Makalah Hukum Adat Minangkabau
Makalah Hukum Adat Minangkabau
1.3 Tujuan
Minangkabau menurut sejarah
Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat,
analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode
kesejarahan; Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman
kerajaan Pagaruyung. Seperti yang ditulis MD Mansur dkk dalam Sejarah Minangkabau, bahwa
zaman sejarah Minangkabau pada zaman sebelum Masehi dan pada zaman Minangkabau Timur
hanya dua persen saja yang punya nilai sejarah, selebihnya adalah mitologi, cerita-cerita yang
diyakini sebagai tambo.
Prof Slamet Mulyana dalam Kuntala, Swarnabhumi dan Sriwijaya mengatakan bahwa
kerajaan Minangkabau itu sudah ada sejak abad pertama Masehi.Kerajaan itu muncul silih
berganti dengan nama yang berbeda-beda. Pada mulanya muncul kerjaan Kuntala dengan lokasi
sekitar daerah Jambi pedalaman. Kerajaan ini hidup sampai abad ke empat. Kerajaan ini
kemudian berganti dengan kerajaan Swarnabhumi pada abad ke lima sampai ke tujuh sebagai
kelanjutan kerajaan sebelumnya. Setelah itu berganti dengan kerajaan Sriwijaya abad ke tujuh
sampai empat belas
Mengenai lokasi kerajaan ini belum terdapat kesamaan pendapat para ahli. Ada yang
mengatakan sekitar Palembang sekarang, tetapi ada juga yang mengatakan antara Batang Batang
Hari dan Batang Kampar. Candi Muara Takus merupakan peninggalan kerajaan Kuntala yang
kemudian diperbaiki dan diperluas sampai masa kerajaan Sriwijaya. Setelah itu muncul kerajaan
Malayapura (kerajaan Melayu) di daerah yang bernama Darmasyraya (daerah Sitiung dan
sekitarnya sekarang). Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini
kemudian dipindahkan oleh Adhytiawarman ke Pagaruyung. Sejak itulah kerajaan itu dikenal
dengan kerajaan Pagaruyung.
Menurut Jean Drakar dari Monash University Australia mengatakan bahwa kerajaan
Pagaruyung adalah kerajaan yang besar, setaraf dengan kerajaan Mataram dan kerajaan Melaka.
Itu dibuktikannya dengan banyaknya negeri-negeri di Nusantara ini yang meminta raja ke
Pagaruyung,seperti Deli,Siak,Negeri Sembilan dan negeri-negeri lainnya.
Minangkabau menurut tambo
Dalam bentuk lain, tambo menjelaskan pula tentang asal muasal orang Minangkabau.
Tambo adalah satu-satunya keterangan mengenai sejarah Minangkabau. Bagi masyarakat
Minangkabau, tambo mempunyai arti penting, karena di dalam tambo terdapat dua hal:
(1) Tambo alam, suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja
pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung.
(2) Tambo adat, uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-
hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal dikembangkan.
Di dalam Tambo alam diterangkan bahwa raja pertama yang datang keMinangkabau
bernama Suri Maharajo Dirajo. Anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua
saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang
menjadi raja di benua Cina. Secara tersirat tambo telah menempatkan kerajaan Minangkabau
setaraf dengan kerajaan di benua Eropa dan Cina. Suri Maharajo Dirajo datang ke Minangkabau
ini, di dalam Tambo disebut pulau paco lengkap dengan pengiring yang yang disebut; Kucing
Siam,Harimau Campo,Anjiang Mualim,Kambiang Hutan.
Masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” dari setiap luhak di Minangkabau.
Kucing Siam untuk lambang luhak Tanah Data, Harimau Campo untuk lambang luhak Agam
dan Kambiang hutan untuk lambang luhak Limo Puluah. Suri Maharajo Dirajo mempunyai
seorang penasehat ahli yang bernama Cati Bilang Pandai.
Suri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan Maharajo Basa yang
kemudian dikenal dengan Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto Piliang. Puti
Indo Jalito, isteri Suri Maharajo Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai dan
melahirkan tiga orang anak, Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun
kemudian dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang pendiri kelarasan Bodi Caniago.
Datuk Katumanggungan meneruskan pemerintahannya berpusat di Pariangan Padang
Panjang kemudian mengalihkannya ke Bungo Sitangkai di Sungai Tarab sekarang, dan
menguasai daerah sampai ke Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung.
