Anda di halaman 1dari 7

choir934@gmail.

com
(Khoirul Umam, Jur. Tafsir Hadits Fak. Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta)

PROSES TERBENTUKNYA MASYARAKAT

A. Pengertian Masyarakat

Masyarakat merupakan suatu perwujudan kehidupan bersama manusia. Dalam


masyarakat berlangsung proses kehidupan sosial, proses antar hubungan dan antar aksi.
Dengan demikian masyarakat dapat diartikan sebagai wadah atau medan tempat
berlangsungnya antar aksi warga masyarakat itu.

Banyak definisi masyarakat yang dikemukakan oleh para ahli. Tapi, bisa
diambil pengertian masyarakat adalah kelompok manusia yang saling berhubungan,
saling mempengaruhi, mempunyai norma-norma, memiliki identitas yang sama, dan
memiliki wilayah. Masyarakat bisa meliputi lingkup yang besar, seperti masyarakat
Indonesia, Masyarakat arab. Sedangkan dalam lingkup sempit, masyarakat dapat
ditemukan di desa, kota atau suku tertentu.1

B. Terbentuknya Masyarakat Menurut Gerhard Leinski


1. Pemburu dan Peramu

Masyarakat pemburu dan peramu adalah bentuk masyarakat paling sederhana.2


Kegiatan mereka umumnya sekadar berburu hewan (memburu) serta mengumpulkan
hasil tanaman nonbudidaya dengan teknologi berupa peralatan sederhana (meramu).
Kendati kini perkembangan teknologi sudah menciptakan masyarakat posindustri,
masyarakat pemburu dan peramu masih ada di sejumlah wilayah Indonesia. Akibat
teknologi diterapkan hanya mampu mengelola alam secara pasif, sebagian besar
kegiatan sosial mereka habiskan untuk mencari makanan berupa hewan buruan ataupun
tanam-tanaman demi pemenuhan kebutuhan subsisten.

Sercombe dan Sellato menyebut masih terdapat suku yang masuk kategori
masyarakat pemburu-peramu di Kalimantan, yaitu: Punan Tubu dan Punan Malinau
(sebelah utara Kalimantan Timur); Kayan-Tabang-Segah-Kelai (sebelah tengah-selatan
Kalimantan Timur); Hovongan dan Kereho (perbatasan Kalimantan Barat, Tengah, dan
Timur); Buket (ujung barat Kalimantan Timur dekat perbatasan dengan Kalimantan
Barat); Buket (ujung timur Kalimantan Barat, dekat perbatasan Kalimantan Timur dan

1
Sosiologi, Sebuah Pengantar, Prof. Yusran Razak, hal. 142
2
John J. Macionis, Sociology, hal, 43
choir934@gmail.com
(Khoirul Umam, Jur. Tafsir Hadits Fak. Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta)

Serawak).3 Masyarakat pemburu dan peramu lainnya adalah Orang Rimba di Taman
Nasional Bukit Duabelas, Jambi.4

2. Hortikultural dan Pastoral (Pra Agraris)

Masyarakat hortikultural menerapkan teknologi peralatan tangan untuk


mengkoleksi hasil pertanian.5 Masyarakat pastoral menerapkan teknologi domestikasi
hewan. Masyarakat hortikultural dan pastoral masih dapat ditemukan di wilayah Asia,
Amerika Selatan, dan Afrika. Material surplus – jumlah kebutuhan subsisten lebih besar
dari persyaratan hidup – masyarakat hortikultural dan pastoral berbeda dengan
masyarakat sebelumnya. Tingkat produksi makanan mereka lebih besar karena
teknologi yang mereka terapkan memungkinkan campur tangan manusia atas produksi
tanaman dan hewan. Akibatnya, populasi masyarakat hortikultural dan pastoral
mengalami peningkatan. Masyarakat pastoral hidup nomadik dengan menggembala
ternak, sementara masyarakat hortikultural mulai mendirikan pemukiman permanen.
Mereka baru pindah tatkala tanah tempat tumbuhnya tanaman tidak lagi subur atau
ditemukan tanah garapan baru yang lebih subur dan mampu menampung jumlah
populasi mereka.

