,
serta membina sikap positif warga negara terhadap agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
Dalam kalimat lain dapat juga dikatakan negara wajib melalukan hal-hal berikut ini.
a) Menjamin kebebasan untuk beribadah, kebebasan menyatakan buah pikiran,
kebebasan mengungkapkan rasa keagamaan meupun kebebasan lembaga-lembaga
keagamaan dan umat beragama dalam menjalankan kegiatan mereka, sejauh mana
semua hal di atas tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral dan
keselamatan negara.
b) Melindungi harta milik maupun pemimpin dan pengurus lembaga-lembaga
keagamaan dalam menjalankan kegiatan-kegiatan yang tidak bertentangan dengan
aturan hukum yang berlaku.
c) Membentuk dan menegakkan aturan hukum yang mencerminkan sikap positif dan
konstruktif terhadap lembaga-lembaga keagamaan dalam menyetakan kepercayaan
mereka terhada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada sisi lain lembaga-lembaga keagamaan dan umat Bergama mempunyai kewajiban
tertentu pada negara. Lembaga-lembaga keagamaan dan umat beragama (warga negara yang
beragama) wajib untuk melakukan hal-hal berikut ini.
Pada masa lalu pernah berlaku keyakinan umum bahwa hanya ada 5 agama yang
boleh hidup di Indonesia, yaitu Budha, Hindu, Islam, Katolik, dan Kristen. Kelima agama itu
sering disebut sebagai agama resmi atau agama yang diakui oleh negara. Kong Hu Cu,
Pangestu dan sejenisnya dikategorikan sebagai kepercayaan yang tidak sama kedudukannya
dengan agama.
Oleh karena itu pada waktu lalu penganut ajaran Kong Hu Cu di Indonesia sempat
resah karena keberadaan mereka dirasa kurang mendapat perlindungan dan pelayanan dari
pemerintah.
Tepat kiranya pernyataan Presiden Gus Dur dalam acara Syukuran Tahun Baru Imlek
2551 tanggal 17 Februari 2000 lalu bahwa “tanpa pengakuan negara, agama akan tetap
hidup karena adanya dalam hati manusia. Hati manusia itulah yang menghidupkan agama,
bukan jaminan dari negara” (Kompas, 19-02-2000). Sebelumnya dalam kesempatan yang
sama, Presiden menyatakan bahwa negara atau pemerintah tidak berwenang menentukan
agama itu betul atau tidak, sebab hal itu amat bergantung pada keyakinan pemeluknya.
Agama adalah agama manakala ia hanya diyakini oleh pemeluknya sebagai agama.
Oleh karena itu tindakan negara mengakui beberapa agama dan tidak mengakui
agama yang lain merupakan kekeliruan. Setiap umat beragama memiliki hak yang sama
dengan warga negara lain. Hak-hak dasar, termasuk hak untuk menyakini agama tertentu,
harus dijamin dan dilindungi oleh negara bukan maha dibatasi atau diingkari.
“… sebab agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu berdasarkan
keyakinan sehingga tidak dapat dipaksakan, dan memang agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk
memeluk dan menganutnya.” (Penjelasan Tap MPR No. II/MPR/1978).
Implikasi dari pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana dikandung
dalam sila pertama Pancasila adalah kewajiban etis suatu moral bahwa kehidupan akan
menjadi lebih baik apabila semua warga negara itu memeluk dan beribadah sesuai agama
masing-masing. Sebagai kewajiban moral maka tidak ada sanksi atau hukum yang diterapkan
apabila ada warga negara yang tidak beragama atau tidak ber-Tuhan.
Setiap komunitas agama melarang anggotanya pindah agama. Tindakan pindah agama
dianggap dosa besar oleh agama yang ditinggalkan, namun dianggap wajar oleh agama yang
dimasukinya.
Pasal Tap MPR No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayannya itu.”
Sedang pasal 22 ayat 1 UU No. 39/1999 juga berbunyi “Setiap orang bebas memeluk
agamnya masing-masing untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayannya itu.”
Tampak bahwa dimensi hak untuk berpindah agama tidak terungkat dalam berbagai
pengaturan di atas. Penjelasan pasal 22 ayat (1) UU No. 39/1999 pun hanya mengatakan
“yang dimaksud dengan hak untuk bebas memeluk agamanya dengan kepercayaannya
adalah hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri tanpa adanya
paksaan dari manapun juga.”
Walaupun demikian dapat dikemukakan bahwa sejalan dengan prinsip bahwa agama
merupakan urusan masing-masing pribadi manusia dengan Tuhan yang diyakininya, maka
tindakan pindah agama dapat dimengerti sejauh kepindahan itu dilakukan atas dasar pilihan
bebas pribadi dewasa, tanpa paksanaan atau bujuk rayu pihak mana pun.
Mengenai kaitan antara hukum dengan kehidupan beragama para warga negara dapat
dikemukakan bahwa hukum sebenarnya hanya kena-mengena dengan tingkah laku
menampak manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Berkaitan dengan prilaku hidup beragama, maka hukum positif kita mengatur tentang
penyerangan terhadap nama baik suatu ajaran agama tertentu. pasal 156 KUH Pidana
menentukan, ancaman hukuman penjara atau denda bagi barang siapa di muka umum
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau
beberapa golongan rakyat Indonesia. istilah golongan itu diartikan sebagai tiap-tiap bagian
rakyat Indonesia yang berbeda dengan satu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri
asal, agama, tempat keturunan, kebangsaan, atau kedudukannya menurut hukum tata negara.
Pada tahun 1965 dikeluarkan UU No. 1/PnPs/1965 yang menambah pasal 156 KUHP
di atas dengan pasal 156 a. yang mengancam dengan pidana penjara selama-lamanya 5
tahun barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, (b) dengan maksud agar orang tidak
menganut agama apa pun juga yang tidak bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Ketentuan di atas selain menunjukkan adanya larangan (yang diancam pidana bagi
yang melarangnya) membujuk atau mengajak orang lain untuk tidak menganut agama apa
pun juga. Dengan demikian terkandung mekasud untuk mencegah atau menghalangi
penyebaran paham atheism, suatu paham yang tidak mengakui keberadaan Tuhan Yang
Maha Esa.
1. Pendahuluan
Persoalan dasar kedua dalam hidup bernegara yang hendak diberi prinsip dasarnya
oleh Pancasila adalah masalah hubungan antar manusia dan hubungan antarbangsa di alam
Indonesia merdeka. Pancasila dirumuskan pada saat bangsa Indonesia berada dalam
kungkungan penjajahan Jepang. Setelah ratusan tahun dijajah Belanda ternyata bangsa
Indonesia belum lepas dari penjajahan karena kepergian Belanda disusul dengan kedatangan
Jepang yang juga menjajah bangsa Indonesia. Kesengsaraan bangsa Indonesia yang
diakibatkan penjajahan lain mendorong para perumus dasar negara cara untuk menetapkan
prinsip perhubungan antar bangsa yang harus dianut atau dijalankan di Indonesia merdeka.
Prinsip itu dimuat dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab.
Secara historis terdapat tiga pola hubungan utama yang berkembang antar manusia
yaitu hubungan perbudakan, ketergantungan dan hubungan yang sama derajat. Walaupun
kecenderungan peradaban manusia dewasa ini telah mengarah pada dominannya hubungan
antar manusia yang sama derajat, namun pola hubungan perbudakan dan ketergantungan
antar manusia masih terdapat di muka bumi ini.
Perbudakan adalah pola hubungan antar manusia yang dicirikan oleh adanya
ketidaksamaan yang paling ekstrem karena adanya manusia yang dimiliki oleh manusia lain
sebagai milik atau kekayaannya. Budak adalah milik dari tuannya, sehingga mereka
diperlakukan sebagai barang layaknya binatang piaraan ataupun peralatan rumah tangga yang
bisa diperjualbelikan antar para pedagang budak. Praktik perbudakan sesungguhnya
bermacam-macam. Di zaman Yunani kuno para budak adalah penduduk yang kalah perang
atau korban perampokan. Oleh karena itu kedudukan sebagai budak dapat berubah.
Kedudukan seseorang dapat berubah bergantung pada apakah negara kotanya mampu
memenangkan peperangan atau tidak. Setiap orang pada dasarnya potensial menjadi budak
atau menjadi merdeka tergantung perkembangan sejarah peperangan negaranya. Di kerajaan
Romawi di mana kelompok penguasa hanya sedikit pengetahuannya di bidang perdagangan
dan keuangan, para budak biasanya justru menjadi kaya melalui kegiatan bisnis dan beberapa
budak yang kaya mempunyai budak pula. Di Amerika serikat, Amerika Selatan dan India
barat abad 18 dan 19 para budak dipekerjakan sebagai pekerja perkebunan atau pelayan
rumah tangga. Jual beli budak yang terjadi di abad 19 tercatat sebagai penjualan yang paling
meluas.
Hubungan antara manusia yang sama derajat adalah hubungan antar manusia yang
dilandasi oleh penghargaan atas kodrat manusia sebagai makhluk yang memiliki
kemerdekaan dan kesamaan derajat asasi. Dengan demikian for hubungan antar manusia itu
diwarnai oleh suasana penghormatan atas kodrat manusia. Di bawah prinsip saling
menghormati itu maka semua manusia yang terpisah-pisah oleh ikatan kenegaraan maupun
kebangsaan itu dipandang sebagai suatu kesatuan umat manusia yang sama derajat. Dapat
disimpulkan bahwa pola hubungan antar manusia dalam sejarah peradaban manusia dapat
ditempatkan ke dalam suatu garis kontinum dari ujung yang sangat tidak ideal yaitu
perbudakan ke ujung bentuk idealnya yaitu hubungan sama derajat antarmanusia. Diantara
kedua ujung garis kontinum itulah terserak praksis relasi antar manusia dengan derajat
kesetaraan dan persamaan yang bervariasi.
Dalam pola hubungan ini bangsa yang satu atau penjajah menghisap bangsa lain.
Kalau bangsa penjajah membangun prasarana di daerah jajahan dan mewariskan alat-alat
serta administrasi modern kepada bangsa jajahan, semua itu sesungguhnya lebih
dimaksudkan untuk mendukung kepentingan penjajah. Keuntungan yang diperoleh bangsa
terjajah hanyalah kebetulan saja. Lazimnya bangsa penjajah tidak memperhatikan
kepentingan bangsa terjajah, kepentingan mereka sengaja diabaikan agar mereka tetap bodoh
dan tidak memberontak memberontak.
Pola hubungan kolonialistis ini timbul sebagai akibat dari perkembangan kapitalisme.
Sistem kapitalisme membutuhkan bahan mentah bagi industri dalam negeri dan pasar hasil
industri yang kian banyaknya. Oleh karena bahan mentah itu ada di luar negeri maka timbul
kehendak dan praktik untuk menguasai wilayah bangsa lain guna menghisap kekayaan
bangsa tersebut.
Dalam pola ini hubungan antarbangsa dilakukan bukan dalam rangka eksploitasi
bangsa yang satu terhadap lainnya atau dalam rangka menguasai secara diam-diam berbagai
aspek kehidupan bangsa lain kecuali bidang politik. Hubungan antar bangsa justru dilakukan
dalam rangka kerjasama untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Memang dalam kerja
sama terkandung aspek saling ketergantungan namun hal itu tidak harus dilandasi semangat
untuk mengeksploitasi salah satu pihak. Pola hubungan semacam ini memang merupakan
pola yang ideal namun sulit diwujudkan atau minimal harus diperjuangkan terutama oleh
negara negara atau bangsa bangsa yang serba ketinggalan dalam berbagai kehidupannya.
Keterbatasan kualitas sumber daya suatu bangsa atau negara umumnya juga mempengaruhi
kapasitas negara atau bangsa itu dalam menjalin hubungan yang setara dan sejajar dengan
negara atau bangsa lain.
Kemanusiaan adalah tentang manusia atau keadaan sifat manusia. Sifat manusia bisa
baik dan bisa buruk, tetapi sifat manusia yang harus menjadi dasar perhubungan antar
manusia anggota bangsa itu adalah sifat yang adil dan beradab, yaitu tidak berat sebelah dan
patut, sejalan dengan kebaikan Budi yang mencerminkan kemajuan peradaban manusia.
Berdasarkan pemahaman tentang manusia dan kemanusiaan nya itu maka perhubungan antar
bangsa harus dilandasi penghargaan atas kodrat manusia sebagai makhluk yang memiliki
kemerdekaan dan kesamaan derajat dan asasi. Dengan demikian perhubungan antar manusia
tersebut harus diwarnai suasana penghormatan atas kodrat manusia. Di bawah prinsip saling
menghormati itu maka semua manusia yang terpisah-pisah oleh ikatan kenegaraan maupun
kebangsaan itu dipandang sebagai kesatuan umat manusia yang sama derajat. Dengan
demikian negara Indonesia dapat di Candra sebagai negara kemanusiaan, negara yang
bersikap terhadap bangsa atau negara lain berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Hak asasi liberal adalah hak asasi yang bersumber pada kebebasan manusia. Hak-hak
ini didasarkan pada keyakinan atas kebebasan manusia serta hak individu untuk mengurus
diri sendiri. Hari ini diperjuangkan oleh kaum liberal dengan tujuan untuk melindungi
kehidupan manusia dari campur tangan negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya demi
keutuhan manusia. Hak yang termasuk dalam hak ini adalah hak hidup, hak atas kebutuhan
jasmani, hak kebebasan bergerak, kebebasan memilih jodoh, hak perlindungan atas hak milik
dan sebagainya.
Hak asasi demokratis adalah hak untuk berperan serta dalam menentukan arah
perkembangan masyarakat dan atau negaranya. Hak ini didasarkan pada keyakinan atas
kedaulatan rakyat atau hak rakyat untuk mencintai diri sendiri. Hak-hak ini diperjuangkan
oleh kaum liberal dan kaum republiken berdasar pada prinsip bahwa semua orang sama
derajatnya.
Hak asasi positif adalah hak atas prestasi-prestasi tertentu dari negara. Dasar
anggapan nya adalah bahwa negara merupakan lembaga yang diciptakan dan dipelihara oleh
masyarakat untuk memberikan pelayanan pelayanan tertentu. Oleh karena itu warga negara
berhak atas layanan tertentu dari negara.
Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya dilandasi oleh sikap saling
menghormati. Penghormatan itu berupa penghormatan terhadap keberadaannya maupun hak
untuk mempertahankan keberadaan bangsa itu, penghormatan yang tidak mempedulikan apa
filsafat kenegaraan, bentuk, serta sistem pemerintahan negara lain tersebut. Politik luar negeri
Indonesia harus bersifat bebas dalam arti bangsa Indonesia tidak boleh melakukan campur
tangan terhadap urusan dalam luar negeri negara lain. Campur tangan bangsa atau negara
Indonesia terhadap masalah dalam negeri negara lain masih dimungkinkan dalam hal-hal
khusus, yaitu dalam hal negara yang bersangkutan terancam keberadaannya oleh pihak lain.