Maka urutan kerajaan di dalam Tambo Alam Minangkabau adalah:
(1)Kerajaan Pasumayan Koto Batu,
(2)Kerajaan Pariangan Padang Panjang
(3)Kerajaan Dusun Tuo yang dibangun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang
(4)Kerajaan Bungo Sitangkai
(5)Kerajaan Bukit Batu Patah dan terakhir
(6)Kerajaan Pagaruyung.
Menurut Tambo Minangkabau, kerajaan yang satu adalah kelanjutan dari kerajaan
sebelumnya. Karena itu, setelah adanya kerajaan Pagaruyung, semuanya melebur diri menjadi
kawasan kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan Dusun Tuo yang didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, karena terjadi
perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih nan Sabatang, maka
kerajaan itu tidak diteruskan, sehingga hanya ada satu kerajaan saja yaitu kerajaan Pagaruyung.
Perbedaan paham antara kedua kakak beradik satu ibu ini yang menjadikan sistem pemerintahan
dan kemasyarakatan Minangkabau dibagi atas dua kelarasan, Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Dari uraian tambo dapat dilihat, bahwa awal dari sistem matrilineal telah dimulai sejak awal,
yaitu dari “induknya” Puti Indo Jalito. Dari Puti Indo Jalito inilah yang melahirkan Datuk
Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Namun, apa yang diuraikan setiap tambo
punya berbagai variasi, karena setiap nagari punya tambo.
Dr. Edward Jamaris yang membuat disertasinya tentang tambo, sangat sulit menenyukan
pilihan. Untuk keperluan itu, dia harus memilih salah satu tambo dari 64 buah tambo yang
diselidikinya.Namun pada umumnya tambo menguraikan tentang asal usul orang
Minangkabau sampai terbentuknya kerajaan Pagaruyung.
Cara-cara pewarisan yang dimaksud ialah proses peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris
dalam pengertian adat Minangkabau lebih banyak berarti proses peralihan peranan dari pewaris
kepada ahli waris dalam hal yang menyangkut penguasaan harta pusaka. Cara-cara peralihan itu
lebih banyak tergantung kepada macam harta yang akan dilanjutkan dan macam ahli waris yang
akan melanjutkannya. Pewarisan harta ini di Minangkabau terbagi atas :
Harta adalah harta yang dikuasai oleh kaum secara kolektif, sedangkan ahli waris adalah anggota
kaum secara kolektif pula, maka kematian seseorang dalam kaum tidak banyak menimbulkan
masalah. Harta tetap tinggal pada rumah yang ditempati oleh kaum untuk dimanfaatkan bersama
oleh seluruh anggota kaum itu. Penerusan harta atau peranan pengurusan atas harta pusaka hanya
menyangkut harta pusaka tinggi yang murni, dengan arti belum dimasuki unsur harta pencarian
yang kemudian menjadi harta pusaka rendah. Bila harta pusaka telah tercampur antara pusaka
tinggi dan pusaka rendah maka timbul kesukaran. Timbulnya kesukaran ini ialah karena adanya
pemikiran bahwa harta pencarian suatu kaum atau rumah, hanya berhak dilanjutkan oleh
keturunan dalam rumah itu dan tidak dapat beralih kerumah lain walaupun antara kedua rumah
itu terlingkup dalam pengertian satu kaum dalam artian yang lebih luas. Menelaah pemaparan di
atas, maka harta pusaka itu terdiri dari dan penguasaannya dilakukan oleh:
Harta pusaka tinggi dikuasai oleh keluarga yang lebih besar atau kerabat
(“famili”) yang dipimpin oleh seorang penghulu andiko atau mamak kepala waris.
Harta pusaka rendah dikuasai oleh keluarga yang lebih kecil, yang terdiri dari istri dan
anak-anaknya; atau suami dengan saudara-saudara kandungnya beserta keturunan saudara
perempuan yang sekandung.
Ria Agustar, “Pelaksanaan Pembagian Warisan atas Harta Pencarian dalam Lingkungan Adat Minangkabau di
Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang”, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang,
2008, hal. 53-59.
Pengertian harta bawaan kembali ialah pulangnya harta itu kembali ke asalnya yaitu kaum dari
suami. Tentang kembalinya harta yang berasal dari harta pusaka adalah jelas karena hubungan
suami dengan harta pusaka itu hanya dalam bentuk hak pakai atau pinjaman dari kaum.