Akibat pokok perkembangan teknologi di dalam masyarakat hortikultural dan


pastoral adalah munculnya kelompok yang lebih kaya dan lebih berkuasa. Ketimpangan
sosial mulai muncul. Satu keluarga lebih berpengaruh ketimbang keluarga lainnya. Satu
kelompok lebih mendominasi kelompok lain. Keluarga atau kelompok tersebut
memanfaatkan sumber daya politik dan keamanan untuk menjamin posisinya.
Perbedaannya dengan masyarakat yang lebih kemudian (masyarakat agraris, nanti
dibahas) adalah jangkauan wilayah kekuasaannya yang relatif kecil karena
pertumbuhan populasi masyarakat fase ini yang belum terlalu signifikan.6

3. Agraris

3
Peter Sercombe and Bernard Sellato, eds., Beyond the Green Myth: Borneo’s Hunter-Gatherer in the
Twenty-First Century (Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies, 2007) hal. 10
4
Johan Weintré, Organisasi Sosial dan Kebudayaan Kelompok Minoritas Indonesia: Studi Kasus
Masyarakat Orang Rimba di Sumatra (Orang Kubu Nomaden), Makalah Studi Lapangan, (Yogyakarta:
Pusat Studi Kebudayaan UGM, 2003).
5
John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. hal. 82. Bahasan hortikultural dan pastoral didasarkan sumber
ini.
6
Agama Yahudi dan Nasrani tumbuh dari masyarakat pastoral Bani Israil.
choir934@gmail.com
(Khoirul Umam, Jur. Tafsir Hadits Fak. Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta)

Masyarakat agraris dicirikan kegiatan cocok tanam berskala besar.7 Cocok


tanam skala besar dimungkinkan akibat ditemukannya teknologi pembantu produksi
manusia, semisal tenaga hewan (sapi untuk menarik bajak, kuda untuk menarik pedati).
Masyarakat ini juga ditengarai telah menemukan teknologi irigasi, teknik baca tulis,
dan penggunaan peralatan yang terbuat dari logam. Lewat bantuan bajak, teknik irigasi,
dan peralatan logam, masyarakat agraris dapat menetap di suatu wilayah, tidak perlu
lagi berpindah layaknya masyarakat hortikultural. Mereka mampu melakukan
refertilization tanah garapan. Populasi masyarakat agraris semakin menumpuk di suatu
wilayah karena lahan tanaman dapat digunakan oleh beberapa generasi dengan tingkat
kesuburan yang berkurang lambat. Produksi cocok-tanam masyarakat agraris berlipat
ganda dibandingkan hortikultural. Peningkatan material-surplus membuat peningkatan
serupa pada jumlah manusia yang tidak perlu terlibat langsung dalam kegiatan produksi
subsisten. Waktu luang mereka manfaatkan untuk menemukan teknologi baru. Di
dalam masyarakat agraris, jaringan perdagangan tumbuh lebih pesat, dan uang mulai
digunakan sebagai alat tukar.

Indonesia merupakan masyarakat agraris. Luas wilayah masyarakat ini –


daratan dan lautan – mencapai 1.904.569 km2. Dari luas total tersebut, 24% merupakan
daratan. Dari total daratan ini, 67 juta hektar (35%) digunakan sebagai kawasan lindung
dan sisanya seluas 123 juta hektar (65%) digunakan untuk areal budidaya, baik untuk
pertanian maupun non pertanian. Sebanyak 53,71 juta hektar lahan dari 123 juta hektar
area budidaya digunakan sebagai lahan pertanian.8 Dalam konteks ini, Indonesia
merupakan sebuah masyarakat agraris ketika 43,33% (hampir setengah) luas lahan
daratan yang dapat dibudidaya digunakan untuk pertanian. Namun, masyarakat agraris
ini lambat laun mulai tergusur oleh terbentuknya jenis masyarakat baru yang sudah
mulai menggejala: Masyarakat industrial.