Oleh karena itu selain bersifat bebas, politik luar negeri Indonesia juga bersifat aktif, yang
berarti aktif membela setiap negara yang terancam oleh tindakan yang bertentangan dengan
prinsip kemerdekaan dan kesamaderajatan manusia atau bangsa.
Penghormatan atas kemerdekaan negara atau bangsa lainnya itu dimaksudkan untuk
menopang usaha menciptakan perdamaian dan keadilan sosial dalam hubungan antarnegara.
Dengan demikian politik luar negeri yang dianut bangsa Indonesia adalah politik damai atau
politik perdamaian. Dalam politik perdamaian, peran sebagai sesuatu yang bertentangan
dengan damai merupakan yang harus dihindari. Akan tetapi bila terdapat bahaya yang
mengancam keberadaan bangsa atau negara Indonesia maka perang pun dapat dilakukan
untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Konsekuensi yang timbul dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab di bidang
penyelenggaraan negara adalah bahwa negara pemerintahan berkewajiban pula untuk
menjamin dan melindungi hak-hak asasi warga negara Indonesia. Oleh karena itu diperlukan
instrumen implementasi prinsip yang terkandung dalam sila kedua Pancasila itu dalam bentuk
perlindungan hak-hak asasi warga negara atau bahkan penduduk Indonesia. Memang hak
asasi manusia bukanlah pemberian masyarakat, negara, atau hukum. Dengan demikian ada
atau tidak adanya hak asasi manusia tidak bergantung pada ada atau tidaknya aturan hukum
yang menyebutnya. Hanya saja sesuai dengan sifat dan fungsi hukum itu sendiri, hak-hak
asasi akan menjadi lebih terjamin perwujudannya jika dimasukkan kedalam hukum positif. Di
lain pihak hukum positif akan menjadi fungsional menjamin keadilan kebenaran dan
perdamaian apabila membuat sebanyak mungkin prinsip-prinsip hak asasi manusia. Jika hak-
hak asasi manusia dimasukkan ke dalam hukum positif, maka akan semakin terjamin bahwa
hukum itu memang adil dan sesuai dengan martabat manusia. Tak mengherankan jika sejarah
kenegaraan bangsa-bangsa di dunia diwarnai oleh episode-episode perjuangan manusia untuk
memasukkan hak-hak asasi manusia ke dalam dokumen dokumen kenegaraan, baik dalam
bentuk piagam atau bahkan konstitusi atau undang-undang dasar.
Persoalan yang sering muncul seiring dengan perkembangan konsepsi dasar dan
penerapan hak asasi manusia adalah masalah universalitas versus kontekstualitas atau
partikularitas hak asasi manusia. Persoalannya adalah apakah ide hak asasi manusia yang
muncul di dunia barat yang cenderung individualistik itu sesuai dengan jiwa bangsa
Indonesia yang bercirikan kekeluargaan. Pihak penguasa orde baru misalnya selalu
menyatakan bahwa hak asasi manusia di Indonesia adalah kas dan tidak dapat disamakan
begitu saja dengan hak-hak asasi di negara barat, sedangkan para aktivis pembela hak asasi
manusia cenderung mengutamakan dimensi universalitas hak asasi manusia itu sendiri. Tarik
menarik antara kedua tuntutan tersebut seringkali juga mencerminkan tarik-menarik antara
penguasa dengan rakyat. Sebagaimana umumnya penguasa di negara totaliter, penguasa orde
Baru juga mengklaim kontekstualitas dan hak asasi manusia, yang oleh masyarakat dicurigai
sebagai cara melemahkan hak asasi manusia warga negara. Atas dasar alasan itulah kemudian
lahir tuntutan masyarakat akan universalitas hak asasi manusia.
Realitas yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah bahwa pinjaman luar negeri
negara ini baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta telah begitu besar.
Utang yang dilakukan semasa pemerintahan orde baru itu kini menjerat siapapun yang
memerintah dan seluruh rakyat di negeri ini untuk membayarnya. Situasi semacam itu telah
menempatkan bangsa dan negara ini pada posisi harus selalu berhubungan dengan pihak-
pihak donor atau pemberi pinjaman. Hal itu merupakan tak terhindarkan nya. Hanya saja
yang kemudian sering menimbulkan kontroversi adalah bagaimana menjaga martabat bangsa
ini di hadapan para negara atau lembaga donor tersebut.
Paradoks yang tiba-tiba saja mengakibatkan semua pihak di masa transisi saat ini
adalah realitas bahwa orang Indonesia yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang cukup
beradab ternyata dapat menjadi begitu sadis dan gampang berkelahi sebagaimana
ditampakkan oleh perilaku kerusuhan massal, pembakaran atau penganiayaan orang yang
disangka melakukan kejahatan. Tentu ada banyak faktor yang menghasilkan fenomena
seperti tersebut, namun salah satu penjelasannya tampak dalam konstatasi mulder yang
menyatakan bahwa rezim orde baru telah menyebabkan memudarnya potensi-potensi etis dan
munculnya lingkungan hidup yang mengasingkan sehingga bahkan kebudayaan sekalipun
sebagai proses produksi makna-makna telah surut ke belakang. Kehidupan modern di dunia
ketiga termasuk Indonesia di dominasi pertimbangan-pertimbangan bangsa ekonomis yang
melahirkan masyarakat yang terbelah dan semrawut.
1. Pendahuluan
Rumusan sila Persatuan Indonesia secara sadar dipilih oleh para pendiri negara untuk
menjawab kekhawatiran terhadap niat beberapa aliran di kalangan pemerintah Jepang yang
hendak memecah Indonesia menjadi tiga atau empat negara merdeka.
Dengan pengertian seperti itu dapat kita pahami bahwa tumbuh, berkembang, atau
hancurnya sebuah bangsa sangat bergantung pada kuat atau lemahnya kesadaran kolektif
bangsa tersebut, yaitu kesadaran warga satu komunitas bahwa mereka adalah satu bangsa.
Kesadaran semacam itu bisa dipelihara agar tetap kuat melalui dua jalur, yaitu jalur
mental/spiritual dan jalur structural. Secara spiritual/mental kesadaran sebagai suatu bangsa
akan terpeliharanya apabila selalu dipupuk melalui proses pendidikan. Namun pendidikan
semacam itu akan kurang berpengaruh bila realitas kehidupan yang dialami warga bangsa
bertolak belakang dengan kesadaran yang ditanamkan. Oleh karena itu struktur kehidupan
masyarakat harus ditata sedemikian rupa agar menopang kesadaran berbangsa tersebut.
Dapat dipahami pula bahwa heterogenitas anggota dan wilayah tempat tinggal sangat
berpengaruh pada berat-ringannya tantangan yang dihadapi dalam upaya memelihara
persatuan bangsa. Semakin heterogen suatu bangsa semakin berat pula tantangan yang
dihadapi dalam upaya menjaga keutuhan bangsa.
Sila Persatuan Indonesia ditetapkan sebagai sila ketiga Pancasila untuk menjawab
berbagai persoalan negara yang dibangun atas dasar kemajemukan masyarakat.
2. Sekilas tentang Negara dengan Masyarakat Majemuk
Makna terdalam dari sila Persatuan Indonesia adalah poengakuan bahwa negara
Indonesia terbentuk melalui proses penyatuan berbagai unsur (suku bangsa dengan kondisi
eksistential/keberadaan masing-masing) menjadi satu kesatuan bangsa yang sepakat hidup
dalam wadah satu negara. Petunjuk kuat bahwa negara Indonesia terbentuk melalui proses
penyatuan bangsa adalah kejadian-kejadian segera sesudah kemerdekaan diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945.
Perbedaan antara negara kesatuan dan negara serikat terletak pada susunan negara
tersebut. Negara kesatuan adalah negara yang bersusun tunggal yang tidak memiliki negara
dalam negara. Dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintah yang berdaulat, yaitu
pemerintahan pusat yang berkuasa mengatur seluruh daerah di wilayahnya. Dalam
menjalankan kegiatan pemerintahan negara negara kesatuan dapat menganut sistem
sentralisasi atau desentralisasi. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah negara
yang diatur dan diurus langsung oleh pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tinggal
melaksanakan kebijakan dari pusat. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi adalah
negara yang sebagian urusan pemerintah pusat nya diberikan kepada pemerintah daerah
untuk diatur dan diurus sebagai rumah tangganya sendiri.
Negara serikat adalah negara yang bersusun jamak, karena terdiri dari negara-negara
bagian. Dalam negara serikat urusan negara dibagi menjadi dua yaitu yang secara terperinci
disebut limitatif diberikan kepada pemerintah pusat federal sebagai delegated power, dan
sisanya menjadi urusan negara bagian. Baik pemerintah pusat serikat maupun pemerintahan
negara bagian sama-sama berdaulat untuk urusan masing-masing.
Usaha untuk mewujudkan integrasi nasional di negeri ini masih menghadapi banyak
kendala titik secara umum kendala itu dapat dipilah ke dalam dua jenis yaitu kendala yang
bersifat kultural dan struktural. Pada sisi kultural Sukarni menyebut beberapa kendala
integrasi nasional yang kita hadapi yaitu kuatnya in group feeling di kalangan suku-suku
bangsa, etnosentrisme dan eksklusivisme. Etnosentrisme adalah paham yang memandang
kebudayaan suku bangsa sebagai yang terbaik sementara kebudayaan suku bangsa lain
dianggap rendah titik sikap semacam ini jelas tidak mendukung upaya integrasi nasional yang
masyarakatnya adanya kesediaan dari setiap pihak untuk saling menghargai dan menghormati
kekhasan atau ciri khas pihak lain.
Pluralitas bangsa Indonesia selama orde baru sering disebut suku, agama, ras, dan
antar golongan telah menjadi hal yang amat sensitif dan sering dijadikan kambing hitam
dalam kehidupan bangsa kita. Padahal sesungguhnya keberadaan sara dalam kehidupan
bangsa Indonesia yang majemuk adalah hal yang wajar, dan bahkan dapat dijadikan energi
penggerak dinamika kehidupan bangsa.
1. Pendahuluan
Diktator ini diberi kekuasaan mutlak dalam waktu yang telah ditentukan untuk
menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki negara guna menyelamatkan negara. Jika
bahaya telah reda kekuasaan diktator harus dikembalikan kepada senat dan rakyat, dan sang
diktator pun kembali ke kedudukan semula yaitu sebagai warga negara biasa. Dalam
perkembangan selanjutnya menurut Raney (1982) terdapat orang-orang yang mencari
kedudukan dan kekuasaan sebagai diktator melalui pemberontakan atau dengan
mengintimidasi senator. Para diktator ini kemudian pemerintahan dengan kekuasaan mutlak
dan tidak bersedia mengembalikan kekuasaan kepada rakyat. Oleh karena itu sesuatu
beberapa abad kemudian istilah ditaktor berubah pengertiannya menjadi seseorang yang
memperoleh dan memegang kekuasaan mutlak secara tidak legal atau sah. Para ahli kini
menggunakan istilah kredit aturan untuk menunjuk suatu bentuk pemerintahan dimana
kekuasaan pemerintah tertinggi dipegang dan dijalankan oleh satu orang atau sekelompok
kecil elit sehingga sama artinya dengan otokrasi.
2.2. Demokrasi
Definisi sederhana tentang demokrasi datang dari Abraham Lincoln yang menyatakan
bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Definisi
tersebut menunjukkan tiga hal pokok berikut ini yaitu yang pertama demokrasi adalah sebuah
bentuk pemerintahan. Dalam pemerintahan itu rakyat mempunyai kedudukan utama karena
mereka pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara yang bersangkutan. Rakyat pulalah yang
sebenarnya berkehendak untuk mengorganisasikan diri dalam sebuah organisasi yang
bernama negara itu guna mewujudkan cita-cita pribadi maupun cita-cita bersama. Rakyat
pula yang kemudian menjalani proses menegara baik dalam pembentukan, pelaksanaan,
maupun dalam pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintahan. Pada gilirannya rakyat
pulalah yang akan menikmati hasil pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan
pemerintahan itu.
Pendek kata, istilah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat menunjukkan bahwa
dalam negara demokrasi rakyat adalah asal mula atau titik berangkat, pemeran, dan sasaran
dari proses kehidupan bernegara. Kedua, apabila pemerintahan langsung oleh rakyat tak
dimungkinkan maka perwakilan rakyat menjadi penting. Dalam kondisi semacam itu maka
dimensi oleh rakyat dimodifikasi cara operasionalisasinya melalui prinsip perwakilan.
Dengan prinsip perwakilan ini maka atas persetujuan warga, sekelompok kecil warga
dibenarkan bertindak atas nama keseluruhan warga atau rakyat. Dengan perkataan lain
dengan seizin masing-masing warga, sekelompok orang dipercayai untuk menjadi wakil
warga dalam memerintah atau mengelola kehidupan bernegara dengan demikian posisi wakil
rakyat itu sangatlah penting.
Ketiga, pembentukan lembaga perwakilan rakyat itu sendiri harus pula dilakukan oleh
rakyat sendiri. Dengan kata ini proses pembentukan lembaga perwakilan rakyat tetap harus
mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat, sehingga harus dilakukan dengan cara-cara
demokratis pula. Sarana yang hingga kini masih dipandang efektif untuk membentuk
lembaga perwakilan rakyat yang mampu mencerminkan kehendak rakyat adalah pemilihan
umum. Dengan demikian pemilu mempunyai nilai strategis bagi rakyat negara yang
menganut paham kedaulatan. Demokrasi politik pada hakekatnya adalah satu sistem
pemerintahan dimana rakyat menjadi pemeran inti dalam kegiatan negara, baik di saat
perumusan, pelaksanaan, maupun dalam penikmatan hasil kebijakan pemerintahan.
Kedudukan utama rakyat ini tidak berubah meski mereka tidak memutuskan sendiri berbagai
kebijakan pemerintahan dan mewakilkannya kepada para wakil yang mereka pilih sendiri.
Para wakil rakyat harus mempertanggungjawabkan perilaku kekuasaan mereka kepada rakyat
yang mereka wakili.
Demokrasi dilandasi oleh tiga asas atau nilai dasar yaitu kemerdekaan, persamaan,
dan solidaritas manusia.
2.3. Anokrasi
Anokrasi adalah bentuk pemerintahan yang terletak diantara dua titik ujung garis
kontiniuum bentuk pemerintahan yaitu antara otokrasi/kediktatoran dan demokrasi. Menurut
Schipani (2010) anokrasi merupakan rezim campuran, yang memiliki atribut baik rezim
demokratik maupun rezim otokratik. Dalam rezim campuran ini para pemimpin rezim
bertanggung jawab kepada faksi-faksi atau kelompok-kelompok di luar elit penguasa.