Sebagaimana layaknya, harta pinjaman kembali ke asalnya. Sedangkan harta bawaan yang
berasal dari hasil pencarian pembujangan si suami sebelum kawin juga kembali kepada kaum
sebagaimana harta pencaharian seseorang yang belum kawin. Bila dibandingkan status kedua
bentuk harta itu, maka pada harta pusaka, hak kaum didalamnya lebih nyata sedangkan pada
harta pencaharian, adanya hak kaum lebih kabur. Oleh karena itu pada bentuk yang kedua ini
lebih banyak menimbulkan sengketa. Pada bentuk yang pertama sejauh dapat dibuktikan bahwa
harta itu adalah harta pusaka, pengadilan menetapkan kembalinya harta itu kepada kaum dari
suami.
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2011, hal. 267.
Ria Agustar, op.cit., hal. 54-59.
Perubahan berlaku setelah kuatnya pengaruh hukum Islam yang menuntut tanggung jawab
seseorang ayah terhadap anaknya. Dengan adanya perubahan ini, maka harta pencaharian ayah
turun kepada anaknya. Dalam penentuan harta pencarian yang akan diturunkan kepada anak itu,
diperlukan pemikiran, terutama tentang kemurnian harta pencarian itu. Adakalanya harta
pencarian itu milik kaum namun adakalanya pula harta pencarian itu merupakan hasil usaha yang
modalnya dari harta kaum, jadi tidak dapat dikatakan bahwa semuanya adalah harta pencarian
secara murni. Dalam keadaan demikian tidak mungkin seluruh harta pencarian itu diwarisi oleh
anak. Dalam bentuk yang kabur ini maka berlaku cara pembagian menurut alur dan patut.
Tidaklah adil bila semua harta diambil oleh anak. Bila harta pencarian tercampur langsung
dengan harta pusaka, maka masalahnya lebih rumit dibandingkan dengan harta pencarian yang
didalamnya hanya terdapat unsur harta kaum. Kerumitan itu disebabkan oleh karena hak
ponakan pasti terdapat didalamnya, hanya kabur dalam pemisahan harta pencarian dari harta
kaum.
Oleh karena tidak adanya kepastian tentang pemilikkan harta itu, sering timbul sengketa yang
berakhir di pengadilan antara anak dan ponakan. Ponakan menganggap harta itu adalah harta
pusaka mkaum sedangkan si anak menganggap harta adalah harta pencarian dari ayahnya.
Penyelesaian biasanya terletak pada pembuktian asal usul harta itu.
a.Asas Unilateral
Yang dimaksud asas unilateral yaitu hak kewarisan yang hanya berlaku dalam satu garis
kekerabatan, dan satu garis kekerabatan disini adalah garis kekerabatan ibu. Harta pusaka dari
atas diterima dari nenek moyang hanya melalui garis ibu kebawah diteruskan kepada anak cucu
melalui anak perempuan. Sama sekali tidak ada yang melalui garis laki-laki baik keatas maupun
kebawah.
b.Asas Kolektif
Asas ini berarti bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah orang perorangan, tetapi suatu
kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan asas ini maka harta tidak dibagi-bagi dan
disampaikan kepada kelompok penerimanya dalam bentuk kesatuan yang tidak terbagi. Dalam
bentuk harta pusaka tinggi adalah wajar bila diteruskan secara kolektif, karena pada waktu
penerimaannya juga secara kolektif, yang oleh nenek moyang juga diterima secara kolektif.
Harta pusaka rendah masih dapat dikenal pemiliknya yang oleh si pemilik diperoleh berdasarkan
pencahariannya. Harta dalam bentuk inipun diterima secara kolektif oleh generasi berikutnya.
c.Asas Keutamaan
Asas keutamaan berarti bahwa dalam penerimaan harta pusaka atau penerimaan peranan untuk
mengurus harta pusaka, terdapat tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih
berhak dibanding yang lain dan selama yang berhak itu masih ada maka yanag lain belum akan
menerimanya. Memang asas keutamaan ini dapat berlaku dalam setiap sistem kewarisan,
mengingat keluarga atau kaum itu berbeda tingkat jauh dekatnya dengan pewaris. Tetapi asas
keutamaan dalam hukum kewarisan Minangkabau mempunyai bentuk sendiri. Bentuk tersendiri
ini disebabkan oleh bentuk- bentuk lapisan dalam sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau.
Kalau kita perhatikan sifat dari hukum waris adat, tampak jelas menunjukkan corak-corak yang
memang khas yang mencerminkan cara berpikir maupun semangat dan jiwa dari pikiran
tradisional Indonesia yang didasarkan atas pikiran kolektif/komunal, kebersamaan serta konkriet
bangsa Indonesia. Rasa mementingkan serta mengutamakan keluarga, kebersamaan, kegotong-
royongan, musyawarah dan mufakat dalam membagi waris benar-benar mewarnai dari hukum
waris adat.