4. Industrial

Masyarakat industrial adalah masyarakat dengan ciri utama produksi barang –


makanan, pakaian, bahan bangunan – dengan bantuan teknologi mesin yang digerakkan
sumberdaya energi non hewani (sumber daya baru).9 Penggunaan energi hewan yang
marak di tahap masyarakat agraris berkurang penggunaannya. Teknologi mesin yang

7
John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.82-4. Bahasan agraris didasarkan sumber ini.
8
Sitanala Arsyad dan Ernan Rustiadi, ed., Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan(Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2008) hal. 65
9
John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. hal. 84. Bahasan industrial didasarkan sumber ini.
choir934@gmail.com
(Khoirul Umam, Jur. Tafsir Hadits Fak. Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta)

operasinya didukung sumber daya energi baru (bahan bakar fosil), membuat proses
produksi jauh lebih cepat dengan hasil jauh lebih banyak ketimbang yang bisa
dilakukan masyarakat sebelumnya. Material-surplus dalam masyarakat ini terjadi
berkali-kali lipat. Apalagi dengan turut ditemukannya teknologi kereta uap, kapal uap,
listrik, rel-rel besi, juga komunikasi kawat, yang kesemuanya memungkinkan proses
distribusi hasil produksi semakin cepat dan ekstensif. Perluasan pasar dan pencarian
sumber daya mendorong munculnya imperialisme. Imperialisme memungkinkan
pemilik alat produksi dari bangsa imperial mencapai keuntungan yang semakin besar.
Akibatnya, ketimpangan sosial di dalam masyarakat industri jauh lebih besar dan rumit
lagi.

Untuk sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di kota-kota besar,


masyarakat industrial sudah atau paling tidak mulai terbentuk. Kendati masih
terlokalisir di wilayah sentra pabrik dan kegiatan perdagangan, masyarakat industrial
Indonesia nyata menampakkan wujudnya. Hingga kini pun telah dilihat, bahwa dalam
alur pikir Lenski ternyata masyarakat Indonesia ditengarai beragam jenis masyarakat,
tidak mono jenis.

5. Posindustrial (Modern)

Masyarakat posindustrial dicirikan kegiatan produksi untuk menghasilkan


informasi yang dimungkinkan oleh adanya teknologi komputer. Jika masyarakat
industri kegiatannya terpusat pada pabrik dan mesin penghasil barang material, maka
masyarakat posindustri fokus pada pengelolaan dan manipulasi informasi, yang
produksinya bergantung pada komputer dan peralatan elektronik lain. Teknologi
utamanya digunakan untuk memproduksi, memproses, menyimpan, dan menerapkan
informasi. Jika individu masyarakat industri belajar keahlian teknis, maka individu
masyarakat posindustri mengembangkan kemampuan teknologi informasi
menggunakan komputer dan perangkat teknologi informasi lain sebagai alat bantu
kerja. Masyarakat posindustri cenderung mengembangkan softskill ketimbang
hardskill. Percepatan pekerjaan masyarakat posindustri berkali-kali lipat masyarakat
industri.

Produksi barang lewat tenaga manusia dalam masyarakat posindustri lebih


sedikit. Akibatnya, terjadi peralihan besar-besaran tenaga kerja untuk menjalani profesi
guru, penulis, sales, penjual pulsa, operator telepon, termasuk bisnis on-line (e-business
choir934@gmail.com
(Khoirul Umam, Jur. Tafsir Hadits Fak. Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta)

dan e-commerce). Industri yang berkembang mengarah pada produksi soft-skill


ketimbang hard-skill. Masyarakat posindustri dihadang oleh kian merenggangnya
kohesi sosial, rumitnya varian kriminalitas, serta rusaknya lingkungan akibat aktivitas
masyarakat sebelumnya (industrial).