Dengan prinsip kedaulatan rakyat berarti diakui bahwa pemegang kekuasaan tertinggi
di negara Indonesia adalah rakyat Indonesia. Oleh karena itu segala peraturan perundangan
yang akan ada harus merupakan aspirasi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip perwakilan adalah
prinsip di mana sekelompok kecil orang dipandang sah mewakili kelompok orang yang lebih
besar jumlahnya. Dipergunakannya kata perwakilan sebagai kualifikasi atau sifat kerakyatan
atau kedaulatan rakyat dalam rumusan sila keempat menunjukkan bahwa rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tidak terlibat langsung dalam proses bermusyawarah
menyelenggarakan kedaulatan. Rakyat melakukan hal itu melalui perwakilan titik rakyat
menggunakan kedaulatannya untuk mengatur kehidupan bernegara melalui wakil-wakil
negara. Oleh karena itu diperlukannya lembaga atau lembaga-lembaga yang berfungsi
sebagai wadah wakil rakyat pelaksanaan kedaulatan atas nama rakyat. Atau arti tegasnya
diperlukan lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
Secara umum pemilihan umum mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai sarana
memilih pejabat public (pembentukan pemerintahan), sebagai sarana pertanggungjawaban
pejabat public, dan sebagai saranan pendidikan politik rakyat.
Terdapat banyak variasi sistem pemilu namun secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi dua jenis, yaitu:
a) Sistem Distrik
Sistem ini dikenal dengan istilah single member constituency yang artinya pada suatu
daerah pemilihan dipilih satu orang wakil, sehingga jumlah wakil rakyat di parlemen
terhantung jumlah distrik yang ada.
b) Sistem Proporsional (Sistem Perwakilan Berimbang)
Dalam sistem ini wilayah negara dipandang sebagai satu wilayah pemilihan, namun
untuk mempermudah administrasi, wilayah negara itu dibagi menjadi beberapa daerah
pemilihan.
Menurut Ranney (1982) ada delapan kriteria pokok bagi pemilu demokratis, yaitu hak
pilih umum, kesetaraan bobot suara, pilihan yang signifikan, kebebasan nominasi, persamaan
hak kampanye, kebebasan dalam memberikan suara, kejujuran dalam perhitungan suara, dan
penyelenggaraan secara periodic.
Hasil penelitian muktahir dari Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi yang
disajikan oleh Priyono, (Tempo, 2005) menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia saat ini
hakikatnya merupakan demokrasi oligarkis. Oligarki adalah pemerintahan yang
kekuasaannya dikendalikan oleh sedikit orang tetapi memiliki pengaruh dominan. Rezim
oligarkis kita sekarang ini adalah rezim kleptokrasi, bersifat parasitis – seperti benalu.
1. Pendahuluan
Menurut Shang yang tujuan negara adalah pembentukan kekuasaan negara. Tujuan itu
hanya dapat dicapai dengan adanya tentara yang kuat, teratur, tidak mewah, dan selalu siap
sedia menghadapi bahaya. Bagi Shang yang kesusilaan, kejujuran, kebaikan adat, dan musik
dan semua hal yang kita anggap baik, justru dipandang sebagai kejahatan atau parasit yang
justru akan melemahkan negara. Kesejahteraan, kesenangan hidup, perkembangan
kebudayaan rakyat harus dikorbankan demi kekuasaan negara titik oleh karena itu dalam
dunia kepegawaian dan militer dikembangkan pula sistem pemberian tanda tanda
kehormatan, hadiah-hadiah bagi mereka yang berjasa. Namun hadiah itu tidak boleh terlalu
banyak sebab hal itu akan menyebabkan kemalasan. Pertanian juga dimajukan tetapi harus
dibatasi jangan sampai petani merasakan kemakmuran yang berlebihan sebab hal ini juga
dapat melemahkan kekuasaan negara.
Kesejahteraan seluruh dan tiap-tiap warga negara umumnya memang menjadi tujuan
sebagai negara di dunia. Pandangan bahwa tujuan negara adalah mewujudkan kesejahteraan
warganya sudah diterima secara luas dan umum di kalangan ahli kenegaraan titik pada
umumnya disepakati bahwa oleh karena tugas negara adalah mendukung dan melengkapkan
usaha masyarakat dalam membangun kehidupan yang sejahtera maka tujuan negara adalah
penyelenggaraan kesejahteraan umum.
Perasaan sejahtera itu dapat dideskripsikan secara negatif maupun positif. Secara
negatif manusia disebut sejahtera apabila ia bebas dari perasaan lapar dan dari kemiskinan,
dari kecemasan akan hari esok, dari perasaan takut, dari penindasan, dan dari perasaan
diperlakukannya dengan tidak adil. Secara positif manusia dapat disebut sejahtera apabila ia
merasa aman, tenteram, selamat, dapat hidup sesuai cita-cita dan nilai-nilai nya sendiri dan
bebas mewujudkan kehidupan individual dan sosial nya sesuai dengan aspirasi aspirasi serta
kemungkinan-kemungkinan yang tersedia bagi Nya serta mengembangkan kreativitas dan
kemampuannya.
3. Pandangan Pancasila tentang Tujuan Negara
Masalah pokok keanekaragaman yang hendak dijawab melalui sila kelima Pancasila
adalah untuk para sesungguhnya negara Indonesia didirikan. Dengan kata lain sila kelima
menggariskan prinsip tentang apa tujuan pembentukan negara merdeka. Tujuan tersebut
adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia atau yang dalam usulan
Soekarno disebut sebagai mewujudkan kesejahteraan sosial. Penggunaan istilah keadilan
sosial untuk mengungkap gagasan tentang kesejahteraan sosial menunjukkan penekanan
bahwa di dalam hal kesejahteraan maka tiap-tiap orang diperlakukan sebagai manusia dengan
harkat yang sama. Dengan demikian harus dihindari keadaan adanya kesejahteraan seseorang
atas pengorbanan orang lain. Oleh karena itu di dalam rumusan sila kelima Pancasila terdapat
penegasan bahwa keadilan sosial harus berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara normatif negara Indonesia dapat kita sebut sebagai negara kesejahteraan.
Dalam negara seperti ini maka kegiatan negara harus bermanfaat bagi kesejahteraan warga
negara. Jika ada tindakan pemerintah yang bertentangan dengan kesejahteraan warga negara
maka tindakan itu tidak dapat dibenarkan karena ukuran benar salahnya tindakan negara
adalah kesejahteraan warganya. Kesejahteraan sosial sebagai tujuan negara dapat kita pahami
sebagai keadaan yang didalamnya tiap-tiap orang dapat menikmati kemanusiaannya
keadaannya dimana tiap-tiap orang dapat hidup layak sebagai manusia dengan demikian
dapat dikatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kesejahteraan yaitu negara yang
bertujuan untuk membuat semua dan tiap-tiap orang dapat hidup layak sebagai manusia.
Prinsip keadilan sosial juga mewajibkan negara melindungi warganya yang lemah.
Perlindungan diberikan untuk mencegah kesewenang-wenangan dari yang kuat terhadap yang
lemah sehingga keadilan dapat diwujudkan. Dengan prinsip keadilan sosial negara
berkewajiban untuk mengatur tatanan masyarakat supaya semakin seimbang dan teratur
dengan baik. Tatanan itu harus mampu memberi kesempatan kepada semua anggota dan
lapisan masyarakat untuk membangun kehidupan yang layak. Negara dalam hal ini
berkewajiban untuk menciptakan prasarana prasarana yang memungkinkan setiap warga
negara dapat menikmati kesempatan untuk memperoleh kesejahteraan dengan seadil-adilnya.
Kesempatan yang diberikan oleh negara tentu saja bukan hanya kesempatan formal
melainkan harus benar-benar nyata dalam arti harus benar-benar dapat dinikmati oleh seluruh
anggota masyarakat.
Ada dua persoalan menonjol yang muncul dari pelaksanaan sila kelima Pancasila,
yaitu:
Fenomena sosial baru yang kian menggejala akhir-akhir ini adalah semakin
meningkatnya kecenderungan masyarakat untuk bergantung pada “belas kasihan”
pemerintahan/negara dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kebijakan pemerintah untuk
memberi dana subsidi melalui berbagai program PKPS-BBm baik untuk bidang kesejahteraan
sosial, kesehatan, maupun pendidikan ternyata menimbulkan dampak iringan berupa sikap
semakin tergantungnya sebagian warga masyarakat pada pemerintahan/negara.
BAB I PENDAHULUAN
A. Pengantar
Sejak tahun 1945, Pancasila telah menjadi dasar berbangsa dan bernegara Indonesia.
Ir. Soekarno menyebut Pancasila sebagai Philosofische Grondslag atau fundamen, filsafat,
pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, dan hasrat yang sedalam-dalamnya dari Indonesia
merdeka yang akan berdiri kekal abadi. Selain itu, Ir. Soekarno juga menyebut Pancasila
sebagai weltanschauung bangsa dan negara Indonesia. Di dalam Pancasila terkandung cita-
cita, harapan, tujuan terbentuk dan berdirinya Indonesia bersatu. Melalui nilai-nilai pancasila
terciptalah sebuah masyarakat Indonesia yang kokoh dan harmonis. Panacasila, karena itu,
menjadi pandangan dan keyakinan dasar bersama seluruh masyarakat Indonesia. sejarah
perumusan dan pemikiran tentang Pancasila sejatinya merupakan sejarah penciptaan dan
penentuan identitas dan roh kebangsaan Indonesia.
Proses pemikiran dan perumusan Pancasila dipengaruhi pula oleh interkasi dengan
sistem berpikir dan nilai-nilai budaya lain, baik lokal maupun global. Dalam panggilan
Pancasila para founding fathers selain diperkaya oleh berbagai ideology asing macam
Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme, Nazisme, Fascisme, Konfusianisme,
Taoisme, dsb. cara berpikir global tersebut selain memperkaya dan mempertajam cara
berpikir mereka, juga semakin memperteguh keyakinan akan kekuatan dan kekayaan nilai-
nilai yang bersumber dari kekayaan dan budaya sendiri.
1. Justifikasi Yuridis
Sekalipun tidak secara eksplisit menyebut nama Pancasila, nilai-nilai yang dimaksud
jelas menunjuk pada Pancasila. Dalam sidang BPUPK, kelima nilai itulah yang menjadi
meteri dan substansi diskusi dan pergulatan sehingga tepat kelima nilai dasar atau prinsip
dasar atau kaidah dasariah itu disebut Pancasila.
b. Ketetapan MPR RI
1) Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap MPR RI No.
II/MPR/1978 tentang P4 (Ekaprasetia Pancakarsa) dan penetapan tentang Pancasila
sebagai Dasar Negara. Dalam Tap MPR tersebut, pasal 1 menyebutkan bahwa,
“Pancasila sebagaimana dimaksudkan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar
negara dari negara kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten
dalamkehidupan bernegara”.
2) TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun
1999 – 2004. Pada bagian landasan TAP MPR ini menyebutkan bahwa Garis-Garis
Besar Haluan Negara disusun berdasarkan landasan idiil Pancasila dan landasan
konstitusional UUD 1945.
3) Tap MPR RI No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan nasional.
Pada bagian arah kebijakan ayat 2 disebutkan bahwa Pancasila dijadikan sebagai
ideology negara yang terbuka dengan membuka wacana dan dialog terbuka di dalam
masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan sesuai dengan visi Indonesia masa
depan.
Dari penjelasan di atas, secara yuridis Pancasila mendapat pendasaran yang sangat
kuat sehingga eksistensi Pancasila tidak dapat diabaikan dengan alasan apa pun.
2. Justifikasi Filosofis
Justifikasi ini merupakan upaya untuk mencari pembenaran Pancasila berdasarkan
konstruksi nalar secara logis. Kebenaran Pancasila akan ditemukan melalui sebuah
rasionalisasi yang didasarkan pada refeleksi mendalam terhadap aspek formal, yaitu tanggung
jawab procedural penalaran atas Pancasila maupun aspek material, yaitu menyangkut isi
substansi Pancasila itu sendiri. Justifikasi filosofis atas Pancasila mesti dimulai dengan
memahami alasan mendasar dirumuskannya Pancasila sebagai nilai dasar bersama.
a. Ketuhanan yang Maha Esan menegaskan tentang keyakinan dan pengakuan manusia
Indonesia akan Tuhan.
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab menandakan perlunya menghormati dan
menghargai manusia sebagai manusia dan sesama ciptaan Tuhan.
c. Persatuan Indonesia membenarkan perlunya membangun dan memiliki sentiment
kebangsaan dalam diri setiap warga negara terhadap komunitas bangsanya, yang
ditunjukkan dengan sikap membela dan mencintai bangsa, baik dalam pengertian
wilayah maupun dalam pengertian sesama anggota bangsa.
d. Kerakyatan atau demokrasi yang mengandung nilai sovereinitas atau kedaulatan yang
menjadi dasar partisipasi masyarakat dalam kegiatan berbangsa dan bernegara.
e. Keadilan sosial yang mengandung makna demi tercapainya kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia yang dilandasi oleh rasa kebersamaan, persaudaraan, dan
solidaritas.
3. Justifikasi Historis
Nilai-nilai Pancasila bila direnungkan secara mendalam merupakan tatanan nilai yang
sejak dahulu kala (masa sebelum lahirnya Indonesia) telah menjadi dasar keyakinan dan dasar
perilaku masyarakat Nusantara.
Secara historis dapat dikatakan bahwa Pancasila berasal dari kompleks nilai yang
telah mengakar dan menjadi spirit kehidupan mansia-manusia yang berasal dari suku bangsa
yang berbeda du Nusantara ratusan tahun yang lampau. Nilai-nilai itu kemudian digali dan
dirumuskan secara padat menjadi dasar keyakinan bersama masyarakat Indonesia.
4. Justifikasi Kultural
Dalam pidato pada rapat BPUPK tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengungkapkan
sebuah pandangan yang menegaskan bahwa bangsa Indonesia mencari sesuatu yang
disebutnya Pancasila.
Pada bagian ini akan dibahas beberapa refleksi atau pandangan tentang Pancasila
yang menguat dalam konteks kehidupan dan perkembangan bangsa dan negara Indonesia. di
sini hanya akan dicatat beberapa yang secara umum diketahui sebagai fungsi atau peranan
pancasila dalam menyambung kesatuan dan keutuhan negara Republik Indonesia. beberapa
sistem berpikir tentang Pancasila yaitu sebagai berikut.
1. Pancasila sebagai dasar negara.
2. Pancasila sebagai pandangan atau falsafah hidup bangsa.
3. Pancasila sebagai substansi perekat bangsa.
4. Pancasila sebagai ideology.
Setidaknya ada tiga tujuan pokok mempelajari Pancasila di Perguruan Tinggi, yaitu:
Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan yang menjalin kontak selama
berates tahun melalui perdagangan. Selain itu Indonesia juga merupakan negara agraris yang
menata komunitas dalam sistem nilai yang arif bijaksana. Nilai-nilai kekeluargaan, gotong
royong, dan menghargai perbedaan menjadi dasar kehidupan di Nusantara.