Masyarakat Minangkabau yang menganut Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang anggota
masyarakat tersebut menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas
sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. Akibat hukum yang timbul adalah
semua keluarga adalah keluarga ibu, anak-anak adalah masuk keluarga ibu, serta mewaris dari
keluarga ibu. Suami atau bapak tidak masuk dalam keluarga ibu atau tidak masuk dalam
keluarga istri. Dapat dikatakan bahwa sistem kekeluargaan yang ditarik dari pihak ibu ini,
kedudukan wanita lebih menonjol daripada pria di dalam pewarisan. Pada dasarnya dalam
susunan kekerabatan masyarakat adat yang mempertahankan garis keibuan (matrilineal) yang
berhak menjadi ahli waris adalah anak-anak wanita, sedangkan anak-anak pria bukan ahli waris.
Kedudukan anak-anak wanita sebagai ahli waris dalam susunan matrilineal berbeda dari
kedudukan anak-anak pria sebagai ahli waris dalam susunan patrilineal. Dalam susunan
patrilineal kedudukananak-anak lelaki sebagaimana diikatakan Ter Haar bersifat
”vaderreechtelijke ordening”, yaitu berdasarkan tata-hukum bapak, yang berarti segala
sesuatunya dikuasai oleh kebapakan, sedangkan dalam susunan matrilineal kedudukan anak
wanita sebagai ahli waris bersifat ”moedererechtelijke groepering”, yang berarti segala
sesuatunya dikuasai oleh kelompok keibuan. Jadi, bukan semata-mata para ahli waris wanita
yang menguasai dan mengatur harta peninggalan, melainkan didampingi juga oleh saudara-
saudara ibu yang pria. Di Minangkabau yang menganut sistem kewarisan kolektif wanita
terhadap harta pusaka, semua anak wanita yang bertali darah adalah ahli waris dari harta pusaka
seketurunannya yang tidak terbagi- bagi pemilikannya, tetapi dikuasai dan diatur mamak kepala
warisnya tentang hak-hak pemakaiannya. Para ahli waris anak-anak wanita boleh menggunakan,
mengusahakan dan menikmati harta pusaka seperti tanah sawah pusaka, rumah gedung bersama-
sama di bawah pengawasan mamak kepala waris. Adat Minangkabau menjalankan asas
kekerabatan Matrilineal. Kehidupan mereka ditunjang oleh harta yang dimiliki secara turun
temurun. Harta tersebut dimiliki oleh seluruh anggota keluarga. Dalam mekanisme peralihan
harta berlaku asas kolektif. Agama Islam dan adat telah menyatu dalam tingkah laku suku bangsa
Minangkabau. Ajaran Islam memberikan istilah baru terhadap harta yang diperoleh suami-istri
selama melangsungkan perkawainan sebagai harta pencarian. Harta pencarian diwariskan oleh
orang tua kepada anak-anaknya. Harta pencarian tidak lagi diwarisi oleh keponakan secara adat,
tetapi diwarisi oleh anak dan istri. Hubungan kekeluargaan juga sangat mempengaruhi terhadap
proses pembagian warisan atas harta pencarian. Sistem pewarisan masyarakat adat matrilinial
khususnya Minangkabau di tarik dari garis keturunan ibu. Keluarga yang diantaranya suami, istri
dan anak tetap menjadi anggota kelompok dari garis keturunannya kecuali untuk harta suarang.
Sistem kekeluargaan Minangkabau adalah sistem menarik keturunan dari pihak ibu yang
dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta
saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan sistem tersebut, maka semua
anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi
yaitu harta turun-menurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah
yaitu harta turun dari satu sampai dua generasi. Misalnya; jika yang meninggal dunia itu seorang
laki-laki, maka anak-anaknnya serta jandanya tidak menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi,
sedang yang menjadi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya.
3.2 Saran
Penulisan makalah yang mengenai adat Minangkabau dan pola serta tujuan hidup orang
Minang ini masih jauh dari sempurna. Saya selaku pembuat makalah ini sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca agar pada penyusunan berikutnya semakin baik. Semoga
penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dari semua kalangan.
DAFTAR PUSTAKA
Nainggolan, Torop Eriyanto Sabar. 2005. “Kedudukan Anak Perempuan dalam Hukum Waris
Adat pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pontianak Kota di Kota\Pontianak”, Tesis,
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
FAKULTAS HUKUM
TUGAS INDIVIDU
HUKUM ADAT
2013/345450/HK/19447/Z