Kelima masyarakat evolutif Lenski ada di Indonesia, berkelindan satu sama


lain, kendati kuantitas penganutnya berbeda satu sama lain. Masyarakat pemburu dan
peramu hingga kini masih dapat ditemui di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan
Papua. Kendati jumlahnya kian sedikit, terhimpit proses pembukaan wilayah oleh
masyarakat pendatang, mereka tetap masyarakat Indonesia yang punya hak hidup,
bermatapencaharian, serta mengembangkan kebudayaannya. Masyarakat hortikultural
Indonesia ditandai konsep umum perladangan berpindah. Masyarakat seperti ini
terutama masih terdapat di wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Masyarakat pastoral
terdapat di kepulauan Nusa Tenggara, wilayah Indonesia yang punya padang rumput
yang luas guna mempraktekkan kehidupan menggembala. Masyarakat agraris
(termasuk nelayan) masih merupakan elemen terbesar masyarakat Indonesia dan ini
ditandai masih adanya Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan
Perikanan, kendati ditandai perhatian mereka yang setengah hati. Masyarakat industrial
menempati ruang hidup di kota-kota besar. Masyarakat Posindustrial menggejala di
kota-kota industri Indonesia, yang kendati kuantitas definitifnya sulit diprediksi, tetapi
dipastikan meningkat seiring mewabahnya penggunaan teknologi telepon seluler, dan
didukung pengembangan kabel internet.

C. Terbentuknya Masyarakat Menurut Karl Max

Dalam pembentukan masyarakat, Max menggunakan peran konflik. Menurut


perspektif ini, sejarah masyarakat ditandai pertentangan kelas. Klasifikasi Lenski atas
kelima jenis masyarakat yang didasarkan pengaruh teknologi (material) atas cara
produksi, membuat analisis masyarakat lewat perspektif konflik lebih mudah dipahami.
Marx adalah teoretisi konflik paling terkemuka, dan bahkan sejak awal telah meringkas
perubahan masyarakat versi Lenski ke dalam konsepnya: Materialisme historis. Konsep
ini menjelaskan bahwa sejarah masyarakat tidak lain tersusun berdasarkan cara-cara
produksi material. Materialisme historis beroperasi dalam kaidah materialisme
dialektis. Materialisme dialektis menyatakan bahwa setiap cara produksi di setiap
tahapan perkembangan masyarakat menghasilkan struktur-struktur sosial khas yang
choir934@gmail.com
(Khoirul Umam, Jur. Tafsir Hadits Fak. Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta)

saling bertentangan. Masyarakat baru kemudian muncul sebagai buah pertentangan


antar struktur masyarakat lama.

Bagi Marx, bukan gagasan yang menciptakan masyarakat melainkan cara-cara


produksi material-lah yang menciptakan gagasan. Justru cara-cara produksi-lah yang
menciptakan aneka gagasan manusia seputar masyarakat. Inilah penjelasan singkat
mengenai materialisme historis. Karena Marx menggunakan cara produksi ekonomi
sebagai monofaktor kekuatan penggerak perubahan masyarakat maka ia dikenal
menganut determinisme ekonomi.

D. Terbentuknya Masyarakat Menurut Max Weber

Max Weber mengakui peran teknologi bagi perkembangan masyarakat.10


Namun, Weber tidak sepakat dengan determinisme ekonomi Marx. Jika Marx
menganut materialisme historis, maka Weber dapat dikatakan menganut idealisme
historis. Bagi Weber, masyarakat terbentuk lewat gagasan atau cara berpikir manusia.
Dalam hal ini, Weber bertolak belakang dengan Marx yang justru mengasumsikan
gagasan tidak lebih proyeksi cara-cara produksi ekonomi.

10
John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. hal. 87-88
choir934@gmail.com
(Khoirul Umam, Jur. Tafsir Hadits Fak. Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta)

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Yusran Razak, Sosiologi, Sebuah Pengantar, Jakarta: Laboratorium Sosiologi


Agama, 2010

Sitanala Arsyad dan Ernan Rustiadi, ed., Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008

John J. Macionis, Sosiology, London: Pearson Education, Ltd, 1987

Soejono Soekanto, Sosilogi, Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, 1982

Anda mungkin juga menyukai