B. Pemaparan Pancasila
Pada bagian ini Pancasila memasuki babak baru kehidupan Indonesia modern dalam
artian Indonesia sejak 1945. Para pendiri bangsa Indonesia (founding fathers/mothers)
merumuskan kemerdekaan Indonesia.
1. Periode 1945 (29 Mei 1945 – 17 Juli 1945
Periode ini merupakan periode Sidang Umum Pertama Badam Penyidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Chosakai) setelah dibentuk
Pemerintahan Penjajah Jepang tanggal 29 April 1945 (bulan 1 Maret 1945). Pembentukan
badan ini merupakan upaya Jepang mengulur waktu dan enggan mendukung kemerdekaan
Indonesia. Hal ini dapat terlihat pada pembentukan BPUPKI yang sudah diumumkan pada
tanggal 1 Maret 1945, tetapi baru dua bulan kemudian, yakni 29 April 1945, panitia ini benar-
benar terbentuk. Pihak Jepang masing mengulur waktu empat minggu lagi sebelum akhirnya
diadakan sidang pertama 29 Mei 1945. Sidang pertama diadakan di Gedung Pejambon
(Gedung tyuunoo Sangi-In Jakarta) dengan ketua sidang Dr. KRT. Radjiman
Wedyodiningrat. Badan ini bertugas menyelidiki hal-hal penting berkaitan dengan
kemerdekaan seperti politik, ekonomi, tata pemerintahan, dll. Pada pertemuan pertama ini
dibahas antara lain tentang syarat-syarat hukum suatu negara, bentuk negara, pemerintahan
negara, dan dasar negara.
Pada bulan Agustus terjadi ketegangan antara para pemuda dan tokoh pergerakan.
Sukarno mengatakan bahwa kemerdekaan tidak bisa diraih dengan serta-merta dan tergesa-
gesa. Ia mengatakan bahwa kemerdekaan tidak bisa diraih hanya dengan menyanyikan lagu-
lagu kebangsaan, melainkan harus dengan perjuangan dan pengorbanan. Karena Sukarno dan
Hatta dipandang lamban maka para pemuda berniat memproklamirkan kemerdekaan sendiri
tanpa kedua tokoh itu. Para pemuda mengancam Sukarno, diwakili Wikana yang mengatakan
bahwa kalau Bung Karno tidak mengumumkan kemerdekaan mala mini, besok terjadi
pembunuhan dan pertumpahan darah di mana-mana. Ketegangan ini memuncak dengan
penculikan Sukarno dan Hatta oleh para pemuda (Chairul Saleh, Sukarni, Wikana, dan Adam
Malik) dan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Rupanya kesepakatan tanggal 16 Juli 1945 tentang pengesahan dasar negara belum
sungguh-sungguh menyelesaikan perbedaan di antara para anggota. Menurut pengukan Hatta
sore hari (19 Agustus 1945) sebelumnya dia kedatangan seorang perwira Angkatan Laut
Jepang (kaigun) atas permohonan Nashijama, asisten Laksamana Maeda. Perwira itu
memberitahukan bahwa orang-orang Katolik dan Protestan di Indonesia bagian Timur sangat
keberatan dengan klausul Islam (tujuh kata) dalam pembukaan karena dianggap sebagai
diskriminasi.
1) Pernyataan kemerdekaan yang telah dirancang dan disepakati oleh Badan Pekerja
yang tidak ada arti dan manfaatnya lagi, sebab kemerdekaan Indonesia telah
diprokamasikan.
2) Pembukaan UUD, sebagaimana telah disiapkan dan disetujui oleh Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengalami perubahan, berupa
dihilangkannya kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”.
3) Atas dasar itu perubahan terjadi pula pada beberapa bagian dari Batang Tubuh UUD.
Setalah beberapa perubahan yang sifatnya penegasan, maka Pembukaan UUD 1945
disetujui. Ir. Sukarno sebagai ketua sidang kemudian membacakan Pembukaan UUD 1945
dan mensahkan. Setelah pembukaan disahkan, maka pembahasan selanjutnya adalah Batang
Tubuh UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita kenegaraan (staadsidee) dan
cita-cita hukum (rechtsidee) yang selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal UU 1945. Lima
dasar negara dalam Pembukaan UUD 1945, namun nama Pancasila tidak disebut secara
eksplisit. Ada semacam kesepakatan seluruhnya bahwa dasar negara yang lima itu adalah
Pancasila. Dengan demikian pertemuan PPKI menghasilkan 4 keputusan penting:
Baru hari berikutnya, 19 Agustus 1945, PPKI bersidang lagi untuk menentukan
pemerintah daerah dan menyusun departemen-departemen.
Periode Republik Indonesia Serikat (RIS) sangat pendek (Sembilan Bulan) dan
hampir tidak ada banyak perkembangan pemikiran tentang Pancasila. Dalam Pembukaan
Konstitusi RIS disebut tentang dasar Megara, yaitu “Pengakuan ke-Tuhanan yang Maha Esa,
peri kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial…”. Sebagaimana dalam
Pembukaan UUD 1945 tidak disebut nama Pancasila, tetapi tetap saja ada kesepakatan
bersama bahwa dasar negara adalah Pancasila.
UUDS ditetapkan dengan UU No. 7 tanggal 15 Januari 1950 dan berlaku selama
sembilan tahun. Dalam UUD 1950 ditegaskan kembali bahwa bentuk susunan negara
republic kesatuan adalah kehendak rakyat di seluruh Indonesia. negara yang dimaksud adalah
negara yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 yang semula berbentuk Republik
Kesatuan dan kemudian Federasi dan kemudian kembali lagi ke negara kesatuan.
Dalam Mukaddimah UUD 1950, rumusan sila-sila PAncasila itu disebutkan di alenia
keempat. Sebagaimana juga dalam Pembukaan UUD 1945 dan dalam konstitusi RIS nama
Pancasila tidak disebutkan, tetapi ada kesepahaman bersama bahwa nilai azas itu adalah
Pancasila. Pranarka menyebutnya sebagai communis opinion bahwa Pancasila merupakan
dasar negara dan ideology nasional. Perkembangan ini semakin jelas ketika diterima lambang
Garuda Pancasila sebagai lambang negara Republik Indonesia berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 66 tanggal 17 Oktober 1951 yang dinyatakan berlaku surut sejak tanggal 17
Agustus 1950. Di dalam lambang itu ada lima perisai yang masing-masing mengungkapkan
lima sila Pancasila.
a. Dasar ketuhanan yang Maha Esa dilukiskan dengan nur cahaya di ruangan tengah
berbentuk bintang bersudut lima.
b. Dasar perikemanusiaan dilukiskan dengan tali rantai bermata bulan dan persegi.
c. Dasar kebangsaan dilukiskan dengan pohon beringin tempat berlindung.
d. Dasar kerakyatan dilukiskan dengan kepala banteng sebagai lambang tenaga rakyat.
e. Dasar keadilan sosial dilukiskan dengan kapas dan padi sebagai tanda tujuan
kemakmuran.
Pada era ini terjadi tujuh kali pergantian pemerintahan (cabinet) yang juga tidak
terlepas dari dinamika ideology kepartaian.
Antara tahun 1959 sampai pertengahan tahun 1959 adalah masa puncak konflik antara
pro dan kontra Pancasila. Ketegangan ideologis ini tidak terlepas dari sidang Konstituante
yang bertugas membuat konstitusi negara Republik Indonesia. sebenarnya Mohammad Natsir
(Masyumi) yang dalam sidang berbicara dengan kritis terhadap Pancasila masih menerima
nilai-nilai yang ada di dalamnya. Pertentangan yang tajam ini kemudian menjadi alasan Bung
karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Peran militer di balik dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 cukup besar. Dekrit ini
kemudian dinyatakan sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia diuraikan 5
kebijaksanaan, yaitu kembali ke UUD 1945; sosialisme Indonesia; Demokrasi Terpimpim;
Ekonomi Terpimpin; dan kepribadian Indonesia. Dengan Dekrit ini kedudukan Pancasila
sebagai sumber hukum dikukuhkan, namun pernyataan bahwa Pancasila adalah ideology
nasional tidak dinyatakan secara eksplisit.
Sebagai tindakan lebih lanjut, maka pada tanggal 31 Desember 1959 dikeluarkan
dikeluarkan penetapan kepartaian yaitu:
a. Harus menerima dan membela Konstitusi dan Pancasila,
b. Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya,
c. Menerima bantuan dari luar negeri hanya seizin pemerintah,
d. Presiden berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai, dan
e. Presiden berhak membubarkan partai politik.
Pada bulan Agustus 1960, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan dan
dinyatakan sebagai partai terlarang.
Sukarno ingin menyatukan semua kekuatan di negeri ini sehingga dia kemudian
membentuk Front Nasional untuk mengembangkan Nasakom (Nasionalis, Agama, dan
Komunisme). Di bidang kenegaraan juga Presiden membentuk berbagai dean dan perangkat
kenegaraan. Pada masa ini pun perjuangan membebaskan Irian Barat dikumandangkan.
Komando yang kemudian dikenal sebagai Trikora 19 Desember 1961. Dinamika politik
Indonesia itu juga akhirnya membawa Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB pada
tanggal 1 Januarai 1965. Ketegangan ideologis memuncak dengan peristiwa pembunuhan 7
Jendral dan rangkaian pembunuhan lain membuat Sukarno turun dari kursi kepresidenan.
TAP III/MPRS/1963 yang mengangkat Sukarno sebagai Presiden seumur hidup ditinjau
kembali dengan TAP XVII/MPRS/1966.
Orde Baru menampilkan diri sebagai era yang menjalankan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 Jendral Suharto
mengambil langkah pemulihan keamanan. Sidang Umum MPRS 1966 menghasilkan 25
ketatapan, 1 Resolusi, 1 Keputusan dan 1 Nota. Dari berbagai TAP tersebut TAP
XX/MPRS/1966 mempunyai arti penting. TAP MPRS ini menerima memorandum DPR-GR
tanggal 9 Juni 1966 khususnya mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia.
Pada era ini Pancasila diberi ruang terbuka untuk berkembang dan kemudian menjadi
azas tunggal. Pranaka menyebut 2 corak yang ditempuh Orde Baru untuk menegaskan prinsip
tersebut yaitu jalur kenegaraan dan jalur kemasyarakatan, khususnya masyarakat akademis.
Pertama, jalur kenegaraan Pancasila dan UUD 1945 dijalankan secara murni dan
konsekuen itu dinyatakan dalam Sidang Umum MPRS 1966, Sidang Istimewa MPRS 1967,
Sidang MPRS 1968, Sidang Umum MPR-RI 1973, Sidang Umum MPR-RI 1978, dan Sidang
Umum MPR-RI 1983.
Kedua, pada jalur akademis tema pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen dimulai dengan Simposium Universitas Indonesia 1966.
Berakhirnya orde Suharto menjadi awal bagi masa yang disebut sebagai Era
Reformasi. Era ini diawali oleh Presiden B.J. Habibie yang meneruskan masa kepemimpinan
Suharto sesuai dengan amanat konstitusi pasal 8 UUD 1945.
Era reformasi mengawali diri dengan sikap yang tidak begitu mempromosikan
Pancasila. TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalam
Pancasila (P4), yang pada zaman Orde Baru merupakan sebuah kewajiban, dihapuskan pada
sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Oktober 1998. TAP MPR No. XVII/MPR/1998
tentang pencabutan TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalam Pancasila (Eka Prasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila
sebagai Dasar Negara.
Dalam era reformasi, 4 pilar kehidupan bernegara yaitu: Pancasila, UUD NRI 1945,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika dicanangkan secara bersama oleh lembaga negara dan
terus didengungkan di tengah masyarakat. pada tanggal 24 Mei 2011, para pemimpin
lembaga negara: Presiden, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua MK, Ketua BPK, dan Ketua KY
mengadakan pertemuan konsultasi tentang implementasi 4 pilar kehidupan bernegara. Pada
pertemuan ini forum bersepakat bulat bahwa Pancasila perlu direvitalisasi. Presiden ke-4 RI,
Megawati Soekarnoputeri, pada pidato 1 Juni 2011 menegaskan bahwa 4 pilar kenegaraan
harus menjadi tanggung jawab bersama. Maka dapat disimpulkan bahwa di era reformasi pun
Pancasila tetap menjadi falsafah bangsa ini, ideology bangsa ini, dan dasar negara Republik
Indonesia.
A. Pengantar
Ketuhanan yang Maha Esa adalah dasar terdalam dan penting dari bangunan
Indonesia merdeka. Artinya ketuhanan merupakan wujud dari keyakinan dasar manusia
Indonesia yang di dalamnya terkandung penyerahan dan harapan akan kehidupan bangsa
Indonesia yang lebih baik, adil, dan makmur. Masyarakat Indonesia meyakini bahwa
perjuangan untuk mencapai kemerdekaan tidak diraih karena usaha manusia semata tetapi
juga dan terutama karena keterlibatan Tuhan yang memampukan bangsa Indonesia
mengakhiri perjungan panjang melawan kolonialisme dan memulai membangun kehidupan
baru dalam alam kemerdekaan. Secara hidtoris keyakinan ini juga hendak menegaskan bahwa
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang membangun dirinya dalam sebuah tanggung
jawab moral-religius luhur, sebuah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kemajuan
dan perkembangan hidup tidak saja di hadapan sesamanya, tetapi terutama di hadapan Tuhan
yang Mahakuasa.
Ketuhanan yang Maha Esa menjadi dasar refleksi mendalam para tokoh kemerdekaan
yang menyadari kenyataan religious yang ada dalam masyarakat Indonesia sejak awal:
bahkan sejak zaman sejarah pra-Hindu.
1. Pengertian Umum
Pengertian kedua bahwa Tuhan merupakan entitas yang bersifat rohani karena Tuhan
berlainan sama sekali dengan hal-hal dunia. Apa yang termasuk ke dalam dunia adalah apa
yang bersifat materiil, yang mempunyai sebuah keluasan tertentu, sehingga merupakan
sebagian dari dunia yang materiil tersebut. Sebagai pribadi yang transenden, Tuhan tidak
mempunyai keluasan tertentu dan tidak juga merupakan bagian dari dunia yang materiil.
Tuhan yang diwartakan dan diajarkan oleh agama-agama adalah suatu Zat pribadi yang
bersifat rohani, yang transenden terhadap manusia dan semesta alam, tetapi sekaligus imamen
terhadap manusia dan alam itu juga. Dengan demikian, untuk memahami dan mengerti Tuhan
manusia harus bertitik tolak dari pengertian tentang alam dan diri sendiri.
Ketuhanan yang Maha Esa juga mengindikasikan bahwa Tuhan yang dianut adalah
satu. Plotinos, salah satu filsuf yang hidup pada abad ketiga Masehi menegaskan bahwa
Tuhan adalah Realitas Tertinggi yang merupakan kesatuan primal (utama) yang disebutnya
yang Esa. Karena yang Esa adalah kesederhanaan itu sendiri, taka da yang dapat diceritakan
mengenai-Nya; taka da pada-Nya suatu kualitas yang berbeda dari esensi-Nya, yang dapat
memungkinkan deskripsi dalam cara yang biasa. Ketuhanan yang Maha Esa dengan demikian
hendak menegaskan bahwa Tuhan yang dianut adalah Tuhan yang tidak dapat dibatasi dan
dipahami lewat kemampuan nalar manusia yang terbatas.
Dalam ajaran Kristen pandangan tentang Tuhan yang cukup popular terdapat dalam
tulisan Injil Yohanes yang menyebut Allah sebagai logos.
Secara lebih mendasar pengakuan Kristen akan Allah yang Esa terumuskan dalam
Credo (pengakuan iman Kristen). Secara prinsipiil iman Kristen mengakui akan Tuhan yang
satu. Tetapi Tuhan yang satu sebagai substansi ini dapat memanifestasikan diri-Nya sebagai
pribadi-pribadi (persona) dengan fungsi yang berbeda-beda, yang dalam pandangan Kristen
disebut Trinitarianisme. Dalam pandangan Kapadokian dapat dijelaskan bahwa Tuhan adalah
satu ousia (esensi/hakikat) yang tidak dapat dipahami dan tiga hypostasis (ekspresi/cara
berada/eksistensi) yang membuatnya dapat dikenal dan diketahui. Yang dimaksudkan adalah
Tuhan pada dirinya sendiri adalah satu, hanya ada satu kesadaran diri Ilahi. Akan tetapi,
ketika Dia membiarkan bagian dari diri-Nya diketahui makhluknya, dia adalah tiga prosopoi
(wujud/adaan).
b. Pandangan Islam
Dalam Islam terkandung keyakinan dan kepercayaan bahwa Allah adalah Realitas
Tertinggi dan unik. Bahkan persepsi tentang keunikan Tuhan menjadi dasar moralitas
terdalam kaum muslim. Al-Qur’an menegaskan dengan sungguh gagasan ketunggalan yang
Ilahi dan menolak membayangkan gagasan bahwa Tuhan dapat idipersekutukan dengan
manusia. Dalam Islam keimanan sangat jelas bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah pencipta
langit dan bumi. Hanya dengan mengakuinya sebagai Al-Shamad (penyebab yang Tidak
Disebabkan atas segala sesuatu) kaum muslim dapat mencapai sebuah dimensi realitas yang
melampaui waktu dan sejarah, yang akan menghindarkan mereka dari perselisihan kesukuan
yang dapat memecah belah masyarakat.
Lebih lanjut dalam pernyataan iman Islam, kaum Muslim diwajibkan untuk
menyatakan kesaksian terdalam tentang Tuhan dengan menegaskan bahwa. “Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya.” Seorang Muslim
yang mengucapkan syahadat itu diwajibkan menjadi saksi dalam hidupnya dan dalam setiap
tindakannya bahwa proiritas utama adalah Allah dan bahwa tidak ada tempat bagi “allah-
allah” lain, termasuk di dalamnyapolitik, materi, ekonomi, dan ambisi pribasi yang dapat
lebih diutamakan daripada komitmennya kepada Allah semata.
c. Pandangan Hindu
Hindunisme memandang Tuhan sebagai sebuah Subjek yang Mahatinggi. Yang Ilahi
dalam transedensi yang absolut disebut Brahman, tetapi dalam imanensi dengan semua orang
Ia adalah Atman. Brahman-Atman dinyatakan bukan saja sebagai Tuhan dan raja dari semua,
sang “pengontrol dari dalam”yang menetap dalam kosmos, namun berbeda darinya.
Hindunisme memandang yang Ilahi sebagai yang tak terhingga. Adanya kyakinan
akan banyaknya Dewa-Dewi, yang dipuja dalam peribadatan Hindu, tidaklah
menggambarkan banyaknya Tuhan, melainkan hanya merupakan sebutan-sebutan rangkap
untuk menggambarkan kenyataan terakhir yang satu dan sama, yaitu Brahman. Tuhan adalah
sesuatu yang tidak dapat diukur kebesaran dan kekuasan-Nya. Secara mendasar hindunisme
meyakini bahwa kenyataan tertinggi itu adalah esa.
d. Pandangan Buddha
Budhisme tidak mengakui allah, tetapi tidak juga menyangkal Allah. Budhisme
negakui adanya realitas tertinggi, tetapi mereka tidak menyebut realitas tersebut sebagai
“Tuhan”. Budhisme lebih menekankan ajarannya pada persoalan penderitaan dan bagaimana
jalan atau cara untuk mengatasinya sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Buddha (Yang
Tercerahkan) merupakan sebuah status yang amat tinggi (biasa disebut Ilahi), yang sekaligus
merupakan ungkapan dari tujuan kebahagiaan semua manusia. Karena itu Budhisme lebih
cenderung untuk membicarakan tentang “filsafat hidup” daripada berbicara tentang agama.
Eksistensi Tuhan memang merupakan salah satu persoalan pelik dalam Filsafat dan
menjadi salah satu tema penting terutama dalam Filsafat Modern. Diksusi tentang ketuhanan
telah membawa dunia filsafat ke dalam dua kubu yang berseberangan, di mana yang satu
menegasi Tuhan sementara yang lainnya mengafirmasi Tuhan, yang lebih dikenal dengan
sebutan ateisme dan teisme.
Pandangan yang menyangkal atau menegasi gagasan tentang Tuhan, agama, dsb.
sering disebut ateisme. Ateisme lahir sebagai tandingan terhadap agama yang cendrung
menempatkan dirinya sebagai yang paling superior dan objektif dalam memahami Tuhan. Di
bawah ini akan coba diuraikan secara ringkas pandangan tentang Tuhan dan agama dari
beberapa filsuf ateis terkemuka.
Karl Marx juga tidak kalah pedasnya melancarkan serangan terhadap agama. Bagi
Marx agama adalah “candu rakyat.” Kalimat ini sering sekali diartikan sebagai sebuah
tuduhan bahwa agama, dengan menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kehidupan,
membuat orang miskin dan tertindas menerima saja nasib mereka daripada memberontak
terhadapnya.
Salah satu yang cukup keras berupaya mengerdilkan peran agama dan Tuhan adalah
Friedrich Nietzsche. Dalampemahaman Nietzsche, Allah yang dibunuh adalah Allah yang
diciptakan oleh manusia. Karena bagi dia Allah sebetulnya tidak pernah ada. Allah ada
karena manusia yang menciptakannya. Agama baginya berkaitan erat dengan moralitas
budak.
Secara filosofis dijelaskan bahwa eksistensi atau adanya Tuhan berbeda dengan
eksistensi atau adanya dunia dan manusia. Dunia; semesta, kosmos, alam, dan manusia
bergantung kepada Tuhan (Unoriginated Creative Ground) karena asalnya, karakter
dasarnya, keberlangsungannya, keberadaannya yang mengagumkan, dan
keterdiministikannya. Tuhan ada karena sifat hakiki-Nya sebagai yang Ada, dunia ada karena
tuhan memilih atau memutuskan untuk meng-ada-kannya atau menciptakannya. Ini sekaligus
mengartikan bahwa Tuhan transenden terhadap dunia. Secara ontologis yang Ilahi
independen terhadap dunia, secara kualitatif berbeda dari dunia, dan secara aktif merupakan
awal dan asal dari dunia. Pada saat yang sama Tuhan adalah imanen. Tuhan pada saat yang
sama hadir di dunia dalam ciptaan-Nya, berpartisipasi dalam aktivitas dunia, dan peduli
dengan nasibnya. Terdapat lima argumn yang sangat terkenal untuk menjelaskan tentang
keber-ada-an tuhan, yaitu argument ontologis, argument kosmologis, argument teologis,
argument pengalaman (experiensial), dan argument moral.
Selain argument ontologis, berikut ini coba diuraikan penjelasan tentang eksistensi
Tuhan yang didasarkan pada argument kosmologis yang bertitik tolak dari pengamatan dan
pendalaman terhadap kosmos. Dengan mengamati perubahan dalam alam semesta, para ahli
sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat mengubah dirinya sendiri.
Ada sebuah sebab yang menyebabkan terjadi perubahan pada sesuatu. Tentu ada sebuah
pengubah yang ada pada awal dari proses. Penyebab pertama perubahan adalah sesuatu yang
tidak diubah oleh apa pun itu dan pastilah Tuhan. Oleh karena itu, argument kosmologis
bergantung pada gagasan sebab-akibat, setiap akibat pasti memiliki sebab.
Argument teologis menjelaskan Tuhan dari perspektif tujuan, akhir, dan rancangan
dari sesuatu. Posisi teologis juga dikenal sebagai argument rancangan. Ada tatanan atau
rancangan yang teratur di alam semesta. Segala sesuatu yang ada di dalam ini tampak bekerja
sesuai dengan tujuan atau rancangan yang telah dibuat. Jika telelusuri terus, akan
mendapatkan keismpulan bahwa tatanan atau rancangan yang teratur mestilah bersumber
pada sesuatu yang membuatnya atau merancangnya menjadi demikian.
Bagian ini mencoba menjelaskan dinamika perumusan gagasan ketuhanan dari sua
aspek, yaitu konseptualisasi prinsip ketuhanan dan gagasan hubungan negara dan agama.
Konseptualisasi ketuhanan berkaitan dengan upaya merumuskan ketuhanan sebagai salah
satu prinsip dasar dalam Pancasila karena itu berorientasi vertical, sementara gagasan
hubungan negara dan agama lebih berhubungan dengan usaha untuk memformulasikan
prinsip ketuhanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sehingga lebih
bersifat horizontal.
Ada dua hal hal yang dapat disimpulkan dan di jelaskan dari pidato Soeakarno.
Pertama, bahwa ada sebuah anjuran yang didasarkan pada kenyataan agar semua orang
Indonesia ber-Tuhan. Kedua, ber-tuhan tidak saja menjadi ciri atau karakter dasar individu
manusia Indonesia, tetapi lebih luad adalah ciri masyarakat Indonesia atau bangsa Indonesia.
Lebih jauh Soekarno menjelaskan bahwa gagasan ketuhanan secara historis tidak
digali atau ditemukan di luar, tetapi di dalam Rahim ibu pertiwi, di dalam kehidupan
masyarakat Indonesia sendiri. Gagasan ketuhanan bahkan digali sejak zaman Indonesia
purba, sejak zaman pra-Hindu, di mana kehidupan masyarakat Nusantara masih sangat
dikuasai oleh keyakinan primordial-arkhaik akan kekuatan alam semesta yang kelihatan.
Ada dua hal yang dapat kita cermati dari pernyataan Yamin. Pertama, bahwa bangsa
Indonesia adalah sebuah bangsa yang memiliki peradaban yang luhur di mana salah satu
keyakinan mendalam dari peradaban yang luhur tersebut adalah Tuhan yang Maha Esa.
Secara logis dapat dikatakan bahwa Tuhan memberikan pendasaran bagi terbentuknya
peradaban yang luhur tersebut. Berdasarkan pandangan itu maka hal kedua yang dapat
disimpulkan adalah bahwa Tuhan adalah dasar dari bangunan Indonesia merdeka. Itu berarti
ada keyakinan mendalam bahwa Indonesia tidak dapat berdiri tanpa keterlibatan dan campur
tangan Tuhan.
Sementara itu, Soepomo meski tidak sampai kepada pembahasan mendalam tentang
paham ketuhanan, tetapi sekilas menyinggung tentang perlunya bangsa Indonesia bersandar
pada Tuhan. Bagi Soepomo Tuhan merupakan salah satu prinsip atau dasar moral yang
penting dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia, selain nasionalisme dan
kesetiaan kepada pemimpin.
Muhammad Hatta berpandangan bahwa gagasan Ketuhanan yang Maha Esa adalah
gagasan yang mempersatukan seluruh masyarakat Indonesia yang berbeda agama dan
keyakinannya. Meskipun berbeda-beda diakui Hatta bahwa tujuan dari setiap agama adalah
sama, yaitu berjuang mencapai kebenaran, keadilan, kebaikan, dan kejujuran dan dalam nama
Tuhan menyelamatkan negara dan rakyat Indonesia.
a. Perspektif Historis-Politis
Salah satu persoalan mendasar dan pelik prinsip ketuhanan adalah bagimana
menerapkan dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia. Persoalan bermuara
terutama pada gagasan tentang hubungan negara dan agama. Perdebatan hebat di antara para
pendiri bangsa berkisar si seputar prinsip dasar yang akan menjadi landasan kehidupan sosial-
politik seluruh masyarakat Indonesia, yaitu menyangkut dasar dan bentuk Negara Indonesia.
Kekuatan-kekuatan politik dalam BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) terpecah ke dalam dua kelompok besar, yaitu “golongan
kebangsaan” yang mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan landasan negara Indonesia
dan “golongan Islam” yang menghendaki Islam sebagai dasar atau landasan negara
Indonesia.
Di bawah ini dapat diuraikan substansi dasar yang menjadi sumber perdebatan dan
silang pendapat antara kedua kelompok dalam masa persidangan BPUPK. Padangan-
pandangan atau usulan-usulan yang dikemukakan oleh kelompok yang menganut ideology
Islam dapat disebutkan di bawah ini:
Refeleksi tentang hubungan Religi dan Negara (Pancasila) tidak hanya dibicarakan di
tataran politik saja, tetapi juga masuk ke dalam wilayah akademis. Pancasila tetap menjadi
pilihan, namun seperti digambarkan di atas dinamika seputar Pancasila kian hidup. Untuk itu,
tanggal 21-16 Februari 1959, du Universitas Gadjah Mada di tengah pertikaian pendapat
mengenai dasar negara itu diselenggarakan Seminar Pancasila Pertama. Seminar ini adalah
sebuah upaya pendekatan akademis terhadap masalah-masalah nasional. Presiden Soekarno
didaulat memberikan sambutan pembukaan dan setelah itu terdapat 5 tokoh nasional yang
membahas Pancasila dari berbagai aspek.
a. Pluralisme Religius
Salah satu fakta penting adalah pluralism religious yang dalam konteks Indonesia
sering menghadirkan benturan, konflik, permusuhan, kekerasan, dan bahkan perang yang
berakar dalam sentiment keagamaan. Pluralism religious tidak saja berpotensi menciptakan
konflik inter-religi, tetapi juga intra-religi yang terjadi antarkelompok yang berbeda paham
dan keyakinan dalam agama yang bersangkutan. Dapat disebutkan beberapa fakta domestic
yang menjadi gambaran suram hubungan antaragama di Indonesia, misalnya konflik Maluku;
konflik Poso; perusakan dan pelemparan terhadap beberapa rumah ibadah, sekolah, umat
beragama yang sedang beribadah; penyerangan terhadap beberapa kelompok keagamaan;
penyerangan dan teror terhadap kelompok Ahmadiyah yang dianggap telah sesat dari ajaran
Islam; dsb. ini semua menggambarkan betapa rapuhnya hubungan antarpemeluk agama di
Indonesia. pluralism agama maupun keyakinan akan Tuhan di satu sisi di pandang sebagai
anugerah yang tak terbantahkan, tetapi di sisi lain selalu saja disikapi secara negative sebagai
bahaya dan ancaman yang harus dilawan dengan cara-cara destruktif.
c. Ateisme di Indonesia
Ada beberapa alasan praktis yang dapat dicatat berkaitan dengan munculnya Ateisme
di Indonesia. Pertama, yang paling umum adalah adanya kesadaran baru, terutama di
kalangan kaum intelektual, yang secara kritis menguji dan mendekonstruksi objektivitas dan
validitas agama dan penjelasannya tentang Tuhan. Barangkali ini adalah resiko perjumpaan
juga dengan filsafat.
Ketiga, alasan lain yang dapat disebutkan adalah kesewenang-wenangan agama yang
cukup arogam mempermainkan agamanya. Ateisme menyadari bahwa gama dan Tuhan
sering digunakan sebagai alat legitimasi kekerasan dan kejahatan yang merusak dan
menghancurkan kemanusiaan.
Tuhan adalah lebih besar dan sumber semua kualitas positif yang ada dan kita jumpai
di alam semesta. Semesta, dunia, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya menjadi ada
karena Dia ada dan Dia adalah “yang kaya” dan tak terbatas, yang memberi kehidupan,
mengetahui segala sesuatu, dan mengendalikan segala yang ada. Karenanya, tidak aka nada
kehidupan, pengetahuan, dan pengalaman bila tidak ada Tuhan. Ada beberapa hal pokok
yang dapat diuraikan berhubungan dengan prinsip Ke-Tuhanan yang Maha Esa bagi praksis
hidup masyarakat Indonesia.
Pertama, penegasan akan Tuhan yang esa bukan sekadar penyangkalan atas
“kebanyakan” Allah atau Tuhan, melainkan sebagai sebuah bentuk keniscayaan yang harus
dijalani. Kedua, Ketuhanan yang Maha Esa dapat terpantau dan terselami dalam diri yang
benar-benar terintegrasi. Karena itu, menuntut semua manusia untuk menghargai aspirasi
dan ekspresi kegamaan yang berbeda-beda.
Keempat, penting untuk dikemukakan bahwa pemahaman akan nilai ketuhanan secara
tepat dapat membuka ruang perjumpaan dan dialog di mana setiap individu beragama dapat
saling memahami dan menerima.
Singkatnya, prinsip Ketuhanan yang Maha Esa menandakan bahwa ekspresi beragama
atau keagamaan setiap individu manusia Indonesia hendaknya diletakkan dalam kerangka
membangun peradaban manusia yang luhur. Dengan perkataan lain, setiap individu manusia
Indonesia dianjurkan untuk menekankan kemanusiaan sebagai orientasi keberagamaannya.
BAB IV NILAI FILOSOFIS SILA II: KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
A. Pengantar
Kepercayaan dan bakti kita kepada Tuhan yang Maha Esa justru tidak ada artinya jika
kita tidak mengabaikan kemanusiaan. Hubungan yang baik dengan sesama manusia dalam
komunitas yang digambarkan dengan poros horizontal itu harus mendasarkan diri pada
hubungan yang berbakti kepada Allah yang digambarkan dengan poros vertikal. Kedua poros
relasi itu menegaskan kedua poros relasi tersebut saling terkait, bukannya saling meniadakan.
Untuk membahas topik tentang “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, dalam bagian
pertama bab ini, kita akan memulai dengan penafsiran terhadap nilai kemanusiaan. Penafsiran
ini mengemukakan implikasi nilai kemanusiaan, yakni kesetaraan dan kebebasan. Pada
bagain kedua kita akan mengaitkan kedua implikasi dengan identitas diri kita. Dalam konteks
interaksi global, diskursus tentang identitas diri yang tak bisa dilepaskan dari pemahaman
tentang kesetaraan dan kebebasan. Pada bagain terakhir kita akan mendiskusikan bersama
bagaimana upaya menghormati dan membela kesetaraan dan kebebasan kita. melalui
identitas diri masing-masing.
Dengan kata lain, gabungan tubuh, juwa, dan roh dalam diri manusia mempunyai
kemampuan manusiawi yang mendasar. Lebih lanjut, 10 kemampuan manusiawi dasar ini
menunjukkan bahwa kemanusiaan kita bernilai bukan karena kita makhluk berakal budai atau
rasional. Kita justru berharga karena memiliki baik pikiran, perasaan, maupun kehendak.
Kemanusiaan kita bermakna justru karena tubuh, jiwa, dan aspek kerohanian kita. Secara
alamiah dan pengalaman sehati-hari, ketiga ‘unsur’ pembentuk ini tidak dapat dipisah-
pisahkan. Secara sinergis, tubuh, jiwa, dan aspek kerohanian membuat kita memiliki 10
fungsi. Kesepuluh kemampuan dasar dan fungsi dapat dilihat dalam tabel berikut:
Pada alinea tersebut dengan sangat jelas menyuratkan kebebasan untuk menentukan
nasib sendiri sebagai bangsa yang berdaulat. Penentuan nasib sendiri ini tidak hanya berlaku
secara kolektif, tetapi juga kebebasan menentukan jalan hidup berlaku bagi setiap orang.
Dengan kata lain, kemerdekaan atau kebebasan menentukan nasib sendiri menggunakan
‘logika keseluruhan untuk bagian-bagian’ atau “totem pro parte”.
Selain itu, kemerdekaan yang dinyatakan sebagai hak segala bangsa menyiratkan
pengakuan bahwa baik setiap bangsa maupun setiap orang tanpa terkecuali adalah setara.
Kesetaraan bukan hanya hak tetapi juga sebuah kenyataan berdasarkan 10 kemampuan
manusiawi yang mendasar dan fungsi kemampuan dasar tersebut di atas.
Pengakuan kesetaraan dan kebebasan juga diakui secara internasional. Kita dapat
mengetahuinya dari pasal 1 dan 2 Piagam HAM PBB yang dideklarasikan pada tanggal 10
Desember 1948. Kedua pasal ini masing-masing berisi tentang 2 nilai penting dalam
kemanusiaan kita yaitu kesetaraan dan kemerdekaan.
Pasal 1
Semua orang yang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani yang hendaknya bergaul satu sama lain
dalam semangat persaudaraan.
Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di
dalam pernyataan ini tanpa perkecualian apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik, pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
Jika kita membaca teks Piagam HAM PBB 1948 ini, kita akan menemukan bahwa
dua pasal ini mendahului rumusan hak yang dicantumkan dalam pasal-pasal berikutnya.
Tertutama kedua pasal ini menjadi pernyataan filosofis bagi hak azasi manusia. Pernyataan
filosofis tersebut adalah sebagai berikut.
Berdasarkan ketiga pernyataan mendasar ini kita dapat memahami alasan mengapa
hak-hak azasi yang disebut di pasal 3 wajib dihormati dan dibela, hak-hak azasi tersebut
adalah:
Pasal 3
Keunikan dan ketaktergantikan itu dikenali melalui identitas diri kita. Amin Maalouf,
pemikir kelahiran Lebanon berkewarganegaraan Prancis, menyatakan bahwa pembentukan
identitas diri kita mengikuti garis vertical dan garis horizontal. Orang tua dan leluhur kita
menurunkan pencirian untuk identitas kita melalui berbagai unsur budaya, agama, dan strata
sosial. Tata karma, kebiasaan (mores), perayaan ritual dalam lingkungan hidup, peralatan dan
senjata, kesenian, dan hirarki adat adalah beberapa contoh unsur budaya, agama, dan strata
sosial yang dirunkan atau diwariskan oleh orang tua dan generasi sebelum kita. inilah yang
disebut pembentukan vertical identitas kita. Pembentukan horizontal atas identitas kita terjadi
saat kita menginternalisasi, menyeleksi berbagai unsur budaya, afiliasi politik; ekonomi; dan
sosial sezaman. Unsur-unsur tersebut dapat diikuti secara dasar atau ‘sekadar ikut arus’.
Pencirian vertikal identitas diri berkaitan dengan isu ‘keaslian’, atau ‘kemurnian’ jati
diri kita. Kedua isu ini sering menjadi alasan tersirat munculnya asosiasi antara seseorang dan
sekelompok orang dengan identitas etnik, budaya, bahasa, agama, dan politik. Asosiasi
tersebut berpeluang menghasilkan stereotype atau label. Ciri-ciri stereotype atau label ini
adalah generalisasi yang mengesampingkan kenyataan bahwa setiap orang dalam kategori
stereotype atau label tersebut unik dan dapat berbeda dengan kelompoknya. Selain itu,
generalisasi ini juga mengabaikan kenyataan bahwa pada dasarnya setiap kelompok manusia
yang disebut suku atau etnik memiliki baik pencirian ‘yang sama’ sekaligus juga ‘yang
berbeda’.
Karena itu, Amartya Sen dalam bukunya Identy and Violence (2005) menolak asosiasi
yang mengaitkan suku bangsa dan agama atau tingkat perkembangan peradabannya.
Lebih dari itu, pandangan reduktif seperti itu seolah-olah menyatakan bahwa suatu
identitas suku bangsa dilengkapi dengan pencirian yang ‘berlaku umum’ dan tidak
dimungkinkan ada variasi ciri-ciri identitas tersebut. Asosiasi linear ini tentu saja
mengabaikan kenyataan bahwa sebagai orang dengan identitas diri tertentu dapat memilih
pencirian apa yang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan kita. Artinya, identitas diri kita
tidak hanya ditentukan berdasarkan garis keturunan (pencirian vertical). Kita tidak hanya
menerima ‘ciri-ciri fisik’ dan adat istiadat (mores) sampai cara berpakaian tertentu dari orang
tua atau generasi sebelum kita.
Konflik internal tentang identitas diri merujuk kepada konflik eksternal tentang
identitas diri sebagai sebuah kelompok. Seringkali pencirian dentitas diri berkaitan dengan
idealisasi kesatuan pencirian yang melekat pada identitas diri seseorang. Kesatuan pencirian
ini tidak dipandang berasal dari luar tetapi dari dalam dirinya sendiri. Kesatuan yang utuh ini
mengandaikan setiap identitas diri kultural hanya mengandung ‘satu pencirian yang esensial
dan secara fundamenta benar dan tak mungkin berubah atau diganti’. Inilah pengendalian atas
identitas diri yang disebut Armartya Sen sebagai “afiliasi singular” (singular affiliation).
Afiliasi singular ini sering digunakan sebagai upaya membuat klasifikasi atau
kategorisasi orang atau sekelompok orang yang menegaskan seseorang atau sekelompok
orang dengan latar belakang identitas yang berbeda dianggap sungguh-sungguh berbeda.
Perbedaan itu dianggap semakin tajam ketika orang-orang dengan latar belakang berbeda
‘bersaing’ untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konflik antaridentitas diri itu dapat semakin
tajam jika kepentingan politik turut menentukan siapa yang layak menang atau dinyatakan
kalah dalam persaingan tersebut.
Pengakuan identitas diri, yang setara dan merdeka tidak hanya terjadi dalam kancah
internasional. Di dalam negeri sendiri, terkait pengakuan atas identitas diri berbeda-beda
bukan hal baru. Pernyataan “Bhineka Tunggal Ika” sudah mengekspresikan pengakuan
tersebut. Penghargaan atas identitas diri yang beragam itu yang beranjak dari keyakinan
bahwa kesetaraan dan kebebasan adalah implikasi penting dari gagasan kemanusiaan.
Penghargaan itu tampil dalam refleksi para pendiri bangsa terhadap sila Kemanusiaan.
Perikemusiaan tidak bisa dilepaskan dari identitas diri kita sebagai suku, atau bangsa,
atau kebudayaan tertentu. hanya saja, Soekarno pun mengingatkan agar identitas diri sebagai
bangsa tidak bersifat tertutup, atau chauvinistic dan realistic.
2. Moh. Hatta: Pengakuan Jati Diri, Kemanusiaan Kita, dan Perdamaian (Dunia)
Bung Hatta mengungkap sisi lain dari kemerdekaan yang berarti pengakuan atas
identitas diri sebagai bangsa dan terlebih lagi sebagai manusia.
Berbicara tentang nasionalisme saja tetapi juga implikasi dasar bagi semangat
kebangsaan adalah penghormatan kepada kemanusiaan yang terwujud dalam bentuk identitas
diri sebagai ‘bangsa Indonesia’. Tanpa identitas yang diakui, kemanusiaan tidak memiliki
arti.
Dengan kata lain, kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa justru menguak sebuah
tanggung jawab baru, penghormatan, dan pembelaan kemanusiaan melalui setiap bentuk
identitas diri. Penghargaan tersebut juga menyiratkan pengakuan pada kebebasan setiap
warga negara dengan identitas dirinya masing-masing dalam negara demokratis.
Gagasan filosofis Soekarno dan Hatta tentang kemanusiaan di atas menggiring kita
pada pertanyaan: bagaimana realisasi penghormatan dan pembelaan kemanusiaan di
Indonesia, termasuk juga dalam skala global? Penghormatan dan pembelaan kemanusiaan di
Indonesia bukan tanpa masalah.
Masalah tersebut dapat diketahui dalam beberapa bentuk: mulai dari segregasi sosial
dan budaya atau pengotak-kotakan masyarakat berdasarkan identitas dirinya, karena
kepentingan politik dan ekonomi, entah penguasa antar kelompok-kelompok dominan
pengendali kekuasaan; dominasi bahkan eksploitasi atau sekelompok orang dengan identitas
diri tertentu; marginalisasi bahkan diskriminasi identitas seseorang atau sekelompok orang
karena perbedaan gender atau perbedaan identitas diri (budaya, ideologi atau agama); sampai
peristiwa kekerasan massa yang menciderai bahkan yang berniat mengeliminasi sekelompok
orang dengan identitas diri yang berbeda dari tengah-tengah masyarakat. .
A. Pengantar
Kesadaran persatuan itu tumbuh kuat karena kolonialisme dan imperialism. Titik
berangkat menelaah dan merenungkan sila ketiga adalah hakikat manusia sebagai makhluk
sosial dan realitas ruang public kehidupan manusia. Manusia di satu sisi adalah makhluk
personal dan di sisi lain juga makhluk sosial.
B. Pengertian
1. Persatuan
Persatuan menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti gabungan atau ikatan
kumpulan beberapa bagian yang bersatu. Perserikatan atau serikat. Dalam konteks pemikiran
timur persatuan itu menunjukkan harmonisasi. Persatuan bukan hanya urusan horizontal antar
manusia semata tetapi juga merupakan relasi vertikal. Bagi pemikiran timur tidak ada
pembedaan antara yang duniawi dan yang surgawi yang ilahi dan yang duniawi maka cara
meng ada dalam pemikiran timur klasik adalah pengetahuan spiritual keagamaan.
2. Nasionalisme
Soekarno mengatakan bahwa nasionalisme merupakan persatuan dari berbagai
golongan. Nasionalisme bukan sebuah kopian atau tiruan dari nasionalisme barat, akan tetapi
timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalisme yang menerima rasa
nasionalismenya sebagai suatu Wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bukti, adalah
terhindar dari segala paham kekecilan dan kesempitan. Baginya membangun kebangsaan
adalah membangun kemanusiaan. Sjahrir dalam karyanya yang dipublikasikan di Belanda
dan dalam bahasa Belanda berjudul Indonesische overpeinzingen, cukup kritis memahami
nasionalisme yang dipandangnya sebagai proyeksi kejiwaan dari semangat rendah diri dalam
sikap kolonial antara penjajah dan kaum terjajah. Dari berbagai pandangan ini bisa
digarisbawahi bahwa bangsa adalah suatu kelompok masyarakat bila anggota-anggotanya
secara tegas saling mengakui hak dan kewajiban masing-masing karena keanggotaan mereka
yang sama.
3. Negara
Negara merupakan hasil perkembangan abad ke-16 di Eropa barat dan ditiru di
seluruh dunia. Sebuah negara mempunyai kedaulatan baik kedalam maupun keluar yang
dijamin oleh perjanjian Wesphalia 1648. Perjanjian ini dipandang sebagai basis kedaulatan
negara sampai kini. Negara adalah gejala modern yang diperlukan manusia modern untuk
mengorganisasikan kehidupan bersama secara modern.
4. Indonesia
Konsep berikut yang akan dijelaskan adalah nama Indonesia. Sejak tahun 1918 nama
Indonesia sudah dipakai untuk menyebut tanah air kita karena nama adalah pertanda
kepribadian kita. Pagi Muhammad Hatta nama Indonesia ini sudah cukup populer bahkan
bagi Muhammad Hatta, max Weber dalam karyanya wirtshaft und gesselschaft yang terbit
sebagai jilid III dari grundriss der sosialekonomik. Yang dimaksudkan dengan Indonesia
adalah kepulauan nusantara. Pandangan ini kemudian mendapat revisi karena ternyata nama
Indonesia telah dipakai sebelumnya. Nama Indonesia dengan demikian menyatakan suatu
tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan
dan untuk mewujudkan tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan
kemampuannya.
Negara bangsa merupakan sebuah praktik yang baru beberapa abad yang lalu
dikembangkan. Di Indonesia pada khususnya dan negara-negara berkembang pada umumnya
konsep ini dipraktikkan lebih kurang seabad. Bila kita melihat sejarah dinamika persatuan
Indonesia tampak bahwa hakikatnya Indonesia adalah persatuan masa lampau dan inovasi
inovasi ke depan baik di bidang budaya, agama, etnis, maupun kelas sosial. Dalam konteks
Indonesia, kesadaran sebagai bangsa merupakan reaksi terhadap keberadaan negara yang
asing. Perlawanan terhadap penjajah memunculkan semangat persatuan. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki konsepsi kebangsaan yang khas yaitu perpaduan
antara modernisasi dengan perspektif primordialis dan perenialis. Perspektif modernisme
memandang bangsa merupakan buah dari modernisasi atau rasionalisasi dengan munculnya
birokrasi, ekonomi industri, sekularisasi. Sebagai tandingan perspektif modern muncul
perspektif primordialis seperti ditunjukkan oleh Clifford Geertz (1963) yang memandang
bangsa sebagai sebuah pemberian historis yang terus hadir dalam sejarah manusia dan
memperlihatkan kekuatan inheren pada masa lalu dan generasi masa kini. Sedang perspektif
perenialis, seperti yang dikemukakan Adrian memandang bahwa bangsa bisa ditemukan
dalam berbagai jaman sebelum periode modern. Bagi kelompok ini bangsa merupakan
sebuah keberlanjutan dari anasir lama. Dengan memperhatikan dimensi keberlanjutan
perspektif ini mengabaikan dimensi perubahan dari formasi bangsa.
2. Tantangan Global
Globalisasi merupakan unsur dan praksis kehidupan yang tidak bisa dilakukan dalam
berbagai diskursus kehidupan dewasa ini. Thomas membuat periode periodisasi globalisasi
dalam tiga kurun masa. Pertama, berlangsung sejak tahun 1492 sejak pelayaran Christopher
Columbus. Globalisasi tahap pertama ini menyusutkan dunia dari ukuran besar menjadi
sedang. Kedua, kurun 1800-2000. Pada globalisasi kurun kedua ini pelaku utama perubahan
adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam gelombang ke-3 sekitar tahun 2000 di
mana dunia memasuki globalisasi tahap ketiga. Pada tahap ini pelaku utama adalah individu
dan kelompok kecil yang menjadi global dengan sebutan tatanan dunia datar. Walaupun
bukan merupakan sebuah paham yang sangat baru, harus diakui bahwa gelombang globalisasi
ini mengingat hidup dengan dahsyat pada sekitar tahun 1970. Pada tahun ini lahir tata
ekonomi baru dengan filsafat ekonomi yang disebut neoliberalisme dan manusia dipandang
terutama sebagai homo economicus. Relasi manusia akhirnya hanya sekedar kalkulasi untung
rugi individual.
Arus globalisasi membawa dampak besar bagi pola ekonomi, politik, sosial, agama,
termasuk juga pemahaman terhadap kebangsaan dan nasionalisme. Tantangan terbesar dari
globalisasi terhadap nasionalisme ada pada penghilangan satu konsep penting dalam negara
bangsa yaitu teritori.
A. Pengantar
Persatuan Indonesia yang berlandaskan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa
dan berorientasi penegakan kemanusiaan yang adil dan beradab membutuhkan ruang atau
tempat konkret. Maksudnya, gagasan tersebut mengawang-ngawang tanpa tempat konkret
mengusahakan dan mencapai idealitas tersebut. Tempat konkret yang dimaksud ialah bentuk
masyarakat dan negara Indonesia modern. Inilah kaitan antara ketiga sila pertama dengan sila
ke-4. Jika masyarakat dan negara Indonesia merdeka sudah dibentuk, orang-orang yang
tinggal di dalamnya dapat secara pribadi dan bersama berupaya mencapai cita-cita
kesejahteraan. Cita-cita itu ditempuh dengan rencana dan langkah konkret dengan
menjadikan keadilan sosial sebagai ukuran kesejahteraan. Inilah alasan betapa pentingnya sila
ke-4 menjadi titik berangkat bagi perwujudan sila ke-5, Keadilan Sosial.
Buku ajar edisi ini mengajukan penafsiran yang lain dari kata ‘kerakyatann’,
‘permusyawaratan’, dan’perwakilan’. Kata-kata tersebut tidak hanya mengacu kepada sistem
politik demokrasi, tetapi juga mengacu kepada bentuk masyarakat sipil atau ‘civil society’,
atau masyarakat madani, masyarakat warga di Indonesia yang hendak diwujudkan. Bentuk
masyarakat ini menjadi patokan dan ukuran untuk mengevaluasi perkembangan masyarakat
kita sebagai bangsa dan negara demokrasi. Dengan kata lain, tanpa ‘civil society’, sebuah
sistem demokrasi bisa menjadi alat bagi penguasa untuk semakin bertindak sewenang-
wenang.
Karena itu, kita perlu memahami konsep ‘civil society’ sebagai prasyarat dibangunnya
sistem demokrasi di negara kita.
Prinsip masyarakat demokrasi berpijak pada nilai yang terkandung dalam konsep
masyarakat sipil. Nilai-nilai itu, menurut Bung Hatta adalah:
Konsep ‘civil society’ tak dapat dipahami tanpa nilai ‘kemandirian dan tanggung
jawab individu’. Kemandirian dan tanggung jawab individu dalam hal ini tidak sama dengan
‘individualisme’. Nilai inilah yang menyebabkan konsep civil society berbeda dari konsep
masyarakat lainnya (misalnya masyarakat monarki).
Kemandirian dalam hal ini bisa dijabarkan sebagai ‘mengenali pilihan yang mau
diambil dan mampu memilih hal yang diinginkan’. Kemampuan memilih menunjukkan kita
bisa bertanggung jawab. Kita bertanggung jawab karena kita sadar akan pilihan dan
mempunyai rencana yang akan diwujudkan. Tanggung jawab adalah ungkapan dari dalam
diri kita yang keluar dalam bentuk tindakan.
Implikasi kedua yang terkandung dalam konsep ‘kerakyatan’ ialah kemampuan untuk
terlibat atau berpartisipasi dalam masyarakat. bung hatta membedakan dua macam partisipasi,
partisipasi pasif dan aktif. Partisipasi pasif adalah tanda persetujuan dan ketaatan warga
negara kepada pemerintah, misalnya membuat SIM, KTP, Paspor, surat ijin usaha, membayar
pajak, dsb. Partisipasi aktif ialah kemampuan warga negara untuk melibatkan diri dalam hal-
hal yang berkaitan dengan urusan public, misalnya memberikan masukan kepada Undang-
Undang, atau peraturan pemerintah, dsb.
Nilai kemadirian dan tanggung jawab, serta partisipasi dalam masyarakat demokratis
sudah dirumuskan oleh banyak pemikir demokrasi. Bung Hatta menyebut hal itu sebagai
hubungan kooperatif atau seringkali dikaitkan dengan tindakan ‘gotong royong yang kerap
kali dilakukan masyarakat desa’. Hatta inging mengungkap makna ‘saling membantu’,
‘tanggung jawab sosial’ dan ‘solidaritas’ di balik ‘hubungan kooperatif’. Makna salaing
membantu dan solidaritas ini menurut Hatta diutamakan untuk menyokong hidup mereka
yang secara ekonomi dan fisik lemah (miskin dan sakit/cacat).
Penekanan makna saling membantu, tanggung jawab sosial, dan solidaritas dalam
hubungan kooperatif menegaskan kemandirian dan tanggung jawab pribadi dalam
berpartisipasi aktif. Dengan kata lain, nilai yang ketiga ini tidak bisa dilepaskan dari kedua
nilai sebelumnya. ketiga nilai ini akan berpengaruh pada pilihan kita untuk membentuk
sistem politik demokratis.
Kita akan melangkah lebih jauh dengan membahas pendekatan atau penjelasan teoritis
tentang gagasan ‘civil society’ atau masyarakat sipil. Pendekatan teoritis ini diperlukan
supaya kita memahami bagaimana membangun dan mengembangkan masyarakat demokratis
berdasarkan nilai dan makna kerakyatan.
Istilah ‘masyarakat sipil’ atau ‘civil society’ berasal dari khazanah Latin yaitu
‘societas civilis’. Istilah civil society berdasarkan akar katanya berarti sebuah komunitas
warga negara yang dipersatukan dalam sebuah pemerintahan atau negara yang sah.
Beberapa filsuf dan pemikiran sosial politik sejak abad ke-17 sampai sekarang telah
mengembangkan gagasan civil society ini menjadi sebuah konsep penting dalam ilmu sosial
dan politik. Konsep ini sejalan dengan perkembangan pemikiran mengenai bentuk gerakan
masyarakat yang otonom dan mandiri dalam menentukan arah dan perkembangan tanpa
campur tangan total dari pemerintah.
Dalam hal ini John Locke berpendapat kepercayaan (trust) yang di delegasikan
anggota masyarakat kepada pemerintah tidak bisa diabaikan. Kepercayaan ini menjadi alasan
kenapa tiap individu menjalin kontrak dengan individu lain dan membentuk sebuah unit
politik. John Locke menegaskan bahwa kontrak sosial antaranggota berangkat dari keyakinan
religious (belief) bahwa manusia secara alamiah setara sebagai ciptaan Allah. Oleh karena itu,
masyarakat sipil dibentuk atas dasar kepercayaan dan keyakinan akan kesetaraan.
Dengan kata lain, masyarakat sipil membentuk sistem hukum, sistem peradilan, dan
sistem keamanan sosial berdasarkan konsensus yang dapat dilakukan melalui institusi
perwakilan: parlemen, lembaga peradilan, dan lembaga kepolisian.
Pemikiran John Locke ini menegaskan bahwa masyarakat sipil sekaligus juga menjadi
cermin masyarakat yang beradab (civilized society). Tanda peradaban ialah masyarakat sioil
mampu mengendalikan diri (self-discipline) sedemikian rupa demi mengembangkan dan
melindungi tida unsur pembangunan masyarakat sipil:
Kata kunci dari pandangan John Locke tentang masyarakat sipil adalah:
Salah satu tokoh dari para pemikir Skotlandia abad ke-18 ialah Adam Smith. Adam
Smith menganggap para pelaku ekonomi, yakni para pedagang dan pengusaha nonpemerintah
membentuk sebuah kelompok berdasarkan kepentingan ekonomi. Kelompok pengusaha ini
berupaya mandiri dari campur tangan pemerintah, yang pada masa itu adalah raja, kelompok
bangsawan, dan pemimpin militer. Kelompok inila cikal bakal masyarakat sipil atau disebut
juga sebagai masyarakat perniagaan (the commercial society).
Kata kunci dari teori pemikir Skotlandia tentang masyarakat sipil atau perniagaan
adalah:
Friedrich Hegel, filsuf idealisme Jerman terutama dari abad ke-19, juga menegaskan
bentuk masyarakat sipil. Hegel meneruskan dan mengembangkan ide masyarakat sipil dari
para pemikir Skotlandia (misalnya Adam Smith) tentang masyarakat perniagaan, dan ide
tentang masyarakat alamiah versi Jean Jacques Rousseeau dan Immanuel Kant. Bagi Hegel,
ide masyarakat sipil merupakan asosiasi yang dibentuk warga kota. Asosiasi ini melampaui
batas-batas ikatan keluarga dan satu tahap sebelum consensus membentuk negara.
Asosiasi masyarakat kota ini bertujuan politis yakni mengatur kemandirian kota untuk
menata warganya dengan kepemimpinan dan serangkaian aturan.
Kata kunci dalam teori Hegel tentang masyarakat sipil sebagai asosiasi warga kota
ialah:
- Asosiasi warga kota atau masyarakat-sipil mengatasi bentuk komunitas keluarga besar
dan menjadi komunitas yang nantinya membentuk sebuah negara.
- Asosiasi tersebut dibentuk guna menjamin kebebasan pribadi dan pemenuhan
kebutuhan hidup.
- Ciri universal egoism atau sikap terbuka dan inklusif warga kota demi pemenuhan
kebutuhan pribadi merupakan titik awal pembentukan asosiasi warga kota.
- Ciri tersebut akan berkembang menjadi universal interdependence atau sikap inklusif
yang mengutamakan hubungan saling bergantung dalam pemenuhan kebutuhan hidup
warga kota.
- Ciri kedua menjadi penting karena asosiasi warga kota merupakan kumpulan individu
yang rasional, bebas, dan bermartabat.
- Karena itulah norma moral individu dan hidup berkomunitas yang bernuansa etis
menjadi prasyarat bagi asosiasi warga kota.
- Dalam konteks prasyarat tersebut, masyarakat kota melaksanakan penataan dan
pengawasan internal dari inisiatif warga kota yang rasional dan eksternal yang
dilaksanakan penguasa kota.
- Pengawasan eksternal dilakukan dengan sistem aturan dan hukum yang menjamin
kebebasan, keadilan, dan kesempatan warga kota untuk memenuhi kebutuhan layak
dengan cara bekerja.
- Akal budi komunikatif, pemikiran yang kita gagas mengandaikan kemampuan dapat
dibagikan kepada orang lain.
- Akal komunikatif, pertukaran itu tidak terbatas pada bahas lisan atau tulisan. Aksi
komunikatif juga berkaitan dengan segala hal yang digunakan untuk menyampaikan
aspirasi dan partisipasi kita.
- Wilayah public atau public sphere adalah medan mediasi aspirasi dan pertisipasi yang
dimungkinkan karena kemampuan akal budi komunikatif dan aksi komunikatif.
- Habermas mengembangkan model ‘bourgeois public sphere’ atau ajang pertemuan
kelas menegah eropa sejak masa Renaissance sampai modern.
- Wilayah public berkaitan dengan ajang pertemuan warga masyarakat berkumpul
secara fisik entah di tempat-tempat yang disediakan, baik itu milik kota, tempat
ibadah, maupun sarana pribadi yang digunakan secara terbuka, seperti sanggar
kesenian, galeri seni, dll.
- Seturut perkembangan teknologi informasi dna komunikasi, ajang pertemuan public
berkembang dalam ruang virtual melalui media cetak, elektronik, dan digital.
e. Karakteristik Masyarakat Sipil menurut Filsuf dan Pemikir Ilmu Sosial dan
Politik
1) Masyarakat sipil atau civil society adalah sebuah benukan rasional untuk memenuhi
kebutuhan sekelompok warga masyarakat dalam menyalurkan aspirasi dan
partisipasinya.
2) Masyarakat sipil merupakan upaya lepas dari bentuk masyarakat kekerabatan, atau
masyarakat tradisional yang dapat kita jumpai di desa dan kota.
3) Para pemikir sosial-politik pada awal masa modern, Jon Locke, Adam Smith, dan
para pakar pemikir sosial politik Skotlandia lainnya menggagas masyarakat sipil
sebagai bentukan yang melepaskan diri dari intervensi dan control ketat penguasa:
raja, kelas bangsawan, dan Gereja.
4) Dengan demikian, ide masyarakat sipil tidak bisa dilepaskan dari kepentingan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan melalui negoisasi dengan institusi politik dan
ekonomi.
5) Habermas menegaskan bahwa masyarakat sipil tidak hanya bbentukan permanen atau
asosiasi warga negara yan bersifat tetap.
6) Gagasan masyarakat sipil tidak bisa dilepaskan dari orientasi nilai dan norma moral.
Kata kunci visi Bung Hatta tentang masyarakat kooperatif sebagai masyarakat sipil:
Seperti Bung Hatta, Soekarno juga berpendapat bahwa pengembangan sistem sosial
dan ekonomi Indonesia menjadi prasyarat menuju negara demokrasi modern. Pengembangan
tersebut merupakan langkah lanjutan dari kehendak masyarakat Indonesia untuk bersatu
sebagai bangsa. Soekarno juga mengacu pola hidup masyarakat desa tradisional sebagai
prinsip dasar pengembangan masyarakat. Soekarno mengangkat sistem kekeluargaan dalam
pola masyarakat desa untuk menegaskan prinsip dasar pengembangan masyarakat sipil
Indonesia.
Kata kunci gagasan Ir. Soekarno tentang “sistem kekeluargaan masayrakat desa”
sebagai masyarakat sipil:
Sebagai ahli hukum adat, Mr Soepomo berpendapat bahwa struktur negara Indonesia
merdeka perlu mempertimbangkan unsur lokal. Konser lokal tersebut adalah pandangan
hidup masyarakat setempat. Sistem sosial, budaya dan ekonomi masyarakat lokal hendaknya
menjadi prasyarat bagi membangun sebuah negara yang merdeka. Pandangan hidup
masyarakat tradisional tidak dapat diabaikan untuk membangun sistem masyarakat Indonesia.
a. Para pendiri bangsa menyadari bahwa model sosial dan ekonomi masyarakat perlu
menjadi prasyarat bagi bentuk negara Indonesia merdeka.
b. Bentuk masyarakat yang ingin dibangun harus berakar pada pola masyarakat
tradisional.
c. Ketiga penditi bangsa yang kita pelajari diatas menolak gagasan pentingnya individu
yang mandiri dan otonom dalam masyarakat sipil.
d. Gagasan yang ditolak oleh para pendiri bangsa ini ialah pemutlakan kepentingan
pribadi sebagai konsekuensi dari tuntutan untuk menghargai dan menjamin kebebasan
dan otonomi pribadi.
e. Katiga pendiri bangsa tidak menghendaki pemutlakan kepentingan ekonomi pribasi
akan akumulasi modal pribasi/swasta sebagai landasan bagi masyarakat sipil.
f. Musyawarah adalah sebuah mekanisme dan saranan negoisasi, konsultasi dan dialog
dalam masyarakat sipil.
A. Pengantar
Hidup dalam persaudaraan universal merupakan kandungan nilai sila kedua. Di atas
nilai itu fondasi komunitas yang majemukditegakkan dalam semangat persatuan seperti yang
ditegaskan dalamsila ketiga. Persatuan dalam keragaman atas dasar semangat persaudaraan
itu (Persatuan Indonesia), selain melahirkan manusia-manusia bijaksana juga memungkinkan
semua pihak (secara bijaksana) untuk duduk bersama, berdialaog, bermusyawarah, dan
menyepakati dengan hikmat kebijaksanaan hal-hal mendasar untuk kepentingan hidup
bersama. Prinsip itulah yang kemudian diharapkan bermuara pada kandungan makna sila
kelima, yang akan di bahas dalam bab ini, yakni: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
B. Peengertian Umum Keadilan Sosial
Konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sila kelima Pancasila
sesungguhnya dikembangkan dari gagasan ratu adil dan kesejahteraan sosial yang
dirancangkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Istilah ratu adil
mengandung makna sociale rechtvaardigheid, rakyat ingin sejahtera, makmur. Dimensi
konsep ratu adil ini bukan semata-mata materiil tetapi juga dimensi spiritual atau nilai dan
semangat yang memungkinkan konsep itu terlaksana dalam praksis kehidupan.
Dalam buku Tjamkan Pantjasila, Soekarno melaporkan secara pragmatis tiga makna
keadilan sosial dalam kaitannya dengan ratu adil yang tampak berdimensi material dan
spiritual yakni:
a) Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi tidak ada kemiskinan di Indonesia merdeka
b) Keadilan sosial sebagai suatu kondisi masyarakat atau sifat suatu masyarakat yang
ditandai keadilan dan kemakmuran, situasi bahagia buat semua orang tidak ada
penghinaan, tidak ada penindasan, dan tidak ada penghisapan. Semua cukup sandang,
cukup pangan. Iya menggambarkan situasi semacam sosialisme Indonesia. Dalam
pemikiran Soekarno, keadilan sosial identik dengan sosialisme dalam arti bahwa
tujuan mutlak sosialisme adalah mewujudkan keadilan sosial yang ditandai oleh
keberadaan masyarakat tanpa kelas kelas sosial sebagai prasyarat keadilan sosial.
Dengan masyarakat tanpa kelas sosial diandaikan bahwa dengan sendirinya epos
besar penindasan dan penghisapan manusia atas manusia lainnya berakhir dan
sekaligus kerajaan kebebasan hadir di dunia.
c) Marhaenisme yang dimaknai sebagai konsep rakyat kebanyakan artinya konsep yang
berpihak kepada rakyat kebanyakan yang memiliki alat-alat produksi tradisional.
Perwujudan kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai cita-cita dan impian bersama
bermula dan bertolak dari pendayagunaan potensi-potensi yang tersebar di tengah
rakyat kebanyakan atau rakyat jelata. Kesejahteraan dan keadilan sosial harus
dipikirkan, dikonsepkan, den dibangun dari rakyat kebanyakan dan demi rakyat
kebanyakan pula. Soekarno yakin bahwa bermula dari konsep itulah kita di Indonesia
berbicara tentang perekonomian rakyat, kesejahteraan rakyat, dan sosialisme
Indonesia.
Ia mengkritisi banyak hal berkaitan dengan politik demokrasi dan politik ekonomi.
Bagi hatta, demokrasi parlementer harus berakar dalam politik demokrasi dan secara sama
juga dalam politik ekonomi. Ringkasan nya iya tidak setuju bila warga negara hanya dijamin
hak politiknya. Negara juga harus mampu menjamin kesejahteraan warganya melalui
demokrasi ekonomi. Bagi Hatta, cita-cita sosialisme bisa dirumuskan dengan sederhana,
bagaimana memurahkan ongkos hidup rakyat. Salah satu prinsip untuk mencapai negara
kesejahteraan adalah bentuk perekonomian yang berlandaskan koperasi yang kemudian
dirumuskan secara umum dalam pasal 33 UUD 45. Koperasi berasaskan kekeluargaan dan
menekankan prinsip kepemilikan bersama.
3. Sultan Sjahrir
Sebagai tokoh sosialisme Indonesia, Sjahrir melihat bahwa sosialisme yang relevan
untuk konteks Indonesia sejatinya bukan menyangkut urusan kemakmuran dalam materi
semata tetapi yang menyangkut keutuhan eksistensial manusia di Indonesia. Sjahrir
menegaskan bahwa sosialisme kerakyatan adalah bentuk sosialisme yang tepat untuk
Indonesia.
John Rawis merupakan salah satu tokoh kontemporer yang menganggap konsep
bernas seputar keadilan. Perlu kesadaran reflektif dan kajian mendalam untuk memahami
teori Rawis tentang keadilan sebagai Fairness. John Rawis mengkritik utilitarianisme bukan
karena apa yang dikatakannya melainkan melainkan karena ajarannya bahwa kesejahteraan
sosial sudah dengan sendirinya meliputi juga kesejahteraan artinya jika masyarakat sebagai
keseluruhan sudah mencapai tingkat kesejahteraan tertentu maka individu sebagai anggota
masyarakat juga dengan sendirinya dianggap mendapat manfaat yang sama. Sementara itu
intuisionisme dikritik Rawis karena tidak memberikan tempat memadai bagi asas rasionalitas.
Menurut teori intuisi onisme kemampuan intuitif dapat membantu kita mengatasi masalah-
masalah atau rintangan-rintangan untuk mencapai keadilan.
Menalar gagasan sen tentang keadilan dalam karyanya The Idea of Justice sungguh
terasa tidak ringan titik ketajaman analisisnya terhadap teori-teori para pendahulunya
membuat teorinya sungguh istimewa dan terasa berat untuk dituangkan secara maksimal
dalam tulisan ini. Pertama, dalam hal peranan rasionalitas sebagai instrumen menuju
keadilan. Perbedaan antara rawls dan sen terletak pada metode evaluasi untuk menakar
keadilan yang masuk akal. Metode evaluasi yang diikuti rawls secara konsisten adalah
metode yang transendental, yang tampak pada keyakinan rawls melalui hipotesisnya bahwa
keadaan awal manusia yang disebutnya posisi asali itu berorientasi pada keadilan. Manusia
dalam posisi asali itu dipandang rawls sebagai person moral. Sementara itu menurut sen
metode penelitian itu tidak memadai sebagai proses untuk mencapai keadilan.
Kedua, kritik sen terhadap kontrak rawls serta posisi awal. Send menganalisis sejauh
mana gagasan posisi asali Rawls itu bisa di diterapkan dalam kondisi real.
Ketiga, terkait dengan social choice. Argumen Sen tentang pilihan sosial merupakan
sanggahan pokoknya terhadap teori transendental justice dari Rawis. Sen melihat prinsip ini
selain tidak lagi memadai juga kurang mendarat untuk menjawab problematika kehidupan
modern sehingga tidak dapat diandalkan untuk mengatasi fenomena ketidakadilan seperti
kemiskinan atau disparitas ekonomi.
Keempat, terkait dengan opportunity dan kebebasan. Sen mengkaji ulang pengertian
kita tentang opportunity, bagaimana hubungan kita dengan adanya kesempatan tersebut.
Kebebasan menurut Sen bisa dipahami melalui dua cara, yakni: pertama, semakin luas
cakupan kebebasan semakin banyak memberikan kesempatan untuk mengejar tujuan-tujuan
kita. Kedua, kita boleh mengaitkan pentingnya proses dari pilihan itu sendiri.
Tujuan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah untuk
menciptakan suatu struktur yang harmonis dan teratur dalam masyarakat dengan
menyediakan kesempatan bagi rakyat agar bisa membangun komunitas yang adil, di mana
yang lemah dan miskin dapat memperoleh bantuan yang sah dari pemerintah. Ini berarti
bahwa paling kurang ada 2 kewajiban pemerintah yakni pemerintah wajib memajukan
kemakmuran sosial bagi seluruh rakyat dan pemerintah wajib menjamin tingkat kemakmuran
dasar atau standar minimum kehidupan manusia bagi setiap orang. Prasyarat dasar bagi
perolehan hak-hak adalah adanya jaminan atas kebebasan yang menyangga kehidupan. Kita
tidak mungkin berbicara tentang penegakan keadilan dan pemenuhan hak-hak seseorang
manakala kebebasannya dibelenggu. Itu berarti bahwa makna konsep keadilan hanya dapat
dipahami justru ketika kebebasan manusia sebagai subjek dalam realitas sosial dilindungi.
Dalam tekanan yang terakhir itu sistem demokrasi justru terasa memfasilitasi keadilan sebab
hormat terhadap kebebasan individual merupakan akar mendasar dari demokrasi. Dalam
praksis demokrasi, itu diwarnai dengan relasi intersubjektif yang setara. Secara sosiologis hal
itu pada umumnya dikaitkan dengan kebutuhan masing-masing individu, antara lain
menyangkut kebutuhan akan rasa aman, damai, identitas diri, kelangsungan hidup.
Singkatnya prinsip keadilan berkaitan dengan kecenderungan manusia untuk hidup bersama
dalam rangka mempertahankan eksistensi diri dan kontinuitas kelompok.
Prinsip dan tuntutan ke arah keadilan sosial sebetulnya muncul ketika konsep hidup
bersama atau berkomunitas yang ideal menjadi problematis, misalnya ketika relasi
interpersonal timpang dan cenderung subordinatif, terjadinya diskriminasi sosial dengan
alasan yang tidak masuk akal sehingga bercorak dehumanistik. Ringkasan nya kondisi-
kondisi anti kemanusiaan seperti perbudakan adalah awal dari permenungan gagasan serta
tuntutan ke arah keadilan sosial.
KELEBIHAN
BAB IV
KELEMAHAN
BAB V
HASIL ANALISIS
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Bolo, Andreas Doweng, dkk. 2012. Pancasila Kekuatan Pembebas. Yogyakarta: PT.
Kanisius.
Sulasmono, Bambang Suteng. 2015. Dasar Negara Pancasila. Yogyakarta: PT. Kanisius.